DVD Konseling Kristen TELAGA

TELAGA -- Pranikah/Pernikahan


Anda dapat membaca 61 artikel terkait masalah pernikahan seperti anugerah dalam pernikahan, ciri-ciri pernikahan sehat, pernak-pernik perjodohan, dan sebagainya. (Total Durasi: 31 Jam)<<Lihat Direktori>>

No.JudulFile MP3
1Mengapa Tuhan Mempertemukan KamiT005A
2Mencari Pasangan HidupT006B
3Memperkuat PernikahanT015A
4Gangguan dalam PernikahanT015B
5Konflik dalam Pernikahan KristenT018A
6Kewajiban dan Kemarahan dalam PernikahanT018B
7Makna Pernikahan GerejawiT025A
8Persiapan PernikahanT026B
9Kejenuhan dalam PernikahanT036A
10Bagaimana Memahami Kebutuhan Pasangan dalam PernikahanT036B
11Topeng dalam PernikahanT049A
12Keterbukaan dalam PernikahanT049B
13Proses Restorasi PernikahanT053A
14Model-Model Pernikahan 1 Faktor Penentu KesuksesanT055A
15Model-Model Pernikahan 2 Faktor Penentu KesuksesanT055B
16Pernak-Pernik Perjodohan 1T063A
17Pernak-Pernik Perjodohan 2T063B
18Makna KesepadananT079A
19Tanda-Tanda KesepadananT079B
20Pernikahan yang Tidak SehatT080A
21Ciri-Ciri Pernikahan SehatT080B
22Tahap Perkembangan Cinta dalam PernikahanT093A
23Menyikapi Perbedaan dalam PernikahanT100A
24Komunikasi dalam PernikahanT100B
25Memahami Pernikahan 1T114A
26Memahami Pernikahan 2T114B
27Mengapa Kita Menikah PriaT133A
28Mengapa Kita Menikah WanitaT133B
29Pertengkaran Racun atau Bumbu dalam KeluargaT139A
30Membentengi PernikahanT139B
31Titik Rawan PernikahanT146B
32Perubahan dalam PernikahanT155B
33Filipi 2 untuk PernikahanT166A
34KompromiT166B
35Tangguh Ditengah BadaiT192A
36Dipanggil untuk MemberkatiT192B
37Mengapa Masalah Pernikahan Sukar SelesaiT208A
38Komitmen PernikahanT208B
39Membangun Kepercayaan Dalam PernikahanT214A
40Membangun Respek Dalam PernikahanT214B
41Anugerah Dalam Pernikahan 1T225A
42Anugerah Dalam Pernikahan 2T225B
43Tahap Penyesuaian Dalam PernikahanT226A
44Pernikahan Yang HampaT226B
45Pernikahan Dihari Tua 1T227A
46Pernikahan Dihari Tua 2T227B
47Sampai Maut Memisahkan KitaT302A
48Sampai Maut Memisahkan Kita IIT302B
49Bertumbuh Bersama IT334A
50Bertumbuh Bersama IIT334B
51Pelancar Komunikasi IT338A
52Pelancar Komunikasi IIT338B
53Pernikahan di Mata TuhanT346A
54Saling Menajamkan IT347A
55Saling Menajamkan IIT347B
56Tahun Pertama Pernikahan 1T352A
57Tahun Pertama Pernikahan 2T352B
58Segitiga CintaT363A
59Cinta Pandangan PertamaT363B
60Penentu Keharmonisan Pernikahan IT379A
61Penentu Keharmonisan Pernikahan 2T379B


1. Mengapa Tuhan Mempertemukan Kami


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T005A (File MP3 T005A)


Abstrak:

Pertemuan antara suami dan istri adalah suatu hal yang penuh dengan keunikan. Tidak ada yang terjadi di luar kehendak Tuhan. Demikian juga pertemuan kita dengan calon pasangan kita adalah dalam rencana dan kehendak Tuhan.


Ringkasan:

Pertemuan kita dengan pasangan kita adalah suatu misteri, misteri dalam pengertian sesuatu yang tidak mudah kita nalar atau kita jelaskan secara rasional. Ada unsur-unsur yang tidak bisa dijelaskan dengan nalar kenapa kita tertarik kepada pasangan kita. Namun kalau dipandang dari sudut kristiani kita percaya dan bersikap bahwa tidak ada yang terjadi di luar kehendak Tuhan dengan kata lain pertemuan kita dengan pasangan kita itu dalam rencana dan kehendak Tuhan. Pertemuan itu sudah pasti ada campur tangan Tuhan namun di samping campur tangan Tuhan banyak sekali hal-hal yang bersifat natural yang terlibat dalam pemilihan pasangan hidup itu. Hal-hal tersebut adalah ciri-ciri tertentu tentang pasangan kita yang klop dengan kita.

Ada 2 faktor yang mendasari bahwa suatu hubungan dikehendaki Tuhan:

  1. Menikah dengan yang seiman, itu permintaan Tuhan
  2. Menikah dengan yang sepadan, artinya yang cocok dengan kita

Bapak Yakub Susabda pernah mengeluarkan pernyataan yang berkata tidak semua pernikahan Kristen dikehendaki Tuhan. Pernyataan ini masuk kategori yang kedua di atas, adakalanya orang Kristen menikah dengan yang tidak cocok, memang seiman, dalam Tuhan, namun tidak cocok dalam hal-hal yang lain, misalnya kepribadian dan sebagainya. Dalam kasus yang demikian kita harus berani berkata bahwa pernikahan Kristen (dua-duanya orang Kristen) tersebut sebetulnya tidak direstui oleh Tuhan karena adanya ketidakcocokan.

Keharmonisan dalam rumah tangga bukanlah pertanda Tuhan merestui suatu hubungan suami-istri. Contoh: menikah dengan yang tidak seiman, jelas itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, meski di dalam rumah tangga mereka harmonis. Kecocokan memang adalah hal yang sangat indah dan hal yang sangat penting dalam pernikahan, namun tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur bahwa itu adalah pernikahan yang dikehendaki Tuhan. Sebaliknya kalau kedua orang tersebut seiman dan menemukan banyak kecocokan sehingga pernikahan mereka benar-benar solid, kuat, bebas dari konflik dengan mudah kita bisa langsung berkata pernikahan itu memang dikehendaki Tuhan.

Namun jika pernikahan kita mengalami konflik itu juga bukan pertanda Tuhan tidak merestui pernikahan kita. Contoh dalam perjalanan kehidupan Ayub, saat istri Ayub mendorong suaminya menjauhkan diri dari Tuhan. Terjadilah konflik, namun apakah kita berkata bahwa Tuhan sedang tidak memberkati Ayub dan meninggalkan Ayub? Dengan tegas kita bisa berkata tidak! Tuhan hadir bersama Ayub, bahkan tantangan dan pencobaan yang dialami pada saat itu adalah kontrol kedaulatan Tuhan, tidak ada indikasi satupun Tuhan meninggalkan Ayub. Memang adakalanya orang Kristen mempertanyakan mengapa pernikahan ini mengalami konflik, tapi kalau sudah yakin Tuhan yang memimpin jalannya hubungan kita, jangan lagi mempertanyakan hal itu. Kita dengan tegas bisa berkata pernikahan ini dikehendaki Tuhan, percekcokan ini adalah memang bagian dari kehidupan kita untuk membangun hubungan yang serasi.

Yohanes 14:25,26 berkata: "Semuanya itu Kukatakan kepadamu selagi Aku berada bersama-sama dengan kamu, tetapi penghibur yaitu Roh Kudus yang akan diutus oleh Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu."

Jadi pada masa berpacaran jangan sampai kita lupa membuka diri terhadap ajaran, bimbingan Roh Kudus sendiri. Sebab Ia akan membimbing kita, tergantung kita mau dengarkan dan taati atau tidak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Tuhan Mempertemukan Kami", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul ada orang yang berpendapat bahwa jodoh itu di tangan Tuhan, bagaimana tanggapan Pak Paul terhadap ungkapan seperti itu?

PG : Begini Pak Gunawan, kalau kita berkata bahwa jodoh itu di tangan Tuhan, itu adalah suatu pernyataan bahwa Tuhanlah yang berdaulat atas hidup ini, sehingga bukan saja jodoh di tangan Tuhan api segala hal yang terjadi di dalam kehidupan kita ini semua ada di tangan Tuhan, dalam kedaulatan Tuhan.

Tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam dunia ini di luar kedaulatan atau penguasaan Tuhan sendiri. Jadi kira-kira seperti itulah maknanya, namun dalam pengertian kita tentang jodoh itu di tangan Tuhan, kita memaknainya seperti ini bahwa meskipun itu dalam kehendak Tuhan namun Tuhan memberikan andil kepada manusia untuk berpartisipasi dalam mewujudkan kehendak Tuhan itu. Sehingga dalam perjodohan kita ini tidak diam, tidak hanya menantikan Tuhan berbuat sesuatu membawa seseorang ke dalam kehidupan kita dan kita berkata inilah jodoh yang Tuhan berikan kepada kita, tidak. Pengertian dalam kehendak Tuhan, kita ini diberikan kesempatan dan juga andil untuk berpartisipasi dalam mewujudkan kehendak Tuhan itu.
GS : Itu berlaku bagi setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus maupun tidak, Pak Paul?

PG : Betul, dalam pengertian ini bahwa Tuhanlah yang memegang kendali penuh atas semua kehidupan dan aktifitas di dalam dunia ini ya, semua hal yang terjadi memang dalam kedaulatan Tuhan sendir, pertanyaan berikutnya adalah apakah semua pernikahan itu adalah pernikahan yang Tuhan setujui dalam pengertian kehendak itu sesuatu yang terjadi tidak ada yang di luar penguasaan Tuhan.

Namun kalau kita masuk ke point berikutnya apakah semua pernikahan itu disetujui oleh Tuhan, ternyata tidak Pak Gunawan.
GS : Kalau begitu pasti ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi sebuah pernikahan itu disetujui atau dikehendaki oleh Tuhan atau pun tidak?

PG : Betul sekali, dan syaratnya sebetulnya Alkitab hanya memberikan dua. Yang pertama Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan menghendaki kita menikah dengan sesama orang percaya, dengan ssama orang yang sudah ditebus oleh darah Tuhan Yesus Kristus.

Maka di 1 Korintus 7:39 Rasul Paulus memberikan nasihat bahwa kalau seseorang kehilangan pasangannya karena kematian, boleh menikah lagi dengan siapapun yang dikehendakinya asalkan dia orang percaya. Dalam terjemahan Alkitab yang lain ditulis asalkan dia orang yang di dalam Kristus. Yang kedua adalah saya ambil dari Kejadian 2:18, di sana dikisahkan tentang penciptaan Hawa. Nah kita tahu bahwa Hawa bukan hanya sembarang manusia tapi adalah istri Adam, jadi memang penciptaan Hawa itu harus dilihat dari dua konteks. Konteks penciptaan manusia yang selanjutnya tapi juga dalam konteks pernikahan, ini adalah istri yang Tuhan bawa dalam kehidupan Adam. Istilah yang Tuhan gunakan adalah seorang penolong yang sepadan bagi Adam. Berarti kalau kita boleh menggunakan ayat ini sebagai kriterianya, Tuhan menghendaki kita ini menikah dengan yang cocok, yang sepadan dengan kita, yang bisa terlibat dalam relasi saling tolong sehingga kita mendapatkan bantuan, masukan dari pasangan kita dan demikian pula sebaliknya. Nah dua syarat inilah yang Tuhan sudah tetapkan, jadi kalau kita keluar dari dua syarat ini berarti itu adalah pernikahan yang tidak Tuhan setujui.
WL : Pak Paul, berkaitan dengan pernikahan yang dikehendaki Tuhan, apakah Pak Paul bisa menjelaskan perbedaannya dengan area ketetapan Tuhan. Ketetapan Tuhan yang saya mengerti seperti keselamatan, orang ini dipilih atau tidak dipilih. Saya merasa perlu dijelaskan lebih lagi berkaitan juga dengan pertanyaan Pak Gunawan. Tidak sedikit orang Kristen yang meyakini bahwa memang benar-benar si A jodohnya itu pasti si B. Saya juga pernah membaca sebuah buku yaitu pengalaman seorang Jepang, benar-benar mengasumsikannya seperti itu, bahwa dia yakin di suatu hari kelak di satu hutan tertentu dia akan bertemu dengan jodoh yang ini. Nah, masalahnya kalau ternyata bukan. Saya sendiri juga pernah mengalami, suatu hari di perayaan Natal di gereja lain, tiba-tiba ada seorang pria yang menghampiri saya, saya sedang telepon kemudian pria ini berkata: "Kamu adalah jodoh yang dikehendaki oleh Tuhan buat saya," saya terkejut luar biasa, "bagaimana bisa tahu bahwa saya ini jodoh buat kamu. Saya belum kenal kamu, kamu pun belum kenal saya," Pak Paul mungkin bisa menolong untuk menjelaskan?

PG : Contoh Ibu Wulan itu contoh yang baik sekali yaitu contoh penyalahgunaan kehendak Tuhan. Jadi kita mesti berhati-hati agar kita tidak mengklaim inilah kehendak Tuhan, meskipun kita belum mmpunyai buktinya.

Saya pernah mempunyai seorang teman yang mendapatkan pinangan yang sama seperti yang pernah Ibu Wulan alami dulu. Pria ini datang kepadanya dan berkata: "Dalam doa saya mendapatkan wahyu dari Tuhan bahwa engkaulah jodoh untukku." Nah, jawabannya dia adalah sangat baik, dia berkata: "OK, saya akan doakan dan kalau Tuhan juga memberikan wahyu yang serupa kepada saya barulah saya yakin ini adalah kehendak Tuhan, kalau Tuhan tidak memberikan wahyu yang sama berarti memang bukan." Jadi itu salah satu cara untuk menangkal pinangan-pinangan orang yang seperti ini. Tapi yang kedua adalah Tuhan meminta kita berandil di dalam mewujudkan kehendakNya bagi kita untuk menemukan pasangan hidup kita. Tuhan justru tidak menghendaki kita ini menjadi seperti orang yang pasif tidak ikut andil sama sekali, seolah-olah hanya menantikan seseorang dibawa di dalam kehidupan kita. Tidak, andil kita apa, andil kita adalah kita mesti melihat kecocokannya, kita mesti benar-benar menguji apakah relasi ini relasi yang cocok dan ujian ini harus melewati kurun yang tertentu, waktu yang tertentu agar kita bisa meyakini ya bahwa ini adalah pasangan yang cocok untuk kita. Kalau misalkan orang ini seiman dan sama-sama dalam Tuhan, tapi orang ini tidak cocok dengan kita, itu adalah pernikahan yang Tuhan tidak setujui meskipun dia seiman, namun kita dalam menjalani masa-masa perkenalan dengan dia kita pun menyadari waduh.........90% pertemuan kita itu diisi dengan pertengkaran, 10% baru tidak diisi dengan pertengkaran. Seharusnya itu sudah cukup kuat untuk memberitahukan kita bahwa ini bukanlah relasi yang cocok, bukan relasi yang sepadan. Memang sebetulnya kehendak Tuhan itu bisa kita lihat dari berbagai level, meskipun dari mata Tuhan kehendak Tuhan hanya satu tapi dari kacamata manusia seolah-olah kita bisa membeda-bedakan kehendak Tuhan dalam dua atau tiga level. Nah, level yang paling dekat dengan kehendak Tuhan adalah ketetapan langsung misalnya kelahirang Tuhan Yesus, kematian Tuhan Yesus di kayu salib itu yang saya panggil ketetapan langsung namun memerlukan kondisi artinya Tuhan memang sudah tetapkan Tuhan Yesus akan mati di kayu salin, namun ada kondisinya. Kondisinya adalah manusia-manusia itu mengambil bagian dalam mewujudkan kehendak Tuhan yaitu mereka membenci Tuhan, mereka melihat Tuhan Yesus sebagai pengacau dan harus disalibkan, sehingga akhirnya Tuhan benar-benar mati disalib. Itu ketetapan Tuhan namun manusia itu seolah-olah mempunyai bagian di situ dalam mewujudkan kehendak Tuhan. Berbeda dengan misalnya kelahiran Tuhan Yesus langsung, tulah yang Tuhan berikan kepada Mesir langsung, itu ketetapan yang benar-benar langsung. Penciptaan alam semesta ini, itu juga benar-benar ketetapan yang langsung sekali tanpa sedikit pun manusia mempunyai bagian dalam kehendak Tuhan itu. Nah, dalam level yang kedua yang tadi saya berikan contoh tentang kematian Tuhan Yesus jelas adanya andil manusia di situ, terus tentang penyebaran Injil dari Yerusalem ke Yudea dan akhirnya ke seluruh muka bumi ini, itu diawali dengan penganiayaan orang Kristen di kota Yerusalem. Memang Tuhan menghendaki murid-murid Tuhan itu pergi ke seluruh penjuru dunia tapi mereka tidak pergi. Jadi seolah-olah Tuhan itu memakai peristiwa penganiayaan itu untuk membawa murid-muridNya keluar dari Yerusalem. Tapi ada level yang ketiga, level yang yang ketiga adalah seolah-olah tidak ada ketetapan dari Tuhan maka saya sebut ketetapan tidak langsung, tetap ketetapan tapi seolah-olah Tuhan tidak turut campur dengan jelas membisikkan inilah ketetapannya, inilah yang harus terjadi. Kalau Tuhan Yesus sebelum mati Dia pun sudah berkata Dia akan disalibkan, Dia akan dibunuh, tapi dalam berpacaran dan memilih pasangan hidup biasanya itu tidak terjadi, nah seolah-olah Tuhan tidak memberikan ketetapan, sebetulnya ada namun secara tidak langsung dan Tuhan memberikan kesempatan dan andil yang sangat besar kepada manusia untuk terlibat di dalam mewujudkan dan mengetahui dengan pasti akan kehendak Tuhan ini.
WL : Pak Paul, kalau saya boleh mengerti berarti Tuhan memang memberikan hak atau kebebasan kepada manusia untuk memilih pasangannya yang manapun, dengan kata lain sebenarnya kita tidak bisa menyalahkan Tuhan karena yang sering saya dengar kalau rumah tangga akhirnya berantakan cenderung menyalahkan Tuhan. Kenapa Tuhan akhirnya mengijinkan, pernikahan ini bisa terjadi kalau tidak bukankah waktu di altar itu bisa terjadi sesuatu sehingga tidak jadi menikah tapi ini Tuhan berikan kesempatan ini untuk menikah.

PG : Bu Wulan, ada satu kesalahpahaman yang sering kali dimiliki oleh kita sebagai orang percaya, kita ini beranggapan setelah kita ini percaya kepada Kristus maka hidup ini seharusnya mudah. Jdi seolah-olah tujuan hidup itu adalah kebahagiaan, dalam pengertian kemudahan, kegampangan atau keenakan, itu keliru.

Sebab yang Tuhan janjikan dan inginkan dari kita anak-anakNya adalah pertumbuhan, itu jauh menempati porsi besar dalam rencana kerja Tuhan. Justru yang namanya kemudahan, keenakan dan sebagainya, itu tidak pernah Tuhan janjikan. Maka yang Tuhan pernah katakan kalau engkau mengikut Aku, engkau harus menyangkal dirimu dan memikul salibmu, salib itu lambang kematian pada saat itu. Dengan kata lain memang ada penderitaan, ada kuk yang harus kita pikul, Tuhan berkata pikullah kuk meskipun Dia berjanji itu akan ringan. Bukan karena bebannya ringan tapi kekuatan Tuhan yang begitu besar menolong kita memikul kuk itu sehingga kuk itu tidak terlalu memberatkan kita. Tapi kuk itu sendiri bisa berat namun dengan kekuatan dari Tuhan bisa kita pikul, itu maksudnya Tuhan. Jadi intinya Tuhan tidak menjanjikan kemudahan, keenakan, kelancaran, yang Tuhan inginkan justru adalah pertumbuhan dan kita tahu sebagai manusia bahwa pertumbuhan itu terjadi melewati satu syarat. Syaratnya apa, yaitu kesusahan, krisis, pengujian, nah itu yang memang Tuhan tekankan. Jadi pertanyaan Ibu Wulan adalah bagaimana dengan orang yang sudah menikah yakin ini adalah kehendak Tuhan dan memenuhi syarat, cocok, dan juga sama-sama dalam Tuhan kok masih bertengkar, selama menikah kok masih tidak cocok, seolah-olah ini bukan kehendak Tuhan. Nah, yang pertama saya ingin koreksi adalah konsepnya dulu, kalau kita menikah mengharapkan semuanya lancar berarti kita keliru sebab Tuhan menghendaki pertumbuhan. Dan pertumbuhan biasanya harus melewati proses pengujian.
GS : Yang Pak Paul maksudkan dengan pertumbuhan itu pertumbuhan apa Pak?

PG : Pertumbuhan rohani jiwa kita, jadi roh kita, jiwa kita makin hari makin matang. Misalkan kita kurang sabar, Tuhan ingin menumbuhkan kesabaran kita. Kita misalkan mudah putus asa, Tuhan ingn menumbuhkan ketangguhan kita, makanya di II Petrus dikatakan tambahkan atas imanmu itu kebajikan, tambahkan juga penguasaan diri, tambahkan juga ketabahan, dari situ nanti akan muncul kesalehan.

Kesalehan akhirnya Tuhan minta tambahkan lagi kasih kepada sesama saudara dan sebagainya. Jadi pertumbuhan baik secara rohani maupun secara karakter.
GS : Dalam rangka maksud Tuhan supaya kita bertumbuh, kadang-kadang kita melihat pada kenyataannya bahwa pasangan yang dijodohkan oleh Tuhan, yang dikehendaki oleh Tuhan itu kelihatannya aneh sekali. Jadi kalau kita tadi berbicara tentang sepadan, kalau kita lihat itu tidak sepadan, misalnya yang satu boros, yang satu sangat hemat, yang satu suka keluyuran, yang satu tidak, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Sudah tentu prinsipnya adalah sewaktu kita menikah, kita memang mau mencari yang sepadan dalam pengertian kalau pun berbeda bedanya tidak terlalu jauh, kalau memungkinkan itu yang diutamakn.

Dan perbedaan itu tidak sampai akhirnya mengganggu dalam pengertian apakah awal-awalnya tidak mengganggu, pasti mengganggu. Namun pada masa perkenalan kita mencoba untuk mencocokkan atau menyesuaikan. Nah, harusnya sebelum kita menikah proses pencocokkan itu sudah terjadi, mesinnya sudah menyala. Kenapa penting mesinnya menyala karena setelah menikah kita akan menemukan banyak lagi ketidakcocokkan. Artinya kita memang harus siap untuk menghadapi ketidakcocokkan itu.
GS : Yang sering kali dialami oleh mereka yang berpacaran itu justru kelihatannya mereka cocok tapi tidak seiman. Karena memang lingkungannya itu yang tidak memungkinkan mereka bisa bertemu dengan orang-orang yang seiman.

PG : Tadi saya sudah singgung Pak Gunawan, bahwa dua syarat yang harus kita penuhi. Yang pertama adalah pasangan kita harus seiman, yang kedua harus cocok, nah kadang-kadang kita kurang bijaksaa kita hanya melihat faktor seimannya sehingga ketidakcocokkan kita abaikan, akhirnya celakalah yang kita alami, dalam rumah tangga sering bertengkar karena memang dasarnya kurang cocok.

Tapi kesalahan kedua yang sering kita lakukan adalah sudah cocok tapi tidak seiman, kita kompromikan nah itu pun juga bukan pernikahan yang Tuhan setujui karena faktor tidak seimannya itu ada, meskipun kita cocok. Jadi kita harus menjaga keduanya ini harus ada di dalam pernikahan kita, tapi kalau kita sudah yakin keduanya ada dalam pernikahan kita cocok dan seiman, kemudian dalam perjalanannya kita mengalami konflik kita jangan sampai menanyakan kembali, "Tuhan, apakah ini kehendakMu saya menikah dengan pasangan saya." Ini pengalaman saya pribadi juga, pada awal pernikahan kami pun juga harus melewati konflik, nah dalam konflik saya pernah bertanya: "Tuhan, saya salah memilih pasangan hidup atau tidak?" Akhirnya saya memikirkan masalah ini, waktu saya masih berpacaran dengan istri saya apakah saya meyakini ini adalah istri yang cocok dengan saya; ya, apakah dia seiman dengan saya, ya; apakah akhirnya saya simpulkan dia memang pasangan yang Tuhan sediakan untuk saya; ya, kalau begitu sudah saya harus tutup kasus ini, saya tidak boleh bertanya-tanya apakah ini pasangan yang Tuhan berikan sebab kedua syarat ini telah saya penuhi. Berarti yang saya alami dalam pernikahan saya adalah bagian pertumbuhan yang Tuhan tetapkan untuk saya dan istri saya. Nah sekarang setelah hampir 20 tahun saya menikah dengan istri saya kami menikmati relasi yang baik, tidak bisa tidak kami baru bisa melihat ke belakang dan berkata: "O.........ya, pengalaman yang dulu itu memang perlu, harus ada kalau tidak kami tidak akan menanjak, bertumbuh baik dalam karakter kami maupun kerohanian kami." Nah, dengan kata lain maksud Tuhan tercapai, di dalam pernikahan ini akhirnya masing-masing mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan itu kita tahu adalah harus menuju pada sasaran yang sama yakni menjadi serupa dengan Kristus Tuhan kita.
WL : Pak Paul, bagaimana dengan kasus-kasus yang justru tidak seiman tapi harmonis pernikahannya?

PG : Tadi saya sudah singgung, meskipun itu yang terjadi tetap itu bukan pernikahan yang Tuhan setujui.

WL : Ya, tapi agak sulit dimengerti Pak Paul, karena akhirnya banyak orang yang berargumen kalau tidak seiman kemudian menikah dan mereka gontokan-gontokan, ribut, bermasalah akhirnya kita bisa mengerti ya sudah itu kuk yang harus kamu tanggung karena kamu tidak menuruti firman Tuhan. Tapi kalau kebalikannya tidak seiman tapi tetap harmonis, nah orang akan bertanya-tanya Tuhan tidak menghukum mereka kok lalu orang akan lebih setujui maksudnya untuk kasus-kasus berikutnya mereka berkata tidak apa-apa kok kita boleh mencoba.

PG : Tuhan memang tidak menghukum, dalam pengertian Tuhan tidak bertindak secara langsung melakukan sesuatu penghukuman atau menjatuhkan sesuatu yang buruk kepada orang ini. Kenapa, ya saya tidk bisa memastikan rencana Tuhan karena saya yakin sebetulnya ada rencana Tuhan untuk setiap orang, tapi yang bisa saya katakan adalah meskipun mereka memang harmonis tapi tetap berada di luar persetujuan Tuhan.

Nah kalau sampai kita bertanya juga mengapa Tuhan seolah-olah memberkati, mereka tambah hari tambah harmonis apa yang terjadi? Nah kita bisa menyimpulkan nomor satu mereka memang harmonis, memang mereka cocok. Dan yang kedua adalah di dalam kebaikan hati Tuhan, di dalam kemurahan Tuhan, Tuhan memberikan anugerahNya kepada pasangan-pasangan ini. Sebab kenapa, sebab dari pasangan yang tidak seiman ini pun akan lahir anak-anak dan Tuhan menginginkan anak-anak ini bisa menghirup udara yang tenteram dalam keluarga. Nah maka Tuhan juga akan memberikan anugerah itu kepada keluarga tersebut yakni biarkanlah, supaya apa yakni anak-anaknya bisa menikmati ketenteraman hidup. Jadi Tuhan bukanlah Tuhan yang jahat, gara-gara kita melanggar perintahnya, kita menikah dengan yang tidak seiman maka Tuhan langsung akan kutuk sehingga anak-anaknya akan terus hidup di dalam penderitaan, tidak ada kedamaian dan sebagainya tidak selalu begitu. Ada memang yang menikah dengan yang tidak seiman, orang itu berkarakter buruk sehingga pernikahan mereka menjadi sangat-sangat penuh dengan penderitaan, ada yang seperti itu. Tapi saya juga setuju dengan Ibu Wulan, ada yang tidak seperti itu, ada yang harmonis itu adalah anugerah untuk mereka. Tuhan membiarkan itu terjadi, dan Tuhan memelihara anak-anak mereka, Tuhan ijinkan namun tetap saya tegaskan itu di luar persetujuan Tuhan. Sebab firman Tuhan sudah jelas berkata boleh menikah dengan siapa saja asalkan sesama orang percaya.
GS : Pak Paul, kalau dalam kasusnya Ayub yang istrinya itu marah-marah kepada Ayub bahkan mengatakan kamu menghujat Allahmu saja. Nah di sana kita melihat itu sebenarnya pasangan yang sama-sama beriman kepada Tuhan atau kerena ketidakcocokan atau ada faktor-faktor lain Pak Gunawan?

PG : Nah itu contoh yang baik sekali Pak Gunawan, contoh Ayub dan istrinya adalah contoh klasik manusia yang akhirnya retak di dalam penderitaan yang teramat berat. Sudah tentu istri Ayub juga dalah seorang yang saleh memang Alkitab tidak menuliskan sebelumnya, karena dikatakan di Alkitab pada masa anak-anaknya masih hidup Ayub itu ayah yang begitu mengasihi anak-anaknya, berdoa untuk anak-anaknya dan tampaknya ini keluarga yang harmonis, anak-anaknya saling mengunjungi, makan bersama penuh kedamaian jadi saya bisa menduga bahwa keluarga ini keluarga yang baik.

Taat pada Tuhan dan harmonis, tapi kenapa istri Ayub sampai berkata seperti itu, dia retak dalam tekanan yang begitu berat sehingga dia berkata kepada Ayub kenapa engkau tidak mengutuk Tuhan, kutukilah dirimu seolah-olah lebih baik kamu mati dan sebagainya. Saya kira dia retak sehingga mengeluarkan kata-kata seperti itu, bukannya dia orang yang yang seperti itu. Tapi bisa kita simpulkan juga bahwa penderitaan yang begitu berat memang membuat hubungan mereka retak, relasi mereka akhirnya tidak lagi harmonis, akhirnya mereka bertengkar. Nah apakah dari sini kita bisa katakan o.....pernikahan Ayub dengan istrinya dari awalnya memang Tuhan tidak berkati, atau Tuhan tidak setujui, tidak. Jadi kita jangan terburu-buru mengaitkan ketidakcocokkan atau pertengkaran di rumah tangga kita selalu dengan Tuhan tidak memberkati kita lagi, belum tentu. Jelas Tuhan memberkati Ayub dan keluarganya dan jelas bahwa ujian yang diberikan Tuhan kepada Ayub bertujuan untuk pertumbuhan Ayub itu sendiri dan ada rencana Tuhan yang lebih besar yang Ayub sendiri pada saat itu tidak bisa melihatnya. Tapi apakah Tuhan menarik berkatNya dari Ayub, tidak. Nah ini saya ingin sampaikan kepada para pendengar kita Pak Gunawan. Sebab saya tahu bahwa dalam penderitaan karena hubungan kita kurang harmonis, kita berkata: "Tuhan itu menarik berkatNya dari kita" belum tentu. Kalau dua-dua berjalan, takut akan Tuhan, mau menyenangkan hati Tuhan tapi kok masih ada pertengkaran itu bukan pertanda Tuhan menarik berkatNya, itu pertanda Tuhan menginginkan kita berdua bertumbuh.
GS : Berarti untuk meyakini bahwa pasangan kita itu pasangan yang Tuhan berikan, itu ada firman Tuhan yang menguatkan kita Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari kitab Yohanes 14:25 dan 26 "Semua itu Kukatakan kepadamu, selagi Aku berada bersama-sama dengan kamu; tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan iutus oleh Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu."

Nah yang ingin saya garisbawahi adalah Roh Kudus akan mengajarkan segala sesuatu kepada kita. Bukalah diri kita pada pengajaran Roh Kudus, pada pengajaran Tuhan, dalam masalah yang kita hadapi dengan pasangan kita ada pengajaran Tuhan untuk kita, Tuhan sedang mengajak kita bertumbuh, ini bukan pertanda Tuhan menarik berkatNya, jangan. Jangan terburu-buru berkata begitu, yakinlah kalau ini memang dari Tuhan pernikahan ini juga sudah kita penuhi syarat-syaratnya, ini kehendak Tuhan dan kita tidak lagi bertanya. Dan kalau kita harus bergumul itu pertanda Tuhan menginginkan kita bertumbuh.

GS : Ya berarti sejak awal kita mencari pasangan kita itu, kita harus melibatkan Tuhan di dalam hal taat kepada pimpinan Roh Kudus ini. Terima kasih Pak Paul dan Ibu Wulan untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Tuhan Mempertemukan Kami." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



2. Mencari Pasangan Hidup


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T006B (File MP3 T006B)


Abstrak:

Anak-anak menyerap banyak hal dari orang tua ketika mereka memilih jodoh. Kalau seorang pria menyukai sikap-sikap mamanya dia akan cenderung mencari wanita yang menyerupai mamanya. Demikian juga dengan wanita, kalau dia menghormati sifat-sifat ayahnya dia juga cenderung untuk mencari pria atau mendekati pria yang menyerupai ayahnya. Namun lebih dari semua itu ada prinsip-prinsip yang perlu dijadikan pedoman dalam memilih pasangan hidup, dan materi ini akan menyajikan prinsip-prinsip tersebut.


Ringkasan:

Seorang anak memilih jodoh sesungguhnya tidak begitu jauh berkisar dari orang tua. Maksudnya anak-anak menyerap banyak hal dari orang tua. Misalnya interaksi orang tua, hal-hal yang mereka sukai atau tidak sukai dari seorang pria atau seorang wanita. Kalau seorang pria menyukai sikap-sikap mamanya dia akan cenderung mencari wanita yang menyerupai mamanya. Demikian juga dengan wanita, kalau dia menghormati sifat-sifat ayahnya dia juga cenderung untuk mencari pria atau mendekati pria yang menyerupai ayahnya.

Pedoman-pedoman atau prinsip yang dapat digunakan untuk mencari pasangan hidup, dipandang dari sudut kristiani adalah sebagai berikut:

  1. Seiman
    1 Korintus 7:39, "Istri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya." Di sini ditekankan hanya boleh menikah dengan yang seiman atau orang percaya/sesama orang Kristen.
  2. Nikahilah orang yang sesuai dengan selera kita. Orang yang kita sukai.
  3. Kejadian 2:18, Tuhan Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." Nah prinsip selanjutnya menikahlah dengan yang sepadan, maksudnya sepadan adalah cocok dengan kita. Kecocokan adalah hal yang penting, tidak harus sama tapi bisa mengimbangi dan bisa menerima perbedaan masing-masing.

Kecocokan yang perlu kita pertimbangkan adalah :

  1. Kecocokan secara emosional, kecocokan secara sifat atau karakteristik, tabiat, perangai. Jangan menikah dengan orang yang sifatnya tidak kita sukai. Memang tidak mudah kita menemukannya karena perbedaan-perbedaannya tidak mudah kita lihat.
    Adakalanya kita dibutakan oleh beberapa faktor yaitu:

    1. Dibutakan oleh impian kita, bahwa nanti akan berubah

    2. Menyangkali perbedaan kita atau ketidakcocokan kita dengan dalih bahwa ketidakcocokan itu adalah bumbu dalam pernikahan, bumbu yang bisa menambah sedapnya makanan pernikahan. Hati-hati dengan pemikiran ini.

Seorang remaja dianjurkan berpacaran setelah lulus SMA, jadi setelah usia 18 tahun. Anak-anak di bawah usia 18 tahun sebetulnya sedang berada pada tahap proses membentuk identitas diri, mereka mulai mencari tahu siapa diri mereka. Kalau dalam usia di bawah 18 tahun anak-anak sudah mulai berpacaran, maka akhirnya bahan-bahan yang seharusnya dia terima dari banyak orang untuk membentuk dirinya itu akan berkurang, karena waktu harus dihabiskannya hanya dengan satu orang saja. Jadi berpacaran di bawah usia 18 tahun tidak begitu sehat bagi pertumbuhan jiwa si anak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, selama ± 30 menit akan menemani Anda dalam acara perbincangan seputar kehidupan keluarga. Telah hadir bersama saya Bp. Dr. Paul Gunadi seorang pakar dalam bidang bimbingan dan konseling yang kini juga aktif mengajar di Sekolah Alkitab Asia Tenggara di Malang. Dan juga telah hadir pula bersama kami Ibu Idajanti Raharjo salah seorang pengurus di Lembaga Bina Keluarga Kristen. Ikutilah perbincangan kami karena kami percaya acara Telaga ini pasti sangat menarik dan bermanfaat bagi kita semua.

Lengkap
GS : Kali ini kami ingin mengajak Pak Paul berbincang-bincang seputar kehidupan remaja khususnya di dalam mereka menentukan pilihan hidupnya atau perjodohan, itu yang sering kali kita dengar. Pembicaraan ini memang sudah sering kali dilakukan tapi selalu menjadi suatu topik yang menarik untuk dibahas, bukan begitu Pak Paul?

PG : Sangat betul Pak Gunawan, bahwa topik berpacaran atau memilih jodoh adalah topik yang selalu enak untuk dibicarakan dan memang sangat penting sekali.

GS : Jadi kami akan memulai mempersoalkan akan apa yang mereka bingungkan. Apakah ada semacam pedoman Pak Paul khususnya bagi remaja-remaja Kristen di dalam menentukan pilihan teman hidupnya?

PG : Ada Pak Gunawan jadi memang secara jelas Alkitab memberikan kita beberapa petunjuk. Namun sebelum kita masuk ke situ Pak Gunawan, saya pikir ini penting sekali agar kita menyadari bahwaanak memilih jodoh tidak begitu jauh atau berkisar dari kita sebagai orang tua.

Maksudnya begini, anak-anak itu sebetulnya melihat dan menyerap banyak sekali dari kita sebagai orang tua. Dati kecil mereka melihat misalnya interaksi kita, hal-hal yang mereka sukai atau tidak sukai pada diri kita sebagai seorang pria atau sebagai seorang wanita. Kalau seorang anak pria menyukai sifat-sifat mamanya, dia akan cenderung mencari seorang wanita yang menyerupai mamanya. Sama juga dengan seorang anak wanita, kalau dia menghormati sifat-sifat ayahnya dia juga cenderung untuk mencari pria atau mendekati pria yang menyerupai ayahnya. Jadi lingkungan hidup anak itu sendiri sebetulnya merupakan pengajaran langsung kepada anak akan jodoh seperti apa yang akan mereka pilih nantinya. Nah saya melihat kadang kala kita mulai mau memberikan petunjuk kepada anak kita setelah anak itu menginjak usia remaja, namun sesungguhnya anak sudah harus belajar tentang pemilihan jodoh itu jauh sebelum usia remaja. Jadi misalkan anak waktu berumur 8, 9 tahun, anak itu sebetulnya sudah mulai belajar dari kita secara informal. Dia mulai sebetulnya diarahkan ke orang-orang tertentu dalam hidupnya yang akan membuat dia tertarik. Contoh yang lain yang negatif misalkan ada seorang ayah yang tidak begitu peka dengan mamanya atau ibunya, nah si anak ini kalau misalkan melihat ketidakpekaan ayah sebagai sesuatu hal yang negatif misalkan dia anak wanita, dia akan cenderung mencari seorang teman hidup yang tidak seperti ayahnya. Jadi sekali lagi memang seseorang itu memilih jodoh sebetulnya berputar-putar pada apa yang dia lihat dalam keluarganya sendiri.
IR : Selaku orang tua Pak Paul, apakah kita perlu mendoakan anak-anak kita supaya dia itu memperoleh jodoh yang seiman, dan itu mulai anak-anak masih kecil atau pada waktu remaja?

PG : Sudah tentu kita perlu mendoakan, jadi baik sekali usulan ibu Ida dan sejak kecil ya kita boleh mendoakan, namun saya kira kita akan lebih intensif mendoakan anak setelah mereka menginjk usia dewasa, usia remaja dan seterusnya.

Sebab di saat itulah anak-anak remaja mulai bereksperimen dalam pergaulan dengan lawan jenisnya. Nah di situ kita memang lebih harus menghabiskan waktu berdoa untuk mereka. Namun sejak kecil sekali lagi anak-anak itu sebetulnya perlu menerima pengarahan dari kita tentang suami atau istri yang seharusnya mereka pilih. Karena hal-hal ini adalah hal yang akan menjadi prinsip mereka di kemudian hari, apalagi kalau pengajaran kita ini didukung oleh kehidupan keluarga yang baik, yang positif baginya. Nah dia akan lebih terdorong untuk hanya mencari jodoh yang seperti itu karena dia melihat ini adalah figur yang positif.
GS : Selain menemukan figur yang positif di dalam diri orang tua, apakah ada pedoman yang lain yang bisa dijadikan semacam pegangan untuk anak-anak itu?

PG : Ada, bagaimana kalau saya langsung berbicara kepada para remaja yang misalkan mendengarkan siaran radio kita ini Pak Gunawan. Jadi anak remaja kalau engkau ingin mencari jodoh, nah ini aya membahasnya sudah tentu dari sudut Kristiani, yakni engkau harus menyadari bahwa Tuhan meminta engkau hanya memilih yang seiman denganmu.

Saya akan membacakan dari Firman Tuhan di 1 Korintus 7:30, "Istri terikat selama suaminya hidup, kalau suaminya telah meninggal dia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya." Nah ini adalah nasihat rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, memang secara khusus nasihat ini ditujukan kepada para istri di mana mereka telah menjanda karena kematian suami mereka. Jadi Paulus berkata kalau hendak menikah lagi silakan, namun hanya boleh menikah dengan yang seiman atau orang percaya. Jadi yang dimaksud orang percaya di sini adalah sesama orang Kristen. Jadi saudara-saudara yang usianya masih remaja atau dewasa awal, kita sebagai orang Kristen memang diminta Tuhan untuk memilih jodoh yang seiman, ini prinsip yang pertama yang jelas sekali. Jadi kalau engkau misalkan melihat seseorang, tertarik kepada dia dan memang dia bukan sesama orang percaya, saya akan minta untuk Anda tidak memulai hubungan apapun yang serius dengannya. Kecuali kalau memang orang itu akhirnya tergerak dan menjadi sesama orang Kristen, nah itu baru Anda bisa mulai hubungan yang lebih serius dengannya. Kalau belum jangan Anda terlalu dekat, karena nanti kalau sudah terlanjur cinta susah sekali untuk bisa dijauhkan.
IR : Pak Paul, anak-anak muda sekarang ini banyak yang mengeluh katanya, mereka itu ingin sekali mencari yang seiman, tapi kenyataannya di kalangan di mana dia itu ikut pelayanan mereka sulit untuk mencari yang sesuai dengan seleranya. Karena kadang-kadang mereka tertarik karena kecantikan Pak Paul, dan mereka itu tidak mengutamakan yang seiman.

PG : Betul sekali Bu Ida, maka Firman Tuhan ini sebetulnya yang tadi telah kita baca telah memberikan kita dua prinsip sekaligus yang perlu kita seimbangkan. Jadi Paulus berkata kepada para anda yang suaminya sudah meninggal, engkau bebas menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya.

Jadi di sini Paulus memang memberikan kebebasan kita menikah dengan orang yang sesuai dengan selera kita, dan ini penting sekali yaitu nikahilah orang yang kita sukai, tidak bisa kita menikah dengan orang yang tidak kita sukai, tidak sesuai dengan selera kita itu tidak lazim dilakukan dan tidak terlalu baik. Namun di pihak yang lain Paulus memberikan langsung syaratnya, boleh menikah dengan siapa saja sesuai dengan seleramu, ada yang suka tinggi, ada yang suka orang yang agak gemuk, ada yang suka kurus, tergantung orang itu, terserah. Namun langsung Paulus menambahkan asal orang itu adalah seseorang yang percaya. Jadi memang keduanya langsung digabungkan dan saya bisa memahami bahwa adakalanya mencari seseorang yang bisa merupakan gabungan dari keduanya bukan perkara mudah.
GS : Saya melihat peringatan itu sebagai suatu yang perlu artinya sebenarnya itu bukan malah menghalangi seseorang, tapi demi kepentingan orang itu sendiri. Jadi untuk kepentingan dia karena kalau kita berbeda iman itu pasti akan menimbulkan masalah di kemudian hari begitu Pak Paul.

PG : Betul sekali, belum tentu sebetulnya menimbulkan masalah, jadi dalam pengertian begini Pak Gunawan, saya harus terbuka untuk melihat masalah pernikahan secara luas. Apakah mungkin ada oang yang menikah dengan yang tidak seiman dan hidup bahagia, hidup harmonis? Sangat mungkin, sangat mungkin sebab pernikahan itu terdiri dari banyak faktor, persamaan iman adalah salah satu di antaranya namun bukan semuanya.

Jadi kita tidak bisa berkata kebalikannya wah dia sama seiman dengan kita, dia mencintai Tuhan Yesus, melayani Tuhan dan sebagainya sama dengan saya langsung cocok, langsung menikah. Nah itu juga adalah pertimbangan yang tidak dewasa, tidak matang karena banyak faktor lain yang harus dinilai. Jadi kenapa tidak memilih yang bukan seiman, bagi saya alasan terkuatnya bukan untuk menghindari masalah tapi itu adalah perintah Tuhan. Jadi kita dituntut untuk taat, nah pilihan kita di situ hanya dua, taat atau tidak taat. Sebab kalau kita berargumentasi dengan anak-anak kita, nanti hidupmu tidak bahagia, nanti banyak problem dan sebagainya mereka yang sudah pikirannya kritis mungkin sekali akan berkata: "Tidak harus begitu Pa, banyak orang yang menikah sesama Kristen tapi hidupnya kacau-balau, sering bertengkar, nah kenapa saya harus yakin bahwa Papa betul!" Misalnya dia berkata begitu, saya pikir anak itu mempunyai alasan yang tepat, jadi memang tidak menjamin menikah dengan yang seiman berarti pasti harmonis. Tapi ini adalah masalah ketaatan kepada kehendak Tuhan.
GS : Ada banyak yang mengatakan itu setengah memaksakan. Walaupun pasangan saya atau calon pasangan saya tidak seiman, nanti kalau menikah dengan saya bakal jadi seiman dengan saya, begitu Pak Paul. Jadi dia katakan ini ada harapan untuk jadi seiman dengan saya, bagaimana itu Pak Paul?

PG : Ini sebetulnya membuka dua pintu ya, memang ada harapan pasangan saya akan menjadi seiman dengan saya, namun sebetulnya pintu yang satunya juga terbuka, saya pun akan tersedot oleh dia enjadi seiman dengan pasangan saya, alias saya meninggalkan iman saya, itu pun juga mungkin.

GS : Jadi resikonya hampir sama Pak Paul ya?

PG : Sebetulnya resikonya persis 50:50, 50:50. Jadi kita berkata kepadanya, "Engkau menaati perintah Tuhan, ini bukan masalah apakah engkau akan berhasil membawa dia mengenal Tuhan Yesus dansebagainya, itu bukan masalahnya sebab kalau dia mengatakan: "ya mungkin saja".

Jawaban kita pasti adalah mungkin dan memang mungkin. Jadi kalau kita berargumentasi dari sudut ini ya tidak ada jalan keluarnya sebab memang tidak ada yang bisa memastikan masa depan kita. Namun ini adalah masalah ketaatan kepada yang Tuhan sudah minta.
IR : Bagaimana kalau anak ini sudah terlanjur cinta dengan yang tidak seiman Pak Paul, orang tua apa harus kompromi untuk menerima dia?

PG : Ini masalah yang sulit sekali Ibu Ida, sudah tentu kita akan berdoa dengan lebih serius memohon Tuhan untuk campur tangan, sehingga anak kita ini akhirnya bisa mengambil keputusan yang esuai dengan kehendak Tuhan.

Namun di pihak lain saya juga harus mengakui bahwa kalau kita bersikeras dan anak kita sudah kadung cinta, sering kali kita akhirnya tidak bisa memaksakan kehendak kita. Sering kali kita akhirnya harus mundur, kita harus mundur dan berkata kepadanya: "Engkau bertanggung jawab langsung kepada Tuhan, dan ini adalah hidupmu silakan engkau mengambil keputusan. Kami sebagai orang tua hanya bisa memberitahukan hal yang benar, tapi setelah itu engkau yang harus menimbangnya dan menerimanya. Jadi saya pikir ini hal yang sulit sekali Bu Ida, karena sebagai orang tua sudah pasti mau menantu kita itu seiman dengan kita. Namun kalau misalkan dia tidak seiman dan anak kita sudah terlanjur cinta kepadanya dan mau menikahinya ya kita akan berkata terserah dia. Dan hanya bisa meminta kemurahan Tuhan agar suatu hari nanti mereka berdua akhirnya bisa menyembah kepada Tuhan dalam iman yang sama.
GS : Apakah ada pedoman yang lain Pak Paul, di dalam hal memilih pasangan hidup itu?

PG : Ada Pak Gunawan, di kitab Kejadian 2 : 18, "Tuhan Allah berfirman : Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengandia."

Nah prinsip yang diberikan oleh Tuhan di sini adalah, kita ini menikah dengan yang sepadan, maksudnya sepadan adalah cocok dengan kita. Nah dalam hal kecocokan ini kita bisa uraikan dalam banyak faktor. Cocok artinya bukan sama, adakalanya orang suka bertanya apakah baik saya menikah dengan yang sama dengan saya? Nah saya suka berkata: kalau engkau ingin menikah dengan yang sama denganmu, engkau menikah dengan dirimu sendiri, sebab sebetulnya tidak ada yang sama dengan kita. Jadi memang sekilas orang ini mungkin sama mempunyai minat yang sama dengan kita, cara berpikir yang sama dengan kita. Namun setelah menikah saya yakin mereka akan menemukan bahwa dibalik kesamaan-kesamaan yang ada juga ada banyak keunikan masing-masing. Jadi kecocokan adalah hal yang penting, tidak harus sama tapi bisa mengimbangi dan bisa menerima perbedaan masing-masing. Nah kecocokan dalam hal apa yang kita perlu pertimbangkan. Nomor satu yang penting adalah kecocokan secara emosional, kecocokan secara sifat atau karakteristik, tabiat, perangai. Jangan sampai kita menikah dengan orang yang sifatnya tidak kita sukai, misalkan kita tahu bahwa pasangan kita ini, pacar kita ini cepat marah, kurang sabar orangnya. Nah kita mesti tanya apakah kita siap hidup dengan dia selama 50 tahun mendatang dan harus diperhadapkan dengan perangainya yang tidak sabar itu. Nah apakah kita bisa mengimbangi ketidaksabarannya itu. Jangan kita langsung berharap, nanti setelah menikah perangainya akan berubah, dia akan lebih sabar, saya kira itu tidak realistik. Jadi waktu kita mau menikah, kita harus bertanya akan pertanyaan ini apakah saya siap hidup dengan perangai-perangainya yang seperti ini?
IR : Jadi harus memakai logika Pak Paul, sering kali orang selalu memakai perasaan Pak Paul?

PG : Tepat sekali Bu Ida, jadi jangan sampai kita meninggalkan hikmat yang memang Tuhan telah karuniakan kepada kita. Nah kecocokan itu adakalanya ya secara emosional adakalanya tidak mudah ita temukan.

Karena begini atau maksud saya perbedaan-perbedaannya tidak mudah kita lihat adakalanya kita dibutakan. Nah dibutakannya oleh beberapa faktor tadi saya sudah singgung bahwa adakalanya kita dibutakannya oleh impian kita, o.....dia nanti akan berubah, dia tidak akan seperti sekarang, dia akan menjadi lebih sabar atau saya akan membuatnya lebih sabar. Nah ini saya kira adalah ilusi, belum tentu akan terjadi seperti yang kita harapkan. Berikutnya adakalanya kita ini menyangkali perbedaan kita atau ketidakcocokan kita dengan berdalih pada diri kita sendiri bahwa ketidakcocokan itu adalah kita katakan bumbu dalam pernikahan, bumbu yang bisa menambah sedapnya makanan pernikahan, saya kira hati-hati ya dengan pemikiran seperti ini. Sebab perbedaan yang tidak bisa dicocokan, bukannya perbedaan keunikan masing-masing tapi yang tidak bisa dicocokan itu tidak menjadi bumbu, itu menjadi bumbu yang berlebihan pada makanan, bukan melezatkan tapi akan justru merusakkan rasa makanan itu.
GS : Tapi itu mungkin lebih banyak didasari bahwa anak-anak remaja itu bekeksperimen Pak Paul, juga dalam hidup pernikahan mereka mau dieksperimenkan.

PG : Maksudnya Pak Gunawan bagaimana ini?

GS : Sekalipun tidak cocok, tapi mau dicoba Pak Paul.

PG : OK! Saya kira kalau mereka tetap ingin bersatu menikah dengan pasangannya meski telah melihat ketidacocokan, dugaan saya adalah karena mereka itu nomor satu karena sudah terlanjur cinta dan biasanya ketertarikan fisik lebih kuat.

Karena sudah begitu suka dengan penampilan fisik pacarnya jadi akhirnya cenderung meminimalkan hal-hal yang serius, yang sebetulnya perlu dipertimbangkan dengan saksama.
GS : Mungkin salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan itu adalah faktor usia Pak Paul. Menurut Pak Paul kira-kira pada usia berapa remaja pria atau remaja putri itu sudah mulai memasuki tahapan untuk berpacaran bukan lagi berteman?

PG : Saya anjurkan para remaja baru mulai berpacaran setelah lulus SMA, jadi setelah usia 18 tahun. Alasan saya adalah begini, di bawah usia 18 tahun, anak-anak sebetulnya sedang berada padatahap di mana mereka membentuk atau sedang dalam proses membentuk identitas diri.

Mereka mulai mencari tahu siapa diri mereka nah masalahnya adalah kalau pada usia 14, 15 mereka sudah dekat dengan seseorang, tidak bisa tidak kondisi tersebut akan membatasinya bergaul dengan lebih banyak orang, akhirnya bahan-bahan yang seharusnya dia terima dari banyak orang untuk membentuk dirinya akan berkurang karena waktu harus dihabiskan hanya dengan satu orang itu saja. Jadi saya kira kalau berpacaran di bawah usia 18 tidak begitu sehat bagi pertumbuhan jiwa si anak itu. Setelah usia 18 tahun anak-anak remaja mulai memasuki tahap di mana mereka ini membutuhkan keintiman yang lebih pribadi. Jadi setelah SMA, waktu masa berkuliah silakanlah anda mulai mencari pasangan hidup, jangan sebelumnya.
GS : Apakah ini juga berlaku untuk yang putri Pak?

PG : Sama, saya pikir itu berlaku buat putra dan putri.

IR : Tapi kenyataannya yang sekarang Pak Paul, banyak anak yang SMP itu sudah mulai berpacaran, apakah itu namanya cinta monyet Pak Paul?

PG : Saya takut itu memang cinta monyet, namun saya khawatir sekali ini akan menjadi trend yang lebih banyak terjadi di masa yang akan datang. Karena kita harus mengakui bahwa kesibukan kitakita ini sebagai orang tua memberikan atau menciptakan kekosongan-kekosongan tertentu pada diri anak-anak kita.

Mereka butuh sekali keintiman dengan orang tua, namun anak-anak remaja akhirnya bertumbuh besar sendirian. Banyak yang tidak begitu dekat dengan orang tua akibat kesibukan orang tua. Akibatnya kekosongan-kekosongan ini menjadi kekosongan yang perlu diisi pada usia yang terlalu dini. Seharusnya mereka mulai membutuhkan keintiman pribadi satu orang, bukannya dari kelompok yaitu pada dewasa awal yaitu usia 19, 20 tahun dsb. Namun saya takut karena masalah-masalah ini anak-anak akan lebih butuh adanya teman yang intim pada usia yang lebih dini. Mereka lebih butuh ada teman ngobrol yang bisa dijadikan tempat pencurahan isi hati. Kalau kita-kita dulu mungkin yang hidup di generasi sebelumnya tidak memerlukan itu sampai kita usia sudah agak lanjut 19 tahun, 20 tahun sebelumnya kita senang-senang saja bergaul dalam kelompok besar. Jadi saya takut itulah yang akan menjadi trend di masa yang akan datang.
GS : Bagaimana pandangan Pak Paul dengan remaja yang suka berganti-ganti pasangan Pak Paul?

PG : Saya kira kalau dia berganti pasangan dalam konteks dia berteman saja secara ramai-ramai ya tidak apa-apa, tapi kalau kemudian dia berpacaran kemudian ganti lagi pacaran, ganti lagi, saa kira ini menunjukkan kekurangstabilannya dia.

Sehingga dia kurang mengerti apa yang dia mau dan yang paling serius lagi adalah kalau memang dia bergonta-ganti pacar karena kehendak pribadinya, bukan karena dia diputuskan oleh pacarnya saya kira dia kurang memiliki penghargaan terhadap pasangan orang. Bahwa waktu dia memutuskan hubungan pacaran, itu berarti dia melukai hati orang lain. Jadi saya takut orang ini tidak dewasa hanya memikirkan kesenangannya saja, itu yang saya takuti.
GS : Apakah ada faktor dari latar belakang rumah tangganya itu Pak Paul?

PG : Bisa sekali Pak Gunawan, jadi anak-anak yang tidak mendapatkan bimbingan dan pengarahan dari orang tua, cenderung menganggap gonta-ganti pacar adalah hal yang menyenangkan, menghibur diinya.

Jadi tidak ada pengarahan bahwa pacaran bukanlah untuk menyenangkan hati tapi untuk mempersiapkan diri menuju ke pernikahan.
IR : Bagaimana sikap orang tua menghadapi anak-anak remaja sekarang Pak Paul, yang suka berpacaran, yang suka main-main, bagaimana langkah kita sebagai orang tua?

PG : Kita mesti berbicara dengan mereka dari hati ke hati bahwa yang penting dalam hidup ini bukannya engkau mendapatkan kepuasan karena gonta-ganti pacar, jadi ajar mereka takut kepada Tuha bahwa tindakan mereka itu harus mereka pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

GS : Jadi seperti tadi kami katakan ini tentu suatu perbincangan yang sangat menarik dan kami berterima kasih perhatian anda sekalian dalam mengikuti perbincangan kami pada acara Telaga kali ini. Apabila anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dengan alamat Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan dan dukungan anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



3. Memperkuat Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T015A (File MP3 T015A)


Abstrak:

Relasi suami istri termaktub dalam bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan cara Tuhan atau sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuhan minta istri untuk taat, tunduk ini konsep yang penting sekali dalam rumah tangga.


Ringkasan:

Alkitab bukanlah buku keluarga sebab Alkitab adalah Firman Tuhan yang menceritakan tentang siapa Tuhan dan karyanya untuk menyelematkan manusia dari dosa. Tuhan memang tidak mencetuskan secara khusus membahas tentang relasi suami-istri, tapi Tuhan seringkali membicarakan tentang relasi kita dengan sesama kita. Firman Tuhan menegaskan di Matius 22 tentang hukum yang terutama, yaitu "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Jadi relasi suami-istri termaktub dalam hubungan kita atau bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan cara Tuhan dan dalam kehendak Tuhan. Dengan kata lain kalau kita bisa hidup di dalam Tuhan dan menuruti Tuhan kita akan secara otomatis bisa memperlakukan suami atau istri kita dengan lebih baik. Keharmonisan sebuah rumah tangga sangat dipengaruhi oleh kedekatan seseorang dengan Tuhan.

1Petrus 3:1-8,9 berkata: "Demikian juga kamu, hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan istrinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup istri mereka itu. Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah. Sebab demikianlah caranya perempuan-perempuan kudus dahulu berdandan, yaitu perempuan-perempuan yang menaruh pengharapannya kepada Allah; mereka tunduk kepada suaminya, sama seperti Sara taat kepada Abraham dan menamai dia tuannya. Dan kamu adalah anak-anaknya, jika kamu berbuat baik dan tidak takut akan ancaman."

Ini adalah pesan Tuhan bagi para istri, ada beberapa hal yang Tuhan tekankan di sini:

  1. Tuhan meminta istri untuk taat, untuk tunduk menghormati suami

  2. Menekankan hidup yang saleh dan kudus.

  3. Para istri jangan terlalu menekankan kecantikan lahiriah artinya hal ini jangan sampai menjadi penekanan yang utama. Sebab ada yang penting dari pada kecantikan lahiriah yaitu kecantikan rohani.

  4. Perlu mempunyai ciri yang lemah lembut dan tenteram, sebab ada kecenderungan kalau tidak hati-hati wanita mudah untuk tidak lemah lembut karena dalam emosi yang tinggi dia dapat mengeluarkan kata yang pedas dan kasar. Dan juga wanita mudah untuk tidak tenteram, tidak tenang, panik.

Firman Tuhan berkata: "Demikian juga kamu hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu sebagai kaum yang lebih lemah, hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia yaitu kehidupan supaya doamu jangan terhalang." Di sini Firman Tuhan menegaskan atau mengingatkan bahwa

  1. Wanita sebagai pihak yang lemah maka pria haruslah mempertimbangkan istrinya jadi hiduplah dengan bijaksana dapat juga diartikan suami harus "know in" mengerti istri, harus benar-benar melihat dia siapa, jangan semaunya.

  2. Istrimu adalah sesama pewaris kasih karunia, sesama pewaris anugerah Tuhan. Jadi pria diingatkan bahwa Tuhan memberikan hidup yang kekal, keselamatan sama rata baik kepada wanita maupun kepada pria, jadi jangan menganggap diri superior, lebih hebat.

Mengatasi hambatan yang muncul dalam rangka memperkuat hubungan pernikahan adalah kembali kepada Firman Tuhan "Dan akhirnya hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan atau caci maki." Ini adalah nasihat praktisnya, seia sekata berarti berupaya untuk akur, berupaya untuk bisa mencocokkan pandangan, seperasaan artinya mencoba mengerti perasaan yang satunya jangan hanya memikirkan perasaan kita saja. Mengasihi saudara-saudara kita mencoba terus untuk mencintainya, menyayangi dan rendah hati, yang artinya rela untuk mengesampingkan kepentingan diri demi orang lain. Yang praktis lagi di sini janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang. Kali ini kami akan mengajak Anda untuk berbincang-bincang tentang bagaimana "Memperkuat Pernikahan" sesuai dengan petunjuk-petunjuk di dalam Alkitab. Dan kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, tentu menjadi dambaan atau harapan dari semua pasangan suami-istri khususnya pasangan-pasangan Kristen untuk membangun kehidupan pernikahannya itu makin hari makin lebih baik. Dan saya percaya tentu ada banyak bagian di dalam Alkitab yang berbicara tentang itu dan kami sangat mengharapkan Pak Paul bisa memberikan masukan-masukan bagi kami mengenai bagaimana memperkuat pernikahan sesuai Alkitab.

PG : Kadang-kadang saya bertanya-tanya Pak Gunawan, kenapa Alkitab itu tidak terlalu sering membahas tentang masalah keluarga, bukankah keluarga adalah hal yang penting dalam kehidupan ini. udah tentu jawaban yang paling betul adalah bahwa memang Alkitab itu bukanlah buku keluarga sebab Alkitab adalah firman Tuhan yang menceritakan tentang siapa Tuhan dan karyanya untuk menyelamatkan manusia dari dosa.

GS : Tapi pernikahan itu sendiri adalah lembaga yang diprakarsai oleh Tuhan Allah sendiri Pak Paul ya. (PG : Tepat sekali) jadi pasti ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari Alkitab untuk itu.

PG : Tepat sekali, jadi akhirnya saya temukan satu jawabannya Pak Gunawan yaitu Tuhan memang tidak secara khusus membahas tentang relasi suami-istri, tapi Tuhan sarat atau sering kali membicrakan tentang relasi kita dengan sesama kita.

Bahkan Firman Tuhan sendiri menegaskan di Matius 22 tentang hukum yang terutama, yang sama dengan itu adalah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Nah jadi relasi suami-istri termaktub dalam hubungan kita atau bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan cara Tuhan dan dengan atau dalam kehendak Tuhan. Dengan kata lain kalau kita bisa hidup di dalam Tuhan dan menuruti Tuhan saya kira kita akan secara otomatis bisa memperlakukan suami-istri kita dengan lebih baik. Dan sebetulnya boleh saya simpulkan juga kalau masing-masing anak Tuhan hidup dalam kehendak Tuhan dan mempraktekkan yang Tuhan minta sebetulnya tidak perlu lagi teori-teori tentang keluarga Pak Gunawan dan Ibu Ida, tidak perlu lagi teori-teori tentang bagaimana membangun rumah tangga serta yang lain-lainnya. Sebab kalau kita telusuri sebetulnya ilmu terapi keluarga itu sendiri kira-kira baru muncul sekitar 50 tahun yang lalu, baru dibuat populer setengah abad yang lalu, belum terlalu lama sebetulnya.
IR : Jadi keharmonisan sebuah rumah tangga itu sangat dipengaruhi dengan seseorang itu dekat dengan Tuhan atau tidak ya Pak Paul?

PG : Sangat dipengaruhi Ibu Ida, sangat dipengaruhi. Saya berikan satu contoh, suatu hari saya dan istri bertengkar ini beberapa tahun yang lalu, dan saya merasa diri saya benar saat itu, suah pasti kalau kita bertengkar kita merasa diri kita benar ya.

Nah saya jengkel sekali dan istri saya juga marah sekali dengan saya akhirnya dia ke kamar anak-anak, sudah malam ya tidak tidur dengan saya. Saya mencoba tidur tapi tidak bisa tidur karena pikiran saya terganggu, terganggu oleh firman Tuhan. Saya diingatkan kembali bahwa saya seharusnya mencontoh Tuhan Yesus dalam mengasihi jemaatNya dan dalam kasus saya adalah mengasihi istri saya. Nah bagaimanakah Tuhan Yesus mengasihi kita yaitu dengan mengorbankan atau mengesampingkan diriNya seperti tertulis di Filipi 2, jadi Tuhan Yesus itu rela merendahkan diri demi kita, nah jadi saya juga seharusnya sebagai seorang suami Kristen rela mengesampingkan diri saya untuk datang kepada istri saya mengambil inisiatif berdamai dengan dia, namun saya tidak mau saya merasa ini saatnya dia yang harus datang kembali kepada saya, dia yang harus berdamai kembali kepada saya, masak saya yang harus berdamai kepada dia terlebih dahulu. Tapi firman Tuhan terus menegur saya akhirnya saya patuhi, saya ke kamar anak saya dan saya melihat istri saya sedang terduduk di lantai dan menangis, waktu saya melihat istri saya terduduk dan menangis tiba-tiba perasaan bahwa saya benar dan sebagainya sirna, lenyap begitu saja yang muncul dalam hati saya adalah rasa belas kasihan. Saya peluk dia kami berdamai dan sudah beres. Sekarang kalau Ibu Ida tanya saya apa yang diributkan saat itu tidak ingat sama sekali tapi saat itu rasanya perkara itu besar makanya saya tidak rela untuk mundur, namun sekarang ditanya tidak ingat sama sekali.
GS : Ya jadi memang di dalam kehidupan pernikahan itu tentu kita harus dengan sungguh-sungguh membangun pernikahan itu sendiri Pak Paul. Apa firman Tuhan yang secara khusus Pak Paul mau sampaikan dalam hal ini?

PG : Saya ingin mengupas 1 Petrus 3:1-9 yang diawali dengan, "Demikian juga kamu, hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepda Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan istrinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup istri mereka itu.

Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah. Sebab demikianlah caranya perempuan-perempuan kudus dahulu berdandan, yaitu perempuan-perempuan yang menaruh pengharapannya kepada Allah; mereka tunduk kepada suaminya, sama seperti Sara taat kepada Abraham dan menamai dia tuannya. Dan kamu adalah anak-anaknya, jika kamu berbuat baik dan tidak takut akan ancaman." Nah ini adalah pesan Tuhan bagi para istri Pak Gunawan dan Ibu Ida, ada beberapa hal yang Tuhan tekankan di sini, pertama adalah Tuhan meminta istri untuk taat, untuk tunduk, nah ini adalah suatu konsep yang penting sekali dalam rumah tangga. Dan juga di dalam setiap organisasi kita mesti menyadari bahwa keluarga itu merupakan organisasi yang kecil dan di organisasi mana pun mesti ada yang menjadi kepala. Kalau tidak ada yang menjadi kepala yang akan terjadi adalah kekacauan.
(2) IR : Kalau kepala itu hidupnya tidak di dalam kebenaran Pak Paul, bagaimana sorang istri bisa tunduk Pak Paul?

PG : Nah ini adalah rupanya situasi yang dihadapi juga oleh anak-anak Tuhan sewaktu Petrus menulis suratnya ini. Jadi ada anak-anak Tuhan yang menikah dengan orang-orang yang belum percaya pda Tuhan Yasus, nah sudah pasti para istri ini ingin memenangkan suami mereka agar suami mereka pun bisa percaya pada Tuhan Yesus.

Nah Petrus di sini memberikan nasihat jangan menangkan mereka melalui perkataan, jangan mengkhotbahi suami-suami yang memang belum percaya pada Tuhan. Yang harus dilakukan justru adalah tunduk menghormati suami-suami ini, Petrus kemudian menekankan pentingnya hidup yang kudus dalam pengertian biarlah para istri ini menjadi contoh hidup yang sangat baik, contoh hidup yang akhirnya membuat si suami sadar bahwa ada perbedaan yang besar antara hidup saya dengan hidup engkau, yaitu hidupmu saleh, hidupmu itu kudus. Nah sewaktu hidup kita kudus orang akan tahu, kita tidak usah menggembar-nggemborkannya tapi orang akan tahu apalagi suami sendiri. Jadi memang prinsipnya adalah hidup kita ini mestilah hidup yang saleh dan yang kudus. Berikutnya juga adalah memang di sini ditekankan oleh Petrus, kita ini atau para istri ini jangan terlalu menekankan kecantikan lahiriah, tidak berarti perempuan tidak boleh mempercantik diri silakan tapi yang Petrus ingin tekankan adalah jangan sampai itu menjadi penekanan utama. Sebab ada hal yang lebih penting dari kecantikan lahiriah yaitu kecantikan rohani dan ini yang diminta oleh Tuhan, jadi itu adalah beberapa nasihat-nasihat yang Tuhan berikan kepada para istri. Satu hal lain lagi yang harus diingat juga oleh para istri di sini dikatakan yaitu roh yang lemah lembut dan tenteram. Nah, saya kira perempuan atau istri penting sekali mempunyai ciri ini lemah lembut dan tenteram, sebab ada kecenderungan kalau tidak hati-hati wanita itu mudah tidak lemah lembut karena dalam emosi yang tinggi mengeluarkan kata-kata yang pedas dan kasar. Dan yang juga sering terjadi adalah wanita mudah juga untuk tidak tenteram, tidak tenang, panik nah akhirnya malah memancing keributan yang lebih besar. Jadi wanita-wanita Kristen, para istri Kristen harus berusaha menjadi orang yang lemah lembut dan tenteram.
IR : Penguasaan diri itu ya Pak Paul.

PG : Tepat sekali penguasaan diri itu sangat-sangat penting.

GS : Dengan cara bagaimana Pak Paul seorang istri atau seorang wanita itu melatih dirinya supaya dia bisa seperti itu Pak Paul, itu 'kan sesuatu yang alamiah. Pada dasarnya 'kan wanita itu ingin tampil manis, cantik, bersolek dan sebagainya, nah kalau firman Tuhan mengatakan seperti itu tentu ada suatu cara bagaimana dia melatih dirinya itu Pak Paul?

PG : Sekali lagi ini kembali pada seseorang itu harus jelas siapa dirinya di mata Tuhan. Jadi pengetahuan yang jelas tentang siapa dia di hadapan Tuhan juga akan memberikan makna yang jelas enapa dia ada di dalam hidup ini dan ke mana dia akan pergi dalam hidup ini.

Kalau dia jelas dengan hal-hal ini dia menjadi orang yang memang sangat mantap lahir dan batin, dia tidak perlu lagi terlalu bergantung pada hal-hal yang lahiriah. Sekali lagi saya ingin tegaskan ini tidak berarti para wanita Kristen tidak boleh bersolek atau tampil cantik bukan berarti begitu, tapi dia tidak akan bergantung pada kecantikan yang lahiriah karena dia tahu siapa dia di hadapan Tuhan, dia tahu apa misi hidupnya di dalam Tuhan sehingga dia akan mengerti bahwa hal-hal yang lahiriah benar-benar hanyalah lahiriah, hanyalah sebatas kulit saja. Bahwa ada hal-hal yang jauh lebih penting dan lebih berharga yang harus dia kerjakan dalam hidup ini.
IR : Jadi mungkin langkah yang diambil oleh para istri yaitu harus sungguh-sungguh dekat dengan Tuhan Pak Paul, hidup di dalam kebenaran firman sehingga dia akan memperoleh kebijaksanaan, mempunyai kemampuan untuk menguasai di dalam mendampingi sang suami ya Pak Paul?

PG : Tepat sekali, sebab di sini memang dituntut para wanita untuk melawan kodratnya, kita tahu bahwa dalam emosi yang tinggi wanita mengalami kesulitan menguasai diri. Nah ada yang akan berata ya memang saya orangnya begini saya mudah marah tapi mudah baik lagi dan sebagainya.

Nah sebagai anak Tuhan saya kira argumen tersebut tidak cukup atau tidak kuat. Dia harus berani melawan dirinya, tadi yang ibu Ida sudah katakan dia harus dekat dengan Tuhan, sebab firman Tuhan yang dibacanya setiap hari, waktu dia bermeditasi, dia saat teduh di hadapan Tuhan itu semua akan memasuki dirinya dan menjadi kekuatan yang baru bagi dia. Nah yang ingin saya tekankan dan anjurkan adalah baik wanita maupun pria sama memang harus menggenangi diri, mengisi diri dengan firman Tuhan. Yang menyedihkan adalah seperti yang kita ketahui juga cukup banyak orang Kristen yang berminggu-minggu ke gereja sampai usia tua dan lanjut namun jarang sekali mengisi diri dengan firman Tuhan, membaca firman Tuhan setiap hari, berdoa kepada Tuhan dengan khusyuk dan itu jarang dilakukan. Hanya melakukan itu seminggu sekali di gereja, makanya tidak heran di luar gereja perilakunya akan kembali lagi seperti manusia yang lama, tidak ada bedanya. Sebab tidak ada lagi isi Tuhan dalam dirinya itu.
IR : Ya betul Pak Paul karena kita baru bisa menemukan janji-janji Tuhan, kekuatan dari Tuhan kalau kita itu mau belajar firman Tuhan sehingga seseorang atau seorang istri itu akan bisa berubah untuk menjadi wanita yang saleh, yang lemah lembut.

PG : Betul, jadi waktu kita diisi oleh firman Tuhan terus-menerus firman Tuhan itulah yang akan menguduskan kita sedikit demi sedikit. Tiba-tiba kita mulai merasakan perbedaannya tanpa kita arus berusaha terus menguasai amarah kita, ya memang perlu tetap menguasai emosi jangan semaunya, namun tiba-tiba kita akan merasakan ada perbedaan.

Ada suatu kekuatan yang akan mencegah kita marah langsung, mengatai langsung dan sebagainya sehingga akhirnya seperti yang dikatakan oleh firman Tuhan roh yang lemah lembut dan tenteram itu yang justru akan timbul, yang akan dipancarkan dari hidup kita.
IR : Dan mungkin juga karena kita hidup di dalam firman Tuhan kalau kita mau melanggarnya, kita itu mempunyai rasa takut seperti yang saya alami, jadi kalau mau berbuat salah, mau berbuat kasar misalnya kita itu ingat akan firman Tuhan, jadi kita itu mempunyai rasa takut dan tanggung jawab pada Tuhan.

PG : Tepat sekali Bu Ida, tapi Tuhan juga memberikan nasihat kepada para suami ini Pak Gunawan dan saya juga harus mendengar ini.

GS : Supaya jangan hanya sepihak memang untuk memperkuat pernikahan itu harus kedua belah pihak Pak Paul.

PG : Tepat sekali, firman Tuhan berkata demikian: "Juga kamu hai suami-suami hiduplah bijaksana dengan istrimu sebagai kaum yang lebih lemah, hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kash karunia yaitu kehidupan supaya doamu jangan terhalang."

Firman Tuhan menegaskan bahwa pria ini haruslah mempertimbangkan istrinya, jadi hiduplah dengan bijaksana dapat juga diartikan seperti orang Jakarta katakan kita ini knowing, mengerti istri kita, kita mempertimbangkan siapa istri kita. Di sini dikatakan sebagai kaum yang lebih lemah, dalam hal misalnya berkelahi jarang sekali wanita bisa mengalahkan pria dan sebagainya. Nah kalau tidak hati-hati pria memang bisa mendominasi rumah tangga melalui kekuatannya baik itu kekuatan fisik ataupun kekuatan uang. Sebab dalam banyak hal wanita itu memang berada di pihak yang lemah, contoh yang paling gampang saja sekarang ini, secara sosial wanita di pihak yang lebih lemah. Pria umur 40-an misalkan kehilangan istrinya menjadi seorang duda, kemungkinan besar dia bisa menikah lagi tapi seorang wanita yang kehilangan suaminya umur 40-an untuk menikah kembali sangat susah sekali karena memang kurang kesempatan tersebut. Jadi perempuan itu memang dalam banyak hal secara ekonomi, secara sosial, secara fisik berada di pihak yang lebih lemah, maka Tuhan nomor satu mengingatkan pria, ingat baik-baik, memang dia lebih lemah tapi engkau harus hidup bijaksana dalam pengertian kau harus mempertimbangan knowing dia, ngertiin dia, kau harus benar-benar melihat dia siapa, jangan semaunya. Bahkan Tuhan memberikan peringatan yang kedua ingatlah bahwa istrimu adalah sesama pewaris kasih karunia, sesama pewaris anugerah Tuhan. Jadi pria di sini diingatkan bahwa wanita itu bukanlah buntut kita, istri itu bukanlah pesuruh kita, bukanlah orang yang nebeng yang hanya menggandol kita mendapatkan kasih karunia Tuhan yaitu anugerah keselamatan dan hidup yang kekal ini, tidak. Tuhan memberikan hidup yang kekal, memberikan keselamatannya sama rata baik kepada wanita maupun kepada pria, jadi Tuhan sekali lagi secara intinya mengingatkan jangan engkau menganggap dirimu superior, jangan pria itu menganggap dirimu itu lebih hebat meskipun Tuhan ingatkan wanita di pihak yang lebih lemah tapi Tuhan ingatkan pria jangan merasa diri superior.
GS : Saya rasa itu suatu konsep yang jelas sekali dari Alkitab mengenai kesetaraan hubungan suami-istri dalam arti kata suami harus menghormati istrinya dan istri harus mengasihi suaminya dan seterusnya dalam arti ada hubungan timbal balik. Dan itu harus terus-menerus dibangun supaya hubungan pernikahan makin kuat dalam arti bukan hanya tidak gampang cerai tetapi bisa mewujudkan kehidupan pernikahan yang sungguh-sungguh Tuhan inginkan. Tetapi dalam rangka memperkuat hubungan pernikahan itu tentu banyak hambatan-hambatannya Pak Paul, banyak kendala-kendala yang kita hadapi, memang ada banyak pasangan suami-istri yang membaca Alkitab mengerti dan memahaminya tetapi melakukannya itu yang berat, itu bagaimana Pak Paul mengatasi hal itu?

PG : Salah satu yang paling penting adalah yang ditulis di pasal yang sama tapi di ayat berikutnya saya akan bacakan terlebih dahulu. "Dan akhirnya hendaklah kamu semua (jadi tadi mula-mula etrus memberikan saran kepada istri dan suami, tapi sekarang kepada semua orang) hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan atau caci maki."

Nah ini adalah nasihat praktisnya Pak Gunawan, seia sekata berarti berupaya untuk akur, berupaya untuk bisa mencocokkan pandangan, seperasaan artinya mencoba mengerti perasaan yang satunya jangan hanya memikirkan perasaan kita saja. Mengasihi saudara-saudara kita mencoba terus untuk mencintainya, menyayangi dan rendah hati, rendah hati artinya rela untuk mengesampingkan kepentingan diri demi orang lain. Yang praktis lagi di sini janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan kadang kala sewaktu kita merasakan pasangan kita tidak benar dengan kita, kita mau membalas supaya dia sakit, nah Tuhan bilang jangan, jangan balas dan juga jangan balas caci maki dengan caci maki, nah secara praktisnya sudah kalau dimaki sudah jangan kita balas mencaci maki dia. Nah ini yang ingin saya tekankan, tetapi sebaliknya hendaklah kamu memberkati karena untuk itulah kamu dipanggil. Nah konsep memberkati ini sebetulnya saya pelajari dari penulis yang bernama John Trent dan Gary Smalley memberkati artinya di sini adalah membuat pasangan kita itu bahagia. Sebab kata berkat berasal dari kata sukacita Pak Gunawan, jadi memberkati sebetulnya adalah membuat orang lain sukacita, bahagia, jadi kita mencoba carilah hal-hal yang bisa membuat pasangan kita sukacita, senang, sehingga hidupnya menjadi makin hari makin senang itu pada prinsipnya kata berkat itu.
GS : Ya memang firman Tuhan itu bukan sesuatu yang teoritis dan ternyata tadi sudah diuraikan, ada hal-hal yang praktis yang bisa dilakukan, masalahnya berpulang kepada kita, kita mau atau tidak melakukan. Tuhan Yesus mengatakan, yang bijaksana itu orang yang melakukan firman Tuhan di dalam kehidupannya.

PG : Dia harus berani untuk mengalahkan dirinya Pak Gunawan, orang yang mau menikah harus berani mengalahkan dirinya.

GS : Jadi tidak mengutarakan kepentingan-kepentingan dirinya baik itu suami maupun istri Pak Paul ya.

PG : Betul, masalah gengsi memang masalah yang sangat runyam dalam pernikahan.

GS : Kami kaum pria masalahnya gengsi dan sebagainya itu.
IR : Jadi dari diri kita sendiri juga harus berubah terlebih dahulu ya Pak Paul, sebelum kita menuntut orang lain berubah kita dulu yang harus berubah dan pasti pihak lain akan berubah juga biasanya begitu Pak Paul.

PG : Ya betul.

GS : Pembicaraan ini pasti sangat menarik karena semua kita seperti tadi di awal acara ini saya katakan pasti mendambakan suatu hubungan pernikahan yang sehat antara suami dan istri dan itu akan bisa menjadi suatu kesaksian bagi keluarga kita, bagi anak-anak kita, bagi orang-orang yang ada di sekeliling kita. Dan kami percaya bahwa Tuhan sendiri akan menolong kita untuk melakukan kebenaran-kebenaran firman Tuhan itu. Demikianlah para pendengar telah kita sampaikan sebuah perbincangan tentang bagaimana memperkuat hidup pernikahan dari ayat-ayat firman Tuhan yang tadi dibacakan oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi melalui 1Petrus 3:1-9. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami ucapkan juga banyak terima kasih kepada Anda yang sudah berkirim surat kepada kami untuk memberikan tanggapan, tetapi kami tetap menantikan saran-saran, pertanyaan dari Anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



4. Gangguan dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T015B (File MP3 T015B)


Abstrak:

Dalam topik ini kita akan belajar tentang gangguan apa saja yang kerap kali muncul dalam pernikahan dan salah satu yang dibahas di sini adalah kenangan masa lalu yang sekali waktu muncul dan bagaimana mengatasinya.


Ringkasan:

Berikut adalah kasus seorang wanita yang sudah menikah, tetapi dia sedang mengembalikan kenangan masa lalunya ke dalam hidup dia yaitu kekagumannya terhadap teman lamanya yang dia cintai. Dan hal ini pun pernah dikemukakan kepada suaminya dan suaminya dengan penuh pengertian bersedia mengantarkan istri untuk bertemu dengan orang yang dikasihinya dulu.

Ada beberapa tanggapan yang muncul:

  1. Hubungan suami-istri dalam kasus ini lumayan kuat dan lumayan baik. Tanda-tandanya adalah istri memiliki keterbukaan terhadap suami. Ini menandakan bahwa istri merasa aman dan adanya rasa percaya yang tinggi dengan suami, dia tahu bahwa suami mencintainya.

Peran suami untuk bisa menolong istri adalah:

  1. Dengan penuh pengertian mendengarkan isi hati istri.

  2. Dengan penuh keberanian bertanya kepada si istri, "Apa yang menjadi harapan istri yang tidak terpenuhi pada saya atau dalam hidupnya dengan saya." Dari situ akan ada kesempatan untuk membahas kalau ada hal-hal yang perlu atau bisa diperbaiki oleh suami. Dan misalkan setelah dibahas dan sudah selesai, hanya beberapa hal yang perlu diperbaiki, hendaknya suami meminta kepada istri:

    Pertama, waktu pikiran itu muncul dia tidak usah panik, jangan misalnya menengking-nengking seperti mengusir iblis, diamkan saja biarkan pikiran itu lewat. Kalau kita mencoba melawan pikiran itu lama-lama makin menguat dan dalam diri kita akan ada peperangan batiniah, peperangan mental yang akan menguras daya tahan mental kita sehingga akhirnya itu lebih mudah masuk. Hal ini bukan dimaksudkan untuk membiarkan pikiran itu bertumbuh dan dipelihara namun bagaimana cara yang efektif untuk menghilangkannya. Yang perlu diingat di sini adalah hati-hati dengan rasa bersalah sebab rasa bersalah tidak menolong kita untuk menguasai diri atau untuk mengenyahkan pikiran tersebut. Rasa bersalah makin menguras kekuatan kita dan akhirnya membuat kita makin lemah dan pikiran itu malah makin menguasai kita.

    Kedua, serahkan kepada Tuhan. Bukankah Firman Tuhan di 1 Petrus 5:17 berkata: "Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepadaKu maka Aku akan memelihara kamu." Jadi ini adalah bagian dari pergumulan, serahkan kepada Tuhan.

Filipi 4 : 8 berkata: "Jadi akhirnya saudara-saudara semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." Jadi di sini Tuhan meminta kita agar dengan terencana berusaha memasukkan hal-hal yang indah ke dalam pikiran kita. Hal yang suci, hal yang indah, hal yang manis. Sebab semua yang baik yang mengisi itu yang mengisi benak kita akhirnya akan menggusur pikiran-pikiran yang mengganggu itu.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Gangguan terhadap Keharmonisan Keluarga." Dan kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, ada salah seorang pendengar setia acara Telaga yang menulis surat kepada kami, dan di dalam suratnya itu dia mengajukan permintaan kalau mungkin masalahnya itu bisa diudarakan, jadi dimasukkan di dalam acara bincang-bincang di Telaga ini. Dan kami merasa itu sesuatu yang baik sekali dan kami tidak akan mengudarakan suatu pertanyaan atau persoalan keluarga yang tidak diminta oleh si penulis surat. Jadi karena ini adalah permintaan dan kami rasa ini baik untuk kita ketahui bersama maka tanpa menyebutkan nama, penulis surat dan identitasnya kami akan mencoba mengemukakan ini dalam sebuah perbincangan dengan Pak Paul pada kesempatan ini. Yang menjadi persoalan dari seorang ibu atau seorang istri yang menulis surat kepada kami adalah dia mengatakan bahwa sebenarnya hubungan dia dengan suaminya itu tidak bermasalah Pak Paul, jadi semuanya berjalan dengan baik. Hanya si ibu ini sering kali mengingat akan seorang teman lamanya yang dulu dia pernah ya senang begitu ya, akhirnya tidak jadi sampai menikah, dia sudah membangun rumah tangga sendiri dan itu sangat menggelisahkan kehidupannya. Dia merasa bersalah bahwa dia sebagai seorang istri kok masih terus mengingat-ingat teman lamanya yang dia kagumi atau dia cintai itu. Nah hal itu juga pernah dikemukakan kepada suaminya dan suaminya itu penuh pengertian, bahkan dia bersedia untuk mengantarkan si istrinya ini untuk bertemu dengan orang yang dikasihinya dulu. Nah hal itu membuat dia tambah merasa bersalah lagi sehingga dia merasa perlu untuk menulis surat, sebenarnya bagaimana dia bisa mengatasi masalah itu Pak Paul. Dan kami sudah mencoba menjawab masalah ini lewat surat tetapi kali ini kami ingin kemukakan di dalam sebuah perbincangan lewat acara Telaga ini.

PG : Pak Gunawan sebelum saya menjawab, sekali lagi saya ingin menggarisbawahi yang tadi Pak Gunawan sudah kemukakan yakni kami hanya membicarakan kasus jika memang diminta oleh si penulis surat. Jadi saya ingin memberikan atau kami di Telaga ini ingin memberikan jaminan kepada para pendengar yang menulis surat kepada kami bahwa kami tidak akan membahas kasus yang saudara tulis di dalam acara radio ini.

GS : Ya itu saya rasa penting sekali karena ada hal-hal yang sifatnya sangat pribadi dan kami tentu tidak akan mengemukakan hal itu lewat acara seperti ini.

PG : Betul, jadi kalau misalnya para pendengar merasa bahwa ada pembicaraan kami yang seolah-olah bersangkutan dengan kasus yang saudara pernah tanyakan kepada kami melalui surat yakinlah bahwaitu hanyalah suatu peristiwa yang kebetulan, kami tidak sedang membahas kasus saudara sama sekali.

Kami benar-benar mencoba untuk menghormati kerahasiaan antara saudara dan kami jadi kami hanya membalas secara pribadi. Dan kalau saudara minta agar kasus ini diungkapkan di udara baru kami akan melakukannya. Dan ini pun Pak Gunawan kita perlu jelaskan bahwa kita tidak langsung membahas kasus ini, kami sudah menerima surat ini beberapa minggu yang lalu mungkin lebih dari sebulan, dua bulan, yang lalu ya. Jadi memang kami tidak mau memanfaatkan masalah yang saudara ajukan kepada kami.
GS : Ya saya rasa itu menjadi suatu pertimbangan yang sangat serius untuk kita bahas di dalam acara ini, jadi bagaimana Pak Paul dengan yang tadi itu?

PG : Yang tadi Pak Gunawan sudah uraikan, ada beberapa tanggapan yang langsung muncul dalam benak saya, pertama adalah kesan saya justru keluarga ini atau hubungan suami-istri dalam kasus ini lmayan kuat, lumayan baik.

Tanda-tandanya apa sehingga saya bisa menyimpulkan hubungan mereka lumayan baik, si istri memiliki keterbukaan terhadap si suami sehingga berani menceritakan tentang kesukaannya terhadap seseorang yang pernah disukainya waktu masih sekolah dulu. Nah ini menandakan bahwa si istri merasa aman dengan si suami, dia mengetahui bahwa suaminya mencintainya dan tidak akan marah atau kalab atau meninggalkannya gara-gara dia mulai mempunyai ingatan-ingatan mengeni seseorang yang pernah disukainya dulu. Jadi saya melihat ini suatu komunikasi yang baik karena adanya keterbukaan dan keterbukaan ini menandakan adanya rasa percaya yang tinggi, si istri merasa sangat aman. Dan dari jawaban si suami kita bisa menilai tepatlah apa yang dipikirkan oleh si istri yakni si suami bisa menerima, nah si suami memang sangat akomodatif, berani bahkan mengajak si istri untuk melihat kembali pria tersebut, melihat bukan berarti menjalin hubungan sama sekali tapi hanya untuk melihat dan bertemu saja supaya rasa keingintahuan si istri bisa terpuaskan meski hanya untuk sementara.
GS : Apakah sebenarnya yang timbul di dalam diri si istri itu perasaan kangen?

PG : Ini memang susah saya jelaskan juga saya tidak bisa secara pasti memahaminya Pak Gunawan. Yang menjadi dugaan saya adalah masalah cinta monyet atau cinta pertama kalau kita boleh katakan. aya tidak ingat pastinya umur berapa si istri itu menyukai pria ini, namun kalau tidak salah pada masa yang sangat muda sekali, masa sekolah kalau tidak salah ya.

Dan mereka sebetulnya tidak pernah berpacaran Pak Gunawan jadi hanya (GS : Hanya saling suka begitu saja mungkin) dan bahkan kalau tidak salah si istri ini saja yang menyukai pria tersebut, tidak ada timbal baliknya, tidak ada tanggapan. Jadi tidak pernah ada jalinan kasih antara mereka berdua. Menurut saya dia atau si istri ini mempunyai suatu memori yang indah sekali tentang si pria ini dan yang terjadi adalah memory yang indah ini muncul pada masa usia yang lebih tua dan ini bisa dianggap normal ya wajar. Kadang kala kita ini memasuki fase-fase di mana masa lalu kita itu tiba-tiba mencuat kembali dalam benak kita. Dan tiba-tiba lagi mengingat-ingat masa-masa di SMP atau di SMA dan yang mencuat dalam benak si wanita ini adalah kesukaannya, kekagumannya terhadap orang tersebut. Jadi saya masih menganggap ini sebagai sesuatu yang wajar bukannya wanita ini sedang berselingkuh atau apa itu yang saya lihat.
IR : Atau mungkin si istri ini, mempunyai kecenderungan rasa bosan pada suaminya, apa bisa begitu?

PG : Mungkin, ini memang tidak diungkapkan oleh si istri dalam suratnya jadi memang tidak kami ketahui, tapi mungkin si istri bosan atau hubungannya tidak baik dengan si suami. Namun kesan sayawaktu membaca suratnya justru hubungan dia lumayan baik, sebab adanya keterbukaan yang begitu kuat dan rasa percaya dan terutama sikap si suami yang penuh pengertian, rasanya menimbulkan kesan bahwa sebetulnya mereka lumayan harmonis maka si istri ini merasa sangat bersalah begitu seolah-olah kenapa saya yang dalam hubungan yang harmonis bisa memikirkan kembali seseorang yang lain dalam hidup saya.

Jadi mungkin saja bosan sebab kita harus akui bahwa sebagai manusia waktu kita menjalani kerutinan hidup hari lepas hari dan hidup dengan seseorang yang sama tidak ada gairah yang baru dan sebagainya mungkin saja kita merasa sedikit jemu atau bosan.
IR : Bagaimana Pak Paul kalau dikaitkan dengan firman Tuhan kalau seseorang itu sudah mempunyai suami kemudian masih memikirkan laki-laki lain apakah itu tidak mencobai diri, bahwa dia kemungkinan saja kalau hal itu diteruskan bisa mengakibatkan dia jatuh Pak Paul?

PG : Tepat sekali, saya akan melanjutkan yang tadi saya katakan bahwa yang dialami oleh si istri ini wajar dalam pengertian si istri ini bukanlah seseorang yang (maaf saya menggunakan istilah yng sedikit klinis atau keras) misalnya dia sedang sakit jiwanya, bukan.

Saya menganggap ini bukanlah masalah sakit jiwa atau apa. Jadi entah mengapa memang si istri ini sedang mengembalikan masa lalunya saja ke dalam hidup dia. Dan yang dikembalikan, yang menonjol dari masa lalunya itu adalah kekaguman dia terhadap seseorang. Nah kita ketahui bahwa orang yang kita sukai dari jauh itu selalu lebih cantik, lebih indah daripada orang yang kita kenal dan yang dekat, itu adalah hal yang wajar karena orang yang kita sukai dari jauh menjadi orang yang sangat ideal tidak bisa kita lihat kelemahannya. Jadi si wanita tersebut juga saya kira mengalami hal ini yaitu dia mempunyai kekaguman yang ideal yang tidak realistik sama sekali, tidak didasari atas kenyataan. Dia menyukai, mengagumi orang yang dianggapnya sangat baik, sangat ideal dan mungkin bagi si wanita ini itulah suami ideal yang dia dambakan dalam hidup. Namun yang kita bisa katakan bahwa kalau misalnya si wanita ini berkenalan dengan dekat dan misalnya menjalin hubungan berpacaran dengan pria tersebut dan akhirnya menikah, sudah pasti pria itu tidak akan menjadi pria ideal. Sebab semua orang yang kita kagumi dan kita idealkan ada kelemahan, ada kelebihannya. Masalahnya adalah si wanita ini tidak pernah mencicipi realitas dengan si pria tersebut sebab tidak pernah terjadi, jadi hanya berhenti dalam khayalan. Nah, masalahnya adalah tatkala hanya berhenti pada khayalan si pria tersebut terus menjadi sosok ideal, nah saya hanya sedikit khawatir kalau-kalau si wanita ini memang tetap mendambakan pria idealnya yang seperti itu dan setelah dia menikah dengan si suami yang juga sebetulnya dia cintai, suami yang hidup dengannya hari lepas hari memang berhenti menjadi pria ideal, dia menjadi suami yang realistik, yang nyata yang ada kekurangan dan kelebihannya. Tapi karena si wanita ini pernah melihat dan pernah mendambakan sosok yang ideal tersebut, sosok ini tidak pernah meninggalkan dia dan sekarang mungkin saja dia mengalami suatu kesenjangan antara suaminya yang dia nikahi dan sosok ideal seorang suami yang pernah dia miliki dalam khayalannya dulu begitu.
GS : Tapi si istri ini 'kan sudah bertekad untuk meninggalkan masa lalunya dan dia juga dengan menulis surat itu ada suatu kesungguhan yang dia mau atasi persoalan-persoalannya ini. Nah Pak Paul dalam hal ini 'kan hubungan mereka kita nilai cukup baik terbuka dan sebagainya, apa peran suami untuk bisa menolong istri ini?

PG : OK! Nomor satu tindakan si suami itu sangat tepat, yakni dengan penuh pengertian mendengarkan isi hati si istri. Nomor dua saya akan memberanikan diri bertanya kepada istri saya kalau misanya ini terjadi pada istri saya.

Apa yang menjadi harapan dia yang tidak terpenuhi pada saya atau dalam hidupnya dengan saya, sebab dugaan saya ada hal-hal yang tak terpenuhi sebab dia ini sekarang membandingkan diri dengan sosok idealnya tersebut. Nah mungkin saja si istri tidak membayangkan atau memikirkan hal ini dengan serius, sebab baginya tidak ada apa-apa, dia merasa bahagia dengan si suami, tapi dugaan saya ada hal-hal yang dia dambakan namun belum dia dapatkan, sehingga dambaan yang dulu itu muncul kembali. Jadi saya kalau sebagai suaminya saya akan bertanya: "Apakah ada hal-hal yang engkau inginkan dari seorang suami yang mungkin tidak engkau temukan pada diri saya." Nah dari situ akan ada kesempatan untuk membahas kalau ada hal-hal yang perlu atau bisa diperbaiki oleh saya sebagai suaminya. Nah kalau misalkan setelah dibahas dan memang sudah selesai, hanya beberapa hal saja yang perlu diperbaiki nah saya akan meminta si istri untuk nomor satu, waktu pikiran itu muncul dia tidak perlu panik. Waktu benaknya diisi lagi dengan gambar si pria tersebut yang dulu jangan panik, jangan misalnya menengking-nengking seperti mengusir iblis ya tidak perlu, diamkan saja, dalam pengertian sudah lewatkan saja biarkan pikiran itu lewat. Kalau kita mencoba melawannya, melawannya, pikiran itu lama-lama makin menguat dan dalam diri kita akan ada peperangan batiniah, peperangan mental yang akan lebih menguras daya tahan mental kita, sehingga akhirnya pikiran itu lebih mudah masuk. Jadi biarkan pikiran itu lewat, nah yang terakhir adalah serahkan kepada Tuhan. Jadi bukannya kita menyalahkan diri saya ini kok bisa berpikir seperti ini, saya ini kok tidak tahu diri dan sebagainya, diamkan saja kemudian serahkan kepada Tuhan. "Tuhan Yesus Engkau tahu inilah pikiranku, inilah yang ada dalam benakku biarlah Engkau ambil, biarlah Engkau yang kuduskan." Jadi setiap kali pikiran itu muncul serahkan kembali kepada Tuhan Yesus sebab bukankah FirmanNya juga berkata di I Petrus 5:7 "Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepadaKu, maka aku akan memelihara kamu." Jadi ini adalah bagian dari kekhawatiran, bagian dari pergumulan serahkan kepada Tuhan kita tidak perlu melawan-lawannya, sebab makin dilawan makin menguat makin merasa bersalah, makin terkuras tenaga mental kita dan akhirnya kita makin lemah.
GS : Tapi itu tentu membutuhkan suatu keberanian tersendiri dari pihak si suami Pak Paul untuk kasarnya itu dibandingkan dengan orang lain yang justru menurut si istri itu sosok yang ideal, yang dia sendiri belum tentu tahu akan kelemahan-kelemahan orang yang didambakan itu tadi. Nah dalam hal ini langkah selanjutnya dari si suami setelah dibandingkan dan jelas tahu ada kekurang-kekurangannya, langkah apa yang harus ditempuh oleh suami?

PG : Saya menilai rupanya dia ini suami yang cukup aman, sehingga berani mendengarkan keluhan si istri ini dan juga berani untuk seolah-olah membandingkan diri, makanya dia bersedia mengantar utuk melihat kembali pria yang dulu itu.

Jadi dia memang memiliki kestabilan, nah saya kira si suami sekali-sekali tetap bisa bertanya kepada si istri "Apakah pikiran itu masih terus mengganggu engkau?" Tapi jangan membuat hal itu sebagai pusat perhatian atau pusat percakapan yang harus dibicarakan setiap kali. Sebab semakin terlalu banyak dibicarakan saya takut semakin menjadi-jadi, jadi biarkan, biarkan itu lewat, biarkan itu menjadi suatu peristiwa yang akan dilewati. Sekali-sekali si suami bisa bertanya apakah pikiran itu masih mengganggu engkau dan misalnya tidak ya sudah dan jangan bertanya lebih dalam lagi. Misalnya kalau si suami tidak aman dia akan bertanya, (saya berbicara lebih blak-blakan misalnya si suami karena tidak aman akan mengungkit setelah mereka berhubungan badan), "Apakah tadi waktu berhubungan badan engkau memikirkan pria itu?" Nah saya nasihatkan jangan bertanya-tanya hal seperti itu. Jadi biarkan si istri melewati fase ini, sebab semakin ditanya, diintrogasi, diawas-awasi seperti itu semakin si istri ini hidup dalam bayang-bayang masa lalu atau pikiran ini dan makin menjadi-jadi tidak akan pudar malah makin menguat.
GS : Ya satu hal yang positif itu karena istri ini berani mengemukakan masalahnya kepada si suami Pak Paul. Tapi saya percaya ada banyak istri yang tidak berani berkata seperti itu kepada suaminya, ya tentu dipengaruhi oleh faktor hubungan yang kurang baik/yang kurang sehat. Bagaimana hal itu, itu 'kan pasti mengganggu hubungan pernikahan mereka?

PG : Bahkan saya dapat tambahkan pernikahan yang sehat pun belum tentu mempunyai keberanian kepada si suami, baik suami maupun istri untuk mengemukakan hal-hal seperti ini. Jadi saya kira meman hubungan mereka ini tergolong kuat, sehingga berani bicara.

Bagaimana kalau misalnya pernikahan ini tidak sehat, kalau tidak sehat masalahnya memang menjadi lebih runyam, lebih runyamnya dalam pengertian si istri mendambakan sebetulnya pernikahan yang berbeda, pernikahan yang lain. Karena pernikahan yang sekarang ini menjadi sesuatu yang tidak nyaman baginya, tidak menyenangkan lagi. Jadi khayalan itu seolah-olah menjadi pelarian dirinya dan menjadi suatu ungkapan keinginannya bahwa pernikahannya itu sebetulnya tidaklah terjadi pada orang yang sama ini tapi dengan orang yang lain.
GS : Apakah hal yang sama itu juga bisa dialami oleh suami atau pria itu Pak Paul yang kasusnya sama seperti itu?

PG : Bisa Pak Gunawan, saya ini makin tua menjadi sedikit lebih sentimentil. Saya mengira bahwa yang namanya cinta pertama, kesan pertama itu sering kali kuat Pak Gunawan. Kenapa kuat, karena aa unsur khayalnya itu, ada unsur idealnya.

Pada masa remaja usia 16, 17 dunia itu memang setengah realitas, setengah khayalan. Jadi waktu seseorang mengasihi, menyukai seseorang yang lainnya pada usia 15, 16 misalnya itu biasanya memang meninggalkan dampak atau bekas yang lumayan dalam karena adanya campuran antara realitas dan khayalan. Sebab cinta yang sangat realistik akhirnya menjadi cinta yang matang, cinta yang matang itu menjadi cinta yang bisa diatur tidak liar, tapi cinta yang mengandung unsur khayalan atau fantasi tidak berdasarkan realitas sepenuhnya memang cenderung menjadi cinta yang sangat beremosi tinggi, sangat liar juga, bisa menguasai kita. Maka kita berkata anak remaja kalau sedang jatuh cinta itu benar-benar mabuk kepayang, tidak bisa belajar, tidak bisa mengerjakan tugasnya memikirkan wanita ini telepon terus. Sedangkan kita-kita ini pacaran umur 25, 27, 28 misalnya cinta kita akan berbeda, tidak lagi kita ini memikirkan terus dan kita yang sudah menikah berpuluhan tahun juga akan melihat cinta kita makin berbeda, cinta yang tidak lagi liar.
IR : Pak Paul, kalau orang itu sudah bersuami atau beristri seperti dalam firman Tuhan kalau kita itu mulai tertarik atau baru mempunyai angan-angan yang arahnya itu berselingkuh, apakah itu tidak dikatakan dosa atau perzinahan, kita melihat saja kalau itu menjadi angan-angan katanya kita itu sudah berzinah, entah itu di ayat mana saya pernah membacanya.

PG : Ya memang firman Tuhan melarang kita untuk bernafsu, untuk memiliki seseorang, jadi memang sebetulnya bagian dari khotbah Tuhan di atas bukit di Matius. Dalam kasus si wanita ini saya pribdi tidak menggolongkan itu sebagai berzinah, dalam pengertian dia memang tidak membayangkan hubungan-hubungan apa, tidak, dia hanya membayangkan pria tersebut dia sukai sekali.

Namun saya setuju dengan yang Ibu Ida katakan bahwa kalau tidak dijaga ini menjadi pohon yang besar, sekarang memang hanyalah benih yang kecil sekali, tapi memang bisa bertumbuh besar menjadi sebuah pohon yang akhirnya akan menguasai diri dia dan kalau itu terjadi memang itu suatu perselingkuhan mental, tepat sekali.
IR : Karena biasanya dosa besar 'kan asalnya dari yang kecil Pak Paul?

PG : Dari yang kecil betul sekali Ibu Ida, jadi memang sudah tentu tujuan kita adalah agar pikiran ini bisa lenyap dari benaknya. Nah yang saya berikan tadi adalah bukannya mengizinkan atau memiarkan pikiran ini bertumbuh dan dipelihara sama sekali tidak, namun bagaimana cara yang efektif untuk menghilangkannya.

Nah yang saya tekankan adalah hati-hati dengan rasa bersalah, sebab rasa bersalah tidak menolong kita untuk menguasai diri atau untuk mengenyahkan pikiran tersebut. Rasa bersalah makin menguras kekuatan kita dan akhirnya kita makin lemah dibuatnya, sehingga pikiran itu malah makin menguasai kita. Jadi hilangkan rasa bersalah dalam pengertian anggap ini sebagai sesuatu yang memang sedang mengganggu kita, tapi serahkan kepada Tuhan setiap kali muncul, "Tuhan, inilah pikiran saya biarlah Engkau yang menerimanya kuduskan saya Tuhan," daripada berkata: "Aduh saya orang yang jahat, saya orang yang tidak benar, perempuan yang tidak tahu diri, terus menyalahkan diri. Nah semakin dia begitu, semakin dia terlilit dalam lingkungan rasa bersalah yang akan makin membuka peluang pikiran itu muncul kembali.
IR : Tapi kalau si istri ini mempunyai pikiran mau menghilangkan tapi juga mempunyai rasa syukur, "Tuhan, saya bersyukur karena saya sudah mendapat suami yang baik. (PG :Itu baik) soalnya kalau mendapat suami yang jelek mungkin itu tambah menguasai ya, tapi kalau mendapat suami yang baik tentu lebih bersyukur dan berusaha untuk menghilangkan begitu Pak Paul.

PG : Tepat sekali, jadi ada satu ayat yang ingin saya bagikan, ini diambil dari Filipi 4:8, "Jadi akhirnya saudara-saudara semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil,semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu."

Jadi di sini Tuhan meminta kita agar dengan terencana berusaha memasukkan hal-hal yang indah ke dalam pikiran kita. Hal yang suci, hal yang indah, hal yang manis, jadi bagi si wanita ini saya sarankan bacalah buku rohani yang baik, bacalah bacaan-bacaan yang baik. Terus misalnya dengarkanlah musik-musik yang baik, musik rohani yang membangun terus genangi pikiran dengan firman Tuhan, terus diisi. Sebab semua yang baik yang mengisi benak kita akhirnya akan menggusur pikiran pria tersebut. Sehingga nanti meskipun pikiran itu muncul pikiran itu akan mudah lenyap dan tidak lagi bertenaga.

GS : Baiklah jadi demikianlah para pendengar telah kami persembahkan ke hadapan Anda sebuah pembicaraan tentang masalah-masalah kehidupan berkeluarga bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan banyak terima kasih untuk perhatian dan surat-surat anda dan bagi surat-surat yang belum terbalas kami mohon kesabaran anda tetapi kami tetap menantikan, pertanyaan serta tanggapan anda. Dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



5. Konflik dalam Pernikahan Kristen


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T018A (File MP3 T018A)


Abstrak:

Konflik itu selalu ada dalam hubungan pernikahan Kristen, sebagai suatu hal yang menjadi suatu pergumulan. Namun ada yang perlu kita kerjakan dalam menghadapi konflik agar tidak berubah menjadi suatu pertengkaran.


Ringkasan:

Hidup di dalam Tuhan tidaklah senantiasa berarti bebas dari problem, hidup dalam pernikahan memang benar-benar memberikan peluang bagi kita untuk berkonflik. Karena konflik itu sendiri adalah perbedaan pendapat atau perbedaan pandangan.

Mitos yang seringkali muncul dalam pernikahan yaitu:

  1. Pernikahan itu dijodohkan Tuhan dan diberkati Tuhan, seharusnya tidak ada lagi konflik dalam hubungan pernikahan.

  2. Konflik akan memperkuat pernikahan, jadi konflik dilihat sebagai sesuatu yang positif.

  3. Cinta merupakan satu-satunya pengikat hubungan pernikahan.

Konflik dalam keluarga seringkali membuahkan pertengkaran.

Perbedaan antara konflik dan pertengkaran adalah kalau konflik sering kali diartikan beda pandangan. Sementara pertengkaran adalah kita dengan emosi yang tinggi mengeluarkan pendapat kita dan mulai menyerang pasangan kita.Pertengkaran sebetulnya tidaklah membawa hal yang positif di dalam pernikahan. Konflik yang terus-menerus dilanda oleh pertengkaran mengakibatkan pondasi pernikahan terkikis. Cinta tidak cukup untuk mempertahankan atau memelihara pernikahan, cinta mungkin cukup untuk membangun pernikahan maksudnya untuk memulai saja cukup cinta, tapi untuk mempertahankan atau memelihara dan apalagi menumbuhkembangkan pernikahan dibutuhkan lebih banyak faktor selain dari cinta atau kasih.

Galatia 6:1 berbunyi: "Saudara-saudara kalaupun seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan jatuh ke dalam pencobaan."

Jadi ditekankan kalau kita ada masalah dengan yang lain, kita ini seyogyanyalah memimpin dengan lemah lembut bukan menghancurkan atau menyerang.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pandangan-pandangan yang ada seputar kehidupan berkeluarga. Dan kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, di dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai keluarga, sebagai suami-istri khususnya suami-istri Kristen, sering kali ada pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat bahkan itu cenderung seperti mitos yaitu sesuatu yang dipercayai dari waktu ke waktu sehingga mengkristal. Ada pandangan yang mengatakan bahwa kalau pernikahan itu sudah diberkati di gereja, itu bisa bebas konflik, jadi pertengkaran-pertengkaran itu tetap ada tetapi tidak berarti Pak Paul. Tapi dalam pengalaman saya khususnya setelah sekian tahun menikah, kadang-kadang juga mengalami pertengkaran yang cukup panas. Kemudian mendengar ungkapan-ungkapan seperti itu saya menjadi bingung, kita tahu bahwa pernikahan itu diperkenan oleh Tuhan dan diberkati di gereja, tapi konflik itu masih tetap ada, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Saya juga mengalami yang Pak Gunawan alami, jadi waktu saya baru menikah saya lumayan terkejut sewaktu menyaksikan bahwa saya dan istri saya bisa bertengkar dan bertengkar yang lumayan anas.

Dan itu tidak saya harapkan, kenapa tidak saya harapkan karena adanya mitos tersebut Pak Gunawan, jadi saya pun berkesan bahwa kalau kami ini dijodohkan Tuhan dan hubungan kami diberkati Tuhan, seharusnyalah tidak ada lagi konflik dalam hubungan kami. Ternyata yang terjadi tidaklah demikian, kita acapkali mengidentikkan berkat Tuhan dengan hidup tanpa pergumulan atau hidup tanpa ketegangan atau masalah. Nah, setelah saya menikah dan juga mengamati pasangan-pasangan Kristen lain, saya akhirnya menemukan bahwa hidup dalam Tuhan tidaklah senantiasa berarti bebas dari problem, hidup dalam pernikahan memang benar-benar memberikan peluang bagi kita untuk berkonflik. Karena definisi konflik itu sendiri adalah perbedaan pendapat atau perbedaan pandangan. Dua orang yang tidak dibesarkan dalam rumah dan keluarga yang sama, sudah tentu mempunyai cara pikir yang berbeda dan cara hidup yang juga tidak sama, otomatis proses pernikahan menjadi proses penyesuaian diri. Dan dalam penyesuaian itu sudah tentu ada tarik ulur, ada rasa tidak senang, ada rasa tidak mau berubah, ada rasa menuntut yang satunya untuk lebih berubah, ada rasa kurang dimengerti dan sebagainya dan semua itu adalah bagian yang alamiah atau yang normal dalam suatu pernikahan. Jadi jangan sampai kita ini terburu-buru melabelkan bahwa karena kami sekarang mengalami konflik berarti pernikahan kami ini tidak dikehendaki Tuhan.
(2) IR : Pak Paul, konflik itu akan selalu terjadi, apakah konflik itu bisa menghancurkan pernikahan atau mungkin juga bisa sebaliknya, memperkuat pernikahan?

PG : Itu adalah mitos nomor dua Bu Ida, yaitu ada di antara kita yang berpandangan bahwa kalau konflik terjadi itu berarti akan memperkuat pernikahan kita, jadi konflik dilihat sebagai sesuau yang positif.

Saya mempunyai suatu pandangan yang sedikit berbeda dari keyakinan tersebut, konflik itu sendiri memang tidak apa-apa, konflik dalam pengertian beda pandang. Namun yang sering kali terjadi adalah konflik akhirnya membuahkan pertengkaran, jadi saya bedakan konflik dengan pertengkaran. Pertengkaran adalah di mana kita dengan emosi yang tinggi mengeluarkan pendapat kita dan mulai menyerang pasangan kita. Saya justru melihat kalau konflik sudah berkembang menjadi pertengkaran, sebetulnya pertengkaran itu tidaklah membawa hal yang positif di dalam pernikahan. Konflik tidak apa-apa, tapi pernikahan kalau terus-menerus dilanda oleh pertengkaran, pernikahan itu justru menjadi goyang. Ibaratnya pondasi pernikahan itu makin terkikis oleh pertengkaran yang terjadi.
(3) GS : Tapi tadi Pak Paul bedakan antara konflik dan pertengkaran, kalau konflik itu cuma berbeda pandangan sedangkan pertengkaran itu sudah diwarnai dengan emosi-emosi yang membuat orang mata gelap dan sebagainya. Tapi konflik itu sendiri, apakah suatu dosa Pak Paul?

PG : OK! Itu pertanyaan yang bagus sekali Pak Gunawan, menurut saya konflik itu sendiri bukanlah dosa, jadi konflik memang muncul secara natural karena kita harus menyesuaikan diri dengan orng yang beda dari kita.

Pertengkaran adalah usaha kita untuk mempertahankan kebenaran kita dengan emosi yang tinggi dan juga adakalanya dengan upaya untuk menyerang atau melemahkan lawan bicara kita. Konflik itu sendiri tidak berdosa dan Alkitab pun tidak memanggil itu dosa, bahkan marah sendiri pun tidak dilabelkan dosa oleh Tuhan. Kita tahu di Efesus 3 dikatakan kalau marah boleh, dipersilakan kita untuk marah, tapi yang diminta agar kita membereskan kemarahan itu sebelum matahari terbenam, yang mempunyai makna janganlah kita menyimpan kemarahan untuk jangka waktu yang berkepanjangan. Jadi konflik itu sendiri saya kira bukanlah dosa Pak Gunawan, sesuatu yang manusiawi sekali.
GS : Sejauh itu tidak diwarnai dengan perasaan-perasaan yang negatif tadi Pak Paul, tapi itu 'kan sulit untuk menghindari hal itu, kalau misalnya saya konflik dengan istri saya, sampai sejauh mana saya bisa mengontrol perasaan itu tadi Pak Paul?

PG : Saya adakalanya juga berkonflik, bertengkar dengan istri saya dan ini yang kami coba lakukan, waktu suami dan istri itu berkonflik atau bertengkar sudah tentu biasanya masing-masing mersa diri benar.

Nah, bagaimanakah orang yang masing-masing merasa diri benar didamaikan, akan sangat sulit sekali Pak Gunawan. Jadi yang kami coba lakukan adalah kami mencoba melihat diri masing-masing tatkala sedang bertengkar itu. Apakah waktu kami bertengkar, kami misalnya menjatuhkan satu sama lain, apakah saya mengucapkan kata-kata yang kasar, ataukah saya mengucapkan kata yang memang benar-benar sepertinya menghina dia. Nah, sejauh saya itu hanyalah mengungkapkan ketidaksenangan saya dan di mana kami berbeda, saya kira itu tidak apa-apa. Tapi sewaktu saya misalnya mulai menggunakan kata-kata yang kasar dan sebagainya kepada dia, di saat itulah saya berdosa.
GS : Mungkin itu yang Pak Paul katakan bahwa yang kita serang itu adalah masalahnya, yang berbeda itu kita selesaikan tapi kita tidak menyerang orangnya yang bisa menimbulkan sakit hati pada pihak yang lain.

PG : Betul, itupun saya pelajari dari istri saya sebelum saya menikah Pak Gunawan dan Ibu Ida. Saya masih ingat kami bertengkar sewaktu kami masih berpacaran, saya masih ingat sekali itu teradi sewaktu kami masih kuliah, saya mengunjungi sekolahnya dan di situ kami berbeda pendapat dan bertengkar.

Dan dia yang memberitahu saya, dia berkata: "Kenapa kamu kalau lagi marah, kamu menyerang saya, kamu tidak membahas problemnya saja," dan di situ baru saya mengerti memang harus dibedakan antara orang dan problem.
GS : Yang sulit dihindari lagi adalah bagaimana kita itu membuat konflik tidak berlarut-larut. Tadi Pak Paul mengambil ayat dari Efesus yang mengatakan harus diselesaikan sebelum matahari terbenam. Nah, biasanya konflik itu justru terjadinya mungkin malam hari karena kalau pagi hari kami tidak sempat membahas banyak masalah Pak Paul, pagi-pagi istri saya juga sibuk, kemudian saya juga mesti ke kantor terus kerja sampai sore. Nah, sore itu justru banyak masalah yang muncul, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Kita mempunyai waktu 24 jam itu sampai besok matahari terbenam lagi. Saya kira yang paling efektif adalah sewaktu kita bertengkar dengan pasangan kita, kita tidak mencoba untuk memaksa asangan kita mengerti apa yang sedang kita lakukan.

Kita tidak mencoba untuk membuat dia setuju dengan kita, sebab usaha-usaha itu saya rasa sering kali gagal atau sia-sia. Jadi yang lebih efektif adalah sewaktu kita akhirnya mulai bertengkar sebaiknya kita melihat apa yang sedang kita lakukan saat itu. Apakah kita mulai bertindak kasar, apakah kita mulai sepertinya menghina dia, nah bagian-bagian itulah kita mesti meminta maaf kepadanya. Jadi tadi saya sudah singgung, misalkan saya tahu saya itu berkata sesuatu yang salah bukan berkaitan dengan solusi atau masalahnya tapi dalam mengungkapkan, ekspresi diri saya marah dan sebagainya saya malah melukai dia, nah untuk hal itu saya minta maaf. Dan yang saya temukan adalah sewaktu saya atau dia meminta maaf, mengambil inisiatif meminta maaf atas cara kita bertengkar tiba-tiba seolah-olah emosi yang sedang tinggi itu langsung turun. Dan biasanya problem itu tidaklah menjadi sebesar tadi.
IR : Nah, untuk itu dibutuhkan penyangkalan diri juga kerendahan hati untuk minta maaf Pak Paul?

PG : Betul, saya kira itu yang susah.

IR : Itu sering kali yang susah dilakukan ya.
GS : Terutama oleh kaum pria ini Pak Paul.

PG : Tapi saya temukan wanita juga begitu, ada pria yang mengeluh aduh istri saya tidak pernah minta maaf.

IR : Dan kalau kita berpikir bahwa jangan sampai pertengkaran ini merusak suasana rumah tangga, terutama kasih untuk mengasihi pasangan kita, itu mungkin satu-satunya jalan untuk meredakan konflik itu Pak Paul?

PG : Betul, saya mau menggarisbawahi yang tadi ibu Ida katakan yaitu penyangkalan diri dalam wujud kerendahan hati. Saya pernah mempunyai pengalaman seperti itu Ibu Ida, ini beberapa tahun yng lalu, kami bertengkar istri saya dan saya bertengkar.

Saya tidak tahu saat itu apa yang menjadi penyebabnya, tapi yang saya ingat adalah saya marah sekali, waktu itu kami masih di Jakarta. Saya marah sekali dan saya merasa kali ini saya tidak mau minta maaf, dia yang harus minta maaf itulah keputusan saya. Dia masuk ke kamar anak saya, saya tetap di kamar kami jadi saya sendirian di kamar mencoba untuk tidur karena itu sudah tengah malam. Saya tidak bisa tidur Bu Ida, kenapa tidak bisa tidur, karena firman Tuhan terngiang-ngiang di telinga saya yaitu dari Efesus 5:22-33 dikatakan "Suami hendaklah engkau mengasihi istrimu seperti Kristus mengasihi jemaatNya." Nah, saya pernah mengkhotbahkan ayat-ayat itu dan saya pernah mengaitkannya dengan Filipi 2:5-11 di mana Yesus mengosongkan diriNya menjadi manusia. Jadi mengosongkan diri dalam bahasa Yunaninya mengosongkan ego, nah saya pernah khotbahkan itu berkali-kali dan tiba-tiba khotbah itu hidup di telinga saya pada malam hari itu. Jadi saya tahu maksud Tuhan, yaitu Tuhan meminta saya untuk berinisiatif, berdamai kembali dengan istri saya, tapi karena jengkelnya saya tidak mau Bu Ida. Saya berkata kepada diri saya, pokoknya harus dia yang minta maaf sekarang ini, saya tidak akan minta maaf. Tapi firman Tuhan terus menegur saya akhirnya saya tidak lagi bisa tidur dengan damai saya terpaksa meminta maaf. Saya gunakan kata terpaksa sebab kalau menuruti isi hati, saya tidak mau minta maaf lebih dulu, sebab saya merasa tidak bersalah sama sekali. Jadi saya datang ke kamar anak saya dan saya melihat dia sedang jongkok di lantai menangis, waktu saya melihat dia menangis tiba-tiba kemarahan saya sirna, tidak ada lagi kemarahan saya justru merasa iba, dan mendekatinya, saya membelai rambutnya dan saya hanya berkata sorry ya dan dia berkata: "Tidak, tidak apa-apa, saya juga sorry." Beres, saya kembali ke kamar saya dia masih mau menangis jadi saya tinggalkan tapi saya kembali ke kamar saya tiba-tiba seperti 10 kilo lebih ringan, tiba-tiba beban itu hilang dari hati saya. Nah, yang saya maksud adalah itu, jadi konflik itu sendiri mungkin belum bisa diselesaikan karena adakalanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri, untuk supaya kita mengerti pasangan kita dan dia mengerti pikiran kita dan sebagainya. Jadi adakalanya konflik memakan waktu yang lebih lama untuk diselesaikan, tapi pertengkaran itu bisa diselesaikan, bisa dihentikan yaitu dengan cara melihat caranya kita bertengkar. Kalau memang kita keterlaluan atau apa jangan ragu mengambil inisiatif dan meminta maaf untuk perlakuan kita.
GS : Tapi sebenarnya unsur yang mendorong Pak Paul sampai mau datang ke kamar sebelah itu tadi menemui istri, sebenarnya 'kan ada sesuatu kekuatan Pak Paul, apa itu yang disebut kasih terhadap pasangan kita atau apa Pak Paul?

PG : Saya jujur Pak Gunawan, saat itu tidak ada kasih sebab saya lagi jengkel.

GS : Tapi firman Tuhan yang tadi tergiang-ngiang itu mengingatkan.

PG : Mengingatkan, jadi motivasi saya adalah menaati firman Tuhan itu saja.

GS : Kalau begitu Pak Paul, anggapan bahwa kasih itu merupakan satu-satunya yang mengikat hubungan pernikahan itu bagaimana?

PG : Ini adalah salah satu mitos juga Pak Gunawan, apalagi di kalangan pasangan muda yang masih berpacaran, mereka acapkali berkata pokoknya cinta semuanya akan beres. Justru saya temukan tiak begitu, cinta tidak cukup untuk mempertahankan atau memelihara pernikahan, cinta mungkin cukup untuk membangun pernikahan maksudnya untuk memulainya saja cukup cinta, tapi untuk mempertahankan atau memelihara dan apa lagi menumbuhkembangkan pernikahan dibutuhkan lebih banyak faktor selain dari cinta atau kasih.

Jadi kalau misalkan kita melihat cinta itu sebagai cinta agape seperti Tuhan mencintai kita otomatis komplet, saya setuju itu memang satu-satunya yang kita perlukan. Tapi kita harus mengakui bahwa tidak semua kita mempunyai cinta agape, seperti cintanya Tuhan mencintai kita tanpa kondisi. Kita adalah manusia yang tetap memiliki tuntutan, pengharapan-pengharapan, jadi cinta kita tidak murni seperti cinta Tuhan kepada kita semua. Jadi apalagi yang diperlukan selain cinta kasih? Ada segudang hal. Pak Gunawan dan Ibu Ida sudah menikah lama bisa meng-iakan, sebetulnya ada segudang hal yang tidak berkaitan dengan cinta yang kita harus hadapi setelah menikah.
GS : Ada yang beranggapan juga bahwa faktor keturunan, jadi kalau kita sudah mempunyai anak-anak konfliknya menjadi makin berkurang Pak Paul?

PG : Bisa jadi, berkurang dalam pengertian teralihkan karena adanya kesibukan dengan anak, dan anak itu menuntut perhatian dari orang tua. Tapi biasanya kalau memang masalah belum sungguh-sugguh selesai, adanya anak hanya akan menunda pertengkaran yang akan nanti muncul kembali.

Biasanya sewaktu anak-anak sudah remaja saat itulah pertengkaran mulai muncul lagi, karena apa, setelah remaja anak-anak tidak terlalu menyita perhatian seperti waktu masih kecil, dan bahkan ada kecenderungan anak-anak pada masa remaja menyita perhatian orang tua secara negatif karena mereka mulai nakal, mulai memberontak dan sebagainya. Jadi akibatnya adalah orang tua menghadapi stres yang ditimbulkan oleh kenakalan anak remajanya. Stres ini sewaktu menekan hubungan yang memang pada dasarnya kurang kuat akan benar-benar bisa menggoyangkan pernikahan itu.
IR : Justru konflik itu kadang-kadang terjadi waktu kita menghadapi anak-anak Pak Paul. karena pandangan atau sudut pandang kita antara suami dan istri berbeda.

PG : Betul, dan yang juga sering terjadi adalah pada masa anak remaja orang tua itu berkonflik dalam pengertian mulai membangkit-bangkitkan penyesalannya yaitu misalnya seorang suami berkata "Engkau terlalu lunak kepada anak," seorang ibu yang berkata: "Engkau terlalu keras kepada anak."

Nah, kenapa masing-masing bisa berkata begitu karena memang adanya ketidakpuasan sebelum anak itu remaja. Namun karena anak itu belum benar-benar bermasalah, konflik bisa dihindarkan. Waktu anak itu akhirnya bermasalah maka muncullah keinginan untuk mempermasalahkan pasangan kita, sebab kita merasa anak menjadi begini gara-gara ulahmu, begitu biasanya yang terjadi.
GS : Itu akan lebih sukar dalam penyelesaian konflik kalau yang menjadi obyek ini anak kita yang sama-sama kita kasihi daripada suatu barang atau apa. Tapi penyelesaiannya bagaimana Pak Paul?

PG : Nomor satu, saya kira yang perlu dilakukan berhenti mempermasalahkan pasangan kita, kita mungkin marah karena mungkin sekali pasangan kita keliru, namun setelah kita marah saya kira yan baik adalah tidak lagi membangkit-bangkitkan kesalahan pasangan kita.

Yang penting sekarang adalah apa yang harus kita lakukan dari titik ini sampai ke depan, apa yang harus dilakukan sudah pasti menyelaraskan kembali bagaimana kedua orang tua ini bisa bersatu dalam menghadapi masalah si anak. Nah, di sini memang yang nomor satu harus dipersatukan bukannya anak dengan orang tua, tapi ayah dan ibu harus bersatu dulu, kalau ayah dan ibu belum bersatu, belum sevisi, belum sependapat dalam menghadapi si anak, anak biasanya terus bermasalah jadi sangat diperlukan kesatuan orang tua.
GS : Konflik-konflik jenis ini yang tidak bisa selesai dalam semalam Pak Paul?

PG : Lama sekali biasanya, sebab waktu anak-anak sudah remaja dan bila memang masalah itu muncul dari hubungan orang tua yang kurang baik, sebetulnya sudah sedikit terlambat untuk bisa dikorksi karena apa, karena anak itu sudah lumayan dewasa.

Jadi untuk memutar kembali jarum jam kehidupan tidak mungkin lagi.
GS : Tapi pasangan suami-istri yang sering kali konflik di depan anak mereka, apa dampaknya bagi anak Pak Paul?

PG : Biasanya akan membuat si anak itu hidup dalam rasa frustrasi, karena ketegangan yang bertubi-tubi dan terus berkepanjangan akan membuat daya tahannya dalam menghadapi stres makin lemah,sehingga dia memerlukan ruang gerak atau tempat untuk bisa bebas dari ketegangan ini.

Nah, biasanya dia akan lari keluar, dia akan mencari teman supaya dia lebih bisa tenang itu yang positif, yang negatif adalah justru dia akan berbuat lebih banyak masalah di luar karena dia juga marah di dalam rumah, tapi tidak bisa mengungkapkannya jadi dia akan keluar dan mengkompensasikannya itu dengan berbuat hal-hal yang lebih bermasalah lagi.
GS : Berarti pasangan-pasangan suami-istri Kristen ini juga tidak kebal terhadap konflik Pak Paul,jadi walaupun diberkati di gereja tetap bisa terjadi konflik. Konflik itu juga tidak selalu memperkuat pernikahan, bisa menghancurkan kalau tidak diselesaikan dengan baik. Apakah ada ayat Alkitab yang Pak Paul siapkan untuk itu?

PG : Saya ingin membacakan dari Galatia 6:1 yang saya kira banyak sekali di antara kita yang sudah mengenalnya. Ayatnya berbunyi: "Saudara-saudara, kalaupun seseorang kedapatan elakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu juga jangan kena pencobaan."

Jadi di sini ditekankan kalau kita misalnya ada masalah dengan yang lain kita ini seyogyanyalah memimpin, dalam pertengkaran, dalam konflik juga sama memimpin dengan lemah lembut bukan menghancurkan, bukan menyerang jadi kita ikuti prinsip firman Tuhan ini.
IR : Jadi kita itu tidak terlepas sendiri dalam menyelesaikan masalah atau konflik, kalau kita itu dekat dengan Tuhan dan selalu membaca firman pasti telinga kita juga akan terngiang untuk senantiasa merendahkan hati, menyangkal diri, sehingga kita akan mengasihi pasangan kita walaupun mungkin mereka menyakitkan hati kita, kita itu akan bisa mengampuni.

PG : Betul, betul.

GS : Saya setuju sekali dengan apa yang Ibu Ida katakan. Jadi demikianlah tadi saudara-saudara pendengar kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga khususnya tentang masalah-masalah mitos yang berkaitan dengan konflik di dalam kehidupan rumah tangga, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



6. Kewajiban dan Kemarahan dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T018B (File MP3 T018B)


Abstrak:

Setiap pasangan suami istri harus mengkondisikan tanggung jawab masing-masing. Harus sampai pada suatu kesepakatan apa itu yang menjadi tanggung jawab istri dan suami. Kewajiban itu seharusnya dilihat secara fleksibel. Dan tuntutan-tuntutan yang tidak terpenuhi cenderung menimbulkan kemarahan.


Ringkasan:

Masing-masing pasangan suami-istri oleh Tuhan sudah diberikan tanggung jawab atau kewajiban untuk menjalankan perannya atau fungsinya masing-masing. Namun seringkali terjadi perbedaan pandangan di dalam pelaksanaan peran itu sehingga banyak terjadi konflik.

Ada aspek yang melatarbelakanginya:

  1. Adanya anggapan bahwa kalau kita sudah menjalankan kewajiban kita maka rumah tangga kita akan beres, dengan asumsi atau harapan pasangan kita juga akan melakukan bagiannya. Tapi masalahnya adalah hal itu tidak selalu terjadi, sebab memang pada akhirnya tergantung pada komitmen masing-masing pada pernikahan itu, tatkala seorang suami tidak lagi mempunyai komitmen atau dedikasi atau perhatian terhadap pernikahannya dia tidak akan lagi menjalankan kewajibannya.

Ada hal yang perlu kita lakukan untuk dapat menciptakan suasana yang baik antara suami dan istri yaitu:

  1. Sebelum menikah memang kedua belah pihak mulai harus mengungkapkan harapan dan tuntutannya. Saran Norman Wright seorang pakar konseling pernikahan, kepada sepasang kekasih yang merencanakan untuk menikah dalam konseling pranikah, dia meminta kedua orang itu untuk mendaftarkan 50 hal yang dia tuntut dari pasangannya. Misalnya siapa yang akan membawa piring ke meja, waktu engkau mau minum kopi siapa yang akan membuat kopi dsb. Jadi Norman Wright mau membuat pernikahan itu menjadi sangat realistik sekali dan itulah yang disajikannya kepada 2 orang yang akan melangsungkan pernikahan, agar mereka menyadari hal itu.

Ada yang beranggapan bahwa kemarahan merupakan sesuatu yang tidak boleh ada dalam keluarga dan menganggap kemarahan itu seperti bom yang bisa menghancurkan rumah tangga. Kenyataannya justru tidak, jadi kemarahan yang sepantasnya ya diekspresikan dan dibagikan, justru ini suatu channel suatu/penyaluran yang sangat baik. Karena pasangan kita akhirnya mengerti bahwa ada hal-hal yang mengganggu kita dan karena mengganggunya terlalu berat maka diekspresikan dengan kemarahan. Jadi kemarahan tidaklah harus kita takuti tapi di pihak lain tidak dianjurkan agar kita ini seenaknya saja memarahi pasangan kita.

Galatia 6:2, "Bertolong-tolonganlah kamu menanggung bebanmu, demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. Ayat 4, Dan baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri, maka dia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain." Pelajaran Firman Tuhan yang bisa kita ambil adalah kalau kita mau menikah berarti kita harus siap memikul beban atau problem pasangan kita, jadi di satu pihak kita mesti siap untuk memikul bebannya, problemnya yang memang jelas-jelas bukan problem kita tapi problem dia.

Tapi begitu dia menikah dengan kita problemnya menjadi problem kita pula. Namun di pihak lain lagi adalah tiap orang juga harus menguji pekerjaannya sendiri, dalam pengertian kita mesti bisa juga mengintrospeksi siapa kita dan apa yang telah kita lakukan. Berbahagialah pasangan yang bersedia memikul beban yang satunya dan juga bersedia melihat dirinya dan tidak hanya melihat diri orang lain.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah salah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara di kota Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang seputar kehidupan suami-istri khususnya yang sering kali diwarnai dengan pandangan-pandangan yang keliru karena banyaknya pandangan yang beredar di tengah-tengah kita. Kami percaya bahwa acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, setiap pasangan suami-istri itu oleh Tuhan diberikan kewajiban atau tanggung jawab untuk menjalankan perannya atau fungsinya masing-masing Pak Paul. Kadang-kadang saya beranggapan bahwa kalau saya sebagai seorang suami atau seorang ayah sudah menjalankan peran dengan bekerja, memberi nafkah dan sebagainya, saya berharap sebenarnya istri saya juga melakukan fungsinya. Saya sering mengatakan kalau kita itu sudah melakukan fungsi masing-masing kehidupan rumah tangga ini menjadi beres. Karena sering kali terjadi gesekan atau bahkan konflik di sana, saya merasa sudah melakukan fungsi saya dan dia kok enak-enakan atau malah sebaliknya dia pun merasa sudah melakukan fungsinya sebagai seorang istri, seorang ibu dan dia menganggap saya belum melakukan kewajiban atau tanggung jawab saya. Nah, karena perbedaan pandangan seperti ini sering kali menimbulkan konflik Pak Paul, apakah pandangan seperti itu memang umum terjadi di kalangan suami-istri juga pasangan-pasangan Kristen atau bagaimana Pak?

PG : Ada dua aspek dari yang telah Pak Gunawan katakan, memang yang pertama adalah yang tadi Pak Gunawan sudah singgung yaitu adakalanya kita beranggapan bahwa kalau kita sudah menjalankan kwajiban kita, maka rumah tangga kita akan beres, dengan asumsi atau harapan pasangan kita juga akan melakukan bagiannya.

Tapi masalahnya adalah hal itu tidak selalu terjadi, kebanyakan waktu masing-masing menjalankan kewajibannya, rumah tangganya berjalan dengan baik. Tapi ada kasus di mana yang satu menjalankan kewajibannya dengan baik misalnya si istri menjalankan kewajiban sebagai istri yang baik mengurus rumah tangga, memperhatikan kebutuhan anak-anak, menjaga perasaan suami dan benar-benar mencoba memenuhi kebutuhan suami. Tapi di pihak lain suaminya tidak menjalankan kewajibannya misalnya si suami mau pulang malam, dia pulang malam; dia tidak mau pulang ya dia tidak pulang; dia tidak merasa berkewajiban memberitahu istrinya ke mana dia pergi dan sebagainya. Jadi itu yang ingin saya munculkan dalam mitos ini yaitu mitos atau keyakinan yang keliru, yang menganggap bahwa selama saya menjalankan kewajiban saya, pasti pasangan saya juga akan melakukan bagiannya. Tidak selalu begitu, sebab memang pada akhirnya tergantung pada komitmen masing-masing terhadap pernikahan itu, tatkala seorang suami tidak lagi mempunyai komitmen atau dedikasi atau perhatian terhadap pernikahannya dia tidak akan lagi menjalankan kewajibannya.
GS : Berarti pernikahan itu terancam keutuhannya?

PG : Sangat terancam, dan ini yang sering kali membuat frustrasi pihak yang menjalankan kewajibannya. Sebab dia pun sebagai manusia mengharapkan timbal balik dari si suami atau istri setelahdia melakukan kewajibannya dengan begitu sungguh-sungguh.

Tapi di pihak lain dia sudah bekerja begitu keras, dia sudah menjalankan kewajibannya secara sungguh-sungguh, tapi pihak yang satunya masa bodoh tidak mempedulikan dia dan sebagainya. Nah, itu keadaan yang sangat menimbulkan frustrasi yang tinggi.
GS : Tapi Pak Paul, kami sebagai pasangan suam-istri khususnya waktu baru menikah itu tidak dibekali bahwa suami itu tugasnya apa saja, kami paling-paling melihat orang tua kami, pasangan-pasangan yang lain o....itu yang dia lakukan, tapi secara jelas kita tidak pernah mendapatkan atau mungkin membicarakan dengan istri bahwa kewajibanmu itu ini, ini, ini, kewajiban saya ini, ini, tidak seperti itu Pak Paul?

PG : Betul, setiap pasangan suami-istri pada akhirnya harus memformulasi, harus (GS: Mengkondisikan tanggung jawabnya masing-masing) betul. Jadi mereka harus sampai pada suatu kesepakatan ap itu yang menjadi tanggung jawab istri dan tanggung jawab suami.

Sebab secara garis besar memang kita ini akan mengharapkan hal-hal yang lazim dilakukan oleh suami dan istri, sebab kita adalah bagian budaya di mana kita tinggal. Jadi secara garis besar, misalkan kita tahu suami diharapkan menjadi tulang punggung keluarga, yang menyediakan kebutuhan finansial keluarga dan sebagainya. Dan istri adalah orang yang akan memelihara anak-anak dan memastikan rumah tangga itu bisa berjalan terus, namun selain dari garis besar seperti itu sudah tentu ada segudang masalah kecil-kecil lainnya yang harus juga didiskusikan dan akhirnya disetujui, sehingga ada pembagian peran atau tugas yang jelas. Saya tadi langsung berpikir memang adakalanya terjadi konflik dalam hal pembagian tugas ini, karena bisa jadi yang satu merasa ini tugasmu, yang pihak sana merasa tidak, ini tugasmu, sehingga akhirnya terjadilah kerancuan kewajiban di sini.
GS : Yang Alkitab sampaikan, suami itu kepala keluarga dan istri itu pendamping suami, itu secara prinsip saja Pak Paul?

PG : Betul, tapi penjabaran apa itu yang dilakukan sebagai seorang kepala tidak diberitahukan oleh Alkitab. Karena memang sangat bergantung pada konteks kehidupan.

(1) IR : Nah, mungkin ada faktor-faktor lain Pak Paul, yang bisa Pak Paul berikan supaya masing-masing ini bisa serasi Pak Paul?

PG : Saya kira yang seharusnya dilakukan adalah sebelum menikah memang kedua belah pihak harus mulai mengungkapkan harapan dan tuntutannya. Saya mengingat saran dari seorang pakar konseling ernikahan Norman Wright, waktu saya mengikuti ceramah beliau, beliau berkata sewaktu dia pertama kali berbicara dengan sepasang kekasih yang merencanakan untuk menikah, dalam konseling pranikah dia akan bertanya atau meminta kedua orang itu untuk mendaftarkan 50 hal yang dia tuntut dari pasangannya.

Nah, Norman Wright berkata sering kali mereka bingung, masa ada 50 hal yang saya akan tuntut dari pasangan saya? Tapi Norman Wright memberikan contoh misalnya kalau engkau makan siapa yang akan membawa piring ke meja, siapa yang akan mengambil piring dari meja, waktu engkau ingin minum kopi, siapa yang akan membuat kopi dan sebagainya hal-hal kecil seperti itu. Sampah sudah penuh siapa yang harus membuang sampah itu keluar, misalnya anak sakit siapa yang akan lebih bertanggung jawab untuk membawanya ke dokter dan sebagainya. Jadi Norman Wright mau membuat pernikahan itu menjadi sangat realistik sekali dan itulah yang disajikannya kepada dua orang yang akan melangsungkan pernikahan, agar mereka menyadari hal itu. Jadi menjawab pertanyaan Ibu Ida, seyogyanyalah dua orang yang belum menikah memang berbicara dengan terbuka apa itu yang diharapkannya dari pasangan, siapa yang akan berbuat ini, siapa yang akan melakukan itu dan sebagainya. Sebab sering kali kita mewariskan kebiasaan-kebiasaan dari rumah tangga kita sendiri. Misalkan ada seseorang yang misalnya dibesarkan oleh ayah yang sangat dominan, semua hal diatur oleh si ayah, si ibu itu boleh dikata tahunya hanya masak dan memberi makan anak tidak ada suatu keputusan pun yang didiskusikan dengan si ibu. Nah, kemungkinan si anak akan beranggapan itulah modal keluarga yang ideal baginya, setelah dia menikah dia tidak berkonsultasi dengan si istri sewaktu mengambil keputusan. Sebab dia merasa tidak seharusnya dan tidak perlu dia mengambil waktu bicara dengan istri mengenai soal itu, nah hal ini bisa saja nanti menimbulkan konflik dalam pernikahan.
IR : Jadi faktor komunikasi juga diperlukan Pak Paul?

PG : Betul, keterbukaan dan juga kejelian untuk bisa mengenali apa itu yang kita harapkan dari pasangan kita.

GS : Tapi harapan-harapan atau apa tadi yang Pak Paul ungkapkan misalnya mesti didaftar, itu 'kan bisa berubah Pak Paul oleh karena keadaan. Misalnya saja saat-saat seperti sekarang di mana banyak para suami yang kehilangan pekerjaannya, sehingga dia banyak waktu tinggal di rumah. Kewajiban-kewajiban yang tadinya diharapkan oleh si istri menjadi tidak terpenuhi, misalnya dalam hal mencari nafkah tidak terpenuhi tapi di sisi yang lain dia mempunyai banyak waktu untuk membantu istrinya, itu 'kan mesti diubah lagi.

PG : Betul, di situ dituntut kefleksibelan, kelenturan sikap, jadi kalau kedua belah pihak tidak fleksibel bisa patah. Misalnya si suami tidak fleksibel, dia tidak ada pekerjaan dan harus dim di rumah, nah dia merasa ini adalah suatu aib buatnya.

Dan misalkan kebetulan si istri masih bisa bekerja mencari nafkah, kalau si suami gagal melihat bahwa sekurang-kurangnya ini adalah peran yang harus diembannya sekarang, kalau dia tidak bisa menerima peran ini dia bisa mencelakakan dirinya, maksudnya dia bisa merasa frustrasi dan akhirnya di rumah sering uring-uringan sedangkan si istri sudah lelah sekali bekerja di luar dan juga mengurus rumah tangga, jadi di sini si suami juga diminta untuk fleksibel, di pihak lain si istri juga diminta untuk fleksibel dengan tuntutannya. Sekarang otomatis penghasilan mereka berkurang mungkin setengahnya atau lebih, nah di sini dipaksa si istri untuk tidak melihat si suami sebagai pemberi nafkah atau penyedia kebutuhan fisik bagi keluarganya. Dan di sini diminta agar si istri juga bisa fleksibel dalam konsepnya tentang seharusnya suami itu seperti apa. Jadi betul sekali apa yang Pak Gunawan katakan bahwa peranan-peranan dalam rumah tangga atau kewajiban-kewajiban itu seharusnyalah dilihat secara fleksibel karena memang bergantung besar pada kondisi.
(2) GS : Tapi prinsip yang Alkitab katakan tidak bisa kita ubah Pak Paul, seperti suami adalah kepala keluarga dan istri itu tetap pada peranannya seperti itu. Dan sering kali yang terjadi kalau salah satu pihak itu tidak "memenuhi" kewajibannya itu menimbulkan kemarahan, bisa marah kalau pasangan kita tidak melakukan perannya. Dan apakah kemarahan itu menghancurkan rumah tangga itu Pak Paul?

PG : Ini adalah salah satu mitos juga Pak Gunawan yaitu ada orang beranggapan bahwa kemarahan merupakan sesuatu yang tidak boleh ada dalam keluarga dan dianggap kemarahan itu seperti bom yan bisa menghancurkan rumah tangga.

Kenyataannya justru tidak, jadi kemarahan yang sepantasnya diekspresikan dan dibagikan justru adalah suatu channel atau suatu penyaluran komunikasi yang sangat baik. Karena pasangan kita akhirnya mengerti bahwa ada hal-hal yang mengganggu kita dan karena mengganggunya terlalu berat diekspresikan dengan kemarahan, nah kemarahan itu sendiri tidak apa-apa dan kita harus siap menerima itu. Saya harus mengaku saya adalah salah seorang yang kurang begitu bisa mendengarkan kemarahan dan ini sering kali menjadi keluhan istri saya. Kadang kala istri saya merasa hidup dengan saya itu tidak bebas, dalam pengertian dia ingin menjadi manusia yang normal, dia ingin bisa marah dan dia ingin sekali-sekali saya bisa menoleransi kemarahannya. Nah, saya mencoba untuk bisa menoleransi kemarahan, namun saya harus akui memang saya bukanlah orang yang terlalu gampang untuk mendengarkan emosi yang tinggi. Kecenderungan saya adalah sewaktu mendengarkan emosi tinggi dalam bentuk kemarahan, saya seolah-olah seperti keong yang langsung menutup diri, menarik diri tidak lagi berkomunikasi dengan dia. Istri saya mencoba menyesuaikan diri sebisanya, dia bicara dengan saya dengan cara yang lemah lembut dan rasional. Dan 99%, 99 kali dari 100 dia berhasil melakukannya, tapi adakalanya dia juga berkata: "Saya kali ini tidak bisa menguasai diri saya, saya mau marah", dan saya akan bilang: "Ya silakan", dan dia akan marah, saya hanya dengarkan, saya sambuti, setelah itu ya sudah. Jadi memang kemarahan tidaklah harus kita takuti seperti itu, tapi di pihak lain juga saya tidak menganjurkan agar kita ini seenaknya saja memarahi pasangan kita, itu pun tidak benar.
GS : Jadi itu semacam kewajiban Pak Paul untuk pasangan, jadi kalau pasangan kita sedang marah kita wajib untuk mendengarkan kemarahannya. Daripada dia marah dengan orang lain, toh itu sesuatu yang harus dia keluarkan, kalau kendaraan bermotor mungkin kenal potnya membuang gas-gas yang tidak berguna. Tapi sejauh kita mendengarkan dan tidak menanggapi, tidak akan timbul pertengkaran yang lebih hebat.

PG : Dengan catatan bahwa memang ini adalah kemarahan dalam batas wajar, sebab saya juga menyadari ada orang yang memang hobynya marah. Dan ada orang yang selalu mau marah di rumah, sedikit al yang mengganggu dia, dia harus memberikan respons dengan kemarahan, sebab dia berharap orang itu harus hidup sesuai dengan kehendaknya, kalau tidak berjalan sesuai dengan kehendaknya maka meletuslah kemarahannya.

Nah, untuk tipe yang seperti ini saya juga tidak berkata kepada pasangannya duduklah dan dengarkanlah dan terimalah caci makinya, saya rasa itu juga tidak benar.
GS : Jadi korban terus dia nanti.
IR : Jadi harus saling belajar untuk menerima keberadaan masing-masing Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Dalam hal menerima tadi yang Pak Paul katakan, sampai sejauh mana sebenarnya kita itu bisa mentolerier kemarahan pasangan kita. Tadi Pak Paul mengatakan sebatas kemarahan itu wajar, tapi itu 'kan sesuatu yang agak sulit, dan itu relatif. Itu sebenarnya bagaimana Pak Paul kami harus menguraikannya?

PG : Saya kira kita bisa menyimpulkan apakah kita ini pemarah atau marah, jadi yang Tuhan larang dan Tuhan panggil itu dosa bukanlah marah tapi pemarah. Jadi orang yang pemarah adalah orang ang memang bawaannya marah, bahkan di kitab Amsal sendiri pun dikatakan janganlah bergaul dengan si pemarah, dengan orang yang maunya atau bawaannya marah, bertemperamen tinggi.

Sebab apa, sebab memang orang seperti ini dipanggil di Amsal adalah sebagai orang yang bodoh, orang yang tidak bijaksana. Dan Alkitab pun menekankan salah satu buah Roh Kudus atau salah satu aspek buah Roh Kudus adalah penguasaan diri. Jadi orang yang kalau mau marah tidak bisa mengendalikan diri dia mesti marah, dia memang tidak mempunyai buah Roh Kudus, penguasaan diri tersebut dan dia bisa kita kategorikan sebagai orang yang bodoh, orang yang tidak bijaksana. Jadi itu salah satu kriterianya, apakah orang itu pemarah atau tidak, otomatis orang yang pemarah akan berkata saya punya alasan kenapa saya marah, sebab engkau membuatku marah, tidak. Masalahnya adalah bukanlah orang membuat kita marah, masalahnya adalah kita memilih respons marah, setiap kali ada sesuatu yang mengganggu kita, kita itu memilih untuk merespons dengan kemarahan. Jadi dalam pengertian ini tanggung jawab kita, kitalah yang memilih marah seperti itu. Berikutnya adalah yang bisa saya gunakan sebagai kriteria adalah apakah sewaktu dia marah, dia hanya marah berkaitan dengan problemnya dan apakah kita bisa menyimpulkan apakah kemarahannya itu dikeluarkan sesuai dengan problemnya. Untuk hal sekecil itu apakah dia perlu memaki-maki sampai begitu kerasnya, misalnya itu yang bisa kita gunakan. Ada orang yang gara-gara anaknya tersandung dan kemudian memecahkan gelas, bisa marah dan memaki-maki si anak dengan begitu kasarnya, nah dalam hal seperti itu kita berkata tidak semestinya, itu sudah melewati batas kewajaran. Kriteria yang berikutnya adalah lamanya dia marah, kalau misalkan gara-gara satu hal dia bisa marah dan dia bisa berteriak-teriak, memaki-maki selama misalnya 10 menit, ¼ jam, atau ½ jam kita bisa simpulkan dia sudah melewati batas kewajaran. Sebab marah yang wajar adalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, kalau mau marah, marahlah selama 5 menit sudah begitu. Kita pun di tempat pekerjaan kalau kita marah semau kita selama 30 menit, kalau bos mendengar lama-lama kita dipecat, di rumah saja kita tidak bisa dipecat, jadi kita lebih seenaknya.
GS : Bagaimana dengan hal menerima kemarahan pasangan kita tadi Pak Paul, apakah setelah kemarahannya mereda kita perlu membicarakannya atau tidak, tentunya hal ini kita lakukan kalau dia sudah mulai tenang, apakah kita perlu menanyakan apa sebetulnya yang menjadi masalah? Ini dalam rangka atau kita kaitkan dengan kewajiban kita untuk meningkatkan mutu hidup pernikahan kita.

PG : Setelah reda saya yakin baik sekali kita berbicara dengan dia dan kita sampaikan dampak perlakuannya kepada kita. Misalkan kita beritahu: "Waktu engkau memarahi saya seperti itu, saya mrasa seperti tidak ada artinya bagimu, saya ini merasa lebih mirip seperti pesuruhmu yang engkau bisa saja marahi seperti itu."

Jadi nomor satu kita sampaikan dampaknya pada diri kita, supaya dia menyadari bahwa kita ini bukanlah terbuat dari besi, yang dimarahi tapi tidak merasakan apa-apa. Berikutnya adalah yang kita bisa sampaikan setelah dia tenang adalah minta dia introspeksi, apakah kemarahanmu itu wajar, pada porsinya, apakah memang tepat targetnya, coba engkau pikirkan. Nah, kita jangan mengoreksi dia sebab ada kecenderungan kalau kita yang mengoreksi, dia tersinggung atau difensif, membela diri. Jadi kita hanya lontarkan agar dia bisa introspeksi, coba kamu pikirkan saja, terus sudah kita tinggalkan dia. Jadi kita tidak meminta dia mengoreksi pada saat itu juga, sebab biasanya dia akan membela diri dan nanti tidak ada hasilnya.
GS : Berarti kita tidak perlu mencari-cari sumber masalah supaya timbul kemarahan, tapi kalaupun kemarahan itu tidak bisa dihindari kita juga tidak perlu lari dari kenyataan itu Pak Paul, karena kemarahan itu sendiri tidak selamanya akan menghancurkan pernikahan.

PG : Dalam batas yang wajar tidak menghancurkan pernikahan, tapi kalau melewati batas kewajaran bisa menghancurkan pernikahan.

GS : Apakah ada ayat Alkitab yang berkaitan dengan hal ini yang ingin Pak Paul bacakan, sebelum kita mengakhiri perbicangan kita pada saat ini?

PG : Ada satu ayat yang saya ambil dari Galatia 6:2, "Bertolong-tolonganlah kamu menanggung bebanmu, demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." Dan yang ke-empat adalah "Baiklah iap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri, maka dia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain."

Dari dua ayat ini saya bisa memetik suatu pelajaran yang indah dari firman Tuhan yaitu kalau kita mau menikah berarti kita harus siap memikul beban atau problem pasangan kita, jadi di satu pihak kita mesti siap untuk memikul beban atau problemnya dan yang jelas-jelas bukan problem kita, tapi problem dia. Tapi begitu dia menikah dengan kita, problemnya menjadi problem kita pula. Namun di pihak lain, jadi ini ekstrim satunya lagi adalah tiap orang juga harus menguji pekerjaannya sendiri, dalam pengertian kita mesti bisa siapa kita dan apa yang telah kita lakukan. Jangan kita ini bisanya hanya melihat pekerjaan orang lain atau kalau saya terjemahkan dalam hubungan keluarga, jangan sampai kita ini hanya bisa melihat orang lain atau istri atau suami kita saja, masing-masing harus melihat diri. Nah, saya kira berbahagialah pasangan yang bersedia memikul beban yang satunya dan juga bersedia melihat dirinya dan tidak hanya melihat diri orang lain.

GS : Ya itulah nasihat firman Tuhan yang saya rasa sangat tepat Pak Paul untuk perbincangan kita kali ini. Dan demikianlah tadi para pendengar, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Apabila Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan banyak terima kasih untuk tanggapan berupa surat-surat yang sudah sampai pada alamat tersebut. Namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda kami masih sangat menantikannya. Dan dari studio kami mengucapkan selamat berjumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



7. Makna Pernikahan Gerejawi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T025A (File MP3 T025A)


Abstrak:

Pernikahan bagi orang Kristen adalah suatu kesaksian kepada umum bahwa Tuhan hadir dalam hubungan mereka. Dan intinya adalah pernikahan tersebut memperkenankan hati Tuhan.


Ringkasan:

Kata berkat atau pernikahan yang diberkati di gereja sebetulnya mempunyai beberapa aspek, yaitu:

  1. Aspek pertama adalah diberkati di gereja atau diberkati oleh Tuhan berarti diperkenan oleh Tuhan, jadi pernikahan itu pernikahan yang memang Tuhan setujui. Jadi apa yang Tuhan tidak setujui Tuhan tidak mungkin memberkatinya jadi unsur memperkenankan Tuhan itu penting sekali sebagai prasyaratnya.

  2. Berkat mempunyai arti sebetulnya juga memberikan sukacita sebab kata berkat mengandung arti kebahagiaan, kesukacitaan. Dengan kata lain sewaktu Tuhan memberkati Tuhan itu memang akan menambahkan sukacita akan benar-benar menolong, menyertai pernikahan ini sehingga ini menjadi suatu pernikahan yang pas, yang membahagiakan keduanya.

Yang dapat disimpulkan, jangan kita ini menempatkan berkat dalam pernikahan secara kaku tapi juga tidak tepat, sebaliknya kita jangan meremehkan pernikahan.

Syarat bahwa pernikahan itu memperkenankan hati Tuhan adalah sbb:

  1. Syarat pertama dan mutlak harus dipenuhi adalah keduanya harus seiman, dua-duanya orang yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan mereka dan telah menjadi juru selamat bagi dosa mereka.

  2. Yang menjadikan suatu pernikahan itu kristen bukanlah upacaranya tapi kehidupan kedua insan ini baik sebelum menikah ataupun setelah menikah.

Apa yang menjadikan pernikahan itu pernikahan kristen, bukan upacaranya tapi kehidupan pernikahan kita itu, apakah kita benar-benar hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan apakah kehidupan kita itu memperkenankan hati Tuhan. Jadi itu yang terlebih penting dan berkat Tuhan tentang menambahkan sukacita dalam kehidupan kita itu juga diperoleh tidak secara otomatis, tidak karena kita ini menikah di gereja, maka untuk seumur hidup Tuhan akan terus menambahkan sukacita, tidak! Jadi bagaimanakah kita ini berdua hidup, apakah kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan kalau kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan maka berkat Tuhan juga akan Tuhan curahkan. Tapi kalau dua-dua tidak mudah mengalah kalau ada perbedaan pendapat dua-duanya keras kepala, sombong dan sebagainya bagaimanakah berkat Tuhan dicurahkan dalam kehidupan yang tidak suci dan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi; beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pemberkatan nikah. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, pada kesempatan ini saya ingin mengajak Pak Paul dan Bu Ida untuk membicarakan tentang makna pemberkatan nikah. Hampir semua kita sebagai pasangan suami-istri Kristen, nikahnya diberkati di gereja tapi juga banyak yang perlu kita ketahui tentang pemberkatan nikah di gereja itu, Pak Paul. Sebagai contoh misalnya mengenai maknanya sendiri. Ada sebagian orang yang mengatakan keunikan pernikahan Kristen itu adalah pemberkatan di gereja, jadi itu yang membedakan pernikahan Kristen dan yang bukan misalnya. Pandangan Pak Paul sendiri bagaimana mengenai pemberkatan nikah di gereja?

PG : Saya kira kita harus melihat dengan perspektif yang berimbang, Pak Gunawan, adakalanya kita ini terlalu memberikan porsi yang terlalu besar terhadap upacara itu sendiri. Tapi di pihak lainsaya tidak ingin kita ini meremehkan makna dari pernikahan gerejawi itu.

Saya akan jelaskan yang saya maksud, ada misalkan orang yang beranggapan bahwa pernikahan Kristen itu kudus karena diberkati di gereja, seolah-olah dengan menikah di gereja dan mendapatkan berkat dari pendeta di gereja, untuk selama-lamanya pernikahan itu menjadi pernikahan yang diberkati. Kata berkat atau diberkati di gereja sebetulnya mempunyai beberapa aspek, aspek yang pertama adalah diberkati di gereja atau diberkati oleh Tuhan, berarti diperkenan oleh Tuhan. Jadi pernikahan itu pernikahan yang memang Tuhan setujui. Otomatis kita harus mengerti apa itu yang Tuhan akan setujui, yang jelas adalah Tuhan menghendaki kita menikah dengan yang seiman. Jadi misalkan ada orang yang ingin menikah dan meminta pemberkatan di gereja tapi pasangannya bukanlah seorang Kristen, secara otomatis pernikahan itu hanyalah menjadi upacara formal namun saya percaya tidak ada berkat Tuhan di pernikahan tersebut, karena jelas-jelas keduanya melakukan sesuatu yang Tuhan tidak setujui. Jadi apa yang Tuhan tidak setujui, Tuhan tidak mungkin memberkatinya. Jadi unsur memperkenankan Tuhan itu penting sekali sebagai prasyaratnya. Yang kedua adalah berkat mempunyai arti sesungguhnya juga memberikan sukacita, sebab kata berkat itu mengandung arti kebahagiaan, kesukacitaan. Dengan kata lain, sewaktu Tuhan memberkati Tuhan itu memang akan menambahkan sukacita akan benar-benar menolong, menyertai pernikahan ini sehingga ini menjadi suatu pernikahan yang cocok, yang membahagiakan keduanya. Jadi saya kira kebanyakan kita lebih menekankan aspek yang kedua, Pak Gunawan, kita ingin menikah di gereja sebab kita ini mengharapkan Tuhan akan membahagiakan kita, tapi kita jangan sampai melupakan aspek yang pertama tadi, yaitu aspek memperkenankan hati Tuhan sebagai pernikahan yang memang Tuhan setujui. Jadi sekali lagi saya mau simpulkan jangan kita ini menempatkan berkat dalam pernikahan secara kaku tapi juga tidak tepat. Sebaliknya saya juga tidak mau kita ini meremehkan pernikahan. Ini banyak dilakukan misalnya oleh para bintang-bintang film yang menikah di gereja-gereja, saya langsung mengingat para bintang film Amerika Serikat, sewaktu mereka menikah, mereka senantiasa mencari gereja untuk menikahkan mereka. Tapi bagi mereka pernikahan gerejawi juga sebetulnya tidak mempunyai dampak apa-apa, mereka tidak mempunyai konsep bahwa nomor 1 pernikahan ini haruslah diperkenankan oleh Tuhan, mereka tidak pusingkan hal itu. Kedua mereka juga tidak pusingkan aspek Tuhan itu memberkati dalam pengertian membahagiakan melalui pernikahan kedua insan itu akan mendapatkan kecocokan dan hidup mereka akan penuh dengan sukacita karena Tuhan memberkatinya. Jadi mereka ini menikah di gereja hanya dengan tujuan tradisi, hal yang biasa dilakukan dan hal yang baik dilihat oleh orang, mereka menganggap bahwa pernikahan itu seolah-olah "belum resmi" kalau belum dilakukan di gereja. Jadi saya kira kita perlu memiliki keseimbangan jangan sampai kita mental dari yang satu ke satunya lagi.
IR : Nah, Pak Paul kalau pernikahan itu mempunyai arti untuk memperkenan hati Tuhan tentunya ada contoh-contoh konkret, syarat-syarat untuk bisa diperkenan oleh Tuhan itu pasangan yang bagaimana, Pak Paul?

(2) PG : Tadi saya sudah singgung bahwa yang pertama dan yang mutlak harus dipenuhi adalah keduanya harus seiman, jadi dua-duanya itu adalah orang yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan mereka dn telah menjadi Juruslamat bagi dosa mereka.

Yang kedua, menurut saya ini juga penting yaitu yang menjadikan pernikahan itu Kristen, bukanlah upacaranya tapi kehidupan kedua insan ini baik sebelum menikah ataupun setelah menikah. Sekarang saya mau sedikit banyak bergeser ke topik yang memang berdekatan dengan yang sedang kita bicarakan yaitu apa yang menjadikan pernikahan itu pernikahan Kristen. Sering kita beranggapan pernikahan itu pernikahan Kristen, karena dinikahkan atau upacaranya dilakukan secara Kristiani. Nah saya mau menekankan bahwa yang menjadikan pernikahan kita itu pernikahan Kristen bukan upacaranya, tapi kehidupan pernikahan kita itu, apakah benar-benar kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan apakah kehidupan kita itu memperkenankan hati Tuhan. Jadi bagi saya itu yang terlebih penting dan berkat Tuhan yang tadi saya maksud dengan menambahkan sukacita dalam kehidupan kita itu juga diperoleh tidak secara otomatis, tidak karena kita ini menikah di gereja, maka untuk seumur hidup Tuhan akan terus menambahkan sukacita kita, tidak! Jadi bagaimanakah kita ini berdua hidup, apakah kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, kalau kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan maka berkat Tuhan juga akan Tuhan curahkan, jadi kita tidak bisa membatasi pemahaman kita hanya pada upacaranya. Nah ini saya kira anggapan yang beredar sekarang ini, pokoknya menikah secara Kristen, seolah-olah nanti akan terus diberkati saya kira tidak, bergantung bagaimana keduanya hidup setelah mereka menikah. Kalau yang satu hidup tidak sesuai dengan kehendak Tuhan misalkan berfoya-foya, main judi, main perempuan lain dan sebagainya, bagaimanakah bisa mengharapkan berkat Tuhan, tidak mungkin karena hidupnya sudah tidak lagi memperkenankan Tuhan. Atau dua-duanya tidak mudah mengalah kalau ada perbedaan pendapat dua-duanya keras kepala, sombong dan sebagainya, bagaimanakah berkat Tuhan dicurahkan dalam kehidupan yang tidak suci dan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Jadi konsep berkat itu saya kira jauh lebih luas dari sekedar diberkati di gereja.
GS : Ya tapi memang betul, Pak Paul, di negara kita pada saat ini salah satu prasyarat untuk bisa mendapatkan surat keterangan pernikahan itu perlu dilakukan pemberkatan di gereja, jadi memang itu banyak unsur formalitasnya. Menanggapi hal itu, bagaimana seharusnya gereja menyikapinya?

PG : Gereja harus tetap melakukan upacaranya tapi sebelumnya perlu menyaring dengan baik, menyeleksi, meneliti, mencermati pasangan yang akan menikah itu. Jangan sampai akhirnya gereja memberkai orang yang tidak memperkenankan Tuhan, apalagi kalau misalnya jelas yang satu itu tidak seiman, yang satu itu tidak hidup dalam Tuhan misalnya, gereja berhak menolak.

Adakalanya saya kira sebagai pendeta mengakui bahwa kami ini adakalanya sungkan, masa orang mau menikah dipersulit dan sebagainya, tapi saya kira kita ini bukannya mau mempersulit tapi mau menegakkan kebenaran Tuhan juga. Jadi jangan sampai kita menjadi lembaga yang begitu sembarangan menikahkan orang, asal mereka senang kita senang ya sudah kita nikahkan mereka, saya kira itu juga salah.
IR : Kalau ada pasangan yang hamil dahulu, bagaimana gereja menolak, kalau ditolak katanya tidak ada pengampunan, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Sementara ini ada beberapa posisi ya Bu Ida, ada gereja yang mewajibkan bagi yang sudah hamil di luar nikah itu untuk menikah misalnya di aula tidak lagi di ruang ibadah atau misalnya di dlam ruang serba guna atau di rumah si mempelai; ada gereja yang mempunyai aturan seperti itu.

Tapi ada juga gereja yang memberikan izin mereka menikah dalam ruang ibadah. Bagi saya secara pribadi, tempatnya bagi saya tidak masalah kalau misalkan gereja memang menetapkan agar tempatnya di luar baik, kalau gereja berpendapat tidak apa-apa di dalam juga baik. Bagi saya yang paling penting adalah gereja perlu melihat bahwa keduanya sudah bertobat. Jadi dalam konseling pranikah kita memang mewajibkan si mempelai untuk memberikan keterangan yang jujur, sudahkah mereka berhubungan suami-istri sebelum menikah. Jangan sampai kita ini akhirnya sebagai hamba Tuhan merasa lega karena tidak hamil, tapi apa bedanya kalau mereka memang tidak hamil tapi karena menjaganya dengan baik misalnya memakai alat-alat kontraseptif, tapi mereka terus berhubungan suami istri sebelum mereka menjadi suami-istri. Jadi saya kira kita hamba Tuhan juga harus berhati-hati jangan sampai terpaku pada yang kasat mata, yang nampak saja, yang tidak nampakpun harus kita lihat. Kalau memang ada bukti mereka sudah berhubungan suami-istri dalam pranikah, dalam bimbingan pranikah kita ketahui hal itu, tugas hamba Tuhan adalah untuk meminta mereka bertobat dan menghentikan perbuatan itu. Mereka sadar apa tidak itu dosa, mereka mau tidak bertobat atas perbuatan mereka. Kalau kita melihat memang mereka tidak mau bertobat, saya sebagai hamba Tuhan akan dengan lega berkata: "Saya tidak akan nikahkan kalian." Jadi gereja berhak menolak, gereja tidak berkewajiban menerima semua orang yang mau menikah di gerejanya, tidak harus, sebab gereja adalah utusan Tuhan dan Tuhan tidak selalu membiarkan orang melakukan hal-hal sekehendak mereka. Tuhan meminta anak-anakNya untuk hidup taat kepadaNya, jadi saya kira gereja sebagai utusan Tuhan di bumi ini harus mewakili Tuhan dengan jelas juga.
GS : Jadi peran bimbingan pranikah itu penting sekali ya Pak Paul khususnya pada saat-saat seperti ini (PG :Betul) untuk memberikan pengertian yang benar. Pak Paul ini ada satu kasus yang disampaikan oleh para pendengar kita dari salah satu kota itu yang pasangan suami-istri ini sudah menikah ± 22 tahun. Nah penulis surat ini adalah seorang ibu yang usianya 42 tahun dan suaminya itu sekitar umur 50 tahun. Mereka dikarunia seorang putri yang kini sudah berusia 21 tahun, 6 tahun yang lalu itu suaminya itu menikah lagi, tapi bukan secara Kristen dalam agama yang lain dan ketika sudah mempunyai anak laki-laki, maka ibu itu membaptiskan anaknya, jadi anaknya itu dibaptiskan di sebuah kota lain dan bahkan dipestakan, diperingati. Lalu si suami itu juga beristri lagi tetapi rupanya mengalami hambatan dalam usahanya, tidak lagi menghiraukan istrinya, Pak Paul. Pertanyaan yang diajukan adalah saat ini status pernikahan antara si ibu ini dengan si suami yang kemudian sudah menikah lagi, bagaimana Pak Paul? Cerai ya tidak, karena mereka khususnya ibu ini sebagai orang Kristen tidak mau melakukan perceraian itu tetapi si suami ini 'kan tidak lagi mencukupi nafkah istrinya itu bagaimana menurut Pak Paul?

PG : OK! Jadi isi surat itu adalah menanyakan tentang suami yang menikah kembali dan menikahnya bukan secara Kristen tapi akhirnya setelah punya anak (GS : anaknya itu dibaptiskan di kota lain ak Paul ya) secara Kristen.

Sebelum saya menjawab saya hanya ingin memberikan penjelasan kepada para pendengar bahwa kami tidak selalu membahas surat yang dialamatkan kepada kami dan kami menganggap semua surat itu adalah hal-hal yang rahasia. Surat ini kami bahas karena diminta Pak Gunawan oleh (GS :Penulis surat ini memang meminta supaya ini mungkin diketahui banyak orang tetapi kita 'kan tidak menyebutkan nama, identitas atau apa). Ya secara rohani dulu Pak Gunawan saya akan bahas, saya akan bacakan dari Markus 10 dan ini adalah suatu percakapan antara Tuhan Yesus dengan murid-muridNya. Di ayat 10 dari pasal 10 "Ketika mereka sudah sampai di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu (yakni tentang perceraian ya) lalu kataNya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain ia berbuat zinah." Di sini kita melihat Pak Gunawan bahwa Tuhan menganggap pernikahan kedua itu dalam konteks tadi sebagai suatu perzinahan. Jadi jelas Tuhan berkata barangsiapa menceraikan istrinya dan kawin dengan perempuan lain dia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu. Kenapa disebut perzinahan? Sebab pernikahan yang kedua itu Tuhan tidak akui, oleh sebab itulah hubungannya dengan wanita lain tersebut dianggap sebagai suatu perzinahan. Jadi begini maksudnya kalau pernikahan yang kedua itu Tuhan akui sebagai pernikahan yang sah, Tuhan tidak akan panggil itu sebagai suatu perzinahan, dipanggil perzinahan karena dianggap itu adalah hubungan suami-istri atau hubungan seksual di luar pernikahan. Jadi kalau kita membahas pertanyaan ibu tadi dari segi Kristen, rohani jawabannya adalah pernikahan yang kedua itu tidak sah di mata Tuhan. Jelas-jelas sebab si suami ini memang meninggalkan istrinya yang sah untuk menikahi orang lain, jadi pernikahan yang kedua itu tidak sah di mata Tuhan.
GS : Bagaimana dengan anak mereka itu, Pak Paul?

PG : Dalam soal anak secara rohani kalau anak itu anak yang sah, begini soalnya kita tidak bisa menggunakan istilah anak haram, saya kira istilah anak haram itu anak yang tidak adil ya terhadapsi anak.

Sebab yang haram adalah hubungan antara si bapak dan si ibu itu tadi, anak itu sendiri bukanlah anak yang diharamkan (GS : Tetap karunia Tuhan ya Pak ) tetap karunia Tuhan dalam kemurahan Tuhan, Tuhan memberikan anak kepada mereka tapi keduanya itu memang telah melakukan hubungan yang haram. Si anak itu tidak bersalah apa-apa. Jadi apa status anak itu? Tetap anak itu adalah anak yang Tuhan berikan.
GS : Sejauh ini memang ada perasaan yang bersalah, Pak Paul, dalam diri si ibu ini karena dia juga terlibat di dalam pelayanan dan sebagainya, mungkin dia tahu tadi yang Pak Paul katakan bahwa itu sesuatu yang tidak benar di mata Tuhan. Pertanyaannya adalah bagaimana dia bisa melepaskan perasaan bersalahnya ini, Pak Paul?

PG : Si ibu ini maksudnya si ibu yang istri sah itu, dia tidak membuat suatu kesalahan jadi dalam hal ini si ibu tidak perlu merasa bersalah sedikitpun kecuali memang dia mempunyai andil yang bsar dalam membuat si suaminya itu meninggalkan dia.

Tapi saya percaya tetap begini ya, pernikahan itu tidak bisa tidak akan mengundang problem, kita ini adalah 2 orang yang berbeda sudut pandang jadi pasti ada problem. Tapi Tuhan tidak menginginkan karena ada problem kita cari perempuan lain, jadi tidak ada alasan bagi seseorang berkata: "Karena engkau tidak mengerti aku, aku cari wanita lain," ya tidak bisa, engkau tidak cocok, engkau usahakan agar bisa cocok. Jadi dalam kasus ibu ini saya tidak tahu kasusnya secara mendetail karena memang tidak dijabarkan, namun kalau masalahnya masalah yang manusiawi antara dua orang suami istri saya kira ibu ini tidak usah merasa bersalah, tidak ada kesalahan pada dirinya, yang bersalah adalah si suami, telah meninggalkan istri yang sah menikah dengan orang lain, malahan dia itu menyangkali imannya, karena menikah tidak secara Kristiani. Mungkin dia juga tahu tidak bisa menikah secara Kristiani dan sebagainya, jadi yang jelas salah adalah si suami, si ibu ini mau melayani Tuhan silakan melayani Tuhan, dia tidak ada kesalahan dalam hal ini, yang bersalah adalah si suaminya.
GS : Jadi walaupun tidak ditanyakan Pak Paul saya tergoda untuk bertanya ini, bagaimana seandainya si ibu itu lalu tertarik pada pria lain dan dia menikah dengan pria lain itu Pak Paul?

PG : Dalam hal ini saya menggunakan ayat yang ditulis oleh rasul Paulus di 1 Korintus 7, di situ memang rasul Paulus memberi nasihat kepada para istri yang ditinggalkan oleh suami ereka, dan kebetulan suami mereka adalah orang-orang yang tidak percaya Tuhan.

Nah Paulus justru menegaskan, biarkan mereka pergi sehingga tidak timbul keributan dalam masalah perceraian ini, biarkan mereka pergi mereka adalah orang-orang yang tidak percaya Tuhan, sudah jangan membikin keributan. Paulus menekankan prinsip kedamaian, jadi dalam hal ini saya akan berkata kepada si ibu itu kalau ibu itu bersedia, saya kira biarkan ibu itu melepaskan si suaminya meskipun si ibu itu berat lakukan ini, tapi yang meninggalkan si ibu adalah si suami tersebut dan dia sudah ada istri lain. Ya di mata masyarakat memang diakui sebagai pernikahan yang sah karena sudah menikah, tapi di mata Tuhan Yesus kita tahu tidak diakui. Namun kita bisa menggunakan nasihat rasul Paulus yaitu membiarkan jangan membuat keributan, dia mau tinggalkan engkau ya sudah biarkan dia pergi. Jadi saya katakan kepada ibu ini "Silakan kalau engkau ingin memformalkan perceraianmu dengan suamimu yang telah meninggalkan engkau ini dan sudah kawin dengan orang lain silakan, biarkan." Misalkan dia nanti tertarik dan jatuh cinta dengan seseorang pria yang lain kalau saya pribadi bicara untuk diri saya, saya akan izinkan sebab pertama-tama dia adalah korban dari perbuatan suaminya ini.
GS : Banyak pasangan-pasangan Pak Paul yang mungkin dahulu sebelum jadi orang Kristen sudah menikah, lalu sekarang jadi Kristen dulu punya anak-anak menginginkan agar pernikahan mereka diberkati di gereja. Bagaimana dalam hal ini Pak Paul? Jadi misalnya saya, waktu menikah karena belum Kristen tentu tidak ada pemberkatan di gereja tapi sekarang setelah bertobat dan istri juga bertobat lalu ingin diberkati di gereja dengan pengertian supaya mungkin tadi yang Pak Paul katakan pernikahan ini diberkati.

PG : Jadi bagi saya boleh, ya boleh tidak terserah. Kalau mau diberkati ulang ya silakan, tidak mau ya tidak apa-apa. Sebab Tuhan mengakui institusi atau kelembagaan pernikahan, dilakukan oleh iapapun dalam konteks budaya apapun Tuhan akui sebagai pernikahan yang sah.

Dan sekali lagi saya tekankan berkat Tuhan bukanlah tercurah pada waktu upacara pernikahan itu, tapi pada masa setelah pernikahannya bagaimana kita hidup dengan istri atau suami kita, apakah memperkenankan Tuhan atau tidak.
GS : Memang sebaiknya itu ya, pernikahan muda-mudi kita diberkati di gereja tapi tentu dibutuhkan bimbingan agar mereka betul-betul memahami dengan demikian bisa menghargai makna pemberkatan nikah di gereja itu.

PG : Sebab itu suatu kesaksian, Pak Gunawan, waktu orang Kristen menikah dia memberikan kesaksian kepada umum bahwa Tuhan hadir dalam hubungan mereka, jadi kehadiran Tuhan itu dinyatakan melalu pernikahan Kristiani tersebut, itu maknanya.

GS : Tapi itu juga mengandung konsekuensi logis, Pak Paul, kalau seandainya pernikahan itu tidak harmonis, lalu orang juga menuduh itu lihat orang Kristen hidup berumah tangganya begitu, Pak Paul.

PG : Betul sekali.

GS : Jadi memang itu suatu tantangan juga selain kesempatan untuk bersaksi lewat kehidupan rumah tangga.

Baiklah, demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga dalam hal ini khususnya mengenai pemberkatan nikah, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



8. Persiapan Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T026B (File MP3 T026B)


Abstrak:

Dalam materi ini kita diajak untuk mengetahui, mengerti dan memahami apa yang seharusnya kita lakukan sebelum kita benar-benar masuk dalam pernikahan. Di antaranya adalah bagaimana kita dapat menyesuaikan diri untuk dapat hidup bersama dengan harmonis.


Ringkasan:

Persiapan pernikahan yang diperlukan adalah persiapan bagaimana mereka bisa menyesuaikan diri, karena mereka adalah dua pribadi dari latar belakang yang berlainan, sekarang akan hidup bersama-sama. Bimbingan pranikah sangat diperlukan bagi pasangan muda untuk saat ini dan pelaksanaannya ± 6 kali pertemuan atau 7 kali pertemuan. Persoalan yang tidak terselesaikan dengan tuntas akan muncul lagi pada masa pernikahan, dan kecenderungannya persoalan itu muncul dalam intensitas yang lebih besar, bukan makin berkurang.

Hal ini disebabkan oleh:

  1. Kita menghadapi problem untuk pertama kali, berbeda kalau kita menghadapinya untuk ke 10 kali.

Pacaran yang tepat yang perlu dilakukan oleh remaja atau pemuda kita adalah:

  1. Saat pacaran yang terbaik adalah untuk mengenal calon pasangannya ini. Yaitu mengenal pribadinya, karakternya, orangnya, latar belakangnya. Apakah saya bisa hidup dengan dia seumur hidup? Hal ini dapat dilakukan dengan banyak berkomunikasi.

Faktor-faktor yang memperkuat pernikahan adalah:

  1. Mereka harus mempunyai hati yang sungguh-sungguh takut kepada Tuhan, karena orang yang takut akan Tuhan bagaimanapun juga akan memperbaiki diri dan melaksanakan perintah-perintah Tuhan, itu fondasi yang terutama.

Materi yang biasa diberikan pada masa pranikah adalah:

  1. Pernikahan dipandang dari sudut pandang Kristen.

  2. Mengenali diri sendiri, siapakah saya ini. Saya mau tidak hubungan dengan orang lain, pengenalan pribadi satu dengan yang lain.

  3. Komunikasi, bagaimana berkomunikasi dengan baik.

  4. Kemarahan, tentang bagaimana menangani kemarahan.

  5. Komitmen, apakah mereka mau komitmen untuk seumur hidup

  6. Pendidikan seksual, juga tentang anak dan harapan-harapan dalam pernikahan.

Yang biasa dianjurkan atu rekomendasi yang diberikan setelah konseling pranikah adalah:

  1. Menyetujui silakan menikah

  2. Menunda, kalau memang mereka belum siap

  3. Meminta dibatalkan, hal ini dilakukan kalau pasangan tersebut dengan jelas-jelas memperlihatkan ketidakcocokan yang sangat parah dan kalau diteruskan tidak akan cocok, bisa jadi tidak sehat sama sekali hubungan mereka itu.

Galatia 6:2, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu, demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus."

Jadi setiap orang yang ingin menikah harus siap memikul beban pasangannya. Bahwa dia masuk ke pernikahan membawa satu beban dan pasangannya pun membawa satu beban yang lain dan dia harus siap memikulnya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Pdt. Dr. Paul Gunadi, mereka adalah para pakar di bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang persiapan pernikahan. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Ibu Vivian, kami mengenal Ibu sebagai seorang pakar di bidang konseling khususnya konseling pranikah. Dalam kesempatan berharga ini kami ingin tahu lebih banyak bagaimana sebenarnya persiapan pernikahan yang dibutuhkan oleh calon pasangan suami istri itu?

VS : Persiapan pernikahan bagi mereka ialah persiapan bagaimana mereka bisa menyesuaikan diri, karena selama ini mereka adalah dua pribadi dari latar belakang yang berlainan dan sekarang akan hdup bersama-sama.

Jadi kita mempersiapkan bagaimana mereka nanti bisa secara harmonis hidup bersama-sama.
GS : Tapi pola itu sebenarnya dahulu tidak pernah dirasakan sebagai suatu kebutuhan, mungkin 20 atau 30 tahun yang lalu. Tetapi sekarang kita mulai melihat ada kebutuhan itu, kalau ditanyakan kepada pasangan-pasangan mereka katakan itu perlu dan baik sekali, mengapa terjadi perubahan seperti itu?

VS : Kalau dilihat dahulu orang itu lebih menerima apa yang terjadi dalam keluarga, mereka terima apa adanya sekarang orang lebih kritis. Jadi kalau terjadi sesuatu mereka cenderung lebih beran berkonfrontasi dengan pasangannya sehingga lebih cepat terjadi perselisihan dan akhirnya terjadi banyak perceraian.

Oleh sebab itu kalau saya melihat keluarga, dahulu saya ingin berkecimpung dalam pranikah karena saya melihat banyak pasangan yang menikah beberapa tahun langsung nanti bercerai. (GS :Itu keluarga Kristen yang Ibu maksudkan, pasangan-pasangan kristen?) ya keluarga Kristen.
IR : Bagaimana sebaiknya diselenggarakan, apakah secara berkelompok atau berpasangan?

VS : Berpasangan, kalau secara kelompok itu kalau kita hanya mau memberikan informasi yang umum tentang apa dalam pernikahan itu, tetapi ada secara pribadi sepasang demi sepasang. Dan juga kala memang ada masalah yang tidak bisa diselesaikan pribadi lepas pribadi, satu orang-satu orang nanti bersama-sama lagi.

(2) GS : Berdasarkan pengalaman Ibu berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh calon mempelai itu untuk bimbingan pranikah?

VS : Kalau bimbingan pranikah paling sedikit kalau menurut saya adalah ± 6 kali pertemuan atau 7 kali pertemuan. Pertama kali adalah secara pribadi, pribadi maksudnya per-pasang lalu 5 kali secra kelompok, lalu 2 kali lagi secara pasangan.

Dan itu dilihat kalau memang masalahnya lebih banyak kita akan yang berpasang ini ditambah lagi.
GS : Tapi yang sering kali terjadi di gereja-gereja yang saya alami adalah orang kalau sudah memastikan tanggal pernikahannya, buru-buru ikut bimbingan pranikah, seolah-olah itu semacam katekisasi sebelum baptisan atau prasyarat sebelum mereka itu diteguhkan pernikahannya. Bagaimana kalau ada pandangan seperti itu?

VS : Oleh sebab itu di gereja seharusnya diberi pengumuman jauh sebelumnya. Siapa yang akan menikah, paling tidak 3 bulan sebelumnya sudah harus memberi tahu atau 4 bulan atau ½ tahun sebelumny, sehingga ada persiapan.

GS : Apakah bimbingan pranikah itu harus dilakukan oleh gereja?

VS : Saya kira kalau memang mau diteguhkan di gereja, gereja harus (GS : Harus melakukan itu ya) ya.

GS : Tetapi apakah badan-badan lain seperti Lembaga Bina Keluarga Kristen ini bisa melakukan?

VS : Bisa kalau ada tenaga yang kompeten, tapi paling tidak pendetanya tahu ini gereja apa yang diajarkan jadi mungkin pendetanya menambahkan sedikit-sedikit saja.

GS : Kalau membutuhkan waktu 1 tahun saya rasa memang agak sulit sekarang ini mempelai atau calon mempelai itu menentukan hari H-nya itu untuk menikah. Mereka biasanya memang agak dekat, kurang ½ tahun atau apa baru melakukan itu. Ada juga bimbingan pranikah yang diberikan kepada mereka yang bahkan berpacaran saja belum. jadi seberapa perlu gereja mengajarkan itu? misalnya saja pendidikan seks dan sebagainya.

VS : Kalau itu saya tidak mengatakan sebagai bimbingan pranikah itu adalah kita mengajarkan pergaulan, memang kita ajarkan mulai dari remaja sebelum mereka berpacaran supaya nanti tahu memilih acar yang cocok,.

Tapi bimbingan pranikah ini untuk orang yang akan menikah.
IR : Adakah keterkaitan masalah-masalah sebelum dan sesudah menikah Bu Vivian?

VS : Sebelum dan sesudah menikah biasanya kalau masalah belum diselesaikan sebelum menikah akan terbawa setelah menikah.

GS : Tetapi pandangan umum khususnya calon mempelai itu masalah yang belum terselesaikan pada waktu mereka berpacaran akan bisa diselesaikan setelah mereka menikah.

VS : Itu adalah pandangan yang salah, jadi bukannya tambah selesai tetapi tambah rumit.

GS : Misalnya sudah tahu pacarnya ini seorang yang pemarah atau pemabuk bahkan mungkin dikatakan nanti kalau sudah menikah sama saya, saya akan mencoba merubah dia. Apa betul begitu pengalaman Ibu?

VS : Kalau tidak diselesaikan bagaimana bisa berubah saya kira tidak, harus dibereskan sebelumnya.

GS : Jadi itu dilakukan sebelum mereka betul-betul memutuskan untuk menikah.
IR : Apakah perlu bagi pasangan yang masih baru menikah dapat bimbingan?

VS : Yang baru menikah, evaluasi biasanya ada. Jadi setelah menikah misalnya kalau saya, saya membimbing pasangan-pasangan ini mungkin setahun kemudian saya bertemu mereka kembali secara pribad, bagaimana apa yang terjadi, jadi evaluasi.

GS : Menurut pengalaman Pak Paul bagaimana menghadapi calon-calon mempelai yang sejak awal itu sudah bermasalah, tapi mereka tetap bertekad mau melangsungkan pernikahan? Bahkan mungkin permasalahan itu tidak disetujui orang tua dan sebagainya, konkret saja tidak disetujui misalnya?

PG : Kalau masalahnya hanyalah tidak disetujui orang tua dan tidak langsung berkaitan dengan hubungan mereka berdua, mungkin masih bisa tertangani dengan baik Pak Gunawan. Yang saya lebih cemasan adalah kalau memang mereka mempunyai masalah yang tidak terselesaikan dan terus muncul dalam masa pranikah.

Kemudian mereka menikah, kecenderungannya adalah sama seperti tadi yang disinggung Bu Vivian, masalah itu akan muncul lagi. Dan biasanya waktu muncul pada masa pernikahan muncul dalam intensitas yang lebih karena ada beberapa penyebab. Yang pertama adalah kita menghadapi problem untuk pertama kali, berbeda kalau kita menghadapinya untuk ke 10 kali. Sudah tentu akan timbul rasa bosan dan akhirnya berubah menjadi rasa muak dan lama-lama menjadi rasa masa bodoh, "Ya engkau memang tidak bisa diubah lagi, aku sudah membicarakan hal ini yang ke 10 kalinya dan engkau tetap mau melakukan apa yang engkau lakukan ya sudah, engkau mau berbuat apa aku tidak peduli lagi." Jadi biasanya kalau muncul di masa pernikahan dan sudah pernah ada di masa sebelum menikah, kecenderungannya memang muncul dalam intensitas yang lebih besar atau lebih serius. Kadang kala tadi Pak Gunawan juga sudah singgung, ada kalanya orang yang berpacaran mempunyai suatu harapan mujizat akan terjadi, yaitu setelah menikah tiba-tiba masalah akan terselesaikan. Kadang kala saya bertanya seperti ini kepada pasangan yang sedang menjalani konseling pranikah, mereka tidak cocok dan saya sudah tekankan itu kepada mereka tapi tetap mereka mau menikah. Saya suka menggunakan suatu ilustrasi. Saya suka katakan "Bayangkan engkau sekarang sudah menikah," saya ambil suatu kertas saya berkata: "Bayangkan ini adalah surat nikah engkau, sekarang saya tanya apa yang berubah dalam hubungan kamu berdua?" Dua-dua diam, sebab memang pernikahan adalah seperti itu sebetulnya, yaitu suatu hubungan yang sekarang disahkan tapi hubungan itu sendiri tetap sama, tidak ada yang berubah sebetulnya. Kalau sebelumnya tidak cocok, mempunyai masalah dengan kecemburuan misalnya itu akan menjadi masalah yang menyertai mereka. Tapi adakalanya memang muncul suatu harapan-harapan gaib, seolah-olah semua akan terselesaikan ya tidak. Dengan adanya kertas surat nikah ini apakah ada yang berubah dalam hubungan engkau berdua? Tidak ada persis sama, jadi itu yang saya kira kita ini sebagai orang yang lebih tua atau sebagai konselor pranikah perlu tekankan pada pasangan muda bahwa pernikahan tidak mempunyai atau mengandung solusi yang gaib, yang bisa menyelesaikan problem mereka.
GS : Tadi saya ambil contoh tidak disetujui orang tua karena masih banyak yang terjadi seperti itu dan setelah mereka menikah apalagi setelah mempunyai anak, lalu orang tuanya itu luluh hatinya mungkin sudah menerima. Karena itu yang saya katakan tadi ada masalah sebelum pernikahan kemudian setelah menikah selesai ternyata pernikahan seperti itu. Kalau kasusnya tidak disetujui orang tua, jadi bisa terjadi seperti itu Bu Vivian?

VS : Ya kalau tadi katakan setelah anak lahir lalu disetujui. Itu karena masalah tidak disetujui, tapi kalau masalah yang pribadi, masalah interaksi saya kira tidak akan selesai.

GS : Bahkan mungkin bisa lebih parah karena tidak cocok. Masalahnya sekarang pada saat pacaran tadi yang sebenarnya digunakan untuk saling mengenal. Menurut saran atau pendapat Bu Vivian, yang bisa digunakan oleh remaja kita itu atau pemuda kita yang akan menikah itu bagaimana menggunakan saat-saat pacaran itu?

VS : Saat pacaran adalah saat terbaik untuk mengenal calon pasangannya ini, jadi mengenal pribadinya, karakternya, orangnya, latar belakangnya. Jadi saat yang terbaik adalah mengenal orang ini pakah saya bisa hidup dengan dia seumur hidup.

GS : Contoh konkretnya dengan cara seperti apa Bu?

VS : Lebih banyak berkomunikasi.

GS : Ya kalau ngomong-ngomong masih pacaran bisa sampai lama, tapi masalahnya apa yang mereka omong kita tidak tahu.

VS : Biasanya omong-omong bukan untuk mengenal (GS :Membicarakan sesuatu di luar hubungan mereka) betul.

IR : Tapi sulitnya kalau mereka sudah tahu kalau mereka tidak cocok, tapi tetap pada pendiriannya untuk terus melanjutkan sampai ke pernikahan, apakah ada saran-saran untuk memberikan bekal bagi mereka yang tidak cocok?

VS : Biasanya dengan konseling pranikah. Jadi mereka itu diajak untuk membuka pandangannya mereka, membuka matanya.

GS : Memang sekarang yang banyak terjadi di dalam pembinaan pranikah itu adalah sifat pengajaran, sifat menambah ilmu pengetahuan mereka tentang persiapan-persiapan pernikahan. Tetapi latihan seperti latihan mendengarkan, latihan merasakan perasaan orang lain dan sebagainya itu jarang sekali dilakukan, Bu?

VS : Ya pengajaran memang perlu juga, tapi latihan dalam kelompok kami juga ada. Yang terpenting adalah penyesuaiannya orang dua ini, jadi apa yang selama ini saya selalu tekankan, selama ini ang jadi masalah kalian berdua itu apa? Dan biasanya kelihatan ini orang yang berdua ini duduk ini mereka kelihatan duduk ini dengan damai atau duduk dengan ada masalah bisa kelihatan.

Biasanya saya tanya masalah apa yang tidak beres dari kalian. Jadi itu yang dibereskan sebelum menikah.
GS : Apakah mungkin Ibu punya suatu contoh konkret dari satu calon pasangan suami istri yang tadinya itu memang tidak sepaham atau tidak cocok, lalu melalui bimbingan pranikah ini mereka bisa ditolong untuk menemukan masalahnya Bu?

VS : Ya ada (GS : Misalnya Bu) misalnya ada satu pasangan yang saya bimbing ini mereka kelihatannya tidak cocok karena yang perempuan ini memangnya pendidikannya lebih tinggi dan memang umurnyalebih tua dan dia ini memangnya lebih cepat mengambil keputusan.

Yang laki memangnya lebih lambat mengambil keputusan jadi mereka ini selalu bertengkar karena yang laki dia mengatakan meskipun saya ini umurnya lebih muda, saya ini saya harus jadi kepala keluarga, tetapi dalam kenyataan tidak bisa. Oleh sebab itu mereka bertengkar terus. Setelah konseling pranikah beberapa kali mereka memutuskan menunda dan membereskan, jadi yang perempuan belajar mengungkapkan pendapatnya yang baik itu bukan dengan mendikte suaminya, calon suaminya selalu dia dikte, ini yang membuat calon suaminya marah. Kita belajar bagaimana mengungkapkan pendapat dengan tidak mendikte akhirnya dia berubah, cara berkomunikasinya ini juga berubah menjadi bagaimana bisa menjadi kepala keluarga akhirnya setelah bisa selesai, mereka berubah.
GS : Bimbingan seperti itu tidak bisa dilakukan dalam bentuk kelas Bu?

VS : Itu yang pribadi (GS : harus pribadi ya) ya, jadi saya katakan kelas penting ada diskusi kelompok tetapi juga harus ada untuk pasangan secara pribadi, orang per orang, sepasang dan juga seara kelompok.

GS : Sekarang ini banyak sarana untuk saling mempertemukan seperti biro jodoh, menurut pandangan Ibu Vivian bagaimana kalau orang mengatakan menemukan jodohnya lewat kesempatan-kesempatan yang ada seperti itu. Jadi mereka biasanya tidak ada tindak lanjutnya, bagaimana menurut Ibu?

VS : Kalau itu adalah sesuatu yang tidak mudah, tahu orangnya lewat tulisan, gambaran tetapi menentukan pernikahan dengan cara itu, saya kira kurang bijaksana. Sebaiknya kita harus ketemu orangya, mengenal orangnya dulu.

GS : Tidak ada sistem kilat-kilatan?
(3) IR : Apakah ada Bu Vivian, faktor-faktor yang memperkuat pernikahan?

VS : Faktor-faktor yang memperkuat pernikahan kalau saya melihat, mereka harus mempunyai hati yang sungguh-sungguh takut pada Tuhan, karena orang yang takut pada Tuhan bagaimanapun juga akan beusaha untuk memperbaiki diri dan melaksanakan perintah-perintah Tuhan.

Itu fondasi yang terutama.

PG : Dalam pengalaman Bu Vivian, apakah ada problem-problem tertentu yang Ibu temukan pada masa konseling pranikah. Yang dapat Ibu gunakan sebagai indikator, apakah pernikahan ini akan berjalan baik atau tidak, apakah ada isu-isu atau masalah-masalah yang sangat krusial yang mereka harus bisa selesaikan dengan baik?

VS : Terutama masalah komunikasi, kalau dalam kelompok biasanya waktu pengajaran, saya biasanya mulai dengan pengajaran itu kalau yang bicara hanya dari dua orang, ini entah laki saja yang perepuan diam saja.

Ini saya kira sesuatu yang tidak beres, ada sesuatu problemlah di komunikasinya. Atau yang perempuan bicara terus yang suaminya diam saja, itu saya melihat bahwa mereka tidak ada kebersamaan.
GS : Kalau memang yang laki pendiam misalnya, jadi sejak dari awalnya pendiam.

VS : Biasanya memang kalau kami diskusi tetapi saya selalu tanyakan satu kelompok lalu satu pasang. Pandangan kalian berdua apa, selalu yang menjawab ini perempuan saja atau yang laki saja. Inisesuatu yang tidak beres.

(GS: Indikasi yang perlu diwaspadai itu) ya itu harus diwaspadai. Dan juga mungkin dalam cara menjawab itu kelihatan ada kemarahan, satu pasang yang sekarang saya bimbing ini waktu menjawab kelihatan ada kemarahan, ini apa ini, tapi karena waktu itu kelompok saya tidak membicarakan apa-apa setelah kelompok selesai saya panggil. Saya melihat beberapa minggu ini ada kemarahan, ternyata ada yang terpendam lama sekali yaitu kemarahan karena cemburu pada calon istrinya ini.
GS : Bu Vivian, tadi Ibu katakan bisa dalam bentuk kelas jadi bersama-sama dan kelompok diajarkan, mungkin kami boleh tahu materi-materi apa yang biasanya disampaikan dalam bentuk kelas itu?

VS : Yang saya sampaikan itu materi terutama yaitu tentang pernikahan dari sudut pandang Kristen, itu mereka sebagai fondasinya (GS: Harus tahu itu) harus tahu tanggung jawabnya sebagai suami itri dari pandangan firman Tuhan.

Lalu yang saya tekankan juga tentang mereka mengenal diri mereka sendiri, jadi siapakah saya ini dan saya mau menikah ini adalah menurut pandangan Kristen seumur hidup, jadi saya harus hubungan dengan orang, pengenalan pribadi satu dengan yang lainnya. Lalu juga tentang komunikasi bagaimana berkomunikasi dengan baik, lalu juga materi yang lain adalah tentang kemarahan, bagaimanapun juga kita hidup bersama-sama ini tentu ada kemarahan lalu bagaimana menangani kemarahan. Hal yang lain adalah tentang komitmen apa mereka mau komitmen seumur hidup, yang lain lagi adalah tentang pendidikan seksual, anak, harapan-harapan dalam pernikahan karena biasanya waktu pacaran harapannya tinggi-tinggi, kenyataannya tidak tahu, kira-kira seperti itu.
GS : Di samping itu ada latihan-latihan yang tadi Ibu katakan dilakukan sepasang-sepasang atau sendiri-sendiri (VS :Betul). Kalau seperti itu membutuhkan waktu yang cukup lama ya Bu?

VS : Ya, saya katakan paling sedikit 6, 7 kali dan setiap kali itu ada 2 jam.

GS : Biasanya kalau dalam kelompok, pengalaman Ibu, apakah jumlahnya makin lama makin menyusut. Jadi misalnya saat pertama itu bisa sampai 10 pasang, sampai pada pelajaran terakhir tinggal 3 pasang, apa tidak terjadi seperti itu?

VS : Ada yang terjadi seperti itu memangnya kadang-kadang tidak datang. Tapi saya mengatakan kalau kamu tidak datang harus ditambah (GS: Mengikuti yang lain ya) mengikuti yang lain, jadi harus iselesaikan.

GS : Mungkin juga faktor dorongan dari orang tua itu penting untuk menganjurkan mereka ikut.

VS : Ya tapi mereka sendiri kalau saya evaluasi, mereka sendiri mengatakan banyak manfaatnya dan minta ditambah waktunya.

GS : Sebelum mereka memutuskan, mungkin dari bimbingan itu kelihatan bahwa mereka itu ternyata tidak cocok sehingga mereka harus memutuskan untuk tidak melanjutkan ke tingkat yang lebih lanjut yaitu pernikahan.

VS : Selama ini saya belum pernah seperti itu, yang saya pernah mengalami yaitu yang tidak cocok tapi bisa ditunda sampai 3 kali. Dan waktu mereka ketiga kali ini apa saya harus tunda sekali lai, ditunda sekali lagi harus batal tetapi ternyata kami bersama-sama membereskan ternyata bisa selesai.

Apa ada pengalaman yang bisa disampaikan Pak Paul?

PG : Memang akhirnya ada 3 rekomendasi yang bisa kita berikan, yang pertama menyetujui silakan menikah seperti yang telah dibicarakan tanggalnya, yang kedua adalah menunda kalau kita rasakan meang mereka belum siap dan yang ketiga adalah meminta dibatalkan, itu mungkin sekali.

Ada pasangan yang sangat jelas memperlihatkan ketidakcocokan dan kalau diteruskan tidak akan bisa cocok, jadi tidak sehat sama sekali hubungan seperti ini. Adakalanya harus langsung kami katakan, "Kalian berdua sama sekali tidak cocok, jadi sebaiknya dibatalkan daripada ditunda 10 tahun, lebih baik bilang terus terang dibatalkan sekarang saja."
GS : Itu menyakitkan sekali Pak Paul, tapi masih lebih baik daripada kalau mereka melanjutkan pernikahan lalu putus di tengah jalan. Sehubungan dengan persiapan pernikahan ini, mungkin Pak Paul ada ayat firman Tuhan atau yang menegaskan bahwa bimbingan pranikah itu sesuatu yang perlu untuk mempersiapkan pasangan karena yang tadi kita lihat ini 'kan menjadi suatu perkembangan baru, yang dulu tidak dirasakan sebagai kebutuhan, sekarang dirasakan sebagai kebutuhan apakah memang seperti itu Pak Paul?

PG : Saya kira memang demikian Pak Gunawan, masyarakat atau kita semua makin hari makin menjadi masyarakat yang berpusat pada kenikmatan pribadi. Kita menikah supaya kita senang, bahagia. Suatukonsep bahwa pernikahan itu tidak selalu membawa kebahagiaan karena itu kita harus memikul beban satu sama lain.

Konsep ini perlu ditanamkan juga pada pasangan-pasangan yang mau menikah. Firman Tuhan yang langsung muncul dalam benak saya adalah Galatia 6:2 "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu, demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." Jadi saya kira setiap orang yang ingin menikah, harus siap memikul beban pasangannya. Bahwa dia masuk ke pernikahan membawa satu beban, tapi pasangannya membawa satu beban yang lain dan dia harus siap memikul. Sebab dia tidak akan mendapatkan semua yang dia inginkan dan pasangannya itu tidak berkemampuan, tidak harus menyediakan semua kebahagiaan untuknya. Akan ada masalah yang dimiliki pasangannya yang mungkin sebelumnya tidak disadari. Dia harus siap semua itu dan memikulnya sebagai bebannya pula. Jadi konsep terhadap pernikahan dan harapan-harapan yang tersembunyi itu harus dimunculkan dalam konseling pranikah sehingga keduanya bisa menyadari apa yang sebetulnya diharapkan secara tersembunyi. Dan banyak di antara kita mengharapkan kebahagiaan itu, tapi kita yang sudah menikah bisa berkata pernikahan tidak selalu membawa kebahagiaan ada beban yang harus kita pikul.
GS : Ya memang saya rasa ayat itu tepat sekali dan kita perlu belajar dari ayat firman Tuhan tadi. Bu Vivian kalau seseorang itu sudah menjalani persiapan pranikah, apakah ada suatu jaminan bahwa pernikahan mereka itu tidak cocok atau bagaimana?

VS : Konseling pranikah ini hanya membekali mereka tetapi mereka harus bekerja keras untuk melaksanakan dalam pernikahan (GS : Dalam kondisi saling menolong Bu ya) ya jadi harus bekerja keras sumur hidupnya, ini hanya bekal saja.

GS : Tapi itu jauh lebih baik daripada mereka menjalani hidup pernikahan tanpa bekal. Jadi saya rasa khususnya bagi para pendengar yang belum memasuki jenjang pernikahan, apa yang kita bicarakan pada kesempatan ini sangat berguna dan Anda dapat menghubungi baik gereja maupun lembaga-lembaga lain yang bisa dipersiapkan sebelum memasuki dunia pernikahan.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan seputar persiapan kehidupan pernikahan bersama Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



9. Kejenuhan dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T036A (File MP3 T036A)


Abstrak:

Kejenuhan sesuatu yang dapat terjadi di dalam pernikahan dan cenderung memunculkan keraguan akan cinta dari masing-masing pasangan, namun hal ini masih dapat untuk diatasi.


Ringkasan:

Tidak bisa disangkali bahwa sebagai manusia kita gampang bosan, baik dalam pekerjaan, dalam situasi tertentu, dalam pelayanan, bahkan juga di dalam pernikahan.

Kejenuhan adalah sesuatu yang bisa timbul pada diri siapa saja. Kejenuhan yang muncul secara berkala dan bukan dalam derajat yang tinggi masih bisa dimaklumi. Meskipun idealnya, kalau itu muncul kita harus melihat hal itu sebagai tanda awas dan kemudian mengevaluasi diri, kenapa sampai muncul perasaan jenuh seperti itu. Sebab kalau pernikahan itu diisi dengan hal-hal yang dinamis dan menyenangkan seharusnya kejenuhan itu tidak muncul.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya rasa jenuh:

  1. Problem yang tak terselesaikan
  2. Harapan yang tak terpenuhi

Jadi dengan kata lain pernikahan itu seperti suatu keseimbangan, suatu equilibrium dimana harus ada keseimbangan antara dua faktor itu. Perlu diingat bahwa pada dasarnya pernikahan perlu dipupuk, agar kuat dan supaya kita yang menjadi insan nikah bisa merasakan keamanan. Rasa aman perlu ditanamkan dan dipupuk dalam pernikahan. Satu hal yang juga perlu saya kemukakan, cinta itu bisa padam. Ada orang yang beranggapan dan berharap, sekali mencintai akan selama-lamanya mencintai. Atau sekali dicintai selama-lamanya akan dicintai. Kenyataannya tidaklah demikian, kita bisa kurang mencintai dan kebalikannya pasangan kita bisa kurang mencintai kita pula.

Kalau cinta itu sampai padam, sulit untuk menghidupkannya kembali. Jauh lebih sulit daripada memupuk hubungan pernikahan agar cinta itu tidak padam. Kita perlu membangun suatu hubungan yang saling mengisi. Maksudnya, mengisi kebutuhan mendasar, sehingga waktu kita diperhatikan dan dicintai kita merasakan diri ini berharga.

Pernikahan yang bisa terhindar dari kejenuhan adalah pernikahan yang mengisi. Kalau boleh saya gunakan istilah tabungan, orang yang rajin menabung, yaitu si suami rajin menabung dan si isteri rajin menabung, maka tabungan pernikahannya akan penuh. Itulah yang sangat berharga. Orang yang memberikan waktu untuk pasangannya adalah orang yang menabung.

Saya melihat pernikahan sebagai sesuatu yang mempunyai 2 sisi yang kelihatannya paradoks:

  1. Kita menikah karena pernikahan itu memenuhi kodrat kita sebagai manusia sosial, kita inginkan kedekatan dan keintiman, itu sebabnya kita menikah.
  2. Di pihak lain, sebetulnya pernikahan itu mempunyai sisi yang berlawanan dengan kodrat manusiawi, yaitu kita adalah orang yang tidak tahan lama dengan sesuatu yang sama.

Matius 4:1 dicatat: "Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti", tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis manusia hidup bukan dari roti saja tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah."

Yesus Tuhan kita sudah tentu dalam problem yang besar karena tidak makan setelah 40 hari 40 malam berpuasa. Dan jalan pintas yang tercepat adalah memerintahkan batu menjadi roti, dan Ia mampu melakukannya. Tapi disini Tuhan Yesus memberikan suatu jalan keluar yang lebih panjang yaitu mempercayakan problem atau kesulitan hidupnya kepada Allah. Sebab yang lebih penting daripada jalan pintas adalah mentaati firman yang keluar dari mulut Allah sendiri. Bagi siapa yang sedang mengalami kejenuhan, kebosanan, atau godaan. Nasihat Firman Tuhan, adalah pentingkan dan taatilah yang keluar dari mulut Allah. Sekalipun jalan Allah mungkin lebih panjang tidak seperti jalan pintas yang ditawarkan oleh si iblis, tapi ini yang membawa kita pada kebahagiaan sejati.

Firman Tuhan merupakan salah satu hal yang sangat penting di dalam menyuburkan kehidupan pernikahan, supaya pasangan jangan cepat bosan dan mengokohkan ikatan pernikahan mereka. Jadi membaca firman Tuhan bersama-sama dan mensharingkannya antara suami dan isteri itu penting sekali.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga ). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, kali ini kami akan berbincang-bincang tentang kebosanan atau kejenuhan di dalam pernikahan. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, tidak bisa disangkali, bahwa kita sebagai manusia mudah bosan, baik di dalam pekerjaan, di dalam situasi tertentu, di dalam pelayanan bahkan juga di dalam pernikahan. Sebenarnya hal itu wajar atau tidak wajar, Pak Paul?

PG : Kejenuhan adalah sesuatu yang bisa timbul pada diri kita, Pak Gunawan, jadi saya kira kejenuhan yang muncul secara berkala dan bukan dalam derajat yang tinggi masih bisa dimaklumi dalampernikahan.

Meskipun idealnya kalau itu muncul, kita seharusnya melihat hal itu sebagai tanda awas agar kita melihat kenapa sampai muncul perasaan seperti ini. Sebab kalau pernikahan itu diisi dengan hal-hal dinamis dan menyenangkan kita, seharusnya kejenuhan itu tidak muncul. Tapi sekali lagi saya tekankan kalaupun sampai muncul dalam derajat yang tidak terlalu tinggi dan hanya sekali-sekali, jarang-jarang, saya kira itu masih bisa dimaklumi.
(1) GS : Ya, tapi pada awalnya kita itu menggebu-gebu, bersemangat tinggi untuk menikah. Setelah menikah justru setelah sekian tahun mungkin kita merasa bosan, merasa jemu dengan pernikahan itu sendiri. Sebetulnya faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya perasaan bosan atau jemu itu, Pak Paul?

PG : Kita ini manusia yang memang mempunyai daya tarik, atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi semua hal yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode trtentu akan kehilangan daya tariknya misalkan segi kecantikan, kita mencintai istri kita karena dia cantik, tapi setelah melewati periode tertentu kecantikannya itu tidak lagi terlalu memukau kita seperti dahulu kala, kita mencintai pria ini juga, salah satu faktor adalah kegantengannya dan kelembutannya tapi lama-kelamaan itu menjadi suatu yang biasa, memang itu adalah kodrat manusiawi.

Sesuatu yang baru cenderung mempunyai daya tarik yang lebih kuat dan kalau sudah terbiasa daya tarik itu akan mulai menghilang pula.
GS : Apakah kegiatan-kegiatan yang monoton di dalam rumah tangga itu akan menimbulkan rasa bosan dalam hubungan pernikahan, Pak Paul?

PG : Adakalanya hal-hal yang sama, yang terus-menerus kita lakukan akan membuat kita jenuh dalam pernikahan ini. Tapi sebetulnya ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menghindarkan kejenuan tersebut.

GS : Misalnya apa, Pak Paul?

PG : Hubungan yang saling mengisi, menyuburkan, menggairahkan, seharusnya mengimbangi kecenderungan kita untuk merasa jenuh. Jadi dengan kata lain, pernikahan itu seperti suatu keseimbangan,suatu equilibrium di mana harus ada keseimbangan antara dua faktor itu.

Di satu pihak memang kecenderungan manusia secara kodrati adalah untuk merasa bosan. Dengan cara itulah pernikahan kita akan langgeng.
GS : Berarti setiap pasangan yang memasuki pernikahan sebenarnya diharapkan sadar bahwa kalau dia tidak siap diri atau siap mental, mereka akan terjebak dengan kebosanan itu sendiri.

PG : Ya, tapi Pak Gunawan, selain dari hal-hal yang normal, alamiah, yang bisa membuat kita bosan, sebetulnya yang sering terjadi adalah pernikahan kita itu tidaklah sebaik yang kita harapkan. Dengan kata lain waktu kita melihat hal-hal yang tidak kita sukai tentang pasangan kita, perasaan-perasaan tidak menyukai itu, akhirnya mulai menggerogoti kita, lalu timbul perasaan kurang menyukai pasangan kita itu. Akhirnya yang tidak suka makin menguat, makin banyak, makin melemah pulalah rasa suka kita karena tidak mungkin kita menyukai dan tidak menyukai dalam jumlah yang sama. Biasanya yang satunya akan tambah banyak, yang satunya akan tambah kurang.

IR : Kalau mengalami hal seperti itu, bagaimana cara mengatasinya?

PG : Kita memang harus menyadari apa yang tidak kita sukai. Saya harus mengakui dalam pernikahan saya pribadi, pada awal-awalnya saya terbiasa untuk tidak mengutarakan yang tidak saya sukai epada istri saya.

Saya mempunyai anggapan bahwa yang tidak saya sukai saya simpan, yang saya sukai saya beritahu. Istri saya jauh lebih terbuka untuk dua-duanya. Yang dia sukai diekspresikan, yang dia tidak sukai juga dinyatakan kepada saya. Akhirnya saya perhatikan yang saya alami adalah rasa ketertekanan, kadang-kadang bisa meletus, meledak dalam situasi yang lain. Jadi kita perlu menyadari apa yang tidak kita sukai dan kita harus akui. Ya memang ada yang tidak kita sukai, setelah itu kita coba komunikasikan dengan pasangan kita agar bisa mulai kita selesaikan, tidak berarti pasti selesai, namun dengan kita buka mudah-mudahan kesempatan untuk menyelesaikannya lebih ada.
GS : Kebosanan itu terkait erat dengan emosi kita, dengan perasaan kita ya Pak Paul, apakah kalau timbul kebosanan lalu ada perasaan lain yang sebenarnya mengatakan, jangan-jangan kamu ini tidak mencintai pasanganmu lagi?

PG : Ya, itu dugaan yang acapkali muncul Pak Gunawan, jadi kita ini cenderung beranggapan bahwa pasangan kita itu sudah berubah tidak lagi seperti dulu, cintanya kepada kita mulai berkurang.Jadi saya mau katakan bahwa pada dasarnya pernikahan itu memang perlu dipupuk agar kuat, supaya kita yang menjadi insan nikah itu merasakan keamanan.

Rasa tidak aman cenderung membuat kita berpikir apakah dia masih mencintai kita atau tidak. Tapi rasa aman tidak menggugah kita untuk mempertanyakan hal-hal seperti itu. Rasa aman sesuatu yang perlu ditanamkan dan dipupuk dalam pernikahan itu. Nah otomatis ini berkaitan dengan perasaan dicintai itu. Satu hal yang saya juga perlu kemukakan adalah cinta itu bisa padam, jadi ada orang yang beranggapan sekali mencintai, akan selama-lamanya mencintai. Sekali dicintai selama-lamanya akan dicintai, ini harapan pada pasangan kita. Kenyataan itu tidak demikian, cinta itu bisa padam, kita bisa kurang mencintai dan kebalikannya pasangan kita bisa kurang mencintai kita pula.
(2) IR : Apa akibat dari kejenuhan itu, Pak Paul?

PG : Salah satunya karena kejenuhan atau biasanya juga yang sering terjadi adalah karena adanya problem yang tidak terselesaikan atau harapan yang tidak terpenuhi. Jadi dua hal itu seringkal menjadi penyebab munculnya rasa jenuh atau padamnya cinta kita.

Ya saya ulang lagi, dua hal itu adalah problem yang tidak terselesaikan dan harapan yang tidak terpenuhi.
GS : Padahal kalau cinta itu sampai padam, untuk menghidupkan kembali sulit Pak Paul, jauh lebih sulit daripada tadi yang Pak Paul katakan memupuk hubungan pernikahan supaya cinta itu tidak padam.

PG : Ya betul, jadi yang sudah padam untuk dihidupkan lagi sangat susah. Harus saya akui lebih susah menghidupkan yang sudah padam.

(3) GS : Kalau tadi Pak Paul sudah menyinggung sedikit tentang memupuk hubungan pernikahan supaya kebosanan itu jangan menjadi-jadi atau menguasai kehidupan kita, hal apa yang bisa kita lakukan?

PG : Kita memang perlu membangun suatu hubungan yang saling mengisi. Saya mau tekankan kata mengisi ini, sebab saya mau mengibaratkan kita ini seperti wadah yang kosong yang perlu diisi. Sebtulnya kita datang ke pernikahan, tidak bisa tidak mengharapkan pasangan kita mengisi kita.

Meskipun kita orang yang mandiri, orang yang sudah sehat tetapi tetap terbersit ya, harapan akan pasangan kita untuk mengisi kita. Saya maksudkan adalah kita mengharapkan, nomor satu ya, pasangan kita itu bisa mengerti kita, kita adalah orang yang sangat butuh akan pengertian, supaya kita ini merasakan hidup ini masuk akal. Kalau kita hidup di tengah-tengah orang yang tidak bisa mengerti kita, kita merasakan hidup ini tidak masuk akal. Dan kedua kita merasa kesendirian atau sepi, tidak ada yang bisa benar-benar memahami kita. Salah satu hal yang mendasar yang kita harapkan dari pasangan kita adalah dimengerti. Seperti yang pernah kita singgung juga dalam siaran radio yang lampau, adakalanya problem belum bisa selesai pada hari yang sama, tapi kalau kita merasakan bahwa pasangan kita sudah mengerti yang ingin kita sampaikan atau kemukakan, kita merasa lebih lega sebetulnya. Jadi kebutuhan untuk dimengerti itu penting sekali, ini adalah salah satu dari jumlah kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Mengisi artinya adalah mengisi kebutuhan mendasar seperti itu, membuat kita misalnya merasakan kita ini berharga, waktu kita ini dicintai, diperhatikan kita merasakan diri kita berharga, itu salah satu kebutuhan. Jadi sebetulnya pernikahan yang bisa terhindar dari kejenuhan adalah pernikahan yang mengisi atau kalau boleh saya gunakan istilah tabungan, orang yang rajin menabung, si suami rajin menabung, istri rajin menabung sehingga tabungannya akan penuh. Itulah tabungan pernikahan yang sebetulnya sangat berharga.
GS : Tapi justru yang sering terjadi Pak Paul, kalau salah satu mulai bosan, pasangannya itu akan sangat mudah terpengaruh untuk jadi bosan sekali, Pak Paul, sehingga sulit diharapkan untuk mengisi yang bosan itu tadi.

PG : Ya, betul sebab seperti ada pepatah bilang, kita tidak bisa bertepuk sebelah tangan Pak Gunawan. Jadi waktu kita merasakan usaha-usaha kita tidak disambut, akhirnya mulai kecil hati da berhenti, lalu tidak mengambil inisiatif lagi.

Salah satu hal yang bisa membunuh pernikahan adalah keputusasaan, Pak Gunawan. Keputusasaan karena kita merasa bahwa yang kita harapkan tidak terpenuhi, yang kita harapkan misalnya pengisian, itu yang tadi sudah saya sebut atau mengharapkan pasangan kita berubah, mungkin dia berubah nanti kalau pekerjaannya lebih baik. Jadi kita senantiasa membuat skenario yang mengharapkan pasangan kita akan berubah, masalahnya adalah kalau dia tidak berubah.
GS : Ya, jadi putus asa.

PG : Kita akan jadi sangat putus asa.

IR : Dan juga faktor waktu ya Pak Paul? Seringkali kalau suami sudah terlalu sibuk, tidak ada waktu untuk berduaan misalnya dengan istrinya, itu bisa juga membuat hubungan bosan ya, Pak Paul?

PG : Betul, itu adalah salah satu faktor pengisian juga Bu Ida, jadi tabungan. Orang yang memberikan waktu untuk pasangannya adalah orang yang menabung sebetulnya. Sebab tidak bisa disangkalbahwa pepatah kita 'semakin kenal akan semakin mencintai' itu memang betul.

Makin kita jauh makin hilanglah ingatan atau memori kita tentang pasangan kita. Makin kuat ingatan kita, apalagi kalau ingatan itu ingatan yang positif makin menghangatkan hati kita, makin mencintai dia. Itu sebabnya hubungan jarak jauh cenderung mengeringkan relasi/hubungan suami istri.
IR : Soalnya ada pengakuan dari pasangan suami istri ya, sudah kawin beberapa puluh tahun. Tapi mereka masih mesra Pak Paul, karena selalu menyediakan waktu, jalan-jalan berdua tanpa anak, keliling, ke pasar juga berdua itu membangun keintiman, Pak Paul sehingga satu dengan yang lainnya itu katanya merasa tidak bosan begitu, masih tetap akrab.

PG : Betul sekali, memang ada orang yang berkata jangan sering-sering ketemu, nanti sering cekcok. Tapi sebetulnya itu menandakan hubungan yang dangkal ya Bu Ida, justru hubungan yang baik sperti yang tadi Bu Ida ceritakan, yaitu hubungan yang dilandasi oleh interaksi, yang cukup sering.

Mereka jarang ketemu akhirnya makin mematikan pohon itu.
GS : Mungkin yang dibutuhkan di sana kreatifitas ya Pak Paul, dari suami istri itu untuk membuat supaya pasangannya itu tidak bosan. Tadi Pak Paul katakan di awal pembicaraan kita bahwa kecenderungan setiap kita itu adalah menyenangi hal-hal yang baru. Masalahnya di sana Pak Paul, kita tidak terbiasa untuk berkreasi di dalam hubungan pernikahan.

PG : Betul, Pak Gunawan, saya melihat pernikahan sebagai sesuatu yang mempunyai 2 sisi. Sebetulnya dua sisi yang kelihatannya paradoks. Kita menikah karena pernikahan itu memenuhi kodrat kit sebagai manusia sosial, kita menginginkan kedekatan, keintiman itu sebabnya kita menikah.

Dan pernikahan itu memberikan wadah untuk terpenuhinyalah kebutuhan keintiman tersebut. Di pihak lain sebetulnya pernikahan itu mempunyai sisi yang berlawanan dengan kodrat kita yaitu kita ini memang orang yang tidak tahan lama dengan sesuatu yang sama, sejak kecil kita terbiasa hidup dengan yang baru. Mainan yang lama yang tidak kita sukai akan kita singkirkan, kita minta dibelikan mainan yang baru. Tiba-tiba kita sekarang sudah besar kita menikah dengan orang yang kita cintai, tapi lama-kelamaan mulai ada problem, ada konflik. Cinta itu tidak lagi segemerlap yang sebelumnya, kejenuhan itu muncul. Tapi kita tidak bisa mengatakan ya karena engkau barang bekas, aku sudah bosan aku hendak melepaskan engkau dan mencari yang baru. Itu bertentangan dengan yang Tuhan minta, tapi sesungguhnya kita harus mengakui itu dalam kodrat manusiawi kita. Kita tidak suka mempertahankan barang yang lama terus-menerus karena kehilangan daya tariknya. Mobil kita pakai hanya 5, 6 tahun, 10 tahun kemudian kita mengganti dengan mobil yang baru. Seenak apapun mobil itu kalau kita sudah memakainya lama-lama kita merasa bosan. Jadi pernikahan memang mempunyai sisi atau aspek yang paradoks dan kita harus bekerja keras untuk mempertahankannya dan melawan sifat manusiawi kita itu. Tadi yang Pak Gunawan singgung, yaitu kita harus kreatif, Pak Gunawan dan Ibu Ida, agar kita bisa mengatasi kodrat manusiawi kita yang cenderung jenuh. Sebetulnya saya harus berkata bahwa yang namanya kreatif tidak memerlukan kreatifitas yang sangat tinggi, yang tadi Ibu Ida contohkan berjalan berdua, pergi belanja berdua, itu sesuatu yang bisa dilakukan baik oleh yang lulusan SD, yang tidak sekolah maupun yang lulusan perguruan tinggi, itu bisa dilakukan oleh semua orang sebetulnya.
(4) GS : Pak Paul, kebosanan itu sebenarnya tidak datang tiba-tiba ya Pak Paul, sebenarnya sebagai pasangan kita bisa mengenali tanda-tanda bahwa pasangan kita sedang bosan dalam pernikahan itu. Dan tanda-tanda apa yang lazimnya muncul?

PG : Salah satu tanda adalah kita cepat merasa terganggu dengan pasangan kita. Yang saya maksud adalah kita misalkan ditanya oleh pasangan kita kenapa pulangnya terlambat, kita terganggu, kia jengkel, kita marah.

Saya kira itu suatu tanda bahwa kita ini bosan atau tidak lagi menikmati hubungan ini. Misalkan kita pulang belum makan atau sudah makan, ditanyai oleh pasangan kita, sudah makan belum, mau makan, kita kemudian marah terganggu, kalau saya mau makan saya beritahu kamu, tidak perlu kamu tanya- tanya. Kalau dulu hal itu tidak mengganggu sekarang tiba-tiba mengganggu, saya kira itu tanda awas, kemungkinan yang terjadi adalah pasangan kita tidak terlalu menikmati kita lagi. Saya identikkan tidak menikmati kita sama dengan mulai merasa jenuh atau jemu dengan kita, tidak ada lagi yang menarik tentang kita seperti dulu atau mungkin ya tetap ada tapi sudah sangat berkurang.
GS : Tapi kalau kemarahan seperti itu, ketersinggungan itu faktornya banyak, Pak Paul. Mungkin di kantor ia baru dimarahi atasannya atau tidak cocok dengan temannya lalu dibawa pulang ke rumah, bisa seperti itu tandanya.

PG : Kalau terjadinya secara periodik ya, berkala memang pasangan lagi ada masalah di kantor, kita pulang kemudian merasa terganggu, saya rasa itu wajar, itu adalah bagian dari kehidupan kita. Yang berbahaya adalah kalau itu makin sering terjadi, apapun yang ditanyakan atau dikomentari oleh pasangan kita, cukup membuat kita terganggu. Saya kira sudah memasuki tahap yang tidak sehat.

GS : Biasanya adalah kita tidak mau mengakui bahwa kita itu sedang bosan Pak Paul, kalaupun seandainya pasangan kita menanyakan secara terbuka, walau kita sedang bosan, sulit mengatakan kita sedang bosan, nanti dia tersinggung.

PG : Sebaiknya kita tidak menggunakan kata bosan, jadi bagus sekali yang Pak Gunawan tanyakan, sebaiknya kita langsung masuk kepada problemnya. Sebab kejenuhan harus saya identikkan dengan roblem, ada hal-hal yang tidak kita sukai, sebetulnya itu intinya.

Baik itu keinginan kita atau kebutuhan kita yang tidak terpenuhi ataupun problem yang kita lihat. Itu adalah problem, jadi masalah dan akhirnya membawa kita kepada kejenuhan. Jadi langsung saja soroti pada problemnya, apa yang kita harapkan yang tidak terpenuhi, problem apa yang belum terselesaikan dalam hubungan kita ini, apa yang tidak kita sukai tentang dirinya, yang terus-menerus kita harus terima, nah hal-hal itu langsung harus kita bicarakan.
GS : Jadi berani membuka masalah, ya Pak Paul? Jadi menyelesaikan masalahnya, bukan kebosanannya.

PG : Betul, jadi kita langsung masuk ke permasalahannya.

GS : Apakah dengan menyelesaikan masalah itu, lalu kebosanan bisa sirna, Pak Paul?

PG : 50% sudah sirna.

GS : 50% teratasi karena kebosanan timbulnya juga dari problem itu tadi?

PG : Betul, tapi memang harus ada langkah-langkah lainnya untuk menambah kesuburan pernikahan kita.

(5) GS : Pak Paul, di dalam kebosanan yang mulai timbul, itu biasanya mudah sekali untuk orang ketiga masuk ke sana. Bagaimana hal itu bisa diatasi oleh pasangan suami istri yang salah satu mungkin atau bahkan dua-duanya sedang dilanda oleh kebosanan.

PG : Saya ingin mengutip satu bagian firman Tuhan, Pak Gunawan, yang mungkin bisa menjadi kesimpulannya juga. Ini adalah cerita tentang pencobaan Tuhan Yesus di gurun pasir. Yang dikatakan oeh si pencoba atau Iblis itu kepada Tuhan kita, dicatat di Matius 4 : 1 ini adalah "Jika Engkau Anak Allah perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti", tetapi Yesus menjawab "ada tertulis manusia hidup bukan dari roti saja tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah."

Yesus Tuhan kita sudah tentu dalam problem yang besar yaitu tidak makan setelah 40 hari 40 malam berpuasa. Dan jalan pintas yang tercepat adalah memerintahkan batu menjadi roti, dan Ia mampu melakukannya. Tapi Tuhan Yesus di sini memberikan suatu jalan keluar yang lebih panjang tidak sepintas seperti tadi itu, yakni mempercayakan problem hidup ini, kesulitan hidup ini kepada Tuhan. Sebab yang lebih penting daripada jalan pintas ini adalah menaati perintah Tuhan itu sendiri. Maka Dia berkata yang lebih penting adalah firman yang keluar dari mulut Allah sendiri. Bagi siapa yang sedang mengalami kejenuhan, kebosanan, godaan untuk mencicipi yang lebih besar di luar, luar biasa besarnya dan itu jalan pintas yang akan mengobati kejenuhan kita, akan menyemarakkan kehidupan kita, tapi masalahnya itu tidak keluar dari mulut Allah, itu keluar dari mulut si Iblis. Nasehat dari Tuhan adalah pentingkanlah yang keluar dari mulut Allah, memang jalannya lebih pintas tapi itu keluar dari mulut si Iblis. Jalan Allah mungkin lebih panjang tapi keluar dari mulut Allah sendiri.
GS : Jadi memang dibutuhkan ketaatan kepada firman Tuhan itu, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Supaya kita tidak mudah menyerah.
IR : Tidak jatuh dalam pencobaan.

PG : Ya betul.

IR : Soalnya seringkali kalau sudah jenuh, ada orang ketiga yang bisa menyegarkan seringkali orang itu jatuh ke situ, Pak Paul?

PG : Ya.

GS : Saya rasa pasti awalnya ini sesuatu yang baru, orang ketiga ini.

PG : Betul, dan dia akan lebih wangi karena kita ketemu dia hanya dalam beberapa waktu yang pendek itu, suasana yang memang sudah terkondisi untuk wangi dan baik ya.

GS : Saya percaya sekali bahwa firman Tuhan itu merupakan salah satu hal yang sangat penting di dalam menyuburkan kehidupan pernikahan itu Pak Paul, supaya jangan cepat bosan dan sebagainya, untuk mengokohkan ikatan pernikahan dari firman Tuhan. Jadi membaca firman Tuhan bersama-sama artinya sharing dari firman Tuhan antara suami istri itu penting sekali Pak Paul.

PG : Betul, akhirnya memang ketakutan atau takut kita akan Tuhanlah yang memandu kehidupan kita, kita tidak mengambil jalan pintas seperti yang tadi kita bicarakan sebelum siaran ini. Ada orng yang menanyakan melalui surat ya dalam ceramah saya.

Apakah boleh menceraikan pasangan saya karena hubungan seksual kami tidak lagi memuaskan.
GS : Mungkin mereka bosan dengan hubungan seksualnya itu.

PG : Betul, dan jawabannya tidak boleh. Sebab kalau boleh saya gunakan firman Tuhan ini manusia tidak hidup dari hubungan seksual saja, tapi dari firman Tuhan yang keluar dari mulut Allah sediri.

GS : Pengertian tentang pernikahan itu yang penting buat mereka. Jadi tidak menekankan pada hubungan seksualnya itu, ya Pak Paul?

PG : Betul, meskipun kebutuhan itu ada dan perlu dipenuhi, harapan kita yang tidak terpenuhi pasti melukai kita. Namun kita harus berjaga-jaga jangan terlalu cepat mengambil jalan pintas.

GS : Ya, saya percaya Tuhan akan menolong kita masing-masing untuk bisa keluar dari kejenuhan, dari kebosanan dan bergairah kembali di dalam hubungan pernikahan kita.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang kebosanan atau kejenuhan di dalam hidup pernikahan kita, dan perbincangan kita ini kami selenggarakan bersama Bp. Pdt. DR. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dari studio kami mengucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

PERTANYAAN KASET T 36 A

  1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya perasaan bosan atau jemu.....?
  2. Apa penyebab munculnya kejenuhan.....?
  3. Hal apa yang perlu dilakukan untuk memupuk hubungan pernikahan.....?
  4. Bagaimana mengenali tanda-tanda bahwa pasangan kita sedang bosan....?
  5. Bagaimana mencegah atau mengatasi masuknya orang ketiga di dalam kehidupan suami istri yang sedang mengalami kebosanan....?


10. Bagaimana Memahami Kebutuhan Pasangan dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T036B (File MP3 T036B)


Abstrak:

Memahami dan mengerti pasangan dengan memikirkan dan memperhatikan kepentingan pasangan lebih dari kepentingan diri sendiri.


Ringkasan:

Ada bagian Alkitab yang terkenal sekali dan saya rasa hampir seluruh pasangan Kristen pernah mendengar atau membaca ayat yang seperti ini:

"Hai istri, tunduklah kepada suamimu...."
"Hai suami, kasihilah istrimu....

Efesus 5:22-25

Tetapi yang ingin saya pertanyakan adalah bagaimana mengaplikasikan ayat ini di dalam kehidupan suami-istri. Karena kadang-kadang yang terjadi itu, bukan istri tunduk pada suami tapi menanduk suami, dan suami bukan mengasihi istri tetap membenci istrinya. Dan yang lebih parah lagi: Ada istri yang kurang menghormati suami sendiri tapi lebih menghormati suami orang lain. Suami bukannya mengasihi istri sendiri tapi istri orang lain. Dalam Efesus 5:33 tertulis: "Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya." Khusus untuk istri, Tuhan meminta agar mereka tunduk kepada suami.

Ada 2 aspek dalam kehidupan istri yang dapat menunjukkan rasa hormat atau tunduk kepada suami.

  1. Yang pertama adalah bagaimana istri itu berbicara kepada si suami.
    Jadi bagaimana cara kita berbicara sangatlah menunjukkan rasa hormat kita kepada suami, dan suami cenderung menyukai gaya bicara yang seperti itu.

  2. Yang kedua bagaimana istri bisa menghargai suami.

Tadi dikatakan, suami harus mengasihi istrinya seperti dirinya sendiri. Yang bisa dilakukan suami untuk mewujudkan rasa kasih kepada istri adalah dengan cara membuatnya merasa spesial atau istimewa.

  1. Membuat istri merasa spesial sebetulnya bersumber dari berapa banyak perhatian yang kita berikan. Kita tidak bisa berdalih dan berargumentasi: "Saya tetap mencintaimu dan kau adalah yang teristimewa dalam hidupku...." Tapi kenyataannya kita jarang berbicara dengan isteri, atau pada waktu dia berbicara kita tidak mendengarkan.

  2. Mengistimewakan istri di atas wanita atau orang lain, maupun hal lain merupakan hal yang penting sekali. Saingan itu tidak harus berbentuk wanita lain, saingan itu bisa berbentuk pekerjaan atau hobby. Waktu kita dahulukan dia dan berkata: "Ya tidak apa-apa, saya lepaskan yang lain sebab saya mau mengutamakan kamu." Itu memberikan suatu pesan yang sangat jelas kepada istri kita bahwa dia istimewa.

  3. Mengerti kelemahan istri. Sebetulnya isteri mempunyai kebutuhan mendasar, yaitu ingin suami bisa menerima kelemahannya. Kelemahan yang saya maksud disini adalah, wanita itu cenderung mudah beremosi. Yang dibutuhkan oleh wanita atau isteri adalah pengertian si suami akan emosinya. Waktu dia marah, tidak berarti dia membenci suaminya. Waktu dia bicara dengan nada tinggi, tidak berarti dia menggurui si suami. Jadi yang dibutuhkan adalah, terimalah aku, jangan tolak aku karena aku mempunyai perasaan-perasaan seperti ini.

Tuhan menciptakan kita baik suami maupun istri masing-masing mempunyai kebutuhan. Dan kita diberikan pasangan supaya pasangan bisa saling mengisi kebutuhannya. Kita semua terpanggil untuk melaksanakan firman Tuhan, kalau kita keluar dari apa yang Tuhan tetapkan, pasti akan menimbulkan banyak masalah di dalam kehidupan rumah tangga kita.

Filipi 2:4 "...dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." Dalam ayat ini rasul Paulus meminta agar kita tidak hanya memikirkan kepentingan diri kita saja. Ini harus ditanamkan dalam setiap pernikahan. Harus.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana memahami kebutuhan dari pasangan di dalam hubungan pernikahan. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, ada bagian dalam Alkitab yang terkenal sekali. Saya rasa hampir seluruh pasangan Kristen pernah mendengar atau membaca ayat itu yang mengatakan kepada suami, Tuhan memerintahkan agar mengasihi istrinya, sedang kepada istri Tuhan mengatakan untuk tunduk kepada suaminya, itu yang terlintas di pikiran saya Pak Paul, lengkapnya mungkin nanti Pak Paul bisa bacakan. Tetapi yang ingin saya pertanyakan adalah bagaimana mengaplikasikan ayat ini di dalam kehidupan suami istri, karena kadang-kadang yang terjadi itu, bukan istri tunduk pada suami tapi menanduk pada suaminya dan bukan suami mengasihi tapi bisa membenci istrinya. Kenyataannya begitu Pak Paul.

PG : Dan lebih parah lagi suami bukan mengasihi istri, tapi mengasihi istri orang lain.

GS : Istri orang lain, padahal kita terpanggil bukan hanya membaca dan menghafal ayat itu tetapi melakukan di dalam kehidupan rumah tangga kita, Pak Paul?

PG : Kebalikannya juga betul, Ibu Ida dan Pak Gunawan, yaitu ada istri yang kurang menghormati suami sendiri, lebih menghormati suami orang lain. Ayat yang tadi Pak Gunawan kutip, diambil dai Efesus 5 : 33 yang berbunyi, "bagaimanapun juga bagi kamu masing-masing berlaku kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya."

Tadi Pak Gunawan menanyakan secara konkretnya bagaimanakah kita bisa mengaplikasikan firman Tuhan ini. Khusus untuk istri ya, Tuhan meminta agar mereka tunduk kepada suami. Saya bisa sekurang-kurangnya mengidentifikasi dua aspek dalam kehidupan yang dapat menunjukkan rasa hormat atau tunduk mereka kepada suami. Yang pertama adalah bagaimana istri itu berbicara kepada si suami. Kadang-kadang saya perhatikan ada masalah-masalah yang timbul bukan karena perbedaan isi percakapan atau prinsip, yang menjadi problem adalah bagaimana si istri mengucapkan atau menyampaikan permintaannya itu. Suami sebagai pria peka sekali akan cara bagaimana si istri menyampaikan pendapatnya, nah kalau istri bisa mengungkapkan dirinya dengan cara yang pas kepada si suami, suami cenderung untuk menerimanya.
GS : Contohnya bagaimana Pak Paul?

PG : Contohnya adalah ini, misalkan si istri itu meminta supaya anak dijemput. Adakalanya tanpa disadari si istri misalnya memintanya dengan, "kamu jangan lupa jemput anak- anak." Misalkan sja hal itu kurang disukai oleh si suami karena apa? Karena ada suami-suami atau pria-pria yang susah sekali mendengar instruksi dari pihak wanita.

GS : Nadanya itu nada memerintah?

PG : Betul, ini adakalanya memang bagian dari kehidupan wanita, kita tidak bisa 100% mengatakan ini salah wanita, sebab wanita adalah seorang pemberi instruksi dalam perannya sebagai seoran mama, seorang ibu dan bagaimanapun juga mengidentifikasi diri dengan mamanya dulu.

Dan mama yang dikenalnya adalah mama yang memberikan instruksi, mamalah yang seringkali memberikan instruksi kepada anak-anak jadi itulah yang dikenalnya dan diserapnya. Waktu dia sudah besar, ada kecenderungannya juga menggunakan metode bicara yang serupa seperti dia berbicara kepada anaknya, dia perlakukan itu juga kepada suaminya. Suami atau pria cenderung kurang bisa tanggap dan menerima cara bicara yang bernada instruksi dari pihak istrinya.
IR : Sebaiknya bagaimana Pak Paul, cara penyampaiannya, biasanya minta tolong ya?

PG : Bagus sekali Ibu Ida, jadi salah satu contohnya adalah itu, bukannya pria ini gila hormat. Tapi pria itu membutuhkan hormat, tidak gila hormat, pada umumnya hanya membutuhkan hormat. Jai dengan memberikan permintaan tolong itu saya kira menolong sekali si suami.

Atau misalkan contoh yang lainnya lagi adalah dalam pengambilan keputusan, adakalanya memang suami tidak seberhikmat istrinya kita harus akui itu ya. Adakalanya suami tidak melihat hal-hal yang dilihat oleh istri dalam pengambilan keputusan, ada baiknya si istri tidak mengatakan kamu harus begini-begini, kamu masa tidak melihat ini, kamu seharusnya sudah pikirkan ini. Perkataan-perkataan dengan nada seperti itu cenderung membuat si suami defensif, menutup diri, dan malahan ingin membenarkan diri dan yang terjadi selanjutnya adalah pertengkaran, sebab si suami itu tidak menerima tanggapan atau usulan si istri. Si istri marah karena ia memang memberikan usulan yang baik. Apa yang bisa dilakukan dalam situasi seperti ini, saya menganjurkan agar si istri menggunakan kalimat pilihan, daripada memberikan satu pilihan kamu kenapa begini, kamu 'kan seharusnya pikir ini. Kita berkata menurutmu bagaimana ya, apa yang baik kita kerjakan ini, ini, ini atau yang ini, ini dulu yang kita kerjakan. Jadi kita memberikan dia 2,3 pilihan untuk memilih. Misalkan si suami itu egonya sangat besar dan tidak mau mengakui hikmat dari si istri. Dia mungkin tidak menjawab, dia mungkin mempertahankan pendapatnya tapi sekurang-kurangnya 3 pilihan yang diberikan oleh si istri itu akan diingatnya, dan mungkin akan dia ambil nanti, akan dia terima dan akan dia lakukan. Dan karena si istri memberikan misalnya 2 atau 3 pilihan, waktu si suami melakukan salah satu di antaranya si suami tidak terlalu merasa terhina.
GS : Tidak merasa diperintah atau didikte ya, Pak Paul?

PG : Betul, kalau dia menerima satu saja pilihan yang diberikan oleh si istri, si suami akan merasa terhina sebab saya itu benar-benar mengikuti nasihat istri saya. Tapi kalau ada 2 atau 3 plihan, dia merasa lebih baik, ada ruang gerak, saya memilih sendiri misalnya.

IR : Putusan dari sang suami ya?

PG : Sang suamilah sekarang yang merasa dia yang mengambil keputusan tersebut. Jadi sekali lagi bagaimana kita berbicara sangatlah menunjukkan rasa hormat kita kepada suami, dan suami cenderng memang menyukai gaya bicara yang seperti itu.

(2) GS : Sebaliknya dikatakan suami itu harus mengasihi istrinya, dikatakan tadi sebagaimana Pak Paul bacakan, seperti mengasihi dirinya sendiri bahkan.

PG : Salah satu hal yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan rasa kasih kepada istri adalah dengan cara membuatnya merasa spesial, merasa istimewa, Pak Gunawan, itu salah satu intinya saya kia.

GS : Contoh konkretnya Pak Paul?

PG : Membuat orang merasa spesial sebetulnya bersumber dari perhatian, berapa banyak perhatian yang kita berikan. Kita tidak bisa berdalih, berargumentasi, saya ini tetap mencintaimu dan kauyang spesial dalam hidupku, tapi jarang berbicara dengan dia, tidak memperhatikan kebutuhannya, ulang tahunnya dilupakan, tidak mendengarkan dia pada waktu dia berbicara kepada kita, jadi sudah pasti hal-hal seperti itulah yang diminta oleh si istri.

Misalkan saya berikan contoh ini yang sangat-sangat segar. Kemarin kami hendak menonton video film drama. Istri saya ini senang dengan film drama, jadi sesekali saya meminjam film-film drama supaya kami berdua bisa menikmatinya bersama setelah anak-anak tidur. Sudah kira-kira jam setengah sebelas malam hampir jam sebelas kami baru sempat nonton di televisi kami, di video kami. Tiba-tiba kami dapat telepon dari seseorang yang membutuhkan pertolongan, dan memang dia sangat butuh sekali pertolongan. Jadi istri saya pun setuju pergi agar menolong orang tersebut. Setelah saya pergi mungkin saya pulang sekitar 45 menit kemudian atau hampir satu jam kemudian, sudah hampir jam 12 malam film itu hampir habis. Jadi pada waktu saya pulang, saya lihat dia masih menonton, saya tidak mau mengganggu dia, jadi saya katakan saya ingin tidur di kamar anak-anak saya, sebab saya tidak bisa tidur di kamar saya, berisik dengan adanya video itu. Film itu hampir habis, akhirnya dia berkata, kenapa kamu tidak mau berbicara dengan saya, tidak mau duduk di sebelah saya. Saya mengatakan saya ini justru mau ke kamar anak-anak supaya tidak mengganggu kamu, tapi dia mengatakan kamu 'kan tidak bicara apa-apa, pulang langsung diam, langsung mau tidur, tadi kita sudah berjanji untuk nonton sama-sama, saya menantikan engkau, sebetulnya berat bagi saya melepaskan engkau pergi, tapi kini kamu sudah kembali malah tidak mau duduk di sebelah saya; memang jelas terjadi kesalahpahaman. Saya mau dengan diam-diam pindah kamar karena tidak mau mengganggu dia, saya kira dia lagi nonton ya jangan diganggu.
GS : Padahal kebutuhannya lain.

PG : Kebutuhannya bukan nonton, omong-omong, jadi kebersamaan itu. Jadi sekali lagi itulah yang diminta oleh istri yaitu perhatian, kebersamaan. Dan memang bagi pria hal ini sepertinya hal kcil, hal sepele, tapi justru itu yang akan membuat dia istimewa.

IR : Memang istri, Pak Paul, kalau diperhatikan dan suaminya itu romantis, itu dibutuhkan setiap istri, pengakuan setiap istri itu demikian, Pak Paul?

PG : Saya sadari bahwa memang istri itu membutuhkan suami yang romantis, tapi kenyataannya adalah di dunia ini pria yang romantis sebetulnya tidak banyak. Kebanyakan pria itu pragmatis, pragatis artinya berpikir secara rasional, yang bermanfaat bagi saya itulah yang saya lakukan, yang tidak bermanfaat itu buang waktu, jadi itu benar-benar sangat bertentangan dengan kebutuhan istri.

Salah satu hal lain lagi yang saya pikir, Pak Gunawan dan Ibu Ida, tentang mengistimewakan istri adalah mengistimewakan dia di atas wanita atau orang lain atau hal lain, itu penting sekali bagi seorang istri. Saingan itu tidak harus berbentuk wanita lain, saingan bisa berbentuk pekerjaan, hobby. Waktu kita dahulukan dia dan berkata ya tidak apa-apa saya lepaskan yang lain sebab saya mau mengutamakan dia, itu memberikan suatu pesan yang sangat jelas kepada istri kita bahwa dia istimewa. Jadi memang keistimewaan itu harus diwujudkan dalam bentuk yang nyata, kalau kita katakan kamu istimewa, kamu spesial tapi kita perlakukan dia persis seperti kita memperlakukan orang lain, maka tidak ada istimewanya. Ini juga saya pelajari dari pernikahan saya sendiri. Terus terang awal-awal pernikahan karena saya banyak teman dan lain sebagainya, saya memperlakukan semua orang sama. Saya masih ingat istri saya berkata, saya tidak mau engkau perlakukan sama seperti orang lain, saya minta engkau perlakukan aku berbeda, sebab aku istrimu. Saya baru disadarkan, ya betul keistimewaannya hanya ada dalam perbandingan dengan perlakuan saya terhadap orang lain.
GS : Tapi 'kan dikatakan oleh firman Tuhan mengasihi istri itu seperti dirinya sendiri, pada hal kita belum tentu punya kebutuhan seperti istri kita itu Pak Paul? Dalam hal diperhatikan, dan apa mungkin kita tidak terlalu pusing dengan itu?

PG : Betul pada akhirnya Pak Gunawan, kita harus mementingkan yang dianggap penting olehnya. Ini sebetulnya dua belah pihak ya, bukan saja istri. Tapi saya pikir suami juga sama, suami inginistri memperhatikan hal yang penting bagi suami pula, hal-hal kecil, memang macam-macam ya.

Misalkan ada suami yang senang handuk itu langsung ditaruh dengan rapi, waktu dia minta kepada istrinya 2, 3 kali diminta tidak dilakukan dia merasa jengkel. Itu penting bagi si suami. Istrinya berkata itu hal kecil bisa mengambil sendiri, jadi sekali lagi betapa pentingnya hal itu.
IR : Dan itu membutuhkan pengorbanan ya Pak Paul, seperti ada kasus ya kesaksian juga dari seorang suami, istri yang memperhatikan hobby suaminya. Sekalipun si istri tidak menyukai, tapi dia mau mementingkan suaminya. Misalnya nonton sepak bola, si istri tidak senang tapi karena dia mengasihi dan menghormati suaminya dia menemani, membuatkan makanan kecil, jadi hal-hal itu Pak Paul yang membuat si suami itu dihargai.

PG : Betul sekali, itu membawa kita kepada bentuk yang lain untuk menyatakan tunduk atau hormat kepada suami, yaitu bagaimana istri bisa menghargai suami, tidak bisa tidak wujud dari tunduk tau hormat adalah dalam hal menghargai.

Salah satu bentuknya tadi ya, Bu Ida sudah ceritakan, menghargai bisa diutarakan dengan mementingkan hal yang penting bagi si suami, waktu dia melakukan itu ya nonton sepak bola bersama suaminya, tidak bisa tidak, si suaminya merasa sangat dihargai.
IR : Tapi Tuhan itu memberkati Pak Paul, akhirnya si istri itu juga ikut menikmatinya, akhirnya dia suka padahal sebelumnya tidak suka.

PG : Betul, jadi akhirnya memperkaya wawasan si istri juga. Demikian juga kalau suami memperlakukan hal yang sama kepada istrinya.

IR : Akhirnya terbalas, dulu suaminya tidak senang kalau istri itu hobby menanam tanaman, tapi karena si istri itu mendahului, mementingkan kepentingan si suami, akhirnya si suami juga ingin membalasnya. Jadi hobby si istri juga dipenuhi, dibelikan tanaman, jadi akhirnya dia yang membelikan tanaman dan si suami juga menikmati bahwa tanaman itu juga indah. Hubungan itu jadi bagus, semakin baik, jadi ada pengorbanan di antara keduanya.

PG : Betul, dan kalau sudah tahap ini pernikahan tersebut juga menjadi pernikahan yang sangat kuat sebetulnya, karena suami istri tidak lagi berputar-putar pada soal kebutuhan, tapi berputarpada yang lebih tinggi yaitu hal-hal yang menyenangkan masing-masing.

Jadi melakukan hal yang bukan hanya menyenangkan pasangannya, yang sebetulnya kalau tidak adapun tidak apa-apa, kalau tidak ditemani nonton sepak bola ya tidak apa-apa, kalau tidak dibelikan tanaman juga tidak apa-apa. Tapi karena hubungan ini sudah begitu baik sehingga sekarang kebutuhannya meningkat kepada hal-hal yang diidamkan, yang bonus-bonus dan itu akan sangat memperkaya hubungan pernikahan tersebut.
(3) GS : Karena saya pikir memang betul apa yang Ibu Ida katakan, setiap suami akan merasa senang kalau istrinya itu mau melayani. Bukan dalam hal tertentu tetapi pada semua segi kehidupannya, Pak Paul. Memang sulit seorang suami mau mengatakan, kamu harus melayani saya, nanti dia tersinggung dipikirnya pelayan, tapi bagaimanapun juga sebagai seorang suami itu punya kebutuhan untuk dilayani oleh istrinya.

PG : Betul, dan itu akan membuat si suami merasa dihargai, ya Pak Gunawan, waktu istri melayani suami.

GS : Tapi itu boleh dikatakan dengan spontan, terus terang, dan istri bisa tersinggung ya Pak Paul?

PG : Betul, jadi sekali lagi masalah komunikasinya, mengutarakannya. Adakalanya suami itu menuntut untuk dilayani, tapi karena tidak berani berterus terang, apa kebutuhannya yang dia inginka, keluar dari mulutnya justru dalam bentuk perintah.

Kamu lakukan, jangan banyak tanya ini yang aku minta, masa kau tidak tahu apa yang aku butuhkan. Nada-nada perintah seperti itu membuat istri merasa sebagai pelayan, dan akhirnya tidak bisa memberikan secara spontan dan suka rela. Yang lainnya lagi yang bisa dilakukan oleh suami ya dalam wujudnya mengasihi si istri selain dari membuat si istri merasa spesial adalah mengerti kelemahan istri. Istri itu sebetulnya mempunyai kebutuhan mendasar yaitu ingin suami bisa menerima kelemahannya. Kelemahan yang saya maksud di sini adalah wanita itu cenderung mudah beremosi, karena emosi wanita lebih peka dibandingkan pria. Oleh sebab itulah pada umumnya, ya tidak semuanya, pada umumnya wanita lebih bisa mengalami kelabilan, naik turun emosinya dan kebanyakan wanita menyadari hal ini. Ini adalah sesuatu yang seharusnya lebih baik, lebih diperbaiki, lebih stabil. Yang dibutuhkan oleh wanita atau istri adalah pengertian si suami akan emosinya. Bahwa waktu dia marah, tidak berarti dia membenci si suami, waktu dia bernada tinggi, tidak berarti dia sedang menggurui si suami, jadi yang dibutuhkan adalah "terimalah aku, jangan tolak aku karena aku mempunyai perasaan-perasaan seperti ini". Itu sebetulnya kebutuhan pokok istri, kalau si suami bisa memberikan itu, aku menerimamu apa adanya, aku tahu bahwa waktu engkau berkata begitu, engkau tidak benar-benar bermaksud seperti itu, itu karena emosimu saja. Suami yang bisa memberikan perlakuan seperti itu akan membuat istrinya sangat aman. Dia tahu suaminya itu mencintai dia dan hubungan ini sangat kuat. Jadi apapun yang dilakukan, suaminya akan menerima dia.
GS : Jadi suami bukan saja dituntut untuk menerima kelemahan istri, tapi juga melindungi istri itu. Memang sifat-sifatnya dibuat seperti itu, Pak Paul? Jadi istri yang lemah lembut dan sebagainya agar suami memberikan perlindungan.

PG : Betul sekali, pengayoman itu akan membuat istri merasa sangat tenang dan aman. Tapi adakalanya istri kebablasan akhirnya tidak tepat dalam mengutarakan kebutuhannya ini, bukannya dia megakui terus terang inilah diri saya, tapi saya tidak bermaksud seperti itu atau saya tadi beremosi.

Yang istri lakukan adalah dia meminta si suami untuk seolah-olah tidak boleh menuntut, jangan menuntut apa-apa.
GS : Tapi istri boleh menuntut.

PG : Tapi istri boleh menuntut, itu kadangkala yang terjadi ya, si istri akhirnya benar-benar menutup pintu kepada si suami untuk menuntut atau meminta apapun. Karena apa? Karena si istri measa dia tidak bisa mencapai standar yang diharapkan oleh si suami, dia merasa sangat tidak aman.

Daripada dia dituntut lagi dan dia tambah stres tidak bisa memenuhi tuntutan tersebut, dia benar-benar menutup mulut. Berkata kepada suaminya jangan menuntut-nuntut lagi, jangan minta macam-macam lagi, sudah ini saya apa adanya, mau terima baik tidak mau terima ya sudah. Nah sebetulnya sekali lagi yang dibutuhkan oleh si istri adalah rasa aman, tapi karena akhirnya masalah dalam keluarga, rasa aman itu dia peroleh dengan cara menutup mulut si suami.
GS : Mungkin bukan hanya menutup mulut saja, pergaulan si suami pun bisa dibatasi Pak Paul supaya tidak terlalu sering keluar rumah atau sibuk dengan kegiatan di luar. Lalu seolah-olah si istri ini agak mengekang suaminya.

PG : Betul, betul supaya rasa amannya lebih terjamin.

GS : Apakah yang diperlukan begitu, lalu si suami malah mengasihi istrinya, Pak?

PG : Cenderungnya justru tidak, justru si suami tidak memperlakukan istri dengan istimewa dan spesial, nah itu berkaitan. Jadi akhirnya si suami justru memperlakukan istri sebagai orang yangjahat.

Tapi adakalanya memang ada problem juga dari pihak si suami yang berkaitan dengan kebutuhannya tadi itu. Tadi sudah kita sebutkan memang pria itu ingin sekali dihargai dan dihormati; ini berkaitan dengan perasaan bisa, mampu, sanggup. Pria adalah makhluk yang butuh merasa bisa, dia sangat malu kalau dia tidak bisa, apalagi di depan istrinya. Akhirnya kalau dia tidak mantap, tidak aman, yang keluar dari mulutnya adalah "tutup mulut kamu, jangan beritahu apa-apa, aku bisa, aku mengerti, ini urusan pria." Nah itu contoh-contoh yang mungkin kita pernah dengar, "ini dunia laki-laki, kamu tidak mengerti dagang, jangan banyak mulut" dan sebagainya. Sebetulnya yang dibutuhkan oleh suami adalah perasaan aku bisa, jadi sekali lagi perasaan-perasaan atau kebutuhan-kebutuhan alamiah dalam pernikahan yang tidak sehat benar-benar menjadi hancur. Destruktif sekali, saling merusakkan.
(4) IR : Nah Pak Paul, suami yang selalu melibatkan misalkan dalam kariernya, keputusannya selalu melibatkan si istri berarti itu juga memperlakukan istrinya spesial, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, tepat sekali orang yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan akan merasa dihargai, itu betul.

IR : Sekalipun keputusannya nanti diambil oleh sang suami tapi pokoknya diutarakan, dibicarakan, istri sudah sangat merasa dihargai, ya Pak Paul?

PG : Betul, ini adakalanya memang yang dianggap atau dimiliki oleh para pria yaitu pria adakalanya menganggap dia itu di atas istri. Tuhan memang meminta pria itu menjadi kepala, tapi bukanlh kepala yang searah ya, yang hanya memberikan perintah dari atas ke bawah, tidak sama sekali.

Sebab yang Tuhan inginkan adalah hubungan cinta, hubungan kasih-mengasihi bukan hubungan kerja. Kadangkala pria yang mempunyai konsep yang keliru, seperti hubungan kerja, saya bos engkau bawahan. Engkau harus menuruti perintah, adakalanya pria yang rasanya terdesak menggunakan senjata Alkitab. Engkau harus taat kepada suamimu, engkau menjadi istri yang tidak taat. Tapi sebetulnya ini bukan hubungan kerja, ini hubungan kasih, dan dalam hubungan kasih memang tidak ada yang menggurui, yang ada adalah saling menghormati, itu sebetulnya yang harus terjadi dalam pernikahan Kristen.
GS : Karena di dalam Tuhan menciptakan kita, baik suami maupun istri masing-masing mempunyai kebutuhan, ya Pak Paul. Dan diciptakan pasangan, dan diberikan pasangan supaya pasangan itu bisa mengisi kebutuhannya dan sebaliknya. Saya rasa begitu.

PG : Betul sekali.

GS : Jadi menggarisbawahi firman Tuhan yang tadi Pak Paul bacakan dari Efesus itu tentunya kita semua terpanggil untuk betul-betul melaksanakan firman Tuhan dalam kehidupan suami istri. Karena kalau kita keluar dari apa yang Tuhan tetapkan ini, pasti akan menimbulkan banyak masalah di dalam kehidupan rumah tangga kita.

PG : Betul dan saya teringat akan satu ayat di Pilipi 2, di mana Rasul Paulus meminta agar kita tidak hanya memikirkan kepentingan diri kita saja. Nah ini yang harus ditanamkan dalam setiap ernikahan.

Harus kita akui bahwa kecenderungan kita memikirkan kepentingan kita yang tidak terpenuhi, yang dilanggar, dan kurang mementingkan kepentingan pasangan kita.
GS : Jadi memang kalau mau belajar berkorban, di dalam rumah tangga itu Pak Paul, di dalam hubungan suami istri kita betul-betul mewujudkan, mempraktekkan kasih yang nyata itu.

PG : Betul.

IR : Mengutamakan kepentingan orang lain, terutama keluarga ya Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Jadi saya rasa demikianlah perbincangan kita dalam kesempatan ini Pak Paul, kita percaya bahwa Tuhan pasti akan menolong setiap anak-anaknya yang mau sungguh- sungguh melakukan kebenaran firman Tuhan ini.

Dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang bagaimana kita memenuhi kebutuhan pasangan kita suami istri. Dan perbincangan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Melalui kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih untuk surat-surat, saran-saran serta pertanyaan yang ditujukan kepada kami. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami bertiga mengucapkan sampai berjumpa lagi pada acara TELAGA yang akan datang.

PERTANYAAN KASET T 36 B

  1. Bagaimana mengaplikasikan Efesus 5 bahwa istri harus tunduk kepada suami?
  2. Bagaimana mengaplikasikan Efesus 5 bahwa suami harus mengasihi istri seperti dirinya sendiri?
  3. Bagaimana cara mengutarakan keinginan kita sebagai suami terhadap istri, bahwa sesungguhnya suami senang dilayani oleh istri?
  4. Melibatkan istri dalam setiap pengambilan keputusan, karier, apakah merupakan wujud dari perlakuan istimewa dari seorang suami?


11. Topeng dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T049A (File MP3 T049A)


Abstrak:

Topeng pernikahan di sini merupakan diri yang kita sajikan kepada pasangan hidup kita, sebab kita berkeyakinan bahwa itulah diri yang diharapkan oleh pasangan kita.


Ringkasan:

Topeng di sini bukanlah sesuatu yang negatif, topeng bukanlah untuk menyembunyikan diri, tapi topeng lebih merupakan diri yang kita sajikan kepada pasangan hidup kita, sebab kita berkeyakinan bahwa itulah yang diharapkannya.

Harapan saya, dalam pembahasan ini kita bisa mengerti bahwa:

  1. Topeng adalah sesuatu yang wajar asal bukan dengan tujuan untuk memanipulasi atau menipu pasangan kita.

  2. Kita harus siap menerima diri pasangan kita yang berubah, yang tidak sama dengan seperti yang kita kenal sebelumnya.

Tujuan seseorang menggunakan topeng pada awal pernikahannya: Sebuah upaya untuk mengesankan hati pasangan kita, kita akan melakukan hal-hal yang akan membuat dia tertarik kepada kita. Sudah tentu hal-hal yang akan membuat dia tertarik kepada kita adalah hal-hal yang dia sukai, yang memang menjadi nilai hidupnya. Biasanya di situlah fokus perhatian kita pada awal perkenalan. Jadi sekali lagi topeng di sini bukanlah upaya untuk menyembunyikan diri, tapi untuk menyajikan diri sesuai dengan harapan pasangan kita. Kalau boleh saya pakai istilah restoran, kita berusaha menyajikan atau memberi makanan sesuai dengan pesanan atau apa yang diinginkannya. Saya kira itu memang menjadi bagian alamiah dalam perkenalan antara 2 pribadi.

Dengan memakai topeng walaupun itu positif, pasti akan menimbulkan resiko atau kekurangan yang terjadi pada diri seseorang atau pasangan itu. Pada intinya ada dua resiko yang timbul:

  1. Yang pertama, kita mengabaikan hal-hal yang tidak kita sukai yang ada pada pasangan kita.

  2. Yang kedua, kita akhirnya gagal menyoroti kebutuhan kita sendiri karena fokus perhatian lebih tertuju pada pasangan kita.

Perlu diakui bahwa perlahan-lahan topeng yang kita pakai akan dilepaskan juga. Lepasnya topeng adalah merupakan hasil interaksi dari kedua belah pihak. Di mana kedua-duanya akhirnya melepaskan topeng dan ini bukanlah proses satu arah. Kita memunculkan keinginan dan kebutuhan kita, pasangan mulai mengenal kita yang sebenarnya.

Beberapa langkah untuk mengatasi hal-hal yang mengecewakan karena memakai topeng:

  1. Seseorang harus belajar menyadari dan mengemukakan kebutuhannya.

  2. Semasa masih muda dan belum memasuki pernikahan perlu persiapan. Seseorang harus lebih berani dan jujur dengan dirinya, dan yakin bahwa jodoh itu benar-benar di tangan Tuhan, dan kalau memang ini memang pasangan yang tepat untuknya, jangan takut kehilangan pasangan tersebut.

  3. Kita perlu belajar untuk menerima keberadaan pasangan kita.

Kalau dalam pernikahan pasangan itu, kedua-duanya gagal melepaskan topengnya maka hubungan mereka akan terhenti dan tidak bertumbuh lagi.

Ini akan berpengaruh kepada anak-anak mereka, karena anak-anak akan melihat:

  1. Hubungan orang tua mereka terlalu ideal. Tidak riil sama sekali, di mana keduanya selalu cocok dan terus mencocokkan diri dalam peranan tersebut.

  2. Orang tua mereka selalu menghindarkan atau membatasi diri dari topik-topik yang terlalu dalam karena kalau terlalu intim membicarakan topik-topik tertentu akan terjadi ketidak cocokan dan pertengkaran.

Mazmur 41:2-3a bisa kita jadikan pegangan: "Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah! TUHAN akan meluputkan dia pada waktu celaka. TUHAN akan melindungi dia dan memelihara nyawanya, Sehingga ia disebut berbahagia di bumi;"

Alkitab menjelaskan bahwa salah satu natur Allah yang terutama adalah penuh belas kasihan. Waktu kita melihat pasangan kita berubah dan menunjukkan kelemahannya, kebutuhannya, dan sebagainya, maka kita harus menyambut dengan belas kasihan. Kebalikannya waktu kita menyadari kebutuhan kita dan menginginkan pasangan kita untuk memperhatikan dan memenuhinya, jangan kita mengutarakannya dengan sombong atau ketinggian hati, apalagi dengan paksaan, supaya dia mengerti kita dan memberikan apa yang kita butuhkan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan memberi tema pada perbincangan kami yaitu Topeng Pernikahan. Kami percaya Anda semua ingin tahu apa yang akan kami bicarakan pada saat ini, karenanya dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul sendiri menetapkan tema yang sangat menarik untuk perbincangan kita pada saat ini yaitu tentang topeng pernikahan. Tentunya para pendengar acara ini ingin tahu lebih jauh sebenarnya melalui judul ini apa yang hendak kita perbincangkan Pak Paul?

PG : Yang pertama saya harus memberikan penjelasan bahwa topeng di sini bukanlah sesuatu yang negatif, topeng bukanlah upaya untuk menyembunyikan diri, tapi topeng lebih merupakan diri yang kit sajikan kepada pasangan hidup kita, sebab kita berkeyakinan bahwa itulah diri yang diharapkannya.

Nah, saya kira hampir semua pasangan atau boleh dikatakan semua pasangan pada awal-awal perkenalan mereka akan memiliki topeng di dalam hubungan mereka. Nah, dengan berjalannya waktu tidak bisa tidak topeng itu akan copot. Harapan saya adalah dalam bincang-bincang ini kita bisa mengerti bahwa, pertama topeng adalah sesuatu yang wajar asal bukan dengan tujuan untuk memanipulasi atau menipu pasangan kita. Dan yang kedua, kita mesti siap menerima diri pasangan kita yang berubah, yang tidak sama dengan seperti yang kita kenal sebelumnya dan bahwa perubahan ini pada akhirnya kalau bisa kita selesaikan, justru akan memperkuat dan memperkaya hubungan nikah kita.
GS : Ya dalam hal ini Pak Paul karena kita bicara tentang topeng itu sesuatu yang di luar diri kita, apakah mungkin juga pada awal pernikahan itu orang menggunakan bermacam-macam topeng. Tadi Pak Paul katakan topeng itu tidak selamanya negatif tapi pada lain kesempatan dia memakai topeng yang justru negatif, itu bisa terjadi atau tidak Pak Paul?

PG : Bisa, jadi akan ada orang yang memang dengan sengaja menutupi dirinya atau menyembunyikan dirinya dan menampilkan diri yang sama sekali bukanlah dirinya dengan satu tujuan atau mendapatkangadis atau pria yang diinginkannya itu.

Jadi ada yang memang tidak berhati lurus seperti itu.
(2) GS : Nah, kita bicara yang positif Pak Paul karena tadi dari awalnya kita bicara topeng yang baik. Nah sebenarnya apa tujuan seseorang menggunakan topeng pada awal pernikahannya?

PG : Biasanya kita ini mulai menyadari apa yang diinginkan oleh pasangan kita, apa yang dihargainya, dan apa yang disukainya. Jadi pada masa awal ini kita akan cukup sibuk dengan upaya untuk megesankan hati pasangan kita, kita akan melakukan hal-hal yang membuat dia tertarik kepada kita.

Nah, sudah tentu hal-hal yang akan membuat dia tertarik kepada kita adalah hal-hal yang dia sukai, hal-hal yang memang menjadi nilai hidupnya, nah biasanya di situlah fokus perhatian kita pada awal perkenalan.
IR : Apa pasti Pak Paul, awal pernikahan seseorang itu pasti mereka itu memakai topeng?

PG : Saya kira ya, jadi sekali lagi topeng di sini bukanlah upaya untuk menyembunyikan diri, tapi diri yang kita sajikan, yang kita berikan pada pasangan kita, kalau saya boleh gunakan istilah estoran atau makanan sesuai dengan pesanannya yang diharapkan apa, itulah yang akan kita berikan kepadanya.

Jadi saya kira memang itu menjadi bagian alamiah dalam perkenalan antara 2 orang.
IR : Jadi itu suatu pengorbanan juga, Pak Paul?

PG : Maksudnya?

IR : Maksudnya kalau orang yang memakai topeng itu 'kan maksudnya harus berkorban untuk menyajikan pada pasangannya.

PG : Betul sekali, jadi ada harga yang harus dibayar, jadi ada hal-hal yang akan dia korbankan nah sudah tentu yang dia akan korbankan di sini adalah misalnya dia akan mengorbankan kebutuhannya dia tidak akan memfokuskan pada dirinya dan kebutuhannya, namun lebih memfokuskan pada kebutuhan pasangannya, jadi itu harga yang harus dibayarnya.

GS : Apakah hal itu tidak dilakukannya semasa mereka berpacaran Pak Paul?

PG : Saya kira dalam pasangan, pada pasangan yang sehat hal ini sudah mulai dilakukan, jadi setelah mulai berkenalan beberapa bulan, proses pencopotan topeng itu mulailah berjalan namun tidak bsa tuntas karena memang belum tinggal serumah.

Waktu sudah tinggal serumah, saya kira situasi tinggal serumah itu lebih mempercepat copotnya topeng.
GS : Sebetulnya kalau kita melihat dari sisi pasangannya Pak Paul, apakah pasangannya juga mengharapkan partnernya itu memakai topeng-topeng atau sebenarnya keinginannya yang polos saja.

PG : Saya kira secara alamiah kita akan mempunyai dua sisi atau dua kubu yang dalam hal ini, di satu pihak kita menginginkan pasangan kita menjadi dirinya sendiri, memberikan apa adanya kepada ita, tapi saya kira di pihak lain sebagai manusia kita sesungguhnya lebih menginginkan yang kita sukai.

Jadi kalau ada bagian diri dia yang memang apa adanya namun tidak kita sukai saya kira kita cenderung untuk tidak mau melihat seperti itu dan harapan ini akan tersirat dan dikomunikasikan oleh kita kepadanya bahwa sesungguhnya kita tidak begitu senang melihat dirinya yang memang apa adanya itu, sebab tidak sesuai dengan standar atau selera kita.
IR : Jadi topeng ini akhirnya juga membentuk suatu jati diri dalam relasi hubungan suami istri Pak Paul?

PG : Tepat sekali bu Ida, jadi waktu seseorang mulai memainkan peran sesuai dengan yang diharapkan pasangannya peran itu lama kelamaan menjadi bagian dirinya. Sebagai contoh seorang gadis yang engetahui bahwa calon suaminya menginginkan istri yang penurut, nah dia akan memainkan peran istri yang penurut kalau dia juga sadar suaminya menginginkan seorang istri yang konvensional, yang lebih sering di dapur, masak, nah dia mungkin akan banyak mencurahkan waktu untuk berada di dapur dan memasak.

Nah lama-kelamaan ini akan menjadi bagian dirinya, peranan yang dimainkannya itu bukan lagi sebagai peranan tapi memang jadi bagian rutin dari kehidupannya; nah dalam hal inilah topeng tersebut akhirnya menjadi jati dirinya, menjadi bagian siapa dirinya itu.
GS : Tetapi dengan memakai topeng walaupun itu positif Pak Paul, pasti ada sesuatu yang menimbulkan resiko maksud saya ada sesuatu yang kurang atau terjadi pada diri pasangan itu Pak Paul.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi pada umumnya kita akan kehilangan kesempatan atau mungkin secara jujur kita memang tidak mau melihat kesempatan tersebut, yakni kita gagal melihat hal-hal yag tidak kita sukai pada diri pasangan kita itu.

Sekali lagi pada awal-awal perkenalan fokus yang utama adalah menyenangkan hati pasangan kita dan memfokuskan mata pada apa yang disukainya dan oleh karena itu kita mencoba melakukan hal-hal yang disukainya itu. Karena mata kita tertuju pada hal-hal itu, mata akhirnya tidak begitu jeli untuk menilik hal yang tidak kita sukai, kalaupun kita melihat kecenderungannya adalah kita mengabaikannya. Mungkin kita akan merasionalisasi dengan berkata o....hal itu tidak akan terlalu mengganggu nantinya akan selesai dengan sendirinya dsb. tapi intinya memang kita mengabaikan hal-hal yang tidak kita sukai itu, itu yang pertama. Yang kedua kita akhirnya gagal menyoroti kebutuhan kita sendiri karena sekali lagi fokus perhatian lebih tertuju pada pasangan kita, sehingga apa itu yang sebetulnya kita inginkan, kita butuhkan, apa itu yang tidak kita setujui, apa itu yang tidak kita sukai, agak sukar kita kemukakan. Nah, ini sebenarnya pengorbanan yang sebetulnya nanti akan beresiko dalam hubungan nikah.
GS : Tapi 'kan seseorang itu mempunyai kemampuan untuk tidak bisa terus-menerus hidup di dalam semacam kepura-puraan itu Pak Paul, masalah-masalah yang tadinya diabaikan itu sebenarnya 'kan tetap ada Pak Paul?
IR : Nah itu berarti topeng itu perlahan-lahan juga akan lepas Pak Paul?

PG : Tepat sekali Ibu Ida.

IR : Karena keinginan kita itu juga tidak bisa dikesampingkan.

PG : Betul, jadi waktu keinginan atau kebutuhan kita mulai menampakkan diri, topeng-topeng itu juga akhirnya mulai retak karena di situlah diri kita mulai keluar, saya minta ini, saya tidak suk itu.

Contoh misalnya kalau seorang pria memberikan kesan dia adalah seorang yang tenang, yang mantap, yang mengayomi, nah setelah menikah mungkin sekali ada sisi dirinya yang tidak terduga oleh si pasangan yaitu apa, sisi diri yang sebetulnya membutuhkan seorang konsultan, seorang yang bisa memberi dia nasihat. Pada masa berpacaran si prialah yang sibuk melindungi, membuat keputusan bagi si pasangannya; setelah menikah muncullah sisi di mana si pria ini mulai bertanya-tanya, menurut pendapatmu bagaimana, dan ini bisa jadi menimbulkan kebingungan pada pihak istrinya kenapa engkau itu kurang percaya diri, kenapa engkau itu ragu-ragu, dulu saya melihat engkau sebagai orang yang tahu masa depanmu, tahu langkahmu, sekarang kamu tidak seperti itu. Nah sisi inilah yang mulai memunculkan diri dalam pernikahan dan seperti kata Ibu Ida, topeng tersebut akhirnya mulai lepas, mulai retak dengan sendirinya.
GS : Dalam hal ini memang kita yang tadinya memakai topeng itu kemudian melepaskan topengnya atau karena pasangan kita memang lebih mengenal kita sehingga dia tahu asli kita yang sebenarnya?

PG : Bagus sekali pengamatan Pak Gunawan, jadi lepasnya topeng memang merupakan hasil interaksi dari kedua belah pihak. Kita memunculkan keinginan dan kebutuhan kita, pasangan mulai mengenal kia, nah otomatis dalam kasus di mana pasangan itu merasa aman dengan kita atau maksud saya kita merasa aman dalam hubungan ini kita akan lebih berani juga memunculkan sifat dan keinginan-keinginan kita itu.

GS : Nah, kalau sudah lepas walaupun saya yakin itu tidak bisa lepas 100% Pak Paul ya, nah apa yang terjadi dalam pasangan ini selanjutnya?

PG : Yang seharusnya terjadi adalah kedua-duanya mulai melepaskan, sebab ini bukannya proses searah.

GS : Interaksi yang tadi Pak Paul katakan itu.

PG : Hasil interaksi keduanya, di mana masing-masing akhirnya melepaskan topeng. Yang indah adalah sebetulnya dia tidak akan memunculkan lagi diri yang awal-awalnya sekali, misalkan 10 tahun yag lalu sebelum dia menikah, tidak.

Sebab sekali lagi saya ingin ingatkan bahwa topeng ini sudah menjadi bagian dirinya, sudah menjadi identitasnya, sehingga tidak bisa lagi dilepas, sudah menyatu dengan siapa dirinya. Tapi sekarang yang akan keluar adalah bagian dirinya yang mempunyai kebutuhan, yang mempunyai selera, keinginan, tuntutan dan harapan, nah bagian diri ini akan mulai keluar. Yang seharusnya terjadi sebetulnya kita akan membentuk diri yang baru tidak persis sama sebelum kita menikah dan tidak persis sama juga dengan topeng yang telah kita perankan selama awal-awal pertemuan kita. Jadi diri yang baru itu merupakan perpaduan antara topeng dan diri asli kita yang dulu. Nah kalau keduanya berhasil membentuk diri yang baru ini, barulah pernikahan mereka itu akan cocok.
GS : Tapi kemampuan pasangan atau bahkan kemampuan pribadi-pribadi itu bukankah berbeda-beda, Pak Paul. Nah seandainya yang terjadi adalah topeng pihak yang pria itu sudah lepas dulu, tapi yang perempuan atau istrinya itu masih tetap bertahan dengan topengnya. Nah kalau tidak pas seperti itu apa dampaknya, Pak Paul?

PG : Kalau sampai tidak pas memang ada beberapa kemungkinan, biasanya yang harus melihat topeng itu lepas bisa membentuk perasaan kecewa atau frustrasi. Contohnya si suami mengharapkan istri yag penurut, yang konvensional, yang di dapur, yang memasak dan sebagainya.

Akhirnya si istri berkata dengan terus terang bahwa idamannya adalah bukan seperti itu, ya masak sekali-sekali dia akan lakukan, namun dia tidak bisa membayangkan atau tidak ingin membayangkan peran sebagai istri adalah sebagai ibu yang memasak di dapur terus-menerus dan dia juga mulai membantah, dulu memang ia meng-iakan semua yang dikatakan si suami, sekarang dia mulai mengutarakan pendapat pribadinya, nah pada saat ini si suami mulai melihat perubahan. Yang sering kali terjadi adalah si suami tidak terima, sebab itulah yang diimpikannya sejak dahulu istri yang penurut, istri yang akan mengiakan, tapi dia tidak akan mengatakan seperti itu, ia mengatakan kepada istrinya bahwa saya membutuhkan istri yang mendukung saya, istilah bagusnya. Mendukung artinya ya mengiakan, tidak melawan atau membantah dia atau memberikan pendapat yang berbeda. Nah, biasanya timbul reaksi di sini Pak Gunawan, yaitu kemarahan, kekecewaan, merasa salah pilih. Jadi cukup umum dalam kasus-kasus pernikahan muda muncul atau adanya rasa salah pilih, saya keliru menilai, bukankah dulu tidak ada sisi seperti ini, nah di situlah memang ada kesenjangan dan kalau tidak benar-benar cepat-cepat dibereskan niscaya menimbulkan problem.
GS : Artinya gampang disusupi pihak ketiga yang menjadi idamannya, Pak Paul?

PG : Bisa.

GS : Tapi apakah mungkin seseorang itu mempertahankan topengnya sampai akhir hayatnya, Pak Paul?

PG : Kadang kala terpaksa, jadi bukannya atas keinginan sendiri, (sebab tadi saya sudah singgung bahwa yang alamiah seharusnya topeng itu lepas), jadi kalau tidak lepas berarti ada sesuatu yangmemaksa, sehingga topeng itu tidak boleh dilepas.

Nah, biasanya yang terjadi adalah pihak yang satunya tidak mengizinkan topeng itu berubah, jadi diri yang diinginkan adalah diri yang harus dipertahankan. Jadi sekali lagi yang alamiah dan yang sehat memang topeng itu secara bertahap harus lepas, harus berubah, namun adakalanya keadaan tidak memungkinkan.
IR : Nah, untuk mengatasi itu Pak Paul, hal-hal yang membuat kecewa karena memakai topeng itu, apakah yang harus dilakukan?

PG : Ada beberapa langkah, langkah pertama adalah seseorang ini harus belajar menyadari kebutuhannya dan belajar mengemukakan kebutuhannya. Ada orang yang begitu enggan, sungkan atau takut mengtarakan keinginannya karena misalkan dia terbiasa dengan perannya, misalnya peran yang dimainkannya adalah peranan orang yang kuat, yang menerima semuanya, menjadi penopang bagi pasangannya.

Nah, bukankah tersirat dalam peran tersebut dia sebagai orang yang tidak mempunyai kebutuhan, sekarang dia harus mulai mengatakan kebutuhannya, nah ini sesuatu yang tidak biasa baginya. Nah, dalam hal ini dia harus belajar untuk mulai menyadari inilah yang dibutuhkannya dan tidak apa-apa untuk mulai meminta agar kebutuhan itu dipenuhi, karena itu penting.
GS : Ya memang hampir sama dengan yang Ibu Ida tanyakan yang tadi ingin saya tanyakan; keterampilan seperti itu Pak Paul, bukankah seharusnya sudah ada sebelum mereka memasuki pernikahan, nah masalahnya apakah yang harus dipersiapkan semasa dia masih pemuda bahkan mungkin waktu remaja?

PG : Yang perlu dipersiapkan adalah dia harus lebih berani dan lebih jujur dengan dirinya, bahwa jodoh itu benar-benar harus diyakini di tangan Tuhan, dan kalau ini memang pasangan yang tepat utuknya, jangan takut kehilangan pasangan tersebut.

Sering kali yang memotivasi kita untuk tidak berani mengutarakan pendapat, ketidaksukaan kita dan sebagainya adalah rasa takut kehilangan pasangan kita. Nah, jadi seorang Kristen sejak awal, sejak remaja, sejak pemuda mesti meyakini kebenaran ini bahwa hidup kita dipelihara Tuhan. Jadi waktu Tuhan berkata rambut di kepalamu itu terhitung oleh Tuhan, bahwa burung-burung pun tidak ada yang tidak terawat oleh Tuhan, mereka semua bisa makan dengan cukup. Itu seharusnyalah membuat kita yakin, makanya Tuhan di Matius berkata: "Engkau yang beriman kecil, kalau Tuhan memelihara semua itu tidakkah Tuhan akan memelihara engkau?" Jadi intinya percaya, soal jodoh, soal pasangan hidup, itu semua di tangan Tuhan, dan Tuhan hanya akan memberikan yang cocok untuk kita, jadi jangan takut kehilangan dirinya. Artinya apa, beranilah mengutarakan ketidaksetujuan kita, keinginan kita yang sebenarnya, jangan takut resiko ditinggalkan oleh pasangan kita.
IR : Juga perlu ya Pak Paul kita belajar untuk menerima keberadaan pasangan kita?

PG : Tepat, tepat sekali, jadi kita belajar menerima bahwa dia memang mulai berubah, dan bukannya kita menuntut dia untuk tetap sama karena itu tidak realistik, kita juga menyesuaikan diri dengn pembentukan dirinya itu, pembentukan diri yang baru, yang telah kita singgung yang merupakan perpaduan antara topeng dan diri yang awal-awalnya itu.

GS : Kalau pasangan atau kedua-duanya ini gagal melepaskan topengnya, apakah yang terjadi, Pak Paul?

PG : Hubungan itu akan berhenti Pak Gunawan, hubungan itu macet, tidak bertumbuh lagi, hubungan itu akan hanya berada pada titik di mana mereka awali dulu. Yaitu sangat formal, dangkal, dan tidk ada keberanian untuk mengutarakan pendapat, tidak ada keberanian untuk menjadi diri sendiri, sebab masing-masing bermain sandiwara, masing-masing memainkan peran untuk sesuai dengan pesanan pasangannya.

Jadi hubungan itu akhirnya memang tidak akan bertumbuh dengan baik.
GS : Dan itu akan berpengaruh pada anak-anak mereka.

PG : Saya kira demikian, karena anak-anak pertama yang mereka akan lihat adalah hubungan yang terlalu ideal, yang tidak riil sama sekali di mana kedua orang tua ini selalu cocok. Dan tidak bisatidak untuk mencocokkan diri dalam peranan tersebut kedua orang ini harus menghindarkan diri dari topik-topik yang terlalu dalam.

Menghindarkan diri memang sebetulnya membuat mereka tidaklah terlalu intim, karena kalau terlalu intim akan membicarakan topik-topik yang tertentu yang bisa saja menimbulkan pertengkaran, akan tidak cocok, jadi akhirnya membatasi diri.
GS : Atau saling menghindar, Pak Paul.

PG : Ya, jadi saling menghindar supaya masing-masing tetap bisa pada peranan tersebut. Nah ini menjadi tidak sehat.

GS : Jadi kehadiran anak itu tidak menolong mereka untuk melepaskan topengnya?

PG : Ya, walaupun seharusnya menolong, sebab waktu anak lahir seharusnya sekali lagi kesempatan diberikan supaya topeng itu lepas, waktu kita membesarkan anak, cara-cara kita, nilai-nilai hidupkita itu akan tertuang kembali dan pasangan kita pun akan melakukan hal yang sama sehingga nilai-nilai hidupnya, keinginannya akan tertuang pula.

Jadi sekali lagi kesempatan itu ada agar topeng-topeng itu lepas.
IR : Nah kalau topeng itu lepas, berarti mereka tidak bisa menerima keberadaan wajah masing-masing, dan akibatnya bisa perceraian Pak Paul?

PG : Kalau tidak terselesaikan bisa, jadi yang biasanya terjadi kalau kita tidak bisa menerima adalah perseteruan, kita akan sering bertengkar. Sebab sekali lagi pertengkaran itu sebetulnya merpakan tuntutan agar pasangan kita tetap sama seperti dulu, kita seolah-olah memesan menunya seperti ini, kenapa sekarang menu ini berubah.

Pesanan saya tidak saya dapatkan, akhirnya kita akan terus menuntut pesanan yang dulu mana, dua-duanya saling menuntut akhirnya yang terjadi adalah perseteruan dan bisa berakhir dengan perceraian.
GS : Jadi walaupun seperti tadi kita sudah bicarakan, topeng yang kita perbincangkan ini sesuatu yang positif, tapi kalau terlalu lama digunakan artinya semestinya sudah harus dilepas tapi tetap digunakan itu malah menimbulkan masalah begitu Pak Paul ya?

PG : Betul

(3) GS : Dalam hal ini apa tuntunan firman Tuhan yang bisa dijadikan pegangan?

PG : Saya akan membacakan dari Mazmur 41:2, "Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah, Tuhan akan meluputkan dia pada waktu celaka. Tuhan akan melindungi dia dan memlihara nyawanya, sehingga ia disebut berbahagia di bumi."

Alkitab menjelaskan salah satu natur, sifat Allah yang terutama adalah sifat Allah yang penuh belas kasihan. Saya kira pasangan Kristen juga harus mempunyai sifat yang sama yaitu penuh belas kasihan. Waktu kita melihat pasangan kita berubah dan menunjukkan kelemahannya, kebutuhan dan sebagainya dia harus menyambut dengan belas kasihan. Kebalikannya waktu kita menyadari kebutuhan kita dan kita menginginkan pasangan kita untuk memenuhi dan memperhatikan kebutuhan kita, jangan kita mengutarakannya dengan sombong, dengan paksaan, dengan ketinggian hati, supaya dia mengerti kita dan memberikan apa yang kita butuhkan. Waktu kita meminta, mintalah dengan belas kasihan, waktu kita memberi, berilah dengan belas kasihan. Firman Tuhan berkata: "Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah," pada dasarnya pasangan kita termasuk kita adalah orang yang lemah sebab kita mempunyai banyak kebutuhan, jadi sekali lagi belas kasihan harus menjadi ciri utama pasangan Kristen.
GS : Dan saya percaya bahwa Tuhan juga menghendaki agar setiap pasangan itu berbahagia, orang memasuki pernikahan dengan harapan kebahagiaan dan kuncinya jelas yaitu mengasihi pasangan kita.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang Topeng Pernikahan, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 49 A

  1. Apa yang dimaksud topeng dalam pernikahan...?
  2. Apa tujuan seseorang menggunakan topeng di awal pernikahannya...?
  3. Bagaimana pasangan Kristen menghadapi topeng pernikahan ini menurut firman Allah...?


12. Keterbukaan dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T049B (File MP3 T049B)


Abstrak:

Keterbukaan atau kejujuran dalam pernikahan itu sangat penting, meski kejujuran mungkin akan melukai tapi janganlah sengaja melukai dengan berkata hal-hal yang jujur. Dan keterbukaan berkaitan erat dengan kepercayaan dan kedewasaan hubungan itu sendiri.


Ringkasan:

Keterbukaan dalam pernikahan sangat berkaitan dengan 2 hal:

  1. Pertama berkaitan erat dengan kepercayaan, jadi kalau kita tahu pasangan kita terbuka kepada kita, level kepercayaan juga akan meningkat.

  2. Kedua, keterbukaan sangat berkaitan dengan berapa dewasa atau matangnya hubungan kita. Maksud saya hubungan yang dangkal seringkali juga diikuti dengan ketertutupan, tapi keterbukaan yang tuntas menunjukkan hubungan ini adalah hubungan yang matang karena masing-masing pihak bisa menerima pasangannya dengan baik.

Keterbukaan bisa mencakup 2 hal:

  1. Keterbukaan dengan masa sekarang atau perasaan kita saat ini, yaitu keterbukaan dengan perasaan atau diri kita apa adanya saat ini. Pasangan yang mau bertumbuh tidak bisa tidak pada akhirnya akan menyadari bahwa mereka tidak bisa hidup dengan hanya menyoroti keinginan pasangannya. Dia juga harus mulai menyadari keinginannya dari pasangannya dan membicarakannya, ini yang dimaksud dengan keterbukaan.

  2. Keterbukaan terhadap masa lalu kita.

Jadi bukan saja kita terbuka dengan perasaan dan diri kita sekarang ini, kita pun terbuka dengan masa lalu kita. Kalau kita menyembunyikan bagian masa lalu kita dari pasangan kita dan akhirnya dia mengetahui itu dari pihak lain, maka yang akan langsung tertohok adalah rasa percayanya kepada kita, sehingga dia akan mulai membuat prasangka. Idealnya masa lalu yang negatif diketahui bukan setelah menikah tapi pada masa berpacaran yang serius. Sehingga pada masa berpacaran itu keduanya berkesempatan membereskan masalah itu.

Kita perlu bijaksana dalam memberikan informasi tentang masa lalu kita, dan prinsip yang harus kita anut yaitu:

  1. Kita tidak boleh sedikitpun berniat membohongi pasangan kita.
    Kalau sampai ada hal yang belum kita sampaikan itu bukan karena niat membohongi tapi memang kita tidak ingat. Kalau kita ingat dan kita tahu ini penting untuk dia ketahui, dia harus ketahui, kita harus beritahukan ke dia.

  2. Keterbukaan tidak harus selalu berarti detail atau rinci-rincinya.
    Keterbukaan dari sisi yang lain yaitu latar belakang keluarga juga perlu dibukakan dalam hubungan pernikahan.

Keterbukaan di dalam sisi keuangan juga harus diwujudkan. Dalam hal ini suami istri 100% harus terbuka, kalau sampai seseorang tidak berani terbuka sekali lagi masalahnya menurut saya bukan terletak pada keuangan tapi pada hubungan itu sendiri yang nampaknya belum dewasa. Di masa pacaran keterbukaan sudah harus mulai dilakukan, tapi pada waktu pernikahan kebiasaan dan kesepakatan untuk saling terbuka itu harus tetap dibina. Namun keterbukaan bukanlah suatu lisensi atau izin untuk menyakiti pasangan kita. Saya berikan contoh misalnya, kita ini mengharapkan suami kita jadi manager, sampai sekarang masih belum, masih karyawan terus-menerus. Lalu atas nama keterbukaan kita berkata, saya sangat kecewa sekali kamu kok dari dulu tidak pernah jadi manager, terus jadi karyawan.

Efesus 4:25 berkata : "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota." Alkitab meminta kita jujur, terbuka, berkatalah yang benar tidak ada alasan untuk kejam atau untuk sengaja menyakiti. Kejujuran mungkin akan melukai tapi jangan sampai sengaja melukai dengan berkata hal-hal yang jujur itu.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan membahas tentang "Keterbukaan dalam Pernikahan". Kami percaya Anda semua ingin tahu apa yang akan kami bicarakan pada saat ini, karenanya dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kita sering mendengar orang berbicara tentang keterbukaan apalagi sekarang ada istilah transparansi, terbuka dan sebagainya nah sebenarnya dalam pernikahan itu apakah makna dari sebuah keterbukaan itu?

PG : Keterbukaan sangat berkaitan dengan dua hal, Pak Gunawan. Yang pertama adalah berkaitan erat dengan kepercayaan, jadi kalau kita tahu pasangan kita terbuka kepada kita, level kepercayaa juga akan meningkat.

Kedua, keterbukaan sangat berkaitan dengan berapa dewasa atau matangnya hubungan kita. Maksud saya hubungan yang dangkal sering kali juga diikuti dengan ketertutupan, tapi keterbukaan yang tuntas menunjukkan hubungan ini adalah hubungan yang matang karena masing-masing pihak bisa menerima pasangannya dengan baik. Jadi ada dua hal yang memang sangat berkaitan dengan keterbukaan; yang pertama kepercayaan dan yang kedua adalah kedewasaan hubungan itu sendiri.
GS : Kita melihat tentang kepercayaan Pak Paul, di awal pernikahan di mana kita belum terlalu saling mengenal pasangan kita bukankah tidak mungkin kita bisa percaya sepenuhnya. Artinya keterbukaan itu sangat kecil sekali kesempatannya.

PG : Betul, keterbukaan bisa mencakup dua hal Pak Gunawan, yang pertama keterbukaan pada masa sekarang dengan perasaan kita saat ini dan yang kedua keterbukaan terhadap masa lalu kita. Misalan yang pertama adalah keterbukaan dengan perasaan atau diri kita apa adanya saat ini.

Ada kecenderungan memang karena kita ingin menyenangkan hati pasangan dan menyajikan diri seperti yang dipesannya, seperti yang diinginkannya kita tidak begitu terbuka dengan diri kita, apa yang kita harapkan darinya, yang kita tuntut darinya, kita setuju atau tidak setuju tidak kita tonjolkan dalam masa-masa awal pernikahan, atau masa awal perkenalan kita. Yang kita fokuskan adalah bagaimana dia itu terkesan dengan kita karena kita mencukupi yang diinginkannya. Nah pasangan yang mau bertumbuh tidak bisa tidak pada akhirnya akan menyadari bahwa mereka tidak bisa hidup dengan hanya menyoroti keinginan pasangannya, dia juga harus mulai menyadari keinginannya dari pasangannya, nah mulailah dia mengatakannya, ini yang dimaksud dengan keterbukaan. Waktu dia tidak setuju dengan kesibukan pasangannya dia beritahukan, waktu dia tidak suka dengan model rambut pasangannya dia katakan, waktu dia tidak suka dengan gaya pakaian pasangannya dia mulai katakan. Nah keberanian ini sebetulnya akan mendewasakan hubungan itu.
GS : Jadi untuk seseorang itu bisa percaya terhadap pasangannya bukankah dibutuhkan pengalaman, yaitu pengalaman kehidupan bahwa memang pasangannya itu bisa dipercaya Pak Paul. Kita tidak bisa hanya berkata: "Percaya saja sama saya, saya ini 'kan suamimu atau istrimu," tapi dibutuhkan suatu bukti konkret bahwa memang dia bisa dipercaya. Nah di dalam hal-hal apakah sebenarnya kita itu bisa memberikan kepercayaan atau bisa percaya, Pak Paul?

PG : Saya kira hal ini berkaitan dengan aspek kedua dari keterbukaan yaitu bukan saja kita terbuka dengan perasaan dan diri kita sekarang ini, kita pun terbuka dengan masa lalu kita. Kalau kta menyembunyikan bagian masa lalu kita dari pasangan kita dan akhirnya dia mengetahui itu dari pihak lain, yang langsung akan tertohok adalah rasa percayanya kepada kita, dia akan mulai membuat prasangka.

Kalau dia menyembunyikan ini, apalagi yang disembunyikannya kesatu, kedua dia akan mulai bertanya apalagi yang akan dia sembunyikan di kemudian hari. Jadi keterbukaan tentang masa lalu itu juga penting.
IR : Nah Pak Paul, misalnya masa lalu yang negatif kalau dibuka apakah itu tidak membuat luka bagi pasangan itu, Pak Paul? Dan kecenderungannya adalah kalau suatu saat berkelahi sering kali masa lalu itu diungkit-ungkit.

PG : Maka idealnya hal ini diketahui pada masa berpacaran yang serius bukan setelah menikah, sehingga pada masa berpacaran itu keduanya berkesempatan membereskan masalah itu. Kalau misalkan alam masa berpacaran masa lalu tersebut diungkit-ungkit nah jelas ini harus dibereskan, kita harus meminta kepada pasangan kita untuk tidak mengungkit atau menggunakannya untuk menyerang kita.

Kalau dia tidak mempedulikan dan tetap menggunakannya untuk menyerang kita, nah dalam masa berpacaran itulah kita berkesempatan untuk memutuskan ini tidak cocok buat saya, saya mau mengawini orang yang bisa menerima saya, memaafkan saya, bukan terus-menerus menusuk-nusuk saya dengan senjata itu. Jadi memang kita perlu bijaksana dalam hal memberikan informasi tentang masa lalu kita, tapi prinsipnya harus kita anut yaitu yang pertama kita tidak boleh sedikitpun berniat membohongi pasangan kita, kalau sampai ada hal yang belum kita sampaikan itu bukan karena niat membohongi, tapi memang kita tidak ingat. Kalau kita ingat dan kita tahu ini penting untuk dia ketahui, dia harus ketahui, kita harus beritahukan ke dia. Prinsip yang kedua adalah keterbukaan tidak harus selalu berarti detail atau rinci-rincinya. Misalnya kalau kita pernah berhubungan seksual sebelum menikah dengan orang lain, kemudian kita berpacaran dengan calon istri kita dan akhirnya kita mengakui bahwa kita telah berhubungan, nah saya kira sepantasnya si pria memberitahukan atau si wanita memberitahukan bahwa dia telah berhubungan dengan pacarnya. Namun dia tidak perlu menceritakan detail hubungan itu, sebab detail hubungan itu hanya akan mengganggu perasaan si pasangannya ini untuk waktu yang sangat lama dan yang bisa lebih parah lagi adalah merosotnya respek terhadap si pasangan. Jadi dia harus mengakui hal seperti itu, jangan sampai setelah menikah baru dia sadari, bahwa istrinya misalkan sudah pernah berhubungan dengan pacarnya dulu. Atau suaminya sekarang tidak lagi suci karena pernah berhubungan dengan orang lain dulu, tapi kita harus bedakan dengan hal yang penting meskipun juga bersifat detail, kalau hal ini memang harus diketahui oleh pasangan kita. Contoh calon istri kita bukan saja sudah berhubungan tapi dia sudah pernah hamil dan menggugurkan kandungannya. Nah si suami-istri tidak cukup hanya berkata saya telah berhubungan dengan pacar saya yang dulu, dia juga harus memberitahukan bahwa dia pernah hamil dan menggugurkan kandungannya. Dan jangan dia berpikir, saya sudah beritahukan saya sudah menjalin hubungan ya sudah cukup, tidak. Sebab informasi yang baru itu tatkala nanti diketahui oleh si suami, saya kira bukan saja mengejutkan tapi bisa-bisa mengoyakkan respeknya terhadap si istri, nah biarlah hal ini terjadi sebelum mereka menikah, sehingga keduanya berkesempatan untuk menyelesaikan perasaan-perasaan yang tertinggal akibat informasi-informasi ini.
GS : Tapi biasanya istri itu menghendaki justru uraian yang detail Pak Paul atau menanyakan ulang-ulang, sesuatu yang pernah diinformasikan.

PG : Nah saya kira di sini diperlukan kedewasaan, sebab seseorang yang dewasa seharusnya mengertilah, tidak usah saya mengetahui detailnya yang penting saya sudah tahu dia setelah berhubunga, misalnya seperti itu.

Dia tidak usah menceritakan apa yang dilakukan dalam hubungan itu, lain perkara kalau si pria berkata: "Saya ini pernah berpacaran, sebelum saya dengan engkau," nah istrinya atau calon istrinya bertanya: "Siapa yang menjadi pacarmu?" nah jangan sampai si calon suami berkata: "Itu tidak perlu kau ketahui." Itu keliru, nah seyogyanya si istri atau calon istri ini tahu siapa yang pernah menjadi pacar suaminya; namanya siapa, kenal di mana, nah hal-hal seperti itu saya kira memang harus diberitahukan.
GS : Dikhawatirkan itu tadi Pak Paul, kalau dia mengetahui informasi ini dari orang lain, kalau kita tidak memberitahukannya.

PG : Betul, sebab ada kecenderungan kalau informasi ini tidak diberitahukan dan diketahui di kemudian hari, kita akan merasa tertipu dan memang bisa muncul perasaan tertipu itu. Misalkan kit bertemu dengan seorang pria yang merupakan aktifis gerejawi, seorang Kristen yang rajin dalam pelayanan di geraja dan kita tertarik sebab melihat sisi kesuciannya, kesalehannya, setelah itu kita berpacaran dengannya, kita menikah.

Nah, setelah menikah akhirnya baru kita ketahui bahwa sebetulnya pria ini sudah pernah berhubungan seksual dengan mantan pacarnya, tapi tidak diketahui oleh si istri. Nah, saya kira informasi ini bisa sangat menggoyahkan sendi respek si istri kepada si suami. Sebab sekali lagi kita tidak lepas dari (saya gunakan istilah) peranan atau harapan akan pasangan kita. Pada waktu kita menikahi dia kita melihat dia seorang aktifis Kristiani; jadi inilah yang saya harapkan, dalam paket Kristiani itu kita harapkan dia kudus tidak pernah berhubungan dan sebagainya. Nampaknya orang inipun alim dan juga baik-baik tapi ternyata pernah seperti itu. Nah, hal ini memang bisa menggoyahkan persepsi atau citra si suami di mata si istri, berbeda kalau dia ketahui sebelum menikah hal ini bisa diluruskan kembali.
(2) GS : Kalau keterbukaan dari sisi yang lain yaitu dari latar belakang keluarga bagaimana Pak Paul, masing-masing tentunya mempunyai latar belakang keluarga yang berbeda, nah apakah itu perlu dibukakan dalam hubungan pernikahan?

PG : Saya kira perlu, apalagi kalau memang ada masalah khusus dalam keluarga kita, nah ini memang makin membuat kita cemas untuk menceritakan kepada pasangan kita, sebab kita takut dia akan enjauhi kita.

Tapi harus ya, misalkan kalau kita mempunyai adik atau kakak yang cacat, cacat mental saya kira itu perlu dikomunikasikan atau ibu atau ayah kita pernah masuk misalkan rumah sakit jiwa karena ada masalah khusus dengan stres dan sebagainya. Saya kira itu hal yang perlu diberitahukan atau ayah kita mempunyai kehidupan yang tidak baik misalnya terlibat perkara kriminal atau sudah mempunyai istri kedua atau ketiga, hal seperti itu perlu kita komunikasikan. Jangan sampai kita tutupi setelah menikah baru kita beritahu, sebab sekali lagi bisa membuat pasangan kita merasa terperdaya dan sudah terperangkap. Nah ini tidak sehat sebab kedua orang yang menikah haruslah merasakan inilah pilihan saya dengan bebas, saya memilih dia dalam kebebasan bukan dalam keterpaksaan; kalau sudah menikah baru diberitahu memang dia harus terima namun dalam keterpaksaan.
GS : Tadi kita bicarakan keterbukaan dalam pernikahan Pak Paul, yang tadinya mungkin juga sudah pernah diungkapkan pada waktu pacaran namun hanya pada permukaannya, begitu menikah 'kan makin dalam, makin sering berkunjung ke tempat keluarga, dan sebagainya nah di sana baru kelihatan latar belakang keluarga itu yang sebenarnya, nah apa itu bisa juga menimbulkan kekecewaan?

PG : Saya kira kalau memang 100% baru tidak kita ketahui sebelumnya akan menimbulkan kekecewaan dan bukan saja kekecewaan, kita akan mulai meragukan pasangan kita; jangan-jangan dia sengaja enutupinya.

Nah, sekali lagi sewaktu kita mempunyai perasaan yang jangan-jangan dia sengaja menutupinya, yang mulai goyah adalah kepercayaan kita kepadanya, apalagi yang ditutupi adalah tentang masa lalunya. Dan pertanyaan berikutnya adalah apalagi yang akan dia tutupi di kemudian hari? Jadi akan menggoyahkan sekali lagi.
GS : Tadi Pak Paul katakan ada dua faktor selain kepercayaan adalah kedewasaan. Kalau seseorang itu sudah mencapai kedewasaan tertentu apakah dia tidak bisa menerima kenyataan seperti itu, bukankah pasangannya itu tidak bisa menceritakan semuanya Pak Paul?

PG : Saya kira memang yang perlu diceritakan yang besar, yang penting itu, yang memang khusus-khusus otomatis akan banyak detail-detail yang terlewatkan tentang pamannyalah, kakek, cowoknyalh apalah segala macam itu memang bisa terlewatkan.

Dan tidak perlu kita harus mengingatnya, jadi saya kira seorang suami atau istri perlu menerima bahwa hal-hal itu tidak dibicarakan sebelumnya karena memang dianggap tidak penting, tapi menanggapi yang tadi Pak Gunawan katakan bahwa keterbukaan mencerminkan atau menjadi tolok ukur kedewasaan hubungan itu. Sebab ini memang penting sekali Pak Gunawan, kita memasuki pernikahan dengan banyak kebutuhan jadi kalau kita mempunyai penghargaan diri yang negatif, kita menganggap diri kita ini banyak kurangnya, sehingga dicintai oleh pasangan kita itu seperti luar biasa, anugerah yang begitu indahnya. Kita bisa merasa takut kehilangan dia, kita takut kalau-kalau dia nanti tidak suka kepada kita, nah kecenderungannya kalau seseorang terlalu takut kehilangan pasangannya dia akan menyetel tindakannya sedemikian rupa sehingga dia hanya akan memberikan satu sisi atau satu aspek saja tentang dirinya. Yang lainnya dia tidak ceritakan, jadi keterbukaan otomatis akan mulai berkurang di sini, dia tidak suka dengan sesuatu dia tidak katakan; dia ingin sesuatu, tidak dia kemukakan; jadi dia akan mulai menyembunyikan bagian tertentu dalam hidupnya. Karena dia ketakutan kalau-kalau pasangannya tidak menyukainya lagi. Nah, hal ini sekali lagi menandakan hubungan yang tidak dewasa karena dia takut kalau dia kemukakan, nanti pasangannya tidak akan menganggap dia seperti yang dulu lagi. Jadi hubungan yang makin terbuka membuat kita makin berani menyampaikan apa adanya diri kita, juga menandakan kedewasaan hubungan itu sendiri kalau keduanya dapat menerima dengan baik.
GS : Ada pasangan yang mengharapkan pasangannya lebih dahulu terbuka Pak Paul, jadi dia merasa keenakan dia nanti saja, sudah terbuka seluruhnya dia menutupi terus, dia tahu rahasia saya, saya tidak tahu rahasia dia. Bagaimana pandangan Pak Paul untuk hal ini?

PG : Kalau sampai ada perasaan seperti itu yang terjadi adalah memang level kepercayaan di antara mereka memang tidak begitu kuat, sebab seharusnya semakin lama mereka berpasangan semakin kut rasa percaya terhadap satu sama lain, sehingga mereka berani membukakan diri terhadap pasangannya, sebab dia tahu pasangannya akan menerimanya.

Jadi kalau sampai yang satu tidak mau karena takut, saya kira yang harus dibereskan memang bukan soal keterbukaan tapi yang harus dibereskan adalah kepercayaan di antara keduanya. Kenapa kedua orang itu tidak mempercayai satu sama lain, mungkin ada masalah yang membelakangi ini semua.
IR : Kalau salah satu pasangan itu mempunyai sesuatu yang harus diutarakan, tapi kadarnya itu sudah kedaluarsa, sudah puluhan tahun, apakah itu masih perlu dikomunikasikan?

PG : Tidak, kalau sesuatu yang terjadi begitu lama dan tidak berpengaruh pada hubungan kita tidak usah lagi. Jadi keterbukaan tidak berarti kita harus menggali-gali tambang emas di dalam pert bumi kita, tidak usah.

(3) GS : Keterbukaan di dalam sisi yang lain yaitu di dalam sisi keuangan Pak Paul, nah sejauh mana pasangan suami-istri harus terbuka di dalam mengelola keuangannya?

PG : 100% harus terbuka, nah kalau sampai seseorang tidak berani terbuka, sekali lagi masalahnya menurut saya bukan terletak pada keuangan tapi pada hubungan itu sendiri yang nampaknya belu dewasa.

Dan kecurigaan itu yang perlu kita soroti mengapa dia mencurigai pasangannya, misalkan ya yang menjadi alasan klasik adalah kalau dia tahu uang saya nanti dia akan mulai mengatur-ngatur, dia mulai akan meminta-minta, menuntut-nuntut, jadi sebaiknya saya tidak beritahukan. Atau ada istri yang berprinsip uang kita terima kita simpan dan jangan beritahukan pada suami karena suami itu kadang-kadang akan mengkhianati kita jadi kita mesti mempunyai simpanan uang, kalau pria 'kan simpanannya istri lain, kalau istri sering kali simpanannya uang. Sebetulnya maksudnya tidak jahat yaitu kalau sampai suami meninggalkannya dia masih punya simpanan untuk bisa hidup.
IR : Kalau pasangan itu level imannya tidak sama Pak Paul, misalnya salah satu itu memiliki kerinduan untuk memberikan persembahan, kemudian yang satu itu tidak. Apakah itu juga harus ada keterbukaan, Pak Paul?

PG : Saya kira demikian harus ada keterbukaan, karena prinsip Alkitab memang berkata keduanya akan bersatu dan menjadi satu daging jadi tidak mungkin tangan kanan berbuat sesuatu tangan kiritidak tahu, tidak mungkin, jadi keterbukaan itu memang haruslah ada secara tuntas dalam pernikahan.

Karena konsep Alkitab itu penyatuan dua menjadi satu.
IR : Tapi sering kali terjadi gap Pak Paul, yang satu itu memang kerinduan misalnya untuk memberikan persembahan, dia terbeban tapi karena takut pada suaminya dia lalu tidak memberitahukan pada suaminya itu tidak benar ya Pak Paul?

PG : Saya kira ya kurang, lebih baik kita beritahukan meskipun akhirnya tidak disetujui tapi kita terus berkata: "OK! Karena kamu tidak setujui dan memang ini uang kita bersama saya akan ikui."

Dan kita tidak usah takut kehilangan kredit di mata Tuhan, Tuhan tahu duduk masalahnya dan Tuhan sudah tahu itulah uang yang kita persembahkan kepada Tuhan namun dalam kondisi tidak diizinkan oleh pasangan kita.
IR : Tapi sering kali tersiksa, Pak Paul.
GS : Sejalan dengan itu juga mungkin dalam membantu keluarga, membantu orang tua, adik atau kakak itu, itu sering kali juga sembunyi-sembunyi memberikannya.

PG : Saya kira itu yang sering terjadi, namun waktu itu terjadi hubungan suami-istri sebetulnya mulai berhenti. Kalau saya lebih setuju, biarlah kita beritahukan dan biarlah kita mungkin bereteru atau bertengkar pada awal-awalnya namun dengan bertengkar itu kita sampai pada kedewasaan yang lebih tinggi, sehingga keduanya lebih rela untuk memberikan dan menemukan jalan keluar.

Saya tahu itu memang sering terjadi, ada istri yang memberikan uang kepada keluarganya tanpa pemberitahuan kepada suami, suami memberikan kepada keluarganya tanpa memberitahukan kepada istri, saya rasa itu tidak sehat. Bagi saya biar bertengkar tidak apa-apa, tapi akhirnya mereka naik ke jenjang hubungan yang lebih tinggi.
GS : Tapi rasa-rasanya dari pembicaraan ini saya merasakan kalau pada saat awal keterbukaan itu dilakukan akan sering terjadi salah paham, Pak Paul.

PG : Jadi keterbukaan tidak berarti kemulusan hubungan, justru hubungan yang terbuka pada awal-awal pernikahan ini akan mengalami gejolak-gejolak, tidak bisa tidak. Justru kalau kita menutup dan hanya menyajikan diri untuk pasangan kita, gejolak juga akan berkurang.

Waktu kita mulai membuka diri, manunjukkan siapa kita, meminta yang kita inginkan dan sebagainya sudah tentu akan ada pergolakan. Maka idealnya ini terjadi bukan setelah kita menikah namun tatkala masih berpacaran, jadi hubungan kita menjadi hubungan yang bertumbuh.
GS : Jadi di masa pacaran sudah mulai dilakukan keterbukaan tapi pada waktu pernikahan juga harus tetap dibina kebiasaan itu, kesepakatan untuk saling terbuka Pak Paul.

PG : Betul namun keterbukaan bukanlah suatu lisensi atau izin untuk menyakiti pasangan kita; misalkan saya berikan contoh, kita ini mengharapkan suami kita jadi manager, sampai sekarang ya msih belum, masih karyawan terus-menerus dan atas nama keterbukaan kita berkata: "Saya sangat kecewa sekali, kamu kok dari dulu tidak pernah jadi manager, terus jadi karyawan."

Nah saya kira kalau itu sudah pernah terungkap sekali ya sudah jangan diulang-ulang jadi jangan sampai kita mengatasnamakan keterbukaan terus menyalahgunakannya untuk menyakiti pasangan kita. Kita tahu istri kita misalnya punya bakat gemuk, dia makannya sedikit, tapi terus gemuk, jangan kita atas nama terbuka kita berkata saya sebel dengan kamu karena kamu gembrot, kenapa tidak bisa kurus-kurus dan sebagainya; nah itu bukanlah keterbukaan, itu kejam. Jadi keterbukaan bukanlah lisensi atau izin untuk kita berbuat kejam pada pasangan kita.
IR : Jadi harus bijaksana ya Pak Paul, seperti kalau pasangan suami-istri, si istri itu juga selalu ada perhatian untuk keluarga suami, pasti suami itu juga akan mengizinkan kalau istri memberikan untuk keluarganya.

PG : Tepat, biasanya begitu, betul.

(4) GS : Di samping mengatasnamakan keterbukaan sering kali orang mengatasnamakan kejujuran. Ini jujur saja saya bilang, tapi jujurnya itu lalu menyakiti hati pasangan Pak Paul. Dalam hal ini apa yang firman Tuhan sampaikan pada kita?

PG : Firman Tuhan di Efesus 4:25 berkata : "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota." Nah jadi pertama Alkitabmeminta kita jujur, terbuka, berkatalah yang benar tidak ada alasan untuk kejam atau untuk sengaja menyakiti.

Kejujuran mungkin akan melukai tapi jangan sampai sengaja melukai dengan berkata hal-hal yang jujur itu, jadi tidak sama saya kira. Adakalanya untuk atau dengan tujuan menyakiti hati, kita mengatakan hal itu, itu sudah salah. Kalau kita ingin mengatakan yang benar, namun akhirnya harus melukai dia itu tidak apa-apa, itu akan terjadi, jangan kita balik kita mau menyakiti dia maka kita mengatakan hal ini kepadanya, terus mengatasnamakan saya hanya jujur. Alkitab mengatakan kita sesama anggota, istri dan suami juga adalah suatu kesatuan.
GS : Kalau firman Tuhan dengan tegas mengatakan buanglah dusta Pak Paul, itu sering kali 'kan masih muncul lagi walaupun kita sudah membuangnya dan bertekad untuk tidak lagi mendustai, tapi dusta itu muncul lagi Pak Paul, apakah itu harus dilakukan berulang-ulang begitu maksudnya?

PG : Dan setiap kali berdusta dan kita sadari kita berdusta, kita harus akui itu di depan pasangan kita, bahwa saya telah berdusta lagi, sebab dusta yang tidak kita akui cenderung akhirnya mngundang dusta-dusta yang lebih banyak, tapi kalau kita harus membayar harga kita harus akui, kita lebih kapok untuk berdusta.

GS : Ya saya rasa itu harus dilakukan oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri, mempunya tekad yang sama untuk saling terbuka di dalam mewujudkan kebahagiaan di dalam rumah tangga kita.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang keterbukaan dalam kehidupan suami istri, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 49 B

  1. Apa makna keterbukaan dalam pernikahan...?
  2. Dalam hubungan pernikahan perlukah latar belakang masing-masing keluarga dibuka terhadap pasangan kita...?
  3. Sampai sejauh manakah pasangan suami istri harus terbuka dalam mengelola keuangan...?
  4. Bagaimana pandangan firman Tuhan mengenai keterbukaan dalam pernikahan ini...?


13. Proses Restorasi Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T053A (File MP3 T053A)


Abstrak:

Merestorasi atau membangun kembali suatu pernikahan yang sudah rusak memang memerlukan waktu yang lama dan memerlukan usaha yang sangat keras.


Ringkasan:

Restorasi, ada dua hal yang terkandung dalam kata-kata tersebut, kata restorasi itu sendiri mencerminkan pemugaran atau pembenahan atau pembangunan kembali. Jadi yang tersirat dalam kata restorasi adalah adanya sesuatu yang telah rusak sehingga perlu untuk dipugar kembali. Kata proses menunjuk pada waktu dan usaha, karena memang untuk memugar atau membangun kembali suatu pernikahan yang sudah rusak akan memerlukan waktu yang lama dan memerlukan usaha yang sangat keras.

Ada beberapa hal yang dapat kita gunakan untuk menilai berapa parahnya hubungan nikah atau seberapa rusaknya pernikahan itu.

  1. Kita melihat dari sudut ada tidaknya keintiman.

  2. Dilihat dari sudut ada tidaknya respek.

  3. Ukuran yang dapat kita gunakan ialah kepercayaan. Kepercayaan itu menyangkut pada kebebasan yang diberikan pada pasangan kita.

Jadi pernikahan dapat kita katakan sudah rusak, apabila keintiman sudah hilang, respek sudah pudar dan akhirnya kepercayaan pun sudah punah.

Ada orang-orang tertentu yang tidak ingin pernikahannya hancur, mereka pasti berusaha untuk berbuat baik kembali, orang-orang tersebut biasanya adalah:

  1. Orang yang pertama, orang yang banyak investasinya dalam pernikahan.

  2. Ia yang lebih memikirkan keutuhan keluarga terutama anak-anak.

  3. Orang yang takut akan Tuhan

Beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk merestorasi pernikahan yaitu sbb:

  1. Pertama-tama mereka berdua harus berbicara dari hati ke hati dan menanyakan masing-masing pihak apakah bisa dicapai suatu kesepakatan untuk memberikan suatu kesempatan kepada hubungan mereka ini untuk diperbaiki.

  2. Langkah kedua adalah bahwa mereka bukanlah pasangan yang unik dan kasus mereka juga bukan kasus yang unik.

  3. Langkah berikutnya adalah agar pernikahan yang sudah rusak bisa pulih kembali seperti sedia kala saya duga memerlukan kurun 3 sampai 5 tahun, benar-benar untuk kembali pulih.

    1. Kita perlu menumbuhkan harapan dalam diri mereka, bahwa pernikahan mereka masih bisa diperbaiki atau masih bisa ditolong.

    2. Mereka harus memikirkan Tuhan, mereka tidak bisa melepaskan Tuhan dalam aspek kehidupan mereka yang khusus ini.

Dellast dan Ruby Vricent dalam bukunya membagikan pengalaman mereka. Ternyata sering kali pasangan nikah itu memang sudah kehilangan harapan dan merasa bahwa apapun yang dilakukan tidak akan lagi membawa hasil.

Menurut Dr. dan Mrs. Vricent sekurang-kurangnya ada tiga fase yang harus dilewati oleh pasangan suami istri ini.

  1. Fase pertama adalah meragukan akan ketulusan pasangan kita, jadi pertanyaannya adalah apakah dia sungguh-sungguh ingin berubah itu yang seringkali dipertanyakan oleh pasangan suami istri ini.

  2. Fase yang kedua, yaitu dia akan meragukan kesanggupan pasangannya. Jadi pertanyaan yang diajukan di sini adalah apakah ia mampu berubah dan apakah dia ini sungguh-sungguh ingin berubah atau tidak.

  3. Fase yang terakhir adalah fase meragukan ketahanan atau kepermanenan perubahan tersebut. Jadi pertanyaan yang ditanyakan di sini ialah berapa lamakah ia akan mempertahankan perubahan itu. Ya dia sekarang berubah, tapi tahun depan bagaimana?

1Petrus 4:8, "Tetapi yang terutama kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa." Pasangan kita mungkin sekali telah melanggar dan melakukan banyak pelanggaran, di sini Tuhan menantang kita sebagai manusia yang telah ditebusnya untuk tetap mengasihi. Sebab Tuhan berkata kasih akan menutupi banyak dosa. Harus ada faktor pengampunan, setiap hari. Kita percaya bahwa bagi orang-orang yang sungguh-sungguh mau memperbaiki hubungan pernikahannya, pertolongan Tuhan pasti akan datang pada waktunya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang proses restorasi pernikahan. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, biasanya kita bicara tentang restorasi itu terhadap bangunan Pak Paul, tetapi tema kali ini menarik sekali yaitu proses restorasi pernikahan. Sebenarnya apa maknanya Pak?

PG : Ada dua hal yang terkandung dalam kata-kata tersebut Pak Gunawan, kata restorasi itu sendiri memang mencerminkan pemugaran atau pembenahan atau pembangunan kembali. Jadi yang tersirat dala kata restorasi adalah adanya sesuatu yang telah rusak sehingga perlu untuk dipugar kembali.

Kata proses menunjuk pada waktu dan usaha, karena memang untuk memugar atau membangun kembali suatu pernikahan yang sudah rusak akan memerlukan waktu yang lama dan memerlukan usaha yang sangat keras.
GS : Pernikahan yang sudah rusak yang Pak Paul maksudkan itu seperti apa?

PG : Ada beberapa kriteria Pak Gunawan yang dapat kita gunakan untuk menilai berapa parahnya hubungan nikah itu. Yang pertama adalah memang kita bisa melihat dari sudut tidak adanya keintiman, adi salah satu tanda yang dapat kita cermati adalah keintiman yang telah terhilang, benar-benar keintiman merupakan barometer pernikahan.

Kita bisa melihat dua orang hidup serumah dan seolah-olah akur tapi kalau kita tidak melihat keintiman sebetulnya pernikahan itu tidaklah kuat lagi. Jadi yang menjadi barometer adalah keintiman, keintiman itu sudah tentu diperlihatkan dalam bentuk kemesraan, perhatian, keinginan untuk membagi waktu dengan pasangan kita, memberikan yang paling baik untuk pasangan kita, memikirkan yang paling baik untuk pasangan kita, dan sebagainya. Nah itu memang barometer pertamanya, Pak Gunawan. Yang kedua yang dapat kita gunakan adalah respek, respek dalam pengertian apakah masih ada rasa hormat, menyegani pasangan kita, yang lebih ideal adalah memang kita memiliki keyakinan terhadap pasangan kita apakah hal-hal yang memang kita hormati, kita kagumi pada pasangan kita itu. Jikalau pernikahan tidak lagi memiliki unsur respek maka pernikahan itu sudah mulai sakit, sudah mulai rusak. Dan yang ketiga ukuran yang dapat digunakan kepercayaan Pak Gunawan, kepercayaan itu menyangkut pada kebebasan yang diberikan pada pasangan kita, kepercayaan untuk membiarkan dia tidak ada di depan kita. Tidak usah bertanya-tanya apakah yang dia katakan itulah yang dia memang maksudkan, nah itu semuanya berkaitan dengan faktor kepercayaan. Jadi pernikahan dapat kita katakan sudah rusak, apabila keintiman sudah hilang, respek sudah pudar dan akhirnya kepercayaan pun sudah punah.
GS : Dalam kondisi seperti itu bukankah orang akan lebih gampang memutuskan untuk ya sudah biarkan hancur saja daripada harus merestorasi lagi yang pasti jauh lebih sulit, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi sebetulnya lebih mudah memelihara, menjaga suatu pernikahan daripada merestorasinya atau membenarkannya. Sebab waktu kita ini memulai pernikahan biasanya kit memulai dalam status yang lumayan baik.

Waktu sudah menjadi sangat rusak sekali yang terjadi adalah memerlukan waktu yang jauh lebih panjang dan usaha lebih keras untuk mendirikan kembali pernikahan yang sudah rusak itu. Jadi betul sekali yang tadi Pak Gunawan sudah singgung, untuk membetulkan, memugar pernikahan yang sudah rusak memang jauh lebih susah. Itu sebabnya cenderung orang-orang sekarang ini berkata buat apa saya susah-susah memugar kembali yang sudah rusak seperti ini, lebih baik yang diputus.
IR : Tapi seseorang itu bukankah sebenarnya tidak ingin pernikahannya itu hancur, dan juga pasti ada orang yang berusaha untuk berbuat baik kembali. Nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Biasanya memang itu terjadi, jadi sering kali dua orang mempunyai masalah tapi satu yang lebih bersemangat atau lebih termotivasi untuk membereskan masalahnya. Cenderungnya akan ada satu oang yang bersifat masa bodoh yang tidak lagi memiliki keinginan untuk memperbaiki pernikahan ini.

Biasanya yang akan bersikeras membereskan masalah ini adalah orang yang pertama, orang yang banyak investasinya dalam pernikahan ini. Jadi kalau sampai dia kehilangan pernikahan ini, dia yang lebih dirugikan, nah sebagai pihak yang lebih dirugikan dia lebih berkepentingan untuk menjaga jangan sampai pernikahan itu runtuh. Pihak berikutnya yang sering kali memikirkan pernikahan adalah ia yang lebih memikirkan keutuhan keluarga terutama anak-anak. Orang tua yang tidak lagi menghiraukan anak-anak sebab terlalu memikirkan dirinya sendiri, dia akan lebih cepat mengambil keputusan misalnya cerai. Jadi orang tua yang lebih memikirkan kepentingan anak cenderung akan lebih termotivasi untuk mempertahankan pernikahan itu. Dan yang ketiga sudah tentu adalah orang yang takut akan Tuhan, adalah orang yang tidak menginginkan perceraian, tapi orang yang tidak takut akan Tuhan, otomatis lebih mendengarkan nalurinya sendiri, dorongan hatinya sendiri, tidak lagi mempedulikan apakah ini yang Tuhan kehendaki atau tidak.
IR : Jadi kalau dihitung-hitung Pak Paul tentu lebih rugi kalau mereka itu berpisah, bukankah kalau mereka mau kembali akan lebih untung?

PG : Betul sekali, yang jauh lebih positif adalah kalau pernikahan itu dapat diperbaiki, kalau bercerai sudah tentu akan banyak konsekuensi yang mereka harus tanggung. Anak-anak yang harus hidu tanpa orang tua, dibesarkan tanpa adanya ayah atau ibu dalam rumah tangga dan sebagainya.

Jadi memang sebetulnya akan ada banyak hal yang mereka harus alami setelah perceraian tersebut, jauh lebih baik kalau mereka mencoba bertahan. Nah sebagai konselor atau sebagai orang-orang yang Tuhan tugaskan untuk menolong orang-orang yang dalam masalah, kita memang berkewajiban pada tahap pertama ini menumbuhkan pengharapan mereka, Ibu Ida. Sebab sekali lagi yang dirasakan biasanya adalah keputusasaan karena yang mereka minta, yang mereka harapkan dari pasangan mereka itu tidak pernah terwujud dan masalah atau yang dilakukan oleh pasangan itu malah diulang-ulang bukannya berkurang, malah makin bertambah. Akhirnya hal-hal itu membuat seseorang merasa tidak tahan lagi.
(2) GS : Jadi katakanlah ada salah satu pasangan suami-istri yang mau memulai untuk merestorasi pernikahan mereka yang sudah hancur Pak Paul, langkah apa yang mula-mula harus diambil?

PG : Pertama-tama mereka berdua memang harus berbicara dari hati ke hati dan menanyakan masing-masing pihak apakah bisa dicapai suatu kesepakatan untuk memberikan suatu kesempatan kepada hubungn mereka ini untuk diperbaiki.

Jadi kita akan tetapkan suatu jangka waktu misalnya 6 bulan atau setahun, mari kita berdua datang ke konselor pernikahan dan kita bereskan, dan berikan waktu yang panjang ini untuk selama setahun. Kadang waktu saya menghadapi pasangan yang sedang menghadapi masalah besar, saya juga mengajukan pertanyaan seperti itu. Apakah saudara bersedia memberikan waktu misalkan untuk 6 minggu, 2 bulan atau 3 bulan atau 6 bulan agar saya diberikan kesempatan untuk menolong saudara. Nah kadang kala saya melihat pasangan itu sudah tidak sabar lagi, jadi reaksinya adalah kenapa kami harus menunggu begitu lama. Nah sering kali saya berkata begini, apa ruginya memberikan 6 bulan ini, apa ruginya memberikan setahun ini, sebab kalau saudara sekarang berpisah atau bercerai saudara tidak akan bisa lagi kembali atau lebih susah lagi untuk kembali. Tapi kalau saudara memberikan waktu beberapa bulan ini, bukankah nantinya kalau pernikahan ini dapat diperbaiki, saudara yang dapat menikmati faedahnya. Jadi kenapa tidak memberikan 6 bulan lagi, berikan waktu sebab ini yang perlu kita tekankan kepada mereka bahwa proses harus menjadi bagian dalam konseling ini. Perlu waktu yang lama dan perlu usaha keras mereka, tapi kita perlu dorongan bahwa ada bayak pernikahan yang akhirnya bisa diselamatkan. Jadi kasus mereka bukan kasus yang unik, itu adalah langkah kedua yang sering kali kita harus tegaskan pada pasangan yang bermasalah bahwa mereka bukanlah pasangan yang unik. Kadang kala mereka beranggapan o....hanya suami saya yang aneh seperti ini atau hanya istri sayalah yang bermasalah seperti ini. Kenyataannya adalah semua pasangan nikah harus bekerja keras untuk menyatukan dua individu yang berbeda itu, jadi berikan mereka gambaran bahwa banyak orang yang harus melalui yang mereka lewati ini, jadi perlu ketekunan dan kesabaran. Jadi untuk menjawab yang tadi ditanyakan Pak Gunawan memang perlu kesepakatan, perlu komitmen itu, bisa tidak memberikan waktu tersebut. Kalau dari awalnya keduanya atau salah satu di antaranya berkata tidak mau lagi, memang sudah sangat sulit sekali.
GS : Langkah berikutnya Pak Paul, kalau katakan mereka sudah memberi waktu 6 bulan, tapi kita itu tidak tahu persis kapan masalah itu terselesaikan Pak Paul?

PG : Betul, untuk sampai masalah pernikahan yang sudah rusak bisa pulih kembali seperti sedia kala, saya duga memerlukan kurun 3 sampai 5 tahun, benar-benar untuk kembali pulih. Tapi setelah adnya bantuan dari luar misalnya konseling, mereka bisa mulai melihat adanya perbaikan.

Nah sering kali meskipun perbaikan hanya sedikit, cukup untuk memberikan mereka pengharapan bahwa kalau ini sudah berubah dan ada perbaikan kemungkinan akan ada perbaikan yang lebih lanjut lagi.
GS : Jadi menumbuhkan harapan dalam diri mereka, bahwa pernikahan mereka masih bisa diperbaiki atau masih bisa ditolong, Pak Paul?

PG : Betul, itu langkah yang sangat penting, jadi itu langkah yang selalu harus kita tekankan. Dan kedua yang selalu saya tekankan adalah bahwa mereka harus memikirkan Tuhan, jadi mereka tidak isa melepaskan Tuhan dalam aspek kehidupan mereka yang khusus ini.

Dalam hal pekerjaan dan lain-lain mereka mungkin mencari kehendak Tuhan, mencari apa yang Tuhan sungguh inginkan. Nah dalam hal pernikahan mereka yang sudah bermasalah ini, saya meminta mereka untuk memikirkan Tuhan. Apa yang Tuhan inginkan dari mereka, masihkah mereka mempedulikan kehendak Tuhan dalam hal ini, jadi kita perlu ingatkan pasangan bahwa tetap mereka berdua bertanggungjawab kepada Tuhan. Nah sering kali ingatan bahwa memang mereka harus bertanggungjawab kepada Tuhan, menolong mereka untuk tidak tergesa-gesa atau menuruti keinginan mereka baik yang ingin meninggalkan atau yang merusakkan pernikahan itu. Sering kali keduanya akhirnya tidak begitu lagi memikirkan tentang Tuhan.
IR : Dan mereka juga membutuhkan kekuatan dari Tuhan juga Pak Paul ya, untuk bisa mengembalikan hubungan mereka?

PG : Betul, sebab memang secara manusiawi rasanya mustahil, apalagi seseorang yang sudah melewati luka yang terlalu dalam. Bagaimana bisa nomor satu memaafkan, kedua membangun kembali keintiman rasa cinta, respek dan kepercayaan kepada pasangannya.

Rasanya mustahil jadi sungguh betul yang Ibu Ida katakan, secara manusia tidak bisa dilakukan hanya bisa dilakukan dengan kuasa Tuhan, jadi benar-benar hari lepas hari bergantung kepada Tuhan untuk memberikannya kekuatan.
GS : Jadi ada semacam pertolongan ganda Pak Paul, di samping menolong pernikahannya sendiri tetapi juga membangun iman mereka?

PG : Ya, sebab hidup ini kadang kala menyajikan kita dengan situasi-situasi yang tidak kita harapkan, makin saya tua, saya makin menyadari bahwa sedikit sekali dalam hidup ini yang bisa kita kedalikan.

Benar-benar kita ini seperti seseorang yang sedang naik suatu kendaraan dan di depan kita tidak bisa kita lihat apa yang akan muncul. Nah masalahnya adalah sering kali kita tidak bisa mengelak dari apa yang akan datang atau yang menghampiri kita, kita harus bisa menyambutnya. Nah itulah saya kira seninya hidup Pak Gunawan yaitu bukan saja kita menyambut tapi kita akhirnya bisa mengatasinya. Orang yang senantiasa mengelak akhirnya akan menemukan banyak masalah, sebab hidup itu harus kita sambut, termasuk dalam hal ini adalah masalah dalam pernikahan. Adakalanya masalah muncul yang sudah tentu tidak kita harapkan, namun ya itulah bagian dari kehidupan kita, kita harus menyambutnya dan bagaimana mengatasinya.
GS : Biasanya yang Pak Paul lakukan, kalau mereka sudah mulai melihat ada tanda-tanda bahwa pernikahan mereka masih bisa ditolong, apa yang bisa dilakukan selanjutnya?

PG : Ada suatu buku konseling pernikahan Pak Gunawan, yang ditulis oleh Dellast dan Ruby Vricent, dalam buku itu mereka membagikan pengalaman mereka. Ternyata sering kali pasangan nikah itu memng sudah kehilangan harapan dan merasa bahwa apapun yang dilakukan tidak akan lagi membawa hasil.

Tapi tuan dan nyonya Vricent ini mempunyai suatu metode atau strategi yang mereka bisa lakukan, yaitu mereka menggambarkan suatu grafik dan di depan pasangan atau kedua orang yang sedang konseling itu tuan dan nyonya Vricent ini memberikan penjelasan bahwa yang memang dibutuhkan adalah perubahan perilaku dari pasangan masing-masing. Namun diingatkan bahwa perasaan itu tidak mudah berubah, jadi misalkan seorang suami mengharapkan istrinya lebih memperhatikan dia, memperhatikan kebutuhannya dan sebagainya. Nah waktu dia sudah minta berkali-kali tapi tidak mendapatkan jawaban yang dia inginkan, harapan tersebut sudah pupus. Nah peran konseling untuk merestorasi pernikahan ini sudah tentu yang dituntut atau diharapkan oleh si suami seyogyanya dipenuhi oleh si istri. Nah dalam proses si istri memenuhi dia akan menunjukkan perubahan perilaku, tapi masalahnya adalah meskipun si istri sudah berubah, si suami tidak otomatis akan mempunyai perasaan yang berbeda terhadap istrinya. Misalkan dia sudah merasa sangat jauh dan dingin dari si istri, tidak ada lagi gairah, tidak ada lagi keintiman dan sebagainya. Nah bisa-bisa yang terjadi adalah meskipun si istri sudah mulai berubah misalkan cukup lama misalkan sudah 2 bulan berubah, lebih memperhatikan kebutuhan si suami dan sebagainya, tetap si suami merasa sama, dia itu dingin. Nah mungkin sekali setelah dua bulan konseling, si suami akan berkata tidak ada hasilnya, saya tetap merasakan tidak ada gairah lagi terhadap istri saya, tidak ada keinginan untuk mencintainya, sedangkan si istri berkata saya sudah berubah, saya sudah melakukan yang diminta oleh suami saya. Nah tuan dan nyonya Vricent menekankan bahwa itulah prosesnya bahwa perasaan itu tidak berjalan seiring dengan realita. Realita sudah berubah tapi perasaan sering kali tidak berubah, nah itu yang ditunjukkan pada pasangan nikah yang mau mulai proses restorasi ini oleh Dr dan Mrs. Vricent ini. Jadi mereka menyadari bahwa itulah yang mereka harus lewati.
GS : Dalam hal ini yang berubah istrinya Pak Paul, jadi istri memang faktanya berubah tapi perasaan si suami belum berubah itu yang Pak Paul katakan. Tapi itu 'kan dua pribadi yang tidak mungkin disatukan?

PG : Betul, logikanya adalah perasaannya mati atau dingin karena perbuatan-perbuatan si istri yang tidak menyenangkannya. Nah jadi kalau kita ikuti logikanya, kalau si istri berubah seharusnya erasaan si suami kembali seperti semula, kenyataannya tidak.

Jadi sering kali perasaan itu tertinggal di belakang, tidak dengan cepat mengikuti perubahan fakta, nah ini yang sering kali diinterpretasi tidak ada hasilnya atau percuma.
GS : Tapi ada faktor yang membuat seperti itu, yang membuat perasaan si suami tidak bisa mengikuti perubahan yang dilakukan oleh istrinya.

PG : Saya kira sering kali dalam misalnya kasus ini, seperti suami ini dia sudah pernah mempertaruhkan kepercayaannya atau pengharapannya. Namun setelah berulang kali mengalami peristiwa yang sma dia akhirnya menyimpulkan ya sudah, saya harus menerima ini faktanya, istri saya tidak akan berubah.

Jadi akhirnya yang terjadi si suami itu tidak lagi mengijinkan perasaannya untuk hangat untuk hidup kembali, karena takut dia kecewa. Nah menurut Dr. dan Mrs. Vricent sekurang-kurangnya ada tiga fase Pak Gunawan yang harus dilewati oleh pasangan suami-istri ini. Fase pertama adalah meragukan akan ketulusan pasangan kita, jadi pertanyaannya adalah apakah dia sungguh-sungguh ingin berubah itu yang sering kali dipertanyakan oleh pasangan suami-istri ini. Kenapa sampai timbul pertanyaan seperti itu, kenapa dia masih meragukan ketulusan pasangannya, ya dia takut diperdaya lagi, tidak mau dilukai ulang. Nah setelah fase yang pertama itu dia harus melewati fase yang kedua, yaitu dia akan meragukan kesanggupan pasangannya, apakah ia mampu berubah, jadi pertanyaannya adalah dia ini pertama sungguh-sungguh ingin berubah atau tidak, OK-lah si suami berkata istri saya sungguh-sungguh ingin berubah. Tapi pertanyaan kedua yang akan muncul adalah kalaupun istri saya berubah dan tulus ingin berubah, mampu atau tidak. Nah kecenderungannya setelah mengalami problem yang berlanjut, kita ini akhirnya berkesimpulan bahwa pasangan kita tidak bisa atau tidak sanggup berubah. Memang dia ditakdirkan seperti itu, memiliki keterbatasan seperti ini, jadi apapun yang dilakukan tidak akan berubah. Nah kenapa sampai meragukan kesanggupan pasangannya untuk berubah, karena memang dia tidak yakin bahwa seseorang yang telah dibentuk seperti itu akan mampu berubah. Nah fase yang terakhir adalah fase meragukan ketahanan atau kepermanenan perubahan tersebut. Jadi pertanyaan yang ditanyakan di sini ialah berapa lamakah ia akan mempertahankan perubahan itu, ya dia sekarang berubah, tapi tahun depan bagaimana. Jadi motivasinya adalah dia ingin meminta bukti sebanyak-banyaknya, nah ini yang sering kali saya harus ingatkan bahwa kita berjalan memang dalam iman, tahun depan seperti apa memang kita tidak tahu, yang kita mau pegang adalah hari ini pasangan kita sudah mulai berubah dan kita terus menjaga supaya perubahan ini bisa dipertahankan. Otomatis akan memerlukan kerja sama kedua.
GS : Memang pengalaman masa lalu itu rasanya memang tidak mudah dilupakan Pak Paul, namun dalam hal ini saya percaya ada firman Tuhan yang bisa membimbing pasangan suami-istri itu, bukan kata-kata manusia tapi Allah sendiri yang berbicara.

PG : Saya akan bacakan dari 1 Petrus 4:8, "Tetapi yang terutama kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa." Sudah tentu doa di sini memang dosa terhadap Tuhan, tapi dosa bisa kita kategorikan pelanggaran terhadap diri kita atau terhadap perasaan kita.

Nah pasangan kita mungkin sekali telah melanggar dan melakukan banyak pelanggaran dan Tuhan di sini menantang kita sebagai manusia yang telah ditebusnya untuk tetap mengasihi. Sebab Tuhan berkata kasih akan menutupi banyak dosa jadi apakah kita akan fokuskan pada dosa pasangan kita ataukah kita akan mencoba untuk mengasihi dia kembali. Nah kedua orang yang sedang mengalami masalah yang besar ini harus mulai dari titik mereka mau untuk merestorasi pernikahan itu, mereka mulai harus memfokuskan mata mereka pada usaha untuk mengasihi, bukan usaha untuk menyoroti dosa-dosa pasangannya. Nah ini harus dimulai kalau masih terus menyoroti dosa-dosa pasangannya, tidak akan maju-maju.
IR : Jadi juga faktor pengampunan ya Pak Paul?

PG : Tepat sekali, Ibu Ida.

IR : Kalau tak diampuni, dia sendiri tidak diampuni oleh Tuhan.

PG : Ya dan setiap hari memang akhirnya harus mengampuni.

GS : Ya jadi memang sebuah usaha harus dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk merestorasi sebuah pernikahan, tapi kita percaya bahwa pertolongan Tuhan pasti akan datang pada waktunya bagi orang yang sungguh-sungguh mau memperbaiki hubungan pernikahannya.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan dengan tema tentang proses restorasi pernikahan. Dan pembicaraan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dari studio kami mohon juga tanggapan saran serta pertanyaan-pertanyaan dari Anda yang bisa Anda alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 53 A

  1. Apakah makna restorasi pernikahan.....?
  2. Apakah maksud pernikahan yang sudah rusak....?
  3. Langkah-langkah apa yang dilakukan untuk merestorasi pernikahan ini...?


14. Model-Model Pernikahan 1 Faktor Penentu Kesuksesan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T055A (File MP3 T055A)


Abstrak:

Berdasarkan gaya atau cara dalam penyelesaian sebuah konflik yang unik dan berbeda kita akan mempelajari tiga macam model (gaya berelasi) dalam pernikahan. Di mana ketiga gaya tersebut dapat berjalan dengan baik untuk tujuan mewujudkan keberhasilan di dalam mempertahankan pernikahan.


Ringkasan:

Saya baru saja membaca sebuah buku yang sangat menarik sekali, buku itu berjudul "Why Marriages Succeed or Failed", mengapa pernikahan bisa sukses atau gagal. Buku yang ditulis oleh John Gartmand ini memaparkan bahwa sebetulnya pernikahan itu sangat unik sekali, seperti baju yang kita pakai itu tidak bisa pas untuk semua orang. Baju itu bisa pas untuk saya tapi mungkin tidak pas untuk orang lain, nah demikian juga dengan pernikahan.

Ada 3 model pernikahan berdasarkan gaya menyelesaikan konflik, tiga model tersebut adalah:

  1. Model pertama disebut "validating", pasangan yang "validating" adalah pasangan yang saling mengukuhkan, saling menguatkan satu sama lain.

    Dalam proses menyelesaikan konflik sekurang-kurangnya ada 3 tahapan:

    1. Tahap pengukuhn, mereka akan duduk bersama, memberikan kesempatan untuk pasangannya mengeluarkan unek-uneknya dan mereka saling mendengarkan.

    2. Tahap pembujukan, masing-masing mencoba meyakinkan lawan bicaranya akan kebenaran pendapatnya. Dengan kata lain masing-masing membujuk pasangannya untuk bisa mengakui bahwa dia benar.

    3. Tahap kompromi, masing-masing mencoba untuk mengalah atau menemukan titik temu atau jalan keluar dari masalah mereka.

    Yang mereka lakukan secara konkret adalah:

    1. Mereka senantiasa berupaya memelihara komunikasi, jadi kalau ada apa-apa yang mengganjal, mengganggu mereka tidak mencoba untuk membicarakannya.

    2. Mereka berupaya untuk saling terbuka.

    3. Mereka tetap berusaha mesra satu dengan yang lain.

    4. Berupaya membagi waktunya dengan pasangan, mengerjakan aktivitas atau hobbynya secara bersama-sama. Dengan kata lain mereka mencoba untuk menjaga kebersamaan tersebut.

    Kelemahan model ini adalah: Suami-istri cenderung mengorbankan minat pribadinya demi kebersamaan dengan pasanganya.

  2. Model kedua adalah volatile berarti tidak stabil mudah naik turun. Pasangannya ini kalau marah, marah tapi kalau mesra luar biasa mesranya.

    Ciri pasangan dalam kategori ini adalah:

    1. Seringkali terjadi pertengkaran tapi mereka juga pasangan yang lumayan hangat dan saling mencintainya.

    2. Tidak saling mendengarkan, dan tidak memberikan kesempatan kepada pasangannya untuk mengutarakan unek-uneknya.

    Ada beberapa tindakan konkret yang tampak nyata dalam model ini yaitu:

    1. Sangat menekankan kejujuran dan keterbukaan.

    2. Mereka sarat dengan kemarahan, namun juga penuh dengan kemesraan.

    Kelemahannya adalah kalau marah mereka langsung bicara apa yang mereka rasakan dan akan menjatuhkan pasangannya, kalau tidak hati-hati akhirnya melewati batas, mereka akan saling menghancurkan dengan kata-kata yang mereka lontarkan.

  3. Model ketiga disebut "avoidant" yaitu pasangan nikah yang cenderung menghindarkan diri dari pertengkaran.

    Cirinya adalah:

    1. Menekankan falsafah setuju untuk tidak setuju. Artinya untuk menghindari pertengkaran mereka cenderung menyetujui meskipun mereka tidak setuju.

    2. Berupaya mengakui perbedaan, tapi tidak berupaya meyakinkan pasangan akan kebenaran pendapatnya.

    Tindakan konkret yang dilakukan pasangan ini adalah:

    1. Yang pertama, saling menghindarkan. Mereka akan menyelesaikan masalah dengan pola menghindar atau meminimalkan problem.

    2. Yang kedua mereka akan menekankan pada apa yang disukai bukan pada apa yang tidak disukai.

    Kelemahan model ini adalah masalah akhirnya tidak diselesaikan dan itu akan mengganggu terus. Segi positifnya pasangan ini tidak saling menyakiti.

Contoh-contoh yang konkret untuk pasangan masing-masing model itu adalah sbb:

  1. Pasangan yang "volatile", pasangan yang tidak stabil, pasangan yang penuh emosi, mereka memang cukup sering bertengkar, namun kalau cinta dan kemesraan mereka 5 kali lebih banyak dari pertengkaran, pernikahan mereka akan kuat.

  2. Pasangan yang "validating" yang saling mengukuhkan, yang saling memberikan pengakuan, dengan kepala dingin dalam menghadapi problem memang tingkat ketegangannya sedang-sedang, tapi cinta dan kehangatan juga sangat tinggi.

  3. Yang terakhir adalah pasangan "avoidant" yang menghindar memang sepintas kurang menunjukkan kemesraan atau kedalaman hati. Tapi yang positifnya adalah sangat sedikit kritikan atau penghinaan, atau pelecehan.

Tindakan atau hal-hal positif dan negatif menurut penemuan Dr. Gartman ternyata menarik sekali.

Tindakan yang negatif:

  1. Ternyata yang dimaksud dengan tindakan negatif bukanlah kemarahan melainkan mencela dan menghina.

  2. Membenarkan diri tidak mau mengalah, defensif dan akhirnya misalkan menarik diri, mengucilkan diri tidak mau kontak dengan pasangannya.

  3. Menolak untuk berbicara dengan pasanganya.

  4. Dan yang terakhir dari tindakan negatif, kesepian dan kesendirian.

Tindakan yang positif
Yang dimaksud dengan tindakan positif adalah:

  1. Memperlihatkan ketertarikan pada apa yang dikatakan oleh pasangan kita.

  2. Menunjukkan kemesraan, misalnya kita menyentuhnya, berpegangan tangan, bercerita tentang masa lalu yang indah, terus menunjukkan kebersamaan kita dengan pasangan, waktu menghadapi problem kita tidak menyalahkan pasangan. Tapi kita berkata ini problem kita berdua, yuk kita hadapi bersama, atau melakukan hal-hal yang simpatik.

  3. Perhatian bisa kita berikan misalnya dengan membelikan sesuatu yang disenangi oleh pasangan kita.

  4. Juga di dalam menghargai pernikahan itu sendiri, misalnya kita mengingat-ingat kebaikannya dia. Bahwa dia adalah seorang istri yang telah mengabdi, berkorban untuk kita dan kita sampaikan pujian itu.

  5. Tindakan yang mencerminkan penghargaan adalah, kita tidak sedikit-sedikit melawan, berdebat dengan dia, tidak setuju.

  6. Kadang-kadang bercanda juga bisa mengakrabkan dan saling mendekatkan.

  7. Kalau memang kita telah menyusahkannya atau melukainya, permintaan maaf itu sangat dibutuhkan.

  8. Yang lain lagi misalnya adalah menerima dan menghormati pandangannya meskipun kita berbeda pandang.

Efesus 4:1, "Sebab itu aku menasehatkan kamu, aku orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu." Jadi pada intinya lepas dari model pernikahan, siapa kita, dan apa kepribadian kita, kita dipanggil Tuhan hidup untuk sepadan dengan panggilan Tuhan itu. Jadi tetap tolok ukurnya adalah Tuhan apa yang Tuhan inginkan, apa yang Tuhan memang kehendaki itulah yang coba kita lakukan.

Efesus 4:25,26 "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain karena kita adalah sesama anggota. Apabila kamu marah janganlah kamu berbuat dosa, janganlah matahari terbenam sebelum padam amarahmu dan janganlah berikan kesempatan kepada Iblis."

Firman Tuhan memberikan kita beberapa petunjuk, yang sangat jelas:

  1. Tuhan meminta kita untuk jujur, jangan berbohong.

  2. Tuhan juga berikan ruangan adanya kemarahan dalam kehidupan manusia, tapi yang Tuhan tekankan adalah jangan sampai kemarahan ini berubah menjadi suatu dosa.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Model-model Pernikahan". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Saya baru saja membaca sebuah buku yang sangat menarik sekali, buku itu berjudul "Why Marriages Succeed or Failed", mengapa pernikahan bisa sukses atau justru berantakan atau gagal. Teryata ada beberapa hal yang indah yang bisa saya temukan dari buku tersebut.

Buku yang ditulis oleh John Gartmand ini memaparkan bahwa sebetulnya pernikahan itu sangat unik sekali, seperti baju yang kita pakai itu tidak bisa pas untuk semua orang. Baju itu bisa pas untuk saya tapi mungkin tidak pas untuk orang lain, nah demikian juga dengan pernikahan. John Gartmand sebelum dia menulis buku ini dia melakukan penelitiannya dan dari penelitiannya itu dia mendapatkan sekurang-kurangnya 3 model pernikahan, nah nanti inilah yang akan kita bahas bersama Pak Gunawan dan Ibu Ida.
(1) GS : Yang dimaksud model itu dalam arti kata apa, Pak Paul?

PG : Model adalah gaya berelasi, namun secara spesifik yang menjadi tolok ukurnya John Gartmand ini adalah gaya menyelesaikan konflik. Jadi dari gaya menyelesaikan konflik yang unik dan berbda inilah dia membagi kira-kira ada 3 model pernikahan.

Di mana tiga-tiganya sebetulnya bisa berjalan dengan baik, adakalanya kita beranggapan bahwa pernikahan yang kuat atau yang sehat haruslah mengikuti pola tertentu atau gaya hidup tertentu, atau gaya membereskan konflik yang tertentu pula. Ternyata bagi Gartmand pandangan itu tidak tepat, dari risetnya dia menemukan ada beberapa model pasangan yang mempunyai cara hidup yang berbeda namun toh berhasil mempertahankan pernikahan mereka dengan lumayan baik, dengan lumayan sehat. Jadi bukannya karena keterpaksaan mereka saling setia dalam pernikahan tapi memang masing-masing bisa menikmati pernikahan itu dan bisa berkata ini pernikahan yang sehat. Namun caranya justru sangat berbeda dari cara yang biasa kita anggap sebagai yang sehat itu.
IR : Contoh konkretnya model seperti apa saja, Pak Paul?

PG : Ada 3 Bu Ida, jadi kita akan bahas mungkin yang pertama dulu sekarang. Yang pertama adalah disebut "validating", pasangan yang "validating" adalah pasangan yang saling mengukuhkan, salig menguatkan satu sama lain.

Jadi ada beberapa cirinya pasangan yang seperti ini, pertama dia tekankan pasangan ini sangat menekankan komunikasi dengan kepala dingin. Jadi mereka tidak berteriak, tidak marah-marah namun kalau ada problem mereka mencoba duduk bersama dan membereskannya dengan kepala dingin. Dan mereka biasanya mampu mendengarkan dan memahami pendapat atau perasaan pasangan-pasangannya walaupun tidak harus menyetujuinya. Jadi dalam pendiskusian masing-masing dengan bebas boleh mengutarakan perasaannya, namun dijaga jangan sampai diskusi itu berubah menjadi suatu pertengkaran yang hangat.
GS : Dalam hal ini, dalam model yang pertama ini apakah mereka bisa saja berbeda pendapat Pak Paul, tapi diutarakan dengan kepala dingin. Tapi bukankah itu sulit untuk orang bisa terus-menerus kepala dingin pada saat dia itu justru marah, berbeda pendapat dengan pasangannya?

PG : Rupanya memang orang-orang yang masuk dalam kategori "validating", yang saling mengukuhkan ini adalah orang-orang yang relatif mampu untuk menguasai perasaannya. Jadi memang kita harus kui ada orang yang lebih mudah untuk beremosi, ada yang lebih lamban beremosi, jadi reaksinya itu tidak terlalu cepat.

Waktu ada hal-hal yang mengganjal dan menjengkelkannya ya pasti jengkel, tapi dia tidak terlalu mudah atau cepat bereaksi secara emosional. Nah rupanya ini yang dimaksud oleh John Gartmand ada orang-orang yang memang seperti ini tidak cepat bereaksi, sehingga mereka mampu duduk bersama dan mengungkapkan perasaan-perasaan mereka tanpa harus saling marah.
GS : Lalu bagaimana mereka itu menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka?

PG : John Gartmand berhasil mengidentifikasi sekurang-kurangnya ada 3 tahapan dalam proses menyelesaikan konflik. Yang pertama adalah mereka akan duduk bersama memberikan kesempatan untuk paangannya mengeluarkan unek-uneknya dan ya mereka akan saling mendengarkan unek-unek tersebut.

Nah waktu mereka mendengarkan dan memberi kesempatan kepada pasangannya mengeluarkan unek-unek ini yang disebut olehnya "validation" memberikan pengukuhan, mengakui bahwa inilah yang menjadi unek-unekmu. Langkah kedua, setelah saling mendengarkan dan saling mengeluarkan unek-unek, masing-masing akan mencoba meyakinkan lawan bicaranya akan kebenaran pendapatnya. Kenapa dia bersikap seperti ini dan inilah alasan-alasannya, jadi dengan kata lain masing-masing akan berupaya membujuk pasangannya untuk bisa mengakui bahwa dia benar. Nah tahapan ini disebut oleh John Gartmand tahap pembujukan. Yang terakhir adalah di mana masing-masing mencoba OK-lah ini pendapatmu, ini pendapatku bagaimana sekarang kita bernegosiasi, berkompromi, nah ini tahapan yang disebut memang tahap kompromi. Jadi masing-masing mencoba untuk mengalah atau menemukan titik temu atau jalan keluar dari masalah mereka.
GS : Apakah dengan model seperti itu, selalu akan tercapai kompromi, Pak Paul?

PG : Saya duga tidak selalu, tapi kemungkinan tercapainya saya kira lumayan besar, karena masing-masing berkesempatan untuk mendengarkan posisi pasangannya dan juga masing-masing merasa bahw dia dimengerti oleh pasangannya.

Bahwa yang dia katakan itu sudah didengarkan dimengerti, nah sekarang masalahnya adalah bagaimana mencapai titik temunya. Meskipun tidak ada jaminan mereka pasti menemukan titik temu, namun saya kira kemungkinan besar mereka akan mencapai titik temu itu.
GS : Tapi dalam tahap yang saling mempengaruhi itulah saya rasa bisa lama, bisa sebentar Pak Paul?

PG : Betul sekali, jadi bisa kalau masalahnya tidak terlalu prinsip bisa diselesaikan dengan cepat, tapi kalau masalahnya yang cukup prinsip, bisa berlangsung berhari-hari, Pak Gunawan.

GS : Karena bukankah masing-masing akan meyakinkan lawan bicaranya itu untuk menerima argumentasinya.

PG : Tepat sekali, namun rupanya sampai titik tertentu setelah mereka rasakan tidak bisa lagi saling mempengaruhi, maka keduanya akan bersedia (saya garis bawahi kata bersedia), bersedia untk mundur selangkah agar keduanya bisa menemukan titik temu di antara keduanya itu.

IR : Nah kira-kira tindakan konkret apa Pak Paul?

PG : Yang mereka lakukan secara konkretnya adalah mereka senantiasa berupaya memelihara komunikasi, jadi kalau ada apa-apa yang mengganjal, mengganggu, mereka tidak dengan sengaja menyembunykannya, tapi mereka mencoba untuk membicarakannya.

Yang lainnya lagi adalah mereka berupaya untuk saling terbuka, jadi tidak mau menutup-nutupi apa yang sedang mengganjalnya. Berikutnya mereka secara konkret untuk tetap mesra dengan satu sama lain, meskipun ada perbedaan, mereka tetap menjaga adanya kemesraan di antara mereka. Dan yang terakhir tindakan konkretnya adalah pasangan yang "validating" ini berupaya membagi waktunya dengan pasangan, mengerjakan aktivitas atau hobbynya secara bersama-sama, jadi dengan kata lain mereka mencoba untuk bisa menjaga kebersamaan tersebut.
GS : Apakah model "validating" ini dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan atau kematangan pribadi dari keduanya atau apa, Pak Paul?

PG : Saya kira semuanya itu mempengaruhi Pak Gunawan, jadi kematangan pasti mempengaruhi, latar belakang keluarga atau sosial juga mempengaruhi, lingkungan bagaimana dia dibesarkan juga mempngaruhi.

Tapi saya kira juga secara biologis kepribadian mereka juga mempengaruhi, karena ada orang-orang yang memang mudah untuk menguasai perasaannya, karena memang secara biologis dia adalah orang yang lebih reaktif. Nah yang menarik bukankah model ini adalah model ideal dan kita senantiasa berupaya menjadikan pernikahan kita seperti ini. Nah, John Gartmand mengakui ini model yang baik, model yang sehat tapi ternyata ini model yang punya kelemahannya pula. Jadi toh tidak sempurna dan bahkan yang dia tekankan dalam buku itu adalah model-model yang lainnya sama absahnya, sama-sama baiknya. Sebab masing-masing punya kekuatan dan juga kelemahannya.
GS : Apa kelemahannya Pak Paul dari model seperti itu?

PG : Yang paling utama adalah suami-istri cenderung mengorbankan minat pribadinya demi kebersamaan dengan pasangannya. Nah dalam pernikahan ini saya menggunakan istilah pernafasan pernikahan istilah ini sebenarnya dikeluarkan oleh Dr.

James Dobson seorang Psikolog Kristen dari Amerika Serikat. Nah Dr. James Dobson menekankan bahwa pernikahan yang sehat perlu memiliki yang dia sebut pernafasan pernikahan atau maksudnya adalah ruangan untuk bergerak. Adakalanya pernikahan itu menjadi sepertinya lintah yang menempel di badan manusia sangat akrab, nah justru yang ditekankan oleh James Dobson adalah pernikahan yang sehat tidak senantiasa harus lekat atau dekat. Adakalanya dekat, adakalanya harus mundur supaya apa, supaya pasangannya memperoleh kesempatan untuk mengembangkan hidup pribadinya dan ini yang disebut nafas pernikahan, bisa dekat, bisa agak mundur. Jadi saya kira model pertama ini akan kehilangan kesempatan bagi si individu, masing-masing individu untuk mengembangkan kehidupan pribadinya. Sebab hampir semua hal akan diukur dari satu ukuran yaitu kebersamaan. Waktu seseorang misalnya si istri mulai mengembangkan minat pribadinya, si suami mungkin akan merasa engkau mulai meninggalkan saya, kok kita tidak bersama-sama lagi. Waktu si suami mau pergi sekali-kali dengan teman-teman prianya ke gereja, si istri akan berkata kenapa tidak mengajak istrimu, kalau mau pergi ajak istri juga dong. Jadi dengan kata lain sangat mengidealkan, mengagungkan kebersamaan. Nah dalam batasan tertentu itu sehat, tapi saya sangat menyetujui konsep yang ditawarkan dari James Dobson, bahwa pernikahan itu atau pernikahan yang sehat justru tidak senantiasa harus bersama terus-menerus. Adakalanya justru berikan ruangan bagi pasangan kita untuk mengembangkan hidupnya secara pribadi. Kita tahu kapan kita bersama-sama, kita tahu kita adalah pasangan yang kuat, saling memperhatikan, tapi adakalanya kita juga perlu untuk bernafas bersama-sama dengan teman kita juga, nah itu baik.
GS : Saya rasa kadang-kadang itu perlu untuk menghindari kejenuhan, tapi memang dibutuhkan pengorbanan. Tapi bukankah semestinya semua bisa dilakukan oleh istri, tapi karena kita membiarkan dia pergi atau memberi kesempatan dia pergi supaya terjadi nafas, pekerjaannya akhirnya kita yang ambil alih, Pak Paul. Seperti menanak nasi mungkin dan sebagainya?

PG : Betul, dan saya setuju dengan Pak Gunawan bahwa itu justru ada faedahnya, tidak selalu jelek. Saya berikan contoh, beberapa waktu yang lalu istri saya meninggalkan kami satu keluarga unuk pergi ke Jakarta selama kira-kira 4 hari.

Nah sepulangnya istri saya, istri saya berkata aduh saya ini merasa sangat senang, dia bilang terima kasih ya memberi saya izin pergi ke Jakarta. Dia bisa bertemu dengan teman baiknya, ngobrol dan sebagainya tanpa direcoki/diganggu oleh anak-anak. Nah ini adalah kemajuan besar buat istri saya, sebelumnya dia tidak pernah bisa melakukan hal ini. Dan selalu merasa bersalah kalau tidak bersama-sama keluarga, dia harus bersama-sama dengan anak-anak, kalau saya dan istri sering berpisah kadang-kadang saya pergi keluar pulau atau apa tapi dia tidak pernah berpisah dengan anak-anak. Ini baru pertama kali dan dia kembali justru merasa sangat senang dan dia berkata ini pun baik buat anak-anak, karena anak-anak sangat kehilangan dia, sangat menghargai kehadirannya. Jadi dia berkata, ya kalau saya di rumah terus-menerus anak-anak ini tidak menghargai saya, bagus jugalah saya pergi, benar-benar mereka menghargai saya.
IR : Jadi perlu di coba, Pak Paul?
GS : Jadi kesimpulannya apa Pak Paul dari tipe ini atau model ini?

PG : Kesimpulannya ini model yang baik, jadi banyak pernikahan yang seperti ini dan bertahan lama. Namun kita mesti ingat kelemahannya, kelemahannya adalah masing-masing tidak bisa mengembankan kehidupan pribadinya.

Bahkan ada kecenderungan kalau seorang mulai mengembangkan kehidupan pribadinya dia akan merasa bersalah, seolah-olah kok saya berbuat ini, melakukan hal ini, tidak bersama keluarga saya atau istri saya atau suami saya. Dia merasa sangat bersalah lagi, nah otomatis yang saya maksud bukan perbuatan dosa. Nah adakalanya baik bisa mengembangkan kehidupan pribadi tapi juga hati-hati yaitu adakalanya justru karena yang satunya merasa kurang aman dia akan berupaya untuk memancing atau menimbulkan rasa bersalah dari pasangannya. Kenapa engkau tidak mengajak saya, kenapa engkau sekarang egois, nah tidak seharusnya dan tidak selalu tindakan-tindakan yang mengembangkan kehidupan pribadi dianggap sebagai tindakan yang egois. Karena pada akhirnya sewaktu dua-dua merasa sangat cukup dan sangat puas, dia akan memberikan sumbangsih yang justru lebih sehat pada pernikahan itu sendiri.
IR : Nah kira-kira model yang berikutnya apa, Pak Paul?

PG : Model berikutnya adalah ini dia yang sangat menarik, model yang sering kali dianggap sangat-sangat destruktif, sangat berpotensi menghancurkan keluarga. Yakni dalam bahasa Inggrisnya diebut model "volatile".

"Volatile" itu berarti tidak stabil mudah naik turun. Nah dia memberikan beberapa ciri pada pasangan yang masuk dalam kategori model "volatile" ini. Yang pertama adalah sering kali pasangan ini bertengkar, jadi pertengkaran itu bukannya jarang tapi lumayan sering, misalkan seminggu sekali mereka bisa bertengkar. Dan yang menarik adalah pertengkaran itu biasanya berkaitan dengan hal-hal yang sepele, kenapa handuk ditaruhnya begini, kenapa tadi engkau tidak mengajak saya, kenapa jalan tidak melihat sampai nyenggol begitu. Jadi hal-hal yang kecil-kecil akhirnya menjadi sumber keributan, tapi ciri yang unik dari pasangan ini adalah meskipun mereka lumayan bertengkar, namun mereka itu berhasil mengkompensasikan pertengkaran-pertengkaran tersebut dengan kehangatan dan keakraban. Maksudnya begini, mereka menjadi pasangan yang lumayan sering bertengkar tapi mereka adalah pasangan yang hangat, yang sangat mesra, saling memperhatikan, saling mengetahui kebutuhan pasangannya dan mencoba untuk memenuhinya jadi seolah-olah sangat kontras sekali naik turunnya. Di satu pihak bertengkar dan kalau bertengkar lumayan panas, namun luar biasa hangatnya dan saling mencintainya.
GS : Dalam hal tipe atau model seperti itu, bagaimana caranya mereka itu kalau menyelesaikan konflik, karena seringnya terjadi konflik?

PG : Yang menarik adalah mereka itu langsung ke sebetulnya ke tahapan yang kedua kalau kita tadi membahas bahwa pasangan yang pertama "validating" itu pasti akan memulai dengan mendengarkan asangannya, mengeluh, mengeluarkan unek-unek, di mana masing-masing mengkomunikasikan apa itu yang mengganggu dirinya.

Nah pasangan yang "volatile", yang naik turun ini, yang kurang stabil, tidak. Tidak ada lagi waktu saling mendengarkan, dua-duanya mungkin bicara pada waktu yang bersamaan. Dan dengan nada yang tinggi, artinya apa, mereka tidak memberikan kesempatan untuk mendengarkan dan tidak memberikan kesempatan kepada pasangannya untuk mengutarakan unek-uneknya juga. Sebab masing-masing akan sibuk untuk saling membela dirinya, tahap kedua membenarkan tindakannya, menuntut pasangannya untuk begini dan begitu. Tapi aneh bin ajaibnya adalah pada akhirnya mereka itu seolah-olah bisa menyelesaikan problemnya dalam pengertian ya melalui konfrontasi, argumen-argumen yang keras, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, tapi akhirnya mereka bisa mengerti bahwa itulah yang diminta oleh pasangannya dan yang satunya akan berkata OK-lah saya akan setujui. Jadi mungkin kali panas tapi akhirnya bisa terselesaikan karena yang satu mengerti, yang satu mengalah, OK-lah saya akan ikuti. Nah itulah tipe pertengkaran dan tipe bagaimana mereka membereskan pertengkaran itu.
IR : Tapi itu dibutuhkan jiwa yang sportif, Pak Paul.....?

PG : Betul sekali, itu hal yang penting sekali Ibu Ida. Jadi kalau masing-masing itu mau menang sendiri sama sekali tidak mau mengalah, ya tidak bisa memang, jadi jiwa sportif itu harus ada.

GS : Tindakan konkret apa Pak Paul yang dibutuhkan atau tampak nyata di dalam pasangan, dengan model seperti itu?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah orang-orang ini sangat menekankan kejujuran dan keterbukaan. Jadi kalau ditanya apa falsafah pernikahan saudara, falsafahnya pasti adalah jjur dan terbuka begitu, pokoknya ada apa-apa harus ngomong langsung.

Nah berikutnya adalah tindakan yang biasanya kita lihat dalam hubungan mereka, mereka memang sarat dengan kemarahan, namun juga penuh dengan kemesraan. Banyak moment yang menyakitkan, tapi banyak moment-moment yang indah pula begitu.
GS : Mungkin tipe ini pernah terlihat itu ada pasangan yang sering bertengkar, konflik tapi anaknya banyak, mungkin karena itu. Tadi Pak Paul katakan seperti yang pertama tadi 'kan tiap-tiap model pernikahan itu punya kelemahan Pak Paul, sekalipun itu berhasil mengatasi konflik kelemahannya bagaimana....?

PG : Nah pasangan yang "volatile" ini titik kelemahannya adalah yaitu mereka langsung bicara apa yang mereka rasakan, kalau tidak hati-hati dan akhirnya melewati batas mereka akan saling menhancurkan.

Jadi kata-kata yang mereka lontarkan benar-benar seperti pisau yang tajam dan menghujam ulu hati pasangannya, nah itu bahaya. Jadi pasangan yang pertama memang memiliki kelemahan, kelemahannya cukup serius sebetulnya, sebab orang yang kehilangan dirinya atau kehidupan pribadinya lama-lama bisa berontak sehingga menimbulkan masalah yang besar dalam pernikahan itu. Kalau yang "volatile" yang memang penuh emosi ini kelemahannya adalah kadang-kadang mereka akan keceplosan membicarakan dengan kasar dan keras, saling caci maki. Nah kita tahu hal-hal yang dikatakan oleh pasangan kita yang kasar dan menghina kita, pasti akan merusak dan merobek-robek hati kita dan bukan saja menimbulkan luka tapi kebencian pada pasangan kita. Dan biasanya waktu kita dirobek-robek kita tidak tinggal diam akan balas merobeknya pula dan akhirnya memang pasangan ini kalau tidak menjaga batas dalam kemarahannya, dalam waktu sekejap karena emosi yang tinggi bisa berkata OK! Kita pisah, misalnya seperti itu. OK! Saya tidak butuh engkau lagi atau silakan engkau keluar dari rumah, aku tak butuh engkau lagi, nah itu kata-kata bisa terlontar dengan sangat mudah. Dan yang fatal adalah OK! kita cerai sekarang, saya tidak takut hidup tanpa engkau, yang satunya menimpali saya juga tidak takut hidup tanpa engkau. Akhirnya dua-duanya saking emosi kebablasan, kelewatan.
GS : Tapi mungkin selama mereka masih membicarakan masalahnya, bukan orangnya, mereka masih bisa berkomunikasi, Pak Paul?

PG : Betul, masalahnya adalah pasangan yang "volatile" ini mereka akhirnya mudah sekali tersedot kepada orangnya yang diserang. Karena sekali lagi emosi yang begitu tinggi akhirnya ya membua dia lupa daratan dah, bahkan ini adalah model pasangan yang kalau tidak hati-hati akan berakhir dengan pemukulan, kekerasan jadi akhirnya saling menampar, saling mendorong, akhirnya saling memukul atau yang satu dipukuli oleh yang satunya.

GS : Ada yang berpendapat bahwa kalau orang suka ceplas-ceplos seperti ini, kalau ada orang lain yang mengatai dia, lebih tahan katanya, Pak Paul. Jadi tidak gampang tersinggung dibandingkan dengan orang yang diam.

PG : Mungkin maksudnya tidak tersinggung dalam pengertian dia tidak mengingat-ingat karena dia langsung balas dan dia keluarkan perasaannya, mungkin tidak tersinggung dalam pengertian itu. Tpi saya duga waktu diserang, tetap dia marah, tetap dia tersinggung, namun bedanya adalah dia langsung keluarkan kembali kemarahan tersebut, dia tidak simpan.

Sehingga kemungkinan memang kemarahan itu akhirnya reda dan dia tidak lagi mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh orang lain itu.
IR : Tapi kalau pertengkaran itu terus-menerus Pak Paul 'kan memang bahaya, bisa menjurus ke perceraian.

PG : Betul, saya sangat berkeyakinan bu Ida bahwa pertengkaran itu bukanlah bumbu pernikahan, pertengkaran itu sebenarnya adalah racun dalam pernikahan. Sebab saya bukannya membicarakan perbdaan pendapat, saya bicara pertengkaran yang saling ribut, saling marah dan sebagainya.

Sebab biasanya waktu kita bertengkar seperti itu kita menyakiti pasangan kita, kita menyakiti dan menyakiti, itu sama dengan merobek, jadi semakin sering bertengkar, semakin besar robekannya.
GS : Itu belum lagi dampaknya ke anak-anak, yang melihat itu Pak Paul?

PG : Betul, dan untuk menjahit robek yang sudah besar itu memerlukan waktu yang lama.

GS : Pak Paul, saya rasa memang masih ada tipe yang lain yang harus kita bicarakan tapi ini rupa-rupanya waktu kita juga tidak banyak, namun pada kesempatan yang akan datang pasti kita akan bicarakan itu. Tapi mungkin Pak Paul bisa sebutkan tipe yang ketiga itu Pak Paul.

PG : Tipe yang ketiga adalah tipe "avoidant", model "avoidant" adalah pasangan yang justru ya mencoba menghindarkan diri dari pertengkaran, jadi kebalikannya dari yang "volatile" itu.

GS : Itu nanti akan kita bicarakan pada kesempatan yang akan datang dan kami harapkan tentu para pendengar yang sudah mengikuti acara ini akan bisa mengikuti pada kesempatan yang akan datang. Nah sehubungan dengan model-model seperti ini Pak Paul yang tentunya pasti kamu percaya Tuhan yang menjodohkan mereka bagaimanapun juga dan itu tidak akan keliru Pak Paul. Nah apa yang firman Tuhan itu mau katakan?

PG : Saya akan bacakan dari kitab Efesus 4:1 dimulai di firman Tuhan, "Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orng yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu."

Jadi pada intinya lepas dari model pernikahan dan siapa kita dan apa kepribadian kita, kita dipanggil Tuhan hidup untuk sepadan dengan panggilan Tuhan itu. Jadi tolok ukurnya tetap adalah Tuhan apa yang Tuhan inginkan, apa yang Tuhan memang kehendaki itulah yang coba kita lakukan.
GS : Kita tidak perlu mencontoh bentuk yang lain Pak Paul ya, sesuai dengan yang Tuhan anugerahkan kepada kita?

PG : Betul

GS : Jadi para pendengar yang kami kasihi demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang model pernikahan dan baru dua model yang bisa kami sampaikan namun Anda bisa mengikutinya pada kesempatan yang akan datang 'tuk kelanjutan perbincangan kami pada saat ini. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 55A

  1. Apakah yang dimaksud model dalam pernikahan...?
  2. Apa sajakah model-model tersebut...?



15. Model-Model Pernikahan 2 Faktor Penentu Kesuksesan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T055B (File MP3 T055B)


Abstrak:

Lanjutan dari T55A


Ringkasan:

Saya baru saja membaca sebuah buku yang sangat menarik sekali, buku itu berjudul "Why Marriages Succeed or Failed", mengapa pernikahan bisa sukses atau gagal. Buku yang ditulis oleh John Gartmand ini memaparkan bahwa sebetulnya pernikahan itu sangat unik sekali, seperti baju yang kita pakai itu tidak bisa pas untuk semua orang. Baju itu bisa pas untuk saya tapi mungkin tidak pas untuk orang lain, nah demikian juga dengan pernikahan.

Ada 3 model pernikahan berdasarkan gaya menyelesaikan konflik, tiga model tersebut adalah:

  1. Model pertama disebut "validating", pasangan yang "validating" adalah pasangan yang saling mengukuhkan, saling menguatkan satu sama lain.

    Dalam proses menyelesaikan konflik sekurang-kurangnya ada 3 tahapan:

    1. Tahap pengukuhn, mereka akan duduk bersama, memberikan kesempatan untuk pasangannya mengeluarkan unek-uneknya dan mereka saling mendengarkan.

    2. Tahap pembujukan, masing-masing mencoba meyakinkan lawan bicaranya akan kebenaran pendapatnya. Dengan kata lain masing-masing membujuk pasangannya untuk bisa mengakui bahwa dia benar.

    3. Tahap kompromi, masing-masing mencoba untuk mengalah atau menemukan titik temu atau jalan keluar dari masalah mereka.

    Yang mereka lakukan secara konkret adalah:

    1. Mereka senantiasa berupaya memelihara komunikasi, jadi kalau ada apa-apa yang mengganjal, mengganggu mereka tidak mencoba untuk membicarakannya.

    2. Mereka berupaya untuk saling terbuka.

    3. Mereka tetap berusaha mesra satu dengan yang lain.

    4. Berupaya membagi waktunya dengan pasangan, mengerjakan aktivitas atau hobbynya secara bersama-sama. Dengan kata lain mereka mencoba untuk menjaga kebersamaan tersebut.

    Kelemahan model ini adalah: Suami-istri cenderung mengorbankan minat pribadinya demi kebersamaan dengan pasanganya.

  2. Model kedua adalah volatile berarti tidak stabil mudah naik turun. Pasangannya ini kalau marah, marah tapi kalau mesra luar biasa mesranya.

    Ciri pasangan dalam kategori ini adalah:

    1. Seringkali terjadi pertengkaran tapi mereka juga pasangan yang lumayan hangat dan saling mencintainya.

    2. Tidak saling mendengarkan, dan tidak memberikan kesempatan kepada pasangannya untuk mengutarakan unek-uneknya.

    Ada beberapa tindakan konkret yang tampak nyata dalam model ini yaitu:

    1. Sangat menekankan kejujuran dan keterbukaan.

    2. Mereka sarat dengan kemarahan, namun juga penuh dengan kemesraan.

    Kelemahannya adalah kalau marah mereka langsung bicara apa yang mereka rasakan dan akan menjatuhkan pasangannya, kalau tidak hati-hati akhirnya melewati batas, mereka akan saling menghancurkan dengan kata-kata yang mereka lontarkan.

  3. Model ketiga disebut "avoidant" yaitu pasangan nikah yang cenderung menghindarkan diri dari pertengkaran.

    Cirinya adalah:

    1. Menekankan falsafah setuju untuk tidak setuju. Artinya untuk menghindari pertengkaran mereka cenderung menyetujui meskipun mereka tidak setuju.

    2. Berupaya mengakui perbedaan, tapi tidak berupaya meyakinkan pasangan akan kebenaran pendapatnya.

    Tindakan konkret yang dilakukan pasangan ini adalah:

    1. Yang pertama, saling menghindarkan. Mereka akan menyelesaikan masalah dengan pola menghindar atau meminimalkan problem.

    2. Yang kedua mereka akan menekankan pada apa yang disukai bukan pada apa yang tidak disukai.

    Kelemahan model ini adalah masalah akhirnya tidak diselesaikan dan itu akan mengganggu terus. Segi positifnya pasangan ini tidak saling menyakiti.

Contoh-contoh yang konkret untuk pasangan masing-masing model itu adalah sbb:

  1. Pasangan yang "volatile", pasangan yang tidak stabil, pasangan yang penuh emosi, mereka memang cukup sering bertengkar, namun kalau cinta dan kemesraan mereka 5 kali lebih banyak dari pertengkaran, pernikahan mereka akan kuat.

  2. Pasangan yang "validating" yang saling mengukuhkan, yang saling memberikan pengakuan, dengan kepala dingin dalam menghadapi problem memang tingkat ketegangannya sedang-sedang, tapi cinta dan kehangatan juga sangat tinggi.

  3. Yang terakhir adalah pasangan "avoidant" yang menghindar memang sepintas kurang menunjukkan kemesraan atau kedalaman hati. Tapi yang positifnya adalah sangat sedikit kritikan atau penghinaan, atau pelecehan.

Tindakan atau hal-hal positif dan negatif menurut penemuan Dr. Gartman ternyata menarik sekali.

Tindakan yang negatif:

  1. Ternyata yang dimaksud dengan tindakan negatif bukanlah kemarahan melainkan mencela dan menghina.

  2. Membenarkan diri tidak mau mengalah, defensif dan akhirnya misalkan menarik diri, mengucilkan diri tidak mau kontak dengan pasangannya.

  3. Menolak untuk berbicara dengan pasanganya.

  4. Dan yang terakhir dari tindakan negatif, kesepian dan kesendirian.

Tindakan yang positif
Yang dimaksud dengan tindakan positif adalah:

  1. Memperlihatkan ketertarikan pada apa yang dikatakan oleh pasangan kita.

  2. Menunjukkan kemesraan, misalnya kita menyentuhnya, berpegangan tangan, bercerita tentang masa lalu yang indah, terus menunjukkan kebersamaan kita dengan pasangan, waktu menghadapi problem kita tidak menyalahkan pasangan. Tapi kita berkata ini problem kita berdua, yuk kita hadapi bersama, atau melakukan hal-hal yang simpatik.

  3. Perhatian bisa kita berikan misalnya dengan membelikan sesuatu yang disenangi oleh pasangan kita.

  4. Juga di dalam menghargai pernikahan itu sendiri, misalnya kita mengingat-ingat kebaikannya dia. Bahwa dia adalah seorang istri yang telah mengabdi, berkorban untuk kita dan kita sampaikan pujian itu.

  5. Tindakan yang mencerminkan penghargaan adalah, kita tidak sedikit-sedikit melawan, berdebat dengan dia, tidak setuju.

  6. Kadang-kadang bercanda juga bisa mengakrabkan dan saling mendekatkan.

  7. Kalau memang kita telah menyusahkannya atau melukainya, permintaan maaf itu sangat dibutuhkan.

  8. Yang lain lagi misalnya adalah menerima dan menghormati pandangannya meskipun kita berbeda pandang.

Efesus 4:1, "Sebab itu aku menasehatkan kamu, aku orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu." Jadi pada intinya lepas dari model pernikahan, siapa kita, dan apa kepribadian kita, kita dipanggil Tuhan hidup untuk sepadan dengan panggilan Tuhan itu. Jadi tetap tolok ukurnya adalah Tuhan apa yang Tuhan inginkan, apa yang Tuhan memang kehendaki itulah yang coba kita lakukan.

Efesus 4:25,26 "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain karena kita adalah sesama anggota. Apabila kamu marah janganlah kamu berbuat dosa, janganlah matahari terbenam sebelum padam amarahmu dan janganlah berikan kesempatan kepada Iblis."

Firman Tuhan memberikan kita beberapa petunjuk, yang sangat jelas:

  1. Tuhan meminta kita untuk jujur, jangan berbohong.

  2. Tuhan juga berikan ruangan adanya kemarahan dalam kehidupan manusia, tapi yang Tuhan tekankan adalah jangan sampai kemarahan ini berubah menjadi suatu dosa.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan melanjutkan perbincangan kami beberapa waktu yang lalu tentang "Model-model Pernikahan," dan kami juga akan membicarakan tentang "Faktor-faktor Penentu Keberhasilan di dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita membicarakan tentang model-model pernikahan dan baru dua model waktu itu sempat kita perbincangkan, dan kita akan melanjutkan perbincangan itu pada kesempatan ini. Nah, supaya para pendengar bisa mengikuti seluruh pembicaraan ini bagaimana kalau Pak Paul bisa ulangi sejenak secara cepat yang pernah kita bicarakan beberapa waktu yang lalu.

PG : Bahan diskusi sebenarnya diambil dari sebuah buku yang berjudul "Why Marriages Succeed or Failed", mengapa pernikahan itu sukses atau gagal. Penulisnya adalah Dr. John Gartmand, nah dalm buku tersebut beliau memang memaparkan hasil temuannya berdasarkan riset yang telah beliau lakukan.

Ternyata bahwa suatu pernikahan itu tidak harus mengambil bentuk-bentuk yang spesifik untuk sukses, pernikahan itu bisa sukses meskipun mempunyai bentuk-bentuk yang berbeda. Jadi dengan kata lain dia menemukan bahwa kepribadian orang itu tidak sama, cara hidupnya tidak sama. Nah, akhirnya ketidaksamaan itu membentuk suatu keunikan dalam pernikahan dan masing-masing keunikan tersebut bisa menjadi suatu relasi nikah yang kuat, meskipun masing-masing juga punya kelemahannya. Nah beliau memberikan sekurang-kurangnya 3 model pernikahan yang memang ditemukan cukup sukses untuk bisa terus dibawa. Yang pertama adalah model yang dia sebut model "validating". Model "validating" adalah model yang saling mengukuhkan. Jadi bagaimana pasangan ini kalau sedang berkonflik mencoba dengan kepala dingin duduk bersama, saling mendiskusikan problem, mendengarkan apa yang menjadi unek-unek pasangannya dan pada akhirnya bersama bernegosiasi, berkompromi untuk menemukan jalan tengah. Kelemahan dari model ini adalah model ini cenderung terlalu menekankan kebersamaan, jadi kalau si suami mulai mengembangkan kehidupan pribadinya, sedikit di luar si istri, si istri merasa terancam. Atau kebalikannya kalau si istri mulai sering pergi dengan teman-teman wanitanya, si suami merasa tidak aman karena berkata kita harus bersama-sama. Jadi yang penting adalah bagaimana bisa memberikan ruangan kepada pasangan untuk juga mengembangkan kehidupan pribadi. Model yang kedua adalah yang disebut "volatile" adalah model yang sebetulnya berarti tidak stabil, mudah naik turun. Pasangan ini kalau marah, marah, tapi kalau mesra luar biasa mesranya. Nah dalam menghadapi konflik mereka biasanya tidak saling mendengarkan, sebab masing-masing sibuk untuk membenarkan diri dan biasanya disertai dengan kemarahan. Namun pada akhirnya mereka berhasil membereskan konflik, ya memang saling marah, saling menuduh dan saling membenarkan, tapi akhirnya satu sama lain bisa mengerti apa yang diminta dan dituntut oleh pasangannya dan mencoba untuk melakukannya. Nah ini model yang kedua model yang memang bisa bertahan lama tapi juga mempunyai kelemahan. Kelemahannya ialah kalau mereka marah dan kelewatan batas akan menghancurkan pasangannya karena mereka akan menjatuhkan pasangannya, nah itu model yang sudah kita bahas Pak Gunawan.
GS : Dan kalau dari kedua model itu saling bertolak belakang Pak Paul, tapi masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya maka kali ini kita akan membahas model yang ketiga, apakah itu Pak Paul?

PG : Model ini disebut "avoidant", jadi model pasangan nikah ini cenderung menghindarkan diri dari pertengkaran itu kira-kira intinya. Nah model ini mempunyai ciri-ciri yang pertama adalah mdel ini menekankan falsafah setuju untuk tidak setuju.

Artinya mereka akan tidak setuju, mereka akan mengatakan saya tidak bisa menerima usulanmu atau apa tapi masing-masing akan berkata ya silakan engkau lakukan tidak apa-apa. Jadi daripada bertengkar mereka cenderung atau menyetujui meskipun mereka mengungkapkan baha mereka tidak setuju. Mereka juga cenderung mengecilkan keseriusan konflik dan menghindarkan pembicaraan yang akan berakhir dengan buntu. Artinya kalau mereka tahu bahwa yang akan mereka percakapkan ini berpotensi atau berkembang menjadi suatu pertengkaran mereka cenderung menghindarkannya, daripada bertengkar lebih baik tidak usah dibicarakan. Atau kalaupun dibicarakan mereka cenderung mengecilkan keseriusannya atau tuntutan mereka dan akan berkata misalnya kalau engkau tidak mau ya tidak apa-apa, saya tidak akan memaksa engkau. Atau saya tidak setuju tapi ya terserah engkau lakukan itu atau tidak. Jadi mereka cenderung tidak mau mengatakan apa yang sebetulnya mengganggu mereka dan apa yang sungguh-sungguh mereka inginkan dari pasangannya. Jadi mereka akhirnya cenderung menitikberatkan pada persamaan, kalau ditanya mereka akan berkata ya kami bertengkar tapi tidak terlalu berat, ya kami mengakui kami tidak sama, kami ini berbeda tapi kami mempunyai banyak kesamaan yang lain, kami masih bisalah menoleransi satu sama lain jadi tidak apa-apa, pernikahan ini bisa terus bisa langgeng.
GS : Rupa-rupanya itu mengambil jalan tengah dari kedua model yang ekstrim tadi Pak Paul. Nah tetapi bukankah pertengkaran itu tak terhindarkan, saya rasa suatu saat walaupun memakai model ini pasti mereka akan mengalami konflik, Pak Paul. Nah kalau sampai itu terjadi apa yang mereka lakukan?

PG : Biasanya mereka akan memberikan kesempatan pada pasangannya untuk mengeluarkan unek-unek, mereka akan mencoba mendengarkan pula tapi bedanya dengan pasangan yang pertama yang kita sebut"validating", pasangan yang "avoidant" ini saling menghindarkan diri, tidak membiarkan diri mereka untuk terlibat secara emosional.

Jadi benar-benar jarak itu dijaga dan pembicaraan itu sangat bersifat rasional, tidak melibatkan perasaan. Kedua, mereka juga akan berupaya mengakui perbedaan, tapi tidak berupaya meyakinkan pasangan akan kebenaran pendapatnya. Jadi mereka akan berkata saya tidak sama dengan kamu, saya tidak melihatnya seperti itu, namun mereka akan berkata ya terserah engkau tidak mau setuju dengan saya ya terserah engkau, akupun tidak harus setuju dengan engkau. Jadi masing-masing tidak berupaya meyakinkan pasangan atau membujuk pasangan, nah akhirnya yang terjadi adalah memang tidak ada titik kompromi, mereka tidak akan saling bernegosiasi, mencari jalan tengah dengan kata lain problem itu tidak dipecahkan, diapakan jadinya, dikesampingkan begitu.
IR : Nah kira-kira apakah tindakan konkretnya, Pak Paul?

PG : Pada dasarnya pasangan yang "avoidant" ini, saling menghindarkan ini akan "menyelesaikan masalah dengan pola menghindar" atau meminimalkan problem. Jadi kalau ditanya berapa seringnya brtengkar, mereka akan berkata kami jarang bertengkar, mereka mencoba menghindarkan pertengkaran.

Dan yang kedua mereka itu akan menekankan pada apa yang disukai bukan pada apa yang tidak disukai. Jadi kalau sudah menikah bertahun-tahun akan ditanya apa yang engkau tidak sukai pada pasanganmu, dengan jujur mungkin mereka akan berkata tidak ada atau sedikit sekali. Karena apa, karena mereka mencoba untuk tidak mengingat yang tidak mereka sukai, yang hanya mereka sukai sajalah yang mereka akan ingat. Dan yang tidak disukai mereka akan terima, tidak suka caranya tidur, tidak suka gaya hidupnya kalau malam tidur jam dua pagi bangun jam 10 pagi misalnya, mereka tidak suka tapi mereka terima. Nah saya kira falsafah ini sering kita dengar dari orang tua dulu, yang baik-baiknya, yang jelek-jeleknya jangan dipikirkan. Tapi kita bisa melihat kakek-nenek, orang tua kita itu langgeng menikah berpuluhan tahun dengan model seperti ini.
IR : Tapi tidak menyelesaikan masalah, Pak Paul?

PG : Tepat, itu kelemahannya masalah akhirnya tidak diselesaikan.

GS : Dan masalah itu akan terus mengganggu Pak Paul?

PG : Betul, ini kelemahannya; jadi kelemahannya adalah masalah tadi tidak selesai dan bisa mengganggu terus. Kalau mereka berhasil menekannya baik tidak apa-apa, namun kalau tidak berhasil mnekannya akan menggerogoti mereka.

Nah pasangan pecah, meledak karena tidak bisa lagi ditahan, dua-dua tidak terlatih untuk memecahkan masalah, karena dua-dua tidak benar-benar belajar keterampilan untuk membereskan problem di antara mereka. Kecenderungannya selama ini adalah menghindari problem, nah jadi ditambah dengan kadar kebersamaan mereka itu memang tidak terlalu banyak bersama-sama seperti pasangan yang "volatile" sangat mesra itu. Jadi waktu ada problem besar menerpa resiko pernikahan hancur cukup besar.
GS : Mungkin mereka tidak akan saling mengenal Pak Paul, kalau mereka mau menghindari masalahnya itu, sebetulnya pasangan itu seperti apa, bukankah mereka tidak bisa tahu pasangan yang lain?

PG : Betul, jadi mungkin kita bisa simpulkan hubungan mereka baik, kuat, tapi mungkin tidak terlalu dalam, itu yang Pak Gunawan maksud ya. Karena dimensi-dimensi yang biasanya muncul akibat danya penyesuaian dari pertengkaran tidak ada, mereka akhirnya tidak pernah masuk ke dimensi-dimensi seperti itu.

GS : Tapi memang segi positifnya tidak saling menyakiti.

PG : Betul, dan saya kira anak-anak akan lumayan senang mempunyai orang tua seperti ini.

IR : Pada hal di dalam hati orang tuanya ada ganjalan, karena masalah itu tidak pernah terselesaikan.

PG : Betul, jadi tidak terselesaikan, tapi akhirnya mencoba menghibur diri dan berkata siapa sih yang sempurna, semua pasangan ada problemnya, ya dia lemah di sini, tapi dia kuat di sini, yasudah saya terima yang lemah itu.

GS : Kalau tadi kita sudah membicarakan 3 model pernikahan, atau mungkin bisa lebih tapi apakah ada satu keluarga itu murni mengikuti satu model, satu pola atau campuran?

PG : Ternyata yang ditemukan oleh Dr. John Gartmand ini memang tidak ada yang murni Pak Gunawan, jadi yang terjadi adalah masing-masing itu sebetulnya campuran dari beberapa model ini. Dalamsituasi tertentu kita cenderung menjadi "volatile" atau yang satu lagi menjadi "validating" dan sebagainya.

Namun pada umumnya ada satu yang menjadi ciri khas yang dominan.
GS : Yang sering kali diambil atau sikap yang sering kali diambil.

PG : Betul.

GS : Nah padahal masing-masing model itu mempunyai kelemahannya Pak Paul, bagaimana secara umum mereka itu mempertahankan pernikahannya?

PG : Nah dalam penemuan Dr. Gartmand ini ternyata yang penting bukan modelnya, jadi justru Dr. Gartmand ini menemukan model ini kreatif, tidak harus sama untuk setiap pasangan. Tapi yang terenting adalah harus ada perbandingan 5:1, antara situasi yang positif dibandingkan dengan situasi yang negatif.

Maksudnya kalau ada suatu pertengkaran harus diikuti dengan 5 kemesraan misalnya seperti itu, nah selama perbandingannya selalu 5:1 pernikahan ini akan langgeng dan kuat. Yang akan menjadi bahaya adalah kalau perbandingannya bergeser misalnya 5:3, 4:5, 5:6 yang bahaya adalah 5:6 atau 5:7. Yang positif 5 yang negatif bisa 7, 8 itu akan merusak pernikahan, jadi akhirnya disimpulkan oleh Dr. Gartmand modelnya tidak menjadi masalah, yang paling penting adalah perbandingan antara yang positif dan negatif itu.
GS : Berarti di sana ada faktor-faktor yang menentukan suatu pernikahan itu bisa berhasil atau berantakan?

PG : Betul.

GS : Nah untuk pasangan masing-masing model itu tadi 'kan ada contoh-contoh yang konkret, untuk faktor-faktornya apa saja Pak Paul?

PG : Misalnya pasangan yang "volatile", pasangan yang tidak stabil, pasangan yang penuh emosi itu, mereka memang cukup sering bertengkar, namun kalau cinta dan kemesraan mereka 5 kali lebih anyak dari pertengkaran, pernikahan mereka akan kuat.

Atau yang lainnya pasangan yang "validating" yang saling mengukuhkan, yang saling memberikan pengakuan, dengan kepala dingin dalam menghadapi problem memang tingkat ketegangannya sedang-sedang, tapi cinta dan kehangatan juga sangat tinggi. Mereka saling menekankan kebersamaan, harus sama-sama, meskipun mereka itu kadang-kadang berargumen, tidak setuju dan sebagainya, namun banyak kebersamaannya. Perbandingannya menurut Gartmand 5:1 mereka akan cukup jalan. Yang terakhir adalah pasangan yang menghindar, memang sepintas kurang menunjukkan kemesraan atau kedalaman hati. Tapi yang positifnya adalah sangat sedikit kritikan atau penghinaan, atau pelecehan, sehingga sekali lagi ada perbandingan 5:1 di situ.
GS : Cuma masalahnya Pak Paul faktor-faktor ini unaccountable, sulit untuk diukur dengan angka, bagaimana kita tahu ini sudah sampai 5 dan bagaimana 1?

PG : Mungkin yang bisa dijadikan tolok ukur adalah perasaan subyektif, kita sendiri harus bisa menghitung, misalnya begini kita bertanya kapan kita bertengkar, o ya saya bertengkar terakhir ali 2 minggu yang lalu.

Nah sekarang kapan kita bertengkar lagi, sekarang ini 2 minggu setelah yang terakhir, nah antara yang terakhir dan sekarang apakah ada hal-hal yang enak, yang mesra kebersamaan yang kita lakukan bersama. O....ya kami pergi ke sana, kami mendengarkan lagu bersama, kami saling berdoa bersama, kami pergi dengan anak-anak, dihitung-hitung, o....ya....ya ada 10 hal positif yang kami lakukan dalam 2 minggu ini. Jadi apa kesimpulannya, saya bertengkar hanya sekali dalam 2 minggu, tapi hal-hal yang positif mungkin ada 10 kali kami lakukan. Nah saya kira kalau kita pikirkan bisa dihitung sebetulnya.
GS : Dan itu harus disadari oleh kedua belah pihak, Pak Paul?

PG : Ya tepat sekali, harus disadari oleh kedua belah pihak.

GS : Nah mengenai perasaan-perasaan atau tindakannya bagaimana Pak Paul di antara mereka?

PG : Begini yang dimaksud dengan yang positif dan negatif Pak Gunawan, yang pertama adalah yang negatif apa itu tindakan yang negatif. Menarik sekali penemuan Dr. Gartmand ini ternyata yang imaksud dengan tindakan negatif bukan kemarahan melainkan mencela dan menghina itu adalah tindakan yang negatif.

Jadi sering kali kita berpikir kemarahan itu sangat negatif, ternyata tidak, kemarahan yang tidak disertai dengan celaan dan hinaan justru dampaknya tidak terlalu buruk. Yang juga negatif misalnya adalah membenarkan diri tidak mau mengalah, defensif dan akhirnya misalkan menarik diri, mengucilkan diri tidak mau kontak dengan pasangannya. Menolak untuk berbicara dengan pasangannya itu termasuk dalam tindakan yang negatif pula. Dan yang terakhir dari tindakan negatif, kesepian dan kesendirian. Jadi waktu pasangannya mendiamkan, kesepian, itu menjadi hal yang negatif buat pernikahan. Pasangannya mengabaikan tidak mempedulikannya lagi, dia di rumah sendirian, nah itu adalah hal-hal yang negatif.
GS : Mungkin yang kedua dan yang ketiga itu mungkin putusnya komunikasi, Pak Paul?

PG : Betul sekali, karena putusnya komunikasi akhirnya mereka tidak lagi bisa mengisi kehadiran.

GS : Jadi mereka sengaja memutuskan komunikasi itu. Nah sebaliknya kalau tindakan yang positif apa Pak Paul?

PG : Misalnya yang pertama adalah memperlihatkan ketertarikan pada apa yang dikatakan oleh pasangan kita. Jadi ini tidak harus duduk atau berjalan tapi yang dimaksud oleh Gartmand adalah kit ini misalnya bertanya o....ya.....ya....begitu

ya, kenapa hampir terjadi seperti itu, atau menanyakan apa yang terjadi tadi sewaktu engkau pergi, bertemu dengan temanmu di kantor. Jadi kita menunjukkan ketertarikan, berminat pada apa yang dikatakan oleh pasangan kita melirik dia, melihat wajahnya sewaktu dia bicara. Jangan membaca koran, dia bicara kita acuhkan, nah itu tidak sehat. Yang lainnya lagi adalah misalnya menunjukkan kemesraan, misalnya kita menyentuhnya, berpegangan tangan, bercerita tentang masa lalu yang indah, terus menunjukkan kebersamaan kita dengan pasangan, waktu menghadapi problem kita tidak menyalahkan pasangan. Tapi kita berkata ini problem kita berdua, ayo kita hadapi bersama, atau melakukan hal-hal yang simpatik. Nah ini beberapa contoh hal-hal yang kita bisa lakukan untuk pasangan kita yang akan berdampak positif baginya.
GS : Nah apakah yang terjadi, kalau memang dalam pertengkaran itu bisa disalahartikan jadi hal-hal positif ini harus dilakukan pada waktu mereka tidak bertengkar Pak Paul?

PG : Tepat, ini adalah hal-hal yang harus dilakukan secara rutin, secara teratur.

GS : Lalu bagaimana dengan perhatian yang bisa kita berikan Pak Paul?

PG : Misalkan kita menunjukkan perhatian dengan membelikan sesuatu yang disenangi oleh pasangan kita. Hal kecil misalkan dia senang dengan mainan, anak-anak perempuan biasanya suka hal-hal yng kecil, kita belikan.

Suami kita suka makanan tertentu itu juga bisa kita belikan, nah itu semua menunjukkan perhatian kita pada kebutuhan dia dan saya kira semua orang akan senang diperhatikan.
GS : Saya rasa itu menjadi kebutuhan.

PG : Tepat sekali.

IR : Dan juga di dalam menghargai pernikahan itu sendiri bagaimana, Pak Paul?

PG : Misalnya kita mengingat-ingat kebaikannya dia Bu Ida, bahwa dia adalah seorang istri yang telah mengabdi, berkorban untuk kita dan kita sampaikan pujian itu. Terus misalkan juga yang bia mencerminkan penghargaan kita adalah kita tidak sedikit-sedikit melawan, berdebat dengan dia, tidak setuju.

Ya hal-hal yang tidak principle setujuilah, jangan kita itu begitu tertarik untuk mengemukakan pandangan kita, saya mempunyai ide, saya juga. Yang tidak principle dengarkan dan setujui saja, ia-kan, nah itu salah satu bentuk penghargaan terhadap pasangan kita.
GS : Kadang-kadang bercanda itu juga bisa mengakrabkan kita Pak Paul?

PG : Bagus sekali, bercanda saya kira akan saling mendekatkan.

IR : Juga permintaan maaf ya, Pak Paul?

PG : Jadi kalau kita memang telah menyusahkannya atau melukainya, permintaan maaf itu sangat dibutuhkan.

GS : Kalau kita melihat tadi Pak Paul, sebenarnya ada banyak tindakan positif yang bisa dilakukan, dibandingkan yang negatif.

PG : Tepat sekali, dan sebetulnya kalau kita melihat-lihat tidak terlalu sukar ya, yang lain lagi misalnya adalah menerima dan menghormati pandangannya meskipun kita berbeda pandang. Atau kia mencoba memahami perasaannya, membagikan sukacita kita dengannya itu bukan hal-hal yang terlalu sulit.

GS : Cuma kita ini tidak terlatih.

PG : Betul mungkin tidak terbiasa. Sebetulnya hal yang sangat sederhana tapi memang kita tak terbiasa. Kadang-kadang dalam konseling pernikahan Pak Gunawan dan Ibu Ida, saya bertanya apakah apak atau Ibu mencintai pasangan Bapak? O....tentu,

masa menikah begini lama tidak mencintai, jawabannya seperti itu. Kadang-kadang saya langsung mencoba untuk mengakrabkan mereka dengan cara meminta masing-masing menyatakan bahwa mereka mencintai pasangannya. Nah yang menarik adalah ternyata tidak terlalu mudah bagi seseorang menyatakan aku menyayangimu. Sedangkan kita tahu pernikahan itu diikat dan didasari oleh cinta kasih, jadi kalau tidak ada itu, pernikahan akan sangat kering sekali. Tapi hal yang begitu mendasar ternyata sulit dilakukan padahal tidak susah berkata aku mengasihimu. Hal yang sangat sederhana.
IR : Jadi harus melatih diri ya Pak Paul?

PG : Betul, dan tidak bersembunyi dengan alasan memang saya tidak biasa kok, yang penting perbuatan saya. Saya kira banyak orang rindu mendengar perkataan tersebut, bukan saja melalui perbuaan.

GS : Dengan begitu banyak model tapi ternyata ada faktor-faktor yang Tuhan berikan kepada kita supaya pernikahan itu tetap utuh dan itu yang menjadi harapan Tuhan dan harapan kita semua tentunya. Nah apa yang Alkitab katakan Pak Paul, tentang hubungan ini.

PG : Firman Tuhan yang akan saya bacakan diambil dari Efesus 4:25-26 "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain karena kita adalah sesama anggota. pabila kamu marah janganlah kamu berbuat dosa, janganlah matahari terbenam sebelum padam amarahmu dan janganlah berikan kesempatan kepada Iblis."

Nah firman Tuhan memberikan kita beberapa petunjuk, yang pertama yang sangat jelas adalah Tuhan meminta kita untuk jujur, jangan berbohong. Jadi dalam pernikahan prinsip yang harus kita junjung tinggi adalah kejujuran dalam berkomunikasi, dalam hidup kita harus jujur. Dan yang kedua adalah sekali lagi Tuhan juga berikan ruangan adanya kemarahan dalam kehidupan manusia, tapi yang Tuhan tekankan adalah jangan sampai kemarahan ini berubah menjadi suatu dosa. Nah dosa dalam pengertian memang sesuatu yang akhirnya melewati batas kewajaran, melukai hati orang dan akhirnya menghancurkan hati atau diri pasangan kita. Sebab Tuhan memanggil kita satu sama lain bukan menghancurkan satu sama lain. Seiring dengan ini buku Dr. John Gartmand menyimpulkan bahwa ternyata yang merusakkan pernikahan bukan kemarahan, yang merusakkan pernikahan adalah penghinaan. Orang boleh marah tapi jangan menghina pasangan, jangan melecehkan pasangan, itu adalah satu unsur yang diidentifikasi oleh Dr. Gartmand yang sangat-sangat fatal. Nah saya kira firman Tuhan juga dengan jelas berkata hal yang sama, tapi jangan berdosa. Nah kalau saya boleh gabungkan, berdosa di sini sering kali menjadi racun dalam kemarahan kita. Yaitu kita menghancurkan, menghina orang lain, nah kemarahan itu saya kira menjadi kemarahan yang berdosa. Kebalikannya menurut Dr. Gartmand justru yang membangun pernikahan ialah kasih dan respek. Itu dua unsur yang paling kuat membangun pernikahan dan bagi kita orang kristen 2 hal ini bukanlah hal yang asing, Tuhan memanggil kita untuk saling menghargai dan perintah utama Tuhan adalah mengasihi satu sama lain seperti kita mengasihi diri kita sendiri.
GS : Jadi cukup banyak prinsip-prinsip di dalam Alkitab yang diajarkan oleh Tuhan kita itu mempertahankan atau bahkan menumbuhkembangkan pernikahan ini.

PG : Betul.

GS : Para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja melanjutkan perbincangan kami pada beberapa waktu yang lalu tentang beberapa point faktor penentu di dalam keberhasilan pernikahan. Dari studio kami mohon juga tanggapan saran serta pertanyaan-pertanyaan dari Anda yang bisa Anda alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



16. Pernak-Pernik Perjodohan 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T063A (File MP3 T063A)


Abstrak:

Menentukan pasangan hidup merupakan suatu proses yang kompleks dan panjang, semuanya harus disatukan secara konsisten, setelah itu barulah kita mendapatkan damai dalam hati untuk melangkah masuk ke dalam mahligai pernikahan.


Ringkasan:

Sebelum menjawab pertanyaan apa artinya kalau orang berkata bahwa jodoh itu di tangan Tuhan, saya ingin memberikan penjelasan tentang cara kerja Tuhan:

  1. Yang pertama, Tuhan bisa bekerja melalui penetapan yang langsung, maksudnya waktu Tuhan menciptakan alam semesta ini terjadilah siang, malam, matahari dsb itu adalah kerja Tuhan yang langsung terjadi.

  2. Yang kedua, adakalanya Tuhan melakukan pekerjaanNya secara tidak langsung namun melalui kondisi atau situasi yang tertentu.

  3. Yang ketiga, Tuhan bekerja secara tidak langsung namun tanpa kondisi, perjodohan di sini merupakan cara kerja Tuhan yang tidak langsung dan tanpa harus adanya suatu kondisi tertentu.

Tuhan memberikan kita dua rambu yang sangat-sangat jelas dalam firmanNya:

  1. Adalah sesama orang percaya. 1Korintus 7:39 dikatakan bahwa janda-janda yang sudah kehilangan suaminya bebas menikah dengan siapa saja asalkan sesama orang percaya. Bahwa kita tidak boleh berpasangan dengan orang yang tidak seiman dengan kita. Dan secara status yaitu 2Korintus 5:17 disebutkan kita adalah ciptaan yang baru, orang yang tidak dalam Tuhan Yesus bukanlah ciptaan yang baru di mataNya.

  2. Kejadian 2:18, yaitu Tuhan menciptakan Hawa sebagai seorang penolong yang sepadan bagi Adam. Artinya hubungan nikah, haruslah menjadi hubungan saling tolong, yang cocok, yang pas. Dalam dua rambu itu Tuhan memberikan kebebasan untuk menyukai, mencintai dan mau hidup bersama dengan orang tsb. Dalam kategori itulah kita melihat perjodohan di tangan Tuhan.
    Sudah tentu peran manusia adalah:

    1. Pertama, kita harus meminta pimpinan Tuhan.

    2. Kedua, kita harus mentaati yang telah Dia tetapkan dengan jelas. Misalkan Dia meminta kita menikah dengan sesama orang percaya dan itu tidak bisa kita tawar-tawar.

    3. Ketiga, kita harus mencari orang yang sesuai dan yang cocok, sehingga hubungan kita nanti menjadi hubungan yang penuh dengan saling tolong-menolong.

Bagaimana kita bisa tahu bahwa memang ini orang yang disediakan atau dikehendaki Tuhan sebagai pasangan hidup kita?

  1. Pertama, Tuhan ingin kita pilih yang seiman.

  2. Kedua, Tuhan meminta kita mencari pasangan yang cocok dengan kita, yang pas dengan kita.

  3. Ketiga, gunakan tanda atau konfirmasi dari sesama orang percaya.
    Beberapa pertanyaan berikut ini juga bisa menjadi evaluasi bagi hubungan kita:

    1. Berapa sering kita bertengkar, apakah kita sering bertengkarnya daripada berbaikan?

    2. Apakah kita harus menjadi diri orang lain kalau bersama dengan pacar kita?

    3. Apakah kita kehilangan diri kita waktu bersama dengan dia, gara-gara dia mempunyai permintaan yang tidak sama dengan yang kita inginkan?

    4. Ataukah kita justru merasa kita ini terus-menerus memberi, kita tidak menerima dari hubungan itu, sehingga hubungan itu menjadi hubungan yang tidak seimbang.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa sebetulnya ada banyak faktor yang harus kita pertimbangkan untuk bisa berkata inilah kehendak Tuhan, inilah jodohku sesuai dengan yang Tuhan desain untuk saya.

"Suatu jerat bagi manusia adalah kalau ia tanpa berpikir mengatakan kudus dan baru menimbang-nimbang sesudah bernazar." Amsal 20 : 25

Dalam firman Tuhan ini ditekankan bahwa kita harus menimbang berpikir panjang sebelum memberikan stempel inilah kehendak Tuhan. Atau sebelum memberikan stempel itu pasti untuk Tuhan dan dari Tuhan, jangan Tuhan meminta kita menimbang-nimbang terlebih dahulu. Biarlah orang yang ingin menikah menimbang dan menimbang dan menimbang sebelum memberikan stempel kudus atau ini dikuduskan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Pernak-Pernik Perjodohan. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, memang beberapa waktu yang lalu kita pernah membahas tentang perjodohan, tapi rupanya memang ada banyak hal yang harus dibicarakan dan itu terbukti ada tanggapan dari pendengar yang menanyakan beberapa hal yang tentunya baik untuk kita perbincangkan pada kesempatan kali ini. Antara lain yang ditanyakan itu adalah apa artinya kalau orang berbicara bahwa jodoh itu di tangan Tuhan, sebenarnya apa maksudnya?

PG : Saya kira konsep yang berlaku di masyarakat adalah bahwa Tuhanlah yang menentukan dan menyediakan jodoh kita secara langsung. Maksudnya secara langsung ibaratnya kalau kita berdoa memohon gar Tuhan menyediakan pekerjaan kepada kita, keesokan harinya kita mendapatkan pekerjaan yang kita idamkan tersebut.

Kita dapat dengan hati nurani yang tenang berkata Tuhanlah yang menyediakan pekerjaan itu, saya kira adakalanya kita mempunyai anggapan seperti itu tentang jodoh adalah di tangan Tuhan. Seolah-olah Tuhanlah yang langsung menyediakan jodoh itu, sama seperti Tuhan menyediakan pekerjaan yang kita minta. Untuk bisa menjawab pertanyaan itu dengan lebih tuntas, Pak Gunawan, saya pertama-tama ingin memberikan penjelasan tentang cara kerja Tuhan. Yang pertama, Tuhan bisa bekerja melalui penetapan yang langsung, maksudnya misalkan waktu Tuhan menciptakan alam semesta ini terjadilah siang, malam, matahari, dan sebagainya, itu adalah kerja Tuhan yang langsung terjadi. Adakalanya Tuhan melakukan pekerjaanNya secara tidak langsung, namun melalui kondisi atau situasi yang tertentu. Yang saya maksud di sini misalkan di Kisah Para Rasul pada waktu Petrus berkhotbah kepada orang-orang Israel dan kepada orang-orang dari negeri lain yang berkumpul pada hari Pentakosta. Petrus di situ memberikan penjelasan bahwa waktu kalian membunuh Yesus, itu sebetulnya dalam rencana Allah. Nah, dari perkataan tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa kondisi atau situasi membuat Tuhan Yesus dibunuh atau terbunuh oleh orang-orang yang tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Mereka berpikir mereka membunuh seseorang yang bernama Yesus karena Dia mengaku sebagai Anak Allah, namun tanpa mereka sadari sebetulnya mereka menggenapi rencana Allah bahwa memang Yesus harus mati untuk menebus dosa-dosa kita. Nah, itu yang saya maksud dengan cara kerja Tuhan yang tidak langsung namun melalui kondisi tertentu. Yang ketiga adalah Tuhan bekerja secara tidak langsung namun tanpa kondisi, misalkan Tuhan sudah menetapkan bahwa manusia akan makan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang Tuhan sediakan buat kita. Tuhan sudah menetapkan bahwa akan ada matahari yang bersinar dan bulan yang bersinar dan akan ada air yang terus-menerus merupakan bagian dari kehidupan atau ekosistem dalam hidup ini. Hal-hal seperti itu sudah terjadi dan Tuhan tetapkan untuk terus berlangsung secara alamiah. Dalam kategori ini saya bisa memasukkan pernikahan atau perjodohan, yang saya maksud di sini adalah perjodohan merupakan cara kerja Tuhan yang tidak langsung dan tanpa harus adanya suatu kondisi tertentu. Perjodohan adalah sesuatu yang memang merupakan bagian alamiah dalam kehidupan manusia. Waktu manusia bertemu seseorang, dia tertarik kepadanya dan dia akan berusaha mendekati orang tersebut dan akhirnya mereka membangun suatu rumah tangga bersama. Jadi dalam kontak ini kita berkata Tuhanlah yang menentukan secara langsung, Tuhan menentukan secara tidak langsung namun dengan kondisi tertentu. Dan yang ketiga Tuhan menentukan dengan tidak langsung dan tanpa kondisi tertentu, ketiga-tiganya tetap mengandung pimpinan Tuhan, tidak ada yang lepas dari pimpinan Tuhan. Namun yang paling akhir tadi yang saya maksud pimpinan Tuhan tidak langsung dan tanpa kondisi memang memberikan ruang gerak yang sangat besar kepada manusia untuk mengambil keputusan, siapakah jodoh yang ingin dinikahinya. Nah, Tuhan hanya memberikan kita dua rambu yang sangat-sangat jelas di firman Tuhan. Yang pertama misalkan kita bisa melihat di 1 Korintus 7:39 di mana dikatakan oleh Paulus bahwa janda-janda itu yang sudah kehilangan suaminya bebas menikah dengan siapa saja asalkan sesama orang percaya. Alasannya dibahas di 2 Korintus 6 di mana di sana dikatakan bahwa kita tidak boleh berpasangan dengan orang yang tidak seiman dengan kita. Alasannya di pasal ke 6 itu juga yang dikatakan, orang yang tidak seiman mempunyai tujuan hidup yang berbeda dari kita, tujuan hidup kita sebagai orang percaya adalah menyenangkan hati Tuhan. Dan secara status di pasal 5 ayat 17 dari 2 Korintus itu disebut juga kita adalah ciptaan yang baru, orang yang tidak dalam Tuhan Yesus bukanlah ciptaan yang baru di mataNya. Jadi kita tidak bisa dan tidak boleh berpasangan dengan yang tidak seiman, jadi rambu yang Tuhan tetapkan itu sesama orang percaya. Dan rambu yang kedua kita bisa menariknya di kitab Kejadian 2:18 yaitu Tuhan menciptakan Hawa sebagai seorang penolong yang sepadan bagi Adam. Artinya hubungan nikah, haruslah menjadi hubungan saling tolong, yang cocok. Dalam dua rambu itu Tuhan memberikan kebebasan untuk menyukai, mencintai dan hidup bersama dengan orang tersebut. Nah dalam kategori itulah kita melihat perjodohan di tangan Tuhan.
GS : Tapi mungkin yang menjadi masalah justru karena Tuhan memberikan peluang yang lebih besar itu Pak Paul, di mana unsur emosi dan sebagainya itu masuk di sana, lalu yang menjadi pertanyaan adalah peran manusia itu sendiri, peran kita sampai di mana karena ruang geraknya itu terlalu bebas?

PG : Sudah tentu peran manusia yang pertama adalah dia harus meminta pimpinan Tuhan. Sebagai orang Kristen kita percaya dan kita tahu bahwa tidak ada hal yang terjadi pada kita di luar kedaulatn, kekuasaan dan kehendak Tuhan.

Jadi hal yang tidak mengenakkan sekalipun, tetap terjadi dalam kehendak dan naungan Tuhan. Kadang-kadang susah kita terima ya, namun yang ingin saya tegaskan adalah bahwa sebagai orang percaya kita tahu Tuhan itu memimpin kehidupan kita sehingga yang terjadi pun di dalam kehendak Tuhan. Dengan siapa kita bertemu itu memang selalu dalam naungan Tuhan, apakah itu berarti bahwa waktu kita bertemu dengan seseorang kita langsung menabraknya dan berkata Tuhan yang menghadirkan orang itu kepada kita. Tidak, kita harus berdoa meminta pimpinan Tuhan, namun yang kedua kita harus menaati yang telah Dia tetapkan dengan jelas. Misalkan Dia meminta kita menikah dengan sesama orang percaya dan itu tidak bisa kita tawar-tawar dan berkata saya mendapatkan pimpinan Roh Tuhan yang berbeda, sehingga saya harus menikahi orang yang belum percaya, itu tidak bisa. Jadi hukum Tuhan yang tertulis merupakan standar acuan kita yang paling dasar, Tuhan meminta kita memilih pasangan hidup yang cocok, yang saling menolong. Kalau kita rasakan tidak cocok, tidak saling menolong, kita harus juga berkata ini bukan pasangan hidup saya. Jadi yang pertama, apa yang perlu dilakukan oleh manusia, kita harus meminta pimpinan Tuhan, yang kedua kita harus menaati perintah Tuhan yang tertulis dan yang sudah jelas. Nah, yang ketiga peranannya adalah kita memang harus mencari orang yang sesuai dan yang cocok dengan kita, sehingga hubungan kita itu menjadi hubungan yang penuh dengan saling tolong-menolong.
IR : Tadi Pak Paul mengatakan bahwa segala sesuatunya itu ada dalam kedaulatan Tuhan, tapi kalau seseorang itu melawan kehendak Tuhan dan akhirnya mencari pasangan yang tidak seiman dan akhirnya jadi. Apakah itu termasuk kehendak Tuhan atau karena orang itu mengeraskan hati?

PG : Saya akan berkesimpulan orang itu mengeraskan hati. Jadi dalam kasus tersebut misalkan orang itu menikah, saya berkata dalam peristiwa ini Tuhan membiarkan dia, bukannya Tuhan menghendaki ernikahan terjadi.

Memang jadi dalam kehendak Tuhan kita melihat ada beberapa sisi atau beberapa lapisan, ada yang langsung merupakan kehendak Tuhan dan memang Tuhan kehendaki itu harus terjadi. Ada yang Tuhan izinkan terjadi meskipun dalam kehendak Tuhan, dan yang ketiga yang paling rendah adalah Tuhan membiarkan hal itu terjadi meskipun melawan kehendak Dia. Jadi yang pertama dan kedua Tuhan menetapkan kehendakNya dan yang kedua Tuhan mengizinkan itu masih dalam kategori kehendak Tuhan sesuai dengan kehendak Tuhan. Namun yang ketiga Tuhan membiarkan, biasanya itu mengandung konotasi hal yang melawan kehendak Tuhan, tapi tetap Tuhan biarkan. Nah orang yang menikah dengan yang tidak seiman memang Tuhan biarkan.
IR : Tapi tidak menutup kemungkinan, mungkin suatu saat juga bisa bertobat, Pak Paul?

PG : Betul, jadi kalau kita membicarakan tentang apakah ada kemungkinan, jawabannya selalu akan ada kemungkinan. Tapi sekali lagi prinsipnya adalah kita tidak bisa menjadikan itu sebagai dasar,bahwa kita mau menikah dengan orang tersebut karena bukankah ada kemungkinan orang itu akan bertobat di kemudian hari.

Kita harus mengambil keputusan yang sesuai dengan yang sudah Tuhan telah tetapkan, sebab bagaimana kalau orang itu tidak bertobat, itu menjadi masalah dalam kehidupan rumah tangga mereka nantinya.
(2) GS :Yang juga seringkali menjadi pertanyaan sehubungan dengan hal mencari kehendak Tuhan adalah bagaimana kita bisa tahu bahwa memang orang ini yang disediakan oleh Tuhan bagi kita atau sebagai pasangan hidup kita, Pak Paul?

PG : Pertanyaan ini seringkali diajukan dan saya melihat pertanyaan ini sebagai itikad baik dari begitu banyak anak-anak Tuhan. Jangan sampai kita ini salah memilih, kita mau berhati-hati dan bsa mencerna kehendak Tuhan dengan tepat.

Sekali lagi yang pertama tadi sudah saya singgung, kalau kita bersama dengan orang-orang yang bukan sesama orang percaya kita tidak usah repot-repot berdoa dua hari dua malam menanyakan kehendak Tuhan. Sudah pasti bukan kehendak Tuhan, karena Tuhan tidak akan melawan kehendak yang sudah Dia tuliskan. Kedua, Tuhan meminta kita mencari pasangan yang cocok dengan kita untuk saling menolong, sebab sebetulnya kalau kita melihat pernikahan dan kalau kita mau memandangnya dari sudut yang pragmatis atau praktis, bukankah pernikahan itu sebetulnya suatu hubungan tolong-menolong. Ujung-ujungnya pernikahan merupakan hubungan tolong-menolong, jadi kalau seseorang bisa merasakan menolong dan ditolong itu merupakan suatu tanda adanya kecocokan dalam hubungan mereka itu. Kecocokan memang bersifat sangat luas sekali, dalam hal ini perlu waktu untuk melihat dan menguji apakah kecocokan itu bisa benar-benar diterapkan dalam sebanyak-banyaknya aspek kehidupan mereka. Kalau cocoknya hanya ngobrol-ngobrol dalam hal yang menyenangkan, tapi untuk hal-hal yang sulit berkelahi, itu berarti tidak cocok untuk aspek yang lebih serius. Cocoknya hanya untuk ramai-ramai, rekreasi, seru, cerita, tertawa-tertawa cocok, di luar itu membicarakan keputusan-keputusan yang harus diambil mereka bertengkar. Jadi kecocokan harus meresap ke dalam semua aspek kehidupan, untuk itu memang diperlukan waktu yang panjang, jadi biarlah waktu berjalan sehingga kecocokan itu bisa diuji coba dalam segenap aspek kehidupan kita. Yang berikutnya lagi biasanya saya gunakan tanda atau konfirmasi dari sesama orang percaya, kalau teman-teman sesama orang percaya memberikan kita konfirmasi cocok memang, sesuai dengan kita, itu bagi saya suatu sumbangsih juga yang menguatkan kita. Misalkan juga berapa sering kita bertengkar, apakah kita sering bertengkarnya daripada berbaikan, apakah kita harus menjadi diri orang lain kalau bersama dengan pacar kita, apakah kita kehilangan diri kita waktu bersama dengan dia. Karena dia mempunyai permintaan yang tidak sama dengan yang kita inginkan ataukah kita justru merasa kita ini terus-menerus harus memberi, kita tidak menerima dari hubungan itu, hubungan itu menjadi hubungan yang tidak seimbang. Dari sini kita bisa simpulkan bahwa sebetulnya ada banyak faktor yang harus kita pertimbangkan untuk bisa berkata inilah kehendak Tuhan, inilah jodohku sesuai dengan yang Tuhan desain untuk saya. Jadi kalau orang mengharapkan jawaban yang lurus, yang sederhana saya kira saya tidak punya jawaban seperti itu. Jadi menentukan pasangan hidup memang merupakan suatu proses yang kompleks dan panjang. Semuanya harus disatukan secara konsisten, setelah konsisten barulah kita akan mendapatkan damai dalam hati kita untuk melangkah masuk ke dalam mahligai pernikahan.
GS : Ya memang sulit ada satu kasus yang pernah ada, yang saya tahu dengan betul, kedua orang itu seiman itu sudah pasti, kelihatan cocok setelah berpacaran selama 1, 2 tahun mereka tidak ada masalah. Tetapi pada tahun yang kedua itu tiba-tiba orang tua dari pihak perempuan tidak menyetujui hubungan mereka dan akhirnya mereka berpisah dengan baik-baik. Selama dua tahun kedua-duanya yakin ini kehendak Tuhan hanya tinggal tunggu waktu saja untuk melangsungkan pernikahan, tapi akhirnya batal sehingga kedua-duanya kehilangan kepercayaan bahwa apa yang diyakini selama ini sebagai kehendak Tuhan itu cuma semu saja. Bagaimana cara kita menolong dalam kasus seperti itu?

PG : Dalam kasus itu saya kira kita bisa melihat bahwa konsep kehendak Tuhan yang keliru akan membawa kebingungan di dalam hidup kita. Saya seringkali melihat hal seperti itu Pak Gunawan, karen itu tadi waktu Pak Gunawan menanyakan pertanyaan pertama apakah jodoh itu di tangan Tuhan, ini adalah konsep yang memang beredar dengan begitu meluasnya di tengah-tengah kita.

Saya perlu menjelaskan secara spesifik apa yang saya maksud dengan perjodohan di tangan Tuhan, saya tidak berniat memberikan jawaban yang memudahkan, sebab akhirnya saya kira kita bisa kecewa. Misalkan kita dengan begitu naif menyimpulkan ini kehendak Tuhan karena apa, misalnya sesama orang Kristen dan kita menganggap dia cinta Tuhan, saya cinta Tuhan, setelah 3 bulan kita langsung menikah. Setelah menikah baru kita sadari bahwa orang ini mengapa sangat berbeda dari saya, saya tidak mengerti dia, dia tidak mengerti saya, kalau berkomunikasi tidak pernah ketemu, hanya bisa bertemu kalau bicaranya tentang Tuhan. Bicara hal yang lain misalnya belanja, beli rumah, makanan pasti bertengkar, hanya bicara tentang Tuhanlah baru tidak bertengkar. Di sini kita melihat bahwa kecocokan itu sangat sempit, hanya di dalam hal-hal rohani. Tapi hidup bukan hanya hal-hal rohani, hidup itu mencakup cakupan yang lebih luas, nah apakah itu kehendak Tuhan, saya menyimpulkan ya bukan. Jadi orang tersebut yang 2 tahun berpacaran kemudian orang tuanya berkata tidak ini bukan jodohmu apakah itu pasti kehendak Tuhan, saya belum bisa mengatakannya. Yang manakah yang kehendak Tuhan itu, yang dua tahun pertama ataukah keputusan orang tuanya. Saya belum bisa pastikan, sebab saya harus mengetahui lebih detail kenapa orang tuanya berkeberatan, apakah memang mereka mempunyai alasan yang sangat tepat untuk melarang anak-anak mereka menikah.
GS : Ya katakan alasannya kurang tepat, nyatanya mereka patuh artinya lebih menempuh jalan tidak meneruskan hubungan mereka, supaya orang tuanya juga puas, begitu Pak Paul dan tidak mencari masalah di sana, lalu mereka jalan sendiri menikah dengan pasangan mereka masing-masing lagi.

PG : Dalam hal itu mereka jadinya mengambil keputusan. Menurut saya juga sangat sepihak, sebab mereka tidak lagi melihat aspek hubungan mereka yang sudah berjalan dengan begitu baik. Sekali lag saya tidak tahu kenapa orang tuanya tidak setuju dan itu menurut saya hal yang penting untuk diketahui.

Apakah memang benar beralasan, kalau memang berdasar dan anak-anak ini menyetujui, memang kami tidak cocok ya orang tua itu hanyalah memberikan stempel, melegitimasi memang kalian tidak cocok. Tapi ketidakcocokan itu sudah mereka rasakan sejak awalnya. Tapi kalau mereka cocok dalam hampir semua aspek kehidupan mereka dan hanya karena orang tua tidak setuju atas hal-hal yang tidak berdasar, saya kira mereka mengambil keputusan yang terlalu pagi, hanya demi menghormati keputusan orang tua mereka.
GS : Tetapi masalahnya pernikahan itu jadi kompleks Pak Paul, bukan hanya mereka berdua, ada pihak keluarga masing-masing yang terlibat di sana. Mereka mengatakan kalau dilanjutkan akan bertambah parah.

PG : Dalam hal itu saya akan berikan kebebasan, tidak apa-apa, sebab pernikahan memang adalah suatu hal yang serius, berlangsung seumur hidup dan mempengaruhi banyak orang dalam keluarga. Kalaukedua orang ini beranggapan dan akhirnya berkesimpulan lebih baik kami berpisah daripada seumur hidup membuat masalah bagi keluarga kami dan kami tidak siap untuk menghadapi resiko itu, ya lebih baik kami berpisah, saya pikir ya tidak apa-apa.

Dan menurut saya kalau itu yang terjadi, Tuhan pun tidak keberatan sebab saya lebih mempunyai prinsip dalam soal perjodohan memang Tuhan memberikan kita ruang gerak yang sangat besar, asalkan rambu-rambunya itu kita patuhi. Namun benar-benar sesuai dengan selera kita itu adalah hal yang luas.
IR : Bagaimana sebaliknya Pak Paul, kalau anak ini mengeraskan hati tetap melangsungkan hubungan mereka padahal kedua orang tuanya itu tidak setuju. Biasanya alasan orang tua karena anak ini tidak seiman, tapi kalau dia ingin tetap menikah, bagaimana sikap orang tuanya terhadap anaknya itu?

PG : Saya kira orang tua bisa dengan tegas berkata kami tidak menyetujui pernikahan ini, karena ini bukanlah pernikahan yang Tuhan berkati. Yang kedua adalah orang tua harus mengambil keputusanapakah orang tua akan memutuskan hubungan ini ataukah tetap menerima si anak.

Meskipun tidak menyetujui dengan tegas mengkomunikasikan itu kepada mereka, namun setelah itu apakah orang tua tetap mau menjalin hubungan sebagai orang tua dan anak, memang ini keputusan yang harus diambil oleh orang tua. Bagi saya orang tua yang dengan tegas menolak juga tidak apa-apa, orang tua berkata kami tidak setuju. Tapi kami tetap akan menjalin hubungan dengan kamu, karena kamu tetap anak kami, itupun juga baik. Jadi saya kira ini tergantung bagaimana orang tua menanggapi hal ini, boleh tegas tidak mau ikut campur dan tidak mau menghadiri pernikahan tersebut atau kita berkata kami tidak setuju tapi tetap kami menganggap kamu anak karena tidak ada yang bisa mengubah hal itu, bagi saya dua-duanya tidak apa-apa.
GS : Tapi baru-baru ini ada satu peristiwa, yang saya sendiri masih meragukan kebenarannya. Pasangannya memang belum seiman dari pihak yang perempuan orang Kristen, tapi yang laki belum. Menjelang pernikahan orang tua dari anak perempuan ini berkata kamu boleh menikah dengan anak saya asal kamu jadi orang Kristen, kamu dan segenap keluargamu, artinya orang tuanya juga. Nah saya yakin dengan terpaksa mereka itu jadi orang Kristen, dalam hal ini bagaimana Pak Paul?

PG : Saya pribadi juga cenderung beranggapan bahwa kemungkinan mereka menjadi Kristen dengan tulus itu kecil. Kemungkinan yang lebih besar adalah mereka mengikuti permintaan orang tua si wanitaitu menjadi orang Kristen dan saya sayangkan hal itu.

Jadi orang tua si wanita bagi saya akhirnya mengambil jalan pintas seolah-olah damai dihadapan Tuhan karena anaknya tetap dalam kehendak Tuhan, namun di pihak lain sebetulnya mungkin mereka pun sadar bahwa keluarga si pria ini tidaklah menjadi Kristen secara sukarela. Bagi saya buat apa itu, artinya hanya untuk menyenangkan hati orang tua dan dilihat orang sebagai hal yang baik.
GS : Masalahnya mereka itu sudah agak lama berpacaran. Jadi dari pihak si pria, keluarganya itu merasa kalau sampai bubar, bukan cuma sayang tetapi juga mereka merasa malu, Pak. Tuntutan itu mau tidak mau dipenuhi saja, mereka jadi orang Kristen, masuk ke gereja dan sebagainya diberkati di gereja. Tapi saya agak meragukan, terus terang yang tadi Pak Paul katakan ketulusan mereka untuk menjadi orang Kristen, jadi setengahnya terpaksa ya, Pak Paul?

PG : Betul mudah-mudahan dalam kasus tersebut anugerah Tuhan dilimpahkan kepada mereka, sehingga meskipun awalnya mereka terpaksa menjadi orang Kristen tapi akhirnya mereka mengerti cinta kasihTuhan dalam hidup mereka sehingga mereka sungguh-sungguh menjadi pengikut Kristus.

GS : Alasan yang sama juga seringkali dikemukakan oleh pasangan-pasangan yang tidak seiman, jadi berharap kemurahan Tuhan itu berlaku atas pasangannya, suatu saat dia akan menjadi orang Kristen yang betul-betul lahir baru.

PG : Orang yang berprinsip seperti itu juga harus siap menghadapi resikonya kalau-kalau pasangannya tidak menjadi pengikut Kristus. Dia boleh berharap pada kemurahan Tuhan, tapi saya kira dia jga harus siap menghadapi kemungkinan yang satunya.

Memang Tuhan penuh anugerah, jadi meskipun anak Tuhan kadangkala nakal, adakalanya atau sering kita melihat Tuhan melimpahkan kemurahanNya, itu memang terjadi. Tapi sebagai anak yang mencintai dan taat kepada Tuhan, seharusnya kita tidak menggunakan hal tersebut untuk memaksakan kehendak kita. Jadi janganlah kita seolah-olah memanfaatkan kebaikan Tuhan untuk kepentingan kita, tetapi yang Tuhan inginkan kita ini menaati kehendakNya, itu yang lebih indah.
GS : Ini memang masih banyak hal Pak Paul yang harus kita bicarakan tentang pernak-pernik perjodohan, tapi mungkin kita akan bicarakan pada kesempatan yang lain. Namun sebelum kita mengakhiri pembicaraan ini saya rasa ada baiknya Pak Paul membacakan sebagian dari firman Tuhan yang memberikan bimbingan kepada kita.

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 20:25 "Suatu jerat bagi manusia adalah kalau ia tanpa berpikir mengatakan kudus dan baru menimbang-nimbang sesudah bernazar." Di sini diteankan bahwa kita harus berpikir panjang sebelum memberikan stempel inilah kehendak Tuhan.

Sebelum memberikan stempel itu pasti untuk Tuhan dan dari Tuhan, Tuhan meminta kita menimbang-nimbang terlebih dahulu. Biarlah orang yang ingin menikah menimbang dulu sebelum memberikan stempel kudus atau ini dikuduskan Tuhan.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang pernak-pernik perjodohan. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



17. Pernak-Pernik Perjodohan 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T063B (File MP3 T063B)


Abstrak:

Kelanjutan dari T63A


Ringkasan:

Keraguan yang muncul pada saat menjelang pernikahan dibagi dalam beberapa fase:

  1. Fase pertama, yaitu pada awal kita bertemu dan berpacaran, seyogyanya yang lebih natural sering terjadi adalah tidak ada keraguan, kita berpikir inilah jodoh kita, dialah yang paling cocok dengan kita, ini pasti kehendak Tuhan dsb.

  2. Fase kedua adalah fase di mana justru timbul keragu-raguan karena di situlah mereka mulai menemukan bahwa mereka tidak sama dengan pasangan mereka, dan pasangan mereka tidak bisa selalu mengerti diri mereka. Pada saat itu keragu-raguan biasanya muncul dan itu hal yang baik, ini adalah hal yang justru kita harus terima sebagai suatu bagian dari masa berpacaran yang sehat.

  3. Fase ketiga antara 6 bulan sampai setahun sebelum pernikahan, seharusnya mereka justru merasa damai dan lebih banyak tenteramnya daripada keragu-raguan.

Fase-fase berpacaran dari yang paling umum sampai yang spesfik:

  1. Pertama, saya ini menganjurkan kita ini bergaul dengan luas, maka saya tidak setuju anak SMP atau SMA berpacaran.

  2. Setelah itu kita mulai mengenal pasangan kita atau orang tersebut dalam kelompok kecil, jalinlah hubungan dengan dia namun dalam kelompok 2, 3, 4, sehingga kita mulai bersahabat dengan dia.

  3. Setelah kita mengenal dia dengan lebih baik, menjadi sahabat dia dengan baik, dalam kelompok kecil baru kita mulai persahabatan dengan dia secara pribadi. Kita ajak dia mulai berdoa dan tetapkan suatu jangka waktu, bagaimana selama 6 bulan kita saling mendoakan, saling mengenal.

  4. Setelah 6 bulan kita akan duduk bersama dan mengevaluasi apakah kita cocok, apakah engkau tetap mempunyai perasaan yang sama atau makin bertambah atau tidak.

  5. Setelah masa itu berlangsung dan kita merasakan makin cocok, dua-dua bisa berkata OK.....sekarang kita tuntaskan kita memasuki masa berpacaran.

Di sinilah orang tua harus berperan, artinya sejak anak kecil orang tua sesungguhnya sudah harus mulai menanamkan benih-benih kriteria yang baik. Siapakah istri yang baik, apakah suami yang baik, kriteria-kriteria itu harus mulai kita tanamkan pada diri anak kita. Sebagai orang tua kita harus mengakui bahwa kita mempunyai tugas, tapi wewenang kita terbatas, ini kita harus sadari.

Beberapa panduan karakteristik orang-orang yang cocok untuk menikah:

  1. Kita menikahi orang yang kita hormati, jadi jangan sampai kita menikah dengan seseorang yang tidak kita hormati atau tidak kita segani. Sebaliknya kita pun harus jadi orang yang disegani, dihormati oleh pasangan kita.

  2. Kita menikahi orang yang kita percayai, demikian juga sebaliknya kita pun harus jadi orang yang dipercayai oleh pasangan kita.

  3. Kita harus menikahi orang yang kita cintai, orang yang layak dan dapat dicintai, orang yang mempunyai karakteristik "lovable" yang kita kagumi, yang membuat kita sayang kepada dia. Sebaliknya demikian juga kita harus menjadi orang yang "lovable."

  4. Kita menikahi orang yang siap untuk meninggalkan kehidupan lajangnya. Artinya kita harus menikahi orang yang memang siap untuk terikat.

  5. Kita menikahi orang yang siap berkeluarga. Artinya siap menjadi suami-istri, siap menjadi ayah atau ibu. Orang yang siap menjadi ayah dan ibu, orang yang siap membagi dan mengorbankan hidupnya.

  6. Kita menikahi orang yang fleksibel atau orang yang bersedia menyesuaikan diri dengan perubahan.

Amsal 31:30 mengingatkan "Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi istri yang takut akan Tuhan dipuji-puji." Saya coba balik untuk yang pria di sini, kegantengan adalah bohong dan ketampanan adalah sia-sia, tetapi suami yang takut akan Tuhan dipuji-puji. Jadi sekali lagi jangan kita ini dibutakan oleh penampilan fisik, kita harus pegang prinsip yang paling penting, yaitu carilah istri atau suami yang takut akan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pernak-pernik perjodohan. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita sudah membicarakan tentang pernak-pernik perjodohan, tapi namanya pernak-pernik makin dibicarakan makin banyak yang muncul. Kelanjutan pembicaraan itu saya akan mulai dengan menanyakan salah satu pertanyaan dari pendengar. Pada masa pacaran atau menjelang pernikahan bahkan seseorang itu menjadi ragu-ragu, apakah ini jodohnya. Keraguan yang muncul yang sebenarnya tadinya tidak ada, apakah suatu hal yang normal atau sebenarnya tidak boleh terjadi, Pak Paul?

PG : Saya kira itu tergantung pada kapan munculnya keragu-raguan itu. Seyogyanya yang bagi saya lebih natural adalah pada waktu bertemu, awal-awal kita berpacaran yang seringnya terjadi adalah idak ada keraguan, kita berpikir inilah jodoh kita, dialah yang paling cocok dengan kita, ini pasti kehendak Tuhan dan sebagainya.

Namun setelah melewati fase pertama itu mungkin hanya berlangsung katakanlah 6 bulan pertama, seyogyanya setelah itu mereka mulai memasuki fase kedua. Fase kedua adalah fase yang justru timbul keragu-raguan karena disitulah mereka mulai menemukan bahwa mereka tidak sama dengan pasangan mereka dan pasangan mereka tidak bisa selalu mengerti diri mereka. Pada saat itu keragu-raguan biasanya muncul dan ini adalah hal yang justru kita harus terima sebagai suatu bagian dari masa berpacaran yang sehat. Namun kalau hubungannya memang kuat dan harmonis seyogyanya mereka mulai dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan tersebut, sehingga pada waktu memasuki fase ke 3 mereka justru merasakan banyak kecocokan. Sehingga pada masa yang saya sebut dengan fase ke 3 antara 6 bulan sampai setahun sebelum pernikahan, seharusnya mereka justru merasa damai dan lebih banyak tentramnya daripada keragu-raguan atau lebih banyak pertanyaan apakah ini pasangan untuk saya atau bukan, baru memasuki pernikahan. Dengan kata lain tergantung kapan munculnya keragu-raguan itu, kalau dari awal muncul, fase kedua muncul, fase ketiga bisa akhirnya lepas dan tentram itu lebih aman. Tapi yang celaka adalah fase pertama dan fase kedua misalnya tidak ada keragu-raguan, fase ketiga sebelum menikah penuh keragu-raguan, saya bisa menyimpulkan mereka belum siap menikah. Apakah jodoh mereka, apakah mereka cocok, tidak tahu pasti, tapi yang pasti adalah mereka belum siap menikah pada saat itu. Sebab seyogyanya kira-kira 6 bulan atau setahun sebelum pernikahan justru mereka merasakan mantap tidak ragu-ragu, tapi sekali lagi harus didahului oleh fase ragu-ragu itu, mempertanyakan karena munculnya perbedaan-perbedaan. Kalau perbedaan tidak muncul sama sekali saya cenderung skeptik, saya cenderung mempertanyakan kenapa tidak muncul, apakah terlalu disembunyikan sehingga tidak terbuka antara satu sama lain ataukah kalau muncul dihindarkan sehingga tidak pernah diselesaikan atau membutakan mata atau apa. Jadi saya cenderung mempertanyakan kalau tidak ada sama sekali keragu-raguan itu.
GS : Kalau Pak Paul tadi sebutkan fase-fase seperti itu, yang seringkali terjadi masa pacaran itu tidak selama yang Pak Paul sebutkan tadi fase-fasenya?

PG : Itu sebabnya saya memang berasumsi, tersirat dalam perkataan tadi, masa berpacaran jangan terlalu cepat dan jangan terlalu lama. Misalkan saya selalu berkata kalau mau minimum, orang itu brpacaran tidak boleh kurang dari setahun, tapi setahun bagi saya terus terang terlalu singkat, yang ideal menurut saya orang berpacaran itu sekurang-kurangnya 2 tahun sampai 3 tahun atau 4 tahun.

Tapi jangan pacaran terlalu lama, 15 tahun misalnya.
IR : 5 tahun juga ideal.

PG : Ya, sampai kira-kira 5 tahun itu baik.

(2) IR : Pak Paul, sebagai anak Tuhan apa boleh berganti-ganti pacar?

PG : Pertanyaan ini memang susah dijawab, apakah boleh kita ini berganti pacar sebagai anak Tuhan, otomatis kalau berganti-ganti terlalu sering tidak baik. Karena kita harus menyadari bahwa aka ada dampak perasaan-perasaan akan menjadi korban, jadi berganti-ganti sudah tentu saya kira jangan karena tidak baik.

Namun apakah boleh berganti pacar, boleh sebab justru pacaran adalah waktu untuk menentukan kecocokan atau ketidakcocokan kita. Jadi jangan sampai kita diikat secara tidak perlu karena sudah berpacaran satu kali dengan orang ini, kita harus bertanggung jawab, kita harus menikah dengan dia, tidak. Saya percaya kita harus mempunyai pikiran pada waktu kita berpacaran, kita memang mau menjalankan hubungan ini sampai ke mahligai pernikahan, jadi jangan sampai orang berpacaran dengan pikiran mau main-main saja, mau coba-coba saja. Sebab kita sedang berhubungan dengan orang atau manusia, dengan perasaannya, harga dirinya, reputasinya, semua itu akan terkait dalam hubungan berpacaran, jadi kita jangan sembarangan. Namun walaupun tadi saya katakan kita serius membawa pacaran ini sampai ke mahligai pernikahan, tidak berarti kita harus membelenggu diri kita. Jadi salah kalau orang berkata karena saya sudah berpacaran, saya sudah berjanji saya akan menikahi dia, saya sudah mencintai dia, tapi terus kita melihat tidak cocok tapi terus mempertahankan, itu juga salah. Jadi berganti-ganti pacar itu jangan, kalau berganti dan memang harus berganti silakan dan harus berani untuk berkata tidak cocok.
(3) GS : Mungkin juga pengertian pacaran itu seringkali orang melihat kalau kita sudah pergi berdua terus dengan seseorang yang tertentu. Orang mengatakannya mereka pacaran, padahal sebenarnya itu baru tahap perkenalan, saling mengenal tapi karena terlalu sering yang satu mau saja diajak pergi dan yang satu juga senang mengajak ke mana-mana, lalu timbul konsep pacaran. Nah sebenarnya pacaran itu sendiri seperti apa, Pak Paul?

PG : Saya memberikan fase-fase dari yang paling umum sampai akhirnya ke yang spesifik, berpacaran serius. Tahap pertama saya menganjurkan kita ini bergaul dengan luas, maka saya tidak setuju ank SMP, SMA berpacaran.

Kalau mau berpacaran setelah SMA, setelah memasuki usia dewasa karena pada saat itulah kebutuhan kita untuk mempunyai teman yang khusus, yang akrab baru mulai timbul. Sebelum itu pada masa SMP, SMA memang pada tahap pertumbuhan, kita memang telah didesain Tuhan untuk mampu berkawan secara banyak, silakan berkawan dengan luas agar bisa mengenal baik laki-laki maupun perempuan. Setelah itu kita mulai mengenal pasangan kita atau orang tersebut dalam kelompok kecil, jalinlah hubungan dengan dia namun dalam kelompok 2, 3, 4, sehingga kita mulai bersahabat dengan dia. Dan dari jarak kelompok ini kita mulai memantau siapa dia, mulai mengerti siapa dia, jadi kita mulai mencocok-cocokkan, bisakah kita cocok atau tidak dan ini yang penting dalam kelompok kecil itu kita menjalin persahabatan. Sebab saya sangat-sangat menekankan pentingnya menjadikan persahabatan sebagai pendahuluan masuk ke dalam masa berpacaran. Nah yang seringkali terjadi kebalikannya, sekarang cinta yang didahulukan. Baru nanti pusingkan persahabatan, yang tidak cocok akhirnya dicocok-cocokan, kita membuta-butakan mata karena sudah terlanjur cintanya, tertariknya, itu hal yang keliru. Jadi langkah pertama justru adalah persahabatan, nah itu dimulai dari kelompok kecil, setelah kita mengenal dia dengan lebih baik, menjadi sahabat dia dengan baik, mulailah persahabatan dengan dia secara pribadi. Pada tahap ini saya anjurkan untuk mengatakan langsung kepada pasangan itu, pada orang tersebut bahwa kita berminat kepada dia tapi kita tidak tahu apakah memang ini kehendak Tuhan, jadi kita ajak dia mulai berdoa dan tetapkan suatu jangka waktu, bagaimana selama 6 bulan kita saling mendoakan, saling mengenal. Dan setelah 6 bulan kita akan duduk bersama dan mengevaluasi apakah kita cocok, apakah engkau tetap mempunyai perasaan yang sama atau makin bertambah atau tidak. Kalau tidak kita harus dua-dua konsekuen berkata memang bukanlah kehendak Tuhan, kita akan berpisah baik-baik. Jadi memang ada kejelasan masa 6 bulan ini masa evaluatif, masa yang digunakan untuk menguji coba, setelah 6 bulan itu berlangsung dan kita merasakan makin cocok dua-dua bisa berkata sekarang kita tuntaskan kita memasuki masa berpacaran. Tentukan 2 tahun 3 tahun dimuka sebagai masa berpacaran kita, dalam masa berpacaran itu tetap dimungkinkan kita berpisah kalau memang tidak cocok. Tapi kita tahu ini adalah persiapan kita untuk memasuki pernikahan, nah nanti tahap terakhir barulah kita menikahi dia.
GS : Tapi problemnya selama orang mulai suka dengan lawan jenisnya, emosinya lebih besar daripada akal sehatnya, Pak Paul. Untuk bisa mencapai pada tahapan berpacaran itu, orang seharusnya menggunakan akal sehatnya. Bagaimana mempersiapkan orang yang belum memasuki masa pacaran itu, Pak?

PG : Di sinilah orang tua harus berperan, artinya sejak kecil orang tua sesungguhnya sudah harus mulai menanamkan benih-benih kriteria yang baik. Siapakah istri yang baik, apakah suami yang bai, kriteria-kriteria itu harus mulai kita tanamkan pada diri anak kita.

Kita akan katakan kita mau mereka menikah dengan sesama orang yang percaya, sesama orang yang dalam Tuhan Yesus. Inilah orang yang cocok, inilah orang yang baik dan sebagainya. Kita mulai tanamkan hal-hal seperti itu, sehingga anak-anak dari kecil mulai mempunyai konsep yang saya inginkan adalah yang seperti ini. Itu menolong sekali, waktu dia sudah dewasa dan dia mulai mendekati atau didekati oleh seseorang tidak bisa tidak, kriteria itu yang telah tertanam akan dihidupkan. Namun kalau Pak Gunawan bertanya tapi apakah mungkin anak-anak yang kita perlengkapi seperti itu, akhirnya bisa lupa sewaktu bertemu dengan yang disukai, itupun bisa dan memang terjadi, seperti "buta".
GS : Kecenderungannya mungkin bukan buta, Pak Paul tetapi pengaruh-pengaruh lingkungan yang dia terima dari temannya, kehidupan di luar yang dia lihat itu membuat dia bingung sebenarnya, Pak Paul. Tetapi tidak sempat atau tidak mau bertanya pada orang tuanya, lalu dia mengambil kesimpulan tersendiri bahwa ini yang terbaik buat dia.

PG : Betul, itu sebabnya kita sebagai orang tua harus mengakui dan menyadari bahwa kita mempunyai tugas tapi wewenang kita terbatas. Tugas kita orang tua adalah memberikan dan menanamkan benih-enih itu, namun orang tua pasti akhirnya sampai pada satu kesadaran bahwa wewenangnya terbatas.

Wewenang maksud saya adalah tangannya tidak cukup panjang untuk terus bisa mengatur perilaku dan keputusan anaknya. Pada satu titik orang tua harus mengatakan tanganku hanya bisa menjangkau sampai disini, setelah itu tanganku tidak bisa menjangkaumu. Wewenang kita berhenti di situ, pada waktu wewenang kita berhenti anak memang mempunyai kebebasan memilih sesuai dengan yang dia kehendaki dan adakalanya dia memilih orang yang tidak sesuai, yang keliru.
GS : Pak Paul, tadi katakan jangkauan orang tua itu terbatas ya, tetapi kenyataannya di dalam pernikahan seringkali campur tangan orang tua itu besar sekali untuk meneruskan pacaran itu sampai ke pernikahan atau membatalkannya. Sebetulnya bagaimana hal itu ditinjau dari segi Kekristenan?

PG : Saya percaya bahwa kita bertugas memberikan didikan, penjelasan, pengarahan, namun keputusan terakhir memang ada di tangan anak kita. Karena mereka adalah orang yang dewasa, jadi waktu ana kita mengambil keputusan yang sangat bertentangan dengan kehendak kita dan kita tahu ini bertentangan juga dengan kehendak Tuhan, saya rasa kita dan Tuhan dua-duanya akan bersedih hati.

Namun kita terpaksa bersikap seperti Tuhan yaitu membiarkan, sebab ini nanti adalah hidupnya dan tanggungjawab akan ada pada pundaknya.
GS : Itu kalau ditinjau dari segi orang tua, sekarang kalau kita tinjau dari segi anaknya, Pak Paul. Anak itu seringkali juga diteror oleh lingkungannya yang mengatakan itu permintaan ayahmu atau ibumu yang sudah tua, apakah kamu tidak mau memenuhi permintaan itu, apa sulitnya. Misalnya justru orang tua ini bukan memutuskan untuk menjodohkan dengan seseorang lain yang dia rasa tidak cocok, tetapi demi menuruti orang tuanya, menghormati orang tuanya, maka dia jalani saja.

PG : Sebisanya, saya ini tidak bisa terlalu dogmatik dalam hal ini, tapi saya menghimbau sebisanya anak itu mengambil keputusan tidak didasari semata-mata atas permintaan orang tua. Dia harus uga memikirkan masa depannya apakah memang cocok, tapi sekali lagi saya mau gariskan ini dalam rambu-rambu Kristiani ya.

Jadi tidak bisa anak berkata saya mau menikahi orang yang tidak cocok dengan saya dan juga tidak seiman, itu tidak boleh. Tapi yang saya maksud misalnya orang ini tidak cocok, tidak sesuai tapi orang tua terus bersikeras kita harus menikahi orang itu karena utang budi atau apa, saya kira anak seharusnya tetap berkata tidak. Karena nanti yang akan menanggung resiko pernikahan ini bukan orang tua tapi si anak.
IR : Juga sebaliknya Pak Paul, kalau anak itu juga sering diteror oleh teman-teman sekelilingnya kalau orang tuanya melarang seringkali juga lingkungan memaksa, kamu 'kan bukan anak mama?

PG : Bisa, jadi adakalanya memang kemandirian itu kalau tidak terwujud dengan penuh tanggung jawab akan melenceng jauh sekali karena dipengaruhi oleh lingkungan.

GS : Memang masih ada sisa-sisa tempo dulu mungkin Pak Paul, dimana orang tua selalu berkata Papa dan Mama dulu juga dijodohkan oleh kakek nenekmu, dan ternyata bisa harmonis, kenapa kamu tidak mau coba permintaan ini.

PG : Saya akan kembalikan pertanyaan itu atau komentar tersebut dengan pertanyaan, kalau Papa dan Mama dulu diberikan dua pilihan, satu ditentukan kedua menentukan sendiri, jodoh yang mana Pap Mama akan pilih? Ditentukan atau menentukan sendiri, bukankah orang tua akan berkata, "ya sebetulnya kalau bisa menentukan sendiri."

(4) GS : Nah sebenarnya, Pak Paul dalam hal hubungan ini yang tadi orang tua mencarikan jodoh dan tidak cocok itu, sebenarnya apakah memang ada tipe kepribadian yang memang tidak cocok kalau mereka menikah, Pak Paul?

PG : Saya akan memberikan beberapa panduan karakteristik orang-orang yang cocok untuk menikah. Yang pertama adalah kita menikahi orang yang kita hormati, jadi jangan sampai kita ini menikah denan seseorang yang tidak kita hormati, tidak kita segani, sebaliknya kita harus menjadi orang yang disegani, dihormati oleh pasangan kita.

Kedua kita menikahi dengan orang yang kita percayai, dia tidak akan menyeleweng, menipu. Kalau kita tidak mempunyai rasa percaya itu jangan nikah, sebaliknya kita pun harus jadi orang yang dipercayai oleh pasangan kita. Yang ketiga, kita harus menikahi orang yang kita cintai, jadi orang itu layak dan dapat dicintai, dalam bahasa Inggrisnya orang itu mempunyai karakteristik yang "lovable". Yang kita kagumi yang membuat kita sayang kepada dia, sebaliknya kita juga harus menjadi orang yang layak dicintai yang lovable bagi pasangan kita. Berikutnya kita menikahi orang yang siap untuk meninggalkan kehidupan lajangnya, artinya kita harus menikahi orang yang memang siap untuk terikat. Ada orang yang berkata saya siap menikah, tapi tidak siap mengakhiri hidup lajangnya, masih mau pergi sembarangan, malam baru pulang dan tidak bisa ditegur oleh pasangannya, berkata ini hidup saya, orang itu belum siap mengakhiri hidup lajangnya, jangan nikahi orang seperti itu. Berikutnya kita menikahi orang yang siap berkeluarga artinya kalau mengakhiri hidup lajang tadi, siap menjadi suami dan istri, ini artinya siap menjadi ayah atau ibu. Ya artinya orang yang siap menjadi ayah dan ibu, adalah orang yang siap membagi dan mengorbankan hidupnya. Kalau orang pelit mengorbankan hidupnya, waktunya, dirinya untuk orang lain dia belum siap menjadi ayah atau ibu, dia belum siap berkeluarga. Jadi satu karakteristik yang penting dalam berkeluarga adalah siap untuk mengorbankan diri, jadi kita nikahi orang yang siap berkeluarga. Dan yang terakhir kita menikahi orang yang fleksibel, orang yang artinya bersedia menyesuaikan diri dengan perubahan, jangan kita menikahi orang yang kaku, yang tidak bersedia berubah meskipun keadaan sudah menuntutnya. Dalam segala hal dia mengharapkan orang lain yang berubah sesuai dengan keadaan atau tuntutan dia, kita akan kesulitan menikah dengan orang yang tidak fleksibel. Jadi kita ingat-ingatlah panduan-panduan tersebut dalam memilih pasangan hidup kita.
GS : Kalau perbedaan karakteristik atau kepribadian seseorang seperti yang sanguin dengan melankolik, itu semuanya masih bisa cocok ya Pak Paul?

PG : Semuanya masih bisa cocok asalkan memang kita ini bisa menerima bahwa ada hal-hal yang kita akan sulit kita terima karena perbedaan itu, tapi bisa dicocokkan. Nah misalkan kita senang dengn orang yang plegmatik karena apa kita katakan, dia orang yang mantap, tenang tidak terpengaruh keadaan.

Kita menikah dengan dia 5 tahun kemudian setelah menikah kita mengatakan capek menikah dengan dia, dia tidak peduli, tidak mau tahu orang, jadi karakteristik yang kita kagumi seringkali setelah menikah berubah menjadi karakteristik yang mengganggu atau menjengkelkan kita.
GS : Nah Pak Paul, itu semua membutuhkan kematangan di dalam diri seseorang ya, walaupun bukan sebuah pedoman yang mati tetapi sebagai macam pedoman. Tadi Pak Paul katakan setelah SMA seseorang itu baik untuk mulai berpacaran dan sebagainya. Kenyataannya sekarang itu lebih dini dari itu, jadi misalnya SMP akhir itu sudah mulai pacaran, sebenarnya pengaruhnya itu di mana, Pak?

PG : Kalau dia berpacaran pada usia dini, pertama-tama dia akan kehilangan kesempatan bergaul dengan lebih luas karena berpacaran itu menuntut energi, waktu, hanya diberikan pada satu orang. Jai dia kehilangan kesempatan bergaul dan mengenal orang lebih banyak lagi.

Yang kedua adalah pertumbuhannya sendiri pun akan terganggu karena pergaulan yang luas memperkaya jiwa kita. Sejak dini kita sudah berpacaran berarti jiwa kita tidak bisa bertumbuh dengan luas, akan terikat atau akan terbatasi.
GS : Tapi sebaliknya Pak Paul, kalau ada orang yang mulai pacaran sudah agak lanjut itu sekarang sudah mulai banyak Pak Paul, karena kesibukan masing-masing merintis karier di beberapa negara. Mereka sebetulnya dapat dikatakan berpacaran sudah agak terlambat. Sebenarnya apa itu pengaruhnya, Pak Paul?

PG : Dari segi kematangan memang kita berkata orang yang memulai berpacarannya pada usia yang sudah 30-an ke atas ya, akan lebih matang pertimbangan-pertimbangannya, saya setujui. Tapi yang say takuti adalah unsur-unsur pertimbangan rasional itu akan bisa mengalahkan kespontanannya, spontanitas cinta karena segalanya itu terlalu dipikirkan secara seolah-olah bisnis, keuntungannya, kerugiannya itu yang menjadi motivasi terutama di dalam membina hubungan berpacaran ini.

Jadi saya kira kalau terlalu tua juga tidak baik.
GS : Memang ini menjadi masalah yang timbul karena lingkungan masing-masing juga, Pak Paul; jadi sebelum kita mengakhiri pembicaraan kita pada kali ini, mungkin Pak Paul akan sampaikan ayat firman Tuhan?

PG : Saya akan mengacu kepada tadi yang Pak Gunawan katakan, bahwa Ibu Ida tadi juga singgung yaitu adakalanya anak-anak kita meskipun sudah tahu firman Tuhan namun setelah tergila-gila dengan eseorang akhirnya kehilanganlah pegangan yang sebetulnya dia sudah miliki.

Firman Tuhan di Amsal 31:30 mengingatkan "kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi istri yang takut akan Tuhan dipuji-puji." Saya boleh membaliknya untuk yang pria disini ya, kegantengan adalah bohong dan ketampanan adalah sia-sia, tetapi suami yang takut akan Tuhan dipuji-puji. Jadi sekali lagi jangan kita dibutakan oleh penampilan fisik, kita harus pegang yang paling penting yaitu carilah istri atau suami yang takut akan Tuhan.
GS : Saya percaya sekali Pak Paul bahwa masih ada banyak pendengar kita yang mempunyai banyak pertanyaan, melalui kesempatan ini mungkin kita bisa mengundang mereka untuk menyampaikan pertanyaan saran dan sebagainya kepada kita dan mungkin kita bisa bahas lagi pada kesempatan yang akan datang.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja melanjutkan perbincangan tentang pernak-pernik perjodohan. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



18. Makna Kesepadanan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T079A (File MP3 T079A)


Abstrak:

Salah satu arti atau implikasi dari kesepadanan untuk kita anak-anak Tuhan adalah seiman. Jadi nilai kepercayaan siapa yang kita percaya itu mutlak harus sama. Kesepadanan adalah kecocokan karakter dan gaya hidup yang bisa kita terima menjadi bagian dari hidup kita. Di mana karakter dan gaya hidup itu menjadikan kita orang yang lebih baik.


Ringkasan:

Kejadian 2:18, " Tidak baik manusia seorang diri saja dan Aku akan menjadikan seorang penolong yang sepadan baginya."

Sebelum membahas arti sepadan saya akan menguraikan terlebih dahulu beberapa hal yaitu:

  1. Kesepadaan tidak identik dengan kesamaan, adakalanya kita menyamakan keduanya yaitu sepadan berarti sama, adakalanya ini prinsip yang kita gunakan untuk mencari pasangan hidup yaitu mencari yang sama. Tapi kita perlu menyadari bahwa yang Tuhan maksud kesepadanan tidak sama dengan kesamaan.

  2. Kesepadanan tidak identik dengan penjiplakan, maksudnya adalah salah satu pihak menanggalkan dirinya dan menjadi seperti yang diharapkan pasangannya. Dan penjiplakan ini tidak akan berlangsung lama. Hubungan suami-istri harus dimulai dalam rasa aman, bukan dalam rasa takut. Kalau sudah ada rasa takut, saya takut kehilangan dia, karena saya sangat bergantung pada dia itu sudah menjadikan hubungan suami-istri ini hubungan yang tidak kuat. Jadi sebaiknya orang yang ingin menikah memasuki hubungan nikah ini dalam rasa tenang, tenteram.

Jadi yang dimaksud dengan sepadan adalah kecocokan bukan sama. Cocok ini artinya adalah :

  1. Kita cocok dengan karakternya dan bisa menerima gaya hidupnya. Maksudnya cocok dengan karakternya adalah kita ini tidak rasa bahwa karakternya itu mengganggu kita, menyusahkan kita, menghalangi kita tapi justru menganggap karakternya itu sedikit banyak saling membantu, saling melengkapi dengan karakter kita.

  2. Kita melihat bahwa gaya hdupnya itu sesuatu yang bisa kita terima, artinya terima di sini adalah kita bisa hidup bersama dia dengan gaya hidupnya yang seperti itu.
    Cocok mengandung dua cakupan yaitu:

    1. Dari segi karakter
    2. Segi gaya hidup

    Karakternya mesti cocok dengan kita artinya pas dan gaya hidupnya juga mesti cocok dengan kita. Dr. Archibald Hart mantan dekan fakultas Psikologi di Fuller Seminary, di California mengemukakan teorinya bahwa kedua orang yang menikah sesungguhnya memulai pernikahan dengan ketidakcocokan, dengan berjalannya waktu masing-masing belajar mencocokkan diri akhirnya berhasil hidup harmonis.
    Yang dimaksud dengan perkataan beliau adalah kalaupun cocok itu berarti:

    1. Cocok untuk hal-hal tertentu, yang lain-lainnya belum tergali, belum tereksplorasi karena memang belum hidup serumah.

    2. Kecocokan itu masih bersifat dangkal, setelah menikah baru sadar dalam-dalamnya dan barulah terlihat bahwa dia tidak cocok dengan pasangannya.

    Pernikahan menjadi wadah untuk memuliakan Tuhan bukan memalukan Tuhan. Ini sedikit banyak akan menolong pasangan kita bekerja keras, untuk menyesuaikan diri mengharmoniskan hubungan mereka. Karena mereka sadar pernikahan adalah salah satu hal yang mereka bisa persembahkan kepada Tuhan untuk memuliakan-Nya, bukan untuk memalukan nama Tuhan.

  3. Kesepadanan berarti juga kita ini akan menerima pertolongan pasangan kita agar kita menjadi orang yang lebih baik. Jadi karakter pasangan kita yang mungkin berbeda dari kita, gaya hidup pasangan kita yang juga berbeda dari kita akan Tuhan pakai untuk membentuk kita, sehingga pada akhirnya kita menjadi orang yang lebih baik.

Galatia 5:22-23, "Tetapi buah Roh ialah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri, tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu." Tidak ada akhirnya kalau kita mencari kecocokan terus-menerus, salah satu prinsip yang langsung bisa diingat adalah Galatia 5:22,23 yaitu buah Roh Kudus. Apakah pasangan kita memiliki karakter Roh Kudus. Nah saya kira kalau dia bisa melakukan dan mempunyai ciri-ciri itu, kita ini cukup aman bersama dengan dia karena kita tahu dia orang yang dikuasai Roh Kudus. Jadi kalaupun masih ada ketidakcocokan, dengan modal ini keharmonisan lebih bisa dijamin.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang makna kesepadanan. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kadang-kadang kita melihat ada suatu pasangan yang serasi kelihatan baik di luar tetapi kalau kita mau mengamati lebih jauh ternyata mereka mengeluhkan tentang ketidakcocokkan mereka dan kita juga membaca dari bagian Alkitab bahwa Allah memberikan pasangan yang sepadan, sebenarnya pengertian yang sepadan itu sendiri seperti apa, Pak Paul?

PG : Yang tadi Pak Gunawan katakan memang banyak yang terjadi seperti itu, yaitu adakalanya kita melihat orang-orang yang nampaknya serasi tapi sesungguhnya waktu mereka bercerita barulah kia ketahui bahwa mereka itu tidak cocok atau merasa tidak sepadan.

Nah masalahnya adalah mereka berpikir bahwa mereka sepadan, karena kalau tidak pernah merasa sepadan tentunya tidak akan menikah. Jadi saya kira memang sudah waktunya kita membicarakan tentang kata sepadan dengan lebih saksama. Pertama-tama kita akan kembali pada Firman Tuhan yang tadi Pak Gunawan sudah singgung yaitu Kejadian 2:18, di mana Firman Tuhan berkata: "tidak baik manusia seorang diri saja dan Aku akan menjadikan seorang penolong yang sepadan baginya". Nah apa artinya "yang sepadan", sebelum kita membahas arti sepadan di situ, saya ingin menguraikan terlebih dahulu hal yang bukan makna sepadan. Yang pertama adalah kesepadanan itu tidak identik dengan kesamaan. Adakalanya kita ini menyamakan keduanya sepadan berarti sama, inilah prinsip yang digunakan oleh orang, Pak Gunawan, dalam mencari pasangan hidup yaitu mencari yang sama. Sudah tentu banyaknya persamaan akan menolong pernikahan itu sendiri, nah kalimat ini pernah ditegaskan oleh seorang pakar keluarga Kristen bernama Norman Wright. Memang beliau menegaskan bahwa banyaknya persamaan di antara 2 orang akan membantu mengharmoniskan pernikahan itu. Tapi kita perlu menyadari bahwa yang Tuhan maksud dengan kesepadanan tidak sama dengan kesamaan, itu point pertamanya, Pak Gunawan.
GS : Kalau tidak sama itu sampai seberapa jauh ketidaksamaan itu boleh ada. Tadi Pak Paul mengutip dari pakar keluarga yaitu Norman Wright, dia katakan makin banyak kesepadanan makin mudah mereka untuk cocok. Tetapi semua orang juga menyadari, tidak mungkin ada orang yang bisa cocok 100% satu dengan yang lain, Pak Paul?

PG : Salah satu hal yang bisa kita katakan penting supaya bisa sama, misalnya mempunyai nilai-nilai moral yang sama. Saya kira itu kesamaan yang penting dan seharusnya ada dalam sebuah pasanan.

Kalau ada kesamaan interest sangat menolong juga, misalkan yang satu senang dengan aktifitas di luar rumah, aktifitas di alam terbuka kebetulan dia bertemu dengan seseorang yang juga menyukai semua kegiatan di alam terbuka. Nah itu akan mengeratkan mereka, tapi saya kira kita tidak bisa memastikan dalam bentuk prosentase. Memang kesamaan hobby, kesamaan interest dan terutama kesamaan nilai moral itu akan sangat membantu mengharmoniskan hubungan suami istri. Nah yang saya ingin tekankan di sini adalah memang waktu kita mencari pasangan hidup, kita mencoba mencari yang cocok dengan kita dan yang sepadan dengan kita. Tapi kita juga harus berhati-hati, kita tidak bisa menemukan yang 100% cocok dengan kita atau sama dengan kita, itu tidak mungkin. Jadi akan ada suatu waktu di mana kita berkata ya begini, artinya tidak semuanya sama, namun cukup banyak yang sama dan kita harus berkata," Ya sudah saya akan terima selebihnya yang tidak sama itu".
GS : Tapi dalam hal iman, Kitab Suci dengan tegas mengatakan harus seiman, kesepadanan itu di dalam pengertian sama imannya, Pak Paul?

PG : Betul, jadi salah satu arti atau implikasi dari kesepadanan untuk kita anak-anak Tuhan adalah kita harus mencari yang seiman. Jadi kalau orang berkata saya ini rasanya cocok dengan dia alam semua hal, hanya satu yang tidak sama yaitu soal iman.

Sebenarnya kita harus berkata bahwa itu tidak sepadan, jadi nilai kepercayaan adalah hal yang mutlak harus sama.
GS : Lalu hal yang lain mengenai kesepadanan itu apa, Pak Paul?

PG : Yang berikutnya adalah kesepadanan itu tidak identik dengan penjiplakan. Yang saya maksud dengan penjiplakan adalah salah satu pihak menanggalkan dirinya dan menjadi seperti yang diharakan pasangannya.

Adakalanya seseorang terjebak ke dalam keinginannya sendiri, dia begitu ingin bersama dengan misalkanlah gadis itu. Dan dia mengetahui gadis ini mengidamkan pria yang seperti apa, nah dia juga menyadari bahwa dia tidak seperti yang diidamkan oleh gadis tersebut. Dalam usahanya merebut hati si gadis dia berhari-hari menjadi orang yang berbeda, dia menjadi seperti yang diharapkan oleh si gadis tersebut dengan menanggalkan dirinya. Nah ini saya sebut menjiplak, jadi benar-benar mencontoh apa yang diinginkan oleh gadis tersebut. Saya kira meskipun secara sementara mereka berdua itu bisa sepadan, bisa cocok jalan sama-sama dan rasanya akur-akur saja. Namun saya bisa berkata itu tidak akan bisa berlangsung lama, akan ada suatu waktu dimana yang menjiplak itu akan berkata "saya tidak bisa terus-menerus menjadi diri yang lain, saya harus akhirnya mengakui ini bukan saya". Nah waktu dia memunculkan dirinya, tidak bisa tidak pasangannya akan berkata engkau begitu berbeda, jadi penjiplakan tidak akan berlangsung lama.
GS : Tetapi kadang-kadang penjiplakan itu terpaksa dilakukan karena dia khawatir kehilangan pasangannya atau yang dikasihinya, Pak Paul.

PG : Sering kali itu memotivasinya, Pak Gunawan, jadi karena dia takut kehilangan maka dia menjiplak dirinya menjadi orang seperti yang diharapkan oleh pasangannya. Nah saya harus tekankan bhwa hubungan suami istri harus dimulai dengan rasa aman, bukan dengan rasa takut.

Kalau sudah ada rasa takut, saya takut kehilangan dia karena saya sangat bergantung pada dia, itu sudah menjadikan hubungan suami istri yang tidak kuat. Jadi sebaiknyalah orang yang ingin menikah harus memasuki hubungan nikah dalam rasa tenang, tenteram. Dia tidak harus ketakutan kehilangan pasangannya karena dia tahu dengan aman bahwa pasangannya itu menerima dia apa adanya, jadi kalau seseorang masih meragukan dan masih belum bisa berkata pasangannya menerimanya apa adanya, bagi saya ini adalah suatu tanda hubungan yang belum kuat. Sebab yang kuat seyogyanya memberi rasa aman sehingga seseorang bisa menjadi dirinya apa adanya.
GS : Di satu sisi memang ada pasangan yang khawatir kehilangan pasangannya, tapi di sisi yang lain adalah sisi yang menekan pasangannya supaya pasangannya menjadi seperti orang lain ya, Pak Paul?

PG : Saya kira akan ada tarik-menarik karena kita menginginkan pasangan kita sama seperti kita, jadi saya kira itu keinginan yang natural. Kenapa kita menginginkan pasangan kita sama sepertikita, tujuan akhirnya adalah untuk memudahkan hidup kita.

Kalau dia berbeda dengan kita berarti kita harus banyak menyesuaikan diri dengan dia, harus repot menjelaskan diri kita kepada dia agar dia bisa mengerti kita dengan lebih baik, jadi merepotkan. Maka jalan pintasnya adalah kita akan berusaha mencetak dia menjadi seperti yang kita inginkan, yaitu sama dengan kita supaya bisa langsung membaca pikiran kita dan mengerti kita dengan segera dan tepat.
(2) GS : Ada orang yang mengatakan saya cocok dengan pasangannya. Sebenarnya kata cocok itu sendiri apa, Pak Paul?

PG : Pak Gunawan, yang dimaksud dengan sepadan adalah cocok, bukan sama. Nah cocok itu artinya adalah kita ini cocok dengan karakternya dan bisa menerima gaya hidupnya. Maksudnya cocok denga karakternya adalah kita ini tidak merasa bahwa karakternya itu mengganggu kita, menyusahkan kita, menghalangi kita.

Kita justru menganggap bahwa karakternya itu sedikit banyak saling membantu, saling melengkapi dengan karakter kita. Yang kedua adalah kita juga melihat bahwa gaya hidupnya itu sesuatu yang bisa kita terima, artinya terima di sini adalah kita bisa hidup bersama dia dengan gaya hidupnya yang seperti itu. Nah yang kita maksud dengan cocok, saya berikan contohnya kalau misalkan saya tahu bahwa pasangan saya ini tidak bisa bangun pagi dan kalau bangun jam 10 pagi, nah pertanyaannya adalah apakah saya bisa menerima gaya hidup itu. Menerima di sini bukan berarti tidak apa-apa bangun jam 10 pagi, menerima berarti dapatkah saya hidup dengan orang yang bangun paginya jam 10.00 dan tidak bisa bangun jam 06.00. Artinya tidak bisa bangun untuk misalnya mempersiapkan makanan, mengantar anak-anak ke sekolah dan sebagainya. Jadi sekali lagi kita harus bertanya apakah gaya hidupnya bisa menjadi bagian dari hidup saya atau tidak bisa menjadi bagian hidup saya, berarti memang kita tidak terima, berarti memang kita tidak cocok. Jadi cocok mengandung dua cakupan, Pak Gunawan, yang pertama adalah dari segi karakter dan yang kedua adalah segi gaya hidup. Nah karakternya harus cocok dengan kita dan gaya hidupnya juga harus cocok dengan kita.
GS : Tapi kecocokan itu kadang-kadang hanya mereka rasakan pada awal pernikahan, jauh sebelum itu yaitu pada saat mereka berpacaran. Nah setelah memasuki sekian tahun masa pernikahan mereka, mereka merasa tidak cocok, bagaimana itu Pak Paul?

PG : Ada beberapa hal yang mungkin terjadi, Pak Gunawan, yang pertama adalah memang dua-duanya itu pada awalnya menemukan kecocokan, kemudian dalam perjalanan pernikahan masing-masing mulai engembangkan hobby yang berbeda.

Masing-masing mulai mengembangkan interest-interest yang lain dan akhirnya muncullah gaya hidup yang lain. Saya berikan contoh, pada masa awal pernikahan misalkan si suami itu karena belum mempunyai banyak uang, setiap kali pulang kerja pulang ke rumah. Nah lama-kelamaan karena dia sudah mempunyai uang, pulang kerja dia tidak pulang ke rumah tapi dia pergi berkaraoke ria atau ke pub dan ke cafe, pulangnya jam 12 malam. Waktu ditanya istrinya dia menjawab "o.... saya hanya senang-senang dengan teman-teman saya tidak ada apa-apa, hanya senang-senang, ini cara saya melegakan diri dari stres". Nah dengan perkataan lain, si pria di sini akhirnya di tengah jalan memungut kebiasaan baru, kebiasaan yang sangat tidak diterima oleh istrinya. Di sini tidak bisa tidak mereka dituntut lagi untuk saling mencocokkan diri, jadi itu yang pertama. Kemungkinan kedua adalah pada masa berpacaran mereka belum benar-benar menggali sampai ke dalam, akibatnya mereka lebih berputar di permukaan, kurang mengenal sifat dan kebiasaan pasangannya. Misalkan tentang bangun tidur tadi, si istri tidak sadar dan tidak tahu bahwa pacarnya tidak bisa bangun pagi, kalau bangun jam 10.00 pagi. Dia juga tidak pernah menanyakan, setelah menikah baru dia ketahui. Jadi adakalanya dua hal itu terjadi, tapi lepas dari 2 kemungkinan itu saya ingin sekali lagi mengingatkan perkataan dari Dr. Archibald Hart beliau mantan dekan Fakultas Psikologi di Fuller Seminary, di California. Beliau mengemukakan teorinya bahwa dua orang yang menikah sesungguhnya memulai pernikahan dengan ketidakcocokan, dengan berjalannya waktu masing-masing belajar mencocokkan diri akhirnya berhasil hidup harmonis. Yang dimaksud oleh perkataan beliau adalah kalaupun cocok itu berarti nomor 1 cocok untuk hal-hal tertentu, yang lain-lainnya belum tergali, belum tereksplorasi karena memang belum hidup serumah. Jadi tidak mungkin menemukan faktor-faktor yang lainnya secara sekaligus pada masa sebelum menikah. Yang kedua memang kecocokan itu tidak bisa tidak masih bersifat dangkal pada masa sebelum menikah, setelah menikah baru sadar dalam-dalamnya dan barulah terlihat bahwa dia tidak cocok dengan pasangannya. Nah di sini diperlukan proses pencocokan yang memang panjang.
GS : Mungkin yang perlu dilihat adalah visi mereka tentang pernikahan itu sendiri Pak Paul, tujuan mereka menikah kalau mereka mempunyai tujuan yang sama saya rasa kecocokan itu akan mudah mereka bina.

PG : Saya setuju Pak Gunawan, jadi kedua orang yang sudah memiliki konsep yang betul tentang pernikahan dan ke manakah seharusnya pernikahan itu ditujukan dan kesamaan visi itu. Maksud saya egini, kalau dia tahu bahwa pernikahan itu menjadi wadah untuk memuliakan Tuhan bukan memalukan Tuhan.

Sedikit banyak akan menolong pasangan kita bekerja keras untuk menyesuaikan diri dan mengharmoniskan hubungan mereka. Karena mereka sadar pernikahan adalah salah satu hal yang mereka bisa persembahkan kepada Tuhan untuk kemuliaanNya, bukan untuk memalukan nama Tuhan. Berikutnya seseorang atau maksud saya kedua orang ini menyadari bahwa pernikahan adalah alat yang Tuhan pakai untuk membentuk dirinya. Dengan kesadaran ini, dia akan lebih bisa bersedia menerima benturan, menerima tantangan dari pasangannya agar dia juga menyesuaikan diri dan dia tidak terburu-buru untuk berkata wah saya salah pilih karena dia sadar bahwa memang dia berbeda dengan pasangannya dan Tuhan sedang memakai upaya mencocokkan ini sebagai tangan Tuhan yang sedang membentuknya. Nah, dengan pengertian seperti ini, dia akan lebih mampu untuk menyelesaikan ketidakcocokannya.
GS : Tadi Pak Paul menyinggung bahwa melalui pernikahan itu salah satu atau kedua-duanya dibentuk, nah maksudnya itu bagaimana dalam kaitannya dengan kesepadanan, Pak Paul?

PG : Nah berikutnya Pak Gunawan, jadi kesepadanan itu juga berarti kita ini akan menerima pertolongan pasangan kita agar kita menjadi orang yang lebih baik. Jadi karakter pasangan kita yang ungkin berbeda dari kita, gaya hidup pasangan kita yang juga berbeda dari kita akan Tuhan pakai untuk membentuk kita, sehingga pada akhirnya kita menjadi orang yang lebih baik.

Saya kadang mengingatkan pasangan untuk menengok ke belakang 5 tahun sekali atau 10 tahun sekali terakhir ini. Sebab pernikahan memang mempunyai dampak yang besar terhadap pertumbuhan kita, kalau pernikahan kita itu sehat, baik, kita pun akan disehatkan dan kita menjadi orang yang lebih baik. Meskipun kebalikannya juga betul, Pak Gunawan, kalau kita sehat, kepribadian kita sehat, jiwa kita sehat kita akan menyehatkan pernikahan kita, jadi memang timbal balik. Tapi intinya adalah pernikahan akan dipakai Tuhan untuk membentuk kita menjadi orang yang lebih baik. Kalau kita menjadi orang yang lebih buruk dari 5 tahun yang lalu setelah kita menikah, saya kira kesimpulannya sangat jelas yaitu kita telah melewati hubungan nikah yang buruk sehingga kita pun akhirnya menjadi orang yang lebih buruk.
GS : Tetapi dalam hal pertumbuhan pribadi, yang menjadi lebih baik kadang-kadang di dalam hubungan suami istri itu cukup satu saja, tapi yang satunya kelihatannya kalau tidak statis malah mundur, nah itu bagaimana bisa terjadi demikian.?

PG : Kalau dia dalam hal-hal yang bertambah buruk hanya satu saja bertambah baik tetap saya akan kategorikan dia bertambah buruk. Sebab seyogyanya dia akan bertumbuh dapat dikatakan dalam seala aspek kehidupannya bukan hanya 1 aspek.

GS : Maksud saya suaminya saja atau istrinya saja yang menjadi bertambah baik, Pak Paul namun pasangannya itu tidak.

PG : OK! Maaf saya salah mengerti, kalau itu yang terjadi memang ada 2 kemungkinan. Kemungkinan yang pertama adalah orang yang memang bertumbuh, dia menerima bentukan meskipun dia harus mendrita, dia yang harus lebih banyak berinisiatif untuk menyesuaikan diri sehingga dia makin bertumbuh.

Dia menjadi orang yang lebih baik, nah belum tentu pasangannya bertambah baik karena apa? Pasangannya tidak mau bertumbuh, jadi kemungkinan itu juga ada. Tapi bisa jadi juga kemungkinan kedua yaitu memang dari awalnya yang satu itu sudah baik, sudah sehat, sedangkan yang satu memang dari awalnya tidak sehat. Dan pernikahan ini dapat dikatakan tidak berubah, karena yang tidak sehat itu tidak mau menjadi sehat sedangkan yang sehat tetap jadi sehat, memang ada kemungkinan itu. Namun pada umumnya, Pak Gunawan, orang yang tidak sehat mempunyai pengaruh yang kuat membuat pasangannya yang sehat jadi tidak sehat. Jadi kecenderungannya adalah orang yang sehat kalau dirongrong terus-menerus oleh yang tidak sehat, lama-kelamaan jadi tidak sehat.
GS : Dalam hal kesepadanan atau kecocokan tadi, sering kali juga sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang ada di sekeliling kita. Ada pasangan muda-mudi yang tadinya merasa belum yakin betul cocok, tapi teman-teman di sekelilingnya selalu mengatakan kamu itu cocok sekali dengan dia, nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Bagus sekali yang Pak Gunawan utarakan, memang ini harus diwaspadai terutama oleh kita yang hidup dalam persekutuan-persekutuan, sebab adakalanya ini yang terjadi baik teman-teman di seolah maupun teman-teman di gereja, aduh....dua-duanya

aktivis Kristen cocok sekali kalau menikah. Yang menyatukan mereka memang adalah keaktifan mereka di dalam persekutuan Kristen, namun dalam hal-hal lain belum tentu cocok. Jadi peringatan atau tanda awas kepada anak-anak muda jangan sampai tunduk pada tekanan dari teman-teman. Meskipun mereka bermaksud baik dan menginginkan kita bahagia, tapi kita tetap harus teliti melihat apakah kita cocok dengan pasangan kita itu atau tidak?
GS : Nah, di dalam menentukan masa depan seseorang untuk menikah nantinya, apakah firman Tuhan memberikan pedoman untuk mendapatkan kesepadanan di dalam pasangan hidup kita?

PG : Saya akan membacakan dari Galatia 5:22-23, "Tetapi buah Roh ialah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan dri, tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu."

Pak Gunawan tidak ada akhirnya kalau kita ini mencari kecocokan terus-menerus, salah satu prinsip yang kita langsung bisa ingat adalah Galatia 5:22-23 yaitu buah Roh Kudus. Kita cari apakah pasangan kita memiliki karakter Roh Kudus ini. Apakah dia orang yang penuh kasih, penuh sukacita, penuh damai sejahtera, penuh kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan orang yang bisa menguasai diri. Nah saya kira kalau dia bisa melakukan dan mempunyai ciri-ciri itu, kita ini cukup aman bersama dengan dia karena kita tahu dia orang yang dikuasai Roh Kudus. Jadi kalaupun masih ada ketidakcocokan, dengan modal ini keharmonisan lebih bisa dijamin.
GS : Saya rasa itulah yang menyebabkan Tuhan berkata pasangan kita harus sepadan dalam arti kita seiman, karena hanya melalui Roh Kudus itu tanda-tanda tadi keluar Pak Paul, bukan sesuatu yang bisa diusahakan.

PG : Betul, betul sekali.

GS : Baiklah jadi saya percaya sekali pedoman itu akan sangat penting bagi para pendengar kita. Saudara pendengar demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang makna kesepadanan. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



19. Tanda-Tanda Kesepadanan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T079B (File MP3 T079B)


Abstrak:

Kesepadanan tidak bisa hanya diukur dari segi kwantitas berapa banyak, yang paling penting adalah kwalitas kecocokan itu. Di dalamnya ada suatu penghargaan terhadap keunikan masing-masing pasangan, adanya rasa dimengerti antara satu dengan yang lain tidak merasa dihakimi dan juga adanya upaya atau niat untuk menyesuaikan diri, bukan memasabodohkan pasangan serta adanya suatu pertumbuhan pribadi ke arah yang lebih positif.


Ringkasan:

Kesepadanan tidak boleh diukur dari segi kwantitas berapa banyak, sebab yang paling penting adalah kwalitas ketidakcocokan itu. Jarang bertengkar dengan pasangan kita memang suatu indikator yang baik namun harus kita juga teliti motivasi kenapa kok jarang bertengkar, sebab ada kasus di mana orang jarang bertengkar karena memang mengelakkan diri dari pertengkaran.

Pertengkaran seharusnya terjadi sebab justru itu baik, bisa menolong mereka menyelesaikan problemnya. Tapi kalau pertengkaran itu kita nggak pernah menyelesaikannya, berarti ini adalah aspek yang kita harus teliti sebab kalau ada hal-hal yang kita pertengkarkan, tak bisa kita selesaikan ini akan kita bawa ke dalam pernikahan. Kalau hal yang kita pertengkarkan tak bisa kita selesaikan, ini menandakan kemampuan kita berdua untuk menyelesaikan pertengkaran belum ada, belum cukup kuat, jadi sangat rawan sekali untuk memasuki pernikahan.

Suatu hubungan yang dipenuhi dengan pertengkaran itu pertanda buruk, itu pertanda bahwa:

  1. Kita sangat berbeda dan berbedanya ini dalam segala hal.

  2. Kalau kita terus-menerus bertengkar itu menandakan tahap pengertian kita, tahap penerimaan kita akan pasangan kita sangat lemah.

Tanda-tanda kesepadanan yaitu:

  1. Kita menghargai perbedaan bukan membenci keunikan pasangan kita. Orang yang sepadan dengan pasangannya, ketidakcocokan itu tidak membuahkan kebencian. Kalau membuahkan kebencian itu berarti memang karakternya atau gaya hidupnya tidak bisa kita terima.

  2. Rasa dimengerti, bukan dihakimi oleh pasangannya. Kita diterima, dimengerti oleh pasangan bagi saya ini salah satu indikasi memang kita ini sepadan dengan pasangan kita.

  3. Adanya upaya atau niat baik untuk menyesuaikan diri, bukan memasabodohkan pasangan. Kalau kita sepadan hubungan kita ini harmonis ya, adanya niat baik dari pihak kita untuk menyesuaikan diri. kalau yang seringkali muncul adalah perasaan masa bodoh, peduli amat dengan dia nah itu mengkhawatirkan, membuat saya berpikir jangan-jangan tidak sepadan.

  4. Adanya pertumbuhan pribadi ke arah yang lebih positif, bukan malah kemerosotan ke arah negatif. Artinya begini setelah kita berpacaran beberapa bulan, kita ini bisa berkata : Tuhan memakai hubungan ini untuk membentuk kita. Kita menjadi orang yang lebih sabar, kita menjadi orang yang lebih murah hati, kita menjadi orang yang lebih menguasai diri, kita menjadi orang yang sukacita, kita menjadi orang yang lebih penuh kasih, kita menjadi orang yang lemah lembut, yaitu 9 aspek dalam buah Roh Kudus.

Jadi yang saya mau tekankan adalah kalau kita makin memunculkan buah Roh Kudus dalam hidup kita, gara-gara kita makin dekat dengan pasangan kita, dapat kita simpulkan ini pasangan yang cocok dengan kita, sepadan dengan kita. Namun kalau sebaliknya yang terjadi kita makin tidak murah hati, tambah sempit hati, bukannya lemah lembut makin kasar, bukannya makin bisa menguasai diri makin nggak bisa menguasai diri, bukannya makin penuh kasih, makin penuh iri hati. Nah ini saya kira pertanda pasangan ini tidak sepadan dengan kita atau kita memang tidak sepadan dengan dia.

Efesus 5:1, "Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah seperti anak-anak yang kekasih dan hiduplah di dalam kasih sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai korban persembahan dan korban yang harum bagi Allah."

Jadi yang ditekankan di sini adalah jadi penurut-penurut Allah seperti anak-anak yang kekasih dan hidup di dalam kasih. Kalau kita sepadan dengan pasangan kita, kita akan mirip dengan Allah, dengan Tuhan Yesus sendiri kita menjadi penurut-penurut Allah. Jadi kalau kita memang sepadan makin hidup di dalam kasih bukan makin hidup dalam kebencian, kepahitan, kekecewaan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang tanda-tanda kesepadanan. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita telah membahas atau Pak Paul sudah menyampaikan tentang makna kesepadanan dan kini kita akan membahas lebih lanjut tentang tanda-tanda kesepadanan. Namun supaya para pendengar kita memperoleh gambaran yang lengkap tentang kesepadanan ini, mungkin Pak Paul bisa mengulang sejenak, sekilas tentang makna dari kesepadanan itu.

PG : Yang pertama kesepadanan itu tidak identik dengan kesamaan, meskipun kesamaan adalah hal yang penting dan makin banyak persamaan makin mudah untuk mengharmoniskan diri dengan pasangan kita tapi yang namanya sepadan tidak identik dengan kesamaan.

Kesepadanan juga tidak identik dengan penjiplakan yaitu kita menanggalkan diri kita agar bisa menjadi seperti yang diharapkan oleh pasangan kita. Kita sepenuhnya, menjadi seperti yang diidamkan oleh pasangan kita, itu bukan kesepadanan. Kesepadanan adalah kecocokan, kecocokan yang berarti karakternya cocok dengan kita dan gaya hidupnya bisa kita terima menjadi bagian hidup kita. Kesepadanan juga berarti bahwa karakter dan gaya hidupnya dipakai Tuhan untuk membentuk kita, menjadi orang yang lebih baik. Jadi dengan kata lain karakter dan gaya hidupnya itu tidak menjadikan kita ini orang yang lebih rusak atau lebih buruk malah menjadikan kita menjadi orang yang lebih baik, kira-kira itulah makna kesepadanan.
GS : Nah, sebelum kita masuk ke tanda-tanda kesepadanan mungkin kita juga perlu melihat salah pengertian seseorang tentang kesepadanan itu sendiri, Pak Paul. Sering kali orang rancu tentang kesepadanan, nah mungkin Pak Paul bisa jelaskan terlebih dahulu.

PG : Ada orang yang berkata o... saya dalam hal ini saja tidak cocok dengan dia, dalam hal-hal yang lainnya kami sangat cocok, nah saya ingin menegaskan bahwa kesepadanan tidak boleh diukur dar segi kwantitas berapa banyak.

Sebab yang paling penting adalah kwalitas ketidakcocokan itu, misalkan saya berikan contoh kita berkata o... saya cocok dengan dia, dua-dua senang pergi, senang bernyanyi, dua-dua orangnya terbuka kalau ada apa-apa langsung dibicarakan. Namun kalau lagi marah dua-dua saling memukul, kalau lagi marah dua-dua saling mencaci maki, nah ini kwalitas, meski hanya satu yang sangat buruk dan satu kwalitas ini tidak bisa tidak akan membawa pengaruh pada aspek-aspek lain dalam kehidupannya. Sebab satu masalah ini pada akhirnya akan memerosotkan wibawa atau penghormatan pada pasangannya. Waktu dicaci maki, balas mencaci maki, tidak bisa tidak respek sudah sangat hancur, hati sudah sangat terluka akibat caci maki itu, dan itu akan mempengaruhi hidup mereka dalam aspek-aspek yang lainnya. Jadi sekali lagi kita jangan berkata o... hanya satu saja kami tidak cocok yang lainnya cocok, kita harus melihat seberapa besarnya tidak cocok dan dalam hal apa tidak cocoknya itu. Sebab itupun bisa mempengaruhi aspek-aspek yang lainnya.
GS : Karena memang sulit juga Pak Paul, membuat semacam daftar untuk melihat mana yang cocok dan mana yang tidak cocok.

PG : Betul, jadi kita memang tidak bisa dengan tepat dan objektif mendaftarkan semua kecocokan dan ketidakcocokan. Yang bisa kita lakukan adalah kita hanya merefleksikan selama ini, apakah selaa ini kita meributkan satu hal yang sama dan satu hal itu begitu mempengaruhi kita sehingga kalau meributkan soal itu kita benar-benar merasa tidak mau dekat dengan pasangan kita, kita diamuk oleh amarah kita bahkan rasanya benci dengan dia untuk misalnya berhari-hari.

Kalau itu yang terjadi kita bisa dengan cukup tepat berkata bahwa hal tersebut sangat mengganggu kehidupan kita, bahwa satu hal itu sudah sangat membawa warna yang tertentu kepada hubungan kita ini. Jadi memang kita tidak bisa mendaftar semuanya, tapi ingat saja secara umum hal apa yang paling sering kita ributkan.
GS : Nah mengenai ribut atau pertengkaran kalau pasangan itu jarang sekali ribut, apakah dengan sendirinya kita bisa berkata bahwa pasangan itu cocok?

PG : Belum tentu, Pak Gunawan, jadi adakalanya kita ini terpedaya oleh jarangnya atau hilangnya pertengkaran di antara kita dan kita dengan cepat berkata o... kami sangat sepadan kami jarang betengkar.

Jarang bertengkar memang suatu indikator yang baik, namun harus kita juga teliti melihatnya kenapa jarang bertengkar. Sebab ada kasus di mana orang itu jarang bertengkar dan kenapa jarangnya bertengkar karena memang mengelakkan diri dari pertengkaran. Ada masalah namun tidak mau didiskusikan sebab dia tahu kalau didiskusikan pasti mengundang pertengkaran. Jadi dalam hal ini pertengkaran itu seharusnya terjadi sebab justru baik, bisa menolong mereka menyelesaikan problemnya. Nah mungkin ada yang berkata kalau kami bertengkar, kami tidak pernah bisa menyelesaikannya. Berarti ini adalah aspek yang kita harus teliti sebab kalau ada hal-hal yang kita pertengkarkan, tidak bisa kita selesaikan maka akan kita bawa ke dalam pernikahan. Dan kalau hal-hal yang kita pertengkarkan tidak bisa kita selesaikan, ini menandakan kemampuan kita berdua untuk menyelesaikan pertengkaran atau perbedaan belum ada, belum cukup kuat. Jadi sangat rawan sekali kalau kita memasuki pernikahan dengan modal keterampilan yang seperti ini.
GS : Jadi bukan masalah pertengkarannya itu yang menentukan mereka cocok atau tidak, tapi bagaimana mereka menyelesaikan masalahnya itu ya, Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, jadi yang penting memang bukannya pertengkaran sebab perbedaan pendapat akan selalu ada, tapi bisa atau tidak kita menyelesaikan pertengkaran itu. Tapi sebaliknya juga hrus saya katakan begini, kalau hubungan kita itu terus dipenuhi dengan pertengkaran itu pertanda buruk, itu pertanda bahwa nomor satu kita sangat berbeda dan berbedanya ini dalam segala hal.

Kedua, kalau kita terus-menerus bertengkar itu menandakan tahap pengertian kita, tahap penerimaan kita akan pasangan kita sangat lemah, itu sebabnya kita masing-masing ingin membuat dia seperti kita dan mengerti kita atau ada banyak hal tentang dia yang tidak kita sukai. Jadi kita sulit sekali mengoreksinya, banyaknya pertengkaran meskipun akhirnya bisa diselesaikan juga pertanda awas, kita perlu perhatikan hal itu.
GS : Ada juga orang yang berkata saya mencintai pasangan saya ini jadi bagaimana bisa tidak cocok karena kalau ditanya kamu itu tidak cocok, tapi dia menjawab saya mencintainya.

PG : Ini jebakan berikutnya Pak Gunawan, yang membuat orang akhirnya keliru menilai kesepadanan, wah... memang saya mencintai dia, dia mencintai saya pasti cocok, belum tentu. Kenapa? Cinta memng bisa menutupi ketidaksepadanan, namun cinta tidak menyelesaikan ketidaksepadanan, cinta membuat kita melupakan ketidaksepadanan.

Cinta cenderung mengecilkan ketidaksepadanan karena apa, cinta ingin memiliki orang yang kita cintai, cinta membuat kita ingin dekat dengan dia. Dan kita tahu ketidaksepadanan yang harus diselesaikan membuat kita undur sementara agak jauh dengan pasangan kita. Waktu kita berselisih pendapat dan sebagainya, bukankah itu akan menciptakan jarak antara kita berdua. Karena cinta kita begitu bergebu-gebu, kita tidak bisa menoleransi jarak antara kita dengan pasangan kita, itu sebabnya akhirnya kita seolah-olah menutup mata terhadap ketidakcocokan kita itu. Nah jadi hati-hati dengan yang namanya cinta, sebab cinta yang kuat adalah cinta yang mengakui ketidakcocokan dan nomor dua cinta yang kuat adalah cinta yang berani memunculkan dan berupaya menyelesaikan ketidakcocokan itu. Sebab cinta yang kuat tahu bahwa cinta ini tidak akan luntur oleh adanya ketidakcocokan itu. Nah kalau cintanya takut membahas ketidakcocokan itu, maka menandakan hubungan yang memang belum matang.
GS : Mungkin yang belum matang merasa memang pasangannya belum siap, jadi untuk apa dimunculkan perbedaan. Adanya perbedaan tetap diakui dan dia mencintai pasangannya, tapi dia tidak berani memunculkan perbedaan itu menjadi sesuatu yang terbuka, Pak Paul.

PG : Saya kira untuk kadar tertentu atau sampai titik tertentu, kita bisa berkata saya akan tunda dululah karena rasanya dia belum siap. Jadi hikmat selalu dibutuhkan dalam menjalin hubungan, kta tidak bisa berkata pokoknya saya ingin bicara saya bicarakan, kau siap tidak siap bukan urusan saya.

Nah itu tidak berhikmat, orang yang berhikmat harus tahu kapan waktu yang tepat untuk memunculkan suatu masalah. Harus tahu juga apakah memang pasangannya siap atau tidak siap mendengarkannya. Namun kalau kita memang merasakan bahwa hal ini penting buat kita dan kita tahu kapan harus dimunculkan, meskipun akan ada reaksi yang lumayan kuat dari pasangan kita seperti marah, terluka, mungkin sedikit marah, tidak mau bicara dengan kita atau menyalahkan kita tapi kita dapat mengkomunikasikan kepadanya bahwa ini demi kita berdua, bukan untuk meninggalkanmu, bukan untuk membuatmu sengsara tapi untuk kebaikan hubungan kita berdua, ini motivasinya. Dan ini harus dikedepankan, setelah itu baru dibicarakan apa yang sedang mengganggu kita itu.
(1) GS : Pak Paul, setelah kita membicarakan tentang salah pengertian dalam kesepadanan itu tadi Pak Paul, tentunya kesepadanan itu bisa dilihat melalui tanda-tandanya. Tanda-tanda yang ada di dalam pasangan yang saling mengasihi dan yang sepadan, tanda-tandanya itu apa saja, Pak Paul?

PG : Sekurang-kurangnya ada 4, Pak Gunawan; yang pertama adalah kita menghargai bukan membenci keunikan pasangan kita. Orang yang sepadan dengan pasangannya meskipun rasanya tidak sama, tidak ccok, namun seyogyanya ketidakcocokan itu tidak membuahkan kebencian.

Kalau membuahkan kebencian itu berarti memang karakternya atau gaya hidupnya tidak bisa kita terima. Yang namanya sepadan, tadi kita telah singgung adalah berhasil menerima karakter dan gaya hidupnya menjadi bagian dari kehidupan kita. Jadi kalau sampai kita membencinya, itu bagi saya pertanda memang kita belum bisa menerima dan belum sepadan, yang sepadan adalah kita bisa menghargainya, o... memang dia seperti itu ya tidak apa-apa, o.... memang dia lebih ekspresif, emosinya lebih tinggi, saya emosinya lebih tenang. Tapi saya menghargai tidak apa-apa, itu berarti memang sudah sepadan karena kemungkinan besar waktu emosinya tinggi tidak menyerang dia, emosi tinggi tidak sama dengan melecehkan dia hanya beremosi saja misalnya seperti itu. Jadi adanya penghargaan bahwa yang berbeda itu tidak langsung adalah suatu kejelekan, justru itu adalah suatu perbedaan saja.
GS : Tapi kebencian itu kadang-kadang timbul karena berulang kali Pak Paul, ya pertama kita bisa mengerti dan masih menghargai tapi karena hal yang sama itu terjadi berulang kali, lalu timbul rasa benci.

PG : Kalau ini telah kita lihat pada masa berpacaran, memang dapat kita katakan atau dapat saya katakan belum sepadan dalam hal itu. Seyogyanya hal itu memang dibereskan. Saya mengerti hidup meang tidak ideal, jadi akan ada bagian-bagian yang berhasil kita sepadankan dan juga ada hal-hal yang tidak berhasil kita sepadankan sepenuhnya.

Saya kira itu bagian kehidupan yang wajar. Namun harapan saya adalah bagian itu tidak terlalu banyak, jadi akhirnya kita tidak dipenuhi dengan kebencian. Biarlah kadang-kadang kita merasa tidak suka dengan hal-hal yang dilakukan, yang tidak cocok dengan kita namun saya berharap hanya berhenti sampai merasa tidak suka, tidak sampai akhirnya merasa benci. Jadi seyogyanya pada masa berpacaran hal yang berbeda dari kita itu tidak kita benci hanya sedikit tidak suka, tetapi tidak kita benci. Namun yang menjadi karakter dominan adalah menghargai perbedaan itu, jadi kita tidak melihat perbedaan itu atau pasangan kita yang berbeda itu sebagai orang yang bermasalah, orang yang aneh bisa mempunyai pikiran atau sifat atau kehidupan seperti ini. Kalau masih belum menikah kita sudah melabelkan pasangan kita aneh, sakit, orang tidak benar, nah itu bagi saya pertanda tidak sepadan. Sebab seyogyanya sebelum menikah pada masa berpacaran, yang kuat justru menghargai pasangannya meskipun berbeda.
GS : Di dalam hubungan suami istri yang saya pikirkan, bahwa pasangan saya ini adalah yang terbaik yang Tuhan berikan kepada saya.

PG : Itu cara berpikir yang sangat bagus sekali Pak Gunawan, sangat bagus sekali sebab kita menyadari hidup kita dipimpin Tuhan dalam mencari pasangan hidup.

GS : Nah tanda yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang kedua adanya rasa dimengerti, bukan dihakimi oleh pasangannya. Jadi kalau kita merasa kuat sekali ya kita dimengerti olehnya, bahwa kita memang tidak sama dengan dia, kadangkala bisa erselisih pendapat.

Namun waktu berselisih, waktu tidak sama dia bisa mengerti kenapa kita tidak sama dengan dia. Dia tidak menghakimi kita, dia tidak membuat kita itu menjadi pesakitan, orang yang bermasalah karena mempunyai gaya hidup atau karakter seperti ini. Kita diterima, dimengerti olehnya, nah bagi saya ini adalah salah satu indikasi memang kita ini sepadan dengan pasangan kita.
GS : Dimengerti itu dalam arti kata segala kelemahan dan kelebihannya ya, Pak Paul?

PG : Betul, kita bukan saja menerima penghargaan atas kekuatan kita tapi kita juga menerima pelukannya, menerima kita apa adanya atas hal-hal yang kita anggap sebagai kelemahan kita.

GS : Apakah tanda yang ketiga, Pak Paul?

PG : Adanya upaya atau niat baik untuk menyesuaikan diri, bukan memasabodohkan pasangan. Kalau kita sepadan hubungan kita ini harmonis, adanya niat baik dari pihak kita untuk menyesuaikan diri.Kalau yang sering kali muncul adalah perasaan masa bodoh, peduli amat dengan dia nah itu mengkhawatirkan saya, itu membuat saya berpikir jangan-jangan ini tidak sepadan.

Dan sekali lagi saya mau mengulang definisinya adalah tidak cocok ini kita tidak bisa menerima karakternya dan tidak bisa menerima gaya hidupnya. Itu sebabnya pada akhirnya kita tidak mau lagi menyesuaikan diri, kita lebih bersikap atau mengambil sikap memasabodohkan, terima ya terima, tidak terima ya sudah. Nah kalau sudah sampai sebegitu, saya menyimpulkan bahwa mereka belum bisa menerima karakternya masing-masing dan belum bisa menerima gaya hidupnya.
GS : Tapi menyesuaikan diri itu dalam hal-hal yang positif, Pak Paul? Kalau dalam hal-hal yang negatif tidak bisa dilakukan itu.

PG : Betul, jadi dalam hal-hal yang negatif sudah tentu diminta pasangan kitalah yang menyesuaikan diri, kalau dalam hal yang negatif itu dialah yang lebih bermasalah. Jadi kalau memang kita tau dia mempunyai kebiasaan yang negatif, sedang kita memintanya untuk berubah dia tidak berubah dan kita tidak terima, itu suatu sikap yang sebetulnya positif, tidak menerima aspek yang negatif dari dirinya.

Misalnya kita tahu pasangan kita menggunakan narkoba, kita memintanya berhenti tidak mau berhenti malah pakai lagi. Nah saya kira penolakan kita menerima gaya hidupnya adalah hal yang positif, tapi sekali lagi ini menunjukkan tidak sepadan, bahwa memang dia bukan pasangan kita sebab kita tidak mau dan memang seharusnyalah tidak mau menerima gaya hidupnya itu.
GS : Tanda yang keempat yang tadi Pak Paul katakan paling sedikit ada 4 tanda, yang keempat apa, Pak Paul?

PG : Keempat adalah adanya pertumbuhan pribadi ke arah yang lebih positif, bukan malah kemerosotan ke arah negatif. Artinya begini Pak Gunawan, setelah kita berpacaran beberapa bulan, kita ini isa berkata, Tuhan memakai hubungan ini untuk membentuk kita.

Kita menjadi orang yang lebih sabar, murah hati, menguasai diri kita, penuh sukacita, penuh kasih, lemah lembut, nah itu semua adalah kesembilan aspek dari buah Roh Kudus. Jadi saya mau tekankan kalau kita makin memunculkan buah Roh Kudus dalam hidup kita, maka kita makin dekat dengan pasangan kita. Dapat kita simpulkan ini pasangan yang cocok dengan kita, sepadan dengan kita. Kalau sebaliknya yang terjadi kita makin tidak murah hati tambah sempit hati, bukannya lemah lembut tapi makin kasar, bukannya makin bisa menguasai diri tapi makin tidak bisa menguasai diri, bukannya makin penuh kasih tapi makin penuh iri hati. Nah saya kira itu pertanda pasangan ini tidak sepadan dengan kita atau kita memang tidak sepadan untuk dia, jadi itu indikasi yang keempat, Pak Gunawan.
GS : Jadi tolok ukurnya kesepadanan ini memang ada di dalam Alkitab ya Pak Paul. Jadi apa yang Alkitab katakan sehubungan dengan perbincangan kita saat ini, Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari kitab Efesus 5:1 "Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah seperti anak-anak yang kekasih dan hiduplah di dalam kasih sebagaimana Kristus Yesus jugatelah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diriNya untuk kita sebagai korban persembahan dan korban yang harum bagi Allah."

Jadi yang saya ingin tekankan adalah menjadi penurut-penurut Allah seperti anak-anak yang kekasih dan hidup di dalam kasih. Satu hal yang bisa saya simpulkan di sini adalah kalau kita sepadan dengan pasangan kita, kita akan lebih mirip dengan Allah yaitu Tuhan Yesus sendiri, kita menjadi penurut-penurut Allah. Jadi jangan sampai kita semakin berpacaran semakin jadi pembangkang Allah, tapi justru menjadi penurut Allah. Bukan kita menjadi anak-anak yang penuh kejengkelan, kepahitan, tapi justru firman Tuhan berkata seperti anak-anak yang kekasih dan hidup di dalam kasih. Jadi kalau memang sepadan maka kita makin hidup di dalam kasih bukan makin hidup dalam kebencian, kepahitan, kekecewaan, kira-kira inilah prinsip firman Tuhan yang bisa kita ingat, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih Pak Paul. Demikianlah tadi saudara pendengar kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang tanda-tanda kesepadanan. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



20. Pernikahan yang Tidak Sehat


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T080A (File MP3 T080A)


Abstrak:

Pernikahan merupakan suatu relasi yang harus kita bina secara terus-menerus. Kalau kita gagal membinanya yang terjadi adalah pernikahan kita mengalami sakit. Di mana di dalamnya terjadi penurunan gairah atau minat masing-masing pasangan, kehidupan tidak lagi menampakkan keceriaan dsb. Kata kunci: terjangkit penyakit depresi


Ringkasan:

Pernikahan bukanlah suatu keadaan yang sempurna dan permanen. Pernikahan merupakan suatu relasi dan relasi itu adalah sesuatu yang perlu dibina terus-menerus, maka adakalanya setelah kita melewati suatu jangka waktu tertentu kalau kita gagal membinanya dengan baik mulailah kita memetik buah-buah negatifnya alias kalau kita tidak menjaga tubuh kita dengan baik, memberi makanan yang bergizi dan merawatnya maka setelah melewati suatu jangka tertentu mulailah tubuh kita memunculkan tanda-tanda sakit.

Tanda-tanda pernikahan yang sedang terjangkit penyakit depresi adalah:

  1. Menurunnya gairah atau minat. Jadi di sini yang terlihat adalah suami kekurangan gairah terhadap istri, istri kehilangan gairah terhadap suami atau dalam kasus yang lebih serius orangtua juga mulai kehilangan gairah terhadap anak-anak. Tidak ada lagi kegembiraan, keceriaan dalam pernikahan itu.
    Gejalanya adalah:

    1. Dia lebih menikmati hal-hal yang di luar, sementara yang di dalam dia tidak bisa nikmati.

    2. Si suami atau si istri atau bahkan anak-anak lebih sering diselimuti oleh perasaan murung. Jadi benar-benar mereka itu tidak lagi menampakkan keceriaan pribadinya yang dulu misalkan suka guyon sekarang seringnya diam, seringnya merenung, menyendiri, pandangannya agak kosong.

  2. Hilangnya harapan akan masa depan, artinya dia akan berhenti berharap, dia tidak bisa lagi membayangkan adanya masa depan yang cerah atau yang baik.

Penyebab seseorang bisa depresif dalam hidup pernikahannya:

  1. Kemarahan yang tak terungkapkan, kemarahan yang tak terungkapkan seolah-olah menjadi energi dalam hati, dalam diri kita yang menekan kita.

  2. Perasaan tidak berdaya, tidak berdaya menghadapi keadaan yang menekan. Perasaan tak berdaya ini perasaan yang benar-benar membuat kita frustrasi berat, apalagi kalau kita beranggapan tidak seharusnya kita begini, tidak seharusnya kita mengalami hal ini atau kita berkata seharusnya engkau mengerti.

Matius 17:12, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi dari seluruh hukum taurat dan kitab para nabi."

Firman Tuhan mengajarkan kita yaitu:

  1. Pertama-tama kita harus menyadari bahwa kita harus mulai perbuatan yang baik terlebih dahulu, sebelum pasangan kita melakukannya kepada kita. Jadi kalau kita mengharapkan dia bisa mengasihi kita, kita mengasihi dia, kalau kita mengharapkan dia bisa mengerti perasaan kita, kita mencoba mengerti perasaannya.

  2. Firman Tuhan bisa berkata: silakan mengharapkan, boleh mengharapkan suami kita atau istri kita berbuat hal-hal yang kita inginkan, tapi syaratnya adalah kita mesti berbuat hal yang sama. Berapa banyak di antara kita yang meminta pasangan kita untuk sabar tapi kitanya mudah marah, berapa banyak kita meminta pasangan kita untuk mengertilah, saya lagi kesal, jangan banyak ngomong tapi kita pun tidak mengerti dia seperti yang kita harapkan untuk mengerti kita.

  3. Firman Tuhan mendorong kita untuk langsung berbuat, bukan hanya berkata-kata tapi berbuat yang engkau harap orang berbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepadanya.

Ini saya menyebutnya sebagai hukum relasi. Setiap pernikahan harus didirikan di atas hukum relasi seperti yang telah Tuhan ajarkan, kalau saja setiap pasangan melakukan hal ini saya percaya bahwa akan banyak pernikahan tidak harus lagi melewati penyakit depresi dalam pernikahan mereka.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang menarik dan bermanfaat. Perbincangan kali ini kami beri judul pernikahan yang tidak sehat, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Di dalam realita kehidupan sehari-hari kita melihat ada pernikahan yang nampaknya serasi, manis dan sebagainya tapi ada juga yang sebaliknya. Banyak orang kesulitan untuk membedakan sampai sejauh mana pernikahan itu disebut sehat atau tidak sehat, mungkin Pak Paul bisa mengulasnya.

PG : Pernikahan itu bukanlah suatu keadaan yang sempurna dan permanen, dalam pengertian bahwa sekali atau kita mencapai suatu tahap tertentu maka pernikahan kita akan terus-menerus seperti itu.Suatu pernikahan merupakan suatu relasi dan relasi itu adalah sesuatu yang perlu dibina terus-menerus.

Maka adakalanya setelah kita melewati suatu jangka tertentu kalau kita gagal membinanya dengan baik, mulailah kita memetik buah-buah negatifnya. Kalau kita tidak menjaga tubuh kita dengan baik, memberi makanan yang bergizi dan merawatnya maka setelah melewati suatu jangka tertentu mulailah tubuh kita itu memunculkan tanda-tanda sakit. Nah pernikahan juga seperti itu, Pak Gunawan.
GS : Pak Paul menganalogikan pernikahan dengan tubuh manusia tadi, kalau tubuh kita mau sakit biasanya terasa sejak awal misalnya kelihatan tanda-tanda lesu, tidak suka makan. Apakah itu bisa ditengarai secara dini, Pak Paul?

(2) PG : Bisa Pak Gunawan, saya menyebutnya pernikahan yang depresif. Jadi memang bisa banyak bentuk, kita bisa berkata bahwa pernikahan ini tidak lagi sehat karena si suami mempunyai wanita lan dan sebagainya, tapi bisa juga kita ini menggolongkan penyakitnya sebagai penyakit depresi.

Kira-kira apa tanda-tanda suatu pernikahan yang telah terjangkiti penyakit depresi? Tadi Pak Gunawan sudah menyinggung sedikit yaitu yang pertama menurunnya gairah atau minat. Jadi di sini yang terlihat adalah suami kekurangan gairah terhadap istri, istri kehilangan gairah terhadap suami atau dalam kasus yang lebih serius orang tua juga mulai kehilangan gairah terhadap anak-anak. Nah kalau itu sudah berlangsung, biasanya akan ada juga kehilangan gairah terhadap minat atau hobby-hobby yang biasa dilakukan oleh si suami atau si istri atau bahkan si anak. Jadi dalam pernikahan yang depresif di mana pernikahan ini sendiri seolah-olah menjalani suatu keadaan depresif, salah satu tanda yang bisa kita lihat adalah kehilangan minat atau gairah di mana seolah-olah tidak ada lagi kegembiraan, keceriaan dalam pernikahan itu.

ET : Pak Paul, tapi mungkin kehilangan gairah ini yang jadi pertanyaan buat saya, apakah itu memang hanya terhadap pasangan atau di dalam diri sendiri juga maksudnya untuk bekerja atau hanya di rumah saja, tidak ada semangatnya?

PG : Sering kali gejala yang pertamanya memang di rumah, jadi misalkan kita melihat ada orang yang tidak begitu senang ke rumah atau diam di rumah karena dia lebih senang di luar. Begitu dia puang ke rumah, ia merasa rumah itu sepertinya tempat yang penuh dengan kesusahan, membuat dia rasanya tidak bersemangat, jadi lebih baik dia menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya di luar rumah.

Jadi biasanya itu gejala yang pertama, dia masih bisa menikmati hal-hal yang di luar, tapi yang di dalam tidak bisa lagi dia nikmati. Namun tidak tertutup kemungkinan kalau memang dia itu sebetulnya tetap ingin membereskan masalah keluarganya namun tidak mampu, jadi lama-kelamaan sikapnya atau minatnya terhadap hal-hal yang di luar pun terpengaruh misalnya semangat kerjanya, minatnya terhadap hobby-hobbynya yang bisa dia lakukan di luar itu juga bisa terpengaruhi sehingga tidak lagi mau pergi dan sebagainya. Misalkan seorang istri yang biasa terlibat dalam kegiatan gerejawi, ikut paduan suara sekarang enggan dan dia berkata lebih baik saya di rumah saja, di rumah pun tidak bahagia, tapi dia tidak bisa lagi menikmati menyanyi, memuji Tuhan di gereja.
GS : Ada teman saya dulu sebelum menikah itu seorang yang periang. Artinya suka bergurau dan sebagainya dengan kami, tapi setelah sekian tahun dia menikah, tiba-tiba menjadi seorang pendiam, Pak Paul.

PG : Saya kira itu salah satu gejala yang lainnya Pak Gunawan, tanda dari pernikahan yang depresif di mana si suami atau si istri atau bahkan anak-anak lebih sering diselimuti oleh perasaan muung.

Jadi benar-benar mereka itu tidak lagi menampakkan keceriaan pribadinya yang dulu misalkan suka berguyon sekarang seringnya diam, seringnya merenung, menyendiri, pandangannya agak kosong. Jadi sungguh-sungguh pernikahan itu mempunyai dampak yang besar terhadap seseorang dan terutama suasana hatinya. Jadi itu adalah tanda yang lainnya dari suatu pernikahan yang telah terkena depresi.

ET : Seperti pribadi yang berbeda sama sekali jadinya ya, Pak Paul?

PG : Betul, Bu Esther jadi akhirnya diri yang dulu itu tidak lagi mereka miliki, adakalanya ini yang mereka ungkapkan tatkala mereka datang menemui seorang konselor mereka akan berkata: "Saa melihat diri saya sekarang sebagai seorang yang lain, saya kehilangan diri saya, sebelum menikah saya seorang yang ceria, suka bercanda, suka pergi, nah sekarang tidak ada lagi keinginan seperti itu", jadi perasaannya adalah perasaan yang murung.

Ya kadangkala akan ada masa senang, ada rasa sukacita namun itu hanyalah percikan, yang lebih sering adalah perasaan murung.
GS : Tapi kalau kami sebagai teman pernah menanyakan kepada teman yang tadi saya katakan itu, dia selalu berkata memang ada masalah, semua orang punya masalah, apa kamu sendiri punya masalah dia katakan begitu. Jadi dia tidak mau terbuka, Pak Paul.

PG : Salah satu reaksi orang setelah hidup dalam problem untuk waktu yang lama adalah menjadi apatis dalam pengertian tidak berdaya lagi. Sebab dia sudah mencoba cara, bukannya dia tidak mau mecoba.

Justru kalau kita memberikan saran atau masukan sedikit saja, dia defensif atau tersinggung karena seolah-olah dia dituduh, dia tidak mencoba cukup keras. Nah kenyataannya dalam keterbatasan mereka sepasang suami istri ini sebetulnya telah mencoba untuk memperbaiki rumah tangganya. Namun ternyata yang mereka harapkan tidak menjadi kenyataan, terus-menerus masalah itu muncul, yang mereka harapkan untuk berubah tidak berubah. Dalam keadaan seperti itu, biasanya orang merasa tidak berdaya dan waktu tidak berdaya perasaan yang muncul adalah perasaan apatis seperti tadi.
GS : Hal itu sepihak dari pihak yang merasa depresif itu atau kedua-duanya bisa merasa seperti itu, Pak Paul?

PG : Sudah tentu memang setiap kasus mempunyai keunikan dan tidak akan sama, bisa jadi dua-duanya. Nah ini dalam pengertian dua-dua memang sungguh-sungguh ingin membangun rumah tangga, tapi menalami masalah karena tidak bisa saling mengerti atau menyesuaikan diri.

Perbedaan-perbedaan itu tidak bisa terselesaikan sehingga menjadi duri dalam hubungan mereka. Kalau yang satu tidak lagi mau membangun rumah tangga ini karena dia sudah mempunyai orang lain atau dia memang masa bodoh, nah otomatis yang akan lebih terpengaruh adalah yang mau membereskan masalah rumah tangganya. Dia itu yang akan lebih merasakan pukulan-pukulan, dia yang akan merasa tertekan sehingga mungkin sekali sistem depresinya itu lebih nyata pada dirinya.

ET : Tapi tidak jarang saya melihat pasangan-pasangan yang mungkin seperti Pak Gunawan katakan tadi, masing-masing menganggap tidak ada masalah tapi yang terjadi mungkin seperti perang dingin d rumahnya, seperti sudah ya sudahlah, tidak ada apa-apa.

PG : Saya kira itu sering terjadi Bu Esther, jadi cukup banyak pernikahan sebetulnya tidak bahagia namun tidak terlalu menderita sehingga harus berpisah. Nah jadi ini pernikahan yang tergantungdi tengah-tengah atau yang mengapung-apung dikatakan tidak bahagia sekali ya tidak, dikatakan bahagia sudah pasti juga tidak.

Biasanya manusia itu beradaptasi karena tidak bisa lagi hidup dalam kesusahan, kejengkelan terus-menerus akhirnya yang mereka lakukan seolah-olah mematikan perasaan-perasaan tertentu. Ya sudah hal ini tidak bisa lagi saya harapkan, saya harus terima dia begini terus sampai mungkin waktu yang lama, ya sudah saya terima. Jadi dengan perkataan lain, seolah-olah dia minum pil pahit karena tidak ada pilihan lain. Nah kalau ditanya orang jawabannya biasa-biasa saja, semua orang juga punya masalah maka orang lainpun juga hanya bersimpati, tidak bisa menolong dia. Namun kita bisa melihat bahwa pernikahannya adalah pernikahan yang depresif, tidak ada lagi keceriaan.
GS : Ada yang untuk menutupi masalah yang demikian itu lalu dia mencari kesibukan-kesibukan di dalam hal lainnya atau kepada anaknya, Pak Paul.

PG : Salah satu cara orang untuk bisa tetap melangsungkan hidupnya, untuk bisa bertahan adalah berkompensasi. Jadi sering kali memang dalam keadaan seperti ini dia akan mencari hal-hal yang lai, objek-objek pemuasan yang lain.

Nah, biasanya dia akan menguburkan dirinya dalam pekerjaan sehingga waktu bersama istrinya atau suaminya menjadi lebih sedikit. Sehingga dia tidak perlu lagi merasakan sakit hatinya atau dilampiaskan kepada anak-anak. Anak-anak menjadi penghibur dirinya, nah ini salah satu penyebabnya, Pak Gunawan dan Ibu Esther, cukup sering pernikahan itu goyang, benar-benar goyang dan hampir runtuh setelah anak-anak dewasa, ini salah satu sebabnya. Sebetulnya yang menyebabkan mereka itu runtuh bukan karena anak-anak itu pergi meninggalkan mereka, tetapi yang menyebabkan mereka runtuh adalah keadaan pernikahan mereka yang sebetulnya tidak stabil. Namun tertutupi oleh kehadiran anak karena anak itu orang ketiga, jadi kita selalu bisa mengalihkan kemarahan atau kejengkelan atau ketidakpuasan kita pada anak. Nah setelah anak-anak tidak ada, berarti tidak ada lagi peralihan dan harus berhadapan langsung dengan kenyataan yang tidak mengenakkan itu. Biasanya disitulah mereka dipaksa untuk menyesuaikan diri. Kalau tidak berhasil menyesuaikan diri setelah anak-anak dewasa, maka akan parah sekali karena motivasi untuk bersatu pun sudah luntur, karena anak-anak sudah besar semua.

ET : Dan mungkin jalan keluar seperti perceraian itupun buat orang-orang seperti itu rasanya tetap alternatif terakhir. Jadi walaupun sudah goyah mereka masih mencoba alternatif yang lain walauun sebenarnya mereka tidak menemukan dalam situasi yang seperti itu, saya cuma membayangkan betapa letih dan menyakitkan harus bersama-sama dengan orang yang masa depannya mau dibawa ke mana itu mungkin.

PG : Betul, nah biasanya Bu Esther, pada saat seperti itu biasanya orang mencoba untuk tidak lagi merasakannya dengan kata lain mematikan perasaan. Sebab orang tidak bisa hidup dengan rasa saki untuk waktu yang berkelanjutan, untuk waktu yang terlalu lama dia tidak sanggup, sampai suatu titik dia harus berkata cukup, saya tidak akan lagi membiarkan diri saya disakiti seperti ini.

Biasanya apa dia akan berhenti berharap nah memang ini adalah salah satu ciri depresi, penyakit depresi yang kita kenal ditandai oleh hilangnya harapan akan masa depan. Benar, sebab dia tidak bisa lagi membayangkan adanya masa depan yang cerah atau yang baik, jadi terpaksa dia harus hilangkan semuanya. Namun berhubung tidak ada lagi masa depan, dia juga akan menjadi orang yang tidak bersemangat. Benar-benar hidup itu dilalui ibarat roda yang diputar saja.
GS : Apakah tidak mungkin seseorang itu menjadi kebal, Pak Paul?

PG : Saya kira ya, sampai titik tertentu dia akan kebal terhadap perasaan-perasaan tertentu. Misalnya rasa sedih dan susah membuat dia menangis, kadang-kadang kita mendengar ungkapan tidak ada agi air mata, nah saya kira itu maksudnya, tidak bisa lagi merasa sedih.

Bahkan marahpun susah, nah kalau kita pernah melihat orang yang depresi berat sekali, orang yang depresi berat sekali yang aneh adalah hampa perasaan. Benar-benar wajahnya itu datar dan tidak ada lagi perasaan apa-apa, marah ya tidak, sedih ya tidak, kecewa ya tidak. Kalau ditanya apa yang kamu rasakan tidak tahu, benar-benar tidak ada perasaan. Dan pernikahan yang depresif juga seperti itu, si suami atau si istri melalui hidup ini yang seperti itu tadi, tidak ada lagi perasaan, tidak ada semangat, sudah tentu tidak ada energi, merasa letih hari lepas hari dilalui seolah-olah seperti memikul beban yang berat sekali. Nah, biasanya akan muncul perilaku kompensasi, misalnya muncul masalah dengan anak-anak, ya anak-anak bertambah besar memberontak atau terlibat narkoba sehingga orang tua terpaksa mengalihkan problem mereka berdua sekarang pada problem anak-anak misalnya atau suaminya menderita gangguan apa, istrinya menderita gangguan apa, nah akan muncul kompensasi-kompensasi seperti itu.
(3) GS : Sebenarnya yang menyebabkan seseorang bisa depresif dalam hidup pernikahannya itu apa, Pak Paul?

PG : Ada banyak faktor, Pak Gunawan, tetapi saya akan hanya menyoroti perasaan yang menyimpulkan segala faktor tersebut. Yang pertama adalah rasa marah, jadi adakalanya kita ini marah namun tidk bisa mengekspresikan kemarahan itu.

Contoh kalau suami kita itu keras misalkan tidak bersedia mendengarkan keluh kesah kita, nah waktu kita berkeluh-kesah suami langsung marah, marah mengancam kita untuk tutup mulut. Nah apalagi kalau suami itu ringan tangan, kita tetap membuka mulut langsung dia menampar kita, setidak-tidaknya ini memberikan kita pelajaran lain kali jangan menampakkan kemarahan kita kepada dia.

ET : Jangan menyulut api maksudnya?

PG : Jangan menyulut api kalau tidak mau terbakar begitu. Nah, akhirnya apa yang terjadi terpaksa si istri ini menimbun perasaan marahnya. Apapun kekesalannya tidak boleh diungkapkan, atau kebaikannya pada si suami misalnya dia kesal sama istrinya karena dia minta ini minta itu, tolong perhatikan rumah, tolong perhatikan anak, hal-hal yang wajar yang bisa engkau lakukan, tolong engkau lakukan, jangan semua menunggu saya misalnya seperti itu.

Tapi tidak dipenuhi oleh si istri, hari demi hari persoalannya sama tidak berubah, bulan demi bulan, tahun demi tahun terus sama. Si suami akhirnya merasa benar-benar putus asa, apapun yang dia katakan tidak bisa membuahkan hasil, namun kalau dia marah misalnya si istri menangis, dua, tiga hari marah tidak berbicara dengan dia, nah dia yang sengsara. Atau yang lebih klasik, ini kadang-kadang juga terjadi misalkan si suami ini juga aktivis gereja yang melayani dengan sungguh-sungguh, dia mengetahui bahwa dia tidak seharusnya berbuat kasar pada istrinya. Jadi akhirnya dia merasa bersalah kalau dia marah pada si istri, bukankah saya seorang aktivis gereja, seharusnya saya lebih sabar jadi dia segera minta maaf. Tapi dia minta maaf cepat-cepat tidak menyelesaikan apa-apa karena perbuatan yang sama akan diulang lagi. Akhirnya apa yang terjadi perasaan marah itu seolah-olah terus menumpuk menjadi suatu batu yang menekan pada dirinya. Kita tahu salah satu penyebab depresi adalah kemarahan yang tidak terungkapkan. Kemarahan yang tidak terungkapkan itu seolah-olah menjadi energi dalam hati, dalam diri kita yang menekan kita. Akhirnya apa yang terjadi ya sudah kita marah tidak bisa, sedih tidak bisa, tidak lagi mengharapkan apa-apa.
GS : Tapi ada yang mengatakan katanya kemarahan kalau ditumpuk suatu saat dia akan meletus seperti gunung api.

PG : Biasanya begitu jadi ditumpuk-tumpuk akhirnya meledak. Nah tapi kalau misalkan meledak terus mendapatkan reaksi yang lebih buruk lagi, ya akhirnya dia belajar untuk sebisa-bisanya tidak meedak, sebisa-bisanya tetap dikontrol.

ET : Jadi sepertinya usaha untuk meredakan kemarahan itu justru sebenarnya sedang menumpuk kemarahan ya, jadi tampaknya reda tapi di dalamnya dia tumpuk lagi semakin banyak.

PG : Betul, semakin dia berusaha mengekang kemarahannya sebetulnya dia lagi menyumbangsihkan kemarahan ke dalam.

ET : Ke dalam gudang kemarahan itu?

PG : Betul, jadi mengisi lagi dengan amunisi kemarahan-kemarahan itu.

GS : Mungkin itu sebabnya firman Tuhan mengatakan jangan biarkan amarahmu sampai matahari terbenam.

PG : Tepat sekali, tepat sekali sebab Tuhan mengerti bahwa semua kemarahan yang disimpan untuk waktu yang lama benar-benar menjadi racun, menjadi suatu kepahitan. Dan kepahitan susah berubah, kmarahan masih bisa diredakan masih bisa dirubah, tapi kepahitan susah berubah atau susah untuk dinetralisir.

GS : Kalau penyebab yang lain, Pak Paul?

PG : Yang lainnya adalah perasaan tidak berdaya, tidak berdaya menghadapi keadaan yang menekan. Jadi biasanya sewaktu kita ingin melakukan sesuatu tidak ada responnya kita merasa tidak berdaya.Selain dari perasaan marah, yang kedua adalah perasaan tidak berdaya (powerless).

Nah, perasaan tidak berdaya ini merupakan perasaan yang benar-benar membuat kita frustrasi berat, apalagi kalau kita beranggapan tidak seharusnya kita begini, tidak seharusnya kita mengalami hal ini atau kita berkata seharusnya engkau mengerti begitu. Contohnya mudah, misalkan seorang istri melihat suaminya mampu memberikan perhatian kepada orang, tapi tidak memberikan perhatian pada dirinya. Nah hal itu akan membuat si istri luar biasa frustrasinya, dia meminta perhatian tapi tidak bisa menerimanya. Namun melihat si suami memberikan perhatian kepada orang lain, benar-benar membuat perasaannya tidak berdaya. Atau suami yang menginginkan istri lebih mencintainya, tapi si istrinya begitu dingin tidak bisa mencintainya, namun dia melihat istrinya itu bisa dekat dengan kakaknya, mengasihi anak luar biasa. Kadang-kadang dia berharap dialah anak itu, tapi kenapa istrinya tidak bisa memberikan kasih sayang seperti itu kepadanya. Dia minta-minta, dia berikan cara apa dan sebagainya tetap tidak ada perubahan, akhirnya tidak berdaya. Nah, dalam kasus-kasus yang lebih ekstrim dan lebih negatif misalnya melibatkan tindakan-tindakan yang lebih destruktif atau yang lebih merusakkan misalnya berjudi. Misalkan si suami yang berjudi si istri yang meminta, memohon untuk jangan berjudi lagi tapi suaminya tetap berjudi. Uang dihabiskan, disimpan, disembunyikan, diketahui oleh suaminya diambil lagi, barang dijual lagi, nah perasaan-perasaan yang akhirnya muncul adalah perasaan tidak berdaya. Nah perasaan tidak berdaya itu perasaan yang luar biasa menekannya dan akhirnya bisa membuat orang akhirnya putus asa, tidak lagi mengharapkan apa-apa dan mematikan perasaannya. Pada saat seperti ini pernikahan saya sebut mengalami proses depresi.

ET : Saya tertarik dengan yang tadi Pak Paul katakan, bisa dilakukan kepada orang lain tetapi tidak dilakukan kepada pasangannya. Mungkin itu rasanya fenomena yang cukup sering tampak pada kelurga-keluarga Kristen, di luar rumah rasanya menjadi seorang pribadi yang penuh perhatian, di gereja terlibat dalam pelayanan tetapi begitu di rumah tidak peduli dengan keadaan yang ada di rumah.

Pasti akan membuat si pasangan itu menjadi tidak berdaya melihat keadaan seperti itu.

PG : Sebab waktu dia tidak mendapatkan dan dia melihat orang lain mendapatkannya, maka akan mengganggu sekali. Kalau dia tidak mendapatkan, lalu orang lain pun tidak mendapat apa-apa dari pasanannya, sedikit banyak akan mengobati lukanya.

Waktu dia melihat orang mendapatkan dia tidak, itu benar-benar seperti luka yang diberi garam dan ditusuk-tusuk, makin perih.

ET : Makanya sering ada ungkapan saya lebih senang melihat suami istri di tengah orang banyak, jadi rasanya di tengah orang banyak begitu menyenangkan tapi begitu cuma berdua jadi menyebalkan. engan perkataan lain, menjadi pribadi yang berbeda karena langsung tidak ada apa-apanya di antara mereka itu.

PG : Betul, inilah contoh pernikahan yang depresif ya Ibu Esther. Saya kadang-kadang memberikan contoh yaitu saya melihat pasangan-pasangan yang pergi makan di restoran. Cukup menarik sekali kaau saya mengamati perilaku mereka, suami istri duduk berhadapan tapi tidak melihat satu sama lain dan tidak berbicara terhadap satu sama lain, mata mereka itu ke atas, ke samping tapi tidak ke depan.

Dan saya pernah melihat satu keluarga dengan anak-anak, anak-anaknya pun tidak bicara, anak-anaknya pun hanya melihat keliling-keliling ke atas, ke bawah tidak ada yang bicara dengan satu sama lain. Nah, ini tadi sudah Ibu Esther kemukakan, saya kira intinya adalah pernikahan itu sudah kehilangan energinya, benar-benar sudah mengalami depresi.
GS : Pak Paul, sebenarnya kalau melihat ciri-ciri seperti itu, kalau kita amati sekilas saja dari apa yang tadi kita bicarakan cukup banyak keluarga yang mungkin dinilai sehat tapi ternyata tidak sehat. Mungkin seperti kita merasa dirinya sehat, begitu dicek di laboratorium dan ke dokter ternyata ada banyak hal. Nah sebenarnya dalam hal ini bimbingan firman Tuhan apa yang Pak Paul mau sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Matius 17:12, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi dari seluruh hukm taurat dan kitab para nabi."

Firman Tuhan itu saya kira mengajarkan pertama-tama kita harus menyadari bahwa kita harus mulai perbuatan yang baik terlebih dahulu, sebelum pasangan kita melakukannya kepada kita. Jadi kalau kita mengharapkan dia bisa mengasihi kita, kita mengasihi dia, kalau kita mengharapkan dia bisa mengerti perasaan kita, kita mencoba mengerti perasaannya. Jadi Tuhan memberikan tanggung jawab pertama kepada kita untuk melakukan yang kita inginkan orang perbuat kepada kita. Yang kedua adalah saya kira dari firman Tuhan ini kita bisa berkata silakan mengharapkan, boleh mengharapkan suami kita atau istri kita berbuat hal-hal yang kita inginkan, tapi syaratnya adalah kita harus berbuat hal yang sama. Nah ini yang kita tahu hal yang normal, yang wajib, tapi kita tidak selalu melakukannya. Berapa banyak di antara kita yang meminta pasangan kita untuk sabar, tapi kita mudah marah, berapa banyak kita meminta pasangan kita itu untuk mengertilah saya lagi kesal, jangan banyak bicara, tapi kita tidak mengerti dia seperti yang kita harapkan untuk mengerti kita. Jadi firman Tuhan dengan jelas berkata boleh berharap asal berbuat hal yang sama. Dan yang terakhir adalah firman Tuhan di sini mendorong kita untuk langsung berbuat, bukan hanya berkata-kata tapi berbuat yang engkau harapkan orang berbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepadanya. Nah Pak Gunawan dan Ibu Esther, saya panggil ini hukum relasi. Setiap pernikahan harus didirikan di atas hukum relasi seperti yang telah Tuhan ajarkan. Kalau saja setiap pasangan melakukan hal ini, saya percaya bahwa akan banyak pernikahan tidak harus lagi melewati penyakit depresi dalam pernikahannya.

GS : Saya percaya ini suatu hukum yang sangat penting, Pak Paul, di mana kita temukan di Perjanjian Lama lalu dikutip kembali di Perjanjian Baru. Jadi itu menjadi dasar di dalam kita membangun relasi khususnya dalam hubungan suami istri. Kita baru berbincang-bincang tentang pernikahan yang tidak sehat, tentunya pada kesempatan yang akan datang kita akan membicarakan yang sehat yang bagaimana ya Pak Paul, supaya tidak melihat yang tidak sehat saja. Jadi kita sangat mengharapkan para pendengar kita bisa mengikuti program ini untuk kesempatan yang akan datang. Nah saudara-saudara pendengar, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang pernikahan yang tidak sehat. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



21. Ciri-Ciri Pernikahan Sehat


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T080B (File MP3 T080B)


Abstrak:

Pernikahan yang sehat itu adalah pernikahan yang tidak sempurna, di dalamnya ada 7 aspek yang akan menerangkan pernikahan yang sehat. Dan salah satunya adalah adanya suatu pertengkaran, namun kita dituntut untuk bagaimana bisa menyelesaikan pertengkaran itu dengan baik.


Ringkasan:

Pernikahan yang sehat itu adalah pernikahan yang tidak sempurna. Saya membaginya dalam 7 kategori yaitu:

  1. Pernikahan yang sehat bukan berarti tidak pernah bertengkar, namun bisa menyelesaikan pertengkaran sehingga tidak berlarut-larut. Nah salah satu keterampilan yang mesti dimiliki oleh setiap pasangan adalah keterampilan menyelesaikan pertengkaran. Pernikahan yang terus-menerus diganggu oleh pertengkaran akan menjadi pernikahan yang sakit, yang tidak sehat, ibarat pertengkaran itu seperti virus yang akan meracuni dan membuat daya tahan tubuh pernikahan kita itu lemah.

  2. Pernikahan yang sehat bukan berarti tidak pernah kecewa, tidak pernah marah, tidak pernah sedih, atau tidak pernah menyesal. Setiap orang yang menikah saya kira akan mengalami kekecewaan, rasa marah dsb namun yang penting adalah setelah merasakan semua itu kita masih bisa menerimanya kembali.

  3. Pernikahan yang sehat bukannya selalu mesra, penuh kasih. Setelah menikah beberapa waktu, kemesraan dan penyataan kasih sayang tidak lagi sesemarak pada masa berpacaran. Tapi meskipun perasaan-perasaan mesra itu tidak lagi bermunculan dengan semarak tapi lebih sering ada perasaan sayang. Jadi perasaan itu harus ada, pernikahan yang sehat ditandai oleh adanya perasaan sayang bahwa pasangan kita adalah seseorang yang berharga dalam hidup kita.

  4. Pernikahan yang sehat bukan berarti selalu seia sekata, namun meskipun tidak selalu seia sekata, kita masih menghormati pandangan pasangan kita dan lebih banyak keberhasilan menemukan titik temu. Jadi meskipun kita berbeda pandang jangan sampai menghina dia. Mengakui memang berbeda tapi nggak harus disertai dengan caci maki terhadap perbedaan tersebut.

  5. Pernikahan yang sehat juga tidak selalu anak-anaknya tidak bertengkar, kadang-kadang bertengkar tetapi yang penting adalah kita dapat mendamaikan pertengkaran mereka sebagai orangtua dan mereka pun anak-anak itu relatif bisa dengan cepat mendamaikan pertengkaran mereka.

  6. Pernikahan yang sehat ditandai oleh hormat anak terhadap orangtua. Artinya orangtua itu memang dianggap sebagai figur yang konsisten, figur yang mereka bisa hormati. Mereka kadang-kadang marah dan kadang-kadang meletup emosinya terhadap kita, tapi tidak kurang ajar karena masih menghormati kita. Pernikahan yang tidak sehat biasanya kehilangan hormat anak-anak, tidak lagi menggubris orangtua, meskipun takut dalam hati tapi tidak lagi menghormati mereka.

  7. Keluarga yang sehat juga ditandai dengan kerukunan antara anak-anak.

Kalau ciri-ciri di atas tidak terpenuhi dalam suatu pernikahan yang sehat yang muncul adalah perasaan kecewa, marah, perasaan bahwa kita ini seolah-olah berseberangan dengan pasangan kita. Kita tidak lagi bersatu dengan dia terpecahlah kita, nah dalam keadaan seperti ini kita perlu berdamai, berekonsilisasi.

Matius 18:21-22, "Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya : "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Pernikahan harus dilandasi atas hukum rekonsiliasi ini, jika ada pihak yang meminta ampun atau bertobat dan ada yang memberi ampun alias ada yang berbelaskasihan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang menarik dan bermanfaat. Perbincangan kali ini kami beri judul ciri-ciri pernikahan sehat, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita telah membicarakan pernikahan yang tidak sehat atau pernikahan yang depresif, tentunya kita juga ingin tahu pernikahan yang sehat itu yang bagaimana.

(2) PG : OK! Pak Gunawan, yang pertama-tama saya ingin tekankan bahwa pernikahan yang sehat itu adalah pernikahan yang tidak sempurna. Jadi jangan sampai kita ini mempunyai idealisme yang tidakrealistik tentang pernikahan itu, saya membaginya dalam 7 kategori.

Yang pertama adalah pernikahan yang sehat bukannya berarti tidak pernah bertengkar namun bisa menyelesaikan pertengkaran sehingga tidak berlarut-larut. Nah, salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap pasangan adalah keterampilan menyelesaikan pertengkaran. Pertengkaran saya kira sesuatu yang tidak bisa kita hindarkan. Nah waktu saya baru menikah, saya sendiri terus terang Pak Gunawan, mempunyai harapan bahwa istri saya dan saya tidak harus bertengkar. Waktu kami mulai bertengkar hal itu cukup mengganggu saya. Jadi harapan saya, saya kira itu sangatlah tidak realistik akhirnya saya belajar untuk menerima fakta bahwa orang yang saling mencintaipun bisa bertengkar. Jadi yang harus dikuasai, dimahiri oleh suami atau istri adalah keterampilan untuk menyelesaikan pertengkaran itu sendiri. Pasangan yang tidak bisa atau tidak mempunyai keterampilan untuk menyelesaikan pertengkaran tinggal menunggu waktu sampai pernikahan itu benar-benar retak. Karena pernikahan yang terus-menerus diganggu oleh pertengkaran akan menjadi pernikahan yang sakit dan tidak sehat. Ibarat pertengkaran itu seperti virus, Pak Gunawan, yang akan meracuni dan membuat daya tahan tubuh pernikahan kita itu lemah.
GS : Menyelesaikan pertengkaran dalam hal ini betul-betul menghadapi dan menyelesaikannya, Pak Paul, bukan melarikan diri atau menganggap tidak ada dan sebagainya.

PG : Ya, jadi jangan sampai kita ini menyangkali seolah-olah tidak ada masalah di antara kita, kalau ada masalah harus diakui memang ada. Namun khusus untuk masalah pertengkaran, saya juga haru akui bahwa ada masalah yang bisa kita selesaikan dengan segera, ada masalah yang kita bisa selesaikan dalam waktu yang agak panjang bisa berhari-hari bahkan bisa berminggu-minggu.

Juga akan ada masalah atau perbedaan yang belum ada jalan keluarnya, jadi ini bisa makan waktu bahkan berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Tapi harapan saya atau harapan kita semua adalah yang ketiga itu tipe yang berat sehingga tidak bisa diselesaikan haruslah sangat sedikit, yang lebih banyak adalah yang bisa kita selesaikan dengan segera. Yang makan waktu boleh ada, namun juga tetap dalam jumlah yang sedikit. Yang tidak bisa kita selesaikan dan harus berlangsung untuk waktu yang panjang boleh ada, tapi benar-benar kita minimalkan misalkan hanya satu atau dua saja. Tadi Pak Gunawan sudah singgung bahwa kita harus menghadapinya, jangan lari, saya kira Pak Gunawan, kita memang mempunyai beberapa reaksi terhadap pertengkaran. Ada orang yang tidak suka pertengkaran sehingga waktu masalah muncul dan pertengkaran sudah diambang pintu, misalnya dia akan melarikan diri tidak mau menghadapinya. Atau dia menekan pasangannya supaya tidak mengeluarkan keluh kesahnya sehingga tidak terjadi pertengkaran. Atau yang ketiga ada orang yang cepat-cepat mengikuti permintaan pasangannya agar tidak terjadi pertengkaran. Ketiganya itu bukan berarti semuanya salah dan selalu salah, ada waktunya kita sudah mendiamkan, ada waktunya kita menuruti kehendak pasangan kita. Namun kita tahu cara yang lebih sehat bukanlah itu, cara yang lebih sehat adalah memang masing-masing pihak membicarakan harapan tuntutannya kenapa tidak suka dan apa yang dia minta, baru setelah itu mencoba untuk dikompromikan. Jadi sekali lagi keterampilan menyelesaikan pertengkaran harus ada, baru pernikahan itu bisa sehat.
GS : Salah pengertian yang lain apa, Pak Paul?

PG : Saya kira pernikahan yang sehat bukannya berarti tidak pernah kecewa, tidak pernah marah, tidak pernah sedih, atau tidak pernah menyesal. Setiap orang yang menikah saya kira akan mengalamikekecewaan, rasa marah dan sebagainya, namun yang penting adalah setelah merasakan semua itu kita masih bisa menerimanya kembali.

Yang parah adalah kalau kita sampai ke titik dimana setelah kecewa benar-benar tidak ada lagi penghiburan yang ditawarkannya kepada kita, nah ini yang parah setelah merasa menyesal menikah dengan dia benar-benar kita menutup pintu. Pernikahan yang sehat saya kira tidak sampai pada kadar seperti itu. Jadi belum sampai separah itu, pernikahan yang sehat mungkin mempunyai perasaan-perasaan kecewa, marah, dan sebagainya namun setelah itu terjadi masih bisa menerima pasangan kita. Artinya apa, artinya nomor 1 adalah kita tidak terlalu sering merasa begitu, kalau terlalu sering merasa kecewa, kesal, menyesal, otomatis makin susahlah untuk menerima dia kembali. Jadi pernikahan yang sehat memang tidak terus-menerus dilanda oleh krisis yang membuat kita marah, membuat kita menyesal menikah dengan dia, membuat kita sedih. Terlalu banyak krisis yang menimbulkan perasaan-perasaan ini, makin menyulitkan kita di kemudian hari menerima pasangan kita apa adanya.

ET : Rasanya memang komunikasi dua arah ini yang menjadi kunci, karena pasti itu akan terjadi. Kalau memang seseorang merasa kecewa, marah, sedih dan dia tidak sempat mengungkapkannya tapi dipedam sendiri, ataupun dia ungkapkan tapi tidak mendapatkan reaksi yang memadai dan yang diharapkan dari pasangannya untuk memahami kalau saya sedang kecewa tidak terjadi, maka mereka bertengkar.

Kalau sampai tidak ada pemahaman, akhirnya bisa susah untuk menerima perasaan-perasaan itu.

PG : Betul, betul, jadi waktu dia merasa marah, sedih dan sebagainya, yang dia harapkan adalah respon yang sesuai dari pasangannya. Kalau dia marah tidak digubris, dia sedih, dia dimasabodohkan dia kecewa malah dikatakan mau terima syukur kalau tidak mau terima ya masa bodoh, akhirnya dia seolah-olah harus menelan kembali perasaan-perasaan kecewa itu.

Akhirnya dia susah sekali menerima perbuatan pasangannya. Atau adakalanya yang terjadi Ibu Esther, pasangan kita memang melakukan hal yang sangat salah, itu bisa terjadi juga, tidak banyak sekali atau dua kali tapi melakukan hal yang sangat salah. Kecewa kita terlalu dalam, marah kita terlalu dalam, rasa menyesal kita terlalu dalam. Dengan perkataan lain, memang hati kita terkoyak, robek. Nah untuk menjahitnya, bisa menerima dia kembali memang akan susah. Jadi pernikahan yang sehat harus dijaga, jangan sampai melukai sedalam itu karena kalau sudah sedalam itu pasangan akan susah menerima kita kembali.

ET : Susah menjahitnya ya?

PG : Susah menjahitnya, betul, jadi pernikahan yang sehat memang pernikahan yang dijaga. Pernikahan tidak dengan otomatis bertumbuh dengan sehat, harus dijaga dengan hati-hati, kalau tidak dijaa lalu ada yang robek susah dijahit kembali.

GS : Tetapi kedekatan secara fisik ya Pak Paul, apakah menjamin bahwa pernikahan itu akan sehat?

PG : Nah ini membawa kita ke butir yang ke-3, Pak Gunawan, yaitu ternyata pernikahan yang sehat bukannya selalu mesra penuh kasih seperti di film-film, itu hanya terjadi di film saja. Pada awalawal pernikahan masih ada seperti itu, tapi saya kira setelah menikah beberapa waktu kemesraan dan penyataan kasih sayang tidak lagi sesemarak pada masa berpacaran.

Tapi ada tapinya, di sini meskipun perasaan-perasaan mesra itu tidak lagi bermunculan dengan semarak, tapi lebih sering ada perasaan sayang. Jadi jangan sampai tidak ada lagi perasaan sayang, tidak ada lagi perasaan mesra begitu. Saya berbicara dengan istri saya beberapa waktu yang lalu tentang perasaan kami, tentang pernikahan kami, apa yang membuat kami sampai sekarang terus saling mencintai. Nah kami memang membicarakan beberapa hal, intinya adalah kami tidak menyerah, kami terus berusaha, bekerja, yang perlu kami poles kami poles, yang perlu dibereskan kami bereskan dan itu akhirnya mulai membuahkan hasil. Dan waktu membuahkan hasil ini yang kami mulai petik yaitu perasaan sayang. Jadi saya mengintisarikannya waktu saya berbicara dengan istri saya, kalau di masa lampau saya seolah-olah tergila-gila dengan dia waktu saya masih berpacaran, sekarang setelah saya menikah 16 tahun kalau dia tidak disamping saya sudah benar-benar seperti orang gila karena benar-benar hidup ini sengsara kalau tidak ada dia. Jadi dengan perkataan lain, saya mengasihi dia seolah-olah seperti barang yang berharga, dulu mengasihi dia seperti barang yang menarik pada masa berpacaran, sekarang sebagai barang yang berharga karena memang dia telah menjadi begitu berharga buat kehidupan saya. Nah, jadi saya kira perasaan itu harus ada, pernikahan yang sehat ditandai oleh adanya perasaan sayang bahwa pasangan kita adalah seseorang yang berharga dalam hidup kita.

ET : Saya pikir ini mungkin memang satu ciri yang kadang-kadang disalahmengerti, maksudnya banyak pasangan muda ukuran cinta kasihnya itu kemesraan dan rasanya selalu harus apinya berkobar-kobar. Jadi ketika mungkin sudah mulai memasuki tahap yang wajar untuk tidak seperti itu, malah sepertinya ini tanda pernikahan kita jadi tidak sehat karena kita sudah tidak semesra dulu lagi, tidak berkobar-kobar seperti dulu lagi, jadi konsep ini sepertinya terbalik untuk kebanyakan orang.

PG : Betul, betul jadi memang harus mengantisipasi bahwa perasaan tidak bertahan terus-menerus pada level tertentu. Perasaan marah tidak terus-menerus ada, kita marah dua hari, hari ketiganya eda.

Perasaan sedih 2, 3 hari setelah itu normal lagi, jadi perasaan sayang juga begitu. Hari Valentine hanya setahun sekali bukan setahun 365 kali, jadi terimalah ini sebagai bagian yang nyata dan tidak apa-apa. Namun tetap saya harus ingatkan meskipun perasaan yang berbunga-bunga itu tidak ada lagi atau jarang ada namun perasaan sayang bahwa dia adalah seorang yang berharga dalam hidup kita, saya kira tetap harus ada. Kalau tidak ada sama sekali memang berarti pernikahannya mulai bahaya.
(2) GS : Bagaimana dengan pertengkaran Pak Paul, apakah mereka yang tidak bertengkar atau jarang sekali bertengkar itu sehat?

PG : Wah, saya sungguh-sungguh berharap Pak Gunawan, saya dan istri saya bisa senantiasa seia sekata dalam segala hal terutama dalam pengambilan keputusan. Tapi kenyataannya tidak demikian, mislkan contoh yang paling sederhana hari ini anak kami sekolah atau tidak karena sedikit sakit.

Yang satu berkata sekolah, yang satu berkata biar dia diam di rumah. Misalkan yang paling mudah lagi waktu menyuruh anak-anak untuk turun makan sekarang sudah jamnya makan, yang satu berkata biarkan dia main dulu, dia lapar akan makan sendiri, yang satu akan berkata ini jamnya makan semua harus makan. Sudah berbeda dan itu keputusan yang begitu ringan Pak Gunawan, apalagi yang lebih serius. Jadi memang pernikahan yang sehat bukannya berarti selalu seia sekata, namun meskipun tidak selalu seia sekata, kita masih menghormati pandangan pasangan kita dan lebih banyak keberhasilan menemukan titik temu. Jadi meskipun kita berbeda pandang jangan sampai menghina dia. Pernikahan yang tidak sehat ditandai oleh penghinaan. Waktu beradu pandangan tidak setuju, pandangan pasangannya tidak saja dianggap sebagai pandangan yang berbeda tapi langsung dicap pandangan yang salah, pandangan yang memang sempit, tidak melihat banyak, pandangan yang bodoh dan sebagainya, nah saya kira pernikahan yang sehat tidak demikian. Mengakui memang berbeda tapi ya sudah berbeda, tidak harus disertai dengan caci maki terhadap perbedaan tersebut. Meskipun ada perbedaan namun lebih banyak kesuksesan menemukan titik temunya, kalau terus-menerus tidak ada titik temu, tidak seia sekata saya kira pernikahan itu mudah sekali retak.
GS : Bagaimana dengan anak-anak kalau ada di tengah-tengah mereka?

PG : Wah, ini salah satunya Pak Gunawan, saya kira kita sebagai orang tua berharap anak-anak hidup rukun dan kalau kita perintahkan mau menurut, tidak membangkang. Nah kenyataannya tidak demikin, anak-anak itu kadang-kadang bertengkar, kadang-kadang tidak mendengarkan perintah kita.

Namun yang penting adalah kita dapat mendamaikan pertengkaran mereka sebagai orang tua dan mereka pun anak-anak itu relatif bisa dengan cepat mendamaikan pertengkaran mereka. Jadi kalau anak-anak sudah dihinggapi oleh semangat bermusuhan sehingga mudah sekali bertengkar dan susah sekali berdamai, saya kira kita perlu evaluasi kembali pernikahan kita. Apa yang terjadi sehingga anak-anak mempunyai sikap yang mudah marah dan susah sekali memaafkan. Memang tidak selalu anak-anak mengikuti perintah kita, tapi pernikahan yang sehat ditandai oleh rasa hormat anak terhadap orang tua. Artinya orang tua itu memang dianggap sebagai figur yang konsisten, figur yang bisa mereka hormati. Mereka kadang-kadang marah dan kadang-kadang meletup emosinya terhadap kita, tapi tidak kurang ajar karena masih menghormati kita. Pernikahan yang tidak sehat biasanya kehilangan rasa hormat anak-anak, mereka tidak lagi menggubris orang tua meskipun takut dalam hati, tapi tidak lagi menghormati mereka.

ET : Nah, mungkin itu yang sering kali terabaikan yaitu masalah dihormati, karena cukup banyak saya mendengar orang tua yang mengatakan pokoknya kalau saya di rumah anak-anak tidak bertengkar. api begitu orang tuanya tidak di rumah anak-anak perang dan selalu begitu yang terjadi, mungkin anak-anak hanya takut kalau ada figur orang tuanya tetapi belum tentu rasa hormat itu ada.

PG : Betul dan saya harus tetap berkata kalau anak-anak sering bertengkar kita di rumah ataupun tidak di rumah, saya kira kita perlu mengevaluasi kenapa. Sebab seharusnya kalau kita sebagai orag tua berhasil menciptakan iklim yang harmonis di rumah tangga kita, seyogyanya anak-anak meskipun kadangkala bertengkar seharusnya bisa menyelesaikannya dengan relatif cepat.

Kalau hampir bermusuh-musuhan kemungkinan kita harus memeriksa diri kita apakah kita kurang campur tangan, kurang mendidik mereka untuk bisa menyelesaikan konflik mereka. Jadi keluarga yang sehat saya kira juga ditandai dengan kerukunan antara anak-anak.
(3) GS : Nah ini khususnya di kalangan keluarga Kristen Pak Paul, ada yang setiap malam atau setiap pagi mereka mengadakan ibadah keluarga bersama. Apakah itu otomatis mencerminkan keharmonisan, Pak Paul?

PG : Saya kira tidak selalu kita ini bisa bersekutu, adakalanya saya juga dengan anak-anak dan istri saya tidak bersekutu bersama. Akhirnya kami misalnya ada yang mengganjal tidak berdoa bersam, kadang-kadang itu kami lakukan.

Tapi memang jarang, yang penting adalah meskipun jarang terjadi kami tahu itu salah, kami tahu keesokan harinya harus kami bereskan. Jadi kami tidak mendiamkan diri kami dalam suasana tidak enak berhari-hari, sehingga tidak bisa bersekutu bersama. Kalaupun harus kehilangan satu hari saja, keesokan harinya kami berusaha kembali untuk bisa bersekutu dan berdoa bersama.
GS : Memang cukup banyak ciri-ciri tentang pernikahan yang sehat, nah kalau seandainya itu tidak terpenuhi akibatnya apa, Pak Paul?

PG : Saya kira kalau tidak terpenuhi perasaan yang timbul adalah perasaan kecewa, marah, perasaan bahwa kita ini seolah-olah berseberangan dengan pasangan kita. Kita tidak lagi berdua, bersatu engan dia terpecahlah kita ini.

Dalam keadaan seperti itu saya kira kita perlu untuk berdamai, berekonsiliasi sebab kalau itu semua terjadi kita tidak lagi bersatu dengan istri kita atau suami kita, tentu tinggal tunggu waktu pernikahan kita ini akan retak.
GS : Tapi bukankah itu harus ada yang memulai lebih dahulu, yang menjadi pemula untuk mau berinisiatif itu siapa. Semua berkata dalam hati, suami merasa bukan saya yang salah, istri juga merasa seperti itu apalagi anak-anak. Lalu kapan bisa terjadi rekonsiliasinya?

PG : Saya akan bacakan dari Matius 18:21-22 "Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuatdosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali."

Nah pada waktu itu orang-orang Israel mempunyai keyakinan batas maksimum orang memaafkan adalah tujuh kali sebab tujuh dianggap angka sempurna. Tuhan menambahkan tujuh puluh kali tujuh artinya di atas yang sempurna masih ada yang sempurna. Pada batas engkau mengampuni engkau berkata: tidak bisa lagi mengampuni, masih bisa mengampuni, itu kira-kira intinya yang Tuhan ingin katakan. Saya kira pernikahan harus dilandasi atas hukum rekonsiliasi, ini yang saya berikan judul pada ayat-ayat tadi. Rekonsiliasi terjadi jika ada pihak yang meminta ampun atau bertobat dan ada yang memberi ampun atau ada yang berbelaskasihan. Jadi memang kalau orang tidak mau berubah atau tidak mau berkata saya salah minta ampun, susah terjadi rekonsiliasi. Seseorang harus maju ke depan dan berkata saya salah, mohon maaf, dan yang satunya berkewajiban memberikan pengampunan. Dan yang kedua adalah pengampunan yang tidak terbatas menandakan hati yang penuh belas kasihan, nah ini yang kadangkala susah untuk kita miliki kalau sudah terlalu sering dilukai. Untuk ini saya kira kita perlu berdoa minta kuasa Tuhan, karena hanya kuasa Tuhan yang bisa memunculkan kembali belas kasihan kalau hati kita sudah mengeras. Jadi pertanyaannya maukah kita berdoa meminta Tuhan mengaruniakan belas kasihan itu kepada diri kita dulu, bukan kepada pasangan kita yang bersalah kepada kita misalnya. Maukah kita berdoa meminta Tuhan memberikan belas kasihan dalam hati kita, agar kita berbelaskasihan kepada pasangan kita yang telah bersalah kepada kita, jadi itu langkahnya. Nah yang terakhir adalah kita perlu mengintrospeksi diri artinya bukankah kita ini sama-sama orang yang pernah bersalah baik kepada sesama kita ataupun kepada Tuhan. Dan bukankah kita orang yang sama-sama telah menerima anugerah pengampunan, kita adalah orang yang telah ditebus, diampuni oleh Tuhan Yesus. Jadi Tuhan meminta kita mengingat bahwa kita juga penerima pengampunan, ingatlah kita sama seperti dia, kita juga harus memberikan pengampunan pada pasangan kita. Nah sekali lagi ini memang mudah kita ucapkan secara teoritis, kenyataannya akan sangat susah sekali. Tapi langkah pertama adalah berdoa meminta Tuhan memberikan kita belas kasihan lebih dulu, kalau tidak ada belas kasihan yang lain-lainnya tidak akan muncul.
(4) GS : Sebagai pria kadang-kadang memang sulit, Pak Paul untuk mengakui kesalahan kepada istri apalagi kepada anak, itu sebenarnya apa yang melatarbelakanginya?

PG : Saya kira kita menganggap bahwa sebagai seorang kepala keluarga kita harus berwibawa dan berwibawa berarti tidak salah, kalau salah kita kehilangan wibawa. Maka kita takut mengakui kesalahn, takut kalau-kalau akan mengurangi wibawa kita.

Tapi saya kira justru wibawa diperoleh bukan dari mempertahankan kalau kita salah, wibawa justru akan kita dapatkan kalau kita berani mengakui kita salah. Apakah dia nanti akan memanfaatkan pengakuan kita bahwa kita salah, itu tergantung kita. Kalau dia memanfaatkannya kita tidak harus menerimanya. Kita tetap bisa menolak dia untuk menggunakan pengakuan kita untuk menyerang kita kembali. Dan yang paling penting harus kita ingat, kita bertanggung jawab kepada Tuhan, yang Tuhan minta adalah kita mengampuni atau memberikan pengakuan kalau kita salah. Itu yang Tuhan minta, tindakan orang terhadap kita itu tanggung jawabnya kepada Tuhan, yang penting kita telah melakukannya untuk Tuhan.

ET : Dan yang saya lihat kalau memang kepala keluarga bisa punya sikap yang seperti itu dampaknya luar biasa, kebaikan seperti ini akan tertular. Kalau anak-anak melihat papanya dengan besar hai bisa minta maaf dan juga memaafkan, otomatis ke istri, ke mamanya anak juga akan belajar hal sama, ini saya lihat kekuatan dari pengampunan ini.

PG : Betul, betul kalau orang tua tidak menularkannya kepada anak-anak, maka anak-anak tidak tertularkan. Saya lihat memang pucuknya di suami atau kepala keluarga. Sering kali istri belajar dar kita sebagai suami, anak-anak pun belajar dari kita sebagai papanya.

GS : Dan itu harus diucapkan dengan sungguh-sungguh Pak Paul, kadang-kadang sambil bergurau, "sorry-sorry" tapi cara seperti itu tidak berdampak.

PG : Betul, karena orang akan melihat kita tidak tulus.

GS : Tidak serius, tidak tulus dan Tuhan Yesus sendiri mengajarkan doa Bapa kami, "ampuni kami seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami".

PG : Betul.

ET : Tapi itu justru bisa dipelencengkan jadi begini, misalnya salah satu pihak suami atau istri katakanlah misalnya suami merasa saya selalu baik, tidak pernah menyakiti. Jadi sepertinya tidaktimbal balik, kecuali mungkin yang Pak Paul katakan sama-sama berhutang pengampunan rasanya lebih mudah mengampuni.

Kalau salah satu merasa lebih baik, rasanya sangat susah untuk mengampuni pasangannya itu.

PG : Betul, kecenderungan kita memang menghitung berapa kali kita telah mengaku salah, berapa kali dia telah mengaku salah, kalau tidak sebanding antara debet dan kreditnya kita menjadi jengkel.

ET : Tidak terima ya?

GS : Bisa negatif nanti saldonya. Jadi saya rasa itu suatu pembicaraan, perbincangan kita yang sangat menarik tentang ciri-ciri pernikahan yang sehat dan saudara-saudara pendengar demikian tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang ciri-ciri pernikahan yang sehat. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



22. Tahap Perkembangan Cinta dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T093A (File MP3 T093A)


Abstrak:

Bahasa Yunani menyoroti cinta secara lebih spesifik atau dengan lebih tajam. Ada ketiga jenis kata yang digunakan untuk melukiskan makna cinta, di mana ketiganya akan dikaitkan dengan perkembangan cinta di dalam keluarga.


Ringkasan:

Kata kunci: perkembangan cinta

Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang digunakan untuk melukiskan makna cinta. Bahasa Yunani menyoroti cinta secara lebih spesifik dengan lebih tajam, oleh karena itulah ketiga jenis kata yang digunakan ini dapat kita kaitkan dengan perkembangan cinta di dalam keluarga. Ada beberapa yang kita akan bahas adalah:

  1. Kasih Eros, dari kata eros muncullah kata erotik. Jadi kata eros itu sendiri berarti sebetulnya kasih yang didasari atas ketertarikan jasmaniah secara fisik. Juga saya gunakan istilah ini adalah cinta yang lebih ke arah saya sendiri secara pribadi, jadi cinta ini cinta searah, namun arahnya adalah dari orang kepada kita karena orang memberikan sesuatu yang kita inginkan atau menyenangkan hati kita. Boleh juga digunakan istilah cinta terpesona, benar-benar kita rasanya terpesona dengan penampakannya, kehadirannya. Unsur eros ini adalah unsur yang juga penting dalam pernikahan. Dengan kata lain tanpa adanya unsur eros cinta itu juga akan kehilangan unsur 'passion' yaitu suatu ketertarikan suatu pendambaan yang kuat. Suatu hasrat, keinginan untuk intim.
  2. Tahap Phileo, dalam bahasa Yunani kata phileo berarti kawan, persahabatan. Phileo ini adalah kasih persahabatan jadi pada tahap ini relasi diikat oleh kecocokan, berbeda dengan eros di mana relasi diikat oleh ketertarikan. Dengan kata lain kita bergerak meninggalkan eros yang bersifat jasmani masuk ke dalam relasi yang lebih bersifat non-jasmaniah, kecocokan sifatnya, karateristiknya, kesamaan berpikir, bisa mengerti kita, kita bisa mengertinya. Kalau saya boleh intisarikan cinta phileo adalah cinta yang berkata: aku senang bersamamu, sebab kita sepadan. Phileo akan menempati porsi yang besar dalam pernikahan misalkan 2, 3 tahun pertama adalah porsi eros boleh dikata setelah sampai 40 tahun yang akan mengikat kedua orang ini adalah phileo, persahabatan.
  3. Tahap Agape, inilah puncaknya dan sudah tentu tahapan ini tidak berarti hanya bisa ada di akhir pernikahan kita. Kasih agape, kasih searah sama seperti eros namun bedanya arahnya itu terbalik. Kalau eros arahnya dari dia kepadaku, kasih agape adalah arahnya dari aku kepada dia, kepada pasangan kita. Inilah kasih yang kita sebut kasih tanpa kondisi, sifat utamanya adalah memberi tanpa menghiraukan respons penerimanya.
Untuk mengetahui bahwa kita mulai memiliki cinta agape adalah:
  1. Yang muncul dalam hati kita adalah perasaan tadi yang saya sebut sayang kepada pasangan kita, sayang bahwa dia itu berharga buat kita.
  2. Kita benar-benar tahu tidak ada lagi yang bisa dia berikan untuk kita tapi toh kita ingin memberikan diri kita kepadanya.

Markus 9 : 35, "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya." Kasih agape diwujudnyatakan dalam bentuk yang nyata yaitu sebagai pelayan dan mendahulukan orang lain dan dengan rela kita ini yang terbelakang. Dalam pernikahan kita mesti ingat prinsip Tuhan, Tuhan pun datang untuk melayani dan mendahulukan yang dilayaninya yaitu kita manusia. Jadi hendaklah sebagai suami-istri kita juga mewujudnyatakan cinta Tuhan dalam hidup kita, mendahulukan pasangan kita dan melayani dia.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang kali ini kami beri judul "Tahap Perkembangan Cinta dalam Pernikahan". Kami percaya perbincangan ini akan sangat menarik dan bermanfaat bagi Anda sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, di dalam bahasa Indonesia mungkin kita hanya mengenal kata cinta atau kasih yang sering kali kita gunakan sehari-hari tapi kalau tidak salah saya mendengar dalam bahasa Yunani itu ada beberapa istilah. Apa benar seperti itu, Pak Paul?

PG : Benar Pak Gunawan, jadi dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang digunakan untuk melukiskan makna cinta. Kita akan bicarakan pada kesempatan ini yaitu 3 kata cinta itu, Pak Gunawan.

(2) GS : Itu kaitannya dengan cinta yang kita rasakan atau kita alami di dalam hubungan suami-istri bagaimana, Pak Paul?

PG : Bahasa Yunani menyoroti cinta secara lebih spesifik dan lebih tajam, oleh karena itulah ketiga jenis kata yang digunakan ini dapat kita kaitkan dengan perkembangan cinta di dalam keluarga.Ada beberapa, yang pertama akan kita bahas adalah kasih eros, dari kata eros muncullah kata erotik.

Jadi kata eros itu sendiri sebetulnya adalah kasih yang didasari atas ketertarikan jasmaniah secara fisik.

ET : Sebenarnya kalau ketertarikan seperti itu dibenarkan atau tidak, Pak Paul?

PG : Tidak apa-apa sebetulnya, Bu Esther, jadi ketertarikan secara fisik adalah sesuatu yang alamiah bukan sesuatu yang salah dan Tuhan pun tidak memarahi kita karena kita tertarik kepada seseoang secara fisik.

Bahkan seorang hamba Tuhan yang lain bernama George McDowell menegaskan bahwa unsur eros adalah unsur yang juga penting dalam pernikahan. Dengan kata lain tanpa adanya unsur eros cinta itu juga akan kehilangan unsur "passion" ya, unsur "passion" itu kalau diterjemahkan bukannya nafsu tapi suatu ketertarikan atau pendambaan yang kuat. Mungkin juga suatu hasrat, keinginan untuk intim dan sebagainya, karena adanya ketertarikan secara fisik.
GS : Secara naluri memang manusia dibekali dengan itu ya, Pak?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi karena kita ini manusia yang mempunyai hormon-hormon memang sudah dibekali Tuhan untuk bisa menyukai orang karena ketertarikan secara fisik itu.

GS : Tetapi ada orang yang tertarik dengan sesama jenisnya, apakah itu tergolong di situ juga?

PG : Itu juga sama, jadi masuk dalam kategori eros yaitu ketertarikan secara jasmaniah. Pada esensinya, tahap ini adalah tahap awal dalam menjalin hubungan. Kita menyukai seseorang karena ada hl-hal tentang dirinya secara fisik yang kita sukai.

Dapat kita katakan dalam satu kalimat, cinta eros adalah cinta yang berkata: "Aku tertarik kepadamu sebab engkau memberikan sesuatu yang aku inginkan." Nah boleh juga saya gunakan istilah ini adalah cinta yang lebih ke arah saya sendiri secara pribadi, jadi cinta ini cinta searah. Namun arahnya adalah dari orang kepada kita karena orang memberikan sesuatu yang kita inginkan atau menyenangkan hati kita.

ET : Jadi fokusnya lebih kepada diri sendiri dulu Pak Paul, mungkin seperti keuntungan apa yang bisa saya dapatkan dari orang ini.

PG : Mungkin tidak melulu keuntungan tapi sesuatu yang menyenangkan hati secara jasmaniah, mungkin wajahnya, tubuhnya, penampakannya yang memang membuat kita senang, jadi benar-benar searah dar dia untuk kita.

Boleh juga kita gunakan istilah ini adalah cinta terpesona, benar-benar rasanya kita terpesona dengan penampakannya, kehadirannya.

ET : Mungkin dari situ muncul suatu istilah jatuh cinta pada pandangan pertama berarti tergolong eros juga ya, Pak Paul?

PG : Betul, cinta pada pandangan pertama pastilah cinta eros karena kita belum mengenal orang itu tapi kita sudah menyukainya, jadi yang kita sukai biasanya adalah yang kita lihat. Cinta eros ii adalah cinta yang bersifat sementara, karena kita tidak mungkin terpesona terus-menerus.

Sebagus apapun pasangan kita atau seindah apapun pasangan kita setelah kita hidup bersamanya untuk jangka yang panjang, magnet itu makin mengecil tidak bisa kita hindari. Kita bukannya akan kehilangan cinta, tapi rasa terpesona itu memang akan berkurang, ini yang kadang-kadang membuat sebagian orang berkesimpulan bahwa saya sudah tidak lagi mencintainya. Ya kadang-kadang kita menggunakan istilah cinta ala Hollywood. Sebab para bintang Hollywood itu dikenal secara negatif sebagai orang-orang yang kawin cerai dengan begitu mudah, mencintai seseorang setahun, 2 tahun kemudian bercerai. Karena sebagian dari orang-orang ini berkata tidak ada lagi cinta semula itu, nah yang mereka maksud sebetulnya adalah unsur terpesonanya tidak ada lagi. Justru yang mau kita tekankan di sini adalah memang unsur terpesona itu bersifat sementara, jarang bisa terus berlangsung untuk waktu yang sangat lama karena kita akan terbiasa dengan pasangan kita. Pada kesempatan ini yang ingin kita bahas adalah cinta itu sebetulnya akan mengalami progresi, perubahan wujud, perkembangan atau pertumbuhan dan meninggalkan terpesona memasuki tahapan yang lain.
GS : Apa itu Pak Paul, jadi tahapan berikutnya setelah eros itu tadi mulai berkurang?

PG : Yang tahap berikutnya adalah tahap phileo, ini bahasa Yunani berarti kawan, persahabatan. Dari kata inilah muncul sebuah nama kota di Amerika Serikat Filadelfia itu. Phileo adalah kasih pesahabatan, jadi pada tahap ini relasi diikat oleh kecocokan, berbeda dengan eros di mana relasi diikat oleh ketertarikan.

Pada tahap phileo, relasi kita dengan pasangan diikat oleh kecocokan. Dengan kata lain kita bergerak meninggalkan eros yang bersifat jasmani masuk ke dalam relasi yang lebih bersifat non-jasmaniah, kecocokan sifatnya, karakteristiknya, kesamaan berpikir, bisa mengerti kita, kita bisa mengertinya. Kalau kita bilang kecocokan berarti memang ini timbal balik. Kalau tadi satu arah dari pasangan kepada kita, sekarang timbal balik kita ke dia dan dia ke kita, saling mengisi, saling cocok, saling menyegarkan. Kalau saya boleh intisarikan cinta phileo adalah cinta yang berkata aku senang bersamamu, sebab kita sepadan.

ET : Dan untuk urusan sepadan ini memang perlu waktu untuk bisa menguji kecocokan itu. Dengan kata lain, kalau orang-orang pada masa-masa eros sudah langsung mungkin buat komitmen sampai ke pernikahan, jangan-jangan nanti sampai pernikahan juga belum sampai sebenarnya ke tahap untuk phileo dan untuk kecocokan ini, Pak?

PG : Betul, nah Ibu Esther memunculkan suatu point yang bagus ya, orang-orang dulu itu menikah secara "paksa" karena ditentukan oleh orang tua mereka. Tidak pernah mengenal tapi orangsering berkata kenapa pernikahan mereka bisa langgeng sampai meninggal dunia, sekarang berkenalan lama tapi akhirnya bubar.

Nah bedanya adalah begini, dulu kemungkinan besar memang cinta itu tidak pernah sampai ke tahap phileo pada awal-awalnya karena belum kenal. Tapi ikatan sosial sangat kuat sehingga sanksi sosial sangatlah menyakitkan dan besar bagi mereka yang bercerai, karena itulah pasangan-pasangan ini dipaksa untuk tetap tinggal dalam ikatan nikah. Karena dipaksa mereka akhirnya memaksa diri untuk mengembangkan kasih itu mulai dari eros ke phileo. Sedangkan zaman sekarang bisa jadi yang tadi Ibu Esther katakan, masalahnya menjadi ketertarikan secara eros, secara erotis senang dengan hal-hal yang bersifat jasmaniah langsung mengikatkan diri dalam pernikahan e....setelah menikah baru menyadari betapa banyaknya ketidakcocokan, phileo tidak pernah terbentuk di situ sehingga eros pudar. Kita hanya bisa terpesona untuk jangka waktu tertentu, tapi kalau tidak digantikan oleh phileo memang berbahaya sekali.
GS : Pernikahan itu dari dua pribadi yang menikah, katakan satu dari mereka itu sudah mencapai ke tahap phileo tetapi yang satunya itu masih di tahap eros, bagaimana Pak?

PG : Menjadi pincang, sebab bisa jadi yang satu tidak menemukan kecocokan pada yang lainnya. Atau yang menekankan aspek eros akan berkata engkau tidak terpesona lagi kepadaku, bisa jadi memang khirnya muncul kepincangan di sini.

Jadi seyogyanya memang setelah melewati fase pertama itu yang mungkin berlangsung secara singkat 2, 3 tahun ya, seyogyanyalah yang akan mengikat kedua pasangan suami-istri ini adalah kasih phileo, persahabatan. Dan sebetulnya phileo ini akan menempati porsi yang besar dalam pernikahan misalkan 2, 3 tahun pertama adalah porsi eros boleh dikata setelah itu bisa sampai 40 tahun yang akan mengikat kedua orang ini adalah phileo, persahabatan. Ya erosnya makin pudar, tapi yang mengikat adalah persahabatan, dia bisa mengerti saya, saya bisa mengerti dia, bahu-membahu, saling menolong, membesarkan anak dan sebagainya.
GS : Tapi sampai ke tahap phileo itu Pak Paul, apakah kasih eros itu sudah tidak ada lagi di dalam pasangan itu?

PG : Sewaktu saya di seminari saya masih ingat sekali ada seorang teman yang usianya sudah lanjut, tapi dia bersekolah kembali sebagai seorang pendeta. Dan dia memberikan satu komentar yang bags sekali sewaktu membicarakan hal seksual dalam pernikahan.

Dia memberikan suatu bahasa kiasan "Semakin tua, semakin mengecil ranjang pengantin kami". Jadi maksudnya adalah ketertarikan secara jasmaniah dan kebutuhan untuk pemenuhan hasrat seksual memang makin menyusut, sehingga harus ada yang menggantikannya dan seyogyanyalah yang menggantikan itu adalah persahabatan. Sudah tentu bagi yang berpacaran jangan berkata o...ini tumbuhnya nanti setelah menikah o.....tidak, justru aspek phileo ini sudah harus mulai dirintis sejak masih berpacaran. Dapatkah pasangan kita itu menjadi sahabat kita, bukan saja seseorang yang membuat kita tertarik terhadapnya, tapi seseorang yang menjadi teman kita, bisa kita ajak bicara, kalau berkomunikasi bisa mengena. Jangan sampai karena masih berpacaran tidak bisa berkomunikasi, sering bertengkar tapi eros begitu kuat, saling tertarik secara fisik akhirnya menikah. Nah pernikahan seperti itu umumnya tidak akan langgeng.

ET : Mungkin atau tidak pasangan itu mengawali relasi dengan phileo terlebih dahulu sebelum adanya eros, Pak Paul?

PG : Bisa jadi, tapi tidak bisa murni sebab bagaimanapun kita ini tertarik kepada seseorang biasanya pada hal-hal yang bersifat fisik terlebih dahulu. Kalau kita sudah tidak punya perasaan sukamelihat penampakannya, sukar bagi kita untuk dekat dengan dia, jadi bukannya tergila-gila dia itu seperti apa gantengnya dan cantiknya ya tidak harus begitu eros, tapi senang melihat penampakannya, penampilannya begitu.

GS : Perselingkuhan itu juga timbul dorongan, jadi terhadap istrinya mungkin dia sudah ke tahap phileo tetapi lalu timbul rangsangan lagi, desakan lagi tertarik pada orang lain. Nah itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Inilah yang menjadi masalah besar Pak Gunawan, dan Pak Gunawan telah memunculkan pertanyaan yang sangat relevan. Bukankah ini yang sering kali dicari oleh sebagian orang yaitu setrum, setrm romantis, eros dan mereka berkata: "Hambar hubunganku dengan istriku atau hubunganku dengan suamiku."

Tapi sekarang setelah aku bertemu dengan si dia hidupku ini menjadi bersemarak, bergairah, bersemangat lagi, rasanya tidak ada hidup sebelumnya seperti sekarang hidupku kembali." Betul, eros itu memang mempunyai sifat memberikan energi, memompa energi, memberikan kita suatu kesenangan kembali untuk menikmati hidup tapi sekali lagi hal ini tidak akan permanen. Kalau kita boleh berbicara langsung kepada mereka yang pernah berselingkuh dan tanyakan apakah api selingkuh itu ada pada tahap pertama perkenalan mereka, dugaan saya tidak ada. Jadi mereka yang mencari setrum-setrum romantis ini memang cenderung akhirnya terjebak dalam konsep yang keliru o....tidak ada lagi hubungan cinta dengan istri saya, harus mencarinya di luar. Padahalnya dengan yang di luar pun pada akhirnya akan mengalami nasib yang sama.

ET : Dapatkah kita mengatakan kalau orang-orang yang ingin mencari setrum baru itu besar kemungkinannya kwalitas phileonya ini memang mulai diragukan, jadi mungkin memang kedekatan persahabatan dengan pasangan ini rasanya perlu dievaluasi ya, Pak Paul?

PG : Sudah tentu itu bisa menjadi sumbang sih yang besar sekali, Bu Esther, jadi orang-orang ini memang sudah mempunyai masalah dalam pernikahan. Tapi saya tidak bisa menyangkali juga ada kasusdi mana hubungan nikahnya lumayan baik, namun orang-orang ini seolah-olah keranjingan dengan setrum-setrum romantis, setrum-setrum erotis ini sehingga akhirnya tetap mencari-cari yang di luar.

GS : Apa ada tahapan berikutnya?

PG : Ada yaitu tahap agape, inilah puncaknya dan sudah tentu tahapan ini tidak berarti hanya bisa ada di akhir pernikahan kita. Kasih agape adalah kasih searah sama seperti eros, namun bedanya rahnya itu terbalik.

Kalau eros arahnya dari dia kepadaku, kasih agape adalah arahnya dari aku kepada dia, kepada pasangan kita. Inilah kasih yang kita sebut kasih tanpa kondisi, sifat utamanya adalah memberi tanpa menghiraukan respons penerimanya. Jadi sungguh-sungguh kasih di sini hanya ingin memberikan tanpa menghiraukan apakah yang menerima kasih itu menunjukkan respons seperti yang kita inginkan. Kalaupun tidak memberikan respons seperti yang kita inginkan, cinta kita tetap kita berikan, jadi kita katakan agape itu tidak mementingkan diri sendiri. Agape hanya memikirkan dan berbuat sesuai dengan kepentingan si penerima kasih itu. Itu sebabnya penulis Alkitab menggunakan istilah agape untuk menggambarkan kasih Tuhan kepada manusia.
GS : Tapi manusiapun juga bisa melakukan sampai ke tingkat kasih agape itu, Pak?

PG : Bisa, karena sering kali bukan akibat pilihan kita, tapi akibat tempaan hidup dan akibat kuatnya dasar phileo. Jadi tanpa ada dasar phileo dapat saya katakan mustahil untuk menyempurnakan asih ini menjadi kasih agape.

Contohnya kita menghadapi badai kehidupan, diterjang oleh PHK misalnya atau kematian anak yang kita kasihi atau kehilangan rumah dan sebagainya. Namun suami-istri bahu-membahu menghadapi terjangan hidup yang begitu berat, saling menguatkan. Akhirnya apa yang terjadi misalkan kita adalah orangnya, kita akan benar-benar tersentuh dengan bantuan, cinta kasih, pengertian dari pasangan kita. Akibat dari semua itu adalah muncul kasih agape yaitu kasih yang ingin melindungi, memberikan dan menyayanginya. Meskipun akhirnya kita bertambah tua, tapi perasaan yang muncul bukannya justru mau menyingkirkan, tetapi menyayanginya sebagai sesuatu yang berharga, sebab dia berharga buat kita. Kita tidak lagi terpesona karena memang usia makin menanjak dan sebagainya, tapi kita merasakan dia adalah berharga buat kita, dia pernah begitu baik dan menolong kita sebagai sahabat.

ET : Kalau ternyata ini hanya sepihak saja bagaimana, Pak Paul?

PG : Itu bisa terjadi Bu Esther, yang satu tidak mempunyai kemampuan dan kematangan menjadi seperti yang Tuhan kehendaki yaitu memberikan kasih agape, akhirnya pincang kalau seperti itu. Jadi trus-menerus cinta itu merupakan transaksi bagi mereka-mereka ini, aku memberikan engkau memberikan, aku berikan satu engkau berikan satu, ya susah.

Namun seharusnya melalui tempaan-tempaan hidup orang dibentuk Tuhan untuk memiliki kasih agape ini, tapi tidak menutup kemungkinan akan ada orang yang tidak matang-matang, terus-menerus berhitungan seperti itu.

ET : Saya hanya membayangkan mungkin misalnya salah satu pihak memang benar-benar murni tanpa mengharapkan balasan tetapi pasangannya tidak tahu diri, malah mungkin mencari ke yang lain dan memerlakukan yang mengasihi dengan agape ini justru dengan perlakuan yang buruk ya.

PG : Itu yang kadang-kadang harus kita temui dalam hidup ini, di mana ada seseorang mengasihi pasangannya dengan kasih agape, memberikan tanpa kondisi sedangkan pasangannya tidak tahu diri, menalahgunakan kasih yang begitu besar.

Tapi dalam situasi seperti itu, kasih yang tetap ada adalah kasih agape sebab sungguh-sungguh dia tidak menerima apapun, tidak ada lagi yang dia bisa katakan inilah timbal baliknya dari yang saya berikan, tapi dia tetap mengasihi. Di sinilah cintanya menjadi seperti cinta Tuhan kepada manusia, meski kita berdosa tetap memberikan dirinya kepada kita.
GS : Tapi kalau tadi Pak Paul katakan eros itu tidak kekal, artinya bukan untuk jangka panjang apakah agape itu untuk jangka panjang, Pak Paul?

PG : Semakin cepat kita membentuk kasih agape, sebetulnya semakin memperkuat ikatan nikah kita. Tapi sekali lagi saya harus mengakui, Pak Gunawan, bahwa kita ini tidak bisa menciptakan kasih agpe dengan sendirinya.

Kita hanya bisa melewati situasi-situasi kehidupan dan taat kepada Tuhan melalui masalah-masalah yang kita hadapi dan tiba-tiba tanpa kita sadari kapan munculnya, cinta agape itu barulah mulai keluar. Tahunya dari mana kita mulai memiliki cinta agape? Nomor satu yang muncul dalam hati kita adalah perasaan tadi yang saya sebut sayang kepada pasangan kita, sayang bahwa dia itu berharga buat kita. Yang berikutnya kita benar-benar tahu tidak ada lagi yang bisa dia berikan untuk kita, tapi kita ingin memberikan diri kita kepadanya. Saya berikan satu contoh, Pak Gunawan dan Ibu Esther, saya pernah mendengar suatu kesaksian dari seorang hamba Tuhan yang istrinya terkena penyakit sehingga lumpuh, harus diberikan makan, disuapi dan sebagainya tapi ke mana-mana dia bawa istrinya itu. Dan dia pernah berkata dalam bahasa Inggrisnya 'Biasanya istri itu dikatakan seperti tumbuh-tumbuhan, vegetable tapi dia berkata istri saya adalah tomat yang paling manis, jadi meskipun istrinya tidak bisa memberikan apapun untuk dia tapi tetap dia cintai. Nah itulah contoh kasih agape, yang kalau dia sendiri ciptakan saya rasa tidak mungkin. Tapi melewati peristiwa kehidupan itulah dia bisa memunculkannya.
GS : Jadi orang yang merasakan sentuhan kasih Allah dengan kasih agape, saya rasa akan menyalurkan kasih itu juga kepada pasangannya ya, Pak Paul. Tadi Pak Paul katakan di dalam Alkitab itu sering kali digunakan istilah agape, sebelum kita mengakhiri perbincangan kita mungkin ada bagian Alkitab yang bisa mendukung itu.

PG : Saya akan bacakan Markus 9:35, "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya." Kasih agapediwujudnyatakan dalam bentuk yang nyata yaitu sebagai pelayan dan mendahulukan orang lain dan dengan rela kita ini yang terbelakang.

Dalam pernikahan kita harus ingat prinsip Tuhan, Tuhan pun datang untuk melayani dan mendahulukan yang dilayaninya yaitu kita manusia. Jadi hendaklah sebagai suami istri kita juga mewujudnyatakan cinta Tuhan dalam hidup kita, mendahulukan pasangan kita dan melayani dia. Dan kalau dua-dua bisa melakukan seperti itu, betapa indahnya pernikahan mereka.
GS : Kalau melihat sifat dari kasih agape itu bukan hanya ditujukan kepada pasangan kita, bisa ke anak, bisa ke keluarga lain, bisa ke orang lain yang bukan sanak keluarga kita. Apa betul seperti itu, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi cinta yang memang kita sebarkan kepada semuanya.

GS : Terima kasih, Pak Paul dan Ibu Esther, untuk perbicangan kita saat ini dan saudara-saudara pendengar Anda baru saja mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang suatu topik yaitu "Tahap Perkembangan Cinta dalam Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



23. Menyikapi Perbedaan dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T100A (File MP3 T100A)


Abstrak:

Perbedaan-perbedaan dalam pernikahan itu tidak otomatis akan hilang. Dan perbedaan itulah yang seringkali memikat kita sewaktu sebelum menikah. Akan tetapi kebalikannya setelah menikah perbedaan adalah hal-hal yang seringkali memisahkan kita dengan pasangan kita.


Ringkasan:

Di dalam pernikahan perbedaan-perbedaan itu tidak otomatis hilang. Saya ingin memberikan suatu catatan yaitu, pada waktu sebelum menikah perbedaan sering kali adalah hal-hal yang memikat kita. Kebalikannya setelah kita menikah perbedaan adalah hal-hal yang seringkali memisahkan kita. Kalau kita berhasil menyatukan diri kita, perbedaan-perbedaan itu akan melengkapi dan memperkuat. Itu betul sekali, tapi kalau kita tidak berhasil menyatukan diri kita dan mengharmoniskan hubungan kita, perbedaanlah yang akan menghancurkan pernikahan kita.

Masing-masing orang, khususnya suami dan istri harus mengambil sikap atau respons terhadap perbedaan, yang saya singkat dengan 3T :

  1. Akan ada perbedaan yang kita terima dengan hati lapang, kita senang dengan perbedaan itu karena perbedaan itu menguntungkan kita.

  2. T kedua adalah toleransi. Ada hal-hal yang harus kita toleransi, toleransi di sini tidak berarti saya bisa tidak menghiraukannya. Hal yang kita toleransi adalah hal yang menjengkelkan kita. Dalam hal ini dibutuhkan pengorbanan karena hati harus terus-menerus disakiti dan kesal. Ada hal-hal yang memang harus kita kompromikan dan sesuaikan dengan pasangan kita, tapi ada hal-hal yang mungkin itulah kekhasan kita dan tidak mudah untuk diubah. Orang yang selalu mengusahakan pasangannya berubah akan membuat pasangannya itu kehilangan dirinya, individualitasnya.

  3. T yang ketiga yaitu tolong. Kita tidak bisa mengharapkan pasangan kita berubah hanya melalui perkataan, kita harus menolong dia berubah. Artinya kita harus terlibat dalam problem sehingga dia akhirnya bisa keluar dan memperbaiki atau berubah seperti yang kita harapkan.

Ada beberapa cara kreatif yang bisa kita lakukan untuk menolong pasangan untuk berubah:

  1. Kita perlu memberikan penjelasan sedemikian rupa sehingga pasangan kita mengerti. Sering kali kita memberikan penjelasan melalui kaca mata kita, kita harus tanggalkan kaca mata kita, beri penjelasan melalui kaca mata pasangan kita.

  2. Bantu dia kerjakan atau usahakan bersama-sama. Dalam hal ini kita turut terlibat untuk melakukan pekerjaan bukan hanya dalam bentuk perintah saja. Kita perlu kerelaan hati untuk melakukannya, kita harus mengalahkan diri untuk berusaha ikut-ikut susah, karena akhirnya kita harus turun tangan.

  3. Menolong dalam pengertian memberikan ingatan atau mengingatkan. Ada hal-hal yang harus kita ingatkan hanya sekali, tapi ada hal yang harus kita ingatkan 1000 kali dan belum tentu ada perubahan. Jadi dalam pernikahan memang akan ada hal-hal yang sulit sekali berubah. Tapi ada hal yang bisa kita terima dengan mudah, kita sambut karena itu menguntungkan kita. Ada hal yang harus kita toleransi, ada hal yang kita ingin ubah.

Yang menjadi kunci, wujud atau bukti keharmonisan keluarga sebetulnya bukan berapa banyak yang kita terima, juga bukan berapa banyak yang kita toleransi karena itu menjengkelkan, tapi berapa banyak yang berhasil kita ubah melalui proses tolong-menolong.

Galatia 6:2, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." Ayat ini indah sekali dan cukup keras, sebab firman Tuhan berkata kita memenuhi hukum Kristus tatkala kita saling menolong dan menanggung beban. Itu adalah wujud nyata, wujud konkret menanggung beban sesama kita, saling menolong dan dengan cara itulah kita memenuhi hukum Kristus. Jadi pernikahan adalah suatu ajang atau kesempatan untuk kita saling tolong.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Menyikapi Perbedaan dalam Pernikahan". Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam kehidupan berkeluarga suami-istri maupun juga dengan anak-anak tetapi terutama di dalam hubungan suami-istri karena kita mempunyai latar belakang yang memang berbeda, karakter kita mungkin juga berbeda, hobby kita juga berbeda, dan banyak hal yang sebenarnya berbeda tetapi tetap memutuskan untuk menikah. Kemudian di dalam hubungan pernikahan perbedaan-perbedaan itu tidak otomatis hilang Pak Paul, nah masalahnya bagaimana kita harus menyikapinya?

PG : Saya setuju dengan pengamatan Pak Gunawan. Meskipun pada awalnya kita berkata memahami pasangan kita dan sudah menerima apa adanya, tapi kenyataannya setelah menikah kita tetap bergumulluar biasa untuk bisa hidup dengan perbedaan-perbedaan yang ada di antara kita berdua dan itu tidak mudah.

Jadi kali ini saya kira kita perlu melihat secara realistik, apa yang kita lakukan itu yang seharusnya kita lakukan dengan hal-hal yang membedakan kita. Sebelum kita mulai saya ingin memberikan suatu catatan, yaitu pada waktu sebelum menikah perbedaan adalah hal-hal yang sering kali memikat kita. Kebalikannya setelah kita menikah, perbedaan adalah hal-hal yang sering kali memisahkan kita.
GS : Contoh konkretnya itu bagaimana, Pak?

PG : Misalkan sebelum menikah seorang wanita menyukai pria karena orangnya teguh, stabil, tidak mudah diombang-ambingkan. Tapi setelah menikah kita menemukan bahwa yang namanya teguh, tidak udah diombang-ambingkan ternyata orang yang perasaannya kurang peka, orangnya agak kaku, nah orangnya itu memang jarang atau kurang bisa berkomunikasi dengan dia di rumah.

Jadi akhirnya setelah dia menikah justru hal yang dia sukai tentang suaminya yang teguh itu, sekarang dia cela bukannya dia panggil teguh tapi dia bilang kepala batu dan hatinya seperti kawat, kurang mempunyai perasaan. Atau seorang pria yang menyukai istrinya, mungkin istrinya itu orang yang bisa menghargai banyak hal, bisa menghargai keindahan, dia senang sekali. Setelah menikah rumahnya juga didandani dengan indah dan rapi, tapi setelah menikah setahun, dua tahun dia benar-benar tidak tahan lagi, kenapa? Sebab si istri mengatur semua hal dengan begitu sempurnanya, sehingga dia benar-benar tidak bisa sedikitpun rileks di rumah. Barang harus ditaruh dengan sempurna, jangan sampai ada yang kotor sedikitpun, nah nanti anak-anak sudah lahir lebih-lebih lagi muncul masalah. Sedikitpun anak tidak boleh bajunya lecek atau kotor, anak-anak tidak boleh mengotori dinding, akhirnya dia tidak tahan. Jadi hal yang justru memikat dia menjadi hal yang memisahkan dia nantinya.

ET : Padahal banyak orang tua mengatakan biasanya yang menyatukan itu memang harus ada perbedaan, katanya kalau orang yang bawel ketemu orang bawel nanti rumahnya terlalu ramai sehingga lebi baik salah satunya banyak bicara, satunya pendiam supaya seimbang.

Bagaimana dengan pandangan ini Pak Paul?

PG : Kalau kita berhasil menyatukan diri kita, perbedaan-perbedaan itu akan melengkapi dan memperkuat itu betul sekali. Tapi kalau kita tidak berhasil menyatukan diri kita, mengharmoniskan hbungan kita, perbedaanlah yang akan menghancurkan pernikahan kita.

Dan sekali lagi saya ingin memberikan catatan meskipun pada awalnya kita berkata banyak samanya saya dengan dia, senang musik, keindahan, seni, tapi setelah menikah tetap akan menemukan banyak hal yang berbeda. Meskipun dulu tinggalnya satu gang, sama-sama di satu komisi remaja, pemuda, kebaktian umum dan sebagainya. Tapi setelah menikah kita baru sadar, ternyata yang membedakan jauh lebih banyak daripada yang membuat kita sama dengan dia.
(1) GS : Nah kemudian kita kembali lagi bagaimana masing-masing suami-istri itu harus mengambil sikap?

PG : Saya akan berikan 3 respons yang saya singkat dengan 3T, inisialnya semua dimulai dengan huruf T. Yang pertama adalah akan ada perbedaan yang kita terima dengan hati lapang, justru kitasenang dengan perbedaan itu karena perbedaan itu menguntungkan kita.

Misalnya kita orang yang tidak bisa mengatur keuangan, misalnya saya berkata: "Aduh saya kalau pegang uang Rp. 1.000,- hari itu pasti habis. Nah misalkan saya menikah dengan seseorang yang begitu cakap dalam memegang keuangan, akhirnya dia yang mengatur keuangan sehingga saya bisa menabung. Perbedaan itu harus dihargai misalnya disambut, jangan mengkritik, karena perbedaan yang kita terima dengan hati lapang pasti menguntungkan kita.
GS : Dalam hal itu yang diuntungkan bisa menerima, tapi yang pihak satunya akan merasa misalnya itu tadi justru si istri yang mengelola keuangan. Dia bisa merasa bebannya diberikan kepadanya, kamu enak saja cuma cari lalu semua dipasrahkan ke saya.

PG : Nah untuk si istri misalkan tadi ya Pak Gunawan, saya akan masuk ke T yang kedua adalah toleransi. Ada hal-hal yang harus kita toleransi, toleransi di sini tidak berarti mencuekkan, tidk menghiraukan.

Hal yang kita toleransi adalah hal yang menjengkelkan kita, dalam contoh tadi si istri harus menoleransi si suami yang tidak bisa pegang uang. Dia sudah ajarkan, dia sudah beritahukan sampai berapa kali tetap si suami tidak bisa pegang uang dan tidak bisa mengatur uang. Akhirnya si istri misalkan terpaksa menerima dengan bersungut-sungut sisi suaminya yang memang mengganggu dia.
GS : Di situ dibutuhkan pengorbanan ya Pak Paul, kalau sudah sampai ke toleransi?

PG : Pengorbanan karena hatinya harus terus-menerus disakiti dan kesal.

GS : Cuma masalahnya apa dia bisa bertahan lama, bisa mentolerir seumur hidup?

PG : Saya kira ada yang bisa, ada yang tidak tapi adakalanya ada hal-hal yang terpaksa kita toleransi untuk waktu yang lama.

ET : Berarti kalau begitu, toleransi dalam waktu yang lama bisa atau tidak akhirnya dia sudah masuk ke T yang pertama itu tadi, Pak Paul?

PG : Dia terima tapi bukan dihargai ya, jadi tetap T yang kedua. Satu hari kami pernah mengadakan sebuah retreat dan dalam retreat itu yang bicara adalah Pdt. Robert Coleman. Dia seorang Proessor Theologi di sebuah sekolah di Amerika Serikat.

Dia dan istrinya datang, saya senang sekali dengan apa yang dikatakan oleh istrinya tentang bagaimana menjaga hubungan suami-istri, mereka usianya sudah lanjut 60-an lebih. Nah istrinya berkata ada hal-hal yang tidak mudah berubah dan akan terus menjadi bagian hubungan suami-istri untuk waktu yang sangat lama. Mereka sudah menikah mungkin 40 tahunan dan tetap dia berkata ada hal-hal yang tidak mudah berubah dan sampai sekarang masih mengganggu. Saya kira itu dalam kategori hal yang harus dia toleransi. Hal yang harus kita toleransi tidak selalu menjadi hal yang buruk untuk pernikahan, karena begini Pak Gunawan dan Ibu Esther, seseorang memerlukan ruang untuk menjadi dirinya, ruang ini saya sebut individualitas. Ada hal-hal yang memang kita harus kompromikan, sesuaikan dengan pasangan kita, tapi ada hal-hal yang mungkin kekhasan kita dan tidak mudah untuk kita ubah. Orang yang selalu mengusahakan pasangannya berubah akan membuat pasangannya itu kehilangan diri, individualitasnya. Jadi ada hal-hal yang kita terpaksa toleransi, kadang-kadang itu juga berguna untuk keharmonisan pernikahan itu sendiri sebab orang yang kehilangan individualitasnya, kehilangan dirinya mungkin akan menjadi pasangan yang sangat tidak bahagia dan makin membuat hati kita kesal. Waktu kita memberikan ruang buat dia menjadi dirinya, meskipun menjengkelkan kita tapi akhirnya berimbas positif untuk pernikahan kita.

ET : Tapi mungkin ada orang yang mengatakan, saya akan toleransi sampai batas tertentu. Kalau ternyata sudah sampai di sini tidak, rasanya tetap saja, tidak berubah, karena bukannya malah leih baik tapi sepertinya malah makin lebih tidak peduli atau semakin bagaimana, begitu.

Jadi bagaimana untuk orang yang mengeluhkan toleransi seperti itu?

PG : Sudah tentu saya kira kecenderungan mendasar kita adalah mencoba mengubah, saya kira itu yang akan kita lakukan ya, yang kita tidak bisa toleransi akan coba kita ubah. Nah ini yang sayakira perlu kita perhatikan, kecenderungan kita waktu mau mengubah pasangan, kita melakukannya dengan cara memintanya berubah.

Kita menyampaikan "Saya tidak suka kamu berbuat ini...ini dan saya mengharapkan kamu berbuat itu..itu." Masalahnya yang saya sudah temukan, orang tidak berubah hanya melalui pemberitahuan, jadi dengan cara apakah orang berubah? Saya kira masuk ke T yang ketiga yaitu tolong. Kita tidak bisa mengharapkan pasangan kita berubah hanya melalui perkataan kita, berubahlah kamu seperti yang saya kehendaki, kita harus menolong dia berubah. Artinya kita harus terlibat dalam problem (yang kita anggap problem itu) sehingga akhirnya dia bisa keluar dan memperbaiki atau berubah seperti yang kita harapkan.

ET : Berarti dalam hal ini komunikasi ya Pak Paul, yang sering saya lihat orang merasa punya harapan atau pikiran maka dia harusnya mengerti dengan sendirinya. Kita sudah sekian tahun menika, seharusnya dia mengerti kalau saya berharap dia berubah.

Jadi keinginan untuk saling berharap perubahan ini tidak pernah dikomunikasikan.

PG : Kadang kala tidak dikomunikasikan, jadi disimpan saja hanya dia mengharapkan pasangannya bisa mengerti dengan sendirinya dan sebenarnya itu keliru. Yang kita harapkan harus kita sampaikn, jangan berpikir tanpa saya sampaikan dia sudah seharusnya mengerti.

Jadi kalau mau mendapatkan kita harus minta, itu prinsipnya. Tapi saya juga mengerti Ibu Esther, mungkin ada orang-orang yang berkata saya sudah berusaha keras tapi tetap begitu. Nah untuk orang seperti ini saya ingin meminta dia mengecek ulang, apakah yang dia lakukan meminta atau menolong, sebab sering kali yang kita lakukan meminta, saya sudah sampaikan, saya sudah minta dia berubah, seperti yang tadi diusulkan ya tapi tidak berubah juga. Saya kira salah satu kuncinya adalah kita kurang terlibat dan menolong pasangan kita untuk berubah.
(2) GS : Ya mungkin kalau ada pasangan yang sebatas meminta Pak Paul, tadi Bu Esther katakan karena dia yakin sebenarnya pasangannya bisa itu berubah, makanya diminta-minta terus. Tetapi kenyataannya tadi yang Pak Paul katakan juga, dimintapun dia tidak akan berubah, lalu Pak Paul katakan tolong dan cara menolongnya itu bagaimana?

PG : Ada beberapa cara kreatif yang bisa kita lakukan. Yang pertama adalah kita perlu memberikan penjelasan sedemikian rupa sehingga pasangan kita mengerti. Sering kali kita memberikan penjeasan melalui kacamata kita, kita harus tanggalkan kacamata kita, beri penjelasan melalui kacamata pasangan kita.

Contohnya begini, seorang istri berkata kepada suaminya: "Kamu harus lebih memperhatikan saya jangan memperhatikan orang di luar" nah suami itu mungkin tidak begitu mengerti yang benar-benar dimaksud oleh istrinya. Jadi apa yang bisa dilakukan oleh si istri misalkan begini, si istri kemudian memberikan contoh "Suamiku, boleh atau tidak saya berikan contoh untuk melukiskan perasaan saya, misalkan kamu itu mendapatkan promosi bersama dengan 9 rekan-rekanmu. Sembilan rekanmu mendapatkan promosi mobil, kamu satu-satunya yang mendapatkan promosi tapi hanya diberikan sepeda motor, apa rasanya? Kamu akan merasa bahwa atasanmu itu tidak adil, lebih memperhatikan yang 9 rekan itu. Itu yang saya rasakan, sewaktu engkau memberikan perhatian yang lebih besar kepada pekerjaanmu atau orang di luar dibandingkan saya di sini. Saya merasa saya itu kamu yang hanya mendapatkan sepeda motor dan orang lain di luar mendapatkan mobil." Nah contoh-contoh seperti itu memang perlu pemikiran kreatif, tapi contoh seperti itulah yang lebih bisa ditangkap oleh seseorang.

ET : Masalahnya nanti istrinya merasa kalah, misalnya tadi kasusnya istri yang mengeluh lalu istrinya bilang: "Wah....saya bicara seperti ini nanti suami lebih pintar bicara, jadinya saya kaah."

PG : Bisa jadi ya, tapi kalau saya kira istri bicara dengan baik-baik dan berkata: "Ini yang saya rasakan," kemudian diam, biarkan suaminya pikir. Saya kira ilustrasi tadi akan bicara jelas epada si suami.

Atau misalnya si suami yang mempunyai masalah, dia merasa istrinya lebih mendengarkan nasihat kakaknya, orang tuanya dibandingkan dari masukan dia. Kalau dia memberikan pendapat istrinya bilang OK, lalu dia tanya sama papanya, tanya sama mamanya, tanya sama kakaknya dan bertentangan dengan pendapat si suami, si istri mengikuti pendapat keluarganya. Nah si suami bisa berkata kepada istrinya, "Istriku, ini perasaan saya kepadamu sewaktu saya memberikan masukan, engkau lebih mendengarkan nasihat kakak atau orang tuamu. Misalkan engkau itu sudah memilihkan sebuah dasi untukku yang bagus dan kau suka dengan dasi itu, kamu berkata kepada saya: "Ini bagus sekali dan cocok untukmu" kemudian saya itu menengok ke salesgirlnya yang menjual dasi dan bertanya kepada dia: "Dasi mana yang cocok buat saya?". Salesgirl menunjuk dasi yang lain dan kemudian di depan di depan mata istri si suami itu memilih dasi yang dipilih oleh si salesgirl tersebut, bagaimana perasaanmu?" Jadi si suami bisa menjelaskan kepada si istri "Ini perasaan saya sewaktu kamu tidak menghargai masukan saya malah mendengarkan masukan orang lain, sama seperti kamu memberikan dasi kemudian menyuruh memakainya, terus saya memilih dasi yang diberikan oleh salesgirl, itu perasaannya." Contoh-contoh ini memang harus dipikirkan, tapi saya kira kalau tepat lebih komunikatif.
GS : Selain menggunakan ilustrasi-ilustrasi, apakah yang bisa dilakukan karena mencari ilustrasi itu juga agak sulit, Pak Paul?

PG : Yang lain adalah bantu dia, kerjakan bersama-sama. Jadi misalkan pasangan kita itu kamarnya agak berantakan, kita bisa berkata: "Ayo....saya bantu kamu untuk membereskannya," jadi meman kita harus bekerja juga, repot juga, tapi sering kali lebih efektif daripada kita hanya perintahkan "Kamu bersihkan kamarmu biar rapi!" nah kalau kita berkata: "Barang ini ditaruh di mana, ini taruh di mana, sebaiknya simpan di mana" dan kita kerjakan bersama dengan dia, kemungkinan itu akan terjadi.

Mungkin perlu berkali-kali, tapi tetap hal itu akan lebih berhasil daripada kita sekadar memarahi dia untuk lebih rapi.

ET : Dengan kata lain kerelaan hati mungkin Pak Paul, biasanya kalau sudah jengkel kita menuntut ayo mengerti dong, berarti memang mengalahkan diri untuk kemudian berusaha ikut-ikut. Susah kalau begitu ya?

PG : Itu yang susah karena akhirnya kita harus turun tangan, tapi tetap tingkat keberhasilan akan jauh lebih tinggi kalau kita turun tangan, menolong, bekerja sama-sama dibandingkan kita hana menyuruhnya melakukan itu.

Misalkan kita minta suami kita mengganti lampu, kita mengeluh sampai 5 bulan juga tidak diganti. Nah yang bisa kita lakukan adalah kita beli lampu itu kemudian kita membawa tangga masuk ke dalam rumah dan minta dia: "Tolong bawa tangga ini ke bawah lampu itu," Pasti suami kita langsung membawanya dan lampu itu kita berikan supaya dibetulkan. Setelah dia turun "Tolong taruh tangga di belakang ya." Jadi memang harus ada yang dia lakukan dan dilakukannya bersama-sama, itu lebih bisa saya kira.

ET : Bagaimana dengan istri yang merasa harusnya dia sadar, tapi dengan cara itu dia membawa tangga sendiri dan naik sendiri (PG: Akan menggerutu terus-menerus). Berarti bukan menolong juga ya?

PG : Bukan menolong.

GS : Tetapi sesaat itu bisa teratasi tetapi ada juga hal-hal yang sifatnya agak menetap, misalnya kebiasaan jelek dan sebagainya itu pasangannya tidak mau dirubah. Nah dalam hal itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Ini hal yang ketiga Pak Gunawan, dalam pengertian memberikan ingatan, mengingatkan. Nah saya harus bicara realistik, ada hal yang harus kita ingatkan hanya sekali, tapi ada hal yang hars kita ingatkan 1000 kali.

Dan ini yang lebih tidak enak, ada hal yang harus kita ingatkan 10.000 kali dan belum tentu ada perubahan. Jadi dalam pernikahan memang akan ada hal-hal yang sulit sekali berubah. Tapi sekali lagi, ada hal yang bisa kita terima, kita sambut dengan mudah karena itu menguntungkan kita. Ada hal yang harus kita toleransi, hal-hal yang ingin kita ubah, kita tolong untuk dia berubah tapi proses menolong dia untuk berubah itu bisa berlangsung mungkin berpuluhan tahun.

ET : Tadi Pak Paul katakan ada yang perlu satu kali saja dan 10.000 dan seterusnya, bedanya bagaimana Pak Paul, kapan yang memang sudah cukup sekali ya sudah?

PG : Misalkan kita sudah mencoba berikan melalui ilustrasi yang jelas beberapa kali belum ada perubahan. Kita mencoba membantu, kerja sama yang tadi saya sudah bagikan juga tetap tidak dilakkan, susah benar bergeraknya.

Nah akhirnya apa yang bisa kita lakukan terus ingatkan, tolong ini, ini kerjakan lagi terus begitu. Setiap kali kita harus minta, setiap kali kita harus ingatkan dan setelah kita ingatkan baru dikerjakan, selalu begitu dan mungkin itu akan terus berlangsung sampai berpuluhan tahun.
GS : Tapi mungkin orang lebih mengambil jalan pintasnya daripada mengingatkan lebih baik dia kerjakan sendiri, lebih cepat selesai dan sudah tidak perlu bingung, Pak Paul?

PG : Akhirnya ada yang begitu juga dan ada yang harus kita lakukan seperti itu daripada kita ribut-ribut ya sudah kita kerjakan sendiri.

GS : Tapi saya rasa sikap seperti itu tidak membantu pasangannya untuk bertumbuh, untuk menjadi baik karena berarti kita tinggalkan dia.

PG : Betul, jadi yang memang menjadi kunci atau wujud atau bukti keharmonisan keluarga sebetulnya bukan berapa banyak yang kita terima, yang kita terima itu memang ya sudah ada dan memang meguntungkan kita.

Juga bukan berapa banyak yang kita toleransi karena itu menjengkelkan, tapi sebetulnya berapa banyak kita berhasil ubah melalui proses tolong-menolong. Saya kira ini memang konsep yang Alkitabiah, Alkitab berkata Tuhan menciptakan wanita agar menjadi penolong bagi suami. Jadi hubungan pernikahan pada dasarnya hubungan saling menolong.
GS : Apa ada ayat yang bisa menjadi suatu kesimpulan atau mendasari pembicaraan itu, Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari Galatia 6:2 "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus". Indah sekali dan cukup keras ayat ini Pak Gunawan, ebab firman Tuhan berkata kita memenuhi hukum Kristus tatkala kita saling menolong dan menanggung beban.

Itu adalah wujud nyata, wujud konkret menanggung beban sesama kita, saling-menolong dan dengan cara itulah kita memenuhi hukum Kristus. Jadi pernikahan saya kira adalah suatu ajang, kesempatan untuk kita saling menolong, harus dua belah pihak karena kalau satu pihak saja yang menolong yang satunya diam-diam akan meletihkan. Jadi memang dua-dua harus sadar, dua-dua harus saling membantu dan turun tangan, pasti mengotori tangan, tidak bisa tangan bersih kalau hanya menyuruh-nyuruh pasangan kita berubah, itu tidak akan terjadi.
GS : Dan pihak yang ditolong harus rendah hati untuk mau ditolong ya Pak Paul, karena tanpa itu tidak akan memenuhi hukum Kristus.

ET : Selain rendah hati mungkin kepekaan juga. Jadi orang benar-benar tidak merasa ketika diajak, ketika mau diberi ilustrasi tidak mengerti, diajak juga tidak mengerti, memang harus membuka hati ya?

PG : Ya, peka penting sekali di situ, kalau sudah tidak peka seolah-olah pintu sudah ditutup, apapun yang kita lakukan tidak bisa masuk lagi.

GS : Jadi terima kasih, Pak Paul untuk pembicaraan ini. Saya rasa ini akan membantu banyak pasangan di dalam kehidupan keluarganya yang tidak terbebas dari perbedaan-perbedaan yang ada.

Saudara-saudara pendengar, demikianlah tadi kami telah menyampaikan ke hadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menyikapi Perbedaan dalam Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



24. Komunikasi dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T100B (File MP3 T100B)


Abstrak:

Komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam pernikahan, bahkan dapat dikatakan bahwa komunikasi adalah denyut pernikahan. Dan setiap orang tentu akan bertanya atau ingin melakukan bagaimana sebenarnya komunikasi yang baik dan benar itu, terutama komunikasi dengan pasangan kita.


Ringkasan:

Komunikasi sangatlah penting, komunikasi itu saya sebut sebagai denyut pernikahan.
Komunikasi terbagi dalam 2 jenis:

  1. Komunikasi verbal, yakni kata-kata yang kita ucapkan.

  2. Komunikasi non-verbal, yaitu bukan melalui kata-kata yang kita ucapkan tapi kita berkomunikasi melalui bahasa tubuh kita.
    Contoh, kita menunjukkan mimik muka tidak suka sewaktu istri kita mengutarakan pendapatnya, kita belum mengatakan apa-apa terus istri kita sudah melihat perubahan mimik wajah kita. Bahasa non-verbal ini jauh lebih besar atau lebih kuat pengaruhnya di dalam memberi makna komunikasi. Ini lebih mempunyai dampak dibandingkan bahasa verbal. Kita menafsir makna dari yang dikatakan oleh orang sebetulnya bukan berdasarkan ucapannya, kita lebih menafsir berdasarkan bahasa tubuhnya. Bahasa tubuh bisa jadi juga merupakan sikap secara langsung.

Ada satu istilah yang ditemukan oleh para ahli komunikasi yaitu berkomunikasi secara asertif. Bahasa Inggrisnya "assertive" yang muncul dengan arti kata "to assert" itu berarti menyatakan pendapat. Jadi asertif berarti utarakan isi hati dengan tepat dan tidak agresif.

Ada 5 hal tentang komunikasi asertif:

  1. Orang yang berkomunikasi secara asertif adalah orang yang mengutarakan perasaannya. Perasaan memegang peranan yang besar sekali dalam komunikasi. Karena lawan bicara kita ingin tahu perasaan kita saat kita mengutarakan pandangan atau pendapat kita. Orang yang berkomunikasi dengan asertif pertama-tama harus jelas dulu dengan perasaan hatinya dan itu yang dia komunikasikan kepada pasangannya.

  2. Sampaikan permintaan atau harapan kita dengan jelas. Dalam berkomunikasi hindarilah memberi peluang bagi pasangan kita untuk mereka-reka maksud kita, tujuan dan maksudnya harus kita sampaikan dengan jelas. Kalau kita mengharapkan pasangan kita berubah dalam hal tertentu, kita sampaikan dengan jelas, jangan ngomongnya mutar-mutar.

  3. Bagikan pengamatan kita. Jadi waktu kita berbicara apalagi dalam hubungan suami-istri, jangan kita menuduh orang dengan cepat dan hindarkan penggunaan kata-kata kamu-kamu, kamu begini, kamu begitu, jangan! Sebaiknya adalah kita katakan saya merasa kecewa karena ini.......

  4. Silakan atau bersedialah memeriksa ulang pengamatan kita. Yang kita katakan belum tentu dilakukan dengan sengaja oleh pasangan kita. Dan maksud dia melakukan itu mungkin sekali berbeda dari yang kita duga. Bersedialah memeriksa ulang, benar tidak yang saya katakan tadi, betul tidak yang tadi saya amati, betul tidak yang saya lihat.

  5. Jangan gunakan kata-kata yang kasar. Berusahalah sebaik mungkin untuk menguasai diri di dalam kata-kata maupun di dalam bahasa tubuh. Meskipun kita telah melakukan semua yang tadi kita bicarakan, tidak tertutup kemungkinan kita akan bertengkar. Kalau sampai terjadi pertengkaran, jangan gunakan kata-kata yang kasar. Hindarkanlah pemakaian kata-kata seperti itu, dan salah satu saran saya yang harus kita lakukan setelah pertengkaran adalah jangan lupa untuk menyampaikan penghargaan.

Jika di dalam pertengkaran yang diserang justru pribadinya, bukan masalahnya, itu akan membuat luka yang dalam.

Efesus 4:29, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia."

Pakailah kata-kata yang membangun, bukan kata-kata yang kotor. Ini adalah permintaan Tuhan pada kita semua. Supaya orang yang mendengarnya beroleh kasih karunia. Yang kita harus ingat, kita adalah pemberi kasih karunia Tuhan kepada pasangan kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Dan perbincangan kami kali ini akan kami beri judul "Komunikasi dalam Pernikahan". Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, masalah komunikasi dalam pernikahan memang cukup sering dibahas, tetapi karena ini menjadi suatu masalah yang sering kali timbul di dalam hubungan pernikahan khususnya suami-istri, maka saya rasa pada pendengar kita tentu juga ingin banyak tahu lebih banyak tentang komunikasi. Nah sebenarnya seberapa penting komunikasi itu di dalam hubungan pernikahan?

PG : Sangat penting sekali, Pak Gunawan, komunikasi saya sebut sebagai denyut pernikahan. Kita tahu bahwa dalam pernikahan yang bermasalah, komunikasi menjadi bermasalah, tapi kebalikannya jga bisa betul yakni komunikasi bermasalah melahirkan pernikahan yang bermasalah.

Jadi sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa komunikasi sangatlah penting, itu adalah denyut pernikahan kita.
GS : Dalam hal pengertian seperti yang tadi Pak Paul katakan, apakah komunikasi itu hanya kalau kita berbicara satu dengan yang lain atau kalau lagi bertengkar. Bertengkarpun bisa disebut komunikasi ya Pak, nah apakah hal-hal seperti itu yang dimaksudkan?

PG : Komunikasi terbagi dalam 2 jenis, yang pertama kita sebut komunikasi verbal yakni kata-kata yang kita ucapkan dan yang kedua komunikasi nonverbal. Yaitu bukan melalui kata-kata yang kit ucapkan tapi kita berkomunikasi melalui bahasa tubuh.

(ET : Contohnya bagaimana Pak Paul?), komunikasi nonverbal biasanya begini Bu Esther, kita menunjukkan mimik muka tidak suka sewaktu istri kita mengutarakan pendapatnya, kita belum mengatakan apa-apa lalu istri kita sudah melihat perubahan mimik wajah kita. Selagi kita berkata-kata menyampaikan pendapatnya, sebetulnya dia juga berusaha untuk menangkap reaksi kita. Nah waktu kita menunjukkan mimik wajah yang berubah itu, dia sudah mendapatkan jawabannya, misalnya jawabannya bagi dia adalah kita tidak suka dengan pendapatnya itu. Namun yang keluar dari mulut kita adalah "Ya silakan kalau kamu mau jalani", nah mungkin si suami misalkan kita yang menjadi suami berpikir dengan berkata seperti itu kita sudah berusaha mencapai titik netral, kita tidak menghalangi istri kita, kita juga tidak mendorong, kita hanya berkata silakan. Misalkan setelah kita berkata silakan kalau engkau ingin jalani, terjadilah reaksi yang keras dari istri kita dan dia berkata: "Kenapa kamu tidak suka kalau saya hendak melakukan ini dan itu, nah kita mungkin menjawab: "Saya tidak bilang tidak suka, saya bilang silakan kalau engkau ingin jalani,"; "Tapi tidak, saya memang tahu kalau kamu tidak suka." Yang terjadi adalah istri membaca bahasa tubuh kita. Bahasa tubuh kita sudah mengkomunikasikan ketidaksetujuan pada pendapatnya itu, meskipun yang muncul dari mulut kita akhirnya adalah silakan, tapi sudah terlanjur dibaca oleh istri kita adalah kita tidak setuju. Nah itu cukup memicu untuk terjadinya pertengkaran.

ET : Sepertinya bahasa nonverbal lebih besar pengaruhnya, lebih kuat memberi makna di dalam komunikasi ya, Pak Paul?

PG : Memang demikian, sebetulnya bahasa nonverbal jauh lebih berpengaruh, lebih mempunyai dampak dibandingkan bahasa verbal. Kita menafsir makna dari yang dikatakan oleh orang sebetulnya bukn berdasarkan ucapannya, kita lebih menafsir berdasarkan bahasa tubuhnya.

Bahasa tubuh bisa jadi, misalnya sikap secara langsung kita misalnya tidak melihat, kita tidak menoleh sewaktu suami kita sedang berbicara. Kita tidak begitu suka dengan yang dia katakan, kita hanya menoleh dan kita misalkan mengerjakan tugas kita yang lain, menyirami tanaman atau apa, nah suami kita kemudian marah misalnya berkata: "Kenapa kamu tidak mendengarkan perkataan saya" misalkan si istri berkata: "Saya dengarkan,"; "Ya tapi kamu menyiram!"; "Ya tapi saya dengarkan." Nah itulah yang biasanya menjadi pertengkaran di rumah kita, sekali lagi yang dibaca adalah bahasa tubuh dan ternyata memang bahasa tubuh itu luar biasa berpengaruhnya.
GS : Ya tetapi bisa saja orang itu salah membaca bahasa tubuh dari partnernya?

PG : Betul, jadi kadang-kadang memang muncul kesalahan, menafsir bahasa tubuh itu bisa terjadi. Tapi yang lebih sering terjadi, sebetulnya bahasa tubuh dan bahasa ucapan tidak sama, tidak klp.

Tadi yang saya sudah paparkan contohnya si suami berkata: "Ya silakan kalau kamu mau jalani," seolah-olah dia memberikan kebebasan mau pilih yang mana ya silakan. Tapi dengan bahasa tubuhnya menunjukkan dia tidak suka, terjadilah di sini ketidakklopan antara yang diucapkan dan bahasa tubuh yang ditunjukkan. Kita melihat dari contoh tadi, si istri mendasari kesimpulannya bukan atas bahasa ucapan tapi atas bahasa tubuh. Jadi memang yang sering kali menjadi masalah kalau tidak sinkron dan kalau tidak sinkron sering kali kita mendasari kesimpulan kita atas bahasa tubuh, bahasa ucapan kita kesampingkan.
GS : Ada yang lebih pandai lagi di dalam mengemukakan pendapatnya ini Pak Paul, sehingga kelihatannya sinkron antara kata-katanya dan bahasa tubuhnya. Tapi sebenarnya dalam lubuk hatinya itu ada faktor yang bertentangan sebenarnya.

PG : Betul, ini salah satu masalah dalam komunikasi Pak Gunawan, ada orang yang misalkan sebagai contoh pasif dan sewaktu misalnya istrinya mengutarakan pandangan atau pendapat, bertanya: "Kmu setuju tidak?" dia menjawab: "Saya setuju" dan waktu dia menjawab saya setuju bahasa tubuhnya juga menunjukkan OK saya setuju.

Masalahnya adalah dia orang yang tidak bereaksi dengan cepat apalagi terhadap ketidaksetujuan, dia perlu waktu lebih lama untuk memikir ulang yang telah dia dengarkan tadi. Nah seminggu kemudian tiba-tiba dia marah, dia marah karena dia berkata kepada istrinya: "Kamu terlalu mendesak saya!" si istri terkejut: "Kapan saya mendesak kamu?"; "Minggu lalu"; "Minggu lalu apa yang terjadi?"; "Ya waktu kamu mengutarakan pendapatmu, saya tidak setuju". Nah si istri marah dan berkata: "Kenapa engkau tidak bilang?"; "Ya saya tidak bisa bilang, sebab kamu mendesak saya" nah itu juga sering terjadi Pak Gunawan, sinkron tapi kesinkronan yang tidak merefleksikan isi hati.

ET : Walaupun tampaknya secara natural kita sering kali lebih berusaha menutupi bahwa memang sebenarnya bahasa tubuh kita sudah berbicara dengan verbal, kita masih katakan: "O.....tidak sayatidak apa-apa atau OK saya setuju" dan ketika orang sudah menebak kita tetap menyangkali.

PG : Betul, jadi memang kalau kita sudah menyadari pentingnya kesinkronan bahasa tubuh dan bahasa ucapan, kita berusaha menyinkronkan untuk menutupi sesuatu yang tidak ingin kita tunjukkan. ering kali kita begitu, Bu Esther.

(2) GS : Kalau begitu bagaimana komunikasi yang baik dan benar itu?

PG : Ada satu istilah yang ditemukan oleh para pakar komunikasi yaitu berkomunikasi secara asertif bahasa Inggrisnya "assertive" yang muncul dengan arti kata to assert, itu berarti menyataka pendapat.

Jadi asertif berarti mengutarakan isi hati dengan tepat dan tidak agresif, kira-kira itu definisi umumnya. Saya akan mencoba jabarkan, Pak Gunawan, kira-kira ada 5 hal tentang komunikasi asertif. Yang pertama, orang yang berkomunikasi secara asertif adalah orang yang mengutarakan perasaannya. Tadi dalam contoh-contoh yang telah kita bahas, kita sudah membahas bahwa orang atau pasangan kita menafsir tindakan kita, perbuatan kita, bahasa tubuh kita baru menyimpulkan artinya. Jadi kata-kata yang kita ucapkan itu dinomorduakan, nah apa yang ditafsir sewaktu bahasa tubuh itulah yang dilihat, yang ditangkap? Ternyata perasaan. Jadi dengan kata lain perasaan memegang peranan yang besar sekali dalam komunikasi. Karena lawan bicara kita akan ingin tahu perasaan kita saat kita mengutarakan pandangan atau pendapat kita. Kalau suami kita melihat kita memang sudah punya perasaan tidak suka dengan yang dia tuturkan, itu akan cenderung mewarnai komunikasinya. Jadi orang yang berkomunikasi dengan asertif, pertama-tama harus jelas dulu dengan perasaan hatinya dan itu yang dia komunikasikan kepada pasangannya. Ya misalkan dia berkata: "Saya tidak suka dengan tindakan itu atau saya tidak bahagia melihat ini atau saya kecewa sekali,". Jadi kita perlu mengenali dulu apa perasaan kita dan itu yang kita bagikan, sehingga pasangan kita jelas tahu apa yang ada dalam isi hati kita. Kalau misalkan kita merasa netral, kita juga bilang terus terang saya merasa netral tentang hal ini, namun saya ingin memaparkan pandangan saya tapi saya netral terus terang. Itulah perasaan kita dan itu yang ingin didengar oleh pasangan kita. Contoh lain lagi yang bisa kita lakukan adalah kita berkata: "Saya akan mengatakan yang saya katakan ini, tapi terus terang saya ini merasa susah sekali mengatakannya karena memang saya tidak suka mengatakan hal-hal seperti ini." Jadi pasangan kita tahu bahwa waktu kita mengatakan misalnya kritikan itu kita bukan sedang menikmati menyakiti hatinya, dan bahwa mengkritik adalah hal yang sulit buat kita.
GS : Tapi tidak semua orang itu bisa menerima keterusterangan kita Pak Paul, kalau masalah-masalah seperti itu misalnya kita sedang marah atau jengkel kita utarakan apa adanya, belum tentu pasangan bisa menerima.

PG : Sering kali ini perlu dilatih, Pak Gunawan, sebab memang kita ini tidak dikondisikan untuk mengutarakan pasangan kita dengan jelas. Kita menjadi orang yang sering kali bingung dengan peasaan kita, nah kalau kita saja sudah bingung dengan perasaan kita apalagi orang terhadap perasaan kita.

Saya berikan contoh yang klasik yang sering kali terjadi, Pak Gunawan. Seorang istri menunggu suaminya pulang, janji pulang jam 06.00 tidak pulang sampai jam 09.00, tapi tidak menelepon dulu. Begitu pulang jam 09.00 apa yang akan terlontar dari mulut si istri? Kemarahan: "Kenapa kamu tidak telepon, saya menunggu-nunggu khawatir," marah. Sebetulnya waktu 3 jam itu dia menantikan si suami yang dia rasakan apa, kecemasan, takut kalau-kalau suaminya mengalami kecelakaan, tapi begitu suaminya pulang yang muncul adalah perasaan marah. Nah sekali lagi di sini kita tahu memang kita kadang-kadang enggan mengatakan saya takut kehilangan kamu, malu bicara seperti itu, lebih nyaman langsung memaki-maki pasangan kita. Sekali lagi inilah yang akan menjadikan komunikasi kita itu bermasalah, kalau kita tidak jelas dengan perasaan kita. Kita bisa bayangkan betapa mulusnya komunikasi itu kalau si istri misalnya langsung berkata: "Tiga jam kamu tidak memberikan kabar kepada saya, saya menunggu dalam ketegangan dan ketakutan, saya khawatir kamu mengalami kecelakaan," itu bisa langsung diselesaikan.

ET : Tapi mungkin ini berkaitan dengan budaya tertentu mungkin, yang sepertinya mentabukan perasaan-perasaan negatif. Kalau memang merasa cemas, merasa marah ya jangan disampaikan begitu.

PG : Saya kira berpengaruh sekali, itu saya setuju. Budaya-budaya tertentu memang tidak mendorong orang untuk mengenali apalagi mengekspresikan perasaannya. Namun kalau kita melihat dari seg komunikasi yang sehat di mana kedua orang bisa berelasi dengan akrab dan tepat, tidak bisa disangkali mengutarakan perasaan adalah hal yang penting dalam komunikasi yang efektif.

PG : Selain perasaan, apa Pak Paul yang penting di dalam komunikasi?

PG : Menyampaikan permintaan atau harapan kita, hindarilah peluang pasangan kita mereka-reka maksud kita. Jadi tujuannya apa, maksudnya apa harus kita sampaikan dengan jelas. Kalau kita mengarapkan pasangan kita berubah dalam hal apa, kita sampaikan juga jangan bicara berputar-putar misalnya.

Kalau kita memang dengan tujuan tidak mau mengkritik dia secara kasar, kita cuma tidak tahu bagaimana memilih kata-katanya, kita sampaikan juga. "Mungkin yang ingin saya sampaikan ini tidak tepat, karena saya tidak tahu memilih kata-kata yang pas, jadi maaf kalau kata-kata saya terlampau menyakiti hati kamu." Nah tujuannya saya bukan untuk menyakiti kamu, ini yang saya ingin katakan baru kita bicara. Jadi waktu berbicara jelaskan juga tujuan kita. Sering kali masalah timbul dalam komunikasi karena pasangan kita harus mereka-reka maksudnya apa dia berbicara seperti ini, maksudnya mau menyakiti saya, maksudnya ingin merendahkan saya, maksudnya tidak menghargai saya. Nah yang ditangkap maksud-maksud itu belum tentu benar dan orang akan bereaksi sewaktu membaca maksud-maksud tersebut.

ET : Seperti halnya dengan perasaan, sepertinya memang si komunikatornya juga memang harus sungguh tahu apa yang dia maksudkan juga ya Pak Paul. Karena kadang-kadang orang juga asal ceplas-cplos kemudian baru, jadi yang kamu maksudkan seperti ini? "O.....tidak,

saya tidak bermaksud seperti itu." Ternyata memang dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan dengan komunikasi itu.

PG : Kadang-kadang atau sering kali itu yang terjadi, Bu Esther, jadi kita memang tidak begitu menyadari apa maksud kita. Karena sekali lagi kita juga tidak terbiasa berkomunikasi seperti in, jelas dengan maksud atau tujuan kita.

Tapi sekali lagi untuk membangun sesuatu yang baru dan yang sehat akan perlu waktu dan membiasakan diri. Saya kira meskipun susah namun bisa, jadi sebelum kita melancarkan kata-kata kita, kita harus jelas dulu tujuannya apa saya berbicara ini, sampaikan tujuan itu, terutama misalnya dalam menyampaikan kritikan atau saran atau teguran. Orang cenderung defensif, jadi sebelum kita sampaikan itu kita juga harus beritahu tujuan saya adalah ini.

ET : Yang lebih mudah dan yang sering terjadi adalah menyalahkan orang lain daripada mengakui ini maksud saya, selalu kamu memang begini, engkau memang begitu.

PG : Sering kali itu yang kita lakukan, jadi kita lebih nyaman melempar bola ke lapangannya dan menyalahkan dia.

GS : Ada unsur yang lain Pak Paul di dalam berkomunikasi?

PG : Yang lain adalah membagikan pengamatan kita, waktu kita berbicara apalagi dalam hubungan suami-istri ini kita jangan menuduh orang dengan cepat dan hindarkan penggunaan kata-kata kamu, amu begini, kamu begitu, jangan! Sebaiknya yang kita katakan saya merasa kecewa karena, nah karena ini jangan berkata karena kamu menyakiti saya! nah orang langsung bereaksi membela diri karena dituduh kamu menyakiti saya.

Lebih baik berkata saya kecewa karena tadi waktu saya bicara kamu langsung keluar, nah tindakan kamu keluar kamar begitu saja benar-benar membuat saya itu kehilangan muka. Jadi sekali lagi kita hanya mencoba memaparkan peristiwanya, faktanya secara objektif, kesampingkan kesimpulan, jangan tergesa-gesa menyimpulkan tindakan orang.
GS : Kadang-kadang di dalam komunikasi itu kita melihat bahwa pasangan kita itu agak ragu-ragu apa yang kita katakan itu ya Pak Paul, apakah bisa kita itu balik bertanya kamu itu mengerti yang saya katakan?

PG : Itu saya kira saran yang baik sekali Pak Gunawan, ini membawa kita ke butir berikutnya dalam komunikasi dengan asertif yaitu silakan atau bersedialah mengecek ulang pengamatan kita. Sebb yang kita katakan ini yang saya lihat tadi belum tentu yang memang dilakukan dengan sengaja oleh pasangan kita dan maksudnya dia melakukan itu mungkin sekali berbeda dari yang kita sudah duga.

Jadi sekali lagi bersedialah mengecek ulang, benar atau tidak yang saya katakan tadi, betul atau tidak yang tadi saya amati, betul atau tidak yang saya lihat. Biarkan pasangan kita memberikan masukan juga sebab belum tentu memang tepat.

ET : Tampaknya dalam hal ini memang kejujuran juga sangat penting Pak Paul, rasanya memang untuk menyampaikan pengamatan atau mengecek ulang ini kadang-kadang bisa terjadi kesalahan dan kalau ada rasa gengsi misalnya atau nanti dianggap tidak mengerti jadi akhirnya melenceng dari tujuan semula ya?

PG : Manusia tidak ingin dipersalahkan, Bu Esther, itu sifat dasar kita mulai dari Adam sampai kita, kita tidak membuat perbaikan dalam hal ini. Karena kita tidak suka dipersalahkan kalau kia sudah melihat bahwa kita akan dipersalahkan, dari awalnya kita akan membenarkan diri, itu yang sering kali terjadi.

Jadi betul yang Ibu Esther tadi katakan, kita memang tidak nyaman tanpa kejujuran.
GS : Ketidaknyamanan itulah yang justru kadang-kadang menimbulkan pertengkaran Pak Paul, bagaimana kita berusaha sebaik mungkin, menguasai diri di dalam kata-kata maupun di dalam bahasa tubuh waktu kita bertengkar?

PG : Salah satu prinsipnya adalah membawa kita ke butir yang terakhir dalam berkomunikasi asertif. Meskipun kita telah melakukan yang tadi kita bicarakan, tidak tertutup kemungkinan kita aka bertengkar.

Kalau sampai terjadi, jangan gunakan kata-kata yang kasar. Hindarkanlah pemakaian seperti itu, kata-kata seperti itu dan ini salah satu saran saya setelah pertengkaran apa yang harus kita lakukan? Nah, setelah pertengkaran jangan lupa untuk menyampaikan penghargaan. Kenapa? Begini sebabnya, orang memang berkata pertengkaran adalah bumbu tapi saya kira bumbu yang kebanyakan selalu membuat sakit perut, saya kira pertengkaran yang kebanyakan juga akan merusakkan pernikahan. Tapi meskipun pertengkaran tidak banyak, saya kira semua orang akan bisa setuju bahwa satu pertengkaran cukup berat untuk kita tanggung, satu pertengkaran itu seolah-olah mengikis kemesraan atau perasaan positif pada pasangan kita. Makanya kalau sering terjadi pertengkaran lama-lama perasaan mesra atau yang positif itu akhirnya punah. Jadi saya ingin agar kita memikirkan hal-hal yang baik, yang positif, kata-kata yang membangun atau menghargai untuk disampaikan setelah pertengkaran itu reda. Karena kita perlu menambal lubang-lubang yang telah kita ciptakan melalui pertengkaran itu.

ET : Rasanya yang lebih sering orang perhatikan point kedua yang Pak Paul sampaikan ini tentang menambalnya ya, tapi lupa bahwa sebenarnya lubangnya lebih dalam dari yang dia tambal. Karena da orang yang temperamental, kalau marah memaki-maki lalu sesudah itu dia meminta maaf, tetapi dia lupa bahwa makiannya tadi sebenarnya lebih menyakiti daripada permintaan maaf yang dia sampaikan.

PG : Dan lama-lama tidak dihiraukan lagi. Tapi permintaan maaf sebetulnya tidaklah identik dengan penghargaan. Permintaan maaf karena kita bersalah, sesuatu yang seharusnya dilakukan dan sebtulnya tidak ada nilai tambah.

Tapi mengucapkan kata-kata yang menghargai itu mempunyai nilai positif. Jadi misalkan setelah kita bertengkar kita diam bicara yang lainnya lalu kita sampaikan "Kamu tahu atau tidak yang saya hargai tentang kamu apa?" terus kita sebut: "Saya menghargai kamu karena kamu orangnya terbuka untuk belajar, meskipun tadi agak sulit kamu terima tapi waktu kamu sadari bahwa ini benar, kamu dengan siap mengakui bahwa itu benar dan menerima pendapat saya. Saya hargai sekali kamu jadi orang sangat terbuka untuk belajar." Nah sekali lagi itu tambalan, tapi memang betul kalau lubangnya terlalu besar nambalnya lebih susah.
GS : Sering kali memang di dalam pertengkaran yang diserang itu justru pribadinya yang membuat luka yang dalam, bukan masalahnya.

PG : Betul, dan kalau luka itu disebabkan oleh serangan terhadap pribadi, sembuhnyapun lebih lama.

GS : Nah dalam hal ini firman Tuhan berbicara apa, Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari Efesus 4:29 "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yan mendengarnya, beroleh kasih karunia."

Kata-kata yang membangun, bukan kata-kata yang kotor itu adalah permintaan Tuhan pada kita semua. Kenapa kata-kata yang membangun? Karena firman Tuhan berkata orang yang mendengar beroleh kasih karunia. Jadi itu yang harus kita ingat, kita adalah pemberi kasih karunia Tuhan kepada pasangan kita. Jangan sampai pasangan kita tidak menerima kasih karunia tapi kutukan-kutukan kita. Gunakan kata-kata membangun, hindarkan kata-kata kasar apalagi kotor.

GS : Ya mungkin ayat itu memang sudah sering dibaca, tetapi kini tiba saatnya kita mempraktekkan itu di dalam kehidupan kita sehari-hari karena bagaimanapun juga tiap hari kita melakukan komunikasi dan khususnya terhadap pasangan kita. Tentunya kita berharap ada suatu komunikasi yang asertif seperti tadi yang Pak Paul katakan. Terima kasih banyak Pak Paul.

Saudara-saudara pendengar, demikianlah Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Komunikasi dalam Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



25. Memahami Pernikahan 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T114A (File MP3 T114A)


Abstrak:

Pernikahan adalah satu-satunya lembaga yang Tuhan sendiri berinisiatif untuk kebaikan manusia. Dan pernikahan itu sendiri adalah sebuah ikatan sekaligus juga pernikahan adalah sebuah perjajian.


Ringkasan:

Pengertian pernikahan adalah :

  1. Pernikahan adalah sebuah ikatan, di mana suami-istri atau kedua orang itu menjadi satu kesatuan dan menjadi sebuah relasi yang begitu unik dan sangat eksklusif. Landasan Alkitab yang kita gunakan adalah Efesus 5:31 yang berkata: "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging."

    Dari ayat ini kita bisa melihat bahwa kesatuan antara suami dan istri merupakan kesatuan yang paling intim, yang paling dekat, tidak ada lagi kesatuan yang bisa menyamai kesatuan suami dan istri ini.

  2. Pernikahan adalah suatu perjanjian, artinya bahwa kedua belah pihak menyetujui untuk mengemban tanggung jawab dan tuntutan yang terkandung di dalamnya. Jadi jangan sampai seseorang memasuki pernikahan berpikir bahwa pasangannyalah yang harus melayani dia.

Efesus 5:33, "Kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya." Perjanjian artinya masing-masing berkata inilah tanggung jawab saya dan inilah tuntutan saya jadi masing-masing juga berusaha untuk memenuhi tanggung jawab tuntutan itu. Kadangkala kita hanya menekankan satu aspek dari perjanjian yakni jangan sampai kita bercerai atau membatalkan perjanjian dan kita lalai menekankan bagian yang satunya yakni kita harus menjaga perjanjian itu dengan cara melakasanakan tanggung jawab kita.

"Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya itu menjadi satu daging." Keduanya itu menjadi satu daging, pernikahan adalah suatu ikatan yang sangat eksklusif, setelah menikah kita tidak bisa memperlakukan orang sama seperti sebelum menikah, harus ada batas tidak bisa sama. Dengan kata lain kita tidak boleh mengikat diri dengan eksklusif dengan orang-orang lain lagi, hanya satu yaitu dengan istri atau suami kita.

Karakteristik pernikahan yaitu:

  1. Bahwa Institusi pernikahan tidak terlepas dari campur tangan Allah. Satu rujukan yang lain institusi yang berasal dari Allah yakni pemerintahan. Roma 13:1, "Pemerintah berasalah dari Allah dan tidak ada pemerintahan yang tidak ditetapkan oleh Allah." Artinya Allah turut campur tangan dalam pembentukan, dalam penghadiran sebuah pemerintahan, demikian pulalah Allah campur tangan dalam pernikahan. Alkitab menegaskan bahwa Allah campur tangan maka dikatakan di Matius 19:6, "Karena itu apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia." Menarik sekali bahwa Allah menegaskan Dialah yang menyatukan orang untuk akhirnya tertarik kepada satu sama lain dan membangun sebuah pernikahan.

  2. Pernikahan dimaksudkan Tuhan menjadi perlambangan kekekalan di tengah-tengah ketidakekalan di dunia ini. Tidak ada yang kekal dalam dunia ini, namun di antara yang tidak kekal itu Tuhan menetapkan lembaga pernikahan sebagai sesuatu yang bersifat kekal. Matius 19:19, "Barangsiapa menceraikan istrinya kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain dia berbuat zinah." Tuhan menganggap pernikahan itu kekal, itu sebabnya waktu kita menikah dengan orang lain, Tuhan melihat itu sebagai sebuah perzinahan.

  3. Relasi suami-istri untuk menjadi contoh konkret relasi antara Allah dan manusia. Firman Tuhan di Efesus 5:25-27 berkata: "Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya. Untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela," ini tugas suami. Tugas istri di Efesus 5:22-23, "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh." Dengan kata lain hubungan suami-istri seyogyanya melambangkan atau mencontohkan dengan konkret hubungan antara Allah dan manusia. Dan tidak ada hubungan lain yang didisain lain untuk mencontohkan dengan konkret hubungan antara Allah dengan manusia selain dari hubungan suami-istri.

Konsep-konsep yang keliru tentang pernikahan, yaitu:

  1. Adanya anggapan bahwa pernikahan merupakan puncak dari sebuah gunung yang disebut cinta. Jadi seolah-olah setelah kita mencintai, mencintai puncaknya adalah pernikahan itu tidak salah, tapi tidak lengkap.

  2. Bahwa pernikahan adalah wadah penyaluran hasrat seksual, itu adalah efek atau keuntungan yang bisa kita raih dalam pernikahan bahwa kita bisa berhubungan seksual.

  3. Pernikahan sebagai wahana untuk memperoleh keturunan. Mempunyai keturunan atau tidak adalah hak preriogatif Tuhan, kita menikah karena kita mau mengikatkan diri kita dalam perjanjian dengan pasangan kita, punya anak atau tidak itu adalah bagian dari kehendak dan rencana Tuhan untuk hidup kita.

  4. Pernikahan sebagai pemuas dahaga manusia akan kebahagiaan. Ada orang yang beranggapan saya mau menikah karena saya nggak bahagia, saya menikah supaya saya bahagia, itu keliru. Pernikahan bukanlah pemuas kedahagaan kita akan kebahagiaan.

  5. Pernikahan dianggap sebagai asuransi kehidupan, pernikahan bukanlah sebuah peningkatan kesejahteraan hidup atau asuransi kehidupan.

Prinsip penting yang perlu kita perhatikan adalah barangsiapa memberi dia akan menerima. Banyak di antara kita yang masuk ke pernikahan mengharapkan untuk menerima dan tidak memikirkan untuk memberi. Ini adalah awal dari perpecahan dalam pernikahan. Pernikahan hanya bisa dipelihara dengan cara masing-masing memberi. Memilih pasangan hidup memang tidak terlalu mudah tapi yang lebih susah adalah mempertahankan pasangan hidup kita itu supaya tetap mencintai kita dan kita mencintai dia dan bersatu dalam pernikahan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini saya bersama Ibu Ester Tjahja, S. Psi, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Memahami Pernikahan", suatu tema yang cukup luas karenanya kami akan membagi perbincangan kami pada dua sesi. Dan kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan inilah sesi yang pertama tentang memahami pernikahan.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, sebelum kita lebih jauh memahami tentang pernikahan, tentunya kita mau tahu dulu batasan atau definisi atau pengertian pernikahan itu sebenarnya apa Pak Paul?

PG : Ini sebuah pertanyaan yang baik Pak Gunawan, kenapa kita akan mengangkat topik ini sebab saya mengamati adanya kedangkalan pemahaman tentang pengertian pernikahan. Jadi saya kira ini adlah sesuatu yang penting untuk kita bicarakan.

Dan sudah tentu karena kita ini adalah anak-anak Tuhan sebagai orang Kristen kita akan kembali menggunakan rujukan pada firman Tuhan. Nah, apa itu pernikahan, pernikahan adalah sebuah ikatan, artinya suami-istri atau kedua orang itu menjadi satu kesatuan dan kesatuan ini menjadi sebuah relasi yang begitu unik dan sangat eksklusif. Sehingga relasi nikah ini menjadi sesuatu yang berbeda, terpisah dari relasi lainnya. Landasan Alkitab yang saya gunakan adalah Efesus 5 : 31, "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging." Dari ayat ini kita bisa melihat bahwa kesatuan antara suami dan istri merupakan kesatuan yang paling intim, yang paling dekat, tidak ada lagi kesatuan yang bisa menyamai kesatuan suami dan istri ini. Nah itu sebabnya pernikahan merupakan sebuah ikatan karena keduanya menjadi satu dan diikat sehingga tidak bisa lagi terlepas.
GS : Pengertian meninggalkan ayahnya dan ibunya itu seperti apa Pak Paul?

PG : Dalam pengertian, bahwa pada waktu seseorang itu menikah dia itu memulai sebuah keluarga yang baru, dia tidak lagi menjadi seorang anak dari orang tuanya. Dalam pengertian dia bukan lag menjadi anak secara biologis tapi status sudah tentu dia adalah seorang anak.

Namun terjadi perubahan, perubahan dalam relasi antara dia dan orang tuanya. Dia dulu adalah seorang anak yang bergantung pada orang tuanya, namun sekarang dia tidak lagi menjadi seseorang yang bergantung pada orang tuanya baik secara fisik maupun secara emosional, sebab dia sekarang memulai atau menciptakan sebuah rumah tangga yang baru.

ET : Namun tampaknya di dalam budaya tertentu ada kesulitan untuk sungguh-sungguh melakukan hal ini Pak Paul?

PG : Saya kira betul Bu Esther, ada budaya-budaya yang sangat menekankan pengabdian kepada orang tua, bahkan pengabdian itu diatas pengabdian hubungan suami-istri. Nah saya kira ada baiknya ita membahas hal ini dengan lebih seksama.

Adakalanya kita ini menempatkan budaya di atas Alkitab, ini keliru. Otoritas firman Tuhan berada di atas segalanya termasuk norma-norma budaya kita. Meskipun pengabdian kepada orang tua adalah sesuatu yang baik, namun pada akhirnya Tuhan menegaskan bahwa waktu seseorang menikah, pengabdian yang begitu tinggi tersebut memang harus beralih, bukan lagi kepada orang tua namun kepada pasangannya, kepada keluarganya sendiri. Sudah tentu di sini tidak berarti Tuhan meminta kita untuk melalaikan tanggung jawab sebagai anak, tidak mempedulikan orang tua kita, bukan itu. Kita akan mengingat teguran Tuhan Yesus kepada orang Farisi, kepada mereka yang mengajarkan bahwa kalau engkau hendak memberikan korban kepada orang tua tapi mereka itu tidak mau, karena mungkin ada sakit hati terhadap orang tua nah kemudian mereka memisahkan uang tersebut dan hanya memberikannya kepada Tuhan. Tuhan berkata itu salah, dalam pengertian meskipun seolah-olah terdengar dan terlihat mulia memberikan persembahan kepada Tuhan. Namun kalau itu adalah uang yang seharusnya diberikan kepada orang tua, Tuhan tidak senang dengan cara seperti itu. Sebab Tuhan juga menuntut seorang anak memperhatikan orang tuanya, sebetulnya bukan hanya orang tuanya tapi juga orang lain. Nah kalau orang lain Tuhan tuntut perhatikan apalagi orang tua sendiri. Jadi saya tegaskan bukan berarti kita tidak lagi memperhatikan orang tua, namun kepentingan keluarga sendiri sekarang menjadi yang teratas sebab kita memulai sebuah keluarga yang baru. Maka Alkitab menggunakan penggambaran seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya jadi ada suatu tindakan, ada sesuatu perubahan bahwa dia sekarang masuk ke dalam sebuah keluarga yang lain.
GS : Jadi sekalipun secara fisik mereka masih tinggal serumah, konsep itu tetap masih bisa dijalankan?

PG : Bisa sekali meskipun saya mengerti kalau serumah bisa jadi perubahan ini agak sulit, karena sedikit banyak ikatan itu antara orang tua dan anak tetap terjalin dan susah sekali untuk menubahnya.

Tapi sekali lagi saya ingin tekankan biarlah konsep ini benar-benar dimiliki oleh kita semuanya. Saya pernah memberikan sebuah ceramah Pak Gunawan dan Ibu Esther, dalam ceramah itu saya menegaskan konsep ini, selesai ceramah diberikan kesempatan untuk orang memberikan kesaksian. Dan saya masih ingat ada seorang pria paro baya yang memberikan kesaksian dan berkata: "Ya, tadi saya sudah mendengar dan saya sudah memahami apa yang Tuhan katakan di Alkitab, tapi saya kira tetap orang tua itu yang paling penting," dia berkata demikian. Alasannya (ini yang sangat menarik), dia berkata: "Orang tua tidak bisa diganti, istri itu bisa diganti". Jadi sebuah konsep yang sangat salah, tapi begitu mendarah daging dalam pemikiran orang tersebut dan mungkin sebagian orang yang terikat oleh budaya mereka. Orang tua tidak bisa diganti, istri bisa diganti itu keliru sekali, sebab Alkitab tidak pernah mengatakan: "Hai anak, hai orang tua menyatulah!" yang dikatakan keduanya bersatu menjadi satu daging adalah suami dan istri, anak keluar dari orang tua. Tadinya satu akhirnya menjadi dua, pernikahan kebalikan dari konsep tersebut, dua orang melebur menjadi satu, jadi yang benar adalah dua menjadi satu dan itu suami-istri. Nah, kalau seorang anak dan orang tua tetap memelihara tali ari-ari ini berarti memang tidak pernah ada suatu pemisahan sedangkan itu yang dimaksudkan oleh Tuhan.

ET : Jadi memang rasanya hal ini juga sangat perlu dipertimbangkan oleh orang tua Pak Paul, karena mungkin si anak mau melakukannya, tetapi hambatannya adalah orang tua yang belum rela untukkeluar dan membangun rumah tangga itu.

PG : Adakalanya itu yang terjadi Ibu Esther, jadi orang tua mempertahankan otoritasnya kepada si anak dan menuntut pengabdian kepada orang tua, nah ini sering terjadi. Sewaktu si anak misalkn mulai bergeliat mulai menentang, menggugat keputusan orang tua, orang tua kemudian menggunakan serangan-serangan yang menimbulkan rasa bersalah pada si anak, "Kamu sudah saya besarkan dari kecil sekarang mentang-mentang sudah mempunyai istri atau mempunyai suami berani-beraninya melawan saya."

Nah ini juga sering saya lihat Bu Esther dalam kasus di mana orang tuanya tunggal. Misalkan seorang ibu yang membesarkan anak-anak laki, karena suaminya meninggal pada masa atau pada waktu anak itu muda, akhirnya si anak begitu menyayangi si mama karena mama bekerja keras merawat membesarkan anak-anak sendirian. Nah, adakalanya ini dibawa terus sampai setelah menikah, sehingga bagi si anak tetap yang terpenting adalah mama bukan istrinya, mama berkata apa itu yang akan dia dengarkan, istri berkata apa dia tidak akan dengarkan nah itu keliru, meskipun kita tetap menyayangi mama yang telah membesarkan kita tanpa adanya papa, namun tetap setelah menikah kita mesti mengutamakan keluarga kita. Bukannya tidak mempedulikan orang tua lagi tetap mempedulikan, tapi sekarang kita mengutamakan keluarga kita sendiri.
GS : Tetapi juga ada anak yang begitu tergantung kepada orang tuanya, baik dari segi finansial maupun kebiasaan. Kadang-kadang dia sudah terlanjur terbiasa dan suka dengan makanan yang dibuatkan oleh mamanya atau, sehingga ketika istrinya membuatkan makanan dia masih tetap kembali ke rumah orang tuanya, hanya untuk makan.

PG : Kalau secara insidentil saya kira itu tidak apa-apa, adakalanya anak itu kembali ke rumah orang tua untuk menikmati makanan mama karena terbiasa dan senang. Saya kira sekali-sekali hal tu dilakukan ya wajar, namun kalau sampai tidak mau makan di rumah dan hanya mau makan di rumah orang tua saya kira itu keliru.

Tadi Pak Gunawan memunculkan suatu ide atau pemikiran yang memang tepat yaitu adakalanya kalau anak bekerja untuk orang tua atau bergantung secara finansial pada orang tua, masalah menjadi lebih kompleks. Karena kalau misalnya kita bekerja pada orang tua kita atau satu perusahaan dengan orang tua, sering kali dalam perusahaan itu kita tetap anak, nah ini pergumulan banyak orang yang harus bekerja sama dengan orang tuanya. Kalau mereka ingin menuntut gaji yang lebih besar, mereka akan merasa sungkan karena ini perusahaan orang tua. Dan orang tua kadang-kadang menggunakan kata-kata yang cepat sekali menimbulkan rasa bersalah. Misalnya: "Kamu 'kan pemilik, kamu nanti yang mempunyai semua ini, kenapa menuntut begini, begini karena nanti ini menjadi milik kamu". Jadi si anak tidak bisa berbicara padahal dia ingin mendapatkan imbalan yang lebih besar untuk keperluannya dan sebagainya. Kalau dia ingin bekerja dengan orang lain dia merasa bersalah karena orang tuanya akan berkata: "Kamu lebih pentingkan orang lain, orang tuamu sendiri yang membutuhkan kamu tidak kamu tolong". Nah, ini sekali lagi hal-hal yang kurang sehat, orang tua seharusnya bisa memberikan kebebasan kepada anak, di manakah dia ingin bekerja. Tidak harus dia meneruskan pekerjaan orang tuanya, tapi saya tahu dalam budaya tertentu ada konsep bahwa harta kita ini harus diteruskan ke generasi selanjutnya, selanjutnya dan selanjutnya. Tuhan memelihara kita satu generasi, demi satu generasi, kita tidak perlu memikirkan harta untuk generasi selanjutnya, Tuhan akan memelihara anak kita seperti Tuhan memelihara kita. Jadi konsep ini harus berubah, kalau anak bekerja dengan orang tua, orang tua mesti mempunyai kejelasan apa yang diharapkan oleh anak, mereka juga harus bisa negoisasi dengan anak, dalam pengambilan keputusan. Sehingga anak akhirnya bisa mandiri dan independen tidak merasa dia itu ditekan atau harus bergantung pada orang tua.
GS : Nah, selain konsep bahwa pernikahan itu adalah ikatan tadi Pak Paul, apakah ada yang lain?

PG : Pernikahan adalah suatu perjanjian, jadi yang pertama sebuah ikatan yang kedua sebuah perjanjian. Artinya bahwa kedua belah pihak menyetujui untuk mengemban tanggung jawab dan tuntutan ang terkandung di dalamnya.

Saya akan dasarkan ini pada Efesus 5:33,"Kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya." Kadang kita tidak melihatnya sebagai sebuah perjanjian, tapi pernikahan sebetulnya adalah sebuah perjanjian. Perjanjian artinya masing-masing berkata: inilah tanggung jawab saya dan inilah tuntutan saya jadi masing-masing juga berusaha untuk memenuhi tanggung jawab dan tuntutan itu. Sekali lagi ini konsep yang kadang kala kurang dipahami oleh sebagian orang terutama oleh pria Pak Gunawan. Maksudnya, cukup banyak pria yang beranggapan bahwa menikah itu mempunyai pembantu untuk seumur hidup, yakni saya tidak perlu lagi memasak, saya tidak perlu mencuci piring, saya tidak perlu mencuci pakaian, saya tidak perlu mengurus rumah sebab sudah ada yang mengurus itu semuanya. Dan orang ini juga memenuhi kebutuhan emosional saya serta seksual saya. Nah, seolah-olah semua tanggung jawab ada pada pundak si istri, tidak ada pada pundak si suami nah ini adalah fenomena yang saya sering lihat di mana-mana yaitu gagalnya seorang pria menyadari tanggung jawabnya. Tapi dalam diskusi ini saya akan perlebar, saya juga percaya ada wanita yang gagal melihat tanggung jawab itu. Dia menganggap misalnya dia seperti ratu kecantikan, memasuki pernikahan berharap si suami akan menyediakan semua kebutuhannya dan dia tidak perlu berbuat apa-apa, si suami akan selalu mengagungkan dan mencintainya, tidak. Pernikahan adalah sebuah perjanjian, artinya ada tanggung jawab, ada tuntutan yang harus dipenuhi.

ET : Jadi sepertinya kebanyakan kita hanya melihat sepotong dari ayat ini Pak Paul, maksudnya pria hanya melihat yang penting istri harus hormat kepada suami dan melupakan bahwa suami harus engasihi dan istri juga merasa selalu dikasihi, lupa bahwa dia harus menghormati suaminya.

PG : Ya, kadang kala kita memang melihatnya hanya sebelah, misalnya dari satu pihak dan sudah tentu kita melihatnya dari sudut yang menguntungkan kita Bu Esther. Bukankah sebagai suami kita kan senang kalau istri menghormati kita tanpa syarat.

Seseorang harus membaca Alkitab atau kita harus membaca Alkitab dengan utuh, perintah Tuhan itu atau yang Tuhan berikan itu ternyata ada syaratnya. Suami kalau mau mendapatkan hormat dari istri dia harus mengasihi istrinya, itu syaratnya. Istri kalau engkau ingin dikasihi oleh suami syaratnya engkau harus menghormati suami. Ini yang sering kali kita gagal melihatnya, kita beranggapan dengan otomatis saya menerima langsung kasih sayang itu, penghormatan itu, o....tidak. Tuhan jelas memberikan syaratnya, ada yang harus kita lakukan untuk mendapatkan yang kita dambakan itu.
GS : Pak Paul, kalau pernikahan itu dianggap semacam perjanjian, dan yang kita kenal dalam perjanjian kalau salah satu pihak tidak memenuhi apa yang dijanjikan, perjanjian itu batal Pak Paul?

PG : Bagus sekali point ini Pak Gunawan, saya kira kita harus berbicara dengan jelas kepada para pendengar kita agar tidak terjadi kesalahpahaman. Yaitu sering kali orang hanya menekankan sau aspek yaitu jangan bercerai, artinya jangan sampai kita meninggalkan perjanjian itu.

Tapi Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa perjanjian harus ditaati oleh kedua belah pihak, tidak bisa hanya oleh satu pihak saja. Jadi penekanan pada jangan bercerai saja saya kira adalah sesuatu yang tidak berimbang harus ada penekanan pada yang lainnya yaitu hendaklah kita memelihara pernikahan ini. Hendaklah kita melaksanakan tanggung jawab kita dalam rumah tangga ini, sebab bagi saya kalau kita tidak lagi mempedulikan tanggung jawab kita dalam rumah tangga itu sudah sama dengan saya sudah bercerai. Jadi memelihara pernikahan itu satu paket dengan jangan bercerai. Saya berikan contoh misalkan ada seorang pria yang kerap kali memukuli istrinya tatkala marah, sedikit-sedikit langsung memukul istrinya, dan istri akhirnya tidak tahan lagi dan ingin bercerai. Nah, misalkan si suami lari ke Alkitab yang telah berkata: Alkitab tidak mengijinkan kita bercerai, Tuhan menginginkan kita menikah sampai selama-lamanya. Nah konsep ini salah, dia menggunakan firman Tuhan untuk kepentingannya sendiri, dia gagal melihat firman Tuhan secara utuh bahwa Tuhan menuntut dia untuk mengasihi istrinya bukan memukuli istrinya, kasus ini saya kira juga bisa kita terapkan secara lebih luas dan ada buktinya di Alkitab. Yaitu Tuhan dan umat-Nya mengikat diri dalam perjanjian, sebuah hubungan yang eksklusif antara umat Tuhan orang Israel dan Tuhan. Namun waktu orang Israel membangkang dan menyembah dewa-dewa lain, dengan sabar Tuhan mengirim nabi demi nabi memberi peringatan tapi mereka tidak mendengarkan peringatan Tuhan, apa yang Tuhan lakukan? Membuang mereka. Jadi dengan kata lain perjanjian itu tidak bisa dipertahankan kalau satu pihak tidak lagi mau mempertahankannya. Maka ada firman Tuhan yang berkata: meskipun manusia tidak setia, Tuhan tetap setia. Tuhan tidak mungkin melanggar perjanjian itu, yang melanggar adalah manusia jadi akhirnya perjanjian itu runtuh, tidak ada lagi ikatan, umat Israel tidak lagi mengakui Tuhan sebagai Tuhannya, jadi dalam Alkitab kita melihat tema yang sama. Demikian pulalah dalam pernikahan, sebab ikatan antara suami dan istri merupakah ikatan yang melambangkan ikatan antara Tuhan dengan kita pula. Kita harus menjaga, memelihara pernikahan ini. Yang tidak lagi mau menjaganya sebetulnya sudah sama dengan berkata: dia ingin menceraikan pasangannya, itu sudah satu paket. Tidak ada penekanan hanya pada jangan bercerai, jangan bercerai terus semau-maunya, seenak-enaknya memperlakukan pasangannya itu tidak ada. Perjanjian harus dijaga, disepakati dan harus dipelihara.
GS : Kalau kita melihat itu, pernikahan itu tentu suatu lembaga yang diprakarsai dan dibentuk oleh Tuhan sendiri Pak?

PG : Betul, memang Tuhan terlibat maka kita itu harus selalu menyadari bahwa waktu dia berbuat sesuatu yang tidak baik, yang jahat kepada pasangannya, Tuhan terlibat di sana. Tuhan bukannya enciptakan kemudian berkata masa bodoh, o....tidak,

Tuhan terlibat maka orang harus berhati-hati menjaga pernikahannya, bagaimanakah dia memperlakukan pasangannya harus dia jaga baik-baik.
GS : Pak Paul, perbincangan kita tentang memahami pernikahan ini tentu masih panjang, jadi masih ada banyak hal yang harus kita bicarakan dan baru kita berbicara tentang pokok-pokok definisi dari pernikahan itu sendiri. Namun sebelum perbincangan bagian yang pertama ini kita akhiri mungkin ada ayat yang Pak Paul bisa bacakan?

PG : Saya ingin lagi bacakan, "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging." Pernikahan adalah suatu ikata yang sangat eksklusif, setelah menikah kita tidak bisa memperlakukan orang sama seperti sebelum menikah, harus ada batas tidak bisa sama.

Dengan kata lain kita tidak boleh mengikat diri secara eksklusif dengan orang-orang lain lagi, hanya satu yaitu dengan istri atau suami kita. Jadi sekali lagi saya tekankan setelah menikah, satu-satunya hubungan yang paling eksklusif adalah hubungan suami-istri, dengan orang lain tidak boleh lagi kita menjadikannya eksklusif. Kebalikannya juga saya tekankan, Tuhan memasukkan pernikahan sebagai hubungan eksklusif, jangan kita membuat pernikahan kita hubungan yang inklusif, masa bodoh, longgar, tidak mempedulikan. Pernikahan memang harus dekat, harus intim, harus eksklusif.

GS : Ya terima kasih Pak Paul juga Ibu Esther, tentu kita berharap para pendengar setia dari acara Telaga ini akan mengikuti juga pada sesi yang kedua, pada siaran yang akan datang untuk melanjutkan perbincangan tentang pernikahan ini. Tapi karena keterbatasan waktu kita harus akhiri terlebih dahulu pada sesi yang pertama ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memahami Pernikahan" bagian yang pertama dan kami sekali lagi mengharapkan Anda akan mengikuti perbincangan kami pada bagian yang berikutnya. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



26. Memahami Pernikahan 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T114B (File MP3 T114B)


Abstrak:

Lanjutan T114B


Ringkasan:

Pengertian pernikahan adalah :

  1. Pernikahan adalah sebuah ikatan, di mana suami-istri atau kedua orang itu menjadi satu kesatuan dan menjadi sebuah relasi yang begitu unik dan sangat eksklusif. Landasan Alkitab yang kita gunakan adalah Efesus 5:31 yang berkata: "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging."

    Dari ayat ini kita bisa melihat bahwa kesatuan antara suami dan istri merupakan kesatuan yang paling intim, yang paling dekat, tidak ada lagi kesatuan yang bisa menyamai kesatuan suami dan istri ini.

  2. Pernikahan adalah suatu perjanjian, artinya bahwa kedua belah pihak menyetujui untuk mengemban tanggung jawab dan tuntutan yang terkandung di dalamnya. Jadi jangan sampai seseorang memasuki pernikahan berpikir bahwa pasangannyalah yang harus melayani dia.

Efesus 5:33, "Kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya." Perjanjian artinya masing-masing berkata inilah tanggung jawab saya dan inilah tuntutan saya jadi masing-masing juga berusaha untuk memenuhi tanggung jawab tuntutan itu. Kadangkala kita hanya menekankan satu aspek dari perjanjian yakni jangan sampai kita bercerai atau membatalkan perjanjian dan kita lalai menekankan bagian yang satunya yakni kita harus menjaga perjanjian itu dengan cara melakasanakan tanggung jawab kita.

"Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya itu menjadi satu daging." Keduanya itu menjadi satu daging, pernikahan adalah suatu ikatan yang sangat eksklusif, setelah menikah kita tidak bisa memperlakukan orang sama seperti sebelum menikah, harus ada batas tidak bisa sama. Dengan kata lain kita tidak boleh mengikat diri dengan eksklusif dengan orang-orang lain lagi, hanya satu yaitu dengan istri atau suami kita.

Karakteristik pernikahan yaitu:

  1. Bahwa Institusi pernikahan tidak terlepas dari campur tangan Allah. Satu rujukan yang lain institusi yang berasal dari Allah yakni pemerintahan. Roma 13:1, "Pemerintah berasalah dari Allah dan tidak ada pemerintahan yang tidak ditetapkan oleh Allah." Artinya Allah turut campur tangan dalam pembentukan, dalam penghadiran sebuah pemerintahan, demikian pulalah Allah campur tangan dalam pernikahan. Alkitab menegaskan bahwa Allah campur tangan maka dikatakan di Matius 19:6, "Karena itu apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia." Menarik sekali bahwa Allah menegaskan Dialah yang menyatukan orang untuk akhirnya tertarik kepada satu sama lain dan membangun sebuah pernikahan.

  2. Pernikahan dimaksudkan Tuhan menjadi perlambangan kekekalan di tengah-tengah ketidakekalan di dunia ini. Tidak ada yang kekal dalam dunia ini, namun di antara yang tidak kekal itu Tuhan menetapkan lembaga pernikahan sebagai sesuatu yang bersifat kekal. Matius 19:19, "Barangsiapa menceraikan istrinya kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain dia berbuat zinah." Tuhan menganggap pernikahan itu kekal, itu sebabnya waktu kita menikah dengan orang lain, Tuhan melihat itu sebagai sebuah perzinahan.

  3. Relasi suami-istri untuk menjadi contoh konkret relasi antara Allah dan manusia. Firman Tuhan di Efesus 5:25-27 berkata: "Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya. Untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela," ini tugas suami. Tugas istri di Efesus 5:22-23, "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh." Dengan kata lain hubungan suami-istri seyogyanya melambangkan atau mencontohkan dengan konkret hubungan antara Allah dan manusia. Dan tidak ada hubungan lain yang didisain lain untuk mencontohkan dengan konkret hubungan antara Allah dengan manusia selain dari hubungan suami-istri.

Konsep-konsep yang keliru tentang pernikahan, yaitu:

  1. Adanya anggapan bahwa pernikahan merupakan puncak dari sebuah gunung yang disebut cinta. Jadi seolah-olah setelah kita mencintai, mencintai puncaknya adalah pernikahan itu tidak salah, tapi tidak lengkap.

  2. Bahwa pernikahan adalah wadah penyaluran hasrat seksual, itu adalah efek atau keuntungan yang bisa kita raih dalam pernikahan bahwa kita bisa berhubungan seksual.

  3. Pernikahan sebagai wahana untuk memperoleh keturunan. Mempunyai keturunan atau tidak adalah hak preriogatif Tuhan, kita menikah karena kita mau mengikatkan diri kita dalam perjanjian dengan pasangan kita, punya anak atau tidak itu adalah bagian dari kehendak dan rencana Tuhan untuk hidup kita.

  4. Pernikahan sebagai pemuas dahaga manusia akan kebahagiaan. Ada orang yang beranggapan saya mau menikah karena saya nggak bahagia, saya menikah supaya saya bahagia, itu keliru. Pernikahan bukanlah pemuas kedahagaan kita akan kebahagiaan.

  5. Pernikahan dianggap sebagai asuransi kehidupan, pernikahan bukanlah sebuah peningkatan kesejahteraan hidup atau asuransi kehidupan.

Prinsip penting yang perlu kita perhatikan adalah barangsiapa memberi dia akan menerima. Banyak di antara kita yang masuk ke pernikahan mengharapkan untuk menerima dan tidak memikirkan untuk memberi. Ini adalah awal dari perpecahan dalam pernikahan. Pernikahan hanya bisa dipelihara dengan cara masing-masing memberi. Memilih pasangan hidup memang tidak terlalu mudah tapi yang lebih susah adalah mempertahankan pasangan hidup kita itu supaya tetap mencintai kita dan kita mencintai dia dan bersatu dalam pernikahan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini saya bersama Ibu Ester Tjahja, S. Psi, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami pada acara Telaga yang lalu yaitu tentang "Memahami Pernikahan", dan kami masuk pada bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan inilah sesi yang pertama tentang memahami pernikahan.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah berbincang-bincang tentang definisi pernikahan di dalam memahami pernikahan ini. Dan sebelum kita melanjutkan perbincangan pada saat ini, apakah Pak Paul mau mengulang sejenak apa yang kita perbincangkan pada saat yang lalu?

PG : Saya akan menjelaskan mengapa kita memutuskan untuk mengangkat topik ini Pak Gunawan, alasannya adalah bahwa saya melihat adanya kedangkalan pandangan atau pengertian kita terhadap pernkahan.

Karena adanya kedangkalan itulah maka banyak sekali masalah yang muncul dari pernikahan dan akhirnya sudah tentu akibat fatalnya yaitu perceraian. Jadi kita berharap apa yang akan disampaikan pada kesempatan ini akan menjadi berkat bagi para pendengar kita. Pertama-tama kita mau melihat apa itu pernikahan, pernikahan adalah sebuah ikatan, sebuah ikatan yang mengandung pengertian bahwa dua orang itu memilih untuk terikat. Dan terikat berarti dia akan terbatasi dalam relasinya dengan orang-orang lain dan Alkitab menegaskan bahwa memang pernikahan adalah sebuah ikatan yang sangat dan paling intim. Itu sebabnya dikatakan keduanya menjadi satu daging, tidak ada lagi ikatan yang seintim dan sedekat itu. Kedua pernikahan adalah sebuah perjanjian artinya masing-masing pihak mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi tuntutan pernikahan itu. Jadi jangan sampai seseorang memasuki pernikahan berpikir bahwa pasangannyalah yang harus melayani dia, itu tidak benar. Pernikahan sebuah perjanjian di mana masing-masing harus memenuhi tanggung jawabnya, nah yang kita telah bahas pada kesempatan yang lalu adalah kadang kala kita hanya menekankan satu aspek dari perjanjian itu yakni jangan sampai kita bercerai atau membatalkan perjanjian itu dan kita lalai menekankan bagian yang satunya yakni kita harus menjaga perjanjian itu dengan cara melaksanakan tanggung jawab kita, nah itulah kira-kira yang telah kita bicarakan Pak Gunawan.
GS : Ya dan kali ini kita akan membicarakan tentang dua hal penting Pak Paul, yaitu tentang karakteristik pernikahan dan konsep-konsep yang keliru tentang pernikahan. Nah kalau berbicara tentang karakteristik pernikahan Pak Paul, hal apakah yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Yang pertama adalah bahwa institusi pernikahan tidak terlepas dari campur tangan Allah. Nah, saya ingin memberikan satu rujukan yang lain yaitu institusi yang juga dikatakan berasal dar Allah yakni pemerintahan.

Jadi di Roma 13:1, dikatakan bahwa: "Pemerintah berasal dari Allah dan tidak ada pemerintahan yang tidak ditetapkan oleh Allah." Artinya Allah turut campur tangan dalam pembentukan, dalam penghadiran sebuah pemerintahan, demikian pula Allah itu campur tangan dalam pernikahan. Nah ini sesuatu yang kita mesti sadari sebab kadang kala kita melihat pernikahan itu sebagai suatu fenomena manusiawi antara saya dan orang yang saya kasihi, dan kedua orang ini kemudian menjalin sebuah hubungan dalam pernikahan, tidak. Ternyata Alkitab menegaskan bahwa Allah itu campur tangan maka di katakan di Matius 19:6, "Karena itu apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia." Menarik sekali Allah menegaskan bahwa Dialah yang menyatukan orang untuk akhirnya tertarik kepada satu sama lain dan membangun sebuah pernikahan.
GS : Apakah hal itu termasuk juga kalau pernikahan itu adalah pernikahan yang dijodohkan oleh orang tua?

PG : Alkitab mengatakan bahwa pernikahan itu dipersatukan oleh Allah dan tidak ada penjelasan yang lainnya, boleh kita katakan ya. Ternyata kalau itu terjadi, itu terjadi dalam izin Allah. Bhwa entah mengapa Allah mengizinkan kedua orang itu akhirnya menikah dalam suatu saat.

Tapi Pak Gunawan, saya kira kita perlu memberikan penjelasan sedikit tentang hal ini sebab kalau tidak, kita akan masuk dalam sebuah pola pikir yang sangat pasif bahwa semua pernikahan betapa pun buruk dan sebagainya sudah pasti itu adalah dalam kehendak Allah. Saya ingin juga memberikan keterangan di sini, bahwa manusia itu juga bisa keliru dan bisa membuat kesalahan. Jadi adakalanya dalam memilih bidang studi kita keliru memilihnya, memilih pekerjaan kita bisa keliru memilihnya. Apakah kita bisa keliru memilih pasangan hidup kita? Sudah tentu bisa. Adakalanya kesalahan itu baru kita sadari setelah kita menikah dan kita menyesali pilihan kita itu. Nah kekeliruan bisa terjadi namun sekali lagi entah mengapa Tuhan menegaskan bahwa meskipun telah terjadi kekeliruan, tapi Allah terlibat di dalamnya, ada faktor Tuhan yang terlibat dalam pembentukan sebuah pernikahan. Nah saya mau melihat hal ini sebagai sesuatu yang positif yaitu betapa buruk pun pernikahan kita sekarang ini ternyata tetap ada Allah yang melihat dan mau menolong kita asalkan kita sekali lagi melibatkan Allah di dalam pernikahan kita ini. Jadi saya tidak mau kita ini berkubang dalam penyesalan, kenapa saya menikah dengan dia, saya mau kita ini justru melangkah ke depan setelah mendengar firman Tuhan yang berkata: Apa yang telah dipersatukan oleh Allah bahwa Allah itu terlibat, kita melihatnya secara positif ke depan bahwa Allah terlibat. Jadi Allah akan mau menolong kita untuk bisa keluar dari kemelut ini, faktor Allah faktor yang tidak bisa diabaikan dalam sebuah pernikahan Kristen.

ET : Bagaimana halnya kalau misalnya salah satu pasangan itu meninggalkan Pak Paul, misalnya selingkuh kemudian memilih untuk menikahi orang yang lainnya?

PG : Saya kira dalam kasus seperti itu tadi saya telah bahas bahwa dalam kasus seseorang tidak lagi menjalankan peran, tidak lagi menunaikan tanggung jawabnya untuk memelihara pernikahan diasudah memutuskan ikatan nikah itu.

Saya berpendapat pengadilan sebetulnya tidak menceraikan pernikahan, pengadilan mengesahkan sesuatu yang memang sudah terjadi. Yang menceraikan adalah orang yang tidak mau bertanggung jawab untuk menunaikan kewajiban dalam pernikahan dia sudah menceraikan pernikahan itu, waktu dia tidak lagi menjalani tugasnya. Nah apa hubungannya dengan Allah berarti dia adalah orang yang telah juga mengingkari janjinya kepada Allah. Sebab faktor Allah terlibat dalam pernikahan menandakan bahwa kita bukan hanya berjanji pada pasangan kita tapi kita berjanji kepada Allah bahwa kita mau setia, mau menjaga pernikahan ini. Sewaktu kita berselingkuh akhirnya kita ini mempunyai istri yang kedua atau simpanan yang lain, kita mengingkari janji kita kepada Allah ini yang harus disadari oleh manusia bahwa sekali lagi pernikahan bukanlah melulu atau hanya perkara atau relasi antara dua orang, tapi ini adalah sebuah relasi di mana Allah hadir di dalamnya. Konsep ini menarik sekali sebab Alkitab tidak mengatakan yang sama dalam hubungan kita dengan orang lain, misalkan dengan teman kita, dengan sahabat kita, tidak ada ayat yang mengatakan bahwa Allahlah yang mempersatukan kita dan teman kita atau sahabat kita. Tapi dalam kasus pernikahan, Tuhan secara khusus mau menegaskan bahwa Dia terlibat, untuk hal yang sepenting ini Dia terlibat. Jadi orang tidak boleh sembarangan memperlakukan pasangannya, sewaktu dia mulai sembarangan memperlakukan pasangannya dia sebetulnya sembarangan memperlakukan Tuhan karena Tuhan hadir dalam pernikahannya.
GS : Apakah ada karakteristik pernikahan yang lain Pak Paul selain itu?

PG : Yang berikutnya lagi adalah pernikahan dimaksudkan Tuhan menjadi perlambangan kekekalan di tengah-tengah ketidakkekalan di dunia ini. Kita tahu tidak ada yang kekal dalam dunia ini, namn di antara yang tidak kekal itu Tuhan menetapkan lembaga pernikahan sebagai sesuatu yang bersifat kekal.

Maka firman Tuhan berkata di Matius 19:9, "Barangsiapa menceraikan istrinya kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain dia berbuat zinah." Menarik sekali firman Tuhan ini, bagaimanakah mungkin kita yang misalkan telah menceraikan istri kita kemudian menikah lagi dikatakan berzinah. Bukankah kita telah dengan sah menceraikan istri kita kenapa dikatakan zinah kalau kita mempunyai istri yang lain setelah kita bercerai. Kita hanya bisa memaknai ayat ini dalam pengertian bahwa Tuhan menganggap pernikahan itu kekal, itu sebabnya waktu kita menikah dengan orang lain, Tuhan melihat itu sebagai sebuah perzinahan. Jadi sekali lagi saya mau tekankan, di mata Tuhan pernikahan itu Tuhan desain untuk menjadi sesuatu yang kekal dan permanen. Begitu permanennya sehingga meskipun orang itu akhirnya menikah dengan orang lain setelah dia bercerai, Tuhan berkata dia berzinah. Nah sekali lagi Tuhan mau menekankan bahwa pernikahan itu permanen, nah itu sebabnya orang yang hendak menikah harus menyadari konsep ini dengan baik. Pernikahan bukanlah baju yang bisa dipakai kemudian tidak suka boleh dibuang, pernikahan bukanlah rumah yang kita tempati kemudian kita bisa menjual kembali. Pernikahan adalah sebuah ikatan, perjanjian yang bukan saja eksklusif tapi dimaksudkan Tuhan untuk menjadi sesuatu yang permanen, selamanya.
GS : Berarti hubungan atau relasi antara suami dan istri ini dua orang ini menjadi sangat khusus sekali Pak Paul?

PG : Betul, karena tidak ada hubungan yang lain yang dimaksudkan Tuhan menjadi begitu permanennya. Bahkan tadi dikatakan atau kita sudah membaca ayatnya, laki-laki akan meninggalkan ayahnya an ibunya, Alkitab tidak pernah berkata laki-laki meninggalkan istrinya, tidak pernah.

Justru orang meninggalkan orang tuanya menjadi satu dengan istri, tapi tidak ada ayat yang berkata suami meninggalkan istrinya, tidak itu harus permanen.
GS : Dengan apaakah atau bagaimanakah eratnya hubungan itu digambarkan oleh Tuhan Pak Paul?

PG : Digambarkan oleh Tuhan itu sebetulnya sebagai satu daging. Bagaimanakah dua orang itu menjadi satu daging itu menjadi penggambaran yang sangat-sangat akrab, satu daging bukan lagi dua dn tidak bisa lagi dipisahkan karena keduanya menjadi satu daing.

GS : Adakah karakteristik yang lain dari pernikahan?

PG : Yang ketiga adalah relasi suami dan istri menjadi contoh konkret relasi antara Allah dan manusia. Firman Tuhan di Efesus 5:25-27 berkata : "Hai suami, kasihilah istrimu sebgaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.

Untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela," ini adalah tugas suami. Tugas istri Efesus 5:22-23, Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh." Dengan kata lain hubungan suami-istri seyogyanya melambangkan atau mencontohkan dengan konkret hubungan antara Allah dan manusia. Dan tidak ada hubungan lain yang didisain lain untuk mencontohkan dengan konkret hubungan antara Allah dengan manusia selain dari hubungan suami-istri ini. Suami harus mengasihi istri dengan penuh pengorbanan dan merawat istrinya dengan begitu halus dan lembut, sehingga dikatakan menjadi kudus dan tidak bercela sebagaimana Allah memelihara kita. Dan istri diminta Tuhan menghormati dan tunduk kepada suaminya sama seperti kepada Tuhan. Jadi sekali lagi pernikahan dimaksudkan Tuhan menjadi perlambangan bagaimanakah Tuhan bersikap kepada kita dan kita bersikap kepada Tuhan.
(3) GS : Pak Paul, kalau kita sudah membicarakan tentang konsep-konsep yang benar sesuai dengan Alkitab, sesuai dengan firman Tuhan sendiri, apakah masih ada konsep-konsep yang keliru yang ada di dalam kehidupan sehari-hari itu Pak?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan dan Ibu Esther, yang pertama adalah adanya anggapan bahwa pernikahan merupakan puncak dari sebuah gunung yang disebut cinta. Jadi seolah-olah setelah kita mencitai, mencintai, puncaknya adalah pernikahan itu tidak salah, tapi tidak lengkap.

Memang pernikahan itu sebaiknya dan seharusnya didirikan di atas cinta tapi pernikahan bukan hanya puncak dari cinta, pernikahan sebuah ikatan, sebuah perjanjian bukan hanya sebuah cinta.

ET : Kalau sudah sampai pada puncak gunung bisa turun berarti Pak Paul ya?

PG : Sampai puncak gunung takutnya turun, sebab kalau cintanya turun berarti ya saya harus turun gunung juga, jadi pernikahan lebih dari sekadar puncak cinta. Kedua ada konsep bahwa pernikahn adalah wadah penyaluran hasrat seksual, itu adalah efek atau keuntungan yang bisa kita raih dalam pernikahan kita bisa berhubungan seksual.

Tapi jangan sampai orang mempunyai anggapan o....saya menikah sebab saya ingin mempunyai seorang rekan, partner di mana saya bisa berhubungan seksual dengan dia, o...pernikahan jauh lebih dalam dan agung dari pada itu.

ET : Tapi saya pernah mendengar ada orang mempunyai konsep ini katanya didasarkan oleh pandangan Paulus yang mengatakan, kalau memang tidak bisa menahan diri, tidak bisa menahan hawa nafsu lbih baik menikah jadi mereka menggunakan alasan ini Pak Paul.

PG : Paulus mengatakan itu memang tidak dalam konteks menjelaskan tentang pernikahan. Dia menjelaskan pernikahan dengan begitu terinci di Efesus 5:25-33 itu. Nah yang Paulus katakan di I Korntus yang tadi Ibu Esther sudah kutib maksudnya adalah kita harus menjaga kekudusan kita.

Nah ada orang yang mungkin ingin menikah tapi berkata saya mau menjaga kekudusan saya tidak mau menikah, nah mungkin sekali dia sudah mencintai seseorang tapi akhirnya karena mau menjaga diri dan tidak mau menikah nah Paulus berkata menikahlah, tidak apa-apa menikah, jadi dalam konteks tidak ada salahnya menikah silakan. Tapi bukannya itu menjadi motif utama kenapa kita menikah.
GS : Tetapi ada yang mengatakan dengan menikah lalu dia tidak bisa bebas lagi Pak Paul.

PG : Ya itu adalah yang tadi saya katakan, pernikahan sebuah ikatan yang eksklusif jadi tidak bisa memperlakukan orang sama seperti dia memperlakukan pasangannya.

GS : Pengertian yang keliru tentang pernikahan, apa lagi Pak Paul?

PG : Yaitu pernikahan sebagai wahana untuk memperoleh keturunan, ada orang yang begitu dan ada budaya yang begitu juga. Ya tidak punya anak dari istri pertama pilihlah istri kedua atau istriketiga supaya punya keturunan.

Tidak pernah Tuhan berkata pernikahan adalah satu-satunya wadah untuk memperoleh keturunan. Mempunyai keturunan atau tidak adalah hak preriogatif Tuhan, kita menikah karena kita mau mengikatkan diri kita dan mengikatkan diri dalam perjanjian dengan pasangan kita, itu intinya. Mempuyai anak atau tidak itu adalah bagian dari kehendak dan rencana Tuhan untuk hidup kita.
GS : Jadi ada orang yang beralasan bercerai karena tidak punya keturunan bagaimana Pak?

PG : Itu sangat salah karena memang itu tidak menjadi syarat untuk kita menikah bahwa harus punya anak baru menikah, itu tidak pernah menjadi syarat dari Tuhan. Dan yang terakhir adalah konsp bahwa pernikahan sebagai pemuas dahaga manusia akan kebahagiaan.

Ada orang yang beranggapan saya mau menikah karena saya tidak bahagia, saya menikah supaya saya bahagia, nah ini juga keliru. Pernikahan bukanlah pemuas kedahagaan kita akan kebahagiaan, sekali lagi pernikahan adalah sebuah perjanjian dan sebuah ikatan di mana kita bersama dengan pasangan kita melewati segala fase kehidupan yang menggembirakan dan yang tidak menggembirakan.
GS : Ada orang yang menikah dengan alasan supaya kehidupannya lebih terjamin itu Pak Paul?

PG : Ada, jadi memang pernikahan dianggap sebagai sebuah asuransi kehidupan, itu juga keliru Pak Gunawan. Pernikahan bukannya sebuah peningkatan kesejahteraan hidup atau asuransi kehidupan, idak.

Pernikahan adalah sebuah ikatan dan sebuah perjanjian di mana Tuhan hadir di dalamnya.
(4) GS : Dari perbincangan kita selama dua sesi ini Pak Paul mungkin ada suatu prinsip yang sangat penting dalam pernikahan Pak Paul?

PG : Prinsipnya adalah barangsiapa memberi dia akan menerima, nah saya kira ini perlu dicamkan oleh kita semua. Banyak di antara kita yang datang, masuk ke pernikahan mengharapkan untuk meneima dan tidak memikirkan untuk memberi.

Ini adalah awal dari perpecahan dalam pernikahan. Pernikahan hanya bisa dipelihara dengan cara masing-masing memberi. Saya mengatakan pada para pemuda-pemudi yang belum menikah dan ingin menikah seperti ini, mungkin bagi saudara pada saat memilih pasangan saudara berkata : Aduh susah benar memilih pasangan hidup, tapi sebetulnya yang tersusah bukan bagian memilih pasangan, yang tersusah adalah bagian mempertahankan pernikahan itu. Memilih pasangan hidup memang tidak terlalu mudah tapi yang lebih susah adalah mempertahankan pasangan hidup kita itu supaya tetap mencintai kita dan kita mencintai dia dan bersatu dalam pernikahan.

GS : Ya Pak Paul, terima kasih sekali untuk perbincangan yang sangat menarik dan sangat bermanfaat di dalam acara Telaga, dalam dua sesi kita sudah berbincang-bincang cukup banyak tentang memahami pernikahan ini, jadi terima kasih sekali Pak Paul dan juga Ibu Esther bersama-sama dengan kami. Dan para pendengar sekalian kami ucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memahami Pernikahan" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



27. Mengapa Kita Menikah Pria


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T133A (File MP3 T133A)


Abstrak:

(Materi ini diambil dari hasil rekaman khotbah Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam suatu acara retreat.) Sebagai salah satu prasyarat agar pernikahan diberkati atau berbahagia, sebagai suami, Tuhan meminta kita mengasihi istri. Apa artinya mengasihi istri, materi ini akan memberikan pengertian kepada kita tentang apa itu mengasihi istri.


Ringkasan:

Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini juga bersama Ibu Wulan, S.Th. akan menghadirkan kehadapan para pendengar yang kami kasihi, sebuah rekaman khotbah dari Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kali ini rupanya kita bukan melakukan suatu perbincangan, tetapi mendengarkan sebuah rekaman. Tapi sebelumnya Pak Paul, apakah Pak Paul bisa memberikan sedikit latar belakang mengenai rekaman ini?

PG : Rekaman ini diambil pada suatu retreat yang diselenggarakan oleh Pelangi Kristus di Surabaya. Judulnya adalah tugas suami yang akan kita bahas nanti. Jadi kita akan melihat firman Tuhan, aa yang firman Tuhan katakan tentang tugas seorang suami.

Nah, mudah-mudahan pada akhirnya dapat meluangkan waktu sedikit untuk membicarakannya.
GS : Terima kasih Pak Paul, dan para pendengar sekalian kita ikuti bersama rekaman yang berikut ini.

Pdt.Dr.Paul Gunadi

Saudara sekalian untuk apakah kita menikah, mengapakah kita menikah? Mungkin sebagian dari kita berkata bahwa kita menikah karena kita mencintai istri kita dan suami kita. Namun saudara, itu adalah alasan kita sebagai manusia kenapa kita menikah. Di mata Tuhan, mengapakah kita menikah mempunyai satu jawaban yang sangat-sangat indah. Kita menikah, sebab Tuhan hendak memberkati kita melalui pernikahan itu. Saudara, Tuhan bisa memberkati kita dengan berbagai cara, tapi salah satu berkat Tuhan yang bisa Tuhan berikan kepada anak-anakNya adalah berkat pernikahan. Ada suatu berkat tersendiri yang bisa kita miliki melalui berkat itu, berkat pernikahan. Jadi Saudara, dengan kata lain Tuhan benar-benar ingin memberkati kita melalui pernikahan ini.

Nah Saudara, apakah artinya berkat. Berkat berasal dari satu kata yang sangat sederhana yaitu sukacita. Maka kalau Saudara membaca kitab, misalnya Matius 5 yakni khotbah di atas bukit, kata yang digunakan adalah berbahagialah. Namun sesungguhnya Saudara, kata berbahagia itu diterjemahkan di dalam bahasa Inggrisnya "Blessed" diberkatilah. Jadi kita bisa melihat bahwa memang kata berkat atau diberkatilah bermakna sama dengan berbahagialah. Jadi Saudara, kalau kita simpulkan kenapakah kita menikah. Kita menjawab, karena Tuhan ingin memberkati kita melalui pernikahan ini. Kita boleh berkata dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan menghendaki kita berbahagia melalui dan di dalam pernikahan ini. Itulah asal tujuan yang asli dari pernikahan itu sendiri. Tuhan ingin melimpahkan kebahagiaan di dalam hidup kita melalui istri dan suami kita. Tapi Saudara, untuk bisa mencapai berkat atau kebahagiaan yang Tuhan janjikan bagi pernikahan kita, kita mesti hidup di dalam kehendak-Nya. Kalau kita tidak hidup di dalam kehendakNya, mustahil kehendak atau tujuan mulia dari pernikahan itu digenapi dalam hidup pernikahan kita. Inilah yang menjadi penyebabnya kenapa sebagian dari anak-anak Tuhan tidak mempunyai pernikahan yang diberkati atau tidak bisa mencicipi pernikahan yang membahagiakannya. Alasannya adalah karena kita tidak hidup sesuai dengan kehendakNya. Saudara, malam hari ini saya mengajak kita semua kembali merenungkan dan belajar kehendak Tuhan untuk kita sebagai pasangan Kristen. Saudara, saya akan gunakan istilah janji untuk menguraikan perintah Tuhan atau kehendak Tuhan bagi kita semuanya. Saudara, inilah janji suami yang saya ambil dari firman Tuhan di Efesus 5. Yang pertama adalah sebagai suami seharusnyalah kita berjanji untuk mengasihi istri kita, sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaatNya. Saudara, ini adalah salah satu prasyarat agar pernikahan kita diberkati atau berbahagia. Sebagai suami, Tuhan meminta kita mengasihi istri kita. Saudara, apakah artinya mengasihi. Saya dulu berpikir mengasihi berarti memberitahukan istri saya, saya mengasihi dia, ternyata itu tidak cukup. Ternyata saya pelajari, kasih tidak berdiri di dalam kefakuman. Saya belajar bahwa kasih berdiri di dalam perbandingan. Artinya, saya hanya bisa mengatakan saya mengasihi istri saya, jika saya memperlihatkan atau membuktikan bahwa didalam perbandingan dengan orang lain, saya lebih mengasihi dia. Saudara, kasih mengandung unsur perbandingan. Jadi kasih mengandung unsur mengutamakan atau mendahulukan. Saudara, mustahillah kita bisa berkata bahwa kita dikasihi oleh pasangan kita, tapi pasangan kita jauh lebih sering mendahulukan orang lain daripada kita. Itulah akhirnya yang saya pelajari dalam pernikahan saya. Saya tidak cukup berkata kepada istri saya: "saya mengasihimu". Saya mesti menunjukkan kepadanya, bahwa dibandingkan dengan orang lain, saya lebih mendahulukan engkau. Di saat itulah istri saya baru mengerti bahwa saya mengasihi dia. Saudara, tidak selalu istri kita menunjukkan ketidak-senangan, dengan dia banyak menuntut kita agar terus-menerus lebih mendahulukan dia, di atas orang lain, pelayanan atau pekerjaan atau anak atau mertuanya. Saya menemukan kebanyakan wanita akan puas, kalau saja secara berkala dia melihat bahwa suaminya mendahulukannya. Saudara, misalkan saya berikan suatu contoh, saya seharusnya pergi ke suatu tempat pada hari itu. Tapi saya melihat bahwa sebetulnya istri saya ingin sekali saya berada di rumah dengannya. Saudara, saya menimbang-nimbang pergi-jangan, pergi-jangan, pergi-jangan, akhirnya saya memutuskan untuk tidak pergi. Istri saya terkejut dan berkata: kenapa? Saya berkata: ya tidak apa-apa, saya mau diam di rumah saja dengan kamu. Saudara, apakah setiap kali saya harus pergi, istri saya menahan saya, tidak. Tapi secara sekali-sekali, secara berkala. Sewaktu saya melakukan hal seperti itu, dia diyakinkan bahwa di atas semua orang, dialah yang paling-paling saya utamakan di dalam hidup saya. Saudara mungkin berkata, bukankah kita harus mengutamakan orang tua kita? tidak Saudara. Alkitab tidak pernah memerintahkan suami untuk bersatu kembali dengan orang tuanya. Alkitab meminta suami meninggalkan orang tuanya, bersatu dengan istrinya. Anak dibesarkan oleh orang tua untuk berpisah bukan menyatu. Tapi dua orang pria dan wanita menjadi pasangan suami istri untuk menyatu bukan untuk berpisah. Nah, jadi Saudara, kasih adalah menunjukkan dia paling utama dalam hidup kita. Dan sekali lagi, saya ingin memberikan penghiburan kepada kita yang kaum pria. Jangan takut istri akan menguasai. Menjaga Saudara menuntut tidak ada habis-habisnya, tidak demikian. Justru saya temukan, sewaktu kita memberikan kasih yang cukup kepadanya, dia semakin aman, dia semakin tenteram dan dia semakin tidak banyak menuntut. Justru istri yang merasa tidak amanlah yang terus menuntut suaminya memberikan lebih banyak kasih kepadanya. Itu yang Tuhan minta dari kita sebagai suami. Yang kedua, Tuhan meminta suami untuk menyerahkan diri kita kepadanya dan menanggalkan ego kita. Saudara, Firman Tuhan dengan jelas berkata seperti itu, menyerahkan diri dengan cara seperti apa saudara, menanggalkan ego kita, itu saya ambil dari Filipi pasal 2. Saudara, Tuhan meminta suami menyerahkan dirinya kepada istri. Wah, ini hal yang sedikit menakutkan bagi para suami. Saya tidak mau dikuasai istri saya, saya tidak mau menjadi budak istri saya, saya tidak mau menjadi anak kecil di mata istri saya. Tuhan berkata seperti Yesus Kristus mengasihi jemaatNya dan menyerahkan hidupnya dan jemaat-Nya. Jadi kita perlu menyerahkan diri kita kepada istri kita. Saudara, ini hal yang sedikit sulit. Jangan terlalu berbicara panjang-panjang Saudara. Saya langsung saja mengatakan "to the point", Seberapa banyak dari Saudara yang berani terbuka memberitahukan istri Saudara, berapa penghasilan Saudara. Saya tahu sebagian suami tidak pernah mau memberitahukan istrinya berapa penghasilannya. Bagaimanakah menyerahkan diri, kalau uang saja tidak menyerahkannya kepada si istri. Saudara, menyerahkan diri bukan hal yang mudah bagi pria. Pria mempunyai ego yang kuat, dan memang Tuhan meminta pria sebagai Pemimpin, kepala keluarga. Wow......bagaimanakah sebagai kepala, saya menyerahkan hidup saya, diri saya, kepada istri saya. Justru Tuhan meminta kita menyerahkan diri Saudara. Menyerahkan atau menanggalkan ego kita. Saya ambil ini dalam Filipi 2 saudara. Sebab Tuhan Yesus tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sesuatu yang harus dipertahankan, tapi Dia mengosongkan diriNya menjadi manusia. Itulah cara Tuhan mengasihi kita. Mengosongkan diri. "Diri" dalam bahasa Yunaninya itu "ego". Mengosongkan ego. Mungkin saya pernah cerita kepada saudara ya, pengalaman saya beberapa tahun yang lalu. Saya bertengkar dengan istri saya. Malam itu kami bertengkar hebat sekali, waktu kami di Jakarta dan kami tidak tidur bersama. Dia ke kamar anak-anak saya, saya di kamar saya. Saya mencoba tidur, saya tidak bisa tidur karena apa, firman Tuhan dari Filipi 2 mengiang-ngiang di telinga saya. "Paul, engkau mengasihi istrimu, engkau harus menanggalkan egomu, datanglah kepada dia, berdamailah pada dia". " Tidak mau Tuhan, dia yang salah dia harus minta maaf dulu." "Paul, tanggalkan egomu, hampiri dia, berdamai dengan dia", Tidak mau Tuhan, sebentar-sebentar saya dulu yang minta maaf, sebentar-sebentar saya dulu yang minta maaf. Sekarang harus dia, ingat-ingat saya, kok dari dulu saya saja yang minta maaf. sekarang dia yang harus minta berdamai." "Paul, engkau sudah khotbahkan ini, sekarang engkau lakukan," (aduh, makanya jangan sembarangan khotbah, Saudara), Firman Tuhan menegur kita yang pernah mengkhotbahkan itu. Saya akhirnya tidak bisa tidur Saudaraku, bukan karena mau taat. Saya terus diganggu oleh firman Tuhan. Saya menaati Tuhan, sehingga saya ke kamar anak saya. Saya melihat istri saya, duduk di lantai dan menangis. Saya hampiri dia, karena saya tidak punya lagi perasaan marah. Kemarahan tiba-tiba hilang semua. Saya mulai merangkulnya dan saya berkata, "Siang" "saya tidak apa-apa", "saya tidak apa-apa". Kami baikan lagi. Besok paginya baikan lagi, besok paginya baikan lagi. Sekarang kalau ditanya apa sih masalahnya saat itu, tidak ingat Saudara. Tapi saat itu rasanya perang dunia ke II bisa meledak lagi di rumah karena begitu besarnya masalah saat itu, tapi sekarang sudah lupa.

Saudara, perlu keberanian untuk menanggalkan ego sebagai pria. O......Saudara, Tuhan meminta pria menjadi pemimpin melalui satu cara yang sangat-sangat dramatis dan paradoks, berlawanan dengan cara dunia, bukan menguasai, tapi menyerahkan diri. O.....betapa kelirunya kita para pria ini, kita sudah begitu dirasuki oleh budaya bahwa kita sebagai pemimpin harus menguasai yang menjadi bawahan kita, ya 'kan? O....tidak pernah Tuhan berkata begitu, Tuhan memang menempatkan kita sebagai kepala, tapi bagaimanakah kita mengepalai tubuh ini dengan cara menyerahkan diri, menanggalkan ego. Kita berkata: "ah......susah itu Paul", "betul susah", "ah....tidak mungkin itu Paul". "Mungkin", harus dilewati satu pergumulan, demi satu pergumulan. Saya melihat Saudara, banyak pernikahan dihalangi oleh satu hal, satu kata, "gengsi". Itu salah satu racun pernikahan, "gengsi". Nah, sebagai kepala yang Tuhan tetapkan, Tuhan meminta kita sebagai suami menanggalkan ego, mengosongkan ego, menyerahkan diri, rela. Kalau Saudara rela, inilah jalan menuju kehidupan pernikahan yang diberkati, yang berbahagia.

Berikutnya Saudara, Tuhan meminta kepada suami untuk menguduskannya agar ia menjadi istri yang kudus dan tidak bercela. Saudara, Tuhan meminta suami bukan saja mengasihi, bukan saja menyerahkan dirinya. Tuhan meminta suami bertanggung jawab menguduskan istrinya, sehingga istrinya tidak bercacat cela, sempurna. Saudara, Alkitab menggunakan metafor, persembahan. Tuhan memerintahkan orang Israel memberi persembahan yang tanpa cacat. Tidak boleh yang matanya copot, yang kakinya patah, tidak Tuhan meminta umat Israel memberikan persembahan hewan yang terbaik, tanpa cacat. Nah, seolah-olah itulah yang Tuhan minta dari suami. Agar suami bisa mempersembahkan kepada Tuhan istrinya. Nah, Saudara harus ingat baik-baik bahwa nanti di sorga persembahan Saudara yang Tuhan akan tuntut adalah bukan uang, tapi istri Saudara. Bisa tidak kita sebagai suami membawa persembahan yang adalah istri kita tanpa cacat ataukah kita di sorga membawa istri kita yang babak belur, yang hitam legam, yang benjut-benjut, yang penuh luka-luka, yang matanya sembab-sembab karena terlalu sering menangis. Persembahan seperti apakah yang kita akan bawa kepada Tuhan nanti. Saudara, saya berharap kita membawa persembahan istri yang tanpa cacat, yang tidak ada sembab-sembab, babak belur, sempurna. Kenapa? Sebab dia istri yang kita kuduskan, kita jaga. Saudara, kata kudus mengandung arti memisahkan, mengistimewakan, menjaganya, melindunginya sehingga dia terpisah tidak terkena kotoran. Saudara, itulah tugas kita sebagai suami. Saya berharap kita tidak akan malu di sorga mempersembahkan istri kita nanti sebab kita akan membawa istri yang tanpa cacat, yang hatinya tetap bulat bukan terobek-robek oleh karena perbuatan kita.

WL : Pak Paul, kalau saya berpikir banyak wanita dan istri-istri mendengarkan khotbah barusan dari Pak Paul ya, pasti mengidam-idamkan pria atau suami yang seperti Pak Paul jelaskan tadi begitu. Nah, tadi saya berpikir itu bagaimana mengantisipasi untuk dapat suami seperti itu. Apakah sejak pacaran kira-kira, o......ada tipe-tipe tertentu atau kita sudah bicarakan dulu. Kira-kira hal-hal seperti ini yang memang Alkitab tuntut, seperti apa sih Pak Paul?

PG : Bu Wulan, saya sering kali memberikan satu pegangan kepada para kawula muda, bagaimanakah memilih pasangan hidup. Saya berkata carilah seseorang yang mencintai Tuhan dan yang mencintai dirmu.

Sebab waktu seseorang mencintai Tuhan dengan segenap hatinya, dia akan rela mendengarkan Tuhan. Kita semua masih dalam tahap pertumbuhan, kita belum mencapai kematangan tapi modalnya adalah bersediakah kita belajar. Ada orang yang keras hati tidak bersedia belajar, ada orang yang cinta Tuhan dan bersedia belajar. Nah, kita cari yang seperti itu. Dan yang mencintai diri kita, artinya karena dia mencintai diri kita, dia juga rela mendengarkan kita, rela untuk melakukan sesuatu bagi kita pula. Jadi saya kira itu pedoman umum, sederhana mudah-mudahan bisa dititipkan kepada para pendengar kita waktu mereka bertemu dengan orang-orang dan nantinya mereka mungkin akan menikah dengan mereka.
WL : Tapi realitanya Pak Paul, di dalam kehidupan sehari-hari, dia mengatakan dia cinta Tuhan. Tapi realita kehidupan suami-istri, tidak seindah seperti yang tadi Pak Paul jelaskan. Apalagi mendengar kesaksian yang Pak Paul alami sendiri dengan istri. Terus bagaimana firman Tuhan begitu menegur, akhirnya Pak Paul ya "mengalah" terhadap otoritas firman Tuhan itu begitu. Apakah karena memang label Pak Paul sebagai hamba Tuhan, itu tadi yang Pak Paul juga tekankan 'kan makanya jangan sembarangan khotbah begitu". Apakah berarti, kalau begitu kita cari pasangan yang hamba Tuhan sajalah, kan lebih aman. Apakah orang awam tidak bisa seperti itu, atau hamba Tuhan itu jaminan atau bagaimana Pak Paul?

PG : Tidak ada jaminan. Kita semua sebagai anak-anak Tuhan harus bergumul. Saya tidak selalu menang. Jadi kita atasi satu pergumulan, demi satu pergumulan. Adakalanya kita kalah, adakalanya kit menang.

Tapi kita berusaha ya untuk taat kepada Tuhan. Nah, saya sangat percaya bahwa di dalam hidup kita, kita memiliki Tuhan dan kalau kita mendengarkan suara Tuhan, Tuhan akan hidup melalui diri kita. Nah, waktu Tuhan hidup melalui diri kita, dan Tuhan hidup melalui diri pasangan kita, tidak bisa tidak ya, kedua orang itu akan makin menyatu dan kehidupan mereka akan makin diberkati pula.
GS : Sebenarnya setiap suami itu punya tekad awal itu seperti yang tadi Pak Paul sampaikan dalam ceramah itu. Tapi dalam perjalanan memang tadi Ibu Wulan katakan realitanya tidak seindah itu Pak Paul. Jadi ini pergumulan terus-menerus mungkin sampai mati pun belum tentu mencapai ideal itu. Tetapi saya melihat ada satu target, ada satu pedoman yang harus dicapai dari kebenaran firman Tuhan, bukan begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, dan ini nasihat yang bisa menghibur kita semua. "Semakin taat kita kepada Tuhan, semakin lebih mudah taat. Semakin kita bisa taat dalam lebih banyak aspek keidupan kita.

Jadi benar-benar, saya mengutip perkataannya Richard Foster, kepatuhan melahirkan kepatuhan. Semakin kita patuh, lebih mudah patuh. Nah, maka awalnya itu penting sekali kita menunjukkan kita patuh kepada Tuhan. Kita kadang-kadang gengsi dengan pasangan kita, tapi kita tahu ini Tuhan yang meminta kita, jadi kita mungkin bisa berkata kepada pasangan kita, kalau menuruti hati, tidak akan saya berbicara, tetapi saya tahu, saya harus menaati Tuhan. Tuhan menuntut saya untuk berinisiatif, berbicara dulu dengan kamu, maka saya ngomong. Nah, waktu istri melihat suami taat kepada Tuhan seperti itu, yang akan muncul dalam dirinya adalah hormat kepada suaminya, sebab dia tahu suaminya takut kepada Tuhan. Dan suami yang seperti inilah suami yang saleh dan dia lebih mendengarkan suami yang saleh.
GS : Tadi yang Pak Paul bahas, yang disampaikan tadi kan menyoroti sisi suami, Pak Paul. Apakah Pak Paul juga akan bahas dari menyoroti sisi istri itu Pak Paul.

PG : Ya, jadi nanti kita akan melanjutkan lagi diskusi kita Pak Gunawan dan kita akan dengarkan tugas istri yang Tuhan sudah juga titipkan kepada kita.

GS : Terima kasih, Pak Paul juga Ibu Wulan terima kasih. Para pendengar sekalian tentu kita berharap Anda bisa mengikuti acara Telaga ini pada kesempatan yang akan datang karena kami akan mendengar rekaman ceramah lagi dari Pak Paul yang ditinjau dari sisi istri. Dan ini menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi kehidupan suami-istri. Para pendengar yang kami hormati, terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Anda baru saja mendengarkan sebuah rekaman ceramah dari hamba Tuhan ini. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang



28. Mengapa Kita Menikah Wanita


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T133B (File MP3 T133B)


Abstrak:

(Materi ini diambil dari hasil rekaman khotbah Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam suatu acara retreat.) Tugas seorang istri mengandung sebuah janji yaitu berjanji untuk tunduk kepada suami seperti tunduk kepada Tuhan.


Ringkasan:

Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. kita akan bersama-sama mendengarkan sebuah rekaman, rekaman ceramah yang dibawakan oleh Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Pemutaran ulang rekaman ini merupakan suatu kelanjutan dari pemutaran rekaman beberapa waktu yang lalu, jadi kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah bersama-sama mendengarkan diputarnya rekaman ulang yang Pak Paul sampaikan dalam bentuk ceramah, tetapi waktu itu hanya membahas tentang peran suami. Nah kali ini tentang apa, Pak Paul?

PG : Kali ini kita akan melanjutkan dengan membahas peranan istri yaitu kita akan melihat Alkitab, apa yang firman Tuhan katakan kepada para istri, apa yang harus mereka perbuat untuk suami merka.

GS : Sebenarnya ini rekaman ceramah di mana Pak Paul?

PG : Di Pelangi Kristus, di sebuah retreat pada tahun 2002 di Surabaya.

GS : Apakah pada waktu itu banyak pasangan suami-istri yang ikut hadir di sana?

PG : Betul, memang itu khusus untuk para suami-istri.

GS : Jadi kalau begitu baiklah para pendengar sekalian, kita ikuti saja rekaman ceramah dari Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi.

Pdt. Dr. Paul Gunadi

Nah sekarang mari kita melihat tugas istri, supaya istri tidak kecewa jauh-jauh hari saya beritahukan, ternyata tugas istri tidak sebanyak tugas suami. Saudara, ini tugas yang dalam bentuk janji, saya berjanji untuk tunduk kepada suami saya seperti kepada Tuhan. Saudara menundukkan diri merupakan kesusahan tersendiri bagi para istri, kenapa? Sebab istri adalah rekan, mitra, istri bukanlah pesuruh suami dan semua istri tahu itu, oleh karena itulah menundukkan diri kepada rekan menjadi sangat susah sebab dia bukanlah atasan kita, kita tahu itu, dia bukanlah yang menggaji kita, kita tahu itu, dia adalah rekan kita jadi susah untuk tunduk kepadanya. Saudara, kita susah tunduk juga sebab kadang kala kita melihat tindakannya tidak bijaksana, otomatis kalau kita tahu suami kita melakukan hal yang sangat tidak bijaksana dan bisa menghancurkan keluarga kita, penundukan kita juga harus berakhir. Misalkan saudara kalau suami kita menipu-nipu orang, ke kanan-ke kiri menipu koleganya satu persatu, nah saudara sebagai istri sudah seyogyanyalah kita tidak mendukung dia dan tunduk kepadanya. Misalkan kalau dia meminta kita turut menipu bersama dengan dia karena itu berdosa, jadi tunduk memang ada batasnya yaitu batas tidak berdosa. Tapi saudara yang menarik adalah Alkitab berkata tunduk di dalam segala sesuatu, artinya memang tadi saya juga katakan ada batasnya namun di dalam parameter di mana Tuhan menghendaki istri tunduk, istri memang diminta Tuhan untuk tidak terlalu sering mempertanyakan suami. Saudara, suami sebagai kepala akan mengalami kesulitan melangsungkan tugas dan kewajibannya kalau setiap tindakannya dipertanyakan oleh istrinya. Tunduk berarti berkata begini: "Engkau memang tidak sempurna, aku mungkin tidak setuju denganmu di sini, tapi demi menjaga relasi kita ini saya mau pilih tunduk kepada Tuhan melalui tunduk kepadamu. Saya ulang lagi, saudara saya kira tidak mudah ya untuk tunduk kepada orang lain apalagi kalau kita berpikir kita mempunyai pendapat yang lebih baik daripada pasangan kita. Nah, tapi karena Tuhan meminta kita tunduk dan kita susah tunduk kepada suami, saya meminta kita melakukannya dengan cara yang berbeda yaitu dengan berkata saya tunduk kepada Tuhan melalui engkau. Sekali lagi saudara saya jelaskan, tidak tunduk membabi buta dalam hal-hal yang sangat salah dan berdosa, tidak. Namun dalam hal keputusan-keputusan yang memang harus diambil dalam keluarga, istri lebih siaplah berkata OK saya akan dengarkan, OK saya akan ikuti, nah kalau suami itu juga suami yang takut kepada Tuhan dan mengasihi istrinya dia akan memberikan kesempatan kepada istri memberikan pandangannya. Sebab si suami ingin tahu pula pendapat istrinya, nah istri bisa berkata: "Bolehkah saya memberikan masukan, bolehkah saya memberikan pendapat," di saat itulah suami bisa mendengarkan masukan istri yang bisa menambah informasi dan ketepatannya dalam memutuskan suatu masalah. Saudara kalau tidak tunduk, biduk keluarga tidak bisa berjalan. Keluarga adalah organisasi yang terkecil di dalam masyarakat dan kita tahu semua organisasi membutuhkan kepemimpinan dan ketundukan dari yang dipimpinnya. Saya sering kali menggunakan ilustrasi ini, bagi saudara yang bekerja sebagai karyawan apakah saudara selalu menyetujui keputusan atasan saudara, tidak ya, apakah kadang-kadang atasan saudara membuat keputusan yang keliru untuk perusahaannya, ya, tapi apakah saudara tunduk kepada tuntutannya, ya, kenapa? Perusahaan hanya bisa berjalan kalau ada pemimpin dan ketundukan pada pemimpin itu. Demikian pulalah dengan keluarga kita, kita harus bisa tunduk, tanpa ketundukan keluarga kita tidak berjalan. Yang kedua, Tuhan meminta istri untuk menghormati suami, Tuhan berkata: "Hai istri, hormatilah suamimu." Saudara, hormat adalah cara kita berelasi dengan orang, sekali lagi hormat adalah cara kita berelasi dengan orang. Kita boleh tidak setuju dengan pendapatnya, tapi kita tidak harus kurang ajar atau kasar. Saudara salah satu hal yang bisa meracuni keluarga atau hubungan suami-istri adalah jika istri kasar atau kurang ajar kepada suaminya. Sulit sekali keluarga itu akan bisa bahagia dan diberkati kalau sedikit-sedikit istri marah memaki si suami atau kalau ngomong tidak ada sopan santun, tidak ada penghormatan sama sekali. Sekali lagi saya tekankan, si suami tidak selalu benar, suami bisa salah tapi walaupun suami bisa salah dan kita berbeda pendapat dengan dia, jangan sampai kita kasar dan kurang ajar. Saudara, saya tahu istri yang kalau suaminya bicara dia tidak suka, dia berteriak-teriak memaki-maki suaminya menyuruh suaminya diam, tutup mulut. Saudara itulah salah satu contoh ketidakhormatan, jadi Tuhan meminta kepada istri hormatilah suami. Dan yang terakhir ini adalah janji untuk suami-istri, saya memberikan janji ini saya ambil dari kitab Ibrani, menghormati perkawinan kami dan tidak mencemarkan ranjang pernikahan kami, janji kepada suami dan kepada istri, dua-dua harus membuat janji yang sama, kalau tadi spesifik untuk suami dan istri sekarang berdua. Saudara kita harus menghormati pernikahan kita sedemikian rupa sehingga kita tidak mau mengotorinya dengan ketidaksetiaan. Jangan sampai kita mencemarkan ranjang pernikahan kita. Saudara ke mana-ke mana saya pergi saya selalu mendapatkan laporan anak-anak Tuhan yang terlibat dalam pelayanan dan kemudian jatuh ke dalam perzinahan, terlalu sering saudara antara aktivis Kristen dengan sesama aktivis Kristen. Saudara, kita harus menghormati pernikahan kita dengan cara tidak mencemarkan ranjang kita. Saudara, hampir semua kesalahan yang lain lebih mudah diterima oleh pasangan kita kecuali kesalahan dalam hal mencemarkan ranjang kita, itu akan sangat sulit.

GS : Pak Paul, kita telah bersama-sama mengikuti siaran ulang atau diputarnya ulang sebuah rekaman yang Pak Paul sudah bawakan dalam bentuk ceramah. Kalau pada kesempatan yang lalu Pak Paul sudah membahas tentang peran atau tanggung jawab suami, maka pada kesempatan kali ini lebih banyak dibahas tentang tanggung jawab seorang istri Kristen tentunya. Nah yang ingin saya tanyakan Pak Paul dalam kesempatan ini, konsep pernikahan itu yang diberikan oleh Tuhan kepada suami maupun istri itu 'kan sudah lama sekali Pak Paul, bagaimana hal-hal seperti ini masih tetap relevan untuk kita yang hidup pada zaman ini?

PG : Semua tetap relevan Pak Gunawan, karena yang menarik adalah meskipun kita ini telah berada di muka bumi ribuan tahun tapi kebutuhan kita tetap sama. Kita boleh berevolusi dalam hal berapa esar, tinggi badan kita, warna rambut kita, warna mata kita, tapi kita tidak pernah berevolusi di dalam hal kebutuhan mendasar kita.

Kita tetap membutuhkan dikasihi, kita membutuhkan dihormati, nah itulah kebutuhan pokok yang dibawa oleh manusia ke dalam pernikahan. Tuhan meminta suami mengasihi istri karena itu kebutuhan pokoknya, Tuhan meminta istri menghormati suaminya itulah kebutuhan pokok si suami. Dan melewati abad demi abad kebutuhan tersebut tetap sama, jadi perintah Tuhan atau resep Tuhan tentang pernikahan yang Tuhan berkati juga akan tetap sama sampai kapan pun.
GS : Itu sifatnya universal Pak ya? (PG : Betul). Ada beberapa etnis tertentu itu yang istri ketertundukannya kepada suami itu bisa kita nilai agak berlebihan Pak Paul, jadi betul-betul tunduk dan menyerahkan dirinya itu total, nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira kita harus membedakan antara akuisisi dan penyatuan. Saya sering mengatakan bahwa pernikahan Kristen bukanlah salah satu bentuk akuisisi. Akuisisi berarti yang satu menelan atau enguasai yang satunya, sehingga yang ditelan atau dikuasai tidak lagi mempunyai suara atau hak, tidak, itu bukan konsep pernikahan Kristen.

Pernikahan Kristen adalah penyatuan dua individu, berarti dua-dua akan meleburkan diri, dua-dua akan harus memotong, mengorting dirinya supaya kedua diri ini bisa menyatu, itulah yang Tuhan inginkan.
WL : Pak Paul, saya teringat pada session sebelumnya, Pak Paul jelaskan tentang tugas suami yang sepertinya lebih banyak dibandingkan tugas istri yang tadi Pak Paul jelaskan hanya sedikit. Saya pikir unik sekali ya Tuhan menuntut seperti itu dibandingkan dengan realita yang sebenarnya (maksudnya dunia sudah jatuh dalam dosa mungkin karena itu). Realitanya istri-istri lebih banyak tugasnya dalam rumah tangga, terus kalau ada masalah dalam pernikahan atau dengan anak itu pasti yang disalahkan kebanyakan istri, padahal Alkitab menuntutnya tidak seperti itu.

PG : Alkitab mempunyai standar yang memang berkebalikan dari standar yang dianut oleh dunia. Tuhan pernah berkata bahwa orang-orang di dunia atau majikan-majikan di dunia akan menuntut orang unuk tunduk kepadanya dan dia akan melakukan itu dengan kekuasaannya, tapi tidaklah demikian dengan kamu, kata Tuhan, kamu harus melayani.

Dengan kata lain konsep memimpin adalah konsep yang identik dengan melayani. Siapa yang hendak menjadi besar, hendaklah menjadi pelayanmu. Nah karena Tuhan memberikan tugas kepada suami sebagai pemimpin maka dia memang bertugas sebagai pelayan, artinya lebih banyak hal yang harus dia korbankan demi keluarganya, demi orang-orang yang memang bernaung di bawahnya. Tapi dunia memberikan konsep yang keliru, karena dia kepala berarti haknya lebih besar, berarti semua orang-orang harus mengikuti kehendaknya sebab dialah kepalanya. Dan sama sekali tidak ada pengertian bahwa sebagai kepala dia justru seharusnya menjadi pelayan bagi semua anggota keluarganya, itu konsep yang terhilang dalam dunia ini. Itu sebabnya di Alkitab kita bisa membaca tugas seorang suami memang sangat banyak, lebih banyak daripada tugas seorang istri karena apa, sejajar dengan konsep pelayan tadi. Kalau saya boleh tambahkan juga Ibu Wulan, Tuhan memberikan tugas kepada pria untuk mendisiplin anak, memang membesarkan anak-anak itu adalah lebih merupakan tugas seorang ibu karena secara alamiah dia yang melahirkan, dia yang menyusui dan sebagainya. Tapi waktu anak itu mulai besar yang lebih diberikan tugas untuk mendidiknya bukannya ibu, firman Tuhan secara konsisten mengatakan: "Hai bapak! Hai Bapak! Didiklah anakmu dalam takut akan Tuhan. Hai bapak, janganlah sakiti hati anakmu." Jadi di Perjanjian Lama juga ada yang seperti itu, intinya adalah tugas itu diembankan kepada bapak. Nah sekarang apa yang terjadi, para bapak mendelegasikannya kembali kepada para ibu, nah itu keliru justru memang banyak sekali tugas yang diberikan Tuhan kepada para pria.
GS : Nah sekarang ini makin banyak wanita yang sadar dan merasa bahwa dia sebenarnya mempunyai hak yang sama dengan kaum pria Pak Paul, nah ini di dalam hubungan suami-istri bagaimana Pak Paul?

PG : Nah ini mesti kita cermati dengan baik-baik, dua-dua memang harus tunduk kepada Tuhan, ini syarat utamanya. Jangan sampai ada dua orang dan tidak tunduk kepada Tuhan, mesti ada titik tenga, titik tengahnya adalah Tuhan sendiri.

Berarti apa yang Tuhan katakan dua-dua akan berusaha untuk menaatinya apapun itu yang Tuhan minta dia lakukan. Nah sekarang memang ada konsep egalitarian yaitu pria membawa 50%, wanita membawa 50% dan semua hal harus didiskusikan sehingga tidak ada lagi yang menjadi pemimpin, itu juga salah. Sebab sebagaimana kita sudah dengar tadi bahwa keluarga adalah organisasi yang terkecil dan semua organisasi harus memiliki pemimpin, tidak ada kepemimpinan berarti kekacauan. Maka saya kira salah satu penyebab mengapa tingkat perceraian makin meningkat adalah konsep yang mulai berubah itu, tetap mesti ada yang mengepalai dan Tuhan memberikan tugas itu kepada si suami. Namun si suami dalam mengepalai dia harus melakukannya dengan jiwa seorang pelayan itu yang dituntut oleh Tuhan. Dan kalau suami sudah mencoba melakukan itu, istri juga harus selalu lebih siap menundukkan diri daripada menyatakan kehendaknya yang selalu berbeda dari suaminya. Jadi keduanya memang saling mengimbangi, jadi tidak bisa kita katakan suami dulu mulai baru istri mulai, tidak, dua-duanya harus mulai pada waktu yang bersamaan.
GS : Ya tetapi di dalam pernikahan, sekalipun pada awalnya suami itu menjadi kepala keluarga, tetapi di dalam perjalanan hidup mereka ternyata memang kelihatan bahwa sebenarnya istri itu lebih dominan, jadi dia itu lebih mampu sebenarnya untuk menjadi pemimpin sehingga suaminya pun berkata kamu saja yang menjadi pemimpin di rumah ini. Itu bagaimana sebenarnya?

PG : Istri yang memang lebih bijaksana dari suaminya atau lebih bisa dalam banyak hal daripada suaminya harus benar-benar bisa menempatkan dirinya. Jadi di depan keluarga, di depan anak-anak da sebagainya istri lebih harus menahan diri.

Di belakang dalam privasi mereka, si istri bisalah memberikan masukan-masukan kepada si suami. Cara yang lainnya lagi adalah istri jangan langsung memberikan perintah, menurut saya ini dan ini yang harus dilakukan, jangan. Meskipun dia tahu yang benar dan si suami mungkin keliru, saran saya adalah berikan pilihan kepada si suami, menurut kamu mana yang lebih baik nah si istri karena lebih pandai misalkan, lebih bijaksana, dia memberikan dua, tiga pilihan. Dan dari dua, tiga pilihan itu jelas yang paling baik yang mana, nah dari dua, tiga pilihan itu si suami nanti yang diminta untuk mengambilnya, akhirnya suami yang mengambil keputusan. Nah suami merasakan juga istrinya menghormati dia, sehingga dia yang tetap diberikan hak untuk mengambil keputusan itu. Tapi siapakah yang sebetulnya menyediakan pilihan-pilihan itu, si istri nah jadi kalau ini bisa dilakukan saja, saya kira meskipun si istri lebih bijaksana tetap kepemimpinan di tangan si suami dan si istri tetap menunjukkan hormat kepada si suaminya.
WL : Pak Paul, menyambung pertanyaan Pak Gunawan, kalau misalnya si istri tidak tahu tentang hal-hal seperti ini, lalu dia juga dibesarkan di tengah-tengah keluarga di mana ibunya memang lebih dominan, lebih banyak kelebihan, kemampuannya lebih dibandingkan ayahnya dan ternyata tidak ada masalah selama ini, papanya juga cukup OK dengan situasi itu bahkan malah "menikmati". Nah yang perempuan ini memang melihat o...suami-istri seperti itu begitu, nah waktu dia masuk ke pernikahan mungkin dia akan kesulitan kalau ketemu pria yang bukan seperti papanya maksudnya memang ya seharusnya suami yang memimpin begitu.

PG : Itu sering terjadi Bu Wulan, jadi memang kita ini produk dari lingkungan, apa yang telah kita lihat pada masa-masa pertumbuhan akhirnya tertempel di benak kita dan itu yang kita akan bawa alam rumah tangga kita.

Itu sebabnya sekali lagi saya ingin ingatkan bimbingan pranikah itu penting dalam masa-masa berpacaran, sehingga masing-masing bisa mengenali pola-pola bagaimana mereka dibesarkan dulu. Sebab pola-pola itulah nanti yang akan mereka nanti bawa dalam pernikahan. Nah sudah tentu waktu dia menikah dengan pria yang berbeda dari ayahnya akan banyak sekali penyesuaian yang harus dia lakukan karena si suami mungkin sekali tidak akan terima dengan cara-cara otoriter istrinya. Sudah tentu akan terjadi konflik tapi kalau dua-dua memang serius mau menyatukan relasi ini ya bisa berubah.
GS : Tapi memang sering saya temukan dalam banyak contoh itu pasangan suami-istri, saya lihat ini ada suatu keahlian istri itu untuk bisa menguasai suaminya Pak Paul, sehingga banyak teman-teman itu yang berkata wah ini suami yang takut istri dan sebagainya. Dalam hal seperti itu Pak Paul, ternyata orang lain bisa membaca memang sekalipun suaminya itu sebagai kepala keluarga, tetapi yang sangat berperan itu istrinya. Nah tentu buat si suami ini menjadi suatu cela tersendiri, dia merasa dipermalukan, itu bagaimana mengatasinya Pak Paul?

PG : Kalau dia menyadari itu dia mesti membicarakannya dengan istrinya dan berkata kepada istrinya: "Saya menghargai masukan kamu sebab saya melihat dalam hal-hal seperti ini kamu yang lebh tepat dibandingkan dengan saya, tapi mohon jangan sampai mempermalukan saya."

Nah Tuhan memang memberikan karunia kepada anak-anakNya laki-laki dan perempuan, jadi dari konsep ini saja kita bisa simpulkan bahwa tidak semua hal dilakukan dengan baik oleh satu orang dalam hal ini si suami, akan ada hal-hal tertentu yang dilakukan dengan sangat baik oleh seorang wanita atau istrinya. Nah pernikahan yang sehat pernikahan yang bisa memberi ruangan munculnya karunia-karunia ini dengan bebas dan kedua orang suami-istri itu bisa saling menghargai. Jadi suami minta kepada istrinya: silakan saya senang dengan masukan kamu, asal penyampaian kamu harus tepat, di mana kamu sampaikan harus juga dilihat-lihat, bagaimanakah cara kamu menyampaikannya mohon diperhatikan jangan sampai akhirnya melecehkan saya, kalau itu bisa disetujui saya kira rumah tangga mereka akan tetap berjalan dengan baik.
GS : Ya tetapi ada istri malah bangga, cerita sama teman-temannya o....kalau suamiku itu takut sama saya. Itu sebenarnya apakah kebutuhan atau keinginan untuk menguasai orang lain itu tercermin di sana?

PG : Saya kira itulah yang memang tersirat dari firman Tuhan kepada istri, istri tunduklah kepada suamimu, sebab memang sifat dasar manusia sebetulnya tidak mudah tunduk baik pria maupun wanita Jadi karena istri yang diminta tunduk memang tidak mudah tunduk, yang lebih enak adalah kalau orang lain yang tunduk kepada kita, jadi perjuangan yang sangat keras sekali.

Kenapa Tuhan memberi perintah kepada pria, kasihilah istrimu sebab saya yakin tersirat dalam perintah itu, cukup banyak pria terlalu cinta pada dirinya sangat egois. Jadi mencintai orang lain, mendahulukan orang lain, buat sebagian besar pria sangat sulit, jadi itulah yang menjadi latar belakang kenapa Tuhan juga memberikan perintah-perintah yang berbeda itu kepada suami dan istri.
WL : Pak Paul, kita sering mendengar istilah ya bolehlah si suami menjadi kepala, tapi siapa dulu jadi lehernya. Leher itu 'kan yang menggerakkan kepala mau ke kiri, ke kanan ke mana begitu jadi penting sekali istri itu memahami benar sampai seberapa porsinya dia di hadapan suami.

PG : Betul, makanya ada peribahasa yang berkata di belakang seorang suami yang sukses, ada seorang istri yang bijaksana. Itu juga betul saya kira.

GS : Jadi terima kasih sekali, saya rasa kalau pasangan suami-istri mengikuti pedoman yang sudah Tuhan berikan melalui kebenaran firman-Nya, kehidupan rumah tangga mereka khususnya dalam hubungan suami-istri pasti akan mendatangkan kebahagiaan yang luar biasa. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan dan ceramah yang boleh kita dengar bersama pada kesempatan ini, juga Ibu Wulan terima kasih untuk kehadiran Ibu bersama kami. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti acara ini acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja mengikuti sebuah penayangan ulang rekaman ceramah dari Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



29. Pertengkaran Racun atau Bumbu dalam Keluarga


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T139A (File MP3 T139A)


Abstrak:

Dalam berkeluarga pasti terjadi pertengkaran dan harus diselesaikan dengan berbagai macam solusi. Pertengkaran itu ada beberapa bentuk antara lain konflik, pertengkaran, perkelahian. Selain itu banyak orang mengatakan kalau habis bertengkar justru makin mesra, benarkah seperti itu?


Ringkasan:

Segala jenis perselisihan sebenarnya merupakan bentuk-bentuk perbedaan pendapat. Yang membedakannya adalah cara penyelesaiannya. Ada tiga jenis perselisihan dalam keluarga dan akan diurutkan dari ringan ke berat:

  1. Konflik. Pada level ini perbedaan pendapat diselesaikan melalui argumentasi atau perdebatan-persuasi verbal.

  2. Pertengkaran. Pada level ini perbedaan pendapat diselesaikan melalui tuduhan dan ancaman yang bermuatan emosi-persuasi emosional.

  3. Perkelahian. Pada level ini perbedaan pendapat diselesaikan melalui pemukulan-persuasi fisik.

Pasangan yang rawan konflik:

  1. Terlalu berbeda: Sulit menyesuaikan diri.

  2. Tidak dewasa: Menuntut pasangan untuk memenuhi kebutuhannya.

  3. Telanjur mengadopsi metode penyelesaian konflik yang melibatkan kekerasan emosional atau fisik: Jika marah harus berteriak atau memukul.

  4. Tidak takut akan Tuhan: Menghalalkan segala cara.

  5. Berkepribadian bermasalah: Memakai orang, mencintai benda dan diri sendiri.

Sikap yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik:

  1. Kerendahan hati: Menyadari bahwa kita pun bisa keliru dan tidak melihat masalahnya dengan tepat.

  2. Berbelas kasihan: Tidak sampai hati menyakiti hati pasangan dan membuatnya bersedih.

  3. Mengampuni: Mengakui kita pun memerlukan pengampunan dari Tuhan dan sesama.

Firman Tuhan, "Jangan kamu menghakimi supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?" Matius 7:1-3


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pertengkaran, Bumbu atau Racun dalam Keluarga", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, meski kehidupan suami-istri itu normal-normal saja pasti pernah terjadi pertengkaran di antara suami dan istri itu, bahkan orang mengatakan kalau tak pernah bertengkar itu belum keluarga yang sesungguhnya atau kadang-kadang antara orang tua dan anak, tetapi kalau keseringan juga tidak sehat. Nah bagaimana kita bisa menentukan bahwa ini masih dalam taraf yang wajar Pak Paul?

PG : Sebetulnya segala jenis pertengkaran merupakan bentuk-bentuk dari perbedaan pendapat Pak Gunawan, jadi memang suami-istri dengan latar belakang yang berbeda tidak bisa tidak mereka menjalai jalan hidup bersama dan relasi mereka makin mendalam makin merasa bebas untuk mengekspresikan diri, nah akan keluarlah pandangan-pandangan atau sikap-sikap yang memang kalau dalam situasi biasa tidak keluar akhirnya waktu keluar ternyata tidak sama dengan pasangannya nah itulah sebetulnya yang menimbulkan perselisihan.

Sebetulnya semua perselisihan merupakan bentuk perbedaan pendapat, yang membedakan adalah cara penyelesaiannya Pak Gunawan. Jadi kita akan membahas sekurang-kurangnya ada tiga jenis. Sebetulnya segala jenis perselisihan merupakan upaya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat itu, jadi secara positifnya kita bisa katakan semua perselisihan merupakan upaya untuk menyelesaikan, tapi memang kita akan melihat bahwa ternyata tidak semua cara-cara itu merupakan cara-cara yang sehat.
GS : Bentuknya apa saja yang disebut pertengkaran itu Pak Paul?

PG : Yang paling rendah, yang paling ringan adalah yang kita sebut konflik, konflik merupakan perbedaan pendapat dan biasanya dicoba diselesaikan melalui argumentasi atau perdebatan, dengan kat lain saya simpulkan yang menjadi metode untuk menyelesaikan konflik adalah persuasi secara verbal, jadi kita hanya berbicara membawakan argumen dukungan kita dan sebagainya itu yang paling rendah dan yang paling ringan.

Pada tahap menengah saya panggil pertengkaran, pertengkaran di sini ini perbedaan pendapat diselesaikan melalui misalkan tuduhan, ancaman yang bermuatan emosi, ledakan-ledakan suara, kemarahan-kemarahan, wajah yang mengeras, merah, mata melotot dan mungkin kata-kata yang kasar di sini saya juluki atau saya katakan pertengkaran merupakan persuasi emosional, jadi orang mencoba menyelesaikan perbedaannya itu melalui persuasi tapi secara emosional. Nah tahap yang paling berat yang kita sebut perkelahian, di sini perbedaan pendapat diselesaikan melalui tindak pemukulan, menggampar, menjambak, mendorong, menendang, nah ini yang saya sebut persuasi fisik jadi mencoba menyelesaikan persoalan tapi dengan persuasi fisik, kira-kira inilah tiga jenis perselisihan dari ringan sampai ke beratnya.
WL : Pak Paul saya sering mendengar banyak wanita terutama istri-istri mengatakan kalau habis bertengkar, cuma mereka tidak menjelaskan perbedaan antara tiga ini yang mana, pokoknya dia mengatakan kalau habis bertengkar justru kami lebih mesra loh katanya begitu, nah apakah benar seperti itu atau justru itu pola yang tidak sehat Pak Paul?

PG : Sebetulnya sangat bergantung sekali pada faktor penyelesaiannya kalau mereka bertengkar dan kemudian menemukan solusinya, betul mereka akan merasakan kedekatan yang tidak dirasakan sebelumya jadi ada betulnya kalau orang berkata pertengkaran itu bisa memperkaya, memperdalam relasi suami-istri tapi tergantung sebetulnya bukan pada pertengkarannya tapi pada solusinya.

Misalkan ada suami yang memang menggunakan metode perkelahian, metode yang paling berat tadi kalau berselisih pendapat dengan istrinya dia pukul dia gampar istrinya, istrinya akan diam nah apakah si istri akan merasakan dekat dengan si suami setelah digampar dan dipukuli, sudah pasti tidak, jadi tidak akan membawa perkembangan atau kemajuan dalam relasi mereka. Yang membawa kemajuan adalah tatkala keduanya mendapatkan solusi yang mereka memang cari, baik itu melalui cara yang pertama konflik, perbedaan bisa diselesaikan melalui persuasi verbal atau yang kedua mungkin ada marah-marahnya tapi akhirnya ketemu juga solusinya, yang ketiga tadi saya kira tidak akan pernah menemukan solusi.
GS : Tapi di sana di dalam penyelesaian masalah atau pencarian solusi itu 'kan masih sering kali terjadi perselisihan pendapat lagi Pak Paul?

PG : Betul jadi ini bukan sesuatu yang sekali ditemukan akan bisa bertahan untuk selama-lamanya, jadi setelah kita menemukan satu solusi untuk masalah kita ini di kemudian hari akan muncul lagimasalah yang lain dan kita harus bekerja dengan keras lagi untuk menemukan solusi itu.

Tapi ini catatan yang harus kita garisbawahi semakin banyak keberhasilan menemukan solusi, semakin memudahkan kita menemukan solusi, jadi kalau kita balik juga betul semakin sulit, semakin jarang menemukan solusi semakin tidak akan mudah kita menemukan solusi jadi relasi yang baik, yang sehat makin hari makin sehat, merelasi yang buruk bertahan pada level seburuk itu saja sudah susah sebab kecenderungannya makin hari makin memburuk.
WL : Apakah benar kalau saya menganggap orang yang berani konflik atau bertengkar itu berarti orang yang berani maksudnya bukan pengecut, karena kalau misalnya dia menyampaikan kesannya atau beda pendapat itu 'kan ada resiko yang harus dia tanggung, ada penolakan jadi justru malah tegang dan sebagainya dibandingkan misalnya ah sudahlah diamkan saja ya sudah berlalu begitu saja akhirnya tidak selesai lagi nanti muncul lagi masalah lain.

PG : Dari salah satu segi memang betul, kita bisa melihatnya sebagai tindak keberanian, berani mengungkapkan pikiran dan perasaannya dan tidak hanya menyimpannya, tapi dari segi yang lain saya uga harus mengatakan bahwa ada orang-orang yang sangat ketakutan, ketakutan kehilangan pasangannya dan akan menggunakan suara keras pemukulan dan sebagainya untuk mengontrol supaya pasangannya tidak ke mana-mana.

Jadi sebetulnya kekerasan suara dan pemukulannya itu wujud dari ketakutannya, namun dia kamuflase, dia tutupi tindakan-tindakan kasar seperti itu agar dia bisa mengontrol pasangannya agar tidak ke mana-mana.
GS : Penyelesaian masalah yang berbeda tadi, jadi misalnya tadi yang Ibu Wulan katakan si istri itu menghendaki menyelesaikan dengan diam tapi si suami menghendaki dengan verbal itu 'kan sudah tidak ketemu, yang satu bilang saya diam saja nanti kita selesaikan lain kali atau bahkan dilupakan, tapi yang laki-laki minta hari ini juga harus selesai nah itu 'kan mesti dicarikan solusinya lagi Pak Paul?

PG : Nah, dalam kasus seperti itu keduanya memang mesti menyepakati bahwa misalkan tidak bisa segera sebagaimana diharapkan si suami, tapi juga tidak boleh selambat sebagaimana diharapkan oleh i istri.

Betul si istri tidak bisa langsung mengeluarkan isi hatinya dan mencoba menyelesaikannya pada saat itu juga, ok! Kalau begitu disepakati misalkan sampai kapan hari ini, besoknya atau paling lama misalkan sampai besok tapi harus dibicarakan. Jadi si suami juga harus menahan diri, dia tidak bisa memaksa istrinya langsung berbicara karena ada orang yang memang tidak bisa langsung berbicara tapi sebaliknya dalam kasus ini si istri juga tidak boleh terus-menerus merasa nyaman dalam kepompongnya dan tidak keluar dan berkata inilah saya, saya tidak biasa untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran saya nah tentukan besoknya harus bicara, jadi itulah yang harus disepakati oleh kedua belah pihak.
GS : Ya, itu kalau masalah verbal dan diam Pak Paul, tapi kalau tadi yang ketiga tentang perkelahian di mana si suami memukul menggunakan kekerasan padahal si istri diam itu 'kan sudah penganiayaan Pak Paul?

PG : Betul ini cukup sering terjadi, saya ingat jurnal perempuan edisi yang dua edisi yang lalu sebelumnya kita berbicara hal ini memang memuat satu tema yaitu tentang kekerasan dalam rumah tanga dan itu memang menjadi masalah di tengah-tengah masyarakat kita, banyak sekali istri yang menjadi korban penganiayaan suami mereka.

GS : Pak Paul ada pasangan-pasangan tertentu yang sering kali bertengkar, tapi ada pasangan yang lain yang mungkin bertengkar tetapi tidak terekspos keluar sehingga kita tidak melihat, itu apa Pak Paul?

PG : Kendati memang banyak faktor yang bisa berpengaruh tetapi ada beberapa Pak Gunawan yang bisa kita kenali kenapa pasangan-pasangan ini mudah bertengkar. Yang pertama adalah memang terlalu brbeda, itu memudahkan orang untuk bertengkar karena terlalu berbeda penyesuaiannya memakan lebih banyak waktu dan usaha, makanya pakar pernikahan seperti Norman Wright menekankan bahwa kesamaan dalam pernikahan itu sebetulnya faktor plus, faktor yang menguntungkan karena lebih sedikit hal-hal yang harus disesuaikan lebih banyak perbedaan akan lebih banyak upaya dan waktu yang harus dikeluarkan untuk menyesuaikan diri, nah itu salah satu faktor yang membuat orang rawan untuk bertengkar.

WL : Sering kali saya mendengar slogan justru perbedaan itu saling melengkapi itu berarti salah Pak Paul?

PG : Tidak salah sepenuhnya, perbedaan kalau saya boleh koreksi perbedaan yang akhirnya dapat berubah menjadi saling melengkapi itu yang memang positif tapi dari perbedaan mengubahnya menjadi sling melengkapi itu perlu usaha yang tidak mudah cukup susah itu kalau bisa mencapai titik di mana saling melengkapi ya sangat indah sekali kelemahan kita dikompensasikan oleh kekuatan pasangan kita namun untuk bisa sampai ke titik itu perlu upaya yang sangat keras, nah dalam upaya ini tidak jarang mereka akan konflik besar.

GS : Contoh perbedaannya apa Pak Paul?

PG : Misalkan ada orang yang tadi itu Pak Gunawan katakan ya pendiam tidak bisa mengutarakan pikirannya, perasaannya secara langsung pasangannya kebalikannya semua akan dikeluarkan, dibicarakan dan marah detik ini harus marah, kalau bertengkar detik ini juga harus selesai, harus ada penyelesaiannya kalau tidak; tidak bisa tidur nah itu berarti kan dua perbedaan yang sangat jauh itu nah untuk si pasangan yang diam untuk bisa bicara itu sangat sulit karena dia tidak terbiasa nah untuk memaksa besoknya dia juga harus berbicara itu juga sangat sulit kebalikannya buat si pasangannya yang satunya dia biasa mengumbar mau selesai sekarang tiba-tiba harus diam dan tunggu sampai besok, wah dia bisa tidak bisa tidur dia bisa tidak konsentrasi seharian tegang, gelisah nah akhirnya dia menuntut mesti bisa bicara sekarang juga nah itu untuk sampai ke tengahnya menjadi sangat-sangat sulit

WL : Tapi Pak Paul saya sering menemukan banyak pasangan yang justru "terjebak" tidak melihat ini sebagai perbedaan yang membahayakan, tapi justru melihat perbedaan itu sebagai poin yang membuat dia tertarik misalnya seorang pria tidak pandai bergaul terus bertemu wanita wah supel sekali begitu nah justru dia tertarik dengan wanita ini mungkin merasa ini yang defisit/kurang pada saya, saya bisa temukan atau dapat dari dia, tapi akhirnya jadi fatal nah itu sering sekali Pak.

PG : Tepat sekali yang Ibu Wulan katakan yakni memang perbedaan itu dianggap sebagai sesuatu yang bisa melengkapinya yang bisa menguntungkan dirinya dia tidak sadarii bahwa perbedaan itu nantina mengganggu dia.

Nah jadi rumus yang bisa kita katakan universal; hal-hal yang membuat kita tertarik kuat kepada pasangan kita adalah hal-hal yang akan sangat menggangu kita dalam pernikahan kelak.
WL : Kalau yang berbeda itu maksudnya.

PG : Betul karena perbedaan itu memang akhirnya mengganggu kita, dan kita tidak mudah untuk menerima begitu saja.

GS : Apakah ada apa ciri yang lain Pak Paul?

PG : Ada Pak Gunawan, yang lain adalah kalau tidak dewasa atau ada individu yang tidak dewasa kemudian menikah, apa yang dilakukan olehnya? Dia akan menuntut pasangan untuk memenuhi kebutuhanny, dia tidak pernah belajar bertanggungjawab tidak pernah menghidupi, menafkahi, hidupnya selalu tidak ada tujuannya dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain, tidak bekerja untuk waktu yang lama dan tidak pernah ada masalah karena dicukupi misalkan oleh orang tuanya.

Nah sekarang dia menikah dan dia akan bawa itu kebiasaannya dan dia tidak merasa salah dia tidak bekerja, dia tidak mencukupi, dia akan minta dari siapa dari orang tuanya dari mertuanya dan dia minta misalkan pasangannya harus mencukupi atau ada orang yang memang membawa kebutuhan untuk dimanja, tidak bisa itu kalau tidak dimanja, orang harus senantiasa mengerti keinginannya dan temperamennya nah akhirnya dia menuntut orang untuk memenuhi keinginan untuk dimanja itu. Nah itu kalau pasangan ada satu saja yang tidak dewasa mudah sekali terjadi konflik kecuali yang satunya bersedia mengikuti semua keinginannya, tidak akan ada pertengkaran tapi itu adalah pernikahan yang memang tidak sehat.
WL : Pak Paul yang mengherankan justru banyak sekali yang menikah seperti dengan pasangan orang yang tadi Pak Paul sebutkan nah saya berpikir apa waktu berpacaran itu tidak ketahuan begitu ya, sepertinya kalau waktu berpacaran justru ketahuan kan pasti pasangannya juga tidak mau 'kan, tapi sepertinya bisa muncul kebalikannya begitu si pria ini misalnya dengan ciri-ciri tersebut tapi dia bisa tidak kelihatan hal-hal seperti itu dia bisa memenuhi kebutuhan pasangannya bisa muncul sebagai orang yang baik dan lain sebagainya begitu itu kenapa Pak Paul?

PG : Karena ada hal-hal yang menguntungkan yang enak, yang baik, yang bisa diberikan oleh sifat itu meskipun negatifnya banyak tapi ada hal yang memang cukup memberikan kenyamanan bagi pasanganya misalkan tipe orang yang susah sekali bekerja, tidak bertanggungjawab hidupnya, ini punya banyak waktu untuk memberikan perhatian mengantarkan pacarnya shopping membeli sandal 10 jam pun dia akan rela banyak-banyak waktu untuk ngobrol di cafe menunggu pacarnya beli sandal 10 jam, nah si pacarnya akan berkata senang punya pacar seperti ini sabar menunggu saya 10 jam.

Nah sudah kawin baru dia sadar bahwa pacar saya bukan hanya sabar tapi juga malas, pengangguran, nah yang manja yang satu akan berkata ya enak pacaran dengan dia kolokan minta ini itu wah dia merasa dihargai sekali seperti orang paling spesial dalam hidupnya karena dimanja seperti itu. Lama-lama baru dia sadar wah saya berpacaran dengan orang yang manja tapi sangat kekanak-kanakan meminta semua dipenuhi, jadi biasanya ada hal-hal yang enaknya itu pada masa berpacaran. Yang kedua adalah kebanyakan orang akan berpikir begini ya siapa sih yang sempurna, tidak ada yang sempurna, kekurangan-kekurangan ini ya terimalah nanti juga orang bisa berubah, nah akhirnya harapan-harapan itu menguat dalam masa berpacaran yang membuat dia optimis nanti akan berubah ternyata tidak berubah seperti itu.
GS : Jadi kalau yang satu kekanak-kanakan pasangannya itu keibuan atau kebapakan begitu mungkin aman Pak?

PG : Ya untuk sementara lama-lama akan terjadi konflik.

GS : Bagaimana kalau ada orang itu yang mencoba menyelesaikan masalahnya itu dengan mencontoh keluarga yang lain atau pasangan yang lain, apa otomatis bisa Pak Paul?

PG : Nah ini salah satu penyebab Pak Gunawan kenapa mereka rawan konflik, ada pasangan yang sudah terlanjur mencontoh perilaku orang tuanya bertengkar, marah berteriak kalau ada apa-apa langsun harus marah tidak bisa menahan diri jadi dia akan ikut atau apa-apa lari dari rumah nah dia akan mengadopsi cara-cara yang tidak sehat itu, nah kalau dia bawa ke pernikahannya ya itu menjadi suatu bahan.

Saya langsung saja Pak Gunawan dan Ibu Wulan dengan beberapa ciri yang lain misalnya ada orang yang memang tidak takut akan Tuhan, orang yang tidak takut akan Tuhan cenderung menghalalkan segala cara, semua juga boleh mau berbohong lah apalah nah akhirnya ketahuan pasangannya berkelahi lagi karena tidak ada integritas, tidak ada standart moral semua boleh ya berzinah juga boleh nah akhirnya pasangannya tahu itu dan terjadilah pertengkaran.
GS : Ya mungkin pasangan itu mengira oh ini sudah Kristen, ini seiman dengan saya pasti takut akan Tuhan begitu pikirnya.

PG : Otomatis memang betul Pak Gunawan, ada orang yang memang mengklaim diri sebagai orang Kristen tapi tidak peduli dan tidak takut akan Tuhan, nah akan menghalalkan segala cara akhirnya terjailah banyak pertengkaran di rumah tangga mereka.

GS : Walaupun yang satunya takut akan Tuhan Pak Paul?

PG : Betul karena lama-lama dia tidak tahan juga dibohongi terus-menerus, pasangannya berjudi terus-menerus jadi bahan-bahan pertengkaran. Dan yang terakhir adalah berkepribadian bermasalah, ad orang yang saya sebut memakai orang mencintai benda dan diri sendiri, orang harusnya dicintai; tidak; orang dia pakai, benda harusnya dia pakai; tidak; dia cintai, dirinya sendiri juga sangat dicintai nah kepribadian bermasalah seperti ini kalau menikah tidak bisa tidak akan mudah sekali menimbulkan banyak pertengkaran di rumah karena sekali lagi dia hanya memikirkan dirinya, kepentingannya, semua berpusat pada dirinya sendiri, semua harus ikuti kehendaknya, pasangan tidak bisa tahan hidup dengan dia.

GS : Memang kalau salah satunya atau bahkan kedua-duanya mengalami gangguan kejiwaan seperti itu pasti memang bermasalah Pak Paul.

PG : Betul sekali mungkin sekarang pertanyaan yang mesti kita munculkan ialah bagaimana menyelesaikan konflik ini, saya kira tidak ada yang baru yang akan saya katakan Pak Gunawan dan Ibu Wulanprinsip-prinsip yang memang Firman Tuhan sudah ajarkan kepada kita.

Yang pertama adalah mesti ada kerendahan hati, saya sering mengatakan banyak masalah tidak selesai karena tidak ada kerendahan hati, tapi kalau ada kerendahan hati banyak masalah bisa selesai. Misalkan ya menyadarilah bahwa kitapun bisa keliru, kita tidak selalu melihat masalah dengan tepat, tidak selalu kita benar, kalau ada orang berpikiran saya pasti benar kamu pasti salah itu sudah dapat diduga pernikahannya akan banyak sekali ketidakcocokkan.
WL : Pak Paul cara ini apakah hanya efektif untuk yang konflik dan pertengkaran saja, tapi kalau untuk yang sudah sampai perkelahian, penganiayaan secara fisik segala apakah bisa memakai teori kamu rendah hati, kamu juga bisa salah dan sebagainya?

PG : Sudah tentu ada selalu ruangan untuk memeriksa diri bahkan yang dianiaya itupun perlu memeriksa diri apa yang saya lakukan, apakah saya juga benar, apakah saya mungkin terlalu cepat marah an menuduh, jadi ada ruangan untuk memeriksa diri tapi sudah tentu yang memukul itulah yang lebih harus mengingat prinsip kerendahan hati ini bahwa dia bukannya penjajah, dia bukannya penguasa, dia bukannya beli istri sebagai barang yang boleh dia perlakukan semau-maunya, dia harus menghormati pasangannya sebagai pasangan yang setara dengannya.

WL : Bukannya kalau lagi tenang memang suami-suami sering kali sadar akan hal ini tapi kalau lagi emosinya naik ke ubun-ubun Pak Paul langsung itu seperti reflek langsung tangannya mukul.

PG : Ya karena tidak ada ada rasa hormat pada pasangannya, kalau kita misalkan bertemu orang yang kita takuti, kita hormati, meskipun kita marah kita berusaha sekeras mungkin menahan emosi kita.

GS : Takut Pak Paul masalahnya, ini pun begitu kerendahan hati itu ada sebagian orang yang takut dinilai oleh pasangannya sebagai orang yang lemah Pak Paul.

PG : Ya intinya kalau kita sadari memang ya saya salah di sini, saya melihat ini keliru ya jadilah orang pertama yang berkata maaf ya, yang rendah hati untuk memulai dulu, berbicara dulu, nah iu langkah pertamanya.

Langkah kedua adalah berbelas kasihan, berbelas kasihan artinya kita harus mempunyai perasaan tidak sampai hati menyakiti pasangan kita, tidak sampai hati membuatnya bersedih, itu harus ada dalam diri kita. Dan yang terakhir adalah mesti bisa mengampuni, artinya apa mengakui kitapun memerlukan pengampunan Tuhan dan pengampunan dari sesama kita tidaklah bebas dari hutang ampunan, kita semua adalah penghutang pengampunan kita pernah bersalah dan diampuni oleh orang kenapa tidak mengampuni pasangan kita. Tapi sekali lagi ini memang saya harus ingatkan juga bagi istri yang sering dipukuli, dianiaya oleh pasangannya, bukan masalah mengampuni atau tidak, sudah tentu dia mengampuni suaminya yang memukulinya tapi dia harus pikirkan ya kesejahteraan, keselamatan jiwanya dan anak-anaknya, apakah sehat hidup dengan seseorang yang menegangkan menghancurkan jiwa dirinya dan anak-anaknya seperti itu jadi bukan masalah pengampunan lagi tapi masalah kesejahteraan hidup yang harus dia pelihara.
GS : Pak Paul ada suami sering kali berkelahi dengan istrinya, artinya memukuli istrinya lalu saat itu juga dia menyadari bahwa dia salah dia minta maaf bahkan minta ampun kepada istrinya dan istrinya mengampuni, tapi tidak lama berselang juga tetap terulang lagi begitu, itu kelainan atau bagaimana Pak Paul?

PG : Suatu pola pemukulan kalau sudah terbentuk akan susah sekali hilang jadi itu yang sering terjadi ya, seseorang memukuli istrinya merasa bersalah, meminta maaf menyesali istrinya memaafkan unggu tinggal nanti terjadi pertengkaran lagi memukul lagi, jadi bukannya kelainan tapi mungkin itu adalah cara yang telah diadopsinya dari masa kecilnya dulu dan dia melihat itu di rumahnya sehingga akhirnya sekarang menjadi bagian dari hidupnya dalam menyelesaikan konflik.

GS : Nah itu susahnya si istri juga menganggap dia akan mengampuni terus seperti yang Firman Tuhan katakan tujuhpuluh kali tujuh katanya.

PG : Betul makanya saya tekankan masalahnya bukan pada mengampuni atau tidak mengampuni, sudah tentu si istri mengampuni tapi dia harus pikirkan apakah ini baik untuk dirinya, untuk anak-anakny dan untuk hal-hal itu dia harus mengambil tindakan yang lebih tegas.

GS : Dalam hal ini apakah ada sabda Tuhan Yesus yang akan disampaikan?

PG : Saya bacakan Matius 7:1-3 "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untk mengukur, akan diukurkan kepadamu.

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?" Intinya Tuhan ingin berkata: lihat diri dulu, orang yang melihat diri menyadari dirinya, kelemahan, kekurangannya lebih bisa melihat orang dengan tepat, orang yang tidak bisa melihat dirinya akan melihat orang dengan tidak tepat penuh kekurangan dan sebagainya. Nah orang seperti itu memang akan sangat sulit sekali untuk berumahtangga dengan harmonis
GS : Jadi kesimpulannya Pak Paul, pertengkaran itu bisa jadi suatu bumbu di dalam keluarga tapi juga bisa menjadi racun ya?

PG : Tepat kalau tidak terselesaikan, dan makin hari makin memburuk itu akan menjadi racun.

GS : Jadi cara penyelesaian itu yang harus didasarkan pada Firman Tuhan yang tadi Pak Paul bacakan.

PG : Tepat sekali

GS : Terima kasih Pak Paul, terima kasih juga Ibu Wulan dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pertengkaran Bumbu atau Racun dalam Keluarga." Bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id saran-saran, pertanyaan serta tanggapan anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang



30. Membentengi Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T139B (File MP3 T139B)


Abstrak:

Ada 2 macam ancaman dalam pernikahan, yaitu ancaman dari dalam dan ancaman dari luar. Cinta yang tidak dipelihara dengan baik akan mati. Oleh karena itu kita harus membentenginya agar kehidupan rumah tangga senantiasa harmonis.


Ringkasan:

Sebagai manusia yang berkodrat emosional, kita masih dapat tertarik dengan orang lain setelah kita menikah. Apa yang harus kita lakukan untuk melindungi pernikahan kita?

  1. Jangan panik! Perasaan suka memang bisa datang namun perasaan ini juga bisa pergi. Syaratnya satu: Jangan menyediakan pot untuk bibit cinta ini. Misalkan, jangan pergi berdua dengannya, jangan sengaja meneleponnya, jangan membicarakan hal-hal yang pribadi, jangan menunjukkan kesan bahwa kita menyukainya, jangan memberi perhatian ekstra.

  2. Jagalah keseimbangan hidup: cukup istirahat, cukup kerja, cukup olahraga, cukup rekreasi, cukup berteman.

  3. Maksimalkan madu pernikahan sendiri. Perbaiki kerusakan yang ada, sampaikan harapan yang belum terpenuhi, perbuatlah hal-hal yang menyenangkan pasangan kita.

  4. Takut akan Tuhan. Ingatlah bahwa Tuhan tidak berkenan dengan perzinahan dan Ia akan menghukum kita.

Hati-hati terhadap:

  1. Ajakan kencan berduaan dari lawan jenis meski ia adalah teman baik.
  2. Sikap yang terlalu baik dan penuh perhatian darinya.
  3. Pertanyaan-pertanyaan yang terlalu pribadi.
  4. Sentuhan yang lembut.
  5. Ajakan mengerjakan tugas bersamanya.
  6. Orang yang sedang dalam keadaan butuh secara emosional.
  7. Orang yang tidak takut akan Tuhan.

Firman Tuhan

"Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan; itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu." Amsal 3:6-8


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membentengi Pernikahan", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, walaupun sekarang kita jarang kelihatan benteng tetapi kita mengerti, kita bisa memahami bahwa orang yang ada di dalam benteng itu lebih aman hidupnya daripada yang di luar benteng. Nah hidup pernikahan kita sering kali mendapat ancaman-ancaman dari luar, nah apakah ada ancaman yang sangat serius terhadap hidup pernikahan ini?

PG : Ada Pak Gunawan, memang ada dua jenis ancaman dari dalam dan dari luar. Dari dalam adalah konflik-konflik internal yang tak terselesaikan, dari luar adalah munculnya ketertarikan kepada orng lain, nah itu adalah ancaman yang saya kira sekarang ini paling besar mengancam dan menghancurkan banyak rumah tangga.

GS : Artinya kita ditarik untuk keluar dari benteng itu sendiri Pak Paul, jadi bagaimana kita harus berusaha supaya kita tidak mudah tertarik dan terperosok pada bujuk rayu seperti itu?

PG : Ada beberapa hal Pak Gunawan yang bisa kita lakukan, yang pertama adalah nasihat saya untuk kita semuanya yaitu jangan panik, jangan panik artinya begini kita ini memang manusia emosional ita mudah untuk hanyut, emosi kita mudah terpengaruh waktu kita menerima pemenuhan kebutuhan kita dari orang-orang tertentu, tidak bisa tidak perasaan kita tergugah kita merasakan senang bersama dengan dia, kita enak berbicara dengannya, dia mengerti kita, kita juga merasa suka bersama dengan dia, nah karena kita memang manusia yang masih bersifat emosional kita senang bersama orang yang bisa memenuhi kebutuhan emosional kita.

Yang lainnya lagi kita juga makhluk seksual artinya apa, memang kita mempunyai ketertarikan kepada lawan jenis kita dan ketertarikan itu bersifat romantis dan seksual, maka kita akan bisa tertarik kepada orang-orang yang lain bukan saja kepada pasangan kita. Nah setelah menikahpun kita memang masih bisa mengalami ketertarikan itu maka nasihat pertama adalah jangan panik kalau sampai tiba-tiba kita menyadari kita tertarik kepada seseorang yang bukanlah istri kita atau suami kita. Nah yang saya mau katakan ini perasaan suka memang bisa datang, namun perasaan ini juga bisa pergi sebab pada prinsipnya semua perasaan yang tak dipelihara lama-lama akan hilang atau mati, maka kalau kita kembalikan ke dalam pernikahan kita juga sama apakah cinta dalam pernikahan akhirnya bisa mati; bisa, cinta yang tak dipelihara ya diberikan cukup pupuk dan sebagainya lama-lama mati demikian juga dengan perasaan suka kepada orang lain nah kalau tidak dipelihara akan mati, maka prinsipnya jangan menyediakan pot untuk bibit cinta. Kalau sudah ada bibit cinta, ketertarikan jangan kita sediakan pot maksudnya pot disini adalah misalkan jangan pergi berdua dengannya, jangan sengaja meneleponnya, jangan membicarakan hal-hal yang pribadi kepada orang itu, jangan menunjukkan kesan kita menyukainya, memuji-mujinya dan sebagainya atau jangan memberi perhatian ekstra, sedikit-sedikit kita bertanya kok kamu tidak datang, kok kamu tampaknya lagi lesu, kamu kok ada masalah apa, wah jangan itu memberikan pot pada bibit cinta, jangan memberikan pot, bibit yang jatuh ke tanah tidak ada potnya lama-lama akan mati.
WL : Pak Paul, kalau bisa tertarik seperti yang Pak Paul jelaskan apakah itu merupakan indikasi bahwa pernikahannya memang ada masalah atau pernikahan yang tidak apa-apapun memang tetap bisa tertarik dengan orang lain lagi begitu?

PG : Nah ini pertanyaan yang bagus, sering kali orang beranggapan kalau sampai tertarik kepada orang lain pasti relasi nikahnya lagi kurang baik, ada hal-hal yang tidak terpenuhi, ternyata memag tidak.

Sudah tentu kalau pernikahannya buruk, nah itu lebih menambah kerawanan, lebih mudah kita akhirnya mencari orang lain di luar yang bisa memenuhi kebutuhan kita, tapi sekalipun pernikahan kita sehat perasaan tertarik masih akan bisa muncul sebab apa, sebab profil pasangan kita yang kita sukai itu tidak hanya ada dalam diri pasangan kita, profil itu bisa ada pada diri orang lain yang nanti mungkin akan bersinggungan jalan dengan kita, kita ketemu dengan orang yang seperti pasangan kita yang kita sukai sifat-sifatnya otomatis perasaan sukalah yang akan muncul dalam diri kita.
GS : Kepanikan itu Pak Paul mungkin tidak akan timbul pada awal-awalnya tetapi setelah hubungan itu menjadi agak lebih jauh apalagi ketika orang-orang mulai kasak-kusuk berbicara kamu dekat dengan ini, banyak orang-orang itu berbicara kok terlalu dekat, nah dia mulai sadar dan dia paniknya itu kok sudah begitu jauh hubungannya.

PG : Bisa, jadi karena dia sadar kok sudah terlalu jauh, dia kaget, dia panik. Bisa juga ada orang yang tidak bisa menerima kok saya bisa tertarik, kemudian melakukan hal-hal yang tidak naturalmencoba membuang mukalah, apalah justru hal-hal seperti itu bukannya melemahkan malah makin menguatkan perasaan tertarik itu.

Jadi tidak perlu dibuat-buat seperti itu, natural saja, alamiah saja, bergaul saja dengan biasa asal tadi jangan berikan pot, jangan bertanya-tanya yang tidak perlu, yang pribadi-pribadi, jangan menunjukkan perhatian-perhatian ekstra seperti itu nah itu yang jangan dilakukan, biarkan saja melewati beberapa waktu, lama-lama bisa berbulan-bulan perasaan-perasaan ini akhirnya kembali ke kodrat semulanya biasa saja.
WL : Pak Paul ada orang justru bisa tertarik pada orang yang definisinya atau kriterianya jauh lebih rendah dari istrinya begitu lebih jelek padahal istrinya lebih cantik, terus pendidikannya dan sebagainya, tapi justru tertarik pada orang seperti itu dan akhirnya memang ada beberapa kasus yang akhirnya berselingkuh Pak Paul?

PG : Sudah tentu dalam kasus seperti itu dia tidak tertarik kepada penampilan fisiknya, itu sudah pasti dia tertarik kepada kecantikan batiniahnya yang di dalamnya itu, dia mungkin sekali tidaktemukan pada istrinya dan dia temukan pada wanita itu.

GS : Selain kita tidak boleh panik, apakah ada hal lain yang perlu kita lakukan untuk membentengi pernikahan ini?

PG : Yang kedua adalah jagalah keseimbangan hidup, makin tua saya makin menyadari penting sekali mempunyai keseimbangan hidup misalnya cukup istirahat, cukup kerja, cukup olahraga, cukup rekreasi, cukup bergaul, cukup berteman, nah kecukupan yang berimbang itu membuat jiwa kita relatif lebih stabil kalau kita tidak mempunyai kehidupan yang berimbang dalam kelabilan itu kita lebih mudah sekali terhanyut oleh perasaan kita yang menyukai orang lain, tapi hidup yang lebih stabil memberi kita kekuatan untuk bisa mengendalikan perilaku dan perasaan kita

GS : Maksudnya kalau berimbang itu memang agak sulit Pak Paul, kadang-kadang kita terjebak pada salah satu ekstrimnya begitu, tetapi usaha-usaha apa yang bisa kita lakukan supaya hidup ini berimbang, misalnya pada saat kita masih bekerja tentu jam kerja kita itu akan memakan waktu tenaga dan perhatian kita lebih banyak daripada jam istirahat kita.

PG : Kalau misalkan pada hari kerja itu yang harus terjadi kita memang harus membuat prioritas setelah kita bekerja harus ada waktu di mana kita bisa beristirahat. Misalkan kalau kita memang haus bekerja seperti itu karena diminta oleh perusahaan dan kita tidak ada pilihan lain, hal-hal ekstrakurikuler lainnya yang kita harus kurangi, sehingga akan ada satu hari kita benar-benar bisa tidur dengan pulas tanpa diganggu apa-apa dan tidak banyak kegiatan lainnya.

Nah hal kecil seperti itu yang kita mesti kotak-katik untuk mengembalikan keseimbangan hidup.
GS : Ya itu biasanya kadang-kadang setelah sibuk dengan pekerjaan orang mau rileks, rileksnya adalah misalnya berolahraga Pak Paul, nah ini tidak melibatkan pasangannya lagi atau pergi ke karaoke atau apa yang tanpa melibatkan pasangannya Pak Paul 'kan makin jauh juga.

PG : Kalau sekali-sekali dan secara rutin sejam dua jam tidak melibatkan pasangan tidak apa-apa, yang penting hidupnya seimbang lagi sebab waktu dia seimbang dia pulang ke rumah dia akan menjad seorang pasangan atau seorang istri atau suami yang juga efektif, asalkan kita melakukan hal-hal yang benar bukannya kita mengendorkan diri dengan melakukan hal-hal yang berdosa.

GS : Yang lainnya apa Pak Paul?

PG : Yang ketiga ialah maksimalkan madu pernikahan sendiri maksudnya apa, perbaiki kerusakan yang ada kalau ada masalah coba selesaikan, ungkapkan yang kita inginkan pasangan kita supaya ketahu, harapan-harapan kita dan perbuatlah hal-hal yang menyenangkan pasangan kita yang kita tahu dia senangi cobalah kita lakukan, beli barang kecil-kecil untuk menyenangkan hatinya juga, jadi benar-benar maksimalkan madu pernikahan kita itu nah dengan cara ini kita tidak terlalu mudah terseret oleh emosi kita dan tertarik kepada orang lain.

GS : Jadi di sini harus ada upaya juga dari pihak pasangan yang satunya Pak Paul ya untuk menahan pasangannya supaya tidak keluar benteng begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali, karena memang semakin kering rumahtangga kita, semakin rawan kita untuk bisa hanyut dan tertarik kepada orang lain maka tergantung pada kerja keras dua orang ya suami dan isti untuk bisa menikmati madu pernikahan itu.

WL : Pak Paul, kalau ada orang yang maksudnya pasangan "salah menikah," begitu ya sebenarnya waktu pacaran kurang mengenal sungguh-sungguh pasangannya nah waktu menikah baru ketahuan beda jauh segala macam, pemikirannya jadi banyak sekali ketidakpuasan begitu. Nah ini kalaupun diusahakan misalnya melakukan hal-hal yang menyenangkan, tetap bagi pasangannya ini merupakan hal yang menyebalkan Pak Paul. Bagaimana itu celahnya sangat besar untuk bisa ke orang lain.

PG : Saya harus akui kalau dalam kasus seperti itu memang orang bisa salah pilih, kita bisa salah memilih jurusan, salah membeli rumah, termasuk bisa salah memilih pasangan hidup. Akan sangat-sngat sukar menikmati madu pernikahan itu karena akhirnya yang terjadi adalah terlalu banyak pertengkaran.

Nah saya kira kalau dalam kasus seperti itu tidak bisa selesai, harus cari orang ketiga yaitu seorang hamba Tuhan atau seorang psikolog atau seorang konselor, memohon bantuan mungkin ada standar-standar yang memang harus kita korbankan, sudah kita akan terima mungkin sampai matipun kita tidak bisa mencicipi itu, kita terima, tetapi yang bisa kita nikmati ya kita nikmati sebab asumsinya adalah pada masa awal atau masa berpacaran pasti ada hal-hal yang dia nikmati makanya dia nikahi orang itu. Berarti masih ada, itu yang kita investasikan yang tidak ada dan tidak bisa diberikan oleh pasangan, kita tidak investasikan waktu kita di sana lagi jadi kita hanya investasi waktu dan tenaga kita pada hal-hal yang memang akan menghasilkan buah dan yang telah kita cicipi sebelumnya.
WL : Jadi kita tidak bisa tolerir Pak maksudnya di dalam kekristenan, kalau kasus seperti itu terus justru dia ketemu satu orang katakanlah yang benar-benar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang dia rindukan, "memang saya tidak menemukan di istri saya, bisanya dengan si ini." Lalu ditinggalkan begitu, di Kristen kalau dia sudah menikah berarti tidak bisa Pak Paul?

PG : Sudah tentu kalau ibu Wulan bertanya kepada saya hal itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan kalau sampai terjadi dalam kelemahan orang akhirnya tidak tahan lagi hidup dengan pasanganna yang tidak memenuhi kebutuhannya, dia tinggalkan pasangannya, ya itu suatu perbuatan yang keliru.

Tapi apakah Tuhan tidak memaafkan, Tuhan tidak bisa menerima dia kembali, saya kira ya tetap kalau ada hati yang mau datang, mengakui dan bertobat, Tuhan akan bisa mengerti dan mengampuni ya hidup memang penuh dengan ketidaksempurnaan.
GS : Makanya dalam hal ini Pak Paul saya rasa Tuhan itu yang menjadi benteng yang paling kuat di dalam melindungi kita khususnya hidup pernikahan kita, memang begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali, ini adalah langkah keempat Pak Gunawan yaitu takut akan Tuhan, tidak boleh sampai tidak ingatlah bahwa Tuhan tidak berkenan dengan perzinahan dan dia akan menghukum kita jadikalau masih ada takut akan Tuhan itu mengerem, kita mau melakukan hal-hal yang salah tapi kita tahu Tuhan mengawasi kita, kita lebih bisa mengerem diri kita.

GS : Jadi kalau pada awalnya kita takut akan Tuhan itu harus terus dipelihara, ditumbuhkembangkan terus.

PG : Betul

GS : Jadi apakah kita harus waspada terhadap hal-hal tertentu di dalam menghadapi gangguan atau cobaan-cobaan seperti itu?

PG : Ada beberapa hal langkah praktis yang bisa saya kemukakan Pak Gunawan, jadi berhati-hatilah terhadap misalkan yang pertama ajakan kencan berduaan dari lawan jenis meski ia adalah teman baik. Hampir semua perselingkuhan diawali dengan pertemanan bukannya permusuhan, jadi sudah tentu orang yang kita senangi bercengkerama, tukar pikiran meskipun kita berkata tidak ada apa-apa kok, jangan mulai, jangan pergi-pergi berdua, berkencan pulang kerja dengan lawan jenis kita nah itu jangan, jangan terima ajakannya meskipun rasa sungkan, tidak enak hati tetap tolak kalau itu pergi berduaan tetap tolak.

WL : Kalau bukan atas nama kencan, misalnya yang wanita minta diantar ke suatu tempat yang memang dia tidak punya siapa-siapa yang mengantar, begitu?

PG : Kalau dalam keadaan memang terpaksa misalkan kita dari mana begitu urusan apa terus memang pulang malam dan dia harus pulang sendiri, kendaraan umum dan kita memang punya kendaraan ya sayakira sifat manusiawi kita harus kita perlihatkan, bahwa kita kasihan dia pulang sendiri naik kendaraan umum ya kita antar, tapi ya sudah stop di situ jangan sampai kita jadikan itu sebagai sebuah kebiasaan ya nah itu yang jangan kita lakukan.

GS : Biasanya Pak Paul yang terjadi di antara rekan kerja karena bukan kebetulan ketemu di suatu tempat tetapi memang ini tiap hari sudah rutenya seperti itu begitu Pak Paul?

PG : Nah kalau rutenya seperti itupun juga kita memang ya sebisanya tidak menawarkan setiap kali ikut saya pulang saya antar, tidak juga maka langkah yang kedua yang saya mau katakan adalah berati-hatilah terhadap apa, terhadap sikap yang terlalu baik dan penuh perhatian darinya.

Nah kadang-kadang wanita melihat ini pria baik menawarkan, saya antar, saya jemput pulang sekalian jalan kok, jangan ya terlalu baik seperti itu dan penuh perhatian seperti itu jangan kita terima sebab sekali lagi segala jenis perselingkuhan munculnya dari hal-hal kecil seperti ini.
WL : Pak Paul, ada suami yang berusaha berbuat baik di rumah tetapi "mêntal" tidak dihargai oleh istrinya, justru kalau di kantor ada orang-orang yang bisa mengekspresikan kebutuhan untuk bisa berbuat baik juga. Tapi justru berakibat fatal ya Pak Paul?

PG : Bisa betul, jadi kalau si suami ingin mendapatkan pujian dan perasaan nyaman karena dihargai berbuat baik, banyak gelandangan di jalanan kenapa tidak tolong mereka dihargai kok, jadi tidakusah terlalu berbuat baik kepada perempuan cantik teman sekerja kita.

GS : Mungkin unsurnya bukan cantik tetapi unsurnya kadang-kadang kasihan Pak Paul?

PG : Tapi sekali lagi itulah salah satu penyebab perselingkuhan dan kadang-kadang yang satu itu menikmati daripada dia naik kendaraan umum berdesak-desakan diantar jemput siapa yang tidak mau, api sekali lagi ini salah satu awal yang paling umum.

Yang ketiga adalah berhati-hati juga terhadap pertanyaan-pertanyaan yang terlalu pribadi. Saya ini sadari sekali orang kalau mulai bertanya hal-hal yang pribadi tentang dirinya, apalagi tentang kebiasaan-kebiasaan pribadi di rumah itu memang menunjukkan adanya ketertarikan sebab kalau kita ketemu dengan encim-encim (nenek-nenek) yang kita tidak suka, kita tidak bertanya-tanya dia mandi berapa kali segala macam pasti kita hanya bertanya kepada orang yang kita rasa tertarik hal pribadi itu.
GS : Mungkin bukan ditanya Pak Paul tapi ada orang yang memang menceritakan hal-hal yang sifatnya pribadi itu kepada rekannya itu.

PG : Kalau dia memang senang cerita kita dengarkan tidak apa-apa, tapi berhati-hatilah terhadap orang yang mau tahu lebih banyak tentang kehidupan pribadi kita, nah itu menunjukkan adanya hal-hl yang lebih sebab dia bertanya seperti itu kepada kita apakah dia bertanya seperti itu kepada orang yang lain dan kita tahu misalkan tidak, berarti ini mempunyai nilai tambah bahwa dia memang menyukai kita.

GS : Yang saya lihat semacam ini Pak Paul, kalau dia sudah menceritakan hal yang pribadi dia mengharapkan teman bicaranya itu juga akan memberikan atau menceritakan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya pribadi.

PG : Saya setuju itu bisa jadi, harapannya dia bertanya pribadi, dia cerita-cerita pribadi supaya dia juga mendapatkan imbalannya itu, jadi berhati-hati kita menjawab seperlunya, kalau memang tdak terlalu dekat ya jangan.

Jadi salah satu prinsip yang saya gunakan adalah kalau mau cerita problem kita yang pribadi, cerita kepada sesama jenis jangan kepada lawan jenis yang kita tahu berpotensi membuat kita tertarik kepadanya. Yang lainnya adalah berhati-hatilah terhadap sentuhan yang lembut baik kepada pria maupun wanita sama, jadi berhati-hatilah kalau orang sudah mulai menyentuh kita; kita mesti jaga diri, kita mesti berkata atau kita lain kali elakkan dari sentuhannya atau kita berkata: "Oh maaf, saya tidak mau disentuh". Karena sekali lagi sentuhan-sentuhan itu berbicara sangat-sangat kuat kepada hati kita dan kita memang orang yang mempunyai perasaan jadi mudah sekali tergugah kalau kita mendapatkan sentuhan-sentuhan lembut seperti itu jadi kita mesti jaga jangan terima sentuhan-sentuhan lembut seperti itu.
WL : Ada pengaruh budaya tidak Pak Paul kalau misalnya orang-orang yang Western gitu kan sangat biasa, ke mana-mana misalkan mau menyeberang digandeng, tapi memang nothing spesial begitu Pak Paul?

PG : Saya kira ada pengaruh budaya ya kalau memang budayanya lebih umum biasa juga begitu, tapi saya juga harus katakan perselingkuhan sangat-sangat menjamur di negara barat jadi saya kira teta kalau ada batas lebih baiklah.

GS : Saya mengamati saja Pak Paul, ada beberapa wanita kalau berbicara itu suka mukul-mukul, bukan sentuhan lembut tetapi dipukulkan atau sedikit mukul, sedikit mukul begitu.

PG : Itu tidak apa-apa saya kira itu soalnya tindakan reflek, keramahannya tepak-tepakkan tapi yang mesti dijaga adalah yang lembut-lembut itu, itu yang berbahaya.

WL : Tapi kalau bagi pria yang justru lagi kehausan cinta di rumahnya Pak Paul seperti itu juga disalahtafsirkan?

PG : Jadi tepak-tepak itu adalah tetap sentuhan buat dia, mesti berhati-hati juga. Yang lainnya lagi adalah yang kelima hati-hatilah terhadap ajakan mengerjakan tugas bersama, ini sering dikemuakan sering digunakan yuk kita kerjakan sama-sama ini belum selesai yuk kita kerjakan kita ke mana atau di kantor dulu berduaan atau apa nah itu hati-hati, kalau mau kerjakan sama-sama ya ramai-ramai jangan berduaan setelah itu pulang ramai-ramai juga, jadi hati-hati dengan ajakan seperti ini.

GS : Di dalam hal mengerjakan tugas memang kadang-kadang dituntut seperti itu tapi yang lebih berbahaya itu kalau diajak pergi bersama-sama harus tugas ke luar kota dan sebagainya Pak Paul itu kontrolnya lebih susah.

PG : Wah betul sekali, susah itu.

GS : Pada hal sekarang itu sering kali terjadi tuntutan-tuntutan pekerjaan yang seperti itu.
GS : Betul, maka atasan yang baik seharusnya tahu tentang hal-hal seperti ini dan tidak sengaja menugaskan laki-laki dan wanita pergi berduaan untuk ke luar kota, tinggal di hotel yang sama dan sebagainya. Mula-mula hotelnya sama kamar berbeda, lama-lama hotelnya sama kamarnya pun sama, jadi berbahaya sekali.
GS : Apakah ada petunjuk praktis yang lain?

PG : Yang lainnya adalah orang yang sedang dalam keadaan butuh secara emosional, itu yang kita juga harus berhati-hati. Misalkan kita tahu teman kita sedang melewati masa pernikahan yang sangatsusah, jangan kita ini mau tahu terus dekat-dekati dia, berhati-hati karena banyak juga perselingkuhan dimulai dengan open-openan, sharing-sharingan seperti ini, membuka diri, cerita-cerita, akhirnya bertambah simpati, tambah simpatik.

Yang satu merasa istri saya tidak mengerti kok kamu paling mengerti saya, nah akhirnya terlibat secara emosional jadi mesti berhati-hati. Dan yang terakhir Pak Gunawan, berhati-hatilah terhadap orang yang tidak takut akan Tuhan tetap ini saya kembalikan pada faktor Tuhan, orang yang tidak takut Tuhan menghalalkan segala cara, kalau dia mau dengan kita, kita sudah bersuamipun dia tidak perduli dia tetap memaksa masuk, jadi berhati-hati terhadap orang yang tidak takut akan Tuhan di dalam hidupnya.
GS : Jadi memang ada petunjuk-petunjuk praktis yang tadi Pak Paul sudah sampaikan tetapi pasti ada petunjuk dari Firman Tuhan yang juga perlu kita perhatikan, apakah Pak Paul bisa sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 3:6-8 "Akuilah dia dalam segala lakumu, maka ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejhatan, itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu."

Akuilah Tuhan dalam segala lakumu artinya libatkan Tuhan dalam setiap jengkal kehidupan kita bahkan dalam relasi kita dengan lawan jenis kita harus libatkan Tuhan. Waktu kita tertarik pun kepada orang libatkan Tuhan, akui di hadapan Tuhan: "Saya tertarik kepada dia Tuhan, tolong saya agar saya tidak menyediakan pot bagi bibit kasih ini," dan Tuhan berjanji kalau kita mengundang Tuhan terlibat dalam setiap jengkal kehidupan kita maka Tuhan akan meluruskan jalan kita artinya apa, Tuhan akan menghindarkan kita dari problem, dari masalah-masalah perselingkuhan seperti ini. Dan nasihat Tuhan yang kedua jangan engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan artinya ada orang yang berkata tidak apa-apa kok teman saja kok, biasa saja kok, tidak ada apa-apa kok, saya hanya bantu dia, saya hanya mendengarkan dia tidak apa-apa. Menganggap diri bijak, menganggap diri kuat akhirnya benar-benar kejeblos jadi mesti berhati-hati jangan menganggap diri itu kuat dan Tuhan berkata takutlah akan Tuhan artinya benar-benar kita takut, Tuhan itu bisa membalas kalau sudah tidak ada rasa takut akan Tuhan semua hal akan kita berani lakukan dan itu yang berbahaya.

GS : Bagi para pendengar yang mau melihat ayat tadi yang dibacakan Pak Paul dari Amsal 3:6-8 mungkin itu sesuatu yang menarik untuk anda catat dan bisa dibaca lagi karena kitab Amsal penuh dengan nasihat-nasihat yang sangat berguna. Jadi terima kasih sekali Pak Paul dan Ibu Wulan untuk perbincangan ini juga para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga) kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membentengi Pernikahan". Bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id saran-saran, pertanyaan serta tanggapan anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda sampai jumpa pada acara telaga yang akan datang.



31. Titik Rawan Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T146B (File MP3 T146B)


Abstrak:

Setelah pernikahan berjalan 1,15,30 tahun, dikatakan di saat itulah disebut titik rawan pernikahan. Maka sebagai pasangan yang baru menikah harus mengetahui apa yang perlu ditanamkan untuk mengimbangi perbedaan-perbedaan. Karena tugas pernikahan adalah menyesuaikan diri agar kita bisa hidup bersama, hidup harmonis dengan pasangan kita.


Ringkasan:

Kita harus melindungi dan memupuk pernikahan kita, karena seperti pohon atau tanaman yang tidak diberikan pupuk, tidak dirawat, tidak diberikan cukup matahari dan air, lama-lama tanaman itu juga akan kering dan akhirnya mati. Pernikahan seperti itu pula, kita harus senantiasa menjaganya.

Tiga fase atau kurun waktu dalam pernikahan yang harus kita cermati, supaya kita tidak mengalami masalah yang lebih besar pada fase-fase ini:

  1. Usia 1 - 3 tahun setelah menikah, tahun-tahun pertama merupakan tahun yang rawan karena pada masa-masa ini kita belum cukup untuk mempunyai akar. Dengan kata lain fondasi pernikahan kita belum cukup kuat. Dan penyesuaian diri mencapai puncaknya justru pada tahap awal ini.

    Yang perlu kita lakukan adalah menanamkan lebih banyak investasi emosional. Artinya jangan sampai lalai melakukan hal-hal yang menyenangkan hati pasangan kita. Lakukan hal-hal bersama dengan pasangan kita, tunjukkan cinta kasih lebih banyak.

  2. Usia 15 - 20 tahun setelah menikah:

    1. Masa di mana anak-anak pada umumnya menginjak usia remaja. Mengapa dikatakan pada usia ini rawan? Karena anak remaja dalam masa-masa pergolakan, mereka cenderung untuk memberontak dan menantang otoritas orang tua. Ini adalah masa yang kritis karena tidak sama antara tugas membesarkan anak dan tugas memadamkan pemberontakan anak. Kalau suami-istri tidak kuat, tidak bisa menyesuaikan diri dalam hal memadamkan pemberontakan anak, mereka rawan sekali mengalami perpecahan.

    2. Masa di mana suami atau istri sudah mapan di dalam karier. Sehingga rawan sekali terhadap perselingkuhan.

    Tindakan apa yang bisa dilakukan?
    Suami-istri harus mulai mempersiapkan diri sebelumnya. Yaitu dengan investasi emosional, lakukan hal-hal yang baik, tunjukkan kasih sayang dan kemesraan satu sama lain pada masa-masa ini.

  3. Usia 30 tahun setelah menikah, masa di mana anak-anak sudah berkeluarga dan akhirnya mereka benar-benar lepas dari kita. Dan kita sebagai orang tua 100% hidup berduaan, kita diperhadapkan dengan satu sama lain. Suami-istri dituntut lagi untuk menyesuaikan diri, tanggung jawab rumah tangga mesti dibagi baik-baik karena dua-dua lebih terfokus pada rumah sendiri, tidak ada orang lain dan lebih melihat pasangan dengan jelas.

1 Tawarikh 17:27, "Kiranya Engkau sekarang berkenan memberkati keluarga hambaMu ini, supaya tetap ada di hadapanMu untuk selama-lamanya. Sebab apa yang Engkau berkati, ya Tuhan, diberkati untuk semala-lamanya."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S. Th., akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Titik Rawan Pernikahan", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, dari topik perbincangan kita pada kesempatan ini tentang titik rawan pernikahan. Apa atau ada seberapa banyak titik rawan di dalam pernikahan itu atau maknanya apa Pak Paul?

PG : Begini Pak Gunawan, sudah tentu kita harus selalu berjaga-jaga, melindungi pernikahan kita, kita juga harus memupuk pernikahan kita karena seperti pohon atau tanaman yang tidak diberikan ppuk, tidak dirawat, tidak diberikan cukup matahari dan air lama-lama tanaman itu juga akan kering dan akhirnya mati.

Pernikahan itu seperti itu pula, kita harus senantiasa menjaganya. Tapi saya perhatikan sebetulnya ada masa-masa tertentu di mana pernikahan kita itu sebetulnya terlebih rawan dibandingkan masa-masa yang lainnya.
GS : Ya, maksudnya ada suatu rentang waktu tertentu atau setelah pernikahan itu berjalan sekian waktu lamanya pasangan ini akan menemui hidup pernikahan yang sulit begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali. Ini memang saya bagi dalam tiga frase, tiga kurun waktu. Yang pertama adalah yang saya sebut usia pertama yaitu usia 1 tahun sampai 2 atau 3 tahun setelah kita menikah. Keduaadalah usia 15 tahunan setelah kita menikah.

Dan yang ketiga adalah usia 30 tahunan setelah kita menikah. Dengan kata lain yang saya panggil ini masa 1, 15, dan 30. Jadi 3 fase yang harus kita cermati agar jangan sampai kita mengalami masalah yang lebih besar pada fase-fase itu.
WL : Berdasarkan apa Pak Paul mengategorikan 3 fase ini angka 1 misalnya terus 15 dan 30. Nanti orang pikir ini angka keramat.

PG : Sudah tentu memang tidak ada dasar empirisnya dari pihak saya untuk mengatakan ketiga masa ini sebagai masa yang rawan. Tapi saya akan jelaskan mengapa saya mengatakan ketiga masa ini rawan. Yang pertama yang saya sebut tadi masa usia tahun pertama setelah kita menikah. Tahun-tahun pertama merupakan tahun yang rawan karena pada masa-masa ini kita belum cukup untuk mempunyai akar. Dengan kata lain fondasi pernikahan kita belum cukup kuat. Kita baru memulainya. Tapi di saat memang fondasi ini belum kuat kita dikejutkan dengan perbedaan-perbedaan yang kita temukan pada pasangan kita. Dengan kata lain penyesuaian diri ini mencapai puncaknya justru pada tahap awal ini. Benar-benar kita melihat kok berbeda, kok seperti ini. Meskipun sebelum menikah kita sudah menemukan bahwa kita tidak sama. Tapi setelah tidur serumah 24 jam sehari, akhirnya kita menemukan betapa tidak samanya kita. Jadi saya mengulang lagi yang pernah dikatakan oleh dekan atau mantan dekan psikologi. Fuller Seminary di Amerika. Archibald Hart yang mengatakan bahwa sebetulnya kita mengawali pernikahan kita di dalam perbedaan atau ketidakcocokan. Nah, tugas pernikahan adalah menyesuaikan diri agar kita bisa hidup bersama, hidup harmonis dengan pasangan kita. Dengan kata lain pada awal pernikahanlah kita benar-benar dihadapkan pada fakta-fakta bahwa kita itu tidak sama. Tapi pada saat yang bersamaan modal atau akar kita itu masih belum kuat kita baru memulai sehingga investasi emosional kita itu relatif masih kecil.

WL : Pak Paul, bukannya justru masa-masa awal pernikahan orang bilang itu masih masa bulan madu, masih semua manis, suami juga baik, istri juga baik. Tapi justru menurut penilaian Pak Paul ini masa rawan?

PG : Betul Bu Wulan. Memang betul tahun pertama itu merupakan tahun bulan madu tapi sebetulnya kalau kita perhatikan manisnya bulan madu itu tidak berlangsung selama setahun sebetulnya. Dalam bnak kita kadang-kadang kita berpikiran wah masih panjang setahun lebih.

Tapi bukankah kenyataannya bahwa kita sungguh-sungguh berada di puncak ikatan romantis itu. Mungkin hanya beberapa bulan saja. Setelah beberapa bulan sebetulnya kita mulai menuruni gunung emosi itu dan masuk ke lembah kenyataan hidup. Dan lembah kenyataan hidup adalah bahwa kita berbeda. Jadi betul adanya getaran-getaran, listrik-listrik emosional, cinta-cinta yang masih kuat, betul itu ada. Tapi sesunguhnya itu tidak berlangsung terlalu lama.
GS : Ya, tapi biasanya pada awal-awal tahun itu pasangan ini masih punya optimisme yang tinggi untuk bisa mempertahankan rumah tangga mereka Pak Paul, jadi sekalipun mereka tahu banyak perbedaan dan cekcok mereka akan tetap bertahan karena itu jarang kita melihat pasangan yang satu tahun lalu bercerai begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi yang saya maksud dengan satu itu memang tidak secara saklak berarti satu tahun, tetapi tahun-tahun pertama. Saya memang rentangkan antara satu hingga sekitar lima tahun.Betul sekali bahwa pada tahun pertama itu sewaktu kita menemukan perbedaan ikatan atau komitmen kita yang baru menikah itu masih segar, sehingga kita masih mempunyai tenaga untuk berkata ya pastilah kita bisa menyelesaikan masalah ini, perlu waktu yang lebih banyak, lebih panjang, dan sebagainya.

Namun kalau kita tidak berhasil menyesuaikan diri antara satu sama lain dan mulailah kita memasuki tahun kedua, tahun ketiga, apalagi tahun keempat dan tahun kelima biasanya tidak sampai tahun kelima pun frustrasi itu akan meninggi sekali. Karena memang kita tidak sesabar itu juga, secara alamiah kita itu ingin menyaksikan, memetik hasil, kita ingin melihat adanya penyelesaian atau perubahan. Kalau sudah tahun kedua tahun ketiga ribut hal yang sama terus-menerus, itu bisa mulailah mengecilkan api semangat kita bahwa ini akan selesai dengan segera akhirnya kita mulai disadarkan bahwa masalah-masalah ini tidak akan selesai dengan segera dan cukup banyak yang tidak selesai dengan segera. Kalau selesai dengan segera masih sedikit mungkin kita masih bisa bertahan, tapi kalau kita sadari kok banyak dan bertambah maka tahun kedua, tahun ketiga makin berat sekali beban yang kita pikul itu.
WL : Pak Paul, tadi Pak Paul menyebutkan bahwa masa ini banyak masa istilahnya kaget-kaget, terkejut oleh munculnya perbedaan-perbedaan. Perbedaan mungkin yang tidak terduga karena dia itu terkejut dan kalau terduga berarti 'kan tidak terkejut. Berarti saya pikir besar pengaruhnya pada masa sebelumnya pada masa pacaran, masa pengenalan, kualitas pengenalan satu sama lain itu besar sekali ya Pak Paul?

PG : Tepat sekali Bu Wulan. Kebanyakan kita ini pada masa berpacaran keinginan kita untuk memiliki pasangan kita itu besar. Oleh karena itu kita akan mengalami pertentangan antara menjadi diri endiri atau menjadi seperti yang diharapkan pasangan kita.

Nah biasanya pada masa berpacaran yang lebih kuat adalah menjadi seperti yang diharapkan pasangan kita. Itu yang lebih kuat. Karena kita masih menyimpan keinginan untuk memiliki pasangan kita itu. Jadi kita kompromi meskipun kita tidak setuju kita simpan kita tidak ungkapkan. Banyak hal-hal yang seperti itu atau kita berpikir ah mungkin nanti bisa selesai dengan sendirinya. Jadi ini kombinasi dari semua itu yang membawa kita ke dalam tahun pertama pernikahan yang akhirnya bisa memunculkan hal-hal yang tak terduga itu.
GS : Nah, kalau demikian apa yang harus dilakukan oleh pasangan yang masih baru menikah ini Pak Paul?

PG : Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah kita harus menanamkan lebih banyak investasi emosional. Karena apa, sudah tentu kita mencoba menyelesaikan perbedaan-perbedaan kita, mengkomunikaikannya, membicarakannya, dan sebagainya.

Nah, sudah tentu kalau ini kita lakukan lebih banyak pada masa-masa awal berpacaran hasilnya akan kita petik setelah kita menikah. Kalau kita lebih berani menunjukkan siapa kita, menunjukkan pendapat kita yang mungkin berbeda dengan pasangan kita, justru kalau kita berani begitu pada masa berpacaran seyogyanya setelah berpacaran 2 tahun 3 tahun seharusnya perbedaan-perbedaan itu makin mengecil. Sehingga waktu kita memasuki pernikahan tugas mengharmoniskan tidaklah terlalu berat lagi. Tapi kalau misalkan memang kita tidak terlalu bekerja keras pada masa berpacaran, pada masa pernikahanlah kita bekerja keras menyesuaikan diri. Tapi ingatlah atau camkanlah bahwa tidak apa-apa jalani terus jangan putus asa, jangan mundur, terus jalani karena kalau dua-dua jujur, dua-dua terbuka berani menjadi diri sendiri juga berani untuk menyesuaikan diri demi pasangan, lama kelamaan kita makin menemukan titik temu. Jadi itu tugas pertama yang harus kita lalui. Namun yang kedua itu yang saya awali yang saya katakan adalah tanamkan investasi emosional artinya jangan sampai lalai melakukan hal-hal yang menyenangkan hati pasangan kita. Lakukan hal-hal bersama dengan pasangan kita. Tunjukkan cinta kasih lebih banyak meskipun minggu lalu mungkin kita baru bertengkar, jangan merasa aduh saya baru bertengkar, saya tidak mau mesra-mesraan. Jangan. Justru munculkan dan bagikan kemesraan itu. Lakukanlah hal-hal yang manis untuk pasangan kita. Karena itu yang akan menancapkan akar kita meskipun nanti kita akan ada pertengkaran tapi fondasi kita makin hari makin kuat.
GS : Ya, kalau titik rawan yang berikutnya yang Pak Paul tadi sebutkan pada usia ke 15 dari pernikahan itu sebenarnya apa tantangan yang dihadapi oleh pasangan suami istri itu?

PG : Nah, ini usia pernikahan ke 15 antara 15 tahun hingga 20 tahun adalah masa di mana anak-anak pada umumnya menginjak usia remaja. Ya mungkin usia 15 tahun atau 16 tahun, 17 tahun, mengapa kk saya katakan ini masa rawan.

Masa remaja kita tahu masa penuh pergolakan, anak-anak cenderung memberontak terhadap pengawasan orang tua. Nah, ada perbedaan yang besar antara membesarkan anak dan memadamkan pemberontakan anak. Itu dua hal yang tidak sama. Pada masa anak-anak kecil usia 7 sampai 8 tahun atau 9 tahun ya ada pemberontakan, tapi tidak bisa kita samakan dengan pemberontakan pada masa remaja. Sebab pada masa remaja anak-anak itu benar-benar menantang otoritas kita. Pada masa lebih kecil mungkin anak-anak itu tidak menaati perintah kita. Itu saja tidak turut perintah kita suruh mandi tidak mau mandi dan sebagainya. Tapi pada masa remaja mereka menantang otoritas kita sebagai orang tua. Maka tadi saya katakan ini masa yang kritis sebab tidak sama antara tugas membesarkan anak dan tugas memadamkan pemberontakan anak. Pada masa-masa ini kalau suami istri tidak kuat-kuat, tidak bisa menyesuaikan diri lagi dalam hal memadamkan pemberontakan anak, mereka rawan sekali mengalami perpecahan. Di sini ini perbedaan-perbedaan yang tadinya tidak terlihat memang karena tidak pernah mengalami masa ini bisa muncul dengan sangat jelas. Sebagai contoh ada orang yang dengan kekerasan memadamkan pemberontakan ada orang yang mencoba membujuk untuk memadamkan pemberontakan. Nah dua metode ini rawan sekali menimbulkan konflik di antara suami dan istri.
GS : Jadi itu masalahnya adalah orang tua terhadap anak pada mulanya itu Pak?

PG : Pada mulanya itu.

GS : Apakah kerawanan ini juga akan dialami oleh pasangan yang tidak dikaruniai anak misalnya?

PG : Pada usia-usia ini sebetulnya tidak. Karena memang mereka tidak mempunyai pemicunya. Kalau memang mereka berhasil menyelesaikan perbedaan mereka pada tahun-tahun pertama pernikahan seharusya memasuki ulang tahun ke 15 pernikahan mereka, mereka tidak harus menghadapi masalah seperti yang dihadapi oleh pasangan yang mempunyai anak-anak remaja.

WL : Saya sering mendengar Pak Paul, ada orang-orang bilang kalau punya anak itu justru mempererat pernikahan kita, jadi suami kita kalau mau selingkuh juga akan berpikir dua kali, terus kaitannya dengan penjelasan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Sebetulnya yang Ibu Wulan katakan memang tepat bahwa anak itu mempererat relasi orang tua, itu betul sekali. Jadi di samping anak-anak memicu keluarnya lagi perbedaan antara orang tua tapidi saat yang bersamaan kehadiran anak-anak ini sudah cukup memberikan akar yang dalam pada pernikahan ini.

Jadi memang pada masa ini meskipun mereka rawan konflik tapi akar itu sudah tertancap dengan kuat. Sehingga pada akhirnya kalau saja mereka bisa bersabar, membicarakan cara yang lebih efektif, memadamkan pemberontakan si anak, seharusnya mereka bisa melewati fase ini. Dan tidak haruslah perbedaan ini memecah belah mereka.
GS : Ini biasanya pada usia yang ke 15 ini Pak Paul, karier dari si suami atau mungkin kalau istri bekerja mengambil suatu karier tertentu itu sudah mapan-mapannya Pak Paul, tadi Bu Wulan menyinggung masalah perselingkuhan. Pada usia-usia seperti ini justru saya melihat sering terjadi perselingkuhan di antara mereka.

PG : Sering kali memang perselingkuhan terjadi pada pasangan yang mencapai usia pernikahan yang ke 15. Jadi secara usia merekanya sendiri itu berusia 40 sampai 50 tahun. Usia di mana mereka sudh berada pada posisi mapan dalam karier mereka.

Jadi memang mereka apalagi pria di sini menjadi tokoh yang diidamkan oleh lawan jenis karena kemapanannya itu. Jadi ini juga salah satu bahaya yang harus diwaspadai oleh pasangan nikah.
GS : Ya, Pak Paul, kalau begitu pada pernikahan usia 15 ini tindakan apa yang bisa diambil oleh suami maupun istri?

PG : Pertama-tama memang suami-istri harus mulai mempersiapkan diri sebelumnya. Karena pada masa anak-anak kecil mereka bergantung kepada kita. Jadi kebergantungan anak kepada kita sebagai oran tua itu akan mengeratkan kita dengan anak dan sekaligus antara kita dengan pasangan kita.

Begitu anak menginjak usia remaja kebergantungan mereka berkurang dan sangat drastis berkurangnya. Karena bukan saja mereka tidak bergantung merekapun mulai menghalau kita kalau kita terlalu dekat-dekat mau tahu urusan mereka dan sebagainya. Berarti orang tua mulai kehilangan perannya di sini sebagai orang tua yang biasa mengasuh anak-anak. Dan itu berarti juga ikatan yang mengakrabkan mereka tiba-tiba mulai kendor sekarang. Meskipun akarnya ada dan sebagainya tadi yang telah kita bahas. Tapi tak bisa disangkal bahwa ikatan itu mulai kendor. Karena fungsi mereka juga mulai berkurang. Kalau dulu mereka bisa duduk bersama membicarakan manis-manisnya si anak sekarang membicarakan problem pemberontakan si anak ini. Jadi dalam pengertian ini orang tua harus mengantisipasi jauh hari sebelumnya bahwa anak-anak makin tidak bergantung kepada kita. Nah apa yang bisa kita lakukan sekarang dengan diri kita. Nah sekali lagi mau anjurkan orang tua investasi emosional ini penting lakukan hal-hal yang baik, tunjukkan kasih sayang dan kemesraan satu sama lain bahkan pada masa-masa ini.
GS : Bagaimana dengan titik rawan yang ke 3 yang tadi Pak Paul katakan?

PG : Yang terakhir adalah kelanjutan dari masa remaja Pak Gunawan, yaitu masa di mana anak-anak kita itu sudah berkeluarga, akhirnya mereka benar-benar lepas dari kita dan kita sebagai orang tu 100% hidup berduaan kita diperhadapkan dengan satu sama lain.

Nah, biasanya karena kitapun telah mengalami perubahan-perubahan melewati fase waktu yang panjang nah pada usia agak tua yaitu 60-an dan sebagainya, tidak bisa tidak akhirnya kita juga mempunyai tuntutan yang berbeda pada pasangan kita. Kita mempunyai selera yang sedikit berbeda dari dulu 40 tahun yang lalu dan sebagainya. Nah artinya apa, kita dituntut lagi untuk menyesuaikan diri, tanggung jawab rumah tangga mesti dibagi baik-baik karena dua-dua lebih terfokus pada rumah sendiri tidak ada orang lain dan lebih melihat pasangan dengan sejelas-jelasnya. Karena tidak ada lagi anak-anak di rumah.
WL : Pak Paul, benar atau tidak yang orang-orang katakan, pada usia pernikahan seperti ini kami memang sudah seperti kakak adik begitu maksudnya relasinya sedikit saja dia bergerak saya sudah tahu apa yang dia lakukan. Sepertinya sudah mengenal dengan jelas tapi seperti yang Pak Paul jelaskan justru kan terbalik justru ini masa rawan?

PG : Rawan dalam pengertian memang masalah-masalah itu tidak terselesaikan dengan baik pada masa-masa sebelumnya. Tapi kalau semua terselesaikan dengan baik tentu akan ada penyesuaian tetap aka ada.

Namun pada masa-masa itu karena sudah banyak yang terselesaikan sedikit sekali yang harus kita selesaikan atau menyesuaikan diri. Biasanya yang paling umum adalah penyesuaian dalam hal tanggung jawab rumah tangga. Karena dua-dua sering di rumah sekarang. Jadi dua-dua mesti punya teritori dulu boleh dikata pagi sampai jam 5, jam 6 itu teritori rumah itu dikuasai oleh si istri sekarang si suami pulang lebih pagi atau bahkan tidak bekerja lagi sudah pensiun berarti teritori harus dibagi. Biasanya itu merupakan konflik yang utama. Tapi kalau yang sebelumnya terselesaikan seharusnya konflik itu tidak berlangsung lama hanya perlu penyesuaian mungkin ya beberapa bulan. Setelah itu mereka akan masuk lagi pada jalur pernikahan mereka.
GS : Ya, sering kali mereka menemui masalah itu apa yang harus mereka kerjakan gitu Pak Paul? Jadi si istri juga merasa risih ada suami yang terus di rumah dan suami pun mungkin mengalami sindrom kehilangan kekuasaan dan sebagainya.

PG : Betul, jadi pada masa-masa ini kalau tidak hati-hati kehadiran pasangan memang menjadi gangguan. Dulu sebelumnya kepulangan si suami dari kerja itu menjadi hal yang dirindukan, sekarang keadiran suami di rumah terus-menerus menjadi gangguan bagi si istri.

Sebaliknya demikian pula dengan si suami dulu jam 6, jam 7 malam dia terburu-buru ingin pulang karena merindukan rumahnya mau bertemu dengan istrinya tetapi setelah pensiun dia melihat istri dari pagi sampai malam itu bisa menjadi gangguan. Jadi tepat yang Pak Gunawan katakan. Jadi memang di sini diperlukan penyesuaian kembali. Melakukan apa bersama-sama sehingga kita bisa mengisi waktu. Jadi memang dua-dua harus berbicara dengan terbuka membicarakan hobi masing-masing. Kadang-kadang ada masalah di sini sebab tiba-tiba si suami menyadari hobinya istri sama sekali dia tidak sukai. Sebelumnya dia tidak begitu peduli karena dia sering di luar rumah. Sekarang dia baru sadar hobi istrinya dia tidak suka si istri juga tahu hobi suami dan dia tidak suka. Nah itu menjadi bahan-bahan konflik yang mereka harus pecahkan.
WL : Mereka berdua mungkin perlu kreatif untuk menciptakan kegiatan berdua bersama-sama yang disetujui dan disukai bersama-sama.

PG : Betul, dan memang tidak mungkin menyelaraskan semua sehingga semua bisa dilakukan bersama-sama. Tapi setidak-tidaknya dua-dua berani mengalah untuk bersedia melakukan hal-hal yang disenang oleh pasangannya dan sudah dilakukan.

Jadi bergantian untuk menyenangkan pasangannya.
GS : Ada sepasang suami-istri yang seperti itu Pak Paul, istrinya lebih memilih ditinggal di rumah anaknya yang kebetulan tinggal di luar kota. Suaminya ditinggalkan begitu saja. Nanti berapa bulan dia datang lagi. Cuma sebentar dia keluar lagi ke anaknya yang lain.

PG : Kemungkinan besar dalam kasus seperti itu Pak Gunawan memang pada dasarnya dari awalnya mereka tidak berhasil menyelaraskan perbedaan mereka. Jadi pada masa akhir pada masa tua itu perbedan itu benar-benar muncul pada puncak-puncaknya dan kelihatan semua dan sudah terlambat karena sudah berakar dan ini susah diapa-apakan.

Akhirnya banyak juga pasangan yang mengambil sikap seperti itu. Kita berdamai dengan satu syarat jangan terlalu sering bertemu.
GS : Pak Paul, untuk perbincangan ini apakah ada ayat firman Tuhan yang menguatkan kita semuanya.

PG : Saya akan bacakan doa Daud 1 Tawarikh 17:27, Kiranya Engkau sekarang berkenan memberkati keluarga hambaMu ini, supaya tetap ada di hadapanMu untuk selama-lamanya. Sebab apa yag Engkau berkati, ya Tuhan, diberkati untuk selama-lamanya.

Saya kira ini harus menjadi doa semua pasangan Kristiani dari awal pernikahan meminta Tuhan untuk terus memberkati pernikahan kita. Sudah tentu kita hanya akan menerima berkat dari Tuhan dalam pernikahan kita kalau kitapun menaati yang Tuhan inginkan, jadi harus rendah hati ya rendah hati, harus minta maaf ya minta maaf harus mau belajar dari pasangannya dan sebagainya. Nah, kalau kita lakukan semua itu doa kita saya percaya akan Tuhan kabulkan. Tuhan akan melimpahkan berkatNya pada kita untuk selamanya.
GS : Tapi kalau kita melihat faktanya itu anak-anak Daud bermasalah di dalam hidup pernikahan mereka?

PG : Karena Daud memang tidak menaati Tuhan dengan sepenuh hati. Ada hal-hal yang dia lakukan yang sangat salah dalam kehidupan keluarganya. Dan itu yang menanamkan dendam pada diri anak-anakny dan sudah tentu Daud tidak lagi bisa mengawasi anak-anaknya dengan benar karena dia terlalu banyak mempunyai istri dan sebagainya.

GS : Tentu kita bersyukur bahwa hal-hal semacam itu dicatat dalam Alkitab sehingga kita bisa belajar dari pengalaman Daud dan keluarganya Pak Paul. Terima kasih untuk perbincangan kali ini juga Ibu Wulan terima kasih untuk kehadirannya pada perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Titik Rawan Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



32. Perubahan dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T155B (File MP3 T155B)


Abstrak:

Hidup bersama dalam pernikahan menuntut adanya perubahan dan penyesuaian diri. Karena itulah diperlukan suatu karakteristik yang disebut fleksibel, artinya dua-dua harus sanggup mengubah diri agar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pasangan.


Ringkasan:

Norman Wright menjabarkan beberapa karakteristik yang diperlukan oleh orang yang ingin hidup dalam pernikahan. Salah satunya adalah fleksibel. Mengapa demikian? Hidup bersama senantiasa menuntut perubahan dan penyesuaian diri. Fleksibel berarti sanggup mengubah diri agar sesuai dengan pengharapan pasangan.

Perubahan Internal dalam Pernikahan

  1. Perubahan usia-bertambah tua dan tidak semenawan dulu.
  2. Perubahan kesehatan-menderita sakit yang memerlukan perawatan khusus.
  3. Perubahan cara pikir dan nilai kehidupan-akibat tempaan kehidupan atau pekerjaan yang kita geluti.

Perubahan Eksternal dalam Pernikahan

  1. Lingkungan hidup-pindah kota.
  2. Lingkungan kerja-pindah kerja.
  3. Kualitas kehidupan-penurunan penghasilan.
  4. Masalah anak-memberontak atau meninggalkan rumah.

Bagaimana Menghadapinya?

  1. Bedakanlah apakah perubahan ini sesuatu yang harus diterima atau dilawan.
  2. Hiduplah sesuai fakta, artinya sesuaikan hidup dengan realitas.
  3. Fokuskan perhatian pada solusi bukan penyebab problem.
  4. Bangunlah jaringan pendukung-sahabat jauh sebelum problem muncul.
  5. Pelihara keterbukaan di antara suami-istri.

Firman Tuhan, "Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi; siapa tidur pada waktu panen membuat malu." Amsal 10:5


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Perubahan dalam Pernikahan", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Norman Wright, seorang pakar keluarga di Amerika Serikat menjabarkan beberapa karakteristik yang diperlukan oleh orang yang ingin hidup dalam pernikahan, salah satunya adalah fleksibel.

GS : Melalui pernyataan itu, sebenarnya apa yang ingin disampaikan oleh Norman Wright itu?

PG : Begini Pak Gunawan, hidup bersama menuntut perubahan dan penyesuaian diri. Fleksibel berarti sanggup mengubah diri agar sesuai dengan pengharapan pasangan. Kita tidak bisa senantiasa mengiuti pengharapan pasangan, tapi di pihak lain kita juga tidak bisa menolak pengharapan pasangan sama sekali.

Jadi kalau kita orang yang kurang fleksibel, kita akan menolak permintaan pasangan, kita berkata inilah saya dan saya akan menjadi saya sampai kapan pun. Nah, kalau kita memiliki prinsip seperti itu, ini menandakan kita orang yang kaku dan tidak fleksibel. Nah, ternyata karakteristik fleksibel itu mutlak diperlukan untuk membangun pernikahan. Kalau kita kaku dan tidak fleksibel berarti kita memang kekurangan modal yang besar untuk bisa membangun sebuah pernikahan.
GS : Biasanya justru pada masa pacaran atau sampai awal masa pernikahan, siapapun itu gampang sekali fleksibel di dalam hidup pernikahannya itu. Mengalah, mau menuruti permintaannya, tetapi makin lama fleksibelitasnya itu berkurang, kenapa Pak Paul?

PG : Dari satu sisi kita memandang itu sebagai sesuatu yang wajar Pak Gunawan, jadi pada titik-titik awal dalam relasi kita, kita itu memang cenderung karena ingin memenangkan ya, memenangkan tofi yaitu pasangan kita, kita rela berkorban.

Dengan kata lain kita rela mengabaikan kepentingan, kehendak, keinginan dan selera kita sendiri demi mendapatkan pasangan kita itu, demi mencocok-cocokkan diri dengannya. Nah setelah kita mendapatkan dan setelah relasi itu memasuki jalur yang lebih lurus, dan tidak lagi bergejolak dan bergelora dengan cinta-cinta yang masih hangat, kita itu biasanya mulai berpikir dengan lebih obyektif. Kenapa dulu saya terus mengalah, dulu saya tidak pernah menyuarakan isi hati saya, ah.....sekarang tidak lagi, saya tidak lagi mau mengalah begitu saja, saya akan mencoba berargumen. Atau dulu saya ikuti saja permintaannya tanpa memikirkan dampaknya pada diri saya, tidak ah......sekarang saya mau menghitung-hitung dulu apa dampaknya pada diri saya. Dengan kata lain, memang kita melihat relasi kita dengan lebih oyektif maka dari satu sisi sebetulnya ini adalah sesuatu yang wajar dan baik. Karena relasi kita itu sekarang memasuki fase berikutnya, fase yang lebih realistik. Kalau sebelumnya fase yang penuh dengan fantasi, namun sekarang kita benar-benar hidup dalam realitas, lebih oyektif, lebih jernih, meskipun ada harga yang harus kita bayar. Karena kita lebih memunculkan siapa kita, akibatnya pertengkaran tidak bisa dihindari, kadang-kadang muncul. Tapi sekali lagi kalau kita berhasil mengatasi pertengkaran itu dan berhasil hidup dengan diri kita bersama dengan pasangan kita sehingga kita tidak kehilangan diri 100%, sebetulnya pernikahan kita itu memasuki dimensi yang baru yang lebih kuat dan lebih bisa bertahan untuk waktu yang lama.
GS : Tapi biasanya memang kita itu sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi Pak Paul, dengan berjalannya umur pernikahan kita itu 'kan banyak sekali yang terjadi di sekeliling kita, nah yang terutama perubahan-perubahan seperti apa itu Pak Paul?

PG : Saya bagi perubahan itu dalam dua kategori, yang pertama perubahan internal dan yang kedua perubahan eksternal. Saya akan coba jabarkan beberapa perubahan internal terlebih dahulu. Pertamaadalah perubahan usia, kita makin bertambah tua berarti kita tidaklah semenarik sewaktu kita muda, tubuh kita tidaklah selangsing sewaktu kita muda, kulit kita tidaklah semulus waktu kita masih muda, nah penampilan akhirnya turut menurun.

Ini perubahan, bisa atau tidak kita nanti menatap perubahan ini dan menerimanya. Apakah kita akan lari dari perubahan ini, ataukah kita akan menekan pasangan kita supaya tetap seperti semula ataukah kita fleksibel menerima bahwa inilah pasangan kita. Kita misalkan melihat dulu pasangan kita memang ada sedikitlah bawaan gemuk, tapi belum. Meskipun kita melihat misalkan papanya atau mamanya memang agak gemuk karena bertulang besar, tapi kita selalu berandai-andai bahwa pasangan kita ini tidak akan seperti mamanya atau papanya. Tapi setelah menikah 5 tahun, tiba-tiba kita baru sadar bahwa pasangan kita akan seperti ibu atau bapaknya yang agak gemuk itu, nah apapun yang dilakukannya, dilihat seperti apapun tetap saja bertambah besar. Nah, apa yang kita lakukan? Di sini dibutuhkan fleksibel, terimalah ini memang bagian hidup jangan dipermasalahkan.
GS : Jadi saya rasa yang harus menerima ini bukan hanya pasangannya Pak Paul, yang bersangkutan pun juga harus menerima perubahan yang terjadi itu.

PG : Itu point yang baik sekali, jadi bukan saja pasangan yang menerima perubahan dalam diri kita, kita pun meski berhasil menerimanya. Ada orang yang akhirnya dirundung kemurungan terus-meneru gara-gara perubahan pada tubuhnya itu.

GS : Bahkan tidak jarang karena bertambahnya usia, muncul bermacam-macam penyakit di dalam diri kita itu Pak Paul.

PG : Nah, ini perubahan yang kedua Pak Gunawan, yaitu perubahan kesehatan. Kita tidak makin sehat tapi makin rentan, makin rapuh, kita akhirnya bisa menderita suatu penyakit yang akhirnya memerukan perawatan khusus.

Misalkan diabetes, gara-gara pasangan kita terkena diabetes itu akan mempengaruhi kita. Makanan yang kita sediakan di rumah juga harus disesuaikan dengan dia, dulu pergi makan di luar gampang di mana saja bisa, sekarang harus pilih tempat karena jenis makanan tidak bisa dicicipi oleh pasangan kita. Dulu kita bisa travel jauh-jauh, sekarang karena kondisinya yang kurang prima tidak bisa lagi. Hal-hal seperti itu adalah bagian dari perubahan yang berkaitan dengan kesehatan dan kita juga dituntut untuk menghadapinya.
GS : Ya, kadang-kadang juga sering lupa karena bertambahnya usia, dan itu sangat mempengaruhi hubungan suami-istri Pak Paul.

PG : Betul, betul sekali, misalkan teleponnya itu dipakai oleh pasangannya nanti kita cari ke mana-mana tidak ketemu, karena dia juga lupa taruh di mana. Mau pergi terburu-buru, mana kuncinya, idak ketemu cari kuncinya baru ketemu.

Atau ada janji dengan orang, lupa si pasangannya yang harus mengingatkan, kamu ada janji dengan orang ini dan sudah terlambat. Semua itu memang memancing reaksi kesal atau marah, akhirnya kalau tidak tahan-tahan bisa meledak dan marah. Dan ini adalah hal yang memang harus dilewati.
GS : Apakah juga berpengaruh pada pengambilan keputusan dan sebagainya Pak Paul?

PG : Sering kali ya Pak Gunawan, jadi perubahan internal juga mencakup perubahan cara pikir dan nilai-nilai kehidupan. Kenapa bisa berubah? Karena tempaan kehidupan atau pekerjaan yang kita gelti.

Misalkan dulu kita berpikir yang gampang-gampang saja, praktis-praktis saja tapi sekarang karena pekerjaan kita harus hati-hati dan sebagainya kita mulai berubah, kita tidak sepraktis dulu, kita lebih banyak tanya, mencari informasi, meminta keterangan dan itu bisa mengganggu pasangan kita. Dulu kita lebih spontan, sekarang karena jabatan kita (misalnya kita menjadi orang terhormat) sehingga kita lebih berjaga-jaga jangan sampai orang melihat kita kurang sopan, kurang baik, jadi akhirnya kita kehilangan kespontanan kita. Dulu berani mengambil resiko, berpetualang, sekarang tidak berani lagi. Jadi nilai hidup juga berubah, cara pandang juga bisa berubah. Kita dulu sangat memperhatikan perasaan, namun dalam pekerjaan kita, kita harus menjadi pimpinan, mengatur begitu banyak orang yang mungkin gaya hidupnya berbeda dengan kita, sehingga kita tidak bisa berdialog, memberikan penjelasan, tidak bisa. Dengan bawahan-bawahan kita, kita harus menggunakan pendekatan yang lebih tegas, yang lebih searah, pokoknya ini yang diminta, lakukan. Nah akhirnya setelah bekerja dalam bidang itu selama bertahun-tahun, kita pun mulai terpengaruh, kita pun mulai berubah, di rumah pun kita akhirnya memperlakukan pasangan kita seperti itu. Kamu harus lakukan, jangan berbantah dengan saya dan sebagainya, kalau engkau berbantah artinya engkau tidak menghormati saya. Nah itu perubahan cara pandang kita dan nilai-nilai kehidupan kita.
GS : Itu baru perubahan-perubahan yang terjadi secara internal di dalam diri kita Pak Paul, tadi Pak Paul katakan ada juga perubahan yang terjadi karena faktor eksternal, apa saja itu Pak Paul?

PG : Ada beberapa, yang pertama adalah perubahan lingkungan hidup. Kadang-kadang kita itu harus pindah dari satu daerah ke daerah yang lain, berarti kehilangan dukungan, kehilangan orang-orang ang kita kenal.

Tempat-tempat yang kita kenal, dulu mau rekreasi ke mana tahu sekarang tidak tahu atau dulu ada tempat rekreasi sekarang tidak ada tempat rekreasi. Jadi perubahan lingkungan itu juga akan membawa stres dalam keluarga. Nah ini bagian dalam kehidupan rumah tangga yang harus kita hadapi, tidak bisa tidak. Yang lainnya juga misalkan sedikit banyak berkaitan dengan lingkungan hidup adalah perubahan lingkungan kerja. Kadang-kadang karena kita kerja kita harus bertemu dan bergaul dengan orang-orang yang berbeda, ini bisa membawa perubahan. Dulu pasangan kita mengenal teman kerja kita, sekarang tidak mengenal. Dulu dia nyaman, percaya pada rekan-rekan kerja sekarang rasanya dia kurang nyaman. Dia mulai tanya ini siapa kok perilakunya seperti ini dan itu, belum lagi kita sendiri juga harus menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang baru itu, orang-orang yang baru itu. Nah itu membawa perubahan dan stres juga dalam keluarga yang tidak bisa tidak harus kita hadapi.
GS : Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini sering kali membuat orang tiba-tiba kehilangan pekerjaannya atau gaji yang tidak naik dan sebagainya, itu juga merupakan faktor eksternal juga Pak Paul?

PG : Betul sekali, ini yang saya sebut perubahan kwalitas kehidupan. Dulu kita itu di strata yang lebih tinggi sekarang kita turun ke strata yang lebih rendah. Dulu bisa membeli barang-barang yng kita inginkan, sekarang harus menunda dan tidak bisa tidak ini perubahan yang memang menyergap kita dan harus kita hadapi, dan kadang-kadang berat.

Karena hal-hal yang terbiasa kita miliki dengan mudah, sekarang tidak bisa kita miliki dan harus menunggu sampai waktu yang lama agar dapat memilikinya.
GS : Itu biasanya perubahan karena penghasilan yang tadi Pak Paul sebut dengan kwalitas kehidupan, bukankah itu tidak hanya berpengaruh pada diri orang yang mengalami tapi juga pasangannya Pak Paul?

PG : Betul sekali, karena bagaimanapun kita serumah dengan dia. Dulu misalkan kita bisa belikan dia apa sekarang tidak bisa lagi. Dulu dia ingin apa bisa terwujud, sekarang tidak bisa terwujud.Jadi memang itu menimbulkan stres dan memang kalau tidak hati-hati bisa meretakkan relasi kita.

GS : Apakah faktor anak itu juga bisa disebutkan faktor eksternal?

PG : Bisa, jadi di luar dari si suami dan si istri, misalkan masalah anak. Anak-anak yang mulai memberontak, dulu mudah diatur sekarang susah diatur. Atau dalam masa akil baliq, anak-anak ke lur rumah, pergi kuliah atau apa sekarang tinggal kita berdua, itu perubahan lagi.

Dulu gampang mengalihkan fokus kalau misalkan ada apa-apa dengan istri kita atau suami kita ya kita alihkan ke anak. Kita ngobrol-ngobrol dengan anak-anak sampai suasana hati kita reda kembali. Sekarang tidak bisa karena tidak ada anak-anak, berarti pasangan kita harus kita hadapi dengan langsung.
GS : Dengan adanya begitu banyak faktor perubahan di dalam kehidupan suami-istri itu, bagaimana sebenarnya pasangan suami-istri itu harus menghadapi situasi yang sulit ini?

PG : Pertama adalah kita mesti bisa membedakan apakah perubahan ini susuatu yang harus diterima atau dilawan. Misalkan, perubahan bahwa kita itu bertambah tua, saya kira kita harus terima, peruahan fisik kita itu kita harus terima jangan permasalahkan, termasuk perubahan pada pasangan kita yang tidak lagi semenarik dulu.

Terima dan tetap hargai. Tapi ada perubahan yang harus kita lawan, misalkan anak kita menjadi bermasalah sekali, dulunya baik tapi sekarang menjadi bermasalah, mulai keluar malam, mulai menikmati kehidupan di luar rumah, kita harus lawan. Kita tidak membiarkan anak kita terseret arus dibawa oleh kawan-kawannya, hidupnya tidak benar, tidak, kita harus lawan, kita harus menangkan anak kita kembali. Misalkan pasangan kita mulai dekat dengan orang lain, karena di tempat pekerjaannya ada seorang rekannya yang sepertinya suka dengan pasangan kita, kita tidak terima begitu saja, kita mesti melawannya, kita mesti ngomong dengan pasangan kita, kita utarakan kekhawatiran kita, kita sampaikan permintaan kita agar dia tidak lagi atau tidak memberikan angin kepada orang tersebut. Jadi intinya adalah kita mesti bisa membedakan apakah perubahan ini sebagai sesuatu yang harus kita terima ataukah harus kita lawan.
GS : Ada orang yang memang menerima kondisi bahwa dia menjadi lebih tua Pak Paul, sebenarnya dia bisa tampil dengan lebih menarik kalau dia itu masih memperhatikan dan merawat tubuhnya itu dengan benar.

PG : Nah sudah tentu itu betul sekali Pak Gunawan, nah ini masuk ke point berikutnya atau saran berikutnya yaitu hiduplah sesuai fakta. Artinya kita menyesuaikan hidup dengan realitas, tadi PakGunawan munculkan tentang pengaruh usia, kita makin tua memang tubuh kita tidak lagi seprima dulu.

Namun masih ada yang bisa kita lakukan dalam batas yang wajar, misalkan kita berolah raga dengan teratur. Sehingga meskipun tubuh kita menua namun kita tetap tampak segar. Misalkan ada yang ingin memakai alat-alat kosmetik tertentu dalam kadar yang wajar, silakan misalkan itu bisa menambah peluang untuk meremajakan kulit dan sebagainya. Tapi kita hidup sesuai dengan fakta, memang ini faktanya kita ya sudah kita terima, apa yang bisa kita lakukan untuk menguranginya kita lakukan, tapi kita terima ini jangan kita lawan.
GS : Karena kalau berlebihan juga menjadi aneh. Apakah ada saran lain Pak Paul?

PG : Yang lainnya lagi adalah fokuskan perhatian kita pada solusi, bukan pada penyebab problem. Kita tidak lagi memfokuskan pada mengapa, mengapa, mengapa. Perubahan itu kadang-kadang harus ada di luar kemampuan kita kadang-kadang untuk kita bisa menangkisnya.

Nah, daripada menyalah-nyalahkan kenapa begitu, kenapa ini bisa terjadi, kenapa anak kita bisa begini, tidak akan ada habisnya kalau kita hanya memfokuskan pada penyebabnya. Maka saran saya kalau kita sudah tahu penyebabnya apa ya sudah mari kita fokuskan pada solusinya. OK! Sekarang anak kita memberontak, anak kita ini sekarang tidak lagi taat pada kita apa yang menyebabkannya, kita akui, dan mari kita mencari solusinya. Kita berdua mesti berpadu mengatasi si anak, jangan sampai terpecah belah, kita harus meminta bantuan orang, mencari masukan-masukan dan sebagainya. Jadi sekali lagi kita tidak memfokuskan pada yang lampau tapi memfokuskan pada yang di depan kita.
GS : Bagaimana dengan hubungan sosialnya Pak Paul, seseorang yang mengalami perubahan?

PG : Saya kira sebelum terjadi apa-apa, sebelum ada masalah, kita memang harus membangun jaringan persahabatan dengan orang-orang di sekitar kita. Karena kalau sampai ada apa-apa, jaringan pershabatan ini menjadi pendukung kita dan bukankah ini adalah gaya hidup yang sehat ya mempunyai kawan, sahabat, bisa berteman, bisa bercanda ria, bisa pergi bersama, bisa saling curhat.

Nah, itu sebenarnya aset-aset yang kita perlukan dalam hidup ini. Orang yang tidak mempunyai lingkungan yang mendukungnya, dia hidup sendirian dan orang yang hidup sendirian akhirnya cenderung misalnya bisa egois, bisa kurang tahu bagaimana menghadapi kita dan sebagainya. Maka sebagian kita itu memang mempunyai teman-teman dekat, sahabat-sahabat, atau kakak-adik, kerabat yang bisa menjadi bagian dalam hidup kita.
GS : Kalau begitu peran persekutuan itu besar sekali Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, orang yang terpisah dari persekutuan dan hanya hidup sendirian tidak akan bisa memahami orang lain, tidak akan bisa menyesuaikan hidup dengan orang lain, dia hany melihatnya dari kacamata sendiri.

Nah, itu menambah kesulitan waktu menghadapi perubahan-perubahan dalam hidup ini. Ia tidak bisa lagi mendengarkan masukan pasangannya, sebab kehendaknyalah yang dia anggap paling benar.
GS : Ya, tapi juga ada beberapa orang yang memang mengalami kesulitan untuk bergabung di dalam persekutuan Pak Paul. Dengan berbagai alasan, di sana cuma gosip saja, di sana cuma mengeluarkan uang saja.

PG : Nah, sudah tentu kita bisa terlibat, tapi sejauh mana kita terlibat ya kita nanti yang tentukan. Apakah memang itu tempat kita, orang-orangnya cocok dengan kita atau tidak, namun sekali lai yang ingin saya tekankan adalah kita mesti mempunyai teman.

Saya sudah melihat orang-orang yang tidak mempunyai teman, menjalani kehidupannya sampai usia tua, saya lihat mereka bukan tambah bahagia, tambah tidak bahagia. Setiap perubahan bukannya disambut tapi malah dihindari, atau perubahan itu dipaksa untuk tidak ada perubahan, tidak boleh ada perubahan harus sama seperti dulu semuanya. Akhirnya dia menyusahkan orang lain, menyusahkan anak-anak, menyusahkan pasangannya, karena dia sendiri tidak bahagia. Namun kasihan orang-orang yang hidup dengan dia, turut-turut tidak bahagia.
GS : Teman yang terdekat dngan kita kalau kita menikah itu tentu pasangan kita, nah dalam hal ini bagaimana hubungan kita?

PG : Saya kira dari awalnya kita mesti memelihara keterbukaan antara kita dan pasangan kita. Ini modal, modal yang begitu besar dalam rumah tangga kita waktu menghadapi perubahan-perubahan. Kit bisa bicara apa adanya, contoh, anak saya yang paling besar dalam waktu beberapa bulan akan meninggalkan kami pergi studi.

Kami sudah lama membicarakan hal ini saya dan istri saya. Kami menceritakan ketakutan kami, kami menceritakan pengharapan kami, apa nanti ya, bagaimana nanti. Dan kami mulai membicarakannya, bahkan kadang-kadang saya dan istri membicarakan masa di mana kami harus hidup berdua tanpa anak-anak lagi. Apa yang akan kami lakukan nanti, apa yang menjadi ketakutannya, apa yang menjadi kebutuhannya, nah itu mulai kami bicarakan. Sehingga terjalinlah komunikasi yang lebih terbuka antara suami-istri. Sehingga pada waktu perubahan itu harus terjadi, kita sudah terbiasa terbuka. Betapa susahnya dan malangnya pasangan yang tidak bisa terbuka, sehingga waktu perubahan terjadi masing-masing mengunci pintu, malah merenung susah, sendirian. Kadang-kadang kalau tidak tahan lagi menyalahkan, melemparkan tanggung jawab pada pasangannya. Jadi malah merusakkan, bukannya berpadu menghadapi perubahan itu malahan makin mengoyak-ngoyakkan satu sama lain.
GS : Ya, memang perubahan ini sulit dihindari dan tidak mungkin dihindari karena akan terus terjadi di dalam kehidupan ini. Nah dalam hal ini apakah firman Tuhan yang bisa membimbing kita?

PG : Saya bacakan Amsal 10:5, "Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi; siapa tidur pada waktu panen membuat malu." Memang ini perumpamaan atau tamsil yang beraitan dengan kehidupan agraris, di masa itu memang masa agraris di Israel.

Nah, siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi. Artinya pada musim dingin dia sudah mempunyai cadangan makanan. Tapi orang yang malas-malas tidak mau bekerja pada musim panas, pada musim dingin akan kelaparan. Jadi begitu jugalah dengan kita dalam rumah tangga. Jangan tunggu sampai ada krisis baru mencoba mengharmoniskan relasi kita, selama masih ada umur belum ada apa-apapun, harmoniskan terus, suburkan keterbukaan, kepedulian, saling menolong, suburkan semua itu, sebab itu adalah cadangan. Waktu nanti musim dingin datang kita mempunyai cukup stock untuk bisa bertahan.

GS : Jadi kita tidak perlu lari dan tidak mungkin lari dari perubahan ini, hanya kita perlu mengantisipasinya dengan kebijaksanaan yang firman Tuhan sudah sampaikan. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Perubahan dalam Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga menantikan kunjungan Anda ke situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda akan meningkatkan mutu dari rekaman kami. Dan dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



33. Filipi 2 untuk Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T166A (File MP3 T166A)


Abstrak:

Ada beberapa hal yang bisa kita timba dari ayat ini dalam relasi suami-istri, yang antara lain satu jiwa yang berarti satu pikiran, satu tujuan, tidak mencari pujian yang sia-sia, rendah hati.


Ringkasan:

Filipi 2:2 dan 3, "Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri." Ini bagian yang akan kita coba terapkan dalam relasi usami-istri.

Ada beberapa hal yang bisa kita timba dari ayat ini, yaitu: Pertama, dari kata hendaklah kamu sehati sepikir dalam satu kasih, tujuannya adalah supaya kita sehati sepikir, dalam satu kasih. Kesatuan hanya dapat dimungkinkan bila kita saling mengasihi. Artinya kita tidak akan bosa menjaga kerukunan kalau kasih itu tidak ada di antara kita dan pasangan kita. Salah satu hal yang penting yang perlu kita lakukan untuk kasih itu tetap bertumbuh dalam relasi suami-istri adalah kita harus sering-sering melakukan hal yang menyenangkan hati pasangan. Ini adalah suatu nasihat yang sederhana, yang tradisional tapi tetap mempunyai kebenaran sampai sekarang.

Kedua, satu jiwa yang berarti satu pikiran. Artinya satu cara pikir dan cara pola pikir. Kesatuan hanya dimungkinkan bila kita mempunyai pola pikir serupa. Kalau pola pikir kita berbeda dengan pasangan, itu susah sekali untuk disatukan.

Ketiga, satu tujuan yang artinya mempunyai nilai kehidupan yang sama. Kesatuan suami-istri hanya dimungkinkan bila kita mempunyai nilai kehidupan yang sama. Kalau di dalam firman Tuhan ditekankan bahwa tujuan hidup kita adalah untuk Tuhan, karena kita sudah dibeli oleh Tuhan; kita bukanlah pemilik hidup ini melainkah Tuhanlah yang memiliki hidup kita. Jadi kita mesti memiliki nilai-nilai yang Tuhan juga miliki. Misalnya prinsip genggamlah yang kekal dan lepaskan yang fana. Artinya kita menggenggam yang kekal itu adalah Tuhan dan manusia, kita mengutamakan Tuhan dan manusia di atas yang fana yakni benda. Jadi kalau suami-istri mempunyai nilai hidup yang sama, prinsip hidup yang sama; setidak-tidaknya mereka sudah dipersatukan oleh satu tujuan yang sama bahwa hidup ini untuk Tuhan.

Keempat, tidak mencari pujian yang sia-sia. Artinya kita itu jangan mencari kesempatan untuk berbangga-bangga dan menuntut pasangan kita memberikan pengakuan kepada kita. Kita ingin tatkala kita benar, pasangan kita mengakui, kita ingin dihormati, kita ingin pasangan kita tunduk kepada kita, dan kita ingin menonjolkan diri kita di hadapan pasangan. Firman Tuhan berkata: "Jangan mencari pujian yang sia-sia." Yang penting bukanlah pengakuan bahwa kita benar, yang penting adalah kita melakukan hal yang benar.

Kelima, rendah hati; rendah hati diwujudkan dengan satu tindakan yaitu memperlakukan orang lebih baik daripada kita. Kita menganggap orang lain lebih utama, lebih baik daripada kita dan kita harus memperlakukannya sebagai orang yang lebih baik dari kita.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Filipi 2 untuk Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, dari judulnya Pak Paul mau membahas tentang Filipi pasal 2 tapi bukankah itu sebuah pasal yang cukup panjang. Bagian yang mana yang Pak Paul maksudkan Filipi 2 untuk pernikahan?

PG : Filipi 2:2 dan 3, yang berbunyi demikian, "Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa,satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pjian yang sia-sia.

Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri." Ini adalah bagian yang akan coba kita terapkan dalam relasi suami-istri. Sebab ternyata ayat ini penuh dengan hikmat, penuh dengan masukan-masukan yang berguna bagi relasi suami-istri.
GS : Memang kalau ayat yang tadi Pak Paul bacakan dari Filipi 2:2 dan 3 itu diaplikasikan dalam kehidupan rumah tangga sangat baik. Tetapi kenyataannya kita itu sebagai suami-istri acap kali terjadi selisih paham, pertengkaran yang memuncak. Nah ini relevensinya bagaimana?

PG : Ada beberapa yang akan saya timba atau saya petik dari firman Tuhan ini, Pak Gunawan. Yang pertama yang akan kita angkat adalah kata hendaklah kamu sehati sepikir dalam satu kasih, tujunnya adalah supaya kita itu sehati sepikir, nah firman Tuhan langsung berkata dalam satu kasih.

Apa yang bisa kita terapkan dari istilah satu kasih ini? Kesatuan hanya dapat dimungkinkan bila kita saling mengasihi, jadi kita mesti memelihara kasih di antara kita. Artinya kita tidak akan bisa menjaga kerukunan kalau kasih itu tidak ada lagi di antara kita dan pasangan kita. Masalahnya adalah apa yang harus kita lakukan agar kasih itu tetap ada dan bahkan bisa bertumbuh dalam relasi suami-istri. Nah saya kira salah satu hal yang penting yang mesti kita lakukan adalah kita sering-sering melakukan hal-hal yang menyenangkan hati pasangan kita. Ini saya kira nasihat tradisional yang tetap benar sampai sekarang. Kasih cenderung bertumbuh dalam relasi yang menyenangkan, dan relasi yang menyenangkan adalah relasi di mana pasangan kita mencoba dengan jelas menyenangkan hati kita, melakukan hal-hal yang membuat kita senang. Sekali lagi ini adalah suatu atau sebuah nasihat yang sederhana, yang tradisional tapi tetap mempunyai kebenaran sampai sekarang.
WL : Kalau kita harus melakukan hal-hal yang menyenangkan pasangan kita terkadang bahkan sering juga hal itu belum tentu menyenangkan buat diri kita, hanya demi pasangan. Ada pengaruhnya atau tidak Pak Paul dari faktor yang dari sebelum menikah keduanya memang mempunyai kesamaan minat dalam banyak hal. Tapi akhir-akhir ini sepertinya ada beberapa buku yang justru mencetuskan bahwa persamaan minat tidak terlalu penting, menurut Pak Paul bagaimana?

PG : Saya mengutip dari Norman Wright seorang pakar pernikahan di Amerika, dia berkata bahwa makin banyak ketidaksamaan di antara suami dan istri makin besar usaha yang harus dikeluarkan untk mencocokkan keduanya.

Jadi sudah tentu aplikasinya adalah makin banyak kesamaan makin sedikit usaha yang harus kita keluarkan untuk mencocokkan diri. Jadi saya kira yang tadi Ibu Wulan katakan itu betul sekali, kalau kita mempunyai kesamaan minat atau hoby dan kita bisa melakukannya bersama-sama (sebab ini menyenangkan hati satu sama lain), sudah tentu ya sekali tepuk dua lalat mati. Benar-benar langsung pasangan kita senang kita pun senang. Namun jangan sampai kita membatasi diri hanya pada hal-hal yang menyenangkan kita berdua, kita juga mesti memikirkan apa yang disenangi oleh pasangan kita. Dan bukan saja mencoba memikirkan namun memberikan dan melakukan hal-hal yang menyenangkan itu. Simpel sekali misalkan istri kita senang kalau kita meneleponnya sebelum kita pulang, kalau kita akan terlambat, nah lakukanlah. Kenapa kita susah melakukan hal yang sederhana seperti itu, misalkan suami kita senang kalau misalnya dia pulang ke rumah kita bisa menyediakan teh, kita bisa memberikan dia handuk supaya dia bisa mandi. Hal kecil seperti itu, hal-hal kecil yang ternyata sangatlah berguna.Saya jadi teringat inilah hal-hal kecil yang sering kali dilakukan oleh orangtua, atau kakek-nenek kita di zaman dahulu. Namun sekali lagi hal-hal kecil yang ternyata membawa dampak positif. Karena cinta bertumbuh di dalam relasi yang menyenangkan dan relasi yang menyenangkan adalah relasi di mana masing-masing mencoba menyenangkan hati satu sama lain.
GS : Saya masih kurang jelas Pak Paul, mana yang lebih dahulu; kita memiliki kasih sehingga kita bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan pasangan kita atau karena kita melakukan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan lalu timbul kasih, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira titik berangkatnya atau penggerak utama dan pertamanya adalah kasih. Jadi kita mempunyai kasih kepada pasangan kita, oleh karena adanya kasih itulah kita ingin melakukan hal-hl yang menyenangkan hati pasangan kita.

Nah kenapa harus saya munculkan karena yang lebih sering terjadi adalah begitu kita memasuki pernikahan seakan-akan kita juga tidak lagi terdorong untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan hati pasangan kita. Kita merasa seolah-olah ya sudahlah tugas sudah selesai sekarang masuk dalam kenyataan hidup yaitu pernikahan dan tugas kita selanjutnya adalah bekerja mengurus anak dan sebagainya. Akhirnya kita lalai memelihara kasih atau relasi kasih dalam pernikahan kita. Ini yang sering kali terjadi dan relasi yang tak disirami oleh perbuatan-perbuatan yang menyenangkan seperti itu lama-lama menjadi relasi yang kering alias kasih itu tak lagi ada dalam relasi, tidak lagi kuat. Dampaknya apa yang sering kali muncul? Konflik; konflik itu benar-benar ibarat api yang menyambar ranting-ranting yang kering. Kalau rantingnya basah api itu susah sekali membakar, nah demikian pulalah relasi; kalau kering, kurang kasih mudah sekali terbakar oleh api konflik.
GS : Ada hal lain yang disebut dalam firman Tuhan tadi tentang satu jiwa, apakah itu Pak Paul?

PG : Satu jiwa berarti satu pikiran, ini artinya adalah satu cara pikir, cara pola pikir. Saya menyimpulkan kesatuan hanya dimungkinkan bila kita mempunyai pola pikir serupa; kalau pola piki kita dan pasangan kita berbeda sekali itu susah sekali untuk disatukan.

Misalkan yang satu cara berpikirnya loncat-loncat, susah sekali untuk sistematik; yang satunya sistematik, berurut nah untuk disatukan sangatlah sulit. Yang satu praktis luar biasa, tidak usah persiapan yang penting lihat saja nanti bagaimana, nanti bisa terpikirkan jalan keluarnya sementara yang satu tidak; dia harus benar-benar mempersiapkan segalanya. Itu akan mudah sekali terjadi pertengkaran. Jadi perlu juga kesatuan berpikir, pola pikir akan makin serupa bila kita sering berkomunikasi. Sudah tentu meskipun kita sebelum menikah sudah berusaha mencari pasangan yang pola pikirnya serupa dengan kita, tapi tetap setelah kita menemukan pasangan kita dan akhirnya menikah dengan dia kita menyadari ternyata pola pikirnya tidak terlalu sama. Dan tidak jarang justru kita menyukai orang yang pola pikirnya berkebalikan dari kita; jadi bukannya alasan untuk kita tidak bisa menyatu. Yang perlu kita lakukan adalah sering-sering berkomunikasi karena ini yang sering kali terjadi makin kita berkomunikasi makin kita itu bisa belajar dari pasangan kita. Dan pasangan kita pun demikian terhadap kita, belajar tentang pola pikir kita sehingga lama-kelamaan pola pikirnya makin menyerupai pola pikir kita dan sebaliknya pola pikir kita pun makin menyerupai pola pikir pasangan kita.
WL : Pak Paul, mungkin ada pasangan-pasangan yang sepertinya mengartikan pola pikir serupa ini secara ekstrim. Sebab saya sering menemukan kalau acara diskusi, misalkan ditanyakan ke bapak A si suami kemudian misalkan dia menjelaskan tentang sesuatu; langsung istrinya kalau ditanya ya sama dah dan hampir semua begitu. Itu jadinya si istri tidak mempunyai identitas dirinya, pola pikirnya sendiri, bukankah kita juga perlu berkembang juga Pak Paul.

PG : Kesimpulannya ada dua, mungkin si istri sungkan berseberangan pendapat dengan si suami; jadi daripada dia melontarkan kata-kata yang nanti berseberangan ya lebih baik dia tidak bicara. tau yang kedua dia memang malas berpikir, jadi daripada berpikir susah-susah ya lebih baik berkata sama dengan suamnya.

Jadi saya tidak tahu yang mana di antara dua itu.
GS : Di dalam menyatukan jiwa, satu pola pikir tadi, sering kali kita tetap bertahan pada pola kita sendiri sebenarnya tetapi kita mencoba memahami pola pikir pasangan kita, jadi kita masing-masing mempunyai identitas. Dan benturan atau gesekan itu agak jarang terjadi dengan banyaknya kita berkomunikasi.

PG : Awalnya selalu begitu Pak gunawan, jadi upaya memahami meskipun awalnya yang tercetus adalah tidak memahami. Kenapa engkau bisa berpikir seperti ini, sering kali itu yang terjadi. Namunkarena kita itu mau menjaga dan memelihara persatuan kita berusaha memahami kenapa dia sampai berpikir seperti ini.

Kalau kita cukup mengenal pasangan kita dan pola pikirnya seharusnya kita bisa menyimpulkan kenapa dia sampai berpikir seperti ini. Karena kita mencoba menempatkan diri dalam pola pikirnya, o......OK! dengan pola pikirnya seperti itu tidak heran dia sampai pada kesimpulan seperti itu. Jadi langkah pertama selalu mencoba memahami. Tapi memahami belum tentu menerima, itu adalah dua hal yang berbeda. Nah, kapankah kita menerima? Nah ini sebetulnya rahasianya kita baru bisa menerima tatkala kita pun mulai berubah. Berubahnya karena kita terus-menerus berinteraksi dengannya. Maka pernikahan yang memang ditandai dengan kefakuman interaksi, jarang suami-istri itu berbicara, bertukar pikiran, akibatnya sangat-sangat jelas itu nanti bukannya sekarang. Bertahun-tahun kemudian akan terlihat jelas bahwa mereka tak pernah berusaha menyatukan keduanya sehingga beberapa tahun kemudian kita melihat mereka tidak bisa berkomunikasi, tidak bisa berbicara, tidak bisa menyatukan pikiran. Karena dua-duanya terlalu berseberangan, nah kita bertanya berbelasan tahun menikah apa yang mereka lakukan. Jawabannya adalah ya tidak berkomunikasi. Mungkin sekali awalnya mereka mencoba tapi terus berbenturan dan jera, tidak mau lagi nanti berbenturan lagi. Keliru, justru biarkan berbenturan, biarkan mencoba terus dengan sekuat tenaga terus mencoba untuk berkomunikasi meskipun sulit, maka lama-kelamaan kita mulai terpengaruh oleh pola pikir pasangan kita tanpa kita sadari karena kita terus bergaul dengannya. Kita mulai berubah, kita mulai bisa menerimanya. Nah inilah akhirnya pada usia-usia yang sudah agak paro baya kalau memang kita telah berusaha keras seperti itu, pada usia paro bayalah kita akhirnya mulai memetik buah-buah kerja keras kita itu.
WL : Pak Paul, tapi kalau misalkan keduanya itu memang jenis pola pikirnya sangat kontras seperti yang tadi Pak Paul sebutkan sebelumnya; yang satu misalnya berpikiran global, yang satunya sangat mendetail, berarti itu sering terjadi konflik. Apakah tetap bisa mengaplikasikan bagian ini untuk serupa, karena banyak kasus saya temukan misalnya teman-teman kalau cerita, saya bisa lebih enak ngobrol dengan papa atau yang satu dengan mamanya, karena enak diajak berpikir, diajak berdiskusi; sedangkan dengan mama tidak nyambung. Nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira kita tidak berubah secara total, tapi kita makin mendekati satu sama lain sehingga nantinya dalam pengambilan keputusan karena kita makin dekat maka makin dekat dalam mengambi keputusan.

Nah dalam payung inilah kita itu disebut satu pikir, bukannya benar-benar seperti duplikat, seperti kembar, namun makin menyerupai sehingga dalam pengambilan keputusan kita lebih bisa untuk sepikiran.
GS : Pak Paul, selain satu kasih dan satu jiwa, ada juga yang disebut satu tujuan, apakah itu Pak Paul?

PG : Satu tujuan artinya mempunyai nilai kehidupan yang sama. Apakah tujuan hidup kita, apakah tujuannya kita ada di dunia ini. Saya menyimpulkan kesatuan antara suami-istri hanya dimungkinkn bila kita mempunyai nilai kehidupan yang sama.

Nah yang kita tahu dari firman Tuhan adalah hidup untuk Tuhan, kita ini sudah dibeli oleh Tuhan, kita bukanlah pemilik hidup kita ini, Tuhanlah yang memiliki hidup kita. Jadi kita mesti memiliki nilai-nilai yang Tuhan miliki pula, misalnya prinsip yang ingin saya bagikan adalah genggamlah yang kekal sedangkan lepaskan yang fana. Artinya kita menggenggam yang kekal itu adalah menggenggam Tuhan dan juga manusia, kita utamakan Tuhan dan manusia di atas yang fana yakni benda. Kita tahu manusia juga kekal, kita nanti akan hidup bersama Tuhan tapi kalau sekarang kita hidup di luar Tuhan nantinya pun setelah meninggalkan dunia ini kita akan hidup di luar Tuhan. Jadi kalau suami-istri mempunyai nilai hidup yang sama, prinsip hidup yang sama; yaitu menggenggam yang kekal dan berani melepaskan yang fana, setidak-tidaknya mereka sudah dipersatukan oleh satu tujuan yang sama bahwa hidup ini untuk Tuhan; yang penting bagi Tuhan barulah penting buat saya; yang tidak penting buat Tuhan tidak penting buat saya. Mereka akan lebih mudah hidup harmonis, sebaliknya kalau tujuan ini sudah berbeda, misalnya menggenggam yang fana melepaskan yang kekal, tidak mungkin bisa bersatu.
WL : Pak Paul, berarti prinsip ini tidak bisa bagi orang yang menikah dengan yang tidak seiman. Misalnya yang satunya sangat memfokuskan diri pada materialisme, misalnya mengurus toko dan sebagainya, mungkin akan sulit Pak?

PG : Betul sekali, mungkin itulah prasyarat yang Tuhan berikan di I Korintus 7:39 dikatakan kita bebas menikah dengan siapa saja asalkan sesama orang percaya. Yang tujuannya adaah agar kita memiliki nilai-nilai hidup yang serupa.

GS : Salah satu wujudnya mungkin ini Pak Paul, yang tidak mencari kesenangan sendiri.

PG : Betul sekali, firman Tuhan dengan jelas berkata tidak mencari kepentingan sendiri. Nah ini syarat kesatuan dalam pernikahan juga, sebetulnya dalam pernikahan hanya ada satu kepentingan ang boleh ada yaitu kepentingan bersama.

Kepentingan bersama artinya kita mengakomodasi kepentingan pasangan kita dan juga kepentingan kita pribadi. Nah saya ini mendefinisikan kepentingan sebagai kebutuhan pula dan saya percaya kebutuhan adalah suatu bagian yang penting dalam pernikahan. Jadi kita mesti berusaha memenuhi kebutuhan dasar pasangan kita, meskipun pada waktu kita memenuhi kebutuhannya kita sendiri tidak terlalu puas, tidak terlalu bahagia namun kita harus juga memenuhi kebutuhannya. Contohnya, kebutuhan akan kasih sayang, kita berkata: "Aduh besar benar kebutuhan kasih sayangnya." Tapi itulah yang dibutuhkannya kita coba berikan. Dia butuh penghargaan, nah kita tahu dia memang butuh penghargaan itu ya kita berikan meskipun kita tidak terlalu senang tapi kita tahu itu penting bagi pasangan kita, sudah kita berikan. Jadi apa yang merupakan kebutuhan dasar nah itulah yang akan kita coba penuhi.
WL : Kalau kepentingan bersama lebih banyak diwarnai kepentingan pribadi salah satu pasangan, tapi dia mengatasnamakan kepentingan bersama, bagaimana Pak Paul?

PG : Memang adakalanya kita itu akhirnya mengatasnamakan kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama, misalnya kita itu maunya tinggal di derah yang terpisah dari mertua kita. Sebetulnya ni demi kepentingan pribadi, tapi kita bagaimana membujuk pasangan kita ya kita katakan, "Anak-anak perlu sekolah yang ini dan sekolah ini dekat dengan rumah yang akan kita beli," meskipun kita mempunyai kepentingan pribadi.

Nah dalam kenyataannya atau konkretnya adalah kadang-kadang hal-hal seperti itu terjadi. Tapi saya kira sampai titik tertentu itu adalah hal yang wajar, kita mempunyai kepentingan, kita tahu ini juga baik ini ada kepentingan untuk pasangan kita, kita akomodasikan keduanya sebab apa salahnya kalau dua-duanya bisa memperoleh kepentingannya. Namun jangan sampai kita menjadi orang yang egois yang hanya memusingkan kepentingan diri tidak memikirkan kepentingan orang lain. Kalau kita bermental seperti itu sebetulnya kita sedang meretakkan hubungan keluarga sendiri.
GS : Ada yang mengkhawatirkan kalau dituruti terus keinginannya, dia akan menjadi manja.

PG : Ada juga yang begitu, kalau sampai itu yang terjadi berarti kita harus mengerem dan berkata: "Mengapa saya sendiri yang terus-menerus memikirkan dan melakukan kepentinganmu, sedangan yang saya butuhkan tidak pernah engkau berikan."Berarti

kita harus berani mengemukakan kepentingan kita kepada pasangan kita pula.
GS : Kalau yang tidak mencari pujian yang sia-sia itu bagaimana Pak Paul?

PG : Artinya kita itu jangan mencari kesempatan untuk berbangga-bangga dan menuntut pasangan kita memberikan pengakuan itu kepada kita. Kita ingin tatkala kita benar, pasangan kita mengakui,nah kita ingin juga dia itu hormat kepada kita, tunduk kepada kita, dan kita ingin menonjolkan diri kita di hadapan pasangan.

Hati-hati, firman Tuhan berkata: "Jangan mencari pujian yang sia-sia." Yang penting bukanlah pengakuan bahwa kita benar, sering kali kita itu ingin menunjukkan bahwa kita benar dan kita tuntut pasangan kita mengakui bahwa kita benar. Jangan, yang penting bukan pengakuannya, yang penting adalah kita melakukan hal yang benar. Ada juga orang yang mencari-cari sukses, dia berpikir semakin saya sukses semakin pasangan saya harus menghormati saya. Ini pujian yang sia-sia, saya meminta kepada semua biarlah pasangan kita memuji kita karena kita takut akan Tuhan dan mengasihi keluarga serta bertanggung jawab. Kalau kita bisa dipuji pasangan kita karena itu saja, saya kira itu sudah cukup yang lain-lainnya tidak seperti ini.
WL : Berbicara tentang pujian, saya jadi teringat Amsal 31:10 sampai 30-an khusus berbicara memuji terhadap istri yang cakap. Apakah itu berarti memang lebih banyak perempuan atau istri yang butuh dipuji, atau sebetulnya kalau di Filipi 2 ini berlaku untuk semua bukan hanya untuk istri, bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira dua-duanya baik perempuan maupun pria membutuhkan pujian. Tapi yang firman Tuhan ingin tekankan adalah jangan kita itu mengejar-ngejar pujian, mengejar-ngejar pengakuan dari psangan kita.

Karena seharusnyalah bisa dikatakan oleh pasangan kita tentang kita dan kita pun bisa mengatakan tentang hal yang sama pada pasangan kita.
GS : Ayat tadi juga mengatakan yang sebaliknya, hendaknya dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri. Ini wujud rendah hatinya seperti apa, Pak Paul?

PG : Wujud rendah hati benar-benar dikonkretkan dengan satu tindakan yaitu memperlakukan orang lebih baik daripada kita. Benar-benar kita menganggap orang lain itu lebih utama, lebih baik daipada kita, dan kita harus memperlakukannya sebagai orang yang lebih baik daripada kita.

Nah, kenyataannya apakah selalu pasangan kita lebih baik daripada kita? Kenyataannya bukankah tidak, dalam hal-hal tertentu dia lebih baik dan dalam hal tertentu kita lebih baik. Nah firman Tuhan tidak meminta kita untuk menjadi orang yang ilusional, yaitu hidup dalam khayalan, seolah-olah dalam semuanya dia itu lebih baik. Jangan, Tuhan meminta kita melihat orang dengan jelas, dengan jernih tapi Tuhan meminta kita mempunyai sikap memperlakukan orang seakan-akan dia orang yang lebih baik daripada kita seperti itu. Jadi itu benar-benar wujud dari rendah hati, rendah hati tidak diwujudkan dalam jalan bongkok-bongkok, ngomong merendah-rendah, sama sekali bukan itu. Rendah hati diwujudkan secara konkretnya melalui tindakan, yaitu memperlakukan orang seakan-akan dia lebih baik daripada kita. Meskipun kita tahu kita lebih baik daripada dia dalam hal ini, tapi tetap kita memperlakukan dia seakan-akan dia lebih baik daripada kita. Nah sikap seperti inilah kalau kita pelihara, kita bisa menikmati kesatuan dalam rumah tangga kita.
WL : Mungkin teladan yang paling ideal pada Tuhan Yesus sendiri. konteks ini Paulus menulis Filipi 2 di bagian berikutnya tentang kerendahan hati Tuhan yang merendahkan diri, mengosongkan diri sampai mati di kayu salib. Sampai Tuhan Allah meninggikan Dia. Tuhan Yesus sendiri tahu Dia pasti lebih sempurna, lebih baik daripada manusia. Tetapi Tuhan memperlakukan kita begitu istimewa.

PG : Betul sekali, contoh yang baik dan itulah yang menjadi dasar contoh Paulus atau tolok ukurnya seperti Kristus.

GS : Tetapi kalau itu diterapkan di dalam hubungan suami-istri, apakah itu tidak membuat pasangan kita itu menjadi tidak tahu kelemahannya.

PG : Nah sudah tentu kita itu dipanggil Tuhan untuk saling membangun, membangun artinya kita melihat di mana kekurangan pasangan kita. Tapi kalau kita sudah bersikap bahwa dia itu lebih baikdaripada kita, waktu kita menyampaikan kekurangannya kita menyampaikannya dengan cara yang lebih baik, dengan penuh hormat.

Tapi kalau kita sudah bersikap saya lebih baik, kamu memang tidak mengerti apa-apa dalam hal ini, wah kita mencoba memberitahukan dia bukannya membangun tapi malah menghancurkan dia. Dan ini yang saya kira kita semua lakukan termasuk saya, jadi kita perlu belajar untuk benar-benar memperlakukan pasangan kita seakan-akan dia lebih baik daripada kita.

GS : Jadi ada cukup banyak ayat-ayat di dalam Alkitab itu yang memberikan pedoman bagi kita di dalam kehidupan berkeluarga khususnya dalam hubungan suami-istri. Jadi terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini di mana Pak Paul sudah menguraikan dengan begitu jelas Filipi 2:2 dan 3 dan juga Ibu Wulan terima kasih untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Filipi 2 untuk Pernikahan." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamt telaga@indo.net.id Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sekalian sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



34. Kompromi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T166B (File MP3 T166B)


Abstrak:

Kompromi adalah sesuatu yang mutlak dalam pernikahan, kalau tidak ada kompromi akan banyak masalah yang tidak akan selesai. Ada orang-orang di dalam pergaulan bisa berkompromi dengan baik, tapi tatkala menikah tidak terlalu mampu untuk berkompromi dengan pasangannya sendiri.


Ringkasan:

Kompromi adalah sesuatu yang mutlak dalam pernikahan, kalau tidak ada kompromi akan banyak masalah yang tidak akan selesai. Ada orang-orang di dalam pergaulan bisa berkompromi dengan baik, tapi tatkala menikah tidak terlalu mampu untuk berkompromi dengan pasangannya sendiri.

Salah satu penyebab kenapa kita sulit untuk berkompromi adalah karena waktu kita harus berkompromi, tidak bisa tidak kita harus mengorbankan ego kita. Dan mengorbankan ego dalam rumah tangga itu ternyata lebih berat daripada mengorbankan ego di luar rumah. Di luar rumah mengorbankan ego dipandang sebagai sesuatu yang bagus, yang mulia dan dipuji. Sementara di dalam rumah tidak mendapatkan pujian. Jadi karena tidak ada imbalan itulah maka lebih susah untuk berkompromi

Batasan-batasan tertentu di mana kita bisa kompromi dalam kehidupan rumah tangga, yaitu:

Langkah yang harus kita lakukan di dalam tindakan kompromi adalah membelah-belah keputusan dalam kepingan-kepingan yang lebih kecil. Oleh karena itu diperlukan:

Mazmur 105:5, "Ingatlah perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukan-Nya, mujizat-mujizat-Nya dan penghukuman-penghukuman yang diucapkan-Nya." Kompromi berarti memberi ruangan pada Tuhan untuk bekerja di dalam ketidaksempurnaan. Artinya waktu kita kompromi dalam diri kita, kita berkata keputusan yang paling baik ini tidak terjadi karena kita harus mengalah.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dan kali ini bersama Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kompromi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, mendengar istilah kompromi sering kali orang berkonotosi negatif. Nah kalau ini diterapkan di dalam kehidupan suami-istri bagaimana Pak Paul?

PG : Pada dasarnya kompromi itu sesuatu yang mutlak dalam pernikahan Pak Gunawan, kalau tidak ada kompromi saya kira banyak masalah yang tidak akan selesai. Nah kadang-kadang kita beranggapa bahwa dengan dewasanya kita, dengan matangnya kita, itu akan memudahkan kita untuk berkompromi.

Ternyata tidak selalu demikian, ada orang-orang dalam pergaulan, dalam kehidupan bisa berkompromi dengan lumayan baik, tatkala menikah tidak terlalu mampu untuk berkompromi dengan pasangannya sendiri. Jadi kompromi di dalam rumah tangga ternyata sesuatu yang lumayan sulit. Tidak berarti kalau kita mudah berkompromi di luar, maka dalam rumah kita akan lebih mudah berkompromi.
GS : Timbulnya kesulitan itu karena faktor apa Pak?

PG : Banyak penyebabnya Pak Gunawan, salah satunya adalah waktu kita harus berkompromi kita tidak bisa tidak harus mengorbankan ego kita. Nah kalau kita dilihat oleh orang bahwa kita itu kurng konsisten, itu mungkin sesuatu yang lebih mudah.

Tapi dalam rumah tangga tekanan itu jauh lebih intens. Jadi waktu kita harus mengalah, waktu kita itu rasanya malu untuk mengorbankan ego kita, itu sesuatu yang lebih berat dalam rumah tangga kita sendiri. Karena pasangan kita itu terlalu dekat, terlalu intens, maka tadi saya katakan kendati kita di luar bisa berkompromi dengan baik belum tentu di dalam rumah tangga sendiri kita lebih mudah berkompromi.

ET : Mungkin atau tidak Pak Paul, ketakutan orang itu karena kurang konsisten, jadi takut kalau saya kompromi besok sepertinya diinjak-injak?

PG : Sering kali itu ketakutannya, jadi daripada nanti saya dinjak-injak, tidak dipandang, tidak dihargai, maka lebih baik sekarang saya bertahan; mempertahankan prinsip. Tapi itulah yang haus kita lakukan, kalau tidak kita tidak mungkin menyelamatkan pernikahan kita.

Tapi saya ingin garis bawahi bahwa kadang-kadang orang berkata: "Si ini orangnya baik di tempat pekerjaan atau di gereja, sabar, dalam rapat mudah kompromi." Tapi di rumah pasangannya berkata: "O...di rumah lain lagi, di rumah tidak bisa kompromi, harus menuruti kehendaknya." Nah kenapa bisa ada dua sikap yang berbeda seperti itu? Sekali lagi karena mengorbankan ego dalam rumah tangga ternyata lebih berat daripada mengorbankan ego di luar. Dan juga kalau di luar kita mengorbankan ego itu dilihat sebagai sesuatu yang bagus, sesuatu yang mulia; dipuji dan sebagainya. Sedangkan di rumah kita tidak perlu puji-pujian seperti itu, di rumah tidak dipuji, nah karena tidak dipuji dan tidak ada imbalannya kita lebih susah untuk berkompromi. Jadi memang perlu sekali keberanian untuk mengorbankan ego.

ET : Kalau begitu apakah ada batasan-batasan tertentu, dalam hal apa yang memang kita benar-benar harus pertahankan, dalam hal apa yang memang harus dikompromikan dalam kehidupan keluarga, Pak Paul?

PG : Saya kira batasannya yang pertama adalah jikalau berkaitan dengan dosa kita tidak akan berkompromi. Jadi misalkan pasangan kita melakukan sesuatu yang salah, berdosa, misalkan dia menipu. Kita tidak akan berkata kepada orang dia tidak berkompromi, dia tidak menipu dan kita menoleransi perbuatannya. Kita berkata tidak apa-apalah kamu menipu dan kita turut menikmati hasil tipuannya. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan dosa seorang suami atau istri harus berkata kepada pasangannya: "Tidak, saya tidak mau mengambil bagian dalam perbuatan dosamu itu." Nah di luar dosa barulah kita akan berkompromi. Nah yang saya maksud sekarang adalah dalam hal perbedaan pendapat yang berkaitan dengan hikmat. Artinya satu pihak memang lebih berhikmat daripada pihak lainnya. Kadang-kadang situasinya seperti ini, tidak selalu dua-dua itu sama-sama berhikmat. Di dalam kehidupan rumah tangga, kadang-kadang yang satu lebih berhikmat daripada pasangannya, tapi untuk mempertahankan kesatuan nikah kita tetap harus melakukan kompromi. Tujuannya adalah untuk meminimalkan dampak kerusakan bila keputusan yang kurang bijak itu dilaksanakan. Tujuannya bukanlah bagaimana mencapai keputusan yang paling ideal. Jadi kita mengerti memang keputusannya tidak ideal, karena kita tahu kita benar dan kita tahu dampaknya ini akan ada. Jadi bagaimana kita bisa berbicara dengan pasangan kita sehingga kita bisa mengurangi dampak buruk itu, meskipun kita tahu ide kita kalau dilaksanakan akan jauh lebih baik, namun kadang-kadang guna menjaga kesatuan pernikahan ya kita berkompromi, kita mengalah.

GS : Mungkin Pak Paul bisa memberikan contoh yang konkret?

PG : Misalkan kita tahu bahwa kalau kita pindah rumah, ini akan sangat-sangat berisiko tinggi, karena rumah yang akan kita tinggali itu biayanya, renovasinya, harga belinya, cukup mahal. Tap pasangan kita berkata pasti bisa, tanpa memperhitungkan kalau tidak bisa ini benar-benar bisa merusakkan ekonomi keluarga.

Nah kita mencoba berbicara dengan pasangan kita tapi dia tetap bersikeras bisa, jangan khawatirlah dan sebagainya, mesti bisa. Meskipun kita sudah beritahukan nanti ini hitung-hitungannya seperti ini, ya tetap bersikeras. Nah daripada kita ribut terus-menerus, kita berkata: "OK dah silakan kita pindah, namun boleh atau tidak minta beberapa hal atau satu, dua syarat." Misalnya bisa atau tidak setelah pindah nanti kita tidak boleh merenovasi rumah sampai kita bisa mengumpulkan uang sedemikian besarnya. Setelah kita mengumpulkan sedemikian besarnya barulah nanti kita renovasi. Dan kita prioritaskan dari rumah itu apa yang perlu diganti atau perlu direnovasi. Satu persatu, setelah kumpul uang segini barulah kita kerjakan ini, setelah kumpul uang segini baru kita mengerjakan yang ini, nah bisa atau tidak kamu setuju." Kalau dia bilang, "OK, tidak apa-apa," nah dengan kata lain kita tetap mengikuti kehendaknya, kita tetap memang mengalah meskipun kita tahu nanti kita akan cukup berat, tapi dia bersedia berkompromi, nah akhirnya kita beli rumah itu dan memang cukup berat. Karena memang pas-pasan gaji kita tapi dia senang sekali, dia menikmati rumah yang baru ini, ya sudah kita mengalah. Dan dengan cara yang tadi telah kita setujui, terselamatkan bencana yang akan menimpa keluarga kita.
GS : Tapi sering kali yang terjadi dalam kasus seperti itu, yang satu tidak puas karena tidak langsung rumah itu direnovasi, dan pihak yang lain juga merasa kalah. Jadi di sini tidak tercapai suatu kesepakatan di mana mereka saling menikmati tapi malah merasa kehilangan sesuatu atau merasa dirugikan.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi yang kita bilang ´win-win solution´ jalan keluar yang memuaskan kedua belah pihak itu sering kali pada awalnya tidak memberikan perasaan seperi itu.

Justru dalam kompromi yang kita rasakan pada awalnya adalah ´lose-lose solution´ artinya jalan keluar yang membuat kita rugi dan dia juga merasa rugi, tapi ya itulah yang memang dibutuhkan. Dengan kata lain kompromi dapat terjadi jika kita bersedia kalah. Kalau kita dari awalnya tidak bersedia kalah sedikit pun tidak mungkin ada kompromi. Jadi kesediaan untuk mengalah ini harus ada di dalam diri kita masing-masing.

ET : Masalahnya kadang-kadang dalam hubungan suami-istri itu suka saling menunggu. Kalau kamu mengalah saya mau mengalah, jadi sepertinya siapa duluan, nah kalau begitu bagaimana Pak Paul?

PG : Itu memang sifat berdosa kita, jadi kita ini hanya rela untuk mengalah kalau kita melihat pasangan kita sudah mengalah dulu. Jadi memang siapa yang harus mengalah dulu, kebanyakan yang arus mengalah dulu adalah kita, nah kita yang sekarang mendengarkan siaran ini.

Siapapun yang mendengarkan ini kalau saudara memang tahu saudara yang benar, tapi saudara yang mendengar ini ya mengalahlah dulu, relakanlah untuk mengalah. Sebab sikap mengalah kita ini nantinya akan memancing atau mengundang pasangan kita untuk turut mengalah. Dengan kata lain kalau kita bersikeras, kemungkinan pasangan kita juga bersikeras, tapi kalau kitanya sudah mengalah dan dia melihat kita mengalah dia akan lebih mudah untuk mengalah. Dengan kata lain kita ini sebetulnya merintis, pertama-tama berjalan di depan dan karena dia sudah melihat karena kita ini berjalan di depan dan mengalah, akhirnya dia juga lebih rela untuk mengalah. Tapi saya mau berbicara lebih realistik tentang hal ini. Pernikahan bagaimanapun dan seberapa dewasanya kita, seberapa rohaninya kita, pernikahan itu sebetulnya didirikan dan dipertahankan di atas landasan hitung-hitungan. Maksudnya adalah kalau sekarang kita melihat bahwa kita yang mengalah, lain kali waktu terjadi lagi konflik kita itu akan lebih susah mengalah. Sebab kita menantikan pasangan kita dulu mengalah, sebab kita berkata ini giliranmu untuk mengalah, bulan lalu atau minggu lalu giliran saya mengalah kenapa sekarang kamu tidak mengalah. Dan pasangan kita juga akan mengingat, "Iya..ya bulan lalu dia yang mengalah, iya dah sekarang saya yang mengalah." Jadi kalau kita berkata kita sudah dewasa tapi masih seperti kanak-kanak; ya dalam soal ego saya kira manusia itu semuanya kanak-kanak tidak bisa sedewasa yang kita harapkan. Kadang-kadang kita akan bersikap dewasa tapi sering kita akan bersikap tidak dewasa. Jadi kalau kita merasa ini bukan giliran saya untuk mengalah sebab saya sudah mengalah dua kali berturut-turut nah itu membuat kita lebih susah mengalah. Tapi kalau kita melihat pasangan kita mengalah juga, kita akan lebih rela untuk mengalah. Maka ini memang harus timbal balik, kalau kompromi itu tidak ada timbal baliknya akan macet dan berhenti.
GS : Selain hitung-hitungan sering kali yang saya alami adalah hasil daripada sikap mengalah itu. Jadi kalau saya mengalah dan ternyata pendapat awal saya benar, saya lain kali untuk mengalah susah. Saya dulu sudah mengalah dan ternyata pendapat saya itu benar.

PG : Betul sekali, jadi kita cenderung sebetulnya menuntut pasangan untuk mengakui kesalahan. Kalau saja dia itu sadar, "Ya.....ya....gara-gara kita membeli rumah, sekarang ini menjadi usah sekali."

Dan pasangan kita berkata: "Wah...kamu yang betul, kalau saja dulu saya dengarkan kamu." Sebetulnya kalau kita dengarkan itu saja, semua kekerasan hati itu langsung lenyap, kita berkata, "Ya......tidak apa-apa kita semua manusia, kita bisa salah dan sebagainya." Jadi memang firman Tuhan yang berkata akuilah dosamu kepada satu sama lain, itu memang resep mujarab sebab pengakuan dosa itu benar-benar melunakkan hati orang yang ingin meberikan pengampunan itu. Jadi sebaiknya bersikaplah dewasa, kalau memang tahu bahwa ya.....ya.....pasangan kita yang betul, kita yang keliru menilai; akui dan katakan, jangan takut lain kali dia akan menginjak-injak kita. Kalau memang ini bagian kita, keharusan kita untuk mengakui kita salah, akui, jangan kita bertahan.

ET : Namun adakalanya kembali lagi soal ego itu, pihak yang sudah mengaku salah, memang sudah minta maaf, ya saya salah, kemudian yang satunya egonya justru menjadi membumbung sehingga untukberikutnya sudah percayalah saya.

Jadi dia merasa dia yang selalu tepat dalam pengambilan keputusan.

PG : Kalau itu sampai terjadi pihak yang sudah mengaku salah, setelah itu bisa berkata kepada pasangannya, "Saya mengaku salah dengan rela, namun dengan berat; karena saya tahu atau say sudah menduga kamu akan berkata-kata seperti ini, kamu akan melecehkan saya, menyalahkan saya lagi.

Nah saya tahu saya salah, tolong beritahu saya hanya sekali saja itu sudah cukup, kalau kamu mengulang-ulang perkataan yang sama, menekan-nekan saya seperti ini; ini membuat saya lain kali susah untuk mengaku salah dan relasi kita makin hari makin menjauh. Jadi kalau kita berdua serius mau menyelamatkan pernikahan kita, mohon lain kali kalau kamu sudah berkata sekali saja bahwa memang ´kan saya bilang apa, sudah cukup sebab saya sudah mengerti. Kenyataan saya datang minta maaf dan emngakui itu ´kan suatu pertanda bahwa saya sudah tahu saya yang salah, nah kalau bisa jangan diulang-ulang lagi." Jadi kita memang harus memberikan salah satu sikap ketegasan sehingga pasangan kita tidak senak-enaknya menginjak-injak kita.
GS : Berarti ada langkah-langkah tertentu yang harus kita ambil di dalam kompromi itu Pak Paul, apakah itu?

PG : Ada Pak Gunawan, nah yang harus kita lakukan adalah membelah-belah keputusan dalam kepingan-kepingan yang lebih kecil. Kadang-kadang kita terjerat dalam harga mati yakini kita meminta psangan untuk menyetujui keputusan yang final dan menyeluruh.

Nah inilah yang sering kali menyumbat kompromi sebab kita tidak siap dengan keputusan akhir yang berat itu yang besar itu, kita jauh lebih siap menyepakati langkah kecil daripada langkah besar. Saya berikan contoh, misalkan pasangan kita meminta kita untuk pindah kota karena ada tawaran kerja yang lebih baik. Nah kita tidak siap dengan keputusan sebesar itu, kalau begitu apa yang bisa kita lakukan. Nah pasangan kita bisa berkata, bagaimana kalau kita itu melakukannya setahap-demi setahap. Saya kira kita tidak perlu pindah sekarang ini, namun bagaimana selama setahun ini kita rencanakan misalkan dua, tiga kali kita ke kota itu; kita jalan-jalan, kita lihat, kita temui sekolah di sana, kita datang berbakti di sebuah gereja, kita mempunyai keanggotaan di gereja itu, kita mengenal dengan orang-orang di sana. Nah terus hal-hal seperti itu dilakukan. Atau pasangan kita berkata saya juga akan datang ke sana sendiri, saya akan memulai usaha saya, melihat-lihat pekerjaannya seperti apa, nanti saya akan pulang akan cerita juga. Nah dengan kata lain pasangan itu meminta kita melakukan hal-hal yang kecil dan kita jauh lebih siap untuk menyetujui hal-hal kecil itu. Sebab kita berkata dalam hati kita, kalau hal-hal kecil ini kita lakukan dan tidak berhasil, kita masih bisa menarik diri kita kembali. Kalau langsung terjun ke keputusan yang besar kita tidak bisa lagi tarik diri, karena ini sudah menjai keputusan final. Itu sebabnya kalau yang final itu terlalu besar, yang mengusulkan perubahan harus memikirkan bagaimana membelah-belah keputusan besar itu menjadi kepingan-kepingan yang lebih kecil.

ET : Jadi dalam hal ini memang dibutuhkan kreatifitas juga, Pak?

PG : Sangat dibutuhkan kreatifitas. Atau kalau kita tidak tahu kepingan kecil itu seperti apa kita bisa bertanya kepada pasangan kita, "Apa yang kamu siap kalau kamu tidak siap dengan yng ini, ada atau tidak yang kamu siap yang sedikit apapun tapi kamu siap untuk melakukan?" Misalkan dia bilang: "Ya saya siap untuk datang melihat kota itu, setidak-tidaknya untuk itu saya siap."

"OK, terima kasih." Jadi kita bisa bertanya juga kalau kita memang kehabisan ide, apakah itu kepingan-kepingan kecil yang harus kita lakukan.
GS : Tapi itu biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama dan kadang-kadang suatu keputusan itu tidak bisa diambil dalam waktu yang cukup lama seperti itu.

PG : Kadang-kadang kita memang bisa melakukan nasihat ini, kepingan-kepingan kecil itu kita urai kemudian kita lakukan bersama. Tapi saya setuju adakalanya ada keputusan yang tidak bisa menuggu terlalu lama, nah dalam kondisi seperti itu memang diperlukan diskusi yang intens, benar-benar dua-dua mengajukan sisi baik dan buruk dari semuanya.

Nah salah satu cara yang harus atau salah satu hal yang harus dilakukan dalam diskusi intens adalah kita mencoba untuk mengulang apa yang pasangan kita tadi katakan. Jadi maksudnya adalah sering kali yang terjadi waktu pasangan kita bicara, kita memikirkan ini jawabannya apa, terus kita melontarkan jawaban untuk membantah yang dia katakan. Dia juga berpikir apa ini yang bisa dia lakukan atau katakan untuk membantah yang kita katakan, terus begitu. Nah saya meminta kita melakukan sesuatu yang sangat sederhana yaitu waktu pasangan kita berbicara misalkan tentang pindah kerja, kita tidak langsung berkata: "Tidak, karena nanti akan begini, begini." Kita langsung mengulang kembali atau memantulkan apa yang pasangan kita katakan. "O......OK, jadi menurut kamu kalau kita pindah ini akan lebih baik untuk kita semua, udara lebih baik, juga anak-anak lingkungannya lebih baik dan kita berdua lebih bisa menghabiskan waktu bersama dan sebagainya, itu yang kamu katakan tadi." "Ya." "Nah, kalau begitu boleh atau tidak saya kemukakan pandangan saya, saya mendengar pandangan kamu." Pasangan kita akan berkata: "Boleh." Terus kita katakan pandangan kita, "Nah menurut saya yang tadi kamu katakan itu semuanya benar namun ada sisi lain, sisi lainnya adalah tentang uang; nah uang kita hanya segini sedangkan keperluannya segini, segini, apa yan kamu pikirkan, ide apa yang kamu miliki untuk mengatasi masalah uang ini." Nah dia akan berkata: "Menurut saya kita bisa begini, begini," nah apa yang harus kita lakukan; kita itu seolah-olah mengerti apa yang sedang dia kemukakan. Dengan hanya memantulkan, dengan hanya mengulang apa yang dia katakan, pasangan kita sudah merasa didengarkan oleh kita dan dimengerti. Nah ini sendiri sudah mengurangi 50% letupan, tadinya ingin marah, defensif karena takut, sudah menduga bakal diserang, dibantah, ternyata tidak malahan diiakan, dipantulkan, ya akan menjadi lebih lega, lebih tidak defensif. Kalau dia lebih tidak defensif, dia lebih siap juga mendengarkan masukan kita. Nah dengan kita terus begitu, lama-lama bisa terjadi atau kita bisa bertemu di tengah.

ET : Tampaknya kompromi ini bukan sebuah tindakan, tapi ada unsur seni di dalamnya, membutuhkan keterampilan-keterampilan tertentu sebelum kita bisa mencapai sebuah kompromi ini.

PG : Betul, dan selain keterampilan yang diperlukan juga adalah kedewasaan. Kedewasaan yaitu bukan lagi yang penting saya menang, yang penting bukan lagi saya benar, yang penting adalah bahw keputusan yang baik itu diambil.

Nah kalau kita masih memusingkan siapa yang benar dan siapa yang salah, dan saya harus benar tidak boleh salah; ya tidak akan terjadi kompromi. Maka kedewasaan seseorang diukur dari apakah dia mampu mengesampingkan dirinya dan hanya memfokuskan pada faktanya atau pada bahan yang sedang didiskusikan itu, dan pada keputusan yang terbaik untuk kita bersama-sama. Nah begitu orang berkata saya yang harus benar dan pendapat saya yang harus diikuti tidak akan ada kompromi, tapi kalau dua-duanya berkata yang penting adalah keputusan yang terbaik untuk kita bersama, it akan memudahkan. Jadi kalau sudah terlalu subjektif memang sudah tidak bisa ke mana-mana.
GS : Dalam hal kompromi ini apakah ada firman Tuhan yang mendukung, Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 105:5, "Ingatlah perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukanNya, mujizat-mujizatNya dan penghukuman-penghukuman yang diucapkanNya." Komromi berarti memberi ruangan pada Tuhan untuk bekerja di dalam ketidaksempurnaan.

Artinya waktu kita kompromi dalam diri kita, kita berkata keputusan yang paling baik ini tidak terjadi karena kita harus mengalah, betul itu yang kita rasakan. Tapi percayakanlah sisa ruangan ini, yang kita pikir tadinya bakal menjadi yang paling baik kepada Tuhan, kita percayakan bagian ini kepada Tuhan bahwa Ia sanggup berkarya dalam setiap kondisi. Meskipun tidak sempurna, dengan kata lain kesimpulannya adalah kehendak Tuhan tidak pernah terhalang oleh kebodohan kita. Jadi meskipun kurang ideal tapi toh ada Tuhan dan Tuhan tetap berkarya di dalam ketidaksempurnaan itu.
GS : Berarti di dalam hal kompromi itu katakan suatu saat belum tercapai kompromi terhadap pasangan kita, kita bisa hentikan itu dan masing-masing berdoa mencari pimpinan Tuhan.

PG : Sangat betul, jadi dalam pengambilan keputusan dua-dua memang mesti juga menarik diri, bersujud kembali kepada Tuhan meminta Tuhan membisikkan kehendakNya kepada kita. Dan sering kali dlam situasi seperti itu Tuhan memang akan membisikkan kehendakNya.

GS : Dan terutama memberikan pertolongan kepada kita untuk bisa mengalah. Jadi banyak hal yang akan mendatangkan sesuaut yang positif kalau kita bisa berkompromi dengan pasangan kita. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan ini juga Ibu Esther, para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga. Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kompromi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id Kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



35. Tangguh Ditengah Badai


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T192A (File MP3 T192A)


Abstrak:

Badai dapat menerpa siapa pun, termasuk pengikut Kristus! Badai datang sekonyong-konyong, silih berganti! Ada 5 tuntunan untuk menghadapi badai yang dibahas dalam bagian ini.


Ringkasan:

Matius 8:23-27

Badai adalah segala jenis KEHILANGAN:

Badai datang:

Badai datang, namun Tuhan telah datang terlebih dahulu!

Tuntunan 1

Tuntunan 2

Tuntunan 3

Tuntunan 4

Tuntunan 5
Kekuatan Tuhan mengalir turun melalui:


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini saya bersma Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tangguh di Tengah Badai". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kalau kita bicara tentang badai ingatan kita itu langsung tentang kehancuran, tentang kerusakan yang parah bahkan tentang kematian. Sehingga orang itu kalau bisa akan coba menghindari atau menjauhkan diri dari badai ini supaya selamat. Tetapi kadang-kadang kita melihat juga berbagai upaya manusia ini ada batasnya, jadi tetap terjebak di dalam badai itu sehingga mau tidak mau harus bertahan. Ini kalau kita melihat kenyataan badai yang sehari-hati, tetapi dalam kehidupan kita sendiri itu juga ada badai-badai yang melanda hidup kita yang kita kenal dengan badai kehidupan. Ini sebenarnya apa Pak Paul?

PG : Badai kehidupan sebetulnya adalah hal-hal yang terjadi dalam hidup kita yang menimbulkan dampak kehilangan yang besar. Jadi hal-hal itu bisa merupakan kematian, bisa merupakan kerugian, bia merupakan hilangnya keseimbangan hidup ini, peristiwa-peristiwa yang menimpa kita apapun itu.

Tapi yang jelas adalah dampaknya, dampaknya adalah kehilangan yang sangat besar, itu sebabnya kita tidak siap untuk menghadapi badai. Karena pada akhirnya yang kita akan harus tanggung adalah sebuah kehilangan yang besar. Persis sama dengan peristiwa-peristiwa yang baru saja kita dengar yaitu badai Katrina, badai Rita yang menerpa di Amerika atau pun kita juga mendengar tsunami yang juga menerpa Sumatera Utara dan tempat-tempat lainnya. Efek akhirnya adalah kehilangan yang sangat besar.
GS : Tetapi badai kehidupan itu untuk setiap orang tidak sama, buat seseorang itu merupakan badai tapi buat yang lain ini mungkin cuma angin-angin sepoi saja Pak Paul.

PG : Memang tidak sama Pak Gunawan, jadi tergantung juga pada daya tahan kita, daya tampung kita untuk menahan terpaaan badai atau stres itu. Pada dasarnya kita itu bisa memfokuskan dampak kehiangan itu pada sekurang-kurangnya 4 kategori.

Yang pertama adalah kehilangan kesayangan, kedua kehilangan kepercayaan dan yang ketiga kehilangan keamanan dan yang terakhir adalah kehilangan kekuatan. Yang saya maksud kehilangan kesayangan adalah kita kehilangan orang yang kita sayangi, kematian adalah badai yang bisa merenggut orang yang kita sayangi. Bisa juga memang ini menyangkut harta miliki kita yang kita sayangi, rumah kita tiba-tiba terbakar habis nah itu bagian dari kehilangan benda atau harta yang kita sayangi pula. Ini adalah jenis pertama dari badai kehidupan.

ET : Kalau yang pertama tadi Pak Paul katakan ada kepercayaan, kehilangan seperti apa Pak?

PG : Kehilangan kepercayaan adalah misalnya suami atau istri yang harus menanggung rasa dikhianati karena apa yang tadinya dipercaya bahwa dia selalu akan setia kepada kita, tiba-tiba tidak seta.

Apa yang kita anggap dia akan selalu menepati janjinya, tiba-tiba dia tidak menepati janjinya. Misalkan kasus yang paling klasik dalam hal ini adalah perselingkuhan. Perselingkuhan adalah badai yang langsung merenggut kepercayaan kita, sehingga setelah badai itu lewat, yang terhilang dalam relasi kita dengan pasangan adalah kepercayaan itu.

ET : Berarti sebenarnya termasuk kehilangan kesayangan dalam hal ini ya Pak?

PG : Betul, ini point yang baik memang jadinya bukan hanya aspek kepercayaan yang hilang tapi juga kesayangan. Seseoang yang disayangi kok sanggup melakukan hal itu dan melukai kita, jadi kita eolah-olah kehilangan orang yang kita sayangi itu.

GS : Bagaimana dengan keamanan tadi yang Pak Paul singgung?

PG : Kita itu kadang-kadang beranggapan kita hidup dalam dunia yang aman tapi waktu sesuatu terjadi di luar dugaan kita dan di luar kemampuan kita, tiba-tiba kita baru disadarkan bahwa kita tidk hidup di dunia yang terlalu aman.

Misalnya perampokan atau terjadi kebarakaran atau terjadi musibah-musibah yang bersifat alami. Hal-hal itu tiba-tiba menggoncangkan rasa keamanan kita, kita anggap bahwa semuanya dapat kita kontrol, kita dapat menjaga, kita membangun rumah yang lebih tinggi, temboknya dan sebagainya, kita menggembok pintu rumah kita dengan lebih kuat, eh...tiba-tiba kita mengalami perampokan atau pencurian atau ada orang jahat yang berbuat jahat kepada kita. Semuanya itu adalah badai yang mengusik dan menghancurkan rasa aman dalam hidup kita.
GS : Termasuk itu kegoncangan ekonomi dalam keluarga itu Pak Paul?

PG : Salah satunya itu Pak Gunawan, jadi kalau kita sudah terbiasa hidup dengan gaji yang tetap setiap bulan, tiba-tiba di-PHK, kita kehilangan pekerjaan kita itu benar-benar akan menggoncangka rasa aman kita.

Nah ini badai yang langsung merenggut rasa aman dalam kehidupan kita.

ET : Termasuk yang psikologis itu Pak Paul, misalnya pelecehan bukankah ini juga berkaitan dengan keamanan?

PG : Betul, ada orang-orang yang memang hidup dalam rumah berharap bahwa kakek atau neneknya, misalnya kakeknya yang akan melindungi dia tapi malah si kakek yang melecehkan dia secara seksual. ah hal ini akan menimbulkan dampak yang sangat berat yaitu hilangnya kepercayaan dia kepada orang-orang yang seharusnya dekat dengan dia.

Justru kalau ada orang yang mau dekat dengan dia yang timbul bukannya percaya tapi malah curiga. Jangan-jangan orang ini juga akan melakukan sesuatu yang buruk kepada saya.

ET : Jadi di keluarga yang seharusnya aman, tapi justru keamanan itu sudah hilang.

PG : Betul sekali, dan bagi orang seperti ini kalau di rumahnya sendiri tidak ada lagi rasa aman apalagi di luar, maka kita bisa melihat pada kasus-kasus korban pelecehan; sampai mereka dewasa un mereka hidup dibayang-bayangi oleh ketakutan.

Sebab betul sekali, bahaya itu masuk di tengah-tengah keluarga, di tengah-tengah rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman buat dia.
GS : Tapi kadang-kadang memang ada beberapa kasus seolah-olah sekelompok orang itu mengundang badai di rumahnya sendiri. Jadi sebenarnya dia tahu kalau itu akan menimbulkan bencana kalau dia lakukan tapi tetap dia lakukan itu.

PG : Ada orang-orang yang memang senang berjudi, senang mengambil risiko, sehingga akhirnya mengorbankan orang lain. kalau saja dia yang dikorbankan dampaknya tidak akan begitu meluas, tapi kadng-kadang memang dia mengundang bencana.

Misalkan, sudah tahu bahwa orang ini tidak bisa dipercaya, tetap diajak terlibat dalam kehidupan bisnisnya atau apa, benar-benar orang itu akhirnya berbalik dan merugikan kita. Jadi akhirnya kita marah karena kita merasakan kita kehilangan kepercayaan. Tapi sesungguhnya badai itu memang kita undang sendiri.
GS : Tapi itu sebenarnya seperti apa yang kita ilustrasikan di depan tadi, ada orang-orang yang sudah diperingatkan bahwa badai akan datang, dia tetap bersikeras mau tinggal di situ sehingga akhirnya menghadapi banyak masalah.

PG : Betul, maka kita memang perlu bijak Pak Gunawan. Kadang-kadang kenapa orang begitu, sudah tahu badai akan datang tetap saja berpikir dia bisa menghadapi badai. Orang ini memang mengandalka kekuatannya sendiri.

Nah memang di dalam hidup kita mesti emmpunyai keyakinan bahwa kita mempunyai kekuatan sampai batas tertentu, kita tidak boleh sampai meninggikan kekuatan kita di atas kekuatan Tuhan. Sampai titik tertentu kita mesti meyakini kita punya kekuatan untuk menghadapi hidup ini. Biasanya waktu badai menerpa yang terjadi adalah kekuatan itu tiba-tiba tidak sanggup untuk mengatasi bencana itu. Misalkan kita kehilangan orang yang kita kasihi, kita berpikir saya itu sering menolong orang yang sedang berduka, saya pasti bisa mengatasi kehilangan orang yang saya kasihi ini. Ternyata waktu hal itu terjadi pada diri kita, kita tidak sanggup. Misalkan kita sering mengatakan kepada orang-orang, "Jangan putus asa sewaktu kamu kehilangan pekerjaan, Tuhan akan sediakan pekerjaanmu." Kita bisa memberikan dorongan itu kepada orang-orang, eh....pas kita mengalami PHK kita benar-benar jatuh, kita tidak mempunyai kekuatan untuk bangkit kembali. Nah disitulah kita baru sadari kekuatan kita terhilang, itu kadang-kadang terjadi. Badai masuk merenggut kekuatan yang tadinya kita anggap kita miliki, ternyata kita tidaklah sekuat itu.

ET : Mungkin kadang-kadang karena pengalaman hidup yang selama ini lancar itu juga bisa membuat orang sepertinya kebal. Ada rasa kebal terhadap badai, pasti terlindungi, tidak akan sampai mengaami kejatuhan.

Jadi merasa kalau ada jam waterproof, jadi seolah-olah itu tidak akan menimpa saya, entah karena keyakinan iman atau hal-hal yang lain.

PG : Dan konsep ini sering kali dimiliki oleh kita sebagai orang beriman, sebagai orang percaya pada Kristus, kita tahu Tuhan akan melindungi kita. Dan benar, dalam banyak hal Tuhan melindungi ita namun kadang-kadang Tuhan membiarkan badai menerpa dan masuk dalam kehidupan kita.

Tuhan tidak selalu menjadikan kita itu orang yang Tuhan lindungi terus-menerus dan akan mencegah badai masuk di dalam kehidupan kita. Adakalanya Tuhan membiarkan, nah maka kita akhirnya harus mengakui bahwa badai dapat menerpa siapa saja termasuk pengikut Kristus. Tidak ada perkecualian, yang Tuhan janjikan bukannya kita tak pernah diserang badai, yang Tuhan janjikan adalah penyertaan-Nya. Waktu kita menghadapi pencobaan, Dia akan menyediakan jalan keluar dan Dia janjikan pencobaan itu tidak akan melebihi kekuatan kita. Namun Dia tidak pernah menjanjikan Dia akan terus-menerus menghindarkan kita dari badai, jadi memang sebagai pengikut Kristus kita juga harus menyadari bahwa badai dapat menyerang kita.
GS : Walaupun ada banyak persamaan dengan badai yang kita hadapi sehari-hari secara nyata, tetapi badai kehidupan itu sulit diprediksi sebagaimana badai yang sehari-hari kita hadapi, Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, badai yang terjadi di Amerika baik Katrina maupun Rita, beberapa hari sebelumnya bahkan beberapa minggu sebelumnya sudah dapat diprediksi. Tapi badai kehidupan tidak dapt diprediksi, maka kita harus menyadari dua sifat badai kehidupan.

Yang pertama, datangnya sekonyong-konyong, tidak dapat kita duga. Artinya kita tidak bisa menyiapkan diri sesiap-siapnya untuk menghadapi badai kehidupan. Ada orang yangmempunyai anggapan bahwa dia bisa menyangkal badai dengan cara menyiapkan hidup sesiap-siapnya. Semua hal dia kontrol, dia harus jaga, dia harus lindungi, nah itu adalah anggapannya. Tapi faktanya adalah tidak ada yang bisa menahan badai sewaktu badai itu datang dan tidak dapat dia prediksikan kapan badai itu akan muncul dalam kehidupannya. Sifat yang kedua tentang badai kehidupan adalah sering kali badai datang silih berganti, ini mirip dengan peristiwa yang terjadi di Amerika, baru saja badai Katrina melanda New Orleans di Lousiana kemudian datang lagi badai Rita. Sering kali badai kehidupan datangnya silih berganti membuat kita pada akhirnya merasa sungguh-sungguh tidak bisa bernafas dan kita benar-benar tidak lagi mempunyai kekuatan untuk menghadapinya.
GS : Kalau silih berganti itu mungkin orang masih bisa tahan, tapi kadang-kadang beruntun Pak Paul. Jadi seperti kisah yang kita baca di kitab Ayub itu beruntun sekali, dalam waktu yang singkat beberapa badai menerpa keluarga itu.

PG : Dan banyak orang mengalami hal itu Pak Gunawan, kalau kita ngomong-ngomong dengan orang yang pernah mengalami badai kehidupan yang parah umumnya mereka akan berkata badai itu datangnya bukn hanya satu kali tapi benar-benar beruntun.

Silih berganti, satu belum selesai satu lagi datang; satu belum selesai satu lagi datang, kita benar-benar dibuatnya tak bisa bernafas.

ET : Tapi yang menarik adalah reaksi yang berbeda-beda, tadi Pak Gunawan menggunakan istilah buat seseorang itu badai tapi buat orang lain seolah-olah angin sepoi-sepoi. Jadi yang seorang walauun mengalami badai beruntun tapi tetap bertahan, tapi ada orang lain lagi yang mengalami dengan beruntun bisa sampai gila dan mengalami stres yang luar biasa.

Sesungguhnya apakah memang ada tuntunan-tuntunan, kalau memang tidak bisa persiapan tapi paling tidak ketika badai datang, apa yang mesti kita lakukan Pak Paul?

PG : Ada beberapa Ibu Ester, yang pertama kita mesti menyadari bahwa hidup tidak berada dalam kendali kita. Ini sesuatu yang tampaknya sederhana tapi kadang-kadang kita lupa bahwa hidup tidak brada dalam kendali kita.

Contoh: ada orang-orang yang anaknya dijaga luar biasa, sudah besar-besar disuruh tinggal di dekat-dekat rumah tidak boleh tinggal jauh-jauh, dia mau jaga semuanya; seolah-olah hidup itu berada dalam kendali kita. Faktanya tidaklah demikian, faktanya adalah banyak masalah bisa muncul dan kadang-kadang kita tidak bisa berbuat apa-apa tentang hal itu. Benar-benar sebuah ilusi bahwa kitalah yang mengontrol hidup. Maka kita harus berkata pada akhirnya datanglah kepada Tuhan yang memegang kendali atas hidup ini. benar-benar bukan kita tapi Tuhan; datanglah kepada Tuhan. Datang kepada Tuhan bukan dengan sikap ketakutan, "Tuhan, jangan sampai Tuhan kirim badai." Datang kepada Tuhan yang memegang kendali atas kehidupan artinya adalah datang kepada Dia dengan rasa aman, bahwa apapun yang terjadi kalaupun badai harus menerpa, Tuhan ada bersama dengan kita dan Dia sudah berjalan di depan kita sebelum badai itu datang. Kita harus yakin, orang-orang yang telah berhasil melewati badai, sering kali ketika melihat ke belakang mereka berkata: "Entah mengapa Tuhan sudah persiapkan kami, ada hal-hal yang terjadi sebelumnya yang membuat kami sadar, o......bukannya kebetulan hal-hal itu terjadi untuk mempersiapkan kami menyambut badai itu." Dengan kata lain kesimpulannya adalah Tuhan sudah berjalan di depan kita sebelum badai datang, nah ini ada penghiburan dan kekuatan kita, Dia adalah yang memegang kendali hidup dan kita dapat datang kepada-Nya dengan rasa aman.
GS : Memang kekhawatiran yang sering kali timbul adalah keadaan itu tidak terkendalikan lagi, jadi seolah-olah Tuhan pun tidak mampu mengendalikan badai menerpa hidup kita.

PG : Sering kali memang karena terlalu bertubi-tubi, kita akhirnya berkata Tuhan pun tidak bisa menolong kita. Sebetulnya yang harus kita katakan adalah "Tuhan, saya tidak sanggup lagi," namun angan smapai kita akhirnya mengatakan Tuhan yang tidak sanggup lagi.

Tuhan sanggup, tapi kalau ini tetap terjadi kesimpulannya adalah memang dalam takaran Tuhan inilah badai yang memang Dia telah tetapkan untuk kita. Berarti kekuatan Tuhan akan cukup sesuai takaran badai yang Tuhan tetapkan untuk kita itu.
GS : Tuntunan yang lain apa Pak Paul?

PG : Yang lain adalah kita mesti menyadari bahwa kita tidak selalu kuat. Kadang-kadang kita terlena Pak Gunawan, kita beranggapan kita sekarang sudah kuat, kita bisa menghadapi hidup apapun maslah yang akan datang dalam hidup kita, kita bisa atasi, tapi tidak demikian.

Faktanya adalah hari ini kita kuat, besok kita lemah. Kita tidak selalu kuat, kekuatan kita tidak selalu sama hari lepas hari, ada hari-hari kita kuat, ada hari-hari kita lemah. Kenapa, sebab hidup kita pun tidak selalu sama dan monoton, kadang-kadang ada hal yang mengguncangkan kita dan membuat kita kehilangan keseimbangan. Dalam kondisi seperti itu kita akan lebih lemah, kita harus sadari itu. Maka yang harus kita lakukan adalah datanglah dan dekatlah selalu dengan Tuhan yang perkasa, selalu kita harus sadari meskipun saat ini kita sedang tidak ada apa-apa. Kita harus ingatkan diri kita bahwa yang kuat adalah Tuhan bukan saya, nah Tuhan baik, secara berkala Tuhan akan ingatkan kita dengan menghadirkan situasi yang menyadarkan kita bahwa kita tidak kuat. Dan karena itu kita akhirnya disadarkan kita dipaksa untuk kembali bergantung kepada Tuhan yang adalah sumber kekuatan kita itu.

ET : Saya setuju dengan apa yang Pak Paul katakan tentang terlena, kadang-kadang karena kita merasa di masa lalu kita pernah mengalami badai tapi bisa melampauinya. Jadi kalau mengalami lagi pati akan sama kuatnya dengan yang lalu, tapi ternyata ambruk sehingga langsung merasa ada yang salah.

Seolah-olah terkena apa begitu sehingga tidak bisa sekuat dulu lagi.

PG : Memang kita cenderung berpikir bahwa cara yang telah kita gunakan yang berhasil itu akan selalu berhasil. Faktanya tidaklah demikian, sebab situasi itu mengandung unsur-unsur atau faktor-fktor yang lain yang membuat situasi itu unik dan tidak sama dan kitanya sendiri tidak selalu ada dalam kondisi yang selalu prima.

Ini yang mesti kita sadari. Sedikit saja kita kehilangan fokus kita langsung tenggelam, itu yang terjadi pada Petrus, pada waktu Tuhan meminta dia datang kepada-Nya berjalan di atas air. Dia mendengar badai, dia merasakan badai dan dia mulai takut langsung dia tenggelam. Itulah kita, tapi ingat Petrus sudah berjalan, Petrus bukannya merasakan itu di atas perahu, Petrus sudah berjalan berarti dia pernah mempunyai iman yang kuat. Seharusnya dia berkata, "Saya sudah berjalan sedemikian jauh, saya pasti bisa jalan terus menyelesaikan perjalanan saya mencapai Tuhan Yesus. " Tapi toh di tengah jalan meskipun metodenya tetap sama, tapi imannya tidak sama. Ini sering kali terjadi pada kita, di awal kita mempunyai iman yang besar, di tengah-tengah waktu menghadapi terpaan badai iman kita luntur. Kini saatnyalah kita datang kepada Tuhan, Dialah yang perkasa, mata kita harus tetap tertuju kepada-Nya, tidak boleh akhirnya mata kita itu kehilangan fokus.
GS : Selain kedua hal itu apakah ada tuntunan yang lain yang Pak Paul ingin sampaikan?

PG : Yang ketiga adalah hiduplah dengan problem, ini harus kita sadari. Hidup dengan problem bukan di luar problem, artinya kadang-kadang ada hal-hal yang tidak bisa kita lenyapkan atau hindari Misalkan badai penyakit kanker, kita kadang-kadang tidak bisa hilangkan itu dan kita harus hidup dengan penyakit itu bukan di luar penyakit itu.

Terimalah dan sesuaikan hidup seperti apa adanya, misalnya kita kehilangan suami kita, hiduplah sebagai seseorang yang tanpa suami. Kita kehilangan istri, hiduplah sebagai seseorang yang kehilangan istri. Kita tidak lagi mempunyai kesehatan yang prima, hiduplah dengan kesehatan yang tidak prima; kita mesti hidup sesuai dengan kondisi kita.
GS : Tetapi ada orang yang ingin cepat-cepat keluar dari problem itu sendiri, dengan cara apapun dia ingin keluar.

PG : Memang dalam keadaan yang sangat menyakitkan, penuh penderitaan, kita ingin bebas Pak Gunawan. Makanya kita masuk pada tuntunan keempat dan yang terakhir, yakni belajarlah menghadapi tekann hidup.

Kalau kita mempunyai pasangan hidup, kita mempunyai keluarga, hadapilah bersama-sama, janganlah kita melarikan diri dengan menggunakan cara-cara pintas yang tidak memuliakan Tuhan atau memisahkan diri, tidak mau berbicara dengan sanak keluarga, tidak mau berbicara dengan istri atau suami kita, tidak mau berbicara dengan orangtua kita; jangan, problem akan lebih bisa dihadapi bersama-sama daripada sendiri. Dan juga jangan lari, karena problem akan mengejar kita kalau kita lari, maka mesti kita hadapi. Ini tuntunan terakhir yang mesti kita camkan.
GS : Kebersamaan itu sering kali rusak karena satu menyalahkan yang lainnya, seolah-olah badai itu terjadi karena salahnya dia.

PG : Adakalanya itu kita lakukan, kita mencari kambing hitam, salahnya adalah pada waktu kita mencari kambing hitam, kita memisahkan diri dan kekuatan kita terpecah sedangkan yang diperlukan adlah kebersamaan.

Jadi kuncinya menghadapi ini adalah bersama, bersama dengan Tuhan dan bersama orang-orang yang dekat dan mengasihi kita.
GS : Pak Paul, kita merasakan pimpinan Tuhan itu lewati apa Pak?

PG : Saya kira Firman Tuhan Pak Gunawan, tidak ada lagi yang lain. Hari lepas hari tatkala kita sedang menderita kita datang dan datang kembali pada firman-Nya. Firman-Nya berkuasa memberikan kta pengharapan untuk maju kembali.

GS : Mungkin Pak Paul akan bacakan sebagian firman Tuhan untuk hal ini?

PG : Saya akan bacakan Matius 8:25, setelah datangnya gelombang dan angin ribut; murid-murid berkata: "Tuhan, tolonglah, kita binasa." Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu takut, kamu yang krang percaya?" Lalu bangunlah Yesus menghardik angin dan danau itu, maka danau itu menjadi teduh sekali.

Inilah penghiburan kita, Dia yang perkasa, Dia bisa menghardik angin ribut dan datanglah kepada Dia.

GS : Itu janji untuk kita semua ya, terima kasih Pak Paul juga Ibu Esther untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tangguh Di Tengah Badai". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



36. Dipanggil untuk Memberkati


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T192B (File MP3 T192B)


Abstrak:

Apakah Saudara ingin mempunyai pernikahan yang bahagia? Bagaimanakah caranya membangun pernikahan yang bahagia? Dan apa hubungannya dengan memberkati?


Ringkasan:
1 Petrus 3:9-12 Pertanyaan: Konsep yang Keliru Bagaimana Memberkati Ciri-Ciri Orang yang Diberkati
  1. "Dan Aku akan memberi damai sejahtera di dalam negeri itu sehingga kamu akan berbaring dengan tidak dikejutkan oleh apa pun" (ayat 6)
    Rumah yang damai: Tidak mudah tersulut pertengkaran
  2. "Kamu akan mengejar musuhmu dan mereka akan tewas di hadapanmu" (ayat 7)
    Pribadi yang tangguh: Tidak mudah dikalahkan Iblis, musuh utama kita
  3. "Kamu masih akan makan hasil lama dari panen yang lampau dan hasil lama itu akan kamu keluarkan untuk menyimpan yang baru" (ayat 10)
    Hidup yang berlimpah: Siap membagi
  4. "Aku akan menempatkan Kemah Suci-Ku di tengah-tengahmu" (ayat 11)
    Kemuliaan Tuhan nyata: Ada Roh Allah di keluarga kita
Ciri Orang yang Tidak Diberkati
  1. "Kamu akan sia-sia menabur benihmu karena hasilnya akan habis dimakan musuhmu" (ayat 16)
    Apa pun yang dilakukannya sia-sia
  2. "Aku sendiri akan menentang kamu sehingga kamu akan dikalahkan oleh musuhmu" (ayat 17)
    Daya tahan yang keropos: Mudah dikalahkan pencobaan
  3. "Dan Aku akan mematahkan kekuasaanmu yang kau banggakan" (ayat 19)
    Tuhan akan mempermalukan kita: Ia menghancurkan keangkuhan kita
  4. "Maka tenagamu akan habis dengan sia-sia, tanahmu tidak akan memberi hasilnya dan pohon-pohon di tanah itu tidak akan memberi buahnya" (ayat 20)
    Hidup yang kering kerontang: Tidak ada yang dapat dibagikan

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini saya bersama Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Dipanggil untuk Memberkati". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, judul perbincangan kita pada saat ini adalah "Dipanggil untuk Memberkati." Padahal sering kali orang berharap, dipanggil untuk diberkati, nah ini bagaimana?

PG : Pada akhirnya memang prinsip ini harus kita pahami, bahwa Tuhan ingin memberkati kita tapi kita juga harus memberkati orang lain. Ini prinsip mengalir di dalam firman Tuhan. Waktu kita memerkati orang, curahan berkat Tuhan atas kita tak pernah berhenti, kita berhenti memberkati orang lain, curahan berkat Tuhan atas kita pun akan berhenti.

Benar-benar berkat Tuhan itu harusnya mengalir, dari surga turun ke kita, dari kita turun ke orang lain. Begitu kita berhenti memberkati orang maka Tuhan pun berhenti memberkati kita. maka firman Tuhan yang akan kita baca menjelaskan bahwa kita dipanggil untuk memberkati orang lain. Saya akan bacakan dari I Petrus 3:8, "Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati, dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dianggil, yaitu untuk memperoleh berkat." Nah terakhir Tuhan tambahkan lagi yaitu untuk memperoleh berkat. Jadi yang pertama adalah hendaklah kamu memberkati baru memperoleh berkat. Urutannya sangat jelas, kita memberkati terlebih dahulu barulah kita memperoleh berkat.
GS : Kalau kita kaitkan dalam kehidupan berkeluarga, semua orang ingin hidup pernikahannya bisa menjadi berkat, bisa dinikmati oleh orang lain juga, nah ini bagaimana Pak Paul?

PG : Kalau kita memang mempunyai konsep bahwa kita ingin menjadi berkat buat orang lain, apalagi buat pasangan kita; ini adalah satu konsep yang sangat benar; masalahnya adalah kita sering kalimasuk ke dalam pernikahan dengan konsep yang keliru.

Yaitu misalkan yang pertama kita berkonsep bahwa pernikahan yang baik itu, kita langsung akan dapatkan. Ini salah, pernikahan yang baik harus kita usahakan, kita harus berusaha sekeras mungkin, hasilnya barulah pernikahan yang baik itu. Kita tidak langsung gara-gara menikah dengan orang yang cocok, pasti mendapatkan pernikahan yang harmonis dan indah. Tidak demikian, kita harus bekerja. Nah di sinilah saya kira konsepnya kita harus rubah, kita tidak langsung menerima berkat, kita harus kerja keras memberkati atau menjadi berkat buat pasangan kita. Dan yang kedua konsep yang juga keliru yang sering kali kita miliki adalah pastilah Tuhan akan menciptakan pernikahan yang indah. Ini memang terdengar rohani tapi kurang tepat, kenapa kurang tepat sebab tugas kita atau bagian kita mengusahakan pernikahan yang indah dan tugas atau bagian Tuhan yang memberkati usaha kita. Jadi Tuhan dari atas atau dari sorga langsung memberikan kita pernikahan yang indah, tidak demikian, tugas kitalah menciptakannya. Nah waktu kita bekerja keras menciptakannya Tuhan memberkati usaha itu sehingga akhirnya kita bisa menikmati pernikahan yang indah. Nah konsep inilah yang harus kita bawa memasuki pernikahan.

ET : Lupa pada bagian upayanya atau kerja kerasnya, jadi memang paket bayangannya selama ini adalah kita sudah sama-sama anak Tuhan, kita sama-sama saling mencintai, menikah diberkati di gereja jadi seolah-olah paket berikutnya adalah kebahagiaan itu yang mengikuti dengan otomatis.

PG : Memang tidak sepenuhnya salah konsep bahwa Tuhan itu memberkati kita, apalagi kita yang datang kepada Tuhan meminta pimpinannya selama kita berpacaran. Tuhan sudah tentu ingin memberkati kta, namun Tuhan ingin melihat usaha kita pula, kita tidak akan dibiarkan Tuhan menjadi orang-orang yang kerdil dan tidak dewasa.

Enak-enak, diam-diam, tiba-tiba mendapatkan pernikahan yang indah, tidak demikian, kita pun harus bekerja. Konsep ini memang kita bawa, kita beranggapan karena kita sudah bersanding di gereja, sudah dinikahkan di gereja maka nanti setelah itu kita akan tetap menikmati pernikahan yang juga indah. Berkat Tuhan datang kepada kita hari lepas hari, sesuai dengan usaha kita untuk memperindah pernikahan kita.
GS : Pak Paul katakan bahwa kita harus upayakan, kita harus kerjakan, apakah itu yang kita upayakan dan kita kerjakan?

PG : Yang harus kita kerjakan ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama tadi firman Tuhan berkata, "Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan." Artinya kita mesti mempunyai hati yang mengampuni, ni bagian kita dan tugas kita.

dalam pernikahan mesti ada hati yang mengampuni. Kadang-kadang saya terkejut mendengar atau melihat orang yang benar-benar tidak ada lagi hati mengampuni, samaistrinya, sama suaminya atau sama anaknya tidak hati mengampuni. Bahkan berusaha untuk membalas, ini kadang-kadang yang saya perhatikan. Suaminya berbicara, didengarkan baik-baik bukan untuk diterima tapi dicari peluang untuk membalas. Istrinya berbicara, didengarkan bukan untuk diterima tapi untuk bisa ditangkap dan diserang kembali, benar-benar tidak ada hati mengampuni. Nah tugas kita adalah mengampuni, apa artinya mengampuni? Dalam hal ini langkah pertama mengampuni adalah membiarkan. Membiarkan artinya "OK, saya terkena pukulanmu, saya terkena perbuatanmu, tapi saya biarkan saya tidak membalasnya." Jangan kita berkata gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa. Biarkan, sebab ada Tuhan yang melihat, ada Tuhan yang dapat bertindak juga, biarkan orang itu berurusan dengan Tuhan. Tugas kita mengampuni dia, ini yang diperlukan dalam pernikahan, ini wujud nyata dari kita memberkati pasangan kita yaitu kita tidak lagi membalas malah mengampuni dia.
GS : Dan juga mau menerima pengampunan dari pasangan kita. Bukankah setiap kita bisa salah.

PG : Itu kadang-kadang susah Pak Gunawan, untuk orang-orang yang memang egonya agak besar, tidak mau meminta pengampunan dan tidak mau menerima pengampunan. Jadi memang hati yang mengampuni diiingi oleh hati yang mau meminta ampun, jadi dua-duanya harus ada.

ET : Berbicara tentang pengampunan, kita ini kadang-kadang bisa mempunyai penggolongan-penggolongan, kesalahan yang mana yang gampang untuk diampuni dan kesalahan yang mana yang rasanya sulit, ungkin pasangan kita tuntut untuk bisa membuktikan banyak hal untuk saya bisa mengampuni.

Ini bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira hal-hal ini wajar Ibu Ester, sebab tidak semua perbuatan itu sama, secara universal pun tidak semua perbuatan itu sama. Ada perbuatan yang memang sangat-sangat susah untuk diteria dan ada yang lebih mudah untuk diterima.

Secara pribadi pun kita mempunyai daftar kriteria pula, jadi saya kira masuk akal kenapa kita tidak bisa menerima semua perbuatan dengan sama rata. Sudah tentu yang lebih gampang kita terima akan lebih gampang kita ampuni, yang susah diterima akan lebih susah juga kita ampuni. Artinya kita perlu kerja yang lebih keras untuk mengampuni perbuatan-perbuatan yang memang sangat berat itu. Yang benar-benar menusuk kita sangat dalam, sudah tentu perlu kekuatan ekstra. Dan kadang-kadang kita tidak mempunyai kekuatan itu jadi kita datang kepada Tuhan dan berkata kepada Tuhan, "Tuhan, saya sungguh-sungguh tidak lagi mempunyai kekuatan mengampuni, beri saya kekuatan untuk mengampuni." Jadi yang Tuhan butuhkan keinginan itu, mau atau tidak datang kepada Tuhan meminta Tuhan memberi kita kekuatan untuk mengampuni. Nah kadang yang kita lihat adalah orang tidak mau datang kepada Tuhan meminta kekuatan itu, karena ujung-ujungnya adalah memang tidak mau mengampuni. Jadi terus memelihara kemarahan dan dendam itu.

ET : Seolah-olah buat dia itu adalah kesalahan yang tak terampuni, begitu Pak?

PG : Dan orang yang tidak mau mengampuni sebetulnya adalah orang yang sedang menghukum, meskipun kita tidak secara langsung menghukumnya tapi orang yang tidak mau mengampuni sebetulnya orang yag belum berhenti menghukum orang itu.

GS : Selain upaya untuk mau mengampuni dan mau diampuni, apakah ada hal lain yang harus diupayakan dalam kehidupan pernikahan ini?

PG : Saya bacakan dari I Petrus 3:10, "Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus mejaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu." Apa cara kita menjadi berkat buat pasangan kita dan memberkati pasangan kita? kita harus memiliki lidah yang tulus, lidah yang tidak jahat, lidah yang tidak menipu. Artinya pertama, kita mengatakan yang benar; jangan sampai kita tidak mengatakan yang benar. Kita harus mengatakan yang benar dengan baik, ini penting. Kita harus mengatakan yang benar dengan baik sebab kadang-kadang mulut kita mengatakan yang benar tapi caranya kasar, menghina orang. Dan kita berkata, "Memang dia tolol, dibilangi tidak ngerti-ngerti." Kata tolol itu tidak baik, meskipun perkataan kita benar, mau mengoreksi orang yang melakukan kesalahan, tapi dengan kita membubuhkan kata tolol, itu merusakkan yang benar karena caranya tidak baik. Jadi lidah harus benar-benar baik jangan lidah kita masuk ke dalam yang jahat. Berikutnya tentang lidah, kita harus mengatakan yang baik dengan benar, ini penting. Jangan sampai kita mengatakan yang baik tapi akhirnya isinya kebohongan, manis di mulut, kadang-kadang ini yang kita saksikan, orang-orang manis di mulut tapi sesungguhnya tidak ada kebenaran. Jadi bukan hanya caranya harus benar, isinya pun harus benar; caranya harus baik, isinya pun harus mengandung kebenaran. Ini yang Tuhan minta dari kita, dengan kata lain lidah kita ini harus penuh dengan anugerah dan kebenaran.

GS : Maka Yakobus mengatakan sangat sulit menguasai lidah.

PG : Sangat sulit, sebab apalagi kalau kita sedang dibawa emosi, kita mau mengatakan yang benar dan kita anggap kita benar wah keluarnya bisa sangat kasar seperti terpedo. Atau kita dalam keadan terdesak kita mau menyembunyikan perbuatan kita yang salah, kita bisa sangat manis.

Tapi sebetulnya di dalam kemanisan itu terkandung penipuan, makanya Tuhan meminta kita menyeimbangkannya. Lidah harus menyampaikannya dengan benar namun isinya pun harus benar.
GS : Bagian tubuh yang lain yang bisa kita gunakan atau upayakan untuk melakukan suatu tindakan yang mendatangkan kebahagian dalam hidup pernikahan ini apa Pak?

PG : Saya bacakan ayat 11, "Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya." Saya umpamakan kita mesti mempunyai tangan yang rajinberbuat baik, sebab ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik.

Jangan sampai kita menjadi orang yang tidak menawarkan kebaikan kepada pasangan kita, apalagi tidak mau menolong pasangan kita. Saya berikan masukan yang sederhana, pertama kita harus melihat pasangan kita, apa yang dia butuhkan, jangan kita buta. Ada orang-orang yang tidak melihat pasangannya butuh apa, tidak bisa membaca pasangannya sedang merasakan apa. Kedua, setelah melihat tawarkanlah bantuan, jangan bersikap masa bodoh. Ada orang yang melihat pasangannya sedang bekerja keras diam-diam saja, dia membaca koran, menonton televisi padahalnya pasangannya sedang bekerja keras di rumah, tawarkanlah bantuan. Dan yang ketiga, lakukanlah sesuatu, sebisanya, sedapatnya berbuatlah sesuatu, ini namanya melakukan kebaikan. Sebenarnya hal ini sangat sederhana, tapi dalam pernikahan sering kali ini tidak dilakukan. Orang-orang itu menikah kadang-kadang lupa melakukan hal-hal yang baik untuk pasangannya, hanya melakukan yang baik untuk dirinya sendiri.

ET : Mungkin kadang-kadang ada penggolongan-penggolongan peran jenis kelamin itu Pak yang menghambat, memang tahu pasangannya capek tapi itu bukan porsi saya, atau saya tidak biasa melakukan ha itu jadi bagaimana saya bisa membantu.

Jadi seperti sudah ada pemisahan antara peran atau bagian-bagian itu.

PG : Sering kali itu menghalangi kita, tapi bukankah akhirnya kita sadari bahwa yang kita kategorikan perbuatan baik adalah perbuatan yang memang tidak seharusnya dia lakukan tetapi dia tawarka untuk dia lakukan karena melihat kita sedang membutuhkannya.

Jadi kita katakan baik karena melewati batas kepatutan atau kewajaran. Dia tidak harus mencuci piring, karena kita maisng-masing sudah mendapat bagian kerja, tapi waktu dia melihat kita sedang sibuk mengurus anak-anak makan dan piring masih menumpuk dan dia berkata: "Saya cucikan." Nah ini baru menjadi sesuatu yang baik, kalau memang tugasnya dia dan dia lakukan, kita katakan itu bukannya baik tapi dia bertanggung jawab. Jadi orang yang baik dan yang bertanggung jawab kita bedakan. Orang yang bertanggung jawab-orang yang melakukan bagiannya, orang yang baik-orang yang melakukan di luar bagiannya tapi dia tetap mau dan setia demi kita.
GS : Ada nilai lebihnya di sana, nah itu kalau yang dilakukan oleh tangan, bukankah itu sangat berkaitan dengan kaki kita. Nah apakah kaki juga bisa kita gunakan?

PG : Firman Tuhan di ayat 11 ini berkata, "...ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya." Saya boleh umpamakan kakinya orang ini selalu berusaha menempuh jalan damai. Dia bukannyamencari jalan-jalan yang penuh dengan api permusuhan, kakinya berusaha menapaki jalan damai.

Artinya kalau kita mau menjadi berkat dan memberkati pasangan kita? Kita harus berfokus pada penyelesaian bukan pembenaran diri. Kadang-kadang dalam perbedaan, dalam konflik, kita langsung tertindih oleh keinginan untuk membela diri. Yang penting bukannya diri kita benar tapi yang penting adalah kita mendapatkan solusi. Jadi selalu pikirkan dari sudut itu, kerangka pikir kita harus selalu mencari solusinya apa, jangan kita terburu-buru pokoknya yang penting kita tidak salah, kita benar nah ini urusan kamu. Yang berikutnya adalah kita berusaha memahami daripada dipahami. Ini selalu yang ditekankan oleh firman Tuhan. Lebih diberkati orang yang memberi daripada orang yang menerima. Memahamilah jangan menuntut untuk dipahami. Dan yang terakhir tentang mencari perdamaian adalah berupayalah melakukan perbubahan pada diri sendiri, jangan fokus pada mengubah pasangan. Jangan kita berpangku tangan dan berkata, "Kamu yang berubah, saya mau melihat kamu berubah dulu baru nanti saya pikirkan diri saya berubah." Kita harus melihat bahwa kita pun mempunyai kekurangan, firman Tuhan katakan, "Selumbar di mata orang kita lihat, balok di mata sendiri kita luput melihatnya."
GS : Ada janji Tuhan kalau kita melakukan itu semua, di awal perbincangan kita katakan ini sebagai upaya yang sungguh-sungguh yang dikehendaki Tuhan, ini pasti akan diberkati Tuhan juga. Nah apakah ada tanda-tanda yang nyata yang bisa kita lihat dalam kehidupan seseorang atau keluarga di mana berkat Tuhan mengalir di sana?

PG : Ada Pak Gunawan, saya ambil di kitab Imamat 26:3-13, (tidak saya bacakan semuanya) saya bacakan misalnya ayat ke 6, "Dan Aku akan memberi damai sehatera di dalam negeri itu, sehingga kamu kan berbaring dengan tidak dikejutkan oleh apa pun; Aku akan melenyapkan binatang buas dari negeri itu, dan pedang tidak akan melintas di negerimu."

Artinya, orang yang diberkati rumahnya itu damai, tidak mudah bertengkar. Ada rumah yang mudah sekali tersulut pertengkaran, hal kecil saja sudah bisa menyulut emosi. Orang yang rumahnya diberkati, susah sekali untuk memercikkan api, susah sekali marah karena rumah itu selalu digenangi oleh damai sejahtera. Yang berikutnya firman Tuhan dia ayat ke 7, "Kamu akan mengejar musuhmu, dan mereka akan tewas di hadapanmu oleh pedang." Ciri orang yang diberkati adalah pribadinya tangguh sehingga dia tidak mudah dikalahkan. Dalam hal ini misalkan pencobaan atau serangan dari iblis musuh utama kita dapat kita patahkan, tapi orang yang tidak diberkati, datang pencobaan, datang serangan iblis akan jatuh dan jatuh lagi. Yang ketiga, di ayat 10, "Kamu masih akan makan hasil lama dari panen yang lampau, dan hasil lama itu akan kamu keluarkan untuk menyimpan yang baru." Artinya, orang yang diberkati hidupnya berlimpah, dia siap membagi. Kita melihat kalau orang tidak diberkati berbagi sedikit saja sudah perhitungan, dia tidak rela. Orang yang diberkati, siap untuk membagi. Dan yang keempat atau yang terakhir ayat ke 11, "Aku akan menempatkan Kemah Suci-Ku di tengah-tengahmu..." Artinya, orang yang diberkati akan melihat kemuliaan Tuhan nyata di dalam keluarganya. Benar-benar kita melihat dalam keluarga itu ada Roh Allah, benar-benar ada suasana rohani, masing-masing keluarga tunduk kepada Tuhan. Dan di situlah kita melihat ada Kemah Tuhan di dalam rumah tangga itu.
GS : Jadi sumbe2r berkat itu sendiri yang ada di tengah-tengah keluarga itu sehingga keluarga itu menikmati akan berkat Tuhan itu.

PG : Betul, karena dia menikmati, dia pun membaginya dengan orang-orang disekelilingnya. Tadi kita sudah membahas tentang hati yang mengampuni, kaki yang mencari damai dan sebagianya.

GS : Sebaliknya Pak Paul, kalau pasangan atau keluarga itu adalah tidak diberkati oleh Tuhan, apakah nampak jelas ciri-cirinya?

PG : Ada Pak Gunawan, Imamat 26:14-39, kita bisa melihatnya apa yang Tuhan lakukan waktu Tuhan mengutuk. Pertama, ayat 16, "...kamu akan sia-sia menabur benihmu, karena hasilnya akan habis dimaan musuhmu."

Artinya, orang yang tidak diberkati Tuhan, apa pun yang dilakukannya sia-sia, tidak membuahkan hasil, tidak menjadikan berkat bagi orang lain. Dia mungkin bisa berteriak-teriak berkata menjadi berkat, tapi hanya dia yang bisa mengklaim itu, orang lain tidak. Ayat 17, "Aku sendiri akan menentang kamu, sehingga kamu akan dikalahkan oleh musuhmu..." Orang yang tidak diberkati Tuhan daya tahannya keropos, mudah sekali dikalahkan pencobaan. Datang pencobaan, dia terjerembab jatuh. Dan yang ketiga adalah orang yang tidak diberkati Tuhan, firman Tuhan berkata di ayat 19, "dan Aku akan mematahkan kekuasaanmu yang kaubanggakan..." Artinya Tuhan akan mempermalukan kita, kalau Tuhan tidak memberkati kita Tuhan akan mempermalukan kita. Tuhan akan menghancurkan kesombongan kita, ini kedengarannya sangat keras sekali tapi ini yang Tuhan lakukan kepada anak-anak-Nya yang Tuhan sedang ganjar. Dan yang terakhir orang yang tidak diberkati, dikatakan di ayat 20, "Maka tenagamu akan habis dengan sia-sia, tanahmu tidak akan memberi hasilnya dan pohon-pohonan di tanah itu tidak akan memberi buahnya." Artinya, hidupnya kering kerontang dan tidak ada yang dapat dibagikan dengan orang lain, benar-benar suatu kehidupan yang tidak ada mata airnya, kering sekali. Tidak ada yang dia bisa bagikan dan menjadikan berkat buat orang lain.
GS : Jadi kita semua sebagai pengikut-pengikut Tuhan ini di dalam hidup pernikahan, kita dipanggil untuk menjadi berkat bagi orang lain dan kita menjadi saluran berkat buat sesama.

PG : Itu tujuannya, jadi waktu kita masuk ke pernikahan kita harus memfokuskan diri pada tujuan itu. Kita dipanggil untuk memberkati jadi kita bertanya, "apa yang bisa saya lakukan untuk memberati pasangan kita."

Kata berkat itu sendiri artinya bahagia, sukacita; apa yang bisa kita lakukan untuk membuatnya sukacita. Jangan kita berkata, "Apa yang kamu bisa lakukan untuk membuat saya bersukacita."

ET : Atau sebaliknya menunggu Tuhan melakukan sesuatu, baru saya mau memberkati.

PG : Betul, sebab memang Tuhan akan mau melihat usaha kita, berbuat sesuatu. Di dalam usaha itulah Tuhan akan memberkati. Tuhan tidak akan jatuhkan berkat tanpa kita berbuat apa-apa, hidup seenk-enaknya, tidak demikian, pernikahan harus diupayakan.

Dalam upaya itulah Tuhan menjatuhkan berkat buat kita semua.

GS : Baik melalui kitab Imamat 26 maupun dari surat I Petrus 3 tadi, itu semua dengan jelas mengarahkan kita agar kita bisa menjadi berkat bagi sesama. Terima kasih pak Paul, terima kasih juga Ibu Esther. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dipanggil untuk Memberkati". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



37. Mengapa Masalah Pernikahan Sukar Selesai


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T208A (File MP3 T208A)


Abstrak:

Pertama, pada umumnya kita beranggapan bahwa pasangan kitalah yang bermasalah dan harus berubah. Kedua, kita berasumsi bahwa berubah sama dengan mengakui kekalahan. Ketiga, kita beranggapan bahwa masalah yang timbul akan selesai dengan sendirinya asalkan kita bersabar dan menyediakan waktu yang panjang. Keempat, tabungan kasih cenderung menyusut seiring dengan berkecamuknya masalah. Kelima, kebiasaan hidup merupakan campuran antara unsur kepribadian dan bentukan lingkungan yang menahun.


Ringkasan:

T 208 A "Mengapa Masalah Pernikahan Sukar Selesai?" oleh Pdt. Paul Gunadi

Pertama, pada umumnya kita beranggapan bahwa pasangan kitalah yang bermasalah dan harus berubah. Itu sebabnya kita enggan melakukan perubahan sebab kita beranggapan bahwa tidak ada yang salah dalam diri kita. Jadi, kalau kita tidak salah, mengapa mesti berubah? Paradigma seperti ini dapat dimengerti karena memang itulah yang terjadi dalam hal lainnya. Namun pernikahan bukanlah seperti hal lainnya; pernikahan adalah kehidupan bersama dan masalah yang timbul acap kali tidak berkaitan dengan salah-benar. Kebanyakan masalah pernikahan berhubungan dengan kebiasaan hidup yang berbeda. Itu sebabnya yang dibutuhkan adalah penyesuaian-dari kedua belah pihak.

Kedua, kita berasumsi bahwa berubah sama dengan mengakui kekalahan. Setelah terlibat dalam konflik yang berkepanjangan, pada akhirnya kita terjebak dalam perebutan kekuasaan. Kita makin mempertahankan diri dan enggan berkompromi sebab kita takut dianggap lemah atau takut kepada pasangan. Masalahnya adalah, kebanyakan problem dalam pernikahan menuntut kesediaan untuk mengalah dan berkompromi. Dasar dari konflik biasanya adalah perbedaan dan untuk menjembatani perbedaan dibutuhkan kesediaan mengalah dan berkompromi.

Ketiga, kita beranggapan bahwa masalah yang timbul akan selesai dengan sendirinya asalkan kita bersabar dan menyediakan waktu yang panjang. Kenyataannya adalah, masalah yang didiamkan bukan membaik malah memburuk dengan berjalannya waktu. Kejengkelan makin menumpuk dan penyelesaian makin jauh di mata karena masalah menjadi seperti benang kusut-kita tidak tahu dari mana kita harus memulai.

Keempat, tabungan kasih cenderung menyusut seiring dengan berkecamuknya masalah. Dengan berkurangnya kasih, berkurang pulalah semangat untuk menyelesaikan problem. Pada akhirnya ketidakpedulian menggantikan cinta dan kita pun makin menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tidak sehat ini. Dengan kata lain, kita menemukan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah adalah dengan tidak menyelesaikannya. Ini adalah jalan salah yang sering ditempuh oleh banyak pasangan.

Kelima, kebiasaan hidup merupakan campuran antara unsur kepribadian dan bentukan lingkungan yang menahun. Itu sebabnya mengubahnya memerlukan waktu yang panjang dan kesabaran untuk saling mengingatkan dengan cara yang dapat diterima masing-masing. Kebanyakan kita tidak sabar dan cenderung berhenti mengingatkan setelah beberapa waktu.

Firman Tuhan: "Berbahagialah orang yang senantiasa takut akan Tuhan tetapi orang yang mengeraskan hatinya akan jatuh ke dalam malapetaka." (Amsal 28:14)


Transkrip:

T 208 A

Lengkap

"Mengapa Masalah Pernikahan Sukar Selesai" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Masalah Pernikahan Sukar Selesai". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Persoalan konflik, timbulnya masalah dan sebagainya memang kita hadapi sehari-hari di mana pun kita berada, di tempat kerja, di masyarakat dan sebagainya. Tapi justru di dalam pernikahan kita sendiri atau di dalam rumah tangga kita sendiri kadang-kadang bisa berlarut-larut tidak bisa cepat terselesaikan. Sebenarnya faktor apa yang menyebabkan ini terjadi?

PG : Memang di dalam faktor keluarga masalah itu cenderung lebih susah untuk selesai jadi apa yang tadi Pak Gunawan katakan adalah satu hal yang tepat. Banyak masalah terjadi misalnya di tempa kerja, tapi pada umumnya bisa kita selesaikan, namun kalau itu menyangkut hubungan kita dengan pasangan ternyata sangat-sangat susah.

Saya akan mengajak kita semua untuk melihat mengapa begitu susahnya menyelesaikan masalah dalam pernikahan. Sekurang-kurangnya ada 5 yang menyebabkannya, yang pertama adalah pada umumnya kita beranggapan bahwa pasangan kitalah yang bermasalah dan harus berubah. Saya kira ini konsep yang mendasari kita waktu berhadapan dengan konflik dengan pasangan. Kita sungguh-sungguh beranggapan bahwa apa yang kita minta itu wajar dan tidak berlebihan, tapi pasangan kita tidak bisa memenuhinya. Pada akhirnya kita beranggapan memang tidak ada yang salah dalam diri kita, dan kalau tidak ada yang salah dalam diri kita mengapakah kita mesti berubah. Pernikahan adalah sebuah kehidupan yang bersama dan masalah yang timbul acap kali tidak berkaitan dengan salah benar. Kebanyakan masalah pernikahan berhubungan dengan kebiasaan hidup yang berbeda, itu sebabnya yang dibutuhkan adalah penyesuaian dari kedua belah pihak bukan siapa salah atau siapa benar. Kalau kita tetap bersikukuh dengan anggapan saya benar kamu salah, tidak akan ketemu; masalahnya bukan salah benar, masalahnya adalah penyesuaian karena kita harus hidup bersama.
GS : Kebiasaan hidup yang berbeda itu bagaimana menurut Pak Paul?

PG : Sering kali itu yang menyebabkan perbedaan timbul, Pak Gunawan, karena memang kita tidak sama, kita dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda otomatis kita akan memiliki kebiasaan-kebiasaanyang unik.

Justru inilah yang harus diselesaikan dalam pernikahan.
GS : Tapi itu terjadi di awal pernikahan Pak Paul, kalau sudah lama bukankah kita lebih banyak penyesuaiannya daripada tidak?

PG : Itu poin yang betul sekali, tapi masalahnya adalah kebanyakan kita memang tidak dengan tuntas menyelesaikan masalah, kita sering kali lebih sering memadamkan api tetapi tidak benar-benar mlihat sumber masalah itu sendiri.

Asal tidak lagi bertengkar kita berpikir, ya sudah saya tidak usah lagi berbuat apa-apa. Masalahnya adalah akarnya tetap ada, akar inilah yang nanti terus-menerus menimbulkan masalah baru. Karena nanti di dalam konteks atau dalam situasi yang berbeda, akar yang sama akan muncul lagi.
GS : Itu sebabnya orang yang sudah berpuluhan tahun menikah, orang masih berkata, "saya tidak mengerti dengan pasangan saya."

PG : Betul, sering kali kita tetap berpikir bahwa seharusnya setelah menikah beberapa lama kita sudah bisa mencapai sebuah kesepakatan, penyesuaian tapi kenapa terus-menerus dilanda konflik, keapa engkau masih terus menerus berbeda dariku; saya duga penyebab pertamanya adalah memang di awal pernikahan kita tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas.

GS : Selain menganggap bahwa diri kita sendiri benar dan pasangan kita harus berubah, apakah masih ada faktor lain, Pak Paul?

PG : Faktor lain yang membuat kita susah sekali menyelesaikan masalah pernikahan adalah kita berasumsi bahwa berubah sama dengan mengakui kekalahan atau kesalahan. Setelah terlibat dalam konflk yang berkepanjangan pada akhirnya kita terjebak dalam perebutan kekuasaan.

Maksudnya kita makin mempertahankan diri dan enggan berkompromi, sebab kita takut dianggap lemah atau kita khawatir dianggap takut terhadap pasangan. Jadi kita membentengi diri, mempertahankan, jangan sampai kita nanti dituduh kalah atau salah. Di dalam pernikahan, ego benar-benar mengalami ujian, sebab kita memang dituntut untuk berkompromi; untuk bersedia mengalah. Karena masalah-masalah dalam pernikahan sering kali bukan masalah salah atau benar tetapi masalah penyesuaian antara dua pribadi yang berbeda. Untuk dapat menyesuaikan diri diperlukan kesediaan untuk mengalah, kesediaan untuk berkompromi; "Ayo, mencari titik temu, ya saya tidak mendapatkan semuanya yang saya inginkan, engkau juga tidak mendapatkan semua yang engkau inginkan, kompromi itulah yang diperlukan. Kita tetap harus melihat pernikahan seperti ini, janganlah kita mulai melihat masalah pernikahan sebagai saya tidak mau kalah saya harus menang; kalau sudah memikirkannya dari sudut menang kalah, sampai kapan pun kita tidak dapat menyelesaikan masalah dalam pernikahan kita.
GS : Tetapi walaupun terjadi kompromi, mengalah dan sebagainya bukankah masalah itu sendiri harus diselesaikan, Pak Paul?

PG : Betul, jadi kompromi atau mengalah memang merupakan sebuah cara untuk mendinginkan hati yang sudah panas. Waktu sudah ada kompromi atau mengalah barulah kita dengan tenang dapat membicaraan mungkin ada masalah-masalah yang melatarbelakangi problem yang muncul itu; yang melatarbelakangi itulah juga yang dibicarakan.

Misalnya ternyata yang melatarbelakangi adalah harapan yang terpendam. Kita menginginkan seorang suami yang dapat memberikan perhatian lebih besar kepada anak-anak, yang dapat terlibat dalam kehidupan keluarga dengan lebih aktif, tapi suami kita tidak begitu. Akhirnya kita mempermasalahkan misalnya dia terlambat pulang, kenapa dia tidak telepon, jadi hal-hal yang seolah-olah di luar dari problem yang pertama tadi. Mungkin kita harus bicarakan kalau pulang terlambat telepon dulu, itu salah satu bagian dari komprominya. Namun pada akhirnya kita harus membicarakan yang mendasari itu dan yang mendasari adalah harapan kita bahwa suami akan lebih terlibat di dalam kehidupan keluarga.
GS : Di situ kita tidak boleh menyerang pasangan kita bahwa kita yang menang dan dia yang kalah, Pak Paul?

PG : Betul, jadi penting sekali untuk bisa berkonflik dengan santun, dengan tata krama yang baik. Karena kalau kita tidak berhati-hati, kita berkonflik dan memang kita merasakan kita lagi menag kita itu akhirnya menjatuhkan pasangan, kita menyudutkannya; seolah-olah kita mau dia bertekuk lutut atau benar-benar kalah baru kita puas.

Jangan sampai kita mempunyai pemikiran seperti itu bahwa kita menang dan kita harus menunjukkan kemenangan kita. Tapi sama juga, kita jangan mempunyai pemikiran wah saya kalah; ini bukanlah soal menang kalah jadi jangan memikirkannya dari sudut menang atau kalah.
GS : Ada faktor lain Pak Paul, yang ingin disampaikan?

PG : Faktor ketiga kenapa masalah pernikahan sukar selesai adalah karena kita beranggapan bahwa masalah yang timbul akan selesai dengan sendirinya, asal kita bersabar dan menyediakan waktu yangpanjang.

Masalahnya adalah waktu kita mendiamkan masalah; masalah tidak selesai dengan sendirinya malah berkembang, malah mendalam dan makin mengakar, akhirnya meledaklah masalah itu. Misalnya kejengkelan kita simpan, kita simpan dan kita simpan, akhirnya kejengkelan makin menumpuk. Begitu menumpuknya kejengkelan, benar-benar perasaan kita itu sudah mendominasi diri kita ketika masalah atau konflik muncul. Kita tidak bisa lagi berpikir dengan jernih, akhirnya kita seperti senapan mesin yang langsung menembakkan peluru. Kita tidak lagi tepat sasaran dalam menyelesaikan konflik; kenapa tidak tepat sasaran karena memang di belakang konflik sekarang ini terdapat sejumlah konflik, sejumlah kemarahan yang kita telah benamkan dan sekarang tiba-tiba pada keluar. Akhirnya masalah kita benar-benar seperti benang kusut. Ada orang-orang yang karena terlalu banyak menyimpan masalah akhirnya berkata tidak usah lagi membicarakan penyelesaiannya seperti apa karena sudah seperti benang kusut, tidak mungkin lagi kami selesaikan; tidak tahu dari mana memulainya. Jadi jangan sampai kita mempunyai anggapan masalah akan selesai dengan sendirinya. Tidak, sering kali justru akan berkembang biak.
GS : Cara mendiamkan itu sebenarnya juga membingungkan pasangan kita. Pasangan kita mengira bahwa masalahnya sudah selesai karena tidak dibicarakan, tapi seperti tadi Pak Paul katakan suatu saat ketika kita marah dan mengungkit-ungkit yang lama itu dia akan terheran-heran dan berkata, "saya pikir itu sudah selesai kenapa sekarang dimunculkan lagi," sehingga timbul masalah baru lagi Pak Paul?

PG : Betul, jadi kita mesti sigap menanggapi masalah yang timbul. Tapi di pihak lain saya ingin mengatakan jangan sampai kita menjadi terlalu sensitif sehingga ada sedikit saja masalah harus dbicarakan dengan begitu tegang.

Ada waktunya kita juga menangani masalah sendiri, artinya kita yang berkata ya sudah saya tidak akan permasalahkan ini. Jadi kuncinya adalah kita yang tidak mempermasalahkannya, barulah selesai; jangan kita mempermasalahkannya tapi kita memilih untuk tidak membicarakannya, itu tidak menyelesaikan apa-apa. Sebab di mata kita itu sudah menjadi masalah tapi untuk sementara kita tidak mau membicarakannya berarti tinggal tunggu waktu masalah ini akan meledak.
GS : Tapi kalau kita sudah berkata saya tidak mempermasalahkan, kita harus konsekuen artinya jangan lain kali dipermasalahkan lagi.

PG : Betul sekali, ini memang perlu kekonsistenan; kalau kita sudah berkata tidak lagi saya permasalahkan ya tidak. Atau kalau kita sudah membereskan masalah ini, lain kali jangan ditimbulkan,jangan jadikan ini sebagai sebuah literatur yang kapan-kapan bisa ditimbulkan kembali seperti kita sedang menulis sebuah thesis.

Kalau kita sudah menyelesaikan berarti memang sudah harus kita kesampingkan dalam kehidupan kita. Berapa banyak orang yang akhirnya takut membahas masalah, karena dia sudah menduga kalau satu masalah dibicarakan berarti itu sepuluh akan menyusul. Akhirnya dia enggan untuk membicarakan satu masalah pun. Jadi sekali lagi pada prinsipnya jangan biarkan, orang yang membiarkan masalah; masalah itu akhirnya berkembang biak.
GS : Katakan itu sudah diselesaikan, kemudian salah satu pihak itu mengungkit kembali masalah yang telah diselesaikan itu, ini bagaimana?

PG : Saya kira kita pertama-tama harus bertanya, "Kenapa engkau memunculkannya lagi?" Misalnya dia bilang, "Ya, sebab ini sama dengan yang dulu." "OK, samanya apa?" Jadi kita meminta dia unuk spesifik, kadang-kadang orang itu menyamaratakan dua hal yang sebetulnya tidak persis sama.

Kita meminta dia untuk spesifik. Nah kalau dia beritahu samanya di mana dan memang kalau sama, "OK! Kita akui dalam hal itu memang sama tapi hal-hal lainnya tidak sama 'kan?" "Ya." Kalau begitu kita bicarakan bagaimana peristiwa ini bisa terjadi lagi, tidak samanya di mana kita bicarakan. Dengan kata lain, dalam penyelesaian konflik makin spesifik, makin konkret, makin cepat selesai. Kadang-kadang dalam penyelesaian konflik kita itu menjadi sangat samar, "Pokoknya kamu begini dari dulu." Nah ini tidak bisa selesai, kita mesti bicara dengan lebih spesifik. Jadi kalau dia ungkit-ungkit lagi, kita minta dia untuk memberikan penjelasan.
GS : Jadi anggapan kita tidak mau ramai-ramai dengan pasangan untuk membicarakan masalah yang sebenarnya; tidak dapat menyelesaikan masalah juga Pak Paul?

PG : Tapi saya harus akui, di dalam pernikahan adakalanya kita itu tidak bisa membicarakan masalah tertentu. Ada orang yang memang tidak bisa diajak berdialog, begitu diajak berdialog reaksiny sangat-sangat keras.

Misalnya malah melibatkan pemukulan atau dia akan histeris, sehingga akan menimbulkan dampak trauma yang berat pada anak-anak. Dalam kasus seperti itu memang tidak bisa tidak kita harus berhati-hati; kita tidak bisa sembarangan mengajaknya untuk membicarakan terus-menerus masalah, sebab efeknya akan lebih buruk daripada kita tidak membicarakannya.
GS : Faktor keempat yang mempengaruhi sehingga masalah dalam keluarga itu sulit untuk diselesaikan itu apa, Pak Paul?

PG : Biasanya tabungan kasih cenderung menyusut seiring dengan berkecamuknya masalah. Masalah atau konflik yang terus-menerus terjadi dalam keluarga, pada akhirnya menguras tabungan cinta dala relasi kita.

Dengan berkurangnya kasih, berkurang pulalah semangat untuk menyelesaikan problem. Saya kira kaitannya sangat jelas, begitu tidak ada lagi kasih karena makin menyusut-makin menyusut, kita tidak lagi memiliki motivasi untuk menyelesaikan masalah. Sebab kita tidak lagi mengasihi dia, kita tidak lagi mempedulikannya, perasaannya seperti apa pun kita tidak lagi pusingkan akibatnya ketidakpedulianlah yang menggantikan cinta, dan kita pun makin menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tidak sehat ini. Dengan kata lain kita menemukan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah dan itu adalah dengan cara tidak menyelesaikannya. Kita mendiamkan, sebab kita sudah tidak peduli, biarkan sajalah lama-lama kasih kita sudah begitu habis ya sudah kita biarkan, diamkan; itu akhirnya menjadi cara kita untuk menyelesaikan konflik sehingga kita tidak membicarakannya lagi. Makin lama makin tidak membicarakan konflik, memang banyak konflik tapi tidak mau membicarakannya, tabungan kasih makin habis yang tertinggal memang hanyalah selembar surat nikah. Artinya relasi itu sebetulnya sudah tidak ada, yang ada hanyalah surat nikah yang menyatakan mereka adalah pasangan suami istri.
GS : Jadi di sini hubungan emosional itu sebenarnya menentukan bagaimana kita dapat menyelesaikan suatu masalah dengan baik atau tidak.

PG : Makin kuat tabungan kasih, makin kuat hubungan relasional di antara kita makin besar kemungkinan kita menyelesaikan konflik di antara kita. Kita perhatikan dalam keluarga atau dalam perniahan tatkala kasih sudah begitu menyusut memang akhirnya konflik tidak terselesaikan lagi dan masing-masing tidak lagi memusingkan tentang masalah, selesai atau tidak selesai biarkan dan diamkan.

Itu menyedihkan sekali dan memang pada akhirnya masalah-masalah pernikahan itu tidak akan selesai.
GS : Tetapi hubungan suami-istri itu menjadi hambar sekali Pak Paul?

PG : Betul sekali, pulang ke rumah ada suami ada istri tetapi ya tidak ada relasi yang mendalam, omong-omong seperlunya setelah bicara seperlunya masing-masing sibuk dengan tugas masing-masing khirnya tidur.

Hari lepas hari sudah seperti itu, hambar luar biasa.
GS : Dan tabungan kasih itu tidak bisa tergantikan dengan hal-hal lain Pak Paul, misalnya dengan pemberian-pemberian?

PG : Sudah tentu kalau ada pihak yang bersedia mulai melakukan hal-hal yang baik, yang menyenangkan untuk pasangannya, itu akan menggelitik kasih yang sudah diam atau kasih yang sudah mati suriitu.

Mudah-mudahan perbuatan-perbuatan baik yang menyenangkan itu akan kembali memancing reaksi-reaksi kasih dari pasangan kita dan makin muncul reaksi-reaksi kasih dan kita menanggapinya maka bola kasih itu akan mulai menggelinding kembali.
GS : Tapi biasanya yang terjadi itu justru sebaliknya Pak Paul, makin kita tidak menyelesaikan masalah, makin sedikit tabungan kasih kita; makin timbul masalah baru makin sedikit lagi tabungan kasih kita, begitu terus Pak Paul.

PG : Itu dapat saya ilustrasikan seperti dahan, Pak Gunawan. Dahan kering itu mudah sekali terbakar, tapi dahan yang basah susah terbakar. Air itu seperti kasih, air itu membasahi dahan sehinga dahan-dahannya tidak mudah untuk terbakar.

Kasih itu membasahi pernikahan atau relasi nikah kita; dengan banyaknya kasih kalau pun nanti ada api yang menyulut, api itu mudah padam dan tidak mudah menyebar karena dahan itu sudah dibasahi oleh kasih. Tapi sebaliknya yang tadi Pak Gunawan sudah katakan, kalau tidak ada kasih sedikit masalah akan menjadi besar dan satu masalah muncul itu benar-benar seperti senapan mesin yang tak lama akan keluar menembak-nembak yang akhirnya makin memisahkan kedua orang ini.
GS : Padahal setiap orang itu butuh dikasihi dan butuh mengasihi, nah dalam kondisi seperti ini apakah tidak rentan atau gampang orang itu mencari uluran kasih dari pihak lain?

PG : Sudah tentu Pak Gunawan, dalam kasus seperti itu masing-masing pihak menjadi orang-orang yang sangat haus dan perlu untuk dipuaskan. Kalau kebetulan datang pihak ketiga yang memberi perhaian, memberikan air yang dibutuhkan olehnya, godaan untuk meminum air dari tangan orang lain itu sangatlah besar.

Maka kalau kita tahu itulah kondisi pernikahan kita, kita mesti lebih berhati-hati menjaga diri kita, jangan membuka peluang sedikit pun. Dan yang kedua, kita berusaha kembali lagi ke dalam pernikahan kita untuk membereskan masalah yang belum beres-beres ini.
GS : Faktor yang kelima dan mungkin yang terakhir dari perbincangan kita kali ini apa, Pak Paul?

PG : Kebiasaan hidup merupakan campuran antara unsur kepribadian dan bentukan lingkungan yang menahun. Itu sebabnya mengubah kebiasaan hidup memerlukan waktu yang panjang dan kesabaran untuk sling mengingatkan.

Dan dengan cara yang dapat diterima masing-masing. Kebanyakan kita tidak sabar dan cenderung berhenti mengingatkan setelah beberapa waktu. Ini sudah tentu menjengkelkan; sudah diingatkan masih berbuat tapi di pihak lain kita mesti menyadari memang kebiasaan itu sudah terkait dengan kepribadian bukan hanya bentukan lingkungan; bukan saja kamu dibesarkan seperti ini makanya kamu sekarang seperti ini, bukan hanya bentukan lingkungan tapi akhirnya sudah menjadi bagian kepribadiannya. Misalnya susah sekali untuk rapi, menaruh barang sembarangan; kita kesal luar biasa sudah berkali-kali kita beritahukan tetapi itu sudah menjadi bagian kepribadian dia yaitu kepribadian yang memang terlalu lepas, terlalu tidak memusingkan hal-hal kecil seperti itu. Tugas kita adalah terus mengingatkan dan pihak yang diingatkan benar-benar berusaha keras untuk tidak mengulangnya kembali.
GS : Kebiasaan-kebiasaan seperti itu yang memang rasanya sulit untuk dirubah tapi selalu menimbulkan masalah, bagaimana kita mau menyelesaikan. Atau perlu tidak diangkat lagi sebagai masalah atau bagaimana?

PG : Tetap saya kira kita mesti mengangkatnya tetapi jangan mengangkatnya setiap kali masalah itu muncul. Sebab kalau setiap kali kita munculkan benar-benar relasi itu akan kehilangan aspek poitifnya, sebab setiap hari kita akan terlibat dalam konflik.

Bukankah relasi kita tidak hanya terdiri dari satu kebiasaan yang tidak menyenangkan itu, bukankah sebetulnya relasi kita itu terdiri dari begitu banyak hal-hal lain yang menyenangkan dan positif, persamaan-persamaan yang mengikat kita berdua, jangan sampai kita kehilangan perspektif terus fokuskan kenapa pada pagi hari engkau tidak bisa menaruh baju dengan lebih rapi, menggantung baju di keranjang, sehingga tidak beraturan. Jadi jangan kita kehilangan perspektif; setiap hari yang dibicarakan itu saja. Tapi sekali-sekali kita berkata, "Tolong baju ini jangan ditaruh di sini, tolong taruh di tempatnya." Sekali-sekali kita ingatkan dia begitu, dengan cara itu pasangan kita pun tidak merasa dibombardir, untuk hal yang dianggap kecil, tapi engkau persoalkan dan permasalahkan sehingga satu hari sudah langsung rusak gara-gara satu hal kecil seperti ini saja.
GS : Ada istri memang yang mengalami hal itu terhadap suaminya, kemudian dia berinisiatif, dibuatkan semacam peringatan yang ditulis di situ. Kembalikan barang setelah digunakan dan sebagainya, tapi suaminya menjadi tersinggung Pak Paul?

PG : Saya mengerti kenapa si istri melakukan itu, dia mungkin benar-benar sudah frustrasi, putus asa tidak tahu lagi mesti berbuat apa. Nah waktu si suami tersinggung si istri bisa berkata, "O, saya minta maaf kalau saya sepertinya melecehkanmu, tapi memang saya itu meminta ini supaya diperhatikan.

Caranya bagaimana supaya saya bisa mengingatkanmu, karena kalau engkau berkata ya, ya, tapi engkau tidak melakukannya itu tidak adil. (kita berikan salah satu contoh kepada suami kita). Misalkan engkau berkata, 'saya ini suka dengan makanan tertentu dan engkau meminta saya memasaknya tapi saya tidak pernah memasaknya nah itu 'kan menjengkelkan kamu,' cobalah tolong apa yang bisa saya lakukan supaya bisa mengingatkan engkau tanpa membuatmu marah. Biar suami yang menentukan cara yang paling baik."
GS : Jadi sebenarnya sesulit apa pun penyelesaian masalah di dalam keluarga ini sebenarnya bisa diselesaikan dan harus diselesaikan, Pak Paul. Apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul bacakan?

PG : Saya bacakan Amsal 28:14, "Berbahagialah orang yang senantiasa takut akan Tuhan, tetapi orang yang mengeraskan hatinya akan jatuh ke dalam malapetaka." Ada dua resep yang ingin saya bagikn untuk keluarga atau untuk pasangan nikah.

Pasangan nikah kalau mau mencicipi pernikahan yang sehat dua-dua harus takut akan Tuhan, tidak boleh itu akhirnya lepas dari diri kita. Lepas dari diri kita, kita akan berani kepada Tuhan dan akhirnya masuk ke dalam dosa. Yang kedua, jangan mengeraskan hati; suami atau istri yang mengeraskan hati akan tambah terpisah dari satu sama lain.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Masalah Pernikahan Sukar Selesai". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



38. Komitmen Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T208B (File MP3 T208B)


Abstrak:

Komitmen nikah adalah janji untuk melebur menjadi satu selamanya. Kehadiran anak merupakan wujud nyata dari peleburan dua menjadi satu ini. Jika anak adalah buah dari penyatuan jasmaniah antara suami dan istri, maka kasih adalah buah dari penyatuan rohaniah suami dan istri. Pernikahan adalah sebuah komitmen untuk mengharapkan diri yang terbaik sekaligus menerima diri yang terburuk.


Ringkasan:

T 208 B "Komitmen Pernikahan" oleh Pdt. Paul Gunadi

Di dalam dunia ada pelbagai ikatan perjanjian namun tidak ada satu pun yang mengikat seerat pernikahan. Berikut ini adalah penjelasannya.

  1. Komitmen nikah bukanlah kesepakatan untuk mencapai satu tujuan tertentu; komitmen nikah adalah janji untuk melebur menjadi satu selamanya. Firman Tuhan menjelaskan, "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging." (Kejadian 2:24) Semulia apa pun tujuan pernikahan kita, tetaplah yang menjadi dasar haruslah komitmen untuk melebur menjadi satu. Inilah sarana sekaligus tujuan pernikahan. Dengan kata lain, di dalam pernikahan kita akan dan seharusnya mengalami transformasi untuk menjadi pribadi yang berbeda-yang lebih baik-akibat hasil peleburan dengan pasangan.
  2. Kehadiran anak merupakan wujud nyata dari peleburan dua menjadi satu ini. Tidak mungkin kita mengurai anak menjadi partikel-partikel yang teridentifikasi sebagai milik ayah dan ibu. Dengan kata lain, anak adalah wajah baru dari peleburan suami dan istri.
  3. Jika anak adalah buah dari penyatuan jasmaniah antara suami dan istri, maka kasih adalah buah dari penyatuan rohaniah suami dan istri. Kasih adalah sarana sekaligus hasil dari penyatuan antara suami dan istri. Dengan kata lain, kasih adalah pelekat antara suami dan istri namun kasih adalah buah dari kesatuan suami dan istri pula. Jadi, pernikahan adalah sebuah komitmen yang keluar dari kasih sekaligus komitmen untuk mengasihi.
  4. Pernikahan adalah sebuah komitmen untuk mengharapkan diri yang terbaik sekaligus menerima diri yang terburuk. Firman Tuhan menjelaskan kondisi pertama manusia pada saat pernikahan dimulai, "Mereka keduanya telanjang-manusia dan istrinya itu-tetapi mereka tidak merasa malu." (Kejadian 2:25) Kita mengharapkan yang terbaik dari pasangan namun mesti siap menerima yang terburuk darinya pula. Dengan kata lain, di dalam pernikahan kita mendapatkan kesempatan untuk menjadi diri yang terbaik dan memperoleh jaminan penerimaan atas diri kita yang terburuk.
  5. Komitmen pernikahan merupakan komitmen yang melibatkan Allah. Ingatlah, mempelai wanita pertama diserahkan kepada Adam oleh Allah sendiri. "Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunnyalah seorang perempuan lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. " (Kejadian 2:22) Pernikahan bukanlah perbuatan yang melibatkan manusia dengan sesamanya; sebagai pihak yang menyerahkan istri kepada suaminya, Tuhan menempatkan diri sebagai pemersatu suami dan istri. Itu sebabnya Tuhan Yesus menegaskan, "Karena itu apa yang telah dipersatukan, tidak boleh diceraikan manusia. " (Matius 19:6)


Transkrip:

T 208 B

Lengkap

"Komitmen Pernikahan" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Komitmen Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Yang Pak Paul maksudkan dengan komitmen pernikahan itu sebenarnya apa Pak Paul?

PG : Sebuah janji kesetiaan Pak Gunawan. Jadi kalau kita mau terjemahkan dengan lebih awam, komitmen adalah sebuah janji kesetiaan bahwa kita ini ada di sini dan akan terus berada di sini. Kia bukannya ada di sini untuk sementara tapi selama-lamanya, itu adalah janji kesetiaan, itu adalah komitmen pernikahan.

GS : Bedanya dengan janji-janji yang kita buat misalnya dalam relasi hubungan dagang, dalam kita menjadi anggota suatu club dan sebagainya apa Pak Paul?

PG : Sudah tentu yang paling membedakan adalah janji-janji itu diikat atas dasar kepentingan. Selama kepentingan masih terpenuhi maka ikatan itu akan selalu ada, begitu kepentingannya sudah tiak ada lagi atau begitu keuntungannya tidak ada lagi maka janji atau ikatan itu pun akan luntur.

Pernikahan tidak seperti itu; di dalam pernikahan, waktu kita berjanji untuk setia itu benar-benar kita akan berada di sini selamanya. Tidak peduli apakah kepentingannya masih ada atau tidak, tidak peduli apakah keuntungannya masih ada atau tidak; jadi memang sebuah janji untuk tetap berada di sini apa pun yang terjadi.
GS : Kapan biasanya komitmen pernikahan dilakukan?

PG : Sebetulnya komitmen pernikahan dimulai tatkala kita memulai pernikahan itu sendiri, yakni di hari kita berkata, "Saya akan mengambilmu sebagai istri, saya akan mengambilmu sebagai suami." Di titik itulah kita mulai menjalani komitmen atau janji nikah untuk selalu setia.

GS : Ya itu secara resmi dilakukan pada saat itu Pak Paul, tetapi sebenarnya sebelum itu sudah dilakukan penjajagan-penjajagan kemungkinan-kemungkinannya bahwa komitmen itu akan diambil seperti itu.

PG : Tepat sekali, sebelum kita mengucapkan janji atau ikrar untuk bersama-sama membina pernikahan ini, di dalam masa pacaran kita sedikit demi sedikit sudah mulai meningkatkan atau memperdalamjanji setia itu, bahwa kita akan selalu bersamamu.

Tapi tetap kalau kita belum diikat dalam pernikahan memang komitmen ini tidak sama. Pada akhirnya kalau kita menemukan ketidakcocokkan sebelum menikah, kita masih mempunyai kebebasan untuk berkata kita bukanlah pasangan yang cocok, tapi setelah kita menikah tidak lagi kita berpikir seperti itu. Kita sudah di sini dan kita akan selalu berada di sini, inilah komitmen nikah.
GS : Apakah itu ada dasar alkitabnya Pak Paul?

PG : Tuhan berkata di Kejadian 2:24, "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." Semulia apa pun tujan pernikahan kita, misalnya ada orang supaya kita lebih berkiprah dalam usaha, supaya kita lebih bisa memaksimalkan kinerja kita, bisa membina keluarga dan mempunyai anak-anak dan sebagainya; semulia apa pun tujuan pernikahan kita tetaplah yang menjadi dasar haruslah komitmen untuk melebur menjadi satu.

Ini adalah salah satu lagi yang membedakan komitmen nikah dengan komitmen lainnya. Komitmen lainnya misalnya dalam hal bekerja, bermitra, kita tidak meleburkan diri kita menjadi sebuah kesatuan. Kita mungkin meleburkan usaha agar menjadi suatu usaha yang sama, tapi kita tidak meleburkan pribadi. Namun dalam nikah, waktu kita berkomitmen untuk bersamanya kita berkomitmen untuk menjadi satu bahwa kita akan masuk ke dalam hidupnya dan dia akan masuk ke dalam hidup kita. Dan kita berdua akan membentuk sebuah pribadi yang baru, yang berbeda, jadi seyogianya setelah orang menikah setelah beberapa waktu memang dia tidak lagi menjadi sama seperti dulu. Kalau setelah menikah dia persis sama berarti memang pernikahan itu tidak berjalan dengan semestinya. Karena seyogianya pernikahan melebur dua pribadi menjadi satu sehingga dua-duanya menjadi pribadi yang berbeda. Pribadi yang memang pas untuk keduanya. Kalau kita masih tetap memakai baju yang sama, diri yang sama setelah bertahun-tahun menikah; yang bisa kita simpulkan adalah pernikahan itu tidak membentuk kita menjadi sebuah pribadi yang baru.
GS : Pengertian keduanya menjadi satu daging, kenapa satu daging kenapa tidak satu roh atau satu jiwa?

PG : Memang di dalam firman Tuhan yang tadi kita sudah baca, konteksnya adalah sebuah persetubuhan jasmaniah, bahwa keduanya akan menjadi satu daging dalam pengertian secara jasmaniah. Namun sdah tentu waktu dikatakan di sini keduanya menjadi satu daging, dalam pengertian itu pula kita bisa memaknai ini adalah sebuah penyatuan dua manusia, bukan saja secara jasmaniah tapi yang terjadi secara jasmaniah melambangkan apa yang terjadi secara rohaniah, bahwa dua pribadi itu sungguh-sungguh menjadi satu.

Dilambangkan dalam bentuk nyatanya dengan sebuah persetubuhan. Makanya kalau kita kehilangan perspektif ini kita memang akan kehilangan makna pernikahan. Ada orang yang sebelum menikah sudah bersetubuh, mereka tidak mengerti bahwa persetubuhan hanyalah lambang dari penyatuan dua pribadi itu. Persetubuhan tidak menyatukan dua pribadi. Jadi seharusnya memang diawali dengan dua pribadi dilambangkan dengan penyatuan dua tubuh. Inilah yang Alkitab ajarkan kepada kita bahwa kita mesti menjadi satu dengan pasangan kita membentuk sebuah pribadi yang baru. Wujud nyata dari penyatuan ini yang secara jasmaniah adalah kehadiran anak. Anak menjadi wujud nyata peleburan dua manusia. Waktu kita melihat anak kita, bukankah kita sering berkata, ah......seperti saya, tapi kita lihat lagi ah.......seperti istri kita atau suami kita. Orang lain pun berkata hal yang sama, "aduh mirip sama papanya kemudian dipikir lagi, ah.......mirip sama mamanya." Kita tidak bisa lagi mengurai satu anak kecil menjadi dua, bahwa ini adalah papanya dan ini adalah mamanya. Anak merupakan wujud nyata peleburan itu yaitu dua pribadi menjadi satu. Kita tidak bisa menemukan partikel-partikel yang kita tandai dan kita katakan o...ini dari papa, ini dari mama; sangat mustahil sebab satu anak ini sudah menjadi satu pribadi, tapi pribadi yang terdiri dari dua manusia. Inilah komitmen pernikahan, komitmen menjadi satu. Bukan saja menghasilkan seorang anak; anak hanyalah sebuah bukti wujud nyata dari penyatuan itu tapi memang sebuah usaha yang terus-menerus untuk melebur diri menjadi satu. Ini adalah dasar komitmen pernikahan kristiani.
GS : Hasil dari peleburan suami dan istri, apakah sifat-sifat istri akan dimiliki suami dan sebaliknya?

PG : Pada akhirnya akan ada sifat pasangan yang akan kita serap, itu betul. Misalnya kita tadinya lebih impulsif, suka bertindak tanpa berpikir panjang; pasangan kita sabar, mempertimbangkan sgalanya dengan masak-masak sebelum melakukannya.

Lama-lama setelah kita menikah dengannya, kita belajar lebih sabar tidak impulsif lagi. Inilah yang akan terjadi, kita menyerap hal-hal yang dimiliki oleh pasangan kita. Atau yang lainnya lagi, waktu kita menyatu kita nantinya akan membentuk sebuah sifat yang dua-dua sebetulnya tidak ada, tapi sesuatu yang baru. Misalnya kita dulunya dua-dua tidak bisa berpikir positif, setelah kita menikah kita banyak melewati tantangan dalam hidup ini, kita bertumbuh bersama, kita saling belajar dari satu sama lain dan akhirnya dua-dua belajar mengembangkan sikap yang lebih positif. Karena kita tahu ini adalah sebuah sikap atau pandangan hidup yang baik. Jadi bisa kita ini mendapatkan masukan dari pasangan atau kita membentuk sesuatu yang baru. Seyogianya inilah yang terjadi di dalam pernikahan.
GS : Sebenarnya melalui pernikahan dua pribadi itu akan bertumbuh lebih dewasa daripada sebelum mereka menikah.

PG : Betul sekali, sebetulnya kita tidak sama seperti dulu waktu kita mengawali pernikahan ini, kita harus bertumbuh. Ada satu lagi yang ingin saya tambahkan yaitu untuk kita mampu melakukan smua peleburan ini, tidak bisa tidak diperlukan kasih; itu mutlak harus ada.

Sebab peleburan ini cukup menyakitkan; kita tidak mudah melepaskan sesuatu yang sudah menjadi ciri khas kita atau menjadi bagian dari diri kita. Kita tidak begitu mudah menerima sesuatu yang bukan diri kita yaitu dari pasangan. Jadi proses peleburan ini memang kadang menyakitkan itu sebabnya diperlukan cinta kasih yang kuat antara dua individu ini. Cinta kasih itu benar-benar menjadi pelumas, sehingga proses peleburan ini bisa terjalin. Cinta kasih juga menjadi motivator, pendorong bahwa kita harus melebur diri supaya pernikahan kita ini makin hari makin baik. Indahnya adalah tatkala peleburan terjadi, peleburan itu pun membuahkan kasih. Sebab waktu kita melihat pasangan kita makin cocok dengan kita, makin pas dengan kita tidak bisa tidak perasaan yang muncul adalah perasaan sayang, senang, menikmati, enak. "Ya....ya...kok dia begini, dia mengerti saya, dia baik kepada saya, kalau kita bicara pas, tidak lagi harus berputar-putar yang akhirnya menabrak sini atau menabrak sana." Reaksi yang muncul biasanya cinta kasih, jadi kasih itu pendorong kita melebur, pelumas dalam peleburan, sekaligus buah dari peleburan itu sendiri. Buah yang akhirnya menjadi pendorong lagi, menjadi pelumas lagi dan membuahkan lagi, dan buah itu akan membuahkan lagi, jadi berputarlah proses itu. Maka itu kita lihat kalau dua orang ini sudah berkomitmen meleburkan diri dan benar-benar berusaha meleburkan sehingga mulai memetik buahnya, kita akan melihat pernikahan mereka makin hari bukan saja makin menyatu, makin harmonis, makin melebur tapi makin penuh kasih, makin hangat, makin benar-benar bercahaya. Kebalikannya juga betul, kalau dari awalnya tidak bisa melebur, tidak cocok-cocok, masing-masing mempertahankan diri akhirnya tidak terjadi peleburan lama-lama kasih yang tadinya ada tidak lagi kuat mendorong mereka melebur. Kasih yang sudah mengecil, berarti pelumas dalam peleburan itu juga makin sedikit akhirnya bukannya terjadi peleburan tetapi konflik. Dalam proses peleburan terjadi tabrakan, berkelahi, akhirnya tambah sedikit kasih; apakah akan muncul buah kasih? Tentu tidak ada, yang ada adalah buah kepahitan yang muncul; makin pahit makin tidak termotivasi untuk melebur, makin tidak ada pelumas dalam peleburan, makin tidak membuahkan kasih, makin membuahkan kepahitan; makin hari makin ditimbun oleh kepahitan.
GS : Tapi dalam kenyataannya, anak sebagai buah kasih itu tidak otomatis menunjukkan bahwa proses peleburan itu berjalan dengan baik. Artinya sekali pun mereka mempunyai anak bahkan beberapa orang anak, masalah peleburan ini terus menjadi suatu problem bagi keluarga ini.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, seyogianya anak merupakan wujud telah terjadinya peleburan atau sedang berlangsungnya peleburan dua pribadi dalam pernikahan, tapi kita tahu itu tidak selalu terjdi.

Ada orang-orang yang memang mempunyai anak, tapi tetap saja dua pribadi itu terus terpisah, tidak pernah benar-benar melebur. Namun kita tahu waktu Tuhan menyatukan di dalam pernikahan, Tuhan meminta kita untuk bersatu, untuk melebur. Jadi komitmen pernikahan tidak saja berkata, "aku ada di sini, maka aku akan selalu ada di sini." Komitmen pernikahan juga berkata, "aku ada di sini dan akan menyatu dengan engkau." Itu penting sekali kita pegang; aku ada di sini dan akan menyatu denganmu bukan saja aku di sini dan aku akan selalu berada di sini.
GS : Sering kali memang salah satu pihak menuntut pasangannya melebur kepada dirinya, artinya menjadi mirip seperti dia. Dia tidak mau kalau dia disuruh melebur ke pihak pasangannya.

PG : Itu sebabnya tadi saya katakan, kalau setelah beberapa waktu tetap saja orang ini sama tidak ada perubahan, berarti memang dia menuntut pasangannya untuk melebur menjadi seperti dirinya seentara dia tidak usah melebur masuk ke dalam diri pasangannya.

Berarti apa yang terjadi, peleburan ini gagal, peleburan tidak membuahkan hasil. Pernikahan seperti ini secara status masih bersatu tapi sebetulnya secara rohani tidak ada penyatuan sama sekali.
GS : Dalam hal komitmen ini memang tidak selamanya ada hal-hal yang baik yang kita terima, tapi ada juga hal-hal yang tidak baik yang kita terima, nah ini bagaimana Pak Paul?

PG : Komitmen pernikahan adalah juga sebuah komitmen untuk mengharapkan diri yang terbaik sekaligus menerima diri yang terburuk. Maksud saya begini, waktu kita menikah kita seharusnya menuntutdiri yang terbaik dari pasangan kita; sudah tentu.

Kita ingin kasih, kita ingin kesabaran, kita ingin keinginan untuk menyenangkan hati kita pula. Kita menginginkan pengendalian diri, tidak mudah waktu impulsif tidak berpikir panjang, melakukan sesuatu; itu semua yang kita inginkan. Berarti kita memang menginginkan diri yang terbaik, jadi kita pun mesti berusaha menjadi diri yang terbaik di dalam pernikahan, itu komitmen pernikahan. Tapi ada sisi satunya, kita pun mesti berkomitmen menyiapkan hati menerima diri yang terburuk, ini yang saya kira kita tidak pikirkan sebelum kita menikah. Kita berkomitmen menerima yang terbaik, mengharapkan yang terbaik itu tidak salah dan seharusnya. Kita pun berkomitmen menjadi diri yang terbaik, bagus dan seharusnya begitu. Tapi komitmen pernikahan juga komitmen menerima diri yang terburuk dari pasangan kita, ini berat sekali. Firman Tuhan berkata di Kejadian 2:25, mereka keduanya telanjang manusia dan istrinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu." Nah keduanya telanjang tapi tidak merasa malu, berarti dua-dua mau menerima; menerima yang terbaik dan menerima yang terburuk. Sekali lagi komitmen pernikahan adalah komitmen yang mengharapkan yang terbaik tapi juga siap menerima yang terburuk. Ini mesti kita pikirkan bahwa ada satu sisinya ini.
GS : Memang yang menjadi sulit itu kadang-kadang yang buruk-buruk itu disembunyikan sebelum pernikahan. Jadi komitmennya kita itu sebatas yang kita tahu, ternyata muncul hal-hal yang buruk di luar perkiraan kita.

PG : Saya membicarakan ini, saya menyadari banyak orang yang menderita karena pasangan melakukan hal-hal yang tidak baik dan sebagainya. namun tetap komitmen pernikahan adalah komitmen untuk mnerima diri yang terburuk dari pasangan.

Kadang-kadang kita tidak tahu, kita tidak menyadari kok ada sifat, tapi ya itulah sifatnya dan kita harus siap menerimanya. Tapi kalau dua-dua mengerjakan bagiannya, akan terjadi perubahan atau transformasi; apalagi dua-duanya di dalam Kristus kita mendapatkan kekuatan dari Tuhan untuk berubah, karena yang satunya juga harus berkomitmen menjadi diri yang terbaik. Dia tidak boleh berkata, "Kamu harus menerima diri terburuk saya, ini 'kan komitmen pernikahan." Kita harus berusaha menjadi diri yang lebih baik pula. Jadi kalau saya boleh terjemahkan ke dalam bahasa yang lebih awam, komitmen pernikahan adalah aku di sini dan aku akan menjadi yang terbaik, sekaligus aku di sini dan akan menerimamu apa pun kondisimu. Jadi itulah komitmen pernikahan, apa yang terbaik kita harapkan, apa yang terburuk kita harus terima.
GS : Memang ada seorang istri yang mau berkomitmen di dalam pernikahannya walaupun dia tahu suaminya seorang pemarah, tetapi dia baru tahu setelah pernikahan itu bahwa suaminya bukan hanya pemarah, tapi juga pemabuk, suka memukul dengan tangan, menganiaya. Nah ini yang menjadi masalah, apakah saya mesti berkomitmen terus di dalam pernikahan ini kalau kenyataannya seperti itu?

PG : Komitmen pernikahan bukanlah komitmen satu orang, komitmen pernikahan komitmen dua orang. Sebab pernikahan itu bukannya solo tapi sebuah kesatuan dari dua. Berarti dua-dua mesti mempunya komitmen yang sama.

Kalau satu orang tidak memiliki komitmen seperti ini dan berkata, "Pokoknya saya seperti ini, saya mau mabuk, saya mau berjudi, saya mau habiskan uang saya, ya kamu harus terima saya." Berarti orang ini tidak memiliki komitmen pernikahan, dia tidak mengerti apa itu pernikahan. Nah dalam kasus seperti itu memang akan sangat sukar bagi yang satunya yang siap untuk berkomitmen, untuk hidup dengan orang yang seperti itu. Maka akhirnya dalam kasus-kasus seperti ini, tidak lagi bisa menahan, apalagi sudah dalam ancaman-ancaman adanya pemukulan, adanya kerugian-kerugian yang sangat besar seperti itu, saya kira masuk akal kenapa orang itu tidak tahan dan meninggalkannya dan kita tidak bisa memaksa dia untuk tetap tinggal di sana, kita pun kalau berada di sini akan sangat-sangat kesulitan. Jadi kondisi untuk menerima, kita pun harus berhati-hati. Lain misalkan kalau memang ada orang setelah menikah kemudian menderita penyakit harus dirawat dan sebagainya, kita benar-benar harus ada di sana, diri terburuk dari pasangan kita dalam kondisi sakit kita harus menerimanya. Tapi sekali lagi komitmen pernikahan adalah komitmen dua orang, jadi dua-dua mesti memberikan komitmen yang sama.
GS : Selain peran dari suami-istri, apa peran Allah di sana?

PG : Menariknya adalah komitmen pernikahan merupakan komitmen yang melibatkan Allah. Ingatlah bahwa mempelai wanita pertama diserahkan kepada Adam oleh Allah sendiri. Firman Tuhan di Kejadian2:22 berkata, dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunyalah seorang perempuan lalu dibawanya kepada manusia itu.

Tuhan mengambil rusuk Adam, menciptakan Hawa dan alkitab berkata dibawanyalah perempuan itu kepada Adam, kepada manusia itu. Jadi pernikahan bukanlah perbuatan yang melibatkan manusia dengan sesamanya saja, sebagai pihak yang menyerahkan istri kepada suaminya, Tuhan menempatkan diri sebagai pemersatu suami dan istri. Jadi seolah-olah kalau kita boleh gunakan ilustrasi ini, Tuhan membawa mempelai wanita dan menyerahkan tangan si mempelai wanita ke pria. Benar-benar kita melihat peranan Allah di sini, pernikahan pertama Adam dan Hawa, Allahlah yang membawa Hawa kepada Adam, Allahlah yang menyerahkan Hawa kepada Adam. Ini merupakan sebuah simbol Allah terlibat dalam pernikahan, Allah ingin tetap menyatukan kedua orang ini, maka firman Tuhan yang dikatakan Tuhan Yesus, "Karena itu apa yang telah dipersatukan tidak boleh diceraikan manusia. Matius 16:6. Kenapa, karena Allah terlibat. Jadi kita harus benar-benar menganggap, memperlakukan pernikahan sebagai sesuatu yang sangat serius.
GS : Jadi keterlibatan Allah itu bukan setelah pernikahan, tetapi sebelum pernikahan pun Allah sudah terlibat dalam pasangan ini Pak Paul?

PG : Betul, jadi selalu kita tidak bisa memisahkan unsur Tuhan di dalam pernikahan. Tuhan terlibat dan karena Tuhan terlibat kita harus melibatkan Tuhan. Kalau ada masalah datang kepada Tuhan ingat yang Tuhan pesan, lakukan yang Tuhan perintahkan.

Kalau saja dua orang menaati dan melakukan yang Tuhan perintahkan, dua orang ini bisa hidup bersama-sama dalam pernikahan. Tapi kalau yang satu tidak lagi menaati yang Tuhan perintahkan, sebaik apa pun relasi mereka dulu nantinya pasti akan bermasalah.
GS : Mungkin ini akan menjadi masalah besar bagi mereka yang berpasangan dengan orang yang tidak seiman, Pak Paul?

PG : Betul, karena yang satunya belum tentu akan setuju untuk tunduk pada apa yang Tuhan perintahkan itu.

GS : Tapi kalau sudah berkomitmen ya harus tetap dipertahankan karena itu sudah menjadi pilihan kita.

PG : Betul, kalau kita sudah memilih kita harus tetap setia pada komitmen atau pilihan itu.

GS: Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Saya percaya sekali perbincangan ini akan menolong banyak dari para pendengar kita. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Komitmen Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



39. Membangun Kepercayaan Dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T214A (File MP3 T214A)


Abstrak:

Pernikahan didirikan di atas kepercayaan; tanpa kepercayaan, pernikahan bukanlah sebuah relasi yang intim dan saling mengikat. Kepercayaan juga perlu dibangun diatas 3 aspek yang dibahas dalam bagian ini.


Ringkasan:

T 214 A "Membangun Kepercayaan dalam Pernikahan" oleh Pdt. Paul Gunadi

Pernikahan didirikan di atas kepercayaan; tanpa kepercayaan, pernikahan bukanlah sebuah relasi yang intim dan saling mengikat. Bagaimanakah caranya membangun kepercayaan di dalam pernikahan?

Pertama, berkaitan dengan kepercayaan, kita dapat mengkategorikan adanya tiga kelompok orang.

q Orang yang memasuki pernikahan dengan rasa percaya yang tinggi namun dengan berjalannya waktu, rasa percaya mulai menurun. Biasanya rasa percaya melorot turun akibat perbuatan pasangan yang merusak rasa percaya.

q Orang yang memasuki pernikahan dengan rasa percaya yang rendah namun dengan berjalannya waktu, rasa percaya terus menanjak. Mungkin rasa percaya rendah akibat masa berpacaran yang bergelombang namun setelah menikah relasi ternyata membaik dan kepercayaan pun meningkat.

q Orang yang memasuki pernikahan dengan rasa percaya terbatas dan terus mempertahankan sikap berjaga-jaga selama menikah. Orang ini memang memilih untuk tidak mempercayai siapa pun sepenuhnya; mungkin pengalaman masa lalunya membuktikan bahwa mempercayai sama dengan mengundang luka akibat kekecewaan. Itu sebabnya tatkala menikah pun, ia tidak bersedia memberi dirinya sepenuhnya.

Kedua, kepercayaan dibangun di atas

  1. kompetensi dan
  2. karakter.
Kompetensi dibutuhkan untuk membangun kepercayaan sebab kita hanya akan mempercayai seseorang bila ia membuktikan dirinya mampu melakukan tugas dan kewajibannya. Dengan kata lain, makin rendah tingkat kemampuan, makin sulit kita mempercayainya. Itu sebabnya dalam pernikahan, masing-masing pihak haruslah dengan rajin dan penuh tanggung jawab mengerjakan bagiannya. Ketidakbisaan akan melemahkan kepercayaan.

Ada dua hal yang dapat kita lakukan untuk menumbuhkan kompetensi.

Pertama, kita harus membangun satu sama lain lewat pujian dan penguatan sebab itulah yang mendorong pertumbuhan. Kritikan biasanya malah menjatuhkan semangat orang untuk berbenah diri.

Kedua, bagi pihak yang membutuhkan bantuan, akuilah kelemahan dan mintalah bantuan pasangan. Saya kira kita akan lebih siap menolong bila pasangan mengakui keterbatasannya. Sebaliknya, sikap yang enggan mengakui kelemahan, makin menjauhkan kita darinya.

Kepercayaan juga dibangun di atas karakter. Makin baik karakter seseorang, makin kita mempercayainya. Sebaliknya, makin kita melihat kelemahan pada karakternya, makin sukar kita mempercayainya. Itu sebabnya masing-masing pihak harus terus memperbaiki diri dan bersedia diperbaharui. Sikap tidak mau berubah merupakan tanda karakter yang bermasalah.

Galatia 5:22-23 menjabarkan buah Roh Kudus yang seyogianya ada pada diri setiap orang Kristen, "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri." Rasa percaya niscaya bertumbuh tatkala kita melihat suami sebagai suami yang penuh kasih dan kesabaran, dan istri sebagai istri yang penuh sukacita dan penguasaan diri, dan sebagainya.

Pernikahan dibangun di atas kepercayaan; pernikahan dihancurkan dengan ketidakpercayaan.


Transkrip:

T 214 A

Lengkap

"Membangun Kepercayaan Dalam Pernikahan" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membangun Kepercayaan Dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, memang sebagai suami-istri sebaiknya saling mempercayai; suami mempercayai istri dan sebaliknya. Tetapi ternyata itu tidak mudah dilakukan, ada orang yang berkata, 'saya tidak percaya dengan istri saya karena istri saya tidak bisa dipercaya.' Atau justru sebaliknya keluhan istri yang mengatakan 'suami saya tidak bisa dipercaya.' Ini sebenarnya bagaimana?

PG : Percaya memang tidak bisa diberikan secara gratis, percaya itu muncul sebagai akibat. Yaitu akibat perbuatan yang kita terima dari pihak yang lain. Kalau kita melihat dan menerima perlakan perbuatan-perbuatan yang baik dan layak dipercaya, otomatis percaya itu akan muncul juga.

Saya kira kita penting untuk pertama memahami bahwa kita tidak serta merta mendapatkan kepercayaan, kita harus mendapatkannya dengan membuktikan diri bahwa kita layak dipercaya.
GS : Itu sebabnya kadang-kadang ada orang yang lebih percaya kepada orang lain daripada kepada pasangannya?

PG : Betul sekali, biasanya kalau itu terjadi berarti ada hal-hal yang memang sudah terjadi dalam hidup mereka sebelumnya.

GS : Bagaimana supaya pasangan kita itu percaya kepada kita, karena tentu tidak enak sebagai pasangan kita tidak dipercaya?

PG : Pertama kita mau melihat, saya mengkategorikan 3 jenis orang yang telah menikah. Ada orang yang menikah itu membawa kepercayaan yang sedikit sekali. Kenapa sedikit, karena memang pernikaan mereka penuh dengan gelombang, awal-awal berpacaran penuh konflik; mungkin itu yang akhirnya menghilangkan kepercayaan.

Tapi dengan kepercayaan yang masih tersisa mereka menikah. Terus membuktikan diri bahwa mereka layak dipercaya, akhirnya kepercayaan itu bertambah, bertambah dan bertambah. Ini hal yang positif. Kebalikannya yang terjadi yaitu ada orang yang memasuki pernikahan dengan rasa percaya yang tinggi, karena memang masa berpacaran dibuktikan dengan kepercayaan yang baik. Setelah itu mereka mengalami banyak masalah, ada hal-hal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak lagi layak dipuji, tidak lagi positif, sehingga si pasangan tidak bisa percaya kepada dia, karena itu hilanglah kepercayaan. Itu berarti masalah. Dan yang ketiga, ada orang-orang yang memasuki pernikahan justru dengan rasa berjaga-jaga, dua-dua mempunyai rasa berjaga-jaga yaitu tidak mau memberikan kepercayaan. Mungkin dua-dua dari latar belakang yang kurang positif, sehingga dua-dua takut mempercayakan diri kepada orang, mereka takut kalau mereka mempercayakan diri maka nanti akan dikecewakan. Jadi ada orang yang masuk ke dalam pernikahan sudah membawa ketidakpercayaan, ini juga tidak sehat. Jadi hal-hal inilah yang kita mau lihat dalam pernikahan, mudah-mudahan kita tidak masuk dalam kategori yang ketiga atau yang kedua. Kalau kita masuk dalam kategori yang kedua dan ketiga, ini yang kita lakukan, kita akan coba untuk membereskannya.
GS : Kalau kita pada awalnya tidak percaya kepada pasangan, itu sering kali juga karena pengenalan kita yang terbatas pada saat kita berpacaran. Mungkin waktunya kurang atau juga ada orang yang mengabaikan hal ini; dipikir nanti setelah menikah saya bisa percaya dengan dia.

PG : Dan ternyata hal-hal itu tidak bisa hilang begitu saja, kita perlu fokuskan untuk bisa bereskan. Ada dua hal yang ingin saya angkat, yang pertama adalah kepercayaan itu sebetulnya dibangu di atas kompetensi dan karakter, dua hal yang perlu kita camkan.

Apa yang saya maksud dengan kompetensi; kompetensi adalah kemampuan atau kesanggupan. Jadi kalau kita menikah dengan seseorang yang memiliki banyak ketidakbisaan, akan sukar bagi kita untuk membangun rasa percaya. Kita minta dia membantu ini, mengurus itu, tapi tidak bisa, semuanya berantakan. Tidak bisa tidak hal ini akan mengganggu. Biasanya kalau relasi dibangun di atas kebergantungan ini akan menjadi buahnya. Apa yang saya maksud dengan kebergantungan, ada orang yang menikah dengan orang yang tidak memiliki kepercayaan diri dan banyak tidak bisanya, akhirnya dia bersandar pada kita untuk melakukan hal itu baginya. Dalam suasana kebergantungan itu sudah tentu kita jadinya terpaksa melakukan banyak hal bagi pasangan kita. Namun pada akhirnya adalah kita memang tidak memiliki kepercayaan terhadap kompetensinya, terhadap kebisaannya. Sudah tentu itu nantinya berpengaruh, kalau ada apa-apa kita cenderung mengambil alih karena kita tidak percaya bahwa dia bisa melakukannya. Dan daripada kita percayakan kemudian dia melakukannya dan tidak beres, berantakan dan tambah kacau lagi, ya sudah kita ambil alih. Sehingga pada akhirnya relasi nikah kita menjadi relasi tidak seimbang, di mana kita cenderung harus mengurus lebih banyak, bertanggung jawab banyak hal, supaya keluarga tetap bisa berjalan dengan baik.
GS : Sering kali dalam kaitan kompetensi, orang berdalih bahwa, "bukan saya tidak bisa melakukan itu tetapi saya percaya kepada kamu, kamu saja yang selesaikan." Itu bagaimana Pak Paul?

PG : Kalau itu didasari ketulusan memang tidak bisa, tidak apa-apa kita menolongnya namun kalau orang itu mengelak untuk melakukannya, saya kira kita mesti ngomong apa adanya kepada dia dan berata, "Saya rasa kamu bisa kok, coba kamu lakukan sebisa kamu.

Kalau nanti dalam perjalanannya kamu mengalami kesulitan, silakan cari saya sebab saya akan membantu." Tapi sekali lagi penting bagi suami-istri itu untuk masing-masing mengerjakan bagiannya, kalau masing-masing tidak mengerjakan bagiannya, yang satu sudah mengangkat tangan dan berkata, "Kamu saja, kamu saja," kalau kita tahan dan kita tidak berkeberatan ya tidak apa-apa. Tapi lama-lama saya kira ada orang yang tidak tahan dan merasa kok saya semua yang memikul beban ini. Namun dampak yang lebih serius adalah yang berkaitan dengan kepercayaan, kepercayaan kita memang tidak begitu tinggi kepadanya, sebab kita khawatir kalau kita percayakan hal-hal penting ini nanti tidak beres.
GS : Dalam hal itu orang tidak meragukan kemampuan dari pasangannya itu, apakah itu bersangkut paut langsung dengan menaruh percaya itu tadi?

PG : Ya, kita memang cenderung percaya kepada orang yang mampu, kita kurang percaya kepada orang yang kita anggap kurang mampu. Sudah tentu kita harus introspeksi diri, apakah kita terlalu idelis.

Ada orang yang mempunyai standar terlalu tinggi, semua harus dikerjakan sebaik dia mengerjakannya. Itu juga tidak bisa, jadi kesiapan atau kesediaan untuk memeriksa diri sendiri. Kalau kita tahu kita memang terlalu idealis, harapannya terlalu tinggi, kita harus turunkan dan sesuaikan. Sehingga pasangan kita bisa mencapai yang kita harapkan itu, jadi saya kira penting untuk kita menurunkan standar. Sudah tentu yang lebih penting kita lakukan adalah membangun pasangan kita supaya bisa mengembangkan kompetensi ini. Bagaimana caranya? Saya anjurkan yang pertama adalah kita sering-seringlah memuji pasangan, makin sering memuji, orang akan makin termotivasi untuk mencoba. Sebaliknya makin mengkritik, mencela, makin kecil semangatnya untuk mencoba karena takut nanti belum apa-apa sudah dimarahi, dicela sehingga akhirnya dia menyerah sebelum dia memulainya. Jadi kita mesti memberikan pujian-pujian, dorongan-dorongan kepada pasangan kita. Waktu kita bisa melakukan sesuatu, pujilah; waktu dia melakukan hal-hal yang sekecil apa pun sorotilah dan katakan, "Bagus, kamu bisa mengerjakan itu." Pujian-pujian itu akan membangkitkan semangatnya. Di pihak yang memang merasa dirinya kurang, saya minta jangan ragu untuk mohon pertolongan. Kadang-kadang ini masalahnya, kita tidak mau mengaku bahwa kita tidak bisa, kita memerintah pasangan untuk melakukan ini dan itu tapi kita tidak mau mengakui bahwa sebetulnya kita tidak bisa. Saya kira pasangan akan lebih bersedia menolong kita kalau kita rendah hati dan berkata, "Saya butuh bantuanmu, bisa tidak kamu menolong saya." Sehingga walaupun pasangan tahu kita kurang bisa, kompetensi kita kurang, tapi kita rendah hati mau meminta bantuannya, ini akan bisa menyelesaikan banyak masalah. Masalah sering muncul karena pihak yang membutuhkan tidak mau mengakui bahwa dia tidak bisa tapi malah menyalahkan pasangannya. "Kamu kok kurang memperhatikan, kamu kok tidak mau ini, tidak mau itu." Nah yang disalahkan tambah defensif, tambah tidak mau membantu akhirnya relasi makin merenggang.
GS : Itu tentu hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga mereka Pak Paul, jadi kompetensi di sini adalah apa yang bisa dilakukan untuk rumah tangganya, jadi tidak terkait dengan prestasi dia di kantor, di masyarakat dan sebagainya?

PG : Betul, ini semua berkaitan dengan hal-hal atau tugas-tugas yang dilakukan oleh suami-istri atau ayah dan ibu. Misalkan contoh yang konkrit adalah kita mengharapkan istri kita menjadi mamabagi anak-anak, artinya bisa mendengarkan anak, bisa mengayomi, mengasuh, memberikan petunjuk pada anak, menyayangi, anak lagi sakit dirawat.

Nah itu bagian dari membangun kepercayaan, kalau si suami melihat, "Istri saya kok bisa mengayomi, memperhatikan si anak, merawatnya waktu sakit, si anak ada masalah juga bisa diberikan nasihat dengan baik." Nah itu bisa membangun rasa percaya, kebalikannya juga sama waktu si istri melihat suami bisa mengurus anak-anak waktu dia tidak ada, waktu dia butuh bisa meminta bantuan dan suaminya melakukannya. Itu yang membangkitkan rasa percaya di dalam rumah tangga.
GS : Bahwa istri bisa melakukan fungsinya dengan baik dan suami pun demikian pula. Faktor yang lain untuk membangun kepercayaan selain kompetensi apa Pak Paul?

PG : Karakter. Karakter berarti sesuatu yang sangat pribadi, suatu kualitas dalam diri seseorang. Kita susah mempercayai orang yang kita anggap berkarakter buruk. Misalnya kalau kita sudah branggapan, bahwa pasangan kita itu tidak tulus atau pembohong.

Itu akan langsung mengurangi nilai kepercayaan, kita tidak bisa lagi percaya kepadanya. Jadi karakter ini sangat-sangat penting sekali. Saya berikan contoh, kalau pasangan kita terus berkata saya mengasihimu tapi dia jarang memberikan waktu untuk kita, kalau kita meminta waktu dia tidak berikan, namun kalau temannya mau mengajak dia pergi, dia selalu ada waktu untuk teman-temannya. Kita lama-lama akan berkata, "Dia orangnya tidak begitu baik, kalau sama istri sendiri tidak bisa berikan waktu tapi untuk teman-temannya bisa berikan waktu." Begitu kita mempertanyakan karakternya, kita tidak bisa mempercayainya.
GS : Ini lebih sulit dari kompetensi Pak Paul, kalau kompetensi, orang masih bisa belajar asal mau belajar sedangkan karakter ini terbawa sejak masa mudanya bahkan ketika masih anak-anak. Bukankah mengubah karakter ini akan lebih sulit?

PG : Sulit sekali, dan apalagi pada akhirnya kita menyimpulkan karakter seseorang berdasarkan pengamatan kita. Misalkan, setiap kali kita meminta bantuannya dia tidak menolong kita, tapi kalauorang lain dia mau menolongnya.

Tapi ini terjadi bukan hanya sekali, tapi berulang kali. Mungkin dia berkata saya lupa dan sebagainya, namun kalau ini terjadi berulang kali, tidak bisa tidak kita mulai menarik kesimpulan. Ini titik yang berbahaya, begitu kita menarik kesimpulan berarti kita sudah mulai melabelkannya, mencapnya bahwa dia bukan orang yang baik. Sebab kalau dia orang yang baik, dia akan memberikan waktu yang cukup untuk saya, memberikan pertolongannya waktu saya memintanya, tapi dia tidak melakukannya dia hanya melakukannya untuk orang lain supaya dilihat baik. Pengamatan demi pengamatan melahirkan kesimpulan, kalau kita sudah sampai pada kesimpulan kita susah sekali mengubahnya. Kita akhirnya berkata, "Dia memang seperti ini, karakternya seperti ini." Nah untuk kita mengubah kembali kesimpulan, itu yang susah. Karena kesimpulan biasanya didasari atas beberapa pengalaman.
GS : Memang ada orang yang terlalu gampang untuk menjadi tidak percaya terhadap pasangannya. Ini sebaliknya, jadi bukan karakter pada pasangannya tapi karakter pada orang ini sendiri yang bermasalah, Pak Paul?

PG : Ini masuk dalam kategori yang tadi kita sudah bicarakan, yaitu ada orang yang memasuki pernikahan dengan rasa percaya yang minim karena menganggap bahwa dia hidup di dalam dunia yang penuhdengan ancaman, penuh dengan ketidakbaikan, keburukan, jadi dia harus selalu berjaga-jaga.

Kenapa sampai ada orang yang mempunyai pemikiran seperti itu? Misalnya, dia memang dibesarkan di rumah di mana orangtua terlalu sering konflik, tidak ada relasi yang baik antara orangtua dan anak-anak setiap hari disuguhi ketegangan demi ketegangan. Tidak bisa tidak si anak ini akan melihat dunianya yaitu rumah tangganya saat itu sebagai dunia yang tidak aman, dunia yang setiap waktu bisa meledak. Sehingga dia selalu berjaga-jaga, tidak bisa merasa tenteram dengan mudah, atau dia melihat langsung peristiwa di mana, misalkan orangtuanya menjadi korban perbuatan orang yang merugikannya. Misalkan, karena ditipu mereka harus pindah rumah, jual harta sehingga harus hidup susah. Nah kalau ini terjadi bisa akhirnya menanamkan benih ketidakpercayaan pada diri si anak. "Hati-hati dengan orang itu, dia jahat, orang itu mau mengambil kesempatan, mau memanfaatkan kita." Apalagi kalau orangtuanya terus-menerus mengingat dan membangkit-bangkitkan masalah itu. "Kalian jangan sampai ditipu lagi, belajar dari kami; kami dulu terlalu percaya sama orang, lihat hasilnya akhirnya kami kehilangan semuanya, harta habis semuanya. Jangan kamu seperti itu lagi." Kita akhirnya disuguhi dengan nasihat-nasihat seperti itu, akhirnya setelah kita besar kita memang benar-benar mengembangkan sikap manusia itu jahat dan akan mengambil kesempatan, jadi kita harus berjaga-jaga." Dalam kasus yang lain lagi yang khusus adalah kita menjadi korban akibat perbuatan salah satu orangtua kita. Misalnya ibu kita jatuh dalam dosa, mengkhianati ayah, berhubungan dengan pria lain. Apa yang akan menjadi akibatnya? Kita kehilangan kepercayaan, kalau ibu bisa berkhianat-orang lain pun bisa berkhianat. Kita akhirnya berketetapan hati tidak mau lagi percaya pada orang. Hal-hal seperti inilah yang berpotensi untuk membuat kita menjadi orang yang tidak mudah percaya.
GS : Kalau ada orang yang tidak bisa dipercaya karena sesuatu hal atau dalam suatu bidang, misalkan janji-janjinya tidak bisa tepat; apakah kemudian orang mengambil kesimpulan sendiri bahwa dalam semua hal dia tidak bisa dipercaya?

PG : Seharusnya memang tidak begitu, tapi kita harus menyadari bahwa kita manusia yang merindukan ketenteraman dan keamanan, kita tidak mau dirugikan. Jadi kita cenderung kalau kita sudah pernh dilukai atau diciderai, kita akan cenderung berhati-hati.

Nah itulah sebabnya waktu kita menjadi korban janjinya yang tidak ditepati berkali-kali, kita tidak mau lagi diperlakukan seperti itu dan dikecewakan. Jadi kita mengembangkan sebuah opini, sebuah kesimpulan bahwa orang ini memang tidak bisa dipercaya. Jadi memang opini atau kesimpulan itu kita bentuk untuk melindungi diri supaya jangan sampai kita dikecewakan lagi misalnya untuk ketiga kalinya. Itu sebabnya kita mesti berjaga, mesti berhati-hati dengan apa yang telah kita janjikan. Karena ini akan langsung mencederai kepercayaan. Kita tidak boleh beranggapan bahwa orang akan selalu memahami kita dan tidak akan mengembangkan rasa curiga atau tidak percaya kepada kita. Kalau kita berbuat seperti itu, orang nantinya tidak akan percaya lagi kepada kita dan kita harus menuai hasil dari perbuatan kita.
GS : Apakah mungkin seseorang yang tidak mempercayai kita di dalam satu bidang itu lalu selalu mengungkit-ungkit, "Kamu tidak bisa dipercaya," dan orang itu makin tidak dipercaya. Dia makin menunjukkan perbuatannya yang memang dia tidak bisa dipercaya, itu sulitnya Pak Paul?

PG : Saya memahami kenapa orang akhirnya kehilangan kepercayaan. Tapi memang seyogianyalah kita tidak sampai membabi buta, menyamaratakan semua hal. Sebab ada orang-orang dalam soal ketepatanwaktu, itu lemah.

Jadi kalau janji jam 02.00, munculnya jam 02.30. Namun dalam hal lainnya misalkan, "Saya akan tolong kamu ya." Dia benar-benar menolong, jadi kalau dia berkata saya mau bantu, dia akan bantu. Nah kita seharusnya mesti spesifik melihat kekurangan orang. Orang yang memang rasa percayanya sudah tipis, begitu melihat orang ini gagal memenuhi janjinya; langsung dicoret dari daftar kepercayaannya. Dalam segala hal orang ini tidak akan lagi dipercaya. Ini masalahnya terletak pada diri kita, bukan pada diri orang yang tidak bisa memenuhi kepercayaannya. Jadi kita mesti periksa diri kita sendiri. Karena ada di antara kita orang-orang yang sudah begitu dipenuhi dengan rasa curiga; dengan kepercayaan yang tipis seperti itu susah untuk kita mempercayai orang.
GS : Di sisi yang lain, dipercayai pasangan itu merupakan suatu tanggung jawab atau beban tersendiri bagi pasangan yang satunya. Apakah memang begitu Pak Paul?

PG : Dipercaya sudah tentu mempunyai harganya. Kita harus membuktikan diri bahwa kita layak dipercaya. Dengan cara apakah kita membuktikan diri, yaitu dengan melakukannya, mengerjakannya. Ap yang akan kita sodorkan sebagai harga? Integritas, kalau tidak mempunyai integritas, kepercayaan itu akan hilang.

Jadi berintegritaslah bahwa kita itu layak dipercaya; yang kita ucapkan itulah yang kita lakukan. Kalau kita berkata 'tidak', ya benar-benar 'tidak', konsisten. Jadi itulah kuncinya untuk mendapatkan kepercayaan kembali.
GS : Ada pasangan yang selalu menunjukkan berapa besarnya uang yang dia bawa, atau kalau dia pergi dia menjelaskan sedetail-detailnya. Seolah-olah dia khawatir pasangannya itu tidak percaya kepada dia, padahal sebenarnya tidak apa-apa hanya dia sendiri yang merasa daripada saya tidak dipercaya lebih baik ditunjukkan terlebih dahulu.

PG : Kalau memang masalah kepercayaan sudah seburuk itu, sebaiknya kita berinisiatif membuktikan diri seperti itu, jangan sampai memberikan kesempatan kepada pasangan kita mengembangkan kecurigan.

Itu tanggung jawab kita jadi perjelaslah apa yang akan kita lakukan, apa yang sudah kita lakukan, sehingga kita tidak memberi kesempatan kepada pasangan mencurigai kita.
GS : Tapi dilain pihak pasangan juga merasa tidak enak, "Sudahlah saya percaya sama kamu." Tapi mungkin karena pernah bersalah.

PG : Betul, kadang-kadang ada orang yang karena pernah bersalah dan tidak mau lagi dituduh yang sama jadi terus-menerus membuktikan dirinya.

GS : Tapi ada juga pasangan yang selalu curiga, jadi sementara pasangannya baru datang dari luar kota, diperiksa semua isi tasnya, isi kantongnya dan sebagainya. Nah ini membuat orang merasa tidak dipercayai.

PG : Dan tidak sehat sekali, karena pada akhirnya tindakan seperti itu menciptakan pikiran ketidakpercayaan dan mendorong pasangan akhirnya untuk bersembunyi dan mulai berbohong. Sebab dia bernggapan, kalau saya cerita dia akan marah meskipun kita tidak melakukan yang salah.

Tapi karena pasangannya mempunyai tuntutan yang begitu tinggi, harus begini dan harus begitu maka mulailah dia menyembunyikan perbuatannya. Ini tidak sehat, karena dari mulai menyembunyikan maka mulailah dia berbohong; dia mulai berbohong berarti dia akan makin tergoda melakukan hal-hal yang salah.
GS : Pak Paul, apakah dalam hal ini Pak Paul mau menyampaikan firman Tuhan?

PG : Galatia 5:22-23, menjabarkan buah Roh Kudus yang seyogianya ada dalam diri setiap orang kristen. Yakni kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahembutan, penguasaan diri.

Rasa percaya bertumbuh, tatkala kita melihat suami sebagai suami yang penuh kasih dan sabar. Kita melihat istri sebagai istri yang penuh sukacita dan penguasaan diri. Jadi kembangkanlah buah Roh Kudus, ikutilah firman Tuhan, jadilah orang yang sabar, jadilah orang yang murah hati, jadilah orang yang menguasai diri. Untuk kita menjadi orang yang seperti itu, karakter kita menjadi karakter yang indah dan terpuji, pasangan pun akan lebih mempercayai kita. Sehingga masalah bisa selesai. Ingat, pernikahan dibangun di atas kepercayaan dan pernikahan dihancurkan dengan ketidakpercayaan. Jadi bangunlah kepercayaan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun Kepercayaan Dalam Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



40. Membangun Respek Dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T214B (File MP3 T214B)


Abstrak:

Respek mutlak dibutuhkan untuk mendirikan dan mempertahankan pernikahan. Ada beberapa hal yang kita perlu ketahui tentang respek. Pertama, respek merupakan respons terhadap sesuatu yang kita lihat atau alami. Kedua, respek bersifat alamiah; artinya kita tidak dapat membuat diri kita respek terhadap seseorang jika memang kita tidak respek terhadapnya. Ketiga, pribadi atau sangat personal.


Ringkasan:

T 214 B "Membangun Respek dalam Pernikahan" oleh Pdt. Paul Gunadi

Respek mutlak dibutuhkan untuk mendirikan dan mempertahankan pernikahan. Tanpa respek, pernikahan dengan cepat meluncur pada kondisi saling menghinda dan akhirnya menghancurkan. Ada beberapa hal yang kita perlu ketahui tentang respek. Pertama, respek merupakan respons terhadap sesuatu yang kita lihat atau alami. Sewaktu kita melihat sosok Dr. David Livingstone yang mempersembahkan hidupnya melayani orang di Afrika atau Ibu Theresa yang melayani kaum papa di India, tidak bisa tidak, kita merasakan adanya suatu reaksi tertentu dalam diri kita. Kita mengakui bahwa mereka jauh lebih baik daripada kita sehingga kita menempatkan mereka di atas diri kita. Reaksi yang muncul adalah respek.

Kedua, respek bersifat alamiah; artinya kita tidak dapat membuat diri kita respek terhadap seseorang jika memang kita tidak respek terhadapnya. Sebaliknya, bila kita memiliki respek terhadap seseorang, kita pun tidak dapat membohongi diri dan mengatakan bahwa kita tidak respek kepadanya.

Berdasarkan kedua hal di atas, maka dapat kita katakan bahwa respek mesti ada jauh sebelum kita memasuki pernikahan. Kita mesti "mendapati" respek, bukan menciptakannya. Kesalahan yang sering kita lakukan adalah karena kebutuhan yang besar, maka kita pun menciptakan respek guna membenarkan pilihan kita. Atau, karena terlalu tertarik secara jasmaniah, kita pun menciptakan daftar respek yang sebenarnya tidak ada.

Sifat ketiga dari respek adalah pribadi atau sangat personal. Sebagai anak Tuhan kita mesti menggunakan standar Tuhan sebagai dasar respek terhadap pasangan. Berikut ini dibagikan beberapa standar yang tercantum jelas di Firman-Nya.

q Kudus dan terhormat. "Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu yaitu supaya kamu menjauhi percabulan, supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi istrimu sendiri dan hidup dalam pengudusan dan penghormatan." (1 Tesalonika 4:3-4)

q Bertanggung jawab. "Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan seperti yang telah kami pesankan kepadamu sehingga kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata orang luar dan tidak bergantung pada mereka." (1 Tesalonika 4:11-12)

q Penuh kasih. "Dan kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang sama seperti kami juga mengasihi kamu." (1 Tesalonika 3:12)


Transkrip:

T 214 B

Lengkap

"Membangun Respek Dalam Pernikahan" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membangun Respek Dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita membicarakan tentang 'Membangun Kepercayaan dalam Pernikahan,' karena kepercayaan itu memang suatu unsur yang penting di dalam pernikahan. Tapi disamping kepercayaan, kita juga melihat bahwa respek atau penghargaan terhadap pasangan kita juga menempati suatu tempat yang penting juga dalam pernikahan. Hal-hal apa yang kita perbincangkan?

PG : Pada dasarnya kita menyadari bahwa pernikahan itu dibangun di atas 3 kaki, yaitu kasih, percaya dan respek. Nah biasanya kita itu memang hanya menyoroti satu aspek saja yaitu kasih. Namu saya ingin mengingatkan kepada para pendengar bahwa sebetulnya kasih itu sangat-sangat dipengaruhi oleh respek dan percaya.

Kita tidak mungkin bisa mempertahankan kasih kalau tidak lagi percaya kepada pasangan kita. Itu sebabnya kita membicarakan tentang bagaimana mempertahankan dan membangkitkan rasa percaya di dalam pernikahan. Namun kasih juga memerlukan respek, tanpa respek kita tidak bisa mengasihi orang. Jadi ibaratnya seperti bak dimana kita mengisinya dengan air. Kita sebut bak ini adalah bak kasih; kita mau mengisinya dengan air yaitu air kasih. Jangan sampai kita mengisi air kasih ke dalam bak, tetapi bak kita bocor, bocornya yaitu pada percaya dan respek. Kita melakukan apa pun untuk menunjukkan kita mengasihi, tapi kalau kita menghilangkan respek-pasangan tidak respek kepada kita, kalau kita menghilangkan kepercayaan-pasangan tidak bisa percaya kepada kita, maka air kasih yang baru saja kita isi itu akan habis lagi, habis lagi dan habis lagi. Dan ini yang sering terjadi di dalam pernikahan. Kadang-kadang orang frustrasi, "Saya mencoba mengasihinya, saya membelikannya ini, saya melakukan ini seperti yang dia minta, tapi dia kok masih begini terus dan sebagainya." Mungkin duduk masalahnya adalah kita mempunyai kebocoran, dan kebocorannya di wilayah kepercayaan dan respek.
GS : Atau salah satu dari keduanya itu yang bocor. Masalahnya sekarang bagaimana kita membangun respek itu di dalam pernikahan?

PG : Yang pertama, kita memahami tentang respek bahwa respek adalah sebuah respons terhadap sesuatu yang kita lihat atau kita alami. Contoh, saya kira kita semua pernah mendengar sosok Dr. Davd Livingstone, seorang dokter yang melayani dan memberikan hidupnya bagi orang-orang di Afrika.

Waktu kita mendengar kisah pelayanannya, pengorbanannya melayani orang di Afrika, tidak bisa tidak akan timbul rasa respek terhadapnya. Kita juga pernah mendengar nama Ibu Teresa, yang melayani kaum miskin di India; nah waktu kita mendengar pengorbanan, pelayanan ibu Teresa, tidak bisa tidak yang akan muncul dalam hati kita adalah respek. Kenapa seseorang bisa melakukan hal seperti itu, memeluk seseorang yang terkena kusta, membersihkan tubuhnya dari nanah yang muncul akibat kusta; bagaimanakah seseorang sanggup melakukan hal seperti itu. Yang muncul dalam hati kita adalah respek, jadi kita bisa katakan respek adalah reaksi dalam diri kita yang merupakan pengakuan bahwa orang itu jauh lebih baik daripada kita. Karena kita melihatnya lebih baik daripada kita, kita menempatkannya di atas diri kita. Dia mempunyai sesuatu yang baik, disitulah respek muncul. Jadi inilah kodrat atau sifat respek yang pertama yang perlu kita pahami, bahwa respek merupakan sebuah reaksi yang merupakan pengakuan terhadap sesuatu, terhadap orang yang mempunyai sesuatu yang begitu baik, yang mungkin saja kita tidak memilikinya.
GS : Berarti respek itu muncul di dalam diri kita ketika kita menghormati seseorang karena tindakan-tindakannya yang mulia itu, Pak Paul?

PG : Betul, dengan kata lain kalau memang kita tidak mempunyai tindakan-tindakan yang mulia, kita tidak bisa menuntut orang respek kepada kita. Sebab respek itu hanya ada jikalau kita melihat indakan-tindakan yang mulia tersebut.

GS : Tidak cukup hanya dengan kata-kata, 'kamu harus menghormati saya, kamu harus menghargai saya," tapi kita tidak berbuat apa-apa, Pak Paul?

PG : Betul sekali, itu sebabnya kita bisa simpulkan lagi hal kedua tentang respek. Respek itu memang alamiah sekali, maksudnya alamiah adalah kita tidak bisa membuat diri kita respek terhadap eseorang jikalau kita memang tidak respek kepadanya.

Kita tidak bisa mengada-ada, "O.....saya respek, saya respek," kecuali untuk basa-basi hanya untuk menyenangkannya, maka kita berbohong dan kita berkata, "Saya respek kepadamu." Sebetulnya respek memang tidak bisa diada-adakan, karena respek merupakan respons, dan kedua respek adalah respons yang alamiah. Kalau memang ada ya ada; kita melihat tindakannya yang mulia maka muncullah respek; kita tidak melihat apa yang baik, apa yang mulia pada dirinya maka tidak ada respek.
GS : Di dalam pernikahan, Pak Paul, apakah mungkin seseorang yang mulai menikah dengan respek atau rasa hormat yang cukup tinggi kepada pasangannya tetapi kemudian lama-kelamaan dia tidak respek lagi, atau sebaliknya tadinya dia tidak respek tapi kemudian mengenal pasangannya dengan lebih baik makin lama dia makin respek terhadap pasangannya?

PG : Seyogianya sebelum kita menikah kita cukup mengenal pasangan kita sehingga kita jelas mengenal kekurangan dan kelebihannya. Hal-hal yang baik pada dirinya dan hal-hal yang kurang baik pad dirinya.

Dan seyogianyalah di dalam masa berpacaran itu kita memang mengambil sebuah keputusan, saya akan menerima kelemahannya atau hal-hal yang kurang baik itu dan saya akan bisa menerimanya. Mengapa saya akan bisa menerimanya, sebab saya mempunyai cadangan respek yang kuat. Jadi sering kali kita memasuki pernikahan, kita tidak benar-benar memikirkan hal ini, setelah menikah baru sadar dan baru mulai menghitung-hitung. Seyogianya sebelum menikah kita menghitung hal ini, melihat kelebihan dan kekurangannya. Terus kita bertanya, bisa atau tidak kita menerima kekurangannya, hidup dengan kekurangannya itu. Biasanya kita hanya akan bisa menerima dan hidup dengan kekurangannya, bila kita mempunyai cadangan respek yang kuat atau yang cukup. Sering kali masalah muncul dalam pernikahan karena cadangan respek kita itu tipis, tidak banyak, kemudian kita disadarkan dengan kelemahan-kelemahan pasangan kita maka akan ambruk. Tapi kalau tadi Pak Gunawan bertanya, mungkin atau tidak seseorang yang tadinya mempunyai cadangan respek tinggi terus akhirnya menyusut? Mungkin. Kenapa, karena manusia bisa berubah. Bisa jadi awal-awal pernikahan, dia tidak berbuat apa-apa. Yang salah, yang tidak baik, yang tercela, tidak ada semua; semuanya baik dan semuanya mulia, namun akhirnya dia jatuh. Dia mulai melakukan hal-hal yang tidak terpuji, hal-hal yang tidak mulia, tidak bisa tidak itu akan menyusutkan respek kita kepadanya.
GS : Apakah respek itu bisa dibangun karena pengalaman masa lalunya, melihat bahwa istri itu mesti respek terhadap suaminya, jadi seolah-olah itu sesuatu yang digariskan seperti itu dan dia tinggal mengikuti saja, apakah ini bukan suatu respek yang semu?

PG : Ini pertanyaan yang baik Pak Gunawan, sudah tentu kalau kita mempunyai keyakinan bahwa seyogianyalah saya itu respek kepada suami saya, itu baik; sudah tentu suami pun juga harus respek keada istrinya.

Itu bukan respek yang semu, itu lebih merupakan suatu keputusan, keputusan untuk tidak melecehkan atau merendahkan pasangan kita. Boleh dan seharusnya kita mempunyai ketetapan hati seperti itu, kita tidak mau melecehkan atau merendahkan pasangan kita. Tapi apakah itu sebetulnya respek? Menurut saya bukan, itu satu sisinya dari respek yaitu tidak mau melecehkan atau merendahkan orang. Namun sesungguhnya itu bukanlah respek. Sebab tadi saya sudah jelaskan respek adalah sebuah reaksi yang berisikan pengakuan bahwa orang ini atau apa yang dilihatnya itu sesuatu yang terpuji, yang mulia dan yang baik. Kalau tidak ada itu, sebetulnya tidak ada respek. Tapi kita mesti bisa memilih tidak merendahkan atau melecehkan orang, tapi menurut saya ada bedanya dengan respek. Kisa masuk ke satu poin berikutnya yaitu kita memang tidak bisa mengada-adakan respek, maka sewaktu masih berpacaran seyogianyalah kita itu tidak menciptakan atau mengada-adakan respek. Kita mengukur relasi ini sehat atau tidak sehat, layak lanjut atau tidak, dari satu pertanyaan apakah saya respek kepadanya? Dan kalau ada, apakah tentang dirinya yang saya respek. Sebab respek merupakan reaksi terhadap yang mulia, yang terpuji yang kita lihat pada pasangan kita. Kesalahan yang sering kali kita perbuat adalah kita sudah suka dengan orangnya, sudah tertarik, baru memikirkan apa tentang dia yang membuat saya respek. Baru kita ciptakan daftar-daftar respek. Tidak bisa, kita tidak bisa menciptakan daftar respek; kita hanya mendapati atau tidak mendapati daftar respek itu.
GS : Jadi respek kita terhadap pasangan itu kadang-kadang bisa timbul dan kadang-kadang juga bisa berkurang, Pak Paul?

PG : Bergantung dari perbuatan-perbuatan pasangan kita. Jadi ini akhirnya menyadarkan kita bahwa kita masing-masing bertanggung jawab untuk mempertahankan respek pasangan terhadap kita, jangansampai kita bersifat kekanak-kanakan, hanya menuntut pasangan respek kepada kita.

Kita harus bertanya, alasannya apa pasangan respek kepada saya, apakah tentang saya yang mulia, yang layak dipuji, yang memang dilihat dan seharusnya diakui oleh pasangan saya. Kalau memang kita tidak bisa menemukan yang mulia dan layak dipuji, kita harus terima fakta bahwa dia pun akan sulit respek kepada kita.
GS : Ada orang yang mengatakan dia tidak mau banyak bercanda dengan pasangannya, karena dikhawatirkan kalau terlalu banyak bercanda nanti pasangannya tidak respek lagi terhadap dia. Apakah hal itu suatu kekhawatiran yang patut dipertanyakan lagi?

PG : Biasanya bercanda tidak sampai menimbulkan persepsi seperti itu dari pasangan, jadi seyogianyalah kita tidak usah takut untuk bercanda, untuk bisa humor dengan pasangan kita. Sudah tentu ita juga mesti menempatkan diri dengan pas dimana lingkungan kita berada.

Jangan kita itu melakukan hal-hal yang terlihat terlalu merendahkan martabat, menimbulkan kesan kita tidak beradab, tidak berbudaya, tidak berpendidikan dan sebagainya. Itu nanti akan mempengaruhi respek orang terhadap kita, kita perlu menjaganya. Jadi dalam bercanda pun sudah tentu baik, kita perlu melihat, mengatur canda kita, jangan sampai kelewatan, merendahkan diri dan sebagainya.
GS : Ada istri yang respek terhadap suaminya ketika suaminya itu mempunyai kedudukan di tempat kerjanya dan posisinya baik, penghasilannya besar. Tapi ketika terjadi PHK, si suami tidak lagi mempunyai penghasilan yang cukup bahkan penghasilannya tidak ada lagi, istri menjadi tidak respek kepada suami. Ini bagaimana Pak Paul?

PG : Itu sebabnya dasar respek seharusnya memang tidak boleh dilandasi oleh prestasi-prestasi seperti itu. Tidak boleh dilandasi atas materi atau benda-benda yang dihasilkan. Sebab respek yan didasari atas benda-benda atau prestasi seperti itu, sangatlah mudah goyah.

Sebab sesungguhnya respek seperti itu lebih merupakan alasan pribadi yaitu gara-gara kamu tinggi posisinya, saya juga bisa mencicipi kehidupan yang lebih baik. Tapi seyogianyalah respek itu didasari atas karakter; itu yang kekal, itu yang kokoh. Jadi apa pun kondisi kehidupan yang kita harus hadapi respek bertahan, karena respek didasari atas karakter orang tersebut.
GS : Apakah ada sifat dari respek yang lain, Pak Paul?

PG : Yang ketiga adalah respek itu bersifat sangat pribadi atau sangat personal. Memang kita bisa menciptakan kriterianya sendiri, tapi seyogianyalah kita sebagai anak Tuhan menggunakan standa Tuhan.

Saya akan bagikan 3 hal yaitu yang pertama saya bacakan dari I Tesalonika 4:3 dan 4, "Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan, supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi istrimu sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan." Jadi yang pertama, kriterianya yang harus kita tetapkan sebagai dasar respek adalah karakter kudus dan hormat. Bagaimanakah kita bisa respek terhadap pasangan yang tidak kudus, yang tidak terhormat. Sembarangan bergaul dengan lawan jenis, sembarangan akhirnya jatuh dalam dosa perzinahan. Meskipun dia minta ampun, dia menyesal dan sebagainya tapi kalau berulang lagi akan sulit bagi kita untuk mempunyai respek terhadapnya. Karena respek terkait dengan kekudusan. Waktu kita melihat sesuatu yang tidak kudus, tercemar, sulit bahkan hampir mustahil kita mengembangkan respek. Jadi sebagai suami atau sebagai istri, kalau kita menginginkan pasangan respek kepada kita, langkah pertama hiduplah kudus sesuai dengan firman Tuhan.
GS : Dalam hal ini apakah peran dari pasangan supaya pasangannya memenuhi apa yang firman Tuhan katakan ini?

PG : Agar bisa menjaga kekudusan dan kehormatan, kita mesti mencukupi kebutuhan pasangan kita. Kita harus menutup kemungkinan pasangan kita itu bisa berbuat hal-hal yang tidak kudus. Bukannyasaya berkata awasilah, ikutilah, pasanglah monitor dimana suami atau istrimu berada, tapi ciptakanlah, kerjakanlah rumah tangga kita sebaik mungkin.

Sehingga pasangan kita itu merasakan senang, bahagia, berada di rumah menikah dengan kita, kebutuhan-kebutuhannya pun dicukupi sehingga dia tidak mempunyai alasan untuk berbuat hal-hal yang tidak kudus di luar, itu yang bisa kita lakukan. Yang kedua adalah kita mesti bersama pasangan hidup dalam Tuhan, menekankan hidup takut akan Tuhan. Suami-istri yang hidup takut Tuhan, berdoa bersama, respek kepada Tuhan, otomatis juga akan lebih takut berbuat dosa sehingga lebih memungkinkan hidup dalam kekudusan.
GS : Memang kalau kita menyadari bahwa pasangan kita adalah pemberian dari Tuhan, kita akan menaruh respek yang cukup besar kepada pasangan karena kita percaya bahwa pasangan kita dari Tuhan. Kalau kita tidak respek kepada dia berarti kita tidak respek dengan Tuhan juga.

PG : Ini satu poin yang baik Pak Gunawan, jadi kita menghormati pemberinya yaitu Tuhan sendiri, Dialah yang menganugerahkan pasangan kita untuk kita.

GS : Adakah yang lain Pak Paul?

PG : Yang kedua saya ambil dari I Tesalonika 4:11 dan 12, "Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan, seperi yang telah kami pesankan kepadamu, sehingga kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata orang luar dan tidak bergantung pada mereka."

Rasul Paulus meminta jemaat di Tesalonika untuk hidup bertanggung jawab; rajin bekerja mencukupi kebutuhannya sendiri, tidak bergantung pada orang. Sudah tentu ada kasus kusus, dimana kita tidak bisa lagi bekerja, harus bergantung pada orang, itu dapat dimengerti. Tapi jangan sampai kita mengembangkan karakter malas dan tidak bertanggung jawab, sukar buat orang untuk respek kepada kita kalau kita tidak bertanggung jawab, malas; disuruh melakukan apa, tidak dikerjakan atau mengerjakan dengan seenaknya, atau maunya orang lain yang melakukannya untuk kita. Bagaimanakah pasangan bisa respek kepada kita kalau kita hidupnya seperti itu. Maka Paulus memberikan nasihat yang sangat praktis di sini yaitu hiduplah bertanggung jawab. Dengan adanya tanggung jawab pasangan pun akan dapat mengembangkan respek kepada kita.
GS : Apa maknanya Rasul Paulus mengatakan bahwa hidup tenang itu dianggap sebagai kehormatan?

PG : Maksudnya adalah jangan kita itu mencari-cari masalah, karena memang rupanya di jemaat Tesalonika pun ada orang-orang yang mencari-cari masalah akhirnya menimbulkan percekcokan. Jadi Pauls berkata hiduplah tenang, jangan mencari-cari masalah, jangan kita itu sedikit-sedikit mencari kekurangan-kekurangan orang, itu akan bisa menimbulkan masalah.

GS : Itu berarti orang yang bisa hidup tenang itu adalah orang yang terhormat?

PG : Ya, karena memang dia tidak mudah terprovokasi, tidak mudah bereaksi terhadap apa yang terjadi di luar dirinya.

GS : Dan kita lebih mudah respek terhadap orang-orang yang hidupnya tenang, tidak mencari-cari masalah daripada orang yang selalu menimbulkan masalah di tengah-tengah keluarga dan sebagainya. Karena memang ada beberapa orang yang suka menimbulkan masalah yang kita sebut "trouble maker". Ada saja masalah yang muncul gara-gara kehadiran orang itu, kalau hal ini menyangkut pasangan kita sendiri tentu akan repot. Nah bagaimana kita bisa menasihati pasangan supaya pasangan kita menjadi orang yang terhormat, karena ini juga yang kita kehendaki?

PG : Kita bisa misalkan dengan berkata, "Saya mengerti kamu itu jengkel karena ini, ini, tapi boleh tidak saya memberikan saran kepadamu apa yang bisa kamu lakukan untuk menolong orang itu. Seab kalau kamu hanya memarahi, mencelanya, orang itu tidak akan bisa berubah.

Ayo kita pikirkan cara positif bagaimana menolongnya." Jadi kita ajak pasangan kita tidak hanya melihat kekurangan tapi mulai memikirkan cara untuk menolong orang tersebut dalam kekurangannya, itulah yang kita tekankan kepada pasangan kita.
GS : Sebenarnya setiap orang itu mau dihargai, mau diberikan respek kepadanya, tetapi kadang-kadang juga tidak tahu caranya bagaimana orang bisa respek terhadap dia. Jadi antara lain yang bisa dilakukan adalah hidup tenang, tidak mencari atau menimbulkan masalah-masalah baru. Nah yang ketiga apa Pak Paul?

PG : Firman Tuhan di I Tesalonika 3:12 berkata, "Dan kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang, sama seperi kami jua mengasihi kamu."

Penuh kasih itu akan membangkitkan respek. Kita itu sulit respek kepada orang yang tidak mempunyai kasih, karena orang yang tidak mempunyai kasih adalah egois, memikirkan diri sendiri; orang yang tidak mempunyai kasih juga bisa kejam terhadap orang yang dalam penderitaan. Maka kalau kita ingin pasangan kita respek kepada kita, penuhilah hati kita dengan kasih. Kasih kepada keluarga sebagai langkah pertama, dan juga kasih kepada orang di luar rumah kita. Jangan sampai kita menjadi orang yang hanya mengasihi keluarga sendiri, mementingkan urusan keluarga sendiri, masa bodoh dengan orang di luar. Nah kalau pasangan melihat kita seperti itu, dia pun akan sulit respek kepada kita karena respek didasari atas pengakuan bahwa orang ini terhormat, orang ini mempunyai sifat-sifat atau karakter-karakter yang mulia dan yang baik. Kalau kita hanya memikirkan keluarga sendiri tidak memikirkan orang lain, pasangan akan tidak respek. Kebalikannya juga sama, kalau kita hanya mengasihi orang di luar, mau menolong orang di luar sementara dengan keluarga tidak peduli, pasangan susah untuk respek kepada kita. Sebab dia melihat kita tidak mengasihi dia dan keluarga sendiri.
GS : Ini memang suatu panggilan yang praktis buat kita untuk memperagakan kasih yang kita terima dari Tuhan, tetapi memang memperagakan kasih di tengah-tengah keluarga ini jauh lebih sulit daripada di luar. Ini bagaimana Pak Paul?

PG : Kita sekali lagi harus taati firman Tuhan, firman Tuhan memang meminta kita untuk merawat, memenuhi kebutuhan keluarga kita. Sebab Tuhan berkata, kalau kita tidak memperhatikan keluarga kta sendiri itu lebih buruk dari orang yang tidak percaya atau orang yang tidak kenal Tuhan.

Jadi Tuhan meminta itu, perhatikan keluarga sendiri, itu yang Tuhan sudah berikan kepada kita, yang kita harus jaga baik-baik tapi juga tidak melalaikan orang lain.
GS : Dan saya melihat respek ini saling membangun. Kalau kita respek kepada pasangan kita, pasangan kita akan respek kepada kita dan sebaliknya ini akan terus-menerus bertumbuh.

PG : Betul sekali, jadi begitu benih respek mulai tertanam, itu makin hari makin banyak, makin berbuah, akhirnya relasi kita menjadi relasi yang benar-benar kuat karena respek akan mewarnai setap aspek kehidupan kita.

GS : Dan kalau itu dilihat oleh anak-anak kita, anak-anak juga akan respek terhadap kita karena kita sendiri respek terhadap pasangan.

PG : Betul sekali, dan ini nantinya yang menjadi modal untuk anak patuh kepada orangtua. Sebab salah satu alasan anak susah patuh kepada orangtua adalah anak tidak lagi respek kepada kita. Jai kalau orangtua hidup terpuji, saling respek, anak-anak pun akan lebih mudah patuh karena modal respek terhadap orangtuanya sudah ada.

GS : Mereka tidak respek karena melihat orangtuanya tidak saling respek, jadi sulit bagi mereka untuk memperagakan bagaimana melakukan respek karena mereka tidak mempunyai contoh. Jadi ini sesuatu yang sangat penting untuk kita perbincangkan dan ini akan menjadi banyak berkat bagi pendengar kita. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun Respek dalam Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



41. Anugerah Dalam Pernikahan 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T225A (File MP3 T225A)


Abstrak:

Banyak pernikahan kandas di tengah jalan oleh karena ketidaksiapan pribadi yang bersangkutan. Sudah tentu ada banyak penyesuaian yang mesti kita lakukan untuk memastikan terciptanya pernikahan yang langgeng. Untuk itu kita perlu Berwawasan Anugerah, Berelasi Anugerah dan Berkepribadian Anugerah.


Ringkasan:

Banyak pernikahan kandas di tengah jalan oleh karena ketidaksiapan pribadi yang bersangkutan. Sudah tentu ada banyak penyesuaian yang mesti kita lakukan untuk memastikan terciptanya pernikahan yang langgeng. Namun di samping itu ada pula tugas rohani yang harus kita lakukan. Berikut akan dipaparkan tiga di antaranya.

Berwawasan Anugerah

Pernikahan bukanlah segalanya; Tuhan adalah segalanya. Tuhan, pencipta institusi pernikahan, mempunyai rencana keselamatan yakni menyelamatkan umat manusia dari hukuman dosa. Tuhan tengah bekerja untuk membawa manusia kembali masuk ke dalam kerajaan-Nya dan Ia ingin melibatkan kita dalam rencana dan kerja keselamatan-Nya ini.

"Aku ini TUHAN telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan, telah memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa." (Yesaya 42:6)

"Kata Yesus kepada mereka, 'Makananku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. " (Yohanes 4:34)

Jika kita menjadikan pernikahan sebagai akhir, puncak, dan tujuan hidup, kita keliru dan akan kehilangan kesempatan hidup untuk Tuhan. Bila pernikahan adalah segala-galanya, pernikahan telah menjadi ilah dan ini tidak diperbolehkan Tuhan. Pernikahan adalah kendaraan yang Tuhan gunakan dan berkati untuk menghantar kita ke tempat tujuan yaitu menyelesaikan pekerjaan Allah.

Orang yang hidup untuk menikah, tatkala mengalami masalah dalam pernikahan, cenderung terpuruk. Wawasan yang sempit dan sikap hidup yang menekankan kepentingan pribadi akhirnya membuat kita sukar keluar dari masalah. Sebaliknya, bila kita hidup untuk Tuhan dan terlibat dalam pekerjaan-Nya, kita akan lebih berwawasan dan tidak tenggelam dalam urusan sendiri saja. Pada akhirnya, kita pun akan lebih mudah menyelesaikan masalah.

Selain itu, pasangan yang secara sadar dan terencana melibatkan diri dalam pekerjaan Tuhan akan berkempatan membangun keintiman dan keharmonisan sebab keduanya bersatu dalam pekerjaan rohani yang serupa. (Sudah tentu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa setiap orang harus menjadi pendeta sebab pekerjaan Tuhan mesti dilakukan oleh semua orang Kristen.)

Berelasi Anugerah

Sewaktu Tuhan menunjuk Petrus untuk menjadi murid-Nya, Ia tahu bahwa Petrus akan menyangkal-Nya. Namun Ia pun tahu bahwa Petrus akan menjadi murid yang memuliakan nama Tuhan dan efetif dalam pelayanan. Itu sebabnya Tuhan menugaskan Petrus untuk menggembalakan domba-domba-Nya (Yohanes 21:15-17) Dengan kata lain, Tuhan melihat potensi baik yang ada pada diri Petrus. Inilah yang saya maksud dengan Relasi Anugerah-relasi yang didasarkan atas kekuatan, bukan kelemahan sesama. Orang yang beranugerah akan mencari hal-hal positif pada sesama; sebaliknya orang yang tidak beranugerah akan mencari kesalahan dan masalah pada diri sesama.

Orang yang beranugerah berkemungkinan besar membangun pernikahan yang kuat dan sehat sebab ia akan menghembuskan nafas percaya dan positif ke dalam diri pasangannya. Pasangannya akan makin berkembang dan mekar menjadi diri yang terbaiknya. Orang yang beranugerah juga akan memberi nafas kelegaan kepada pasangannya sebab ia memberinya ruang untuk menjadi dirinya, apa adanya.

Orang yang beranugerah juga mudah mengampuni dan tidak menyimpan kesalahan. Ia tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna; ia membuka pintu terhadap ketidaksempurnaan dan menerima sesama secara utuh. Sebaliknya orang yang tidak beranugerah sukar mengampuni, termasuk pasangannnya sendiri. Ia cenderung menyimpan kesalahan dan siap menembakkan peluru kesalahan dalam setiap konflik. Alhasil hatinya penuh kepahitan dan kedengkian.

Pernikahan hanya dapat berjalan langgeng bila kita menjalani relasi atas dasar anugerah. Kita harus beranugerah sebab bukankah kita adalah penerima anugerah Tuhan? Ia tidak memperhitungkan kesalahan kita, malah mempercayai kita dengan pekerjaan-Nya. Di dalam anugerah-Nya kita merdeka dan lega menjadi manusia sebagaimana diinginkan-Nya.

Berkepribadian Anugerah

Ada orang yang dapat menerima sesama apa adanya dan bisa melihat kekuatan orang serta mengampuni sesama dengan mudah, namun tidak bisa berbuat hal yang serupa kepada diri sendiri. Justru kepada diri sendiri ia kritis dan keras; ia tidak mudah memaafkan diri dan terus mencemeti diri untuk bekerja tanpa istirahat. Inilah contoh orang yang bisa memberi anugerah kepada sesama namun tidak dapat memberi anugerah kepada diri sendiri.

Orang seperti ini umumnya berasal dari keluarga yang mementingkan performa di atas segalanya. Ia tidak terbiasa dengan penerimaan tanpa syarat sebab itu tidak pernah di alaminya. Itu sebabnya ia pun menerapkan standar yang sama kepada dirinya; ia tidak bisa melihat diri yang tidak sempurna.

Orang ini susah bahagia dan sukar beristirahat-dua kualitas yang pasti mempengaruhi relasi nikah. Ia tidak bahagia sebab ia senantiasa menjumpai kekurangan pada dirinya. Mungkin sekali pasangannya tidak mengeluhkan apa-apa dan menerima dirinya apa adanya tetapi ia tidak bisa menerimanya. Ia sukar beristirahat sebab hidup adalah sebuah usaha kerja untuk mencapai target. Ia terus bergerak tanpa henti dan ini akan dengan mudah menjadikannya orang yang letih dan terkuras.

Tatkala Elia melarikan diri dari Izebel, Tuhan tidak memarahinya (1 Raja-Raja 19); kepada Petrus Tuhan hanya menatapnya tatkala ia menyangkal Tuhan (Lukas 22:61). Tuhan sabar dengan kita, seyogianyalah kita sabar dengan diri sendiri.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anugerah dalam Pernikahan." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kalau kita melihat di sekeliling kita itu seringkali banyak pernikahan yang tidak langgeng, yang putus ditengah jalan. Bahkan di antara pernikahan orang-orang kristen, yang pernikahannya juga diberkati di gereja dan sebagainya. Hal ini seringkali menimbulkan pertanyaan buat banyak orang bagaimana ini bisa terjadi? Dan apa yang harus dilakukan supaya tidak sampai seperti itu?

PG : Saya setuju memang Pak Gunawan, dalam kehidupan kita sekarang ini kalau kita menengok ke sekeliling kita, kita melihat begitu banyaknya pernikahan yang mengalami masalah. Memang mereka tidk berakhir dengan perceraian, tetapi saya kira banyak di antara mereka yang menjalani pernikahan dengan berat sekali, hanya lewat satu hari demi satu hari.

Ini membuat kita bertanya-tanya mengapa? Bukankah secara teoritis kita berkata, "Bukankah mereka anak-anak Tuhan yang mengerti tentang kehendak Tuhan, mereka di tebus oleh Tuhan dan hidup mereka di tuntun oleh Tuhan. Mengapakah masih mengalami masalah dalam pernikahan? Apa yang salah?" Saya akhirnya berpikir, kemungkinan bahwa kita itu kurang memahami sebuah konsep yang sangat sentral yaitu konsep anugerah. Kalau saja kita memahami dan menghayati serta menerapkannya dalam kehidupan pernikahan kita, saya yakin akan lebih banyak pernikahan bertumbuh dengan subur dan dengan kuat.
GS : Pak Paul, menyinggung tentang anugerah, kita memang seringkali mendengarnya di gereja, tentang anugerah yaitu sangkut pautnya dengan keselamatan. Yang seringkali dikatakan keselamatan adalah anugerah tapi kali ini dikaitkan dengan pernikahan, dengan hidup berumah tangga, bagaimana pengertian anugerah itu sendiri?

PG : Memang Alkitab berisikan banyak cerita tentang perbuatan Tuhan didalam sejarah umat manusia namun sebetulnya kalau kita intisarikan ada satu tema utama dari semua perbuatan Tuhan yaitu anuerah.

Apa itu anugerah? Anugerah adalah sesuatu yang diberikan kepada kita yang kita tidak layak untuk menerimanya. Kita tahu itu adalah keselamatan, itu adalah pengorbanan Allah menjadi manusia, mati untuk dosa-dosa kita. Namun kita mesti melihat Anugerah lebih dari pemberian Tuhan, kita mesti melihat anugerah sebagai kata sifat pula, bukan hanya sebagai kata benda yaitu sesuatu yang diberikan Tuhan kepada kita. Kalau kita melihat anugerah dari kata sifat, kita akan menemukan bahwa anugerah adalah sebuah karakteristik Allah, Allah yang beranugerah, Allah yang berkasih karunia. Maknanya adalah Allah yang memikirkan manusia, Allah yang mementingkan manusia, Allah memberikan yang terbaik untuk manusia. Jadi Allah yang beranugerah adalah Allah yang memberikan semua yang terbaik untuk manusia. Saya kira inilah yang mesti kita hayati sebagai orang kristen. Kalau saja kita menghayatinya dan kita menjadi orang yang beranugerah, orang yang mementingkan, memikirkan pasangan kita dan akhirnya memberikan yang terbaik untuk pasangan kita. Maka kalau kedua belah pihak melakukannya, dapat saya bayangkan akan betapa sedikitnya konflik yang bisa muncul antara suami dan istri.
GS : Jadi hubungan antara anugerah ini di dalam pernikahan itu seperti apa yang mau Pak Paul sampaikan didalam perbincangan ini?

PG : Yang akan saya lakukan adalah mengajak kita untuk menerapkan sikap Allah yang beranugerah ini di dalam pernikahan kita. Akan kita bahas tiga dimensi. Mungkin pada kesempatan pertama ini kia hanya bisa membahas satu saja.

Yang pertama adalah kita mesti berwawasan anugerah. Meskipun anugerah kita jadikan kata sifat yang melekat kepada sikap diri kita ini, namun untuk lebih mempertajam dan mempersempitnya saya akan fokuskan pada aspek berwawasan. Apa yang saya kemukakan dengan anugerah adalah kita memiliki pikiran Allah. Pikiran Allah bukanlah pikiran yang tenggelam di dalam diri sendiri. Pikiran Allah adalah pikiran yang keluar dari lubang diri sendiri karena memikirkan yang lain, dalam hal ini Allah memikirkan keselamatan manusia. Sejak manusia jatuh kedalam dosa, Tuhan sudah memikirkan, merancang sebuah rencana untuk menyelamatkan manusia supaya manusia tidak harus nantinya menanggung hukuman dosa yakni kematian. Allah tidak mau melihat manusia itu binasa, maka Allah menyediakan jalan keluar. Jalan keluarnya adalah lewat penebusan, Dia yang akan mati untuk dosa-dosa kita sehingga kita tidak lagi mengalami kematian yang abadi, kita hanyalah mengalami kematian yang sementara. Kita mesti mempunyai wawasan yang seperti ini didalam pernikahan kita. Misalkan saya bacakan dari Yesaya 42:6 "Aku ini, Tuhan, telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan, telah memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa." Saya tambahkan lagi dari Yohanes 4:34 Kata Yesus kepada mereka: "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." Dengan kata lain kalau kita mau terapkan dalam konteks pernikahan, setiap anak Tuhan yang menikah tidak boleh melihat pernikahan sebagai akhir perjalanan hidupnya, sebagai tujuan puncak kehidupannya. Orang-orang kristen seharusnya melihat pernikahan sebagai kendaraan yang akan membawa atau menghantar mereka ke sebuah tempat tujuan, yaitu apa? Melakukan dan menyelesaikan pekerjaan Tuhan dan apakah perkerjaan Tuhan itu? Mengenalkan diriNya pada semua umat manusia, mengenalkan perbuatanNya yang telah mati untuk dosa-dosa kita ini kepada semua umat manusia sehingga umat manusia akhirnya mengetahui bahwa Allah telah mati untuk dosa mereka dan sekarang tersedia sebuah jalan untuk kembali kepada Allah Bapa. Inilah pekerjaan yang belum selesai dan yang Tuhan himbau, yang Tuhan embankan kepada kita anak-anakNya untuk menyelesaikan. Jadi sebagai anak Tuhan waktu kita melihat pernikahan, lihatlah sebagai kendaraan untuk menyelesaikan pekerjaan Tuhan.
GS : Memang disini kita seringkali melihat atau mencontoh pernikahan yang non-kristen karena mereka kebanyakan berkata, "Tujuan pernikahan itu untuk berbahagia, kalau tidak kenapa kita menikah." Jadi lewat pernikahan itu diharapkan berbahagia. Apakah pandangan seperti itu keliru?

PG : Sudah tentu sebagai manusia, kita itu secara alamiah naluriah ingin sekali bahagia dan kita cenderung melihat pernikahan sebagai kendaraan untuk membawa kita kepada kebahagiaan. Konsep iniyang ingin saya kupas sebab saya mengerti di pihak yang satu kita sebagai manusia ingin bahagia tapi sebetulnya Tuhan memanggil kita bukan untuk bahagia.

Tadi firman Tuhan telah kita baca "Aku ini, Tuhan, telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan," agar engkau menjadi apa? Perjanjian bagi umat manusia. Menjadi apa? Menjadi terang untuk bangsa-bangsa. Jadi tidak pernah Alkitab mencatat Tuhan memanggil kita supaya kita bahagia, Tuhan memanggil kita untuk sebuah maksud. Tuhan mati untuk kita agar kita tidak harus mati untuk dosa-dosa kita dan kita menjadi anak-anaknya. Namun sebagai anak-anak kita dipanggil Tuhan untuk sebuah maksud yang lebih besar daripada hidup kita sendiri, yang lebih agung daripada kepentingan kita sendiri yaitu penyelamatan manusia sendiri. Jadi waktu kita mulai memahami, itulah yang Tuhan inginkan, kita itu berubah. Kita tidak lagi terlalu mencari-cari kebahagiaan sebab orang yang menikah dengan tujuan mencari-cari kebahagiaan akan benar-benar nantinya menumpukkan tuntutan pada pasangan untuk membuatnya bahagia. Kita tahu kalau seseorang memasuki pernikahan dengan tuntutan kepada pasangannya untuk membuat dia bahagia itu sudah merupakan potensi munculnya konflik karena tidak ada manusia yang sanggup membuat kita sebahagia itu. Maka yang terpenting awalnya adalah sebuah wawasan, kita bukanlah menikah supaya bahagia, kita menikah merupakan rangkaian dari karya Tuhan yang meminta kita menyelesaikan pekerjaannya. Pernikahan hanyalah salah satu kendaraan yang Tuhan gunakan.
GS : Kalau begitu sebenarnya panggilan ini sifatnya ke pribadinya, ke pribadi suami ke pribadi istri yang masing-masing punya tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan Tuhan itu. Ketika mereka menikah disatukan di dalam pernikahan, apakah mereka dapat sejalan dalam panggilan itu?

PG : Ini membawa kita kepada sebuah pokok bahasan yang penting yaitu sesungguhnya bagaimanakah kita itu nantinya bisa bersatu, harmonis dipakai Tuhan untuk menjadi alat-alatnya, menjadi pekerjapekerjanya yang menyelesaikan pekerjaan Tuhan itu.

Karena kalau kita ingin melakukan pekerjaan Tuhan tapi kita tidak bisa serasi, tidak bisa bersama-sama, sudah tentu kita tidak bisa melakukannya pula. Jadi sekarang saya mau mengajak para pendengar untuk melihat sebuah maksud yang terkandung didalam pernikahan yaitu Tuhan menginginkan bukan supaya kita bahagia tapi kita itu komplit, menjadi orang yang utuh. Maksud saya begini, kita ini sebetulnya memasuki pernikahan didalam ketidaklengkapan. Kita masing-masing mempunyai wilayah-wilayah yang perlu kita perbaiki. Didalam pernikahanlah kelemahan-kelemahan itu akan terbongkar dan nantinya untuk dibereskan. Adakalanya orang berkata begini, "Sebelum saya menikah dengan kamu, saya baik-baik saja, saya dikenal sebagai orang yang murah hati, sabar. Tapi setelah menikah dengan kamu saya dikenal sebagai pemarah, tidak sabar, sifat saya awalnya baik menjadi buruk gara-gara kamu." Pernikahan memang dipakai Tuhan membongkar diri kita. Dan pada waktu kita menemukan begitu banyak hal buruk dalam diri kita, jangan menyalahkan pernikahan karena yang terjadi hanyalah sebuah pembongkaran bukan sebuah pembibitan, kadang-kadang kita melihatnya sebagai sebuah pembibitan gara-gara saya menikah istri saya atau suami saya ini menanamkan bibit-bibit keburukan pada saya sehingga saya menjadi seperti ini. Tidak! Bukan pembibitan, ini pembongkaran artinya memang kita sudah memiliki hal-hal yang tidak baik itu, tapi karena kondisinya baik sesuai dengan yang kita inginkan selama ini maka bibit-bibit yang buruk itu tidak terlihat. Setelah Tuhan membongkar barulah kita melihat semuanya itu setelah pembongkaran, sudah tentu harapan Tuhan adalah kita ini membereskan. Sayangnya banyak di antara kita, saat ditengah- pembongkaran terjadi, kita berhenti tidak mau meneruskan, tidak mau benar-benar mencurahkan waktu tenaga untuk membereskan semua yang telah Tuhan bongkar itu dan ini yang keliru. Kita mesti bereskan satu per satu, bangun kembali sebab Tuhan sengaja membongkar. Jangan salahkan pasangan, kelemahan pasangan itu digunakan Tuhan untuk membongkar kita. Kelemahan kita digunakan Tuhan membongkar pasangan. Setelah itu cobalah kita saling bereskan, waktu kita berhasil membereskan kita menjadi orang yang utuh komplit. Jadi didalam kekomplitan diri inilah kita menjadi alat Tuhan yang efektif yaitu menjadi alat Tuhan untuk menyelesaikan pekerjaan Tuhan yaitu penyelamatan manusia, menjadi perjanjian antara manusia dan Tuhan, menjadi terang bagi bangsa-bangsa, itulah tujuannya.
GS : Memang karena konsepnya bahwa ini bukan merupakan pembongkaran tapi merupakan pembibitan jadi orang tidak mau menyelesaikan, Pak Paul. Bukan tidak mau tapi tidak tahu apa yang mesti mereka lakukan karena dipandangnya ini sebagai pembibitan, karena pasangannya yang tadi Pak Paul katakan kelihatan bahwa kita itu jelek.

PG : Dan kita salahkan pasangan dan kita katakan "Kamu yang harus berubah, sebab sifat-sifat buruk ini dari kamu semuanya, maka kamu harus berubah." Saya bukan mengatakan, baik kita maupun pasagan tidak boleh berkata kepada pasangannya "Kamu ada yang buruk, kamu harus berubah."

Sudah tentu boleh dan seharusnya, tapi saya mau mengajak kita melihat dengan suatu wawasan yang berbeda yaitu sambutlah kelemahan pasangan yang memang mengganggu kita itu sebagai upaya Tuhan membongkar kita. Kalau saja kita melihatnya sekarang dengan kacamata berbeda ini adalah upaya Tuhan membongkar kita, kita tidak lagi terlalu menyalahkan pasangan kita, tidak terlalu lagi menyoroti pasangan "Kamu yang harus berubah," sebab sekarang kita melihatnya, kitalah yang harus berubah, kitalah yang memiliki bagian-bagian yang masih perlu Tuhan ubah, Tuhan bentuk. Begitu kita mulai melihat bahwa kita yang perlu berubah, tiba-tiba kita akan melihat satu hal ketegangan antara kita mulai berkurang. Karena masing-masing tidak sibuk melihat kelemahan satu sama lain tapi masing-masing sibuk melihat memang ada hal-hal dalam diri saya yang saya perlu perbaiki. Sehingga masing-masing bertumbuh dan bertumbuh menjadi manusia yang semakin komplit. Keutuhan inilah yang Tuhan inginkan. Jadi saya ulang yang tadi Pak Gunawan sudah katakan Tuhan memanggil kita untuk bahagia, Tuhan memanggil kita masuk kedalam pernikahan supaya kita itu komplit, utuh dan bukan bahagia.
GS : Jadi memang pembongkaran oleh Tuhan melalui pasangan ini sebenarnya harus dilihat juga sebagai suatu anugerah yang kita terima dari Tuhan.

PG : Bagus sekali Pak Gunawan. Jadi inilah sebetulnya yang terjadi di belakang, semua proses-proses penyesuaian antara kita dan pasangan kita. Tuhan yang beranugerah yaitu Tuhan yang baik yang au melakukan sesuatu untuk kita anak-anaknya.

Sebetulnya tengah melakukan sesuatu didalam pernikahan kita lewat pasangan kita yaitu Tuhan yang beranugerah ini sedang membentuk kita menjadikan manusia yang lebih serupa dengan Dia. Standart Tuhan bukan kita menjadi manusia yang serupa dengan manusia lain, walaupun sebaik apa pun manusia lain itu. Maksud Tuhan kita dibentuk menjadi manusia yang sama dengan Dia, sama dengan Dia apa? Menjadi manusia yang beranugerah sebab Tuhan pun Tuhan yang beranugerah, ini yang Tuhan inginkan. Yang berikut Pak Gunawan berwawasan anugerah artinya begini, kita ini tidak terlalu terpaku pada persoalan remeh dalam keluarga, sudah tentu harus mengurus rumah tangga tidak boleh mengabaikan kewajiban sebagai suami istri atau pun orang tua. Namun karena kita sudah berwawasan jauh melihat apa yang Tuhan kehendaki maka kita tidak terlalu tenggelam di dalam persoalan rutin setiap hari, kita melihat apa yang bisa kita kerjakan untuk melebarkan, untuk menyelesaikan pekerjaan Tuhan. Ternyata Pak Gunawan, kalau baik suami maupun istri berwawasan seperti ini dan tidak tenggelam dalam persoalan sehari-hari, memang pernikahan itu akan lebih cepat bertumbuh dan masalah akan lebih cepat selesai antara mereka. Tapi kalau tidak ada wawasan ini, benar-benar yang terlihat adalah setiap hari kesalahan, kekurangan pasangan kita, ketidakpuasan kita. Tapi begitu kita mulai melihat sesuai mata Tuhan melihat, hidup ini yaitu penyelamatan manusia, tiba-tiba kita lebih ringan hidup dan kita tidak lagi tenggelam, kita mulai melihat hidup dari sebuah kacamata yang lebih luas lagi.
GS : Wawasan anugerah ini datangnya dari Tuhan, hanya sekarang sebagai suami istri tanggung jawab kita itu apa?

PG : Yang pertama, Memang dari awal kita berkenalan dengan pasangan kita sebelum kita menikah, kita harus membuat komitmen bahwa yang terpenting bukannya aku dan yang terpenting bukanlah kamu tpi yang terpenting adalah Tuhan di dalam relasi kita.

Kamu menikah denganku bukan supaya aku bahagia dan sebaliknya juga kamu menikah dengan aku bukanlah supaya aku membuat kamu bahagia tapi supaya engkau menjadi orang yang komplit, dan aku pun menjadi orang yang komplit orang yang utuh supaya dalam keutuhan itulah kita menjadi tangan-tangan Tuhan terang bagi sekeliling kita kita, menjadi alat Tuhan menyelesaikan pekerjaan penyelamatan Tuhan. Jadi langkah pertama sebuah komitmen Pak Gunawan, kalau orang masuk kedalam pernikahan diam-diam dengan komitmen tersirat dalam hatinya "Pokoknya saya mau bahagia." itu adalah sebuah perjalanan yang akhirnya akan kandas, tapi kalau dua-dua dari awal pernikahan sudah berkomitmen saya tidak penting, engkau tidak penting tapi Tuhan yang terpenting dan inilah yang akan selalu kita pentingkan yaitu pekerjaan Tuhan, kehendak Tuhan di dalam hidup ini. Kalau itu bisa dijaga benar-benar, itu akan dengan cepat mengikis diri kita dan menyatukan kita dengan lebih harmonis.
GS : Mengenai pekerjaan Tuhan yang harus digarap yang harus dikerjakan oleh pasangan suami istri Pak Paul, seringkali orang mengira bahwa ini merupakan satu proyek jadi yang dikerjakan harus sama. Padahal suami maupun istri mempunyai talenta yang berbeda, mempunyai panggilan yang berbeda dan itu bagaimana?

PG : Jadi langkah kedua setelah kita membuat komitmen bersama seperti itu, langkah berikutnya adalah kita mulai berdoa, "Tuhan inilah rencanaMu, menyelamatkan umat manusia dari dosa mengenalkanEngkau, Kristus Yesus kepada dunia supaya dunia tahu Engkau mati untuk mereka.

Bagaimanakah Tuhan Engkau menginginkan aku melakukannya." Kita mulai berdoa bagaimanakah Tuhan, Engkau menginginkan aku melakukannya. Sudah tentu nomor satu kita tidak boleh mengabaikan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga, sebagai orang tua di rumah. Tapi setelah kita lakukan, kita bertanya "Apa yang Tuhan ingin untuk kita lakukan lewat kita," kita menunggu Tuhan membukakan kesempatan-kesempatan. Dan kita menengok kedalam, melihat apa yang Tuhan taruh di dalam hati kita, keinginan, kerinduan apa yang ingin kita perbuat untuk Tuhan. Ada yang ingin melayani anak-anak, ada yang mau menolong anak-anak yang terlantar, ada yang mau melayani orang tua yang jompo, yang terabaikan, ada yang ingin menolong orang menikah tapi kemudian mengalami masalah dan macam-macam apa yang menjadi kerinduan kita. Dan yang ketiga kita melihat apa yang menjadi karunia kita, kebisaan kita, kalau kita bisa maka kita akan lakukan, kalau kurang bisa tapi kita mau lakukan berarti kita perlu mengambil pembinaan pelatihan yang dapat mengasah keterampilan itu. Maka mulailah kita bergerak ke arah itu, ke arah dimana kita tahu inilah yang Tuhan inginkan untuk kita perbuat. sebagai suami-istri talenta kita bisa sama tapi bisa juga berbeda karena tidak semua karunia itu sama, tidak harus cocok yang penting dua-dua saling mengerti dan saling mendukung. Setelah tahu mulailah menyiapkan diri kita untuk bisa melakukannya maka saling dukunglah, yang satu misalkan harus menambah keterampilan yang satu harus lebih berjaga di rumah saling berganti-gantian sehingga bisa bekerja sama. Sehingga nanti pada akhirnya dua-dua bisa siap untuk dipakai Tuhan.
GS : Memang ini akan menjadi lebih kompleks ketika mereka dikaruniai anak-anak, disana seringkali tujuan untuk melakukan pekerjaan Tuhan menjadi teralihkan atau paling tidak terkurangi.

PG : Dan seyogianya Pak Gunawan, jadi jangan kecil hati kalau pada masa anak-anak kecil kita itu tidak bisa memberi banyak untuk kepentingan di luar rumah, tidak apa-apa! Tuhan tahu apa yang mejadi kerinduan kita dan kita lakukan sedapat mungkin.

Memang tidak bisa maksimal dan tidak apa-apa karena yang lebih maksimal di rumah, anak-anak masih kecil. Setelah anak-anak besar sudah tentu kita akan lebih bisa memberikan waktu untuk yang di luar. Berkaitan dengan anak-anak ini Pak Gunawan, saya harus sisipkan satu lagi sebelum kita akhiri. Kalau kita berwawasan anugerah Pak Gunawan, anak-anak pun kita pandang dalam wawasan anugerah ini. Mereka datang bukan sebagai buah hati untuk menyukakan hati kita tapi mereka datang sebagai buah hati untuk menyukakan hati Tuhan. Tuhan ingin memakai mereka menjadi alat Tuhan, Tuhan ingin memberkati mereka menjadi terang di antara anak-anak sekeliling mereka. Maka kita bertanggung jawab menyiapkan mereka untuk menyelesaikan pekerjaan Tuhan itu pula. Jadi pikirkan anak-anak ini dalam konteks pekerjaan Tuhan pula. Mereka mungkin dipanggil dengan diberikan karunia yang berbeda-beda, tapi dari awal, dari kecil kita tekankan bahwa mereka semua dipanggil dengan satu tujuan yang sama yaitu untuk maksud penyelamatan. Caranya itu berbeda-beda, caranya ialah dengan karunia Tuhan yang memang tidak sama untuk semua anak-anaknya, tapi tujuan akhirnya sama yaitu untuk maksud penyelamatan. Kalau kita punya wawasan ini, maka jelas bagi kita, apapun yang anak-anak kerjakan ujung-ujungnya ke situ yaitu pekerjaan Tuhan dilakukan lewat mereka pula.
GS : Mungkin aktivitas kita kelihatan kadang-kadang tinggi, kadang-kadang rendah tapi wawasan itu tidak akan hilang kalau sejak awal kita sudah punya wawasan anugerah tadi, Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Tapi masalahnya, pada memelihara wawasan itu supaya sampai kapan pun kita menikah, kita tetap pada komitmen dengan wawasan.

PG : Saya teringat kisah tentang pendeta Johnson Edwards di Amerika Serikat, keturunan sekarang sudah hampir keturunan keempat atau kelima generasinya setelah beliau. Sudah lebih dari seratus thun tapi sampai sekarang semua keturunannya yang sudah hampir generasi keempat atau kelima itu tetap percaya kepada Tuhan Yesus dan melayani Tuhan.

Ini merupakan sebuah kesaksian yang sangat indah dari satu orang sampai keturunan yang berlapis-lapis di bawah, mereka tetap di dalam Tuhan dan melayani Tuhan. Ini sebuah contoh wawasan anugerah, bukan hanya suami istri tapi akan terus turun ke bawah sampai ke cucu cicit kita.
GS : Pak Paul, ini sesuatu yang sangat menarik sekali untuk kita bahas dan masih ada dua poin lagi yang Pak Paul akan bahas pada kesempatan yang akan datang sehubungan dengan anugerah dalam pernikahan ini, Pak Paul. Tapi untuk berwawasan anugerah ini saya rasa butuh banyak masukan dari Pak Paul yang tadi sudah Pak Paul sampaikan dan ini sangat penting dalam membina hubungan keluarga. Kita mengharapkan para pendengar kita bisa mengikuti kelanjutan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anugerah dalam Pernikahan" bagian yang pertama. Kami akan melanjutkan perbincangan kami ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



42. Anugerah Dalam Pernikahan 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T225B (File MP3 T225B)


Abstrak:

Lanjutan dari T225A


Ringkasan:

Banyak pernikahan kandas di tengah jalan oleh karena ketidaksiapan pribadi yang bersangkutan. Sudah tentu ada banyak penyesuaian yang mesti kita lakukan untuk memastikan terciptanya pernikahan yang langgeng. Namun di samping itu ada pula tugas rohani yang harus kita lakukan. Berikut akan dipaparkan tiga di antaranya.

Berwawasan Anugerah

Pernikahan bukanlah segalanya; Tuhan adalah segalanya. Tuhan, pencipta institusi pernikahan, mempunyai rencana keselamatan yakni menyelamatkan umat manusia dari hukuman dosa. Tuhan tengah bekerja untuk membawa manusia kembali masuk ke dalam kerajaan-Nya dan Ia ingin melibatkan kita dalam rencana dan kerja keselamatan-Nya ini.

"Aku ini TUHAN telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan, telah memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa." (Yesaya 42:6)

"Kata Yesus kepada mereka, 'Makananku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. " (Yohanes 4:34)

Jika kita menjadikan pernikahan sebagai akhir, puncak, dan tujuan hidup, kita keliru dan akan kehilangan kesempatan hidup untuk Tuhan. Bila pernikahan adalah segala-galanya, pernikahan telah menjadi ilah dan ini tidak diperbolehkan Tuhan. Pernikahan adalah kendaraan yang Tuhan gunakan dan berkati untuk menghantar kita ke tempat tujuan yaitu menyelesaikan pekerjaan Allah.

Orang yang hidup untuk menikah, tatkala mengalami masalah dalam pernikahan, cenderung terpuruk. Wawasan yang sempit dan sikap hidup yang menekankan kepentingan pribadi akhirnya membuat kita sukar keluar dari masalah. Sebaliknya, bila kita hidup untuk Tuhan dan terlibat dalam pekerjaan-Nya, kita akan lebih berwawasan dan tidak tenggelam dalam urusan sendiri saja. Pada akhirnya, kita pun akan lebih mudah menyelesaikan masalah.

Selain itu, pasangan yang secara sadar dan terencana melibatkan diri dalam pekerjaan Tuhan akan berkempatan membangun keintiman dan keharmonisan sebab keduanya bersatu dalam pekerjaan rohani yang serupa. (Sudah tentu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa setiap orang harus menjadi pendeta sebab pekerjaan Tuhan mesti dilakukan oleh semua orang Kristen.)

Berelasi Anugerah

Sewaktu Tuhan menunjuk Petrus untuk menjadi murid-Nya, Ia tahu bahwa Petrus akan menyangkal-Nya. Namun Ia pun tahu bahwa Petrus akan menjadi murid yang memuliakan nama Tuhan dan efetif dalam pelayanan. Itu sebabnya Tuhan menugaskan Petrus untuk menggembalakan domba-domba-Nya (Yohanes 21:15-17) Dengan kata lain, Tuhan melihat potensi baik yang ada pada diri Petrus. Inilah yang saya maksud dengan Relasi Anugerah-relasi yang didasarkan atas kekuatan, bukan kelemahan sesama. Orang yang beranugerah akan mencari hal-hal positif pada sesama; sebaliknya orang yang tidak beranugerah akan mencari kesalahan dan masalah pada diri sesama.

Orang yang beranugerah berkemungkinan besar membangun pernikahan yang kuat dan sehat sebab ia akan menghembuskan nafas percaya dan positif ke dalam diri pasangannya. Pasangannya akan makin berkembang dan mekar menjadi diri yang terbaiknya. Orang yang beranugerah juga akan memberi nafas kelegaan kepada pasangannya sebab ia memberinya ruang untuk menjadi dirinya, apa adanya.

Orang yang beranugerah juga mudah mengampuni dan tidak menyimpan kesalahan. Ia tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna; ia membuka pintu terhadap ketidaksempurnaan dan menerima sesama secara utuh. Sebaliknya orang yang tidak beranugerah sukar mengampuni, termasuk pasangannnya sendiri. Ia cenderung menyimpan kesalahan dan siap menembakkan peluru kesalahan dalam setiap konflik. Alhasil hatinya penuh kepahitan dan kedengkian.

Pernikahan hanya dapat berjalan langgeng bila kita menjalani relasi atas dasar anugerah. Kita harus beranugerah sebab bukankah kita adalah penerima anugerah Tuhan? Ia tidak memperhitungkan kesalahan kita, malah mempercayai kita dengan pekerjaan-Nya. Di dalam anugerah-Nya kita merdeka dan lega menjadi manusia sebagaimana diinginkan-Nya.

Berkepribadian Anugerah

Ada orang yang dapat menerima sesama apa adanya dan bisa melihat kekuatan orang serta mengampuni sesama dengan mudah, namun tidak bisa berbuat hal yang serupa kepada diri sendiri. Justru kepada diri sendiri ia kritis dan keras; ia tidak mudah memaafkan diri dan terus mencemeti diri untuk bekerja tanpa istirahat. Inilah contoh orang yang bisa memberi anugerah kepada sesama namun tidak dapat memberi anugerah kepada diri sendiri.

Orang seperti ini umumnya berasal dari keluarga yang mementingkan performa di atas segalanya. Ia tidak terbiasa dengan penerimaan tanpa syarat sebab itu tidak pernah di alaminya. Itu sebabnya ia pun menerapkan standar yang sama kepada dirinya; ia tidak bisa melihat diri yang tidak sempurna.

Orang ini susah bahagia dan sukar beristirahat-dua kualitas yang pasti mempengaruhi relasi nikah. Ia tidak bahagia sebab ia senantiasa menjumpai kekurangan pada dirinya. Mungkin sekali pasangannya tidak mengeluhkan apa-apa dan menerima dirinya apa adanya tetapi ia tidak bisa menerimanya. Ia sukar beristirahat sebab hidup adalah sebuah usaha kerja untuk mencapai target. Ia terus bergerak tanpa henti dan ini akan dengan mudah menjadikannya orang yang letih dan terkuras.

Tatkala Elia melarikan diri dari Izebel, Tuhan tidak memarahinya (1 Raja-Raja 19); kepada Petrus Tuhan hanya menatapnya tatkala ia menyangkal Tuhan (Lukas 22:61). Tuhan sabar dengan kita, seyogianyalah kita sabar dengan diri sendiri.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anugerah dalam Pernikahan." bagian yang kedua karena perbincangan kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami pada acara TELAGA yang lalu. Dan kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita berbicara tentang anugerah dalam pernikahan dan supaya para pendengar kita bisa mengikuti apa yang sudah kita bicarakan pada perbincangan yang lalu mungkin Pak Paul bisa mengulas sejenak sebelum kita masuk pada perbincangan kita hari ini.

PG : Kita itu memandang anugerah sebagai sebuah kata benda yakni sesuatu yang diberikan kepada kita yang sesungguhnya tidak layak kita terima. Dan dalam Alkitab kita tahu bahwa anugerah terbesa adalah Tuhan Yesus Kristus Putra Allah yang mati untuk dosa kita.

Namun kita sesungguhnya juga perlu melihat anugerah bukan hanya sebagai kata benda tapi sebuah kata sifat, karena anugerah mewakili atau melukiskan karakter Allah yang sangat hakiki. Allah adalah Allah yang beranugerah artinya Dia Allah yang mementingkan manusia bukan DiriNya saja, Dia memikirkan apa yang baik untuk manusia dan dia memberikan yang terbaik untuk manusia. Wawasan seperti inilah yang kita juga mesti bawa ke dalam pernikahan kita, berwawasan bahwa Tuhan memanggil kita untuk maksud penyelamatan. Allah mengasihi isi dunia sehingga mengaruniakan Putra tunggalnya berarti inilah yang Allah ingin lakukan lewat kita. Setelah kita memiliki wawasan seperti itu, kita nantinya bisa mengarahkan anak-anak kita bertumbuh di dalam Tuhan dan mempersiapkan mereka menjadi alat-alat yang nanti Tuhan pakai untuk menyelesaikan pekerjaanNya. Kita juga membahas tentang orang yang berwawasan anugerah seperti ini tidak akan tenggelam di dalam persoalannya sendiri atau di dalam masalah-masalah pernikahan sebab dari awal pernikahan, mereka sudah berkomitmen yang penting bukan engkau bahagia, yang penting bukannya aku bahagia, yang penting adalah kita berdua menyukakan hati Tuhan dan mementingkan Tuhan. Dengan sebuah keyakinan seperti ini, kita lebih bisa menyelesaikan masalah kita, kita tidak terlalu disibukkan dengan persoalan-persoalan kita, karena kita mulai melihat lebih luas lagi.
GS : Jadi anugerah itu kita terima dari Tuhan, tapi untuk bisa berwawasan anugerah kita harus mengupayakannya, Pak Paul?

PG : Betul sekali, yang akan kita soroti adalah bagian berikutnya seperti yang saya sudah singgung pada kesempatan yang lampau, ada tiga dimensi dari anugerah ini. Kalau tadi adalah wawasan anuerah, yang sekarang adalah berelasi anugerah, maksudnya kita ini berelasi dengan pasangan kita juga harus beranugerah, kita tidak melihat yang buruk tapi kita melihat yang positif.

Yang kedua, kita juga melihat yang akan datang bukan hanya sekarang, sebagai contohnya saya akan paparkan kasus Petrus. Petrus adalah murid Tuhan yang kita tahu telah menyangkal Tuhan dan mengatakan tidak mengenal Tuhan, tatkala Tuhan ditangkap dan akan disalibkan. Tapi hari-hari akhir sebelum Tuhan naik ke surga, siapakah yang Tuhan panggil? Dan Tuhan menanyakan apakah engkau mengasihi aku. Petrus menyawab "Ya", dan Tuhan berkata, "Gembalakanlah domba-dombaku." Disitu kita bisa melihat Tuhan adalah Tuhan yang beranugerah dalam berelasi dengan murid-muridNya. Waktu Dia memanggil Petrus menjadi muridNya, Dia melihat yang baik pada Petrus dan Dia melihat di masa depan akan seperti apakah Petrus itu. Tuhan tidak mendasari panggilanNya atas masa sekarang saja, Dia mendasari panggilanNya atas masa depan yaitu seperti apakah Petrus nanti di masa depan. Apakah Tuhan tahu kalau Petrus akan menyangkal? Tuhan tahu, tapi Tuhan tidak memfokuskan perhatiannya pada kelemahan dan kekurangan Petrus, tapi Tuhan memfokuskan pada kekuatan Petrus maka Tuhan berkata, "Gembalakanlah domba-dombaku," Tuhan juga berkata "Di atas batu karang ini akan kubangunkan gerejaku," memang batu karang yang sesungguhnya adalah Tuhan Yesus sendiri. Tapi memang Tuhan melimpahkan tanggung jawab yang besar pada Petrus untuk menggembalakan domba-domba Tuhan. Siapa yang Tuhan pilih? Petrus, yang dapat dikatakan lemah karena pernah jatuh kedalam dosa yang sangat serius yaitu menyangkal Tuhan, tapi Tuhan tidak menyoroti hanya kelemahan. Malangnya di dalam pernikahan, Pak Gunawan, itu yang kita lakukan, kita lebih sering menyoroti kelamahan pasangan kita.
GS : Memang yang membedakan adalah Tuhan Yesus bisa melihat jauh ke depan yaitu bagaimana Petrus jadinya, yaitu menjadi seorang rasul, penyalur berkat Tuhan dan melakukan perkerjaan Tuhan dengan baik. Tapi pandangan kita terhadap pasangan ini yang agak sulit, Pak Paul. Dan masalahnya adalah kita justru melihat kelemahannya, kesalahan yang dia buat seperti itu. Lalu kita berasumsi ini tidak mungkin diperbaiki.

PG : Satu cara yang kita lakukan adalah Tuhan menyoroti kekuatan Petrus dan senantiasa memberikan dorongan supaya kita tetap bertahan didalam kekuatannya itu. Tuhan tidak meyoroti kelemahan-kelmahannya, bertahun-tahun Tuhan bersama-sama dengan Petrus, apakah Tuhan secara khusus menyoroti kelamahan Petrus karena Tuhan tahu dia akan jatuh? Tidak! Tuhan hanya lontarkan itu sekali, pada waktu Petrus terlalu gegabah dan berkata, "Saya tidak akan meninggalkan engkau, semua boleh lari tapi saya tidak akan lari," Petrus gegabah sekali.

Dan Tuhan berkata, "Sebelum ayam berkokok tiga kali maka engkau menyangkali Aku." Tuhan hanya katakan itu sekali, Tuhan tidak terus menyorotinya, yang Tuhan soroti bagaimana membuat Petrus kuat. Maka waktu di Taman Getsemani Tuhan meminta Petrus bersama Yakobus dan Yohanes bersama-sama dengan Tuhan berdoa. Di Taman Getsemani mereka tidur, apa yang Tuhan katakan, "Berdoa dan berjaga-jagalah, memang roh itu penurut tapi daging itu lemah." Apakah Tuhan mengingatkan Petrus lagi, "Kamu memang lemah, kamu hanya bisa bicara saja, nanti kamu akan jatuh, disuruh berdoa saja tidak bisa, kamu kapan bisa berdoa, dan sebagainya," tidak! Yang biasanya Tuhan lakukan adalah Tuhan menegur semua murid pada waktu mereka kurang iman, Tuhan menegur semuanya. Kalau kita sudah tahu kelemahan orang, bukankah kita selalu mencerca kelemahannya dan kita kaitkan dengan kelemahannya terus. Memang maksud kita baik, supaya jangan sampai dia mengulang lagi masalah yang sama, tapi memang metode itu tidak efektif. Tuhan menggunakan metode yang berbeda, yang keluar dari sifatNya yaitu Dia adalah Allah yang beranugerah dan Allah yang beranugerah tidak menyoroti kelemahan tapi pada kekuatan. Dan yang kedua, karena menyoroti pada kekuatan kita bisa berkata, "Dengan kekuatan ini engkau akan menjadi seperti apa." Memang benar yang tadi Pak Gunawan katakan, kita ini tidak bisa melihat manusia lain di masa mendatang. Tapi dengan kita menyadari kekuatan pasangan kita, di masa mendatang engkau bisa menjadi seperti ini.
GS : Memang sangat berkaitan erat antara berelasi anugerah dan berwawasan anugerah. Orang tidak akan berelasi anugerah kalau dia tidak memiliki wawasan anugerah itu, Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan. Jadi keduanya merupakan suatu kesatuan dan relasi anugerah keluar dari wawasan anugerah itu sendiri.

GS : Bagaimana kita kaitkan dalam hubungan suami istri yang seringkali justru kita melihat kelemahan-kelemahan pasangan kita daripada kelebihan-kelebihannya.

PG : Tadi kita sudah singgung bahwa kita harus menerima dan menyambut kelemahan pasangan sebagai cara Tuhan membongkar diri kita, ini adalah wawasan anugerah yang telah kita bahas. Kita melihatya dari kacamata surgawi, kalau saja kita bisa melihat kelemahan pasangan sebagai cara Tuhan, dan bukan sebagai gangguan dari dia untuk kita, ini adalah cara Tuhan membongkar kita.

Maka reaksi kita terhadap kelemahannya juga akan berbeda, akan jauh lebih lunak. Bayangkan kalau kita melihat kelemahan pasangan sebagai gangguan, contohnya kita mau mengerjakan sesuatu tetapi menjadi tidak bisa dan kita menyalahkan pasangan, ini semua gara-gara dia, kita lebih mudah bereaksi kita lebih mudah marah karena kita merasa terganggu gara-gara engkau aku begini. Tapi kalau kita mengubah perspektif itu dan memandangnya sebagai cara Tuhan membongkar kita, walaupun kita mungkin tetap jengkel tapi kita akan lihat ini dariMu untukku, memang aku perlu melihat, aku perlu lebih sabar, aku tidak perlu terlalu menyoroti kelemahan dan sebagainya. Justru ini menjadi sesuatu yang baik. Saya berikan contoh yang lama ini terjadi pada saya dan istri saya, kami merayakan "Malam Valentine" di gereja kami, saya dan istri akan menyumbangkan suara bernyanyi bersama dan kami latihan bersama. Dan waktu latihan, saya menyoroti kekurangan istri saya dan berkata, "Bisa tidak begini, bisa tidak begitu, ini rasanya kurang pas. Lebih baik kamu begini, begitu," dia memang sedikit jengkel, tapi dia tidak menunjukkan kejengkelannya dia hanya diam saja. Sebelum kami menyanyi saya berkata kepadanya, "Yang penting menyatukan hati bernyanyi, kita tidak perlu memperhatikan yang lain-lainnya," kemudian dia langsung berkata "Ya, tapi kamu tadi menuntut saya untuk menyanyi lebih baik lagi dan sebagainya." Itu adalah sebuah teguran buat saya, memang itu yang saya lakukan akhirnya karena saya sudah diingatkan oleh dia seperti itu, waktu bernyanyi tidak lagi memikirkan hal-hal itu. Dan apa yang terjadi kami bernyanyi jauh lebih baik daripada waktu berlatih dan kami mengalami sebuah kesatuan batiniah yang memang memperindah. Jadi ilustrasi ini cukup mewakili kehidupan berumah tangga, waktu kita mengesampingkan kelemahan, "Sudah kita tidak perlu memikirkan lagi yang penting kita menyatu," dan ternyata itu lebih mudah menyatunya dan akan membentuk sebuah kesatuan yang lebih indah pula.
GS : Jadi didalam berelasi anugerah ini, unsur pengampunan penting sekali, Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, dan sekali lagi pengampunan ini akan lebih mudah kita berikan kalau kita berwawasan anugerah, bahwa kelemahan pasangan untuk aku juga agar aku lebih komplit, agaraku lebih utuh.

Akhirnya karena kita melihatnya sebagai cara Tuhan membongkar kita agar kita lebih utuh, maka kita lebih mudah pula mengampuni pasangan kita sebab waktu kita melakukannya, kita pun akan menjadi lebih serupa dengan Tuhan kita Yesus Kristus.
GS : Jadi Pak Paul, selain berwawasan anugerah dan berelasi anugerah, hal yang ketiga yang ingin Pak Paul sampaikan apa?

PG : Kita mesti juga berkepribadian anugerah artinya bukan saja terhadap orang lain kita beranugerah, melihat positifnya, melihat potensinya, melihat yang di masa depan bukan hanya di masa sekaang.

Kita juga harus memperlakukan diri kita seperti itu. Karena seringkali kita menjadi hakim yang paling kejam terhadap diri sendiri. Kita mungkin bisa bermurah hati terhadap orang lain tapi susah bermurah hati kepada diri sendiri, bisa membuat orang lain senang, rela menyumbangkan sesuatu kepada orang lain dan untuk diri sendiri tidak bisa, bisa royal dengan orang lain tapi dengan diri sendiri luar biasa hematnya. Kenapa itu juga tidak kita terapkan untuk diri kita, kalau bisa mengampuni orang kenapa tidak bisa mengampuni diri sendiri, kalau bisa melihat kekuatan orang, kenapa tidak bisa melihat kekuatan diri sendiri, kalau bisa menerima kelemahan orang kenapa tidak bisa menerima kelemahan diri pula. Melihat dan mengakui kelemahan memang tidak mudah tapi inilah yang juga Tuhan inginkan, kita menjadi manusia beranugerah yang mau menolong, mau memberi, bukan hanya untuk orang lain tapi juga untuk diri sendiri.
GS : Memang yang sering saya pikirkan kalau mengalami hal itu adalah Tuhan saja mau mengampuni saya, tetapi kenapa saya tidak mau mengampuni diri saya sendiri dan itu seringkali menyadarkan saya.

PG : Betul, Tuhan sudah mengampuni kita, Tuhan tidak lagi menghukum kita kenapa kita mengambil peran Tuhan menghukum kita. Tuhan tidak menghukum kenapa kita mengambil peran seolah-olah kita adaah Tuhan yang harus menghukum diri sendiri.

Apakah ini berarti kita tidak semestinya merasa bersalah, sudah tentu tidak. Adakalanya yang diperlukan adalah rasa bersalah supaya kita sadar akan perbuatan kita namun pada akhirnya karena Tuhan sudah mengampuni dosa kita maka ampunilah diri kita pula. Dan keduanya juga berkaitan antara diri sendiri dan orang lain, kalau kita itu susah sabar dengan diri, susah mengampuni diri sendiri, kecenderungannya adalah kita pun susah sabar terhadap orang lain, susah mengampuni orang lain pula. Kalau kita senantiasa mencambuki diri kita harus lebih baik, saya khawatir kita juga berbuat yang sama kepada pasangan kita, kamu harus ini dan itu, masih kurang ini dan itu dan akhirnya pasangan kita juga stres.
GS : Seringkali hal itu dipengaruhi oleh masa lalu kita yang dituntut banyak, baik oleh orang tua atau lingkungan kita.

PG : Betul Pak Gunawan, sehingga kita tidak pernah merasa damai tentram kalau kita tidak berbuat apa-apa. Salah satu ciri yang kita kenali adalah ciri bahwa kita itu kurang beranugerah terhadapdiri sendiri adalah kita itu susah sekali beristirahat.

Kalau untuk melihat apakah kita itu susah mengampuni, kadang-kadang susah kita lihat. Namun ini ciri-ciri yang gampang, bukankah adakalanya kita menjadi orang yang susah sekali berhenti beristirahat, kita menekankan harus produktifitas. Dan tatkala kita melihat bahwa kita kurang produktifitas kita marah pada diri sendiri, rasanya kita melihat diri tidak puas tidak seperti yang kita harapkan. Akhirnya tidak berdamai dan tidak beranugerah terhadap diri kita sendiri. Sudah tentu kita tidak lagi menjadi orang yang penuh damai sentosa, hidup kita seperti bara yang menyala sangat panas. Orang yang dekat dengan kita merasa gerah dan lelah dituntut terus-menerus, belum lagi merasa takut dekat dengan kita. Takut karena apa? Karena orang tahu kita ini orang yang penuh dengan tuntutan, jadi orang dekat dengan kita pun akhirnya takut. Ini kadang-kadang tidak kita sadari, mungkin kita bertanya-tanya, "Kenapa orang tidak dekat dengan saya dan menjauh dari saya," kita tidak bisa melihat diri kita kalau kita ini seperti bara panas yang siap membakar mereka. Maka mereka harus memasang jarak supaya mereka tidak terkena bara panas dari kita itu.
GS : Jadi orang yang tidak memiliki kepribadian anugerah ini akan sulit berelasi anugerah, Pak Paul?

PG : Biasanya seperti itu, walaupun dia mencoba tampil murah hati atau baik hati, namun itu hanya berlangsung sebentar dan saat bergaul dengan dia cukup lama maka keluar semua keburukannya, sush buat dia mengabaikan gangguan-gangguan itu dan dia menyoroti gangguan-gangguan itu.

Sebab terhadap dirinya juga begitu, ada sedikit yang dia tidak sukai dengan dirinya, dia bisa berhari-hari memikirkannya, merasa kesal dengan dirinya, merasa dirinya jelek, bersalah namun tidak berhenti disitu, terhadap orang lain pun begitu. Jadi akhirnya dia membawa sebuah suasana yang tidak nyaman, dimana pun dia berada dia membawa suasana tidak enak itu.
GS : Jadi sekali pun orang itu menyadari akan keberadaan dirinya yang tidak puas dengan apa yang dia alami, tetapi masalahnya apakah orang itu bisa menolong dirinya sendiri supaya dia punya kepribadian anugerah itu.

PG : Memang ujung-ujungnya dia harus menerima ketidak sempurnaan dirinya. Orang yang tidak beranugerah terhadap dirinya sendiri sebetulnya orang yang tidak menerima ketidak sempurnaannya. Itu sbabnya dia selalu menuntut diri harus lebih dan harus lebih.

Mungkin dalam percakapan dia akan berkata, "Saya banyak kelemahan, saya tidak sempurna dan sebagainya", tapi sesungguhnya di dalam hatinya dia tidak menerima itu. Saya akan fokuskan kepada itu yakni kepada orang yang tidak beranugerah terhadap dirinya sendiri, "Bisakah kamu menerima ketidak sempurnaanmu, bisakah kamu tetap menyukai dirimu dengan ketidak sempurnaan itu", ini adalah langkah awalnya. Langkah berikutnya setelah itu adalah dapatkah engkau membawa ketidaksempurnaanmu itu kepada Tuhan dan berkata, "Tuhan inilah aku, dan proseslah aku sesuai dengan kehendakMu dan caraMu." Bisakah kau serahkan kepada Tuhan, sebab orang yang tidak beranugerah pada dirinya sendiri sebetulnya tidak menyerahkan ketidak sempurnaan itu kepada Tuhan, dia serahkan kepada dirinya sendiri, dia yang harus bereskan, dia tidak serahkan kepada Tuhan. Makanya kita harus bertanya, apakah kamu rela menyerahkan ketidaksempurnaanmu itu kepada Tuhan, bukan engkau lagi yang harus benar-benar menyoroti, mencambuki diri supaya lebih sempurna tapi serahkan kepada Tuhan.
GS : Apakah ada contoh konkret di dalam Alkitab sehubungan dengan berkepribadian anugerah ini.

PG : Ada satu contoh yang diberikan Tuhan yaitu tentang seorang yang sudah diampuni oleh Tuhan karena hutangnya yang begitu besar tapi tidak bisa mengampuni orang yang berhutang kecil kepadanya ini salah satu contoh orang yang tidak beranugerah kepada dirinya dan kepada orang lain juga.

Dia tidak beranugerah kepada orang lain, kenapa? Dalam contoh itu sebenarnya isinya adalah dia tidak menghargai pemberian Tuhan, artinya dia tidak menghargai bahwa Tuhan telah memberikan begitu besar pengampunan kepada dirinya. Jadi orang yang tidak beranugerah kepada dirinya sendiri sebetulnya orang kurang menghargai pemberian Tuhan terhadap dirinya, karena itu dia selalu menyoroti ketidak sempurnaannya, seolah-olah dia memang tidak menyalahkan Tuhan tapi intinya dia tidak mensyukuri yang Tuhan telah berikan dan dia berusaha lebih dan lebih baik lagi, sehingga dia menjadi orang yang kejam terhadap dirinya. Dan akhirnya menjadi luber sehingga berbuat kejahatan kepada orang lain pula. Jadi orang yang tidak menghargai pemberian Tuhan akan kejam kepada dirinya dan akhirnya akan kejam kepada orang lain pula.
GS : Bagaimana dengan contoh nabi Elia yang pernah akan bunuh diri?

PG : Elia memang saat itu dalam keadaan sangat ketakutan dan panik, dirinya benar-benar sedang kacau karena mau dibunuh oleh Izebel. Memang dalam keadaan seperti itu kita tidak lagi bisa berpikr jernih.

Itu juga yang dialami oleh nabi Elia, lebih baik mati dari pada hidup. Dalam contoh nabi Elia, kita bisa melihat bahwa dia menuntut dirinya sangat tinggi. Dia tidak bisa lagi melihat bahwa ini pemberian Tuhan, Tuhan pakai aku melawan 850 nabi-nabi Asyera dan Baal itu berarti anugerah Tuhan, Tuhan yang bekerja. Tapi waktu di Bukit Horeb Tuhan bertanya "Apa yang kaulakukan disini," dan Elia menjawab apa? "Saya telah bekerja susah payah untuk Tuhan tapi saya menjadi begini." Apa yang dia lakukan? Dia melihat dirinya yang telah melakukan ini dan itu, tapi kenapa hasilnya akhirnya begini. Dia tidak lagi melihat dia hanyalah hamba, dia hanyalah alat dan yang melakukan adalah Tuhan. Cenderung orang yang kurang beranugerah terhadap dirinya memang kurang melihat Tuhan, bahwa Tuhanlah yang mengerjakan semuanya dan kita hanyalah alat, sehingga merasa dirilah yang harus begini dan begitu, menuntut diri agar lebih tinggi lagi dan akhirnya menuntut orang lain. Dalam pernikahan kalau kita seperti itu pasti pasangan kita akan susah, pasti anak-anak kita akan stres hidup dengan kita, kita menjadi orang yang tidak pernah puas dan menyalahkan yang lain, seolah-olah mereka bertanggung jawab terhadap ketidakbahagiaan kita. Akhirnya semua orang merasa kalau hidup dengan kita itu suatu penderitaan.
GS : Memang itu yang menjadi masalah, seringkali kita memaksa orang lain berlaku seperti kita padahal kita itu dalam situasi yang tidak betul.

PG : Seringkali karena kita melihat kita yang betul dan menganggap kamu yang harus maju kamu yang harus lebih baik lagi dan sebagainya. Sekali lagi, harus kembali ke wawasan anugerah. Tuhan menhadirkan anak-anak kita, pasangan, sebagian dari keluarga untuk membongkar kita, membongkar kelemahan-kelemahan kita supaya kita bisa membawa kepada Tuhan dan minta Tuhan memprosesnya bukan sebagai gangguan-gangguan dari manusia.

Kalau kita berani berkata seperti itu berarti kita berani melihat bahwa ini adalah sebuah proyek dalam diri saya yang harus saya selesaikan. Kita tidak lagi menyalahkan pasangan atau anak-anak kita.
GS : Setelah kita membahas ketiga sisi dari anugerah ini, apa yang ingin Pak Paul sampaikan sebagai kesimpulannya.

PG : Satu konsep anugerah sekarang ini, tidak boleh kita pikirkan sebagai sesuatu yang bersifat intelektual tapi kita harus hidup didalam semua aspek kehidupan kita yaitu jadilah orang beranugeah, jadilah orang yang rela memberi, berkorban, rela terbuka melihat yang positif, melihat potensi untuk masa depan dan yang terutama berwawasan anugerah.

Melihat bahwa kita ini dihadirkan Tuhan, kita dibawa kedalam pernikahan juga untuk menyelesaikan pekerjaan Tuhan yaitu penyelamatan umat manusia. Saya kira kalau kita menjadikan anugerah sebuah kata sifat dalam diri kita yaitu manusia yang beranugerah maka Tuhan akan memakai dan memberkati pernikahan kita menjadi alatnya untuk menjadi terang bagi bangsa.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan perbincangan ini?

PG : Saya akan bacakan dari Matius 5:3, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." Ini bagi saya salah satu pelukisan dari beranugerah, orng yang miskin di hadapan Allah orang yang berkata, "Tuhan saya tidak punya apa-apa maka saya hanya menerima dari Engkau, semua yang aku miliki itu berasal dari Engkau maka aku hanya memberikan sebagai saluran berkat Tuhan kepada yang lain."

Kata Tuhan, "Orang yang seperti inilah yang empunya Kerajaan Sorga."
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anugerah dalam Pernikahan" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



43. Tahap Penyesuaian Dalam Pernikahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T226A (File MP3 T226A)


Abstrak:

Pernikahan merupakan dua pribadi yang disatukan oleh Tuhan, dan masing-masing pribadi mempunyai karakteristik sendiri-sendiri, untuk itu diperlukan penyesuaian. Dalam penyesuaian kita perlu mengetahui; lima tahap penyesuaian dalam pernikahan yaitu Pengantin baru, Orang tua baru, Sarang kosong, Pensiun, Kematian pasangan.


Ringkasan:

Pernikahan merupakan dua pribadi yang disatukan oleh Tuhan, dan masing-masing pribadi mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Dan diperlukan penyesuaian, tapi saat kita gagal melakukan penyesuain maka akan timbul masalah dalam pernikahan.

Lima tahapan dalam pernikahan :

  1. Pengantin baru.
    Baru menikah akan ada hal-hal menyenangkan, banyak sekali harapan-harapan, banyak sekali sukacita yang memang sudah menggelora di hati kita. namun perlahan-lahan mulai menurun dan yang terlihat jelas adalah ternyata engkau dan aku berbeda. Waktu kita menyadari bahwa kita begitu berbeda, maka kita mulailah sebuah proses pembelajaran yaitu saling mengenal satu sama lain.
  2. Orang tua baru (disini tahap kita sudah mempunyai anak).
    Satu anak saja dalam keluarga kita sekarang, itu akan menuntut perubahan dan penyesuaian. Baik waktu anak masih kecil atau pun sudah menginjak remaja, selain itu kita juga harus bersikap netral terhadap anak yang satu dan yang lain.
  3. Sarang kosong.
    Dalam rumah tangga, ada suatu waktu dimana anak-anak akan pergi meninggalkan rumah, biasanya diawali dengan pergi ke perguruan tinggi sehingga rumah kosong. Waktu rumah kosong, suami istri harus kembali menyesuaikan diri.
  4. Pensiun.
    Pada masa pensiun biasanya suami istri lebih sering dirumah, karena lebih sering di rumah berarti mereka melihat semua dengan lebih jelas, yang tadinya tidak terlihat sekarang terlihat, dulu suami pergi pulang sore atau malam sekarang dari pagi sampai malam ada di rumah.
  5. Kematian pasangan.
    Satu hari kelak baik istri maupun suami yang akan meninggalkan dunia ini. Sudah tentu kehilangan pasangan itu akan menuntut penyesuaian lagi. Setelah susah payah menyesuaikan diri pada masa pensiun tapi sekarang harus pergi, dia harus hidup sendiri dan hal itu sangat tidak gampang. Maka penting pada masa ini, kita benar-benar harus terjun kedalam kelompok-kelompok diluar rumah kita, digereja, dipersekutuan kita bisa menjadi bagian sehingga kita bisa mengisi hari-hari kita dengan kegiatan-kegiatan yang lain.

Firman Tuhan
Galatia 6:2 dikatakan "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." Kalau kita bisa dari awal pernikahan bersikap saling tolong. Saling tolong ini menjadi resep untuk setiap apa yang akan kita lalui


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tahap Penyesuaian dalam Pernikahan." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sebagaimana pernikahan merupakan dua pribadi yang disatukan oleh Tuhan, tentu masing-masing pribadi punya karakteristik sendiri-sendiri. Bagaimana penyesuaiannya agar bisa menyatu didalam pernikahan?

PG : Memang penyesuaian itu merupakan sebuah proses yang berjalan seumur hidup Pak Gunawan. Jadi tidak ada namanya sekali berhasil menyesuaikan diri maka selama-lamanya kita akan bisa selalu hamonis.

Misalkan sudah berjalan 50 tahun, ternyata didalam masa pernikahan itu sebetulnya terbagi dalam beberapa tahapan yang masing-masing tahapan itu mempunyai kondisi tertentu serta tantangan atau tuntutannya. Sudah tentu kondisi dan tuntutan masing-masing itu memaksa kita untuk kembali menyesuaikan diri. Kita memang harus melewati tahap per tahap dan sebaiknyalah kita dapat menyelesaikan di tahapan tersebut agar sewaktu kita naik ke tahapan berikutnya, kita lebih bisa menyelesaikan tuntutan di tahapan yang selanjutnya itu.
GS : Jadi didalam setiap tahapan, waktu kita menyesuaikan diri itu ada kemungkinan kita gagal melakukan penyesuaian itu walaupun pada tahapan yang sebelumnya kita berhasil.

PG : Waktu kita gagal, kegagalan itu biasanya akan kita bawa ke tahapan-tahapan selanjutnya dan nantinya inilah yang akan menjadi problem di dalam pernikahan kita. Jadi sebetulnya kita bisa simulkan salah satu cara untuk melihat masalah dalam pernikahan adalah kegagalan kita menyesuaikan diri.

Jadi kegagalan dalam upaya menyesuaikan diri yang melahirkan problem, problem yang sudah muncul nantinya akan menggerogoti ikatan antara kita yaitu antara suami dan istri, kasih sayang, kepedulian dan sebagainya. Sewaktu kasih sayang sudah tergerogoti maka sendi pernikahan kita makin melemah.
GS : Tadi Pak Paul katakan di dalam pernikahan itu ada tahapan-tahapannya. Dan disini ada berapa tahap dan tahapan itu apa saja, mungkin Pak Paul bisa jelaskan?

PG : Ada lima tahap yang akan saya uraikan, yang pertama adalah tahap pengantin baru, sudah tentu tahap pengantin baru ini merujuk pada tahap dimana kita baru menikah. Sudah tentu baru menikah kan ada hal-hal menyenangkan, kita sudah mengantisipasi pernikahan kita, jadi banyak sekali harapan-harapan, banyak sekali sukacita yang memang sudah menggelora di hati kita.

Sudah tentu itu semua baik, tapi waktu kita akhirnya menikah, kita hidup bersama, kita menyadari bahwa ternyata hal-hal yang menyenangkan itu memang tetap ada namun perlahan-lahan mulai menurun dan yang akan menanjak atau boleh terlihat jelas adalah ternyata engkau dan aku berbeda. Waktu kita menyadari bahwa kita begitu berbeda, maka kita mulailah sebuah proses pembelajaran yaitu saling mengenal satu sama lain. Jadi tugas pembelajaran disini adalah kita mempelajari siapakah pasangan kita dan kita bertanggung jawab menolong pasangan kita untuk mempelajari diri kita. Jadi ini adalah sebuah proses yang seharusnya merupakan sebuah perputaran bukan seperti garis lurus yang linear berangkat dari titik A ke titik B. Tapi ini harus seperti lingkaran yang berangkat dari A ke B kembali ke A kembali ke B dan terus kembali seperti itu. Jadi di satu pihak kita memperlajari pasangan kita, tapi di pihak lain kita juga membuka diri sedapat mungkin agar pasangan kita bisa mempelajari kita. Disini kita belajar satu asumsi bahwa kita itu bertanggung jawab untuk membuka diri supaya pasangan kita dapat mempelajari siapa kita, tidak realistik kalau kita itu beranggapan "Kamu yang harus tahu, kamu yang seharusnya mengerti," tapi kita sendiri harus mengeluarkan usaha membuka diri supaya pasangan kita bisa mengenal dan mengetahui siapa kita. Ini yang pertama yang harus dipelajari di dalam masa-masa pengantin baru.
GS : Dalam masa pacaran itu merupakan waktu saling menjajaki saling mengenal siapa pasangan atau calon pasangan ini, apakah itu tidak cukup, Pak Paul?

PG : Semakin lengkap, semakin terbuka, semakin tidak menutup-nutupi pada masa berpacaran sebetulnya semakin besar kemungkinan proses pembelajaran ini akan berjalan baik dalam pernikahan. Tapi klau di awal kita sudah menjaga-jaga atau menutup-nutupi, nanti setelah masuk ke pernikahan biasanya proses pembelajaran untuk saling mengenal ini terhambat.

Sebab ada juga orang yang siap mempelajari pasangan tapi tidak terbuka, tidak mau pasangan mempelajari dirinya. Atau ada orang yang kebalikannya "Coba buka diri," supaya pasangan mengenal dirinya namun tidak peduli untuk mempelajari pasangan. Disini dituntut kedua elemen ini mempelajari pasangan dan menolong pasangan mempelajari diri kita. Sudah tentu modal dalam masa berpacaran akan sangat berpengaruh di dalam masa-masa pengenalan setelah kita menikah itu.
GS : Mungkin masalahnya yaitu masalah tanggung jawab Pak Paul. Di masa pacaran tanggung jawabnya tidak sebesar setelah kita menikah.

PG : Betul sekali, dengan bertambah besarnya tanggung jawab ini, nanti kita juga merasakan tanggung jawab untuk lebih mengenal pasangan dan tanggung jawab untuk lebih membuka diri agar pasanganbisa mengenal diri kita, ini yang pertama pada masa pengantin baru.

Yang kedua adalah pada masa pengantin baru, kita mulai melakukan penyesuaian kebiasaan hidup. Kebiasaan hidup seperti ini, biasa kita lakukan tatkala kita hidup sendiri dan tatkala kita hidup bersama keluarga kita dulu. Biasanya hal-hal ini kita bawa terus sampai kepada pernikahan, setelah kita menikah mata kita terbuka, kita menyadari bahwa pasangan dan kita memiliki perbedaan tentang kebiasaan-kebiasaan hidup. Kebiasaan hidup ini menyangkut hal-hal sepele sampai hal-hal yang serius, yang serius misalnya dalam hal pengambilan keputusan. Ada yang sangat berbeda, misalkan ada yang langsung bergerak dan didalam proses perjalanan barulah mulai menimbang-nimbang, misalnya mengkaji ulang keputusannya dan kalau perlu mundur maka mundur tapi ada orang yang tidak akan melangkah sebelum memiliki kepastian akan keberhasilan tindakan itu. Kebiasaan ini akhirnya bertabrakan dalam pernikahan, keduanya mesti menyesuaikan apa yang harus dilakukan? Sudah tentu keduanya mesti bercerita, apa yang menjadi kebiasaan didalam pengambilan keputusan kemudian mencari sebuah titik temu bersama. Yang sepele misalnya tentang kebiasaan mengatur rumah, bagaimana nanti rumah itu diperaboti atau diperbaiki atau rumah seperti apa yang akan kita miliki, bagaimanakah kebun itu seharusnya ditata. Ini semua adalah 'tetek bengek' hal-hal rumah tangga yang juga harus disesuaikan. Ini semua kalau tidak disesuaikan menjadi duri, karena saat kita pulang ke rumah dan melihat rumah menjadi seperti ini, kita sudah terbiasa rapi semua tertata tapi ini berantakan dan menjadi seperti gudang buat kita. Sehingga pasangan kita berkata "Kenapa harus disimpan rapi, kalau besok kita gunakan lagi," kita tidak suka. Semua 'tetek bengek' ini adalah hal-hal yang perlu disadari akan ada, tapi persoalannya memang kita mesti membicarakannya sehingga kita berdua bisa menemukan titik temu. Satu nasehat yang bisa saya berikan disini adalah jangan bersikukuh pada pikiran atau cara-cara kita, belajarlah untuk fleksibel sehingga bisa mengadopsi atau mengakomodasi kebiasaan pasangan hidup kita pula.
GS : Pak Paul, itu baru tahap pertama ketika kita baru memasuki hidup pernikahan tentu tidak bisa berlama-lama disana. Kita siap atau tidak, proses itu berjalan terus. Setelah tahapan itu tahapan apa lagi yang terjadi?

PG : Tahapan kedua adalah orang tua baru, disini tahap kita sudah mempunyai anak. Setiap penambahan anak akan menuntut penyesuaian diri, penyesuaian hidup. Satu anak saja dalam keluarga kita searang, itu akan menuntut perubahan dan penyesuaian, tidur tidak bisa pulas, siapa nanti yang akan bangun apalagi kalau keduanya bekerja, siapa yang nanti mengurus anak, siapa yang memandikan anak, apakah ingin memakai suster atau akan merawat sendiri, apakah akan minta bantuan suster memberi makan anak atau kita yang akan memberi makan anak.

Dua pribadi suami dan istri bisa-bisa berkebalikan ada yang berkata, "Kita yang harus beri makan anak," tapi ada yang berkata, "Minta bantuan suster". Tidur dengan siapa? Tidak perlu tidur dengan anak, ada yang berkata "Anak masih kecil, tidak apa-apa tidur dengan anak." Setiap penambahan anak, akan menuntut perubahan-perubahan. Belum lagi nanti waktu anak-anak sudah besar, kita mulai mendidiknya, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, untuk kita boleh untuk pasangan kita tidak boleh dan juga kebalikannya. Untuk kita inilah adalah cara memotivasi tapi untuk pasangan kita itu adalah cara menjatuhkan. Cara-cara membesarkan anak juga tidak sama. Sekali lagi akhirnya menuntut penyesuaian, kalau kita berhasil menyesuaikan diri kita, maka kita menjadi suatu kesatuan membesarkan anak. Kalau kita tidak bisa menyatukan diri atau kita terbelah maka nanti akan berdampak pada perkembangan si anak itu sendiri.
GS : Ada pasangan yang mencoba untuk menunda kelahiran anaknya karena mereka merasa belum saling mengenal masih dalam tahap pertama dan mereka merasa belum terselesaikan Pak Paul, tapi mereka menunda kehamilan dan menunda kelahiran anak, apakah itu cukup bijaksana?

PG : Saya kira cukup bijaksana, sebab adakalanya memang orang belum siap mempunyai anak, PakGunawan. Misalkan suami yang berpikir saya tidak mau punya anak dulu, kenapa? Sebab dia melihat istriya mudah sekali stres.

Jadi dia berpikir, kalau nanti ada anak, anak ini pasti akan menjadi tumpahan stres si istri. Atau ada orang yang menyadari bahwa setelah menikah pasangannya itu luar biasa kakunya, semua harus sempurna, harus sesuai seleranya. Dia mulai berpikir kalau dia punya anak maka akan bagaimana? Anaknya akan menjadi korban, dia sendiri sudah menjadi korban dan dia tidak mau anaknya ini menjadi korban, sehingga akhirnya dia memutuskan tidak mau mempunyai anak terlebih dahulu. Saya kira pemikiran-pemikiran seperti ini baik tapi yang lebih baik lagi adalah memang mengungkapkannya sehingga baik istri atau suami bisa mulai membereskan masalah ini, kalau tidak bisa membereskannya sendiri, maka carilah bantuan dari pihak lain untuk menolong kita.
GS : Memang kalau ditunda terus, di satu pihak itu tidak ada kepastian kapan tahap pertama tadi itu bisa terselesaikan. Padahal usia kedua orang ini terus bertambah, belum lagi ada desakan dari keluarga supaya punya anak dan sebagainya. Ini menjadi masalah besar.

PG : Betul. Tetap keputusan akhir terletak pada pasangan itu sendiri, sebab mereka yang seharusnya tahu kapankah mereka siap untuk mempunyai anak. Salah satu hal lain yang juga terjadi di dalamkeluarga dimana ada anak adalah tentang masalah kedekatan.

Sebab pada akhirnya seringkali terjadi si ayah dekat dengan anak pertama dan si ibu dekat dengan anak kedua, ini menjadi sebuah dinamika tersendiri dalam keluarga. Si ibu akan marah kalau melihat kenapa ayah itu tidak dekat dengan anak keduanya. Kalau si ayah melihat istri saya tidak mau dekat dengan anak pertama saya, dia juga bisa marah. Ini juga bisa menimbulkan ketegangan antara suami dan istri. Jadi kedekatan dengan si anak merupakan sesuatu yang harus diperhatikan, sedapat mungkin jangan sampai menunjukkan favoritisme. Jangan memuji-muji yang satu dan merendahkan yang lain apalagi memuji si anak yang satu karena mirip dengan kita dan merendahkan anak yang lain karena mirip dengan pasangan kita, itu akhirnya menimbulkan masalah. Jadi perlu sepasang suami istri ini menjaga kedekatan relasi dengan anak, jangan sampai sejak anak-anak kecil sudah dimulai pengkubuan. Sebab waktu kita mulai mengkubukan diri di tataran anak, dekat dengan anak yang mana, tinggal tunggu waktu kita juga akan terbelah dua.
GS : Jadi didalam hal penyesuaian antara suami istri dan anak, pihak anak juga harus dilibatkan supaya dia juga bisa menyesuaikan hubungannya dengan orang tuanya, Pak Paul?

PG : Dan kalau orang tua bisa bersikap netral kepada setiap anak, si anak pun akan bersikap netral kepada kedua orang tuanya. Namun kalau orang tua tidak bersikap netral, dia pun nanti tidak besikap netral kepada orang tuanya.

Misalkan kalau si ibu sering menjelekkan si ayah, si anak yang dekat dengan si ibu akan berani menjelekkan si ayah, demikian juga sebaliknya. Jadi perlu sekali suami istri menjadi sebuah kesatuan dalam hal mendidik dan dekat dengan anak.
GS : Setelah anak-anak menjadi dewasa, tentu kita memasuki tahapan yang berikutnya, dan ini tahapan apa, Pak Paul?

PG : Tahapan berikutnya disebut tahapan 'sarang kosong'. Sarang kosong ini merujuk pada burung, tatkala bertelur burung akan bersama dengan anak burung yang telah ditetaskan sampai anak burung tu akhirnya bisa terbang sendiri, kalau bisa terbang sendiri barulah anak burung itu meninggalkan sarang, sehingga sarangnya kosong.

Dalam rumah tangga, ada suatu waktu dimana anak-anak akan pergi meninggalkan rumah, biasanya diawali dengan pergi ke Perguruan Tinggi sehingga rumah kosong. Waktu rumah kosong, suami istri harus kembali menyesuaikan diri. Sebab waktu ada anak, suami istri sudah menyesuaikan hidupnya karena sudah ada anak. Dan misalkan ada konflik diantara mereka pun, biasanya kehadiran anak meredam atau memisahkan mereka sehingga tidak perlu bertengkar. Sekarang anak tidak ada dan mulailah konflik-konflik lama muncul kembali kalau belum diselesaikan. Dulu misalkan ingin marah tapi menahan diri karena ada anak, sekarang kalau marah tidak lagi menahan diri sebab tidak lagi ada anak. Pada tahap ini, kita mesti berhati-hati sebab usia kita sudah paro-baya, energi kita untuk menyelesaikan masalah sudah berkurang. Jadi biasanya pasangan mudah sekali menyerah di titik ini, masalah yang lama terungkap kembali, sudah lebih dari dua puluh tahun yang lalu tetap menjadi masalah. Keinginan menyelesaikannya menjadi sangat tipis sehingga akhirnya orang cenderung berkata masa bodoh. Itu sebabnya pernikahan pada usia paro-baya alias di 'sarang kosong', kalau tidak berhati-hati maka mudah pecah, mudah bercerai, mudah sekali terjadi pertengkaran di usia ini. Sebab anak-anak sudah meninggalkan rumah dan tidak ada lagi yang mengikat mereka seperti dahulu kala.
GS : Tetapi ada pasangan yang mengharapkan anak-anaknya kembali lagi ke rumah untuk mengatasi masalah-masalah yang tak terselesaikan, bagaimana Pak Paul?

PG : Tidak sehat, jadi mereka atau orang tua harus melepaskan anak. Jangan sampai memanfaatkan anak, menyuruh anak kembali ke rumah dengan tujuan ada teman. Tadinya tidak ada sekutu karena ananya pergi dan sekarang anaknya kembali ada sekutu, bisa ngobrol, bisa kembali membelanya dan sebagainya, sebab kita tidak boleh menyita kehidupan anak gara-gara masalah kita.

Biarlah yang kita hadapi ini adalah porsi hidup kita, jangan kita salurkan porsi penderitaan kita kepada anak-anak.
GS : Tahapan yang keempat apa, Pak Paul?

PG : Tahapan keempat adalah masalah pensiun, Pak Gunawan. Ini biasanya mendekati usia 65 tahun. Pada masa pensiun biasanya suami istri lebih sering di rumah, karena lebih sering di rumah berari mereka melihat semua dengan lebih jelas, yang tadinya tidak terlihat sekarang terlihat, dulu suami pergi dan pulang sore atau malam sekarang dari pagi sampai malam ada di rumah.

Istri dulu tidak melihat apa-apa, sekarang melihat semua dan sebaliknya juga demikian. Banyak melihat, kemungkinan banyak juga masalah karena tidak selalu yang dilihat itu cocok, dulu hanya bertemu malam misalkan berapa jam saja, tidak melihat sepenuhnya. Sekarang melihat dari pagi sampai malam, kita belum tentu senang dengan cara dia dalam mengerjakan sesuatu dan sebagainya, bisa sangat berbeda. Kenapa dapur harus seperti ini, kenapa masaknya seperti ini bukannya begitu lebih baik, ini lebih efisien dan si suami yang di rumah mulai mencampuri urusan si istri. Si istri berkata "Dari awal pernikahan, ini adalah teritori saya kenapa kamu sekarang menginvasi, masuk menginjak-injak teritori saya, mengobrak-abrik dan meminta saya merubah ini dan itu," dan perlu penyesuaian kembali. Si istri bisa gerah karena ada orang terus-menerus, dulu hanya perlu memikirkan masakan satu kali saja, misalkan makan malam, makan pagi hanya sederhana, suami pergi kerja makan siang dia bisa siapkan sendiri untuk dia. Tapi sekarang dia mesti siapkan makanan tiga kali sehari, dia harus pikirkan tiga jenis menu sekurangnya dalam satu hari dan ini menambah stres. Kadang-kadang tidak disadari oleh suami tapi kehadiran kita yang dari pagi sampai malam itu sedikit banyak sudah menambah stres istri. Dia mau pergi tapi tidak bisa karena ada kita, dulu dia mau ke sana-ke sini mudah hanya tinggal janjian dengan temannya. Sekarang dia mau pergi tidak enak dengan kita, kita di rumah, dia mau ajak kita, kondisinya tidak cocok. Dia tinggalkan kita di rumah rasanya juga sungkan, akhirnya banyak masalah yang terbelit-belit. Jadi kadang-kadang itu juga sudah meninggalkan stres pada si istri. Si suami juga mengalami stres, pensiun tidak banyak pekerjaan, dulu terbiasa sibuk sekarang ada kesibukan tapi tidak terlalu banyak, dia bisa mengalami krisis juga, rasanya kurang berguna. Jadi dengan kata lain pada masa pensiun ini sebenarnya keduanya rentan stres. Dua orang rentan stres hidup serumah, perlu penyesuaian diri kembali.
GS : Seringkali suami istri bekerja. Biasanya itu si suami pensiun dahulu dari pada istrinya. Jadi sementara dia sudah di rumah, istrinya masih bekerja di luar, apakah tidak ada masalah yang timbul?

PG : Biasanya karena istri lebih muda maka istri misalkan pensiun belakangan dan suami pensiun duluan karena usianya lebih tua. Pada awal pensiun suami bisa saja senang, bisa kerjakan yang diasukai.

Tapi umumnya setelah menjalani waktu beberapa lama, dia mulai merasa bosan. Waktu dia merasa bosan dan melihat istrinya penuh dengan energi, banyak yang dikerjakannya, ini bisa mengganggu si suami, bisa membuat si suami merasa "Saya tidak diperhatikannya, dia hanya memikirkan pekerjaannya saja," ini perlu pembicaraan, perlu kepekaan, dua-duanya bicara dari hati ke hati sehingga saling mengakomodasi satu sama lain.
GS : Tahapan yang terakhir apa, Pak Paul?

PG : Kematian pasangan Pak Gunawan, satu hari kelak baik istri maupun suami akan meninggalkan dunia ini. Sudah tentu kehilangan pasangan itu akan menuntut penyesuaian lagi. Setelah susah payah enyesuaikan diri pada masa pensiun tapi sekarang harus pergi, dia harus hidup sendiri dan hal itu sangat tidak gampang.

Karena terbiasa melakukan semua berdua sekarang sendiri, terbiasa melihat teman satu-satunya. Anak mungkin datang seminggu sekali sedangkan hari-hari biasa dia bersama pasangannya, sekarang pasangannya tidak ada, biasanya itu menimbulkan kekosongan yang dalam sekali. Maka penting pada masa ini, kita benar-benar harus terjun kedalam kelompok-kelompok di luar rumah kita, di gereja, di persekutuan kita bisa menjadi bagian sehingga kita bisa mengisi hari-hari kita dengan kegiatan-kegiatan yang lain. Kalau tidak ada kegiatan-kegiatan dan di rumah terus-menerus akan menambah penderitaan kita.
GS : Tapi dalam hal ini penyesuaiannya hanya terhadap dirinya sendiri Pak Paul, kalau tahapan sebelumnya itu menyesuaikan dengan pasangannya?

PG : Namun dampaknya bisa cukup berat karena kehilangan pasangan dan biasa menghadapi hidup berdua, kehilangan pasangan membuatnya kehilangan pegangan hidup. Jadi ada orang-orang setelah kematin pasangannya kehilangan arah hidup, tiba-tiba hidupnya kosong, pandangan matanya kosong seolah-olah apa yang dilakukannya tidak lagi bermakna buat dia.

Karena dulu untuk berdua, sekarang hanya untuk sendiri sehingga kehilangan makna, kehilangan pegangan hidup. Disitulah dibutuhkan usaha keras untuk dia memegang kembali apa itu tujuan hidupnya, sudah tentu kita kembali kepada firman Tuhan. Kita masih mempunyai tugas yang belum terselesaikan yaitu membawa orang untuk mengenal Tuhan, kita perlu mengenalkan Kristus kepada orang di sekitar kita, kita bisa menjadikan itu sebagai pegangan kita atau tujuan hidup kita.
GS : Menghadapi tahapan-tahapan yang masing-masing itu mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, apakah seseorang itu bisa mempersiapkan diri. Karena sudah tahu tahapan-tahapannya maka jauh-jauh hari sebelum dia masuk ke tahapan itu dia sudah mempersiapkan dirinya.

PG : Ada, Pak Gunawan. Dan ini akan saya bacakan firman Tuhan sebab saya percaya inilah rahasianya di Galatia 6:2 dikatakan, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhihukum Kristus."

Sebagai orang kristen kita ingin memenuhi hukum Kristus dan Tuhan dengan jelas mengatakan ini hukumKu bertolong-tolonganlah. Kalau kita bisa dari awal pernikahan bersikap saling tolong. Saling tolong ini menjadi resep untuk setiap apa yang akan kita lalui, tapi kalau dari awal kita berkata ini problemmu ini bukan masalahku, kamu selesaikan sendiri. Itu akan membelah relasi kita, jadi dari awal saling tolonglah jangan sampai mengembangkan sikap tidak mau menolong, singsingkan lengan, tolonglah sebisanya, ingat ini untuk kepentingan bersama. Selalu kita ingat ini untuk kepentingan bersama. Jadi kalau ini dibiasakan dari awal saya percaya sampai akhirnya pun kita akan bisa melewatinya.
GS : Prinsip ini juga harus diterapkan terhadap anak-anak karena mereka pun akan bisa menolong kita dan kita menolong dia sehingga terbentuk kerjasama yang baik di dalam keluarga itu.

PG : Betul sekali. Jadi kalau kita sudah membiasakan anak saling tolong, nanti mereka pun akan saling tolong bukan hanya sesama saudara tapi juga dengan kita. Kita juga dari awal menolong anak-nak sehingga dia tahu menerima pertolongan dari kita dan nanti mereka pun juga akan memberikan yang sama kepada kita.

GS : Saya rasa tiap-tiap tahapan cukup berat untuk dilalui tetapi dengan pertolongan Tuhan dan berpedoman pada firman Tuhan yang telah Pak Paul bacakan tadi, saya yakin kita akan bisa melampauinya dengan baik. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tahap Penyesuaian dalam Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



44. Pernikahan Yang Hampa


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T226B (File MP3 T226B)


Abstrak:

Mengapa makin lama menikah makin hampa? Bahkan sampai pasangan suami istri yang Kristen sekalipun! Penyebab utamanya adalah karena Perbedaan Investasi Emosional Pria dan Wanita. Mengapa pernikahan menjadi hampa, apa tanda-tandanya? Apa yang mesti dilakukan? Ada beberapa tips praktis yang disarankan untuk kita lakukan.


Ringkasan:

Mengapa semakin lama menikah, kita merasakan kehampaan? Bahkan sampai pasangan suami istri yang Kristen sekalipun!

Penyebab utamanya adalah karena Perbedaan Investasi Emosional Pria dan Wanita

Ada lima Tahap Penyesuaian dalam Pernikahan

Mengapa Pernikahan Sering Menjadi Hampa?

Tanda Kehampaan

Apakah Yang Jangan Dilakukan?

Tips Praktis

Firman Tuhan "Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi; siapa tidur pada musim panen membuat malu". (Amsal 10:5)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pernikahan yang Hampa." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, ada banyak pasangan suami istri yang juga Kristen sekalipun, yang merasa pernikahannya itu makin lama makin tidak ada artinya sehingga seperti judul perbincangan ini yaitu sesuatu yang hampa, apakah hal itu bisa terjadi?

PG : Sayangnya bukan hanya bisa terjadi tapi cukup sering terjadi, Pak Gunawan. Jadi saya perkirakan secara pikiran kasar mungkin hanya setengah dari pernikahan itu yang sungguh-sungguh mencicii kebahagiaan dalam pernikahannya.

Dan sebagian lagi adalah orang-orang yang menjalani pernikahan tapi tidak lagi menikmati kebahagiaan dalam pernikahan itu. Dengan kata lain pada akhirnya pernikahan itu menjadi sebuah tempat yang sangat hampa.
GS : Apa penyebabnya dan bagaimana mengatasinya, mungkin Pak Paul bisa menyampaikanya dalam perbincangan ini.

PG : Ada beberapa faktor dan yang pertama adalah wanita dan pria mempunyai perbedaan dalam investasi atau modal emosionalnya. Pada awal pernikahan biasanya pria itu mempunyai investasi emosiona yang besar, dia menggebu-gebu dia sangat mencintai istrinya dan sebagainya.

Makanya ada kecenderungan dia bersikap muluk membicarakan hal-hal yang ideal-ideal, nanti setelah kita menikah kita akan begini-begitu. Dalam hal ini, kita tidak boleh menuduh pria itu gombal karena belum tentu. Sebab pria biasanya pada waktu memasuki pernikahan dia mempunyai begitu banyak hal yang dia ingin berikan untuk keluarganya, tapi dengan berjalannya waktu hidupnya akan mulai terbelah antara di dalam rumah dan di luar rumah. Dia harus memberikan waktu dan tenaganya untuk pekerjaan dan sebagainya. Sehingga perlahan-lahan tanpa disadarinya investasi modal emosional itu menyusut. Jadi kita bisa bayangkan setelah 20 tahun menikah, mungkin sekali yang tersisa untuk di dalam keluarga itu tinggal sedikit karena yang diluarlah yang menyita paling banyak baik pikirannya, tenaganya, interestnya dan karena dia lebih sering di luar rumah maka pertemanannya juga akan terjalin di luar. Kalau tidak hati-hati nanti relasi dengan istri atau pun dengan anak-anaknya makin terbentang jauh. Sebaliknya dengan wanita, Pak Gunawan, waktu wanita memasuki pernikahan biasanya investasi modal emosionalnya relatif sedikit tapi dengan berjalannya waktu dengan adanya anak, dia makin terbenam di dalam keluarganya, jati dirinya sekarang lebih dikaitkan dengan suaminya. Bahkan sampai nama si istri pun tidak dikenal, dikenalnya sebagai ibu misalnya Ibu Gunadi tapi nama istri saya orang tidak tahu. Jadi dengan kata lain dengan berjalannya waktu diri si istri makin terjahit dengan diri si suami dan kehidupannya tercurahkan untuk membesarkan anak. Jadi dengan berjalannya waktu kehidupan atau investasi modal emosional istri makin besar. Kita mulai bisa membayangkan Pak Gunawan, setelah mereka menikah di atas sepuluh tahun akan terjadi konflik karena seperti kerucut. Kalau wanita atau istri itu kerucutnya terbalik yang lancip di bawah dan yang lebar di atas. Tapi pria sebaliknya yang lebar di bawah dan yang lancip di atas. Setelah di atas sepuluh tahun menikah yang di atas itu sudah tidak sama, waktu tidak sama dan bertemu biasanya terjadi masalah. Biasanya masalahnya adalah istri meminta agar suami lebih memberikan waktu dan tenaganya untuk keluarga, suami yang merasa tipis karena sudah banyak memberikan untuk pekerjaan di luar rumah tidak suka dan dia merasa dituntut lagi, di luar sudah dituntut dan di dalam rumah dituntut lagi. Diluar ada tugas yang harus diselesaikan dan di rumah ada tugas lagi yang dibebankan istri kepada dia dan dia tidak akan suka. Di pihak lain si istri akan merasa kamu ini "selfish", mementingkan diri sendiri, ini adalah rumah tangga bersama bukan rumah tangga satu orang, kenapa kamu tidak mau memikul beban, semua dilimpahkan kepada saya, anak juga tanggung jawab saya dan apa peranmu dalam keluarga? Disinilah seringkali terjadi konflik, dan di tengah-tengah kondisi seperti ini konflik susah selesai bahkan mudah melebar karena sekali lagi keduanya ini orang yang stres. Si suami tipis sudah capek, di rumah dituntut dia marah, dia meledak, si istri juga merasa beban keluarga semua dipikul di pundaknya, dia juga dalam keadaan stres. Dua orang ini akhirnya mudah terjadi konflik di antara mereka, kalau tidak terselesaikan biasanya yang mereka lakukan adalah diam dan tidak banyak bicara lagi. Keduanya akan bersikap seperti itu guna menciptakan ketenangan, tapi sebetulnya didalam ketenangan ada bara yang sedang menyala dan pernikahan itu akhirnya hampa. Mereka seolah-olah dalam kondisi gencatan senjata yang berkepanjangan.
GS : Jadi dengan meningkatnya investasi emosi dari pihak istri, Pak Paul, itu tidak serta merta membuat dia puas dengan hidup pernikahannya itu?

PG : Tidak! Jadi dia ingin melihat respon timbal balik dari pasangannya. Kalau sendiri saja itu tetap tidak akan memberikan kepuasan baginya.

GS : Tapi kalau si suami bisa mengimbangi dengan meningkatkan investasi emosinya atau paling tidak mempertahankan tanggung jawab, itu bisa memuaskan pihak istri.

PG : Betul, jadi sebetulnya istri itu tidak menuntut sama persis, pada umumnya istri menyadari kalau itu tidak bisa sama namun menyusutnya jangan sampai drastis seperti itu kalau bisa hanya setngahnya saja.

Jadi yang penting istri melihat ada upaya dari pihak si suami untuk kembali menyedot yang dari luar dan memberikannya untuk yang di dalam rumah. Sebab yang selama ini akhirnya terjadi adalah si istri melihat kamu itu mengambil dari dalam rumah dan memberikannya untuk yang di luar rumah. Ini yang perlu disesuaikan sehingga si istri dapat berkata "Suami saya telah berusaha." Di pihak si suami sudah tentu membutuhkan pengertian istri jadi istri bisa berkata saya mengerti kamu capek, saya mengerti tugasmu sudah banyak dan dia menawarkan apa yang bisa saya bantu untuk menolongmu. Setelah itu baru dia berkata, "Bisa tidak kamu juga tolong saya lakukan ini dan itu." Jadi berikanlah tugas kepada suami secara langsung dan konkret. "Bisa tidak kamu tolong antar anak dan sebagainya," dari pada si istri marah-marah dan langsung menuduh dengan kata-kata yang bersifat umum, "Kamu tidak peduli dengan keluarga, kamu tidak sayang lagi kepada kami." Kata-kata seperti itu tidak akan membantu dan tidak akan menolong si suami, jadi si istri perlu memberikan saran-saran yang spesifik dalam hal dia meminta partisipasi si suami, namun mintalah bukan menuntut dan marah-marah. Jadi kalau keduanya bisa melakukan ini, seyogianyalah investasi itu bisa disesuaikan kembali.
GS : Berarti ada hal-hal yang membuat pernikahan itu dirasakan hampa oleh pasangan suami istri dan itu apa saja?

PG : Biasanya begini, tadi yang saya uraikan itu adalah hal yang memang seringkali secara alamiah. Tapi adalagi hal yang lain yaitu konflik yang muncul akibat kegagalan kita menyesuaikan diri. idalam siaran yang lampau kita membicarakan tentang tahap-tahap penyesuaian, kalau kita gagal menyelesaikan penyesuaian maka biasanya itu menimbulkan benih-benih ketidaksukaan, benih-benih konflik, mungkin gencatan senjata dan sebagainya, tapi intinya tidak selesai.

Masalahnya adalah dari awalnya kita itu terlalu mudah menyerah, dari pada konflik tidak bisa selesai maka melakukan gencatan senjata dengan cara jangan bicarakan lagi. Akhirnya karena kita tidak mau menyelesaikan dan kita diamkan, lama-kelamaan ini akan menjadi duri, mungkin dengan adanya anak maka duri itu tidak terlalu menusuk tapi setelah anak-anak pergi kuliah dan sarang kosong kembali, apalagi kalau sudah pensiun maka duri-duri itu akan keluar semuanya dan kembali menusuk, dan yang akan keluar ialah masalah-masalah lama. Tapi kita tidak mau berkelahi sudah lelah akhirnya kita diamkan. Tapi itu akan mempengaruhi kasih mesra di antara kita dan pada akhirnya kita merasa hampa, kita tidak mau lagi dekat dan intim dengan pasangan kita, masing-masing sendiri-sendiri.
GS : Berarti kehampaan itu sebetulnya bisa dirasakan oleh suami istri, apa tanda-tandanya, Pak Paul?

PG : Misalkan ada relasi kasih yang sudah benar-benar kosong dan nantinya yang terjadi ialah tidak ada lagi energi. Suami istri yang hampa sangat kelihatan sekali tidak lagi mempunyai suatu siar atau cahaya, energi dalam relasi mereka dan dalam diri mereka.

Yang lain lagi misalkan kalau ingin mendapatkan kesenangan, dia harus pergi keluar mencari dari orang lain, cari dari kesenangan lain, hiburan-hiburan lain karena memang tidak ada lagi kesenangan dari pasangan yang bisa diperolehnya. Sehingga akhirnya relasi benar-benar sepi, dingin mirip seperti kuburan dan untuk mencegah konflik supaya tidak terjadi maka masing-masing menjaga teritorinya, tugas masing-masing sudah dibagi dengan rapi sehingga tidak pernah lagi bisa tabrakan. Tapi sekali lagi itu bukanlah sebuah penyatuan, keintiman, dan hanyalah menjaga teritori agar jangan sampai saling tabrakan. Dan yang terakhir dalam relasi yang hampa itu hubungan seksual pun tidak lagi memberikan kepuasan, tapi seringnya tidak dapat dilakukan, tidak ada gairah dan lebih baik tidak perlu dekat-dekat, masing-masing jaga batas. Pernikahan hampa itu akhirnya benar-benar menjadi sebuah ruangan yang sangat-sangat sunyi dalam hidup kita.
GS : Tapi ada pasangan suami istri yang ada di dalam kehampaannya itu malah sering bertengkar Pak Paul?

PG : Seringkali yang masih sering bertengkar itu karena marah. Jadi tujuan pertengkaran bukanlah menyelesaikan masalah karena masalah tidak selesai-selesai. Jadi pertengkaran itu hanyalah untukmeluapkan kemarahan dan jika sudah terluapkan maka baik kembali.

Besok dia ingat kembali kemudian dia marah lagi dan ribut lagi. Jadi hal itu hanya untuk meluapkan kemarahan dan kita tahu pertengkaran untuk menyelesaikan masalah bukan sebagai wadah meluapkan kemarahan. Tapi dalam relasi yang hampa pertengkaran hanyalah menjadi wadah untuk mengungkapkan kemarahan belaka.
GS : Tadi Pak Paul singgung tentang teritori dari masing-masing, baik suami maupun istri dan di dalam pernikahan itu tetap masih harus menjaga teritori masing-masing supaya kita tidak mengintervensi hal-hal yang pribadi dari pasangan kita, Pak Paul.

PG : Akan ada tugas-tugas yang dilakukan oleh si istri dan ada yang dilakukan oleh si suami dan sebaiknya hal-hal itu dievaluasi ulang secara berkala di dalam pernikahan kita karena kita perlu enerapkan prinsip saling tolong tapi seyogianya hal-hal itu bukanlah untuk menjaga jangan sampai kita bertengkar.

Tapi hal-hal itu memang kita bagi karena kita perlu bantuan pasangan kita, dia perlu bantuan kita jadi harus saling bantu. Dalam kasus yang tadi saya bahas, ini bukannya untuk saling bantu tapi untuk jangan saling bertengkar menghindari pertengkaran. Jadi akhirnya bukan saja pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itu dibagi, akhirnya pembicaraan pun mulai dibagi. Akan ada hal-hal yang tidak akan dibicarakan dan setelah menjalani ini untuk waktu yang lama akhirnya suami dan istri secara tidak sadar sudah memutuskan hal-hal apa yang boleh dibicarakan, dan yang boleh dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat rutin menyangkut anak dan sebagainya, tidak ada kedalamannya. Akhirnya mereka menemukan bahan percakapan yang masih aman dan keduanya seolah-olah membuat kesepakatan bersama "Baiklah kita membicarakan hal-hal ini saja karena ini aman, tidak akan meluas ke mana-mana." Jadi sekali lagi hal itu berkembang dan berkembang sehingga membelah si suami dan si istri.
GS : Padahal yang membuat kehidupan si suami dan istri itu bergairah justru kalau pembicaraan itu mengenai hal-hal yang menyangkut perasaan dan sebagainya.

PG : Betul sekali. Tapi karena tidak ada keintiman dan ada rasa takut kalau ini nanti berkembang menjadi konflik akhirnya kita itu membatasi arah dan topik pembicaraan.

GS : Mengenai hubungan seksual yang tadi Pak Paul katakan yaitu yang sudah jarang dilakukan, kalau karena sakit atau karena usia itu tidak menimbulkan banyak masalah sebenarnya Pak Paul?

PG : Kalau memang ada faktor lain yang memang menjadi penghalang biasanya itu dimengerti Pak Gunawan. Karena kita mengerti, bukannya dia tidak mau tapi memang tidak bisa dalam kondisi tertentu.Yang memang mengganggu adalah kalau kita tahu dia bisa tapi tidak mau dan tidak maunya karena tidak mau kita, dan memang ini yang akan mengganggu sekali.

Namun pada umumnya dalam relasi hampa kedua belah pihak sudah mengambil sikap yang sama, dalam hubungan intim baik suami maupun istri sama-sama tidak mau melakukan. Jadi benar-benar perasaan mereka terhadap satu sama lain sudah sangat dingin sehingga sangat sulit untuk membakar agar terjadi relasi seksual.
GS : Apakah ada kekhawatiran jika nanti ditolak? Padahal kalau si istri menolak hubungan seksual dengan suaminya itu sangat menyakitkan bagi kaum pria atau suami sehingga dia tidak mau dekat-dekat.

PG : Ada dan ini menyangkut kedua belah pihak, bisa juga si istri yang takut ditolak karena mungkin dia pernah mengusulkan atau pernah meminta dan kemudian suaminya menolak maka si istri tidak kan lagi mau melakukannya atau mengajak melakukannya.

Jadi bisa terjadi karena takut ditolak namun yang kedua yang tadi saya sebut adalah sudah enggan, Pak Gunawan, tidak mau terlalu intim lagi sebab pembicaraan pun sudah tidak terlalu intim apalagi kedekatan secara fisik.
GS : Itu berarti mereka jarang-jarang untuk kelihatan pergi berdua dan sebagainya, jadi bagaimana menghindari hal-hal yang seperti itu?

PG : Betul, di tempat-tempat umum kalau memang mesti pergi berdua maka mereka akan tetap lakukan tapi tidak untuk hari-hari biasa dan di rumah, masing-masing punya teritorinya. Dalam relasi hama biasanya kita melihat ini adalah teritori si suami contohnya di depan televisi atau meja belajarnya, dan teritori si istri di dapur, di ruang tamu, di kamar tidur dan akhirnya masing-masing tahu dan jangan terlalu sering-sering kesana nanti ada pertempuran baru.

GS : Kalau sudah begitu Pak Paul, apa yang sebenarnya bisa dilakukan oleh pasangan ini?

PG : Ada beberapa hal, Pak Gunawan, yang pertama adalah jangan takut bertengkar dan jangan cepat menyerah. Tadi saya sudah singgung terlalu banyak pasangan yang karena takut bertengkar akhirnyamudah menyerah dan mendiamkan saja, tapi kita perlu untuk terus membereskan meskipun pada waktu membereskan kita harus betengkar tapi kita ingat bahwa kita bertengkar untuk menyelesaikan masalah dan kita perlu komunikasikan kepada pasangan.

Jadi dua-dua sudah punya pengertian kalau sekalipun kita sampai bertengkar itu untuk menyelesaikan masalah bukan untuk meluapkan kemarahan. Jadi setelah kita bertengkar, kita harus langsung membicarakan solusinya dan salah satu pihak baik suami atau pun istri harus mengingatkan, "Mari kita pikirkan solusinya supaya masalah ini tidak lagi terjadi." Atau yang lainnya yang bisa saya usulkan adalah jangan malu untuk meminta bantuan, ada orang enggan dan malu membicarakan masalah keluarga kepada orang lain. Untuk apa malu kalau kita memang mempunyai masalah maka akui dan mintalah bantuan. Kalau kita sakit, kita selalu minta bantuan medis dan kenapa kalau mempunyai masalah keluarga kita tidak mau meminta bantuan orang lain. Dan yang lain yang bisa saya sarankan ialah jangan gengsi untuk berubah. Gengsi benar-benar menjadi duri yang seringkali meracuni dan menusuk keluarga, tidak mau meminta maaf, tidak mau melakukan yang istri minta karena gengsi, tidak sudi memberikan yang suami butuhkan dan akhirnya gengsilah yang menghancurkan keluarga kita. Jangan gengsi untuk berubah, ingat Tuhan sudah berkata, "Rendahkanlah dirimu satu dengan yang lain, maka Tuhan nanti akan meninggikan kita." Jangan gengsi-gengsian, justru berebutlah untuk merendahkan diri dan jangan jauh dari Tuhan, apa pun yang terjadi jangan memutuskan sesuatu yang Tuhan tidak berkenan. Dan waktu ada pertengkaran jangan sampai lupa untuk berdoa. Kadang-kadang saya pun dulu begitu, waktu saya tidak lagi menemukan jalan keluar dalam pertengkaran dengan istri, saya hanya bisa berdoa "Tuhan tolong saya," dan Tuhan menolong, Tuhan membukakan jalan. Setiap kali kalau anak-anak Tuhan datang kepada Bapa di surga meminta pertolongan maka Dia akan membuka jalan, tapi Tuhan membuka jalan juga lewat kita. Berani tidak untuk kita tidak gengsi, berani tidak untuk kita memulai kembali, berani tidak untuk kita mencoba kembali dan sebagainya.
GS : Tapi yang seringkali menjadi masalah justru karena mereka merasa tidak ada masalah di dalam hidup pernikahan mereka, padahal sebenarnya secara perlahan menuju pada kehampaan.

PG : Ini sesuatu yang memang menyedihkan, Pak Gunawan, banyak orang yang sudah mencapai titik kehampaan akhirnya beranggapan memang seharusnya begini, tidak ada lagi yang mesti dilakukan. Dan yng kedua banyak orang berkata, "Lihat, orang lain juga sama tidak ada bedanya, siapa orang yang mempunyai pernikahan bahagia.

Semua juga begitu, teman-teman saya juga begitu." Dan akhirnya menerima kondisi itu sebagai sebuah keniscayaan "Memang harusnya begini, tidak apa-apa," dan pernikahan seharusnya tidak menjadi seperti ini.
GS : Berarti kalau ada kehampaan di dalam suatu pernikahan, apakah tanda yang paling nampak di dalam kehidupan keluarga itu Pak Paul, komunikasi yang hilang atau tidak bertumbuh lagi atau bagaimana?

PG : Pertama yang langsung terasa dan berkurang kwalitasnya adalah komunikasi, Pak Gunawan. Jadi kalau saya bisa berikan tips praktis, memang kita harus benar-benar pertahankan jalur komunikasiyang aktif dan yang terbuka, sering-seringlah bicara, sering-seringlah menceritakan apa yang menjadi beban pikirannya.

Tapi yang penting adalah pasangan harus mempunyai akses di dalam diri kita dan kita juga bisa punya akses terhadap diri pasangan. Kalau seseorang mulai berkata "Ini bukan urusanmu dan jangan ikut campur," ini akan benar-benar membakar jembatan. Pasangan harus mempunyai akses terhadap kita dan kita juga perlu akses terhadap pasangan. Komunikasi seperti inilah yang kita mesti pertahankan. Misalkan tips praktis yang lain yang bisa saya berikan adalah jangan sampai defensif. Defensif itu artinya membela diri, membenarkan diri. Kalau ada pertengkaran sekecil apa pun, bagian kita adalah mengakui, mungkin saudara berkata, "Tapi hampir semua kesalahan dia." Coba pikirkan bagian kita dan akui, misalkan waktu kita bertengkar nada suara kita juga keras. Baiklah kalau itu memang kesalahan pasangan tapi yang kita harus akui ialah kita itu telah menggunakan nada-nada keras dan kita bisa berkata kepada dia, "Maaf, saya tadi harus menggunakan suara keras." Sekali lagi waktu seseorang mengakui bagiannya maka proses perdamaian itu akan menggelinding, proses perdamaian itu berhenti tatkala kedua belah pihak menolak mengakui bagiannya, cobalah mulai dengan mengakui bagian kita saja. Saya yakin kalau salah satu mengakui bagiannya, maka roda itu akan berputar kembali dan keduanya bisa disatukan. Yang lainnya lagi yang bisa saya berikan adalah setiap langkah itu berarti, jadi lakukanlah atau berubahlah meskipun hanya sedikit. Karena yang dilihat oleh pasangan adalah keinginan kita untuk berubah, saat dia melihat kita melakukan sesuatu sekecil apapun, dia akah melihat bahwa kita berniat baik. Dan niat baik yang dilihat oleh pasangan itu membuatnya ingin mengampuni kita, ingin menjalin relasi dengan kita. Jadi perbuatlah sesuatu sekecil apapun supaya dilihat oleh pasangan bahwa kita memang mencoba untuk berbuat sesuatu. Dan yang terakhir tips praktis yang bisa saya berikan adalah nikmatilah kesamaan namun hormatilah perbedaan. Kalau ada kesamaan maka kembangkanlah dan nikmatilah dan kalau ada perbedaan maka hormatilah dan jangan menghina orang yang berbeda dengan kita.
GS : Memang seringkali ada kekhawatiran dari pihak suami kalau saya mengakui kesalahan saya dan dia tidak mengakui kesalahannya, itu membuat saya merasa direndahkan dan saya merasa kalah dalam hal ini.

PG : Makanya kita harus melihat pernikahan dengan perspektif berbeda, tujuan pernikahan bukanlah untuk membuktikan bahwa diri kita benar tapi tujuan pernikahan adalah menyatukan kita berdua. Keersamaan itulah yang menjadi terget kita.

Bukan yang penting saya benar, saya salah dan engkau benar, engkau salah tapi bagaimana kita bisa kembali bersama-sama.
GS : Memang ada tips-tips yang Pak Paul sudah sampaikan kepada kita dan kepada para pendengar sekalian, tapi saya percaya pasti ada firman Tuhan yang merupakan kunci dari semua permasalahan ini yang mungkin Pak Paul bisa sampaikan?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 10:5, "Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi; siapa tidur pada waktu panen membuat malu." Firman Tuhan meminta kita untuk bekerja dan jangan maas, makanya firman Tuhan berkata "Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi," orang yang pada awal pernikahan bekerja keras membereskan masalahnya, di hari-hari selanjutnya akan memetik buah, buah keharmonisan dan buah cinta kasih.

Orang yang malas tidak mau menyelesaikan dan cepat menyerah nanti akan memetik buah-buah yang pahit di dalam pernikahannya. Jadi saya mendorong agar kita jangan cepat menyerah, terus selesaikan pekerjaan-pekerjaan yang belum selesai ini, PR-PR kita, coba kita tuntaskan kemudian kita bisa memetik buah-buah pernikahan yang manis.
GS : Memang rasanya tidak ada jalan pintas untuk mencapai kebahagiaan didalam hidup pernikahan. Jadi harus ditempuh satu tahap demi satu tahap dengan usaha yang sungguh-sungguh.

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih untuk perbincangan kali ini Pak Paul, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pernikahan yang Hampa". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



45. Pernikahan Dihari Tua 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T227A (File MP3 T227A)


Abstrak:

Ada yang menanti-nantikan masa tua namun ada pula yang menatapnya dengan penuh ketakutan. Ada hal-hal yang perlu anda ketahui sehingga pernikahan di hari tua menjadi menakutkan. Bagian ini juga menguraikan mengenai kelemahan dan kekuatan pada masa tua!


Ringkasan:

Ada yang menanti-nantikan masa tua namun ada pula yang menatapnya dengan penuh ketakutan. Apakah yang terjadi sehingga ada yang melihat pernikahan di hari tua dengan penuh ketakutan?

  1. Biasanya ketakutan bersumber dari ketidaknyamanan hidup dengan pasangan. Sebenarnya sekarang pun sudah tidak menyukai hidup dengannya namun kehadiran anak sedikit banyak mengurangi rasa tidak nyaman itu. Kita tidak bisa membayangkan hidup dengannya tanpa anak-24 jam sehari!
  2. Ketidaknyamanan hidup dengan pasangan bisa berasal dari pelbagai sumber: konflik yang terus menerus, tuntutan yang berlebihan, atau kebiasaan hidup yang tak dapat kita terima. Pada akhirnya kita ketakutan membayangkan bahwa kita harus hidup dengan semua ini-berduaan saja.
  3. Ada pula yang tidak mengharapkan hidup bersama pasangan di hari tua sebab hidup dengannya lebih merupakan beban. Di masa lampau kita merasa dimanfaatkan, di hari tua kita tidak lagi mau dimanfaatkan olehnya. Kita ingin mencicipi kebebasan. Kita tidak bersedia hidup baginya sebab tidak pernah ia menghargai pengorbanan kita.
  4. Ada juga yang tidak sanggup membayangkan hari tua karena sakit penyakit yang diderita pasangan. Kita telah letih dan butuh istirahat; kita mau merawatnya tetapi kita tidak bertenaga lagi.

Kelemahan Masa Tua

Kekuatan Masa Tua

Nasihat Firman Tuhan

"Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan melainkan yang tak kelihatan karena yang kelihatan adalah sementara sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal. Karena kami tahu bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita...." (2 Korintus 4:18; 5:1)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pernikahan di Hari Tua." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Dengan bertambah majunya ilmu kedokteran dan lingkungan yang mendukung maka cukup banyak orang yang bisa berusia lanjut saat ini. Dengan demikian besar sekali kemungkinan pasangan-pasangan usia lanjut masih terjadi di sekitar kita. Dan para pendengar setia TELAGA ini belum lanjut usia, tetapi ini sebagai suatu langkah-langkah persiapan yang sangat bermanfaat. Karena bukan tidak mungkin kita sebagai suami istri akan masuk pada fase ini. Ada orang yang mengharapkan bisa mengalami lanjut usia tapi ada juga sebagian orang yang bahkan takut dan rasanya enggan untuk menikmati masa tuanya, menurut Pak Paul bagaimana?

PG : Betul sekali yang Pak Gunawan katakan. Sebetulnya 1/3 hidup pernikahan kita itu akan kita habiskan di usia tua. Kalau kita berumur panjang sehingga dapat menikmati 60 tahun pernikahan, dapt dikatakan 20 tahun terakhir adalah 20 tahun terakhir dalam masa tua.

Jadi sebaiknya kita menyiapkan diri untuk menghabiskan 1/3 hari nikah kita di hari tua. Tadi Pak Gunawan berkata ada sebagian orang menanti-nantikan dengan sukacita tapi ada sebagian orang yang memang takut, enggan, karena apa yang sekarang terjadi dalam rumah tangga mereka tidak nyaman. Kenapa mereka masih bertahan? Kemungkinan karena adanya anak sehingga masalah-masalah masih bisa diredam. Namun mereka mulai berpikir, nanti anak-anak sudah tidak ada, sudah besar, saya tidak mau hidup bersama pasangan saya seperti ini terus. Misalnya saat ini sudah terlibat dalam konflik yang tidak ada penyelesaiannya, bukannya bahan konflik makin berkurang tapi makin bertambah. Jadi kita sudah membayangkan di hari tua harus hidup dengan pasangan, dengan begitu banyaknya konflik yang nanti dapat bertambah dan akhirnya kita berkata "Saya tidak mau." Atau ada juga orang yang memang hidup dalam tuntutan yang berlebihan, pasangannya menuntut terus menerus dan dia berkata, "Saya tidak mau hidup seperti ini, saya tidak mau nanti di hari tua dikejar-kejar oleh tuntutan. Kapan saya bisa hidup bebas dan menikmatinya?" Atau ada kebiasaan hidup pasangan yang kita tidak suka misalnya hal yang buruk. Ada orang yang senang berjudi, kita tidak bisa membayangkan harus melihat dia berjudi setiap hari setiap minggu, atau ada orang yang peminum dan kalau minum sering mabuk. Kita tidak bisa membayangkan di hari tua hidup bersama dia, inilah yang membuat sebagian orang akhirnya tidak bisa menghabiskan hari tua bersama pasangannya.
GS : Bahkan ada sebagian orang yang secara terus terang berkata "Lebih baik saya mati lebih dulu daripada pasangan saya supaya saya terbebas dari masalah ini." Jadi sebenarnya itu adalah masalah-masalah yang dibawa pada waktu dia masih muda, Pak Paul?

PG : Betul, jadi ini adalah masalah yang memang dia akan wariskan, sebetulnya sudah dialami dari sekarang ini.

GS : Dan bagaimana kita bisa mengantisipasinya supaya kita bisa melihat terlebih dahulu apa yang menjadi sisi kekurangan atau kelemahan ketika kita mengalami usia lanjut?

PG : Memang tidak ada janji atau kepastian bahwa semua konflik akan terselesaikan, apalagi kalau pasangan kita itu adalah orang yang tidak mau bekerjasama dengan kita untuk menyelesaikan konfli itu.

Jadi saya juga tidak punya jawaban untuk kasus seperti itu karena pernikahan itu ibarat tubuh manusia dengan dua kaki yang berarti suami dan istri harus bekerjasama berdua menyelesaikan masalah. Karena kalau hanya satu saja yang mau dan yang lain tidak mau maka tidak akan ada hasilnya. Namun saya anjurkan, kalau ada konflik yang belum terselesaikan, sedapatnya diselesaikan ini merupakan kata kunci, sebab kalau pasangan tidak mau menyelesaikan maka kita tidak bisa memaksanya, tapi yang dapat kita selesaikan sebaiknya kita selesaikan. Jadi kita berusaha sedapat mungkin untuk melaksanakannya. Atau misalkan tuntutan-tuntutan dari pasangan yang tidak dapat kita penuhi, maka sebaiknyalah kita mencoba berbicara dengan dia, "Saya tidak bisa memberikan setinggi ini kepadamu, yang hanya bisa saya berikan adalah setinggi ini yaitu yang lebih rendah dari yang kamu inginkan. Mari kita kerjasama saya tidak bisa memberikan semuanya dan hanya sebagian. Bisa tidak kamu tolong saya, kamu terima saya." Jadi sejak awal, dari pada kita bereaksi marah dengan tuntutan pasangan kita atau kita mensabotase tuntutannya, mari kita bicara sama-sama dan apa yang kita bisa berikan. Tapi kita jangan langsung menyodorkan apa yang tidak bisa kita berikan, kalau itulah yang akhirnya kita katakan, "Ini yang tidak bisa saya berikan." Sudah tentu tidak akan ada titik temu. Jadi kita perlu menunjukkan ikhtiar baik, kalau kita mau melakukan sebisa kita dan tentang kebiasaan hidup yang memang tak dapat kita terima dan kita katakan kepadanya bahwa "Saya tidak tahan dengan gaya hidup seperti ini," sudah tentu tergantung juga pada pasangan kita apakah dia mau berubah. Ada pasangan yang memang keranjingan judi baik itu judi bola dan sebagainya. Bagi saya judi adalah sebuah alat setan yang setan gunakan untuk menghancurkan hidup manusia. Kalau orang sudah dikuasai judi, dia juga sudah dikuasai oleh iblis dan susah sekali orang lepas dari cengkeraman iblis kalau dirinya tidak mau lepas. Dia bisa lepas dari cengkeraman iblis kalau dia mengakui "Saya memang sudah terikat oleh tangan-tangan iblis sehingga saya tidak bisa lepas lagi dan saya butuh bantuan." Kalau itu yang terjadi maka kita harus bicara dengan pasangan kita. Rasanya tidak ada perubahan yang terjadi tapi kalau masih ada kebiasaan yang masih bisa pasangan ubah maka kita minta secara perlahan untuk dia bisa mengubahnya. Ada hal-hal yang tidak bisa kita ubah secara drastis, maka kita meminta dia untuk mengubah secara perlahan hal-hal yang bisa dikerjakannya.
GS : Memang ada beberapa hal yang tidak bisa dirubah, misalnya penyakit yang menahun sehingga orang ini takut menghadapi usia lanjut karena dia akan merasakan bahwa pasangannya ini nanti menjadi beban. Dan rasanya dia tidak mampu untuk menanggungnya?

PG : Ada juga pasangan yang sejak usia paro-baya sudah mulai diserang oleh sakit penyakit. Sebetulnya kita itu mau merawat dia tapi akhirnya kita merasa tidak tahan terlalu lelah dan mulai ragu mampu tidak saya menolong dia.

Ada orang yang seperti ini dan sudah tentu dia tidak begitu mengharapkan hari tua bersama pasangannya. Karena dia sudah membayangkan bahwa yang akan menunggunya pada hari tua adalah tugas merawat pasangan dan ini merupakan tugas yang berat. Jadi kalau hal ini yang menjadi ketakutan, sebaiknyalah dia jujur dengan pasangannya, dengan anak-anaknya dan mulai mempersiapkan tenaga bantuan. Kalau memang dia tidak bisa, mungkin dibantu oleh perawat atau anak-anaknya nanti lebih berpartisipasi dalam upaya merawat orang tuanya. Yang penting disini adalah keterbukaan, bukannya tidak mau menolong tapi rasanya tidak sanggup sehingga dua-dua bisa saling mengerti. Kalau tidak, pasangannya yang sakit itu akan merasa terbuang "Sekarang saya sudah mulai sakit-sakitan, inilah sikap kamu kepadaku, kamu mau membuang saya begitu saja." Lebih baik dibicarakan secara terbuka sehingga masing-masing mempunyai kejelasan akan apa yang bisa dilakukan untuk satu sama lain. Satu hal lagi yang akan saya tambahkan berkaitan dengan hal ini adalah adakalanya orang itu memang tidak mau dan takut menghadapi hari tua karena pada masa lalu kita merasa dimanfaatkan. Kita tidak merasa dihargai olehnya, dipakai olehnya, seolah-olah kita itu sapi perahnya. Kalau itu yang kita alami, kita tidak akan menantikan masa tua bersama dia, kita tidak mau di hari tua pun kita akan menjadi sapi perahnya yang akan disuruh-suruh, dimintai banyak hal, namun kita tidak mendapatkan imbalan. Bukannya kita itu tergila-gila dengan imbalan tapi kita ini manusia dan kita perlu tenggang rasa, ucapan syukur, terima kasih dan sebagainya. Pasangan kita tidak memberikan hal-hal itu, tidak mengucapkan terima kasih hanya memakai dan memanfaatkan kita. Hal-hal inilah yang membuat kita menatap masa depan dengan berkata, "Saya tidak mau hidup bersama dia, saya tidak mau menikah sampai hari tua." Ada juga orang yang mulai berharap-harap "Mudah-mudahan saya mati duluan," atau sebaliknya "Mudah-mudahan pasangan kitalah yang mati duluan." Sebab kita tidak bisa membayangkan untuk menghabiskan pernikahan di hari tua dengan dia.
GS : Ada pasangan yang waktu usia paro-baya dikatakan tidak cocok tapi mereka juga tidak berani bercerai. Sehingga mereka sepakat "Salah satu dari kita yang nanti masuk ke panti wreda atau panti jompo." Itu adalah dalam rangka berupaya untuk memisahkan diri, Pak Paul?

PG : Salah satu yang menyuruhnya adalah yang tinggal dengan anak. Ada orang tua yang jauh-jauh hari sudah bicara dengan anak-anaknya, "Nanti tolong kamu yang rawat Mama atau kamu yang rawat Pap," karena memang mereka tidak mau.

Dan anak-anak juga mungkin melihat memang tidak mungkin Mama dan Papa hidup se rumah," tapi masalah akan lebih rumit karena kalau orang tua tidak hidup dalam kerukunan dan mereka melihat masalah yang terjadi, maka mereka pun juga tidak mau tinggal bersama orang tua. Mereka sudah membayangkan bagaimana hidup bersama Mama dan Papa yang sedikit-sedikit maunya marah, tidak bisa terima ini dan itu, dan menuntut banyak hal. Atau tidak bisa tinggal dengan Mama yang luar biasa galaknya dengan orang, dengan menantu juga sudah memberi sikap yang kurang baik. Maka anak tidak mau tinggal dengan Mama nanti bisa menghancurkan keluarganya. Jadi memang kalau kita itu sudah menyimpan masalah maka kita bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Kita tidak seharusnya melimpahkan masalah kepada anak-anak pada hari tua. Jangan sampai kerusakan dalam rumah tangga kita, kita teruskan kepada rumah tangga anak-anak kita sehingga akhirnya nanti mereka pun mengalami kehancuran.
GS : Anak-anak ini khawatir dikatakan oleh teman-temannya atau keluarga yang lain bahwa orang tua pada masa tua bercerai tidak menunjukkan keharmonisan di dalam keluarga.

PG : Ada sebagian anak yang merasa terjepit, di satu pihak merasa bersalah karena bertanggung jawab atas orang tua dan di pihak lain mereka tidak sanggup hidup dengan orang tua. Mereka pun sesugguhnya senang bisa keluar dari rumah.

Jadi sekali lagi saya tekankan, pihak yang bersangkutanlah yang harus menyelesaikan yaitu kedua orang tua itu sendiri.
GS : Pada masa tua ada banyak kelemahan didalam diri orang yang sudah lanjut usia ini, dan ini apa saja, Pak Paul?

PG : Masa tua itu sebetulnya perpanjangan dari masa sekarang, jadi apa yang terjadi sekarang itu di teruskan dimasa tua. Bedanya adalah kalau dimasa muda kita sering menghadapi konflik dengan psangan, maka di hari tua kita itu sudah tidak lagi sekuat seperti di masa muda.

Sehingga kemampuan dan ketahanan kita menghadapi konflik berkurang. Syaraf-syaraf kita tidak lagi sekuat dulu, kita lebih cepat lelah, jantung cepat berdebar, kita lebih cepat "nervous", dengan suara yang mengeras, tegang, sehingga kita tidak tahan dengan konflik. Meskipun masa tua adalah perpanjangan dari masa sekarang tapi kemampuan kita menahan beban konflik berkurang. Dan berakibat kalau di masa tua kita sudah hidup dalam konflik maka beban kita menjadi lebih berat. Sebetulnya bebannya sama beratnya tapi kesanggupan kita memikul beban itu melemah maka kita lebih tertindih oleh beban itu. Maka tidak heran kita melihat orang tua yang sangat-sangat tertekan, yang tidak bahagia, yang tidak terawat, yang tidak lagi ada cahaya dalam hidupnya karena memang mereka sudah memikul beban begitu lama. Dan dimasa tua kemampuannya sudah berkurang, ketahanannya sudah melemah maka beban itu akan menindih mereka.
GS : Pada masa lanjut usia, rupanya bukan hanya secara biologis kemampuannya menurun, tapi juga secara psikologis juga menurun?

PG : Karena tidak bisa dipisahkan, Pak Gunawan. Kesanggupan menghadapi problem memang bersumber dari dua hal yaitu secara spikologis dan juga biologis/fisik. Kalau ketahanan fisik kita berkuran, syaraf-syaraf kita juga semakin melemah.

Sudah tentu kemampuan untuk menahan dan memecahkan problem juga berkurang. Apalagi kalau kita sudah lama berkonflik berarti tenaga kita sudah terkuras dan di hari tua kita tidak mempunyai tenaga yang sama untuk menghadapinya. Itu sebabnya kalau di hari tua kita menghadapi problem kecenderungannya adalah "Sudahlah kita putuskan tidak perlu bicara, diam." Maka tidak heran pada hari tua banyak pasangan nikah yang satu di sana dan satu di sini, yang satu tahu apa yang harus dia kerjakan dan yang satu juga tahu apa yang harus dia kerjakan sehingga terjadi seperti itu terus, atau yang satu tinggal dengan anak dan yang satu tinggal dengan anak yang lain dan bertemu jarang-jarang karena intinya mereka itu sudah tidak sanggup lagi berkonflik atau berselisih pendapat.
GS : Dan seringkali yang dijadikan alasan adalah ingin mengunjungi cucu, tapi dia tidak mengajak pasangannya dan dia hanya pergi kesana sendirian. Hal ini adalah suatu upaya untuk melepaskan diri dari pasangannya?

PG : Betul, dan saya tidak mengatakan kalau itu salah. Sebab saya mengerti adakalanya itulah yang mereka butuhkan dan dapat mereka lakukan dan itulah yang terbaik yang terjadi didalam situasi yng buruk itu.

Silakan kunjungi cucu dan tinggal disana lebih lama. Orang memang hanya bisa bicara tapi seharusnyalah kita mengerti kemungkinan besar memang ada masalah di antara mereka sehingga itulah yang mereka bisa lakukan untuk menyelamatkan pernikahan ini.
GS : Kelamahan yang lain apa Pak?

PG : Masa tua umumya memperjelas ketidak harmonisan di antara kita, di masa muda kita juga ada ketidakharmonisan tapi di masa tua menjadi lebih jelas bukannya bertambah tapi lebih jelas. Karenadi hari tua itu tidak ada lagi pengikat yang memang mengikat kita, biasanya yang mengikat kita itu adalah anak-anak.

Tanggung jawab kepada anak pun sudah selesai sehingga kita lebih bebas dan karena lebih bebas, kalau kita bertengkar tidak ada lagi anak di rumah dan tidak ada lagi tanggung jawab untuk anak. Seringkali perkataan kita bisa lebih kasar dari pada di masa muda. Mungkin hal ini mengejutkan bagi sebagian pendengar kita tapi ini sesungguhnya yang terjadi. Di masa tua kalau orang berkelahi dengan pasangannya bisa menjadi jauh lebih kasar dibandingkan di masa muda. Ada yang di masa muda tidak pernah memaki-maki seperti memaki hewan tapi di masa tua kalau mereka memaki-maki seperti memaki hewan. Kenapa? Karena mereka lebih bebas, tidak ada lagi yang mengikat, tidak ada lagi orang yang mengawasi yaitu anak-anak, tidak ada lagi tanggung jawab kepada anak-anak. Kalau pun mereka harus bercerai mereka pikir tidak apa-apa karena anak-anak juga sudah berkeluarga dan semua sudah beres. Jadi pada masa tua kecenderungan sungkan kita berkurang, kita tidak lagi merasa sungkan bagaimana kalau dilihat orang. Sebagian orang berpikir kalau orang tua itu akan lebih sungkan dilihat orang, malu tapi sebetulnya tidak. Banyak orang tua yang tidak peduli lagi dengan orang lain mereka tidak pusing karena mereka lebih mengerti hidup, mereka juga melihat kalau hidup mereka tidak lama lagi. Jadi sebetulnya mereka tidak peduli dengan pendapat orang, kebanyakan anak-anak berkata kepada orang tua, "Papa, Mama malu dilihat orang dan kalau orang bicara bagaimana?" Jadi sebetulnya anak-anak yang malu dan orang tua tidak lagi merasa malu. Di saat-saat tua itu ketidak harmonisan cenderung menjadi lebih jelas, lebih mencolok.
GS : Apakah itu bukan karena dia memendamnya pada masa lalu dan sekarang dia merasa waktunya sudah singkat, kalau sekarang tidak saya ledakkan maka kapan lagi?

PG : Saya kira itu ada. Ada sebagian orang yang dia memang mengalah demi keutuhan rumah tangga terutama demi anak. Jangan sampai nanti anak-anak besar tidak ada orang tua, malu kalau nanti suda bercerai.

Banyak orang yang berpikir seperti itu Pak Gunawan, yaitu targetnya adalah sampai anak-anak menikah sebab kita yang sudah mulai berusia paro-baya mulai melihat, "Kalau mengawinkan anak dan orang tua bercerai maka orang tua akan malu dan anak pun susah mencari jodoh. Kalau diketahui oleh mertuanya bahwa kita ini bercerai maka tidak enak malu dan susah dapat jodoh." Jadi banyak faktor tentang anak yang membuat orang tua meredam masalah, demi anak supaya dapat jodoh yang baik dan waktu menikah tidak perlu malu. Secara psikologis waktu anak-anak sudah menikah berarti sudah tidak ada lagi yang harus saya pertahankan. Dan saat itulah sesuatu yang sudah disimpan-simpan dikeluarkan dengan lebih bebas. Maka tidak jarang muncul kasus seperti ini, istri itu dulunya penurut, diam, menyimpan, takut, dan di hari tua tidak lagi. Dia akan lebih bersuara kalau marah lebih keras, dia lebih berani berteriak dan si suami berkata, "Kamu dulu tidak pernah seperti ini tapi sekarang begini." Karena itu adalah akibat menyimpan kebencian, kemarahan mungkin selama puluhan tahun. Dan di hari tualah dalam pernikahan itu si istri lebih berani untuk mengeluarkan kemarahannya.
GS : Kita sebagai orang-orang yang lebih muda, seringkali melihat pertengkaran di antara orang-orang yang sudah lanjut usia ini seperti pertengkaran anak-anak lalu kita berkata, "Biarkan saja, sebentar lagi juga akan baikkan kembali." Sebenarnya lebih mudahkah mereka untuk berdamai kembali pada usia yang sudah lanjut atau pada usia paro-baya?

PG : Sebetulnya di hari tua orang harusnya lebih berhikmat, lebih mengerti hidup, seharusnyalah lebih bisa meredam kemarahan konflik itu. Namun di pihak lain karena masalah itu berumur panjang,bersejarah panjang sudah puluhan tahun, adakalanya juga susah karena sudah menjadi bagian dari hidup, pasangan pun akan berkata tentang kita, "Dia bersikap seperti ini sudah puluhan tahun, dia kapan bisa berubah lagi.

Tidak perlu mengharapkan dia berubah karena sifatnya sudah seperti ini." Misalnya dari dulu kalau bicara selalu berputar-putar tidak pernah mau terus terang, sudah puluhan tahun seperti ini atau dari dulu kalau bicara selalu menghina orang, tidak pernah mau menghargai orang yang seperti sekarang ini, dan bagaimana bisa dia berubah. Jadi memang kita harus akui sifat-sifat tertentu yang sudah berlangsung lama akan susah berubah. Dan itu sebabnya di masa tua kalau ada anak yang memang bisa terlibat untuk melerai seharusnya anak itu harus bersikap tegas mencoba melerai orang tua. Seolah-olah sekarang anak menjadi orang tua sebab mereka kalau tidak dilerai, tidak didamaikan maka tidak bisa. Jadi perlulah anak-anak terlibat dan bersikap lebih berani untuk menegur orang tua supaya pertengkaran mereka bisa diredakan.
GS : Tapi disamping itu kadang-kadang kita jumpai orang tua setelah dia memasuki usia lanjut, mereka juga melakukan perbuatan-perbuatan yang buat kita itu sesuatu yang baru. Misalnya saja dia mulai melakukan hobi mengumpulkan tanaman atau memelihara burung dan ini bagaimana?

PG : Di hari tua memang kadang-kadang orang tua mungkin karena sepi untuk mengisi waktu luang akhirnya memulai kebiasaan-kebiasaan yang baru. Ini seringkali menjadi bahan keributan, dulu rumah ersih dia kerja pagi sampai malam, sekarang dia di rumah terus, dia merasa bosan maka dia memelihara burung.

Kalau satu atau dua burung itu tidak masalah tapi kalau tiba-tiba burungnya dua lusin dan setiap burung ada kandangnya berarti ada dua lusin kandang dimana-mana, dan kotorannya dimana-mana. Ada pasangan yang tidak tahan dengan hobi-hobi baru seperti ini, jadi akhirnya bisa menimbulkan ketidakharmonisan. Dan faktor ini juga penting, dihari tua kemampuan kita menyesuaikan diri juga berkurang, kita semakin tua sebetulnya bukan semakin fleksibel, kita semakin tua ingin hidup kita konstan, tidak mau lagi berubah-ubah. Tapi adakalanya pasangan mengembangkan hobi baru sehingga kita harus menyesuaikan dan kita tidak suka sehingga muncul lagi masalah di antara kita.
GS : Terutama pasangan itu merasa diabaikan karena partnernya ini sibuk dengan hobi barunya itu.

PG : Betul, seringnya itu yang terjadi.

GS : Kelemahan yang lain apa, Pak Paul?

PG : Biasanya karena sakit penyakit, jadi akhirnya kita tidak mau direpotkan oleh pasangan kita yaitu harus merawat pasangan yang sudah lemah tubuh. Bedanya adalah kita ini seperti mengurus ana tapi mengurus anak itu lebih mudah kalau dia tidak taat kita marahi, kalau disuruh minum obat tidak mau, kita marahi dan dia ambil obatnya.

Tapi kalau mengurus pasangan yang sudah tua saat kita menyuruh dia makan obat dan dia tidak mau, dia malah memarahi kita bukan kita yang marahi dia. Jadi akhirnya kita susah merawat orang yang sakit di hari tua, kalau orang itu menurut maka kita akan lebih mudah tapi seringkali pasangan itu tidak seperti anak-anak dia lebih keras kepala. Ada orang misalkan telinganya tidak bisa mendengar dengan lebih baik lagi, kalau bicara akhirnya sering ribut karena tidak mendengar dengan jelas. Maka pasangannya harus berkata, "Tolong kamu pasang alat pembantu agar bisa mendengar lebih baik," tapi dia malah marah dan tidak mau. Jadi susah, maka hal-hal seperti itu menimbulkan permasalahan yang berkepanjangan.
GS : Memang akan berat dirasakan oleh pasangan Pak Paul, karena kita saja yang mengamati dari luar sebagai anak-anak itu juga kadang-kadang jengkel menghadapi orang tua yang seperti itu. Obat sudah dibelikan dan hanya tinggal minum. Ada rasa kekhawatiran yaitu mereka ini diremehkan padahal dia merasa masih kuat, masih ingat dan sebagainya, tapi kenyataannya tidak seperti itu, Pak Paul.

PG : Atau misalkan kompor tidak lagi dimatikan sehingga kita berkata, "Tidak bisa tinggal sendiri lagi, harus tinggal dengan kami," dan dia bisa menjadi marah. Atau pasangannya yang ingatkan di malah marah, pasangan mengingatkan "kompor hati-hati, sudah dimatikan apa belum?" dia semakin marah dan pasangan berkata "Memangnya saya sering lupa!" Tapi memang dia sering lupa.

GS : Pada dasarnya kalau orang diberitahu kelemahannya, maka dia tidak akan menerima dengan rela. Tapi kita baru berbicara tentang kelemahan dari orang tua dan pada sesi yang akan datang mungkin Pak Paul akan jelaskan kelebihannya, karena tidak mungkin hanya kelemahan-kelemahannya saja pasti ada kelebihannya, ada hal-hal positif pada masa lanjut usia ini. Ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Tuhan berkata di Mazmur 90:5,6 "Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh di waktu petang lisut dan layu." Mnusia harus menyadari inilah dirinya tidak selamanya dia kuat, dia nanti lemah, dia akan memerlukan bantuan, dia harus menyadari keterbatasannya.

Ini adalah resep kalau nanti di hari tua kita jangan ragu untuk saling bantu dan saling minta bantuan. Tuhan juga sambung di sini pada ayat 10, "Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun," kita tidak hidup selama-lamanya. Kita tidak bisa melebihi umur karena Tuhan sudah tentukan batas usia kita tapi firman Tuhan berkata di ayat 12, "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana." Orang yang bijaksana adalah orang yang bisa menyadari keterbatasannya dan juga bisa mulai merencanakan "Kalau di masa muda kita bisa melakukan banyak hal tapi jangan sampai kita membawa masalah di hari tua." Jadi di hari-hari sekaranglah kita mulai menatap ke depan, apakah kita mau menghabiskan hari tua seperti ini terus. Maka kita akan cenderung berkata "Tidak mau", maka kita harus selesaikan sekarang. Jadi orang yang bijaksana adalah orang yang menyadari keterbatasannya sehingga tidak malu untuk minta bantuan. Yang kedua, orang yang bijaksana adalah orang yang bisa merencanakan hari tuanya, sehingga di hari tua tidak lagi mewarisi problem yang besar.
GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pernikahan di Hari Tua", bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



46. Pernikahan Dihari Tua 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T227B (File MP3 T227B)


Abstrak:

Lanjutan dari T227A


Ringkasan:

Ada yang menanti-nantikan masa tua namun ada pula yang menatapnya dengan penuh ketakutan. Apakah yang terjadi sehingga ada yang melihat pernikahan di hari tua dengan penuh ketakutan?

  1. Biasanya ketakutan bersumber dari ketidaknyamanan hidup dengan pasangan. Sebenarnya sekarang pun sudah tidak menyukai hidup dengannya namun kehadiran anak sedikit banyak mengurangi rasa tidak nyaman itu. Kita tidak bisa membayangkan hidup dengannya tanpa anak-24 jam sehari!
  2. Ketidaknyamanan hidup dengan pasangan bisa berasal dari pelbagai sumber: konflik yang terus menerus, tuntutan yang berlebihan, atau kebiasaan hidup yang tak dapat kita terima. Pada akhirnya kita ketakutan membayangkan bahwa kita harus hidup dengan semua ini-berduaan saja.
  3. Ada pula yang tidak mengharapkan hidup bersama pasangan di hari tua sebab hidup dengannya lebih merupakan beban. Di masa lampau kita merasa dimanfaatkan, di hari tua kita tidak lagi mau dimanfaatkan olehnya. Kita ingin mencicipi kebebasan. Kita tidak bersedia hidup baginya sebab tidak pernah ia menghargai pengorbanan kita.
  4. Ada juga yang tidak sanggup membayangkan hari tua karena sakit penyakit yang diderita pasangan. Kita telah letih dan butuh istirahat; kita mau merawatnya tetapi kita tidak bertenaga lagi.

Kelemahan Masa Tua

Kekuatan Masa Tua

Nasihat Firman Tuhan

"Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan melainkan yang tak kelihatan karena yang kelihatan adalah sementara sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal. Karena kami tahu bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita...." (2 Korintus 4:18; 5:1)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Pernikahan di Hari Tua." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita memperbincangkan tentang pernikahan di hari tua bagian yang pertama dan belum seluruhnya kita bisa perbincangkan, dan kali ini merupakan kelanjutannya. Ini merupakan sesuatu yang penting bagi para pendengar kita yang saat ini belum mencapai usia lanjut sebagai langkah-langkah persiapan, yang saya percaya harus dipersiapkan sedini mungkin untuk memasuki usia lanjut, apalagi dengan pasangan atau suami atau dengan istri kita. Pak Paul, supaya pendengar kita memperoleh gambaran yang utuh, mungkin Pak Paul bisa menjelaskan tentang apa yang kita pernah perbincangkan pada kesempatan yang lalu.

PG : Sesungguhnya prinsip yang berlaku adalah prinsip tabur tuai. Jadi kalau kita menabur sebuah relasi yang kuat di masa muda, di hari tua kita akan menuai suatu pernikahan yang juga kuat. Tap kalau kita di masa muda menabur relasi yang bermasalah, maka di hari tua pun kita akan menuai relasi bermasalah.

Bedanya adalah pada masa muda biasanya kita lebih kuat, lebih bertenaga, syaraf-syaraf kita juga masih sanggup menahan tegangan-tegangan dan sebagainya, namun di hari tua kesanggupan kita untuk menahan ketegangan untuk berkonflik biasanya sudah berkurang sehingga ketidakharmonisan di antara kita bisa nampak. Akhirnya kita saling acuh tidak mau lagi berhubungan dekat. Satu hal lain lagi adalah di hari tua kita tidak lagi terikat oleh anak-anak dan kita merasa bahwa kita sudah bebas tidak ada lagi tanggung jawab, anak-anak sudah besar sudah menikah. Ini bisa memberi dampak negatif kepada kita yang memang bermasalah dalam pernikahan, karena di hari tua yang tidak ada lagi pengikat yaitu anak-anak. Kita semakin berani untuk bicara maka tidak heran kalau dalam sebagian pernikahan di hari tua ada yang perkataannya semakin kasar pada pasangan, kalau marah mencaci maki. Ini adalah hal-hal yang di masa muda tidak dilakukannya tapi di hari tua semua kata-kata kasar dia keluarkan. Mengapa demikian? Karena peredam itu tidak ada, anak-anak sudah besar sudah menikah sehingga orang tua lebih bebas untuk mengeluarkan unek-uneknya. Belum lagi kalau selama ini dia menyimpan semua kekesalannya, di hari tua dia lebih berani mengeluarkan. Salah satu ciri orang tua yang kadang kita salah mengerti adalah justru di hari tua mereka tidak terlalu sungkan, jadi yang sungkan biasanya anak-anak dan anaklah yang biasanya meminta orang tua jangan membuat malu. Tapi orang tua sendiri sebetulnya sudah tidak pusing dengan perkataan orang. Oleh sebab itu tadi saya sudah tekankan prinsip tabur tuai inilah yang berlaku, maka pada masa-masa muda kalau kita memang sudah mempunyai konflik kita harus selesaikan jangan sampai kita bawa di hari tua karena di hari tua beban itu menjadi lebih berat untuk kita pikul, karena kesanggupan kita sudah lebih berkurang dan problem memang cenderung lebih membakar, itulah kira-kira yang telah kita bahas, Pak Gunawan.
GS : Memang ada beberapa kelemahan di dalam diri orang yang sudah mencapai lanjut usia dan itu yang sudah kita bicarakan pada kesempatan yang lalu. Sekarang kita akan memperbincangkan sisi positifnya, sisi kelebihannya menjadi orang yang berusia lanjut dan apa saja kelebihannya, Pak Paul?

PG : Biasanya yang pertama adalah di usia lanjut kita tidak lagi tergesa-gesa, kita mempunyai lebih banyak waktu, seyogianya ini menjadi aset buat kita untuk menyelesaikan masalah di antara kit dan pasangan kita, sehingga dengan adanya waktu kita bisa bicara perlahan, kita lebih bisa melihat masalah dan mencoba menyelesaikannya dengan lebih perlahan pula.

Jadi kalau dulu kita bekerja sehingga tidak punya waktu banyak untuk menyelesaikan masalah sekarang ada di tangan kita semua. Sebagai contoh konkret, dulu kalau kita ingin menyelesaikan masalah kita pikir dulu, "Besok pagi kita harus bangun, kita harus mengurus anak, kita harus kerja, dan sebagainya," akhirnya kita memikirkan untuk hari besok. Akibatnya adalah waktu kita bertengkar seringkali kita bertengkar dengan lebih hebat karena kita sudah terdesak dengan waktu. Seyogianyalah di masa tua dengan adanya waktu yang banyak di tangan kita, kita tidak lagi terdesak oleh waktu kita bisa berbicara dengan lebih sabar, mendengarkan dia dengan lebih lama, memberikan pengertian dengan lebih bertahap. Yang kedua adalah seyogianya pada hari tua kita lebih berhikmat, kita sudah menimba pengalaman hidup dan seyogianyalah sekarang kita bisa lebih melihat apa yang penting dan apa yang tidak penting, jangan lagi membesarkan hal yang tidak penting, bertambah dewasalah, bertambah hikmatlah kita. Dengan hikmat seharusnya kita lebih bisa menyelesaikan masalah dan menemukan titik temu di antara kita. Yang ketiga dalam usia tua seyogianyalah kita bertambah rohani, kita lebih mengingat akan Tuhan sehingga dalam menyelesaikan masalah kita juga lebih melibatkan Tuhan karena prioritas hidup kita sudah lebih jelas bahwa Tuhanlah yang terpenting, dan bukankah kita nanti akan menghadap Tuhan. Jadi seharusnya kerohanian itu lebih berperan di dalam kehidupan pernikahan kita di masa tua.
GS : Memang dalam usia lanjut sebenarnya ada banyak waktu tersedia tetapi ada orang yang sejak muda atau sejak usia paro-baya menyibukkan dirinya dengan beberapa hal apalagi pada kesempatan yang lalu Pak Paul juga menjelaskan biasanya pada usia lanjut ada orang yang memulai hobi baru sehingga tetap saja dia tidak mempunyai waktu dan penyelesaian masalah selalu dilakukan dengan tergesa-gesa.

PG : Itu memang kesalahan yang bisa kita buat, itu sebabnya saya berharap bahwa pada hari tua harus ada penurunan jumlah aktivitas dan juga berapa seringnya kita melakukan hobi kita, itu semua erlu dikurangi.

Tapi seharusnya kita juga berpikir kalau dulu kita sibuk karena jam-jam kita sudah terisi dengan pekerjaan dan sekarang jam-jam kita terisi untuk hobi, tapi sebenarnya hobi itu bisa diatur dan kalau berkerja itu yang tidak bisa diatur kalau sudah jam masuk kantor maka kita harus masuk. Jadi seyogianyalah di hari tua prioritas kita jelas bahwa yang penting bukan lagi hobi-hobi ini dan yang penting adalah relasi kita. Jika di masa muda kita mengorbankan relasi nikah demi karier kita, maka sekarang sadarlah bahwa yang penting ini adalah relasi nikah kita. Maka bersedialah untuk menomor duakan hal-hal lain seperti misalnya hobi-hobi itu. Dengan perspektif yang jelas seperti ini seyogianya kita lebih bisa duduk bersama dan bicara dari hati-kehati. Tadi yang saya sudah singgung juga, kita seharusnyalah bertambah hikmat tidak lagi dibutakan oleh nafsu muda dan sebagainya. Jadi di hari tualah kita seharusnya tidak lagi cepat-cepat membenarkan diri. Kalau pasangan belum selesai berbicara kita sudah memotongnya, sebaiknya jangan lagi kita melakukan hal-hal seperti itu, seharusnyalah lebih berhikmat. Yang penting bukan saya benar, engkau benar tapi yang penting kita berdua menemukan solusi atas problem ini, tidak menjadi soal siapa yang benar tapi solusinyalah yang kita mau cari. Saya harap di hari tualah kita lebih berhikmat melihat hidup dan melihat pernikahan dengan perspektif ini.
GS : Karena panjangnya usia dan banyaknya pengalaman, orang yang mengalami usia lanjut itu mempunyai modal banyak di dalam pengalaman menyelesaikan masalah berkomunikasi dan sebagainya, hanya tinggal bagaimana dia bisa memanfaatkannya atau tidak, Pak Paul?

PG : Dan mendengarkan, kadang-kadang ada kecenderungan di hari tua kita tidak bersedia mendengarkan karena kita merasa bahwa kita sudah menyimpan problem begitu lama yaitu hidup dalam masalah yng sama terus-menerus.

Jadi di hari tua seharusnya kita lebih berhikmat bahwa semua masalah bisa selesai kalau saja ada yang mendengarkan. Kedua-duanya harus belajar duduk mendengarkan pasangannya, jangan sampai di hari tua kita semakin impulsif, makin tidak sabar, makin tergesa-gesa. Akhirnya hanyalah menghancurkan pernikahan kita.
GS : Dan satu poin yang penting yang tadi Pak Paul katakan pada usia lanjut sebaiknya kita lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Tapi kendalanya adalah untuk membaca Alkitab matanya sudah rabun, untuk mendengarkan khotbah telinganya juga sudah kurang peka, ingin pergi ke gereja, ke luar rumah kondisi tubuhnya juga tidak memungkinkan lagi dan saran Pak Paul bagaimana?

PG : Sebisanya tetap membaca firman, kita bisa membeli kaca pembesar atau kita membeli Alkitab dengan huruf cetakan yang lebih besar. Kalau telinga kita kurang mendengar maka kita bisa membeli lat bantu dengar atau kita dengarkan dengan suara yang lebih keras.

Atau yang lebih penting dari mudalah kita sudah menyimpan firman Tuhan di dalam hidup kita sehingga firman Tuhan terus memandu kita bukan hanya di usia muda tapi dalam pernikahan di usia tua sekalipun.
GS : Ini akan tetap dilakukan misalnya saja "family altar", doa sama-sama masih bisa dilakukan Pak Paul?

PG : Betul, justru di hari tua seharusnya ini menjadi sesuatu yang lebih penting, yaitu kita dan pasangan bisa berdoa bersama.

GS : Memang menyejukkan dan sangat menyenangkan melihat Opa/Oma, Kakek/Nenek bergandengan tangan pergi ke gereja. Kita yang lebih muda jika melihat itu suatu hal yang sangat positif sampai berpikir apakah kita bisa mencontoh seperti mereka.

PG : Betul hal-hal seperti itu menjadi sebuah suri teladan dan memotivasi kita untuk hidup seperti mereka dalam pernikahan. Jangan sampai kita di tengah jalan akhirnya harus mengalami masalah. an akhirnya kita lebih termotivasi melihat contoh yang indah itu.

GS : Apakah ada nasehat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Ada dari 2 Korintus 4:18 dan 5:1, firman Tuhan berkata, "Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yangtak kelihatan adalah kekal.

Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia." Dari firman Tuhan ini kita bisa menarik sekurang-kurangnya dua pelajaran dan nanti akan saya tambahkan dengan tiga pelajaran lainnya. Yang pertama adalah pada masa tua seyogianyalah kita lebih memberi perhatian pada yang tidak kelihatan yaitu karakter. Tidak lagi kita memperhatikan atau memfokuskan pada hal-hal yang bersifat fisik atau materi. Pada akhirnya keindahan batiniah menjadi pusat dan landasan kasih mesra diantara kita. Di masa muda kita menikahi istri kita biasanya karena kita melihat dia cantik, sudah tentu kecantikan akan semakin memudar dengan bertambahnya usia. Di hari tua kita tetap melihat istri kita dengan penuh kasih sayang bukan karena kecantikannya tapi karena keindahannya. Jadi kita bergeser dari cantik ke indah itu untuk wanita. Dan wanita kepada pria biasanya pada waktu menikah di awal-awal pernikahan wanita melihat pria itu bagus sudah tentu bukan hanya bagus secara fisik tapi bagus juga misalkan secara sosial, secara ekonomi maka dia menikah karena ini pilihan yang bagus. Tapi di hari tua tidak lagi sebagus di masa muda, seyogianyalah istri melihat bukan kebagusan pria atau suaminya tapi istri melihat kebaikan suaminya. Jadi dari bagus berubah menjadi baik. Kalau suami istri bisa melihat pasangan seperti ini yang satu melihat suaminya baik, suami melihat istrinya indah maka kemesraan suami istri akan terus berlanjut hingga di hari tua.
GS : Tapi disamping itu masing-masing pihak juga harus menonjolkan apa yang tadi Pak Paul katakan keindahan dan kebaikannya.

PG : Betul.

GS : Jadi di pihak istri diminta untuk tetap menampilkan apa yang indah di dalam dirinya, ini sesuatu yang bukan lagi nampak jelas oleh mata tetapi sesuatu yang keluar dari dalam, Pak Paul?

PG : Betul, yang indah adalah hal-hal yang keluar dari mulutnya yaitu hikmat, tidak sembarangan bicara, tidak menjelek-jelekkan tidak menggosip, tidak mencaci dan justru yang keluar adalah hal-al yang indah yang penuh dengan hikmat, penuh dengan anugerah, tahu kapan bicara dengan suami, tahu kapan membangun suami dan sebagainya.

Sebaliknya pria itu harus menunjukkan kebaikannya yaitu selalu siap menolong si istri memikirkan apa yang baik bagi si istri, melakukan apa yang juga diinginkan oleh si istri, sikap-sikap siap membantu, sikap merendah, sikap mau memberi inilah kebaikan yang seharusnya diperlihatkan suami kepada istri. Jadi nasehat rasul Paulus kepada kita, "Jangan kita memfokuskan lagi pada yang kelihatan tapi pada yang tak kelihatan," di hari pernikahan masa tua inilah yang harus kita fokuskan bukan lagi pada yang kelihatan tapi pada karakter, pada yang tidak kelihatan ini.
GS : Tetapi kalau kita bisa melihat atau menikmati sesuatu yang indah dari dalam itu, hal yang kurang baik yang kita lihat di luar pun akan kelihatan baik, jadi keriput-keriputnya itu menjadi indah buat mata orang yang memang mengasihi, Pak Paul?

PG : Betul dan sebetulnya waktu kita melihat keriput-keriput itu, kalau kita sudah melihat dan mencicipi baik itu keindahan maupun kebaikan dari pasangan kita, justru sebetulnya yang timbul dar hati kita adalah yang pertama rasa bersyukur.

Kita telah bersamanya selama ini dan dia telah menjadi berkat buat hidup kita dan kita bersyukur. Yang kedua rasa sayang kalau dia sekarang tidak lagi kuat sudah mulai renta tapi kita menyayangi yang renta ini, yang lemah ini karena dia adalah orang yang indah atau dia adalah orang yang baik, jadi kita justru menyayangi. Sekali lagi di hari tua tetap kemesraan masih tetap terjalin bukan lagi atas dasar hal-hal yang bersifat fisik tapi atas dasar hal-hal yang bersifat rohaniah yaitu karakter.
GS : Hal yang kedua yang ingin Pak Paul sampaikan apa?

PG : Tadi firman Tuhan juga berkata kemah tempat kediaman kita di bumi ini suatu hari akan dibongkar Tuhan, tapi waktu itu terjadi Allah telah menyediakan tempat kediaman di sorga bagi kita. Jai pada masa tua seharusnyalah kita mempersiapkan diri untuk kehidupan yang akan datang yakni hidup bersama Kristus.

Jadi selama kita masih hidup di dunia, hiduplah senantiasa dalam hadirat Allah dan berhentilah berdosa. Apa pun yang kita perbuat kita kaitkan dengan kehidupan di sorga kelak, jangan melakukan perbuatan yang kita tidak bisa pertanggung jawabkan kepada Tuhan. Ada yang menakutkan saya yaitu sewaktu saya melihat orang yang sudah lanjut usia justru semakin berdosa dan ada yang seperti itu, bukannya takut berdosa tapi malah makin berdosa, makin tidak takut dengan Tuhan. Sebab saya berpikir kenyataannya bahwa Tuhan masih memberinya hidup itu adalah pertanda bahwa Tuhan masih memberinya kesempatan untuk bertobat, tapi ada orang tua yang melihat kesempatan ini tidak untuk bertobat dan berhenti berdosa tapi malah dia semakin menumbuhkan dosa, itu mengerikan sekali. Jadi saya memohon di masa tualah kita mesti hidup di dalam hadirat Tuhan, mesti lebih menyadari hadirat Tuhan di dalam keluarga dan pernikahan kita sehingga kita itu takut berdosa, makin membuang dosa jauh-jauh dari kita bukan kita makin merenggut dosa untuk dekat dengan kita.
GS : Memang betul apa yang Pak Paul katakan, dan saya punya kenalan yang sudah paro baya lebih dan sebenarnya hampir mendekati lanjut usia. Dia punya prinsip, dan mengatakan, "Dulu waktu muda saya tidak bisa menikmati hal-hal seperti ini dan sekarang waktu saya hanya tinggal sedikit, saya tahu bahwa waktu saya tinggal sedikit jadi kapan lagi saya mau menikmatinya?" dan dia mengatakan lagi "Sekarang ini waktunya." Uang dia punya, waktu dia ada, lalu dia melakukan dosa-dosa itu Pak Paul!

PG : Sayang sekali, sebab itu berarti dia makin menumpukkan dosa dan bukannya makin menghilangkan dosa di mata Tuhan. Jadi kebalikannya kita harus semakin tua semakin takut semakin berhenti berosa.

Jadi seyogianyalah kita sebagai suami dan istri di masa tua makin hidup kudus karena kita makin memikirkan Tuhan. Waktu kita ingin berbuat sesuatu, bertindak sesuatu, ingatlah apakah Tuhan memperkenankannya atau tidak, apakah ini akan menjadi dosa di hadapan Tuhan atau tidak, maka makin takutlah kita akan Tuhan.
GS : Memang pasangannya yang menderita, lalu pasangannya berkata, "Saya harus bicara apa dengan suami saya ini," dia tahu ini keliru tapi dia juga tidak berani untuk bicara dengan suaminya yang punya konsep atau prinsip seperti itu Pak Paul?

PG : Kadang-kadang dalam kasus seperti itu memang tidak bisa lagi bicara karena kalau orang sudah bertekat mau hidup seperti itu, apapun yang orang lain katakan dia tidak akan mendengarkan.

GS : Lalu pelajaran yang ketiga apa, Pak Paul?

PG : Di Galatia 6:2, firman Tuhan meminta kita untuk saling memikul beban masing-masing dengan demikian kita memenuhi hukum Kristus. Pada masa tua kita harus lebih menumbuhkan sikap saling menoong, kita ini saling membutuhkan karena fisik kita makin lemah kita tidak semakin kuat.

Jadi berarti kita semakin membutuhkan pasangan untuk menolong kita. Jadi jangan sampai kita sombong, angkuh tidak mau meminta pertolongan pasangan dan kita juga jangan sampai membangga-banggakan kelebihan kita apalagi kelebihan yang tidak lagi pasangan miliki. Ada orang yang masih bisa jalan jauh dan tegak, pasangannya sudah mulai renta sudah tidak bisa lagi. Maka jangan menghina pasangan dan jangan berkata "Kamu ini sudah tidak bisa ini dan itu," karena kalau kekuatan fisiknya masih ada sudah tentu pasangannya mau melakukan semua itu. Jadi jangan kita merendahkan pasangan gara-gara kita masih kuat. Orang yang egois dan sombong tidak akan mendapatkan respek dari pasangannya. Jadi prinsip yang mesti kita pupuk adalah saling tolong, kalau dari muda kita sudah saling tolong maka di hari tua pun kita saling tolong. Dan ini yang penting, kalau di masa muda kita itu berani minta tolong karena kita tahu kalau pasangan kita akan menolong maka di hari tua pun kita akan berani minta tolong. Ada pasangan yang di hari tua tidak berani minta tolong karena di masa muda pun kalau minta tolong tidak pernah ditolong. Jadi mereka di masa tua pun tidak berani meminta tolong. Ini adalah pola hidup yang tidak sehat, yang sehat adalah sejak awal kita sudah membiasakan diri untuk saling tolong.
GS : Memang itu membutuhkan rasa hormat atau rasa menghargai pasangan kita. Jadi kalau kita tidak menghargai, tidak menolong, seolah-olah dibiarkan, "Itu adalah bebanmu sendiri kamu tanggung sendiri, saya punya beban sendiri."

PG : Dan ini penting sekali yang Pak Gunawan katakan, jangan sampai kita itu menuntut pasangan "Sudah kewajibanmu untuk menolongku, sudah kewajibanmulah memberikan ini kepadaku." Hargailah apa ang pasangan berikan kepada kita, waktu kita meminta tolong jangan lupa mengucapkan terima kasih, memberikan penghargaan kepada pasangan.

Kalau kita memang perlu perawatannya maka kita katakan kepadanya kita sangat menghargai pengorbanannya buat kita. Orang selelah apa pun kalau mendapatkan penghargaan maka akan lebih bersukacita untuk menolong pasangan.
GS : Mungkin ada pelajaran yang lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Satu lagi di masa tua dalam hubungan suami istri seharusnyalah kita itu menutup masalah yang lama, bukan malah menciptakan atau membuka-buka masalah. Dengan cara meminta ampun mengingat kealahan di masa lalu, jangan ragu untuk meminta ampun kepada pasangan.

Di hari tua seringkali kita mengingat tindakan-tindakan kita yang kurang pas di masa muda, oleh sebab itu jangan gengsi untuk berkata "Saya ingat saya pernah berbuat ini kepadamu, saya sangat menyesal, saya malu karena saya bisa berbuat itu kepada kamu, saya minta maaf." Mungkin untuk sejenak pasangan kita teringat dan dia mungkin marah kembali, tapi itu kemarahan yang sehat, dia akan keluarkan kemarahannya dan berkata "Memang dulu saya merasa marah kepada kamu tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa, sekarang kamu minta maaf dan memang saya masih marah." Dan kita katakan "Tidak apa-apa kamu marah, saya mengerti." Jadi mintalah ampun dan berilah ampun satu sama lain. Dan yang terakhir adalah di masa tua kita juga mesti mengingat bahwa pasangan kita itu tetaplah manusia yang memang membutuhkan semua hal yang dibutuhkan seperti sentuhan, kasih sayang, kemesraan, respek. Jangan beranggapan bahwa kalau di hari tua kita tidak butuh lagi yang seperti itu, di hari tua masih tetap membutuhkan cinta kasih, respek, pelukan, ciuman, belaian, di hari tua hal-hal itu tetap relevan. Inilah yang akan memberikan semarak dan keindahan pada pernikahan kita di hari tua.
GS : Ada yang berkata mereka merasa malu melakukan hal itu dan mengatakan, "Kita ini sudah sama-sama lanjut usia tapi kenapa masih mesra-mesra seperti ini seperti anak muda saja," jadi ini dijadikan bahan rasa malu dan rasa tidak nyaman diperlakukan seperti ini, jadi ini bagaimana?

PG : Itu sayang sekali, karena bukankah kita memang membutuhkan, kita ini manusia sama dan yang berubah hanyalah kulit dan daging tapi jiwa kita sama yaitu jiwa yang membutuhkan kasih sayang, jwa yang membutuhkan respek, jiwa yang mau mendengarkan kata-kata yang membangun, jiwa yang ingin mendengarkan kata-kata yang manis, kita tetap jiwa yang sama dan jiwa itu tetap membutuhkan semua hal-hal ini.

Jadi tetaplah saling memberi dan jangan berkata "Tidak masanya lagi," dan sebagainya, semakin terbukanya kita memberi seperti ini, maka semakin indah pernikahan kita di hari tua.
GS : Tentu kita semua mengharapkan untuk bisa mengakhiri hidup kita di dunia ini bersama pasangan dengan sebaik-baiknya, meninggalkan kesan yang baik bukan hanya terhadap pasangan atau anak cucu tapi juga orang-orang yang di sekeliling kita.

PG : Betul.

GS : Jadi perbincangan di hari tua ini sesuatu bagian yang sangat penting dan kita ingatkan kepada para pendengar kita bahwa ini terdiri dari dua bagian, kali ini kita memperbincangkan bagian yang kedua dan pada kesempatan yang lalu kita memperbincangkan bagian yang pertama. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pernikahan di Hari Tua", bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



47. Sampai Maut Memisahkan Kita


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T302A (File MP3 T302A)


Abstrak:

Semua orang yang menikah berharap bahwa pernikahannya dapat berjalan langgeng sampai maut memisahkannya. Kita percaya tidak ada orang yang menikah dengan pemikiran bahwa suatu hari kelak ia akan menceraikan pasangannya. Persoalannya adalah, setelah menikah masalah mulai bermunculan sehingga perceraian pun menjadi salah satu pilihan yang dipertimbangkan. Namun sebelum hal itu terjadi alangkah baiknya kalau kita memelajari dulu bagaimana cara memertahankan pernikahan, agar hal-hal yang berbau perceraian tidak ada di dalam keluarga kita.


Ringkasan:

Firman Tuhan berkata, "Apa yang telah dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia" (Matius 19:6). Saya kira semua orang yang menikah berharap bahwa pernikahannya dapat berjalan langgeng sampai maut memisahkannya. Saya percaya tidak ada orang yang menikah dengan pemikiran bahwa suatu hari kelak ia akan menceraikan pasangannya.

Persoalannya adalah, setelah menikah masalah mulai bermunculan sehingga perceraian pun menjadi salah satu pilihan yang dipertimbangkan.

Sekarang marilah kita melihat bagaimanakah membangun pernikahan yang dapat bukan saja bertahan tetapi terus berbuah sampai maut memisahkan kita. Kita akan memulai dengan melihat tahap pernikahan pada masa tua dan menyoroti tantangan yang harus dihadapi pada masa itu agar kita dapat mempersiapkan pernikahan kita mulai dari hari ini.

Dua Ciri Masa Tua Benih Sehat adalah MENETAPKAN PRIORITAS HIDUP SEJAK AWAL PERNIKAHAN, YAITU:
  1. Memelihara relasi dengan Tuhan
  2. Memelihara relasi dengan keluarga
  3. Memelihara relasi dengan sesama

Dengan kata lain, kita mengutamakan RELASI di atas kepentingan lainnya.

Memelihara Relasi dengan Tuhan Memelihara Relasi dengan Keluarga Memelihara Relasi dengan Sesama Selain menabur benih sehat, kita juga harus melindungi pohon nikah yang telah ditanam agar dapat bertumbuh dan berbuah. Berikut akan dipaparkan beberapa langkah yang dapat diambil :
  1. MENJAGA HATI: Tidak ada yang lain. Kita harus melindungi pernikahan secara terencana. Ini berarti kita mesti mengambil tindakan tegas untuk melarang khayalan bergentayangan ke wilayah dosa. Sebagai manusia kita dapat dan akan tertarik kepada orang lain yang mungkin saja lebih menawan dan lebih baik daripada pasangan sendiri. Namun kita harus mengingatkan diri akan komitmen pernikahan yang telah dibuat. Singkat kata, kita mesti dengan tegas berkata bahwa di dalam hati kita, tidak ada ruang tersisa untuk orang lain.
  2. MENJAGA BATAS: Tidak ada yang lekat. Salah satu penyebab mengapa akhirnya banyak orang jatuh ke dalam dosa perzinahan adalah dikarenakan kegagalan kita menarik batas yang jelas SEJAK DINI. Dari awal berelasi dengan lawan jenis kita harus menetapkan batas bahwa relasi ini hanya akan menjadi relasi pertemanan. Kita harus memutuskan untuk tidak menceritakan masalah pribadi-apalagi masalah rumah tangga-kepada rekan lawan jenis. Kita juga harus menolak dengan tegas ajakan untuk pergi berdua atau bahkan mengantarnya pulang. Kita mesti menyadari bahwa interaksi pribadi yang dilakukan terus menerus berpotensi menumbuhkan ketertarikan dan ketertarikan pada akhirnya melahirkan hasrat atau nafsu untuk menyatukan diri dengannya. Kendati pencobaan dapat datang kapan saja, namun satu fakta yang tak dapat dipungkiri adalah sering kali kita turut berandil memberi undangan kepada pencobaan untuk datang.
  3. MENJAGA IMPIAN: Tidak berlebihan. Pernikahan pun mesti dilindungi dari kehancuran yang bersikap ekonomi. Kadang kita terlalu berambisius dan ingin cepat kaya sehingga kita gelap mata dan mengambil keputusan bisnis yang terlalu riskan. Alhasil, ingin untung kita malah buntung. Semua menderita akibat keputusan keliru yang kita buat. Kendati ikatan pernikahan tidak sepenuhnya bergantung pada kestabilan ekonomi, namun sebagai manusia kita terpengaruh olehnya. Kesulitan ekonomi yang mendera cenderung menambah frekuensi pertengkaran karena dalam keadaan terjepit, kita mengalami lebih banyak stres.
Kesimpulan Jika kita ingin sampai pada garis akhir dengan baik, kita harus merencanakan pertandingan dengan sebaik-baiknya. Itu sebabnya Firman Tuhan berikut ini haruslah menjadi pedoman hidup kita sekalian "PERCAYALAH kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar pada PENGERTIANMU sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, TAKUTLAH akan Tuhan dan jauhilah kejahatan; itulah yang akan akan menyembuhkan tubuhmu dan MENYEGARKAN tulang-tulangmu." Amsal 3:5-7

Transkrip:

"Sampai Maut Memisahkan Kita"( I ) oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sampai Maut Memisahkan Kita". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Dari judul perbincangan ini, tentu kita tahu Pak Paul bahwa kita akan membicarakan tentang hubungan pernikahan. Kalau kita melihat kenyataan kehidupan pernikahan, memang ada yang berumur panjang tapi tidak sedikit pula yang berumur pendek artinya terjadi perceraian dan sebagainya. Bagaimana dengan hal itu, Pak Paul?

PG : Saya percaya sewaktu kita memasuki pernikahan, kita tidak pernah berpikir bahwa suatu hari kelak kita akan menceraikan pasangan kita. Saya percaya kita semua masuk ke pernikahan berharap prnikahan kita bisa terus berjalan langgeng sampai akhirnya.

Tapi dalam perjalanannya masalah sudah mulai berjamuran, perbedaan pendapat juga mulai mencuat akhirnya kita sering berpikir, "Tidak bisa lagi untuk meneruskan pernikahan ini". Pada saat itulah alternatif perceraian mulai kita pertimbangkan. Hal ini yang kita akan coba bahas supaya kita bisa menyiapkan diri sebaik-baiknya agar jangan sampai kita jatuh dan akhirnya harus bercerai. Kita mau belajar bagaimanakah menyiapkan pernikahan kita dari titik ini atau dari hari ini supaya bisa bertahan terus sampai di hari tua.
GS : Tapi dalam konsep pernikahan Kristen, perceraian adalah sesuatu yang tabu. Jadi bagaimana pun kondisinya tetap tidak boleh bercerai dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Kita memang memiliki target bukan saja memertahankan pernikahan, tapi tetap untuk bisa berbuah sebab kita semua menyadari bahwa ada pernikahan di sekitar kita yang memang bertahan sampai hri tua, tapi hanya bertahan saja dan sesungguhnya mereka tidak lagi berbuah, mereka tidak mencicipi buah-buah pernikahan mereka.

Dan kita tidak buta terhadap fakta bahwa ada orang yang menikah sampai tua, tapi tidak memiliki relasi antara satu dengan yang lain, tidak lagi memiliki kasih, tidak lagi memunyai kepedulian terhadap satu sama lain dan masing-masing hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Kita tidak mau hanya bertahan seperti itu, tapi kita mau menyiapkan pernikahan yang berbuah pula sampai tua.
GS : Tapi banyak orang yang mengira kalau kita itu sudah tua, hubungan kita dengan pasangan kita itu biasa-biasa saja dan hanya bertahan sampai salah satu meninggal lalu selesailah pernikahan itu. Konsep seperti itu bisa dibenarkan atau tidak, Pak Paul?

PG : Konsep seperti itu keliru sebab semakin kita tinggal lama dengan pasangan kita dan menikmati keharmonisan, seyogianyalah perasaan kita itu makin mendalam, kita semakin susah untuk berpisahdengan dia karena dia benar-benar menjadi bagian dalam hidup kita dan dia bukan saja seolah-olah menumpang di hati kita, tapi benar-benar dia membuat rumah di dalam hati kita sehingga tidak bisa tidak kita dengan dia sudah menyatu.

Waktu misalkan dia tidak ada, pergi agak lama maka hidup kita akan mengalami goncangan dan kita akan kehilangan dia. Jadi seharusnya dengan berjalannya waktu kalau hubungan kita baik, memang hubungan itu akan mengakrabkan kita sehingga kita begitu menyatu dengan pasangan kita.
GS : Berarti ada beberapa kesamaan setelah pasangan itu memasuki usia lanjut, begitu Pak Paul?

PG : Pada usia lanjut, memang akan memasuki tahap-tahap tertentu. Guna memersiapkan semuanya, Pak Gunawan coba kita lihat ciri yang pertama yang seringkali dihadapi oleh orang-orang yang tua yatu, pada masa tua mereka sering melihat ke belakang dan tidak bisa lagi memandang ke depan karena pada masa tua, hidup yang tersisa tidak sebanyak hidup yang telah dilewati.

Pada masa muda hidup yang tersisa masih lebih panjang dari pada hidup yang telah dilewati. Dengan kata lain, pada masa tua kita tidak lagi bisa memandang ke depan dan kita tidak bisa lagi memulai sebuah perjalanan yang baru dan kita hanyalah menyelesaikan perjalanan hidup yang telah kita lalui selama ini. Jadi dengan kata lain, pada masa tua kita hanya akan membawa album kenangan dan bukan buku dengan halaman kosong, itu sebabnya pada masa tua kita cenderung mengingat apa yang telah terjadi. Itu sebabnya di masa-masa kita lebih muda kita harus memastikan bahwa kita telah berusaha sekeras mungkin mengharmoniskan relasi kita, supaya di hari tua sewaktu kita menengok ke belakang, kita akan mengingat hal-hal yang telah kita perjuangkan bersama. Kita tidak akan selalu sukses dan berhasil menyelesaikan masalah-masalah kita, tapi setidak-tidaknya kita bisa menengok ke belakang dan berkata bahwa saya melihat suami saya benar-benar berusaha mengorbankan diri menyatukan pernikahan kita. Pasangan kita juga bisa berkata hal yang sama tentang diri kita. Itulah yang menjadi modal kenangan yang nanti akan terus memperkuat pernikahan kita sampai tua.
GS : Tapi juga hal-hal yang terjadi di dalam keluarga yang bisa mereka lampaui, maka itu juga akan membawa kenangan yang manis juga, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi kalau ada hal-hal yang berhasil dilewati bukankah itu justru akan menjadi buah-buah manis yang nantinya akan kita petik, waktu kita menengok ke belakang dan kita melihat "Wah kita telah melewati itu semua dan kita telah melewati hal ini dan kita berhasil".

Dengan kata lain, kita merasa senang karena kita telah melewati tantangan itu bersama-sama berduaan. Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan pula pada masa tua adalah masa untuk kita menuai apa yang telah ditabur, pada masa tua kita menyadari bahwa apa pun yang terjadi di masa lalu memang tidak bisa diperbaharui atau diubah berhubung kesempatan itu pun sudah lenyap. Jadi kita hanya akan menuai apa yang telah ditabur, kita memetik buah dari pohon yang ditanam. Itu sebabnya jika kita telah menanam pohon kehidupan yang sehat di dalam pernikahan maka kita pun akan mencicipi buah yang manis, sebaliknya jika kita menanam pohon kehidupan yang tidak sehat dalam pernikahan maka kita pun harus memakan buah yang pahit. Itu sebabnya di masa muda inilah kita harus menabur benih yang sehat agar pada akhirnya kita dapat menuai dan memetik buah yang manis untuk diri kita sendiri dan bukan hanya untuk orang lain. Saya tegaskan hal ini karena seringkali kita berpikir bahwa kita harus menjadi buah yang manis untuk orang, kesaksian indah tentang Kristus bagi orang lain, bukan hanya itu saja tapi ini juga untuk diri kita sendiri.
GS : Tapi perjalanan pernikahan itu panjang, Pak Paul. Jadi kita sulit untuk menaburkan buah-buah yang bagus-bagus saja, yang manis-manis saja tapi kenyataannya pasti ada hal-hal yang kurang menyenangkan yang akan terbawa sampai masa tua kita.

PG : Betul. Jadi yang harus kita usahakan adalah hal yang pahit-pahit itu harus ditekan seminimal mungkin, sehingga waktu kita menengok ke belakang tetap akan melihat lebih banyak kenangan-kenagan yang indah yang telah kita bangun bersama.

GS : Tetapi di dalam menengok ke belakang dan melihat ke depan Pak Paul, ada pasangan yang sudah lanjut usia bisa mengakhiri kehidupan dengan baik dan sebaik mungkin yang mereka bisa lakukan dan ini berarti mereka bisa melihat ke depan.

PG : Sudah tentu waktu di hari tua kita bisa memerbaiki relasi kita, maka kita harus melakukannya dan jangan sampai kita jatuh ke tahap pesimis, "Sudahlah memang harusnya begini." Itu adalah ha-hal yang harus dialami oleh orang tua "Sudahlah kita harus terima dan tidak ada gunanya, percuma saya sudah berusaha tapi tetap dia seperti ini dan ini memang sifatnya".

Kita memang harus mencoba tapi secara realistik saya mau menguraikan bahwa di masa tua kita memang hanya bisa menuai dan tidak banyak lagi yang bisa kita tanamkan di hari tua, susah sekali menanam hal yang baru meskipun kita harus berusaha tapi kita harus realistik berkata bahwa memang sudah susah untuk menanam benih-benih atau buah-buah yang baru itu.
GS : Yang menjadi lebih kompleks ialah karena di masa tua ketika kita masih berpasangan, ada anak-anak, ada menantu, ada cucu-cucu yang nantinya akan menimbulkan masalah baru bagi suami istri yang sudah lansia ini, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi kalau hubungan kita di masa tua tidak terlalu baik maka nanti kita akan diganggu dengan masalah anak, menantu, cucu, dan itu bisa menggoncang kembali pernikahan kita. Jai pada saat-saat seperti itu kita bisa melestarikan masalah ke anak-cucu kita, bahkan ada orang tua yang dengan sengaja mau membela anak-anaknya yang jelas-jelas salah.

Jadi misalkan si Papa membela si anak laki-laki dan si Mama tidak mau membelanya karena si Mama tahu kalau anaknya ini memang bermasalah. Jadi akhirnya ribut dan misalkan si Mama lebih simpati kepada menantu perempuan karena melihat dirinya sama seperti menantu perempuannya diperlakukan tidak baik oleh si suami dan sekarang menantunya diperlakukan buruk oleh putranya sendiri. Dengan kata lain rumah tangga itu terus terbelah. Dengan munculnya masalah baru antara anak menantu dan cucu, hubungan suami istri ini makin terbelah dan tidak pernah bersatu.
GS : Kalau kita mau menikmati buah-buah yang manis pada masa lanjut usia, hal-hal apa yang harus kita lakukan sedini mungkin Pak Paul, dalam hidup pernikahan kita?

PG : Pak Gunawan, makin tua maka makin kita menyadari bahwa betapa pentingnya dari awal kita menetapkan prioritas, dengan adanya prioritas maka kita tahu apa yang penting dan apa yang tidak pening, apa yang harus didahulukan dan apa yang harus dikebelakangkan.

Saya kira terlalu banyak orang yang menjalani hidup tanpa sistem prioritas yang tepat atau yang baik. Saat ini saya ingin membagikan sebuah sistem prioritas yaitu kita harus memelihara relasi dengan Tuhan, yang kedua memelihara relasi dengan keluarga dan yang ketiga memelihara relasi dengan sesama. Dan inilah ketiga prioritas yang harus kita tekankan, jadi kalau kita intisarikan ketiganya sebetulnya hanya satu yaitu di dalam hidup ini kita harus mengutamakan relasi di atas kepentingan lainnya, pertama relasi dengan Tuhan, kedua relasi dengan keluarga dan yang ketiga relasi dengan orang-orang lain.
GS : Yang Pak Paul maksudkan dengan relasi itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Kita harus menjalin hubungan yang baik dan akrab di mana bukan saja kita menikmatinya tapi pihak lain pun juga menyenangi relasi ini, berarti keduanya harus berusaha sekuat mungkin melakukn hal-hal yang menyenangkan satu sama lain, mengutamakan kepentingan satu sama lain di atas kepentingan pribadi.

GS : Tapi tadi Pak Paul katakan memelihara relasi dengan Tuhan, dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Yang kita harus lakukan adalah kita harus mengutamakan kehendak Tuhan di atas kegiatan bagi Tuhan. Maksud saya seperti ini, sejak awal kita harus mengerti bahwa kegiatan bagi Tuhan tidak sma dengan kehendak Tuhan, seolah-olah seringkali kita ini berpikir bahwa makin kita sibuk bergereja melakukan tugas-tugas gerejawi atau pelayanan lainnya, maka itu sama dengan mengutamakan kehendak Tuhan, itu belum tentu.

Walaupun saya katakan ini, bergiat bagi Tuhan melakukan kegiatan pelayanan bagi Tuhan adalah hal yang penting tapi terlebih penting adalah hidup di dalam kehendak Tuhan. Tuhan melihat dan mencatat apa yang kita lakukan di luar gereja, lebih dari apa yang kita perbuat di dalam gereja. Jadi dengan kata lain, kita harus menaati-Nya di dalam hidup kita, bukan hanya di dalam gereja atau melakukan kegiatan gerejawi. Relasi dengan Tuhan hanya bisa terjaga jika kita menaati-Nya di dalam hidup kita.
GS : Ketaatan itu baru muncul kalau kita memahami apa yang dikehendaki oleh Tuhan, kehendak itu justru kita peroleh dengan melakukan kegiatan-kegiatan gereja itu.

PG : Sudah tentu itu betul, Pak Gunawan. Jadi relasi dengan Tuhan yang sehat seyogianyalah kita juga akan berusaha sekuat mungkin untuk melakukan hal-hal yang Tuhan minta, misalnya melayani Tuhn dan sebagainya di dalam gereja-Nya.

Tapi tetap harus ditekankan bahwa melakukan kegiatan-kegiatan itu tidak identik dengan memunyai hubungan yang akrab dan taat dengan Tuhan karena hampir semua orang bisa melakukan hal-hal seperti itu, hampir semua orang bisa melayani di paduan suara, hampir semua orang bisa menjadi pengambil kolekte, hampir semua orang juga bisa menjadi majelis jemaat. Semua bisa menjadi seperti itu dengan memelajari caranya kemudian kita bisa melakukannya, namun apakah di luar gereja hati kita taat kepada Dia, apakah di luar gereja kita bersedia meminta maaf, apakah di luar gereja kita memiliki kemurahan hati untuk menolong orang yang susah? Apakah di luar gereja kita berbesar hati menerima kritikan dan tidak marah atau tersinggung? Jadi hal-hal seperti itulah yang diutamakan dan bukan kegiatan bagi Tuhan, tapi kehendak Tuhan sendiri yang kita tinggikan.
GS : Tetapi itu menyangkut kedewasaan kepribadian seseorang atau karakter orang itu, Pak Paul, yang sesungguhnya agak sulit dilihat atau dinilai dari masing-masing orang. Ada orang yang memang sejak sebelum menikah banyak kegiatannya di gereja, apakah setelah dia menikah kemudian dia harus mengurangi kegiatan itu atau bahkan meninggalkan sama sekali kegiatan itu?

PG : Tidak, Pak Gunawan. Jadi kalau kita sudah mengerti tanggung jawab kita sebagai orang Kristen dan kita berusaha menaati Tuhan di dalam hidup kita, sudah tentu pelayanan-pelayanan itu adalahpelayanan yang indah dan yang berkenan kepada Tuhan.

Tapi sekali lagi syaratnya adalah justru di luar rumah kita harus mengutamakan kehendak Tuhan dan menaati suruhan-suruhan-Nya, jadi itu yang harus kita tinggikan di atas kegiatan-kegiatan itu sendiri.
GS : Ada banyak orang yang masih kesulitan menemukan atau untuk mengetahui apa yang menjadi kehendak Tuhan dan apa yang bukan menjadi kehendak Tuhan, Pak Paul?

PG : Sudah tentu kita harus kembali kepada firman Tuhan, Pak Gunawan, bahwa di sanalah terdapat pengetahuan tentang Tuhan, apa yang Tuhan inginkan dari kita dan sebagainya. Namun saya harus teknkan lagi prinsip yang kedua yang berkaitan tentang itu yaitu untuk menjaga relasi dengan Tuhan, mengutamakan Tuhan karena kita harus mengutamakan firman Tuhan di atas pengetahuan akan Tuhan.

Kadang-kadang kita ingin tahu tentang sesuatu, belajar ini dan belajar itu, ikut pembinaan ini dan pembinaan itu, ikut Sekolah Alkitab Malam dan sebagainya. Waktu kita semakin tahu banyak maka kita berpikir kalau kita itu makin akrab dengan Tuhan, sebetulnya tidak. Yang membuat kita akrab adalah sewaktu firman Tuhan hidup di hati kita. Misalkan kita menggunakan perumpamaan suami istri, apa buktinya kita dekat dengan istri kita? Waktu tidak ada istri kita di samping kita maka kita mengingat perkataannya, kita mengingat dirinya, waktu dia hadir di hati kita terus menerus barulah kita bisa mengklaim bahwa kita dekat dengan dia. Pengetahuan kita tentang istri kita itu tidak sama dengan kita dekat dengan istri kita. Hal itu sama halnya dengan Tuhan. Kita boleh mengklaim kalau kita tahu banyak tentang Tuhan, doktrin ini dan itu, tapi Dia tidak hadir di dalam diri kita, berarti Dia jauh dari kita. Yang harus kita utamakan adalah apakah hati kita dipenuhi oleh Tuhan dan apakah kita senantiasa memikirkan Dia, memikirkan apa yang menyenangkan hati-Nya.
GS : Selain kita harus memelihara relasi dengan Tuhan, langkah yang lain apa, Pak Paul?

PG : Kita pun harus memelihara relasi dengan keluarga. Jadi secara konkret kita harus mengutamakan kepentingan semua di atas kepentingan untuk diri sendiri. Jadi secara praktisnya, didalam pengmbilan keputusan kita harus memikirkan kepentingan semua anggota keluarga.

Jangan mengambil keputusan karena itu baik bagi diri sendiri. Jadi kita harus memertimbangkan kepentingan yang lain-lainnya juga. Memang mengutamakan kepentingan semua tidak mudah dan biasanya memperlambat proses pengambilan keputusan namun semua upaya untuk memertimbangkan kepentingan semua anggota keluarga kita memerlihatkan komitmen kita untuk mengutamakan keluarga di atas kepentingan pribadi. Waktu istri, waktu suami, waktu anak-anak melihat kalau kita mengutamakan kepentingan mereka, maka mereka tahu kalau kita mengutamakan kepentingan mereka dan relasi dengan mereka, mereka itu sangat yakin bahwa merekalah yang sangat penting dan bukan kepentingan-kepentingan lainnya.
GS : Tapi untuk menyelaraskan semua kepentingan orang yang berbeda-beda yaitu berbeda usia, gender, kepentingan, itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, Pak Paul?

PG : Memang untuk mementingkan kepentingan semua memang tidak mudah, tapi harus ada usaha untuk melakukannya, harus ada usaha untuk memenuhi semuanya meskipun pada akhirnya kita tidak bisa memeuhi kepentingan semua dengan sama rata, mungkin ada yang harus berkorban tapi kalau kita bisa melakukan itu, maka mereka akan melihat kalau kita telah berusaha sekeras-kerasnya.

Saya berikan contoh, waktu saya bertemu dengan istri saya dan pertama kali saya berpacaran, saya katakan kepada istri saya,"Saya merasa kalau Tuhan memanggil saya untuk pulang kembali ke Indonesia, apakah kamu mau kembali bersama saya?" dan dia berkata dia mau. Dari titik saya bertemu dengan dia, pacaran dengan dia dan sampai kami benar-benar mau pulang itu ada rentang waktu selama sepuluh tahun. Jadi dalam sepuluh tahun itu banyak hal yang telah terjadi, kami telah menancapkan akar dan tinggal dengan komunitas kami, bekerja dan sebagainya dan untuk pergi dari sana sangat susah. Jadi istri saya merasa berat untuk meninggalkan keluarganya, komunitasnya dan sebagainya untuk ikut saya pulang ke Indonesia. Saya berusaha meyakinkan istri saya untuk pulang tapi memang tidak mudah. Jadi selama dua tahun kami mengalami proses pengambilan keputusan itu. Satu titik sampai saya tidak bisa lagi dan istri saya rasanya juga tidak siap untuk pulang maka saya harus mengalah dan berkata, "Baiklah kalau begitu saya putuskan untuk tidak pulang ke Indonesia dan tinggal di sini saja," tapi setelah itu istri saya melihat perubahan dalam diri saya, saya kehilangan semangat, saya kehilangan tujuan hidup saya karena bertahun-tahun saya merasakan kalau ini adalah panggilan Tuhan dan saya telah menyiapkan hati dan diri saya untuk kepulangan itu. Waktu itu tidak terjadi maka saya kehilangan arah hidup saya dan istri saya melihat hal itu, hal ini tidak saya buat-buat karena ini adalah reaksi alamiah saya. Karena istri saya mengasihi saya dan dia melihat perubahan saya yang begitu drastik pula, kemudian kami mencoba setahun dulu, istri saya berkata, "kalau saya tidak betah nanti kita akan kembali ke Amerika" dan saya berkata, "Saya bersedia". Jadi akhirnya kami pulang ke Indonesia. Dan setelah satu tahun dia merasa nyaman kemudian kami teruskan. Jadi dengan kata lain, waktu saya diperhadapkan dengan keputusan yang seperti ini, saya memang mengorbankan diri saya tapi tidak berarti juga saya tidak berusaha meyakinkan istri saya tapi sampai titik terakhir saya berusaha mengorbankan diri saya dan waktu saya mengorbankan diri saya, justru istri saya yang maju satu langkah yang terus mengalah sampai saat ini.
GS : Memang intinya adalah harus ada yang berkorban supaya terjadi kesepakatan. Namun apakah ada hal lain yang bisa kita lakukan didalam memelihara relasi dengan keluarga, Pak Paul?

PG : Satu lagi yaitu kita harus belajar dari keluarga, di atas mengajarkan kepada keluarga. Sebagai orang tua memang kita harus mengarahkan anak atau pasangan kita, bak seorang pendidik kepada nak didiknya namun kita juga harus menyadari bahwa kita terbatas dan kita pun harus terbuka terhadap apa yang keluarga ingin ajarkan kepada kita.

Demikian pula terhadap pasangan kita, jangan sampai kita beranggapan bahwa kita selalu tahu dan berada di pihak yang benar. Kita harus menyadari bahwa kita dapat belajar banyak dari tanggapan anggota keluarga, tatkala kita membuka diri, bersedia belajar maka kita menunjukkan kalau merekalah prioritas hidup kita, sehingga mereka tahu kalau kita mengutamakan relasi dengan keluarga di atas kepentingan lainnya.
GS : Belajar di sini mengenai apa misalnya, Pak Paul?

PG : Banyak hal misalnya sebagai suami, kita harus mengasihi istri dengan lebih baik, memerhatikan anak-anak dengan lebih baik. Sebagai istri misalkan mengendalikan emosi kita dengan lebih baik menjadi orang tua yang lebih bijaksana kepada anak-anak kita.

Dan kita juga bisa terima dari anak-anak dan bukan hanya dari pasangan. Misalkan anak kita berkata kepada kita bahwa "Papa cepat sekali bereaksi dan tidak tanya dulu, tapi langsung menghukum saya dan sebagainya." Maka kita belajar bahwa sebelum saya menjatuhkan hukuman lebih baik saya tanya dulu baik-baik dan barulah menjatuhkan hukuman kepada anak saya. Jadi waktu kita menunjukkan kalau kita memang salah dan saya mau belajar karena komentar kamu itu juga baik dan saya terima. Kalau mereka diperlakukan seperti itu maka mereka tahu kalau mereka itu penting dan karena begitu pentingnya sehingga mereka didengarkan oleh kita dan hal itu akan dapat membangun keluarga kita.
GS : Kalau pelajaran itu, yang Pak Paul sampaikan tadi. Hal itu harus kita pelajari terus menerus sampai akhir hayat kita artinya kita tidak bisa berhenti belajar dengan berkata, "Saya sudah menguasai hal itu."

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi hal itu yang perlu dilihat oleh keluarga kita bahwa kita itu mementingkan kepentingan mereka. Beberapa waktu yang lalu saya dipanggil untuk mendoakan sebuahkeluarga, ada seorang ayah yang tengah terbaring di ICU, waktu saya masuk dan melihat istri dari si ayah itu dan anak-anaknya yang datang dari luar kota dan mengelilingi ranjang ayahnya dan kemudian saya berdoa, setelah satu jam kemudian si ayah itu dipanggil Tuhan.

Dari situ saya melihat satu hal yaitu di akhir hayat yang akan mengelilingi ranjang di mana kita akan menghembuskan nafas terakhir adalah keluarga kita dan bukan orang lain. Jadi seyogianyalah dari mereka kecil dan kita masih muda, kita tunjukkan kalau mereka penting bagi kita, kita tidak akan mengambil keputusan hanya untuk kepentingan kita dan kita juga mau mengutamakan mereka juga supaya mereka tahu kalau mereka itu penting dan kita pun mau membuka diri belajar dari mereka, kita tahu apa yang mereka sampaikan juga penting untuk kita dengarkan.
GS : Tapi hal itu harus ditanamkan sedini mungkin, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Rupanya kita masih punya satu pokok pembicaraan yang lain mengenai relasi ini tapi karena keterbatasan waktu maka kita akan bicarakan pada kesempatan yang lain. Jadi kita sangat berharap para pendengar kita bisa mengikuti perbincangan kita ini. Namun sebelum kita mengakhiri perbincangan kita mungkin ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Matius 19:6 berkata, "Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia". Dari ayat ini kita belajar satu hal bahwa sewaktu Tuhan berkata "Tidak boleh diceraikan oleh manusa," berarti manusia harus berusaha sekeras mungkin menyatukan dirinya.

Jadi larangan ini bukan hanya sekadar larangan tapi sebuah perintah atau himbauan untuk kita terus menyatukan diri. Jadi bukan hanya kita berikan batas akhir tidak boleh bercerai, tapi di dalam teritori yang sama itulah kita harus membangun relasi kita sebaik mungkin, kita mengutamakan Tuhan dalam hidup kita dan mengutamakan keluarga kita sehingga pada akhirnya kita bisa memetik buah-buah pernikahan yang manis itu.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sampai Maut Memisahkan kita" bagian yang pertama, dan perbincangan ini akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



48. Sampai Maut Memisahkan Kita II


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T302B (File MP3 T302B)


Abstrak:

Semua orang yang menikah berharap bahwa pernikahannya dapat berjalan langgeng sampai maut memisahkannya. Kita percaya tidak ada orang yang menikah dengan pemikiran bahwa suatu hari kelak ia akan menceraikan pasangannya. Persoalannya adalah, setelah menikah masalah mulai bermunculan sehingga perceraian pun menjadi salah satu pilihan yang dipertimbangkan. Namun sebelum hal itu terjadi alangkah baiknya kalau kita memelajari dulu bagaimana cara memertahankan pernikahan, agar hal-hal yang berbau perceraian tidak ada di dalam keluarga kita.


Ringkasan:

Firman Tuhan berkata, "Apa yang telah dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia" (Matius 19:6). Saya kira semua orang yang menikah berharap bahwa pernikahannya dapat berjalan langgeng sampai maut memisahkannya. Saya percaya tidak ada orang yang menikah dengan pemikiran bahwa suatu hari kelak ia akan menceraikan pasangannya.

Persoalannya adalah, setelah menikah masalah mulai bermunculan sehingga perceraian pun menjadi salah satu pilihan yang dipertimbangkan.

Sekarang marilah kita melihat bagaimanakah membangun pernikahan yang dapat bukan saja bertahan tetapi terus berbuah sampai maut memisahkan kita. Kita akan memulai dengan melihat tahap pernikahan pada masa tua dan menyoroti tantangan yang harus dihadapi pada masa itu agar kita dapat mempersiapkan pernikahan kita mulai dari hari ini.

Dua Ciri Masa Tua Benih Sehat adalah MENETAPKAN PRIORITAS HIDUP SEJAK AWAL PERNIKAHAN, YAITU:
  1. Memelihara relasi dengan Tuhan
  2. Memelihara relasi dengan keluarga
  3. Memelihara relasi dengan sesama

Dengan kata lain, kita mengutamakan RELASI di atas kepentingan lainnya.

Memelihara Relasi dengan Tuhan Memelihara Relasi dengan Keluarga Memelihara Relasi dengan Sesama Selain menabur benih sehat, kita juga harus melindungi pohon nikah yang telah ditanam agar dapat bertumbuh dan berbuah. Berikut akan dipaparkan beberapa langkah yang dapat diambil :
  1. MENJAGA HATI: Tidak ada yang lain. Kita harus melindungi pernikahan secara terencana. Ini berarti kita mesti mengambil tindakan tegas untuk melarang khayalan bergentayangan ke wilayah dosa. Sebagai manusia kita dapat dan akan tertarik kepada orang lain yang mungkin saja lebih menawan dan lebih baik daripada pasangan sendiri. Namun kita harus mengingatkan diri akan komitmen pernikahan yang telah dibuat. Singkat kata, kita mesti dengan tegas berkata bahwa di dalam hati kita, tidak ada ruang tersisa untuk orang lain.
  2. MENJAGA BATAS: Tidak ada yang lekat. Salah satu penyebab mengapa akhirnya banyak orang jatuh ke dalam dosa perzinahan adalah dikarenakan kegagalan kita menarik batas yang jelas SEJAK DINI. Dari awal berelasi dengan lawan jenis kita harus menetapkan batas bahwa relasi ini hanya akan menjadi relasi pertemanan. Kita harus memutuskan untuk tidak menceritakan masalah pribadi-apalagi masalah rumah tangga-kepada rekan lawan jenis. Kita juga harus menolak dengan tegas ajakan untuk pergi berdua atau bahkan mengantarnya pulang. Kita mesti menyadari bahwa interaksi pribadi yang dilakukan terus menerus berpotensi menumbuhkan ketertarikan dan ketertarikan pada akhirnya melahirkan hasrat atau nafsu untuk menyatukan diri dengannya. Kendati pencobaan dapat datang kapan saja, namun satu fakta yang tak dapat dipungkiri adalah sering kali kita turut berandil memberi undangan kepada pencobaan untuk datang.
  3. MENJAGA IMPIAN: Tidak berlebihan. Pernikahan pun mesti dilindungi dari kehancuran yang bersikap ekonomi. Kadang kita terlalu berambisius dan ingin cepat kaya sehingga kita gelap mata dan mengambil keputusan bisnis yang terlalu riskan. Alhasil, ingin untung kita malah buntung. Semua menderita akibat keputusan keliru yang kita buat. Kendati ikatan pernikahan tidak sepenuhnya bergantung pada kestabilan ekonomi, namun sebagai manusia kita terpengaruh olehnya. Kesulitan ekonomi yang mendera cenderung menambah frekuensi pertengkaran karena dalam keadaan terjepit, kita mengalami lebih banyak stres.
Kesimpulan Jika kita ingin sampai pada garis akhir dengan baik, kita harus merencanakan pertandingan dengan sebaik-baiknya. Itu sebabnya Firman Tuhan berikut ini haruslah menjadi pedoman hidup kita sekalian "PERCAYALAH kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar pada PENGERTIANMU sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, TAKUTLAH akan Tuhan dan jauhilah kejahatan; itulah yang akan akan menyembuhkan tubuhmu dan MENYEGARKAN tulang-tulangmu." Amsal 3:5-7

Transkrip:

"Sampai Maut Memanggil Kita" (II) oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Sampai Maut Memisahkan Kita". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, perbincangan kita kali ini melanjutkan perbincangan pada waktu yang lalu tentang "Sampai maut memisahkan kita". Supaya para pendengar kita bisa mengikuti perbincangan ini secara lebih utuh dan mungkin ada yang pada kesempatan lalu belum sempat mendengarkan, mungkin Pak Paul bisa menguraikan sejenak tentang apa yang telah kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu.

PG : Kita telah memerbincangkan bagaimana memersiapkan pernikahan dengan sebaik-baiknya, menjalani awal pernikahan juga sebaik-baiknya supaya akhirnya di masa tua kita bisa memetik buah-buah mais di dalam pernikahan kita.

Dan saya mengulas bahwa yang terpenting kita harus menetapkan sistem prioritas yang benar dalam hidup kita dan keluarga kita. Ada tiga yang saya angkat yaitu kita harus mementingkan relasi dengan Tuhan, relasi dengan keluarga dan yang terakhir yang akan kita bahas adalah relasi dengan orang lain. Singkat kata di dalam hidup, di dalam pernikahan kita harus mengutamakan relasi di atas kepentingan lainnya yaitu relasi dengan Tuhan, keluarga dan yang terakhir barulah relasi dengan orang-orang lain. Kita pun telah membahas relasi dengan Tuhan adalah dengan cara hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan hanya giat dengan hal-hal yang kita sebut dengan pelayanan tapi justru kita harus menunjukkan kedekatan kita dengan Tuhan lewat ketaatan kita hari lepas hari di luar gereja. Kita juga membicarakan tentang kita harus tahu isi hati Tuhan dan Tuhan harus hidup di dalam diri kita. Firman Tuhan bukan hanya sebagai buku yang akan kita pelajari, tapi sebagai panduan dimana kita mau hidup di dalamnya, jadi itu yang harus kita tekankan. Tentang hubungan dengan keluarga, saya juga menekankan bahwa kita harus mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Jangan sampai orang di rumah kita berkata, "Papa atau Mama hanya memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan kami". Jadi didalam pengambilan keputusan coba dengarkan apa yang mereka inginkan dan coba pertimbangkan sedapat-dapatnya kepentingan mereka juga dibela oleh kita. Dan kita juga harus belajar dari keluarga kita, jangan hanya melihat peranan kita sebagai orang yang mau mengajarkan atau mengarahkan baik kepada istri maupun anak-anak kita, dengarkanlah dari mereka pula sehingga mereka tahu kalau mereka penting dan begitu pentingnya sehingga mereka didengarkan oleh kita.
GS : Pak Paul, sekarang kita melanjutkan pada relasi yang berikutnya yaitu memelihara relasi dengan sesama. Mungkin ini bisa menjadi lebih mudah tapi bisa juga ini menjadi lebih sukar dibandingkan dengan relasi yang terdahulu, Pak Paul dan ini menurut Pak Paul bagaimana?

PG : Memang tidak selalu lebih mudah dan bisa jadi akan lebih susah tapi ini adalah sebuah prinsip yang penting. Kita harus memprioritaskan relasi dengan orang lain di atas benda, materi atau hl-hal seperti itu.

Jadi secara konkretnya misalnya kita harus memerhatikan orang yang tertinggal dan bukan orang yang tertinggi, maksudnya tidak susah bagi kita dekat atau baik dengan orang yang tinggi. Tapi kita akan memerhatikan untung ruginya kalau dekat-dekat dengan orang yang tertinggal atau orang yang tidak memunyai kedudukan, orang yang tidak ada statusnya dalam masyarakat. Justru kita harus ingat bahwa Tuhan itu menekankan betapa pentingnya memerhatikan orang-orang yang tertinggal ini. Itu sebabnya di Matius 25, waktu Tuhan menggambarkan bagaimana Tuhan akan menghakimi kita semua, kemudian Dia akan bertanya apakah kita telah mengunjungi orang yang sakit, orang yang di penjara, memberikan baju kepada orang tidak memakai baju, memberi makan kepada orang yang kelaparan. Dengan kata lain, Tuhan memerhatikan orang-orang yang dalam kesusahan dan berkebutuhan. Bahkan Tuhan menyimpulkan dengan suatu prinsip yang luar biasa beratnya yaitu "apa yang kamu lakukan kepada yang terkecil atau yang terhina dari orang-orang ini maka inilah yang kau lakukan bagi Saya". Jadi Tuhan mementingkan orang yang tertinggal dan jangan sampai kita mementingkan prinsip dunia ini yaitu dekatlah dengan orang yang akan membawa keuntungan bagi kita dan tidak perlu dekat dengan orang yang tidak membawa keuntungan bagi kita. Jangan seperti itu! Waktu kita mendekat atau memerhatikan orang yang tertinggal, yang tidak diperhatikan oleh masyarakat, mereka akan menjadi sahabat sejati kita, nanti di hari tua mereka juga akan memerhatikan kita dan mereka yang akan menolong dan menjadi pendamping hidup kita pula. Dan orang inilah yang nanti akan berperan besar juga melestarikan keluarga atau pernikahan kita di hari tua.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, Tuhan Yesus tidak hanya mengajarkan tetapi Dia sendiri memeragakan di dalam kehidupan-Nya di dunia ini sebagaimana Dia memerhatikan orang yang tertinggal ini. Tapi di dalam kehidupan kita sebagai keluarga, sebagai suami istri, prakteknya dalam memerhatikan orang-orang yang tertinggal ini seperti apa, Pak Paul?

PG : Misalnya kita tahu bahwa ada di antara teman kita yang tidak terlalu diajak karena memunyai masalah tertentu. Misalkan teman kita itu sedang mengalami permasalahan keluarga, sehingga dia mlu ke gereja dan sebagainya maka ketika kita ingat dia kemudian kita telepon dia, mungkin kita mengajaknya datang ke rumah kita, mengunjungi dia atau kita keluar bersamanya.

Atau kita juga bisa menekankan kepada anak-anak misalkan mereka tahu ada teman mereka yang tidak populer, yang dikucilkan maka kita meminta anak kita justru untuk memerhatikan teman-teman yang seperti itu juga. Misalnya di jalan kita melihat seorang pengemis dan kita mau memberikan sedekah kepada pengemis atau kita mau menolong orang yang susah, yang dekat dengan rumah kita karena perlu modal untuk membuka warung dan sebagainya. Hal-hal seperti itulah yang sewaktu kita tanamkan di rumah, mereka akan melihat kalau kita mementingkan orang-orang yang tertinggal dan bukan orang yang tertinggi.
GS : Dampaknya untuk kita pada waktu lanjut usia apa, Pak Paul?

PG : Orang-orang yang kita tolong ini, kita tidak tahu mereka akan menjadi apa. Tapi kalau pun mereka tidak menjadi apa-apa dan mereka tinggal dekat dengan kita dan masih satu kota dengan kita aka mereka yang akan mengingat jasa-jasa kita dan mereka akan memerhatikan kita, sehingga di hari tua mereka yang akan mengisi kehidupan kita, mereka mungkin akan datang, mereka akan ngobrol dengan kita, mereka mungkin mengajak kita.

Mungkin suatu hari kita yang akan membutuhkan sesuatu dan mereka yang akan mengulurkan tangan menolong kita dan sebagainya. Sudah tentu waktu mereka melakukan semua ini, kita tidak melakukan ini supaya nanti kita mendapatkan bantuan-bantuan mereka, tidak seperti itu! Tapi bukankah mereka itu mau mencari dan membangun relasi yang sejati karena kalau kita pikir-pikir misalnya di antara ratusan teman kita seberapakah yang sungguh-sungguh teman sejati? Bukankah kita mengukurnya waktu kita susah, apakah mereka memerhatikan kita, waktu kita memang sedang tertinggal apakah mereka menunggu kita ataukah dia adalah salah satu orang yang juga ikut-ikutan meninggalkan kita dan tidak lagi menghubungi kita, memberikan dukungan dan sebagainya. Saya perhatikan, orang yang tahu bahwa dia tidak ditinggalkan malah di tunggu waktu dia itu tertinggal, dia akan menjadi sahabat kita sebab dia menemukan persahabatan sejati dari diri kita kepadanya.
GS : Tapi biasanya kita membangun relasi dari orang lain itu dasarnya adalah untung dan rugi. Kalau kita tidak mau dekat dengan orang yang tinggi tapi dengan orang yang tertinggal maka tujuannya adalah untuk menguntungkan kita, Pak Paul?

PG : Itu memang adalah sifat kita sebagai manusia yang berdosa, kita cenderung mementingkan diri kita, yang membawa keuntungan itulah yang akan kita dekati. Masalahnya adalah kalau kita terperagkap di dalam relasi yang seperti ini, kita akhirnya menjadi orang-orang yang hidup di atas prinsip untung dan rugi, kalau tidak ada untung tidak mau dekat-dekat.

Ketika kita hidup seperti itu, kita kehilangan esensi sebagai orang Kristen, menjadi seorang anak Tuhan, kita kehilangan esensi mengasihi sebab itulah esensi atau karakter Tuhan yang paling penting, Tuhan adalah kasih. Jadi Tuhan mengasihi kita dan tidak melihat-lihat kita ini siapa, Tuhan tidak berkata apa untungnya mengasihi kita? Apa untungnya memberkati kita? Tidak seperti itu, Dia memberkati karena Dia baik,jadi Dia memberkati kita. Dia mengasihi karena Dia baik, maka Dia mengasihi kita, jadi kita harus menjadi seperti Dia.
GS : Relasi ini terjalin karena kedekatan, katakan kita ini sebagai orang yang tertinggal. Ada orang yang tinggi dan kebetulan memerhatikan kita sehingga terjalinlah relasi itu antara kita yang tertinggal dengan orang yang tinggi ini. Jadi kita bukannya mencari keuntungan tapi memang jaringan relasi itu terjadi seperti itu.

PG : Seringkali itu yang terjadi. Jadi waktu orang yang di atas, yang tinggi itu menjangkau ke bawah, menolong yang tertinggal maka terjalinlah sebuah relasi. Dalam relasi seperti itu, tidak bia tidak rasa bersyukur itu kuat sekali dan nantinya, bukan saja mereka menjadi pengisi bagian dari hidup kita tapi terpenting juga adalah hati kita pun terjaga, hati kita pun terpengaruh baik kepada pasangan kita maupun anak-anak, atau pun sanak saudara, kita tidak menghitung-hitung apa yang menjadi untung dan ruginya.

Kalau kepada orang lain kita menerapkan untung dan rugi biasanya juga kita terapkan kepada keluarga, mungkin kita berharap-harap bahwa anak kita akan membawa keuntungan bagi kita, kalau anak kita tidak membawa keuntungan rasanya kita pun menjadi kecewa. Sebab mustahil bagi kita berkata, "Dengan orang lain saya hitung-hitung untung dan rugi tapi kalau dengan keluarga sendiri tidak". Hal itu saya ragukan. Mungkin tidak secara eksplisit tapi secara implisit kita itu sebetulnya mengharapkan bahwa anak-anak kita atau pasangan kita membawa keuntungan-keuntungan bagi kita dan kalau tidak maka kita akan kecewa. Standart nilai seperti itulah yang kita mau enyahkan karena kita tahu bahwa bukan itulah yang berkenan kepada Tuhan dan bukanlah modal yang diperlukan untuk menjadikan pernikahan kita yang berbuah di masa yang akan datang.
GS : Untuk memelihara relasi dengan sesama ini, hal lain apa yang harus kita perhatikan tentang sesama, Pak Paul?

PG : Kita harus mengutamakan mengajak selain diajak, kadang-kadang kita itu pasif dan kita menunggu, kalau tidak diajak kita menjadi terluka, tersinggung karena tidak diperhatikan dan sebagainya. Pertanyaannya adalah apakah kita mengajak orang, apakah kita telah berinisiatif melibatkan orang, memasukkan orang di dalam lingkaran kehidupan kita. Jadi dengan kata lain, kita harus berusaha, berinisiatif untuk membawa orang masuk ke dalam lingkaran kehidupan kita, waktu kita mengunjungi orang maka kunjungilah, waktu kita mau berbuat baik kepadanya, maka berbuat baiklah dan jangan kita berpikir, "Terakhir siapa ya yang mengajak, karena dulu saya yang mengajak maka sekarang saya tidak mau mengajak lagi". Jangan seperti itu, kalau kita mau mengajak maka ajaklah dan jangan memikirkan kalau di masa lampau siapa yang lebih sering mengajak. Sekali lagi yang terlebih penting adalah hati kita pada akhirnya, kalau kita berpikir-pikir siapa yang mengajak terlebih dahulu, itu artinya kalau kita itu selalu memunyai kalkulator dalam persahabatan dan tidak ada persahabatan kalau memakai kalkulator, nanti takutnya dengan pasangan sendiri atau anak-anak juga sama yaitu kita menggunakan kalkulator, hitung-hitungan dengan mereka juga, jangan seperti itu. Ajak mereka untuk berbuat baik, tawarkan, bantulah, berinisiatiflah tanpa mengingat-ingat siapa dulu yang memulainya.

GS : Tapi dalam kondisi seperti sekarang ini, kalau kita mau mengajak orang lain pastilah akan berpikir apakah orang yang akan saya ajak ini tidak akan malah merugikan kita, dalam arti kata misalnya kita menjadi korban penipuan dan sebagainya. Artinya kita harus selektif di dalam mengajak orang ini.

PG : Sudah tentu benar, Pak Gunawan. Kita memang tidak boleh sembarangan, tapi kita harus tahu siapa teman itu yang harus kita ajak, yang kita jadikan teman, sudah tentu kita tidak akan bertema dengan orang yang akan merusakkan kita, misalnya memengaruhi kita melakukan hal-hal yang salah, mengajak kita untuk berdosa maka kita tidak akan mendekatinya karena firman Tuhan juga dengan jelas berkata, "Janganlah kita duduk bersama dengan orang-orang pencemooh" artinya orang yang mencemooh Tuhan dan mencemooh manusia, jangan seperti itu.

Tapi kita juga mau bersahabat dengan orang-orang yang takut akan Tuhan. Jadi sudah tentu kita harus perhatikan faktor itu pula.
GS : Pak Paul, selain kita menjalin relasi baik dengan Tuhan maupun dengan keluarga dan sesama apakah masih ada hal-hal lain yang harus kita perhatikan supaya masa tua kita di dalam hidup pernikahan ini juga menjadi lebih baik, Pak Paul?

PG : Tapi yang saya singgung adalah benih-benih sehat yang harus kita tanamkan menjaga relasi dengan Tuhan, keluarga dan sesama kita. Sekarang kita mau lihat bahwa kita juga harus melindungi atu menjaga benih-benih itu dan jangan sampai benih-benih itu akhirnya termakan hama dan habis.

Ada beberapa yang harus kita lakukan untuk melindungi benih yang sehat itu. Pertama dan ini penting sekali yaitu kita harus menjaga hati, artinya tidak ada orang lain di hati kita dan kita harus melindungi pernikahan kita secara terencana, ini berarti kita harus mengambil tindakan tegas untuk melarang khayalan bergentayangan di wilayah dosa. Jangan kita membiarkan khayalan kita merambah ke mana-mana sampai ke wilayah dosa dan berbuat yang tidak-tidak, jangan seperti itu. Sebagai manusia saya mengerti kita dapat dan akan tertarik kepada orang lain yang mungkin saja lebih menawan dan lebih menarik dari pada pasangan sendiri namun kita harus mengingatkan diri akan komitmen pernikahan yang telah dibuat, kita telah berjanji di hadapan Tuhan untuk selalu setia kepada pasangan dan ini berarti bukan saja kita tidak mengkhianatinya secara fisik atau nyata, tapi kita juga tidak boleh mengkhianatinya secara batiniah. Singkat kata, kita harus tegas berkata bahwa di dalam hati kita tidak ada ruang tersisa untuk orang lain, komitmen itu harus kita buat. Pintu sudah kita kunci dan kita serahkan kunci itu kepada pasangan kita, sehingga tidak ada ruangan untuk orang lain masuk.
GS : Tetapi di dalam kenyataannya memang akhir-akhir ini kasus perselingkuhan itu cukup banyak terjadi, apakah dalam hal ini memang kedua belah pihak tidak saling menjaga hati karena untuk menjaga sendiri seringkali mengalami kesulitan. Akan lebih ringan kalau masing-masing itu saling menjaga.

PG : Hal itu memang baik sekali yakni kita harus saling bertanggung jawab atau mempertanggungjawabkan keberadaannya, perilakunya, itu adalah hal yang harus kita lakukan. Misalkan dalam rumah tagga saya, saya memberitahu istri saya yaitu silakan bertanya saya pergi dengan siapa, kapan saya pergi dan kapan saya pulang, mau mengetahui tentang hidup saya.

Jadi kita memberikan ijin kepada pasangan untuk memunyai akses penuh terhadap hidup kita. Jadi jangan sampai orang bertanya tentang keuangan, ini tidak boleh diketahui oleh pasangan, saya tadi pergi ke mana dan tidak boleh diketahui oleh pasangan. Kalau kita memang tidak ada niat jahat kenapa tidak memberitahu kepada pasangan, kalau memang niat kita baik dan kita mau terbuka seharusnya kita memberi akses penuh itu kepada pasangan untuk masuk ke dalam diri kita, jadi perlu pertanggungjawaban. Misalkan kita bepergian jauh, kita memberitahu kepada dia kalau kita hidup dengan baik dan kudus di hadapan Tuhan. Hal itu juga yang saya lakukan sewaktu bepergian jauh, saya memberitahu kepada istri dan anak-anak saya bahwa saya telah hidup kudus di hadapan Tuhan supaya mereka tahu bahwa inilah komitmen saya dan ini yang coba akan saya jaga dengan sebaik-baiknya.
GS : Dengan begitu pasangan kita atau anak-anak kita juga bisa terus membantu kita untuk memelihara hati ini.

PG : Betul sekali dengan kita tahu kalau kita bertanggungjawab kepada mereka dan mereka pun juga memerhatikan mereka. Hal ini akhirnya membuat kita untuk lebih berhati-hati dan tidak sembaranga hidup.

GS : Selain menjaga hati. Hal lain yang perlu diperhatikan apa, Pak Paul?

PG : Kita juga harus menjaga batas artinya jangan biarkan ada orang yang melekat dengan kita. Salah satu penyebab kenapa akhirnya banyak orang jatuh ke dalam dosa perzinahan adalah dikarenakan egagalan kita menarik batas yang jelas sejak dini.

Maka dari awal berelasi dengan lawan jenis, kita harus menetapkan batas bahwa relasi ini hanya akan menjadi relasi pertemanan. Kita harus memutuskan untuk tidak menceritakan masalah pribadi apalagi masalah rumah tangga kepada rekan lawan jenis. Atau kita juga harus tegas menolak ajakan untuk pergi berdua atau dia menawarkan untuk mengantar kita pulang, atau kita memintanya untuk mengantarkan kita pulang. Maka kita harus berkata, "Kalau tidak maka tidak". Sudah tentu ada kasus pengecualian, orang yang telepon kita jam sepuluh malam karena mobilnya mogok dan sebagainya, maka kita harus bersedia membantunya dan bukannya saya mematok secara kaku dan memang ada pengecualian tapi intinya kita tidak mau memberikan ruang atau mengaburkan batas sehingga orang bisa dengan mudah berkata, "Saya bersama dengan kamu saja ya, karena sejalan", maka dengan tegas kita harus berkata, "Maaf saya tidak bisa, saya bukannya tidak mau mengantar dan bukannya saya jahat tapi memang saya mau menjaga relasi saya dengan istri saya atau dengan suami saya." Jadi kita harus menolak tegas dan kita harus menyadari bahwa interaksi pribadi yang dilakukan secara terus menerus, berpotensi menumbuhkan ketertarikan dan ketertarikan pada akhirnya melahirkan hasrat atau nafsu untuk menyatukan diri dengan dia. Itu sebabnya dari awal kita harus bersikap tegas sehingga orang pun akan maklum dengan posisi kita. Jadi kendati pencobaan dapat datang kapan saja, namun satu fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah seringkali kita turut berandil memberi undangan kepada pencobaan untuk datang.
GS : Jadi sekalipun kita harus membangun relasi dengan sesama tapi tetap kita harus memerhatikan batas-batasnya supaya kita tidak akan merusak kehidupan rumah tangga kita, Pak Paul?

PG : Betul sekali sebab kita harus jujur dengan diri kita. Kita ini kadang-kadang ahli menipu diri sendiri. Misalnya kita harus mengantar orang tua atau nenek, bisa jadi kita tidak akan bersemagat untuk mengantarnya pulang, tapi kenapa kita begitu semangat mengantar orang lain karena dia menarik, masih muda dan sebagainya.

Jadi justru kita harus sadari hati kita dan jangan kita membohongi diri sendiri dan berkata, "Tidak ada apa-apa hanya teman saja", jadi dari awal kita harus menarik batas yang jelas dan jangan sampai membiarkan orang lekat dengan kita.
GS : Kalau hal itu tidak kita hindari Pak Paul, pengaruhnya pada masa tua apa, Pak Paul?

PG : Akhirnya kalau kita tidak menghindari, kalaupun tidak terjadi perzinahan dan pasangan kita tahu bahwa setiap hari pasangan kita berhubungan dengan si ini, saling telepon, saling SMS, misalan juga sering mengantarkan pulang atau pergi makan bersama-sama.

Maka pasangan akan merasa kalau rumah ini tidak hanya terdiri dari dua orang yaitu suami istri tapi ada tiga orang bahwa di mata pasangan kita, orang ketiga sudah menjadi orang yang penting. Dan biasanya itu akan menimbulkan luka, apalagi kalau dia sudah berkata dan meminta kepada kita, "Tolong jangan teruskan berhentilah pergi dengan dia dan sebagainya," tapi kita memaksa dan marah kemudian berkata, "Selama saya tidak berbuat apa-apa". Kita sudah meninggalkan luka yang dalam di dalam hati pasangan kita yang akan dibawanya sampai hari tua. Tapi kalau kita sudah tua dan ingin berbaik-baik dengan dia, luka hatinya sudah menganga dan menganga itu bisa berbelasan tahun. Jadi tiba-tiba kita menuntut dia untuk berbaik-baik dengan kita, itu tidak realistis sebab berbelasan tahun kita sudah menusukkan pisau di hatinya. Sekarang tiba-tiba kita berkata, "Sembuhlah engkau dan tidak harus ada luka di hatimu," itu tidak realistis. Itu sangat mencederai hati pasangan kita.
GS : Hal lain yang perlu dijaga apa, Pak Paul?

PG : Kita harus menjaga impian, maksudnya jangan berlebihan dalam bermimpi, pernikahan pun harus dilindungi dari kehancuran yang bersifat ekonomi. Kadang kita terlalu ambisius ingin cepat kaya,sehingga gelap mata mengambil keputusan bisnis yang terlalu riskan, akhirnya ingin untung tapi malah buntung.

Masalahnya adalah sewaktu kita buntung, kita pun harus membuntungi anggota keluarga yang lain, semua menderita akibat keputusan yang keliru yang kita telah buat kendati ikatan pernikahan tidak sepenuhnya bergantung pada kestabilan ekonomi namun sebagai manusia kita terpengaruh olehnya, kesulitan ekonomi yang mendera cenderung menambah frekuensi pertengkaran karena dalam keadaan terjepit, kita mengalami lebih banyak stres apalagi bila kehancuran ekonomi tersebut disebabkan oleh ketidak hati-hatian pasangan mengelola keuangan keluarga.
GS : Pak Paul sudah menguraikan begitu banyak mengenai masa lanjut usia ini atau sampai maut memisahkan kita. Kesimpulan dari perbincangan kita yang terdahulu dan yang sekarang apa, Pak Paul?

PG : Jika kita ingin sampai pada garis akhir dengan baik, maka kita harus memerhatikan pertandingan dengan sebaiknya. Pernikahan yang bertahan dengan baik tidaklah terjadi secara kebetulan tapidengan bersandar kepada firman Tuhan maka kita akan dapat menyelesaikan pernikahan sampai akhir dengan penuh sukacita, itulah kira-kira kesimpulannya.

GS : Jadi kalau ada orang yang menganggap bahwa hidup pernikahan ini nanti akan mengalir begitu saja tanpa kita mengusahakan sesuatu yang positif apakah hal ini bisa kita terima?

PG : Tidak. Sekolah harus kita rencanakan, pekerjaan harus direncanakan dan kenapa pernikahan tidak harus direncanakan, jadi sama. Semua kalau ingin menghasilkan hasil yang baik, maka perlu perncanaan.

GS : Jadi ada orang yang diambang perceraian kemudian mengatakan, "Ini sudah kehendak Tuhan dan saya tidak lagi meneruskan pernikahan dengan dia". Pandangan seperti ini adalah pandangan yang naif sekali, Pak Paul?

PG : Sangat naif dan dia menyalahgunakan nama Tuhan dan itu yang Tuhan larang "Jangan menyebut nama Tuhan dengan sia-sia" dan contoh inilah kita memakai nama Tuhan dengan sia-sia.

GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sebagai kesimpulan dari perbincangan kita kali ini?

PG : Amsal 3:5-8 berkata, "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. anganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan; itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu."

Kita mau pernikahan kita menjadi pernikahan yang sembuh dan segar, caranya tidak ada yang lain tapi kita harus percayakan kehidupan kita kepada Tuhan dan jangan bersandar kepada pengertian kita mengakui Tuhan dalam setiap perilaku kita dan hidup takut akan Tuhan serta menjauhkan diri dari kejahatan.

GS : Terima kasih Pak Paul, pasti perbincangan ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian untuk menjaga pernikahan kita sampai maut memisahkan kita. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sampai Maut Memisahkan kita" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



49. Bertumbuh Bersama I


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T334A (File MP3 T334A)


Abstrak:

Pertumbuhan bukan hanya merujuk kepada pertambahan ukuran dari kecil menjadi besar. Pertumbuhan juga mengacu kepada pergantian yang baru menggantikan yang lama. Pertumbuhan bukan saja merupakan pertanda adanya kehidupan; pertumbuhan juga merupakan pertanda adanya kesehatan. Relasi nikah pun seharusnya mengalami pertumbuhan di mana yang tadinya kecil menjadi besar dan di mana yang lama digantikan oleh yang baru. Berikut akan diuraikan hal-hal apa saja dalam pernikahan yang seyogianya mengalami pertumbuh


Ringkasan:

Pertumbuhan bukan hanya merujuk kepada pertambahan ukuran dari kecil menjadi besar. Pertumbuhan juga mengacu kepada pergantian yang baru menggantikan yang lama. Pertumbuhan bukan saja merupakan pertanda adanya kehidupan; pertumbuhan juga merupakan pertanda adanya kesehatan.

Relasi nikah pun seharusnya mengalami pertumbuhan di mana yang tadinya kecil menjadi besar dan di mana yang lama digantikan oleh yang baru. Berikut akan diuraikan hal-hal apa saja dalam pernikahan yang seyogianya mengalami pertumbuhan.

         Pengenalan, Pengertian, dan Penyesuaian.
Pernikahan bukan saja menyediakan wadah terciptanya pengenalan, pernikahan juga mengharuskan pasangan untuk saling menyesuaikan diri lewat pengenalan yang telah terjalin. Nah, agar terjadi penyesuaian, diperlukan pengertian. Dengan kata lain, dimulai dengan PENGENALAN, berlanjut dengan PENGERTIAN, dan berakhir dengan PENYESUAIAN. Pengenalan mesti bertumbuh agar tercipta pengertian dan pengertian mesti bertumbuh agar tercipta penyesuaian. Dan kita tahu, relasi harmonis mustahil tercipta tanpa adanya penyesuaian.

Banyak pasangan nikah yang tidak memberi cukup waktu untuk saling mengenal. Begitu masuk ke dalam pernikahan, mereka langsung "berlari" mengejar impian. Pulang malam, mereka jarang bercakap-cakap. Tubuh terlalu letih sehingga kebutuhan terbesar adalah beristirahat. Akhirnya pengenalan mereka pun mandek.

Masalahnya, begitu pengenalan berhenti berkembang, pengertian terhadap satu sama lain makin menipis pula. Problem makin sering muncul akibat kurangnya pengertian antara satu sama lain. Pada akhirnya konflik mulai berjamur karena kita tidak mengerti mengapa pasangan melakukan sesuatu atau melihat sesuatu lewat lensanya yang berbeda dari lensa kita.

Jika kita dapat menyelaraskan perbedaan, kita akan dapat membangun kedekatan tetapi apabila kita tidak dapat mendamaikan konflik, kita makin bertumbuh secara terpisah. Kita tidak terbiasa menyesuaikan diri dan kalaupun mau, kita tidak tahu bagaimana caranya.

Pada umumnya masalah mulai bermunculan ketika anak sudah tidak bersama kita lagi. Oleh karena anak sudah tiada, kita terpaksa berhadapan kembali dan harus melihat fakta bahwa sesungguhnya kita tidak tahu bagaimana hidup bersama. Tidak jarang, akhirnya kita memilih untuk menjalani hidup terpisah kendati masih hidup serumah. Itu sebabnya penting bagi kita untuk menumbuhkan pengenalan terhadap satu sama lain agar pengertian pun bertumbuh. Dan, tatkala pengertian bertumbuh, kita pun dapat menyesuaikan diri dengan lebih mudah.

         Hikmat.
Banyak hal yang mesti dihadapi dalam hidup dan semua menuntut hikmat. Amsal 24:3-4 berkata, "Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik." Bila kita tidak bertumbuh dalam hikmat, kita cenderung mengambil keputusan yang keliru dan merugikan keluarga. Mungkin bila hal ini terjadi sekali-sekali, pasangan dan anak akan dapat menoleransi. Namun bila hal ini kerap terulang, tidak bisa, relasi dengan pasangan dan anak niscaya terganggu. Besar kemungkinan mereka marah dan menyimpan kepahitan oleh karena kesalahan yang kita perbuat. Itu sebabnya kita harus bertumbuh dalam hikmat sebab tanpanya, pernikahan akan mengalami kerusakan. Ada banyak anak yang menyimpan kepahitan terhadap orang
tua akibat tindakan atau keputusan orang tua yang tidak berhikmat. Misal, ada anak yang menyimpan rasa marah karena sejak kecil dikirim ke sekolah berasrama. Memang secara intelektual si anak mengalami perkembangan, namun secara emosional, ia mengalami kepahitan. Atau, ada anak yang harus merasakan susahnya hidup akibat keputusan orang tua yang salah. Mungkin bisnis merugi berulang kali sehingga rumah terpaksa dijual. Atau, uang dipinjamkan tanpa jaminan, sehingga harus menanggung rugi.

Tindakan dan keputusan yang tidak berhikmat cenderung memengaruhi kehidupan semua anggota keluarga. Itu sebabnya kita mesti belajar berhikmat. Firman Tuhan mengajarkan bahwa hikmat didirikan di atas

  1. takut akan Tuhan dan
  2. kerendahan hati
untuk mendengarkan dan belajar dari orang lain dan pengalaman hidup. Bila kita tidak takut Tuhan, kita mudah tergelincir jatuh ke dalam dosa dan dosa pasti merugikan keluarga. Kita pun mesti rendah hati supaya cepat mengakui kekurangan dan belajar memerbaikinya. Tanpa takut akan Tuhan dan kerendahan hati, kita terus berkubang dalam kehidupan tanpa hikmat.

         Kekudusan.
Ada kecenderungan setelah menikah untuk waktu yang lama, kita menjadi begitu terbiasa dengan pasangan sehingga kurang berhati-hati menjaga perilaku dan perkataan. Mungkin kita berubah menjadi lebih kasar atau bersikap lebih "seenaknya." Kita tetap harus menjaga kekudusan alias hidup benar. Jangan meremehkannya dan jangan menyia-nyiakannya. Selain dari itu, kita pun harus menjaga kekudusan hidup secara menyeluruh. Jangan bermain dengan dosa dan jangan lengah. Kekudusan adalah perisai pernikahan. Tanpa kekudusan, pernikahan tersungkur ke dalam dosa.

Kita tidak selalu setuju namun sewaktu kita melihat betapa kudusnya hidup pasangan, kita akan menghormatinya. Inilah dasar respek yang kokoh. Ketika kita melihat pasangan berdoa dengan sungguh-sungguh, kita pun akan makin respek kepadanya. Tatkala kita melihat pasangan bergelut dalam Firman, kita pun akan makin menghormatinya.

Hidup kudus adalah hidup yang

  1. mencari Allah dan
  2. menghalau dosa
. Makin serius kita mencari Allah dan makin besar usaha yang kita berikan untuk jauh dari dosa, makin kuduslah hidup. Dan, makin kudus hidup, makin kokoh pernikahan dan makin dilindungi kita dari segala pencobaan. Pernikahan tidak mungkin bertumbuh bila kita terus direpotkan dengan masalah pasangan yang hidup tidak kudus.

         Kebaikan.
Pernikahan didirikan di atas kasih namun kasih harus diwujudkan dalam tindakan nyata yaitu dalam bentuk kebaikan. Makin banyak kebaikan, makin cepat pernikahan bertumbuh. Sebaliknya, makin jarang kebaikan dilakukan, makin besar jurang pemisah dan makin mengering relasi nikah.

Kita senang menerima bantuan dan sudah tentu berbahagia tatkala menjadi penerima kebaikan pasangan. Itu sebabnya kita harus sering-sering berbuat baik kepada dan untuk pasangan. Kita harus lebih cepat menggerakkan tangan menolong satu sama lain dan kita pun harus lebih murah hati. Murah hati diperlihatkan dari sikap yang tidak menghitung-hitung. Kita rela memberi walau tanpa imbalan. Sewaktu kebaikan menjadi sesuatu yang alamiah dan otomatis, pernikahan pasti bertumbuh pula.

         Pengenalan akan Allah.
Hidup berasal dari Allah. Itu sebabnya kita hanya dapat memaknai hidup dari mata Allah sendiri. Pengenalan akan karakter Allah, cara Allah bekerja, dan rencana Allah atas manusia bukan saja memberi kita kejelasan akan makna hidup tetapi juga menempatkan kita pada jalur yang benar di dalam menjalani hidup. Jika kita berdua berjalan di jalur yang sama, kita pun akan makin disatukan dan dikuatkan dalam menjalani hidup ini. Sebaliknya, bila kita hidup di jalur berbeda dan memaknai hidup secara berlainan pula, kita makin terpaut jauh dan besar kemungkinan akan lebih sering bertabrakan dalam konflik. Pengenalan akan Allah yang mendalam dan tepat membuat kita teguh—tidak mudah terombang-ambingkan oleh situasi kehidupan. Alhasil kita pun menjadi lebih kuat. Dan, kita cenderung respek kepada orang yang kuat dalam menghadapi tekanan hidup. Itu sebabnya dengan berjalannya waktu kita pun mesti bertambah kuat menghadapi kekecewaan, kebingungan, dan kesusahan hidup. Relasi nikah sulit bertumbuh bila salah satu anggotanya terus bergantung pada yang satunya. Sebaliknya sewaktu pasangan melihat bahwa kita kokoh dalam pengenalan akan Allah dan kekuatan dari-Nya, ia pun terdorong untuk mengenal Allah lebih dalam lagi dan menimba kekuatan lewat penyerahan kepada Tuhan. Tatkala ini terjadi, pernikahan pun akan mengalami pertumbuhan. Sebaliknya bila kita tidak berminat memperdalam pengenalan akan Allah, kita tetap berada pada level kanak-kanak dan ini akan membuat pasangan letih hidup bersama kita.

         Syukur.
Kita harus berupaya keras untuk tidak terjebak di dalam siklus mengeluh. Kita harus berusaha untuk hidup dalam sikap bersyukur yakni melihat dan menghargai pemberian Tuhan kepada kita. Relasi nikah sukar bertumbuh bila kita kerap mengeluh dan menyatakan tidak puas terhadap apa yang diterima. Pasangan pun cenderung menjauh bila kita sering menggerutu. Sebaliknya hati yang bersyukur menceriakan suasana dan memberi dorongan kepada pasangan untuk melanjutkan hidup dengan lebih riang dan ringan. Syukur bukanlah sebuah perasaan; syukur adalah sebuah sikap. Kita harus menentukan bagaimana kita akan melihat hidup. Kita dapat melihat hidup dari kacamata "kurang" atau "cukup." Bila kita terus menggunakan kacamata "kurang" maka semua akan menjadi kurang. Sebaliknya jika menggunakan kacamata "cukup" kita cepat bersyukur kepada kasih setia Tuhan.

Firman Tuhan:

"Kasih setia Tuhan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya." (Mazmur 103:17-18)


Transkrip:

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Bertumbuh Bersama". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

DL : Pak Paul, apakah yang dimaksud dengan bertumbuh bersama dan dalam hal apa orang harus bertumbuh bersama?

PG : Jadi begini, Bu Dientje, kita menyadari bahwa kita mesti bertumbuh. Kalau kita tidak bertumbuh berarti kita mulai tidak sehat, sebab misalnya dari kecil kita bertumbuh menjadi besar, kalau dari dulu kita tidak pernah bertumbuh besar berarti memang ada yang kurang sehat dengan tubuh kita. Juga kita terus-menerus mengalami pergantian sel, sel yang lama digantikan dengan yang baru, jadi kita bisa melihat bahwa pertumbuhan menunjukkan adanya kehidupan dan kesehatan. Kalau demikianlah dengan tubuh kita dan hal-hal lain dalam hidup, bukankah semestinya begitu juga dengan pernikahan. Bahwa relasi kita seharusnya tidak sama 5 tahun yang lalu dengan hari ini dan tidak bisa sama juga antara 10 tahun yang lalu dengan hari ini. Seyogianyalah relasi nikah pun bertumbuh, sebab kalau tidak ada pertumbuhan berarti ada yang tidak beres dengan relasi nikah kita itu.

GS : Pertumbuhan ini ada yang kita sadari tapi ada juga yang tidak kita sadari, yang secara otomatis, secara alamiah bertumbuh, tadi Pak Paul katakan, kita dari kecil menjadi besar. Memang orang tua kita menyediakan asupan yang cukup tapi kita sendiri hampir tidak menyadari sedang bertumbuh. Dalam relasi suami istri, itu suatu pertumbuhan yang kita sadari atau tidak kita sadari?

PG : Biasanya kita sadari tatkala kita mengalami tantangan tertentu. Sebagai contoh, misalnya kita dulu kalau bertengkar bisa 2 atau 3 hari baru selesai, namun setelah menikah bertahun-tahun kemudian kita kilas balik, dulu kalau kita bertengkar bisa 2 atau 3 hari, sekarang tidak sampai 1 hari sudah selesai. Dulu pasangan saya merasa curiga tapi sekarang tidak, dia percaya pada saya. Atau kalau tidak ada dia, merasa kehilangan dia, dulu waktu berpacaran tidak sampai begitu, tapi sekarang setelah menikah kalau tidak ada dia di samping saya, saya merasa ada yang hilang dalam hidup saya. Tatkala muncul situasi atau tantangan tertentu biasanya barulah di situ kita menyadari sesungguhnya relasi kita telah bertumbuh. Sebaliknya, kalau kita merasa senang kalau dia tidak ada di samping kita, berarti ada yang tidak beres! Atau mengapa dia pergi cepat sekali, seharusnya lebih lama, itu pertanda juga ada yang tidak beres dengan pernikahan kita. Sekali lagi, biasanya kita tidak terlalu menyadarinya sampai titik tertentu kita menengok ke belakang dan melihat bahwa kita sekarang tidak lagi merupakan pasangan yang sama. Kita telah berbeda, kita telah bertumbuh menjadi lebih baik.

GS : Biasanya pada awal-awal pernikahan seperti tubuh manusia, Pak Paul, pertumbuhan itu begitu cepatnya tetapi sampai pada suatu titik entah sudah 10 tahun menikah, atau 15 tahun menikah, seolah-olah pertumbuhan itu stagnan jadi ya tidak maju dan tidak mundur seperti itu berulang-ulang kali menjadi suatu kebiasaan dalam rumah itu, menjadi sistem dalam keluarga itu. Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Tapi sesungguhnya meskipun seolah-olah stagnan, Pak Gunawan, sebetulnya kalau tidak ditandai dengan pertengkaran, lebih banyak ditandai dengan pengertian dan sebagainya, sebetulnya telah terjadi pertumbuhan. Memang pada awal-awal pernikahan ada lebih banyak tugas yang mesti kita selesaikan, sehingga kita bisa saling menyesuaikan diri, oleh karena itu kita lebih bisa melihat pertumbuhan itu, perbedaan itu, tapi setelah mencapai titik tertentu biasanya pertumbuhan itu tidak lagi terlalu jelas tapi lebih mendalam sehingga kita jauh lebih membutuhkan dia, kita lebih menghargai dia, kita lebih mau mencari dia ketika kita mengalami masalah. Kita benar-benar merindukan seorang pendamping, seorang sahabat baik. Waktu kita ditanya, "Siapa yang kamu biasanya berbagi perasaan", kita mungkin akan langsung berkata, "Istri kita" atau "Suami kita", itu pertanda sebetulnya relasi kita telah mengalami pertumbuhan.

GS : Langkah-langkah apa yang patut kita perhatikan supaya pernikahan itu terus bertumbuh, Pak Paul?

PG : Ada beberapa hal yang mesti kita fokuskan, meskipun tadi telah kita katakan bahwa pertumbuhan itu bisa berjalan dengan alamiah, tapi untuk diskusi pada hari ini saya akan membaginya dalam beberapa bagian. Yang pertama, kita mesti bertumbuh dalam pengenalan, pengertian dan penyesuaian. Pernikahan bukan saja menyediakan wadah terciptanya pengenalan, pernikahan juga mengharuskan pasangan untuk saling menyesuaikan diri lewat pengenalan yang telah terjalin. Maksudnya, kita tidak cukup hanya saling mengenal. Saling mengenal tujuannya apa? Tujuan akhir dari saling mengenal lebih mendalam adalah agar terjadi penyesuaian sehingga kita bisa hidup dengan harmonis. Namun untuk terjadinya penyesuaian mesti ada pengertian, jadi setelah pengenalan, saling kenal, mesti juga akhirnya bertumbuh adalah pengertian. Sebab untuk apa makin mengenal tapi makin tidak mau mengerti. Semestinya makin mengerti, dengan perkataan lain dimulai dengan pengenalan dilanjutkan dengan pengertian dan berakhir dengan penyesuaian. Namun sekali lagi pertama yang mesti bertumbuh adalah pengenalan sebab tanpa pengenalan kita tidak mungkin menumbuhkan pengertian dan juga penyesuaian. Ini yang seringkali menjadi masalah di dalam pernikahan berhubung kita makin hari makin sibuk, pengenalan itu akhirnya berhenti. Kita tidak lagi memberi waktu yang cukup untuk saling mengenal.

DL : Kalau misalnya suami istri ini tinggal berjauhan, yang suami bekerja di luar kota dan jarang pulang, bagaimana dia bisa mengenal istrinya lebih dekat, Pak Paul?

PG : Ini tidak bisa tidak menjadi masalah, Bu Dientje, sebab pengenalan lewat telepon atau SMS tidak sama dengan pengenalan yang terjadi lewat interaksi yang riil atau nyata. Sudah tentu dalam kondisi itu, pengenalan akan mengalami hambatan namun di pihak lain kita juga mau mengerti situasi pasangan nikah yang tidak selalu ideal, ada waktu-waktu tertentu terjadilah krisis keuangan, kehilangan pekerjaan atau apa sehingga harus berpisah. Nah kalau itu harus terjadi, ya sudah, dilakoni saja tapi tolong pelihara terus komunikasi sehingga terus terjadilah percakapan dan sedapatnya jangan biarkan situasi ini terus berlanjut. Sedapatnya usahakanlah mendapat pekerjaan di dalam kota yang sama, meskipun misalnya penghasilan berkurang, tidak sama, tidak apa-apa sebab hal ini sangat berharga.

GS : Yang Pak Paul maksudkan pengenalan di sini, sebenarnya dalam hal-hal apa yang penting kita kenali terhadap pasangan itu, Pak Paul, karena setelah menikah sekian lama pun ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak mengenal istrinya.

PG : Yang paling awal biasanya kita harus mengenal gaya atau kebiasaan hidup karena itu yang paling utama menonjol, muncul dalam masa awal-awal pernikahan. Kita 'kan harus saling menyesuaikan gaya hidup yang berbeda, kebiasaan-kebiasaan hidup yang berbeda, sekarang tinggal serumah. Biasanya kita harus mengenal gaya hidup atau kebiasaan pasangan kita, makin kita mengenal maka kita lebih bisa menerima dan menyesuaikan diri dengan dia. Contoh dalam hal gaya hidup atau kebiasaan hidup, misalnya pasangan kita tidak biasa langsung bisa nonton televisi bersama dengan kita setelah pulang dari bekerja, tidak bisa. Dia perlu waktu untuk 1 jam berdiam diri dulu, mungkin membaca koran baru setelah itu bisa bercengkerama dengan kita. Selama kita akhirnya melihat, yang penting tetap bisa berbicara meskipun ada 1 jam dia meminta untuk sendiri dulu, ya tidak apa-apa. Pengertian muncul kemudian penyesuaian terjadi, biasanya yang pertama adalah itu, Pak Gunawan. Yang kedua yang penting kita mesti mengenal cara pikir, bahwa tidak sama pasangan kita misalkan lebih menekankan tidak penting sekolah yang harus bagus-bagus, yang penting anak bisa cocok dan menikmati waktu belajarnya. Mungkin kita berkata, "Tidak bisa, orang mesti dipacu baru nanti bisa memaksimalkan potensi", nah cara-cara pikir yang memang seringkali berkaitan dengan nilai-nilai hidup kita yang akhirnya membuat perbedaan di antara kita. Kita mesti mengenal dan mencoba mengerti kenapa dia menuntut anak kita bersekolah di sekolah yang baik, saling memahami latar belakangnya sehingga bisa menyesuaikan. Hal ketiga yang juga penting, yang perlu kita kenali adalah sifat atau karakter. Ini tidak selalu muncul atau terlihat dari awal, tidak, sebab sifat atau karakter itu muncul tatkala situasi tertentu muncul, misalnya orang tua kita minta bantuan keuangan dari kita karena dulunya mereka bekerja tapi sekarang sudah mulai pensiun jadi mereka agak kesulitan, tidak cukup dan tidak berani minta benar-benar, akhirnya minta secara pribadi kepada kita. Bisa jadi pasangan kita tidak menerima, dan berkata, "Kenapa mesti minta-minta, 'kan masih ada rumah, masih ada harta, itu 'kan masih bisa dijual. Kalau orang memang butuh, kita harus menolongnya. Ini tidak butuh, orang punya rumah, punya kendaraan, ya dijual nanti uangnya dibungakan, hidup dari bunga itu, tidak usah memunyai rumah pun tidak apa-apa, bisa tinggal dengan kita atau misalnya tidak mau tinggal dengan kita, menyewa rumah. Uang itu dibungakan untuk itu". Hal ini biasanya muncul pertengkaran, ternyata baru kita sadari bahwa pasangan kita memunyai sifat atau karakter yang di luar dugaan kita, dia sangat menghitung uang, dia bukan orang yang terlalu murah hati. Kita merasa terkejut, seringkali hal-hal itu muncul pada waktu kita berada dalam situasi tertentu.

GS : Pak Paul, dalam penyesuaian harus ada yang saling mengalah, kita tidak bisa dituntut hanya mengalah, mengerti pasangan kita tetapi pasangan kita tidak mau mengerti kita. Hal ini kadang-kadang mencari penyesuaian ini justru yang sulit, Pak Paul.

PG : Kira seringkali harus mencoba dan mencoba walaupun akhirnya gagal lagi, gagal lagi. Sebagai contoh, misalkan yang baru saja saya angkat, misalkan itu terjadi. Orang tua kita minta tolong secara halus karena sebetulnya mereka sungkan, kita sudah merasa pasti mereka perlu tapi tidak pernah minta. Kita menanyakan, "Perlukah, Ma, perlukah Pa?" dijawab, "Tidak perlu, tidak perlu jangan untuk kamu saja, kamu 'kan perlu!". Akhirnya terbukalah bahwa dia perlu, "Ya kalau misalnya bisa bantu, kami senang". Kita kemudian berbicara dengan pasangan kita, tapi pasangan kita kemudian berkata begitu, "Mereka masih punya uang, masih punya harta, ya dijual saja". Bagaimana kita menyesuaikannya karena kita sekarang sudah mengenal inilah watak atau karakter pasangan kita. Mungkin kita mencoba mengerti atau mencoba memahami latar belakangnya, mereka satu keluarga dari latar belakang yang relatif susah jadi masing-masing berdiri sendiri, berusaha sendiri, yang namanya belas kasihan, menolong orang tidak ada, atau mungkin kebalikannya, mereka berasal dari latar belakang yang pernah dirugikan oleh orang, ditipu atau uangnya diambil orang sehingga sangat-sangat perhitungan, ketat sekali dengan uang dan hampir tidak ada yang namanya belas kasihan. Tidak ada memberikan yang tanpa pamrih, semua harus ada perhitungannya. Bagaimana kita menyesuaikan diri dengan dia? Dalam kondisi seperti ini, kekeliruan yang sering terjadi adalah begini, kita memaksa. Kita berkata pada pasangan kita, "Tidak, kamu harus menolong, orang tua 'kan perlu dibantu", akhirnya kita bertengkar hebat. Yang perlu kita lakukan untuk menyesuaikan diri saat itu adalah yang terpenting jangan paksakan dulu. Kalau orang tua kita masih bisa hidup sendiri tanpa bantuan kita beberapa bulan lagi, diamkan, biarkan. Katakan pada orang tua, "Belum bisa, tapi mungkin tiga bulan lagi baru bisa", janjikan seperti itu. Kemudian kita perlahan-lahan dalam pembicaraan dengan istri kita atau suami kita, kita munculkan tentang apa yang menjadi isi hati Tuhan. "Tuhan sudah memberkati kita, Tuhan sayang kepada kita dan Tuhan juga ingin agar kita bisa memberikan berkat kepada orang lain". Atau mungkin kita mulai berkata kepada pasangan kita, "Eh, kita tolong atau berikan bantuan misalnya kepada adiknya atau kakaknya". Dengan perkataan lain, kita mau menumbuhkan rasa murah hati dalam hatinya terlebih dahulu, kalau kita paksakan dia untuk memberikan uang kepada orang tua kita, pasti ribut besar dan menimbulkan sakit hati tidak bisa sembuh-sembuh. Yang bisa kita sesuaikan adalah sikap murah hati harus ada terlebih dahulu, itu yang kita coba untuk tumbuhkan sehingga nanti ia bisa menyesuaikan diri juga dengan hal ini.

GS : Pengenalan, pengertian dan penyesuaian ini butuh waktu yang cukup panjang karena ini suatu proses yang berkesinambungan, Pak Paul, padahal sekarang waktu kita sangat terbatas, disibukkan dengan kesibukan yang luar biasa. Nah ini bagaimana kaitannya dengan pengenalan itu tadi, Pak Paul?

PG : Kalau kita memang sungguh-sungguh berniat untuk mengenal pasangan kita memang sedapat-dapatnya kita lebih sering berkomunikasi, lebih sering membahas, mendiskusikan. Jadi sedapat-dapatnya terbuka terhadap pasangan kita nanti akan menolong terjadinya dialog dan waktu dialog terjadi kita akhirnya makin dapat mengenal pasangan kita dengan lebih baik lagi. Kalau kita berhasil mengenal, mengerti dan menyesuaikan maka kita akan bertumbuh makin hari makin intim, makin akrab. Kita makin dapat mendamaikan konflik dan akhirnya kita makin hari makin disatukan. Kalau tidak demikian, saling mendiamkan, tidak mau mengenal dan mungkin tidak bisa mengerti atau tidak bisa menyesuaikan dan dibiarkan begitu saja akhirnya secara relasi tidak bertumbuh. Mungkin untuk sementara tatkala anak-anak masih di rumah, persoalan tidak bermunculan, tapi begitu anak-anak ke luar rumah, kita tinggal berduaan, timbullah masalah sebab pada dasarnya kita belum sampai ke titik di mana kita berhasil menyesuaikan diri satu dengan yang lain. Setelah anak-anak pergi barulah kita diperhadapkan dengan masalah semula itu.

GS : Padahal pertumbuhan ini antara suami dan istri, kaitannya dengan anak seperti apa, Pak Paul?

PG : Jadi begini, Pak Gunawan. Waktu anak lahir tidak bisa tidak anak akan masuk langsung terlibat dalam relasi kita berdua, sebagai contoh harapan kita, tuntutan kita, apa yang kita dambakan dalam hidup itu berkaitan dengan anak. Sebelum ada anak tidak muncul, tapi setelah anak lahir, muncullah. Apakah yang sebenarnya kita harapkan dari anak, bagaimana sikap kita kepada anak? Misalnya, ada orang tua yang menjadikan anak benar-benar seperti trofinya, supaya dilihat orang sebagai orang yang berhasil. Anak itu juga harus berhasil, tidak boleh membuat malu orang tua, ditekankan sekali mesti berhasil, mesti berprestasi. Nah, pasangan kita mungkin tidak setuju, pasangan kita berkata, "Jangan begitu, tolong lihat kemampuan anak kita, kamu jangan membuat anak kita seperti kuda yang dipacu supaya kamu nanti bisa duduk di atasnya dan menang, tidak bisa begitu". Mungkin sekali di situ terjadi gesekan, tapi bagaimana kita menyadari hal itu? Sewaktu anak lahir, sewaktu anak nanti akhirnya bersekolah dan mengalami kesulitan dalam prestasi belajarnya. Memang penting sekali kita bisa menyadari semua itu.

DL : Pak Paul, selain pengenalan, pengertian dan penyesuaian, dalam hal apa lagi orang yang menikah itu mereka bisa betul-betul bisa bertumbuh bersama?

PG : Ini penting sekali dalam hal hikmat, ini yang sesuatu yang mutlak harus ada dan bertumbuh dalam pernikahan kita. Sebab apa? Sebab dalam hidup itu ada sejumlah hal yang mesti dihadapi dan semuanya menuntut hikmat. Amsal 24:3-4 berkata, "Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik". Dari firman Tuhan ini kita bisa menyimpulkan bahwa hikmatlah yang diperlukan untuk mendirikan rumah, dalam hal ini rumah tangga kita. Bila kita tidak bertumbuh dalam hikmat kita cenderung mengambil keputusan yang keliru dan merugikan keluarga. Mungkin kalau terjadinya hanya sekali-sekali, baiklah pasangan akan mengerti, anak-anak akan menoleransi tetapi bila kerap terulang, kita mengambil keputusan yang salah lagi, salah lagi, tidak bisa tidak hubungan kita dengan pasangan dan anak pasti terganggu. Mereka mungkin saja marah, menyimpan kepahitan oleh karena kesalahan yang kita perbuat, itu sebabnya kita mesti bertumbuh dalam hikmat sebab kalau tidak berhikmat pada akhirnya pernikahan kita akan mengalami kerusakan.

GS : Tapi tidak ada pasangan suami istri yang begitu sempurna, memunyai hikmat yang luar biasa seperti itu, Pak Paul, seandainya terjadi dan seringkali memang terjadi ada keputusan-keputusan kita sebagai orang tua itu keliru, apa dampaknya, Pak Paul?

PG : Dampaknya bergantung pada berapa besarnya keputusan tersebut, sebagai contoh kalau ada orang mengambil keputusan yang keliru melibatkan hukum akhirnya dia harus masuk ke penjara. Ini tampaknya besar, sebab anak-anak akan kehilangan orang tuanya selama di penjara atau yang lebih besar lagi adalah rasa malu, lingkungan akan mencemooh, membicarakan tentang masalah ini. Jadi akhirnya repot sekali, mestilah kita berhikmat dalam mengambil keputusan sebab kita mesti memikirkan keluarga kita. Jangan hanya memikirkan kalau berhasil kalau bisa, tetapi tidak memikirkan dampak buruknya kalau tidak berhasil.

DL : Bagaimana kalau sampai ada anak memunyai akar pahit terhadap orang tuanya karena masa lalu yang dihadapi, Pak Paul?

PG : Banyak anak yang menyimpan rasa pahit, Bu Dientje, misalnya ada anak yang menyimpan rasa pahit, marah, karena dikirim ke sekolah berasrama di luar kota, mungkin secara intelektual dia berkembang tapi secara emosional dia menyimpan kepahitan atau ada anak yang harus merasakan susahnya hidup karena kesalahan orang tuanya. Tidak bisa tidak, mereka tidak bisa respek kepada orang tua, mulailah terjadi pemberontakan, kurang ajar, tidak menganggap apa yang dikatakan oleh orang tuanya, sehingga orang tua tidak bisa lagi berfungsi sebagai orang tua di rumah. Respek itu akhirnya hilang dan

sudah tentu kalau isinya adalah kemarahan-kemarahan maka kasih sayang dan kepedulian terhadap orang tua akhirnya memudar, tidak peduli dan tidak mau mengacuhkan pada orang tua sama sekali.

GS : Tapi mengirimkan anak ke asrama seperti itu tidak selalu keliru, Pak Paul? Ada keluarga karena tinggal di kota yang kecil, anaknya dikirim ke kota yang lebih besar dan diasramakan tetapi hubungan mereka tetap baik karena pertama-tama anak itu sudah diberitahu mengapa mereka harus studi di luar kota dan hubungan mereka masih sering. Jadi kalau hari Sabtu atau Minggu orang tuanya masih menjemput dan sebagainya, begitu Pak Paul.

PG : Memang tidak sama pada tiap kasus, itu betul sekali. Ada anak yang memang lebih siap, mungkin waktu dia masih lebih kecil, hubungannya dengan orang tua lebih kuat, lebih dekat sehingga akhirnya dia lebih bisa menghadapi itu, tetapi ada anak yang tidak bisa. Nah, kita sebagai orang tua mesti menimbang ulang kalau kita melihat anak itu memberi reaksi yang buruk kita mesti bersiap untuk mengubah keputusan kita dan memulangkan dia kembali jadi tidak memaksakannya. Sekali lagi perlu kepekaan waktu melihat reaksi anak itu.

GS : Dan hikmat itu adalah hikmat yang dari Tuhan. Aspeknya apa saja, Pak Paul?

PG : Kita baru bisa memiliki hikmat dalam Tuhan jika pertama-tama kita takut kepada Tuhan, karena firman Tuhan berkata, "Awal dari hikmat adalah takut akan Tuhan", jadi mesti takut kepada Tuhan sehingga tidak mau main-main dengan Tuhan, tidak mau berdosa, kita takut pada Tuhan. Yang kedua adalah kita mesti memiliki kerendahan hati, karena Amsal penuh dengan nasihat tentang hikmat dan rata-rata hikmat diperoleh lewat kerendahan hati untuk belajar, untuk menyerap apa yang harus kita ketahui sehingga kita tidak salah melangkah, bersedia ditegur atau dibimbing oleh orang-orang lain.

GS : Pak Paul, ada orang yang memiliki hikmat Tuhan seperti itu tetapi ada juga yang kurang. Tidak tahu hubungannya bagaimana, tetapi kita melihat dia lebih menonjolkan hikmat manusia, pertimbangan-pertimbangan manusia yang berakibat keluarganya tidak harmonis dan sebagainya. Lalu bagaimana kita harus menyikapinya, Pak Paul?

PG : Kita memang harus datang kepada Tuhan, mengakui bahwa kita kurang berhikmat dan meminta Tuhan untuk menyediakan hikmat kepada kita, jadi terus datang kepada Tuhan dan meminta Tuhan untuk menyediakan hikmat itu kepada kita.

GS : Apakah ada ayat yang bisa mendukung pernyataan ini dan sekaligus mengakhiri perbincangan kita kali ini, Pak Paul?

PG : Ada, Pak Gunawan. Yakobus 1:5 berkata, "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat hendaknya ia memintakannya kepada Allah yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit maka hal itu akan diberikan kepadanya". Jadi minta kepada Tuhan, setelah minta ikuti, takut akan Tuhan jangan main-main dengan Tuhan, jangan main-main dengan dosa dan cobalah rendah hati, dengarkan masukan dari orang lain juga.

GS : Pak Paul, perbincangan kita ini tentang "Bertumbuh Bersama" apakah masih ada aspek-aspek yang lain yang perlu nanti kita bicarakan?

PG : Masih ada, Pak Gunawan.

GS : Untuk kali ini kita sudahi perbincangan ini, namun kita tentunya berharap para pendengar kita bisa mengikuti lanjutan perbincangan ini. Terima kasih Pak Paul dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bertumbuh Bersama" bagian yang pertama dan kami berharap Anda sekalian bisa mengikuti perbincangan selanjutnya agar memunyai gambaran yang lebih jelas, lebih lengkap tentang "Bertumbuh Bersama" ini, sedang bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



50. Bertumbuh Bersama II


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T334B (File MP3 T334B)


Abstrak:

Pertumbuhan bukan hanya merujuk kepada pertambahan ukuran dari kecil menjadi besar. Pertumbuhan juga mengacu kepada pergantian yang baru menggantikan yang lama. Pertumbuhan bukan saja merupakan pertanda adanya kehidupan; pertumbuhan juga merupakan pertanda adanya kesehatan. Relasi nikah pun seharusnya mengalami pertumbuhan di mana yang tadinya kecil menjadi besar dan di mana yang lama digantikan oleh yang baru. Berikut akan diuraikan hal-hal apa saja dalam pernikahan yang seyogianya mengalami pertumbuh


Ringkasan:

Pertumbuhan bukan hanya merujuk kepada pertambahan ukuran dari kecil menjadi besar. Pertumbuhan juga mengacu kepada pergantian yang baru menggantikan yang lama. Pertumbuhan bukan saja merupakan pertanda adanya kehidupan; pertumbuhan juga merupakan pertanda adanya kesehatan.

Relasi nikah pun seharusnya mengalami pertumbuhan di mana yang tadinya kecil menjadi besar dan di mana yang lama digantikan oleh yang baru. Berikut akan diuraikan hal-hal apa saja dalam pernikahan yang seyogianya mengalami pertumbuhan.

         Pengenalan, Pengertian, dan Penyesuaian.
Pernikahan bukan saja menyediakan wadah terciptanya pengenalan, pernikahan juga mengharuskan pasangan untuk saling menyesuaikan diri lewat pengenalan yang telah terjalin. Nah, agar terjadi penyesuaian, diperlukan pengertian. Dengan kata lain, dimulai dengan PENGENALAN, berlanjut dengan PENGERTIAN, dan berakhir dengan PENYESUAIAN. Pengenalan mesti bertumbuh agar tercipta pengertian dan pengertian mesti bertumbuh agar tercipta penyesuaian. Dan kita tahu, relasi harmonis mustahil tercipta tanpa adanya penyesuaian.

Banyak pasangan nikah yang tidak memberi cukup waktu untuk saling mengenal. Begitu masuk ke dalam pernikahan, mereka langsung "berlari" mengejar impian. Pulang malam, mereka jarang bercakap-cakap. Tubuh terlalu letih sehingga kebutuhan terbesar adalah beristirahat. Akhirnya pengenalan mereka pun mandek.

Masalahnya, begitu pengenalan berhenti berkembang, pengertian terhadap satu sama lain makin menipis pula. Problem makin sering muncul akibat kurangnya pengertian antara satu sama lain. Pada akhirnya konflik mulai berjamur karena kita tidak mengerti mengapa pasangan melakukan sesuatu atau melihat sesuatu lewat lensanya yang berbeda dari lensa kita.

Jika kita dapat menyelaraskan perbedaan, kita akan dapat membangun kedekatan tetapi apabila kita tidak dapat mendamaikan konflik, kita makin bertumbuh secara terpisah. Kita tidak terbiasa menyesuaikan diri dan kalaupun mau, kita tidak tahu bagaimana caranya.

Pada umumnya masalah mulai bermunculan ketika anak sudah tidak bersama kita lagi. Oleh karena anak sudah tiada, kita terpaksa berhadapan kembali dan harus melihat fakta bahwa sesungguhnya kita tidak tahu bagaimana hidup bersama. Tidak jarang, akhirnya kita memilih untuk menjalani hidup terpisah kendati masih hidup serumah. Itu sebabnya penting bagi kita untuk menumbuhkan pengenalan terhadap satu sama lain agar pengertian pun bertumbuh. Dan, tatkala pengertian bertumbuh, kita pun dapat menyesuaikan diri dengan lebih mudah.

         Hikmat.
Banyak hal yang mesti dihadapi dalam hidup dan semua menuntut hikmat. Amsal 24:3-4 berkata, "Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik." Bila kita tidak bertumbuh dalam hikmat, kita cenderung mengambil keputusan yang keliru dan merugikan keluarga. Mungkin bila hal ini terjadi sekali-sekali, pasangan dan anak akan dapat menoleransi. Namun bila hal ini kerap terulang, tidak bisa, relasi dengan pasangan dan anak niscaya terganggu. Besar kemungkinan mereka marah dan menyimpan kepahitan oleh karena kesalahan yang kita perbuat. Itu sebabnya kita harus bertumbuh dalam hikmat sebab tanpanya, pernikahan akan mengalami kerusakan. Ada banyak anak yang menyimpan kepahitan terhadap orang
tua akibat tindakan atau keputusan orang tua yang tidak berhikmat. Misal, ada anak yang menyimpan rasa marah karena sejak kecil dikirim ke sekolah berasrama. Memang secara intelektual si anak mengalami perkembangan, namun secara emosional, ia mengalami kepahitan. Atau, ada anak yang harus merasakan susahnya hidup akibat keputusan orang tua yang salah. Mungkin bisnis merugi berulang kali sehingga rumah terpaksa dijual. Atau, uang dipinjamkan tanpa jaminan, sehingga harus menanggung rugi.

Tindakan dan keputusan yang tidak berhikmat cenderung memengaruhi kehidupan semua anggota keluarga. Itu sebabnya kita mesti belajar berhikmat. Firman Tuhan mengajarkan bahwa hikmat didirikan di atas

  1. takut akan Tuhan dan
  2. kerendahan hati
untuk mendengarkan dan belajar dari orang lain dan pengalaman hidup. Bila kita tidak takut Tuhan, kita mudah tergelincir jatuh ke dalam dosa dan dosa pasti merugikan keluarga. Kita pun mesti rendah hati supaya cepat mengakui kekurangan dan belajar memerbaikinya. Tanpa takut akan Tuhan dan kerendahan hati, kita terus berkubang dalam kehidupan tanpa hikmat.

         Kekudusan.
Ada kecenderungan setelah menikah untuk waktu yang lama, kita menjadi begitu terbiasa dengan pasangan sehingga kurang berhati-hati menjaga perilaku dan perkataan. Mungkin kita berubah menjadi lebih kasar atau bersikap lebih "seenaknya." Kita tetap harus menjaga kekudusan alias hidup benar. Jangan meremehkannya dan jangan menyia-nyiakannya. Selain dari itu, kita pun harus menjaga kekudusan hidup secara menyeluruh. Jangan bermain dengan dosa dan jangan lengah. Kekudusan adalah perisai pernikahan. Tanpa kekudusan, pernikahan tersungkur ke dalam dosa.

Kita tidak selalu setuju namun sewaktu kita melihat betapa kudusnya hidup pasangan, kita akan menghormatinya. Inilah dasar respek yang kokoh. Ketika kita melihat pasangan berdoa dengan sungguh-sungguh, kita pun akan makin respek kepadanya. Tatkala kita melihat pasangan bergelut dalam Firman, kita pun akan makin menghormatinya.

Hidup kudus adalah hidup yang

  1. mencari Allah dan
  2. menghalau dosa
. Makin serius kita mencari Allah dan makin besar usaha yang kita berikan untuk jauh dari dosa, makin kuduslah hidup. Dan, makin kudus hidup, makin kokoh pernikahan dan makin dilindungi kita dari segala pencobaan. Pernikahan tidak mungkin bertumbuh bila kita terus direpotkan dengan masalah pasangan yang hidup tidak kudus.

         Kebaikan.
Pernikahan didirikan di atas kasih namun kasih harus diwujudkan dalam tindakan nyata yaitu dalam bentuk kebaikan. Makin banyak kebaikan, makin cepat pernikahan bertumbuh. Sebaliknya, makin jarang kebaikan dilakukan, makin besar jurang pemisah dan makin mengering relasi nikah.

Kita senang menerima bantuan dan sudah tentu berbahagia tatkala menjadi penerima kebaikan pasangan. Itu sebabnya kita harus sering-sering berbuat baik kepada dan untuk pasangan. Kita harus lebih cepat menggerakkan tangan menolong satu sama lain dan kita pun harus lebih murah hati. Murah hati diperlihatkan dari sikap yang tidak menghitung-hitung. Kita rela memberi walau tanpa imbalan. Sewaktu kebaikan menjadi sesuatu yang alamiah dan otomatis, pernikahan pasti bertumbuh pula.

         Pengenalan akan Allah.
Hidup berasal dari Allah. Itu sebabnya kita hanya dapat memaknai hidup dari mata Allah sendiri. Pengenalan akan karakter Allah, cara Allah bekerja, dan rencana Allah atas manusia bukan saja memberi kita kejelasan akan makna hidup tetapi juga menempatkan kita pada jalur yang benar di dalam menjalani hidup. Jika kita berdua berjalan di jalur yang sama, kita pun akan makin disatukan dan dikuatkan dalam menjalani hidup ini. Sebaliknya, bila kita hidup di jalur berbeda dan memaknai hidup secara berlainan pula, kita makin terpaut jauh dan besar kemungkinan akan lebih sering bertabrakan dalam konflik. Pengenalan akan Allah yang mendalam dan tepat membuat kita teguh—tidak mudah terombang-ambingkan oleh situasi kehidupan. Alhasil kita pun menjadi lebih kuat. Dan, kita cenderung respek kepada orang yang kuat dalam menghadapi tekanan hidup. Itu sebabnya dengan berjalannya waktu kita pun mesti bertambah kuat menghadapi kekecewaan, kebingungan, dan kesusahan hidup. Relasi nikah sulit bertumbuh bila salah satu anggotanya terus bergantung pada yang satunya. Sebaliknya sewaktu pasangan melihat bahwa kita kokoh dalam pengenalan akan Allah dan kekuatan dari-Nya, ia pun terdorong untuk mengenal Allah lebih dalam lagi dan menimba kekuatan lewat penyerahan kepada Tuhan. Tatkala ini terjadi, pernikahan pun akan mengalami pertumbuhan. Sebaliknya bila kita tidak berminat memperdalam pengenalan akan Allah, kita tetap berada pada level kanak-kanak dan ini akan membuat pasangan letih hidup bersama kita.

         Syukur.
Kita harus berupaya keras untuk tidak terjebak di dalam siklus mengeluh. Kita harus berusaha untuk hidup dalam sikap bersyukur yakni melihat dan menghargai pemberian Tuhan kepada kita. Relasi nikah sukar bertumbuh bila kita kerap mengeluh dan menyatakan tidak puas terhadap apa yang diterima. Pasangan pun cenderung menjauh bila kita sering menggerutu. Sebaliknya hati yang bersyukur menceriakan suasana dan memberi dorongan kepada pasangan untuk melanjutkan hidup dengan lebih riang dan ringan. Syukur bukanlah sebuah perasaan; syukur adalah sebuah sikap. Kita harus menentukan bagaimana kita akan melihat hidup. Kita dapat melihat hidup dari kacamata "kurang" atau "cukup." Bila kita terus menggunakan kacamata "kurang" maka semua akan menjadi kurang. Sebaliknya jika menggunakan kacamata "cukup" kita cepat bersyukur kepada kasih setia Tuhan.

Firman Tuhan:

"Kasih setia Tuhan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya." (Mazmur 103:17-18)


Transkrip:

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu tentang "Bertumbuh Bersama". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS : Pak Paul, karena ini perbincangan bagian yang kedua tentang "Bertumbuh Bersama", supaya para pendengar kita memunyai gambaran yang lebih lengkap boleh saya minta kesediaan Pak Paul untuk mengulas secara singkat apa yang kita perbincangkan pada bagian yang terdahulu, Pak Paul.

PG : Kita berasumsi bahwa untuk sebuah pernikahan bisa tetap sehat maka dua-dua mesti bertumbuh, relasinya tidak bisa sama dari tahun ke tahun, jadi kita membicarakan sekurang-kurangnya ada 2 aspek yang mesti bertumbuh, yaitu yang pertama dalam hal pengenalan mesti bertumbuh sebab lewat pengenalan kita makin bisa mengerti pasangan kita dan makin mengerti pasangan, kita akhirnya dapat menyesuaikan diri. Lewat semua itulah terjadi keharmonisan dan yang kedua adalah kita membicarakan betapa pentingnya masing-masing, baik suami maupun istri, bertumbuh dalam hikmat karena keputusan dalam pernikahan tidak hanya berdampak pada 2 orang, tetapi pada 1 keluarga kalau kita tidak berhikmat dalam hidup, dalam bertindak, dalam mengambil keputusan, dampaknya luas. Jangan sampai karena kita salah bertindak, terlampau berani, tidak berhikmat, kita akhirnya jatuh ke dalam dosa, membuat satu keluarga merana atau kita terlibat perkara hukum harus masuk penjara, keluarga kita juga harus merana atau kita karena terlalu bernafsu akhirnya merugi semua habis, rumah habis harus pindah dan sebagainya, akhirnya anak-anak kita juga merana dan ada yang bahkan menyimpan kepahitan. Kita berdua harus bertumbuh dalam hikmat, tidak boleh terus-menerus melakukan apa yang kita anggap benar tanpa menghiraukan akan rasa takut akan Tuhan dan juga tidak rendah hati untuk mau mendengarkan masukan dari orang terutama dari pasangan sendiri.

DL : Selain pengertian tadi, pengenalan dan penyesuaian serta hikmat, apa ada lagi, Pak Paul?

PG : Kita juga mesti bertumbuh dalam kekudusan, yang saya maksud adalah ini. Ada kecenderungan setelah kita menikah untuk waktu yang lama, kita menjadi terbiasa dengan pasangan sehingga mulailah kita bersikap atau bertindak semaunya atau seenaknya. Mungkin misalnya kita berbicara lebih kasar, memanggil pasangan kita "Bodoh" dan sebagainya. Kita tidak boleh begitu, setelah menikah, justru makin lama menikah kita harus menjadi orang yang lebih kudus lagi, hidup yang lebih benar lagi, hidup yang lebih sesuai dengan kehendak Tuhan, jangan meremehkannya. Jangan menyia-nyiakannya dan sudah tentu jangan sampai kita bermain-main dengan dosa, sebab tanpa kekudusan pernikahan pasti akan rusak. Jadi kita mesti hidup dalam kekudusan. Kita juga akan melihat dampaknya pada pernikahan begini, kita mungkin tidak selalu setuju dengan pasangan kita, perdebatan mungkin terjadi karena tidak cocok cara berpikir kita, namun kalau kita melihat pasangan kita orang yang hidupnya kudus, hidupnya benar. Pasangan kita sungguh-sungguh mencari Tuhan, mencoba untuk menaati Tuhan, tidak bisa tidak kekudusan pasangan akan menimbulkan respek dalam diri kita. Ini dasar respek yang kokoh sehingga akhirnya dalam kita berelasi, dalam memecahkan persoalan, dalam menyelaraskan perbedaan kita tidak sembarangan karena kita mengetahui bahwa pasangan kita orang yang saleh, orang yang sungguh-sungguh ingin hidup kudus di hadapan Tuhan.

GS : Jadi kekudusan ini bukan soal berzinah atau bermain-main dengan pasangan yang lain, bukan hanya itu, Pak Paul?

PG : Bukan, Pak Gunawan, jadi memang menyangkut kehidupan yang rohani, yang dikehendaki oleh Tuhan. Hidup yang benar sehingga kita tidak hidup sembarangan dengan pasangan, tidak sembarangan dengan anak karena kita mengetahui bahwa kita mencerminkan Tuhan dalam keluarga kita.

GS : Jadi lebih banyak aspek yang menekankan kita untuk hidup kudus di sini, memang kehidupan kita sudah terpisah dengan yang lainnya supaya kita fokus kepada keluarga yang sekarang bersama-sama dengan kita.

PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi begini, kalau misalnya kalau saya sekarang menempatkan diri di posisi anak. Anak melihat papanya, mamanya hidup kudus, tidak main-main dengan orang lain. Hal itu berdampak sangat besar pada keluarga, bandingkan misalnya si anak melihat ayahnya bila bertemu dengan perempuan tidak bisa diam, sepertinya ingin mendekati perempuan terus. Anak tidak melihat kekudusan dan pasti itu membuat dia susah respek kepada ayahnya. Atau mama bila marah kepada suaminya, anak-anak melihat mama memaki-maki suaminya, bagaimana anak melihat kekudusan pada mama? Anak-anak tambah tidak hormat kepada mama, tambah benci kepada mama akhirnya muncul masalah demi masalah dalam keluarga itu. Jadi penting masing-masing hidup kudus di hadapan Tuhan sehingga nanti itu memberi dampak yang sangat baik pada keluarga kita.

DL : Jadi harus ada saat teduh pribadi dari masing-masing, kemudian saat teduh bersama.

PG : Misalkan kita benar-benar menunjukkan usaha mencari Tuhan, bahwa Tuhan itu penting dalam hidup kita. Kita mau mendengarkan suara Tuhan karena itu di pagi hari atau di malam hari kita datang ke hadapan Tuhan, kita berdoa, kita membaca firman-Nya, kita saat teduh. Belum lagi kalau ini dilihat oleh pasangan atau anak kita, sudah tentu kita melakukan hal itu bukan supaya dilihat oleh anak atau pasangan kita. Kalau mereka melihat betapa seriusnya kita mencari kehendak Tuhan, itu akan menjadi teladan, hal yang dapat dihormati oleh anak.

GS : Selain hal itu, faktor lain untuk menumbuhkan hubungan suami istri itu apa, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah kita juga mesti bertumbuh dalam kebaikan. Kita mengetahui bahwa pernikahan didirikan di atas kasih namun kasih harus diwujudkan dalam tindakan nyata, yaitu dalam bentuk kebaikan. Tidak bisa kita berkata, "Saya mengasihi kamu", tapi kita tidak melakukan hal-hal yang baik kepada pasangan kita. Makin banyak kebaikan, makin cepat pernikahan bertumbuh. Sebaliknya makin jarang kebaikan dilakukan, makin besar jurang pemisah dan makin mengering relasi nikah. Intinya kita senang menerima kebaikan, kita senang menerima bantuan, itu sebabnya kita harus sering-sering berbuat baik kepada pasangan kita dan untuk pasangan kita. Jadi lebih ringan tangan untuk menolongnya dan sudah tentu harus lebih murah hati, sikap tidak menghitung-hitung, rela memberi, rela berkorban tanpa imbalan. Sewaktu kebaikan menjadi sesuatu yang alamiah, otomatis dalam keluarga kita, pernikahan itu pasti bertumbuh juga.

GS : Ada orang yang memang sejak kecilnya atau memunyai latar belakang yang memungkinkan seseorang ini baik hatinya, murah hati tapi ada juga sebagian orang yang kesulitan sekali untuk mewujudkan kebaikan itu, Pak Paul.

DL : Karena latar belakang keluarga mungkin terlalu keras.

PG : Kadang-kadang ada orang yang memasuki pernikahan dengan sikap atau sifat murah hati dan baik, tetapi ada orang yang tidak memunyai sifat itu. Sudah tentu yang memang tidak punya akan jauh lebih susah untuk menumbuhkannya, namun kita kembali lagi kepada yang tadi telah kita bicarakan. Kalau pasangan telah melihat bahwa kita hidupnya benar, hidupnya kudus dan dia pun melihat Tuhan memberkati kita, lama-lama dia bisa lebih tergerak, akan mencontoh untuk lebih murah hati karena Tuhan telah memberkati kita juga. Ini bisa menjadi pemicu juga atau yang lain lagi adalah waktu dia melihat bahwa pasangan kita baik, mau menolong, mau memberi dan kita pun ditolong oleh dia, dia bukan hanya menolong orang lain, akhirnya dia merasa lebih tergerak untuk menolong juga, untuk berbuat baik juga dan tidak usah menghitung-hitung. Kalau kita merasa pasangan kita tidak murah hati dan menghitung-hitung, kemudian kita membalas dengan menghitung-hitung maka tidak ada habisnya. Justru kalau kita membalas dengan kemurahan hati, tidak apa-apa berkorban untuk dia maka lama-kelamaan dia akan disadarkan, mengapa saya begitu berbeda dengan dia, dia begitu murah hati, saya begitu perhitungan. Nah, dia lebih tergerak lain kali untuk lebih murah hati kepada pasangannya.

GS : Tapi juga seringkali terjadi kebaikan hati seseorang itu disalahgunakan oleh pihak lain, Pak Paul, sehingga merugikan bukan hanya orang itu tetapi sekeluarga sehingga ada pasangannya yang berkata, "Karena itu kamu jangan terlalu baik" dan dia melihat kebaikan ini merugikan seluruh keluarga.

PG : Kita sudah membahas bahwa kita perlu juga bertumbuh dalam hikmat. Kalau tidak memunyai hikmat akhirnya kita terjeblos ke lubang yang sama berkali-kali. Jadi adakalanya misalkan kita ditipu, tapi ditipu karena kita sudah menyelidiki, sudah berhati-hati tetapi tetap ditipu. Kalau misalnya kita terus sembrono atau kurang hati-hati, itu berarti kita tidak berhikmat dan yang dituntut oleh pasangan dan oleh anak-anak kita bahwa kita telah berupaya untuk berhikmat, tidak gegabah (kurang berhati-hati). Selama mereka melihat kita telah berusaha tidak gegabah, biasanya mereka bisa menerima kalau misalnya kita berbuat salah lagi. Tetap kebaikan harus disandingkan juga dengan hikmat sebab tanpa hikmat kebaikan bisa membuka pintu kita akhirnya terus-menerus dimanfaatkan oleh orang.

DL : Selain kebaikan apa lagi yang bisa menumbuhkan dalam pernikahan itu, Pak Paul?

PG : Berikut adalah pengenalan akan Allah, Bu Dientje. Hidup ini berasal dari Allah jadi kita hanya dapat memaknai hidup dari kacamata Allah sendiri, itu sebabnya kita mesti menambah pengenalan akan karakter Allah, cara Allah bekerja dan rencana Allah atas manusia dan kehidupan ini. Dengan kita menambah semua itu kita akan lebih jelas melihat makna hidup dan juga kita dapat akhirnya menjalani hidup dengan lebih benar. Kita mengetahui bahwa inilah cara Allah bekerja dan inilah yang memang dikehendaki oleh Allah. Jika kita berdua berjalan di jalur yang sama, kita akan makin disatukan dan dikuatkan dalam hidup ini. Sebaliknya bila kita hidup di jalur yang berbeda, kita memaknai hidup secara berlainan pula akhirnya kita makin terpaut dan sering bertabrakan alias berkonflik dengan pasangan kita. Jadi penting kita mengenal Allah dengan lebih tepat, dengan lebih mendalam, mengenal cara kerja Allah dan mengenal rencana Allah dalam hidup ini sehingga kita berdua bisa sejajar. Saya berikan contoh konkretnya, misalnya kita mengerti bahwa bagi Allah yang penting adalah supaya manusia hidup takut akan Dia dan hidup memuliakan Dia. Itu saja akan bisa merumuskan tujuan hidup sepasang suami istri, bahwa yang terpenting adalah kita mengenal Allah dan kita memuliakan Allah dalam hidup ini, itu menjadi rumusan tujuan hidup suami istri. Begitu kita berdua bisa merumuskan yang sama, semua tindakan kita, keputusan kita akan kita selaraskan dengan tujuan itu dan kita pasti akan bertumbuh kalau memunyai tujuan yang memang sudah pas dan sesuai dengan kehendak Allah.

DL : Mengenal Allah itu harus selalu mendalami firman Tuhan. Ada seorang ibu yang sudah tua dan tidak bisa membaca firman Tuhan tetapi hidupnya begitu memancarkan karakter Tuhan sampai orang-orang yang datang berkunjung malah dihiburkan. Berarti kalau saya melihat, mengenal Allah bukan saja dekat dan baca firman Tuhan, tetapi dekat di hati Tuhan.

PG : Setuju, Ibu Dientje. Sudah tentu sedapat-dapatnya selagi kita bisa membaca, kita membaca firman Allah sebab firman yang kita baca dan kita renungkan akhirnya menjadi bagian dari hidup kita. Kita pun akan hidup di dalam hadirat Allah, itu memang yang penting sekali. Jadi waktu kita hidup sedekat itu dengan Tuhan, tidak bisa tidak kita akan menjadi orang yang lebih teguh, tidak mudah terombang-ambingkan oleh situasi kehidupan. Kita menjadi lebih kuat dan dampaknya bagi pernikahan kita lebih kokoh. Kalau ada satu orang yang mudah diombang-ambingkan, yang kuat pun lama kelamaan menjadi oleng karena terbawa oleh pasangannya. Jadi kalau dua-dua bisa bertumbuh, makin hari makin kuat, makin beriman, makin tidak mudah goyang, itu benar-benar membuat pernikahan mereka juga lebih solid. Yang lainnya lagi adalah dampaknya kita juga semakin respek kepada pasangan yang sungguh-sungguh kuat, tidak mudah cemas, benar-benar kokoh di dalam Tuhan. Kita pun menaruh respek kepadanya dan hal ini akan menambah kedekatan kita, kita juga makin bertumbuh dalam relasi nikah kita.

GS : Pengenalan akan Allah ini memang membuat seseorang bertumbuh tetapi untuk pertumbuhan pada pasangannya, itu 'kan tidak secara instan bisa terjadi, Pak Paul. Misalnya si suami memang seorang yang tekun belajar mau mengenal Allah tapi istrinya belum tentu tertarik dengan gaya hidup seperti itu.

PG : Biasanya yang membuat ia tertarik adalah waktu dia melihat hasilnya, Pak Gunawan, sikapnya. Dia melihat pasangannya begitu kuat dan tenang menghadapi pukulan-pukulan hidup dia tidak terhempas, dia tidak merasa bingung, dia tidak merasa kecewa, bisa terus jalan dengan kuat. Nah, buah itu menjadi daya tarik yang kuat. Mungkin ia akan berpikir, "saya juga mau menjadi seperti pasangan saya", sebab dia hidupnya begitu tenteram. Dengan perkataan lain, dia lebih terdorong meskipun tetap dia memunyai pilihan mau atau tidak mau. Namun setidak-tidaknya hal itu menjadi suatu daya tarik, akhirnya ketika dia mau bertumbuh, dia belajar kuat dan sebagainya, mengenal Tuhan lebih dalam lagi. Pernikahan itu akhirnya mengalami pertumbuhan, tapi kalau kita menolak, kita tidak mau, kita tetap mau seperti apa adanya sekarang ini, tidak mau mengenal Tuhan lebih dalam lagi, saya takutnya kita berada pada level anak-anak, tidak pernah matang. Selalu ada apa, ada apa, menyalahkan pada pasangan, kita merasa bingung, merasa kecewa diombang-ambingkan oleh hidup. Terus begitu, sudah tentu nanti dampaknya pada pernikahan juga ada, sebab orang tidak tahan bila digantung seperti itu.

GS : Yang menjadi masalah justru pengenalan akan Allah biasanya hanya sebatas rasio. Mengerti memang mengerti, menekuni belajar dan sebagainya tetapi itu tidak terwujud di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Ini menjadi batu sandungan atau penghalang bagi pasangan itu untuk mendekat kepada Tuhan.

PG : Sudah tentu benar, bahwa kita tidak bisa hanya duduk membaca firman tetapi kita harus berdiri dan berjalan di dalam firman.

DL : Bertindak di dalam firman.

PG : Betul, itu yang akhirnya menjadi kesaksian yang kuat. Misalkan kita membaca firman tetapi bila ada sesuatu kita sudah merasa panik, kacau, mau mencari jalan yang salah. Akhirnya pasangan berkata, "Percuma", baca firman seperti itu tetapi kehidupannya masih begini.

DL : Berarti dia harus mengimani apa yang dibacanya, mesti dilakukan.

PG : Kalau tidak maka efeknya bukan hanya tidak ada tetapi seringkali efeknya negatif, jadi kebalikannya membuat pasangan atau anak bertambah tidak mau, tidak respek.

GS : Jadi dalam hal itu sebenarnya orang tersebut tidak bertumbuh, begitu Pak Paul hanya bertambah pintar sedikit tetapi pertumbuhan dalam relasi nikah tidak ada sama sekali.

PG : Saya ingat berbicara dengan seorang istri yang sangat terkejut mengetahui bahwa suaminya berselingkuh. Mengapa ia sangat terkejut? Ia berkata, "Suami saya pencinta buku rohani, bukunya berderet-deret, ia selalu melahap buku-buku rohani". Karena itu si istri sangat tidak menduga. Nah ini bukti bahwa hanya menambah masukan secara rasional intelektual tidak membuat ia bertumbuh. Ketaatanlah, penyerahanlah, mengimaninyalah yang membuat orang bertumbuh dalam Tuhan.

GS : Tapi memang ada orang yang dengan sengaja melakukan hal-hal itu untuk menutupi dosanya khususnya di hadapan istrinya sehingga ia tidak dicurigai. Ia sering ke gereja, sering membaca buku-buku rohani, Alkitab dan sebagainya jadi istrinya percaya penuh, ternyata kepercayaan ini disalahgunakan.

PG : Sudah pasti ada yang begitu, sengaja menutupi.

GS : Apakah ada hal lain yang perlu ditumbuhkan, Pak Paul?

PG : Ini yang terakhir dan sudah tentu penting juga yaitu kita harus menumbuhkan rasa syukur, berdua dengan istri dan suami menumbuhkan rasa syukur, kita harus berupaya keras tidak terjebak dalam siklus mengeluh, jangan sedikit-sedikit mengeluh, menggerutu. Kita harus berusaha untuk hidup dalam sikap bersyukur, artinya melihat dan menghargai pemberian Tuhan pada kita, lihat apa yang Tuhan telah berikan. Itulah yang kita syukuri, relasi nikah sulit bertumbuh jika kita sedikit-sedikit tidak puas, tidak puas dengan apa yang telah diberikan Tuhan. Ini yang terjadi, kalau kita terus menggerutu, pasangan pun akhirnya tidak betah dekat-dekat dengan kita. Sebaliknya bila kita sering bersyukur, kita akan menceriakan suasana dan justru memberikan dorongan kepada pasangan untuk melanjutkan hidup dengan lebih riang dan ringan, sebab kita mesti sadari ini, rasa bersyukur adalah sikap positif yang menular. Kalau kita dekat dengan orang yang rasa bersyukurnya kuat, sering memuji Tuhan maka kita juga akan terpengaruh oleh dia dan semangat menghadapi hidup. Oleh karena itu kita cenderung mau dekat dengan orang yang memunyai rasa bersyukur yang kuat.

DL : Tapi ada juga orang yang sering mengeluh, "negative thinking", bagaimana kita dapat menghadapi orang yang seperti itu misalnya ada pasangan yang seperti itu, Pak Paul?

PG : Sekali lagi memang kita perlu memberitahukan tapi harus berhati-hati karena orang-orang yang seperti ini bila kita langsung beritahukan tidak bisa menerima. Dia akan berkata, "Kamulah yang tidak realistik, saya 'kan mau realistik ingin melihat ini — ini — ini......". Jadi kita tidak usah terlalu sering memberitahukan dia, yang mesti lebih sering kita lakukan adalah begini, waktu terjadi sesuatu kita ingatkan, "Aduh, Tuhan yang memberkati ini". Pada waktu kita menerima sesuatu sekecil apa pun kita katakan, "Ayo kita berdoa, kita syukuri, Tuhan telah berbuat begitu baik kepada kita", jadi kita libatkan dan undang dia untuk hidup dengan lebih bersyukur, dengan cara lebih melihat dengan jeli hal-hal kecil yang Tuhan telah berikan kepada kita.

DL : Dengan demikian maka anak-anak pun akan ikut, mulai "positive thinking", mulai bersyukur.

PG : Betul, berapa banyak anak yang akhirnya bertumbuh negatif karena kita sebagai orang tua terlalu sering mengeluh. Justru orang tua yang beriman, bersyukur, memberikan modal besar kepada anak-anak untuk mencontoh dan akhirnya hidup dengan penuh syukur. Dan satu hal yang saya mau tekankan di sini, syukur itu bukanlah perasaan, jangan sampai kita salah mengerti. Syukur adalah sebuah sikap atau tindakan. Kita mesti menentukan bagaimanakah kita melihat hidup, kita dapat melihat hidup dari 2 kacamata. Yang pertama, kacamata kurang dan yang kedua kacamata cukup. Bila kita terus memakai kacamata kurang, maka semua akan kurang, tetapi jikalau kita menggunakan kacamata cukup maka kita akan cepat bersyukur pada Tuhan dan kasih setia-Nya.

GS : Apakah ada contoh konkret, Pak Paul, orang yang mengucapkan syukur bukan hanya dengan kata-kata tetapi dengan suatu sikap hidup dan orang lain bisa mengetahuinya bahwa ini adalah hidup yang penuh syukur.

PG : Saya berikan contoh, saya pernah naik becak dan menanyakan kepada si tukang becak, "Pak, bagaimana kalau bapak melihat orang yang memunyai rumah gedongan sedangkan bapak sendiri menarik becak". Jawabnya, "Oh untuk saya tidak apa-apa, karena Tuhan ada rejeki buat masing-masing orang, buat mereka itulah rejekinya, buat saya juga ada rejeki untuk saya, jadi tidak apa-apa untuk saya". Mendengar hal itu saya diingatkan juga oleh firman Tuhan yang berkata, "Ujilah diri sendiri apa yang kita lakukan barulah kita nanti bisa bertumbuh, jangan banding-bandingkan diri dengan orang lain". Ternyata sikap hanya melihat diri, uji diri dan jangan banding-bandingkan dengan orang lain, sikap yang membuat kita bertumbuh. Semakin membanding-bandingkan semakin tidak bertumbuh karena yang akan keluar justru menggerutu bukan bersyukur.

DL : Itu karena melihat ke atas terus, kita perlu juga melihat ke bawah, jadi dengan kunjungan kepada orang-orang yang susah, di situ kita akan merasa bersyukur karena keadaan kita begini.

PG : Jadi syukurilah apa yang Tuhan telah berikan jangan kita memikirkan apa yang tidak kita miliki. Yang kita punya itulah yang kita pegang dan kita katakan, "Terima kasih, Tuhan".

GS : Memang pola hidup bersyukur ini pun perlu dilatih, Pak Paul, dan perlu dukungan dari pihak pasangan maupun anak-anak atau kita mendukung anak-anak untuk melatih mereka supaya mereka tahu bersyukur karena tanpa itu memang manusia ini punya kecenderungan untuk melihat apa yang dia inginkan terus dan hal itu menghalangi seseorang untuk bisa bersyukur. Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan untuk menyimpulkan perbincangan kita ini yang sampai 2 sesi ini.

PG : Kita telah membicarakan tentang "Bertumbuh Bersama" dan pernikahan itu mesti bertumbuh, kita dengan pasangan kita dan akhirnya anak-anak kita mesti bertumbuh. Nah firman Tuhan untuk kita adalah dari Mazmur 103:17-18, "Tetapi kasih setia Tuhan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang-orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya". Jadi janji Tuhan, Dia akan mencurahkan kasih setia-Nya kepada kita, orang yang takut akan Tuhan dan Dia juga akan memberikan keadilan-Nya, kasih setia-Nya kepada siapa? Anak cucu kita, orang-orang yang melakukan titah-Nya, jadi kita bertumbuh bersama sewaktu kita memang memusatkan mata kita kepada Tuhan, pada kasih setia-Nya, pada takut akan Dia dan hidup sesuai dengan titah-Nya.

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bertumbuh Bersama" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



51. Pelancar Komunikasi I


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T338A (File MP3 T338A)


Abstrak:

Salah satu masalah yang kerap muncul dalam pernikahan adalah masalah komunikasi. Oleh karena kita dibesarkan dalam latar belakang yang berbeda, sering kali kita menemui kendala dalam berkomunikasi dengan pasangan. Pembahasan ini akan diberikan tips singkat agar kita mudah dalam berkomunikasi khususnya dalam pernikahan


Ringkasan:

Salah satu masalah yang kerap muncul dalam pernikahan adalah masalah komunikasi. Oleh karena kita dibesarkan dalam latar belakang yang berbeda, sering kali kita menemui kendala dalam berkomunikasi dengan pasangan.

Berikut akan dipaparkan beberapa saran yang dapat menolong kita berkomunikasi.

      Kebutuhan di Balik Komunikasi

Kita mesti menyadari bahwa kebanyakan pembicaraan yang terjadi dalam pernikahan berkisar seputar tema tertentu. Kendati beragam namun sesungguhnya tema yang umumnya melahirkan topik pembicaraan dalam pernikahan hanyalah dua, satu berkaitan dengan suami dan satunya lagi berkaitan dengan istri. Pada dasarnya tema yang berhubungan dengan suami adalah KETERTIBAN sedang tema yang berkenaan dengan istri adalah KEPASTIAN.

Suami menginginkan agar segalanya berjalan dengan tertib alias tertata dan dapat dikendalikan. Pria berusaha untuk memegang kendali atau menguasai keadaan sebab hanya dalam kondisi ini ia dapat hidup lega dalam ketertiban. Bila ia tidak mendapatkannya, ia mudah terjebak ke dalam perilaku dominan dan bahkan, kasar alias memaksakan kehendak.

Istri menginginkan kepastian dan keinginan ini lahir dari kebutuhan akan rasa aman. Bila tidak diperolehnya, istri cenderung mengeluh dan menuntut, supaya kecemasannya berkurang. Tidak heran, dalam kebanyakan kasus, istri lebih mudah cemas dibandingkan dengan suami.

Sekali lagi, walaupun topik pembicaraan bervariasi, namun kalau kita telusuri dengan saksama, kita akan dapat menemukan dua tema umum ini. Berdasarkan pemahaman ini, sebetulnya dalam berkomunikasi, penting bagi kita untuk menyadari kebutuhan mendasar ini dan memenuhinya. Kadang kita meributkan banyak hal di permukaan, padahal yang memunculkan semua ini adalah kebutuhan akan ketertiban dan kepastian.

Jadi, kalau suami sadar bahwa yang dibutuhkan istri adalah kepastian yang dapat menciptakan rasa aman, sedapatnya berikanlah itu. Gunakan kata-kata yang menyejukkan dan sajikan informasi yang membuat istri tenang. Sebaliknya, istri pun sebaiknya memberi kesempatan kepada suami untuk berpikir tenang dan memutuskan persoalan. Beri bantuan namun sedapatnya berikan ruang yang cukup kepada suami agar ia tidak terganggu. Usahakan untuk tidak membantahnya sebaliknya dengan tenang dan sabar, ajak suami untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda.

 

      Ketakutan dalam Berkomunikasi

Setidaknya ada dua hal yang menciptakan rasa takut dalam berkomunikasi. Pertama adalah TAKUT TIDAK DIMENGERTI. Banyak kali kita tidak berkomunikasi karena kita takut bahwa pasangan tidak akan mengerti apa yang akan disampaikan. Jadi, daripada mengatakannya dan tidak dimengerti, akhirnya kita memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa.

Itu sebabnya kita mesti memersiapkan pasangan sebaik-baiknya agar dapat mengerti apa yang ingin kita sampaikan. Misalnya, kita harus memerhatikan penggunaaan kata yang tepat sebab kata yang tidak tepat dapat mengaburkan makna atau bahkan memancing reaksi keliru. Kita pun harus memerhatikan kadar emosi sebab kadar emosi berlebihan dapat membuat pasangan mundur teratur sebelum sempat mendengarkan perkataan kita.

Kedua adalah RASA TAKUT TIDAK DIHIRAUKAN. Sering kali hal ini terjadi dalam pernikahan. Kita berbicara dengan serius namun pasangan tidak memerhatikan kita. Matanya tidak tertuju pada kita, dan reaksinya juga sepotong-potong. Akhirnya kita merasa percuma mengungkapkan isi hati kepadanya. Inilah yang akhirnya membuat kita enggan berkomunikasi dengannya kembali.

Tidak selalu mudah untuk kita berkomunikasi, terutama bila yang ingin disampaikan adalah hal yang bersifat pribadi. Itu sebabnya kita mengharapkan tanggapan yang sepadan. Ketika pasangan tidak memberikan tanggapan yang menggembirakan, keinginan berkomunikasi surut. Akhirnya kita makin tidak berkeinginan berkomunikasi.

 

 

      Membangun Komunikasi

Komunikasi dibangun bukan saja di atas keinginan, tetapi juga keterampilan untuk berkomunikasi. Jadi, tidak cukup memiliki keinginan untuk berkomunikasi, kita pun mesti memiliki keterampilan yang mendukung sebab tanpa keterampilan, komunikasi cenderung kandas.

 

Berikut akan dipaparkan beberapa keterampilan praktis untuk membangun komunikasi.

PERTAMA, KITA MESTI MENCIPTAKAN SUASANA DALAM PERNIKAHAN YANG SELALU MENYEMANGATI TERJADINYA KOMUNIKASI.
Dengan kata lain, bukan saja kita harus menyepakati bahwa komunikasi penting, kita pun harus mengambil langkah konkret untuk menyuburkan terjadinya komunikasi. Nah, untuk menyuburkan komunikasi kita harus mendorong terjadinya keterbukaan dan kebebasan untuk mengutarakan isi hati.

KEDUA, KITA HARUS MENYUBURKAN TERJADINYA KOMUNIKASI YANG SEHAT DAN KOMUNIKASI YANG SEHAT ADALAH KOMUNIKASI DUA ARAH.
Nah, agar terjadi komunikasi dua arah, kita harus bersedia melakukan dua hal: berbicara dan mendengarkan. Berbicara kepada pasangan mesti dilakukan dalam bingkai respek. Kita tidak bisa berharap dan menuntut pasangan untuk mendengarkan bila kita mengutarakan isi hati tanpa rasa hormat terhadap perasaannya. Jangan beranggapan bahwa oleh karena ia adalah suami atau istri, maka seharusnyalah ia menerima dan mengerti kita. Ingat, pernikahan tidak memberi kita alasan untuk berbuat semaunya
! Jadi, sebelum mengatakan apa-apa, cobalah tempatkan diri pada posisinya terlebih dahulu. Mungkin ini akan dapat menolong kita menyeleksi kata dengan lebih tepat. Juga, jangan lupa untuk bertanya pendapat pasangan dan memberinya kesempatan untuk memberikan reaksi terhadap apa yang disampaikan. Jangan sampai kita mendominasi percakapan. Setelah mengutarakan satu poin, berhentilah dan biarkan pasangan memberi tanggapan. Bukan saja berbicara, kita harus mendengarkan pasangan agar tercipta komunikasi dua arah. Jadi, putarlah tubuh menghadapi pasangan, arahkan kepala dan mata kepadanya, serta lihatlah wajahnya. Berikanlah konfirmasi dan reaksi lainnya lewat mimik wajah dan tanggapan singkat. Bahasa tubuh yang seperti ini membuatnya tahu bahwa kita tengah mendengarkannya. Secara berkala kita pun mesti memberikan tanggapan yang mengintisarikan apa yang dikatakannya agar ia tahu bahwa bukan saja kita mendengarkan, kita pun memahami dengan jelas apa yang disampaikannya.

Hal ini penting, terutama untuk mencegah kesalahpahaman. Kadang kita berasumsi bahwa kita mengerti jelas apa yang dikatakannya, namun ternyata kita keliru menafsirkan perkataannya. Selain dari intisari, kita pun dapat mengajukan pertanyaan untuk memperjelas apa yang disampaikannya. Semua ini membuat pasangan tahu bahwa kita mendengarkan dan mengerti apa yang disampaikannya.

Satu hal lagi yang penting dilakukan adalah, sedapatnya tahanlah pencetusan opini, reaksi negatif dan tanggapan menghakimi. Ingat, pasangan mesti tahu bahwa kita telah mendengarkan dan mengerti apa yang disampaikannya. Bila kita cepat memberi jawaban dan opini, apalagi kata-kata penghakiman, mungkin ia akan merasa bahwa kita tidak tertarik untuk mendengarkannya. Atau, bahwa kita merasa diri benar dan tidak terbuka untuk melihat kekurangan pribadi.

TERAKHIR, KITA HARUS JELAS DAN TERBUKA DENGAN MOTIVASI DAN PERASAAN YANG MELATARBELAKANGI UCAPAN KITA.
Kadang dengan sengaja kita menyamarkan motif dan perasaan sesungguhnya yang mencetuskan perkataan kita karena kita tidak ingin mengakui bahwa sebenarnya itulah yang kita rasakan atau inginkan. Masalahnya adalah, percakapan seperti ini rawan menciptakan kesalahpahaman. Bila pasangan tidak yakin dengan motif dan perasaan kita, besar kemungkinan ia akan menduga-duga. Jika ini yang terjadi, bukan saja akan mudah terjadi kesalahpahaman, ia pun mungkin akan menuduh bahwa kita telah berbuat tidak jujur. Sudah tentu ini akan merusakkan komunikasi.

Motif dan perasaan yang dikemukakan juga berkhasiat untuk menciptakan keintiman. Komunikasi yang hampa motif dan perasaan, tidak akan lebih dari penyampaian berita. Komunikasi bukan hanya tentang penyampaian berita; komunikasi adalah juga tentang penyatuan dua pribadi lewat apa yang disampaikan kepada satu sama lain

.

Firman Tuhan di Efesus 4:29 menasihati kita untuk saling membangun, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia." Dan, salah satu cara membangun adalah lewat komunikasi. Di tangan Tuhan kita adalah sarana semata untuk membangun satu sama lain menjadi pribadi yang dikehendaki-Nya.


Transkrip:

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pelancar Komunikasi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS : Kita setiap hari berkomunikasi bahkan ada orang yang secara khusus mendalami ilmu komunikasi, alat-alat komunikasi begitu canggih akhir-akhir ini tetapi di dalam kehidupan suami istri, Pak Paul, seringkali terjadi masalah justru karena komunikasi. Buat saya itu sesuatu yang ironis, begitu Pak Paul, tidak tahu bagaimana pandangan Pak Paul dalam hal ini?

PG : Sangat-sangat ironis sudah pasti, kalau kita kembali kepada tujuan hakiki berkomunikasi sebetulnya dari kata komunikasi itu kita bisa memetik satu makna bahwa komunikasi tujuannya adalah untuk mengakrabkan atau menyatukan, sebab kata 'komunikasi' dengan kata 'komunitas' sama, arti katanya adalah sebuah persekutuan. Tuhan juga memberikan kemampuan kepada manusia untuk berkomunikasi agar Tuhan dan manusia juga bisa menyatu, memunyai sebuah persekutuan dan manusia dengan sesamanya memunyai persekutuan jadi itulah yang melatar belakangi mengapa Tuhan memampukan manusia untuk dapat berkomunikasi. Sebagaimana tadi Pak Gunawan sudah katakan ironisnya dalam pernikahan kita bukan berkomunikasi, artinya bukan menjadi sebuah komunitas, sebuah kesatuan tapi justru akhirnya gontok-gontokan dan malah saling menjauh.

GS : Ada orang bahkan di luar artinya kalau bukan berkomunikasi dengan pasangan sangat ahli sekali bahkan dikatakan ini seorang komunikator yang ulung, Pak Paul, tetapi di rumah dia seolah-olah kehilangan kata-kata atau kalau pun berkata-kata menyakitkan pasangannya.

PG : Jadi kalau kita mau menggunakan istilah-istilah semantik yang lebih akurat, orang yang mampu untuk berkata-kata meyakinkan orang itu disebutnya orator, orang yang memang bisa menyampaikan konsep pemikiran dan sebagainya, tetapi kalau kita mau katakan orang itu bisa berkomunikasi, seharusnya orang itu bisa merangkul, mendamaikan sehingga relasinya dengan orang lain menjadi dekat. Jadi ada beberapa yang mau kita soroti, yang pertama adalah kita kurang mengenal kebutuhan mendasar dari baik itu pria maupun wanita. Ini yang ingin saya sampaikan bahwa sebetulnya kendati banyak topik dalam hal-hal yang kita bicarakan di rumah tapi sesungguhnya tema yang umumnya melahirkan topik pembicaraan dalam pernikahan hanyalah dua, satu berkaitan dengan suami dan satu lagi berkaitan dengan istri. Apakah itu? Pada dasarnya tema yang berhubungan dengan suami adalah ketertiban sedangkan tema yang berkenaan dengan istri adalah kepastian. Coba saya jelaskan. Suami biasanya menginginkan agar segalanya berjalan dengan tertib alias tertata, dapat dikendalikan. Suami umumnya tidak nyaman dengan perubahan yang mendadak, segala sesuatu yang tidak bisa dikendalikan, yang termasuk dalam nalar, itu sesuatu yang tidak bisa diterima oleh suami dengan baik. Oleh sebab itu kebanyakan pria memunyai kebutuhan untuk mengontrol, baik itu orang maupun kondisi, dia mau semuanya dalam kendali sebab dalam kondisi inilah ia baru bisa hidup dengan lega, tertib semuanya. Artinya bila dia tidak mendapatkan ketertiban, dia mudah terjebak dalam perilaku dominan atau bahkan kasar, memaksakan kehendak. Mengapa dia bisa dominan dan kasar? Karena memang dia berusaha untuk mengendalikan supaya semuanya berjalan dengan teratur, dengan tertib. Dia tidak merasa nyaman kalau ada hal-hal yang terjadi di luar kendalinya.

DL : Tapi ada juga laki-laki yang tidak tertib.

PG : Yang saya maksud adalah di dalam dirinya laki-laki itu mau tenang, tenteram, tidak mau kacau, mungkin dengan dia menolak tanggungjawabnya, dia sedang mencoba membuat dirinya tenteram. Kalau dia ikut campur, dia berbicara dengan istrinya, dia menegur anaknya, dia pusing. Dia merasa tidak bisa menghadapinya, daripada dia merasa pusing tidak bisa menghadapi, menjadi lepas kendali semuanya, lebih baik dia tidak mau tahu. Ada suami yang seperti itu, seolah-olah dia tidak tertib tapi sebetulnya dia tertib dan dia membuat dirinya tenang tidak pusing, tidak tersangkut dalam urusan-urusan keluarga karena untuk dia urusan-urusan keluarga, dia tidak begitu bisa mengendalikannya. Lebih baik dia tidak mau tahu.

GS : Tapi untuk bisa semuanya berjalan dengan tertib atau di bawah kendalinya, dia harus mengomunikasikan apa sebenarnya yang dia inginkan.

PG : Ada yang memang mengomunikasikannya dengan baik, ada yang tidak baik, jadi yang baik akhirnya bisa membuat si istri mengerti dan istri bisa lebih bisa mengenal inilah suaminya. Tetapi ada yang sudah mencoba berbicara istrinya tidak bisa menerima atau tidak mengerti. Pria biasanya dua reaksinya, pertama dia dominan, dia marah, dia kuasai, dia paksa, dia membentak supaya semua berjalan lagi sesuai dengan keinginannya, tertib kembali jangan sampai kacau. Atau yang tadi Ibu Dientje katakan, menarik dirinya, acuh, tidak mau tahu, tidak mau ikut campur, dia lepas tangan. Itu sebetulnya reaksi pria yang sebetulnya merasa tidak bisa lagi mengendalikan situasi dalam kehidupannya.

GS : Kalau di pihak istri bagaimana, Pak Paul?

PG : Istri lain lagi, istri menginginkan kepastian. Maksudnya keinginan ini lahir dari kebutuhan akan rasa aman, pada umumnya istri akan meminta suami untuk menciptakan kepastian agar dia tetap merasa aman. Istri kadang-kadang mengeluh, menuntut, mengapa? Sebab dia mengharapkan suaminya bisa membuat sebuah situasi yang pasti sehingga dia tidak usah lagi harus cemas dan bertanya-tanya. Tidak heran dalam kebanyakan kasus, istri jauh lebih sering cemas dibandingkan dengan suami. Itu sebabnya kadang-kadang suami merasa kesal, frustrasi, "Kamu bertanya kepada saya, kamu ingin saya memberi jawaban yang pasti, ya tidak bisa", tapi itulah yang dibutuhkan oleh seorang istri, sebuah kepastian.

GS : Tapi kepastian dan ketertiban itu 'kan sangat erat hubungannya, Pak Paul, sebenarnya ini bisa sejalan, artinya bisa saling mengisi.

PG : Bedanya adalah ini, kepastian akhirnya seringkali dituntut oleh istri kepada suaminya untuk menyediakan bagi dia, bahwa hidup itu akan pasti. Dia tidak suka dengan hal-hal yang harus dia tanya dan dia cemaskan, sedangkan suami kebutuhannya mau mengontrol, menguasai supaya semuanya beres. Kalau wanita tidak, oleh karena itu saya berkata, kalau sampai wanita dominan kebanyakan memang tidak semuanya, wanita dominan karena kondisi, harus, dia tidak bisa bergantung pada pasangannya jadi dia yang harus mengatur semuanya. Secara alamiah atau naluri perempuan tidak terlalu butuh untuk mengontrol semuanya, mengatur, menguasai. Laki-laki lebih perlu menguasai orang dan juga situasi.

DL : Tapi kalau perempuan yang sudah dominan begitu, siapa yang kendalikan, Pak Paul?

PG : Memang suami mesti melihat peranannya mengapa dia akhirnya lepas tangan, mungkin dia lebih harus berani mengatakan isi hatinya dan tidak membiarkan istrinya mengambil alih, tapi dia harus berperan lebih aktif. Kalau tidak mau istrinya akhirnya terlalu dominan, dia mesti benar-benar terlibat dalam urusan rumah tangga. Dia tidak bisa lepas tangan, lepas tangan kemudian istrinya marah istrinya lebih mengatur, lebih terlibat juga.

DL : Tapi ada suami yang pasif juga, Pak Paul, tidak turun tangan jadi istrinya yang dominan, kelihatannya seperti itu.

PG : Daripada tidak ada, silakan, daripada keluarga itu berantakan, kacau, tidak ada yang memimpin lebih baik ada istri yang memimpin.

DL : Tapi akibat kepada anak, akhirnya anak juga menjadi lemah.

PG : Betul memang itu konsekwensinya, ada akibatnya, waktu anak-anak melihat apalagi anak laki-laki melihat papanya pasif tidak ada inisiatif, otomatis itu akan memberikan pengaruh yang tidak begitu baik kepada anak-anak.

GS : Benturan yang seringkali terjadi dalam komunikasi ini adalah ketika kami sebagai pria, sebagai suami sudah menata segalanya dengan baik dan memberikan jaminan kepastian, "Ini sudahlah tidak usah kuatir", ini masih dituntut lagi supaya dia itu yakin, nah ini tidak bisa kita lakukan, Pak Paul, untuk memastikan dia, bagaimana kalau kita sudah menganggap ini pasti.

PG : Sudah tentu kalau ini memang dicari-cari, tentu ada faktor X yang kita tidak bisa pastikan, karena kita bukan Tuhan tapi itu seringkali menjadi celah yang dapat digunakan oleh istri untuk berkata kepada kita, "Nah, kamu juga tidak pasti". Kita bukan Tuhan tidak bisa memberikan kepastian seperti itu, namun kadang-kadang istri tidak mau mengerti, jadi terjadilah konflik.

GS : Konflik terjadi karena suami merasa dituntut terus, sehingga komunikasi menjadi tidak lancar.

PG : Misalnya istri terus meminta suami untuk memastikan dan akhirnya suaminya merasa terdesak, umumnya suami lama kelamaan menjauh, acuh, tidak mau tahu lagi atau bereaksi agresif, kasar, marah dan dia mencoba mengontrol istrinya supaya jangan sampai memberikan dia ketegangan tambahan. Berlatar belakang perbedaan ini sebetulnya kita bisa katakan bahwa percakapan antara suami dan istri merupakan cetusan dari kebutuhan akan ketertiban dan kepastian ini. Sekali lagi meskipun banyak hal yang dibicarakan tetapi seringkali akarnya dua hal ini, suami mau ketertiban istri mau kepastian. Misalnya waktu istri mengeluh ketika suami pulang malam, sesungguhnya dalam hati istri ia hanya ingin kepastian bahwa suami tetap sayang dan mengutamakan keluarga, cuma seringkali yang keluar dari mulut istri bukanlah itu," Saya itu sayang kepada kamu, saya ingin kamu mengutamakan keluarga" tapi yang keluar adalah keluhan, "Kamu pulang malam, kamu tidak memikirkan anak" dan lain-lain, akhirnya dimarah-marahi begitu padahal dalam hati istri dia hanya ada kepastian bahwa suaminya tetap menyayanginya dan mengutamakan keluarganya. Atau kalau kita melihat contoh dari suami, misalnya suami menuntut istri untuk mempercayakan urusan bisnis kepadanya, dia mau memperlebar bisnisnya. Sesungguhnya dia ingin ketertiban, dia tidak ingin terganggu dan dia ingin berkonsentrasi penuh pada urusan bisnisnya itu sebabnya tatkala istri terus mencampuri keputusannya, tanya-tanya, meragukan dll. Besar kemungkinan akan marah karena dia merasa istri ini tidak tertib, membuat kacau kepadanya. Reaksinya bisa kasar atau marah.

GS : Seperti tadi yang suami pulang malam itu sebenarnya kalau saja suami mau memberitahukan kepada istrinya bahwa ia pulang terlambat, itu sudah cukup menenangkan si istri itu, Pak Paul.

PG : Betul, karena sekali lagi yang dibutuhkan adalah kepastian, oleh karena itu pada waktu dia belum pulang, dia telepon dulu dan katakan, "Saya akan pulang malam", jadi waktu suaminya berkata akan pulang malam jam berapa, istrinya merasa tenang. Ketika terjadi keributan atau apa, istri berkata, "Oke, karena saya tidak mengerti, saya akan mendengarkan kamu, saya tidak akan lagi menggugat-gugat kamu", suaminya merasa tenang karena dia merasa istrinya tertib, dia bisa mengatur. Sekali lagi banyak konflik berasal dari dua tema ini, satu ingin tertib yang satunya ingin pasti.

GS : Juga ketika istri mau ikut campur di dalam bisnis suaminya, itu bisa mempermalukan suami kalau itu di hadapan teman-teman suaminya, seolah-olah suami ini kehilangan wibawanya sampai harus istrinya yang mengurus bisnisnya.

PG : Di dalam perasaan hilang wibawa sebetulnya ada satu perasaan lagi, Pak Gunawan, yaitu ia malu karena ia berpikir orang menganggap dia tidak bisa menertibkan istrinya. Jadi sekali lagi ada unsur tertibnya, dia merasa sebagai pria harus dapat menertibkan artinya mengendalikan, jangan sampai berjalan sendiri tidak ada aturannya. Pada waktu dia dipermalukan istrinya mengatakan beginilah, ikut campur urusannya. Untuk dia hal itu seperti dilihat oleh orang seperti seorang suami yang lemah yang tidak bisa menertibkan istrinya.

GS : Jadi sebenarnya ada betulnya juga ketika firman Tuhan mengatakan bahwa istri itu tidak boleh bicara di depan umumnya, pada waktu itu. Memang kalau berlebihan akan membuat si suami mau tidak mau merasa tersinggung.

PG : Yang Paulus sebetulnya katakan di situ adalah Paulus ingin ibadah tertib, rupanya saat itu ada istri-istri yang mulai mau dalam ibadah, dalam persekutuan, ikut-ikut memberikan pendapat, akhirnya agak kacau. Mungkin itu dibawa ke rumah juga jadi Paulus berkata, "Tidak, jangan kalau kita mau beribadah, mohon tertib, jangan yang satu berbicara begini yang lain berbicara begitu". Sekali lagi tema tertib sangat kuat terlihat di situ.

GS : Jadi bagaimana ini, Pak Paul?

PG : Kalau kita sadar bahwa yang dibutuhkan istri adalah kepastian yang dapat menciptakan rasa aman, sedapatnya kita sebagai suami berikan. Misalnya, kita menggunakan kata-kata yang menyejukkan hati, kita bisa juga menyajikan keterangan atau informasi yang membuat istri tenang. Jadi sering-seringlah suami mengatakan hal-hal seperti itu, "Jangan khawatir, ini semua akan beres, kamu pokoknya yang penting percaya", sering-seringlah berbicara seperti itu. Sebaliknya dari pihak istri, istri sebaiknya memberi kesempatan kepada suami untuk berpikir tenang dan memutuskan persoalan. Jangan belum apa-apa sudah mau ikut berbicara, beri kesempatan pada suami untuk berpikir kemudian memutuskan suatu masalah, beri bantuan kalau memang dibutuhkan namun sedapatnya berikan ruang yang cukup kepada suami agar dia tidak terganggu. Sudah tentu satu ini penting, usahakan untuk tidak membantahnya secara langsung dan secara segera, jangan, biarkan suami bicara, jelaskan apa yang dia ingin lakukan, jangan dibantah secara langsung dan segera. Sebaliknya dengan tenang dan sabar ajaklah suami untuk melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda sehingga suami tidak merasa istrinya langsung bangkit menyerang dia, tidak setuju atau apa. Reaksi suami biasanya dari dua yang sudah saya sebut, kalau dia tidak mau ribut, dia menarik dirinya, atau dia marah dan mungkin kasar karena dia mau istrinya tertib jangan sampai akhirnya kacau.

GS : Memang perlu bagi suami itu untuk konsekwen dengan apa yang dikatakan seperti tadi mengenai pulang malam, dia mengatakan pulang jam 9 kalau pun tidak bisa selesai pada jam 9 dia harus memberitahu lagi, karena kalau istri berkali-kali merasa dibohongi walaupun itu dengan tidak sengaja, lalu rasa percaya itu hilang, begitu Pak Paul.

PG : Bisa juga kita gunakan rasa kepastian itu berkurang. Pada waktu suami berkata jam berapa dia pulang, ternyata dia tidak pulang ini berulang kali terjadi, lain kali suaminya pulang jam berapa, jam 9 misalnya, istri sudah tidak ada kepastian, dia akan telepon lagi, "Benar atau tidak kamu pulang jam 9 ?" akhirnya suami marah karena merasa terganggu, tidak tertib tapi dia mesti juga bisa bercermin diri, sebab dia tidak menepati janji pada masa yang lalu sehingga istri kehilangan kepercayaan bahwa ini pasti dia pulang jam 9 ya jam 9. Jadi sekali lagi kita melihat, konflik bisa bermacam-macam tapi akarnya sepertinya sama, satu minta tertib, satu minta kepastian.

GS : Pak Paul, selain ada kebutuhan yang perlu kita pelajari, kita bahas, apakah ada hal lain lagi yang penting dalam komunikasi?

PG : Kita juga menyadari adanya ketakutan dalam berkomunikasi, Pak Gunawan dan Ibu Dientje, setidaknya ada 2 hal yang menciptakan rasa takut dalam berkomunikasi. Yang pertama adalah takut tidak dimengerti, banyak kali kita tidak berkomunikasi karena kita takut bahwa pasangan tidak akan mengerti apa yang disampaikan. Jadi daripada mengatakannya, tidak dimengerti akhirnya kita memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa. Itu sebabnya kita mesti mempersiapkan pasangan sebaik-baiknya agar dapat mengerti apa yang ingin kita sampaikan. Misalnya, kita harus memerhatikan penggunaan yang tepat sebab kata yang tidak tepat dapat mengaburkan makna atau memancing reaksi yang keliru kita pun harus memerhatikan kadar emosi, sebab kadar emosi yang berlebihan dapat membuat pasangan mundur teratur sebelum sempat mendengarkan perkataan kita, jadi sekali lagi mesti kita sadari kita takut tidak dimengerti. Kalau pasangan berbicara dengan kita, lalu kita tidak memberikan reaksi yang pas sehingga dia merasa tidak dimengerti akhirnya dia merasa malas berbicara dengan kita dan relasi kita semakin menjauh.

DL : Tapi ada juga yang memang tidak bisa menyampaikan kata-kata sehingga dia tidak bicara, Pak Paul.

PG : Ada memang, tidak semua orang fasih lidah, ada yang sulit mengutarakan perasaannya lewat perkataan. Kalau itu kondisinya beritahukan kepada pasangannya bahwa "Saya sulit untuk mengutarakan perasaan saya", kalau begitu silakan tuliskan. Ada juga yang berkata, "Saya juga sulit tuliskan dengan kata-kata semuanya", kalau begitu tulis saja satu dua kata, "Saya merasa apa, saya mau apa", setelah itu berikan kepada pasangannya supaya dibaca nanti pasangannya yang menolong dengan cara bertanya sehingga dapat memancing reaksi atau isi hatinya. Yang penting ada komunikasi meskipun tidak bisa terlalu lancar.

GS : Ketakutan itu muncul baik dari pihak suami maupun istri ketika dia berkomunikasi dan ditanggapi keliru, begitu Pak Paul.

PG : Seringkali menjadi masalah karena kita tahu kalau ditanggapi keliru, berarti ada problem lain yang harus kita pecahkan. Mungkin saja kita ada satu problem yang belum selesai lalu ditanggapi keliru berarti itu masalah baru muncul. Nanti juga kita akan repot-repot menyelesaikannya pula. Memang sebaiknya kita pikirkan pasangan kita seperti apa, cara pikirnya, pengertiannya, cobalah gunakan kata-kata atau gunakanlah 'timing' yang tepat sehingga akhirnya dia bisa mengerti apa yang kita ingin sampaikan kepadanya.

GS : Bagi suami kesulitannya kadang-kadang adalah menghadapi istri karena kita tidak mengetahui suasana hatinya. Di saat yang lain kita bicara begitu tidak apa-apa, tetapi pada saat tertentu jadi apa-apa.

DL : Karena suka berubah-berubah, begitu.

PG : Ibu Dientje, bagaimana rasanya memang begitu?

DL : Kadang-kadang wanita suasana hatinya bisa berubah-berubah. Pada saat merasa tidak enak, omongan suaminya yang benar menjadi tidak benar. Harus ada penyelesaian masalah sebelumnya sehingga tidak dibawa terus-menerus.

PG : Kalau kita memang mengetahui istri kita bisa berubah, kita harus pandai-pandai membaca wajahnya, gerak-gerik tubuhnya, nada suaranya, dari situ kita bisa membaca kira-kira perasaannya seperti apa. Jadi kita bisa sesuaikan kapan kita bicaranya dengan cara apa kita membicarakannya. Atau misalnya kita keliru kita katakan kepadanya, "Mohon jangan marah sebab kita pernah bicarakan hal ini sebelumnya dan kamu tidak apa-apa, karena itu kita munculkan lagi sekarang". Dia diingatkan bahwa dia pernah memberikan reaksi seperti itu juga.

GS : Selain ketakutan untuk tidak dimengerti, Pak Paul, apakah ada ketakutan yang lain?

PG : Yang kedua adalah rasa takut tidak dihiraukan karena ini lain lagi dengan tidak dimengerti. Kalau dimengerti ya didengarkan tetapi salah, tapi ini tidak dihiraukan sama sekali, kalau kita bicara serius namun pasangan tidak memerhatikan kita atau matanya tidak ditujukan kepada kita atau reaksinya sepotong-sepotong, akhirnya kita merasa tidak dihiraukan, percuma mengungkapkan isi hati kepadanya akhirnya kita malas komunikasi dengan dia. Jadi kita mesti sadar waktu pasangan ingin berkomunikasi dengan kita terutama hal-hal yang pribadi itu tidak mudah, karena itu kita mesti memberikan tanggapan yang sepadan. Lihatlah, jangan sampai kita tidak memandangnya, perhatikan kata-katanya, berikan tanggapan yang menggembirakan barulah komunikasi dapat berjalan kembali. Kalau kita semaunya tidak memerhatikan dia akhirnya lama-lama komunikasi semakin surut dan akhirnya tidak ada lagi komunikasi. Berikanlah usaha terbaik untuk menghiraukan pasangan sewaktu dia sedang bercakap-cakap dengan kita.

GS : Sebenarnya bukan tidak menghiraukan, Pak Paul, tetapi saat itu belum waktunya atau kita tidak merasa sedang memunyai gairah untuk menanggapi hal itu. Jadi kita mau menundanya, ini bagaimana memberitahukannya?

PG : Kalau kita sedang tidak siap daripada kita mendiamkannya atau tidak menghiraukannya lebih baik kita katakan apa adanya bahwa kita sedang tidak siap untuk membicarakan hal ini dan janjikan kapan kita akan siap, jadi jangan memeti-eskan dan ini yang tadi kita sudah bahas membuat si istri merasa tidak ada kepastian. Dia perlu kepastian kapan mau dibicarakannya, kalau tidak hari ini kapan? Suami mesti berkata, "Oke, kita bicarakan besok saya akan pikirkan dulu hal ini", pada waktu istri mengetahui besok dan janji ini ditepati maka dia akan merasa tenang dan dia akan menunggu. Yang membuat istri tidak mau menunggu adalah kita berjanji dan tidak ditepati, sehingga hilanglah kepastian itu.

GS : Biasanya kalau kita sibuk atau kelelahan dan harus mendengarkan laporan-laporan seperti itu dan minta tanggapan. Kalau hanya disuruh mendengarkan masih lumayan tetapi untuk memberikan tanggapan itu sulit.

PG : Jadi kita yakinkan dia bahwa ini tidak terjadi setiap hari. Kebanyakan kita tanggapi tetapi ada saat-saat tidak bisa kita tanggapi kita katakan apa adanya. "Tolong hari ini saya merasa lelah, tidak bisa menanggapi tetapi besok akan saya tanggapi jadi apa yang kamu katakan akan saya pikirkan, besok saya tanggapi". Biasanya istri kalau mengetahui besok akan dibahas dia akan diam dan menunggunya.

GS : Padahal dia mau bercerita itu sudah disimpan sejak berjam-jam sebelumnya, Pak Paul, kalau disuruh menunda lagi merupakan suatu beban untuk dia, belum tentu besok dia mau bercerita lagi.

PG : Atau kita katakan tidak usah sampai besok, tetapi kita meminta waktu sejam lagi sebab sekali lagi untuk kita laki-laki kalau kita bisa atur, kita bisa rencanakan, hati kita disiapkan maka kita akan lebih siap. Lebih tertib, lebih tenang, mungkin tidak bisa menunda 1 hari, minta 1 jam lagi. "Bisa tidak 1 jam lagi kita bicarakan, saya sedang memikirkannya".

GS : Memang masalah komunikasi ini adalah suatu masalah yang sangat penting dan perlu kita terus kerjakan dengan baik karena baik tidaknya kita berkomunikasi justru lewat komunikasi ini. Tidak ada cara lain kita belajar komunikasi, Pak Paul.

Pak Paul, kita akan lanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang, mungkin Pak Paul akan sampaikan ayat firman Tuhan yang sesuai dengan ini?

PG : Saya akan bacakan dari Efesus 4:31-32, "Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan". Nah kita melihat hampir semua ini kerap muncul dalam komunikasi, kegeraman, kemarahan dan sebagainya. Dan Tuhan menyambungnya, "Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu". Jadi inilah yang harus kita coba kedepankan dalam berkomunikasi, yaitu mengampuni, ramah dan penuh kasih. Yang lain-lain, kegeraman dan kemarahan itu semua yang kita mesti singkirkan.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pelancar Komunikasi" bagian yang pertama, dan kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



52. Pelancar Komunikasi II


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T338B (File MP3 T338B)


Abstrak:

Salah satu masalah yang kerap muncul dalam pernikahan adalah masalah komunikasi. Oleh karena kita dibesarkan dalam latar belakang yang berbeda, sering kali kita menemui kendala dalam berkomunikasi dengan pasangan. Pembahasan ini akan diberikan tips singkat agar kita mudah dalam berkomunikasi khususnya dalam pernikahan.


Ringkasan:

Salah satu masalah yang kerap muncul dalam pernikahan adalah masalah komunikasi. Oleh karena kita dibesarkan dalam latar belakang yang berbeda, sering kali kita menemui kendala dalam berkomunikasi dengan pasangan.

Berikut akan dipaparkan beberapa saran yang dapat menolong kita berkomunikasi.

      Kebutuhan di Balik Komunikasi

Kita mesti menyadari bahwa kebanyakan pembicaraan yang terjadi dalam pernikahan berkisar seputar tema tertentu. Kendati beragam namun sesungguhnya tema yang umumnya melahirkan topik pembicaraan dalam pernikahan hanyalah dua, satu berkaitan dengan suami dan satunya lagi berkaitan dengan istri. Pada dasarnya tema yang berhubungan dengan suami adalah KETERTIBAN sedang tema yang berkenaan dengan istri adalah KEPASTIAN.

Suami menginginkan agar segalanya berjalan dengan tertib alias tertata dan dapat dikendalikan. Pria berusaha untuk memegang kendali atau menguasai keadaan sebab hanya dalam kondisi ini ia dapat hidup lega dalam ketertiban. Bila ia tidak mendapatkannya, ia mudah terjebak ke dalam perilaku dominan dan bahkan, kasar alias memaksakan kehendak.

Istri menginginkan kepastian dan keinginan ini lahir dari kebutuhan akan rasa aman. Bila tidak diperolehnya, istri cenderung mengeluh dan menuntut, supaya kecemasannya berkurang. Tidak heran, dalam kebanyakan kasus, istri lebih mudah cemas dibandingkan dengan suami.

Sekali lagi, walaupun topik pembicaraan bervariasi, namun kalau kita telusuri dengan saksama, kita akan dapat menemukan dua tema umum ini. Berdasarkan pemahaman ini, sebetulnya dalam berkomunikasi, penting bagi kita untuk menyadari kebutuhan mendasar ini dan memenuhinya. Kadang kita meributkan banyak hal di permukaan, padahal yang memunculkan semua ini adalah kebutuhan akan ketertiban dan kepastian.

Jadi, kalau suami sadar bahwa yang dibutuhkan istri adalah kepastian yang dapat menciptakan rasa aman, sedapatnya berikanlah itu. Gunakan kata-kata yang menyejukkan dan sajikan informasi yang membuat istri tenang. Sebaliknya, istri pun sebaiknya memberi kesempatan kepada suami untuk berpikir tenang dan memutuskan persoalan. Beri bantuan namun sedapatnya berikan ruang yang cukup kepada suami agar ia tidak terganggu. Usahakan untuk tidak membantahnya sebaliknya dengan tenang dan sabar, ajak suami untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda.

 

      Ketakutan dalam Berkomunikasi

Setidaknya ada dua hal yang menciptakan rasa takut dalam berkomunikasi.
Pertama adalah TAKUT TIDAK DIMENGERTI.
Banyak kali kita tidak berkomunikasi karena kita takut bahwa pasangan tidak akan mengerti apa yang akan disampaikan. Jadi, daripada mengatakannya dan tidak dimengerti, akhirnya kita memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa.

Itu sebabnya kita mesti memersiapkan pasangan sebaik-baiknya agar dapat mengerti apa yang ingin kita sampaikan. Misalnya, kita harus memerhatikan penggunaaan kata yang tepat sebab kata yang tidak tepat dapat mengaburkan makna atau bahkan memancing reaksi keliru. Kita pun harus memerhatikan kadar emosi sebab kadar emosi berlebihan dapat membuat pasangan mundur teratur sebelum sempat mendengarkan perkataan kita.


Kedua adalah RASA TAKUT TIDAK DIHIRAUKAN.
Sering kali hal ini terjadi dalam pernikahan. Kita berbicara dengan serius namun pasangan tidak memerhatikan kita. Matanya tidak tertuju pada kita, dan reaksinya juga sepotong-potong. Akhirnya kita merasa percuma mengungkapkan isi hati kepadanya. Inilah yang akhirnya membuat kita enggan berkomunikasi dengannya kembali.

Tidak selalu mudah untuk kita berkomunikasi, terutama bila yang ingin disampaikan adalah hal yang bersifat pribadi. Itu sebabnya kita mengharapkan tanggapan yang sepadan. Ketika pasangan tidak memberikan tanggapan yang menggembirakan, keinginan berkomunikasi surut. Akhirnya kita makin tidak berkeinginan berkomunikasi.

 

 

      Membangun Komunikasi

Komunikasi dibangun bukan saja di atas keinginan, tetapi juga keterampilan untuk berkomunikasi. Jadi, tidak cukup memiliki keinginan untuk berkomunikasi, kita pun mesti memiliki keterampilan yang mendukung sebab tanpa keterampilan, komunikasi cenderung kandas.

 

Berikut akan dipaparkan beberapa keterampilan praktis untuk membangun komunikasi.

PERTAMA, KITA MESTI MENCIPTAKAN SUASANA DALAM PERNIKAHAN YANG SELALU MENYEMANGATI TERJADINYA KOMUNIKASI.
Dengan kata lain, bukan saja kita harus menyepakati bahwa komunikasi penting, kita pun harus mengambil langkah konkret untuk menyuburkan terjadinya komunikasi. Nah, untuk menyuburkan komunikasi kita harus mendorong terjadinya keterbukaan dan kebebasan untuk mengutarakan isi hati.

KEDUA, KITA HARUS MENYUBURKAN TERJADINYA KOMUNIKASI YANG SEHAT DAN KOMUNIKASI YANG SEHAT ADALAH KOMUNIKASI DUA ARAH.
Nah, agar terjadi komunikasi dua arah, kita harus bersedia melakukan dua hal: berbicara dan mendengarkan. Berbicara kepada pasangan mesti dilakukan dalam bingkai respek. Kita tidak bisa berharap dan menuntut pasangan untuk mendengarkan bila kita mengutarakan isi hati tanpa rasa hormat terhadap perasaannya. Jangan beranggapan bahwa oleh karena ia adalah suami atau istri, maka seharusnyalah ia menerima dan mengerti kita. Ingat, pernikahan tidak memberi kita alasan untuk berbuat semaunya
! Jadi, sebelum mengatakan apa-apa, cobalah tempatkan diri pada posisinya terlebih dahulu. Mungkin ini akan dapat menolong kita menyeleksi kata dengan lebih tepat. Juga, jangan lupa untuk bertanya pendapat pasangan dan memberinya kesempatan untuk memberikan reaksi terhadap apa yang disampaikan. Jangan sampai kita mendominasi percakapan. Setelah mengutarakan satu poin, berhentilah dan biarkan pasangan memberi tanggapan. Bukan saja berbicara, kita harus mendengarkan pasangan agar tercipta komunikasi dua arah. Jadi, putarlah tubuh menghadapi pasangan, arahkan kepala dan mata kepadanya, serta lihatlah wajahnya. Berikanlah konfirmasi dan reaksi lainnya lewat mimik wajah dan tanggapan singkat. Bahasa tubuh yang seperti ini membuatnya tahu bahwa kita tengah mendengarkannya. Secara berkala kita pun mesti memberikan tanggapan yang mengintisarikan apa yang dikatakannya agar ia tahu bahwa bukan saja kita mendengarkan, kita pun memahami dengan jelas apa yang disampaikannya.

Hal ini penting, terutama untuk mencegah kesalahpahaman. Kadang kita berasumsi bahwa kita mengerti jelas apa yang dikatakannya, namun ternyata kita keliru menafsirkan perkataannya. Selain dari intisari, kita pun dapat mengajukan pertanyaan untuk memperjelas apa yang disampaikannya. Semua ini membuat pasangan tahu bahwa kita mendengarkan dan mengerti apa yang disampaikannya.

Satu hal lagi yang penting dilakukan adalah, sedapatnya tahanlah pencetusan opini, reaksi negatif dan tanggapan menghakimi. Ingat, pasangan mesti tahu bahwa kita telah mendengarkan dan mengerti apa yang disampaikannya. Bila kita cepat memberi jawaban dan opini, apalagi kata-kata penghakiman, mungkin ia akan merasa bahwa kita tidak tertarik untuk mendengarkannya. Atau, bahwa kita merasa diri benar dan tidak terbuka untuk melihat kekurangan pribadi.

TERAKHIR, KITA HARUS JELAS DAN TERBUKA DENGAN MOTIVASI DAN PERASAAN YANG MELATARBELAKANGI UCAPAN KITA.
Kadang dengan sengaja kita menyamarkan motif dan perasaan sesungguhnya yang mencetuskan perkataan kita karena kita tidak ingin mengakui bahwa sebenarnya itulah yang kita rasakan atau inginkan. Masalahnya adalah, percakapan seperti ini rawan menciptakan kesalahpahaman. Bila pasangan tidak yakin dengan motif dan perasaan kita, besar kemungkinan ia akan menduga-duga. Jika ini yang terjadi, bukan saja akan mudah terjadi kesalahpahaman, ia pun mungkin akan menuduh bahwa kita telah berbuat tidak jujur. Sudah tentu ini akan merusakkan komunikasi.

Motif dan perasaan yang dikemukakan juga berkhasiat untuk menciptakan keintiman. Komunikasi yang hampa motif dan perasaan, tidak akan lebih dari penyampaian berita. Komunikasi bukan hanya tentang penyampaian berita; komunikasi adalah juga tentang penyatuan dua pribadi lewat apa yang disampaikan kepada satu sama lain

.

Firman Tuhan di Efesus 4:29 menasihati kita untuk saling membangun, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia." Dan, salah satu cara membangun adalah lewat komunikasi. Di tangan Tuhan kita adalah sarana semata untuk membangun satu sama lain menjadi pribadi yang dikehendaki-Nya.


Transkrip:

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Pelancar Komunikasi", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

GS : Pak Paul, pada bagian yang pertama yang lalu kita memperbincangkan dua bagian dari pelancar komunikasi, ternyata gampang-gampang susah berkomunikasi dengan pasangan kita, tetapi itu bisa kita perbaiki terus-menerus supaya kehidupan keluarga menjadi lebih harmonis. Supaya pendengar kita bisa mengikuti alur perbincangan kita pada kesempatan ini, Pak Paul, boleh saya meminta kesediaan Pak Paul untuk mengulang sejenak apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu.

PG : Pada dasarnya kita membincangkan tentang kebutuhan mendasar baik suami maupun istri yaitu sebetulnya suami menginginkan ketertiban, jadi dalam percakapan ia seringkali mengusahakan jangan sampai teratur, supaya istri teratur dapat dikendalikan. Kalau ia melihat istrinya tidak tertib, tidak bisa diatur biasanya dia panik, dia bisa kasar, dia bisa dominan atau dia angkat tangan tidak mau tahu lagi menanggapi istrinya. Sedangkan di pihak istri yang biasanya dibutuhkan oleh istri adalah kepastian, jadi istri kadang-kadang cemas, rasa amannya terusik karena membutuhkan kepastian. Kadang-kadang itulah yang dituntut kepada suami, "Kamu harus memberikan saya kepastian", dari dua ini kalau tidak bisa kita penuhi seringkali terjadilah pertengkaran. Sebagai contoh, suami merasa istri terlalu ikut campur dalam urusan bisnisnya padahal yang istri butuhkan adalah kepastian bahwa bisnis si suami tidak akan ambruk dan bahwa suami akan tetap bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga, kepastian yang dibutuhkan oleh istri. Sedangkan suami juga sama, dia tidak mau istri ikut campur karena dia mau bisa konsentrasi dengan tenang memutuskan persoalannya. Kalau istri banyak bertanya, banyak ikut campur dia merasa terganggu, tidak tertib oleh karena itu ia menolak, bisa marah kepada istrinya. Sekali lagi yang dibutuhkan oleh si istri adalah kepastian sedangkan oleh si suami adalah ketertiban, maka kita harus menyadari inilah kebutuhan pasangan kita dan mencoba untuk memenuhinya. Istri jangan cepat-cepat membantah suami, istri juga berikan kesempatan pada suami untuk berpikir dengan tenang sehingga dia tidak merasa terganggu, suami juga bila berbicara lebih sejuk jangan sampai memarahi tetapi berikanlah ketenangan kepada istri bahwa semuanya akan berjalan dengan baik, bahwa dia tetap mengasihi istrinya, bahwa dia memikirkan keluarganya dan kepastian seperti itu yang ingin didengar oleh istrinya. Yang kita juga bahas selain dari kebutuhan mendasar antara pria dan wanita, kita juga menyadari bahwa ada rasa takut tidak dimengerti dan rasa takut tidak dihiraukan. Dua hal itu adalah dua hal yang membunuh komunikasi, kalau kita berbicara kita menjelaskan tapi pasangan kita tidak mengerti-mengerti atau malah salah mengerti kita akhirnya malas berbicara. Dalam komunikasi perlu yang satu berbicara sejelas mungkin tetapi yang satu perlu belajar untuk bertanya kalau tidak mengerti sehingga bisa saling mengerti dan jangan sampai kita merasa tidak dihiraukan, kita bicara tidak didengarkan, matanya ke mana-mana tidak ada tanggapan. Mesti ada tanggapan, ada perhatian sehingga kita merasa dihiraukan. Kalau kita sudah merasa tidak dihiraukan kita akan merasa malas untuk berkata-kata kepada pasangan kita.

GS : Memang komunikasi di dalam hubungan keluarga perlu terus ditingkatkan, perlu terus dibangun. Masalahnya bagaimana caranya membangun komunikasi ini, Pak Paul?

PG : Betul sekali kita harus memikirkan bagaimana membangun komunikasi. Kita mengetahui bahwa komunikasi dibangun bukan saja di atas keinginan, artinya saya ingin bisa komunikasi dengan baik, saya ingin rumah tangga saya harmonis. Bukan hanya ingin tetapi mesti ada keterampilan untuk berkomunikasi sebab tanpa keterampilan komunikasi akhirnya kandas. Berikut saya akan coba paparkan beberapa keterampilan praktis untuk membangun komunikasi. Yang pertama adalah kita mesti menciptakan suasana dalam pernikahan yang selalu menyemangati terjadinya komunikasi, dengan kata lain, bukan saja kita harus menyepakati bahwa komunikasi penting, kita pun harus mengambil langkah konkret untuk menyuburkan terjadinya komunikasi. Untuk menyuburkan komunikasi kita harus mendorong terjadinya keterbukaan dan kebebasan untuk mengutarakan isi hati. Makin banyak aturan, apa yang boleh dan tidak boleh dibicarakan, makin tertutup dan terpasung kebebasan berkomunikasi. Langkah pertama untuk membangun komunikasi kita mesti menyuburkan iklim keterbukaan itu, sehingga pasangan dan kita masing-masing mengetahui bahwa kita bebas mengutarakan isi hati. Saya sudah melihat kasus-kasus seperti ini, Pak Gunawan dan Ibu Dientje, ada orang begitu mendengar istrinya berbicara........ langsung dia marah dan berkata, "Setop jangan bicara itu, saya tidak suka" atau istrinya mendengar suaminya berbicara....... istrinya marah dan berkata, "Setop jangan bicara itu saya tidak suka bicara itu", makin banyak aturan-aturan mana yang boleh, mana yang tidak boleh dibicarakan, makin akhirnya membunuh komunikasi. Contoh yang konkret adalah banyak orang tidak siap kalau pasangannya membicarakan tentang urusan keluarga. Misalnya pasangan saya membicarakan tentang orang tua saya, sekali pun halnya itu hal penting, hal yang baik, ada orang yang tidak mau langsung berkata, "Setop jangan bicarakan orang tua saya, ini urusan saya bukan urusan kamu" atau membicarakan tentang adiknya, wah marah, jadi sekali lagi kita mesti menyemangati terjadinya komunikasi dan caranya adalah dengan menyuburkan iklim keterbukaan dan masing-masing mengetahui bahwa kalau saya berbicara ini akan diperhatikan, didengarkan dan tidak akan dibungkamkan. Kalau belum apa-apa kita merasa akan dibungkamkan kita akhirnya malas berbicara lagi.

GS : Kalau kita mau menciptakan suasana dalam pernikahan itu, supaya berkomunikasi dengan baik, itu 'kan kita harus menghindari konflik. Kalau kita sedang konflik dengan pasangan kita tidak bisa berkomunikasi dengan baik bahkan mungkin putus komunikasi itu untuk sementara waktu, tapi justru konflik itu munculnya ketika kita berkomunikasi. Jadi semacam rangkaian yang saling, kita tidak berani berkomunikasi supaya jangan konflik.

PG : Seperti lingkaran setan jadinya, Pak Gunawan. Betul, maka saran saya adalah jangan berhenti berkomunikasi meskipun komunikasi bisa memancing pertengkaran. Jadi tetap suburkan, yang mesti diubah adalah caranya, mungkin ada kata-kata yang tidak berkenan atau mungkin untuk sementara ada hal-hal yang tidak bisa dibicarakan. Jangan sampai justru kita menemukan solusi yaitu "sudah jangan bicara sama sekali dengan dia", jangan, sebisa-bisanya kita pertahankan tapi pihak yang satunya memang harus membuka pintu yang lebar untuk terjadinya komunikasi sebab kalau kita sudah mau berkomunikasi jangan sampai mati komunikasi, tetapi pasangan kita sama reaksinya, "Tidak boleh bicara begini, tidak boleh bicara begitu, tutup mulut soal ini tutup mulut soal itu", jadi sulit. Jadi dari kedua belah pihak mesti ada keterbukaan itu.

GS : Walaupun timbul konflik, kita harus tetap berkomunikasi, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, sebab makin kita tidak komunikasi makin tidak bisa berkomunikasi. Waktu kita makin tidak bisa berkomunikasi berarti setiap kali kita berkomunikasi, tengkar. Makin sering bertengkar kita berkata, "Tutup mulut daripada komunikasi dan tengkar" berarti makin tidak bisa berkomunikasi, jadi terus lingkaran setan itu akan berputar, kita harus patahkan dengan cara belajarlah berkomunikasi.

DL : Tetapi komunikasinya pada 'timing' yang tepat, kalau suasana kurang baik lebih baik ditunda, Pak Paul.

PG : Perlu hikmat jangan sampai berbicara seenaknya pokoknya kita sedang merasa apa, kita keluarkan, kita tidak peduli. Dia sedang merasa apa, jadi betul Bu Dientje, kita harus mengetahui 'timing'nya jangan sembarangan.

GS : Menggunakan pihak lain untuk membangun komunikasi itu dimungkinkan atau tidak, Pak Paul?

PG : Kadang-kadang kita harus datang ke seorang konselor atau seorang hamba Tuhan untuk menolong kita karena kadang-kadang berhenti, itu harus saya akui, jadi ada orang-orang sudah sampai tidak bisa lagi berkomunikasi. Dalam kasus seperti itu mesti ada orang ketiga yang dapat mengatakan, "Setop dulu jangan diteruskan ini akan menjadi ribut, coba beritahu saya lagi apa yang kamu ingin sampaikan". Kemudian dicoba untuk dikemas sehingga dengan cara ini pasangannya bisa mendengar apa yang ingin disampaikan. Untuk sementara perlu ada seorang 'coach' atau seorang konselor yang menolong mereka untuk dapat berkomunikasi.

GS : Kalau itu memang ahli seperti itu memang dibutuhkan, Pak Paul, tetapi ada pasangan suami istri yang menggunakan anak sebagai sarana mereka untuk berkomunikasi, jadi tidak berani bicara langsung dengan pasangannya tetapi lewat anaknya atau lewat orang tuanya. Ini seringkali menimbulkan masalah juga.

PG : Anaknya akhirnya menjadi jurubicara orang tua, seringkali nanti pertumbuhannya terhambat. Jiwanya agak tertekan dan merasa dihimpit di tengah-tengah. Dia harus bertanggungjawab atas kelanggengan keluarganya atau orang tuanya dan dia harus selalu memikirkan cara apa yang dapat dia gunakan supaya papa tidak marah, supaya mama dapat mendengarkan. Jadi anak harus memikul beban yang terlalu berat di usia yang terlalu muda.

GS : Pak Paul, selain hal menciptakan suasana dalam pernikahan untuk menyemangati terjadinya komunikasi, hal lain lagi yang harus kita perhatikan apa?

PG : Untuk membangun komunikasi yang sehat kita selalu harus menciptakan komunikasi dua arah, agar terjadi komunikasi dua arah kita harus melakukan dua hal yaitu berbicara dan mendengarkan, sederhana bukan? Bila kita hanya bersedia berbicara dan tidak banyak mendengarkan maka tidak terjadi komunikasi dua arah, sebaliknya kalau kita hanya bersedia mendengarkan tanpa inisiatif berbicara juga tidak ada komunikasi dua arah. Jadi memang mesti ada dua arah itu, berbicara kepada pasangan harus dilakukan dalam bingkai respek, kita tidak bisa berharap dan menuntut pasangan untuk mendengarkan kita bila kita mengutarakan isi hati kita tanpa rasa hormat terhadap perasaannya. Jangan sampai kita beranggapan, "Dia adalah suami saya, dia mengerti saya" atau "Dia istri saya, dia pasti mengerti saya". Jangan, sebab sekali lagi kita tidak bisa berbuat semaunya kepada pasangan kita, sebelum mengatakan apa-apa cobalah tempatkan diri pada posisinya terlebih dahulu mungkin ini dapat menolong kita menyeleksi kata yang lebih tepat juga jangan lupa untuk bertanya pendapatnya, memberinya kesempatan untuk memberikan reaksi terhadap apa yang disampaikan dan jangan sampai kita mendominasi percakapan, berbicara terus. Setelah mengutarakan satu point berhenti biarkan pasangan memberikan tanggapan, jangan terus bercakap panjang lebar baru berhenti kemudian memberi pasangan kesempatan untuk menanggapi, bisa jadi pasangan tidak sesabar itu mendengarkan kita panjang lebar baru bicara atau dia sendiri lupa mau berbicara apa tadi. Untuk menyuburkan komunikasi dua arah perlu kita mendengarkan, kita berbicara dan selalu ingat mesti respek satu dengan yang lain, sehingga kita tidak berbicara semaunya dan kita lebih bisa juga memilih kata-kata yang tepat.

GS : Seringkali kita hanya ingin cerita saja, tidak perlu ditanggapi, begitu Pak Paul. Ada istri yang seringkali hanya mau cerita apa yang terjadi sepanjang hari itu, apa yang dia alami, apa yang dia rasakan. Kita sebagai suami diminta hanya untuk mendengarkan. Kalau begitu untuk dua arahnya bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu itu tidak setiap kali, jadi sekali-sekali sudah tentu ada yang hanya ingin didengarkan. Sekali-sekali yang satunya juga harus siap hanya untuk mendengarkan, tidak apa-apa. Yang banyak menjadi masalah adalah kalau setiap kali begitu, atau seringkali begitu, sebab yang satunya akan berkata, "Kapan saya giliran berbicara, selalu giliran saya hanya mendengarkan", jadi memang harus ada dua arah. Pada waktu kita mendengarkan penting kita perhatikan hal ini, yaitu kita mesti memberikan sikap mendengarkan, misalnya putar tubuh agar menghadap pasangan, arahkan kepala dan mata kepadanya serta lihat wajahnya. Misalnya kita juga memberikan konfirmasi atau reaksi lainnya lewat anggukan kita, tanggapan singkat atau wajah kita supaya bahasa tubuh membuat dia mengetahui bahwa kita tengah mendengarkannya. Pada waktu kita berkata, "O ya benar ya, saya setuju, kamu pasti tidak enak dibegitukan", pasangan merasa didengarkan dan dia akan lebih mau berbicara kepada kita, sudah tentu ini baik asalkan jangan sampai searah, terus-menerus dia yang bicara dan kita yang mendengarkan. Ada waktu-waktu kita juga berkata, "Saya mau cerita tolong kamu dengarkan saya", misalkan ada tanggapan dia yang tidak sesuai dengan hati kita, bicarakan apa adanya, "Eh kamu bisa tidak sebelum saya selesai bicara jangan dipotong dulu" atau "Eh, sebelum kamu mengetahui ceritanya dengan utuh, jangan dulu mengeluarkan reaksi, kesal, marah, sebab kalau begitu saya menjadi malas untuk bercerita". Kita harus komunikasikan apa yang kita harapkan sebagai tanggapan terhadap apa yang kita sampaikan sebab ini pun penting. Kalau tidak maka kita merasa malas untuk berbicara. Kita harus komunikasikan apa yang kita harapkan sebagai tanggapan apa yang kita sampaikan sebab ini juga penting, kalau tidak kita merasa malas untuk berbicara. Daripada melihat reaksinya kita merasa kesal dan malas bicara, kita harus beritahukan kepada pasangan.

GS : Banyak keluhan dari istri terutama yang mengatakan suaminya mendengarkan dia bercerita sambil membaca koran atau sambil menonton TV, ini saya kira bukan pola komunikasi yang baik, Pak Paul.

PG : Saya masih ingat saya pernah makan di sebuah restoran, saya melihat ada sepasang suami istri umurnya 60-an lebih, suaminya sedang duduk menunggu makanan belum datang, dia mengambil koran dan membaca koran terus kira-kira 20 menit, korannya dibaca dengan serius sehingga wajahnya dan wajah si istri dipisahkan oleh koran! Bagaimana bisa berbicara dan memang tidak ada yang berbicara, istrinya menengok ke sana ke sini melihat orang yang sedang makan. Itulah hal yang kadang-kadang terjadi dalam pernikahan kita. Kita harus mendengarkan dan waktu kita memberikan telinga kita, kita juga harus memberikan tanggapan kita sehingga kita memberitahu kepada pasangan bahwa kita sungguh-sungguh mendengarkan. Coba misalnya dengan memberikan intisari apa yang dia katakan sehingga oke dia tahu kita jelas mengerti apa yang dia katakan, kalau misalnya keliru intisari kita biarkan dia mengoreksinya. Pada waktu mendengarkan pasangan berbicara, coba intisarikan dan katakan, "Ini bukan yang kamu maksud?" atau "Ini bukan yang kamu katakan?" Kalau pasangan kita berkata, "Bukan, bukan itu." "Oke kalau bukan itu, apa yang kamu maksud?" Jadi tidak ada lagi kesalahpahaman, jangan sampai kita berasumsi bahwa kita pasti mengerti apa yang dia katakan, ternyata keliru. Sering-seringlah bicara seperti itu, berikan tanggapan dan juga berikan intisari. Satu hal lagi yang penting adalah, sedapatnya tahanlah pencetusan opini atau reaksi negatif dan tanggapan menghakimi. Ini yang sering terjadi, ini yang akan membunuh komunikasi, kalau kita belum apa-apa sudah berkata, "Saya tidak setuju, ini jelek, ini buat apa?" Wah sudahlah kita malas berbicara lagi, atau tanggapan menghakimi, "Kamu kok bisa begitu, kamu kok bodoh benar.......apa-apa!" Ingat ya, pasangan mesti mengetahui bahwa kita telah mendengarkannya dan mengerti apa yang disampaikannya. Bila kita cepat-cepat memberikan jawaban dan opini apalagi kata-kata menghakimi, sudahlah dia tidak akan merasa tertarik untuk berbicara dengan kita. Jadi cobalah tahan kata-kata seperti itu.

GS : Memang untuk bisa mendengarkan dengan baik, memberikan tanggapan dan sebagainya, ini membutuhkan waktu dan perhatian yang khusus, begitu Pak Paul. Artinya kita tidak bisa sambil lewat berkomunikasi ini.

PG : Memang tadi Pak Gunawan memulai dengan kata-kata yang bagus, "komunikasi ini gampang-gampang susah". Masalahnya adalah begini, kebanyakan kita beranggapan kita adalah pakar komunikasi dalam keluarga, bisa berbicara, tidak! Ternyata kebanyakan kita tidak begitu mengerti cara berkomunikasi yang baik, itu sebabnya muncul banyak masalah dalam keluarga. Jangan berasumsi "saya bisa berkomunikasi dengan baik, pakar. Kamulah yang tidak bisa", jangan sebab kita justru harus mengerti pasangan kita dengan lebih baik sehingga bisa mengatakannya dengan lebih pas juga.

DL : Mengerti dan juga terbuka ya, ada keterbukaan dengan pasangan dan menerima apa dengan hati, jangan ada perasaan negatif terus, Pak Paul.

PG : Kalau belum apa-apa sudah ada perasaan negatif, simpan-simpan, tidak mungkin ada komunikasi yang bebas dan terbuka. Betul sekali, Bu Dientje.

GS : Apakah bisa dijadikan semacam pedoman, Pak Paul, bahwa kalau kita berkomunikasi dan jarang timbul konflik itu berarti ada kemajuan dalam kita berkomunikasi.

PG : Sudah tentu komunikasi mesti makin hari makin mendalam, kita tidak hanya menceritakan apa yang terjadi situasi di luar tapi kita juga mesti mulai mengutarakan pendapat pribadi kita, lama kelamaan kita maju lagi ke level yang lebih dalam yaitu mengutarakan perasaan-perasaan kita, termasuk misalnya ketakutan kita. Apakah kita dapat menceritakan kepada pasangan kita, semakin terbuka, makin kita berani mengutarakan sampai hal-hal yang terdalam menandakan memang relasi kita makin kuat, sehingga komunikasi kita juga makin membaik.

GS : Jadi artinya yang dia tidak bisa utarakan kepada orang lain, itu disampaikan kepada pasangannya, begitu Pak Paul.

PG : Betul sekali memang pasangan akhirnya merasa bahwa dia adalah orang yang paling dekat dengan kita sebab kita tidak bercerita kepada yang lain tetapi kepada dia.

GS : Ada hal lain didalam kita membangun komunikasi, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah ini, Pak Gunawan, kita harus jelas dan terbuka dengan motivasi dan perasaan yang melatarbelakangi ucapan kita, kadang dengan sengaja kita menyamarkan motif dan perasaan sesungguhnya yang mencetuskan perkataan kita karena kita tidak ingin mengakui bahwa itulah sebenarnya yang kita rasakan atau inginkan. Masalahnya percakapan seperti ini rawan menciptakan kesalahpahaman, bila pasangan tidak yakin dengan motif dan perasaan kita, besar kemungkinan dia akan menduga-duga. Jika ini yang terjadi bukan saja akan mudah terjadi kesalahpahaman, dia pun mungkin akan menuduh bahwa kita telah berbuat tidak jujur, sudah tentu ini akan merusakkan komunikasi. Misalkan saya berikan contoh seorang istri mulai mengatur suaminya, "Kamu jangan sering-sering bicara dengan si ini, dia orangnya begini begini, kamu jangan...." jadi kita mulai bertanya-tanya, mengapa istri mulai mengatur kita dan melarang kita berbicara, akhirnya baru kita mengetahui setelah bicara baik-baik secara terbuka, baru kita mengetahui bahwa dia melihat kita atau menganggap kita bukan orang yang kokoh sehingga dia merasa takut kita nanti kita terbawa arus. Dia beranggapan si A atau si B adalah orang-orang yang memang bisa berpengaruh buruk terhadap kita. Lebih baik pasangan bicara langsung, "Saya sebetulnya khawatir kamu nampaknya mudah dipengaruhi dan dia orang-orang yang tidak begitu baik, saya takut kamu nanti terpengaruh oleh mereka". Jadi berbeda, tadinya suami merasa istrinya mengatur pergaulannya, padahal dia merasa cemas, dia takut suaminya terbawa arus.

DL : Tapi ada kalanya memang wanita sulit untuk menyampaikan apa yang sudah dipendam itu, takut kalau suaminya merasa bahwa dia cemburu.

PG : Jadi memang perlu resiko, saya sadari sebetulnya bukan hanya wanita, pria pun kadang-kadang merasa takut untuk sungguh-sungguh terbuka alasan sesungguhnya mengapa dia berkata-kata seperti itu. Tapi seringkali kalau tidak jelas, bisa terjadi kesalahpahaman jadi ribut seperti contoh tadi, misalnya suami menjadi ribut dengan istri, "Kamu mengatur-atur saya, ini hak saya mau berteman dengan siapa, saya tidak ada apa-apa dengan dia, kamu cemburu ya!" Padahal dia bukan cemburu, karena bukan hanya dengan wanita tapi dengan pria pun istrinya melarang dia berbicara atau bergaul dengan lebih akrab lagi. Suaminya bisa berkata, "Kamu kok cemburu dan bukan hanya cemburu kepada wanita tetapi kamu juga cemburu kepada pria". Jadi akhirnya ributnya panjang padahal alasannya si istri khawatir suaminya bisa terbawa arus. Kita mesti jelas dengan motivasi kita dan perasaan kita. Alasan lainnya lagi adalah, menciptakan keintiman waktu kita berani terbuka dengan perasaan kita, dengan motivasi kita. Intim kalau tidak ada akhirnya komunikasi hampa, sekali lagi komunikasi bukan hanya tentang penyampaian berita, komunikasi juga tentang penyatuan dua pribadi lewat apa yang disampaikan kepada satu sama lain.

GS : Memang kalau kita mau membangun komunikasi ini, Pak Paul, meningkatkan, menumbuhkan komunikasi, faktor resiko itu saya rasa tidak bisa dihindarkan. Kita harus berani menanggung resiko, kemungkinan salah, kemungkinan disalahmengerti dan sebagainya, itu harus kita hadapi.

PG : Bukankah makin kita hadapi, makin kita coba melihat diri, koreksi diri akhirnya makin dapat kita berkomunikasi. Makin dapat berkomunikasi makin kecil kemungkinan terjadi kesalahpahaman.

GS : Katakan kita salah mengungkapkan itu, jujur saja katakan minta maaf. Di sini peran pasangan kita untuk berani memaafkan kesalahan pasangannya karena sudah salah berkomunikasi.

PG : Kalau misalkan terus dihukum.

GS : Orang menjadi tidak berani, takut dihukum.

DL : Tidak diajak bicara lagi, oleh sebab itu memang harus ada keterbukaan terus satu sama lain, melatih komunikasi akhirnya menjadi lancar, menjadi baik.

GS : Dengan lancarnya komunikasi, dengan kita berani mengungkapkan hal itu dan tidak terjadi konflik, di sana terlihat ada pertumbuhan. Kalau di awal pernikahan seringkali konflik dan lama-lama makin berkurang kita merasa bahwa itu kita yakin ada suatu pertumbuhan.

PG : Betul sekali. Sekali lagi, orang yang menabur akhirnya akan menuai, orang yang dari awal menabur komunikasi usahakan, usahakan meskipun jatuh bangun, nantinya dia akan menuai hasilnya. Beberapa tahun kemudian ia akan menikmati relasi dengan istrinya atau suaminya yang sepertinya akrab.

GS : Saya rasa sampai pasangan itu salah satu meninggal, mereka harus tetap belajar untuk berkomunikasi. Tetap akan ada saat-saat di mana mereka itu salah bicara atau salah diterima dan sebagainya.

PG : Tadi Pak Gunawan sudah tekankan, perlu ada jiwa mengampuni jangan sedikit-sedikit marah dan menyerang. Harus mengampuni bahwa biarlah pasangan sudah mengerti kita, tetapi kadang-kadang masih bisa salah bicara.

DL : Tapi laki-laki itu sulit untuk mengampuni, kadang-kadang saya perhatikan biasanya wanita itu cepat mengampuni, tetapi kalau laki-laki itu biasanya gengsi ya?

PG : Bisa, mungkin ia perlu waktu lebih lama tapi kita berikanlah dia kesempatan untuk berpikir dan saya kira kalau ia anak Tuhan, dia akan mendengar suara Tuhan menegurnya dan dia lebih bisa menaati Tuhan.

GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Di Efesus 4:29 firman Tuhan menasihati kita untuk saling membangun. Firman Tuhan berkata, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia". Nah salah satu cara membangun adalah lewat komunikasi, jadi di tangan Tuhan kita adalah sarana semata untuk membangun satu sama lain menjadi pribadi yang dikehendaki-Nya. Lewat mulut kita mengalirkan kasih karunia Tuhan kepada pasangan kita.

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pelancar Komunikasi", bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



53. Pernikahan di Mata Tuhan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T346A (File MP3 T346A)


Abstrak:

Hidup kita seyogianyalah menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Dan bila hidup kita harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya, sudah selayaknya pulalah pernikahan kita pun menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Pernikahan yang dapat menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan adalah ketaatan pada kehendak Tuhan dalam pemilihan pasangan hidup, ketaatan pada kehendak Tuhan dalam menjalani hidup pernikahan. Seperti apakah itu?


Ringkasan:

Di dalam ceramah yang berkaitan dengan pemilihan pasangan hidup, kadang saya mendapat pertanyaan, apakah boleh menikah dengan orang yang tidak seiman. Sesungguhnya jawaban terhadap pertanyaan ini bergantung pada bagaimanakah kita memandang pernikahan itu sendiri. Jika kita memandang pernikahan lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan, keharmonisan rumah tangga, menyambung keturunan serta menjadi wadah yang sehat buat pertumbuhan anak-anak, jawabannya adalah, tidak. Dan juga sebaliknya. Jadi, bagaimanakah seharusnya kita memandang pernikahan? Pada dasarnya kita harus memandang pernikahan dari sudut pandang kemuliaan Tuhan. Firman Tuhan di Efesus 1:5,6,& 12 berkata, "Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita.... supaya kami yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya."

Hidup kita seyogianyalah menjadi puji-pujian bagi kemulian-Nya. Dan, bila hidup kita harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya, sudah selayaknya pulalah pernikahan kita pun menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Berikut akan dipaparkan bagaimanakah pernikahan dapat menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan.

PERTAMA ADALAH KETAATAN PADA KEHENDAK TUHAN DALAM PEMILIHAN PASANGAN HIDUP.

Kita mesti mengutamakan kehendak Tuhan sewaktu memutuskan siapakah yang akan kita pilih untuk menjadi suami atau istri kita. Pada dasarnya pergumulan ketaatan adalah pergumulan antara melakukan apa yang KITA anggap baik dan melakukan apa yang TUHAN anggap baik. Mungkin orang ini baik dan cocok dengan kita, mungkin ia menyayangi kita dan selalu memikirkan apa yang terbaik buat kita. Namun ia tidak seiman dan tidak mempercayai Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Nah, dalam situasi seperti inilah ketaatan mendapatkan ujiannya. Apakah kita akan terus menerobos rambu yang diberikan Tuhan ataukah kita menaati-Nya? Pada akhirnya keputusan apa pun yang diambil bergantung pada apakah kita dapat berkata bahwa perintah Tuhan itu adalah sempurna dan baik buat kita. Jika kita dapat berkata bahwa perintah Tuhan itu sempurna, itu berarti tidak ada lagi hal yang lebih baik atau lebih benar daripada perintah Tuhan.

Berkenaan dengan pernikahan di dalam 1 Korintus 7:39 dan 2 Korintus 6:14 tertulis dengan jelas perintah Tuhan untuk kita anak-anak-Nya, "... ia bebas menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya asal orang itu adalah seorang yang percaya. Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya...." Nah, bila kita meyakini bahwa perintah Allah adalah sempurna, itu berarti tidak ada yang lebih baik lagi daripada perintah Allah. Jadi, sebaik apa pun orang itu dan sebaik apa pun pernikahan kita dengannya, tetap itu bukanlah yang terbaik.

KEDUA ADALAH KETAATAN PADA KEHENDAK TUHAN DALAM MENJALANI HIDUP PERNIKAHAN.

Adakalanya kita mengidentikkan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan dengan kegiatan pelayanan. Sudah tentu keterlibatan dalam pelayanan adalah sesuatu yang baik dan menyenangkan hati Tuhan. Namun pada akhirnya kita harus menyadari bahwa terpenting bukanlah kegiatan melainkan ketaatan. Kita bisa giat dalam pelayanan tetapi belum tentu kita bisa taat dalam pernikahan. Meskipun ada banyak hal yang dapat menjadi ajang pembuktian ketaatan, beberapa di bawah ini mungkin dapat mewakili sebagian darinya.

Kesimpulan

Sebagaimana hal lainnya dalam hidup, pernikahan adalah dari Tuhan dan untuk Tuhan. Jadi, persembahkanlah pernikahan sebagai korban yang memuliakan nama Tuhan kita Yesus Kristus, mulai dari siapa itu yang kita nikahi sampai bagaimanakah kita menjalani hidup pernikahan itu sendiri.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pernikahan di Mata Tuhan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, rupanya ada banyak motivasi seseorang menikah atau alasan mengapa dia menikah. Tetapi di hadapan Tuhan tentunya ada satu motivasi yang jelas, ada suatu alasan yang jelas kenapa Tuhan memertemukan seorang pria dan seorang wanita lalu menjodohkannya menjadi suami istri. Tetapi apa tanggungjawab kita sebagai manusia, sebagai anak-anak tebusan Tuhan?
PG : Memang betul yang Pak Gunawan katakan, kita ini hidup bukan lagi untuk diri kita dan kita tidak lagi memandang hidup dari kacamata kita, kita harus memandangnya dari kacamata Tuhan. Coba kita sekarang sejenak membahas tentang pernikahan. Sebetulnya di mata Tuhan untuk apakah pernikahan itu? Kalau kita baca di Efesus 1:5, 6, 12 firman Tuhan berkata, "Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya. supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya." Karena kasih dan di dalam kasih Tuhan telah menetapkan kita menjadi anak-anak-Nya, jalan yang digunakan Tuhan untuk menjadikan kita anak-anak-Nya adalah jalan pengorbanan yakni Yesus anak Allah turun menjadi manusia dan akhirnya mati bagi dosa-dosa kita. Perbuatan Allah yang mulia ini layak menerima puji-pujian dari kita yang telah menerima kebaikan dan kasih karunia-Nya, itu sebabnya segenap hidup kita seyogianyalah menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Bila hidup kita harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya sudah selayaknyalah pernikahan kita pun menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.
GS : Tapi pada umumnya kalau ada pasangan yang akan menikah, kepada mereka ditanyakan, "Apa tujuan kamu menikah?" maka jawabnya, "Untuk hidup bahagia sebagai suami istri, tentunya untuk hidup bahagia", apakah itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaan atau permintaan Tuhan tadi bahwa kita harus hidup memuliakan nama Tuhan, Pak Paul?
PG : Kalau kita menjawab kita menikah agar kita bahagia atau kita ini menikah agar bisa menyambung keturunan atau agar bisa membagi hidup dengan satu sama lain, sudah tentu itu bukan jawaban yang salah tapi itu bukanlah jawaban yang lengkap. Sebab tujuan Tuhan memberikan kepada kita kesempatan untuk menikah, sekali lagi itu adalah sebagai kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk memuliakan-Nya, menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya, seluruh hidup kita untuk kemuliaan-Nya dan termasuk di dalamnya adalah pernikahan. Jadi bagi siapa yang hendak menikah hendaklah memunyai konsep ini bahwa kita menikah untuk menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.
GS : Kalau begitu tujuan yang begitu mulia tentu harus ada prasyarat yang harus di penuhi oleh kedua orang itu supaya bisa mencapai target yang Tuhan tentukan.
PG : Tepat sekali. Jadi sekurang-kurangnya ada dua yang bisa saya bagikan, bagaimanakah pernikahan bisa menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. Yang pertama adalah ketaatan kepada kehendak Tuhan dalam pemilihan pasangan hidup. Kita harus mengutamakan kehendak Tuhan sewaktu memutuskan siapakah yang akan kita pilih untuk menjadi suami dan istri kita. Pada dasarnya pergumulan ketaatan adalah pergumulan antara melakukan apa yang kita anggap baik dan melakukan apa yang Tuhan anggap baik. Mungkin saja orang ini baik dan cocok dengan kita, mungkin ia menyayangi kita dan selalu memikirkan apa yang terbaik bagi kita, namun ia tidak seiman dan tidak memercayai Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Dalam situasi seperti inilah ketaatan mendapatkan ujiannya, apakah kita akan terus menerobos rambu yang diberikan Tuhan ataukah kita menaatinya. Pada akhirnya keputusan apa pun yang diambil bergantung pada, apakah kita dapat berkata bahwa perintah Tuhan itu adalah sempurna dan baik buat kita. Jika kita bisa berkata bahwa perintah Tuhan itu sempurna, itu berarti tidak ada lagi hal yang lebih baik atau yang lebih benar daripada perintah Tuhan. Singkat kata, kalau kita berkata perintah Tuhan sempurna maka kita harus mengakui kalau perintah itu adalah hal yang terbaik yang dapat terjadi dalam hidup ini, tidak ada suatu hal pun yang lebih baik dari perintah Tuhan. Seperti kita ketahui di 1 Korintus 7:39 dan 2 Korintus 6:14 firman Tuhan dengan jelas berkata, "ia bebas menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya asalkan orang itu adalah orang yang percaya, janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya". Bila kita meyakini bahwa perintah Allah adalah sempurna, itu berarti tidak ada yang lebih baik lagi dari pada perintah Allah. Jadi sebaik apa pun orang itu dan sebaik apa pun pernikahan kita dengannya, tetap itu bukanlah yang terbaik di mata Tuhan.
GS : Tapi seringkali orang mengatakan bahwa banyak contohnya pasangan-pasangan yang seiman pun yang dilihat hanya segereja, atau sama-sama orang Kristen tapi hidup pernikahannya tidak terlihat baik dan tidak memberikan kesaksian yang baik, Pak Paul.
PG : Memang ini sesuatu yang disayangkan sebab ada orang-orang yang menikah yang tidak memilih dengan baik sehingga tidak memerhatikan hal-hal lain di luar kesamaan iman, menggampangkan pernikahan dan beranggapan nanti bisa diselesaikan, padahal setelah menikah tidak bisa menyelesaikannya sehingga justru tidak menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan malahan menjadi batu sandungan dan orang akan berkata, "Lihat pernikahan orang Kristen seperti itu dan tidak saling bicara satu sama lain" ini memang bisa terjadi karena kita tidak sempurna dan adakalanya kita tidak memerhatikan hal-hal yang lain itu atau adakalanya kita sendiri belum selesai dibentuk Tuhan sehingga ada kekerasan hati, ada hal yang harus kita akui dan belum kita akui, kita harus minta maaf tapi tidak minta maaf, jadi akhirnya pernikahan kita tidak baik dan akhirnya orang juga akan berkata, "Lihat orang Kristen, pernikahannya seperti itu".
GS : Malah mereka bisa mengajukan contoh pasangan-pasangan lain yang tidak seiman tapi dari luar kelihatan harmonis sekali.
PG : Betul dan sudah tentu banyak pasangan yang hidupnya sangat baik dan harmonis meskipun mereka bukanlah orang-orang yang memeluk iman yang sama dengan kita, atau oleh orang yang memiliki keyakinan yang berbeda antara suami dan istrinya tapi bisa saja mereka hidup dengan harmonis. Memang semua itu dimungkinkan sebab pernikahan tidak bergantung pada satu faktor saja yaitu iman. Tidak, pernikahan bergantung pada banyak faktor lain, tapi tetap kesamaan iman adalah sesuatu yang diminta oleh Tuhan, kita tidak menciptakan peraturan ini dan gereja juga tidak menciptakan peraturan ini. Jadi kita mendasarinya atas perintah Tuhan itu sendiri. Jadi kalau kita berkata perintah Tuhan itu adalah sempurna berarti memang tidak ada lagi yang lebih baik dari perintah itu, kita tidak bisa berkata, "Tidak mengapa sebab ini juga baik", tidak! Perintah Tuhan mencerminkan sesuatu yang sempurna dan sesuatu yang paling baik. Jadi tidak ada pilihan lain yang lebih baik atau sama baiknya dengan apa yang Tuhan telah perintahkan.
GS : Jadi kehidupan harmonis di dalam satu keluarga bukan tujuan utama dari pernikahan di mata Tuhan, begitu Pak Paul?
PG : Tepat sekali. Jadi tujuan pernikahan bukanlah supaya kita hidup harmonis, sudah tentu bagaimana kita hidup akan sangat berpengaruh. Tapi tujuan pernikahan itu sendiri adalah untuk menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan sebab hidup kita secara keseluruhan adalah untuk menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. Apapun yang kita lakukan termasuk pernikahan kita juga harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan.
GS : Jadi kalau kita memulai pernikahan dengan kondisi yang tidak seiman, itu sebenarnya menjadi sulit untuk memenuhi target yang Tuhan tetapkan itu.
PG : Betul. Sebab kita sudah langsung memulai dengan pelanggaran terhadap perintah Tuhan dan bagaimanakah kita bisa berkata bahwa "kita memuliakan Tuhan meskipun kita sudah melanggar firman Tuhan", itu tidak mungkin. Jadi tidak bisa kita melakukan kedua-duanya, yaitu melanggar kehendak Tuhan sekaligus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan, tidak bisa seperti itu.
GS : Jadi selain kita harus taat pada kehendak Tuhan dalam pemilihan pasangan hidup, kita perlu hal apa lagi, Pak Paul?
PG : Kita juga perlu kalau kita mau menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan, "menaati kehendak Tuhan dalam menjalani hidup pernikahan itu". Jadi bukan hanya dalam pemilihan pasangan hidup, kita menaati Tuhan, tapi juga dalam menjalani hidup ini sendiri. Adakalanya kita mengidentikkan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan dengan kegiatan pelayanan. Ini yang seringkali kita lakukan, "Ini memuliakan Tuhan, ini memuliakan Tuhan" kenapa? Karena suami menjadi majelis, istrinya menjadi pengurus Komisi Wanita dan anak-anaknya pelayanan di Sekolah Minggu dan sebagainya. Sudah tentu itu semua hal yang baik tapi sebetulnya bukan itu, kita harus menyadari bahwa terpenting bukanlah kegiatan melainkan ketaatan, selalu ukurannya itu dari Tuhan sebab kita bisa giat dalam pelayanan tapi belum tentu kita bisa taat dalam pelayanan. Jadi meskipun ada banyak hal yang dapat menjadi ajang pembuktian, tetap ujung-ujungnya adalah ketaatan kepada Tuhan yang akhirnya menjadi ujian bagaimanakah kita menjalani hidup ini, makin taat kepada kehendak Tuhan dalam menjalani hidup pernikahan maka makin pernikahan kita membawa puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan.
GS : Tapi kalau kita melayani, itu adalah suatu bentuk ketaatan kita kepada Tuhan bukankah Tuhan juga menghendaki anak-anak-Nya untuk melayani, Pak Paul?
PG : Betul. Sudah tentu itu adalah hal yang mulia namun kita harus akui bahwa mungkin dari semua hal yang bisa kita kerjakan untuk memerlihatkan ketaatan kita kepada Tuhan, mungkin keterlibatan kita dalam pelayanan seperti yang pernah kita lihat dia menyanyi, menjadi majelis, itu adalah sesuatu yang mudah, yang paling susah adalah kita membuktikan ketaatan kita misalnya sewaktu kita ini diminta Tuhan untuk menolong seseorang, relakah kita menolongnya dan mengeluarkan uang untuk menolong orang itu. Misalkan waktu Tuhan meminta kita untuk meminta maaf kepada pasangan atau anak kita, apakah kita rela meminta maaf? Jadi ketaatan yang seperti itulah yang sebetulnya menjadi bukti bahwa kita sungguh-sungguh hidup untuk memuliakan Tuhan.
GS : Secara konkret apa yang bisa kita lakukan untuk membuktikan kalau kita taat kepada Tuhan, Pak Paul?
PG : Ada banyak. Jadi saya akan gunakan prinsipnya saja. Yang pertama adalah apa yang kita perbuat tatkala apa yang diinginkan tidak didapatkan. Pada umumnya kita membawa banyak pengharapan masuk ke dalam pernikahan, baik itu berkenaan dengan diri sendiri atau pasangan kita, anak atau pun target dalam karier. Kadang kita dapat meraihnya, kadang juga tidak. apa yang kita lakukan tatkala apa yang diinginkan tidak didapatkan memerlihatkan seberapa besar ketaatan kita pada kehendak Tuhan. Sebagai contoh, ada yang marah dan menyalahkan pasangan sebab apa yang diinginkan tidak didapatkan. Ada yang menyalahkan lingkungan karena apa yang diinginkan tidak didapatkan. Ada yang menyalahkan diri sendiri, ada yang menarik diri dari pasangan, ada yang menarik diri dari lingkungan dan ada yang menarik diri dari persekutuan. Itu adalah beberapa contoh, apa yang kadang kita lakukan tatkala apa yang kita inginkan tidak kita dapati. Sesungguhnya pada saat seperti itu ketaatan kepada kehendak Tuhan tengah mengalami ujian, apakah kita akan menuruti keinginan sendiri ataukah kita akan menuruti kehendak Tuhan, apakah kita mencoba berdamai dengan pasangan untuk sesuatu yang kita inginkan tidak kita dapatkan, atau kita menolak untuk berdamai dengannya. Ini semua merupakan ajang untuk membuktikan ketaatan kita kepada Tuhan dan inilah yang akan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. Jadi dalam keadaan yang sulit yang seperti inilah ketaatan mendapatkan tempaan yang keras. Jika kita menyerah menuruti keinginan diri sendiri maka kita akan keluar dari ketaatan dan begitu keluar dari ketaatan maka kita makin menjauh dari kehidupan yang membawa kemuliaan bagi Tuhan, sebaliknya kalau kita memutuskan taat kepada kehendak Tuhan dan melakukan apa yang diinginkan-Nya maka kita akan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.
GS : Seringkali salah satu dari pasangan mau taat dan menerima bahwa Tuhan tidak memberikan sesuatu kepada kita yang kita inginkan, tapi pasangannya justru yang tidak bisa melihat itu dan ikut mengajak memengaruhi kita dan marah-marah atau bahkan marah bukan hanya pada lingkungan tapi juga kepada Tuhan.
PG : Betul. Jadi kadang kita menikah dengan seseorang yang tidak sebanding atau sematang kita secara rohani sehingga waktu menghadapi masalah atau kesulitan, bukannya ketaatan kepada Tuhan dan bukannya cara Tuhan yang digunakan untuk menghadapi itu tapi dirinya sendiri yang akan menjadi tolok ukur, apa yang dia inginkan dia lakukan. Kalau misalkan kita bersama dengan pasangan yang seperti itu, maka yang pertama kita harus bersama dengan dia dan bicara baik-baik dan jelaskan kalau ini yang Tuhan kehendaki dalam situasi seperti ini dan sebaiknya kita tidak melakukan ini dan itu karena bukan ini yang Tuhan kehendaki. Jadi kita mencoba bicara dan kita ingatkan bagaimana cara yang baik untuk menyelesaikan masalah kita yaitu dengan cara Tuhan.
GS : Saya teringat akan Ayub. Waktu Ayub menderita justru istrinya mengajarkan agar Ayub meninggalkan Tuhan bahkan menghujat Tuhan.
PG : Betul sekali. Ayub tidak terpengaruh istrinya dan berani untuk bertentangan dengan istrinya karena Ayub tidak mau berdosa kepada Tuhan. Jadi waktu istrinya dalam keadaan yang sangat tertekan melihat harta dan anaknya semua habis, memang istrinya tidak tahan lagi dan malah meminta Ayub untuk mengutuk Tuhan tapi Ayub tidak melakukan itu dan Ayub tahu bahwa Tuhan sudah memberikan kepada saya dan kalau sekarang mau diambil maka saya terima. Jadi kalau kita berada dalam situasi seperti itu maka ingatlah untuk tetap berdiri teguh di dalam kehendak Tuhan. Kadang kita sebagai seseorang anak Tuhan yang mau menaati Tuhan, kita akan kesepian bukan saja kesepian di luar tapi kesepian dalam keluarga sendiri. Saya ingat buku yang sangat populer Perjalanan Seorang Musafir, buku itu ditulis oleh John Bunyan. Si Christian, tokoh yang ada dalam buku itu, pada awalnya cerita itu dikisahkan dia harus meninggalkan keluarganya untuk menuju kota surgawi itu, sebab keluarganya tidak mendukung dan tidak mengerti dan membiarkan dia untuk pergi sendirian. Jadi kadang-kadang kita harus berani untuk berdiri teguh meskipun kita harus kesepian juga dalam rumah sendiri.
GS : Tetapi di sana kelihatan bahwa kematangan iman antara Ayub dan istrinya berbeda sekali walaupun katakan mereka berdua seiman. Dan ini seringkali menjadi masalah di dalam rumah tangga.
PG : Setuju, memang tidak selalu iman kita sama kuatnya. Kadang-kadang kita mesti menyadari kita kuat dalam hal tertentu, lemah dalam hal tertentu. Adakalanya pasangan kita juga seperti itu, dia kuat dalam hal tertentu, dia lemah dalam hal tertentu. Saya seringkali beranggapan saya lebih dewasa dan matang secara rohani dari pada istri saya, tapi saya menyadari dalam hal tertentu yang kami hadapi misalkan waktu kami menghadapi apa yang dilakukan oleh anak kami sekarang ini, meninggalkan Tuhan. Kami bergumul berat sekali, tapi yang saya lihat istri saya kuat dan seringkali justru yang memberikan penghiburan, memberikan firman Tuhan yang dibacanya dan tetap dia masih bisa berfungsi, melayani dan berusaha untuk seceria mungkin. Saya sering berkata kepadanya, "Saya kagum kamu kuat, dan kamu justru lebih kuat dari saya". Mungkin dalam hal lain saya lebih kuat, tapi untuk hal tertentu istri saya lebih kuat juga.
GS : Cara lain untuk membuktikan kalau kita memang taat kepada kehendak Tuhan apa, Pak Paul?
PG : Kita harus bertanya apa yang kita perbuat atas nama kasih. Pada umumnya kita semua mengklaim bahwa kita mengasihi keluarga dan pasangan serta anak-anak. Dan atas nama kasih kita melakukan banyak hal untuk mereka. Pertanyaannya adalah apakah kita bersedia untuk berkorban demi mereka. Sesungguhnya kita baru dapat berkata bahwa kita mengasihi mereka tatkala kita bersedia mengedepankan kepentingan mereka dan mengorbankan kepentingan sendiri. Jadi ujian kasih bukanlah terletak pada seberapa besar nilai yang diberikan, melainkan pada seberapa besar pengorbanan yang diberikan.
GS : Pengorbanan yang bapak maksudkan apa, Pak Paul?
PG : Pengorbanan yang saya maksudkan adalah kerelaan untuk menomorduakan kepentingan kita dan menomorsatukan kepentingan pasangan dan anak-anak kita. Jadi misalnya kalau kita tahu bahwa kalau saya pindah kota, saya akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, promosi yang saya idam-idamkan tapi kita tahu bahwa anak-anak, istri atau suami sudah mapan dan senang di sini banyak teman dan sebagainya. Kita harus memertimbangkan mereka. Saya tidak berkata bahwa selalu dalam kondisi seperti ini kita harus meninggalkan impian kita, tidak! Kadang-kadang kita bisa berdiskusi dan sehati untuk pindah ke kota yang baru itu. Namun mesti ada kesediaan dalam hati kita untuk berkata, "Sebetulnya ini yang saya inginkan, ini kesempatan buat saya untuk mendapatkan promosi yang saya inginkan, tapi saya lihat kalau saya pindah, anak-anak harus dicabut dari lingkungannya, kamu juga akan susah dan kehilangan teman-teman dan sebagainya maka akan saya korbankan kepentingan saya supaya keluarga bisa tetap menikmati hidup di sini". Itu pengorbanan yang saya maksud. Jadi waktu kita berbicara tentang pernikahan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan, saya mau soroti ketaatan, ketaatan dalam hal seperti ini. Ini akan menjadikan pernikahan kita sebagai puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan.
GS : Tapi kalau kita yakin apa yang kita lakukan benar dan membawa kebaikan bagi segenap keluarga, maka kita harus menjelaskan kepada pasangan kita maupun kepada anak-anak kita bahwa apa yang kita lakukan ini benar.
PG : Sudah tentu kadang kita juga harus dengan tegas berkata, "Ini yang benar dan kita mau memimpin mereka ke pilihan yang benar itu". Tapi sebenarnya dalam hidup pilihan-pilihan yang sungguh-sungguh bersikap prinsipiil itu juga tidak terlalu banyak. Tadi contoh yang saya berikan tentang promosi di kota lain dan sebagainya. Kadang-kadang kita mau melakukannya hanya karena gara-gara peningkatan karir kita. Tapi kalau kita melihat ini akan berdampak akan menyusahkan anak atau keluarga kita, mungkin kita harus mengalah dan berkata, "Baiklah tidak perlu". Jadi kita akan tunggu waktu Tuhan, di mana waktu kita melakukannya nanti kita akan lakukan dengan senang hati. Jadi harus ada kesediaan. Buat saya ini yang paling penting yaitu mungkin ada kalanya kita mau mengerjakan banyak hal dalam hidup dan kita benar-benar berharap pasangan kita akan nanti mendukung kita supaya kita bisa mencapai yang kita inginkan, tapi kita harus terima adakalanya tidak terjadi, sebaliknya justru kita dituntut untuk mengorbankan kepentingan pribadi kita demi mereka. Jadi yang saya mau tekankan bahwa acapkali menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan terkait bukan dengan keberhasilan kita meraih impian, melainkan pada pengorbanan kita melepaskan impian. Sewaktu kita melepaskan impian, maka Tuhan pun bekerja membentuk kita menjadi sosok yang sungguh akan membawa puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.
GS : Memang sebelum atau di awal pernikahan setidaknya kita harus membagikan impian kita terhadap pasangan kita, sebenarnya keluarga mau dibawa kemana supaya dia pun bisa menjadi supporter kita, menjadi pendorong, pendukung kita karena tujuannya sudah jelas.
PG : Itu yang harus kita lakukan, sewaktu kita berpacaran, masing-masing harus membagikan impiannya, apa yang ingin dicapai dalam hidup dan kita akan cocokkan semuanya itu. Tapi yang saya juga akan tekankan adalah ada banyak hal tak terduga yang bisa terjadi dalam pernikahan ini dan waktu hal-hal ini terjadi diperlukan kerelaan untuk melepaskan impian kita demi pasangan kita atau demi anak-anak kita. Kalau kita tidak bersedia dan hanya berkata, "Ini memang yang saya inginkan dari dulu" dan tidak bersedia melepaskannya maka saya kira justru ini tidak menjadi pujian bagi kemuliaan Tuhan.
GS : Apakah anggota keluarga ini perlu tahu bahwa ini adalah sebuah pengorbanan dari kita?
PG : Sebetulnya kalau kita pun tidak bicara maka mereka akan tahu sebab kita kadang-kadang bicara bahwa ini akan saya lakukan dan ini hal yang baik dan sebagainya. Kemudian kita beritahukan kita dapat tawaran ini dan kita tidak mengambilnya, kita tidak perlu bicara apa-apa, anggota keluarga akan tahu bahwa kita mengorbankan kepentingan kita demi mereka.
GS : Jadi memang dalam hidup pernikahan ini yang terpenting adalah bagaimana Tuhan memandang hidup pernikahan kita.
PG : Tepat sekali.
GS : Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul mau menyampaikan kesimpulan dari apa yang sudah kita perbincangkan?
PG : Sebagaimana hal lain dalam hidup, pernikahan adalah dari Tuhan dan untuk Tuhan. Jadi persembahkanlah pernikahan sebagai korban yang memuliakan nama Tuhan Yesus Kristus, mulai dari siapa itu yang kita nikahi sampai bagaimanakah kita menjalani hidup pernikahan itu sendiri.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pernikahan di Mata Tuhan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


54. Saling Menajamkan I


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T347A (File MP3 T347A)


Abstrak:

Sesungguhnya ada satu aspek dalam pernikahan yang kadang terlupakan yaitu aspek saling menajamkan. Ibarat pisau atau besi yang mesti diasah agar tetap tajam, demikian pulalah karakter kita perlu ditajamkan. Menajamkan berarti menunjukkan kelemahan pasangan dan memberikan masukan untuk memerbaikinya. Sebagaimana pisau yang tajam akan menjadi pisau yang berfungsi optimal, demikian pulalah karakter yang tajam akan menjadi karakter yang berfungsi optimal. Hal-hal apa saja yang bisa kita lakukan untuk menajamkan pasangan? Secara rinci di sini dijelaskan.


Ringkasan:

Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya. (Amsal 27:17)

Sesungguhnya ada satu aspek dalam pernikahan yang kadang terlupakan yaitu aspek saling menajamkan. Ibarat pisau atau besi yang mesti diasah agar tetap tajam, demikian pulalah karakter kita perlu ditajamkan. Sudah tentu ditajamkan di sini bukan berarti runcing sehingga mudah melukai hati pasangan. Menajamkan berarti menunjukkan kelemahan pasangan dan memberikan masukan untuk memperbaikinya. Sebagaimana pisau yang tajam akan menjadi pisau yang berfungsi optimal, demikian pulalah karakter yang tajam akan menjadi karakter yang berfungsi optimal.

Pernikahan yang tidak lagi bertumbuh adalah pernikahan yang tidak lagi saling menajamkan. Bukannya saling menajamkan, kita malah saling membiarkan dan mendiamkan. Mungkin pada awalnya kita berusaha untuk menunjukkan kelemahan pasangan dan memberikan masukan untuk memperbaikinya. Namun seiring dengan berjalannya waktu kita tidak lagi melakukannya. Mungkin kita frustrasi karena apa yang disampaikan tidak didengarkan atau mungkin kita tidak tahu bagaimana caranya menajamkan pasangan.

Berikut akan dipaparkan bagaimanakah kita dapat menajamkan satu sama lain.

  1. Sebelum dapat saling menajamkan kita mesti sepadan terlebih dahulu. Sepadan di sini berarti bahwa kita mempunyai kematangan karakter yang sama. Apabila kita mempunyai tingkat kematangan yang berbeda, tidak bisa tidak, kita akan sulit untuk saling menajamkan. Kalau saja pihak yang kurang matang bersedia untuk menerima masukan, besar kemungkinan relasi ini akan mencapai keseimbangan.
  2. Kita baru dapat saling menajamkan bila kita sendiri hidup di dalam realitas, bukan alam fantasi. Maksud saya, kita mesti dapat melihat pasangan apa adanya—tidak lebih buruk atau lebih baik—daripada kenyataan. Jika kita melihat pasangan seperti durian runtuh, maka kita pun akan mengagungkannya seakan-akan ia adalah sosok yang sempurna. Mungkin kita memiliki banyak kebutuhan emosional dan melihat pasangan sebagai juruselamat yang menyelamatkan hidup kita. Sudah tentu kita tidak akan lagi mempunyai komentar apa pun tentang dirinya ia terlalu baik buat kita. Sebaliknya kita pun tidak bisa menajamkan pasangan bila kita memandangnya lebih buruk daripada kenyataan. Sewaktu kita melihatnya sebagai sosok yang lebih buruk daripada kenyataan, kita cenderung merendahkannya, bukan membangunnya. Kesalahan yang diperbuatnya mengundang kemarahan besar dan kebaikan yang dilakukannya luput dari penglihatan. Akhirnya relasi kita pun menjadi relasi yang sarat pertikaian.

    Jadi, bila kita ingin saling menajamkan kita mesti dapat melihat pasangan sesuai realitas—tidak lebih baik atau lebih buruk daripada kenyataan. Ketika kita melihatnya secara apa adanya, kita akan dapat memberikan masukan kepadanya secara proporsional pula. Apa yang baik kita puji dan hargai, apa yang buruk kita munculkan dan koreksi.

  3. Kita baru dapat saling menajamkan bila kita saling mengasihi dan berkomitmen untuk menjadikan pernikahan kita sebagai pernikahan yang sehat. Kita hanya akan bersedia mengambil tanggung jawab untuk menajamkan pasangan bila kita mengasihinya. Kita hanya akan bersedia memberi masukan dan bahkan mengambil risiko terjadinya konflik jika kita mempunyai tekad untuk menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan yang sehat. Itu sebabnya kita hanya dapat menajamkan satu sama lain bila kita saling mengasihi dan mempunyai kesamaan tekad untuk menjadikan pernikahan kita sebuah pernikahan yang sehat.

    Saya mengerti bahwa adakalanya tidak mudah untuk mempertahankan kasih dan tekad untuk menjadikan pernikahan kita sebuah pernikahan yang sehat. Perilaku pasangan yang tidak menyenangkan dan konflik yang kerap terjadi, membuat hati tawar. Pada saat seperti itu godaan terbesar adalah godaan untuk bersikap masa bodoh. Kecenderungan terbesar adalah mengangkat tangan dan tidak lagi mempedulikan masa depan relasi.Kendati sukar namun kita tidak boleh menyerah. Kita harus terus berusaha menajamkan satu sama lain dan meyakinkan pasangan bahwa kita berdua harus sehati menjadikan pernikahan ini sebuah pernikahan yang sehat. Setiap masukan yang diberikan mestilah dibungkus dengan itikad baik yaitu ingin membuat pernikahan ini lebih sehat lagi.

  4. Kita hanya baru dapat saling menajamkan bila kita bersedia untuk ditajamkan alias menerima masukan bahkan teguran pasangan. Jika kita bersikap tertutup dan defensif, akan sukarlah bagi pasangan untuk memberi masukan kepada kita. Ini berarti tidak ada yang dapat menajamkan karakter kita.

    Bila kita ingin bertumbuh, kita harus membuka diri dan menyambut teguran pasangan. Tuhan ingin membentuk kita dan salah seorang yang dipakai-Nya untuk tujuan itu adalah pasangan kita sendiri. Jangan menutup telinga terhadap komentarnya dikarenakan kita menganggapnya tidak layak memberikan masukan.

  5. Bedakan antra selera dan karakter. Ingat, kita dipanggil untuk menajamkan karakter bukan menyamakan selera. Warna dinding atau jenis makanan adalah masalah selera dan kita tidak harus membuat pasangan menyukai selera kita. Terpenting adalah menghargai selera masing-masing dan berupaya mencapai kesepakatan bersama.

    Hal kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri—sebagaimana tertera di Galatia 5:22-23—adalah masalah karakter. Inilah karakter yang diinginkan oleh Tuhan kita Yesus dan inilah karakter yang mesti kita miliki.

  6. Kita mesti membedakan antara menunjukkan kelemahan dan memvonis kelemahan. Kita memvonis kelemahan tatkala kita tidak lagi memberi kesempatan kepada pasangan untuk memperbaiki dirinya. Kita memvonis kelemahan sewaktu kita memutuskan bahwa ia akan selalu berkubang di dalam kolam kelemahan yang sama. Inilah yang mesti dihindari sebab memvonis kelemahan makin melemahkan motivasi orang untuk berubah.

    Jadi, sebaiknya ketika kita menunjukkan kelemahan pasangan, kita pun memperlihatkan keyakinan bahwa ia dapat berubah. Kita dapat pula memperlihatkan sisi positif pada dirinya pada saat kita tengah menunjukkan kelemahannya supaya ia tahu bahwa kita melihatnya secara utuh. Kita dapat pula membagikan pengakuan bahwa kita pun mempunyai kelemahan dan jauh dari sempurna. Atau, kita dapat mengatakan bahwa kita menghargai masukannya yang telah menyadarkan kita akan kelemahan sendiri.

    Menyoroti kelemahan pasangan terus menerus tidak akan membawa perubahan. Sebaliknya, ia justru makin menunjukkan sikap melawan. Itu sebabnya kita harus lebih banyak memberi perhatian dan pengakuan pada kekuatannya. Silakan sampaikan kelemahannya namun jangan terus ungkit masalah yang sama; sebaliknya, fokuskan perhatian pada kekuatannya.

  7. Jangan bandingkan dirinya dengan diri kita atau diri orang lain; sebaliknya, jadikanlah Tuhan Yesus sebagai tolok ukur atau target perubahan. Saya menyadari ada kecenderungan kita membandingkan diri orang dengan diri kita. Masalahnya adalah, kita tidak sempurna dan tidak selalu hidup konsisten; kadang kita pun melakukan kesalahan yang sama. Juga, bila kita membandingkan dirinya dengan diri kita sendiri, belum tentu ia akan terbuka untuk menerimanya sebab pada umumnya orang tidak menyukai dibanding-bandingkan dengan orang lain.

    Itu sebabnya kita mesti mengarahkannya kepada Tuhan kita Yesus. Mungkin ia perlu lebih murah hati, mungkin ia harus belajar lebih bersabar dan menguasai diri, mungkin ia perlu lebih berbaik hati. Namun tujuannya bukan supaya ia lebih serupa dengan kita dan bukan pula supaya ia menyenangkan hati kita melainkan agar ia lebih serupa dengan Tuhan kita Yesus dan lebih menyenangkan hati-Nya.

  8. Kita harus bersabar sebab perubahan memerlukan waktu dan situasi tertentu. Adakalanya kita berubah dengan mudah tetapi kadang kita membutuhkan waktu dan situasi tertentu untuk berubah. Ada kelemahan yang dapat dengan mudah kita sadari namun ada pula kelemahan yang sukar kita sadari. Akhirnya kita baru melek mata tatkala kita mengalami situasi tertentu.

    Lewat pergumulan seperti ini kita diingatkan bahwa ada banyak hal yang berada di luar kendali kita. Kita bisa mengingatkan, tetapi kita tidak bisa membuat orang mengingat. Kita dapat menunjukkan kelemahan, namun kita tidak dapat membuat orang menyadari kelemahannya. Itu sebabnya kita harus datang kepada Tuhan kita Yesus. Kita mesti merendahkan diri dan mengakui keterbatasan kita. Kita harus memohon pertolongan-Nya sehingga dengan cara-Nya dan dalam waktu-Nya, perubahan karakter dapat terjadi.

    Mazmur 126:5-6 mengingatkan, "Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya." Menajamkan karakter pasangan dapat diibaratkan dengan upaya menabur benih. Kadang kita harus mencucurkan air mata, namun jika kita tidak menyerah, maka suatu hari kelak kita akan menuai hasilnya.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Saling Menajamkan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS; Dalam hal saling menajamkan ini sampai berapa lama sebenarnya kita perlu melakukan hal ini dalam hubungan suami istri, Pak Paul?
GS : Pak Paul, dalam salah satu ayat di kitab Amsal, dikatakan bahwa "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya" di dalam Amsal 27:17. Apa hubungan di dalam kehidupan kita sehari-hari khususnya dalam hidup berumah tangga, itu bagaimana?
PG : Pada dasarnya kita dipanggil Tuhan untuk masuk ke dalam pernikahan supaya lewat pernikahan rencana Tuhan dapat digenapi. Salah satu syarat agar rencana Tuhan dapat digenapi adalah dengan membekali kita, menumbuhkan kita, mendewasakan kita sehingga makin hari makin serupa dengan Tuhan kita Yesus. Cara yang Tuhan gunakan adalah dengan mengizinkan kita untuk saling memberikan komentar atau masukan terhadap karakter kita masing-masing. Dalam pernikahan yang sehat seyogianyalah suami dan istri saling menajamkan karakter masing-masing, sehingga pada akhirnya masing-masing bertumbuh sehingga setelah kita menikah untuk satu kurun waktu, kita tidak lagi menjadi manusia yang sama, kita telah menjadi manusia yang bertumbuh dan lebih matang.
GS : Yang ingin saya tanyakan adalah kata 'menajamkan' biasanya digunakan pada menajamkan pikiran, menajamkan pendapat. Apa ini maksudnya, Pak Paul?
PG : Sudah tentu menajamkan bukan berarti membuat diri kita begitu runcing sehingga kita menyakiti hati pasangan kita. Jadi menajamkan berarti seperti pisau, waktu tajam pisau barulah dapat dipakai dengan optimal sesuai dengan fungsinya, demikian pula manusia sewaktu kita ditajamkan kita menjadi manusia yang optimal dan dapat berfungsi dengan sebaik mungkin. Saya percaya Tuhan memakai pasangan kita untuk menajamkan kita dengan cara menunjukkan kelemahan kita sekaligus memerlihatkan hal-hal yang perlu kita koreksi. Lewat interaksi seperti inilah masing-masing saling memerlihatkan kelemahan dan menunjukkan koreksiannya, maka keduanya barulah dapat bertumbuh bersama.
GS : Ayat ini mengatakan orang menajamkan sesamanya, kalau begitu tidak harus suami atau istri kita, 'kan bisa saja orang lain lalu apa kelebihannya kalau yang menajamkan adalah pasangan hidup kita, Pak Paul?
PG : Tadi Pak Gunawan mengatakan hal yang betul bahwa kita ini sebetulnya dalam proses untuk dipertajam dan Tuhan menggunakan segala cara termasuk orang-orang di luar pula. Namun orang yang paling dekat dengan kita adalah pasangan kita, akhirnya menjadi alat Tuhan yang paling efektif untuk menajamkan kita. Mengapa demikian? Karena pasangan kita tinggal bersama kita dan dia paling mengenal kelemahan kita yang mungkin tidak dikenal oleh orang-orang di luar. Jadi apa yang tidak dilihat oleh orang di luar dilihat oleh pasangan kita dan karena dia juga paling mengenal jiwa kita, dia jugalah yang paling tahu bagaimana menyampaikan komentarnya yang membangun itu supaya dapat kita terima dengan baik. Akhirnya dalam rumah tangga yang seperti ini keduanya berkesempatan untuk bertumbuh.
GS : Di dalam saling menajamkan tentunya harus ada cara yang tepat sama seperti pisau yang digunakan atau besi yang digunakan dalam perumpamaan di sini, kalau kita salah cara menggesek kedua besi itu, tidak tambah tajam malah tambah tumpul. Apakah hal itu juga bisa terjadi dalam hubungan ini?
PG : Benar, Tuhan dapat memakai semua orang di luar rumah kita untuk membentuk kita bahkan kadang Tuhan menggunakan situasi atau pengalaman tertentu untuk menajamkan kita pula. Namun orang yang paling dekatlah yang sebetulnya paling efektif untuk dipakai Tuhan menajamkan kita, kenapa demikian? Sebab orang yang paling dekat yang paling mengenal kelemahan kita, orang di luar mungkin tidak tahu bahwa kita memunyai kelemahan tertentu tapi pasangan kita sudah tentu tahu, karena dia paling mengenal kita maka dia juga lebih mengerti bagaimana menyampaikannya supaya lebih bisa diterima oleh kita. Jadi memang akhirnya kita melihat bahwa dengan pasanganlah kita seharusnya saling menajamkan supaya masing-masing dapat bertumbuh.
GS : Kalau begitu cara-cara apa atau hal-hal apa yang patut kita perhatikan supaya ini bisa saling menajamkan bukan saling menumpulkan, Pak Paul?
PG : Yang pertama adalah sebelum dapat saling menajamkan kita harus sepadan terlebih dahulu, sepadan berarti kita memunyai kematangan karakter yang sama, apabila kita memunyai tingkat kematangan yang berbeda, tidak bisa tidak kita akan sulit untuk saling menajamkan. Dalam relasi yang tidak seimbang pada umumnya yang lebih matang akan harus menajamkan pasangannya, sedangkan dia sendiri jarang sekali ditajamkan oleh pasangan. Kalau saja pihak yang kurang matang bersedia untuk menerima masukan maka besar kemungkinan relasi akan mencapai keseimbangan. Masalahnya adalah seringkali pihak yang kurang matang tidak menerima masukan yang diberikan, komentar yang kita berikan sering dianggap meremehkannya. Sehingga maksud hati ingin membangun tidak kesampaian pada akhirnya kita enggan untuk memberi masukan dan cenderung membiarkan pasangan berbuat sekehendak hatinya.
GS : Tentu sulit untuk mencari pasangan yang sepadan dalam hal karakter ini, tentu masing-masing punya kelebihan dan kekurangan tetapi bukankah itu bisa menjadikan kita saling belajar satu sama lain, Pak Paul?
PG : Jadi tadi sudah disinggung dengan sangat tepat, yang dibutuhkan dalam hal kematangan karakter adalah kesediaan menerima koreksi. Kesediaan mendengarkan masukan tentang kelemahan dirinya. Mungkin kita masih banyak kelemahan lain yang harus kita perbaiki tapi kalau kita memunyai modal itu yaitu kesediaan mendengarkan masukan yang berkaitan dengan kelemahan kita dan kesediaan untuk dikoreksi, saya kira besar harapan pada akhirnya kita akan bertumbuh. Yang menjadi masalah adalah kita menganggap diri kita sudah baik, sehingga apa pun yang pasangan katakan tidak kita terima dan kita tolak mentah-mentah. Dalam kondisi seperti itu akan sulitlah kita dan pasangan untuk saling menajamkan.
GS : Pada awalnya seseorang itu apalagi dikritik oleh pasangan maka sulit untuk diterima dan baru setelah kita menyadari kekurangan kita dan baru setelah kita tahu manfaatnya apabila kita berubah barulah di situ kita bisa bertumbuh.
PG : Kadang-kadang masalahnya adalah kita perlu diingatkan terlebih dahulu akan kelemahan kita baru nantinya menyadari bahwa kita memunyai kelemahan itu. Saya berikan contoh sesuatu yang memalukan saya, suatu hari istri saya batuk-batuk di tengah malam dan dia kurang sehat. Saya langsung berpikir yang harus saya harus lakukan adalah memberinya air panas tapi untuk itu saya harus keluar mengambil air panas dan sebagainya. Itu memang akan merepotkan, saya masih ingat sekali bahwa sebelum saya menawarkan air panas itu terbersit pemikiran untuk tidak menawarkannya karena tidak mau repot. Tapi saya tahu ini salah dan saya lawan pemikiran saya dan saya tawarkan kepada dia, dan yang memalukan adalah waktu saya menawarkannya pun terbersit sebuah keinginan bahwa dia akan menolak penawaran saya sehingga saya tidak perlu repot-repot mengambil air panas itu, tapi istri saya menerima tawaran saya dan saya harus keluar mengambil air panas dan memberikan kepada dia. Waktu saya berikan air panas itu kemudian Tuhan mengingatkan kepada saya tentang perkataan istri saya yang dikatakan beberapa kali, dia pernah berkata, "Paul, kamu itu sebetulnya orangnya tidak terlalu baik", waktu dia berkata begitu saya tidak bisa terima, sebab saya menganggap saya orang yang cukup baik. Waktu peristiwa itu terjadi Tuhan mengingatkan, "Ini yang dimaksud istrimu bahwa kamu kurang baik sebab untuk mengambilkan air panas saja engkau harus berpikir berkali-kali sedangkan kalau kamu yang sakit, istrimu akan langsung mengambil air panas tanpa engkau minta sekalipun". Jadi kita perlu diingatkan akan kelemahan kita bahkan sebelum kita menyadari kelemahan itu supaya nanti waktu Tuhan menyodorkan suatu situasi yang akan menunjukkan kelemahan kita disitulah kita akan diingatkan bahwa, "Benar, saya memunyai kelemahan ini".
GS : Pada waktu ditegur atau diberitahu oleh pasangan kita, biasanya kita bereaksi negatif seperti itu, itu belum terjadi suatu proses penajaman dalam diri kita.
PG : Betul sekali. Akan ada hal-hal yang kita sadari di kemudian hari, tapi akan ada hal-hal yang kita sadari dengan lebih cepat. Ada hal-hal yang waktu pasangan kita menunjukkannya kita langsung menyadarinya, sebab kita sebetulnya sudah mulai menyadarinya tapi kita tidak mau terlalu mengakuinya. Waktu pasangan kita menunjukkan bahwa kita memang memunyai kelemahan itu, maka disitulah kita mendapatkan konfirmasi, "Benar ini adalah kelemahan saya dan ini adalah hal yang perlu diperbaiki".
GS : Hal yang sulit kita alami ketika kita mau menyampaikan teguran itu, ada keraguan, "Bisa diterima atau tidak oleh pasangan kita?".
PG : Maka penting sekali dari awal pernikahan kita sudah menanamkan budaya saling mendengarkan, budaya rela dikoreksi. Ini sesuatu yang harus kita lihat dan kita cari bahkan pada masa berpacaran. Kalau pasangan kita sejak kita mengenalnya sebelum kita menikah adalah orang yang sukar mendengarkan masukan kalau itu berkaitan dengan kelemahannya, maka kita sudah bisa memprediksi kalau kita setelah menikah kita akan menyumpai hal yang sama dan dia akan sukar menerima masukan kita. Maka sebaiknya dari awal masing-masing menumbuhkan sikap untuk menerima masukan dari pasangan.
GS : Hal kedua yang harus kita perhatikan apa, Pak Paul?
PG : Yang kedua adalah kita baru dapat saling menajamkan, bila kita sendiri hidup dalam realitas bukan di alam fantasi, maksud saya kita harus dapat melihat pasangan apa adanya, tidak lebih baik atau buruk daripada kenyataan. Jika kita melihat pasangan seperti durian runtuh maka kita akan mengagungkannya seakan-akan dia adalah sosok yang sempurna. Mungkin kita memiliki banyak kebutuhan emosional dan melihat pasangan sebagai juruselamat yang menyelamatkan hidup kita. Jika demikian akan sukar bagi kita melihatnya sebagai sosok yang tidak sempurna, segala sesuatu yang dilakukannya kita pandang bukan saja baik, tapi sempurna. Sudah tentu kita tidak akan lagi memunyai komentar apa pun tentang dirinya sebab bagi kita dia terlalu baik. Jadi kita harus hidup dalam alam realitas dalam pengertian kita tidak semestinya mengidolakannya, mengagung-agungkan dia seakan-akan dia orang yang sempurna.
GS : Kadang ada fakta yang seperti itu, salah satu pasangan kelihatan dominan sekali dan menguasai semuanya padahal pasangan yang lain penuh dengan kekurangan dan orang luar pun bisa melihat hal itu. Kalau dalam kondisi kurang seimbang seperti itu maka akan sulit untuk terjadi proses saling menajamkan itu.
PG : Betul. Jadi ini berkaitan dengan poin yang pertama tadi yaitu kesepadanan. Memang dalam relasi yang tidak sepadan akan sulit bagi keduanya untuk bertumbuh secara serentak, sebab akan ada satu pihak yang susah untuk memberikan masukan kepada pihak yang satunya, tapi ia tetap kalau itulah situasi di mana kita berada, kita mesti mengingat bahwa kita bukanlah orang yang sempurna dan kita ini juga punya kelemahan. Jadi waktu pasangan kita memberitahukan kita hendaklah kita mendengarkannya. Dan yang juga penting kita sadari adalah kita tidak bisa menajamkan pasangan bila kita memandangnya lebih buruk daripada kenyataan. Sewaktu kita melihatnya sebagai sosok yang lebih buruk daripada kenyataan, kita cenderung merendahkannya dan bukan membangunnya, kesalahan yang diperbuatnya mengundang kemarahan besar dan kebaikan yang dilakukannya luput dari penglihatan akhirnya relasi kita menjadi relasi yang sarat pertikaian. Jadi bila kita ingin saling menajamkan kita harus dapat melihat pasangan sesuai realitas, tidak lebih baik atau tidak lebih buruk daripada kenyataan. Ketika kita melihatnya secara apa adanya kita akan dapat memberikan masukan kepadanya secara proporsional pula, apa yang baik kita puji dan hargai sedangkan apa yang buruk kita munculkan dan koreksi.
GS : Dengan kata lain, kita harus objektif dan ini sesuatu yang tidak mudah dilakukan karena biasanya pada awal pernikahan baik suami atau istri saling memandang sebagai sosok yang penuh pesona, banyak hal yang positif dalam dirinya tapi dengan berjalannya waktu makin kelihatan hal-hal yang buruk dan ini seringkali dipandang secara tidak objektif, Pak Paul.
PG : Betul yang Pak Gunawan katakan. Saya melihat ada pasangan yang terlalu mengagungkan satu sama lain, sehingga membela satu sama lain, apa pun yang terjadi pasangannya pasti benar. Pasangan itu atau suami istri ini akan sukar bertumbuh, tapi saya juga lihat ekstrem yang satunya yaitu semua yang dilakukan pasangannya pasti salah dan apa yang dikatakan atau diperbuat orang lain pasti benar. Jadi dengan kata lain, dia menjadi kritikus tertajam buat pasangannya. Jadi akhirnya pasangannya tidak bisa bertumbuh karena dia terus menerus merasa ditusuk-tusuk oleh diri kita. Jadi kita harus menghindar dari kedua ekstrem ini yaitu membabi buta, mengagung-agungkan pasangan kita dan membabi buta menyalah-nyalahkan pasangan kita.
GS : Mungkin kita bisa meminta bantuan orang lain secara lebih objektif dalam hal ini, sebenarnya bagaimana pasangan atau diri kita, Pak Paul?
PG : Betul. Justru relasi yang sehat adalah relasi yang terbuka terhadap pengaruh atau masukan dari luar, relasi yang tidak sehat yang kurang aman menjadi relasi yang tertutup tidak mau menerima masukan dari luar. Jadi kalau kita aman dengan relasi kita dan diri kita, waktu orang mengatakan sesuatu tentang pasangan kita, maka kita tidak langsung menutup pintu dan berkata, "Kamu salah, pasangan saya tidak seperti itu dan pasangan saya sangat baik" atau kebalikannya waktu orang berkata tentang pasangan kita, kita tidak langsung berbalik badan dan memarahi pasangan kita karena kita menganggap orang pasti benar dan pasangan kita pasti salah. Jadi memang perlu menjaga objektivitas yang baik ini.
GS : Kalau begitu mungkin masih ada hal lain yang perlu kita perhatikan, Pak Paul?
PG : Kita baru dapat saling menajamkan bila kita saling mengasihi dan berkomitmen untuk menjadikan pernikahan kita sebagai pernikahan yang sehat. Kita hanya akan bersedia mengambil tanggung jawab untuk menajamkan pasangan bila kita mengasihinya. Kita hanya akan bersedia memberi masukan dan bahkan mengambil resiko terjadinya konflik jika kita memunyai tekad untuk menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan yang sehat. Itu sebabnya kita hanya dapat menajamkan satu sama lain, bila kita saling mengasihi dan memunyai kesamaan tekad untuk menjadikan pernikahan kita sebuah pernikahan yang sehat. Saya mengerti bahwa adakalanya tidak mudah untuk memertahankan kasih dan tekad untuk menjadikan pernikahan kita sebuah pernikahan yang sehat. Perilaku pasangan yang tidak menyenangkan dan konflik yang kerap terjadi membuat hati tawar. Pada saat seperti itu godaan terbesar adalah godaan untuk bersikap masa bodoh, kecenderungan terbesar adalah mengangkat tangan dan tidak memedulikan masa depan relasi. Kendati sukar namun kita tidak boleh menyerah dan kita harus terus berusaha menajamkan satu sama lain dan kita meyakinkan pasangan bahwa kita berdua harus sehati menjadikan pernikahan menjadi pernikahan yang sehat. Setiap masukan yang diberikan haruslah dibungkus dengan itikad baik yaitu ingin menjadikan pernikahan ini lebih sehat lagi.
GS : Yang dikhawatirkan adalah konflik yang terjadi dengan kita memberitahukan sesuatu atau kita diberitahu, kalau waktunya atau caranya tidak tepat seringkali menimbulkan konflik dan kita menghindar untuk terjadinya konflik yang tidak perlu sehingga kita berpikir, "lain kali tidak perlu". Tapi tidak terjadi proses pertumbuhan di situ.
PG : Sudah tentu ada waktu-waktu di mana kita menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu kalau kita melihat waktunya tidak pas, dia sedang dalam keadaan yang sangat jengkel dan sebagainya, sehingga kita sadar kalau kita mengeluarkan komentar ini maka akan memancing reaksi kemarahannya. Jadi kita harus memilih waktu dan tempat yang cocok untuk mengatakan sesuatu tentang dirinya yang merupakan kelemahannya. Namun kita memang harus bertekad bahwa kita mau melakukannya dan kenapa kita mau melakukannya sebab kita ini berkepentingan menjadikan pernikahan kita pernikahan yang sehat.
GS : Mungkin kita bisa membantu pasangan kita dengan menanyakan, "Menurut kamu sebenarnya hal-hal apa atau karakter apa yang perlu saya perbaiki?" Dengan begitu kita membuka kesempatan nanti dia juga akan melakukan hal yang sama.
PG : Ini usulan yang baik, jadi secara berkala kita bisa berkata, "Tolong beri aku masukan kalau ada hal-hal dalam diriku yang aku tidak lihat dan perbaiki, maka tolong tunjukkan kepadaku", keterbukaan seperti itu sudah tentu akan lebih membukakan pintu bagi dia masuk ke dalam hati kita dan memberikan komentar. Namun yang penting juga dari pihak kita adalah jangan sampai setelah dia memberikan komentar, kita tersinggung. Pasangan akan berkata, "Buat apa tadi beritahu saya kalau akhirnya kamu menjadi marah". Jadi sekali lagi kita harus siap mendengar masukan. Dalam penyampaian sering-seringlah kita mengingatkan pasangan bahwa tujuan saya mengatakan ini bukan untuk kepentingan saya, tapi untuk kepentingan kita berdua sebab saya hanya ingin melihat pernikahan kita makin bertambah sehat dan kita berdua juga bertumbuh makin hari makin serupa dengan Tuhan kita Yesus Kristus.
GS : Atau sebaliknya penilaian itu bisa salah, waktu kita menyampaikan hal-hal tentang kekurangan-kekurangan pasangan kita, pasangan kita bisa berkata, "Saya tidak seperti itu, kamu saja yang memandangnya keliru".
PG : Ada waktu pasangan kita tidak bisa terima dan sebaiknya kita tidak memaksakan, sebaiknya kita biarkan dan jangan sampai kita memaksakan sebab akan terjadi pertengkaran. Jadi kita katakan, "Kalau kamu tidak merasa seperti itu maka saya akan sampaikan apa yang saya lihat saja".
GS : Yang perlu kita perhatikan lagi apa, Pak Paul?
PG : Yang keempat adalah kita baru dapat saling menajamkan bila kita bersedia untuk ditajamkan alias menerima masukan bahkan teguran dari pasangan. Jika kita bersikap tertutup dan defensif akan sukar bagi pasangan untuk memberi masukan kepada kita, ini berarti tidak ada yang dapat menajamkan karakter kita. Bila kita ingin bertumbuh maka kita harus membuka diri dan menyambut teguran pasangan, Tuhan ingin membentuk kita dan salah seorang yang dipakainya untuk tujuan itu adalah pasangan kita sendiri. Mungkin dia penuh kesalahan juga sehingga tidak mudah bagi kita untuk mendengarkan masukannya, sungguh pun demikian kita harus membedakan antara masukannya dan kelemahannya. Jangan menutup telinga terhadap komentarnya dikarenakan kita menganggapnya tidak layak memberikan masukan. Jadi jangan kita terlalu cepat berkata, "Kamu pun lemah, kamu pun punya kelemahan dan kenapa kamu memberi masukan, kamu saja tidak bisa melihat dirimu sendiri" jangan! Komentar yang diberikan terimalah dan dengarkanlah baik-baik apakah benar demikian, tentang kelemahannya itu adalah urusan yang lain dan yang penting kita menghargai masukannya terlebih dahulu.
GS : Kadang-kadang kita bisa lebih menerima orang lain selain pasangan kita yang memberitahu kita dari pada pasangan kita yang memberitahu kita, itu kenapa, Pak Paul?
PG : Karena kita pun melihat kelemahan pasangan kita sehingga akhirnya kita berkata dalam hati atau mungkin kita ungkapkan, "Kamu itu tidak selayaknya memberitahu saya sebab kamu pun memunyai kelemahan-kelemahan ini" apalagi kalau pasangan kita memunyai kelemahan yang sama, misalnya dia selalu terlambat dan memarahi kita waktu kita terlambat. Tidak bisa tidak kita marah dan berkata, "Kamu memarahi saya terlambat, tapi kamu sering terlambat, kamu tidak berhak untuk menegur saya sebab kamu melakukan kesalahan yang sama". Jadi dengan pasangan lebih susah sebab masing-masing mengenal kelemahannya.
GS : Ini lebih susah kalau kedua orang ini yang berpasangan sebagai suami istri memunyai kelemahan yang sama misalnya saling suka berbohong. Kalau dua-duanya suka bohong maka tidak akan terjadi proses saling menajamkan ini.
PG : Betul. Kalau masing-masing memunyai kelemahan yang sama tetap syaratnya adalah bersedia untuk dikoreksi bahwa ini adalah kelemahan saya dan jangan melihat kelemahan pasangan seolah-olah dia tidak memunyai hak atau otoritas untuk memberitahukan kita akan kelemahan kita. Kita harus pisahkan keduanya, kalau perkataannya benar terimalah.
PG : Sudah tentu proses ini berlangsung seumur hidup, tapi saya juga mengerti bahwa mungkin tahap tersulit adalah di awal pernikahan dan menjadi tahap yang paling menentukan, karena kalau di awal pernikahan kita sudah merasa pasangan kita tidak bisa diberitahukan, kebanyakan kita akan terhenti dan nanti untuk selanjutnya selama sisa pernikahan kita, kita pun akan berhenti memberitahukan dia dan mungkin nanti meledak bukan lagi dalam bentuk pemberitahuan, mungkin meledaknya dalam bentuk caci maki. Saat itu hati sudah terlanjur tawar, maka permulaan pernikahan menjadi tahap yang paling menentukan. Jadi hendaklah kita menjadi orang yang bersedia menerima masukan pasangan sejak awal sehingga budaya ini tertanamkan dalam relasi kita.
GS : Selain empat hal tadi apakah masih ada hal-hal lain yang harus kita bicarakan lagi, Pak Paul?
PG : Sebetulnya masih ada empat lagi, jadi kita akan tunda pembahasan kita sampai pertemuan kita yang berikutnya.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Saling Menajamkan" bagian yang pertama dan kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


55. Saling Menajamkan II


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T347B (File MP3 T347B)


Abstrak:

Sesungguhnya ada satu aspek dalam pernikahan yang kadang terlupakan yaitu aspek saling menajamkan. Ibarat pisau atau besi yang mesti diasah agar tetap tajam, demikian pulalah karakter kita perlu ditajamkan. Menajamkan berarti menunjukkan kelemahan pasangan dan memberikan masukan untuk memerbaikinya. Sebagaimana pisau yang tajam akan menjadi pisau yang berfungsi optimal, demikian pulalah karakter yang tajam akan menjadi karakter yang berfungsi optimal. Hal-hal apa saja yang bisa kita lakukan untuk menajamkan pasangan? Secara rinci di sini dijelaskan.


Ringkasan:

Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya. (Amsal 27:17)

Sesungguhnya ada satu aspek dalam pernikahan yang kadang terlupakan yaitu aspek saling menajamkan. Ibarat pisau atau besi yang mesti diasah agar tetap tajam, demikian pulalah karakter kita perlu ditajamkan. Sudah tentu ditajamkan di sini bukan berarti runcing sehingga mudah melukai hati pasangan. Menajamkan berarti menunjukkan kelemahan pasangan dan memberikan masukan untuk memperbaikinya. Sebagaimana pisau yang tajam akan menjadi pisau yang berfungsi optimal, demikian pulalah karakter yang tajam akan menjadi karakter yang berfungsi optimal.

Pernikahan yang tidak lagi bertumbuh adalah pernikahan yang tidak lagi saling menajamkan. Bukannya saling menajamkan, kita malah saling membiarkan dan mendiamkan. Mungkin pada awalnya kita berusaha untuk menunjukkan kelemahan pasangan dan memberikan masukan untuk memperbaikinya. Namun seiring dengan berjalannya waktu kita tidak lagi melakukannya. Mungkin kita frustrasi karena apa yang disampaikan tidak didengarkan atau mungkin kita tidak tahu bagaimana caranya menajamkan pasangan.

Berikut akan dipaparkan bagaimanakah kita dapat menajamkan satu sama lain.

  1. Sebelum dapat saling menajamkan kita mesti sepadan terlebih dahulu. Sepadan di sini berarti bahwa kita mempunyai kematangan karakter yang sama. Apabila kita mempunyai tingkat kematangan yang berbeda, tidak bisa tidak, kita akan sulit untuk saling menajamkan. Kalau saja pihak yang kurang matang bersedia untuk menerima masukan, besar kemungkinan relasi ini akan mencapai keseimbangan.
  2. Kita baru dapat saling menajamkan bila kita sendiri hidup di dalam realitas, bukan alam fantasi. Maksud saya, kita mesti dapat melihat pasangan apa adanya—tidak lebih buruk atau lebih baik—daripada kenyataan. Jika kita melihat pasangan seperti durian runtuh, maka kita pun akan mengagungkannya seakan-akan ia adalah sosok yang sempurna. Mungkin kita memiliki banyak kebutuhan emosional dan melihat pasangan sebagai juruselamat yang menyelamatkan hidup kita. Sudah tentu kita tidak akan lagi mempunyai komentar apa pun tentang dirinya ia terlalu baik buat kita. Sebaliknya kita pun tidak bisa menajamkan pasangan bila kita memandangnya lebih buruk daripada kenyataan. Sewaktu kita melihatnya sebagai sosok yang lebih buruk daripada kenyataan, kita cenderung merendahkannya, bukan membangunnya. Kesalahan yang diperbuatnya mengundang kemarahan besar dan kebaikan yang dilakukannya luput dari penglihatan. Akhirnya relasi kita pun menjadi relasi yang sarat pertikaian.

    Jadi, bila kita ingin saling menajamkan kita mesti dapat melihat pasangan sesuai realitas—tidak lebih baik atau lebih buruk daripada kenyataan. Ketika kita melihatnya secara apa adanya, kita akan dapat memberikan masukan kepadanya secara proporsional pula. Apa yang baik kita puji dan hargai, apa yang buruk kita munculkan dan koreksi.

  3. Kita baru dapat saling menajamkan bila kita saling mengasihi dan berkomitmen untuk menjadikan pernikahan kita sebagai pernikahan yang sehat. Kita hanya akan bersedia mengambil tanggung jawab untuk menajamkan pasangan bila kita mengasihinya. Kita hanya akan bersedia memberi masukan dan bahkan mengambil risiko terjadinya konflik jika kita mempunyai tekad untuk menjadikan pernikahan ini sebagai pernikahan yang sehat. Itu sebabnya kita hanya dapat menajamkan satu sama lain bila kita saling mengasihi dan mempunyai kesamaan tekad untuk menjadikan pernikahan kita sebuah pernikahan yang sehat.

    Saya mengerti bahwa adakalanya tidak mudah untuk mempertahankan kasih dan tekad untuk menjadikan pernikahan kita sebuah pernikahan yang sehat. Perilaku pasangan yang tidak menyenangkan dan konflik yang kerap terjadi, membuat hati tawar. Pada saat seperti itu godaan terbesar adalah godaan untuk bersikap masa bodoh. Kecenderungan terbesar adalah mengangkat tangan dan tidak lagi mempedulikan masa depan relasi.Kendati sukar namun kita tidak boleh menyerah. Kita harus terus berusaha menajamkan satu sama lain dan meyakinkan pasangan bahwa kita berdua harus sehati menjadikan pernikahan ini sebuah pernikahan yang sehat. Setiap masukan yang diberikan mestilah dibungkus dengan itikad baik yaitu ingin membuat pernikahan ini lebih sehat lagi.

  4. Kita hanya baru dapat saling menajamkan bila kita bersedia untuk ditajamkan alias menerima masukan bahkan teguran pasangan. Jika kita bersikap tertutup dan defensif, akan sukarlah bagi pasangan untuk memberi masukan kepada kita. Ini berarti tidak ada yang dapat menajamkan karakter kita.

    Bila kita ingin bertumbuh, kita harus membuka diri dan menyambut teguran pasangan. Tuhan ingin membentuk kita dan salah seorang yang dipakai-Nya untuk tujuan itu adalah pasangan kita sendiri. Jangan menutup telinga terhadap komentarnya dikarenakan kita menganggapnya tidak layak memberikan masukan.

  5. Bedakan antra selera dan karakter. Ingat, kita dipanggil untuk menajamkan karakter bukan menyamakan selera. Warna dinding atau jenis makanan adalah masalah selera dan kita tidak harus membuat pasangan menyukai selera kita. Terpenting adalah menghargai selera masing-masing dan berupaya mencapai kesepakatan bersama.

    Hal kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri—sebagaimana tertera di Galatia 5:22-23—adalah masalah karakter. Inilah karakter yang diinginkan oleh Tuhan kita Yesus dan inilah karakter yang mesti kita miliki.

  6. Kita mesti membedakan antara menunjukkan kelemahan dan memvonis kelemahan. Kita memvonis kelemahan tatkala kita tidak lagi memberi kesempatan kepada pasangan untuk memperbaiki dirinya. Kita memvonis kelemahan sewaktu kita memutuskan bahwa ia akan selalu berkubang di dalam kolam kelemahan yang sama. Inilah yang mesti dihindari sebab memvonis kelemahan makin melemahkan motivasi orang untuk berubah.

    Jadi, sebaiknya ketika kita menunjukkan kelemahan pasangan, kita pun memperlihatkan keyakinan bahwa ia dapat berubah. Kita dapat pula memperlihatkan sisi positif pada dirinya pada saat kita tengah menunjukkan kelemahannya supaya ia tahu bahwa kita melihatnya secara utuh. Kita dapat pula membagikan pengakuan bahwa kita pun mempunyai kelemahan dan jauh dari sempurna. Atau, kita dapat mengatakan bahwa kita menghargai masukannya yang telah menyadarkan kita akan kelemahan sendiri.

    Menyoroti kelemahan pasangan terus menerus tidak akan membawa perubahan. Sebaliknya, ia justru makin menunjukkan sikap melawan. Itu sebabnya kita harus lebih banyak memberi perhatian dan pengakuan pada kekuatannya. Silakan sampaikan kelemahannya namun jangan terus ungkit masalah yang sama; sebaliknya, fokuskan perhatian pada kekuatannya.

  7. Jangan bandingkan dirinya dengan diri kita atau diri orang lain; sebaliknya, jadikanlah Tuhan Yesus sebagai tolok ukur atau target perubahan. Saya menyadari ada kecenderungan kita membandingkan diri orang dengan diri kita. Masalahnya adalah, kita tidak sempurna dan tidak selalu hidup konsisten; kadang kita pun melakukan kesalahan yang sama. Juga, bila kita membandingkan dirinya dengan diri kita sendiri, belum tentu ia akan terbuka untuk menerimanya sebab pada umumnya orang tidak menyukai dibanding-bandingkan dengan orang lain.

    Itu sebabnya kita mesti mengarahkannya kepada Tuhan kita Yesus. Mungkin ia perlu lebih murah hati, mungkin ia harus belajar lebih bersabar dan menguasai diri, mungkin ia perlu lebih berbaik hati. Namun tujuannya bukan supaya ia lebih serupa dengan kita dan bukan pula supaya ia menyenangkan hati kita melainkan agar ia lebih serupa dengan Tuhan kita Yesus dan lebih menyenangkan hati-Nya.

  8. Kita harus bersabar sebab perubahan memerlukan waktu dan situasi tertentu. Adakalanya kita berubah dengan mudah tetapi kadang kita membutuhkan waktu dan situasi tertentu untuk berubah. Ada kelemahan yang dapat dengan mudah kita sadari namun ada pula kelemahan yang sukar kita sadari. Akhirnya kita baru melek mata tatkala kita mengalami situasi tertentu.

    Lewat pergumulan seperti ini kita diingatkan bahwa ada banyak hal yang berada di luar kendali kita. Kita bisa mengingatkan, tetapi kita tidak bisa membuat orang mengingat. Kita dapat menunjukkan kelemahan, namun kita tidak dapat membuat orang menyadari kelemahannya. Itu sebabnya kita harus datang kepada Tuhan kita Yesus. Kita mesti merendahkan diri dan mengakui keterbatasan kita. Kita harus memohon pertolongan-Nya sehingga dengan cara-Nya dan dalam waktu-Nya, perubahan karakter dapat terjadi.

    Mazmur 126:5-6 mengingatkan, "Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya." Menajamkan karakter pasangan dapat diibaratkan dengan upaya menabur benih. Kadang kita harus mencucurkan air mata, namun jika kita tidak menyerah, maka suatu hari kelak kita akan menuai hasilnya.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Saling Menajamkan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pada kesempatan yang lampau kita berbicara tentang saling menajamkan berlandaskan pada ayat yang ada dalam Amsal 27:17 yang mengatakan, "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya." Kita sudah membahas beberapa hal bagaimana suami istri memang terpanggil untuk bisa saling menumbuhkan karakter-karakter yang baik dan kita masih akan melanjutkan bagaimana caranya supaya orang atau pasangan kita bisa saling menajamkan. Namun sebelum kita melanjutkan perbincangan ini mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat hal-hal yang kita bicarakan pada kesempatan yang lampau.
PG : Ada beberapa syarat yang harus kita penuhi sebelum kita bisa saling menajamkan. Yang pertama adalah kita seharusnya menjadi pasangan yang sepadan dalam pengertian memiliki tingkat kematangan karakter yang setara. Kalau misalkan kita kebetulan berpasangan dengan seseorang yang kematangannya jauh di bawah kita, maka akan sulit bagi kita untuk saling menajamkan atau menunjukkan kelemahan masing-masing dan memberikan koreksi atas kelemahan tersebut. Kita juga membahas bahwa kita baru dapat saling menajamkan bila kita hidup dalam alam realitas dan bukan alam fantasi. Artinya kita memandang pasangan kita secara objektif dan tidak mengagung-agungkannya tapi juga tidak merendah-rendahkannya. Kalau kita terlalu mengagungkan pasangan kita maka kita akhirnya selalu membela dia bahwa dia benar, sehingga kita tidak bisa berfungsi sebagai penajam pasangan kita pula. Atau kalau kita terus menyalahkan pasangan kita, maka kita pun tidak akan bisa menjadi penajam bagi dia, sebab kita hanya terus mengkritik kelemahannya. Yang ketiga, kita baru dapat saling menajamkan kalau kita saling mengasihi dan berkomitmen untuk menjadikan pernikahan kita pernikahan yang sehat. Ini harus selalu menjadi target kita sehingga waktu kita memberikan masukan kepada pasangan maka kita dapat mengatakan kepadanya bahwa, "Saya mengatakan ini sebab saya ingin pernikahan kita menjadi sehat, ini bukan untuk kepentingan saya, tapi untuk kepentingan kita bersama". Jadi tekad inilah yang seharusnya ada dalam diri kita untuk menajamkan satu sama lain. Dan yang keempat kita hanya baru dapat saling menajamkan bila kita bersedia untuk ditajamkan alias menerima masukan dari pasangan. Jangan sampai kita melihat diri kita sebagai orang yang berperan sebagai penajam, sebagai orang yang hanya dapat memberikan masukan kepada orang, menunjukkan kelemahan orang tapi tidak melihat diri sebagai orang yang juga memerlukan penajaman dari orang lain. Tuhan memakai satu sama lain untuk saling menajamkan, jadi terbukalah terhadap pasangan sewaktu dia menyampaikan tegurannya kepada kita.
GS : Sebelum kita melanjutkan ke hal-hal lain tentang cara bagaimana kita saling menajamkan, saya melihat bahwa proses ini pasti menimbulkan rasa sakit, pasti menimbulkan luka di dalam diri kita karena tajam itu tadi. Apakah hal ini memang wajar terjadi di dalam hubungan interaksi suami istri, Pak Paul?
PG : Saya kira ini adalah sebuah reaksi yang wajar waktu kita menerima masukan dari pasangan yang berkenaan dengan pasangan kita, saya kira reaksi yang pertama adalah tidak suka sebab kita tidak suka untuk menerima masukan tentang kelemahan kita, apalagi kalau pasangan juga menyediakan koreksi bagi kita, apa yang seharusnya kita perbuat yang mungkin selama ini kita tidak perbuat. Itu juga sangat susah untuk kita dengar karena sewaktu dia memberikan koreksi kita merasa seolah-olah dia berada di atas kita. Ini sudah tentu tidak mudah untuk kita terima namun kita harus mendisiplin diri kita untuk menerimanya meskipun kita tidak menyukainya. Kalau kita hanya menuruti suara hati kita bahwa saya tidak terima karena engkau seolah-olah menempatkan diri di atas saya sewaktu memberikan teguran kepada saya, maka kita selamanya tidak akan bertumbuh, sebab itulah yang memang terjadi. Sewaktu seseorang memberitahukan akan kelemahan kita dan memberikan koreksi terhadap diri kita, maka tidak bisa tidak kita akan merasa kita berada di bawah dan dia di atas. Tapi itulah yang memang sangat mungkin terjadi. Jadi kalau kita merasa seperti itu maka tidak apa-apa dan jangan dipersoalkan kalau kita ada di bawah atau di atas karena memang begitu. Tapi yang penting adalah kita menerima masukan yang berguna bagi kita.
GS : Perlu bagi kita melihat lebih luas tujuan daripada proses saling menajamkan. Kalau kita bisa melihat hal itu maka kita bisa menerimanya, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Sayangnya banyak orang yang karena tidak begitu aman dengan diri atau mudah sekali tersinggung akhirnya terlalu cepat mengaburkan makna atau motivasi penyampaian itu. Dengan cara kita mengaitkannya dengan caranya atau orangnya, "Kamu bicaranya seperti ini, kamu membuat saya merasa tidak berguna, kamu membuat saya merasa rendah", sekali lagi saya tekankan semua koreksian tidak terlalu enak untuk kita terima. Sebaik apa pun disampaikannya tetap tidak sedap untuk kita dengar, tapi kita harus siap untuk mendengarkannya.
GS : Itu semacam pil pahit yang menyembuhkan sakit kita, Pak Paul?
PG : Betul.
GS : Kalau begitu kita akan lanjutkan lagi hal apa yang perlu kita perhatikan di dalam proses saling menajamkan?
PG : Yang kelima adalah kita harus membedakan antara selera dan karakter. Ingatlah bahwa kita dipanggil untuk menajamkan karakter bukan menyamakan selera; warna dinding atau jenis makanan adalah masalah selera dan kita tidak harus membuat pasangan menyukai selera kita. Terpenting adalah menghargai selera masing-masing dan berupaya mencapai kesepakatan bersama. Jadi apa yang kita mesti targetkan? Di dalam Galatia 5:22-23 tertera buah Roh yaitu "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri". Buah Roh ini adalah karakter, kita harus menolong pasangan agar memiliki buah Roh ini yaitu menolong pasangan agar lebih mengasihi, agar lebih murah hati, agar lebih baik, agar lebih sabar, agar lebih setia dan agar lebih lemah lembut serta agar lebih menguasai diri. Inilah karakter yang diinginkan oleh Tuhan kita Yesus dan inilah karakter yang harus kita miliki pula.
GS : Kalau itu adalah buah Roh, mestinya dengan sendirinya akan bertumbuh dengan baik sesuai dengan kematangan iman orang itu kepada Tuhan. Jadi walaupun tanpa pasangan atau orang lain, itu juga akan bertumbuh.
PG : Pekerjaan Roh Kudus seringkali tidak sendirian, pekerjaan Roh Kudus seringkali adalah pekerjaan bersama antara suara Roh Kudus dalam hati kita, firman Tuhan yang kita baca dan sesuatu yang kita alami, baik itu mungkin percakapan dengan orang, baik itu teguran dari orang. Semua itu adalah cara-cara yang digunakan Tuhan untuk menajamkan karakter kita. Sebagai contoh, berkali-kali sebetulnya Raja Saul mendapatkan kesempatan untuk berubah lewat orang-orang di sekelilingnya, misalnya waktu dia di Moab dia marah karena para imam menolong Daud. Imam berkata kepada Saul, "Raja kenapa seperti itu kepada menantu sendiri padahal Daud telah berjasa kepadamu" bukannya mendengar dan berterimakasih telah diingatkan tapi malah marah dan kemudian menyuruh agar semua imam dibunuh. Daud juga berkali-kali berkata kepada Saul walaupun Daud memunyai kesempatan untuk membalas dan membunuh Saul, Daud berkata, "Apa salah saya, kenapa raja mengejar-ngejar dan mau membunuh saya, selama ini saya telah membuktikan diri setia kepada raja", tapi Saul tidak mendengarkan. Jadi kita melihat pekerjaan Roh Kudus tidak sendiri. Tuhan bekerja lewat segala cara termasuk lewat orang-orang yang dihadirkan Tuhan untuk memberikan teguran dan koreksian kepada kita.
GS : Memang yang perlu ditajamkan adalah karakter dan bukan selera yang tadi sudah dikatakan seperti warna dan makanan. Tapi seringkali justru selera yang justru membimbing kita untuk membangun karakter maksudnya kalau saya menyukai suatu jenis makanan dan istri saya tidak, seringkali harus memasakkan dua jenis makanan supaya bisa makan, tapi apa salahnya kalau saya mencoba makanan yang tadinya saya tidak sukai atau sebaliknya istri saya melakukan itu, supaya terjadi kesamaan di dalam hal makan ini tadi dan tidak terlalu merepotkan pasangan kita misalnya mau masak harus dengan dua macam masakan, demikian juga dengan warna memang tidak terlalu penting dan ini bukan sesuatu prinsip yang harus dipaksakan, tapi kalau kita bisa menerima, mentolerir warna yang dia sukai dan kita mencoba menyukai pasti ada hal positif di situ dan tidak ada salahnya saya menyukai. Dan ini melatih kita rendah hati, sabar, melatih kita menerima apa yang diusulkan pasangan kita.
PG : Betul sekali. Jadi lewat kerelaan kita menerima selera pasangan atau menyesuaikan diri dengan selera pasangan maka kita juga akan sedikit banyak mendapatkan tempaan, penajaman untuk lebih bermurah hati untuk lebih bersabar untuk lebih memercayakan pada pertimbangan pasangan kita, betul. Jadi itu bisa terjadi lewat selera dan kita akhirnya juga ditumbuhkan. Namun dalam pemikiran masing-masing kita tetap harus memunyai target yang jelas bahwa tujuan akhirnya sebetulnya bukanlah penyelarasan selera, tapi pertumbuhan karakter.
GS : Karena itu juga bisa dijadikan dasar, saya sudah menuruti dan menyesuaikan diri sekarang saya minta kesediaanmu juga menuruti apa yang saya inginkan sesuai selera saya, paling tidak memahami dan mengerti apa yang saya sukai.
PG : Betul. Jadi dalam proses kita belajar untuk saling mengerti tidak bisa tidak kita juga akan belajar untuk misalkan melepaskan keinginan kita untuk mengalah, dalam proses itu kita pun bertumbuh.
GS : Hal lain yang perlu kita perhatikan apa, Pak Paul?
PG : Yang keenam kita harus membedakan antara menunjukkan kelemahan dan menvonis kelemahan. Kita memvonis kelemahan tatkala kita tidak lagi memberi kesempatan kepada pasangan untuk memerbaiki dirinya. Kita memvonis kelemahan sewaktu kita memutuskan bahwa ia akan selalu berkubang di dalam kolam kelemahan yang sama. Inilah yang mesti dihindari, sebab memvonis kelemahan makin melemahkan motivasi orang untuk berubah. Jadi sebaiknya ketika kita menunjukkan kelemahan pasangan, kita harus memerlihatkan keyakinan bahwa dia dapat berubah, kita dapat memerlihatkan sisi positif dalam dirinya, pada saat kita menunjukkan kelemahannya supaya dia tahu bahwa kita melihatnya secara utuh dan kita tidak hanya menyoroti kelemahannya dan kita dapat pula misalnya membagikan pengakuan bahwa kita pun memunyai kelemahan dan jauh dari sempurna atau kita dapat mengatakan bahwa kita menghargai masukannya yang telah menyegarkan kita akan kelemahan sendiri. Jadi intinya adalah menyoroti kelemahan pasangan terus menerus tidak akan membawa perubahan, sebaliknya dia justru akan terus menunjukkan sikap melawan itu sebabnya kita harus lebih banyak memberi perhatian dan pengakuan pada kekuatannya. Silakan sampaikan kelemahannya namun jangan terus ungkit masalah yang sama, sebaliknya fokuskan perhatian pada kekuatannya.
GS : Contoh konkretnya seperti apa, Pak Paul?
PG : Contohnya, misalnya saya pernah juga bagikan dalam acara ini, istri saya ingin saya menjadi orang yang lebih romantis, tapi ini merupakan kelemahan saya. Suatu hari dia frustrasi karena dia mengharapkan saya lebih romantis dan dia berkata, "Paul, rasanya kamu ini susah untuk romantis, tapi tidak apa-apa sebab ini hanyalah sekitar 20 persen dari dirimu, selebihnya tentang dirimu saya sukai dan bahkan bahagia sekali dengan yang lainnya tentang diri kamu". Sewaktu dia berkata begitu, saya tidak merasa diserang atau dijatuhkan justru lebih termotivasi untuk belajar lebih bisa memenuhi kebutuhannya itu. Jadi terpenting waktu kita menunjukkan kelemahan kita bisa menunjukkan kekuatan orang itu, sehingga orang itu tahu bahwa kita itu tidak hanya melihat kelemahannya tapi melihatnya secara utuh dan itu membangun semangatnya untuk dapat memenuhi yang kita minta.
GS : Sebenarnya tidak ada maksud dari pasangan untuk memvonis tapi pasangan kita justru merasa, "Memang saya dari dulu seperti ini dan dari latar belakang saya seperti ini" berarti dia memvonis dirinya sendiri tidak bisa berubah karena dari dulu seperti ini.
PG : Memang mengubah sesuatu yang sudah menjadi bagian kita itu susah, tapi kita sendiri tidak boleh menjadi orang yang menetapkan itu pada diri sendiri bahwa selama-lamanya saya begini terus. Contoh, misalnya kita mudah marah dan kita tidak bisa berkata, "Sudah dari dulu saya memang pemarah jadi kamu harus terima saya" tidak bisa seperti itu dan kita harus berkata, "Ini bukan hal yang baik dan yang saya miliki adalah kelemahan dan bukan kelebihan, maka saya akan berusaha untuk dengan kekuatan Tuhan mengubahnya supaya saya tidak harus menjadi orang yang pemarah dan tidak harus melukai kamu dengan kemarahan saya".
GS : Jadi memang kelemahan ini ketika ditunjukkan, orang juga bisa menerimanya dengan suka artinya dia menyadari kelemahannya itu, tapi bisa juga dia malah melindungi dirinya dan mengatakan, "Saya tidak seperti itu".
PG : Makanya penting bagi kita untuk membedakan antara memerlihatkan kelemahan dan memvonis kelemahan. Memvonis kelemahan yang sudah saya singgung yaitu mengatakan kalau engkau akan selama-lamanya seperti itu, engkau tidak bisa diapa-apakan dan tidak lagi harapan dan engkau begitu buruknya. Itu tidak membangun justru waktu kita menunjukkan kekuatannya juga, dia lebih disemangati untuk berubah.
GS : Hal lain lagi yang perlu kita perhatikan apa, Pak Paul?
PG : Yang ketujuh adalah jangan bandingkan dirinya dengan diri kita atau orang lain sebaliknya jadikanlah Tuhan Yesus sebagai tolok ukur atau target perubahan. Saya menyadari ada kecenderungan kita membandingkan orang dengan diri kita. Masalahnya adalah kita tidak sempurna dan tidak selalu hidup konsisten, kadang kita melakukan kesalahan yang sama. Juga bila kita membandingkan dirinya dengan diri kita sendiri belum tentu dia akan terbuka menerimanya sebab pada umumnya orang tidak suka dibandingkan dengan orang lain. Maka kita harus mengarahkannya pada Tuhan Yesus, mungkin dia perlu lebih murah hati, mungkin dia harus belajar lebih bersabar dan menguasai diri, mungkin dia perlu lebih berbaik hati. Namun tujuannya bukan supaya ia lebih serupa dengan kita dan bukan pula supaya ia menyenangkan hati kita melainkan agar dia lebih serupa dengan Tuhan kita Yesus dan lebih menyenangkan hati-Nya.
GS : Seringkali kita mengatakan Tuhan Yesus adalah Tuhan dan sempurna, kita hanyalah manusia tentu saja banyak kekurangannya, dengan begitu kita menutup atau menghentikan proses saling menajamkan. Memang kalau panutannya Tuhan Yesus lalu kita bisa mengatakan seperti itu, Dia adalah Tuhan dan saya adalah manusia.
PG : Meskipun itu adalah bagian dari firman Tuhan, Tuhan Yesus berkata, "Belajarlah dari-Ku" karena Dia ingin kita bertumbuh dan Dia tidak ingin kita tetap memertahankan manusia yang lama. Waktu kita mengatakan bahwa kita juga punya kelemahan dan kita membutuhkan teguran, koreksian dari pasangan kita agar kita lebih serupa dengan Tuhan. Kalau dua-dua bisa setuju bahwa targetnya bukanlah diri kita, melainkan sama dengan Tuhan, tapi targetnya adalah supaya kita nanti serupa dengan Tuhan dan akhirnya lebih menyenangkan hati Tuhan, saya kira kedua-duanya lebih bersedia mendengarkan masukan dari satu sama lain.
GS : Karena itu seringkali dianggap target terlalu tinggi dan muluk-muluk karena kita manusia dibandingkan dengan Tuhan, karena Tuhan sempurna sedangkan kita masih penuh dengan dosa.
PG : Mungkin pada akhirnya kita harus mengakui kita tidak bisa sampai ke level Tuhan. Tapi setidak-tidaknya setiap hari kita lebih mendekati target itu dan jangan kita menguburkan diri di dalam pasir dan berkata, "Ya sudah saya begini dan saya akan terus begini dan selamanya saya akan begini. Kalau itulah sikap kita berarti kita tidak akan lebih mendekati target yang sebetulnya Tuhan inginkan.
GS : Makanya dibutuhkan pasangan yang seiman dan sepadan di sini, Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Karena kalau tidak maka panutannya bisa berubah-ubah.
PG : Benar, itu kadang yang terjadi sebab ada orang-orang yang membandingkan dirinya dengan orang lain, "Kamu harus menjadi seperti dia dan dia lihai, dia dagang dengan begitu hebat dan cepat bisa besar sekarang" meskipun cara-caranya tidak sehat dan cara-caranya salah di mata Tuhan karena kita tidak ingat dan tidak peduli dengan standart Tuhan maka yang kita gunakan adalah tolok ukur manusia itu. Memang kita harus ingat tolok ukur kita bukanlah standart manusia, bukanlah standart dunia tapi standart Tuhan sendiri.
GS : Dan memang orang bisa tersinggung ketika dibandingkan dengan orang lain tapi kalau pembandingnya adalah Tuhan memang sulit orang akan berkelit di sana, Pak Paul.
PG : Tapi kalau kita mau mengakui bahwa orang yang makin serupa dengan Tuhan menjadi orang yang lebih berpengaruh di dalam dunia ini. Sebagai contoh saya masih mengingat waktu Ibu Teresa meninggal dunia di Calcuta, di India begitu banyak orang yang bersimpati dan kemudian beritanya masuk disiarkan dan dibahas dimana-mana padahalnya kalau kita pikir-pikir siapakah Ibu Teresa? Dia hanyalah seorang wanita kecil yang renta yang mengurus orang yang dibuang oleh masyarakat. Tapi lewat cinta kasihnya dan pengorbanannya, orang ditolong dan orang seperti dialah yang memang memberi dampak pengaruh yang besar karena orang melihat inilah orang yang lebih menyerupai Tuhan dibandingkan kita-kita ini.
GS : Masih ada hal lain yang harus kita perhatikan, Pak Paul?
PG : Yang terakhir kita harus bersabar sebab perubahan memerlukan waktu dan situasi tertentu. Adakalanya kita berubah dengan mudah tapi kadang kita membutuhkan waktu dan situasi tertentu untuk berubah. Ada kelemahan yang dapat dengan mudah kita sadari namun ada kelemahan yang sukar kita sadari akhirnya kita baru melek mata tatkala kita mengalami situasi tertentu. Lewat pergumulan seperti ini kita diingatkan bahwa ada banyak hal yang berada di luar kendali kita, kita bisa mengingatkan tapi kita tidak bisa membuat orang mengingat, ini penting. Kita bisa mengingatkan tapi kita tidak bisa membuat orang mengingat, kita dapat menunjukkan kelemahan namun kita tidak dapat membuat orang menyadari kelemahannya. Itu sebabnya kita harus datang kepada Tuhan Yesus dan merendahkan diri serta mengakui keterbatasan kita, kita harus memohon pertolongan-Nya sehingga dengan cara-Nya dan dalam waktu-Nya, perubahan karakter dapat terjadi.
GS : Panjangnya waktu, memang kita menyadari bahwa ini membutuhkan waktu tapi kalau sampai berlarut-larut dan pasangan tidak berubah, apakah itu berarti cara kita menajamkan ini salah atau memang sudah tidak bisa berubah lagi, Pak Paul?
PG : Kita sudah tentu perlu introspeksi apakah cara yang kita gunakan adalah cara yang tepat tapi di pihak lain kita harus mengakui bahwa ada hal-hal tentang karakter orang yang memang sukar berubah, akan memakan waktu yang sangat lama atau bisa juga sampai dia meninggal, dia tidak mau berubah. Tapi yang membuat karakter itu tidak berubah, bukan karena sebetulnya tidak bisa berubah, tapi orang itu memang pada akhirnya tidak mau berubah sebab saya meyakini kalau kita mau dan berserah kepada Tuhan, merendahkan diri kepada-Nya maka kuasa Tuhan akan sanggup mengubah kita, jikalau kita memang tetap tidak mau berubah maka Tuhan akan mendiamkan. Sama seperti contoh ada Yudas meskipun 3 tahun bersama Tuhan, Tuhan ingatkan dia dan tetap saja dia memilih jalannya tidak mau berubah. Seperti Raja Saul berkali-kali diingatkan Tuhan tapi tidak mau sadar, pada akhirnya Tuhan membiarkan dia berjalan dalam jalannya sendiri. Jadi kalau kita masih mau, saya percaya kita akan dapat berubah.
GS : Dan masalahnya adalah makin bertambah usia kita, maka makin sulit pasangan atau diri kita sendiri mengubah karakter-karakter buruk yang ada di dalam diri kita.
PG : Betul dan harus saya akui bahwa kalau kita kebetulan memunyai banyak karakter buruk, kadang itu makin melemahkan motivasi kita untuk berubah sebab kita berpikir, "Kenapa saya lagi, kenapa kelemahan saya lagi" dan kita dalam hati kecil mengakui, "Memang ini adalah masalah saya". Tapi karena kebanyakan akhirnya kita juga sudah malas untuk mengubahnya. Jikalau itulah kondisinya maka jangan lupa bahwa kita berubah lewat satu perubahan demi satu perubahan, satu hal lewat satu hal.
GS : Dan memang itu membutuhkan pengorbanan yang luar biasa kadang-kadang.
PG : Betul.
GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul bagikan sehubungan dengan perbincangan ini?
PG : Mazmur 126:5-6 mengingatkan, "Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya." Menajamkan karakter pasangan dapat diibaratkan dengan upaya menabur benih, kadang kita harus mencucurkan air mata namun jika kita tidak menyerah maka suatu hari kelak kita akan menuai hasilnya.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Saling Menajamkan" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


56. Tahun Pertama Pernikahan 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T352A (File MP3 T352A)


Abstrak:

Pasangan yang baru menikah, kadang masih merasa bingung dengan apa yang harus dilakukan, ketetapan apa yang harus dibuat untuk bisa mengatur keluarganya ke arah yang lebih baik. Di sini akan dipaparkan dengan jelas apa saja yang harus dilakukan sejak awal pernikahan agar pernikahan mereka bisa langgeng sampai seterusnya.


Ringkasan:

Seperti hal lainnya dalam hidup, pernikahan yang sehat mesti dirawat dan dipupuk sejak awal. Tahun pertama pernikahan adalah masa yang penting sebab pada masa inilah sistem keluarga dibentuk. Berikut akan dipaparkan beberapa hal yang harus dilakukan pada tahun pertama pernikahan.

  1. Pertama, kita mesti menetapkan aturan yang jelas. Maksudnya, kita mesti mengkomunikasikan dan menegosiasikan aturan kepada masing-masing. Pernikahan tidak mungkin lepas dari konflik, nah, terpenting bukanlah bagaimana menghindar dari konflik melainkan bagaimanakah menyelesaikan konflik. Untuk dapat menyelesaikan konflik dibutuhkan aturan yang jelas dan adil.

    Berikut adalah contoh-contoh beberapa aturan yang dapat diterapkan dalam keluarga:

    • Misalnya, kita mesti menyepakati bahwa konflik tidak boleh bergeser ke arah fisik. Dengan kata lain, kita tidak boleh memukul atau melukai pasangan kita.
    • Contoh lain adalah, tatkala bertikai, kita mesti berusaha meredam suara. Singkat kata, kita tidak boleh berteriak-teriak apalagi mencaci maki pasangan.
    • Dalam rumah tangga kami, sejak awal kami menyepakati aturan bahwa kami tidak boleh mencampuri urusan keluarga asal masing-masing, tanpa diundang. Dan, kami pun tidak boleh menegur langsung mertua. Jika ada keluhan terhadap mertua, hendaklah itu disampaikan kepada pasangan saja.
  2. Satu hal yang sebaiknya dipertimbangkan dalam membuat aturan adalah, jangan membuat terlalu banyak aturan. Terlalu banyak aturan bukan saja membingungkan dan mudah dilupakan, tetapi juga membuat hidup seperti di penjara. Jadi, buatlah aturan yang sungguh-sungguh penting.

  3. Kedua, kita harus menyuarakan dan menyepakati pengharapan atau tuntutan terhadap masing-masing. Pernikahan bukan saja membawa dua pribadi menjadi satu, tetapi juga dua berkas pengharapan menjadi satu. Namun kita pun mafhum bahwa tidak selalu kebutuhan dan keinginan kita dapat terpenuhi pasangan. Itu sebabnya penting bagi kita untuk menyuarakan kebutuhan dan keinginan kita kepada pasangan di awal pernikahan. Sebaliknya, kita juga harus berusaha sedapat mungkin memenuhi kebutuhan dan keinginan pasangan. Mustahil baginya untuk dengan terbuka menyuarakan kebutuhan dan keinginannya bila kita menunjukkan sikap tidak peduli dengan pengharapannya. Jadi, suarakanlah kemudian negosiasikanlah supaya apa yang diharapkan dapat terpenuhi, setidaknya pada level seminimum mungkin.

    Berikut adalah beberapa contoh pengharapan yang mesti dikemukakan:

    • Pengaturan keuangan: Kalau dua-dua bekerja, apakah uang akan disatukan? Jika tidak, siapa yang bertanggung jawab membiayai kehidupan sehari-hari, uang sekolah anak, dan sebagainya.
    • Pengaturan rumah: Siapakah yang mengatur makanan? Siapakah yang bertanggung jawab dalam hal pemeliharaan rumah?
    • Perkembangan karier: Siapakah yang akan mengalah bila dua kepentingan bertabrakan?
    • Pemeliharaan anak: Siapakah yang nantinya bertanggung jawab dalam mengurus anak? Siapakah yang akan mendisiplin anak?
    • Hubungan intim: Seberapa seringnya dan bagaimana hubungan intim dilakukan?
  4. Sudah tentu ada banyak lagi pengharapan yang dapat disampaikan namun bila kita berhasil bernegosiasi dan menyepakati pemenuhan kebutuhan dan keinginan di atas ini, saya kira, kita akan dapat menyehatkan pernikahan kita.

  5. Ketiga, kita harus rajin menabung kebaikan ke dalam celengan pernikahan. Secara konkretnya, kita menabung kebaikan dengan cara menolong pasangan. Tidak peduli seberapa sering kita berkata bahwa kita mengasihi pasangan dan bahwa kita adalah orang yang baik, pada akhirnya terpenting adalah pasangan mesti menerima uluran tangan kita yang menolongnya.

    Salah satu alasan mengapa penting bagi kita untuk mulai menabung kebaikan sejak awal adalah karena pada waktu konflik atau ketika kita merasa tidak puas dengannya, penting bagi kita untuk dapat mengingat kebaikannya—apa yang telah dilakukannya buat kita.

    Jadi, jika kita sulit mengingat kebaikannya, berarti tabungannya minus alias kosong dan pastilah hal ini akan makin mengobarkan api kemarahan. Sebaliknya, bila kita dapat mengingat begitu banyak kebaikan yang telah diperbuatnya bagi kita, maka kemarahan atau ketidakpuasan pun menyusut. Jadi, sering-seringlah menabung kebaikan dalam bentuk memberi pertolongan kepadanya.

  6. Keempat, kita harus membiasakan diri menyelesaikan konflik sampai tuntas. Godaan terbesar pada awal pernikahan adalah mendiamkan atau sedapatnya menghindarkan konflik. Masalahnya adalah konflik yang tak terselesaikan akan menjadi masalah terpendam yang dapat muncul kembali. Jika konflik yang tak terselesaikan itu sudah menumpuk, itu berarti tatkala muncul, ia akan muncul dengan kekuatan yang besar.

    Konflik dapat muncul setidaknya dari tiga sumber:

    • Kesalahpahaman. Dua pribadi berbeda tentulah memunyai gaya bicara, gaya mendengarkan, gaya menyuruh, gaya bersuara, dan gaya-gaya lainnya yang berbeda. Itu sebabnya kesalahpahaman mudah sekali terjadi. Tidak bisa tidak, kita mesti sering-sering menjelaskan maksud perbuatan atau perkataan kita supaya kesalahpahaman tidak terulang dan berkepanjangan.
    • Perbedaan. Ada banyak keputusan yang mesti diambil bersama dalam pernikahan. Tidak bisa tidak, dua pribadi yang berbeda akan melihat sesuatu secara berbeda pula. Sebagai akibatnya, terjadilah perbedaan pendapat yang berakhir dengan pertengkaran.
    • Kekecewaan. Tidak selalu pasangan melakukan apa yang kita kehendaki. Sudah tentu hal ini akan menimbulkan kekecewaan. Namun adakalanya pasangan bukan saja tidak melakukan apa yang kita inginkan, ia pun melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan. Perbuatan ini akan menimbulkan kekecewaan yang dalam.

    Konflik mesti diselesaikan dan untuk itu diperlukan usaha yang terus menerus. Makin sering kita mengusahakan penyelesaikan konflik, makin mampu kita menyelesaikannya. Jadi, di awal pernikahan, janganlah takut untuk berkonflik selama ada komitmen bersama untuk menyelesaikannya.

  7. Kelima, kita harus membiasakan diri untuk melakukan aktivitas yang menumbuhkan keintiman. Sejak awal, biasakan untuk pergi bersama, berekreasi, menikmati musik atau film, bercengkerama sebelum tidur, dan berhubungan intim secara teratur. Semua ini adalah kegiatan yang berpotensi menambah kedekatan di antara kita. Di dalam dunia yang penuh kesibukan, kita harus "berkelahi" melawan hal-hal lain yang dapat menyedot perhatian kita dan membuat hubungan kita makin merenggang. Itu sebab penting buat kita untuk memulai pernikahan dengan kebiasaan baik ini. Juga, kita mesti menyadari bahwa keintiman adalah seperti air yang membasahi daun yang membuatnya tidak mudah terbakar. Relasi yang kurang keintiman menjadikan relasi itu seperti daun kering yang mudah terbakar. Singkat kata, tanpa keintiman, relasi pernikahan mudah terbakar konflik dan kemarahan.
  8. Keenam dan terakhir, sejak awal kita harus mengutamakan Tuhan di atas segalanya. Biasakan untuk menjadikan hari Minggu sebagai hari Tuhan di mana kita berbakti dan melayani-Nya. Biasakan membaca Alkitab dan bersaat teduh setiap hari. Biasakan untuk memberi persembahan kepada Tuhan sesuai dengan berkat yang dilimpahkan-Nya kepada kita untuk menunjukkan rasa syukur kita kepada-Nya. Biasakan untuk berdoa bersama setiap malam dan biasakan untuk berbagi berkat rohani. Jadikan Tuhan pusat kehidupan dan tunduklah pada kehendak-Nya. Biasakan sejak awal untuk mencari kehendak-Nya dalam memutuskan sesuatu. Biasakan untuk menomorduakan materi dan menomorsatukan semua yang penting bagi Tuhan, seperti membangun relasi dengan sesama dan mengenalkan Kristus kepada sesama.
Sebagai penutup, Firman Tuhan di Ulangan 4:5-7 mengajarkan kepada kita akan apa yang penting dan membawa kemuliaan bagi Tuhan, "Ingatlah aku telah mengajarkan ketetapan dan peraturan kepadamu, seperti yang diperintahkan Tuhan, Allahku, supaya kamu melakukan yang demikian di dalam negeri yang akan kamu masuki untuk mendudukinya. Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa yang pada waktu mendengar segala ketetapan ini akan berkata: Memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi. Sebab bangsa besar manakah yang mempunyai allah yang demikian dekat kepadanya seperti Tuhan Allah kita, setiap kali kita memanggil kepada-Nya?" Jika kita berhasil menjalankan semua ini, orang akan melihat dan berkata yang sama tentang kita, "Memang keluarga ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi, sebab keluarga manakah yang mempunyai allah yang demikian dekat kepadanya seperti Tuhan Allah kita."

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tahun Pertama Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, tahun-tahun pertama pernikahan, awal-awalnya memang indah dalam masa bulan madu tetapi itu hanya selang beberapa bulan saja, kemudian datang masa-masa yang sulit dimana mereka harus saling menyesuaikan. Ada yang menggambarkan seperti dua aliran sungai yang deras dan pada waktu bertemu menimbulkan gejolak yang luar biasa. Apakah itu gejala yang memang umum dialami oleh hampir semua pasangan atau bagaimana?

PG : Sangat umum, karena kita adalah dua orang yang berbeda dan memunyai kebiasaan hidup yang tidak sama, cara memandang hidup juga berlainan, sewaktu kita harus hidup bersama tidak bisa tidak kita harus melakukan banyak penyesuaian. Jadi seperti hal lainnya dalam hidup, pernikahan yang sehat memang harus dirawat dan dipupuk sejak awal. Tahun pertama pernikahan adalah masa yang penting sebab pada masa inilah sistem keluarga dibentuk. Jadi kita harus menetapkan atau menanamkan, memancangkan sistem kehidupan yang baik sejak awalnya supaya nanti di tahun-tahun berikutnya kita tinggal meneruskan apa yang telah kita tanam di awal itu.

GS: Ada pasangan yang masa pacarannya cukup panjang, ada yang lima tahun atau bahkan lebih dari itu, tapi ada juga pasangan yang karena dipertemukan hanya satu atau dua bulan. Apakah ada perbedaan, Pak Paul?

PG : Kalau orang tidak punya masa berpacaran yang cukup, tidak bisa tidak masa pernikahannya menjadi masa mereka dimana harus menyesuaikan dari nol. Sedangkan kalau kita punya waktu yang cukup dalam masa perkenalan maka kita tinggal melanjutkan apa yang telah kita mulai di awal itu. Meskipun masa berpacaran, masa pengenalan itu penting namun tidak bisa menjamin bahwa pernikahan akan pasti baik, sebab tadi Pak Gunawan sudah katakan seperti aliran sungai sewaktu dua aliran itu bertemu biasanya akan menimbulkan goncangan yang memang keras, jadi meskipun kita telah berpacaran dan saling mengenal namun setelah hidup bersama akan ada PR-PR lain yang harus diselesaikan.

GS : Kalau begitu dalam hal apa saja kita perlu kerjakan dengan baik, kita pupuk dengan baik karena perjalanan pernikahan ini seumur hidup, supaya untuk selanjutnya bisa lebih tenang, Pak Paul.

PG : Ada beberapa yang ingin saya bagikan, yang pertama adalah kita harus menetapkan aturan yang jelas, maksudnya kita harus mengkomunikasikan dan menegosiasikan aturan kepada masing-masing. Pernikahan tidak bisa lepas dari konflik, penting bagi kita untuk dapat menetapkan aturan didalam menyelesaikan konflik. Kita tidak bisa menghindar dari konflik, selalu ada saja yang harus kita hadapi, tapi kita mau menyelesaikannya dan untuk dapat menyelesaikannya kita itu perlu aturan yang jelas dan yang adil.

GS : Kalau belum-belum kita sudah menetapkan aturan, maka biasanya orang berkata, "Ini belum-belum kok sudah...." seolah-olah mengada-ada masalah padahal itu belum terjadi sehingga ada pasangan yang menetapkan "nanti kalau ada kejadian kita tetapkan aturannya".

PG : Bisa. Misalkan belum ada apa-apa maka kita tunggu sampai ada kejadian. Atau pada masa berpacaran, sedikit banyak kita sudah mulai bertengkar atau konflik, penting sekali di awal pernikahan kita menetapkan aturannya. Jadi semakin jelas aturan tersebut, semakin dapat dipatuhi maka semakin membantu kita pada akhirnya di dalam menyelesaikan konflik.

GS : Tentu ada banyak hal yang harus dibuatkan aturannya, tapi yang penting-penting terlebih dahulu yang bisa diterapkan lebih awal, seperti apa misalnya apa, Pak Paul?

PG : Misalnya yang pertama adalah kita harus menyepakati bahwa konflik tidak boleh bergeser kearah fisik. Dengan kata lain, kita tidak boleh memukul atau melukai pasangan kita, jadi benar-benar tangan tidak boleh bergerak, mulut boleh bergerak, emosi boleh turun naik tapi tangan kaki tidak boleh bergerak bahkan kita tidak boleh mendorong pasangan, menjorokkannya, meskipun kita tidak memukulnya, itupun juga jangan. Jadi jangan memulai kebiasaan mendorong atau memukul pasangan.

GS : Tapi ada orang yang kata-katanya justru lebih tajam atau lebih keras daripada sebuah tamparan atau pukulan, Pak Paul.

PG : Sudah tentu kita juga harus menjaga jangan sampai waktu kita bertengkar kita lupa diri, sehingga akhirnya kata-kata yang keluar dari mulut kita adalah kata-kata yang justru akan menyakiti hati pasangan, kita memang mau menyelesaikan konflik dan bukan mau menyakiti hati pasangan, jadi kita harus membedakan keduanya itu. Jadi saya setuju dengan Pak Gunawan, bukan saja kita harus menjaga jangan sampai konflik itu menjadi luber menjadi perkelahian secara fisik, tapi mulut kita pun harus kita jaga jangan sampai akhirnya melukai hati pasangan sampai dalam.

GS : Aturan yang lain apa, Pak Paul?

PG : Aturan yang lain misalnya tatkala kita bertikai kita harus berusaha meredam suara misalnya kita biasa kalau marah harus berteriak, maka kita harus meredam suara kita dan kita tidak boleh berteriak-teriak apalagi mencaci maki pasangan sebab tidak bisa tidak, suara yang keras memaki-maki biasanya itu akan mengundang respons yang sama dari pasangan, berarti dua orang saling berteriak saling mencaci maki, maka itu benar-benar akan menjadi sebuah kancah perkelahian.

GS: Memang dalam hal pertengkaran ini seringkali yang diserang itu pribadinya dan bukannya menyelesaikan masalahnya tapi justru orangnya, dan ini yang sebenarnya menyakitkan.

PG : Betul. Jadi kita harus menjaga, harus berani mengerem, merantai diri kita dan jangan sampai kita terperangkap masuk ke dalam pencobaan untuk menyakiti hati pasangan dan kita tahu cara terampuh menyakiti hati pasangan adalah dengan menyerang pribadinya dan bukan membahas masalahnya.

GS : Mungkin Pak Paul punya contoh konkret dalam pengalaman hidup Pak Paul sendiri tentang aturan-aturan ini, misalnya apa?

PG : Saya masih ingat waktu kami baru memulai pernikahan, kami menyepakati bahwa kami tidak boleh mencampuri urusan keluarga asal masing-masing tanpa diundang. Jadi saya dengan istri dari awal sudah membuat garis yang jelas, "Keluargamu dan keluarga saya kalau ada apa-apa, saya hadapi keluarga saya dan engkau hadapi keluargamu", dan kami juga membuat peraturan kami tidak boleh menegur langsung mertua atau pihak keluarga pasangan masing-masing, sebab kenapa? Sebab kalau anak dengan orang tua konflik, besoknya akan rekonsiliasi baik kembali, tapi kalau menantu dengan mertua konflik maka efeknya berkepanjangan. Jadi kita harus berdisiplin diri tidak boleh berhubungan langsung menegur orang tua dari pasangan kita, biarkan kita hanya keluhkan kepada pasangan kita saja. Saya masih ingat misalkan orang tua istri saya bicara dengan istri saya lewat telepon waktu kami tinggal di sini, kemudian saya hanya tanya bagaimana kabarnya, "Mereka baik-baik saja?" Istri saya menjawab, "Mereka baik-baik saja" dan saya tidak mencari-cari tahu, apa yang mereka perbincangkan dan membicarakan apa saja, itu tidak saya lakukan karena orang tua dengan anak punya privasi dan mereka mau bicara apapun silakan dan saya tidak harus mengetahui apa yang dibicarakan istri saya dengan keluarganya, demikian juga ketika saya bicara dengan keluarga saya, dia tidak bertanya, "Tadi bicara apa saja dan sebagainya" tidak. Sebab sekali lagi saya sudah melihat betapa mudahnya kita ini ribut gara-gara urusan, "Kenapa orang tuamu bicara seperti itu tadi, kenapa papamu tadi bicara seperti itu", akhirnya kitanya yang ribut, jadi lebih baik kita batasi.

GS : Tapi ada orang tua yang menganggap menantu itu sebagai anaknya sehingga kalau menantunya menegur mertua lewat suaminya atau istrinya, ada orang tua yang tersinggung, "Kamu sudah saya anggap seperti anak saya, tapi kenapa tidak langsung bicara dengan saya dan kepada harus lewat pasanganmu?"

PG : Dalam kasus seperti itu saya akan menjelaskan kepada pihak mertua, "Saya menghormati Papa dan Mama sebab saya belajar kalau anak sendiri ada apa-apa dengan orang tuanya itu lebih cepat selesai, tapi kalau menantu ada apa-apa dengan mertua meskipun akan selesai tapi biasanya tidak akan sama. Jadi karena saya ingin menjaga relasi kita ini supaya tidak terjadi apa-apa yang memburuk maka saya lebih mau bicara saja dengan istri saya supaya nanti biarkan dia yang bicara dengan Papa dan Mama".

GS : Pak Paul, di dalam suatu rumah tangga tentu ada banyak yang harus diatur, tapi kalau terlalu banyak aturan maka kehidupan rumah tangga itu menjadi tidak enak.

PG : Setuju. Jadi kita harus membuat peraturan namun jangan membuat terlalu banyak aturan, sebab terlalu banyak aturan bukan saja membingungkan dan mudah dilupakan tapi juga membuat hidup seperti di penjara, jadi buatlah aturan yang sungguh-sungguh penting. Kriterianya dua, yaitu jelas dan realistik. Makin jelas dan realistik aturan yang dibuat, maka makin mudah dilakukan dan bila keduanya bersedia mematuhi aturan yang dibuat, maka terselamatkanlah pernikahan kita dari bencana besar di tahun awal itu.

GS : Hal kedua atau hal yang lain tentang yang seringkali terjadi di awal pernikahan itu apa, Pak Paul?

PG : Di awal pernikahan kita juga harus menyuarakan dan menyepakati pengharapan atau tuntutan terhadap masing-masing. Tadi sudah disinggung pernikahan memang merupakan penyatuan dari dua pribadi menjadi satu, tapi sebetulnya bukan hanya itu, tapi juga dua berkas pengharapan, tuntutan menjadi satu. Jadi waktu kita memasuki pernikahan, kita membawa pengharapan-pengharapan dan tuntutan kita. Kita bukanlah kaleng kosong tapi kita adalah manusia yang memunyai kebutuhan serta keinginan, makin terpenuhi kebutuhan dan keinginan, maka makin senanglah hati dan makin kuatlah pernikahan. Jadi resep pernikahan bahagia adalah orang hanya bisa berbahagia kalau keinginannya dan kebutuhannya terpenuhi. Itu sebabnya kita harus berusaha sedapatnya memenuhi pengharapan pasangan kita. Tapi kita juga memaklumi bahwa tidak selalu kebutuhan dan keinginan kita dapat terpenuhi oleh pasangan, itu sebabnya penting bagi kita menyuarakan kebutuhan dan keinginan kita dan kita tidak boleh berasumsi bahwa dia pasti tahu dan seharusnya tahu kebutuhan dan keinginan kita, jangan. Jadi jangan malu atau gengsi menyuarakan isi hati kita.

GS : Kadang-kadang memang bisa berubah-ubah apa yang diharapkan, apa yang diinginkan suatu saat A dan lain kali B, hal ini kadang-kadang membingungkan walaupun dulu kita sudah bilang, "Dulu kamu kepingin ini" tapi setelah dipenuhi sekarang keinginannya lain lagi. Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang kita harus memberikan ruangan untuk terjadinya perkembangan karena kita adalah manusia yang dinamis dan kita tidak selalu sama, maka bisa jadi pada tahap-tahap awal pernikahan kita mengharapkan sesuatu dari pasangan kita, setelah beberapa tahun kemudian kita mengharapkan yang lain dan itu adalah tahap perkembangan manusia yang memang dinamis. Tapi kalau misalnya pasangan kita terlalu cepat tukar menukar pengharapan dan tuntutannya kepada kita maka kita harus katakan, "Saya ini bingung, sebab baru saja kamu bilang kepada saya maunya ini, tapi sekarang kamu katakan maunya itu, kamu bilang kamu suka ini tapi sekarang kamu sukanya itu, saya bingung, tolong berikan saya penjelasan sehingga saya tahu yang mana yang harus saya lakukan", jadi tidak apa-apa dan kita berikan tanggapan seperti itu kepada pasangan.

GS : Biasanya pengharapan apa yang perlu disampaikan di awal pernikahan, Pak Paul?

PG : Misalnya yang pertama dan yang penting adalah pengaturan keuangan, kalau misalnya dua-dua bekerja, apakah uang akan disatukan? Jika tidak disatukan maka siapa yang bertanggung jawab membiayai kehidupan sehari-hari, siapa yang membayar biaya sekolah anak-anak dan siapa yang membayar listrik dan ledeng air dan siapa yang nanti mengeluarkan uang untuk membeli konsumsi makanan dan sebagainya. Jadi hal-hal seperti itu harus dibicarakan dan tidak bisa tidak kalau kita memunyai pengharapan, maka pasangan kita yang lebih banyak berperan maka kita harus bicara apa adanya, tapi kalau pasangan kita berkeberatan mengeluarkan isi hatinya, maka inilah tempat dan waktunya bagi kita bernegosiasi.

GS : Selain segi keuangan, adakah hal lain yang harus dibicarakan, Pak Paul?

PG : Misalnya pengaturan rumah maka kita harus menyuarakan pengharapan kita, siapa yang mengatur makanan di rumah, siapakah yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan rumah. Kadang kita beranggapan haruslah istri atau ibu rumah tangga tapi akhirnya kita harus sadari bahwa tidak semua perempuan memunyai hobi memasak, tidak semua perempuan senang membersihkan rumah dan sama seperti tidak semua laki-laki senang untuk mengotori tangan dengan oli membetulkan mesin mobilnya, tidak semua laki-laki senang naik tangga ke atas loteng untuk membenarkan atap rumahnya. Jadi itulah keunikan masing-masing. Jadi tidak apa-apa berkata apa adanya, saya lebih mau misalnya istri berkata, "Saya akan lebih mau bekerja susah payah, lelah daripada saya harus mengurus rumah seperti ini, saya tidak bisa dan berat bagi saya" dan kebetulan suaminya berkata, "Saya tidak keberatan untuk mengurus meminta pembantu mengurus ini menyiapkan makanan dan sebagainya dan tidak keberatan." Jadi tidak apa-apa terimalah keunikan masing-masing dan kita tidak harus menjadi seperti keluarga lain, "Orang ini enak suaminya sebab istrinya yang mengurusi semua makanan, istri saya tidak bisa" kalau tidak bisa memang tidak bisa dan kita harus terima apa yang bisa dilakukan oleh pasangan kita dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh pasangan.

GS : Kadang-kadang ada pasangan yang punya kegemaran dan kebisaan yang sama misalkan memasak. Istrinya senang memasak dan suaminya pun senang untuk ikut-ikut, maka ini harus jelas pengaturannya kapan istri memasak dan kapan suami memasak supaya tidak ramai ketika di dapur.

PG : Betul.

GS : Kalau dalam hal suami istri bekerja bersama itu bagaimana, Pak?

PG : Misalnya keduanya bekerja dan keduanya mendapatkan kesempatan untuk promosi, maka siapa yang akan mengalah bila kedua kepentingan ini bertabrakan. Sebab tidak selalu harus istri yang mengalah. Kadang suami juga harus mengalah dan tentu tidak selalu suami yang terus mengalah tapi istri pun juga harus mengalah. Jadi prinsipnya bukanlah kita harus tentukan selalu siapa yang harus mengalah, tapi poinnya adalah pada saat ini siapa yang seharusnya mengalah. Ini yang perlu dibicarakan. Yang ingin saya tekankan adalah kita tidak bisa belum apa-apa sudah punya konsep yang harus mengalah adalah istri dan tidak ada tawar menawar dan istri harus mengalah, karir suami yang harus didahulukan. Tidak harus seperti itu, jadi inilah waktu dan tempatnya bagi masaing-masing menyuarakan pengharapannya.

GS : Tentu di dalam suatu keluarga mengharapkan ada kehadiran seorang anak atau lebih, maka bagaimana tentang anak, Pak Paul?

PG : Sama. Jadi masing-masing harus menyuarakan pengharapannya misalnya siapa yang bertanggung jawab mengurus anak, sekali lagi memang ibu akan berperan besar dalam hal ini tapi ada ibu rumah tangga yang juga mengharapkan si bapak untuk berperan lebih aktif lagi dan siapakah yang nanti akan mendisiplin anak, ada suami yang berkata, "Pokoknya urusan anak tidak mau ikut campur sama sekali, ini urusanmu 100%, tidak boleh minta pendapat kepada saya, kamu yang harus mengurusnya dan kalau saya pulang ke rumah semua sudah beres". Kita harus bicara apakah kita mau memunyai pengaturan seperti ini.

GS : Apakah ada hal lain?

PG : Yang lain lagi adalah tentang hubungan intim, kita juga harus jujur seberapa seringnya kita membutuhkan dan bagaimana hubungan intim itu akan dilakukan, sebab ini adalah bagian yang penting juga didalam menjalin relasi nikah di antara suami dan istri. Sudah tentu ada banyak pengharapan yang dapat disampaikan namun bila kita berhasil bernegosiasi dan menyepakati pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang seperti kita bahas ini, saya kira kita akan dapat menyehatkan pernikahan kita.

GS : Hal lain lagi yang perlu kita kerjakan pada tahun pertama pernikahan apa, Pak Paul?

PG : Yang ketiga kita harus rajin menabung kebaikan di dalam celengan pernikahan. Secara konkretnya kita menabung kebaikan dengan cara menolong pasangan, tidak peduli seberapa sering kita berkata bahwa kita mengasihi pasangan dan bahwa kita adalah orang yang baik pada akhirnya terpenting adalah pasangan harus menerima uluran tangan kita yang menolongnya. Jadi ini bukti kebaikan adalah pertolongan, sewaktu kita misalnya melihat dia repot maka seyogianyalah kita menawarkan bantuan, jika di dalam kondisi tertekan baik dalam hal pekerjaan atau lainnya maka kita perlu menanyakannya dan menunjukkan sikap prihatin sambil tidak lupa melakukan sesuatu baginya atau menawarkan bantuannya baginya, semua ini merupakan bukti nyata bahwa kita ini mengasihinya.

GS : Sebenarnya kalau seseorang itu diberi kesempatan untuk memberikan pertolongan itu juga menimbulkan rasa sukacita pada diri orang yang menolongnya itu, baik itu suami atau pun istri.

PG : Setuju karena sewaktu kita bisa berbuat sesuatu dan dia merasa terbantu maka tidak bisa tidak kita akan bahagia, waktu kita melihat dia bahagia dan waktu kita mendengar ucapan terima kasihnya atas bantuan kita, maka tidak bisa tidak kita pun akan disenangkan hatinya.

GS : Tapi seringkali bantuan itu malah merepotkannya, itu juga bisa terjadi dan menjadi salah mengerti di awal pernikahan.

PG : Betul. Jadi kita harus menawarkan, menanyakan tapi kita juga harus peka kadang-kadang bisa diinterpretasi campur tangan, tidak perlu mencampuri dan memang sebaiknya kita menawarkan dengan baik-baik.

GS : Atau melanggar wilayah yang buat si suami atau si istri, misalnya saja suami membersihkan dapur padahal si istri berkata, "Dapur itu wilayah saya, kamu jangan ikut-ikut mengurusi dapur", atau mengenai ruang kerja, si suami berkata, "Ruang kerja ini wilayah saya, istri tidak boleh campur-campur masuk ke sana".

PG : Kadang-kadang membersihkan barang-barang, kebetulan barang-barangnya si suami, si istri membereskan dan mengatur ulang letaknya. Pulang-pulang si suami bisa marah dan berkata, "Kenapa barangku sekarang letaknya berpindah?" Si istri berkata, "Ini lebih bagus begini dan begitu" akhirnya menjadi tidak enak. Jadi perlulah tenggang rasa dalam hal ini.

GS: Jadi menabung kebaikan atau menanamkan kebaikan sebenarnya keuntungannya apa, Pak Paul?

PG : Keuntungannya adalah kalau kita dari awal menabung kebaikan, waktu kita konflik karena kita pasti akan konflik atau ketika kita merasa tidak puas dengan pasangan kita maka kebaikan-kebaikan yang telah kita terima dari pasangan kita akan muncul dalam ingatan kita dan mendinginkan hati kita yang sedang panas. Sebab kita mengingat, "Benar ya, dia berbuat baik pada saya, pernah menolong saya dan sebagainya", maka itu akan mengurangi suhu kemarahan kita dan ketidakpuasan kita, sebaliknya jika kita sulit mengingat kebaikannya maka tabungannya minus alias kosong dan pasti hal ini makin mengobarkan api kemarahan, sebaliknya bila kita bisa mengingat begitu banyak kebaikan yang telah diperbuatnya bagi kita, maka kemarahan atau ketidakpuasan pun menyusut. Jadi sering-seringlah menabung kebaikan dalam bentuk memberikan pertolongan kepada pasangan kita.

GS : Jadi menabung emosi tidak bisa dilakukan sekaligus, harus bertahap dan berulang-ulang?

PG : Betul sekali, jadi dari awal kita harus sering-sering menawarkan bantuan kita mau menolongnya, ini benar-benar menjadi modal yang sangat-sangat penting bukan saja untuk menyatukan pernikahan kita tapi terutama pada waktu konflik ingatan akan tabungan ini berperan sangat-sangat positif.

GS : Masalahnya melihat tabungan emosi kita di pasangan kita tidak semudah seperti melihat tabungan kita di bank, kadang-kadang ketika sudah habis kita tidak tahu dan terus saja jalan dan akhirnya pecah perang.

PG : Atau kita sudah cukup menabung menurut kita, tapi pasangan kita tidak bisa mengingat apa yang kita lakukan dan itu membuat kita frustrasi akhirnya.

GS : Dalam hal ini apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Firman Tuhan dari Roma 14:19 berkata, "Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun." Ayat yang indah dan cocok untuk tahun pertama pernikahan dan sudah tentu tahun-tahun berikutnya juga yaitu hendaklah kita suami dan istri mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dalam pernikahan kita, kita juga harus mengejar apa yang berguna untuk saling membangun satu sama lain, kalau kita menjadikan ini sebagai target kita, kita mau melakukannya. Saya percaya ini adalah modal yang sangat-sangat penting dan nanti akan membuahkan hasil yang positif dalam pernikahan.

GS : Pak Paul memberikan tekanan khusus pada kata 'mengejar', itu artinya suatu usaha yang sungguh-sungguh dan bukan hanya sambil lalu dikerjakan.

PG : Jadi kita tidak bisa masuk ke dalam pernikahan setelah itu angkat kaki atau menggoyangkan kaki dan semuanya akan berjalan dengan baik, tidak, tapi kita harus berusaha sekeras mungkin.

GS : Kita baru saja membicarakan 3 hal yang perlu dilakukan pada awal-awal tahun pernikahan, apakah ada lagi yang bisa kita bicarakan pada kesempatan yang akan datang?

PG : Masih ada lagi dan kita berharap para pendengar kita nanti juga akan memasang radionya dan mendengarkan kita kembali.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tahun pertama pernikahan" bagian yang pertama dan kami akan melanjutkan perbincangan kami pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



57. Tahun Pertama Pernikahan 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T352B (File MP3 T352B)


Abstrak:

Pasangan yang baru menikah, kadang masih merasa bingung dengan apa yang harus dilakukan, ketetapan apa yang harus dibuat untuk bisa mengatur keluarganya ke arah yang lebih baik. Di sini akan dipaparkan dengan jelas apa saja yang harus dilakukan sejak awal pernikahan agar pernikahan mereka bisa langgeng sampai seterusnya.


Ringkasan:

Seperti hal lainnya dalam hidup, pernikahan yang sehat mesti dirawat dan dipupuk sejak awal. Tahun pertama pernikahan adalah masa yang penting sebab pada masa inilah sistem keluarga dibentuk. Berikut akan dipaparkan beberapa hal yang harus dilakukan pada tahun pertama pernikahan.

  1. Pertama, kita mesti menetapkan aturan yang jelas. Maksudnya, kita mesti mengkomunikasikan dan menegosiasikan aturan kepada masing-masing. Pernikahan tidak mungkin lepas dari konflik, nah, terpenting bukanlah bagaimana menghindar dari konflik melainkan bagaimanakah menyelesaikan konflik. Untuk dapat menyelesaikan konflik dibutuhkan aturan yang jelas dan adil.

    Berikut adalah contoh-contoh beberapa aturan yang dapat diterapkan dalam keluarga:

    • Misalnya, kita mesti menyepakati bahwa konflik tidak boleh bergeser ke arah fisik. Dengan kata lain, kita tidak boleh memukul atau melukai pasangan kita.
    • Contoh lain adalah, tatkala bertikai, kita mesti berusaha meredam suara. Singkat kata, kita tidak boleh berteriak-teriak apalagi mencaci maki pasangan.
    • Dalam rumah tangga kami, sejak awal kami menyepakati aturan bahwa kami tidak boleh mencampuri urusan keluarga asal masing-masing, tanpa diundang. Dan, kami pun tidak boleh menegur langsung mertua. Jika ada keluhan terhadap mertua, hendaklah itu disampaikan kepada pasangan saja.
  2. Satu hal yang sebaiknya dipertimbangkan dalam membuat aturan adalah, jangan membuat terlalu banyak aturan. Terlalu banyak aturan bukan saja membingungkan dan mudah dilupakan, tetapi juga membuat hidup seperti di penjara. Jadi, buatlah aturan yang sungguh-sungguh penting.

  3. Kedua, kita harus menyuarakan dan menyepakati pengharapan atau tuntutan terhadap masing-masing. Pernikahan bukan saja membawa dua pribadi menjadi satu, tetapi juga dua berkas pengharapan menjadi satu. Namun kita pun mafhum bahwa tidak selalu kebutuhan dan keinginan kita dapat terpenuhi pasangan. Itu sebabnya penting bagi kita untuk menyuarakan kebutuhan dan keinginan kita kepada pasangan di awal pernikahan. Sebaliknya, kita juga harus berusaha sedapat mungkin memenuhi kebutuhan dan keinginan pasangan. Mustahil baginya untuk dengan terbuka menyuarakan kebutuhan dan keinginannya bila kita menunjukkan sikap tidak peduli dengan pengharapannya. Jadi, suarakanlah kemudian negosiasikanlah supaya apa yang diharapkan dapat terpenuhi, setidaknya pada level seminimum mungkin.

    Berikut adalah beberapa contoh pengharapan yang mesti dikemukakan:

    • Pengaturan keuangan: Kalau dua-dua bekerja, apakah uang akan disatukan? Jika tidak, siapa yang bertanggung jawab membiayai kehidupan sehari-hari, uang sekolah anak, dan sebagainya.
    • Pengaturan rumah: Siapakah yang mengatur makanan? Siapakah yang bertanggung jawab dalam hal pemeliharaan rumah?
    • Perkembangan karier: Siapakah yang akan mengalah bila dua kepentingan bertabrakan?
    • Pemeliharaan anak: Siapakah yang nantinya bertanggung jawab dalam mengurus anak? Siapakah yang akan mendisiplin anak?
    • Hubungan intim: Seberapa seringnya dan bagaimana hubungan intim dilakukan?
  4. Sudah tentu ada banyak lagi pengharapan yang dapat disampaikan namun bila kita berhasil bernegosiasi dan menyepakati pemenuhan kebutuhan dan keinginan di atas ini, saya kira, kita akan dapat menyehatkan pernikahan kita.

  5. Ketiga, kita harus rajin menabung kebaikan ke dalam celengan pernikahan. Secara konkretnya, kita menabung kebaikan dengan cara menolong pasangan. Tidak peduli seberapa sering kita berkata bahwa kita mengasihi pasangan dan bahwa kita adalah orang yang baik, pada akhirnya terpenting adalah pasangan mesti menerima uluran tangan kita yang menolongnya.

    Salah satu alasan mengapa penting bagi kita untuk mulai menabung kebaikan sejak awal adalah karena pada waktu konflik atau ketika kita merasa tidak puas dengannya, penting bagi kita untuk dapat mengingat kebaikannya—apa yang telah dilakukannya buat kita.

    Jadi, jika kita sulit mengingat kebaikannya, berarti tabungannya minus alias kosong dan pastilah hal ini akan makin mengobarkan api kemarahan. Sebaliknya, bila kita dapat mengingat begitu banyak kebaikan yang telah diperbuatnya bagi kita, maka kemarahan atau ketidakpuasan pun menyusut. Jadi, sering-seringlah menabung kebaikan dalam bentuk memberi pertolongan kepadanya.

  6. Keempat, kita harus membiasakan diri menyelesaikan konflik sampai tuntas. Godaan terbesar pada awal pernikahan adalah mendiamkan atau sedapatnya menghindarkan konflik. Masalahnya adalah konflik yang tak terselesaikan akan menjadi masalah terpendam yang dapat muncul kembali. Jika konflik yang tak terselesaikan itu sudah menumpuk, itu berarti tatkala muncul, ia akan muncul dengan kekuatan yang besar.

    Konflik dapat muncul setidaknya dari tiga sumber:

    • Kesalahpahaman. Dua pribadi berbeda tentulah memunyai gaya bicara, gaya mendengarkan, gaya menyuruh, gaya bersuara, dan gaya-gaya lainnya yang berbeda. Itu sebabnya kesalahpahaman mudah sekali terjadi. Tidak bisa tidak, kita mesti sering-sering menjelaskan maksud perbuatan atau perkataan kita supaya kesalahpahaman tidak terulang dan berkepanjangan.
    • Perbedaan. Ada banyak keputusan yang mesti diambil bersama dalam pernikahan. Tidak bisa tidak, dua pribadi yang berbeda akan melihat sesuatu secara berbeda pula. Sebagai akibatnya, terjadilah perbedaan pendapat yang berakhir dengan pertengkaran.
    • Kekecewaan. Tidak selalu pasangan melakukan apa yang kita kehendaki. Sudah tentu hal ini akan menimbulkan kekecewaan. Namun adakalanya pasangan bukan saja tidak melakukan apa yang kita inginkan, ia pun melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan. Perbuatan ini akan menimbulkan kekecewaan yang dalam.

    Konflik mesti diselesaikan dan untuk itu diperlukan usaha yang terus menerus. Makin sering kita mengusahakan penyelesaikan konflik, makin mampu kita menyelesaikannya. Jadi, di awal pernikahan, janganlah takut untuk berkonflik selama ada komitmen bersama untuk menyelesaikannya.

  7. Kelima, kita harus membiasakan diri untuk melakukan aktivitas yang menumbuhkan keintiman. Sejak awal, biasakan untuk pergi bersama, berekreasi, menikmati musik atau film, bercengkerama sebelum tidur, dan berhubungan intim secara teratur. Semua ini adalah kegiatan yang berpotensi menambah kedekatan di antara kita. Di dalam dunia yang penuh kesibukan, kita harus "berkelahi" melawan hal-hal lain yang dapat menyedot perhatian kita dan membuat hubungan kita makin merenggang. Itu sebab penting buat kita untuk memulai pernikahan dengan kebiasaan baik ini. Juga, kita mesti menyadari bahwa keintiman adalah seperti air yang membasahi daun yang membuatnya tidak mudah terbakar. Relasi yang kurang keintiman menjadikan relasi itu seperti daun kering yang mudah terbakar. Singkat kata, tanpa keintiman, relasi pernikahan mudah terbakar konflik dan kemarahan.
  8. Keenam dan terakhir, sejak awal kita harus mengutamakan Tuhan di atas segalanya. Biasakan untuk menjadikan hari Minggu sebagai hari Tuhan di mana kita berbakti dan melayani-Nya. Biasakan membaca Alkitab dan bersaat teduh setiap hari. Biasakan untuk memberi persembahan kepada Tuhan sesuai dengan berkat yang dilimpahkan-Nya kepada kita untuk menunjukkan rasa syukur kita kepada-Nya. Biasakan untuk berdoa bersama setiap malam dan biasakan untuk berbagi berkat rohani. Jadikan Tuhan pusat kehidupan dan tunduklah pada kehendak-Nya. Biasakan sejak awal untuk mencari kehendak-Nya dalam memutuskan sesuatu. Biasakan untuk menomorduakan materi dan menomorsatukan semua yang penting bagi Tuhan, seperti membangun relasi dengan sesama dan mengenalkan Kristus kepada sesama.
Sebagai penutup, Firman Tuhan di Ulangan 4:5-7 mengajarkan kepada kita akan apa yang penting dan membawa kemuliaan bagi Tuhan, "Ingatlah aku telah mengajarkan ketetapan dan peraturan kepadamu, seperti yang diperintahkan Tuhan, Allahku, supaya kamu melakukan yang demikian di dalam negeri yang akan kamu masuki untuk mendudukinya. Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa yang pada waktu mendengar segala ketetapan ini akan berkata: Memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi. Sebab bangsa besar manakah yang mempunyai allah yang demikian dekat kepadanya seperti Tuhan Allah kita, setiap kali kita memanggil kepada-Nya?" Jika kita berhasil menjalankan semua ini, orang akan melihat dan berkata yang sama tentang kita, "Memang keluarga ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi, sebab keluarga manakah yang mempunyai allah yang demikian dekat kepadanya seperti Tuhan Allah kita."

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tahun Pertama Pernikahan" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita berbicara tentang tiga hal yang perlu dikerjakan oleh pasangan yang baru menikah khususnya pada awal tahun pernikahan mereka. Kita akan lanjutkan perbincangan ini, supaya para pendengar kita kali ini punya gambaran yang lebih lengkap tentang apa yang kita perbincangkan mungkin Pak Paul bisa mengulang secara ringkas apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau.

PG : Pada dasarnya kita membicarakan tentang pentingnya memancangkan hal-hal yang positif di awal tahun pernikahan kita. Sebab ini akan menjadi modal yang dapat membuahkan buah-buah yang baik di dalam pernikahan kita kelak, misalnya kita membicarakan tentang pentingnya menetapkan aturan, aturan misalnya didalam kita menyelesaikan konflik, jangan sampai akhirnya konflik itu berkepanjangan. Misalnya saya mencatat tentang kita tidak boleh main tangan dan kita harus meredam suara kita, kita juga sudah membicarakan aturan misalnya dalam hal berhubungan dengan mertua atau keluarga pasangan, kita jangan sampai sembarangan berbicara kepada mertua kita, kita harus batasi dan jangan sampai nanti menimbulkan rasa sakit hati. Kita juga membicarakan tentang pentingnya menyuarakan pengharapan kita, jangan sampai kita menyembunyikan apa yang terkandung dalam isi hati kita, bicaralah apa adanya dan jangan sungkan-sungkan untuk membicarakan hal-hal yang peka misalnya seperti pengaturan keuangan, uang di tangan siapa dan bagaimana memakainya, itu adalah hal-hal yang harus dibicarakan. Pengaturan rumah, siapa yang mengatur makanan dan membersihkan rumah, tentang perkembangan karir dan pembayaran anak dan juga hubungan intim. Itu semua adalah hal-hal yang harus kita bicarakan. Yang ketiga adalah kita juga harus mulai menabung kebaikan di dalam celengan pernikahan. Yang saya maksud dengan kebaikan adalah bukan saja kita mengatakan kita mengasihi pasangan kita, tapi kita juga harus mewujudkannya dalam tindakan konkret yaitu menolongnya, makin banyak kita memberikan bantuan kepada pasangan, itu nanti akan menjadi tabungan sehingga jika nanti terjadi konflik maka pasangan akan mengingat kebaikan kita dan itu akan meredam kemarahan atau ketidakpuasannya. Jadi itulah hal-hal yang telah kita bicarakan di awal-awal tahun.

GS : Pada awalnya suami dituntut untuk mengetahui kebutuhan dasar istrinya yaitu rasa aman. Jadi selama istri bisa merasa aman dan si suami menciptakan rasa aman, rasanya sebagian besar kebutuhan emosional dari istri terpenuhi, sebaliknya kita sebagai suami membutuhkan rasa nyaman di rumah. Pulang kerja lelah, bisa merasa nyaman di rumah sampai malam, apakah itu menjadi kebutuhan mendasar, Pak Paul?

PG : Sangat baik sekali, Pak Gunawan merumuskannya dan saya sangat setuju, pada umumnya perempuan merindukan rasa aman; tugas kita sebagai laki-laki untuk menyediakan rasa aman misalkan kesetiaan kita, perlindungan kita atas masalah-masalah yang muncul, bagaimana menghadapinya, bagaimana kita menjaga perasaannya, itu semua akan menimbulkan rasa aman dalam dirinya. Dan dari pihak istri kita membutuhkan rasa nyaman, jadi sebaiknya istri juga menyiapkan rumah, menyiapkan suasana rumah yang nyaman sehingga ketika suami ada di rumah dia merasakan benar-benar ini merupakan tempat dia beristirahat yang dia tidak bisa temukan lagi di luar rumah.

GS : Kadang-kadang membicarakan jumlah anak yang diinginkan, itu juga sesuatu hal yang penting dibicarakan di awal pernikahan karena ada suami yang menginginkan anak banyak, tapi istri mengatakan, "Enak saja karena kamu tidak ikut mengurusi anak-anak" di sini juga diperlukan suatu titik temu, Pak Paul.

PG : Jangan ragu untuk menyuarakan pengharapan, sudah tentu tidak berarti begitu menyuarakan pengharapan pasangan kita langsung menganggukkan kepala dan berkata "Oke". Jadi kadang-kadang perlu waktu untuk bisa menyelaraskan dua pengharapan yang berbeda namun tetap ini penting dilakukan di awal-awal pernikahan. Jangan sampai kita memendamnya sehingga nanti akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dan kepahitan di dalam hidup kita. Jadi kita harus bicarakan kalau tidak ketemu titik temunya sekarang ini, maka tunda dulu nanti bicara lagi, kalau masih tidak bisa ketemu di tengah-tengah mungkin kita harus mencari orang ketiga, seorang pendeta atau konselor untuk menolong kita untuk bisa akhirnya sampai kepada titik temu.

GS : Ada kesepakatan antara suami dan istri. Pak Paul, pada kesempatan yang lalu Pak Paul sudah mengutarakan tiga hal yang perlu dikerjakan di awal pernikahan, maka hal yang keempat apa, Pak Paul?

PG : Yang keempat adalah kita harus membiasakan diri menyelesaikan konflik sampai tuntas, jadi yang ingin saya garis bawahi adalah tuntas. Godaan terbesar pada awal pernikahan adalah membiarkan atau menghindarkan konflik, masalahnya adalah konflik yang tak terselesaikan akan menjadi masalah yang terpendam yang akan dapat muncul kembali. Jika konflik yang tak terselesaikan menumpuk itu berarti sewaktu muncul, dia akan muncul dengan kekuatan yang lebih besar karena waktu kita ingat satu dan belum selesai dan kemudian ingat lagi yang satunya maka kita marah, ingat yang satunya lagi tambah marah, belum selesai yang satu sudah ingat yang satunya "Kamu juga pernah berbuat seperti ini kepada saya", jadi akhirnya merentet tidak habis-habis dan lebih susah untuk menyelesaikannya.

GS : Biasanya jalan ini ditempuh dari pada ramai-ramai, masih pengantin baru tapi sudah ramai karena pertengkaran, maka lebih baik ada yang diam yang tidak mau membicarakan atau tidak mau berkonflik dalam hal ini, bagaimana Pak Paul?

PG : Sudah tentu ada waktunya, maka kita harus diam dan tidak ribut, tidak apa-apa. Namun yang saya mau tekankan adalah jangan sampai itu menjadi cara kita berhadapan dengan konflik, "Diam saja dan tidak usah bicara lagi", jangan seperti itu sebab pada akhirnya ketidakpuasan akan terus berakar dan nanti suatu hari kelak akan keluar, maka untuk menariknya keluar bisa begitu berat karena banyak yang nanti harus dibahas.

GS : Pak Paul, seringkali apa yang menjadi masalah di dalam keluarga ini sehingga bisa menimbulkan konflik?

PG : Ada beberapa, yang pertama misalnya kesalahpahaman, dua pribadi yang berbeda tentulah memunyai gaya bicara yang berbeda, gaya mendengarkan berbeda, gaya menyuruh yang berbeda, gaya bersuara berbeda, dan gaya-gaya lainnya yang berbeda. Itu sebabnya kesalahpahaman mudah sekali terjadi. Tidak bisa tidak, kita harus sering-sering menjelaskan maksud perbuatan atau perkataan kita supaya kesalahpahaman tidak terulang dan berkepanjangan.

GS : Masalahnya ini dalam komunikasi saja, bagaimana kita mengkomunikasikan agar pasangan kita bisa mengerti apa yang kita komunikasikan. Tapi seringkali tidak ketemu juga.

PG : Jadi kita pada akhirnya harus bersedia mengubah gaya kita, tidak bisa kita berkata, "Pokoknya ini gaya saya dan saya tidak punya maksud seperti itu sehingga saya tidak peduli kamu melihatnya bagaimana". Harus ada hal-hal yang kita ubah dan tidak berarti semua harus kita ubah, tidak. Tapi ada hal-hal yang harus berani kita ubah. Sebagai contoh ada orang yang kalau minta tolong tidak bisa berkata, "Kamu bisa tolong saya ambil itu?" Dia tidak bisa seperti itu tapi dia selalu langsung ke poinnya "Ambilkan itu". Pasangannya akan berkata, "Memangnya saya ini pegawaimu, sehingga kamu menyuruh saya seperti itu" yang satu berkata, "Saya biasa bicara seperti ini bahkan kepada kakak dan adik, saya juga seperti ini bicaranya". Kita tidak bisa berkata kepada pasangan kita, "Karena saya seperti ini maka saya akan seperti ini terus". Jadi kita juga harus berpikir lagi apakah kita bisa tambahkan kata "tolong", dan kita pikir lagi apa susahnya menambah kata tolong, jadi kita mencoba untuk berubah.

GS : Pada intinya kita mau berubah atau tidak, kita mau belajar dan berubah atau tidak. Hal lain yang menjadi sumber konflik apa, Pak Paul?

PG : Perbedaan. Ada banyak keputusan yang harus diambil bersama dalam pernikahan dan tidak bisa tidak dua pribadi yang berbeda akan melihat sesuatu secara berbeda pula, sebagai akibatnya terjadilah perbedaan pendapat yang berakhir dengan pertengkaran. Ada banyak sekali keputusan yang harus diambil bersama. Biasanya di tahun pertama pernikahan, tahun dimana kita menempati rumah yang baru, berarti harus membeli perkakas atau perabotan, dan itu bisa menjadi sumber konflik karena akan ada yang melihat kegunaan, ada yang akan melihat keindahan. Jadi yang satu menekankan keindahan, yang satu akan berkata, "Buat apa indah tapi tidak ada gunanya", yang satu berkata, "Buat apa membeli yang seperti itu, simpel minimalis tapi tidak ada unsur keindahan". Jadi itu bisa menjadi bahan keributan. Memang perbedaan adalah hal yang muncul secara alamiah di dalam pernikahan.

GS : Atau tentang cat tembok, satu minta warna yang ini dan yang lain minta yang itu dan seringkali tidak ada titik temu.

PG : Betul sekali, ada teman saya yang memunyai rumah baru dan dia bangun rumah itu dan mereka memanggil seorang pemborong, ada arsiteknya untuk membangun, untuk menggambar tapi idenya dari suami istri ini, dan dia katakan kepada saya bahwa dia kapok/jera, lebih baik membeli rumah yang sudah jadi karena ribut terus, istrinya mau ini dan dia maunya itu dan itulah yang terjadi.

GS : Apakah ada hal lain yang bisa menjadi sumber konflik, Pak Paul?

PG : Kekecewaan, tidak selalu pasangan melakukan apa yang kita kehendaki. Sudah tentu hal ini akan menimbulkan kekecewaan, namun adakalanya pasangan bukan saja tidak melakukan apa yang kita inginkan ia pun melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan. Sudah pasti perbuatan ini akan menimbulkan kekecewaan yang dalam. Jadi intinya adalah konflik harus diselesaikan dan untuk itu diperlukan usaha yang terus menerus. Semakin sering kita mengusahakan penyelesaian konflik maka makin mampu kita bisa menyelesaikannya, sebaliknya makin jarang kita mengusahakan penyelesaian konflik maka makin kurang mampu kita menyelesaikannya. Jadi di awal pernikahan jangan takut untuk berkonflik selama masih ada komitmen bersama untuk menyelesaikannya.

GS : Kelelahan fisik dan mental seringkali juga menjadi penyebab konflik di awal pernikahan. Biasanya kita di rumah orang tua, semua sudah ada yang mengatur entah itu orang tua atau pembantu rumah tangga. Di awal pernikahan dimana keuangan juga masih minim, kita tidak menggunakan jasa pembantu rumah tangga, kita harus melakukannya sendiri, siang hari sudah bekerja dan ketika di rumah juga bekerja dan kelelahan ini seringkali memicu konflik.

PG : Betul sekali, apalagi jika dua-dua bekerja berarti dua-dua letih dan kalau tidak ada orang yang membantu di rumah maka seringkali itu bisa menimbulkan konflik.

GS : Sebenarnya pada waktu kita masih segar dan bugar omongan itu tidak memicu masalah, tapi ketika kita lelah maka perkataan sedikit lalu menimbulkan kemarahan.

PG : Betul. Maka kita harus tahu bagaimana mengatur waktu, mengatur kapan kita bicara dan sebagainya, memang ada baiknya ini semua sudah dibicarakan sehingga kita tahu waktu kita pulang ke rumah, apa yang menjadi tugas kita dan apa yang menjadi tugas dia. Jadi masing-masing mengurus tugasnya masing-masing dan baru malamnya bisa rileks, menikmati waktu bersama.

GS : Hal lain yang perlu dikerjakan di awal pernikahan apa, Pak Paul?

PG : Kita harus membiasakan diri melakukan aktifitas yang menumbuhkan keintiman. Jadi sejak awal biasakan untuk pergi bersama, berekreasi, menikmati musik atau film, bercengkerama sebelum tidur dan berhubungan intim secara teratur. Semua ini adalah kegiatan yang berpotensi menambah kedekatan di antara kita. Sebab dalam dunia yang penuh kesibukan ini kita harus "berkelahi" melawan hal-hal lain yang dapat menyedot perhatian kita dan membuat hubungan kita makin merenggang, itu sebabnya penting bagi kita memulai pernikahan dengan kebiasaan baik ini. Juga kita harus menyadari bahwa keintiman adalah seperti air yang membasahi daun yang membuatnya tidak mudah terbakar, relasi yang kurang keintiman menjadikan relasi itu seperti daun yang kering, yang mudah terbakar. Jadi singkat kata, tanpa keintiman relasi pernikahan mudah terbakar konflik dan kemarahan, sebaliknya relasi yang diisi dengan keintiman akan membuatnya tidak mudah tersulut oleh api konflik.

GS : Justru yang seringkali terjadi di awal-awal pernikahan, keintiman itu mulai memudar dibandingkan dengan masa bulan madu, dimana mereka bisa intim apalagi dengan masa pacarannya. Karena kesibukan kerja sehari-hari pulang sampai sore, untuk melakukan kegiatan intim bersama juga sulit bagi suami istri yang memasuki tahun pertama ini.

PG : Betul. Jadi memang perlu ada komitmen bersama untuk menetapkan waktu bahwa ini penting kita lakukan. Jadi kita harus sediakan waktu untuk itu, kalau tidak maka cepat sekali dua-duanya akan terbawa arus tuntutan kesibukan masing-masing sehingga tanpa disadari relasi mereka makin merenggang.

GS : Apalagi dengan hadirnya anak pertama, itu juga bisa merenggangkan hubungan mereka, si istri sibuk sekali dengan anaknya dan bagi si suami ini kesempatan untuk melarikan diri.

PG : Maka perlu ada komitmen kalau kita mau menjaga relasi agar jangan sampai makin merenggang, jadi harus ada komitmen untuk membagi waktu bersama.

GS : Dan itu bukan hanya komitmen tapi ada harga yang harus dibayar dan kemungkinan dia tidak lagi bisa menikmati hobinya atau tidak bisa menikmati sesuatu yang di senanginya, begitu Pak Paul?

PG : Benar, dan itu adalah bagian dari pernikahan. Kita harus rela melepaskan hal-hal yang tadinya kita senang lakukan dan karena sekarang sudah ada anak maka tidak bisa lagi, maka kita harus terima itu dan tidak bisa kita paksakan diri terus sebab akhirnya kalau kita paksakan maka pasangan kita akan berkata, "Kamu ini begitu egois dan kamu tidak bisa melihat saya begitu sibuk dan kamu terus saja melakukan apa yang senang kamu lakukan".

GS : Jadi kalau si istri itu adalah seorang wanita karier yang bekerja, pulang kerja sudah kelelahan. Tapi kalau si istri adalah ibu rumah tangga dia kelelahan tapi kalau di rumah dia bosan, dia mau mengajak suaminya untuk jalan-jalan namun suaminya yang kelelahan karena sudah bekerja seharian dan sore masih mengantar istrinya jalan-jalan. Di sini kadang-kadang tidak ketemu, Pak Paul.

PG : Maka di sini harus ada pembicaraan, misalnya suami berkata, "Saya mengerti kamu itu jemu, kamu ingin pergi keluar maka sekarang kita tetapkan dalam satu minggu ada satu hari misalnya hari apa". Kita pria yang bekerja tahu hari apa yang tidak terlalu sibuk maka kita bisa pulang agak pagi dan kita tetapkan hari itu sehingga kita siap untuk bisa bersama dengan dia.

GS : Pak Paul, apakah ada hal lain yang harus kita kerjakan di awal pernikahan?

PG : Yang terakhir adalah sejak awal kita harus mengutamakan Tuhan di atas segalanya. Jadi biasakanlah untuk menjadikan hari Minggu sebagai hari Tuhan dimana kita berbakti, kita melayani Tuhan dan biasakan membaca Alkitab dan bersaat teduh setiap hari dan biasakan untuk memberi persembahan kepada Tuhan sesuai dengan berkat yang dilimpahkan-Nya kepada kita untuk menunjukkan rasa syukur kita kepada-Nya. Biasakan untuk berdoa bersama setiap malam dan biasakan untuk berbagi berkat rohani. Jadi dengan kata lain jadikan Tuhan pusat kehidupan dan tunduklah kepada kehendak-Nya, biasakan sejak awal untuk mencari kehendak-Nya dalam memutuskan sesuatu, biasakan menomor duakan materi dan menomor satukan semua yang penting bagi Tuhan seperti membangun relasi dengan sesama dan mengenalkan Kristus kepada sesama. Jadi kalau dari awal kita sudah mengambil komitmen untuk mengutamakan Tuhan di dalam kehidupan kita, ini menjadi lebih mudah untuk nantinya kita teruskan. Peliharalah kebiasaan-kebiasaan yang baik yang memang merupakan kebiasaan rohani yang sehat itu, jangan sampai karena kita menikah semua kebiasaan itu luntur, seperti kebiasaan membaca Alkitab, kebiasaan membaca buku rohani, kebiasaan berbagi cerita tentang pengalaman rohani, biasakan untuk terus melakukan semua itu dan ini akan bisa bukan saja mengikat kita berdua dalam pernikahan yang harmonis, tapi akan tetap menjaga kedekatan kita dengan Tuhan pula.

GS : Dalam banyak kasus sekalipun mereka seiman tapi pertumbuhan iman mereka itu tidak bisa atau tidak sama pertumbuhannya sehingga yang satu menyukai hal-hal rohani dan pasangannya kurang menyukai, bukan membenci tapi kurang menyukai, Pak Paul.

PG : Memang jarang sekali dua-dua memunyai pertumbuhan rohani yang sama, adakalanya yang satu sudah bertumbuh tapi yang satunya belakangan sudah mulai tua dan baru mulai memunyai minat rohani, itu yang sering terjadi. Jadi yang akan dilakukan kadang-kadang yang lebih sehat adalah daripada menuntutnya, mengharuskannya atau memarahinya, "Kenapa dia tidak begitu dan begini" maka lebih baik kita hanya dalam hati mendoakannya, daripada kita menuntut-nuntut, bukannya membaik tapi memburuk, lebih baik mendoakannya dan biarlah nanti Tuhan yang berbicara langsung kepada dia dengan cara Tuhan secara khusus sehingga dia disadarkan untuk mencari Tuhan dalam hidupnya.

GS : Itu sebabnya Alkitab mengatakan, "Yang kuat harus menolong yang lemah dalam hal ini".

PG : Betul sekali. Lebih baik lewat contoh-contoh kehidupan yang konkret, kehidupan kita yang saleh, kita mencerminkan kasih Kristus kepadanya sehingga lama kelamaan dia akan kembali untuk mencari Tuhan kembali.

GS : Seringkali kita itu lebih gampang bersaksi atau menolong orang lain yang tidak punya ikatan pernikahan dengan kita daripada pasangan hidup kita yang setiap hari melihat tingkah laku kita.

PG : Itu sebabnya kita harus hati-hati dengan menyuruh pasangan yang berkaitan dengan hal-hal rohani karena kita tidak sempurna, karena kita hidup serumah dengan dia. Kalau hidup kita masih banyak kelemahan, itu justru akan menjadi bumerang, karena dia akan merasa tawar hati sebab dia melihat kalau kita menyuruh-nyuruh dia berbuat ini dan itu tapi dia melihat hidup kita tidak begitu beres, kita masih banyak kemarahan dan kita kalau bicara kasar dan suka membicarakan orang, maka dia akan berkata, "Dia tidak begitu, tapi kamu begitu dan kamu menyuruh-nyuruh saya untuk dekat dengan Tuhan dan sebagainya". Jadi sekali lagi kalau kita mengikuti perintah Tuhan maka tidak salah, perintah Tuhan dengan jelas berkata di 1 Petrus, yang kita menangkan bukan lewat perkataan tapi lewat perbuatan.

GS : Seringkali istri yang dulunya memang aktifis di gereja sampai menikah pun kadang-kadang tidak bisa atau sulit melepaskan kegiatan itu. Banyak suami yang mengeluh ketika pulang kerja istrinya tidak ada dan ternyata di gereja dan ini menimbulkan ketegangan pada awal pernikahan, Pak Paul.

PG : Bisa, sekali lagi di awal pernikahan dua-dua harus saling menyuarakan pengharapannya, tentu kita tidak bisa berkata kepada istri kita, "Pokoknya saya pulang kerja kamu harus selalu ada di rumah", kita juga harus fleksibel tapi kita juga tidak bisa istri kita hampir setiap hari tidak ada di rumah, jadi harus ada kesepakatan, "Kalau mau terlibat pelayanan apakah bisa misalnya di hari biasa hanya satu malam saja dan selebihnya jangan". Jadi memang harus ada saling menyesuaikan.

GS : Pak Paul, dalam hal ini apakah yang di katakan firman Tuhan?

PG : Di Ulangan 4 :5-7 firman Tuhan berkata, "Ingatlah, aku telah mengajarkan ketetapan dan peraturan kepadamu, seperti yang diperintahkan kepadaku oleh TUHAN, Allahku, supaya kamu melakukan yang demikian di dalam negeri, yang akan kamu masuki untuk mendudukinya. Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa yang pada waktu mendengar segala ketetapan ini akan berkata: Memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi. Sebab bangsa besar manakah yang mempunyai allah yang demikian dekat kepadanya seperti TUHAN, Allah kita, setiap kali kita memanggil kepada-Nya?" Ini adalah perkataan Musa kepada umat Israel, jadi Musa mengingatkan kepada orang Israel untuk terus menaati perintah Tuhan dengan setia, sebab kata Musa ini akan memerlihatkan kebijaksanaan dan akal budi mereka di mata bangsa-bangsa lain. Jadi kita sebagai keluarga Kristen kita juga harus mengejar hal-hal baik, hal-hal yang berguna untuk saling membangun dan yang berkaitan dengan damai sejahtera, supaya nanti orang lain bisa melihat dan berkata bahwa, "Memang keluarga ini atau pernikahan ini adalah pernikahan yang bijaksana dan berakal budi" karena kita dekat dengan Tuhan, jadi akhirnya pernikahan kita membawa kemuliaan bagi nama Tuhan".

GS : Saya percaya perbincangan ini makin mengukuhkan mereka yang akan menikah, mereka tidak takut untuk memasuki tahun pertama pernikahan walaupun banyak gejolak yang terjadi di sana, karena pedoman ini sudah disampaikan cukup jelas dan terlebih firman Tuhan yang Pak Paul bacakan. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tahun pertama pernikahan" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



58. Segitiga Cinta


Info:

Nara Sumber: Ev. Sindunata Kurniawan, M.K.
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T363A (File MP3 T363A)


Abstrak:

Segitiga cinta yang masing-masing sudutnya kita beri nama keintiman, nafsu, dan komitmen ternyata bisa menghasilkan 7 jenis hubungan antara lain rasa suka, cinta kosong, tergila-gila, cinta karib/persahabatan, cinta bodoh, cinta romantis dan cinta sempurna. Simaklah penjelasan masing-masing secara rinci, silakan menikmati.


Ringkasan:

Dalam buku yang ditulis oleh seorang ilmuan bernama Robert Sternberg, kita akan memelajari tentang model segitga cinta, kenapa disebut sebagai segitiga cinta, karena model ini menggambarkan bahwa cinta memiliki tiga komponen dasar yakni: keintiman, nafsu dan komitmen.

Sebagai sebuah model atau gambar, ketiga komponen ini mewakili tiga sudut sebuah segitiga sehingga disebut sebagai segitiga cinta dan dari ketiga sudut tersebut muncullah tujuh jenis hubungan yang antara lain :

  1. Di sudut keintiman, yakni adalah hubungan yang hanya memiliki komponen keintiman saja. Disebut Rasa Suka (liking). Disini terjadi pertemanan saja dengan tanpa daya tarik atau nafsu seksual maupun komitmen jangka panjang. Ada rasa suka, dekat, intim secara emosional tapi tanpa daya tarik seksual maupun komitmen jangka panjang. Jadi sewaktu-waktu hubungan ini bisa ditinggalkan atau dihentikan, karena memang tanpa komitmen.
  2. Jenis hubungan kedua berada di sudut komitmen. Hubungan yang hanya memiliki komponen komitmen saja. Disebut Cinta Kosong (Empty Love). Keputusan atau komitmen untuk mencintai orang lain dengan tanpa sama sekali keintiman emosional/rasa dekat dan nafsu/daya tarik seksual. Bisa dikatakan bentuk hubungan yang berjalan langgeng tapi kering, maka disebut cinta kosong. Ibarat amplop tanpa surat.
  3. Jenis hubungan yang berada di sudut nafsu. Hubungan yang hanya memiliki nafsu saja, disebut tergila-gila, Cinta Nafsu (Infatuation). Hubungan yang semata digerakkan oleh dorongan seksual, penuh gairah seksual dan hanya mengejar pemuasan seksual. Keintiman emosional dan komitmen tidak ada sehingga dalam hubungan macam ini perasaan orang bisa merasa kosong, dikhianati, diperalat dan sama sekali tidak dikasihi.
  4. Jenis hubungan yang berada di sisi segitiga cinta di antara sudut keintiman dan sudut komitmen. Jadi hubungan yang memiliki gabungan komponen keintiman dan komitmen. Disebut Cinta Karib/Cinta Persahabatan (Companionate Love). Hubungan ini merupakan pertemanan yang bersifat jangka panjang, dengan tanpa komponen daya tarik atau dorongan seksual. Berbeda tadi dengan hubungan yang hanya memiliki komponen keintiman, yang disebut Rasa Suka. Kalau Rasa Suka tadi tanpa komitmen, maka Cinta Karib/Cinta Persahabatan memiliki komitmen sehingga hubungan ini lebih bersifat terpelihara dan langgeng.
  5. Jenis hubungan yang kelima, berada di sisi segitiga di antara sudut komitmen dan sudut nafsu. Jenis hubungan yang memiliki gabungan komponen nafsu dan komitmen. Disebut Cinta Bodoh/Cinta Tanpa Pengenalan (Fatuous Love). Jenis hubungan ini bisa terjadi pada pria dan wanita yang setelah bertemu hanya beberapa kali dan belum begitu mengenal, sudah melakukan hubungan seksual, kemudian menikah. Setelah menikah, masing-masing pun merasa tidak perlu meningkatkan mutu kehidupan pernikahan mereka dan tidak ada dialog dari hati ke hati.
  6. Jenis hubungan yang berada di sisi segitiga di antara titik sudut nafsu dan titik sudut keintiman. Jenis hubungan yang memiliki gabungan komponen keintiman dan nafsu, disebut Cinta Romantis.
  7. Jenis hubungan yang ketujuh atau terakhir berdasarkan model segitiga cinta berada di dalam segitiga, di tengah-tengah segitiga. Jenis hubungan yang memiiki gabungan komponen keintiman, nafsu dan komitmen. Disebut Cinta Sempurna, Cinta Lengkap (Consummate Love). Cinta ini dinyatakan sebagai bentuk cinta yang ideal, namun tidak mudah untuk dicapai karena cinta manusia itu bukanlah barang statis dan menetap, melainkan bisa berubah-ubah oleh berbagai situasi, sehingga memiliki cinta yang mengandung tiga komponen secara bersama-sama. Memang bisa dicapai tapi juga rentang dengan perubahan waktu dan kondisi. Suami istri di awal pernikahan bisa dominan dengan Cinta Romantis, sejalan dengan proses belajar akhirnya memiliki Cinta Lengkap lalu sejalan usia dimana gairah seksual makin menurun akhirnya beralih menjadi Cinta Karib/ Cinta Persahabatan. Itu hal yang normal dan tidak ada yang salah.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga), acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan,M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Segitiga Cinta". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, sebenarnya apa yang dimaksud dengan segitiga cinta yang menjadi tema kali ini, Pak?

SK : Di dalam kita memahami cinta, kita bisa tertolong dengan penjelasan yang dibuat oleh seorang ahli yang bernama Bp. Robert Stainberg, penjelasan Stainberg ini disebut dengan model segitiga cinta. Disebut model segitiga cinta karena model ini menggambarkan bahwa cinta memiliki tiga komponen dasar yaitu keintiman, nafsu dan komitmen.

H : Lalu apa saja maksud dari komponen tersebut?

SK : Yang pertama adalah keintiman atau bahasa Inggrisnya adalah 'intimacy' yaitu komponen afektif atau komponen emosi perasaan, yaitu kedekatan yang dirasakan oleh dua orang dan sekaligus merupakan kekuatan dari ikatan yang menahan bersama hubungan itu. Itu yang pertama. Komponen yang kedua adalah nafsu, terjemahan dari bahasa Inggris yaitu 'passion' adalah komponen yang bersifat lahiriah atau biologis yaitu dorongan untuk mendekat, menyatu atau memuaskan dorongan seksual. Komponen yang ketiga dari segitiga cinta ini adalah komitmen yaitu mewakili komponen kognitif atau komponen pertimbangan dan pikiran. Yaitu pertimbangan untuk mengambil keputusan mencintai, pertimbangan untuk mengambil keputusan ingin bersama dengan seseorang yang kemudian mereka mengikatkan diri dalam hubungan yang resmi serta memertahankan hubungan itu, itulah yang disebut dengan komitmen. Jadi kalau digambarkan, itu terjadi sebuah segitiga dimana ketiga komponen tadi keintiman, nafsu dan komitmen mewakili tiga sudut dari segitiga itu, maka lahirlah istilah segitiga cinta.

H : Menarik sekali bahwa disini Robert Stainberg menguraikan cinta menjadi bagian-bagian yang dapat dipisahkan, sesuatu yang tidak pernah muncul di pikiran saya, selama ini berpikir bahwa berbicara tentang cinta bersifat tunggal dan sekaligus tidak dapat dijelaskan.

SK : Memang penguraian dari Robert Stainberg ini menarik bagi kita semua yaitu merupakan sebuah pengamatan yang jeli, jadi Stainberg ini mengamati dengan jeli dan dia begitu bisa membantu kita untuk memahami apa itu cinta, bukankah bicara tentang cinta itu sesuatu yang melekat dalam hidup kita sebagai manusia, tapi sisi yang lain cinta itu terasa seperti misteri yaitu dekat, di satu sisi dekat, tapi sisi lain juga terasa tidak mudah atau bahkan cukup sulit untuk kita bisa menjelaskan apa itu cinta.

H : Dari tiga komponen cinta, apakah memunculkan pemahaman lain tentang cinta itu sendiri?

SK : Benar Pak Hendra, dari segitiga cinta yang terdiri dari tiga komponen tadi yaitu keintiman, nafsu dan komitmen maka memunculkan tujuh jenis hubungan.

H : Menarik sekali, apa saja itu Pak Sindu?

SK : Untuk menjelaskan ini coba saya ajak kita bisa membayangkan dalam benak kita, dalam pikiran kita ada sebuah segitiga dengan tiga sudutnya masing-masing. Coba bayangkan dalam benak kita segitiga itu memunyai tiga sudut yaitu sudut keintiman, sudut komitmen, sudut nafsu. Saya akan jelaskan lebih dulu jenis hubungan yang berada di masing-masing sudut segitiga tadi. Yang pertama yaitu adalah sudut keintiman, yakni yang dimaksud adalah adanya hubungan yang hanya memiliki komponen keintiman saja. Jadi disini tanpa ada unsur nafsu tanpa ada unsur komitmen, hanya keintiman saja. Hubungan yang hanya diwarnai dengan komponen keintiman ini disebut rasa suka atau dalam bahasa Inggris 'Liking'. Jadi dalam hubungan yang bernama rasa suka ini bisa terjadi pertemanan antar dua orang, tapi pertemanan ini tidak ada sama sekali daya tarik seksual atau dorongan seksual. Juga tidak ada komitmen jangka panjang. Jadi ada rasa suka, rasa ingin dekat, ada rasa intim secara emosional tapi tanpa daya tarik seksual atau komitmen jangka panjang. Jadi hubungan pertemanan semacam ini sewaktu-waktu bisa ditinggalkan atau dihentikan karena memang tanpa komitmen.

H : Saya melihat jenis hubungan yang pertama ini yang disebut sebagai rasa suka, umum kita jalani dalam keseharian kita dalam hubungan pertemanan?

SK : Tepat. Kita dalam keseharian bisa berteman baik dengan rekan yang sejenis maupun lawan jenis, bisa merasa dekat tanpa sedikit pun diwarnai ketertaikan seksual, namun setelah jangka waktu tertentu mungkin tiga bulan, enam bulan, satu tahun, pertemanan itu bisa terhenti atau terputuskan. Mungkin hubungan pertemanan itu putus karena pindah sekolah, melanjutkan ke jenjang SMA yang berbeda, satunya di sekolah yang ini dan teman yang lain di sekolah yang berbeda. Jadi akhirnya hubungan pertemanan itu terputuskan atau pindah pekerjaan, atau mungkin bahkan pindah kota atau mungkin juga hubungan pertemanan itu bisa putus karena ada konflik yang terasa tidak nyaman sehingga kita jadinya tidak mau ngobrol dan dekat dengan dia dan lebih baik putus saja hubungan itu. Itulah hubungan pertemanan yang tadi diistilahkan ada rasa suka dan hanya memiliki unsur keintiman saja, unsur keintiman emosional.

H : Kemudian bagaimana dengan sudut hubungan komitmen?

SK : Jenis hubungan yang kedua yaitu memang berada di sudut komitmen yaitu hubungan yang hanya memiliki komponen komitmen saja, namanya adalah cinta kosong, 'empty love'. Jadi di sini ada keputusan, ada komitmen, aku mau memertahankan hubungan ini, aku mau mencintai orang lain tapi hanya keputusan saja, keputusan yang bersifat pikiran kognitif saja tanpa sama sekali unsur keintiman emosional, tanpa keinginan ada rasa dekat, juga tanpa unsur 'passion' atau nafsu atau daya tarik seksual. Jadi dapat dikatakan ini cinta kosong artinya bentuk hubungan yang berjalan bisa langgeng karena unsurnya komitmen tapi kering secara emosional, maka ini diibaratkan seperti amplop tanpa surat.

H : Kalau boleh saya tambahkan seperti lagu tanpa melodi atau seperti rekening bank tanpa sesenpun rupiah di dalamnya.

SK : Tepat. Jadi ini satu kondisi yang ironis, ibaratnya kita mendapatkan amplop tanpa surat, lagu tanpa melodi, rekening bank tanpa sesenpun rupiah. Itu memang sesuatu yang ironis, makanya disebut cinta yang kosong yaitu cinta yang hanya punya satu unsur, komitmen saja.

H : Jenis hubungan yang ketiga itu bagaimana, Pak Sindu?

SK : Jenis hubungan yang ketiga berada di sudut nafsu yaitu hubungan yang hanya memiliki nafsu saja, istilahnya dalam bahasa Inggris 'infatuation' kalau dalam bahasa Indonesia tergila-gila, cinta nafsu yaitu hubungan yang semata-mata digerakkan oleh daya tarik seksual atau dorongan seksual, hubungan yang penuh dengan gairah seksual dan hanya mengejar pemuasan seksual saja. Jadi disini memang yang disebut tergila-gila, cinta nafsu memang tidak ada sama sekali keintiman emosional, kedekatan secara emosi tidak ada. Tidak ada juga komitmen, sehingga dalam hubungan sejenis ini perasaan orang bisa merasa kosong, orang bisa akhirnya merasa dimanfaatkan, orang hanya ingin tubuhku saja, aku merasa diperalat, orang juga bisa merasa dikhianati dan samasekali merasa aku tidak dikasihi dan hanya dimanfaatkan, itu jenis hubungan ketiga cinta nafsu atau tergila-gila.

H : Terasa berbeda-beda sekali hubungan yang hanya memiliki satu komponen, baik itu komponen keintiman saja, komitmen saja, atau nafsu saja. Bagaimana dengan jenis-jenis hubungan yang lainnya, Pak Sindu?

SK : Sekarang kita akan melihat jenis hubungan yang keempat, jenis hubungan yang keempat dan seterusnya merupakan gabungan dari dua komponen, tadi satu komponen dari tiga hubungan yang tadi. Sekarang mulai dari hubungan yang keempat kita akan melihat jenis hubungan yang merupakan gabungan dua komponen dari tiga komponen cinta. Jadi dalam hal ini, kita akan melihat jenis hubungan yang keempat yaitu yang berada, coba sekali lagi kita bayangkan gambar segitiga di benak kita, sekarang kita perhatikan sisi segitiga yang di antara sudut keintiman dan sudut komitmen. Jadi di sisi itu, garis dari segitiga itu. Jadi hubungan jenis keempat ini adalah hubungan yang memiliki gabungan antara komponen keintiman dan komponen komitmen, disebut cinta karib atau cinta persahabatan. Hubungan ini merupakan pertemanan yang bersifat jangka panjang karena memang ada komponen komitmen tidak hanya komponen keintiman, tetapi tidak ada komponen daya tarik atau dorongan seksual, jadi kembali dua komponen keintiman dan komitmen. Maka dalam hal ini kita bisa melihat berbeda dengan jenis hubungan yang hanya memiliki komponen keintiman yang namanya rasa suka tadi, kalau rasa suka tidak ada komitmen jadi hubungan pertemanan bisa sewaktu-waktu putus dengan gampangnya, tapi ini berbeda; cinta karib atau cinta persahabatan ada keintiman emosional tapi ada komitmen, sehingga hubungan ini lebih bersifat terpelihara dan langgeng.

H : Dan juga berbeda dengan 'empty love' tadi. Kalau saya renungkan sebenarnya inilah yang terjadi pada umumnya hubungan persahabatan baik di antara sesama pria atau pria dengan wanita sekalipun bukan hubungan sebagai sepasang kekasih atau pasangan hidup, bagaimana Pak?

SK : Saya sependapat dengan yang diamati oleh Pak Hendra. Jadi memang yang selama ini dalam keseharian kita, kita satu dengan yang namanya persahabatan. Jadi namanya persahabatan levelnya itu lebih mendalam daripada pertemanan dan memang pada dasarnya persahabatan itu dihubungkan, diikatkan atau dieratkan oleh yang namanya cinta karib atau cinta persahabatan dimana ada komponen keintiman, ada komponen komitmen didalam hubungan persahabatan tersebut. Jadi komponen komitmen inilah yang membuat sekali pun pindah kota, sekali pun ada konflik yang cukup berat, hubungan tersebut tidak mudah diputuskan karena ada komitmen, sementara yang tanpa komitmen begitu sudah merasa bosan merasa sedikit tidak cocok maka ditinggalkan dan itulah yang tadi disebut pertemanan namanya rasa suka.

H : Pak Sindu, kalau cinta karib atau cinta persahabatan ini adalah jenis hubungan yang keempat lantas bagaimana jenis hubungan yang kelima?

SK : Jenis hubungan yang kelima, coba kita bayangkan, itu berada di satu garis sisi segitiga di antara sudut komitmen dan sudut nafsu. Jadi jenis hubungan ini memunyai gabungan komponen nafsu dan komponen komitmen, namanya cinta bodoh atau cinta tanpa pengenalan.

H : Unik juga disebut cinta bodoh, ternyata memang ada yang disebut cinta bodoh, ternyata cinta juga membutuhkan pendidikan, supaya tidak disebut cinta bodoh.

SK : Gambaran yang tepat. Jadi yang disebut pendidikan oleh Pak Hendra adalah pengenalan yang membuat lahirnya keintiman emosional, komponen keintiman disini. Jadi jenis hubungan ini bisa terjadi pada pria dan wanita yang setelah bertemu hanya beberapa kali dan belum begitu mengenal, tetapi sudah melakukan hubungan seksual dan kemudian menikah. Dan setelah menikah masing-masing pun rupanya merasa tidak perlu meningkatkan mutu kehidupan pernikahan mereka, tidak ada dialog dari hati ke hati. Jadi adanya komitmen memertahankan hubungan semata-mata hanya berdasarkan nafsu atau ketertarikan seksual, tetapi tidak ada keintiman emosional yang berkembang.

H : Karena itulah disebut cinta bodoh. Jenis hubungan yang berikutnya, apa Pak Sindu?

SK : Jenis hubungan yang keenam berada di sisi segitiga di antara titik sudut nafsu dan titik sudut keintiman. Jadi jenis hubungan ini memiliki gabungan komponen keintiman dan komponen nafsu, disebut dengan cinta romantis.

H : Kenapa disebut cinta romantis?

SK : Disebut romantis, seperti biasanya kita membayangkan cinta romantis, apa yang dibayangkan Pak Hendra jika berbicara tentang romantis?

H : Saya membayangkan 'candle light', malam yang remang-remang. Apa seperti itu?

SK : Tepat sekali, itu suasana yang disebut suasana romantis, kenapa? Karena memang itu menggambarkan suatu keintiman emosional, ada satu kedekatan secara emosional, kangen atau rindu, tapi sisi yang lain ternyata bukan hanya rasa kangen dan rindu, tapi ada unsur 'passion', gairah seksual, ketertarikan seksual, cantik, ganteng dan kemudian ada dorongan untuk bersentuhan secara fisik dan itulah yang disebut dengan cinta romantis. Yang disebut romantisme memiliki dua komponen, jadi kembali komponen keintiman emosional dan komponen ketertarikan atau dorongan seksual.

H : Tapi minus komitmen.

SK : Tentu demikian, jadi rupanya yang disebut cinta romantis itu memang bukan satu cinta yang sempurna. Jadi penjelasan Robert Stainberg ini ternyata bukan cinta yang sempurna, karena justru unsur komitmennya belum ada.

H : Kalau saya boleh menduga yang sempurna itu hubungan yang ketujuh?

SK : Tepat. Tadi kita sudah memerhatikan jenis hubungan yang pertama, kedua dan ketiga di masing-masing sudut segitiga, kemudian jenis yang keempat, kelima dan keenam itu di masing-masing sisi dari segitiga cinta tadi. Sementara jenis hubungan yang terakhir atau yang ketujuh itu berada di dalam segitiga itu tepatnya di tengah-tengah segitiga. Jadi kita bisa bayangkan jenis hubungan ini memiliki gabungan komponen ketiga-tiganya, baik itu komponen keintiman, komponen nafsu, komponen komitmen. Ketiga-tiganya ada pada jenis hubungan yang ketujuh ini dan inilah yang tadi Pak Hendra sebut sebagai cinta sempurna atau saya bisa bahasakan yang lain yaitu cinta yang lengkap, jadi bukan 'pahe' atau paket hemat tapi ini paket 'all in', semua ada dan inilah sebenarnya bentuk cinta yang ideal, sekalipun kenyataannya tidak mudah untuk dicapai.

H : Kenapa tidak mudah dicapai, Pak Sindu?

SK : Memang sebagaimana kita bisa alami dan mengamati orang lain, cinta itu memang bukan barang statis, bukan barang mati bukan barang yang bersifat menetap. Cinta itu adalah unsur yang ada di dalam jiwa kita. Jadi didalam hal ini kita bisa pahami yang namanya cinta manusia itu bisa berubah-ubah oleh berbagai situasi, sehingga memiliki cinta yang mengandung tiga komponen tadi itu secara bersama-sama memang bisa dicapai. Jadi kita memang bisa memiliki cinta yang lengkap, cinta yang sempurna tadi yang memiliki baik ada unsur keintiman, emosional, ada unsur nafsu dorongan ketertarikan seksual memiliki unsur komitmen, tapi satu sisi juga rentan dengan perubahan yang terjadi oleh karena perubahan waktu, perubahan kondisi, seperti itu Pak Hendra.

H : Apakah Bapak bisa memberikan contoh konkretnya misalnya dalam kehidupan atau relasi percintaan atau suami istri?

SK : Bisa. Jadi sebagaimana itu yang umum banyak terjadi apalagi di jaman sekarang suami istri umumnya mengawali pernikahan mereka itu didominasi, lebih dikuasai dengan jenis hubungan yang disebut cinta romantik, ingin dekat, ingin berbulan madu, kemudian setelah bulan madu kemudian ingin bulan madunya diperpanjang, tidak ingin segera punya anak, sering keluar bersama itu cinta romantis. Tapi mungkin sejalan dengan proses belajar akhirnya berkembang. Kita butuh komitmen dan tidak boleh gampang tertarik pada pria yang lain, pada wanita yang lain, kalau kita mau pernikahan bertumbuh kita juga harus ada unsur komitmen, setia satu sama lain. Berjauhan kota karena pekerjaan, tidak akan berhubungan dengan wanita lain jadi tetap dengan istri, tetap dengan suaminya muncullah cinta lengkap. Tetapi sejalan dengan usia maka sangat umum gairah seksual antara suami dan istri itu bisa makin menurun, akhirnya beralih menjadi cinta persahabatan, cinta karib dimana unsur ketertarikan dorongan seksual mulai mengendor, yang lebih ada adalah hubungan yang berdasarkan keintiman emosional dan komitmen, akhirnya muncul di masa lansia lebih pada suasana cinta karib dan itu memang normal.

H : Jadi apakah boleh saya simpulkan cinta yang sempurna ini suatu saat nanti karena pengaruh usia bisa luntur juga?

SK : Ya, terutama memang di unsur dorongan seksual, unsur ketertarikan hasrat seksual itu. Jadi lebih diwarnai dengan jenis cinta persahabatan atau cinta karib tadi.

H : Tapi kalau dua sudut yang lain cukup kuat dapat menunjang meskipun ada faktor usia yang memengaruhi penurunan pada kemampuan seksual seseorang.

SK : Tapi yang saya katakan itu bukan berarti semua demikian, ada suami-suami atau istri-istri yang sekalipun usia semakin bertambah, tapi minat mereka secara seksual satu sama lain sama-sama baik, jadi tetap ada yang memiliki warna yang tetap kuat dari sisi dorongan atau ketertarikan hasrat seksual itu, jadi kita tidak bisa menyamaratakan.

H : Intinya tiga komponen itu harus diperhatikan, dimiliki dan dipelihara keseimbangannya, begitu Pak Sindu?

SK : Sedapat-dapatnya memang demikian, terutama kembali unsur komitmen dan juga saya pertimbangkan unsur kedekatan keintiman emosional, itu juga penting.

H : Kalau semua penjabaran tadi adalah pendapat dari Stainberg, bagaimana pandangan Alkitab tentang cinta segitiga ini?

SK : Dalam hal ini Pak Hendra, saya mau mengambil bagian firman Tuhan dari Amsal 1:5, "Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan". Dari firman Tuhan ini kita bisa menarik bahwa kalau kita mau menjadi orang yang semakin bijak atau berhikmat, menjadi orang yang semakin memiliki kematangan, kita perlu belajar dan kita perlu mengenali relung-relung kehidupan ini termasuk cinta. Jadi ketika kita belajar dari seorang ahli yang bernama Stainberg kita sudah mengenali 7 jenis hubungan cinta, maka dengan memahami kita bisa belajar semakin bijak, bahwa mencintai itu bukan sekadar mengikuti dorongan hati tapi butuh memelihara, memerhatikan dari tiga unsur ini, terutama bagi suami istri dimana unsur baik komitmen, unsur keintiman emosional dan unsur dorongan daya tarik seksual itu perlu dijaga, dipelihara secara sengaja. Jadi kiranya lewat pembelajaran pada forum ini kita bisa lebih memperkaya, mendewasakan, menumbuhkan cinta yang ada dalam hidup kita masing-masing.

H : Terima kasih Pak Sindu untuk perbincangan yang sangat menarik ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Segitiga Cinta". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



59. Cinta Pandangan Pertama


Info:

Nara Sumber: Ev. Sindunata Kurniawan, M.K.
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T363B (File MP3 T363B)


Abstrak:

Bukan hanya di sinetron atau film-film saja cinta pertama itu terjadi, pada dunia nyata pun cinta pertama juga bisa terjadi. Bahkan ada juga karena cinta pada pandangan pertama kemudian bisa membawa mereka sampai ke pernikahan. Namun bagaimana sebenarnya cinta pertama ini? Benarkah cinta pada pandangan pertama bisa langgeng?


Ringkasan:

Cinta pandangan pertama sering menjadi daya tarik dan dipercayai memiliki kuasa tersendiri. Namun cinta pada pandangan pertama tidak memiliki fondasi yang kuat dikarenakan hanya merupakan kategori Cinta Nafsu atau tergila-gila. Hubungan yang digerakkan oleh ketertarikan yang bersifat lahiriah dan memunyai suasana kuat oleh gairah seksual. Sementara itu, keintiman emosional dan komitmen tidak ada atau belum ada saat itu.

Komitmen itu lahir dari sebuah proses pengambilan keputusan untuk memutuskan secara sadar dan sengaja bahwa ia bersedia memertahankan sebuah hubungan menjadi langgeng atau berjangka panjang. Sementara Cinta Pandangan Pertama tidak melewati sebuah proses pengambilan keputusan yang sadar dan sengaja. Cinta Pandangan Pertama itu bersifat spontan dan refleks, dengan tanpa dipikir panjang, tidak ada sama sekali pertimbangan rasionalitas. Dengan kata lain, Cinta Pandangan Pertama memang sama sekali tidak memiliki komponen komitmen.

Cinta Pandangan Pertama umumnya berbentuk ketertarikan fisik. Tertarik pada wajahnya: cantik, manis, tampan, berwajah etnik, atau pada unsur bentuk dan warna bola mata, bentuk hidung, bibir, dahi, dagu, kumis, cambang, model rambut. Tertarik pada bentuk tubuhnya atau perawakannya: kurus, tinggi, langsing, gemuk, padat berisi, atletis atau tinggi besar dan sebagainya.

Cinta Pandangan Pertama memang sangat berpusat pada diri kita sendiri. Hal-hal yang baik dan menyenangkan bagi kita sendiri, hal-hal yang memuaskan impian dan hasrat kita-lah yang semata-mata menjadi dasar Cinta Pandangan Pertama. Termasuk hal-hal yang mempermudah hidup kita. Dalam arti yang lebih utuh, memang sesungguhnya Cinta Pandangan Pertama bukan cinta yang sesungguhnya, melainkan nafsu, dorongan untuk memuaskan diri sendiri dimana sebenarnya tidak berpijak pada kenyataan sesungguhnya orang yang kita anggap menarik melainkan berdasarkan gambaran yang serba indah, serba menarik, serba memuaskan diri kita sendiri dan itu berarti sebenarnya fantasi dan bukan realitas. Oleh karena itu, Cinta Pandangan Pertama adalah Cinta pada Cinta itu sendiri, bukan Cinta pada pribadi orang yang kita anggap menarik tadi. Padahal cinta yang sesungguhnya membutuhkan saling mengenal dan saling memberi, ada unsur dimana kita berkorban, bertoleransi.

Sementara yang menjadi subjek atau pusat perhatian Cinta Pandangan Pertama, bukan orang lain karena sesungguhnya kita belum mengenalnya, yang menjadi subjek dan pusat perhatian kita adalah perasaan bergairah, sensasi, nafsu, fantasi kita tentang Cinta. Maka tak heran, ketika seseorang menjalin hubungan hanya semata-mata berdasarkan Cinta Pandangan Pertama, akan berujung pada kekecewaan dan putus hubungan, dengan alasan sudah tidak ada kecocokan, "kami sudah ada tidak perasaan cinta". Bisa juga dalam bentuk lain, ketika hubungan pacarannya sudah mulai terasa tidak menggairahkan lagi, tidak bikin 'greng', tiba-tiba ia sudah menjalin hubungan dengan lawan jenis lain. Mudah berpaling dan mudah bercabang hati, karena yang ia cintai adalah cinta, bukan seseorang.

Maka tepatnya, kalau dalam bahasa Indonesia, disebut Cinta Nafsu atau Tergila-gila. Memang dalam situasi yang kurang waras, karena bergerak dan bertindak tanpa pertimbangan yang rasional dan bertanggungjawab.

Kesimpulannya:

Pertama, kita bisa berkata pada diri sendiri, saya bukan sedang jatuh cinta pada seseorang, tapi saya sedang tertarik, terpesona dan itu berangkat dari fantasi saya tentang dia, bukan realitas.

Kedua, bagi yang sudah berpasangan apalagi sudah menikah, tentu patut tidak menindaklanjuti ketertarikan itu karena bisa berujung pada perselingkuhan, minimal dalam pikiran kita. Sementara, bagi yang belum berpasangan atau belum menikah, jika orang kepada siapa kita tertarik itu memang masih lajang, kita bisa memertimbangkan sejauh mana perlu menjajaki untuk berkenalan dan mengenalnya, supaya pengenalan kita membumi dan tidak terjebak pada fantasi kita, atau kita bisa memilih untuk mengabaikannya karena bagi kita dia mungkin kurang terjangkau atau kurang sesuai dengan kriteria sesungguhnya calon pasangan hidup kita.

Yakobus 3:13-16 menarik satu pelajaran akan ada ancaman kekacauan dan segala perbuatan jahat jika kita hanya mementingkan kepentingan diri sendiri, tidak memertimbangkan mengenal orang lain, atau tidak berkorban untuk orang lain.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga), acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Cinta Pandangan Pertama". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, cinta pandangan pertama sering menjadi daya tarik dan dipercaya memiliki kuasa tersendiri sampai-sampai muncul puisi, lagu dan sinetron yang menampilkan indah dan menariknya cinta pandangan pertama. Apa sesungguhnya yang terjadi dengan cinta pandangan pertama itu?

SK : Pak Hendra, saat yang lalu kita telah membahas segitiga cinta yang menjelaskan adanya tujuh jenis hubungan. Dari ketujuh jenis hubungan tersebut cinta pandangan pertama merupakan kategori tergila-gila atau cinta nafsu atau dalam bahasa Inggrisnya 'infatuation' atau hubungan yang hanya memiliki nafsu saja yakni hubungan yang digerakkan oleh ketertarikan yang bersifat lahiriah dan suasana yang kuat oleh gairah seksual, keintiman emosional dan komitmen tidak ada atau belum ada saat itu.

H : Mengingat mungkin saja ada pendengar yang belum sempat menyimak pembahasan tentang "Cinta Segitiga" yang lalu, mungkin Pak Sindu dapat mengulasnya kembali secara singkat?

SK : Jadi segitiga cinta adalah sebuah model, sebuah cara menjelaskan yang menggambarkan bahwa cinta itu memiliki tiga komponen dasar yakni keintiman, nafsu dan komitmen. Keintiman atau dalam bahasa Inggrisnya 'intimacy' adalah komponen afektif atau komponen emosi dan perasaan yaitu adanya kedekatan yang dirasakan oleh dua orang, kedekatan yang sekaligus menjadi kekuatan yang mengikat bersama hubungan tersebut. Komponen kedua adalah nafsu atau bahasa Inggrisnya 'passion', adalah komponen yang bersifat lahiriah atau biologis yaitu adanya dorongan untuk mendekat, menyatu dan memuaskan insting seksual atau insting dorongan seksual. Yang ketiga yaitu komponen komitmen atau keputusan, dalam hal ini mewakili komponen kognitif atau komponen pikiran dan pertimbangan yakni pertimbangan untuk mengambil keputusan mencintai, pertimbangan untuk ingin bersama dengan seseorang dan kemudian membuahkan keputusan untuk mengikatkan diri dalam bentuk yang resmi sebagaimana bentuk pertunangan atau menikah serta memertahankan hubungan itu, demikian yang dimaksud dengan segitiga cinta.

H : Kalau kembali ke bahasan cinta pertama, kedengarannya sedikit menakutkan, dikatakan bahwa cinta pandangan pertama merupakan kategori cinta nafsu atau cinta yang tergila-gila. Hubungan yang digerakkan oleh ketertarikan yang bersifat lahiriah dan dengan suasana yang kuat oleh gairah seksual, sementara itu keintiman komitmen belum ada atau tidak ada saat itu, begitu ya pak?

SK : Benar, memang terasa menakutkan sebagaimana yang kita bisa kenali lewat penjelasan model segitiga cinta, maka cinta yang sesungguhnya cinta yang lengkap memiliki tiga komponen yaitu komponen gairah seksual, komponen keintiman emosional dan komponen komitmen. Sedangkan untuk bisa memiliki komponen keintiman emosional atau 'intimacy', hal itu mensyaratkan adanya saling mengenal, sementara yang disebut cinta pandangan pertama itu umumnya belum saling mengenal bahkan baru sekadar bertemu. Mungkin juga hanya sekadar saling menatap dan kemudian seperti merasa jatuh cinta pada si dia. Jadi perkenalan saja kadang belum terjadi, apalagi berteman dan mengenal lebih dekat sebagai landasan terciptanya keintiman emosional. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa dalam cinta pandangan pertama sama sekali tidak ada atau belum ada komponen keintiman emosional sama sekali.

H : Menarik ketika Pak Sindu menyebutkan bahwa cinta pandangan pertama bisa terjadi ketika bahkan belum berkenalan. Dalam film, sinetron, novel kadang digambarkan bahwa hanya dengan beradu pandang atau tanpa berkenalan seseorang bisa merasa dia mengalami cinta pandangan pertama.

SK : Memang demikian Pak Hendra, penggambaran cinta pertama yang selama ini dimunculkan oleh dunia media tanpa sadar itu menjadi sebuah bentuk kampanye, sebuah bentuk pembenaran tentang yang disebut cinta pertama dan betapa cinta pertama itu adalah hal yang patut kita syukuri atau patut bahkan melandasi hubungan cinta yang berikutnya.

H : Kalau tadi dijelaskan cinta pada pandangan pertama tidak memiliki komponen keintiman emosional bagaimana dengan komponen komitmen, Pak Sindu?

SK : Komitmen itu lahir dari sebuah proses pengambilan keputusan yang memutuskan secara sadar dan sengaja bahwa ia bersedia memertahankan sebuah hubungan menjadi bersifat langgeng atau bersifat jangka panjang, sementara cinta pandangan pertama tidak melewati sebuah proses pengambilan keputusan yang sadar dan sengaja, cinta pandangan pertama itu bersifat spontan, refleks, gerak, spontan tanpa sadar, tanpa dipikir panjang, tidak ada sama sekali pertimbangan rasionalitas. Maka bisa kita simpulkan cinta pandangan pertama memang sama sekali tidak memiliki atau belum memiliki komponen komitmen.

H : Jadi sekali lagi bisa ditegaskan bahwa cinta pandangan pertama itu hanya memiliki komponen nafsu lahiriah atau dorongan seksual semata.

SK : Memang benar demikian, Pak Hendra. Cinta pandangan pertama memang hanya memiliki komponen nafsu lahiriah atau dorongan seksual semata, komponen nafsu lahiriah disini bukan berarti serta merta identik dengan hasrat berhubungan seksual dengan orang tersebut, tapi minimal pertimbangan yang dipakai semata-mata memang bersifat fisik dan pemuasan diri sendiri.

H : Pertimbangan yang dipakai semata-mata bersifat fisik dan pemuasan diri sendiri, berarti cinta pandangan pertama adalah cinta karena ketertarikan fisik.

SK : Benar. Cinta pandangan pertama umumnya berbentuk ketertarikan fisik, tertarik pada wajahnya, cantik, manis, tampan atau wajahnya itu khas sekali, berwajah etnik. Atau misalnya tertarik pada bentuk matanya, yang mata besar/bulat atau sipit, pada warna bola matanya, pada bentuk hidungnya, bibir, dahi, dagu atau bagi seorang gadis tertarik karena kumis si pria itu, cambangnya, model rambutnya. Ketertarikan fisik ini termasuk tertarik pada bentuk tubuh atau perawakan seseorang, baik itu yang disebut 'ku-ti-lang' (kurus tinggi langsing) atau gemuk, ada orang tertentu memang tertarik pada lawan jenis yang badannya terkesan gemuk atau padat berisi, atletis tinggi besar. Ketertarikan fisik ini bisa juga dimaknai pada ketertarikan caranya menampilkan diri, caranya berpakaian misalnya modis, rapi, wangi, dandanannya berkelas, menarik. Atau ada yang sebaliknya tertarik cinta pandangan pertama karena salah satunya dia punya gaya penampilan santai 'casual', cinta pandangan pertama itu bisa juga berdasarkan ketertarikan pada gerak tubuh atau bahasa tubuh seseorang, misalnya caranya berjalan yang tegap, caranya yang lemah gemulai, cara duduknya, gerak tangannya, tatapan mata ataupun caranya dia memerlakukan orang lain. Jadi memang luas dalam hal ini ketertarikan fisik itu, termasuk karena tertarik warna kulit, latar belakang suku seseorang, tertarik pada sikap, perilaku, tutur kata. Ada yang memang gampang tertarik atau merasakan cinta pertamanya, karena begitu melihat merasakan orang ini hangat dalam memerlakukan orang lain atau sebaliknya misalnya cowok ini, cowok yang pemberani atau si pemuda tertarik pada pemudi yang terlihat feminin, keibuan atau sebaliknya ada yang tertarik karena tampilannya tomboy si cewek ini. Ada yang memang menghayati dimana cinta pertamanya itu karena melihat lawan jenisnya itu banyak bicara, tambah banyak bicara, tambah cerewet, tambah menawan di hati. Jadi tertarik karena unsur 'sanguin', sementara yang lain mudah tertarik karena penampilannya, suaranya lembut bahkan tidak banyak bicara, diam, tapi justru diam yang menimbulkan rasa tertarik begitu besar, semakin terdiam seribu bahasa semakin misterius, bahkan mungkin benar-benar dingin orang itu malah semakin menggoda hati untuk jatuh cinta. Sementara itu ada juga yang jatuh cinta pada pandangan pertama, karena lawan jenisnya itu memang tampilannya ketus dan galak, justru ini yang membuatnya mengalami cinta pandangan pertama.

H : Ternyata ketertarikan fisik itu mencakup hal yang sangat luas. Jadi ketertarikan fisik ini tidak hanya pada orang-orang yang dikategorikan cantik, tampan dan menarik, Pak Sindu?

SK : Memang benar, sebagian besar bangunan persepsi kita dengan apa yang disebut cantik, tampan, menarik, itu memang sebagian besar dibentuk oleh budaya dimana kita hidup, budaya yang mengitari diri kita dan termasuk media yang selama ini kita baca, dengar atau tonton. Kalau saya sendiri boleh bertanya kepada Pak Hendra sebagai seorang pria, menurut Pak Hendra yang disebut cantik, menarik, menurut era sekarang ini seperti apa?

H : Kalau menurut era sekarang ini saya melihatnya mungkin definisi cantik itu seperti karakter-karakter yang ada di bintang iklan atau misalnya artis film seperti itu.

SK : Seperti apa kalau Pak Hendra mau menggambarkan lebih rinci?

H : Yang penampilannya ada aura bintangnya, jadi kalau istilah dalam audisi dikatakan dia punya 'camera face', kalau dia tampil di televisi atau layar kaca, rasanya kita tertarik untuk melihat film atau aktifitas yang dibintanginya atau dilagakannya.

SK : Kalau dalam bentuk fisik ukurannya seperti apa, cantik menarik menurut era sekarang ini?

H : Untuk ukuran wanita yang banyak kita lihat adalah yang langsing, tinggi, kulitnya halus, bersih yang wajahnya cerah. Mungkin seperti itu.

SK : Saya bisa mengiyakan apa yang disampaikan Pak Hendra dalam mengamati cantik dan menarik menurut era sekarang dan itu memang terjadi dalam konteks sekarang, sementara kalau kita menyaksikan, melihat dokumentasi di tahun 1950-an dalam masyarakat dunia barat yang disebut cantik saat itu justru bukan yang kurus atau langsing, tapi justru yang postur tubuhnya dikatakan padat berisi, sementara di masyarakat Afrika di era tertentu justru yang dikatakan cantik kalau badannya gemuk, jadi bukan sekadar padat berisi, tapi benar-benar gemuk, itulah yang disebut cantik. Sementara kalau di negeri Birma di masa lalu atau sekarang disebut sebagai negara Myanmar yang disebut cantik di era lalu, justru kalau lehernya panjang maka di era sekian puluh tahun yang lalu, gadis-gadis Birma pada masa lalu suka memerpanjang lehernya dengan gelang-gelang yang semakin bertambah dan membuat lehernya bertambah panjang, melampaui ukuran normal leher orang-orang lain. Sesuatu yang memang menjadi aneh buat kita di hari ini, tapi itulah kecantikan, ketampanan, menarik, itu sesungguhnya bersifat persepsi dan bukan berupa ukuran yang bersifat mutlak, sangat dipengaruhi oleh budaya zaman dan juga bagaimana media itu membentuk persepsi kita.

H : Fakta yang sangat menarik. Jadi memang sebagian besar bangunan persepsi kita tentang cantik, tampan dan menarik itu dibentuk oleh budaya dan media, kemudian sebagian yang lain itu dari mana, Pak Sindu?

SK : Masing-masing kita bertumbuh dengan persepsi tertentu tentang sisi apa yang membuat kita tertarik pada lawan jenis, kalau saya memberi istilah masing-masing kita tumbuh dengan lingkar selera. Artinya adalah bahwa masing-masing kita punya lingkar yang menunjukkan di sisi mana kita merasa tertarik pada seseorang, orang lain bisa mengatakan ini yang cantik, ini yang tampan, ini yang menarik tapi kita bisa memiliki persepsi yang berbeda. Masing-masing kita memiliki lingkar selera yang bisa berbeda satu sama lain, termasuk berbeda dengan apa yang dibentuk oleh budaya dan media kita. Jadi bagi kebanyakan orang penampilannya biasa saja, tidak terlalu cantik dan ganteng tapi ada bagian tertentu dari diri seseorang ini yang bisa menarik perhatian bagi orang lain dan terasa cantik, dia tampan, dia menarik mungkin senyumnya, caranya berjalan, warna suaranya, caranya bicara dan sisi yang menarik ini bisa berasal dari kemiripan dalam sisi yang sama dengan orang-orang yang pernah dekat dengan kita atau dengan orang-orang yang kita kagumi dan sisi yang menarik ini memang tidak selalu bersifat positif, tapi bisa juga ketertarikan itu justru pada hal-hal yang bersifat negatif misalnya seseorang tertarik pada wanita yang menampilkan gaya tertentu yang sesungguhnya sudah menunjukkan kalau dia punya potensi wanita yang tidak setia dalam pernikahan, tapi si pria ini justru tertarik pada wanita yang justru berpotensi tidak setia pada pernikahan, sementara pada diri wanita tertentu justru tertarik pada pria-pria tertentu yang sebenarnya lagak lagunya sudah menunjukkan dia berpotensi berperilaku kekerasan dalam rumah tangga. Jadi ada sesuatu yang aneh dan tidak wajar, tapi itu yang terjadi. Tertarik justru pada orang-orang yang berpotensi menimbulkan sisi merugikan pada dirinya sendiri dan ini memang bisa terjadi umumnya karena merupakan penyerapan dari pola yang tidak sehat dari orang tuanya sendiri.

H : Ternyata sangat relatif sekali semua penjabaran yang disampaikan, kalau begitu halnya cinta pandangan pertama yang hanya memiliki komponen nafsu lahiriah atau dorongan seksual semata itu, hal ini mengandung bahaya yang bisa berupa hasrat berhubungan seksual dengan orang tersebut tapi yang ingin saya simpulkan sepertinya semua itu berasal dari pertimbangan yang dipakai semata-mata bersifat fisik dan pemuasan diri sendiri. Jadi cinta pertama itu bersifat egois, Pak Sindu?

SK : Cinta pandangan pertama memang sangat berpusat pada diri kita sendiri. Hal-hal yang baik dan menyenangkan bagi diri sendiri, hal-hal yang memuaskan impian dan hasrat kitalah yang semata-mata menjadi dasar cinta pandangan pertama termasuk hal-hal yang mempermudah hidup kita dalam arti yang lebih utuh memang sesungguhnya cinta pandangan pertama bukanlah cinta yang sesungguhnya, melainkan nafsu dorongan untuk memuaskan diri sendiri dimana sebenarnya tidak berpijak pada kenyataan yang sesungguhnya dari orang yang kita anggap menarik itu, tetapi cinta pandangan pertama itu kita bangun berdasarkan gambaran yang serba ideal, serba indah, serba menarik dan termasuk serba memuaskan diri kita sendiri, yang sesungguhnya itu memang bukan kenyataan, bukan realitas tetapi sebenarnya fantasi kita. Maka bisa dikatakan secara ironis, cinta pandangan pertama adalah cinta pada cinta itu sendiri, bukan cinta pada pribadi orang yang kita anggap menarik tadi.

H : Maksudnya cinta pada cinta?

SK : Maksudnya cinta pandangan pertama bukan berpijak pada pengenalan yang utuh atau apa adanya tentang seseorang yang kita anggap cintai, cinta pandangan pertama hanya berangkat dari naluri dan insting yang kita anggap ideal dan baik untuk diri kita sendiri, padahal cinta yang sesungguhnya membutuhkan saling mengenal dan saling memberi, cinta yang sesungguhnya memiliki unsur dimana kita perlu berkorban, kita perlu bertoleransi dan memang itu berarti tidak sepenuhnya harapan dan impian kita tentang pasangan hidup bisa terpenuhi, sementara yang menjadi subjek atau pusat perhatian cinta pandangan pertama itu memang bukan orang lain karena yang terjadi kita sesungguhnya kita belum mengenal orang tersebut, sehingga yang menjadi subjek atau pusat perhatian kita saat mengalami cinta pandangan pertama sesungguhnya adalah justru perasaan bergairah itu sendiri, sensasi, nafsu, fantasi kita tentang cinta, maka tidak heran ketika seseorang menjalin hubungan hanya semata-mata berdasarkan cinta pandangan pertama maka akan berujung pada kekecewaan dan rasa putus asa, karena mengalami putus hubungan dengan alasan, "Kita sudah tidak ada kecocokan", kami sudah tidak ada perasaan cinta. Dalam hal ini bisa juga dalam bentuk lain ketika hubungan pacarannya sudah mulai terasa tidak menggairahkan lagi, tiba-tiba dia sudah menjalin hubungan dengan lawan jenis yang lain, mulai berpaling ke orang lain. Memang mudah berpaling, mudah bercabang hati karena sekali lagi yang ia cintai adalah cinta itu sendiri bukan seseorang. Maka tepatlah kalau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai cinta nafsu atau tergila-gila, memang berada dalam situasi yang kurang waras karena pergerakan tindakannya itu tanpa pertimbangan yang rasional dan bertanggung jawab.

H : Kesimpulannya apakah yang bisa kita lakukan ketika kita mengalami gejala cinta pandangan pertama ini, Pak Sindu?

SK : Pertama kita bisa berkata pada diri sendiri, "Saya bukan sedang jatuh cinta pada seseorang", tapi kita bisa katakan pada diri kita sendiri, "Saya sedang tertarik, saya sedang terpesona, saya sedang kagum" dan itu berangkat dari fantasi saya tentang dia, bukan realitas kenyataan dia apa adanya. Jadi dengan pernyataan yang pertama ini menolong kita untuk tidak mengagung-agungkan cinta pandangan pertama karena sesungguhnya ini bukan cinta, tetapi sesungguhnya hanyalah nafsu, ketertarikan berdasarkan hal yang memang bersifat fantasi, imajinasi kita dimana kita sungguh-sungguh belum mengenal orang itu seperti apa. Yang kedua, yang perlu kita perhatikan ketika mengalami gejala cinta pandangan pertama adalah demikian, bagi yang sudah berpasangan apalagi sudah menikah tentu sepatutnya tidak menindaklanjuti ketertarikan itu karena bisa berujung pada perselingkuhan, minimal perselingkuhan di dalam pikiran kita, sementara bagi yang belum berpasangan atau belum menikah jika orang yang kita tertarik itu memang masih lajang atau bujangan, kita bisa memertimbangkan sejauh mana kita perlu menjajagi, pengenalan dan mengenalnya supaya pengenalan kita makin membumi dan tidak terjebak pada fantasi kita. Atau kita juga bisa memilih untuk mengabaikan perasaan cinta pandangan pertama itu, karena mungkin bagi kita dia kurang bisa kita jangkau, dia memang kurang sesuai dengan kriteria sesungguhnya tentang calon pasangan hidup yang kita idam-idamkan.

H : Terakhir, apa pesan firman Tuhan terkait dengan topik kita ini, Pak Sindu?

SK : Saya akan bacakan dari surat Yakobus 3:13-16, "Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan. Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran! Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan. Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat." Dari beberapa bagian ayat firman Tuhan ini kita bisa menarik satu pelajaran bahwa penting bagi kita untuk tidak mengambil keputusan, bertindak karena berdasarkan pertimbangan, kepentingan diri sendiri semata, dimana kita hanya bergerak mementingkan diri sendiri, tidak memertimbangkan dalam kita mengenal orang lain, berkorban untuk orang lain, disanalah ada ancaman terjadinya kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Maka kalau kita kembali mengaitkan dengan cinta pandangan pertama, sesungguhnya cinta yang berangkat dari mementingkan diri sendiri. Ini tidak bisa kita jadikan dasar bagi hubungan yang sejati, tetapi perlu dilanjutkan dalam kita mengenal lebih baik tentang orang itu dan dengan demikian kita membangun hubungan yang lebih bersifat memberkati orang lain.

H : Terima kasih, Pak Sindu untuk perbincangan yang sangat menarik ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Cinta Pandangan Pertama". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



60. Penentu Keharmonisan Pernikahan I


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T379A (File MP3 T379A)


Abstrak:

Ada banyak hal yang dapat menentukan keharmonisan pernikahan, namun di antara semua itu, ketiga faktor berikut merupakan yang terpenting:

  1. Relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis,
  2. Kesamaan dalam hal yang penting dan
  3. Kesehatan jiwa masing-masing. Dalam bagian ini akan dibahas ketiga faktor tersebut.

Ringkasan:

Ada banyak hal yang dapat menentukan keharmonisan pernikahan, namun di antara semua itu, ketiga faktor berikut ini merupakan yang terpenting:

  1. Relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis,
  2. Kesamaan dalam hal yang penting; dan
  3. Kesehatan jiwa masing-masing.

  1. Relasi dengan Tuhan yang Otentik dan Dinamis
    Yang dimaksud dengan relasi dengan Tuhan yang otentik adalah sebuah relasi yang akrab dan apa adanya. Di dalam relasi yang otentik dengan Tuhan, kita dapat mengakui kelemahan kita di hadapan-Nya dan membawa keluhan kita kepada-Nya. Kita tidak bersembunyi di balik kedok iman—bilamana kita sedang tidak beriman. Dan, kita pun tidak malu membeberkan kegagalan kita. Singkat kata, relasi yang otentik adalah sebuah relasi yang aman dalam kasih karunia Tuhan. Yang dimaksud dengan relasi dengan Tuhan yang dinamis adalah sebuah relasi yang ditandai dengan ketaatan untuk melakukan kehendak Tuhan. Jadi, di dalam relasi yang dinamis dengan Tuhan, kita akan selalu terpanggil untuk melakukan sesuatu buat Tuhan sesuai dengan pimpinan-Nya. Kita pun senantiasa berpikir lewat teropong Kerajaan Allah sehingga lebih memusatkan perhatian pada kepentingan-Nya ketimbang kepentingan diri sendiri. Nah, bilamana baik suami maupun istri mempunyai relasi yang otentik dan dinamis dengan Tuhan, maka hal-hal berikut ini akan terjadi di dalam pernikahan:
    • Oleh karena relasi yang hidup mesti bertumbuh, maka relasi pernikahan yang dihuni oleh dua orang yang memiliki relasi yang otentik dan dinamis dengan Tuhan, akan juga hidup dan bertumbuh. Sewaktu Tuhan duduk di puncak pimpinan, Ia pasti akan memimpin anak-anak-Nya menuju kehendak-Nya. Dan, ini akan membuat relasi tidak statis. Akan ada tantangan baru yang mesti dihadapi tetapi setiap tantangan akan membuka lembar kesempatan untuk bertumbuh. Alhasil relasi pun akan bertumbuh. Cinta akan makin mengakar dan ketahanan menghadapi tekanan akan menguat.
    • Oleh karena ketaatan menjadi ciri utama relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis, maka tidak bisa tidak, baik suami maupun istri menjadi pribadi yang makin hari makin hidup buat Tuhan, dan bukan buat kepentingan sendiri. Singkat kata kepentingan yang lebih luas akhirnya menjadi penentu keputusan, bukan kepentingan pribadi yang sempit. Di dalam relasi seperti ini konflik menjadi lebih jarang terjadi sebab makin persentase konflik yang tidak terselesaikan makin hari makin mengecil.
    • Oleh karena di dalam relasi yang otentik dan dinamis dengan Tuhan, Ia menjadi pusat segalanya, maka tidak bisa tidak, baik suami maupun istri juga akan makin menyerap nilai-nilai rohani yang bersumber dari Firman Tuhan. Makin banyak yang terserap, maka makin besar pula dampak yang ditimbulkan dalam setidaknya, penggunaan waktu dan uang. Di bawah payung sama, maka keputusan yang berkaitan dengan waktu dan uang akan jauh lebih mudah diambil, tanpa harus didahului oleh perkelahian.
  2. Kesamaan dalam Hal-Hal yang Penting
    Di dalam bahasa Inggris ada perkataan yang berbunyi, "Opposite attracts." Artinya, kita cenderung tertarik kepada orang yang berbeda dari diri kita sendiri. Tidak bisa disangkal pada awalnya memang kepribadian dan gaya hidup yang berbeda mempunyai daya tarik tersendiri. Namun pada akhirnya pekerjaan rumah yang mesti dikerjakan akibat perbedaan tidaklah sedikit. Makin besar perbedaan, makin berat usaha untuk memahami dan menyesuaikan diri. Itu sebab, sesungguhnya resep yang lebih tepat bukanlah mencari yang berbeda, melainkan mencari yang serupa dengan kita. Pada kenyataannya hampir selalu semua kesamaan berperan besar dalam mengharmoniskan relasi, kecuali sifat keras kepala dan egois. Dua orang yang keras kepala dan egois tidak mungkin hidup bersama dalam keharmonisan. Nah, kembali kepada faktor kesamaan, kita mesti membedakan antara kesamaan dalam hal sepele dan kesamaan dalam penting. Yang saya maksud dengan kesamaan sepele adalah kesamaan yang berkaitan dengan gaya hidup sehari-hari. Misalkan kita sama-sama orang "pagi"—tidak suka tidur larut malam dan lebih suka bangun dini hari. Atau, kita sama-sama suka makan soto atau sama-sama suka pergi ke bioskop. Sekali lagi, kesamaan—apa pun itu—berdampak positif dalam mengharmoniskan relasi. Namun, kesamaan dalam hal yang penting akan memberi dampak yang lebih besar dibanding kesamaan dalam hal yang sepele. Yang dimaksud dengan kesamaan penting adalah kesamaan dalam cara berpikir atau menilai sesuatu yang terjadi. Ada orang yang berpikir jauh ke muka dan ada yang berpikir pendek. Ada orang berpikir dalam dan ada yang berpikir praktis. Cara berpikir yang berbeda akan mengakibatkan cara menilai yang berbeda dan pengambilan keputusan yang berbeda pula. Sayang, banyak pasangan yang terlalu cepat berkesimpulan bahwa mereka sepadu-padan padahal kesamaan yang mereka temui bukanlah kesamaan dalam hal yang penting. Ketidaksamaan dalam cara berpikir, tidak bisa tidak, akan memengaruhi komunikasi. Untuk mencegah konflik, kita harus berusaha memahami cara pikir pasangan. Namun sebagaimana kita tahu keharmonisan tidak saja dibangun di atas "tidak ada konflik" melainkan juga—dan terutama—di atas "keintiman." Dan, keintiman baru dapat bertunas bila kita mulai dapat melihat dan menilai dengan cara pikir yang sama.
  3. Kesehatan Jiwa Masing-Masing
    Pepatah "Tidak ada gading yang tak retak" berlaku untuk semua manusia. Kita tidak sempurna dan tidak dibesarkan dalam lingkungan yang sempurna pula. Kita masih mempunyai pekerjaan rumah untuk membereskan persoalan pribadi kita masing-masing. Sungguhpun demikian ada yang mempunyai sedikit pekerjaan rumah namun ada pula yang mempunyai banyak pekerjaan rumah. Singkat kata, bak gading, ada yang retak sedikit tetapi ada pula yang retak banyak. Dan, kita masuk ke dalam pernikahan membawa keretakan itu.

    Sebagai contoh, bila kita dibesarkan dalam rumah yang sarat konflik, besar kemungkinan kita pun akhirnya bertumbuh besar membawa api kemarahan di dalam diri kita. Akhirnya kita senantiasa mengalami kesulitan mengendalikan emosi tatkala beradu pendapat dengan pasangan. Begitu cepat emosi naik dan setelah naik, kita tidak berhasil mengendalikannya dengan baik. Alhasil kita sering menyakiti hati pasangan dan luka yang tertimbun di hati membuatnya dingin dan menjauh dari kita.

    Atau, kita sering menerima kritikan dari orang tua. Hampir semua yang kita lakukan salah atau kurang cukup baik di mata mereka. Akhirnya kita bertumbuh besar menjadi pribadi yang selalu memastikan bahwa kita telah mengerjakan sesuatu sebaik-baiknya. Kita tidak mau dan tidak suka dikritik sebab kritik, bagi kita, sama dengan disalahkan. Di dalam pernikahan kita sulit menerima masukan apa pun yang kita tafsir sebagai kritikan. Akhirnya hampir setiap pembicaraan menjadi ajang untuk membenarkan diri dan menyalahkan pasangan.

    Contoh terakhir, kita tidak mendapatkan perhatian dan pengakuan yang cukup dari orang tua. Kita pun tidak memperoleh pengakuan dan rangkulan dari teman. Sebagai akibatnya kita mengembangkan rasa ditolak dan ini membuat kita peka dengan segala tindakan yang kita anggap sebagai penolakan. Di dalam pernikahan kepekaan ini menjadi duri yang menusuk relasi. Misalkan, pasangan ingin pergi melakukan sesuatu dan tidak menerima bantuan kita setelah kita menawarkannya. Ia menolak tawaran kita karena ia tidak memerlukannya. Tetapi bagi kita, penolakan itu merupakan penolakan terhadap diri kita.

    Sebagaimana dapat kita lihat, kesehatan jiwa menentukan keharmonisan pernikahan. Makin sehat, makin sehati! Di dalam jiwa yang sehat semua masalah di atas tidak perlu muncul sebab hampir semua masalah dapat dihadapi bersama. Namun inilah penghiburan kita: Tuhan dapat memulihkan keretakan! Proses pemulihan akan berjalan lama dan tidak mudah, tetapi yang pasti adalah Tuhan sanggup. Kuncinya adalah kesediaan untuk melihat diri sebagaimana diutarakan oleh Pemazmur Mazmur 139:23—24.

Transkrip:

Saudara—saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Penentu Keharmonisan Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, semua pasangan suami istri tentunya bercita-cita atau mengharapkan hidup rumah tangga mereka adalah hidup yang harmonis. Tetapi ada banyak pengertian tentang harmonis. Mungkin sebelum kita lebih jauh bicara tentang penentu keharmonisan, mungkin Pak Paul bisa menjelaskan terlebih dahulu bagaimana pasangan suami istri bisa disebut harmonis?

PG : Memang biasanya kita mengaitkan kata harmonis dengan tidak adanya konflik, Pak Gunawan. Ada benarnya kalau kita tidak ada konflik berarti harmonis. Tapi kita juga mengerti tidak selalu demikian. Bukankah kadang-kadang ada orang yang memang tidak bertengkar tapi sebetulnya tidak punya hubungan yang terlalu akrab. Sebab mereka hanya diam di teritori masing-masing, tidak masuk ke teritori pasangannya ya supaya tidak bertengkar. Sudah tentu relasi yang seperti itu adalah relasi yang tidak harmonis. Jadi yang saya maksud harmonis ini bukan hanya tidak atau jarang bertengkar, tapi memang mempunyai relasi yang dalam, yang menyatu, dimana masing-masing merasa intim dan akrab dengan pasangannya. Bahwa pasangannya adalah orang yang paling dekat dengannya. Orang yang dia rasa paling nyaman untuk bisa bercerita, dia percayakan isi hatinya. Jadi benar-benar sebuah keintiman yang dirasakan kedua belah pihak.

GS : Untuk mewujudkan keharmonisan itu, apakah dilakukan sebelum pernikahan atau setelah mereka menikah, Pak Paul, baru dibangunlah sebuah keharmonisan itu?

PG : Sudah tentu pada masa berpacaran kita berusaha untuk mengharmoniskan. Semakin dini kita melakukan usaha-usaha mengharmoniskan ya semakin baik. Sehingga PR-nya setelah kita menikah tidak terlalu menumpuk. Namun kita juga tahu bahwa setelah menikah hubungan itu akan menjadi lebih dalam, maka akan diperlukan usaha-usaha untuk mengharmoniskan di level yang lebih dalam pula. Ini tugas yang biasanya berlangsung seumur hidup, Pak Gunawan. Tapi kalau di awal kita sudah bekerja keras berusaha untuk mengharmoniskan, maka perlahan-lahan relasi kita akan membaik, sehingga pada akhirnya kita tidak punya terlalu banyak PR yang harus kita selesaikan.

GS : Jadi kalau tadi kita mau membicarakan tentang penentu keharmonisan pernikahan, apakah ada satu faktor atau beberapa faktor, Pak Paul?

PG : OK. Jadi ada tiga faktor yang kita angkat, Pak Gunawan. Ketiganya ini penting. Yang pertama adalah kita memunyai sebuah relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis. Faktor yang kedua adalah kesamaan dalam hal-hal yang penting dan yang ketiga adalah kesehatan jiwa. Jadi ini juga penting sekali. Makin sehat jiwa istri dan suami, maka semakin mudah mengharmoniskan relasi pernikahan.

GS : Jadi relasi pernikahan ini justru pertama-tama ditentukan oleh relasi dengan Tuhan, baik istri maupun suami, ya Pak Paul?

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Apa artinya sebuah relasi harus otentik dan dinamis, Pak Paul?

PG : Saya jelaskan yang pertama dulu yakni otentik. Otentik artinya apa adanya; asli; tidak ditutup-tutupi; tidak tersembunyi; tidak palsu. Jadi yang saya maksud dengan relasi yang otentik dengan Tuhan adalah relasi yang apa adanya. Tidak merohanikan sesuatu, apa adanya. Kecewa ya kecewa, marah ya marah, tidak suka ya tidak suka, kurang beriman ya kurang beriman. Artinya kita tidak menutup-nutupi kondisi kita yang sesungguhnya. Saya kira relasi yang otentik seperti ini yang lebih berpotensi untuk bertumbuh, Pak Gunawan. Kalau suami atau istri tidak memiliki relasi yang otentik dengan Tuhan, saya kira pertumbuhannya juga akan sangat lambat. Tapi justru kalau masing-masing hidup dengan Tuhan secara otentik apa adanya, di sinilah pertumbuhan dapat terjadi. Dimana pertumbuhan dengan Tuhan terjadi, sudah tentu mereka juga lebih dapat dipersatukan dalam pernikahan.

GS : Tapi kadang tidak bisa sama, Pak Paul. Kadang si suami yang punya hubungan yang otentik dengan Tuhan, tapi si istri tidak. Atau sebaliknya. Bagaimana ini, Pak Paul?

PG : Biasanya kalau yang satu hubungannya dengan Tuhan itu baik tapi yang satu tidak, proses untuk mengharmoniskan mereka akan bertambah lama, Pak Gunawan. Tapi kalau memang keduanya sama memunyai kerinduan yang sama, kedewasaan yang sama, itu akan lebih cepat.

GS : Repotnya kadang terpengaruh, Pak Paul. Di dalam relasi dengan Tuhan ini, istri dapat terpengaruh oleh suaminya atau sebaliknya. Jadi ada kecenderungan salah satu bisa berpura-pura, Pak Paul.

PG : Bisa saja, Pak Gunawan. Jadi terpengaruh dalam pengertian menunjukkan kita serohani itu padahal tidak. Misalnya kita membaca Alkitab, padahal kita tidak begitu mengerti atau tidak begitu tertarik. Atau kita mengajak orang datang ke rumah berdoa buat kita, padahal hidup kita tidak terlalu dekat dengan Tuhan. Bila itu dilakukan, relasi itu bukan relasi yang otentik. Dan sampai kapan pun kita tidak bertumbuh di dalam Tuhan. Bila kita tidak bertumbuh dalam Tuhan, saya percaya itu akan berdampak didalam upaya untuk mengharmoniskan relasi.

GS : Kalau hubungan yang dinamis itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Yang saya maksud dengan relasi yang dinamis adalah sebuah relasi yang ditandai dengan ketaatan untuk melakukan kehendak Tuhan. Maksudnya dalam relasi dengan Tuhan kadang kita terpanggil untuk melakukan sesuatu buat Tuhan sesuai dengan pimpinan-Nya. Kadang kita tidak melakukannya meskipun Tuhan suruh tapi kita berusahalah untuk menaati Tuhan. Pada waktu kita menaati Tuhan, maka kita juga bertumbuh. Relasi kita nantinya juga akan bertumbuh. Kita juga akan berpikir lewat teropong kerajaan Allah sehingga kita lebih memusatkan perhatian kepada kepentingan-Nya ketimbang kepentingan diri sendiri. Saya berikan contoh, misalnya pasangan suami istri. Di dalam hubungan yang dinamis dengan Tuhan masing-masing merasakan pimpinan Tuhan untuk pindah ke kota yang lain karena disitu memang perlu sekali ada orang-orang seperti mereka yang bisa menjadi garam dan terang bagi lingkungannya. Kalau keduanya memunyai ketaatan kepada Tuhan, mereka akan berdoa bersama, menjadikan ini proyek iman mereka dan akhirnya mengambil langkah bersama pindah ke kota itu, menjadi garam dan terang bagi lingkungannya. Nah, proses ini menumbuhkan mereka, Pak Gunawan. Jadi kalau dalam relasi tidak ada ketaatan seperti itu, relasi itu tidak dinamis. Dan relasi yang tidak dinamis akhirnya mandeg (berhenti), di situ-situ aja, karena yang satu pokoknya mau aman saja tidak mau ada apa-apa, Tuhan suruh apa pun juga tidak akan didengar, tidak akan ditaati. Jadi akhirnya relasi itu akan jadi relasi yang mandeg. Relasi yang harmonis adalah kalau relasi itu hidup, Pak Gunawan. Intinya yang saya maksud, relasi mesti hidup. Kalau tidak relasi itu akhirnya akan mati.

GS : Apakah seseorang yang sudah memiliki hubungan yang otentik dengan Tuhan akan secara otomatis memiliki relasi yang dinamis dengan Tuhan, Pak Paul?

PG : Kemungkinannya lebih besar, Pak Gunawan. Memang mungkin saja walaupun hubungannya dengan Tuhan otentik tapi keras kepala, tidak mau turut Tuhan sehingga akhirnya susah untuk bertumbuh. Contohnya Nabi Yunus. Sudah tentu otentik sekali. Dia marah ya marah sama Tuhan, dia tidak mau ya tidak mau. Waktu dia diberi pohon, pohonnya dimakan ulat, dia marah pada Tuhan. Itu hubungan yang sangat otentik. Kita juga tahu awalnya karena tidak taat, dia tidak menjalankan kehendak Tuhan. Sampai akhirnya dia taat pergi ke Niniwe untuk mengabarkan berita pengampunan Tuhan, barulah disitu hubungannya kembali dinamis. Jadi saya setuju dengan pengamatan Pak Gunawan, tidak semua yang otentik memiliki relasi yang dinamis dengan Tuhan.

GS : Ya. Pak Paul. Kalaupun suami istri mempunyai hubungan yang otentik dan dinamis dengan Tuhan, apa hasil atau akibatnya, Pak Paul?

PG : Ada beberapa, Pak Gunawan. Yang pertama, oleh karena relasi yang hidup mesti bertumbuh maka relasi pernikahan yang dihuni oleh dua orang yang memiliki relasi yang otentik dan dinamis dengan Tuhan, akan hidup dan bertumbuh. Maksudnya, sewaktu Tuhan duduk di puncak pimpinan, Dia pasti akan memimpin anak-anak-Nya menuju kepada kehendak-Nya. Ini akan membuat relasi tidak statis. Akan ada tantangan baru yang mesti dihadapi. Tapi setiap tantangan akan membuka lembar kesempatan untuk bertumbuh. Akhirnya relasi pun bertumbuh. Waktu relasi makin bertumbuh, cinta akan makin mengakar dan ketahanan dalam menghadapi tekanan juga akan makin menguat. Itulah dampak dari relasi yang memang ditandai dengan hubungan dengan Tuhan yang otentik dan dinamis.

GS : Jadi itu merupakan suatu pertumbuhan rohani tetapi juga nampak dalam kehidupan suami istri mereka ya, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Saya berjumpa dengan anak-anak Tuhan yang seperti ini, Pak Gunawan. Mereka benar-benar sering mendapatkan kesempatan berbuat lebih banyak lagi buat Tuhan. Kenapa? Sebab mereka selalu berusaha menaati Tuhan. Sehingga hubungan mereka dengan Tuhan adalah hubungan yang dinamis sekali. Tuhan pimpin mereka melakukan ini dan melakukan itu. Akhirnya benar-benar kelihatan hubungan mereka pun menjadi hubungan yang lebih matang.

GS : Jadi kalau ada hubungan suami istri yang tidak bertumbuh, malah jadi kekanak-kanakan, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa hubungan mereka dengan Tuhan ada yang tidak beres, Pak Paul?

PG : Memang kita tidak bisa memastikan hanya itu penyebabnya, sebab bisa jadi ada penyebab lain. Tapi besar kemungkinan hal itu berperan. Jadi kalau kita dalam Tuhan begitu-begitu saja, besar kemungkinan relasi dengan pasangan pun akan begitu-begitu saja.

GS : Tapi justru kadang kalau keduanya tidak bertumbuh, kehidupan suami istri mereka tidak ada apa-apa di luaran, kelihatan tenang-tenang. Yang satu bilang kita tidak usah ke gereja hari ini dan yang satu mengiyakan, itu 'kan sama-sama tidak betumbuh, Pak Paul?

PG : Betul. Memang dalam kondisi itu bisa jadi mereka banyak kesamaan, pengertian, dan juga mungkin nanti kita akan bahas juga tentang kesehatan jiwa, mereka adalah orang yang relatif sehat, ya bisa jadi hubungan mereka adalah hubungan yang oke. Tapi sudah tentu tidak akan sama dengan relasi yang benar-benar taat pada pimpinan Tuhan. Itu menjadi sebuah relasi yang sungguh-sungguh hidup dan indah sekali. Karena keduanya jadi orang yang bersama-sama taat melayani Tuhan, dipimpin oleh Tuhan.

GS : Justru yang terjadi kalau salah satu dari pasangan ini yang punya hubungan yang otentik sementara yang satu tidak, disana akan timbul pertengkaran-pertengkaran yang seringkali terjadi, Pak Paul.

PG : Betul ini memang seringkali terjadi. Biasanya kalau orang menanyakan ini kepada saya, saya akan memberikan jawaban: yang dewasa yang lebih mau memunyai hubungan dengan Tuhan yang dinamis itu yang harus mengalah. Sebab bila dipaksakan ini akan lebih merusak. Daripada memaksakan lebih baik mengalah. Lebih baik mengurangi hal-hal yang bisa dilakukan. Meskipun seharusnya bisa, tapi daripada menimbulkan masalah yang lebih besar dalam keluarga, ya sudah mengalahlah. Sebab kita mesti ingat juga bahwa nantinya ini akan berdampak pada anak-anak kita. Misal anak-anak melihat kita sering bertengkar, mereka akan berkata, "Buat apa mama rajin melayani Tuhan tapi bertengkar terus dengan papa?" Akhirnya jadi batu sandungan yang tidak positif buat anak. Jadi saya kira yang lebih dewasa yang lebih dinamis dengan Tuhan, daripada rumah tangganya lebih rusak, ya mengalah.

GS : Tapi jadinya tidak bertumbuh, Pak Paul? Karena terhambat pertumbuhannya.

PG : Saya kira itu konsekuensinya demi menjaga keutuhan keluarga dan demi anak-anak agar mendapatkan kesempatan bertumbuh dalam kondisi yang lebih damai, dia harus mengalah walau pertumbuhannya bisa jadi lebih perlahan. Karena ada hal-hal yang dia tahu mesti dia lakukan tapi supaya tidak ribut sehingga dia tidak melakukannya.

GS : Lalu bagaimana dia harus menjaga keotentikan hubungannya dengan Tuhan?

PG : Mungkin itu yang bisa dia lakukan, Pak Gunawan. Dia tetap menjaga hubungannya otentik dengan Tuhan apa adanya dia mengaku dia memiliki pergumulan apa. Sedapat-dapatnya dia berbuat sesuatu yang masih bisa ditoleransi oleh pasangannya tetap dia lakukan. Tetap dia dinamis meskipun tidak sedinamis yang dia harapkan. Mungkin nanti ada kesempatan dalam skala yang lebih kecil yang bisa dilakukannya buat Tuhan.

GS : Selain berpengaruh pada pertumbuhan, hal yang lain yang dipengaruhi oleh hubungan dengan Tuhan itu apa, Pak Paul?

PG : Oleh karena ketaatan menjadi ciri utama relasi yang otentik dan dinamis dengan Tuhan, tidak bisa tidak baik suami maupun istri menjadi pribadi yang makin hari makin hidup buat Tuhan dan bukan untuk kepentingan diri sendiri. Singkat kata, kepentingan yang lebih luas akhirnya menjadi penentu keputusan, bukan kepentingan pribadi yang sempit. Di dalam relasi seperti ini, konflik menjadi lebih jarang terjadi. Sebab makin besar prosentase konflik yang tidak terselesaikan makin hari makin mengecil. Karena akhirnya mereka belajar untuk hidup bukan untuk diri sendiri. Kita akan melihat orang yang tidak memunyai hubungan otentik dan dinamis dengan Tuhan, cenderung hidup untuk diri sendiri. Makin hidup untuk diri sendiri, makin susah mengalah, makin sering cek-cok karena mempertahankan pendapat. Tapi orang yang terbiasa hidup untuk Tuhan memiliki hubungan dinamis dan taat kepada Tuhan, terbiasa untuk hidup lebih luas bukan hanya dirinya saja. Sehingga nanti dalam pernikahan kalau ada apa-apa dia juga lebih mudah berkata, "Tidak apa-apa, tidak harus mengikuti kehendak saya", "Tidak apa-apa tidak harus mengikuti kehendak saya", dan sebagainya.

GS : Jadi sifat kerendahan hati itu timbul sebagai hasil dari hubungan yang otentik dan dinamis itu, Pak Paul?

PG : Ya. Akhirnya dia jadi orang yang lebih mudah mengalahkan dirinya, Pak Gunawan. Karena dalam hubungan otentik dan dinamis dengan Tuhan itu dituntut ketaatan. Taat berarti dia harus mengalahkan kedagingannya dan keinginannya. Ini jadi modal yang besar sekali dalam berhubungan dengan pasangannya. Sebab dia terbiasa menahan diri, mengesampingkan kepentingannya dan mendahulukan kepentingan pasangan atau orang lain. Dan itu yang kita tahu sebagai kunci keharmonisan.

GS : Tetapi memang kadang hal seperti itu bisa disalahgunakan oleh pasangan terutama jika hubungan pasangan dengan Tuhan ini tidak terlalu baik, sehingga si suami atau si istri yang sering mengalah dan hidup untuk Tuhan lalu menjadi korban di dalam hubungan suami istri ini.

PG : Secara manusia kita bisa merasa jadi korban. "Kenapa saya jadi korban? Kenapa saya yang terus harus mengalah? Kenapa saya terus yang menahan diri? Kenapa saya harus terus tutup mulut? Kenapa dia boleh seenaknya saja?" Betul ada perasaan begitu dan itu tidak bisa dihindari. Yang penting kita selalu fokus kepada Tuhan. Mata kita harus terus tertuju kepada Dia, bukan kepada manusia. Misalkan kita pandang Tuhan Yesus, kita tahu Dia telah memberikan contoh. Dia mengalah, Dia mengesampingkan kepentingan-Nya demi kepentingan kita, maka kita juga lakukan seperti yang Dia inginkan. Kita tidak melakukannya supaya pasangan kita tidak ikut-ikutan. Jika dia ikut ya itu baik. Kalaupun dia tidak ikut-ikutan ya tidak apa-apa. Sebab kita melakukannya buat Tuhan bukan buat dia. Ini menjadi motivasi kita, Pak Gunawan. Bukan lakukan demi pasangan tapi lakukanlah demi Tuhan.

GS : Kalau kita mau mengorbankan sebagian dari harta kita untuk menolong orang lain yang benar-benar membutuhkan, tapi pasangan tidak setuju dengan apa yang kita lakukan, ini bagaimana Pak Paul?

PG : Kita mau dengarkan dulu kenapa dia tidak setuju, beri kesempatan menjelaskan alasannya dan kita pertimbangkan apakah alasannya itu ada benarnya. Kalau ada benarnya meskipun kita tahu pendapat kita juga ada benarnya, ya sudahlah, kita menjadi orang yang bersedia mengalah. Daripada memaksakan kehendak kita. Sekali lagi dalam hal seperti ini yang berkaitan dengan kerohanian, saya lebih berprinsip kita jangan memaksakan. Kita menjadi saksi buat Tuhan untuk bersedia mengesampingkan kepentingan pribadi.

GS : Keharmonisan ditentukan oleh seberapa jauh kita bisa mengalah terhadap pasangan, Pak Paul?

PG : Ya! Bukan terus mengalah tanpa ada ketegasan. Kadang-kadang kita mesti tegas bicara. Tidak selalu ikut saja seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Tapi kebanyakan kita mengalah. Dalam poin-poin tetentu yang kita tahu memerlukan ketegasan, kita mesti tegas. Dalam relasi seperti itu, keharmonisan dapat lebih terwujud.

GS : Hal lain yang diperoleh dari hubungan otentik dan dinamis dengan Tuhan apa, Pak Paul?

PG : Oleh karena dalam relasi otentik dan dinamis dengan Tuhan, Tuhan menjadi pusat segalanya, maka tidak bisa tidak, baik suami maupun istri akan makin menyerap nilai-nilai rohani yang bersumber dari firman Tuhan. Makin banyak yang terserap, maka makin besar pula dampak yang ditimbulkan, khususnya dalam hal penggunaan waktu dan uang. Di bawah payung yang sama, maka keputusan yang berkaitan dengan waktu dan uang akan jauh lebih mudah diambil tanpa harus didahului oleh perkelahian. Jadi makin taat ikut Tuhan, kita makin menyerap firman Tuhan, sehingga hidup kita lebih dituntun oleh firman Tuhan terutama dalam penggunaan uang dan waktu akan lebih diwarnai oleh pikiran Kristus, supaya nantinya bisa lebih sepaham.

GS : Kenapa hanya uang dan waktu yang terutama, Pak Paul?

PG : Saya kira dua hal ini sumber pertengkaran yang umum sekali terjadi, Pak Gunawan. Hampir semua orang yang bertengkar, pernah bertengkar soal uang. Dan hampir semua orang yang bertengkar, pernah bertengkar soal waktu. Tidak semua orang pernah bertengkar tentang perselingkuhan. Tidak! Karena tidak semua pernikahan dilanda perselingkuhan. Tapi hampir semua pernikahan pernah bertengkar baik soal waktu maupun soal uang.

GS : Kalau tentang uang memang sering terjadi. Kalau pertengkaran soal waktu itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Misalkan waktu yang kita gunakan untuk pekerjaan Tuhan atau untuk menolong orang. Kita berikan waktu ini untuk kepentingan yang lain. Kalau kita tidak memiliki pemikiran yang sama, cara pandang kita berbeda, nanti akan timbul pertengkaran. Tapi kalau kita sering membaca dan menyerap firman, pemikiran kita juga akan dikuasai oleh pemikiran Tuhan. Sehingga dalam pemakaian waktu, kita juga lebih bersedia untuk berkorban waktu. Banyak orang akan bersedia memberi waktu selama tidak berkorban waktu. Namun bila mesti berkorban, dia tidak bersedia atau menolak, bahkan belum siap. Jadi firman Tuhan yang menyerap dalam hidup kita mendorong kita untuk lebih berani berkorban waktu.

GS : Jadi memang disitu terbentuk nilai-nilai yang kita peroleh dari firman Tuhan sehingga nilai-nilai yang dianut oleh suami maupun istri itu sama, ya Pak Paul?

PG : Betul. Bayangkan kalau nilai yang dianut tidak sama, Pak Gunawan. Pasti sering ribut. Dan ributnya pasti tentang dua hal itu, pemakaian waktu dan pemakaian uang. Yang satu mau memberikan untuk pekerjaan Tuhan atau mau menolong orang lain, yang satu tidak mau. Akhirnya timbul pertengkaran-pertengkaran.

GS : Kadang-kadang menilai "orang lain kamu tolong, saya sendiri sebagai pasanganmu tidak kamu hiraukan dengan sering ditinggal pergi" dan sebagainya itu sering menimbulkan percekcokan, Pak Paul.

PG : Ya. Kalau kita memang melihat pasangan kita memang melayani Tuhan, dia juga dipakai Tuhan. Nah, selama dia juga tidak melalaikan tanggung jawabnya meskipun dia harus pergi atau apa, kita juga harus rela melepaskan dia.

GS : Pak Paul, tadi Pak Paul katakan di awal bahwa ada tiga faktor yang penting di dalam menentukan keharmonisan pernikahan. Tapi rupanya kita baru membicarakan tentang satu faktor saja yaitu relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis. Dua hal yang lainnya akan kita bicarakan pada kesempatan yang akan datang, ya Pak Paul. Dan kita sangat berharap agar para pendengar kita bisa mengikuti karena dua faktor yang penting juga akan dibahas pada kesempatan yang akan datang.

PG : OK.

GS : Untuk saat ini, Pak Paul, sebelum kita mengakhiri perbincangan ini, adakah firman Tuhan yang ingin Pak Paul bacakan?

PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 127:1,"Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya. Jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga." Kita mau membangun keharmonisan dalam pernikahan kita, kita harus datang kepada Tuhan terlebih dahulu. Karena nanti dalam relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis itulah maka pernikahan kita bisa dibangun menjadi lebih harmonis. Tanpa Tuhan, akan sangat sulit kita melakukan hal itu.

GS : Ya. Terima kasih untuk perbincangan kita kali ini, pak Paul. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Penentu Keharmonisan Pernikahan" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



61. Penentu Keharmonisan Pernikahan 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pranikah/Pernikahan
Kode MP3: T379B (File MP3 T379B)


Abstrak:

Ada banyak hal yang dapat menentukan keharmonisan pernikahan, namun di antara semua itu, ketiga faktor berikut merupakan yang terpenting:

  1. Relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis,
  2. Kesamaan dalam hal yang penting dan
  3. Kesehatan jiwa masing-masing. Dalam bagian ini akan dibahas ketiga faktor tersebut.

Ringkasan:

Ada banyak hal yang dapat menentukan keharmonisan pernikahan, namun di antara semua itu, ketiga faktor berikut ini merupakan yang terpenting:

  1. Relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis,
  2. Kesamaan dalam hal yang penting; dan
  3. Kesehatan jiwa masing-masing.

  1. Relasi dengan Tuhan yang Otentik dan Dinamis
    Yang dimaksud dengan relasi dengan Tuhan yang otentik adalah sebuah relasi yang akrab dan apa adanya. Di dalam relasi yang otentik dengan Tuhan, kita dapat mengakui kelemahan kita di hadapan-Nya dan membawa keluhan kita kepada-Nya. Kita tidak bersembunyi di balik kedok iman—bilamana kita sedang tidak beriman. Dan, kita pun tidak malu membeberkan kegagalan kita. Singkat kata, relasi yang otentik adalah sebuah relasi yang aman dalam kasih karunia Tuhan. Yang dimaksud dengan relasi dengan Tuhan yang dinamis adalah sebuah relasi yang ditandai dengan ketaatan untuk melakukan kehendak Tuhan. Jadi, di dalam relasi yang dinamis dengan Tuhan, kita akan selalu terpanggil untuk melakukan sesuatu buat Tuhan sesuai dengan pimpinan-Nya. Kita pun senantiasa berpikir lewat teropong Kerajaan Allah sehingga lebih memusatkan perhatian pada kepentingan-Nya ketimbang kepentingan diri sendiri. Nah, bilamana baik suami maupun istri mempunyai relasi yang otentik dan dinamis dengan Tuhan, maka hal-hal berikut ini akan terjadi di dalam pernikahan:
    • Oleh karena relasi yang hidup mesti bertumbuh, maka relasi pernikahan yang dihuni oleh dua orang yang memiliki relasi yang otentik dan dinamis dengan Tuhan, akan juga hidup dan bertumbuh. Sewaktu Tuhan duduk di puncak pimpinan, Ia pasti akan memimpin anak-anak-Nya menuju kehendak-Nya. Dan, ini akan membuat relasi tidak statis. Akan ada tantangan baru yang mesti dihadapi tetapi setiap tantangan akan membuka lembar kesempatan untuk bertumbuh. Alhasil relasi pun akan bertumbuh. Cinta akan makin mengakar dan ketahanan menghadapi tekanan akan menguat.
    • Oleh karena ketaatan menjadi ciri utama relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis, maka tidak bisa tidak, baik suami maupun istri menjadi pribadi yang makin hari makin hidup buat Tuhan, dan bukan buat kepentingan sendiri. Singkat kata kepentingan yang lebih luas akhirnya menjadi penentu keputusan, bukan kepentingan pribadi yang sempit. Di dalam relasi seperti ini konflik menjadi lebih jarang terjadi sebab makin persentase konflik yang tidak terselesaikan makin hari makin mengecil.
    • Oleh karena di dalam relasi yang otentik dan dinamis dengan Tuhan, Ia menjadi pusat segalanya, maka tidak bisa tidak, baik suami maupun istri juga akan makin menyerap nilai-nilai rohani yang bersumber dari Firman Tuhan. Makin banyak yang terserap, maka makin besar pula dampak yang ditimbulkan dalam setidaknya, penggunaan waktu dan uang. Di bawah payung sama, maka keputusan yang berkaitan dengan waktu dan uang akan jauh lebih mudah diambil, tanpa harus didahului oleh perkelahian.
  2. Kesamaan dalam Hal-Hal yang Penting
    Di dalam bahasa Inggris ada perkataan yang berbunyi, "Opposite attracts." Artinya, kita cenderung tertarik kepada orang yang berbeda dari diri kita sendiri. Tidak bisa disangkal pada awalnya memang kepribadian dan gaya hidup yang berbeda mempunyai daya tarik tersendiri. Namun pada akhirnya pekerjaan rumah yang mesti dikerjakan akibat perbedaan tidaklah sedikit. Makin besar perbedaan, makin berat usaha untuk memahami dan menyesuaikan diri. Itu sebab, sesungguhnya resep yang lebih tepat bukanlah mencari yang berbeda, melainkan mencari yang serupa dengan kita. Pada kenyataannya hampir selalu semua kesamaan berperan besar dalam mengharmoniskan relasi, kecuali sifat keras kepala dan egois. Dua orang yang keras kepala dan egois tidak mungkin hidup bersama dalam keharmonisan. Nah, kembali kepada faktor kesamaan, kita mesti membedakan antara kesamaan dalam hal sepele dan kesamaan dalam penting. Yang saya maksud dengan kesamaan sepele adalah kesamaan yang berkaitan dengan gaya hidup sehari-hari. Misalkan kita sama-sama orang "pagi"—tidak suka tidur larut malam dan lebih suka bangun dini hari. Atau, kita sama-sama suka makan soto atau sama-sama suka pergi ke bioskop. Sekali lagi, kesamaan—apa pun itu—berdampak positif dalam mengharmoniskan relasi. Namun, kesamaan dalam hal yang penting akan memberi dampak yang lebih besar dibanding kesamaan dalam hal yang sepele. Yang dimaksud dengan kesamaan penting adalah kesamaan dalam cara berpikir atau menilai sesuatu yang terjadi. Ada orang yang berpikir jauh ke muka dan ada yang berpikir pendek. Ada orang berpikir dalam dan ada yang berpikir praktis. Cara berpikir yang berbeda akan mengakibatkan cara menilai yang berbeda dan pengambilan keputusan yang berbeda pula. Sayang, banyak pasangan yang terlalu cepat berkesimpulan bahwa mereka sepadu-padan padahal kesamaan yang mereka temui bukanlah kesamaan dalam hal yang penting. Ketidaksamaan dalam cara berpikir, tidak bisa tidak, akan memengaruhi komunikasi. Untuk mencegah konflik, kita harus berusaha memahami cara pikir pasangan. Namun sebagaimana kita tahu keharmonisan tidak saja dibangun di atas "tidak ada konflik" melainkan juga—dan terutama—di atas "keintiman." Dan, keintiman baru dapat bertunas bila kita mulai dapat melihat dan menilai dengan cara pikir yang sama.
  3. Kesehatan Jiwa Masing-Masing
    Pepatah "Tidak ada gading yang tak retak" berlaku untuk semua manusia. Kita tidak sempurna dan tidak dibesarkan dalam lingkungan yang sempurna pula. Kita masih mempunyai pekerjaan rumah untuk membereskan persoalan pribadi kita masing-masing. Sungguhpun demikian ada yang mempunyai sedikit pekerjaan rumah namun ada pula yang mempunyai banyak pekerjaan rumah. Singkat kata, bak gading, ada yang retak sedikit tetapi ada pula yang retak banyak. Dan, kita masuk ke dalam pernikahan membawa keretakan itu.

    Sebagai contoh, bila kita dibesarkan dalam rumah yang sarat konflik, besar kemungkinan kita pun akhirnya bertumbuh besar membawa api kemarahan di dalam diri kita. Akhirnya kita senantiasa mengalami kesulitan mengendalikan emosi tatkala beradu pendapat dengan pasangan. Begitu cepat emosi naik dan setelah naik, kita tidak berhasil mengendalikannya dengan baik. Alhasil kita sering menyakiti hati pasangan dan luka yang tertimbun di hati membuatnya dingin dan menjauh dari kita.

    Atau, kita sering menerima kritikan dari orang tua. Hampir semua yang kita lakukan salah atau kurang cukup baik di mata mereka. Akhirnya kita bertumbuh besar menjadi pribadi yang selalu memastikan bahwa kita telah mengerjakan sesuatu sebaik-baiknya. Kita tidak mau dan tidak suka dikritik sebab kritik, bagi kita, sama dengan disalahkan. Di dalam pernikahan kita sulit menerima masukan apa pun yang kita tafsir sebagai kritikan. Akhirnya hampir setiap pembicaraan menjadi ajang untuk membenarkan diri dan menyalahkan pasangan.

    Contoh terakhir, kita tidak mendapatkan perhatian dan pengakuan yang cukup dari orang tua. Kita pun tidak memperoleh pengakuan dan rangkulan dari teman. Sebagai akibatnya kita mengembangkan rasa ditolak dan ini membuat kita peka dengan segala tindakan yang kita anggap sebagai penolakan. Di dalam pernikahan kepekaan ini menjadi duri yang menusuk relasi. Misalkan, pasangan ingin pergi melakukan sesuatu dan tidak menerima bantuan kita setelah kita menawarkannya. Ia menolak tawaran kita karena ia tidak memerlukannya. Tetapi bagi kita, penolakan itu merupakan penolakan terhadap diri kita.

    Sebagaimana dapat kita lihat, kesehatan jiwa menentukan keharmonisan pernikahan. Makin sehat, makin sehati! Di dalam jiwa yang sehat semua masalah di atas tidak perlu muncul sebab hampir semua masalah dapat dihadapi bersama. Namun inilah penghiburan kita: Tuhan dapat memulihkan keretakan! Proses pemulihan akan berjalan lama dan tidak mudah, tetapi yang pasti adalah Tuhan sanggup. Kuncinya adalah kesediaan untuk melihat diri sebagaimana diutarakan oleh Pemazmur Mazmur 139:23—24.

Transkrip:

Saudara—saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Penentu Keharmonisan Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita sudah bicara tentang satu dari tiga faktor penentu keharmonisan pernikahan. Pak Paul juga sudah menyampaikan secara singkat tentang keharmonisan pernikahan itu. Tapi supaya para pendengar kita kali ini juga bisa mengikuti perbincangan ini secara utuh, apakah Pak Paul berkenan untuk mengulas secara cepat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau?

PG : OK. Pada dasarnya ada banyak faktor yang bisa menentukan apakah pernikahan ini harmonis atau tidak. Namun dari sekian faktor, ada tiga yang penting. Yang pertama yang telah kita bahas, relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis. Yang kedua yang akan kita bahas kali ini adalah kesamaan dalam hal-hal yang penting dan yang terakhir adalah kesehatan jiwa masing-masing. Jadi tiga hal ini berperan besar dalam menentukan apakah relasi kita ini akan harmonis atau tidak. Saya bahas bahwa kalau orang mempunyai relasi yang otentik dengan Tuhan, dia terbuka, tidak pura-pura dan dinamis yang artinya dia taat dituntun oleh Tuhan, melakukan kehendak Tuhan, maka itu nanti akan berdampak sekali pada pernikahan itu sendiri. Misalnya, karena orang itu selalu dipimpin oleh Tuhan, selalu siap melakukan kehendak Tuhan, maka relasi nikah itu sendiri menjadi relasi nikah yang dinamis, hidup, tidak statis begitu-begitu saja. Tuhan nanti akan berikan kepada mereka panggilan-Nya, pimpinan-Nya untuk melakukan kehendak-Nya. Dan mereka akan melakukannya! Sehingga relasi mereka pun terus bertumbuh. Saya juga bahas kalau orang memiliki relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis, dia juga akan menjadi orang yang tidak hanya mementingkan kepentingan diri, tapi mementingkan kepentingan yang lebih luas. Karena dia sudah terbiasa taat kepada Tuhan. Dia terbiasa mengalah dan menahan diri demi kepentingan Tuhan atau kepentingan yang lebih luas. Nah, ini akan berdampak dalam relasinya pula. Dia tidak menjadi orang yang, "Pokoknya kehendak saya. Kalau bukan kehendak saya, saya tidak mau melakukannya." Tidak! Dia akan menjadi orang yang lebih mudah untuk mengalah. Jadi sekali lagi, penting untuk kita memunyai relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis, supaya nantinya relasi kita makin hari juga makin kuat dan makin menjadi relasi yang harmonis.

GS : Tentunya Tuhan sendiri menghendaki agar relasi pernikahan yang terbentuk itu menjadi relasi yang harmonis ya, Pak Paul? Supaya bisa menjadi berkat bagi orang lain dan bagi mereka sendiri.

PG : Benar, Pak Gunawan. Tuhan tidak memunyai gagasan bahwa silakan menikah dan silakan bertengkar. Justru Tuhan ingin pernikahan menjadi ajang untuk mengasah sifat masing-masing supaya makin hari makin lebih menyerupai sifat-sifat Tuhan, sehingga pernikahan ini menjadi lambang kehadiran Tuhan di dalam hidup mereka.

GS : Jadi memang dasar dari pernikahan itu adalah Tuhan sendiri yang terus membangun hidup pernikahan itu. Selain faktor hubungan dengan Tuhan yang otentik dan dinamis. Hal yang kedua apa, Pak Paul?

PG : Kesamaan dalam hal-hal yang penting, Pak Gunawan.

GS : Itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Di dalam Bahasa Inggris, ada pepatah yang berkata: Opposite Attracks. Artinya kalau kita bertemu dengan orang yang berbeda dengan diri kita, kita cenderung tertarik kepadanya. Kalau kita bertemu dengan orang yang sama dengan kita, kita tidak tertarik. Nah, memang tidak bisa disangkal jika kita bertemu dengan orang yang sifat dan kepribadiannya yang berlainan dengan kita, ada daya tarik dalam dirinya ya. Tapi yang harus kita sadari adalah gara-gara terlalu berbeda, nanti PR-nya untuk menyesuaikan diri, menyelaraskan dua pribadi itu tidak gampang. Justru berat. Jadi makin besar perbedaan, makin berat usaha untuk memahami dan menyesuaikan diri kita. Itu sebabnya, resep yang lebih tepat kepada pasangan yang belum menikah, jangan mencari yang berbeda atau terlalu berbeda. Carilah yang lebih serupa dengan kita. Kenapa? Sebab pada kenyataannya, hampir semua kesamaan berperan besar dalam mengharmoniskan relasi. Kecuali sifat keras kepala dan egois! Sebab kalau kedua-duanya sama-sama keras kepala dan egois, itu berarti tidak bisa tinggal serumah. Sebab sesungguhnya orang yang keras kepala dan egois lebih baik tidak menikah. Karena itu berarti pasangannya harus selalu mengikuti kehendak dia. Nah, apalagi kalau dia menikah dengan orang yang mirip dengan dia, yang keras kepala dan egois. Pasti rumah tangga ini akan penuh dengan konflik. Tetapi untuk hal-hal yang lain, sebetulnya kesamaan itu akan sangat membantu dan memudahkan kita untuk menyamakan diri.

GS : Kesamaan dalam hal ini saya rasa untuk semua hal yang positif, ya Pak Paul? Kalau persamaan dalam hal negatif malah akan melemahkan pernikahan mereka, Pak Paul.

PG : Betul.

GS : Tapi ada orang yang berkilah kenapa dia memilih pasangan yang banyak perbedaannya yaitu supaya saling mengisi. Di dalam pernikahan 'kan saling mengisi. Kalau dia menikah dengan orang yang sudah banyak kesamaannya 'kan dia tidak belajar apa-apa dari pasangannya itu, begitu Pak Paul.

PG : Ya. Awalnya itu kelihatan sebagai ide yang begitu indah. Saya berbeda dengan pasangan saya supaya saling melengkapi, mengisi dan sebagainya. Tapi kita yang sudah menikah tahu, bahwa perbedaan bukannya mengisi tapi mengganggu! Intinya itu. Kalau misal kita orangnya rapi, dia orangnya berantakan. Kita merapikan, dia membuatnya berantakan. Itu bukannya mengisi. Kita akan merasa terganggu. Mungkin pihak yang sana senang. Tapi bisa juga orang yang biasa berantakan tidak suka barang-barangnya dirapikan. Karena itu mengganggu dia juga. Jadi poinnya adalah biasanya perbedaan itu mengganggu. Untuk hal-hal tertentu memang ada yang saling melengkapi. Itu betul. Misalkan yang satu orangnya teliti, yang satu orangnya kurang teliti. Yang teliti bisa menolong. Hal-hal yang seperti itu manfaatnya jelas, orang bisa menghargai. Tapi kita tahu dalam hal-hal lain, perbedaan itu seringkali mengganggu. Kita tidak suka dan berkata, "Kamu kok begitu?" Kenapa kita berkata demikian, sebab kita tidak begitu. Sekali lagi kita mesti memahami sebetulnya lebih banyak persamaan lebih besar kemungkinannya relasi kita akan harmonis.

GS : Tapi memang Tuhan menciptakan kita pria dan wanita yang berbeda sekali, Pak Paul.

PG : Ya. Maka kita akan melihat seperti ini, Pak Gunawan. Pasti akan ada perbedaan, meskipun kita mencari yang banyak persamaannya dengan kita, tetapi setelah menikah, pasti akan kita temukan ada banyak perbedaan. Jadi poin saya adalah, jangan belum apa-apa sudah mencari yang sangat berbeda. Karena setelah menikah akan kita temukan lebih banyak perbedaan. Sebab yang sama saja tetap ada perbedaan. Memang itulah keunikan kita sebagai manusia, masing-masing memiliki keunikan yang berbeda dari orang lain.

GS : Persamaan dalam hal-hal yang penting, misalnya apa Pak Paul?

PG : Begini, Pak Gunawan. Ada kesamaan dalam hal-hal yang tidak terlalu penting. Misalnya ada orang yang berkata, "Saya menyukai dia sebab kami sama-sama menyukai film horror." Itu kesamaan yang baik dan tidak apa-apa. Tapi sebetulnya ada kesamaan yang lebih penting lagi yaitu dalam hal cara berpikir, Pak Gunawan. Cara berpikir itu luar biasa pengaruhnya terhadap apakah nanti relasi kita bisa harmonis atau tidak. Misalnya pasangan kita berpikirnya praktis, tidak suka yang ruwet-ruwet. Kebetulan kita berpikirnya panjang dan lebar. Kita perhatikan segala sudut sebelum bertindak. Akhirnya dalam pengambilan keputusan kita selalu bertengkar dengan pasangan kita. Kita maunya pelan-pelan, lihat sana sini, memastikan dulu baru bertindak. Sedangkan pasangan kita tidak, maunya langsung saja. Akhirnya jadi sering ribut. Saya kira kesamaan dalam cara berpikir ini penting sekali, Pak Gunawan. Nantinya ini juga berpengaruh dalam komunikasi. Karena kalau kita bicara dengan pasangan yang berpikiran konkret praktis sedangkan kita berpikirnya abstrak, nantinya tidak bisa berlanjut. Kenapa? Saat kita ajak dia berdiskusi, diskusinya akan cepat berakhir. Karena dia tidak berpikir sebanyak yang kita bisa. Pikirannya pendek-pendek. Nantinya hal ini akan mengganggu keintiman. Relasi ini tidak bisa bertumbuh menjadi lebih intim.

GS : Mengenai cara berpikir, apakah ini dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, Pak Paul?

PG : Memang tidak selalu, tetapi memang ada pengaruhnya. Orang yang berpendidikan tinggi, cenderung memiliki cara berpikir yang lebih luas, lebih dalam, lebih analitis. Tetapi kalau tidak, akan cenderung lebih praktis, lebih memikirkan solusinya apa. Memang tidak mesti karena tingkat pendidikan. Juga ada faktor-faktor bawaan atau faktor keluarga.

GS : Atau karena perbedaan usia yang jauh, Pak Paul?

PG : Seharusnya tidak, Pak Gunawan. Sebab jika kita memiliki cara berpikir yang analitis, pada usia lebih muda pun kita akan seperti itu, bukan karena usia agak tua.

GS : Jadi selain mengenai pola pikir, apakah ada hal lain yang dipengaruhi?

PG : Yang mau saya tekankan adalah jangan terlalu cepat kita mengatakan, "Oh, kami memiliki banyak kesamaan." Sebab kesamaan yang paling penting bukanlah kesamaan-kesamaan seperti yang saya sebutkan tadi, tetapi kesamaan cara berpikir. Ini yang mesti kita perhatikan. Ketidaksamaan dalam cara berpikir akan berpengaruh pada banyak hal, termasuk komunikasi dan konflik. Kenapa? Karena untuk bisa menyelesaikan konflik, kita harus bisa masuk ke alam pikir pasangan kita. Kalau kita tidak mampu masuk ke alam pikir pasangan kita, konfliknya tidak akan selesai-selesai. Karena selalu berpikir dari sudut kita saja, tidak bisa memandang dari sudut pasangan kita. Ini akan mengganggu. Maka dalam mencari pasangan, coba lihat apakah cara pikirnya sama dengan kita. Apakah dia juga akan mencoba melihat lebih banyak, bukan hanya satu saja. Apakah dia akan berfokus pada solusi saja, ataukah dia juga mau melihat ke belakang mencari tahu apa penyebab dari masalah yang terjadi. Kalau bisa perhatikan semua ini sebelum kita menikah.

GS : Tadi Pak Paul mengatakan bahwa kesamaan ini juga akan berpengaruh pada pola komunikasi suami-istri. Itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Kalau pola pikirnya memang tidak sama, akhirnya kita tidak bisa melangsungkan pembicaraan yang panjang, Pak Gunawan. Bukankah kita alami dengan teman di tempat kerja atau di sekolah? Kalau kita puya teman yang cara berpikirnya berbeda dengan kita, akhirnya tidak bisa bicara panjang dengan dia, Pak Gunawan. Sebab kalau kita ngomong panjang, akan timbul perdebatan atau konfllik, jadinya tidak sehati. Maka sebaiknya dalam mencari pasangan hidup, kita cari orang yang mempunyai cara pandang yang mirip dengan kita.

GS : Selain hal kesamaan, apa faktor yang ketiga, Pak Paul?

PG : Kesehatan jiwa dari masing-masing anggota keluarganya, Pak Gunawan. Suami dan istri sebaiknya memiliki kesehatan jiwa yang baik. Karena kalau seseorang memunyai masalah, dia tidak memunyai jiwa yang sehat, itu akan sangat memengaruhi relasi pernikahan. Memang kita tahu ada pepatah yang mengatakan "Tak ada gading yang tak retak". Memang setiap kita ada retaknya karena kita tidak sempurna. Tapi ada yang retaknya banyak, ada yang retaknya sedikit. Yang retaknya banyak, berarti PR-nya juga lebih banyak. Kalau kita menikah dan masih membawa keretakan itu, maka itu akan sangat memengaruhi pernikahan kita pula. Saya beri contoh yang gampang, Pak Gunawan. Kalau kita memiliki penilaian diri (self-esteem) yang kurang, kita akan cenderung melindungi diri dari kritikan. Karena tidak mau dicela, akhirnya kita susah sekali mendengar tanggapan, koreksi, teguran ataupun nasehat. Karena kita menganggap semua itu adalah upaya untuk mendiskreditkan kita, untuk menghancurkan kita atau pun menjelekkan kita. Mungkin pasangan berkata, "Tidak ada niat begitu, saya sayang sama kamu. Saya hanya ingin bicara seperti ini." Tapi dia tidak bisa terima! Ini sebagai contoh langsung saja, betapa pentingnya kesehatan jiwa. Kalau itu tidak ada dalam diri si suami atau si istri, pasti akan berpengaruh buruk pada pernikahannya.

GS : Tapi biasanya keretakan-keretakan itu baru nampak setelah menikah bahkan setelah bertahun-tahun menikah. Bahwa pasangan kita memiliki cacat jiwa di bagian apa, seperti itu Pak Paul.

PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi memang tidak bisa langsung kelihatan. Biasanya kelihatan berlahan-lahan setelah kita hidup dengannya. Contoh yang lain misalnya kita dibesarkan di rumah yang penuh dengan konflik. Misalnya kita jadi membawa api kemarahan dalam diri kita. Kita sulit mengendalikan emosi tatkala beradu pandang dengan orang lain. Sekarang kita tidak bisa beradu pendapat dengan istri atau suami kita. Kita cepat marah dan setelah marah kita tidak bisa mengendalikan emosi kita dengan baik. Akhirnya apa yang terjadi? Kita akan menyakiti hati pasangan. Dan luka yang kita timbulkan di hatinya membuat pasangan ingin menjauh dari kita. Sekali lagi kalau kita memang punya masalah, itu akan sangat berdampak pada pernikahan kita.

GS : Lalu bagaimana cara untuk mengetahui bahwa calon pasangan kita memiliki banyak keretakan, Pak Paul?

PG : Tidak bisa tidak kita harus mencari fakta latar belakangnya, Pak Gunawan. Memang orang-orang tua sering berkata cobalah perhatikan keluarganya seperti apa. Ini benar sekali! Kalau kita lihat keluarganya tidak harmonis, memiliki banyak sekali masalah, hampir bisa dipastikan masalah itu akan menetes turun kepada anak-anak. Kita hanya mau tahu dampaknya seperti apa. Kita bisa ajak dia bicara langsung dan tanyakan kira-kira apa dampaknya pada dirinya. Nah, kita mau tahu bisa tidak dia melihat dirinya seperti apa. Dan apakah ada pengaruh relasi orangtuanya terhadap dirinya. Sudah tentu kita mesti membicarakannya secara lembut dan sensitif. Karena tidak ada orang yang membeli tiket untuk memilih dilahirkan di sebuah keluarga. Semua ini ditentukan oleh Tuhan. Jadi jika kita kebetulan dibesarkan dalam keluarga yang baik dan sehat, sedangkan pasangan kita dibesarkan dalam keluarga yang sebaliknya, kita harus mengerti bahwa ini bukan berarti kita lebih baik daripada dia! Di dalam pemeliharaan Tuhan, Tuhan menempatkan kita di dalam keluarga yang lebih sehat, sedangkan pasangan kita di dalam keluarga yang kurang sehat, jadi kita mesti membicarakannya dengan lebih sensitif. Kita misalnya bertanya, "Apa kira-kira pengaruh hubungan orangtuamu terhadap dirimu?" Kita lihat apakah dia terbuka atau tidak melihat pengaruh itu. Kita bisa tanyakan, "Seperti apa orangtua kalau sedang rebut? Ributnya karena apa?" Sebab kenapa? Nanti akan ada dampaknya kepada si anak. Saya berikan contoh yang lain, kita sering menerima kritikan dari orang tua. Semua yang kita lakukan salah, kurang cukup baik dan sebagainya. Akhirnya apa yang terjadi? Kita bertumbuh besar menjadi pribadi yang selalu ingin memastikan kita telah mengerjakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Kita tidak mau dan tidak suka dikritik. Sebab bagi kita, dikritik sama dengan disalahkan. Akhirnya dalam pernikahan kita sulit menerima masukan. Sebab masukan itu kita artikan sebagai kritikan. Nah, akhirnya apa yang terjadi? Hampir setiap pembicaraan menjadi ajang untuk membenarkan diri dan untuk menyalahkan pasangan. Jadi sekali lagi, kalau kita melihat ada masalah seperti itu dalam keluarganya, kita mau tahu dampaknya terhadap orang tersebut. Makin dia terbuka mengakui kelemahannya, makin dia bersedia berkata, "Memang ini problem saya. Tolonglah saya." Kita akan lebih bersedia menolong dia.

GS : Seringkali bukan karena faktor orang tuanya, tetapi faktor dia sendiri yang pernah mengalami hal yang kurang menyenangkan, Pak Paul. Sehingga calon pasangan kita ini menjadi orang yang sangat peka terhadap kata-kata orang.

PG : Ya! Seringkali itu juga terjadi. Waktu kita mulai melihat keluarganya seperti apa, kita mulai bisa membayangkan dampaknya seperti apa pada orang yang nantinya menjadi suami atau istri kita. Tapi seperti yang Pak Gunawan amati tadi, tetap saja sekalipun kita sudah melakukan PR kita, biasanya setelah menikah baru kita bisa melihat lebih jelas hal-hal yang kurang sehat itu.

GS : Misalnya anak ini tidak pernah dihargai oleh orang tuanya. Prestasinya di sekolah tidak dihiraukan, usul-usulnya juga tidak banyak yang ditanggapi. Bagaimana pengaruhnya, Pak Paul?

PG : Besar pengaruhnya, Pak Gunawan. Kalau dia memang butuh pengakuan tapi tidak pernah menerimanya dari orang tua, akhirnya dia merasa kok teman-teman menjauhkan diri tidak mau merangkul dia, dia mengembangkan perasaan ditolak. "Saya orang yang tidak diinginkan oleh keluarga dan oleh teman." Itu membuatnya peka terhadap tindakan orang yang dia anggap sebagai penolakan. Dia tidak bisa menerima hal itu. Jadi akhirnya kepekaan ini, yang takut ditolak, menjadi duri dalam pernikahan. Tidak bisa tidak, misalnya pasangan ingin pergi melakukan sesuatu dan tidak menerima bantuan kita untuk menolongnya. Sebetulnya dia menolak bantuan kita karena dia memang tidak perlu. Tapi karena kita punya masalah itu, kita marah besar. Kita berkata, "Kamu bukan menolak bantuan saya, tapi kamu menolak saya. Kamu memang tidak mau saya ikut." Mungkin pasangan jadi terbingung-bingung, "Saya sama sekali tidak bermaksud menolak kamu. Saya memang bisa mengerjakannya sendiri, jadi tidak perlu bantuanmu. Hanya itu saja." "Oh tidak, memang kamu menolak saya!" Jadi memang semuanya jadi personal, ke saya — ke saya — ke saya lagi.

GS : Memang agak sulit melihat kesehatan jiwa jika dibandingkan dengan kesehatan fisik yang mungkin bisa lebih cepat terlihat. Keretakan-keretakan jiwa seseorang ini yang sulit kita deteksi sedini mungkin sebelum menikah, Pak Paul. Memang kalau bisa sebelum pernikahan berlangsung, hal-hal seperti ini bisa dibereskan terlebih dahulu. Tapi faktanya 'kan tidak seperti itu, Pak Paul?

PG : Ya. Mungkin sebagai tips praktis saya bisa usulkan cobalah lihat beberapa hal ini. Yang pertama, apakah orang itu tahan menanggung stres (tekanan) atau tidak. Sebab seringkali kesehatan jiwa diukur oleh ketahanan menghadapi stres. Orang yang belum apa-apa sudah ambruk jika stres, marah sana sini, menyalahkan sana sini dalam keadaan stres, bisa dipastikan ada sesuatu yang kurang sehat. Yang kedua, coba lihat kemampuannya untuk mendengar dan menerima kritikan. Kalau orang itu tidak bisa menerima kritikan, selalu berkelit atau difensif, itu memang menandakan sedang ada masalah. Jadi seberapa mudahnya dia menerima kritikan dan mengakui kelemahannya itu juga sangat penting. Yang ketiga, yang bisa kita gunakan untuk mengukur berapa sehatnya jiwa seseorang adalah berani atau tidaknya dia berterus terang. Sebab ada orang yang sangat sulit berterus terang, Pak Gunawan. Jadi mirip-mirip seperti berbohong, menutup-nutupi. Makin banyak yang ditutupi, makin tidak bisa bicara apa adanya, bagi saya memang ada sesuatu. Ini bisa digunakan sebagai panduan.

GS : Ini sulit kita lihat waktu kita berpacaran, Pak Paul. Jadi setelah beberapa tahun kita mengenal dia, kita baru tahu ternyata dia bermasalah sejak lama. Kita menerima dia sebab sudah menjadi pasangan hidup kita. Bahkan kasihan dan mau membantu dia untuk keluar dari permasalahan ini.

PG : Iya. Kalau sudah menikah sudah tentu kita harus rangkul dia dan kita menunjukkan komitmen kita untuk menolongnya. Asalkan pihak tersebut bersedia ditolong.

GS : Dan memang kita bersandar penuh pada kemurahan dan kebaikan Tuhan yang memang mengerti kondisi kehidupan kita sebagai suami istri. Dan pelan-pelan Tuhan akan membentuk kehidupan suami-istri ini menjadi kehidupan pasangan yang harmonis, Pak Paul.

PG : Betul.

GS : Untuk mengakhiri perbincangan kita ini, apakah Pak Paul ingin membacakan ayat dari firman Tuhan?

PG : Saya bacakan dari Mazmur 139:23—24, Pak Gunawan. "Selidikilah aku, ya Allah dan kenallah hatiku. Ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku. Lihatlah apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal." Ini adalah sebuah keterbukaan, Pak Gunawan, terbuka untuk disoroti oleh Tuhan segala kelemahan-kelemahan dan dosa-dosa kita. Inilah doa Pemazmur. Saya kira inilah sikap kita di dalam pernikahan ya. Kita mesti bersedia diteropong, dilihat dan mengakui diri serta kelemahan kita. Makin kita menjadi orang yang seperti itu, makin mudah mengharmoniskan relasi pernikahan kita. Tapi bila sebaliknya, kita tidak bersedia diteropong, tidak bersedia dikoreksi, kita menganggap diri selalu benar, tidak terbuka terhadap orang, saya kira akan susah untuk menciptakan keharmonisan.

GS : Jadi keharmonisan ini tidak bisa sepihak ya, Pak Paul. Jadi harus diupayakan sungguh-sungguh oleh pasangan suami istri dan kita yakin Tuhan pasti memberkati upaya kita menciptakan keluarga yang harmonis ini, Pak Paul.

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Ya. Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih kepada Anda yang telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Penentu Keharmonisan Pernikahan" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



END_OF_FILE <<Prev Next>> Kembali ke atas