DVD Konseling Kristen TELAGA

TELAGA -- Pendidikan


TELAGA -- Pendidikan

Dalam kategori pendidikan, Anda dapat mendengarkan pembahasan tentang pendidikan yang diberikan orang tua dalam keluarga, baik itu pendidikan yang terkait dengan pengetahuan moral, iman, maupun kognitif. Anda dapat menyimaknya dalam 72 artikel yang berurutan. (Total Durasi: 36 Jam)<<Lihat Direktori>>

No.JudulFile MP3
1Perlunya Manfaat Anak BermainT006A
2Pendidikan Seks dalam KeluargaT012A
3Pendidikan Anak Usia 0-10 TahunT016B
4Mendisiplin AnakT020A
5Pola Pendidikan Anak dalam Keluarga KristenT026A
6Anak yang MembangkangT030A
7Anak BerfantasiT030B
8Mengarahkan Anak yang Terlalu BaikT034A
9Mendampingi dan Membimbing Anak PenurutT034B
10Bagaimana Menangani Perilaku Anak yang Mencuri 1T038A
11Bagaimana Menangani Perilaku Anak yang Mencuri 2T038B
12Bagaimana Menangani Anak Yang Egois 1T052A
13Bagaimana Menangani Anak Yang Egois 2T052B
14Menanamkan Rasa Tanggung Jawab Pada AnakT054A
15Proses Pertumbuhan Tanggung JawabT054B
16Anak dan UangT062A
17Anak dan Tanggung JawabT062B
18Nasihat Praktis untuk Mengasuh Anak Usia 0-9 Tahun 1T064A
19Nasihat Praktis untuk Mengasuh Anak Usia 0-9 Tahun 2T064B
20Bagaimana Menghadapi Anak yang CerdikT072A
21Mengajar Anak Menggunakan UangT072B
22Mengajar Anak Berkata TidakT078A
23Mendidik Anak yang LambanT078B
24Ayah dan ArahT118A
25Menghukum AnakT120A
26Mengoreksi Perilaku AnakT120B
27Ironi-Ironi Imam EliT123A
28Mengubah Kompetitif Menjadi Produktif 1T141A
29Mengubah Kompetitif Menjadi Produktif 2T141B
30Makna Kematian Buat AnakT150A
31Anak dan KetakutanT156A
32Anak yang Tidak Kenal TakutT156B
33Membentuk Kebiasaan AnakT160A
34Malas BelajarT160B
35Membantu Anak Mengendalikan DiriT164A
36Masalah Anak Belajar DisekolahT209A
37Anak Lari dari KenyataanT209B
38Tatkala Anak Sukar MengingatT213A
39Menangani Anak Sulit BelajarT213B
40Belajar Dari PengkotbahT238A
41Pelajaran Dari Daud 1T242A
42Pelajaran Dari Daud 2T242B
43Sewaktu Doa Tak Terjawab 1T243A
44Sewaktu Doa Tak Terjawab 2T243B
45Terapi BermainT245A
46Mengenal Anak Melalui KaryanyaT245B
47Belajar Kepemimpinan MusaT249A
48Membangun KerjasamaT249B
49Natal dan KeluargaT258A
50AborsiT258B
51Anak dan Kemajuan TeknologiT259A
52Membedakan DosaT259B
53Anak dan KemarahanT260A
54Diolok-olok TemanT260B
55Menatap Diri dan Menata DiriT271A
56Kejenuhan Ibu Rumah TanggaT287A
57Prioritas Hidup IT291A
58Prioritas Hidup IIT291B
59Mengasihi Anak dengan BenarT297A
60Mendisiplin Anak dengan BenarT297B
61Mengapa Anak Susah DiaturT304A
62Disiplin yang BerlebihanT304B
63Keagungan Sang PenciptaT319A
64Tujuan HidupT319B
65Berkomunikasi Lebih LembutT335A
66Mengendalikan EmosiT335B
67Autisme : Keunikan atau KelainanT340A
68Kurang Cerdas : Keunikan atau KelainanT340B
69Mengadakan PerubahanT364A
70Perubahan yang mendatangkan kebaikanT364B
71Mengawasi PerkataanT369A
72Racun dalam PerkataanT369B


1. Perlunya Manfaat Anak Bermain


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T006A (File MP3 T006A)


Abstrak:

Bermain adalah sesuatu yang berharga yang perlu dilakukan oleh anak-anak. Terutama bagi anak-anak yang masih dalam usia 6, 7 tahun. Hal ini penting untuk pertumbuhan fisik si anak.


Ringkasan:

Bermain adalah sesuatu yang sangat berharga bagi anak-anak. Manfaat bermain adalah sebagai berikut:

  1. Bermain Dapat melatih fungsi fisik anak, karena anak-anak perlu sekali belajar untuk menggerakkan dan belajar mengkoordinasi fungsi tubuhnya atau anggota tubuhnya.

  2. Bermain berpotensi menumbuhkan daya saing dan kemampuan bersaing secara sehat, dengan kata lain melalui permainan anak dilatih untuk berpikir menang namun dia melakukannya secara sehat. Jadi bukan saja dia mau menang tapi dia harus belajar menang dengan cara yang sehat.

  3. Bermain adalah hal yang penting untuk pengembangan daya kreatifitas anak.

  4. Sewaktu bermain sebetulnya anak belajar mengembangkan keterampilan bergaul atau keterampilan bersosialisasi. Waktu bermain anak-anak tidak bisa tidak dia harus belajar menempatkan dirinya pada diri temannya. Dia tidak bisa semaunya sendiri. Anak yang kurang bergaul dapat bertumbuh menjadi anak yang egosentris, yang memikirkan pandangannya sendiri dan kurang mampu untuk berempati atau menempatkan diri pada posisi orang lain. Melalui permainan sebetulnya anak-anak belajar memahami keinginan orang lain dan belajar juga menaati peraturan.

  5. Bermain menciptakan suatu keadaan di mana anak belajar menerima kekalahan tanpa merasa kalah atau tanpa merasa bersalah. Maksudnya permainan memungkinkan anak menerima kekalahan dalam suasana yang menyenangkan sebab dia senang bermain. Jadi kalah di sini tidak mengancam harga dirinya secara fatal.

  6. Bermain sangat penting untuk menghilangkan stres anak, dengan bermain berarti menguras tenaganya, melenturkan ketegangan-ketegangan pada syaraf-syarafnya, jadi anak-anak yang bermain dengan cukup akan melepaskan ketegangannya dengan sehat.

  7. Bermain sangat penting bagi pertumbuhan intelektual anak.

  8. Di dalam bermain anak juga belajar untuk memecahkan masalah seefisien dan secepat mungkin. Tantangan-tantangan dalam permainan secara tidak langsung merangsang anak untuk berpikir secara tepat dan cermat.

  9. Bermain juga melatih konsentrasi anak.

Lebih-lebih kalau orang tua bisa ikut bermain dengan anak, itu suatu hal yang sangat bagus. Dan ini adalah suatu hadiah bagi mereka pada masa kecil yang mereka bisa ingat pada masa dewasa mereka. Amsal 3:1, "Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku." Ini kerinduan semua orang tua agar anak tidak melupakan ajaran dan memelihara perintah orang tua. Namun sebagai orang tua juga perlu menciptakan suasana yang nyaman bagi anak untuk bertumbuh dan untuk menerima ajaran kita. Kalau jiwa anak sehat karena dia bisa bermain dengan bebas, dia pun lebih siap menerima ajaran kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen selama ± 30 menit akan menemani Anda dalam acara perbincangan seputar kehidupan keluarga. Telah hadir bersama saya Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi seorang pakar dalam bidang bimbingan yang kini juga aktif mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang. Dan juga telah hadir bersama kami Ibu Idajanti Raharjo, salah seorang pengurus di LBKK. Ikutilah perbincangan kami karena kami percaya acara Telaga ini pasti sangat menarik dan bermanfaat bagi kita semua.

Lengkap
GS : Pak Paul kali ini saya ingin mengajak Pak Paul dan Ibu Ida untuk berbincang-bincang masalah menghadapi anak atau anak-anak kita yang menurut saya itu sering kali kurang serius dalam menggunakan waktunya untuk belajar. Maunya bersantai-santai, bermain-main, membaca buku cerita, nonton TV, atau yang kami rasakan itu banyak waktu yang tidak digunakan untuk belajar. Nah sebenarnya apakah cukup beralasan Pak Paul kalau kami sebagai orang tua itu merasa cemas tatkala anak itu bermain-main?

(1) PG : Sebetulnya Pak Gunawan, bermain adalah sesuatu yang sangat berharga bagi anak-anak, ini yang sering kali kita kurang begitu sadari. Kita ini sekarang telah termakan oleh filsafat kalausaya boleh panggilnya filsafat bahwa hal yang paling penting dalam hidup adalah belajar, alias yang kita maksud dengan belajar adalah mempelajari bahan-bahan yang diberikan di sekolah.

Sebetulnya guna pertumbuhan anak yang diperlukan bukan saja belajar formal seperti yang diberikan di sekolah. Anak-anak itu sebetulnya perlu belajar banyak hal dan hal-hal ini tidak dapat diberikan melalui pelajaran formal di sekolah, justru mereka akan mendapatkannya melalui bermain. Nah saya bisa memikirkan sebetulnya ada banyak hal yang berfaedah dari bermain ini, misalkan yang pertama Pak Gunawan, anak-anak itu sebetulnya sewaktu bermain dia sedang melatih fungsi fisiknya karena mereka perlu sekali untuk belajar mengkoordinasi anggota dan gerakan tubuh mereka. Nah sewaktu bermain apalagi permainan yang melibatkan aktifitas fisik, mereka akan didorong untuk berlari, untuk misalnya melompat, untuk misalnya memegang, menggenggam dan sebagainya. Nah itu semuanya adalah hal-hal yang sangat penting bagi pertumbuhan fisik anak.
(2) IR : Tapi Pak Paul biasanya anak yang selalu bermain maunya bermain terus, apakah perlu kita itu mendisiplinkan supaya waktu bermain dan waktu belajar menjadi berimbang?

PG : Sudah tentu Ibu Ida, waktu bermain dan waktu belajar harus berimbang. Nah sebetulnya kalau kita membicarakan proporsinya mana yang harus lebih banyak waktu bermain atau waktu belajar, kitamelihatnya dari sudut perkembangan atau pertumbuhan usia anak.

Semakin anak makin besar atau makin tua otomatis memang waktu bermainnya akan lebih berkurang, tapi waktu anak masih kecil sebetulnya waktu main anak seyogyanya lebih banyak daripada waktu belajarnya. Jadi misalkan anak-anak yang masih kelas I SD, di mana mereka bisa pulang ke rumah misalkan jam 12.00 siang atau jam 11.00 siang. Nah mereka itu dari pagi sampai jam 12.00 sekitar 4, 5 jam sudah terlibat dalam belajar formal di sekolah. Tatkala mereka pulang sudah pasti mereka perlu waktu untuk makan siang dan istirahat sebentar. Namun sebetulnya kalau kita mulai menghitung dari jam 02.00 sampai malam dia tidur misalnya jam 09.00, ada 7 jam di situ, tidak seharusnya anak yang masih berumur sekitar 6, 7 tahun menghabiskan waktu misalkan 4 jam untuk belajar. Justru sesungguhnya yang penting bagi pertumbuhan anak, anak hanya perlu belajar misalkan selama paling lama 2 jam, selebihnya bisa dan seharusnya digunakan oleh anak untuk berlari, untuk bermain dengan teman atau adik kakaknya justru ini adalah hal yang berguna bagi dia. Misalkan kita kembali ke pertumbuhan fisiknya Ibu Ida, anak-anak ini perlu sekali kesempatan untuk bisa menggerakkan dan belajar mengkoordinasi fungsi tubuhnya atau anggota tubuhnya. Kalau dia tidak mendapatkan kesempatan itu dia akan bertumbuh dengan tubuh yang kurang siap, kurang kuat, karena tubuhnya itu tidak terlatih dengan baik. Nah kita tahu kita-kita ini yang sudah dewasa untuk mengencangkan otot kita, kita dianjurkan untuk berolah raga dengan teratur, untuk melatih jantung kita, kita juga dianjurkan untuk berlatih secara aerobic, ini semua adalah hal-hal yang kita sadari penting bagi kita sebagai orang dewasa. Namun adakalanya kita tidak menyadari bahwa hal ini juga sama pentingnya untuk anak dan bahkan dapat saya katakan lebih penting, karena inilah saat pertumbuhan dia. Jadi pertumbuhan fisik anak memerlukan sekali banyaknya gerak badan si anak, melalui permainanlah anak dapat melatih gerak badannya ini.
GS : Ya tapi masalahnya 'kan tidak semua rumah bisa memungkinkan anak misalnya berlari-lari, melakukan gerakan-gerakan yang aktif, dan kami pun sebagai orang tua juga merasa was-was kalau mereka harus bermain di jalan atau di taman, mengingat keamanan Pak Paul. Di samping itu juga mereka mempunyai banyak tugas dari sekolah, nah itu bagaimana mengatasinya Pak Paul, kami juga ingin anak kami itu kuat, lincah dan seterusnya.

PG : Memang saya bisa simpatik dengan keadaan anak-anak sekarang yang dibebani oleh tugas sekolah yang lumayan banyak. Menurut pandangan saya tidak seharusnya demikian, tidak seharusnya anak-ank terutama yang masih SD melakukan belajar tambahan di rumah selain di sekolah selama 3 atau 4 jam setiap harinya di luar jam belajar di sekolah.

Sebab itu akan menguras waktu di mana mereka bisa dan seharusnya mengembangkan keterampilan-keterampilan yang lain. Nah tadi yang Pak Gunawan katakan memang adalah situasi kehidupan kita sekarang ini yakni anak-anak kurang memiliki ruang gerak, itu betul sekali apalagi yang tinggal di perkotaan dan rumah yang memang misalnya tidak terlalu besar. Membiarkan mereka main di luar kita juga takut, inilah perbedaan zaman waktu kita masih kecil, kita bisa dengan bebas main di luar, di jalanan karena kendaraan bermotor juga belum terlalu banyak. Jadi memang anak-anak sekarang terpaksa lebih sering bermain di dalam rumah atau kalau misalnya memungkinkan kita ajak ke rumah temannya atau ke rumah saudara kita di mana dia bisa bermain di sana. Meskipun anak tidak mendapatkan ruang gerak yang banyak, permainan juga perlu untuk menumbuhkan kreatifitas anak Pak Gunawan. Jadi anak-anak itu meskipun tidak memiliki ruang gerak yang luas, namun kalau anak-anak didiamkan bermain dengan teman-teman sebayanya tanpa kita berikan petunjuk apapun anak-anak itu langsung bisa menciptakan permainan sendiri. Maka saya tekankan bahwa permainan itu adalah hal yang penting bagi pengembangan daya kreatifitas anak. Anak akan menciptakan permainan yang belum kita pikirkan sebelumnya dan mereka akan langsung bisa menikmati waktu itu dengan teman-temannya tanpa harus mengikuti aturan-aturan tertentu.
IR : Pak Paul selain untuk kreatifitas anak, kira-kira apalagi Pak Paul manfaat permainan itu bagi anak-anak?

PG : Yang lainnya adalah sewaktu anak-anak bermain sebetulnya dia belajar mengembangkan keterampilan bergaul atau yang kita sebut keterampilan bersosialisasi. Anak-anak ini waktu bermain tidak isa tidak dia harus belajar menempatkan dirinya pada diri temannya, dia tidak bisa semaunya.

Nah anak-anak yang kurang bergaul saya khawatir akan bertumbuh besar menjadi anak yang egosentris, yang memikirkan pandangannya sendiri, dan kurang mampu untuk berempati atau menempatkan diri pada posisi orang lain. Sebab segalanya akan dia pandang dan lihat dari kaca matanya saja. Nah melalui permainan sebetulnya anak-anak ini belajar untuk bergaul, salah satu unsur yang penting dalam pergaulan adalah anak-anak ini belajar memahami keinginan orang lain dan belajar juga menaati peraturan. Anak-anak lahir di dunia otomatis dengan kecenderungan untuk menuruti keinginannya saja atau hanya menaati aturan yang dia buat sendiri. Dia susah sekali untuk tunduk pada aturan main yang diciptakan oleh teman-temannya atau orang lain, maka permainan menjadi hal yang begitu penting dalam perkembangan keterampilan pergaulan anak. Sebagai contohnya misalkan dia bermain curang, dia akan mendapatkan hukuman, nah hukuman ini sebetulnya dalam permainan merupakan cikal bakal kesadarannya untuk hidup bermasyarakat. Dengan kata lain melalui hukuman ini anak disadarkan bahwa ia tidak selalu mendapatkan apa yang dia inginkan dan bahwa tindakannya itu mempengaruhi orang lain. Sehingga dia belajar tidak bersikap dan berbuat semaunya karena dia harus menempatkan diri pada orang lain. Kalau dia bermain semena-mena, sekehendak dirinya, tidak mau tunduk pada peraturan orang lain, akibatnya jelas; teman-teman akan menjauhi dia nah ini merupakan sanksi sosial yang dia mulai terima. Nah saya khawatir sekali Pak Gunawan dan Ibu Ida, pada dewasa ini salah satu hal yang akan terasa sekali kekurangannya dalam pertumbuhan anak adalah kesempatan anak mengembangkan keterampilan bergaulnya ini.
GS : Ya saya rasa itu juga didukung oleh mainan yang dijumpai oleh anak-anak tiap-tiap hari, itu sering kali memang sifatnya individualistis sekali, jadi seperti vidio game atau permainan-permainan lain lewat komputer dan sebagainya di mana anak itu secara sendiri itu bisa bermain itu Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, pengamatan yang baik sekali Pak Gunawan, memang kalau kita melihat pola permainan anak dari 10 tahun terakhir ini kita akan bisa menilai bahwa ciri utama permaina anak sekarang bukan permainan bersama tapi seperti tadi yang Pak Gunawan katakan permainan yang lebih bersifat individualistik.

Sudah tentu main vidio game itu kebanyakan sendiri meskipun berdua untuk dua pemain misalnya tetap sebetulnya dia bermain sendirian. Sebab masing-masing menggunakan jagoannya untuk melawan musuhnya dan sebagainya, jadi sebetulnya faktor kerja sama menjadi hal yang sangat miskin dalam tipe-tipe, atau hal-hal yang bisa mereka kerjakan bersama nah itu yang saya khawatirkan sekali Pak Gunawan.
GS : Juga di dalam komunikasi rasanya terputus di situ Pak, mereka asyik dengan permainannya sendiri, walaupun berdua.

PG : Betul sekali, jadi akhirnya kemampuan anak untuk berbicara, mengungkapkan pikiran, dan untuk membujuk orang itu menjadi kurang. Sedangkan kita sadari bahwa hal-hal seperti itulah hal yang angat penting sekali dalam pergaulan.

Membujuk orang agar bisa melihat pandangannya dan supaya orang bisa sekurang-kurangnya menghargai pikirannya atau terlebih lagi supaya orang bisa mengikuti kehendaknya, itu menjadi hal yang saya takut kurang dalam anak-anak sekarang ini.
(3) IR : Pak Paul, apakah kita juga perlu mengawasi jenis permainan yang digunakan oleh anak. Misalnya anak yang biasa main kartu kadang-kadang orang tua itu bisa cemas, wah...nanti-nanti bisa-bisa menjadi penjudi, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Ya saya tahu memang adakalanya kita khawatir kalau misalnya anak bermain kartu nanti sudah besar menjadi penjudi. Saya kira kita harus mengawasi sikap anak kita dengan cermat, kalau misalna anak kita mulai keranjingan main kartu dan bukan saja main kartunya yang membuat dia keranjingan namun dia mulai bertaruh.

Meskipun usianya masih kecil tapi kita melihat misalnya dia mulai meminta temannya untuk mempertaruhkan sesuatu, dan kita amati sewaktu dia bertaruh dan dia menang kita bisa melihat wajahnya berseri-seri dan dia begitu bahagia nah saya pikir kalau anak mulai menikmati taruhan dalam bermain kartu, ini pertanda yang kurang baik, jadi saya anjurkan orang tua untuk melarang anak bertaruh. Jadi biarkan dia bermain tapi jangan bertaruh nah ini berkaitan dengan yang ingin saya katakan yakni permainan atau bermain itu sebetulnya berpotensi menumbuhkan daya saing dan kemampuan bersaing secara sehat. Dengan kata lain melalui permainan anak dilatih untuk berpikir menang namun dia melakukannya secara sehat. Jadi bukan saja dia mau menang tapi dia harus belajar menang dengan cara yang sehat. Secara alamiah permainan itu menimbulkan keinginan anak untuk menang, saya pikir tidak ada anak yang bermain dengan tujuan untuk kalah dalam permainan. Nah tidak bisa tidak permainan itu menumbuhkan atau menciptakan tantangan bagi anak, tantangan untuk menang namun karena ada sanksi sosial seperti yang tadi telah kita bahas anak tidak bisa main dengan sembarangan, main curang atau apa, nah dia harus melakukan atau menuju kepada kemenangan itu dengan cara yang sehat. Nah dia mulai belajar untuk tidak mudah menyerah sewaktu dia menghadapi tantangan atau dia belajar juga untuk tidak cepat putus asa. Melainkan di sini dia ditantang untuk mengalahkan kesulitan tapi dengan cara yang sehat bukan karena ada taruhan-taruhannya baru dia mau menang, jadi itulah saya pikir hal yang penting juga dalam permainan.
GS : Di dalam hal itu kalau kebetulan anak itu menang mungkin masih bisa timbul kebanggaan tapi bagaimana kalau dia kalah terus Pak Paul, jadi maksud saya bagaimana kami sebagai orang tua bisa tetap mendorong anak untuk tetap tidak putus asa dan mau tetap bermain.

PG : Betul, ada anak-anak yang saya juga sering lihat waktu saya masih kecil, ada teman-teman saya yang kalau main itu kalah terus dan juga ada teman-teman yang kalau main itu menang terus. Say masih kecil rasanya termasuk kategori yang suka kalah jadi memang ada orang-orang tertentu yang memang terampil sekali.

Jadi kalau kita misalnya pernah mendengar tentang yang disebut IQ sekarang ini, IQ sekarang ini dibagi-bagi dalam berbagai aspek misalnya IQ secara emosional. Nah salah satunya IQ dibagi juga dalam hal keterampilan fisik misalkan seperti Michael Jackson yang pintar sekali berdansa itu katanya juga sejenis IQ yaitu IQ yang lebih bersifat fisik. Nah memang ada anak-anak yang IQ bermainnya atau IQ fisiknya tinggi sehingga kalau main dia cenderung menang. Atau misalnya permainan yang bersifat mental, juga cerdik sekali anak-anak itu sehingga dia cepat sekali menangnya, namun ada yang sering kalah. Nah bagaimana dengan anak-anak yang kalau main sering kalah, saya pikir ini adalah salah satu keuntungannya bermain. Bermain sebetulnya menciptakan suatu keadaan di mana anak itu belajar menerima kekalahan tanpa merasa kalah, tanpa merasa kalah atau tanpa merasa bersalah. Maksudnya begini, permainan memungkinkan anak menerima kekalahan dalam suasana yang menyenangkan sebab dia senang bermain, jadi kalau kalah itu tidak mengancam harga dirinya secara fatal. Berbeda dengan di sekolah di mana dia menerima nilai yang rendah sering kali membangkitkan perasaan kalah dan bersalah, nah anak merasa kalah karena acapkali yang menerima nilai buruk tidak terlalu banyak sedangkan yang mendapat nilai bagus lumayan banyak. Dengan kata lain anak dapat merasa bersalah karena pada umumnya sikap guru dan orang tua mempersalahkan mereka seakan-akan mereka kurang giat belajar atau kurang serius. Tapi melalui permainan anak belajar menerima kekalahan tanpa harus merasa dirinya kalah seperti di sekolah atau dinilai oleh orang-orang lain, jadi ini adalah hal yang sangat sehat sekali Pak Gunawan.
IR : Anak-anak yang di sekolah Pak Paul biasanya juga mengalami stres karena tugas-tugas belajarnya yang terlalu banyak. Apakah bermain juga berguna untuk mengurangi stres anak?

PG : Sangat-sangat berguna Bu Ida, jadi permainan secara fisik sudah akan menguras tenaganya dan melenturkan ketegangan-ketegangan pada syaraf-syarafnya jadi sudah pasti anak-anak yang bermain engan cukup akan melepaskan ketegangannya dengan sehat jadi itu penting sekali.

Namun bermain juga sangat penting bagi pertumbuhan intelektual anak, jadi bukan saja melepaskan ketegangannya tapi anak juga bisa melatih pertumbuhan intelektualnya. Karena tadi seperti kita sudah bahas, permainan menuntut kreatifitas dan kreatifitas tidak bisa tidak memerdekakan wawasan berpikir anak. Nah dalam permainan, anak belajar memecahkan masalah seefisien dan secepat mungkin. Tantangan-tantangan dalam permainan secara tidak langsung juga merangsang anak untuk berpikir secara tepat dan cermat. Konsentrasi anak juga dilatih melalui permainan-permainan tertentu dan konsentrasi adalah unsur yang penting dalam proses belajar. Jadi sekali lagi permainan itu bisa melatih anak untuk berpikir dengan cepat dan tepat.
GS : Rupanya kita sebagai orang tua mesti juga pandai-pandai untuk mencarikan atau mengarahkan anak kita di dalam bermain pada saat ini. Jadi tidak asal membelikan mainan begitu saja, tapi orang tua juga harus kreatif. Nah yang ingin saya tanyakan adalah sejauh mana pengaruhnya kalau orang tua ikut bermain dengan anak-anaknya itu?

PG : Itu bagus sekali Pak Gunawan, saya masih ingat sekali waktu saya masih kecil, ayah saya bermain gundu dengan saya, bermain kelereng. Saya ingat peristiwa itu karena hal itu hal yang menyenngkan dan pada usia remaja kami hampir setiap malam bermain badminton di rumah kami itu hal-hal yang sangat menyenangkan buat anak, bisa bermain dengan orang dewasa apalagi dengan orang tuanya.

Saya takut Pak Gunawan ini adalah hal yang mulai langka pada zaman kita ini karena kita orang tua sekarang pulang sudah larut malam dan waktu kita pulang tenaga kita sudah terkuras habis, kita justru pulang ke rumah untuk mendapatkan istirahat dan kesegaran. Waktu anak mengajak kita bermain kita tidak lagi in the mood tidak lagi bersemangat untuk melayaninya. Nah sebetulnya saran Pak Gunawan kalau orang tua bisa, terlibatlah dalam permainan mereka sebab mereka pasti menghargainya dan sangat menikmatinya. Ini menjadi hadiah bagi mereka pada masa kecil yang mereka bisa selalu ingat pada masa dewasa mereka.
(4) IR : Kira-kita sampai usia berapa Pak Paul anak-anak itu dilibatkan untuk bermain?

PG : Saya kira sampai anak-anak remaja, mereka itu akan senang sekali bermain, nah mulai remaja anak-anak itu memang tidak bisa tidak sesuai dengan usia pertumbuhannya mulai menyalurkan tenaga entalnya dan minatnya pada hal-hal yang lebih bersifat sosial.

Mereka mulai berpergian dengan teman-teman, ngobrol dengan teman-teman, menikmati waktu untuk merumpi, jadi permainan mereka juga mulai berkurang dan mulai lain. Jadi saya kira usia di bawah 12 tahun adalah usia yang paling ideal buat anak-anak itu bermain dengan bebas.
GS : Menurut Pak Paul sendiri walaupun mungkin tidak tercatat dalam Kitab Suci, apakah Tuhan Yesus juga bermain pada waktu masa kanak-kanaknya sebagai seorang anak?

PG : Seperti tadi kata Pak Gunawan memang tidak dicatat dalam Kitab Suci, Kitab Suci sunyi tentang kehidupan anak-anak Tuhan Yesus. Tapi sebagai anak yang normal, sebagai manusia yang normal saa percaya Tuhan Yesus pun bermain.

Dia mempunyai fisik yang lumayan kuat sebetulnya, Dia bisa pergi jauh, berjalan jauh dan tidak pernah sekalipun dicatat, Tuhan itu sakit. Jadi saya percaya Dia memang bermain juga sebagai anak-anak. Satu ayat dari Amsal 3:1, "Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku." Saya yakin ini adalah kerinduan semua orang tua agar anak tidak melupakan ajaran dan memelihara perintah orang tua, itu betul sekali. Namun saya pikir kita perlu sebagai orang tua menciptakan suasana yang nyaman bagi anak untuk bertumbuh dan untuk menerima ajaran kita. Kalau jiwa anak sehat karena dia bisa bermain dengan bebas dia pun lebih siap menerima ajaran kita.

GS : Itu yang menjadi kerinduan kita semua tentunya Pak Paul karena anak-anak itu bagaimanapun juga menjadi tunas-tunas bangsa dan menjadi generasi penerus bagi kita sekalian. Demikianlah tadi saudara pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga masa kini khususnya di dalam hubungan antara orang tua dan anak yang memberikan kesempatan anak-anak untuk bermain. Telah kami persembahkan perbincangan ini bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan Ibu Idajanti Raharjo. Apabila Anda berniat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK dengan alamat Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan dan dukungan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



2. Pendidikan Seks dalam Keluarga


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T012A (File MP3 T012A)


Abstrak:

Seks adalah suatu hal yang lebih sering memenuhi pikiran anak remaja. Seperti hal-hal yang lain seks juga sangat penting untuk dibicarakan pada anak-anak kita. Supaya anak-anak mempunyai gambaran yang jelas tentang seks.


Ringkasan:

Seks sebetulnya hal yang paling banyak memenuhi pikiran anak-anak remaja. Namun hal ini justru enggan untuk dibicarakan. Pendidikan seks bukanlah sebagai suatu pendidikan formal. Seks kita ajarkan secara berkelanjutan, bertahap dan informal kepada anak-anak kita. Seks di sini bukan saja yang berkaitan dengan moralitas meskipun itu adalah bagian yang penting yang harus kita bicarakan pada anak kita. Tetapi orang tua juga perlu membicarakan aspek fisik atau aspek seksual dari seks itu, jadi anak-anak mempunyai gambaran yang jelas tentang apa itu yang dimaksud dengan seks dan tentang kapan seks itu boleh dinikmati dan siapa yang boleh menikmatinya. Bagi remaja, hal seksual itu bukan saja menjadi hal yang bersifat kognitif, bersifat rasional yang harus dia ketahui, tapi hal itu benar-benar mulai mempengaruhi kehidupan dia secara menyeluruh. Dan keinginan-keinginan untuk dekat dengan seseorang secara fisik itu mulai ada pada anak-anak remaja, jadi kita sebagai orangtua harus secara proaktif mengambil inisiatif.

Kenapa di rumah kita perlu mengajarkan seks secara keseluruhan? Sebab seks bukan saja perkara fisik atau anatomis tapi seks menyangkut emosi, menyangkut yang terutama kerohanian sebab seks itu adalah salah satu perbuatan fisik yang disoroti Tuhan dan diatur oleh Tuhan secara langsung, maksudnya diikat oleh kaidah rohani.

Dunia cenderung mengajarkan seks adalah sebatas masalah fisik, pemuasan kebutuhan fisik dan kalaupun dikaitkan dengan yang lebih bersifat rohani dunia cenderung memberikan gambaran bahwa :

  1. Seks adalah untuk orang yang saling menyukai, saling mencintai. Dengan kata lain seks itu makin hari makin dilepaskan dari beberapa cengkeraman yang seharusnya mengatur dan melindungi seks ini. Yaitu seks makin hari makin dilepaskan dari lembaga pernikahan.

  2. Seks makin hari makin dilepaskan dari lembaga komitmen.

Peran orang tua terbesar adalah menekankan bahwa seks bukanlah semata-mata masalah kebutuhan fisik atau masalah saling mencintai. Jauh lebih agung dan lebih berat dari itu ada masalah komitmen, adalah masalah institusi pernikahan yang diakui masyarakat dan yang paling penting adalah diatur oleh Tuhan sendri. Sewaktu tidak dilaksanakan sesuai dengan kehendak Tuhan itu menjadi dosa.

Dampak jika orangtua tidak mengajarkan pendidikan seks kepada anak sbb:

  1. Anak akan mendapatkan informasi dari teman-temannya, dari buku, dari film dan kemungkinan besar mereka tidak mendapatkan gambar menyeluruh mengenai seks itu. Dan bahwa penekanannya seks pada sesuatu yang nikmat belaka tidak ada lagi bobot moral, bobot pernikahan, dan komitmen di dalamnya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pendidikan Seks dalam Keluarga", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sejauh yang bisa saya ingat waktu saya masih kecil atau remaja orang tua saya tidak pernah memberikan pengajaran tentang seks. Nah sekarang akhir-akhir ini sering kali dimunculkan bahwa pendidikan seks itu perlu dalam keluarga. Sebenarnya seberapa penting pendidikan seks itu, karena kita sebagai orang tua kadang-kadang juga merasa enggan untuk membicarakan itu dengan anak-anak.

PG : Saya melihat seks itu adalah bagian dari ilmu kehidupan atau bagian dari keterampilan hidup yang perlu dipelajari oleh anak. Dan menurut saya sumber yang paling kompeten untuk menyampaikanya adalah keluarga atau orang tua sendiri.

Jadi saya kira keliru kalau kita ini beranggapan bahwa sekolahlah yang bertugas untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan seks. Saya tidak menentang sekolah memberikan materi atau mencantumkannya sebagai bagian dari kurikulum tapi tetap yang paling cocok adalah orang tua sendiri. Sebab seks itu bukan saja suatu pelajaran, seks itu adalah suatu pesan moral, suatu bagian dari ibadah kita kepada Tuhan bagaimanakah kita memperlakukan seks itu akan sangat menentukan juga bagaimanakah kita itu memperlakukan kehendak atau perintah Tuhan dalam hidup kita.
GS : Tapi sering kali ada keluarga-keluarga itu yang merasa tabu untuk membicarakan itu kepada anak-anaknya, Pak Paul?

PG : Saya kira secara alamiah saya ini harus mengakui bahwa hampir semua orang tua merasa tidak begitu nyaman membicarakan seks kepada anak-anaknya. Saya kira ini sesuatu yang mungkin sekali baian dari budaya kita bahwa seks adalah topik yang tidak dibicarakan secara terbuka, tapi kalau anak-anak itu tidak mendapatkan informasi dari orang tua ya saya kira mereka akan mendapatkannya dari sumber-sumber lain.

Nah biasanya sumber-sumber lain itu akan memberikan informasi seks tanpa pagar-pagar moral, nah ini yang perlu kita cermati.
WL : Pak Paul, selain rasa enggan mungkin juga adalah karena mereka tidak pernah diperlengkapi sebelumnya oleh orang tuanya tidak pernah diajarkan, di sekolah dulu mungkin tidak mempunyai kesempatan sedalam ini, jadi waktu mau mengajarkan, mau belajar tidak enggan memang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mengajarkannya. Mereka sendiri pun waktu berkeluarga ya menjalani by nature saja Pak Paul, mungkin Pak Paul bisa memberikan penjelasan atau bimbingan buat keluarga-keluarga seperti ini.

PG : Saya kira ada dua hal yang penting yang perlu kita kemukakan kepada anak-anak kita tentang seks ini. Yang pertama berkaitan dengan seks sebagai aktifitas fisik, jadi itu sesuatu yang perlukita jelaskan sehingga anak-anak mempunyai pemahaman yang tepat.

Yang kedua adalah moralitas yang terkandung di dalam seks atau justru moralitas yang mengayomi seks itu, nah ini juga bagian yang harus dijelaskan oleh orang tua. Saya kira keseimbangan keduanya ini penting. Ada kecenderungan orang tua tidak nyaman membicarakan bagian yang pertama yaitu tentang seks itu sendiri dan lebih nyaman membicarakan pesan-pesan moral tentang seks, jadi yang acapkali orang tua sampaikan adalah misalnya pesan-pesan jangan, jangan, tidak boleh, kamu salah begini, Tuhan marah, Tuhan hukum dan sebagainya, tapi tidaklah membahas tentang seks itu sendiri. Marilah sekarang kita melihat satu persatu, bagian yang pertama adalah tentang seks itu sendiri. Kita harus memberikan informasi sebetulnya seks itu apa, nah pertanyaan yang biasanya muncul adalah kapankah kita mulai membicarakan hal ini. Nah saya ingin menjelaskan satu prinsip di sini bahwa kapannya itu sebetulnya memang relatif dalam setiap keluarga dan justru relatif juga pada anak-anak. Anak-anak kita yang tertua dan yang bungsu mungkin sekali akan memiliki jadwal yang berbeda. Saya ingat sekali waktu anak kami berusia sekitar 8 tahun, anak kami mulai menanyakan dari manakah munculnya adik nah itu pertanyaan klasik yang sering kali anak-anak tanyakan. Nah awalnya kami memang mencoba menjelaskannya dengan cara-cara yang lebih supernatural, kami berkata Tuhan memberikan anak itu. Nah anak kami itu menerima penjelasan kami kemudian tidak lama dia menanyakan lagi terus kami memberikan penjelasan yang sama tapi dia tidak bisa menerimanya, dia berkata apakah itu berarti Tuhan menaruh adik di dalam perut mama, kami katakan ya. "Tapi itu rasanya tidak masuk akal" dia katakan, akhirnya kami katakan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, tetapi dia tidak terima. Nah setelah itu seorang kawan saya mengingatkan bahwa kemungkinan anakmu itu sudah mulai membicarakan tentang seks dengan teman-temannya, nah daripada dia terus membicarakan dengan teman-temannya dan mencari informasi dari teman-temannya lebih baik kamu jujur menceritakan apa yang terjadi. Akhirnya saya dan istri saya menjelaskan tentang hubungan seks nah otomatis kami tidak menggunakan istilah-istilah rumit, kami hanya menggunakan istilah-istilah awam bahwa inilah yang kami lakukan yaitu persatuan antara wanita dan pria dan akhirnya lahirlah adik. Nah ternyata anak kami bisa menerima hal itu meskipun kemungkinan besar dia tidak memiliki gambaran tapi yang paling penting adalah konsep atau penjelasan ini masuk akal makanya dia terima. Nah waktu anak-anak menginjak usia pra-remaja, saya dan istri saya memang dengan sengaja dan terencana memanggil mereka untuk berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan seks itu sendiri. Saya memanggil anak laki saya dan mulai membicarakan mengenai mimpi basah, masturbasi dan istri saya memanggil anak-anak saya perempuan untuk berbicara tentang menstruasi dan sebagainya. Dan itu kira-kira anak kami berusia sekitar 10, 11 tahun. Nah waktu anak kami sudah lebih dewasa dan sudah menginjak masa remaja 15, 16 tahun saya panggil lagi yang laki-laki dan saya mengajak ngomong berdua dan saya membicarakan lagi hal-hal yang pernah kami bicarakan dulu yaitu tentang misalnya masturbasi dan mimpi basah, nah hal-hal itu kami bicarakan dengan terbuka. Jadi saya yang memulai tentang percakapan itu. Jadi sekali lagi pada masda kecil biasanya anak-anak yang berinisiatif menanyakan hal-hal yang tidak dimengertinya tentang dari manakah adik muncul dan sebagainya, tapi pada masa anak-anak mulai usia remaja, saya kira inisiatif harus diambil oleh orang tua. Orang tua tidak bisa lagi duduk dengan pasif menantikan anak yang datang kepadanya. Pada usia 15, 16, anak-anak tidak akan lagi bertanya karena mereka sudah memiliki rasa sungkan dan enggan, akhirnya mereka akan mencari tahu dari pihak-pihak luar. Nah itulah yang kami lakukan Ibu Wulan.
GS : Ada kekhawatiran di pihak orang tua tentunya, kalau dia mulai menceritakan atau menyinggung tentang seks, anak itu akan bertanya hal-hal yang sebenarnya belum patut mereka ketahui, nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Sebetulnya ini Pak Gunawan, waktu anak-anak mempunyai keingintahuan pada usia kecil itu, anak-anak masih mempunyai keterbatasan hormonal untuk dapat mengalami dan merasakan rangsangan-rangangan seksual.

Misalkan pada waktu anak-anak bertanya di usia sekitar 8 tahun, anak-anak itu hanya mencetuskan pertanyaan yang lahir dari keingintahuannya, jadi ini benar-benar suatu aktifitas mental dan relatif bebas dari desakan-desakan hormonal. Tapi waktu si anak tidak mendapatkan jawaban dan dia ingin mempunyai jawaban dan dia mulai mencarinya, nah misalkan dia mulai mendapatkan jawaban itu sekitar usia 14 tahun. Pada saat itu waktu si anak menanyakan atau mencari informasi tentang seks, informasi itu bukan saja lahir dari keingintahuannya secara mental, tapi merupakan gejolak hormonal dalam dirinya. Dengan kata lain pertanyaan itu sudah dimotivasi, dimotori oleh energi seksual, oleh keinginan untuk mempunyai kontak seksual dengan orang. Nah itulah yang mulai bergejolak di dalam dirinya. Itu sebabnya penting orang tua menyadari bahwa tatkala anak-anak mulai menanyakan sekitar usia 8, 9 tahun, berilah jawaban yang lebih terbuka. Pada usia 4, 5 tahun sudah tentu kita tidak perlu memberikan jawaban yang gamblang karena terlalu kecil, mereka pun belum mengerti, tapi usia 8, 9 tahun, anak-anak sudah mulai memiliki konsep ini masuk akal atau tidak. Nah ternyata kalau tidak masuk akal lagi buat si anak kita harus lebih terbuka langsung menceritakan sebetulnya apa itu yang terjadi antara suami dan istri yang akhirnya melahirkan seorang anak. Nah waktu mendapatkan jawaban itu, si anak mendapatkan kepuasan secara intelektual bahwa OK! Sekarang saya memahami, dan ini suatu keuntungan karena jawaban itu bisa menolongnya melewati masa remaja. Sehingga pada waktu masa remaja, sewaktu dorongan-dorongan hormonal itu mulai bergejolak dan memotivasi dia untuk mengetahui, dia sebetulnya tidak perlu tahu lagi karena sebetulnya dia sudah tahu. Berbeda dengan anak-anak yang tidak pernah tahu kemudian pada usia 14, 15 tahun, mengalami gejolak hormonal seksual dan ingin tahu. Nah rasa ingin tahunya itu sudah tercemar oleh dorongan-dorongan seksual tersebut, sehingga proses pencarian tahu itu menjadi proses yang lebih membingungkan, lebih bersifat erotis dan sebagainya.
WL : Dan lebih berbahaya Pak Paul, kalau justru mereka mendapatkan informasinya dari lingkungan teman-temannya, yang sebenarnya informasinya juga tanggung-tanggung, tapi suka sok tahu dan bahkan terus mencoba bereksperimen.

PG : Betul sekali, kebanyakan anak-anak itu sewaktu mendapatkan informasi dari teman-temannya mereka memberikan reaksi atau respons yang berbeda, dibandingkan kalau pada awalnya usia yang lebihmuda mereka mendapatkan informasi dari orang tuanya.

Bedanya apa, waktu usia remaja mereka mendapatkan informasi dari teman-temannya mereka akan lebih terdorong menggali informasi, karena merasa ini tidak cukup dan harus lebih grafik lagi. Nah disini lah pencobaan muncul yaitu masuknya peranan-peranan seperti internet atau VCD porno dan sebagainya. Nah inilah zaman sekarang dan zaman sewaktu kita masih lebih muda dulu. Pada zaman ini benar-benar tidak ada batas pemisah, dalam pengertian ini tembok rumah itu sesungguhnya tidak ada, anak-anak itu bisa menjangkau dan dijangkau materi-materi pornografi dengan sangat mudahnya. Nah orang tua akhirnya harus lebih terlibat mengawasi, memantau perkembangan anaknya di rumah, apa yang dia lakukan dengan komputernya, sehingga anak-anak itu tahu bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan perilaku dan waktunya di hadapan orang tua. Jangan sampai anak-anak remaja mempunyai privasi yang begitu kuat, sehingga orang tua sama sekali tidak bisa memasuki dunianya, itu adalah awal dari bencana.
GS : Pak Paul, karena ini suatu pendidikan yaitu pendidikan seks, materi-materi apa yang mesti diberikan dan apa yang tidak mesti diberikan?

PG : Yang pertama yang harus diberikan adalah tentang hubungan seksual itu sendiri yaitu tentang apa yang dilakukan oleh seorang pria kepada seorang wanita. Seksual secara grafik sebetulnya apayang terjadi, nah itu yang perlu disampaikan oleh orang tua kepada anaknya.

Nah sekali lagi ini contoh yang terjadi pada rumah tangga kami, waktu saya menceritakan itu kepada anak kami, reaksi pertama anak kami adalah dia langsung berteriak jijik dan itu adalah reaksi anak-anak. Namun sekali lagi setelah dia mengerti, itu memuaskannya sehingga dia tidak lagi dibayang-bayangi keingintahuannya, karena dia sudah mengerti. Dan reaksi anak-anaknya adalah jijik, nah sudah tentu setelah dia menginjak usia dewasa reaksi jijik itu tidak akan ada lagi, namun yang penting adalah dia mengetahuinya apa yang sungguh-sungguh terjadi sewaktu pria dan wanita berhubungan seksual. Yang kedua, yang perlu diberitahukan juga adalah kepada anak-anak laki yaitu masturbasi, anak-anak perempuan juga perlu diberitahukan. Nah bagi saya pribadi hal-hal seperti ini adalah bagian dari perkembangan seorang anak memasuki masa pubertas dan akhirnya meninginjak usia dewasa. Nah yang akan saya tekankan kepada anak-anak adalah nomor satu, ini bagian dari perkembangan jadi kalau ini sampai dilakukannya ini adalah sesuatu yang dapat saya toleransi. Namun harus juga ada pesan-pesan moralnya, misalkan apakah boleh melakukannya (dalam hal ini masturbasi) tanpa batas dan sekehendak hatinya? Sudah tentu akan ada panduannya, akan ada pagarnya, sebab firman Tuhan juga berkata bahwa kalau kita dikuasai oleh apapun kita menjadi hamba dari apapun yang menguasai kita itu dan kita tahu kita tidak boleh menjadi hamba oleh apapun atau siapapun. Kita hanya boleh menjadi hambat Tuhan yaitu hamba dari Tuhan sendiri. Maka sesuatu yang boleh pun harus dalam kendali kita, harus dalam kuasa kita, kita tidak boleh dikuasai olehnya dan sekehendak hati kita melakukannya. Dan yang kedua yang kita juga mesti jelaskan adalah tentang relasi seksual itu sendiri. Bahwa itu adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang baik yang Tuhan ciptakan kepada manusia sebagai hadiah, sebagai alat juga untuk menenangkan diri, merelasikan diri dan untuk sarana berkembang biak, namun Tuhan hanya mengijinkan itu dalam konteks pernikahan, jadi pesan-pesan moral ini harus terus-menerus kita sampaikan kepada anak-anak kita. Yang berikutnya adalah kita juga mau menyampaikan kepada anak-anak kita bahaya-bahayanya kalau anak-anak terlalu terfokus dan banyak melihat atau mulai melihat-lihat hal-hal yang bersifat pornografi. Yaitu semua ini tidak membuat kita puas, semua ini membuat kita tambah haus, dan akhirnya kita tidak pernah puas diri. Pornografi memang bersifat mencandu dan bersifat terus-menerus menambah tidak cukup dengan dosis yang sama. Nah anak-anak perlu diberitahukan, "Kalau kamu mulai melihatnya berarti kamu memasuki suatu siklus yang nanti kamu terus dibawa berputar di situ makin hari makin dalam dan tidak bisa keluar. Jadi kamu harus membatasi diri tidak melihatnya. Hal-hal lain lagi apa yang bisa kita lakukan? Misalkan dalam menonton televisi sesuatu yang sangat alamiah. Dalam rumah tangga kami kalau kami melihat ada adegan-adegan ciuman atau adegan yang mulai mengarah ke sana kami langsung ganti channelnya. Lama-kelamaan anak-anak tidak ada kami pun mereka langsung menggantinya sendiri, nah itu bagian-bagian yang kami tekankan bahwa itu sesuatu yang akan mencandu kalau terus kita lihat, kalau kita membiarkan diri kita menyantapnya, kita tidak bisa dengan mudah menghentikannya. Nah hal seperti inilah yang kita komunikasikan kepada anak-anak. Kita juga boleh berkata bahwa gejolak seksual itu keinginan melakukan persetubuhan dalam diri kita, itu keinginan yang wajar sebab gejolak seksual adalam keinginan melakukan persetubuhan. Tapi melakukannya dalam usia dini dan di luar konteks pernikahan ini sesuatu yang Tuhan tidak ijinkan. Nah semua ini yang harus kita bicarakan dan sebaiknya tidak hanya kita bicarakan dalam waktu atau situasi tertentu yang formal, tapi kita juga ungkapkan dalam situasi-situasi yang lebih informal. Menontot televisi, ada orang yang berpacaran dengan orang yang sudah menikah, nah kita bisa berikan reaksi kita dan berkata: "Saya tidak suka dengan film ini, karena dalam film ini orang ini berpacaran dengan orang yang sudah menikah." Nah anak-anak akhirnya terus menangkap pesan-pesan moral kita.
WL : Pak Paul, ada pertanyaan praktis berkaitan dengan memperlengkapi orang tua tentang panduan seksual ini. Saya pernah mendengar pendapat yang berbeda dari dua tokoh yang berbeda tentang keingintahuan dari anak-anak, jadi supaya tidak terlalu ingin tahu dan akhirnya nanti mengacau misalnya mengenai anatomi tubuh dari jenis kelamin yang berbeda, si ayah bisa mandi bersama-sama dengan anak perempuannya dalam batas usia tertentu. Sedangkan si ibu mandi dengan anaknya yang laki-laki. Jadi pada saat melihat sesuatu yang berbeda ini orang tua bisa menjelaskan. Tapi ada tokoh yang berbeda lagi justru menentang pangajaran seperti ini, menurut Pak Paul sebaiknya bagaimana?

PG : Saya termasuk yang menentangnya, sampi usia tertentu orang tua sesama jenis dengan si anak bolehkan mandi bersama? Boleh, tapi dalam batas usia tertentu misalkan di bawah 5 tahun. Setelah tu sebaiknya pun juga tidak apalagi yang berlawanan jenis, saya kira jangan.

Karena apa, kita manusia berdosa, dalam diri kita selalu ada potensi untuk berdosa, ini bisa muncul dari si orang tua atau bisa muncul dari si anak. Lama-kelamaan misalkan si anak di usia 9, 10 tahun hormon-hormon seksualnya sudah mulai bekerja, melihat orang tua lawan jenis mandi dengan dia, dia akan mengalami rangsangan. Si orang tua sendiri pun misalkan orang tua laki-laki mandi dengan anak perempuannya usia 9, 10 tahun yang tubuhnya mulai membentuk sebagai seorang wanita itu pun bisa menimbulkan rangsangan. Jadi kita harus bijaksana mencegah diri kita dari kemungkinan berdosa, jadi memang saya tidak setuju dengan pandangan yang membolehkan hal itu.
GS : Bagaimana kalau tanggapan anak itu ketika kita mulai mencoba melakukan pendekatan dan memberikan masukan tentang seksual ini, tanggapannya itu tidak serius, mungkin dengan tertawa, acuh tak acuh dan sebagainya. Mungkin dia melihat bahwa kita ini cuma orang awam dalam hal ini bukan dokter, bukan seksolog itu bagaimana Pak Paul?

PG : Saya menduga reaksi tak serius itu sebetulnya reaksi menutupi ketidaknyamanannya Pak Gunawan. Sesungguhnya si anak juga tidak nyaman membicarakan hal ini, sebab kemungkinan dia melihat orag tuanya pun tidak nyaman, karena orang tuanya tidak nyaman dia menangkap kesan tidak nyaman itu.

Nah untuk menutupi rasa tidak nyamannya akhirnya dia bercanda dan sebagainya. Saya kira orang tua tetap saja sampaikan hal itu. Waktu saya berbicara dengan anak saya, anak saya diam dan hanya mendengarkan, anak saya tidak memberikan komentar. Nah tidak apa-apa, sebab saya kira yang penting adalah pembicaraan ini telah terjadi dan dengan pembicaraan ini kita seolah-olah berkata kepada anak kita bahwa ini adalah topik yang boleh dibicarakan dan ini sesuatu yang wajar, tidak apa-apa dibicarakan. Kalau ada pertanyaan silakan diajukan dan kita pun berani untuk mengatakan hal-hal yang pernah kita alami dulu. Nah kita misalkan bisa berkata: "Saya pun bukan saja dulu, sekarang pun masih bisa tergoda, masih bisa terangsang melihat hal-hal seperti itu." Nah apa yang kita lakukan supaya kita tidak jatuh ke dalam dosa, kita juga bisa bagikan kepada anak-anak kita. Maka dalam hal seperti ini orang tua perlu meyakini satu hal yaitu tidak semua orang tua mempunyai latar belakang yang baik, ada sebagian orang tua berlatar belakang bebas dan akhirnya jatuh ke dalam dosa. Nah kalau orang tua bertobat, sudah tahu bahwa itu dosa dan bertobat, meskipun dulu pernah memiliki masa lalu yang kelam itu orang tua tetap harus menjadi penjaga gawang, harus tetap berfungsi menjadi wakil Tuhan. Jangan sampai orang tua beranggapan: "Saya dulu tidak benar, saya dulu juga lemah, saya juga banyak kelemahan masa sekarang saya melarang anak saya, ya tidak pantas saya melakukan hal seperti itu." Oh....tidak, Tuhan mempercayakan anak kepada kita dan kita duta Tuhan di rumah ini kita harus menjaga anak-anak kita jangan sampai jatuh ke dalam dosa yang sama. Namun karena kita pernah jatuh, kita lebih memahami bahwa memang pencobaan ini berat, jadi dalam berbicara dengan anak-anak kita tidak bersikap menghakimi dan bersifat kebalikannya seolah-olah kita tak pernah sama sekali diganggu oleh masalah-masalah ini.
GS : Jadi pesan-pesan moral itu yang harus lebih banyak diungkapkan di dalam hal menyampaikan pendidikan seks ini daripada yang teknis-teknis itu Pak Paul?

PG : Ya, jadi sudah tentu apanya, seks itu apanya, masturbasi itu apanya, seperti apa semua itu, itu perlu dijelaskan. Kita tidak lagi menggunakan istilah-istilah untuk meringankan pesan seks iu.

Memanggil alat kelamin apalah, tidak, katakan apa adanya, namun setelah itu diberitahukan akhirnya yang lebih banyak kita sampaikan adalah pesan-pesan moral.
GS : Mungkin dalam hal ini Pak Paul ingin menyampaikan ayat firman Tuhan?

PG : Saya bacakan dari 1 Korintus 6:18, Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan erdosa terhadap dirinya sendiri."

Nah Tuhan di sini memberikan satu pembedaan antara dosa yang dilakukan di dalam diri dan di luar diri, ternyata percabulan yaitu hubungan seksual di luar nikah adalah dosa yang menyangkut diri kita sendiri, kita berdosa terhadap diri kita. Kenapa, karena tubuh kita adalah bait Allah, tempat kediaman Allah, tempat kediaman Roh Kudus. Waktu kita mencabulkan diri, kita itu mencabulkan tubuh Allah, maka pesan Tuhan di ayat 20 adalah "Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" Jadi kita mendapatkan mandat dari Tuhan, tubuh ini tidak dipakai untuk hal-hal yang cabul, otak ini tidak diisi dengan hal-hal yang pornografi tapi otak dan tubuh ini kita pakai untuk memuliakan Tuhan. Bagaimana caranya memuliakan Tuhan dengan tubuh kita, yaitu dengan memelihara kekudusannya. Itulah caranya memuliakan Allah dengan tubuh yaitu dengan menjaga kekudusan baik itu pikiran maupun tubuh kita.

GS : Jadi melalui perbincangan ini makin jelaslah betapa pentingnya pendidikan seks itu dalam keluarga dan itu menjadi tanggung jawab kita buat orang tua. Terima kasih banyak Pak Paul dan juga Ibu Wulan untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pendidikan Seks dalam Keluarga." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



3. Pendidikan Anak Usia 0-10 Tahun


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T016B (File MP3 T016B)


Abstrak:

Waktu anak terdidik dengan baik, maka dia akan mendatangkan sukacita bagi kita orangtua. Dalam topik ini orangtua diajak untuk mengetahui bagaimana mendidik anak, khususnya bagi ibu muda.


Ringkasan:

Amsal 29:17 berkata: "Didiklah anakmu maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu dan mendatangkan sukacita kepadamu."

Jadi Alkitab meminta kita untuk mendidik anak kita dan tujuannya adalah waktu anak kita terdidik dengan baik dia akan pada akhirnya memberikan ketenteraman kepada kita, ketenangan dan juga membawa sukacita kepada kita. Mendidik anak menjadi suatu persoalan tersendiri bagi seorang ibu. Suatu riset mengemukakan bahwa: perempuan itu lebih mudah mengalami depresi dibanding pria, bahkan dikatakan perbandingannya 2 : 1. Namun di antara wanita yang paling mudah dan paling rawan dihinggapi depresi adalah para ibu muda yang tinggal di rumah mengasuh anak-anak kecil. Para ibu ini merasakan keterjebakan, merasakan kejenuhan, merasakan kelelahan mental yang amat sangat dalam mendidik anak-anak yang masih kecil. Pada masa ini si suami perlu membatasi diri dan perlu memberikan dirinya agar bisa saling berbagi rasa dengan istrinya, dengan cara ini beban si istri berkurang karena perasaan tertekannya, frustasinya itu bisa diungkapkan. Sehingga keesokan harinya waktu dia menjaga si anak lagi, dia seolah-olah mendapatkan kekuatan yang baru.

Bagi ibu muda yang bekerja atau aktif dalam pelayanan, pada prinsipnya harus bisa membagi waktu dengan baik sehingga anak-anak masih mendapatkan perhatian yang cukup dari si ibu. Idealnya anak-anak yang masih kecil dirawat secara penuh waktu oleh ibunya, masih kecil dalam pengertian sampai anak-anak usia sekolah, kalau memungkinkan ibu itu tidak bekerja di luar. Setelah anak-anak sekolah idealnya adalah ibu muda boleh bekerja di luar tetapi sebatas waktu anak-anak pulang kembali. Misalnya jam 02.00, jam 03.00 ibu itu sudah kembali.

Riset tersebut juga mengatakan bahwa para ibu muda yang berkarier di luar, mereka tidak terlalu rawan terhadap depresi, jadi mereka ternyata bisa lebih senang dan akhirnya mereka merasa lebih efektif dalam mendisiplin anak. Sebab mereka mendapatkan kepuasan batiniah setelah bekerja di luar, sehingga waktu di rumah meskipun capek secara fisik namun secara mental mereka cukup segar. Pola pendidikan anak bisa berubah sesuai dengan perkembangan usianya.

  1. Pada masa kecil anak-anak didisiplin dengan instruksi, perintah langsung. Hal ini untuk anak-anak usia 0 ataui 1 tahun sampai usia sekitar 10 tahun.

  2. Pada anak-anak yang memasuki usia remaja yaitu usia 11 tahun hingga usia 17, 18 tahun didisiplin dengan cara direksi atau petunjuk, pengarahan.

Anak mempunyai keunikan masing-masing, ada anak yang cenderung penurut dan ada anak yang cenderung membangkang, keras kepala. Untuk anak yang mempunyai kemauan keras cenderung susah sekali untuk dididik dengan kekerasan. Jadi kuncinya adalah

  1. Kita harus didik dia dengan lemah lembut. Dengan lemah lembut artinya anak-anak ini cenderung lebih mendengarkan instruksi.

  2. Harus jelas, jelas dalam pengertian si anak tahu kalau dia membangkang dia akan mendapatkan sanksi.

  3. Harus konsisten, artinya kalau kita sudah katakan kita akan hukum, kita akan hukum dia. Kalau kita sudah katakan dia boleh pergi, ya dia boleh pergi.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang peran orang tua dalam pendidikan anak pada usia dini yaitu usia sejak lahir sampai sekitar 10 tahun. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kali ini kami ingin mengajak para pendengar untuk ikut berbincang-bincang di dalam peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Dan ini mungkin secara khusus perlu ditujukan kepada pasangan-pasangan muda, pasangan suami-istri yang muda, yang mempunyai anak-anak kecil. Kita semua menyadari bahwa pendidikan anak itu dimulai dari rumah dan merupakan dasar yang sangat penting, bukan begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, ada satu ayat dari Amsal 29:17 yang berkata: "Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketentraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu." Jad memang Alkitab meminta kita, ini bukanlah pilihan agar kita mendidik anak kita, dan tujuannya adalah waktu anak kita terdidik dengan baik dia akan pada akhirnya memberikan ketenteraman kepada kita, ketenangan dan juga membawa sukacita kepada kita.

GS : Ya, tapi pada umumnya pasangan-pasangan suami-istri itu juga bukan orang-orang yang ahli dalam bidang pendidikan anak itu, apa yang ingin Pak Paul sampaikan pada acara telaga ini?

(1) PG : Salah satu kendalanya Pak Gunawan, agar kita ini sadar terlebih dahulu. Kendala terbesar adalah kita ini produk didikan orang tua kita dan adakalanya kita bukanlah hasil didikan yang bik, namun perjalanan hidup kita akhirnya membawa kita ke tempat yang berbeda, sehingga kita bisa belajar menjadi orang tua yang lebih baik.

Namun sering kali hal-hal yang pernah kita terima dari orang tua kita, yang tidak sehat itu menjadi bagian hidup kita dan akhirnya sewaktu kita mendidik anak, kita menggunakan cara yang sama. Atau kebalikannya, karena kita takut sekali mendidik anak seperti orang tua kita dulu mendidik kita dengan keras, kita akhirnya melakukan hal yang merugikan anak kita, yakni tidak berani keras sama sekali dengan anak. Jadi sekali lagi didikan masa lalu itu mempengaruhi kita, baik kita ini melestarikannya/menggunakan metode yang sama atau kebalikannya, kita benar-benar membuang didikan orang tua kita dan akhirnya pindah ke kutub yang satunya dan sangat berlebihan.
GS : Dalam pengalaman saya Pak Paul, mendidik anak khususnya pada usia dini sebenarnya saya lebih banyak menyerahkan kepada istri saya, khususnya pada masa-masa anak saya yang pertama baru lahir. Pokoknya yang masih bayi itu saya tidak ikut-ikut pendidikannya.

PG : Saya kira ini bisa dimaklumi Pak Gunawan, sebab para ayah akhirnya terbentur pada faktor waktu dan istrilah atau ibulah yang akan mempunyai waktu lebih banyak dengan anak, sehingga lebih brkesempatan untuk mendidik anak.

Tapi kita sadari semakin anak besar, semakin kita juga lebih bisa berperan di dalam hidupnya.
GS : Tentu menjadi suatu persoalan tersendiri buat ibu itu, ibu muda itu Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi saya pernah membaca satu hasil riset yang mengemukakan bahwa nomor satu adalah perempuan itu lebih mudah mengalami depresi dibanding pria, bahkan dikatakan prbandingannya 2:1.

Namun di antara wanita yang paling mudah dan paling rawan dihinggapi depresi adalah para ibu muda yang tinggal di rumah mengasuh anak-anak kecil. Jadi para ibu muda dengan anak-anak kecil adalah kelompok yang paling rawan dihinggapi depresi, jadi kita sekarang mulai menyoroti mendidik anak usia kecil misalnya di bawah usia 10 tahun. Orang yang mendidik anak usia kecil adalah juga orang tua yang rawan atau mudah dihinggapi oleh depresi, artinya apa? Artinya mereka ini adalah para ibu muda ini merasakan keterjebakan, merasakan kejenuhan, merasakan kelelahan mental yang amat sangat dalam mendidik anak-anak yang masih kecil ini. Nah, akhirnya juga mereka ini diharapkan untuk mendidik anak sehingga anak itu bisa menguasai dirinya dengan lebih baik. Masalahnya adalah kalau tidak hati-hati, kita akan melihat adanya suatu interaksi yang negatif antara para ibu muda ini dengan anak-anak yang masih kecil ini. Sebab para ibu muda ini bukanlah orang-orang yang berada pada keadaan yang sangat menyenangkan, dia sendiri dalam keadaan tertekan. Nah, dalam keadaan tertekan ini dia harus juga mendisiplin anak, kalau tidak hati-hati disiplin ini bisa berlebihan, disiplin ini bisa akhirnya ditunggangi oleh rasa frustrasi yang memang sudah menghinggapinya begitu.
(2) GS : Jadi bagaimana ibu muda ini mengatasi masalahnya itu, Pak Paul?

PG : Memang tidak gampang ya, kita soroti dulu para ibu muda ini, lebih-lebih para ibu muda pada zaman kita sekarang, biasanya adalah produk perguruan tinggi, cukup banyak wanita sekarang yang ulus diploma atau bahkan S1 dan bahkan ada yang lebih dari S1.

Cukup banyak di antara mereka yang sebelum mempunyai anak adalah sebagai wanita karier, bekerja dan sejak kecil mereka memang dididik untuk berproduktif atau mempunyai hasil dengan karya-karya kerja mereka. Namun sekarang tiba-tiba mereka harus berada di rumah, tidak bisa bekerja di luar dan harus menghadapi 1 anak atau 2 anak yang masih kecil-kecil di mana mereka tidak bisa berbagi rasa dengan orang dewasa, akhirnya mereka terjebak dalam 1 lingkungan yang sangat monoton dan sangat menuntut. Dan tuntutan ini diberikan nonstop, terus-menerus, sehingga akhirnya kalau tidak hati-hati yang akan sering kali muncul adalah kemarahan, kemarahan dan kemarahan. Nah, kita ketahui bahwa disiplin yang terlalu diisi oleh kemarahan, tidak efektif, membuat anak akhirnya tidak takut lagi dengan teguran dan instruksi si ibu. Jadi kita harus menyadari dulu semua latar belakang ini, baru nanti kita masuk kepada bagaimana cara ibu muda ini bisa mendisiplin anak dengan lebih baik. Saya kira nomor satu adalah peranan suami penting di sini Pak Gunawan, untuk bisa menjadi tumpahan perasaan si ibu. Kalau si suami pulang terlalu capek, tidak ada waktu mendengarkan keluh kesah si istri saya kira ini tidak menolong, malah menambah perasaan frustrasi dalam diri si istri. Jadi si suami pada masa-masa ini perlu membatasi diri dan perlu memberikan dirinya, agar bisa saling berbagi rasa dengan istrinya, dengan cara ini beban si istri berkurang karena perasaan tertekannya, frustrasinya itu bisa diungkapkan. Sehingga keesokan harinya waktu dia menjaga si anak lagi, dia seolah-olah mendapatkan kekuatan yang baru.
(3) IR : Kalau seorang ibu muda ini berkarier Pak Paul, juga mungkin aktif dalam pelayanan misalnya, bagaimana apakah mereka itu bisa mendisiplinkan anak?

PG : Prinsipnya adalah apakah si ibu itu bisa membagi waktu dengan baik, sehingga anak itu masih mendapatkan perhatian yang cukup dari si ibu. Saya tidak kaku dalam hal ini, idealnya terus terag, anak-anak yang masih kecil dirawat secara penuh waktu oleh ibunya.

Masih kecil dalam pengertian bagi saya kalau memungkinkan sampai anak-anak usia sekolah, kalau memungkinkan ibu itu tidak bekerja di luar, di dalam saja. Setelah anak-anak sekolah, idealnya adalah ibu muda boleh bekerja di luar tapi sampai sebatas waktu anak-anak itu pulang kembali. Misalnya jam 02.00, jam 03.00 ibu itu sudah kembali, sehingga anak-anak itu waktu kembali jam 12.00 atau jam 01.00 hanya di rumah tanpa orang tua selama 1 jam, setelah itu ibu sudah ada di rumah, nah bagi saya itu lebih ideal. Apakah itu baik bagi seorang ibu untuk bekerja di luar, nah riset yang saya baca ini juga mengatakan begini Bu Ida, ternyata para ibu muda yang berkarier di luar itu mereka tidak terlalu rawan terhadap depresi. Jadi mereka itu ternyata bisa lebih senang dan akhirnya mereka merasa lebih efektif dalam mendisiplin anak, nah ini mungkin saja. Sebab mereka mendapatkan kepuasan batiniah setelah bekerja di luar, sehingga waktu di rumah meskipun capek secara fisik namun secara mental mereka itu cukup segar.
GS : Pada kenyataannya sekarang ini banyak pasangan-pasangan muda itu kalau mempunyai anak kecil kemudian mengundang baby sitter, nah bagaimana peran orang tua berbagi dengan baby sitter karena itu 'kan harus seimbang?

PG : Yang saya khawatirkan adalah setelah adanya baby sitter, kita ini sebagai orang tua terlalu melimpahkan tanggung jawab kepada baby sitter. Cukup sering saya melihatnya di gereja, para ibu uda tidak lagi menggendong anak, jadi anak itu bahkan pada hari ibu itu tidak bekerja pun tidak dijamah, sebab yang menggendong, yang merawat, yang memberi makan tetap baby sitter atau susternya.

Nah, hal ini saya kira sudah berlebihan sebab bagi saya fungsi baby sitter adalah menjaga tatkala ibunya absen, tapi sekarang ibunya ada pun yang merawat tetap adalah si baby sitter.
GS : Jadi semacam pengambilalihan tugas atau pelimpahan tugas.

PG : Betul, dan kita tahu bahwa baby sitter kebanyakan yang saya tahu adalah tidak mendisiplin anak. Sebab mereka merasa ini bukan fungsi mereka, tugas mereka hanyalah menjaga anak itu. Nah akhrnya saya takut ibu muda atau orang tua tidak lagi terjun langsung dalam mendidik anak.

GS : Tadi Pak Paul katakan kita berbicara tentang pendidikan anak mulai lahir sampai 10 tahun, tentu pola asuhannya, pola pendidikannya berubah. Hanya yang kami tidak tahu itu adalah sampai usia berapa pola pendidikan itu berubah Pak Paul?

PG : OK! Saya menggunakan beberapa istilah Pak Gunawan, pada masa kecil anak-anak itu didisiplin dengan instruksi, jadi perintah langsung, dan anak itu perlu tanggap dan tunduk pada instruksi kta, itu saya akan kategorikan untuk anak-anak usia 0 atau 1 tahun sampai usia sekitar 10 tahun.

Pada masa anak-anak memasuki usia remaja, usia 11 tahun hingga usia 17, 18 tahun saya menggunakan istilah direksi atau petunjuk. Jadi yang pertama adalah instruksi langsung, tapi pada usia setelah 10 tahun kita menggunakan direksi atau direction pengarahan, tidak lagi kita ini memberikan instruksi. Nah, jangan sampai terbalik, kalau terbalik hasilnya benar-benar bisa merugikan si anak, sebab ada orang tua yang pada masa kecil anak-anak itu diberikan pengarahan/direction/direksi. Pada masa remaja baru diberikan instruksi terus-menerus ya berantakan semuanya. Justru melawan, jadi pada masa kecil kita berikan instruksi dalam pengertian instruksi itu nomor satu harus jelas, dipahami oleh si anak. Kita harus mengerti bahwa anak belum tentu mengerti instruksi kita, maksudnya apa? Bukannya anak tidak mengerti kata-kata kita, kebanyakan mereka mengerti kata-kata kita. Misalnya jangan naik ke bangku, dia mengerti jangan naik ke bangku, tapi anak tidak mengerti instruksi itu, dalam pengertian kenapa tidak boleh naik ke bangku. Nah anak kecil umur 5, 4 tahun 6, 7 tahun perlu tahu, kenapa instruksi itu diberikan, nah ini yang saya maksud instruksi harus jelas Pak Gunawan, kalau tidak jelas si anak cenderung melakukannya lagi, itu yang pertama yang paling pokok. Yang kedua adalah instruksi itu harus diberikan dengan wibawa, artinya kalau si orang tua tidak dipandang, tidak dihormati, tidak ditakuti oleh si anak pada usia kecil, instruksi itu akan hampa, akan kosong tidak ada bobotnya. Maksudnya apa? Jadi si ibu atau si bapak waktu memberikan instruksi suara itu harus/tidak harus keras, tapi harus mantap (GS: Tegas maksudnya) harus tegas dan kalau sudah berkata: "nanti kalau engkau lakukan lagi saya akan hukum" itu harus dijalani. Nah, itulah faktor-faktor yang memperkuat wibawa pada orang tua itu.
GS : Yang menarik sekali tadi Pak Paul singgung tentang hukuman, memang instruksi erat kaitannya kalau tidak dilakukan dihukum begitu. Tapi yang menjadi problem orang tua muda adalah bagaimana cara memberikan hukuman itu kepada anak yang kecil itu. Kadang-kadang kita merasa masih kecil kita maklumilah, tidak apa-apa.

PG : Saya sekali lagi mengacu pada nasihat Dr. James Dobson yang berkata kita menghukum anak sewaktu anak membangkang kita. Jangan menghukum anak sewaktu anak melakukan kesalahan yang umum dilaukan pada anak seusia itu, misalnya menumpahkan air di meja waktu sedang makan atau tersandung sehingga memecahkan barang.

Hal-hal itu tidak seharusnya mengundang hukuman, karena itu adalah kesalahan yang layak atau yang umum dilakukan. Nah waktu anak membangkang, kita suruh dia jangan naik ke atas meja dia melihat kita terus naik ke atas meja, di saat itulah kita langsung harus memberikan hukuman. Nah, jadi hukuman kita berikan dengan langsung, jangan menunda hukuman terlalu lama, apalagi pada anak kecil. Pada anak remaja kita bisa gunakan hukuman yang kita tunda, misalnya kita bisa berkata: "Karena engkau pulang malam, Mamasudah bilang jangan pulang malam, selama 1 minggu ini kamu tidak boleh keluar." Atau akhir bulan nanti saya sudah janjikan anak itu untuk membeli misalnya komputer saya tunda sampai bulan depan lagi. Nah, pada anak-anak remaja bisa kita gunakan penundaan hukuman itu, kepada anak-anak kecil tidak bisa, hukuman langsung kita berikan di saat dia bersalah. Waktu itulah dia sadar dia itu dihukum karena kesalahannya itu.
IR : Pak Paul, disiplin itu harus ditanamkan oleh seorang ibu dan seorang ayah, jadi ayah harus berperan juga. Bagaimana mendisiplinkan anak yang mempunyai kelainan mungkin Pak Paul, ada anak yang didisiplinkan itu menurut tapi ada juga yang luar biasa agresifnya, sehingga kedua orang tua itu sampai kewalahan, itu bagaimana Pak Paul?

PG : OK! Memang semua anak-anak itu mempunyai keunikan, ada anak yang cenderung penurut, ada anak yang cenderung pembangkang, keras kepala. Nah anak-anak yang mempunyai kemauan keras cenderung usah sekali untuk dididik dengan kekerasan.

Jadi kuncinya adalah kita harus didik dia dengan lemah lembut, dengan jelas dan dengan konsisten, itu untuk anak-anak yang memang berkemauan keras atau keras kepala. Dengan lemah lembut artinya anak-anak ini cenderung lebih mendengar instruksi kita kalau disampaikan dengan lemah lembut. Kita juga harus jelas, dalam pengertian si anak sudah tahu kalau dia membangkang, dia akan mendapatkan sanksi itu. Kalau dia tidak tahu bahwa dia akan mendapatkan kemudian diberikan sanksi yang berat anak ini makin memberontak. Jadi anak-anak yang keras kepala harus diberikan suatu kejelasan. "Kalau engkau pulang malam lagi, kalau engkau naik sepeda lagi sebelum belajar akan saya hukum dengan cara memukul pantat kamu sebanyak 5 kali." Nah, waktu dia naik sepeda kita langsung bawa ke dalam rumah, kita pukul pantatnya dengan rotan selama 5 kali, nah itu yang harus kita lakukan, jadi jelas dan dia tahu itulah sanksinya. Dan yang ketiga harus konsisten, artinya kalau kita sudah katakan kita akan hukum, kita akan hukum dia, kalau kita sudah katakan dia boleh pergi dan dia boleh pergi. Misalkan kita sudah katakan kalau engkau main sepeda, engkau akan saya hukum 5 kali rotan, tapi terus karena kita panas kita berkata: "Minggu depan juga kita tidak jadi pergi misalnya ke dunia fantasi." Nah anak itu akan kaget sekali karena tidak ada kaitannya dengan dunia fantasi itu, tapi karena kita emosi kita mengaitkannya dengan pergi ke dunia fantasi minggu depannya, kita tidak konsisten dengan kata-kata kita. Jadi anak-anak yang keras kepala ini perlu dididik, masih ada kesempatan mendidiknya namun 3 hal itu harus kita penuhi.
IR : Tentu berbeda Pak Paul dengan anak yang sudah remaja 'kan tidak bisa dipukul Pak Paul?

PG : Betul, jadi hukuman itu lain lagi bentuknya, tidak lagi berbentuk pukulan fisik. Perlu saya garis bawahi bahwa anak-anak perlu kita pukul kalau memang dia membangkang, tadi saya sudah singung namun pemukulan itu bukan berarti pukul kepala, pukul badannya, jambak rambutnya, tidak.

Saya menggunakan prinsip yang juga dikemukakan oleh Dr. James Dobson yaitu pukullah pantatnya. Ada yang berkata jangan pukul pakai tangan, pukul pakai rotan sebab tangan itu melambangkan kasih, rotan itu melambangkan disiplin jangan digabung, bagi saya masing-masing boleh saja. Saya dulu mencoba melakukan itu yaitu memukul dengan objek yang lain pantat anak saya, tapi akhirnya saya gunakan tangan. Kenapa saya gunakan tangan? Sebab akhirnya saya lebih tahu berapa kerasnya saya memukul anak saya, waktu tangan saya sakit, saya tahu saya memukulnya keterlaluan, sehingga akhirnya saya gunakan tangan.
GS : Ya, apakah peran nenek atau kakek yang kebetulan mungkin serumah itu mempunyai peran di dalam pendidikan anak-anak Pak. Kadang-kadang khususnya kita yang ada di Indonesia ini banyak yang masih berkumpul dengan orang tua, nah pada saat orang tua mau mendisiplin anak mereka, kemudian kakek dan nenek ini menghalangi, lebih-lebih itu cucu pertamanya.

PG : Ya itu yang sering terjadi Pak Gunawan, saya adalah salah satu orang yang menikmati kasih sayang nenek saya, sehingga kalau saya diomeli karena saya nakal, yang akan membela saya adalah neek saya.

Bahkan nenek saya berkata: "Memang adikmu begitu, memang kakakmu begitu" padahal saya yang salah, saya yang jahil. Jadi sebetulnya itu tidak sehat, meskipun saya menikmati itu waktu saya masih kecil tapi itu tidak sehat, karena akhirnya membuat anak merasa tidak apa-apa melanggar peraturan.
GS : Atau justru bingung, orang tuanya bilang tidak, ini kakek neneknya saja melindungi.

PG : Pada masa kecil mungkin sedikit bingung, tapi setelah dewasa justru senang (GS: Karena mengnger, ada tempat perlindungan) ya soalnya ada algojo..

GS : Ada yang menjadi kenyataan juga biasanya anak pertama itu menjadi korban pendidikan orang tuanya, mungkin karena kami belum terbiasa atau belum berpengalaman sehingga anak pertama itu menjadi korban Pak Paul.

PG : Tepat sekali, anak pertama cukup sering menjadi korban dari 2 bentuk Pak Gunawan. Bentuk pertama adalah pemanjaan yang berlebihan karena anak pertama, yang kedua adalah korban tekanan yangberlebihan.

Jadi pemanjaan, dampaknya kita tahu anak itu akhirnya tidak bisa menguasai diri, yang dia kehendaki harus terjadi, egois dan sebagainya, itu korban atau dampak dari pemanjaan. Yang kedua adalah anak pertama sering kali juga menjadi korban tekanan yang berlebihan, karena orang tua bisa menjadi orang tua yang terlalu hati-hati tatkala anak itu adalah anak pertama, sehingga dituntut harus ini, harus itu, dan dituntutnya itu benar-benar secara berlebihan sehingga si anak menjadi korban tekanan. Harus memberikan contoh yang baik kepada adikmu, harus menegur adikmu dan sebagainya, jadi kasihan juga memang.
GS : Jadi lebih berbahagia memang orang tua-orang tua zaman sekarang Pak Paul yang ada banyak media yang bisa membekali pasangan-pasangan muda usia ini.

PG : Betul, ada satu prinsip lagi Pak Gunawan tentang membesarkan anak-anak pada usia kecil yaitu waktu kita mendisiplin anak, harus mengerti jelas anak kita itu. Jadi adakalanya kita ini mendiiplin secara membabi buta, anak sejak kecil sudah memiliki kepribadian, jadi seturut dengan yang tadi ibu Ida katakan tentang ada anak yang keras kepala, ada anak yang memang penurut, nah kita harus tahu anak kita.

Ada anak yang hanya perlu kita beritahu, titik, ada anak yang harus kita lebih tegas, ada anak yang hanya kita ajak berbicara, ada anak yang harus kita sabarkan, ada anak yang harus kita mengalah dulu baru kita nanti masuk lagi. Itu semua adalah teknik-teknik mengorangtuai anak yang tidak bisa saya bahas atau Pak Gunawan bahas secara teoritis, karena bergantung pada pengenalan orang tua terhadap anaknya. Yang saya takuti kita sering kali tidak sadar.
IR : Kira-kira keterlambatan orang tua di dalam salah mendidik waktu kecil, kadang-kadang dampaknya waktu remaja anak ini baru kelihatan kelakuannya. Apakah bisa ditolong Pak Paul, kesalahkaprahan cara mendidik itu?

PG : Masih bisa sebetulnya kalau si anak tahu dia sebetulnya dicintai, kalau si anak sudah merasakan bahwa dia tidak dicintai oleh si orang tua, meskipun orang tua berusaha pada masa remaja sudh agak susah, tapi kalau si anak tahu dia dicintai tapi ada kesalahan-kesalahan dalam mendidik saja, harapan itu lebih besar, jadi masih bisa.

GS : Ya kita bersyukur bahwa kasih Tuhan itu tidak pernah terlambat atas keluarga kita. Jadi dengan pertolongan Tuhan kita boleh yakin bahwa anak-anak kita pun kalau kita didik di luar pengetahuan kita bahwa kita salah mendidik saya rasa dengan usaha yang sungguh-sungguh bersama-sama dengan Tuhan itu masih bisa teratasi Pak Paul.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, telah kami persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang mendidik anak pada usia dini yaitu usia sekitar kelahiran sampai 10 tahunan, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



4. Mendisiplin Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T020A (File MP3 T020A)


Abstrak:

Disiplin terhadap anak sangatlah diperlukan, disiplin dikaitkan dengan tindakan ketat. Dan dalam materi ini dijelaskan bahwa orangtua perlu memperhatikan tentang disiplin anak dan ada saran-saran yang seharusnya dilakukan orangtua.


Ringkasan:

Amsal 19:18 berkata: "Hajarlah anakmu selama ada harapan tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya." Makna kata hajarlah di sini adalah disiplinkanlah, jadi disiplin itu memerlukan suatu tindakan yang ketat tapi bukan tindakan yang keras. Yang dimaksud oleh Amsal tersebut adalah disiplinkanlah dengan ketat, pada waktu anak-anak kita masih mempunyai harapan. Dalam pengertian pada masa di mana anak itu masih bisa dibentuk atau diubah atau diarahkan, jangan sampai kita terlambat. Sebagai orangtua sudah seharusnya mendisiplin anak dengan ketat, tapi kadangkala kita bertindak dengan kasar atau habis kesabaran kita.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan:

  1. Kita mesti menyadari titik mendidih kita atau titik didih kita, kemudian kita mencoba mulai bereaksi kepada anak sebelum kita mendekati titik didih kita. Mulailah kita sampaikan teguran tersebut jauh sebelum kita mendidih.

Mendisiplin anak dengan pukulan yang efektif adalah sampai batas anak berusia 10, 11 tahun, kalau setelah usia itu, sudah tidak lagi efektif. Tidak efektif dalam pengertian setelah anak-anak usianya mendekati pra-remaja atau mencapai usia remaja, mendisiplin dengan pukulan justru lebih berdampak negatif dan tidak lagi efektif dalam mengarahkan atau membentuk perilaku anak. Yang keluar dari anak bukannya respek tetapi kebencian atau kemarahan. Dan pemukulan yang boleh dilakukan oleh orangtua adalah memukul pada bagian pantat si anak, dengan tujuan adalah agar anak bisa menerima pukulan tanpa harus merasakan terlalu sakit.

Seorang anak yang dibesarkan di rumah di mana setiap kali orangtua mendisiplin anak dengan memukul, anak akhirnya hanya mengenal metode mendisiplin dengan cara memukul. Kecenderungannya yang terjadi adalah untuk anak mengulang besar sekali. Dia mengaitkan kemarahan atau mengekspresikan marah dengan pemukulan sebab itulah yang dia lihat.

Hal apa yang bisa dilakukan untuk melatih diri agar tidak melakukan hal tersebut:
  1. Kita mesti memberitahu dia bahwa metode itu bukanlah metode yang paling benar, sehingga dia sejak awal menyadari jangan sampai saya ini melakukan hal yang sama.

  2. Dia mesti belajar cara yang lain, misalnya kalau dari ayah dia dipukul namun ibu tidak memukul, dengan dialog dsb, si anak sebetulnya telah juga belajar metode yang lain yakni dialog.

  3. Si anak belajar mengekspresikan kemarahan dengan cara yang lain.

Efesus 6:4 berkata: "Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu tetapi didiklah mereka didalam ajaran dan nasihat Tuhan." Kata didiklah sebetulnya mengandung unsur mendisiplin. Jadi ayahlah yang ditunjuk Tuhan untuk mewakili Tuhan mendisiplin atau membentuk anak, sehingga akhirnya anak bisa menguasai dirinya dan bertumbuh dengan lebih sehat. Pada intinya disiplin itu perlu sakit tetapi tidak boleh menyakiti. Disiplin itu membentuk anak bukannya menghancurkan anak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pendidikan anak. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, ada satu ayat yang saya baca dalam kitab Amsal yang terus terang agak membingungkan saya. Ayat itu dari Amsal 19:18, yang berkata: "Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya." Jadi ini mungkin Salomo Pak Paul yang menuliskan Amsal ini yang mengatakan 'hajarlah anakmu'. Ini terus terang yang agak membingungkan saya. Sering kali saya mendengar kata-kata itu sebagai suatu tindakan kekerasan seorang ayah atau seorang dewasa terhadap anaknya. Tapi firman Tuhan ini justru mengajarkan atau mengatakan kepada kita untuk menghajar anak kita selama ada harapan, tapi jangan engkau menginginkan kematiannya. Yang belakang mungkin jelas itu, seorang ayah tentu tidak menginginkan kematian anaknya tetapi kata-kata menghajar apalagi kalau kita kaitkan dengan keadaan masa kini apa masih relevan Pak Paul untuk memukul atau menghajar anak, bagaimana itu Pak Paul?

PG : Memang kata menghajar bisa menimbulkan kesalahpahaman, karena dalam benak kita sewaktu kita mendengar kata hajar yang muncul adalah suatu tindakan yang keras Pak Gunawan, nah kita perlumemahami makna dari kata hajarlah.

Sebetulnya makna kata hajarlah di sini adalah disiplinkanlah, jadi disiplin itu memang memerlukan suatu tindakan yang ketat tapi bukan tindakan yang keras nah itu adalah dua kata yang berbeda. Disiplin tidak bisa tidak dikaitkan dengan suatu tindakan ketat kalau tindakan kita lembut, lembek, lunak itu tidak dikaitkan dengan kata disiplin. Jadi memang betul ada unsur ketatnya di situ, namun ketat tidak harus berarti keras jadi yang dimaksud oleh firman Tuhan adalah disiplinlah dengan ketat, pada waktu anak-anak kita itu masih mempunyai harapan. Jadi dalam pengertian pada masa di mana memang anak itu masih bisa dibentuk, jadi harapan di sini menunjukkan anak-anak memang masih bisa diharapkan untuk dibentuk atau diubah atau diarahkan jangan sampai kita ini terlambat, itu kira-kira maknanya Pak Gunawan.
(2) GS : Ya tetapi yang saya rasakan juga agak sulit Pak Paul, memang ketat tetapi tidak keras. Kadang-kadang kita kehabissan kesabaran di dalam kita mendisiplin anak dengan ketat itu, sehingga kita bertindak secara kasar, nah itu bagaimana Pak Paul mengontrolnya?

PG : OK! Pertama-tama kita mesti menyadari titik mendidih kita atau titik didih kita. Dan kita harus hindarkan jangan sampai titik didih itu sudah di depan mata baru kita bereaksi terhadap aak.

Ada kecenderungan ini yang kita lakukan Pak Gunawan dan saya pun menyadari saya melakukan hal yang serupa. Yaitu waktu anak saya berbuat sesuatu yang tidak saya sukai saya cenderung mendiamkan, saya tidak langsung bereaksi memberikan peringatan. Namun tatkala dia melakukannya sudah beberapa kali atau misalkan tidak di hari yang sama, di hari-hari yang lain dia melakukannya lagi nah tiba-tiba tanpa saya sadari kemarahan saya itu bisa langsung mencuat. Pada waktu itulah kemarahan saya akhirnya sebetulnya sudah mencapai titik didih, sehingga waktu saya marah, benar-benar marah. Jadi yang saya anjurkan adalah kita mesti sadari titik didih kita itu kemudian kita mencoba untuk mulai bereaksi kepada anak sebelum kita mendekati titik didih kita itu. Dan mulailah kita sampaikan teguran tersebut jauh sebelum kita mendidih, nah kira-kira itu saran praktisnya Pak Gunawan.
(3) IR : Tapi rata-rata Pak Paul, sering kali orang tua mendisiplinkan anak-anak yang masih kecil dengan pukulan, itu kira-kira sampai usia berapa anak itu harus didisiplin dengan pemukulan?

PG : Saya kira anak-anak masih bisa kita disiplin dengan pukulan sampai anak-anak itu berusia sekitar 10 tahun, setelah usia 10 tahun pemukulan itu sebetulnya tidak lagi efektif sebagai alatuntuk mendisiplin si anak.

Tidak efektif dalam pengertian setelah usia anak-anak mendekati pra-remaja atau mencapai usia remaja, mendisiplin dengan pukulan justru lebih berdampak negatif dan tidak lagi efektif dalam mengarahkan atau membentuk perilaku anak. Yang akan keluar dari si anak bukannya respek tapi kebencian atau kemarahan, sebab tatkala anak dipukul apalagi kalau dia sudah mencapai usia remaja yang akan muncul di hatinya adalah rasa marah. Kenapa? Sebab dia merasa sakit hati, bagaimanapun yang namanya pemukulan itu akan menciptakan rasa sakit hati pada si korban. Nah, pada saat-saat itu yaitu sekitar usia pra-remaja atau remaja, pemukulan akhirnya hanyalah menyuburkan perasaan marah pada diri si anak, sehingga mungkin saja si anak akhirnya menghentikan perilakunya. Tapi biasanya hanyalah untuk sementara, pada waktu si ayah atau si ibu yang memukul itu tidak ada di tempat dia akan melakukannya lagi dan ada kemungkinan dia akan melakukannya dengan sengaja. Kenapa dia melakukannya dengan sengaja seolah-olah untuk menunjukkan kepada si orang tua bahwa dia tidak tunduk kepada perintah mereka. Jadi yang efektif adalah kita ini mendisiplin anak dengan pukulan sampai batas kira-kira usia 10, 11 tahun, kalau setelah usia itu kita masih terus harus memukul dia, dapat saya simpulkan bahwa kita telah gagal mendisiplin si anak itu. Sebab teorinya atau secara teoritis yang tepat adalah kita mendisiplin dia dengan efektif sampai usia 10, 11 tahun setelah itu kita tidak perlu lagi menggunakan pemukulan, yang akhirnya lebih efektif adalah pada anak-anak usia remaja kita menggunakan dialog dan akhirnya kita menggunakan sistem sanksi yang nanti bisa saya jelaskan lagi.
GS : Kembali lagi pada pemukulan terhadap anak itu Pak Paul, memang kalau dilakukan pada usia sampai 10 tahun berarti anak itu masih lemah, kondisinya tidak sekuat orang dewasa atau sekuat remaja. Nah, kalau harus dilakukan pemukulan, tidak semua bagian tubuh bisa dipukul itu maksudnya?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, saya ini kadang-kadang melihat ada orang tua yang memukul anak itu sangat-sangat keterlaluan. Misalkan, saya masih ingat waktu saya masih SMP, ada teman saya stiap kali ayahnya memukulnya dia itu diikat di pohon, selama dia diikat dia dipukuli kemudian dia akan didiamkan di bawah pohon selama berjam-jam.

Nah, pemukulan seperti itu sudah sangat melewati batas. Jadi ada juga yang saya pernah dengar kasus di mana anak-anak misalnya diikat, diikat dekat keranjang, atau apa sehingga dia tidak bisa bergerak ke mana-mana persis seperti hewan. Nah itu semua adalah tindakan pemukulan yang melewati batas, yang boleh dilakukan oleh orang tua adalah memukul bagian (maaf) pantat si anak. Nah, saya juga mempunyai keyakinan bahwa Tuhan memberikan kita banyak daging di pantat itu dengan salah satu tujuan yaitu agar anak bisa menerima pukulan tanpa harus merasakan terlalu sakit. Waktu kita memukul badan si anak kita ini bisa melukai si anak, karena tubuh kita itu mempunyai tulang dan bisa saja tangan kita yang kuat atau kita menggunakan alat pemukul yang lain bisa meretakkan tulang si anak. Atau ada orang tua yang menggampar si anak, nah anak kecil kalau dipukul di kepala, digampar atau dijambak itu biasanya akan bereaksi dengan sangat marah. Karena saya kira ini memang sudah merupakan hukum alam, sudah bagian alamiah dalam diri kita, kita biasanya merasa marah sekali dan sakit hati, terhima sekali kalau kepala kita itu dijambak atau ditampar. Jadi jangan pukul kepala, saya juga tidak menganjurkan orang tua memukul kaki anak, sebab kaki itu juga ada tulang-tulang, ada tulang keringnya dan sebagainya itu juga berbahaya. Atau ada orang tua yang memukuli paha si anak, saya kira juga jangan paha sebab paha itu mempunyai daging-daging yang sebetulnya sangat lunak, sehingga biasanya kalau paha dipukul menimbulkan bekas-bekas yang merah, dan legam biru misalnya. Jadi kalau mau memukul anak, pukullah bagian pantatnya. Ada yang memang berpendapat memukul anak jangan menggunakan tangan sendiri misalnya menggunakan sapu lidi atau rotan, nah dalam hal ini saya tidak mempunyai suatu opini yang kaku harus dengan alat atau tanpa alat. Yang penting adalah kita mesti bisa tahu berapa jauh kita telah memukul dia atau berapa kerasnya kita telah memukul dia. Saya pribadi tidak memukul anak dengan alat lagi, dulu waktu anak-anak saya masih lebih kecil saya memukulnya dengan sapu lidi, sekarang tidak lagi. Sebab kenapa? Sebab akhirnya saya sadari bahwa dengan sapu lidi saya tidak bisa mengukur berapa kerasnya saya telah memukul dia. Waktu saya memukul dia dengan telapak tangan saya, justru saya lebih bisa mengontrol berapa kerasnya. Waktu itu saya pernah sekali memukul dia misalnya dengan tangan, saya tiba-tiba baru menyadari tangan saya juga cukup sakit, nah di saat itulah saya sadari, saya telah memukul dia terlalu keras, sejak saat itu saya tidak memukul dia dengan alat lagi, sebab saya berpikir saya tidak tahu berapa keras telah saya pukul dia, jadi tangan akhirnya saya gunakan untuk memukul.
IR : Pak Paul, kalau anak dipukul terlalu sering, apakah tidak menjadikan si anak ini juga mempunyai konsep, bahwa kelak kemungkinan juga dia akan memukul anaknya seperti itu?

PG : Betul sekali Ibu Ida, karena kita mencontoh perbuatan yang diperlakukan atau yang dilakukan terhadap kita. Jadi kalau misalkan kita dibesarkan di rumah di mana setiap kali orang tua menisiplin kita dengan memukul, akhirnya metode itulah yang kita kenal, kita tidak mengenal metode yang lain untuk mendisiplin anak, akhirnya apa yang terjadi tatkala kita sendiri mempunyai anak kita juga menerapkan metode yang sama, kita akan memukul anak kita persis sama seperti orang tua kita memukul kita.

(4) IR : Nah untuk mencegah itu, bagaimana Pak Paul? Atau kalau sudah terlanjur misalkan si anak ini sering dipukul supaya dia sendiri kelak jangan sampai memukul anaknya sendiri itu bagaimana Pak Paul?

PG : OK! Sebelum saya masuk ke situ saya mau tambahkan sedikit lagi tentang anak yang dipukul oleh orang tuanya. Selain akhirnya dia itu mencontoh metode tersebut si anak juga mengaitkan kemrahan atau mengekspresikan marah dengan pemukulan sebab itulah yang dia lihat.

Setiap kali misalkan orang tuanya marah, orang tuanya memukul dia, nah tanpa disadari akhirnya si anak mulai mengasosiasikan kedua hal tersebut, marah dengan pemukulan, lain kali waktu dia marah dia juga cenderung bereaksi atau memukul. Nah, kalau anak-anak ini memang dibesarkan dengan metode seperti itu kecenderungannya untuk mengulang besar sekali. Bagaimanakah dia bisa melatih diri agar tidak melakukannya, nomor satu kita mesti memberitahu dia bahwa metode itu bukanlah metode yang paling benar, sehingga dia sejak awalnya mulai menyadari jangan sampai saya ini melakukan hal yang sama. Yang kedua adalah dia mesti belajar cara yang lain, nah misalkan kalau si ayah memukul, namun ibu tidak memukul tapi berdialog dengan dia dan sebagainya, si anak itu sebetulnya juga telah belajar metode yang lain yakni dialog. Sehingga akhirnya waktu dia sudah besar, telah menjadi orang tua dia juga mempunyai pilihan yang lain. Lain perkara kalau dua-dua memukuli dia nah itu susah, tapi misalkan hanya satu yang memukuli yang satunya tidak, dia akan mendapatkan contoh yang positif yang lainnya itu. Nah, suatu saat nanti dia bisa mengingatnya dan mulai menerapkan cara yang lain, sebab dia juga melihat bahwa cara yang lain itu justru efektif. Yang ketiga adalah saran saya agar si anak itu belajar mengekspresikan kemarahan dengan cara yang lain. Nah, sejak dia masih remaja kita pantau apakah kalau dia marah, dia cenderung sepertinya beringasan, sepertinya mau bertindak secara fisik. Kalau kita melihat adanya gejala itu pada diri anak kita, kita mesti sering-sering bicara dengan dia, kita mesti ingatkan dia bahwa "Kalau marah kau bisa mengekspresikan kemarahanmu dengan cara yang lain, bagaimana saya bantu kamu, kalau engkau marah engkau bicara dengan aku, engkau bicaralah dengan saya, saya akan coba pancing emosimu dan agar engkau bisa berbicara, mengeluarkan melalui ucapan dan bukan melalui pukulan." Begitu kira-kira yang bisa kita lakukan.
IR : Nasihat saya sering kali saya kaitkan dengan firman Tuhan, saya sering kali nasihatkan untuk mengendalikan diri karena itu juga perintah Tuhan, mengendalikan diri.

PG : Betul, jadi memang kita mesti melatih dia mengendalikan diri. Ini tidak merupakan garansi bahwa pasti dia nanti setelah dewasa bisa mengubah metode itu, memang perlu waktu. Saya sendirimengakui bahwa saya pun dipukul sewaktu masih kecil dan ayah saya kalau memukul saya itu lumayan.

Meskipun ayah saya bukanlah seseorang yang memukuli saya terus-menerus, tapi kalau memang lagi marah dan mendisiplin saya, ayah saya memukul saya cukup keras. Saya akhirnya menyadari bahwa saya pun mempunyai potensi yang sama, waktu anak-anak saya berbuat hal yang salah atau nakal saya sadari itu awal-awalnya saya bisa marah dan benar-benar sepertinya mau memukul dia dengan sakit. Tidak puas kalau hanya memukul, rasanya ingin memukul sampai sakit. Saya sendiri kaget menyadari kok saya begitu, akhirnya saya mencoba mengendalikan diri dengan misalnya menjaga marahnya saya itu jangan sampai ke titik didih, tadi saya sudah singgung.
GS : Ya tapi sebenarnya tadi juga sudah disinggung, yang lebih pantas banyak memukul itu sebenarnya ibu atau ayah Pak Paul. Jadi si bapak atau ibunya, karena yang pernah saya jumpai dalam sebuah keluarga, kalau ayahnya yang memukul ibunya yang sakit hati. Dia merasa ini anak yang saya kandung kamu pukuli. Nah itu bagaimana, apakah Pak Paul punya pengalaman lain?

PG : Ya saya memahami ibu itu mempunyai naluri keibuan, dan naluri keibuan adalah naluri yang bercorak melindungi, menumbuhkan, memelihara. Jadi sewaktu yang ditumbuhkan, yang dipelihara, dlindungi itu diserang, si ibu memang merasa sakit hati juga.

pertanyaan Pak Gunawan sebetulnya dijawab sendiri oleh firman Tuhan, jadi di Efesus 6:4 firman Tuhan berkata: "Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Nah, dari sini kita langsung bisa membaca bahwa bapaklah yang diminta oleh Tuhan untuk mendidik anak-anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Dan kata didik sebetulnya mengandung unsur mendisiplin, jadi ayahlah yang ditunjuk Tuhan untuk mewakili Tuhan mendisiplin atau membentuk anak, sehingga akhirnya si anak bisa menguasai dirinya dan bertumbuh dengan lebih sehat. Jadi kalau kita simpulkan ayahlah yang memang ditugaskan Tuhan untuk mendisiplin baik itu dengan teguran maupun juga dengan pukulan, asal dalam batas yang wajar masih boleh dilakukan.
GS : Jadi mungkin itu yang agak sulit Pak Paul, kami kaum bapak atau yang pria ini lebih banyak menghindar karena khawatir nanti konfliknya menjadi berpindah, yang tadinya mau memukul anak tapi karena istri membela kami akhirnya menyerahkan kepada ibu supaya ibunya saja yang memukul, sementara kami atau ayah ini menghindar. Tapi memang tanggung jawabnya kami mesti belajar untuk menjaga supaya jangan sampai ke titik didih tadi Pak Paul.

PG : Betul, dan penting sekali bagi para ibu untuk menghormati wibawa ayah di sini dan tidak menengahi tatkala ayah sedang mendisiplin anak. Nah, sekali lagi saya katakan ini dalam konteks mndisiplin secara benar, kalau misalnya si ayah memukuli si anak dengan sadis sudah pasti ibu harus menengahi, jangan sampai anak itu menjadi korban.

Tapi kalau misalnya dipukul secara wajar, biarkan sebaiknya ayah dan ibu itu mempunyai suatu kesepakatan sehingga masing-masing tahu batasnya sampai seberapa jauh dia memukul dan memarahi. Misalkan pun saat misalnya si ayah memukul si ibu itu tidak setuju, menganggap bahwa peristiwa tersebut tidak harus diselesaikan dengan begitu kerasnya si ibu sebaiknya saat itu tidak memberikan komentar, setelah anak itu selesai didisiplin dalam ruangan yang privat di luar dari si anak itu, ibu boleh mengutarakan ketidaksetujuannya. Kenapa ini penting sekali sebab orang tua memang mesti seia sekata dalam mendisiplin anak, baru anak itu akhirnya bisa merespons dengan lebih baik.
GS : Ada lagi orang tua yang memukul anaknya Pak Paul, kalau tidak sampai menangis anak itu terus dipukuli. Seolah-olah anaknya itu belum merasakan sakitnya, dipukuli terus, apakah memang betul pukulan itu harus membuat sampai anak itu menangis?

PG : Tidak betul sama sekali, disiplin harus mengandung unsur sakit, jadi sekali lagi ketat itu harus ada. Ketat dalam pengertian memang akan mengekang dia dan yang bisa mengekang adakalanyaadalah rasa sakit, tapi tidak boleh menyakiti anak.

Jadi saya juga bedakan dua kata itu sakit dan menyakiti, disiplin perlu sakit tapi tidak boleh menyakiti. Jadi kalau ada orang tua memukuli sampai anak itu kesakitan dan sampai akhirnya harus menangis dia berhenti, berarti orang tua itu mempunyai masalah dengan kemarahan dan dia itu rupanya hanya bisa reda marahnya tatkala anak itu seolah-olah takluk di depan matanya, menangis dan sebagainya. Dan dia sudah kehilangan makna disiplin, sebab disiplin itu bukanlah menghancurkan jiwa anak. Jadi ada 2 unsur penting yang harus dibedakan, disiplin itu membentuk anak bukannya menghancurkan anak, adakalanya kita akhirnya orang Jawa berkata kebablasan bukan membentuk, malahan menghancurkan anak.

GS : Memang kalau begitu benar apa yang firman Tuhan katakan tadi di dalam Amsal itu Pak Paul, kita waktu kita itu ada batasnya untuk menghajar anak itu. Tapi selama masih ada harapan memang perlu dilakukan hajaran terhadap anak sebatas apa yang patut kita berikan dan saya rasa memang itu bukan untuk menyakiti dia tetapi untuk mendidik dia dengan baik. Jadi terima kasih sekali Pak Paul untuk uraian yang bukan hanya penting buat saya tapi tentu buat semua pendengar yang mengikuti acara Telaga ini. Demikian tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan terima kasih untuk Anda yang sudah berkirim surat kepada kami, namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan selamat berjumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



5. Pola Pendidikan Anak dalam Keluarga Kristen


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T026A (File MP3 T026A)


Abstrak:

Pola pendidikan anak di tengah-tengah keluarga tidak cukup hanya dengan perkataan atau ucapan tetapi orangtua harus terlebih dahulu memberikan teladan kepada putra-putrinya.


Ringkasan:

Ulangan 11:19, "Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."

Mengajarkan Firman Tuhan kepada anak perlu dilakukan secara berulang-ulang, tidak bosan-bosan karena ini akan memudahkan anak untuk mengerti apa yang kita ajarkan.

Di dalam mendidik anak seharusnya bukan hanya banyak bicara tetapi sebagai orangtua lebih banyak meneladani atau memberikan teladan kepada anak. Jadi seandainya kita mengajarkan Firman Tuhan, orangtua harus melakukan terlebih dahulu dan memberikan contoh kepada anak dan ini akan lebih memudahkan dalam mengajarkan kepada anak.

Anak sejak kecil sudah bisa mengerti atau tanggap terhadap teladan yang diberikan orangtua, misalnya diajarkan berdoa. Namun ketika anak sudah mulai lebih besar saya mengajarkan tentang kesaksian hidup, hidup yang dipimpin Tuhan, hidup di dalam Tuhan dan juga mengajarkan tentang melakukan Firman Tuhan di dalam kehidupan yang sebenarnya.

Mengajarkan Firman Tuhan secara berulang-ulang juga bisa dilakukan dalam ibadah keluarga yaitu dengan bersama-sama membaca Firman Tuhan. Selain di dalam rumah, Firman Tuhan juga dapat diajarkan di luar rumah, misalnya pada saat di perjalanan sambil melihat ciptaan Tuhan orangtua mengajarkan atau menceritakan Firman Tuhan, menghubungkan Firman Tuhan dengan kehidupan nyata.

Dalam pendidikan anak pun tidak hanya dilakukan oleh salah satu pihak, ibu saja atau ayah saja, akan tetapi kedua belah pihak, baik ayah maupun ibu. Meskipun Firman Tuhan mengatakan ayah yang mendidik anak, karena memang ayahlah yang menjadi kepala keluarga yang harus bertanggung jawab, tetapi pelaksanaannya adalah dua-duanya.

Pola pendidikan bagi anak balita yaitu usia di bawah 5 tahun, yang dapat dilakukan kita sebagai orangtua adalah menanamkan nilai iman Kristen melalui kasih. Dan tentunya orangtualah yang harus memberikan teladan bagaimana menyatakan kasih, mereka nggak akan mengerti tentang kasih kalau tanpa ada teladan dari orangtua untuk menyatakan kasih.

Untuk anak usia remaja memang lebih sulit, namun kita dapat melakukan lebih banyak pendekatan pribadi dengan bicara mengenai masalah khusus atau masalah yang dihadapi di luar. Contoh-contoh yang baik dan yang tidak yang perlu diketahui oleh anak remaja.

Ada 3 prinsip yang perlu kita perhatikan di dalam melakukan ibadah keluarga:

  1. Kreatifitas, ibadah yang kreatif lebih bisa diterima oleh anak-anak.

  2. Menyenangkan, ibadah keluarga bukan sebagai tempat untuk tegur-menegur atau penyampaian nasihat-nasihat, anak cenderung nggak begitu menikmati.

  3. Singkat.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang kali ini dihadiri oleh Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan juga Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo, mereka adalah para pakar di bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pola pendidikan terhadap anak khususnya di dalam keluarga Kristen. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Ibu Vivian, kami senang sekali Ibu bersama-sama dengan kami pada malam hari ini dan kita akan bersama-sama membicarakan tentang pola pendidikan anak di dalam keluarga Kristen. Saya teringat dengan satu ayat yang menarik di dalam Ulangan 11:19 dan Ibu Ida akan membacakannya untuk kita.
IR : "Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."
(1) GS : Sebenarnya ayat itu cukup jelas sekali mengajarkan pada kita bagaimana kita mendidik anak. Tetapi masalah yang sering dihadapi dan juga seringkali menghadapi itu terhadap anak-anak, kalau kita menerapkan ayat firman Tuhan ini secara harafiah ya, mereka itu malah cenderung bosan mendengar "Berkali-kali Papa ini ngomong mesti ada ngutip ayat dan sebagainya itu, itu sebenarnya tanggapan yang seperti itu bagaimana, Bu Vivian?

VS : Saya mempunyai pandangan mendidik anak seharusnya bukan hanya dengan banyak bicara tetapi kalau dalam mendidik anak sebagai orang tua kita banyak meneladani/memberi teladan kepada anak. Jai seandainya kita mengajarkan Firman Tuhan dengan orang tua melakukan sendiri dan memberikan contoh kepada anak dan nanti kalau anak sudah melihat contoh orang tua, lebih mudah orang tua itu mengajarkan kepada anak.

Lalu firman Tuhan diajarkan jadi anak tidak pernah bosan karena melihat contohnya dan teladannya ini berguna.

PG : Jadi maksud Bu Vivian teladan orang tua itu adalah prasyarat sebelum pengajaran bisa disampaikan dengan efektif. Kira-kira maksudnya apa ayat yang telah kita baca tadi Bu Vivian?

VS : Kalau menurut kami yang saya baca di Ulangan 6:4-8,9 di sana kita memang harus mengajarkan anak berulang-ulang dengan apa yang kita katakan dan berulang-ulang mengajarkan, tidk bosan-bosan karena anak tidak akan mengerti satu kali.

Tetapi kalau dari Ulangan ini terjemahan yang lain saya lihat, sebelum orang tua mengajarkan harus ada teladan dulu. Jadi kalau saya melihat firman Tuhan mencantumkan itu sebagai prasyarat.
IR : Jadi bisa dikatakan orang tua jangan bersaksi tapi menyaksikan teladan ya Bu Vivian?

VS : Bersaksi dalam kehidupan ya, setelah itu baru kita bisa ngomong. Kalau tanpa ada kesaksian kehidupan bagaimana apa yang kita katakan anak tidak akan mau mendengarkan.

GS : Mungkin contoh konkret ya Bu Vivian, kalau kita mau mengajarkan anak supaya menurut kata-kata orang tua, bagaimana contoh yang tadi Bu Vivian katakan lewat teladan itu?

VS : Mungkin contohnya bisa katakan firman Tuhan mengajarkan kita sebagai anak Tuhan kita harus hidup suci, jadi kita menurut perintah Tuhan, kita berusaha hidup suci kita berusaha, kalau orangya sudah menikah tidak selingkuh, kita berusaha hidup benar.

Kita taat perintah Tuhan jadi mungkin ada macam-macam godaan tapi kita berusaha untuk menjaga diri. Setelah itu kita bisa mengajarkan anak-anak untuk hidup suci juga.
GS : Maksud saya bagaimana anak itu bisa mengerti atau sampai usia berapa anak itu bisa tanggap terhadap teladan yang kita berikan kepadanya itu.

VS : Saya kira mulai umur kecil itu, mulai sekecil-kecilpun, mulai anak kecil kita ajarkan mereka senantiasa berdoa. Nah kalau anak itu tidak pernah melihat orang tua berdoa anaknya bertanya: &uot;Lho, Papa Mama sendiri tidak berdoa kok menyuruh saya berdoa.'

Jadi mulai kecilpun mereka sudah tahu.

PG : Saya ada satu pertanyaan ini Bu Vivian, saya mencoba menceritakan kisah-kisah Alkitab kepada anak-anak saya dan ada kecenderungan kalau saya mulai berkata sekarang Papa hari ini menceritakn tentang Yusuf.

Reaksi pertama mereka adalah "Sudah tahu, bosan" Saya juga terus terang agak frustrasi juga sebab di pihak yang satu saya menyadari bahwa memang mereka sudah cukup sering mendengar kisah-kisah Alkitab ini. Di pihak lain kita ingin juga mengajarkan tentang firman Tuhan, apakah Ibu juga mengalami masalah yang saya alami itu?

VS : Ya kalau mengajarkan cerita-cerita, mereka mungkin kalau sudah tahap tertentu mereka sudah mengerti, tapi biasanya kalau sudah umurnya lebih besar saya mengajarkan mereka tentang kesaksianhidup.

Jadi kesaksian hidup yang bagaimana yang kita jalankan sesuai firman Tuhan. Misalnya beginilah orang yang dipimpin Tuhan, beginilah orang yang hidup dalam Tuhan. Jadi saya lebih mengajarkan tentang mengaitkan dengan firman Tuhan tapi berhubungan dengan kehidupan yang sebenarnya.
IR : Tapi seringkali anak-anak itu justru melawan Bu Vivian, apa yang kita ajarkan baik itu seringkali tidak mendapat tanggapan, apa karena kedagingan anak-anak itu ya Bu Vivian sehingga seringkali sulit sekali Bu Vivian?

VS : Betul, oleh sebab itu firman Tuhan tadi sudah mengatakan ajarkanlah berulang-ulang.

(2) GS : Di dalam kita mengajarkan berulang-ulang itu timbul kita sendiri yang menyampaikan mungkin juga bosan ya Bu Vivian karena tidak ditanggapi dengan positif. Masalahnya selain tadi Bu Vivian katakan kita harus berikan suatu teladan nyata lewat kehidupan sehari-hari, apakah ada cara lain Bu Vivian, karena terus terang saja mungkin bagian yang paling sulit adalah bagian yang memberikan teladan, kita lebih gampang ngomong daripada meneladani itu dalam bentuk yang konkret, apakah ada cara lain Bu Vivian untuk mengajarkan firman Tuhan berulang-ulang itu?

VS : Cara lainnya yang mengajarkan firman Tuhan berulang-ulang mungkin dalam ibadah keluarga bersama-sama membacakan firman Tuhan. Dan mungkin kalau firman Tuhan mengatakan mengajarkan bukan haya dalam rumah tapi juga di luar rumah.

Jadi kalau kita mungkin dalam perjalanan sambil melihat ciptaan Tuhan kita menceritakan. Kalau dalam perjalanan melihat sesuatu kita juga menghubungkan dengan firman Tuhan jadi saya mengatakan dengan kehidupan nyata begitu mengajarkan firman Tuhan.
IR : Juga mungkin dalam menghadapi pergumulan ya.
GS : Ada keluarga yang mengatakan itu 'kan urusannya guru-guru Sekolah Minggu atau guru agama di sekolah, bagaimana tanggapan Bu Vivian dengan pandangan seperti itu?

VS : OK! Saya sering kali menghadapi orang tua yang mengatakan mengajarkan anak firman Tuhan melalui guru Sekolah Minggu, melalui gereja. Tapi selalu saya menanyakan kepada mereka, anak berada i gereja itu berapa kali seminggu.

Seringkali kalau orang-orang biasa ya seminggu sekali. Berapa waktu yang dia ada di dalam rumah, kalau dalam seminggu sekali berapa jam di gereja, lalu berapa waktu yang bersama orang tua di dalam rumah tangga. Jadi kalau kita melihat porsinya yang terbesar seharusnya tanggung jawabnya di mana, di rumah atau di gereja. Karena waktu yang diberikan Tuhan itu yang porsi terbesar di mana.
(3) GS : Ya tapi masalahnya mungkin timbul karena orang tua merasa tidak mampu untuk mengajarkan itu, daripada dia ngajarnya keliru lalu diserahkan ke guru Sekolah Minggu yang memang ada waktu persiapan untuk cerita dan sebagainya. Tapi saya kembali lagi hendak mengatakan bahwa yang paling sulit memang mengajarkan dalam bentuk teladan. Bagaimana orang tua itu harus melatih dirinya?

VS : Orang tua melatih diri dengan menaati firman Tuhan misalnya kemarahan, nah ini saya selalu mengajarkannya kepada anak saya karena dia mengalami kesulitan dalam hal mengendalikan kemarahan nak saya.

Jadi kalau saya mengajarkan dia supaya tidak suka marah, saya sendiri harus menjaga supaya tidak suka marah. Kita harus memaksa diri kita menaati firman Tuhan.

PG : Saya kira, Pak Gunawan dan Ibu Ida, salah satu sumber permasalahannya adalah terletak pada kita-kita ini sebagai hamba Tuhan ya Bu Vivian, yaitu kita cenderung memang memberikan pengajaranmelalui mimbar.

Jadi kita ini sebetulnya di gereja pun tidaklah memiliki kesempatan untuk hidup bersama dengan jemaat dan menjadi contoh konkret buat mereka, akhirnya yang kita lakukan adalah memberikan pengajaran-pengajaran tersebut. Nah, orang tua mendapat contoh tersebut di gereja yaitu bahwa mereka belajar tentang Tuhan melalui pengajaran-pengajaran, akhirnya metode itulah yang mereka ketahui. Pada waktu di rumah, mereka seperti menjadi wakil kita, duta besar kita di rumah ya mereka menjadi pengkhotbah-pengkhotbah buat anak-anak. Sebab mereka memang tidak tahu cara yang tepat atau apakah ada cara lain yang lebih efektif untuk menyampaikan kebenaran Tuhan karena yang mereka kenal hanyalah satu cara itu. Yaitu cara khotbah atau cara pengajaran formal, akhirnya itulah yang mereka lakukan di rumah. Waktu kita misalnya mendorong jemaat untuk mengadakan ibadah keluarga, yang mereka lakukan akhirnya adalah sama seperti di mimbar. Mereka juga menjadikan meja sebagai mimbar mereka dan berkhotbah kepada anak-anak. Jadi mungkin waktu tadi Pak Gunawan bertanya kepada Ibu Vivian, saya berpikir mungkin memang kami ini sebagai hamba Tuhan di gereja perlu memberikan pelatihan-pelatihan yang lebih spesifik kepada orang tua. Jadi orang tua tahu cara-cara kreatif yang mereka dapat gunakan dalam menyampaikan firman Tuhan kepada anak-anak mereka, bagaimana pandangan Ibu?

VS : Ya saya kira betul seperti itu, mungkin ada cara lain kalau tadi bagaimana menyampaikan firman Tuhan. Kalau saya seringnya berbicara secara pribadi, jadi bukannya secara berkhotbah. Jadi ertanya kepada mereka lalu saya menyampaikan firman Tuhan dengan pendekatan pribadi.

GS : Dan itu kelihatan hasilnya Bu?

VS : Ya, ada hasilnya dan demikian juga mereka juga lebih erat dengan orang tua (GS : Lebih akrab dengan kita, berani mengungkapkan isi hatinya dan sebagainya).

GS : Tetapi masalahnya kita itu sebagai orang tua tidak selalu bisa mengontrol diri di hadapan anak. Tadi Ibu katakan mau mengajarkan anak untuk tidak marah. Tetapi terkadang namanya orang itu bisa lepas kendali justru waktu di depan anak. Kalau sampai itu terjadi, apa yang harus kita lakukan terhadap anak kita yang melihat dengan nyata, "Lho ibu atau ayah ini bisa marah ternyata" begitu kalau seandainya itu anak melihat dengan tidak sengaja?

VS : Kita harus mengoreksi diri kita sendiri kalau kemarahan itu dasarnya apa, masalahnya apa. Kalau memang anak yang salah kita boleh memarahi, tetapi kalau memang kita yang salah maka kita hrus mengoreksi diri dan minta maaf pada anak dan kita berusaha untuk lain kali memperbaiki diri.

GS : Ya tapi bukankah itu bisa terjadi berulang-ulang (VS : Ya betul) sehingga anak mulai mengenali akan sifat diri kita. Papa ini ternyata kalau karena sesuatu hal ini, marahnya itu sampai meledak-ledak. Ya memang sudah berusaha untuk tidak begitu, tapi kalau sudah salah satu sifat marah itu seringkali terjadi lalu anak menilai kita seperti itu, jadi negatif penilaiannya.

VS : Jadi orang tua bertobat dululah.

IR : Jadi selalu kembali pada firman ya?
GS : Kembali di dalam pola pendidikan anak ya Bu itu 'kan bukan cuma dari satu sisi, ayah saja walaupun yang kita baca di dalam Perjanjian Lama khususnya itu ditujukan kepada ayah yang lebih terutama. Tapi justru yang kita lihat sekarang ini di dalam kehidupan sekitar kita adalah justru ibu yang pegang peranan di dalam pendidikan anak, bagaimana menurut pandangan Bu Vivian?

VS : Pendidikan anak harus dilakukan kedua belah pihak, ayah dan ibu. Tuhan menciptakan anak ini lahir dari kedua orang tua, jadi maksudnya keduanya harus ikut campur. Memang firman Tuhan mengaakan ayah karena di sini adalah kepala keluarga yang harus bertanggung jawab tetapi yang melaksanakanharus keduanya.

PG : Secara praktisnya ya Bu Vivian misalkan keluarga Ibu sendiri ya, peranan apa yang Ibu lakukan dan peranan apa yang Pak Daud lakukan dalam menyampaikan kepada anak-anak. Tadi Ibu berkata memang dua-dua mempunyai andil yang sama ya?

VS : Mungkin kalau saya lakukan ini hal yang lebih mendetail karena sebagai seorang ibu yang lebih sering bersama anak jadi saya mendetail yang kecil-kecil lebih banyak saya memperhatikan. Kala Pak Daud lebih ke hal yang menyeluruh begitu.

GS : Jadi bukan pembagian tugas yang satu sari uang yang lainnya membina anak seperti itu ya Bu?

VS : Tidak, bersama-sama.

GS : Jadi tetap harus dilakukan bersama-sama.

VS : Ya, kalau sesuatu hal yang saya kurang jelas, saya ragu-ragu saya akan tanya Pak Daud sehingga kita dapat bersama-sama.

GS : Yang seringkali kita hadapi dalam rumah tangga adalah kadang-kadang tidak sepahamnya antara si suami dan istri itu sehingga anak jadi bingung begitu ya Ibu, itu juga untuk hal-hal yang rohani saya katakan. Misalnya Ibu menghendaki anak itu pergi ke Sekolah Minggu atau ke gereja tapi ayahnya bilang: "Tidak apa-apalah sekali-sekali tidak datang," kalau terjadi itu bagaimana Bu?

VS : Itu harus disepakati bersama, keduanya harus sepakat dan harus bicarakan bersama-sama. Seperti kalau seandainya Sekolah Minggu itu untuk keluarga kami itu pasti harus pergi. Satu kali sayaingat tentang anak ini ingin pergi nonton dengan teman-temannya, nonton di bioskop, waktu itu saya berkata" Tidak apa-apa sekali saja Pa, melihat."

Waktu saya mengatakan sekali boleh tapi ayahnya tidak setuju, jadi saya katakan ini terakhir kali, pertama dan terakhir nanti lain kali tidak boleh lagi. Jadi saya mengatakan apa yang ayahnya mau dan kami sepakat.
GS : Tapi 'kan tetap itu berhasil untuk sekali dan yang terakhir.

VS : Ya untuk sekali jadi hanya ingin lihat seperti apa sih gedung itu, jadi diperbolehkan.

GS : Itu kalau sekali dan terakhir Bu. Mungkin bisa dimengerti tetapi yang seringkali yang terjadi kalau ada yang pertama lalu ada yang kedua, ketiga dan seterusnya lalu jadi bingung anak itu.

VS : Kalau berkali-kali anak tanya lagi: "Ma boleh tidak?"; "Dulu apa yang dikatakan Papa, sekali dan terakhir." Jadi kami selalu tegas dan tidak akan mengulangnya lagi.

(4) GS : Khususnya untuk anak-anak yang masih balita yang usianya di bawah 5 tahun, nilai-nilai iman Kristen apa yang perlu ditanamkan kepada mereka?

VS : Untuk anak yang balita mungkin nilai Kristen kasih ya, kasih itu yang penting dan itu tentunya harus orang tua meneladani dulu bagaimana memberikan kasih, mereka tidak akan mengerti tentan kasih kalau tanpa ada dari orang tua mengasihi dulu.

PG : Kalau saya boleh tambahkan kasih dalam wujud membagi ya Bu Vivian, sebab anak-anak terutama yang balita mempunyai sikap egosentrik yang sangat kuat yaitu segalanya berpusat kembali pada diinya.

Apa yang dia inginkan dia harus dapatkan, kalau tidak dia akan marah dan sebagainya. Jadi saya kira kasih Kristiani yang kita ingin tanamkan pada anak akhirnya berwujud dalam kemampuan si anak ya membagi makanan, membagi mainan, sikap seperti itulah yang harus kita tumbuhkan pada diri si anak. Kira-kira begitu ya Bu Vivian (VS : Ya betul).
GS : Tadi kembali lagi didalam pola pendidikan anak balita yang masih di bawah 5 tahun, seringkali yang kita lihat sekarang di gereja itu ada Sekolah Minggu untuk kelompok bermain. Anak-anak yang masih kecil-kecil sudah diikutsertakan. Sebenarnya seberapa efektif itu Bu Vivian di dalam pendidikan menanamkan nilai-nilai iman di dalam diri anak yang masih balita ini?

VS : Saya kira dari orang tua yang saya ajak bicara mereka malah mengatakan mendapatkan banyak berkat anaknya diikutkan Sekolah Minggu meskipun masih kecil. Yang mereka pelajari bukan apa yang ikatakan guru tetapi seringkali melalui nyanyian karena anaknya masih kecil.

Jadi sampai rumah mereka bisa bernyanyi dan memberitakan kesukaannya tentang apa yang mereka terima dari firman Tuhan itu melalui nyanyian dan gambar-gambar, jadi bukan dari apa yang mereka dengarkan.
GS : Itu karena keterbatasan orang tua tidak bisa mengajarkan itu mungkin Bu Vivian, seperti tadi kembali ke pertanyaan saya semula apa tidak orang tua mengambil mudahnya dengan mengikutkan anaknya ke Sekolah Minggu. Karena banyak orang tua berkata tidak ada waktu, tidak punya alat peraga, tidak bisa cerita dengan baik, tidak bisa mengajarkan menyanyi.

VS : Saya kira tetap orang tua harus menggunakan peranan yang penting (GS : Jadi kalau perlu orang tua membeli alat-alat peraga begitu Bu Vivian?) betul, di rumah buku-buku cerita yang bergamba banyak, (GS : Alkitab bergambar) ya, karena tiap hari anak bersama orang tua jadi kalau di rumah anak-anak tiap hari bisa membaca Firman Tuhan dari Alkitab bergambar itu.

GS : Itu mungkin lebih mudah dimengerti. Kalau sekarang anak itu sudah menginjak usia remaja ya Bu Vivian, apakah pola pendidikan itu harus diubah?

VS : Di usia remaja memang lebih sulit, jadi memang kalau menurut kami di usia remaja lebih banyak pendekatan pribadi. Kalau ada masalah khusus kami berbicara, masalah yang dihadapi di luar, kai bicara.

Contoh-contoh yang ini baik, contoh-contoh ini tidak baik. Biasanya pendekatannya seperti itu, saya lebih menghubungkannya pada firman Tuhan.
GS : Tapi kegiatan mereka itu makin banyak juga ya Bu Vivian sehingga komunikasi kita juga seringkali menjadi berkurang, beda kalau masih usia balita kita bisa bawa ke mana kita pergi. Tapi begitu remaja mereka mempunyai acara sendiri-sendiri, mau bertemu saja sulit.

VS : Orang tua yang harus berkorban waktunya, kita harus menyesuaikan dengan jadwal anak. Jadi saya selalu mencari jadwal anak ini kapan pulang dan saya ini selalu berada di sampingnya, misal wktu makan saya berusaha bersama.

PG : Kadang saya mendapatkan keluhan bahwa anak-anak sewaktu menginjak usia remaja cenderung tidak terlalu tertarik lagi pada gereja, pada kebaktian. Akhirnya meskipun mereka datang tetapi datag karena disuruh oleh kita.

Apakah Ibu Vivian juga mendapatkan pengamatan yang sama, bahwa pada waktu anak menginjak remaja minat-minat terhadap hal-hal yang rohani yang dahulu kita tanamkan tiba-tiba sepertinya mulai bergoyang?

VS : Betul, saya kira mereka lebih senang dengan aktifitas yang lain, yang lebih menyenangkan daripada di gereja misalnya (IR : Lebih senang duniawi ya) karaoke, olah raga.

GS : Itu antara lain yang membuat orang tua Kristen jadi frustrasi Bu Vivian, karena sejak kecil sebenarnya sudah ditanamkan/diajarkan dan diharapkan anak itu nurut seperti dulu waktu masih anak-anak. Lalu tiba-tiba berubah anak ini dan kita sebagai orang tua kurang siap menghadapi perubahan itu. Karena merasa usahanya yang sekian tahun sampai 10 atau 11 tahun itu kelihatannya sia-sia dia berhenti, tidak lagi mengajarkan, menanamkan nilai-nilai iman karena merasa hasilnya sama aja dengan mereka yang dulu kecilnya dilepas, bagaimana Bu Vivian?

VS : Kalau menurut saya justru saat yang terpenting untuk mendidik anak itu adalah waktu balita dan waktu remaja. Jadi itu justru kita harus memberikan banyak waktu dengan anak-anak.

IR : Tapi sering anak-anak itu punya acara sendiri.

VS : Itulah kita harus mencari waktu kalau dia ada waktu di rumah langsung kita menyediakan diri.

(5) GS : Untuk ngomong-ngomong dengan dia, untuk bicara tentang firman Tuhan dan sebagainya. Bu Vivian tadi sudah singgung sedikit oleh Pak Paul tentang 'family altar' atau kebaktian di dalam rumah tangga. Menurut Bu Vivian apakah itu harus diadakan secara rutin di tempat yang tepat dengan satu liturgi sederhana yang dilakukan terus-menerus seperti itu Bu Vivian?

VS : Family altar memangnya seharusnya dilakukan tiap hari tapi kalau mungkin dari keluarga yang saya tanya sulit karena teori dengan prakteknya sulit.

GS : Ya pada kenyataan memang sulit, lalu bagaimana mengisi kekosongan itu?

VS : Kalau memangnya diadakan saya kira bukannya dalam bentuk yang harus, yang mati ya, kita cari bentuk-bentuk pokoknya firman Tuhan itu dinyatakan. Jadi tidak harus seperti liturgi di gereja nak-anak mungkin tidak mau, mungkin waktu berdoa bersama, mendengarkan dari kaset, orang tua yang membacakan, anak yang membacakan ganti-ganti.

Entah bagaimana, Pak Paul?

PG : Jadi memang ada 3 prinsip yang kita bisa ingat untuk mengadakan ibadah keluarga. Yang pertama yang tadi Ibu sudah singgung yaitu kreatifitas, jadi ibadah yang kreatif itu lebih bisa diteria oleh anak-anak.

Dan yang kedua adalah menyenangkan kalau serius dan menjadi ajang tegur-menegur, penyampaian nasihat-nasihat anak-anak cenderung akhirnya tidak begitu menikmati lagi, jadi harus menyenangkan. Dan yang ketiga kalau memungkinkan singkat ya, apalagi waktu anak usia masih lebih kecil singkat jangan bertele-tele atau panjang. Yang saya amati adakalanya ibadah keluarga menjadi ajang orang tua memberikan nasihat-nasihatnya kepada si anak. Akhirnya si anak akan melihat ini sama saja dengan tadi saya dimarahi oleh Mama atau Papa. Jadi akhirnya mereka tidak lagi menantikan untuk ikut dalam ibadah keluarga.
GS : Di dalam melakukan ibadah keluarga tadi Pak Paul, yang kita tahu itu sesuatu yang penting yang tadi saya katakan memang sulit itu ternyata Bu Vivian juga berpendapat sama sulit untuk dilakukan secara rutin, tetapi kita lakukannya menggunakan kesempatan semaksimal mungkin kapan bisa dan mereka berminat dan sebagainya itu, apakah itu juga bisa dilakukan misalnya pada saat kita bepergian ke luar kota dan sebagainya.

VS : Justru kalau untuk keluarga kami ke luar kota itu lebih bisa dilakukan karena kegiatan yang rutin itu tidak ada, justru kami bersama-sama hanya untuk keluarga dan kita bacakan, dan mereka ebih senang.

GS : Karena kadang-kadang acara rekreasi itu bisa mengekspresikan bahwa mereka juga masing-masing punya kegiatan lagi, ayahnya mancing, ibunya masak di dapur, anak-anaknya main di pantai sehingga malam sudah lelah dan bukankah itu tidak ketemu lagi Bu?

VS : Tapi justru tidak ada rutinitas yang lain, karena itulah kita harus mencari waktu (GS : Butuh pengorbanan orang tua) ya.

GS : Dan itu pasti, saya pikir memang seperti ibadah keluarga segala itu perlu dirancang, memang perlu dipersiapkan dari rumah oleh orang tua khususnya bahwa nanti di sana akan ada acara seperti itu. Walaupun anak tidak mengetahuinya lebih dulu sehingga semacam surprise buat mereka tapi lebih mengena begitu Bu? (VS :Betul).
IR : Dan yang mengambil inisiatif untuk memulai itu sebaiknya siapa kira-kira (VS:Orang tua), ya orang tua itu kadang-kadang yang saya sering ketahui itu si ibu ya.

VS : Keluarga kami, bagaimana Pak Paul?

PG : Kebanyakan yang mengadakan ibadah keluarga istri saya, bukannya apa-apa karena memang adakalanya orang telepon saya, saya lagi telepon anak-anak sudah siap untuk tidur jadi istri saya yangmengajak mereka berdoa bersama, tapi harus saya akui istri saya yang berperan besar sekali.

IR : Apa karena suami itu selalu memikirkan pekerjaan karena saya ketahui itu rata-rata si istri yang lebih berperan.

PG : Betul, betul jadi memang seharusnya suami lebih berperan tapi dalam kenyataannya akhirnya istri, mungkin karena soal waktu.

GS : Ya jadi perbincangan ini semakin menarik saja, sekali lagi kami ucapkan banyak terima kasih kepada Bu Vivian yang berkenan untuk bergabung bersama kami pada acara rekaman Telaga kali ini. Dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan seputar pendidikan anak khususnya di dalam menanamkan nilai-nilai iman Kristen bersama Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



6. Anak yang Membangkang


Info:

Nara Sumber: Dr. Vivian Andriani Soesilo & Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T030A (File MP3 T030A)


Abstrak:

Dalam materi ini dijelaskan bahwa anak yang membangkang tidak tergantung pada usia berapakah hal itu terjadi, akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah dalam hal ini orangtua yang perlu mengoreksi diri kenapa anak tidak mau menurut. Dan mengarahkan anak tanpa menghancurkannya. Namun sifat membangkang juga karena adanya sifat genetic atau bawaan.


Ringkasan:

Yang sering kali banyak dikeluhkan oleh orang tua adalah menghadapi anaknya yang membangkang. Orang tua perlu menyelidiki diri sendiri dulu mengapa anak saya tidak mau menurut, kalau memang itu terjadi setiap hari. Mungkin saja ada sesuatu di dalam diri orang tua yang membuat anak tidak mau menurut. Mungkin cara memberikan perintah, cara orang tua berbicara, sikap orang tua, jadi kalau anak selalu memberontak, orang tua mungkin bisa mencoba untuk melihat diri sendiri terlebih dahulu.

Atau bisa juga kita memahami masalah ini dari segi genetik. Dalam pengertian tidak semua anak dilahirkan sama, jadi ada anak yang bawaannya memang penurut dan ada anak yang bawaannya keras. Anak-anak yang bawaannya keras cenderung untuk membangkang. Istilah yang kita gunakan adalah anak-anak yang senantiasa mengetes atau menguji otoritas kita sebagai orang tua.

Dalam membesarkan anak yang berkemauan keras (strong willed) prinsipnya adalah bagaimana kita mengarahkan tanpa menghancurkannya. Artinya perlu suatu keseimbangan antara sikap yang mengarahkan tapi tidak menghancurkan. Dengan memberikan penjelasan yang masuk akal, yang logis dan konsisten lebih efektif untuk mengarahkan anak-anak yang keras kepala ini.

Roma 12:4, "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus."

Ayat ini sebagai perefleksian bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang tidak menjemukan, Tuhan yang kreatif. Jadi Dia menciptakan manusia berdasarkan keunikannya masing-masing dan masing-masing mempunyai tempat dalam tubuh Kristus. Jadi anak yang keras kepala sebetulnya mempunyai tempat dalam tubuh Kristus.

Salah satu murid Tuhan Yesus yang keras kepala sebetulnya adalah rasul Paulus, Tuhan memakai dia dengan luar biasa, tapi ada yang berhati lembut juga seperti Yohanes. Jadi masing-masing memang tidak sama, kita jangan merasa sial betul karena saya mempunyai anak yang membangkang, ini adalah pemberian Tuhan dan pasti ada tempatnya nanti dalam pekerjaan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang kali ini dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan juga Ibu Dr. Andrian Soesilo dalam sebuah perbincangan tentang bagaimana mengatasi anak yang sering memberontak atau tidak menurut kepada orang tua. Mereka berdua adalah pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Dan kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, selanjutnya dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pertama-tama Ibu Vivian, kami senang sekali Ibu Vivian bisa kembali berbincang-bincang pada kesempatan acara Telaga kali ini. Sering kali dikeluhkan oleh banyak orang tua khususnya orang tua yang baru menikah yang terkejut menghadapi anak yang membangkang. Jadi disuruh tidak mau dan suka melawan, apakah itu gejala umum pada setiap anak, Bu Vivian?

VS : Ini tergantung umurnya Pak, kalau umur 2 tahun itu memang ada istilah namanya 'teribotu' segalanya 'no, no, no' istilah bahasa Inggrisnya yang artinya tidak. Meskipun kadang-kadang dia idak bermaksud tidak, jadi memang tergantung umurnya.

Nanti kalau usia remaja, dia akan mencari identitas sendiri maka semuanya tidak menurut.
GS : Sebenarnya hanya sekadar sepatah kata yang mudah diucapkan oleh anak untuk mengatakan 'tidak' atau memang ada suatu alasan lain di dalam diri anak itu?

VS : Kalau anak tidak mau menurut orang tua, saya kira orang tua perlu menyelidiki diri sendiri dulu mengapa anak saya tidak mau menurut, seandainya itu memang yang terjadi setiap hari. Jadiapakah ada sesuatu di dalam diri orang tua yang membuat anak ini tidak mau menurut, mungkin cara memberikan perintah, cara dia berbicara, sikap orang tuanya, mungkin bukan dari anak itu sendiri tapi orang tuanya.

Jadi kalau memang anak itu selalu memberontak, orang tua mungkin bisa mencoba untuk melihat diri sendiri terlebih dahulu.
(1) GS : Orang tua mungkin berkata saya sudah mengajari anak saya dengan baik bahkan dipanggilkan baby sitter yang baik, yang bisa mengasuh dan sebagainya. Tapi kenyataannya anak memang bandel, itu suatu sifat dasar atau pengaruh lingkungan atau apa?

VS : Memang manusia ada sifat dasar, ada kebaikan dan kejahatan, tapi saya kira kalau anak ini membangkang terus, pasti ada sesuatu yang membuat dia memberontak. Kalau memang disediakan babysitter tentunya anak akan memberontak karena baby-sitter bukanlah orang yang sungguh-sungguh mencintai dia.

Yang dia inginkan adalah perhatian orang tuanya, jadi mungkin dikarenakan kasih orang tua yang digantikan oleh baby-sitter.
IR : Jadi tetap orang tua harus menyelidiki diri sendiri, mungkin ada kaitannya dengan orang tua.

PG : Atau kita juga bisa mencoba memahami masalah ini dari segi genetik. Dalam pengertian tidak semua anak dilahirkan sama. Jadi ada anak yang memang bawaannya penurut dan ada anak yang memag bawaannya keras.

Anak-anak yang memang bawaannya keras, cenderung tidak mudah menurut, jadi bawaannya adalah justru untuk membangkang. Istilah yang kita gunakan adalah anak-anak yang senantiasa mengetes atau menguji otoritas kita. Memang kalau ditanya kenapa ada anak yang seperti begini, karena memang kepribadiannya berbeda. Kalau anak yang kepribadiannya lebih penurut, kita tidak perlu berbicara keras dia sudah akan melakukan yang kita minta, tapi untuk anak-anak yang berkemauan keras 'strong willed' maka kita tidak cukup misalnya meminta dia melakukan sesuatu, adakalanya harus menaikkan suara atau mengancamnya dengan hukuman, baru dia mengerjakan yang kita minta. Jadi senantiasa pengujian otoritas itu akan mewarnai rumah tangga kita dengan anak tersebut. Kita juga harus menyadari ini adalah bagian yang alamiah.
(2) GS : Pak Paul, kalau tadi dikatakan dalam diri anak yang suka membangkang itu ada sesuatu yang positif, tadi Pak Paul katakan 'strong willed', kemauan yang kuat. Saya jadi bingung, sampai sejauh mana kita bisa mentolerir kekerasan anak ini, jadi kebandelannya sampai di mana. Kalau kita melarang dia terus-menerus, bisa mematikan rasa kemauan dia yang baik. Lalu sebaiknya bagaimana, Pak Paul?

PG : Dalam membesarkan anak yang berkemauan keras ('strong willed') ini prinsipnya adalah bagaimana kita mengarahkan tanpa menghancurkannya. Jadi perlu suatu keseimbangan antara dua kubu, du sikap yang mengarahkan tapi tidak menghancurkan.

Saya kira yang sering terjadi adalah kita menghancurkan anak yang keras karena kita merasa ditantang olehnya jadi kita rasanya marah, terpancing emosi kita. Lalu kita keraskan sikap kita, kita marahi, kita pukul dia. Respons dari si anak biasanya bukannya tunduk tapi dia akan mencoba membangkang lagi dalam hal lain dan kesempatan yang lain. Jadi dia akan selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa melawan kita lagi. Anak-anak yang berkemauan keras ini sulit sekali ditundukkan, jadi tujuan kita sebagai orang tua bukannya mau menundukkan dia tapi mau mengarahkan dia, caranya adalah dengan memberikan penjelasan kepada anak itu. Biasanya penjelasan yang masuk akal, yang logis dan konsisten lebih efektif untuk mengarahkan anak-anak yang keras kepala ini.

VS : Kalau menurut saya, anak yang membangkang memang harus dengan cara yang seperti Pak Paul katakan tadi. Ada anak yang memang keras seperti tembok, kalau kita keras maka akan terjadi sepeti kita melempar bola dia akan memantul, tidak bisa dengan cara yang seperti itu.

Jadi mungkin cara yang bisa kita lakukan adalah berbicara lembut dengan dia, itu mungkin yang bisa kita lakukan.
IR : Mungkinkah, ini ada kesaksian seseorang yang mengatakan bahwa cara mendidik anak itu memang berbeda satu dengan yang lain, tapi ada yang memang harus dikeras baru menurut? Jadi dengan kekerasan itu baru menurut tapi dengan lemah lembut mereka mengabaikannya.

PG : Saya kira kita perlu membereskan juga definisi keras di sini. Menurut saya keras tidak selalu berarti menggunakan pukulan, keras berarti bagi saya ketegasan. Anak-anak saya di rumah serng sekali mengeluh akan suara saya sewaktu saya marah.

Saya jarang sekali memukul mereka, tapi memang suara saya yang bariton waktu saya mulai mengeraskannya mereka tidak suka. Mereka sering berkata: "Kenapa sih papa suaranya begitu keras membuat kami takut." Terus-terang dalam hati saya senang, sebab berarti suara saya sudah cukup untuk membuat mereka takut. Jadi keras adalah tegas, bagaimana menurut Ibu Vivian sendiri?

VS : Saya setuju dengan itu, saya tidak setuju keras dengan pemukulan.

GS : Ya, tapi adakalanya memang juga harus dipukul ya?

VS : Ya kalau memang tidak ada jalan yang lain.

GS : Tapi ada yang pernah kami jumpai, di rumah anak ini kelihatan baik sekali, diberitahu menurut sama ayahnya, ibunya. Tapi gurunya yang di sekolah itu justru sering memberikan masukan, keluhan kepada orang tuanya. Anakmu ini tidak bisa diatur di sekolah, suka mengganggu temannya, kalau diberitahu gurunya melawan dsb. Kenapa anak itu bisa hidup di dalam dua dunia yang berbeda, Bu?

VS : Mungkin di rumah itu karena ada sosok ayah atau ibu yang keras sekali terhadap dia, jadi dia sudah takut sekali dan kalau dia di luar jadi bebas dan bisa berbuat apa saja, karena mungkn di rumah terlalu ditekan, jadi dia keluarkan di sisi yang lain.

GS : Atau mungkin kalau ketemu guru yang sama kerasnya dengan orang tuanya, lalu dia jadi penurut?

VS : Belum tentu, mungkin di rumah ada sanksinya yang lebih besar kalau dia tidak mau menurut sama orang tuanya.

GS : Dalam hal ini untuk mengatasi hal seperti itu bagaimana Bu, apa orang tua perlu konsultasi dengan guru atau anaknya yang dipindahkan ke sekolah lain atau bagaimana?

VS : Mungkin kalau keadaan seperti itu orang tua sebetulnya sebelum terjadi, dia tahu siapa teman-teman pergaulannya anak ini, mungkin pengaruh teman-temannya. Bagaimana anak ini di kelas, mngkin dia tidak cocok dengan sekolah itu, jadi orang tua perlu dekat dengan anak, supaya mengerti dan mengenal anak, sehingga ada komunikasi di dalam keluarga itu.

Jadi kalau ada semacam itu tentunya orang tua sudah tahu kalau ada masalah-masalah dan tidak perlu terjadi seperti itu, saya kira bila ada perhatian kepada anak-anak, maka mereka akan terbuka kalau ada masalah.
IR : Bagaimana cara memisahkan anak jika bergaul dengan teman-teman yang nakal. Seringkali kalau kita menghendaki supaya mereka menjauh sulit sekali itu?

PG : Anak-anak cenderung memilih teman yang sesuai dengan seleranya. Jadi anak-anak yang aktif, yang suka bergerak lari dan sebagainya cenderung memilih teman yang sejenis. Atau anak yang pediam, yang halus, cenderung memilih teman yang juga halus dan pendiam.

Anak yang suka berpikir dan suka main video game cenderung memilih teman yang juga menyenangi video game. Jadi sebetulnya pertimbangan yang sehat dalam diri anak, dia mulai menunjukkan kesukaannya dan ini yang menjadikan ciri khasnya sebagai suatu pribadi yang unik. Tapi masalahnya adalah seperti tadi Ibu Ida katakan, adakalanya teman itu membawa dia ke perilaku yang nakal, yang memberontak, membangkang dan sebagainya. Tidak bisa disangkal pengaruh teman kuat, jadi kalau misalkan teman-temannya itu mulai berani menjawab si guru. Si anak ini akan melihat perilaku tersebut dan terpengaruh sehingga mendapatkan keberanian untuk melakukan hal yang sama. Temannya cerita kepada dia bahwa mereka berhasil melawan ibu mereka sewaktu ibu mereka meminta mereka pulang dan mereka masih mau main. Hal-hal seperti itu kadang kala diceritakan di antara teman dan menjadi amunisi buat si anak yang akhirnya ikut berperilaku seperti itu. Sekarang apa yang harus kita lakukan kalau anak kita relatif masih kecil umur 9-10 tahun dan mulai mencontoh perilaku teman-temannya. Saya kira ada waktu, ada tempatnya untuk kita bertindak keras dalam pengertian tegas dan kita mulai berkata bahwa engkau tidak seperti ini dulu, apakah mungkin engkau dipengaruhi oleh teman-temanmu. Kalau dia bilang tidak dan sebagainya ya kita tanya orang tua teman-temannya. Dan orang tua teman-teman misalkan mengkonfirmasi betul, anak-anaknya di rumah mulai membangkang dan sebagainya. Kita bisa menyimpulkan kemungkinan anak kita tertular, saya kira ada baiknya agar kita menegaskan kepada dia, "Engkau boleh main dengan teman-temanmu tapi saya tidak akan menoleransi tindakanmu yang seperti ini." Jadi kita akan tegaskan begitu. Sulit untuk melarangnya bermain, karena di sekolah dia akan bertemu dan dia akan tetap memilih teman yang ini sebab dia sudah cocok dengan yang pendiam dan halus misalnya. Jadi saya kira dia tetap akan bermain dengan teman-temannya, tapi kita bisa mengurangi tindakan membangkangnya itu di rumah dengan sikap yang lebih tegas. Dan adakalanya seperti tadi kata Pak Gunawan kita perlu untuk memukulnya, tapi memukul yang baik adalah hanya di bagian pantat saja, tidak boleh menjambak atau menggampar anak seperti itu.
IR : Pemukulan itu hanya dilakukan bagi anak-anak yang umurnya masih di bawah remaja ya, Pak Paul?

PG : Mungkin saya mau tanya Ibu Vivian, anak saya memasuki masa remaja, belum remaja benar-benar, kalau Ibu Vivian apa yang dilakukan?

VS : Untuk anak saya memang tidak bisa dipukul, apalagi anak saya dua-duanya laki-laki, jadi yang saya lakukan ialah mengurangi, dalam bahasa Inggrisnya 'privilege'. Mereka itu kalau seandaiya bisa bermain video game, biasanya berapa jam sehari, mereka tidak bisa pergi ke rumah temannya bermain tiap hari; mengurangi jam nonton TV itulah yang bisa saya lakukan, jadi membatasi.

GS : Karena itu ada sanksi yang Ibu terapkan di sana. Tapi kalau dari pembicaraan kita tadi, kita tahu bahwa pembangkangan anak itu tidak 100% kesalahan anak ya Bu, jadi kita orang tua ini harus jujur mengakui bahwa kita punya andil sehingga anak kita membangkang. Menurut pengalaman Ibu Vivian di dalam konseling dan terapi, Ibu lakukan kepada dua belah pihak atau hanya kepada salah satu pihak?

VS : Biasanya saya lakukan pada orang tua dulu, karena orang tua harus berubah sebelum anaknya. Bagaimanapun juga anak itu dipengaruhi oleh orang tuanya.

GS : Dan mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk memperbaiki orang tua ini?

VS : Ya tergantung dia terbuka atau tidak.

(3) GS : Menurut Bu Vivian bentuk-bentuk pembangkangan itu seperti apa yang seringkali Ibu amati?

VS : Yang tidak mau menurut orang tua ya, kalau diperintah tidak mau menurut, tidak boleh pergi tetap pergi. Mungkin untuk anak yang remaja, satu kegiatan yang tidak boleh tetap dia lakukan,atau mungkin kalau tetap tidak boleh, dia berani melarikan diri dari rumah.

Saya pernah mengenal satu teman yang membangkang berani melarikan diri. (GS : Cuma mengancam atau memang betul-betul dia lakukan?) betul-betul keluar beberapa hari dan dia tidur di rumah temannya yang mau menerima dia, jadi itu bentuk pembangkangan. Mungkin Pak Paul ada contoh yang lain?

PG : Saya sendiri bisa mengingat diri saya waktu masih SMP, orang tua saya melarang saya pergi keluar karena siang hari itu saya harus belajar, bukan hari Sabtu atau Minggu, tapi saya sudah erlanjur berjanji dengan teman saya untuk keluar kami nonton.

Mama saya mengunci pintu dengan gembok dan saya tidak bisa keluar lagi. Dan saya masih ingat pintu pagar kami itu mungkin dua kali tingginya saya waktu saya masih SMP dan diatasnya ada kawat berduri. Saya memanjat dari bawah sampai ke atas, sampai keluar dari pagar kaki saya lecet-lecet. Padahal waktu itu saya sudah tidak bisa nonton lagi karena sudah terlambat, jadi saya hanya tunggu di depan gang seolah-olah saya nonton, saya baru kembali pulang. Tujuan saya hanya satu, membuktikan kepada mama saya bahwa mama tidak bisa menguasai saya, jadi itulah yang saya lakukan. Jadi kalau saya pikir-pikir kenapa saya begitu dulu, sekali lagi waktu itu saya sudah remaja, ini tema yang umum bagi remaja yaitu kami merasa bahwa orang tua tidak mengerti kami. Saya sebetulnya rela saja untuk tidak menonton tapi saya sudah terlanjur berjanji. Mungkin saat itu kalau misalkan mama saya bisa berkomunikasi dengan saya dan berkata: "Ya, ya kamu sudah janji nanti malu tidak menepatinya. Mama mengerti perasaanmu, tapi bagaimana ini hari biasa, lebih baik kamu jangan nonton." Mungkin kalau saya mendengar tanggapan seperti itu dari mama, saya akan menurut. Tapi begitu saya diberi instruksi tanpa meminta penjelasan, saya berkata saya mau nonton mama langsung mengatakan: "Tidak! Ini hari biasa kamu harus belajar di rumah." Wah saya tidak bisa mendengar kata tidak, jadi saya tidak peduli saya salah atau saya benar. Siapa salah, saya tidak peduli. Begitu dengar kata tidak, saya harus melawan. Jadi saya kira pendekatannya memang akan berbeda-beda pada anak-anak ya. Untuk anak-anak yang mirip dengan saya itu memang sulit sekali mendengar kata tidak, tidak itu adalah suatu tantangan yang harus ditaklukkan; jadi memang lebih baik diberikan penjelasan yang seperti itu maka kami akan lebih tanggap.
GS : Saya pernah melihat suatu bentuk pembangkangan Bu Vivian, saya tidak tahu apakah itu bentuk pembangkangan juga, di mana kelihatannya anak itu pasif. Jadi misalnya saja tadi tidak boleh keluar ya, dia tidak keluar terus, disuruh keluar pun dia tidak keluar tetap di rumah saja, 'kan sudah diberitahu tidak keluar begitu. Tapi dia menginterpretasikan seperti itu, kelihatannya menurut, tetapi saya melihatnya itu suatu pembangkangan, bagaimana Bu Vivian?

VS : Pemberontakan ya.

GS : Pemberontakan juga, dia mau menunjukkan juga bentuk perlawanan seperti itu. Jadi saya rasa memang banyak bentuk-bentuk pembangkangan yang bisa dialami oleh keluarga-keluarga, baik keluarga muda maupun yang sudah mempunyai anak-anak remaja. Tetapi yang ingin kembali saya tanyakan, apakah ada batas waktu tertentu di mana anak itu dengan sendirinya menyadari akan sifatnya yang kurang baik, Bu Vivian?

VS : Batas waktunya tidak setiap orang sama, mungkin kalau anak sudah hampir lulus SMA, waktu lulus SMA mungkin lebih bisa mengerti atau usia SMA. Saya kira kalau usia universitas begitu, Pak Paul?

PG : Biasanya ya, kalau sudah meningkat usia yang lebih dewasa saya kira energi kita itu mulai bisa terkontrol dengan lebih baik. Dalam kasus saya, saya melihat saya mulai tidak membangkang ewaktu saya SMA.

Dan alasannya sebetulnya sederhana sekali yaitu saya mulai sibuk di gereja, jadi kesibukan di gereja itu menyerap energi saya. Saya bukan sebetulnya bertobat, sadar saya itu salah, tetap saja sebetulnya hubungan dengan mama saya atau papa saya renggang dan sering berkelahi. Tapi begitu saya menginjak SMA, saya tiba-tiba mendapatkan penyaluran. Saya sering main drama, menyanyi di vokal group dan sebagainya sehingga tiba-tiba energi saya sekarang terserap di luar, ada pengalihan dan itu mengurangi sekali ketegangan antara orang tua dengan saya. Waktu SMP saya belum banyak terlibat di gereja, saya sadar kira-kira waktu saya berumur 20-an tahun ke atas. Jadi kadangkala memang kita tidak bisa mengharapkan anak kita sadar, namun yang bisa kita lakukan adalah mengalihkan energinya itu ke hal-hal yang lebih baik.
GS : Jadi kalau pada dasarnya memang pembangkangan juga ada segi positifnya seperti tadi di awal pembicaraan kita, tentu "strong willed" itu yang kita harus tumbuhkembangkan dalam diri setiap anak ya, Bu Vivian. Pak Paul mungkin ada ayat firman Tuhan yang Pak Paul bisa sampaikan sehubungan dengan perbincangan kita ini?

PG : Saya ingin membacakan Roma 12:4, "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga ita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus."

Saudara-saudara, saya melihat ayat ini sebagai perefleksian bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang tidak menjemukan, yang kreatif. Jadi Dia menciptakan manusia berdasarkan keunikannya masing-masing dan masing-masing mempunyai tempat dalam tubuh Kristus. Jadi anak yang keras kepala sebetulnya mempunyai tempat dalam tubuh Kristus. Salah satu murid Tuhan Yesus yang keras kepala sebetulnya adalah rasul Paulus, Tuhan memakai dia dengan luar biasa, tapi ada yang berhati lembut juga seperti Yohanes. Jadi masing-masing memang tidak sama, kita jangan merasa sial betul karena saya mempunyai anak yang membangkang, ini adalah pemberian Tuhan dan pasti ada tempatnya nanti dalam pekerjaan Tuhan.

GS : Saya rasa itu memang perlu dihayati betul, Pak Paul, untuk kita bisa bersyukur mempunyai anak yang membangkang, tetapi kita melihat ada sesuatu yang baik yang Tuhan Allah mau berikan kepada kita. Tentu kita bisa saling melengkapi. Jadi baiklah Bu Vivian banyak terima kasih juga Ibu bisa hadir di dalam acara tegur sapa ini sehingga melengkapi perbincangan kita pada saat ini. Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang bagaimana menghadapi anak-anak yang membangkang. Perbincangan kali ini juga disertai dengan ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Melalui kesempatan ini kami juga mengucapkan banyak terima kasih untuk surat-surat yang sudah Anda tujukan kepada kami. Namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda masih sangat kami nantikan. Dari studio kami mengucapkan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



7. Anak Berfantasi


Info:

Nara Sumber: Dr. Vivian Andriani Soesilo & Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T030B (File MP3 T030B)


Abstrak:

Fantasi adalah hal yang normal terjadi pada diri anak-anak terutama pada anak yang masih balita. Tetapi anak juga harus ada keseimbangan antara bermain sendiri dalam fantasi dan bermain dengan anak-anak lain.


Ringkasan:

Fantasi adalah bagian kehidupan anak dan tidak perlu kita takuti. Kita kadang-kadang melihat anak berbicara sendiri di depan cermin, berbicara dengan bonekanya, tapi itu sesuatu yang normal. Karena memang itulah hidupnya, fantasinya, khayalannya yang sangat luas.
Tetapi anak harus mempunyai keseimbangan antara bermain sendiri dalam fantasinya dan bermain dengan anak-anak lain. Ada orang yang memang berbahagia karena anaknya itu sering main dengan anak-anak lain, tapi sebetulnya anak-anak sebaiknya bisa juga bermain sendiri, dia bisa menikmati waktunya sendiri, inilah sebetulnya awal dari kreatifitas. Karena dalam kesendiriannya dia harus menciptakan permainan dan harus melebarkan wawasannya, daya fantasi atau daya khayalnya, ini yang sehat.

Tapi kalau hanya bermain sendiri dengan daya khayalnya dan kurang bermain dengan anak-anak lain, itu juga berbahaya. Kalau terus seperti itu sampai dia usia remaja fungsi sosialnya akan terganggu sekali dan itu merupakan bibit dari gangguan jiwa yang lainnya.

Filipi 4:8, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu."

Sebagai ayah dan ibu Kristen, kita perlu memasukkan yang bagus, yang layak dipuji, yang indah, yang sedap didengar, yang mulia, yang agung pada benak anak-anak kita. Karena ini adalah bahan-bahan yang akan membentuk si anak.

Jadi kalau kita menanamkan yang kotor, yang muncul adalah diri yang tercemar, menanamkan yang bersih kita juga akan mendapatkan diri yang lebih murni.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan kali ini dengan Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana memahami fantasi anak. Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pertama-tama kami ucapkan terima kasih Bu Vivian, kami mau mencoba memperbincangkan tentang bagaimana kita bisa memahami fantasi anak. Tuhan itu sudah menciptakan kita juga anak-anak dengan begitu uniknya, sehingga ada daya fantasi di dalam diri anak itu. Kadang-kadang kita melihat anak berbicara sendiri di depan cermin, bicara dengan bonekanya dan sebagainya, itu sebenarnya tanda-tanda yang bagaimana, Bu Vivian?

VS : Untuk anak kecil terutama yang masih balita itu sesuatu yang normal dan memang mereka hidupnya, fantasinya, khayalannya sangat luas sekali. Dan mereka sering kali melakonkan, misalnya sya ini seorang ibu, saya ini seorang bapak, saya ini seorang guru.

Dia akan memakai pakaian seperti seorang pemadam kebakaran, seperti seorang polisi. Itu biasanya mereka senang sekali karena mereka akan belajar menjadi seseorang.
GS : Tapi ada orang tua yang mungkin karena di dalam kekurangmengertiannya takut dan melarang anak itu bicara sendiri. Mungkin nanti kebablasan jadi tidak waras. Sebenarnya bagaimana seharusnya kita menanggapi anak yang sedang berfantasi itu?

VS : Saya ingat waktu anak saya sendiri masih kecil, saya bermain dengan mereka. Mereka nanti pakai pakaian, saya seorang polisi ya saya bicara, "Kamu polisi ya" saya bicara kamu seperti seoang polisi ketika bermain.

(GS : Artinya Ibu kembangkan begitu?) ya, jadi itu ada waktunya tapi asalkan tidak terus menerus seperti itu. Jadi ada waktunya saya mengakui fantasi dia dan kita ini bermain bersama-sama.
(1) GS : Apakah anak itu bisa membedakan antara fantasi dan kenyataannya, Bu?

VS : Saya kira bisa (GS : Caranya Bu?) kalau sudah selesai tidak pakai pakaian seperti polisi lagi, ya dia jadi seorang anak lagi.

GS : Apakah ada suatu perbedaan yang jelas antara anak yang sedang berfantasi dan anak yang memang mengalami gangguan kejiwaan sejak kecil?

VS : Saya kira ada bedanya ya, Pak Paul?

PG : Untuk anak yang masih kecil sebetulnya akan sulit bagi kami untuk menentukan apakah ada gangguan jiwa, sebab pada masa kecil memang dunia fantasi dan dunia riil mereka itu masih berkesiambungan, masih sangat tumpang tindih.

Jadi memang sulit untuk memastikannya, biasanya gangguan jiwa itu mulai dapat dideteksi setelah anak itu menginjak usia remaja, tapi kalau anak itu misalkan super pendiam tidak bisa bergaul, mengurung diri saja, saya kira itu sudah merupakan tanda-tanda yang harus dicermati sebab anak kecil pada dasarnya bukanlah anak yang senang berdiam diri sendirian. Dia adalah anak yang memang senang untuk berhubungan dengan anak-anak lain dan bermain.
IR : Sebaliknya Pak Paul kalau anak remaja itu mengalami hiperaktif apa itu termasuk juga gangguan jiwa?

PG : Bukannya gangguan jiwa tapi memang sesuatu yang lain, jadi suatu kelainan sedikit memang itu termasuk dalam salah satu disorder atau gangguan, disebut ADHD (Attention Deficit Hyperactivty Disorder) jadi disorder itu gangguan attensideficit yaitu kekurangmampuan untuk berkonsentrasi, hyperactivity adalah energi yang berkelebihan, jadi itu adalah masalah bagi sebagian anak-anak remaja dan statistik menunjukkan satu dari 20 anak mengidap masalah itu.

Gangguan ini mempunyai dua sisi yaitu yang kurang mampu berkonsentrasi dan energi yang berkelebihan. Ada anak-anak yang kelemahannya adalah konsentrasi, ada yang kelemahannya di energi yang berkelebihan tapi yang jenis berikutnya dua-duanya lemah yaitu kurang bisa konsentrasi dan energinya berlebihan. Untuk anak seperti ini memang diperlukan penanganan yang lebih khusus dan seringkali yang terjadi adalah para guru kurang bisa memahami anak-anak ini.
IR : Orang tua juga sering kali sulit mengatasi ya Pak Paul, bagaimana itu jalan keluarnya?

PG : Sangat melelahkan anak-anak yang hiperaktif itu, karena anak-anak tersebut menuntut perhatian nonstop dari orang tuanya. Yang paling penting adalah orang tua harus mulai bisa mengatur pnyaluran energinya, jadi jangan sampai anak ini kekurangan wadah untuk menyalurkan energi.

Saya akan anjurkan untuk mengajak anak itu berenang atau main basket supaya energinya bisa dikurangi, waktu tubuhnya agak lemas karena habis berolahraga sekitar sore, mungkin dia pulang mandi dengan air hangat. Dia mulai tenang baru kita minta dia untuk belajar. Kita harus realistik dengan belajar, memang sulit belajar untuk jangka waktu yang panjang, biasanya hanya untuk jangka waktu yang pendek saja. Jadi memang sangat melelahkan mempunyai anak seperti ini. Saya ingin memberikan sedikit komentar juga tentang fantasi yang tadi Pak Gunawan bicarakan. Fantasi adalah bagian kehidupan anak, sebagaimana tadi disebut oleh Ibu Vivian sesuatu yang tidak perlu kita takuti. Tapi anak harus mempunyai keseimbangan antara bermain sendiri dalam fantasinya dan bermain dengan anak-anak lain. Jangan sampai anak itu kekurangan salah satu di antaranya. Ada orang yang memang berbahagia karena anaknya itu sering main dengan anak-anak lain, tapi sebetulnya anak-anak sebaiknya bisa juga bermain sendiri, dia bisa menikmati waktunya sendiri, inilah sebetulnya awal dari kreatifitas. Karena dalam kesendiriannya dia harus menciptakan permainan dan harus melebarkan wawasannya, daya fantasi atau daya khayalnya, hal ini yang sehat. Tapi kalau hanya bermain sendiri dengan daya khayalnya dan kurang bermain dengan anak-anak lain, itu berbahaya. Kalau terus seperti itu sampai dia usia remaja fungsi sosialnya akan terganggu sekali dan itu merupakan bibit dari gangguan jiwa yang lainnya.
GS : Mengenai fantasi itu, ada satu kasus Pak Paul, beberapa kali bahkan itu yang ditakutkan oleh orang tua di mana anak-anak mereka yang masih kecil itu bermain dokter-dokteran. Itu berbahaya sekali ternyata efeknya, bisa terjadi percabulan dan sebagainya karena anak-anak ini jadi korban dari mereka yang lebih besar, dimana anak kecil yang berfantasi itu, dia tidak mengerti akibatnya. Apa memang bisa terjadi begitu Pak Paul?

PG : Sangat bisa, jadi anak-anak kecil itu datang ke dunia sebetulnya dengan tidak memiliki pagar mental yang memisahkan antara diri mereka dan diri orang lain. Itu sebabnya anak-anak kita sbut adalah anak-anak yang berada pada masa "impressionable" yaitu masa mudah dipengaruhi.

Artinya kita ini orang dewasa, waktu kita melihat film kita bisa membedakan antara film dan saya, ada pagar yang memisahkan kita dan objek itu, anak kecil tidak. Jadi apa yang dilihat, apa yang ditonton itu meresap masuk. Itu sebabnya anak-anak kecil percaya adanya Sinterklas, begitu mereka menginjak dewasa mereka tahu itu adalah tidak benar-benar. Kenapa anak kecil bisa percaya Sinterklas itu benar-benar Sinterklas, karena apa yang dilihat itulah kenyataan baginya. Maka langsung masuk ke dalamnya, oleh sebab itu jangan membiarkan anak-anak nonton film yang mengerikan, menakutkan, film horor karena film itu benar-benar masuk dalam dirinya. Tapi itu adalah masa di mana anak-anak sebetulnya mengembangkan kreatifitasnya dengan masuknya objek-objek dari luar ke dalam pikirannya, dia mengembangkan fantasinya, dan itu adalah bibit dari kreatifitas sebetulnya. Tapi perlahan-lahan dia juga akan mulai mengembangkan pagar yang membedakan antara yang dilihatnya dan dirinya, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh objek-objek dari luar dirinya. Contoh mengenai dokter-dokteran, kemungkinan memang mereka melihat dokter memeriksa badan mereka, harus membuka baju. Sekali lagi karena anak belum memiliki pagar mental, maka dia menganggap ini adalah hal yang benar, yang memang bisa dilakukan jadi mereka mulai memainkannya juga seperti dokter-dokteran. Tapi kalau bagi anak yang sudah menginjak remaja atau pra-remaja, kemungkinan besar ini bukan karena fantasinya tetapi karena rasa ingin tahunya akan tubuh lawan jenisnya, dimulailah permainan-permainan seperti itu. Dan saya setuju dengan Pak Gunawan efeknya memang bisa sangat merugikan anak kecil, di sinilah kita bisa melihat kasus-kasus yang disebut "bolestasi" yaitu pencemaran anak-anak di bawah umur. Ibu Vivian mungkin bisa memberikan komentar mengenai hal ini?

VS : Pencemaran anak, saya kira kalau fantasi anak itu diawasi orang tua maka jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi kalau permainan dokter-dokteran, biasanya anak saya duu itu bukan terhadap manusia tapi terhadap boneka.

GS : Anak melihat sulap, film silat dan sebagainya, itu dipikirnya bisa melakukan seperti itu sehingga ada yang makan silet dan sebagainya, akibatnya celaka bagi dia. Di sana seharusnya pendampingan orang tua penting sekali.
IR : Juga ada kasus yang menirukan Superman yang terbang, sungguh terjadi memang.
GS : Jadi daya fantasi itu memang luar biasa, padahal kita tahu bahwa melalui daya fantasi itu juga banyak hal baru yang bisa tercipta ya Pak Paul. Tetapi saya juga melihat, daya fantasi itu bisa bergeser. Jadi hanya untuk memenuhi keinginannya, anak itu rela berbohong kepada kita. Mungkin ada bohong yang memang betul-betul anak itu bohong tetapi ada yang dari daya fantasinya sendiri. Dia tidak sadar entah itu dia habis mimpi malamnya atau apa, lalu dia ceritakan seolah-olah itu sungguh-sungguh terjadi. Bagaimana kita menanggapinya kalau kita tahu sebenarnya itu sekadar fantasi, namun kalau dikatakan itu fantasi, dia kecewa. Apa kita harus menuruti anak dalam hidup fantasinya itu?

VS : Itu mungkin harus dilihat keadaannya, saya ingat dulu anak saya waktu kecil dia mengatakan ada sesuatu yang sangat menakutkan, di kamar itu ada sesuatu binatang yang besar, binatang yan menakutkan itu mungkin termasuk fantasi.

Waktu itu saya mengatakan apa benar, di mana coba tunjukkan kepada saya, coba perlihatkan di mana, ternyata tidak ada. Nah waktu itu saya tahu dia bukan berbohong, tapi suatu ketakutan karena daya fantasinya, dia baru melihat sesuatu.
(2) GS : Apakah fantasi itu bisa terbawa di dalam mimpi anak (VS : Bisa) sehingga malam hari tiba-tiba dia menangis atau lari ke kamar kita, apakah itu mempunyai dampak untuk masa depannya atau tidak?

VS : Itu tergantung bagaimana orang tua yang menangani.

PG : Biasanya berdampak juga ya Pak Gunawan, ini contoh pengalaman pribadi saya. Saya masih ingat, waktu saya masih kecil mau nonton film manusia yang bisa berubah menjadi laba-laba dan kemuian menyerang orang-orang.

Tangan-tangannya yang mula-mula dikeluarkan, tangannya itu tiba-tiba berbulu. Ceritanya itu masih saya ingat sampai sekarang. Padahal saya ketika itu masih berumur sekitar 6, 7 tahun, jadi bayangan itu begitu nyata pada saya dan sangat menakutkan. Dan saya masih ingat untuk waktu yang lama saya ini orang yang mudah takut dengan misalnya kegelapan, kesendirian. Kenapa saya suka mengingat? Dan saya harus mengatakan awalnya adalah karena film itu dan saya berharap orang tua saya dulu melarang saya menonton film itu. Tapi mereka juga tidak memahami hal ini, jadi membiarkan saya menonton film seperti itu di televisi. Jadi itu sangat merugikan saya, menakutkan sekali sebab sekali lagi bagi saya itu adalah hal yang sangat riil. Menyinggung tadi tentang fantasi dan berbohong Pak Gunawan, saya menggunakan dua istilah yang berbeda. Yang pertama adalah bohong di dalam mental itu adalah bohong yang berkaitan dengan pertumbuhan anak dan yang kedua adalah bohong moral, jadi memang berbohong untuk mendapatkan keinginannya dan sudah menyadari itu adalah bohong dan tidak boleh. Tapi yang pertama bohong di dalam mental yang tadi sudah disinggung oleh Pak Gunawan dan juga Ibu Vivian, yakni anak-anak kadang-kadang menceritakan hal-hal yang merupakan buah fantasinya saja, jadi ya untuk menghadapi cerita seperti itu saya kira ada baiknya kita mungkin meladeni, tapi seperti yang dilakukan oleh Ibu Vivian dia tidak langsung berkata "kamu jangan bohong", karena itu akan memadamkan rasa ingin tahu si anak dan daya fantasinya. Jadi saya kira tindakan yang sangat baik adalah mengikuti si anak, menanyakan di mana binatangnya dan waktu tidak ketemu ya sudah si anak pun juga puas. Tapi misalkan si anak berkata: "Papa atau mama percaya tidak saya bertemu dengan binatang itu tadi?" Saya kira respons yang lebih wajar adalah mengatakan: "Kalau kamu memang bertemu ya papa percaya, coba gambarkan seperti apa wajahnya". Supaya anak ini tidak berkepanjangan dalam berfantasi maka harus terus kita awasi. Kalau dia mulai terus-menerus berfantasi, tidak bisa sekolah, itu baru berbahaya. Tapi kalau dia masih bisa bersekolah dan dalam percakapan sehari-hari tetap bisa berkomunikasi dengan kita itu tidak apa-apa, itu bagian kecil dari kehidupan fantasinya. Berbohong moral biasa dilakukan oleh anak-anak yang sudah menginjak usia pra-remaja dan remaja, yaitu membohongi orang tua.
GS : Masih berkaitan dengan fantasi itu, saya melihat bahwa dongeng itu juga merangsang fantasi anak, ada binatang-binatang yang bisa berbicara dan sebagainya. Ada sebagian yang mengatakan bahwa dongeng itu baik untuk anak, tetapi ada juga yang tidak terlalu setuju dengan alam dongeng karena membiasakan anak hidup di dalam alam dongeng. Bagaimana menurut Ibu? Ini berkaitan erat dengan Sekolah Minggu.

VS : Kalau dulu saya masih ingat waktu anak-anak saya masih kecil saya bergabung di sekolah minggu, ada cerita Alkitab tapi ada dongeng-dongeng yang sesuai dengan umur mereka tentang binatan-binatang yang lucu, yang mereka bisa buat ini, itu.

Jadi semuanya saya gabung jadi satu sesuai dengan pertumbuhan mereka, tapi juga ada firman Tuhan.
GS : Kenapa harus dalam bentuk dongeng, kenapa tidak dalam bentuk yang nyata saja, Bu Vivian?

VS : Karena hal itu yang disenangi anak, itu sesuai dengan dunianya.

GS : Dunianya ya, tetapi bagaimana mereka bisa memahami ada binatang-binatang yang bisa berbicara sehingga ada yang mengkaitkan misalnya ular yang di Taman Eden, itu pun dongeng karena sama seperti cerita-cerita yang lain. Padahal itu berbeda sekali ya Bu, bagaimana itu bisa dijelaskan?

VS : Mungkin kita tekankan firman Tuhan itu sesuatu yang nyata. Nah ini sesuatu yang dongeng saja.

GS : Jadi sejak kecil mereka harus bisa membedakan ya.

PG : Saya kira penting juga agar kita tidak memasukkan terlalu banyak dongeng yang negatif terhadap anak-anak kita. Saya tahu dalam konteks budaya kita banyak dongeng mengenai kuntilanak mislnya, jadi hal-hal yang memang bersifat dongeng tapi menyeramkan.

Dan saya sudah bertemu beberapa kali di mana ada orang-orang yang sudah dewasa, luar biasa takut setan jadi meskipun anak Tuhan, percaya sama Tuhan Yesus tapi sangat takut setan. Ini bukan masalah rohani sebetulnya, jadi orang suka berkata masa sudah jadi anak Tuhan takut pada setan. Masalahnya bukan rohani tapi masalah kejiwaan yaitu apa yang sudah ditanamkan pada benak si anak pada usia yang sangat kecil itu benar-benar cenderung berdampak terlalu kuat dan negatif. Jadi harus juga membatasi dongeng-dongeng seperti itu. Kalau saya akan menghindarkan anak-anak untuk mendengarkan dongeng-dongeng seperti tadi itu.
GS : Ya memang kita bisa menghindarkan di rumah, tapi di sekolah kadang-kadang buku-buku di perpustakaan dan sebagainya itu terbaca oleh mereka atau melihat di televisi. Itu yang langsung tadi Pak Paul katakan tanpa pagar itu masuk semua ke dalam diri anak itu.

PG : Anak saya mendengar cerita dari temannya tentang 666, 666 itu ada di Kitab Wahyu yaitu orang yang menyeramkan dan semua akan dibunuh olehnya; setiap kali dia mendengar cerita itu dia mutah.

Begitu kuat reaksi ketakutannya dan temannya ini memang setingkat lebih tinggi dari dia dan rupanya hoby menceritakan dari Wahyu yang memang salah kaprah. Saya masih ingat untuk jangka waktu tertentu saya harus memberikan dia penjelasan-penjelasan, dia suka bertanya, "Betul, tidak Papa, memang ada tidak?" Saya harus menjelaskan, saya tunjukkan di Alkitab, saya jelaskan artinya tapi dia sering bertanya. Akhirnya saya beritahu dia bahwa temanmu itu memberitahukan hal yang salah dan kamu tidak usah mendengarkannya. Tapi karena rasa ingin tahunya dia mau juga mendengar, dan begitu dia mendengar saya diberitahu gurunya bahwa dia muntah. Saya dipanggil ke sekolah untuk membawa dia pulang, dipikir sakit ternyata ketakutan. Itu berlangsung selama 2,3 bulan, itu saya ingat, setelah itu saya jelaskan dan mulai tenang kembali. Jadi betul kata Pak Gunawan ya, di rumah kita bisa kendalikan, pisahkan atau bersihkan dongeng-dongeng seperti itu tadi, tapi di tempat lain di sekolah misalnya tidak bisa. Namun di situlah fungsi orang tua, orang tua memang harus dekat dengan anak, mengerti akan keadaan anak dan hadir dalam hidup nya, sehingga pada waktu ada masukan-masukan negatif seperti ini kita bisa langsung menanggapi dan menolongnya.
GS : Jadi ada satu sisi kita melihat bahwa fantasi itu penting bahkan perlu bagi anak, tetapi sebagai orang tua, kita juga harus mendampingi anak untuk bisa menerjemahkan fantasi itu, Bu? (VS : Ya betul) Mungkin Ibu mau menceritakan yang lain tentang fantasi anak? Tidak dulu. Bagaimana Pak Paul apakah ada firman Tuhan yang Pak Paul mau sampaikan?

PG : Ini diambil dari Filipi 4 : 8, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didngar, semua yang disebut kebajikan, dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu."

Jadi kalau kita terapkan pada anak-anak ya Pak Gunawan dalam konteks fantasinya, saya kira sebagai ayah dan ibu Kristen kita perlu memasukkan yang bagus, yang layak dipuji, yang indah, yang sedap didengar, yang mulia, yang agung pada benak anak-anak kita. Karena ini adalah bahan-bahan yang akan membentuk si anak itu, jadi kalau kita menanamkan barang-barang yang kotor, yang muncul adalah diri yang tercemar, menanamkan yang bersih kita juga akan mendapatkan diri yang lebih murni. Jadi apa yang diserap oleh anak itu akan menjadi bagian kehidupannya. Firman Tuhan meminta kita melakukan hal yang sebetulnya tidak terlalu sulit, tapi kita bisa lakukan sebagai orang tua Kristen.
GS : Jadi menurut Bu Vivian peran guru Sekolah Minggu yang membimbing banyak anak itu seberapa jauh pentingnya dalam kehidupan bergereja? (VS : Untuk guru sekolah minggu?) ya, ya itu kan mengasuh anak-anak ini Bu walaupun cuma sesaat tapi rutin. Dan anak-anak yang mereka hadapi adalah anak-anak yang membutuhkan berfantasi, bagaimana?

VS : Saya kira sangat penting sekali karena mereka mungkin di rumah sama sekali tidak ada kesempatan untuk pendidikan rohani dan di sini guru Sekolah Minggu yang bisa membantu mereka.

GS : Membantu untuk yang tadi dibacakan Pak Paul di kitab Filipi, merangsang anak untuk berpikir yang baik. Tetapi yang kita perlihatkan buku-buku bacaan rohani untuk anak-anak, sekarang ada Alkitab untuk anak-anak itu baik, tetapi pada umumnya apakah sudah mencukupi, sudah memadai Bu Vivian?

VS : Saya kira kalau di Indonesia masih kurang, tapi saya lihat juga dulu pernah ada beberapa terbitan, beberapa ini dengan dongeng pakai binatang yang lucu-lucu.

GS : Ada tim panggung boneka ya, saya lihat di SAAT ada Bu (VS : Betul, betul ada). Tetapi yang kadang-kadang melihat itu guru-guru sekolah minggu, tim panggung boneka itu kebanyakan diperankan oleh para pemuda yang sebenarnya kurang memahami betul jiwa anak, bagaimana menurut Ibu?

VS : Saya kira tidak apa-apa, (GS : Tidak masalah ya Bu ya?) tidak ada masalah malah mereka justru (GS :Bisa komunikatif dengan anak) ya

GS : Daripada kita yang sudah tua-tua tentunya tidak diterima anak.

PG : Saya hanya ingin menggarisbawahi yang tadi dikatakan Ibu Vivian, yaitu ibu justru bermain dengan anak dalam dunia fantasinya, saya kira itulah tugas orang tua. Orang tua memang harus bekecimpung dalam dunia anak.

Walaupun dalam dunia fantasi orang tua berkecimpung, kalau ini sudah dibiasakan akan terus berlanjut sampai dia remaja dan dia menjadi anak-anak yang sudah dewasa. Kita akan masuk dan berkecimpung dalam kehidupannya, itu yang perlu kita garis bawahi.
GS : Karena memang sulit untuk menuntut anak itu berkecimpung dalam dunia kita yaitu kita dalam rangka membentuk keakraban, membina keakraban dengan mereka, kita sebentar-sebentar bermain dalam fantasi dengan anak-anak ya Bu?

VS : Mulai kecil.

GS : Mulai kecil dan itu butuh pengorbanan dari orang tua untuk menyediakan waktu, tenaganya, kreatifitasnya dan sebagainya.

VS : Betul tapi sebetulnya menyenangkan juga.

GS : Jadi para orang tua saya rasa akan mencoba itu, Ibu Ida mau menyampaikan sesuatu.

Ya jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana memahami fantasi anak, daya fantasi anak dan kali ini kami berbincang-bincang dengan Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Bagi Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dari studio kami berempat mengucapkan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



8. Mengarahkan Anak yang Terlalu Baik


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T034A (File MP3 T034A)


Abstrak:

Seorang anak yang terlalu baik adalah anak yang terlalu penurut sehingga dia kehilangan dirinya atau kehilangan kemampuan untuk menjaga dirinya dengan baik. Oleh karena itu mereka sangat perlu diarahkan dalam menghadapi hidup ini.


Ringkasan:

Seorang anak yang "terlalu baik" adalah anak yang terlalu penurut sehingga dia kehilangan dirinya atau kehilangan kemampuan untuk menjaga dirinya dengan baik. Semua anak berpotensi untuk membangkang atau melawan, tetapi bagi anak ini mereka mudah untuk menurut dan rasa takutnya lumayan besar. Oleh karena itu pada waktu kita memberikan pengarahan, memarahi dia, menegurnya sekali saja dia cenderung untuk mendengarkan kita atau menuruti apa yang kita inginkan.

Ciri-ciri anak "terlalu baik" adalah:

  1. Mudah sekali memahami keinginan dan keadaan orang lain, dengan kata lain anak ini bisa membaca apa yang sedang terjadi pada diri orang lain. Karakteristiknya adalah anak yang penurut.

  2. Mementingkan orang lain, dia akan mudah mengalah, namun kelemahannya dia adalah jadi korban, emosinya peka.

Yang perlu kita lakukan untuk mengatasi anak yang "terlalu baik" ini adalah:

  1. Mengajarkan untuk berkata 'TIDAK' meski ini sukar bagi dia untuk dilakukan. Karena cenderung dia berbelaskasihan. Kita harus mengatakan waktu kita berkata 'tidak' bukan berarti kita jahat.

  2. Mendidik dia untuk melihat suatu masalah dari sisi yang berbeda.

Dalam pertumbuhannya menjadi seorang dewasa, dia cenderung mempunyai tuntutan yang sama, dia peka sebelum orang lain bicara. Dia kira-kira sudah tahu apa yang dibutuhkan orang lain, sehingga diapun menuntut hal yang sama. Pada hal kenyataannya tidak seperti itu, sehingga bisa juga dia beranggapan dunia ini kejam, dia menjadi depresi, dan dia juga bisa cepat mengambil keputusan untuk mencelakai diri.

Ada dua faktor yang menyebabkan menurunnya jumlah anak yang "terlalu baik" adalah sbb:

  1. Peranan orang tua semakin berkurang terhadap kehidupan anak-anaknya, dan anak-anak semakin sedikit melihat siapa orang tuanya, melihat ciri atau perbuatan orang tua yang memberi pertolongan, membantu orang lain semakin sedikit. Ciri dan perbuatan itu makin sedikit di rumah sehingga si anak juga kurang mewarisinya.

  2. Pengaruh dengan materi. Makin banyak mainan membuat orang tambah tamak dan makin mementingkan materi. Anak dilimpahi banyak mainan sehingga makin besar dia mementingkan hak milik dan tidak begitu mudah untuk memberikan atau membagikan kepada orang lain.

Amsal 19:2, "Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik,"

Pengetahuan identik dengan hikmat, jadi bisa dikatakan "tanpa hikmat kerajinanpun tidak baik". Kerajinan adalah hal yang baik, tetapi harus tetap meminta hikmat di dalam kerajinan, sebab hikmatlah yang akan memandu, mengarahkan kerajinan kita. Anak-anak yang baik, rajin, tanggung jawab, menolong, berbelaskasihan, peka dengan kebutuhan orang, semuanya ini bisa menjadi tidak baik jikalau tanpa dilengkapi hikmat dan pengertian, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan. Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam hidup anak ini, menyediakan waktu untuk bercerita tentang semua yang telah terjadi dalam hidupnya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana mengarahkan anak yang "terlalu baik", kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu, kita pernah membicarakan bagaimana menangani atau menghadapi anak yang membangkang, yang suka melawan orang tua. Pada kesempatan kali ini kita coba bicarakan yang sebaliknya, karena itu menjadi kenyataan di dalam kehidupan sehari-hari. Ada anak yang penurut, mudah diberitahu dan itu yang tadi diberi label anak yang bukan cuma baik, tapi terlalu baik.

PG : Tadi sebelum kita mulai merekam ya Pak Gunawan, kita berbicara tentang anak-anak yang terlalu baik dan rupanya kesimpulan bersama adalah mungkin dalam generasi ini sangat sedikit sekaliyang terlalu baik, banyak yang pembangkang.

Ibarat mobil ini memang mobil yang tidak diproduksi lagi, model lama. Kenyataannya memang tetap ada anak yang memang sangat penurut, yang tadi Pak Gunawan sudah singgung, yaitu terlalu baik dalam pengertian bisa berkonotasi negatif ya. Biasanya yang dimaksud terlalu baik adalah yang terlalu penurut sehingga dia kehilangan dirinya atau kehilangan kemampuan untuk menjaga dirinya dengan baik, itu kira-kira yang saya maksud dengan anak yang terlalu baik, Pak Gunawan.
GS : Padahal sebenarnya ya Pak, akibat dosa semua anak itu cenderung dilahirkan mempunyai bakat untuk melawan orang lain, menentang, nah ini kenapa bisa ada yang semacam perkecualian, sebenarnya apa yang melatarbelakangi, Pak Paul?

PG : Semua anak memang berpotensi untuk membangkang atau melawan, tapi khusus untuk anak-anak yang kita kategorikan terlalu baik ini, penurut, mengapa mereka ini mudah sekali untuk menurut dn rasa takutnya cukup besar.

Oleh karena itu waktu kita memberikan pengarahan atau memarahinya atau menegurnya sekali saja, dia cenderung untuk mendengarkan kita dan menuruti apa yang kita inginkan. Bakat melawan sudah tentu ada, tapi masalahnya atau yang baiknya adalah dia tidak terus-menerus melawan, sekali diberitahu cukup dan dia akan mengubah perilakunya.
(1) IR : Ciri-ciri yang lain Pak Paul, selain anak itu hanya ditegur sekali menurut tentu ada ciri ciri yang lain sehingga dikatakan anak itu penurut?

PG : Ada, anak ini mudah sekali memahami keinginan dan keadaan orang lain, jadi dapat dikatakan anak ini bisa membaca apa yang sedang terjadi pada diri orang lain, bisa merasakannya dengan tpat.

Orang tua yang mempunyai anak seperti ini biasanya berkata anak saya ini 'knowing' ya bisa mengerti saya, tidak perlu saya cerita, tidak perlu saya beritahu dia sudah tahu apa yang sedang saya rasakan, bisa membaca hati saya. Biasanya memang anak yang seperti ini sangat menggembirakan orang tuanya.
GS : Ya, tetapi saya melihat kadang-kadang terlalu baik menjadi kurang normal untuk anak, jadi kenakalan anak lalu hilang dalam dirinya, begitu Pak Paul, bisa terjadi seperti itu?

PG : Ya, jadi memang yang kita harapkan anak yang mulai nakal, mulai melawan, tidak terlalu kita jumpai pada anak ini, mungkin seorang ayah lebih sukar menerimanya daripada seorang ibu. Seorng ibu yang diam di rumah dengan anak ini akan merasa senang sekali karena anak yang seperti inilah yang akan berfungsi sebagai pembantunya, asistennya yang akan disuruh-suruh, tolong ambilkan ini, tolong jaga adikmu.

Jadi dari kecil anak ini akhirnya mendapatkan banyak pendelegasian tugas-tugas dari orang tua. Saya percaya kaum ibu biasanya senang dengan anak yang seperti ini. Mungkin kalau ayah ada yang sedikit keberatan, apalagi kalau anak ini laki, kok terlalu baik, kok tidak nakal, kok terlalu lembut, misalnya begitu. Darimanakah asalnya anak-anak ini? Ya sudah pasti dari kandungan kita namun karakteristiknya adalah bawaan. Jadi anak ini tidak usah dibesarkan dengan cara tertentu sehingga menjadi penurut, pada dasarnya sudah begini, sudah penurut. Apa yang membuat dia begitu, tidak bisa kita jelaskan tapi memang ada kepribadian yang lebih mudah untuk menurut.
GS : Biasanya banyak dijumpai pada anak-anak pria atau wanita, atau berimbang?

PG : Mungkin secara stereo-tipe kita berkata mungkin anak-anak perempuan lebih banyak yang penurut. Tapi saya kira pada dasarnya bisa sama, anak laki atau perempuan. Namun cara kita mendidikanak memang agak berbeda, kita cenderung lebih mengharapkan anak perempuan menjadi anak yang penurut.

Kadang-kadang komentar yang bersifat gender kita katakan, misalnya kita berkata anak perempuan jangan nakal-nakal, anak perempuan tidak seharusnya seperti ini. Akhirnya anak perempuan lebih dituntut untuk bersikap penurut, kalau anak laki biasanya tidak dikatakan kata-kata seperti itu, kok anak laki lembut. Ya kita memang justru mau anak laki kita itu lebih bersifat gagah.
(2) GS : Apakah pola pendidikan yang otoriter bisa membuat anak seperti itu Pak?

PG : Bisa, jadi ada kaitannya dengan bagaimana dia dibentuk di rumah, otomatis anak yang dibesarkan oleh orang tua yang keras dan otoriter, anak ini akan bertumbuh besar dengan penuh ketakutn.

Tapi kalau memang dasarnya dia penurut, dia akan menyimpan ketakutannya itu. Kebalikannya anak yang dibesarkan di rumah yang otoriter tapi bawaan dasarnya itu keras, untuk sementara waktu tubuhnya masih kecil dia akan mengikuti kehendak orang tuanya karena takut, begitu tubuhnya mulai besar masuk usia remaja, pada umumnya dia akan mulai melawan. Ini kita lihat pada anak-anak yang memang keras dan membangkang. Dikerasi, dipukul tidak mempan, dia tetap melakukan hal yang sama. Diberitahu jangan pulang jam 1 malam, dia pulang jam 2 malam, dipukuli. Minggu depannya lagi-lagi dia pulang jam 2 malam. Dia tidak peduli dipukuli karena dasarnya memang keras. Anak-anak yang dasarnya penurut, tidak perlu dikerasi seperti itu, diberitahu sekali saja dia langsung akan mengikuti dan dia akan takut membuat kesalahan kedua.
GS : Karakter seperti ini permanen sifatnya atau tidak, Pak?

PG : Biasanya cukup permanen.

GS : Sampai remaja, dewasa, pemuda dia akan tetap seperti itu?

PG : Biasanya begitu.

GS : Itu sudah karakter ya?

PG : Dasarnya memang begitu, mungkin sekali karena hidup yang keras di kemudian hari ya, dia berubah jadi lebih keras. Sebetulnya kalau hidupnya cukup normal, seperti orang- orang lain, kebayakan dia akan membawa sifat dasarnya ini.

GS : Lebih lanjut Pak Paul, mengenai menghadapi anak yang penurut ini, bagaimana nanti kalau bersekolah menghadapi teman-temannya yang sebagian besar bukan anak yang terlalu baik seperti dia. Apa dia tidak bisa dijadikan korban nanti?

PG : Seringkali jadi korban, itu betul sekali. Itu adalah salah satu kekhawatiran orang tua yang mempunyai anak seperti ini. Salah satu ciri yang lain adalah mementingkan orang lain, jadi daam pertentangan dia yang pertama-tama mengalah.

Terus misalkan ada temannya yang meminta sesuatu darinya, misalnya meminjam, dia akan memberikannya juga. Jadi mudah sekali memberikan harta miliknya kepada anak-anak lain. Oleh karena itu ketakutan orang tua adalah anak ini akan dimanfaatkan dan seringkali itu yang terjadi, sebab teman-teman cukup senang berteman dengan anak seperti ini, bisa didayagunakan, dimanfaatkan.
(3) IR : Sebagai orang tua atau pendidik bagaimana mengatasi anak yang demikian, jadi korban ya, kita juga kasihan. Bagaimana untuk membekali dia?

PG : Pada dasarnya kita akan menolongnya untuk belajar berkata 'tidak' kepada anak-anak lain, ini yang sukar dia lakukan. Dia cenderung berkata 'ya' kepada orang yang memintanya. Kita bisa mngajarkan kepada dia untuk berkata 'tidak' dan mendidik dia untuk melihat suatu masalah dari sisi yang berbeda.

Dia akan sulit sekali mengatakan 'tidak' karena ada beberapa faktor, tetapi biasanya salah satu cirinya dia berbelaskasihan. Jadi kalau dia berkata tidak, seolah-olah dia itu menjadi anak yang jahat. Kita mau mengajarkan kepadanya, bahwa waktu engkau berkata 'tidak',itu tidak berarti engkau jahat. Jadi menolong orang itu ada pengertiannya tersendiri, engkau dimanfaatkan oleh orang adalah hal yang tidak baik, dan tindakanmu yang seharusnya menolak untuk dimanfaatkan seperti itu. Karena anak-anak nanti tidak terdidik, tidak dewasa akhirnya tergantung padamu, itu sifat yang tidak baik memanfaatkan orang lain. Jadi hal-hal seperti itulah yang mulai ditanamkan pada anak ini.
GS : Tapi itu tentu akan sulit diterimanya karena dia memang mempunyai karakter yang suka memperhatikan orang, menolong orang, jadi dia akan merasa kesulitan untuk menerapkan apa yang didengarnya dari kita.

PG : Betul, malam ini mungkin dia dengarkan kita dan dia berkata saya akan lakukan seperti yang mama dan papa minta, tapi besok dia melihat temannya minta dibelaskasihani dan hatinya tersenth lagi.

Jadi emosinya memang mudah peka sehingga sewaktu orang minta dibelaskasihani dan membuat dia terharu, dia cenderung tergerak untuk menolong dan memberikan lagi yang diminta. Misalnya temannya meminjam PR, " Pinjam PRnya, saya belum buat karena kemarin saya capek, tolong ya kamu kan bisa", akhirnya dia tergerak untuk memberikan. Memang akhirnya akan ada jatuh bangunnya, Pak Gunawan, satu hari dia bisa, dua hari dia tidak bisa, tapi kita terus tanamkan hal-hal seperti itu tanpa harus memarahinya. Kecenderungan kita orang-orang tua memarahinya, kamu kenapa mau saja dimanfaatkan, akhirnya dia merasa bersalah. Dia di rumah akan takut menceritakan masalahnya kepada orang tua, di sekolah dia juga merasa dimanfaatkan tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi orang tua harus bersikap dan berfungsi sebagai penolong yang berdiri disampingnya bukan berhadapan dengan dia, berseberangan dan memarahinya, dia makin merasa takut dan akhirnya dia tidak akan cerita lagi kepada kita sebab dia tahu orang tuanya akan memarahinya.
GS : Mendengar uraian seperti Pak Paul, saya mulai berpikir bahwa sama sulitnya mempunyai anak yang pembangkang dan anak yang terlalu baik seperti ini. Akan lebih sulit lagi kalau misalnya kita mempunyai dua orang anak yang justru punya karakter yang berbeda. Jadi mungkin kakaknya yang pembangkang, adiknya penurut sekali atau baik sekali dari istilah kita itu. Bagaimana cara mengatasinya?

PG : Sekali lagi saya kira yang Tuhan minta adalah kita mengenali anak kita masing-masing itu mempunyai karakteristik dasarnya yang tidak sama dan kita tidak harus mengubah karakteristik dasr itu.

Yang perlu kita lakukan adalah menolongnya. Anak yang sangat baik, yang penurut ini mempunyai kekuatan, dan kekuatannya adalah dia seorang penolong dan pemerhati, dialah orang yang akan memperhatikan kebutuhan orang lain. Kadangkala kita ini terlalu sibuk dengan kepentingan kita dan kurang memikirkan orang lain. Tuhan memang sengaja menghadirkan orang-orang yang seperti ini dalam hidup, untuk mengingatkan kita bahwa hal itu perlu dilakukan dan untuk menolong orang-orang yang tidak diperhatikan. Anak-anak inilah yang akan berfungsi dalam pekerjaan Tuhan. Namun kelemahannya seperti yang tadi Pak Gunawan sudah katakan, anak ini mudah sekali untuk dimanfaatkan dan akhirnya tertindas menjadi kurban. Apalagi kalau sudah menginjak usia remaja kita makin takut. Karena misalnya dia mencintai seseorang yang menurut ukuran kita jahat, tidak benar, tidak baik. Waktu kita katakan semua itu kepadanya dia makin berbelaskasihan. Mama kenapa tidak mengasihani orang ini, padahal dia kasihan, perlu ditolong. Misalkan berpacaran dengan seseorang yang menggunakan obat, narkotika kemudian dia berkata kepada orang tuanya. Dia perlu bantuan saya ma, kalau bukan saya siapa yang memperhatikan dia. Di sini orang tua akan menghadapi dilema, bagaimana mengarahkan belaskasihan yang seperti ini?
IR : Kadang-kadang dia sulit melepaskan pacarnya, Pak Paul? Seolah-olah dia mau jadi pahlawan begitu.

PG : Betul.

IR : Bagaimana mengatasinya, Pak Paul?

PG : Kadangkala dia merasakan ini suatu proyek yang harus dia selesaikan yaitu menolong pacarnya ini, orang yang memang membutuhkan pertolongan. Dan ada tipe-tipe yang memang seperti ini danbiasanya anak-anak yang bersifat penurut dan baik ini akan berpacaran dengan orang-orang yang biasanya bermasalah.

Karena siapa yang akan memperhatikan orang-orang yang bermasalah selain anak-anak yang bertipe berbelaskasihan kuat ini. Kita harus mengajarkan kepadanya untuk membedakan antara mengakui keterbatasan kita dan tidak berbelaskasihan. Waktu kita meminta dia untuk misalkan putus dari pacarnya yang bermasalah itu, kita bukannya berkata kepada dia engkau itu kejam, sebab dia merasa kalau saya putuskan saya kejam. "Tidak" yang kita mau tekankan adalah bukannya engkau kejam tapi engkau perlu mengakui apa keterbatasanmu itu? Engkau tidak bisa menjadi pahlawan buat dia, dan dengan engkau terlibat begitu emosional dengannya, engkau justru akan makin terjerumus, semakin tidak bisa menolong dia. Yang paling tepat menolong orang itu adalah orang yang memang bukan terlibat secara emosional dengannya, orang yang ada jarak dengannya, dan orang yang bisa membantunya sekaligus. Kalau engkau sudah pacaran dengan dia, ini akan sulit sekali karena tindakanmu untuk mendewasakan dia bisa ditafsir, engkau itu akan meninggalkan dia dan dia itu akan panik, dia akan sangat menangis, dia akan berkata saya lebih baik bunuh diri dan sebagainya. Akhirnya kau bisa lihat 'kan, engkau tidak menolong dia, engkau malah menjadi salah satu pengganti obat bagi dia yang dia harus pakai terus-menerus supaya dia bisa hidup dan itu tidak akan baik. Bayangkan kalau engkau nanti akhirnya menikah dengan dia, engkau bukannya menjadi seorang pendamping buat dia, engkau menjadi penopang, menjadi tongkat buat dia. Dan itu bukanlah pernikahan, itu rumah sakit. Itu yang harus kita tekankan pada anak ini, engkau bukan lagi menjadi suami tapi engkau menjadi dokter, rumah sakit, suster, kepada dia. Itu bukanlah pernikahan, pernikahan yang sehat adalah dua-dua bersanding karena dua-dua bisa berdiri sendiri. Hal-hal ini perlu kita jelaskan, sebab rasa belaskasihannya itu akan menuduh dia sebagai orang yang kejam.
GS : Mungkin dalam hal ini memang perlu diarahkan supaya dia bukan menjadi terlalu baik tetapi cukup baik saja, ya Pak Paul, yang bisa diterima oleh masyarakat, tapi dia juga punya pertahanan diri. Tadi Pak Paul singgung satu hal mengenai bunuh diri, saya melihat orang-orang atau anak-anak pemuda yang cenderung terlalu baik punya potensi besar untuk bunuh diri, Pak Paul. Kalau dia melihat bahwa kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang dia angan-angankan, dia bisa frustrasi.

PG : Betul, anak-anak ini kalau sudah besar juga cenderung mempunyai tuntutan yang sama yaitu apa? Dia orang yang penuh pengertian, peka sebelum orang lain bicara, kira-kira sudah tahu apa yng dibutuhkan oleh orang lain, nah tersirat dalam hatinya tuntutan yang serupa.

GS : Orang lain juga harus begitu terhadap dia, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Padahal kenyataannya tidak seperti itu nanti.

PG : Betul, kalau tidak ada pengarahan yang baik, anak ini bisa disolusi ya. Tadi Pak Gunawan singgung yaitu dia merasa hidup ini begitu kejam, begitu jahat. Akhirnya dia mungkin jadi depres dan dia bisa saja seperti yang tadi Pak Gunawan katakan, dia akhirnya memikirkan untuk mengakhiri hidup.

GS : Tapi sebenarnya Pak Paul, orang atau anak yang terlalu baik itu bisa kita sebut dengan punya kelainan atau tidak?

PG : Sebetulnya tidak, jadi ada memang karakteristik dasarnya seperti itu, dan sudah pasti ada pengaruh didikan keluarga. Ada orang tua yang memang baik, ini yang seharusnya terjadi sebetulna yaitu mengasihani orang.

Anak-anak kecil melihat orang tua mengasihani dan dia akan mencontoh, ini adalah hal yang positif, tapi anak kecil ini perlu pengarahan pada saat dia makin besar, karena apa? Yang dia tangkap adalah ayah dan ibu menolong orang yang perlu pertolongan, titik. Yang belum dia tangkap adalah kita menolong orang dengan juga melihat situasinya, kebutuhannya, kemampuan kita, siapa yang perlu ditolong dan sebagainya, siapa yang tidak usah ditolong. Jadi hikmat-hikmat hidup seperti itulah yang kita sudah mulai miliki dan dia belum miliki; yang dia serap adalah menolong, dia akan terus menolong. Kita mula-mula senang waktu anak itu masih kecil, tapi ketika mulai dewasa kita mulai khawatir karena anak ini tidak lagi bisa membedakan. Tapi saya kira secara natural anak-anak ini akan mengalami juga jatuh bangun, kita tidak bisa melindungi dia dengan tuntas sehingga dia akhirnya tidak terjatuh misalnya. Saya kira ada waktunya dia akan jatuh bangun, ya tidak apa-apa tetap kita arahkan, karena dia sebetulnya mewarisi dan mencontoh sikap belas kasihan itu.
(4) GS : Tadi di awal pembicaraan kita, kita katakan generasi anak-anak yang terlalu baik ini makin lama mungkin makin sedikit, karena faktor apa Pak Paul?

PG : Kalau saya percaya, ada dua faktor yang utama yaitu peranan orang tua makin berkurang dalam diri anak, dan anak-anak makin sedikit melihat siapa orang tuanya dan melihat orang tua yang emberikan pertolongan, yang mengasihani orang, membantu orang.

Ciri atau perbuatan-perbuatan itu makin sedikit di rumah, sehingga si anak juga kurang mewarisinya. Dan yang kedua ada pengaruh sekali dengan materi, mainan yang banyak membuat orang bukannya tidak tamak, seringkali tambah tamak dan mementingkan materi. Anak-anak kecil sekarang ini dilimpahi dengan begitu banyak mainan. Saya kira ada pengaruhnya sehingga waktu dia mulai besar, dia mementingkan yang namanya hak milik, kepunyaan. Akibatnya tidak begitu mudah memberikan atau membagikan kepada orang lain.
IR : Juga karena orang tua yang terlalu sibuk ya Pak Paul, tidak ada waktu untuk memberikan pengarahan kepada anak-anak.

PG : Betul, karena tadi sudah saya singgung anak-anak ini dari dasarnya penurut, tapi ya sedikit banyak ada didikan dan pengaruh dari orang tua. Kalau dia mendapatkan yang positif dari orangtua, dia akan terus mengembangkan sikap penurut ini.

Kalau justru dia banyak mendapatkan kepahitan dari orang tua, mungkin sekali dia akan berubah. Tidak terlalu membagi dan memberikan, berbelaskasihan kepada orang karena dia merasakan hidup ini tidak baik, tidak adil, jahat.
GS : Jadi kalau anak yang terlalu baik ini, hidup di tengah-tengah saudaranya yang sebagian besar mungkin tidak seperti dia, dia makin lama akan makin terpengaruh, Pak Paul?

PG : Bisa, dia akan mempelajari cara-cara lain.

GS : Cara dari kakaknya, atau mungkin didesak untuk seperti itu.

PG : Betul.

GS : Menghadapi anak seperti ini, kalau itu bagian dari anak kita, mungkin ada tuntunan dari firman Tuhan yang bisa Pak Paul sampaikan pada kesempatan ini.

PG : Ada yang saya akan bacakan dari kitab Amsal 19 : 2, "Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik", nah di dalam Amsal istilah pengetahuan itu identik dengan hikmat, jadi kala boleh saya tukar, "tanpa hikmat kerajinanmu tidak baik".

Kerajinan adalah hal yang baik tapi Tuhan tetap meminta hikmat di dalam kerajinan itu, sebab hikmatlah yang akan memandu, mengarahkan kerajinan kita. Jadi anak-anak yang baik ini rajin, tanggung jawab, menolong, berbelaskasihan, peka dengan kebutuhan orang. Tapi semua hal yang baik ini bisa menjadi tidak baik, kalau tidak dilengkapi dengan hikmat, pengertian, apa yang harus dilakukan. Anak ini perlu belajar bahwa memikirkan diri dan menjaga diri tidak sama dengan egois misalnya itu, melindungi diri itu tidak salah, kita tidak harus selalu menjadi target serangan orang. Jadi hal-hal praktis seperti inilah yang dia perlukan dari kita sebagai orang tuanya.
IR : Nah Pak Paul kalau ada, dua saudara yang karakternya berbeda, yang satu itu pembangkang, yang satu itu baik kemudian melihat adiknya yang suka membangkang, apakah itu bisa mengakibatkan kakak menjadi benci kepada adiknya?

PG : Sampai membenci saya kira tidak, dia mungkin berbelaskasihan juga, dia kesal karena adiknya menyusahkan orang tuanya seperti itu.

GS : Kalau tadi dikatakan bahwa anak ini perlu hikmat walaupun dia bekerja dengan baik ya, di sana peran orang tua besar sekali Pak Paul untuk menanamkan hikmat itu kepada si anak yang terlalu baik tadi.

PG : Betul, dan dimulai dengan menyediakan waktu untuk mendengarkan si anak bercerita, sebab kita harus banyak mendengarkan kisah hidupnya, baru kita bisa masuk dan memberikan pengarahan. Birkan dia cerita menolong temannya, temannya minta kepada dia, temannya menyuruh ini dan itu, biarkan dia cerita dan kita harus menjaga sikap menghakimi kita.

Waktu kita mulai menghakimi, dia akan mulai menutup diri pula. Jadi biarkan dia cerita dan disitulah dia membukakan pintu untuk kita masuk dan baru kita bisa berikan dia pengarahan-pengarahan seperti ini.
GS : Jadi kita memang harus bersyukur kepada Tuhan, baik itu diberikan anak yang terlalu baik seperti ini maupun anak yang pembangkang ya Pak Paul, karena anak itu dipercayakan kepada kita untuk dididik menjadi orang-orang yang berguna.

PG : Betul, saya pernah sekali mendengar anak saya dirugikan oleh anak lain. Saya lupa ia dipukul atau apa begitu, saya dan istri saya tidak berkata, ya silahkan pukuli, tidak. Tapi saya berata kepada anak saya, kamu beritahu temanmu besok, bahwa kamu tidak suka dengan perbuatannya itu, bahwa itu menyakiti, kalau sekali lagi dia melakukan hal tersebut maka anak saya akan melaporkan kepada guru.

Jadi saya ajarkan kepada anak saya untuk melindungi diri, sebab hidup ini memang tidaklah sempurna, kita tidak hidup di surga, jadi banyak hal yang memang jahat dan kita perlu mengetahui kejahatan orang lain dan diapun perlu dan bisa melindungi dirinya. Itulah yang anak - anak ini perlukan, senjata untuk melindungi diri.
GS : Rupanya anak Pak Paul ini cenderung terlalu baik, Pak Paul?

PG : Ada yang pernah begitu, tapi sekarang sudah mulai berubah.

GS : Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan ke hadapan Anda, sebuah percakapan tentang bagaimana mengarahkan anak yang "terlalu baik" bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda untuk menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami ucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



9. Mendampingi dan Membimbing Anak Penurut


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T034B (File MP3 T034B)


Abstrak:

Mendampingi dan membimbing anak penurut sangatlah diperlukan, karena anak penurut ini di samping memiliki kelebihan tertentu dia juga memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat merugikan dirinya. Di antaranya dia sukar untuk membatasi diri dengan orang lain.


Ringkasan:

Anak-anak yang penurut sekali biasanya menjadi anak yang rela dan ringan tangan membantu kita, dia adalah anak yang peka jikalau kita lagi susah, anak ini sungguh menyenangkan. Kelemahannya adalah sukar membatasi diri dengan orang lain, sehingga dia menjadi korban, pemanfaatan orang lain. Sikapnya yang terlalu baik dan suka menolong memberikan kesempatan orang lain masuk untuk memanfaatkannya. Anak penurut ini dia cenderung penakut, tidak bisa melihat kekerasan, dia memerlukan teman atau pendampingan dari orang lain.

Anak penurut bisa juga bersifat:

  1. Ekspresif, menceritakan perasaannya atau pun

  2. Ada yang agak tertutup, tetapi yang pasti mereka memiliki emosi yang kuat, sensitif sekali.

Anak ini membutuhkan kasih sayang yang demonstratif. Kita harus mengutarakannya dengan jelas, kasih sayang yang nyata, ungkapan perasaan sayang untuk membangkitkan rasa aman dalam dirinya. Anak seperti ini kalau tidak hati-hati di rumah cenderung terabaikan. Karena seolah-olah tidak ada kebutuhan dalam dirinya, tidak ada masalah. Tetapi mungkin saja ada kebutuhan-kebutuhan yang tidak terungkapkan. Hal ini kemungkinan mengakibatkan dia mencari orang lain di luar sebagai tempat ia mengungkapkan kebutuhannya.

Sebagai orang tua yang perlu kita lakukan terhadap anak penurut adalah secara berkala atau teratur kita menyediakan waktu untuk bicara atau ngomong-ngomong dengan dia. Kita yang harus proaktif menyediakan wadah bagi dia. Anak ini memerlukan perhatian yang besar, jika tidak diperolah di dalam, dia akan mencari di luar dan mendapatkannya dari orang lain yang sebenarnya tidak cocok dengan dia. Anak seperti ini perlu belajar menanggung untuk memikul tanggung jawab pribadi dan membiarkan orang lain untuk memikul tanggung jawabnya juga.

Dalam pemilihan pendidikan kita perlu mengarahkan dia untuk melihat apa sebenarnya yang diinginkan, apa yang terbaik untuk dia. Meski dia cenderung orang yang ragu-ragu karena dia ingin menyenangkan orang lain, menyenangkan pacarnya dan mengorbankan dirinya sendiri. Dalam hal ini perlu sekali diarahkan dan menanyakan apa yang kamu inginkan, apa yang baik buat kamu. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu pada saat dia meningkat dewasa.

Amsal 25 : 28, "Orang yang tak dapat mengendalikan diri, seperti kota yang roboh temboknya."

Orang yang terlalu penurut bisa juga digolongkan orang yang tak dapat mengendalikan diri untuk tidak mengerti orang lain. Artinya orang bisa keluar masuk seenaknya ke dalam diri dia, menguasai dirinya, minta barang-barangnya. Contoh: Waktu Yesus ditangkap di hadapan Herodes. Waktu diminta untuk melakukan mujizat, seolah-olah Yesus adalah tukang sulap. Yang menarik, selain tidak melakukan, Dia tidak menjawab sama sekali. Tuhan Yesus tahu kapan Dia harus menolong, kapan Dia berbuat, kapan Dia menolak, kapan Dia harus diam. Sebagai orang tua kita harus menolong anak kita untuk mendirikan tembok agar dia menjadi kota yang terlindungi.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana mendampingi dan menolong anak penurut, kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Beberapa kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan tentang anak yang suka melawan orang tuanya, kadang-kadang kita sebagai orang tua kewalahan menghadapi mereka, mengikuti sepak terjang mereka. Tetapi sebaliknya kalau anak kita itu penurut dan mudah diberitahu, suatu saatpun kita akan mengalami kesulitan menghadapi mereka. Nampaknya anak itu pasif, kalau tidak disuruh tidak jalan dan sebagainya, lalu penuh dengan ketakutan di dalam dirinya. Sebenarnya anak yang penurut, yang menurut kepada kita itu ada segi-segi baiknya, juga ada segi negatifnya. Ini kadang-kadang membingungkan saya Pak Paul. Pak Paul mungkin bisa membantu menjelaskan ini?

PG : Anak-anak yang penurut sekali biasanya menjadi anak yang rela dan ringan tangan membantu kita, mudah sekali kita menyuruhnya dan pertolongannya dia berikan dengan sukarela, jadi itu adaah kekuatannya.

Anak-anak ini juga anak yang peka dengan keadaan kita, kalau kita lagi susah hati, dialah yang akan datang dan akan mencoba menghibur kita. Ya dengan hal-hal kecil misalnya membelai kita kalau kita ibu ya, kalau kita seorang ayah dia akan duduk ngobrol-ngobrol dengan kita. Anak-anak ini sungguh menyenangkan, tapi kelemahannya adalah anak-anak yang luar biasa penurut dan baik ini sukar sekali untuk membatasi diri dengan orang lain. Akhirnya dia menjadi korban pemanfaatan orang lain karena sifatnya yang baik dan bersedia menolong sehingga orang lain masuk memanfaatkan kelemahannya itu.
IR : Benar itu Pak Paul, ini ada kasus anak-anak kira-kira waktu itu kelas 3 SD. Dia baik juga diam, tapi di sekolah itu ia dipermainkan oleh temannya. Kemudian dia diberitahu oleh orang tuanya dia harus melindungi diri, tapi dia takut dan rasanya tidak ingin masuk sekolah karena sering dipermainkan. Kemudian orang tuanya itu ke sekolah memarahi anak yang nakal, yang mengganggu anak ini. Lalu dia punya perasaan bangga begitu kepada orang tuanya, seolah-olah orang tuanya ini jadi pahlawan, akhirnya dia bergantung terus kepada orang tuanya, terus bagaimana Pak Paul?

PG : Ya, dalam kasus seperti itu, orang tua memang perlu menyatakan keprihatinannya kepada si anak, karena dimanfaatkan atau diganggu oleh anak-anak lain. Tapi yang sebaiknya dilakukan adala orang tua perlu menanyakan kepada si anak, apakah orangtua perlu ke sekolah untuk menegur temannya yang tidak baik itu, kalau si anak berkata tidak perlu, maka kita minta dia untuk langsung menegur temannya itu atau memberitahukan peristiwanya kepada guru.

Kalau dia merasa takut, kita bisa menawarkan jasa kita untuk mendampinginya, kita bisa berkata,"Mau tidak kamu yang bicara tapi saya akan hadir di sana, jadi saya temani." Kadang-kadang anak ini tetap takut, "tidak mau Ma atau tidak mau Pa", kita berkata tidak apa-apa besok saya datang dan saya akan bantu kamu untuk bicara. Tujuannya apa? Kita tidak mengambil alih tanggung jawab hidupnya, sejak kecil dia harus bertanggung jawab menjaga dirinya sendiri. Kita mendampinginya karena anak ini berperasaan halus, lembut sekali, dan karena perasaannya lembut, dia tidak berani menghadapi kekerasan dan ketegangan atau yang keras-keras. Ini bukan suatu kelemahan, kadang kita melihat sebagai suatu kelemahan, sesungguhnya bukan. Karena kelembutan hatinya itu sudah dibawanya sejak lahir. Yang perlu kita lakukan adalah mengarahkan dia, meskipun kau lembut engkau harus menyadari dunia tidak selalu lembut, ada orang yang jahat, ada orang yang tidak baik, engkau perlu tahu bagaimana menghadapi orang yang tidak baik itu. Kita mendampinginya supaya dia bisa melindungi dirinya.
GS : Mungkin yang sulit adalah karena dia seorang penurut ya Pak Paul, sulit buat dia untuk mengambil suatu keputusan, apalagi tadi Ibu Ida katakan anak kelas 3, dia mengatakan terserah mama, tidak tahu Ma, sesukanya mama. Ini yang sulit buat orang tua Pak untuk mengambil sikap. Dia tidak mengatakan (tadi Pak Paul katakan) tidak mau untuk didampingi atau mau, tapi terserah mama.

PG : Kalau dia bilang terserah, saya akan bawa dia, tetap besok saya akan hadir di sekolahnya dan saya akan hadapkan dia dengan temannya itu, dan saya akan berkata kepada anak itu, anak sayaingin bicara denganmu ya coba sekarang kamu bicara kepada temanmu ini.

Biarkan dia bicara, karena dalam posisi seperti itu, mau tidak mau dia harus bicara, dengan cara itu dia mulai mendapatkan keberanian untuk mengungkapkan dirinya pada orang lain.
GS : Masalahnya yang sering saya ketahui, saya jumpai anak-anak penurut ini cenderung pemalu Pak Paul, jadi itu agak erat kaitannya.

PG : Betul, dan penakut juga, dia takut sekali karena tadi saya sudah singgung, dia takut yang namanya kekerasan, dia tidak suka. Ada anak-anak yang memang kalau mendengar suara yang keras ia akan mengkerut ya, oleh karena itulah dia cenderung penakut.

Orang yang takut bukannya dimarahi, kadangkala keliru memarahi dia, mengatakan kamu penakutlah atau apa, bukan. Orang yang penakut memerlukan ditemani, pendampingan sehingga waktu berdua rasa takutnya akan berkurang. Itu yang kita perlu lakukan, yang kadangkala kita lakukan secara keliru adalah kita melepaskan dia untuk menghadapi hidup kemudian kita mengharapkan hasilnya yang kita minta. Untuk anak seperti ini tidak bisa, untuk anak yang memang jiwanya agak keras bisa, dan untuk anak yang jiwanya lembut kita harus hadir bersama dia pada tahap-tahap awal ini.
GS : Memang yang namanya orang tua itu pasti mengharapkan anak kita itu tidak jadi korban kekerasan atau kenakalan orang-orang disekitarnya, ya Pak Paul. Tetapi kita juga terbatas untuk mendampingi anak-anak ini terus-menerus. Ada saatnya mereka harus bermain dengan teman-temannya. Apakah anak-anak yang penurut seperti ini punya kecenderungan juga untuk menceritakan perasaannya, Pak Paul?

PG : Bisa ya, bisa tidak, tergantung ya. Ada yang ekspresif menceritakan perasaannya, ada yang agak tertutup dia akan simpan, tapi yang pasti adalah mereka mempunyai emosi yang kuat, peka emsinya, sensitif sekali.

GS : Dalam hal ini pasti ada kebutuhan emosi anak ini, diungkapkan atau tidak ya, Pak Paul?

PG : Betul.

(2) GS : Dalam hal ini kita sebagai orang tua apakah bisa membantu mereka?

PG : Anak-anak ini membutuhkan kasih sayang yang demonstratif, Pak Gunawan. Jadi kasih sayang yang demonstratif artinya bukan saja kita berkata kamu tahu saya cinta kepada kamu, tidak cukup.Kita harus melimpahkannya, kita harus mendekatinya, menanyakannya, mengutarakan kasih sayang kita dengan jelas, sehingga dia tahu bahwa kita mengasihi dia.

Anak-anak yang memang agak keras jiwanya justru tidak terlalu perlu dibelai-belai, disayang-sayang. Tapi anak yang memang lembut, lebih memerlukan ekspresi kasih sayang yang lembut dan yang nyata.
GS : Untuk membangkitkan rasa aman buat dia, begitu?

PG : Betul, betul dan juga memang inilah tipe dia karena dia sensitif, dia memerlukan ungkapan perasaan yang juga sensitif. Kalau anak yang berjiwa keras, dia tidak terlalu memerlukan yang snsitif itu.

Jadi itulah sebabnya dia memerlukan ungkapan-ungkapan kasih sayang yang sensitif. Kalau kita tidak hati-hati, anak-anak ini cenderung terabaikan di rumah, Pak Gunawan dan Ibu Ida. Terabaikan karena seolah-olah tidak ada kebutuhan, tidak ada masalah, baik-baik saja semuanya. Justru dalam keadaan yang seolah-olah baik saja, mungkin sekali ada kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi atau tidak terucapkan.
GS : Tidak terungkapkan, anak ini tidak bisa mengungkapkan, tapi justru kita sebagai orang tua yang harus lebih tahu.

PG : Betul, karena dia peka, waktu dia melihat kita lelah, kita ini banyak urusan, dia ingin bicara waktu melihat kita kecewa, tidak jadi. Karena dia peka sekali, dia mau menjaga perasaan orng lain, jangan sampai merasa terganggu.

Akibatnya dia mengorbankan dirinya terus-menerus. Tapi dia punya kebutuhan, dia perlu untuk bisa bicara, akhirnya kalau tidak hati-hati dia akan mencari orang lain di luar, dimana ia bisa mencurahkan isi hatinya.
GS : Anak-anak seperti ini juga mempunyai kecenderungan untuk pasif Pak Paul, tadi yang Pak Paul katakan kelihatan orang tuanya lelah atau wajahnya muram sedikit dia sudah tidak mau bicara, padahal belum tentu kita itu sebagai orang tua tidak senang kalau dia bicara. Nah sebenarnya apa yang bisa kita lakukan?

PG : Sebaiknya dengan anak-anak yang memang penurut dan sangat baik, secara berkala kita harus menyediakan waktu untuk berbincang-bincang dengannya. Misalnya si ayah seminggu sekali ngobrol-gobrol dengan dia, si ibu sekurang- kurangnya seminggu sekali bicara dengan dia, bicara santai sehingga dia tahu akan ada kesempatan di mana dia bisa mengutarakan problemnya.

GS : Jadi kita menstimulir anak ini?

PG : Betul, jadi kitalah yang harus proaktif menyediakan wadah itu sehingga dia bisa datang kepada kita. Kalau tidak, dia akan merasa tidak usah, problem saya mungkin tidak terlalu besar, jagan terlalu membuat orang tua saya susah.

Anak-anak ini memang memerlukan perhatian yang besar, sama sebetulnya dengan yang pembangkang tapi yang membangkang itu seolah-olah menuntut kita untuk memberikan perhatian, yang penurut ini tidak, tapi sebetulnya sama. Kalau tidak kita perhatikan dengan baik, misalkan dia sudah mulai besar, remaja, dewasa dan sebagainya mudah sekali dia menjadi target orang yang tidak baik, orang yang jahat, orang yang mau memang merugikan dia. Misalkan begini, anak ini akhirnya tidak lagi bisa bercerita, karena dia sungkan, mengganggu orang tuanya, semua masalahnya dia pendam, terus dia mendapatkan kasih sayang dari orang lain di luar ya, kelihatannya baik, memperhatikan dia, dia peka ya, jadi dia mempunyai banyak kebutuhan yang dia tuntut sebetulnya untuk dipenuhi oleh orang lain. Tapi kalau kita agak sibuk di rumah, kita kurang memberikan itu kepada dia, maka dia akan rawan untuk menerima itu dari orang lain. Misalkan dia dapat dari seseorang, orang ini memberikan yang dia butuhkan yaitu kepekaan, mengerti perasaan nya, orang itu peka sebetulnya. Dia merasa sangat dekat dan luar biasa senangnya, cocok dengan orang ini meskipun orang ini tidak cocok dengan dia sebetulnya. Karena dalam hal-hal yang lain justru tidak baik buat orang ini tapi karena sudah memberikan yang dia sangat butuhkan, si penurut ini akhirnya mulai bergantung pada orang ini.
GS : Anak-anak penurut ini menuntut banyak perhatian kita, ya Pak Paul.

PG : Betul, nantinya bisa membuat kita sedikit lelah memang, karena pergaulannya itu bisa menjerumuskan dia. Jadi anak ini memang perlu sekali mengenali dirinya dengan baik, bisa mengenali kterbatasannya dan dia harus tahu apa yang dia butuhkan.

Dan kita perlu mengajarkan kepada dia untuk bisa mengungkapkan kebutuhannya itu agar orang lain bisa memenuhinya. Sebab kecenderungannya adalah diam, mengharapkan orang lain tahu yang dia butuhkan dan memberikannya kepada dia.
IR : Pak Paul, kalau ada anak yang sudah mendapat kasih sayang dari orang lain dan orang tuanya juga mengasihi dia, kemudian dia tidak bisa mengambil keputusan, dia harus pilih yang mana. Misalnya mau memilih temannya ini, orang tuanya tidak setuju, tapi dia mau ke orang tuanya dia masih tidak tega dengan temannya ini, apa yang harus dilakukan oleh orang tuanya?

PG : Di sini memang orang tua tidak bisa terlalu keras, karena anak ini jiwanya lembut. Begitu orang tua mulai keras, dia bukan langsung berubah, dia akan menarik diri kecenderungannya begit dan dia akan merasa menyesal kenapa dia harus menyusahkan orang tua, tapi sekaligus dia tidak bisa mengambil keputusan yang dia tahu akan menyakiti hati pacarnya itu.

Akhirnya apa yang terjadi, dia akan menyimpan semuanya itu, menyesali dirinya merasa bersalah. Yang dikhawatirkan adalah bukannya mendekatkan diri dengan orang tua, secara natural karena dia lebih sering bertemu dengan pacarnya dia akan malah mendekatkan diri dengan pacarnya. Jadi tindakan saya, kalau saya sebagai orang tua adalah tetap mau berteman dengan si anak, memberikan pengarahan, mungkin saya akan ajak bicara. Kalau engkau sendiri yang punya anak dan anakmu berpacaran dengan pacarmu ini coba engkau tanya dirimu, apakah engkau akan izinkan dia berpacaran dengan anak ini? Nah waktu dia menempatkan diri sebagai seorang ayah, sebagai seorang ibu dan memikirkan anaknya yang akan datang itu dia mungkin lebih bisa melihat masalahnya dengan lebih obyektif. Nah, kita harus juga bisa memberitahukan dia sekali lagi bahwa waktu engkau memutuskan hubunganmu dengan dia tidak berarti engkau orang yang jahat. Sebab inilah yang ia takuti, dia menjadi orang yang jahat. Atau dia takut pacarnya akan mencelakakan diri dan sebagainya. Justru kita harus memberitahu dia, kalau sampai pacarmu berniat untuk mencelakakan diri, sekarang coba kamu pikir apakah orang seperti ini siap untuk menikah menjadi seorang istri atau seorang ibu atau seorang bapak. Apakah dia memang sudah selayaknya dan sudah waktunya menjadi seorang istri atau suami. Nah, biarkan dia melihat hal itu dengan lebih jelas, dan tanyakan kepada dia kalau engkau punya anak apakah engkau menginginkan orang yang seperti pacarmu ini menjadi pasangan anakmu apakah itu yang baik. Itu yang harus terus kita arahkan dengan lembut kepadanya.
(3) GS : Jadi ada kecenderungan dari pembicaraan ini tadi Pak Paul, anak yang penurut itu mempunyai sikap menyalahkan diri atau merasa bersalah, baik feelingnya itu cenderung lebih besar dibandingkan yang normal atau yang pembangkang ya Pak Paul? Untuk bisa menolong anak ini, bahwa sebenarnya ia tidak perlu merasa terlalu bersalah seperti itu bagaimana Pak Paul?

PG : Dia perlu belajar untuk memikul tanggung jawab pribadinya dan membiarkan orang lain memikul tanggung jawabnya. Kecenderungannya adalah memikul semua tanggung jawab, dia harus membedakanapa yang menjadi tanggung jawabnya, dan apa yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

Kita beritahu, misalkan kalau pacarmu itu terlalu bereaksi, beremosi, mau bunuh diri dan sebagainya. Kita beritahu anak kita, itu adalah keputusan dia. Kita balik situasinya, kalau misalkan pacarmu yang memutuskan dan engkau berkata saya mau tabrakkan mobil saya, itu pilihan siapa, engkau atau pacarmu, itu pilihanmu sendiri. Jadi kita mengajarkan dia untuk memikul tanggung jawab pribadi dan membiarkan orang lain memikul tanggung jawabnya juga. Dan kita beritahu dia, kalau sampai pacarmu itu memanipulasimu, itu adalah tindakan yang tidak sehat karena sebetulnya dia sedang menjerat engkau menjadi pasangannya. Ini tidak baik, dua orang harus dengan sukarela mendekatkan diri, akhirnya menikah bukan dengan penjeratan seperti itu. Sekali lagi ini adalah metode pendekatan yang lebih banyak menggunakan persuasi, pembujukan, pengertian, pengarahan. Sebab anak-anak ini kalau kita bersikap keras, dia akan tambah serba salah, Pak Gunawan.
(4) GS : Dan rupanya ada kecenderungan untuk menjadi orang yang suka ragu-ragu terus dalam mengambil keputusan ya. Kalau anak ini tadi sudah kita bicarakan, anak itu remaja, mulai pacaran, bagaimana memutuskan pasangan hidupnya, di samping itu kita sebagai orang tua tentu akan mengarahkan mereka mengambil suatu bidang profesi tertentu ya Pak Paul, untuk kelangsungannya nanti. Anak yang punya kecenderungan seperti ini, penurut terlalu baik, sebaiknya kita arahkan bagaimana di dalam pendidikannya, pendidikan formalnya, itu yang saya maksud.

PG : Saya akan arahkan dia pertama -tama untuk melihat apa yang dia inginkan, apa yang baik bagi dia, tentang tadi Pak Gunawan sudah singgung keragu-raguannya. Memang anak ini menjadi anak ang mudah ragu-ragu, masalahnya ialah dia ingin menyenangkan semua pihak, dia ingin menyenangkan orang tuanya, menyenangkan pacarnya, dengan mengorbankan dirinya sendiri.

Jadi keragu-raguannya dia itu muncul dari keinginan yang terlalu besar yang dia tidak bisa kendalikan untuk menyenangkan orang lain. Kita harus mengajar dia berpikir dari sudut dirinya sendiri. Sebetulnya apa yang engkau inginkan, kita perlu tanyakan itu kepada dia, apa itu yang menurut engkau baik bagimu. Ini kadangkala lepas dari pikirannya, dia tidak terlalu memikirkan, sebetulnya apa yang menurut dia baik untuk dirinya. Dia hanya memikirkan ini kasihan-kasihan, ini baik buat orang lain, ini baik buat mama saya papa saya. Kita harus tanyakan apa yang baik buat dia termasuk nanti adalah dalam pemilihan kariernya juga. Sebetulnya menurut kamu apa yang baik bagimu, apa yang sungguh-sungguh engkau ingin kerjakan dalam hidup. Ini pertanyaan-pertanyaan yang mulai harus dia tanyakan pada waktu dia meningkat dewasa.
GS : Tapi sudah bisa ditebak kira-kira dia akan banyak bergerak di bidang sosial, begitu Pak Paul, yang berhubungan dengan banyak orang.

PG : Bisa ya, bisa juga tidak. Kebanyakan ya di bidang sosial, tapi ya kita juga temukan ada orang-orang yang berbelaskasihan sangat kuat tapi pekerjaannya di bidang permesinan. Contoh yang ita tahu, Romo Mangun, ya saya kira sebagai tokoh dia orang yang penuh belaskasihan, menolong orang miskin, tapi latar belakangnya teknik.

Dia seorang arsitektur.
GS : Tapi kembali tekniknya itu dipakai untuk menolong orang lain.

PG : Betul.

GS : Memang sulit ya untuk mengarahkan itu.

PG : Karena akan kembali ke situ akhirnya.

GS : Apa yang dia inginkan itu sebenarnya, itu yang bisa kita bantu dalam hal anak ini menentukan sikap.

PG : Betul, dan ini mulai kita ajarkan pada waktu anak-anak ini bertumbuh dewasa, kalau dia sudah berumur 25 baru kita tanyakan terlambat, menginjak usia remaja ya belasan tahun, kita harus ulai bertanya-tanya apa yang engkau inginkan, apa yang menurutmu baik bagimu, apa yang engkau mau, biar dia mulai berorientasi pada apa yang dia inginkan, apa yang dia mau, apa yang baik buat dia, karena orientasinya cenderung pada kepentingan orang lain.

GS : Jadi menyeimbangkan, mau membuat keseimbangan di dalam kehidupannya itu.

PG : Betul.

GS : Nah sehubungan dengan ini Pak Paul ya, kita mau mendampingi, kita mau menolong anak- anak kita yang cenderung penurut dan sebagainya. Apakah firman Tuhan itu memberikan bekal kepada kita?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 25 : 28, "Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya." Saya tetap memasukkan anak yang terlalu baik ini dlam kategori orang yang tidak dapat mengendalikan diri.

Kita cenderung memikirkan ayat ini dari konteks orang yang pemarah, tapi saya kira anak-anak yang terlalu penurut yang hatinya hanya ingin menyenangkan hati orang lain saja dapat dimasukkan dalam kategori yang sama, dia tidak dapat menguasai dirinya untuk tidak menyenangkan atau memikirkan orang lain terus. Jadi harus bisa mulai juga mencegah, menangkal, mengendalikan keinginannya untuk mengorbankan diri dan menolong orang lain. Kalau dia tidak dapat melakukan hal itu, kita berkata dia seperti kota yang roboh temboknya, artinya apa? Orang bisa keluar masuk seenaknya dalam hidupnya, menguasai dia, meminta barangnya, memaksa dia untuk melakukan sesuatu yang dia tidak sukai. Jadi benar-benar kota yang tidak ada tembok.
GS : Tidak punya pertahanan di dalam dirinya itu.

PG : Betul sekali.

GS : Dan Tuhan pasti tidak menghendaki anak-anakNya diperlakukan seperti itu, saya yakin sekali, Pak Paul.

PG : Betul sekali, contohnya adalah waktu Tuhan Yesus ditangkap, di hadapan Herodes. Herodes meminta dia melakukan mujizat seolah-olah Tuhan Yesus adalah tukang sulap. Yang menarik adalah Tuan Yesus bukan melakukan mujizat seperti yang diminta Herodes.

Dia tidak menjawabnya sama sekali, tidak meladeni sama sekali. Jadi Tuhan Yesus tahu kapan dia menolong, kapan dia berbuat, kapan dia harus diam, kapan dia harus menolak.
GS : Pada hal jelas Tuhan Yesus itu seorang yang murah hati, ya Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Memang sifat-sifat yang seperti itu yang perlu ditanamkan sedini mungkin dalam diri anak-anak ini.

PG : Betul, jadi kita memang harus menolong anak kita mendirikan tembok agar dia menjadi kota yang terlindungi pula, kalau tidak, kasihan nantinya.

GS : Tapi kebijaksanaan itu harus tetap ditanamkan, hikmat itu ya Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Supaya dia bisa membedakan tembok itu bukan membuat dia terisolir.

PG : Bukannya menjadikan dia orang yang egois.

IR : Jadi kita sebagai orang tua juga selalu berkewajiban terus mengorek ya, kadang-kadang dia tertutup juga untuk mengambil keputusan, untuk mengorek dia terus supaya dia terbuka ya Pak Paul.

PG : Betul, seringkali kita yang terus lebih proaktif, lebih aktif karena dia cenderung memang agak pasif.

GS : Tapi pada masa-masa yang semakin sulit ini, saya rasa pendampingan orang tua terhadap anak ini sedini mungkin sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan emosi mereka, bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan jasmani mereka.

PG : Betul sekali. Dan saya sudah cukup sering melihat anak-anak yang memang dasarnya sangat baik, tapi akhirnya sudah jadi pemuda lalu berpasangan dengan orang yang tidak cocok sama sekali,karena dia menjadi korban pemanfaatan, masalahnya dia tidak bisa melihat hal itu.

GS : Memang itu sulit sekali saya rasa Pak Paul, jadi pada kesempatan ini kami mau tawarkan pada para pendengar kalau seandainya mereka masih menemui kesulitan dalam hal mendampingi dan menolong anaknya. Tidak perlu ragu-ragu untuk menulis surat kepada kami di Lembaga Bina Keluarga Kristen, supaya mungkin Pak Paul bisa membantu lebih jauh terhadap mereka.

PG : Ya betul.

GS : Jadi demikian tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang bagaimana mendampingi dan menolong anak yang penurut, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan sekali lagi bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda di Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami ucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



10. Bagaimana Menangani Perilaku Anak yang Mencuri 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T038A (File MP3 T038A)


Abstrak:

Seorang anak sangat memerlukan pengarahan dari orangtua, dia tidak dapat dibiarkan tumbuh secara natural. Dan salah satu yang sangat perlu dilakukan orangtua adalah memberikan pengawasan pada anak.


Ringkasan:

Ada 4 hal yang menyebabkan anak mencuri adalah sbb:

  1. Anak mencuri karena dia adalah anak yang impulsif. Impulsif berarti seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat untuk mempunyai sesuatu, dan waktu dia menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan seketika.

  2. Anak yang membutuhkan perhatian, karena hidup di lingkungan yang kurang sekali perhatian, dia sangat butuh aktifitas. Waktu dia membutuhkan aktifitas, yang dilakukan ialah mencuri, dengan dia mencuri dia bisa membeli barang yang ia inginkan sebab di rumah atau di sekolah kemungkinan besar dia tidak mendapatkan perhatian, jadi anaknya menyendiri.

  3. Tipe anak yang egosentrik, anak-anak yang sangat egois di mana keinginannya tidak boleh dibendung, yang dia inginkan harus dia dapatkan, dia tidak mengenal batas milik, bahwa ini milik orang lain, ini milik saya sebab orang pun harus tunduk pada keinginannya.

  4. Tipe keempat adalah anak yang bermasalah. Atau yang lebih sering disebut kleptomania yaitu anak-anak yang sebetulnya kompulsif anak-anak yang mempunyai problem perilaku, di mana dia harus mencuri meskipun dia tidak membutuhkan barang yang dia inginkan tapi dia mengambilnya, karena itu suatu perilaku yang harus dia lakukan.

Situasi-situasi yang mendukung anak melakukan tindakan mencuri, yaitu:

  1. Situasi yang sangat kurang pengawasan terhadap benda-benda berharga di dalam rumah kita.

  2. Sangat kurangnya penanaman hati nurani pada diri anak, sehingga anak-anak itu tidak tahu lagi benar salah. Tidak pernah diajarkan mana yang baik mana yang kurang baik, sehingga akhirnya mencuri bukan sesuatu yang salah baginya.

  3. Kurangnya pengawasan terhadap anak sehingga anak-anak bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya.

  4. Situasi ekonomi yang lemah dalam pengertian sangat susah, bisa juga yang sedang tapi kebetulan tinggal di lingkungan yang melampaui kemampuan ekonominya. Jadi teman-temannya memakai baju yang bagus, cincin yang bagus atau apa, akhirnya dia juga tergoda untuk memilikinya.

  5. Situasi budaya, budaya yang membolehkan pencurian. Yaitu sistem kehidupan/ cara hidup di lingkungan-lingkungan tertentu yang seolah-olah memberikan toleransi orang mencuri atau mengambil barang orang lain.

Biasanya ini dilakukan kepada orang-orang yang lebih berada, dan dilakukan selama itu tidak terlalu merugikan pemiliknya. Atau juga dengan merasionalisasi bahwa seharusnya orang membagikan hartanya dengan dia yang tak punya. Contoh : tokoh Robin Hood, Jessie James (mencuri tapi membagikan kepada orang-orang miskin).

Mencuri pada dasarnya mempunyai sistem imbalan yang tersendiri, yaitu:

  1. Imbalan pertama secara psikologis, emosional. Adanya kepuasan karena kita bisa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain, kita sedikit lebih berani untuk melakukan hal yang menegangkan.

  2. Selain imbalan dalam mencuri kita bisa memiliki yang dimiliki orang lain, nah ini juga menimbulkan satu kepuasan.

  3. Kita bisa menikmati hasil curian itu, dengan uang yang kita miliki kita bisa beli barang-barang yang kita inginkan.

Nak akhirnya ketiga unsur ini menjadi suatu sistem imbalan dalam mencuri, ini yang membuat akhirnya orang atau anak-anak kecil terus mencuri.

Yang perlu kita lakukan sebagai orangtua terhadap anak yang mencuri:

  1. Melakukan sistem sanksi, salah satu sistem yang bisa diterapkan adalah bukan saja dia harus mengembalikan, tetapi dia harus juga mengembalikan ditambah dengan sanksinya atau hukumannya, ini yang Alkitab katakan.

Amsal 22:15, Firman Tuhan berkata: "Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya." Firman Tuhan menekankan sekali disiplin, pembentukan, pengarahan. Dan tidak ada konsep di Alkitab ya, mendukung pandangan bahwa biarkan anak-anak bertumbuh dengan sendirinya secara natural, tidak. Tugas orang tualah untuk mengarahkan anak dan termasuk dalam hal mencuri ini. Saya kira salah satu hal yang paling pokok, harus dilakukan orang tua adalah memberikan pengawasan pada anak. Anak yang tidak terawasi dengan baik cenderung terlibat dalam masalah.

Amsal 23:15 berkata: "Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita. Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur." Nah ini jelas ya, Tuhan akan sangat senang sekali kalau hati kita bijak dan mulut kita melakukan atau mengatakan hal yang jujur. Ini tantangan buat kita orang tua menanamkan hal ini pada anak-anak kita. Berhati bijak dan bermulut jujur.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana mengatasi anak yang mencuri, kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, karena dilatarbelakangi oleh apa ya, kadang-kadang ada sesuatu barang yang hilang di rumah. Dan setelah kami cari-cari, tanya sana, tanya sini ternyata anak kami yang mengambil, khususnya waktu masih kecil. Dia memang sengaja melakukan itu tetapi yang saya ingin tanyakan, tentu kami orang tua tidak pernah mengajarkan hal seperti itu, tetapi kenapa anak itu melakukan pencurian di dalam rumahnya sendiri, Pak Paul?

PG : Sebetulnya ada kira-kira empat penyebab Pak Gunawan, kenapa anak itu mencuri. Masing-masing tipe ini saya kira adalah tipe anak yang kita perlu pahami supaya kita bisa mengenal kenapa aak kita itu mencuri.

Yang pertama adalah anak mencuri karena dia adalah seseorang yang impulsif. Impulsif berarti yaitu bertindak tanpa pikir panjang dan tindakannya itu muncul dengan seketika. Jadi intinya dia adalah anak yang kurang bisa menguasai dirinya dan keinginannya.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, yang saya katakan mencuri atau yang kita maksudkan mencuri adalah dia mengambil sesuatu barang milik saya atau milik istri saya, tanpa dia bicara lebih dahulu, jadi bukan sekadar meminjam. Kalau meminjam kami bisa mengerti, dia berbicara dulu. Pengertiannya mencuri dalam hal ini seperti itu ya Pak Paul, jadi orang atau anak ini mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya.

PG : Betul, jadi dia sebetulnya tahu ini bukan miliknya tapi ada dorongan seketika yang membuat ia ingin memilikinya. Jadi walaupun dia sudah tahu barang ini bukan miliknya, namun tetap diamil.

Kenapa tetap diambil, karena tipe yang pertama ini yaitu dia anak yang impulsif.
GS : Apa yang melatarbelakangi sehingga dia mempunyai karakter impulsif?

PG : Sebetulnya sifat impulsif itu sifat yang pada dasarnya muncul sejak lahir. Jadi ada orang-orang yang memang mempunyai sifat impulsif lebih tinggi dibanding yang lainnya. Kita sebetulnyamasing-masing mempunyai sifat impulsif, kalau kita menginginkan sesuatu, kita inginkan itu dengan seketika.

Tapi ada orang-orang tertentu lebih menggebu-gebu keinginannya, nah orang-orang yang seperti ini akan lebih banyak mengalami kesukaran untuk bisa mengontrol keinginannya itu. Anak-anak yang impulsif seperti ini pada umumnya anak-anak yang aktif, anak-anak yang bertenaga, banyak energinya dan anak yang tidak terlalu mudah tunduk pada perintah orang tuanya. Jadi agak keras kepala juga. Namun ya tidak selalu anak-anak ini seperti tadi yang saya gambarkan, pada dasarnya ia adalah impulsif dan dia sukar mengontrol keinginannya sehingga seringkali membuat dia berurusan dengan masalah-masalah yang negatif, jadi pelanggaran-pelanggaran misalnya.
GS : Tapi itu bukan faktor keturunan, Pak Paul?

PG : Impulsifitas itu seringkali diturunkan, jadi orang-orang yang mempunyai ayah, ibu atau salah satu orang tua mereka yang lumayan impulsif. Salah satu dari anak mereka bisa mewariskan sikp itu jadi kalau emosi cepat, emosi mau sesuatu susah sekali dilawannya, kemauannya sangat keras sekali.

IR : Kemudian tipe lain, Pak Paul?

PG : Tipe yang lain adalah anak yang membutuhkan perhatian, Ibu Ida. Anak ini sebetulnya anak yang terlalaikan, terabaikan, dia kurang sekali kasih sayang, kurang sekali mendapatkan interaks dari orang tua, jarang diajak bicara, ataupun kalau diajak bicara hanya dalam hal tugas.

Sudah buat PR belum, tapi selain dari hal itu tidak ada lagi perhatian yang diberikan oleh orang tuanya. Dari latar belakang seperti ini, bisa muncul perilaku mencuri, karena apa? Karena kurangnya aktifitas atau kegiatan, kurangnya interaksi sehingga hidupnya itu lumayan hampa, kurang banyak teman di luar. Akhirnya di sekolah dia melihat temannya mempunyai barang dan diambil, karena apa? Teman-teman jarang mengajak dia bicara, dia sendirian saja. Di rumah jarang diajak bicara, lalu dia melihat ada uang mamanya, dia ambil uang itu, untuk apa? Kebanyakan dia belikan barang-barang sesuai dengan usianya, mainan kecil-kecilan, makanan kecil-kecilan. Tapi sebetulnya bukanlah mainan itu yang mendorong dia mencuri, sebab kalau tidak ada mainan itu juga tidak apa-apa, dia tidak terlalu membutuhkan. Ini salah satu keluhan orang tua yang saya dengar yaitu waktu mendengar mereka mencuri, ternyata anak-anak itu tidak terlalu membutuhkan barang itu, dia suka tapi tidak terlalu membutuhkan.
GS : Hanya sekadar untuk menarik perhatian orang tua atau gurunya?

PG : Dalam kasus yang kedua ini, sebetulnya dia sendiri melakukan itu bukan dengan tujuan menarik perhatian, tapi untuk mengisi kehidupannya yang kosong itu. Sebab hidup yang kosong sangat mresahkan, sangat tidak enak.

Tidak ada yang mengajak bicara, tidak ada yang mengajak main, baik di sekolah maupun di rumah. Akhirnya dia diam-diam sendirian, muncullah pikiran untuk melakukan sesuatu yang sedikit berbeda, yang sedikit menggairahkan, dia mengambil uang atau apa lalu dia belikan mainan lagi atau dibelikan barang tertentu. Jadi dengan dia membeli barang itu, ada aktifitas dan dengan membeli yang dia sukai, makanan yang dia sukai, berarti perasaannya akan jauh lebih senang, lebih tenang, lebih nyaman.
IR : Jadi untuk mencari kepuasan juga, ya Pak Paul?

PG : Ya, kalau kita mau labelkan kepuasan ya boleh, kesenangan sedikitlah. Sebab hidupnya sangat meresahkan, sangat tidak ada apa-apanya.

GS : Berarti anak itu sudah agak lebih besar ya Pak Paul? Bukan balita yang bisa melakukan itu, karena yang bisa menyadari akan kekosongan hidupnya itu paling tidak dia sudah agak besar begitu.

PG : Saya pernah mendapatkan kasus dimana anaknya masih cukup kecil, masih umur 6 tahunan.

GS : Tapi sudah bisa berbuat seperti itu, Pak Paul?

PG : Ya, bisa juga begitu. Jadi dia sendiri tidak harus menyadari bahwa dia membutuhkan perhatian, tapi yang pasti hidupnya itu sangat kurang sekali perhatian.

(2) IR : Apakah memang ada batas-batas umur tertentu Pak Paul, untuk anak yang suka mencuri itu?

PG : Maksud Ibu Ida mencuri yang bisa ditoleransi ya, batas umurnya sampai umur berapa. Pada dasarnya anak-anak memang cenderung akan mengambil barang yang bukan miliknya. Pada tahap masih kcil di bawah umur misalnya 5 tahun, diantara umur 2-4 tahun, 2-5 tahun paling tua, perilaku tersebut masih kita toleransi dalam pengertian itulah perilaku anak-anak.

Tapi setelah umur 5 tahun dan setelah dia mengetahui apa itu mencuri dan terus melakukannya maka mulailah menjadi masalah, bukan perilaku yang wajar.
GS : Kalau tipe yang lain, yang ketiga Pak Paul?

PG : Tipe ini tipe egosentrik Pak Gunawan, jadi anak-anak ini anak-anak yang tidak menyadari batas miliknya. Maksudnya begini, tadi saya sudah singgung anak-anak itu sebetulnya pada masa kecl cenderung mengambil barang milik orang lain karena dia belum bisa menyadari bahwa barang itu milik orang lain.

Jadi ada batas antara miliknya dengan milik orang lain. Seorang psikolog bernama Curn Albert mendefinisikan diri dari berbagai aspek. Salah satunya adalah yang dia sebut perluasan diri; diri dalam kategori perluasan ini adalah kita dulu sekolah, di mana kita sekarang bekerja, rumah kita di mana, apa mobil kita, apa baju yang sering kita pakai, di mana gereja kita. Dengan kata lain itu adalah perluasan diri, barang-barang yang diidentikkan dengan siapa kita ini. Anak-anak sebetulnya mempunyai konsep itu, pada masa kecil mainan ini mainanku, barang ini barangku. Tapi masalahnya anak-anak kecil belum bisa berkata bahwa barangmu bukan barangku, dia cenderung berkata barangmu barangku. Perlahan-lahan muncullah batas waktu dia ditegur jangan mengambil barang orang lain. Dia barulah membentuk suatu batas atau pagar di mana dia bisa berkata ini barangku dan itu barangmu, dan yang berikut menjadi modal dia untuk mendefinisikan siapa dirinya. Anak-anak yang egosentriknya tinggi sekali, rupanya tidak mengenal batas ini jadi terus dia langgar, dia terjang pagar rumah orang lain. Barang orang lain adalah barangku, jadi mendefinisikan dirinya sangat luas, ini maksudnya adalah egois sekali terlalu egosentrik.
GS : Tapi kalau seperti itu berarti dia tidak menyadari bahwa perbuatannya itu salah ya Pak Paul?

PG : Kebanyakan tahu dia salah, tapi karena tidak ada batasan itu, tetap saja dia langgar. Jadi dia tahu itu salah, tapi memang tidak terlalu mengganggu. Memang ada kasus di mana tidak tahu ia salah, ada juga.

Namun pada umumnya anak-anak itu sebetulnya tahu karena orang tuanya.
GS : Setelah diberitahu secara berulang-ulang Pak Paul, dia tidak mau mengerti karena egonya terlalu luas tadi?

PG : Betul, jadi dia anggap semua miliknya.

GS : Tapi barangnya sendiri tidak boleh diberikan kepada orang lain?

PG : Betul.

IR : Kemudian tipe yang keempat, Pak Paul?

PG : Tipe yang keempat adalah anak yang bermasalah, Ibu Ida. Jadi anak yang bermasalah ini biasanya mempunyai kebiasaan mencuri dalam istilah resminya disebut kleptomania. Anak-anak yang kletomanik, anak-anak yang terus mencuri.

Sekali lagi saya akan munculkan suatu istilah yang sedikit asing yaitu kompulsifitas; kompulsif dalam bahasa Inggrisnya compulsive. Kompulsif berarti perilaku itu harus dilakukan olehnya, tidak bisa tidak, dia harus lakukan. Contoh yang lain tentang perilaku kompulsif, ada orang yang harus membersihkan rumahnya setiap hari, kalau tidak, dia merasa tidak puas.
IR : Jadi itu suatu penyakit ya Pak Paul?

PG : Betul, itu suatu gangguan kejiwaan. Kalau dicampur dengan obsesi pikiran-pikiran yang tidak bisa terlepaskan menjadi obsessive compulsive, jadi resminya kita sebut OCD (obsessive compulive disorder) gangguan obsesif dan kompulsif.

Ada juga yang gangguan kompulsifnya saja. Kleptomania seperti itu, jadi dia melihat barang, dia harus mengambil, masalahnya dia tidak butuh. Ditanya kenapa ambil, ya mau ambil, kenapa butuh apa tidak? Tidak butuh, suka sekali tidak? Ya biasa saja. Jadi dia sendiri tidak bisa menguasai tingkah lakunya, sehingga pencurian atau mencuri menjadi bagian dari kompulsifitasnya yang harus dia lakukan. Ini memang yang lebih parah, ini biasa diidap oleh anak-anak remaja, ada sebagian seperti itu yang dibawa terus sampai usia dewasa.
GS : Tapi ada yang mengatakan itu hanya pada barang-barang tertentu Pak Paul, atau semua jenis barang yang bisa dia lakukan?

PG : Kalau kleptomania sebetulnya untuk semua jenis barang.

GS : Jadi bukan barang yang mengkilat?

PG : Tidak harus ya, mungkin saja dia akan membentuk suatu preferensi yang dia sukai, barang-barang tertentu mungkin. Tapi ada juga yang tidak, misalkan dia ke supermarket, jalan-jalan di lrong-lorong banyak barang yang dia inginkan, diambilnya barang itu.

Untuk apa? Sebetulnya tidak dia pikirkan, gunanya untuk apa, tujuannya untuk apa, tidak ada sama sekali. Nah, ini memang dikategorikan anak yang bermasalah.
GS : Kalau ini Pak Paul, akibat pergaulan biasanya dialami oleh anak-anak remaja yang uang sakunya terbatas, lalu mereka berkumpul misalnya bersama-sama ke supermarket. Melihat teman-temannya mencuri, dia didorong oleh teman-temannya untuk mencuri juga.

PG : Betul, dalam kasus ini sebetulnya, dorongan mencuri ini dorongan yang masih lebih ringan karena benar-benar muncul atas dorongan teman, sifat-sifat yang eksternal. Yang tadi kita bahas ebetulnya lebih ke internal, lebih susah diobati.

Yang eksternal lebih mudah sebetulnya.
GS : Kalau dia bisa dipisahkan dengan lingkungan itu, apa bisa teratasi?

PG : Betul.

(3) GS : Sekarang kalau sifatnya yang internal seperti itu tadi Pak Paul, kita mulai saja misalnya anak itu impulsif lalu bagaimana kalau itu terjadi pada anak kita?

PG : Ada beberapa cara penanganan, Pak Gunawan untuk anak-anak yang bermasalah dengan sifat mencuri ini. Otomatis kita memang perlu menanamkan apa itu salah, apa itu benar, apa yang seharusna tidak dilakukan, yang seharusnya dilakukan, dan apa itu malu.

Sehingga meskipun dorongan impulsifitasnya kuat, dia ingin mengambil tapi mengingat bahwa ini salah, atau mengingat bahwa ini hal yang memalukan. Lama-lama akan cukup mendorong dia untuk tidak melakukan hal itu dan juga diperlukan sanksi sebetulnya. Sanksi-sanksi yang menghukum perbuatannya itu agar dia tahu, bahwa kalau dia melakukan hal ini akan ada sanksinya misalnya dihukum. Mudah-mudahan rasa takut ini akan mendorongnya untuk menghentikan perbuatannya itu.
(4) IR : Pak Paul, tentu ada situasi-situasi di mana situasi itu mendukung seseorang untuk mencuri, Pak Paul?

PG : Ya betul, ada beberapa Ibu Ida. Yang pertama adalah situasi di mana sangat kurang pengawasan terhadap benda-benda berharga di dalam rumah kita itu. Maksud saya, ada rumah yang sangat trbuka semuanya, benda-benda berhargapun dibiarkan berserakan dengan terbuka, tidak ada tempat-tempat yang privat.

Sebetulnya itu tidak bijaksana. Misalkan ada orang yang berkata kami orang yang tidak punya, tidak bisa membeli lemari brankas, ya tidak perlu membeli lemari brankas. Kotak sabunpun tidak apa-apa, asalkan kita tutup dengan baik. Jadi setiap rumah seharusnya mempunyai tempat yang privat, ada tempat yang terbuka di mana anak boleh melihat, boleh ikut masuk ke dalamnya. Namun harus ada tempat-tempat yang privat di mana anak-anak tahu ini milik orang tua dan yang ada dalam lemari itu misalnya adalah barang yang berharga yang tidak boleh saya ambil. Jadi anak-anak belajar mengerti bahwa ini bendaku itu bendamu, ini benda yang kusayangi dan rupanya itu benda yang engkau sayangi, ini benda yang berharga bagiku, itu benda yang berharga bagimu. Mereka harus mempunyai rasa seperti ini tapi caranya bagaimana; caranya dengan menciptakan suasana atau situasi di mana ada tempat-tempat yang privat, yang mereka tidak boleh membukanya dengan sembarangan. Disitulah kita taruh benda-benda berharga.
IR : Tidak mencobai anak, ya Pak Paul?

PG : Betul, pertama tidak mencobai dia, tidak menggoda untuk memiliki benda-benda itu dan yang kedua adalah untuk menanamkan rasa hormat terhadap hak milik orang lain. Ini penting sekali, saa mengetahui ada sebuah keluarga di mana anak-anak bisa mengambil kunci, membuka lemari orang tuanya, itu sebetulnya tidak bijaksana.

GS : Ya mungkin, pikir orang tuanya itu anaknya sendiri, Pak Paul, jadi toleransinya terlalu luas untuk itu.

PG : Betul, tapi akhirnya membuat si anak tidak mengenal batas. Begitu dia keluar rumah dan bergaul dengan orang, dia cenderung menerapkan sistem hidupnya itu kepada orang lain pula. Jadi di akan mengambil barang yang bukan miliknya, dia akan meminjam barang yang bukan miliknya.

Waktu dulu saya kuliah, saya masih ingat, teman sekamar saya suka mengambil makanan saya di lemari es, saya merasa kesal sekali. Karena saya sudah beritahu dia, saya mula-mula diam saja, ia mengambil makanan saya. Akhirnya saya ajak dia bicara baik-baik, saya mengatakan jangan mengambil makanan saya, kalau mau ambil minta izin dulu. Bagi sebagian orang minta izin adalah hal yang baru, sebab bagi mereka tidak apa-apa mengambil barang orang, sebab di rumah dulu ya begitu tidak ada batas sama sekali.
IR : Apa tidak mempunyai perasaan bersalah, ya Pak Paul?

PG : Dalam kasus ini mungkin tidak, jadi anak-anak ini merasa tidak apa-apa mengambil barang orang lain. Mereka mengerti bahwa mereka mengambil barang orang lain tapi mereka biasa saja karen di rumah terbiasa seperti itu.

Nah, situasi ini bisa mendorong anak untuk mencuri karena di rumah tidak ada batas, di luarpun dianggap tidak ada batas dan kalaupun ada batas berarti boleh dilanggar.
GS : Tapi setiap anak atau setiap orang, mulai dari anak-anak itu dibekali hati nurani, sekalipun untuk dia tidak apa-apa, tapi seharusnya hati nuraninya bisa berkata ini keliru.

PG : Ya, ini situasi yang kedua, Pak Gunawan, yaitu ada rumah tangga atau situasi di mana sangat kurang penanaman hati nurani pada diri anak.

GS : Tidak diasah, tidak dilatih untuk mendengarkan suara hati nuraninya.

PG : Betul, kurang diajarkan. Jadi anak-anak ini memang kurang tahu benar salah. Tindakan-tindakan itu akhirnya tidak menimbulkan rasa bersalah. Saya pernah berbicara dengan seorang yang suah dewasa, yang mengaku bahwa waktu kecil ia mengambil uang orang tuanya.

Saya bertanya apakah engkau merasa bersalah? Tidak merasa bersalah sama sekali. Di sini kita melihat hati nuraninya kurang bekerja, karena apa? Kemungkinan besar kurang ditanamkan oleh orang serumah atau oleh orang tuanya.
IR : Pak Paul, apakah perlu kita sebagai orang tua juga mengawasi milik anak-anak kita?

PG : Saya kira itu baik sekali, Ibu Ida. Jadi kita sendiri memang mengawasi apa saja yang dia miliki.

IR : Kadang-kadang, tiba-tiba dia mempunyai sesuatu, asalnya dari mana perlu kita tanya.

PG : Betul sekali, apalagi kalau dia tidak pernah mempunyai tiba-tiba mempunyainya, apalagi barang yang sedikit berharga, kita harus menanyakannya.

GS : Memang saya rasa mencuri itu dalam tingkat tertentu ya Pak Paul, itu menjadi pengalaman banyak orang, sayapun pernah melakukan hal itu dalam skala kecil-kecilan. Sebenarnya ada rasa kepuasan tersendiri, Pak Paul, kalau misalnya orang tua kita tidak mengetahui bahwa barangnya dicuri, itu yang bisa mendorong untuk mengulanginya lagi. Pertama sedikit, uang kecil misalnya Rp. 1.000,00, Rp. 2.000,00 tapi lama-lama bertambah banyak.

PG : Mencuri itu pada dasarnya mempunyai sistem imbalan tersendiri, Pak Gunawan. Imbalan pertama secara psikologis, emosional. Tadi Pak Gunawan sudah singgung yaitu adanya kepuasan karena kia bisa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain, yang menegangkan.

Kita ini sedikit lebih berani dari orang lain. Ada unsur itu juga, waktu kita berhasil melakukan sesuatu yang menegangkan, yang berbahaya dan lolos itu ada kepuasan. Yang berikutnya adalah selain imbalan dalam mencuri, kita bisa memiliki yang dimiliki orang lain, ini juga menimbulkan satu kepuasan. Kita bisa mencicipi yang dimiliki oleh orang lain dan kita merasa senang. Dan yang ketiga adalah kita bisa menikmati hasil curian itu, dengan uang yang kita miliki kita bisa membeli barang-barang yang kita inginkan. Akhirnya ketiga unsur ini menjadi suatu sistem imbalan dalam mencuri. Ini yang membuat akhirnya orang atau anak-anak kecil terus mencuri.
GS : Lagi pula yang saya ingat itu, ayah saya biasanya tidak minta kembali Pak Paul, cuma tanya saja. Saya bilang tadi saya ambil saya belikan ini, ini dan ayah berkata sudah lain kali jangan. Itu membuka peluang untuk lain kali mengambil lagi.

PG : Betul.

GS : Sebetulnya bagaimana, Pak Paul? Kalau seandainya waktu itu diminta, ya ayah saya meminta untuk mengembalikan, ya sudah habis uangnya.

PG : Yang baik adalah sistem sanksi, ya Pak Gunawan, salah satu sistem sanksi yang bisa diterapkan untuk pencurian adalah bukan saja dia harus mengembalikan, tetapi dia harus juga mengembalian ditambah dengan sanksinya atau hukumannya, ini yang Alkitab katakan.

Jadi misalkan kalau orang kedapatan misalnya mencuri, bukan saja barang itu harus dikembalikan, tapi berkali-kali lipat dikembalikannya. Nah anak yang misalnya mencuri uang kita Rp. 1.000,00 waktu kita bertanya mana uangnya, sudah habis dibelikan sesuatu. Misalkan uang jajannya 1 hari Rp. 300,00 kita katakan, Rp. 1.000,00 itu harus engkau kembalikan dan hukuman atas pencurianmu sekali ini adalah saya tambahkan Rp. 200,00 berarti apa, berarti empat hari tidak dapat uang jajan. Dia harus membayar kembali, ini jauh lebih efektif daripada marah-marah memukuli si anak, jadi itu jauh lebih efektif.
GS : Jadi bentuk pencurian yang dilakukan oleh anak-anak itu bukan sekadar kenakalan atau salah satu bentuk dari kenakalan, Pak Paul?

PG : Ada, jadi anak-anak remaja yang mulai nakal, mulai mencuri karena dia mau membeli rokok atau apa, itu bisa merupakan kenakalan. Tapi sebetulnya kenakalan dalam kasus seperti ini lebih gmpang diobati; yang jauh lebih susah diobati adalah sudah sejak dari kecil tidak ada batas, yang impulsif, yang kleptomania atau yang kurang perhatian, terus hal ini menjadi bagian dalam kehidupannya, itu lebih sulit diobati.

Kalau yang remaja karena nakal-nakal sedikit dengan sanksi, dengan diomeli atau apa mungkin saja bisa berhenti.
GS : Biasanya kita orang tua mengharapkan atau memperkirakan nanti kalau sudah besar, dia sudah bisa membedakan yang boleh dan tidak boleh, maka mencuri itu akan hilang dengan sendirinya, begitu Pak Paul?

PG : Adakalanya hilang sendiri, memang waktu dia mendapatkan perhatian dari temannya di sekolah, keinginan mencuri lebih berkurang. Maksud saya begini, anak-anak yang relatif sehat, sebetulna kurang sekali perhatian di rumah.

Tapi lama-lama di sekolah dia mempunyai banyak teman, teman-teman mengobrol, otomatis pikiran untuk mencurinya akan berkurang karena pergaulannya makin luas, makin banyak teman, main dengan teman, lari ke sana ke sini. Yang justru lebih rawan adalah yang diam tidak ada teman, sendirian, dia perlu aktifitas lalu mencuri barang orang lain.
IR : Apakah ada pencurian yang bisa ditoleransi, Pak Paul?

PG : Mencuri hati, mencuri perhatian. Sebetulnya tidak, jadi setiap pencurian harus kita tanggapi, tidak boleh kita diamkan.

GS : Dan sehubungan dengan itu, apa firman Tuhan yang telah Tuhan sampaikan melalui Alkitab itu?

PG : Di dalam Amsal 22:15 firman Tuhan berkata : "Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya." firman Tuhan memang menekankan ekali disiplin, pembentukan, pengarahan.

Dan tidak ada konsep di Alkitab yang mendukung pandangan bahwa biarkan anak-anak bertumbuh dengan sendirinya secara natural, tidak. Tugas orang tualah untuk mengarahkan anak dan termasuk dalam hal mencuri ini. Saya kira salah satu hal paling pokok yang harus dilakukan orang tua adalah memberikan pengawasan pada anak. Anak yang tidak terawasi dengan baik, cenderung terlibat dalam masalah. Masalahnya pada masa kecil juga akan kecil, bertambah besar masalahnya akan bertambah rumit.
IR : Dan menanamkan kejujuran, ya?

PG : Betul sekali, jadi orang tua harus menanamkan kejujuran.

GS : Tapi justru seringkali dengan alasan apa, anak itu justru melihat orang tuanya mencuri, Pak Paul.

PG : Itu pernah saya lihat, waktu saya masih bekerja di departemen yang mengurus anak-anak yang dianiaya. Ada satu anak remaja yang mencuri, lalu ditangkap polisi dan saya baru tahu bahwa yag suka mencuri adalah mamanya, dia disuruh mamanya mencuri.

Mamanya mengambil barang, dia disuruh menunggu di depan lorong untuk melihat apakah ada orang atau tidak. Ya pantas anaknya mencuri karena mamanya mencuri.
IR : Langsung mencontoh perilaku orang tuanya, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda, sebuah perbincangan tentang mengatasi perilaku anak yang mencuri bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA. Bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami ucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



11. Bagaimana Menangani Perilaku Anak yang Mencuri 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T038B (File MP3 T038B)


Abstrak:

Lanjutan dari T38A


Ringkasan:

Ada 4 hal yang menyebabkan anak mencuri adalah sbb:

  1. Anak mencuri karena dia adalah anak yang impulsif. Impulsif berarti seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat untuk mempunyai sesuatu, dan waktu dia menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan seketika.

  2. Anak yang membutuhkan perhatian, karena hidup di lingkungan yang kurang sekali perhatian, dia sangat butuh aktifitas. Waktu dia membutuhkan aktifitas, yang dilakukan ialah mencuri, dengan dia mencuri dia bisa membeli barang yang ia inginkan sebab di rumah atau di sekolah kemungkinan besar dia tidak mendapatkan perhatian, jadi anaknya menyendiri.

  3. Tipe anak yang egosentrik, anak-anak yang sangat egois di mana keinginannya tidak boleh dibendung, yang dia inginkan harus dia dapatkan, dia tidak mengenal batas milik, bahwa ini milik orang lain, ini milik saya sebab orang pun harus tunduk pada keinginannya.

  4. Tipe keempat adalah anak yang bermasalah. Atau yang lebih sering disebut kleptomania yaitu anak-anak yang sebetulnya kompulsif anak-anak yang mempunyai problem perilaku, di mana dia harus mencuri meskipun dia tidak membutuhkan barang yang dia inginkan tapi dia mengambilnya, karena itu suatu perilaku yang harus dia lakukan.

Situasi-situasi yang mendukung anak melakukan tindakan mencuri, yaitu:

  1. Situasi yang sangat kurang pengawasan terhadap benda-benda berharga di dalam rumah kita.

  2. Sangat kurangnya penanaman hati nurani pada diri anak, sehingga anak-anak itu tidak tahu lagi benar salah. Tidak pernah diajarkan mana yang baik mana yang kurang baik, sehingga akhirnya mencuri bukan sesuatu yang salah baginya.

  3. Kurangnya pengawasan terhadap anak sehingga anak-anak bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya.

  4. Situasi ekonomi yang lemah dalam pengertian sangat susah, bisa juga yang sedang tapi kebetulan tinggal di lingkungan yang melampaui kemampuan ekonominya. Jadi teman-temannya memakai baju yang bagus, cincin yang bagus atau apa, akhirnya dia juga tergoda untuk memilikinya.

  5. Situasi budaya, budaya yang membolehkan pencurian. Yaitu sistem kehidupan/ cara hidup di lingkungan-lingkungan tertentu yang seolah-olah memberikan toleransi orang mencuri atau mengambil barang orang lain.

Biasanya ini dilakukan kepada orang-orang yang lebih berada, dan dilakukan selama itu tidak terlalu merugikan pemiliknya. Atau juga dengan merasionalisasi bahwa seharusnya orang membagikan hartanya dengan dia yang tak punya. Contoh : tokoh Robin Hood, Jessie James (mencuri tapi membagikan kepada orang-orang miskin).

Mencuri pada dasarnya mempunyai sistem imbalan yang tersendiri, yaitu:

  1. Imbalan pertama secara psikologis, emosional. Adanya kepuasan karena kita bisa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain, kita sedikit lebih berani untuk melakukan hal yang menegangkan.

  2. Selain imbalan dalam mencuri kita bisa memiliki yang dimiliki orang lain, nah ini juga menimbulkan satu kepuasan.

  3. Kita bisa menikmati hasil curian itu, dengan uang yang kita miliki kita bisa beli barang-barang yang kita inginkan.

Nak akhirnya ketiga unsur ini menjadi suatu sistem imbalan dalam mencuri, ini yang membuat akhirnya orang atau anak-anak kecil terus mencuri.

Yang perlu kita lakukan sebagai orangtua terhadap anak yang mencuri:

  1. Melakukan sistem sanksi, salah satu sistem yang bisa diterapkan adalah bukan saja dia harus mengembalikan, tetapi dia harus juga mengembalikan ditambah dengan sanksinya atau hukumannya, ini yang Alkitab katakan.

Amsal 22:15, Firman Tuhan berkata: "Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya." Firman Tuhan menekankan sekali disiplin, pembentukan, pengarahan. Dan tidak ada konsep di Alkitab ya, mendukung pandangan bahwa biarkan anak-anak bertumbuh dengan sendirinya secara natural, tidak. Tugas orang tualah untuk mengarahkan anak dan termasuk dalam hal mencuri ini. Saya kira salah satu hal yang paling pokok, harus dilakukan orang tua adalah memberikan pengawasan pada anak. Anak yang tidak terawasi dengan baik cenderung terlibat dalam masalah.

Amsal 23:15 berkata: "Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita. Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur." Nah ini jelas ya, Tuhan akan sangat senang sekali kalau hati kita bijak dan mulut kita melakukan atau mengatakan hal yang jujur. Ini tantangan buat kita orang tua menanamkan hal ini pada anak-anak kita. Berhati bijak dan bermulut jujur.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan melanjutkan perbincangan kami beberapa waktu yang lalu yaitu tentang mengatasi perilaku anak yang mencuri. Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita sudah berbincang-bincang tentang bagaimana mengatasi anak yang mencuri, tapi karena banyaknya sisi yang harus kita lihat rupanya perbincangan itu perlu kita lanjutkan pada kesempatan ini. Supaya para pendengar kita kali ini juga mempunyai gambaran apa yang kita bicarakan pada kesempatan yang lalu, mungkin Pak Paul bisa mengawalinya secara singkat, bagaimana kita itu bisa mengenal anak yang mencuri.

PG : Secara garis besar Pak Gunawan ada tipe-tipe anak yang mencuri, jadi tidak semua itu muncul dari satu karung yang sama. Yang pertama adalah anak yang mencuri karena dia sendiri anak yan impulsif.

Impulsif berarti seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat untuk mempunyai sesuatu, dan waktu dia menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan seketika. Nah anak ini bisa menjadi anak yang mencuri, jika dia menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya. Anak yang kedua adalah anak yang membutuhkan perhatian karena hidup di lingkungan yang kurang sekali perhatian, dia sangat butuh aktifitas. Dan waktu dia membutuhkan aktifitas, yang dilakukan ialah mencuri, dengan dia mencuri dia bisa membeli barang yang ia inginkan sebab di rumah atau di sekolah kemungkinan besar dia tidak mendapatkan perhatian, jadi anak itu menyendiri. Yang ketiga adalah anak yang egosentrik, anak yang sangat egois di mana keinginannya tidak boleh dibendung, yang dia inginkan harus ia dapatkan, dia tidak mengenal batas milik, bahwa ini milik orang, ini milik saya, orang pun harus tunduk pada keinginannya. Dan yang keempat adalah anak yang bermasalah atau yang lebih sering disebut kleptomania yaitu anak-anak yang sebetulnya kompulsif, anak-anak yang mempunyai problem perilaku di mana dia harus mencuri meskipun dia tidak membutuhkan barang yang dia inginkan, dia mengambilnya, karena itu suatu perilaku yang harus dia lakukan.
GS : Pada waktu itu kita juga sudah mulai berbincang-bincang sedikit tentang selain ada masalah di dalam diri anak itu, tetapi juga lingkungan di sekitarnya yang mendukung, ada situasi-situasi tertentu yang membuat anak itu melakukan pencurian, Pak Paul?

PG : Betul, yang pertama adalah kurangnya pengawasan atas benda berharga. Jadi dalam rumah tangga itu semuanya terbuka, anak-anak boleh mengambil benda berharga di lemari ibunya, mempunyai knci untuk membuka lemari ayahnya.

Itu suasana yang kurang baik sebab tidak ada lagi batas antara yang privat dan yang umum. Dalam situasi seperti itu anak-anak bisa tergoda untuk mencuri atau tidak mengenal batas milik. Yang kedua adalah kurangnya penanaman hati nurani sehingga anak-anak ini tidak tahu lagi benar atau salah, tidak pernah diajarkan mana yang baik dan mana yang kurang baik, sehingga akhirnya mencuri. Sebenarnya hal itu bukan sesuatu yang salah baginya.
GS : Mungkin itu yang sudah kita bicarakan pada kesempatan yang lalu. Dan sekarang kita lanjutkan. Selain dari situasi itu Pak Paul, apakah ada situasi-situasi yang lain yang mendukung atau mendorong seseorang anak itu sampai mencuri, Pak?

PG : Masih ada Pak Gunawan, yang berikutnya adalah kurangnya pengawasan terhadap anak. Jadi dalam kasus ini anak-anak bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya. Kebebasan ini bisa diperolh, biasanya karena orang tuanya bermasalah atau orang tuanya sangat sibuk sehingga tidak ada di rumah.

GS : Ya itu masalahnya.

PG : Itu sendiri juga masalah, sehingga tidak ada yang mengawasi. Akhirnya mereka bisa melakukan hal-hal yang negatif. Teman-teman mengajak mencuri atau teman-temannya mengatakan ambil saja arang orang tuamu, ya dia ikuti.

Dia ingin membeli sesuatu dan tidak ada uang, temannya mengajarkan agar mengambil barang orang tuanya, dia ikuti juga. Itu karena tidak ada pengawasan yang baik terhadap anak-anak, jadi anak-anak itu dibiarkan bebas, seperti liar.
GS : Atau mungkin Pak Paul, keluarga itu terdiri dari keluarga yang besar sekali, misalnya anaknya banyak sehingga tidak bisa mengawasi satu per satu.

PG : Itu juga bisa, betul Pak Gunawan. Jadi akhirnya orang tua sangat repot, mungkin dengan kehidupan mereka sendiri dan juga anak-anak yang banyak. Sehingga dalam kondisi seperti itu kurangbisa memberikan pengawasan pribadi pada setiap anak.

Banyak perilaku anak yang sebetulnya berpotensi untuk negatif, tapi mengapa tidak berkembang menjadi negatif, karena kehadiran orang tua yang mengawasi anak. Maksud saya begini, ada seorang yang pernah berkata, kalau mau menciptakan monster dalam rumah mudah sekali, lepaskanlah anak-anak kita. Maksudnya biarkan mereka tidak perlu dididik, akhirnya yang negatif akan muncul tapi kalau diawasi dengan baik, yang negatif itu bisa kita tekan dan kita arahkan kembali.
IR : Karena kecenderungan anak itu selalu melakukan yang negatif, ya Pak Paul?

PG : Betul, cukup banyak anak yang memang cenderung seperti itu. Contohnya mengambil barang, anak-anak itu sejak kecil susah sekali melepaskan barang kepada orang lain, mainannya mainan dia,mainan orang lain ya juga mainan dia.

Kalau meminjam barang orang, orang harus berikan, tapi waktu orang meminjam barangnya, sangat susah untuk dia berikan.
GS : Egosentriknya tadi ya Pak Paul?

PG : Betul, jadi kecenderungannya adalah nanti anak-anak itu mengambil barang orang yang ia inginkan.

GS : Tadi yang Pak Paul maksudkan dengan pengawasan, sampai sejauh mana kita sebagai orang tua mengawasi tingkah laku anak kita?

PG : Yang saya maksud adalah orang tua sebetulnya harus tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup anaknya, apa yang dia lakukan. Pada siaran yang lalu Ibu Ida memberikan contoh, kalau anak-ank pulang membawa barang-barang tertentu, orang tua harus tahu.

Jadi orang tua harus sering misalnya ke kamar si anak, mengobrol dengan si anak, dan melihat-lihat barang-barang yang dimiliki. Orang tua harusnya mengingat-ingat pernah membelikan apa, sekarang mengapa ada barang yang tidak dibelikan, dari mana, Otomatis juga orang tua yang harus membelikan, bukan sopir atau suster yang membelikan.
IR : Dengan demikian anakpun juga tidak bebas memiliki?

PG : Betul, anak-anak itu harus tahu bahwa dia diawasi, karena waktu dia mengetahui bahwa tidak diawasi kecenderungannya adalah berbuat melewati batas. Jadi perlu mendirikan pagar di rumah, alau boleh saya ilustrasikan dengan pagar, anak harus tahu batas pagarnya.

Kalau kita gagal memberikan pagar di rumah, dia akan menginjak-injak tanaman orang lain di luar.
IR : Apakah kondisi sosial ekonomi yang tidak mendukung juga membuat anak mencuri, Pak Paul?

PG : Bisa, meskipun tidak semuanya. Tadi contoh-contoh itu bisa terjadi pada rumah tangga yang mapan, namun situasi ekonomi yang lemah bisa juga mendorong anak untuk mencuri. Ini tidak haruslemah dalam pengertian sangat susah, bisa juga yang sedang-sedang tapi kebetulan dia berada di lingkungan yang melampaui kemampuan ekonominya.

Jadi teman-temannya memakai baju yang bagus, cincin yang bagus atau apa, akhirnya dia juga tergoda untuk memilikinya. Ini cukup sering terjadi, jadi orang tua sebetulnya harus bijaksana menempatkan, di mana anak-anak itu bermain, dengan siapa dia itu bergaul. Kalau anak kita adalah anak yang biasa sebaiknya jangan kita menyekolahkan dia di sekolah di mana mayoritas teman-temannya adalah orang-orang yang sangat berada. Ini tidak sehat bagi si anak, sebaiknya dia sekolah dengan anak-anak yang setara derajat ekonominya. Sehingga yang ia miliki, juga teman-temannya miliki, yang teman-temannya miliki, itu juga yang ia miliki; itu lebih baik sebetulnya.
IR : Juga perlu atau tidak, Pak Paul, orang itu menanamkan hidup yang sederhana, misalnya untuk membeli barang yang tidak perlu bermerk?

PG : Bagi saya yang paling penting, mengajarkan kepada anak apa yang terbaik. Nah yang baik itu memang bisa berbeda-beda, dalam keadaan ekonomi yang kurang, otomatis tidak bisa membeli baran yang bermerk.

Kita hanya bisa membeli barang yang cukup baik tapi tidak bermerk. Namun harus kita akui satu hal yang juga merupakan fakta, yang bermerk kualitasnya bagus, kenapa bagus? Karena memang dibuat dari bahan- bahan yang lebih bagus sehingga menuntut biaya yang lebih tinggi. Jadi merk bagus kebanyakan berarti mempunyai mutu yang lebih bagus.
IR : Tapi kadang-kadang merk hanya untuk gengsi, Pak?

PG : Itu yang salah, jadi yang perlu kita tanamkan pada anak bukan gengsinya, bukan prestisenya, tapi mutunya. Kita ini mengajarkan, barang yang bermutu, yang baik. Contohnya saya dulu perna membeli sepatu, sepasang sepatu yang cukup murah, benar saja tidak ada setahun sudah rusak sehingga tidak bisa dipakai.

Istri saya belum lama ini beli sandal atau sepatu saya lupa, dia senang sekali katanya murah, tidak ada 2 minggu lepas semuanya. Jadi yang kita ajarkan kepada anak bukan mengirit tetapi bijaksana, mengerti apa yang kita butuhkan, apa itu kemampuan kita, yang bisa kita beli, dan cobalah beli yang memang bermutu baik, itu saya kira prinsipnya. Jadi kalau menghemat tanpa tujuan, yang jelas kurang bijaksana, jatuhnya bisa lebih mahal. Saya membeli sepatu memang mahal, tapi saya bisa menggunakannya selama 9 tahun.
IR : Tapi anak-anak remaja sekarang cenderung untuk membeli barang bermerk hanya karena gengsi.

PG : Itu yang salah, dan anak-anak yang dikelilingi teman-teman yang bergengsi seperti itu, sedangkan dia sendiri tidak mampu, dia akan cenderung mencuri. Atau sebetulnya dia mampu, dia tahuorang tuanya mampu, tapi orang tuanya tidak mau membelikan itu bisa juga mendorong dia untuk mencuri.

Jadi intinya kita harus mengawasi, dengan siapa anak-anak kita bergaul, apakah selevel atau tidak. Meskipun sebetulnya selevel dengan kita, tapi kita menginginkan anak kita mempunyai tingkat kehidupan yang seperti itu. Kalau kita tidak menginginkan kita harus perhatikan, dengan siapa dia bergaul.
GS : Lalu apa ada situasi yang lain selain 4 situasi yang sudah Pak Paul sebutkan tadi?

PG : Yang terakhir yang bisa saya pikirkan adalah situasi budaya, Pak Gunawan, jadi saya harus akui ada budaya yang membolehkan pencurian.

GS : Bagaimana itu?

PG : Misalnya begini, Pak. Ada budaya atau sistem kehidupan, cara hidup di lingkungan- lingkungan tertentu yang seolah-olah memberikan toleransi kepada orang mencuri atau mengambil barang yag lainnya.

Terutama mencuri dari orang yang lebih berada. Seakan-akan tersirat suatu asumsi, asal tidak terlalu merugikan pemiliknya ya tidak apa-apa. Atau yang lainnya adalah rasionalisasi yaitu bukankah dia seharusnya membagikan hartanya dengan saya yang tidak punya ini. Ini tercermin misalnya dari cerita Robin Hood, kita susah mempersalahkan Robin Hood. Orang cenderung mendewakan Robin Hood karena dia mengambil dari raja-raja yang kaya yang dianggap lalim, kemudian memberikannya kepada orang-orang yang miskin. Ini juga diulang lagi di Amerika, Robin Hood di Inggris, di Amerika adalah Jessie James. Perampok bank yang dikenal sangat dermawan, merampoki kereta-kereta api yang membawa uang dari bank kemudian membagikannya kepada orang miskin. Hal ini terjadi juga pada cerita Pablo E. Dia adalah bos mafia di Amerika Latin, saya lupa itu di negara apa tapi di Amerika Latin. Katanya dia juga dermawan luar biasa, suka memberikan kepada orang-orang yang miskin sehingga meskipun dia terlibat dalam obat-obat bius dan yang dikenal sangat jahat oleh negara-negara lain, tapi dianggap sebagai pahlawan di lingkungannya. Jadi kadangkala kita, manusia ini karena sudah berdosa, sistem nilai kita tercemar sehingga kita akhirnya membolehkan hal yang tidak boleh. Salah satunya adalah kasus penjarahan di kota-kota yang dijarah pada tahun lalu. Banyak orang mengambil barang dan merasa tidak apa-apa, ini bukan hanya terjadi di negara kita. Waktu tahun '91 atau '92 peristiwa R. King, orang hitam yang dipukuli oleh polisi kemudian dibebaskan, maksudnya polisi itu dibebaskan oleh pengadilan, lalu orang-orang hitam di Amerika demonstrasi dan menyerang toko-toko orang kulit putih dan toko-toko orang Korea di Los Angeles. Saya masih ingat sekali, orang-orang yang tidak ikut pun begitu melihat terjadi kekacauan, semua keluar mengambil barang, mengambil barang-barang orang, toko dimasuki diambil barangnya. Kita tahu di Amerika sebetulnya tidak ada alasan orang miskin, tidak punya pekerjaan pun mendapat dukungan dari negara, bisa hidup dengan layak.
GS : Tapi masih tetap mencuri, karena lingkungannya mengizinkan, situasinya mendukung waktu itu.

PG : Seolah-olah alasan yang diberikan kepada orang, kepada diri sendiri adalah yang punya toko masih orang kaya. Saya mengambil satu televisi juga tidak apa-apa, seolah-olah ada asumsi yangtersirat yaitu seyogyanyalah engkau memberikan barang ini kepadaku, engkau rela berikan yang bagus, engkau tidak rela memberikan ya saya ambil dengan sembunyi-sembunyi atau dengan paksa.

Ini budaya yang tadi saya katakan membolehkan sistem nilai kehidupan, yang membolehkan orang untuk mencuri meskipun sebetulnya tetap salah karena dalam iman Kristiani kita yang salah ya salah, yang benar ya benar. Tuhan tidak pernah membiarkan atau memperbolehkan perbuatan Robin Hood, atau Jessie James.
IR : Di Alkitab juga dilarang mencuri.

PG : Betul, sangat jelas sekali tertulis dilarang mencuri.

GS : Waktu Akhan mencuri, sampai seluruh keluarganya dihukum mati.

PG : Betul.

(1) GS : Pak Paul yang cukup sering terjadi akhir-akhir ini, di sekolah-sekolah khususnya. Banyak anak yang berkecukupan tetapi juga ada anak yang kurang mampu di sana. Mereka itu bukan saja mencuri Pak Paul, tapi meminta dengan paksa. Sepatu misalnya atau tasnya yang diminta, sebenarnya apa yang mendorong padahal itu terhadap teman sendiri, Pak Paul?

(2) PG : Ada beberapa faktor Pak Gunawan. Faktor yang cukup umum adalah faktor menjadi orang yang berkuasa, kebanyakan adalah bagian dari kelompok yang berkuasa di sekolah itu atau di ligkungannya.

Manusia sebetulnya tidak begitu bisa menjadi orang yang berkuasa. Sedikit sekali manusia yang bisa menjadi orang yang berkuasa, sebetulnya mayoritas manusia tidak siap untuk berkuasa. Maksud saya adalah begini, waktu manusia berkuasa, manusia cenderung melakukan hal-hal yang salah. Kalau dia tidak berkuasa apa-apa justru dia melakukan hal-hal yang benar. Anak-anak yang tubuhnya kuat, bisa berkelahi, atau menjadi bagian dari kelompok yang sedang berkuasa, akhirnya melewati batas yaitu melakukan hal-hal yang salah, bertindak semena-mena, mengompas orang, kalau istilahnya kami dulu di Jakarta, merampas barang milik orang karena memang ingin memilikinya, merasa saya ini tidak punya apa-apa, dengan uang saya sendiri saya tidak bisa memiliki barang seperti itu, akhirnya melakukan tindakan yang salah yaitu merampas.
IR : Bisakah Pak Paul kalau seseorang anak itu sering kehilangan barangnya di kelas karena saat ini sering terjadi pencurian, akhirnya cenderung mencuri sebagai ganti?

PG : Bisa Ibu Ida, jadi perilaku mencuri itu bisa ditularkan, kalau lingkup kita penuh dengan para pencuri yang mencuri dan kita melihat sebagai sesuatu yang cocok, kita cenderung melakukanna seperti itu.

Dan kita pun bisa berdalih untuk mengurangi rasa bersalah kita, orang mencuri barang saya ya saya mencuri barang orang lain, sama begitu.
GS : Kalau masih dalam situasi kelas terjadi pencurian, lalu guru melakukan penggeledahan. Seandainya ketahuan siapa pencurinya, lalu guru itu mengumumkan. Apa dampaknya pada anak yang mencuri, itu sangat memalukan sekali, ya Pak Paul?

PG : Betul, dalam hal penanganan anak-anak yang mencuri kita harus menyadari ada 2 hal yang harus kita tanamkan pada si anak. Yaitu rasa bersalah dan rasa malu. Rasa bersalah membuat dia tah bahwa tindakannya itu salah, tapi tindakan salah belum cukup menghentikan orang untuk melakukan hal yang salah.

Maksud saya begini, kita banyak mengetahui hal yang salah tapi tetap kita lakukan, karena apa, karena seringkali rasa bersalah tidak cukup menghentikan kita untuk melakukan hal yang salah itu. Jadi perlu juga yang disebut rasa malu, orang yang saya maksud adalah terhadap diri sendiri. Kenapa saya bisa melakukan hal seperti itu, budaya malu bukanlah budaya malu eksternal. Kalau orang melihat saya malu, kalau orang tidak melihat saya tidak malu bukan begitu. Yang perlu kita tanamkan terhadap anak-anak yang mencuri ini bahwa perbuatan mencuri adalah hal yang memalukan untuk dirimu, karena merendahkan engkau sebagai manusia. Engkau menjadi seorang pencuri yang memalukan bagi dirimu sendiri. Bisakah engkau melihat dirimu dengan bangga waktu engkau mencuri, jadi itu yang perlu lebih ditekankan pada anak. Bukan malu nanti orang melihat kau anak siapa, memalukan papa saja, dengan begitu anak tidak akan merasa malu. Sebab dia tahu yang malu siapa, papanya bukan dia. Jadi kita seringkali salah kaprah, salah target di situ. Selain itu kita memang perlu memberikan pengajaran moral, nilai moral, nilai rohani. Namun penekanan sekali lagi bukan pada pelakunya. Engkau orang berdosa, engkau salah. Penanaman nilai moral yang penting adalah berpusatkan pada perbuatan yang salah. Bahwa perbuatan mencuri adalah hal yang salah karena perbuatan ini merugikan orang luar biasa dan kita tidak mau dirugikan pula. Barang yang kita miliki adalah hak milik kita, jadi perbuatan itu menjadi sorotan kita dan yang harus kita tekankan adalah melanggar perintah Tuhan sendiri. Salah satu dari hukum Taurat adalah jangan mencuri jelas itu ditekankan. Kita bisa mengajarkan juga firman Tuhan yang dengan jelas menegur orang yang mencuri, seperti yang tadi Pak Gunawan ceritakan tentang Akhan.
GS : Tapi, masalah pencuri, sekalipun orang itu ketahuan, dihukum, mungkin juga merasa malu dan sebagainya, kenapa masih mencuri lagi. Buktinya kadang-kadang anak-anak yang mencuri dimasukkan ke penjara anak dan sebagainya, keluar dia mencuri lagi, bagaimana bisa seperti itu, Pak?

PG : Betul, karena pencurian yang sudah kronis bukan lagi menjadi suatu perilaku yang terisolasi tapi merupakan bagian dari kehidupannya. Jadi kalau kita mau membereskan pencuriannya, kita hrus membereskan sistem kehidupannya secara keseluruhan.

Maksud saya begini, anak-anak yang mencuri terus, bertahun-tahun mencuri, menjadi anak yang tidak dipercayai. Salah satu cara mengubahnya untuk tidak mencuri lagi adalah kita harus memulainya dengan menambahkan kepercayaan kepadanya. Meminta dia melakukan satu hal, dua hal, waktu dia mulai dipercayai, perasaan positif ini akan sedikit demi sedikit menggeser perasaan negatifnya sebab selama dia merasa saya memang sudah begini, memang saya orang yang mencuri, saya memang orang tidak benar dan terus dia bergelimang dalam perasaan negatif itu, dia akan melanjutkan tingkah laku mencurinya. Tapi waktu dia mulai melihat bahwa dia sebetulnya orang yang dipercaya, orang yang cukup positif, orang yang bisa baik. Akhirnya dia akan mulai merasa tindakan saya mencuri ini tidak sesuai dengan gambar diri saya, saya bukannya orang yang jahat seperti itu, saya orang yang cukup baik. Jadi dengan kata lain penanganannya adalah bukan saja memberikan sanksi, tapi juga memberikan kepercayaan, tanggung jawab kepadanya. Waktu dia merasa dia bisa bertanggung jawab dan memberikan yang diinginkan oleh orang lain sesuai dengan yang diminta tadi, dia akan merasa lebih senang tentang dirinya.
GS : Jadi sebenarnya orang atau anak yang suka mencuri itu punya rasa percaya diri atau tidak, Pak Paul?

PG : Mungkin saja punya rasa percaya diri, tapi secara tepatnya saya katakan dia itu kemungkinan kurang dipercayai, kurang mendapatkan kepercayaan dari orang. Dia mungkin cukup percaya diri,dia bisa melakukan apa-apa, mampu apa-apa, tapi yang sudah pasti dia kurang dipercayai, mungkin juga kurang diawasi, kurang diperhatikan oleh orang tuanya.

Tapi sekali lagi saya tekankan pemberian sanksi juga harus ada, harus langsung dan segera, jangan seminggu kemudian baru diomeli, tidak. Langsung ketahuan langsung diberikan sanksi, misalkan kita omeli dia dan sekali lagi waktu kita mengomeli dia sebisanya kita mengontrol lidah kita. Jangan menyerang pribadinya, kamu mencuri, tidak tahu adat atau apa, tidak. Kita fokuskan pada perbuatannya yang salah dan yang harus kita tekankan adalah rasa malunya bahwa engkau malu terhadap dirimu sendiri, nah dia hanya bisa terus merasa malu dengan dirinya kalau standar hidupnya atau standar tentang siapakah dia dinaikkan. Kalau dia merasa saya memang bejat ya dia tidak merasa malu lagi. Tapi kalau dia melihat dirinya lebih baik dari yang semula terjadilah ketidakcocokkan, itulah kesempatan dia merasa malu. Waktu dia mulai dipercaya, diberikan tanggung jawab, dia merasa cukup baik, mendapat pujian, engkau melakukan hal yang baik, dia melihat dirinya mulai baik, tidak seperti yang dulu waktu mencuri, ya seharusnya dia tidak mencuri lagi.
GS : Kalau kita menjumpai anak itu mencuri bukan barang milik kita, bukan barang dari keluarga kita, apakah kita harus mendorong anak itu mengembalikan barang itu?

PG : Bagus sekali Pak Gunawan, seperti yang kita bahas minggu lalu. Jadi anak-anak ini harus diajar untuk membayar balik, membayar balik apapun yang dia lakukan. Dia harus membayar balik, buan saja diomeli supaya dia merasakan susahnya.

Pukulan misalnya dipantat dipukul 2, 3 kali, dua menit kemudian dia lupa. Tapi dengan dia harus bayar kembali, Rp. 1.000,00 ya dia harus bayar Rp. 1.000,00 ditambah dengan bunganya misalnya Rp. 300,00, Rp. 400,00 uang jajannya diambil selama seminggu, dia harus merasakan penderitaan itu.
GS : Walaupun itu menyakitkan Pak Paul, malu sekali kalau dia harus mengembalikan barang itu, bila terhadap orang tuanya lebih mudah, tapi terhadap teman-temannya?

PG : Dengan teman-temannya saya anjurkan kalau di kelas, guru tidak mempublikasikannya. Jadi berikan kesempatan dia berbicara secara pribadi, dengan teman yang dicurinya dan meminta maaf, megembalikan ditambah dengan bayaran tambahan itu secara pribadi.

GS : Mungkin itu lebih berkesan, ya Pak Paul?

PG : Kalau tidak, kita memang menghancurkan harga dirinya dan semakin harga dirinya hancur, dia merasa cocok dengan tindakan mencurinya, jadi sama-sama rusaknya.

GS : Dalam hal ini apakah ada firman Tuhan yang Pak Paul ingin sampaikan?

PG : Firman Tuhan di Amsal 23:15 berkata : "Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita. Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur." Nah ini jelas ya, Tuan akan sangat senang kalau hati kita bijak dan mulut kita melakukan atau mengatakan hal yang jujur.

Ini tantangan untuk kita orang tua menanamkan hal ini pada anak-anak kita. Berhati bijak dan bermulut jujur.
GS : Terimakasih sekali Pak Paul.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan kehadapan Anda, sebuah perbincangan lanjutan yaitu bagaimana menangani perilaku anak yang mencuri, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Sekali lagi bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda untuk menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami ucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



12. Bagaimana Menangani Anak Yang Egois 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T052A (File MP3 T052A)


Abstrak:

Pada dasarnya setiap anak lahir ke dunia memiliki sikap egois atau sikap mementingkan diri sendiri. Kita sebagai orangtua harusnya dapat menciptakan pertumbuhan yang sehat yang dapat mendorong anak bukan saja mementingkan dirinya namun juga mementingkan diri orang lain. Dan juga menciptakan keseimbangan antara mementingkan diri sendiri dan juga mementingkan diri orang lain.


Ringkasan:

Pada dasarnya setiap anak lahir ke dunia memiliki sikap egois atau sikap mementingkan diri sendiri. Pertumbuhan yang sehat harusnya mendorong anak bukan saja mementingkan dirinya, namun juga mementingkan kepentingan orang lain. Harus ada keseimbangan antara keduanya, saya kira anak yang terlalu mementingkan diri orang lain, sehingga tidak lagi melihat kepentingan dirinya menjadi anak yang tidak terlalu sehat. Jadi yang dituju adalah keseimbangan antara mementingkan diri sendiri dan juga mementingkan kepentingan orang lain.

Adakalanya orang tua memberikan perlakuan kepada anak secara tidak sadar malah menumbuhkembangkan sikap egois pada anak. Sehingga anak akhirnya tidak pernah berhasil memperhatikan kebutuhan orang-orang lain, namun malah hanya mengutamakan kepentingannya sendiri. Ada beberapa perlakuan orang tua yang bisa membuat anak-anak itu menjadi anak-anak yang egois.

Beberapa ciri anak yang egois:

  1. Anak-anak yang egois adalah anak-anak yang tidak bisa menyeimbangkan kedua hal ini, dia hanya bisa mengutamakan dan hanya mengutamakan kepentingannya bahkan kadang-kadang tidak bisa menomerduakan kepentingan orang lain sebab baginya tidak ada kepentingan orang lain; yang ada adalah kepentingan diri sendiri.

  2. Menganggap diri sebagai kasus khusus. Dalam arti keinginannya harus didahulukan sebab dia merupakan kasus perkecualian.

  3. Tapi anak yang egois tidak harus manja, yang jelas nyata adalah dia menuntut. Dan ciri ketiga ini juga sangat dominan yaitu, tuntutannya memang tidak mengenal batas. Seolah-olah kapanpun dia memintanya, dimanapun dia memintanya, apapun yang dimintanya harus dituruti.

Ada dua kondisi utama yang menyebabkan anak-anak menjadi egois sbk:

  1. Orang tua atau keluarga yang memberi perhatian kepada anak secara berlebihan. Kadangkala itu terjadi tanpa disengaja.
    Saya akan berikan beberapa ciri-cirinya:

    1. Orang tua yang memberikan perhatian berlebihan kepada anak adalah orangtua yang terlalu memuja-muja anak, baik secara langsung atau tidak langsung.

    2. Adakalanya orang tua kurang menyoroti kelemahan anak karena terlalu meninggikan dan mengagungkan si anak. Sehingga jarang membicarakan kelemahan si anak, dan akibatnya kurang menuntut anak memperbaiki dirinya di dalam kekurangan-kekurangannya.

    3. Orang tua terlalu bergantung pada anak sebagai pemenuh kebutuhan emosional mereka sendiri.

    4. Orang tua kurang mendisiplin anak.

  2. Orang tua yang tidak mendisiplin anak dengan baik sehingga semua yang anak-anak minta dituruti tanpa batas.

Kejadian 22:11,12, "Tetapi berserulah malaikat Tuhan dari langit kepadanya, "Abraham, Abraham!" sahutnya "ya Tuhan", lalu Ia berfirman : "Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Ku ketahui sekarang bahwa engkau takut akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu."

Kita tahu ini adalah cerita Abraham dimana Tuhan meminta dia mengorbankan anaknya Ishak, tapi Abraham tidak segan-segan memberikan putranya dan ternyata memang Tuhan hanya menguji dia. Janganlah kita sampai terlalu sayang pada Ishak-Ishak kita sehingga kita menomerduakan Tuhan, tidak bisa. Prinsip itu harus kita pegang dengan patuh, Tuhanlah yang nomor satu, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu. Sekalipun dalam keluarga sendiri, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu, anak perlu dididik dan dibatasi.

Beberapa ciri orang tua yang kurang memberikan perhatian kepada anak:

  1. Orang tua yang memberikan sedikit waktu pada si anak, jadi benar-benar waktu yang diberikan sangat minim. Mereka misalkan repot bekerja, pulang sudah malam, akhir pekan juga mungkin bekerja atau pun kalau tidak bekerja menjadi orangtua yang terlalu letih, akibatnya adalah tidak memberikan waktu yang lebih kepada si anak.

  2. Orang tua yang terlalu banyak menolak atau terlalu memberikan banyak penolakan pada anak Anak yang disebodohkan tidak mendapatkan cinta kasih, dia merasa justru sangat diabaikan.

  3. Anak yang didisiplin terlalu ketat atau terlalu berkelebihan juga bisa menjadi anak yang egois.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi sifat egois:

  1. Kita harus membesarkan anak dengan suatu pengertian bahwa anak itu membutuhkan dua hal yang hakiki. Yang pertama adalah anak-anak membutuhkan cinta kasih, yang kedua anak-anak juga membutuhkan disiplin.

  2. Yang sulit justru untuk menolong orang tuanya, apalagi kalau orang tua yang sudah terlanjur misalnya mencurahkan perhatiannya yang terlalu banyak kepada anak, sehingga anaknya jadi egois. Atau orang tua yang sebaliknya. Sebab adakalanya memang orangtua memberi perhatiannya berlebih kepada anak, atau kebalikannya kurang memberi perhatian kepada anak karena mereka sendiri bermasalah dalam hubungan nikah mereka.

  3. Memang akhirnya dalam upaya menolong si anak kita harus libatkan si orangtua dan menunjukkan bagaimana si anak menjadi egois.

Anak-anak yang ditempatkan dalam situasi yang berbeda dan dibentuk lingkungannya dengan kuat, mempunyai dua pilihan.

  1. Pilihan yang pertama adalah dia bersikukuh tidak mau berubah.

  2. Yang ideal adalah yang kedua itu di mana dia akhirnya akan berubah.

Anak-anak yang dibesarkan oleh baby-sitter dari kecil akan kehilangan kesempatan sebagai berikut:

  1. Pertama-tama untuk menerima kasih sayang langsung dari orang tua. Itu suatu kerugian besar bagi si anak.

  2. Kedua dia kehilangan kesempatan melihat orangtua bereaksi atau bersikap dalam hidup, sedangkan anak-anak perlu melihat orang tua bereaksi dalam hidupnya, sehingga dia bisa mulai mencontoh orang tuanya. Otomatis dia akan kehilangan waktu-waktu tersebut dan kehilangan model-model itu.

  3. Ketiga ia kehilangan kesempatan untuk berinteraksi atau bergaul dengan orang tuanya. Dan itu sebetulnya salah satu hal yang mutlak diperlukan oleh seorang anak.

1 Timotius 3:12, "Diaken haruslah suami dari satu istri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik". Saya garisbawahi kalimat mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik. Tuhan meminta orangtua mengurus anak-anak dengan baik karena memang itulah tanggung jawab yang Tuhan embankan kepadanya. Mengurus berarti sekaligus, bukan saja mengelola supaya rumah tangganya itu berjalan dengan damai, tenteram, menerapkan disiplin yang seharusnya, tapi juga menyediakan kebutuhan emosional si anak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang menangani anak yang egois. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Pak Gunawan dan Ibu Ida, ada satu pengamatan yang kadang kala terlihat oleh saya yaitu anak-anak yang luar biasa egoisnya. Kadang kala saya melihat itu di restoran atau di tempat-tempatumum, di mana ada anak-anak yang begitu beraninya menuntut orang tua untuk memberikan sesuatu.

Dan yang membuat hati saya kurang nyaman adalah saya melihat betapa takutnya orang tua terhadap si anak sehingga si anak meskipun dia masih kecil justru dia bertindak seperti raja di dalam rumah itu. Nah saat ini ada baiknya kita meluangkan waktu untuk membahas sejenak tentang anak-anak yang egois, agar semua orang tua bisa melihat lebih jelas apa duduk masalahnya dan bisa mencegah agar mereka tidak menjadi orang tua yang menumbuhkan anak yang egois.
GS : Mungkin masalah yang terlintas di benak saya adalah yang pertama apakah anak itu sendiri menyadari bahwa dia itu egois, saya rasa belum Pak Paul ya, dia belum menyadari hal itu. Dan yang kedua mungkin orang tuanya juga tidak menganggap bahwa anaknya itu egois, hanya manja saja.

PG : Bagus sekali pengamatan Pak Gunawan, kedua hal itu memang sering kali terjadi, jadi yang pertama adalah sudah tentu si anak tidak menganggap dirinya egois, si anak merasakan bahkan dia anyalah mengutarakan keinginannya dan memang cukup banyak orang tua yang tidak menyadari hal ini.

Nah sering kali masalah mulai muncul tatkala anak-anak yang egois ini menginjak usia remaja atau usia praremaja misalkan sekitar usia 10-11 tahunan. Sebab pada saat-saat praremaja itulah anak-anak ini akan mulai membutuhkan banyak barang-barang yang misalkan dia membutuhkan sepatu yang bermerk, mainan tertentu yang bermerk atau menuntut dia itu diajak pergi menonton film yang baru keluar, nah yang akan kita lihat adalah anak-anak ini tidak mudah untuk mengalah dan dia akan benar-benar memunculkan sifat egoisnya.
(1) IR : Kemudian ciri-ciri yang egois itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Nah pertama-tama Bu Ida, memang kita harus melihat ke belakang terlebih dahulu, anak-anak dilahirkan sebagai individu yang egois, tidak bisa tidak itu adalah suatu kodrat yang memang diawa oleh anak di dalam dunia ini.

Dia menjadi egois karena pada saat bayi si anak itu tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, harus bergantung kepada ibu atau figur pengasuhnya untuk memenuhi kebutuhannya. Nah dengan kata lain si anak itu akan menuntut si ibu untuk mencukupi apa yang dia inginkan, dia lapar dia tinggal menangis dan berteriak, dia mau minta perhatian untuk digendong dia tinggal menangis dan berteriak. Dengan cara-cara itulah ibu atau si figur pengasuh memberikan semua yang dibutuhkan oleh si anak. Jadi secara kodrati memang anak-anak itu "egois" pada masa kecilnya, namun anak yang sehat seharusnya akan mulai bergeser dalam pertumbuhannya. Dari titik di mana dia sangat egois mementingkan kepuasan dirinya menuju keseimbangan antara baik mementingkan dirinya atau keinginannya dan juga kepentingan orang lain. Tidak sehat juga kalau seorang anak hanya mementingkan diri orang lain, kepuasan anak-anak lain atau kepuasan orang lain, dia menjadi seseorang yang kehilangan dirinya pula, itupun tidak sehat, tapi itu memang masalah yang berbeda. Jadi yang sehat adalah anak yang memang bisa menyeimbangkan antara mementingkan dirinya dan sekaligus mementingkan kepentingan orang lain. Nah anak-anak yang egois adalah anak-anak yang tidak bisa menyeimbangkan kedua hal ini, dia hanya bisa mengutamakan dan hanya mengutamakan kepentingannya bahkan kadang-kadang tidak bisa menomerduakan kepentingan orang lain sebab baginya tidak ada kepentingan orang lain; yang ada adalah kepentingan diri sendiri.
GS : Sampai sebegitu jauh mungkin orang tua hanya memandang anak ini, ah dia 'kan masih kecil, jadi wajarlah kalau dia itu menuntut perhatian, pandangan yang seperti itu bagaimana Pak?

PG : Sampai titik tertentu memang orang tua harus menyadari itulah yang dibutuhkan oleh anak apalagi pada masa anak-anak itu berusia di bawah 5 tahun, anak-anak akan kesulitan untuk mengertikepentingan orang lain.

Karena kemampuannya berpikir juga masih terbatas, namun perlahan-lahan orang tua memang harus mengajar anak untuk juga belajar, jadi keinginannya itu ditempatkan ke yang paling tepat, yang utama.
GS : Tapi bagaimana dia itu belajar mengalah kalau dia itu hanya satu-satunya anak dalam keluarga itu, Pak Paul?

PG : Saya pernah membaca suatu hasil riset Pak Gunawan dan ini diadakan di Tiongkok dan ternyata dalam riset yang menggunakan subyeknya anak-anak tunggal; diperlihatkan bahwa anak-anak tunggl memang berpotensi besar menjadi anak-anak yang mementingkan diri sendiri.

Nah saya kira dinamika adanya adik dan kakak itu sedikit banyak menolong anak untuk tidak egois, kalau dia bertumbuh besar sendirian tanpa adanya adik atau kakak, tuntutan untuk dia membagi dirinya atau mengalah atau mementingkan kepentingan adik atau kakaknya juga sangat-sangat mustahil untuk ada karena memang tidak ada orangnya. Nah akhirnya keegoisan bisa makin bertumbuh, atau kasus yang lain yang juga mirip, Pak Gunawan, dengan kasus anak tunggal, adalah anak yang berjarak jauh dengan adiknya. Di mana misalkan si kakak sudah berumur 5, 6 tahun baru si adik dilahirkan, dengan kata lain dia sudah menikmati status sebagai anak tunggal bukan hanya 5 tahun sebetulnya sebab kira-kira dua tahun pertama si adik itu belum bisa mengambil barangnya atau mainannya, belum bisa mengganggunya karena masih bayi. Dengan kata lain sekitar 7 tahun dia terbiasa hidup sendirian.
IR : Apakah juga seorang anak yang sakit-sakitan itu juga bisa egois, Pak Paul? Biasanya yang berpenyakitan itu terlalu disayang.

PG : Contoh yang baik sekali, Bu Ida, jadi anak yang memang mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus, sering kali mendapatkan perhatian khusus. Jadi kalau tidak hati-hati si anak ini bisa bertumuh egois, karena dia menganggap semua harus dipusatkan pada dia.

Itulah sebabnya salah satu ciri juga anak-anak yang egois adalah dia menganggap diri sebagai kasus khusus, artinya keinginannya harus didahulukan sebab dia merupakan kasus perkecualian. Anak-anak lain tidak boleh bermain video game pada hari biasa o....dia bisa. Anak-anak lain harus membagi mainannya dengan adiknya o.....dia tidak usah, jadi ada kecenderungan anak-anak yang super egois ini menganggap dirinya itu lepas dari norma-norma yang berlaku di lingkungannya atau dalam keluarganya atau dalam sekolahnya. Anak-anak lain misalnya kalau di sekolah harus melapor ke guru kalau terlambat, o....dia merasa tidak harus, dia langsung masuk ke kelas dan dia menolak untuk melapor kepada guru. Anak-anak lain kalau bersalah harus meminta maaf o....dia tidak usah, dia tidak usah minta maaf, orang lainlah yang harus minta maaf kepada dia. Jadi kita melihat adanya suatu ciri menganggap diri senantiasa sebagai kasus perkecualian atau kasus khusus yang tidak bisa disamakan dengan anak-anak lainnya. Maka itulah kalau orang tua berusaha berkata kamu harus melihat dong anak-anak lain juga begini atau kakakmu begitu o....dia tak akan terima sebab dia menganggap dia berbeda, harus diperlakukan berbeda pula.
GS : Jadi keegoisan itu muncul atau bertumbuh tambah subur dalam diri anak itu ketika dapat stimulan dari orang-orang di sekitarnya?

PG : Betul, jadi adakalanya orang tua itu menyuburkan perilaku egois si anak, meskipun saya percaya orang tua tidak berniat seperti itu. Saya berikan contoh, saya pernah mengamati seorang ank yang mulai bertingkah di hadapan orang tuanya, dia mulai berteriak, dia mulai bersuara dengan keras, menuntut orang tuanya.

Dan saya melihat si orang tua itu seolah-olah tidak berdaya untuk membuat si anak itu berhenti berteriak, nah masalahnya anak ini bukanlah seorang anak yang berusia 14 tahun dan kalau saya tidak salah anak itu berusia di bawah 5 tahun, tapi saya melihat betapa paniknya si orang tua menghadapi anak yang seperti itu, nah sekali lagi tidak seharusnya ini terjadi.
(2) GS : Apakah ada bedanya anak yang manja dengan anak yang egois?

PG : Saya kira ada bedanya, meskipun kalau tidak berhati-hati anak yang manja itu bisa menjadi anak yang sangat egois. Anak yang manja sudah tentu adalah anak yang memang nyata-nyata membutukan perhatian yang khusus, tapi belum tentu dia menjadi anak yang tidak bisa memperhatikan kepentingan orang lain.

Ada anak yang manja sekaligus dia bisa juga mendahulukan kepentingan orang lain, bisa mengalah, namun dalam kemanjaannya dia meminta perhatian yang lebih khusus. Tapi anak yang egois tidak harus manja, yang jelas nyata adalah dia menuntut dan ciri ini juga sangat dominan yaitu tuntutannya memang tidak mengenal batas, seolah-olah kapanpun dia memintanya, di manapun dia memintanya, apapun yang dimintanya harus dituruti. Nah reaksi yang normal yang sering kali muncul adalah kalau tidak diberikan yang dia inginkan dia akan mengadat. Mengadat itu artinya dia akan berteriak, dia membanting diri di lantai, dia menangis meraung-raung, jadi dia akan menggunakan segala taktik-taktik itu guna mendapatkan perhatiannya atau guna memperoleh yang dia inginkan. Nah ini yang dalam bahasa Inggrisnya di sebut "temper tantrum", jadi mengadat seperti itu meraung-raung, berteriak-teriak dengan suara yang sekeras mungkin, sehingga orang tuanya itu panik. Nah di sini saya kira seharusnya orang tua itu tidak panik, namun adakalanya orang tua panik, nah itu membuat si anak tahu o....ini cara yang efektif yang ampuh sekali membuat orang tua saya memberikan yang saya minta.
(3) GS : Kalau begitu apa sebenarnya peran orang tua Pak Paul, dalam hal ini?

PG : Sebetulnya ada dua kondisi Pak Gunawan, yang menyebabkan anak-anak ini menjadi egois. Nah masalahnya yang menarik adalah dua kondisi ini sangat berseberangan mungkin dalam siaran kali ii kita hanya bisa membahas satu di antara dua, dan pada siaran berikutnya kita akan membahas yang keduanya itu.

Yang pertama adalah orang tua atau keluarga yang memberi perhatian kepada anak secara berlebihan, nah kadang kala itu terjadi tanpa disengaja. Ada keluarga atau orang tua yang menanti-nantikan anak selama 5 tahun tidak pernah bisa punya anak, akhirnya si anak itu lahir. Wah...luar biasa bergembiranya si orang tua dan akhirnya memberi perhatian yang berlebihan kepada si anak. Nah saya akan berikan beberapa ciri-cirinya, yang pertama misalnya orang tua yang memberikan perhatian berlebihan kepada anak adalah orang tua yang terlalu memuja-muja anak, baik secara langsung atau tidak langsung. Contoh konkretnya misalnya adalah terlalu memuji anak, saya katakan secara langsung atau tidak langsung misalnya seperti begini, yang langsung adalah orang tua berkata kepada si anak wah.....kamu luar biasa pintarnya ya, wah...kamu memang cantik sekali ya, wah.....kamu memang hebat, pujian-pujian itu baik, tidak ada salahnya dan anak perlu mendengarkan pujian orang tua. Namun kalau terus-menerus diberikan itu akan menggelembungkan ego si anak secara berlebihan atau secara tidak langsung yang sering orang tua juga lakukan adalah dengan membandingkan anak-anak lain dengan anaknya, lihat si anak itu, lihat si itu kok begitu wajahnya ya, kamu tidak begitu. Atau misalnya mencela lagi kekurangpandaian anak yang lain, jadi dengan seringnya orang tua mencela anak-anak yang lain, orang tua sedikit banyak mengagungkan anaknya ini bahwa dia atau anak itu tidak seperti anak-anak yang lain. Atau memberikan barang-barang yang bagus terus- menerus, memberikan mainan, pakaian yang bagus yang mahal-mahal yang tidak perlu pun juga diberikan, anak tunggal bersuara sedikit langsung orang tua membelikan, nah ini adalah bentuk-bentuk pemujaan anak.
GS : Dalam hal ini berkaitan dengan yang saya akan tanyakan, sekarang ini semakin banyak saja anak-anak ini dilombakan Pak Paul, bahkan sejak kecil sekali, dilombakan untuk merangkak dan sebagainya. Nah itu kalau dia menang 'kan secara tidak langsung atau langsung bahkan di puji-puji Pak Paul, itu berdampak atau tidak?

PG : Kalau sekali-sekali tidak apa-apa ya, misalnya dilombakan hanya sekali, tapi kalau setiap tahun dilombakan atau 6 bulan sekali dilombakan dan terus dipuji-puji kamu anak yang cantik, ank yang cakep, kamu anak yang tampan dan pemujaan itu melalui mimik muka yang mengagumi si anak terus-menerus.

Nah sekali lagi kekagumana yang dipancarkan secara terus-menerus dan berlebihan akan menggelembungkan ego si anak, jadi orang tua memang harus berhati-hati dengan pujian-pujiannya, jangan sampai berlebihan.
IR : Kemudian ciri-ciri perlakuan orang tua yang lain Pak Paul?

PG : Adakalanya orang tua ini, kurang menyoroti kelemahan anak, artinya apa, karena terlalu meninggikan, mengagungkan si anak, sehingga jarang membicarakan kelemahan si anak dan akibatnya kuang menuntut anak memperbaiki dirinya di dalam kekurangan-kekurangannya.

Sebab seolah-olah orang tua itu terlalu siap untuk memaklumi si anak, sudah tentu orang tua perlu menerima si anak apa adanya. Namun itu tidak berarti orang tua membutakan mata terhadap kekurangan atau kelemahan anak, nah saya kira penting sebagai orang tua kita mengenal anak-anak kita dari dekat karena anak-anak punya kelemahannya masing-masing. Anak saya tiga, saya dan istri saya kadang berbicara tentang masing-masing kelemahan anak-anak kami, ada sifat-sifat tertentu dalam diri anak kami yang kami anggap suatu kelemahan dan kami doakan secara khusus supaya dia mengalami bentukan Tuhan, agar kelemahannya itu bisa diperbaiki oleh si anak. Nah bagian-bagian ini yang harus orang tua mulai soroti, dan mulai munculkan pada si anak, supaya si anak itu sadar bahwa dia mempunyai kelemahan dalam hal-hal ini. Nah orang tua yang tidak membicarakan mengenai kelemahan anak sama sekali membuat si anak berpikir dia sempurna, dia tidak memiliki kelemahan sama sekali. Sehingga pandangannya terhadap dirinya menjadi pandangan yang tidak tepat, tidak realistik, terlalu positif jadi ini justru akan menumbuh-suburkan sikap egois pada si anak.
GS : Tapi kalau saya Pak Paul, lebih condong menunjukkan kelemahan sifat-sifatnya dia itu, tapi kalau kelemahan-kelemahan fisik misalnya matanya juling atau badannya pendek dan sebagainya 'kan kita tidak perlu ekspos itu?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, terima kasih Pak Gunawan memberikan tambahan yang memang penting sekali. Yang saya maksud dengan kelemahan bukanlah kelemahan yang dia tidak bisa, misalnya memng kekurangan fisiknya atau kekurangan mentalnya atau kekurangan kecerdasannya, jadi kita tidak membanding-bandingkan si anak dalam hal-hal seperti itu.

Kemampuan fisiknya atau kemampuan intelektualnya, sebab memang itulah yang Tuhan berikan kepadanya. Namun kelemahan yang lebih berkaitan dengan sifatnya atau karakternya itu yang harus kita mulai tonjolkan, misalkan dia kurang begitu rajin kita munculkan, misalkan dia kurang begitu ramah kita munculkan, misalkan dia mempunyai jiwa yang agak keras dan kejam kalau menyakiti adiknya atau kakaknya atau temannya, tidak mempunyai perasaan sama sekali atau tidak ada rasa bersalah sama sekali, nah itu yang kita munculkan. Jadi kita mulai menyoroti dan memunculkan kelemahan si anak supaya dia tahu ada bagian dalam hidupnya yang perlu diperbaiki dan dia harus perbaiki. Nah ini bukan saja akan memperbaiki si anak, namun yang paling penting adalah si anak melihat dirinya dengan lebih realistik, tidak menggelembungkan ego, seolah-olah dia anak yang sempurna.
GS : Yang lainnya ada kira-kira, Pak Paul?

PG : Nah ini yang klasik, Pak Gunawan, yaitu orang tua itu kadang kala kurang mendisiplin anak, karena apa, ya banyak faktor. Misalkan dalam kasus yang terlalu sibuk dia tidak ada energi untk mendisiplin anak.

Atau adakalanya karena dia terlalu mengagungkan si anak seolah-olah si anak begitu luar biasa sempurnanya, sehingga tidak tega untuk mendisiplin si anak, terlalu memaklumi anak. Nah anak yang bertumbuh besar dengan tanpa disiplin berpotensi menjadi anak yang egois, yang tidak mengenal batas di mana kehendaknya harus dituruti. Orang tua harus mendirikan pagar-pagar yang bisa merintangi anak untuk senantiasa mendapatkan yang dia inginkan, meskipun orang tua mampu untuk membelikannya. Misalnya setiap keluar komputer yang baru anak minta, setiap keluar permainan video yang baru minta dan harus dibelikan, tidak, meskipun orang tua berkemampuan namun tidak harus orang tua senantiasa memberikan barang-barang yang baru keluar itu. Nah adakalanya itu menjadi trend bagi anak-anak tertentu dan dia di kenal di kelas sebagai anak yang memulai trend yang baru, belum pakai NIKE dia pakai NIKE dulu, belum ada yang pakai ADIDAS dia pakai ADIDAS dulu, belum ada yang beli walkman dia dulu yang pakai walkman. Jadi hal-hal itu menjadi identitas dirinya sebagai pemula, dia akan menuntut orang tua untuk senantiasa memberikan yang paling mutakhir itu, nah orang tua jangan sampai terjebak ke dalam perilaku seperti ini.
GS : Disiplin itu saya rasa memang perlu ditanamkan sedini mungkin dalam kebiasaan-kebiasaan kecil Pak Paul, dalam makan di meja makan, buang air kecil di kamar mandi. Karena saya pernah menjumpai seorang anak dalam sebuah keluarga Pak Paul, anak kecil itu yang belum sekolah itu kencing di mana saja Pak Paul, dia mau kencing di mana ya dia kencing di sana. Tapi orang tuanya bangga malah jadi tertawa-tawa melihat itu, dia cuma mengambil kantongan plastik lalu di mana dia suka mau kencing, tapi tidak disiplin sama sekali; saya rasa 'kan hal-hal seperti itu. Atau kalau bangunnya kesiangan tidak dibanguni walaupun akhirnya dia mesti sekolah TK kecil tapi tidak dibanguni, katanya ah... kasihan tadi malam tidurnya agak kemalaman.

PG : Betul sekali, banyak hal-hal kecil yang dapat menjadi ajang latihan anak untuk mendisiplin dirinya, nah yang memang susah adalah kalau orang tua adalah orang tua yang sangat berada, sehngga di rumah tersedia pembantu rumah tangga yang akan memunguti barang-barang si anak.

Nah orang tua di sini harus berhati-hati jangan sampai membuat si anak, kecil-kecil menjadi raja, sebab nanti dia akan menuntut dirinya untuk diperlakukan sebagai raja pula, tatkala menginjak usia dewasa. Hal kecil misalnya membereskan tempat tidur, meletakkan handuk yang benar, dan menaruh sepatu di tempat sepatu, bukan hanya dibuka didepan pintu dan sembarangan, jadi hal-hal kecil seperti itu bisa dipakai sebagai ajang latihan mendisiplin si anak. Nah kadang kala orang tua di sini juga gagal, adakalanya orang tua yang terlalu sayang kepada anak berkata tidak usahlah dia sudah capek, yang penting dia belajar, yang penting belajar, yang lainnya tidak usah, keliru. Yang lainnya itu juga sama pentingnya dengan belajar itu.
GS : Mungkin orang tua perlu belajar disiplin dulu ini Pak Paul? Saya rasa yang tidak disiplin ini orang tuanya.
IR : Kemudian ada ciri perlakuan orang tua yang lain, Pak Paul?

PG : Ya ini bu Ida, adalah orang tua yang terlalu bergantung pada anak sebagai pemenuh kebutuhan emosional mereka sendiri. Jadi mereka ini misalkan tidak terlalu ganteng dan cantik, kebetula punya anak terlalu cantik dan ganteng.

Lucu sekali itu menjadi pemenuh kebutuhan mereka, si anak itu seolah-olah menjadi suatu yang indah yang terjadi dalam hidup mereka. Akibatnya mereka sepertinya menjadi anak, si anak menjadi orang tua, mereka sangat membutuhkan penerimaan si anak. Mereka sangat membutuhkan agar anak menyukai mereka, nah ini yang berbahaya karena orang tua takut kalau-kalau anaknya itu marah kepada mereka sudah pasti akan dikuasai oleh si anak. Oleh si anak, dalam pengertian si anak ini akan menjadi anak yang egois dan si orang tua senantiasa harus menuruti keinginannya. Jadi jangan sampai orang tua terlalu meninggikan anak seolah-olah anak itu adalah hal terindah, terhebat dan sebagainya dalam kehidupannya, jangan sampai itu terjadi.
GS : Yang mungkin tentang keinginan anak itu bagaimana?

PG : Nah adakalanya tadi yang sudah kita singgung, anak-anak itu mendapatkan semua yang diinginkannya tanpa batas. Jadi penting orang tua mengingat bahwa meskipun mereka mampu memberikan, teap harus diberikan dalam batas tertentu, anak kecil harus mengerti yang namanya batas, dia tidak selalu mendapatkan yang dia inginkan.

Kalau dia terus mendapatkan yakinlah dia akan bertumbuh besar menjadi anak yang egois.
GS : Tapi biasanya orang kewalahan kalau anaknya minta ini lalu tidak dituruti 'kan bisa melakukan tindakan-tindakan destruktif, Pak Paul?

PG : Nah itu adalah dalam kasus di mana sudah agak terlambat, sebab kalau orang tua memulainya sejak anak-anak berusia 2 tahun atau 1,5 tahun setelah anak itu usia 4, 5 tahun tugas orang tuabukan makin berat, makin ringan.

Karena si anak sudah tahu struktur orang tuanya sehingga dia tidak meminta sembarangan atau menuntut orang tua tanpa batas.
IR : Jadi seawal mungkin ya?

PG : Tepat sekali, Bu Ida, seawal mungkin memang.

IR : Tapi kalau masih kecil 'kan dia punya rasa takut, jadi orang tua yang harus bertindak tegas ya Pak Paul?

PG : Tepat sekali, nah ini bukan berarti sejak kecil kita harus terus menyengsarakan si anak ya, ini topik berikutnya yang akan kita bahas ya kalau berlebihan juga tidak memberikan perhatiankepada si anak.

GS : Dalam hal ini Pak Paul, firman Tuhan memberikan bimbingan apa kepada kita khususnya orang tua?

PG : Saya akan mengutip dari Kejadian 22:11-12, Tetapi berserulah malaikat Tuhan dari langit kepadanya, "Abraham, Abraham!" sahutnya "ya Tuhan", lalu Ia berfirman : "Jangan bunu anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Ku ketahui sekarang bahwa engkau takut akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu."

Kita tahu ini adalah cerita Abraham di mana Tuhan meminta dia mengorbankan anaknya Ishak, tapi Abraham tidak segan-segan memberikan putranya dan ternyata memang Tuhan hanya menguji dia. Janganlah kita sampai terlalu sayang pada Ishak-Ishak kita sehingga kita menomerduakan Tuhan. Prinsip itu harus kita pegang dengan patuh, Tuhan nomor satu, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu bahkan dalam keluarga sendiri anak tidak boleh menjadi yang nomor satu, anak perlu dididik dan dibatasi.
GS : Ya, jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana menangani anak yang egois. Dan perbincangan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami masih akan membahas lebih lanjut tema ini pada sesi berikutnya, dan kami mengharapkan Anda bisa mengikutinya pada acara TELAGA yang akan datang. Dari studio kami mohon juga tanggapan saran serta pertanyaan-pertanyaan dari Anda yang bisa Anda alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 52 A

  1. Apa ciri-ciri anak-anak yang egois....?
  2. Apakah bedanya anak yang manja dengan anak yang egois....?
  3. Apakah yang melatarbelakangi atau yang menyebabkan anak berperilaku egois...?


13. Bagaimana Menangani Anak Yang Egois 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T052B (File MP3 T052B)


Abstrak:

Lanjutan dari T52B


Ringkasan:

Pada dasarnya setiap anak lahir ke dunia memiliki sikap egois atau sikap mementingkan diri sendiri. Pertumbuhan yang sehat harusnya mendorong anak bukan saja mementingkan dirinya, namun juga mementingkan kepentingan orang lain. Harus ada keseimbangan antara keduanya, saya kira anak yang terlalu mementingkan diri orang lain, sehingga tidak lagi melihat kepentingan dirinya menjadi anak yang tidak terlalu sehat. Jadi yang dituju adalah keseimbangan antara mementingkan diri sendiri dan juga mementingkan kepentingan orang lain.

Adakalanya orang tua memberikan perlakuan kepada anak secara tidak sadar malah menumbuhkembangkan sikap egois pada anak. Sehingga anak akhirnya tidak pernah berhasil memperhatikan kebutuhan orang-orang lain, namun malah hanya mengutamakan kepentingannya sendiri. Ada beberapa perlakuan orang tua yang bisa membuat anak-anak itu menjadi anak-anak yang egois.

Beberapa ciri anak yang egois:

  1. Anak-anak yang egois adalah anak-anak yang tidak bisa menyeimbangkan kedua hal ini, dia hanya bisa mengutamakan dan hanya mengutamakan kepentingannya bahkan kadang-kadang tidak bisa menomerduakan kepentingan orang lain sebab baginya tidak ada kepentingan orang lain; yang ada adalah kepentingan diri sendiri.

  2. Menganggap diri sebagai kasus khusus. Dalam arti keinginannya harus didahulukan sebab dia merupakan kasus perkecualian.

  3. Tapi anak yang egois tidak harus manja, yang jelas nyata adalah dia menuntut. Dan ciri ketiga ini juga sangat dominan yaitu, tuntutannya memang tidak mengenal batas. Seolah-olah kapanpun dia memintanya, dimanapun dia memintanya, apapun yang dimintanya harus dituruti.

Ada dua kondisi utama yang menyebabkan anak-anak menjadi egois sbb:

  1. Orang tua atau keluarga yang memberi perhatian kepada anak secara berlebihan. Kadangkala itu terjadi tanpa disengaja.
    Saya akan berikan beberapa ciri-cirinya:

    1. Orang tua yang memberikan perhatian berlebihan kepada anak adalah orangtua yang terlalu memuja-muja anak, baik secara langsung atau tidak langsung.

    2. Adakalanya orang tua kurang menyoroti kelemahan anak karena terlalu meninggikan dan mengagungkan si anak. Sehingga jarang membicarakan kelemahan si anak, dan akibatnya kurang menuntut anak memperbaiki dirinya di dalam kekurangan-kekurangannya.

    3. Orang tua terlalu bergantung pada anak sebagai pemenuh kebutuhan emosional mereka sendiri.

    4. Orang tua kurang mendisiplin anak.

  2. Orang tua yang tidak mendisiplin anak dengan baik sehingga semua yang anak-anak minta dituruti tanpa batas.

Kejadian 22:11,12, "Tetapi berserulah malaikat Tuhan dari langit kepadanya, "Abraham, Abraham!" sahutnya "ya Tuhan", lalu Ia berfirman : "Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Ku ketahui sekarang bahwa engkau takut akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu."

Kita tahu ini adalah cerita Abraham dimana Tuhan meminta dia mengorbankan anaknya Ishak, tapi Abraham tidak segan-segan memberikan putranya dan ternyata memang Tuhan hanya menguji dia. Janganlah kita sampai terlalu sayang pada Ishak-Ishak kita sehingga kita menomerduakan Tuhan, tidak bisa. Prinsip itu harus kita pegang dengan patuh, Tuhanlah yang nomor satu, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu. Sekalipun dalam keluarga sendiri, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu, anak perlu dididik dan dibatasi.

Beberapa ciri orang tua yang kurang memberikan perhatian kepada anak:

  1. Orang tua yang memberikan sedikit waktu pada si anak, jadi benar-benar waktu yang diberikan sangat minim. Mereka misalkan repot bekerja, pulang sudah malam, akhir pekan juga mungkin bekerja atau pun kalau tidak bekerja menjadi orangtua yang terlalu letih, akibatnya adalah tidak memberikan waktu yang lebih kepada si anak.

  2. Orang tua yang terlalu banyak menolak atau terlalu memberikan banyak penolakan pada anak Anak yang disebodohkan tidak mendapatkan cinta kasih, dia merasa justru sangat diabaikan.

  3. Anak yang didisiplin terlalu ketat atau terlalu berkelebihan juga bisa menjadi anak yang egois.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi sifat egois:

  1. Kita harus membesarkan anak dengan suatu pengertian bahwa anak itu membutuhkan dua hal yang hakiki. Yang pertama adalah anak-anak membutuhkan cinta kasih, yang kedua anak-anak juga membutuhkan disiplin.

  2. Yang sulit justru untuk menolong orang tuanya, apalagi kalau orang tua yang sudah terlanjur misalnya mencurahkan perhatiannya yang terlalu banyak kepada anak, sehingga anaknya jadi egois. Atau orang tua yang sebaliknya. Sebab adakalanya memang orangtua memberi perhatiannya berlebih kepada anak, atau kebalikannya kurang memberi perhatian kepada anak karena mereka sendiri bermasalah dalam hubungan nikah mereka.

  3. Memang akhirnya dalam upaya menolong si anak kita harus libatkan si orangtua dan menunjukkan bagaimana si anak menjadi egois.

Anak-anak yang ditempatkan dalam situasi yang berbeda dan dibentuk lingkungannya dengan kuat, mempunyai dua pilihan.

  1. Pilihan yang pertama adalah dia bersikukuh tidak mau berubah.

  2. Yang ideal adalah yang kedua itu di mana dia akhirnya akan berubah.

Anak-anak yang dibesarkan oleh baby-sitter dari kecil akan kehilangan kesempatan sebagai berikut:

  1. Pertama-tama untuk menerima kasih sayang langsung dari orang tua. Itu suatu kerugian besar bagi si anak.

  2. Kedua dia kehilangan kesempatan melihat orangtua bereaksi atau bersikap dalam hidup, sedangkan anak-anak perlu melihat orang tua bereaksi dalam hidupnya, sehingga dia bisa mulai mencontoh orang tuanya. Otomatis dia akan kehilangan waktu-waktu tersebut dan kehilangan model-model itu.

  3. Ketiga ia kehilangan kesempatan untuk berinteraksi atau bergaul dengan orang tuanya. Dan itu sebetulnya salah satu hal yang mutlak diperlukan oleh seorang anak.

1Timotius 3:12, "Diaken haruslah suami dari satu istri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik". Saya garisbawahi kalimat mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik. Tuhan meminta orangtua mengurus anak-anak dengan baik karena memang itulah tanggung jawab yang Tuhan embankan kepadanya. Mengurus berarti sekaligus, bukan saja mengelola supaya rumah tangganya itu berjalan dengan damai, tenteram, menerapkan disiplin yang seharusnya, tapi juga menyediakan kebutuhan emosional si anak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan lanjutkan perbincangan kami tentang "Bagaimana Menangani Anak yang Egois." Bagi Anda yang baru mengikuti perbincangan ini tidak perlu merasa khawatir karena Bp. Pdt. Paul gunadi akan mengulang sebagian dari apa yang sudah kita bicarakan beberapa waktu yang lalu. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita pernah membicarakan tentang bagaimana menangani anak yang egois, ternyata banyak sisi yang harus kita perhatikan dan waktu itu juga belum selesai kita membahas tuntas. Namun supaya pendengar kita yang baru mendengar kali ini bisa mempunyai gambaran yang lebih lengkap, ada baiknya Pak Paul mengulang secara singkat apa yang telah kita bicarakan, Pak Paul.

PG : Baik Pak Gunawan, pada dasarnya setiap anak lahir ke dunia memiliki sikap egois atau sikap mementingkan diri sendiri. Nah pertumbuhan yang sehat harusnya mendorong anak bukan saja memeningkan dirinya, namun juga mementingkan kepentingan orang lain.

Harus ada keseimbangan antara keduanya, anak yang terlalu mementingkan diri orang lain, sehingga tidak lagi melihat kepentingan dirinya itu juga saya kira anak yang tidak terlalu sehat. Jadi yang dituju adalah keseimbangan antara mementingkan diri sendiri dan juga mementingkan kepentingan orang lain. Nah adakalanya orang tua memberikan perlakuan kepada anak secara tidak sadar malah menumbuhkembangkan sikap egois pada anak. Sehingga anak akhirnya tidak pernah berhasil memperhatikan kebutuhan orang-orang lain, namun malah hanya mengutamakan kepentingannya sendiri. Nah kita bahas bahwa ada beberapa perlakuan orang tua yang bisa membuat anak-anak itu menjadi anak-anak yang egois. Yang pertama, adalah orang tua yang terlalu memberikan perhatian kepada anak, nah ini biasanya diwujudkan dalam kata-kata yang terlalu memuja anak, perlakuan-perlakuan yang terlalu mengagung-agungkan anak, dan misalnya lagi adalah orang tua yang tidak mendisiplin anak dengan baik sehingga semua yang anak-anak minta dituruti tanpa batas. Nah ini adalah beberapa ciri-ciri yang masuk dalam kategori orang tua yang terlalu memberi perhatian kepada anak. Nah sekali lagi perhatian penting, namun perhatian yang berlebihan dan mendewa-dewakan anak, akan membuat anak bertumbuh besar menjadi anak yang egois.
GS : Waktu itu kita juga membahas anak-anak yang egois, Pak Paul?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang dominan adalah anak-anak ini sukar sekali untuk mengalah dan dia mau menang terus-menerus. Anak-anak ini juga menuntut agar orang untuk memperlakukan dia ebagai kasus yang khusus, sebagai perkecualian, seolah-olah dia itu bebas dari tuntutan yang diterapkan pada anak-anak yang lainnya, dia harus diperkecualikan.

Yang lainnya lagi adalah anak-anak ini hanya menuntut supaya keinginannya terpenuhi tanpa batas, dia tidak bisa sama sekali mengerem diri, dia menganggap semua orang haruslah mengutamakan kehendaknya.
IR : 5:11 -5: 22 Suara Ibu Ida tidak terdengar.

PG : Betul sekali Ibu Ida, jadi yang menarik adalah anak yang egois bisa muncul dari dua kondisi keluarga yang justru berkebalikan. Yang telah kita bahas adalah kondisi keluarga yang memberiperhatian secara berlebihan, tapi sebaliknya keluarga yang kurang memberi perhatian juga bisa menumbuhkan anak-anak yang egois.

Jadi memang sangat menarik dua keluarga yang sangat berseberangan menghasilkan produk yang persis sama.
GS : Nah dalam hal ini, Pak Paul, apakah kalau misalnya tadi Pak Paul katakan orang tua, ayah dan ibu, misalnya ayahnya kurang memberi perhatian kepada anak itu, dan ibunya memberikan perhatian yang berlebihan, 'kan jadinya seimbang Pak Paul?

PG : Seolah-olah menyeimbangkan Pak Gunawan, tapi dalam prakteknya tidak. Ayah yang tidak memberikan perhatian seolah-olah menjadi ayah yang absen dalam kehidupan si anak, si ibu yang memberkan perhatian yang berlebihan justru akan menumbuhkembangkan sikap egois pada si anak itu.

Namun si ayah tidak boleh menyalahkan si ibu sebab dia juga memang absen, dia sendiri tidak terlibat dalam proses menjadi orang tua ini. Si ibu yang berfungsi karena ayah tidak berfungsi, dan kebetulan si ibu memberikan perhatian berlebihan kepada si anak, akhirnya si anak mendapatkan perlakuan seperti raja, lama-lama dia benar-benar menjadi raja di rumah.
GS : Kalau terbalik Pak Paul, jadi ayahnya yang memberikan perhatian yang sangat besar sedangkan ibunya mungkin seorang wanita karier lalu tidak memberikan perhatian, bisa terjadi seperti itu?

PG : Bisa, jadi yang paling banyak diterima oleh si anak itulah yang akan membentuk si anak.

(1) GS : Jadi kalau perhatian yang kurang itu apa yang Pak Paul maksudkan?

PG : Ada beberapa cirinya Pak Gunawan, nah orang tua yang memberi perhatian yang kurang biasanya adalah orang yang memberikan sedikit waktu pada si anak, jadi benar-benar waktu yang diberika sangat minim.

Mereka misalkan repot bekerja, pulang sudah malam, akhir pekan juga mungkin bekerja atau pun kalau tidak bekerja menjadi orang tua yang terlalu letih, akibatnya adalah tidak memberikan waktu yang lebih kepada si anak.
IR : Jadi orang tua dua-dua yang berkarier itu memungkinkan anak menjadi egois Pak Paul?

PG : Bisa, dalam pengertian dia menjadi anak yang memang kurang sekali perhatian dari si orang tua, dia mau apa, dia ulangan jelek, dia ulangan bagus, dia berkelahi dengan temannya, dia disaiti oleh anak lain, orang tua sama sekali tidak mengetahuinya.

IR : Kemudian ciri-ciri perlakuan orang tua yang lain, Pak Paul?

PG : Ini adalah orang tua yang terlalu banyak menolak atau terlalu memberikan banyak penolakan pada anak, misalnya orang tua yang mengkritik anak bahwa dia kurang, bahwa dia seharusnya lebihlagi.

Orang tua yang berkata engkau tidak seperti yang kami harapkan, engkau mengecewakan kami, engkau tidak setinggi yang kami inginkan, tidak sepandai yang kami harapkan dan sebagainya. Nah jadi semua pesan-pesan yang menolak anak membuat anak tertolak, sehingga anak-anak itu menjadi anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian dari si orang tua, nah itu adalah ciri yang kedua dari perlakuan orang tua yang kurang memberikan perhatian.
IR : Bagaimana kalau orang tua itu misalnya tidak bisa memenuhi si anak karena keadaan ekonominya lemah Pak Paul, apakah itu juga memungkinkan anak akan menjadi egois?

PG : Justru kalau hanya masalah ekonomi yang orang tua tidak bisa penuhi itu tidak berpengaruh terhadap sikap si anak. Jadi banyak anak-anak yang dibesarkan di keluarga yang kurang secara eknomi namun bertumbuh besar dengan sehat karena mendapatkan kelimpahan perhatian dari orang tua.

Justru kebalikannya ada anak yang dibesarkan di rumah yang sangat berkelebihan secara materi namun justru bertumbuh kembang menjadi anak yang kurang sehat. Karena orang tua akhirnya kurang memberi perhatian pada mereka.
(2) GS : Sebenarnya apa yang dibutuhkan oleh anak itu supaya tidak egois?

PG : Dalam kasus di mana anak-anak ini kurang mendapatkan perhatian yang memang dia butuhkan adalah pemberian cinta kasih. Nah ini yang sekarang saya kira menjadi komuditas yang agak langka ada banyak orang sekarang ini yaitu kurangnya ada waktu untuk anak, sehingga cinta kasih kurang diberikan pada anak.

Nah sekali lagi anak-anak ini menjadi anak-anak yang haus akan cinta kasih, akan perhatian dari orang tuanya. Anak-anak itu haus perhatian dalam pengertian, waktu dia bersalah dia sebetulnya menginginkan teguran orang tua. Anak yang berbuat apapun tidak mendapatkan teguran dia akan merasa justru kurang dikasihi, karena teguran orang tua diinterpretasi oleh si anak sebagai bentuk cinta kasih. Anak yang dimasabodohkan tidak mendapatkan cinta kasih, dia merasa justru sangat diabaikan.
GS : Ada pasangan orang tua yang mengatakan, yang penting bukan lamanya saya berkumpul dengan anak, yang penting itu mutunya, saya tahu ini hanya dalih saja, tapi bagaimana menjawab hal itu, Pak Paul?

PG : Mutu memang harus ada, namun tidak bisa tidak, mutu itu baru ada jikalau ada kwantitasnya, ada waktu yang diberikan, ada interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak. Dan yang keduaargumen saya adalah bagaimanakah kita tahu ini bermutu bagi si anak, sebab bukankah yang menentukan ini bermutu atau tidak adalah si anak.

Hal-hal yang diingat oleh si anak sebagai hal yang berdampak positif sering kali bukanlah yang orang tua ingat, banyak hal yang anak-anak akan ingat dan dikemukakan pada kita, yang kita sendiri sudah lupakan. Yang kita anggap ini adalah hal yang penting dan kita harapkan anak-anak kita ingat justru tidak ingat-ingat, begitu.
IR : Bagaimana kalau anak yang didisiplin terlalu ketat Pak Paul, terlalu berkelebihan juga bisa menjadi anak yang egois?

PG : Bisa, jadi anak-anak yang justru kurang mendapatkan keleluasaan, kebebasan dalam hidup terlalu dituntut atau terlalu didisiplin yang berkelebihan menjadi anak-anak yang tertekan. Dan seali lagi disiplin yang berlebihan serta tuntutan yang terlalu tinggi di luar batas kemampuan si anak, justru memberikan pesan kepada si anak bahwa dia itu seolah-olah hanyalah sebagai objek di rumah.

Dia bukanlah seseorang yang dihargai dan dikasihi tapi dia adalah sebuah alat yang dipakai oleh orang tua untuk menyenangkan hati orang tua. Nah semua ini kalau diterima oleh si anak, dia berpotensi untuk membuat si anak menjadi anak yang egois. Alasannya sangat sederhana sekali, dia kurang mendapatkan perhatian, dia kurang mendapatkan cinta kasih sehingga dia menjadi anak yang sangat haus akan perhatian. Nah waktu dia menjadi anak yang sangat haus pada perhatian dia menjadi anak yang egois. Jadi seolah-olah seperti kita ini kehausan tidak ada air, waktu kita mendapatkan sedikit air meskipun kita tahu ada orang lain yang kekurangan air, kita berusaha memenuhi kebutuhan kita terlebih dahulu. Nah anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian, begitu sudah mulai besar justru berpotensi mengembangkan perilaku egoisnya, meskipun kadang kala tidak nampak dengan segera. Misalnya akan nampak kalau dia sudah menjadi lebih dewasa, waktu dia mulai mendapatkan perhatian dari seseorang dia akan menuntut orang tersebut memberikan perhatian terus-menerus secara konstan dan untuk memberikan dia banyak perhatian. Kalau orang mulai memberikan perhatian pada yang lainnya dan membagi perhatian dia tidak bisa terima, dia harus mendapatkan sepenuhnya untuk diri dia. Dan waktu orang mulai membantahnya dia menganggap orang menolak dia, seolah-olah orang tidak menghargainya sebab bagi dia cinta kasih sama dengan kepatuhan yang mutlak. Nah tanpa disadari berkembang menjadi seorang yang egois, meskipun muncul dari keluarga yang kurang memberikan perhatian. Nah jadi sekali lagi kita melihat suatu dinamika yang menarik di sini, dua keluarga yang berseberangan, yang berbeda. Yang satu memberi perhatian yang berlebihan, yang satu kurang memberikan perhatian, namun hasil akhirnya sama yaitu anak-anak yang egois.
GS : Tapi wujud dari egoisme anak atau pengekspresiannya sama atau tidak Pak Paul, antara mereka yang kurang mendapatkan perhatian dan berkelebihan mendapatkan perhatian?

PG : Sering kali dalam banyak hal sama Pak Gunawan, jadi keinginannya itu kuat sekali dan keinginannya itu susah untuk dibatasi atau dihadang. Sebab dia merasa yang dia inginkan itu sesuatu ang berharga bagi anak yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang memberinya perhatian.

Begitu berharganya yang dia miliki atau yang dia inginkan sehingga waktu dihadang oleh orang dia harus melawannya, dia harus memaksakan kehendaknya. Atau dia menjadi orang yang memang sangat posesif, dia harus memiliki orang yang sedang memberikan perhatian sehingga kalau dia sudah menikah misalnya, justru pasangannya akan mengalami kesulitan menangani dia. Sebab segalanya harus dituruti, waktu tidak dituruti langsung menuduh engkau tidak mencintaiku lagi, jadi semua diatasnamakan cinta kasih, kalau tidak memberikan apa yang dia inginkan dikatakan tidak lagi mencintainya. Jadi perilaku egois itu muncul dengan kuat sekali.
IR : Cara mengatasinya bagaimana, Pak Paul?

PG : Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan Bu Ida, yang pertama adalah kita memang harus membesarkan anak dengan suatu pengertian bahwa anak itu membutuhkan dua hal yang hakiki. Yang pertma adalah anak-anak membutuhkan cinta kasih, itu sudah kita ketahui, tapi anak-anak juga membutuhkan disiplin.

Anak-anak perlu diberikan kebebasan tapi sekaligus anak-anak perlu diberikan batasan, jangan sampai anak-anak hanya menerima kebebasan tanpa batasan. Nah waktu diberikan kebebasan anak-anak akan memperoleh hak, namun jangan sampai lupa, di samping hak-hak anak-anak perlu menumbuhkembangkan konsep pertanggungjawaban. Dia harus bertanggung jawab, jadi sekali lagi harus ada keseimbangan antara kedua unsur ini dalam mendidik anak, yang satu dilebihkan secara tidak proporsional daripada yang satunya, niscaya menimbulkan problem dalam anak itu.
GS : Mungkin yang sulit justru menolong orang tuanya Pak, bagaimana menolong orang tua yang sudah terlanjur misalnya mencurahkan perhatiannya yang terlalu banyak kepada anak, sehingga anaknya menjadi egois atau sebaliknya?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan, sebab adakalanya orang tua memberi perhatiannya berlebih kepada anak atau kebalikannya kurang memberi perhatian kepada anak karena mereka sendiri bermasalah dlam hubungan nikah mereka.

Misalkan ada rumah tangga yang bermasalah sehingga si ibu kurang mendapatkan perhatian suaminya, nah dia melimpahkan cinta kasih pada si anak, sehingga terlalu mendewakan si anak misalnya seperti itu. Ada seorang ayah yang merasa tidak bisa berkomunikasi dengan istrinya sehingga dia menggunakan si putrinya untuk menjadi juru bicaranya menyampaikan keluhannya kepada mamanya atau istrinya. Nah otomatis dia harus mendewakan si putri ini, menjadikan si putri ini seolah-olah menjadi anak yang berkuasa di rumahnya. Nah memang akhirnya susah mengubah pola ini karena sering kali ini yang terjadi, anak-anak itu baik diberikan perhatian yang berlebihan atau justru kurang diberikan perhatian karena orang tua memang memiliki masalah dalam hubungan nikah mereka. Jadi yang harus dibereskan pada awalnya adalah hubungan orang tua itu.
GS : Padahal mereka sebagai orang tua mengatakan anaknya yang bermasalah, anak saya ini egois.

PG : Betul, jadi memang akhirnya dalam upaya menolong si anak kita harus melibatkan si orang tua dan menunjukkan bagaimana si anak menjadi egois. Ternyata ada prosesnya, nah prosesnya ternyaa dimulai dari hubungan orang tua yang kurang harmonis itu.

IR : Kalau anak-anak egois itu misalnya berpisah dari orang tua Pak Paul, dia misalnya kost di tengah-tengah teman-temannya apakah itu memungkinkan anak yang egois ini bisa berubah Pak Paul?

PG : Bisa Bu Ida, jadi anak-anak yang ditempatkan dalam situasi yang berbeda dan dibentuk lingkungannya dengan kuat, mempunyai dua pilihan. Pilihan yang pertama adalah dia bersikukuh dia tidk mau untuk berubah, nah bentukan dari luar tidak berguna, malahan yang terjadi adalah bentrokan, sebab dia mempertahankan dirinya untuk tetap sebagai anak yang egois dan dia akan pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya, ke tempat di mana dia bisa melaksanakan kehendaknya tanpa dirintangi oleh teman-temannya.

Nah yang ideal adalah yang kedua itu di mana dia akhirnya akan berubah, nah anak-anak yang pertama yang tadi saya sebut akhirnya bentrok terus-menerus dengan orang lain kalau dia masih kuat dia akan bentrok, adu kuat dengan anak-anak lainnya. Yang juga berbahaya adalah kalau suatu ketika dia tidak kuat lagi, karena dia terisolasi terus-menerus dari lingkungannya dan adu bentrok dengan anak-anak lain, akhirnya dia patah. Nah waktu dia patah dia akan mengucilkan dirinya, dia menganggap dunia tidak mengerti dia, dia menganggap dia bukanlah bagian dari dunia ini dan dia harus hidup sendiri, nah itu yang berbahaya, sebab dia akan menjadi orang yang memang tidak ada pergaulan sosial sama sekali.
GS : Tapi kadang-kadang orang tua juga sudah begitu baik mendidik anaknya, mencoba untuk mendidik sebaik-baiknya. Tapi di antara kita bukankah ada peran nenek dan kakek Pak Paul, nah seberapa jauh peran mereka itu untuk kadang-kadang membuat anak menjadi egois?

PG : Kakek dan nenek itu memang sering kali memanjakan cucu, jadi hal ini sepintas memang seolah-olah tidak berbahaya kalau memang bisa diimbangi oleh peranan orang tua yang baik. Tapi kalauperanan orang tua sedikit absen atau kurang kuat, sementara kakek dan nenek terlalu memanjakan si anak, ini bisa berdampak negatif.

Karena si anak akan bisa beranggapan memang dia itu seindah dan sehebat apa yang digambarkan si kakek kepadanya. Tapi kalau orang tua masih bisa berfungsi mengatakan engkau memang punya kelemahan di sini, bisa mendisiplin si anak, bisa membatasi keinginan si anak, meskipun kakek-nenek memanjakan si anak, dampaknya biasanya tidak sampai membahayakan atau tidak berdampak negatif pada si anak.
GS : Biasanya justru mereka itu memberikan perhatian yang berlebihan Pak Paul, jarang ada kakek-nenek yang kurang memberikan perhatian. Kalaupun kurang saya rasa tidak terlalu berdampak pada diri anak kecil itu.

PG : Tidak, sebab yang anak-anak akan sangat butuhkan adalah perhatian dari orang tuanya, bukan dari kakek atau neneknya.

GS : Juga peran baby-sitter dan sebagainya itu ada atau tidak Pak pengaruhnya?

PG : Anak-anak yang dibesarkan oleh baby-sitter dari kecil akan kehilangan kesempatan untuk pertama-tama menerima kasih sayang langsung dari orang tua, nah itu suatu kerugian besar bagi si aak.

Kedua dia kehilangan kesempatan melihat orang tua bereaksi atai bersikap atau hidup, sedangkan anak-anak perlu melihat orang tua bereaksi dalam hidupnya, sehingga dia bisa mulai mencontoh orang tuanya. Nah otomatis dia akan kehilangan waktu-waktu tersebut dan kehilangan model-model itu dan otomatis yang ketiga kehilangan kesempatan untuk berinteraksi atau bergaul dengan orang tuanya. Karena orang tua itu tidak ada waktu lagi di rumah, malam pulang sudah letih dan semua ditugaskan kepada pengasuh atau suster sehingga si anak memang kehilangan kesempatan untuk bergaul dengan orang tua. Dan itu sebetulnya salah satu hal yang mutlak diperlukan oleh seorang anak.
GS : Memang kecenderungan menjadi orang egois itu semakin besar kalau tidak siap Pak Paul ya? Karena masyarakat kita banyak yang individualistis, yang lebih mementingkan dirinya sendiri, Bukankah cenderung ke sana Pak Paul?

PG : Betul, jadi anak-anak yang egois ini Pak Gunawan akhirnya hanya melihat hidup dari kacamatanya, itu masalah utamanya.

IR : Nah itu kalau terjun di dalam pelayanan juga sulit ya Pak Paul untuk bekerjasama dengan teman sepelayanannya?

PG : Tepat sekali Bu Ida, karena dia tidak akan bisa memahami perasaan atau kacamata orang lain. Dia akan selalu menganggap dirinya benar, dan sewaktu terjadi ketidakcocokan pandangan denganorang lain dia akan cepat-cepat melabelkan bahwa orang lain tidak mengerti dirinya, orang lain tidak memahami dirinya.

Dan gagal melihat orang lain kenapa orang lain berpikir seperti itu tentang dirinya, dan semua dilihat dari dirinya saja. Jadi memang sering kali akhirnya bermasalah dalam hubungan dengan orang-orang lain, kalau dia menjadi atasan ya sama, akan menerapkan sistem hidup yang sama yaitu pandangannya betul dan orang lainlah yang salah. Orang lainlah yang tidak bisa mengerti pikiran dia.
IR : Nah kalau dia akan menjadi seorang pendidik Pak Paul, bagaimana mendidik anak-anak didiknya?

PG : Nah itu masalah, karena setelah dia nanti besar menjadi orang tua, menjadi seorang ayah atau ibu kecenderungannya adalah dia menjadi otoriter. Dia akan menuntut anak-anak untuk memahamidirinya sedangkan kesediaan dia memahami anak tipis sekali, apalagi hubungan dengan pasangannya dia juga akan mengalami kesulitan melihat pandangan pasangannya itu, dia menuntut pasangannya untuk mengikuti kehendaknya.

Jadi sekali lagi anak-anak yang egois kalau sudah dewasa dan menikah atau menjadi seorang pekerja cenderung sangat otoriter.
GS : Jadi begitu besar peran orang tua di dalam pendidikan anak ini Pak Paul, dan apa yang Tuhan mau katakan kepada kita khususnya orang tua yang masih mempunyai anak-anak yang kecil supaya kita bisa memberikan pendidikan yang pas.

PG : Saya akan bacakan dari 1 Timotius 3:12, "Diaken haruslah suami dari satu istri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik." Saya akan menggarisbawahi kalimat menurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik.

Nah Tuhan meminta orang tua mengurus anak-anak dengan baik karena memang itulah tanggung jawab yang Tuhan embankan kepadanya. Nah mengurus berarti sekaligus bukan saja mengelola supaya rumah tangganya itu berjalan dengan damai, tenteram, menerapkan disiplin yang seharusnya tapi juga menyediakan kebutuhan emosional si anak. Nah orang tua yang kurang memberi perhatian kepada anak menjadi orang tua yang tidak bertanggung jawab dalam mengurus kebutuhan anak-anaknya. Dan akhirnya bisa jadi anak ini bertumbuh besar menjadi anak yang egois, yang haus sekali akan perhatian sehingga menjadi sangat egois dalam pendapatnya atau keinginannya.
GS : Jadi memang firman Tuhan itu tepat sekali untuk kita semua, khususnya yang dipercayai oleh Tuhan untuk mendidik anak-anak yang masih kecil supaya mereka berguna di masa yang akan datang dan tidak menjadi orang-orang yang egois.

Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan lanjutan tentang menangani anak yang egois, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 52 B

  1. Apakah yang dimaksud perhatian yang kurang dari orang tua...?
  2. Apa yang dibutuhkan si anak agar tidak egois....?


14. Menanamkan Rasa Tanggung Jawab Pada Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T054A (File MP3 T054A)


Abstrak:

Dalam hal ini orangtualah yang sangat perlu mengajarkan anak-anak untuk bertanggung jawab. Dan hal ini perlu kita siapkan dari mulanya melakukan sesuatu karena menyadari kegunaannya dan kedua melakukan sesuatu karena memang diwajibkan. Hal ini menjadi bahan yang sangat penitng untuk kesuksesan dalam pekerjaannya di masa mendatang.


Ringkasan:

Tanggung jawab tidak dengan sendirinya ada dalam diri setiap anak atau setiap orang. Anak-anak sebetulnya lahir tanpa mempunyai kesadaran akan tanggung jawabnya, jadi merupakan tugas orang tualah untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab itu. Perlahan-lahan orang tua harus melatih atau menanamkan rasa tanggung jawab pada si anak sehingga pada akhirnya si anak akan melepaskan diri dari si orang tua dan mulai melakukan yang dia harus lakukan dari dirinya sendiri.

Dalam hal melatih tanggung jawab anak, bentuk-bentuk yang bisa diberikan oleh orang tua adalah sbb:

  1. Anak memiliki kemampuan atau merawat dirinya secara jasmani, jadi misalnya pagi-pagi menggosok gigi, mandi pada waktu usia meningkat misalnya 8, 10 tahun dsb.

  2. Tanggung jawab dikembangkan dari tubuh secara jasmani ke barang-barang milik si anak. Misalnya membereskan tempat tidur, menaruh sepatu pada tempat yang seharusnya, meletakkan piring di dapur dsb.

  3. Menginjak usia remaja kita juga akan menanamkan tanggung jawab untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan emosionalnya.

Biasanya sebagian orang tua berpikir, soal tanggung jawab itu nanti diajarkan di sekolah. Saya kira kita harus membedakan tanggung jawab yang internal dan tanggung jawab yang eksternal.

  1. Tanggung jawab eksternal, di mana anak-anak harus bersekolah dan dia pun diharuskan belajar. Kita harus akui pada masa SMP ke bawah anak-anak sesungguhnya belum memahami apa kegunaannya bersekolah, dia hanya melakukan tugas kewajiban yang memang diharuskan. Belum ada kesadaran sebab sekolah itu sesuatu yang di luar dirinya.

  2. Tanggung jawab internal, sebab itulah orang tua perlu menumbuhkan tanggung jawab yang bersifat internal yaitu melakukan sesuatu yang berkaitan langsung dengan dirinya, misalkan sikat gigi, mandi, membereskan tempat tidur.

Waktu seorang anak mulai memikul tanggung jawab, yang akan terjadi adalah:

  1. Dia akan lebih bisa mempercayai kelebihannya. Sebab akan ada banyak hal yang dia mampu lakukan, hal-hal kecil yang tadinya dia pikir tidak berguna, tapi waktu dia mulai lakukan, sesungguhnya itu akan menumbuhkan rasa keyakinan dirinya.

  2. Kita menyadari bahwa pada akhirnya anak-anak itu harus bekerja, dia tidak akan dianggap sebagai manusia yang berharga kalau dia sama sekali tidak bekerja. Orang tua perlu mengajarkan anak-anak bertanggung jawab agar nanti si anak menjadi seorang pekerja yang baik.

Dua hal yang menjadi bahan yang sangat penting untuk kesuksesan anak dalam pekerjaan di masa mendatang adalah:

  1. Kita siapkan anak-anak karena meyadari kegunaannya.

  2. Melakukan sesuatu karena memang diwajibkan, nah dua-duanya harus berimbang dan dimiliki oleh si anak.

Dalam kaitan tanggung jawab ini, saya mengajak kita memperhatikan firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman khususnya bagi orang tua. Amsal 12:11 "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia tidak berakal budi."

Ciri orang yang bertanggung jawab adalah:

  1. Dia akan lebih realistik. Anak-anak yang dilatih sejak kecil untuk belajar bertanggung jawab akan menjadi anak-anak yang mengerti realitas kehidupan.

  2. Mereka berani mengakui perbuatannya, itu salah satu ciri atau tolok ukur yang penting sekali.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Pada kesempatan kali ini Ibu Idajanti Raharjo tidak bisa menemani kami tetapi kami yakin pada kesempatan yang akan datang beliau akan bersama-sama dengan kami pada acara TELAGA ini. Dan kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab pada Anak." Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kalau judul yang kita pilih malam hari ini menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak, yang saya ingin tanyakan apakah tanggung jawab tidak dengan sendirinya ada dalam diri setiap anak atau setiap orang itu?

PG : Kenyataannya memang tidak, jadi anak-anak itu sebetulnya lahir tanpa mempunyai kesadaran akan tanggung jawabnya, jadi merupakan tugas orang tualah untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab itu Pak Gunawan.

Sekali lagi anak-anak dilahirkan memang untuk bergantung pada orang tuanya dan dalam kebergantungan itu anak-anak mengharapkan orang tua untuk melakukan semuanya bagi si anak. Nah dalam fase ini memang si anak belum mampu untuk mengerjakan semuanya sendiri, dia harus bergantung pada si orang tua. Namun perlahan-lahan orang tua harus melatih atau menanamkan rasa tanggung jawab pada si anak sehingga pada akhirnya si anak akan melepaskan diri dari si orang tua dan mulai melakukan yang dia harus lakukan dari dirinya sendiri.
(2) GS : Jadi sejak kapan sebenarnya orang tua sudah mulai bisa menanamkan rasa tanggung jawab pada anak dan dalam bentuk apa, Pak Paul?

PG : Sebetulnya tidak ada patokan usia yang baku namun pada intinya kita mulai menanamkan rasa tanggung jawab itu pada anak, pada usia sedini mungkin. Jadi pada usia sedini mungkin itu sudah tetu adalah usia di mana anak mulai dapat berinteraksi dengan orang tua.

Mulai dapat mendengarkan atau menerima instruksi dari orang tua dan si anak pun mulai dapat mengkomunikasikan dirinya pada orang tua. Nah pada waktu hal-hal tersebut mulai berjalan dan mulai ada saya kira orang tua harus mulai menanamkan rasa tanggung jawab itu, sebab ini adalah sesuatu yang penting sekali untuk dimiliki oleh si anak.
GS : Dalam hal melatih tanggung jawab anak ini Pak Paul, bentuk-bentuk apa yang bisa diberikan oleh orang tua?

PG : Misalkan kita ingin menanamkan tanggung jawab agar si anak itu mengurus dirinya, nah ini adalah hal yang sederhana dan simpel. Salah satu hal yang penting dalam pertumbuhan seorang anak adlah si anak memiliki kemampuan atau merawat dirinya secara jasmani.

Jadi hal apakah yang perlu dia lakukan, sederhana misalnya pagi-pagi dia menggosok giginya, nah otomatis pada masa kecil kita harus mengajarkan pada si anak untuk menggosok giginya. Namun setelah itu kebiasaan ini mulai harus diingatkan kepada si anak sehingga pada akhirnya dialah yang akan memikul tanggung jawab untuk menggosok giginya. Sama juga dengan misalnya mandi, nah pada waktu usianya meningkat misalnya 8, 10 tahun, di sini orang tua mulai menanamkan tanggung jawab bukan saja merawat tubuh si anak misal tadinya gosok gigi, mandi tapi menanamkan tanggung jawab atas barang-barang kepunyaan si anak itu. Jadi misalkan si anak diajarkan untuk membereskan tempat tidurnya, menaruh sepatunya di tempat yang seharusnya, meletakkan piring di dapur dan sebagainya. Jadi tanggung jawab sekarang mulai kita kembangkan dari tubuh secara jasmani akhirnya ke barang-barang milik si anak itu. Dan ini berkembang ke usia dewasa sebab kalau anak-anak sudah menginjak usia remaja kita juga akan menanamkan tanggung jawab untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan emosionalnya dan sebagainya.
GS : Biasanya anak-anak 'kan cenderungnya bermain-main Pak Paul, juga dalam hal mandi sempat Pak Paul singgung. Sering kali yang terjadi anak-anak itu mau mandi sendiri tapi juga bermain-main dengan sabun.

PG : Kita harus memahami itulah fase di mana si anak berada dan itulah hal yang alamiah dilakukan oleh seorang anak. Jadi sewaktu seorang ayah atau ibu melihat anak-anaknya bermain-main dengan ir di kamar mandi dan sebagainya, orang tua tidak usah panik dan memarahi si anak, biarkan dia bermain-main di kamar mandi.

Misalkan dia membawa mobil-mobilannya, perahu-perahuannya atau kalau dia anak perempuan membawa bonekanya, dia akan memandikan bonekanya, biarkan sebab itu adalah bagian dari pertumbuhan si anak yang memang alamiah, yang memang normal.
GS : Jadi di samping bermain, unsur-unsur tanggung jawab sudah mulai bisa ditanamkan Pak Paul?

PG : Betul, jadi hal-hal yang memang bersifat alamiah itu kita mulai sisipkan dengan tanggung jawab. Saya ingin menggarisbawahi Pak Gunawan, bahwa hal tanggung jawab ini sangat penting sekali. ebetulnya Pak Gunawan, bukankah kita ini mengukur kedewasaan seseorang berdasarkan rasa tanggung jawabnya, jadi seseorang yang kita labelkan kekanak-kanakan atau belum dewasa biasanya adalah orang yang kita anggap tidak bertanggung jawab.

Jadi penting sekali hal ini diajarkan, nah saya mau menggarisbawahi kata diajarkan, sebab tadi Pak Gunawan sudah singgung juga, anak-anak tidak dilahirkan dengan rasa tanggung jawab, tugas orang tualah mendidik anak sehingga si anak akhirnya memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab.
GS : Cuma kesulitan kami orang tua, tidak punya semacam kurikulum atau tingkatan-tingkatan sampai di mana kami itu mengajarkan tanggung jawab kepada anak, Pak Paul. Kalau orang belajar itu jelas semacam kurikulumnya, setelah ini apa, setelah ini apa, nah kami ini tidak punya Pak Paul hal semacam itu.

PG : Betul, memang betapa indahnya kalau kita mempunyai pedoman Pak Gunawan, namun secara garis besarnya atau prinsip umumnya kita ini melimpahkan tanggung jawab pada si anak dalam hal-hal yangbersifat alamiah atau natural atau bersifat sehari-hari.

Dan saya percaya Tuhan akan menumbuhkan pengetahuan itu dalam diri kita, bahwa ada hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh si anak. Nah saya kira sebagai orang tua yang memperhatikan anak, dengan sendirinya kita mulai memiliki kesadaran tersebut Pak Gunawan. Bahwa seharusnyalah sepatu ini tidak di lempar-lempar di mana saja dia mau, seharusnyalah diletakkan di rak sepatu misalnya, seharusnyalah piring tidak ditinggalkan di meja, tapi dibawanya ke dapur dan sebagainya.
GS : Tapi memang biasanya kami sendiri justru sebagai orang tua yang tidak disiplin Pak Paul, artinya kalau kita melihat hal-hal yang semacam itu, bukan kami perintahkan kepada anak untuk melakukannya sebagai bagian dari tanggung jawab tapi biasanya kami yang melakukan sebagai orang tua walaupun dengan ngomel, dengan memarahi si anak.

PG : Kadang kala orang tua berpikir dia masih terlalu kecil ya biarkanlah orang tua yang melakukannya atau nanti dia lakukan tidak beres, nanti piringnya pecah sudah biarkanlah kami yang melakuannya.

Hal-hal itu yang akhirnya mendorong orang tua mengambil alih tugas anak, ini tidak sehat. Satu lagi yang tidak sehat yang kadang kala orang tua tidak begitu perhatikan adalah struktur kehidupan untuk masa sekarang di mana untuk orang-orang yang berada sebetulnya anak-anak itu hanya perlu bernafas saja, itu tanggung jawabnya dia. Sebab kalau ada suster atau ada pembantu, baju pun disiapkan, air untuk mandi sudah disiapkan, handuk sudah disiapkan, kemudian dia akan ke luar kamar sudah ada sepatu yang disiapkan oleh pembantu rumah tangga, piring makan sudah tersedia di atas meja, sesudah makan piring di taruh di situ tidak usah dibawa ke mana-mana, belajar ada guru les yang akan menanyakan, mendorong si anak untuk mengerjakan soalnya. Nah kadang-kadang orang tua tidak realistik karena orang tua tidak memperhatikan proses pertumbuhan si anak ini, tiba-tiba si anak sudah berumur 14 tahun atau 15 tahun, orang tua marah-marah, anak saya tidak bertanggung jawab, anak saya disuruh kok tidak mau. Nah masalahnya adalah anak ini selama 14 tahun hidup sebagai bayi semua sudah disuapkan ke mulut si anak itu, sehingga si anak memang tidak pernah belajar untuk bertanggung jawab. Nah akhirnya apa yang terjadi, yang terjadi adalah si anak tidak memiliki tanggung jawab itu. Nah biasanya ini disadari oleh orang tua setelah anak menginjak usia remaja dan pada saat itu memang sudah lumayan terlambat.
GS : Cuma memang pada pikiran kami sebagai orang tua biasanya, nanti itu 'kan diajarkan di sekolah soal tanggung jawab itu. 'Kan anak itu di TK dan sebagainya itu dilatih dengan tanggung jawab, apakah kami nanti tidak keliru mengajarkan sesuatu, Pak Paul?

PG : Saya kira kita harus membedakan tanggung jawab yang internal dan tanggung jawab yang eksternal. Yang saya maksud adalah ini, memang anak-anak itu semuanya harus bersekolah dan diapun tahu tu, oleh karenanya anak-anak meskipun tidak mau sekolah terpaksa sekolah.

Nah dia diharuskan juga belajar, sudah tentu hal-hal yang bersifat eksternal ini, yang dipaksakan dari luar ke dalam tetap berguna dan akan berdampak positif buat dia, waktu dia mengerjakan tugas sekolahnya dan sebagainya. Namun demikian kita harus akui pada masa-masa anak-anak bersekolah terutama pada masa di bawah SMP, SMA mungkin sudah tumbuh kesadaran. Tapi sebelum itu pada masa SMP ke bawah anak-anak sesungguhnya belum memahami apa kegunaannya bersekolah, dia hanya melakukan tugas dan kewajibannya karena memang diharuskan. Tapi belum ada kesadaran, sebab sekolah itu sesuatu yang di luar dirinya, oleh sebab itulah orang tua perlu menumbuhkan tanggung jawab yang bersifat internal. Yaitu melakukan sesuatu yang berkaitan langsung dengan dirinya, misalkan tadi saya beri contoh tentang sikat gigi, mandi dan sebagainya itu berkaitan langsung dengan tubuhnya. Membereskan tempat tidur atau membereskan piringnya atau membereskan bekas mainannya kemudian ditaruh ke dalam box yang tertentu dan sebagainya, itu juga berkaitan langsung dengan dirinya. Jadi dia melakukan sesuatu bukan hanya diharuskan saja, tapi ini hal-hal langsung yang dia harus lakukan, maksudnya mainan itu dia yang mainkan, mainan ini adalah miliknya, ranjang ini kemarin malam dia yang tiduri. Nah dengan kata lain karena dia sudah melaksanakannya, kasarnya dia sudah membuat kerepotan itu maka sekarang dia harus membenahinya. Kalau belajar atau sekolah kurang mengandung unsur tersebut, sebab seolah-olah merupakan sesuatu yang berasal dari luar dirinya; guru meminta dia mengerjakan PR, guru berkata ada ulangan minggu depan dan dia belum menyadari apa kegunaan sekolah, jadi saya kira memang harus ada keseimbangan.
GS : Kalau seseorang anak dalam tingkat usianya itu bertanggung jawab, apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya?

PG : Waktu dia mulai memikul tanggung jawab, yang akan terjadi adalah nomor satu dia akan lebih bisa mempercayai kelebihannya. Sebab akan ada banyak hal yang dia mampu lakukan, hal-hal kecil yag tadinya dia pikir tidak berguna, tapi waktu dia mulai lakukan, sesungguhnya itu akan menumbuhkan rasa keyakinan dirinya.

Dia bisa mencuci piring, hal yang sederhana seperti itu. Misalkan suatu ketika kami tidak ada pembantu rumah tangga, terus kami mencuci piring, nah saya dan istri saya melibatkan anak-anak untuk mencuci piring kemudian saya mengajarkan kepada anak saya bagaimana mencuci piring itu dan sebagainya, istri saya juga mengajarkan pada anak saya untuk melap meja. Nah dengan kata lain hal-hal kecil seperti itu akan menjadi suatu proyek yang sekarang dikuasai oleh si anak, dia mengerti bagaimana melakukan tugas-tugas kecil seperti itu. Nah ini berdampak buat kepercayaan diri si anak itu.
GS : Kalau di samping keyakinan diri Pak Paul, adakah hal lain yang timbul dalam diri si anak?

PG : Yang lainnya lagi adalah kita menyadari bahwa pada akhirnya anak-anak itu harus bekerja, dia tidak akan dianggap sebagai manusia yang berharga kalau dia sama sekali tidak bekerja. Nah pekejaan mempunyai satu substansi, satu akar yakni tanggung jawab, jadi orang tua perlu mengajarkan anak-anak bertanggung jawab agar nanti si anak menjadi seorang pekerja yang baik.

Ini kita siapkan juga dari mulanya melakukan sesuatu karena menyadari kegunaannya. Kedua melakukan sesuatu karena memang diwajibkan, nah itu dua-duanya harus berimbang dan dimiliki oleh si anak. Ini dua hal menjadi bahan yang sangat penting untuk kesuksesan dia dalam pekerjaannya di masa mendatang.
GS : Yang Pak Paul maksudkan pekerjaan itu setelah nanti dia selesai dengan studinya?

PG : Betul, jadi tadi saya tekankan dua hal Pak Gunawan, yaitu si anak memang harus mengerti kegunaannya. Apa gunanya dia bekerja ini dan itu, tapi yang kedua si anak juga harus melaksanakan keajibannya, di saat dia sendiri tidak begitu menyadari kegunaannya.

Jadi jangan sampai si anak hanya memilih satu di antara dua, itu tidak sehat.
GS : Pak Paul, kadang-kadang di dalam satu keluarga yang anaknya cukup banyak atau kondisi perekonomiannya kurang itu biasanya anak yang sulung mendapatkan beban yang rasanya terlalu berat. Misalnya menggendong adiknya di mana dia sendiri masih kecil, atau bahkan sampai bekerja. Nah apakah dampak sebenarnya pada diri anak itu, Pak Paul?

PG : Anak-anak yang terlalu kecil untuk memikul tanggung jawab yang sebesar itu akhirnya akan kehilangan masa kecilnya, Pak Gunawan. Jadi artinya mereka seharusnya hidup pada tahap usianya namu terpaksa dikarbitkan untuk hidup di luar usianya.

Nah hal-hal yang seharusnya dia dapatkan di usia itu misalnya bergantung pada orang, bermain dengan teman-teman sebayanya, akan terhilang sebab yang dia harus lakukan adalah tugas membantu orang tuanya itu.
GS : Tapi yang kita lihat sebagai orang awam bukankah seolah-olah anak ini sudah bertanggung jawab, Pak Paul?

PG : Nah dalam hal ini memang tanggung jawabnya akan bertumbuh dengan baik sekali, namun dalam pertumbuhan si anak akan ada yang terhilang, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan. Misalnya sala satu aspek kehidupan yang harus dikembangkan oleh seorang anak adalah aspek rekreasi, jadi aspek mengisi baterai, aspek menyegarkan jiwa.

Nah anak-anak yang pada masa kecil diwajibkan untuk hidup lebih tua dari usianya terpaksa akan kehilangan kemampuan berekreasi, menyegarkan jiwa atau mengisi baterai. Kenapa kehilangan, karena memang tidak ada kesempatan itu, sejak kecil dia harus menjadi asisten mama atau papanya.
GS : Pak Paul kalau kita memberikan tanggung jawab itu sedini mungkin apakah itu tidak ada pengaruh dengan hubungannya atau interaksi dengan sesamanya khususnya teman-teman sebayanya, Pak Paul?

PG : Saya kira kalau kita memberikan tugas yang berlebihan pasti mengganggu Pak Gunawan, jadi secara prinsip kita harus selalu mengingat bahwa anak-anak itu memerlukan waktu bermain jauh lebih anyak daripada hal-hal yang berhubungan tanggung jawabnya.

Jadi semakin kecil semakin banyak waktu bermain yang dia butuhkan dan waktu untuk bertanggung jawab itu sebetulnya masih sangat kecil sekali jadi jangan sampai kita ini salah prioritas. Anak usia 4, 5 tahun kita wajibkan dia untuk mengepel, untuk menyapu dan sebagainya dan dia akan kehilangan waktu bermainnya, sedangkan itu adalah bagian yang sangat penting dalam pertumbuhannya.
GS : Tapi memang perlu diberi suatu contoh nyata kepada anak-anak ini mungkin Pak Paul.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi pada waktu kita menanamkan tanggung jawab kita perlu mengajarkan dengan contoh konkret. Contoh tadi misalnya kita mau mengajarkan anak kita mencuci piring, jngan sampai kita hanya berkata ini piringnya, ini sabunnya, ini kran airnya, tidak.

Anak-anak akan menikmati sekali kalau pada awal-awalnya bersama dengan kita melakukan tugas itu. Misalkan kita mengajarkan dia mencuci piring seperti ini, pegang piringnya keras kemudian kita gosokkan sabunnya, air dan sebagainya. Setelah kita lakukan 1, 2 kali, kita minta dia melakukannya, kita jangan pergi, kita disamping dia melihat dia melakukannya. Kemudian misalkan kita yang mengeringkan piring-piring yang telah dicuci olehnya itu atau kita juga di dapur membereskan barang-barang yang lainnya sewaktu dia melakukan tugas itu.
GS : Jadi dia tidak merasa ditinggalkan.

PG : Betul, waktu dia ditinggalkan dia akan merasakan ini adalah suatu hukuman atau tugas. Nah ini sama dengan membuat PR lagi, ke sekolah lagi, jadi akan kehilangan kesempatan bertanggung jawa untuk hal-hal yang berkaitan dengan dirinya.

Nah waktu kita meminta bantuannya, meminta pertolongannya untuk mencuci piring itu 'kan berkaitan dengan dirinya, itu piring yang dia pakai, itu adalah panci yang dipakai untuk memasak makanan yang dimakannya, jadi itu bagian dari dirinya. Jadi sekali lagi tanggung jawab memang dimulai dari hal-hal yang berkaitan dengan diri si anak itu.
GS : Pak Paul, kalau kita menanamkan tanggung jawab itu sedini mungkin, sementara anak itu masih dibawah asuhan kita di rumah, mungkin lebih gampang. Tapi kalau nanti suatu saat dia toh mulai bersosialisasi di sekolah dan teman-temannya. Apakah pengaruh teman-temannya itu tidak bisa mempengaruhi rasa tanggung jawabnya dia?

PG : Teman-teman itu sebetulnya akan bisa mempengaruhi tanggung jawabnya, Pak Gunawan. Dalam pengertian teman-teman waktu bermain akan mulai mengajak dia melakukan sesuatu untuk mengerjakan sesatu pula.

Nah dalam kesempatan seperti itu si anak akan juga berkesempatan untuk mengembangkan tanggung jawabnya, misalnya temannya berkata e...besok jangan lupa ya membawa gundu atau kelereng, dia besok akan membawa kelereng. E... besok jangan lupa ya kita main sepak bola, bawa bolanya, nah hal seperti itu yang berkaitan dengan teman juga akan bisa menumbuhkan tanggung jawab. Tapi biasanya memang tanggung jawab yang menyenangkan, sedangkan kita juga mau menanamkan tanggung jawab yang multidimensional yang bukan saja menyenangkan tapi hal-hal yang tidak terlalu menyenangkan.
GS : Dalam hal ini Pak Paul kalau anak itu menghadapi 2 hal pilihan untuk tanggung jawab yang tadi Pak Paul katakan di satu sisi dia sudah berjanji kepada temannya untuk membawa bola dan bermain bola pada suatu saat. Tapi pada sisi yang lain, pada saat yang bersamaan orang tuanya memberikan tanggung jawab, nah bukankah ini bisa jadi membingungkan Pak Paul, mana yang harus dia prioritaskan?

PG : Nah kalau memang si anak itu sudah berkata pada orang tuanya: "Bu, Pak saya besok sudah berjanji untuk bermain sepak bola setelah sekolah." Nah orang tua memang harus menimbang aakah sedemikian perlunya si anak membatalkan janji untuk bermain sepak bola itu.

Kalau orang tua berpikir tugas ini bisa ditangguhkan, silakan tangguhkan biarkan si anak main sepak bola dulu, setelah itu baru katakan saya minta engkau membantu saya untuk hal ini setelah sepak bola dan sebagainya.
GS : Dalam kaitan tanggung jawab ini Pak Paul apakah firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman khususnya untuk kami sebagai orang tua?

PG : Saya akan bacakan dari kitab Amsal 12:11, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia tidak berakal budi." Say ulangi lagi, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia tidak berakal budi."

Salah satu ciri orang yang bertanggung jawab adalah dia akan lebih realistik, anak-anak yang dilatih sejak kecil untuk belajar bertanggung jawab menjadi anak-anak yang mengerti realitas kehidupan, justru anak-anak yang tidak mengerti tanggung jawab, mengertinya hanya menuntut orang untuk melakukan semua baginya akan seperti dikatakan di Alkitab tadi akan mengejar barang yang sia-sia atau mengejar barang yang tidak ada. Namun orang yang bertanggung jawab akan melihat realitas kehidupannya dan justru firman Tuhan berkata dia yang akan mengerjakan tanahnya akan kenyang, karena bisa memakan hasil tanahnya itu. Jadi sekali lagi firman Tuhan juga mengajarkan anak-anak Tuhan untuk bertanggung jawab atas dirinya, atas kebutuhannya. Dia perlu makan, dia perlu bekerja dengan cara apa, mengerjakan tanahnya.
GS : Di dalam mengetahui dirinya sudah bertanggung jawab, apakah orang lain bisa tahu Pak Paul bahwa seseorang itu memang punya tanggung jawab atau tidak?

PG : Salah satu hal yang akan kita bisa lihat adalah anak-anak yang bertanggung jawab, anak-anak yang berani mengakui perbuatannya, itu salah satu ciri atau tolok ukur yang penting sekali. Anakanak yang seolah-olah rajin, banyak bekerja dan sebagainya tapi belum berani mengakui perbuatannya apa yang telah dia kerjakan belumlah memiliki kedewasaan.

Jadi kita janganlah dikecohkan oleh kerajinan Pak Gunawan, ada anak-anak yang rajin tapi kerajinannya itu bersifat eksternal tadi yang saya sebut itu, dia harus melakukannya karena memang dituntut oleh orang lain. Tapi dia tidak memahami kenapa dia melakukannya dalam kaitan dengan dirinya sendiri, nah anak yang bertanggung jawab, anak yang tahu apa kaitan itu dengan dirinya sehingga waktu ada sesuatu terjadi atau melakukan hal yang keliru atau salah dia berani berkata saya yang salah.
GS : Dan bertanggung jawab saya rasa.

PG : Betul.

GS : Ya demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan ke hadapan Anda tentang bagaimana "Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab pada Anak." Dan pembicaraan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 54 A

  1. Apakah tanggung jawab, ada dengan sendirinya dalam diri setiap anak...?
  2. Sejak kapan dan dalam bentuk bagimana orang tua dapat menanamkan tanggung jawab pada anak...?


15. Proses Pertumbuhan Tanggung Jawab


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T054B (File MP3 T054B)


Abstrak:

Rupa-rupanya tanggung jawab tumbuh dalam bentuk suatu proses yang diawali sejak dini dan dalam materi ini akan dijumpai berbagai bentuk tanggung jawab yang dilakukan pada saat usia anak-anak kemudian remaja dan meningkat pada usia pemuda atau dewasa.


Ringkasan:

Kenyataan saat ini yang terjadi ada banyak orang yang sudah dewasa tapi rasa tanggung jawabnya bisa dinilai rendah sekali. Tentu ada hal-hal yang menjadi penyebab kenyataan tersebut. Saya akan memberikan jawaban dari dua sisi:

  1. Yang pertama adalah dari sisi Theologis spiritual, dari segi Theologis dan rohani kita bisa mengakui bahwa memang tanggung jawab berkaitan dengan dosa.

  2. Yang kedua dari sisi emosional, kenapa orang itu sukar sekali untuk bertanggung jawab sampai pada usia dewasanya, saya kira ini berkaitan dengan kebutuhan emosionalnya yaitu:

    1. Kebutuhan untuk menjadi benar. Adakalanya dengan kita bertanggung jawab kita harus mengakui kesalahan kita atau hal-hal yang telah kita lakukan yang tidak disenangi oleh orang lain. Akibatnya kita merasa takut, kita tidak mau mengakui perbuatan tersebut sehingga kita mengalak dari tanggung jawab kita.

    2. Kebutuhan untuk dapat menikmati hidup. Kita manusia yang ingin menikmati hidup dengan mudah dan gampang, jadi waktu kita harus melakukan tanggung jawab, kita merasakan ini adalah suatu beban bagi hidup kita dan menyukarkan hidup kita. Itu sebabnya kita melarikan diri dari tanggung jawab supaya hidup kita lebih mudah.

Kalau anak itu sudah meningkat lebih dewasa lagi yaitu memasuki usia pemuda, beberapa hal yang kita perlu tanamkan adalah:

  1. Ia harus bertanggung jawab atas emosinya. Inilah yang kadangkala tidak begitu diperhatikan orang tua. Emosi adalah sesuatu yang menjadi milik si anak, misalnya emosi marahnya, emosi sedihnya, nah dia harus bertanggung jawab dalam pengertian dia harus melakukan sesuatu, dia tidak bisa dikuasai oleh emosi-emosi tersebut.

  2. Ia harus bertanggung jawab dalam hal keuangan. Ini bisa kita mulai rintis sejak kecil, kita memberikan uang jajan dan kita tanyakan untuk apa, apa yang dia belanjakan tadi.

  3. Juga bertanggung jawab di dalam merintis kariernya. Dalam pengertian dia bertanggung jawab atas pilihan studinya, kebutuhan-kebutuhan dia harus bekerja, itu memang akhirnya akan kita dorong.

  4. Puncaknya adalah anak juga akan dituntut bertanggung jawab untuk kehidupan rohaninya. Setelah anak menginjak dewasa kita harus kembalikan pada si anak, tergantung padamu sekarang mau mempunyai hubungan yang dekat dengan Tuhan atau jauh, mau hidup di dalam Tuhan atau di luar Tuhan. Engkau tidak bisa lagi hidup bergantung kepada orang lain ini adalah antara engkau dan Tuhan.

Amsal 12:9 "Lebih baik menjadi orang kecil tetapi bekerja untuk diri sendiri, daripada berlagak orang besar tapi kekurangan makan."

Firman Tuhan ini menekankan dua hal:

  1. Seseorang harus bisa menerima keadaan dirinya apa adanya.

  2. Alkitab mengatakan penting sekali bekerja untuk diri sendiri. Artinya Alkitab mendorong kita untuk memenuhi kebutuhan diri kita dan jangan melemparkan tanggung jawab itu kepada orang lain.

Orang tua perlu bersikap dengan bijaksana dalam menolong anak menghadapi kegagalan, yaitu dengan memperhatikan beberapa prinsip berikut ini:

  1. Pertama adalah beri penghargaan untuk keberhasilannya. Jadi sewaktu anak berhasil melakukan sesuatu atau tanggung jawab yang kita embankan kepadanya, beri dia penghargaan, ucapkan pujian kita, jangan ragu-ragu memujinya.

  2. Kalau dia gagal beri dorongan jangan kita malahan menghinanya, melecehkannya, jangan. Justru untuk kegagalan yang telah diusahakan beri dia dorongan, jangan sampai dia kecil hati, lain kali coba lagi.

  3. Berikan sanksi untuk kelalaiannya, untuk hal-hal yang dia seharusnya lakukan tapi dia sengaja melalaikan tanggung jawab itu.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Dan kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Proses Pertumbuhan Tanggung Jawab," kali ini Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK berhalangan hadir tapi pada kesempatan yang lain beliau pasti menemani Anda dalam perbincangan TELAGA ini. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS :Beberapa waktu yang lalu Pak Paul kita mencoba berbincang-bincang tentang bagaimana menumbuhkan rasa tanggung jawab sejak anak itu masih kecil, nah mungkin kita melanjutkan perbincangan ini tentang bagaimana proses pertumbuhan tanggung jawab selanjutnya. Kita tahu kenyataannya bahwa ada banyak orang yang sudah dewasa pun, rasa tanggung jawabnya bisa dinilai rendah sekali nah itu sebenarnya apa Pak Paul yang menyebabkan?

PG : Saya akan memberikan jawaban dari dua sisi Pak Gunawan, yang pertama adalah dari sisi Theologis spiritual dan yang kedua adalah dari sisi emosional. Saya kira dari segi Theologis dan rohan kita bisa mengakui bahwa memang tanggung jawab itu berkaitan dengan dosa.

Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah melihat bahwa akibat langsung dari dosa ialah manusia untuk pertama kalinya mengelakkan tanggung jawab. Waktu Tuhan bertanya pada Adam, Adam menyalahkan Hawa, waktu Tuhan bertanya kepada Hawa, Hawa menyalahkan ular yaitu si setan sendiri. Jadi kita bisa melihat bahwa konsekuensi yang langsung dari dosa ialah enggannya atau tidak maunya orang bertanggung jawab, jadi itulah jawaban yang pertama kenapa sukar sekali bagi orang itu untuk memikul tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Yang kedua dari sisi emosional kenapa orang itu sukar sekali untuk bertanggung jawab sampai pada usia dewasanya, saya kira ini berkaitan dengan kebutuhan emosionalnya yaitu kebutuhan untuk menjadi benar. Dan yang kedua kebutuhan untuk dapat menikmati hidup, yang pertama adalah untuk menjadi benar, adakalanya dengan kita bertanggung jawab kita harus mengakui kesalahan kita atau hal-hal yang telah kita lakukan yang tidak disenangi oleh orang lain. Nah akibatnya kita merasa takut, kita tidak mau mengakui perbuatan tersebut sehingga kita mengelak dari tanggung jawab kita. Atau yang kedua tadi saya katakan kita ini adalah manusia yang ingin menikmati hidup dengan mudah dan gampang, jadi waktu kita harus melakukan tanggung jawab kita, kita merasakan ini adalah suatu beban bagi hidup kita dan menyukarkan hidup kita. Itu sebabnya adakalanya kita melarikan diri dari tanggung jawab supaya hidup kita lebih mudah, kira-kira begitu jawabannya Pak Gunawan.
GS : Jadi seperti perbincangan yang lalu Pak Paul katakan salah satu ciri dari orang yang bertanggung jawab adalah berani mengakui kesalahannya, dan itu yang terjadi pada Adam dan Hawa yang saling menyalahkan pihak lain. Tapi itu memang kecenderungannya, jadi kalau tadi Pak Paul katakan itu merupakan buah dari dosa, kita semua dilahirkan dalam kondisi berdosa, jadi punya kecenderungan untuk tidak bertanggung jawab.

PG : Saya setuju, jadi yang lebih natural bagi manusia adalah tidak bertanggung jawab dan melemparkan tanggung jawab pada orang lain. Tapi proses pertumbuhan menjadi seorang dewasa haruslah menikuti juga hukum tanggung jawab.

Sebab secara tubuh kalau dia bertambah dewasa, namun kalau secara emosional tidak bisa bertanggung jawab kita tidak akan panggil dia sebagai seorang yang dewasa. Pada masa kecil memang dia tidak lagi dituntut tanggung jawab karena orang tualah yang bertanggung jawab atas hidupnya untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhannya, namun semakin besar semakin dia mampu untuk menyediakan kebutuhannya nah dia juga dituntut untuk melakukan itu. Kalau dia tetap menuntut orang tuanya melakukan untuk dia berarti dia tidak mengalami pertumbuhan yang sehat. Jadi prinsipnya kebutuhan-kebutuhan si anak perlahan-lahan akan harus dibebankan kembali pada si anak itu. Pada masa kecil, orang tua yang dapat dikatakan mengambil tanggung jawab itu 100%. Dengan bertambah besarnya si anak prosentase tersebut atau porsi tersebut mulai dialihkan pada si anak, kebutuhan untuk membersihkan tubuhnya itu adalah awal dari segala tanggung jawab yang harus dipelajari oleh si anak, tanggung jawab untuk membereskan, merawat barang-barang miliknya itu adalah tanggung jawab yang kedua yang kita harus ajarkan kepada anak-anak. Nah dengan meningkatnya usia si anak kita juga akhirnya menyadarkan si anak kita juga harus melakukan tanggung jawab yang dituntut oleh orang lain. Misalnya di sini adalah sekolah, nah guru mendidik, menuntut dia untuk belajar dan melakukan pekerjaan rumahnya jadi anak-anak ini dituntut untuk melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain yang tidak berkaitan langsung dengan diri dia. Misalnya si orang tua meminta kepada si anak yang berusia 14 tahun untuk mengantarkan adiknya ke tempat tertentu, ke warung membeli barang dan sebagainya, tidak ada kepentingannya sama sekali tetapi demi menolong adiknya. Nah si anak akan harus belajar bertanggung jawab untuk orang lain, bukan saja untuk dirinya.
(2) GS : Jadi Pak Paul kita mau bicara tentang proses pertumbuhan pada diri si anak, katakan itu sudah ditanamkan, ditumbuhkan oleh orang tuanya sampai pada tingkat anak. Kemudian dia menginjak ke masa remaja, tanggung jawab apa yang bisa diberikan orang tua kepada anak remaja?

PG : Yang sudah pasti adalah yang pertama anak-anak ini sudah harus bisa bertanggung jawab atas sekolahnya, jadi ini adalah salah satu hal yang penting. PR tidak lagi harus diberitahukan, diingtkan, dia sudah harus melakukannya sendiri.

Selain dari tanggung jawab sekolah, anak-anak juga dilibatkan untuk bertanggung jawab bagi kebutuhannya. Misalkan dia hendak membeli barang, ada pekerjaan sekolah yang harus dia lakukan dan dia harus membeli barang-barang tersebut. Pada masa kecil kita yang membelikannya buat si anak, tapi setelah dia berusia remaja dan dia bisa pergi sendiri kita mulai berkata engkau yang beli, jadi bukan lagi orang tua yang harus kerepotan ke toko buku membelikan karton dan sebagainya. Kita akan meminta si anak untuk pergi membelinya sendiri, hal seperti itu misalkan pelajarannya mulai menurun dan dia harus mendapatkan pelajaran tambahan atau les, nah bukan kita yang bertanggung jawab mencari-cari guru les yang bisa mereka hubungi dan sebagainya. Hal ini penting untuk dilakukan kalau tidak, bahkan untuk pelajaran sekolah si anak remaja itu tidak memiliki tanggung jawab dan dia merasa ini bukanlah tanggung jawab saya. Mama Papalah yang seharusnya mencarikan guru les buat saya dan sebagainya, nah jadi hal yang saya kira pertama dan utama yang kita perlu tanamkan pada anak-anak remaja ialah tanggung jawab untuk kehidupan akademiknya atau kehidupan bersekolahnya.
(3) GS : Sering kali Pak Paul yang kami hadapi itu anak remaja kalau dimintai tolong, misalnya mengangkatkan bak mandi atau apa dia menolak, Pak Paul, nah itu sebenarnya bagian dari tidak bertanggung jawabnya dia atau apa itu Pak Paul?

PG : Saya kira setiap orang tidak mau disusahkan, nah bagi si anak remaja melakukan hal tersebut menyusahkan dirinya, jadi ada kecenderungan manusia itu akan mengelak dari hal-hal yang akan menusahkan atau merepotkan dirinya.

Nah satu hal yang bisa kita lakukan adalah waktu kita menyuruh dia misalkan mengisi air, nah pada awal-awalnya kita mengajarkan hal itu, kita lakukan bersama dengan dia, kita menuangkan air bersama-sama dengan dia. Hal kedua kalau misalnya kita sudah lakukan itu dan dia sekarang diminta untuk melakukannya sendiri kita jangan tinggalkan dia sendirian di kamar mandi. Pada awal-awal itu kita juga berada di sekitar kamar mandi dan sering-sering bertanya, bagaimana airnya sudah penuh belum, capek belum dan sebagainya. Jadi kita mengajak dia terlibat bukan meninggalkan dia sendirian di dalam pekerjaannya.
GS : Tapi masalahnya insidentil, Pak Paul, jadi suatu kegiatan di mana orang tuanya membutuhkan bantuan si anak ini yang sifatnya hanya untuk kali itu dan anak ini menolak karena dia bilang, saya mau pergi dengan teman saya dan sebagainya. Si ibu yang minta tolong pada anak remaja ini menjadi sakit hati, dia mengatakan bahwa kamu kalau minta tolong saya maksa, sekarang saya minta tolong kamu untuk hal sepele saja tidak mau.

PG : Salah satu penyebabnya Pak Gunawan, saya tidak katakan ini satu-satunya penyebab tapi salah satu penyebab kenapa kecenderungan anak remaja menolak permintaan orang tua adalah timing. Jadi adang-kadang yang membuat masalah bukan pekerjaannya tapi kapan pekerjaan itu harus dilakukan.

Nah anak-anak kecil lain dengan anak-anak remaja, anak-anak kecil belum mempunyai rencana jam ini mau berbuat apa dan sebagainya, kebanyakan anak-anak remaja sudah memiliki timing. Kebanyakan anak remaja sekarang bersekolah dari pagi sampai jam 3-an hingga jam 4-an. Kebanyakan dari mereka sekarang sejak dari usia remaja sudah dipaksa oleh sistem kehidupan ini untuk mengatur waktu atau untuk merencanakan waktunya, karena memang tidak lagi terlalu banyak. Jadi cukup banyak di antara mereka itu sewaktu pulang sekolah sudah memikirkan akan melakukan apa dan apa, nah sudah tentu yang mereka rencanakan bukan saja mengerjakan PR tapi ada hal-hal yang bersifat rekreasi, yang menyegarkan yang bersifat sosialisasi yang akan mereka lakukan pula. Nah adakalanya perintah orang tua diberikan di waktu atau di timing di mana anak remaja itu merencanakan sesuatu yang lain, nah sering kali hal itu menjadi gangguan buatnya. Sebab kita perhatikan kalau dia sedang tidak mempunyai kegiatan apa-apa atau rencana apa-apa dia mungkin akan lebih bersedia membantu orang tuanya. Tapi kalau misalnya dia ingin pergi, misalnya pergi masih setengah jam lagi atau masih ada waktu dia sudah uring-uringan. Sebab ketakutannya adalah tugas ini tidak bisa diselesaikan tepat pada waktunya sehingga dia harus pergi, nah dalam hal seperti itu kita sebagai orang tua bertanya apakah engkau ada waktu sekarang, kalau ada waktu bisakah tolong ibu atau tolong bapak. Misalkan dia bilang saya merencanakan untuk ini dan ini, kita mulai menghitung-hitung jumlah waktunya dan misalkan kita hitung masih ada waktuny, boleh tidak saya minta 10 menit saja, engkau 'kan masih ada 10 menit untuk mempersiapkan dirimu sebelum engkau pergi dan sebagainya, kalau dia bilang OK! 10 menit saja, nah itu yang kita minta. Jadi dengan kata lain kita memang harus sensitif dengan jadwal kehidupan si anak remaja itu.
GS : Atau kadang-kadang ini Pak Paul, dia mau menyelesaikan tugas yang kita berikan atau tanggung jawab yang kita minta darinya tapi menurut cara dia, nah itu bisa ditolerir atau tidak?

PG : Nah itu adalah hal yang umum dilakukan oleh remaja, yakni melakukan tugas secepat mungkin, akhirnya mutu pekerjaannya asal-asalan, dengan kata lain dia melakukan itu hanya tujuannya agar cpat selesai, bukan untuk dinilai baik atau berhasil.

Nah yang bisa kita lakukan adalah begini, misalkan ada beberapa hal yang dia harus lakukan, nah daripada meminta dia melakukan beberapa hal, kita minta dia hanya melakukan satu hal, tapi kita minta melakukannya dengan baik. Dan standar baiknya kita beritahu dia, misalkan membereskan kamar, kita meminta dia untuk merapikan kamarnya, tapi kita harus beritahu secara spesifik apa itu yang kita inginkan; misalnya kita mau mainan-mainan ini ditaruh pada suatu tempat di sini. Kita harus beritahu dia, nah kadang kala sebagai orang tua kita terbiasa berkata bereskan kamarmu, tapi kita tidak spesifik mengutarakan tuntutan kita atau apa yang kita inginkan. Nah adakalanya anak-anak langsung membereskan dalam pengertian dia kesampingkan semua barang-barangnya.
GS : Tapi biasanya ini ibu-ibu yang sudah membersihkan kamar anak itu tadi yang sudah remaja. Nah itu semacam contoh Pak Paul, kalau membersihkan kamar itu ya seperti ini tapi tidak spesifik memang yang tadi Pak Paul katakan mainannya dan sebagainya, tapi coba lihat ibu membersihkan kamarmu dan lain kali buat seperti ini. Tapi pola pikirnya si remaja ini lain lagi.

PG : Yang kita harus sadari Pak Gunawan, membentuk anak itu tidak hanya berlaku 1 bulan atau 1 tahun, jadi itu akan menuntut misalnya waktu selama 5, 6 tahun pada usia remajanya itu. Berarti teus-menerus harus kita katakan itu yang pertama yang harus kita sadari.

Yang kedua adalah meskipun kita berkata lakukanlah seperti yang ibu lakukan sekarang, keesokan harinya kecenderungannya akan ada 2, 3 hal yang tertinggal yang tidak dia lakukan. Nah daripada kita berkata kamarmu tetap tidak beres, berantakan dan sebagainya lebih baik si ibu masuk kamar dan berkata ini belum beres, ini harus di sini jadi kita tunjukkan satu persatu hal yang memang dia harus lakukan, keesokan harinya juga sama. Waktu masih ada yang kurang, kita hanya menunjuk yang kurangnya tapi tidak lagi melabelkan kamarmu tidak beres atau berantakan, jadi kita tunjukkan secara spesifik.
GS : Biasanya ibunya itu sudah tidak sabar lagi sudah langsung dibetulkan sendiri, sambil ngomel-ngomel pasti.

PG : Memang harus menyadari bahwa ini akan memakan waktu bertahun-tahun, contoh yang sederhana menaruh handuk digantungan handuk. Nah di rumah kami handuk itu memang harus ditaruh di gantungan anduk, anak-anak sudah diberitahu tidak tahu berapa puluh kali agar menaruh handuk yang benar.

Kecenderungannya Pak Gunawan sebelum saya sempat ngomong handuk itu sudah dilempar ke tempat handuk, yang harus saya lakukan adalah handuk ditaruh lebih rapi harus saya katakan terus-menerus seperti itu. Nah hasilnya apa, hasilnya pasti ada kemungkinan besar tidak bisa kita lihat sekarang, tapi waktu nanti dia tinggal sendiri atau dia nanti sudah menikah tanpa disadari bakat atau pengetahuan atau kecenderungan tersebut akan ada pada dirinya. Dia akan membereskan handuk dengan baik dan sewaktu istrinya atau suaminya menaruh handuk sembarangan dia akan bereaksi tiba-tiba tanpa disuruh dia akan bereaksi kenapa handukmu dilempar saja, jadi akan ada hasilnya.
GS : Cuma memang perlu diingatkan dan diingatkan terus ya Pak Paul?

PG : Betul sekali.

(4) GS : Nah sekarang kalau anak itu sudah meningkat lebih dewasa lagi, memasuki usia pemuda hal-hal apa yang akan diajarkan kepada pemuda itu?

PG : Satu hal yang kita perlu tanamkan adalah bertanggung jawab atas emosinya, nah ini adalah orang tua kadang kala tidak begitu perhatikan. Emosi sesuatu yang menjadi milik si anak tersebut mialnya emosi marahnya, emosi sedihnya, nah dia harus bertanggung jawab dalam pengertian dia harus melakukan sesuatu, dia tidak bisa dikuasai oleh emosi-emosi tersebut.

Kita memberikan izin kepadanya untuk sedih, untuk marah dan sebagainya tapi waktu dia sedih jangan sampai dia mengurung diri berjam-jam di kamar. Waktu dia marah dia tidak boleh membuang atau membanting barang seenaknya, jadi kita mulai mengajarkan tanggung jawab atas emosinya dan dampak emosinya pada orang lain, anak-anak remaja atau pemuda ini harus sadari. Bahwa waktu dia tidak mau bertemu temannya karena sedikit menjengkelkan dia, temannya akan marah dan temannya kemungkinan besar tidak mau untuk mengunjunginya. Dia harus menyadari dampak emosinya itu pada orang lain dan dia harus bertanggung jawab, sebab ada kecenderungan si anak yang sudah remaja atau dewasa awal ini akan menyalahkan temannya. Dia yang tidak mau ke rumah saya, dia yang berbeda sekarang, dia yang meninggalkan saya dan sebagainya. Nah orang tua yang jeli akan dapat menempatkan masalah dalam perspektif yang baik, orang tua bisa berkata lihat kenapa dia tidak mau begitu apa mungkin ada hal-hal yang tidak dia sukai tentang perbuatanmu. Nah anak-anak akan cenderung berkata apa, tidak ada yang saya lakukan yang tidak benar, dianya memang yang berubah, dianya memang yang sekarang tidak mau main lagi dengan saya dan sebagainya. Nah kita mau soroti mungkin ada yang engkau lakukan yang akhirnya melukai hati temanmu, jadi dia harus bertanggung jawab atas dirinya, atas dampak perbuatannya pada orang lain, atas dampak emosinya atau cetusan emosinya pada orang lain. Nah dengan cara itulah kita akan menyempurnakan pertumbuhan tanggung jawab pada dirinya, puncaknya adalah anak akhirnya juga akan dituntut bertanggung jawab untuk kehidupan rohaninya. Pada masa-masa kecil kita yang mengajarkan dia berdoa, mengajak dia ke gereja, mengajak dia untuk beribadah di rumah dan sebagainya, menyuruh dia membaca Alkitab, bersaat teduh itu semua hal-hal yang akan ditekankan oleh orang tua pada anak yang masih kecil. Namun setelah anak menginjak dewasa hal-hal seperti ini kita harus kembalikan pada si anak, tergantung padamu sekarang mau mempunyai hubungan yang dekat dengan Tuhan atau jauh, mau hidup di dalam Tuhan atau di luar Tuhan. Engkau tidak bisa lagi hidup bergantung kepada orang lain ini adalah antara engkau dan Tuhan. Jadi tanggung jawab terakhir yang harus kita sadari pada anak sebelum dia meninggalkan rumah kita adalah dia bertanggung jawab kepada Tuhan dan hubungan seperti apakah yang dia akan miliki dengan Tuhan benar-benar berada pada tanggung jawabnya, bukan tanggung jawab orang lain.
GS : Tapi itu semua dirintis sedini mungkin Pak Paul, juga bertanggung jawab dalam hal keuangan yang dia miliki?

PG : Betul, jadi salah satu hal dalam pertumbuhan tanggung jawab pada usia-usia dewasa awal adalah dalam hal keuangan Pak Gunawan. Yang kita mulai rintis sejak kecil, kita memberikan uang jajandan kita tanyakan untuk apa, apa yang dia belanjakan tadi, nah kita mulai mengajarkan dia apa yang berguna, apa yang tidak berguna dan sebagainya, sehingga dia mulai bisa memegang uang dan menggunakan uang itu dengan bijaksana.

GS : Mungkin juga bertanggung jawab di dalam merintis kariernya, Pak Paul?

PG : Betul, merintis kariernya dalam pengertian dia bertanggung jawab atas pilihan studinya juga, kebutuhan-kebutuhan dia harus bekerja, nah itu memang akhirnya akan kita dorong. Tapi sebetulny dari kecil kalau kita sudah menanamkan tanggung jawab itu dengan otomatis saya dapat katakan tanggung jawab untuk memilih pekerjaan dan sebagainya akan muncul pada dirinya.

Yang sering kali akhirnya tidak bergerak adalah anak-anak yang memang terlalu menerima semuanya karena disediakan oleh orang tua, sehingga jarang sekali untuk melatih diri bertanggung jawab.
GS : Juga dalam hubungan khususnya dengan pacar dan sebagainya itu 'kan menuntut tanggung jawab juga, dari seorang pemuda.

PG : Betul, nah ini berkaitan dengan tanggung jawab emosionalnya bahwa dia akan mempengaruhi kehidupan orang lain. Dan kebalikannya juga penting yaitu orang lain akan mempercayai dirinya karenadia bertanggung jawab.

Nah dengan kata lain kalau kita menanamkan tanggung jawab dengan benar pada masa-masa kecilnya dia menjadi orang yang bertanggung jawab dengan tugas dan pekerjaannya, dengan dirinya dan perbuatannya dan hasilnya dia akan nikmati sendiri. Yaitu akan ada respons dari orang-orang dari teman-teman disekitarnya, di mana mereka itu akan mempercayai dirinya, nah ini akan mendorong dia untuk makin bertanggung jawab, karena diberikan kepercayaan yang begitu besar oleh orang-orang lain.
GS : Nah di dalam proses pertumbuhan ini Pak Paul apa yang firman Tuhan itu katakan?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 12:9, "Lebih baik menjadi orang kecil tetapi bekerja untuk diri sendiri, daripada berlagak orang besar tapi kekurangan makan." Nah, firmanTuhan yang kita baca ini sebetulnya menekankan pertama seseorang itu harus bisa menerima keadaan dirinya apa adanya.

Janganlah sampai dia yang kecil mencoba-coba akan menjadi besar itu tidak akan pas dengan dirinya. Nah ini berkaitan langsung dengan tanggung jawab Pak Gunawan, karena orang ini menjadi orang yang memang mengerti porsi dirinya dan dia bertanggung jawab atas porsi dirinya yang memang segitu. Jangan sampai dia menganggap dirinya begitu besar sehingga akhirnya dia juga tidak bisa melaksanakan tanggung jawabnya dengan betul. Yang kedua adalah Alkitab mengatakan penting sekali bekerja untuk diri sendiri, di sini artinya Alkitab mendorong kita untuk memenuhi kebutuhan diri kita dan jangan melemparkan tanggung jawab itu kepada orang lain. Nah ini bukan saja bagi saya, bukan saja untuk hal-hal yang bersifat fisik tapi untuk segala hal. Kita mau menjadi orang yang dikasihi orang, mengasihi orang kita harus baik kepada orang, kita harus ramah pada orang, kita mau diterima oleh orang lain, dan sebagainya. Jadi sekali lagi kalau kita mau mendapatkannya kita harus bekerja untuk itu, tidak mendapatkan dengan cuma-cuma, ini yang perlu kita tekankan pada anak-anak dan ini yang Tuhan ajarkan pada kita pula.
(5) GS : Nah di dalam rangka menjadi dirinya sendiri dan berusaha melakukan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, ada kemungkinan seseorang itu gagal melakukan tanggung jawabnya Pak Paul, apalagi kalau dia sudah memasuki masa pemuda, dewasa dini, nah itu sebenarnya bagaimana sikap orang tua dan sikap dia sendiri sebenarnya menghadapi kegagalan itu?

PG : Ada 3 prinsip Pak Gunawan, yang dapat kita tekankan pertama adalah berikan penghargaan untuk keberhasilannya. Jadi sewaktu anak berhasil melakukan sesuatu ya, tanggung jawab yang kita embakan kepadanya, berikan dia penghargaan, ucapkan pujian kita, jangan ragu-ragu memujinya.

Kalau dia gagal beri dorongan jangan kita malahan menghinanya, melecehkannya. Justru untuk kegagalan yang telah diusahakan beri dia dorongan, jangan sampai dia kecil hati, lain kali coba lagi. Namun beri sanksi untuk kelalaiannya untuk hal-hal yang dia seharusnya lakukan tapi dia sengaja melalaikan tanggung jawab itu kita harus berikan sanksi, alias kalau perlu berikan hukuman, jadi berikan ketiga hal ini.
GS : Juga kalau dia sudah dewasa Pak Paul, sudah pemuda harus ada sanksi?

PG : Sama, sanksi itu mungkin datang dari kita atau datang langsung dari lingkungannya. Waktu dia bertindak semau-maunya kepada si pacarnya, pacarnya akan meninggalkan dirinya, nah kita katakanini adalah sanksi yang harus engkau tanggung, karena engkau melalaikan dia, cinta harus dipupuk berdua, tidak sendirian seperti itu.

GS : Jadi memang tanggung jawab itu rupanya tumbuh dalam bentuk suatu proses yang harus diawali sejak dini Pak Paul. Tapi apakah ada kemungkinan seseorang itu setelah dewasa menjadi orang yang tidak bertanggung jawab?

PG : Segala kemungkinan ada tapi saya kira kecil, sebab dia tidak akan merasa nyaman dengan dirinya yang tidak bertanggung jawab.

GS : Karena sudah terbiasa sejak kecil sudah bertanggung jawab.

PG : Betul.

GS : Nah para pendengar yang kami kasihi demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan ke hadapan Anda tentang "Proses Pertumbuhan Tanggung Jawab." Dan pembicaraan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 54 B

  1. Apakah yang menyebabkan tanggung jawab seseorang dinilai rendah...?
  2. Tanggung jawab apakah yang dapat diberikan orang tua kepada anak remaja...?
  3. Apakah yang menyebabkan kecenderungan anak remaja menolak kalau dimintai tolong...?
  4. Tanggung jawab apakah yang dapat diberikan orang tua kepada anak yang memasuki usia pemuda....?
  5. Bagaimana sikap orang tua maupun anak menghadapi kegagalan dalam rangka melaksanakan tanggung jawab...?


16. Anak dan Uang


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T062A (File MP3 T062A)


Abstrak:

Sejak kecil anak memang perlu dikenalkan tentang uang, karena ini akan melatih anak di dalam menggunakan uang dengan cara yang baik. Mengenai cara dan bagaimana seharusnya kita sebagai orangtua memperkenalkannya, materi ini yang akan menjelaskannya.


Ringkasan:

Sesungguhnya kita perlu mengajarkan anak tentang uang sejak masih kecil. Pada prinsipnya sewaktu anak mulai mengerti barang-barang dan mengerti bahwa untuk memperoleh barang-barang tersebut diperlukan uang. Biasanya ini terjadi pada anak-anak sekitar usia 5, 6 tahun yaitu tatkala mereka mulai bersekolah, mulai melihat apa yang dimiliki oleh teman-teman mereka. Ada perbedaan konsep yang mendasar tentang hal uang, bagi anak-anak yang kecil yang berusia di antara 0-4,5 tahun hingga usia sekitar 10, 11 tahun dengan anak-anak remaja yang berusia di antara 12 hingga 16, 18 tahun. Bagi anak-anak kecil makna uang ialah sebagai sarana untuk mendapatkan keinginannya.

Sedangkan bagi anak-anak remaja uang itu mempunyai dimensi yang berbeda, uang menjadi lambang atau status sosial ekonomi mereka. Uang bukan sekadar untuk memperoleh yang mereka inginkan, tapi adanya uang lebih mewakili keadaan mereka dalam tatanan masyarakat. Kalau anak sudah beranjak remaja, uang menjadi suatu simbol status sosial dan ekonomi. Anak-anak pasti akan merasa lebih bisa diterima oleh lingkup sosialnya kalau dia memang mempunyai uang seperti yang dimiliki oleh teman-temannya.

Memberikan uang saku pada anak, yang sering dilakukan banyak orangtua sebenarnya berdampak positif. Dengan memberikan uang saku atau uang jajan, kita sebetulnya berkesempatan melatih anak menggunakan uang dengan baik. Namun perlu diperhatikan beberapa prinsip berikut ini:

  1. Kita tidak semestinya memberikan uang yang berlebihan.

  2. Kita perlu fleksibel, misalnya dalam hal anak mau membeli mainan.

  3. Kita bisa mulai menanamkan konsep menabung pada si anak pada usia kecil.

Anak juga perlu mulai diberi tanggung jawab untuk memegang uang pada saat dia bersekolah dan mulai bisa membeli barang. Misalnya pada usia 6 tahun saya kira sudah mulai bisa asal kita tahu uang itu akan digunakan untuk membeli barang apa, bisa kita langsung berikan kepada anak. Anak juga bisa diajarkan menyisihkan uang saku untuk persembahan mungkin pada usia-usia yang sedikit lebih besar. Misalnya sekitar usia 8, 9 tahun.

Ada pula anak yang tidak bisa menghargai uang sehingga terlalu boros, atau kita temukan juga anak-anak yang kikir. Ini merupakan salah satu akibat konsep pemahaman yang keliru tentang uang. Kadangkala kekikiran bisa muncul dari berbagai keadaan:

  1. Misalkan seseorang yang hidup dalam keluarga yang pas-pasan, dia tahu uang itu sangat susah. Dia bisa menjadi orang yang sangat hemat dengan uangnya, dia susah sekali mengeluarkan uang karena dia harus selalu bersiap-siap, itu adalah akibat dari keadaan.

  2. Bisa juga anak kikir karena waktu dia ingin membelikan sesuatu, orangtua selalu melarang. Dia akan mulai menyisihkan uang atau menyimpannya guna mendapatkan barang yang dia inginkan. Dari kecil akhirnya tanpa disadari kita mendidik dia menjadi orang yang terlalu menggenggam uang dan tidak rela memberikan uangnya kepada yang lain.

  3. Kurang diberi kesempatan untuk menyalurkan uangnya kepada orang yang membutuhkan. Anak-anak sebetulnya perlu diajar untuk menolong atau memberikan uang kepada orang lain.

I Tesalonika 4:11 "Anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan,..." Maksudnya kita menggunakan tenaga dan kemampuan kita, dan di pasal 5 : 14 dia berkata: "Kami juga menasihati kamu saudara-saudara tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib...."

Tidak tertib berarti memang sembarangan, tidak ada disiplin sama sekali, Tuhan menghendaki orang bekerja dengan tangannya sendiri, tidak bergantung pada orang-orang lain. Ini yang perlu kita tanamkan pada anak-anak kita dalam hal penggunaan uang. Waktu mereka bijaksana mereka bisa menabung, mereka bisa membeli yang mereka inginkan dan tidak usah bergantung pada orang lain, dalam hal ini orangtuanya untuk menyediakan uang itu bagi mereka.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang anak dan uang. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Untuk kita orang dewasa, memang uang menjadi bagian di dalam kehidupan kita. Tetapi pada kesempatan ini, kami akan memperbincangkan bagaimana pengaruh uang atau segi-segi hubungannya antara anak dengan uang, bagaimana itu Pak Paul?

PG : Begini Pak Gunawan, saya memang merasa topik ini harus kita bicarakan karena kita tahu bahwa pada zaman ini keberadaan benda atau barang itu benar-benar melimpah ruah. Jadi tidak pernahgenerasi manusia ini diperhadapkan dengan begitu banyak pilihan dan semua pilihan itu akan menambah kenikmatan hidup, kesenangan hidup.

Dan terutama yang kita sadari yaitu cukup banyak dari barang-barang pilihan yang sekarang dijual, sebetulnya dijual untuk anak-anak, dengan kata lain pangsa penjualan memang ditargetkan pada anak-anak sebagai konsumennya. Oleh karena itulah kita sebagai orang tua perlu memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan uang, agar kita bisa mempersiapkan anak kita untuk memakai uang dan menghargai uang dengan baik. Kalau tidak, memang ada bahaya yang bisa mengancam mereka, penghargaan mereka tentang uang akan sangat keliru dan mereka akhirnya bisa menjadi orang yang tidak dapat menghargai uang.
(2) GS : Konsep pengertian anak terhadap uang itu sebaiknya diajarkan mulai kapan, Pak Paul?

PG : Sesungguhnya kita perlu mengajarkan mereka tentang uang sejak masih kecil. Prinsipnya sewaktu mereka mulai mengerti barang-barang dan mengerti bahwa untuk memperoleh barang-barang terseut diperlukan uang.

Biasanya ini terjadi pada anak-anak sekitar usia 5, 6 tahun yaitu tatkala mereka mulai bersekolah, mulai melihat apa yang dimiliki oleh teman-teman mereka. Jadi memang ada perbedaan konsep yang mendasar tentang hal uang, bagi anak-anak yang kecil; yang saya maksud dengan yang kecil adalah mereka yang berusia di antara 0-4,5 tahun hingga usia sekitar 10, 11 tahun. Dan anak-anak remaja yang berusia di antara 12 hingga 16, 18 tahun. Jadi bagi para anak kecil, makna uang bagi mereka ialah sebagai sarana untuk mendapatkan keinginannya. Sedangkan pada anak-anak remaja uang itu mempunyai dimensi yang berbeda, uang menjadi lambang atau status sosial ekonomi mereka. Jadi bukan sekadar memperoleh yang mereka inginkan, tapi adanya uang lebih mewakili keadaan mereka dalam tatanan masyarakat.
GS : Kalau anak kecil dulu Pak Paul, yang tadi Pak Paul katakan uang sebagai suatu sarana untuk memperoleh keinginannya. Dalam hal banyak hal sebenarnya kebutuhan anak kecil itu dicukupi orang tuanya, Pak Paul?

PG : Betul, biasanya mereka mulai menunjukkan keinginannya tatkala mereka misalnya pergi bersama orang tua ke toko atau ke pasar atau ke mal atau tatkala mereka ke sekolah. Di situ mereka muai menyadari ada benda-benda yang mereka belum pikirkan sebelumnya, tapi menarik hati dan mereka ingin memilikinya.

Yang tentu juga berpengaruh besar adalah acara atau tayangan-tayangan di televisi. Ada anak-anak di televisi yang memakai atribut-atribut tertentu, baju tertentu, belum lagi iklan-iklan dii televisi yang juga menawarkan barang pada para konsumen kecil ini.
IR : Bagaimana sikap orang tua menghadapi anak yang selalu menuntut seperti itu?

PG : Sudah merupakan kodrat anak untuk meminta. Jadi waktu mereka mulai melihat apa yang mereka sukai, mereka akan menuntut orang tua untuk mendapatkannya. Biasanya alasan dari orang tua, haganya mahal atau memang belum punya uang.

Dari jawaban-jawaban seperti itu, anak mulai mengembangkan pengertian bahwa untuk mendapatkan barang tersebut diperlukan uang. Di situlah anak mulai mendapatkan pemahaman tentang uang dan artinya bagi mereka, mereka belum mempunyai pemahaman yang lebih kompleks, bagi mereka uang adalah sarana untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Nah, waktu orang tua berkata kami tidak punya uang, mereka sebetulnya belum begitu mengerti kenapa uang itu tidak dimiliki oleh orangtuanya. Oleh sebab itulah anak-anak sering menuntut terus, karena mereka pada usia-usia misalnya di bawah 8 tahun, pada umumnya mereka belum mengerti konsep bahwa orang itu harus bekerja sampai jam-jam tertentu baru bisa memperoleh uang. Mereka hanya berpikir uang itu seharusnya memang harus ada di situ. Saya masih ingat cerita lucu waktu kami melewati suatu Bank, anak saya berkata nanti saya kalau sudah besar saya akan bekerja di Bank, saya tanya kenapa? Sebab di sana banyak uangnya. Jadi dia beranggapan dengan bekerja di Bank dia mempunyai akses terhadap uang-uang tersebut, itulah konsep anak-anak tentang uang. Mereka tidak mengerti bahwa orang tidak semuanya bisa mendapatkan jumlah uang yang sama dan sebagainya, uang hanyalah sarana. Itu sebabnya orang tua kadang-kadang merasa kewalahan mendengarkan tuntutan anak yang meminta untuk membelikan sesuatu bagi mereka dan tidak bisa diberikan pengertian bahwa uang ini tidak kami miliki sekarang. Nanti setelah akhir bulan atau setelah awal bulan baru kita akan mempunyai uang itu.
GS : Konsep untuk mengajarkan pada anak bahwa akhir bulan baru ada uang dan sebagainya, apa itu tidak terlalu sulit bagi mereka untuk bisa memahaminya?

PG : Saya kira ya, jadi adakalanya memang orang tua menggunakan alasan tanpa berpikir panjang, bahwa alasannya tidak bisa dimengerti oleh anak. Nah, jadi apa yang bisa dijawab oleh orang tuakalau memang kita mau mengajarkan pada anak untuk menunda dia memiliki barang itu.

Saya kira yang paling mudah adalah menggunakan hal-hal yang bisa dia mengerti misalnya, kamu baru membeli mainan dan mainan itu masih bagus, kamu harus memakainya lebih lama, nanti kalau sudah lebih lama ayah atau ibu akan belikan mainan yang baru. Nah, anak mulai mengerti konsep bahwa untuk mendapatkan barang yang baru saya memang harus berada pada posisi tidak lagi mempunyai barang, atau tidak lagi mempunyai barang yang relatif baru. Ini suatu pelajaran bagi si anak yang lebih mudah diterima olehnya dibanding kalau kita menjelaskan tentang uang dalam hal ayahmu bekerja susah payah, kalau kamu menghabiskan uang ini sayang dan sebagainya, karena anak memang belum mampu untuk memahaminya.
(3) GS : Memberikan uang saku pada anak, yang sering dilakukan oleh banyak orang tua dan mungkin juga kita melakukannya, sebenarnya berdampak positif atau negatif, Pak Paul?

PG : Berdampak positif Pak Gunawan, jadi dalam hal uang saku yaitu pemberian uang jajan sebetulnya kita berkesempatan melatih anak menggunakan uang dengan baik. Nomor satu yang harus kita piirkan adalah untuk anak-anak yang kecil, kita tidak semestinya memberikan uang yang berlebihan.

Jadi misalkan kita ke sekolah bersama anak kemudian pada masa istirahat kita keluar bersama dengan dia, juga untuk melihat hal-hal apa yang bisa dibeli dan ingin dibelinya. Misalnya dia ingin membeli nasi bungkus, bakmi, atau bihun dalam bungkusan misalnya beserta minumannya, misalkan kita sudah tahu harganya sekitar Rp. 1000,00 dan kita tanya anak kita "Engkau mau itu ya?" Kita harus memberikan uang dengan jumlah yang tepat, jangan harga mie dan minuman misalnya Rp. 1000,00 kemudian kita berikan dia Rp. 3000,00. Biasanya anak-anak kecil belum bisa menggunakan uang dengan bijaksana, dalam hal kelebihannya itu. Dia hanya baru bisa menggunakan uang dengan jumlah yang tepat untuk membeli barang yang memang dia inginkan. Dalam hal ini kita perlu fleksibel, saya tahu ada orang tua yang misalnya mendengar anak-anaknya berkata : "Ma, besok saya mau membeli mainan yang kecil-kecil yang biasa dijual di depan sekolah", mamanya berkata misalnya tidak, jangan. Nah apa yang dia akan perbuat, dia tahu uang Rp. 1000,00 itu akan tetap diberikan oleh orang tuanya, keesokan harinya dia akan korbankan makan siang untuk membeli mainan itu. Daripada anak melakukan hal itu, saya lebih setuju bila kita berdialog dengan anak, mainan apa itu, harganya berapa, Rp. 500,00, sekali-sekali tidak apa-apa, berikan uang yang lebih Rp. 500,00 untuk dia membelanjakan barang tersebut. Kita tahu di sekolah memang banyak sekali barang-barang kecil yang dijual, sekali-sekali ya tidak apa-apa misalnya ada yang bertanya sekali-sekali berapa seringnya ya misalnya sebulan sekali dia mau beli barang-barang kecil seperti itu silakan atau mungkin lebih sering sedikit misalnya 3 minggu sekali, saya juga akan ijinkan, daripada si anak mulai bertindak tidak jujur. Jadi kita mau melatih juga anak ini untuk bersikap terbuka, jujur dengan kita. Nah sekali lagi prinsipnya pada anak-anak kecil berikan uang pas untuk keperluan apa yang dia ingin belikan hari lepas hari waktu di sekolah. Itu jauh lebih baik daripada memberikan uang yang berlebihan pada anak-anak kecil, sebab apa, dampak buruknya anak-anak kecil ini bisa mudah sekali menjadi 'sinterklaas' di antara teman-temannya. Mau beli ini silakan, saya belikan, kalau anak masih umur 6, 7 tahun sudah jadi 'sinterklaas' sebetulnya kita sudah mendidik dia bukannya bermurah hati, tapi tidak menghargai uang sama sekali. Dan menganggap uang itu sebagai sesuatu yang seharusnya dia peroleh, untuk mendapatkan persahabatan dengan teman dia bisa menggunakan uang, jadi orang tua memang harus berhati-hati di sini.
GS : Kadang-kadang kita sudah memberikan uang pas pada hari-hari tertentu diberikan tiap-tiap hari. Pada suatu saat pulang pagi, sehingga uang yang sebenarnya untuk beli makanan dan sebagainya itu tidak digunakan. Apakah dalam hal ini orang tua perlu menarik kembali uang itu atau diberikan kepada anak itu, katakan sebagai hadiah?

PG : Saya kira dalam hal ini sekurang-kurangnya ada dua saran yang bisa saya berikan. Yang pertama kita bertanya kepada anak itu, uang ini adalah uangmu dan sekarang tidak engkau gunakan, ma engkau simpan sendiri atau engkau mau Mama yang simpankan? Jadi dengan kata lain kita bisa mulai menanamkan konsep menabung pada si anak bahkan pada usia kecil seperti itu.

Nah, misalkan dia berkata mama pegang saja, OK Mama pegang. Nanti waktu dia mau membeli sesuatu kita bisa mengatakan uang tabungannya sudah berjumlah segini harganya itu misalnya segitu, tinggal beberapa ribu lagi bagaimana tunggu beberapa hari lagi, engkau menabung lagi, nanti Mama belikan. Atau kita bisa berkata waktu mau belikan sesuatu ini harganya Rp. 10.000,00, kamu punya tabungan di Mama Rp. 5.000,00, Mama akan tambahkan Rp. 5.000,00 sehingga engkau bisa membeli ini Rp. 10.000,00. Tapi Rp. 5.000,00 dari uang tabunganmu. Nah sekali lagi ini adalah menabung yang kita mulai tanamkan pada anak-anak bahkan pada usia yang cukup dini, sehingga dia mulai mengerti kalau ternyata ada gunanya menabung uang seperti ini.
(4) IR : Kalau anak-anak, mulai umur berapa harus diberi tanggung jawab untuk memegang uang itu?

PG : Saya sarankan anak mulai bersekolah dan dia mulai bisa membeli barang, misalnya pada usia 6 tahun saya kira sudah mulai bisa dan kita mengetahui uang itu akan digunakan untuk membeli baang apa, bisa kita langsung berikan kepada anak.

IR : Kita perlu mengecek atau tidak, Pak Paul?

PG : Sebaiknya setiap hari kita cek dan kalau kita tahu dia sudah membelinya ya tidak apa-apa. tapi memang perlu pertanggungjawaban, jadi kita tanyakan.

IR : Dan juga diajarkan menyisihkan untuk persembahan, ya Pak Paul?

PG : Ya, kalau persembahan itu mungkin pada usia-usia yang sedikit lebih besar misalnya sekitar usia 8 tahun, 9 tahun sebab pada usia seperti itulah anak baru mulai lebih mengerti apa artiny memberikan persembahan.

Awal-awalnya kita pasti akan berikan dia uang persembahan, tapi pada usia sekitar saya kira 9 tahun anak baru mulai bisa mengerti apa artinya memberikan persembahan dari uangnya sendiri.
(5) GS : Sebaliknya dari anak yang tidak bisa menghargai uang, terlalu boros begitu Pak Paul, kita temukan juga anak-anak yang kikir jadi juga salah satu segi yang keliru, konsep pemahaman yang keliru tentang uang. Sebenarnya hal-hal apa yang menimbulkan anak-anak mempunyai konsep menjadi orang kikir?

PG : Kadangkala memang kekikiran bisa muncul dari berbagai keadaan Pak Gunawan, misalkan seseorang yang hidup dalam keluarga yang sangat pas-pasan. Jadi dia tahu uang itu sangat susah dicari orang tuanya hanya bisa memberikan uang yang sangat sedikit dan dia mulai mengerti bahwa inilah keadaan orang tuanya.

Dia bisa menjadi orang yang sangat hemat dengan uangnya, dia susah sekali mengeluarkan uang karena dia harus selalu bersiap-siap, itu adalah akibat dari keadaannya. Bisa juga anak kikir karena waktu dia ingin membelikan sesuatu, orang tua selalu melarang dan karena orang tua selalu melarang, seperti yang tadi saya katakan, dia akan mulai menyisihkan uang untuk mendapatkan barang yang dia inginkan. Adakalanya sikap-sikap ini mulai terbentuk dari kecil, sehingga waktu dia diberi uang tidak dia gunakan untuk membeli barang yang dia sukai, sehingga dari kecil akhirnya tanpa disadari kita mendidik dia menjadi orang yang terlalu menggenggam uang dan tidak rela memberikan uangnya kepada yang lain. Misalkan yang lain lagi, anak-anak sebetulnya perlu diajar untuk menolong atau memberikan uang kepada orang lain, jadi adakalanya misalkan kita tahu di sekolahnya ada temannya yang kurang, kita yang memunculkan ide misalnya berkata, temanmu kasihan tidak punya uang untuk membeli makanan, bagaimana kalau engkau belikan dia makanan, Mama tambahkan uang untuknya. Dengan cara itu si anak mulai mengerti artinya memberikan uang kepada orang lain, sehingga dia tidak lagi hanya memikirkan dirinya sendiri. Jadi memang ada banyak penyebab ya Pak Gunawan, kenapa anak-anak bisa menjadi kikir.
IR : Tapi juga mungkin contoh dari orang tuanya, Pak Paul? Kalau misalnya kita suka memberi fakir miskin, itu akan memberi contoh bagi anak-anak kita.

PG : Betul Bu Ida, jadi anak-anak yang cukup sering melihat orang tuanya menolong orang lain, akan mencontoh perbuatan tersebut. Tapi anak-anak yang melihat orang tuanya misalkan tidak perna memberikan sedekah pada orang miskin, selalu bersikap negatif kepada para peminta uang dan sebagainya, mungkin sekali akan mengembangkan sikap yang sama.

IR : Sekarang misalnya kalau orang tuanya cukup mampu, ya Pak Paul, dan rasanya bisa memberikan apa yang diinginkan anak itu, bagaimana caranya menolak karena tidak baik kalau dia itu selalu meminta?

PG : Saya kira memang dilema pada banyak kasus sekarang ini ya, kita sebetulnya mempunyai uang jadi kalau memberikan alasan tidak punya uang ya tidak tepat juga. Kita punya uang tapi kita mrasa tidak tepat memberikan atau menuruti kehendak anak kita.

Saya kira orang tua tidak perlu merasa bersalah, orang tua perlu merasa nyaman dengan konsep dia perlu mendidik anak memakai uang. Jadi misalkan sekali lagi yang tadi saya contohkan tentang engkau sudah punya barang itu dan itu masih bagus kenapa harus membeli yang baru, itu konsep yang perlu ditanamkan pada anak. Atau yang sekarang sedang trend yaitu membeli mainan atau permainan komputer atau VCD, playstation dan sebagainya. Memang satu mainan itu tidak terlalu mahal ada yang Rp.7.000,00, ada yang Rp. 6.000,00; anak-anak bisa berkata itu tidak mahal hanya Rp. 6.000,00. Nah saya tahu ada anak-anak yang kalau diijinkan sampai membeli belasan, puluhan, saya kira itu tidak bijaksana. Jadi kita tanamkan kepada anak, seminggu engkau hanya boleh misalnya memakai satu itu maksimal, kalau dia cepat sekali mainnya dia bisa temukan jalan-jalan keluarnya memang satu dua hari dia bisa temukan ya sudah barang itu menjadi barang yang terlalu umum buat dia. Tapi menuruti keinginannya langsung memberikan yang baru akan mendidik anak kita tidak bisa berdisiplin diri, ini kebiasaan yang buruk buat anak. Jadi sebaiknya kalau permainan seperti VCD games, saya menganjurkan jangan sampai setiap minggu, kalau bisa misalkan 2, 3 minggu sekali baru belikan satu. Anak-anak tahu bahwa jadwal pembelian dia hanyalah misalnya 3 minggu sekali, sehingga lain kali dia meminta kita akan berkata belum 3 minggu, tunggu. Seolah-olah memang kasihan ya anak-anak disuruh menunggu 3 minggu, tapi tidak apa-apa itu hal yang baik yaitu melatih anak bisa menguasai diri. Salah satu ciri anak-anak yang menggunakan narkoba, obat-obat terlarang adalah kurangnya kemampuan menguasai diri. Maka di antara mereka cukup banyak yang berasal dari keluarga yang mampu, orang tua yang berada. Namun orang tua yang tidak punya waktu melatih anak menguasai keinginannya atau hasratnya, sehingga yang diinginkan selalu dia peroleh akhirnya masuk terjerumus ke dalam obat. Tadi saya tekankan salah satu karakteristik anak-anak yang memakai narkoba biasanya adalah anak-anak yang tidak pernah dilatih untuk menguasai hasratnya, itu sebabnya penting menguasai hasrat anak seperti ini.
GS : Kalau anak sudah beranjak ke remaja, tadi Pak Paul katakan, uang menjadi suatu status sosial, simbol suatu status sosial dan ekonomi, itu maknanya apa, Pak Paul?

PG : Anak-anak memang tidak bisa tidak akan merasa lebih bisa diterima oleh lingkup sosialnya kalau dia memang mempunyai uang seperti yang dimiliki oleh teman-temannya. Jadi saya juga tidak kan membutakan mata ya, ini kenyataan di lapangan yaitu anak-anak dari keluarga yang kurang mampu, mereka merasa sangat tertekan.

Karena tidak punya uang, dan tidak punya uang berarti sama dengan hinaan, tidak dianggap, nah itu memang bagian dari kehidupan yang nyata, yang adil tapi harus dihadapi oleh anak itu. Bagi anak remaja sekarang uang menjadi hal yang sangat penting, belanja ke Mc Donald harus punya uang, misalnya mau nonton harus punya uang, jadi semua itu mempunyai tuntutan uang. Yang paling penting adalah anak remaja ini dari kecil sudah kita latih dia tahu memakai uang dengan baik. Perlahan-lahan waktu dia menginjak usia 12 tahun ijinkan untuk memakai atau mempunyai uang sedikit lebih, sebab kita mau tahu apa yang dia gunakan dengan uang itu. Nah kita bisa anjurkan bagaimana engkau simpan, saya akan memberikan engkau Rp. 1.500,00, untuk makan dan minum hanya Rp. 1.000,00 bagaimana Rp. 500,00 nya engkau simpan, anjurkan itu supaya dia tidak memakai uang itu terus-menerus. Kalau dia pakai beli mainan lagi maka uangnya bisa habis. Tapi misalkan dia mulai bisa memakai uang, yang lebihnya sebaiknya dia simpan. Kita bisa mulai membimbing dia untuk menabungkan uang sisanya itu, agar dia nanti dapat menggunakan untuk membeli yang lebih bagus, yang memang dia sungguh-sungguh inginkan. Dan jangan terlalu setiap hari kita tanyakan uang itu untuk apa, jadi perlahan-lahan berikan uang lebih, sebab kita mau mencari tahu apakah dia mampu menggunakan uang itu. Dan kalau kita tahu dia mampu menggunakan uang, dia membelikan uang itu misalnya untuk membeli alat-alat tulis dan sebagainya. Kita percaya, kita berikan tanggapan yang positif, kita katakan engkau sudah mengerti memakai uang, saya senang sekali. Perlahan-lahan uang yang kita berikan boleh kita berikan lebih banyak, sehingga dia lebih mengetahui bagaimana memakai uang yang berjumlah cukup banyak dan tidak terlalu tergesa-gesa atau sembarangan dalam pemakaiannya.
GS : Kalau kita punya 2 anak atau 3 bahkan, apakah mereka itu harus diberikan uang saku yang sama?

PG : Saya menyarankan ya, jadi sebaiknya kita memberikan uang saku yang sama pada usia-usia yang memang sudah hampir sama ya. Kalau usianya sangat berbeda otomatis akan berbeda juga, tapi kaau usianya berdekatan sebaiknya sama.

GS : Kalau tadi Pak Paul katakan lingkup sosial dan lingkup ekonomi anak itu tergantung teman-temannya, katakanlah seorang dari keluarga yang kurang mampu, lalu berada di tengah-tengah suatu lingkungan yang mampu, tadi Pak Paul katakan anak itu bisa merasa tertekan dan sebagainya. Sebenarnya bagaimana orang tua berusaha mencarikan tempat pendidikan yang baik, padahal di tempat yang baik itu biasanya status sosialnya tinggi?

PG : Saya kira orang tua perlu mengawasi siapa teman anak-anak kita dan kalau kita melihat memang mereka itu atau teman-teman anak-anak kita itu berstatus sosial jauh berbeda dari kita, jauhdi atas kita, sebaiknya kita memberikan arahan kepada anak-anak untuk jangan bergaul dengan mereka.

Kalau memang pergaulan itu sehat, teman-temannya juga orang yang hemat, tidak sembarangan dengan uang ya tidak apa-apa. Tapi misalkan kita lihat mereka adalah orang-orang yang memakai uangnya dengan begitu boros karena memang diberi uang yang begitu banyak oleh orang tuanya, saya kira kita harus batasi anak kita. Dan kita harus jelaskan bahwa ini tidak sehat, sebab anak-anak kita cenderung menjadi penurut semua yang diminta oleh teman-temannya karena dia perlu supaya dia bisa masuk ke dalam kelompok teman-temannya yang beruang itu. Nah dia akan kehilangan dirinya dan dia tidak merasa cocok, itu yang harus kita tekankan pada anak-anak kita.
GS : Jadi memang banyak hal yang harus kita cermati sehubungan dengan anak dan uang ini, tapi apa yang Alkitab katakan, Pak Paul?

PG : Menarik sekali Pak Gunawan, Paulus di I Tesalonika 4 memberikan kita nasihat tentang bekerja dengan tangan, dia berkata (ayat 11) anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, ntuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan.

Maksudnya kita menggunakan tenaga dan kemampuan kita, dan dia ulang lagi di (pasal 5) dia berkata : kami juga menasihati kamu di ayat 14 saudara-saudara tegurlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, tidak tertib berarti memang sembarangan. Tidak ada disiplin sama sekali, jadi memang Tuhan menghendaki orang bekerja dengan tangannya sendiri, tidak bergantung pada orang-orang lain. Ini yang perlu kita tanamkan pada anak-anak kita dalam hal penggunaan uang. Waktu mereka bijaksana, mereka bisa menabung, mereka bisa membeli yang mereka inginkan dan tidak perlu bergantung pada orang lain.
GS : Jadi ada tanggung jawab yang besar bagi orang tua untuk menanamkan konsep yang benar kepada anak-anak mereka tentang uang itu.

Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang anak dan uang. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



17. Anak dan Tanggung Jawab


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T062B (File MP3 T062B)


Abstrak:

Tanggung jawab sebenarnya lebih dari sekadar tugas, tanggung jawab diawali dan muncul dari kepercayaan. Yang perlu ditanamkan pada anak-anak yang terutama adalah kepercayaan. Dan rasa percaya sebetulnya adalah langkah pertama menanamkan tanggung jawab pada anak.


Ringkasan:

Orang tua harus memperhatikan anak, kadang kala mereka mempunyai konsep yang keliru tentang tanggung jawab karena cenderung mengaitkan tanggung jawab itu dengan tugas. Jadi orang yang melaksanakan tugas adalah orang yang bertanggung jawab. Dengan kata lain akhirnya kita menekankan pada pemberian tugas sebagai wujud dari tanggung jawab pada anak kita.

Tanggung jawab itu lebih dari sekadar tugas, bahkan yang saya mau tekankan tanggung jawab sebetulnya harus diawali dan muncul dari kepercayaan. Kita mempercayakan anak untuk melakukan sesuatu, rasa percaya ini sebetulnya adalah langkah pertama menanamkan tanggung jawab pada anak. Untuk bisa mempercayai memang berjalan secara bertahap. Waktu orang tua mulai menanamkan tanggung jawab pada anak, itu bisa dilakukan dengan melibatkan anak dalam tugas rumah tangga. Bagi saya tanggung jawab bukan saja menyangkut membantu urusan dalam rumah tangga, bukan saja berdisiplin dalam hal-hal bersekolah, tapi anak juga belajar melayani. Melayani artinya adalah memberikan, menyediakan diri untuk orang lain dan juga untuk Tuhan, jadi anak-anak dari kecil perlu kita didik untuk belajar memberikan dirinya bagi orang lain. Awalnya dia menolong orang tua, dia belajar untuk ulangannya sendiri, sekarang dia harus keluar dari dirinya, keluarganya atau rumahnya yakni memperhatikan orang lain dan memperhatikan Tuhannya, bagaimana dia dapat juga memberikan dirinya untuk Tuhan dan untuk orang lain.

Dua unsur yang penting dalam menumbuhkan tanggung jawab:

  1. Yang pertama adalah disiplin diri melakukan hal yang tidak kita kehendaki tapi tetap harus kita lakukan. Atau belajar menguasai diri melakukan hal-hal yang tidak dia inginkan. Sejak kecil anak-anak harus mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya, dialah yang mengatur dirinya bukan hasrat yang mengatur dirinya.

  2. Unsur yang kedua yang penting dalam hal tanggung jawab adalah anak-anak harus mulai bisa mempunyai target dan mencapai targetnya. Ini berguna dalam pertumbuhan dia sebagai anak remaja atau sebagai seorang pemuda.

Kalau kita melakukan setelah anak itu remaja terlambat; jadi target-target seperti itu sudah mulai kita terapkan sewaktu anak itu dibawah usia 10 tahun. Memberikan pujian tatkala anak mencapai target atau melakukan tanggung jawabnya adalah hal yang bagus sekali. Jadi satu kalimat pujian sudah cukup, asal anak tahu bahwa dia diperhatikan, bahwa tindakannya itu tidak luput dari perhatian orangtuanya maka orangtuanya memberikan dia pujian seperti itu.

I Tesalonika 5:12 "Kami minta kepadamu saudara-saudara supaya kamu menghormati mereka yang bekerja keras di antara kamu."

Di sini rasul Paulus menetapkan suatu kriteria atau prinsip, yaitu hormatilah orang yang bekerja keras, orang yang bekerja keras adalah orang yang memenuhi tanggung jawabnya, orang yang rajin. Penanaman tanggung jawab itu juga dicontohkan lewat kehidupan orangtua, sehingga anak bisa melihat contoh nyata hingga mereka pun akan meneladani itu. Jadi kalau ada ayah yang tidak kerja, yang maunya di rumah main terus-menerus ia tidak bisa mengajarkan tanggung jawab kepada anaknya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang anak dan tanggung jawab. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Bu Ida dan Pak Gunawan, ada salah satu keluhan yang acapkali harus saya terima dari orang tua terutama orang tua anak-anak remaja yaitu anak-anak mereka itu tidak bertanggung jawab. Saa kira ini pergumulan yang harus dihadapi oleh hampir semua orang tua terutama yang anak-anaknya mulai menginjak usia remaja.

Biasanya pertengkaran muncul di antara anak dan orang tua dalam hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab, misalnya membereskan kamar dan sebagainya. Apa yang harus orang tua lakukan, yang saya harus tekankan pertama-tama adalah kita ini kadangkala mempunyai konsep yang keliru tentang tanggung jawab, kita cenderung mengaitkan tanggung jawab itu dengan tugas. Jadi orang yang melaksanakan tugas adalah orang yang bertanggung jawab, dengan kata lain akhirnya kita menekankan pada pemberian tugas sebagai wujud dari tanggung jawab pada anak kita. Yang saya mau katakan adalah bahwa tanggung jawab itu lebih dari sekadar tugas, bahkan yang saya mau tekankan tanggung jawab justru sebetulnya harus diawali dan muncul dari kepercayaan. Jadi dengan kata lain anak-anak waktu mendengar tugas, biasanya dia mengkerut tidak suka. Yang harus kita tanamkan adalah dari awalnya terutama pada anak-anak yang masih lebih muda adalah kepercayaan. Kita mempercayakan anak untuk melakukan sesuatu, rasa percaya ini sebetulnya adalah langkah pertama menanamkan tanggung jawab pada anak. Saya berikan contoh yang saya maksud di sini misalkan kita ini ingin pergi dari ruangan kemudian si adik kecil sedang tidur, kita panggil anak kita yang lebih besar dan berkata tolong engkau di sini melihat adikmu, Mama harus pergi ke bawah sebentar, saya takut adikmu nanti jatuh atau bangun dan Mama tidak tahu. Saya percaya pada kamu untuk menjaganya, kalau dia sampai bangun, kamu keluar panggil Mama. Supaya adikmu tidak jatuh, saya percayakan adik ini pada kamu ya, karena Mama tahu kamu mampu untuk menjaga adikmu. Nah, di sini dalam contoh tersebut yang penting bukan tugasnya dan si anak pada awal-awal ini tidak melihat bahwa dia diembani tugas. Dia diembani kepercayaan untuk melakukan sesuatu yang bernilai, untuk dapat membantu orang tuanya. Jadi seringkali memang kita salah kaprah, dari semula yang kita tekankan adalah kerjakan ini, kerjakan itu, dan anak-anak tidak suka, sebab jangankan anak-anak, kita saja yang dewasa kalau disuruh kerjakan ini, kerjakan itu oleh atasan kita, kita tidak terlalu menyenanginya, apalagi anak-anak kita.
(1) GS : Tetapi untuk bisa mempercayai itu harus secara bertahap Pak Paul, nah pada awalnya waktu kita menanamkan tanggung jawab pada anak, apa sebenarnya yang bisa dilakukan orang tua itu?

PG : Yang pertama adalah kita mulai melibatkan anak dalam tugas rumah tangga. Tugas rumah tangga ini sekali lagi hal-hal yang sangat sederhana, tadi saya beri contoh tentang melihat adik unuk jangka waktu yang sangat sebentar.

Jadi jangan juga menyuruh anak kita menunggui adiknya selama 1 jam. Itu terlalu lama, yang saya maksud menunggui adik misalnya hanya 5 menit saja, sehingga ia menyukai tanggung jawab tersebut, sebab dibalik tanggung jawab dia merasa dipercayai dan ini membuat dia menjadi seseorang yang berguna yaitu dipercayai oleh orang tuanya. Libatkan anak kita dalam urusan rumah tangga yang kecil-kecil, sederhana-sederhana misalkan ajak dia untuk melipat handuk. Misalkan dengan berkata, ini handuk berantakan ayo bantu Mama, saya tahu kamu rajin bisa bantu Mama, coba bantu Mama melipat handuk ini sama-sama. Waktu kita menyuruh anak kita, sebaiknya kita juga bersama dengan dia. Salah satu hal yang membuat anak-anak itu enggan untuk mengerjakan tugas yang kita minta kepadanya adalah karena dia harus mengerjakannya sendiri. Jadi dari awal itu yang penting, selain kita memulai dengan memberinya kepercayaan, ya selalu nadanya nada kepercayaan, itu juga kita lakukan bersama dengan dia. Jadi sewaktu kita masak misalnya ayo bantu Mama, saya percaya kamu itu sudah bisa bantu Mama, sekarang kamu sudah besar. Nanti Mama minta apa kamu berikan ya, coba ambilkan sendok, ambilkan sendok, coba ambilkan garpu, ambilkan garpu, ambilkan garam, ini yang namanya garam. Jadi dalam keterlibatan bersama dengan ibu itu, si anak akan menikmatinya atau misalkan si ayah ingin membetulkan sepeda anaknya dan dia mengajak anaknya bersama-sama dengan dia; coba ambilkan obeng, waduh kamu sudah besar ya, kamu sudah mengerti artinya obeng, ayo bantu Papa, soalnya Papa tidak bisa sendirian, Papa perlu bantuanmu. Jadi sekali lagi nadanya sama yaitu percaya, ini suatu kepercayaan, mulailah dengan tugas-tugas rumah tangga. Memang agak sukar dilaksanakan bagi orang yang mempunyai pembantu 5 dan suster 5, apalagi yang mau dikerjakan di rumah. Hal-hal seperti itu bisa merugikan anak kita.
IR : Ya, itu kalau tugas di rumah, Pak Paul, tapi kalau tugas sekolah bukankah orang tua tidak bisa bekerja sama?

PG : Nah dari kecil, sebelum usia sekolah sudah dimulai langkah-langkah untuk melibatkan anak-anak dalam urusan rumah tangga. Waktu dia masuk ke sekolah sudah tentu dia harus mengerjakan pekrjaan rumahnya, di sini anak-anak belajar disiplin.

Kalau membantu orang tua anak-anak ini belajar membantu, kalau sekolah dia itu sebetulnya belajar berdisiplin. Berdisiplin adalah bagian dari tanggung jawab sebagaimana membantu yang tadi telah kita diskusikan juga adalah bagian dari tanggung jawab.. Berdisiplin artinya melakukan hal yang tidak selalu kita ingin lakukan, itu prinsipnya. Jadi waktu kita harus belajar, kita bisa belajar meskipun tidak ingin belajar saat itu, anak-anak memang pada dasarnya senang bermain dan tidak senang belajar. Oleh karena itu perlu ada arahan orang tua dan keseimbangan hidup, sehingga dia bisa bermain juga di samping ada waktu untuk belajar. Di sini kita memang harus bersama anak, awalnya duduk bersama dia, lama-kelamaan kita tinggalkan dia untuk belajar sendiri. Tapi kita perlu bertanya apakah dia sudah belajar, apakah PR-nya sudah selesai dan kalau perlu kita mengeceknya.
GS : Itu yang seringkali terjadi akhir-akhir ini, yaitu terlihat justru membantu anak terlalu jauh. Tapi kalau tidak dibantu, tidak selesai tugasnya sehingga ada ibu yang saling menelpon ibu yang lain menanyakan PR anaknya, mengerjakannya dan sebagainya.

PG : Maka ada yang sering berkata bahwa yang belajar akhirnya adalah si ibu.

GS : Seringkali terjadi seperti itu, Pak Paul. Kalau ibu tidak ikut membantu anaknya, maka nanti akan mendapat nilai kurang sekali di sekolah. Tapi kalau dibantu dia merasa tanggungjawabnya berkurang.

PG : Adakalanya anak-anak itu perlu dibantu, jadi kalau tidak dibantu dia tidak mengerti. Tugas orang tua adalah menolong sehingga anak itu mengerti. Jangan sampai orang tua seperti mesin yag menolong anak untuk menghafal, ini yang seringkali saya lihat, anak-anak itu akhirnya dilatih untuk menghafal.

Tapi siapa yang harus menghafal sebetulnya, misalnya orangtua menanyakan, ibu kota dari Jawa Barat adalah... Saya kira awalnya tidak apa-apa, tapi setelah kita lakukan itu beberapa kali kita harus meminta anak yang membaca dan menghafalnya sendiri. Kita ajarkan caranya misalnya minta dia menutup jawaban itu dengan tangannya atau kita hanya meminta dia menutup huruf yang di belakangnya, huruf yang di depannya misalnya 2 huruf pertama boleh dilihat sehingga dia mulai bisa belajar menghafal. Jangan sampai kita terjebak dalam kesalahan yang sering dilakukan oleh para orang tua, yaitu menjadi mesin hafal, anak-anak sekolah menjadi pendengar, orang tua yang menghafal. Yang menghafal orang tuanya, pada waktu ulangan anaknya kurang bisa, jadi anaknya diajarkan saja untuk menghafal.
GS : Selain tugas-tugas dan tanggung jawab yang ada di rumah dan di sekolah, bagaimana dengan tanggung jawab anak dengan lingkup sosial yang lebih luas lagi, Pak Paul, dengan teman atau bahkan di gereja dan sebagainya?

PG : Tanggung jawab bagi saya bukan saja menyangkut membantu urusan-urusan dalam rumah tangga, bukan saja berdisiplin dalam hal-hal di sekolah, dia juga harus belajar melayani. Melayani artiya adalah memberikan, menyediakan diri untuk orang lain dan juga untuk Tuhan.

Jadi anak-anak dari kecil perlu kita didik untuk belajar memberikan dirinya bagi orang lain. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, misalnya kita tahu bahwa di Sekolah Minggu sedang dibutuhkan suatu kelompok bernyanyi dan kita tahu anak kita bisa sedikit bernyanyi, kita minta dia untuk ikut. Misalnya dia berkata saya tidak mau ikut, suara saya tidak bagus. Kita katakan suaramu cukup bagus, tapi yang lebih penting dari suaramu adalah mereka sedang membutuhkan orang. Saya rasa baik kalau engkau membantu mereka supaya ada yang bisa menyanyi dalam kelompok tersebut. Jadi hal-hal seperti ini mulai kita tanamkan, sehingga dia mulai mengerti artinya menolong orang lain yang bukan saudaranya atau orang tuanya. Sebab awalnya dia menolong orang tua, awalnya dia belajar untuk ulangannya sendiri, sekarang dia harus keluar dari dirinya, keluarganya atau rumahnya yakni memperhatikan orang lain dan memperhatikan Tuhannya, bagaimana dia dapat juga memberikan dirinya untuk Tuhan dan untuk orang lain.
GS : Seringkali juga dijumpai tanggung jawab yang tidak seimbang, artinya kadang-kadang seorang anak atau remaja tanggung jawabnya begitu besar terhadap gereja atau sekolah. Tapi sebaliknya yang terjadi tanggung jawabnya di rumah rendah sekali.

PG : Biasanya kalau sampai tanggung jawabnya di rumah rendah sekali, itu disebabkan orang tua kurang konsisten. Sebab saya percaya kalau dari awalnya orang tua konsisten mendidik anak dalam al bertanggung jawab, seharusnya tidak sampai terjadi.

GS : Tapi dia bisa lebih bertanggung jawab di sekolah atau di gereja?

PG : Karena memang di gereja atau di sekolah dia melakukan hal-hal yang dia senangi. Misalkan di sekolah dia ikut OSIS, di gereja dia ikut pengurus remaja, dia menyenangi hal-hal yang dia laukan itu.

Di rumah dia tidak menyenangi hal-hal misalnya melipat selimutnya, membersihkan kamar tidurnya. Tapi saya tetap percaya kalau kita konsisten dari anak-anak itu masih kecil seharusnya dia mau belajar. Misalkan dia tidak melakukannya, perlu kita tegur dia. Ini kamarmu, kamu yang harus bersihkan, ini ranjangmu engkau tidur di sini, engkau yang harus bereskan. Atau misalkan dia mandi bajunya dilempar di mana-mana, kita katakan kau harus pungut, kalau tidak kamu pungut kami marah. Misalkan ini yang kami lakukan di rumah kami, malam hari kami menggilir anak untuk mencuci piring dari anak yang paling kecil sampai yang paling besar. Memang mereka tidak suka hal itu tapi kami beri giliran. Kami selalu berkata kemarin yang mencuci dia, ini hari kamu yang mencuci dan seterusnya. Mula-mulanya mereka senang mencuci piring karena itu merupakan hal yang baru. Lama-kelamaan menjadi beban buat mereka, tapi tetap konsisten kita terus minta mereka mencuci piring. Nah, lama-kelamaan seringkali tawar-menawar saya cuci piring saya sendiri, milik orang lain tidak dicuci. Kita katakan tidak, kamu harus mencuci semuanya, tapi dia juga tahu besok kakaknya atau adiknya akan mencuci piring sendiri yang dipakainya tadi. Dengan cara inilah anak-anak mulai belajar memberikan dirinya untuk orang lain, bukan saja untuk kepentingan dirinya. Demikian juga nantinya dengan di gereja ataupun dengan teman-temannya, menolong atau memberikan diri bagi orang lain tanpa ada pamrih untuk dirinya.
(2) GS :Sebenarnya rasa tanggung jawab itu tumbuhnya bagaimana, Pak Paul, apa karena tadi awalnya dari menyukai, atau ada tanggung jawab yang memang sejak awal tidak disukai, tapi tetap harus menjadi tanggung jawabnya?

PG : Ada dua unsur yang penting dalam hal tanggung jawab ini, Pak Gunawan. Yang pertama adalah disiplin diri melakukan hal yang tidak kita kehendaki, tapi harus kita lakukan. Jadi sejak keci anak-anak harus mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya, dialah yang mengatur dirinya bukan hasrat yang mengatur dirinya.

Itu unsur yang pertama, unsur yang kedua yang penting dalam hal tanggung jawab adalah anak-anak harus mulai bisa mempunyai target dan mencapai targetnya, sebab ini akan sangat berguna nanti dalam pertumbuhan dia sebagai anak remaja atau sebagai seorang pemuda. Ada hal yang harus dia lakukan dan dia harus capai, ada target yang harus dia penuhi dan itulah yang harus dia kerjakan, maka anak-anak harus mulai belajar menetapkan target. Contohnya misalkan dalam hal belajar, dia tahu ada ulangan minggu depan, kita katakan ulangan minggu depan, kamu mulai belajar dari sekarang. Tanpa kita sadari sebetulnya yang kita ajarkan adalah belajar menetapkan target dan mengejarnya, karena minggu depan ulangan mulai dari sekarang engkau belajar, jadi engkau bisa mencapai target itu. Atau yang lainnya lagi, kalau engkau lulus dengan angka seperti yang kita tentukan, maka nanti akan dibelikan sepeda misalnya. Anak mempunyai target lagi sehingga dia mencapai, mengejar target tersebut. Jadi ada dua aspek yang sangat penting dalam pertumbuhan jiwa anak yaitu belajar menguasai diri melakukan hal-hal yang tidak di inginkan dan yang kedua belajar mencapai target. Setelah dia menetapkan target apa yang ingin dicapainya, itulah yang akan membawa dia ke depan, menjadi anak yang mempunyai motivasi dan arah hidup. Kadang-kadang kita mengomeli anak kita karena tidak punya arah hidup dan sebagainya. Saya kira salah satu kekurangan kita sebagai orang tua adalah untuk menekankan dua aspek ini dalam hal tanggung jawab, yaitu menguasai diri dan menetapkan target ke depan.
IR : Apa itu tidak digolongkan dengan anak yang menurut, Pak Paul, sehingga dia bisa diajarkan untuk mencapai target, apa itu tidak termasuk anak yang menurut, bagaimana kalau anak ini tidak menurut?

PG : Biasanya kalau kita melakukannya setelah anak itu remaja maka terlambat. Target-target seperti itu sudah mulai kita terapkan ketika anak itu dibawah usia 10 tahun. Jadi menguasai diri, enargetkan itu sudah harus kita laksanakan pada masa-masa anak-anak itu berusia misalnya 7, 8 tahun-an, sehingga lama-kelamaan target memerintah dirinya melakukan hal-hal yang tidak dia sukai dan juga belajar untuk menetapkan target di depannya untuk dia capai.

Sekali lagi kalau kita mulai menyadari ini setelah anak kita berusia 15, 16 tahun, agak susah. Sebab dia terbiasa hidup semaunya, tanpa dia melakukan yang tidak dia sukai, sehingga dia tidak belajar mencapai target itu sendiri.
GS : Di satu sisi yang seringkali kita orang dewasa kurang lakukan adalah memberikan pujian tatkala dia mencapai target atau melakukan tanggung jawabnya itu, Pak Paul.

PG : Itu bagus sekali Pak Gunawan, memang hal itu sangat penting dan adakalanya kita melupakannya waktu anak berhasil melakukan sesuatu yang kita targetkan atau yang kita minta. Oleh karena tu jangan lupa untuk memberikan pujian.

Karena pujian adalah vitamin yang akan mendorong dia mengulang perbuatannya itu, "ini akan mendapatkan respons yang positif dari orang tua saya". Waktu saya mendapatkannya, saya merasa positif tentang diri saya. Semakin saya melihat diri saya positif, semakin saya lebih berani untuk menetapkan target, lebih berani untuk melakukan hal-hal yang lainnya, jadi itulah kira-kira rentetan prosesnya.
GS : Mungkin kekhawatirannya juga menjadi pengalaman saya, sampai seberapa jauh kita melakukan pujian itu supaya tidak malah membuat anak itu sombong atau takabur.

PG : Saya kira pujian kita ucapkan sekali sudah cukup, lain kali dia berbuat yang bagus, ucapkan sekali lagi. Sebaiknya jangan untuk satu hal yang diperbuat anak, kita menggunakan 5, 6 pujia saya kira itu berlebihan.

Jadi satu kalimat satu kata sifat sudah cukup. Anak tahu bahwa dia diperhatikan, bahwa tindakannya itu tidak luput dari perhatian orang tuanya, maka orang tuanya memberikan dia pujian seperti itu, itu sudah cukup. Yang juga penting Pak Gunawan, sebetulnya waktu kita memuji anak kita, ini sebetulnya juga menerapkan sistem pertanggungjawaban (accountability). Anak-anak waktu melakukan sesuatu harus tahu bahwa tindakannya, pekerjaannya akan dicek kembali oleh orang tuanya. Nah, pujian sebetulnya menandakan orang tuanya mengawasi perbuatan yang dilakukannya itu. Dan pada waktu akhirnya memberi pujian, secara tidak langsung orang tua menuntut pertanggungjawabannya. Jadi bagi orang tua yang ingin mengajarkan anak untuk lebih bertanggung jawab, jangan lupa setelah meminta sesuatu untuk dilakukan, cek kembali. Jadi kalau kita ingin itu dilakukan, kita harus cek, ini menandakan penting buat kita. Jadi anak tahu kalau orang tua minta sesuatu harus dilakukan karena ini penting bagi orang tuanya. Sehingga dia pun merasa lebih hormat terhadap permintaan orang tuanya.
(3) GS : Sebaliknya Pak Paul, kalau misalnya setelah dicek itu diketahui bahwa anak tidak melakukan tanggung jawabnya, kita seharusnya memberikan teguran. Tadi Pak Paul katakan kalau dia berhasil memenuhi tanggung jawabnya kita berikan pujian sekali, cukup dipuji tidak berlebihan. Kalau dia gagal atau tidak berhasil melakukan tanggung jawabnya, bagaimana caranya kita memberikan teguran atau disiplin?

PG : Saya kira disiplin atau teguran harus diberikan waktu anak lalai melakukan tanggung jawabnya, tanpa memberikan alasan yang baik. Misalkan ada alasan-alasan yang sungguh-sungguh baik mislnya dia sakit atau apa, kita harus makluminya.

Tapi misalkan memang lalai, saya kira kita perlu memberikan sanksi negatif. Sanksi negatif tidak harus selalu berbentuk kemarahan atau pemukulan, bisa berbentuk ungkapan hati kita yang berkata misalnya, "Saya kecewa kenapa engkau tidak mengindahkan permintaan saya atau saya sedih mengapa engkau tidak melihat bahwa ini penting bagimu". Hal seperti itu kalau kita ucapkan dengan serius, sangat berdampak sebetulnya, tapi ada anak-anak yang memang lebih keras sehingga kadang-kadang perlu ungkapan yang lebih keras juga.
IR : Dan juga ada anak yang bandel.

PG : Ya, ada juga anak yang keras kepala.

IR : Sekalipun orang tuanya minta begitu, tapi saat itu tidak dilakukan, akhirnya ya tidak dilakukan.

PG : Betul, ya kita harus memberi sanksi yang lebih keras lagi atau justru kadang-kadang membatasi kebebasannya untuk sementara waktu, itu harus dilakukan. Jadi memang harus berikan imbalan,baik yang positif atau negatif terhadap tindakannya itu.

GS : Seringkali juga tidak seimbang Pak Paul, orang tua memberikan pujian dan teguran itu. Tadi Pak Paul katakan pujian cukup sekali, teguran bisa berkali-kali walaupun kesalahannya cuma sekali, tapi terus diulang lagi dan itu membuat anak jenuh mendapat teguran-teguran semacam itu.

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan hal ini berkaitan juga dengan pemberian tanggung jawab. Adakalanya kita menuntut anak melakukan hal yang dia memang belum sanggup lakukan pada usia seperti itu Sebagai contoh misalkan kita menghadiri suatu upacara atau acara yang sedikit formal dan kita membawa anak kita yang berusia 3 tahun.

Dalam acara itu orang diharapkan untuk duduk diam, tapi anak umur 3 tahun disuruh duduk diam selama 3 jam itu tidak mungkin. Misalkan kita marah, dengan diam-diam karena semuanya sedang serius, sedang sunyi, kita menjewernya dengan keras supaya dia diam. Saya kira itu tindakan yang sangat tidak tepat karena melawan asas kepatuhan. Pada usia itu tidak sepatutnya meminta anak untuk tidak boleh bergerak. Anak umur 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun akan bergerak dan tidak bisa diam dalam suasana seperti itu. Jadi kita yang harus mencegah sehingga anak tidak melakukan pelanggaran yang akan kita marahi, misalnya kita bawa dia ke belakang, kita gendong dia atau apa. Dia akan belajar diam nanti misalnya pada umur 7 tahunan, pada usia 3 tahun belum bisa.
(4) GS : Menanamkan tanggung jawab itu mulai sejak kecil terus sampai dewasa, Pak Paul, sebenarnya sampai kapan tugas orang tua membimbing seorang anak dalam hal bertanggung jawab?

PG : Saya kira sampai dia masih tinggal di rumah kita. Sebab selama dia masih tinggal di rumah kita, kita masih mempunyai hak dan tempat untuk menolongnya, membentuknya menjadi anak yang beranggung jawab.

Kalau memang dia sudah tinggal di luar, kita tidak bisa berbuat banyak lagi.
GS : Jadi sebenarnya waktu kita juga terbatas, Pak Paul?

PG : Ya betul.

GS : Dan di dalam hal membimbing anak untuk lebih bertanggung jawab itu apa yang Alkitab katakan, Pak Paul?

PG : Sekali lagi saya akan kutip dari 1 Tesalonika 5:12 yang berkata : "Kami minta kepadamu saudara-saudara supaya kamu menghormati mereka yang bekerja keras di antara kamu." Jai di sini Rasul Paulus menetapkan suatu kriteria prinsip yaitu hormatilah orang yang bekerja keras.

Orang yang bekerja keras adalah orang yang memenuhi tanggung jawabnya, orang yang rajin. Semua orang tua menginginkan anaknya rajin, mau bekerja keras, mulailah dari awal, tanamkanlah tanggung jawab itu sebab memang betul firman Tuhan berkata orang yang bertanggung jawab dan akhirnya menjadi orang yang rajin adalah orang yang akan dihormati oleh orang lain, jadi itu prinsipnya.
GS : Jadi penanaman tanggung jawab itu juga dicontohkan lewat kehidupan orang tuanya dahulu, ya Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Dan anak bisa melihat contoh nyata hingga mereka pun akan meneladani itu.

PG : Tepat sekali, jadi kalau ada ayah yang tidak bekerja, maunya di rumah main kartu terus-menerus, itu tidak bisa mengajarkan tanggung jawab kepada anaknya.

GS : Tapi orang tua juga sering berkata jangan contoh saya, tapi dengarkan apa yang saya ajarkan, itu sebenarnya sulit untuk anak.

PG : Betul, itu sulit.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang anak dan tanggung jawab. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



18. Nasihat Praktis untuk Mengasuh Anak Usia 0-9 Tahun 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T064A (File MP3 T064A)


Abstrak:

Di dalam topik ini kita akan diajarkan bagaimana memberikan asuhan pada anak-anak khususnya dalam aspek emosional, bagaimana menunjukkan kasih pada anak-anak kita.


Ringkasan:

Menyadari singkatnya waktu dan banyaknya hal yang harus diberikan pada anak-anak kita, sekurang-kurangnya ada 3 aspek yang perlu kita perhatikan yaitu:

  1. Aspek Emosional.

    Pada usia antara 0-9 tahun, anak-anak itu secara emosional mempunyai 3 kebutuhan mendasar:

    1. Yang pertama adalah kebutuhan akan kasih.

      Konkretnya adalah orang tua bertugas menyediakan kasih, misalnya dengan cara memberikan sentuhan fisik. Selain sentuhan fisik, orang tua bisa juga menyediakan kasih dengan cara mengkomunikasikan kebahagiaannya mempunyai anak itu. Karena di sini anak akan mendapatkan kepastian bahwa mereka bukanlah beban bagi orang tua. Dengan mengkomunikasikan betapa bahagianya kita karena mereka adalah anak kita yang ada di tengah-tengah kita, anak akan mendapatkan kepastian bahwa mereka bukanlah beban bagi orang tua. Bahwa mereka bukan hanya tambahan untuk keluarga ini, tapi mereka adalah anggota keluarga yang memang sangat diinginkan.

      Pada prinsipnya yang diperlukan oleh anak adalah interaksi, seringkali untuk anak-anak yang masih balita kita tidak perlu memberikan jawaban yang kompleks atau yang sangat tepat. Sebab yang anak butuhkan juga bukannya jawaban yang tepat atau jawaban yang memang merupakan kebenarannya. Yang lebih dibutuhkan oleh si anak balita sebetulnya adalah sekadar jawaban. Waktu anak mulai besar misalkan sudah memasuki pra-remaja itu penting sekali kita memberikan jawaban yang tepat, demikian pula sampai usia remaja dan seterusnya. Orang tua harus berusaha sebaiknya untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan anak.

      Mazmur 90:10, "Masa hidup kami 70 tahun dan jika kami kuat 80 tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan. Sebab berlalunya buru-buru dan kami melayang lenyap." Firman Tuhan meletakkan hidup dalam perspektif yang sebenarnya, bahwa hidup tidak selamanya, jadi kita harus memakai waktu dengan sebaik-baiknya. Tuhan memberi waktu hanya beberapa tahun untuk membina, menanamkan prinsip yang indah pada anak-anak kita, jangan sampai waktu itu berlalu tanpa kita memberikan cukup pada mereka.

    2. Yang kedua, kebutuhan akan disiplin.
      Anak-anak tidak saja memerlukan cinta kasih, mereka memerlukan disiplin yang juga merupakan kebutuhan emosional. Disiplin bukanlah sesuatu yang boleh ada, boleh tidak ada. Disiplin adalah sesuatu yang diperlukan anak, itu merupakan kebutuhannya sama seperti dia membutuhkan cinta kasih.
      Orang tua harus sudah mulai mendisiplin sejak anak masih kecil.

      1. Disiplin dilakukan dengan suara atau dengan pukulan yang terkendali.
      2. Kita perlu memberikan disiplin yang sesuai dengan usia dan kesalahannya. Dr. James Dobson seorang psikolog Kristen mengatakan: "Hukumlah anak untuk kekurangajarannya, untuk sikap mau melawan kita secara sengaja. Jangan hukum anak untuk kekeliruan atau kesalahan yang lazim dilakukan oleh anak-anak kecil."

    3. Yang ketiga, anak memerlukan panutan, contoh, atau teladan.
      Anak senantiasa belajar bagaimana berjalan, bagaimana berbicara, bagaimana bersikap terutama dari orang tuanya. Jadi orang tua perlu sekali menjadi teladan yang nyata dalam kehidupan si anak.

  2. Aspek Sosial
    Pada usia 0-9 tahun anak-anak memerlukan keterampilan bergaul.
    Ada beberapa tugas orangtua di sini:
    1. Orang tua secara sengaja harus mengajarkan beberapa keterampilan penting dalam pergaulan. Misalnya anak perlu belajar untuk membagi, untuk meminjamkan barangnya, untuk berkata ini ½ untukmu, ini ½ untukku itu perlu diakarkan.

    2. Anak-anak perlu bersikap adil, maksudnya adalah waktu dua temannya berselisih dia perlu menempatkan diri di antara keduanya.

  3. Aspek Rohani
    Sebagai orang tua Kristen, tentu kita mau mencoba menanamkan aspek rohani kepada anak-anak kita sedini mungkin. Pada usia 0-9 tahun, satu aspek tentang Tuhan yang perlu kita tanamkan pada anak ialah:
    1. Tuhan sebagai pencipta.
      Kita perlu mengajarkan kepada anak bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta termasuk isinya. Jadi anak-anak sejak kecil memperoleh kesempatan untuk mengagumi ciptaan Tuhan dan karya Tuhan.

    2. Tuhan pemelihara dan penjaga hidupnya.

Amsal 27:5 dikatakan: "Lebih baik teguran yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi."

Saya mau menggabungkan dua kata di sini, teguran dan kasih. Tuhan mau kita memberikan kasih tanpa sembunyi-sembunyi, limpahkan, nyatakan kasih, tapi Tuhan juga menekankan bahwa teguran yang nyata itu baik, dan bahkan kata Tuhan lebih baik dari pada kasih yang kita tidak nyatakan. Jadi dalam membesarkan anak 2 hal ini tidak bisa terlepas, menegur anak dan mengasihi anak dan tegur dengan nyata, kasihi juga dengan nyata itu firman Tuhan bagi kita orangtua.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang nasehat praktis untuk mengasuh anak usia 0-9 tahun. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Pak Gunawan dan Ibu Ida, kita ini adalah orang-orang paro baya dan usia kita melewati paro baya. Pada usia-usia ini, saya kira lazimlah untuk kita menengok ke belakang dan menyadari baha waktu telah berjalan dengan begitu cepatnya.

Secara pribadi saya cukup sering mengkilas balik dan melihat dengan terkejut kenapa waktu berjalan begitu cepat, dan terutama saya mengukur cepat lambatnya perjalanan waktu dengan pertumbuhan anak-anak saya. Rasanya dulu masih bayi, masih enak digendong dan bisa dibawa ke mana-mana, tiba-tiba sekarang sudah besar. Anak-anak saya dua dari tiga di antara mereka itu telah menginjak usia remaja, usia belasan tahun semua. Ternyata waktu kita bersama anak memang tidak banyak, dulu saya berpikir bahwa kita bisa menghabiskan waktu dengan anak sampai mereka usia 18 tahun, sekurang-kurangnya sampai mereka lulus SMA. Ternyata saya perhatikan sebetulnya waktu bersama anak tidak sampai 18 tahun, sebab sesungguhnya waktu anak di atas usia 10 tahun kira-kira usia 11 dan 12 tahun, kita tidak bisa tidak menyadari bahwa anak itu tidak lagi bergantung pada kita, sehingga hubungan mereka dengan kita mulai mengalami perubahan. Jadi sesungguhnya waktu di mana mereka sangat bergantung dan dekat dengan kita kalau saya hitung di antara 9 dan 10 tahun itu atau kalau mau ditarik mungkin sampai usia 12 tahun, sampai dia lulus SD. Setelah dia memasuki usia remaja mulailah dia memperlakukan kita dengan berbeda dan ketergantungannya pada kita pun tidak sama lagi. Jadi saya kira penting untuk kita memanfaatkan waktu yang singkat itu dengan sebaik-baiknya. Adakalanya, Pak Gunawan dan Ibu Ida, saya melihat orang tua tidak menyadari bahwa waktu yang mereka miliki dengan anak sesungguhnya sangat singkat dan sesungguhnya apa yang mereka bisa berikan pada anak, pada usia-usia yang subur atau tanamkan pada anak-anak. Sehingga pada usia mendasar itu tatkala anak memang sangat bergantung kepada kita, kita bisa memanfaatkan waktu untuk memberikan hal-hal yang mereka perlukan.
(1) GS : Pak Paul bicara tentang singkatnya waktu dan banyaknya hal yang harus diberikan pada anak-anak kita, aspek apa saja yang perlu kita perhatikan?

PG : Saya melihat sekurang-kurangnya ada 3 aspek Pak Gunawan. Yang pertama adalah aspek emosional, yang kedua adalah aspek sosial, dan yang ketiga adalah aspek rohani.

GS : Kita mulai yang aspek emosional dulu ya Pak Paul, itu contoh konkretnya seperti apa?

PG : Saya melihat anak-anak itu secara emosional sekurang-kurangnya mempunyai 3 kebutuhan mendasar pada usia antara 0-9 tahun. Yang pertama adalah kebutuhan akan kasih dan yang kedua adalah ebutuhan akan disiplin serta yang ketiga adalah kebutuhan akan panutan atau model.

GS : Mengenai kasih itu konkretnya seperti apa, Pak Paul?

PG : Konkretnya adalah orang tua di sini bertugas menyediakan kasih, yang pertama misalnya dengan cara memberikan sentuhan fisik. Saya kadang-kadang terkejut melihat betapa hematnya orang tu memberikan sentuhan fisik kepada anak.

Sebetulnya anak-anak itu terutama pada masa-masa kecil bukan saja senang dengan sentuhan fisik, tapi butuh sentuhan fisik. Bukan saja anak-anak itu akan merasa dihargai dengan sentuhan fisik, tapi sebetulnya sentuhan fisik itu merupakan kebutuhan anak. Anak itu perlu disentuh, dipeluk, disayangi.
IR : Sangat butuh sekali mereka itu untuk dipeluk, disayang, bahkan dicium, ya Pak Paul?

PG : Betul, dan Ibu Ida mungkin bisa mengingat bahwa waktu anak-anak masih kecil, tatkala mereka menangis, Ibu datang memeluknya misalnya membelai, mengusap tubuhnya, apa biasanya yang terjadi pada anak itu?

IR : Dia akan merasa aman ya?

PG : Tepat sekali, jadi waktu anak menerima pelukan, sentuhan, ciuman dampaknya ialah memberikan rasa tenang, aman, dan rasa dicintai. Itu sebabnya bayi bisa membedakan apakah dia dicintai aau kurang dicintai oleh orang tuanya.

Sangat menakutkan sekali kalau kita memperhatikan bahwa dewasa ini begitu banyaknya orang tua yang mendelegasikan masalah menyentuh anak kepada suster mereka. Jadi anak itu memang hanya digendong oleh suster atau ditaruh di tempat tersendiri atau diberi makan, tapi yang diperlukan oleh si anak bukan saja penggendongan atau pemberian makan. Yang diperlukan adalah sentuhan yang mengandung makna 'aku mengasihimu, aku senang denganmu', sentuhan-sentuhan yang membelai, yang mengusap, ciuman, pelukan.
IR : Dan itu mungkin perbedaannya dari ketulusan hati, ya Pak Paul? Kalau baby-sitter mungkin juga melakukan hal itu tapi tidak dengan tulus, ya?

PG : Karena itu bukan anaknya sendiri ya, Bu Ida.

GS : Tapi bagaimana anak yang kecil itu bisa membedakan yang ini sentuhan ibunya, sentuhan ayahnya atau baby-sitternya?

PG : Seharusnya bisa, karena pada awalnya dia itu dilahirkan oleh si ibu dan biasanya pada beberapa bulan pertama itu ibulah yang sering menggendongnya. Jadi dengan kata lain si anak mulai mngenali pertama-tama suara, lalu bau tubuhnya, kemudian serat-serat kulitnya sehingga si anak tahu bahwa yang sedang menggendongnya adalah ibunya.

Waktu si ayah berkomunikasi dengan si ibu, si anak juga mendengar sehingga lama-kelamaan si anak mengenali dua suara yang sangat dekat dengan dia yaitu suara ibu dan suara ayah, meskipun suara ayah sedikit lebih jarang didengarnya. Tapi dua suara itu suara yang dia kenal, apalagi waktu dia menangis, si ayah juga mengambil bagian menggendong, mengelus, membelainya, menciumnya. Nah, si anak mulai membangun jalinan kedekatan dengan kedua orang tuanya ini. Jadi sentuhan-sentuhan fisik itu adalah hal yang sangat penting dan jangan kita berhenti setelah anak kita berusia dua tahun, teruskan peluk dia, sayangi dia, belai rambutnya, belai dahinya, cium pipinya. Itu menandakan orang tua tetap mencintai si anak dan sentuhan fisik itu menjadi bahasa yang sangat kaya serta ampuh. Jadi sebisanya kita sebagai orang tua kalau ingin memberikan keyakinan kepada anak bahwa kita mengasihi mereka, salah satu caranya adalah melimpahi mereka dengan sentuhan fisik itu.
IR : Selain sentuhan fisik Pak Paul, kira-kira contoh yang lain di dalam mengungkapkan kasih apa ada lagi, Pak Paul?

PG : Orang tua bisa juga mengungkapkan kasih dengan cara mengkomunikasikan kebahagiaannya mempunyai anak itu. Anak ini perlu mengetahui dan diyakinkan terus-menerus bahwa kehadirannya diingikan.

Tidak bisa tidak, orang tua akan marah kepada anak, nah anak akan takut pada kemarahan orang tua. Waktu dia dimarahi anak cenderung akan merasa ditolak, saya kira itu adalah hal yang alamiah. Juga orang tua itu menuntut anak, tidak bisa lepas dari tuntutan dan harapan sejak kecil kita akan berkata anak yang baik begini, anak yang tidak baik atau nakal begitu, kamu harus jadi anak yang baik. Meskipun anak sudah tahu standar orang tua apa itu tentang yang baik bukankah anak kadang-kadang tetap melakukan yang tidak kita inginkan. Karena dunia anak tetap adalah dunia tuntutan, dunia harapan, waktu dia gagal memenuhi tuntutan kita atau harapan kita, ada reaksi dalam diri anak bahwa tidak menyenangkan hati orang tuanya, apalagi ditambah dengan reaksi orang tua yang memang marah, tidak senang dan sebagainya. Oleh karena itu orang tua terus-menerus perlu mengkomunikasikan bahwa orang tua bahagia, bahwa kita ini senang mempunyai dia sebagai anak. Mempunyai seseorang di rumah yang kita panggil anak dan dialah anak kita. Seringkali saya dan istri saya mengungkapkan perasaan-perasaan seperti itu dengan berkata misalnya kami senang sekali engkau adalah anak kami. Kadang-kadang istri saya juga berkata, kami tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau engkau tidak pernah ada di tengah kami. Jadi hal-hal seperti itu mengingatkan kembali kepada anak bahwa kehadirannya itu dibutuhkan. Sekali lagi ini untuk menjadi penyeimbang tuntutan yang kita memang harus berikan pada anak atau kadangkala sanksi yang harus juga kita terapkan pada anak. Dengan mengkomunikasikan betapa bahagianya kita karena mereka adalah anak kita dan ada di tengah-tengah kita. Dan mendapatkan kepastian bahwa mereka bukanlah beban bagi orang tua, bahwa mereka bukanlah tambahan untuk keluarga ini, tapi mereka adalah anggota keluarga yang memang sangat diinginkan. Itu melambangkan cinta kasih orang tua kepada anak.
GS : Itu biasanya memang dilakukan oleh banyak orang tua Pak Paul, terutama kalau itu anak pertama. Tapi begitu keluar anak kedua, sudah kurang mendapatkan perhatian seperti anak yang pertama tadi. Apalagi kalau jarak antara anak yang pertama dan yang kedua cukup dekat ya, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Memang beralasan juga, masing-masing punya alasannya, bagaimana caranya membagi supaya mereka itu tetap bisa merasakan dua-duanya diterima dengan sama?

PG : Kadangkala anak sendiri yang akan mengingatkan kita. Misalkan anak saya yang satu akan berkata kepada saya atau istri saya, kenapa akhir-akhir ini Papa atau Mama jarang bersama-sama denan saya, lebih memperhatikan dia daripada saya.

Nah, kalau anak-anak mempunyai komunikasi yang cukup terbuka dengan orang tua, dia akan berani mengungkapkan ketidakpuasannya atau dia merasa kenapa tidak diperlakukan sama seperti kita memperlakukan kakak atau adiknya. Kadangkala itu bisa kita tangkap, namun yang lebih penting lagi, kita sendiri yang harus peka, nah ini yang coba kami lakukan juga di rumah. Kalau kami mau melakukan sesuatu pada salah seorang anak, kami mencoba mengingat dampak perlakuan itu pada adik atau kakaknya, kami coba mengingat hal itu. Karena memang anak-anak peka sekali dengan perlakuan yang berbeda meskipun kita berupaya memperlakukan mereka dengan rata. Anak-anak cenderung menuduh kita tidak memperlakukan mereka dengan sama. Jadi, Pak Gunawan tadi memang memunculkan hal yang penting sekali, ya kecenderungan kita menspesialkan anak yang pertama. Kedua, ketiga, keempat, apalagi kalau 10 anak kita, tidak begitu banyak lagi energi yang kita berikan pada anak-anak yang dibawahnya, jadi memang kita tetap perlu konsisten memberikan cinta kasih kepada mereka semua.
GS : Ada satu hal lagi Pak Paul, anak tidak merasa diterima atau kurang diterima ketika dia dibandingkan dengan kakaknya atau adiknya, apa memang seperti itu?

PG : Itu seringkali terjadi Pak Gunawan, cukup sering orang tua berkata kami membandingkan dengan tujuan baik untuk memacu si anak. Bukankah waktu kami membandingkan dengan yang lebih baik drinya dia akan terpacu.

Hati-hati kalau kita terlalu sering membandingkan, pesan yang anak terima bukanlah mereka dipacu, yang diterima anak adalah orang tua merasa tidak puas dengan mereka. Dan juga kalau dibandingkan dengan adik atau kakak sendiri, seringkali kurang begitu ampuh karena kakak atau adik terlalu dekat, bahkan saudara sepupu pun seringkali menjadi orang yang terlalu dekat. Bukankah kalau misalkan kita dibandingkan dengan saudara sepupu kita yang sering ke rumah kita, kita jadinya sering tidak nyaman juga. Jadi perbandingan sebaiknya bukan dengan orang lain, tapi dengan kemampuan si anak itu sendiri. Kita katakan kami tidak puas dengan hasil ujianmu atau tesmu, karena kami tahu engkau mempunyai kemampuan yang lebih dari ini. Jadi kita coba hindarkan kata-kata "dengan kakakmu bisa begini tinggi, adikmu bisa begitu tinggi, kenapa engkau tidak bisa". Nah jadi dia akan merasa Papa dan Mama lebih senang dengan adik atau kakak, karena mereka memenuhi target Papa Mama, saya tidak memenuhi target berarti saya anak buangan. Jadi orang tua perlu berhati-hati dalam mengungkapkan kata-kata, dalam membandingkan anak satu dengan yang lainnya.
IR : Dan itu menyakitkan biasanya Pak Paul, biasanya anak kalau dibandingkan dia mengungkapkan "aku...aku, dia...dia", seperti itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali, mereka akhirnya ingin menunjukkan siapa diri mereka apa adanya, nah kadangkala dampaknya jadi berlebihan. Si anak bukan saja berkata aku ini aku, kakak atau adik ya kakak tau adik, bukannya saya.

Kadang-kadang karena ingin menunjukkan jati dirinya, dia justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilainya sendiri, atau yang kita agungkan nilai-nilai yang baik yang kita percayai, justru dia melakukan yang kebalikannya. Hanya untuk membuktikan bahwa dia itu unik, berbeda dari kakaknya atau adiknya.
GS : Pak Paul kedekatan kita dengan anak-anak, orang tua dengan anak-anak khususnya usia masih di bawah 5 tahun seringkali membuat anak itu suka bertanya, sudah dasarnya memang senang bertanya. Dan kalau orang tua memberikan respons itu membuat dia makin banyak bertanya, sampai kadang-kadang banyak orang tua yang mengeluh karena waktunya tersita untuk menjawab pertanyaan yang menurutnya sepele. Sebenarnya bagaimana kita harus menanggapi pertanyaan dari anak yang masih balita?

PG : Pada prinsipnya yang diperlukan oleh anak adalah interaksi, seringkali pada anak-anak yang masih balita kita tidak perlu memberikan jawaban yang kompleks atau yang sangat tepat sebab yag anak butuhkan juga bukannya jawaban yang tepat, atau jawaban yang memang merupakan kebenarannya.

Yang lebih dibutuhkan oleh anak balita sebetulnya adalah sekadar jawaban. Dia mempunyai keingintahuan dan dia menginginkan jawaban itu saja, ketepatannya nomor dua. Waktu anak mulai besar misalkan sudah memasuki pra-remaja, itu penting sekali kita memberikan jawaban yang tepat, sampai usia remaja dan seterusnya. Tapi pada usia-usia di bawah itu yang lebih perlu adalah melayani pertanyaannya, melibatkan si anak dalam dialog, sebab itu yang lebih penting. Dia mempunyai rasa ingin tahu dan dengan mendapatkan jawaban, itu cukup baginya, tepat atau tidak tepatnya itu nomor dua bagi si anak. Waktu kita memberikan jawaban-jawaban kepada pertanyaan anak itu, sebetulnya sekaligus menunjukkan kasih kita kepada anak. Tanpa disadari kalau kita dengan singkat atau sedikit ketus memutuskan pertanyaan anak, sebetulnya itu sedang mengkomunikasikan bahwa aku tidak sabar denganmu, aku sebetulnya tidak begitu menikmati engkau, karena engkau mengganggu. Tapi orang tua yang bisa sabar dan sebaiknya bisa menjawab pertanyaan anak, karena akan membuat anak merasa bahwa dia dikasihi, bahwa dia menanyakan pertanyaan dan dijawab berarti dia merasa cukup penting; yang dia lakukan bukannya sesuatu yang lewat begitu saja, tapi diperhatikan oleh orang tuanya. Pertanyaan-pertanyaan ini sekali lagi adalah upaya anak untuk melibatkan orang tua dalam dialognya. Jadi penting bagi orang tua berusaha sebaiknya untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan anak.
IR : Bagaimana kalau anak-anak itu seringkali mengajak bermain Pak Paul, apakah kita juga harus melayani dia?

PG : Sebaiknya ya, sebisanya waktu anak-anak masih kecil kita lebih melibatkan diri bermain dengan anak-anak. Sampai sekarang meskipun anak-anak saya sudah mulai besar mereka menikmati sekal bermain.

Dalam hal ini saya harus akui, istri saya jauh lebih berperan, istri saya sering bermain dengan anak-anak, main halma, main congklak dan sebagainya, saya kadang-kadang juga bermain kartu, bermain catur dengan anak-anak. Sebab permainan adalah dunia anak, jadi kalau kita mau memasuki dunia anak kita harus memasukinya melalui permainan. Waktu kita bermain dengan anak, anak cenderung merasa sangat senang, anak jarang sekali merasa terganggu tatkala kita bermain dengan dia, justru dia menyambutnya dan dia ingin bermain. Kadang-kadang saya suka bercanda dengan anak-anak saya, misalnya anak saya berkata "Aduh sepi, tidak ada teman," lalu saya berkata, "Saya kan teman kamu." Anak saya berkata," Lain ". Kenapa lain saya tanya: "Lain karena Papa tidak bisa bermain dengan saya, teman-teman saya bisa main." Dengan kata lain waktu saya tidak bisa main, lompat, lari dengan dia ke mana-mana, saya mulai memisahkan diri dari dunianya maka sebisanya kita main. Waktu kita bermain dengan anak ini juga sebetulnya merupakan bahasa kasih kepadanya, anak tahu kita mementingkan dia sehingga kita bermain dengan dia. Jadi sama dengan melayani pertanyaan, mengajak dan menerima anak untuk bermain dengan kita juga menunjukkan kasih sayang kita kepada anak.
GS : Masalahnya kita sebagai orang tua tidak selalu dalam kondisi siap untuk melayani mereka, menjawab pertanyaan atau bermain. Katakan pada saat kita tidak siap untuk itu dan mereka memintanya, alasan apa atau bagaimana kita mengalihkan perhatiannya Pak Paul?

PG : Saya kira kita boleh jujur kepada anak dan berkata, saya sedang lelah sekali. Misalkan kita tahu kita akan pulih dengan cepat setelah kita pulang kerja, kita bisa berkata beri Papa wakt atau beri Mama waktu 1 jam, setelah itu kita akan main.

Nah kita bisa sebut main apa dan dia akan menunggu. Kadangkala saya masih ingat waktu anak-anak masih kecil itu yang kami lakukan, kadang-kadang saya juga melakukan itu, saya berkata,"Bisakah kamu tunggu ½ jam lagi, nanti Papa main dengan kamu." Saya masih ingat sekali menantikan ½ jam itu si anak sudah menyiapkan permainannya, dia sudah membuka halmanya, caturnya, dia sudah pasang semuanya, menunggu saya datang untuk bermain. Di situ kita melihat anak rindu sekali bermain dengan orang tuanya, jadi kalau kita lelah, beritahu saya sekarang lelah, bisakah kalau nanti saja. Atau kalau kita tahu kita sangat lelah hari ini kita berjanji, "besok Papa berjanji atau besok Mama berjanji akan bermain dengan kamu," lalu kita tepati besok mau main apa.
GS : Bisakah Pak Paul itu dialihkan misalnya ayah yang sedang tidak siap atau sibuk, lalu kita menyuruhnya main dengan ibunya?

PG : Itu juga boleh asalkan tidak selalu demikian. Bagaimana kalau main dulu dengan ibumu, nanti saya ikut atau saya bergabung, misalnya seperti itu.

GS : Intinya dari semua itu adalah menanamkan keyakinan pada anak bahwa dia itu diterima dan dikasihi.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, kalau kita gunakan bahasa orang dewasa, bukankah teman yang mau berkunjung ke rumah kita adalah teman yang mengasihi kita, teman yang mau menolong kita sepertianak kecil yang bermain dengan kita adalah teman yang kita tahu mengasihi kita.

Jadi sebetulnya sama dengan anak-anak.
GS : Tadi kalau dalam hal menjawab pertanyaan itu, Pak Paul katakan bukan jawabannya itu yang penting artinya harus serius. Juga di dalam permainan bukan menangnya itu yang penting.

PG : Tepat sekali, jadi mainlah dengan anak misalkan main Video Games, apalagi anak-anak laki senang sekali main Video Games. Saya dulu sering sekali main Video Games dengan anak saya, tapi ekarang dia sudah besar, hampir remaja tidak mau main dengan saya.

Kadang-kadang dia saya ajak main lagi tetapi tidak mau, sekarang hanya mau main dengan temannya. Jadi sekali lagi waktu sangat singkat, dulu saya berpikir banyak waktu sampai umur 18 tahun, ternyata makin tahun makin terbatasi hal-hal yang bisa saya lakukan dengan anak-anak saya.
GS : Jadi mungkin ada baiknya orang tua juga mempersiapkan diri dengan pengetahuan dasar terhadap jiwa anak-anak itu.

PG : Betul sekali, akhirnya perhatian lebih terpusatkan keluar.

GS : Tapi saya yakin sekali ada firman Tuhan yang bisa memberikan bimbingan secara tepat.

PG : Firman Tuhan yang akan saya bacakan terambil dari Mazmur 90, Mazmur yang dipercaya ditulis oleh Musa, ayat 10 berkata : "Masa hidup kami 70 tahun dan jika kami kuat 80 tahu dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan.

Sebab berlalunya buru-buru dan kami melayang lenyap." Firman Tuhan meletakkan hidup dalam perspektif yang sebenarnya bahwa hidup tidak selamanya, jadi kita harus memakai waktu dengan sebaik-baiknya. Tuhan memberi waktu hanya beberapa tahun untuk membina, menanamkan prinsip yang indah pada anak-anak kita, jadi jangan sampai waktu itu berlalu tanpa kita memberikan cukup pada anak-anak kita. Sebab firman Tuhan berkata : "Waktu itu berlalunya dengan terburu-buru", saya kira kita yang sudah ½ abad ini bisa menengok ke belakang dan berkata betul waktu berjalan terlalu cepat, jadi pakailah, isilah dengan sebaik-baiknya.

GS : Sampai ada orang yang mengatakan saya tidak ada waktu lagi, juga untuk anak-anak mereka, Pak Paul. Tapi masalahnya yang mengatur waktu adalah kita. Bagaimana kita menggunakan waktu itu dengan sebaik-baiknya. Jadi saya rasa Pak Paul karena tadi di awal perbincangan ini Pak Paul mengatakan ada 3 aspek yaitu aspek emosional, aspek sosial dan aspek rohani. Padahal kita kali ini baru berbicara tentang aspek emosional dan itupun saya rasa masih ada beberapa hal yang harus kita bicarakan, maka pembicaraan ini tentunya menghimbau para pendengar untuk tidak kehilangan sesi yang akan datang. Namun untuk kali ini kami akhiri dulu, saudara-saudara pendengar, kami baru saja memperbincangkan tentang beberapa hal praktis mengasuh anak pada usia 0-9 tahun. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



19. Nasihat Praktis untuk Mengasuh Anak Usia 0-9 Tahun 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T064B (File MP3 T064B)


Abstrak:

Lanjutan dari T64A, bagaimana memberikan asuhan kepada anak-anak khususnya dalam aspek sosialisasi anak dan memberikan asuhan secara aspek rohani anak sedini mungkin.


Ringkasan:

Menyadari singkatnya waktu dan banyaknya hal yang harus diberikan pada anak-anak kita, sekurang-kurangnya ada 3 aspek yang perlu kita perhatikan yaitu:

  1. Aspek Emosional.

    Pada usia antara 0-9 tahun, anak-anak itu secara emosional mempunyai 3 kebutuhan mendasar:

    1. Yang pertama adalah kebutuhan akan kasih.

      Konkretnya adalah orang tua bertugas menyediakan kasih, misalnya dengan cara memberikan sentuhan fisik. Selain sentuhan fisik, orang tua bisa juga menyediakan kasih dengan cara mengkomunikasikan kebahagiaannya mempunyai anak itu. Karena di sini anak akan mendapatkan kepastian bahwa mereka bukanlah beban bagi orang tua. Dengan mengkomunikasikan betapa bahagianya kita karena mereka adalah anak kita yang ada di tengah-tengah kita, anak akan mendapatkan kepastian bahwa mereka bukanlah beban bagi orang tua. Bahwa mereka bukan hanya tambahan untuk keluarga ini, tapi mereka adalah anggota keluarga yang memang sangat diinginkan.

      Pada prinsipnya yang diperlukan oleh anak adalah interaksi, seringkali untuk anak-anak yang masih balita kita tidak perlu memberikan jawaban yang kompleks atau yang sangat tepat. Sebab yang anak butuhkan juga bukannya jawaban yang tepat atau jawaban yang memang merupakan kebenarannya. Yang lebih dibutuhkan oleh si anak balita sebetulnya adalah sekadar jawaban. Waktu anak mulai besar misalkan sudah memasuki pra-remaja itu penting sekali kita memberikan jawaban yang tepat, demikian pula sampai usia remaja dan seterusnya. Orang tua harus berusaha sebaiknya untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan anak.

      Mazmur 90:10, "Masa hidup kami 70 tahun dan jika kami kuat 80 tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan. Sebab berlalunya buru-buru dan kami melayang lenyap." Firman Tuhan meletakkan hidup dalam perspektif yang sebenarnya, bahwa hidup tidak selamanya, jadi kita harus memakai waktu dengan sebaik-baiknya. Tuhan memberi waktu hanya beberapa tahun untuk membina, menanamkan prinsip yang indah pada anak-anak kita, jangan sampai waktu itu berlalu tanpa kita memberikan cukup pada mereka.

    2. Yang kedua, kebutuhan akan disiplin.
      Anak-anak tidak saja memerlukan cinta kasih, mereka memerlukan disiplin yang juga merupakan kebutuhan emosional. Disiplin bukanlah sesuatu yang boleh ada, boleh tidak ada. Disiplin adalah sesuatu yang diperlukan anak, itu merupakan kebutuhannya sama seperti dia membutuhkan cinta kasih.
      Orang tua harus sudah mulai mendisiplin sejak anak masih kecil.

      1. Disiplin dilakukan dengan suara atau dengan pukulan yang terkendali.
      2. Kita perlu memberikan disiplin yang sesuai dengan usia dan kesalahannya. Dr. James Dobson seorang psikolog Kristen mengatakan: "Hukumlah anak untuk kekurangajarannya, untuk sikap mau melawan kita secara sengaja. Jangan hukum anak untuk kekeliruan atau kesalahan yang lazim dilakukan oleh anak-anak kecil."

    3. Yang ketiga, anak memerlukan panutan, contoh, atau teladan.
      Anak senantiasa belajar bagaimana berjalan, bagaimana berbicara, bagaimana bersikap terutama dari orang tuanya. Jadi orang tua perlu sekali menjadi teladan yang nyata dalam kehidupan si anak.

  2. Aspek Sosial
    Pada usia 0-9 tahun anak-anak memerlukan keterampilan bergaul.
    Ada beberapa tugas orangtua di sini:
    1. Orang tua secara sengaja harus mengajarkan beberapa keterampilan penting dalam pergaulan. Misalnya anak perlu belajar untuk membagi, untuk meminjamkan barangnya, untuk berkata ini ½ untukmu, ini ½ untukku itu perlu diakarkan.

    2. Anak-anak perlu bersikap adil, maksudnya adalah waktu dua temannya berselisih dia perlu menempatkan diri di antara keduanya.

  3. Aspek Rohani
    Sebagai orang tua Kristen, tentu kita mau mencoba menanamkan aspek rohani kepada anak-anak kita sedini mungkin. Pada usia 0-9 tahun, satu aspek tentang Tuhan yang perlu kita tanamkan pada anak ialah:
    1. Tuhan sebagai pencipta.
      Kita perlu mengajarkan kepada anak bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta termasuk isinya. Jadi anak-anak sejak kecil memperoleh kesempatan untuk mengagumi ciptaan Tuhan dan karya Tuhan.

    2. Tuhan pemelihara dan penjaga hidupnya.

Amsal 27:5 dikatakan: "Lebih baik teguran yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi."

Saya mau menggabungkan dua kata di sini, teguran dan kasih. Tuhan mau kita memberikan kasih tanpa sembunyi-sembunyi, limpahkan, nyatakan kasih, tapi Tuhan juga menekankan bahwa teguran yang nyata itu baik, dan bahkan kata Tuhan lebih baik dari pada kasih yang kita tidak nyatakan. Jadi dalam membesarkan anak 2 hal ini tidak bisa terlepas, menegur anak dan mengasihi anak dan tegur dengan nyata, kasihi juga dengan nyata itu firman Tuhan bagi kita orangtua.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan melanjutkan berbincang-bincang tentang nasihat praktis untuk mengasuh anak usia 0-9 tahun. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita sudah memperbincangkan tentang bagaimana memberikan suatu asuhan pada anak-anak khususnya dalam aspek emosional, dan waktu itu Pak Paul banyak menekankan tentang bagaimana kita menunjukkan kasih kita kepada anak ataupun anak-anak kita. Yang seringkali timbul Pak Paul, kadang-kadang anak bisa salah mengerti tentang kasih yang kita berikan sehingga dia menjadi manja Pak Paul, dan orang tua jadi kerepotan juga setelah anaknya manja, mau menang sendiri dan seterusnya. Dalam hal ini bagaimana membatasinya supaya apa yang kita maksudkan baik yaitu melimpahkan kasih pada anak ditanggapi pula dengan seimbang?

PG : Saya mengibaratkan kasih dengan gizi, jadi anak-anak memerlukan gizi untuk pertumbuhannya, tanpa gizi yang cukup pertumbuhan anak akan terhambat. Demikian juga dengan cinta kasih Pak Guawan, jadi anak-anak itu mutlak memerlukan kasih agar dia bisa mengembangkan dirinya dengan kasih.

Tapi kita juga tahu bahwa kalau kita memberikan gizi secara berlebihan kepada anak, tubuhnya justru tidak akan sehat, tanpa olah raga, tanpa pengeluaran gizi yang telah diterimanya dia tidak akan mencapai keseimbangan dalam kesehatannya. Jadi yang Pak Gunawan tadi sudah munculkan adalah hal yang memang sangat tepat, yakni anak bukan saja memerlukan cinta kasih, anak-anak juga memerlukan unsur yang lainnya yaitu disiplin, ini adalah kebutuhan emosional anak. Jadi disiplin bukanlah sesuatu yang boleh ada, boleh tidak ada, seringkali kita memikirkan disiplin seperti itu. Disiplin adalah sesuatu yang diperlukan anak, merupakan kebutuhan yang sama seperti dia membutuhkan cinta kasih dan dalam aspek jasmani sama seperti dia memerlukan gizi yang cukup. Jadi disiplin itu merupakan kebutuhan pokok anak yang harus orang tua berikan.
(1) GS : Tapi kelihatannya agak bertentangan Pak Paul antara di satu pihak mengasihi, di lain pihak mendisiplin, mengasihi itu sendiri sudah sulit. Nah secara praktis karena kita sedang berbicara tentang nasihat-nasihat praktis Pak Paul, bagaimana kita menerapkan disiplin kepada anak yang masih di bawah umur 10 tahun ini?

PG : Disiplin adalah upaya kita untuk memangkas anak. Ibarat pohon, kita memangkasnya agar pohon itu dapat menumbuhkan carang-carangnya dengan indah, dengan baik kalau tidak pohon itu akan tmpak liar.

Anak yang terlalu banyak cinta kasih tanpa disiplin akan menjadi anak yang terlalu kuat dan pada usia remaja orang tua akan kewalahan. Biasanya pada usia kecil masih belum tampak masalahnya, jadi orang tua dari kecil harus sudah mulai mendisiplin anak. Ada beberapa hal yang bisa saya bahas di sini, yang pertama adalah disiplin dilakukan dengan suara, dengan pukulan yang terkendali. Biasanya waktu kita mendisiplin, kita menggunakan suara misalkan kita memarahi si anak atau menegurnya. Nah penggunaan suara di sini haruslah terkendali, jangan sampai kita menunjukkan ketidakterkendalian suara kita, misalkan mencaci maki dia, saking kasarnya anak terluka, atau kita mengeluarkan suara yang begitu keras dan histeris. Itu menandakan kita tidak menguasai diri dan itu menjadikan hukuman yang kita berikan kepada anak bukanlah sesuatu yang membangunnya malahan terlalu menakutkan dan akhirnya berdampak tidak positif bagi si anak. Pukulan kita juga harus terkendali jangan kita memukul semena-mena, seenaknya, kita sedang marah kepadanya, kita mau memukul tubuhnya, kita pukul sekeras-kerasnya, atau kita ingin menampar mukanya, kita tampar semau kita. Saya selalu mengatakan anak boleh dan seharusnya dipukul, namun pukullah di bagian yang memang cocok, saya selalu meminta orang tua memukul anak di bagian pantatnya dan jangan menyuruh anak membuka celananya, memukul pantatnya langsung pada kulitnya itu juga terlalu sakit. Biarkan dia pakai celana gunakan tangan kita atau kalau ada orang berkata tangan adalah lambang kasih jadi jangan digunakan untuk memukul anak, harus menggunakan misalnya rotan atau apa. Silakan untuk saya tidak menjadi soal, kalau saya pribadi lebih suka menggunakan tangan saya karena saya bisa tahu berapa keras kita telah memukulnya. Jadi intinya suara kita, serta pukulan kita haruslah terkendali, barulah pendisiplinan itu berjalan seefektif mungkin.
IR : Apa ada hukuman yang lain, Pak Paul?

PG : Yang berikutnya adalah kita perlu memberikan disiplin yang sesuai usia dan juga kesalahannya. Adakalanya untuk anak yang sudah besar misalnya sudah umur 12 tahun, kita hanya beri dia dsiplin yang sangat ringan misalnya kamu harus berdiri di belakang pintu.

Sebenarnya itu tidak akan terlalu berdampak positif karena tidak terlalu membawa aspek hukuman pada si anak. Atau kebalikannya anaknya masih kecil kita hukum terlalu berat itupun tidak boleh, jadi berilah hukuman sesuai dengan usia anak. Juga berikan hukuman sesuai dengan kesalahan anak, jangan sampai kesalahan yang natural dilakukan anak-anak kecil, kita jadikan itu sebagai suatu kesalahan besar. Saya ingat sekali nasihat Dr. James Dobson seorang psikolog Kristen, beliau selalu mengatakan hukumlah anak untuk kekurangajarannya, untuk sikap mau melawan kita secara sengaja. Jangan hukum anak untuk kekeliruan atau kesalahan yang lazim dilakukan oleh anak-anak kecil. Misalkan anak kecil umur 4, 5 tahun sedang makan di meja, karena tangannya bergerak-gerak akhirnya menumpahkan gelas atau piring makanannya. Nah kita tidak perlu bereaksi terlalu keras, memarahi dia, kemudian memukul dia. Itu merupakan kesalahan, tapi sebetulnya untuk si anak itu merupakan bagian dari anak yang tidak bisa diam dan koordinasi tubuhnya belum begitu baik sehingga akhirnya menyentuh gelas atau piringnya. Jadi selalu bedakan apakah ini tindakan kurang ajar, melawan kita dengan sengaja, untuk yang itu kita perlu mengkonfrontasi, menghadapi si anak dan menaklukkan sikap kurang ajar atau melawannya itu dengan ketegasan. Tapi untuk kesalahan-kesalahan yang lebih manusiawi, sebisanya tidak perlu menegurnya dengan keras. Misalnya katakan lihat kamu makan terlalu banyak bergerak, ini hasilnya, lain kali hati-hati ya.
GS : Tadi kalau contoh terakhir Pak Paul, katakan anak yang menumpahkan air atau kuah itu perbuatan si anak, tapi yang tadi Pak Paul katakan anak yang melawan orang tua itu juga berarti sifat dari anak itu. Nah di sini kadang-kadang disiplin itu seharusnya diterapkan bagaimana, Pak Paul?

PG : Sebisanya kita tidak memarahi karakter atau pribadi si anak, kita tidak mencaci maki siapa si anak itu tapi menyoroti pada perbuatannya. Misalnya kita sudah katakan kepada dia jangan keuar main sebelum selesai PR-mu, tiba-tiba kita melihat dia tidak ada lagi di kamar belajarnya dan kita harus mencari sebab dia sedang bermain di luar.

Kita memanggilnya dan kita marahi dia, tadi saya sudah katakan tidak boleh keluar tapi sekarang saya temukan kamu di luar. Itu adalah kenakalan dan ada aspek melawannya, silakan kita marahi perbuatannya itu, kita katakan "tadi saya katakan tidak boleh keluar engkau tetap keluar berarti engkau membangkang, engkau harus saya hukum." Jangan kita mencaci maki dia misalnya yang tidak boleh kita lakukan adalah kita berkata kepadanya "engkau memang anak yang bebal, engkau memang anak yang tidak bisa diajar", kata-kata seperti itu jangan kita katakan. Sama seperti anak pulang membawa nilai buruk, jangan kita berkata "kamu memang anak yang bodoh" atau apa lagi kita berkata, "saya malu punya anak seperti engkau". Itu adalah serangan-serangan yang menohok langsung pada pribadi si anak dan akan melukainya. Tapi waktu kita menegur perbuatannya, itu tidak melukai hati atau jiwa anak, misalkan dia pulang hasil tesnya buruk, kita berkata, "Bukankah Mama atau Papa sudah katakan engkau harus belajar kemarin, engkau tidak mengulang lagi dan ini hasilnya engkau kurang bertanggung jawab dengan pekerjaanmu, maka engkau mendapatkan nilai yang buruk". Itu jauh lebih bisa membangun anak dan hukuman itu tetap bisa kita berikan pada si anak. Kadangkala ini yang saya lakukan pada anak, waktu saya harus memukulnya saya berkata ini kesalahanmu, kira-kira berapa kali pukulan di pantat yang engkau layak terima dari saya. Kadang-kadang dia berkata misalnya 2 kali, nah kalau saya lihat kesalahannya agak besar misalnya saya berkata, tidak saya minta 4 kali akhirnya kami negosiasi, ya sudah 3 kali, saya pukul dia 3 kali. Hukuman seperti itu jauh lebih efektif daripada kita memukul dia sembarangan. Saya ini juga tidak sempurna, Pak Gunawan dan Ibu Ida, saya pernah juga memukul anak saya berlebihan, saya seharusnya bertanya dulu. Tapi karena terjadinya begitu spontan, saya langsung minta dia turun, saya minta dia berbalik kemudian saya pukul pantatnya tanpa saya bernegosiasi. Adakalanya bisa negosiasi, adakalanya tidak juga tapi sebisanya waktu kita mengajak anak bernegosiasi engkau layak menerima berapa pukulan, si anak lebih menyadari bahwa kesalahan ini kesalahannya dan pemukulan orang tua adalah akibat dari perbuatannya itu. Jadi penting sekali kita mulai meletakkan tanggung jawab pada si anak.
IR : Kadang-kadang si anak kesalahannya selalu berulang-ulang, berarti disiplin kita perlu kita tingkatkan juga, Pak Paul. Sampai seberapa jauh disiplin itu kita tingkatkan, kalau anak ini selalu mengulang kesalahannya?

PG : Secara teoritis Bu Ida, kalau dari kecil kita sudah menambahkan bobot hukuman seyogyanya itu tidak lagi diulang oleh si anak. Nah ini kadangkala yang terjadi dalam rumah tangga, Ibu Idadan Pak Gunawan, biasanya anak tidak terlalu takut pada ibu, anak biasanya lebih takut pada ayah, sebab ayah memang mewakili figur otoritas.

Itu sebabnya firman Tuhan di Kolose juga meminta ayah untuk membesarkan anak dalam disiplin, dengan kata lain Tuhan meminta ayah yang mendisiplin anak karena ayah adalah figur otoritas. Seyogyanya waktu seseorang mengalami kesulitan mendisiplin si anak, dia melibatkan suaminya sehingga ini menjadi dukungan atau bantuan yang mencoba atau membatasi perilaku si anak yang nakal itu. Kalau pada masa kecil dilakukan seperti itu dengan konsisten, seharusnya memang tidak diulang, kalau sampai diulang berkali-kali meskipun kita menggunakan bantuan, mungkin kita harus mengubah strategi kita, mungkin hukuman itu kurang cocok, atau mungkin kita sendiri yang kurang konsisten sehingga anak tidak bisa menghormati wibawa kita.
GS : Memang saya merasa ada pola yang berbeda Pak Paul, ibu yang marah dengan ayah yang marah. Ibu yang marah banyak mengeluarkan kata-kata keras tapi lama sekali, sedang ayah kata-katanya tidak terlalu banyak tapi tangannya yang memukul dan sebagainya. Tapi masalah konsistensi itu penting, karena seringkali anak bingung juga bila pada suatu saat dia dihukum, lalu pada kesempatan yang lain dengan kesalahan yang sama dia tidak dihukum.

PG : Tepat dan tadi kita sudah singgung tentang intensitas pemukulannya atau hukuman itu sendiri. Kalau orang tua memberikan hukuman yang berlebihan, seyogyanya menghentikan perilaku anak yag tidak kita inginkan.

Tapi kecenderungannya justru perilaku anak tidak berhenti malah diulang. Jadi akhirnya kita melihat bahwa ketepatan hukuman itu sangat penting, karena hukuman yang tidak tepat justru tidak menghentikan perilaku anak yang nakal itu malahan mengundangnya lagi untuk melakukan hal yang sama. Dan di sini memang seolah-olah si anak menantang, seolah-olah anak berkata "engkau tidak bisa menaklukkan saya". Seolah-olah anak berkata "aku bukanlah semudah itu engkau taklukkan, aku masih bisa melakukannya lagi". Akhirnya terjadilah pergumulan kekuasaan di sini.
GS : Pak Paul, kalau begitu yang dilihat oleh anak, yang menjadi pelajaran buat anak itu bukan yang dia rasakan tetapi yang dia lihat.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi hal ketiga yang perlu dilihat bukan saja orang tua menyediakan cinta kasih, disiplin yang cukup. Orang tua juga harus memberi panutan, contoh dan teladan.Anak itu senantiasa belajar bagaimana berjalan, bagaimana berbicara, bagaimana bersikap.

Itu semua adalah hal-hal yang dia pelajari terutama dari orang tuanya. Jadi orang tua perlu sekali menjadi teladan yang nyata dalam kehidupan si anak. Itu sebabnya saya menggunakan istilah di sini orang tua harus hidup di rumah, apa maksudnya dengan hidup, misalnya orang tua bergaul, dengan siapa dia bergaul, teman-teman seperti apa yang datang ke rumah, itu dilihat oleh anak. Misalnya yang lain, orang tua berdialog antara satu dengan yang lain, antara orang tua dengan anak, orang tua berselisih pendapat bagaimanakah mereka berselisih, berteriak-teriakkah, atau bisa mungkin suara meninggi tapi kemudian bisa juga akhirnya menyelesaikan masalahnya. Apakah orang tua meminta maaf kepada satu sama lain atau kepada anak, nah ini adalah hak yang akan dilihat oleh anak. Hal-hal kecil seperti ini seolah-olah memang tidak bermakna, tapi sebetulnya merupakan pelajaran-pelajaran yang sangat berharga yang anak-anak rekam tanpa dia harus merekamnya dengan sadar, jadi dia sudah merekam dan itu menjadi hal yang baik untuk si anak.
GS : Nah, Pak Paul selain ada aspek emosional yang kita sudah bicarakan, beberapa waktu yang lalu kita bicarakan ada aspek yang lain yaitu aspek sosial, bagaimana konkretnya?

PG : Pada usia 0-9 tahun anak-anak itu memerlukan ketrampilan bergaul. Dengan kata lain anak-anak mulai terjun ke lingkup sosialnya yang lebih besar dari rumahnya sendiri, nah untuk itu dia erlu mempunyai ketrampilan-ketrampilan.

Saya melihat ada beberapa tugas orang tua di sini, yang pertama adalah orang tua secara sengaja harus mengajarkan beberapa ketrampilan penting dalam pergaulan. Misalnya anak perlu belajar untuk membagi, meminjamkan barangnya, untuk berkata ini separuh untukmu, ini separuh untukku, itu perlu diajarkan. Sebab anak-anak tidak secara natural bisa berbagi milik atau kesenangannya, tugas orang tua di sini adalah memberi pelajaran itu kepada anak. Kalau dia tidak bisa belajar berbagi, dia tidak bisa masuk ke dalam lingkup pergaulan teman-temannya. Yang lainnya lagi yang saya bisa pikirkan adalah anak misalnya perlu mengalah, tidak bisa kehendaknya yang selalu terjadi, sekali-sekali anak harus berkata,"silakan engkau dulu", misalkan seperti itu.
GS : Aspek sosial akan dipelajari oleh banyak anak di sekolah Pak Paul, kalau dia sudah mulai sekolah.

PG : Seringkali kita berpikir bahwa sekolah merupakan tempat anak bergaul, sesungguhnya kalau kita pikir dengan lebih serius, sekolah itu hanya menyediakan sedikit waktu bagi anak untuk bergul.

90% waktu anak di sekolah sebetulnya hanya dipusatkan pada satu figur yaitu guru, mereka duduk berhadapan tidak dengan satu sama lain tapi dengan guru. Kebetulan kalau gurunya tidak ada, ketika jam pelajaran yang ke-1, itu mereka bisa gunakan untuk saling ngobrol. Tapi kalau gurunya selalu ada berarti mereka harus menujukan mata mereka hanya pada satu arah yaitu guru. Keluar main hanya 10 menit misalnya, 2 kali keluar main ya hanya 20 menit, anak-anak di sekolah bisa sampai 6, 7, bahkan 8 jam. Jadi sebetulnya kesempatan bergaul tidak banyak, di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan. Yang lainnya lagi juga bisa saya munculkan adalah anak-anak perlu bersikap adil. Maksudnya bersikap adil waktu kedua temannya berselisih, dia perlu bisa membedakan mana yang salah atau mana yang betul atau dia perlu menempatkan diri di antara keduanya. Kadang-kadang hal ini yang dihadapi oleh anak kita, dilema-dilema seperti ini. Sekali lagi kalau orang tua dan anak mempunyai hubungan yang akrab, anak kadang-kadang dengan sukarela bercerita, saya menghadapi masalah ini, teman saya begini, ribut dengan yang ini saya harus bagaimana. Nah, kita di sini bisa memberikan masukan kepada mereka.
GS : Bagaimana dengan kesempatan anak untuk bisa bersosialisasi, kalau dia cuma anak tunggal?

PG : Terbatas Pak Gunawan, otomatis sebisanya kalau kita memang dikaruniai kemampuan mempunyai anak lebih dari satu, saya menganjurkan sebaiknya lebih dari satu. Kalau tidak memang kita haru proaktif membawa anak ke tempat saudara kita, atau ke rumah temannya.

Nah yang lain dari itu, meskipun kita punya anak dua atau tiga, saya kira sekarang ini orang tua harus memikirkan dengan terencana mengenai aspek sosialisasi anak. Dengan begitu padatnya pelajaran di sekolah, anak-anak makin mengalami kesulitan menemukan waktu bermain dengan teman-teman. Jadi sebaiknya waktu libur atau hari Sabtu dan hari Minggu, kita berikan kesempatan mereka untuk main. Pulang sekolah pun ada baiknya diberikan waktu kepada mereka untuk santai atau bermain dulu, jadi waktu bermain itu tidak terhilang sebab bermain dan bergaul dengan teman merupakan tulang punggung sosialisasi anak.
(2) GS : Nah sebagai orang tua Kristen, Pak Paul, tentu kita mau mencoba menanamkan aspek rohani, tapi ada banyak masalah yang dihadapi orang tua. Jadi bagaimana kita menanamkan aspek rohani ini kepada anak-anak kita sedini mungkin?

PG : Pada usia 0-9 tahun saya kira satu aspek tentang Tuhan yang kita perlu tanamkan pada anak ialah Tuhan sebagai pencipta dan penjaga atau pemelihara hidupnya. Kita perlu mulai mengajarkankepada anak bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta termasuk isinya.

Kita mulailah mengajarkan tentang betapa kompleksnya hidup dan semua ciptaannya. Jadi anak-anak sejak kecil memperoleh kesempatan untuk mengagumi ciptaan Tuhan dan karya Tuhan. Yang kedua, dia juga perlu belajar bahwa Tuhan pemelihara dan penjaga hidupnya, jadi kita bisa mengajak anak-anak untuk misalnya berdoa secara langsung dalam ketakutan, kesusahan, dalam problem sehingga anak-anak mulai mempunyai konsep bahwa Tuhan berada di dekatnya untuk menolongnya. Waktu dia sakit kita doakan dia, lama-lama kita bisa minta dia untuk mendoakan temannya atau saudaranya yang sakit. Sehingga anak-anak itu bukan saja mempunyai pengetahuan tentang Tuhan, diapun mulai membangun hubungan dengan Tuhan. Saya kira pada usia mendasar, inilah yang bisa kita tanamkan pada anak-anak kita.
IR : Juga kita perlu, ya Pak Paul, mengajarkan anak-anak ambil bagian dalam pelayanan?

PG : Pada usia 0-9 tahun kalau misalkan ada yang bisa mereka lakukan silakan, yang kecil yang tampaknya sederhana, misalnya ikut paduan suara anak. Itu akan membuat anak merasa senang bisa mlakukan sesuatu untuk Tuhan yang telah memelihara dan menjaga hidupnya.

GS : Bagaimana pendapat Pak Paul dengan beberapa orang yang mengatakan orang tua membiarkan anak untuk memilih agamanya sendiri?

PG : Sangat tidak setuju, karena anak-anak itu tidak ada yang hidup tanpa arahan. Dalam hal-hal yang lain, orang tua mengarahkan anak, mengkondisikan anak menjadi seperti yang orang tua ingikan.

Mengapa dalam soal iman kepercayaan tiba-tiba kita berkata berikan hak asasi itu kepada anak, tidak. Kita tidak akan mengatakan biar dia sadar sendiri untuk menjadi anak yang adil, menjadi anak yang bisa mendahulukan teman, tidak. Kita akan mengajarkan itu pada anak, kenapa tidak mengajarkan pada anak tentang Tuhannya?
GS : Mungkin ada banyak orang khawatir menjadi repot Pak Paul, untuk menanamkan aspek emosional maupun sosial dan rohani. Karena dari pembicaraan ini kita tahu bahwa itu bukan sesuatu hal yang mudah, tetapi sangat dibutuhkan oleh para orang tua itu bimbingan dari firman Tuhan, nah dalam hal ini apa yang Pak Paul ingin sampaikan.

PG : Saya akan bacakan dari kitab Amsal 27:5 "Lebih baik teguran yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi." Saya mau menggabungkan dua kata di sini, teguran dan kasih. Than mau kita memberikan kasih tanpa sembunyi-sembunyi, limpahkan, nyatakan kasih, tapi Tuhan juga menekankan bahwa teguran yang nyata itu baik, dan bahkan kata Tuhan lebih baik daripada kasih yang kita tidak nyatakan.

Jadi dalam membesarkan anak, dua hal ini tidak bisa terlepas, menegur anak, mengasihi anak dan menegur dengan nyata, mengasihi juga dengan nyata. Itulah firman Tuhan bagi kita sebagai orang tua.
GS : Di tengah-tengah kesibukan orang tua seperti saat ini, banyak yang mengatakan yang penting mutu dalam pertemuan dengan anak walaupun cuma sebentar, tetapi kita tahu seperti James Dobson itu selalu menganjurkan baik mutu ataupun waktunya itu harus cukup. Bagaimana menurut Pak Paul?

PG : Setuju sekali Pak Gunawan, mutu hanya muncul di dalam waktu yang tersedia, tanpa waktu yang tersedia, tidak akan cukup yang akan muncul.

GS : Jadi kalau Tuhan mengaruniakan anak atau anak-anak kepada kita itu memang tanggung jawab yang cukup besar. Pembicaraan ini sangat penting dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami telah memperbincangkan beberapa hal tentang nasihat praktis untuk mengasuh anak usia 0-9 tahun. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



20. Bagaimana Menghadapi Anak yang Cerdik


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T072A (File MP3 T072A)


Abstrak:

Kebanyakan anak-anak yang cerdik adalah anak yang cerdas, akan tetapi hal ini perlu diarahkan, jika tidak diarahkan dapat berkembang menjadi sesuatu yang negatif.


Ringkasan:

Cerdik dan cerdas keduanya memang bisa saling mengisi atau tumpang tindih. Kebanyakan anak-anak yang cerdik adalah anak-anak yang cerdas, cerdas bagi saya adalah tingkat kepandaian. Cerdik menggunakan tingkat kepandaian itu untuk kepentingannya. Jadi anak-anak yang cerdik adalah anak-anak yang bisa memanfaatkan kesempatan, memanipulasi orangtuanya, guna kepentingan pribadinya.

Ciri-ciri anak yang cerdik:

  1. Anak-anak itu mudah sekali meluluhkan hati orangtua atau hati orang lain dengan perbuatan baiknya. Di mana perbuatan baik itu bersifat sementara. Dengan kata lain dia bisa mempertunjukkan suatu perilaku yang dia tahu sangat dirindukan atau diharapkan oleh orang lain guna mendapatkan yang dia inginkan.

  2. Anak-anak ini bisa membaca dengan cepat kelemahan orang dalam hal ini misalnya kelemahan orang tuanya.

  3. Anak-anak ini pandai mengadu domba.

Yang melatarbelakangi anak mempunyai sikap-sikap cerdik adalah:

  1. Yang menjadi dasar utamanya adalah anak-anak ini pandai, jadi secara genetik anak ini memang sudah cerdik. Artinya apa, artinya dia bisa membaca situasi dengan cepat sekali.

  2. Anak yang dibesarkan di rumah yang tidak ada anak lain, dia anak tunggal. Jadi segala perhatian ditumpahkan padanya sehingga yang dia inginkan cenderung dia dapatkan.

  3. Anak ini adalah anak yang disanjung karena di rumah ada 2, 3 anak, dia paling pandai. Karena itulah dia banyak mendapatkan pujian-pujian, pujian-pujian ini membuat dia semakin mudah mendapatkan yang dia inginkan.

Langkah-langkah yang perlu kita lakukan untuk menghadapi anak yang cerdik, yaitu:

  1. Kita tidak mesti harus selalu membuka kedok anak. Yang saya maksud adalah kita bukannya menyuburkan ketidaktulusannya tapi kita mau mengakui bahwa dalam rel yang benar di mana tidak ada kebohongan, cerdik atau banyak akal adalah suatu aset, suatu kelebihan yang dapat digunakan untuk hal yang baik. Misalnya lagi bukankah ketajaman membaca reaksi orang, membaca perasaan orang, itu sesuatu yang sangat berguna dalam pergaulan. Jadi itu adalah aset yang kita tidak ingin hilangkan dari dirinya.

  2. Konsisten, jadi konsisten adalah obat penawar yang sangat ampuh untuk anak-anak cerdik ini. Jadi kalau kita sudah katakan minggu ini tidak beli barang, tidak beli mainan. Kita harus konsisten tidak beli mainan untuk selama 1 minggu ini.

Hal-hal di atas sangat perlu kita lakukan dengan tujuan pertama-tama adalah

  1. Mengajarkan kepada anak bahwa kitalah yang mengatur rumah, kitalah yang mengatur perilakunya, kitalah orang tua dan dia anak. Jangan sampai melupakan atau dilewati, anak senantiasa harus tahu dia anak dan kita orang tua. Dan pada titik terakhir orang tualah yang akan menentukan tindakannya.

  2. Anak-anak perlu belajar mengendalikan dirinya. Artinya dia harus belajar menahan diri, menguasai hasratnya dengan kata lain kita mulai membantunya menumbuhkan disiplin diri.

Amsal 2:20,21, "Sebab itu tempuhlah jalan orang baik dan perliharalah jalan-jalan orang benar, karena orang jujurlah akan mendiami tanah dan orang tak bercelalah yang akan tetap tinggal di situ." Jadi firman Tuhan mau menegaskan satu prinsip ini, orang yang jujur akan bisa bertahan, orang yang tidak jujur tidak bertahan, justru dia akan kehilangan yang menjadi miliknya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang topik bagaimana menghadapi anak yang cerdik. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, ada anak-anak yang memang dikaruniai oleh Tuhan dengan kecerdikan dan itu nampak sejak kecil. Tetapi kadang-kadang juga anak cerdik ini merepotkan orang tuanya. Supaya kita sama-sama mempunyai satu persepsi tentang pengertian cerdik, dalam hal ini apa yang hendak Pak Paul ungkapkan?

PG : Di sini saya membedakan kata cerdik dan cerdas, meskipun keduanya bisa saling mengisi atau tumpang tindih. Kebanyakan anak-anak yang cerdik adalah anak-anak yang cerdas, cerdas bagi say adalah tingkat kepandaian.

Cerdik menggunakan tingkat kepandaian untuk kepentingannya, jadi anak-anak yang cerdik adalah anak-anak yang bisa memanfaatkan kesempatan, memanipulasi orang tuanya untuk kepentingan pribadinya.
(2) GS : Mungkin ada suatu dongeng anak-anak yang mengatakan kancil yang cerdik, yang bisa menggunakan buaya sebagai jembatan, apakah seperti itu yang Pak Paul maksudkan? Ciri-ciri anak yang cerdik itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Yang jelas adalah anak-anak ini mudah sekali meluluhkan hati orang tua atau hati orang lain dengan perbuatan baiknya. Yang perlu kita perhatikan, umumnya perbuatan baik itu adalah perbutan yang bersifat sementara.

Dengan kata lain, dia bisa mempertunjukkan suatu perilaku yang dia tahu sangat dirindukan atau diharapkan oleh orang lain untuk mendapatkan yang dia inginkan. Jadi di sini bukannya dia ingin melakukan hal-hal yang baik untuk orang lain, tapi untuk memenuhi kebutuhannya atau keinginannya.
IR : Itu sifatnya positif atau negatif, Pak Paul?

PG : Saya kira awalnya sesuatu yang natural, tapi kalau tidak kita arahkan bisa berkembang menjadi sesuatu yang negatif, Bu Ida. Jadi benar-benar dia akan menjadi anak-anak yang saya sebut sbagai anak-anak plastik, anak-anak yang hanya menunjukkan perilaku tertentu tapi sebetulnya itu bukanlah dirinya yang sebenarnya.

GS : Mungkin yang negatif sering kali kita sebut licik, sedang yang cerdik ini lebih bersifat positif, Pak Paul. Kalau sifatnya hanya sementara Pak Paul, sebenarnya tujuannya untuk memperoleh apa yang dia inginkan, berarti dia bisa "memperalat" orang tuanya atau orang lain yang lebih dewasa dari dia?

PG : Tepat sekali, jadi mereka ini anak-anak yang bisa membaca dengan cepat kelemahan orang, dalam hal ini misalnya kelemahan orang tuanya. Itu yang dia lakukan, dia memperalat kelemahan orag tua atau orang lain untuk mendapatkan yang dia inginkan.

GS : Contoh konkretnya apa, Pak Paul?

PG : Misalnya ibunya tidak tahan dengan tangisannya, jadi kalau dia sudah mulai merengek-rengek ibunya pasti tidak tahan. Yang dia akan lakukan adalah merengek dan dia tahu dia akan dengan sgera mendapatkan yang dia inginkan.

Atau dia tahu ayahnya tidak tega dengan dirinya, ayahnya sangat mencintainya, jadi ayahnya tidak akan tahan kalau dituduh bahwa ayahnya tidak mengasihinya. Yang dia akan lakukan adalah menuduh ayahnya, "ayah tidak lagi sayang kepadaku". Begitu mendengar kata-kata ayah tidak sayang lagi kepadaku, si ayah langsung panik dan terpaksa melakukan apa yang diinginkan oleh si anak.
IR : Apa ada ciri-ciri lain, Pak Paul?

PG : Yang lainnya adalah anak-anak ini pandai mengadu domba, misalkan si ayah berkata: "tidak boleh", si anak akan lari kepada mamanya dan meminta hal yang sama, begitu mamanya berkata "ya bleh".

Nah, dia datang kembali kepada ayahnya dan berkata: "Mama sudah bilang boleh". Dengan kata lain anak ini memang cerdik sekali, dia tahu bagaimana mendapatkan yang dia inginkan, salah satu metodenya adalah mengadu domba. Dia bisa melakukan bukan saja kepada orang tuanya, tapi juga kepada kakak adiknya, dia bisa berkata: "pinjamkan barangmu!", "tidak boleh", "kakakmu sudah berikan kok..!", o...ya....?", "Ho'..oh! Boleh tidak?", "Ya kalau kakak sudah beri, ya boleh." Padahal mungkin sekali kakak yang satunya belum memberikan izin. Kemudian dia akan datang kepada kakak yang satunya dan berkata: "adik sudah berikan, boleh tidak saya pinjam?" o...ya jadi boleh. Nah jadi memang dia bisa mengadu domba, bahkan di kalangan teman. Jadi trik-trik seperti ini seolah-olah ada secara natural di dalam dirinya, yang sering kali mengherankan orang tua, sebab orang tua sendiri tidak pernah mengajarkan trik-trik seperti itu.
IR : Itu bisa terjadi sejak usia mulai kecil, ya Pak Paul?

PG : Betul sekali, Bu Ida, jadi ada anak-anak yang mulai bisa memanipulasi orang lain atau orang tuanya, sejak usia sekitar 2 ½ atau 3 tahun, jadi sedini itu.

GS : Kalau katakan cara-cara yang dia gunakan masih halus kelihatannya ya Pak Paul, tidak membuahkan hasil, apa kira-kira yang dilakukan oleh si anak?

PG : Dia akan menggunakan metode mengancam, Pak Gunawan, jadi dia akan berkata: "kalau tidak dibelikan saya akan mogok makan." Nah dia tahu mogok makan itu akan sangat menakutkan orang tuany, dia tahu orang tuanya akan membujuk-bujuk dia supaya dia makan dan dia akan terus marah dan berkata: "tidak, sampai saya mendapatkan barang itu, saya tidak akan makan dulu."

Atau yang lainnya lagi misalnya, dia akan mengancam besok tidak mau sekolah, nah orang tua jadi terpaksa membelikan barang atau menuruti kehendaknya, karena orang tua tahu besok kalau dia di rumah menangis-nangis tidak mau ke sekolah, ramai di rumah sebelum ke sekolah. Jadi orang tua akhirnya terpaksa menuruti kehendaknya. Sering kali kalau dia merasakan tidak lagi mempunyai hasil, dia akan mengancam.
IR : Dan sikap itu bisa dimanfaatkan untuk orang lain juga, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Ibu Ida, jadi bukan saja dia bisa mengancam orang tuanya, dia mulai bisa mengancam temannya, supaya dia mendapatkan yang dia inginkan.

GS : Apakah ancaman itu selalu dalam bentuk kata-kata, Pak Paul? Dia ungkapkan atau hanya tingkah lakunya atau bagaimana?

PG : Sering kali memang dalam bentuk ucapan, jadi dia akan berbuat ini, berbuat itu. Tapi waktu tidak dituruti kehendaknya, dia melaksanakan misalkan dia mengancam dia tidak makan, ya dia tiak makan.

Tapi saya percaya kalau misalkan dia tidak makan untuk 2, 3 hari dia pasti akan makan juga. Saya menduga paling dia hanya mogok tidak makan dan dia berhasil tidak makan ya mungkin dia kehilangan 2 makan pagi dan siang, malamnya dia akan makan. Atau kalau tidak sekolah ya benar-benar dia akan menangis, dia akan berontak tidak mau ke sekolah begitu.
GS : Sebenarnya apa yang melatarbelakangi anak sampai melakukan sikap-sikap seperti itu?

PG : Yang menjadi dasar utamanya adalah anak-anak ini memang pandai, jadi secara genetik anak ini memang sudah cerdik. Artinya apa? Artinya dia bisa membaca situasi dengan cepat sekali. Ada nak-anak yang tidak bisa membaca dengan begitu cepatnya, tapi anak-anak yang cerdik ini mudah sekali membaca perasaan orang, reaksi orang, dia bisa melihat keragu-raguan orang dalam melarang dia.

Nah, anak-anak yang lain mungkin tidak bisa membedakan tapi dia bisa, dia tahu orang tuanya sepenuh hati melarang dia atau ¾ hati atau ¼ hati, dia bisa membedakan semuanya. Dia tahu kapan orang tuanya melarang dia dengan ½ hati, waktu dia mendengar ½ hati dia akan masuk untuk mengubah yang ½ nya lagi, misalnya. Jadi memang mudah sekali, peka sekali dengan reaksi orang dan dia benar-benar bisa memanfaatkan itu.
GS : Bagaimana sikapnya seandainya anak itu mempunyai adik atau teman lain yang kelihatannya tidak terlalu cerdik seperti dia, dalam teman bermain sering kali seperti itu, Pak Paul?

PG : Jadi kecenderungannya, Pak Gunawan, anak-anak ini memanfaatkan anak-anak lain yang lebih lemah, lebih muda atau lebih bergantung kepadanya atau yang tidak sepandai dia. Kecenderungannyaakhirnya bisa memanfaatkan orang lain, dia bisa menyuruh-nyuruh orang untuk melakukan yang dia minta atau memberikan yang dia inginkan.

Nah, dalam tindakan yang lebih ekstrimnya, dia bisa membujuk anak-anak lain yang lebih muda atau yang lebih bodoh darinya untuk melakukan atau memberikan yang dia minta dan anak-anak lain itu seperti terpedaya sekali dengan dia, langsung saja memberikan dan mengikuti kehendaknya, karena begitu pandainya dia membujuk anak-anak lain itu. Jadi misalnya contoh yang bisa terjadi temannya datang membawa satu bolpoint yang baru, dia bisa membujuk temannya itu. Nah ini akan membuat orang bingung, kok bisa anak itu membawa bolpoint baru dengan bolpoint bekas, seperti itu.
(3) IR : Kira-kira apa sebabnya anak menjadi cerdik itu, Pak Paul?

PG : Saya kira yang memang lebih melatarbelakangi adalah kepekaan secara genetik, kepandaian yang memang dia bawa sejak lahir. Jadi memang sudah mempunyai akal yang banyak karena pandai dan udah membaca situasi, begitu tajam melihat reaksi orang dan membedakan reaksi orang.

Itu saya kira tidak perlu diajarkan, jadi tidak pasti ada masalah di rumah sehingga anak ini menjadi cerdik, seperti itu.
IR : Atau terkait juga dengan sifat yang ingin mendapatkan sesuatu, Pak Paul?

PG : Nah itu biasanya tambahan jadinya, Bu Ida, jadi saya kira penyebab pertamanya memang sudah ada bakat atau bawaan yang dibawa sejak lahir, kepandaian dan kecerdikannya. Biasanya di rumah dia akan mendapatkan masukan-masukan yang makin menyuburkan perilakunya itu, kenapa? Sebab pada umumnya orang tua senang dengan anak yang cerdik, jadi meskipun ada nada marah orang tua akan berkata: "Aduh ini anak pintar benar bisa membohongi Mama."

Bukankah ini suatu kata-kata yang penuh dengan kontradiksi, ada tegurannya karena membohongi Mama tapi sekaligus ada nada bangga bisa berhasil membohongi Mama. Jadi dengan kata lain anak-anak ini memang menerima banyak tanggapan positif terhadap kecerdikannya itu. Yang kedua misalkan anak ini dibesarkan di rumah yang tidak ada anak lain, dia anak tunggal. Jadi segala perhatian ditumpahkan padanya sehingga yang dia inginkan cenderung dia dapatkan. Nah lama-lama dia mulai mempelajari cara-cara mendapatkannya. Sebab mudah sekali tidak perlu berusaha keras, langsung bisa mendapatkannya sebab dia anak tunggal. Atau yang ketiga dan cukup umum adalah anak ini adalah anak yang disanjung karena di rumah ada 2, 3 anak tetapi dia yang paling pandai. Karena itulah dia banyak mendapatkan pujian-pujian. Pujian-pujian ini membuat dia semakin mudah mendapatkan yang dia inginkan. Atau yang klasik adalah orang tua yang bermasalah, sehingga orang tua yang bermasalah itu tidak tahu bagaimana mendidik anak dengan tepat atau tidak mempunyai waktu untuk mendidik anak. Jadi memberikan saja dengan mudah apa yang diinginkan oleh anak.
(4) GS : Ya sebenarnya punya anak cerdik itu juga merepotkan orang tua, Pak Paul, kalau melihat seperti tadi, maka kira-kira langkah-langkah apa yang bisa ditempuh oleh orang tua menghadapi anak yang cerdik seperti itu?

PG : Ada beberapa langkah yang perlu kita lakukan, yang pertama adalah kita tidak harus selalu membuka kedok anak. Nah mungkin ini pernyataan yang sedikit membingungkan, bukankah anak-anak ii mempunyai bakat untuk tidak tulus, jadi reaksi kita sebagai orang tua bukanlah seharusnya membuka kedok supaya kita bisa lebih jujur atau tulus.

Yang saya maksud di sini adalah kita bukan menyuburkan ketidaktulusannya tapi kita mau mengakui bahwa dalam rel yang benar di mana tidak ada kebohongan. Cerdik atau banyak akal adalah suatu asset, suatu kelebihan yang dapat digunakan untuk hal yang baik. Jadi kekreatifan seorang anak atau memikirkan solusi waktu menghadapi tembok itu sesuatu yang baik. Tidak selalu negatif, jadi relnya saja yang kita harus perhatikan. Atau yang lainnya lagi anak-anak mempunyai banyak akal, memang sangat-sangat berguna dalam pergaulannya. Misalnya dia menolong teman yang dalam menghadapi problem, sangat berguna sekali akal-akal yang dia miliki. Nah jadi anak-anak ini bisa memberikan bantuan kepada teman yang mengalami problem. Yang lainnya lagi, bukankah ketajaman membaca reaksi orang, membaca perasaan orang, itu sesuatu yang sangat berguna dalam pergaulan. Jadi itu juga adalah asset yang kita tidak ingin hilangkan dari dirinya, dengan perkataan lain waktu mulai berbohong, waktu mulai melewati batas kita perlu menegur, kita perlu munculkan. Tapi tidak selalu waktu dia mulai cerdik-cerdik kita memarahinya, menghukumnya karena saya kira itu hanya akan menghilangkan semua asset yang sebetulnya berguna bagi dia pula.
GS : Di dalam hal ini Pak Paul, tadi Pak Paul katakan kadang-kadang si ibu itu mengatakan sesuatu yang bertentangan, pintar anak bisa membohongi ibu, nah itu sesuatu yang bertentangan, yang bisa membingungkan anak. Nah sebenarnya bagaimana sikap orang tua menghadapi anak cerdik ini?

PG : Yang paling penting adalah konsisten. Jadi kalau Papa sudah mengatakan tidak boleh, Mama harus mendukung Papa, tidak boleh. Kalau Papa berkata tidak boleh, Mama berkata boleh si anak lagsung tahu o....

ini dia duduk masalahnya, mereka tidak sepakat si anak akan terus menggunakan celah itu. Jadi konsisten adalah obat penawar yang sangat ampuh untuk anak-anak seperti ini. Jadi kalau kita sudah katakan minggu ini tidak membeli barang, tidak membeli mainan. Kita harus konsisten tidak membeli mainan untuk selama 1 minggu ini.
IR : Juga kalau anak menunjukkan reaksi, misalnya mogok makan dan sebagainya, si orang tua tidak perlu takut ya Pak Paul?

PG : Betul, sering kali kita menjadi panik karena anak tidak mau makan. Biarkan dia tidak makan sekali, dua kali misalkan sampai malam dia tidak mau makan juga, orang tua harus mengambil tinakan yang lebih tegas.

Misalnya memarahi dia dan kalau perlu kita memukul dan kita tahu kita memukul hanya di pantat anak, kita marahi, kita tegur dia dengan suara yang mantap, dengan suara yang tegas dan melihat matanya. Setelah itu kita katakan, "makan", tujuannya apa? Tujuannya adalah mulai memberitahu kepada si anak bahwa engkau tidak selalu bisa memperoleh yang engkau inginkan, ada waktu-waktu engkau harus melakukan sesuatu yang tidak engkau inginkan dalam hal ini engkau harus makan. Mungkin dia tidak makan juga malam itu, dia menangis dan sebagainya. Tapi karena malam itu dia tidak makan, dia dimarahi dan dipukul, besok kalau dia tidak makan dia akan menerima perlakuan yang sama dari kita. Kita akan memarahi dan memukul dia, dengan perkataan lain kalau besok pagi dia tidak makan dia akan berpikir dua kali karena dia sudah mendapatkan perlakuan kita yang tegas di malam sebelumnya. Jadi di sini diperlukan tindakan-tindakan yang bisa juga mematahkan kemauannya yang keras itu bahwa sampai titik tertentu dia harus melakukan yang kita inginkan. Jangan sampai orang tua dalam hal seperti ini 'kehilangan gigi' dan benar-benar menunjukkan kehilangan giginya, tidak tahu lagi harus berbuat apa dengan kamu, itu perkataan yang kurang bijaksana dilontarkan di hadapan anak. Anak benar-benar akan bersukacita mendengar orang tua berkata: "tidak tahu lagi bagaimana menghadapi kamu". Ya untuk lain kali, dia benar-benar akan terus menerus memanfaatkan orang tuanya.
GS : Cuma kadang-kadang orang tua berada dalam posisi yang sulit Pak Paul, sehingga sering kali yang dia ungkapkan adalah "OK-lah tapi sekali ini saja, lain kali tidak", nah itu apakah menunjukkan hal yang tidak konsisten?

PG : Saya kira bisa ya, bisa tidak. Jadi saya tidak mau terlalu kaku juga kalau orang tua bisa konsisten dan berkata: "Kali ini saja, lain kali Mama tidak akan memberikan hal ini". Nah lain alinya benar-benar tidak boleh, tidak apa-apa.

Tapi kalau lain kali masih ada lain kali lagi, nah itu bahaya tidak akan ada habisnya.
GS : Sebenarnya kita mengasihi anak-anak ini, apa sebenarnya yang hendak kita ajarkan pada anak ini, Pak Paul, melalui hal-hal seperti itu?

PG : Pertama-tama kita ingin mengajarkan bahwa kitalah yang mengatur rumah, kitalah yang mengatur perilakunya, kitalah orang tua dan dia anak. Itu jangan sampai dilupakan atau dilewati, anaksenantiasa harus tahu dia anak dan kita orang tua.

Dan pada titik terakhir orang tualah yang akan menentukan tindakannya. Yang kedua adalah anak-anak ini perlu belajar mengendalikan dirinya. Anak-anak yang cerdik ibarat kereta api yang berjalan dengan cepat, kalau tidak ada yang menghalangi kereta akan terus berjalan, dia akan menjadi seorang anak yang tak tertahankan, di mana keinginannya tidak boleh dihalangi oleh siapapun, ini yang berbahaya. Jadi dengan tindakan-tindakan yang tegas dan konsisten anak yang cerdik itu tahu, bahwa dia tidak selalu mendapatkan yang dia inginkan. Artinya dia harus belajar menahan diri, menguasai hasratnya, dengan perkataan lain, kita mulai membantunya menumbuhkan disiplin diri. Sebab yang namanya disiplin sesungguhnya adalah kemampuan menguasai hasrat pribadi, ini yang sedang kita lakukan terhadapnya.
(5) GS : Bagaimana dengan pembentukan anak itu sendiri?

PG : Lepas dari yang saya katakan tapi saya sudah singgung, awalnya anak-anak ini mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan kecerdikan menjadi ketidaktulusan. Yang kita akan bentuk adalah ecenderungan untuk menjadi tidak tulus, kecerdikan kita ketahui sebagai hal yang bermanfaat, tapi kalau sudah tidak tulus itu sudah melewati batas, sehingga ini yang kita perlu perhatikan.

Kalau dia mulai berbohong, memutarbalikkan perkataan seseorang atau merugikan orang dengan bujukannya, di sini kita mulai mencium ketidaktulusan. Di sini orang tua harus memberikan teguran, kalau perlu memarahinya. Kalau perlu misalkan dalam contoh bolpoint tadi, mengembalikan bolpoint itu kepada temannya. Jadi kita harus mendidik dia untuk tidak merugikan orang lain dengan kecerdikannya itu. Misalnya dia mulai berbohong kepada gurunya dan sebagainya, dengan kata-kata yang pandai itu besok kita bawa dia ke sekolah dan minta dia mengatakan hal yang sebenarnya kepada gurunya. Tindakan seperti itu mengajar dia agar lain kali tidak menggunakan kecerdikan untuk hal-hal yang tidak tulus.
GS : Mungkin dari situ anak harus belajar, kecerdikannya itu juga bisa merugikan temannya dan dirinya sendiri, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, tepat sekali jadi kita bisa beritahu dia bahwa "ketika engkau merugikan temanmu, dia tidak mau lagi berteman denganmu, sebab dia akan melihat engkau sebagai orang yang jaht.

Engkau memang mendapatkan apa yang engkau inginkan, tapi engkau akan kehilangan lebih banyak hal, orang tidak akan percaya lagi kepadamu. Apa yang engkau katakan selalu akan dicurigai, diragukan, apa kau senang? Kalau tidak mau jangan berbohong lagi." Jadi hal-hal ini bisa kita terus ajarkan kepada si anak.
GS : Nah, Pak Paul, kecerdikan itu juga merupakan suatu dari Tuhan ya? Tuhan yang memberikan dia kecerdikan. Tentunya Tuhan juga memberikan kepada kita khususnya orang tua itu pedoman melalui firmanNya, dalam hal ini apa yang firman Tuhan katakan?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 2:20-21, "Sebab itu tempuhlah jalan orang baik dan peliharalah jalan-jalan orang benar, karena orang jujurlah akan mendiami tanah dan orang takbercelalah yang akan tetap tinggal di situ."

Jadi firman Tuhan mau menegaskan satu prinsip, orang yang jujur akan bisa bertahan, orang yang tidak jujur tidak bertahan, justru dia akan kehilangan yang menjadi miliknya, nah ini yang kita tegaskan kepada si anak. Meskipun orang tidak tahu mula-mulanya, Tuhan tahu dan Tuhan akan menghukum orang yang tidak jujur, bahkan yang dia miliki akan menjadi terhilang darinya. Tapi orang yang jujur dia akan terus mempunyai yang memang merupakan bagiannya.
GS : Memang setiap orang tua pasti akan menanamkan kejujuran berdasarkan firman Tuhan kepada anak-anak, tapi khusus untuk anak-anak yang cerdik seperti ini harus diberikan tambahan pelajaran contoh yang konkret begitu?

PG : Tepat sekali, tepat sekali, jadi nomor satu orang tuanya sendiri harus memberi teladan bagaimana orang tua juga tulus, orang tua juga tidak mengarang-ngarang untuk menakut-nakuti anak, itam ya hitam, putih ya putih, boleh ya boleh, tidak boleh ya tidak boleh.

Orang tua juga tidak terlalu banyak menakut-nakuti atau memberi kisah-kisah yang tidak betul, nah ini membuat anak belajar bahwa orang tua itu tulus, dan dia akan lebih bisa menerapkan kejujuran itu dalam hidupnya.
GS : Kita pasti bersyukur mempunyai anak yang cerdik, tetapi kita juga mohon pimpinan Tuhan tentang bagaimana membesarkan anak-anak ini dalam ketulusan dan kejujuran.

Dan demikianlah tadi saudara-saudara pendengar, Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang menghadapi anak yang cerdik, bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio, kami sampaikan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



21. Mengajar Anak Menggunakan Uang


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T072B (File MP3 T072B)


Abstrak:

Sebagai orangtua sangat perlu untuk mengajarkan anak menggunakan uang secara tepat guna dan sesuai dengan firman Tuhan.


Ringkasan:

Cinta akan uang bisa muncul dari dua situasi yang bertolak belakang, yaitu:

  1. Kita dibesarkan di rumah di mana uang terlalu berlimpah, sehingga kita bisa menikmati hidup dengan mudahnya. Oleh karena itu kita menjadi terbiasa dengan keberadaan uang di kantong kita, tanpa disadari terbentuklah hubungan cinta antara kita dan uang itu.

  2. Hidup yang sangat sulit. Di mana susah sekali membeli kenikmatan hidup karena tidak tersedianya uang.

Dua kondisi ini sama-sama berbahaya, sebab Tuhan berkata: "Ini adalah akar, akar dari segala kejahatan."

Hal yang dapat dilakukan orangtua untuk mengajarkan anak menggunakan uang:

  1. Konsep uang jajan, ini akan menolong anak belajar mengatur uang. Anak hanya bisa mengatur uang karena dia memegang uang, tanpa uang ditangannya tidak ada yang harus diatur. Uang saku kita bisa mulai berikan pada waktu anak-anak itu kelas 0 (nol), jadi uang saku untuk membeli sesuatu yang memang dia inginkan atau perlukan pada jam sekolah itu. Setelah mulai misalnya usia 11, 12 tahun kita bisa mulai lebihkan uang, supaya dia bisa mulai nantinya menggunakan uang untuk keperluan yang lain.

  2. Mengajarkan prinsip pemakaian uang yakni membedakan antara yang perlu dan yang tidak perlu. Membedakan antara yang menyenangkan hati dan membedakan antara yang sedang model atau yang benar-benar dia butuhkan. Tapi yang penting adalah kita mengajarkan:

    1. Mengutamakan membeli barang yang dibutuhkan.

    2. Kemudian membeli barang yang ia sukai.

    3. Barulah kalau ada uang sisa dia bisa membeli barang yang memang sedang model.

Amsal 3:9-10, "Muliakanlah Tuhan dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu. Maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya."

Yang Tuhan katakan di sini yang pertama adalah bahwa harta itu tidak harus bersikap negatif atau salah. Jadi kita mesti mempunyai pengajaran yang berimbang, jangan akhirnya menekankan kepada anak uang itu kotor, hitam dari setan, tidak. Harta adalah sesuatu yang memang sebetulnya bisa digunakan untuk yang baik. Artinya kita bisa memuliakan Tuhan, membuat nama Tuhan menjadi dipuji oleh karena harta yang kita miliki atau kita berikan itu. Dan dikatakan juga dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu. Supaya kita ini mengakui bahwa semua itu berasal dari Tuhan tetap hak milik Tuhan, Tuhanlah yang harus menikmatinya bukan kita.

Tuhan berkata : "Lumbung-lumbungmu akan terisi penuh sampai melimpah-limpah dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya." Artinya kalau kita bisa memberikan kepada Tuhan, Tuhan akan memberikannya kepada kita. Kalau tangan kita terlalu erat menggenggam tidak akan banyak yang Tuhan bisa taruh di tangan kita. Tapi kalau tangan kita bisa dengan elastis membuka genggaman tangan itu maka akan lebih banyak yang Tuhan letakkan pada tangan kita. Prinsip ini yang terus akan kita ajarkan kepada anak-anak sehingga mereka tidak mempunyai pandangan yang negatif tentang harta tapi mempunyai pandangan yang positif, dia bisa kembalikan kepada Tuhan dan dengan itu dia memuliakan Tuhan dan Tuhan memberkati dia.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang topik bagaimana "Mengajar Anak Menggunakan Uang". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kita sebagai orang dewasa tahu bahwa mencari uang itu sulit. Tetapi menggunakan uang pun bukan sesuatu hal yang mudah, nah karenanya kita sebagai orang yang sudah lebih dewasa tentu ingin mengajarkan, mempersiapkan anak-anak ini supaya mereka bisa menggunakan uang yang mereka miliki secara tepat guna. Tetapi masalahnya kita sebagai orang tua juga tidak pernah menerima pendidikan untuk itu Pak Paul. Nah melalui acara TELAGA ini Pak Paul mungkin bisa memberikan saran-saran tentang bagaimana orang tua mengajarkan kepada anaknya di dalam menggunakan uang yang dipercayakan kepadanya.

PG : Sebelum kita masuk ke saran-saran praktisnya Pak Gunawan, saya ingin membawa kita semua kembali kepada firman Tuhan. Kalau kita teliti dalam firman Tuhan ada satu tema yang mengalir denan sangat kuat terutama di Perjanjian Baru yaitu tentang uang.

Dan bahkan kita tahu Tuhan pernah berkata: "Engkau tak bisa melayani Tuhan dan Mamon." Nah Mamon itu adalah representasi atau perlambangan dari uang, dengan kata lain ada satu hal yang Tuhan setarakan dengan diri-Nya dalam pengertian begitu mengancam manusia, begitu berpengaruh terhadap manusia selain Tuhan yakni uang. Jadi kalau kita menyadari bahwa Alkitab sendiri memberi begitu banyak peringatan tentang harta dan tentang uang, nah saya kira sudah pada tempatnyalah kita sebagai orang tua juga memperhatikan aspek ini. Nah saya perhatikan ini adalah aspek kehidupan atau aspek dalam mendidik anak yang cukup sering terabaikan, nah sedangkan sekarang kita baru disadarkan bahwa ini adalah hal yang sangat penting sekali. Jadi Tuhan tahu bahwa hal ini hal yang justru bisa mengerosi iman seseorang. Kalau kita ingat perumpamaan penabur benih yang tercatat di Injil Lukas, nah benih yang jatuh di tanah yang mempunyai banyak semak duri diibaratkan dengan orang yang sudah mulai bertumbuh dalam Tuhan tapi akhirnya tidak bisa bertumbuh dan berbuah dengan lebat, karena apa? Himpitan-himpitan apa yang dikatakan di Alkitab, kekhawatiran, kenikmatan dan juga kekayaan. Jadi dengan kata lain sekali lagi di situ ditekankan meskipun digunakan tiga istilah sebetulnya apa yang sering kali mengawatirkan kita, apa itu yang namanya kenikmatan dunia, bukankah itu semuanya berkaitan dengan uang. Jadi sekali lagi yang akan bisa menghambat pertumbuhan rohani kita juga adalah uang, jadi sudah pada tempatnyalah kita sekarang sebagai anak-anak Tuhan memberi perhatian yang lebih besar terhadap uang dalam rumah kita. Bagaimana kita bisa mengajar anak-anak kita bersikap terhadap uang dan memakai uang dengan lebih bijaksana.
(2) GS : Lagi pula saya tiba-tiba teringat akan firman Tuhan yang mengatakan bahwa akar segala kejahatan itu cinta akan uang, padahal kita juga membutuhkan uang itu tapi tidak boleh cinta, nah ini sesuatu yang mungkin Pak Paul perlu jelaskan?

PG : Dan cinta akan uang itu Pak Gunawan, bisa muncul dari dua situasi yang bertolak belakang. Yang pertama adalah kita dibesarkan di rumah di mana uang terlalu berlimpah sehingga kita bisa enikmati hidup dengan mudah karena tersedia banyak uang.

Oleh karena itu kita menjadi terbiasa dengan keberadaan uang di kantong kita, nah tanpa disadari terbentuklah hubungan cinta antara kita dan uang itu. Namun ada situasi yang lain yang juga bisa menelorkan perilaku yang sama atau kecintaan terhadap uang yaitu hidup yang sangat sulit. Di mana susah sekali membeli kenikmatan hidup karena tidak tersedianya uang, nah dua kondisi ini sama-sama berpotensi menumbuhkan cinta akan uang yang berlebihan. Nah ini yang sangat berbahaya, sebab Tuhan berkata: "ini adalah akar, akar dari segala yang jahat."
(3) IR : Bagaimana sebaiknya Pak Paul, cara mengatur untuk memberikan uang jajan kepada anak-anak itu?

PG : Jadi anak-anak itu Bu Ida, tidak lepas dari uang jajan, biasanya pada masa-masa kecil kita ini mulai memperkenalkan uang pada anak dalam bentuk uang jajan. Sebelumnya uang itu dipegang leh kita, dan barang-barang yang dia butuhkan kita yang membelikannya.

Pada waktu anak-anak sudah berusia misalnya 6 tahun dan sebagainya mulailah kita memberikan dia uang jajan. Nah saya sangat setuju dengan konsep uang jajan, karena apa? Konsep uang jajan menolong anak belajar mengatur uang, nah ini aspek pertama yang kita harus ajarkan kepada anak. Yakni bagaimana mengatur uang, nah anak hanya bisa mengatur uang karena dia memegang uang, tanpa uang di tangannya tidak ada yang harus diatur. Jadi orang tua yang tidak memberi uang jajan sama sekali dan punya uang saya kira itu bukan tindakan yang tepat, karena tidak mendidik anak mengatur uang. Bagaimanakah kita mendidik anak mengatur uang melalui uang jajan ini. Pada masa anak-anak kecil, misalkan yang di bawah umur 8 tahun, kita memberikan uang jajan itu sehari demi hari, mungkin kita bisa terapkan ini sampai SD, sampai kelas 6 SD hari lepas hari. Dan kita berikan uang jajan pas untuk yang dia ingin beli, nah anak-anak akan secara alamiah memberitahukan kita, tadi mau beli ini, kita bawa jalan keluar sekolah dia akan berhenti di tempat ini, di tempat itu dengan berkata: "Ma.. beli ini", "Ma..beli itu", nah kita mulai tahu kira-kira apa yang dia ingin beli setiap hari misalkan gambar tempel atau apa. Nah kita perkirakan kira-kira berapa uang yang dia butuhkan atau misalkan kita mau dia membeli makanan di kantin sekolah, kita juga perhitungkan secara pas berapa uang yang dia butuhkan membeli makanan itu, itu yang kita berikan kepada dia. Jadi uang yang sangat pas sehingga dia tidak usah berpikir lagi bagaimana dia mengatur uangnya, dia hanya tahu beli ini, beli itu, itu tahap pertama dalam pengaturan uang. Waktu anak-anak sudah SMP saya sarankan, sudah waktunya anak-anak diberikan uang yang lebih banyak. Misalkan kita berikan dia uang jajan untuk selama 3 hari dan dia mulai mengaturnya pula, misalkan dia beli barang makanan atau apa, kita sudah perhitungkan juga dan kita lebihkan sedikit untuk yang dia ingin beli. Nah di situ dia mulai bisa juga belajar mengatur uangnya. Nah pada waktu anak-anak SMA kita bisa berikan dia uang jajan untuk 1 minggu berarti ini termasuk uang dia pergi dengan temannya pada hari Sabtu atau hari Minggu. Itu tidak lagi kita berikan satu kali, kita berikan dia 1 minggu, dan dia harus belajar mengatur uang untuk keperluannya, dia tidak bisa lagi meminta dari kita, karena itu adalah alokasi dana yang kita berikan kepadanya.
(4) IR : Pada usia berapa Pak Paul anak diberi uang saku itu?

PG : Saya kira uang saku itu kita bisa mulai berikan pada waktu anak-anak itu kelas 0 (nol), jadi uang saku untuk membeli sesuatu yang memang dia inginkan atau perlukan pada jam sekolah. Dantidak ada sisanya sama sekali, pada masa-masa taman kanak-kanak itu.

Setelah dia mulai misalnya usia 11, 12 tahun kita bisa mulai lebihkan uang itu, supaya dia bisa mulai nantinya menggunakan uang itu untuk keperluan yang lain.
GS : Sering kali anak bertanya Pak Paul, "saya mau beli ini boleh tidak, beli ini boleh tidak?" pada tahap-tahap awal kita memang bisa mengerti tetapi kalau dia makin dewasa masih terus tanya seperti itu, itu agak mengganggu sifatnya Pak Paul. Nah yang kita mau ajarkan kepada anak tentunya adalah prinsipnya, supaya dia mempunyai semacam pedoman di dalam menggunakan uang itu. Nah prinsip apa Pak Paul sebetulnya yang bisa kita ajarkan kepada anak-anak ini?

PG : Kita bisa mengajarkan prinsip pemakaian uang yakni membedakan antara yang perlu dan yang tidak perlu. Membedakan antara yang menyenangkan hati dan membedakan antara yang sedang model atu yang benar-benar dia butuhkan.

Jadi adakalanya anak membeli sesuatu bukan karena dia perlukan, tapi menyenangkan hatinya, dia suka. Atau adakalanya dia beli karena barang itu sedang model, teman-temannya membelinya jadi dia juga mau membelinya. Nah saya tidak berkata kita hanya belikan barang yang dia butuhkan tidak. Sebab kita harus mengakui hidup itu tidaklah sesederhana itu, kita pun kadang-kadang membeli barang yang kita sukai dan tidak terlalu perlu. Tapi yang penting adalah kita mulai mengajar dia melihat berapa uang yang dia punya, kalau uang itu jumlahnya misalnya hanya sekian dan dia hanya bisa membeli barang yang dibutuhkan, itu yang harus dia utamakan. Tingkatan kedua adalah setelah barang yang ia sukai. Terakhir yang ketiga barulah kalau masih ada uang sisa dia bisa membeli barang yang memang sedang model, dengan kata lain memang itu yang dimiliki oleh teman-temannya dan dia ingin sama seperti teman-temannya. Nah urutan ini jangan terbalik-balik, ada kecenderungan anak-anak kalau tidak kita ajarkan hal seperti ini begitu ada uang dia akan buru-buru membeli barang yang menjadi model. Nah sedangkan dia sendiri tidak suka barang itu tapi sudah model, nah kita ajarkan "tidak, kalau engkau masih punya uang estra setelah engkau membeli yang engkau butuhkan engkau harus utamakan yang engkau sukai. Engkau sukai tidak? Memang ini sesuai seleramu tidak? Menyenangkan hatimu tidak?" Kalau dia bilang: "Sebetulnya tidak, cuma teman-teman pada pakai", nah kita katakan: "Belilah barang yang engkau sukai." Nah terakhir kalau engkau tidak punya uang lagi ya sudah jangan beli tapi masih ada sisa uang barulah engkau sisakan itu uang untuk membeli barang yang sedang model, yang sedang trend. Saya kira prinsip ini perlu kita ajarkan kepada anak-anak sehingga nanti setelah dia dewasa, dia mulai berpikir seperti itu pula. Waktu ada sejumlah uang dia harus prioritaskan mengeluarkan uang itu untuk yang dia butuhkan dulu, baru setelah itu yang ia sukai dan terakhir baru yang sedang model.
IR : Pak Paul, apakah orang tua juga harus memberikan teladan?

PG : Saya kira itu penting sekali, itu point yang bagus sekali Bu Ida, jadi kalau kita mengajar kan itu kepada anak, tapi tidak melakukannya ya percuma. Dia akan berkata papa atau mama kok jga membeli barang ini mentang-mentang lagi modelnya.

Misalnya contoh yang gampang kita tahu sekarang televisi itu keluar model-model yang baru-baru apalagi sekarang itu yang flat tron ya yang rata, nah televisi kita masih bagus kita baru beli misalnya 2 tahun yang lalu tapi tidak flat namun bagus sekali suaranya seperti home teader dan sebagainya, tapi gara-gara keluar yang flat tron kita langsung membelinya. Nah saya tidak melarang orang membeli barang yang sedang model tapi kalau begitu keluar kita langsung menyambar saya kira kita mengajarkan kepada anak, model itu terlalu penting buat kita. Nah ada baiknya kalau misalnya kita punya uang dan memang kualitasnya bagus kita tetap perlu menunggu sehingga anak-anak sudah melihat: "Pa, ini ada yang baru, Pa, Ma, televisinya ada yang baru flat tron" dan sebagainya, kita tidak langsung membelinya. Nah jedah ini atau jarak waktu ini mengajarkan kepada anak bahwa orang tua tidak langsung membelinya. Nah jedah ini atau jarak waktu ini mengajarkan kepada anak bahwa orang tua tidak langsung membeli gara-gara modelnya itu yang sedang trend.
IR : Saya pernah menemukan satu keluarga Pak Paul, orang ini mampu, mempunyai uang sehingga anaknya ini sering menuntut, dia bisa beli apa saja toh orang tuanya ada uang. Tapi orang tuanya selalu mengajarkan bahwa uang yang dimiliki itu adalah uang milik Tuhan, sehingga setiap pengeluaran uang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, jadi hanya membeli apa yang perlu dan tahapan seperti tadi itu yang diajarkan. Tapi dia selalu mengembalikan bahwa uang itu bukan milik orang tuanya tapi milik Tuhan jadi akhirnya juga tidak memaksa.

PG : Itu bagus, jadi dari kecil si anak diajarkan bahwa kita adalah juru kunci yang Tuhan percayakan, jadi jangan sampai kita sembarangan dengan kepercayaan yang Tuhan telah berikan kepada kta.

Itu bagus sekali Bu Ida.
GS : Kembali ke uang saku Pak Paul, itu biasanya anak tetap punya tabungan, entah pada hari ulang tahun diberi oleh orang tua atau neneknya dan sebagainya. Nah apakah mereka itu boleh menggunakan uang tabungannya itu menurut apa yang dia inginkan?

PG : Tetap kita harus memantau, jadi tidak bisa pada anak-anak yang terutama masih remaja, kita izinkan mebeli apa saja semaunya, tetap kita harus beritahukan dia. Nah jadi meski anak berkat : "Ini uang tabungan saya, saya mau pakai untuk beli ini" tetap kita gunakan prinsip yang tadi, "engkau butuh atau tidak?" Misalkan dia bilang, yang mudah sekali saja mainan games atau playstation.

Dia bilang "ya saya sudah beli ini tapi saya sudah mainkan dan sudah habis," nah kita harus tetap berikan jarak yaitu kapan dia belinya. Meskipun dia sudah mainkan habis tapi kalau misalkan dia baru beli dua hari yang lalu. Kita bisa berkata: "jangan! Engkau baru beli barang itu dua hari yang lalu." Jadi salah satu cara menolong anak mengatur uang termasuk uang jajan itu adalah dengan cara menjatahkan. Kita menjatahkan dia sehingga dia lama-lama juga belajar menjatahkan untuk dirinya, tidak setiap saat dia inginkan sesuatu dia mesti mendapatkannya, dia harus tunggu waktu yang berikutnya. Misalkan di rumah kami untuk barang-barang yang kami anggap bernilai lebih mahal kami selalu harus minta anak-anak menunggu sampai hari besar. Hari besar itu apa, di rumah kami ada 2 hari yaitu hari ulang tahun dan hari Natal, sudah kalau untuk barang-barang yang bernilai tinggi, tapi biasanya memang hari ulang tahun. Jadi biasanya kami hanya membelikan barang yang sedikit lebih mahal pada 2 hari itu atau biasanya hanya pada 1 hari, hari ulang tahun. Selain itu biasanya kami hanya membelikan barang-barang yang relatif murah, tapi itu misalkan seperti video games, playstation games kami hanya izinkan membeli seminggu sekali. Jadi dia ada waktu 1 minggu untuk main, memang barang yang sama itu, tidak bisa dia beli setiap hari atau 2 hari sekali.
GS : Mengajar anak menabung itu sampai berapa jauh Pak Paul?

PG : Saya kira kita mesti juga mengajar pada anak-anak usia belasan ya SMP, SMA. Jadi kita beritahukan dia kamu sudah punya uang sekian, nah engkau perlu menabung. Tapi anak-anak itu sering ali tidak bisa menabung dengan begitu saja, perlu ada objeknya, tujuannya.

Misalkan dia mulai berkata saya senang sekali dengan ini atau apa gitu, tapi kita tahu harganya sangat tinggi, nah kita bisa berkata setiap minggu engkau tabung sekian nanti setelah misalnya 2 bulan uangmu itu akan mencapai ½ harga barang itu ½ nya kami akan tambahkan, tapi 1/2 nya dari uang tabunganmu. Nah ini menolong anak bermotivasi menabung, sekali lagi anak-anak belum mengerti arti menabung seperti kita ini, kalau kita menabung karena kita memikirkan jauh ke depan. Jadi kita bisa tekankan tentang barang yang dia mau beli, dia bisa mulai menabung untuk membeli barang tersebut.
IR : Di sekolah itu diajarkan Pak Paul, anak-anak itu menabung lewat ibu guru mereka, itu baik atau tidak, meski tidak melihat untuk apanya. Jadi berapa besar sangat dikaitkan untuk apanya, kadang-kadang anak-anak rela sengaja makan makanan yang lebih kecil atau lebih murah atau bahkan tidak makan sama sekali di sekolah untuk menabung sebab dia ingin membeli barang tersebut. Jadi sekali lagi berapa besar sangat dikaitkan dengan untuk apa, tapi kalau dia menabung tidak tahu tujuannya sering kali dia akan kehilangan motivasi.
GS : Bagaimana halnya dengan memberikan persembahan pada hari minggu Pak Paul, khususnya dalam kebaktian. Ada orang tua yang langsung memberikan sudah ini nanti masukkan ke kantong persembahan, ada yang diberikan seperti tadi uang saku lalu anak boleh menentukan sendiri persembahannya berapa. Yang mana yang seharusnya?

PG : Saya kira sampai anak-anak itu berusia sekitar misalnya 12, 13 tahun tidak apa-apa orang tua memberikan uang kemudian ditaruh di dalam persembahan. Tapi setelah itu sekitar SMP 2 ke ata anak-anak perlu diajar memberikan persembahan dari uang sakunya.

Kenapa? Di situlah anak-anak belajar memberi. Kalau dia hanya memberikan uang yang sudah kita berikan kepadanya, dia itu tidak memberikan dia hanya mentransfer, dia hanya sebagai medium menyalurkan saja. Jadi perlu dia memberikan dari uang sakunya, ini mutlak harus diajarkan kepada anak. Dan di sini kita bisa melihat betapa susahnya si anak memberikan di sinilah kita mulai bisa memberikan kepada anak itu prinsip-prinsip rohani, bahwa Tuhan akan membukakan tingkap-tingkap langit dan menurunkan berkatNya atas kamu, kita bisa membacakan Matius pasal 6 kesusahan hari ini untuk hari ini jangan khawatir untuk hari esok dan sebagainya. Nah di situ kita juga bisa menolong dia misalkan dia tahu uangnya tinggal segini, tapi dia tahu dia harus berikan persembahan dan kita katakan hari ini untuk hari ini, nanti akan ada berkat, nah dia berikan dengan iman. Nah hari-hari lainnya waktu dia perlu sesuatu kita bisa berikan uang itu kepadanya uang yang lain kita gantikan. Jadi kita mengajarkan prinsip bahwa memang Tuhan akan mencukupi kebutuhan dia.
(5) IR : Sekarang mendidik anak untuk menolong teman Pak Paul, itu sejauh mana Pak Paul?

PG : Ini point yang bagus sekali Bu Ida, sebab anak-anak kadang kala tidak bijaksana memakai uang, gara-gara soal teman. Teman minjam lagi, tidak diberikan susah, takut dimusuhi, takut diangap pelit, nah jadi kita perlu mengajarkan anak membedakan antara menolong teman dan menyenangkan hati teman.

Kita tidak memberikan uang hanya untuk menyenangkan hati teman, yang kita perlu ajarkan anak adalah memberikan uang guna menolong teman yang memang memerlukan uang. Dengan kata lain kita harus mengajarkan anak membedakan teman ini, teman yang seperti apa. Apakah dia memang sering meminjam uang dari orang-orang, apakah dia mengembalikan uang yang dia pinjam, jadi kita mau mengajar anak juga memberikan uang kepada orang yang memang sepatutnya menerima uang itu, sehingga tidak disalahgunakan. Jadi prinsip memberikan menjadi suatu prinsip yang sangat konstektual, kita bisa benar-benar ajarkan dia dengan lengkap, bukan saja soal jumlahnya tapi soal siapa yang meminjam itu kita harus juga perhatikan. Digunakan untuk apa oleh dia dan apakah memang dia orang yang bertanggung jawab dengan pinjamannya dan apakah dia ini maksudnya memberikan untuk menyenangkan hati temannya atau menolong teman, jadi semua ini kita bisa ajarkan.
GS : Bagaimana kalau sebaliknya kita sebagai orang tua mengetahui karena anak yang cerita bahwa dia meminjam uang temannya untuk membeli sesuatu barang?

PG : Nah di sini kita bisa tanyakan kepada anak, nomor 1, apa yang membuat engkau tidak meminta kepada kami, kok meminjam kepada teman. Nah biasanya anak meminjam kepada teman karena dia tah dia tidak bisa mendapatkannya dari kita, karena dia akan membeli barang yang akan kita larang itu biasanya terjadi.

Nah kalau kita tahu dia meminjam uang dari teman, saya pribadi akan mengatakan itu bukan kebiasaan yang baik, ini juga Akitab, Alkitab memang pernah berkata: "Jangan berhutang kepada siapapun kecuali berhutang kasih." Jadi memang Alkitab sangat menekankan bahwa kita sebagai anak Tuhan perlu mandiri jangan mudah bergantung pada orang dalam hal finansial ini. Nah kita bisa katakan kepada si anak itu bukan kebiasaan baik, meskipun engkau bisa membayarnya nanti, kalau belum bisa beli karena tidak punya uang, jangan beli dulu, kalau sudah punya uang baru beli. Jadi kita ajarkan dia suatu gaya hidup yang lebih sehat, jangan hutang nanti bayar, hutang nanti bayar o.....tidak, kita ada uang baru beli, meskipun kita inginkan barang itu.
IR : Dan kita tekankan prinsip Alkitab Pak Paul, cukupkanlah apa yang ada padamu gitu Pak Paul ya.

PG : Tepat sekali.

GS : Nah dalam hal itu apakah perlu orang tua langsung melunasi katakan hutang anak kita pada orang luar atau ya sudah tanggung sendiri sampai lunas atau bagaimana Pak?

PG : Saya kira kita harus memberi tanggung jawab itu kepada si anak. Jadi misalkan uang jajannya berapa, uang sakunya berapa dari situlah kita potong, dia harus juga merasakan sakitnya membaar hutang.

Nah anak-anak yang tidak pernah belajar membayar hutang tidak bisa menghargai artinya pemberian. Anak-anak yang terus menerima-menerima, pemberian-pemberian cenderung tidak menghargai betapa bernilainya pemberian itu. Waktu dia harus membayar sesuatu hutangnyalah atau apa, dia lebih menghargai artinya pemberian. Jadi tanggung jawab membayar balik saya kira harus kita embankan pada si anak.
GS : Pak Paul, memang ada begitu banyak ayat di dalam Alkitab tadi Pak Paul katakan khususnya di Perjanjian Baru yang berbicara tentang uang. Tapi tentu ada bagian tertentu juga di Perjanjian Lama yang bicara tentang ini Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari kitab Amsal 3:9-10, "Muliakanlah Tuhan dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu. Maka lumbung-lumbungmu akan di isi penuh sapai melimpah-limpah dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya."

Yang Tuhan katakan di sini yang pertama adalah bahwa harta itu tidak harus bersikap negatif atau salah. Jadi kita mesti mempunyai pengajaran yang berimbang, jangan akhirnya menekankan kepada anak harta, uang itu kotor, hitam dari setan dan sebagainya, tidak. Harta itu adalah sesuatu yang memang sebetulnya bisa digunakan untuk yang baik. Nah yang baiknya apa, di sini dikatakan kita bisa memuliakan Tuhan dengan harta ini, nah artinya memuliakan Tuhan berarti membuat nama Tuhan menjadi dipuji oleh karena harta yang kita miliki atau kita berikan itu. Dan di sini dikatakan lagi dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu. Kita cenderung mau menikmati hasil pertama kita, kita merasa ini adalah jerih payah kita, nah Tuhan menginginkan hasil pertama itu diberikan kepadaNya. Supaya apa? Supaya kita ini mengakui bahwa semua itu berasal dari Tuhan tetap hak milik Tuhan, Tuhanlah yang harus menikmatinya bukan kita. Tuhan kemudian berkata: "Lumbung-lumbungmu akan terisi penuh sampai melimpah-limpah dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya." Artinya kalau kita bisa memberikan kepada Tuhan, Tuhan akan memberikannya kepada kita. Jadi prinsip selalu adalah inisiatif dalam soal uang ada pada kita berani tidak, rela tidak kita memberikan kepada Tuhan. Kalau tangan kita terlalu erat menggenggam tidak akan banyak yang Tuhan bisa taruh di tangan kita. Tapi kalau tangan kita bisa dengan elastis membuka tangan itu, genggaman itu, maka akan lebih banyak yang Tuhan letakkan pada tangan kita. Nah prinsip ini yang akan terus kita ajarkan kepada anak-anak sehingga mereka tidak mempunyai pandangan yang negatif tentang harta tapi mempunyai pandangan yang positif, dia bisa kembalikan kepada Tuhan dan dengan itu dia memuliakan Tuhan dan Tuhan akan memberkati dia.

GS : Memang sesuatu yang tidak gampang menggunakan uang pada saat-saat seperti ini tetapi terutama kita sebagai orang tua tentunya harus belajar lebih banyak dari kebenaran firman Tuhan sebelum kita mengajarkannya kepada anak-anak kita. Jadi demikianlah tadi saudara-saudara pendengar Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang bagaimana "Mengajarkan Anak Menggunakan Uang". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58, Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan akhirnya dari studio kami sampaikan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



22. Mengajar Anak Berkata Tidak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T078A (File MP3 T078A)


Abstrak:

Anak-anak pada waktu di rumah akan mendapatkan prinsip-prinsip kehidupan dari orangtuanya tapi begitu dia menginjak usia remaja dia akan mulai menerima masukan-masukan dari teman-temannya. Dalam proses inilah dia akan mematangkan apa itu yang diyakininya.


Ringkasan:

Pandangan kita sebagai orang tua berseberangan dengan anak-anak. Apa yang mereka nilai baik, kita menilainya tidak baik. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Waktu kita melihat dia memberontak kita juga harus meyakini bahwa waktu dia di kalangan teman-temannya dan melihat nilai hidup yang telah dia peroleh dari rumah itu tidak sama dengan nilai hidup yang dimiliki oleh teman-temannya, sebetulnya dalam hatinya dia pun mengalami konflik.

  2. Yang paling penting yang bisa kita lakukan adalah, pada waktu kita menyampaikan nilai-nilai hidup itu kita harus menyampaikan substansinya, intinya atau isinya. Contohnya: "Apakah anak itu boleh ke disco?" Biasanya orang tua dengan cepat akan berkata tidak boleh, tapi anak-anak remaja pasti ingin tahu kenapa tidak boleh. Tidak bolehnya itu tidak bisa hanya dikatakan disco tempat yang tidak baik, apa yang membuat tempat itu tidak baik harus dijelaskan oleh si orang tua.

  3. Seringkali remaja tidak mudah untuk menerima begitu saja apa yang kita katakan, kita bisa berkata dua hal:

    1. Kita menyampaikan pemahaman kita bahwa memang dia sulit untuk mengertinya. Kita bisa berkata: "Saya mengerti engkau tidak bisa menerimanya, saya mengerti sulit bagi engkau untuk menerimanya."

    2. Ada waktu-waktu di mana kita tetap harus berkata pada anak kita: "Engkau tidak boleh", tidak mengerti atau mengerti tetap tidak boleh. Jadi ada pagar yang tetap kita harus dirikan sehingga anak itu tahu bahwa dia tidak bisa melompati pagar tersebut.

  4. Pengertian memang penting dan harus kita sampaikan kepada para remaja, namun di pihak lain tetap harus dirikan pagar yang membatasi sampai di mana kita bisa berkompromi dengan mereka.

Amsal 8:13
"Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat."

Di sini firman Tuhan menjelaskan bahwa membenci kejahatan awal dari takut akan Tuhan, anak-anak perlu tahu apa itu kejahatan-kejahatan dan perlu belajar untuk membencinya. Membenci dalam pengertian dia harus jauhkan, dia tahu ini bukanlah bagian dari hidupnya, dia tahu ini bukanlah sesuatu yang boleh dia lakukan. Waktu memberitahukan kita juga berikan alasannya kenapa hal itu jahat, kenapa hal itu berdosa sehingga anak-anak bisa mengertinya dari sudut firman Tuhan. Setelah itu baru kita katakan bahwa orang yang melakukan ini semua adalah orang yang takut akan Tuhan. Dan firman Tuhan berkata takut akan Tuhan adalah awal dari hikmat, jadi ini yang juga perlu kita sampaikan pada anak-anak kita. Sehingga kita semua betul-betul berpegang pada kebenaran firman Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang mengajar anak berkata tidak. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Biasanya ketika anak-anak masih kecil dan sering di rumah, kita melihat anak kita itu begitu menurut, patuh dengan yang kita perintahkan maupun yang kita larang dan sebagainya. Tapi semenjak dia bersosialisasi di masyarakat dan sebagainya, banyak orang tua dan kami sendiri juga mengalami hal itu agak kewalahan, Pak Paul. Seolah-olah kehilangan kendali dan kalau ditelusuri lebih jauh ternyata pengaruh dari lingkungan itu besar sekali, sehingga kalau ditanya siapa yang mengajari hal itu? O.... teman saya, kawan baik saya dan sebagainya. Sebenarnya apakah permasalahan ini bisa diatasi orang tua, Pak Paul?

PG : Anak-anak pada waktu di rumah mendapatkan semua prinsip kehidupan dari kita, begitu dia menginjak usia remaja dia akan mulai menerima masukan-masukan dari teman-temannya. Pada awalnya tman-teman masa kecil itu belum bisa memberikan dia masukan-masukan, karena memang usianya masih kecil.

Pada usia remajalah anak-anak itu mulai bisa mencetuskan pikiran-pikirannya, nilai-nilai hidupnya. Oleh sebab itulah anak-anak kita sewaktu beranjak ke usia remaja, barulah mulai menunjukkan sikap memberontak atau tidak setuju dengan yang telah kita ajarkan kepadanya. Sikap kita terhadap gejala ini tidak harus negatif, karena justru anak-anak itu terjun ke masyarakat dimulai pada usia remaja. Di situ dia mulai diuji dan mulailah dia membuktikan bahwa yang dikatakan orang tuanya itu benar atau tidak. Kalau tidak ada kesempatan sama sekali justru dia akan miskin pengalaman, yang dia pelajari itu semua hanya seolah-olah bersifat teoritis dan tidak bisa dia buktikan. Nah pada masa remaja inilah, hal-hal yang dia akan alami itu seolah-olah menantangnya untuk membuktikan bahwa yang telah dia yakini itu adalah benar, jadi ini adalah suatu proses yang sehat, Pak Gunawan.
(1) GS : Tapi sering kali pandangan kami sebagai orang tua dengan anak-anak kita itu sering berseberangan, Pak Paul. Apa yang mereka nilai baik, kami menilainya tidak baik, karena kelihatannya juga tidak baik. Tapi kalau kita katakan kepadanya temanmu itu tidak baik, dia bisa marah sekali, Pak Paul. Jadi tolok ukur yang bisa kita berikan itu bagaimana, Pak Paul?

(2) PG : Pertama-tama waktu kita melihat dia memberontak, kita juga harus meyakini bahwa waktu dia di kalangan teman-temannya dan nilai hidup yang telah dia peroleh dari rumah itu tidak ama dengan nilai hidup yang dimiliki oleh teman-temannya, sebetulnya dalam hatinya diapun mengalami konflik.

Tapi bedanya dengan kita adalah di hadapan teman-temannya dia tidak berani untuk langsung memberitahukan pendapatnya. Sebab kita tahu pada usia remaja itu tekanan teman besar sekali dan dia ingin sekali diterima oleh teman-temannya. Berbeda teman-temannya dengan kita sebagai orang tua remaja, dia lebih bebas untuk mengutarakan bahwa dia tidak setuju dengan apa yang telah kita katakan. Jadi intinya adalah proses ini proses yang sehat, proses ini adalah proses dimana si remaja akan bolak-balik antara kita dan temannya. Di hadapan kita dia akan membawa gagasan dari teman-temannya, di hadapan teman-temannya sesungguhnya dia pun membawa gagasan kita atau nilai-nilai hidup kita itu. Dalam proses inilah dia mematangkan apa yang diyakininya, apa yang bisa kita lakukan. Yang paling penting adalah pada waktu kita menyampaikan nilai-nilai hidup itu, kita harus menyampaikan substansinya atau intinya atau isinya. Kita akhirnya sering terperangkap pada bungkusannya, namun kehilangan perspektif pada intinya. Saya berikan contoh misalnya apa anak itu boleh ke disco, nah orang tua dengan cepat biasanya akan berkata tidak boleh, tapi anak-anak remaja ingin tahu kenapa tidak boleh. Nah kenapa tidak bolehnya itu, tidak bisa hanya dikatakan disco tempat yang tidak baik, apa yang membuat tempat itu tidak baik tidak dijelaskan oleh si orang tua. Jadi sekali lagi bahasa yang digunakan haruslah bahasa yang langsung ke arah intinya, saya kira ini akan menolong anak-anak untuk melihat alasan kita sehingga tidak dilihat oleh anak kita ini hanya mencari-cari alasan. Nah ini yang sukar dia terima.
GS : Tapi kalau suatu tempat misalnya diskotik atau pub dan sebagainya, Pak Paul, ini menyangkut pribadi teman dari anak kita itu. Bagaimana kita menguraikannya supaya dia bisa menyadari bahwa temannya itu tidak baik untuk dijadikan sahabat karibnya, Pak Paul?

PG : Adakalanya itu akan kita hadapi, Pak Gunawan, yaitu kita melihat bahwa dia sedang berteman dengan orang-orang yang tidak baik. Tapi masalahnya dia tidak setuju, dia anggap itu teman yan baik.

Jadi di sini kita harus mengajarkan anak membedakan antara teman baik dan teman yang baik, memang ini adalah suatu penggunaan istilah saja atau permainan kata. Namun saya akan membedakannya, teman baik saya definisikan sebagai teman yang menyenangkan dan berbuat hal-hal yang kita harapkan. Masalahnya adalah teman baik belum tentu orang yang baik dan orang yang baik bukanlah teman yang baik. Orang yang baik adalah orang yang misalnya tidak menipu atau berbohong, ia adalah seorang yang jujur dan takut akan Tuhan. Nah jadi yang akan kita tekankan pada anak-anak, dia harus memilih seseorang yang baik untuk menjadi temannya bukan sembarang teman baik. Anak-anak sering kali tidak mengerti ini, pokoknya teman baik adalah teman yang berbuat banyak kebaikan buat dia. Membelanya kalau ada urusan dengan orang, sama-sama menyontek dengan dia, sama-sama berbohong kepada guru dan sebagainya. Kita harus tekankan bahwa perbuatan-perbuatan itu perbuatan yang tidak baik dan jika dilakukan oleh temannya maka menjadikan dia seseorang yang tidak baik meskipun orang itu berbuat banyak kebaikan kepadanya. Nah, saya bisa menggunakan ilustrasi tentang perampok, perampok akan baik dengan temannya sesama perampok, tapi apakah dia seseorang yang baik? Saya kira semua orang akan berkata perampok bukanlah seseorang yang baik karena dia merampok dan merugikan orang lain meskipun dia akan baik kepada mitra perampoknya. Jadi prinsip seperti ini yang kita tanamkan kepada anak-anak. Yang pertama adalah dia harus tahu bagaimana memilih teman yang baik. Jangan hanya memilih teman baik, teman yang banyak berbuat kebaikan buat dia, tapi pilih seseorang yang baik untuk menjadi temannya.
(3) GS : Kalau kita menyampaikan hal-hal yang seperti itu, yang seperti Pak Paul katakan pada anak-anak yang memasuki usia remaja khususnya yang kritis dan sebagainya, tidak begitu saja remaja langsung bisa menerima. Sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan di antara kami sebagai orang tua dan anak remaja kita itu, perdebatan atau suatu diskusi atau apa tapi dia tidak bisa menelan begitu saja. Nah bagaimana sikap kita sebagai orang tua, Pak Paul?

PG : Nah waktu dia tidak bisa menerima begitu saja yang kita katakan, kita bisa berkata 2 hal. Pertama adalah kita bisa berkata saya mengerti engkau tidak bisa menerimanya, saya mengerti sult untuk menerimanya, jadi kita menyampaikan pemahaman kita memang dia sulit untuk mengerti.

Tapi yang kedua adalah ada waktu-waktu di mana kita tetap harus berkata pada anak kita engkau tidak boleh, tidak mengerti atau mengerti tetap tidak boleh. Jadi ada pagar yang tetap kita harus dirikan, sehingga anak itu tahu bahwa dia tidak bisa melompati pagar tersebut. Jadi sekali lagi pengertian memang penting dan harus kita sampaikan kepada dia, namun di pihak lain tetap harus didirikan pagar.
GS : Batas pagarnya itu sampai di mana, Pak Paul, jadi sampai di mana yang kita katakan yang pertama tadi kita bisa berkompromi, saya mengerti dengan kamu? Tapi ada yang tadi Pak Paul katakan, ada pagar di mana kita tidak lagi berkompromi dengan dia. Pokoknya kita bilang sampai batas itu kamu tidak boleh, nah ini bagaimana maksud Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah kalau kita tahu yang dilakukannya suatu perbuatan dosa, jadi kita harus berbicara kepada dia sekonkret mungkin tentang perbuatan negatif yang mungkin akan ditawarkanoleh teman-temannya.

Misalnya teman-temannya akan mengajak dia untuk berbohong, nah berbohong tetap adalah suatu perbuatan dosa, teman-temannya bisa mungkin mengajak dia untuk mulailah merugikan orang dengan cara mengambil barang yang bukan miliknya, misalnya mencuri ke toko mengambil barang. Nah seperti itu jelas-jelas adalah suatu perbuatan dosa dan kita bisa melarangnya untuk berbuat hal itu. Teman-temannya bisa mengajak dia untuk menemui wanita tuna susila, nah di sini kita harus berkata dengan jelas ini adalah hal yang salah. Dengan perkataan lain peranan kita sebagai orang tua adalah memberikan contoh-contoh sekonkret mungkin. Adakalanya kita ini agak enggan untuk masuk sekonkret itu, jadi kita cenderungnya hanya berbicara secara umum. Saya kira orang tua perlu bicara secara spesifik hal-hal apa yang akan ditawarkan oleh teman-temannya itu sehingga dia mengerti jelas bahwa itu adalah perbuatan yang salah.
GS : Memang sulit untuk berbicara Pak Paul, karena kita sendiri juga tidak tahu persis apa yang sedang dihadapi oleh anak kita itu. Temannya mau mengajak apa 'kan terselubung oleh sesuatu yang tidak kelihatan apa-apa, Pak Paul. Misalnya saja diajak piknik ke luar kota berdua, berdua laki perempuan tidak apa-apa Pa, cuma piknik saja, cuma mau cari suasana baru. Tapi kita tahu arahnya ke mana, bagaimana memberitahukan kepada anak remaja ini yang memang senang keluar rumah, senang bepergian untuk berkata tidak, Pak Paul?

PG : Kita perlu memberitahukan dia hal-hal yang bisa membawanya ke tindakan yang salah. Jadi memang ada hal-hal yang belum salah, namun akan membawanya jauh lebih dekat kepada perbuatan yangsalah itu.

Kita juga perlu melengkapi anak kita dengan kemampuan melihat hal-hal yang bisa membawanya kepada hal yang salah. Misalnya dimulai dengan merokok, nah dari merokok bisa akhirnya memakai mariyuana atau ganja, atau obat-obat yang lainnya. Atau mulai berteman dengan teman-teman yang kecanduan narkoba, mula-mulanya tidak kecanduan narkoba, tapi lama-lama bisa ikut juga. Anak-anak mungkin akan berkata "Papa atau Mama terlalu khawatir" dan bisa juga mereka berkata, "bukankah kita ini orang Kristen, dipanggil untuk bersama dengan semua orang termasuk yang bermasalah seperti itu, kenapa saya harus menjauhkan diri dari mereka". Kita tetap harus memberitahukan dia, meskipun kita mendapatkan bantahan seperti tadi atau juga kita mungkin seolah-olah dipertanyakan apakah kita mempunyai iman Kristiani yang benar, tetap kita harus sampaikan. Meskipun dia menuduh kita terlalu khawatir berlebih-lebihan, mencemaskan dia, tetap kita harus sampaikan. Karena dia perlu tahu hal-hal ini bisa membawanya ke hal yang lebih dalam. Jadi meskipun dia tidak melakukannya, tapi karena kita sudah membekali dia dengan kecemasan kita tadi, dengan peringatan kita tadi, dia akan lebih hati-hati sewaktu temannya mulai memakainya dan dia di sana. Nah misalnya temannya mengajaknya untuk memakai narkoba, dia bisa berkata tidak mau, karena apa? Dia akan teringat peringatan yang telah kita sampaikan. Jadi dengan perkataan lain, Pak Gunawan, kita bukan saja mengatakan hal itu salah, tapi kita juga mengatakan bagaimana dia bisa menghindarinya, ini perlu kita beritahukan. Kita juga jangan ragu-ragu, Pak Gunawan, untuk menceritakan pengalaman hidup kita, kita tidak selalu sukses dalam hidup ini. Jadi kita bisa bagikan bagaimana kita dulu misalnya sampai jatuh atau bagaimana kita sehingga kita tidak jatuh, nah hal-hal ini menjadi pelajaran yang sangat bermanfaat bagi anak-anak kita.
GS : Sering kali juga yang dikemukakan sebagai alasan adalah ingin tahu atau bereksperimen, misalnya berkata masa saya tidak boleh mencoba, saya cuma ingin tahu saja. Bagaimana itu Pak Paul?

PG : Sering kali itu alasan yang ditujukan oleh anak-anak kita dan dia akan berkata, "apa salahnya mencoba, saya tidak akan kecanduan, saya hanya ingin tahu rasanya seperti apa". Kita bisa ktakan kepada dia, hampir semua orang atau dapat dikatakan semua yang memakai narkoba awalnya hanya mencoba.

Jadi itu yang bisa kita sampaikan kepada anak-anak kita, semua dimulai dengan mencoba-coba, tapi karena mencoba akhirnya berkembang menjadi kecanduan. Memang ada hal yang harus kita katakan tidak boleh engkau lakukan meskipun hanya sekali. Kita bisa berikan argumen pada anak-anak kita, sebab anak-anak pada tahap ini membutuhkan argumentasi yang logis, misalkan kita berkata engkau pernah membunuh belum? Anak kita berkata: belum pernah, apakah engkau ingin mencoba membunuh orang? Tentu jawabannya tidak. Jadi jelas ada hal yang tidak boleh kita lakukan bahkan dalam tahap mencoba sekalipun, kita katakan mencoba narkoba sama dengan misalnya menghancurkan hidup orang, mengambil nyawa orang, meskipun hanya sekali. Misalkan hal-hal yang lainnya tentang hubungan seksual di luar nikah, teman-temannya mungkin sudah melakukannya dan dia akan berkata kenapa tidak boleh? Nah kita akan katakan kepada dia intinya Tuhan berkata jangan. Tuhan melarang kita untuk bercabul sebelum kita menikah, kita tidak boleh berhubungan seksual. Kita kembalikan kepada dia, Mama dan Papa tidak mungkin mengikuti kamu dan melihat setiap perbuatanmu, tapi Tuhan melihat dan tubuhmu adalah bait Allah. Apa yang engkau perbuat dengan bait Allah itu, engkau harus pertanggungjawabkan nanti kepada Tuhan. Nah sekarang terserah engkau, jadi setelah kita memberitahukan dia konsekuensinya kita kembalikan kepadanya, karena apa? Pada usia-usia dia sudah mulai remaja, dia perlu menyadari bahwa tindakannya menuntut konsekuensi dan konsekuensi adalah tanggungannya sendiri.
GS : Mungkin yang menarik itu, Pak Paul, melimpahkan tanggung jawab itu tetap pada si anak remaja. Sering kali kita sebagai orang tua mengambil alih tanggung jawab itu ke pundak kita, sehingga kita seolah-olah yang menanggungnya, Pak Paul.

PG : Dan saya bisa mengerti kenapa, Pak Gunawan, jadi adakalanya memang sulit untuk meletakkan diri kita di tengah-tengah. Adakalanya ada hal-hal yang harus sedikit otoriter, misalkan kita mngetahui kalau dia pergi dengan teman-temannya, dia bisa melakukan hal-hal yang sangat salah, nah kita melarangnya apapun jawabannya, apapun bantahannya tetap kita melarangnya.

Dan di situ kita memang mengambil tanggung jawabnya, tapi ada waktu-waktu tertentu untuk hal-hal yang tidak serius itu kita biarkan dia mengambil tanggung jawab tersebut. Memang harus selalu ada hikmat membedakan mana yang bisa kita lepaskan dan di situasi mana yang tidak bisa kita lepaskan.
GS : Mungkin kalau remaja itu mau menerima apa yang kita beritahukan, nasihatkan kepadanya, saya rasa juga bisa timbul perasaan sedih, Pak. Karena mungkin dia akan berbeda dengan teman-temannya yang lain dan untuk dia itu menjadi suatu beban yang akhirnya dia bisa diolok-olok dan sebagainya, nah sikap kita bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira kita perlu menyampaikan pemahaman kita, pengertian kita bahwa untuk tidak ikut teman-temanmu itu memerlukan keberanian dan pengorbanan. Berani untuk berbeda dan pengorbanan adlah untuk dijauhkan atau ditinggalkan teman-temannya dan ini adalah hal yang berat bagi seorang remaja.

Jadi orang tua adakalanya hanya memberikan instruksi dan larangan, tapi lupa menyampaikan pengertiannya bahwa hal yang harus dilakukan oleh anak remaja ini memang berat. Ada baiknya orang tua juga berempati mengemukakan bahwa ini sulit bagimu dan ada resiko seperti ini yang harus engkau tanggung dan pasti berat bagimu, ayah atau ibu mengerti penderitaanmu ini. Tapi kita bisa mendorong dia untuk melakukan hal yang benar, jadi kita tegaskan bahwa yang penting adalah melakukan hal yang benar. Apapun reaksi orang, apapun tanggapan orang, coba lihat apa yang benar dan lakukanlah yang benar itu, jangan melakukan yang salah atau yang jahat hanya karena ingin diterima teman dan ingin menjadi bagian dari teman-teman.
GS : Apakah hal itu biasanya bisa diterima oleh anak-anak remaja, Pak Paul?

PG : Saya kira kalau kita menyampaikannya dengan penuh empati, dengan penuh pengertian anak remaja akan lebih mudah menerimanya. Nah, khawatirnya yang lebih sering kita lakukan adalah melarag, memberi instruksi tanpa mengemukakan perasaan kita bahwa kita mengerti kesusahannya itu.

Saya kira kalau kita menyampaikan dengan pengertian, dia lebih mudah menerimanya meskipun saya tetap berkata dan dia tidak terima. Setiap anak ingin melakukan yang dia ingin lakukan dan waktu dihalangi oleh orang tua pasti tidak suka, tapi karena kita tahu ada hal-hal yang membahayakannya maka tetap harus kita sampaikan itu.
GS : Apakah kita sebagai orang tua bisa melihat bahwa anak kita setuju atau menerima dengan apa yang kita katakan atau tidak?

PG : Saya kira kita bisa menilai dari reaksinya, kalau reaksinya dingin, mendiamkan kita berarti dia menerima dengan terpaksa. Atau yang jelas adalah kalau dia memberontak, membantah kita. Tpi kalau dia menerimanya, saya kira dia akan lebih tenang dan bisa lebih ramah kepada kita, Pak Gunawan.

Kita juga harus menyadari bahwa anak tidak mungkin menerima saat itu atau jarang menerima saat itu, jadi kita perlu memberi dia waktu, biarkan dia supaya dia bisa memikirkannya. Ada hal-hal yang dia bisa, dia sadari dua hari kemudian, tapi ada hal-hal yang baru dia sadari 2 tahun kemudian.
GS : Dalam hal itu saya merasa perlu pendampingan dari orang tua terhadap remaja itu, sehingga keterbukaan kita bisa dimanfaatkan oleh remaja untuk berbicara, ya Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, dan apakah remaja mau terbuka dengan kita juga sangat bergantung pada apakah kita mau terbuka padanya. Jadi waktu kita misalnya melarang, berikan dia kesempatan untu mengemukakan pandangannya, jangan kita tergesa-gesa memberangusnya dengan berkata kamu masih kecil, kamu tidak mengerti apa-apa atau pokoknya saya bilang begini.

Saya kira sebaiknya kita mendengarkan alasannya karena apa, karena mungkin juga ada hal-hal yang tidak kita sadari dan kita tidak lihat, ada hal-hal yang akhirnya dia perlu ajarkan pada kita sehingga kita lebih bisa mengerti. Contoh yang mudah Pak Gunawan, sekarang ini ada kontroversi tentang boleh tidak anak-anak kita ini bermain video game atau melihat gambar-gambar tertentu dan sebagainya. Nah memang saya bisa mengerti ada orang tua yang cemas dengan hal-hal seperti ini, takutnya nanti jadi keras, jadi maunya berkelahi terus dan sebagainya. Tapi kalau kita menanyakan pada anak-anak ini dan mereka bisa menjelaskannya kepada kita mungkin sekali mereka akan berkata, "Ma atau Pa ini hanya permainan saya, habis main ya sudah tidak dipikirkan lagi". Dan kita memang melihat dia tidak menjadi keras, dia tidak memukuli adiknya atau kakaknya, dia tidak menjadi orang yang suka berkelahi di sekolah, akhirnya kita bisa simpulkan ini hanya permainan. Jadi ada baiknya kita mendengarkan masukannya, biar dia menjelaskan apakah memang ada dampaknya pada dirinya. Dan kalau memang tidak ada dampaknya mungkin kita bisa berkata ya sudah silakan bermain video game, hanya kita batasi waktunya sehingga tidak mengganggu jam belajarnya.
GS : Memang ternyata tidak mudah mengajar anak kita berkata tidak, memilih sesuatu yang lebih baik, tetapi saya yakin ada bagian firman Tuhan yang bisa kita jadikan pedoman dalam hal ini, Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari kitab Amsal 8:13 "Takut akan Tuhan ialah membenci kejahatan, aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat dan mulut penuh tipu uslihat."

Nah di sini firman Tuhan menjelaskan bahwa membenci kejahatan awal dari takut akan Tuhan, anak-anak perlu tahu apa itu kejahatan dan perlu belajar untuk membencinya. Membenci dalam pengertian dia harus menjauhkan, dia tahu ini bukanlah bagian dari hidupnya, dia tahu ini bukanlah sesuatu yang boleh dia lakukan, anak-anak perlu diberitahukan. Pada waktu kita beritahukan, kita juga berikan alasannya kenapa hal itu jahat, kenapa hal itu berdosa sehingga anak-anak bisa mengerti dari sudut firman Tuhan. Setelah itu baru kita katakan bahwa orang yang melakukan ini semua adalah orang yang takut akan Tuhan. Dan firman Tuhan berkata, "Takut akan Tuhan adalah awal dari hikmat", jadi ini yang juga perlu kita sampaikan pada anak-anak kita.

GS : Jadi memang itu yang paling tepat Pak Paul, untuk kita semua baik yang ada di sini maupun yang sedang mendengarkan kita untuk betul-betul berpegang pada kebenaran firman Tuhan. Nah saudara-saudara pendengar demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang mengajar anak berkata tidak. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



23. Mendidik Anak yang Lamban


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T078B (File MP3 T078B)


Abstrak:

Anak yang lamban adalah anak yang mengalami kesukaran untuk mengerti konsep-konsep yang dijelaskan kepadanya. Sehingga dia memerlukan waktu yang lebih lama untuk bisa memahaminya. Dan dari pihak orangtua, seharusnya mereka dapat menerima kenyataan ini dan mulai melakukan pertolongan bagi anak.


Ringkasan:

Yang dikatakan lamban adalah anak-anak yang mengalami kesukaran untuk mengerti konsep-konsep yang dijelaskan kepadanya. Sehingga dia memerlukan waktu yang lebih lama untuk bisa memahaminya dan biasanya itu terlihat sewaktu dia memasuki SD. Pada dasarnya anak yang lamban ini memang kita kategorikan secara lebih spesifik, yaitu yang ber-IQ di bawah rata-rata.

Bila menghadapi anak yang kurang cerdas dibandingkan saudara-saudaranya yang lain, sebagai orang tua yang paling penting dilakukan adalah menerima fakta ini. Kita harus memperlihatkan sikap penuh penerimaan pada anak itu. Sebab kelambanan bukan salahnya dan ia tidak ingin menjadi adak yang lamban.

Bagi anak yang lamban pergi ke sekolah merupakan penderitaan yang tersendiri. Waktu gurunya menjelaskan dia tidak mudah menangkapnya dan waktu ulangan diberikan kembali dia paling takut menerimanya, karena dia tahu angkanya jelek dan nanti kadang-kadang juga dicemooh teman-temannya atau kalau ada guru yang kurang sensitif dialah yang dipermalukan. Jadi bersekolah adalah suatu penderitaan bagi anak-anak ini, dia perlu pulang ke rumah mendapatkan penerimaan penuh dari orang tuanya. Dia tahu dia di luar dievaluasi, dinilai dan dianggap gagal, di rumah dia tidak dianggap gagal, dia bebas dari penilaian karena orang tuanya menerima dia dengan apa adanya.

Anak-anak yang lamban ini cenderung menyimpan rasa frustrasi, dan orang yang frustrasi perlu melampiaskannya. Biarkan dan arahkan dia melampiaskannya dengan cara yang sehat, setelah pulang sekolah dia main, mungkin main sepeda, mungkin main vidio game atau menggambar, dan dengarkan musik. Berikan dia jeda, berikan dia jarak antara sekolah dan nanti baru belajar kembali pada malam hari, berikan waktu yang cukup banyak untuk dia bisa melampiaskan kecapaiannya, keletihan dan rasa frustrasi. Kadang kala orang tua salah menangani masalah ini, anak justru disuruh les, pulang sekolah habis makan jam 2-an langsung les sampai jam 5.00, jam 5.30. Dia pulang les sudah capek, dia mandi, makan, malam buat PR lagi, belajar lagi buat besok ulangan, ini makin merusakkan dia.

Kalau dari awalnya kita terima anak kita, bahwa dia itu agak lamban dan kita memberi ruang gerak yang cukup luas baginya untuk main, untuk mengerjakan hal-hal yang lainnya, seharusnya dia tidak melampiaskan frustrasinya secara negatif. Karena dia tahu dia pulang ke rumah, dia bisa main-main berjam-jam dan itu sudah menjadi penyaluran buat dia.

Mazmur 42:9 dikatakan: "Tuhan memerintahkan kasih setiaNya pada siang hari, dan pada malam hari aku menyanyikan nyanyian, suatu doa kepada Allah kehidupanku."

Di sini kita bisa melihat satu kebenaran tentang Tuhan, yaitu dia selalu memberikan kasih setiaNya kepada kita. Adakalanya kita bertanya-tanya kok anak saya lamban, kok tidak sama seperti adiknya atau kakaknya atau seperti saya. Kita harus selalu ingat itu kasih setia Tuhan tidak hanya cukup untuk kita, tapi cukup untuk dia pula. Kalau Tuhan sudah setia dengan kita dia akan setia memelihara anak kita pula. Jadi kita jangan sampai melupakan hal ini. Kalau sampai saat ini kita ada, itu pun semata-mata karena Tuhan setia kepada kita. Mungkin kita pun di mata Tuhan sebagai anak yang lamban, tetapi hanya karena kasih setia Tuhan Ia tetap menyayangi kita dengan sabar. Karunia dan firman Tuhan itulah yang menguatkan kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang mendidik anak yang lamban. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, anak-anak yang lahir ke dunia ini sama seperti kita yang dewasa tentunya, tingkat kecerdasannya pun berbeda-beda walaupun itu saudara sekandung. Nah masalahnya apakah kita bisa mengenalinya sejak dini dan sebenarnya apa yang dikatakan atau bagaimana anak yang dikatakan lamban itu, Pak Paul?

PG : Yang dikatakan lamban adalah anak-anak yang mengalami kesukaran untuk mengerti konsep-konsep yang dijelaskan kepadanya, sehingga dia memerlukan waktu yang lebih lama untuk bisa memahamidan biasanya terlihat sewaktu dia memasuki SD.

Nah, semakin tinggi kelasnya semakin bisa terlihat bahwa itulah duduk masalahnya. Biasanya pada usia yang lebih dini yaitu usia TK atau SD kelas I, kelas II hal ini belum terlihat, mulai menginjak ke kelas III dan seterusnya baru bisa mulai terlihat dengan jelas, inilah duduk masalah si anak. Pada dasarnya anak yang lamban memang kita bisa kategorikan secara lebih spesifik, yaitu yang ber-IQ di bawah rata-rata. Yang di bawah rata-rata sebetulnya memang ada banyak bagian atau kategorinya, tapi anak-anak yang misalnya ber-IQ sekitar 100 dan ke bawah sampai 90 biasanya akan mengalami masalah-masalah dalam sekolah. Atau anak yang memang tidak begitu bisa berpikir secara abstrak dan dia memerlukan contoh-contoh yang sangat konkret sekali, biasanya anak-anak ini akan mengalami kesulitan dalam sekolah karena kebanyakan sekolah itu menggunakan metode belajar yang bersifat abstrak. Jadi memberikan penjelasan-penjelasan secara verbal dan si anak diharapkan bisa mengkonsepkannya secara abstrak dalam benaknya. Nah, anak-anak yang kemampuan berpikir abstraknya agak lemah biasanya akan mengalami kesulitan.
(2) GS : Dalam hal yang nanti akan kita bicarakan tentang anak lamban masih kategori anak yang belum membutuhkan pendidikan di sekolah luar biasa, maksudnya belum ke sana ya Pak Paul? (PG :belum) Anak bisa mempunyai kecerdasan yang lamban seperti itu, faktor penyebabnya apa Pak Paul?

PG : Sebetulnya tidak bisa kita ketahui kenapa seorang anak ini mempunyai kemampuan yang terbatas, dibandingkan misalnya dengan kakak atau adiknya. Jadi benar-benar kelahiran anak adalah suau misteri, kadang-kadang kita mengaitkannya dengan hal-hal tertentu pada masa kehamilan ibunya.

Tapi sesungguhnya tidak bisa kita ketahui apa penyebabnya. Yang cukup sering terjadi adalah sebetulnya anak-anak itu mewariskan kecerdasan intelektual dari orang tuanya, jadi ada kecenderungan orang tua yang cerdas biasanya mewariskan kecerdasannya itu kepada anaknya. Tapi ini bukan suatu prinsip umum, sebab adakalanya orang tua yang biasa-biasa saja tetapi mempunyai anak-anak yang sangat cerdas, jadi tidak bisa kita pastikan.
GS : Kalau kita menghadapi anak yang kurang kecerdasannya dibandingkan dengan saudara-saudara yang lain, bagaimana sebaiknya kita sebagai orang tua harus bersikap, Pak Paul?

PG : Yang pertama, yang paling penting adalah kita menerima fakta itu. Dalam konseling saya Pak Gunawan, saya cukup sering juga menerima kedatangan orang tua yang membawa anak mereka yang dinggap lamban.

Tapi sebetulnya yang menarik adalah kebanyakan mereka itu tidak mengakui bahwa anak mereka lamban. Jadi hampir dapat dipastikan semua orang tua berkata sebetulnya anak saya pandai, tapi...... misalnya malaslah, maunya main dan sebagainya. Jarang ada orang tua yang dengan berani berkata rasanya anak saya ini lamban, tidak mengerti dengan jelas dan perlu waktu yang lama sekali. "Saya menjelaskannya harus beberapa kali baru dia mengerti, kalau kakaknya saya jelaskan sekali langsung mengerti". Sebetulnya yang terjadi adalah orang tua enggan untuk mengakui inilah faktanya, nah keengganan ini memang saya kira juga hal yang wajar, Pak Gunawan, wajar karena kita sebagai orang tua mengharapkan anak-anak kita ini cerdas, maju, dan berprestasi baik di sekolah. Waktu dia tidak memenuhi harapan kita, kita kecewa sehingga enggan mengakui bahwa inilah faktanya atau kita enggan karena kita takut dia mencoreng wajah kita. Kita menjadi malu karena anak kita tidak pandai, tidak sepandai anak-anak lainnya misalnya.
GS : Tapi memang faktanya kadang-kadang ada anak yang lamban karena faktor kemalasannya, bagaimana itu Pak Paul?

PG : Kalau dia lamban karena kemalasannya, saya tidak kategorikan dia lamban, dia malas. Nah misalkan dalam hal-hal yang lain dia cepat sekali, kalau yang dia sukai dia cepat mengerti, kalaupelajaran yang tidak disukai lambat sekali, itu masalah lain lagi, masalah bagaimana mendisiplinkan dan memotivasi dia.

Tapi kita sekarang sedang membicarakan hal yang memang kita harus akui dia lamban, jadi ada anak yang memang sungguh-sungguh lamban.
GS : Itu berarti orang tua harus terlebih dahulu mendeteksi atau mengetahui dengan jelas bahwa memang anaknya lamban, baru dia bisa mengakuinya, Pak Paul.

PG : Caranya yang paling mudah adalah tidak perlu dibawa ke psikolog atau test kepandaian. Yang mudah sekali adalah waktu dia memberikan penjelasan-penjelasan kepada si anak, coba berikan seara konkret apakah anak itu mudah menangkapnya.

Kalau sudah memberikan contoh-contoh konkret si anak tetap sulit menangkapnya, bisa kita pastikan memang dia agak lamban. Nah, kalau dengan kita di rumah, satu dengan satu, dia mengalami kesulitan memahami konsep yang kita ajarkan dengan konkret itu, dapat dipastikan di sekolah dia mengalami kesulitan yang lebih besar. Karena ada kemungkinan guru tidak akan bisa menjelaskannya secara pribadi dengan dia, satu dengan satu.
GS : Selain kita harus mengakui keberadaan anak kita yang memang lamban, langkah konkret apa yang bisa dilakukan, Pak Paul?

PG : Yang berikutnya adalah kita harus memperlihatkan sikap penerimaan pada anak itu. Kenapa kita perlu memberikan sikap penuh penerimaan, sebab kelambanan bukan salahnya dan ia tidak ingin enjadi anak yang lamban, ini yang harus selalu kita ingat.

Tidak ada anak yang senang menjadi bahan olokan dan tidak ada anak yang mau tersiksa 7 jam sehari, bagi anak yang lamban pergi ke sekolah merupakan penderitaan yang tersendiri, Pak Gunawan. Waktu gurunya menjelaskan dia tidak mudah menangkapnya dan waktu hasil ulangan diberikan dia paling takut menerimanya karena dia tahu angkanya jelek dan kadang-kadang dicemooh teman-temannya atau kalau ada guru yang kurang sensitif, dia dipermalukan. Jadi bersekolah adalah suatu penderitaan bagi anak-anak ini. Nah dia perlu pulang ke rumah mendapatkan penerimaan penuh dari orang tuanya. Dia tahu dia di luar dievaluasi, dinilai dan dianggap gagal, di rumah dia tidak dianggap gagal, dia bebas dari penilaian karena orang tuanya menerima dia dengan apa adanya.
GS : Tapi kalau anak yang lamban seperti itu lalu diterima apa adanya, ya memang kita harus menerima apa adanya. Yang saya khawatirkan apa tidak berdampak pada anak itu, lalu dia merasa memang saya ini orang yang lamban, ya sudah tidak apa-apa sehingga dia tidak termotivasi untuk maju. Akibatnya yang nampak adalah kemalasan seperti tadi di sekolah, dia tidak cepat bisa menangkap apa yang diterangkan oleh guru, ketinggalan dengan teman-temannya, itu bisa membuat dia jadi malas ke sekolah, Pak Paul.

PG : Sangat mungkin sekali, sebab bukankah kita pun harus akui kalau kita diminta melakukan pekerjaan yang kita tidak sukai maka kita malas melakukannya. Jadi saya kira itu adalah reaksi mansiawi, reaksi alamiah dari semua orang, baik anak kecil ataupun orang dewasa.

Jadi apa yang bisa kita lakukan adalah kita menekankan pentingnya melakukan bagiannya. Dia perlu belajar dan itu tidak bisa dia lalaikan, dia perlu belajar malam hari selama 2 jam dan dia harus duduk selama dua jam. Dan kita katakan kepadanya selama engkau sudah belajar, apapun hasilnya saya akan terima. Atau misalkan yang lain, dia harus menghafal misalnya 100 ibu kota, nah memang dia tidak bisa hafal 100 ibu kota. Yang harus bisa kita lakukan, daripada kita memaksanya menghafalkan 100 ibu kota. Kita mula-mula minta dia menghafalkan 5 ibu kota. Hari ini belajar 5 ibu kota besok belajar 5 ibu kota lagi, hari ke-3 baru tambah lagi dengan 2 ibu kota, menjadi 12 ibu kota. Dan kalau misalnya kita sudah penuhi dia dengan 25 ibu kota waktu ke 26, 27 dia mulai lupa yang lain-lainnya nah kita tahu itu batasnya. Dan kita berhenti di 25 ibu kota dan kita katakan sudah cukup kami melihat engkau belajar, makin dipaksakan makin lupa yang lainnya. Kami mau kamu ingat terus yang 25 ibu kota ini, nah kemungkinan yang jelek ada tidak? Ya ada, tapi ya tidak apa-apa karena kita bisa katakan kepada dia, yang penting kamu telah melakukan bagian kamu. Nah jadi itulah salah satu cara untuk tetap menyeimbangkan penerimaan dan mengerjakan bagiannya atau tanggung jawabnya.
GS : Tetapi katakan dia di rumah dia bisa mengerti seperti itu, tapi waktu di sekolah kenyataannya lain, berbeda sekali. Mungkin dia di sekolah dipermalukan walaupun sudah berusaha keras, dengan begitu pasti menimbulkan perasaan putus asa di dalam dirinya. Bagaimana menurut Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi anak-anak yang lamban ini cenderung menyimpan rasa frustrasi. Sebab kita bayangkan saja, kita harus berada di tempat yang sama hari lepas hari kira-kira, 7 jam per harinya dan kita dinilai orang bukan orang yang sukses tapi kita harus memendam rasa malu sehingga kita tertekan hampir setiap hari.

Terhadap anak-anak yang mudah frustrasi itu, kita harus hadapi rasa frustrasi itu. Hadapi dalam pengertian kita menyadari bahwa dia menyimpan rasa frustrasi dan orang frustrasi perlu melampiaskannya. Nah, bagaimanakah dia bisa melampiaskannya dengan cara yang sehat, biarkan setelah pulang sekolah dia main, mungkin main sepeda, video game, menggambar atau mendengarkan musik. Jadi berikan dia jedah, berikan dia jarak antara sekolah dan nanti baru belajar kembali pada malam hari, berikan waktu yang cukup banyak untuk dia bisa melampiaskan kecapaiannya, keletihan dan rasa frustrasinya itu. Setelah makan malam dan sebagainya, baru kita beritahu dia, "Ayo.. kita belajar" dan kita beritahu dia hanya 2 jam, setelah itu sudah. Jadi dia tahu dia hanya diharuskan belajar 2 jam dan yang paling penting dia melakukan tugasnya itu. Kadangkala orang tua salah menangani masalah ini, anak justru disuruh les. Pulang sekolah habis makan, jam 2.00 langsung les sampai jam 5.00, jam 5.30 dia pulang les sudah lelah, dia mandi, makan malam, malamnya membuat PR lagi dan belajar buat besok ulangan, nah ini makin merusakkan dia. Dia tidak suka dengan pelajaran itu dan dari pagi sampai siang dia harus menghadapinya di sekolah. Pulang ke rumah dibebani lagi dengan les, kemudian malam harus membuat PR lagi, ini tidak menolong. Tidak menolong dia, dalam pengertian pertumbuhannya secara keseluruhan akan sangat terganggu karena satu aspek ini yaitu aspek pelajarannya. Jadi kita harus menempatkan masalah akademik ini dalam persepsi yang benar. Masalah akademik hanyalah satu bagian dari kehidupannya bukan seluruh bagian dari kehidupannya, jadi biarkan dia hanya bisa sebegini. Kita dorong dia melakukan tanggung jawabnya, dia bisa belajar 2 jam ya 2 jam. Tapi 2 jam itu dia sungguh-sungguh belajar dengan konsentrasi, kalau dia main-main tidak bertanggung jawab maka kita harus menegurnya.
GS : Ada sebagian orang tua yang memindahkan anaknya ke sekolah lain yang tuntutannya tidak setinggi sekolah yang lama, nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Kalau memang anak ini tidak mencapai standar yang dituntut oleh sekolahnya, saya anjurkan memang pindah. Saya anjurkan pindah sehingga kompetisinya tidak terlalu tinggi dan si guru tida terlalu menyoroti dia.

Kalau dia di kalangan orang yang cerdas-cerdas, si guru akan menyoroti dia, dia akan menonjol bukan sebagai anak yang pandai, menonjol sebagai anak yang tidak pandai dan itu akan sangat membawa tekanan bagi dia. Sering kali orang tua ini berkepentingan menyekolahkan anak di sekolah yang bagus-bagus, tapi kita sebagai orang tua harus menyadari kemampuan dan keterbatasan anak kita. Kalau memang tidak mampu, jangan dipaksakan di sekolah yang bagus, di sekolah yang sedang-sedang saja sehingga dia tidak terlalu tertekan. Nah sering kali kita sebagai orang tua sudah stres karena pulang ke rumah dia tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik, kita frustrasi lalu kita melampiaskan kepadanya karena kita mengajarkannya susah sekali, dia bertambah stres dan frustrasi. Jadi akhirnya di sekolah dia frustrasi, di rumah bertambah frustrasi dan akhirnya dia takut pulang ke rumah. Karena apa, dia tahu akan terjadi keributan dengan orang tuanya, di sekolah dia sudah stres, di rumah dia takut nanti ribut dengan orang tua. Jadi kita sangat menekan anak ini secara tidak perlu dan akan menghambat pertumbuhannya, maka tidak heran kalau nantinya dia menjadi lebih lamban lagi.
GS : Nah Pak Paul, kalau frustrasinya itu diungkapkan dalam bentuk yang positif, seperti tadi Pak Paul katakan bermain, pergi ke rumah temannya itu masih bisa kita pahami. Tapi kalau frustrasinya itu justru disalurkan ke hal-hal yang negatif, Pak Paul?

PG : Sebetulnya Pak Gunawan, kalau dari awalnya kita menerima anak kita, bahwa dia itu agak lamban dan kita memberi ruang gerak yang cukup luas baginya untuk bermain, untuk mengerjakan hal-hl yang lainnya, seharusnya dia tidak melampiaskan frustrasinya secara negatif.

Karena dia tahu dia pulang ke rumah, dia bisa main-main berjam-jam dan itu sudah menjadi penyaluran buat dia. Nah sudah tentu pada waktu malam kita ingin dia belajar ya susah, karena sekali lagi tidak ada orang yang senang mengerjakan hal-hal dimana dia merasa gagal di situ. Jadi kita memang harus menyediakan waktu untuk bersama dia, misalkan duduk di samping dia atau sekali-sekali mengecek lagi, menanyakannya, jadi orang tua harus terlibat di sini. Selama misalnya 2 jam pada waktu malam hari, kita ajak dia belajar. Kalau sudah bisa ya sudah tidak perlu dipelajari lagi, biarkan. Karena kita tahu kalau kita paksakan masuk semuanya, maka akan keluar semua dari benaknya.
GS : Pak Paul, apakah seseorang anak yang lamban tadi, di semua bidang ilmu pengetahuan juga lamban?

PG : Nah ini pertanyaan yang bagus sekali Pak Gunawan, sebab faktanya adalah tidak. Jadi kecenderungannya adalah anak itu lamban pada 1 bidang saja, bahkan waktu dia lamban misalkan hal-hal ang bersifat absrak.

Jadi misalkan dia akan susah misalkan nanti mengerjakan matematika, fisika dan lain sebagainya. Tidak berarti dia akan lamban misalkan dalam bidang-bidang yang lainnya, dia mungkin sekali sangat pandai dalam bidang seni, dalam bidang yang misalnya juga menuntut penguraian secara tertulis. Jadi ada hal-hal yang mungkin dia bisa lakukan dengan baik, selain dari itu mungkin dia akan sangat berprestasi dalam bidang olah raga atau dalam bidang komputer. Dia bisa bermain dengan sangat bagus sekali. Nah tugas kita sebagai orang tua adalah membantunya menemukan minat-minat yang lain itu, saya tidak menggunakan kata menemukan kelebihan-kelebihannya, sebab kadangkala kita mempunyai anggapan o....... dia lemah di sini, dia pasti punya kelebihan yang lain, kenyataannya adalah tidak, kelebihannya hanya biasa-biasa saja.
GS : Hanya berminat di satu bidang itu, dan itu harus dikembangkan terus ya, Pak Paul?

PG : Betul, jadi minatnya apa kita coba mencari tahu bersama dia, mencari tahunya bagaimana? Ya kita memang harus berikan dia kebebasan untuk mencari tahu dan kita bisa membantunya menanyakamau coba ini apa tidak? Kalau yang ini mau apa tidak.

Nah waktu dia senang melakukannya, dia gembira melakukannya kita tahu ini minatnya. Kita mendorong dia untuk melakukan yang dia senangi itu dengan sebaik-baiknya, ini penting sekali untuk pertumbuhan keyakinan dirinya. Dengan dia mampu mengembangkan diri pada bidang-bidang yang lain, dia menjadi tahu bahwa dia bernilai pula.
GS : Banyak pandangan yang mengatakan bahwa kalau orang yang lamban ini khususnya kecerdasannya tidak terlalu tinggi, lalu dia menjadi seseorang yang agresif atau yang merusak dan sebagainya yang tingkah lakunya itu negatif, apakah itu benar?

PG : Itu bisa terjadi Pak Gunawan, yaitu anak-anak ini karena tidak mendapatkan penyaluran di rumah dan tidak diterima tetap dimarahi di rumah, dia akan melampiaskannya keluar. Dia agresif, ia berkelahi sebab apa, mungkin dengan dia agresif, dia berkelahi, dia menjadi anak yang dikenal sebagai anak yang disegani padahal sebelumnya dia dianggap "anak bawang", tidak ada apa-apa.

Nah sekarang karena dia berhasil berkelahi maka disegani oleh teman-temannya. Itu menjadi jati dirinya dan itu berbahaya atau karena dia frustrasi tidak mampu dianggap bodoh, dia akhirnya harus melampiaskan frustrasinya secara fisik. Dia berkelahi dengan orang dan sebagainya. Atau berperilaku yang lain Pak Gunawan, yang juga umum adalah anak ini mulai mengucilkan diri, dia tidak diterima oleh teman-temannya, menjadi bahan olok-olokan, jadi daripada malu maka dia menyendiri, nah ini perilaku-perilaku yang tidak sehat.
GS : Lalu bagaimana kita harus bersikap sebagai orang tua, Pak Paul?

PG : Untuk yang agresif dan merusak orang kita harus memberikan sanksi, jangan ragu menghukumnya, dan jangan sampai karena kita tahu dia lamban, akhirnya kita membiarkan dia berbuat semaunya Jadi tetap kalau dia salah kita berikan hukuman, kalau dia menarik diri, mengucilkan diri di kamar dan sebagainya kita harus proaktif mengajak dia keluar, membawa dia ke rumah temannya atau mengajak teman-temannya ke rumah.

Jadi orang tua harus peka melihat ini dan secara aktif melibatkan dia dalam pergaulan dengan teman-temannya kembali. Daripada nanti dia sudah berumur 19, 20 tahun, baru kita sadar wah anak saya ini tidak pernah bergaul, tidak pernah keluar dengan teman-teman, baru kita panik dan saat itu sudah terlambat. Sebab keterampilan bergaul itu dipupuk pada masa-masa umur sekitar 8, 9 tahun terus sampai usia sekitar misalnya 13, 14 tahun. Jadi pada masa kecil itulah keterampilan bergaul dipupuk, sehingga pada masa remaja dia bisa memakai keterampilan itu. Kalau dari kecil sudah mulai diam maka remaja tidak bisa bergaul, setelah itu ya sudah tidak bisa bergaul terus.
GS : Walaupun anak itu mempunyai kecerdasan yang lamban dan sebagainya, tetapi kita sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus mengakui bahwa anak itu sebagai karunia dari Tuhan dan tentu ada firman Tuhan yang akan diberikan kepada kita sebagai bekal.

PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 22:9, " Ia menyerah kepada Tuhan, biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?". Tuhan memrintahkan kasih setiaNya pada siang hari dan pada malam hari, aku menyanyikan suatu doa kepada Allah kehidupanku.

Tuhan memerintahkan kasih setiaNya pada siang hari. Di sini kita bisa melihat satu kebenaran tentang Tuhan yaitu dia selalu memberikan kasih setiaNya kepada kita. Adakalanya kita bertanya-tanya kenapa anak saya lamban, tidak sama seperti adiknya atau kakaknya atau seperti saya. Kita harus selalu ingat itu, kasih setia Tuhan tidak hanya cukup untuk kita, tapi cukup untuk dia pula. Kalau Tuhan sudah setia dengan kita, dia akan setia memelihara anak kita pula. Jadi kita jangan sampai melupakan hal ini, Pak Gunawan.

GS : Sebenarnya kalau sampai saat ini pun kita ada, semata-mata karena Tuhan setia kepada kita, kita pun di mata Tuhan mungkin juga sebagai anak yang lamban, ya Pak Paul. Tetapi hanya karena kasih setia Tuhan, kita tetap sebagai karunia Tuhan dan firman Tuhan itu sudah menguatkan kita.

Jadi saudara-saudara pendengar demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang menangani anak yang lamban. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



24. Ayah dan Arah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T118A (File MP3 T118A)


Abstrak:

Seorang ayah mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seorang anak laki-lakinya. Keterlibatan ayah yang sangat minim terhadap pertumbuhan anak laki-lakinya dapat menyebabkan anak laki-laki nantinya menjadi orang-orang dewasa yang tidak pasti, penuh keraguan, kebimbangan, dan tidak mempunyai arah.


Ringkasan:

Seorang ayah mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seorang anak laki-lakinya. Keterlibatan ayah yang sangat minim terhadap pertumbuhan anak laki-lakinya dapat menyebabkan anak laki-laki tersebut setelah besar menjadi orang-orang yang tidak pasti, penuh keraguan, kebimbangan dan tidak mempunyai arah dalam hidup itu. Anak laki-laki memerlukan objek identifikasi seperti yang dikatakan oleh Sigmund Freud bahwa identifikasi yang dimaksud adalah menginternalisasi atau memasukkan sifat atau kwalitas dari orang lain ke dalam diri kita.

Peranan ayah dalam kehidupan anak laki-lakinya yaitu:

  1. Menyediakan rasa aman, sebagai figur otoritas. Jadi anak-anak laki perlu menyerap sifat-sifat ayah yang mengayomi, sifat ayah yang bisa melindungi. Kalau anak tidak memperoleh objek identifikasi dari ayah ini, waktu mereka besar bisa mencari-cari orang yang bisa melindungi atau mengayomi mereka. Seakan-akan mereka menjadi orang dewasa yang terus-menerus membutuhkan orang yang lebih dewasa lagi darinya untuk bisa menunjukkan arah hidup, menunjukkan jalan atau menyediakan bantuan, jadi ketergantunggannya sangat besar.

  2. Ayah lambang pemimpin, karena Tuhan memberikannya tugas sebagai kepala keluarga. Otomatis kepala atau pemimpin harus mempunyai keyakinan diri, kepastian dalam pengambilan keputusan, tidak meragukan pertimbangannya. Kalau anak bisa menyerap sifat-sifat ini dari ayah, dia akan bertumbuh menjadi anak yang relatif percaya diri, nyaman dengan pertimbangannya dan percaya pada pertimbangannya. Sebaliknya kalau ayah tidak hadir atau tidak ada di rumah, si anak akan bertumbuh besar memiliki seribu satu macam keraguan. Jadi kefakuman ayah menimbulkan kebingungan kepada anak, ketersesatan kepada anak laki-laki.

Yang perlu ayah ajarkan kepada anak laki-lakinya adalah:

  1. Bertanggung jawab, hal ini penting sekali sehingga dia tidak mengelak dari tanggung jawab atau melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.

  2. Berani mengambil resiko, adalah salah satu kwalitas kepriaan yang penting yang harus mulai ditumbuhkan pada diri si anak sejak usia yang lebih awal.

  3. Kemampuan mengambil keputusan, anak harus diajarkan memilih alternatif-alternatif yang tersedia, baiknya apa, kurangnya apa.

Kolose 3:21, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Jadi kalau boleh saya balik, "Hai bapa-bapa besarkanlah hati anak-anakmu sehingga manislah hatinya." Artinya tugas ayahlah membesarkan si anak, membesarkan hatinya sehingga hati atau jiwa si anak menjadi jiwa yang penuh rasa, nggak menjadi jiwa yang tawar sekali penuh dengan ketidaksukaan, kepasifan, keapatisan. Ini hanya bisa terjadi kalau si ayah terlibat dalam kehidupan anak laki-lakinya.


Transkrip:

Saudara-daudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Ayah dan Arah", kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, sebenarnya berapa besar pengaruh seorang ayah terhadap anak laki-lakinya khususnya di dalam mengarahkan anak ini untuk mencapai masa depannya?

PG : Sangat-sangat besar sekali pengaruhnya Pak Gunawan, akhir-akhir ini saya sampai pada suatu kesimpulan yang muncul dari pengamatan yaitu anak laki-laki yang bertumbuh besar di rumah di mna keterlibatan ayah itu sangat minim ternyata setelah besar mereka menjadi orang-orang yang tidak pasti.

Penuh keraguan, kebimbangan dan tidak mempunyai arah dalam hidup itu.
GS : Bukankah biasanya anak itu banyak dipengaruhi oleh ibunya Pak?

PG : Pada masa kecil memang anak laki maupun perempuan sangat dipengaruhi oleh ibu karena ibulah yang melahirkan dan merawat terutama pada masa-masa kecil itu. Nah saya ingin memperkenalkan uatu istilah yang memang awalnya diperkenalkan oleh Sigmund Freud yaitu istilah identifikasi.

Identifikasi dalam pengertian o.... saya bisa memahami engkau, saya bisa mengidentifikasi diri saya dengan situasi yang engkau sedang hadapi seperti itu. Namun sebetulnya istilah ini sendiri mengandung arti yang berbeda bagi Freud, identifikasi berarti menginternalisasi atau memasukkan sifat atau kwalitas dari orang lain ke dalam diri kita. Dengan kata lain misalkan kita dibesarkan dengan seseorang yang senang bercanda, mungkin sekali atau besar kemungkinannya kita memasukkan sifat tersebut menjadi bagian diri kita, akhirnya kita pun turut menjadi orang yang senang bercanda. Nah pada masa kecil anak-anak baik laki maupun perempuan terlibat dalam proses identifikasi dengan ibu mereka, jadi sifat-sifat mama itulah yang diserap. Anak laki-laki terpaksa pada usia yang sudah makin dewasa harus mengubah atau mengalihkan objek identifikasinya, dulunya kepada ibu sekarang harus dipindahkan kepada ayah sebab dia menyadari bahwa dia bukanlah wanita. Otomatis anak wanita tidak perlu mengubah objek identifikasinya ini. Nah anak laki-laki memerlukan objek itu, di sinilah keterlibatan ayah menjadi sangat-sangat penting sebab kefakuman figur ayah akan mempunyai dampak-dampak negatif Pak Gunawan.
(2) GS : Mungkin yang kurang kami sadari sebagai ayah adalah sejak kapan anak ini membutuhkan kita sebagai orang tua itu Pak?

PG : Sebetulnya sejak si anak mulai menyadari bahwa dia adalah seorang anak laki-laki. Nah kita mungkin berpikir bahwa anak tiga tahun pun sudah menyadari dia laki-laki, tapi sebetulnya kesaaran ini muncul secara bertahap pada usia-usia misalnya sekitar 3, 4 tahun, anak-laki-laki baru menyadari perbedaan fisik bahwa dia laki-laki dan ada yang namanya perempuan.

Karena mungkin pada masa kecil itu mereka anak-anak kita laki dan perempuan mandi sama-sama dan sebagainya, barulah mereka menyadari perbedaan fisik ini. Namun dampak emosional atau bobot emosional sebagai seorang pria dan perbedaannya dari wanita itu sebetulnya belum ada pada anak-anak usia sekitar 3, 4 tahun. Nah kesadaran saya ini pria secara mental atau emosional itu baru muncul biasanya pada usia menjelang remaja misalnya usia 9, 10 tahun, nah mendekati usia pra-remaja itulah kesadaran saya pria dan saya harus bersikap sebagai seorang pria muncul. Nah ini akan muncul lebih kuat lagi sewaktu anak itu memasuki usia remaja 11, 12 tahun, 13 tahun, makin bergaul dengan teman-teman pria dan mulailah meledek-ledek teman wanita, menyukai teman wanita, membicarakan wanita nah barulah peran seksual dan sosial itu dikembangkan sebagai seorang pria yang berbeda dari wanita.
GS : Nah Pak Paul, dalam pertumbuhan seperti itu yang tadi Pak Paul katakan dia punya teman-teman pria dan sebagainya, apakah teman-teman itu tidak bisa menjadi contoh buat dia, apakah itu tidak cukup?

(3) PG : Sudah tentu teman-teman akan berpengaruh, tapi teman-teman berpengaruh sebagai tambahan Pak Gunawan, akarnya itu sebetulnya di rumah. Sebab apa? Sebab anak menyerap dalam relasiyang dekat atau akrab, jadi semakin dekat, semakin banyaklah yang diserap, kalau tidak dekat sedikit yang diserap.

Nah teman-teman mulai berpengaruh dalam diri anak-anak remaja yaitu waktu anak berusia sekitar 13 tahunan sampai usia 20 tahun. Berarti dari usia sekitar 3, 4 tahun tatkala di awal atau dimulailah proses pembedaan jenis kelamin saya ini pria dan wanita, sampai usia sekitar 12, 13 tahun itu terjadilah gap, kekosongan kalau tidak ada figur ayah di rumah. Mungkin boleh saya jelaskan Pak Gunawan sebetulnya apa itu peranan ayah di sini, sehingga kok begitu berpengaruh pada pertumbuhan anak. Ayah itu pertama-tama menyediakan rasa aman karena sikap atau pembawaan ayah sebagai figur otoritas, bertumbuh besar, bersuara lebih berat dan yang memang biasanya ayah itu yang menunjukkan kekuatan, itu seyogyanya memberikan rasa aman kepada anak-anak. Jadi anak-anak laki itu perlu menyerap sifat-sifat ayah yang mengayomi, sifat ayah yang bisa melindungi. Nah kalau si anak tidak memperoleh objek identifikasinya dari ayah ini, saya lihat waktu mereka besar mereka mencari-cari Pak Gunawan, mencari-cari orang yang bisa melindungi atau mengayomi mereka. Seakan-akan mereka menjadi orang dewasa yang terus-menerus membutuhkan orang yang lebih dewasa lagi darinya untuk bisa menunjukkan arah hidup, menunjukkan jalan atau menyediakan bantuan, jadi kebergantungannya menjadi sangat besar. Nah inilah salah satu peranan ayah di dalam kehidupan si anak itu.
GS : Ya jadi kalau begitu sekalipun ayah itu hadir di tengah-tengah keluarga, namun kalau ayah itu tidak memberikan suatu teladan yang baik yang bisa dicontoh, anak itu juga akan mencontoh yang tidak baik dari ayahnya Pak?

PG : Tepat sekali, jadi kalau si ayah itu menjadi figur yang negatif tidak bisa tidak karena memang hidup serumah dan dekat dengan si anak akan berpotensi menularkan sifat atau karakternya kpada si anak, meskipun nantinya si anak akan berusaha keras untuk melawannya kalau dia memang tidak menyukai sifat-sifat ayah itu.

Saya jelaskan Pak Gunawan yang saya maksud, bukankah adakalanya kita menyukai sifat tertentu dari orang tua kita, kemudian kita serap menjadikan itu bagian dari diri kita nah itu yang kita lakukan. Tapi adakalanya kita pun menemukan bahwa ada sifat tertentu dari orang tua kita yang tidak kita sukai dulu itu, e.....tahu-tahu ada pada diri kita, kita terkejut kok bisa ada pada diri saya misalnya. Si ayah mudah marah, setiap kali kalau kita berbuat kesalahan sekecil apapun langsung marah, kita tidak suka dengan sifat itu. Entah mengapa setelah kita dewasa, kita punya anak tiba-tiba kita menemukan hal yang sama pada diri kita, anak kita berbuat kesalahan kita langsung bereaksi dengan keras, memarahinya dan kita sadari tanpa kita mau kita sudah menyerapnya.
GS : Ya dan anak pun tidak menyadari betul proses seperti itu Pak, bahwa itu terjadi dalam dirinya?

PG : Sering kali tidak Pak Gunawan, jadi biasanya si anak baru menyadari dia memiliki sifat itu tatkala dia berada di tempat yang sama dengan ayahnya dulu. Misalnya dia belum menyadari dia iu akan mudah sekali marah terhadap anaknya, sampai dia punya anak.

Nah mungkin sekali sebelumnya dia adalah anak atau seseorang yang lumayan sabar tapi waktu dia punya anak barulah karakter atau sifat tersebut dihidupkan kembali. Jadi sekali lagi pengaruh ayah di sini sangat penting, tadi kita bicara pengaruh yang negatifnya nah kita bicara lagi sekarang tentang pengaruh yang positif. Yang pertama tadi saya sudah singgung adalah tentang pentingnya ayah hadir di rumah untuk memberikan contoh atau sifat mengayomi, melindungi nah itulah yang harus dimiliki oleh si anak. Kalau dia tidak memiliki atau tidak sempat menyerap sifat melindungi atau mengayomi, setelah dewasa dialah yang berusaha mencari orang untuk mengayomi, untuk melindunginya. Nah yang kedua yang saya bisa juga amati yang penting adalah ayah itu lambang pemimpin, karena Tuhan memberikannya tugas sebagai kepala keluarga. Nah otomatis kepala atau pemimpin harus mempunyai keyakinan diri, kepastian dalam pengambilan keputusan, tidak meragukan pertimbangannya. Nah kalau si anak berkesempatan menyerap sifat-sifat ini dari si ayah, dia akan bertumbuh menjadi anak yang relatif percaya diri, nyaman dengan pertimbangannya dan percaya pada pertimbangannya. Sebaliknya kalau si ayah tidak hadir atau tidak ada di rumah, si anak itu akan bertumbuh besar memiliki seribu satu macam keraguan. Si anak tidak pernah menyerap kepastian itu, keyakinan untuk memimpin. Akhirnya apa yang dia lakukan? Dia akan sekali lagi mencari-cari orang lain yang bisa memimpin, yang bisa menunjukkan arah sebab dia memang tidak memiliki kepastian itu. Jadi saya simpulkan kefakuman ayah menimbulkan kebingungan kepada anak, ketersesatan kepada anak laki-laki, nah ini yang sering kali saya saksikan Pak Gunawan.
GS : Nah itu juga termasuk kalau misalnya dalam keluarga itu ibunya, peran ibunya yang lebih dominan dari pada ayahnya begitu Pak?

PG : Ya, jadi memang ayahnya absen sering kali untuk menambal kekurangan itu si ibu yang berperan lebih besar, berperan ganda. Nah ini akhirnya sedikit banyak bisa menimbulkan juga konflik dlam diri si anak pada masa pertumbuhannya.

Memang Tuhan mendisain seharusnyalah si ayah yang menjadi seorang pemimpin dan menstransfer sifat atau karakter itu kepada anak laki-lakinya. Sewaktu itu tidak terjadi memang akan sedikit banyak terjadi gangguan.
GS : Ya itu memang kadang-kadang ayahnya hadir di situ, tetapi katakan kalah pengaruh dengan istrinya, bagaimana Pak Paul?

PG : Bisa jadi karena memang ayahnya terlalu pasif, sehingga tidak terlalu berperan. Jadi di sini bisa kita simpulkan Pak Gunawan bahwa yang penting adalah keterlibatannya bukan kehadirannyasemata tapi keterlibatan.

Kalau boleh saya gunakan pengibaratan begini, ada kasus di mana ayah-ayah itu sebenarnya figur yang positif dan panutan model yang baik, terhormat, terpuji tapi masalahnya adalah ayah-ayah ini tidak terlibat di dalam kehidupan anak. Waktu si ayah tidak terlibat walaupun dia adalah figur yang positif dia itu hanyalah menjadi, kalau saya boleh ibaratkan seperti ikan, ikan hias di dalam akuarium yang sudah tentu sedap dipandang, indah sekali tapi ikan di akuarium itu tidak bersinggungan dengan kita, tidak bersentuhan dengan kita, terpisah oleh gelas, oleh kaca dan oleh air. Demikian pulalah ayah yang indah dan terpuji, kalau tidak terlibat di dalam kehidupan anak dia hanyalah menjadi tontonan di rumah. Nah keterlibatan ayah ini yang menjadi kuncinya, ayah yang mau tahu tentang kehidupan anaknya, mengajak anaknya bicara, yang melakukan ha-hal tertentu bersama-sama anaknya pergi misalnya, ngobrol atau melakukan suatu pekerjaan bersama, tukar-menukar pikiran, bermain bersama pokoknya terlibat di dalam kehidupan si anak, di rumahnya maupun di luar rumah. Nah ini sekali lagi Pak Gunawan biasanya hanya terjadi sampai usia sekitar 12 tahun sebab setelah anak-anak berusia 12 tahun memasuki remaja dia mulai menutup pintu dari kita, kita mau masuk pun dia tidak izinkan.
GS : Tetapi ada ayah yang ini Pak Paul, katakan bisa menjadi pemimpin di luar, di tempat kerja atau pun di masyarakat begitu tetapi di rumah dia tidak mampu memimpin.

PG : Ya, ada ayah yang seperti tadi Pak Gunawan sudah siratkan mungkin karena istrinya yang terlalu dominan. Atau juga mungkin dia menganggap tugas rumah tangga tugas kurang penting jadi ya ugas dia di luar rumah mencari uang dan stop, dia sungguh-sungguh tidak mau tahu dengan urusan anaknya.

GS : Nah Pak Paul, katakan sampai usia 12 anak itu biasanya menutup diri memang dari orang tua, tetapi sejak awal orang tua itu dalam hal ini si ayah itu memang sudah terlibat di dalam kehidupan anak itu, 'kan anak itu tidak akan mudah untuk menutup dirinya itu.

PG : Tepat sekali, akan ada perbedaan itu tidak bisa kita hindari sebab anak mulai mengembangkan kemandiriannya sebagai seorang remaja, namun kalau relasinya baik dengan si ayah si anak lakiini tetap akan membukakan pintu komunikasi dengan ayahnya.

Dan akan terjadilah dialog, nah dialognya sudah tentu berubah bukan lagi sebagai seorang pengayom, sebagai seorang yang memberikan petunjuk kepada si anak, memerintahkan, menyuruh, namun lebih merupakan seperti seorang pembimbing tugas ayah di sini kepada anak remajanya. Dia mungkin memberikan masukan, memberikan jalan keluar dalam kesulitan yang dihadapi si anak remaja tapi sekali lagi si anak remaja tetap akan membuka pintu itu kepada si ayah. Nah kalau sebelumnya tidak ada jalur itu sudah tentu setelah masuk remaja, si ayah semakin tidak bisa masuk ke dalam diri si anak.
GS : Nah itu menjadi kesulitan berikutnya buat kami sebagai ayah itu Pak, mengubah peran yang tadinya sebagai ayah yang otoriter, yang tinggal memerintah anak kecil, sekarang dengan beranjak dewasa tadi Pak Paul katakan menjadi teman, menjadi sahabat untuk berbicara itu 'kan sebagai orang tua merubah peran itu Pak?

PG : Betul, jadi mengubah peran ini memang adakalanya harus diawali dengan perlawanan dari anak kita, dia tidak suka lagi kita beritahukan seperti dulu nah itu sebagai tanda-tanda atau sinya-sinyal, OK....saya

mungkin harus menggunakan pendekatan yang berbeda. Nah sekali lagi ini penting Pak Gunawan, sebab kalau sampai ayah itu tidak terlibat dan si anak melihat sebetulnya si ayah itu bisa terlibat, efek sampingan yang sering kali muncul pada masa remaja ialah pemberontakan, si anak marah. Marah kenapa? Sebab dia tahu si ayah sebetulnya terlibat, bisa membantu anak-anaknya tapi tidak mau, tidak peduli nah nanti si anak itu mulailah mengembangkan kemarahan. Berbeda dengan anak yang misalnya tidak ada ayah karena ayahnya sudah meninggal dunia dia akan rindu tapi dia tahu memang ayahnya meninggal. Tapi kalau ayahnya itu tidak meninggal namun tidak terlibat dia akan rindu, merindukan si ayah sekaligus marah, nah muncul dalam bentuk pemberontakan atau kebalikannya apatis memasabodohkan semua hal, sangat pasif dalam hidup, tidak mau tahu dan harus terus-menerus dipimpin tapi dipimpin pun susah, nanti ngambek, nanti tidak mau, nanti tukar pikiran lagi seperti itu.
GS : Ya mungkin juga ada salah pengertian itu Pak Paul, memberikan kecukupan terhadap anak laki-lakinya itu hanya sebatas cukup material, hanya materinya saja Pak dicukupi.

PG : Ini kesalahan kebanyakan kita Pak Gunawan, kita beranggapan bahwa kalau saya cukupi anak-anak secara materi, memberikan kecukupan pendidikan maka tugas saya sudah selesai, tidak. Ayah prlu terlibat di dalam kehidupan anak-anaknya barulah nanti si anak bisa menjadi seorang pria dewasa yang matang dan mantap.

Kadang-kadang ayah hanya berharap ayahnya tiba-tiba bisa lompat dan menjadi pria dewasa, tidak! Dia harus menolong si anak menjadi seorang pria dewasa.
(4) GS : Buknakah tidak sekadar pria dewasa yang tadi kita bicarakan tentang pengarahan anak ini, nah sebenarnya anak laki-laki ini harus diarahkan ke mana Pak Paul secara spesifik?

PG : Anak laki-laki diajarkan untuk pertama-tama bertanggung jawab ini penting sekali, sehingga dia tidak mengelak dari tanggung jawab atau melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Selan bisa bertanggung jawab si anak diajarkan untuk berani juga mengambil resiko, ini adalah salah satu kwalitas kepriaan yang penting yang harus mulai ditumbuhkan pada diri si anak sejak usia yang lebih awal, jadi kita mendorongnya, menggiringnya tapi tidak mencemeti dia, memaksa dia, kita berikan dia dorongan.

Dan yang ketiga adalah kemampuan mengambil keputusan, anak harus diajarkan memilih alternatif-alternatif yang tersedia, baiknya apa, kurangnya apa. Sebab anak laki-laki nanti harus mengambil keputusan, jadi kalau boleh saya simpulkan sekurang-kurangnya tiga kwalitas inilah yang perlu ayah ajarkan kepada anak laki-lakinya.
GS : Nah di dalam pengambilan resiko itu Pak Paul, yang saya sendiri alami itu agak sulit kita justru sebagai orang tua kurang berani untuk memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil resiko, Pak Paul?

PG : Betul, ini menjadi masalah saya juga, memang kita harus mengingatkan diri kita bahwa terlalu melindungi anak akan berdampak kurang baik kepadanya. Dia perlu menjadi anak yang bisa mengabil resiko, sebab hidup memang menuntut pengambilan resiko itu.

GS : Ya masalahnya nanti kalau ada apa-apa yang repot kita juga, Pak Paul.

PG : Betul, jadi sudah tentu dalam pengambilan resiko kita memintanya untuk cerdas, tidak sampai gelap mata, sembarangan dan kita memintanya untuk berpikir dengan lebih luas.

GS : Nah Pak Paul dalam hal pengarahan terhadap anak laki-laki ini, apakah ada firman Tuhan yang mengarahkan ayah seperti kita ini.

PG : Saya akan bacakan dari Kolose 3:21, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Jadi kalau saya boleh balik firman Tuhan ini sehingga lebih ersifat positif untuk ayah-ayah, saya boleh katakan.

"Hai Bapa-bapa, besarkanlah hati anak-anakmu sehingga manislah hatinya." Artinya tugas ayahlah membesarkan si anak, membesarkan hatinya, sehingga hati atau jiwa si anak menjadi jiwa yang penuh rasa tidak menjadi jiwa yang tawar sekali penuh dengan ketidaksukaan, kepasifan, keapatisan. Nah tugas ayah itu hanya bisa terjadi kalau si ayah terlibat dalam kehidupan si anak laki-lakinya.

GS : Dan itu menuntut pengorbanan dari si ayah juga Pak. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan tentu ini akan sangat bermanfaat bagi para pendengar kita. Para pendengar sekalian yang kami kasihi, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Ayah dan Arah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



25. Menghukum Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T120A (File MP3 T120A)


Abstrak:

Orang tua kadang-kadang harus menghukum anak walau itu dilakukan dengan hati yang berat, tetapi menghukum anak itu bukan saja perlu tapi harus. Karena hukuman ini adalah semacam paksaan bagi anak supaya anak tunduk pada aturan dan otorita. Tanpa adanya hukuman wibawa orangtua tidak mungkin dapat dibangun.


Ringkasan:

Orang tua kadang-kadang harus menghukum anak walau itu dilakukan dengan hati yang berat. Tetapi menghukum anak itu bukan saja perlu tetapi harus. Karena hukuman ini adalah semacam paksaan bagi anak supaya anak tunduk pada aturan dan otorita. Tanpa adanya hukuman wibawa orang tua tidak mungkin dapat dibangun.

Anak akan menganggap sepele peraturan atau didikan yang ditetapkan orang tuanya, kalau peraturan itu tanpa sanksi atau hukuman itu ibarat polisi tanpa senjata, nah anak tidak akan segan melanggar peraturan yang demikian.

Tujuan akhir dari kita mendidik atau menghukum anak adalah supaya anak bisa menyadari, bertanggung jawab dan mandiri, bisa mengontrol dirinya sendiri. Wibawa orang tua sebetulnya tidak bisa dibangun hanya dengan hukuman saja, jadi orang tua menghukum anak tidak dengan sendirinya orang tua itu menjadi berwibawa.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan supaya orang tua dapat menjaga wibawanya yaitu:

  1. Orang tua itu dapat memberikan teladan yang baik, hidupnya tertib

  2. Tindakannya konsekuen dengan apa yang diucapkannya, dan juga

  3. Dapat menghargai anak serta

  4. Dapat menghukum anak sepadan dengan perbuatannya.

Cara menghukum anak supaya anak mengerti peraturan yang telah ditetapkan di rumah adalah:

  1. Sebagai orang tua kita perlu tentukan dulu aturan yang ingin kita tegakkan.
    Perlu kita meyakinkan diri sendiri bahwa:

    1. Peraturan ini hendaknya sudah mampu dipahami oleh anak dan kita yakin bahwa ia sanggup menjalankannya.

    2. Peraturan ini jangan terlalu rumit atau terlalu banyak, cukup sederhana saja dan ada konsekuensi yang menyenangkan.

  2. Beritahukan secara jelas konsekuensi yang bakal diterimanya bila ia melanggar peraturan yang kita tetapkan serta juga konsekuensi menyenangkan bila ia menaatinya. Berikan peringatan lebih dulu sebelum peraturan itu dijalankan.

  3. Pastikan anak telah terpenuhi kebutuhannya sebelum peraturan itu diterapkan. Pelanggarannya adakalanya terjadi bukan karena anak sengaja melanggar, melainkan karena ada kebutuhannya yang tak terpenuhi, misalnya kebutuhan akan perhatian orangtua dan kebutuhan akan rasa aman.

Anak ada kalanya terus-menerus melakukan hal yang dilarang sekalipun telah memperoleh hukuman, dikarenakan:

  1. Kemungkinan anak kita tergolong sebagai anak yang lebih sulit dan memerlukan tindakan disiplin orang tua yang lebih tegas.

  2. Kemungkinan sanksi yang kita berikan terlalu ringan dan anak lebih menikmati hasil pelanggaran yang dilakukannya dibandingkan dengan hukuman ringan yang harus ditanggungnya.

  3. Anak tidak memperoleh larangan kita ketika ia melakukan pelanggaran untuk pertama kalinya. Mungkin sudah terjadi sedemikian banyak pelanggaran sebelum kita menetapkan peraturan, sehingga tingkah laku itu sudah terlanjur menjadi kebiasaan.

Ibrani 12:7-8, "Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang." Ini adalah contoh ganjaran atau juga didikan yang dilakukan oleh Allah kepada anak-anak-Nya yang dianalogikan dengan orang tua kita atau kita sendiri sebagai orangtua terhadap anak-anak kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kali ini berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. beliau adalah seorang pakar di bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menghukum Anak". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, sukar dihindari kita itu sebagai orang tua kadang-kadang harus menghukum anak atau anak-anak kita Pak Heman, walaupun itu kita lakukan dengan hati yang sedih kita harus melakukan itu. Kadang-kadang setelah menghukum ada perasaan bersalah. Sebenarnya apakah memang bisa dibenarkan orang tua itu memberikan hukuman kepada anak?

HE : Ya betul Pak Gunawan, kadang-kadang waktu kita menghukum anak, kita rasanya tidak enak begitu. Tetapi kita bahkan adakalanya harus, bukan saja perlu menghukum anak tetapi harus. Kenapa?Karena kalau bisa digambarkan hukuman ini adalah semacam paksaan bagi anak supaya anak tunduk pada aturan dan otorita.

Dalam hal ini yang disebut otorita adalah orang tuanya, tanpa ada hukuman wibawa orang tua tidak mungkin dapat dibangun. Anak sering kali akan menganggap sepele peraturan yang ditetapkan orang tuanya juga didikan dari orang tuanya. Kalau peraturan itu tanpa sanksi atau hukuman, itu ibaratnya seperti polisi tanpa senjata, nah anak tidak akan segan melanggar peraturan yang demikian.
GS : Tetapi bukan tujuan kita untuk memaksa anak itu Pak untuk tunduk pada peraturan-peraturan yang ada di dalam rumah. Bukankah kita maunya anak itu sadar, Pak?

HE : Betul Pak Gunawan, jadi memang akhirnya tujuan akhir dari cara kita mendidik anak adalah supaya anak bisa menyadari, bertanggung jawab dan mandiri, dia bisa mengontrol dirinya. Tetapi pda awalnya kita kadang-kadang perlu untuk menghukum anak supaya anak itu tunduk.

Karena bagaimana pun pada dasarnya anak itu tidak demikian saja mau tunduk karena kadang-kadang tunduk atau menaati orang tua itu bukan merupakan natur dari anak.
GS : Nah kalau begitu apakah kita memang perlu membangun kewibawaan kita itu sebagai orang tua atau otorita kita itu dengan melakukan hukuman sesering mungkin Pak, supaya anak menjadi takut kepada kita?

HE : Nah mengenai wibawa ini logikanya memang tidak sesederhana itu, karena wibawa orang tua sebetulnya tidak bisa dibangun hanya dengan hukuman saja. Jadi orang tua menghukum anak tidak denan sendirinya bahwa orang tua itu menjadi berwibawa.

Untuk masalah wibawa ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan supaya orang tua dapat menjaga wibawanya yaitu kalau misalnya orang tua itu dapat memberikan teladan yang baik, kemudian hidupnya tertib, tindakannya konsekuen dengan apa yang diucapkannya, selain itu dapat menghargai anak serta dapat menghukum anak sepadan dengan perbuatannya di mana perlu, nah baru dengan demikian orang tua itu bisa membangun wibawanya. Kalau semata-mata dengan hukuman justru kemungkinan ada pemberontakan dari anak, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
(2) GS : Kalau begitu Pak Heman, apakah kita ada semacam pedoman atau cara bagaimana kita menghukum supaya anak itu bisa mengerti peraturan yang ada di dalam rumah kita itu, ada atau tidak Pak?

HE : Ya mungkin bisa diuraikan dalam beberapa langkah atau beberapa prinsip. Yang pertama sebagai orang tua kita perlu menentukan dulu aturan yang ingin kita tegakkan. Nah perlu kita yakinka diri sendiri bahwa peraturan ini hendaknya sudah mampu dipahami oleh anak dan kita yakin bahwa ia sanggup menjalankannya.

Masalahnya kadang-kadang waktu kita menerapkan suatu peraturan anak masih terlalu muda, sehingga anak tidak bisa menjalankannya dengan baik. Jadi kita harus meyakinkan diri dulu bahwa peraturan ini bisa dilakukan oleh anak. Hendaknya juga peraturan ini jangan terlalu rumit atau terlalu banyak, cukup sederhana saja dan untuk itu ada konsekuensi yang menyenangkan. Kita perlu siapkan konsekuensinya yang menyenangkan ketika anak menaati peraturan ini.
GS : Nah itu mengenai peraturan yang mau kita beritahukan kepada anak-anak kita di dalam rumah, sering kali mereka itu tidak memahami bahwa itu adalah suatu peraturan yang harus mereka taati. Nah bagaimana mengkomunikasikan pikiran kita atau peraturan yang harus mereka taati itu Pak?

HE : Pertama, kita biasanya memulai dengan membiasakannya, jadi biasanya kita mempunyai jadwal kapan anak itu bangun tidur, kapan makan, mandi dst. Nah ketika anak sudah mulai bisa menaati jdwal ini, mulai terbiasa dengan jadwal ini tapi kadang-kadang anak-anak juga ingin melanggar peraturan-peraturan ini, pada saat itu ketika terjadi pelanggaran kita beritahukan peraturannya.

Misalnya peraturannya adalah tidak boleh tidur terlalu malam atau tidak boleh nonton televisi sampai jauh malam. Nah ketika peraturan itu diterapkan pertama kali kita beritahukan pada jam berapa dia sudah harus siap-siap untuk tidur. Nah tentu perlu beberapa kali latihan dan pemberitahuan, dan ketika beberapa kali diberitahukan tapi tidak didengarkan, kita beritahukan juga sanksinya.
GS : Nah itu sulitnya Pak Heman, untuk tahap-tahap awal kita bisa memaklumi dia, memaafkan dia kalau dia sedang melakukan kesalahan. Tapi pada suatu saat kita menghukum dia kalau dia melakukan kesalahan itu. Nah anak itu juga menjadi bingung, dulu tidak apa-apa dilakukan sekarang kok menerima hukuman.

HE : O........ya kita tidak boleh memperlihatkan keragu-raguan kita pada saat kita menghukum anak. Jadi ketika kita sudah menetapkan peraturannya dan juga menetapkan hukumannya, hukuman apa ang kita ingin terapkan kepada anak itu maka kita harus segera melakukannya dengan pasti.

Ketika ada suatu kepastian di dalam kita menjalankan hukuman mungkin anak akan kaget, terkejut, untuk pertama kalinya tapi setelah itu dia akan mengerti bahwa kalau saya melanggar, orang tua pasti menerapkan sanksinya jadi dia juga tidak berani sembarangan melanggar peraturan yang kita tetapkan.
GS : Nah itu berarti suatu konsekuensi logis yang harus diajarkan kepada anak, Pak?

HE : Ya betul Pak Gunawan.

GS : Nah bagaimana caranya anak itu untuk dapat menghindari diri dari hukuman itu?

HE : Itu juga perlu kita beritahukan, bagaimana caranya dia bisa menghindarkan diri dari itu. OK! Sekarang kita berikan jam weker misalnya. Pada jam sekian akan berbunyi alarmnya, nah setela berbunyi dia harus mulai apa begitu kita beritahukan.

Kalau misalnya dia sudah siap dengan mau tidur, nah waktu dia mau tidur kita berikan cerita-cerita biasanya anak suka dengan cerita-cerita. Tetapi kalau dia melanggar dia bukan saja tidak mendengar cerita tapi mungkin ada sanksi yang khusus, misalnya begitu.
GS : Apakah ada cara yang lain Pak, jadi tadi sudah diberitahukan mengenai peraturan ada konsekuensinya, apa ada cara yang lain?

HE : Ya ada berbagai cara untuk memberikan sanksi ini maksudnya dalam konteks menghukum anak ya Pak. Jadi di dalam menghukum anak ini tentu saja ada beberapa macam sanksi yang bisa kita terakan.

Jadi ada sanksi misalnya meminta anak untuk berdiri di satu tempat selama jangka waktu tertentu, saya kira tidak perlu terlalu lama misalnya menyuruh anak berdiri, cukup asal dia tahu bahwa dia tidak suka dengan konsekuensi seperti itu. Adakalanya kita bisa meminta anak untuk tidak bermain, jadi mengurangi jam main dari anak itu. Adakalanya kita bisa meminta anak misalnya kalau dalam hal makan, dia susah sekali makan dan tidak mau makan misalnya, adakalanya kita boleh tidak memberikan dia makan itu sebagai konsekuensinya.
GS : Apakah itu tidak malah merusak tubuhnya Pak, kalau tidak diberi makan misalnya?

HE : Saya kira itu hanya satu kali dia tidak diberi makan, itu tidak berdampak buruk kepada dia. Efek positifnya adalah dia berhati-hati untuk tidak melanggar. Nah untuk hal seperti ini misanya macam-macam sanksi ini dapat dibahas lebih mendetail di waktu yang akan datang.

(3) GS : Nah Pak Heman, tetapi ada anak itu walaupun kita sudah menghukumnya, kita sudah peringatkan dihukum lagi dst, tapi tetap melakukan pelanggaran yang sama, itu bagaimana?

HE : Itu ada kemungkinan ada beberapa sebab, sebab yang biasanya terjadi adalah kemungkinan hukuman yang kita terapkan itu kurang keras. Kadang-kadang misalnya ada ibu-ibu yang mengatakan bawa anaknya itu suka melempar barang, atau kalau mau kencing sengaja dia naik ke kursi, dia tahu mamanya marah mamanya menghukum.

Nah ketika dikonfermasi hal ini, diperjelas masalahnya ternyata ibu ini waktu menghukum anak itu juga tidak tega dan cenderung untuk ikut tertawa kalau misalnya anaknya melucu. Dengan demikian orang tua menjadi kehilangan wibawa di mata anak. Dan karena anak merasa bahwa ibunya itu hanya tidak serius bahkan cenderung bermain, anak akan melakukan ini terus karena anak juga merasa ini tingkah laku yang lucu. Nah ada hal lain yang juga perlu kita perhatikan adalah bahwa adakalanya hukuman itu tidak mempan atau anak melanggar terus karena ada kebutuhan-kebutuhannya yang tidak terpenuhi. Jadi misalnya anak yang butuh sekali akan perhatian orang tua lalu dia berusaha menarik perhatian dari pelanggarannya. Karena kalau misalnya dia berusaha berbuat yang baik, bermain yang biasa-biasa saja orang tua sering tidak memperhatikan. Justru dengan dia berbuat "nakal" itu dia mendapat perhatian sekalipun perhatiannya dalam bentuk yang negatif dan dia merasa saya toh bisa menerima konsekuensi hukuman ini, saya bisa tanggung tapi yang penting saya mendapat perhatian dari orang tua. Nah ini kekhasan anak-anak yang hidup di dalam keluarga yang bermasalah.
GS : Ya adakalanya anak itu merasa kesalahan yang dia perbuat itu sudah menjadi kebiasaan rutinnya Pak. Dia malah merasa tidak enak kalau dia tidak melakukan itu, padahal itu sesuatu yang melanggar.

HE : Ya nah di dalam hal ini kita juga perlu memperhatikan dari perilaku dia itu hasil positif apa yang diperoleh oleh anak itu. Jadi seringkali sesuatu yang menjadi kebiasaan itu dilakukan erus karena dia memperoleh hasilnya.

Hasilnya misalnya kepuasan, umpama ada anak yang suka memukul adiknya atau mengganggu adiknya waktu adiknya lagi bermain, adiknya berteriak-teriak lalu misalnya dia dihukum oleh ibunya, tidak boleh main dsb. Nah semakin dia tidak boleh main semakin dia berusaha untuk mengganggu adiknya lagi karena itu memberikan dia kesenangan. Dia bisa melihat orang lain juga ikut menderita.
GS : Atau mungkin dia merasa tidak mempunyai pilihan lain Pak?

HE : Ya, itu juga bisa terjadi Pak Gunawan, jadi tidak ada pilihan lain dan orang tua harus menciptakan pilihan ini. Kalau misalnya dia memukul adik dan dia tidak boleh memukul, apa yang diaboleh lakukan? Kadang-kadang misalnya adiknya yang usil lalu dia marah.

Di dalam kemarahan ini kita ajarkan anak ini misalnya untuk melampiaskan atau mengungkapkan kemarahannya dalam bentuk kata-kata atau boleh juga dalam bentuk gambar-gambar. Ini salah satu yang kita boleh ajarkan karena kalau misalnya anak itu mengungkapkan kemarahan dalam bentuk kata-kata biasanya ini lebih mudah untuk dikontrol.
GS : Pak Heman, kadang-kadang kita sebagai orang tua itu melakukan kesalahan dengan menghukum anak di mana anak itu sendiri tidak bisa menguasai dirinya bahwa dia itu melakukan suatu pelanggaran. Contohnya begini Pak Heman, ada anak itu yang sudah diberitahu kalau malam pipis dulu supaya tidak ngompol, dia sudah pipis malam itu tapi malamnya tetap ngompol. Nah besoknya dia mendapat hukuman dari orang tuanya, apakah hukuman itu tepat padahal anak ini tidak bisa mengontrol dirinya pada waktu malam, dia mungkin mimpi atau apa lalu terkencing di tempat tidurnya, ini bagaimana?

HE : Ini pertanyaan yang baik Pak Gunawan, jadi kalau di dalam keadaan anak itu tidak sengaja kita tidak perlu menghukum anak. Peraturan dan hukuman itu hanya perlu kalau misalnya anak itu mlakukan pelanggaran secara sengaja.

Kita sudah tahu bahwa dia sudah bisa bertanggung jawab, dia cukup matang, dan dia tahu aturannya dan dia sebetulnya bisa melakukan untuk taat pada aturan tapi dia sengaja melanggar maka kita harus berikan sanksi. Dalam contoh Pak Gunawan tadi tentang mengompol saya kira kurang tepat kalau misalnya dihukum berat, karena kadang-kadang mengompol itu terjadi bukan cuma karena terlalu banyak minum dsb, tetapi kalau terjadi terus-menerus ada kemungkinan ini karena berakar dari kecemasan yang lebih dalam. Nah untuk hal-hal begini yang perlu kita perhatikan lebih dulu adalah pemenuhan kebutuhan akan rasa amannya. Kalau misalnya kebutuhannya akan rasa aman ini sudah terpenuhi maka selanjutnya adalah melatih dia. Salah satu contoh yang bisa kita lakukan adalah anak ini diminta untuk mengangkat spreinya dan kemudian membantu orang tua untuk menjemurnya, mungkin anak seusia itu belum cukup kuat untuk mengangkat sampai ke jemuran jadi kita juga membantu dia. Tapi setidaknya ada sesuatu yang dia perlu lakukan sebagai konsekuensinya.
GS : Adakalanya juga ini di dalam mengajar anak untuk persiapan sekolah dsb maksudnya orang tua ini membantu, tapi anak ini karena selalu gagal di situ misalnya mengucapkan huruf R itu sulit buat anak dan dia selalu mengatakan L, L, L. Nah orang tuanya marah dan menghukum anak itu, nah itu bagaimana Pak?

HE : Ya dalam kaitan ini juga, karena anak ini belajar dan bukan sengaja dia belum bisa, dia hanya perlu untuk dilatih dan ada masanya dia akan bisa nanti. Di dalam ketidaksengajaan dan pross belajar maka pemberian hadiah, pujian, tepukan tangan atau tepukan di bahu, senyuman, itu lebih efektif dari pada diberikan hukuman.

Justru dengan hukuman anak menjadi takut untuk belajar bahkan dikhawatirkan makin bermasalah dan akhirnya belajarnya terhambat.
GS : Ya kadang-kadang kita itu sebagai orang tua menghukum, marah kepada anak karena kita sendiri jengkel Pak. Mungkin kalau kita tidak jengkel, kita mungkin tidak sampai menghukum dia.

HE : Ya ini baik sekali Pak Gunawan, sebuah masukan bagi kita sebagai orang tua untuk juga belajar bagaimana mengontrol diri. Kita berusaha sadar akan diri kita ketika kita menghukum, hukuma yang kita berikan hendaknya di dasarkan kepada kasih dan juga bertujuan untuk mengoreksi anak, memperbaiki perilakunya, bukan dengan tujuan supaya memuaskan atau melampiaskan hawa nafsu kita.

GS : Pak Heman, kalau kita menghukum anak dengan sangat, apakah itu akan menimbulkan satu trauma terhadap anak atau bahkan kita sendiri yang trauma atau bagaimana Pak?

HE : Sebetulnya kalau hukuman itu kita bisa batasi dengan sepatutnya saja kepada anak, maka hukuman ini tidak akan memberikan dampak trauma kepada anak bahkan justru mempunyai efek yang posiif bagi anak.

Sehingga anak bisa juga mempunyai rasa aman bisa lebih berdisiplin diri. Hukuman hanya dapat menimbulkan trauma pada situasi-situasi tertentu. Misalnya saja seperti yang Pak Gunawan katakan tadi diberikan secara berlebihan. Trauma itu biasanya terjadi kalau orang tua melakukan tindakan dan perkataan yang menghina dan merendahkan anak. Juga pelampiasan hawa nafsu orang tua, mengamuk sejadi-jadinya dengan memukul anak dsb ini akan menimbulkan trauma. Tetapi kalau orang tua menerapkan hukuman dengan pertimbangan akal sehat dan dengan kasih, nah hukuman-hukuman ini akan berefek positif bagi anak.
GS : Kalau anak itu sudah sampai besar, katakan sampai mahasiswa tapi masih mengingat apa yang dilakukan ibunya atau ayahnya terhadap dia di dalam memberikan hukuman, apakah itu sudah dianggap sebuah trauma Pak?

HE : Kalau misalnya trauma itu berarti dia sensitif terhadap hal-hal tertentu, yang mengasosiasikan atau mengingatkan dia pada peristiwa hukuman itu. Misalnya dia takut dengan air, kenapa di takut dengan air? Pada waktu dia mandi lalu dia bermain-main dengan air di situ dia dihukum dengan sangat keras oleh ayahnya misalnya.

Sehingga setiap kali melihat air dia ketakutan nah ini yang disebut trauma.
GS : Kalau sekadar mengingat tidak ya Pak, karena ada anak yang sampai mahasiswa pun masih ingat bagaimana dulu dia dimasukkan ke dalam gudang.

HE : Kalau sekadar mengingat tidak, kecuali kalau dimasukkan gudang dia takut dengan tempat gelap yang sempit dsb itu trauma. Tetapi kalau ada kepahitan di dalamnya nah ini juga perlu diseleaikan.

Kadang-kadang orang tua boleh mengajak anak yang demikian untuk lebih akrab, berbincang-bincang, di mana kemudian kalau perlu orang tua memeluk anaknya memohon maaf.
GS : Tetapi apakah sebenarnya ada orang tua itu yang trauma karena dia terlalu keras menghukum anaknya yang pertama, sehingga dia tidak melakukan hukuman yang sama terhadap anak yang kedua Pak?

HE : Ya bisa terjadi, kadang-kadang orang tua menyesal juga untuk melakukan itu. Saya mengetahui ada orang tua yang setelah tahu bahwa dirinya itu menghukum anaknya terlalu banyak dan terlal keras, anaknya sakit hati, ketika anaknya berkuliah keluar kota dia berusaha untuk setiap kali menulis surat kepada anaknya dan di antaranya disisipkan kata-kata saya mengasihimu dan saya menyesal dulu pernah menghukum kamu terlalu keras.

GS : Itu biasanya tanggapan si anak bagaimana Pak, kalau kita sebagai orang tua itu meminta maaf apakah dia bisa begitu saja melupakan sakit hatinya itu atau butuh waktu yang lama?

HE : Paling tidak anak ini akan lebih cepat untuk pulih dan akan lebih lembut hatinya, pemberontakan lalu pembalasan itu akan sangat berkurang. Biasanya masalah terjadi adalah kalau orang tu tidak mau tahu dan orang tua tidak pernah mengucapkan kata maaf.

GS : Nah Pak Heman, untuk masalah menghukum anak ini tentunya tidak mudah juga buat orang tua, apakah ada firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman untuk kita sebagai orang tua khususnya.

HE : Sebuah ayat yang indah akan saya bacakan dari Ibrani 12:7-8, "Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tida dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang."

Nah ini adalah sebuah contoh ganjaran atau juga didikan yang dilakukan oleh Allah kepada anak-anak-Nya yang dianalogikan dengan orang tua kita atau kita sendiri sebagai orang tua, apa yang harus kita lakukan terhadap anak-anak kita.
GS : Jadi itu bertujuan yang positif Pak, jadi tujuannya untuk membangun anak bukan untuk merusakkan atau menghancurkan anak itu.

HE : Betul Pak Gunawan.

GS : Terima kasih banyak Pak Heman untuk perbincangan pada kesempatan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan pula banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M. Psi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghukum Anak". Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



26. Mengoreksi Perilaku Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T120B (File MP3 T120B)


Abstrak:

Mengoreksi dan memperbaiki bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi mau tidak mau tatkala kita mendidik anak-anak kita ternyata ada sifat atau tingkah laku atau kebiasaan yang kita anggap kurang tepat dan mau tidak mau ini harus dikoreksi.


Ringkasan:

Mengoreksi atau memperbaiki itu bukan sesuatu hal yang mudah dilakukan, tetapi mau tidak mau tatkala kita mendidik anak-anak kita ternyata ada sifat atau tingkah laku atau kebiasaan yang kita anggap kurang tepat dan mau tidak mau ini harus dikoreksi.

Tindakan-tindakan yang bisa kita lakukan selain dari memberikan hukuman atau memarahi anak ini yaitu:

  1. Bagi anak yang masih sangat muda misalnya di bawah 2 tahun, dengan cara mengalihkan perhatian anak kepada hal-hal yang lebih positif. Biasanya cara ini cukup efektif, kadang-kadang karena kekurangmatangannya sang anak misalnya ingin terus-menerus merobek buku atau majalah yang kita simpan.

  2. Mencari sumber kenikmatannya dan menutup sumber kenikmatannya maka kita harapkan kita bisa menghentikan pelanggarannya. Maksudnya biasanya anak melakukan suatu perilaku dengan terus-menerus bahkan menjadi kebiasaan karena ada hasil yang menyenangkan yang dia bisa petik dari pelanggaran atau kesalahan dari perilakunya, jadi setiap dia melanggar dia menikmatinya.

  3. Membiarkan atau memberikan konsekuensi yang tidak enak bagi anak. Jadi kita tidak mencegah konsekuensi yang tidak enak hasil tindakandari anak itu untuk anak tanggung sendiri. Contoh anak tidak mau makan, konsekuensinyadia harus mau kehilangan makanannya.

Ada hal yang perlu kita pertimbangkan sebelum kita menerapkan suatu konsekuensi tertentu yaitu:

  1. Misalnya makan, apakah perilaku tidak mau makan ini ada unsur manipulatifnya atau jangan-jangan disebabkan karena anak sedang tidak enak badan. Atau karena kurang nafsu makan akibat suatu penyakit.

  2. Apakah konsekuensi itu sudah pantas dan dapat ditanggung baik oleh anak maupun orangtua. Jadi bukan hanya bisa ditanggung oleh anak tetapi juga bisa ditanggung oleh orangtua.

Ibrani 12:11, "Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya." Allah memberikan ganjaran kepada anak-anak yang dikasihi-Nya. Orang tua pun perlu kadang-kadang menegakan hati, menahan rasa kasihan karena pada waktu dia memberikan ganjaran memang tidak membuat sukacita anaknya tetapi dukacita, tetapi setelah itu anak bisa dilatih.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. beliau adalah seorang pakar di bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Mengoreksi Perilaku Anak". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, memang mengoreksi atau memperbaiki itu bukan sesuatu hal yang mudah dilakukan, tetapi mau tidak mau tatkala kita mendidik anak-anak kita atau mempersiapkan mereka untuk masa depan mereka ternyata ada sifat atau tingkah laku atau kebiasaan yang kita anggap kurang tepat dan mau tidak mau ini harus dikoreksi. Tidak mungkin ini dibiarkan saja. Nah memang sering kali kita itu melakukan bentakan melampiaskan kemarahan kepada anak ini tetapi itu pun tidak selamanya membawa suatu hasil yang baik. Nah kadang-kadang kita merasa putus asa dan berkata apa perlu dibiarkan saja kesalahan-kesalahan ini, tidak perlu dikoreksi toh sulitnya setengah mati itu Pak, itu bagaimana Pak sebenarnya?

HE : Kita harus usahakan supaya kita bisa menggunakan cara-cara lain selain yang Pak Gunawan katakan dengan memarahi dan menghukum anak. Mungkin ada cara-cara yang lain yang masih bisa cukupefektif yang bisa kita usahakan.

GS : Kalau cuma dengan kemarahan apakah itu tidak cukup Pak?

HE : Kemarahan boleh dilakukan tetapi masalahnya adalah seperti ini, kadang-kadang anak itu sudah terbiasa orang tuanya ngomel-ngomel, setiap kali ngomel lama-lama anaknya kebal. Lama-lama da terbiasa dan tidak mempan lagi dan dengan hal seperti itu kadang-kadang kita perlu tambahkan kemarahan kita, tambahkan bentakan kita, tambahkan hukuman kita, tetapi itu pun ada batasnya.

Kalau misalnya kita sering memarahi anak, sering membentak, anak pun kadang-kadang hanya takut di depan kita dan kemudian perilakunya tetap saja berlangsung.
GS : Maksudnya itu menambah katakan kalau obat itu dosisnya kita tingkatkan supaya anak ini menjadi jera atau kapok, tetapi kenapa juga tidak berhasil Pak?

HE : Ya ada beberapa kemungkinan di sini kalau misalnya hukuman atau kemarahan kita tidak berhasil. Misalnya saja anak yang sulit, sulit untuk dikoreksi dan lebih bandel kalau dibandingkan dngan anak yang lain.

Memang ada anak-anak yang khusus seperti ini, tetapi juga ada kemungkinan bahwa orang tua tidak harmonis sehingga membuat anak itu tidak puas, frustrasi dan kemudian melakukan pemberontakan-pemberontakan. Kemungkinan lain juga adalah bahwa anak-anak tertentu itu kalau memakai cara hukuman atau dimarahi dia akan lebih sakit hati dan dia melawannya, tetapi kalau dengan cara-cara yang lain dia bisa misalnya dengan teknik-teknik untuk melatih dia supaya dia teralih ke perilaku yang lain yang lebih baik, adakalanya cara yang seperti ini yang lebih berhasil.
GS : Ya berarti dalam rangka membenahi tingkah laku anak tadi juga dibutuhkan suatu kreatifitas tersendiri untuk orang tua itu Pak?

HE : Betul Pak Gunawan.

GS : Nah kalau begitu kapan kita itu harus berpindah ke cara-cara yang lain, Pak?

HE : Kadang-kadang bukan saja harus berpindah tetapi kadang-kadang memang kita harus sudah menggunakan cara lain itu sebelum kita melakukan hukuman atau kita marah-marah. Yaitu kalau misalny anak melanggar sesuatu atau melakukan kesalahan itu karena kekurangmatangannya dan bukan karena kesengajaannya.

Kita melatihnya supaya dia memperoleh perilaku yang lebih baik dan perilaku yang baru.
GS : Ya, walaupun anak itu tidak atau belum matang atau belum mengerti benar, tetapi yang namanya kesalahan kita tetap mesti melakukan suatu tindakan koreksi terhadap anak itu Pak?

HE : Ya Pak Gunawan, kita harus koreksi mereka.

GS : Nah di dalam hal ini mungkin Pak Heman bisa menjelaskan tindakan-tindakan apa yang bisa kita ambil selain memberikan hukuman atau memarahi anak?

HE : Kalau misalnya ini bergantung kepada usia, kita berhadapan dengan anak yang masih sangat muda misalnya di bawah 2 tahun. Biasanya anak-anak di bawah usia 2 tahun itu perhatiannya mudah ita alihkan.

Cara mengalihkan perhatian anak ini cukup efektif, kadang-kadang karena kekurangmatangannya itu sang anak misalnya ingin terus-menerus merobek buku atau majalah yang kita simpan. Atau kadang-kadang dia suka bermain-main dan kita makin melarang dia, dia makin sengaja bermain misalnya colokan listrik yang biasanya cukup berbahaya. Kita bisa mengalihkannya misalnya membujuk dia lalu mengalihkan perhatian dia kepada hal-hal yang lebih menyenangkan misalnya kita sediakan botol-botol plastik bekas shampoo atau bekas isi kecap atau yang lainnya yang tidak berbahaya, yang tidak ada tajam-tajamnya. Dia bisa bermain di situ putar-putar kemudian buka tutup, dibanting, dilempar dsb dengan demikian perhatiannya untuk bermain hal itu teralihkan ke hal yang lain yang tidak berbahaya. Nah untuk hal ini kita juga bisa melakukan dengan manipulasi lingkungan, artinya kita tidak izinkan dia bermain di tempat-tempat yang banyak gelas atau banyak barang pecah belahnya. Untuk colokan listrik kita bisa menggantinya dengan colokan yang lebih tidak berbahaya jadi harus dengan diputar, dibuka tutupnya dan diputar misalnya baru bisa dihubungkan dengan listrik dsb.
GS : Menurut saya ada kebiasaan anak yang masih sangat muda itu agak sulit untuk diubah Pak Heman, ada anak yang kalau diberikan makanan itu tidak langsung ditelan, dibiarkan terus di dalam mulutnya nah ini mau mengalihkan perhatiannya bagaimana Pak. Tapi memang kalau anak ini diajak makan sambil jalan-jalan, keliling-keliling itu dia bisa makan tapi bukankah itu tidak sehat, makan dengan keliling jalan sana jalan sini, begitu Pak?

HE : Ya, kekhawatirannya adalah kalau diajak jalan-jalan seperti itu memang makan, tetapi dia memperoleh kebiasaan yang kurang baik, tidak bisa makan di (GS : Rumah atau di tempatnya, itu baaimana Pak mengalihkan perhatiannya?) Ada cara misalnya kita bisa bercerita, di dalam cerita-cerita itu kita sisipkan supaya dia bisa membuka mulutnya.

Misalnya kita bisa bercerita ada pesawat terbang, dia ingin terbang kemudian bersembunyi di sebuah gua, ini ada gua, buka dong guanya lebar-lebar. Nah minta anak membuka mulutnya lalu pesawat terbang ini masuk, nah akhirnya sendoknya masuk. Lalu bercerita tentang yang lain yang menarik sehingga anak itu ingin mengunyah dengan cepat. Saya mengenal ada orang tua yang dengan kreatif memakai cerita-cerita misalnya cerita anak-anak, cerita tentang pahlawan misalnya dia suka pahlawan apa begitu lalu dia mengatakan oh.....si ini. Kalau misalnya mau berperang apakah dia makannya lambat-lambat wah keburu dibunuh sama musuhnya misalnya begitu. Nah dengan begitu anak ini terdorong untuk makan dengan lebih cepat.
GS : Nah itu suatu cara, teknik tersendiri yang mungkin bisa berguna bagi para pendengar kita. Tetapi apakah ada cara lain lagi Pak Heman?

HE : Yang lain lagi misalnya adalah biasanya anak melakukan suatu perilaku itu dengan terus-menerus bahkan menjadi kebiasaan karena ada hasil yang menyenangkan yang dia bisa petik dari pelangaran atau kesalahannya itu atau perilakunya itu.

Jadi setiap kali dia melanggar dia menikmatinya, kalau kita bisa mencari sumber kenikmatannya dan kita menutup sumber kenikmatannya maka kita harapkan kita bisa menghentikan pelanggarannya ini.
(2)GS : Misalnya apa itu Pak Heman, kesalahan yang dibuat oleh anak itu yang menimbulkan kenikmatan bagi dirinya?

HE : Ya ini memang memerlukan sebuah contoh konkret. Mungkin seperti ini Pak Gunawan, kalau seorang anak misalnya suka merengek, menangis, kalau orang tuanya di rumah minta ini minta itu tidk dituruti menangis dsb, ini banyak terjadi.

Kalau misalnya anak ini dimarahi, dihukum, tangisannya, rengekannya justru menjadi-jadi suaranya justru terdengar sangat mengenaskan. Nah kalau diperhatikan ketika anak ini merengek atau menangis perhatian orang tua justru menjadi berlebihan. Dan cukup sering terjadi setelah diberi hukuman orang tua mungkin merasa bersalah lalu anak ini justru dibelikan apa yang tadinya diinginkannya yang dia minta atau yang dia paksa orang tuanya untuk memberikannya. Nah kalau ini terjadi, berarti ketika dia menangis dia justru bisa menarik semua perhatian dan juga selain itu dia memperoleh apa yang dia inginkan. Karena itu tidak heran setiap kali dia menginginkan sesuatu dia semakin menangis, semakin kuat merengek. Nah kalau pada situasi demikian bagaimana cara menutup sumber kenikmatannya itu, ya kita tidak memberikan apa yang dia inginkan kalau dia dalam keadaan menangis atau merengek. Bahkan misalnya kalau dia punya saudara yang lain, kita berikan apa yang dia inginkan tadi kepada saudaranya yang lain yang tidak merengek. Dan kita jelaskan pada anak ini kalau kamu merengek kamu tidak akan mendapat apa-apa, tetapi di lain pihak kita juga harus memperbanyak perhatian untuk anak yang bersangkutan, bila dia berperilaku manis. Juga kalau dia minta sesuatu tanpa menangis atau merengek nah kalau bisa kita mengusahakannya kita berikan pada saat itu, jadi dengan demikian kita melatih dia untuk meminta sesuatu tanpa merengek.
GS : Ya berarti itu semacam bisa kita janjikan kepada anak itu misalnya kalau kamu tidak menangis ini menjadi milikmu, bisa begitu Pak?

HE : Boleh dijanjikan juga.

GS : Tapi betul-betul kita harus penuhi itu Pak ya?

HE : Nah di situ orang tua juga harus memperhitungkan, kalau misalnya sesuatu yang sulit dipenuhi dan anak ini juga sulit mencapainya ya jangan. Sebab kalau orang tua tidak memenuhi janjinya lain kali anak tidak mau lagi berbuat seperti yang kita inginkan.

Di samping itu kalau anak merasa wah.....saya tidak mungkin bisa mencapai hal itu dan dia tidak pernah mendapatkan hal itu maka dia juga frustrasi dan dia peduli amat dengan janji-janji orang tua.
GS : Tapi memang sering kali anak itu menggunakan senjatanya yaitu menangis untuk memaksakan kehendaknya. Dan biasanya orang tua yang kalah apalagi nangisnya di tempat umum banyak saudara-saudara yang lain kita sebagai orang tua menjadi tidak enak. Akhirnya kita sebagai orang tua yang mengalah untuk memenuhi permintaan anak itu.

HE : Sekali orang tua mengalah di dalam situasi ini maka anak merasa bahwa dia menang, bukan cuma menang terutama dia mendapatkan apa yang dia inginkan, dan hukum perilaku adalah suatu perilku akan cenderung diulang kalau perilaku itu memperoleh hasil yang menyenangkan.

Jadi dia belajar dari situ dan mengulang itu, jadi dalam keadaan ini sedapat mungkin orang tua tidak boleh memenuhi permintaan rengekan dari anak. Bagaimana kalau hal-hal seperti ini terjadi di tempat umum, orang tua sendiri mungkin malu. Tapi saya kira salah satu cara yang kita bisa lakukan adalah mendiamkannya saja, hanya melihatnya saja. Kalau misalnya anak merasa bahwa dia merengek atau dia menggelesot di lantai itu tidak mendapat perhatian orang tuanya ya dia akan berhenti.
GS : Pak Heman, apakah ada cara lain juga selain mengalihkan perhatian dan mencabut sumber kenikmatan ini dalam rangka kita mau mengoreksi tingkah laku yang kurang benar itu?

HE : Cara yang lain lagi adalah misalnya dengan membiarkan atau memberikan konsekuensi yang tidak enak bagi anak. Jadi kita tidak mencegah konsekuensi yang tidak enak atau hasil tindakan dar anak itu untuk anak tanggung sendiri.

GS : Contohnya bagaimana Pak?

HE : Misalnya ini kembali soal makan yang sering kali menjadi ajang pertarungan orang tua-anak. Katakanlah misalnya orang tua sudah bersusah payah menyiapkan makanan lalu anak tidak mau maka, kalau dipaksa anak akan makan dengan lambat sekali atau kadang-kadang ada anak yang berpura-pura mau muntah.

Dalam hal ini kita bisa melakukan koreksi misalnya dengan cara membiarkan anak menanggung konsekuensi tidak enak dari tindakannya yang tidak mau makan. Kita misalnya bisa batasi waktu makan anak, katakanlah misalnya kalau anak biasanya makan 1 jam, kita bisa targetkan misalnya 45 menit harus sudah selesai makan atau mulai makan. Ketika anak tidak memenuhi itu konsekuensinya adalah dia harus tunggu jam makan berikutnya. Kadang-kadang dengan cara yang demikian hanya perlu satu kali ini dilakukan anak sudah jera dan selanjutnya dia akan berhati-hati untuk memenuhi jadwal makan ini. Paling dua atau paling banyak 3 kali setelah dia merasa bahwa orang tuanya pasti memenuhi perkataannya maka anak akan taat kepada orang tuanya.
GS : Yang sering kali ini terutama banyak dihadapi oleh ibu-ibu, bukan anaknya menolak seluruh makanan itu Pak tapi sebagian. Jadi misalnya begini kita sebagai orang tua tahu bahwa sayur-sayuran itu penting untuk pertumbuhan anak, tetapi anak hanya memilih dagingnya saja, sayurnya tidak mau makan. Padahal kita mau mengoreksi bahwa ini suatu tingkah laku yang kurang baik, kalau makan ya makan keseluruhan tapi dia tidak mau, dia selalu sisihkan, disisihkan begitu Pak.

HE : Kadang-kadang ada hal-hal yang memang kita tidak bisa koreksi dan langsung perilakunya menjadi baik sepenuhnya. Adakalanya seperti dia menyisihkan sayur-sayuran dsb, kita boleh variasikn entah dengan cara masaknya ataupun dengan disembunyikan, dibungkus di dalam daging dsb.

Cara mengolah tertentu yang kreatif bisa membuat anak itu berselera. Nah setelah dia merasakan enaknya dia akan belajar menyukainya, kadang-kadang anak itu bisa menyukai makan pare yang pahit itu, dengan memuji dia kalau dia makan itu dia menjadi kuat seperti popaye misalnya. Dan kita juga mengatakan wah kamu kelihatannya lebih sehat, kamu berani makan pare yang pahit itu dsb. Nah dengan cara-cara seperti ini kadang-kadang anak bisa menunjukkan keberaniannya.
GS : Ya karena kalau tidak boleh makan atau makannya ditunda itu kelihatannya kok agak terlalu kejam Pak, apalagi kalau serumah dengan neneknya dsb wah ini bisa menjadi masalah lain Pak.

HE : Ada satu prinsip yang melatarbelakangi kenapa ini juga kadang-kadang sebagai cara yang boleh kita lakukan. Dengan membiarkan anak mengalami konsekuensi yang kadang-kadang bersifat alamih ini, kita mengajarkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Jadi karena tidak setiap kali orang tua berada di samping anak, kalau orang tua berada di samping anak orang tua selalu menolongnya. Dengan orang tua selalu menolongnya, anak jarang memperoleh kesempatan untuk merasakan pahit getirnya akibat perbuatannya sendiri. Jadi ketika anak sudah merasakan bahwa dari tindakannya itu ada konsekuensi yang harus dia tanggung dan itu bukan karena tindakan hukuman dari orang tuanya tetapi memang konsekuensi dia tidak mau makan ya berarti kehilangan makanan, maka anak akan belajar untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri seperti itu.
GS : Nah pada saat kita melakukan koreksi seperti yang Pak Heman katakan tadi dengan menunda makan dsb, berarti kita perlu mempertimbangkan beberapa hal Pak ya sebelum hukuman itu kita laksanakan, kira-kira hal-hal apa saja yang perlu kita pertimbangkan itu?

HE : Kembali soal makan, memang betul Pak Gunawan bahwa sebelum kita menerapkan suatu kosekuensi tertentu kita memang harus memperhitungkan beberapa hal misalnya yang perlu kita segera perhaikan adalah apakah perilaku tidak mau makan ini ada unsur manipulatifnya atau jangan-jangan ini disebabkan karena anak sedang tidak enak badan, dia tidak bisa cerita karena perbendaharaan katanya masih terbatas.

Atau terjadi karena kurang nafsu makan akibat suatu penyakit tertentu. Nah di dalam keadaan ini yang diperlukan oleh anak adalah obat dan bukan tindakan koreksi dari orang tua.
GS : Ya itu masalahnya anak sulit untuk menceritakan apakah dia sakit, atau menjelang mau sakit itu Pak, kita sebagai orang tua apakah cukup cepat untuk mengenali kondisi seperti itu?

HE : Orang tua memang perlu belajar peka dalam hal ini, nah saya kira ini memang tidak selalu mudah dan terutama pada masa-masa balita. Orang tua perlu mengorbankan lebih banyak waktu bersam anaknya sehingga orang tua tahu kondisi anak ketika ada perubahan tertentu, orang tua dengan segera bisa mengetahuinya.

GS : Apakah ada hal lain lagi yang bisa dijadikan bahan pertimbangan Pak?

HE : Ada hal lain yaitu apakah konsekuensi itu sudah pantas dan dapat ditanggung baik oleh anak maupun orang tua. Jadi bukan hanya bisa ditanggung oleh anak tetapi juga bisa ditanggung oleh rang tua.

Sebagai contoh ini juga banyak terjadi anak itu selalu berlambat-lambat ke sekolah, menyiapkan diri lambat dsb. Nah ada beberapa konsekuensi yang bisa dipertimbangkan, kalau misalnya tujuan anak untuk berlambat-lambat itu memang dia tidak suka sekolah dan ingin membolos, maka kita perlu pikirkan cara apa yang bisa membuatnya tetap harus ke sekolah namun dia jera untuk tidak berlambat-lambat. Masalahnya kalau kita dengan segera menjalankan konsekuensi kalau dia berlambat-lambat ya sudah dia tidak sekolah pada hari itu, padahal itu tujuannya maka kita akhirnya tidak bisa menanggung konsekuensi itu sendiri ketika anak semakin hari semakin buruk prestasinya. Nah salah satu alternatifnya adalah anak diharuskan berjalan kaki ke sekolah bersama orang tuanya, tentu saja dengan memperhitungkan jarak ke sekolah yang tidak terlalu jauh. Kalau misalnya dia biasa diantar dengan kendaraan pribadi nah kali ini dia harus misalnya bersama orang tuanya naik angkutan umum dsb. Nah konsekuensi ini kadang-kadang anak merasa tidak suka dan dia berusaha untuk lain kali tidak berlambat-lambat lagi. Nah sekali lagi ini juga perlu memperhitungkan konsekuensi, misalnya lagi kalau anak memang ingin bersekolah, memang suka bersekolah dan ada perasaan cemas kalau dia tidak bersekolah, adakalanya kita boleh membiarkan dia tidak masuk sekolah untuk hari keterlambatannya sebagai konsekuensi keterlambatannya itu. Di dalam situasi ini biasanya anak akan jera walaupun hanya terjadi sekali saja. Nah ini beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan.
GS : Bagaimana halnya dengan anak yang kalau sudah bermain itu lalu sering kali mainannya ditinggal begitu saja, nah orang tuanya yang harus membereskan sementara anaknya sudah main di tempat lain lagi, nanti di sana ditinggal lagi. Ada anak yang mempunyai kebiasaan itu dan itu saya rasa tingkah laku yang kurang baik Pak?

HE : Ya, satu contoh kita melatih anak untuk membereskan mainannya supaya dia bisa belajar untuk bertanggung jawab atas barangnya sendiri. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah menyediaka subuah kotak atau kardus besar, umpamanya kita bisa memberi nama kotak itu sebagai kotak Sabtu maksudnya kotak hari Sabtu.

Maksudnya apa, ini adalah salah satu alternatif semua mainan yang tidak dibereskan diberi peraturan akan dimasukkan ke dalam kotak itu kemudian di segel dan dikunci. Mainan-mainan itu baru boleh dibuka dan dimainkan pada hari Sabtu. Tetapi kalau misalnya mainan itu dimainkan lalu dibereskan, anak boleh bermain kapan saja asalkan dibereskan, kalau tidak beres kembali lagi masuk ke dalam kotak itu. Apa saja yang tercecer masuk ke dalam kotak itu setelah permainan selesai atau setelah malam pada saat jam tidur mainannya belum beres itu dimasukkan ke kotak itu. Dengan demikian anak menerima konsekuensinya sendiri kalau dia tidak membereskan mainan tanpa kita perlu menghukum mereka.
GS : Tapi memang kadang-kadang ada orang tua itu yang menurut saya agak berlebihan Pak, menyuruh mengembalikan mainannya itu harus ditata rapi lagi di rak-raknya ini, padahal bagi anak itu sulit. Nah apakah cukup anak ini mengembalikankannya hanya pada sebuah kotak tadi atau dus tadi atau box tadi ya sudah dimasukkan begitu saja pada kotak tadi Pak?

HE : Ya betul Pak Gunawan, jadi waktu kita menetapkan peraturan kita juga harus memperhitungkan kemampuan dan usia perkembangan anak. Katakanlah kalau misalnya usianya masih muda dia memanggerakan motoriknya masih terbatas, kita tidak perlu seteliti itu dan menuntut setinggi seperti yang dilakukan oleh orang dewasa.

GS : Ada anak yang saya rasa juga melakukan perbuatan yang kurang baik itu dengan mencoret-coret dinding pakai spidol dsb. Dia senang sekali melihat wah......ni dindingnya baru dibersihkan orang tuanya lalu dicoret-coret, nah ini bagaimana Pak mengatasinya?

HE : Nah ini bisa diberikan alternatif jadi memang harus diusahakan ada alternatif-alternatif. Kalau dia memang tidak ada alternatif dia akan mencoret dinding. Mungkin kita bisa berikan merea misalnya whiteboard atau papan yang besar atau pakai kertas, dan ini memang bergantung juga pada kemampuan orang tua sendiri.

Ada orang tua yang menyediakan satu ruang khusus di mana anaknya boleh mencoret, bermain di situ sesukanya dsb. Memang anak perlu satu lingkungan tertentu di mana dia bisa lebih bebas bergerak dan kita harus memperhatikan juga bahwa aturan yang kita tetapkan jangan sampai sedemikian mengekang kebebasan berkreasi anak dan ini juga kurang baik, dapat mematikan potensi-potensi anak sendiri.
GS : Sering kali anak itu cepat bosan Pak, jadi habis main di sini pindah lagi main di sana, nah orang tuanya terus yang membersihkan itu.

HE : Ya itu juga ekstrim yang lain lagi, jadi di sini diperlukan tahapan-tahapan, kalau untuk melatih anak selalu tuntutan kita itu tidak boleh sangat tinggi di atas kemampuan anak. Kita mentapkan peraturan itu sedikit lebih tinggi dari yang sekarang dia lakukan.

Misalnya sekarang mainan berantakan di mana-mana, maka dia harus membereskan bukan dengan sangat rapi tetapi misalnya cukup mengumpulkan di suatu ruangan tertentu. Setelah dia terbiasa mengumpulkan di ruangan itu, kembali lagi dipersempit aturannya jadi dia harus memasukkan ke dalam kotak tertentu atau lemari tertentu tanpa dirapikan dulu. Sampai pada akhirnya dia bisa merapikan seluruh mainan.
GS : Pak Heman apakah ada ayat firman Tuhan yang Pak Heman sampaikan sehubungan dengan mengoreksi perilaku anak ini?

HE : Dari Ibrani 12:11, "Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang membrikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya."

Nah ayat ini sebetulnya ditujukan kepada ganjaran yang dimaksud ganjaran ini adalah ganjaran yang diberikan oleh Allah kepada anak-anak yang dikasihi-Nya. Tetapi ini juga bisa mewakili ganjaran yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua perlu kadang-kadang menegakan hati, menahan rasa kasihan karena pada waktu dia memberikan ganjaran memang tidak membuat sukacita anaknya tetapi dukacita, tetapi setelah itu anak bisa dilatih.

GS : Ya terima kasih Pak Heman, para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M. Psi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengoreksi Perilaku Anak". Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Sekali lagi terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



27. Ironi-Ironi Imam Eli


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T123A (File MP3 T123A)


Abstrak:

Lingkungan yang baik dan pelajaran agama yang cukup tidak dengan sendirinya menjamin anak-anak akan tumbuh dewasa dan menjadi baik. Tetap diperlukan kepekaan dan kesungguhan orang tua dalam membimbing dan memimpin anak-anaknya.Kehidupan imam Eli menjadi pelajaran bukan hanya bagi hamba-hamba Tuhan tetapi juga sebagai orang tua dalam mendidik anak-anaknya.


Ringkasan:

Kehidupan keluarga Imam Eli adalah sebuah tragedi yang sangat pahit dalam keluarga anak Tuhan. Secara singkat yang menarik perhatian dari latar-belakang kehidupannya adalah Ada beberapa ironi yang terjadi yang perlu kita cermati dan bercermin darinya. Imam Eli adalah tokoh pemimpin Israel pada jamannya yang kata-katanya didengar dan hidupnya diperhatikan banyak orang. Ia dapat dianggap sebagai representasi umat Israel di hadapan Tuhan dan memanjatkan doa serta mempersembahkan korban bakaran bagi orang Israel. Masalah timbul ketika kesaksian hidupnya dirusak oleh anak-anaknya.

Bagaimana itu terjadi?

Anak-anak Imam Eli ini juga menjadi imam. Tetapi Alkitab berkata bahwa mereka tidak mengindahkan Tuhan dan melanggar batas hak para imam. Mereka merampas yang bukan haknya dengan mengambil bagian yang seharusnya adalah milik Tuhan, yaitu daging yang seharusnya dipersembahkan kepada Tuhan. Mereka juga tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di pintu Kemah Pertemuan. Ini membangkitkan murka Tuhan kepada imam Eli.

Rupanya ada yang menarik di sini, yakni bahwa Tuhan justru marah kepada imam Eli. Benar. Hal ini menarik perhatian, dan menunjukkan bahwa kedudukan orang tua sangat strategis. Pertanggungan jawab tidak hanya dibebankan kepada anak, melainkan juga atas diri orang tua. Anak-anak imam Eli berbuat amoral, namun yang mendapat teguran keras adalah ayahnya. Kalau begitu orang tua harus bertanggungjawab atas perbuatan anaknya yang tidak baik. Sebenarnya yang dituntut oleh Allah adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua, yakni agar kita mengoreksi anak-anak kita ketika mereka menyimpang dari jalan Tuhan.

Jadi ironi yang kita dapat simak adalah bahwa:

  1. Anak-anak imam Eli berbuat jahat, tetapi ayahnya lah yang memperoleh kecaman dari Tuhan.

  2. Yang juga kita dapat perhatikan adalah bahwa kedua anak imam Eli, yakni Hofni dan Pinehas dibesarkan dalam suasana keagamaan yang sangat kuat. Tetapi lingkungan agama dan pendidikan yang baik ternyata tidak cukup untuk menghasilkan anak-anak yang baik pula. Kita dapat amati bahwa dalam hal mendidik anak, lingkungan pergaulan maupun lingkungan masyarakat yang baik dan rohani ternyata tidak cukup. Diperlukan orangtua yang tegas dalam mendidik anak. Prinsipnya di sini adalah mendidik anak agar menghormati dan menaati Tuhan, membawa anak kepada Tuhan.

  3. Imam Eli memohonkan berkat bagi orang lain, dan kita dapat melihat Hana yang mandul dibuka kandungannya oleh Tuhan sehingga melahirkan Samuel yang dipersembahkannya buat Tuhan. Di lain pihak Eli sendiri bersama anak-anaknya memperoleh bencana dari Tuhan.

Eli ini tergolong orang baik dan lembut hatinya. Imam Eli adalah orang yang baik. Kebaikan Eli ini pula yang membuatnya tidak tega memarahi anak-anaknya. Bahkan untuk hal sepenting menghormati Tuhan pun, imam Eli tidak berbuat apa-apa untuk mencegah anaknya berbuat amoral di hadapan Tuhan. Di sini ada ironi yang luar biasa, yakni bahwa seorang hamba Tuhan yang baik dihukum karena tidak mendidik anak-anaknya untuk takut akan Tuhan.

Jadi apa aplikasinya buat kita yang menjadi orang tua?

Itu artinya kita tidak boleh meremehkan tugas mendidik anak-anak dan memperhatikan pertumbuhan kerohanian mereka. Kita dapat dikenal baik dan bereputasi baik di masyarakat, namun Tuhan lebih memperhatikan apakah kita memimpin keluarga kita untuk takut kepada Tuhan.

Ibrani 12:28-29, "Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada Nya, dengan hormat dan takut. Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Ironi-ironi Imam Eli". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, sebelum kita lebih jauh pada perbincangan ini, mungkin sebagian dari pendengar kita ini kurang mengenal atau kurang jelas siapa sebenarnya imam Eli itu?

HE : Imam Eli adalah seorang imam yang pada zamannya itu dia menjadi pemimpin umat Israel. Nah imam Eli ini yang bertugas untuk menjadi perantara antara Allah dengan umat-Nya Israel. Dan ketikaitu imam mempunyai tugas untuk mempersembahkan korban bakaran dari umat kepada Tuhan.

Dan seorang imam itu harus hidup kudus di hadapan Tuhan.
GS : Nah kalau disebut ironi itu kenapa Pak?

HE : Ya, imam Eli ini mengalami beberapa ironi-ironi di dalam kehidupannya, di dalam arti bahwa di satu pihak dia ini seorang hamba Tuhan, semacam pendeta pada masa sekarang ini. Tetapi di lainpihak justru karena keimamannya ini maka kelemahannya itu semakin jelas terlihat, dan juga ada tragedi yang terjadi di dalam kehidupannya.

GS : Bukankah itu sesuatu yang merupakan aib sebenarnya Pak Heman, tapi kenapa Kitab Suci itu mencatat dengan jelas?

HE : Ya Alkitab memang jujur, dan Alkitab itu juga ingin mengajarkan kepada umat Tuhan bagaimana seharusnya kita hidup di hadapan Tuhan. Itu sebabnya adakalanya aib itu dikemukakan juga di dala Alkitab untuk menjadikan pelajaran bagi kita.

GS : Tadi Pak Heman menyinggung bahwa ada tragedi yang dialami oleh imam Eli, itu apa Pak Heman?

HE : Ya imam Eli ini mempunyai dua anak yakni Hofni dan Pinehas, mereka juga menjabat sebagai imam. Tetapi anak-anaknya ini tidak hidup menurut kehendak Tuhan, jadi anak-anak ini jahat sekali dn dikatakan bahwa mereka merampas dan mengambil bagian apa yang seharusnya menjadi milik Tuhan.

Jadi daging yang dipersembahkan itu harusnya dipersembahkan dulu kepada Tuhan baru nanti ada sisanya itu yang boleh diambil. Tetapi para imam ini tidak demikian, jadi anak-anaknya ini mengambil begitu saja untuk diri mereka, sehingga Tuhan marah sekali dan ini sungguh-sungguh membuat mereka hidup tidak kudus. Dan selain itu juga anak-anaknya ini tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di pintu kemah pertemuan. Dan ketika Tuhan begitu marah kepada mereka, Tuhan berfirman: Tuhan akan menghabisi keluarga dari imam Eli.
GS : Kalau mereka itu mengambil dari persembahan yang sebenarnya untuk Tuhan di dalam bait Allah, bukankah itu pencurian Pak? Atau bahkan perampasan, yang mestinya hak Tuhan lalu dirampas oleh mereka. Padahal Eli sendiri sebagai imam kenapa tidak bisa mencegah itu Pak?

HE : Ya di sinilah letaknya kelemahan dari imam Eli yang sungguh membuat Allah itu marah yaitu imam Eli menegur tetapi dengan teguran yang tidak cukup keras dan di Alkitab dikatakan bahwa imam li ini lebih menghormati anak-anaknya dari pada menghormati Tuhan.

Jadi dengan kata-kata yang lunak sekali, dia mengatakan kepada anak-anaknya: "Anak-anak janganlah begini dan begitu itu tidak baik" dan sebagainya tetapi tidak ada tindakan yang drastis dari imam Eli selaku ayah dari dua anaknya ini.
GS : Atau mungkin karena kesibukan sehari-harinya imam Eli itu sehingga tidak sempat untuk mendidik, memberikan pendidikan yang cukup bagi anak-anaknya Pak?

HE : Saya kira waktu bagi imam Eli itu bukan terlalu menjadi masalah dan juga bukan sebagai alasan pembenaran. Yang lebih penting adalah bahwa imam Eli itu sebetulnya sudah tahu bahwa anak-anakya itu bertindak amoral, dursila, kata Alkitab.

Tetapi imam Eli tidak mencegahnya dengan keras atau tidak memarahi mereka dengan keras, nah ini masalahnya jadi bukan masalah waktu tetapi masalah keberanian atau sikap, sikap terhadap Tuhan, sikap terhadap cara mendidik anak.
GS : Sebenarnya di dalam hal ini kalau kita melihat itu semacam kenakalan remaja atau kenakalan pemuda begitu ya. Nah kalau kita melihat kasus ini Pak Heman, itu akar-akarnya akan kembali kepada salah asuh dari orang tua itu sendiri.

HE : Ya rupanya ini yang ingin dituju atau maksud dari Alkitab menceritakan ini semua.

GS : Nah itu bagaimana Pak Heman, kalau kita tentu mau belajar dari kasus ini supaya kita tidak mengulang kesalahan yang sudah diperbuat oleh imam Eli itu, sebagai orang tua tindakan apa yang harus kita lakukan?

HE : Prinsipnya di sini adalah orang tua harus mendidik anak-anaknya sejak mereka masih kecil, bukan hanya di dalam hal disiplin. Disiplin itu satu hal yang harus, orang tua juga harus tegas, oang tua juga harus kadang-kadang di mana perlu mereka memarahi bahkan menghukum anak-anaknya untuk mencegah supaya mereka tidak bertumbuh dewasa dan terbiasa dengan perbuatan-perbuatan asusila.

Nah, di sini yang penting juga adalah bahwa imam Eli atau kita sebagai orang tua haruslah mengajarkan atau membimbing, memimpin kerohanian dari keluarga juga dari anak-anak. Jadi bukan hanya apa yang baik, apa yang pantas, apa yang tidak pantas tetapi juga bagaimana membina, membimbing kerohanian dari anak-anak.
GS : Pak Heman, saya tidak tahu latar belakangnya pada waktu itu, tetapi biasanya kalau kita pendidikan anak itu kita serahkan kepada si ibu, jadi istri kit. Itu bagaimana Pak Heman, dalam kasusnya imam Eli ini tidak disebut-sebut mengenai peranan ibu atau peranan istri dari imam Eli?

HE : Ya betul, di sini ini memang tidak ditonjolkan peran ibu dan ini semakin menegaskan kepada kita bahwa seorang laki-laki di dalam keluarga, seorang ayah itu harus menjadi pemimpin terutama emimpin rohani dari keluarganya termasuk untuk istri dan anak-anak.

Nah kepala dari istri adalah suaminya, nah ini prinsip dari Alkitab. Dan memang betul hal seperti ini jadi ini tidak bisa dibalik, nah apa peran dari ibu? Tentu ibu juga mempunyai peran untuk mendidik anak-anaknya. Alkitab didalam I Timotius misalnya mengatakan bahwa seorang ibu juga membimbing, mendidik anak-anaknya di dalam Tuhan, itu juga kewajiban seorang ibu. Tetapi dituntut kewajiban yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dari seorang ayah.
GS : Ya mungkin jabatan Eli sebagai imam itu menghalangi dia untuk bertindak disiplin atau bertindak tegas terhadap anak-anaknya, apakah hal itu mungkin, Pak Heman?

HE : Ya, kalau dilihat dari satu sisi mungkin saja imam Eli berpikir demikian tetapi dari sisi lain misalnya dari umat Israel sendiri atau dari jemaat Tuhan, mereka akan melihat wah pemimpin saa ini kok tidak bisa memberi contoh dan tentu saja Alkitab juga mengatakan demikian, umat Israel pada waktu itu merasa sangat tidak enak hati, sangat merasa susah, tetapi mereka tidak bisa apa-apa karena itu pemimpin mereka.

GS : Nah menurut pengamatan Pak Heman, apakah sampai saat ini kesalahan atau tragedi seperti ini masih banyak terjadi di keluarga-keluarga masa kini?

HE : Ya inilah yang memprihatinkan karena keadaan yang demikian ini justru sangat-sangat banyak terjadi di dalam keluarga-keluarga kita.

GS : Nah biasanya sebab utamanya apa, Pak?

HE : Ya banyak alasan tetapi pada umumnya yang saya lihat adalah keengganan orang tua untuk mengambil tanggung jawab memimpin, membimbing kerohanian anak-anaknya dengan berbagai alasan.

GS : Pak Heman, kalau kita melihat Eli sebagai seorang imam tentunya pendidikan agamanya kuat sekali Pak terhadap anak-anaknya?

HE : Betul, nah inilah di sini ironi ini terjadi, jadi sekali lagi di sini menunjukkan bahwa lingkungan yang baik dan kemudian pelajaran agama yang cukup dan sebagainya ini tidak dengan sendiriya menjamin bahwa anak-anak akan tumbuh dewasa dan kemudian menjadi baik pula.

Tetap masih dituntut kepekaan dan kemudian kesungguhan orang tua di dalam membimbing, memimpin anak-anaknya. Jadi bukan hanya misalnya kita sudah cukup mengantar anak ke sekolah minggu, memberikan mereka pelajaran-pelajaran yang baik dan sebagainya tetapi kita juga harus memperhatikan kehidupan kerohanian mereka secara sungguh-sungguh.
GS : Contoh praktisnya apa Pak Heman, yang memperhatikan kerohanian mereka dengan sungguh itu seperti apa misalnya?

HE : Misalnya ketika anak-anak di sekolah atau di rumah mengalami apa misalnya berbohong atau merampas hak orang lain atau katakanlah yang sederhana waktu mereka berdoa mereka tidak berdoa dengn sungguh-sungguh.

Banyak hal yang kita bisa lihat dari kehidupan anak-anak atau diri kita yang itu sebetulnya tindakan-tindakan yang tidak menghormati Tuhan. Kita beranggapan seolah-olah Tuhan itu tidak ada atau jauh, atau kita tidak hidup kudus di hadapannya, anak-anak juga sering kali begitu. Nah ketika itu terjadi misalnya pada waktu anak-anak berdoa, lalu misalnya nungging-nungging dsb, nah pada saat permulaan itulah kita perlu segera mengajarkan mereka rasa hormat dan rasa takut akan Tuhan.
GS : Pak Heman, kalau kita bicara tentang disiplin terhadap anak atau anak-anak kita itu sebaiknya kapan mulai diajarkan kepada anak-anak kita ini?

HE : Saya pikir sedini mungkin terutama ketika mereka sudah mulai mengerti akan bahasa. Nah, ketika mereka belum mengerti akan bahasa dan ketika mereka juga belum bisa relatif mengetahui bahwa ereka bisa mengontrol tingkah laku orang lain dari tindakan mereka misalnya dengan menangis lalu orang tuanya datang menolong dsb.

Sebelum itu terjadi maka yang diperlukan adalah membuat suasana rumah, suasana seperti apa? Ya suasana yang rohani, suasana yang saling mengasihi antara suami-istri, jadi itu dasar dari disiplin. Dan ketika anak sudah bertumbuh semakin dewasa kita perlu melatih mereka setahap demi setahap sesuai dengan tingkat perkembangan kemampuan mereka.
GS : Ya, kalau melihat uraian Pak Heman, disiplin itu berbeda dengan hukuman Pak?

HE : Ya, disiplin itu bukan sekadar menghukum semata-mata, tetapi disiplin itu juga mengarahkan, memberi nasihat bahkan juga melatih. Jadi melatih itu berarti belajar bersama-sama dengan anak stahap demi setahap agar anak semakin bisa menguasai dirinya.

GS : Apakah boleh dikatakan bahwa disiplin itu sesuatu tindakan preventif sedangkan hukuman itu suatu tindakan untuk menghukum seseorang yang sudah melanggar disiplin itu sendiri, Pak?

HE : Saya kira di sini hukuman itu harus menjadi bagian dari disiplin, kalau hukuman itu lepas dari disiplin maka bahayanya adalah kita lebih menuruti hawa nafsu kita di dalam melakukan hukumanitu, karena disiplin harus didasarkan kepada suatu dasar yaitu kasih dari orang tua dan kemudian tujuannya adalah supaya anak bertumbuh semakin matang.

GS : Jadi di dalam mendisiplin anak itu kita tidak perlu ragu-ragu untuk menjatuhkan hukuman kalau dia bersalah.

HE : Tepat sekali Pak Gunawan, nah di sinilah kelemahan dari imam Eli, imam Eli tidak berani bertindak.

GS : Ya mungkin dia sudah pernah memberitahukan bahwa itu tidak boleh, tapi ketika anaknya melanggar, dia tidak melakukan hukuman, Pak.

HE : Ya tampaknya begitu.

GS : Pak Heman, kita bicara tentang ironi-ironi, tapi kita baru bicara tentang satu ironi saja yaitu yang kita sudah bahas. Apakah ada ironi yang lain yang dialami oleh keluarga ini?

HE : Ada, yaitu imam Eli ini sebetulnya pernah melihat Hana, Hana waktu itu kandungannya mandul, dia tidak punya anak dan meratap di bait Allah memohon belas kasihan Tuhan. Dan ketika imam Eli elihat Hana dikiranya Hana ini sedang mabuk, lalu didekati dan ketika dia tahu bahwa Hana ini menginginkan anak maka imam Eli memberkati Hana sehingga Tuhan membuka kandungan Hana.

Dan dia melahirkan seorang anak yaitu Samuel yang kemudian diantar ke Bait Suci dipersembahkan kepada Tuhan, dijadikan anak angkat dari imam Eli. Nah di sini kita melihat bahwa imam Eli ini bisa memberkati orang lain dan berkatnya itu nyata, Tuhan memberkati lewat imam Eli tetapi imam Eli sendiri justru menerima kutukan atau hukuman dari Tuhan, ini ironi yang kedua. Dan ironi yang ketiga yang nyata juga adalah Samuel ini anak angkatnya, dia semakin besar dan semakin dikasihi oleh Tuhan maupun manusia, tetapi justru anak-anak imam Eli itu ingin dimusnahkan oleh Tuhan karena dosa-dosanya. Jadi anak dari imam Eli sendiri sangat tidak disukai pada waktu itu.
GS : Nah, kalau kita melihat tadi yang Pak Heman katakan pasti ada kesan dari umat Tuhan yang datang ke sana, Eli ini tidak bisa mendidik anaknya. Kenapa Hana ini yang sudah lama mendambakan anak dari Tuhan dan Tuhan memberikan anak, kemudian anaknya ditu ititipkan kepada imam Eli?

HE : Ini janji dari Hana, semacam nazar bahwa kalau misalnya Tuhan memberikan anak maka Hana akan memberikan anaknya ini dan mengantarnya menjadi hamba Tuhan di Bait Allah. Jadi sejak kecil, siSamuel kecil ini sudah dipersiapkan oleh Hana.

Dan saya percaya bahwa Hana mendidik anaknya ini untuk cinta kepada Tuhan, untuk takut kepada Tuhan dan kemudian pada masa lepas susu anaknya diantarkan ke Bait Suci.
GS : Bukankah itu masih kecil sekali, Pak?

HE : Ya betul masih kecil, tetapi dasar-dasarnya saya kira sudah ditanamkan. Dan setiap tahun itu Hana pergi ke Bait Suci menengok anaknya.

GS : Ya dan itu pendidikannya bagaimana, bagaimana imam Eli bisa mengasuh anak yang kecil ini sedangkan anaknya sendiri, anak kandungnya, dia tidak mampu mengasuhnya.

HE : Tidak sepenuhnya kita bisa pahami di sini, tetapi saya percaya pendidikan yang sangat dini oleh Hana sama seperti juga ibu dari Musa itu mendidik Musa, itu rupanya tertanam dalam, membekassedemikian dalam.

Tetapi memang ada satu hal yang saya sebetulnya tidak terlalu berani menafsirkannya tetapi mungkin kalau saya duga Samuel tidak mendapat suatu teladan bagaimana harus mendidik anak sehingga anak-anak Samuel sendiri juga tidak berkenan di hadapan Tuhan. Dan juga anak-anaknya itu tidak baik, tetapi Samuel sendiri tidak dihukum oleh Tuhan sama seperti Tuhan menghukum imam Eli. Karena Samuel mempunyai hati seperti hati Tuhan, ketika Samuel di kemudian hari melihat raja Saul yang diurapinya itu berbuat dosa dia berduka, sedemikian berduka sehingga Tuhan menghibur hati Samuel ini.
GS : Pak Heman, kalau kita melihat dari sisi yang lain, sebenarnya imam Eli itu dalam pengertian kita orang yang bisa dikatakan baik. Kita senang kalau ada orang yang lemah lembut, tidak suka marah dsb. Kebanyakan anak-anak itu senang dengan orang tua yang seperti itu.

HE : Ya Pak Gunawan, ternyata memang imam Eli ini orang yang baik, yang sabar, yang tidak berani marah, ini memang merupakan keunggulan dari imam Eli tapi sekaligus juga merupakan kelemahan bagnya.

Bayangkan saja bagaimana imam Eli tidak serta merta mengusir Hana yang kelihatannya sedang mabuk pada saat itu meskipun dia sebetulnya sedang berdoa dan meratap di sana. Tetapi Eli kalau misalnya dia pemarah dia tentu langsung mengusir si Hana, tapi dia tidak demikian. Dan dia juga tidak tega terhadap anak-anaknya, di samping itu ada satu peristiwa penting lagi yaitu ketika Tuhan berfirman lewat Samuel yang masih muda, yang tinggal di rumah imam Eli tentang sesuatu yang merupakan kutuk bagi keluarga imam Eli. Nah reaksi dari imam Eli ini sedemikian lunak, dia mengatakan jadilah yang menurut Tuhan baik. Nah, di sini kita melihat bahwa Eli menyadari kesalahannya dan dia tidak memberontak kepada Tuhan. Coba kita bandingkan dengan misalnya raja Saul waktu dia berhadapan dengan Daud dan ketika Daud itu mendapatkan berkat dari Tuhan, raja Saul begitu marah kepada Daud tetapi imam Eli sama sekali tidak merasa iri kepada Samuel muda yang dipercayakan Tuhan untuk menggantikan dirinya.
GS : Apakah kepribadiana Eli memang seperti itu?

HE : Ya, memang kadang-kadang kita berpikir juga kepribadiannya seperti itu, tapi masalahnya juga adalah bahwa mau tidak mau kalau kita sudah menjadi orang tua, ada tanggung jawab yang harus kia pikul dan tanggung jawab itu juga selalu berarti bahwa kita harus belajar memikul tanggung jawab itu, harus berani.

Dan di sini sekali lagi Alkitab mengatakan bahwa imam Eli ini lebih menghormati anak-anaknya daripada menghormati Allah. Dan rupanya di sini prinsipnya, jadi prinsipnya adalah sikap hidup itu lebih ditekankan, kalau kita memiliki sikap hidup yang benar sekalipun kita mempunyai kelemahan-kelemahan di dalam kepribadian kita seharusnya kita juga bisa melatih diri kita sehingga kita berjalan lebih sesuai dengan kehendak Tuhan.
GS : Itu ada suatu ketidakseimbangan saya melihat Pak Heman, antara kelemahlembutan yang begitu menonjol dan ketegasan atau disiplin yang kurang sekali nampak di dalam diri imam Eli ini Pak.

HE : Ya ini suatu kesimpulan yang baik sekali, jadi imam Eli ini tidak seimbang. Di satu pihak dia cukup mengasihi tetapi terlalu membiarkan. Dan Alkitab juga mengatakan bahwa imam Eli suka memaskan hawa nafsunya sendiri yaitu dia tidak bisa tegas artinya dia juga ikutan makan, makanan rampasan itu yang seharusnya dipersembahkan kepada Tuhan.

GS : Jadi tidak konsisten dengan apa yang disampaikan kepada anak-anaknya itu.

HE : Betul, dan Alkitab juga mengatakan bahwa imam Eli ini menggemukkan dirinya dengan yang bukan haknya.

GS : Pak Heman, untuk merangkum semua pembicaraan kita kali ini apakah ada ayat firman Tuhan yang mendukung itu?

HE : Saya ingin bacakan dari kitab Ibrani 12:28-29, demikian bunyinya: "Jadi karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadahkepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya dengan hormat dan takut.

Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan." Jadi kepada kita telah diwariskan kerajaan sorga, tetapi kita dituntut untuk beribadah dengan cara yang berkenan kepadanya dengan hormat dan takut.
GS : Ya mungkin ini perlu kita sadari karena kadang-kadang sering kali kita sendiri itu datang beribadah dengan perasaan yang asal-asalan saja karena sudah rutin setiap kali dilakukan seperti itu, Pak Heman.

HE : Ya betul, di dalam tempat ibadah sering kali kita terlambat atau kita memakai handphone dan handphone kita tidak kita matikan dan sebagainya. Ini cara-cara yang kurang patut.

GS : Dan kalau kita mau mendidik anak kita agar mereka sejak sedini mungkin itu hormat dan sungguh-sungguh beribadah kepada Tuhan bukankah mesti diajarkan Pak? (HE : Betul kita harus ajarkan itu). Dan mungkin teladan itu yang sangat diperlukan supaya mereka melihat bagaimana kita beribadah kepada Tuhan.

HE : Ya dan disiplin diri itu juga penting.

GS : Kadang-kadang anaknya mengajak ke gereja tapi orang tuanya berkata wah....kali ini tidak usahlah, kita jalan-jalan dulu, bisa terjadi hal itu. Dan itu akan sangat membekas di dalam diri anak-anak itu.

HE : Ya membuat anak-anak meneladani sesuatu yang sebetulnya kurang menghormati Tuhan.

GS : Juga di dalam memberikan persembahan misalnya Pak, kita sering kali mengatakan jangan banyak-banyak, kasihkan saja yang kecil.

HE : Betul, Pak Gunawan.

GS : Itu sebenarnya mencuri hak Tuhan itu ya?

HE : Ya

GS : Pak Heman, hukuman apakah yang Tuhan berikan kepada imam Eli itu?

HE : Nah ketika terjadi perang antara Israel dengan Filistin, kedua anak imam Eli ini mati dibunuh oleh musuh dan ketika berita itu disampaikan kepada imam Eli, imam Eli waktu itu ada di depan intu gerbang, karena badannya gemuk, dia jatuh terlentang dan kemudian lehernya patah dan dia meninggal.

Dan demikian juga istrinya yaitu menantunya waktu itu akan melahirkan dan ketika melahirkan dia memberi nama anaknya itu Ikabot dan kemudian si menantunya ini juga meninggal.
GS : Jadi itu betul-betul suatu tragedi yang tidak perlu terjadi di kalangan kita sendiri Pak.

HE : Dan dikatakan di Alkitab bahwa keturunannya tidak ada seorang kakek, jadi kakek itu pasti meninggal duluan begitu.

GS : Terima kasih Pak Heman, untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi dalam acara Telaga Tegur Sapa Gembala Keluarga. Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ironi-ironi Imam Eli". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk No. 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan; akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



28. Mengubah Kompetitif Menjadi Produktif 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T141A (File MP3 T141A)


Abstrak:

Sifat kompetitif adalah keinginan yang kuat untuk menjadi nomor satu dan disertai reaksi keras terhadap kekalahan. Banyak ciri yang harus kita ketahui untuk membedakan anak yang kompetitif dan produktif. Tugas orangtua bukannya mengikis habis sifat kompetitif, melainkan membentuk dan mengarahkannya menjadi produktif.


Ringkasan:

Sebagian anak, sejak lahir, telah membawa kecenderungan kompetitif. Sifat kompetitif adalah keinginan yang kuat untuk menjadi nomor satu yang disertai dengan reaksi keras terhadap kekalahan.

Beberapa ciri sifat kompetitif:

  1. Mau menang terus, sulit menerima kekalahan.

  2. Menuntut pengakuan orang atas keberhasilannya.

  3. Obyektif-memfokuskan pada fakta, bukan pada unsur pribadi.

  4. Berorientasi pada tugas dan target, kurang peka dengan relasi dan perasaan.

  5. Keras kepala dan tidak mudah menyerah atau tunduk pada orang.

  6. Memang sanggup dan cepat menguasai bidangnya.

  7. Kurang sabar dan kritis.

  8. Menuntut orang seperti dirinya, membuatnya mudah marah.

  9. Dapat menghalalkan segala cara untuk memperoleh keinginannya.

  10. Bermasalah dengan penerimaan dirinya; mudah anjlok dalam kekecewaan.

Dengan kata lain, anak yang kompetitif adalah anak yang tidak mempunyai rem; ia hanya memiliki pedal gas. Tugas orang tua bukanlah mengikis habis sifat kompetitif melainkan membentuk dan mengarahkannya. Dengan bentukan dan arahan yang tepat anak ini akan menjadi anak yang produktif; arahan yang keliru akan membuatnya menjadi anak yang kompetitif saja.

Beberapa ciri sifat produktif:

  1. Tetap mau menang, namun bisa menerima kekalahan.

  2. Senang menerima pengakuan orang namun bisa memahami tatkala orang tidak memberinya pengakuan.

  3. Obyektif dan subyektif-berimbang dalam melihat fakta dan unsur pribadi.

  4. Tetap cenderung berorientasi pada tugas dan target tetapi peka dengan faktor relasi dan perasaan.

  5. Tetap keras kepala namun bisa menundukkan diri pada orang.

  6. Terampil dan menguasai bidangnya.

  7. Kurang sabar dan kritis, namun bisa menguasai emosinya.

  8. Cenderung menuntut orang seperti dirinya namun dapat memahami keunikan orang.

  9. Tidak menghalalkan segala cara untuk memperoleh yang diinginkannya.

  10. Menerima dirinya-kekuatan dan keterbatasannya-tetap dapat anjlok tatkala kecewa tetapi tidak berlangsung lama; ia cepat bangkit kembali.

Dengan kata lain, anak yang produktif adalah anak yang mempunyai pedal gas dan rem; ia tahu bagaimana dan kapan maju tetapi ia pun tahu bagaimana dan kapan harus berhenti.

Apa yang orang tua dapat lakukan:

  1. Silakan sediakan penyaluran atas hasrat anak mengaktualisasikan kemampuannya.

  2. Tetapkan target sedikit di atas kemampuannya guna menambah dorongan.

  3. Jangan menitikberatkan penilaian pada hasil, melainkan pada usahanya.

  4. Jangan miskin memuji namun jangan pula terlalu mengumbar pujian.

  5. Jangan membanding-bandingkannya dengan anak lain; selalu gunakan dirinya sendiri sebagai tolok ukur.

  6. Sering-seringlah menyoroti karakter dirinya atau orang lain sebagai kriteria yang kita gunakan untuk menilai orang.

  7. Terima kegagalannya dengan tepat: Jangan meremehkan atau membesarkan kegagalan. Meremehkan kegagalannya bisa membuatnya merasa bahwa dia tidak penting; sebaliknya, membesarkan kegagalannya membuatnya sulit menerima diri secara utuh.

  8. Ajarkan untuk memahami orang yang berbeda dengannya; ceritakan latar belakang atau situasi yang dihadapi orang yang membuat mereka menjadi seperti itu.

  9. Didiklah agar dia bisa menguasai perasaannya marahnya dan mengungkapkannya dengan sehat, misalnya boleh marah namun jangan menghina; boleh marah tetapi tidak boleh berteriak, dsb.

  10. Kenalkan dia kepada Tuhan agar dia dapat hidup takut kepada Tuhan-bahwa potensinya berasal dari Tuhan dan bahwa dia bertanggung jawab kepada Tuhan.

Firman Tuhan mengingatkan kita, "Takut akan Tuhan ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut yang penuh muslihat." (Amsal 8:13) Anak yang kompetitif tanpa takut akan Tuhan berpotensi menjadi orang seperti yang firman Tuhan katakan. Dia akan sibuk menyikut orang lain.

Sebaliknya, anak kompetitif yang takut akan Tuhan-produktif-akan sibuk menggandeng dan menopang orang lain. Ia akan menjadi seperti, "pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (Mazmur 1:3)


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami akan melakukan sebuah perbincangan dan perbincangan kami kali ini berjudul "Mengubah Kompetitif menjadi Produktif ", mengingat banyaknya bahan yang harus kami bahas maka judul ini akan kami lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Dan kini kami akan memasuki bagian yang pertama dengan judul "Mengubah Kompetitif menjadi Produktif". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sifat kompetitif atau bersaing itu apakah sudah dimiliki oleh anak sejak kecil Pak Paul?

PG : Pada akhirnya harus saya simpulkan memang demikian Pak Gunawan, jadi sebagian anak memang dilahirkan dengan sifat kompetitif. Tapi sebagian anak memang dilahirkan tanpa sifat kompetitifitu.

Anak-anak yang dilahirkan tanpa sifat kompetitif itu akan tampil lebih sabar, lebih santai, lebih lamban. Tapi anak-anak yang dilahirkan dengan sifat kompetitif dari kecil terlihat sekali dorongan-dorongan yang cukup keras yang muncul dari dalam dirinya.
GS : Tapi pada umumnya apakah anak dibekali dengan sifat kompetitif atau tidak Pak Paul?

PG : Saya kira tidak, sebagian anak memang tidak dibekali dengan sifat kompetitif itu nah justru inilah yang akan kita angkat apakah sifat kompetitif itu sifat yang akan kita biarkan berkembng tanpa pengarahan ataukah ini adalah sifat yang mesti kita arahkan sehingga tidak menjadi sesuatu yang merugikan anak itu dan juga kehidupannya kelak.

GS : Sebenarnya sifat kompetitif pada anak itu seperti apa Pak Paul?

PG : Pada dasarnya sifat kompetitif adalah keinginan yang kuat untuk menjadi nomor satu yang disertai dengan reaksi keras terhadap kekalahan, nah itu kira-kira definisi umumnya Pak Gunawan. engan kata lain fokus anak-anak yang kompetitif adalah menjadi nomor satu di antara teman sebayanya atau di antara lingkungannya selalu ada aspek perbandingan.

Dia tidak bisa terima kalau dia dikalahkan orang lain maksud saya kalau dia menjadi nomor dua atau nomor tiga.
GS : Ya, berarti sifat kompetitif itu akan muncul dalam diri anak atau tampak bagi kita orang tua ini setelah anak ini bersosialisasi.

PG : Biasanya ya, biasanya dalam sosialisasi atau nanti juga kalau anak itu mempunyai kakak atau adik bisa terlihat pula dia menjadi anak yang memang hendak menjadi nomor satu terus-menerus.

GS : Kalau adik itu rasanya akan sulit untuk bersaing dengan kakaknya itu.

PG : Tapi ada anak-anak yang kompetitif justru dengan kakaknya sendiripun dia terus bersaing, dia tidak mau mengalah.

GS : Ya berarti kita bisa melihat tanda-tanda atau ciri-ciri anak yang memang memiliki sifat kompetitif itu Pak Paul?

PG : Bisa Pak Gunawan, kebetulan memang anak-anak ini mempunyai beberapa ciri yang cukup jelas terlihat, nah misalkan apa saja yang pertama adalah anak-anak ini mau menang terus itu ciri yan paling paling kuat, dia sangat sulit menerima kekalahan.

Nah kalau kita misalkan meminta dia untuk mengalah dia akan bereaksi keras sekali dan selalu argumennya adalah kenapa harus saya yang mengalah, kenapa bukan kakak atau adik yang mengalah. Nah jadi ciri utama yang jelas tampak adalah itu mau menang terus.
GS : Itu bukan sifat egoisnya dia itu Pak Paul yang menonjol?.

PG : Saya kira memang ada unsur ego itu sendiri, jadi kurang bisa melihat kepentingan orang lain, jadi semua terpusat kembali pada dirinya.

GS : Ya, apa ada ciri yang lain Pak Paul?

PG : Ciri yang lain adalah menuntut pengakuan orang atas keberhasilannya, jadi anak-anak yang kompetitif memang melakukan sesuatu agar orang melihat dan mengakuinya. Dia tidak akan senang kaau orang tidak melihat atau tidak mengakuinya.

Pada akhirnya dia memang akan datang kepada orang yang diharapkan memberi pengakuan dan sedikit banyak akan memaksa atau menuntut agar orang itu memberikan pengakuannya. Di rumah pada anak-anak yang lebih kecil kita akan melihat sifat seperti ini, dia akan meminta ibunya atau ayahnya melihat yang dia lakukan dan dia akan membanggakan kebisaannya itu dan dia akan tidak suka sekali kalau misalkan si ibu atau si ayah gagal melihatnya atau tidak memberikan pujian atau malah memuji kakaknya atau adiknya wah itu akan sangat mengganggu sekali pada anak-anak yang kompetitif ini.
GS : Pengakuan itu diidentikkan dengan pujian Pak Paul, artinya kalau orang tuanya atau orang lain mengakui tetapi tidak memuji dia bagaimana reaksinya kira-kira?

PG : Ya dia tidak akan senang sebab yang dia inginkan adalah pengakuan itu bahwa dia berhasil, bahwa dia bisa, bahwa dia melakukannya lebih baik daripada kakak atau adiknya, dan kalau misalkn si ayah atau ibu masih terus belum melihat maka dia akan memanggil-manggil ayahnya atau ibunya dan meminta mereka melihat apa yang sedang dilakukannya.

Dan sekali lagi dia akan melakukan sesuatu yang juga dilakukan oleh kakak atau adiknya, misalkan kakaknya sedang belajar naik sepeda buru-buru akan mau menaiki sepeda itu dan menunjukkan dia pun bisa dan dia akan memperlihatkan kebisaannya di hadapan mama atau papanya dan dia meminta si ayah atau si ibu untuk berkata: wah kamu pandai sekali, dengan cepat kamu sudah bisa, nah kalau kita tidak berkata: ya kakakmu lebih lama belajar daripada kamu dia yang akan berkata ya saya lebih cepat daripada kakak, kakak perlu dua hari saya langsung bisa nah kata-kata atau sikap-sikap seperti itulah yang akan kita lihat dari anak-anak ini.
GS : Jadi kalau cuma sekadar dilihat lalu kita berkata: ah ya biasa, dia akan susah sekali Pak Paul ya.

PG : Ya dia akan susah sekali dan yang paling-paling dia tidak bisa terima kalau kita justru memuji kakaknya atau adiknya dalam hal yang persis sama. Dia tidak akan terima itu.

GS : Ada ciri yang lain Pak Paul?

PG : Yang lainnya, yang memang lumayan positif yaitu mereka cenderung obyektif artinya memfokuskan pada fakta. Jadi dalam misalkan berpikir atau mempertimbangkan sesuatu anak-anak ini cenderng rasional sekali dia akan mau mencari kenyataannya dan dia akan berpikir secara logis dan rasional, unsur-unsur pribadi itu lebih dikesampingkan oleh anak-anak yang kompetitif ini.

GS : Ya tapi apakah ini tidak agak bertentangan dengan yang kedua tadi Pak Paul saya pikir kalau dia obyektif misalnya, memang kenyataannya dia kalah atau tidak sebaik kakaknya dia 'kan bisa menerima itu tapi tadi yang kedua Pak Paul katakan dia tidak bisa menerima itu.

PG : Betul sekali, justru khusus untuk hal-hal yang berkaitan dengan keberhasilan atau kemenangan nah itu dia sangat subyektif, dalam pengertian dia akan memaksa supaya orang mengakui keberhsilannya.

Tetapi sebetulnya dalam hal ini juga pun dia itu bukannya tidak melakukan terus menuntut pengakuan, oh tidak. Dia akan melakukannya dan dia akan melakukan sebaik-baiknya. Kalau setelah dia lakukan itu tidak diberikan pengakuan atau pujian barulah dia marah. Jadi dalam hal ini ada dua unsur itu ada subyektifnya dan ada obyektifnya. Subyektif dalam pengertian tetap mau menjadi yang pertama atau yang menang. Obyektif dalam pengertian dia juga akan bekerja sebaik-baiknya, dia tidak akan menuntut pengakuan tanpa dia itu melakukan sesuatu.
GS : Ya bagaimana kalau pekerjaan itu bukan dia yang menciptakan tapi kita yang memberikan suatu tugas atau pekerjaan Pak Paul?

PG : Biasanya kalau memang pekerjaan itu diberikan dan dia tahu dia akan memperoleh pujian, dia akan diakui keberhasilannya, maka dia akan lakukan karena anak-anak yang kompetitif itu akan snang sekali menerima pujian.

GS : Ya ciri yang berikutnya apa Pak Paul?

PG : Ciri yang lainnya adalah ini anak-anak itu cenderung berorientasi pada tugas dan target ini berkaitan dengan tadi yang obyektif Pak Gunawan. Karena terlalu terpusat pada tugas dan targe akhirnya mereka cenderung kurang peka dengan hal-hal yang berkaitan misalkan dengan relasi, perasaan orang, nah dia kurang peka itu.

Misalkan mengalah kalau kita 'kan kadang-kadang terpaksa mengalah demi perasaan orang kita mengesampingkan kepentingan kita demi orang. Nah anak-anak ini tidak, kalau memang merupakan hak dia untuk mendapatkan sesuatu dia tidak akan lepaskan itu, anak-anak ini akan berkata tidak memang hak saya kok, nah susah sekali orang tuanya meyakinkan anak-anak ini bahwa adikmu nanti kasihan, adikmu lebih lemah darimu, adikmu itu lebih butuh daripada kamu. Nah anak-anak ini akan susah mengerti bahwa dia harus mengalah demi hal-hal yang berkaitan dengan perasaan atau tenggang rasa itu sulit sekali, karena terlalu terpaku pada faktanya dia sudah menang, dia sudah melakukannya dan dia seharusnya mendapatkan dan dia tidak akan rela orang lain yang memperolehnya seperti itu.
GS : Rasanya mempunyai pendirian yang sangat kuat orang-orang seperti ini.

PG : Kuat dan memang kadang-kadang kurang fleksibel, jadi agak kaku begitu. Nah nanti kalau memang anak-anak ini besar tanpa pengarahan cenderung bisa bermasalah dengan orang karena hal-hal ni.

Dia akan sulit sekali tenggang rasa, mengerti perasaan orang, pokoknya dia sudah melakukan dia harus mendapat ini dia akan tuntut bagiannya, nah dia tidak akan mau terlalu peduli dengan perasaan-perasaan orang.
GS : Ciri yang lain Pak Paul?

PG : Ciri yang lain adalah nak-anak ini cenderung keras kepala, ini berkaitan dengan yang tadi juga tidak mudah menyerah atau tunduk pada orang. Orang harus membuktikan dirinya itu lebih dar dia baru dia akui.

Nah di sinilah dia obyektif, kalau memang dia akui orang ini benar-benar jago di atas dia, dia akan berkata oke! memang saya di bawah dia. Tapi waktu dia tahu dia di atas, dia juga menuntut di atas, dia tidak akan menerima untuk diturunkan sementara, mengalah demi apa, dia tidak bisa terima. Berkaitan dengan hal itulah anak-anak ini memang cenderung keras kepala kalau dia sudah minta dia sudah yakini ini nah dia tidak mudah untuk mengubah pandangannya itu.
GS : Pak Paul, setelah Pak Paul menguraikan sekitar lima ciri-ciri tadi. Rasanya terkesan buat saya itu kebanyakan anak laki-laki yang seperti ini.

PG : Ya sebagian saya kira yang lebih banyak adalah anak laki. Saya kira anak-anak wanita karena unsur atau aspek perasaannya yang kuat, jadi lebih tergiring untuk mengerti perasaan orang lan.

Waktu dia ingin melakukan sesuatu tapi dia tahu mungkin adiknya atau kakaknya akan sedih nah dia akan lebih merasakan kesedihan tersebut. Jadi akhirnya dia memilih untuk mengalah, misalnya seperti itu.
GS : Tetapi tetap saja ada anak perempuan yang bersifat kompetitif seperti itu Pak Paul?

PG : Ada, jadi ada anak-anak wanita yang sangat kompetitif, yang kuat sekali, yang keras kepala seperti ini.

GS : Kita lanjutkan ke ciri-ciri yang berikutnya apa Pak Paul?

PG : Anak-anak ini memang pada umumnya anak-anak yang mampu melakukan tugasnya, cepat sekali menguasai bidangnya, jadi ada alasan buat dia itu susah mengalah dan ada alasan mengapa ada anak-nak ini kompetitif mau bersaing dan mau menjadi nomor satu karena memang dia bisa.

Nah memang kebalikannya dalam kasus yang ekstrim anak-anak yang tidak bisa dan dia tahu susah untuk menguasai sesuatu ya lebih lemah daya kompetitifnya karena dia sudah mengantisipasi bahwa dia tidak akan mendapatkan, bahwa dia tidak akan menjadi nomor satu. Jadi ya sudah dia tidak berusaha lebih keras lagi menjadi nomor satu, tapi anak-anak ini karena dia tahu dia bisa meraih nomor satu dia cenderung mau nomor satu terus.
GS : Ya apakah ada ciri yang lain Pak Paul?

PG : Masih ada Pak Gunawan yaitu (nah ini saya kira konsekuensi logisnya) anak-anak ini cenderung kurang sabar, kritis, kurang sabar terutama dengan orang-orang lain, dengan anak-anak lain, engan rekan-rekan kalau mereka itu tidak secepat dia menguasai pekerjaannnya, tidak sebertanggung jawab seperti dia, tidak bisa berpikir secepat dia, sejauh dia nah itu membuat dia jengkel sekali dengan orang-orang seperti itu, dan kritis ya anak-anak ini.

Jadi dia akan melihat dengan jelas kekurangan, kelemahan yang ada pada diri orang lain. Nah karena dia juga kurang peka dengan perasaan-perasaan orang kadang-kadang komentarnya, kritikannya itu muncul secara bebas dan adakalanya menyinggung orang.
GS : Karena spontanitasnya itu.

PG : Ya karena spontanitasnya itu dan kurang memikirkan perasaan orang lain.

GS : Ya tapi penilaian kurang sabar itu sebenarnya kita yang menilai. Mungkin saja dia merasa dia sudah cukup sabar Pak Paul.

PG : Iya sudah tentu itu memang relatif Pak Gunawan. Mungkin buat dia, dia tidak ngomong sekali itu berarti dia cukup sabar begitu, kedua kalinya terjadi dia tidak bisa tutup mulut, dia haus ngomong, memang betul juga.

GS : Ciri yang lain Pak Paul?

PG : Menuntut orang menjadi seperti dirinya. Jadi kalau dia cepat orang harus cepat, kalau dia menguasai, dia harap orang menguasai. Kalau dia bertanggung jawab, diharapkan orang lain juga brtanggung jawab, nah akibatnya dia mudah marah.

Anak-anak ini memang masalahnya adalah kurang sabar dan mudah marah. Dan karena dia kritis berarti dia melihat banyak berarti dia bisa melihat yang tidak dilihat orang, yang buruk-buruk juga. Nah ini salah satu problem yaitu akhirnya dia bisa disalahmengerti oleh orang, kok dia mengatakan hal-hal yang orang lain belum lihat jadi seolah-olah dia mencari gara-garalah, dia menciptakan masalahlah dan sebagainya, disalahmengerti itu menjadi problem dia nantinya. Dan relasinya dengan orang kalau orang tidak benar-benar mengerti bahwa dia sebetulnya hatinya baik atau apa ya, orang akan susah dekat-dekat dengan dia, karena orang ya akan merasa dituntut menjadi seperti dirinya, harus bisa seperti dia, harus secepat dia dan orang tidak merasa diterima apa adanya, tidak merasa dirinya dihargai oleh dia sebab tuntutannya tinggi. Jadi sekali lagi anak-anak seperti ini kalau tidak diarahkan ya mudah sekali akhirnya menciptakan masalah dalam relasi dengan anak-anak lain.
GS : Ya ada orang tua yang mengamati katanya anak-anak yang ini kan cepat sekali bergeraknya, memutuskan ya cepat, minta segala sesuatunya, itu juga kelihatan pada saat dia makan. Makannya bisa cepat-cepat selesai, kalau jualan juga cepat- sekal, apa memang betul begitu Pak Paul?

PG : Ya saya kira ada kaitannya ya dengan kecepatan-kecepatannya itu. Ada kaitannya juga dengan kesabarannya yang tipis karena cepatnya dia kerja, cepatnya dia makan dan sebagainya, saya kir itu ada kaitannya semua.

GS : Ada ciri yang lain Pak Paul?

PG : Nah ini bisa menjadi hal yang tidak baik ya, yaitu anak-anak ini akhirnya dapat menghalalkan segala cara untuk memperoleh keinginannya. Kalau tidak dibimbing, kalau tidak ada bimbingan ohani, anak-anak yang kompetitif ini akhirnya demi menjadi nomor satu, demi tidak mau kalah menghalalkan segala cara.

Akhirnya misalnya berbohong bisa dilakukannya, curang atau menjiplak atau mencontek atau apa, nah itu godaan-godaan buat dia yang sangat besar kalau dia tidak bisa mengontrol dirinya dengan baik dia bisa terjerumus masuk ke dalam perilaku negatif itu.
GS : Apakah sebenarnya dia puas dengan keadaan dirinya sendiri Pak Paul?

PG : Sebetulnya begini Pak Gunawan, anak-anak ini sebetulnya ada masalah juga dengan penerimaan dirinya ya, artinya apa? Dia mudah anjlok juga dalam kekecewaan karena dia menuntut diri ini ckup tinggi, kalau tidak mendapatkan yang dia sudah targetkan anjloknya itu dalam.

Kita yang lebih di tengah-tengah ya kalau tidak mendapatkan yang kita inginkan kita kecewa tapi tidak terlalu terpukul, tapi kalau mereka sudah menargetkan sesuatu tapi tidak mendapatkannya wah kecewanya itu bisa sangat dalam dan bisa sangat ekstrim, makanya orang tua yang mempunyai anak-anak seperti ini kadang-kadang terkaget-kaget ya. Si anak tadinya bergebu-gebu misalkan mau masuk ke liga basket di sekolahnya, tapi setelah ujian, sudah tes penerimaan tidak diterima, nah bisa-bisa anak itu tidak mau menyentuh bola basket sama sekali. Nah orang tuanya bingung, dulu begitu tergila-gila dengan basket, nonton basket, main basket di rumah terus begitu tapi pas ingin masuk ke tim tidak diterima, dia benar-benar meninggalkan basket, ekstrim sekali, kecewa merasa dirinya gagal atau marah, tidak mau main lagi sama sekali, nah itu hal-hal yang memang perlu dilihat oleh orang tua yang mempunyai anak kompetitif seperti ini.
GS : Ya mungkin dari seluruh ciri-ciri ini Pak Paul bisa memberikan suatu ilustrasi begitu Pak Paul?

PG : Begini Pak Gunawan untuk memudahkan kita mengingat ya, anak-anak ini saya umpamakan seperti mobil yang tidak ada remnya, dia hanya mempunyai berangkas. Jadi benar-benar dia bisanya hany jalan terus maju terus, tak ada remnya yang bisa menghentikan dia.

Jadi tugas orang tua adalah bukannya mengikis habis sifat kompetitif ini sebab nanti kita akan melihat dari sifat-sifat ini sebetulnya bisa muncul karakter yang baik, bukan mengikis habis melainkan membentuk dan mengarahkannya. Harapan saya dengan campur tangan orang tua yang tepat sifat kompetitif ini bisa berubah menjadi sifat yang produktif, nah saya bedakan antara kompetitif dan produktif tapi sebaliknya arahan yang keliru, orang tua yang bergebu-gebu supaya anaknya tetap nomor satu dan sebagainya. Nah itu akan membuat si anak menjadi anak yang kompetitif saja.
GS : Kalau orang tua mengarahkan anaknya supaya menjadi produktif Pak Paul, tentunya kita harus bisa melihat apa ciri-ciri anak yang produktif itu Pak Paul?

PG : Ok! Saya akan memberikan beberapa Pak Gunawan. Yang pertama adalah anak-anak yang produktif ini sama dengan anak-anak yang kompetitif, mereka sebetulnya tetap mau menang. Namun bedanya anak yang produktif bisa menerima kekalahan, nah anak-anak yang kompetitif tidak bisa menerima kekalahan.

Anak yang produktif dengan arahan orang tua yang baik tadi ya, bisa menerima kekalahan. Waktu dia harus kalah, ya sudah dia stop dan dia katakan saya kalah, dan dia tidak akan muter-muter dan tidak marah-marah.
GS : Ya selain itu Pak Paul?

PG : Yang lainnya adalah anak-anak ini tetap senang menerima pengakuan orang, namun bisa memahami tatkala orang tidak memberinya pengakuan. Dia bisa memaklumi mungkin orang lupa, orang tua mngkin tidak melihat atau mungkin orang tua keliru menilai sehingga si adik yang mendapatkan pujian, dia tidak mendapatkan pujian.

Dia bisa menerima ketidaksempurnaan itu hal-hal seperti itu dan dia juga bisa menerima bahwa ya mungkin dia tidak mendapat pujian sebab dia tidak sesempurna yang dia pikir, dia bisa menerima semua itu. Jadi tetap dia berorientasi pada pujian, pengakuan tetap itu anak yang produktif juga sama namun bedanya adalah pada akhirnya dia bisa menerima fakta kalau orang tidak memberi pujian.
GS : Tadi kita bicara tentang anak-anak yang kompetitif itu adalah anak yang obyektif, apakah kalau dia produktif masih obyektif?

PG : Masih obyektif tetap dia akan melihat fakta, namun ada subyektifnya juga. Dalam pengertian anak-anak ini bisa melihat unsur-unsur pribadi, keunikan orang, perasaan orang dan sebagainya Nah dia masih bisa melihat itu sebaliknya anak-anak yang kompetitif tidak bisa, pokoknya faktanya begini saya harus mendapatkan hak-hak saya.

Nah anak-anak yang produktif lebih bisa melihat unsur pribadi, hal-hal yang personal seperti itu.
GS : Berarti sudah mulai ada remnya Pak Paul?

PG : Sudah ada remnya, betul.

GS : Ya, ciri yang lain Pak Paul?

PG : Tetap cenderung berorientasi pada tugas dan target tetapi peka dengan faktor relasi dan perasaan. Maksudnya meskipun anak-anak ini cenderung memfokuskan pada tugas-tugas, tapi dia bisa embangun relasi dengan orang karena dia cukup peka dengan hal-hal yang bersifat personal, dia bisa tenggang rasa, dia bisa memasuki alam pikir orang bahwa ya saya dapatkan hak saya, tapi orang nanti sakit hati ya lebih baik mengalah.

Jadi dia masih bisa berkata seperti itu kepada dirinya.
GS : Ya jadi di sana bukan hanya unsur orang tua saja tetapi harus ada kemauan yang kuat dari dirinya, Pak?

PG : Betul, pada akhirnya memang ini merupakan campuran dari bentukan orang tua dan juga usaha dari dalam dirinya sendiri.

GS : Ya anak yang produktif ini Pak Paul, apa masih tetap keras kepala?

PG : Masih ada keras kepalanya itu, tetap, kemauannya keras sama seperti anak yang kompetitif tapi pada akhirnya dia bisa menundukkan diri pada orang. Karena apa? Tadi yang saya sudah sebut tu meskipun dia berfokus pada fakta yang obyektif, namun dia sudah bisa memasuki alam relasi, alam perasaan baik perasaan dirinya maupun perasaaan orang lain, bisa tenggang rasa, sehingga pada akhirnya dia bisa tunduk.

Karena tunduk bukan hanya masalah fakta, saya seharusnya nomor satu atau nomor dua tidak, tapi bisa juga menyangkut pada perasaan orang, dia lebih tua atau apa nah itu hal-hal yang bisa dipertimbangkan. Nah anak-anak yang produktif bisa mempertimbangkan hal-hal tersebut sehingga akhirnya dia bisa tunduk kepada orang.
GS : Pak Paul tadi katakan juga kalau anak yang kompetitif itu berorientasi pada tugas-tugas yang diberikan atau yang mungkin dia lakukan sendiri. Nah bagaimana dengan anak yang produktif itu Pak Paul?

PG : Sama tetap dan dia cenderung juga terampil ya bisa begitu. Memang anak-anak ini sebetulnya sama dengan anak yang kompetitif tapi sudah diarahkan oleh orang tuanya sehingga menjadi anak-nak yang produktif.

Tetap dia berorientasi pada tugas, target, keras kepala dan juga cepat menguasai bidang-bidangnya, pandai.
GS : Ya, mengenai kesabarannya bagaimana Pak Paul?

PG : Sama ya dengan anak-anak yang kompetitif, dia tetap kurang sabar dan cenderung kritis, namun ia lebih bisa menguasai emosinya. Sehingga dia tidak mudah meledak, tidak mudah mengkritik dngan cepat, dia masih bisa mengerem dirinya.

Nah ini berkaitan dengan yang berikutnya Pak Gunawan, yaitu dia tetap menuntut orang seperti dirinya tapi karena dia sudah bisa memahami orang dia bisa menerima oranglah bahwa orang lain tidak seperti dia, tidak secepat dia dan dia bisa memaklumi itu sehingga akhirnya relasi kerjasamanya dengan anak lain akan lebih baik. Nah dan juga karena dia lebih peka dengan perasaan orang dan juga lebih peka dengan hal-hal yang bersifat moral, dia tidak begitu saja menghalalkan segala cara untuk memperoleh yang dia inginkan, dia tahu ini salah, dia tahu ini benar, jadi dia tidak sembarangan melakukan hal yang salah. Pada akhirnya saya simpulkan anak-anak ini sebetulnya lebih bisa menerima dirinya, mereka sudah berdamai dengan dirinya, tahu apa kekuatannya, tahu apa keterbatasannya. Tetap mudah kecewa kalau misalkan apa yang dia inginkan tidak diperoleh. Namun tidak berlangsung lama dan tidak se-ektrim anak-anak yang kompetitif, dia bisa bangkit kembali dia tidak langsung membuang semuanya sekaligus.
GS : Ya karena dari tadi Pak Paul sudah katakan bukan mengikis habis begitu Pak Paul ya.

PG : Betul, tetap akarnya sama tapi sudah dipoles, sudah dipangkas, sudah diarahkan oleh orang tua sehingga sifat kompetitif itu berubah menjadi sikap yang produktif, yang jauh lebih sehat krena anak ini bukan saja sekarang punya gas pedal gas tapi juga mempunyai rem.

Anak-anak yang kompetitif saya tadi umpamakan hanya pedal gas saja.
GS : Ya jadi tentu kita semua mengharapkan kalaupun Tuhan mengaruniakan kepada kita anak-anak yang memang mempunyai sikap kompetitif tentu kita akan berusaha membuat anak ini menjadi produktif Pak Paul. Tentu kita tidak mempunyai waktu untuk membicarakan itu sekarang dan ini akan kita bicarakan pada kesempatan yang akan datang sebagaimana tadi sudah kami pesankan di awal acara ini, namun Pak Paul sebelum kita menyelesaikan perbincangan kita saat ini, apakah ada ayat firman Tuhan Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 1:3 ya, saya mengumpamakan anak-anak yang produktif ini "seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimna, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil."

Mereka produktif dan mereka itu sehat ya enak dilihat menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak menyikut-nyikut anak-anak lain tidak mendorong orang lain, tidak menjatuhkan orang lain tapi mereka juga mau menolong orang lain dengan kebisaan-kebisaan yang telah mereka peroleh dari Tuhan ya. Anak-anak yang kompetitif cenderung untuk diri sendiri semuanya supaya dia menjadi yang tertinggi, anak-anak yang produktif tidak. Tetap dia mau menjadi yang tertinggi tapi dia ingat orang-orang lain dan dia mencoba menolong yang lainnya, dia menjadi berkat bagi sekelilingnya.

GS : Ya tentunya ini menjadi panggilan kita sebagai panggilan dari Tuhan kepada kita, sebagai orang tua menolong anak-anak kita menjadi anak yang produktif Pak Paul dan pada kesempatan yang akan datang kita akan memperbincangkan tentunya apa yang harus orang tua lakukan supaya anak yang kompetitif ini bisa menjadi anak yang produktif. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengubah Kompetitif menjadi Produktif" bagian yang pertama dan kami akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mngucapkan terima kasih atas perhatian Anda sampai jumpa pada acara telaga yang akan datang.



29. Mengubah Kompetitif Menjadi Produktif 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T141B (File MP3 T141B)


Abstrak:

Lanjutan dari T141A


Ringkasan:

Sebagian anak, sejak lahir, telah membawa kecenderungan kompetitif. Sifat kompetitif adalah keinginan yang kuat untuk menjadi nomor satu yang disertai dengan reaksi keras terhadap kekalahan.

Beberapa ciri sifat kompetitif:

  1. Mau menang terus, sulit menerima kekalahan.

  2. Menuntut pengakuan orang atas keberhasilannya.

  3. Obyektif-memfokuskan pada fakta, bukan pada unsur pribadi.

  4. Berorientasi pada tugas dan target, kurang peka dengan relasi dan perasaan.

  5. Keras kepala dan tidak mudah menyerah atau tunduk pada orang.

  6. Memang sanggup dan cepat menguasai bidangnya.

  7. Kurang sabar dan kritis.

  8. Menuntut orang seperti dirinya, membuatnya mudah marah.

  9. Dapat menghalalkan segala cara untuk memperoleh keinginannya.

  10. Bermasalah dengan penerimaan dirinya; mudah anjlok dalam kekecewaan.

Dengan kata lain, anak yang kompetitif adalah anak yang tidak mempunyai rem; ia hanya memiliki pedal gas. Tugas orang tua bukanlah mengikis habis sifat kompetitif melainkan membentuk dan mengarahkannya. Dengan bentukan dan arahan yang tepat anak ini akan menjadi anak yang produktif; arahan yang keliru akan membuatnya menjadi anak yang kompetitif saja.

Beberapa ciri sifat produktif:

  1. Tetap mau menang, namun bisa menerima kekalahan.

  2. Senang menerima pengakuan orang namun bisa memahami tatkala orang tidak memberinya pengakuan.

  3. Obyektif dan subyektif-berimbang dalam melihat fakta dan unsur pribadi.

  4. Tetap cenderung berorientasi pada tugas dan target tetapi peka dengan faktor relasi dan perasaan.

  5. Tetap keras kepala namun bisa menundukkan diri pada orang.

  6. Terampil dan menguasai bidangnya.

  7. Kurang sabar dan kritis, namun bisa menguasai emosinya.

  8. Cenderung menuntut orang seperti dirinya namun dapat memahami keunikan orang.

  9. Tidak menghalalkan segala cara untuk memperoleh yang diinginkannya.

  10. Menerima dirinya-kekuatan dan keterbatasannya-tetap dapat anjlok tatkala kecewa tetapi tidak berlangsung lama; ia cepat bangkit kembali.

Dengan kata lain, anak yang produktif adalah anak yang mempunyai pedal gas dan rem; ia tahu bagaimana dan kapan maju tetapi ia pun tahu bagaimana dan kapan harus berhenti.

Apa yang orang tua dapat lakukan:

  1. Silakan sediakan penyaluran atas hasrat anak mengaktualisasikan kemampuannya.

  2. Tetapkan target sedikit di atas kemampuannya guna menambah dorongan.

  3. Jangan menitikberatkan penilaian pada hasil, melainkan pada usahanya.

  4. Jangan miskin memuji namun jangan pula terlalu mengumbar pujian.

  5. Jangan membanding-bandingkannya dengan anak lain; selalu gunakan dirinya sendiri sebagai tolok ukur.

  6. Sering-seringlah menyoroti karakter dirinya atau orang lain sebagai kriteria yang kita gunakan untuk menilai orang.

  7. Terima kegagalannya dengan tepat: Jangan meremehkan atau membesarkan kegagalan. Meremehkan kegagalannya bisa membuatnya merasa bahwa dia tidak penting; sebaliknya, membesarkan kegagalannya membuatnya sulit menerima diri secara utuh.

  8. Ajarkan untuk memahami orang yang berbeda dengannya; ceritakan latar belakang atau situasi yang dihadapi orang yang membuat mereka menjadi seperti itu.

  9. Didiklah agar dia bisa menguasai perasaannya marahnya dan mengungkapkannya dengan sehat, misalnya boleh marah namun jangan menghina; boleh marah tetapi tidak boleh berteriak, dsb.

  10. Kenalkan dia kepada Tuhan agar dia dapat hidup takut kepada Tuhan-bahwa potensinya berasal dari Tuhan dan bahwa dia bertanggung jawab kepada Tuhan.

Firman Tuhan mengingatkan kita, "Takut akan Tuhan ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut yang penuh muslihat." (Amsal 8:13) Anak yang kompetitif tanpa takut akan Tuhan berpotensi menjadi orang seperti yang firman Tuhan katakan. Dia akan sibuk menyikut orang lain.

Sebaliknya, anak kompetitif yang takut akan Tuhan-produktif-akan sibuk menggandeng dan menopang orang lain. Ia akan menjadi seperti, "pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (Mazmur 1:3)


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengubah Kompetitif menjadi Produktif II," dan perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang lalu tentang "Mengubah Kompetitif menjadi Produktif." Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, mungkin ada beberapa pendengar kita yang tidak sempat mengikuti perbincangan tentang mengubah kompetitif menjadi produktif pada beberapa waktu yang lalu, mungkin Pak Paul bisa mengulas sekilas tentang apa yang sudah kita perbincangkan.

PG : Anak-anak yang kompetitif pada dasarnya adalah anak-anak yang mau menang dan tidak bisa menerima kekalahan, dia ingin menjadi nomor satu, dia tidak bisa kalau dia itu ditempatkan di nomr dua, dan anak-anak ini akan menuntut orang untuk memberikan pengakuan atau pujian kepadanya.

Kalau orang tidak memberikan pujian atau pengakuan kepadanya ia bisa sangat marah. Tugas orang tua adalah melihat anak-anak yang seperti ini dan mengawasi dan membesarkannya. Perlu sekali mereka ini diberikan arahan sehingga sifat-sifat kompetitif itu tidak menjadi sifat-sifat yang merugikan dirinya atau malah nanti mengganggu relasi dengan orang-orang lain. Maka saya menggunakan istilah produktif, bagaimana nanti kita sebagai orang tua mengubah sifat-sifat anak yang kompetitif menjadi produktif. Produktif adalah sama seperti anak-anak yang kompetitif tapi sekarang mereka menjadi anak-anak yang tetap mau menang, tetap mau menjadi nomor satu tapi bisa menerima kekalahan, tetap keras kepala tapi bisa tunduk kepada orang. Nah ini kalau boleh saya ibaratkan seperti ini anak-anak yang kompetitif adalah anak-anak yang hanya punya pedal gas maju terus, tapi anak-anak yang produktif anak-anak yang mempunyai keduanya pedal gas dan juga rem. Dia bisa mengerem dirinya sehingga dia tidak selalu menuruti kehendaknya dan pendapatnyalah yang selalu benar buat dia.
GS : Tetapi untuk mengubah dari kompetitif menjadi produktif ini peran orang tua menjadi sangat besar Pak Paul ya?

PG : Nah saya percaya peran orang tualah peranan yang paling penting di sini. Memang guru atau teman atau guru sekolah minggu dan gereja bisa juga memberi sumbangsih dalam pembentukan jiwa aak.

Tapi sekali lagi yang paling besar pengaruhnya adalah orang tua. Jadi kita harus siapkan anak-anak kita menjadi anak-anak yang tangguh sehingga Tadi saya juga sudah singgung bahwa adakalanya orang tua itu menyuburkan sifat atau sikap kompetitif karena orang tua berpikir ini dunia yang sekarang adalah dunia yang kompetitif, penuh persaingan bisa menang dalam dunia yang penuh persaingan ini. Nah kadang kala orang tua keliru akhirnya mendorong anak-anak menjadi nomor satu terus-menerus, tapi akhirnya mereka kehilangan banyak dan terutama mereka akan kehilangan sentuhan pribadi, sentuhan-sentuhan perasaan dengan orang, tenggang rasa dengan orang itu yang terhilang dan itu akhirnya menjadi bumerang bagi dirinya.
GS : Atau kadang-kadang orang tua kurang melihat sisi negatif dari anak yang bersifat kompetitif itu Pak Paul?

PG : Biasanya sifat-sifat ini pada awalnya menjadi kebanggaan orang tua karena anak-anak ini membawa hasil raport yang selalu paling tinggi, rangking satu, rangking dua, terus-menerus sepert itu.

Barulah orang tua menyadari problem tatkala anak-anak misalkan sudah mulai mendekati usia pra-remaja atau remaja. Orang tua baru sadar bahwa anak-anak ini hampir tidak mempunyai teman karena apa, karena anak-anak ini terpusat kembali pada dirinya, kurang bisa menjalin relasi dengan anak-anak lain. Dan di kalangan teman-temannya mereka dikenal sebagai anak yang sombong, yang hanya main dengan klubnya sendiri, kelompoknya sendiri, dan susah sekali untuk bisa diajak berdiskusi, mengerti orang, terlalu banyak mengkritik, dan sebagainya. Nah akhirnya memang kurang berteman nah pada saat-saat seperti itulah orang tua baru akhirnya terbangun melihat wah anak saya kok tidak mempunyai teman ini dan pada masa remaja mereka mulai memberontak, orang tua berkata apa mereka tidak terima mereka lawan, barulah orang tua sadar wah anak saya terlalu keras sekarang, kehendaknya harus dituruti, kok dia harus menang terus, kok dia tidak bisa mengalah sedikitpun, baru orang tua sadar wah anak ini kok jadi begini. Pada halnya pada masa-masa sebelumnya orang tua seakan-akan memberi minyak pada api itu terus berkobar, makin hari makin kompetitif.
GS : Atau orang tuanya sendiri dulu waktu masa mudanya dia juga seorang yang bersifat kompetitif?

PG : Itu mudah sekali memang kita wariskan, kalau kitanya juga seperti itu. Jadi kalau kita memang mempunyai persepsi hidup bahwa kita ini harus kompetitif. Nah anak-anak kita akan cetak seprti kita juga.

GS : Ya, jadi sekarang setelah kita tahu bahwa ternyata ada yang lebih baik yaitu yang produktif Pak Paul, apa yang bisa dilakukan oleh orang tua?

PG : Yang pertama adalah silakan sediakan penyaluran atas hasrat anak mengaktualisasikan kemampuannya. Anak-anak yang kompetitif atau yang nanti kita mau ubah menjadi produktif ini ya memangbanyak kebisaannya, banyak yang dia ingin lakukan.

Orang tua sebaiknya menyediakan outlet atau saluran-saluran ini sehingga dia bisa berkreasi, mengaktualisasikan dirinya. Dia mau main basket silakan, dia mau belajar ini silakan. Jadi berikan kesempatan itu asalkan kehidupannya tidak sampai terganggu. Dan jangan sampai gara-gara dia ikut banyak hal dia akhirnya tidak punya kehidupan pribadi dengan teman, tidak bisa bermain-main, kurang santai, terlalu tegang nah itu kita harus imbangkan. Tetapi selama masih bisa terimbangkan saya akan anjurkan kepada orang tua silakan berikan wadah-wadah itu sehingga bisa mengekspresikan dirinya secara maksimal.
GS : Ya kalau sejak awal itu sudah kita tahu dan kita batasi semampu anak itu, bagaimana Pak Paul?

PG : Memang tuntutan kita itu kepada anak-anak yang kompetitif sebaiknya sedikit di atas kemampuannya dia, meskipun dia berkata ya saya sudah segini, tapi dengan anak-anak yang kompetitif meeka itu senang kalau diberikan rangsangan atau dorongan, dipacu lagi.

Jadi kita bisa berkata bagaimana kamu rasanya memang sudah bisa segini mau coba yang ini. Tapi kalau memang anak itu tidak mau ya tidak apa-apa jangan dipaksa, jangan sampai memberi tekanan berlebihan kepada si anak. Jadi misalkan anak itu bersedia nah saya sarankan kepada orang tua silakan menetapkan target yang sedikit lebih tinggi dari kemampuan si anak itu. Sehingga dia terus-menerus meraih target yang lebih tinggi untuk bisa mengoptimalkan dirinya.
GS : Kalau kita sudah tetapkan target itu lebih tinggi sedikit dan dia bisa melakukan itu, apa yang harus kita lakukan Pak Paul?

PG : Waktu kita memberikan pengakuan kita katakan kita senang, kita bangga atau apa namun setelah itu kita tetap harus kembali kepada usaha itu yang paling penting Pak Gunawan. Jadi jangan ampai orang tua terlalu terpaku pada hasil, prestasi, jangan, kita akui kita senang dan sebagainya tapi waktu kita berikan pujian yang lebih kita tekankan adalah pada usahanya kamu telah bekerja keras mama bangga sekali, kok kamu sampai begadang kemarin wah papa kagum sekali dengan kamu, kamu benar-benar berusaha dengan baik.

Nah usaha ya yang menjadi pengamatan si orang tua dan yang dia sampaikan kepada si anak. Dan jangan si orang tua terlalu terpaku pada wah kamu dapat A, wah kamu dapat 10 lagi. Angkanya itu yang terlalu dipengaruhi, yang terlalu berperan besar, jangan! Tetap fokuskan pada usaha. Kami senang kamu telah bekerja keras dan sekarang kamu mencicipi hasil yang baik kami senang sekali. Nah itu usaha-usahanya itu lah.
GS : Ya, memang memberikan pujian itu kan gampang-gampang susah Pak Paul ya?. Nah itu sebaiknya bagaimana kita memberikan pujian itu?

PG : Saran saya berikan pujian, tapi jangan mengumbar pujian. Ya anak-anak itu jangan sampai mengembangkan ego yang bengkak, artinya bengkak, menganggap diri itu terlalu hebat sehingga akhirya susah menghargai kemenangan orang, susah menerima kekalahan diri.

Nah itu yang membuat anak-anak menjadi kompetitif yang murni. Nah kita mau mengubah mereka menjadi anak-anak yang produktif, jadi hati-hati waktu memuji sekali saja cukup jangan di depan orang-orang dipuji-puji terus, sekali memuji di depan orang boleh, tapi terus-menerus memuji di depan orang itu tidak sehat. Akhirnya ego anak benar-benar bengkak nah dia akan terus-menerus menuntut orang memberikan pujian, kalau orang tidak memberikan pujian dia tidak akan merasa senang, dia merasa ditolak, dan sebagainya. Nah itu akses-akses yang negatifnya.
GS : Ya, itu sebenarnya kan kita melatih dia untuk tidak terlalu menuntut pujian Pak Paul?

PG : Betul sekali, dia menerima pujian sebagai anugerah Pak Gunawan, sebagai tanggapan orang yang positif tapi dia sendiri tidak haus dan mengejar-ngejar pujian tapi anak yang terlalu seringmendengar pujian akhirnya menjadi anak-anak yang mengejar-ngejar pujian dan targetnya selalu pujian.

Dia kehilangan makna berkarya jadinya bahwa karya itu yang penting mementingkan aktualisasi diri sebaik-baiknya nah itu yang terhilang dalam diri dia, sehingga penekanannya lebih pada orang, dinilai orang baik, dinilai orang sukses, dan sebagainya. Bukan pada dirinya dia puas dengan apa yang sudah dia kerjakan, dia bisa karyakan.
GS : Berarti kalaupun dia suatu saat gagal di dalam melakukan tugas yang diberikan kepadanya itu kita tetap harus memberikan pujian?

PG : Begini kalaupun dia gagal kita akan bandingkannya itu dengan diri dia Pak Gunawan. Jangan sampai kita terpancing membanding-bandingkan dia dengan orang lain kok orang lain bisa kamu tidk bisa, kok orang lain dapat segini kamu dapat segini, jangan, kalau kita mau mengubah anak-anak yang kompetitif menjadi produktif justru jangan bandingkan dia dengan orang lain.

Anak-anak yang kompetitif itu hidup dalam perbandingan, artinya kalau tidak ada perbandingan dia tidak semangat, kalau tidak ada lain-lain pesaing dia tidak semangat, tidak, justru kita mau anak-anak kita membandingkan diri dengan diri sendiri artinya potensinya seperti apa, hiduplah sesuai dengan potensimu, karuniamu apa hiduplah sesuai dengan karuniamu itulah yang menjadi tolak ukur si anak, ini yang kita mau tanamkan pada anak. Engkau harus hidup sesuai dengan kemampuanmu bukan engkau harus hidup sesuai dengan orang lain, nah itu caranya mengubah anak-anak dari kompetitif menjadi produktif.
GS : Ya memang dibandingkan dengan dirinya sendiri tetapi pada masa yang lampau misalkan begini Pak Paul anak itu dulu waktu kelas tiga SD dia memang mampu masuk rangking satu atau dua terus di sana, waktu di kelas empat dia mulai gagal kita membandingkannya dengan masa lalu; lho dulu waktu kamu kelas tiga bisa itu juara satu, juara dua, sekarang kok tidak bisa.

PG : Itu boleh dalam pengertian sekarang ada kemunduran, sebelumnya kan kamu begini, kemampuan kamu seperti ini, kok sekarang jadi begini, itu tidak apa-apa. Tapi jangan sampai keluar omonga kakak kamu begini, adik kamu begini, kok kamu begini nah itu yang jangan.

Jadi perbandingan dengan diri sendiri, tapi juga kita mau mengerti kenapa sekarang dia jeblok/anjlok, kita mau tahu apa yang ia suka, apa yang dia tidak bisa dan sebagainya sehingga kita tidak menekan dia. Satu hal lain lagi tentang pujian yang juga saya kira penting untuk diketahui orang tua adalah sering-seringlah orang tua menyoroti karakter anak Pak Gunawan bukan prestasinya, tadi saya sudah singgung usaha bukan hasil. Nah yang berikutnya ini karakternya, sering-seringlah puji karakter si anak, jadi imbangi pujian atas dasar karya dan pujian atas dasar karakter. Nah menurut saya harus lebih banyak pujian terhadap karakter anak, kalau mau diperbandingkan secara kasarnya mungkin 80% karakter; 20% karya kita memuji dia kok sabar, kita memuji dia murah hati, mau memberikan barangnya, bantuannya, kita mau memuji dia dengan penuh kasih karena dia kok memikirkan temannya yang susah dan sebagainya. Jadi karakter-karakter seperti itulah yang lebih sering kita lontarkan kepada anak-anak yang kompetitif terutama. Sebab sekali lagi anak-anak yang kompetitif harus kalau sering menerima pujian yang berorientasi pada kemampuannya wah makin subur kompetitifnya itu, tapi anak-anak yang kompetitif mendapat pujian-pujian terhadap usahanya bukan hasilnya, mendapat pujian atas karakternya dan tidak melulu hasilnya nah lama-lama menjadi anak-anak yang berimbang. Dia juga menekankan aspek karakter hidup itu menolong orang, bermurah hati kepada orang, sehingga nantinya dia bisa mempertimbangkan perasaan orang dan bahwa hidup itu bukan saja target dan keberhasilan tapi menggalang relasi, hidup damai dengan orang, mengasihi orang itu hal-hal yang penting.
GS : Ya, jadi kalaupun anak yang diupayakan dari kompetitif menjadi produktif itu suatu saat gagal, mengalami kegagalan kita harus bersikap apa Pak Paul?

PG : Kalau sampai dia gagal kita harus menerima kegagalannya dengan tepat. Tepat maksudnya begini Pak Gunawan, jangan kita meremehkan atau membesarkan kegagalannya. Ini yang saya maksud, mermehkan kegagalan maksudnya begini tidak apa-apa gagal, tidak apa-apa nah anak-anak yang kompetitif kalau mendengar kata-kata seperti itu dia merasa justru disepelekan karena buat dia kegagalan adalah hal yang penting sebab keberhasilan hal yang penting.

Jadi waktu orang tua mengatakan sudah jangan dipusingkan, kita sudah tidak membahasnya, tidak menanyakan kenapa dia gagal, dia akhirnya merasa dia disepelekan tapi sebaliknya juga jangan yaitu membesarkan kegagalan, memarahi si anak habis-habisan kenapa kamu gagal kamu tidak ini, nah itu akan membuat si anak sulit menerima dirinya. Jadi waktu anak gagal terutama anak-anak yang kompetitif ini kita perlu tanya kenapa gagal, apa yang terjadi, terus kita bisa tanya bagaimana perasaanmu, kita juga bisa berkata saya juga turut sedih, tapi setelah mengatakan semua, menanyakan itu kita berkata kepada anak itu: "Yang sudah - sudah, nanti kita lihat ke depan kita, kita fokuskan pada yang sekarang tidak lagi pada yang lampau. Sudah jangan sampai kamu kecewa, jangan sampai kamu mundur, tidak apa-apa kita belajar dari kegagalan kita." Nah dengan cara seperti itu si anak tetap merasa dirinya itu penting tidak disepelekan tapi tidak dijatuhkan, tidak dihakimi atau didakwa.
GS : Ya, apakah ada upaya yang lain Pak Paul yang bisa dilakukan oleh orang tua?

PG : Salah satu yang penting adalah mengajarkan anak-anak untuk memahami orang yang berbeda dengannya. Anak-anak kompetitif ini cenderung 'kan hanya melihat dari kacamatanya sendiri, tidak bsa melihat sesuatu dari kacamata orang lain nah kita bisa mengajar dia memahami orang lain yang berbeda darinya.

Misalkan kita menceritakan latar belakang atau situasi yang dihadapi orang yang membuat mereka menjadi seperti itu, dia tidak cepat-cepat mengkritik orang malas. Kita katakan bukannya orang itu malas tapi orang itu tidak tahu bagaimana memajukan dirinya misalkan begitu, bukannya orang itu tidak mau berusaha tapi mungkin dia mau berusaha tapi tidak punya dukungan tidak punya jalan keluarnya nah makanya akhirnya dia tetap hidup seperti itu terus. Nah kita mesti sering-sering memberikan komentar seperti ini kepada anak-anak yang kompetitif sehingga akhirnya dia lebih bisa menerima anak-anak atau orang lain, kalau tidak dia akan sukar menerima orang sebab dia menuntut orang menjadi seperti dirinya. Nah itu yang perlu orang tua lakukan.
GS : Ya, itu ada orang tua yang mengalami kesulitan Pak Paul karena anaknya itu membandingkan dengan orang tuanya, yang dulu pendidikannya memang rendah, lalu dia mengatakan seolah-olah menyepelekan orang tuanya karena orang tuanya dibandingkan dengan dia yang sekarang sudah perguruan tinggi dan sebagainya, orang tuanya dianggap sepele sekali, direndahkan begitu nah itu bagaimana orang tua akan memberitahukan kepada anaknya?

PG : Pertama-tama orang tua bisa berkata kepada si anak bahwa waktu kamu mengatakan ini ini kamu benar-benar membuat kami merasa sedih, kamu benar-benar memandang kami begitu rendah dan kamisangat sedih.

Jadi beritahukan dampak perlakuan atau perkataan anak pada diri si orang tua itu. Nah mungkin si anak tidak mengerti itu karena tadi saya sudah singgung anak-anak yang kompetitif hanya melihat faktanya, dia sudah melakukan ini orang lain tidak melakukan ini, nah dia 'kan tidak bisa tenggang rasa mengerti dan menyelami perasaan orang, biarkan orang tua memberikan pantulan. "Waktu kamu berkata begini-begini papa sakit hati sekali, kamu seolah-olah itu memandang papa begitu rendahnya seolah-olah papa tidak mempunyai arti dalam hidupmu, papa sangat sedih nah tolong lain kali jangan begitu." Nah itu yang orang tua harus lakukan sehingga anak-anak mengerti bahwa waktu dia ngomong seperti itu ada dampak dan dampak itu menyakitkan orang, dan dia tidak mau menyakitkan orang seperti itu.
GS : Ya, biasanya reaksinya adalah kemarahan dan itu tidak menyelesaikan masalah ternyata Pak Paul?

PG : Nah itu yang sering kali orang tua lakukan langsung memarahi dan anak-anak akan berkata dalam hatinya: "Saya 'kan berkata yang benar, kenapa orang tua tidak mau menerima kebenaran ini."Nah sedangkan masalahnya bukanlah soal kebenaran atau fakta tetapi perkataannya itu berdampak secara negatif pada orang dan dia tidak sadari itu.

GS : Berarti dalam hal ini kita lebih banyak membentuk perasaan anak itu.

PG : Salah satunya adalah ini memang kita harus mengajar anak-anak yang kompetitif ini bisa menguasai perasaannya terutama perasaan marah dan mengajarkan dia untuk mengungkapkan kemarahan it dengan sehat.

Misalnya kita berkata kepada anak boleh marah, namun jangan menghina misalkan begitu. Misalkan dia marah dengan kakaknya terus dia menghina kakaknya, dasar kamu bodoh atau apa nah itu kita langsung harus tegur si anak, kita harus berikan dia sanksi, jangan menghina kakakmu. Atau yang lainnya misalnya boleh marah tapi tidak boleh berteriak, nah anak-anak yang kompetitif ini memang karena ledakan amarahnya bisa cukup besar kadang-kadang dia berteriaklah atau apa, nah kita harus mencegah dan mengajar dia untuk berbicara. Kamu marah kenapa, kamu tidak senang kenapa, coba ngomong, coba sampaikan nah ajarkan dia untuk mengungkapkan perasaan-perasaan marahnya secara verbal dan dengan cara yang tidak menghina atau mencaci-maki orang lain.
GS : Ya, biasanya anak-anak yang kompetitif ini malah mengajak diskusi, bukan diskusi justru berdebat Pak Paul dan dia biasanya menang dalam perdebatan itu.

PG : Ya, ada kecenderungan begitu karena memang dia mendasari argumennya juga pada fakta pada apa yang telah terjadi atau yang dia lakukan dan kita bisa berkata kamu benar, semua yang kamu ktakan bena, tapi cara kamu mengatakannya benar-benar membuat orang merasa diri remeh dan rendah di hadapanmu.

Nah kalau kamu terus begitu terhadap orang, orang tidak akan mau dekat dengan kamu, dan kamu akan hidup sendirian meskipun kamu berhasil nah apakah itu yang kamu inginkan. Nah ini yang orang tua harus sering-sering katakan kepada anak sehingga akhirnya dia sadar bahwa tidak bisa dia hanya mengutarakan pikiran-pikirannya tanpa menghiraukan reaksi atau perasaan orang. Nah itu yang mau kita munculkan dalam dirinya.
GS : Berarti pendekatan ini sangat penting di dalam hal pembentukan anak.

PG : Sangat penting sekali Pak Gunawan, yang terakhir jangan sampai kita lupakan juga adalah kita mesti mengenalkan dia kepada Tuhan agar dia dapat hidup takut kepada Tuhan, dia perlu belaja mengerti bahwa potensinya berasal dari Tuhan anak-anak ini karena terlalu percaya diri bahwa dia itu mampu segalanya akhirnya bersandar pada diri sendiri.

Nah kita tahu Amsal 3:5-6 berkata: "Janganlah engkau menyandarkan diri pada pengertianmu sendiri, dengan akalmu sendiri tapi bersandarlah kepada Tuhan." Nah anak-anak ini sangat butuh firman Tuhan yang seperti itu jadi kita mesti ajarkan dia. Kenyataan kamu pandai bukan karena kamu lahir memilih otak yang seperti ini, kamu tidak pernah memilih otak kamu, Tuhan yang memilihkan otak itu untuk kamu, kamu bisa mempunyai kaki yang cepat sehingga berlari dengan cepat kamu tidak pernah memilih kaki ini untuk kamu lahir, Tuhan yang memberikan kaki ini kepadamu, Dia yang pilihkan untuk kamu. Nah itu hal-hal yang perlu kita sering komunikasikan kepada anak-anak yang kompetitif ini dan kita tekankan bahwa dia bertanggungjawab kepada Tuhan. Kadang-kadang anak ini kalau tidak hati-hati melihat dirinya sebagai pusat kehidupan, dia tidak bertanggungjawab terhadap siapapun, dialah yang harus menang, dialah yang harus nomor satu, tidak kita mau tekankan bahwa kamu harus bertanggungjawab kepada Tuhan. Tuhan melihat yang kamu lakukan, dan Tuhan mencatat yang kamu lakukan, jadi kita mau tanamkan takut akan Tuhan pada dirinya sehingga dia tidak menghalalkan segala cara. Karena anak-anak yang kompetitif akhirnya mudah terjebak ke dalam perilaku menghalalkan segala cara supaya tetap menjadi nomor satu, kita harus tekankan tidak, Tuhan melihat yang kamu lakukan meskipun kamu nomor satu tetapi kalau kamu tidak benar Tuhan akan bisa balas kamu.
GS : Dalam hal tanggungjawab ini biasanya mereka justru menuntut orang lain bertanggungjawab kepada dia dan dia sendiri tidak bertanggungjawab kepada siapa-siapa.

PG : Ya, seakan-akan bahwa hidup itu memang harus berputar di sekitar dia bahwa oranglah yang harus memahami dia dan memberikan pujian atau pengakuan kepadanya, jadi itu yang memang harus kia poles, kita kikis sehingga tidak menjadi duri yang tajam.

GS : Nah Pak Paul, hal-hal yang tadi Pak Paul sampaikan itu sebenarnya 'kan dilakukan sedini mungkin, biasanya yang kita tahu itu seperti Pak Paul katakan ketika anak itu remaja atau pra-remaja baru kelihatan waduh anak saya ini ternyata anak yang kompetitif. Nah apakah kita masih mempunyai waktu untuk mengubahnya?

PG : Sudah tentu semakin dewasa anak semakin sulit untuk berubah, jadi kalau memang sudah remaja usia sudah 15 atau 16 tahun, baru orang tua menyadari dan mau membentuknya memang sulit. Nah tu-satunya harapan kalau anak itu sudah remaja adalah pertobatan rohani karena pertobatan rohani akan mengubah cara pandang.

Misalkan dulu harus nomor satu, tetapi sekarang dia sadar bahwa itu bukan jalan Tuhan. Nah akhirnya dia mengerti dia harus mengalah, dia harus belajar menekan dirinya, nah pertobatan rohanilah yang bisa mengubah orang dengan lebih drastis.
GS : Tapi di sini peran firman Tuhan yang disampaikan itu akan sangat berpengaruh pada anak ini.

PG : Sangat-sangat berpengaruh anak-anak yang kompetitif perlu sekali dibina dengan firman Tuhan, kalau tidak dia menjadi duri bagi orang lain tidak menjadi berkat.

GS : Ya apakah ada firman Tuhan untuk itu Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 8:13 "Takut akan Tuhan ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu musliat."

Nah anak-anak yang kompetitif tanpa takut akan Tuhan berpotensi menjadi orang seperti yang firman Tuhan katakan dia mudah menjadi sombong, congkak, bisa menjadi jahat dan mulutnya bisa mudah berbohong untuk menghalalkan yang dia ingin peroleh, justru anak-anak yang kompetitif harus dibina dengan takut akan Tuhan sehingga akhirnya potensinya itu tidak merugikan dirinya malah menjadi berkat bagi dirinya dan orang lain.

GS : Ya jadi berdasarkan firman Tuhan ini mungkin kita sebagai orang tua di dalam pembinaan ini mesti bersandar penuh pada Tuhan yang menciptakan anak ini Pak Paul, karena saya rasa sangat sulit ini untuk mengubah atau katakan hampir mustahil mengubah seseorang menjadi produktif tanpa pertolongan Tuhan. Ya terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih bahwa anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt.Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengubah Kompetitif menjadi Produktif II", di mana lebih banyak ditekankan bagaimana kita sebagai orang tua berperan di dalam mengubah anak yang kompetitif menjadi produktif. Dan bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id saran-saran, pertanyaan serta tanggapan anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda sampai jumpa pada acara telaga yang akan datang.



30. Makna Kematian Buat Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T150A (File MP3 T150A)


Abstrak:

Membicarakan tentang kematian kepada anak merupakan hal yang kurang enak dan kurang nyaman. Tetapi akan lebih baik kalau anak memperoleh pengertian yang benar mengenai kematian, sehingga tidak membawa dampak buruk bagi anak tersebut.


Ringkasan:

Beberapa penyebab kenapa kita enggan untuk membicarakan kematian:

  1. Kita mungkin memperoleh pengaruh budaya yang berkaitan dengan takhayul.

  2. Kita sering mengaitkan dengan sesuatu yang menyedihkan.

Manfaat kita membicarakan mengenai kematian kepada anak:
Supaya anak memperoleh pengertian yang benar mengenai kematian. Karena apabila anak mempunyai konsep yang keliru tentang kematian, maka anak akan menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dan kadang-kadang hal ini akan menyebabkan rasa duka yang sulit diselesaikan pada diri anak.

Konsep yang salah tentang kematian:

  1. Anak memandang kematian sama dengan tidur, tidur yang sangat panjang yang tidak bangun-bangun lagi.

  2. Kematian bukan hal yang permanen, sehingga kadang-kadang anak mengharapkan sesuatu yang tidak masuk akal misalnya meminta binatang peliharaan yang sudah mati untuk dibangunkan lagi.

Beberapa moment di mana kita bisa membicarakan tentang kematian kepada anak:

  1. Pada saat kita bercerita, kemudian ada cerita atau dongeng tentang kematian, nah kita bisa sedikit menjelaskan di situ.

  2. Saat misalnya sedang menghadapi seorang kerabat atau orang dekat atau siapa saja yang meninggal atau anak mengatakan bahwa orang tua dari temannya meninggal.

  3. Kalau anak mempunyai binatang peliharaan, nah itu kesempatan yang baik untuk menjelaskan tentang kehidupan dan kematian kepada anak.

Dampak kalau kita sampai memberikan konsep yang keliru tentang kematian kepada anak:

  1. Misalnya mati sama dengan tidur yang panjang, untuk anak yang peka mungkin saja mereka tidak berani tidur karena takut tidak bisa bangun lagi.

  2. Menimbulkan rasa marah karena merasa dibohongi. Ada anak yang sampai menulis surat kepada sahabatnya yang sudah meninggal atau bahkan menulis surat kepada ayahnya di tempat yang jauh, di tempat yang dikatakan indah sekali padahal ayahnya sudah meninggal. Nah ketika dia tidak mendapatkan fakta yang sebenarnya, ada rasa duka, nah ketika anak itu dewasa dan tahu fakta yang sebenarnya dia bisa marah.

Mazmur 116:15, "Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihiNya."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang bersama dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Makna Kematian buat Anak", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, ini suatu tema yang sangat menarik yang mungkin jarang dibicarakan, bahkan ada orang yang merasa enggan untuk membicarakan hal ini. Sebenarnya bagaimana kita bisa membicarakan masalah yang begitu serius, begitu sulit dibicarakan bahkan oleh orang dewasa tapi kita mau membicarakannya dengan anak tentang kematian?

HE : Ya, karena kematian itu sering kali suatu topik yang kita hindari, kita merasa kurang enak, kurang nyaman kalau kita membicarakannya. Itu sebabnya kadang-kadang kita susah untuk membicaakannya bersama dengan anak.

GS : Sebenarnya kenapa Pak Heman, kita sendiri merasa enggan untuk membicarakan kematian?

HE : Ada beberapa kemungkinan penyebab yang saya amati, kemungkinan pertama adalah kita mungkin memperoleh pengaruh budaya yang berkaitan dengan takhayul. Dan kita tahu bahwa budaya Timur bayak takhayul tentang kematian ini.

Seolah-olah kalau kita membicarakannya sepertinya kita akan lebih mudah mengalami musibah. Sudah barang tentu pandangan demikian kurang tepat, karena bagi orang percaya hidup dan mati kita berada di tangan Tuhan yang telah mengalahkan maut. Kemungkinan kedua, kita sering mengaitkan dengan sesuatu yang menyedihkan. Mungkin ada hubungannya dengan kematian orang tua kita, saudara kita atau kerabat kita yang kita kasihi, nah untuk itu dalam hal ini kita perlu belajar untuk menerima kenyataan kematian kekasih kita terlebih dahulu.
WL : Apakah manfaatnya kalau kita membicarakan mengenai kematian kepada anak, Pak Heman?

HE : Kita perlu membicarakannya supaya anak memperoleh pengertian yang benar mengenai kematian. Sesuai dengan perkembangannya, anak yang masih muda memang sulit memahami tentang kematian, naun kita tetap perlu membicarakannya supaya anak memperoleh pengertian mengenai hal ini.

Kalau kita balik, apabila anak keliru konsep tentang kematian maka anak akan menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dan kadang-kadang hal ini akan menyebabkan rasa duka yang sulit diselesaikan pada diri anak.
GS : Sebenarnya konsep yang salah itu seperti apa, Pak?

HE : Konsep yang salah itu misalnya anak memandang kematian sama dengan tidur, tidur yang sangat panjang yang tidak bangun-bangun lagi. Kematian misalnya juga bukan hal yang permanen, sehinga kadang-kadang anak mengharapkan sesuatu yang tidak masuk akal misalnya dia meminta binatang peliharaan yang sudah mati dan minta orang tuanya untuk membangunkannya lagi.

GS : Ada juga yang mengatakan bahwa kematian itu seperti pergi ke tempat yang jauh dan indah yang lama tidak kembali-kembali.

HE : Ya, itu adalah beberapa konsep tentang kematian yang mungkin terjadi.

GS : Nah, kalau hal itu dibicarakan kepada anak, apakah tujuannya adalah supaya anak bisa memahami dengan bahasanya anak-anak.

HE : Memang di sini kita berhadapan dengan anak yang belum cukup matang dan kadang-kadang kita memang tidak bisa menjelaskan semuanya sekaligus. Dan dalam hal ini kita tetap bertanggung jawa untuk menjelaskan sebisa mungkin supaya anak bisa memahami secara lebih tepat.

GS : Itu momentnya saat bagaimana Pak Heman, bukankah kita tidak bisa tiba-tiba membicarakan tentang kematian terhadap anak itu?

HE : Betul, dan ada beberapa moment. Yang pertama, pada saat kita bercerita biasa saja kemudian ada cerita-cerita atau dongeng tentang kematian nah kita bisa menjelaskan sedikit di situ. Kemdian juga saat misalnya kita sedang menghadapi seorang kerabat atau orang dekat atau siapa saja yang meninggal atau anak mengatakan bahwa orang tua dari temannya itu meninggal, nah itu saat yang baik juga untuk menjelaskan tentang kematian kepada anak.

Dan satu kesempatan lagi yaitu kalau anak mempunyai binatang peliharaan, nah itu kesempatan yang baik untuk menjelaskan tentang kehidupan dan kematian kepada anak.
GS : Pak Heman, dalam keadaan yang bagaimana terjadinya kesalahan konsep yang tadi Pak Heman katakan atau yang kita bicarakan itu bisa terjadi?

HE : Kadang-kadang misalnya kalau anak itu kita lindungi dari perasaan dukanya, kemudian kita berusaha untuk misalnya "menghibur" dia dengan sesuatu yang tidak benar, itu bisa menyebabkan ank mengalami atau memperoleh konsep yang salah tentang kematian.

Nah, sebagai contoh misalnya ada binatang peliharaannya itu mati, kemudian kita diam-diam membelikan anak binatang yang mirip. Kelihatannya anak memang tidak sedih lagi, tetapi dengan demikian dia memperoleh konsep yang salah tentang kematian karena seolah-olah kematian itu bukan sesuatu yang permanen.
WL : Pak Heman, kalau secara tidak sadar orang tua belum memiliki pengetahuan yang tepat mengenai bagaimana menyampaikan konsep yang benar kepada anak tentang kematian tapi sudah terlanjur salah menyampaikannya, apakah dampaknya terhadap anak?

HE : Ada beberapa dampak, misalnya kalau kita sampai memberikan konsep bahwa mati itu sama dengan tidur yang panjang, untuk anak yang peka mungkin saja mereka tidak berani tidur karena takuttidak bisa bangun lagi.

Atau misalnya beberapa konsep ada anak yang sampai menulis surat kepada sahabatnya yang sudah meninggal atau bahkan ada yang menulis surat kepada ayahnya di tempat yang jauh, di tempat yang dikatakan indah sekali padahal ayahnya itu sudah meninggal. Nah, ketika anak melakukan hal ini, dia tidak mendapat fakta yang sebenarnya ada rasa duka yang prosesnya belum selesai. Misalnya pada suatu ketika anak itu dewasa dan dia tahu fakta yang sebenarnya dia bisa marah sekali kepada orang tuanya atau kepada kita yang tidak menjelaskan dengan benar tentang kematian. Karena seolah-olah dia merasa dibohongi.
WL : Kalau misalnya untuk sementara waktu saja tidak sampai dewasa, jadi istilahnya masa transisi, dia 'kan belum dewasa, belum cukup kuat, ya kita biarkan dia menulis surat, seolah-olah papanya masih ada di suatu tempat yang dia tidak tahu, suatu tempat yang indah seperti yang tadi Pak Heman jelaskan, nanti setelah dewasa baru diberitahu, itu dampaknya tetap buruk Pak Heman?

HE : Ya menurut saya begitu, karena kita perlu memberi kesempatan kepada anak untuk melalui proses kedukaan ini secara wajar. Dan kalau dia sudah berhasil melewati proses ini baru nanti kitamembantu dia untuk mengatasi perasaan duka ini, saya kira itu akan lebih sehat.

GS : Pak Heman tadi mengatakan bahwa saat yang tepat kita itu menjelaskan tentang kematian adalah pada saat hewan kesayangannya ada yang mati. Nah bagaimana kita itu menjelaskan, bukankah hewan dan manusia itu sesuatu yang berbeda?

HE : Ya betul, dan di dalam kesempatan ini tentu saja kita perlu menjelaskan bahwa ada perbedaan antara kematian binatang dan manusia. Misalnya saja kita bisa menjelaskan bahwa jiwa manusia tu berharga di mata Allah, karena itu Allah menyelamatkan manusia berdosa melalui anakNya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus.

Sedangkan binatang itu diciptakan untuk hidup manusia, mungkin dengan penjelasan seperti ini anak akan mempunyai konsep yang lebih tepat mengenai kematian.
GS : Tapi binatang itu adalah binatang yang dia sayangi, yang tiap hari berkumpul atau bermain dengan binatang itu, kalau kita menjelaskan seperti itu apakah dia tidak lebih sedih lagi, seolah-olah kita itu menyepelekan binatang kesayangannya.

PG : Ya mungkin kita perlu membedakan dua hal ini yaitu yang pertama soal perasaan. Kita tangani perasaan itu terlebih dahulu dengan menerima bahwa dia tidak apa-apa berduka dan itu sesuatu al yang wajar, bahwa kalau kita kehilangan suatu makluk apalagi orang yang kita kasihi, kita wajar kalau berduka.

Yang kedua adalah hal konsep, untuk hal konsep ini kita perlu memberikan penjelasan-penjelasan. Jadi kita bedakan dua hal ini, untuk perasaan kita terima sedangkan untuk konsep kita luruskan.
WL : Pak Heman, itu tadi penjelasan tentang sama-sama makluk hidup, yang satu binatang, yang satu manusia. Bagaimana kalau benda yang bergerak dibandingkan dengan makluk hidup yang bergerak, bukankah anak-anak kadang-kadang sulit membedakan, dianggapnya itu hidup juga, bagaimana penjelasannya untuk hal ini Pak?

HE : Betul, ini bagian yang agak sulit terutama buat anak-anak yang masih muda. Kita bisa menjelaskan bahwa diri kita dan mereka itu adalah hidup, jadi anak itu hidup dan mereka berbeda dengn benda yang tidak hidup.

Misalnya mainan itu bisa bergerak bukan berarti mainan itu mempunyai kehidupan, nah kita membantu anak untuk memahami bahwa kalau makluk hidup itu bedanya bernafas, dia perlu makan, perlu minum, jantungnya berdegup untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Dan kematian itu berarti berhentinya nafas, berhentinya kerja jantung, berhentinya semua aktifitas, orang mati tidak dapat melakukan apapun juga. Kalau misalnya mainan, itu karena ada baterainya, nah kita bisa menjelaskannya seperti itu.
WL : Pak Heman, dengan kemajuan teknologi saat ini, lebih-lebih yang saya dengar di Jepang bahwa mainan-mainan sudah sangat maju. Ada mainan yang bisa kita beri makan, ada yang minta minum, harus dirawat, tidur, itu mungkin anak akan lebih sulit membedakan bahwa itu benar-benar benda mati ya Pak?

HE : Ya betul, jadi memang manusia pandai sekali menciptakan hal-hal seperti itu. Nah, kalau misalnya mainan-mainan yang seperti itu sudah mulai ada di Indonesia dan mungkin kita miliki, memng itu bagian yang lebih sulit untuk dijelaskan.

Tetapi kita tetap bisa menjelaskan bahwa kalau yang dibuat oleh manusia, nah manusia sampai saat ini tidak bisa membuat kehidupan, kehidupan hanya diberikan oleh Tuhan.
GS : Dan kenyataannya anak harus menghadapi bahwa setiap makluk hidup baik manusia atau hewan suatu saat harus mati, nah ini bagaimana kita menjelaskan kepada anak supaya anak itu jangan merasa takut karena nanti suatu saat saya akan mati juga?

HE : Kadang-kadang ketakutan memang tidak bisa dihindarkan sepenuhnya, tetapi kita perlu siapkan anak bahwa pada akhirnya semua manusia akan mati. Tetapi sampai titik ini kita tidak berhenti kita sebagai orang percaya mempunyai pengharapan dan kita bisa menjelaskan bahwa kematian manusia bukan akhir dari segalanya.

Barangkali itu kuncinya.
GS : Sering kali anak melihat di tayangan TV dan sebagainya cerita-cerita khayal yang menunjukkan bahwa yang sudah mati ini bisa hidup kembali. Ini kadang-kadang sulit menerangkan kepada anak-anak.

HE : Ya, mungkin ini betul bagian yang sulit, kita perlu juga lebih banyak bercerita kepada anak hal-hal dari Alkitab, dari dunia nyata. Dan perlu kita jelaskan kepada anak bahwa antara kehiupan nyata dengan cerita atau dongeng atau yang dikarang oleh manusia itu berbeda.

Jadi ada fakta yang anak perlu kenali dan ada juga fiksi. Betul pada anak yang masih muda ini lebih sulit, tapi secara bertahap anak harus tahu bahwa yang benar adalah kematian itu sesuatu yang permanen, memang betul pada saat manusia itu mati di dunia ini dia tidak akan hidup kembali, tetapi kematian bukan akhir dari segalanya, jadi masih ada kehidupan di alam sana, kehidupan atau kebinasaan yang kekal. Nah, kita di sini bisa menjelaskan hal-hal yang rohani bahwa orang yang percaya akan masuk ke kehidupan yang kekal.
GS : Pak Heman, sehubungan dengan hal itu bagaimana kita menjelaskan tentang kebangkitan Tuhan Yesus yang juga kita terangkan kepada anak bahwa Tuhan Yesus itu setelah meninggal, tiga hari kemudian Dia bangkit?

HE : Di sini bedanya kita menjelaskan bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan dan Dia memang lahir sebagai manusia, tetapi Dia mengalahkan maut dan itulah pengharapan dari kita. Jadi kita yang mati i dalam dosa, kita akan bangkit nantinya karena kebangkitan Tuhan Yesus yang kita percayai.

Memang tidak semuanya anak bisa langsung pahami, salah satu contoh misalnya soal kekekalan, karena kekekalan ini baru akan dipahami anak mungkin kalau anak remaja, anak mulai bisa berpikir secara abstrak, kekekalan itu banyak berkaitan dengan pikiran abstrak.
GS : Pak Heman, apakah ada dampak yang negatif kalau anak itu melihat seseorang yang meninggal dengan cara yang tidak wajar, misalnya bunuh diri atau tertabrak sampai luka parah, itu ada pengaruhnya atau tidak terhadap anak?

HE : Tentu saja ada, tetapi kita bisa menjelaskan seperti ini. Apapun cara seseorang itu mati dengan cara yang tragis misalnya tetapi kalau seseorang itu sudah hidup di dalam Tuhan, kematianya adalah kematian yang berharga juga di mata Tuhan.

Dan kita tidak membedakan cara seseorang mati tetapi apakah seseorang itu mati di dalam Tuhan atau di luar Tuhan.
WL : Pak Heman, biasanya kalau acara melayat, kita sering menemukan orang tua menghindarkan anak dari acara-acara seperti itu, walaupun itu sebetulnya keluarga terdekat, apakah kakak dari si anak atau ayah. Itu sebenarnya positif atau negatif kalau menurut Pak Heman?

HE : Saya pribadi berpendapat adakalanya anak juga boleh diajak ke tempat pemakaman, terutama pemakaman orang-orang terdekat dengan kita. Saya sendiri mengajak anak saya menghadiri pemakamandengan asumsi saya bisa mengajarkan hal yang benar kepada mereka.

Selain itu juga penyelesaian masalah kedukaan tadi bahwa upacara penguburan itu sepertinya menutup bagian dari sejarah hidup kita dan di sana ada perpisahan. Ketika anak mengalami perpisahan itu, anak sepertinya bisa lebih tuntas di dalam penyelesaian masalah emosionalnya.
WL : Kalau anaknya Pak Heman mungkin sudah remaja ya, kalau anak-anak apakah itu bisa mengerti?

HE : Ya saya mengajak anak saya ke tempat pemakaman itu mungkin sejak usia 6 tahun, 7 tahun mereka sudah menghadiri.

WL : Mereka memahami Pak?

HE : Tentu saya percaya tidak sepenuhnya mereka dapat memahami, tetapi mereka akan lebih cepat mengerti nantinya.

GS : Kesedihan yang mereka alami, karena nanti itu ada suatu perpisahan, apakah itu bisa cepat hilang daripada kita yang dewasa ini?

HE : Tergantung siapa yang hilang dan seberapa jauh kedekatan mereka. Kadang-kadang anak merasa kehilangan karena kematian, itu tidak terlalu nampak dari luarnya tetapi diam-diam mereka menympan kedukaan.

Jadi sekali lagi justru di sini pentingnya kalau anak tidak mendapatkan konsep yang jelas, dia bisa marah.
GS : Tetapi untuk menjelaskan itu bukankah tidak mungkin sekaligus mereka bisa pahami?

HE : Di sini kuncinya adalah kesabaran kita dan kalau misalnya ada sesuatu yang mungkin semakin membuat anak bingung, dan kita sendiri sulit untuk menjawabnya mungkin lebih bijaksana kalau kta katakan misalnya soal kekekalan, anak belum bisa memahami seluruhnya, kita katakan: "Pelan-pelan kamu akan lebih mengerti tentang kekekalan, Papa atau Mama belum dapat menjelaskan semuanya nanti akan kita bicarakan lagi mengenai hal ini kalau kamu sudah lebih besar nanti.

Misalnya dengan cara begitu jadi anak bisa lebih puas.
GS : Pak Heman, bagi anak yang sudah memahami tentang kematian, kemudian dia mempunyai sikap yang lain terhadap kematian artinya tidak lagi takut menghadapi kematian atau bagaimana, Pak?

HE : Setidaknya dia akan lebih siap menghadapi kematian orang lain, kerabat dekatnya maupun dirinya sendiri. Dia tahu bahwa semua orang akan mati itu yang pertama, dan yang kedua, kematian bkan berarti akhir dari segalanya jadi anak mempunyai pengharapan dibalik kematian itu.

Sekalipun ada rasa duka tetapi bukan rasa duka yang tak terselesaikan.
GS : Nah, sering kali waktu menghadapi jenazah kita itu mempunyai perasaan yang agak lain dengan menghadapi pada saat dia hidup, itu sebenarnya perasaan apa yang muncul dalam diri kita?

HE : Kadang-kadang bisa perasaan kehilangan, sesuatu perasaan yang asing, aneh karena kita tidak bisa mengetahui sepenuhnya apa yang terjadi dengan orang yang meninggal itu sampai pada saat ungkin kita sendiri meninggal.

GS : Makanya kadang-kadang kita itu tidak mengajak anak atau tidak melibatkan anak, karena anak itu sering kali ingin tahu, bertanya-tanya, nah kita itu sudah merasa sedih, merasa kehilangan kemudian ditanya-tanya seperti itu menjadi tidak enak, Pak Heman.

HE : Di dalam situasi seperti itu kita boleh saja mengatakan seperti ini: "Ya, Papa mengerti kamu ada banyak pertanyaan, ada hal yang belum kamu pahami, boleh tidak nanti setelah selesai sema, sesudah sampai di rumah dan sudah tenang baru Papa jelaskan tentang hal ini lebih banyak kepada kamu."

GS : Itu masih lebih bisa diterima oleh anak ya.

HE : Ya, kalau kita langsung marah-marah, dikhawatirkan untuk seterusnya anak tidak berani lagi bertanya kepada kita. Dan juga yang sangat penting di sini adalah supaya anak memahami juga tetang konsep-konsep rohani misalnya tentang dosa, kematian itu akibat dosa, tentang penyelamatan dari Yesus Kristus.

GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa mendukung kita untuk mengajarkan atau menjelaskan tentang kematian ini kepada anak kita?

HE : Ada satu ayat yang bagus sekali dari Mazmur 116:15, "Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihiNya."

GS : Itu kita jelaskan bagaimana kepada anak?

HE : Bahwa kita adalah orang-orang yang dikasihi oleh Tuhan, kita yang sudah percaya di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Dan kematian kita itu bukan kematian yang sia-sia tetapi sesuatu yang erharga di mata Tuhan.

GS : Jadi kita mesti menjelaskan kepada anak-anak ini dengan bahasa mereka supaya mereka mengerti dan menghadapi kenyataan hidup yang pasti suatu saat akan berakhir. Terima kasih Pak Heman dan juga Ibu Wulan untuk perbincangan pada kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Makna Kematian buat Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs atau website kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



31. Anak dan Ketakutan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T156A (File MP3 T156A)


Abstrak:

Adakalanya orang tua bingung melihat perubahan sikap anak yang tiba-tiba menjadi penuh ketakutan. Apa yang terjadi dan apa yang dapat dilakukan orangtua?


Ringkasan:

Adakalanya orang tua bingung melihat perubahan sikap anak yang tiba-tiba menjadi penuh ketakutan. Apa yang terjadi dan apa yang dapat dilakukan orangtua?

Penyebab Ketakutan dan Penanganannya:

  1. Anak melihat dunia sekitarnya dengan mata yang berbeda dari orang dewasa. Acap kali apa yang menjadi ketakutan orang tua bukanlah apa yang menjadi ketakutan anak. Kadang anak mengalami teguran dari orang asing dan ini cukup untuk membuatnya ketakutan. Atau, anak melihat orang tua sakit dan ia mengembangkan ketakutan kalau-kalau orang tua akan meninggal. Itu sebabnya orang tua perlu memberi penjelasan terhadap peristiwa yang tidak dimengerti oleh anak agar ia tidak menarik kesimpulan yang keliru atau irasional.

  2. Anak memiliki fantasi yang aktif dan rentan terhadap ketakutan sebab bukankah ketakutan sering kali muncul dari sesuatu yang dibayangkan? Anak dapat membayangkan sesuatu yang mengerikan dari film yang ditontonnya atau buku yang dibacanya. Itu sebabnya anak harus dilindungi dari kisah-kisah yang menyeramkan sebab apa yang telah terekam akan sukar dihapus dari memorinya.

  3. Relasi orang tua yang tidak stabil dan rawan konflik juga berpotensi menciptakan ketakutan pada anak. Ia takut kehilangan orangtuanya dan ia takut menyaksikan pertengkaran mereka. Itu sebabnya orangtua perlu membereskan pernikahannya dan berupaya keras melindungi anak dari konflik antara mereka.

  4. Penolakan teman di sekolah atau lingkungan juga dapat membuat anak ketakutan. Teman menolak melalui pelbagai cara misalnya, ejekan, ancaman, atau pengucilan. Teman menolak anak atas berbagai alasan misalnya perbedaan fisik dan kelemahan tertentu. Alhasil anak hidup penuh dengan ketakutan karena membayangkan perjumpaan dengan teman-teman. Itu sebabnya orangtua perlu menjalin komunikasi yang baik dengan anak tanpa menyalahkannya agar ia berani bercerita tentang lingkungannya.

  5. Tekanan akademik yang membuat anak malu atau gagal juga bisa menciptakan ketakutan. Ketidakbisaan dan ketidakberdayaan merupakan perasaan yang menakutkan. Itu sebabnya orangtua harus peka dengan kondisi anak agar tidak memaksakan anak masuk ke sekolah yang memiliki tuntutan di atas kemampuan anak.

Firman Tuhan: "Takut akan Tuhan adalah didikan yang mendatangkan hikmat..." Amsal 15:33.

Anak perlu dididik untuk takut akan Tuhan dan berani menghadapi apa pun. Ketakutan dihilangkan melalui pendampingan atau penyertaan, jadi, didik anak untuk selalu ingat bahwa Tuhan menyertainya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini saya bersama dengan Ibu Wulan, S.Th kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak dan Ketakutan", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, memang semua orang tentu pernah dikuasai oleh rasa takut, bahkan anak-anak juga sering kali kita melihat mereka ketakutan. Tetapi apakah ada perbedaan yang mendasar antara ketakutannya anak dengan ketakutan kita orang dewasa?

PG : Memang ada perbedaan Pak Gunawan, kita misalkan takut akan sesuatu yang riil atau yang nyata sekali, sedangkan anak-anak ketakutan akan hal-hal yang tidak riil. Itu sebabnya kita sebagai oang tua perlu peka melihat perubahan pada diri anak-anak kita.

Kadang-kadang yang kita lihat, mereka pada masa awal adalah anak yang sangat sehat, berani, namun suatu masa mereka berubah; mereka menarik diri, penuh ketakutan; kalau kita meminta untuk berkenalan dengan anak lain, mereka tidak berani, mencoba sesuatu yang baru mereka tidak berani, mereka diminta tidur sendiri di kamar tidak berani padahal sebelumnya berani, minta ditemani kalau ke kamar kecil, kita sudah melatihnya untuk ke kamar kecil sendiri tapi sekarang tidak berani dan meminta kita untuk mendampinginya. Nah, kita mulai berpikir apa yang terjadi, kok anak kita mengalami perubahan seperti ini. Yang pertama, kita mesti melihat sebetulnya apa yang dialami oleh seorang anak, apakah itu proses di dalam diri anak itu sendiri. Anak-anak melihat dunia sekitarnya tidak sama dengan mata orang dewasa. Misalkan anak itu menerima teguran dari seorang asing di luar, nah dia bisa sekali ketakutan. Padahal tegurannya hanyalah misalkan, jangan main-main dengan bunga, jangan memetik bunga sembarangan, tapi teguran itu bisa memancing reaksi ketakutan pada anak. Atau contoh yang lain, anak melihat orang tua sakit, nah si anak itu mengembangkan ketakutan kalau-kalau orang tuanya itu akan meninggal. Jadi dengan kata lain si anak bisa mengembangkan pemikiran-pemikiran dan menyimpulkan sesuatu dengan cara yang sangat berbeda. Misalkan, si orang tua selama 3, 4 hari tidak bisa bangun, di ranjang terus. Nah, si anak bisa mengembangkan ketakutan, takut kalau-kalau orang tuanya itu akan meninggal dunia. Atau dia itu sering main dengan neneknya, kemudian neneknya tidak pulang selama beberapa hari. Diberitahukan kepada dia bahwa neneknya itu tinggal di rumah siapa, nah dia bisa saja mengembangkan ketakutan kalau-kalau neneknya nanti di rumah saudaranya yang lain mengalami kecelakaan, meninggal dunia dan sebagainya. Itu sebabnya penting sekali orang tua memberikan penjelasan terhadap peristiwa yang tidak dimengerti oleh anak, agar anak tidak menarik kesimpulan yang keliru dan irasional.
GS : Mungkin yang sulit itu menjelaskannya, karena kita harus menjelaskan dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh anak itu.

PG : Betul sekali, jadi bahasanya memang harus sangat konkret. Misalkan kita berkata kepada anak itu, "Mama tidak apa-apa, mama itu hanya sakit 3 hari karena mama ingin istirahat; kamu pernah cpek atau tidak? "Pernah", "Kalau capek apa yang ingin kamu lakukan?" "Tidur", "Nah, mama juga begitu, mama sedang capek dan mama perlu beristirahat dan tidur.

Nanti 3 hari kemudian mama akan sehat (misalkan ini hari Senin) hari Kamis ya kamu lihat mama akan sehat kembali." Jadi utarakanlah atau berikan penjelasan dengan kata-kata yang sederhana dan dengan sekonkret mungkin.
WL : Pak Paul, berdasarkan penjelasan tadi berarti dunia sekitar atau lingkungan sekitar anak itu sangat mempengaruhi bagaimana anak itu bereaksi takut atau tidak. Nah, pertanyaan saya, kalau seorang anak hidup di tengah-tengah keluarga misalnya orang tuanya sedikit-sedikit ketakutan, untuk hal-hal kecil juga takut, nah itu dampaknya bagaimana terhadap anak tersebut?

PG : Saya kira ketakutan orang tua itu langsung tertransfer, dipindahkan pada si anak. Jadi orang tua yang memang mencemaskan banyak hal cenderung menularkan kecemasannya itu pada anak, sehingg si anak pun pada akhirnya mencemaskan banyak hal.

Jadi saya setuju dengan pengamatan Ibu Wulan, memang ada pengaruhnya.
WL : Ada bedanya atau tidak Pak Paul, pada orang dewasa 'kan kita bisa membedakan antara kecemasan dan ketakutan, hal yang riil atau tidak riil, nah, untuk anak apakah semua itu menjadi sama karena mereka memang belum bertumbuh sekompleks seperti orang dewasa atau bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira pada usia yang lebih muda memang ketakutan anak lebih irasional, lebih kekurangan data objektifitasnya. Tapi pada masa anak-anak lebih dewasa, misalkan sudah mulai menginjak usia9, 10 tahun, seyogyanya ketakutan anak itu lebih riil sehingga kita katakan memiliki objek yang bersentuhan dengan realitas.

GS : Pak Paul, makin anak itu besar dia mulai bisa membaca, dia menonton TV dan sebagainya. Kita juga tahu melalui bacaan atau melalui TV itu kadang-kadang ada pengaruh yang negatif, karena ditakut-takuti, setan atau tokoh-tokoh yang fiktif, menakutkan, itu pengaruhnya seberapa besar Pak?

PG : Pengaruhnya besar Pak Gunawan. Saya telah menemukan beberapa kasus orang dewasa yang sampai dewasa memiliki ketakutan. Dan ternyata mereka mengalami ketakutan itu sejak kecil. Sewaktu sayabertanya apa yang terjadi, rata-rata mereka mengatakan sewaktu kecil mereka disuguhkan kisah-kisah yang menyeramkan, tentang dunia orang mati, tentang dunia setan dan sebagainya.

Nah, pada masa kecil itu anak-anak itu belum bisa mencerna bahwa ini adalah sebuah kisah yang tidak memiliki realitasnya. Namun anak-anak itu mendengarkannya karena terpaksa, dan karena ada rasa ingin tahu maka mereka mendengarkan kisah-kisah yang menyeramkan ini. Wah.....dampaknya bisa sangat berat. Memang ada sebagian anak yang mendengarkan kisah seperti ini, akhirnya bisa melewatkan dan melupakannya. Tapi bagi anak-anak yang mempunyai kepekaan, yang perasaannya memang halus, mudah sekali mengingat dan sukar sekali untuk melupakannya. Jadi akhirnya kisah-kisah yang menyeramkan itu terus-menerus berputar dalam benaknya. Waktu dia ingin tidur kamarnya gelap, dia bisa berteriak ketakutan, waktu dia ingin ke kamar kecil tapi dia melihat kamar kecil itu seolah-olah ada lubang, dia takut dari lubang itu akan keluar makhluk atau apa. Dengan kata lain si anak akhirnya mengembangkan fantasi yang liar, yang memang ada sumbernya. Sumbernya adalah kisah-kisah yang menyeramkan itu. Maka, saya menghimbau kepada orang tua, anak harus dilindungi dari kisah-kisah yang menyeramkan. Sebab apa yang sudah terekam oleh anak, akan sukar dihapus dari memorinya. Jadi sebaiknya orang tua peka melihat dengan siapa anak-anak kita bergaul. Kalau kita tahu misalkan orang-orang di sekitarnya suka menceritakan kisah-kisah yang seram atau misalkan kita melihat temannya di sekolah mulai menceritakan kisah-kisah yang seram, kita harus berusaha dengan aktif melindungi anak kita dari anak itu. Misalkan, kita berani ke sekolah dan berkata kepada anak itu, "jangan lagi menceritakan hal ini kepada anak saya." Sekali lagi yang mau kita lindungi adalah diri anak kita.
WL : Pak Paul, beberapa kali saya melihat film yang menayangkan, ada anak itu berdiri takut, tegang atau ada yang bersembunyi di balik pintu melihat konflik atau pertengkaran kedua orang tuanya. Dan mungkin secara teori memang benar juga, tapi kaitannya bagaimana Pak antara konflik orang tua sampai anak itu seperti itu?

PG : Konflik menimbulkan ketegangan, Ibu Wulan, kita saja orang dewasa kalau diperhadapkan dengan konflik pasti tidak nyaman dan tegang, nah anak pun mengalami hal yang serupa. Tapi bedanya denan kita adalah karena kita sudah dewasa, kita masih bisa merasionalisasi atau memberikan penjelasan kepada diri sendiri.

Tapi anak-anak kecil tidak bisa memberikan penjelasan seperti itu. Nah, akhirnya ketegangan itu diserap bulat-bulat oleh si anak. Apa yang terjadi? Si anak akhirnya bertumbuh besar membawa ketegangan itu. Ketegangan sudah tentu adalah reaksi yang berlebihan, berarti kalau anak itu melihat sesuatu atau mengalami sesuatu, maka reaksi tegang itu akan berlipat ganda. Jadi akhirnya si anak bisa jadi penuh ketakutan. Ketakutan si anak bisa juga disebabkan oleh ketakutannya kehilangan orang tua, kalau-kalau nanti orang tuanya bercerai dan meninggalkan dia. Sehingga dia tiba-tiba sering menangis. Dulu tidak apa-apa ditinggal sendirian, tapi sekarang menangis; ditinggalkan di sekolah, lari mau mengikuti mamanya; ditinggalkan di rumah meski ada orang di rumah, tidak mau, akan menangis menggerung-gerung meminta orang tuanya tidak meninggalkannya. Nah, sebetulnya apa yang terjadi? Si anak ketakutan, ketakutan akan satu kemungkinan di benaknya bahwa orang tuanya itu karena tidak rukun, saling membenci maka akhirnya akan meninggalkannya. Maka, saya menghimbau kepada orang tua untuk membereskan masalah pernikahannya, dan berupaya keras melindungi anak dari konflik di antara mereka. Jangan sampai akhirnya anak-anak kita itu menyerap ketegangan-ketegangan di dalam jiwanya. Sedangkan pada masa-masa kecil itu, anak-anak tidak seharusnya menyerap ketegangan pada jiwanya.
GS : Ada anak yang ketakutan karena sering kali menjadi pelampiasan kemarahan dari ayahnya. Kalau ayahnya sedang bertengkar dengan ibunya (istri) yang belum selesai, kemudian anaknya yang ada di dekatnya dipukul.

PG : Sering kali anak-anak menjadi sasaran kemarahan orang tua, yang seharusnya dialamatkan pada pasangannya. Nah, ini juga bisa pada akhirnya menimbulkan ketakutan, sebab dia tahu setiap kali rang tuanya bertengkar, maka ada resiko tinggi dia akan kena getahnya.

Jadi setiap kali orang tuanya mulai berbicara dan suaranya agak keras, dia sudah ketakutan. Nah, bisa jadi dia akan memanifestasikan perilaku-perilaku yang bermasalah. Misalkan, dia mengurung diri di kamar, menyembunyikan dirinya di bawah selimut, atau ini yang klasik dan sering terjadi, malam hari sering ngompol. Karena apa? Karena ketegangan yang dibawanya itu, sehingga pada malam hari ketegangan itu mengeluarkan wujudnya dalam bentuk ngompol.
WL : Berarti sebaiknya kalau ada pertengkaran atau konflik, jangan diperlihatkan di depan anak-anak. Atau ada kemungkinan lain Pak Paul, saya pernah membaca dari buku-buku tentang dampak perceraian. Orang ini pernah mengalami dampak perceraian dari orang tuanya dan dia menceritakan, waktu kecil tidak pernah melihat atau jarang melihat orang tuanya bertengkar, konflik hebat. Tetapi tiba-tiba suatu hari seperti disambar petir, orang tuanya mengatakan kami akan bercerai. Menurut Pak Paul, mana yang lebih baik, memang di satu sisi berani melakukan di depan anak tapi akhirnya menimbulkan ketakutan. Di sisi yang lain ada dampak yang negatif juga Pak Paul?

PG : Tidak bertengkar di depan anak dan tiba-tiba bercerai, sudah tentu akan mengejutkan si anak, dia akan mengalami kehilangan yang sangat besar. Nah ini dapat diidentikkan dengan reaksi berduacita karena kehilangan seseorang secara mendadak, nah itulah yang dialami oleh si anak.

Dia mungkin akan sedih sekali, dia menangis, dan kehidupannya akan mengalami goncangan untuk beberapa waktu. Tapi dampaknya tidak sama dengan anak-anak yang diperhadapkan terus-menerus dengan konflik orang tua. Karena anak-anak yang diperhadapkan terus-menerus dengan konflik orang tua, sebetulnya itu sedang mengisi sanubarinya, jiwanya itu dengan ketegangan, ketakutan karena kerasnya, atau suara atau caci maki itu. Sehingga hati si anak digenangi terus-menerus dengan ketakutan. Ini biasanya efeknya akan jauh lebih panjang dan merugikan si anak, dibanding dengan anak yang tidak pernah atau jarang mendengarkan pertengkaran orang tua, bahkan kalau pun orang tua akhirnya harus berpisah.
GS : Pak Paul, ada anak yang pada awalnya tahun ajaran baru dia masuk sekolah tidak apa-apa, lancar-lancar saja. Tetapi jalan satu, dua bulan kemudian dia mogok, artinya dia tidak mau masuk sekolah lagi. Ibunya juga bingung, kenapa anaknya tiba-tiba tidak mau masuk sekolah. Biasanya kenapa Pak Paul?

PG : Biasanya anak-anak itu takut berjumpa dengan teman-temannya, sebab kenapa? Teman-temannya itu mungkin sekali menolak kehadiran dia. Dengan cara apakah teman-temannya itu menunjukkan penolaan terhadap anak kita, misalkan mengejek-ejek atau mengancam.

Anak-anak itu memang (karena kita semua manusia berdosa), bahkan sejak kecil pun kita bisa saja merugikan anak-anak lain nah salah satunya mengancam. "Mau kasih atau tidak, kalau tidak mau kasih besok habis lu." Atau "Kalau kamu tidak mau kasih, kami akan menjauhkan kamu, kami akan kucilkan kamu, kamu tidak punya teman di sini." Nah reaksi atau perlakuan teman-teman yang buruk itu akan menimbulkan ketakutan pada anak-anak. Pertanyaan berikutnya adalah kenapa teman-teman memberikan reaksi seperti itu kepada anak kita? Memang bisa jadi anak kita pun bertanggung jawab, ada andilnya. Misalkan anak kita itu membangkitkan kemarahan, menunjukkan sikap-sikap yang jelek kepada teman-temannya sehingga anak kita dikucilkan. Tapi bisa jadi juga anak kita tidak mempunyai salah apa-apa, namun anak kita menunjukkan perbedaan secara penampilan. Misalnya fisiknya, teman-temannya tinggi-tinggi nah dia kecil/tidak tinggi sehingga akhirnya menjadi bulan-bulanan teman-temannya. Teman-temannya suka berolahraga misalnya lari, petak umpet, sepak bola, dia tidak suka, dia lebih sukanya duduk membaca atau ngobrol dengan teman-temannya. Sehingga akhirnya dia menjadi objek atau sasaran ejekan, kamu tidak mau main, penakut, apa dan sebagainya. Atau ada teman-teman yang memang senangnya berkelahi, dan dia anak baru di kelas itu, langsung ditantang berkelahi. Dan selama dia tidak mau meladeni, setiap hari dia masuk ke sekolah ditantang berkelahi, akhirnya dia mengembangkan ketakutan, karena besok dia harus berjumpa dengan teman-teman yang menganiayanya itu. Itu sebabnya saya menghimbau kepada orang tua, kita perlu menjalin komunikasi yang baik dengan anak tanpa menyalahkannya agar dia berani bercerita tentang lingkungannya. Adakalanya kita itu mendengar anak kita menuturkan pengalaman di sekolahnya, bahwa ada teman-temannya yang mulai jahat kepadanya; bukannya kita bersimpati dengan anak kita, malah kita memarahinya. "Kamu penakut, masa begitu saja kamu diam, lawan, kamu beritahu guru kamu." Atau kita berkata, "Pokoknya besok papa-mama akan ke sekolah, kami akan beritahu guru kamu." Nah si anak akan makin ketakutan, sebab dia berpikir kalau papa-mama datang ngomong dengan guru dan guru tegur temannya, setelah itu temannya bebas membalas kepada dia waktu orang tuanya tidak ada di situ, sementara gurunya tidak selalu dapat melihat dia maka dia makin ketakutan. Akhirnya si anak tidak berani cerita kepada orang tua, pengalaman buruk seperti apa pun di sekolah, dia simpan sendiri. Tapi dia makin takut, kecuali dia berhasil melawannya barulah tumbuh keberanian. Tapi kalau dia tidak bisa melawannya berarti dia setiap hari masuk ke sekolah akan dirundung oleh ketakutan itu.
WL : Pak Paul, kalau tadi pengaruh dari teman-teman yang setara. Ada atau tidak pengaruh dari guru itu sendiri. Misalkan pada suatu hari dia salah atau tidak salah dia dihukum, tiba-tiba besoknya dia tidak berani ke sekolah atau pengaruh yang lain. Menurut Pak Paul bagaimana?

PG : Saya kira besar sekali pengaruhnya Ibu Wulan, karena sebetulnya anak-anak itu setiap hari diperhadapkan dengan tekanan akademik. Karena setiap hari dia sekolah dia akan mendapatkan penilain, berarti apa? Dia bisa berhasil, dia bisa juga gagal.

Kalau kebetulan dia berhasil dia bisa mengatasi tuntutan akademik ya tidak apa-apa, tapi kalau misalkan dia tidak bisa mengatasi tuntutan akademik itu, wah itu akan mencemaskannya. Setiap hari dia ke sekolah dia takut, dia takut nanti gurunya akan bertanya dia tidak bisa menjawab, dia bungkam, mukanya memerah, malu. Belum lagi kalau kadang-kadang teman-temannya mulai ketawa-ketawa dia tidak bisa menjawab. Apalagi kalau gurunya misalkan kurang profesional, kurang dewasa, malah mempermalukan anak itu yang tidak bisa menjawab dengan benar, makin dia ketakutan. Akhirnya setiap hari dia ke sekolah dia akan minta-minta kepada orang tuanya untuk ditemani. Atau dia malah mogok ke sekolah, sebab masalahnya adalah dia takut sekali dipermalukan. Dengan kata lain kita bisa simpulkan, bahwa ketidakbisaan dan ketidakberdayaan itu merupakan perasaan yang menakutkan. Jadi sewaktu anak membayangkan, saya tidak bisa ini atau saya tidak berdaya ini dan saya harus menghadapi ketidakbisaan dan ketidakberdayaan itu, wah itu sangat mencekam sekali, sangat menakutkan. Sama dengan kita yang dewasa, kalau kita bekerja di sebuah tempat di mana kita dituntut untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa kita lakukan, saya kira setiap hari kita akan kerja kita akan cemas, kita tidak berdaya mengubahnya, kita harus hadapi, wah....itu sangat-sangat menekan kita. Inilah yang kadang-kadang juga dialami oleh anak-anak kita. Itu sebabnya saya menghimbau kepada orang tua, orang tua harus peka dengan kondisi anak agar tidak memaksakan anak masuk ke sekolah yang memiliki tuntutan di atas kemampuan anak. Jadi kalau kita tahu memang anak kita tidak sanggup memenuhi tuntutan di sekolah tersebut, daripada anak kita merana lebih baik kita pindahkan ke sekolah yang memang lebih sesuai dengan kemampuannya. Sehingga waktu dia ke sekolah di pagi hari itu, dia akan memiliki kepercayaan diri bahwa dia bisa menghadapi tuntutannya.
GS : Pak Paul, ada beberapa orang yang memang mempunyai ketakutan yang berlebihan, yang kita kenal dengan phobia. Nah, apakah itu sejak kecil bisa menyerang anak?

PG : Bisa, misalkan suatu kali anak itu sedang duduk-duduk, tenang, kemudian dia melihat ular, dia sangat takut sekali karena ular itu dekat dengan dia. Dia berteriak, dia menangis ketakutan, tpi akhirnya dia bisa ditolong dan ular itu bisa dihalau.

Tapi ingatan tersebut itu cukup memberikan trauma dalam jiwanya. Sehingga setiap kali dia melihat ular, dia ketakutan. Nah lama-lama trauma itu bisa berkembang, kalau misalnya tidak sembuh. Berkembangnya seperti apa? Setiap kali kalau dia melihat ada sepertinya benda panjang dan melilit, dia akan ketakutan. Sebab dia akan identikkan itu dengan ular. Atau yang klasik yang sering kali dialami oleh anak-anak adalah takut akan kegelapan. Misalkan orang tuanya salah menghadapinya, waktu anak itu menangis karena mungkin (tadi kita sudah bahas) karena fantasinya yang irasional dan sebagainya dia ketakutan dan dia menangis. Orang tua datang bukan menghibur, menemani, malah memukuli si anak, memarahi si anak, karena mengganggu adiknya yang sedang tidur. Nah itu bisa menimbulkan luka yang dalam pada si anak dan membuat dia tambah ketakutan dengan kegelapan. Setiap kali lampu itu dimatikan, dia ketakutan luar biasa dan dia harus tidur dalam ketakutan, nah itu akan dia bawa dalam waktu yang sangat lama. Bisa jadi sampai usia dewasa pun kalau tidur, lampu harus tetap menyala karena dia sudah mengembangkan ketakutan irasional alias phobia terhadap kegelapan itu.
WL : Pak Paul, akhir-akhir ini di mana-mana banyak terjadi kerusuhan, sebetulnya pasca kerusuhan itu berdampak besar atau tidak terhadap anak-anak. Biasanya yang kita perhatikan kebanyakan orang dewasa, anak-anak itu sepertinya tidak terpikir apa dampaknya. Kerusuhan, kebakaran atau peristiwa-peristiwa yang besar begitu Pak Paul?

PG : Sangat bisa, karena seperti yang tadi kita bahas, anak melihat dunia sekitarnya dengan mata yang berbeda dari orang dewasa. Kita saja ketakutan apalagi anak-anak, dia melihat keramaian, di melihat orang berteriak, dia melihat api menjilat, dia bisa mengembangkan ketakutan yang luar biasa besarnya.

Karena dia berpikir, ini pasti akan menyambar rumah kami, ini pasti juga akan menyerang rumah kami. Sehingga dari kecil dia sudah membawa ketakutan itu, sehingga waktu besar dia misalkan waktu dia bersama-sama dengan teman-teman sedang jalan-jalan, tiba-tiba dia melihat orang datang ramai-ramai, dia bisa sangat lemas sekali, dia menjadi sangat ketakutan. Nah, dia sendiri tidak mengerti kenapa begitu, bisa jadi itu disebabkan oleh peristiwa yang awal itu.
GS : Nah, Pak Paul kita sebagai orang tua tentu dituntut untuk memahami akan ketakutan anak ini. Tetapi apakah ada firman Tuhan yang bisa memberikan bimbingan kepada kita dalam hal ini Pak?

PG : Ada firman Tuhan di Amsal 15:33 yang berkata, "Takut akan Tuhan adalah didikan yang mendatangkan hikmat,..." Jadi anak-anak itu perlu dididik untuk takut akan Tuhan dan beranimenghadapi apa pun.

Jadi kita tanamkan Tuhan yang perlu kita takuti, selain dari Tuhan kalau kita tahu kita benar, kita tidak perlu takut. Ketakutan itu mesti dihilangkan melalui pendampingan atau penyertaan. Jadi jangan kita itu memarahi si anak sewaktu dia takut, atau menambahkan ketakutan si anak dengan ancaman kita, itu tidak menyelesaikan masalah. Justru kita mau menekankan pada si anak bahwa Tuhan besertamu, dan papa-mama juga akan menyertaimu. Nah penyertaan Tuhan dan penyertaan orang tua itu yang harus kita berikan kepada anak-anak, sehingga dia berani menghadapi apa pun yang menjadi ketakutannya. Kita selalu ingatkan Tuhan melihat, Tuhan memandang, Tuhan bersama meskipun kita tidak bisa melihatnya dengan kasat mata. Nah hal-hal seperti itu makin menghibur dan memperkuat si anak.
GS : Pengertian takut akan Tuhan sendiri, itu menumbuhkan rasa hormat kepada Tuhan ya Pak Paul?

PG : Betul, hormat kepada Tuhan dan takut terhadap dosa, karena Tuhan nanti melihat dan mengawasi. Jadi itulah yang kita tekankan kepada anak, sehingga sejak kecil anak-anak sudah mempunyai konep yang jelas bahwa satu-satunya yang perlu kita takuti adalah Tuhan yaitu jangan sampai berdosa.

Yang lain-lainnya kalau kita tahu kita benar kita tidak usah merasa takut.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan kali ini yang tentunya sangat berguna bagi kita sekalian. Juga Ibu Wulan, terima kasih untuk kebersamaan ibu. Dan para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak dan Ketakutan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



32. Anak yang Tidak Kenal Takut


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T156B (File MP3 T156B)


Abstrak:

Sebagian anak sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk tidak mengenal takut. Ciri-cirinya adalah keras kepala, tidak mudah mendengar atau menaati perintah orangtua, tidak takut ancaman, tidak takut bahaya dan cenderung menyerempet bahaya.


Ringkasan:

Sebagian anak sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk tidak mengenal takut. Ciri-cirinya adalah keras kepala, tidak mudah mendengar atau menaati perintah orangtua, tidak takut ancaman, tidak takut bahaya dan cenderung menyerempet bahaya.

Apa yang orangtua harus lakukan?

  1. Terima keunikan anak dan jangan memandangnya sebagai masalah. Memperlakukannya sebagai problem malah makin menggiringnya menjadi problem. Ingat, ia sendiri tidak tahu mengapa ia menjadi seperti itu; dipersalahkan karena kondisinya makin membuatnya frustrasi dan ini makin mendorongnya untuk lepas kendali.

  2. Buatlah garis pembatas yang luas; dengan kata lain, jangan membatasi ruang geraknya terlalu sempit karena ini hanya akan memancingnya untuk melanggar batas. Berkatalah "tidak" hanya untuk hal-hal yang memang tidak dapat dikompromikan lagi. Terlalu banyak "tidak" malah membuatnya menabrak rambu.

  3. Upayakan untuk selalu memberi kejelasan antara apa yang diharapkan dan apa yang tidak diharapkan. Ia harus mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

  4. Upayakan untuk memberinya peringatan akan sanksi yang harus ditanggungnya sebelum pelanggaran terjadi.

  5. Jangan lupa untuk menyampaikan pujian atas pencapaiannya.

  6. Didik anak untuk tenggang rasa dengan pikiran dan perasaan orang lain. Kita tidak perlu menciptakan rasa takut dalam dirinya, yang penting adalah ia dapat mengerti perasaan orang lain dan menguasai diri.

Firman Tuhan: "Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati." Amsal 16:2


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini bersama dengan Ibu Wulan, S.Th kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak yang tidak Kenal Takut", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita berbincang-bincang tentang anak dan ketakutannya, tetapi rupa-rupanya ada beberapa anak yang istimewa yang memang tidak kenal takut. Sampai pada saat-saat tertentu kita tahu bahwa itu berbahaya buat dia, misalnya naik ke atap yang tinggi, dia enak saja. Kemungkinan bisa juga bersaudara, ada kakaknya yang penakut, adiknya tidak kenal takut kok bisa begitu bagaimana Pak Paul?

PG : Inilah anak-anak yang kita katakan berurat baja, sehingga rasa takutnya sangat tipis. Pada umumnya anak-anak yang sangat aktif atau bisa kita golongkan masuk dalam kategori "Attention-Defiit Hyperactivity Disorder" gangguan tidak bisa berkonsentrasi dan hiperaktif.

Nah, umumnya anak-anak yang seperti ini rasa takutnya memang sangat tipis, alias rasa beraninya itu sangat besar. Sehingga tidak bisa lagi membedakan antara apakah ini membahayakan atau tidak. Anak-anak yang takut adalah anak-anak yang terlalu peka dengan derajat bahaya, kalau dia melihat sesuatu dia langsung ukur berapa berbahayanya. Kalau anak-anak yang tidak kenal takut kebalikannya, melihat bahaya sekalipun tapi tidak memandangnya itu sebagai bahaya. Ada beberapa ciri-cirinya Pak Gunawan, yang bisa kita kenali anak-anak seperti ini. Misalnya cenderung keras kepala, tidak mudah untuk kita mintai tolong atau kita nasihati atau kita tegur. Kalau sudah yakin dengan pendapatnya, maunya ke sana tidak bisa dicegah. Tidak mudah untuk menaati perintah orang tua, misalkan kita tegur dengan keras, tetap saja dia kerjakan apa yang ingin dia kerjakan. Benar-benar suara kita, mata kita yang membelalak itu seolah-olah tidak berdampak pada jantungnya, jantungnya tetap berdegup dengan normal. Atau yang lainnya lagi adalah tidak takut bahaya, tidak takut ancaman dan cenderung justru menyerempet bahaya. Sebab sebetulnya bagi mereka bahaya itu sesuatu yang menarik, sesuatu yang dinamis, membangkitkan keingintahuannya. Dan untuk mendapatkan informasi akan keingintahuannya itu, dia akan rela untuk menempuh bahaya. Sebab sekali lagi kita memanggilnya bahaya, anak itu sendiri tidak memanggilnya bahaya. Jadi memang adanya perbedaan persepsi tentang bahaya; buat kebanyakan orang, ini membahayakan, buat anak-anak yang tidak kenal takut mereka tidak melihatnya sebagai bahaya, itu sebabnya mereka tidak takut.
WL : Pak Paul, tadi yang pak Gunawan katakan antara dua saudara bisa seperti itu, saya alami sendiri. Saya dengan kakak saya derajatnya benar-benar terbalik. Dia benar-benar bisa merasa exciting, menikmati hal-hal yang seperti itu. Bagi orang itu hal-hal yang menakutkan, dia malah ketawa-ketawa, menikmati. Nah, sementara saya jangankan menikmati, melihat saja jantung saya mau copot. Tapi kakak saya bukan termasuk "Attention-Deficit Hyperactivity Disorder" apakah memang ada orang yang tidak termasuk itu tapi tidak kenal takut?

PG : Saya kira secara fisiologis, anak-anak ini mempunyai jantung yang kuat, jadi secara fisik jantungnya kuat. Karena ketakutan itu langsung mempengaruhi kinerja jantung, waktu kita takut jantng itu akan berdegup.

Ada anak-anak yang memang dilahirkan dengan jantung yang sangat kuat; pompa satu kali, darah itu sudah langsung mengalir ke mana-mana. Ada anak-anak yang lahir dengan jantung yang tidak sekuat itu; dipompa beberapa kali, baru darah itu bersirkulasi di tubuh kita. Akibatnya waktu kita mengalami ketegangan, benar-benar kita merasakan pada jantung kita, sebab jantung kita langsung berdetak. Sedangkan pada anak-anak yang tidak kenal takut ini, jantungnya itu tidak memberikan reaksi secepat itu, alias dia memang tidak mendengarkan detak jantungnya yang berdegup dengan cepat, biasa saja, maka dia tidak takut. Tapi saya mau perjelas lagi, sebetulnya anak-anak ini mempunyai rasa takut dan bisa takut, namun yang ingin saya tekankan adalah persepsinya atau pandangannya tentang bahaya itu yang berbeda dengan orang kebanyakan. Sehingga karena baginya ini tidak berbahaya, maka dia tidak takut. Kalau memang ini dianggap sangat berbahaya, dia bisa jadi sangat takut. Tapi memang untuk dia melihat sesuatu itu sebagai hal yang membahayakan itu memang tidak sering, itu yang menjadi masalah.
GS : Apakah juga terkait dengan rasa percaya diri, jadi yang mempunyai rasa percaya diri katakan berlebihan, dia tidak takut?

PG : Ya, itu saya kira akan berpengaruh juga, karena rasa percaya diri yang kuat itu membuat dia lebih berani menerjang resiko.

GS : Sekarang kita sebagai orang tua, menghadapi anak-anak yang seperti itu juga pusing. Orang tua tidak ada yang ditakuti, bahaya di luar juga rasanya tidak takut, tapi kita yang malah takut. Kemudian bagaimana sebaiknya kita bersikap, Pak Paul?

PG : Pertama, kita harus menerima keunikan anak kita dan jangan memandangnya sebagai masalah. Artinya apa? Jangan kita itu memperlakukannya sebagai problem, ketidaktakutannya itu, kecenderunganya untuk menyerempet bahaya itu sebagai problem.

Karena apa? Kalau kita sudah mulai memandangnya sebagai problem, kita makin menggiringnya menjadi problem, sehingga dia lama-lama merasa bahwa dirinya itu masalah. Keunikannya ini sesuatu yang sakit, yang tidak normal, nah saya merasa ini tidak sehat. Jadi pada awalnya orang tua diharapkan menerima keunikan anak itu dan jangan memperlakukan si anak dengan keberaniannya itu sebagai sebuah problem. Ingatlah bahwa anak itu sendiri tidak tahu mengapa dirinya menjadi seperti itu, dia tidak meminta untuk menjadi seperti itu, dia lahir sudah seperti itu. Jadi dipersalahkan karena kondisinya itu, makin membuatnya frustrasi dan ini makin mendorongnya untuk lepas kendali. Karena dipersalahkan, karena dia sendiri tidak tahu kenapa dia begitu berani. Adiknya dipanggil sekali dengan bentakan langsung datang dan mengerjakan yang ibunya minta, kalau dia tidak. Ibunya memanggil dia dan membentak dia sepuluh kali, dia tidak merasakan dia harus datang kepada ibunya. Kenapa? Karena dia tidak merasakan adanya panggilan dan ketakutan untuk menaati ibunya. Nah kalau orang tua langsung menge-cap dia atau melabelkan dia sebagai problem, saya khawatir anak ini nantinya benar-benar menjadi problem. Jadi kita akui, "Kamu anak yang unik, Tuhan sudah mengaruniakan kepada kamu keberanian, itu sebabnya kamu tidak gampang takut. Dan ini nanti akan sangat menolong kamu dalam hidup, kamu tidak gampang ditakuti oleh apa yang terjadi dan Tuhan bisa memakai kamu nanti mengerjakan pekerjaan Tuhan. Karena kamu bukan orang yang mudah mundur, kamu orang yang tabah." Justru kita mau tekankan bahwa keunikannya ini sebagai sesuatu yang Tuhan berikan dan nanti Tuhan dapat gunakan untuk kepentingan Tuhan. Sehingga dia melihat dirinya sebagai anak yang normal, bukan anak yang abnormal yang harus diubah, dikoreksi, dipermak lagi supaya lebih baik, tidak. Yang kita nanti akan lakukan adalah mengarahkannya, bukan menciptakan seorang anak yang baru.
GS : Tadi Pak Paul katakan, yang berbeda adalah tentang pandangan dia terhadap bahaya. Apakah kita sebagai orang tua dapat mengarahkan atau meluruskan pandangan yang bahaya itu seperti apa?

PG : Bisa, dan ini adalah tugas kita Pak Gunawan, jadi sering-seringlah kita memberikan penjelasan dengan nada yang baik, bukan dengan nada memarahi. Bahwa, "kalau engkau main api, nanti api in bisa membakar dan membakar kertas yang seperti ini bisa membakar karpet yang seperti ini".

Mungkin sekali-kali kita tunjukkan, kertas kecil gara-gara dibakar menyambar kertas yang lebih besar, kertas yang lebih besar bisa membakar kertas yang lebih besar lagi. Dan akhirnya bisa membakar satu rumah, dan kalau satu rumah terbakar kita katakan, "engkau tidur di mana? Kami tidur di mana? Mainanmu akan ke mana? Habis semua, baju-bajumu akan habis juga." Nah kita berikan penjelasan seperti itu kepada si anak, sehingga dia bisa memahami o.....bahayanya seperti itu. Karena memang dia tidak mudah melihatnya.
WL : Pak Paul, kalau Pak Paul tadi sudah katakan kita sebagai orang tua belajar menerima keunikan anak seperti itu. Walaupun misalnya sebagai orang tua juga khawatir dan jantungan. Atau bagaimana, belajar menerimanya itu sebatas kita diamkan atau kita dorong semakin memberikan dia semangat, atau diarahkan misalnya dia diberikan kegiatan-kegiatan yang memang bagi kita sebenarnya "mengerikan". Misalnya kelak menjadi pemanjat tebing, sesuatu yang menantang-menantang atau bagaimana menurut pendapat Pak Paul?

PG : Saya kira pada akhirnya kita memang harus menerima kondisi anak kita yang tidak suka dengan olahraga yang membosankan, yang tidak ada unsur tandingnya, tidak ada unsur kompetisinya, yang tdak mengeluarkan tenaga.

Jadi kita memang harus menerima bahwa dia akan senang dengan olahraga-olahraga yang lebih aktif, yang lebih menggunakan kekuatan fisik, dan ada unsur kompetitifnya. Jadi biarkan, asalkan kita terus bimbing dia dan arahkan, memberikan penjelasan tentang apa itu bahaya.
GS : Pak Paul, anak-anak seperti ini biasanya suka aktif sekali; lari ke sana-ke sini. Nah apa yang bisa kita lakukan?

PG : Kita memang harus memberikan dia ruang untuk bisa lari, jadi jangan kita itu membatasi anak secara berlebihan alias kita membuat garis pembatas yang lebih luas, jangan kita memperkecil ruag geraknya.

Sedikit-sedikit tidak boleh, sedikit-sedikit tidak boleh, akhirnya karena sedikit-sedikit tidak boleh, si anak itu meledak, dia malah memberontak. Jadi saya minta, berkatalah 'tidak' hanya untuk hal-hal yang memang tidak dapat dikompromikan lagi. Misalnya, dia ingin menyakiti binatang, kita katakan, "Jangan, sebab kalau kamu disakiti seperti ini, rasanya bagaimana, atau kalau papa atau mama disakiti seperti itu rasanya bagaimana. Nah, binatang pun bisa merasakan sakit, bukan hanya binatang itu hanya terdiri dari kulit dan tidak bisa merasakan sakit." Kita berikan penjelasan seperti itu. Jadi sebisanya, kalau masih bisa berkata 'ya' kepada anak-anak ini, katakanlah 'ya'. Hanya untuk yang benar-benar kritis, barulah kita berkata 'tidak'. Sekali lagi kenapa? Sebab terlalu banyak 'tidak', malah membuatnya ingin menabrak rambu, karena sifat anak-anak yang seperti ini yang tidak kenal takut. Jadi sekali lagi berikan ruangan yang lebih luas. Misalkan, kalau anak kita begitu berani lompat sini, lompat sana, nah sebaiknya kita jangan membeli barang pecah belah di rumah kita terlalu banyak karena hanya mencari penyakit. Karena benar-benar bukan hanya dipecah belah, tapi benar-benar pecah dan terbelah-belah barang-barang kita. Atau kalau bisa rumah kita jangan berloteng, karena kalau berloteng dia mungkin akan manjat dan melompat dari atas, jadi kita mencoba sesuaikan kondisi kehidupan kita dengan kondisi anak kita itu.
WL : Pak Paul, memang benar ya anak yang termasuk dalam kategori seperti ini selain berani menyerempet bahaya, dia juga mempunyai kecenderungan mau menyakiti binatang dan sebagainya. Apakah itu pada dasarnya rasa belas kasihan dalam diri anak seperti ini agak tipis dibandingkan dengan orang pada umumnya?

PG : Betul sekali, anak-anak ini memang tidak dengan mudah merasakan kasihan atau iba. Jadi untuk dia bisa memahami bahwa tindakannya itu menyakiti orang, akan sukar. Sebab bagi dia itu biasa dn yang membuat dia ingin melakukannya adalah ini menyenangkan.

Waktu orang kesakitan, itu membawa sukacita tertentu, jadi anak-anak seperti ini misalkan melihat temannya terjatuh, dia bisa terpingkal-pingkal tertawa. Kenapa? Sebab melihat seseorang jatuh itu sesuatu yang beda, jadi menggugah dia, menyenangkan dia dan menarik bagi dia.
GS : Tetapi kita sebagai orang tua tetap harus memberikan garis itu tadi Pak Paul, supaya dia juga tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dia lakukan.

PG : Betul, di sini diperlukan kejelasan, apa itu yang orang tua harapkan dan apa itu yang orang tua tidak harapkan, jadi orang tua jangan sampai memberi kesan samar-samar. Ini sebetulnya ya tiak boleh atau boleh, tidak; "tidak boleh ya tidak boleh, jangan ya jangan.

Ini yang kami harapkan dari engkau," itu pun harus disampaikan kepada anak. Sebab anak-anak yang tidak kenal takut, sangat memerlukan suatu instruksi atau standar yang jelas. Ketidakjelasan membuat anak ini akhirnya tidak peduli dengan apa pun yang orang tuanya harapkan, dia akan tabrak semuanya. Jadi selalu kita jelaskan, ini yang diharapkan dan kalau tak dilakukan, maka ini sanksinya. Hal seperti itu perlu dikomunikasikan kepada anak-anak yang tidak kenal takut ini.
GS : Berarti sanksi itu masih tetap dibutuhkan oleh anak ini, Pak?

PG : Tepat sekali, jadi kita upayakan untuk selalu memberikan peringatan sebelum perbuatannya itu dilakukan olehnya. Kalau sudah dilakukan baru kita memberi peringatan ya percuma. Misalkan kitaberkata, "Jangan naik-naik, kalau kamu naik ke sini, nanti kami berikan hukuman.

Misalkan, kamu harus masuk ke kamar tidak boleh keluar selama setengah jam." Nah kita sudah beritahukan hal itu sebelum dia naik-naik ke atas tangga atau ke mana atau ke loteng, nah akhirnya waktu dia melanggar, kita katakan, "Tadi saya sudah katakan, kalau engkau melakukan ini, maka inilah sanksinya; sekarang engkau masuk ke kamar." Jadi ketegasan yang konsisten menolong si anak yang tidak kenal takut ini untuk hidup di dalam pagar yang jelas. Karena memang mereka itu memerlukan pagar yang jelas, nah itu sebabnya kalau ada anak yang tidak kenal takut kemudian orang tuanya bermasalah sehingga tidak bisa mengawasi anak dengan baik, memang anak ini tambah liar. Benar-benar itu menjadi lahan yang subur untuk anak ini tambah liar, kalau orang tuanya tidak lagi berwibawa, tidak lagi konsisten karena ada masalah di antara mereka sendiri.
WL : Pak Paul, ada kemungkinan atau tidak waktu kecil tidak begitu kelihatan sikap yang seperti ini, sangat tidak takut terhadap bahaya dan sebagainya. Tapi waktu remaja (saya menemukan anak remaja) yang benar-benar sangat ekstrim seperti ini. Misalnya di tikungan-tikungan yang berbahaya di daerah Puncak, bisa naik motor itu dengan lututnya itu sampai menyentuh aspal. Kemudian waktu terjadi kecelakaan, waktu kami jenguk di rumah sakit ternyata menangis, walaupun laki, ternyata ada masalah dengan orang tuanya. Atau ada juga yang lain, memang benar-benar ingin menunjukkan 'siapa saya' dan sebagainya. Itu apa yang terjadi, sebenarnya pada waktu kecil tidak seperti ini, Pak Paul?

PG : Saya cenderung mengatakan bahwa kalau anak-anak ini baru mengembangkan perilaku beresikonya ini pada usia remaja, itu lebih disebabkan oleh kondisi eksternal bukan kondisi internal pada diinya.

Misalkan, memang adanya keperluan untuk menonjolkan diri, untuk setara dengan teman-temannya bahwa saya juga berani. Atau lagi frustrasi misalnya putus pacar, orang tuanya di rumah konflik, nah itu bisa memicu tindakan-tindakan anak yang riskan, yang menyerempet bahaya, kalau anak-anak itu pada masa kecilnya memang tidak seperti itu. Jadi anak-anak yang tidak kenal takut ini umumnya dari kecil memang sudah demikian, kelihatan sekali dari kecil itu sangat berani sekali. Naik-turun tangga, tidak bisa jalan harus cepat atau kadang-kadang dia meluncur dari atas ke bawah atau dia akan bergelayutan dan dia akan lompat. Benar-benar bagi dia ini tidak membahayakan, sekali lagi ini memang masalah persepsi, bagi dia ini menyenangkan. Bagi kita yang melihatnya takut karena membahayakan.
GS : Secara tidak langsung, dengan demikian dia tidak mau perhatian dengan perasaan orang lain termasuk orang tuanya. Kalau orang tuanya merasa ketakutan, dia pun tidak merasa perlu untuk perhatian terhadap ketakutan orang tuanya itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali, karena dia memang memiliki perasaan yang tidak terlalu peka. Jadi anak-anak yang memang peka dan halus, mudah sekali membaca reaksi orang dan mencoba memahami perasaan orang,kalau anak-anak ini tidak.

Jadi kemampuan untuk tenggang rasa juga lemah, ini harus kita akui. Tenggang rasa, artinya kalau saya berbuat ini kepadamu, saya sengkak kamu, kamu akan jatuh dan kamu akan sakit, nah itu kurang dalam dirinya. Tenggang rasanya memang tidak ada, itu sebabnya kalau kita mempunyai anak seperti ini, penting sekali kita mengajarnya untuk mengerti perasaan anak-anak lain atau perasaan orang lain. Misalnya dengan cara apa, waktu kita menonton televisi, kita melihat seseorang dilukai kita memberikan komentar kasihan orang itu ya, kok bisa dilukai seperti itu dia pasti sedih sekali. Atau misalkan ada film, anak yang ditinggal oleh orang tuanya, kita kemudian memberikan komentar juga, "anak itu kok kasihan, orang tuanya tega meninggalkan dia." Nah, sering-seringlah kita mengajarkan hal seperti itu, dan juga dari kecil kita ajak anak itu untuk dekat dengan Tuhan. Supaya anak itu meskipun pada dasarnya tidak kenal takut, namun dari kecil dia sudah mulai tenggang rasa kepada Tuhan, mau hormat kepada Tuhan, dan takut akan Tuhan.
GS : Saya melihat ada beberapa orang tua yang malah bangganya berlebihan mempunyai anak seperti ini. Dia ceritakan kepada temannya tanpa menghiraukan bahwa pujiannya itu bisa memicu anak ini semakin berlebihan.

PG : Betul sekali, jadi orang tua perlu memuji si anak untuk memang hal-hal yang positif yang dilakukan oleh si anak. Karena anak-anak yang tanpa takut ini cenderung memancing reaksi omelan, teuran, dari guru, dari orang tua, dari teman-temannya.

Sedikit-sedikit orang di luar dia itu menegur dia, "kamu jangan, nanti begini." Jarang sekali dia menerima pujian, nah penting memang bagi orang tua peka untuk melihat hal ini dan penting bagi orang tua untuk menyampaikan pujian atas hal-hal positif yang dilakukannya. Namun untuk perilaku-perilakunya yang menyerempet bahaya, kita memang tidak memberikan pujian. Jadi jangan sampai kita justru di depan orang kita memuji-muji si anak yang berani lompat dari tiga meter di atas dan sebagainya. Nanti dia makin naik ke empat meter.
GS : Itu kalau hidup dengan saudaranya yang justru sebaliknya, itu agak sulit, dan bahkan dengan teman-teman yang lain pun dia merasa agak kesulitan untuk bersosialisasi, Pak Paul.

PG : Anak-anak ini akan cenderung mencari teman-teman sejenis. Jadi memang mereka itu susah sekali bergaul dengan teman-teman yang berbeda darinya. Karena teman-teman yang berbeda darinya pun, gak sukar juga bergaul dengan dia, karena dia akan mengajak teman-temannya melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya, dan mungkin teman-temannya tidak mau.

Jadi akhirnya jarak antara dia dengan teman-teman pada umumnya akan tercipta, akhirnya dia akan mencari teman-teman yang sejenisnya. Nah, masalahnya adalah dua anak yang tidak kenal takut, kalau berkumpul bersama itu menjadi kelompok yang tidak kenal takut yang lebih berbahaya lagi. Karena anak yang tidak kenal takut sendirian masih jauh lebih mendingan, dibanding kalau dia bersama dengan anak sejenis seperti dia. Itu benar-benar bisa melipatgandakan perilaku-perilaku yang penuh resiko dan menyerempet bahaya.
GS : Tapi dengan bertambahnya usia dia, apakah rasa beraninya itu juga akan berkurang, Pak Paul?

PG : Tergantung Pak Gunawan, ada anak-anak yang sampai besar pun, sampai dewasa pun tetap keinginannya menyerempet bahaya. Sebab definisi bahayanya tidak sama dengan kita, bagi dia memang tidakbahaya.

Jadi sampai usia agak tua pun tetap saja senang dengan olah raga atau hal-hal yang bersifat penuh resiko.
WL : Kalau mencari pasangan bagaimana Pak Paul? Sebaiknya yang memang sama-sama seperti itu atau dia justru butuh yang meredam dia, Pak Paul?

PG : Saya kira dia butuh mencari pasangan hidup yang bisa mengerti, sehingga tidak menjadikan keunikannya itu sebagai problem. Mengerti bahwa inilah dia dan memberikan ruang gerak yang besar keadanya sehingga dia bisa menjadi dirinya sendiri.

Tapi di pihak lain pasangannya mesti bisa memberikan penjelasan-penjelasan kepadanya. "Bahwa kalau ini terjadi, maka saya akan sangat kehilangan kamu, saya ini tidak siap hidup sendiri tanpa kamu." Nah kadang-kadang hal itu juga disampaikan kepadanya. Nanti lama-kelamaan dengan bertumbuhnya cinta, tanggung jawabnya kepada keluarga, ada kemungkinan dia mulai meredam keinginannya untuk benar-benar menyerempet bahaya dan ketakutan itu mulai muncul juga, karena dia takut kehilangan atau berpisah dengan orang yang dikasihinya.
GS : Ada banyak orang tua yang sampai kehilangan kata-kata atau kehabisan akal untuk mengatasi anak seperti ini, bagaimana firman Tuhan memberikan bimbingan kepada kita?

PG : Firman Tuhan berkata: "Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati." Amsal 16:2. Ini ayat yang saya kira perlu kita ajarkn kepada anak-anak yang tidak kenal takut, yaitu bahwa Tuhan menguji, Tuhan melihat; meskipun jalan ini, tindakan ini bagi kita betul.

Anak-anak yang tidak kenal takut, kecenderungannya untuk tidak takut kepada Tuhan juga besar. Dan sangat bergantung pada penilaiannya sendiri. Sehingga kalau tidak hati-hati, mudah sekali anak-anak ini akhirnya terlibat dalam perilaku yang bermasalah. Memakai narkoba dan sebagainya, sebab apa? Sebab begitu ditanya: "Berani tidak kamu?" Dia pasti akan menjawab berani, dia tidak akan berkata 'tidak berani' sebab memang begitu ditantang rasa berani menunjukkan dirinya itu langsung keluar. Maka dari kecil kita tanamkan Tuhan melihat, Tuhan mengawasi dan kita bertanggung jawab kepada Tuhan. Bukan hanya apa yang kita pikir, kita harus juga peka dengan apa yang Tuhan pikir, ini yang perlu kita tanamkan. Sebab kalau tidak, anak-anak ini memang hanya mendasarkan tindakannya atas pendapat atau pemikirannya saja.

GS : Saya percaya sekali bahwa firman Tuhan itu berkuasa untuk mengubah anak ini, karena Tuhan pasti mempunyai rencana tertentu dengan anak yang pemberani ini. Terima kasih sekali Pak Paul, terima kasih juga Ibu Wulan untuk perbincangan pada saat ini. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak yang tidak Kenal Takut". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



33. Membentuk Kebiasaan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T160A (File MP3 T160A)


Abstrak:

Anak selalu terbuka untuk menerima bentukan. Tinggal tergantung pada kita, orangtua, apakah kita tekun membentuknya atau tidak. Kita perlu menanamkan kebiasaan yang baik pada anak agar pada akhirnya ia dapat mengembangkan karakter yang baik pula.


Ringkasan:

Ibarat tabula rasa, anak terbuka untuk menerima bentukan. Tinggal tergantung pada kita, orang tua, apakah kita tekun membentuknya atau tidak. Pada prinsipnya, kita meyakini bahwa kebiasaan melahirkan karakter, itu sebabnya kita perlu menanamkan kebiasaan yang baik pada anak agar pada akhirnya ia dapat mengembangkan karakter yang baik pula. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa masukan bagi orang tua untuk membentuk kebiasaan anak yang positif.

  1. Dalam hal merawat diri, biasakan anak untuk sikat gigi, mandi, dan mengganti pakaian bersih secara teratur.

  2. Dalam hal makan, biasakan anak untuk makan apa yang disediakan dan jangan menanyakan, "Suka atau tidak?"

  3. Dalam hal menjaga lingkungan hidup, biasakan anak untuk membersihkan kotoran yang ditimbulkannya, merapihkan barang yang dipakainya, dan mengembalikan barang yang diambilnya ke tempat semula.

  4. Dalam hal belajar, biasakan anak untuk mencoba terlebih dahulu sebelum bertanya atau meminta bantuan.

  5. Dalam hal bersosialisasi, biasakan anak untuk:

    1. meminta maaf tatkala bersalah;
    2. mengajak,
    3. bukan hanya mau diajak, bermain;
    4. mengalah tatkala diperlukan dan bertahan jika diperlukan;
    5. bertanya karena ingin tahu bukan karena ingin diperhatikan.

  6. Dalam hal tanggung jawab, biasakan anak untuk mempersiapkan buku pelajarannya, mengambil makanannya sendiri, memakai sepatunya sendiri, dan mencari barangnya sendiri sebelum meminta orang lain mencarikan untuknya.

  7. Dalam hal berelasi, biasakan anak untuk:

    1. mengeluarkan pendapat dan hargai pendapatnya itu dan
    2. izinkan anak untuk berdiam sejenak dalam perasaannya dan jangan tergesa-gesa membuatnya merasa lega dengan segera.

  8. Dalam hal kerohanian, biasakan anak untuk beribadah bersama dan pribadi (melalui saat teduh).

Firman Tuhan: "Siapa mengabaikan didikan membuang dirinya sendiri, tetapi siapa mendengarkan teguran memperoleh akal budi." Amsal 15:33


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membentuk Kebiasaan Anak", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kalau kita melihat satu keluarga yang mempunyai beberapa anak, masing-masing anak tentunya bisa berbeda-beda sifat atau karakter atau kebiasaannya. Padahal mereka seayah dan seibu serta tinggal serumah, sebenarnya faktor apakah yang membuat seperti itu?

PG : Sudah tentu anak-anak masing-masing memang membawa karakter yang sudah merupakan kekhasannya dan tidak ada anak yang persis sama 100% dengan kakak atau adiknya. Namun Pak Gunawan, meskipunsetiap manusia itu membawa karakter dasarnya tapi manusia juga lentur untuk menerima masukan atau bentukan dari luar, terutama bentukan dari orang tuanya sendiri.

Jadi saya kira sebagai orang tua kita tidak bisa berkata: "Ya, memang dasarnya begini anak saya ini." Tidak, masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk bisa membentuk karakter anak ini.
GS : Berarti itu mesti dilakukan sedini mungkin pada saat anak-anak masih dalam tahap belajar, begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali, pada saat masih dini dan kita mulai dengan kebiasaan-kebiasaan. Karena prinsipnya adalah bahwa dari kebiasaan nanti muncul karakter. Jadi sebagian karakter bahkan mungkin sebgian besar karakter bertumbuh dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh anak.

Nah, kita tidak bisa menciptakan karakter, tapi kita bisa membentuk kebiasaan-kebiasaan anak sehingga pada akhirnya si anak dapat membangun karakter yang positif pula.
GS : Dan sebagai orang tua kita tentu ingin membentuk kebiasaan-kebiasaan yang baik di dalam diri anak-anak kita. Nah dalam hal ini apakah saran Pak Paul?

PG : Ada beberapa yang akan kita bahas Pak Gunawan. Yang pertama adalah misalkan dalam hal merawat diri, biasakan anak untuk sikat gigi, mandi dan mengganti pakaian bersih secara teratur. Janga membiarkan anak kapan dia mau sikat gigi ya sikat gigi, kapan dia tidak mau ya tidak mau, tidak.

Kita tidak berkata nanti dia akan sadar sendiri, o.....tidak, dari kecil ada waktunya dia sikat gigi, ada waktunya dia mandi, ada waktunya dia mengganti pakaian. Jangan sampai ada orang tua yang berkata: "Biarkan, dia tidak ganti pakaian, biar bajunya bau dan nanti orang-orang akan kebauan." O......tidak, ada anak-anak yang makanya tumbuh besar tidak peduli dengan berapa kotornya pakaian yang ada pada tubuhnya, nah ini akan membentuk karakter si anak juga. Maka penting sekali kebiasaan yang sederhana seperti itu dalam hal menjaga dan merawat dirinya kita tanamkan sejak usia dini.
WL : Menurut Pak Paul, seberapa besar (kalau tadi saya menangkapnya besar sekali pengaruh dari peran orang tua membentuk kebiasaan-kebiasaan sampai benar-benar membentuk hal yang positif bagi diri si anak). Seolah-olah si anak lahir putih bersih seperti teori tabula rasa. Dalam hal ini pengaruh dosa di mana, Pak Paul, bukankah setiap anak lahir tidak terhindar dari dosa?

PG : Dosa sudah tentu melebihkan atau melencengkan sesuatu yang tadinya bersifat netral. Sebagai contoh, kalau anak kita bersifat periang; senang bergaul, bersosialisasi. Karena ada dosa, dosa tu bisa melencengkan sifat yang tadinya netral itu.

Misalkan bukan hanya senang, tapi anak ini akhirnya hanya maunya senang dalam hidup tidak mau susah. Atau kalau lagi senang sampai lupa daratan, tidak mau mengenal tanggung jawabnya. Jadi pengaruh dosa adalah melencengkan atau melebihkan sesuatu yang tadinya netral.
WL : Dan justru peran orang tua dituntut di sini ya Pak?

PG : Betul, jadi peran orang tua mengurangi dampak-dampak dari dosa itu terhadap jiwa atau perilaku anak kita dengan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang positif sejak usia dini.

GS : Tadi kalau Pak Paul membicarakan tentang kebersihan, bukankah itu sangat terkait dengan lingkungannya dan terkait dengan orang tuanya sendiri. Bagaimana kalau orang tuanya itu seorang yang kurang bersihan, kemudian anaknya bisa menjadi anak yang bersihan?

PG : Memang banyak variabel yang akan mempengaruhi anak kita, jadi ada kasus-kasus di mana orang tuanya itu tidak bersih tapi anaknya bersih. Sudah tentu memang ada pengaruh luar yang membuat s anak belajar tentang manfaat dari kebersihan, itu sebabnya si anak menjadi anak yang bersih.

Namun sekali lagi tetap saya ingin tekankan bahwa kebiasaan-kebiasaan orang tua itu akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan si anak. Dan akhirnya akan mempengaruhi juga karakter anak itu. Yang lainnya lagi misalnya tentang hal makan Pak Gunawan dan Ibu Wulan, biasakan anak untuk makan apa yang disediakan dan jangan terlalu sering menanyakan kepada anak suka atau tidak makanan ini. Ada orang tua yang sejak anaknya kecil kalau disajikan makanan, orang tuanya akan bertanya kepada si anak, "Suka atau tidak, tidak suka ya kalau tidak suka ya tidak usah dimakan." Sehingga si anak sejak kecil, pada waktu dia belum bisa memilih untuk mau makan apa atau makan apa, akhirnya sudah memberikan pilihan-pilihan yang sudah tentu tidak bijaksana, karena masih kecil belum bisa memilih dengan baik. Namun pilihan yang begitu sederhana itu akhirnya mempengaruhi dia, pada usia agak besar kalau makan sangat memilih. Ini tidak mau, ini tidak suka dan akhirnya orang tuanya mengeluh kok anak saya makannya cerewet. Nah, persoalannya adalah kita yang mungkin telah menciptakan sifat cerewet makan itu. Dengan cara, pada masa kecil memberikan pilihan terlalu banyak kepada anak. Tidak semestinya, sejak masa kecil sajikan semua dan jangan tanya-tanya suka atau tidak. Biarkan dia nanti yang mencicipinya sendiri, kalau dia tidak suka dia akan katakan 'tidak suka'. Dan kita bisa berdialog dengan dia, "Tidak suka, kenapa?" Rasanya atau apa. Nah, kita katakan, "Makanan ini memang rasanya agak begini, sayuran agak pahit tapi sangat penting buat tubuh kamu, maka meskipun agak pahit tetap kamu harus makan, karena kalau tidak tubuhmu nanti kurang kuat." Jadi kita justru tekankan seperti itu. Jadi ini salah satu kebiasaan pula yang nanti berguna dalam pembentukan karakter si anak. Misalnya apa, dia menjadi anak yang lebih bisa mensyukuri apa yang disediakan di meja, dia menjadi anak yang tidak sedikit-sedikit meminta-minta hal-hal yang khusus untuk dirinya; tidak, dia bisa hidup dan beradaptasi dalam kondisi hidup yang berbeda-beda.
WL : Menurut Pak Paul, sampai usia batasan berapa ajaran yang Pak Paul tadi sampaikan harus diberikan kepada anak. Masalahnya kalau orang tidak mengerti, berpikir seolah seperti memaksa. Terus masalah kedua, saya memperhatikan beberapa bayi; ada bayi-bayi yang waktu disuapi misalnya makanan-makanan seperti sereal, tidak mau membuka mulutnya, tetap terkatup meski dipaksa pun tetap. Tapi waktu diberi makanan lain, dia mau. Nah, bayi 'kan belum bisa kita berikan pengertian, ini makanan pahit tapi berguna segala macam. Tapi di lain sisi; dari bayi, anak ini sudah seperti itu, Pak Paul?

PG : Betul, sudah tentu kita memang membawa selera yang sangat pribadi. Itu sebabnya kita pun yang sudah dewasa tidak bisa berkata bahwa kita menyukai semua makanan. Ada yang sangat kita sukai,ada yang biasa-biasa saja, ada yang tidak kita sukai, itu betul sekali.

Ada yang suka pedas, ada yang suka kurang pedas dan sebagainya. Namun yang ingin saya tekankan adalah jangan perbesar hal invidualitas ini dalam soal makanan, lebih tekankan pada nikmati, syukuri apa yang ada sehingga engkau juga bisa mensyukuri dan beradaptasi di dalam kondisi yang berbeda.
GS : Dalam hal makanan, kebanyakan anak nurun orang tuanya, karena biasanya kalau orang tua tidak suka sesuatu ya tidak akan menyediakan makanan seperti itu. Anak tidak pernah mencoba makanan yang orang tuanya tidak menyajikan itu.

PG : Nah, itu point yang baik, jadi memang sangat berpengaruh sekali, apakah orang tuanya juga sangat memilih-milih makanan. Dan kalau orang tuanya memang memilih-milih makanan, sudah tentu selksi makanannya akan terbatas dan si anak akhirnya hanya juga mempunyai selera yang terbatas pula.

Jadi bersyukurlah anak-anak yang dibesarkan oleh ayah-ibu yang mempunyai seleksi makan yang luas, sehingga si anak pun belajar untuk mencicipi dan menikmati segala jenis makanan.
GS : Memang ada kecenderungan yang saya lihat sekarang, anak kurang senang atau enggan untuk makan sayuran Pak Paul. Maunya yang daging-daging, ayam cepat saji dan sebagainya.

PG : Itu sebabnya tidak bisa tidak kita sebagai orang tua, pada masa anak-anak kecil kita mesti mengajarkan dan akhirnya memaksa anak untuk memakannya. Meskipun dia mengatakan tidak suka, pahit "Tidak, ini penting bagi tubuhmu, engkau harus makan."

Nah, lama-kelamaan sudah 5, 10 tahun dipaksa makan sayuran, lama-lama sayuran itu tidak terlalu pahit buat lidahnya dan dia bisa menerimanya.
GS : Cuma kadang-kadang kita orang tua itu tidak mau terlalu repot seperti itu. Tidak mau ini ya disediakan yang lain, daripada bertengkar hanya karena itu.

PG : Ya, saya mengerti, tapi kalau bagi saya untuk yang bisa kita abaikan ya kita abaikan dan itu tidak apa-apa. Namun secara prinsip pada umumnya, kita meminta anak untuk memakan apa yang kitasajikan di meja.

GS : Ada kebiasaan baik yang harus diajarkan lagi?

PG : Ada Pak Gunawan, yaitu di dalam hal menjaga lingkungan hidup. Sudah tentu lingkungan hidupnya anak-anak itu di rumah atau bahkan di kamarnya, di ruang tamu atau di ruang santai. Biasakan aak untuk membersihkan kotoran yang ditimbulkannya.

Misalnya tumpukan sampah, barang-barang yang berserakan akhirnya tidak bersih, ditaruh sembarangan, dia habis minum ditaruh sembarangan. Kita tidak akan membiarkan anak menaruh, mengotorkan dan kemudian berkata: "Tolong bersihkan!" Tidak, kita ajarkan anak, "Engkau yang mengotori, nah sekarang tolong engkau yang bersihkan. Sampah-sampah yang engkau ciptakan, coba sekarang engkau bersihkan; barang-barang yang berantakan, engkau tadi pakai untuk main rapikan kembali." Dan kita ajarkan anak untuk mengembalikan barang yang diambilnya ke tempat semula. Biasakan itu, jangan biarkan anak membawa barang ke mana-mana dan kemudian tidak dikembalikan. O....tidak, kita akan katakan, "Kamu kembalikan, kamu yang mengambilnya sekarang kamu kembalikan." Kenapa? Supaya orang lain nanti waktu ingin memakainya tahu di mana letaknya. Nah, kehidupan seperti ini akan menjadi kehidupan yang lebih bersih nantinya dan dia lebih bisa menjaga lingkungannya. Setiap pagi saya berjalan pagi di daerah dekat rumah saya, saya terus-terang sering kesal. Kesal kenapa, sebab saya tahu daerah dekat rumah saya itu tempat orang berjalan pagi, namun botol aqua berserakan di mana-mana. Saya pikir mereka orang terpelajar, terdidik, terbudaya, tapi kok tidak bisa mikir buang sampah seenaknya. Seolah-olah botol aqua itu akan menguap dengan sendirinya, tidak mengotori lingkungan. Nah, hal seperti ini yang kita mau ajarkan kepada anak-anak kita; mungkin saja yang jalan-jalan dekat rumah saya itu tidak pernah diajar oleh orang tuanya untuk bisa memungut sampah yang telah mereka buang, jadi dibawa kebiasaan itu sampai dia dewasa.
GS : Memang biasanya kalau anak yang diasuh pembantu, habis main-main biasanya dia menyerahkan kepada pembantunya yang membersihkan, dan pembantunya juga merasa ada pekerjaan yang harus dikerjakan.

PG : Sudah tentu akan ada hal-hal yang si anak akan minta tolong kepada pembantunya atau susternya untuk ambilkan, tapi tidak semuanya. Misalkan makan di rumah kami, piring yang setelah dipakaikembalikan ke dapur, meskipun ada pembantu yang akan bisa mengambilnya tapi kami katakan, "Tidak, kamu sudah makan, taruh kembali piring ke dapur."

Jangan biasakan anak-anak itu pada masa kecil hidup seperti raja, kalau pada masa kecil sudah seperti raja, pada saat besar seperti apa. Nah, itu bahaya yang harus kita pikirkan dari sekarang.
WL : Tapi ada keluarga-keluarga di mana orang tuanya justru memupuk atau menyuburkan hal seperti ini. Saya beberapa kali melihat misalkan anak menumpahkan sesuatu, lalu anak ini langsung teriak memanggil pembantunya. Terus saya bilang kepada orang tuanya, "Kenapa anak tidak dilatih untuk bersihkan?" kalau begitu gunanya pembantu buat apa.

PG : Nah, itu memang saya bisa mengerti, kadang kala tidak semua tumpahan itu anak yang membersihkannya, itu betul. Memang ada pembantu ya gunanya untuk juga merawat rumah dan membersihkan rumah. Namun sekali lagi kita itu juga harus merencanakan, membentuk kebiasaan anak sehingga dapat membentuk karakter anak. Dan ini adalah hal yang baik untuk anak lakukan, jadi saya tidak meminta setiap kali anak menumpahkan, anak harus bersihkan; tidak, kadang-kadang biarkan dibersihkan oleh pembantu atau apa. Tapi pada hal-hal yang lain sepertinya dia kurang hati-hati kemudian dia tumpahkan, kita diamkan dan kita berkata: "Tolong sekarang engkau yang bersihkan." Jadi ada waktunya kita panggil pembantu, ada waktunya kita berkata kepada anak kita, "Tidak, sekarang engkau yang bersihkan, jangan setiap kali minta pembantu, sekali-sekali engkau yang bersihkan." Jadi dia belajar bertanggung jawab atas kekacauan atau kekotoran yang ditimbulkan oleh perbuatannya sendiri.

WL : Tapi apakah itu tidak terkesan tidak konsisten Pak? Bukannya setahu saya teori yang mengajarkan tentang disiplin anak harus sama atau konsisten. Jangan sebentar begini, sebentar begitu, akhirnya anak mengalami kebingungan.

PG : Saya kira tidak ya, ada waktunya memang si anak akan karena dia tahu dia yang tumpahkan dia akan bersihkan sendiri. Dan kalau memang itu menjadi kebiasaan dia, itu akan lebih baik lagi, naun kalau tidak ya setidak-tidaknya kita yang nanti meminta pembantu untuk membersihkannya.

Jadi jangan sejak kecil anak-anak itu sudah menjadi raja, sejak umur 5, 6 tahun memerintah-merintah pembantu seperti raja. Tidak semestinya anak umur 5 tahun memerintah-merintah orang umur 35 tahun, itu tidak benar. Jadi biarkan kita orang tua yang meminta pembantu untuk mengerjakannya, dan anak-anak kita kalau misalnya kita lihat memang kotor perlu dibersihkan, kita minta tolong pembantu tidak apa-apa. Tapi anak itu sendiri jangan terlalu mudah memerintah.
GS : Ada kebiasaan baik yang lain yang harus diajarkan?

PG : Yang lain adalah dalam hal belajar. Biasakan anak untuk mencoba terlebih dahulu sebelum bertanya atau meminta bantuan, jangan sedikit-sedikit kita yang mengurus, kita terus yang menanyakan Tidak, biarkan anak membaca dulu; dia tidak mengerti, kita katakan, "Coba, tolong pikir dan baca lagi dan tidak mengertinya di mana baru tanyakan."

Jadi jangan gampang-gampang apa ini jawabannya, apa ini jawabannya. Saya masih ingat dulu anak-anak bertanya, artinya kata ini apa? Istri saya langsung berkata: "Kami sudah membelikan kamus, bacalah kamus dan cari. Kami ajarkan bagaimana mencari atau membuka kamus, nah sekarang cari sendiri." Hal seperti itu perlu kita tanamkan pada anak-anak kita.
GS : Pak Paul, anak-anak ini makin besar makin sering bersosialisasi, berkumpul dengan temannya dan sebagainya. Nah dalam hal itu apa yang bisa kita ajarkan?

PG : Pertama, biasakan anak untuk meminta maaf tatkala bersalah, kalau salah meminta maaf. Yang kedua yaitu mengajak dan bukan hanya mau diajak bermain. Ada anak-anak yang diam pasif diajak berain baru main.

Tidak, kita dorong anak kita, "Sekarang kamu yang ajak, sekarang coba kamu telepon minta teman kamu datang atau kamu yang ke rumah teman kamu." Latih dia untuk mengajak. Yang lainnya mengalah tatkala diperlukan dan bertahan jika diperlukan. Artinya jika memang harus mengalah dalam suatu permainan atau apa, kita katakan kepada anak kita, "Kamu seharusnya mengalah, kenapa harus sampai bermusuhan seperti itu." Tapi kalau kita tahu anak kita di pihak yang benar, dan dia sedikit-sedikit maunya mundur, mengalah, kita katakan, "Jangan, engkau di pihak yang benar, jangan, engkau bertahan dulu; biarkan nanti teman kamu itu yang datang kepada kamu." Jadi kita memang memberikan keseimbangan antara mengalah dan bertahan. Dan yang lainnya lagi dalam bersosialisasi adalah kita ajarkan anak kita untuk bertanya, karena ingin tahu bukan karena ingin diperhatikan. Kadang-kadang dalam kumpulan teman-temannya, anak-anak itu bertanya ini dan itu, teman-temannya akhirnya sebel dengannya. Kenapa? Karena kalau bertanya bukannya ingin tahu tapi ingin diperhatikan, ingin dianggap tahu, ingin dianggap menguasai bidangnya atau paling hebat sehingga teman-temannya tidak suka, akhirnya tidak mempunyai teman bergaul. Nah, hal-hal kecil seperti itu mulai kita tanamkan kepada anak, kebiasaan-kebiasaan kecil seperti itu. Akhirnya anak-anak belajar dan akhirnya lebih bisa bergaul dengan teman-teman.
WL : Pak Paul, ada juga anak-anak yang agak sulit menerima kekalahan. Bisa marah, segala macam, nah nanti pulang orang tuanya juga ikut-ikutan memarahi temannya anak.

PG : Ya, jadi hati-hati, kadang-kadang kita menganggap anak kita yang paling benar sementara teman-temannya jahat. O.....tidak, kadang-kadang anak kitalah yang justru membuat kekacauan di sekolh.

GS : Memang untuk berelasi dengan orang lain ini sulit, apa yang kita bekalkan kepada anak-anak ini supaya mereka bisa berkomunikasi dengan baik, Pak Paul?

PG : Salah satunya lagi adalah misalnya dalam hal tanggung jawab, biasakan anak untuk berlatih bertanggung jawab. Misalnya untuk mempersiapkan buku pelajarannya, mengambil makanannya sendiri, mmakai sepatunya sendiri; jangan sampai anak sudah usia 12 tahun sepatunya masih dipakaikan orang tua.

Mencari barangnya sendiri sebelum orang lain mencarikan untuknya. Tanggung jawab ini penting sekali. Dan berikutnya lagi adalah dalam hal berelasi, biasakan anak untuk mengeluarkan pendapat dan kita hargai pendapatnya itu. Kita bertanya, "Menurut kamu bagaimana?" Misalkan dia ingin keluar, kita katakan, "Hari biasa kamu tidak keluar, hari Sabtu boleh keluar karena Minggu libur. Hari biasa tidak keluar, main dengan teman-teman hanya hari Sabtu." Misalkan tidak terima; tidak terima kita katakan, "Kenapa kamu tidak terima, tolong beritahu Papa." Biarkan dia jelaskan, jadi memang kita mau menghargai pendapat, kita inginkan anak untuk berdialog dengan kita. Berikutnya dalam hal berelasi kita izinkan anak untuk berdiam sejenak dalam perasaannya. Dan jangan tergesa-gesa membuatnya merasa lega dengan segera. Anak kita tidak suka tidak diizinkan keluar, marah, diam di kamar; biarkan, latih anak, biarkan dia diam sendiri dalam perasaan marahnya. Setelah itu hampiri dia di kamar dan ajak dia ngomong, kenapa? Biarkan dia dalam perasaan tidak sukanya karena itu akan melatih diri untuk menguasai perasaan marahnya dan berdialog dengan dirinya. Dan membuat dirinya lebih mengerti kenapa dia tidak boleh keluar. Jangan sampai sedikit-sedikit kita ketakutan nanti anak marah sama kita, kita bujuk dan sebagainya, sehingga si anak tidak pernah melatih diri untuk reda. Dia selalu membutuhkan orang lain untuk meredakannya, emosinya tidak bisa dikendalikan sendiri. Harus orang lain yang seolah-olah menyembah-nyembah dia, baru nanti bisa menguasai perasaannya.
WL : Pak Paul, tadi dalam hal tanggung jawab itu ada kaitannya dengan kemandirian anak, karena kita sedang melatih kemandirian anak?

PG : Betul sekali, dia mandiri dalam pengertian bukan saja dia belajar untuk bertanggung jawab mendapatkan yang dia inginkan, tapi dia juga belajar untuk bertanggung jawab dengan perasaannya. Bhwa perasaannya itu bukan tanggung jawab orang untuk bisa menenangkan dia.

GS : Pak Paul, bagaimana kita bisa menciptakan kebiasaan yang baik dalam diri anak, khususnya dalam bidang kerohanian?

PG : Biasakan anak untuk beribadah bersama dan pribadi. Artinya apa beribadah bersama? Dari kecil kita ajak dia ke gereja, ke sekolah minggu untuk belajar beribadah bersama-sama. Dan secara priadi artinya pada waktu misalnya usia 9, 10 tahun ajak dia untuk belajar membaca Alkitab sendiri.

Ajak dia, minta dia untuk membaca satu ayat, dua ayat, sehingga dari kecil dia belajar mempunyai hubungan pribadi dengan Tuhan. Ini penting, ada orang tua yang tidak melakukan hal ini hanya menekankan ke sekolah minggu, sudah lepas dari gereja tiba-tiba hidupnya bisa benar-benar berubah seolah-olah tidak pernah mengenal Kristus dalam kehidupannya. Jadi ibadah pribadi itu sangat penting.
WL : Sekarang juga sudah banyak buku santapan rohani yang khusus untuk anak-anak ya.

PG : Betul, dan itu bisa kita berikan kepada anak-anak kita untuk dipakainya.

GS : Pak Paul, di dalam hal membiasakan anak seperti itu, apakah kita perlu memuji atau memberikan disiplin?

PG : Seharusnya ya Pak Gunawan, jadi waktu anak-anak itu melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik tersebut, kita puji, kita berikan tanggapan positif. "Aduh, kamar kamu bersih, aduh luar biasa kmu bertanggung jawab."

Kita puji, waktu dia tidak melakukannya berikan sanksi; kita berikan misalnya teguran dengan suara yang lebih keras, kita bisa marahi dia lakukan seperti itu. Sekali lagi kita menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang memang akan perlu waktu untuk kita melihat dan bisa memetik buahnya. Namun kalau kebiasaan ini kita tanamkan dari kecil, waktu dia meninggalkan rumah kita kebiasaan itu akan menyertainya.
GS : Pak Paul, dalam hal ini apa yang firman Tuhan katakan?

PG : Saya akan bacakan Amsal 15:32, "Siapa mengabaikan didikan membuang dirinya sendiri, tetapi siapa mendengarkan teguran, memperoleh akal budi." Jadi firman Tuhan berkata siapa mngabaikan didikan membuang dirinya, ini tadi yang saya maksud dengan membangun karakter.

Kalau anak tidak mau menerima didikan, itu sama dengan si anak membuang dirinya, tidak ada lagi karakter. Tapi anak-anak yang menerima didikan, dia menerima diri, dia mempunyai diri. Sebab didikan dari orang tua itulah yang menjadikan siapa dia nantinya.
GS : Dan itu menjadi bekal dia untuk memasuki masa pemuda atau masa dewasanya?

PG : Betul sekali, dan bukankah kalau dia mempunyai karakter yang baik, orang-orang di sekelilingnya akan mendapatkan berkat dan nama Tuhan pun dipermuliakan.

GS : Jadi ini menjadi tanggung jawab dari kita sebagai orang tua terhadap generasi yang ada di bawah kita. Terima kasih sekali Pak Paul juga Ibu Wulan banyak terima kasih. Saudara-saudara pendengar kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membentuk Kebiasaan Anak." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



34. Malas Belajar


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T160B (File MP3 T160B)


Abstrak:

Banyak orangtua mengeluh bahwa anak mereka malas belajar dan bahwa kesenangannya hanyalah bermain. Pertanyaannya adalah, mengapa dan bagaimana orangtua harus menghadapinya?


Ringkasan:

Dewasa ini banyak orangtua mengeluh bahwa anak mereka malas belajar dan bahwa kesenangannya hanyalah bermain. Pertanyaannya adalah, mengapa?

  1. Sekarang bersekolah telah melebihi pekerjaan purnawaktu dan anak membutuhkan porsi waktu santai yang lebih besar.

  2. Kebanyakan proses pembelajaran di sekolah masih mengandalkan metode penghafalan dan penjelasan yang abstrak. Metode ini sangat kontras dengan permainan anak yang merangsang kreativitas. Itu sebabnya banyak anak tidak menyukai pelajaran sekolah dan memilih bermain.

  3. Secara kodrati, memang anak berada pada tahap kehidupan di mana tugas utamanya adalah bermain, bukan belajar. Dengan kata lain, belajar merupakan tugas yang bertentangan dengan kodrat manusiawi anak.

Jika demikian, apa yang harus orangtua perbuat?

  1. Sediakan (jadwalkan) waktu bermain, jangan sampai bermain merupakan waktu sisa (jika masih ada waktu). Bila anak mempunyai energi yang tinggi, jadwalkan aktivitas yang menguras tenaga.

  2. Gunakan ilustrasi yang berasal dari dunia anak. Banyak konsep absrak dalam pelajaran yang memerlukan pengejawantahan.

  3. Terima keterbatasan anak. Jika daya tangkapnya lemah, ia memerlukan pengulangan dan kejelasan. Kadang anak tidak bisa berkonsentrasi untuk jangka yang panjang, jadi, izinkan anak untuk beristirahat sejenak.

  4. Ciptakan suasana santai. Jangan sampai anak ketakutan sebab anak tidak akan dapat belajar di tengah suasana yang tegang.

  5. Senantiasa tekankan kepada anak bahwa yang terpenting bukanlah nilai melainkan pembelajaran itu sendiri dan bahwa yang kita tuntut adalah usaha, bukan hasil akhir.

  6. Jangan korbankan relasi kita dengan anak hanya gara-gara masalah belajar.

Firman Tuhan: "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu." Mazmur 103:13-14


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Malas Belajar", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Rupanya menjadi keluhan umum bagi orang tua sekarang ini di mana anaknya malas belajar. Dan yang sering kali disalahkan adalah karena adanya TV dan sarana hiburan yang banyak kemudian anaknya malas belajar. Tapi apakah sesederhana itu Pak Paul?

PG : Sudah tentu hiburan-hiburan yang ada di televisi itu juga dapat menggoda anak-anak. Pada zaman kita masih lebih muda saya masih ingat film televisi yang saya nantikan adalah "Popeye The Salor", tahun 60-an, tahun 70-an.

Nah sekarang begitu beragam dan itu sendiri menjadi daya tarik. Tapi saya kira masalahnya tidak sesederhana itu. Ada beberapa penyebab kenapa anak-anak sekarang rata-rata malas belajar, itu keluhan orang tua dewasa ini. Yang pertama adalah sekarang ini bersekolah telah melebihi pekerjaan purna waktu dan anak membutuhkan porsi waktu santai yang lebih besar. Pagi sampai siang, misalkan anak-anak yang SD atau SMP bisa sampai jam 02.00, jam 03.00 baru pulang. Setelah pulang ada les, setelah les beberapa jam ada pekerjaan rumah atau ulangan yang harus dipelajari. Jadi dapat dikatakan anak-anak itu dari jam 07.00 pagi sampai jam 10.00, 11.00 malam hampir dapat dikatakan bekerja. Yang satu jam-satu jam itu adalah waktu istirahatnya. Tapi jam 07.00 pagi sampai jam 10.00 malam dia bekerja. Nah, kita saja orang dewasa kalau diharuskan bekerja jam 07.00 sampai jam 10.00 meskipun di tengah-tengahnya ada istirahat satu jam atau ½ jam hanya bertahan sampai beberapa waktu, setelah itu kita akan stres berat sekali. Nah inilah kondisi anak-anak kita, itulah sebabnya makin besar tekanan di sekolah makin besar keinginan atau kebutuhannya untuk santai, makanya dia ingin bermalas-malasan, bermain-main tidak mau belajar.
WL : Tapi banyak orang tua menjadi khawatir Pak Paul, kalau waktu santai anak terlalu banyak karena bisa ketinggalan materi pelajaran.

PG : Betul sekali, memang sebagian sekolah berpendapat bahwa semakin susah, semakin baik sekolah itu; semakin banyak pelajaran, semakin baik sekolah itu. Ini pandangan yang keliru; sekolah yangbaik adalah sekolah yang efektif, sekolah yang efektif adalah sekolah yang membuat anak-anak belajar.

Karena proses pembelajaran hanya mempunyai satu tujuan yaitu belajar. Ada orang-orang atau pendidik benar-benar bermegah dengan susahnya ujian. Ujian itu adalah alat bukan tujuan, kalau kita jadikan ujian itu sebagai tujuan sehingga dihormati karena susah, pendidik itu keliru. Ujian hanyalah alat untuk menguji kebisaan anak, jadi memang tujuannya bukan untuk menyusahkan si anak tujuannya hanyalah menguji si anak, dia bisa atau tidak. Yang paling penting adalah anak itu belajar. Nah, dalam hal inilah saya kira sebagian sekolah telah keluar jalur dan anak-anak kita akhirnya menderita.
GS : Mungkin secara umum ada metode yang kurang tepat yang diterapkan di sekolah-sekolah saat ini?

PG : Saya kira salah satu metode yang memang makin hari makin kurang tepat untuk generasi di bawah kita adalah metode menghafal. Atau menggunakan penjelasan-penjelasan atau konsep yang abstrak engan melalui ucapan atau pengajaran.

Anak-anak itu akan kesulitan untuk memusatkan perhatian dan mendengarkan serta menghafalkan, titik, koma harus sama seperti yang diajarkan oleh guru. Nah, metode-metode yang tradisional ini sangat kontras, berlawanan dengan permainan anak yang merangsang kreatifitas. Dan permainan anak sekarang ini terutama yang ada di computer games atau playstation game, itu adalah permainan yang merangsang kreatifitas anak dan banyak tantangan-tantangannya. Nah, akibatnya apa yang terjadi? Anak-anak tidak menyukai pelajaran dan memilih bermain. Sebab memang kreatifitasnya lebih tinggi, mereka lebih ditantang untuk dapat mengalahkan atau dapat membereskan masalah, sedangkan kalau di sekolah atau dia bawa pelajarannya pulang dia harus menghafal. Ulangan kurang satu titik salah, kurang satu huruf salah, menggunakan kata yang lain meskipun maknanya sama juga salah. Ya stres, kita saja yang dewasa mendengar saja sudah stres apalagi anak kita.
GS : Kalau kita melihat sebenarnya anak ini membutuhkan waktu untuk bermain seperti yang tadi Pak Paul katakan, nah bagaimana kita bisa mengatur waktunya sementara di sekolah tuntutannya begitu banyak dan anak pun menuntut waktu untuk bermain?

PG : Memang anak-anak itu perlu bermain, secara kodrati anak berada dalam tahap di mana dia membutuhkan bermain bukannya hanya senang bermain, tapi membutuhkan bermain untuk kesehatan jiwanya, ntuk pembentukan jiwa yang berimbang, yang sehat.

Kalau anak-anak kehilangan kesempatan bermain, itu akan menggoyangkan atau jiwa anak tidak seimbang. Maka kita perlu sediakan waktu bermain; kita jadwalkan jangan sampai bermain merupakan waktu sisa. Artinya kalau ada waktu baru boleh bermain. Pada usia anak-anak masih kecil di bawah usia 12 tahun, anak-anak sangat memerlukan waktu untuk bermain, untuk kesehatan jiwanya sendiri, jadi jadwalkan. Berikan waktu misalnya 1 jam, 2 jam untuk dia boleh bermain baru nanti belajar; boleh nonton televisi, boleh main video game dan sebagainya. Nanti setelah 2 jam, dia sudah merasa segar, baru dia belajar. Misalkan anak kita mempunyai energi yang tinggi sekali, aktif luar biasa, nah jadwalkan aktifitas yang bisa menguras tenaganya. Daftarkan dia, jadikan dia anggota misalkan di club-club basket, sepak bola dan sebagainya, sehingga energinya terpakai. Setelah pulang sekolah energinya terpakai, olahraga dan dia pulang; jiwanya pun lebih ringan, tubuhnya pun rasanya lebih segar. Nah itu hal-hal yang orang tua perlu jadwalkan.
WL : Pak Paul, tapi masalahnya kebanyakan kalau kita perhatikan setelah puas bermain anak-anak kecapaian, ya sudah tidak bisa belajar, tidur atau apa. Terus masalah kedua kalau kita perhatikan, sekarang ini makin banyak anak yang keletihan karena terpaksa harus "bekerja". Membantu orang tualah, dengan berbagai macam bentuk, Pak Paul?

PG : Nah, kalau memang tidak bisa misalkan olahraga membuat dia terlalu capek, ya kita jadwalkan misalnya tidak setiap hari. Misalkan 2 kali seminggu, 3 kali seminggu dia berolahraga, tidak usa setiap hari.

Atau misalkan dia memang ada tugas-tugas lain di rumah dan memang kita memerlukannya atau membutuhkan bantuannya, ya misalkan kita berikan jadwal untuk bermainnya sedikit lebih kurang sehingga dia nanti bisa istirahat. Menyegarkan jiwanya dan nanti baru membantu kita. Jadi sekali lagi yang saya minta adalah bermain itu janganlah dijadwalkan secara asal-asalan; kalau ada ya bagus, kalau tidak ada ya tidak apa-apa karena tidak penting. O.....itu keliru, buat anak-anak bermain itu hal yang mutlak, yang penting sekali untuk kesehatan jiwanya jadi jadwalkan. Anak-anak yang mempunyai kehidupan yang lebih berimbang, ada waktu bermain dia akan lebih bisa belajar. Anak-anak yang ditekan harus belajar terus-menerus kalau memang kepandaiannya super dan anak itu gemar belajar tidak punya lagi pergaulan ya mungkin tidak ada masalah. Tapi kalau anak ini anak yang sehat, yang normal, tidak punya pergaulan ditekan seperti itu; tidak akan bisa berprestasi.
GS : Sebenarnya di dalam bermain, anak itu belajar sesuatu?

PG : Betul sekali, dia belajar berelasi, dia belajar mengerti perasaan orang, belajar mengerti pikiran orang, belajar menebak kira-kira nanti orang akan berkata apa, berbuat apa dalam permainandan sebagainya.

Jadi benar-benar menumbuhkan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup nantinya. Buat apa nanti anak kita pintar dalam bidangnya tapi tidak bisa hidup sama sekali dengan orang lain, itu juga akan menjadi masalah nantinya.
GS : Di sini memang dibutuhkan suatu kreatifitas para pendidik untuk bisa mengajar tapi juga sekaligus bermain.

PG : Betul, ini memang unsur yang penting sehingga anak-anak kita itu akhirnya menjadi anak yang seimbang. Yang lainnya yang bisa saya berikan adalah, kalau kita di rumah terus kesal melihat ank kita belajarnya malas sekali, mungkin sekali anak kita itu tidak memiliki konsep tentang apa yang dipelajarinya.

Dia bingung, dia tidak mengerti, nah kalau kita tahu itu masalahnya kita bantu anak kita. Gunakan ilustrasi yang berasal dari dunia anak. Saya masih ingat sekali waktu anak saya kecil, istri saya mencoba mengajarkan tentang lokomotif, dalam buku pelajarannya (saya lupa kelas berapa). Dia tidak mengerti apa itu lokomotif, kenapa, karena tidak pernah melihatnya. Nah sekarang berapa anak yang tidak pernah melihat lokomotif, tidak terlalu banyak. Jadi akhirnya waktu istri saya mencoba menjelaskannya, dia tidak mengerti. Mungkin dia bisa mengerti yang ada di jalanan tapi yang tidak ada di jalanan seperti lokomotif tidak bisa dia bayangkan sama sekali, namun ada dalam pelajarannya. Nah, kalau misalnya orang tua melihat masalah seperti itu, bisa kreatif, ini misalkan ada mobil atau ada bus, anak kita tahu; nah kita katakan, "Busnya banyak dan diikat satu bus dengan bus yang lain, o....itu namanya kereta api atau lokomotif." Akhirnya dia mengerti, jadi gunakan ilustrasi-ilustrasi yang dapat dipahami oleh anak dan ilustrasi yang memang ada dalam dunianya. Banyak konsep abstrak dalam pelajaran yang memerlukan pengejawantahan, benar-benar kita menolong anak untuk melihatnya dengan lebih konkret, ini yang diperlukan oleh anak-anak kita.
WL : Perlu atau tidak Pak Paul, orang tua menolong anak mengenal gaya belajar atau metode belajar yang efektif. Setiap anak pasti berbeda-beda, ada anak yang benar-benar bisa efektif belajar dengan visual. Yaitu dengan melihat gambar, ada yang berbeda lagi yaitu dengan mendengar atau dari hal-hal lain?

PG : Sangat penting Ibu Wulan, jadi kalau kita sadari bahwa anak kita itu belajar sangat cepat dengan melihat. Kita memang harus berusaha keras untuk menyajikan pelajarannya dengan alat peraga.Kita bisa gambarkan, kita mungkin bisa membawa barangnya itu sendiri.

Misalkan berhitung, susah sekali berhitung; kita bisa membawa jeruk, misalkan 3 jeruk ditambah 2 jeruk menjadi berapa. Terus dia hitung misalkan, nah itu sangat berguna bagi anak-anak yang memang belajar secara visual karena akan ingat sekali. Meskipun kita memakai garis 1 2 3 4 5, memang bisa dihitung olehnya tapi semakin jelas dan semakin riil benda yang harus dia hitung itu semakin menempel atau melekat di benaknya. Dan waktu di sekolah diminta untuk menghitung atau apa secara luar kepala, dia bayangkan jeruk-jeruk itu, nah itu menjadi alat yang bisa kita gunakan juga.
GS : Ada anak yang walaupun sudah diajarkan dengan beberapa metode itu memang sulit sekali menangkap. Saya melihat kesulitan yang sama, mengajar anak yang terlalu pandai dengan anak yang kurang cepat menangkap ini masalahnya juga sama.

PG : Betul, jadi memang kita harus mengenal siapa anak kita; apa kelebihannya dan apa keterbatasannya. Misalkan ada anak-anak yang memang tidak begitu pandai mengekspresikan diri melalui ucapanatau bahasa tulisan.

Ada anak-anak yang menulis dengan salah-salah, dia tahu kata itu tapi waktu dia menuliskan hurufnya terbalik-balik. Ada juga anak-anak yang lambat sekali berbicara, kita ajarkan tapi tetap tidak bisa dia pahami dengan cepat. Nah anak ini ternyata memang mempunyai masalah di dalam pengekspresian diri dengan bahasa ucapan atau tulisan. Namun dalam hal seperti matematik atau aritmatika belajarnya sangat cepat sekali, berarti ini memang keterbatasan anak dan kelebihan anak. Apa yang harus kita lakukan? Kita mesti menerimanya, kita mesti menerima bahwa dalam hal-hal seperti ini misalkan penggunaan bahasa dia akan lemah, dalam hal yang bersifat matematika dia akan kuat. Jadi di titik yang lemah itu kita bangun, kita ajarkan, kita harus ulang lagi, ulang lagi dan tidak bisa tidak mesti harus sabar, pengulangan-pengulangan sangat dibutuhkan atau penjelasan-penjelasan. Misalkan dia susah sekali berbicara, kita bisa misalkan menggunakan apel, kita gunakan kata a-pel; ini 'a' dan ini apel. Huruf b, tidak bisa dia membayangkan huruf b itu apa. Misalkan ba-ju, nah itu kata baju yang akan dia ingat nanti yang berlambangkan huruf b. Jadi benar-benar konkret, untuk anak-anak yang memang daya tangkapnya agak lemah memerlukan pengulangan dan pengkonkretan.
WL : Menurut Pak Paul sendiri secara pribadi, setuju atau tidak misalnya tadi anak yang lahir dengan keterbatasan itu, ya sudah begitu saja atau tetap bisa berkembang. Saya ingat setelah dewasa saya pernah mengikuti test, testnya kilas balik ke masa anak-anak; kemampuan-kemampuan yang memang dasarnya telah saya punyai. Ternyata sangat minim, tapi setelah saya dewasa seperti ini menjadi sangat berbeda, berarti 'kan ada banyak perkembangan. Sedangkan waktu kecil orang di rumah mungkin kurang mengerti untuk memberikan stimuli-stimuli atau bahkan dilarang ini, dilarang itu, jadi hal itu kreatifitasnya tidak bisa muncul. Padahal sekarang orang bilang saya cukup kreatif, itu sebenarnya banyak kemajuan, perkembangan. Jadi yang terbatas itu tidak mati di situ, Pak Paul?

PG : Betul sekali Ibu Wulan, kondisi kehidupan kita itu sangat berpengaruh terhadap cepat lambatnya kita belajar. Misalkan kita hidup dalam suasana yang lumayan tegang, tidak bisa tidak anak-ank akan mengalami hambatan dalam belajar.

Karena apa, dia lagi mau belajar, orang tuanya bertengkar; dia lagi mau belajar, nanti dimarahi; ini kurang ini, harus begini, harus begitu. Nah suasana yang tegang tidak akan menjadi suasana kondusif buat anak bisa belajar. Maka salah satu prinsip adalah ciptakan suasana santai dalam rumah kita. Kalau kita ingin anak-anak kita bisa belajar dengan baik, ciptakan suasana santai. Tenang, juga perlu tapi jangan sampai sepertinya sunyi, tidak ada suara; anak-anak juga tidak bisa menikmati. Biarkan sekali-sekali mereka menyanyi, mendengarkan musik, tidak apa-apa. Anak-anak kami ada 3, yang dua kalau belajar selalu memasang musik, yang satu belajar meskipun di kamarnya tidak ada musik sekalipun kalau di luar ada musik tidak bisa belajar, dia merasa terganggu. Jadi sekali lagi memang masing-masing anak mempunyai keunikannya, nah kita biarkan yang penting anak kita belajar. Bukan belajar dengan cara kita, sunyi, tegang dan sebagainya, jadi penting suasana rumah kita itu santai. Nah ini jangan sampai menciptakan rasa takut pada anak-anak kita, adakalanya anak-anak itu belum belajar sudah ketakutan. Baru dipanggil orang tuanya dia sudah ketakutan, kenapa? Karena dia tahu tinggal tunggu 5 menit setelah dia mulai belajar, orang tuanya itu akan marah-marah dan dia tidak akan bisa belajar. Sebelum belajar pun dia sudah ketakutan, karena membayangkan nanti bakal dimarahi apalagi waktu belajarnya. Bayangkan anak seperti itu hidupnya, pagi sampai siang sekolah mungkin juga sudah stres karena dia tidak bisa, dia pulang ke rumah juga stres karena memikirkan nanti orang tuanya akan stres dan memarahi dia. Nah bayangkan suasana hidup seperti itu yang akan ditanggung oleh anak-anak kita.
GS : Banyak anak yang mengatakan dia malas belajar itu juga karena terlalu dituntut oleh orang tuanya untuk mendapatkan nilai yang terbaik terus, sehingga dia katakan saya tidak mampu dan dia menjadi malas. Atau malah kontras sekali, dia berikan angka-angka yang jelek terus.

PG : Betul, kadang-kadang akhirnya anak menjadi takut mempunyai prestasi yang tinggi. Karena apa, dia takutnya orang tua itu akan terus-menerus menuntutnya mendapatkan nilai yang terus seperti tu atau bahkan lebih tinggi, nah lebih baik dia berikan nilai yang pas-pasan.

Sehingga lama-lama orang tuanya tidak terlalu mengharap. Jadi kita mesti tekankan kepada anak bahwa yang terpenting bukanlah nilai melainkan pembelajaran itu sendiri. Dan bahwa yang kita tuntut adalah usaha bukan hasil akhir, prinsip ini yang harus kita camkan. Ada orang tua luar biasa senangnya anaknya mendapat nilai bagus, belajar apa tidak tahu, tidak belajar pun tidak apa-apa yang penting nilainya bagus. Kalau itu yang kita tekankan, saya khawatir anak kita itu mendapatkan suatu pelajaran yang keliru dari orang tuanya. Yaitu apa, yang penting penampilan, cara mendapatkannya tidak peduli, nyontek juga tidak apa-apa. Maka kita tahu masalah nyontek ini di sekolah-sekolah kita menjadi masalah kronis. Begitu banyak orang menyontek dari kelas 0 sampai kelas doktoral. Kenapa begitu, karena yang dipentingkan adalah penampilan, nilai akhir atau hasil akhir. Orang itu belajar atau tidak, tidak lagi dipusingkan, nah ini yang harus kita ubah.
GS : Karena memang kalau mendapat juara, orang tuanya bangga Pak Paul. Dan ini mempengaruhi mereka yang anaknya tidak mencapai juara.

PG : Dan kadang-kadang orang tuanya membanding-bandingkan, "Kamu kok tidak seperti anak ini yang mendapat juara." Padahalnya memang anak kita berbeda, dan mungkin sekali pada bidang itu, anak kta tidak bisa menuntutnya.

Jadi sekali lagi saya menekankan, jangan mementingkan nilai; yang penting adalah anak kita telah berusaha, dan yang penting kita tahu anak kita telah belajar. Dia mendapatkan sesuatu, dan ini yang kita tekankan kepada anak kita, sehingga tatkala dia dewasa dia mempunyai nilai hidup yang baik. Yang penting saya belajar, saya tahu saya telah belajar, sementara untuk nilainya apabila orang tidak melihat atau menghargai, itu nomor dua yang penting saya telah belajar. Jangan sampai kita itu seperti kepompong kosong, kita bawa kepompong dalamnya sudah tidak ada lagi, kosong melompong. Saya khawatir, inilah tipe-tipe generasi yang akan kita hasilkan.
GS : Pak Paul, ada anak yang malas belajar karena tidak senang dengan gurunya, terhadap mata pelajaran tertentu dan dia senang dengan gurunya, nilainya cukup baik. Dan dia senang dengan pelajaran itu.

PG : Betul sekali, ini point yang sangat penting, maka kita sebagai pendidik memang harus bisa mendapatkan hati anak, baru akhirnya kita bisa memperoleh otak anak. Kalau kita tidak mendapatkan ati anak, jangan berharap kita akan bisa memperoleh otak anak itu.

Kita benar-benar harus menyadari prinsip ini. Kalau anak sudah menyukai kita, dia tahu kita adalah guru yang memperhatikannya, baik dan sebagainya, dia akan lebih bersedia belajar; dia akan lebih bersedia mencurahkan waktunya dan membela mati-matian agar dia bisa mendapatkan nilai yang baik dalam kelas kita. Kenapa, karena dia tahu kita memang memperhatikannya. Jadi sekali lagi jalan menuju ke otak anak harus melewati hati anak dulu.
GS : Tapi kita sebagai orang tua juga repot Pak Paul, karena tidak mungkin anak itu dipindahkan ke kelas lain. Nah bagaimana kita memberikan pengarahan kepada anak ini, walaupun dia tidak senang dengan gurunya dia tetap mempunyai semangat untuk belajar?

PG : Ini adalah hal yang penting sebab hidup memang tidak selalu berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Dan ini juga yang kita tanamkan kepada anak-anak kita, bahwa kebetulan kamu mendapatkn guru yang seperti ini.

Dan kita katakan betul, betulnya apa, "anak-anak yang sebelum kamu pun orang tuanya mengeluhkan hal yang sama dan anak-anak mereka pun mengeluhkan hal yang sama tentang guru ini." Jadi kita itu tidak memarahi si anak, kita mengakui, "Ya, bahwa gurumu memang seperti itu, kami telah mendengarnya bukan hanya satu orang yang berbicara tapi banyak orang telah mengutarakan hal yang sama tentang guru itu." OK! Dengan kata lain kita jangan mudah meng-iakan anak. Anak berkata guru ini tidak baik karena begini, begini, nah kita sudah langsung mau menabuh gendang perang melawan si guru itu. Jangan, bisa jadi anak kita yang tidak tepat melihat gurunya. Tapi kalau memang banyak orang mengatakan hal yang serupa, ya kita harus akui kemungkinan besar anak kita benar. Dan jangan salahkan anak, kita konfirmasikan pendapatnya, pandangannya, "Ya, memang gurumu seperti itu, ya mama dan papa kasihan dengan kamu, pasti kamu susah di kelas ya. Namun inilah kenyataan hidup, kadang-kadang kita harus berhadapan dengan situasi yang tidak kita inginkan, namun kita harus bisa melewatinya." Dengan cara apa, bertahan, pisahkan orang dari pelajarannya; kita paksa anak kita untuk berpikir seperti itu. Nah waktu dia bisa melewati, dia pun akan mengembangkan kebanggaan pada dirinya, "Saya bisa melewati guru itu, meskipun guru itu tidak menyenangkan." Nah yang berikutnya adalah jangan korbankan relasi kita dengan anak hanya gara-gara masalah belajar. Kadang-kadang kita itu ribut dengan anak gara-gara soal belajar, jangan seperti itu, kasihan, sayang; relasi anak dengan orang tua rusak hanya gara-gara masalah belajar.
GS : Sekarang itu memang orang berlomba-lomba untuk mendidik anaknya sedini mungkin. Maksudnya supaya kelihatan di antara teman-temannya, di masyarakat bahwa anaknya terpelajar dan bisa cepat belajar. Menurut Pak Paul bagaimana?

PG : Menurut saya ikuti saja ritme alam yang Tuhan telah tetapkan bagi manusia. Yaitu nomor satu anak belajar paling banyak dari bermain, bukan dari sekolah. Semakin kecil anak banyak belajar dri bermain bukan dari sekolah, nah semakin besar dia akan belajar semakin banyak secara kognitif dari pelajaran-pelajaran yang telah tersusun dengan sistematis.

Tapi memang porsinya dari sedikit, ringan, baru makin hari makin lebih berat. Dan dari yang umum, umum, makin hari dan makin tinggi tingkatannya makin spesifik.
GS : Di dalam hal memotivasi anak supaya rajin belajar ini, apa yang firman Tuhan sampaikan Pak Paul?

PG : Saya bacakan Mazmur 103:13-14, "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingt, bahwa kita ini debu."

Jadi Tuhan menyayangi kita, begitu sayang kepada kita. Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama. Kalau Tuhan sayang kepada kita, mari kita sayangi anak kita. Caranya bagaimana, nah Tuhan berkata Dia tahu siapa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu. Artinya kita pun terhadap anak sama, kita tahu anak kita itu siapa, keterbatasannya apa. Kita tahu anak kita juga debu, tidak sempurna, nah belajarlah menerima. Ini akan jauh lebih baik daripada menuntut anak untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya.

GS : Terima kasih Pak Paul dan Ibu Wulan untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Malas Belajar." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



35. Membantu Anak Mengendalikan Diri


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T164A (File MP3 T164A)


Abstrak:

Menjadi dewasa tidak sekadar bertambahnya usia, tapi salah satunya juga semakin terampil mengendalikan diri. Jadi untuk mendewasakan anak, kewajiban orangtua adalah mendidik mereka mampu bertanggungjawab dan mengendalikan diri.


Ringkasan:

  1. Banyak pendapat bahwa anak yang masih muda memang tidak bisa mengendalikan diri. Pandangan demikian tidak sepenuhnya benar. Pengendalian diri memang datangnya tahap demi tahap, dan dalam hal ini usia memegang peranan penting.

  2. Sekalipun dalam banyak hal, anak akan lebih mampu mengendalikan diri setelah mereka besar, kita tetap berkewajiban memperhatikan perkembangan mereka dan membantu mereka. Sebagaimana belajar berjalan, berlari, berenang dsb, anak perlu latihan agar tahu bagaimana caranya mengendalikan dirinya. Menjadi dewasa tidak sekadar bertambahnya usia, melainkan salah satunya juga adalah semakin terampil mengendalikan diri. Jadi, untuk mendewasakan anak, kewajiban orangtua adalah mendidik mereka mampu bertanggung jawab & mengendalikan diri.

  3. Kita perlu memperhatikan pengendalian diri mereka dalam hal : Pertama, dalam hal pola makan. Kedua, dalam hal kebersihan. Ketiga, dalam hal kontrol emosi. Keempat, dalam hal perkataan. Kelima, dalam hal penggunaan waktu. Keenam, dalam hal penggunaan uang. Ketujuh, untuk anak yang memasuki masa pubertas atau remaja, mereka perlu diajarkan pengendalian diri dalam hal seksual.

  4. Ada dua kunci terpenting dalam hal membantu anak mengendalikan diri. Pertama, kita harus sabar mengikuti tahap-tahap usia dan kemampuan mereka. Setiap anak berbeda dalam hal kecepatan menyesuaikan diri dan kecepatan belajar menguasai diri. Dengan kata lain, orangtua jangan memasang target terlalu tinggi sehingga anak tidak bisa mencapainya. Target yang terlalu tinggi juga akan membuat anak frustrasi sehingga malas mengembangkan diri. Kedua, kita memberi contoh dan arah dari tingkah laku yang diharapkan. Sering kali kita lebih mudah melarang ini dan itu, sehingga membuat anak tidak belajar untuk melakukan sesuatu secara terkendali. Padahal ada banyak hal yang perlu dilakukan anak, hanya saja perlu ada pembatasan.

  5. Pengendalian diri itu memiliki beberapa ciri. Pertama, kemampuan untuk menunda pemenuhan keinginan atau dorongan. Kedua, kemampuan mengalihkan dorongan ke arah yang lebih berguna, meskipun harus mengorbankan kenikmatan yang diinginkan. Ketiga, kemampuan mengenali batas. Mungkin ini yang paling sulit, yaitu bagaimana kita tetap melakukan sesuatu, tetapi dalam batas-batas tertentu. Tetap menggunakan uang, tetapi seturut keperluan yang penting dan tidak melebihi batas kemampuan..

  6. Ada orang mengatakan bahwa anak hiperaktif sulit mengendalikan dorongan-dorongannya, dan itu terjadi antara lain karena faktor bawaan. Memang ada anak yang lebih sulit diajar untuk mengendalikan diri karena faktor bawaan. Namun tidak berarti bahwa anak-anak demikian tidak perlu diajar dan belajar mengendalikan diri. Jadi sebetulnya banyak cara yang bisa kita pakai agar anak-anak hiperaktif lebih bisa mengendalikan dirinya. Untuk anak-anak demikian, kita memang harus selalu mengingatkan diri bahwa tuntutan kita tidaklah boleh terlalu tinggi. Kita perlu menerima kekurangan mereka, sambil tetap berusaha membantu agar mereka mencapai batas kemampuan untuk belajar mengendalikan diri.

  7. Ada orangtua yang mengajar anaknya sejak kecil untuk melakukan segala sesuatu secara disiplin. Namun setelah anak besar, mereka tetap memerlukan banyak pengawasan orangtua. Kalau tidak, mereka akan berbuat semau-maunya. Masalahnya kendali yang dipegang orangtua harus dialihkan secara bertahap kepada anak-anak, sehingga mereka terlatih untuk mengendalikan diri, bukan dikendalikan orangtua terus-menerus.

Firman Tuhan diambil dari IKorintus 9:24-27.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membantu Anak Mengendalikan Diri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, pada kesempatan yang sangat berharga ini kita mengangkat suatu tema tentang "Membantu Anak Mengendalikan Diri". Sepanjang yang saya ketahui, biasanya ini ditujukan kepada orang yang dewasa, minimal pemuda, yang dikatakan tidak bisa mengendalikan diri dan sebagainya. Ini sesuatu yang menarik bahwa perbincangan ini tentang anak yang mengendalikan diri, apakah memang seorang anak bisa dibantu untuk mengendalikan dirinya, begitu Pak?

HE : Ya, seharusnya memang demikian meskipun kita tahu bahwa anak-anak umumnya belum bisa mengendalikan diri sebagaimana orang dewasa.

GS : Biasanya kita melihat kalau anak itu mau menangis ya menangis, kalau dia mau teriak-teriak ya teriak-teriak, apakah itu suatu manifestasi tentang dia tidak bisa mengendalikan dirinya?

HE : Tergantung usianya kalau kita lihat memang perkembangan usianya sesuai maka kita tidak bisa katakan bahwa dia tidak bisa mengendalikan diri, meskipun sebetulnya kalau diukur dari ukuran orng dewasa ia tergolong tidak bisa mengendalikan diri.

Nah, di dalam hal ini tahapan usia memang penting untuk diperhitungkan, sehingga kita bisa melihat apakah ini wajar, apakah tingkah laku ini wajar atau tidak ataukah memang dia harus dibantu untuk mengendalikan dirinya.
WL : Ya menarik sekali penjelasan dari Pak Heman. Pak, apakah itu berarti kita tidak perlu kuatir karena memang sesuai usia mereka, mereka belum bisa mengendalikan diri.

HE : Ya, memang anak belum bisa mengendalikan diri kalau usia mereka masih sangat muda tapi bukan berarti kita harus membiarkan mereka begitu saja atau kita tidak perlu mengawasi mereka. Dimanaperlu kita tetap perlu membantu atau pun melatih mereka, jadi seumpamanya seperti mereka berjalan, berlari atau berenang dan sebagainya untuk keterampilan-keterampilan itu anak memerlukan latihan supaya dia bisa mengendalikan tubuhnya dan dengan latihan-latihan itu dia semakin terampil.

Demikian juga dengan pengendalian dalam hal-hal yang lain.
GS : Biasanya orang menganggap bahwa dengan bertambahnya usia seseorang dia akan mampu dengan sendirinya mengendalikan dirinya, begitu Pak Heman.

HE : Pandangan demikian memang ada benarnya, jadi seperti tadi kalau dia berjalan, berlari, berenang dia memerlukan perkembangan otot-otot yang semakin matang, semakin kuat tetapi tidak seluruhya benar juga karena selain pengendalian diri itu harus datangnya tahap demi tahap sejalan dengan usia, kita juga perlu melatih mereka karena kalau tanpa latihan maka barangkali mereka tidak bisa mengendalikan tingkah laku mereka sebagaimana kalau mereka dilatih untuk itu.

GS : Kalau begitu dalam hal apa saja kita perlu melatih atau mempersiapkan anak untuk bisa mengendalikan dirinya?

HE : Ada banyak hal yang kita bisa bantu anak supaya bisa mengendalikan diri. Yang pertama misalnya dalam hal pola makan, jadi ada anak yang makannya hanya mau itu saja, kalau tidak makan es krm kalau tidak makan yang enak-enak, ayam goreng dan sebagainya maka dia tidak mau makan atau ada anak yang kalau makan ia makan berlebihan atau ada yang tidak mau makan sama sekali, susah sekali makan.

Jadi ini perlu dilatih. Yang kedua misalnya dalam hal kebersihan. Ada anak-anak yang kalau sudah misalnya buang air dan sebagainya tidak mau membersihkan ini perlu dilatih juga supaya mereka bisa mengendalikan dirinya. Yang ketiga misalnya dalam hal kontrol emosi jadi seperti Bapak katakan tadi, kalau marah anak kadang-kadang berteriak-teriak dan sebagainya. Nah kalau ini dibiarkan, lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan dan susah untuk dikontrol kembali. Yang keempat misalnya dalam hal perkataan jadi ada anak-anak yang tidak bisa menahan diri dengan mengata-ngatai orang dengan kata-kata yang kasar, kotor dan sebagainya.
GS : Itu 'kan biasanya mereka mencontoh, misalnya dalam hal pola makan, kalau orangtuanya hanya makan menu-menu tertentu, dia akan mengikuti itu biasanya.

HE : Ya ini baik sekali, Pak Gunawan. Memang kadang-kadang anak meniru tetapi juga tidak sepenuhnya demikian. Jadi memang dalam cara kita untuk mengendalikan diri mereka, salah satunya adalah mmberikan contoh.

Dalam hal ini seperti yang dicontohkan oleh Pak Gunawan dalam hal makan kita juga perlu mengontrol diri.
GS : Tapi ada anak yang oleh pembantunya kalau makan mesti di jalan, itu saya sering kali melihat. Jadi terus diajak keliling-keliling jalan-jalan sambil disuapi, kalau tidak maka dia tidak mau. Apakah itu termasuk harus dilatihkan supaya dia bisa makan di meja makan atau di rumah paling tidak, begitu Pak.

HE : Sebaiknya begitu, itu kalau kita menginginkan anak bisa makan dengan tertib di rumah, di meja makan, supaya terjadi sosialisasi begitu ya, supaya dia bisa menyesuaikan diri dengan masyarakt.

Untuk membantu supaya dia mengendalikan diri, memang harus dilakukan tahap demi tahap supaya dia bisa diarahkan dari cara yang kurang baik seperti itu.
WL : Pak, kalau kita perhatikan mengapa banyak anak yang selain tadi pola makannya Pak Gunawan bahas seperti itu, tapi juga makannya berantakan, tercecer ke mana-mana, susunya ada di mana-mana, tapi ada anak-anak lain yang kelihatannya cukup bersih dengan dirinya rapi, tanpa kita harus memarah-marahinya. Apa yang menyebabkan ada perbedaan seperti itu, ya?

HE : Ini pertanyaan yang baik sekali. Jadi memang ada anak-anak yang secara bawaan lebih bisa mengendalikan diri dalam hal-hal tertentu. Kita bisa katakan, ada anak yang sulit, ada anak yang seang-sedang saja, gampang-gampang sulit atau sulit-sulit gampang dan yang ketiga ada anak yang gampang.

Jadi dengan latihan sedikit saja mereka bisa mengendalikan diri. Memang ada anak yang kita perlu lebih bersusah payah membantu mereka, ada juga yang lebih mudah.
GS : Pak Heman, selain kita bisa melatih dalam pola makan, kebersihan, lalu kontrol emosi dan perkataan, apakah ada yang lain, Pak Heman?

HE : Masih ada beberapa hal yang lain lagi yaitu misalnya kita juga perlu membantu mereka mengendalikan diri dalam hal penggunaan waktu karena kadang-kadang misalnya mereka main terus dan tidakmau melakukan kegiatan yang lain atau tidur terus kalau tidak dibangunkan mereka tidak bangun dan sebagainya.

Kemudian selanjutnya dalam hal penggunaan uang terutama untuk anak-anak yang sudah sekolah dan kita berikan uang saku, mereka perlu mengatur penggunaan uang itu. Juga untuk anak-anak yang sudah lebih besar masuk dalam masa pubertas atau remaja, mereka perlu diajarkan pengendaian diri dalam hal seksual juga.
WL: Pak Heman, tadi menarik sekali dijelaskan tentang pengendalian diri dalam hal waktu, penggunaan waktu. Kalau misalnya ada anak yang sangat energik, Pak Heman, agak sulit disuruh istirahat, inginnya main melakukan aktifitas dan sebagainya begitu. Itu ada pengaruhnyakah dari keunikan masing-masing anak pada waktu kita mengajarkan mengendalikan diri?

HE : Ya ketika kita membantu mereka mengendalikan diri, kita memang juga harus melihat keunikan mereka masing-masing. Jadi kita tidak bisa memberikan target yang terlalu tinggi kepada mereka, krena dengan mereka diberi target yang terlalu tinggi, mereka tidak bisa mencapai lalu mereka juga frustrasi, membuat mereka malas untuk melatih diri.

Jadi ini bagian penting, karena kadang-kadang seorang anak bisa berpikir, "Ah saya tidak mungkin bisa mengendalikan diri saya" dan akhirnya semau-maunya.
GS : Bagaimana peran orangtua dalam hal membantu anak remajanya dalam pengendalian diri bidang seksual itu, Pak?

HE : Tentang bidang seksual, kalau anak sudah mencapai masa pubertas orangtua perlu sedikit banyak memberitahukan dan memberikan mereka pendidikan seks jadi mereka tahu apa yang mereka akan alai dan apa yang akan mereka hadapi.

Rangsangan atau godaan seksual apa yang akan mereka temui dan setelah itu mereka perlu dipersiapkan untuk masa pacaran. Jadi orangtua perlu banyak diskusi dengan mereka, nah tentu hal semacam ini perlu persiapan-persiapan sebelumnya di dalam kontrol pengendalian diri yang lain seperti yang disebutkan tadi antara lain juga dalam hal penggunaan waktu. Misalnya mereka berpacaran dan mereka sudah dapat mengendalikan emosinya, juga penggunaan waktunya, mereka akan lebih mudah dilatih untuk menghadapi hal-hal seksual.
WL : Pak Heman, ternyata banyak sekali hal-hal yang perlu kita perhatikan dalam mendidik anak terutama bidang mengendalikan diri anak. Kira-kira Pak Heman bisa memberikan panduan atau prinsip-prinsip apa yang perlu kita mengerti dalam hal melatih mereka ini, Pak.

HE : Saya kira ada dua kunci terpenting ketika kita membantu anak mengendalikan diri yaitu yang pertama kita harus sabar untuk mengikuti tahap-tahap usia dan kemampuan mereka, jadi seperti tadisudah dijelaskan bahwa setiap anak berbeda di dalam hal kecepatan menyesuaikan diri, kecepatan belajar menguasai diri.

Kita tidak memberikan target yang terlalu tinggi sehingga anak itu frustrasi. Kemudian yang kedua, kita memberikan contoh dan arah dari tingkah laku yang diharapkan. Sering kali masalahnya adalah begini, kita lebih mudah melarang anak untuk tidak melakukan ini, tidak melakukan itu, sehingga anak tidak belajar untuk melakukan sesuatu secara terkendali, sebagai contohnya misalnya kita tidak membolehkan anak itu main, main di luar rumah, main di dalam rumah, anak itu harus belajar terus misalnya. Ini sebetulnya kurang baik untuk pengendalian diri karena bagi seorang anak mereka juga perlu bermain untuk berkembang lebih sehat. Jadi masalahnya di sini adalah bagaimana agar kita memberikan kesempatan kepada mereka untuk bermain. Dalam hal uang, kita memberikan uang kepada mereka untuk belajar menggunakan uang. Yang penting adalah kita memberikan batas dan juga memberikan keseimbangan kepada mereka, mana waktu untuk belajar, mana untuk istirahat, bermain dan juga uang seberapa ia boleh pakai untuk apa dan sebagainya.
GS : Menjadi kesulitan bagi kita orangtua, Pak Heman, karena batasan itu sulit untuk kita tetapkan secara tegas. Pada masing-masing keluarga itu berbeda-beda, lalu usia tadi Pak Heman juga katakan, berbeda-beda lagi. Untuk mengubah-ubah ini, batasan ini supaya jelas bisa diikuti anak, tidak terlampau tinggi tetapi juga tidak terlalu mudah untuk dilakukan sehingga memotivasi mereka untuk memenuhi ini. Nah orang cenderung membiarkan atau cenderung bersikap ekstrim begitu ketatnya sehingga kelihatan aneh, buat yang dilatih juga terlalu berat dan orangtuanya juga marah-marah terus karena anak tidak bisa mencapai tujuan itu, Pak Heman. Nah itu bagaimana?

HE : Ya betul sekali. Kalau kita terlalu kaku, terlalu ketat di dalam melarang anak ini dan itu kita memang akan menjadikan anak juga terlalu kaku atau malah sebaliknya dia tidak bisa mengendalkan diri dengan baik ketika dia diberi kebebasan.

Betul ada kesulitan bagaimana menetapkan batas-batas seperti ini. Kita hanya bisa memberikan prinsipnya, tapi kita memang tidak bisa memberikan pastinya itu seperti apa. Sebagai contoh masalah penggunaan uang, kalau keluarga yang cukup mampu tentu akan bisa memberikan kebebasan dan kelonggaran yang lebih banyak bagi anak tapi saya juga mengetahui ada keluarga-keluarga mampu yang karena ingin mengendalikan anaknya dan membantu anaknya mengendalikan diri, dia memberikan jatah tertentu yang secukupnya saja supaya anak bisa hidup dengan itu. Jadi misalnya anaknya masih perlu naik angkot meskipun dia bisa punya supir untuk antar jemput dan sebaliknya untuk melatih anaknya itu. Jadi memang tergantung masing-masing keluarga dan prinsip mendidik anak dari setiap keluarga, tapi prinsipnya di sini kalau anak sudah bisa mengatur dirinya sendiri sampai pada tahapan tertentu kita perlu memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada mereka. Sebagai contoh misalnya kalau anak diberikan uang Rp. 5.000,- selama seminggu dan dia bisa mempertanggungjawabkan penggunaannya dan kita tahu dia cukup dengan uang Rp. 5.000,- itu, maka kita bisa memberikan uang lebih dari itu dan kemudian meminta dia untuk menabung sisanya. Nah kalau kita lihat bahwa ternyata dia tidak bisa menabung, kita perlu membantu dia setengah memaksa dia untuk menyisakan uang sejumlah tertentu sampai kalau dia sudah bisa, diberikan kelonggaran yang lebih besar lagi dan seterusnya.
WL : Pak Heman, kalau dari penjelasan-penjelasan Pak Heman bila saya tidak salah tangkap, jadi yang mau dilatih adalah kemampuan anak mengendalikan diri dari dalam diri anak. Kalau pun tidak ada orangtua, anak ini tetap bisa mengendalikan. Tapi apakah faktor-faktor luar penting juga atau Pak Heman bisa memberikan beberapa ciri dari orang yang bisa mengendalikan diri.

HE : Kalau tentang pengendalian diri ini kita bisa kenali dari beberapa ciri sehingga kita bisa bedakan itu misalnya orang itu begitu kaku atau begitu takut dan misalnya dia kehilangan kontroldirinya dia bisa lebih kacau lagi.

Nah orang yang bisa mengendalikan diri, ditandai oleh dia itu mampu menunda pemenuhan keinginan atau dorongan dia. Misalnya harus menunda makan yang enak dan sebagainya, dia bisa menunda. Ini berarti dia bisa mengendalikan diri. Yang kedua, dia mampu mengalihkan dorongan ke arah yang lebih berguna, misalnya kalau dia masih bisa bermain tetapi lebih penting untuk saat ini dia memprioritaskan hal lain, misalnya belajar dan sebagainya, maka dia harus bisa mengorbankan kenikmatan yang dia inginkan dari bermain itu. Yang ketiga cirinya adalah kemampuan untuk mengenali batas-batas, ini yang paling sulit barangkali yaitu bagaimana kita tetap bisa melakukan sesuatu tapi kita tahu batas, tetap menggunakan uang tapi sesuai dengan keperluan kita yang penting dan tidak melebihi batas kemampuan. Tetap bisa menyatakan kemarahan tapi dengan kata-kata yang lebih baik dan lebih bisa diterima orang lain. Tetap makan tetapi tidak sampai merusak kesehatan, ini ciri-ciri orang yang mengetahui batas dan juga bisa mengendalikan diri.
GS : Pak Heman, ada beberapa anak yang memang dari lahirnya mungkin diberi energi yang agak lebih sehingga yang kelihatan adalah dia sangat aktif sekali, larinya dan sebagainya, banyak sekali kegiatan yang dia lakukan nah orangtua kesulitan untuk membantu mereka menerapkan apa yang kita bicarakan yaitu mengendalikan diri. Apakah memang perlu terhadap anak-anak yang seperti ini juga diberlakukan pengendalian diri?

HE : Tetap perlu agar mereka sesuai dengan batas kemampuan mereka tetap bisa berlatih untuk mengendalikan diri, karena kalau tidak maka ini akan menyulitkan mereka di masa-masa mereka dewasa, ktika mereka harus bekerja dan sebagainya.

Jadi memang ada kesulitan tetapi bukan berarti kita lalu menyerah dan lepas tangan. Yang sulit dalam hal ini biasanya orangtua tidak sabar, frustrasi lalu orangtua sendiri tidak bisa mengendalikan dirinya waktu menghukum, memberikan sanksi dan sebagainya. Yang kita perlu hati-hati adalah kita juga perlu menerima kekurangan mereka, jadi kita tetap berusaha membantu mereka tetapi kita juga mengetahui bahwa mereka tidak seperti anak-anak yang lain yang lebih mudah diatur dan mereka tetap perlu diberi cara-cara untuk mengendalikan diri sesuai dengan kemampuan mereka, jadi tidak memasang target yang terlalu tinggi.
GS : Bagaimana kalau anak itu sudah dilatih, sudah dicoba oleh orangtua untuk dilatih tapi tetap nanti kalau sudah dewasa karena pengaruh lingkungan dan sebagainya, lalu tak terkendali lagi sampai orangtuanya kewalahan.

HE : Nah ini tadi karena ada masalah yaitu masalahnya adalah kalau anak terus-menerus diawasi, dibantu terus-menerus untuk mengendalikan diri dan kendali itu selalu dipegang oleh orangtua, akibtnya lalu anak-anak jadi bergantung pada pengendalian dari luar diri mereka.

Jadi caranya yang lebih baik adalah anak-anak ini ketika sudah berhasil melatih diri, menguasai diri sampai tahap tertentu mereka harus dilepas pelan-pelan. Dengan melepas mereka perlahan-lahan nantinya kita harapkan mereka bisa sepenuhnya mandiri, sepenuhnya mengendalikan diri sehingga kita tidak perlu mengawasi mereka lagi atau paling tidak sekali-sekali saja memantau mereka. Kalau tahapan ini bisa dijalankan, maka mereka akan lebih bisa mengontrol dirinya sekali pun tanpa pengawasan. Jadi itu tumbuh dari dalam.
GS : Mungkin yang paling sulit itu pada masa anak-anak ini menginjak masa remaja, Pak. Itu terasa lebih sulit membantu mereka dalam hal pengendalian diri dibandingkan ketika mereka masih kanak-kanak dimana kita mengasuh hampir sepenuhnya.

HE : Ya betul karena itu kita harus betul-betul menyiapkan mereka ketika mereka anak-anak, lebih mudah dilatih dan juga mereka lebih taat. Pada masa remaja itu saatnya kita untuk makin banyak mmberi kebebasan kepada mereka, sekali-sekali kita tegur dan bila dasar pengendalian diri itu sudah tertanam sejak anak-anak, maka biasanya lebih mudah untuk mengatur mereka pada waktu remaja.

WL : Ada beberapa pasang orangtua atau suami istri yang nampaknya kalau dari luar kelihatan sopan, cukup OK begitu, tapi kadang-kadang anaknya bila minta sesuatu tidak diberi itu bisa menangis meronta-ronta atau berguling-guling di depan orang-orang atau ketika ada acara tertentu. Nah itu apakah karena di rumah tidak dilatih masalah pengendalian diri atau ada faktor lain, Pak Heman?

HE : Kemungkinan besar anak-anak ini tidak dilatih untuk mengendalikan diri. Dalam hal ini kemungkinan besar yang terjadi ketika anak berguling-guling lalu orangtua menuruti apa yang diinginkanoleh anaknya.

Jadi dalam hal ini anak tidak belajar lagi untuk misalnya menunda yang seperti tadi kita bicarakan. Kalau dia mau dia berguling-guling dan dia segera mendapatkan yang dia inginkan, tapi kalau dia bisa dilatih untuk menunda kemudian dia dilatih tidak boleh memperlihatkan kemarahan dalam bentuk yang demikian maka saya percaya hal ini tidak akan terjadi.
GS : Pak Heman, sebelum kita mengakhiri perbincangan ini, apakah ada ayat di dalam Alkitab yang mendukung perbincangan ini, Pak?

HE : Ada, saya ingin bacakan untuk kita semua dari 1Korintus 9:24-27, ini sebetulnya adalah tulisan dari Rasul Paulus waktu dia menceritakan bagaimana dia berusaha menguasai diriny, mengendalikan dirinya ketika dia memberitakan Injil, tetapi bukan dalam pemberitaan Injil saja ini diperlukan namun dalam segenap aspek kehidupan kita sebagai orang percaya.

"Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak".

GS : Baik Pak Heman. Terima kasih untuk perbincangan pada kesempatan ini, juga Ibu Wulan terima kasih. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Kami baru saja berbincang-bincang dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga) dan kami mengangkat suatu topik yang berjudul "Membantu Anak Mengendalikan Diri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



36. Masalah Anak Belajar Disekolah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T209A (File MP3 T209A)


Abstrak:

Tatkala anak mulai tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah pada umumnya kita beranggapan bahwa anak itu malas. Sesungguhnya ada banyak alasan mengapa anak mengalami kesukaran belajar; kemalasan hanyalah salah satunya. Ada 7 alasan mengapa anak mengalami kesukaran belajar yang dibahas dalam bagian ini.


Ringkasan:

T 209 A "Masalah Anak Belajar di Sekolah" oleh Pdt. Paul Gunadi

Tatkala anak mulai tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah pada umumnya kita beranggapan bahwa anak itu malas belajar. Itu sebabnya biasanya kita bereaksi dengan menegurnya dan pada akhirnya meminta bantuan guru les. Sesungguhnya ada banyak alasan mengapa anak mengalami kesukaran belajar; kemalasan hanyalah salah satunya.

  1. Anak tidak bisa mengikuti pelajaran karena kecerdasannya tidak memadai. Orangtua mesti menilai kemampuan anak dengan tepat dan menyekolahkannya di sekolah yang sesuai dengan kesanggupannya. Jika kita melihat bahwa anak telah berusaha dan dengan tekun belajar namun hasilnya tetap tidak memadai, itu berarti tuntutan sekolah melampaui kesanggupannya. Bila kita memaksakannya anak akan tertekan dan sebagai akibatnya, aspek lain dari perkembangan dirinya akan terganggu.
  2. Anak tidak bisa mengikuti pelajaran karena pelajaran disampaikan dengan cara yang tidak sesuai dengan cara belajarnya. Anak belajar dengan cara yang berbeda: ada yang cenderung berpikir abstrak namun ada yang berpikir konkret; ada yang belajar berurut dan ada yang belajar secara acak. Seorang guru tidak selalu dapat menyampaikan dan menjelaskan materi pelajaran yang cocok untuk setiap anak didik. Itu sebabnya penting bagi kita orangtua untuk mengenali cara belajar anak dan pola pikirnya. Bila setelah menjelaskannya dengan cara berbeda anak mengerti, itu berarti pola pembelajaran di sekolah tidak pas untuknya dan kitalah yang harus berperan membantunya di rumah.
  3. Anak mengalami kesukaran karena minat belajarnya terbatas pada satu atau pelajaran saja. Jika dirata-ratakan anak mesti menguasai sekitar 10 mata pelajaran. Masalahnya adalah sepuluh mata pelajaran ini mewakili sepuluh bidang keahlian dan sedikit manusia yang dapat menguasai sepuluh bidang keahlian. Makin merata keahlian seseorang, makin dapat ia mengikuti pelajaran-pelajaran itu semua. Namun bila kemampuannya terfokus pada satu atau dua bidang saja, sudah tentu ia akan mengalami masalah dalam bidang lainnya. Tugas orangtua adalah menolong anak agar dapat melewati pelajaran-pelajaran lainnya. Ia tidak usah mendapat nilai 10, nilai 6 pun memadai sebab pada akhirnya ia akan mengembangkan bidang keahliannya di tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
  4. Anak mengalami kesulitan belajar karena alasan pribadi yang berkaitan dengan pengajar. Misalnya ada anak yang tidak menyukai pelajaran tertentu karena ia tidak menyukai kepribadian pengajarnya. Bisa pula ia tidak menyukai pengajar karena pernah diejek atau dipermalukan. Sebagai akibatnya ia tidak memberi perhatian apalagi menumbuhkan minat pada bidang tersebut. Nilainya pun akhirnya merosot. Sebagai orang tua kita harus membantu anak untuk memisahkan pengajar dan ajarannya; melalui contoh konkret kita menjelaskan materi pelajarannya dan menumbuhkan minatnya sebab sayang sekali kalau gara-gara faktor pribadi, ia kehilangan kesempatan mengembangkan minat pada bidang yang dikuasainya itu.
  5. Anak mengalami kesukaran belajar akibat perlakuan teman yang tidak bersahabat. Akhirnya ia tidak suka ke sekolah dan sukar berkonsentrasi belajar sebab ia kerap merasa takut ke sekolah. Membayangkan sekolah saja sudah membuatnya tertekan, apalagi pergi ke sekolah. Kalau ini yang terjadi, maka kita perlu melindunginya. Kita dapat menawarkan bantuan kepadanya namun bila ia menolak, berilah kesempatan kepadanya untuk menyelesaikan masalah itu dengan temannya. Sudah tentu kita harus menawarkan masukan tentang apa yang dapat dilakukannya untuk mengatasi masalah dengan temannya.
  6. Anak mengalami kesukaran belajar akibat masalah rumah tangga. Problem orangtua pada akhirnya menjadi problem anak pula sebab anak akan terpengaruh olehnya. Biasanya anak menjadi tegang dan sulit berkonsentrasi akibat pertengkaran yang didengarnya semalam. Kadang anak khawatir bahwa orangtua akan bertengkar lagi tatkala ia berada di sekolah dan mungkin salah satu akan mengalami luka. Jika ini yang terjadi, orangtua mesti mencari pertolongan dan menyelesaikan masalahnya.
  7. Anak mengalami kesukaran belajar sebab baginya bermain jauh lebih menyenangkan daripada belajar. Ketersediaan mainan dapat menjadi cobaan yang terlalu sulit untuk ditampik anak; akhirnya ia asyik bermain dan lupa waktu dan lupa tanggung jawab. Orangtua mesti membatasi waktu bermain anak namun tidak seharusnya orangtua melarang anak bermain sama sekali. Anak perlu bermain setiap hari untuk menyeimbangkan hidupnya kembali. Dengan pengawasan, anak seharusnya diizinkan waktu bermain agar ia dapat menyegarkan jiwanya kembali.ol>

    Firman Tuhan: Didiklah anakmu maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu dan mendatangkan sukacita kepadamu. (Amsal 29:17)


Transkrip:

T 209 A

Lengkap

"Masalah Anak Belajar di Sekolah" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Masalah Anak Belajar Di Sekolah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, anak memang perlu belajar di sekolah, tetapi sering kali itu juga menimbulkan tantangan dan menimbulkan masalah-masalah dalam diri anak dan juga dalam diri orangtua itu. Masalah-masalah apa yang biasanya muncul?

PG : Ada banyak masalah yang dihadapi oleh anak-anak kita jadi kalau kita sekarang ini mengadakan survey di kalangan orangtua dan bertanya apa itu masalah yang dihadapi dalam keluargamu, akan bnyak yang menjawab masalah anak-anak belajar di sekolah.

Ada beberapa yang ingin kita bahas pada saat ini, yang pertama adalah adakalanya anak-anak tidak bisa mengikuti pelajaran karena kecerdasannya tidak memadai. Orangtua mesti menilai kemampuan anak dengan tepat dan menyekolahkannya di sekolah yang sesuai dengan kesanggupannya. Jika kita melihat anak sudah berusaha dan dengan tekun belajar namun hasilnya tetap tidak memadai, itu berarti tuntutan sekolah melampaui kesanggupannya. Bila kita memaksakannya, dikhawatirkan anak akan tertekan dan sebagai akibatnya aspek lain dari perkembangan dirinya akan terganggu. Jadi sekali lagi anak belum tentu yang mengalami masalah belajar di sekolah adalah anak yang malas, bisa jadi inilah salah satu penyebabnya.
GS : Kadang-kadang dengan gampangnya orangtua itu menganggap anaknya malas, anaknya bodoh, kemudian dicarikan guru les; menambah jam pelajaran. Nah ini menjadi masalah baru bagi anak karena jam bermainnya menjadi berkurang Pak Paul?

PG : Betul, dan les itu saya kira suatu kepanjangan sekolah. Jadi di sekolah sudah tujuh jam belajar kemudian pulang ke rumah dari jam 04.00, jam 05.00 terus sampai jam 09.00 malam, jadi bolehdikatakan anak ini sejak melek mata sampai tutup mata yang dia lakukan adalah belajar.

Itu akhirnya menjadi beban yang terlalu berat untuk ditanggungnya, jadi langkah pertama periksalah, apakah anak kita memang memiliki kecerdasan yang memadai untuk disekolahkan di sekolah itu. Jangan kita ini terlalu beranggapan anak kita pasti bisa kalau saja dia rajin; belum tentu, karena tidak semua sekolah sama. Ada sekolah yang sangat menekankan prestasi akademik dan akan memberikan tuntutan yang sangat tinggi, jadi kita mesti menyadari kemampuan anak kita.
GS : Biasanya justru orangtua terobsesi untuk anak-anaknya sekolah di sekolah favorit yang notabene justru sangat menekankan prestasi akademik.

PG : Sudah tentu saya tidak mengecilkan sumbangsih sekolah yang baik, pasti akan banyak sumbangsih dalam kehidupan seorang anak, tapi akan jauh lebih baik jika anak bersekolah di mana dia bisa erprestasi sehingga dia bisa bangga dengan dirinya.

Kalau disekolahkan di sekolah yang terlalu susah meskipun dia bisa melewatinya, tapi kalau nilainya terus di bawah dan anjlok dan mungkin dia menjadi anak yang paling lemah di kelasnya itu justru akan berdampak buruk pada penghargaan dirinya.
GS : Mungkin ada yang lain, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah kadangkala anak tidak bisa mengikuti pelajaran karena pelajaran disampaikan dengan cara yang tidak sesuai dengan cara belajarnya. Anak belajar dengan cara yang berbeda, da anak yang berpikir abstrak namun ada anak yang berpikir konkrit.

Sudah tentu yang harus kita lakukan adalah menyesuaikannya; kalau anak itu belajar dengan abstrak berarti apa yang kita sampaikan lewat perkataan bisa dia bayangkan dan dia cerna. Tapi kalau berpikirnya konkrit, sang guru menjelaskan lewat perkataan si anak tidak bisa membayangkan, si anak tidak bisa menerbitkan konsep itu di dalam pikirannya, akibatnya dia tidak bisa mengikutinya. Berikutnya ada anak yang belajar berurut, mesti dijelaskan satu persatu baru dia bisa mengikuti. Tapi ada anak yang belajarnya acak, justru kalau dijelaskan satu persatu materi yang sama diajarkan kemarin, diajarkan hari ini, diajarkan besok ditambah sedikit demi sedikit wah dia bosan sekali karena bukan begitu cara belajarnya. Akibatnya yang terjadi adalah dia tidak belajar dengan efektif. Tapi saya memahami guru tidak bisa menyampaikan dan menjelaskan materi pelajaran yang cocok untuk setiap anak; itu sebabnya penting bagi kita orangtua mengenali cara belajar anak dan pola pikirnya. Bila setelah menjelaskannya dengan cara berbeda dan anak mengerti, itu berarti pola pembelajaran di sekolah tidak pas untuknya dan kita yang harus berperan membantunya di rumah.
GS : Itu mungkin bedanya antara pengajar dan pendidik; seorang pendidik itu lebih tahu dan menyesuaikan dirinya terhada