DVD Konseling Kristen TELAGA

TELAGA -- Pendidikan


TELAGA -- Pendidikan

Dalam kategori pendidikan, Anda dapat mendengarkan pembahasan tentang pendidikan yang diberikan orang tua dalam keluarga, baik itu pendidikan yang terkait dengan pengetahuan moral, iman, maupun kognitif. Anda dapat menyimaknya dalam 72 artikel yang berurutan. (Total Durasi: 36 Jam)<<Lihat Direktori>>

No.JudulFile MP3
1Perlunya Manfaat Anak BermainT006A
2Pendidikan Seks dalam KeluargaT012A
3Pendidikan Anak Usia 0-10 TahunT016B
4Mendisiplin AnakT020A
5Pola Pendidikan Anak dalam Keluarga KristenT026A
6Anak yang MembangkangT030A
7Anak BerfantasiT030B
8Mengarahkan Anak yang Terlalu BaikT034A
9Mendampingi dan Membimbing Anak PenurutT034B
10Bagaimana Menangani Perilaku Anak yang Mencuri 1T038A
11Bagaimana Menangani Perilaku Anak yang Mencuri 2T038B
12Bagaimana Menangani Anak Yang Egois 1T052A
13Bagaimana Menangani Anak Yang Egois 2T052B
14Menanamkan Rasa Tanggung Jawab Pada AnakT054A
15Proses Pertumbuhan Tanggung JawabT054B
16Anak dan UangT062A
17Anak dan Tanggung JawabT062B
18Nasihat Praktis untuk Mengasuh Anak Usia 0-9 Tahun 1T064A
19Nasihat Praktis untuk Mengasuh Anak Usia 0-9 Tahun 2T064B
20Bagaimana Menghadapi Anak yang CerdikT072A
21Mengajar Anak Menggunakan UangT072B
22Mengajar Anak Berkata TidakT078A
23Mendidik Anak yang LambanT078B
24Ayah dan ArahT118A
25Menghukum AnakT120A
26Mengoreksi Perilaku AnakT120B
27Ironi-Ironi Imam EliT123A
28Mengubah Kompetitif Menjadi Produktif 1T141A
29Mengubah Kompetitif Menjadi Produktif 2T141B
30Makna Kematian Buat AnakT150A
31Anak dan KetakutanT156A
32Anak yang Tidak Kenal TakutT156B
33Membentuk Kebiasaan AnakT160A
34Malas BelajarT160B
35Membantu Anak Mengendalikan DiriT164A
36Masalah Anak Belajar DisekolahT209A
37Anak Lari dari KenyataanT209B
38Tatkala Anak Sukar MengingatT213A
39Menangani Anak Sulit BelajarT213B
40Belajar Dari PengkotbahT238A
41Pelajaran Dari Daud 1T242A
42Pelajaran Dari Daud 2T242B
43Sewaktu Doa Tak Terjawab 1T243A
44Sewaktu Doa Tak Terjawab 2T243B
45Terapi BermainT245A
46Mengenal Anak Melalui KaryanyaT245B
47Belajar Kepemimpinan MusaT249A
48Membangun KerjasamaT249B
49Natal dan KeluargaT258A
50AborsiT258B
51Anak dan Kemajuan TeknologiT259A
52Membedakan DosaT259B
53Anak dan KemarahanT260A
54Diolok-olok TemanT260B
55Menatap Diri dan Menata DiriT271A
56Kejenuhan Ibu Rumah TanggaT287A
57Prioritas Hidup IT291A
58Prioritas Hidup IIT291B
59Mengasihi Anak dengan BenarT297A
60Mendisiplin Anak dengan BenarT297B
61Mengapa Anak Susah DiaturT304A
62Disiplin yang BerlebihanT304B
63Keagungan Sang PenciptaT319A
64Tujuan HidupT319B
65Berkomunikasi Lebih LembutT335A
66Mengendalikan EmosiT335B
67Autisme : Keunikan atau KelainanT340A
68Kurang Cerdas : Keunikan atau KelainanT340B
69Mengadakan PerubahanT364A
70Perubahan yang mendatangkan kebaikanT364B
71Mengawasi PerkataanT369A
72Racun dalam PerkataanT369B


1. Perlunya Manfaat Anak Bermain


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T006A (File MP3 T006A)


Abstrak:

Bermain adalah sesuatu yang berharga yang perlu dilakukan oleh anak-anak. Terutama bagi anak-anak yang masih dalam usia 6, 7 tahun. Hal ini penting untuk pertumbuhan fisik si anak.


Ringkasan:

Bermain adalah sesuatu yang sangat berharga bagi anak-anak. Manfaat bermain adalah sebagai berikut:

  1. Bermain Dapat melatih fungsi fisik anak, karena anak-anak perlu sekali belajar untuk menggerakkan dan belajar mengkoordinasi fungsi tubuhnya atau anggota tubuhnya.

  2. Bermain berpotensi menumbuhkan daya saing dan kemampuan bersaing secara sehat, dengan kata lain melalui permainan anak dilatih untuk berpikir menang namun dia melakukannya secara sehat. Jadi bukan saja dia mau menang tapi dia harus belajar menang dengan cara yang sehat.

  3. Bermain adalah hal yang penting untuk pengembangan daya kreatifitas anak.

  4. Sewaktu bermain sebetulnya anak belajar mengembangkan keterampilan bergaul atau keterampilan bersosialisasi. Waktu bermain anak-anak tidak bisa tidak dia harus belajar menempatkan dirinya pada diri temannya. Dia tidak bisa semaunya sendiri. Anak yang kurang bergaul dapat bertumbuh menjadi anak yang egosentris, yang memikirkan pandangannya sendiri dan kurang mampu untuk berempati atau menempatkan diri pada posisi orang lain. Melalui permainan sebetulnya anak-anak belajar memahami keinginan orang lain dan belajar juga menaati peraturan.

  5. Bermain menciptakan suatu keadaan di mana anak belajar menerima kekalahan tanpa merasa kalah atau tanpa merasa bersalah. Maksudnya permainan memungkinkan anak menerima kekalahan dalam suasana yang menyenangkan sebab dia senang bermain. Jadi kalah di sini tidak mengancam harga dirinya secara fatal.

  6. Bermain sangat penting untuk menghilangkan stres anak, dengan bermain berarti menguras tenaganya, melenturkan ketegangan-ketegangan pada syaraf-syarafnya, jadi anak-anak yang bermain dengan cukup akan melepaskan ketegangannya dengan sehat.

  7. Bermain sangat penting bagi pertumbuhan intelektual anak.

  8. Di dalam bermain anak juga belajar untuk memecahkan masalah seefisien dan secepat mungkin. Tantangan-tantangan dalam permainan secara tidak langsung merangsang anak untuk berpikir secara tepat dan cermat.

  9. Bermain juga melatih konsentrasi anak.

Lebih-lebih kalau orang tua bisa ikut bermain dengan anak, itu suatu hal yang sangat bagus. Dan ini adalah suatu hadiah bagi mereka pada masa kecil yang mereka bisa ingat pada masa dewasa mereka. Amsal 3:1, "Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku." Ini kerinduan semua orang tua agar anak tidak melupakan ajaran dan memelihara perintah orang tua. Namun sebagai orang tua juga perlu menciptakan suasana yang nyaman bagi anak untuk bertumbuh dan untuk menerima ajaran kita. Kalau jiwa anak sehat karena dia bisa bermain dengan bebas, dia pun lebih siap menerima ajaran kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen selama ± 30 menit akan menemani Anda dalam acara perbincangan seputar kehidupan keluarga. Telah hadir bersama saya Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi seorang pakar dalam bidang bimbingan yang kini juga aktif mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang. Dan juga telah hadir bersama kami Ibu Idajanti Raharjo, salah seorang pengurus di LBKK. Ikutilah perbincangan kami karena kami percaya acara Telaga ini pasti sangat menarik dan bermanfaat bagi kita semua.

Lengkap
GS : Pak Paul kali ini saya ingin mengajak Pak Paul dan Ibu Ida untuk berbincang-bincang masalah menghadapi anak atau anak-anak kita yang menurut saya itu sering kali kurang serius dalam menggunakan waktunya untuk belajar. Maunya bersantai-santai, bermain-main, membaca buku cerita, nonton TV, atau yang kami rasakan itu banyak waktu yang tidak digunakan untuk belajar. Nah sebenarnya apakah cukup beralasan Pak Paul kalau kami sebagai orang tua itu merasa cemas tatkala anak itu bermain-main?

(1) PG : Sebetulnya Pak Gunawan, bermain adalah sesuatu yang sangat berharga bagi anak-anak, ini yang sering kali kita kurang begitu sadari. Kita ini sekarang telah termakan oleh filsafat kalausaya boleh panggilnya filsafat bahwa hal yang paling penting dalam hidup adalah belajar, alias yang kita maksud dengan belajar adalah mempelajari bahan-bahan yang diberikan di sekolah.

Sebetulnya guna pertumbuhan anak yang diperlukan bukan saja belajar formal seperti yang diberikan di sekolah. Anak-anak itu sebetulnya perlu belajar banyak hal dan hal-hal ini tidak dapat diberikan melalui pelajaran formal di sekolah, justru mereka akan mendapatkannya melalui bermain. Nah saya bisa memikirkan sebetulnya ada banyak hal yang berfaedah dari bermain ini, misalkan yang pertama Pak Gunawan, anak-anak itu sebetulnya sewaktu bermain dia sedang melatih fungsi fisiknya karena mereka perlu sekali untuk belajar mengkoordinasi anggota dan gerakan tubuh mereka. Nah sewaktu bermain apalagi permainan yang melibatkan aktifitas fisik, mereka akan didorong untuk berlari, untuk misalnya melompat, untuk misalnya memegang, menggenggam dan sebagainya. Nah itu semuanya adalah hal-hal yang sangat penting bagi pertumbuhan fisik anak.
(2) IR : Tapi Pak Paul biasanya anak yang selalu bermain maunya bermain terus, apakah perlu kita itu mendisiplinkan supaya waktu bermain dan waktu belajar menjadi berimbang?

PG : Sudah tentu Ibu Ida, waktu bermain dan waktu belajar harus berimbang. Nah sebetulnya kalau kita membicarakan proporsinya mana yang harus lebih banyak waktu bermain atau waktu belajar, kitamelihatnya dari sudut perkembangan atau pertumbuhan usia anak.

Semakin anak makin besar atau makin tua otomatis memang waktu bermainnya akan lebih berkurang, tapi waktu anak masih kecil sebetulnya waktu main anak seyogyanya lebih banyak daripada waktu belajarnya. Jadi misalkan anak-anak yang masih kelas I SD, di mana mereka bisa pulang ke rumah misalkan jam 12.00 siang atau jam 11.00 siang. Nah mereka itu dari pagi sampai jam 12.00 sekitar 4, 5 jam sudah terlibat dalam belajar formal di sekolah. Tatkala mereka pulang sudah pasti mereka perlu waktu untuk makan siang dan istirahat sebentar. Namun sebetulnya kalau kita mulai menghitung dari jam 02.00 sampai malam dia tidur misalnya jam 09.00, ada 7 jam di situ, tidak seharusnya anak yang masih berumur sekitar 6, 7 tahun menghabiskan waktu misalkan 4 jam untuk belajar. Justru sesungguhnya yang penting bagi pertumbuhan anak, anak hanya perlu belajar misalkan selama paling lama 2 jam, selebihnya bisa dan seharusnya digunakan oleh anak untuk berlari, untuk bermain dengan teman atau adik kakaknya justru ini adalah hal yang berguna bagi dia. Misalkan kita kembali ke pertumbuhan fisiknya Ibu Ida, anak-anak ini perlu sekali kesempatan untuk bisa menggerakkan dan belajar mengkoordinasi fungsi tubuhnya atau anggota tubuhnya. Kalau dia tidak mendapatkan kesempatan itu dia akan bertumbuh dengan tubuh yang kurang siap, kurang kuat, karena tubuhnya itu tidak terlatih dengan baik. Nah kita tahu kita-kita ini yang sudah dewasa untuk mengencangkan otot kita, kita dianjurkan untuk berolah raga dengan teratur, untuk melatih jantung kita, kita juga dianjurkan untuk berlatih secara aerobic, ini semua adalah hal-hal yang kita sadari penting bagi kita sebagai orang dewasa. Namun adakalanya kita tidak menyadari bahwa hal ini juga sama pentingnya untuk anak dan bahkan dapat saya katakan lebih penting, karena inilah saat pertumbuhan dia. Jadi pertumbuhan fisik anak memerlukan sekali banyaknya gerak badan si anak, melalui permainanlah anak dapat melatih gerak badannya ini.
GS : Ya tapi masalahnya 'kan tidak semua rumah bisa memungkinkan anak misalnya berlari-lari, melakukan gerakan-gerakan yang aktif, dan kami pun sebagai orang tua juga merasa was-was kalau mereka harus bermain di jalan atau di taman, mengingat keamanan Pak Paul. Di samping itu juga mereka mempunyai banyak tugas dari sekolah, nah itu bagaimana mengatasinya Pak Paul, kami juga ingin anak kami itu kuat, lincah dan seterusnya.

PG : Memang saya bisa simpatik dengan keadaan anak-anak sekarang yang dibebani oleh tugas sekolah yang lumayan banyak. Menurut pandangan saya tidak seharusnya demikian, tidak seharusnya anak-ank terutama yang masih SD melakukan belajar tambahan di rumah selain di sekolah selama 3 atau 4 jam setiap harinya di luar jam belajar di sekolah.

Sebab itu akan menguras waktu di mana mereka bisa dan seharusnya mengembangkan keterampilan-keterampilan yang lain. Nah tadi yang Pak Gunawan katakan memang adalah situasi kehidupan kita sekarang ini yakni anak-anak kurang memiliki ruang gerak, itu betul sekali apalagi yang tinggal di perkotaan dan rumah yang memang misalnya tidak terlalu besar. Membiarkan mereka main di luar kita juga takut, inilah perbedaan zaman waktu kita masih kecil, kita bisa dengan bebas main di luar, di jalanan karena kendaraan bermotor juga belum terlalu banyak. Jadi memang anak-anak sekarang terpaksa lebih sering bermain di dalam rumah atau kalau misalnya memungkinkan kita ajak ke rumah temannya atau ke rumah saudara kita di mana dia bisa bermain di sana. Meskipun anak tidak mendapatkan ruang gerak yang banyak, permainan juga perlu untuk menumbuhkan kreatifitas anak Pak Gunawan. Jadi anak-anak itu meskipun tidak memiliki ruang gerak yang luas, namun kalau anak-anak didiamkan bermain dengan teman-teman sebayanya tanpa kita berikan petunjuk apapun anak-anak itu langsung bisa menciptakan permainan sendiri. Maka saya tekankan bahwa permainan itu adalah hal yang penting bagi pengembangan daya kreatifitas anak. Anak akan menciptakan permainan yang belum kita pikirkan sebelumnya dan mereka akan langsung bisa menikmati waktu itu dengan teman-temannya tanpa harus mengikuti aturan-aturan tertentu.
IR : Pak Paul selain untuk kreatifitas anak, kira-kira apalagi Pak Paul manfaat permainan itu bagi anak-anak?

PG : Yang lainnya adalah sewaktu anak-anak bermain sebetulnya dia belajar mengembangkan keterampilan bergaul atau yang kita sebut keterampilan bersosialisasi. Anak-anak ini waktu bermain tidak isa tidak dia harus belajar menempatkan dirinya pada diri temannya, dia tidak bisa semaunya.

Nah anak-anak yang kurang bergaul saya khawatir akan bertumbuh besar menjadi anak yang egosentris, yang memikirkan pandangannya sendiri, dan kurang mampu untuk berempati atau menempatkan diri pada posisi orang lain. Sebab segalanya akan dia pandang dan lihat dari kaca matanya saja. Nah melalui permainan sebetulnya anak-anak ini belajar untuk bergaul, salah satu unsur yang penting dalam pergaulan adalah anak-anak ini belajar memahami keinginan orang lain dan belajar juga menaati peraturan. Anak-anak lahir di dunia otomatis dengan kecenderungan untuk menuruti keinginannya saja atau hanya menaati aturan yang dia buat sendiri. Dia susah sekali untuk tunduk pada aturan main yang diciptakan oleh teman-temannya atau orang lain, maka permainan menjadi hal yang begitu penting dalam perkembangan keterampilan pergaulan anak. Sebagai contohnya misalkan dia bermain curang, dia akan mendapatkan hukuman, nah hukuman ini sebetulnya dalam permainan merupakan cikal bakal kesadarannya untuk hidup bermasyarakat. Dengan kata lain melalui hukuman ini anak disadarkan bahwa ia tidak selalu mendapatkan apa yang dia inginkan dan bahwa tindakannya itu mempengaruhi orang lain. Sehingga dia belajar tidak bersikap dan berbuat semaunya karena dia harus menempatkan diri pada orang lain. Kalau dia bermain semena-mena, sekehendak dirinya, tidak mau tunduk pada peraturan orang lain, akibatnya jelas; teman-teman akan menjauhi dia nah ini merupakan sanksi sosial yang dia mulai terima. Nah saya khawatir sekali Pak Gunawan dan Ibu Ida, pada dewasa ini salah satu hal yang akan terasa sekali kekurangannya dalam pertumbuhan anak adalah kesempatan anak mengembangkan keterampilan bergaulnya ini.
GS : Ya saya rasa itu juga didukung oleh mainan yang dijumpai oleh anak-anak tiap-tiap hari, itu sering kali memang sifatnya individualistis sekali, jadi seperti vidio game atau permainan-permainan lain lewat komputer dan sebagainya di mana anak itu secara sendiri itu bisa bermain itu Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, pengamatan yang baik sekali Pak Gunawan, memang kalau kita melihat pola permainan anak dari 10 tahun terakhir ini kita akan bisa menilai bahwa ciri utama permaina anak sekarang bukan permainan bersama tapi seperti tadi yang Pak Gunawan katakan permainan yang lebih bersifat individualistik.

Sudah tentu main vidio game itu kebanyakan sendiri meskipun berdua untuk dua pemain misalnya tetap sebetulnya dia bermain sendirian. Sebab masing-masing menggunakan jagoannya untuk melawan musuhnya dan sebagainya, jadi sebetulnya faktor kerja sama menjadi hal yang sangat miskin dalam tipe-tipe, atau hal-hal yang bisa mereka kerjakan bersama nah itu yang saya khawatirkan sekali Pak Gunawan.
GS : Juga di dalam komunikasi rasanya terputus di situ Pak, mereka asyik dengan permainannya sendiri, walaupun berdua.

PG : Betul sekali, jadi akhirnya kemampuan anak untuk berbicara, mengungkapkan pikiran, dan untuk membujuk orang itu menjadi kurang. Sedangkan kita sadari bahwa hal-hal seperti itulah hal yang angat penting sekali dalam pergaulan.

Membujuk orang agar bisa melihat pandangannya dan supaya orang bisa sekurang-kurangnya menghargai pikirannya atau terlebih lagi supaya orang bisa mengikuti kehendaknya, itu menjadi hal yang saya takut kurang dalam anak-anak sekarang ini.
(3) IR : Pak Paul, apakah kita juga perlu mengawasi jenis permainan yang digunakan oleh anak. Misalnya anak yang biasa main kartu kadang-kadang orang tua itu bisa cemas, wah...nanti-nanti bisa-bisa menjadi penjudi, itu bagaimana Pak Paul?

PG : Ya saya tahu memang adakalanya kita khawatir kalau misalnya anak bermain kartu nanti sudah besar menjadi penjudi. Saya kira kita harus mengawasi sikap anak kita dengan cermat, kalau misalna anak kita mulai keranjingan main kartu dan bukan saja main kartunya yang membuat dia keranjingan namun dia mulai bertaruh.

Meskipun usianya masih kecil tapi kita melihat misalnya dia mulai meminta temannya untuk mempertaruhkan sesuatu, dan kita amati sewaktu dia bertaruh dan dia menang kita bisa melihat wajahnya berseri-seri dan dia begitu bahagia nah saya pikir kalau anak mulai menikmati taruhan dalam bermain kartu, ini pertanda yang kurang baik, jadi saya anjurkan orang tua untuk melarang anak bertaruh. Jadi biarkan dia bermain tapi jangan bertaruh nah ini berkaitan dengan yang ingin saya katakan yakni permainan atau bermain itu sebetulnya berpotensi menumbuhkan daya saing dan kemampuan bersaing secara sehat. Dengan kata lain melalui permainan anak dilatih untuk berpikir menang namun dia melakukannya secara sehat. Jadi bukan saja dia mau menang tapi dia harus belajar menang dengan cara yang sehat. Secara alamiah permainan itu menimbulkan keinginan anak untuk menang, saya pikir tidak ada anak yang bermain dengan tujuan untuk kalah dalam permainan. Nah tidak bisa tidak permainan itu menumbuhkan atau menciptakan tantangan bagi anak, tantangan untuk menang namun karena ada sanksi sosial seperti yang tadi telah kita bahas anak tidak bisa main dengan sembarangan, main curang atau apa, nah dia harus melakukan atau menuju kepada kemenangan itu dengan cara yang sehat. Nah dia mulai belajar untuk tidak mudah menyerah sewaktu dia menghadapi tantangan atau dia belajar juga untuk tidak cepat putus asa. Melainkan di sini dia ditantang untuk mengalahkan kesulitan tapi dengan cara yang sehat bukan karena ada taruhan-taruhannya baru dia mau menang, jadi itulah saya pikir hal yang penting juga dalam permainan.
GS : Di dalam hal itu kalau kebetulan anak itu menang mungkin masih bisa timbul kebanggaan tapi bagaimana kalau dia kalah terus Pak Paul, jadi maksud saya bagaimana kami sebagai orang tua bisa tetap mendorong anak untuk tetap tidak putus asa dan mau tetap bermain.

PG : Betul, ada anak-anak yang saya juga sering lihat waktu saya masih kecil, ada teman-teman saya yang kalau main itu kalah terus dan juga ada teman-teman yang kalau main itu menang terus. Say masih kecil rasanya termasuk kategori yang suka kalah jadi memang ada orang-orang tertentu yang memang terampil sekali.

Jadi kalau kita misalnya pernah mendengar tentang yang disebut IQ sekarang ini, IQ sekarang ini dibagi-bagi dalam berbagai aspek misalnya IQ secara emosional. Nah salah satunya IQ dibagi juga dalam hal keterampilan fisik misalkan seperti Michael Jackson yang pintar sekali berdansa itu katanya juga sejenis IQ yaitu IQ yang lebih bersifat fisik. Nah memang ada anak-anak yang IQ bermainnya atau IQ fisiknya tinggi sehingga kalau main dia cenderung menang. Atau misalnya permainan yang bersifat mental, juga cerdik sekali anak-anak itu sehingga dia cepat sekali menangnya, namun ada yang sering kalah. Nah bagaimana dengan anak-anak yang kalau main sering kalah, saya pikir ini adalah salah satu keuntungannya bermain. Bermain sebetulnya menciptakan suatu keadaan di mana anak itu belajar menerima kekalahan tanpa merasa kalah, tanpa merasa kalah atau tanpa merasa bersalah. Maksudnya begini, permainan memungkinkan anak menerima kekalahan dalam suasana yang menyenangkan sebab dia senang bermain, jadi kalau kalah itu tidak mengancam harga dirinya secara fatal. Berbeda dengan di sekolah di mana dia menerima nilai yang rendah sering kali membangkitkan perasaan kalah dan bersalah, nah anak merasa kalah karena acapkali yang menerima nilai buruk tidak terlalu banyak sedangkan yang mendapat nilai bagus lumayan banyak. Dengan kata lain anak dapat merasa bersalah karena pada umumnya sikap guru dan orang tua mempersalahkan mereka seakan-akan mereka kurang giat belajar atau kurang serius. Tapi melalui permainan anak belajar menerima kekalahan tanpa harus merasa dirinya kalah seperti di sekolah atau dinilai oleh orang-orang lain, jadi ini adalah hal yang sangat sehat sekali Pak Gunawan.
IR : Anak-anak yang di sekolah Pak Paul biasanya juga mengalami stres karena tugas-tugas belajarnya yang terlalu banyak. Apakah bermain juga berguna untuk mengurangi stres anak?

PG : Sangat-sangat berguna Bu Ida, jadi permainan secara fisik sudah akan menguras tenaganya dan melenturkan ketegangan-ketegangan pada syaraf-syarafnya jadi sudah pasti anak-anak yang bermain engan cukup akan melepaskan ketegangannya dengan sehat jadi itu penting sekali.

Namun bermain juga sangat penting bagi pertumbuhan intelektual anak, jadi bukan saja melepaskan ketegangannya tapi anak juga bisa melatih pertumbuhan intelektualnya. Karena tadi seperti kita sudah bahas, permainan menuntut kreatifitas dan kreatifitas tidak bisa tidak memerdekakan wawasan berpikir anak. Nah dalam permainan, anak belajar memecahkan masalah seefisien dan secepat mungkin. Tantangan-tantangan dalam permainan secara tidak langsung juga merangsang anak untuk berpikir secara tepat dan cermat. Konsentrasi anak juga dilatih melalui permainan-permainan tertentu dan konsentrasi adalah unsur yang penting dalam proses belajar. Jadi sekali lagi permainan itu bisa melatih anak untuk berpikir dengan cepat dan tepat.
GS : Rupanya kita sebagai orang tua mesti juga pandai-pandai untuk mencarikan atau mengarahkan anak kita di dalam bermain pada saat ini. Jadi tidak asal membelikan mainan begitu saja, tapi orang tua juga harus kreatif. Nah yang ingin saya tanyakan adalah sejauh mana pengaruhnya kalau orang tua ikut bermain dengan anak-anaknya itu?

PG : Itu bagus sekali Pak Gunawan, saya masih ingat sekali waktu saya masih kecil, ayah saya bermain gundu dengan saya, bermain kelereng. Saya ingat peristiwa itu karena hal itu hal yang menyenngkan dan pada usia remaja kami hampir setiap malam bermain badminton di rumah kami itu hal-hal yang sangat menyenangkan buat anak, bisa bermain dengan orang dewasa apalagi dengan orang tuanya.

Saya takut Pak Gunawan ini adalah hal yang mulai langka pada zaman kita ini karena kita orang tua sekarang pulang sudah larut malam dan waktu kita pulang tenaga kita sudah terkuras habis, kita justru pulang ke rumah untuk mendapatkan istirahat dan kesegaran. Waktu anak mengajak kita bermain kita tidak lagi in the mood tidak lagi bersemangat untuk melayaninya. Nah sebetulnya saran Pak Gunawan kalau orang tua bisa, terlibatlah dalam permainan mereka sebab mereka pasti menghargainya dan sangat menikmatinya. Ini menjadi hadiah bagi mereka pada masa kecil yang mereka bisa selalu ingat pada masa dewasa mereka.
(4) IR : Kira-kita sampai usia berapa Pak Paul anak-anak itu dilibatkan untuk bermain?

PG : Saya kira sampai anak-anak remaja, mereka itu akan senang sekali bermain, nah mulai remaja anak-anak itu memang tidak bisa tidak sesuai dengan usia pertumbuhannya mulai menyalurkan tenaga entalnya dan minatnya pada hal-hal yang lebih bersifat sosial.

Mereka mulai berpergian dengan teman-teman, ngobrol dengan teman-teman, menikmati waktu untuk merumpi, jadi permainan mereka juga mulai berkurang dan mulai lain. Jadi saya kira usia di bawah 12 tahun adalah usia yang paling ideal buat anak-anak itu bermain dengan bebas.
GS : Menurut Pak Paul sendiri walaupun mungkin tidak tercatat dalam Kitab Suci, apakah Tuhan Yesus juga bermain pada waktu masa kanak-kanaknya sebagai seorang anak?

PG : Seperti tadi kata Pak Gunawan memang tidak dicatat dalam Kitab Suci, Kitab Suci sunyi tentang kehidupan anak-anak Tuhan Yesus. Tapi sebagai anak yang normal, sebagai manusia yang normal saa percaya Tuhan Yesus pun bermain.

Dia mempunyai fisik yang lumayan kuat sebetulnya, Dia bisa pergi jauh, berjalan jauh dan tidak pernah sekalipun dicatat, Tuhan itu sakit. Jadi saya percaya Dia memang bermain juga sebagai anak-anak. Satu ayat dari Amsal 3:1, "Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku." Saya yakin ini adalah kerinduan semua orang tua agar anak tidak melupakan ajaran dan memelihara perintah orang tua, itu betul sekali. Namun saya pikir kita perlu sebagai orang tua menciptakan suasana yang nyaman bagi anak untuk bertumbuh dan untuk menerima ajaran kita. Kalau jiwa anak sehat karena dia bisa bermain dengan bebas dia pun lebih siap menerima ajaran kita.

GS : Itu yang menjadi kerinduan kita semua tentunya Pak Paul karena anak-anak itu bagaimanapun juga menjadi tunas-tunas bangsa dan menjadi generasi penerus bagi kita sekalian. Demikianlah tadi saudara pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga masa kini khususnya di dalam hubungan antara orang tua dan anak yang memberikan kesempatan anak-anak untuk bermain. Telah kami persembahkan perbincangan ini bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan Ibu Idajanti Raharjo. Apabila Anda berniat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK dengan alamat Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan dan dukungan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



2. Pendidikan Seks dalam Keluarga


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T012A (File MP3 T012A)


Abstrak:

Seks adalah suatu hal yang lebih sering memenuhi pikiran anak remaja. Seperti hal-hal yang lain seks juga sangat penting untuk dibicarakan pada anak-anak kita. Supaya anak-anak mempunyai gambaran yang jelas tentang seks.


Ringkasan:

Seks sebetulnya hal yang paling banyak memenuhi pikiran anak-anak remaja. Namun hal ini justru enggan untuk dibicarakan. Pendidikan seks bukanlah sebagai suatu pendidikan formal. Seks kita ajarkan secara berkelanjutan, bertahap dan informal kepada anak-anak kita. Seks di sini bukan saja yang berkaitan dengan moralitas meskipun itu adalah bagian yang penting yang harus kita bicarakan pada anak kita. Tetapi orang tua juga perlu membicarakan aspek fisik atau aspek seksual dari seks itu, jadi anak-anak mempunyai gambaran yang jelas tentang apa itu yang dimaksud dengan seks dan tentang kapan seks itu boleh dinikmati dan siapa yang boleh menikmatinya. Bagi remaja, hal seksual itu bukan saja menjadi hal yang bersifat kognitif, bersifat rasional yang harus dia ketahui, tapi hal itu benar-benar mulai mempengaruhi kehidupan dia secara menyeluruh. Dan keinginan-keinginan untuk dekat dengan seseorang secara fisik itu mulai ada pada anak-anak remaja, jadi kita sebagai orangtua harus secara proaktif mengambil inisiatif.

Kenapa di rumah kita perlu mengajarkan seks secara keseluruhan? Sebab seks bukan saja perkara fisik atau anatomis tapi seks menyangkut emosi, menyangkut yang terutama kerohanian sebab seks itu adalah salah satu perbuatan fisik yang disoroti Tuhan dan diatur oleh Tuhan secara langsung, maksudnya diikat oleh kaidah rohani.

Dunia cenderung mengajarkan seks adalah sebatas masalah fisik, pemuasan kebutuhan fisik dan kalaupun dikaitkan dengan yang lebih bersifat rohani dunia cenderung memberikan gambaran bahwa :

  1. Seks adalah untuk orang yang saling menyukai, saling mencintai. Dengan kata lain seks itu makin hari makin dilepaskan dari beberapa cengkeraman yang seharusnya mengatur dan melindungi seks ini. Yaitu seks makin hari makin dilepaskan dari lembaga pernikahan.

  2. Seks makin hari makin dilepaskan dari lembaga komitmen.

Peran orang tua terbesar adalah menekankan bahwa seks bukanlah semata-mata masalah kebutuhan fisik atau masalah saling mencintai. Jauh lebih agung dan lebih berat dari itu ada masalah komitmen, adalah masalah institusi pernikahan yang diakui masyarakat dan yang paling penting adalah diatur oleh Tuhan sendri. Sewaktu tidak dilaksanakan sesuai dengan kehendak Tuhan itu menjadi dosa.

Dampak jika orangtua tidak mengajarkan pendidikan seks kepada anak sbb:

  1. Anak akan mendapatkan informasi dari teman-temannya, dari buku, dari film dan kemungkinan besar mereka tidak mendapatkan gambar menyeluruh mengenai seks itu. Dan bahwa penekanannya seks pada sesuatu yang nikmat belaka tidak ada lagi bobot moral, bobot pernikahan, dan komitmen di dalamnya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pendidikan Seks dalam Keluarga", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sejauh yang bisa saya ingat waktu saya masih kecil atau remaja orang tua saya tidak pernah memberikan pengajaran tentang seks. Nah sekarang akhir-akhir ini sering kali dimunculkan bahwa pendidikan seks itu perlu dalam keluarga. Sebenarnya seberapa penting pendidikan seks itu, karena kita sebagai orang tua kadang-kadang juga merasa enggan untuk membicarakan itu dengan anak-anak.

PG : Saya melihat seks itu adalah bagian dari ilmu kehidupan atau bagian dari keterampilan hidup yang perlu dipelajari oleh anak. Dan menurut saya sumber yang paling kompeten untuk menyampaikanya adalah keluarga atau orang tua sendiri.

Jadi saya kira keliru kalau kita ini beranggapan bahwa sekolahlah yang bertugas untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan seks. Saya tidak menentang sekolah memberikan materi atau mencantumkannya sebagai bagian dari kurikulum tapi tetap yang paling cocok adalah orang tua sendiri. Sebab seks itu bukan saja suatu pelajaran, seks itu adalah suatu pesan moral, suatu bagian dari ibadah kita kepada Tuhan bagaimanakah kita memperlakukan seks itu akan sangat menentukan juga bagaimanakah kita itu memperlakukan kehendak atau perintah Tuhan dalam hidup kita.
GS : Tapi sering kali ada keluarga-keluarga itu yang merasa tabu untuk membicarakan itu kepada anak-anaknya, Pak Paul?

PG : Saya kira secara alamiah saya ini harus mengakui bahwa hampir semua orang tua merasa tidak begitu nyaman membicarakan seks kepada anak-anaknya. Saya kira ini sesuatu yang mungkin sekali baian dari budaya kita bahwa seks adalah topik yang tidak dibicarakan secara terbuka, tapi kalau anak-anak itu tidak mendapatkan informasi dari orang tua ya saya kira mereka akan mendapatkannya dari sumber-sumber lain.

Nah biasanya sumber-sumber lain itu akan memberikan informasi seks tanpa pagar-pagar moral, nah ini yang perlu kita cermati.
WL : Pak Paul, selain rasa enggan mungkin juga adalah karena mereka tidak pernah diperlengkapi sebelumnya oleh orang tuanya tidak pernah diajarkan, di sekolah dulu mungkin tidak mempunyai kesempatan sedalam ini, jadi waktu mau mengajarkan, mau belajar tidak enggan memang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mengajarkannya. Mereka sendiri pun waktu berkeluarga ya menjalani by nature saja Pak Paul, mungkin Pak Paul bisa memberikan penjelasan atau bimbingan buat keluarga-keluarga seperti ini.

PG : Saya kira ada dua hal yang penting yang perlu kita kemukakan kepada anak-anak kita tentang seks ini. Yang pertama berkaitan dengan seks sebagai aktifitas fisik, jadi itu sesuatu yang perlukita jelaskan sehingga anak-anak mempunyai pemahaman yang tepat.

Yang kedua adalah moralitas yang terkandung di dalam seks atau justru moralitas yang mengayomi seks itu, nah ini juga bagian yang harus dijelaskan oleh orang tua. Saya kira keseimbangan keduanya ini penting. Ada kecenderungan orang tua tidak nyaman membicarakan bagian yang pertama yaitu tentang seks itu sendiri dan lebih nyaman membicarakan pesan-pesan moral tentang seks, jadi yang acapkali orang tua sampaikan adalah misalnya pesan-pesan jangan, jangan, tidak boleh, kamu salah begini, Tuhan marah, Tuhan hukum dan sebagainya, tapi tidaklah membahas tentang seks itu sendiri. Marilah sekarang kita melihat satu persatu, bagian yang pertama adalah tentang seks itu sendiri. Kita harus memberikan informasi sebetulnya seks itu apa, nah pertanyaan yang biasanya muncul adalah kapankah kita mulai membicarakan hal ini. Nah saya ingin menjelaskan satu prinsip di sini bahwa kapannya itu sebetulnya memang relatif dalam setiap keluarga dan justru relatif juga pada anak-anak. Anak-anak kita yang tertua dan yang bungsu mungkin sekali akan memiliki jadwal yang berbeda. Saya ingat sekali waktu anak kami berusia sekitar 8 tahun, anak kami mulai menanyakan dari manakah munculnya adik nah itu pertanyaan klasik yang sering kali anak-anak tanyakan. Nah awalnya kami memang mencoba menjelaskannya dengan cara-cara yang lebih supernatural, kami berkata Tuhan memberikan anak itu. Nah anak kami itu menerima penjelasan kami kemudian tidak lama dia menanyakan lagi terus kami memberikan penjelasan yang sama tapi dia tidak bisa menerimanya, dia berkata apakah itu berarti Tuhan menaruh adik di dalam perut mama, kami katakan ya. "Tapi itu rasanya tidak masuk akal" dia katakan, akhirnya kami katakan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, tetapi dia tidak terima. Nah setelah itu seorang kawan saya mengingatkan bahwa kemungkinan anakmu itu sudah mulai membicarakan tentang seks dengan teman-temannya, nah daripada dia terus membicarakan dengan teman-temannya dan mencari informasi dari teman-temannya lebih baik kamu jujur menceritakan apa yang terjadi. Akhirnya saya dan istri saya menjelaskan tentang hubungan seks nah otomatis kami tidak menggunakan istilah-istilah rumit, kami hanya menggunakan istilah-istilah awam bahwa inilah yang kami lakukan yaitu persatuan antara wanita dan pria dan akhirnya lahirlah adik. Nah ternyata anak kami bisa menerima hal itu meskipun kemungkinan besar dia tidak memiliki gambaran tapi yang paling penting adalah konsep atau penjelasan ini masuk akal makanya dia terima. Nah waktu anak-anak menginjak usia pra-remaja, saya dan istri saya memang dengan sengaja dan terencana memanggil mereka untuk berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan seks itu sendiri. Saya memanggil anak laki saya dan mulai membicarakan mengenai mimpi basah, masturbasi dan istri saya memanggil anak-anak saya perempuan untuk berbicara tentang menstruasi dan sebagainya. Dan itu kira-kira anak kami berusia sekitar 10, 11 tahun. Nah waktu anak kami sudah lebih dewasa dan sudah menginjak masa remaja 15, 16 tahun saya panggil lagi yang laki-laki dan saya mengajak ngomong berdua dan saya membicarakan lagi hal-hal yang pernah kami bicarakan dulu yaitu tentang misalnya masturbasi dan mimpi basah, nah hal-hal itu kami bicarakan dengan terbuka. Jadi saya yang memulai tentang percakapan itu. Jadi sekali lagi pada masda kecil biasanya anak-anak yang berinisiatif menanyakan hal-hal yang tidak dimengertinya tentang dari manakah adik muncul dan sebagainya, tapi pada masa anak-anak mulai usia remaja, saya kira inisiatif harus diambil oleh orang tua. Orang tua tidak bisa lagi duduk dengan pasif menantikan anak yang datang kepadanya. Pada usia 15, 16, anak-anak tidak akan lagi bertanya karena mereka sudah memiliki rasa sungkan dan enggan, akhirnya mereka akan mencari tahu dari pihak-pihak luar. Nah itulah yang kami lakukan Ibu Wulan.
GS : Ada kekhawatiran di pihak orang tua tentunya, kalau dia mulai menceritakan atau menyinggung tentang seks, anak itu akan bertanya hal-hal yang sebenarnya belum patut mereka ketahui, nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Sebetulnya ini Pak Gunawan, waktu anak-anak mempunyai keingintahuan pada usia kecil itu, anak-anak masih mempunyai keterbatasan hormonal untuk dapat mengalami dan merasakan rangsangan-rangangan seksual.

Misalkan pada waktu anak-anak bertanya di usia sekitar 8 tahun, anak-anak itu hanya mencetuskan pertanyaan yang lahir dari keingintahuannya, jadi ini benar-benar suatu aktifitas mental dan relatif bebas dari desakan-desakan hormonal. Tapi waktu si anak tidak mendapatkan jawaban dan dia ingin mempunyai jawaban dan dia mulai mencarinya, nah misalkan dia mulai mendapatkan jawaban itu sekitar usia 14 tahun. Pada saat itu waktu si anak menanyakan atau mencari informasi tentang seks, informasi itu bukan saja lahir dari keingintahuannya secara mental, tapi merupakan gejolak hormonal dalam dirinya. Dengan kata lain pertanyaan itu sudah dimotivasi, dimotori oleh energi seksual, oleh keinginan untuk mempunyai kontak seksual dengan orang. Nah itulah yang mulai bergejolak di dalam dirinya. Itu sebabnya penting orang tua menyadari bahwa tatkala anak-anak mulai menanyakan sekitar usia 8, 9 tahun, berilah jawaban yang lebih terbuka. Pada usia 4, 5 tahun sudah tentu kita tidak perlu memberikan jawaban yang gamblang karena terlalu kecil, mereka pun belum mengerti, tapi usia 8, 9 tahun, anak-anak sudah mulai memiliki konsep ini masuk akal atau tidak. Nah ternyata kalau tidak masuk akal lagi buat si anak kita harus lebih terbuka langsung menceritakan sebetulnya apa itu yang terjadi antara suami dan istri yang akhirnya melahirkan seorang anak. Nah waktu mendapatkan jawaban itu, si anak mendapatkan kepuasan secara intelektual bahwa OK! Sekarang saya memahami, dan ini suatu keuntungan karena jawaban itu bisa menolongnya melewati masa remaja. Sehingga pada waktu masa remaja, sewaktu dorongan-dorongan hormonal itu mulai bergejolak dan memotivasi dia untuk mengetahui, dia sebetulnya tidak perlu tahu lagi karena sebetulnya dia sudah tahu. Berbeda dengan anak-anak yang tidak pernah tahu kemudian pada usia 14, 15 tahun, mengalami gejolak hormonal seksual dan ingin tahu. Nah rasa ingin tahunya itu sudah tercemar oleh dorongan-dorongan seksual tersebut, sehingga proses pencarian tahu itu menjadi proses yang lebih membingungkan, lebih bersifat erotis dan sebagainya.
WL : Dan lebih berbahaya Pak Paul, kalau justru mereka mendapatkan informasinya dari lingkungan teman-temannya, yang sebenarnya informasinya juga tanggung-tanggung, tapi suka sok tahu dan bahkan terus mencoba bereksperimen.

PG : Betul sekali, kebanyakan anak-anak itu sewaktu mendapatkan informasi dari teman-temannya mereka memberikan reaksi atau respons yang berbeda, dibandingkan kalau pada awalnya usia yang lebihmuda mereka mendapatkan informasi dari orang tuanya.

Bedanya apa, waktu usia remaja mereka mendapatkan informasi dari teman-temannya mereka akan lebih terdorong menggali informasi, karena merasa ini tidak cukup dan harus lebih grafik lagi. Nah disini lah pencobaan muncul yaitu masuknya peranan-peranan seperti internet atau VCD porno dan sebagainya. Nah inilah zaman sekarang dan zaman sewaktu kita masih lebih muda dulu. Pada zaman ini benar-benar tidak ada batas pemisah, dalam pengertian ini tembok rumah itu sesungguhnya tidak ada, anak-anak itu bisa menjangkau dan dijangkau materi-materi pornografi dengan sangat mudahnya. Nah orang tua akhirnya harus lebih terlibat mengawasi, memantau perkembangan anaknya di rumah, apa yang dia lakukan dengan komputernya, sehingga anak-anak itu tahu bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan perilaku dan waktunya di hadapan orang tua. Jangan sampai anak-anak remaja mempunyai privasi yang begitu kuat, sehingga orang tua sama sekali tidak bisa memasuki dunianya, itu adalah awal dari bencana.
GS : Pak Paul, karena ini suatu pendidikan yaitu pendidikan seks, materi-materi apa yang mesti diberikan dan apa yang tidak mesti diberikan?

PG : Yang pertama yang harus diberikan adalah tentang hubungan seksual itu sendiri yaitu tentang apa yang dilakukan oleh seorang pria kepada seorang wanita. Seksual secara grafik sebetulnya apayang terjadi, nah itu yang perlu disampaikan oleh orang tua kepada anaknya.

Nah sekali lagi ini contoh yang terjadi pada rumah tangga kami, waktu saya menceritakan itu kepada anak kami, reaksi pertama anak kami adalah dia langsung berteriak jijik dan itu adalah reaksi anak-anak. Namun sekali lagi setelah dia mengerti, itu memuaskannya sehingga dia tidak lagi dibayang-bayangi keingintahuannya, karena dia sudah mengerti. Dan reaksi anak-anaknya adalah jijik, nah sudah tentu setelah dia menginjak usia dewasa reaksi jijik itu tidak akan ada lagi, namun yang penting adalah dia mengetahuinya apa yang sungguh-sungguh terjadi sewaktu pria dan wanita berhubungan seksual. Yang kedua, yang perlu diberitahukan juga adalah kepada anak-anak laki yaitu masturbasi, anak-anak perempuan juga perlu diberitahukan. Nah bagi saya pribadi hal-hal seperti ini adalah bagian dari perkembangan seorang anak memasuki masa pubertas dan akhirnya meninginjak usia dewasa. Nah yang akan saya tekankan kepada anak-anak adalah nomor satu, ini bagian dari perkembangan jadi kalau ini sampai dilakukannya ini adalah sesuatu yang dapat saya toleransi. Namun harus juga ada pesan-pesan moralnya, misalkan apakah boleh melakukannya (dalam hal ini masturbasi) tanpa batas dan sekehendak hatinya? Sudah tentu akan ada panduannya, akan ada pagarnya, sebab firman Tuhan juga berkata bahwa kalau kita dikuasai oleh apapun kita menjadi hamba dari apapun yang menguasai kita itu dan kita tahu kita tidak boleh menjadi hamba oleh apapun atau siapapun. Kita hanya boleh menjadi hambat Tuhan yaitu hamba dari Tuhan sendiri. Maka sesuatu yang boleh pun harus dalam kendali kita, harus dalam kuasa kita, kita tidak boleh dikuasai olehnya dan sekehendak hati kita melakukannya. Dan yang kedua yang kita juga mesti jelaskan adalah tentang relasi seksual itu sendiri. Bahwa itu adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang baik yang Tuhan ciptakan kepada manusia sebagai hadiah, sebagai alat juga untuk menenangkan diri, merelasikan diri dan untuk sarana berkembang biak, namun Tuhan hanya mengijinkan itu dalam konteks pernikahan, jadi pesan-pesan moral ini harus terus-menerus kita sampaikan kepada anak-anak kita. Yang berikutnya adalah kita juga mau menyampaikan kepada anak-anak kita bahaya-bahayanya kalau anak-anak terlalu terfokus dan banyak melihat atau mulai melihat-lihat hal-hal yang bersifat pornografi. Yaitu semua ini tidak membuat kita puas, semua ini membuat kita tambah haus, dan akhirnya kita tidak pernah puas diri. Pornografi memang bersifat mencandu dan bersifat terus-menerus menambah tidak cukup dengan dosis yang sama. Nah anak-anak perlu diberitahukan, "Kalau kamu mulai melihatnya berarti kamu memasuki suatu siklus yang nanti kamu terus dibawa berputar di situ makin hari makin dalam dan tidak bisa keluar. Jadi kamu harus membatasi diri tidak melihatnya. Hal-hal lain lagi apa yang bisa kita lakukan? Misalkan dalam menonton televisi sesuatu yang sangat alamiah. Dalam rumah tangga kami kalau kami melihat ada adegan-adegan ciuman atau adegan yang mulai mengarah ke sana kami langsung ganti channelnya. Lama-kelamaan anak-anak tidak ada kami pun mereka langsung menggantinya sendiri, nah itu bagian-bagian yang kami tekankan bahwa itu sesuatu yang akan mencandu kalau terus kita lihat, kalau kita membiarkan diri kita menyantapnya, kita tidak bisa dengan mudah menghentikannya. Nah hal seperti inilah yang kita komunikasikan kepada anak-anak. Kita juga boleh berkata bahwa gejolak seksual itu keinginan melakukan persetubuhan dalam diri kita, itu keinginan yang wajar sebab gejolak seksual adalam keinginan melakukan persetubuhan. Tapi melakukannya dalam usia dini dan di luar konteks pernikahan ini sesuatu yang Tuhan tidak ijinkan. Nah semua ini yang harus kita bicarakan dan sebaiknya tidak hanya kita bicarakan dalam waktu atau situasi tertentu yang formal, tapi kita juga ungkapkan dalam situasi-situasi yang lebih informal. Menontot televisi, ada orang yang berpacaran dengan orang yang sudah menikah, nah kita bisa berikan reaksi kita dan berkata: "Saya tidak suka dengan film ini, karena dalam film ini orang ini berpacaran dengan orang yang sudah menikah." Nah anak-anak akhirnya terus menangkap pesan-pesan moral kita.
WL : Pak Paul, ada pertanyaan praktis berkaitan dengan memperlengkapi orang tua tentang panduan seksual ini. Saya pernah mendengar pendapat yang berbeda dari dua tokoh yang berbeda tentang keingintahuan dari anak-anak, jadi supaya tidak terlalu ingin tahu dan akhirnya nanti mengacau misalnya mengenai anatomi tubuh dari jenis kelamin yang berbeda, si ayah bisa mandi bersama-sama dengan anak perempuannya dalam batas usia tertentu. Sedangkan si ibu mandi dengan anaknya yang laki-laki. Jadi pada saat melihat sesuatu yang berbeda ini orang tua bisa menjelaskan. Tapi ada tokoh yang berbeda lagi justru menentang pangajaran seperti ini, menurut Pak Paul sebaiknya bagaimana?

PG : Saya termasuk yang menentangnya, sampi usia tertentu orang tua sesama jenis dengan si anak bolehkan mandi bersama? Boleh, tapi dalam batas usia tertentu misalkan di bawah 5 tahun. Setelah tu sebaiknya pun juga tidak apalagi yang berlawanan jenis, saya kira jangan.

Karena apa, kita manusia berdosa, dalam diri kita selalu ada potensi untuk berdosa, ini bisa muncul dari si orang tua atau bisa muncul dari si anak. Lama-kelamaan misalkan si anak di usia 9, 10 tahun hormon-hormon seksualnya sudah mulai bekerja, melihat orang tua lawan jenis mandi dengan dia, dia akan mengalami rangsangan. Si orang tua sendiri pun misalkan orang tua laki-laki mandi dengan anak perempuannya usia 9, 10 tahun yang tubuhnya mulai membentuk sebagai seorang wanita itu pun bisa menimbulkan rangsangan. Jadi kita harus bijaksana mencegah diri kita dari kemungkinan berdosa, jadi memang saya tidak setuju dengan pandangan yang membolehkan hal itu.
GS : Bagaimana kalau tanggapan anak itu ketika kita mulai mencoba melakukan pendekatan dan memberikan masukan tentang seksual ini, tanggapannya itu tidak serius, mungkin dengan tertawa, acuh tak acuh dan sebagainya. Mungkin dia melihat bahwa kita ini cuma orang awam dalam hal ini bukan dokter, bukan seksolog itu bagaimana Pak Paul?

PG : Saya menduga reaksi tak serius itu sebetulnya reaksi menutupi ketidaknyamanannya Pak Gunawan. Sesungguhnya si anak juga tidak nyaman membicarakan hal ini, sebab kemungkinan dia melihat orag tuanya pun tidak nyaman, karena orang tuanya tidak nyaman dia menangkap kesan tidak nyaman itu.

Nah untuk menutupi rasa tidak nyamannya akhirnya dia bercanda dan sebagainya. Saya kira orang tua tetap saja sampaikan hal itu. Waktu saya berbicara dengan anak saya, anak saya diam dan hanya mendengarkan, anak saya tidak memberikan komentar. Nah tidak apa-apa, sebab saya kira yang penting adalah pembicaraan ini telah terjadi dan dengan pembicaraan ini kita seolah-olah berkata kepada anak kita bahwa ini adalah topik yang boleh dibicarakan dan ini sesuatu yang wajar, tidak apa-apa dibicarakan. Kalau ada pertanyaan silakan diajukan dan kita pun berani untuk mengatakan hal-hal yang pernah kita alami dulu. Nah kita misalkan bisa berkata: "Saya pun bukan saja dulu, sekarang pun masih bisa tergoda, masih bisa terangsang melihat hal-hal seperti itu." Nah apa yang kita lakukan supaya kita tidak jatuh ke dalam dosa, kita juga bisa bagikan kepada anak-anak kita. Maka dalam hal seperti ini orang tua perlu meyakini satu hal yaitu tidak semua orang tua mempunyai latar belakang yang baik, ada sebagian orang tua berlatar belakang bebas dan akhirnya jatuh ke dalam dosa. Nah kalau orang tua bertobat, sudah tahu bahwa itu dosa dan bertobat, meskipun dulu pernah memiliki masa lalu yang kelam itu orang tua tetap harus menjadi penjaga gawang, harus tetap berfungsi menjadi wakil Tuhan. Jangan sampai orang tua beranggapan: "Saya dulu tidak benar, saya dulu juga lemah, saya juga banyak kelemahan masa sekarang saya melarang anak saya, ya tidak pantas saya melakukan hal seperti itu." Oh....tidak, Tuhan mempercayakan anak kepada kita dan kita duta Tuhan di rumah ini kita harus menjaga anak-anak kita jangan sampai jatuh ke dalam dosa yang sama. Namun karena kita pernah jatuh, kita lebih memahami bahwa memang pencobaan ini berat, jadi dalam berbicara dengan anak-anak kita tidak bersikap menghakimi dan bersifat kebalikannya seolah-olah kita tak pernah sama sekali diganggu oleh masalah-masalah ini.
GS : Jadi pesan-pesan moral itu yang harus lebih banyak diungkapkan di dalam hal menyampaikan pendidikan seks ini daripada yang teknis-teknis itu Pak Paul?

PG : Ya, jadi sudah tentu apanya, seks itu apanya, masturbasi itu apanya, seperti apa semua itu, itu perlu dijelaskan. Kita tidak lagi menggunakan istilah-istilah untuk meringankan pesan seks iu.

Memanggil alat kelamin apalah, tidak, katakan apa adanya, namun setelah itu diberitahukan akhirnya yang lebih banyak kita sampaikan adalah pesan-pesan moral.
GS : Mungkin dalam hal ini Pak Paul ingin menyampaikan ayat firman Tuhan?

PG : Saya bacakan dari 1 Korintus 6:18, Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan erdosa terhadap dirinya sendiri."

Nah Tuhan di sini memberikan satu pembedaan antara dosa yang dilakukan di dalam diri dan di luar diri, ternyata percabulan yaitu hubungan seksual di luar nikah adalah dosa yang menyangkut diri kita sendiri, kita berdosa terhadap diri kita. Kenapa, karena tubuh kita adalah bait Allah, tempat kediaman Allah, tempat kediaman Roh Kudus. Waktu kita mencabulkan diri, kita itu mencabulkan tubuh Allah, maka pesan Tuhan di ayat 20 adalah "Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" Jadi kita mendapatkan mandat dari Tuhan, tubuh ini tidak dipakai untuk hal-hal yang cabul, otak ini tidak diisi dengan hal-hal yang pornografi tapi otak dan tubuh ini kita pakai untuk memuliakan Tuhan. Bagaimana caranya memuliakan Tuhan dengan tubuh kita, yaitu dengan memelihara kekudusannya. Itulah caranya memuliakan Allah dengan tubuh yaitu dengan menjaga kekudusan baik itu pikiran maupun tubuh kita.

GS : Jadi melalui perbincangan ini makin jelaslah betapa pentingnya pendidikan seks itu dalam keluarga dan itu menjadi tanggung jawab kita buat orang tua. Terima kasih banyak Pak Paul dan juga Ibu Wulan untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pendidikan Seks dalam Keluarga." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



3. Pendidikan Anak Usia 0-10 Tahun


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T016B (File MP3 T016B)


Abstrak:

Waktu anak terdidik dengan baik, maka dia akan mendatangkan sukacita bagi kita orangtua. Dalam topik ini orangtua diajak untuk mengetahui bagaimana mendidik anak, khususnya bagi ibu muda.


Ringkasan:

Amsal 29:17 berkata: "Didiklah anakmu maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu dan mendatangkan sukacita kepadamu."

Jadi Alkitab meminta kita untuk mendidik anak kita dan tujuannya adalah waktu anak kita terdidik dengan baik dia akan pada akhirnya memberikan ketenteraman kepada kita, ketenangan dan juga membawa sukacita kepada kita. Mendidik anak menjadi suatu persoalan tersendiri bagi seorang ibu. Suatu riset mengemukakan bahwa: perempuan itu lebih mudah mengalami depresi dibanding pria, bahkan dikatakan perbandingannya 2 : 1. Namun di antara wanita yang paling mudah dan paling rawan dihinggapi depresi adalah para ibu muda yang tinggal di rumah mengasuh anak-anak kecil. Para ibu ini merasakan keterjebakan, merasakan kejenuhan, merasakan kelelahan mental yang amat sangat dalam mendidik anak-anak yang masih kecil. Pada masa ini si suami perlu membatasi diri dan perlu memberikan dirinya agar bisa saling berbagi rasa dengan istrinya, dengan cara ini beban si istri berkurang karena perasaan tertekannya, frustasinya itu bisa diungkapkan. Sehingga keesokan harinya waktu dia menjaga si anak lagi, dia seolah-olah mendapatkan kekuatan yang baru.

Bagi ibu muda yang bekerja atau aktif dalam pelayanan, pada prinsipnya harus bisa membagi waktu dengan baik sehingga anak-anak masih mendapatkan perhatian yang cukup dari si ibu. Idealnya anak-anak yang masih kecil dirawat secara penuh waktu oleh ibunya, masih kecil dalam pengertian sampai anak-anak usia sekolah, kalau memungkinkan ibu itu tidak bekerja di luar. Setelah anak-anak sekolah idealnya adalah ibu muda boleh bekerja di luar tetapi sebatas waktu anak-anak pulang kembali. Misalnya jam 02.00, jam 03.00 ibu itu sudah kembali.

Riset tersebut juga mengatakan bahwa para ibu muda yang berkarier di luar, mereka tidak terlalu rawan terhadap depresi, jadi mereka ternyata bisa lebih senang dan akhirnya mereka merasa lebih efektif dalam mendisiplin anak. Sebab mereka mendapatkan kepuasan batiniah setelah bekerja di luar, sehingga waktu di rumah meskipun capek secara fisik namun secara mental mereka cukup segar. Pola pendidikan anak bisa berubah sesuai dengan perkembangan usianya.

  1. Pada masa kecil anak-anak didisiplin dengan instruksi, perintah langsung. Hal ini untuk anak-anak usia 0 ataui 1 tahun sampai usia sekitar 10 tahun.

  2. Pada anak-anak yang memasuki usia remaja yaitu usia 11 tahun hingga usia 17, 18 tahun didisiplin dengan cara direksi atau petunjuk, pengarahan.

Anak mempunyai keunikan masing-masing, ada anak yang cenderung penurut dan ada anak yang cenderung membangkang, keras kepala. Untuk anak yang mempunyai kemauan keras cenderung susah sekali untuk dididik dengan kekerasan. Jadi kuncinya adalah

  1. Kita harus didik dia dengan lemah lembut. Dengan lemah lembut artinya anak-anak ini cenderung lebih mendengarkan instruksi.

  2. Harus jelas, jelas dalam pengertian si anak tahu kalau dia membangkang dia akan mendapatkan sanksi.

  3. Harus konsisten, artinya kalau kita sudah katakan kita akan hukum, kita akan hukum dia. Kalau kita sudah katakan dia boleh pergi, ya dia boleh pergi.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang peran orang tua dalam pendidikan anak pada usia dini yaitu usia sejak lahir sampai sekitar 10 tahun. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kali ini kami ingin mengajak para pendengar untuk ikut berbincang-bincang di dalam peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Dan ini mungkin secara khusus perlu ditujukan kepada pasangan-pasangan muda, pasangan suami-istri yang muda, yang mempunyai anak-anak kecil. Kita semua menyadari bahwa pendidikan anak itu dimulai dari rumah dan merupakan dasar yang sangat penting, bukan begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, ada satu ayat dari Amsal 29:17 yang berkata: "Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketentraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu." Jad memang Alkitab meminta kita, ini bukanlah pilihan agar kita mendidik anak kita, dan tujuannya adalah waktu anak kita terdidik dengan baik dia akan pada akhirnya memberikan ketenteraman kepada kita, ketenangan dan juga membawa sukacita kepada kita.

GS : Ya, tapi pada umumnya pasangan-pasangan suami-istri itu juga bukan orang-orang yang ahli dalam bidang pendidikan anak itu, apa yang ingin Pak Paul sampaikan pada acara telaga ini?

(1) PG : Salah satu kendalanya Pak Gunawan, agar kita ini sadar terlebih dahulu. Kendala terbesar adalah kita ini produk didikan orang tua kita dan adakalanya kita bukanlah hasil didikan yang bik, namun perjalanan hidup kita akhirnya membawa kita ke tempat yang berbeda, sehingga kita bisa belajar menjadi orang tua yang lebih baik.

Namun sering kali hal-hal yang pernah kita terima dari orang tua kita, yang tidak sehat itu menjadi bagian hidup kita dan akhirnya sewaktu kita mendidik anak, kita menggunakan cara yang sama. Atau kebalikannya, karena kita takut sekali mendidik anak seperti orang tua kita dulu mendidik kita dengan keras, kita akhirnya melakukan hal yang merugikan anak kita, yakni tidak berani keras sama sekali dengan anak. Jadi sekali lagi didikan masa lalu itu mempengaruhi kita, baik kita ini melestarikannya/menggunakan metode yang sama atau kebalikannya, kita benar-benar membuang didikan orang tua kita dan akhirnya pindah ke kutub yang satunya dan sangat berlebihan.
GS : Dalam pengalaman saya Pak Paul, mendidik anak khususnya pada usia dini sebenarnya saya lebih banyak menyerahkan kepada istri saya, khususnya pada masa-masa anak saya yang pertama baru lahir. Pokoknya yang masih bayi itu saya tidak ikut-ikut pendidikannya.

PG : Saya kira ini bisa dimaklumi Pak Gunawan, sebab para ayah akhirnya terbentur pada faktor waktu dan istrilah atau ibulah yang akan mempunyai waktu lebih banyak dengan anak, sehingga lebih brkesempatan untuk mendidik anak.

Tapi kita sadari semakin anak besar, semakin kita juga lebih bisa berperan di dalam hidupnya.
GS : Tentu menjadi suatu persoalan tersendiri buat ibu itu, ibu muda itu Pak Paul?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi saya pernah membaca satu hasil riset yang mengemukakan bahwa nomor satu adalah perempuan itu lebih mudah mengalami depresi dibanding pria, bahkan dikatakan prbandingannya 2:1.

Namun di antara wanita yang paling mudah dan paling rawan dihinggapi depresi adalah para ibu muda yang tinggal di rumah mengasuh anak-anak kecil. Jadi para ibu muda dengan anak-anak kecil adalah kelompok yang paling rawan dihinggapi depresi, jadi kita sekarang mulai menyoroti mendidik anak usia kecil misalnya di bawah usia 10 tahun. Orang yang mendidik anak usia kecil adalah juga orang tua yang rawan atau mudah dihinggapi oleh depresi, artinya apa? Artinya mereka ini adalah para ibu muda ini merasakan keterjebakan, merasakan kejenuhan, merasakan kelelahan mental yang amat sangat dalam mendidik anak-anak yang masih kecil ini. Nah, akhirnya juga mereka ini diharapkan untuk mendidik anak sehingga anak itu bisa menguasai dirinya dengan lebih baik. Masalahnya adalah kalau tidak hati-hati, kita akan melihat adanya suatu interaksi yang negatif antara para ibu muda ini dengan anak-anak yang masih kecil ini. Sebab para ibu muda ini bukanlah orang-orang yang berada pada keadaan yang sangat menyenangkan, dia sendiri dalam keadaan tertekan. Nah, dalam keadaan tertekan ini dia harus juga mendisiplin anak, kalau tidak hati-hati disiplin ini bisa berlebihan, disiplin ini bisa akhirnya ditunggangi oleh rasa frustrasi yang memang sudah menghinggapinya begitu.
(2) GS : Jadi bagaimana ibu muda ini mengatasi masalahnya itu, Pak Paul?

PG : Memang tidak gampang ya, kita soroti dulu para ibu muda ini, lebih-lebih para ibu muda pada zaman kita sekarang, biasanya adalah produk perguruan tinggi, cukup banyak wanita sekarang yang ulus diploma atau bahkan S1 dan bahkan ada yang lebih dari S1.

Cukup banyak di antara mereka yang sebelum mempunyai anak adalah sebagai wanita karier, bekerja dan sejak kecil mereka memang dididik untuk berproduktif atau mempunyai hasil dengan karya-karya kerja mereka. Namun sekarang tiba-tiba mereka harus berada di rumah, tidak bisa bekerja di luar dan harus menghadapi 1 anak atau 2 anak yang masih kecil-kecil di mana mereka tidak bisa berbagi rasa dengan orang dewasa, akhirnya mereka terjebak dalam 1 lingkungan yang sangat monoton dan sangat menuntut. Dan tuntutan ini diberikan nonstop, terus-menerus, sehingga akhirnya kalau tidak hati-hati yang akan sering kali muncul adalah kemarahan, kemarahan dan kemarahan. Nah, kita ketahui bahwa disiplin yang terlalu diisi oleh kemarahan, tidak efektif, membuat anak akhirnya tidak takut lagi dengan teguran dan instruksi si ibu. Jadi kita harus menyadari dulu semua latar belakang ini, baru nanti kita masuk kepada bagaimana cara ibu muda ini bisa mendisiplin anak dengan lebih baik. Saya kira nomor satu adalah peranan suami penting di sini Pak Gunawan, untuk bisa menjadi tumpahan perasaan si ibu. Kalau si suami pulang terlalu capek, tidak ada waktu mendengarkan keluh kesah si istri saya kira ini tidak menolong, malah menambah perasaan frustrasi dalam diri si istri. Jadi si suami pada masa-masa ini perlu membatasi diri dan perlu memberikan dirinya, agar bisa saling berbagi rasa dengan istrinya, dengan cara ini beban si istri berkurang karena perasaan tertekannya, frustrasinya itu bisa diungkapkan. Sehingga keesokan harinya waktu dia menjaga si anak lagi, dia seolah-olah mendapatkan kekuatan yang baru.
(3) IR : Kalau seorang ibu muda ini berkarier Pak Paul, juga mungkin aktif dalam pelayanan misalnya, bagaimana apakah mereka itu bisa mendisiplinkan anak?

PG : Prinsipnya adalah apakah si ibu itu bisa membagi waktu dengan baik, sehingga anak itu masih mendapatkan perhatian yang cukup dari si ibu. Saya tidak kaku dalam hal ini, idealnya terus terag, anak-anak yang masih kecil dirawat secara penuh waktu oleh ibunya.

Masih kecil dalam pengertian bagi saya kalau memungkinkan sampai anak-anak usia sekolah, kalau memungkinkan ibu itu tidak bekerja di luar, di dalam saja. Setelah anak-anak sekolah, idealnya adalah ibu muda boleh bekerja di luar tapi sampai sebatas waktu anak-anak itu pulang kembali. Misalnya jam 02.00, jam 03.00 ibu itu sudah kembali, sehingga anak-anak itu waktu kembali jam 12.00 atau jam 01.00 hanya di rumah tanpa orang tua selama 1 jam, setelah itu ibu sudah ada di rumah, nah bagi saya itu lebih ideal. Apakah itu baik bagi seorang ibu untuk bekerja di luar, nah riset yang saya baca ini juga mengatakan begini Bu Ida, ternyata para ibu muda yang berkarier di luar itu mereka tidak terlalu rawan terhadap depresi. Jadi mereka itu ternyata bisa lebih senang dan akhirnya mereka merasa lebih efektif dalam mendisiplin anak, nah ini mungkin saja. Sebab mereka mendapatkan kepuasan batiniah setelah bekerja di luar, sehingga waktu di rumah meskipun capek secara fisik namun secara mental mereka itu cukup segar.
GS : Pada kenyataannya sekarang ini banyak pasangan-pasangan muda itu kalau mempunyai anak kecil kemudian mengundang baby sitter, nah bagaimana peran orang tua berbagi dengan baby sitter karena itu 'kan harus seimbang?

PG : Yang saya khawatirkan adalah setelah adanya baby sitter, kita ini sebagai orang tua terlalu melimpahkan tanggung jawab kepada baby sitter. Cukup sering saya melihatnya di gereja, para ibu uda tidak lagi menggendong anak, jadi anak itu bahkan pada hari ibu itu tidak bekerja pun tidak dijamah, sebab yang menggendong, yang merawat, yang memberi makan tetap baby sitter atau susternya.

Nah, hal ini saya kira sudah berlebihan sebab bagi saya fungsi baby sitter adalah menjaga tatkala ibunya absen, tapi sekarang ibunya ada pun yang merawat tetap adalah si baby sitter.
GS : Jadi semacam pengambilalihan tugas atau pelimpahan tugas.

PG : Betul, dan kita tahu bahwa baby sitter kebanyakan yang saya tahu adalah tidak mendisiplin anak. Sebab mereka merasa ini bukan fungsi mereka, tugas mereka hanyalah menjaga anak itu. Nah akhrnya saya takut ibu muda atau orang tua tidak lagi terjun langsung dalam mendidik anak.

GS : Tadi Pak Paul katakan kita berbicara tentang pendidikan anak mulai lahir sampai 10 tahun, tentu pola asuhannya, pola pendidikannya berubah. Hanya yang kami tidak tahu itu adalah sampai usia berapa pola pendidikan itu berubah Pak Paul?

PG : OK! Saya menggunakan beberapa istilah Pak Gunawan, pada masa kecil anak-anak itu didisiplin dengan instruksi, jadi perintah langsung, dan anak itu perlu tanggap dan tunduk pada instruksi kta, itu saya akan kategorikan untuk anak-anak usia 0 atau 1 tahun sampai usia sekitar 10 tahun.

Pada masa anak-anak memasuki usia remaja, usia 11 tahun hingga usia 17, 18 tahun saya menggunakan istilah direksi atau petunjuk. Jadi yang pertama adalah instruksi langsung, tapi pada usia setelah 10 tahun kita menggunakan direksi atau direction pengarahan, tidak lagi kita ini memberikan instruksi. Nah, jangan sampai terbalik, kalau terbalik hasilnya benar-benar bisa merugikan si anak, sebab ada orang tua yang pada masa kecil anak-anak itu diberikan pengarahan/direction/direksi. Pada masa remaja baru diberikan instruksi terus-menerus ya berantakan semuanya. Justru melawan, jadi pada masa kecil kita berikan instruksi dalam pengertian instruksi itu nomor satu harus jelas, dipahami oleh si anak. Kita harus mengerti bahwa anak belum tentu mengerti instruksi kita, maksudnya apa? Bukannya anak tidak mengerti kata-kata kita, kebanyakan mereka mengerti kata-kata kita. Misalnya jangan naik ke bangku, dia mengerti jangan naik ke bangku, tapi anak tidak mengerti instruksi itu, dalam pengertian kenapa tidak boleh naik ke bangku. Nah anak kecil umur 5, 4 tahun 6, 7 tahun perlu tahu, kenapa instruksi itu diberikan, nah ini yang saya maksud instruksi harus jelas Pak Gunawan, kalau tidak jelas si anak cenderung melakukannya lagi, itu yang pertama yang paling pokok. Yang kedua adalah instruksi itu harus diberikan dengan wibawa, artinya kalau si orang tua tidak dipandang, tidak dihormati, tidak ditakuti oleh si anak pada usia kecil, instruksi itu akan hampa, akan kosong tidak ada bobotnya. Maksudnya apa? Jadi si ibu atau si bapak waktu memberikan instruksi suara itu harus/tidak harus keras, tapi harus mantap (GS: Tegas maksudnya) harus tegas dan kalau sudah berkata: "nanti kalau engkau lakukan lagi saya akan hukum" itu harus dijalani. Nah, itulah faktor-faktor yang memperkuat wibawa pada orang tua itu.
GS : Yang menarik sekali tadi Pak Paul singgung tentang hukuman, memang instruksi erat kaitannya kalau tidak dilakukan dihukum begitu. Tapi yang menjadi problem orang tua muda adalah bagaimana cara memberikan hukuman itu kepada anak yang kecil itu. Kadang-kadang kita merasa masih kecil kita maklumilah, tidak apa-apa.

PG : Saya sekali lagi mengacu pada nasihat Dr. James Dobson yang berkata kita menghukum anak sewaktu anak membangkang kita. Jangan menghukum anak sewaktu anak melakukan kesalahan yang umum dilaukan pada anak seusia itu, misalnya menumpahkan air di meja waktu sedang makan atau tersandung sehingga memecahkan barang.

Hal-hal itu tidak seharusnya mengundang hukuman, karena itu adalah kesalahan yang layak atau yang umum dilakukan. Nah waktu anak membangkang, kita suruh dia jangan naik ke atas meja dia melihat kita terus naik ke atas meja, di saat itulah kita langsung harus memberikan hukuman. Nah, jadi hukuman kita berikan dengan langsung, jangan menunda hukuman terlalu lama, apalagi pada anak kecil. Pada anak remaja kita bisa gunakan hukuman yang kita tunda, misalnya kita bisa berkata: "Karena engkau pulang malam, Mamasudah bilang jangan pulang malam, selama 1 minggu ini kamu tidak boleh keluar." Atau akhir bulan nanti saya sudah janjikan anak itu untuk membeli misalnya komputer saya tunda sampai bulan depan lagi. Nah, pada anak-anak remaja bisa kita gunakan penundaan hukuman itu, kepada anak-anak kecil tidak bisa, hukuman langsung kita berikan di saat dia bersalah. Waktu itulah dia sadar dia itu dihukum karena kesalahannya itu.
IR : Pak Paul, disiplin itu harus ditanamkan oleh seorang ibu dan seorang ayah, jadi ayah harus berperan juga. Bagaimana mendisiplinkan anak yang mempunyai kelainan mungkin Pak Paul, ada anak yang didisiplinkan itu menurut tapi ada juga yang luar biasa agresifnya, sehingga kedua orang tua itu sampai kewalahan, itu bagaimana Pak Paul?

PG : OK! Memang semua anak-anak itu mempunyai keunikan, ada anak yang cenderung penurut, ada anak yang cenderung pembangkang, keras kepala. Nah anak-anak yang mempunyai kemauan keras cenderung usah sekali untuk dididik dengan kekerasan.

Jadi kuncinya adalah kita harus didik dia dengan lemah lembut, dengan jelas dan dengan konsisten, itu untuk anak-anak yang memang berkemauan keras atau keras kepala. Dengan lemah lembut artinya anak-anak ini cenderung lebih mendengar instruksi kita kalau disampaikan dengan lemah lembut. Kita juga harus jelas, dalam pengertian si anak sudah tahu kalau dia membangkang, dia akan mendapatkan sanksi itu. Kalau dia tidak tahu bahwa dia akan mendapatkan kemudian diberikan sanksi yang berat anak ini makin memberontak. Jadi anak-anak yang keras kepala harus diberikan suatu kejelasan. "Kalau engkau pulang malam lagi, kalau engkau naik sepeda lagi sebelum belajar akan saya hukum dengan cara memukul pantat kamu sebanyak 5 kali." Nah, waktu dia naik sepeda kita langsung bawa ke dalam rumah, kita pukul pantatnya dengan rotan selama 5 kali, nah itu yang harus kita lakukan, jadi jelas dan dia tahu itulah sanksinya. Dan yang ketiga harus konsisten, artinya kalau kita sudah katakan kita akan hukum, kita akan hukum dia, kalau kita sudah katakan dia boleh pergi dan dia boleh pergi. Misalkan kita sudah katakan kalau engkau main sepeda, engkau akan saya hukum 5 kali rotan, tapi terus karena kita panas kita berkata: "Minggu depan juga kita tidak jadi pergi misalnya ke dunia fantasi." Nah anak itu akan kaget sekali karena tidak ada kaitannya dengan dunia fantasi itu, tapi karena kita emosi kita mengaitkannya dengan pergi ke dunia fantasi minggu depannya, kita tidak konsisten dengan kata-kata kita. Jadi anak-anak yang keras kepala ini perlu dididik, masih ada kesempatan mendidiknya namun 3 hal itu harus kita penuhi.
IR : Tentu berbeda Pak Paul dengan anak yang sudah remaja 'kan tidak bisa dipukul Pak Paul?

PG : Betul, jadi hukuman itu lain lagi bentuknya, tidak lagi berbentuk pukulan fisik. Perlu saya garis bawahi bahwa anak-anak perlu kita pukul kalau memang dia membangkang, tadi saya sudah singung namun pemukulan itu bukan berarti pukul kepala, pukul badannya, jambak rambutnya, tidak.

Saya menggunakan prinsip yang juga dikemukakan oleh Dr. James Dobson yaitu pukullah pantatnya. Ada yang berkata jangan pukul pakai tangan, pukul pakai rotan sebab tangan itu melambangkan kasih, rotan itu melambangkan disiplin jangan digabung, bagi saya masing-masing boleh saja. Saya dulu mencoba melakukan itu yaitu memukul dengan objek yang lain pantat anak saya, tapi akhirnya saya gunakan tangan. Kenapa saya gunakan tangan? Sebab akhirnya saya lebih tahu berapa kerasnya saya memukul anak saya, waktu tangan saya sakit, saya tahu saya memukulnya keterlaluan, sehingga akhirnya saya gunakan tangan.
GS : Ya, apakah peran nenek atau kakek yang kebetulan mungkin serumah itu mempunyai peran di dalam pendidikan anak-anak Pak. Kadang-kadang khususnya kita yang ada di Indonesia ini banyak yang masih berkumpul dengan orang tua, nah pada saat orang tua mau mendisiplin anak mereka, kemudian kakek dan nenek ini menghalangi, lebih-lebih itu cucu pertamanya.

PG : Ya itu yang sering terjadi Pak Gunawan, saya adalah salah satu orang yang menikmati kasih sayang nenek saya, sehingga kalau saya diomeli karena saya nakal, yang akan membela saya adalah neek saya.

Bahkan nenek saya berkata: "Memang adikmu begitu, memang kakakmu begitu" padahal saya yang salah, saya yang jahil. Jadi sebetulnya itu tidak sehat, meskipun saya menikmati itu waktu saya masih kecil tapi itu tidak sehat, karena akhirnya membuat anak merasa tidak apa-apa melanggar peraturan.
GS : Atau justru bingung, orang tuanya bilang tidak, ini kakek neneknya saja melindungi.

PG : Pada masa kecil mungkin sedikit bingung, tapi setelah dewasa justru senang (GS: Karena mengnger, ada tempat perlindungan) ya soalnya ada algojo..

GS : Ada yang menjadi kenyataan juga biasanya anak pertama itu menjadi korban pendidikan orang tuanya, mungkin karena kami belum terbiasa atau belum berpengalaman sehingga anak pertama itu menjadi korban Pak Paul.

PG : Tepat sekali, anak pertama cukup sering menjadi korban dari 2 bentuk Pak Gunawan. Bentuk pertama adalah pemanjaan yang berlebihan karena anak pertama, yang kedua adalah korban tekanan yangberlebihan.

Jadi pemanjaan, dampaknya kita tahu anak itu akhirnya tidak bisa menguasai diri, yang dia kehendaki harus terjadi, egois dan sebagainya, itu korban atau dampak dari pemanjaan. Yang kedua adalah anak pertama sering kali juga menjadi korban tekanan yang berlebihan, karena orang tua bisa menjadi orang tua yang terlalu hati-hati tatkala anak itu adalah anak pertama, sehingga dituntut harus ini, harus itu, dan dituntutnya itu benar-benar secara berlebihan sehingga si anak menjadi korban tekanan. Harus memberikan contoh yang baik kepada adikmu, harus menegur adikmu dan sebagainya, jadi kasihan juga memang.
GS : Jadi lebih berbahagia memang orang tua-orang tua zaman sekarang Pak Paul yang ada banyak media yang bisa membekali pasangan-pasangan muda usia ini.

PG : Betul, ada satu prinsip lagi Pak Gunawan tentang membesarkan anak-anak pada usia kecil yaitu waktu kita mendisiplin anak, harus mengerti jelas anak kita itu. Jadi adakalanya kita ini mendiiplin secara membabi buta, anak sejak kecil sudah memiliki kepribadian, jadi seturut dengan yang tadi ibu Ida katakan tentang ada anak yang keras kepala, ada anak yang memang penurut, nah kita harus tahu anak kita.

Ada anak yang hanya perlu kita beritahu, titik, ada anak yang harus kita lebih tegas, ada anak yang hanya kita ajak berbicara, ada anak yang harus kita sabarkan, ada anak yang harus kita mengalah dulu baru kita nanti masuk lagi. Itu semua adalah teknik-teknik mengorangtuai anak yang tidak bisa saya bahas atau Pak Gunawan bahas secara teoritis, karena bergantung pada pengenalan orang tua terhadap anaknya. Yang saya takuti kita sering kali tidak sadar.
IR : Kira-kira keterlambatan orang tua di dalam salah mendidik waktu kecil, kadang-kadang dampaknya waktu remaja anak ini baru kelihatan kelakuannya. Apakah bisa ditolong Pak Paul, kesalahkaprahan cara mendidik itu?

PG : Masih bisa sebetulnya kalau si anak tahu dia sebetulnya dicintai, kalau si anak sudah merasakan bahwa dia tidak dicintai oleh si orang tua, meskipun orang tua berusaha pada masa remaja sudh agak susah, tapi kalau si anak tahu dia dicintai tapi ada kesalahan-kesalahan dalam mendidik saja, harapan itu lebih besar, jadi masih bisa.

GS : Ya kita bersyukur bahwa kasih Tuhan itu tidak pernah terlambat atas keluarga kita. Jadi dengan pertolongan Tuhan kita boleh yakin bahwa anak-anak kita pun kalau kita didik di luar pengetahuan kita bahwa kita salah mendidik saya rasa dengan usaha yang sungguh-sungguh bersama-sama dengan Tuhan itu masih bisa teratasi Pak Paul.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, telah kami persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang mendidik anak pada usia dini yaitu usia sekitar kelahiran sampai 10 tahunan, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



4. Mendisiplin Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T020A (File MP3 T020A)


Abstrak:

Disiplin terhadap anak sangatlah diperlukan, disiplin dikaitkan dengan tindakan ketat. Dan dalam materi ini dijelaskan bahwa orangtua perlu memperhatikan tentang disiplin anak dan ada saran-saran yang seharusnya dilakukan orangtua.


Ringkasan:

Amsal 19:18 berkata: "Hajarlah anakmu selama ada harapan tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya." Makna kata hajarlah di sini adalah disiplinkanlah, jadi disiplin itu memerlukan suatu tindakan yang ketat tapi bukan tindakan yang keras. Yang dimaksud oleh Amsal tersebut adalah disiplinkanlah dengan ketat, pada waktu anak-anak kita masih mempunyai harapan. Dalam pengertian pada masa di mana anak itu masih bisa dibentuk atau diubah atau diarahkan, jangan sampai kita terlambat. Sebagai orangtua sudah seharusnya mendisiplin anak dengan ketat, tapi kadangkala kita bertindak dengan kasar atau habis kesabaran kita.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan:

  1. Kita mesti menyadari titik mendidih kita atau titik didih kita, kemudian kita mencoba mulai bereaksi kepada anak sebelum kita mendekati titik didih kita. Mulailah kita sampaikan teguran tersebut jauh sebelum kita mendidih.

Mendisiplin anak dengan pukulan yang efektif adalah sampai batas anak berusia 10, 11 tahun, kalau setelah usia itu, sudah tidak lagi efektif. Tidak efektif dalam pengertian setelah anak-anak usianya mendekati pra-remaja atau mencapai usia remaja, mendisiplin dengan pukulan justru lebih berdampak negatif dan tidak lagi efektif dalam mengarahkan atau membentuk perilaku anak. Yang keluar dari anak bukannya respek tetapi kebencian atau kemarahan. Dan pemukulan yang boleh dilakukan oleh orangtua adalah memukul pada bagian pantat si anak, dengan tujuan adalah agar anak bisa menerima pukulan tanpa harus merasakan terlalu sakit.

Seorang anak yang dibesarkan di rumah di mana setiap kali orangtua mendisiplin anak dengan memukul, anak akhirnya hanya mengenal metode mendisiplin dengan cara memukul. Kecenderungannya yang terjadi adalah untuk anak mengulang besar sekali. Dia mengaitkan kemarahan atau mengekspresikan marah dengan pemukulan sebab itulah yang dia lihat.

Hal apa yang bisa dilakukan untuk melatih diri agar tidak melakukan hal tersebut:
  1. Kita mesti memberitahu dia bahwa metode itu bukanlah metode yang paling benar, sehingga dia sejak awal menyadari jangan sampai saya ini melakukan hal yang sama.

  2. Dia mesti belajar cara yang lain, misalnya kalau dari ayah dia dipukul namun ibu tidak memukul, dengan dialog dsb, si anak sebetulnya telah juga belajar metode yang lain yakni dialog.

  3. Si anak belajar mengekspresikan kemarahan dengan cara yang lain.

Efesus 6:4 berkata: "Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu tetapi didiklah mereka didalam ajaran dan nasihat Tuhan." Kata didiklah sebetulnya mengandung unsur mendisiplin. Jadi ayahlah yang ditunjuk Tuhan untuk mewakili Tuhan mendisiplin atau membentuk anak, sehingga akhirnya anak bisa menguasai dirinya dan bertumbuh dengan lebih sehat. Pada intinya disiplin itu perlu sakit tetapi tidak boleh menyakiti. Disiplin itu membentuk anak bukannya menghancurkan anak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pendidikan anak. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, ada satu ayat yang saya baca dalam kitab Amsal yang terus terang agak membingungkan saya. Ayat itu dari Amsal 19:18, yang berkata: "Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya." Jadi ini mungkin Salomo Pak Paul yang menuliskan Amsal ini yang mengatakan 'hajarlah anakmu'. Ini terus terang yang agak membingungkan saya. Sering kali saya mendengar kata-kata itu sebagai suatu tindakan kekerasan seorang ayah atau seorang dewasa terhadap anaknya. Tapi firman Tuhan ini justru mengajarkan atau mengatakan kepada kita untuk menghajar anak kita selama ada harapan, tapi jangan engkau menginginkan kematiannya. Yang belakang mungkin jelas itu, seorang ayah tentu tidak menginginkan kematian anaknya tetapi kata-kata menghajar apalagi kalau kita kaitkan dengan keadaan masa kini apa masih relevan Pak Paul untuk memukul atau menghajar anak, bagaimana itu Pak Paul?

PG : Memang kata menghajar bisa menimbulkan kesalahpahaman, karena dalam benak kita sewaktu kita mendengar kata hajar yang muncul adalah suatu tindakan yang keras Pak Gunawan, nah kita perlumemahami makna dari kata hajarlah.

Sebetulnya makna kata hajarlah di sini adalah disiplinkanlah, jadi disiplin itu memang memerlukan suatu tindakan yang ketat tapi bukan tindakan yang keras nah itu adalah dua kata yang berbeda. Disiplin tidak bisa tidak dikaitkan dengan suatu tindakan ketat kalau tindakan kita lembut, lembek, lunak itu tidak dikaitkan dengan kata disiplin. Jadi memang betul ada unsur ketatnya di situ, namun ketat tidak harus berarti keras jadi yang dimaksud oleh firman Tuhan adalah disiplinlah dengan ketat, pada waktu anak-anak kita itu masih mempunyai harapan. Jadi dalam pengertian pada masa di mana memang anak itu masih bisa dibentuk, jadi harapan di sini menunjukkan anak-anak memang masih bisa diharapkan untuk dibentuk atau diubah atau diarahkan jangan sampai kita ini terlambat, itu kira-kira maknanya Pak Gunawan.
(2) GS : Ya tetapi yang saya rasakan juga agak sulit Pak Paul, memang ketat tetapi tidak keras. Kadang-kadang kita kehabissan kesabaran di dalam kita mendisiplin anak dengan ketat itu, sehingga kita bertindak secara kasar, nah itu bagaimana Pak Paul mengontrolnya?

PG : OK! Pertama-tama kita mesti menyadari titik mendidih kita atau titik didih kita. Dan kita harus hindarkan jangan sampai titik didih itu sudah di depan mata baru kita bereaksi terhadap aak.

Ada kecenderungan ini yang kita lakukan Pak Gunawan dan saya pun menyadari saya melakukan hal yang serupa. Yaitu waktu anak saya berbuat sesuatu yang tidak saya sukai saya cenderung mendiamkan, saya tidak langsung bereaksi memberikan peringatan. Namun tatkala dia melakukannya sudah beberapa kali atau misalkan tidak di hari yang sama, di hari-hari yang lain dia melakukannya lagi nah tiba-tiba tanpa saya sadari kemarahan saya itu bisa langsung mencuat. Pada waktu itulah kemarahan saya akhirnya sebetulnya sudah mencapai titik didih, sehingga waktu saya marah, benar-benar marah. Jadi yang saya anjurkan adalah kita mesti sadari titik didih kita itu kemudian kita mencoba untuk mulai bereaksi kepada anak sebelum kita mendekati titik didih kita itu. Dan mulailah kita sampaikan teguran tersebut jauh sebelum kita mendidih, nah kira-kira itu saran praktisnya Pak Gunawan.
(3) IR : Tapi rata-rata Pak Paul, sering kali orang tua mendisiplinkan anak-anak yang masih kecil dengan pukulan, itu kira-kira sampai usia berapa anak itu harus didisiplin dengan pemukulan?

PG : Saya kira anak-anak masih bisa kita disiplin dengan pukulan sampai anak-anak itu berusia sekitar 10 tahun, setelah usia 10 tahun pemukulan itu sebetulnya tidak lagi efektif sebagai alatuntuk mendisiplin si anak.

Tidak efektif dalam pengertian setelah usia anak-anak mendekati pra-remaja atau mencapai usia remaja, mendisiplin dengan pukulan justru lebih berdampak negatif dan tidak lagi efektif dalam mengarahkan atau membentuk perilaku anak. Yang akan keluar dari si anak bukannya respek tapi kebencian atau kemarahan, sebab tatkala anak dipukul apalagi kalau dia sudah mencapai usia remaja yang akan muncul di hatinya adalah rasa marah. Kenapa? Sebab dia merasa sakit hati, bagaimanapun yang namanya pemukulan itu akan menciptakan rasa sakit hati pada si korban. Nah, pada saat-saat itu yaitu sekitar usia pra-remaja atau remaja, pemukulan akhirnya hanyalah menyuburkan perasaan marah pada diri si anak, sehingga mungkin saja si anak akhirnya menghentikan perilakunya. Tapi biasanya hanyalah untuk sementara, pada waktu si ayah atau si ibu yang memukul itu tidak ada di tempat dia akan melakukannya lagi dan ada kemungkinan dia akan melakukannya dengan sengaja. Kenapa dia melakukannya dengan sengaja seolah-olah untuk menunjukkan kepada si orang tua bahwa dia tidak tunduk kepada perintah mereka. Jadi yang efektif adalah kita ini mendisiplin anak dengan pukulan sampai batas kira-kira usia 10, 11 tahun, kalau setelah usia itu kita masih terus harus memukul dia, dapat saya simpulkan bahwa kita telah gagal mendisiplin si anak itu. Sebab teorinya atau secara teoritis yang tepat adalah kita mendisiplin dia dengan efektif sampai usia 10, 11 tahun setelah itu kita tidak perlu lagi menggunakan pemukulan, yang akhirnya lebih efektif adalah pada anak-anak usia remaja kita menggunakan dialog dan akhirnya kita menggunakan sistem sanksi yang nanti bisa saya jelaskan lagi.
GS : Kembali lagi pada pemukulan terhadap anak itu Pak Paul, memang kalau dilakukan pada usia sampai 10 tahun berarti anak itu masih lemah, kondisinya tidak sekuat orang dewasa atau sekuat remaja. Nah, kalau harus dilakukan pemukulan, tidak semua bagian tubuh bisa dipukul itu maksudnya?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, saya ini kadang-kadang melihat ada orang tua yang memukul anak itu sangat-sangat keterlaluan. Misalkan, saya masih ingat waktu saya masih SMP, ada teman saya stiap kali ayahnya memukulnya dia itu diikat di pohon, selama dia diikat dia dipukuli kemudian dia akan didiamkan di bawah pohon selama berjam-jam.

Nah, pemukulan seperti itu sudah sangat melewati batas. Jadi ada juga yang saya pernah dengar kasus di mana anak-anak misalnya diikat, diikat dekat keranjang, atau apa sehingga dia tidak bisa bergerak ke mana-mana persis seperti hewan. Nah itu semua adalah tindakan pemukulan yang melewati batas, yang boleh dilakukan oleh orang tua adalah memukul bagian (maaf) pantat si anak. Nah, saya juga mempunyai keyakinan bahwa Tuhan memberikan kita banyak daging di pantat itu dengan salah satu tujuan yaitu agar anak bisa menerima pukulan tanpa harus merasakan terlalu sakit. Waktu kita memukul badan si anak kita ini bisa melukai si anak, karena tubuh kita itu mempunyai tulang dan bisa saja tangan kita yang kuat atau kita menggunakan alat pemukul yang lain bisa meretakkan tulang si anak. Atau ada orang tua yang menggampar si anak, nah anak kecil kalau dipukul di kepala, digampar atau dijambak itu biasanya akan bereaksi dengan sangat marah. Karena saya kira ini memang sudah merupakan hukum alam, sudah bagian alamiah dalam diri kita, kita biasanya merasa marah sekali dan sakit hati, terhima sekali kalau kepala kita itu dijambak atau ditampar. Jadi jangan pukul kepala, saya juga tidak menganjurkan orang tua memukul kaki anak, sebab kaki itu juga ada tulang-tulang, ada tulang keringnya dan sebagainya itu juga berbahaya. Atau ada orang tua yang memukuli paha si anak, saya kira juga jangan paha sebab paha itu mempunyai daging-daging yang sebetulnya sangat lunak, sehingga biasanya kalau paha dipukul menimbulkan bekas-bekas yang merah, dan legam biru misalnya. Jadi kalau mau memukul anak, pukullah bagian pantatnya. Ada yang memang berpendapat memukul anak jangan menggunakan tangan sendiri misalnya menggunakan sapu lidi atau rotan, nah dalam hal ini saya tidak mempunyai suatu opini yang kaku harus dengan alat atau tanpa alat. Yang penting adalah kita mesti bisa tahu berapa jauh kita telah memukul dia atau berapa kerasnya kita telah memukul dia. Saya pribadi tidak memukul anak dengan alat lagi, dulu waktu anak-anak saya masih lebih kecil saya memukulnya dengan sapu lidi, sekarang tidak lagi. Sebab kenapa? Sebab akhirnya saya sadari bahwa dengan sapu lidi saya tidak bisa mengukur berapa kerasnya saya telah memukul dia. Waktu saya memukul dia dengan telapak tangan saya, justru saya lebih bisa mengontrol berapa kerasnya. Waktu itu saya pernah sekali memukul dia misalnya dengan tangan, saya tiba-tiba baru menyadari tangan saya juga cukup sakit, nah di saat itulah saya sadari, saya telah memukul dia terlalu keras, sejak saat itu saya tidak memukul dia dengan alat lagi, sebab saya berpikir saya tidak tahu berapa keras telah saya pukul dia, jadi tangan akhirnya saya gunakan untuk memukul.
IR : Pak Paul, kalau anak dipukul terlalu sering, apakah tidak menjadikan si anak ini juga mempunyai konsep, bahwa kelak kemungkinan juga dia akan memukul anaknya seperti itu?

PG : Betul sekali Ibu Ida, karena kita mencontoh perbuatan yang diperlakukan atau yang dilakukan terhadap kita. Jadi kalau misalkan kita dibesarkan di rumah di mana setiap kali orang tua menisiplin kita dengan memukul, akhirnya metode itulah yang kita kenal, kita tidak mengenal metode yang lain untuk mendisiplin anak, akhirnya apa yang terjadi tatkala kita sendiri mempunyai anak kita juga menerapkan metode yang sama, kita akan memukul anak kita persis sama seperti orang tua kita memukul kita.

(4) IR : Nah untuk mencegah itu, bagaimana Pak Paul? Atau kalau sudah terlanjur misalkan si anak ini sering dipukul supaya dia sendiri kelak jangan sampai memukul anaknya sendiri itu bagaimana Pak Paul?

PG : OK! Sebelum saya masuk ke situ saya mau tambahkan sedikit lagi tentang anak yang dipukul oleh orang tuanya. Selain akhirnya dia itu mencontoh metode tersebut si anak juga mengaitkan kemrahan atau mengekspresikan marah dengan pemukulan sebab itulah yang dia lihat.

Setiap kali misalkan orang tuanya marah, orang tuanya memukul dia, nah tanpa disadari akhirnya si anak mulai mengasosiasikan kedua hal tersebut, marah dengan pemukulan, lain kali waktu dia marah dia juga cenderung bereaksi atau memukul. Nah, kalau anak-anak ini memang dibesarkan dengan metode seperti itu kecenderungannya untuk mengulang besar sekali. Bagaimanakah dia bisa melatih diri agar tidak melakukannya, nomor satu kita mesti memberitahu dia bahwa metode itu bukanlah metode yang paling benar, sehingga dia sejak awalnya mulai menyadari jangan sampai saya ini melakukan hal yang sama. Yang kedua adalah dia mesti belajar cara yang lain, nah misalkan kalau si ayah memukul, namun ibu tidak memukul tapi berdialog dengan dia dan sebagainya, si anak itu sebetulnya juga telah belajar metode yang lain yakni dialog. Sehingga akhirnya waktu dia sudah besar, telah menjadi orang tua dia juga mempunyai pilihan yang lain. Lain perkara kalau dua-dua memukuli dia nah itu susah, tapi misalkan hanya satu yang memukuli yang satunya tidak, dia akan mendapatkan contoh yang positif yang lainnya itu. Nah, suatu saat nanti dia bisa mengingatnya dan mulai menerapkan cara yang lain, sebab dia juga melihat bahwa cara yang lain itu justru efektif. Yang ketiga adalah saran saya agar si anak itu belajar mengekspresikan kemarahan dengan cara yang lain. Nah, sejak dia masih remaja kita pantau apakah kalau dia marah, dia cenderung sepertinya beringasan, sepertinya mau bertindak secara fisik. Kalau kita melihat adanya gejala itu pada diri anak kita, kita mesti sering-sering bicara dengan dia, kita mesti ingatkan dia bahwa "Kalau marah kau bisa mengekspresikan kemarahanmu dengan cara yang lain, bagaimana saya bantu kamu, kalau engkau marah engkau bicara dengan aku, engkau bicaralah dengan saya, saya akan coba pancing emosimu dan agar engkau bisa berbicara, mengeluarkan melalui ucapan dan bukan melalui pukulan." Begitu kira-kira yang bisa kita lakukan.
IR : Nasihat saya sering kali saya kaitkan dengan firman Tuhan, saya sering kali nasihatkan untuk mengendalikan diri karena itu juga perintah Tuhan, mengendalikan diri.

PG : Betul, jadi memang kita mesti melatih dia mengendalikan diri. Ini tidak merupakan garansi bahwa pasti dia nanti setelah dewasa bisa mengubah metode itu, memang perlu waktu. Saya sendirimengakui bahwa saya pun dipukul sewaktu masih kecil dan ayah saya kalau memukul saya itu lumayan.

Meskipun ayah saya bukanlah seseorang yang memukuli saya terus-menerus, tapi kalau memang lagi marah dan mendisiplin saya, ayah saya memukul saya cukup keras. Saya akhirnya menyadari bahwa saya pun mempunyai potensi yang sama, waktu anak-anak saya berbuat hal yang salah atau nakal saya sadari itu awal-awalnya saya bisa marah dan benar-benar sepertinya mau memukul dia dengan sakit. Tidak puas kalau hanya memukul, rasanya ingin memukul sampai sakit. Saya sendiri kaget menyadari kok saya begitu, akhirnya saya mencoba mengendalikan diri dengan misalnya menjaga marahnya saya itu jangan sampai ke titik didih, tadi saya sudah singgung.
GS : Ya tapi sebenarnya tadi juga sudah disinggung, yang lebih pantas banyak memukul itu sebenarnya ibu atau ayah Pak Paul. Jadi si bapak atau ibunya, karena yang pernah saya jumpai dalam sebuah keluarga, kalau ayahnya yang memukul ibunya yang sakit hati. Dia merasa ini anak yang saya kandung kamu pukuli. Nah itu bagaimana, apakah Pak Paul punya pengalaman lain?

PG : Ya saya memahami ibu itu mempunyai naluri keibuan, dan naluri keibuan adalah naluri yang bercorak melindungi, menumbuhkan, memelihara. Jadi sewaktu yang ditumbuhkan, yang dipelihara, dlindungi itu diserang, si ibu memang merasa sakit hati juga.

pertanyaan Pak Gunawan sebetulnya dijawab sendiri oleh firman Tuhan, jadi di Efesus 6:4 firman Tuhan berkata: "Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Nah, dari sini kita langsung bisa membaca bahwa bapaklah yang diminta oleh Tuhan untuk mendidik anak-anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Dan kata didik sebetulnya mengandung unsur mendisiplin, jadi ayahlah yang ditunjuk Tuhan untuk mewakili Tuhan mendisiplin atau membentuk anak, sehingga akhirnya si anak bisa menguasai dirinya dan bertumbuh dengan lebih sehat. Jadi kalau kita simpulkan ayahlah yang memang ditugaskan Tuhan untuk mendisiplin baik itu dengan teguran maupun juga dengan pukulan, asal dalam batas yang wajar masih boleh dilakukan.
GS : Jadi mungkin itu yang agak sulit Pak Paul, kami kaum bapak atau yang pria ini lebih banyak menghindar karena khawatir nanti konfliknya menjadi berpindah, yang tadinya mau memukul anak tapi karena istri membela kami akhirnya menyerahkan kepada ibu supaya ibunya saja yang memukul, sementara kami atau ayah ini menghindar. Tapi memang tanggung jawabnya kami mesti belajar untuk menjaga supaya jangan sampai ke titik didih tadi Pak Paul.

PG : Betul, dan penting sekali bagi para ibu untuk menghormati wibawa ayah di sini dan tidak menengahi tatkala ayah sedang mendisiplin anak. Nah, sekali lagi saya katakan ini dalam konteks mndisiplin secara benar, kalau misalnya si ayah memukuli si anak dengan sadis sudah pasti ibu harus menengahi, jangan sampai anak itu menjadi korban.

Tapi kalau misalnya dipukul secara wajar, biarkan sebaiknya ayah dan ibu itu mempunyai suatu kesepakatan sehingga masing-masing tahu batasnya sampai seberapa jauh dia memukul dan memarahi. Misalkan pun saat misalnya si ayah memukul si ibu itu tidak setuju, menganggap bahwa peristiwa tersebut tidak harus diselesaikan dengan begitu kerasnya si ibu sebaiknya saat itu tidak memberikan komentar, setelah anak itu selesai didisiplin dalam ruangan yang privat di luar dari si anak itu, ibu boleh mengutarakan ketidaksetujuannya. Kenapa ini penting sekali sebab orang tua memang mesti seia sekata dalam mendisiplin anak, baru anak itu akhirnya bisa merespons dengan lebih baik.
GS : Ada lagi orang tua yang memukul anaknya Pak Paul, kalau tidak sampai menangis anak itu terus dipukuli. Seolah-olah anaknya itu belum merasakan sakitnya, dipukuli terus, apakah memang betul pukulan itu harus membuat sampai anak itu menangis?

PG : Tidak betul sama sekali, disiplin harus mengandung unsur sakit, jadi sekali lagi ketat itu harus ada. Ketat dalam pengertian memang akan mengekang dia dan yang bisa mengekang adakalanyaadalah rasa sakit, tapi tidak boleh menyakiti anak.

Jadi saya juga bedakan dua kata itu sakit dan menyakiti, disiplin perlu sakit tapi tidak boleh menyakiti. Jadi kalau ada orang tua memukuli sampai anak itu kesakitan dan sampai akhirnya harus menangis dia berhenti, berarti orang tua itu mempunyai masalah dengan kemarahan dan dia itu rupanya hanya bisa reda marahnya tatkala anak itu seolah-olah takluk di depan matanya, menangis dan sebagainya. Dan dia sudah kehilangan makna disiplin, sebab disiplin itu bukanlah menghancurkan jiwa anak. Jadi ada 2 unsur penting yang harus dibedakan, disiplin itu membentuk anak bukannya menghancurkan anak, adakalanya kita akhirnya orang Jawa berkata kebablasan bukan membentuk, malahan menghancurkan anak.

GS : Memang kalau begitu benar apa yang firman Tuhan katakan tadi di dalam Amsal itu Pak Paul, kita waktu kita itu ada batasnya untuk menghajar anak itu. Tapi selama masih ada harapan memang perlu dilakukan hajaran terhadap anak sebatas apa yang patut kita berikan dan saya rasa memang itu bukan untuk menyakiti dia tetapi untuk mendidik dia dengan baik. Jadi terima kasih sekali Pak Paul untuk uraian yang bukan hanya penting buat saya tapi tentu buat semua pendengar yang mengikuti acara Telaga ini. Demikian tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan terima kasih untuk Anda yang sudah berkirim surat kepada kami, namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan selamat berjumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



5. Pola Pendidikan Anak dalam Keluarga Kristen


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T026A (File MP3 T026A)


Abstrak:

Pola pendidikan anak di tengah-tengah keluarga tidak cukup hanya dengan perkataan atau ucapan tetapi orangtua harus terlebih dahulu memberikan teladan kepada putra-putrinya.


Ringkasan:

Ulangan 11:19, "Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."

Mengajarkan Firman Tuhan kepada anak perlu dilakukan secara berulang-ulang, tidak bosan-bosan karena ini akan memudahkan anak untuk mengerti apa yang kita ajarkan.

Di dalam mendidik anak seharusnya bukan hanya banyak bicara tetapi sebagai orangtua lebih banyak meneladani atau memberikan teladan kepada anak. Jadi seandainya kita mengajarkan Firman Tuhan, orangtua harus melakukan terlebih dahulu dan memberikan contoh kepada anak dan ini akan lebih memudahkan dalam mengajarkan kepada anak.

Anak sejak kecil sudah bisa mengerti atau tanggap terhadap teladan yang diberikan orangtua, misalnya diajarkan berdoa. Namun ketika anak sudah mulai lebih besar saya mengajarkan tentang kesaksian hidup, hidup yang dipimpin Tuhan, hidup di dalam Tuhan dan juga mengajarkan tentang melakukan Firman Tuhan di dalam kehidupan yang sebenarnya.

Mengajarkan Firman Tuhan secara berulang-ulang juga bisa dilakukan dalam ibadah keluarga yaitu dengan bersama-sama membaca Firman Tuhan. Selain di dalam rumah, Firman Tuhan juga dapat diajarkan di luar rumah, misalnya pada saat di perjalanan sambil melihat ciptaan Tuhan orangtua mengajarkan atau menceritakan Firman Tuhan, menghubungkan Firman Tuhan dengan kehidupan nyata.

Dalam pendidikan anak pun tidak hanya dilakukan oleh salah satu pihak, ibu saja atau ayah saja, akan tetapi kedua belah pihak, baik ayah maupun ibu. Meskipun Firman Tuhan mengatakan ayah yang mendidik anak, karena memang ayahlah yang menjadi kepala keluarga yang harus bertanggung jawab, tetapi pelaksanaannya adalah dua-duanya.

Pola pendidikan bagi anak balita yaitu usia di bawah 5 tahun, yang dapat dilakukan kita sebagai orangtua adalah menanamkan nilai iman Kristen melalui kasih. Dan tentunya orangtualah yang harus memberikan teladan bagaimana menyatakan kasih, mereka nggak akan mengerti tentang kasih kalau tanpa ada teladan dari orangtua untuk menyatakan kasih.

Untuk anak usia remaja memang lebih sulit, namun kita dapat melakukan lebih banyak pendekatan pribadi dengan bicara mengenai masalah khusus atau masalah yang dihadapi di luar. Contoh-contoh yang baik dan yang tidak yang perlu diketahui oleh anak remaja.

Ada 3 prinsip yang perlu kita perhatikan di dalam melakukan ibadah keluarga:

  1. Kreatifitas, ibadah yang kreatif lebih bisa diterima oleh anak-anak.

  2. Menyenangkan, ibadah keluarga bukan sebagai tempat untuk tegur-menegur atau penyampaian nasihat-nasihat, anak cenderung nggak begitu menikmati.

  3. Singkat.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang kali ini dihadiri oleh Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan juga Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo, mereka adalah para pakar di bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang pola pendidikan terhadap anak khususnya di dalam keluarga Kristen. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Ibu Vivian, kami senang sekali Ibu bersama-sama dengan kami pada malam hari ini dan kita akan bersama-sama membicarakan tentang pola pendidikan anak di dalam keluarga Kristen. Saya teringat dengan satu ayat yang menarik di dalam Ulangan 11:19 dan Ibu Ida akan membacakannya untuk kita.
IR : "Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun."
(1) GS : Sebenarnya ayat itu cukup jelas sekali mengajarkan pada kita bagaimana kita mendidik anak. Tetapi masalah yang sering dihadapi dan juga seringkali menghadapi itu terhadap anak-anak, kalau kita menerapkan ayat firman Tuhan ini secara harafiah ya, mereka itu malah cenderung bosan mendengar "Berkali-kali Papa ini ngomong mesti ada ngutip ayat dan sebagainya itu, itu sebenarnya tanggapan yang seperti itu bagaimana, Bu Vivian?

VS : Saya mempunyai pandangan mendidik anak seharusnya bukan hanya dengan banyak bicara tetapi kalau dalam mendidik anak sebagai orang tua kita banyak meneladani/memberi teladan kepada anak. Jai seandainya kita mengajarkan Firman Tuhan dengan orang tua melakukan sendiri dan memberikan contoh kepada anak dan nanti kalau anak sudah melihat contoh orang tua, lebih mudah orang tua itu mengajarkan kepada anak.

Lalu firman Tuhan diajarkan jadi anak tidak pernah bosan karena melihat contohnya dan teladannya ini berguna.

PG : Jadi maksud Bu Vivian teladan orang tua itu adalah prasyarat sebelum pengajaran bisa disampaikan dengan efektif. Kira-kira maksudnya apa ayat yang telah kita baca tadi Bu Vivian?

VS : Kalau menurut kami yang saya baca di Ulangan 6:4-8,9 di sana kita memang harus mengajarkan anak berulang-ulang dengan apa yang kita katakan dan berulang-ulang mengajarkan, tidk bosan-bosan karena anak tidak akan mengerti satu kali.

Tetapi kalau dari Ulangan ini terjemahan yang lain saya lihat, sebelum orang tua mengajarkan harus ada teladan dulu. Jadi kalau saya melihat firman Tuhan mencantumkan itu sebagai prasyarat.
IR : Jadi bisa dikatakan orang tua jangan bersaksi tapi menyaksikan teladan ya Bu Vivian?

VS : Bersaksi dalam kehidupan ya, setelah itu baru kita bisa ngomong. Kalau tanpa ada kesaksian kehidupan bagaimana apa yang kita katakan anak tidak akan mau mendengarkan.

GS : Mungkin contoh konkret ya Bu Vivian, kalau kita mau mengajarkan anak supaya menurut kata-kata orang tua, bagaimana contoh yang tadi Bu Vivian katakan lewat teladan itu?

VS : Mungkin contohnya bisa katakan firman Tuhan mengajarkan kita sebagai anak Tuhan kita harus hidup suci, jadi kita menurut perintah Tuhan, kita berusaha hidup suci kita berusaha, kalau orangya sudah menikah tidak selingkuh, kita berusaha hidup benar.

Kita taat perintah Tuhan jadi mungkin ada macam-macam godaan tapi kita berusaha untuk menjaga diri. Setelah itu kita bisa mengajarkan anak-anak untuk hidup suci juga.
GS : Maksud saya bagaimana anak itu bisa mengerti atau sampai usia berapa anak itu bisa tanggap terhadap teladan yang kita berikan kepadanya itu.

VS : Saya kira mulai umur kecil itu, mulai sekecil-kecilpun, mulai anak kecil kita ajarkan mereka senantiasa berdoa. Nah kalau anak itu tidak pernah melihat orang tua berdoa anaknya bertanya: &uot;Lho, Papa Mama sendiri tidak berdoa kok menyuruh saya berdoa.'

Jadi mulai kecilpun mereka sudah tahu.

PG : Saya ada satu pertanyaan ini Bu Vivian, saya mencoba menceritakan kisah-kisah Alkitab kepada anak-anak saya dan ada kecenderungan kalau saya mulai berkata sekarang Papa hari ini menceritakn tentang Yusuf.

Reaksi pertama mereka adalah "Sudah tahu, bosan" Saya juga terus terang agak frustrasi juga sebab di pihak yang satu saya menyadari bahwa memang mereka sudah cukup sering mendengar kisah-kisah Alkitab ini. Di pihak lain kita ingin juga mengajarkan tentang firman Tuhan, apakah Ibu juga mengalami masalah yang saya alami itu?

VS : Ya kalau mengajarkan cerita-cerita, mereka mungkin kalau sudah tahap tertentu mereka sudah mengerti, tapi biasanya kalau sudah umurnya lebih besar saya mengajarkan mereka tentang kesaksianhidup.

Jadi kesaksian hidup yang bagaimana yang kita jalankan sesuai firman Tuhan. Misalnya beginilah orang yang dipimpin Tuhan, beginilah orang yang hidup dalam Tuhan. Jadi saya lebih mengajarkan tentang mengaitkan dengan firman Tuhan tapi berhubungan dengan kehidupan yang sebenarnya.
IR : Tapi seringkali anak-anak itu justru melawan Bu Vivian, apa yang kita ajarkan baik itu seringkali tidak mendapat tanggapan, apa karena kedagingan anak-anak itu ya Bu Vivian sehingga seringkali sulit sekali Bu Vivian?

VS : Betul, oleh sebab itu firman Tuhan tadi sudah mengatakan ajarkanlah berulang-ulang.

(2) GS : Di dalam kita mengajarkan berulang-ulang itu timbul kita sendiri yang menyampaikan mungkin juga bosan ya Bu Vivian karena tidak ditanggapi dengan positif. Masalahnya selain tadi Bu Vivian katakan kita harus berikan suatu teladan nyata lewat kehidupan sehari-hari, apakah ada cara lain Bu Vivian, karena terus terang saja mungkin bagian yang paling sulit adalah bagian yang memberikan teladan, kita lebih gampang ngomong daripada meneladani itu dalam bentuk yang konkret, apakah ada cara lain Bu Vivian untuk mengajarkan firman Tuhan berulang-ulang itu?

VS : Cara lainnya yang mengajarkan firman Tuhan berulang-ulang mungkin dalam ibadah keluarga bersama-sama membacakan firman Tuhan. Dan mungkin kalau firman Tuhan mengatakan mengajarkan bukan haya dalam rumah tapi juga di luar rumah.

Jadi kalau kita mungkin dalam perjalanan sambil melihat ciptaan Tuhan kita menceritakan. Kalau dalam perjalanan melihat sesuatu kita juga menghubungkan dengan firman Tuhan jadi saya mengatakan dengan kehidupan nyata begitu mengajarkan firman Tuhan.
IR : Juga mungkin dalam menghadapi pergumulan ya.
GS : Ada keluarga yang mengatakan itu 'kan urusannya guru-guru Sekolah Minggu atau guru agama di sekolah, bagaimana tanggapan Bu Vivian dengan pandangan seperti itu?

VS : OK! Saya sering kali menghadapi orang tua yang mengatakan mengajarkan anak firman Tuhan melalui guru Sekolah Minggu, melalui gereja. Tapi selalu saya menanyakan kepada mereka, anak berada i gereja itu berapa kali seminggu.

Seringkali kalau orang-orang biasa ya seminggu sekali. Berapa waktu yang dia ada di dalam rumah, kalau dalam seminggu sekali berapa jam di gereja, lalu berapa waktu yang bersama orang tua di dalam rumah tangga. Jadi kalau kita melihat porsinya yang terbesar seharusnya tanggung jawabnya di mana, di rumah atau di gereja. Karena waktu yang diberikan Tuhan itu yang porsi terbesar di mana.
(3) GS : Ya tapi masalahnya mungkin timbul karena orang tua merasa tidak mampu untuk mengajarkan itu, daripada dia ngajarnya keliru lalu diserahkan ke guru Sekolah Minggu yang memang ada waktu persiapan untuk cerita dan sebagainya. Tapi saya kembali lagi hendak mengatakan bahwa yang paling sulit memang mengajarkan dalam bentuk teladan. Bagaimana orang tua itu harus melatih dirinya?

VS : Orang tua melatih diri dengan menaati firman Tuhan misalnya kemarahan, nah ini saya selalu mengajarkannya kepada anak saya karena dia mengalami kesulitan dalam hal mengendalikan kemarahan nak saya.

Jadi kalau saya mengajarkan dia supaya tidak suka marah, saya sendiri harus menjaga supaya tidak suka marah. Kita harus memaksa diri kita menaati firman Tuhan.

PG : Saya kira, Pak Gunawan dan Ibu Ida, salah satu sumber permasalahannya adalah terletak pada kita-kita ini sebagai hamba Tuhan ya Bu Vivian, yaitu kita cenderung memang memberikan pengajaranmelalui mimbar.

Jadi kita ini sebetulnya di gereja pun tidaklah memiliki kesempatan untuk hidup bersama dengan jemaat dan menjadi contoh konkret buat mereka, akhirnya yang kita lakukan adalah memberikan pengajaran-pengajaran tersebut. Nah, orang tua mendapat contoh tersebut di gereja yaitu bahwa mereka belajar tentang Tuhan melalui pengajaran-pengajaran, akhirnya metode itulah yang mereka ketahui. Pada waktu di rumah, mereka seperti menjadi wakil kita, duta besar kita di rumah ya mereka menjadi pengkhotbah-pengkhotbah buat anak-anak. Sebab mereka memang tidak tahu cara yang tepat atau apakah ada cara lain yang lebih efektif untuk menyampaikan kebenaran Tuhan karena yang mereka kenal hanyalah satu cara itu. Yaitu cara khotbah atau cara pengajaran formal, akhirnya itulah yang mereka lakukan di rumah. Waktu kita misalnya mendorong jemaat untuk mengadakan ibadah keluarga, yang mereka lakukan akhirnya adalah sama seperti di mimbar. Mereka juga menjadikan meja sebagai mimbar mereka dan berkhotbah kepada anak-anak. Jadi mungkin waktu tadi Pak Gunawan bertanya kepada Ibu Vivian, saya berpikir mungkin memang kami ini sebagai hamba Tuhan di gereja perlu memberikan pelatihan-pelatihan yang lebih spesifik kepada orang tua. Jadi orang tua tahu cara-cara kreatif yang mereka dapat gunakan dalam menyampaikan firman Tuhan kepada anak-anak mereka, bagaimana pandangan Ibu?

VS : Ya saya kira betul seperti itu, mungkin ada cara lain kalau tadi bagaimana menyampaikan firman Tuhan. Kalau saya seringnya berbicara secara pribadi, jadi bukannya secara berkhotbah. Jadi ertanya kepada mereka lalu saya menyampaikan firman Tuhan dengan pendekatan pribadi.

GS : Dan itu kelihatan hasilnya Bu?

VS : Ya, ada hasilnya dan demikian juga mereka juga lebih erat dengan orang tua (GS : Lebih akrab dengan kita, berani mengungkapkan isi hatinya dan sebagainya).

GS : Tetapi masalahnya kita itu sebagai orang tua tidak selalu bisa mengontrol diri di hadapan anak. Tadi Ibu katakan mau mengajarkan anak untuk tidak marah. Tetapi terkadang namanya orang itu bisa lepas kendali justru waktu di depan anak. Kalau sampai itu terjadi, apa yang harus kita lakukan terhadap anak kita yang melihat dengan nyata, "Lho ibu atau ayah ini bisa marah ternyata" begitu kalau seandainya itu anak melihat dengan tidak sengaja?

VS : Kita harus mengoreksi diri kita sendiri kalau kemarahan itu dasarnya apa, masalahnya apa. Kalau memang anak yang salah kita boleh memarahi, tetapi kalau memang kita yang salah maka kita hrus mengoreksi diri dan minta maaf pada anak dan kita berusaha untuk lain kali memperbaiki diri.

GS : Ya tapi bukankah itu bisa terjadi berulang-ulang (VS : Ya betul) sehingga anak mulai mengenali akan sifat diri kita. Papa ini ternyata kalau karena sesuatu hal ini, marahnya itu sampai meledak-ledak. Ya memang sudah berusaha untuk tidak begitu, tapi kalau sudah salah satu sifat marah itu seringkali terjadi lalu anak menilai kita seperti itu, jadi negatif penilaiannya.

VS : Jadi orang tua bertobat dululah.

IR : Jadi selalu kembali pada firman ya?
GS : Kembali di dalam pola pendidikan anak ya Bu itu 'kan bukan cuma dari satu sisi, ayah saja walaupun yang kita baca di dalam Perjanjian Lama khususnya itu ditujukan kepada ayah yang lebih terutama. Tapi justru yang kita lihat sekarang ini di dalam kehidupan sekitar kita adalah justru ibu yang pegang peranan di dalam pendidikan anak, bagaimana menurut pandangan Bu Vivian?

VS : Pendidikan anak harus dilakukan kedua belah pihak, ayah dan ibu. Tuhan menciptakan anak ini lahir dari kedua orang tua, jadi maksudnya keduanya harus ikut campur. Memang firman Tuhan mengaakan ayah karena di sini adalah kepala keluarga yang harus bertanggung jawab tetapi yang melaksanakanharus keduanya.

PG : Secara praktisnya ya Bu Vivian misalkan keluarga Ibu sendiri ya, peranan apa yang Ibu lakukan dan peranan apa yang Pak Daud lakukan dalam menyampaikan kepada anak-anak. Tadi Ibu berkata memang dua-dua mempunyai andil yang sama ya?

VS : Mungkin kalau saya lakukan ini hal yang lebih mendetail karena sebagai seorang ibu yang lebih sering bersama anak jadi saya mendetail yang kecil-kecil lebih banyak saya memperhatikan. Kala Pak Daud lebih ke hal yang menyeluruh begitu.

GS : Jadi bukan pembagian tugas yang satu sari uang yang lainnya membina anak seperti itu ya Bu?

VS : Tidak, bersama-sama.

GS : Jadi tetap harus dilakukan bersama-sama.

VS : Ya, kalau sesuatu hal yang saya kurang jelas, saya ragu-ragu saya akan tanya Pak Daud sehingga kita dapat bersama-sama.

GS : Yang seringkali kita hadapi dalam rumah tangga adalah kadang-kadang tidak sepahamnya antara si suami dan istri itu sehingga anak jadi bingung begitu ya Ibu, itu juga untuk hal-hal yang rohani saya katakan. Misalnya Ibu menghendaki anak itu pergi ke Sekolah Minggu atau ke gereja tapi ayahnya bilang: "Tidak apa-apalah sekali-sekali tidak datang," kalau terjadi itu bagaimana Bu?

VS : Itu harus disepakati bersama, keduanya harus sepakat dan harus bicarakan bersama-sama. Seperti kalau seandainya Sekolah Minggu itu untuk keluarga kami itu pasti harus pergi. Satu kali sayaingat tentang anak ini ingin pergi nonton dengan teman-temannya, nonton di bioskop, waktu itu saya berkata" Tidak apa-apa sekali saja Pa, melihat."

Waktu saya mengatakan sekali boleh tapi ayahnya tidak setuju, jadi saya katakan ini terakhir kali, pertama dan terakhir nanti lain kali tidak boleh lagi. Jadi saya mengatakan apa yang ayahnya mau dan kami sepakat.
GS : Tapi 'kan tetap itu berhasil untuk sekali dan yang terakhir.

VS : Ya untuk sekali jadi hanya ingin lihat seperti apa sih gedung itu, jadi diperbolehkan.

GS : Itu kalau sekali dan terakhir Bu. Mungkin bisa dimengerti tetapi yang seringkali yang terjadi kalau ada yang pertama lalu ada yang kedua, ketiga dan seterusnya lalu jadi bingung anak itu.

VS : Kalau berkali-kali anak tanya lagi: "Ma boleh tidak?"; "Dulu apa yang dikatakan Papa, sekali dan terakhir." Jadi kami selalu tegas dan tidak akan mengulangnya lagi.

(4) GS : Khususnya untuk anak-anak yang masih balita yang usianya di bawah 5 tahun, nilai-nilai iman Kristen apa yang perlu ditanamkan kepada mereka?

VS : Untuk anak yang balita mungkin nilai Kristen kasih ya, kasih itu yang penting dan itu tentunya harus orang tua meneladani dulu bagaimana memberikan kasih, mereka tidak akan mengerti tentan kasih kalau tanpa ada dari orang tua mengasihi dulu.

PG : Kalau saya boleh tambahkan kasih dalam wujud membagi ya Bu Vivian, sebab anak-anak terutama yang balita mempunyai sikap egosentrik yang sangat kuat yaitu segalanya berpusat kembali pada diinya.

Apa yang dia inginkan dia harus dapatkan, kalau tidak dia akan marah dan sebagainya. Jadi saya kira kasih Kristiani yang kita ingin tanamkan pada anak akhirnya berwujud dalam kemampuan si anak ya membagi makanan, membagi mainan, sikap seperti itulah yang harus kita tumbuhkan pada diri si anak. Kira-kira begitu ya Bu Vivian (VS : Ya betul).
GS : Tadi kembali lagi didalam pola pendidikan anak balita yang masih di bawah 5 tahun, seringkali yang kita lihat sekarang di gereja itu ada Sekolah Minggu untuk kelompok bermain. Anak-anak yang masih kecil-kecil sudah diikutsertakan. Sebenarnya seberapa efektif itu Bu Vivian di dalam pendidikan menanamkan nilai-nilai iman di dalam diri anak yang masih balita ini?

VS : Saya kira dari orang tua yang saya ajak bicara mereka malah mengatakan mendapatkan banyak berkat anaknya diikutkan Sekolah Minggu meskipun masih kecil. Yang mereka pelajari bukan apa yang ikatakan guru tetapi seringkali melalui nyanyian karena anaknya masih kecil.

Jadi sampai rumah mereka bisa bernyanyi dan memberitakan kesukaannya tentang apa yang mereka terima dari firman Tuhan itu melalui nyanyian dan gambar-gambar, jadi bukan dari apa yang mereka dengarkan.
GS : Itu karena keterbatasan orang tua tidak bisa mengajarkan itu mungkin Bu Vivian, seperti tadi kembali ke pertanyaan saya semula apa tidak orang tua mengambil mudahnya dengan mengikutkan anaknya ke Sekolah Minggu. Karena banyak orang tua berkata tidak ada waktu, tidak punya alat peraga, tidak bisa cerita dengan baik, tidak bisa mengajarkan menyanyi.

VS : Saya kira tetap orang tua harus menggunakan peranan yang penting (GS : Jadi kalau perlu orang tua membeli alat-alat peraga begitu Bu Vivian?) betul, di rumah buku-buku cerita yang bergamba banyak, (GS : Alkitab bergambar) ya, karena tiap hari anak bersama orang tua jadi kalau di rumah anak-anak tiap hari bisa membaca Firman Tuhan dari Alkitab bergambar itu.

GS : Itu mungkin lebih mudah dimengerti. Kalau sekarang anak itu sudah menginjak usia remaja ya Bu Vivian, apakah pola pendidikan itu harus diubah?

VS : Di usia remaja memang lebih sulit, jadi memang kalau menurut kami di usia remaja lebih banyak pendekatan pribadi. Kalau ada masalah khusus kami berbicara, masalah yang dihadapi di luar, kai bicara.

Contoh-contoh yang ini baik, contoh-contoh ini tidak baik. Biasanya pendekatannya seperti itu, saya lebih menghubungkannya pada firman Tuhan.
GS : Tapi kegiatan mereka itu makin banyak juga ya Bu Vivian sehingga komunikasi kita juga seringkali menjadi berkurang, beda kalau masih usia balita kita bisa bawa ke mana kita pergi. Tapi begitu remaja mereka mempunyai acara sendiri-sendiri, mau bertemu saja sulit.

VS : Orang tua yang harus berkorban waktunya, kita harus menyesuaikan dengan jadwal anak. Jadi saya selalu mencari jadwal anak ini kapan pulang dan saya ini selalu berada di sampingnya, misal wktu makan saya berusaha bersama.

PG : Kadang saya mendapatkan keluhan bahwa anak-anak sewaktu menginjak usia remaja cenderung tidak terlalu tertarik lagi pada gereja, pada kebaktian. Akhirnya meskipun mereka datang tetapi datag karena disuruh oleh kita.

Apakah Ibu Vivian juga mendapatkan pengamatan yang sama, bahwa pada waktu anak menginjak remaja minat-minat terhadap hal-hal yang rohani yang dahulu kita tanamkan tiba-tiba sepertinya mulai bergoyang?

VS : Betul, saya kira mereka lebih senang dengan aktifitas yang lain, yang lebih menyenangkan daripada di gereja misalnya (IR : Lebih senang duniawi ya) karaoke, olah raga.

GS : Itu antara lain yang membuat orang tua Kristen jadi frustrasi Bu Vivian, karena sejak kecil sebenarnya sudah ditanamkan/diajarkan dan diharapkan anak itu nurut seperti dulu waktu masih anak-anak. Lalu tiba-tiba berubah anak ini dan kita sebagai orang tua kurang siap menghadapi perubahan itu. Karena merasa usahanya yang sekian tahun sampai 10 atau 11 tahun itu kelihatannya sia-sia dia berhenti, tidak lagi mengajarkan, menanamkan nilai-nilai iman karena merasa hasilnya sama aja dengan mereka yang dulu kecilnya dilepas, bagaimana Bu Vivian?

VS : Kalau menurut saya justru saat yang terpenting untuk mendidik anak itu adalah waktu balita dan waktu remaja. Jadi itu justru kita harus memberikan banyak waktu dengan anak-anak.

IR : Tapi sering anak-anak itu punya acara sendiri.

VS : Itulah kita harus mencari waktu kalau dia ada waktu di rumah langsung kita menyediakan diri.

(5) GS : Untuk ngomong-ngomong dengan dia, untuk bicara tentang firman Tuhan dan sebagainya. Bu Vivian tadi sudah singgung sedikit oleh Pak Paul tentang 'family altar' atau kebaktian di dalam rumah tangga. Menurut Bu Vivian apakah itu harus diadakan secara rutin di tempat yang tepat dengan satu liturgi sederhana yang dilakukan terus-menerus seperti itu Bu Vivian?

VS : Family altar memangnya seharusnya dilakukan tiap hari tapi kalau mungkin dari keluarga yang saya tanya sulit karena teori dengan prakteknya sulit.

GS : Ya pada kenyataan memang sulit, lalu bagaimana mengisi kekosongan itu?

VS : Kalau memangnya diadakan saya kira bukannya dalam bentuk yang harus, yang mati ya, kita cari bentuk-bentuk pokoknya firman Tuhan itu dinyatakan. Jadi tidak harus seperti liturgi di gereja nak-anak mungkin tidak mau, mungkin waktu berdoa bersama, mendengarkan dari kaset, orang tua yang membacakan, anak yang membacakan ganti-ganti.

Entah bagaimana, Pak Paul?

PG : Jadi memang ada 3 prinsip yang kita bisa ingat untuk mengadakan ibadah keluarga. Yang pertama yang tadi Ibu sudah singgung yaitu kreatifitas, jadi ibadah yang kreatif itu lebih bisa diteria oleh anak-anak.

Dan yang kedua adalah menyenangkan kalau serius dan menjadi ajang tegur-menegur, penyampaian nasihat-nasihat anak-anak cenderung akhirnya tidak begitu menikmati lagi, jadi harus menyenangkan. Dan yang ketiga kalau memungkinkan singkat ya, apalagi waktu anak usia masih lebih kecil singkat jangan bertele-tele atau panjang. Yang saya amati adakalanya ibadah keluarga menjadi ajang orang tua memberikan nasihat-nasihatnya kepada si anak. Akhirnya si anak akan melihat ini sama saja dengan tadi saya dimarahi oleh Mama atau Papa. Jadi akhirnya mereka tidak lagi menantikan untuk ikut dalam ibadah keluarga.
GS : Di dalam melakukan ibadah keluarga tadi Pak Paul, yang kita tahu itu sesuatu yang penting yang tadi saya katakan memang sulit itu ternyata Bu Vivian juga berpendapat sama sulit untuk dilakukan secara rutin, tetapi kita lakukannya menggunakan kesempatan semaksimal mungkin kapan bisa dan mereka berminat dan sebagainya itu, apakah itu juga bisa dilakukan misalnya pada saat kita bepergian ke luar kota dan sebagainya.

VS : Justru kalau untuk keluarga kami ke luar kota itu lebih bisa dilakukan karena kegiatan yang rutin itu tidak ada, justru kami bersama-sama hanya untuk keluarga dan kita bacakan, dan mereka ebih senang.

GS : Karena kadang-kadang acara rekreasi itu bisa mengekspresikan bahwa mereka juga masing-masing punya kegiatan lagi, ayahnya mancing, ibunya masak di dapur, anak-anaknya main di pantai sehingga malam sudah lelah dan bukankah itu tidak ketemu lagi Bu?

VS : Tapi justru tidak ada rutinitas yang lain, karena itulah kita harus mencari waktu (GS : Butuh pengorbanan orang tua) ya.

GS : Dan itu pasti, saya pikir memang seperti ibadah keluarga segala itu perlu dirancang, memang perlu dipersiapkan dari rumah oleh orang tua khususnya bahwa nanti di sana akan ada acara seperti itu. Walaupun anak tidak mengetahuinya lebih dulu sehingga semacam surprise buat mereka tapi lebih mengena begitu Bu? (VS :Betul).
IR : Dan yang mengambil inisiatif untuk memulai itu sebaiknya siapa kira-kira (VS:Orang tua), ya orang tua itu kadang-kadang yang saya sering ketahui itu si ibu ya.

VS : Keluarga kami, bagaimana Pak Paul?

PG : Kebanyakan yang mengadakan ibadah keluarga istri saya, bukannya apa-apa karena memang adakalanya orang telepon saya, saya lagi telepon anak-anak sudah siap untuk tidur jadi istri saya yangmengajak mereka berdoa bersama, tapi harus saya akui istri saya yang berperan besar sekali.

IR : Apa karena suami itu selalu memikirkan pekerjaan karena saya ketahui itu rata-rata si istri yang lebih berperan.

PG : Betul, betul jadi memang seharusnya suami lebih berperan tapi dalam kenyataannya akhirnya istri, mungkin karena soal waktu.

GS : Ya jadi perbincangan ini semakin menarik saja, sekali lagi kami ucapkan banyak terima kasih kepada Bu Vivian yang berkenan untuk bergabung bersama kami pada acara rekaman Telaga kali ini. Dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan seputar pendidikan anak khususnya di dalam menanamkan nilai-nilai iman Kristen bersama Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



6. Anak yang Membangkang


Info:

Nara Sumber: Dr. Vivian Andriani Soesilo & Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T030A (File MP3 T030A)


Abstrak:

Dalam materi ini dijelaskan bahwa anak yang membangkang tidak tergantung pada usia berapakah hal itu terjadi, akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah dalam hal ini orangtua yang perlu mengoreksi diri kenapa anak tidak mau menurut. Dan mengarahkan anak tanpa menghancurkannya. Namun sifat membangkang juga karena adanya sifat genetic atau bawaan.


Ringkasan:

Yang sering kali banyak dikeluhkan oleh orang tua adalah menghadapi anaknya yang membangkang. Orang tua perlu menyelidiki diri sendiri dulu mengapa anak saya tidak mau menurut, kalau memang itu terjadi setiap hari. Mungkin saja ada sesuatu di dalam diri orang tua yang membuat anak tidak mau menurut. Mungkin cara memberikan perintah, cara orang tua berbicara, sikap orang tua, jadi kalau anak selalu memberontak, orang tua mungkin bisa mencoba untuk melihat diri sendiri terlebih dahulu.

Atau bisa juga kita memahami masalah ini dari segi genetik. Dalam pengertian tidak semua anak dilahirkan sama, jadi ada anak yang bawaannya memang penurut dan ada anak yang bawaannya keras. Anak-anak yang bawaannya keras cenderung untuk membangkang. Istilah yang kita gunakan adalah anak-anak yang senantiasa mengetes atau menguji otoritas kita sebagai orang tua.

Dalam membesarkan anak yang berkemauan keras (strong willed) prinsipnya adalah bagaimana kita mengarahkan tanpa menghancurkannya. Artinya perlu suatu keseimbangan antara sikap yang mengarahkan tapi tidak menghancurkan. Dengan memberikan penjelasan yang masuk akal, yang logis dan konsisten lebih efektif untuk mengarahkan anak-anak yang keras kepala ini.

Roma 12:4, "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus."

Ayat ini sebagai perefleksian bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang tidak menjemukan, Tuhan yang kreatif. Jadi Dia menciptakan manusia berdasarkan keunikannya masing-masing dan masing-masing mempunyai tempat dalam tubuh Kristus. Jadi anak yang keras kepala sebetulnya mempunyai tempat dalam tubuh Kristus.

Salah satu murid Tuhan Yesus yang keras kepala sebetulnya adalah rasul Paulus, Tuhan memakai dia dengan luar biasa, tapi ada yang berhati lembut juga seperti Yohanes. Jadi masing-masing memang tidak sama, kita jangan merasa sial betul karena saya mempunyai anak yang membangkang, ini adalah pemberian Tuhan dan pasti ada tempatnya nanti dalam pekerjaan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang kali ini dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan juga Ibu Dr. Andrian Soesilo dalam sebuah perbincangan tentang bagaimana mengatasi anak yang sering memberontak atau tidak menurut kepada orang tua. Mereka berdua adalah pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Dan kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, selanjutnya dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pertama-tama Ibu Vivian, kami senang sekali Ibu Vivian bisa kembali berbincang-bincang pada kesempatan acara Telaga kali ini. Sering kali dikeluhkan oleh banyak orang tua khususnya orang tua yang baru menikah yang terkejut menghadapi anak yang membangkang. Jadi disuruh tidak mau dan suka melawan, apakah itu gejala umum pada setiap anak, Bu Vivian?

VS : Ini tergantung umurnya Pak, kalau umur 2 tahun itu memang ada istilah namanya 'teribotu' segalanya 'no, no, no' istilah bahasa Inggrisnya yang artinya tidak. Meskipun kadang-kadang dia idak bermaksud tidak, jadi memang tergantung umurnya.

Nanti kalau usia remaja, dia akan mencari identitas sendiri maka semuanya tidak menurut.
GS : Sebenarnya hanya sekadar sepatah kata yang mudah diucapkan oleh anak untuk mengatakan 'tidak' atau memang ada suatu alasan lain di dalam diri anak itu?

VS : Kalau anak tidak mau menurut orang tua, saya kira orang tua perlu menyelidiki diri sendiri dulu mengapa anak saya tidak mau menurut, seandainya itu memang yang terjadi setiap hari. Jadiapakah ada sesuatu di dalam diri orang tua yang membuat anak ini tidak mau menurut, mungkin cara memberikan perintah, cara dia berbicara, sikap orang tuanya, mungkin bukan dari anak itu sendiri tapi orang tuanya.

Jadi kalau memang anak itu selalu memberontak, orang tua mungkin bisa mencoba untuk melihat diri sendiri terlebih dahulu.
(1) GS : Orang tua mungkin berkata saya sudah mengajari anak saya dengan baik bahkan dipanggilkan baby sitter yang baik, yang bisa mengasuh dan sebagainya. Tapi kenyataannya anak memang bandel, itu suatu sifat dasar atau pengaruh lingkungan atau apa?

VS : Memang manusia ada sifat dasar, ada kebaikan dan kejahatan, tapi saya kira kalau anak ini membangkang terus, pasti ada sesuatu yang membuat dia memberontak. Kalau memang disediakan babysitter tentunya anak akan memberontak karena baby-sitter bukanlah orang yang sungguh-sungguh mencintai dia.

Yang dia inginkan adalah perhatian orang tuanya, jadi mungkin dikarenakan kasih orang tua yang digantikan oleh baby-sitter.
IR : Jadi tetap orang tua harus menyelidiki diri sendiri, mungkin ada kaitannya dengan orang tua.

PG : Atau kita juga bisa mencoba memahami masalah ini dari segi genetik. Dalam pengertian tidak semua anak dilahirkan sama. Jadi ada anak yang memang bawaannya penurut dan ada anak yang memag bawaannya keras.

Anak-anak yang memang bawaannya keras, cenderung tidak mudah menurut, jadi bawaannya adalah justru untuk membangkang. Istilah yang kita gunakan adalah anak-anak yang senantiasa mengetes atau menguji otoritas kita. Memang kalau ditanya kenapa ada anak yang seperti begini, karena memang kepribadiannya berbeda. Kalau anak yang kepribadiannya lebih penurut, kita tidak perlu berbicara keras dia sudah akan melakukan yang kita minta, tapi untuk anak-anak yang berkemauan keras 'strong willed' maka kita tidak cukup misalnya meminta dia melakukan sesuatu, adakalanya harus menaikkan suara atau mengancamnya dengan hukuman, baru dia mengerjakan yang kita minta. Jadi senantiasa pengujian otoritas itu akan mewarnai rumah tangga kita dengan anak tersebut. Kita juga harus menyadari ini adalah bagian yang alamiah.
(2) GS : Pak Paul, kalau tadi dikatakan dalam diri anak yang suka membangkang itu ada sesuatu yang positif, tadi Pak Paul katakan 'strong willed', kemauan yang kuat. Saya jadi bingung, sampai sejauh mana kita bisa mentolerir kekerasan anak ini, jadi kebandelannya sampai di mana. Kalau kita melarang dia terus-menerus, bisa mematikan rasa kemauan dia yang baik. Lalu sebaiknya bagaimana, Pak Paul?

PG : Dalam membesarkan anak yang berkemauan keras ('strong willed') ini prinsipnya adalah bagaimana kita mengarahkan tanpa menghancurkannya. Jadi perlu suatu keseimbangan antara dua kubu, du sikap yang mengarahkan tapi tidak menghancurkan.

Saya kira yang sering terjadi adalah kita menghancurkan anak yang keras karena kita merasa ditantang olehnya jadi kita rasanya marah, terpancing emosi kita. Lalu kita keraskan sikap kita, kita marahi, kita pukul dia. Respons dari si anak biasanya bukannya tunduk tapi dia akan mencoba membangkang lagi dalam hal lain dan kesempatan yang lain. Jadi dia akan selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa melawan kita lagi. Anak-anak yang berkemauan keras ini sulit sekali ditundukkan, jadi tujuan kita sebagai orang tua bukannya mau menundukkan dia tapi mau mengarahkan dia, caranya adalah dengan memberikan penjelasan kepada anak itu. Biasanya penjelasan yang masuk akal, yang logis dan konsisten lebih efektif untuk mengarahkan anak-anak yang keras kepala ini.

VS : Kalau menurut saya, anak yang membangkang memang harus dengan cara yang seperti Pak Paul katakan tadi. Ada anak yang memang keras seperti tembok, kalau kita keras maka akan terjadi sepeti kita melempar bola dia akan memantul, tidak bisa dengan cara yang seperti itu.

Jadi mungkin cara yang bisa kita lakukan adalah berbicara lembut dengan dia, itu mungkin yang bisa kita lakukan.
IR : Mungkinkah, ini ada kesaksian seseorang yang mengatakan bahwa cara mendidik anak itu memang berbeda satu dengan yang lain, tapi ada yang memang harus dikeras baru menurut? Jadi dengan kekerasan itu baru menurut tapi dengan lemah lembut mereka mengabaikannya.

PG : Saya kira kita perlu membereskan juga definisi keras di sini. Menurut saya keras tidak selalu berarti menggunakan pukulan, keras berarti bagi saya ketegasan. Anak-anak saya di rumah serng sekali mengeluh akan suara saya sewaktu saya marah.

Saya jarang sekali memukul mereka, tapi memang suara saya yang bariton waktu saya mulai mengeraskannya mereka tidak suka. Mereka sering berkata: "Kenapa sih papa suaranya begitu keras membuat kami takut." Terus-terang dalam hati saya senang, sebab berarti suara saya sudah cukup untuk membuat mereka takut. Jadi keras adalah tegas, bagaimana menurut Ibu Vivian sendiri?

VS : Saya setuju dengan itu, saya tidak setuju keras dengan pemukulan.

GS : Ya, tapi adakalanya memang juga harus dipukul ya?

VS : Ya kalau memang tidak ada jalan yang lain.

GS : Tapi ada yang pernah kami jumpai, di rumah anak ini kelihatan baik sekali, diberitahu menurut sama ayahnya, ibunya. Tapi gurunya yang di sekolah itu justru sering memberikan masukan, keluhan kepada orang tuanya. Anakmu ini tidak bisa diatur di sekolah, suka mengganggu temannya, kalau diberitahu gurunya melawan dsb. Kenapa anak itu bisa hidup di dalam dua dunia yang berbeda, Bu?

VS : Mungkin di rumah itu karena ada sosok ayah atau ibu yang keras sekali terhadap dia, jadi dia sudah takut sekali dan kalau dia di luar jadi bebas dan bisa berbuat apa saja, karena mungkn di rumah terlalu ditekan, jadi dia keluarkan di sisi yang lain.

GS : Atau mungkin kalau ketemu guru yang sama kerasnya dengan orang tuanya, lalu dia jadi penurut?

VS : Belum tentu, mungkin di rumah ada sanksinya yang lebih besar kalau dia tidak mau menurut sama orang tuanya.

GS : Dalam hal ini untuk mengatasi hal seperti itu bagaimana Bu, apa orang tua perlu konsultasi dengan guru atau anaknya yang dipindahkan ke sekolah lain atau bagaimana?

VS : Mungkin kalau keadaan seperti itu orang tua sebetulnya sebelum terjadi, dia tahu siapa teman-teman pergaulannya anak ini, mungkin pengaruh teman-temannya. Bagaimana anak ini di kelas, mngkin dia tidak cocok dengan sekolah itu, jadi orang tua perlu dekat dengan anak, supaya mengerti dan mengenal anak, sehingga ada komunikasi di dalam keluarga itu.

Jadi kalau ada semacam itu tentunya orang tua sudah tahu kalau ada masalah-masalah dan tidak perlu terjadi seperti itu, saya kira bila ada perhatian kepada anak-anak, maka mereka akan terbuka kalau ada masalah.
IR : Bagaimana cara memisahkan anak jika bergaul dengan teman-teman yang nakal. Seringkali kalau kita menghendaki supaya mereka menjauh sulit sekali itu?

PG : Anak-anak cenderung memilih teman yang sesuai dengan seleranya. Jadi anak-anak yang aktif, yang suka bergerak lari dan sebagainya cenderung memilih teman yang sejenis. Atau anak yang pediam, yang halus, cenderung memilih teman yang juga halus dan pendiam.

Anak yang suka berpikir dan suka main video game cenderung memilih teman yang juga menyenangi video game. Jadi sebetulnya pertimbangan yang sehat dalam diri anak, dia mulai menunjukkan kesukaannya dan ini yang menjadikan ciri khasnya sebagai suatu pribadi yang unik. Tapi masalahnya adalah seperti tadi Ibu Ida katakan, adakalanya teman itu membawa dia ke perilaku yang nakal, yang memberontak, membangkang dan sebagainya. Tidak bisa disangkal pengaruh teman kuat, jadi kalau misalkan teman-temannya itu mulai berani menjawab si guru. Si anak ini akan melihat perilaku tersebut dan terpengaruh sehingga mendapatkan keberanian untuk melakukan hal yang sama. Temannya cerita kepada dia bahwa mereka berhasil melawan ibu mereka sewaktu ibu mereka meminta mereka pulang dan mereka masih mau main. Hal-hal seperti itu kadang kala diceritakan di antara teman dan menjadi amunisi buat si anak yang akhirnya ikut berperilaku seperti itu. Sekarang apa yang harus kita lakukan kalau anak kita relatif masih kecil umur 9-10 tahun dan mulai mencontoh perilaku teman-temannya. Saya kira ada waktu, ada tempatnya untuk kita bertindak keras dalam pengertian tegas dan kita mulai berkata bahwa engkau tidak seperti ini dulu, apakah mungkin engkau dipengaruhi oleh teman-temanmu. Kalau dia bilang tidak dan sebagainya ya kita tanya orang tua teman-temannya. Dan orang tua teman-teman misalkan mengkonfirmasi betul, anak-anaknya di rumah mulai membangkang dan sebagainya. Kita bisa menyimpulkan kemungkinan anak kita tertular, saya kira ada baiknya agar kita menegaskan kepada dia, "Engkau boleh main dengan teman-temanmu tapi saya tidak akan menoleransi tindakanmu yang seperti ini." Jadi kita akan tegaskan begitu. Sulit untuk melarangnya bermain, karena di sekolah dia akan bertemu dan dia akan tetap memilih teman yang ini sebab dia sudah cocok dengan yang pendiam dan halus misalnya. Jadi saya kira dia tetap akan bermain dengan teman-temannya, tapi kita bisa mengurangi tindakan membangkangnya itu di rumah dengan sikap yang lebih tegas. Dan adakalanya seperti tadi kata Pak Gunawan kita perlu untuk memukulnya, tapi memukul yang baik adalah hanya di bagian pantat saja, tidak boleh menjambak atau menggampar anak seperti itu.
IR : Pemukulan itu hanya dilakukan bagi anak-anak yang umurnya masih di bawah remaja ya, Pak Paul?

PG : Mungkin saya mau tanya Ibu Vivian, anak saya memasuki masa remaja, belum remaja benar-benar, kalau Ibu Vivian apa yang dilakukan?

VS : Untuk anak saya memang tidak bisa dipukul, apalagi anak saya dua-duanya laki-laki, jadi yang saya lakukan ialah mengurangi, dalam bahasa Inggrisnya 'privilege'. Mereka itu kalau seandaiya bisa bermain video game, biasanya berapa jam sehari, mereka tidak bisa pergi ke rumah temannya bermain tiap hari; mengurangi jam nonton TV itulah yang bisa saya lakukan, jadi membatasi.

GS : Karena itu ada sanksi yang Ibu terapkan di sana. Tapi kalau dari pembicaraan kita tadi, kita tahu bahwa pembangkangan anak itu tidak 100% kesalahan anak ya Bu, jadi kita orang tua ini harus jujur mengakui bahwa kita punya andil sehingga anak kita membangkang. Menurut pengalaman Ibu Vivian di dalam konseling dan terapi, Ibu lakukan kepada dua belah pihak atau hanya kepada salah satu pihak?

VS : Biasanya saya lakukan pada orang tua dulu, karena orang tua harus berubah sebelum anaknya. Bagaimanapun juga anak itu dipengaruhi oleh orang tuanya.

GS : Dan mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk memperbaiki orang tua ini?

VS : Ya tergantung dia terbuka atau tidak.

(3) GS : Menurut Bu Vivian bentuk-bentuk pembangkangan itu seperti apa yang seringkali Ibu amati?

VS : Yang tidak mau menurut orang tua ya, kalau diperintah tidak mau menurut, tidak boleh pergi tetap pergi. Mungkin untuk anak yang remaja, satu kegiatan yang tidak boleh tetap dia lakukan,atau mungkin kalau tetap tidak boleh, dia berani melarikan diri dari rumah.

Saya pernah mengenal satu teman yang membangkang berani melarikan diri. (GS : Cuma mengancam atau memang betul-betul dia lakukan?) betul-betul keluar beberapa hari dan dia tidur di rumah temannya yang mau menerima dia, jadi itu bentuk pembangkangan. Mungkin Pak Paul ada contoh yang lain?

PG : Saya sendiri bisa mengingat diri saya waktu masih SMP, orang tua saya melarang saya pergi keluar karena siang hari itu saya harus belajar, bukan hari Sabtu atau Minggu, tapi saya sudah erlanjur berjanji dengan teman saya untuk keluar kami nonton.

Mama saya mengunci pintu dengan gembok dan saya tidak bisa keluar lagi. Dan saya masih ingat pintu pagar kami itu mungkin dua kali tingginya saya waktu saya masih SMP dan diatasnya ada kawat berduri. Saya memanjat dari bawah sampai ke atas, sampai keluar dari pagar kaki saya lecet-lecet. Padahal waktu itu saya sudah tidak bisa nonton lagi karena sudah terlambat, jadi saya hanya tunggu di depan gang seolah-olah saya nonton, saya baru kembali pulang. Tujuan saya hanya satu, membuktikan kepada mama saya bahwa mama tidak bisa menguasai saya, jadi itulah yang saya lakukan. Jadi kalau saya pikir-pikir kenapa saya begitu dulu, sekali lagi waktu itu saya sudah remaja, ini tema yang umum bagi remaja yaitu kami merasa bahwa orang tua tidak mengerti kami. Saya sebetulnya rela saja untuk tidak menonton tapi saya sudah terlanjur berjanji. Mungkin saat itu kalau misalkan mama saya bisa berkomunikasi dengan saya dan berkata: "Ya, ya kamu sudah janji nanti malu tidak menepatinya. Mama mengerti perasaanmu, tapi bagaimana ini hari biasa, lebih baik kamu jangan nonton." Mungkin kalau saya mendengar tanggapan seperti itu dari mama, saya akan menurut. Tapi begitu saya diberi instruksi tanpa meminta penjelasan, saya berkata saya mau nonton mama langsung mengatakan: "Tidak! Ini hari biasa kamu harus belajar di rumah." Wah saya tidak bisa mendengar kata tidak, jadi saya tidak peduli saya salah atau saya benar. Siapa salah, saya tidak peduli. Begitu dengar kata tidak, saya harus melawan. Jadi saya kira pendekatannya memang akan berbeda-beda pada anak-anak ya. Untuk anak-anak yang mirip dengan saya itu memang sulit sekali mendengar kata tidak, tidak itu adalah suatu tantangan yang harus ditaklukkan; jadi memang lebih baik diberikan penjelasan yang seperti itu maka kami akan lebih tanggap.
GS : Saya pernah melihat suatu bentuk pembangkangan Bu Vivian, saya tidak tahu apakah itu bentuk pembangkangan juga, di mana kelihatannya anak itu pasif. Jadi misalnya saja tadi tidak boleh keluar ya, dia tidak keluar terus, disuruh keluar pun dia tidak keluar tetap di rumah saja, 'kan sudah diberitahu tidak keluar begitu. Tapi dia menginterpretasikan seperti itu, kelihatannya menurut, tetapi saya melihatnya itu suatu pembangkangan, bagaimana Bu Vivian?

VS : Pemberontakan ya.

GS : Pemberontakan juga, dia mau menunjukkan juga bentuk perlawanan seperti itu. Jadi saya rasa memang banyak bentuk-bentuk pembangkangan yang bisa dialami oleh keluarga-keluarga, baik keluarga muda maupun yang sudah mempunyai anak-anak remaja. Tetapi yang ingin kembali saya tanyakan, apakah ada batas waktu tertentu di mana anak itu dengan sendirinya menyadari akan sifatnya yang kurang baik, Bu Vivian?

VS : Batas waktunya tidak setiap orang sama, mungkin kalau anak sudah hampir lulus SMA, waktu lulus SMA mungkin lebih bisa mengerti atau usia SMA. Saya kira kalau usia universitas begitu, Pak Paul?

PG : Biasanya ya, kalau sudah meningkat usia yang lebih dewasa saya kira energi kita itu mulai bisa terkontrol dengan lebih baik. Dalam kasus saya, saya melihat saya mulai tidak membangkang ewaktu saya SMA.

Dan alasannya sebetulnya sederhana sekali yaitu saya mulai sibuk di gereja, jadi kesibukan di gereja itu menyerap energi saya. Saya bukan sebetulnya bertobat, sadar saya itu salah, tetap saja sebetulnya hubungan dengan mama saya atau papa saya renggang dan sering berkelahi. Tapi begitu saya menginjak SMA, saya tiba-tiba mendapatkan penyaluran. Saya sering main drama, menyanyi di vokal group dan sebagainya sehingga tiba-tiba energi saya sekarang terserap di luar, ada pengalihan dan itu mengurangi sekali ketegangan antara orang tua dengan saya. Waktu SMP saya belum banyak terlibat di gereja, saya sadar kira-kira waktu saya berumur 20-an tahun ke atas. Jadi kadangkala memang kita tidak bisa mengharapkan anak kita sadar, namun yang bisa kita lakukan adalah mengalihkan energinya itu ke hal-hal yang lebih baik.
GS : Jadi kalau pada dasarnya memang pembangkangan juga ada segi positifnya seperti tadi di awal pembicaraan kita, tentu "strong willed" itu yang kita harus tumbuhkembangkan dalam diri setiap anak ya, Bu Vivian. Pak Paul mungkin ada ayat firman Tuhan yang Pak Paul bisa sampaikan sehubungan dengan perbincangan kita ini?

PG : Saya ingin membacakan Roma 12:4, "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga ita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus."

Saudara-saudara, saya melihat ayat ini sebagai perefleksian bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang tidak menjemukan, yang kreatif. Jadi Dia menciptakan manusia berdasarkan keunikannya masing-masing dan masing-masing mempunyai tempat dalam tubuh Kristus. Jadi anak yang keras kepala sebetulnya mempunyai tempat dalam tubuh Kristus. Salah satu murid Tuhan Yesus yang keras kepala sebetulnya adalah rasul Paulus, Tuhan memakai dia dengan luar biasa, tapi ada yang berhati lembut juga seperti Yohanes. Jadi masing-masing memang tidak sama, kita jangan merasa sial betul karena saya mempunyai anak yang membangkang, ini adalah pemberian Tuhan dan pasti ada tempatnya nanti dalam pekerjaan Tuhan.

GS : Saya rasa itu memang perlu dihayati betul, Pak Paul, untuk kita bisa bersyukur mempunyai anak yang membangkang, tetapi kita melihat ada sesuatu yang baik yang Tuhan Allah mau berikan kepada kita. Tentu kita bisa saling melengkapi. Jadi baiklah Bu Vivian banyak terima kasih juga Ibu bisa hadir di dalam acara tegur sapa ini sehingga melengkapi perbincangan kita pada saat ini. Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang bagaimana menghadapi anak-anak yang membangkang. Perbincangan kali ini juga disertai dengan ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Melalui kesempatan ini kami juga mengucapkan banyak terima kasih untuk surat-surat yang sudah Anda tujukan kepada kami. Namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda masih sangat kami nantikan. Dari studio kami mengucapkan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



7. Anak Berfantasi


Info:

Nara Sumber: Dr. Vivian Andriani Soesilo & Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T030B (File MP3 T030B)


Abstrak:

Fantasi adalah hal yang normal terjadi pada diri anak-anak terutama pada anak yang masih balita. Tetapi anak juga harus ada keseimbangan antara bermain sendiri dalam fantasi dan bermain dengan anak-anak lain.


Ringkasan:

Fantasi adalah bagian kehidupan anak dan tidak perlu kita takuti. Kita kadang-kadang melihat anak berbicara sendiri di depan cermin, berbicara dengan bonekanya, tapi itu sesuatu yang normal. Karena memang itulah hidupnya, fantasinya, khayalannya yang sangat luas.
Tetapi anak harus mempunyai keseimbangan antara bermain sendiri dalam fantasinya dan bermain dengan anak-anak lain. Ada orang yang memang berbahagia karena anaknya itu sering main dengan anak-anak lain, tapi sebetulnya anak-anak sebaiknya bisa juga bermain sendiri, dia bisa menikmati waktunya sendiri, inilah sebetulnya awal dari kreatifitas. Karena dalam kesendiriannya dia harus menciptakan permainan dan harus melebarkan wawasannya, daya fantasi atau daya khayalnya, ini yang sehat.

Tapi kalau hanya bermain sendiri dengan daya khayalnya dan kurang bermain dengan anak-anak lain, itu juga berbahaya. Kalau terus seperti itu sampai dia usia remaja fungsi sosialnya akan terganggu sekali dan itu merupakan bibit dari gangguan jiwa yang lainnya.

Filipi 4:8, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu."

Sebagai ayah dan ibu Kristen, kita perlu memasukkan yang bagus, yang layak dipuji, yang indah, yang sedap didengar, yang mulia, yang agung pada benak anak-anak kita. Karena ini adalah bahan-bahan yang akan membentuk si anak.

Jadi kalau kita menanamkan yang kotor, yang muncul adalah diri yang tercemar, menanamkan yang bersih kita juga akan mendapatkan diri yang lebih murni.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan kali ini dengan Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana memahami fantasi anak. Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pertama-tama kami ucapkan terima kasih Bu Vivian, kami mau mencoba memperbincangkan tentang bagaimana kita bisa memahami fantasi anak. Tuhan itu sudah menciptakan kita juga anak-anak dengan begitu uniknya, sehingga ada daya fantasi di dalam diri anak itu. Kadang-kadang kita melihat anak berbicara sendiri di depan cermin, bicara dengan bonekanya dan sebagainya, itu sebenarnya tanda-tanda yang bagaimana, Bu Vivian?

VS : Untuk anak kecil terutama yang masih balita itu sesuatu yang normal dan memang mereka hidupnya, fantasinya, khayalannya sangat luas sekali. Dan mereka sering kali melakonkan, misalnya sya ini seorang ibu, saya ini seorang bapak, saya ini seorang guru.

Dia akan memakai pakaian seperti seorang pemadam kebakaran, seperti seorang polisi. Itu biasanya mereka senang sekali karena mereka akan belajar menjadi seseorang.
GS : Tapi ada orang tua yang mungkin karena di dalam kekurangmengertiannya takut dan melarang anak itu bicara sendiri. Mungkin nanti kebablasan jadi tidak waras. Sebenarnya bagaimana seharusnya kita menanggapi anak yang sedang berfantasi itu?

VS : Saya ingat waktu anak saya sendiri masih kecil, saya bermain dengan mereka. Mereka nanti pakai pakaian, saya seorang polisi ya saya bicara, "Kamu polisi ya" saya bicara kamu seperti seoang polisi ketika bermain.

(GS : Artinya Ibu kembangkan begitu?) ya, jadi itu ada waktunya tapi asalkan tidak terus menerus seperti itu. Jadi ada waktunya saya mengakui fantasi dia dan kita ini bermain bersama-sama.
(1) GS : Apakah anak itu bisa membedakan antara fantasi dan kenyataannya, Bu?

VS : Saya kira bisa (GS : Caranya Bu?) kalau sudah selesai tidak pakai pakaian seperti polisi lagi, ya dia jadi seorang anak lagi.

GS : Apakah ada suatu perbedaan yang jelas antara anak yang sedang berfantasi dan anak yang memang mengalami gangguan kejiwaan sejak kecil?

VS : Saya kira ada bedanya ya, Pak Paul?

PG : Untuk anak yang masih kecil sebetulnya akan sulit bagi kami untuk menentukan apakah ada gangguan jiwa, sebab pada masa kecil memang dunia fantasi dan dunia riil mereka itu masih berkesiambungan, masih sangat tumpang tindih.

Jadi memang sulit untuk memastikannya, biasanya gangguan jiwa itu mulai dapat dideteksi setelah anak itu menginjak usia remaja, tapi kalau anak itu misalkan super pendiam tidak bisa bergaul, mengurung diri saja, saya kira itu sudah merupakan tanda-tanda yang harus dicermati sebab anak kecil pada dasarnya bukanlah anak yang senang berdiam diri sendirian. Dia adalah anak yang memang senang untuk berhubungan dengan anak-anak lain dan bermain.
IR : Sebaliknya Pak Paul kalau anak remaja itu mengalami hiperaktif apa itu termasuk juga gangguan jiwa?

PG : Bukannya gangguan jiwa tapi memang sesuatu yang lain, jadi suatu kelainan sedikit memang itu termasuk dalam salah satu disorder atau gangguan, disebut ADHD (Attention Deficit Hyperactivty Disorder) jadi disorder itu gangguan attensideficit yaitu kekurangmampuan untuk berkonsentrasi, hyperactivity adalah energi yang berkelebihan, jadi itu adalah masalah bagi sebagian anak-anak remaja dan statistik menunjukkan satu dari 20 anak mengidap masalah itu.

Gangguan ini mempunyai dua sisi yaitu yang kurang mampu berkonsentrasi dan energi yang berkelebihan. Ada anak-anak yang kelemahannya adalah konsentrasi, ada yang kelemahannya di energi yang berkelebihan tapi yang jenis berikutnya dua-duanya lemah yaitu kurang bisa konsentrasi dan energinya berlebihan. Untuk anak seperti ini memang diperlukan penanganan yang lebih khusus dan seringkali yang terjadi adalah para guru kurang bisa memahami anak-anak ini.
IR : Orang tua juga sering kali sulit mengatasi ya Pak Paul, bagaimana itu jalan keluarnya?

PG : Sangat melelahkan anak-anak yang hiperaktif itu, karena anak-anak tersebut menuntut perhatian nonstop dari orang tuanya. Yang paling penting adalah orang tua harus mulai bisa mengatur pnyaluran energinya, jadi jangan sampai anak ini kekurangan wadah untuk menyalurkan energi.

Saya akan anjurkan untuk mengajak anak itu berenang atau main basket supaya energinya bisa dikurangi, waktu tubuhnya agak lemas karena habis berolahraga sekitar sore, mungkin dia pulang mandi dengan air hangat. Dia mulai tenang baru kita minta dia untuk belajar. Kita harus realistik dengan belajar, memang sulit belajar untuk jangka waktu yang panjang, biasanya hanya untuk jangka waktu yang pendek saja. Jadi memang sangat melelahkan mempunyai anak seperti ini. Saya ingin memberikan sedikit komentar juga tentang fantasi yang tadi Pak Gunawan bicarakan. Fantasi adalah bagian kehidupan anak, sebagaimana tadi disebut oleh Ibu Vivian sesuatu yang tidak perlu kita takuti. Tapi anak harus mempunyai keseimbangan antara bermain sendiri dalam fantasinya dan bermain dengan anak-anak lain. Jangan sampai anak itu kekurangan salah satu di antaranya. Ada orang yang memang berbahagia karena anaknya itu sering main dengan anak-anak lain, tapi sebetulnya anak-anak sebaiknya bisa juga bermain sendiri, dia bisa menikmati waktunya sendiri, inilah sebetulnya awal dari kreatifitas. Karena dalam kesendiriannya dia harus menciptakan permainan dan harus melebarkan wawasannya, daya fantasi atau daya khayalnya, hal ini yang sehat. Tapi kalau hanya bermain sendiri dengan daya khayalnya dan kurang bermain dengan anak-anak lain, itu berbahaya. Kalau terus seperti itu sampai dia usia remaja fungsi sosialnya akan terganggu sekali dan itu merupakan bibit dari gangguan jiwa yang lainnya.
GS : Mengenai fantasi itu, ada satu kasus Pak Paul, beberapa kali bahkan itu yang ditakutkan oleh orang tua di mana anak-anak mereka yang masih kecil itu bermain dokter-dokteran. Itu berbahaya sekali ternyata efeknya, bisa terjadi percabulan dan sebagainya karena anak-anak ini jadi korban dari mereka yang lebih besar, dimana anak kecil yang berfantasi itu, dia tidak mengerti akibatnya. Apa memang bisa terjadi begitu Pak Paul?

PG : Sangat bisa, jadi anak-anak kecil itu datang ke dunia sebetulnya dengan tidak memiliki pagar mental yang memisahkan antara diri mereka dan diri orang lain. Itu sebabnya anak-anak kita sbut adalah anak-anak yang berada pada masa "impressionable" yaitu masa mudah dipengaruhi.

Artinya kita ini orang dewasa, waktu kita melihat film kita bisa membedakan antara film dan saya, ada pagar yang memisahkan kita dan objek itu, anak kecil tidak. Jadi apa yang dilihat, apa yang ditonton itu meresap masuk. Itu sebabnya anak-anak kecil percaya adanya Sinterklas, begitu mereka menginjak dewasa mereka tahu itu adalah tidak benar-benar. Kenapa anak kecil bisa percaya Sinterklas itu benar-benar Sinterklas, karena apa yang dilihat itulah kenyataan baginya. Maka langsung masuk ke dalamnya, oleh sebab itu jangan membiarkan anak-anak nonton film yang mengerikan, menakutkan, film horor karena film itu benar-benar masuk dalam dirinya. Tapi itu adalah masa di mana anak-anak sebetulnya mengembangkan kreatifitasnya dengan masuknya objek-objek dari luar ke dalam pikirannya, dia mengembangkan fantasinya, dan itu adalah bibit dari kreatifitas sebetulnya. Tapi perlahan-lahan dia juga akan mulai mengembangkan pagar yang membedakan antara yang dilihatnya dan dirinya, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh objek-objek dari luar dirinya. Contoh mengenai dokter-dokteran, kemungkinan memang mereka melihat dokter memeriksa badan mereka, harus membuka baju. Sekali lagi karena anak belum memiliki pagar mental, maka dia menganggap ini adalah hal yang benar, yang memang bisa dilakukan jadi mereka mulai memainkannya juga seperti dokter-dokteran. Tapi kalau bagi anak yang sudah menginjak remaja atau pra-remaja, kemungkinan besar ini bukan karena fantasinya tetapi karena rasa ingin tahunya akan tubuh lawan jenisnya, dimulailah permainan-permainan seperti itu. Dan saya setuju dengan Pak Gunawan efeknya memang bisa sangat merugikan anak kecil, di sinilah kita bisa melihat kasus-kasus yang disebut "bolestasi" yaitu pencemaran anak-anak di bawah umur. Ibu Vivian mungkin bisa memberikan komentar mengenai hal ini?

VS : Pencemaran anak, saya kira kalau fantasi anak itu diawasi orang tua maka jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi kalau permainan dokter-dokteran, biasanya anak saya duu itu bukan terhadap manusia tapi terhadap boneka.

GS : Anak melihat sulap, film silat dan sebagainya, itu dipikirnya bisa melakukan seperti itu sehingga ada yang makan silet dan sebagainya, akibatnya celaka bagi dia. Di sana seharusnya pendampingan orang tua penting sekali.
IR : Juga ada kasus yang menirukan Superman yang terbang, sungguh terjadi memang.
GS : Jadi daya fantasi itu memang luar biasa, padahal kita tahu bahwa melalui daya fantasi itu juga banyak hal baru yang bisa tercipta ya Pak Paul. Tetapi saya juga melihat, daya fantasi itu bisa bergeser. Jadi hanya untuk memenuhi keinginannya, anak itu rela berbohong kepada kita. Mungkin ada bohong yang memang betul-betul anak itu bohong tetapi ada yang dari daya fantasinya sendiri. Dia tidak sadar entah itu dia habis mimpi malamnya atau apa, lalu dia ceritakan seolah-olah itu sungguh-sungguh terjadi. Bagaimana kita menanggapinya kalau kita tahu sebenarnya itu sekadar fantasi, namun kalau dikatakan itu fantasi, dia kecewa. Apa kita harus menuruti anak dalam hidup fantasinya itu?

VS : Itu mungkin harus dilihat keadaannya, saya ingat dulu anak saya waktu kecil dia mengatakan ada sesuatu yang sangat menakutkan, di kamar itu ada sesuatu binatang yang besar, binatang yan menakutkan itu mungkin termasuk fantasi.

Waktu itu saya mengatakan apa benar, di mana coba tunjukkan kepada saya, coba perlihatkan di mana, ternyata tidak ada. Nah waktu itu saya tahu dia bukan berbohong, tapi suatu ketakutan karena daya fantasinya, dia baru melihat sesuatu.
(2) GS : Apakah fantasi itu bisa terbawa di dalam mimpi anak (VS : Bisa) sehingga malam hari tiba-tiba dia menangis atau lari ke kamar kita, apakah itu mempunyai dampak untuk masa depannya atau tidak?

VS : Itu tergantung bagaimana orang tua yang menangani.

PG : Biasanya berdampak juga ya Pak Gunawan, ini contoh pengalaman pribadi saya. Saya masih ingat, waktu saya masih kecil mau nonton film manusia yang bisa berubah menjadi laba-laba dan kemuian menyerang orang-orang.

Tangan-tangannya yang mula-mula dikeluarkan, tangannya itu tiba-tiba berbulu. Ceritanya itu masih saya ingat sampai sekarang. Padahal saya ketika itu masih berumur sekitar 6, 7 tahun, jadi bayangan itu begitu nyata pada saya dan sangat menakutkan. Dan saya masih ingat untuk waktu yang lama saya ini orang yang mudah takut dengan misalnya kegelapan, kesendirian. Kenapa saya suka mengingat? Dan saya harus mengatakan awalnya adalah karena film itu dan saya berharap orang tua saya dulu melarang saya menonton film itu. Tapi mereka juga tidak memahami hal ini, jadi membiarkan saya menonton film seperti itu di televisi. Jadi itu sangat merugikan saya, menakutkan sekali sebab sekali lagi bagi saya itu adalah hal yang sangat riil. Menyinggung tadi tentang fantasi dan berbohong Pak Gunawan, saya menggunakan dua istilah yang berbeda. Yang pertama adalah bohong di dalam mental itu adalah bohong yang berkaitan dengan pertumbuhan anak dan yang kedua adalah bohong moral, jadi memang berbohong untuk mendapatkan keinginannya dan sudah menyadari itu adalah bohong dan tidak boleh. Tapi yang pertama bohong di dalam mental yang tadi sudah disinggung oleh Pak Gunawan dan juga Ibu Vivian, yakni anak-anak kadang-kadang menceritakan hal-hal yang merupakan buah fantasinya saja, jadi ya untuk menghadapi cerita seperti itu saya kira ada baiknya kita mungkin meladeni, tapi seperti yang dilakukan oleh Ibu Vivian dia tidak langsung berkata "kamu jangan bohong", karena itu akan memadamkan rasa ingin tahu si anak dan daya fantasinya. Jadi saya kira tindakan yang sangat baik adalah mengikuti si anak, menanyakan di mana binatangnya dan waktu tidak ketemu ya sudah si anak pun juga puas. Tapi misalkan si anak berkata: "Papa atau mama percaya tidak saya bertemu dengan binatang itu tadi?" Saya kira respons yang lebih wajar adalah mengatakan: "Kalau kamu memang bertemu ya papa percaya, coba gambarkan seperti apa wajahnya". Supaya anak ini tidak berkepanjangan dalam berfantasi maka harus terus kita awasi. Kalau dia mulai terus-menerus berfantasi, tidak bisa sekolah, itu baru berbahaya. Tapi kalau dia masih bisa bersekolah dan dalam percakapan sehari-hari tetap bisa berkomunikasi dengan kita itu tidak apa-apa, itu bagian kecil dari kehidupan fantasinya. Berbohong moral biasa dilakukan oleh anak-anak yang sudah menginjak usia pra-remaja dan remaja, yaitu membohongi orang tua.
GS : Masih berkaitan dengan fantasi itu, saya melihat bahwa dongeng itu juga merangsang fantasi anak, ada binatang-binatang yang bisa berbicara dan sebagainya. Ada sebagian yang mengatakan bahwa dongeng itu baik untuk anak, tetapi ada juga yang tidak terlalu setuju dengan alam dongeng karena membiasakan anak hidup di dalam alam dongeng. Bagaimana menurut Ibu? Ini berkaitan erat dengan Sekolah Minggu.

VS : Kalau dulu saya masih ingat waktu anak-anak saya masih kecil saya bergabung di sekolah minggu, ada cerita Alkitab tapi ada dongeng-dongeng yang sesuai dengan umur mereka tentang binatan-binatang yang lucu, yang mereka bisa buat ini, itu.

Jadi semuanya saya gabung jadi satu sesuai dengan pertumbuhan mereka, tapi juga ada firman Tuhan.
GS : Kenapa harus dalam bentuk dongeng, kenapa tidak dalam bentuk yang nyata saja, Bu Vivian?

VS : Karena hal itu yang disenangi anak, itu sesuai dengan dunianya.

GS : Dunianya ya, tetapi bagaimana mereka bisa memahami ada binatang-binatang yang bisa berbicara sehingga ada yang mengkaitkan misalnya ular yang di Taman Eden, itu pun dongeng karena sama seperti cerita-cerita yang lain. Padahal itu berbeda sekali ya Bu, bagaimana itu bisa dijelaskan?

VS : Mungkin kita tekankan firman Tuhan itu sesuatu yang nyata. Nah ini sesuatu yang dongeng saja.

GS : Jadi sejak kecil mereka harus bisa membedakan ya.

PG : Saya kira penting juga agar kita tidak memasukkan terlalu banyak dongeng yang negatif terhadap anak-anak kita. Saya tahu dalam konteks budaya kita banyak dongeng mengenai kuntilanak mislnya, jadi hal-hal yang memang bersifat dongeng tapi menyeramkan.

Dan saya sudah bertemu beberapa kali di mana ada orang-orang yang sudah dewasa, luar biasa takut setan jadi meskipun anak Tuhan, percaya sama Tuhan Yesus tapi sangat takut setan. Ini bukan masalah rohani sebetulnya, jadi orang suka berkata masa sudah jadi anak Tuhan takut pada setan. Masalahnya bukan rohani tapi masalah kejiwaan yaitu apa yang sudah ditanamkan pada benak si anak pada usia yang sangat kecil itu benar-benar cenderung berdampak terlalu kuat dan negatif. Jadi harus juga membatasi dongeng-dongeng seperti itu. Kalau saya akan menghindarkan anak-anak untuk mendengarkan dongeng-dongeng seperti tadi itu.
GS : Ya memang kita bisa menghindarkan di rumah, tapi di sekolah kadang-kadang buku-buku di perpustakaan dan sebagainya itu terbaca oleh mereka atau melihat di televisi. Itu yang langsung tadi Pak Paul katakan tanpa pagar itu masuk semua ke dalam diri anak itu.

PG : Anak saya mendengar cerita dari temannya tentang 666, 666 itu ada di Kitab Wahyu yaitu orang yang menyeramkan dan semua akan dibunuh olehnya; setiap kali dia mendengar cerita itu dia mutah.

Begitu kuat reaksi ketakutannya dan temannya ini memang setingkat lebih tinggi dari dia dan rupanya hoby menceritakan dari Wahyu yang memang salah kaprah. Saya masih ingat untuk jangka waktu tertentu saya harus memberikan dia penjelasan-penjelasan, dia suka bertanya, "Betul, tidak Papa, memang ada tidak?" Saya harus menjelaskan, saya tunjukkan di Alkitab, saya jelaskan artinya tapi dia sering bertanya. Akhirnya saya beritahu dia bahwa temanmu itu memberitahukan hal yang salah dan kamu tidak usah mendengarkannya. Tapi karena rasa ingin tahunya dia mau juga mendengar, dan begitu dia mendengar saya diberitahu gurunya bahwa dia muntah. Saya dipanggil ke sekolah untuk membawa dia pulang, dipikir sakit ternyata ketakutan. Itu berlangsung selama 2,3 bulan, itu saya ingat, setelah itu saya jelaskan dan mulai tenang kembali. Jadi betul kata Pak Gunawan ya, di rumah kita bisa kendalikan, pisahkan atau bersihkan dongeng-dongeng seperti itu tadi, tapi di tempat lain di sekolah misalnya tidak bisa. Namun di situlah fungsi orang tua, orang tua memang harus dekat dengan anak, mengerti akan keadaan anak dan hadir dalam hidup nya, sehingga pada waktu ada masukan-masukan negatif seperti ini kita bisa langsung menanggapi dan menolongnya.
GS : Jadi ada satu sisi kita melihat bahwa fantasi itu penting bahkan perlu bagi anak, tetapi sebagai orang tua, kita juga harus mendampingi anak untuk bisa menerjemahkan fantasi itu, Bu? (VS : Ya betul) Mungkin Ibu mau menceritakan yang lain tentang fantasi anak? Tidak dulu. Bagaimana Pak Paul apakah ada firman Tuhan yang Pak Paul mau sampaikan?

PG : Ini diambil dari Filipi 4 : 8, "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didngar, semua yang disebut kebajikan, dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu."

Jadi kalau kita terapkan pada anak-anak ya Pak Gunawan dalam konteks fantasinya, saya kira sebagai ayah dan ibu Kristen kita perlu memasukkan yang bagus, yang layak dipuji, yang indah, yang sedap didengar, yang mulia, yang agung pada benak anak-anak kita. Karena ini adalah bahan-bahan yang akan membentuk si anak itu, jadi kalau kita menanamkan barang-barang yang kotor, yang muncul adalah diri yang tercemar, menanamkan yang bersih kita juga akan mendapatkan diri yang lebih murni. Jadi apa yang diserap oleh anak itu akan menjadi bagian kehidupannya. Firman Tuhan meminta kita melakukan hal yang sebetulnya tidak terlalu sulit, tapi kita bisa lakukan sebagai orang tua Kristen.
GS : Jadi menurut Bu Vivian peran guru Sekolah Minggu yang membimbing banyak anak itu seberapa jauh pentingnya dalam kehidupan bergereja? (VS : Untuk guru sekolah minggu?) ya, ya itu kan mengasuh anak-anak ini Bu walaupun cuma sesaat tapi rutin. Dan anak-anak yang mereka hadapi adalah anak-anak yang membutuhkan berfantasi, bagaimana?

VS : Saya kira sangat penting sekali karena mereka mungkin di rumah sama sekali tidak ada kesempatan untuk pendidikan rohani dan di sini guru Sekolah Minggu yang bisa membantu mereka.

GS : Membantu untuk yang tadi dibacakan Pak Paul di kitab Filipi, merangsang anak untuk berpikir yang baik. Tetapi yang kita perlihatkan buku-buku bacaan rohani untuk anak-anak, sekarang ada Alkitab untuk anak-anak itu baik, tetapi pada umumnya apakah sudah mencukupi, sudah memadai Bu Vivian?

VS : Saya kira kalau di Indonesia masih kurang, tapi saya lihat juga dulu pernah ada beberapa terbitan, beberapa ini dengan dongeng pakai binatang yang lucu-lucu.

GS : Ada tim panggung boneka ya, saya lihat di SAAT ada Bu (VS : Betul, betul ada). Tetapi yang kadang-kadang melihat itu guru-guru sekolah minggu, tim panggung boneka itu kebanyakan diperankan oleh para pemuda yang sebenarnya kurang memahami betul jiwa anak, bagaimana menurut Ibu?

VS : Saya kira tidak apa-apa, (GS : Tidak masalah ya Bu ya?) tidak ada masalah malah mereka justru (GS :Bisa komunikatif dengan anak) ya

GS : Daripada kita yang sudah tua-tua tentunya tidak diterima anak.

PG : Saya hanya ingin menggarisbawahi yang tadi dikatakan Ibu Vivian, yaitu ibu justru bermain dengan anak dalam dunia fantasinya, saya kira itulah tugas orang tua. Orang tua memang harus bekecimpung dalam dunia anak.

Walaupun dalam dunia fantasi orang tua berkecimpung, kalau ini sudah dibiasakan akan terus berlanjut sampai dia remaja dan dia menjadi anak-anak yang sudah dewasa. Kita akan masuk dan berkecimpung dalam kehidupannya, itu yang perlu kita garis bawahi.
GS : Karena memang sulit untuk menuntut anak itu berkecimpung dalam dunia kita yaitu kita dalam rangka membentuk keakraban, membina keakraban dengan mereka, kita sebentar-sebentar bermain dalam fantasi dengan anak-anak ya Bu?

VS : Mulai kecil.

GS : Mulai kecil dan itu butuh pengorbanan dari orang tua untuk menyediakan waktu, tenaganya, kreatifitasnya dan sebagainya.

VS : Betul tapi sebetulnya menyenangkan juga.

GS : Jadi para orang tua saya rasa akan mencoba itu, Ibu Ida mau menyampaikan sesuatu.

Ya jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana memahami fantasi anak, daya fantasi anak dan kali ini kami berbincang-bincang dengan Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Bagi Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dari studio kami berempat mengucapkan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



8. Mengarahkan Anak yang Terlalu Baik


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T034A (File MP3 T034A)


Abstrak:

Seorang anak yang terlalu baik adalah anak yang terlalu penurut sehingga dia kehilangan dirinya atau kehilangan kemampuan untuk menjaga dirinya dengan baik. Oleh karena itu mereka sangat perlu diarahkan dalam menghadapi hidup ini.


Ringkasan:

Seorang anak yang "terlalu baik" adalah anak yang terlalu penurut sehingga dia kehilangan dirinya atau kehilangan kemampuan untuk menjaga dirinya dengan baik. Semua anak berpotensi untuk membangkang atau melawan, tetapi bagi anak ini mereka mudah untuk menurut dan rasa takutnya lumayan besar. Oleh karena itu pada waktu kita memberikan pengarahan, memarahi dia, menegurnya sekali saja dia cenderung untuk mendengarkan kita atau menuruti apa yang kita inginkan.

Ciri-ciri anak "terlalu baik" adalah:

  1. Mudah sekali memahami keinginan dan keadaan orang lain, dengan kata lain anak ini bisa membaca apa yang sedang terjadi pada diri orang lain. Karakteristiknya adalah anak yang penurut.

  2. Mementingkan orang lain, dia akan mudah mengalah, namun kelemahannya dia adalah jadi korban, emosinya peka.

Yang perlu kita lakukan untuk mengatasi anak yang "terlalu baik" ini adalah:

  1. Mengajarkan untuk berkata 'TIDAK' meski ini sukar bagi dia untuk dilakukan. Karena cenderung dia berbelaskasihan. Kita harus mengatakan waktu kita berkata 'tidak' bukan berarti kita jahat.

  2. Mendidik dia untuk melihat suatu masalah dari sisi yang berbeda.

Dalam pertumbuhannya menjadi seorang dewasa, dia cenderung mempunyai tuntutan yang sama, dia peka sebelum orang lain bicara. Dia kira-kira sudah tahu apa yang dibutuhkan orang lain, sehingga diapun menuntut hal yang sama. Pada hal kenyataannya tidak seperti itu, sehingga bisa juga dia beranggapan dunia ini kejam, dia menjadi depresi, dan dia juga bisa cepat mengambil keputusan untuk mencelakai diri.

Ada dua faktor yang menyebabkan menurunnya jumlah anak yang "terlalu baik" adalah sbb:

  1. Peranan orang tua semakin berkurang terhadap kehidupan anak-anaknya, dan anak-anak semakin sedikit melihat siapa orang tuanya, melihat ciri atau perbuatan orang tua yang memberi pertolongan, membantu orang lain semakin sedikit. Ciri dan perbuatan itu makin sedikit di rumah sehingga si anak juga kurang mewarisinya.

  2. Pengaruh dengan materi. Makin banyak mainan membuat orang tambah tamak dan makin mementingkan materi. Anak dilimpahi banyak mainan sehingga makin besar dia mementingkan hak milik dan tidak begitu mudah untuk memberikan atau membagikan kepada orang lain.

Amsal 19:2, "Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik,"

Pengetahuan identik dengan hikmat, jadi bisa dikatakan "tanpa hikmat kerajinanpun tidak baik". Kerajinan adalah hal yang baik, tetapi harus tetap meminta hikmat di dalam kerajinan, sebab hikmatlah yang akan memandu, mengarahkan kerajinan kita. Anak-anak yang baik, rajin, tanggung jawab, menolong, berbelaskasihan, peka dengan kebutuhan orang, semuanya ini bisa menjadi tidak baik jikalau tanpa dilengkapi hikmat dan pengertian, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan. Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam hidup anak ini, menyediakan waktu untuk bercerita tentang semua yang telah terjadi dalam hidupnya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana mengarahkan anak yang "terlalu baik", kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu, kita pernah membicarakan bagaimana menangani atau menghadapi anak yang membangkang, yang suka melawan orang tua. Pada kesempatan kali ini kita coba bicarakan yang sebaliknya, karena itu menjadi kenyataan di dalam kehidupan sehari-hari. Ada anak yang penurut, mudah diberitahu dan itu yang tadi diberi label anak yang bukan cuma baik, tapi terlalu baik.

PG : Tadi sebelum kita mulai merekam ya Pak Gunawan, kita berbicara tentang anak-anak yang terlalu baik dan rupanya kesimpulan bersama adalah mungkin dalam generasi ini sangat sedikit sekaliyang terlalu baik, banyak yang pembangkang.

Ibarat mobil ini memang mobil yang tidak diproduksi lagi, model lama. Kenyataannya memang tetap ada anak yang memang sangat penurut, yang tadi Pak Gunawan sudah singgung, yaitu terlalu baik dalam pengertian bisa berkonotasi negatif ya. Biasanya yang dimaksud terlalu baik adalah yang terlalu penurut sehingga dia kehilangan dirinya atau kehilangan kemampuan untuk menjaga dirinya dengan baik, itu kira-kira yang saya maksud dengan anak yang terlalu baik, Pak Gunawan.
GS : Padahal sebenarnya ya Pak, akibat dosa semua anak itu cenderung dilahirkan mempunyai bakat untuk melawan orang lain, menentang, nah ini kenapa bisa ada yang semacam perkecualian, sebenarnya apa yang melatarbelakangi, Pak Paul?

PG : Semua anak memang berpotensi untuk membangkang atau melawan, tapi khusus untuk anak-anak yang kita kategorikan terlalu baik ini, penurut, mengapa mereka ini mudah sekali untuk menurut dn rasa takutnya cukup besar.

Oleh karena itu waktu kita memberikan pengarahan atau memarahinya atau menegurnya sekali saja, dia cenderung untuk mendengarkan kita dan menuruti apa yang kita inginkan. Bakat melawan sudah tentu ada, tapi masalahnya atau yang baiknya adalah dia tidak terus-menerus melawan, sekali diberitahu cukup dan dia akan mengubah perilakunya.
(1) IR : Ciri-ciri yang lain Pak Paul, selain anak itu hanya ditegur sekali menurut tentu ada ciri ciri yang lain sehingga dikatakan anak itu penurut?

PG : Ada, anak ini mudah sekali memahami keinginan dan keadaan orang lain, jadi dapat dikatakan anak ini bisa membaca apa yang sedang terjadi pada diri orang lain, bisa merasakannya dengan tpat.

Orang tua yang mempunyai anak seperti ini biasanya berkata anak saya ini 'knowing' ya bisa mengerti saya, tidak perlu saya cerita, tidak perlu saya beritahu dia sudah tahu apa yang sedang saya rasakan, bisa membaca hati saya. Biasanya memang anak yang seperti ini sangat menggembirakan orang tuanya.
GS : Ya, tetapi saya melihat kadang-kadang terlalu baik menjadi kurang normal untuk anak, jadi kenakalan anak lalu hilang dalam dirinya, begitu Pak Paul, bisa terjadi seperti itu?

PG : Ya, jadi memang yang kita harapkan anak yang mulai nakal, mulai melawan, tidak terlalu kita jumpai pada anak ini, mungkin seorang ayah lebih sukar menerimanya daripada seorang ibu. Seorng ibu yang diam di rumah dengan anak ini akan merasa senang sekali karena anak yang seperti inilah yang akan berfungsi sebagai pembantunya, asistennya yang akan disuruh-suruh, tolong ambilkan ini, tolong jaga adikmu.

Jadi dari kecil anak ini akhirnya mendapatkan banyak pendelegasian tugas-tugas dari orang tua. Saya percaya kaum ibu biasanya senang dengan anak yang seperti ini. Mungkin kalau ayah ada yang sedikit keberatan, apalagi kalau anak ini laki, kok terlalu baik, kok tidak nakal, kok terlalu lembut, misalnya begitu. Darimanakah asalnya anak-anak ini? Ya sudah pasti dari kandungan kita namun karakteristiknya adalah bawaan. Jadi anak ini tidak usah dibesarkan dengan cara tertentu sehingga menjadi penurut, pada dasarnya sudah begini, sudah penurut. Apa yang membuat dia begitu, tidak bisa kita jelaskan tapi memang ada kepribadian yang lebih mudah untuk menurut.
GS : Biasanya banyak dijumpai pada anak-anak pria atau wanita, atau berimbang?

PG : Mungkin secara stereo-tipe kita berkata mungkin anak-anak perempuan lebih banyak yang penurut. Tapi saya kira pada dasarnya bisa sama, anak laki atau perempuan. Namun cara kita mendidikanak memang agak berbeda, kita cenderung lebih mengharapkan anak perempuan menjadi anak yang penurut.

Kadang-kadang komentar yang bersifat gender kita katakan, misalnya kita berkata anak perempuan jangan nakal-nakal, anak perempuan tidak seharusnya seperti ini. Akhirnya anak perempuan lebih dituntut untuk bersikap penurut, kalau anak laki biasanya tidak dikatakan kata-kata seperti itu, kok anak laki lembut. Ya kita memang justru mau anak laki kita itu lebih bersifat gagah.
(2) GS : Apakah pola pendidikan yang otoriter bisa membuat anak seperti itu Pak?

PG : Bisa, jadi ada kaitannya dengan bagaimana dia dibentuk di rumah, otomatis anak yang dibesarkan oleh orang tua yang keras dan otoriter, anak ini akan bertumbuh besar dengan penuh ketakutn.

Tapi kalau memang dasarnya dia penurut, dia akan menyimpan ketakutannya itu. Kebalikannya anak yang dibesarkan di rumah yang otoriter tapi bawaan dasarnya itu keras, untuk sementara waktu tubuhnya masih kecil dia akan mengikuti kehendak orang tuanya karena takut, begitu tubuhnya mulai besar masuk usia remaja, pada umumnya dia akan mulai melawan. Ini kita lihat pada anak-anak yang memang keras dan membangkang. Dikerasi, dipukul tidak mempan, dia tetap melakukan hal yang sama. Diberitahu jangan pulang jam 1 malam, dia pulang jam 2 malam, dipukuli. Minggu depannya lagi-lagi dia pulang jam 2 malam. Dia tidak peduli dipukuli karena dasarnya memang keras. Anak-anak yang dasarnya penurut, tidak perlu dikerasi seperti itu, diberitahu sekali saja dia langsung akan mengikuti dan dia akan takut membuat kesalahan kedua.
GS : Karakter seperti ini permanen sifatnya atau tidak, Pak?

PG : Biasanya cukup permanen.

GS : Sampai remaja, dewasa, pemuda dia akan tetap seperti itu?

PG : Biasanya begitu.

GS : Itu sudah karakter ya?

PG : Dasarnya memang begitu, mungkin sekali karena hidup yang keras di kemudian hari ya, dia berubah jadi lebih keras. Sebetulnya kalau hidupnya cukup normal, seperti orang- orang lain, kebayakan dia akan membawa sifat dasarnya ini.

GS : Lebih lanjut Pak Paul, mengenai menghadapi anak yang penurut ini, bagaimana nanti kalau bersekolah menghadapi teman-temannya yang sebagian besar bukan anak yang terlalu baik seperti dia. Apa dia tidak bisa dijadikan korban nanti?

PG : Seringkali jadi korban, itu betul sekali. Itu adalah salah satu kekhawatiran orang tua yang mempunyai anak seperti ini. Salah satu ciri yang lain adalah mementingkan orang lain, jadi daam pertentangan dia yang pertama-tama mengalah.

Terus misalkan ada temannya yang meminta sesuatu darinya, misalnya meminjam, dia akan memberikannya juga. Jadi mudah sekali memberikan harta miliknya kepada anak-anak lain. Oleh karena itu ketakutan orang tua adalah anak ini akan dimanfaatkan dan seringkali itu yang terjadi, sebab teman-teman cukup senang berteman dengan anak seperti ini, bisa didayagunakan, dimanfaatkan.
(3) IR : Sebagai orang tua atau pendidik bagaimana mengatasi anak yang demikian, jadi korban ya, kita juga kasihan. Bagaimana untuk membekali dia?

PG : Pada dasarnya kita akan menolongnya untuk belajar berkata 'tidak' kepada anak-anak lain, ini yang sukar dia lakukan. Dia cenderung berkata 'ya' kepada orang yang memintanya. Kita bisa mngajarkan kepada dia untuk berkata 'tidak' dan mendidik dia untuk melihat suatu masalah dari sisi yang berbeda.

Dia akan sulit sekali mengatakan 'tidak' karena ada beberapa faktor, tetapi biasanya salah satu cirinya dia berbelaskasihan. Jadi kalau dia berkata tidak, seolah-olah dia itu menjadi anak yang jahat. Kita mau mengajarkan kepadanya, bahwa waktu engkau berkata 'tidak',itu tidak berarti engkau jahat. Jadi menolong orang itu ada pengertiannya tersendiri, engkau dimanfaatkan oleh orang adalah hal yang tidak baik, dan tindakanmu yang seharusnya menolak untuk dimanfaatkan seperti itu. Karena anak-anak nanti tidak terdidik, tidak dewasa akhirnya tergantung padamu, itu sifat yang tidak baik memanfaatkan orang lain. Jadi hal-hal seperti itulah yang mulai ditanamkan pada anak ini.
GS : Tapi itu tentu akan sulit diterimanya karena dia memang mempunyai karakter yang suka memperhatikan orang, menolong orang, jadi dia akan merasa kesulitan untuk menerapkan apa yang didengarnya dari kita.

PG : Betul, malam ini mungkin dia dengarkan kita dan dia berkata saya akan lakukan seperti yang mama dan papa minta, tapi besok dia melihat temannya minta dibelaskasihani dan hatinya tersenth lagi.

Jadi emosinya memang mudah peka sehingga sewaktu orang minta dibelaskasihani dan membuat dia terharu, dia cenderung tergerak untuk menolong dan memberikan lagi yang diminta. Misalnya temannya meminjam PR, " Pinjam PRnya, saya belum buat karena kemarin saya capek, tolong ya kamu kan bisa", akhirnya dia tergerak untuk memberikan. Memang akhirnya akan ada jatuh bangunnya, Pak Gunawan, satu hari dia bisa, dua hari dia tidak bisa, tapi kita terus tanamkan hal-hal seperti itu tanpa harus memarahinya. Kecenderungan kita orang-orang tua memarahinya, kamu kenapa mau saja dimanfaatkan, akhirnya dia merasa bersalah. Dia di rumah akan takut menceritakan masalahnya kepada orang tua, di sekolah dia juga merasa dimanfaatkan tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi orang tua harus bersikap dan berfungsi sebagai penolong yang berdiri disampingnya bukan berhadapan dengan dia, berseberangan dan memarahinya, dia makin merasa takut dan akhirnya dia tidak akan cerita lagi kepada kita sebab dia tahu orang tuanya akan memarahinya.
GS : Mendengar uraian seperti Pak Paul, saya mulai berpikir bahwa sama sulitnya mempunyai anak yang pembangkang dan anak yang terlalu baik seperti ini. Akan lebih sulit lagi kalau misalnya kita mempunyai dua orang anak yang justru punya karakter yang berbeda. Jadi mungkin kakaknya yang pembangkang, adiknya penurut sekali atau baik sekali dari istilah kita itu. Bagaimana cara mengatasinya?

PG : Sekali lagi saya kira yang Tuhan minta adalah kita mengenali anak kita masing-masing itu mempunyai karakteristik dasarnya yang tidak sama dan kita tidak harus mengubah karakteristik dasr itu.

Yang perlu kita lakukan adalah menolongnya. Anak yang sangat baik, yang penurut ini mempunyai kekuatan, dan kekuatannya adalah dia seorang penolong dan pemerhati, dialah orang yang akan memperhatikan kebutuhan orang lain. Kadangkala kita ini terlalu sibuk dengan kepentingan kita dan kurang memikirkan orang lain. Tuhan memang sengaja menghadirkan orang-orang yang seperti ini dalam hidup, untuk mengingatkan kita bahwa hal itu perlu dilakukan dan untuk menolong orang-orang yang tidak diperhatikan. Anak-anak inilah yang akan berfungsi dalam pekerjaan Tuhan. Namun kelemahannya seperti yang tadi Pak Gunawan sudah katakan, anak ini mudah sekali untuk dimanfaatkan dan akhirnya tertindas menjadi kurban. Apalagi kalau sudah menginjak usia remaja kita makin takut. Karena misalnya dia mencintai seseorang yang menurut ukuran kita jahat, tidak benar, tidak baik. Waktu kita katakan semua itu kepadanya dia makin berbelaskasihan. Mama kenapa tidak mengasihani orang ini, padahal dia kasihan, perlu ditolong. Misalkan berpacaran dengan seseorang yang menggunakan obat, narkotika kemudian dia berkata kepada orang tuanya. Dia perlu bantuan saya ma, kalau bukan saya siapa yang memperhatikan dia. Di sini orang tua akan menghadapi dilema, bagaimana mengarahkan belaskasihan yang seperti ini?
IR : Kadang-kadang dia sulit melepaskan pacarnya, Pak Paul? Seolah-olah dia mau jadi pahlawan begitu.

PG : Betul.

IR : Bagaimana mengatasinya, Pak Paul?

PG : Kadangkala dia merasakan ini suatu proyek yang harus dia selesaikan yaitu menolong pacarnya ini, orang yang memang membutuhkan pertolongan. Dan ada tipe-tipe yang memang seperti ini danbiasanya anak-anak yang bersifat penurut dan baik ini akan berpacaran dengan orang-orang yang biasanya bermasalah.

Karena siapa yang akan memperhatikan orang-orang yang bermasalah selain anak-anak yang bertipe berbelaskasihan kuat ini. Kita harus mengajarkan kepadanya untuk membedakan antara mengakui keterbatasan kita dan tidak berbelaskasihan. Waktu kita meminta dia untuk misalkan putus dari pacarnya yang bermasalah itu, kita bukannya berkata kepada dia engkau itu kejam, sebab dia merasa kalau saya putuskan saya kejam. "Tidak" yang kita mau tekankan adalah bukannya engkau kejam tapi engkau perlu mengakui apa keterbatasanmu itu? Engkau tidak bisa menjadi pahlawan buat dia, dan dengan engkau terlibat begitu emosional dengannya, engkau justru akan makin terjerumus, semakin tidak bisa menolong dia. Yang paling tepat menolong orang itu adalah orang yang memang bukan terlibat secara emosional dengannya, orang yang ada jarak dengannya, dan orang yang bisa membantunya sekaligus. Kalau engkau sudah pacaran dengan dia, ini akan sulit sekali karena tindakanmu untuk mendewasakan dia bisa ditafsir, engkau itu akan meninggalkan dia dan dia itu akan panik, dia akan sangat menangis, dia akan berkata saya lebih baik bunuh diri dan sebagainya. Akhirnya kau bisa lihat 'kan, engkau tidak menolong dia, engkau malah menjadi salah satu pengganti obat bagi dia yang dia harus pakai terus-menerus supaya dia bisa hidup dan itu tidak akan baik. Bayangkan kalau engkau nanti akhirnya menikah dengan dia, engkau bukannya menjadi seorang pendamping buat dia, engkau menjadi penopang, menjadi tongkat buat dia. Dan itu bukanlah pernikahan, itu rumah sakit. Itu yang harus kita tekankan pada anak ini, engkau bukan lagi menjadi suami tapi engkau menjadi dokter, rumah sakit, suster, kepada dia. Itu bukanlah pernikahan, pernikahan yang sehat adalah dua-dua bersanding karena dua-dua bisa berdiri sendiri. Hal-hal ini perlu kita jelaskan, sebab rasa belaskasihannya itu akan menuduh dia sebagai orang yang kejam.
GS : Mungkin dalam hal ini memang perlu diarahkan supaya dia bukan menjadi terlalu baik tetapi cukup baik saja, ya Pak Paul, yang bisa diterima oleh masyarakat, tapi dia juga punya pertahanan diri. Tadi Pak Paul singgung satu hal mengenai bunuh diri, saya melihat orang-orang atau anak-anak pemuda yang cenderung terlalu baik punya potensi besar untuk bunuh diri, Pak Paul. Kalau dia melihat bahwa kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang dia angan-angankan, dia bisa frustrasi.

PG : Betul, anak-anak ini kalau sudah besar juga cenderung mempunyai tuntutan yang sama yaitu apa? Dia orang yang penuh pengertian, peka sebelum orang lain bicara, kira-kira sudah tahu apa yng dibutuhkan oleh orang lain, nah tersirat dalam hatinya tuntutan yang serupa.

GS : Orang lain juga harus begitu terhadap dia, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Padahal kenyataannya tidak seperti itu nanti.

PG : Betul, kalau tidak ada pengarahan yang baik, anak ini bisa disolusi ya. Tadi Pak Gunawan singgung yaitu dia merasa hidup ini begitu kejam, begitu jahat. Akhirnya dia mungkin jadi depres dan dia bisa saja seperti yang tadi Pak Gunawan katakan, dia akhirnya memikirkan untuk mengakhiri hidup.

GS : Tapi sebenarnya Pak Paul, orang atau anak yang terlalu baik itu bisa kita sebut dengan punya kelainan atau tidak?

PG : Sebetulnya tidak, jadi ada memang karakteristik dasarnya seperti itu, dan sudah pasti ada pengaruh didikan keluarga. Ada orang tua yang memang baik, ini yang seharusnya terjadi sebetulna yaitu mengasihani orang.

Anak-anak kecil melihat orang tua mengasihani dan dia akan mencontoh, ini adalah hal yang positif, tapi anak kecil ini perlu pengarahan pada saat dia makin besar, karena apa? Yang dia tangkap adalah ayah dan ibu menolong orang yang perlu pertolongan, titik. Yang belum dia tangkap adalah kita menolong orang dengan juga melihat situasinya, kebutuhannya, kemampuan kita, siapa yang perlu ditolong dan sebagainya, siapa yang tidak usah ditolong. Jadi hikmat-hikmat hidup seperti itulah yang kita sudah mulai miliki dan dia belum miliki; yang dia serap adalah menolong, dia akan terus menolong. Kita mula-mula senang waktu anak itu masih kecil, tapi ketika mulai dewasa kita mulai khawatir karena anak ini tidak lagi bisa membedakan. Tapi saya kira secara natural anak-anak ini akan mengalami juga jatuh bangun, kita tidak bisa melindungi dia dengan tuntas sehingga dia akhirnya tidak terjatuh misalnya. Saya kira ada waktunya dia akan jatuh bangun, ya tidak apa-apa tetap kita arahkan, karena dia sebetulnya mewarisi dan mencontoh sikap belas kasihan itu.
(4) GS : Tadi di awal pembicaraan kita, kita katakan generasi anak-anak yang terlalu baik ini makin lama mungkin makin sedikit, karena faktor apa Pak Paul?

PG : Kalau saya percaya, ada dua faktor yang utama yaitu peranan orang tua makin berkurang dalam diri anak, dan anak-anak makin sedikit melihat siapa orang tuanya dan melihat orang tua yang emberikan pertolongan, yang mengasihani orang, membantu orang.

Ciri atau perbuatan-perbuatan itu makin sedikit di rumah, sehingga si anak juga kurang mewarisinya. Dan yang kedua ada pengaruh sekali dengan materi, mainan yang banyak membuat orang bukannya tidak tamak, seringkali tambah tamak dan mementingkan materi. Anak-anak kecil sekarang ini dilimpahi dengan begitu banyak mainan. Saya kira ada pengaruhnya sehingga waktu dia mulai besar, dia mementingkan yang namanya hak milik, kepunyaan. Akibatnya tidak begitu mudah memberikan atau membagikan kepada orang lain.
IR : Juga karena orang tua yang terlalu sibuk ya Pak Paul, tidak ada waktu untuk memberikan pengarahan kepada anak-anak.

PG : Betul, karena tadi sudah saya singgung anak-anak ini dari dasarnya penurut, tapi ya sedikit banyak ada didikan dan pengaruh dari orang tua. Kalau dia mendapatkan yang positif dari orangtua, dia akan terus mengembangkan sikap penurut ini.

Kalau justru dia banyak mendapatkan kepahitan dari orang tua, mungkin sekali dia akan berubah. Tidak terlalu membagi dan memberikan, berbelaskasihan kepada orang karena dia merasakan hidup ini tidak baik, tidak adil, jahat.
GS : Jadi kalau anak yang terlalu baik ini, hidup di tengah-tengah saudaranya yang sebagian besar mungkin tidak seperti dia, dia makin lama akan makin terpengaruh, Pak Paul?

PG : Bisa, dia akan mempelajari cara-cara lain.

GS : Cara dari kakaknya, atau mungkin didesak untuk seperti itu.

PG : Betul.

GS : Menghadapi anak seperti ini, kalau itu bagian dari anak kita, mungkin ada tuntunan dari firman Tuhan yang bisa Pak Paul sampaikan pada kesempatan ini.

PG : Ada yang saya akan bacakan dari kitab Amsal 19 : 2, "Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik", nah di dalam Amsal istilah pengetahuan itu identik dengan hikmat, jadi kala boleh saya tukar, "tanpa hikmat kerajinanmu tidak baik".

Kerajinan adalah hal yang baik tapi Tuhan tetap meminta hikmat di dalam kerajinan itu, sebab hikmatlah yang akan memandu, mengarahkan kerajinan kita. Jadi anak-anak yang baik ini rajin, tanggung jawab, menolong, berbelaskasihan, peka dengan kebutuhan orang. Tapi semua hal yang baik ini bisa menjadi tidak baik, kalau tidak dilengkapi dengan hikmat, pengertian, apa yang harus dilakukan. Anak ini perlu belajar bahwa memikirkan diri dan menjaga diri tidak sama dengan egois misalnya itu, melindungi diri itu tidak salah, kita tidak harus selalu menjadi target serangan orang. Jadi hal-hal praktis seperti inilah yang dia perlukan dari kita sebagai orang tuanya.
IR : Nah Pak Paul kalau ada, dua saudara yang karakternya berbeda, yang satu itu pembangkang, yang satu itu baik kemudian melihat adiknya yang suka membangkang, apakah itu bisa mengakibatkan kakak menjadi benci kepada adiknya?

PG : Sampai membenci saya kira tidak, dia mungkin berbelaskasihan juga, dia kesal karena adiknya menyusahkan orang tuanya seperti itu.

GS : Kalau tadi dikatakan bahwa anak ini perlu hikmat walaupun dia bekerja dengan baik ya, di sana peran orang tua besar sekali Pak Paul untuk menanamkan hikmat itu kepada si anak yang terlalu baik tadi.

PG : Betul, dan dimulai dengan menyediakan waktu untuk mendengarkan si anak bercerita, sebab kita harus banyak mendengarkan kisah hidupnya, baru kita bisa masuk dan memberikan pengarahan. Birkan dia cerita menolong temannya, temannya minta kepada dia, temannya menyuruh ini dan itu, biarkan dia cerita dan kita harus menjaga sikap menghakimi kita.

Waktu kita mulai menghakimi, dia akan mulai menutup diri pula. Jadi biarkan dia cerita dan disitulah dia membukakan pintu untuk kita masuk dan baru kita bisa berikan dia pengarahan-pengarahan seperti ini.
GS : Jadi kita memang harus bersyukur kepada Tuhan, baik itu diberikan anak yang terlalu baik seperti ini maupun anak yang pembangkang ya Pak Paul, karena anak itu dipercayakan kepada kita untuk dididik menjadi orang-orang yang berguna.

PG : Betul, saya pernah sekali mendengar anak saya dirugikan oleh anak lain. Saya lupa ia dipukul atau apa begitu, saya dan istri saya tidak berkata, ya silahkan pukuli, tidak. Tapi saya berata kepada anak saya, kamu beritahu temanmu besok, bahwa kamu tidak suka dengan perbuatannya itu, bahwa itu menyakiti, kalau sekali lagi dia melakukan hal tersebut maka anak saya akan melaporkan kepada guru.

Jadi saya ajarkan kepada anak saya untuk melindungi diri, sebab hidup ini memang tidaklah sempurna, kita tidak hidup di surga, jadi banyak hal yang memang jahat dan kita perlu mengetahui kejahatan orang lain dan diapun perlu dan bisa melindungi dirinya. Itulah yang anak - anak ini perlukan, senjata untuk melindungi diri.
GS : Rupanya anak Pak Paul ini cenderung terlalu baik, Pak Paul?

PG : Ada yang pernah begitu, tapi sekarang sudah mulai berubah.

GS : Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan ke hadapan Anda, sebuah percakapan tentang bagaimana mengarahkan anak yang "terlalu baik" bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda untuk menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami ucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



9. Mendampingi dan Membimbing Anak Penurut


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T034B (File MP3 T034B)


Abstrak:

Mendampingi dan membimbing anak penurut sangatlah diperlukan, karena anak penurut ini di samping memiliki kelebihan tertentu dia juga memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat merugikan dirinya. Di antaranya dia sukar untuk membatasi diri dengan orang lain.


Ringkasan:

Anak-anak yang penurut sekali biasanya menjadi anak yang rela dan ringan tangan membantu kita, dia adalah anak yang peka jikalau kita lagi susah, anak ini sungguh menyenangkan. Kelemahannya adalah sukar membatasi diri dengan orang lain, sehingga dia menjadi korban, pemanfaatan orang lain. Sikapnya yang terlalu baik dan suka menolong memberikan kesempatan orang lain masuk untuk memanfaatkannya. Anak penurut ini dia cenderung penakut, tidak bisa melihat kekerasan, dia memerlukan teman atau pendampingan dari orang lain.

Anak penurut bisa juga bersifat:

  1. Ekspresif, menceritakan perasaannya atau pun

  2. Ada yang agak tertutup, tetapi yang pasti mereka memiliki emosi yang kuat, sensitif sekali.

Anak ini membutuhkan kasih sayang yang demonstratif. Kita harus mengutarakannya dengan jelas, kasih sayang yang nyata, ungkapan perasaan sayang untuk membangkitkan rasa aman dalam dirinya. Anak seperti ini kalau tidak hati-hati di rumah cenderung terabaikan. Karena seolah-olah tidak ada kebutuhan dalam dirinya, tidak ada masalah. Tetapi mungkin saja ada kebutuhan-kebutuhan yang tidak terungkapkan. Hal ini kemungkinan mengakibatkan dia mencari orang lain di luar sebagai tempat ia mengungkapkan kebutuhannya.

Sebagai orang tua yang perlu kita lakukan terhadap anak penurut adalah secara berkala atau teratur kita menyediakan waktu untuk bicara atau ngomong-ngomong dengan dia. Kita yang harus proaktif menyediakan wadah bagi dia. Anak ini memerlukan perhatian yang besar, jika tidak diperolah di dalam, dia akan mencari di luar dan mendapatkannya dari orang lain yang sebenarnya tidak cocok dengan dia. Anak seperti ini perlu belajar menanggung untuk memikul tanggung jawab pribadi dan membiarkan orang lain untuk memikul tanggung jawabnya juga.

Dalam pemilihan pendidikan kita perlu mengarahkan dia untuk melihat apa sebenarnya yang diinginkan, apa yang terbaik untuk dia. Meski dia cenderung orang yang ragu-ragu karena dia ingin menyenangkan orang lain, menyenangkan pacarnya dan mengorbankan dirinya sendiri. Dalam hal ini perlu sekali diarahkan dan menanyakan apa yang kamu inginkan, apa yang baik buat kamu. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu pada saat dia meningkat dewasa.

Amsal 25 : 28, "Orang yang tak dapat mengendalikan diri, seperti kota yang roboh temboknya."

Orang yang terlalu penurut bisa juga digolongkan orang yang tak dapat mengendalikan diri untuk tidak mengerti orang lain. Artinya orang bisa keluar masuk seenaknya ke dalam diri dia, menguasai dirinya, minta barang-barangnya. Contoh: Waktu Yesus ditangkap di hadapan Herodes. Waktu diminta untuk melakukan mujizat, seolah-olah Yesus adalah tukang sulap. Yang menarik, selain tidak melakukan, Dia tidak menjawab sama sekali. Tuhan Yesus tahu kapan Dia harus menolong, kapan Dia berbuat, kapan Dia menolak, kapan Dia harus diam. Sebagai orang tua kita harus menolong anak kita untuk mendirikan tembok agar dia menjadi kota yang terlindungi.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana mendampingi dan menolong anak penurut, kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Beberapa kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan tentang anak yang suka melawan orang tuanya, kadang-kadang kita sebagai orang tua kewalahan menghadapi mereka, mengikuti sepak terjang mereka. Tetapi sebaliknya kalau anak kita itu penurut dan mudah diberitahu, suatu saatpun kita akan mengalami kesulitan menghadapi mereka. Nampaknya anak itu pasif, kalau tidak disuruh tidak jalan dan sebagainya, lalu penuh dengan ketakutan di dalam dirinya. Sebenarnya anak yang penurut, yang menurut kepada kita itu ada segi-segi baiknya, juga ada segi negatifnya. Ini kadang-kadang membingungkan saya Pak Paul. Pak Paul mungkin bisa membantu menjelaskan ini?

PG : Anak-anak yang penurut sekali biasanya menjadi anak yang rela dan ringan tangan membantu kita, mudah sekali kita menyuruhnya dan pertolongannya dia berikan dengan sukarela, jadi itu adaah kekuatannya.

Anak-anak ini juga anak yang peka dengan keadaan kita, kalau kita lagi susah hati, dialah yang akan datang dan akan mencoba menghibur kita. Ya dengan hal-hal kecil misalnya membelai kita kalau kita ibu ya, kalau kita seorang ayah dia akan duduk ngobrol-ngobrol dengan kita. Anak-anak ini sungguh menyenangkan, tapi kelemahannya adalah anak-anak yang luar biasa penurut dan baik ini sukar sekali untuk membatasi diri dengan orang lain. Akhirnya dia menjadi korban pemanfaatan orang lain karena sifatnya yang baik dan bersedia menolong sehingga orang lain masuk memanfaatkan kelemahannya itu.
IR : Benar itu Pak Paul, ini ada kasus anak-anak kira-kira waktu itu kelas 3 SD. Dia baik juga diam, tapi di sekolah itu ia dipermainkan oleh temannya. Kemudian dia diberitahu oleh orang tuanya dia harus melindungi diri, tapi dia takut dan rasanya tidak ingin masuk sekolah karena sering dipermainkan. Kemudian orang tuanya itu ke sekolah memarahi anak yang nakal, yang mengganggu anak ini. Lalu dia punya perasaan bangga begitu kepada orang tuanya, seolah-olah orang tuanya ini jadi pahlawan, akhirnya dia bergantung terus kepada orang tuanya, terus bagaimana Pak Paul?

PG : Ya, dalam kasus seperti itu, orang tua memang perlu menyatakan keprihatinannya kepada si anak, karena dimanfaatkan atau diganggu oleh anak-anak lain. Tapi yang sebaiknya dilakukan adala orang tua perlu menanyakan kepada si anak, apakah orangtua perlu ke sekolah untuk menegur temannya yang tidak baik itu, kalau si anak berkata tidak perlu, maka kita minta dia untuk langsung menegur temannya itu atau memberitahukan peristiwanya kepada guru.

Kalau dia merasa takut, kita bisa menawarkan jasa kita untuk mendampinginya, kita bisa berkata,"Mau tidak kamu yang bicara tapi saya akan hadir di sana, jadi saya temani." Kadang-kadang anak ini tetap takut, "tidak mau Ma atau tidak mau Pa", kita berkata tidak apa-apa besok saya datang dan saya akan bantu kamu untuk bicara. Tujuannya apa? Kita tidak mengambil alih tanggung jawab hidupnya, sejak kecil dia harus bertanggung jawab menjaga dirinya sendiri. Kita mendampinginya karena anak ini berperasaan halus, lembut sekali, dan karena perasaannya lembut, dia tidak berani menghadapi kekerasan dan ketegangan atau yang keras-keras. Ini bukan suatu kelemahan, kadang kita melihat sebagai suatu kelemahan, sesungguhnya bukan. Karena kelembutan hatinya itu sudah dibawanya sejak lahir. Yang perlu kita lakukan adalah mengarahkan dia, meskipun kau lembut engkau harus menyadari dunia tidak selalu lembut, ada orang yang jahat, ada orang yang tidak baik, engkau perlu tahu bagaimana menghadapi orang yang tidak baik itu. Kita mendampinginya supaya dia bisa melindungi dirinya.
GS : Mungkin yang sulit adalah karena dia seorang penurut ya Pak Paul, sulit buat dia untuk mengambil suatu keputusan, apalagi tadi Ibu Ida katakan anak kelas 3, dia mengatakan terserah mama, tidak tahu Ma, sesukanya mama. Ini yang sulit buat orang tua Pak untuk mengambil sikap. Dia tidak mengatakan (tadi Pak Paul katakan) tidak mau untuk didampingi atau mau, tapi terserah mama.

PG : Kalau dia bilang terserah, saya akan bawa dia, tetap besok saya akan hadir di sekolahnya dan saya akan hadapkan dia dengan temannya itu, dan saya akan berkata kepada anak itu, anak sayaingin bicara denganmu ya coba sekarang kamu bicara kepada temanmu ini.

Biarkan dia bicara, karena dalam posisi seperti itu, mau tidak mau dia harus bicara, dengan cara itu dia mulai mendapatkan keberanian untuk mengungkapkan dirinya pada orang lain.
GS : Masalahnya yang sering saya ketahui, saya jumpai anak-anak penurut ini cenderung pemalu Pak Paul, jadi itu agak erat kaitannya.

PG : Betul, dan penakut juga, dia takut sekali karena tadi saya sudah singgung, dia takut yang namanya kekerasan, dia tidak suka. Ada anak-anak yang memang kalau mendengar suara yang keras ia akan mengkerut ya, oleh karena itulah dia cenderung penakut.

Orang yang takut bukannya dimarahi, kadangkala keliru memarahi dia, mengatakan kamu penakutlah atau apa, bukan. Orang yang penakut memerlukan ditemani, pendampingan sehingga waktu berdua rasa takutnya akan berkurang. Itu yang kita perlu lakukan, yang kadangkala kita lakukan secara keliru adalah kita melepaskan dia untuk menghadapi hidup kemudian kita mengharapkan hasilnya yang kita minta. Untuk anak seperti ini tidak bisa, untuk anak yang memang jiwanya agak keras bisa, dan untuk anak yang jiwanya lembut kita harus hadir bersama dia pada tahap-tahap awal ini.
GS : Memang yang namanya orang tua itu pasti mengharapkan anak kita itu tidak jadi korban kekerasan atau kenakalan orang-orang disekitarnya, ya Pak Paul. Tetapi kita juga terbatas untuk mendampingi anak-anak ini terus-menerus. Ada saatnya mereka harus bermain dengan teman-temannya. Apakah anak-anak yang penurut seperti ini punya kecenderungan juga untuk menceritakan perasaannya, Pak Paul?

PG : Bisa ya, bisa tidak, tergantung ya. Ada yang ekspresif menceritakan perasaannya, ada yang agak tertutup dia akan simpan, tapi yang pasti adalah mereka mempunyai emosi yang kuat, peka emsinya, sensitif sekali.

GS : Dalam hal ini pasti ada kebutuhan emosi anak ini, diungkapkan atau tidak ya, Pak Paul?

PG : Betul.

(2) GS : Dalam hal ini kita sebagai orang tua apakah bisa membantu mereka?

PG : Anak-anak ini membutuhkan kasih sayang yang demonstratif, Pak Gunawan. Jadi kasih sayang yang demonstratif artinya bukan saja kita berkata kamu tahu saya cinta kepada kamu, tidak cukup.Kita harus melimpahkannya, kita harus mendekatinya, menanyakannya, mengutarakan kasih sayang kita dengan jelas, sehingga dia tahu bahwa kita mengasihi dia.

Anak-anak yang memang agak keras jiwanya justru tidak terlalu perlu dibelai-belai, disayang-sayang. Tapi anak yang memang lembut, lebih memerlukan ekspresi kasih sayang yang lembut dan yang nyata.
GS : Untuk membangkitkan rasa aman buat dia, begitu?

PG : Betul, betul dan juga memang inilah tipe dia karena dia sensitif, dia memerlukan ungkapan perasaan yang juga sensitif. Kalau anak yang berjiwa keras, dia tidak terlalu memerlukan yang snsitif itu.

Jadi itulah sebabnya dia memerlukan ungkapan-ungkapan kasih sayang yang sensitif. Kalau kita tidak hati-hati, anak-anak ini cenderung terabaikan di rumah, Pak Gunawan dan Ibu Ida. Terabaikan karena seolah-olah tidak ada kebutuhan, tidak ada masalah, baik-baik saja semuanya. Justru dalam keadaan yang seolah-olah baik saja, mungkin sekali ada kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi atau tidak terucapkan.
GS : Tidak terungkapkan, anak ini tidak bisa mengungkapkan, tapi justru kita sebagai orang tua yang harus lebih tahu.

PG : Betul, karena dia peka, waktu dia melihat kita lelah, kita ini banyak urusan, dia ingin bicara waktu melihat kita kecewa, tidak jadi. Karena dia peka sekali, dia mau menjaga perasaan orng lain, jangan sampai merasa terganggu.

Akibatnya dia mengorbankan dirinya terus-menerus. Tapi dia punya kebutuhan, dia perlu untuk bisa bicara, akhirnya kalau tidak hati-hati dia akan mencari orang lain di luar, dimana ia bisa mencurahkan isi hatinya.
GS : Anak-anak seperti ini juga mempunyai kecenderungan untuk pasif Pak Paul, tadi yang Pak Paul katakan kelihatan orang tuanya lelah atau wajahnya muram sedikit dia sudah tidak mau bicara, padahal belum tentu kita itu sebagai orang tua tidak senang kalau dia bicara. Nah sebenarnya apa yang bisa kita lakukan?

PG : Sebaiknya dengan anak-anak yang memang penurut dan sangat baik, secara berkala kita harus menyediakan waktu untuk berbincang-bincang dengannya. Misalnya si ayah seminggu sekali ngobrol-gobrol dengan dia, si ibu sekurang- kurangnya seminggu sekali bicara dengan dia, bicara santai sehingga dia tahu akan ada kesempatan di mana dia bisa mengutarakan problemnya.

GS : Jadi kita menstimulir anak ini?

PG : Betul, jadi kitalah yang harus proaktif menyediakan wadah itu sehingga dia bisa datang kepada kita. Kalau tidak, dia akan merasa tidak usah, problem saya mungkin tidak terlalu besar, jagan terlalu membuat orang tua saya susah.

Anak-anak ini memang memerlukan perhatian yang besar, sama sebetulnya dengan yang pembangkang tapi yang membangkang itu seolah-olah menuntut kita untuk memberikan perhatian, yang penurut ini tidak, tapi sebetulnya sama. Kalau tidak kita perhatikan dengan baik, misalkan dia sudah mulai besar, remaja, dewasa dan sebagainya mudah sekali dia menjadi target orang yang tidak baik, orang yang jahat, orang yang mau memang merugikan dia. Misalkan begini, anak ini akhirnya tidak lagi bisa bercerita, karena dia sungkan, mengganggu orang tuanya, semua masalahnya dia pendam, terus dia mendapatkan kasih sayang dari orang lain di luar ya, kelihatannya baik, memperhatikan dia, dia peka ya, jadi dia mempunyai banyak kebutuhan yang dia tuntut sebetulnya untuk dipenuhi oleh orang lain. Tapi kalau kita agak sibuk di rumah, kita kurang memberikan itu kepada dia, maka dia akan rawan untuk menerima itu dari orang lain. Misalkan dia dapat dari seseorang, orang ini memberikan yang dia butuhkan yaitu kepekaan, mengerti perasaan nya, orang itu peka sebetulnya. Dia merasa sangat dekat dan luar biasa senangnya, cocok dengan orang ini meskipun orang ini tidak cocok dengan dia sebetulnya. Karena dalam hal-hal yang lain justru tidak baik buat orang ini tapi karena sudah memberikan yang dia sangat butuhkan, si penurut ini akhirnya mulai bergantung pada orang ini.
GS : Anak-anak penurut ini menuntut banyak perhatian kita, ya Pak Paul.

PG : Betul, nantinya bisa membuat kita sedikit lelah memang, karena pergaulannya itu bisa menjerumuskan dia. Jadi anak ini memang perlu sekali mengenali dirinya dengan baik, bisa mengenali kterbatasannya dan dia harus tahu apa yang dia butuhkan.

Dan kita perlu mengajarkan kepada dia untuk bisa mengungkapkan kebutuhannya itu agar orang lain bisa memenuhinya. Sebab kecenderungannya adalah diam, mengharapkan orang lain tahu yang dia butuhkan dan memberikannya kepada dia.
IR : Pak Paul, kalau ada anak yang sudah mendapat kasih sayang dari orang lain dan orang tuanya juga mengasihi dia, kemudian dia tidak bisa mengambil keputusan, dia harus pilih yang mana. Misalnya mau memilih temannya ini, orang tuanya tidak setuju, tapi dia mau ke orang tuanya dia masih tidak tega dengan temannya ini, apa yang harus dilakukan oleh orang tuanya?

PG : Di sini memang orang tua tidak bisa terlalu keras, karena anak ini jiwanya lembut. Begitu orang tua mulai keras, dia bukan langsung berubah, dia akan menarik diri kecenderungannya begit dan dia akan merasa menyesal kenapa dia harus menyusahkan orang tua, tapi sekaligus dia tidak bisa mengambil keputusan yang dia tahu akan menyakiti hati pacarnya itu.

Akhirnya apa yang terjadi, dia akan menyimpan semuanya itu, menyesali dirinya merasa bersalah. Yang dikhawatirkan adalah bukannya mendekatkan diri dengan orang tua, secara natural karena dia lebih sering bertemu dengan pacarnya dia akan malah mendekatkan diri dengan pacarnya. Jadi tindakan saya, kalau saya sebagai orang tua adalah tetap mau berteman dengan si anak, memberikan pengarahan, mungkin saya akan ajak bicara. Kalau engkau sendiri yang punya anak dan anakmu berpacaran dengan pacarmu ini coba engkau tanya dirimu, apakah engkau akan izinkan dia berpacaran dengan anak ini? Nah waktu dia menempatkan diri sebagai seorang ayah, sebagai seorang ibu dan memikirkan anaknya yang akan datang itu dia mungkin lebih bisa melihat masalahnya dengan lebih obyektif. Nah, kita harus juga bisa memberitahukan dia sekali lagi bahwa waktu engkau memutuskan hubunganmu dengan dia tidak berarti engkau orang yang jahat. Sebab inilah yang ia takuti, dia menjadi orang yang jahat. Atau dia takut pacarnya akan mencelakakan diri dan sebagainya. Justru kita harus memberitahu dia, kalau sampai pacarmu berniat untuk mencelakakan diri, sekarang coba kamu pikir apakah orang seperti ini siap untuk menikah menjadi seorang istri atau seorang ibu atau seorang bapak. Apakah dia memang sudah selayaknya dan sudah waktunya menjadi seorang istri atau suami. Nah, biarkan dia melihat hal itu dengan lebih jelas, dan tanyakan kepada dia kalau engkau punya anak apakah engkau menginginkan orang yang seperti pacarmu ini menjadi pasangan anakmu apakah itu yang baik. Itu yang harus terus kita arahkan dengan lembut kepadanya.
(3) GS : Jadi ada kecenderungan dari pembicaraan ini tadi Pak Paul, anak yang penurut itu mempunyai sikap menyalahkan diri atau merasa bersalah, baik feelingnya itu cenderung lebih besar dibandingkan yang normal atau yang pembangkang ya Pak Paul? Untuk bisa menolong anak ini, bahwa sebenarnya ia tidak perlu merasa terlalu bersalah seperti itu bagaimana Pak Paul?

PG : Dia perlu belajar untuk memikul tanggung jawab pribadinya dan membiarkan orang lain memikul tanggung jawabnya. Kecenderungannya adalah memikul semua tanggung jawab, dia harus membedakanapa yang menjadi tanggung jawabnya, dan apa yang bukan menjadi tanggung jawabnya.

Kita beritahu, misalkan kalau pacarmu itu terlalu bereaksi, beremosi, mau bunuh diri dan sebagainya. Kita beritahu anak kita, itu adalah keputusan dia. Kita balik situasinya, kalau misalkan pacarmu yang memutuskan dan engkau berkata saya mau tabrakkan mobil saya, itu pilihan siapa, engkau atau pacarmu, itu pilihanmu sendiri. Jadi kita mengajarkan dia untuk memikul tanggung jawab pribadi dan membiarkan orang lain memikul tanggung jawabnya juga. Dan kita beritahu dia, kalau sampai pacarmu itu memanipulasimu, itu adalah tindakan yang tidak sehat karena sebetulnya dia sedang menjerat engkau menjadi pasangannya. Ini tidak baik, dua orang harus dengan sukarela mendekatkan diri, akhirnya menikah bukan dengan penjeratan seperti itu. Sekali lagi ini adalah metode pendekatan yang lebih banyak menggunakan persuasi, pembujukan, pengertian, pengarahan. Sebab anak-anak ini kalau kita bersikap keras, dia akan tambah serba salah, Pak Gunawan.
(4) GS : Dan rupanya ada kecenderungan untuk menjadi orang yang suka ragu-ragu terus dalam mengambil keputusan ya. Kalau anak ini tadi sudah kita bicarakan, anak itu remaja, mulai pacaran, bagaimana memutuskan pasangan hidupnya, di samping itu kita sebagai orang tua tentu akan mengarahkan mereka mengambil suatu bidang profesi tertentu ya Pak Paul, untuk kelangsungannya nanti. Anak yang punya kecenderungan seperti ini, penurut terlalu baik, sebaiknya kita arahkan bagaimana di dalam pendidikannya, pendidikan formalnya, itu yang saya maksud.

PG : Saya akan arahkan dia pertama -tama untuk melihat apa yang dia inginkan, apa yang baik bagi dia, tentang tadi Pak Gunawan sudah singgung keragu-raguannya. Memang anak ini menjadi anak ang mudah ragu-ragu, masalahnya ialah dia ingin menyenangkan semua pihak, dia ingin menyenangkan orang tuanya, menyenangkan pacarnya, dengan mengorbankan dirinya sendiri.

Jadi keragu-raguannya dia itu muncul dari keinginan yang terlalu besar yang dia tidak bisa kendalikan untuk menyenangkan orang lain. Kita harus mengajar dia berpikir dari sudut dirinya sendiri. Sebetulnya apa yang engkau inginkan, kita perlu tanyakan itu kepada dia, apa itu yang menurut engkau baik bagimu. Ini kadangkala lepas dari pikirannya, dia tidak terlalu memikirkan, sebetulnya apa yang menurut dia baik untuk dirinya. Dia hanya memikirkan ini kasihan-kasihan, ini baik buat orang lain, ini baik buat mama saya papa saya. Kita harus tanyakan apa yang baik buat dia termasuk nanti adalah dalam pemilihan kariernya juga. Sebetulnya menurut kamu apa yang baik bagimu, apa yang sungguh-sungguh engkau ingin kerjakan dalam hidup. Ini pertanyaan-pertanyaan yang mulai harus dia tanyakan pada waktu dia meningkat dewasa.
GS : Tapi sudah bisa ditebak kira-kira dia akan banyak bergerak di bidang sosial, begitu Pak Paul, yang berhubungan dengan banyak orang.

PG : Bisa ya, bisa juga tidak. Kebanyakan ya di bidang sosial, tapi ya kita juga temukan ada orang-orang yang berbelaskasihan sangat kuat tapi pekerjaannya di bidang permesinan. Contoh yang ita tahu, Romo Mangun, ya saya kira sebagai tokoh dia orang yang penuh belaskasihan, menolong orang miskin, tapi latar belakangnya teknik.

Dia seorang arsitektur.
GS : Tapi kembali tekniknya itu dipakai untuk menolong orang lain.

PG : Betul.

GS : Memang sulit ya untuk mengarahkan itu.

PG : Karena akan kembali ke situ akhirnya.

GS : Apa yang dia inginkan itu sebenarnya, itu yang bisa kita bantu dalam hal anak ini menentukan sikap.

PG : Betul, dan ini mulai kita ajarkan pada waktu anak-anak ini bertumbuh dewasa, kalau dia sudah berumur 25 baru kita tanyakan terlambat, menginjak usia remaja ya belasan tahun, kita harus ulai bertanya-tanya apa yang engkau inginkan, apa yang menurutmu baik bagimu, apa yang engkau mau, biar dia mulai berorientasi pada apa yang dia inginkan, apa yang dia mau, apa yang baik buat dia, karena orientasinya cenderung pada kepentingan orang lain.

GS : Jadi menyeimbangkan, mau membuat keseimbangan di dalam kehidupannya itu.

PG : Betul.

GS : Nah sehubungan dengan ini Pak Paul ya, kita mau mendampingi, kita mau menolong anak- anak kita yang cenderung penurut dan sebagainya. Apakah firman Tuhan itu memberikan bekal kepada kita?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 25 : 28, "Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya." Saya tetap memasukkan anak yang terlalu baik ini dlam kategori orang yang tidak dapat mengendalikan diri.

Kita cenderung memikirkan ayat ini dari konteks orang yang pemarah, tapi saya kira anak-anak yang terlalu penurut yang hatinya hanya ingin menyenangkan hati orang lain saja dapat dimasukkan dalam kategori yang sama, dia tidak dapat menguasai dirinya untuk tidak menyenangkan atau memikirkan orang lain terus. Jadi harus bisa mulai juga mencegah, menangkal, mengendalikan keinginannya untuk mengorbankan diri dan menolong orang lain. Kalau dia tidak dapat melakukan hal itu, kita berkata dia seperti kota yang roboh temboknya, artinya apa? Orang bisa keluar masuk seenaknya dalam hidupnya, menguasai dia, meminta barangnya, memaksa dia untuk melakukan sesuatu yang dia tidak sukai. Jadi benar-benar kota yang tidak ada tembok.
GS : Tidak punya pertahanan di dalam dirinya itu.

PG : Betul sekali.

GS : Dan Tuhan pasti tidak menghendaki anak-anakNya diperlakukan seperti itu, saya yakin sekali, Pak Paul.

PG : Betul sekali, contohnya adalah waktu Tuhan Yesus ditangkap, di hadapan Herodes. Herodes meminta dia melakukan mujizat seolah-olah Tuhan Yesus adalah tukang sulap. Yang menarik adalah Tuan Yesus bukan melakukan mujizat seperti yang diminta Herodes.

Dia tidak menjawabnya sama sekali, tidak meladeni sama sekali. Jadi Tuhan Yesus tahu kapan dia menolong, kapan dia berbuat, kapan dia harus diam, kapan dia harus menolak.
GS : Pada hal jelas Tuhan Yesus itu seorang yang murah hati, ya Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Memang sifat-sifat yang seperti itu yang perlu ditanamkan sedini mungkin dalam diri anak-anak ini.

PG : Betul, jadi kita memang harus menolong anak kita mendirikan tembok agar dia menjadi kota yang terlindungi pula, kalau tidak, kasihan nantinya.

GS : Tapi kebijaksanaan itu harus tetap ditanamkan, hikmat itu ya Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Supaya dia bisa membedakan tembok itu bukan membuat dia terisolir.

PG : Bukannya menjadikan dia orang yang egois.

IR : Jadi kita sebagai orang tua juga selalu berkewajiban terus mengorek ya, kadang-kadang dia tertutup juga untuk mengambil keputusan, untuk mengorek dia terus supaya dia terbuka ya Pak Paul.

PG : Betul, seringkali kita yang terus lebih proaktif, lebih aktif karena dia cenderung memang agak pasif.

GS : Tapi pada masa-masa yang semakin sulit ini, saya rasa pendampingan orang tua terhadap anak ini sedini mungkin sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan emosi mereka, bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan jasmani mereka.

PG : Betul sekali. Dan saya sudah cukup sering melihat anak-anak yang memang dasarnya sangat baik, tapi akhirnya sudah jadi pemuda lalu berpasangan dengan orang yang tidak cocok sama sekali,karena dia menjadi korban pemanfaatan, masalahnya dia tidak bisa melihat hal itu.

GS : Memang itu sulit sekali saya rasa Pak Paul, jadi pada kesempatan ini kami mau tawarkan pada para pendengar kalau seandainya mereka masih menemui kesulitan dalam hal mendampingi dan menolong anaknya. Tidak perlu ragu-ragu untuk menulis surat kepada kami di Lembaga Bina Keluarga Kristen, supaya mungkin Pak Paul bisa membantu lebih jauh terhadap mereka.

PG : Ya betul.

GS : Jadi demikian tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang bagaimana mendampingi dan menolong anak yang penurut, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Dan sekali lagi bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda di Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami ucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



10. Bagaimana Menangani Perilaku Anak yang Mencuri 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T038A (File MP3 T038A)


Abstrak:

Seorang anak sangat memerlukan pengarahan dari orangtua, dia tidak dapat dibiarkan tumbuh secara natural. Dan salah satu yang sangat perlu dilakukan orangtua adalah memberikan pengawasan pada anak.


Ringkasan:

Ada 4 hal yang menyebabkan anak mencuri adalah sbb:

  1. Anak mencuri karena dia adalah anak yang impulsif. Impulsif berarti seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat untuk mempunyai sesuatu, dan waktu dia menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan seketika.

  2. Anak yang membutuhkan perhatian, karena hidup di lingkungan yang kurang sekali perhatian, dia sangat butuh aktifitas. Waktu dia membutuhkan aktifitas, yang dilakukan ialah mencuri, dengan dia mencuri dia bisa membeli barang yang ia inginkan sebab di rumah atau di sekolah kemungkinan besar dia tidak mendapatkan perhatian, jadi anaknya menyendiri.

  3. Tipe anak yang egosentrik, anak-anak yang sangat egois di mana keinginannya tidak boleh dibendung, yang dia inginkan harus dia dapatkan, dia tidak mengenal batas milik, bahwa ini milik orang lain, ini milik saya sebab orang pun harus tunduk pada keinginannya.

  4. Tipe keempat adalah anak yang bermasalah. Atau yang lebih sering disebut kleptomania yaitu anak-anak yang sebetulnya kompulsif anak-anak yang mempunyai problem perilaku, di mana dia harus mencuri meskipun dia tidak membutuhkan barang yang dia inginkan tapi dia mengambilnya, karena itu suatu perilaku yang harus dia lakukan.

Situasi-situasi yang mendukung anak melakukan tindakan mencuri, yaitu:

  1. Situasi yang sangat kurang pengawasan terhadap benda-benda berharga di dalam rumah kita.

  2. Sangat kurangnya penanaman hati nurani pada diri anak, sehingga anak-anak itu tidak tahu lagi benar salah. Tidak pernah diajarkan mana yang baik mana yang kurang baik, sehingga akhirnya mencuri bukan sesuatu yang salah baginya.

  3. Kurangnya pengawasan terhadap anak sehingga anak-anak bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya.

  4. Situasi ekonomi yang lemah dalam pengertian sangat susah, bisa juga yang sedang tapi kebetulan tinggal di lingkungan yang melampaui kemampuan ekonominya. Jadi teman-temannya memakai baju yang bagus, cincin yang bagus atau apa, akhirnya dia juga tergoda untuk memilikinya.

  5. Situasi budaya, budaya yang membolehkan pencurian. Yaitu sistem kehidupan/ cara hidup di lingkungan-lingkungan tertentu yang seolah-olah memberikan toleransi orang mencuri atau mengambil barang orang lain.

Biasanya ini dilakukan kepada orang-orang yang lebih berada, dan dilakukan selama itu tidak terlalu merugikan pemiliknya. Atau juga dengan merasionalisasi bahwa seharusnya orang membagikan hartanya dengan dia yang tak punya. Contoh : tokoh Robin Hood, Jessie James (mencuri tapi membagikan kepada orang-orang miskin).

Mencuri pada dasarnya mempunyai sistem imbalan yang tersendiri, yaitu:

  1. Imbalan pertama secara psikologis, emosional. Adanya kepuasan karena kita bisa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain, kita sedikit lebih berani untuk melakukan hal yang menegangkan.

  2. Selain imbalan dalam mencuri kita bisa memiliki yang dimiliki orang lain, nah ini juga menimbulkan satu kepuasan.

  3. Kita bisa menikmati hasil curian itu, dengan uang yang kita miliki kita bisa beli barang-barang yang kita inginkan.

Nak akhirnya ketiga unsur ini menjadi suatu sistem imbalan dalam mencuri, ini yang membuat akhirnya orang atau anak-anak kecil terus mencuri.

Yang perlu kita lakukan sebagai orangtua terhadap anak yang mencuri:

  1. Melakukan sistem sanksi, salah satu sistem yang bisa diterapkan adalah bukan saja dia harus mengembalikan, tetapi dia harus juga mengembalikan ditambah dengan sanksinya atau hukumannya, ini yang Alkitab katakan.

Amsal 22:15, Firman Tuhan berkata: "Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya." Firman Tuhan menekankan sekali disiplin, pembentukan, pengarahan. Dan tidak ada konsep di Alkitab ya, mendukung pandangan bahwa biarkan anak-anak bertumbuh dengan sendirinya secara natural, tidak. Tugas orang tualah untuk mengarahkan anak dan termasuk dalam hal mencuri ini. Saya kira salah satu hal yang paling pokok, harus dilakukan orang tua adalah memberikan pengawasan pada anak. Anak yang tidak terawasi dengan baik cenderung terlibat dalam masalah.

Amsal 23:15 berkata: "Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita. Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur." Nah ini jelas ya, Tuhan akan sangat senang sekali kalau hati kita bijak dan mulut kita melakukan atau mengatakan hal yang jujur. Ini tantangan buat kita orang tua menanamkan hal ini pada anak-anak kita. Berhati bijak dan bermulut jujur.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana mengatasi anak yang mencuri, kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, karena dilatarbelakangi oleh apa ya, kadang-kadang ada sesuatu barang yang hilang di rumah. Dan setelah kami cari-cari, tanya sana, tanya sini ternyata anak kami yang mengambil, khususnya waktu masih kecil. Dia memang sengaja melakukan itu tetapi yang saya ingin tanyakan, tentu kami orang tua tidak pernah mengajarkan hal seperti itu, tetapi kenapa anak itu melakukan pencurian di dalam rumahnya sendiri, Pak Paul?

PG : Sebetulnya ada kira-kira empat penyebab Pak Gunawan, kenapa anak itu mencuri. Masing-masing tipe ini saya kira adalah tipe anak yang kita perlu pahami supaya kita bisa mengenal kenapa aak kita itu mencuri.

Yang pertama adalah anak mencuri karena dia adalah seseorang yang impulsif. Impulsif berarti yaitu bertindak tanpa pikir panjang dan tindakannya itu muncul dengan seketika. Jadi intinya dia adalah anak yang kurang bisa menguasai dirinya dan keinginannya.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, yang saya katakan mencuri atau yang kita maksudkan mencuri adalah dia mengambil sesuatu barang milik saya atau milik istri saya, tanpa dia bicara lebih dahulu, jadi bukan sekadar meminjam. Kalau meminjam kami bisa mengerti, dia berbicara dulu. Pengertiannya mencuri dalam hal ini seperti itu ya Pak Paul, jadi orang atau anak ini mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya.

PG : Betul, jadi dia sebetulnya tahu ini bukan miliknya tapi ada dorongan seketika yang membuat ia ingin memilikinya. Jadi walaupun dia sudah tahu barang ini bukan miliknya, namun tetap diamil.

Kenapa tetap diambil, karena tipe yang pertama ini yaitu dia anak yang impulsif.
GS : Apa yang melatarbelakangi sehingga dia mempunyai karakter impulsif?

PG : Sebetulnya sifat impulsif itu sifat yang pada dasarnya muncul sejak lahir. Jadi ada orang-orang yang memang mempunyai sifat impulsif lebih tinggi dibanding yang lainnya. Kita sebetulnyamasing-masing mempunyai sifat impulsif, kalau kita menginginkan sesuatu, kita inginkan itu dengan seketika.

Tapi ada orang-orang tertentu lebih menggebu-gebu keinginannya, nah orang-orang yang seperti ini akan lebih banyak mengalami kesukaran untuk bisa mengontrol keinginannya itu. Anak-anak yang impulsif seperti ini pada umumnya anak-anak yang aktif, anak-anak yang bertenaga, banyak energinya dan anak yang tidak terlalu mudah tunduk pada perintah orang tuanya. Jadi agak keras kepala juga. Namun ya tidak selalu anak-anak ini seperti tadi yang saya gambarkan, pada dasarnya ia adalah impulsif dan dia sukar mengontrol keinginannya sehingga seringkali membuat dia berurusan dengan masalah-masalah yang negatif, jadi pelanggaran-pelanggaran misalnya.
GS : Tapi itu bukan faktor keturunan, Pak Paul?

PG : Impulsifitas itu seringkali diturunkan, jadi orang-orang yang mempunyai ayah, ibu atau salah satu orang tua mereka yang lumayan impulsif. Salah satu dari anak mereka bisa mewariskan sikp itu jadi kalau emosi cepat, emosi mau sesuatu susah sekali dilawannya, kemauannya sangat keras sekali.

IR : Kemudian tipe lain, Pak Paul?

PG : Tipe yang lain adalah anak yang membutuhkan perhatian, Ibu Ida. Anak ini sebetulnya anak yang terlalaikan, terabaikan, dia kurang sekali kasih sayang, kurang sekali mendapatkan interaks dari orang tua, jarang diajak bicara, ataupun kalau diajak bicara hanya dalam hal tugas.

Sudah buat PR belum, tapi selain dari hal itu tidak ada lagi perhatian yang diberikan oleh orang tuanya. Dari latar belakang seperti ini, bisa muncul perilaku mencuri, karena apa? Karena kurangnya aktifitas atau kegiatan, kurangnya interaksi sehingga hidupnya itu lumayan hampa, kurang banyak teman di luar. Akhirnya di sekolah dia melihat temannya mempunyai barang dan diambil, karena apa? Teman-teman jarang mengajak dia bicara, dia sendirian saja. Di rumah jarang diajak bicara, lalu dia melihat ada uang mamanya, dia ambil uang itu, untuk apa? Kebanyakan dia belikan barang-barang sesuai dengan usianya, mainan kecil-kecilan, makanan kecil-kecilan. Tapi sebetulnya bukanlah mainan itu yang mendorong dia mencuri, sebab kalau tidak ada mainan itu juga tidak apa-apa, dia tidak terlalu membutuhkan. Ini salah satu keluhan orang tua yang saya dengar yaitu waktu mendengar mereka mencuri, ternyata anak-anak itu tidak terlalu membutuhkan barang itu, dia suka tapi tidak terlalu membutuhkan.
GS : Hanya sekadar untuk menarik perhatian orang tua atau gurunya?

PG : Dalam kasus yang kedua ini, sebetulnya dia sendiri melakukan itu bukan dengan tujuan menarik perhatian, tapi untuk mengisi kehidupannya yang kosong itu. Sebab hidup yang kosong sangat mresahkan, sangat tidak enak.

Tidak ada yang mengajak bicara, tidak ada yang mengajak main, baik di sekolah maupun di rumah. Akhirnya dia diam-diam sendirian, muncullah pikiran untuk melakukan sesuatu yang sedikit berbeda, yang sedikit menggairahkan, dia mengambil uang atau apa lalu dia belikan mainan lagi atau dibelikan barang tertentu. Jadi dengan dia membeli barang itu, ada aktifitas dan dengan membeli yang dia sukai, makanan yang dia sukai, berarti perasaannya akan jauh lebih senang, lebih tenang, lebih nyaman.
IR : Jadi untuk mencari kepuasan juga, ya Pak Paul?

PG : Ya, kalau kita mau labelkan kepuasan ya boleh, kesenangan sedikitlah. Sebab hidupnya sangat meresahkan, sangat tidak ada apa-apanya.

GS : Berarti anak itu sudah agak lebih besar ya Pak Paul? Bukan balita yang bisa melakukan itu, karena yang bisa menyadari akan kekosongan hidupnya itu paling tidak dia sudah agak besar begitu.

PG : Saya pernah mendapatkan kasus dimana anaknya masih cukup kecil, masih umur 6 tahunan.

GS : Tapi sudah bisa berbuat seperti itu, Pak Paul?

PG : Ya, bisa juga begitu. Jadi dia sendiri tidak harus menyadari bahwa dia membutuhkan perhatian, tapi yang pasti hidupnya itu sangat kurang sekali perhatian.

(2) IR : Apakah memang ada batas-batas umur tertentu Pak Paul, untuk anak yang suka mencuri itu?

PG : Maksud Ibu Ida mencuri yang bisa ditoleransi ya, batas umurnya sampai umur berapa. Pada dasarnya anak-anak memang cenderung akan mengambil barang yang bukan miliknya. Pada tahap masih kcil di bawah umur misalnya 5 tahun, diantara umur 2-4 tahun, 2-5 tahun paling tua, perilaku tersebut masih kita toleransi dalam pengertian itulah perilaku anak-anak.

Tapi setelah umur 5 tahun dan setelah dia mengetahui apa itu mencuri dan terus melakukannya maka mulailah menjadi masalah, bukan perilaku yang wajar.
GS : Kalau tipe yang lain, yang ketiga Pak Paul?

PG : Tipe ini tipe egosentrik Pak Gunawan, jadi anak-anak ini anak-anak yang tidak menyadari batas miliknya. Maksudnya begini, tadi saya sudah singgung anak-anak itu sebetulnya pada masa kecl cenderung mengambil barang milik orang lain karena dia belum bisa menyadari bahwa barang itu milik orang lain.

Jadi ada batas antara miliknya dengan milik orang lain. Seorang psikolog bernama Curn Albert mendefinisikan diri dari berbagai aspek. Salah satunya adalah yang dia sebut perluasan diri; diri dalam kategori perluasan ini adalah kita dulu sekolah, di mana kita sekarang bekerja, rumah kita di mana, apa mobil kita, apa baju yang sering kita pakai, di mana gereja kita. Dengan kata lain itu adalah perluasan diri, barang-barang yang diidentikkan dengan siapa kita ini. Anak-anak sebetulnya mempunyai konsep itu, pada masa kecil mainan ini mainanku, barang ini barangku. Tapi masalahnya anak-anak kecil belum bisa berkata bahwa barangmu bukan barangku, dia cenderung berkata barangmu barangku. Perlahan-lahan muncullah batas waktu dia ditegur jangan mengambil barang orang lain. Dia barulah membentuk suatu batas atau pagar di mana dia bisa berkata ini barangku dan itu barangmu, dan yang berikut menjadi modal dia untuk mendefinisikan siapa dirinya. Anak-anak yang egosentriknya tinggi sekali, rupanya tidak mengenal batas ini jadi terus dia langgar, dia terjang pagar rumah orang lain. Barang orang lain adalah barangku, jadi mendefinisikan dirinya sangat luas, ini maksudnya adalah egois sekali terlalu egosentrik.
GS : Tapi kalau seperti itu berarti dia tidak menyadari bahwa perbuatannya itu salah ya Pak Paul?

PG : Kebanyakan tahu dia salah, tapi karena tidak ada batasan itu, tetap saja dia langgar. Jadi dia tahu itu salah, tapi memang tidak terlalu mengganggu. Memang ada kasus di mana tidak tahu ia salah, ada juga.

Namun pada umumnya anak-anak itu sebetulnya tahu karena orang tuanya.
GS : Setelah diberitahu secara berulang-ulang Pak Paul, dia tidak mau mengerti karena egonya terlalu luas tadi?

PG : Betul, jadi dia anggap semua miliknya.

GS : Tapi barangnya sendiri tidak boleh diberikan kepada orang lain?

PG : Betul.

IR : Kemudian tipe yang keempat, Pak Paul?

PG : Tipe yang keempat adalah anak yang bermasalah, Ibu Ida. Jadi anak yang bermasalah ini biasanya mempunyai kebiasaan mencuri dalam istilah resminya disebut kleptomania. Anak-anak yang kletomanik, anak-anak yang terus mencuri.

Sekali lagi saya akan munculkan suatu istilah yang sedikit asing yaitu kompulsifitas; kompulsif dalam bahasa Inggrisnya compulsive. Kompulsif berarti perilaku itu harus dilakukan olehnya, tidak bisa tidak, dia harus lakukan. Contoh yang lain tentang perilaku kompulsif, ada orang yang harus membersihkan rumahnya setiap hari, kalau tidak, dia merasa tidak puas.
IR : Jadi itu suatu penyakit ya Pak Paul?

PG : Betul, itu suatu gangguan kejiwaan. Kalau dicampur dengan obsesi pikiran-pikiran yang tidak bisa terlepaskan menjadi obsessive compulsive, jadi resminya kita sebut OCD (obsessive compulive disorder) gangguan obsesif dan kompulsif.

Ada juga yang gangguan kompulsifnya saja. Kleptomania seperti itu, jadi dia melihat barang, dia harus mengambil, masalahnya dia tidak butuh. Ditanya kenapa ambil, ya mau ambil, kenapa butuh apa tidak? Tidak butuh, suka sekali tidak? Ya biasa saja. Jadi dia sendiri tidak bisa menguasai tingkah lakunya, sehingga pencurian atau mencuri menjadi bagian dari kompulsifitasnya yang harus dia lakukan. Ini memang yang lebih parah, ini biasa diidap oleh anak-anak remaja, ada sebagian seperti itu yang dibawa terus sampai usia dewasa.
GS : Tapi ada yang mengatakan itu hanya pada barang-barang tertentu Pak Paul, atau semua jenis barang yang bisa dia lakukan?

PG : Kalau kleptomania sebetulnya untuk semua jenis barang.

GS : Jadi bukan barang yang mengkilat?

PG : Tidak harus ya, mungkin saja dia akan membentuk suatu preferensi yang dia sukai, barang-barang tertentu mungkin. Tapi ada juga yang tidak, misalkan dia ke supermarket, jalan-jalan di lrong-lorong banyak barang yang dia inginkan, diambilnya barang itu.

Untuk apa? Sebetulnya tidak dia pikirkan, gunanya untuk apa, tujuannya untuk apa, tidak ada sama sekali. Nah, ini memang dikategorikan anak yang bermasalah.
GS : Kalau ini Pak Paul, akibat pergaulan biasanya dialami oleh anak-anak remaja yang uang sakunya terbatas, lalu mereka berkumpul misalnya bersama-sama ke supermarket. Melihat teman-temannya mencuri, dia didorong oleh teman-temannya untuk mencuri juga.

PG : Betul, dalam kasus ini sebetulnya, dorongan mencuri ini dorongan yang masih lebih ringan karena benar-benar muncul atas dorongan teman, sifat-sifat yang eksternal. Yang tadi kita bahas ebetulnya lebih ke internal, lebih susah diobati.

Yang eksternal lebih mudah sebetulnya.
GS : Kalau dia bisa dipisahkan dengan lingkungan itu, apa bisa teratasi?

PG : Betul.

(3) GS : Sekarang kalau sifatnya yang internal seperti itu tadi Pak Paul, kita mulai saja misalnya anak itu impulsif lalu bagaimana kalau itu terjadi pada anak kita?

PG : Ada beberapa cara penanganan, Pak Gunawan untuk anak-anak yang bermasalah dengan sifat mencuri ini. Otomatis kita memang perlu menanamkan apa itu salah, apa itu benar, apa yang seharusna tidak dilakukan, yang seharusnya dilakukan, dan apa itu malu.

Sehingga meskipun dorongan impulsifitasnya kuat, dia ingin mengambil tapi mengingat bahwa ini salah, atau mengingat bahwa ini hal yang memalukan. Lama-lama akan cukup mendorong dia untuk tidak melakukan hal itu dan juga diperlukan sanksi sebetulnya. Sanksi-sanksi yang menghukum perbuatannya itu agar dia tahu, bahwa kalau dia melakukan hal ini akan ada sanksinya misalnya dihukum. Mudah-mudahan rasa takut ini akan mendorongnya untuk menghentikan perbuatannya itu.
(4) IR : Pak Paul, tentu ada situasi-situasi di mana situasi itu mendukung seseorang untuk mencuri, Pak Paul?

PG : Ya betul, ada beberapa Ibu Ida. Yang pertama adalah situasi di mana sangat kurang pengawasan terhadap benda-benda berharga di dalam rumah kita itu. Maksud saya, ada rumah yang sangat trbuka semuanya, benda-benda berhargapun dibiarkan berserakan dengan terbuka, tidak ada tempat-tempat yang privat.

Sebetulnya itu tidak bijaksana. Misalkan ada orang yang berkata kami orang yang tidak punya, tidak bisa membeli lemari brankas, ya tidak perlu membeli lemari brankas. Kotak sabunpun tidak apa-apa, asalkan kita tutup dengan baik. Jadi setiap rumah seharusnya mempunyai tempat yang privat, ada tempat yang terbuka di mana anak boleh melihat, boleh ikut masuk ke dalamnya. Namun harus ada tempat-tempat yang privat di mana anak-anak tahu ini milik orang tua dan yang ada dalam lemari itu misalnya adalah barang yang berharga yang tidak boleh saya ambil. Jadi anak-anak belajar mengerti bahwa ini bendaku itu bendamu, ini benda yang kusayangi dan rupanya itu benda yang engkau sayangi, ini benda yang berharga bagiku, itu benda yang berharga bagimu. Mereka harus mempunyai rasa seperti ini tapi caranya bagaimana; caranya dengan menciptakan suasana atau situasi di mana ada tempat-tempat yang privat, yang mereka tidak boleh membukanya dengan sembarangan. Disitulah kita taruh benda-benda berharga.
IR : Tidak mencobai anak, ya Pak Paul?

PG : Betul, pertama tidak mencobai dia, tidak menggoda untuk memiliki benda-benda itu dan yang kedua adalah untuk menanamkan rasa hormat terhadap hak milik orang lain. Ini penting sekali, saa mengetahui ada sebuah keluarga di mana anak-anak bisa mengambil kunci, membuka lemari orang tuanya, itu sebetulnya tidak bijaksana.

GS : Ya mungkin, pikir orang tuanya itu anaknya sendiri, Pak Paul, jadi toleransinya terlalu luas untuk itu.

PG : Betul, tapi akhirnya membuat si anak tidak mengenal batas. Begitu dia keluar rumah dan bergaul dengan orang, dia cenderung menerapkan sistem hidupnya itu kepada orang lain pula. Jadi di akan mengambil barang yang bukan miliknya, dia akan meminjam barang yang bukan miliknya.

Waktu dulu saya kuliah, saya masih ingat, teman sekamar saya suka mengambil makanan saya di lemari es, saya merasa kesal sekali. Karena saya sudah beritahu dia, saya mula-mula diam saja, ia mengambil makanan saya. Akhirnya saya ajak dia bicara baik-baik, saya mengatakan jangan mengambil makanan saya, kalau mau ambil minta izin dulu. Bagi sebagian orang minta izin adalah hal yang baru, sebab bagi mereka tidak apa-apa mengambil barang orang, sebab di rumah dulu ya begitu tidak ada batas sama sekali.
IR : Apa tidak mempunyai perasaan bersalah, ya Pak Paul?

PG : Dalam kasus ini mungkin tidak, jadi anak-anak ini merasa tidak apa-apa mengambil barang orang lain. Mereka mengerti bahwa mereka mengambil barang orang lain tapi mereka biasa saja karen di rumah terbiasa seperti itu.

Nah, situasi ini bisa mendorong anak untuk mencuri karena di rumah tidak ada batas, di luarpun dianggap tidak ada batas dan kalaupun ada batas berarti boleh dilanggar.
GS : Tapi setiap anak atau setiap orang, mulai dari anak-anak itu dibekali hati nurani, sekalipun untuk dia tidak apa-apa, tapi seharusnya hati nuraninya bisa berkata ini keliru.

PG : Ya, ini situasi yang kedua, Pak Gunawan, yaitu ada rumah tangga atau situasi di mana sangat kurang penanaman hati nurani pada diri anak.

GS : Tidak diasah, tidak dilatih untuk mendengarkan suara hati nuraninya.

PG : Betul, kurang diajarkan. Jadi anak-anak ini memang kurang tahu benar salah. Tindakan-tindakan itu akhirnya tidak menimbulkan rasa bersalah. Saya pernah berbicara dengan seorang yang suah dewasa, yang mengaku bahwa waktu kecil ia mengambil uang orang tuanya.

Saya bertanya apakah engkau merasa bersalah? Tidak merasa bersalah sama sekali. Di sini kita melihat hati nuraninya kurang bekerja, karena apa? Kemungkinan besar kurang ditanamkan oleh orang serumah atau oleh orang tuanya.
IR : Pak Paul, apakah perlu kita sebagai orang tua juga mengawasi milik anak-anak kita?

PG : Saya kira itu baik sekali, Ibu Ida. Jadi kita sendiri memang mengawasi apa saja yang dia miliki.

IR : Kadang-kadang, tiba-tiba dia mempunyai sesuatu, asalnya dari mana perlu kita tanya.

PG : Betul sekali, apalagi kalau dia tidak pernah mempunyai tiba-tiba mempunyainya, apalagi barang yang sedikit berharga, kita harus menanyakannya.

GS : Memang saya rasa mencuri itu dalam tingkat tertentu ya Pak Paul, itu menjadi pengalaman banyak orang, sayapun pernah melakukan hal itu dalam skala kecil-kecilan. Sebenarnya ada rasa kepuasan tersendiri, Pak Paul, kalau misalnya orang tua kita tidak mengetahui bahwa barangnya dicuri, itu yang bisa mendorong untuk mengulanginya lagi. Pertama sedikit, uang kecil misalnya Rp. 1.000,00, Rp. 2.000,00 tapi lama-lama bertambah banyak.

PG : Mencuri itu pada dasarnya mempunyai sistem imbalan tersendiri, Pak Gunawan. Imbalan pertama secara psikologis, emosional. Tadi Pak Gunawan sudah singgung yaitu adanya kepuasan karena kia bisa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain, yang menegangkan.

Kita ini sedikit lebih berani dari orang lain. Ada unsur itu juga, waktu kita berhasil melakukan sesuatu yang menegangkan, yang berbahaya dan lolos itu ada kepuasan. Yang berikutnya adalah selain imbalan dalam mencuri, kita bisa memiliki yang dimiliki orang lain, ini juga menimbulkan satu kepuasan. Kita bisa mencicipi yang dimiliki oleh orang lain dan kita merasa senang. Dan yang ketiga adalah kita bisa menikmati hasil curian itu, dengan uang yang kita miliki kita bisa membeli barang-barang yang kita inginkan. Akhirnya ketiga unsur ini menjadi suatu sistem imbalan dalam mencuri. Ini yang membuat akhirnya orang atau anak-anak kecil terus mencuri.
GS : Lagi pula yang saya ingat itu, ayah saya biasanya tidak minta kembali Pak Paul, cuma tanya saja. Saya bilang tadi saya ambil saya belikan ini, ini dan ayah berkata sudah lain kali jangan. Itu membuka peluang untuk lain kali mengambil lagi.

PG : Betul.

GS : Sebetulnya bagaimana, Pak Paul? Kalau seandainya waktu itu diminta, ya ayah saya meminta untuk mengembalikan, ya sudah habis uangnya.

PG : Yang baik adalah sistem sanksi, ya Pak Gunawan, salah satu sistem sanksi yang bisa diterapkan untuk pencurian adalah bukan saja dia harus mengembalikan, tetapi dia harus juga mengembalian ditambah dengan sanksinya atau hukumannya, ini yang Alkitab katakan.

Jadi misalkan kalau orang kedapatan misalnya mencuri, bukan saja barang itu harus dikembalikan, tapi berkali-kali lipat dikembalikannya. Nah anak yang misalnya mencuri uang kita Rp. 1.000,00 waktu kita bertanya mana uangnya, sudah habis dibelikan sesuatu. Misalkan uang jajannya 1 hari Rp. 300,00 kita katakan, Rp. 1.000,00 itu harus engkau kembalikan dan hukuman atas pencurianmu sekali ini adalah saya tambahkan Rp. 200,00 berarti apa, berarti empat hari tidak dapat uang jajan. Dia harus membayar kembali, ini jauh lebih efektif daripada marah-marah memukuli si anak, jadi itu jauh lebih efektif.
GS : Jadi bentuk pencurian yang dilakukan oleh anak-anak itu bukan sekadar kenakalan atau salah satu bentuk dari kenakalan, Pak Paul?

PG : Ada, jadi anak-anak remaja yang mulai nakal, mulai mencuri karena dia mau membeli rokok atau apa, itu bisa merupakan kenakalan. Tapi sebetulnya kenakalan dalam kasus seperti ini lebih gmpang diobati; yang jauh lebih susah diobati adalah sudah sejak dari kecil tidak ada batas, yang impulsif, yang kleptomania atau yang kurang perhatian, terus hal ini menjadi bagian dalam kehidupannya, itu lebih sulit diobati.

Kalau yang remaja karena nakal-nakal sedikit dengan sanksi, dengan diomeli atau apa mungkin saja bisa berhenti.
GS : Biasanya kita orang tua mengharapkan atau memperkirakan nanti kalau sudah besar, dia sudah bisa membedakan yang boleh dan tidak boleh, maka mencuri itu akan hilang dengan sendirinya, begitu Pak Paul?

PG : Adakalanya hilang sendiri, memang waktu dia mendapatkan perhatian dari temannya di sekolah, keinginan mencuri lebih berkurang. Maksud saya begini, anak-anak yang relatif sehat, sebetulna kurang sekali perhatian di rumah.

Tapi lama-lama di sekolah dia mempunyai banyak teman, teman-teman mengobrol, otomatis pikiran untuk mencurinya akan berkurang karena pergaulannya makin luas, makin banyak teman, main dengan teman, lari ke sana ke sini. Yang justru lebih rawan adalah yang diam tidak ada teman, sendirian, dia perlu aktifitas lalu mencuri barang orang lain.
IR : Apakah ada pencurian yang bisa ditoleransi, Pak Paul?

PG : Mencuri hati, mencuri perhatian. Sebetulnya tidak, jadi setiap pencurian harus kita tanggapi, tidak boleh kita diamkan.

GS : Dan sehubungan dengan itu, apa firman Tuhan yang telah Tuhan sampaikan melalui Alkitab itu?

PG : Di dalam Amsal 22:15 firman Tuhan berkata : "Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya." firman Tuhan memang menekankan ekali disiplin, pembentukan, pengarahan.

Dan tidak ada konsep di Alkitab yang mendukung pandangan bahwa biarkan anak-anak bertumbuh dengan sendirinya secara natural, tidak. Tugas orang tualah untuk mengarahkan anak dan termasuk dalam hal mencuri ini. Saya kira salah satu hal paling pokok yang harus dilakukan orang tua adalah memberikan pengawasan pada anak. Anak yang tidak terawasi dengan baik, cenderung terlibat dalam masalah. Masalahnya pada masa kecil juga akan kecil, bertambah besar masalahnya akan bertambah rumit.
IR : Dan menanamkan kejujuran, ya?

PG : Betul sekali, jadi orang tua harus menanamkan kejujuran.

GS : Tapi justru seringkali dengan alasan apa, anak itu justru melihat orang tuanya mencuri, Pak Paul.

PG : Itu pernah saya lihat, waktu saya masih bekerja di departemen yang mengurus anak-anak yang dianiaya. Ada satu anak remaja yang mencuri, lalu ditangkap polisi dan saya baru tahu bahwa yag suka mencuri adalah mamanya, dia disuruh mamanya mencuri.

Mamanya mengambil barang, dia disuruh menunggu di depan lorong untuk melihat apakah ada orang atau tidak. Ya pantas anaknya mencuri karena mamanya mencuri.
IR : Langsung mencontoh perilaku orang tuanya, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda, sebuah perbincangan tentang mengatasi perilaku anak yang mencuri bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA. Bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami ucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



11. Bagaimana Menangani Perilaku Anak yang Mencuri 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T038B (File MP3 T038B)


Abstrak:

Lanjutan dari T38A


Ringkasan:

Ada 4 hal yang menyebabkan anak mencuri adalah sbb:

  1. Anak mencuri karena dia adalah anak yang impulsif. Impulsif berarti seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat untuk mempunyai sesuatu, dan waktu dia menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan seketika.

  2. Anak yang membutuhkan perhatian, karena hidup di lingkungan yang kurang sekali perhatian, dia sangat butuh aktifitas. Waktu dia membutuhkan aktifitas, yang dilakukan ialah mencuri, dengan dia mencuri dia bisa membeli barang yang ia inginkan sebab di rumah atau di sekolah kemungkinan besar dia tidak mendapatkan perhatian, jadi anaknya menyendiri.

  3. Tipe anak yang egosentrik, anak-anak yang sangat egois di mana keinginannya tidak boleh dibendung, yang dia inginkan harus dia dapatkan, dia tidak mengenal batas milik, bahwa ini milik orang lain, ini milik saya sebab orang pun harus tunduk pada keinginannya.

  4. Tipe keempat adalah anak yang bermasalah. Atau yang lebih sering disebut kleptomania yaitu anak-anak yang sebetulnya kompulsif anak-anak yang mempunyai problem perilaku, di mana dia harus mencuri meskipun dia tidak membutuhkan barang yang dia inginkan tapi dia mengambilnya, karena itu suatu perilaku yang harus dia lakukan.

Situasi-situasi yang mendukung anak melakukan tindakan mencuri, yaitu:

  1. Situasi yang sangat kurang pengawasan terhadap benda-benda berharga di dalam rumah kita.

  2. Sangat kurangnya penanaman hati nurani pada diri anak, sehingga anak-anak itu tidak tahu lagi benar salah. Tidak pernah diajarkan mana yang baik mana yang kurang baik, sehingga akhirnya mencuri bukan sesuatu yang salah baginya.

  3. Kurangnya pengawasan terhadap anak sehingga anak-anak bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya.

  4. Situasi ekonomi yang lemah dalam pengertian sangat susah, bisa juga yang sedang tapi kebetulan tinggal di lingkungan yang melampaui kemampuan ekonominya. Jadi teman-temannya memakai baju yang bagus, cincin yang bagus atau apa, akhirnya dia juga tergoda untuk memilikinya.

  5. Situasi budaya, budaya yang membolehkan pencurian. Yaitu sistem kehidupan/ cara hidup di lingkungan-lingkungan tertentu yang seolah-olah memberikan toleransi orang mencuri atau mengambil barang orang lain.

Biasanya ini dilakukan kepada orang-orang yang lebih berada, dan dilakukan selama itu tidak terlalu merugikan pemiliknya. Atau juga dengan merasionalisasi bahwa seharusnya orang membagikan hartanya dengan dia yang tak punya. Contoh : tokoh Robin Hood, Jessie James (mencuri tapi membagikan kepada orang-orang miskin).

Mencuri pada dasarnya mempunyai sistem imbalan yang tersendiri, yaitu:

  1. Imbalan pertama secara psikologis, emosional. Adanya kepuasan karena kita bisa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain, kita sedikit lebih berani untuk melakukan hal yang menegangkan.

  2. Selain imbalan dalam mencuri kita bisa memiliki yang dimiliki orang lain, nah ini juga menimbulkan satu kepuasan.

  3. Kita bisa menikmati hasil curian itu, dengan uang yang kita miliki kita bisa beli barang-barang yang kita inginkan.

Nak akhirnya ketiga unsur ini menjadi suatu sistem imbalan dalam mencuri, ini yang membuat akhirnya orang atau anak-anak kecil terus mencuri.

Yang perlu kita lakukan sebagai orangtua terhadap anak yang mencuri:

  1. Melakukan sistem sanksi, salah satu sistem yang bisa diterapkan adalah bukan saja dia harus mengembalikan, tetapi dia harus juga mengembalikan ditambah dengan sanksinya atau hukumannya, ini yang Alkitab katakan.

Amsal 22:15, Firman Tuhan berkata: "Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya." Firman Tuhan menekankan sekali disiplin, pembentukan, pengarahan. Dan tidak ada konsep di Alkitab ya, mendukung pandangan bahwa biarkan anak-anak bertumbuh dengan sendirinya secara natural, tidak. Tugas orang tualah untuk mengarahkan anak dan termasuk dalam hal mencuri ini. Saya kira salah satu hal yang paling pokok, harus dilakukan orang tua adalah memberikan pengawasan pada anak. Anak yang tidak terawasi dengan baik cenderung terlibat dalam masalah.

Amsal 23:15 berkata: "Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita. Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur." Nah ini jelas ya, Tuhan akan sangat senang sekali kalau hati kita bijak dan mulut kita melakukan atau mengatakan hal yang jujur. Ini tantangan buat kita orang tua menanamkan hal ini pada anak-anak kita. Berhati bijak dan bermulut jujur.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan melanjutkan perbincangan kami beberapa waktu yang lalu yaitu tentang mengatasi perilaku anak yang mencuri. Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita sudah berbincang-bincang tentang bagaimana mengatasi anak yang mencuri, tapi karena banyaknya sisi yang harus kita lihat rupanya perbincangan itu perlu kita lanjutkan pada kesempatan ini. Supaya para pendengar kita kali ini juga mempunyai gambaran apa yang kita bicarakan pada kesempatan yang lalu, mungkin Pak Paul bisa mengawalinya secara singkat, bagaimana kita itu bisa mengenal anak yang mencuri.

PG : Secara garis besar Pak Gunawan ada tipe-tipe anak yang mencuri, jadi tidak semua itu muncul dari satu karung yang sama. Yang pertama adalah anak yang mencuri karena dia sendiri anak yan impulsif.

Impulsif berarti seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat untuk mempunyai sesuatu, dan waktu dia menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan seketika. Nah anak ini bisa menjadi anak yang mencuri, jika dia menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya. Anak yang kedua adalah anak yang membutuhkan perhatian karena hidup di lingkungan yang kurang sekali perhatian, dia sangat butuh aktifitas. Dan waktu dia membutuhkan aktifitas, yang dilakukan ialah mencuri, dengan dia mencuri dia bisa membeli barang yang ia inginkan sebab di rumah atau di sekolah kemungkinan besar dia tidak mendapatkan perhatian, jadi anak itu menyendiri. Yang ketiga adalah anak yang egosentrik, anak yang sangat egois di mana keinginannya tidak boleh dibendung, yang dia inginkan harus ia dapatkan, dia tidak mengenal batas milik, bahwa ini milik orang, ini milik saya, orang pun harus tunduk pada keinginannya. Dan yang keempat adalah anak yang bermasalah atau yang lebih sering disebut kleptomania yaitu anak-anak yang sebetulnya kompulsif, anak-anak yang mempunyai problem perilaku di mana dia harus mencuri meskipun dia tidak membutuhkan barang yang dia inginkan, dia mengambilnya, karena itu suatu perilaku yang harus dia lakukan.
GS : Pada waktu itu kita juga sudah mulai berbincang-bincang sedikit tentang selain ada masalah di dalam diri anak itu, tetapi juga lingkungan di sekitarnya yang mendukung, ada situasi-situasi tertentu yang membuat anak itu melakukan pencurian, Pak Paul?

PG : Betul, yang pertama adalah kurangnya pengawasan atas benda berharga. Jadi dalam rumah tangga itu semuanya terbuka, anak-anak boleh mengambil benda berharga di lemari ibunya, mempunyai knci untuk membuka lemari ayahnya.

Itu suasana yang kurang baik sebab tidak ada lagi batas antara yang privat dan yang umum. Dalam situasi seperti itu anak-anak bisa tergoda untuk mencuri atau tidak mengenal batas milik. Yang kedua adalah kurangnya penanaman hati nurani sehingga anak-anak ini tidak tahu lagi benar atau salah, tidak pernah diajarkan mana yang baik dan mana yang kurang baik, sehingga akhirnya mencuri. Sebenarnya hal itu bukan sesuatu yang salah baginya.
GS : Mungkin itu yang sudah kita bicarakan pada kesempatan yang lalu. Dan sekarang kita lanjutkan. Selain dari situasi itu Pak Paul, apakah ada situasi-situasi yang lain yang mendukung atau mendorong seseorang anak itu sampai mencuri, Pak?

PG : Masih ada Pak Gunawan, yang berikutnya adalah kurangnya pengawasan terhadap anak. Jadi dalam kasus ini anak-anak bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya. Kebebasan ini bisa diperolh, biasanya karena orang tuanya bermasalah atau orang tuanya sangat sibuk sehingga tidak ada di rumah.

GS : Ya itu masalahnya.

PG : Itu sendiri juga masalah, sehingga tidak ada yang mengawasi. Akhirnya mereka bisa melakukan hal-hal yang negatif. Teman-teman mengajak mencuri atau teman-temannya mengatakan ambil saja arang orang tuamu, ya dia ikuti.

Dia ingin membeli sesuatu dan tidak ada uang, temannya mengajarkan agar mengambil barang orang tuanya, dia ikuti juga. Itu karena tidak ada pengawasan yang baik terhadap anak-anak, jadi anak-anak itu dibiarkan bebas, seperti liar.
GS : Atau mungkin Pak Paul, keluarga itu terdiri dari keluarga yang besar sekali, misalnya anaknya banyak sehingga tidak bisa mengawasi satu per satu.

PG : Itu juga bisa, betul Pak Gunawan. Jadi akhirnya orang tua sangat repot, mungkin dengan kehidupan mereka sendiri dan juga anak-anak yang banyak. Sehingga dalam kondisi seperti itu kurangbisa memberikan pengawasan pribadi pada setiap anak.

Banyak perilaku anak yang sebetulnya berpotensi untuk negatif, tapi mengapa tidak berkembang menjadi negatif, karena kehadiran orang tua yang mengawasi anak. Maksud saya begini, ada seorang yang pernah berkata, kalau mau menciptakan monster dalam rumah mudah sekali, lepaskanlah anak-anak kita. Maksudnya biarkan mereka tidak perlu dididik, akhirnya yang negatif akan muncul tapi kalau diawasi dengan baik, yang negatif itu bisa kita tekan dan kita arahkan kembali.
IR : Karena kecenderungan anak itu selalu melakukan yang negatif, ya Pak Paul?

PG : Betul, cukup banyak anak yang memang cenderung seperti itu. Contohnya mengambil barang, anak-anak itu sejak kecil susah sekali melepaskan barang kepada orang lain, mainannya mainan dia,mainan orang lain ya juga mainan dia.

Kalau meminjam barang orang, orang harus berikan, tapi waktu orang meminjam barangnya, sangat susah untuk dia berikan.
GS : Egosentriknya tadi ya Pak Paul?

PG : Betul, jadi kecenderungannya adalah nanti anak-anak itu mengambil barang orang yang ia inginkan.

GS : Tadi yang Pak Paul maksudkan dengan pengawasan, sampai sejauh mana kita sebagai orang tua mengawasi tingkah laku anak kita?

PG : Yang saya maksud adalah orang tua sebetulnya harus tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup anaknya, apa yang dia lakukan. Pada siaran yang lalu Ibu Ida memberikan contoh, kalau anak-ank pulang membawa barang-barang tertentu, orang tua harus tahu.

Jadi orang tua harus sering misalnya ke kamar si anak, mengobrol dengan si anak, dan melihat-lihat barang-barang yang dimiliki. Orang tua harusnya mengingat-ingat pernah membelikan apa, sekarang mengapa ada barang yang tidak dibelikan, dari mana, Otomatis juga orang tua yang harus membelikan, bukan sopir atau suster yang membelikan.
IR : Dengan demikian anakpun juga tidak bebas memiliki?

PG : Betul, anak-anak itu harus tahu bahwa dia diawasi, karena waktu dia mengetahui bahwa tidak diawasi kecenderungannya adalah berbuat melewati batas. Jadi perlu mendirikan pagar di rumah, alau boleh saya ilustrasikan dengan pagar, anak harus tahu batas pagarnya.

Kalau kita gagal memberikan pagar di rumah, dia akan menginjak-injak tanaman orang lain di luar.
IR : Apakah kondisi sosial ekonomi yang tidak mendukung juga membuat anak mencuri, Pak Paul?

PG : Bisa, meskipun tidak semuanya. Tadi contoh-contoh itu bisa terjadi pada rumah tangga yang mapan, namun situasi ekonomi yang lemah bisa juga mendorong anak untuk mencuri. Ini tidak haruslemah dalam pengertian sangat susah, bisa juga yang sedang-sedang tapi kebetulan dia berada di lingkungan yang melampaui kemampuan ekonominya.

Jadi teman-temannya memakai baju yang bagus, cincin yang bagus atau apa, akhirnya dia juga tergoda untuk memilikinya. Ini cukup sering terjadi, jadi orang tua sebetulnya harus bijaksana menempatkan, di mana anak-anak itu bermain, dengan siapa dia itu bergaul. Kalau anak kita adalah anak yang biasa sebaiknya jangan kita menyekolahkan dia di sekolah di mana mayoritas teman-temannya adalah orang-orang yang sangat berada. Ini tidak sehat bagi si anak, sebaiknya dia sekolah dengan anak-anak yang setara derajat ekonominya. Sehingga yang ia miliki, juga teman-temannya miliki, yang teman-temannya miliki, itu juga yang ia miliki; itu lebih baik sebetulnya.
IR : Juga perlu atau tidak, Pak Paul, orang itu menanamkan hidup yang sederhana, misalnya untuk membeli barang yang tidak perlu bermerk?

PG : Bagi saya yang paling penting, mengajarkan kepada anak apa yang terbaik. Nah yang baik itu memang bisa berbeda-beda, dalam keadaan ekonomi yang kurang, otomatis tidak bisa membeli baran yang bermerk.

Kita hanya bisa membeli barang yang cukup baik tapi tidak bermerk. Namun harus kita akui satu hal yang juga merupakan fakta, yang bermerk kualitasnya bagus, kenapa bagus? Karena memang dibuat dari bahan- bahan yang lebih bagus sehingga menuntut biaya yang lebih tinggi. Jadi merk bagus kebanyakan berarti mempunyai mutu yang lebih bagus.
IR : Tapi kadang-kadang merk hanya untuk gengsi, Pak?

PG : Itu yang salah, jadi yang perlu kita tanamkan pada anak bukan gengsinya, bukan prestisenya, tapi mutunya. Kita ini mengajarkan, barang yang bermutu, yang baik. Contohnya saya dulu perna membeli sepatu, sepasang sepatu yang cukup murah, benar saja tidak ada setahun sudah rusak sehingga tidak bisa dipakai.

Istri saya belum lama ini beli sandal atau sepatu saya lupa, dia senang sekali katanya murah, tidak ada 2 minggu lepas semuanya. Jadi yang kita ajarkan kepada anak bukan mengirit tetapi bijaksana, mengerti apa yang kita butuhkan, apa itu kemampuan kita, yang bisa kita beli, dan cobalah beli yang memang bermutu baik, itu saya kira prinsipnya. Jadi kalau menghemat tanpa tujuan, yang jelas kurang bijaksana, jatuhnya bisa lebih mahal. Saya membeli sepatu memang mahal, tapi saya bisa menggunakannya selama 9 tahun.
IR : Tapi anak-anak remaja sekarang cenderung untuk membeli barang bermerk hanya karena gengsi.

PG : Itu yang salah, dan anak-anak yang dikelilingi teman-teman yang bergengsi seperti itu, sedangkan dia sendiri tidak mampu, dia akan cenderung mencuri. Atau sebetulnya dia mampu, dia tahuorang tuanya mampu, tapi orang tuanya tidak mau membelikan itu bisa juga mendorong dia untuk mencuri.

Jadi intinya kita harus mengawasi, dengan siapa anak-anak kita bergaul, apakah selevel atau tidak. Meskipun sebetulnya selevel dengan kita, tapi kita menginginkan anak kita mempunyai tingkat kehidupan yang seperti itu. Kalau kita tidak menginginkan kita harus perhatikan, dengan siapa dia bergaul.
GS : Lalu apa ada situasi yang lain selain 4 situasi yang sudah Pak Paul sebutkan tadi?

PG : Yang terakhir yang bisa saya pikirkan adalah situasi budaya, Pak Gunawan, jadi saya harus akui ada budaya yang membolehkan pencurian.

GS : Bagaimana itu?

PG : Misalnya begini, Pak. Ada budaya atau sistem kehidupan, cara hidup di lingkungan- lingkungan tertentu yang seolah-olah memberikan toleransi kepada orang mencuri atau mengambil barang yag lainnya.

Terutama mencuri dari orang yang lebih berada. Seakan-akan tersirat suatu asumsi, asal tidak terlalu merugikan pemiliknya ya tidak apa-apa. Atau yang lainnya adalah rasionalisasi yaitu bukankah dia seharusnya membagikan hartanya dengan saya yang tidak punya ini. Ini tercermin misalnya dari cerita Robin Hood, kita susah mempersalahkan Robin Hood. Orang cenderung mendewakan Robin Hood karena dia mengambil dari raja-raja yang kaya yang dianggap lalim, kemudian memberikannya kepada orang-orang yang miskin. Ini juga diulang lagi di Amerika, Robin Hood di Inggris, di Amerika adalah Jessie James. Perampok bank yang dikenal sangat dermawan, merampoki kereta-kereta api yang membawa uang dari bank kemudian membagikannya kepada orang miskin. Hal ini terjadi juga pada cerita Pablo E. Dia adalah bos mafia di Amerika Latin, saya lupa itu di negara apa tapi di Amerika Latin. Katanya dia juga dermawan luar biasa, suka memberikan kepada orang-orang yang miskin sehingga meskipun dia terlibat dalam obat-obat bius dan yang dikenal sangat jahat oleh negara-negara lain, tapi dianggap sebagai pahlawan di lingkungannya. Jadi kadangkala kita, manusia ini karena sudah berdosa, sistem nilai kita tercemar sehingga kita akhirnya membolehkan hal yang tidak boleh. Salah satunya adalah kasus penjarahan di kota-kota yang dijarah pada tahun lalu. Banyak orang mengambil barang dan merasa tidak apa-apa, ini bukan hanya terjadi di negara kita. Waktu tahun '91 atau '92 peristiwa R. King, orang hitam yang dipukuli oleh polisi kemudian dibebaskan, maksudnya polisi itu dibebaskan oleh pengadilan, lalu orang-orang hitam di Amerika demonstrasi dan menyerang toko-toko orang kulit putih dan toko-toko orang Korea di Los Angeles. Saya masih ingat sekali, orang-orang yang tidak ikut pun begitu melihat terjadi kekacauan, semua keluar mengambil barang, mengambil barang-barang orang, toko dimasuki diambil barangnya. Kita tahu di Amerika sebetulnya tidak ada alasan orang miskin, tidak punya pekerjaan pun mendapat dukungan dari negara, bisa hidup dengan layak.
GS : Tapi masih tetap mencuri, karena lingkungannya mengizinkan, situasinya mendukung waktu itu.

PG : Seolah-olah alasan yang diberikan kepada orang, kepada diri sendiri adalah yang punya toko masih orang kaya. Saya mengambil satu televisi juga tidak apa-apa, seolah-olah ada asumsi yangtersirat yaitu seyogyanyalah engkau memberikan barang ini kepadaku, engkau rela berikan yang bagus, engkau tidak rela memberikan ya saya ambil dengan sembunyi-sembunyi atau dengan paksa.

Ini budaya yang tadi saya katakan membolehkan sistem nilai kehidupan, yang membolehkan orang untuk mencuri meskipun sebetulnya tetap salah karena dalam iman Kristiani kita yang salah ya salah, yang benar ya benar. Tuhan tidak pernah membiarkan atau memperbolehkan perbuatan Robin Hood, atau Jessie James.
IR : Di Alkitab juga dilarang mencuri.

PG : Betul, sangat jelas sekali tertulis dilarang mencuri.

GS : Waktu Akhan mencuri, sampai seluruh keluarganya dihukum mati.

PG : Betul.

(1) GS : Pak Paul yang cukup sering terjadi akhir-akhir ini, di sekolah-sekolah khususnya. Banyak anak yang berkecukupan tetapi juga ada anak yang kurang mampu di sana. Mereka itu bukan saja mencuri Pak Paul, tapi meminta dengan paksa. Sepatu misalnya atau tasnya yang diminta, sebenarnya apa yang mendorong padahal itu terhadap teman sendiri, Pak Paul?

(2) PG : Ada beberapa faktor Pak Gunawan. Faktor yang cukup umum adalah faktor menjadi orang yang berkuasa, kebanyakan adalah bagian dari kelompok yang berkuasa di sekolah itu atau di ligkungannya.

Manusia sebetulnya tidak begitu bisa menjadi orang yang berkuasa. Sedikit sekali manusia yang bisa menjadi orang yang berkuasa, sebetulnya mayoritas manusia tidak siap untuk berkuasa. Maksud saya adalah begini, waktu manusia berkuasa, manusia cenderung melakukan hal-hal yang salah. Kalau dia tidak berkuasa apa-apa justru dia melakukan hal-hal yang benar. Anak-anak yang tubuhnya kuat, bisa berkelahi, atau menjadi bagian dari kelompok yang sedang berkuasa, akhirnya melewati batas yaitu melakukan hal-hal yang salah, bertindak semena-mena, mengompas orang, kalau istilahnya kami dulu di Jakarta, merampas barang milik orang karena memang ingin memilikinya, merasa saya ini tidak punya apa-apa, dengan uang saya sendiri saya tidak bisa memiliki barang seperti itu, akhirnya melakukan tindakan yang salah yaitu merampas.
IR : Bisakah Pak Paul kalau seseorang anak itu sering kehilangan barangnya di kelas karena saat ini sering terjadi pencurian, akhirnya cenderung mencuri sebagai ganti?

PG : Bisa Ibu Ida, jadi perilaku mencuri itu bisa ditularkan, kalau lingkup kita penuh dengan para pencuri yang mencuri dan kita melihat sebagai sesuatu yang cocok, kita cenderung melakukanna seperti itu.

Dan kita pun bisa berdalih untuk mengurangi rasa bersalah kita, orang mencuri barang saya ya saya mencuri barang orang lain, sama begitu.
GS : Kalau masih dalam situasi kelas terjadi pencurian, lalu guru melakukan penggeledahan. Seandainya ketahuan siapa pencurinya, lalu guru itu mengumumkan. Apa dampaknya pada anak yang mencuri, itu sangat memalukan sekali, ya Pak Paul?

PG : Betul, dalam hal penanganan anak-anak yang mencuri kita harus menyadari ada 2 hal yang harus kita tanamkan pada si anak. Yaitu rasa bersalah dan rasa malu. Rasa bersalah membuat dia tah bahwa tindakannya itu salah, tapi tindakan salah belum cukup menghentikan orang untuk melakukan hal yang salah.

Maksud saya begini, kita banyak mengetahui hal yang salah tapi tetap kita lakukan, karena apa, karena seringkali rasa bersalah tidak cukup menghentikan kita untuk melakukan hal yang salah itu. Jadi perlu juga yang disebut rasa malu, orang yang saya maksud adalah terhadap diri sendiri. Kenapa saya bisa melakukan hal seperti itu, budaya malu bukanlah budaya malu eksternal. Kalau orang melihat saya malu, kalau orang tidak melihat saya tidak malu bukan begitu. Yang perlu kita tanamkan terhadap anak-anak yang mencuri ini bahwa perbuatan mencuri adalah hal yang memalukan untuk dirimu, karena merendahkan engkau sebagai manusia. Engkau menjadi seorang pencuri yang memalukan bagi dirimu sendiri. Bisakah engkau melihat dirimu dengan bangga waktu engkau mencuri, jadi itu yang perlu lebih ditekankan pada anak. Bukan malu nanti orang melihat kau anak siapa, memalukan papa saja, dengan begitu anak tidak akan merasa malu. Sebab dia tahu yang malu siapa, papanya bukan dia. Jadi kita seringkali salah kaprah, salah target di situ. Selain itu kita memang perlu memberikan pengajaran moral, nilai moral, nilai rohani. Namun penekanan sekali lagi bukan pada pelakunya. Engkau orang berdosa, engkau salah. Penanaman nilai moral yang penting adalah berpusatkan pada perbuatan yang salah. Bahwa perbuatan mencuri adalah hal yang salah karena perbuatan ini merugikan orang luar biasa dan kita tidak mau dirugikan pula. Barang yang kita miliki adalah hak milik kita, jadi perbuatan itu menjadi sorotan kita dan yang harus kita tekankan adalah melanggar perintah Tuhan sendiri. Salah satu dari hukum Taurat adalah jangan mencuri jelas itu ditekankan. Kita bisa mengajarkan juga firman Tuhan yang dengan jelas menegur orang yang mencuri, seperti yang tadi Pak Gunawan ceritakan tentang Akhan.
GS : Tapi, masalah pencuri, sekalipun orang itu ketahuan, dihukum, mungkin juga merasa malu dan sebagainya, kenapa masih mencuri lagi. Buktinya kadang-kadang anak-anak yang mencuri dimasukkan ke penjara anak dan sebagainya, keluar dia mencuri lagi, bagaimana bisa seperti itu, Pak?

PG : Betul, karena pencurian yang sudah kronis bukan lagi menjadi suatu perilaku yang terisolasi tapi merupakan bagian dari kehidupannya. Jadi kalau kita mau membereskan pencuriannya, kita hrus membereskan sistem kehidupannya secara keseluruhan.

Maksud saya begini, anak-anak yang mencuri terus, bertahun-tahun mencuri, menjadi anak yang tidak dipercayai. Salah satu cara mengubahnya untuk tidak mencuri lagi adalah kita harus memulainya dengan menambahkan kepercayaan kepadanya. Meminta dia melakukan satu hal, dua hal, waktu dia mulai dipercayai, perasaan positif ini akan sedikit demi sedikit menggeser perasaan negatifnya sebab selama dia merasa saya memang sudah begini, memang saya orang yang mencuri, saya memang orang tidak benar dan terus dia bergelimang dalam perasaan negatif itu, dia akan melanjutkan tingkah laku mencurinya. Tapi waktu dia mulai melihat bahwa dia sebetulnya orang yang dipercaya, orang yang cukup positif, orang yang bisa baik. Akhirnya dia akan mulai merasa tindakan saya mencuri ini tidak sesuai dengan gambar diri saya, saya bukannya orang yang jahat seperti itu, saya orang yang cukup baik. Jadi dengan kata lain penanganannya adalah bukan saja memberikan sanksi, tapi juga memberikan kepercayaan, tanggung jawab kepadanya. Waktu dia merasa dia bisa bertanggung jawab dan memberikan yang diinginkan oleh orang lain sesuai dengan yang diminta tadi, dia akan merasa lebih senang tentang dirinya.
GS : Jadi sebenarnya orang atau anak yang suka mencuri itu punya rasa percaya diri atau tidak, Pak Paul?

PG : Mungkin saja punya rasa percaya diri, tapi secara tepatnya saya katakan dia itu kemungkinan kurang dipercayai, kurang mendapatkan kepercayaan dari orang. Dia mungkin cukup percaya diri,dia bisa melakukan apa-apa, mampu apa-apa, tapi yang sudah pasti dia kurang dipercayai, mungkin juga kurang diawasi, kurang diperhatikan oleh orang tuanya.

Tapi sekali lagi saya tekankan pemberian sanksi juga harus ada, harus langsung dan segera, jangan seminggu kemudian baru diomeli, tidak. Langsung ketahuan langsung diberikan sanksi, misalkan kita omeli dia dan sekali lagi waktu kita mengomeli dia sebisanya kita mengontrol lidah kita. Jangan menyerang pribadinya, kamu mencuri, tidak tahu adat atau apa, tidak. Kita fokuskan pada perbuatannya yang salah dan yang harus kita tekankan adalah rasa malunya bahwa engkau malu terhadap dirimu sendiri, nah dia hanya bisa terus merasa malu dengan dirinya kalau standar hidupnya atau standar tentang siapakah dia dinaikkan. Kalau dia merasa saya memang bejat ya dia tidak merasa malu lagi. Tapi kalau dia melihat dirinya lebih baik dari yang semula terjadilah ketidakcocokkan, itulah kesempatan dia merasa malu. Waktu dia mulai dipercaya, diberikan tanggung jawab, dia merasa cukup baik, mendapat pujian, engkau melakukan hal yang baik, dia melihat dirinya mulai baik, tidak seperti yang dulu waktu mencuri, ya seharusnya dia tidak mencuri lagi.
GS : Kalau kita menjumpai anak itu mencuri bukan barang milik kita, bukan barang dari keluarga kita, apakah kita harus mendorong anak itu mengembalikan barang itu?

PG : Bagus sekali Pak Gunawan, seperti yang kita bahas minggu lalu. Jadi anak-anak ini harus diajar untuk membayar balik, membayar balik apapun yang dia lakukan. Dia harus membayar balik, buan saja diomeli supaya dia merasakan susahnya.

Pukulan misalnya dipantat dipukul 2, 3 kali, dua menit kemudian dia lupa. Tapi dengan dia harus bayar kembali, Rp. 1.000,00 ya dia harus bayar Rp. 1.000,00 ditambah dengan bunganya misalnya Rp. 300,00, Rp. 400,00 uang jajannya diambil selama seminggu, dia harus merasakan penderitaan itu.
GS : Walaupun itu menyakitkan Pak Paul, malu sekali kalau dia harus mengembalikan barang itu, bila terhadap orang tuanya lebih mudah, tapi terhadap teman-temannya?

PG : Dengan teman-temannya saya anjurkan kalau di kelas, guru tidak mempublikasikannya. Jadi berikan kesempatan dia berbicara secara pribadi, dengan teman yang dicurinya dan meminta maaf, megembalikan ditambah dengan bayaran tambahan itu secara pribadi.

GS : Mungkin itu lebih berkesan, ya Pak Paul?

PG : Kalau tidak, kita memang menghancurkan harga dirinya dan semakin harga dirinya hancur, dia merasa cocok dengan tindakan mencurinya, jadi sama-sama rusaknya.

GS : Dalam hal ini apakah ada firman Tuhan yang Pak Paul ingin sampaikan?

PG : Firman Tuhan di Amsal 23:15 berkata : "Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita. Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur." Nah ini jelas ya, Tuan akan sangat senang kalau hati kita bijak dan mulut kita melakukan atau mengatakan hal yang jujur.

Ini tantangan untuk kita orang tua menanamkan hal ini pada anak-anak kita. Berhati bijak dan bermulut jujur.
GS : Terimakasih sekali Pak Paul.

Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan kehadapan Anda, sebuah perbincangan lanjutan yaitu bagaimana menangani perilaku anak yang mencuri, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Sekali lagi bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda untuk menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami ucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



12. Bagaimana Menangani Anak Yang Egois 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T052A (File MP3 T052A)


Abstrak:

Pada dasarnya setiap anak lahir ke dunia memiliki sikap egois atau sikap mementingkan diri sendiri. Kita sebagai orangtua harusnya dapat menciptakan pertumbuhan yang sehat yang dapat mendorong anak bukan saja mementingkan dirinya namun juga mementingkan diri orang lain. Dan juga menciptakan keseimbangan antara mementingkan diri sendiri dan juga mementingkan diri orang lain.


Ringkasan:

Pada dasarnya setiap anak lahir ke dunia memiliki sikap egois atau sikap mementingkan diri sendiri. Pertumbuhan yang sehat harusnya mendorong anak bukan saja mementingkan dirinya, namun juga mementingkan kepentingan orang lain. Harus ada keseimbangan antara keduanya, saya kira anak yang terlalu mementingkan diri orang lain, sehingga tidak lagi melihat kepentingan dirinya menjadi anak yang tidak terlalu sehat. Jadi yang dituju adalah keseimbangan antara mementingkan diri sendiri dan juga mementingkan kepentingan orang lain.

Adakalanya orang tua memberikan perlakuan kepada anak secara tidak sadar malah menumbuhkembangkan sikap egois pada anak. Sehingga anak akhirnya tidak pernah berhasil memperhatikan kebutuhan orang-orang lain, namun malah hanya mengutamakan kepentingannya sendiri. Ada beberapa perlakuan orang tua yang bisa membuat anak-anak itu menjadi anak-anak yang egois.

Beberapa ciri anak yang egois:

  1. Anak-anak yang egois adalah anak-anak yang tidak bisa menyeimbangkan kedua hal ini, dia hanya bisa mengutamakan dan hanya mengutamakan kepentingannya bahkan kadang-kadang tidak bisa menomerduakan kepentingan orang lain sebab baginya tidak ada kepentingan orang lain; yang ada adalah kepentingan diri sendiri.

  2. Menganggap diri sebagai kasus khusus. Dalam arti keinginannya harus didahulukan sebab dia merupakan kasus perkecualian.

  3. Tapi anak yang egois tidak harus manja, yang jelas nyata adalah dia menuntut. Dan ciri ketiga ini juga sangat dominan yaitu, tuntutannya memang tidak mengenal batas. Seolah-olah kapanpun dia memintanya, dimanapun dia memintanya, apapun yang dimintanya harus dituruti.

Ada dua kondisi utama yang menyebabkan anak-anak menjadi egois sbk:

  1. Orang tua atau keluarga yang memberi perhatian kepada anak secara berlebihan. Kadangkala itu terjadi tanpa disengaja.
    Saya akan berikan beberapa ciri-cirinya:

    1. Orang tua yang memberikan perhatian berlebihan kepada anak adalah orangtua yang terlalu memuja-muja anak, baik secara langsung atau tidak langsung.

    2. Adakalanya orang tua kurang menyoroti kelemahan anak karena terlalu meninggikan dan mengagungkan si anak. Sehingga jarang membicarakan kelemahan si anak, dan akibatnya kurang menuntut anak memperbaiki dirinya di dalam kekurangan-kekurangannya.

    3. Orang tua terlalu bergantung pada anak sebagai pemenuh kebutuhan emosional mereka sendiri.

    4. Orang tua kurang mendisiplin anak.

  2. Orang tua yang tidak mendisiplin anak dengan baik sehingga semua yang anak-anak minta dituruti tanpa batas.

Kejadian 22:11,12, "Tetapi berserulah malaikat Tuhan dari langit kepadanya, "Abraham, Abraham!" sahutnya "ya Tuhan", lalu Ia berfirman : "Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Ku ketahui sekarang bahwa engkau takut akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu."

Kita tahu ini adalah cerita Abraham dimana Tuhan meminta dia mengorbankan anaknya Ishak, tapi Abraham tidak segan-segan memberikan putranya dan ternyata memang Tuhan hanya menguji dia. Janganlah kita sampai terlalu sayang pada Ishak-Ishak kita sehingga kita menomerduakan Tuhan, tidak bisa. Prinsip itu harus kita pegang dengan patuh, Tuhanlah yang nomor satu, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu. Sekalipun dalam keluarga sendiri, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu, anak perlu dididik dan dibatasi.

Beberapa ciri orang tua yang kurang memberikan perhatian kepada anak:

  1. Orang tua yang memberikan sedikit waktu pada si anak, jadi benar-benar waktu yang diberikan sangat minim. Mereka misalkan repot bekerja, pulang sudah malam, akhir pekan juga mungkin bekerja atau pun kalau tidak bekerja menjadi orangtua yang terlalu letih, akibatnya adalah tidak memberikan waktu yang lebih kepada si anak.

  2. Orang tua yang terlalu banyak menolak atau terlalu memberikan banyak penolakan pada anak Anak yang disebodohkan tidak mendapatkan cinta kasih, dia merasa justru sangat diabaikan.

  3. Anak yang didisiplin terlalu ketat atau terlalu berkelebihan juga bisa menjadi anak yang egois.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi sifat egois:

  1. Kita harus membesarkan anak dengan suatu pengertian bahwa anak itu membutuhkan dua hal yang hakiki. Yang pertama adalah anak-anak membutuhkan cinta kasih, yang kedua anak-anak juga membutuhkan disiplin.

  2. Yang sulit justru untuk menolong orang tuanya, apalagi kalau orang tua yang sudah terlanjur misalnya mencurahkan perhatiannya yang terlalu banyak kepada anak, sehingga anaknya jadi egois. Atau orang tua yang sebaliknya. Sebab adakalanya memang orangtua memberi perhatiannya berlebih kepada anak, atau kebalikannya kurang memberi perhatian kepada anak karena mereka sendiri bermasalah dalam hubungan nikah mereka.

  3. Memang akhirnya dalam upaya menolong si anak kita harus libatkan si orangtua dan menunjukkan bagaimana si anak menjadi egois.

Anak-anak yang ditempatkan dalam situasi yang berbeda dan dibentuk lingkungannya dengan kuat, mempunyai dua pilihan.

  1. Pilihan yang pertama adalah dia bersikukuh tidak mau berubah.

  2. Yang ideal adalah yang kedua itu di mana dia akhirnya akan berubah.

Anak-anak yang dibesarkan oleh baby-sitter dari kecil akan kehilangan kesempatan sebagai berikut:

  1. Pertama-tama untuk menerima kasih sayang langsung dari orang tua. Itu suatu kerugian besar bagi si anak.

  2. Kedua dia kehilangan kesempatan melihat orangtua bereaksi atau bersikap dalam hidup, sedangkan anak-anak perlu melihat orang tua bereaksi dalam hidupnya, sehingga dia bisa mulai mencontoh orang tuanya. Otomatis dia akan kehilangan waktu-waktu tersebut dan kehilangan model-model itu.

  3. Ketiga ia kehilangan kesempatan untuk berinteraksi atau bergaul dengan orang tuanya. Dan itu sebetulnya salah satu hal yang mutlak diperlukan oleh seorang anak.

1 Timotius 3:12, "Diaken haruslah suami dari satu istri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik". Saya garisbawahi kalimat mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik. Tuhan meminta orangtua mengurus anak-anak dengan baik karena memang itulah tanggung jawab yang Tuhan embankan kepadanya. Mengurus berarti sekaligus, bukan saja mengelola supaya rumah tangganya itu berjalan dengan damai, tenteram, menerapkan disiplin yang seharusnya, tapi juga menyediakan kebutuhan emosional si anak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang menangani anak yang egois. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Pak Gunawan dan Ibu Ida, ada satu pengamatan yang kadang kala terlihat oleh saya yaitu anak-anak yang luar biasa egoisnya. Kadang kala saya melihat itu di restoran atau di tempat-tempatumum, di mana ada anak-anak yang begitu beraninya menuntut orang tua untuk memberikan sesuatu.

Dan yang membuat hati saya kurang nyaman adalah saya melihat betapa takutnya orang tua terhadap si anak sehingga si anak meskipun dia masih kecil justru dia bertindak seperti raja di dalam rumah itu. Nah saat ini ada baiknya kita meluangkan waktu untuk membahas sejenak tentang anak-anak yang egois, agar semua orang tua bisa melihat lebih jelas apa duduk masalahnya dan bisa mencegah agar mereka tidak menjadi orang tua yang menumbuhkan anak yang egois.
GS : Mungkin masalah yang terlintas di benak saya adalah yang pertama apakah anak itu sendiri menyadari bahwa dia itu egois, saya rasa belum Pak Paul ya, dia belum menyadari hal itu. Dan yang kedua mungkin orang tuanya juga tidak menganggap bahwa anaknya itu egois, hanya manja saja.

PG : Bagus sekali pengamatan Pak Gunawan, kedua hal itu memang sering kali terjadi, jadi yang pertama adalah sudah tentu si anak tidak menganggap dirinya egois, si anak merasakan bahkan dia anyalah mengutarakan keinginannya dan memang cukup banyak orang tua yang tidak menyadari hal ini.

Nah sering kali masalah mulai muncul tatkala anak-anak yang egois ini menginjak usia remaja atau usia praremaja misalkan sekitar usia 10-11 tahunan. Sebab pada saat-saat praremaja itulah anak-anak ini akan mulai membutuhkan banyak barang-barang yang misalkan dia membutuhkan sepatu yang bermerk, mainan tertentu yang bermerk atau menuntut dia itu diajak pergi menonton film yang baru keluar, nah yang akan kita lihat adalah anak-anak ini tidak mudah untuk mengalah dan dia akan benar-benar memunculkan sifat egoisnya.
(1) IR : Kemudian ciri-ciri yang egois itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Nah pertama-tama Bu Ida, memang kita harus melihat ke belakang terlebih dahulu, anak-anak dilahirkan sebagai individu yang egois, tidak bisa tidak itu adalah suatu kodrat yang memang diawa oleh anak di dalam dunia ini.

Dia menjadi egois karena pada saat bayi si anak itu tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, harus bergantung kepada ibu atau figur pengasuhnya untuk memenuhi kebutuhannya. Nah dengan kata lain si anak itu akan menuntut si ibu untuk mencukupi apa yang dia inginkan, dia lapar dia tinggal menangis dan berteriak, dia mau minta perhatian untuk digendong dia tinggal menangis dan berteriak. Dengan cara-cara itulah ibu atau si figur pengasuh memberikan semua yang dibutuhkan oleh si anak. Jadi secara kodrati memang anak-anak itu "egois" pada masa kecilnya, namun anak yang sehat seharusnya akan mulai bergeser dalam pertumbuhannya. Dari titik di mana dia sangat egois mementingkan kepuasan dirinya menuju keseimbangan antara baik mementingkan dirinya atau keinginannya dan juga kepentingan orang lain. Tidak sehat juga kalau seorang anak hanya mementingkan diri orang lain, kepuasan anak-anak lain atau kepuasan orang lain, dia menjadi seseorang yang kehilangan dirinya pula, itupun tidak sehat, tapi itu memang masalah yang berbeda. Jadi yang sehat adalah anak yang memang bisa menyeimbangkan antara mementingkan dirinya dan sekaligus mementingkan kepentingan orang lain. Nah anak-anak yang egois adalah anak-anak yang tidak bisa menyeimbangkan kedua hal ini, dia hanya bisa mengutamakan dan hanya mengutamakan kepentingannya bahkan kadang-kadang tidak bisa menomerduakan kepentingan orang lain sebab baginya tidak ada kepentingan orang lain; yang ada adalah kepentingan diri sendiri.
GS : Sampai sebegitu jauh mungkin orang tua hanya memandang anak ini, ah dia 'kan masih kecil, jadi wajarlah kalau dia itu menuntut perhatian, pandangan yang seperti itu bagaimana Pak?

PG : Sampai titik tertentu memang orang tua harus menyadari itulah yang dibutuhkan oleh anak apalagi pada masa anak-anak itu berusia di bawah 5 tahun, anak-anak akan kesulitan untuk mengertikepentingan orang lain.

Karena kemampuannya berpikir juga masih terbatas, namun perlahan-lahan orang tua memang harus mengajar anak untuk juga belajar, jadi keinginannya itu ditempatkan ke yang paling tepat, yang utama.
GS : Tapi bagaimana dia itu belajar mengalah kalau dia itu hanya satu-satunya anak dalam keluarga itu, Pak Paul?

PG : Saya pernah membaca suatu hasil riset Pak Gunawan dan ini diadakan di Tiongkok dan ternyata dalam riset yang menggunakan subyeknya anak-anak tunggal; diperlihatkan bahwa anak-anak tunggl memang berpotensi besar menjadi anak-anak yang mementingkan diri sendiri.

Nah saya kira dinamika adanya adik dan kakak itu sedikit banyak menolong anak untuk tidak egois, kalau dia bertumbuh besar sendirian tanpa adanya adik atau kakak, tuntutan untuk dia membagi dirinya atau mengalah atau mementingkan kepentingan adik atau kakaknya juga sangat-sangat mustahil untuk ada karena memang tidak ada orangnya. Nah akhirnya keegoisan bisa makin bertumbuh, atau kasus yang lain yang juga mirip, Pak Gunawan, dengan kasus anak tunggal, adalah anak yang berjarak jauh dengan adiknya. Di mana misalkan si kakak sudah berumur 5, 6 tahun baru si adik dilahirkan, dengan kata lain dia sudah menikmati status sebagai anak tunggal bukan hanya 5 tahun sebetulnya sebab kira-kira dua tahun pertama si adik itu belum bisa mengambil barangnya atau mainannya, belum bisa mengganggunya karena masih bayi. Dengan kata lain sekitar 7 tahun dia terbiasa hidup sendirian.
IR : Apakah juga seorang anak yang sakit-sakitan itu juga bisa egois, Pak Paul? Biasanya yang berpenyakitan itu terlalu disayang.

PG : Contoh yang baik sekali, Bu Ida, jadi anak yang memang mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus, sering kali mendapatkan perhatian khusus. Jadi kalau tidak hati-hati si anak ini bisa bertumuh egois, karena dia menganggap semua harus dipusatkan pada dia.

Itulah sebabnya salah satu ciri juga anak-anak yang egois adalah dia menganggap diri sebagai kasus khusus, artinya keinginannya harus didahulukan sebab dia merupakan kasus perkecualian. Anak-anak lain tidak boleh bermain video game pada hari biasa o....dia bisa. Anak-anak lain harus membagi mainannya dengan adiknya o.....dia tidak usah, jadi ada kecenderungan anak-anak yang super egois ini menganggap dirinya itu lepas dari norma-norma yang berlaku di lingkungannya atau dalam keluarganya atau dalam sekolahnya. Anak-anak lain misalnya kalau di sekolah harus melapor ke guru kalau terlambat, o....dia merasa tidak harus, dia langsung masuk ke kelas dan dia menolak untuk melapor kepada guru. Anak-anak lain kalau bersalah harus meminta maaf o....dia tidak usah, dia tidak usah minta maaf, orang lainlah yang harus minta maaf kepada dia. Jadi kita melihat adanya suatu ciri menganggap diri senantiasa sebagai kasus perkecualian atau kasus khusus yang tidak bisa disamakan dengan anak-anak lainnya. Maka itulah kalau orang tua berusaha berkata kamu harus melihat dong anak-anak lain juga begini atau kakakmu begitu o....dia tak akan terima sebab dia menganggap dia berbeda, harus diperlakukan berbeda pula.
GS : Jadi keegoisan itu muncul atau bertumbuh tambah subur dalam diri anak itu ketika dapat stimulan dari orang-orang di sekitarnya?

PG : Betul, jadi adakalanya orang tua itu menyuburkan perilaku egois si anak, meskipun saya percaya orang tua tidak berniat seperti itu. Saya berikan contoh, saya pernah mengamati seorang ank yang mulai bertingkah di hadapan orang tuanya, dia mulai berteriak, dia mulai bersuara dengan keras, menuntut orang tuanya.

Dan saya melihat si orang tua itu seolah-olah tidak berdaya untuk membuat si anak itu berhenti berteriak, nah masalahnya anak ini bukanlah seorang anak yang berusia 14 tahun dan kalau saya tidak salah anak itu berusia di bawah 5 tahun, tapi saya melihat betapa paniknya si orang tua menghadapi anak yang seperti itu, nah sekali lagi tidak seharusnya ini terjadi.
(2) GS : Apakah ada bedanya anak yang manja dengan anak yang egois?

PG : Saya kira ada bedanya, meskipun kalau tidak berhati-hati anak yang manja itu bisa menjadi anak yang sangat egois. Anak yang manja sudah tentu adalah anak yang memang nyata-nyata membutukan perhatian yang khusus, tapi belum tentu dia menjadi anak yang tidak bisa memperhatikan kepentingan orang lain.

Ada anak yang manja sekaligus dia bisa juga mendahulukan kepentingan orang lain, bisa mengalah, namun dalam kemanjaannya dia meminta perhatian yang lebih khusus. Tapi anak yang egois tidak harus manja, yang jelas nyata adalah dia menuntut dan ciri ini juga sangat dominan yaitu tuntutannya memang tidak mengenal batas, seolah-olah kapanpun dia memintanya, di manapun dia memintanya, apapun yang dimintanya harus dituruti. Nah reaksi yang normal yang sering kali muncul adalah kalau tidak diberikan yang dia inginkan dia akan mengadat. Mengadat itu artinya dia akan berteriak, dia membanting diri di lantai, dia menangis meraung-raung, jadi dia akan menggunakan segala taktik-taktik itu guna mendapatkan perhatiannya atau guna memperoleh yang dia inginkan. Nah ini yang dalam bahasa Inggrisnya di sebut "temper tantrum", jadi mengadat seperti itu meraung-raung, berteriak-teriak dengan suara yang sekeras mungkin, sehingga orang tuanya itu panik. Nah di sini saya kira seharusnya orang tua itu tidak panik, namun adakalanya orang tua panik, nah itu membuat si anak tahu o....ini cara yang efektif yang ampuh sekali membuat orang tua saya memberikan yang saya minta.
(3) GS : Kalau begitu apa sebenarnya peran orang tua Pak Paul, dalam hal ini?

PG : Sebetulnya ada dua kondisi Pak Gunawan, yang menyebabkan anak-anak ini menjadi egois. Nah masalahnya yang menarik adalah dua kondisi ini sangat berseberangan mungkin dalam siaran kali ii kita hanya bisa membahas satu di antara dua, dan pada siaran berikutnya kita akan membahas yang keduanya itu.

Yang pertama adalah orang tua atau keluarga yang memberi perhatian kepada anak secara berlebihan, nah kadang kala itu terjadi tanpa disengaja. Ada keluarga atau orang tua yang menanti-nantikan anak selama 5 tahun tidak pernah bisa punya anak, akhirnya si anak itu lahir. Wah...luar biasa bergembiranya si orang tua dan akhirnya memberi perhatian yang berlebihan kepada si anak. Nah saya akan berikan beberapa ciri-cirinya, yang pertama misalnya orang tua yang memberikan perhatian berlebihan kepada anak adalah orang tua yang terlalu memuja-muja anak, baik secara langsung atau tidak langsung. Contoh konkretnya misalnya adalah terlalu memuji anak, saya katakan secara langsung atau tidak langsung misalnya seperti begini, yang langsung adalah orang tua berkata kepada si anak wah.....kamu luar biasa pintarnya ya, wah...kamu memang cantik sekali ya, wah.....kamu memang hebat, pujian-pujian itu baik, tidak ada salahnya dan anak perlu mendengarkan pujian orang tua. Namun kalau terus-menerus diberikan itu akan menggelembungkan ego si anak secara berlebihan atau secara tidak langsung yang sering orang tua juga lakukan adalah dengan membandingkan anak-anak lain dengan anaknya, lihat si anak itu, lihat si itu kok begitu wajahnya ya, kamu tidak begitu. Atau misalnya mencela lagi kekurangpandaian anak yang lain, jadi dengan seringnya orang tua mencela anak-anak yang lain, orang tua sedikit banyak mengagungkan anaknya ini bahwa dia atau anak itu tidak seperti anak-anak yang lain. Atau memberikan barang-barang yang bagus terus- menerus, memberikan mainan, pakaian yang bagus yang mahal-mahal yang tidak perlu pun juga diberikan, anak tunggal bersuara sedikit langsung orang tua membelikan, nah ini adalah bentuk-bentuk pemujaan anak.
GS : Dalam hal ini berkaitan dengan yang saya akan tanyakan, sekarang ini semakin banyak saja anak-anak ini dilombakan Pak Paul, bahkan sejak kecil sekali, dilombakan untuk merangkak dan sebagainya. Nah itu kalau dia menang 'kan secara tidak langsung atau langsung bahkan di puji-puji Pak Paul, itu berdampak atau tidak?

PG : Kalau sekali-sekali tidak apa-apa ya, misalnya dilombakan hanya sekali, tapi kalau setiap tahun dilombakan atau 6 bulan sekali dilombakan dan terus dipuji-puji kamu anak yang cantik, ank yang cakep, kamu anak yang tampan dan pemujaan itu melalui mimik muka yang mengagumi si anak terus-menerus.

Nah sekali lagi kekagumana yang dipancarkan secara terus-menerus dan berlebihan akan menggelembungkan ego si anak, jadi orang tua memang harus berhati-hati dengan pujian-pujiannya, jangan sampai berlebihan.
IR : Kemudian ciri-ciri perlakuan orang tua yang lain Pak Paul?

PG : Adakalanya orang tua ini, kurang menyoroti kelemahan anak, artinya apa, karena terlalu meninggikan, mengagungkan si anak, sehingga jarang membicarakan kelemahan si anak dan akibatnya kuang menuntut anak memperbaiki dirinya di dalam kekurangan-kekurangannya.

Sebab seolah-olah orang tua itu terlalu siap untuk memaklumi si anak, sudah tentu orang tua perlu menerima si anak apa adanya. Namun itu tidak berarti orang tua membutakan mata terhadap kekurangan atau kelemahan anak, nah saya kira penting sebagai orang tua kita mengenal anak-anak kita dari dekat karena anak-anak punya kelemahannya masing-masing. Anak saya tiga, saya dan istri saya kadang berbicara tentang masing-masing kelemahan anak-anak kami, ada sifat-sifat tertentu dalam diri anak kami yang kami anggap suatu kelemahan dan kami doakan secara khusus supaya dia mengalami bentukan Tuhan, agar kelemahannya itu bisa diperbaiki oleh si anak. Nah bagian-bagian ini yang harus orang tua mulai soroti, dan mulai munculkan pada si anak, supaya si anak itu sadar bahwa dia mempunyai kelemahan dalam hal-hal ini. Nah orang tua yang tidak membicarakan mengenai kelemahan anak sama sekali membuat si anak berpikir dia sempurna, dia tidak memiliki kelemahan sama sekali. Sehingga pandangannya terhadap dirinya menjadi pandangan yang tidak tepat, tidak realistik, terlalu positif jadi ini justru akan menumbuh-suburkan sikap egois pada si anak.
GS : Tapi kalau saya Pak Paul, lebih condong menunjukkan kelemahan sifat-sifatnya dia itu, tapi kalau kelemahan-kelemahan fisik misalnya matanya juling atau badannya pendek dan sebagainya 'kan kita tidak perlu ekspos itu?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, terima kasih Pak Gunawan memberikan tambahan yang memang penting sekali. Yang saya maksud dengan kelemahan bukanlah kelemahan yang dia tidak bisa, misalnya memng kekurangan fisiknya atau kekurangan mentalnya atau kekurangan kecerdasannya, jadi kita tidak membanding-bandingkan si anak dalam hal-hal seperti itu.

Kemampuan fisiknya atau kemampuan intelektualnya, sebab memang itulah yang Tuhan berikan kepadanya. Namun kelemahan yang lebih berkaitan dengan sifatnya atau karakternya itu yang harus kita mulai tonjolkan, misalkan dia kurang begitu rajin kita munculkan, misalkan dia kurang begitu ramah kita munculkan, misalkan dia mempunyai jiwa yang agak keras dan kejam kalau menyakiti adiknya atau kakaknya atau temannya, tidak mempunyai perasaan sama sekali atau tidak ada rasa bersalah sama sekali, nah itu yang kita munculkan. Jadi kita mulai menyoroti dan memunculkan kelemahan si anak supaya dia tahu ada bagian dalam hidupnya yang perlu diperbaiki dan dia harus perbaiki. Nah ini bukan saja akan memperbaiki si anak, namun yang paling penting adalah si anak melihat dirinya dengan lebih realistik, tidak menggelembungkan ego, seolah-olah dia anak yang sempurna.
GS : Yang lainnya ada kira-kira, Pak Paul?

PG : Nah ini yang klasik, Pak Gunawan, yaitu orang tua itu kadang kala kurang mendisiplin anak, karena apa, ya banyak faktor. Misalkan dalam kasus yang terlalu sibuk dia tidak ada energi untk mendisiplin anak.

Atau adakalanya karena dia terlalu mengagungkan si anak seolah-olah si anak begitu luar biasa sempurnanya, sehingga tidak tega untuk mendisiplin si anak, terlalu memaklumi anak. Nah anak yang bertumbuh besar dengan tanpa disiplin berpotensi menjadi anak yang egois, yang tidak mengenal batas di mana kehendaknya harus dituruti. Orang tua harus mendirikan pagar-pagar yang bisa merintangi anak untuk senantiasa mendapatkan yang dia inginkan, meskipun orang tua mampu untuk membelikannya. Misalnya setiap keluar komputer yang baru anak minta, setiap keluar permainan video yang baru minta dan harus dibelikan, tidak, meskipun orang tua berkemampuan namun tidak harus orang tua senantiasa memberikan barang-barang yang baru keluar itu. Nah adakalanya itu menjadi trend bagi anak-anak tertentu dan dia di kenal di kelas sebagai anak yang memulai trend yang baru, belum pakai NIKE dia pakai NIKE dulu, belum ada yang pakai ADIDAS dia pakai ADIDAS dulu, belum ada yang beli walkman dia dulu yang pakai walkman. Jadi hal-hal itu menjadi identitas dirinya sebagai pemula, dia akan menuntut orang tua untuk senantiasa memberikan yang paling mutakhir itu, nah orang tua jangan sampai terjebak ke dalam perilaku seperti ini.
GS : Disiplin itu saya rasa memang perlu ditanamkan sedini mungkin dalam kebiasaan-kebiasaan kecil Pak Paul, dalam makan di meja makan, buang air kecil di kamar mandi. Karena saya pernah menjumpai seorang anak dalam sebuah keluarga Pak Paul, anak kecil itu yang belum sekolah itu kencing di mana saja Pak Paul, dia mau kencing di mana ya dia kencing di sana. Tapi orang tuanya bangga malah jadi tertawa-tawa melihat itu, dia cuma mengambil kantongan plastik lalu di mana dia suka mau kencing, tapi tidak disiplin sama sekali; saya rasa 'kan hal-hal seperti itu. Atau kalau bangunnya kesiangan tidak dibanguni walaupun akhirnya dia mesti sekolah TK kecil tapi tidak dibanguni, katanya ah... kasihan tadi malam tidurnya agak kemalaman.

PG : Betul sekali, banyak hal-hal kecil yang dapat menjadi ajang latihan anak untuk mendisiplin dirinya, nah yang memang susah adalah kalau orang tua adalah orang tua yang sangat berada, sehngga di rumah tersedia pembantu rumah tangga yang akan memunguti barang-barang si anak.

Nah orang tua di sini harus berhati-hati jangan sampai membuat si anak, kecil-kecil menjadi raja, sebab nanti dia akan menuntut dirinya untuk diperlakukan sebagai raja pula, tatkala menginjak usia dewasa. Hal kecil misalnya membereskan tempat tidur, meletakkan handuk yang benar, dan menaruh sepatu di tempat sepatu, bukan hanya dibuka didepan pintu dan sembarangan, jadi hal-hal kecil seperti itu bisa dipakai sebagai ajang latihan mendisiplin si anak. Nah kadang kala orang tua di sini juga gagal, adakalanya orang tua yang terlalu sayang kepada anak berkata tidak usahlah dia sudah capek, yang penting dia belajar, yang penting belajar, yang lainnya tidak usah, keliru. Yang lainnya itu juga sama pentingnya dengan belajar itu.
GS : Mungkin orang tua perlu belajar disiplin dulu ini Pak Paul? Saya rasa yang tidak disiplin ini orang tuanya.
IR : Kemudian ada ciri perlakuan orang tua yang lain, Pak Paul?

PG : Ya ini bu Ida, adalah orang tua yang terlalu bergantung pada anak sebagai pemenuh kebutuhan emosional mereka sendiri. Jadi mereka ini misalkan tidak terlalu ganteng dan cantik, kebetula punya anak terlalu cantik dan ganteng.

Lucu sekali itu menjadi pemenuh kebutuhan mereka, si anak itu seolah-olah menjadi suatu yang indah yang terjadi dalam hidup mereka. Akibatnya mereka sepertinya menjadi anak, si anak menjadi orang tua, mereka sangat membutuhkan penerimaan si anak. Mereka sangat membutuhkan agar anak menyukai mereka, nah ini yang berbahaya karena orang tua takut kalau-kalau anaknya itu marah kepada mereka sudah pasti akan dikuasai oleh si anak. Oleh si anak, dalam pengertian si anak ini akan menjadi anak yang egois dan si orang tua senantiasa harus menuruti keinginannya. Jadi jangan sampai orang tua terlalu meninggikan anak seolah-olah anak itu adalah hal terindah, terhebat dan sebagainya dalam kehidupannya, jangan sampai itu terjadi.
GS : Yang mungkin tentang keinginan anak itu bagaimana?

PG : Nah adakalanya tadi yang sudah kita singgung, anak-anak itu mendapatkan semua yang diinginkannya tanpa batas. Jadi penting orang tua mengingat bahwa meskipun mereka mampu memberikan, teap harus diberikan dalam batas tertentu, anak kecil harus mengerti yang namanya batas, dia tidak selalu mendapatkan yang dia inginkan.

Kalau dia terus mendapatkan yakinlah dia akan bertumbuh besar menjadi anak yang egois.
GS : Tapi biasanya orang kewalahan kalau anaknya minta ini lalu tidak dituruti 'kan bisa melakukan tindakan-tindakan destruktif, Pak Paul?

PG : Nah itu adalah dalam kasus di mana sudah agak terlambat, sebab kalau orang tua memulainya sejak anak-anak berusia 2 tahun atau 1,5 tahun setelah anak itu usia 4, 5 tahun tugas orang tuabukan makin berat, makin ringan.

Karena si anak sudah tahu struktur orang tuanya sehingga dia tidak meminta sembarangan atau menuntut orang tua tanpa batas.
IR : Jadi seawal mungkin ya?

PG : Tepat sekali, Bu Ida, seawal mungkin memang.

IR : Tapi kalau masih kecil 'kan dia punya rasa takut, jadi orang tua yang harus bertindak tegas ya Pak Paul?

PG : Tepat sekali, nah ini bukan berarti sejak kecil kita harus terus menyengsarakan si anak ya, ini topik berikutnya yang akan kita bahas ya kalau berlebihan juga tidak memberikan perhatiankepada si anak.

GS : Dalam hal ini Pak Paul, firman Tuhan memberikan bimbingan apa kepada kita khususnya orang tua?

PG : Saya akan mengutip dari Kejadian 22:11-12, Tetapi berserulah malaikat Tuhan dari langit kepadanya, "Abraham, Abraham!" sahutnya "ya Tuhan", lalu Ia berfirman : "Jangan bunu anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Ku ketahui sekarang bahwa engkau takut akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu."

Kita tahu ini adalah cerita Abraham di mana Tuhan meminta dia mengorbankan anaknya Ishak, tapi Abraham tidak segan-segan memberikan putranya dan ternyata memang Tuhan hanya menguji dia. Janganlah kita sampai terlalu sayang pada Ishak-Ishak kita sehingga kita menomerduakan Tuhan. Prinsip itu harus kita pegang dengan patuh, Tuhan nomor satu, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu bahkan dalam keluarga sendiri anak tidak boleh menjadi yang nomor satu, anak perlu dididik dan dibatasi.
GS : Ya, jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana menangani anak yang egois. Dan perbincangan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami masih akan membahas lebih lanjut tema ini pada sesi berikutnya, dan kami mengharapkan Anda bisa mengikutinya pada acara TELAGA yang akan datang. Dari studio kami mohon juga tanggapan saran serta pertanyaan-pertanyaan dari Anda yang bisa Anda alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 52 A

  1. Apa ciri-ciri anak-anak yang egois....?
  2. Apakah bedanya anak yang manja dengan anak yang egois....?
  3. Apakah yang melatarbelakangi atau yang menyebabkan anak berperilaku egois...?


13. Bagaimana Menangani Anak Yang Egois 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T052B (File MP3 T052B)


Abstrak:

Lanjutan dari T52B


Ringkasan:

Pada dasarnya setiap anak lahir ke dunia memiliki sikap egois atau sikap mementingkan diri sendiri. Pertumbuhan yang sehat harusnya mendorong anak bukan saja mementingkan dirinya, namun juga mementingkan kepentingan orang lain. Harus ada keseimbangan antara keduanya, saya kira anak yang terlalu mementingkan diri orang lain, sehingga tidak lagi melihat kepentingan dirinya menjadi anak yang tidak terlalu sehat. Jadi yang dituju adalah keseimbangan antara mementingkan diri sendiri dan juga mementingkan kepentingan orang lain.

Adakalanya orang tua memberikan perlakuan kepada anak secara tidak sadar malah menumbuhkembangkan sikap egois pada anak. Sehingga anak akhirnya tidak pernah berhasil memperhatikan kebutuhan orang-orang lain, namun malah hanya mengutamakan kepentingannya sendiri. Ada beberapa perlakuan orang tua yang bisa membuat anak-anak itu menjadi anak-anak yang egois.

Beberapa ciri anak yang egois:

  1. Anak-anak yang egois adalah anak-anak yang tidak bisa menyeimbangkan kedua hal ini, dia hanya bisa mengutamakan dan hanya mengutamakan kepentingannya bahkan kadang-kadang tidak bisa menomerduakan kepentingan orang lain sebab baginya tidak ada kepentingan orang lain; yang ada adalah kepentingan diri sendiri.

  2. Menganggap diri sebagai kasus khusus. Dalam arti keinginannya harus didahulukan sebab dia merupakan kasus perkecualian.

  3. Tapi anak yang egois tidak harus manja, yang jelas nyata adalah dia menuntut. Dan ciri ketiga ini juga sangat dominan yaitu, tuntutannya memang tidak mengenal batas. Seolah-olah kapanpun dia memintanya, dimanapun dia memintanya, apapun yang dimintanya harus dituruti.

Ada dua kondisi utama yang menyebabkan anak-anak menjadi egois sbb:

  1. Orang tua atau keluarga yang memberi perhatian kepada anak secara berlebihan. Kadangkala itu terjadi tanpa disengaja.
    Saya akan berikan beberapa ciri-cirinya:

    1. Orang tua yang memberikan perhatian berlebihan kepada anak adalah orangtua yang terlalu memuja-muja anak, baik secara langsung atau tidak langsung.

    2. Adakalanya orang tua kurang menyoroti kelemahan anak karena terlalu meninggikan dan mengagungkan si anak. Sehingga jarang membicarakan kelemahan si anak, dan akibatnya kurang menuntut anak memperbaiki dirinya di dalam kekurangan-kekurangannya.

    3. Orang tua terlalu bergantung pada anak sebagai pemenuh kebutuhan emosional mereka sendiri.

    4. Orang tua kurang mendisiplin anak.

  2. Orang tua yang tidak mendisiplin anak dengan baik sehingga semua yang anak-anak minta dituruti tanpa batas.

Kejadian 22:11,12, "Tetapi berserulah malaikat Tuhan dari langit kepadanya, "Abraham, Abraham!" sahutnya "ya Tuhan", lalu Ia berfirman : "Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Ku ketahui sekarang bahwa engkau takut akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepadaKu."

Kita tahu ini adalah cerita Abraham dimana Tuhan meminta dia mengorbankan anaknya Ishak, tapi Abraham tidak segan-segan memberikan putranya dan ternyata memang Tuhan hanya menguji dia. Janganlah kita sampai terlalu sayang pada Ishak-Ishak kita sehingga kita menomerduakan Tuhan, tidak bisa. Prinsip itu harus kita pegang dengan patuh, Tuhanlah yang nomor satu, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu. Sekalipun dalam keluarga sendiri, anak tidak boleh menjadi yang nomor satu, anak perlu dididik dan dibatasi.

Beberapa ciri orang tua yang kurang memberikan perhatian kepada anak:

  1. Orang tua yang memberikan sedikit waktu pada si anak, jadi benar-benar waktu yang diberikan sangat minim. Mereka misalkan repot bekerja, pulang sudah malam, akhir pekan juga mungkin bekerja atau pun kalau tidak bekerja menjadi orangtua yang terlalu letih, akibatnya adalah tidak memberikan waktu yang lebih kepada si anak.

  2. Orang tua yang terlalu banyak menolak atau terlalu memberikan banyak penolakan pada anak Anak yang disebodohkan tidak mendapatkan cinta kasih, dia merasa justru sangat diabaikan.

  3. Anak yang didisiplin terlalu ketat atau terlalu berkelebihan juga bisa menjadi anak yang egois.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi sifat egois:

  1. Kita harus membesarkan anak dengan suatu pengertian bahwa anak itu membutuhkan dua hal yang hakiki. Yang pertama adalah anak-anak membutuhkan cinta kasih, yang kedua anak-anak juga membutuhkan disiplin.

  2. Yang sulit justru untuk menolong orang tuanya, apalagi kalau orang tua yang sudah terlanjur misalnya mencurahkan perhatiannya yang terlalu banyak kepada anak, sehingga anaknya jadi egois. Atau orang tua yang sebaliknya. Sebab adakalanya memang orangtua memberi perhatiannya berlebih kepada anak, atau kebalikannya kurang memberi perhatian kepada anak karena mereka sendiri bermasalah dalam hubungan nikah mereka.

  3. Memang akhirnya dalam upaya menolong si anak kita harus libatkan si orangtua dan menunjukkan bagaimana si anak menjadi egois.

Anak-anak yang ditempatkan dalam situasi yang berbeda dan dibentuk lingkungannya dengan kuat, mempunyai dua pilihan.

  1. Pilihan yang pertama adalah dia bersikukuh tidak mau berubah.

  2. Yang ideal adalah yang kedua itu di mana dia akhirnya akan berubah.

Anak-anak yang dibesarkan oleh baby-sitter dari kecil akan kehilangan kesempatan sebagai berikut:

  1. Pertama-tama untuk menerima kasih sayang langsung dari orang tua. Itu suatu kerugian besar bagi si anak.

  2. Kedua dia kehilangan kesempatan melihat orangtua bereaksi atau bersikap dalam hidup, sedangkan anak-anak perlu melihat orang tua bereaksi dalam hidupnya, sehingga dia bisa mulai mencontoh orang tuanya. Otomatis dia akan kehilangan waktu-waktu tersebut dan kehilangan model-model itu.

  3. Ketiga ia kehilangan kesempatan untuk berinteraksi atau bergaul dengan orang tuanya. Dan itu sebetulnya salah satu hal yang mutlak diperlukan oleh seorang anak.

1Timotius 3:12, "Diaken haruslah suami dari satu istri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik". Saya garisbawahi kalimat mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik. Tuhan meminta orangtua mengurus anak-anak dengan baik karena memang itulah tanggung jawab yang Tuhan embankan kepadanya. Mengurus berarti sekaligus, bukan saja mengelola supaya rumah tangganya itu berjalan dengan damai, tenteram, menerapkan disiplin yang seharusnya, tapi juga menyediakan kebutuhan emosional si anak.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan lanjutkan perbincangan kami tentang "Bagaimana Menangani Anak yang Egois." Bagi Anda yang baru mengikuti perbincangan ini tidak perlu merasa khawatir karena Bp. Pdt. Paul gunadi akan mengulang sebagian dari apa yang sudah kita bicarakan beberapa waktu yang lalu. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita pernah membicarakan tentang bagaimana menangani anak yang egois, ternyata banyak sisi yang harus kita perhatikan dan waktu itu juga belum selesai kita membahas tuntas. Namun supaya pendengar kita yang baru mendengar kali ini bisa mempunyai gambaran yang lebih lengkap, ada baiknya Pak Paul mengulang secara singkat apa yang telah kita bicarakan, Pak Paul.

PG : Baik Pak Gunawan, pada dasarnya setiap anak lahir ke dunia memiliki sikap egois atau sikap mementingkan diri sendiri. Nah pertumbuhan yang sehat harusnya mendorong anak bukan saja memeningkan dirinya, namun juga mementingkan kepentingan orang lain.

Harus ada keseimbangan antara keduanya, anak yang terlalu mementingkan diri orang lain, sehingga tidak lagi melihat kepentingan dirinya itu juga saya kira anak yang tidak terlalu sehat. Jadi yang dituju adalah keseimbangan antara mementingkan diri sendiri dan juga mementingkan kepentingan orang lain. Nah adakalanya orang tua memberikan perlakuan kepada anak secara tidak sadar malah menumbuhkembangkan sikap egois pada anak. Sehingga anak akhirnya tidak pernah berhasil memperhatikan kebutuhan orang-orang lain, namun malah hanya mengutamakan kepentingannya sendiri. Nah kita bahas bahwa ada beberapa perlakuan orang tua yang bisa membuat anak-anak itu menjadi anak-anak yang egois. Yang pertama, adalah orang tua yang terlalu memberikan perhatian kepada anak, nah ini biasanya diwujudkan dalam kata-kata yang terlalu memuja anak, perlakuan-perlakuan yang terlalu mengagung-agungkan anak, dan misalnya lagi adalah orang tua yang tidak mendisiplin anak dengan baik sehingga semua yang anak-anak minta dituruti tanpa batas. Nah ini adalah beberapa ciri-ciri yang masuk dalam kategori orang tua yang terlalu memberi perhatian kepada anak. Nah sekali lagi perhatian penting, namun perhatian yang berlebihan dan mendewa-dewakan anak, akan membuat anak bertumbuh besar menjadi anak yang egois.
GS : Waktu itu kita juga membahas anak-anak yang egois, Pak Paul?

PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang dominan adalah anak-anak ini sukar sekali untuk mengalah dan dia mau menang terus-menerus. Anak-anak ini juga menuntut agar orang untuk memperlakukan dia ebagai kasus yang khusus, sebagai perkecualian, seolah-olah dia itu bebas dari tuntutan yang diterapkan pada anak-anak yang lainnya, dia harus diperkecualikan.

Yang lainnya lagi adalah anak-anak ini hanya menuntut supaya keinginannya terpenuhi tanpa batas, dia tidak bisa sama sekali mengerem diri, dia menganggap semua orang haruslah mengutamakan kehendaknya.
IR : 5:11 -5: 22 Suara Ibu Ida tidak terdengar.

PG : Betul sekali Ibu Ida, jadi yang menarik adalah anak yang egois bisa muncul dari dua kondisi keluarga yang justru berkebalikan. Yang telah kita bahas adalah kondisi keluarga yang memberiperhatian secara berlebihan, tapi sebaliknya keluarga yang kurang memberi perhatian juga bisa menumbuhkan anak-anak yang egois.

Jadi memang sangat menarik dua keluarga yang sangat berseberangan menghasilkan produk yang persis sama.
GS : Nah dalam hal ini, Pak Paul, apakah kalau misalnya tadi Pak Paul katakan orang tua, ayah dan ibu, misalnya ayahnya kurang memberi perhatian kepada anak itu, dan ibunya memberikan perhatian yang berlebihan, 'kan jadinya seimbang Pak Paul?

PG : Seolah-olah menyeimbangkan Pak Gunawan, tapi dalam prakteknya tidak. Ayah yang tidak memberikan perhatian seolah-olah menjadi ayah yang absen dalam kehidupan si anak, si ibu yang memberkan perhatian yang berlebihan justru akan menumbuhkembangkan sikap egois pada si anak itu.

Namun si ayah tidak boleh menyalahkan si ibu sebab dia juga memang absen, dia sendiri tidak terlibat dalam proses menjadi orang tua ini. Si ibu yang berfungsi karena ayah tidak berfungsi, dan kebetulan si ibu memberikan perhatian berlebihan kepada si anak, akhirnya si anak mendapatkan perlakuan seperti raja, lama-lama dia benar-benar menjadi raja di rumah.
GS : Kalau terbalik Pak Paul, jadi ayahnya yang memberikan perhatian yang sangat besar sedangkan ibunya mungkin seorang wanita karier lalu tidak memberikan perhatian, bisa terjadi seperti itu?

PG : Bisa, jadi yang paling banyak diterima oleh si anak itulah yang akan membentuk si anak.

(1) GS : Jadi kalau perhatian yang kurang itu apa yang Pak Paul maksudkan?

PG : Ada beberapa cirinya Pak Gunawan, nah orang tua yang memberi perhatian yang kurang biasanya adalah orang yang memberikan sedikit waktu pada si anak, jadi benar-benar waktu yang diberika sangat minim.

Mereka misalkan repot bekerja, pulang sudah malam, akhir pekan juga mungkin bekerja atau pun kalau tidak bekerja menjadi orang tua yang terlalu letih, akibatnya adalah tidak memberikan waktu yang lebih kepada si anak.
IR : Jadi orang tua dua-dua yang berkarier itu memungkinkan anak menjadi egois Pak Paul?

PG : Bisa, dalam pengertian dia menjadi anak yang memang kurang sekali perhatian dari si orang tua, dia mau apa, dia ulangan jelek, dia ulangan bagus, dia berkelahi dengan temannya, dia disaiti oleh anak lain, orang tua sama sekali tidak mengetahuinya.

IR : Kemudian ciri-ciri perlakuan orang tua yang lain, Pak Paul?

PG : Ini adalah orang tua yang terlalu banyak menolak atau terlalu memberikan banyak penolakan pada anak, misalnya orang tua yang mengkritik anak bahwa dia kurang, bahwa dia seharusnya lebihlagi.

Orang tua yang berkata engkau tidak seperti yang kami harapkan, engkau mengecewakan kami, engkau tidak setinggi yang kami inginkan, tidak sepandai yang kami harapkan dan sebagainya. Nah jadi semua pesan-pesan yang menolak anak membuat anak tertolak, sehingga anak-anak itu menjadi anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian dari si orang tua, nah itu adalah ciri yang kedua dari perlakuan orang tua yang kurang memberikan perhatian.
IR : Bagaimana kalau orang tua itu misalnya tidak bisa memenuhi si anak karena keadaan ekonominya lemah Pak Paul, apakah itu juga memungkinkan anak akan menjadi egois?

PG : Justru kalau hanya masalah ekonomi yang orang tua tidak bisa penuhi itu tidak berpengaruh terhadap sikap si anak. Jadi banyak anak-anak yang dibesarkan di keluarga yang kurang secara eknomi namun bertumbuh besar dengan sehat karena mendapatkan kelimpahan perhatian dari orang tua.

Justru kebalikannya ada anak yang dibesarkan di rumah yang sangat berkelebihan secara materi namun justru bertumbuh kembang menjadi anak yang kurang sehat. Karena orang tua akhirnya kurang memberi perhatian pada mereka.
(2) GS : Sebenarnya apa yang dibutuhkan oleh anak itu supaya tidak egois?

PG : Dalam kasus di mana anak-anak ini kurang mendapatkan perhatian yang memang dia butuhkan adalah pemberian cinta kasih. Nah ini yang sekarang saya kira menjadi komuditas yang agak langka ada banyak orang sekarang ini yaitu kurangnya ada waktu untuk anak, sehingga cinta kasih kurang diberikan pada anak.

Nah sekali lagi anak-anak ini menjadi anak-anak yang haus akan cinta kasih, akan perhatian dari orang tuanya. Anak-anak itu haus perhatian dalam pengertian, waktu dia bersalah dia sebetulnya menginginkan teguran orang tua. Anak yang berbuat apapun tidak mendapatkan teguran dia akan merasa justru kurang dikasihi, karena teguran orang tua diinterpretasi oleh si anak sebagai bentuk cinta kasih. Anak yang dimasabodohkan tidak mendapatkan cinta kasih, dia merasa justru sangat diabaikan.
GS : Ada pasangan orang tua yang mengatakan, yang penting bukan lamanya saya berkumpul dengan anak, yang penting itu mutunya, saya tahu ini hanya dalih saja, tapi bagaimana menjawab hal itu, Pak Paul?

PG : Mutu memang harus ada, namun tidak bisa tidak, mutu itu baru ada jikalau ada kwantitasnya, ada waktu yang diberikan, ada interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak. Dan yang keduaargumen saya adalah bagaimanakah kita tahu ini bermutu bagi si anak, sebab bukankah yang menentukan ini bermutu atau tidak adalah si anak.

Hal-hal yang diingat oleh si anak sebagai hal yang berdampak positif sering kali bukanlah yang orang tua ingat, banyak hal yang anak-anak akan ingat dan dikemukakan pada kita, yang kita sendiri sudah lupakan. Yang kita anggap ini adalah hal yang penting dan kita harapkan anak-anak kita ingat justru tidak ingat-ingat, begitu.
IR : Bagaimana kalau anak yang didisiplin terlalu ketat Pak Paul, terlalu berkelebihan juga bisa menjadi anak yang egois?

PG : Bisa, jadi anak-anak yang justru kurang mendapatkan keleluasaan, kebebasan dalam hidup terlalu dituntut atau terlalu didisiplin yang berkelebihan menjadi anak-anak yang tertekan. Dan seali lagi disiplin yang berlebihan serta tuntutan yang terlalu tinggi di luar batas kemampuan si anak, justru memberikan pesan kepada si anak bahwa dia itu seolah-olah hanyalah sebagai objek di rumah.

Dia bukanlah seseorang yang dihargai dan dikasihi tapi dia adalah sebuah alat yang dipakai oleh orang tua untuk menyenangkan hati orang tua. Nah semua ini kalau diterima oleh si anak, dia berpotensi untuk membuat si anak menjadi anak yang egois. Alasannya sangat sederhana sekali, dia kurang mendapatkan perhatian, dia kurang mendapatkan cinta kasih sehingga dia menjadi anak yang sangat haus akan perhatian. Nah waktu dia menjadi anak yang sangat haus pada perhatian dia menjadi anak yang egois. Jadi seolah-olah seperti kita ini kehausan tidak ada air, waktu kita mendapatkan sedikit air meskipun kita tahu ada orang lain yang kekurangan air, kita berusaha memenuhi kebutuhan kita terlebih dahulu. Nah anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian, begitu sudah mulai besar justru berpotensi mengembangkan perilaku egoisnya, meskipun kadang kala tidak nampak dengan segera. Misalnya akan nampak kalau dia sudah menjadi lebih dewasa, waktu dia mulai mendapatkan perhatian dari seseorang dia akan menuntut orang tersebut memberikan perhatian terus-menerus secara konstan dan untuk memberikan dia banyak perhatian. Kalau orang mulai memberikan perhatian pada yang lainnya dan membagi perhatian dia tidak bisa terima, dia harus mendapatkan sepenuhnya untuk diri dia. Dan waktu orang mulai membantahnya dia menganggap orang menolak dia, seolah-olah orang tidak menghargainya sebab bagi dia cinta kasih sama dengan kepatuhan yang mutlak. Nah tanpa disadari berkembang menjadi seorang yang egois, meskipun muncul dari keluarga yang kurang memberikan perhatian. Nah jadi sekali lagi kita melihat suatu dinamika yang menarik di sini, dua keluarga yang berseberangan, yang berbeda. Yang satu memberi perhatian yang berlebihan, yang satu kurang memberikan perhatian, namun hasil akhirnya sama yaitu anak-anak yang egois.
GS : Tapi wujud dari egoisme anak atau pengekspresiannya sama atau tidak Pak Paul, antara mereka yang kurang mendapatkan perhatian dan berkelebihan mendapatkan perhatian?

PG : Sering kali dalam banyak hal sama Pak Gunawan, jadi keinginannya itu kuat sekali dan keinginannya itu susah untuk dibatasi atau dihadang. Sebab dia merasa yang dia inginkan itu sesuatu ang berharga bagi anak yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang memberinya perhatian.

Begitu berharganya yang dia miliki atau yang dia inginkan sehingga waktu dihadang oleh orang dia harus melawannya, dia harus memaksakan kehendaknya. Atau dia menjadi orang yang memang sangat posesif, dia harus memiliki orang yang sedang memberikan perhatian sehingga kalau dia sudah menikah misalnya, justru pasangannya akan mengalami kesulitan menangani dia. Sebab segalanya harus dituruti, waktu tidak dituruti langsung menuduh engkau tidak mencintaiku lagi, jadi semua diatasnamakan cinta kasih, kalau tidak memberikan apa yang dia inginkan dikatakan tidak lagi mencintainya. Jadi perilaku egois itu muncul dengan kuat sekali.
IR : Cara mengatasinya bagaimana, Pak Paul?

PG : Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan Bu Ida, yang pertama adalah kita memang harus membesarkan anak dengan suatu pengertian bahwa anak itu membutuhkan dua hal yang hakiki. Yang pertma adalah anak-anak membutuhkan cinta kasih, itu sudah kita ketahui, tapi anak-anak juga membutuhkan disiplin.

Anak-anak perlu diberikan kebebasan tapi sekaligus anak-anak perlu diberikan batasan, jangan sampai anak-anak hanya menerima kebebasan tanpa batasan. Nah waktu diberikan kebebasan anak-anak akan memperoleh hak, namun jangan sampai lupa, di samping hak-hak anak-anak perlu menumbuhkembangkan konsep pertanggungjawaban. Dia harus bertanggung jawab, jadi sekali lagi harus ada keseimbangan antara kedua unsur ini dalam mendidik anak, yang satu dilebihkan secara tidak proporsional daripada yang satunya, niscaya menimbulkan problem dalam anak itu.
GS : Mungkin yang sulit justru menolong orang tuanya Pak, bagaimana menolong orang tua yang sudah terlanjur misalnya mencurahkan perhatiannya yang terlalu banyak kepada anak, sehingga anaknya menjadi egois atau sebaliknya?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan, sebab adakalanya orang tua memberi perhatiannya berlebih kepada anak atau kebalikannya kurang memberi perhatian kepada anak karena mereka sendiri bermasalah dlam hubungan nikah mereka.

Misalkan ada rumah tangga yang bermasalah sehingga si ibu kurang mendapatkan perhatian suaminya, nah dia melimpahkan cinta kasih pada si anak, sehingga terlalu mendewakan si anak misalnya seperti itu. Ada seorang ayah yang merasa tidak bisa berkomunikasi dengan istrinya sehingga dia menggunakan si putrinya untuk menjadi juru bicaranya menyampaikan keluhannya kepada mamanya atau istrinya. Nah otomatis dia harus mendewakan si putri ini, menjadikan si putri ini seolah-olah menjadi anak yang berkuasa di rumahnya. Nah memang akhirnya susah mengubah pola ini karena sering kali ini yang terjadi, anak-anak itu baik diberikan perhatian yang berlebihan atau justru kurang diberikan perhatian karena orang tua memang memiliki masalah dalam hubungan nikah mereka. Jadi yang harus dibereskan pada awalnya adalah hubungan orang tua itu.
GS : Padahal mereka sebagai orang tua mengatakan anaknya yang bermasalah, anak saya ini egois.

PG : Betul, jadi memang akhirnya dalam upaya menolong si anak kita harus melibatkan si orang tua dan menunjukkan bagaimana si anak menjadi egois. Ternyata ada prosesnya, nah prosesnya ternyaa dimulai dari hubungan orang tua yang kurang harmonis itu.

IR : Kalau anak-anak egois itu misalnya berpisah dari orang tua Pak Paul, dia misalnya kost di tengah-tengah teman-temannya apakah itu memungkinkan anak yang egois ini bisa berubah Pak Paul?

PG : Bisa Bu Ida, jadi anak-anak yang ditempatkan dalam situasi yang berbeda dan dibentuk lingkungannya dengan kuat, mempunyai dua pilihan. Pilihan yang pertama adalah dia bersikukuh dia tidk mau untuk berubah, nah bentukan dari luar tidak berguna, malahan yang terjadi adalah bentrokan, sebab dia mempertahankan dirinya untuk tetap sebagai anak yang egois dan dia akan pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya, ke tempat di mana dia bisa melaksanakan kehendaknya tanpa dirintangi oleh teman-temannya.

Nah yang ideal adalah yang kedua itu di mana dia akhirnya akan berubah, nah anak-anak yang pertama yang tadi saya sebut akhirnya bentrok terus-menerus dengan orang lain kalau dia masih kuat dia akan bentrok, adu kuat dengan anak-anak lainnya. Yang juga berbahaya adalah kalau suatu ketika dia tidak kuat lagi, karena dia terisolasi terus-menerus dari lingkungannya dan adu bentrok dengan anak-anak lain, akhirnya dia patah. Nah waktu dia patah dia akan mengucilkan dirinya, dia menganggap dunia tidak mengerti dia, dia menganggap dia bukanlah bagian dari dunia ini dan dia harus hidup sendiri, nah itu yang berbahaya, sebab dia akan menjadi orang yang memang tidak ada pergaulan sosial sama sekali.
GS : Tapi kadang-kadang orang tua juga sudah begitu baik mendidik anaknya, mencoba untuk mendidik sebaik-baiknya. Tapi di antara kita bukankah ada peran nenek dan kakek Pak Paul, nah seberapa jauh peran mereka itu untuk kadang-kadang membuat anak menjadi egois?

PG : Kakek dan nenek itu memang sering kali memanjakan cucu, jadi hal ini sepintas memang seolah-olah tidak berbahaya kalau memang bisa diimbangi oleh peranan orang tua yang baik. Tapi kalauperanan orang tua sedikit absen atau kurang kuat, sementara kakek dan nenek terlalu memanjakan si anak, ini bisa berdampak negatif.

Karena si anak akan bisa beranggapan memang dia itu seindah dan sehebat apa yang digambarkan si kakek kepadanya. Tapi kalau orang tua masih bisa berfungsi mengatakan engkau memang punya kelemahan di sini, bisa mendisiplin si anak, bisa membatasi keinginan si anak, meskipun kakek-nenek memanjakan si anak, dampaknya biasanya tidak sampai membahayakan atau tidak berdampak negatif pada si anak.
GS : Biasanya justru mereka itu memberikan perhatian yang berlebihan Pak Paul, jarang ada kakek-nenek yang kurang memberikan perhatian. Kalaupun kurang saya rasa tidak terlalu berdampak pada diri anak kecil itu.

PG : Tidak, sebab yang anak-anak akan sangat butuhkan adalah perhatian dari orang tuanya, bukan dari kakek atau neneknya.

GS : Juga peran baby-sitter dan sebagainya itu ada atau tidak Pak pengaruhnya?

PG : Anak-anak yang dibesarkan oleh baby-sitter dari kecil akan kehilangan kesempatan untuk pertama-tama menerima kasih sayang langsung dari orang tua, nah itu suatu kerugian besar bagi si aak.

Kedua dia kehilangan kesempatan melihat orang tua bereaksi atai bersikap atau hidup, sedangkan anak-anak perlu melihat orang tua bereaksi dalam hidupnya, sehingga dia bisa mulai mencontoh orang tuanya. Nah otomatis dia akan kehilangan waktu-waktu tersebut dan kehilangan model-model itu dan otomatis yang ketiga kehilangan kesempatan untuk berinteraksi atau bergaul dengan orang tuanya. Karena orang tua itu tidak ada waktu lagi di rumah, malam pulang sudah letih dan semua ditugaskan kepada pengasuh atau suster sehingga si anak memang kehilangan kesempatan untuk bergaul dengan orang tua. Dan itu sebetulnya salah satu hal yang mutlak diperlukan oleh seorang anak.
GS : Memang kecenderungan menjadi orang egois itu semakin besar kalau tidak siap Pak Paul ya? Karena masyarakat kita banyak yang individualistis, yang lebih mementingkan dirinya sendiri, Bukankah cenderung ke sana Pak Paul?

PG : Betul, jadi anak-anak yang egois ini Pak Gunawan akhirnya hanya melihat hidup dari kacamatanya, itu masalah utamanya.

IR : Nah itu kalau terjun di dalam pelayanan juga sulit ya Pak Paul untuk bekerjasama dengan teman sepelayanannya?

PG : Tepat sekali Bu Ida, karena dia tidak akan bisa memahami perasaan atau kacamata orang lain. Dia akan selalu menganggap dirinya benar, dan sewaktu terjadi ketidakcocokan pandangan denganorang lain dia akan cepat-cepat melabelkan bahwa orang lain tidak mengerti dirinya, orang lain tidak memahami dirinya.

Dan gagal melihat orang lain kenapa orang lain berpikir seperti itu tentang dirinya, dan semua dilihat dari dirinya saja. Jadi memang sering kali akhirnya bermasalah dalam hubungan dengan orang-orang lain, kalau dia menjadi atasan ya sama, akan menerapkan sistem hidup yang sama yaitu pandangannya betul dan orang lainlah yang salah. Orang lainlah yang tidak bisa mengerti pikiran dia.
IR : Nah kalau dia akan menjadi seorang pendidik Pak Paul, bagaimana mendidik anak-anak didiknya?

PG : Nah itu masalah, karena setelah dia nanti besar menjadi orang tua, menjadi seorang ayah atau ibu kecenderungannya adalah dia menjadi otoriter. Dia akan menuntut anak-anak untuk memahamidirinya sedangkan kesediaan dia memahami anak tipis sekali, apalagi hubungan dengan pasangannya dia juga akan mengalami kesulitan melihat pandangan pasangannya itu, dia menuntut pasangannya untuk mengikuti kehendaknya.

Jadi sekali lagi anak-anak yang egois kalau sudah dewasa dan menikah atau menjadi seorang pekerja cenderung sangat otoriter.
GS : Jadi begitu besar peran orang tua di dalam pendidikan anak ini Pak Paul, dan apa yang Tuhan mau katakan kepada kita khususnya orang tua yang masih mempunyai anak-anak yang kecil supaya kita bisa memberikan pendidikan yang pas.

PG : Saya akan bacakan dari 1 Timotius 3:12, "Diaken haruslah suami dari satu istri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik." Saya akan menggarisbawahi kalimat menurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik.

Nah Tuhan meminta orang tua mengurus anak-anak dengan baik karena memang itulah tanggung jawab yang Tuhan embankan kepadanya. Nah mengurus berarti sekaligus bukan saja mengelola supaya rumah tangganya itu berjalan dengan damai, tenteram, menerapkan disiplin yang seharusnya tapi juga menyediakan kebutuhan emosional si anak. Nah orang tua yang kurang memberi perhatian kepada anak menjadi orang tua yang tidak bertanggung jawab dalam mengurus kebutuhan anak-anaknya. Dan akhirnya bisa jadi anak ini bertumbuh besar menjadi anak yang egois, yang haus sekali akan perhatian sehingga menjadi sangat egois dalam pendapatnya atau keinginannya.
GS : Jadi memang firman Tuhan itu tepat sekali untuk kita semua, khususnya yang dipercayai oleh Tuhan untuk mendidik anak-anak yang masih kecil supaya mereka berguna di masa yang akan datang dan tidak menjadi orang-orang yang egois.

Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan lanjutan tentang menangani anak yang egois, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 52 B

  1. Apakah yang dimaksud perhatian yang kurang dari orang tua...?
  2. Apa yang dibutuhkan si anak agar tidak egois....?


14. Menanamkan Rasa Tanggung Jawab Pada Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T054A (File MP3 T054A)


Abstrak:

Dalam hal ini orangtualah yang sangat perlu mengajarkan anak-anak untuk bertanggung jawab. Dan hal ini perlu kita siapkan dari mulanya melakukan sesuatu karena menyadari kegunaannya dan kedua melakukan sesuatu karena memang diwajibkan. Hal ini menjadi bahan yang sangat penitng untuk kesuksesan dalam pekerjaannya di masa mendatang.


Ringkasan:

Tanggung jawab tidak dengan sendirinya ada dalam diri setiap anak atau setiap orang. Anak-anak sebetulnya lahir tanpa mempunyai kesadaran akan tanggung jawabnya, jadi merupakan tugas orang tualah untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab itu. Perlahan-lahan orang tua harus melatih atau menanamkan rasa tanggung jawab pada si anak sehingga pada akhirnya si anak akan melepaskan diri dari si orang tua dan mulai melakukan yang dia harus lakukan dari dirinya sendiri.

Dalam hal melatih tanggung jawab anak, bentuk-bentuk yang bisa diberikan oleh orang tua adalah sbb:

  1. Anak memiliki kemampuan atau merawat dirinya secara jasmani, jadi misalnya pagi-pagi menggosok gigi, mandi pada waktu usia meningkat misalnya 8, 10 tahun dsb.

  2. Tanggung jawab dikembangkan dari tubuh secara jasmani ke barang-barang milik si anak. Misalnya membereskan tempat tidur, menaruh sepatu pada tempat yang seharusnya, meletakkan piring di dapur dsb.

  3. Menginjak usia remaja kita juga akan menanamkan tanggung jawab untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan emosionalnya.

Biasanya sebagian orang tua berpikir, soal tanggung jawab itu nanti diajarkan di sekolah. Saya kira kita harus membedakan tanggung jawab yang internal dan tanggung jawab yang eksternal.

  1. Tanggung jawab eksternal, di mana anak-anak harus bersekolah dan dia pun diharuskan belajar. Kita harus akui pada masa SMP ke bawah anak-anak sesungguhnya belum memahami apa kegunaannya bersekolah, dia hanya melakukan tugas kewajiban yang memang diharuskan. Belum ada kesadaran sebab sekolah itu sesuatu yang di luar dirinya.

  2. Tanggung jawab internal, sebab itulah orang tua perlu menumbuhkan tanggung jawab yang bersifat internal yaitu melakukan sesuatu yang berkaitan langsung dengan dirinya, misalkan sikat gigi, mandi, membereskan tempat tidur.

Waktu seorang anak mulai memikul tanggung jawab, yang akan terjadi adalah:

  1. Dia akan lebih bisa mempercayai kelebihannya. Sebab akan ada banyak hal yang dia mampu lakukan, hal-hal kecil yang tadinya dia pikir tidak berguna, tapi waktu dia mulai lakukan, sesungguhnya itu akan menumbuhkan rasa keyakinan dirinya.

  2. Kita menyadari bahwa pada akhirnya anak-anak itu harus bekerja, dia tidak akan dianggap sebagai manusia yang berharga kalau dia sama sekali tidak bekerja. Orang tua perlu mengajarkan anak-anak bertanggung jawab agar nanti si anak menjadi seorang pekerja yang baik.

Dua hal yang menjadi bahan yang sangat penting untuk kesuksesan anak dalam pekerjaan di masa mendatang adalah:

  1. Kita siapkan anak-anak karena meyadari kegunaannya.

  2. Melakukan sesuatu karena memang diwajibkan, nah dua-duanya harus berimbang dan dimiliki oleh si anak.

Dalam kaitan tanggung jawab ini, saya mengajak kita memperhatikan firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman khususnya bagi orang tua. Amsal 12:11 "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia tidak berakal budi."

Ciri orang yang bertanggung jawab adalah:

  1. Dia akan lebih realistik. Anak-anak yang dilatih sejak kecil untuk belajar bertanggung jawab akan menjadi anak-anak yang mengerti realitas kehidupan.

  2. Mereka berani mengakui perbuatannya, itu salah satu ciri atau tolok ukur yang penting sekali.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Pada kesempatan kali ini Ibu Idajanti Raharjo tidak bisa menemani kami tetapi kami yakin pada kesempatan yang akan datang beliau akan bersama-sama dengan kami pada acara TELAGA ini. Dan kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab pada Anak." Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kalau judul yang kita pilih malam hari ini menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak, yang saya ingin tanyakan apakah tanggung jawab tidak dengan sendirinya ada dalam diri setiap anak atau setiap orang itu?

PG : Kenyataannya memang tidak, jadi anak-anak itu sebetulnya lahir tanpa mempunyai kesadaran akan tanggung jawabnya, jadi merupakan tugas orang tualah untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab itu Pak Gunawan.

Sekali lagi anak-anak dilahirkan memang untuk bergantung pada orang tuanya dan dalam kebergantungan itu anak-anak mengharapkan orang tua untuk melakukan semuanya bagi si anak. Nah dalam fase ini memang si anak belum mampu untuk mengerjakan semuanya sendiri, dia harus bergantung pada si orang tua. Namun perlahan-lahan orang tua harus melatih atau menanamkan rasa tanggung jawab pada si anak sehingga pada akhirnya si anak akan melepaskan diri dari si orang tua dan mulai melakukan yang dia harus lakukan dari dirinya sendiri.
(2) GS : Jadi sejak kapan sebenarnya orang tua sudah mulai bisa menanamkan rasa tanggung jawab pada anak dan dalam bentuk apa, Pak Paul?

PG : Sebetulnya tidak ada patokan usia yang baku namun pada intinya kita mulai menanamkan rasa tanggung jawab itu pada anak, pada usia sedini mungkin. Jadi pada usia sedini mungkin itu sudah tetu adalah usia di mana anak mulai dapat berinteraksi dengan orang tua.

Mulai dapat mendengarkan atau menerima instruksi dari orang tua dan si anak pun mulai dapat mengkomunikasikan dirinya pada orang tua. Nah pada waktu hal-hal tersebut mulai berjalan dan mulai ada saya kira orang tua harus mulai menanamkan rasa tanggung jawab itu, sebab ini adalah sesuatu yang penting sekali untuk dimiliki oleh si anak.
GS : Dalam hal melatih tanggung jawab anak ini Pak Paul, bentuk-bentuk apa yang bisa diberikan oleh orang tua?

PG : Misalkan kita ingin menanamkan tanggung jawab agar si anak itu mengurus dirinya, nah ini adalah hal yang sederhana dan simpel. Salah satu hal yang penting dalam pertumbuhan seorang anak adlah si anak memiliki kemampuan atau merawat dirinya secara jasmani.

Jadi hal apakah yang perlu dia lakukan, sederhana misalnya pagi-pagi dia menggosok giginya, nah otomatis pada masa kecil kita harus mengajarkan pada si anak untuk menggosok giginya. Namun setelah itu kebiasaan ini mulai harus diingatkan kepada si anak sehingga pada akhirnya dialah yang akan memikul tanggung jawab untuk menggosok giginya. Sama juga dengan misalnya mandi, nah pada waktu usianya meningkat misalnya 8, 10 tahun, di sini orang tua mulai menanamkan tanggung jawab bukan saja merawat tubuh si anak misal tadinya gosok gigi, mandi tapi menanamkan tanggung jawab atas barang-barang kepunyaan si anak itu. Jadi misalkan si anak diajarkan untuk membereskan tempat tidurnya, menaruh sepatunya di tempat yang seharusnya, meletakkan piring di dapur dan sebagainya. Jadi tanggung jawab sekarang mulai kita kembangkan dari tubuh secara jasmani akhirnya ke barang-barang milik si anak itu. Dan ini berkembang ke usia dewasa sebab kalau anak-anak sudah menginjak usia remaja kita juga akan menanamkan tanggung jawab untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan emosionalnya dan sebagainya.
GS : Biasanya anak-anak 'kan cenderungnya bermain-main Pak Paul, juga dalam hal mandi sempat Pak Paul singgung. Sering kali yang terjadi anak-anak itu mau mandi sendiri tapi juga bermain-main dengan sabun.

PG : Kita harus memahami itulah fase di mana si anak berada dan itulah hal yang alamiah dilakukan oleh seorang anak. Jadi sewaktu seorang ayah atau ibu melihat anak-anaknya bermain-main dengan ir di kamar mandi dan sebagainya, orang tua tidak usah panik dan memarahi si anak, biarkan dia bermain-main di kamar mandi.

Misalkan dia membawa mobil-mobilannya, perahu-perahuannya atau kalau dia anak perempuan membawa bonekanya, dia akan memandikan bonekanya, biarkan sebab itu adalah bagian dari pertumbuhan si anak yang memang alamiah, yang memang normal.
GS : Jadi di samping bermain, unsur-unsur tanggung jawab sudah mulai bisa ditanamkan Pak Paul?

PG : Betul, jadi hal-hal yang memang bersifat alamiah itu kita mulai sisipkan dengan tanggung jawab. Saya ingin menggarisbawahi Pak Gunawan, bahwa hal tanggung jawab ini sangat penting sekali. ebetulnya Pak Gunawan, bukankah kita ini mengukur kedewasaan seseorang berdasarkan rasa tanggung jawabnya, jadi seseorang yang kita labelkan kekanak-kanakan atau belum dewasa biasanya adalah orang yang kita anggap tidak bertanggung jawab.

Jadi penting sekali hal ini diajarkan, nah saya mau menggarisbawahi kata diajarkan, sebab tadi Pak Gunawan sudah singgung juga, anak-anak tidak dilahirkan dengan rasa tanggung jawab, tugas orang tualah mendidik anak sehingga si anak akhirnya memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab.
GS : Cuma kesulitan kami orang tua, tidak punya semacam kurikulum atau tingkatan-tingkatan sampai di mana kami itu mengajarkan tanggung jawab kepada anak, Pak Paul. Kalau orang belajar itu jelas semacam kurikulumnya, setelah ini apa, setelah ini apa, nah kami ini tidak punya Pak Paul hal semacam itu.

PG : Betul, memang betapa indahnya kalau kita mempunyai pedoman Pak Gunawan, namun secara garis besarnya atau prinsip umumnya kita ini melimpahkan tanggung jawab pada si anak dalam hal-hal yangbersifat alamiah atau natural atau bersifat sehari-hari.

Dan saya percaya Tuhan akan menumbuhkan pengetahuan itu dalam diri kita, bahwa ada hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh si anak. Nah saya kira sebagai orang tua yang memperhatikan anak, dengan sendirinya kita mulai memiliki kesadaran tersebut Pak Gunawan. Bahwa seharusnyalah sepatu ini tidak di lempar-lempar di mana saja dia mau, seharusnyalah diletakkan di rak sepatu misalnya, seharusnyalah piring tidak ditinggalkan di meja, tapi dibawanya ke dapur dan sebagainya.
GS : Tapi memang biasanya kami sendiri justru sebagai orang tua yang tidak disiplin Pak Paul, artinya kalau kita melihat hal-hal yang semacam itu, bukan kami perintahkan kepada anak untuk melakukannya sebagai bagian dari tanggung jawab tapi biasanya kami yang melakukan sebagai orang tua walaupun dengan ngomel, dengan memarahi si anak.

PG : Kadang kala orang tua berpikir dia masih terlalu kecil ya biarkanlah orang tua yang melakukannya atau nanti dia lakukan tidak beres, nanti piringnya pecah sudah biarkanlah kami yang melakuannya.

Hal-hal itu yang akhirnya mendorong orang tua mengambil alih tugas anak, ini tidak sehat. Satu lagi yang tidak sehat yang kadang kala orang tua tidak begitu perhatikan adalah struktur kehidupan untuk masa sekarang di mana untuk orang-orang yang berada sebetulnya anak-anak itu hanya perlu bernafas saja, itu tanggung jawabnya dia. Sebab kalau ada suster atau ada pembantu, baju pun disiapkan, air untuk mandi sudah disiapkan, handuk sudah disiapkan, kemudian dia akan ke luar kamar sudah ada sepatu yang disiapkan oleh pembantu rumah tangga, piring makan sudah tersedia di atas meja, sesudah makan piring di taruh di situ tidak usah dibawa ke mana-mana, belajar ada guru les yang akan menanyakan, mendorong si anak untuk mengerjakan soalnya. Nah kadang-kadang orang tua tidak realistik karena orang tua tidak memperhatikan proses pertumbuhan si anak ini, tiba-tiba si anak sudah berumur 14 tahun atau 15 tahun, orang tua marah-marah, anak saya tidak bertanggung jawab, anak saya disuruh kok tidak mau. Nah masalahnya adalah anak ini selama 14 tahun hidup sebagai bayi semua sudah disuapkan ke mulut si anak itu, sehingga si anak memang tidak pernah belajar untuk bertanggung jawab. Nah akhirnya apa yang terjadi, yang terjadi adalah si anak tidak memiliki tanggung jawab itu. Nah biasanya ini disadari oleh orang tua setelah anak menginjak usia remaja dan pada saat itu memang sudah lumayan terlambat.
GS : Cuma memang pada pikiran kami sebagai orang tua biasanya, nanti itu 'kan diajarkan di sekolah soal tanggung jawab itu. 'Kan anak itu di TK dan sebagainya itu dilatih dengan tanggung jawab, apakah kami nanti tidak keliru mengajarkan sesuatu, Pak Paul?

PG : Saya kira kita harus membedakan tanggung jawab yang internal dan tanggung jawab yang eksternal. Yang saya maksud adalah ini, memang anak-anak itu semuanya harus bersekolah dan diapun tahu tu, oleh karenanya anak-anak meskipun tidak mau sekolah terpaksa sekolah.

Nah dia diharuskan juga belajar, sudah tentu hal-hal yang bersifat eksternal ini, yang dipaksakan dari luar ke dalam tetap berguna dan akan berdampak positif buat dia, waktu dia mengerjakan tugas sekolahnya dan sebagainya. Namun demikian kita harus akui pada masa-masa anak-anak bersekolah terutama pada masa di bawah SMP, SMA mungkin sudah tumbuh kesadaran. Tapi sebelum itu pada masa SMP ke bawah anak-anak sesungguhnya belum memahami apa kegunaannya bersekolah, dia hanya melakukan tugas dan kewajibannya karena memang diharuskan. Tapi belum ada kesadaran, sebab sekolah itu sesuatu yang di luar dirinya, oleh sebab itulah orang tua perlu menumbuhkan tanggung jawab yang bersifat internal. Yaitu melakukan sesuatu yang berkaitan langsung dengan dirinya, misalkan tadi saya beri contoh tentang sikat gigi, mandi dan sebagainya itu berkaitan langsung dengan tubuhnya. Membereskan tempat tidur atau membereskan piringnya atau membereskan bekas mainannya kemudian ditaruh ke dalam box yang tertentu dan sebagainya, itu juga berkaitan langsung dengan dirinya. Jadi dia melakukan sesuatu bukan hanya diharuskan saja, tapi ini hal-hal langsung yang dia harus lakukan, maksudnya mainan itu dia yang mainkan, mainan ini adalah miliknya, ranjang ini kemarin malam dia yang tiduri. Nah dengan kata lain karena dia sudah melaksanakannya, kasarnya dia sudah membuat kerepotan itu maka sekarang dia harus membenahinya. Kalau belajar atau sekolah kurang mengandung unsur tersebut, sebab seolah-olah merupakan sesuatu yang berasal dari luar dirinya; guru meminta dia mengerjakan PR, guru berkata ada ulangan minggu depan dan dia belum menyadari apa kegunaan sekolah, jadi saya kira memang harus ada keseimbangan.
GS : Kalau seseorang anak dalam tingkat usianya itu bertanggung jawab, apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya?

PG : Waktu dia mulai memikul tanggung jawab, yang akan terjadi adalah nomor satu dia akan lebih bisa mempercayai kelebihannya. Sebab akan ada banyak hal yang dia mampu lakukan, hal-hal kecil yag tadinya dia pikir tidak berguna, tapi waktu dia mulai lakukan, sesungguhnya itu akan menumbuhkan rasa keyakinan dirinya.

Dia bisa mencuci piring, hal yang sederhana seperti itu. Misalkan suatu ketika kami tidak ada pembantu rumah tangga, terus kami mencuci piring, nah saya dan istri saya melibatkan anak-anak untuk mencuci piring kemudian saya mengajarkan kepada anak saya bagaimana mencuci piring itu dan sebagainya, istri saya juga mengajarkan pada anak saya untuk melap meja. Nah dengan kata lain hal-hal kecil seperti itu akan menjadi suatu proyek yang sekarang dikuasai oleh si anak, dia mengerti bagaimana melakukan tugas-tugas kecil seperti itu. Nah ini berdampak buat kepercayaan diri si anak itu.
GS : Kalau di samping keyakinan diri Pak Paul, adakah hal lain yang timbul dalam diri si anak?

PG : Yang lainnya lagi adalah kita menyadari bahwa pada akhirnya anak-anak itu harus bekerja, dia tidak akan dianggap sebagai manusia yang berharga kalau dia sama sekali tidak bekerja. Nah pekejaan mempunyai satu substansi, satu akar yakni tanggung jawab, jadi orang tua perlu mengajarkan anak-anak bertanggung jawab agar nanti si anak menjadi seorang pekerja yang baik.

Ini kita siapkan juga dari mulanya melakukan sesuatu karena menyadari kegunaannya. Kedua melakukan sesuatu karena memang diwajibkan, nah itu dua-duanya harus berimbang dan dimiliki oleh si anak. Ini dua hal menjadi bahan yang sangat penting untuk kesuksesan dia dalam pekerjaannya di masa mendatang.
GS : Yang Pak Paul maksudkan pekerjaan itu setelah nanti dia selesai dengan studinya?

PG : Betul, jadi tadi saya tekankan dua hal Pak Gunawan, yaitu si anak memang harus mengerti kegunaannya. Apa gunanya dia bekerja ini dan itu, tapi yang kedua si anak juga harus melaksanakan keajibannya, di saat dia sendiri tidak begitu menyadari kegunaannya.

Jadi jangan sampai si anak hanya memilih satu di antara dua, itu tidak sehat.
GS : Pak Paul, kadang-kadang di dalam satu keluarga yang anaknya cukup banyak atau kondisi perekonomiannya kurang itu biasanya anak yang sulung mendapatkan beban yang rasanya terlalu berat. Misalnya menggendong adiknya di mana dia sendiri masih kecil, atau bahkan sampai bekerja. Nah apakah dampak sebenarnya pada diri anak itu, Pak Paul?

PG : Anak-anak yang terlalu kecil untuk memikul tanggung jawab yang sebesar itu akhirnya akan kehilangan masa kecilnya, Pak Gunawan. Jadi artinya mereka seharusnya hidup pada tahap usianya namu terpaksa dikarbitkan untuk hidup di luar usianya.

Nah hal-hal yang seharusnya dia dapatkan di usia itu misalnya bergantung pada orang, bermain dengan teman-teman sebayanya, akan terhilang sebab yang dia harus lakukan adalah tugas membantu orang tuanya itu.
GS : Tapi yang kita lihat sebagai orang awam bukankah seolah-olah anak ini sudah bertanggung jawab, Pak Paul?

PG : Nah dalam hal ini memang tanggung jawabnya akan bertumbuh dengan baik sekali, namun dalam pertumbuhan si anak akan ada yang terhilang, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan. Misalnya sala satu aspek kehidupan yang harus dikembangkan oleh seorang anak adalah aspek rekreasi, jadi aspek mengisi baterai, aspek menyegarkan jiwa.

Nah anak-anak yang pada masa kecil diwajibkan untuk hidup lebih tua dari usianya terpaksa akan kehilangan kemampuan berekreasi, menyegarkan jiwa atau mengisi baterai. Kenapa kehilangan, karena memang tidak ada kesempatan itu, sejak kecil dia harus menjadi asisten mama atau papanya.
GS : Pak Paul kalau kita memberikan tanggung jawab itu sedini mungkin apakah itu tidak ada pengaruh dengan hubungannya atau interaksi dengan sesamanya khususnya teman-teman sebayanya, Pak Paul?

PG : Saya kira kalau kita memberikan tugas yang berlebihan pasti mengganggu Pak Gunawan, jadi secara prinsip kita harus selalu mengingat bahwa anak-anak itu memerlukan waktu bermain jauh lebih anyak daripada hal-hal yang berhubungan tanggung jawabnya.

Jadi semakin kecil semakin banyak waktu bermain yang dia butuhkan dan waktu untuk bertanggung jawab itu sebetulnya masih sangat kecil sekali jadi jangan sampai kita ini salah prioritas. Anak usia 4, 5 tahun kita wajibkan dia untuk mengepel, untuk menyapu dan sebagainya dan dia akan kehilangan waktu bermainnya, sedangkan itu adalah bagian yang sangat penting dalam pertumbuhannya.
GS : Tapi memang perlu diberi suatu contoh nyata kepada anak-anak ini mungkin Pak Paul.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi pada waktu kita menanamkan tanggung jawab kita perlu mengajarkan dengan contoh konkret. Contoh tadi misalnya kita mau mengajarkan anak kita mencuci piring, jngan sampai kita hanya berkata ini piringnya, ini sabunnya, ini kran airnya, tidak.

Anak-anak akan menikmati sekali kalau pada awal-awalnya bersama dengan kita melakukan tugas itu. Misalkan kita mengajarkan dia mencuci piring seperti ini, pegang piringnya keras kemudian kita gosokkan sabunnya, air dan sebagainya. Setelah kita lakukan 1, 2 kali, kita minta dia melakukannya, kita jangan pergi, kita disamping dia melihat dia melakukannya. Kemudian misalkan kita yang mengeringkan piring-piring yang telah dicuci olehnya itu atau kita juga di dapur membereskan barang-barang yang lainnya sewaktu dia melakukan tugas itu.
GS : Jadi dia tidak merasa ditinggalkan.

PG : Betul, waktu dia ditinggalkan dia akan merasakan ini adalah suatu hukuman atau tugas. Nah ini sama dengan membuat PR lagi, ke sekolah lagi, jadi akan kehilangan kesempatan bertanggung jawa untuk hal-hal yang berkaitan dengan dirinya.

Nah waktu kita meminta bantuannya, meminta pertolongannya untuk mencuci piring itu 'kan berkaitan dengan dirinya, itu piring yang dia pakai, itu adalah panci yang dipakai untuk memasak makanan yang dimakannya, jadi itu bagian dari dirinya. Jadi sekali lagi tanggung jawab memang dimulai dari hal-hal yang berkaitan dengan diri si anak itu.
GS : Pak Paul, kalau kita menanamkan tanggung jawab itu sedini mungkin, sementara anak itu masih dibawah asuhan kita di rumah, mungkin lebih gampang. Tapi kalau nanti suatu saat dia toh mulai bersosialisasi di sekolah dan teman-temannya. Apakah pengaruh teman-temannya itu tidak bisa mempengaruhi rasa tanggung jawabnya dia?

PG : Teman-teman itu sebetulnya akan bisa mempengaruhi tanggung jawabnya, Pak Gunawan. Dalam pengertian teman-teman waktu bermain akan mulai mengajak dia melakukan sesuatu untuk mengerjakan sesatu pula.

Nah dalam kesempatan seperti itu si anak akan juga berkesempatan untuk mengembangkan tanggung jawabnya, misalnya temannya berkata e...besok jangan lupa ya membawa gundu atau kelereng, dia besok akan membawa kelereng. E... besok jangan lupa ya kita main sepak bola, bawa bolanya, nah hal seperti itu yang berkaitan dengan teman juga akan bisa menumbuhkan tanggung jawab. Tapi biasanya memang tanggung jawab yang menyenangkan, sedangkan kita juga mau menanamkan tanggung jawab yang multidimensional yang bukan saja menyenangkan tapi hal-hal yang tidak terlalu menyenangkan.
GS : Dalam hal ini Pak Paul kalau anak itu menghadapi 2 hal pilihan untuk tanggung jawab yang tadi Pak Paul katakan di satu sisi dia sudah berjanji kepada temannya untuk membawa bola dan bermain bola pada suatu saat. Tapi pada sisi yang lain, pada saat yang bersamaan orang tuanya memberikan tanggung jawab, nah bukankah ini bisa jadi membingungkan Pak Paul, mana yang harus dia prioritaskan?

PG : Nah kalau memang si anak itu sudah berkata pada orang tuanya: "Bu, Pak saya besok sudah berjanji untuk bermain sepak bola setelah sekolah." Nah orang tua memang harus menimbang aakah sedemikian perlunya si anak membatalkan janji untuk bermain sepak bola itu.

Kalau orang tua berpikir tugas ini bisa ditangguhkan, silakan tangguhkan biarkan si anak main sepak bola dulu, setelah itu baru katakan saya minta engkau membantu saya untuk hal ini setelah sepak bola dan sebagainya.
GS : Dalam kaitan tanggung jawab ini Pak Paul apakah firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman khususnya untuk kami sebagai orang tua?

PG : Saya akan bacakan dari kitab Amsal 12:11, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia tidak berakal budi." Say ulangi lagi, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia tidak berakal budi."

Salah satu ciri orang yang bertanggung jawab adalah dia akan lebih realistik, anak-anak yang dilatih sejak kecil untuk belajar bertanggung jawab menjadi anak-anak yang mengerti realitas kehidupan, justru anak-anak yang tidak mengerti tanggung jawab, mengertinya hanya menuntut orang untuk melakukan semua baginya akan seperti dikatakan di Alkitab tadi akan mengejar barang yang sia-sia atau mengejar barang yang tidak ada. Namun orang yang bertanggung jawab akan melihat realitas kehidupannya dan justru firman Tuhan berkata dia yang akan mengerjakan tanahnya akan kenyang, karena bisa memakan hasil tanahnya itu. Jadi sekali lagi firman Tuhan juga mengajarkan anak-anak Tuhan untuk bertanggung jawab atas dirinya, atas kebutuhannya. Dia perlu makan, dia perlu bekerja dengan cara apa, mengerjakan tanahnya.
GS : Di dalam mengetahui dirinya sudah bertanggung jawab, apakah orang lain bisa tahu Pak Paul bahwa seseorang itu memang punya tanggung jawab atau tidak?

PG : Salah satu hal yang akan kita bisa lihat adalah anak-anak yang bertanggung jawab, anak-anak yang berani mengakui perbuatannya, itu salah satu ciri atau tolok ukur yang penting sekali. Anakanak yang seolah-olah rajin, banyak bekerja dan sebagainya tapi belum berani mengakui perbuatannya apa yang telah dia kerjakan belumlah memiliki kedewasaan.

Jadi kita janganlah dikecohkan oleh kerajinan Pak Gunawan, ada anak-anak yang rajin tapi kerajinannya itu bersifat eksternal tadi yang saya sebut itu, dia harus melakukannya karena memang dituntut oleh orang lain. Tapi dia tidak memahami kenapa dia melakukannya dalam kaitan dengan dirinya sendiri, nah anak yang bertanggung jawab, anak yang tahu apa kaitan itu dengan dirinya sehingga waktu ada sesuatu terjadi atau melakukan hal yang keliru atau salah dia berani berkata saya yang salah.
GS : Dan bertanggung jawab saya rasa.

PG : Betul.

GS : Ya demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan ke hadapan Anda tentang bagaimana "Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab pada Anak." Dan pembicaraan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 54 A

  1. Apakah tanggung jawab, ada dengan sendirinya dalam diri setiap anak...?
  2. Sejak kapan dan dalam bentuk bagimana orang tua dapat menanamkan tanggung jawab pada anak...?


15. Proses Pertumbuhan Tanggung Jawab


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T054B (File MP3 T054B)


Abstrak:

Rupa-rupanya tanggung jawab tumbuh dalam bentuk suatu proses yang diawali sejak dini dan dalam materi ini akan dijumpai berbagai bentuk tanggung jawab yang dilakukan pada saat usia anak-anak kemudian remaja dan meningkat pada usia pemuda atau dewasa.


Ringkasan:

Kenyataan saat ini yang terjadi ada banyak orang yang sudah dewasa tapi rasa tanggung jawabnya bisa dinilai rendah sekali. Tentu ada hal-hal yang menjadi penyebab kenyataan tersebut. Saya akan memberikan jawaban dari dua sisi:

  1. Yang pertama adalah dari sisi Theologis spiritual, dari segi Theologis dan rohani kita bisa mengakui bahwa memang tanggung jawab berkaitan dengan dosa.

  2. Yang kedua dari sisi emosional, kenapa orang itu sukar sekali untuk bertanggung jawab sampai pada usia dewasanya, saya kira ini berkaitan dengan kebutuhan emosionalnya yaitu:

    1. Kebutuhan untuk menjadi benar. Adakalanya dengan kita bertanggung jawab kita harus mengakui kesalahan kita atau hal-hal yang telah kita lakukan yang tidak disenangi oleh orang lain. Akibatnya kita merasa takut, kita tidak mau mengakui perbuatan tersebut sehingga kita mengalak dari tanggung jawab kita.

    2. Kebutuhan untuk dapat menikmati hidup. Kita manusia yang ingin menikmati hidup dengan mudah dan gampang, jadi waktu kita harus melakukan tanggung jawab, kita merasakan ini adalah suatu beban bagi hidup kita dan menyukarkan hidup kita. Itu sebabnya kita melarikan diri dari tanggung jawab supaya hidup kita lebih mudah.

Kalau anak itu sudah meningkat lebih dewasa lagi yaitu memasuki usia pemuda, beberapa hal yang kita perlu tanamkan adalah:

  1. Ia harus bertanggung jawab atas emosinya. Inilah yang kadangkala tidak begitu diperhatikan orang tua. Emosi adalah sesuatu yang menjadi milik si anak, misalnya emosi marahnya, emosi sedihnya, nah dia harus bertanggung jawab dalam pengertian dia harus melakukan sesuatu, dia tidak bisa dikuasai oleh emosi-emosi tersebut.

  2. Ia harus bertanggung jawab dalam hal keuangan. Ini bisa kita mulai rintis sejak kecil, kita memberikan uang jajan dan kita tanyakan untuk apa, apa yang dia belanjakan tadi.

  3. Juga bertanggung jawab di dalam merintis kariernya. Dalam pengertian dia bertanggung jawab atas pilihan studinya, kebutuhan-kebutuhan dia harus bekerja, itu memang akhirnya akan kita dorong.

  4. Puncaknya adalah anak juga akan dituntut bertanggung jawab untuk kehidupan rohaninya. Setelah anak menginjak dewasa kita harus kembalikan pada si anak, tergantung padamu sekarang mau mempunyai hubungan yang dekat dengan Tuhan atau jauh, mau hidup di dalam Tuhan atau di luar Tuhan. Engkau tidak bisa lagi hidup bergantung kepada orang lain ini adalah antara engkau dan Tuhan.

Amsal 12:9 "Lebih baik menjadi orang kecil tetapi bekerja untuk diri sendiri, daripada berlagak orang besar tapi kekurangan makan."

Firman Tuhan ini menekankan dua hal:

  1. Seseorang harus bisa menerima keadaan dirinya apa adanya.

  2. Alkitab mengatakan penting sekali bekerja untuk diri sendiri. Artinya Alkitab mendorong kita untuk memenuhi kebutuhan diri kita dan jangan melemparkan tanggung jawab itu kepada orang lain.

Orang tua perlu bersikap dengan bijaksana dalam menolong anak menghadapi kegagalan, yaitu dengan memperhatikan beberapa prinsip berikut ini:

  1. Pertama adalah beri penghargaan untuk keberhasilannya. Jadi sewaktu anak berhasil melakukan sesuatu atau tanggung jawab yang kita embankan kepadanya, beri dia penghargaan, ucapkan pujian kita, jangan ragu-ragu memujinya.

  2. Kalau dia gagal beri dorongan jangan kita malahan menghinanya, melecehkannya, jangan. Justru untuk kegagalan yang telah diusahakan beri dia dorongan, jangan sampai dia kecil hati, lain kali coba lagi.

  3. Berikan sanksi untuk kelalaiannya, untuk hal-hal yang dia seharusnya lakukan tapi dia sengaja melalaikan tanggung jawab itu.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Dan kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Proses Pertumbuhan Tanggung Jawab," kali ini Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK berhalangan hadir tapi pada kesempatan yang lain beliau pasti menemani Anda dalam perbincangan TELAGA ini. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS :Beberapa waktu yang lalu Pak Paul kita mencoba berbincang-bincang tentang bagaimana menumbuhkan rasa tanggung jawab sejak anak itu masih kecil, nah mungkin kita melanjutkan perbincangan ini tentang bagaimana proses pertumbuhan tanggung jawab selanjutnya. Kita tahu kenyataannya bahwa ada banyak orang yang sudah dewasa pun, rasa tanggung jawabnya bisa dinilai rendah sekali nah itu sebenarnya apa Pak Paul yang menyebabkan?

PG : Saya akan memberikan jawaban dari dua sisi Pak Gunawan, yang pertama adalah dari sisi Theologis spiritual dan yang kedua adalah dari sisi emosional. Saya kira dari segi Theologis dan rohan kita bisa mengakui bahwa memang tanggung jawab itu berkaitan dengan dosa.

Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah melihat bahwa akibat langsung dari dosa ialah manusia untuk pertama kalinya mengelakkan tanggung jawab. Waktu Tuhan bertanya pada Adam, Adam menyalahkan Hawa, waktu Tuhan bertanya kepada Hawa, Hawa menyalahkan ular yaitu si setan sendiri. Jadi kita bisa melihat bahwa konsekuensi yang langsung dari dosa ialah enggannya atau tidak maunya orang bertanggung jawab, jadi itulah jawaban yang pertama kenapa sukar sekali bagi orang itu untuk memikul tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Yang kedua dari sisi emosional kenapa orang itu sukar sekali untuk bertanggung jawab sampai pada usia dewasanya, saya kira ini berkaitan dengan kebutuhan emosionalnya yaitu kebutuhan untuk menjadi benar. Dan yang kedua kebutuhan untuk dapat menikmati hidup, yang pertama adalah untuk menjadi benar, adakalanya dengan kita bertanggung jawab kita harus mengakui kesalahan kita atau hal-hal yang telah kita lakukan yang tidak disenangi oleh orang lain. Nah akibatnya kita merasa takut, kita tidak mau mengakui perbuatan tersebut sehingga kita mengelak dari tanggung jawab kita. Atau yang kedua tadi saya katakan kita ini adalah manusia yang ingin menikmati hidup dengan mudah dan gampang, jadi waktu kita harus melakukan tanggung jawab kita, kita merasakan ini adalah suatu beban bagi hidup kita dan menyukarkan hidup kita. Itu sebabnya adakalanya kita melarikan diri dari tanggung jawab supaya hidup kita lebih mudah, kira-kira begitu jawabannya Pak Gunawan.
GS : Jadi seperti perbincangan yang lalu Pak Paul katakan salah satu ciri dari orang yang bertanggung jawab adalah berani mengakui kesalahannya, dan itu yang terjadi pada Adam dan Hawa yang saling menyalahkan pihak lain. Tapi itu memang kecenderungannya, jadi kalau tadi Pak Paul katakan itu merupakan buah dari dosa, kita semua dilahirkan dalam kondisi berdosa, jadi punya kecenderungan untuk tidak bertanggung jawab.

PG : Saya setuju, jadi yang lebih natural bagi manusia adalah tidak bertanggung jawab dan melemparkan tanggung jawab pada orang lain. Tapi proses pertumbuhan menjadi seorang dewasa haruslah menikuti juga hukum tanggung jawab.

Sebab secara tubuh kalau dia bertambah dewasa, namun kalau secara emosional tidak bisa bertanggung jawab kita tidak akan panggil dia sebagai seorang yang dewasa. Pada masa kecil memang dia tidak lagi dituntut tanggung jawab karena orang tualah yang bertanggung jawab atas hidupnya untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhannya, namun semakin besar semakin dia mampu untuk menyediakan kebutuhannya nah dia juga dituntut untuk melakukan itu. Kalau dia tetap menuntut orang tuanya melakukan untuk dia berarti dia tidak mengalami pertumbuhan yang sehat. Jadi prinsipnya kebutuhan-kebutuhan si anak perlahan-lahan akan harus dibebankan kembali pada si anak itu. Pada masa kecil, orang tua yang dapat dikatakan mengambil tanggung jawab itu 100%. Dengan bertambah besarnya si anak prosentase tersebut atau porsi tersebut mulai dialihkan pada si anak, kebutuhan untuk membersihkan tubuhnya itu adalah awal dari segala tanggung jawab yang harus dipelajari oleh si anak, tanggung jawab untuk membereskan, merawat barang-barang miliknya itu adalah tanggung jawab yang kedua yang kita harus ajarkan kepada anak-anak. Nah dengan meningkatnya usia si anak kita juga akhirnya menyadarkan si anak kita juga harus melakukan tanggung jawab yang dituntut oleh orang lain. Misalnya di sini adalah sekolah, nah guru mendidik, menuntut dia untuk belajar dan melakukan pekerjaan rumahnya jadi anak-anak ini dituntut untuk melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain yang tidak berkaitan langsung dengan diri dia. Misalnya si orang tua meminta kepada si anak yang berusia 14 tahun untuk mengantarkan adiknya ke tempat tertentu, ke warung membeli barang dan sebagainya, tidak ada kepentingannya sama sekali tetapi demi menolong adiknya. Nah si anak akan harus belajar bertanggung jawab untuk orang lain, bukan saja untuk dirinya.
(2) GS : Jadi Pak Paul kita mau bicara tentang proses pertumbuhan pada diri si anak, katakan itu sudah ditanamkan, ditumbuhkan oleh orang tuanya sampai pada tingkat anak. Kemudian dia menginjak ke masa remaja, tanggung jawab apa yang bisa diberikan orang tua kepada anak remaja?

PG : Yang sudah pasti adalah yang pertama anak-anak ini sudah harus bisa bertanggung jawab atas sekolahnya, jadi ini adalah salah satu hal yang penting. PR tidak lagi harus diberitahukan, diingtkan, dia sudah harus melakukannya sendiri.

Selain dari tanggung jawab sekolah, anak-anak juga dilibatkan untuk bertanggung jawab bagi kebutuhannya. Misalkan dia hendak membeli barang, ada pekerjaan sekolah yang harus dia lakukan dan dia harus membeli barang-barang tersebut. Pada masa kecil kita yang membelikannya buat si anak, tapi setelah dia berusia remaja dan dia bisa pergi sendiri kita mulai berkata engkau yang beli, jadi bukan lagi orang tua yang harus kerepotan ke toko buku membelikan karton dan sebagainya. Kita akan meminta si anak untuk pergi membelinya sendiri, hal seperti itu misalkan pelajarannya mulai menurun dan dia harus mendapatkan pelajaran tambahan atau les, nah bukan kita yang bertanggung jawab mencari-cari guru les yang bisa mereka hubungi dan sebagainya. Hal ini penting untuk dilakukan kalau tidak, bahkan untuk pelajaran sekolah si anak remaja itu tidak memiliki tanggung jawab dan dia merasa ini bukanlah tanggung jawab saya. Mama Papalah yang seharusnya mencarikan guru les buat saya dan sebagainya, nah jadi hal yang saya kira pertama dan utama yang kita perlu tanamkan pada anak-anak remaja ialah tanggung jawab untuk kehidupan akademiknya atau kehidupan bersekolahnya.
(3) GS : Sering kali Pak Paul yang kami hadapi itu anak remaja kalau dimintai tolong, misalnya mengangkatkan bak mandi atau apa dia menolak, Pak Paul, nah itu sebenarnya bagian dari tidak bertanggung jawabnya dia atau apa itu Pak Paul?

PG : Saya kira setiap orang tidak mau disusahkan, nah bagi si anak remaja melakukan hal tersebut menyusahkan dirinya, jadi ada kecenderungan manusia itu akan mengelak dari hal-hal yang akan menusahkan atau merepotkan dirinya.

Nah satu hal yang bisa kita lakukan adalah waktu kita menyuruh dia misalkan mengisi air, nah pada awal-awalnya kita mengajarkan hal itu, kita lakukan bersama dengan dia, kita menuangkan air bersama-sama dengan dia. Hal kedua kalau misalnya kita sudah lakukan itu dan dia sekarang diminta untuk melakukannya sendiri kita jangan tinggalkan dia sendirian di kamar mandi. Pada awal-awal itu kita juga berada di sekitar kamar mandi dan sering-sering bertanya, bagaimana airnya sudah penuh belum, capek belum dan sebagainya. Jadi kita mengajak dia terlibat bukan meninggalkan dia sendirian di dalam pekerjaannya.
GS : Tapi masalahnya insidentil, Pak Paul, jadi suatu kegiatan di mana orang tuanya membutuhkan bantuan si anak ini yang sifatnya hanya untuk kali itu dan anak ini menolak karena dia bilang, saya mau pergi dengan teman saya dan sebagainya. Si ibu yang minta tolong pada anak remaja ini menjadi sakit hati, dia mengatakan bahwa kamu kalau minta tolong saya maksa, sekarang saya minta tolong kamu untuk hal sepele saja tidak mau.

PG : Salah satu penyebabnya Pak Gunawan, saya tidak katakan ini satu-satunya penyebab tapi salah satu penyebab kenapa kecenderungan anak remaja menolak permintaan orang tua adalah timing. Jadi adang-kadang yang membuat masalah bukan pekerjaannya tapi kapan pekerjaan itu harus dilakukan.

Nah anak-anak kecil lain dengan anak-anak remaja, anak-anak kecil belum mempunyai rencana jam ini mau berbuat apa dan sebagainya, kebanyakan anak-anak remaja sudah memiliki timing. Kebanyakan anak remaja sekarang bersekolah dari pagi sampai jam 3-an hingga jam 4-an. Kebanyakan dari mereka sekarang sejak dari usia remaja sudah dipaksa oleh sistem kehidupan ini untuk mengatur waktu atau untuk merencanakan waktunya, karena memang tidak lagi terlalu banyak. Jadi cukup banyak di antara mereka itu sewaktu pulang sekolah sudah memikirkan akan melakukan apa dan apa, nah sudah tentu yang mereka rencanakan bukan saja mengerjakan PR tapi ada hal-hal yang bersifat rekreasi, yang menyegarkan yang bersifat sosialisasi yang akan mereka lakukan pula. Nah adakalanya perintah orang tua diberikan di waktu atau di timing di mana anak remaja itu merencanakan sesuatu yang lain, nah sering kali hal itu menjadi gangguan buatnya. Sebab kita perhatikan kalau dia sedang tidak mempunyai kegiatan apa-apa atau rencana apa-apa dia mungkin akan lebih bersedia membantu orang tuanya. Tapi kalau misalnya dia ingin pergi, misalnya pergi masih setengah jam lagi atau masih ada waktu dia sudah uring-uringan. Sebab ketakutannya adalah tugas ini tidak bisa diselesaikan tepat pada waktunya sehingga dia harus pergi, nah dalam hal seperti itu kita sebagai orang tua bertanya apakah engkau ada waktu sekarang, kalau ada waktu bisakah tolong ibu atau tolong bapak. Misalkan dia bilang saya merencanakan untuk ini dan ini, kita mulai menghitung-hitung jumlah waktunya dan misalkan kita hitung masih ada waktuny, boleh tidak saya minta 10 menit saja, engkau 'kan masih ada 10 menit untuk mempersiapkan dirimu sebelum engkau pergi dan sebagainya, kalau dia bilang OK! 10 menit saja, nah itu yang kita minta. Jadi dengan kata lain kita memang harus sensitif dengan jadwal kehidupan si anak remaja itu.
GS : Atau kadang-kadang ini Pak Paul, dia mau menyelesaikan tugas yang kita berikan atau tanggung jawab yang kita minta darinya tapi menurut cara dia, nah itu bisa ditolerir atau tidak?

PG : Nah itu adalah hal yang umum dilakukan oleh remaja, yakni melakukan tugas secepat mungkin, akhirnya mutu pekerjaannya asal-asalan, dengan kata lain dia melakukan itu hanya tujuannya agar cpat selesai, bukan untuk dinilai baik atau berhasil.

Nah yang bisa kita lakukan adalah begini, misalkan ada beberapa hal yang dia harus lakukan, nah daripada meminta dia melakukan beberapa hal, kita minta dia hanya melakukan satu hal, tapi kita minta melakukannya dengan baik. Dan standar baiknya kita beritahu dia, misalkan membereskan kamar, kita meminta dia untuk merapikan kamarnya, tapi kita harus beritahu secara spesifik apa itu yang kita inginkan; misalnya kita mau mainan-mainan ini ditaruh pada suatu tempat di sini. Kita harus beritahu dia, nah kadang kala sebagai orang tua kita terbiasa berkata bereskan kamarmu, tapi kita tidak spesifik mengutarakan tuntutan kita atau apa yang kita inginkan. Nah adakalanya anak-anak langsung membereskan dalam pengertian dia kesampingkan semua barang-barangnya.
GS : Tapi biasanya ini ibu-ibu yang sudah membersihkan kamar anak itu tadi yang sudah remaja. Nah itu semacam contoh Pak Paul, kalau membersihkan kamar itu ya seperti ini tapi tidak spesifik memang yang tadi Pak Paul katakan mainannya dan sebagainya, tapi coba lihat ibu membersihkan kamarmu dan lain kali buat seperti ini. Tapi pola pikirnya si remaja ini lain lagi.

PG : Yang kita harus sadari Pak Gunawan, membentuk anak itu tidak hanya berlaku 1 bulan atau 1 tahun, jadi itu akan menuntut misalnya waktu selama 5, 6 tahun pada usia remajanya itu. Berarti teus-menerus harus kita katakan itu yang pertama yang harus kita sadari.

Yang kedua adalah meskipun kita berkata lakukanlah seperti yang ibu lakukan sekarang, keesokan harinya kecenderungannya akan ada 2, 3 hal yang tertinggal yang tidak dia lakukan. Nah daripada kita berkata kamarmu tetap tidak beres, berantakan dan sebagainya lebih baik si ibu masuk kamar dan berkata ini belum beres, ini harus di sini jadi kita tunjukkan satu persatu hal yang memang dia harus lakukan, keesokan harinya juga sama. Waktu masih ada yang kurang, kita hanya menunjuk yang kurangnya tapi tidak lagi melabelkan kamarmu tidak beres atau berantakan, jadi kita tunjukkan secara spesifik.
GS : Biasanya ibunya itu sudah tidak sabar lagi sudah langsung dibetulkan sendiri, sambil ngomel-ngomel pasti.

PG : Memang harus menyadari bahwa ini akan memakan waktu bertahun-tahun, contoh yang sederhana menaruh handuk digantungan handuk. Nah di rumah kami handuk itu memang harus ditaruh di gantungan anduk, anak-anak sudah diberitahu tidak tahu berapa puluh kali agar menaruh handuk yang benar.

Kecenderungannya Pak Gunawan sebelum saya sempat ngomong handuk itu sudah dilempar ke tempat handuk, yang harus saya lakukan adalah handuk ditaruh lebih rapi harus saya katakan terus-menerus seperti itu. Nah hasilnya apa, hasilnya pasti ada kemungkinan besar tidak bisa kita lihat sekarang, tapi waktu nanti dia tinggal sendiri atau dia nanti sudah menikah tanpa disadari bakat atau pengetahuan atau kecenderungan tersebut akan ada pada dirinya. Dia akan membereskan handuk dengan baik dan sewaktu istrinya atau suaminya menaruh handuk sembarangan dia akan bereaksi tiba-tiba tanpa disuruh dia akan bereaksi kenapa handukmu dilempar saja, jadi akan ada hasilnya.
GS : Cuma memang perlu diingatkan dan diingatkan terus ya Pak Paul?

PG : Betul sekali.

(4) GS : Nah sekarang kalau anak itu sudah meningkat lebih dewasa lagi, memasuki usia pemuda hal-hal apa yang akan diajarkan kepada pemuda itu?

PG : Satu hal yang kita perlu tanamkan adalah bertanggung jawab atas emosinya, nah ini adalah orang tua kadang kala tidak begitu perhatikan. Emosi sesuatu yang menjadi milik si anak tersebut mialnya emosi marahnya, emosi sedihnya, nah dia harus bertanggung jawab dalam pengertian dia harus melakukan sesuatu, dia tidak bisa dikuasai oleh emosi-emosi tersebut.

Kita memberikan izin kepadanya untuk sedih, untuk marah dan sebagainya tapi waktu dia sedih jangan sampai dia mengurung diri berjam-jam di kamar. Waktu dia marah dia tidak boleh membuang atau membanting barang seenaknya, jadi kita mulai mengajarkan tanggung jawab atas emosinya dan dampak emosinya pada orang lain, anak-anak remaja atau pemuda ini harus sadari. Bahwa waktu dia tidak mau bertemu temannya karena sedikit menjengkelkan dia, temannya akan marah dan temannya kemungkinan besar tidak mau untuk mengunjunginya. Dia harus menyadari dampak emosinya itu pada orang lain dan dia harus bertanggung jawab, sebab ada kecenderungan si anak yang sudah remaja atau dewasa awal ini akan menyalahkan temannya. Dia yang tidak mau ke rumah saya, dia yang berbeda sekarang, dia yang meninggalkan saya dan sebagainya. Nah orang tua yang jeli akan dapat menempatkan masalah dalam perspektif yang baik, orang tua bisa berkata lihat kenapa dia tidak mau begitu apa mungkin ada hal-hal yang tidak dia sukai tentang perbuatanmu. Nah anak-anak akan cenderung berkata apa, tidak ada yang saya lakukan yang tidak benar, dianya memang yang berubah, dianya memang yang sekarang tidak mau main lagi dengan saya dan sebagainya. Nah kita mau soroti mungkin ada yang engkau lakukan yang akhirnya melukai hati temanmu, jadi dia harus bertanggung jawab atas dirinya, atas dampak perbuatannya pada orang lain, atas dampak emosinya atau cetusan emosinya pada orang lain. Nah dengan cara itulah kita akan menyempurnakan pertumbuhan tanggung jawab pada dirinya, puncaknya adalah anak akhirnya juga akan dituntut bertanggung jawab untuk kehidupan rohaninya. Pada masa-masa kecil kita yang mengajarkan dia berdoa, mengajak dia ke gereja, mengajak dia untuk beribadah di rumah dan sebagainya, menyuruh dia membaca Alkitab, bersaat teduh itu semua hal-hal yang akan ditekankan oleh orang tua pada anak yang masih kecil. Namun setelah anak menginjak dewasa hal-hal seperti ini kita harus kembalikan pada si anak, tergantung padamu sekarang mau mempunyai hubungan yang dekat dengan Tuhan atau jauh, mau hidup di dalam Tuhan atau di luar Tuhan. Engkau tidak bisa lagi hidup bergantung kepada orang lain ini adalah antara engkau dan Tuhan. Jadi tanggung jawab terakhir yang harus kita sadari pada anak sebelum dia meninggalkan rumah kita adalah dia bertanggung jawab kepada Tuhan dan hubungan seperti apakah yang dia akan miliki dengan Tuhan benar-benar berada pada tanggung jawabnya, bukan tanggung jawab orang lain.
GS : Tapi itu semua dirintis sedini mungkin Pak Paul, juga bertanggung jawab dalam hal keuangan yang dia miliki?

PG : Betul, jadi salah satu hal dalam pertumbuhan tanggung jawab pada usia-usia dewasa awal adalah dalam hal keuangan Pak Gunawan. Yang kita mulai rintis sejak kecil, kita memberikan uang jajandan kita tanyakan untuk apa, apa yang dia belanjakan tadi, nah kita mulai mengajarkan dia apa yang berguna, apa yang tidak berguna dan sebagainya, sehingga dia mulai bisa memegang uang dan menggunakan uang itu dengan bijaksana.

GS : Mungkin juga bertanggung jawab di dalam merintis kariernya, Pak Paul?

PG : Betul, merintis kariernya dalam pengertian dia bertanggung jawab atas pilihan studinya juga, kebutuhan-kebutuhan dia harus bekerja, nah itu memang akhirnya akan kita dorong. Tapi sebetulny dari kecil kalau kita sudah menanamkan tanggung jawab itu dengan otomatis saya dapat katakan tanggung jawab untuk memilih pekerjaan dan sebagainya akan muncul pada dirinya.

Yang sering kali akhirnya tidak bergerak adalah anak-anak yang memang terlalu menerima semuanya karena disediakan oleh orang tua, sehingga jarang sekali untuk melatih diri bertanggung jawab.
GS : Juga dalam hubungan khususnya dengan pacar dan sebagainya itu 'kan menuntut tanggung jawab juga, dari seorang pemuda.

PG : Betul, nah ini berkaitan dengan tanggung jawab emosionalnya bahwa dia akan mempengaruhi kehidupan orang lain. Dan kebalikannya juga penting yaitu orang lain akan mempercayai dirinya karenadia bertanggung jawab.

Nah dengan kata lain kalau kita menanamkan tanggung jawab dengan benar pada masa-masa kecilnya dia menjadi orang yang bertanggung jawab dengan tugas dan pekerjaannya, dengan dirinya dan perbuatannya dan hasilnya dia akan nikmati sendiri. Yaitu akan ada respons dari orang-orang dari teman-teman disekitarnya, di mana mereka itu akan mempercayai dirinya, nah ini akan mendorong dia untuk makin bertanggung jawab, karena diberikan kepercayaan yang begitu besar oleh orang-orang lain.
GS : Nah di dalam proses pertumbuhan ini Pak Paul apa yang firman Tuhan itu katakan?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 12:9, "Lebih baik menjadi orang kecil tetapi bekerja untuk diri sendiri, daripada berlagak orang besar tapi kekurangan makan." Nah, firmanTuhan yang kita baca ini sebetulnya menekankan pertama seseorang itu harus bisa menerima keadaan dirinya apa adanya.

Janganlah sampai dia yang kecil mencoba-coba akan menjadi besar itu tidak akan pas dengan dirinya. Nah ini berkaitan langsung dengan tanggung jawab Pak Gunawan, karena orang ini menjadi orang yang memang mengerti porsi dirinya dan dia bertanggung jawab atas porsi dirinya yang memang segitu. Jangan sampai dia menganggap dirinya begitu besar sehingga akhirnya dia juga tidak bisa melaksanakan tanggung jawabnya dengan betul. Yang kedua adalah Alkitab mengatakan penting sekali bekerja untuk diri sendiri, di sini artinya Alkitab mendorong kita untuk memenuhi kebutuhan diri kita dan jangan melemparkan tanggung jawab itu kepada orang lain. Nah ini bukan saja bagi saya, bukan saja untuk hal-hal yang bersifat fisik tapi untuk segala hal. Kita mau menjadi orang yang dikasihi orang, mengasihi orang kita harus baik kepada orang, kita harus ramah pada orang, kita mau diterima oleh orang lain, dan sebagainya. Jadi sekali lagi kalau kita mau mendapatkannya kita harus bekerja untuk itu, tidak mendapatkan dengan cuma-cuma, ini yang perlu kita tekankan pada anak-anak dan ini yang Tuhan ajarkan pada kita pula.
(5) GS : Nah di dalam rangka menjadi dirinya sendiri dan berusaha melakukan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, ada kemungkinan seseorang itu gagal melakukan tanggung jawabnya Pak Paul, apalagi kalau dia sudah memasuki masa pemuda, dewasa dini, nah itu sebenarnya bagaimana sikap orang tua dan sikap dia sendiri sebenarnya menghadapi kegagalan itu?

PG : Ada 3 prinsip Pak Gunawan, yang dapat kita tekankan pertama adalah berikan penghargaan untuk keberhasilannya. Jadi sewaktu anak berhasil melakukan sesuatu ya, tanggung jawab yang kita embakan kepadanya, berikan dia penghargaan, ucapkan pujian kita, jangan ragu-ragu memujinya.

Kalau dia gagal beri dorongan jangan kita malahan menghinanya, melecehkannya. Justru untuk kegagalan yang telah diusahakan beri dia dorongan, jangan sampai dia kecil hati, lain kali coba lagi. Namun beri sanksi untuk kelalaiannya untuk hal-hal yang dia seharusnya lakukan tapi dia sengaja melalaikan tanggung jawab itu kita harus berikan sanksi, alias kalau perlu berikan hukuman, jadi berikan ketiga hal ini.
GS : Juga kalau dia sudah dewasa Pak Paul, sudah pemuda harus ada sanksi?

PG : Sama, sanksi itu mungkin datang dari kita atau datang langsung dari lingkungannya. Waktu dia bertindak semau-maunya kepada si pacarnya, pacarnya akan meninggalkan dirinya, nah kita katakanini adalah sanksi yang harus engkau tanggung, karena engkau melalaikan dia, cinta harus dipupuk berdua, tidak sendirian seperti itu.

GS : Jadi memang tanggung jawab itu rupanya tumbuh dalam bentuk suatu proses yang harus diawali sejak dini Pak Paul. Tapi apakah ada kemungkinan seseorang itu setelah dewasa menjadi orang yang tidak bertanggung jawab?

PG : Segala kemungkinan ada tapi saya kira kecil, sebab dia tidak akan merasa nyaman dengan dirinya yang tidak bertanggung jawab.

GS : Karena sudah terbiasa sejak kecil sudah bertanggung jawab.

PG : Betul.

GS : Nah para pendengar yang kami kasihi demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan ke hadapan Anda tentang "Proses Pertumbuhan Tanggung Jawab." Dan pembicaraan ini kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.

PERTANYAAN KASET T 54 B

  1. Apakah yang menyebabkan tanggung jawab seseorang dinilai rendah...?
  2. Tanggung jawab apakah yang dapat diberikan orang tua kepada anak remaja...?
  3. Apakah yang menyebabkan kecenderungan anak remaja menolak kalau dimintai tolong...?
  4. Tanggung jawab apakah yang dapat diberikan orang tua kepada anak yang memasuki usia pemuda....?
  5. Bagaimana sikap orang tua maupun anak menghadapi kegagalan dalam rangka melaksanakan tanggung jawab...?


16. Anak dan Uang


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T062A (File MP3 T062A)


Abstrak:

Sejak kecil anak memang perlu dikenalkan tentang uang, karena ini akan melatih anak di dalam menggunakan uang dengan cara yang baik. Mengenai cara dan bagaimana seharusnya kita sebagai orangtua memperkenalkannya, materi ini yang akan menjelaskannya.


Ringkasan:

Sesungguhnya kita perlu mengajarkan anak tentang uang sejak masih kecil. Pada prinsipnya sewaktu anak mulai mengerti barang-barang dan mengerti bahwa untuk memperoleh barang-barang tersebut diperlukan uang. Biasanya ini terjadi pada anak-anak sekitar usia 5, 6 tahun yaitu tatkala mereka mulai bersekolah, mulai melihat apa yang dimiliki oleh teman-teman mereka. Ada perbedaan konsep yang mendasar tentang hal uang, bagi anak-anak yang kecil yang berusia di antara 0-4,5 tahun hingga usia sekitar 10, 11 tahun dengan anak-anak remaja yang berusia di antara 12 hingga 16, 18 tahun. Bagi anak-anak kecil makna uang ialah sebagai sarana untuk mendapatkan keinginannya.

Sedangkan bagi anak-anak remaja uang itu mempunyai dimensi yang berbeda, uang menjadi lambang atau status sosial ekonomi mereka. Uang bukan sekadar untuk memperoleh yang mereka inginkan, tapi adanya uang lebih mewakili keadaan mereka dalam tatanan masyarakat. Kalau anak sudah beranjak remaja, uang menjadi suatu simbol status sosial dan ekonomi. Anak-anak pasti akan merasa lebih bisa diterima oleh lingkup sosialnya kalau dia memang mempunyai uang seperti yang dimiliki oleh teman-temannya.

Memberikan uang saku pada anak, yang sering dilakukan banyak orangtua sebenarnya berdampak positif. Dengan memberikan uang saku atau uang jajan, kita sebetulnya berkesempatan melatih anak menggunakan uang dengan baik. Namun perlu diperhatikan beberapa prinsip berikut ini:

  1. Kita tidak semestinya memberikan uang yang berlebihan.

  2. Kita perlu fleksibel, misalnya dalam hal anak mau membeli mainan.

  3. Kita bisa mulai menanamkan konsep menabung pada si anak pada usia kecil.

Anak juga perlu mulai diberi tanggung jawab untuk memegang uang pada saat dia bersekolah dan mulai bisa membeli barang. Misalnya pada usia 6 tahun saya kira sudah mulai bisa asal kita tahu uang itu akan digunakan untuk membeli barang apa, bisa kita langsung berikan kepada anak. Anak juga bisa diajarkan menyisihkan uang saku untuk persembahan mungkin pada usia-usia yang sedikit lebih besar. Misalnya sekitar usia 8, 9 tahun.

Ada pula anak yang tidak bisa menghargai uang sehingga terlalu boros, atau kita temukan juga anak-anak yang kikir. Ini merupakan salah satu akibat konsep pemahaman yang keliru tentang uang. Kadangkala kekikiran bisa muncul dari berbagai keadaan:

  1. Misalkan seseorang yang hidup dalam keluarga yang pas-pasan, dia tahu uang itu sangat susah. Dia bisa menjadi orang yang sangat hemat dengan uangnya, dia susah sekali mengeluarkan uang karena dia harus selalu bersiap-siap, itu adalah akibat dari keadaan.

  2. Bisa juga anak kikir karena waktu dia ingin membelikan sesuatu, orangtua selalu melarang. Dia akan mulai menyisihkan uang atau menyimpannya guna mendapatkan barang yang dia inginkan. Dari kecil akhirnya tanpa disadari kita mendidik dia menjadi orang yang terlalu menggenggam uang dan tidak rela memberikan uangnya kepada yang lain.

  3. Kurang diberi kesempatan untuk menyalurkan uangnya kepada orang yang membutuhkan. Anak-anak sebetulnya perlu diajar untuk menolong atau memberikan uang kepada orang lain.

I Tesalonika 4:11 "Anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan,..." Maksudnya kita menggunakan tenaga dan kemampuan kita, dan di pasal 5 : 14 dia berkata: "Kami juga menasihati kamu saudara-saudara tegorlah mereka yang hidup dengan tidak tertib...."

Tidak tertib berarti memang sembarangan, tidak ada disiplin sama sekali, Tuhan menghendaki orang bekerja dengan tangannya sendiri, tidak bergantung pada orang-orang lain. Ini yang perlu kita tanamkan pada anak-anak kita dalam hal penggunaan uang. Waktu mereka bijaksana mereka bisa menabung, mereka bisa membeli yang mereka inginkan dan tidak usah bergantung pada orang lain, dalam hal ini orangtuanya untuk menyediakan uang itu bagi mereka.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang anak dan uang. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Untuk kita orang dewasa, memang uang menjadi bagian di dalam kehidupan kita. Tetapi pada kesempatan ini, kami akan memperbincangkan bagaimana pengaruh uang atau segi-segi hubungannya antara anak dengan uang, bagaimana itu Pak Paul?

PG : Begini Pak Gunawan, saya memang merasa topik ini harus kita bicarakan karena kita tahu bahwa pada zaman ini keberadaan benda atau barang itu benar-benar melimpah ruah. Jadi tidak pernahgenerasi manusia ini diperhadapkan dengan begitu banyak pilihan dan semua pilihan itu akan menambah kenikmatan hidup, kesenangan hidup.

Dan terutama yang kita sadari yaitu cukup banyak dari barang-barang pilihan yang sekarang dijual, sebetulnya dijual untuk anak-anak, dengan kata lain pangsa penjualan memang ditargetkan pada anak-anak sebagai konsumennya. Oleh karena itulah kita sebagai orang tua perlu memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan uang, agar kita bisa mempersiapkan anak kita untuk memakai uang dan menghargai uang dengan baik. Kalau tidak, memang ada bahaya yang bisa mengancam mereka, penghargaan mereka tentang uang akan sangat keliru dan mereka akhirnya bisa menjadi orang yang tidak dapat menghargai uang.
(2) GS : Konsep pengertian anak terhadap uang itu sebaiknya diajarkan mulai kapan, Pak Paul?

PG : Sesungguhnya kita perlu mengajarkan mereka tentang uang sejak masih kecil. Prinsipnya sewaktu mereka mulai mengerti barang-barang dan mengerti bahwa untuk memperoleh barang-barang terseut diperlukan uang.

Biasanya ini terjadi pada anak-anak sekitar usia 5, 6 tahun yaitu tatkala mereka mulai bersekolah, mulai melihat apa yang dimiliki oleh teman-teman mereka. Jadi memang ada perbedaan konsep yang mendasar tentang hal uang, bagi anak-anak yang kecil; yang saya maksud dengan yang kecil adalah mereka yang berusia di antara 0-4,5 tahun hingga usia sekitar 10, 11 tahun. Dan anak-anak remaja yang berusia di antara 12 hingga 16, 18 tahun. Jadi bagi para anak kecil, makna uang bagi mereka ialah sebagai sarana untuk mendapatkan keinginannya. Sedangkan pada anak-anak remaja uang itu mempunyai dimensi yang berbeda, uang menjadi lambang atau status sosial ekonomi mereka. Jadi bukan sekadar memperoleh yang mereka inginkan, tapi adanya uang lebih mewakili keadaan mereka dalam tatanan masyarakat.
GS : Kalau anak kecil dulu Pak Paul, yang tadi Pak Paul katakan uang sebagai suatu sarana untuk memperoleh keinginannya. Dalam hal banyak hal sebenarnya kebutuhan anak kecil itu dicukupi orang tuanya, Pak Paul?

PG : Betul, biasanya mereka mulai menunjukkan keinginannya tatkala mereka misalnya pergi bersama orang tua ke toko atau ke pasar atau ke mal atau tatkala mereka ke sekolah. Di situ mereka muai menyadari ada benda-benda yang mereka belum pikirkan sebelumnya, tapi menarik hati dan mereka ingin memilikinya.

Yang tentu juga berpengaruh besar adalah acara atau tayangan-tayangan di televisi. Ada anak-anak di televisi yang memakai atribut-atribut tertentu, baju tertentu, belum lagi iklan-iklan dii televisi yang juga menawarkan barang pada para konsumen kecil ini.
IR : Bagaimana sikap orang tua menghadapi anak yang selalu menuntut seperti itu?

PG : Sudah merupakan kodrat anak untuk meminta. Jadi waktu mereka mulai melihat apa yang mereka sukai, mereka akan menuntut orang tua untuk mendapatkannya. Biasanya alasan dari orang tua, haganya mahal atau memang belum punya uang.

Dari jawaban-jawaban seperti itu, anak mulai mengembangkan pengertian bahwa untuk mendapatkan barang tersebut diperlukan uang. Di situlah anak mulai mendapatkan pemahaman tentang uang dan artinya bagi mereka, mereka belum mempunyai pemahaman yang lebih kompleks, bagi mereka uang adalah sarana untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Nah, waktu orang tua berkata kami tidak punya uang, mereka sebetulnya belum begitu mengerti kenapa uang itu tidak dimiliki oleh orangtuanya. Oleh sebab itulah anak-anak sering menuntut terus, karena mereka pada usia-usia misalnya di bawah 8 tahun, pada umumnya mereka belum mengerti konsep bahwa orang itu harus bekerja sampai jam-jam tertentu baru bisa memperoleh uang. Mereka hanya berpikir uang itu seharusnya memang harus ada di situ. Saya masih ingat cerita lucu waktu kami melewati suatu Bank, anak saya berkata nanti saya kalau sudah besar saya akan bekerja di Bank, saya tanya kenapa? Sebab di sana banyak uangnya. Jadi dia beranggapan dengan bekerja di Bank dia mempunyai akses terhadap uang-uang tersebut, itulah konsep anak-anak tentang uang. Mereka tidak mengerti bahwa orang tidak semuanya bisa mendapatkan jumlah uang yang sama dan sebagainya, uang hanyalah sarana. Itu sebabnya orang tua kadang-kadang merasa kewalahan mendengarkan tuntutan anak yang meminta untuk membelikan sesuatu bagi mereka dan tidak bisa diberikan pengertian bahwa uang ini tidak kami miliki sekarang. Nanti setelah akhir bulan atau setelah awal bulan baru kita akan mempunyai uang itu.
GS : Konsep untuk mengajarkan pada anak bahwa akhir bulan baru ada uang dan sebagainya, apa itu tidak terlalu sulit bagi mereka untuk bisa memahaminya?

PG : Saya kira ya, jadi adakalanya memang orang tua menggunakan alasan tanpa berpikir panjang, bahwa alasannya tidak bisa dimengerti oleh anak. Nah, jadi apa yang bisa dijawab oleh orang tuakalau memang kita mau mengajarkan pada anak untuk menunda dia memiliki barang itu.

Saya kira yang paling mudah adalah menggunakan hal-hal yang bisa dia mengerti misalnya, kamu baru membeli mainan dan mainan itu masih bagus, kamu harus memakainya lebih lama, nanti kalau sudah lebih lama ayah atau ibu akan belikan mainan yang baru. Nah, anak mulai mengerti konsep bahwa untuk mendapatkan barang yang baru saya memang harus berada pada posisi tidak lagi mempunyai barang, atau tidak lagi mempunyai barang yang relatif baru. Ini suatu pelajaran bagi si anak yang lebih mudah diterima olehnya dibanding kalau kita menjelaskan tentang uang dalam hal ayahmu bekerja susah payah, kalau kamu menghabiskan uang ini sayang dan sebagainya, karena anak memang belum mampu untuk memahaminya.
(3) GS : Memberikan uang saku pada anak, yang sering dilakukan oleh banyak orang tua dan mungkin juga kita melakukannya, sebenarnya berdampak positif atau negatif, Pak Paul?

PG : Berdampak positif Pak Gunawan, jadi dalam hal uang saku yaitu pemberian uang jajan sebetulnya kita berkesempatan melatih anak menggunakan uang dengan baik. Nomor satu yang harus kita piirkan adalah untuk anak-anak yang kecil, kita tidak semestinya memberikan uang yang berlebihan.

Jadi misalkan kita ke sekolah bersama anak kemudian pada masa istirahat kita keluar bersama dengan dia, juga untuk melihat hal-hal apa yang bisa dibeli dan ingin dibelinya. Misalnya dia ingin membeli nasi bungkus, bakmi, atau bihun dalam bungkusan misalnya beserta minumannya, misalkan kita sudah tahu harganya sekitar Rp. 1000,00 dan kita tanya anak kita "Engkau mau itu ya?" Kita harus memberikan uang dengan jumlah yang tepat, jangan harga mie dan minuman misalnya Rp. 1000,00 kemudian kita berikan dia Rp. 3000,00. Biasanya anak-anak kecil belum bisa menggunakan uang dengan bijaksana, dalam hal kelebihannya itu. Dia hanya baru bisa menggunakan uang dengan jumlah yang tepat untuk membeli barang yang memang dia inginkan. Dalam hal ini kita perlu fleksibel, saya tahu ada orang tua yang misalnya mendengar anak-anaknya berkata : "Ma, besok saya mau membeli mainan yang kecil-kecil yang biasa dijual di depan sekolah", mamanya berkata misalnya tidak, jangan. Nah apa yang dia akan perbuat, dia tahu uang Rp. 1000,00 itu akan tetap diberikan oleh orang tuanya, keesokan harinya dia akan korbankan makan siang untuk membeli mainan itu. Daripada anak melakukan hal itu, saya lebih setuju bila kita berdialog dengan anak, mainan apa itu, harganya berapa, Rp. 500,00, sekali-sekali tidak apa-apa, berikan uang yang lebih Rp. 500,00 untuk dia membelanjakan barang tersebut. Kita tahu di sekolah memang banyak sekali barang-barang kecil yang dijual, sekali-sekali ya tidak apa-apa misalnya ada yang bertanya sekali-sekali berapa seringnya ya misalnya sebulan sekali dia mau beli barang-barang kecil seperti itu silakan atau mungkin lebih sering sedikit misalnya 3 minggu sekali, saya juga akan ijinkan, daripada si anak mulai bertindak tidak jujur. Jadi kita mau melatih juga anak ini untuk bersikap terbuka, jujur dengan kita. Nah sekali lagi prinsipnya pada anak-anak kecil berikan uang pas untuk keperluan apa yang dia ingin belikan hari lepas hari waktu di sekolah. Itu jauh lebih baik daripada memberikan uang yang berlebihan pada anak-anak kecil, sebab apa, dampak buruknya anak-anak kecil ini bisa mudah sekali menjadi 'sinterklaas' di antara teman-temannya. Mau beli ini silakan, saya belikan, kalau anak masih umur 6, 7 tahun sudah jadi 'sinterklaas' sebetulnya kita sudah mendidik dia bukannya bermurah hati, tapi tidak menghargai uang sama sekali. Dan menganggap uang itu sebagai sesuatu yang seharusnya dia peroleh, untuk mendapatkan persahabatan dengan teman dia bisa menggunakan uang, jadi orang tua memang harus berhati-hati di sini.
GS : Kadang-kadang kita sudah memberikan uang pas pada hari-hari tertentu diberikan tiap-tiap hari. Pada suatu saat pulang pagi, sehingga uang yang sebenarnya untuk beli makanan dan sebagainya itu tidak digunakan. Apakah dalam hal ini orang tua perlu menarik kembali uang itu atau diberikan kepada anak itu, katakan sebagai hadiah?

PG : Saya kira dalam hal ini sekurang-kurangnya ada dua saran yang bisa saya berikan. Yang pertama kita bertanya kepada anak itu, uang ini adalah uangmu dan sekarang tidak engkau gunakan, ma engkau simpan sendiri atau engkau mau Mama yang simpankan? Jadi dengan kata lain kita bisa mulai menanamkan konsep menabung pada si anak bahkan pada usia kecil seperti itu.

Nah, misalkan dia berkata mama pegang saja, OK Mama pegang. Nanti waktu dia mau membeli sesuatu kita bisa mengatakan uang tabungannya sudah berjumlah segini harganya itu misalnya segitu, tinggal beberapa ribu lagi bagaimana tunggu beberapa hari lagi, engkau menabung lagi, nanti Mama belikan. Atau kita bisa berkata waktu mau belikan sesuatu ini harganya Rp. 10.000,00, kamu punya tabungan di Mama Rp. 5.000,00, Mama akan tambahkan Rp. 5.000,00 sehingga engkau bisa membeli ini Rp. 10.000,00. Tapi Rp. 5.000,00 dari uang tabunganmu. Nah sekali lagi ini adalah menabung yang kita mulai tanamkan pada anak-anak bahkan pada usia yang cukup dini, sehingga dia mulai mengerti kalau ternyata ada gunanya menabung uang seperti ini.
(4) IR : Kalau anak-anak, mulai umur berapa harus diberi tanggung jawab untuk memegang uang itu?

PG : Saya sarankan anak mulai bersekolah dan dia mulai bisa membeli barang, misalnya pada usia 6 tahun saya kira sudah mulai bisa dan kita mengetahui uang itu akan digunakan untuk membeli baang apa, bisa kita langsung berikan kepada anak.

IR : Kita perlu mengecek atau tidak, Pak Paul?

PG : Sebaiknya setiap hari kita cek dan kalau kita tahu dia sudah membelinya ya tidak apa-apa. tapi memang perlu pertanggungjawaban, jadi kita tanyakan.

IR : Dan juga diajarkan menyisihkan untuk persembahan, ya Pak Paul?

PG : Ya, kalau persembahan itu mungkin pada usia-usia yang sedikit lebih besar misalnya sekitar usia 8 tahun, 9 tahun sebab pada usia seperti itulah anak baru mulai lebih mengerti apa artiny memberikan persembahan.

Awal-awalnya kita pasti akan berikan dia uang persembahan, tapi pada usia sekitar saya kira 9 tahun anak baru mulai bisa mengerti apa artinya memberikan persembahan dari uangnya sendiri.
(5) GS : Sebaliknya dari anak yang tidak bisa menghargai uang, terlalu boros begitu Pak Paul, kita temukan juga anak-anak yang kikir jadi juga salah satu segi yang keliru, konsep pemahaman yang keliru tentang uang. Sebenarnya hal-hal apa yang menimbulkan anak-anak mempunyai konsep menjadi orang kikir?

PG : Kadangkala memang kekikiran bisa muncul dari berbagai keadaan Pak Gunawan, misalkan seseorang yang hidup dalam keluarga yang sangat pas-pasan. Jadi dia tahu uang itu sangat susah dicari orang tuanya hanya bisa memberikan uang yang sangat sedikit dan dia mulai mengerti bahwa inilah keadaan orang tuanya.

Dia bisa menjadi orang yang sangat hemat dengan uangnya, dia susah sekali mengeluarkan uang karena dia harus selalu bersiap-siap, itu adalah akibat dari keadaannya. Bisa juga anak kikir karena waktu dia ingin membelikan sesuatu, orang tua selalu melarang dan karena orang tua selalu melarang, seperti yang tadi saya katakan, dia akan mulai menyisihkan uang untuk mendapatkan barang yang dia inginkan. Adakalanya sikap-sikap ini mulai terbentuk dari kecil, sehingga waktu dia diberi uang tidak dia gunakan untuk membeli barang yang dia sukai, sehingga dari kecil akhirnya tanpa disadari kita mendidik dia menjadi orang yang terlalu menggenggam uang dan tidak rela memberikan uangnya kepada yang lain. Misalkan yang lain lagi, anak-anak sebetulnya perlu diajar untuk menolong atau memberikan uang kepada orang lain, jadi adakalanya misalkan kita tahu di sekolahnya ada temannya yang kurang, kita yang memunculkan ide misalnya berkata, temanmu kasihan tidak punya uang untuk membeli makanan, bagaimana kalau engkau belikan dia makanan, Mama tambahkan uang untuknya. Dengan cara itu si anak mulai mengerti artinya memberikan uang kepada orang lain, sehingga dia tidak lagi hanya memikirkan dirinya sendiri. Jadi memang ada banyak penyebab ya Pak Gunawan, kenapa anak-anak bisa menjadi kikir.
IR : Tapi juga mungkin contoh dari orang tuanya, Pak Paul? Kalau misalnya kita suka memberi fakir miskin, itu akan memberi contoh bagi anak-anak kita.

PG : Betul Bu Ida, jadi anak-anak yang cukup sering melihat orang tuanya menolong orang lain, akan mencontoh perbuatan tersebut. Tapi anak-anak yang melihat orang tuanya misalkan tidak perna memberikan sedekah pada orang miskin, selalu bersikap negatif kepada para peminta uang dan sebagainya, mungkin sekali akan mengembangkan sikap yang sama.

IR : Sekarang misalnya kalau orang tuanya cukup mampu, ya Pak Paul, dan rasanya bisa memberikan apa yang diinginkan anak itu, bagaimana caranya menolak karena tidak baik kalau dia itu selalu meminta?

PG : Saya kira memang dilema pada banyak kasus sekarang ini ya, kita sebetulnya mempunyai uang jadi kalau memberikan alasan tidak punya uang ya tidak tepat juga. Kita punya uang tapi kita mrasa tidak tepat memberikan atau menuruti kehendak anak kita.

Saya kira orang tua tidak perlu merasa bersalah, orang tua perlu merasa nyaman dengan konsep dia perlu mendidik anak memakai uang. Jadi misalkan sekali lagi yang tadi saya contohkan tentang engkau sudah punya barang itu dan itu masih bagus kenapa harus membeli yang baru, itu konsep yang perlu ditanamkan pada anak. Atau yang sekarang sedang trend yaitu membeli mainan atau permainan komputer atau VCD, playstation dan sebagainya. Memang satu mainan itu tidak terlalu mahal ada yang Rp.7.000,00, ada yang Rp. 6.000,00; anak-anak bisa berkata itu tidak mahal hanya Rp. 6.000,00. Nah saya tahu ada anak-anak yang kalau diijinkan sampai membeli belasan, puluhan, saya kira itu tidak bijaksana. Jadi kita tanamkan kepada anak, seminggu engkau hanya boleh misalnya memakai satu itu maksimal, kalau dia cepat sekali mainnya dia bisa temukan jalan-jalan keluarnya memang satu dua hari dia bisa temukan ya sudah barang itu menjadi barang yang terlalu umum buat dia. Tapi menuruti keinginannya langsung memberikan yang baru akan mendidik anak kita tidak bisa berdisiplin diri, ini kebiasaan yang buruk buat anak. Jadi sebaiknya kalau permainan seperti VCD games, saya menganjurkan jangan sampai setiap minggu, kalau bisa misalkan 2, 3 minggu sekali baru belikan satu. Anak-anak tahu bahwa jadwal pembelian dia hanyalah misalnya 3 minggu sekali, sehingga lain kali dia meminta kita akan berkata belum 3 minggu, tunggu. Seolah-olah memang kasihan ya anak-anak disuruh menunggu 3 minggu, tapi tidak apa-apa itu hal yang baik yaitu melatih anak bisa menguasai diri. Salah satu ciri anak-anak yang menggunakan narkoba, obat-obat terlarang adalah kurangnya kemampuan menguasai diri. Maka di antara mereka cukup banyak yang berasal dari keluarga yang mampu, orang tua yang berada. Namun orang tua yang tidak punya waktu melatih anak menguasai keinginannya atau hasratnya, sehingga yang diinginkan selalu dia peroleh akhirnya masuk terjerumus ke dalam obat. Tadi saya tekankan salah satu karakteristik anak-anak yang memakai narkoba biasanya adalah anak-anak yang tidak pernah dilatih untuk menguasai hasratnya, itu sebabnya penting menguasai hasrat anak seperti ini.
GS : Kalau anak sudah beranjak ke remaja, tadi Pak Paul katakan, uang menjadi suatu status sosial, simbol suatu status sosial dan ekonomi, itu maknanya apa, Pak Paul?

PG : Anak-anak memang tidak bisa tidak akan merasa lebih bisa diterima oleh lingkup sosialnya kalau dia memang mempunyai uang seperti yang dimiliki oleh teman-temannya. Jadi saya juga tidak kan membutakan mata ya, ini kenyataan di lapangan yaitu anak-anak dari keluarga yang kurang mampu, mereka merasa sangat tertekan.

Karena tidak punya uang, dan tidak punya uang berarti sama dengan hinaan, tidak dianggap, nah itu memang bagian dari kehidupan yang nyata, yang adil tapi harus dihadapi oleh anak itu. Bagi anak remaja sekarang uang menjadi hal yang sangat penting, belanja ke Mc Donald harus punya uang, misalnya mau nonton harus punya uang, jadi semua itu mempunyai tuntutan uang. Yang paling penting adalah anak remaja ini dari kecil sudah kita latih dia tahu memakai uang dengan baik. Perlahan-lahan waktu dia menginjak usia 12 tahun ijinkan untuk memakai atau mempunyai uang sedikit lebih, sebab kita mau tahu apa yang dia gunakan dengan uang itu. Nah kita bisa anjurkan bagaimana engkau simpan, saya akan memberikan engkau Rp. 1.500,00, untuk makan dan minum hanya Rp. 1.000,00 bagaimana Rp. 500,00 nya engkau simpan, anjurkan itu supaya dia tidak memakai uang itu terus-menerus. Kalau dia pakai beli mainan lagi maka uangnya bisa habis. Tapi misalkan dia mulai bisa memakai uang, yang lebihnya sebaiknya dia simpan. Kita bisa mulai membimbing dia untuk menabungkan uang sisanya itu, agar dia nanti dapat menggunakan untuk membeli yang lebih bagus, yang memang dia sungguh-sungguh inginkan. Dan jangan terlalu setiap hari kita tanyakan uang itu untuk apa, jadi perlahan-lahan berikan uang lebih, sebab kita mau mencari tahu apakah dia mampu menggunakan uang itu. Dan kalau kita tahu dia mampu menggunakan uang, dia membelikan uang itu misalnya untuk membeli alat-alat tulis dan sebagainya. Kita percaya, kita berikan tanggapan yang positif, kita katakan engkau sudah mengerti memakai uang, saya senang sekali. Perlahan-lahan uang yang kita berikan boleh kita berikan lebih banyak, sehingga dia lebih mengetahui bagaimana memakai uang yang berjumlah cukup banyak dan tidak terlalu tergesa-gesa atau sembarangan dalam pemakaiannya.
GS : Kalau kita punya 2 anak atau 3 bahkan, apakah mereka itu harus diberikan uang saku yang sama?

PG : Saya menyarankan ya, jadi sebaiknya kita memberikan uang saku yang sama pada usia-usia yang memang sudah hampir sama ya. Kalau usianya sangat berbeda otomatis akan berbeda juga, tapi kaau usianya berdekatan sebaiknya sama.

GS : Kalau tadi Pak Paul katakan lingkup sosial dan lingkup ekonomi anak itu tergantung teman-temannya, katakanlah seorang dari keluarga yang kurang mampu, lalu berada di tengah-tengah suatu lingkungan yang mampu, tadi Pak Paul katakan anak itu bisa merasa tertekan dan sebagainya. Sebenarnya bagaimana orang tua berusaha mencarikan tempat pendidikan yang baik, padahal di tempat yang baik itu biasanya status sosialnya tinggi?

PG : Saya kira orang tua perlu mengawasi siapa teman anak-anak kita dan kalau kita melihat memang mereka itu atau teman-teman anak-anak kita itu berstatus sosial jauh berbeda dari kita, jauhdi atas kita, sebaiknya kita memberikan arahan kepada anak-anak untuk jangan bergaul dengan mereka.

Kalau memang pergaulan itu sehat, teman-temannya juga orang yang hemat, tidak sembarangan dengan uang ya tidak apa-apa. Tapi misalkan kita lihat mereka adalah orang-orang yang memakai uangnya dengan begitu boros karena memang diberi uang yang begitu banyak oleh orang tuanya, saya kira kita harus batasi anak kita. Dan kita harus jelaskan bahwa ini tidak sehat, sebab anak-anak kita cenderung menjadi penurut semua yang diminta oleh teman-temannya karena dia perlu supaya dia bisa masuk ke dalam kelompok teman-temannya yang beruang itu. Nah dia akan kehilangan dirinya dan dia tidak merasa cocok, itu yang harus kita tekankan pada anak-anak kita.
GS : Jadi memang banyak hal yang harus kita cermati sehubungan dengan anak dan uang ini, tapi apa yang Alkitab katakan, Pak Paul?

PG : Menarik sekali Pak Gunawan, Paulus di I Tesalonika 4 memberikan kita nasihat tentang bekerja dengan tangan, dia berkata (ayat 11) anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, ntuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan.

Maksudnya kita menggunakan tenaga dan kemampuan kita, dan dia ulang lagi di (pasal 5) dia berkata : kami juga menasihati kamu di ayat 14 saudara-saudara tegurlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, tidak tertib berarti memang sembarangan. Tidak ada disiplin sama sekali, jadi memang Tuhan menghendaki orang bekerja dengan tangannya sendiri, tidak bergantung pada orang-orang lain. Ini yang perlu kita tanamkan pada anak-anak kita dalam hal penggunaan uang. Waktu mereka bijaksana, mereka bisa menabung, mereka bisa membeli yang mereka inginkan dan tidak perlu bergantung pada orang lain.
GS : Jadi ada tanggung jawab yang besar bagi orang tua untuk menanamkan konsep yang benar kepada anak-anak mereka tentang uang itu.

Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang anak dan uang. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



17. Anak dan Tanggung Jawab


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T062B (File MP3 T062B)


Abstrak:

Tanggung jawab sebenarnya lebih dari sekadar tugas, tanggung jawab diawali dan muncul dari kepercayaan. Yang perlu ditanamkan pada anak-anak yang terutama adalah kepercayaan. Dan rasa percaya sebetulnya adalah langkah pertama menanamkan tanggung jawab pada anak.


Ringkasan:

Orang tua harus memperhatikan anak, kadang kala mereka mempunyai konsep yang keliru tentang tanggung jawab karena cenderung mengaitkan tanggung jawab itu dengan tugas. Jadi orang yang melaksanakan tugas adalah orang yang bertanggung jawab. Dengan kata lain akhirnya kita menekankan pada pemberian tugas sebagai wujud dari tanggung jawab pada anak kita.

Tanggung jawab itu lebih dari sekadar tugas, bahkan yang saya mau tekankan tanggung jawab sebetulnya harus diawali dan muncul dari kepercayaan. Kita mempercayakan anak untuk melakukan sesuatu, rasa percaya ini sebetulnya adalah langkah pertama menanamkan tanggung jawab pada anak. Untuk bisa mempercayai memang berjalan secara bertahap. Waktu orang tua mulai menanamkan tanggung jawab pada anak, itu bisa dilakukan dengan melibatkan anak dalam tugas rumah tangga. Bagi saya tanggung jawab bukan saja menyangkut membantu urusan dalam rumah tangga, bukan saja berdisiplin dalam hal-hal bersekolah, tapi anak juga belajar melayani. Melayani artinya adalah memberikan, menyediakan diri untuk orang lain dan juga untuk Tuhan, jadi anak-anak dari kecil perlu kita didik untuk belajar memberikan dirinya bagi orang lain. Awalnya dia menolong orang tua, dia belajar untuk ulangannya sendiri, sekarang dia harus keluar dari dirinya, keluarganya atau rumahnya yakni memperhatikan orang lain dan memperhatikan Tuhannya, bagaimana dia dapat juga memberikan dirinya untuk Tuhan dan untuk orang lain.

Dua unsur yang penting dalam menumbuhkan tanggung jawab:

  1. Yang pertama adalah disiplin diri melakukan hal yang tidak kita kehendaki tapi tetap harus kita lakukan. Atau belajar menguasai diri melakukan hal-hal yang tidak dia inginkan. Sejak kecil anak-anak harus mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya, dialah yang mengatur dirinya bukan hasrat yang mengatur dirinya.

  2. Unsur yang kedua yang penting dalam hal tanggung jawab adalah anak-anak harus mulai bisa mempunyai target dan mencapai targetnya. Ini berguna dalam pertumbuhan dia sebagai anak remaja atau sebagai seorang pemuda.

Kalau kita melakukan setelah anak itu remaja terlambat; jadi target-target seperti itu sudah mulai kita terapkan sewaktu anak itu dibawah usia 10 tahun. Memberikan pujian tatkala anak mencapai target atau melakukan tanggung jawabnya adalah hal yang bagus sekali. Jadi satu kalimat pujian sudah cukup, asal anak tahu bahwa dia diperhatikan, bahwa tindakannya itu tidak luput dari perhatian orangtuanya maka orangtuanya memberikan dia pujian seperti itu.

I Tesalonika 5:12 "Kami minta kepadamu saudara-saudara supaya kamu menghormati mereka yang bekerja keras di antara kamu."

Di sini rasul Paulus menetapkan suatu kriteria atau prinsip, yaitu hormatilah orang yang bekerja keras, orang yang bekerja keras adalah orang yang memenuhi tanggung jawabnya, orang yang rajin. Penanaman tanggung jawab itu juga dicontohkan lewat kehidupan orangtua, sehingga anak bisa melihat contoh nyata hingga mereka pun akan meneladani itu. Jadi kalau ada ayah yang tidak kerja, yang maunya di rumah main terus-menerus ia tidak bisa mengajarkan tanggung jawab kepada anaknya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang anak dan tanggung jawab. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Bu Ida dan Pak Gunawan, ada salah satu keluhan yang acapkali harus saya terima dari orang tua terutama orang tua anak-anak remaja yaitu anak-anak mereka itu tidak bertanggung jawab. Saa kira ini pergumulan yang harus dihadapi oleh hampir semua orang tua terutama yang anak-anaknya mulai menginjak usia remaja.

Biasanya pertengkaran muncul di antara anak dan orang tua dalam hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab, misalnya membereskan kamar dan sebagainya. Apa yang harus orang tua lakukan, yang saya harus tekankan pertama-tama adalah kita ini kadangkala mempunyai konsep yang keliru tentang tanggung jawab, kita cenderung mengaitkan tanggung jawab itu dengan tugas. Jadi orang yang melaksanakan tugas adalah orang yang bertanggung jawab, dengan kata lain akhirnya kita menekankan pada pemberian tugas sebagai wujud dari tanggung jawab pada anak kita. Yang saya mau katakan adalah bahwa tanggung jawab itu lebih dari sekadar tugas, bahkan yang saya mau tekankan tanggung jawab justru sebetulnya harus diawali dan muncul dari kepercayaan. Jadi dengan kata lain anak-anak waktu mendengar tugas, biasanya dia mengkerut tidak suka. Yang harus kita tanamkan adalah dari awalnya terutama pada anak-anak yang masih lebih muda adalah kepercayaan. Kita mempercayakan anak untuk melakukan sesuatu, rasa percaya ini sebetulnya adalah langkah pertama menanamkan tanggung jawab pada anak. Saya berikan contoh yang saya maksud di sini misalkan kita ini ingin pergi dari ruangan kemudian si adik kecil sedang tidur, kita panggil anak kita yang lebih besar dan berkata tolong engkau di sini melihat adikmu, Mama harus pergi ke bawah sebentar, saya takut adikmu nanti jatuh atau bangun dan Mama tidak tahu. Saya percaya pada kamu untuk menjaganya, kalau dia sampai bangun, kamu keluar panggil Mama. Supaya adikmu tidak jatuh, saya percayakan adik ini pada kamu ya, karena Mama tahu kamu mampu untuk menjaga adikmu. Nah, di sini dalam contoh tersebut yang penting bukan tugasnya dan si anak pada awal-awal ini tidak melihat bahwa dia diembani tugas. Dia diembani kepercayaan untuk melakukan sesuatu yang bernilai, untuk dapat membantu orang tuanya. Jadi seringkali memang kita salah kaprah, dari semula yang kita tekankan adalah kerjakan ini, kerjakan itu, dan anak-anak tidak suka, sebab jangankan anak-anak, kita saja yang dewasa kalau disuruh kerjakan ini, kerjakan itu oleh atasan kita, kita tidak terlalu menyenanginya, apalagi anak-anak kita.
(1) GS : Tetapi untuk bisa mempercayai itu harus secara bertahap Pak Paul, nah pada awalnya waktu kita menanamkan tanggung jawab pada anak, apa sebenarnya yang bisa dilakukan orang tua itu?

PG : Yang pertama adalah kita mulai melibatkan anak dalam tugas rumah tangga. Tugas rumah tangga ini sekali lagi hal-hal yang sangat sederhana, tadi saya beri contoh tentang melihat adik unuk jangka waktu yang sangat sebentar.

Jadi jangan juga menyuruh anak kita menunggui adiknya selama 1 jam. Itu terlalu lama, yang saya maksud menunggui adik misalnya hanya 5 menit saja, sehingga ia menyukai tanggung jawab tersebut, sebab dibalik tanggung jawab dia merasa dipercayai dan ini membuat dia menjadi seseorang yang berguna yaitu dipercayai oleh orang tuanya. Libatkan anak kita dalam urusan rumah tangga yang kecil-kecil, sederhana-sederhana misalkan ajak dia untuk melipat handuk. Misalkan dengan berkata, ini handuk berantakan ayo bantu Mama, saya tahu kamu rajin bisa bantu Mama, coba bantu Mama melipat handuk ini sama-sama. Waktu kita menyuruh anak kita, sebaiknya kita juga bersama dengan dia. Salah satu hal yang membuat anak-anak itu enggan untuk mengerjakan tugas yang kita minta kepadanya adalah karena dia harus mengerjakannya sendiri. Jadi dari awal itu yang penting, selain kita memulai dengan memberinya kepercayaan, ya selalu nadanya nada kepercayaan, itu juga kita lakukan bersama dengan dia. Jadi sewaktu kita masak misalnya ayo bantu Mama, saya percaya kamu itu sudah bisa bantu Mama, sekarang kamu sudah besar. Nanti Mama minta apa kamu berikan ya, coba ambilkan sendok, ambilkan sendok, coba ambilkan garpu, ambilkan garpu, ambilkan garam, ini yang namanya garam. Jadi dalam keterlibatan bersama dengan ibu itu, si anak akan menikmatinya atau misalkan si ayah ingin membetulkan sepeda anaknya dan dia mengajak anaknya bersama-sama dengan dia; coba ambilkan obeng, waduh kamu sudah besar ya, kamu sudah mengerti artinya obeng, ayo bantu Papa, soalnya Papa tidak bisa sendirian, Papa perlu bantuanmu. Jadi sekali lagi nadanya sama yaitu percaya, ini suatu kepercayaan, mulailah dengan tugas-tugas rumah tangga. Memang agak sukar dilaksanakan bagi orang yang mempunyai pembantu 5 dan suster 5, apalagi yang mau dikerjakan di rumah. Hal-hal seperti itu bisa merugikan anak kita.
IR : Ya, itu kalau tugas di rumah, Pak Paul, tapi kalau tugas sekolah bukankah orang tua tidak bisa bekerja sama?

PG : Nah dari kecil, sebelum usia sekolah sudah dimulai langkah-langkah untuk melibatkan anak-anak dalam urusan rumah tangga. Waktu dia masuk ke sekolah sudah tentu dia harus mengerjakan pekrjaan rumahnya, di sini anak-anak belajar disiplin.

Kalau membantu orang tua anak-anak ini belajar membantu, kalau sekolah dia itu sebetulnya belajar berdisiplin. Berdisiplin adalah bagian dari tanggung jawab sebagaimana membantu yang tadi telah kita diskusikan juga adalah bagian dari tanggung jawab.. Berdisiplin artinya melakukan hal yang tidak selalu kita ingin lakukan, itu prinsipnya. Jadi waktu kita harus belajar, kita bisa belajar meskipun tidak ingin belajar saat itu, anak-anak memang pada dasarnya senang bermain dan tidak senang belajar. Oleh karena itu perlu ada arahan orang tua dan keseimbangan hidup, sehingga dia bisa bermain juga di samping ada waktu untuk belajar. Di sini kita memang harus bersama anak, awalnya duduk bersama dia, lama-kelamaan kita tinggalkan dia untuk belajar sendiri. Tapi kita perlu bertanya apakah dia sudah belajar, apakah PR-nya sudah selesai dan kalau perlu kita mengeceknya.
GS : Itu yang seringkali terjadi akhir-akhir ini, yaitu terlihat justru membantu anak terlalu jauh. Tapi kalau tidak dibantu, tidak selesai tugasnya sehingga ada ibu yang saling menelpon ibu yang lain menanyakan PR anaknya, mengerjakannya dan sebagainya.

PG : Maka ada yang sering berkata bahwa yang belajar akhirnya adalah si ibu.

GS : Seringkali terjadi seperti itu, Pak Paul. Kalau ibu tidak ikut membantu anaknya, maka nanti akan mendapat nilai kurang sekali di sekolah. Tapi kalau dibantu dia merasa tanggungjawabnya berkurang.

PG : Adakalanya anak-anak itu perlu dibantu, jadi kalau tidak dibantu dia tidak mengerti. Tugas orang tua adalah menolong sehingga anak itu mengerti. Jangan sampai orang tua seperti mesin yag menolong anak untuk menghafal, ini yang seringkali saya lihat, anak-anak itu akhirnya dilatih untuk menghafal.

Tapi siapa yang harus menghafal sebetulnya, misalnya orangtua menanyakan, ibu kota dari Jawa Barat adalah... Saya kira awalnya tidak apa-apa, tapi setelah kita lakukan itu beberapa kali kita harus meminta anak yang membaca dan menghafalnya sendiri. Kita ajarkan caranya misalnya minta dia menutup jawaban itu dengan tangannya atau kita hanya meminta dia menutup huruf yang di belakangnya, huruf yang di depannya misalnya 2 huruf pertama boleh dilihat sehingga dia mulai bisa belajar menghafal. Jangan sampai kita terjebak dalam kesalahan yang sering dilakukan oleh para orang tua, yaitu menjadi mesin hafal, anak-anak sekolah menjadi pendengar, orang tua yang menghafal. Yang menghafal orang tuanya, pada waktu ulangan anaknya kurang bisa, jadi anaknya diajarkan saja untuk menghafal.
GS : Selain tugas-tugas dan tanggung jawab yang ada di rumah dan di sekolah, bagaimana dengan tanggung jawab anak dengan lingkup sosial yang lebih luas lagi, Pak Paul, dengan teman atau bahkan di gereja dan sebagainya?

PG : Tanggung jawab bagi saya bukan saja menyangkut membantu urusan-urusan dalam rumah tangga, bukan saja berdisiplin dalam hal-hal di sekolah, dia juga harus belajar melayani. Melayani artiya adalah memberikan, menyediakan diri untuk orang lain dan juga untuk Tuhan.

Jadi anak-anak dari kecil perlu kita didik untuk belajar memberikan dirinya bagi orang lain. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, misalnya kita tahu bahwa di Sekolah Minggu sedang dibutuhkan suatu kelompok bernyanyi dan kita tahu anak kita bisa sedikit bernyanyi, kita minta dia untuk ikut. Misalnya dia berkata saya tidak mau ikut, suara saya tidak bagus. Kita katakan suaramu cukup bagus, tapi yang lebih penting dari suaramu adalah mereka sedang membutuhkan orang. Saya rasa baik kalau engkau membantu mereka supaya ada yang bisa menyanyi dalam kelompok tersebut. Jadi hal-hal seperti ini mulai kita tanamkan, sehingga dia mulai mengerti artinya menolong orang lain yang bukan saudaranya atau orang tuanya. Sebab awalnya dia menolong orang tua, awalnya dia belajar untuk ulangannya sendiri, sekarang dia harus keluar dari dirinya, keluarganya atau rumahnya yakni memperhatikan orang lain dan memperhatikan Tuhannya, bagaimana dia dapat juga memberikan dirinya untuk Tuhan dan untuk orang lain.
GS : Seringkali juga dijumpai tanggung jawab yang tidak seimbang, artinya kadang-kadang seorang anak atau remaja tanggung jawabnya begitu besar terhadap gereja atau sekolah. Tapi sebaliknya yang terjadi tanggung jawabnya di rumah rendah sekali.

PG : Biasanya kalau sampai tanggung jawabnya di rumah rendah sekali, itu disebabkan orang tua kurang konsisten. Sebab saya percaya kalau dari awalnya orang tua konsisten mendidik anak dalam al bertanggung jawab, seharusnya tidak sampai terjadi.

GS : Tapi dia bisa lebih bertanggung jawab di sekolah atau di gereja?

PG : Karena memang di gereja atau di sekolah dia melakukan hal-hal yang dia senangi. Misalkan di sekolah dia ikut OSIS, di gereja dia ikut pengurus remaja, dia menyenangi hal-hal yang dia laukan itu.

Di rumah dia tidak menyenangi hal-hal misalnya melipat selimutnya, membersihkan kamar tidurnya. Tapi saya tetap percaya kalau kita konsisten dari anak-anak itu masih kecil seharusnya dia mau belajar. Misalkan dia tidak melakukannya, perlu kita tegur dia. Ini kamarmu, kamu yang harus bersihkan, ini ranjangmu engkau tidur di sini, engkau yang harus bereskan. Atau misalkan dia mandi bajunya dilempar di mana-mana, kita katakan kau harus pungut, kalau tidak kamu pungut kami marah. Misalkan ini yang kami lakukan di rumah kami, malam hari kami menggilir anak untuk mencuci piring dari anak yang paling kecil sampai yang paling besar. Memang mereka tidak suka hal itu tapi kami beri giliran. Kami selalu berkata kemarin yang mencuci dia, ini hari kamu yang mencuci dan seterusnya. Mula-mulanya mereka senang mencuci piring karena itu merupakan hal yang baru. Lama-kelamaan menjadi beban buat mereka, tapi tetap konsisten kita terus minta mereka mencuci piring. Nah, lama-kelamaan seringkali tawar-menawar saya cuci piring saya sendiri, milik orang lain tidak dicuci. Kita katakan tidak, kamu harus mencuci semuanya, tapi dia juga tahu besok kakaknya atau adiknya akan mencuci piring sendiri yang dipakainya tadi. Dengan cara inilah anak-anak mulai belajar memberikan dirinya untuk orang lain, bukan saja untuk kepentingan dirinya. Demikian juga nantinya dengan di gereja ataupun dengan teman-temannya, menolong atau memberikan diri bagi orang lain tanpa ada pamrih untuk dirinya.
(2) GS :Sebenarnya rasa tanggung jawab itu tumbuhnya bagaimana, Pak Paul, apa karena tadi awalnya dari menyukai, atau ada tanggung jawab yang memang sejak awal tidak disukai, tapi tetap harus menjadi tanggung jawabnya?

PG : Ada dua unsur yang penting dalam hal tanggung jawab ini, Pak Gunawan. Yang pertama adalah disiplin diri melakukan hal yang tidak kita kehendaki, tapi harus kita lakukan. Jadi sejak keci anak-anak harus mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya, dialah yang mengatur dirinya bukan hasrat yang mengatur dirinya.

Itu unsur yang pertama, unsur yang kedua yang penting dalam hal tanggung jawab adalah anak-anak harus mulai bisa mempunyai target dan mencapai targetnya, sebab ini akan sangat berguna nanti dalam pertumbuhan dia sebagai anak remaja atau sebagai seorang pemuda. Ada hal yang harus dia lakukan dan dia harus capai, ada target yang harus dia penuhi dan itulah yang harus dia kerjakan, maka anak-anak harus mulai belajar menetapkan target. Contohnya misalkan dalam hal belajar, dia tahu ada ulangan minggu depan, kita katakan ulangan minggu depan, kamu mulai belajar dari sekarang. Tanpa kita sadari sebetulnya yang kita ajarkan adalah belajar menetapkan target dan mengejarnya, karena minggu depan ulangan mulai dari sekarang engkau belajar, jadi engkau bisa mencapai target itu. Atau yang lainnya lagi, kalau engkau lulus dengan angka seperti yang kita tentukan, maka nanti akan dibelikan sepeda misalnya. Anak mempunyai target lagi sehingga dia mencapai, mengejar target tersebut. Jadi ada dua aspek yang sangat penting dalam pertumbuhan jiwa anak yaitu belajar menguasai diri melakukan hal-hal yang tidak di inginkan dan yang kedua belajar mencapai target. Setelah dia menetapkan target apa yang ingin dicapainya, itulah yang akan membawa dia ke depan, menjadi anak yang mempunyai motivasi dan arah hidup. Kadang-kadang kita mengomeli anak kita karena tidak punya arah hidup dan sebagainya. Saya kira salah satu kekurangan kita sebagai orang tua adalah untuk menekankan dua aspek ini dalam hal tanggung jawab, yaitu menguasai diri dan menetapkan target ke depan.
IR : Apa itu tidak digolongkan dengan anak yang menurut, Pak Paul, sehingga dia bisa diajarkan untuk mencapai target, apa itu tidak termasuk anak yang menurut, bagaimana kalau anak ini tidak menurut?

PG : Biasanya kalau kita melakukannya setelah anak itu remaja maka terlambat. Target-target seperti itu sudah mulai kita terapkan ketika anak itu dibawah usia 10 tahun. Jadi menguasai diri, enargetkan itu sudah harus kita laksanakan pada masa-masa anak-anak itu berusia misalnya 7, 8 tahun-an, sehingga lama-kelamaan target memerintah dirinya melakukan hal-hal yang tidak dia sukai dan juga belajar untuk menetapkan target di depannya untuk dia capai.

Sekali lagi kalau kita mulai menyadari ini setelah anak kita berusia 15, 16 tahun, agak susah. Sebab dia terbiasa hidup semaunya, tanpa dia melakukan yang tidak dia sukai, sehingga dia tidak belajar mencapai target itu sendiri.
GS : Di satu sisi yang seringkali kita orang dewasa kurang lakukan adalah memberikan pujian tatkala dia mencapai target atau melakukan tanggung jawabnya itu, Pak Paul.

PG : Itu bagus sekali Pak Gunawan, memang hal itu sangat penting dan adakalanya kita melupakannya waktu anak berhasil melakukan sesuatu yang kita targetkan atau yang kita minta. Oleh karena tu jangan lupa untuk memberikan pujian.

Karena pujian adalah vitamin yang akan mendorong dia mengulang perbuatannya itu, "ini akan mendapatkan respons yang positif dari orang tua saya". Waktu saya mendapatkannya, saya merasa positif tentang diri saya. Semakin saya melihat diri saya positif, semakin saya lebih berani untuk menetapkan target, lebih berani untuk melakukan hal-hal yang lainnya, jadi itulah kira-kira rentetan prosesnya.
GS : Mungkin kekhawatirannya juga menjadi pengalaman saya, sampai seberapa jauh kita melakukan pujian itu supaya tidak malah membuat anak itu sombong atau takabur.

PG : Saya kira pujian kita ucapkan sekali sudah cukup, lain kali dia berbuat yang bagus, ucapkan sekali lagi. Sebaiknya jangan untuk satu hal yang diperbuat anak, kita menggunakan 5, 6 pujia saya kira itu berlebihan.

Jadi satu kalimat satu kata sifat sudah cukup. Anak tahu bahwa dia diperhatikan, bahwa tindakannya itu tidak luput dari perhatian orang tuanya, maka orang tuanya memberikan dia pujian seperti itu, itu sudah cukup. Yang juga penting Pak Gunawan, sebetulnya waktu kita memuji anak kita, ini sebetulnya juga menerapkan sistem pertanggungjawaban (accountability). Anak-anak waktu melakukan sesuatu harus tahu bahwa tindakannya, pekerjaannya akan dicek kembali oleh orang tuanya. Nah, pujian sebetulnya menandakan orang tuanya mengawasi perbuatan yang dilakukannya itu. Dan pada waktu akhirnya memberi pujian, secara tidak langsung orang tua menuntut pertanggungjawabannya. Jadi bagi orang tua yang ingin mengajarkan anak untuk lebih bertanggung jawab, jangan lupa setelah meminta sesuatu untuk dilakukan, cek kembali. Jadi kalau kita ingin itu dilakukan, kita harus cek, ini menandakan penting buat kita. Jadi anak tahu kalau orang tua minta sesuatu harus dilakukan karena ini penting bagi orang tuanya. Sehingga dia pun merasa lebih hormat terhadap permintaan orang tuanya.
(3) GS : Sebaliknya Pak Paul, kalau misalnya setelah dicek itu diketahui bahwa anak tidak melakukan tanggung jawabnya, kita seharusnya memberikan teguran. Tadi Pak Paul katakan kalau dia berhasil memenuhi tanggung jawabnya kita berikan pujian sekali, cukup dipuji tidak berlebihan. Kalau dia gagal atau tidak berhasil melakukan tanggung jawabnya, bagaimana caranya kita memberikan teguran atau disiplin?

PG : Saya kira disiplin atau teguran harus diberikan waktu anak lalai melakukan tanggung jawabnya, tanpa memberikan alasan yang baik. Misalkan ada alasan-alasan yang sungguh-sungguh baik mislnya dia sakit atau apa, kita harus makluminya.

Tapi misalkan memang lalai, saya kira kita perlu memberikan sanksi negatif. Sanksi negatif tidak harus selalu berbentuk kemarahan atau pemukulan, bisa berbentuk ungkapan hati kita yang berkata misalnya, "Saya kecewa kenapa engkau tidak mengindahkan permintaan saya atau saya sedih mengapa engkau tidak melihat bahwa ini penting bagimu". Hal seperti itu kalau kita ucapkan dengan serius, sangat berdampak sebetulnya, tapi ada anak-anak yang memang lebih keras sehingga kadang-kadang perlu ungkapan yang lebih keras juga.
IR : Dan juga ada anak yang bandel.

PG : Ya, ada juga anak yang keras kepala.

IR : Sekalipun orang tuanya minta begitu, tapi saat itu tidak dilakukan, akhirnya ya tidak dilakukan.

PG : Betul, ya kita harus memberi sanksi yang lebih keras lagi atau justru kadang-kadang membatasi kebebasannya untuk sementara waktu, itu harus dilakukan. Jadi memang harus berikan imbalan,baik yang positif atau negatif terhadap tindakannya itu.

GS : Seringkali juga tidak seimbang Pak Paul, orang tua memberikan pujian dan teguran itu. Tadi Pak Paul katakan pujian cukup sekali, teguran bisa berkali-kali walaupun kesalahannya cuma sekali, tapi terus diulang lagi dan itu membuat anak jenuh mendapat teguran-teguran semacam itu.

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan hal ini berkaitan juga dengan pemberian tanggung jawab. Adakalanya kita menuntut anak melakukan hal yang dia memang belum sanggup lakukan pada usia seperti itu Sebagai contoh misalkan kita menghadiri suatu upacara atau acara yang sedikit formal dan kita membawa anak kita yang berusia 3 tahun.

Dalam acara itu orang diharapkan untuk duduk diam, tapi anak umur 3 tahun disuruh duduk diam selama 3 jam itu tidak mungkin. Misalkan kita marah, dengan diam-diam karena semuanya sedang serius, sedang sunyi, kita menjewernya dengan keras supaya dia diam. Saya kira itu tindakan yang sangat tidak tepat karena melawan asas kepatuhan. Pada usia itu tidak sepatutnya meminta anak untuk tidak boleh bergerak. Anak umur 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun akan bergerak dan tidak bisa diam dalam suasana seperti itu. Jadi kita yang harus mencegah sehingga anak tidak melakukan pelanggaran yang akan kita marahi, misalnya kita bawa dia ke belakang, kita gendong dia atau apa. Dia akan belajar diam nanti misalnya pada umur 7 tahunan, pada usia 3 tahun belum bisa.
(4) GS : Menanamkan tanggung jawab itu mulai sejak kecil terus sampai dewasa, Pak Paul, sebenarnya sampai kapan tugas orang tua membimbing seorang anak dalam hal bertanggung jawab?

PG : Saya kira sampai dia masih tinggal di rumah kita. Sebab selama dia masih tinggal di rumah kita, kita masih mempunyai hak dan tempat untuk menolongnya, membentuknya menjadi anak yang beranggung jawab.

Kalau memang dia sudah tinggal di luar, kita tidak bisa berbuat banyak lagi.
GS : Jadi sebenarnya waktu kita juga terbatas, Pak Paul?

PG : Ya betul.

GS : Dan di dalam hal membimbing anak untuk lebih bertanggung jawab itu apa yang Alkitab katakan, Pak Paul?

PG : Sekali lagi saya akan kutip dari 1 Tesalonika 5:12 yang berkata : "Kami minta kepadamu saudara-saudara supaya kamu menghormati mereka yang bekerja keras di antara kamu." Jai di sini Rasul Paulus menetapkan suatu kriteria prinsip yaitu hormatilah orang yang bekerja keras.

Orang yang bekerja keras adalah orang yang memenuhi tanggung jawabnya, orang yang rajin. Semua orang tua menginginkan anaknya rajin, mau bekerja keras, mulailah dari awal, tanamkanlah tanggung jawab itu sebab memang betul firman Tuhan berkata orang yang bertanggung jawab dan akhirnya menjadi orang yang rajin adalah orang yang akan dihormati oleh orang lain, jadi itu prinsipnya.
GS : Jadi penanaman tanggung jawab itu juga dicontohkan lewat kehidupan orang tuanya dahulu, ya Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Dan anak bisa melihat contoh nyata hingga mereka pun akan meneladani itu.

PG : Tepat sekali, jadi kalau ada ayah yang tidak bekerja, maunya di rumah main kartu terus-menerus, itu tidak bisa mengajarkan tanggung jawab kepada anaknya.

GS : Tapi orang tua juga sering berkata jangan contoh saya, tapi dengarkan apa yang saya ajarkan, itu sebenarnya sulit untuk anak.

PG : Betul, itu sulit.

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang anak dan tanggung jawab. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



18. Nasihat Praktis untuk Mengasuh Anak Usia 0-9 Tahun 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T064A (File MP3 T064A)


Abstrak:

Di dalam topik ini kita akan diajarkan bagaimana memberikan asuhan pada anak-anak khususnya dalam aspek emosional, bagaimana menunjukkan kasih pada anak-anak kita.


Ringkasan:

Menyadari singkatnya waktu dan banyaknya hal yang harus diberikan pada anak-anak kita, sekurang-kurangnya ada 3 aspek yang perlu kita perhatikan yaitu:

  1. Aspek Emosional.

    Pada usia antara 0-9 tahun, anak-anak itu secara emosional mempunyai 3 kebutuhan mendasar:

    1. Yang pertama adalah kebutuhan akan kasih.

      Konkretnya adalah orang tua bertugas menyediakan kasih, misalnya dengan cara memberikan sentuhan fisik. Selain sentuhan fisik, orang tua bisa juga menyediakan kasih dengan cara mengkomunikasikan kebahagiaannya mempunyai anak itu. Karena di sini anak akan mendapatkan kepastian bahwa mereka bukanlah beban bagi orang tua. Dengan mengkomunikasikan betapa bahagianya kita karena mereka adalah anak kita yang ada di tengah-tengah kita, anak akan mendapatkan kepastian bahwa mereka bukanlah beban bagi orang tua. Bahwa mereka bukan hanya tambahan untuk keluarga ini, tapi mereka adalah anggota keluarga yang memang sangat diinginkan.

      Pada prinsipnya yang diperlukan oleh anak adalah interaksi, seringkali untuk anak-anak yang masih balita kita tidak perlu memberikan jawaban yang kompleks atau yang sangat tepat. Sebab yang anak butuhkan juga bukannya jawaban yang tepat atau jawaban yang memang merupakan kebenarannya. Yang lebih dibutuhkan oleh si anak balita sebetulnya adalah sekadar jawaban. Waktu anak mulai besar misalkan sudah memasuki pra-remaja itu penting sekali kita memberikan jawaban yang tepat, demikian pula sampai usia remaja dan seterusnya. Orang tua harus berusaha sebaiknya untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan anak.

      Mazmur 90:10, "Masa hidup kami 70 tahun dan jika kami kuat 80 tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan. Sebab berlalunya buru-buru dan kami melayang lenyap." Firman Tuhan meletakkan hidup dalam perspektif yang sebenarnya, bahwa hidup tidak selamanya, jadi kita harus memakai waktu dengan sebaik-baiknya. Tuhan memberi waktu hanya beberapa tahun untuk membina, menanamkan prinsip yang indah pada anak-anak kita, jangan sampai waktu itu berlalu tanpa kita memberikan cukup pada mereka.

    2. Yang kedua, kebutuhan akan disiplin.
      Anak-anak tidak saja memerlukan cinta kasih, mereka memerlukan disiplin yang juga merupakan kebutuhan emosional. Disiplin bukanlah sesuatu yang boleh ada, boleh tidak ada. Disiplin adalah sesuatu yang diperlukan anak, itu merupakan kebutuhannya sama seperti dia membutuhkan cinta kasih.
      Orang tua harus sudah mulai mendisiplin sejak anak masih kecil.

      1. Disiplin dilakukan dengan suara atau dengan pukulan yang terkendali.
      2. Kita perlu memberikan disiplin yang sesuai dengan usia dan kesalahannya. Dr. James Dobson seorang psikolog Kristen mengatakan: "Hukumlah anak untuk kekurangajarannya, untuk sikap mau melawan kita secara sengaja. Jangan hukum anak untuk kekeliruan atau kesalahan yang lazim dilakukan oleh anak-anak kecil."

    3. Yang ketiga, anak memerlukan panutan, contoh, atau teladan.
      Anak senantiasa belajar bagaimana berjalan, bagaimana berbicara, bagaimana bersikap terutama dari orang tuanya. Jadi orang tua perlu sekali menjadi teladan yang nyata dalam kehidupan si anak.

  2. Aspek Sosial
    Pada usia 0-9 tahun anak-anak memerlukan keterampilan bergaul.
    Ada beberapa tugas orangtua di sini:
    1. Orang tua secara sengaja harus mengajarkan beberapa keterampilan penting dalam pergaulan. Misalnya anak perlu belajar untuk membagi, untuk meminjamkan barangnya, untuk berkata ini ½ untukmu, ini ½ untukku itu perlu diakarkan.

    2. Anak-anak perlu bersikap adil, maksudnya adalah waktu dua temannya berselisih dia perlu menempatkan diri di antara keduanya.

  3. Aspek Rohani
    Sebagai orang tua Kristen, tentu kita mau mencoba menanamkan aspek rohani kepada anak-anak kita sedini mungkin. Pada usia 0-9 tahun, satu aspek tentang Tuhan yang perlu kita tanamkan pada anak ialah:
    1. Tuhan sebagai pencipta.
      Kita perlu mengajarkan kepada anak bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta termasuk isinya. Jadi anak-anak sejak kecil memperoleh kesempatan untuk mengagumi ciptaan Tuhan dan karya Tuhan.

    2. Tuhan pemelihara dan penjaga hidupnya.

Amsal 27:5 dikatakan: "Lebih baik teguran yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi."

Saya mau menggabungkan dua kata di sini, teguran dan kasih. Tuhan mau kita memberikan kasih tanpa sembunyi-sembunyi, limpahkan, nyatakan kasih, tapi Tuhan juga menekankan bahwa teguran yang nyata itu baik, dan bahkan kata Tuhan lebih baik dari pada kasih yang kita tidak nyatakan. Jadi dalam membesarkan anak 2 hal ini tidak bisa terlepas, menegur anak dan mengasihi anak dan tegur dengan nyata, kasihi juga dengan nyata itu firman Tuhan bagi kita orangtua.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang nasehat praktis untuk mengasuh anak usia 0-9 tahun. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap

PG : Pak Gunawan dan Ibu Ida, kita ini adalah orang-orang paro baya dan usia kita melewati paro baya. Pada usia-usia ini, saya kira lazimlah untuk kita menengok ke belakang dan menyadari baha waktu telah berjalan dengan begitu cepatnya.

Secara pribadi saya cukup sering mengkilas balik dan melihat dengan terkejut kenapa waktu berjalan begitu cepat, dan terutama saya mengukur cepat lambatnya perjalanan waktu dengan pertumbuhan anak-anak saya. Rasanya dulu masih bayi, masih enak digendong dan bisa dibawa ke mana-mana, tiba-tiba sekarang sudah besar. Anak-anak saya dua dari tiga di antara mereka itu telah menginjak usia remaja, usia belasan tahun semua. Ternyata waktu kita bersama anak memang tidak banyak, dulu saya berpikir bahwa kita bisa menghabiskan waktu dengan anak sampai mereka usia 18 tahun, sekurang-kurangnya sampai mereka lulus SMA. Ternyata saya perhatikan sebetulnya waktu bersama anak tidak sampai 18 tahun, sebab sesungguhnya waktu anak di atas usia 10 tahun kira-kira usia 11 dan 12 tahun, kita tidak bisa tidak menyadari bahwa anak itu tidak lagi bergantung pada kita, sehingga hubungan mereka dengan kita mulai mengalami perubahan. Jadi sesungguhnya waktu di mana mereka sangat bergantung dan dekat dengan kita kalau saya hitung di antara 9 dan 10 tahun itu atau kalau mau ditarik mungkin sampai usia 12 tahun, sampai dia lulus SD. Setelah dia memasuki usia remaja mulailah dia memperlakukan kita dengan berbeda dan ketergantungannya pada kita pun tidak sama lagi. Jadi saya kira penting untuk kita memanfaatkan waktu yang singkat itu dengan sebaik-baiknya. Adakalanya, Pak Gunawan dan Ibu Ida, saya melihat orang tua tidak menyadari bahwa waktu yang mereka miliki dengan anak sesungguhnya sangat singkat dan sesungguhnya apa yang mereka bisa berikan pada anak, pada usia-usia yang subur atau tanamkan pada anak-anak. Sehingga pada usia mendasar itu tatkala anak memang sangat bergantung kepada kita, kita bisa memanfaatkan waktu untuk memberikan hal-hal yang mereka perlukan.
(1) GS : Pak Paul bicara tentang singkatnya waktu dan banyaknya hal yang harus diberikan pada anak-anak kita, aspek apa saja yang perlu kita perhatikan?

PG : Saya melihat sekurang-kurangnya ada 3 aspek Pak Gunawan. Yang pertama adalah aspek emosional, yang kedua adalah aspek sosial, dan yang ketiga adalah aspek rohani.

GS : Kita mulai yang aspek emosional dulu ya Pak Paul, itu contoh konkretnya seperti apa?

PG : Saya melihat anak-anak itu secara emosional sekurang-kurangnya mempunyai 3 kebutuhan mendasar pada usia antara 0-9 tahun. Yang pertama adalah kebutuhan akan kasih dan yang kedua adalah ebutuhan akan disiplin serta yang ketiga adalah kebutuhan akan panutan atau model.

GS : Mengenai kasih itu konkretnya seperti apa, Pak Paul?

PG : Konkretnya adalah orang tua di sini bertugas menyediakan kasih, yang pertama misalnya dengan cara memberikan sentuhan fisik. Saya kadang-kadang terkejut melihat betapa hematnya orang tu memberikan sentuhan fisik kepada anak.

Sebetulnya anak-anak itu terutama pada masa-masa kecil bukan saja senang dengan sentuhan fisik, tapi butuh sentuhan fisik. Bukan saja anak-anak itu akan merasa dihargai dengan sentuhan fisik, tapi sebetulnya sentuhan fisik itu merupakan kebutuhan anak. Anak itu perlu disentuh, dipeluk, disayangi.
IR : Sangat butuh sekali mereka itu untuk dipeluk, disayang, bahkan dicium, ya Pak Paul?

PG : Betul, dan Ibu Ida mungkin bisa mengingat bahwa waktu anak-anak masih kecil, tatkala mereka menangis, Ibu datang memeluknya misalnya membelai, mengusap tubuhnya, apa biasanya yang terjadi pada anak itu?

IR : Dia akan merasa aman ya?

PG : Tepat sekali, jadi waktu anak menerima pelukan, sentuhan, ciuman dampaknya ialah memberikan rasa tenang, aman, dan rasa dicintai. Itu sebabnya bayi bisa membedakan apakah dia dicintai aau kurang dicintai oleh orang tuanya.

Sangat menakutkan sekali kalau kita memperhatikan bahwa dewasa ini begitu banyaknya orang tua yang mendelegasikan masalah menyentuh anak kepada suster mereka. Jadi anak itu memang hanya digendong oleh suster atau ditaruh di tempat tersendiri atau diberi makan, tapi yang diperlukan oleh si anak bukan saja penggendongan atau pemberian makan. Yang diperlukan adalah sentuhan yang mengandung makna 'aku mengasihimu, aku senang denganmu', sentuhan-sentuhan yang membelai, yang mengusap, ciuman, pelukan.
IR : Dan itu mungkin perbedaannya dari ketulusan hati, ya Pak Paul? Kalau baby-sitter mungkin juga melakukan hal itu tapi tidak dengan tulus, ya?

PG : Karena itu bukan anaknya sendiri ya, Bu Ida.

GS : Tapi bagaimana anak yang kecil itu bisa membedakan yang ini sentuhan ibunya, sentuhan ayahnya atau baby-sitternya?

PG : Seharusnya bisa, karena pada awalnya dia itu dilahirkan oleh si ibu dan biasanya pada beberapa bulan pertama itu ibulah yang sering menggendongnya. Jadi dengan kata lain si anak mulai mngenali pertama-tama suara, lalu bau tubuhnya, kemudian serat-serat kulitnya sehingga si anak tahu bahwa yang sedang menggendongnya adalah ibunya.

Waktu si ayah berkomunikasi dengan si ibu, si anak juga mendengar sehingga lama-kelamaan si anak mengenali dua suara yang sangat dekat dengan dia yaitu suara ibu dan suara ayah, meskipun suara ayah sedikit lebih jarang didengarnya. Tapi dua suara itu suara yang dia kenal, apalagi waktu dia menangis, si ayah juga mengambil bagian menggendong, mengelus, membelainya, menciumnya. Nah, si anak mulai membangun jalinan kedekatan dengan kedua orang tuanya ini. Jadi sentuhan-sentuhan fisik itu adalah hal yang sangat penting dan jangan kita berhenti setelah anak kita berusia dua tahun, teruskan peluk dia, sayangi dia, belai rambutnya, belai dahinya, cium pipinya. Itu menandakan orang tua tetap mencintai si anak dan sentuhan fisik itu menjadi bahasa yang sangat kaya serta ampuh. Jadi sebisanya kita sebagai orang tua kalau ingin memberikan keyakinan kepada anak bahwa kita mengasihi mereka, salah satu caranya adalah melimpahi mereka dengan sentuhan fisik itu.
IR : Selain sentuhan fisik Pak Paul, kira-kira contoh yang lain di dalam mengungkapkan kasih apa ada lagi, Pak Paul?

PG : Orang tua bisa juga mengungkapkan kasih dengan cara mengkomunikasikan kebahagiaannya mempunyai anak itu. Anak ini perlu mengetahui dan diyakinkan terus-menerus bahwa kehadirannya diingikan.

Tidak bisa tidak, orang tua akan marah kepada anak, nah anak akan takut pada kemarahan orang tua. Waktu dia dimarahi anak cenderung akan merasa ditolak, saya kira itu adalah hal yang alamiah. Juga orang tua itu menuntut anak, tidak bisa lepas dari tuntutan dan harapan sejak kecil kita akan berkata anak yang baik begini, anak yang tidak baik atau nakal begitu, kamu harus jadi anak yang baik. Meskipun anak sudah tahu standar orang tua apa itu tentang yang baik bukankah anak kadang-kadang tetap melakukan yang tidak kita inginkan. Karena dunia anak tetap adalah dunia tuntutan, dunia harapan, waktu dia gagal memenuhi tuntutan kita atau harapan kita, ada reaksi dalam diri anak bahwa tidak menyenangkan hati orang tuanya, apalagi ditambah dengan reaksi orang tua yang memang marah, tidak senang dan sebagainya. Oleh karena itu orang tua terus-menerus perlu mengkomunikasikan bahwa orang tua bahagia, bahwa kita ini senang mempunyai dia sebagai anak. Mempunyai seseorang di rumah yang kita panggil anak dan dialah anak kita. Seringkali saya dan istri saya mengungkapkan perasaan-perasaan seperti itu dengan berkata misalnya kami senang sekali engkau adalah anak kami. Kadang-kadang istri saya juga berkata, kami tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau engkau tidak pernah ada di tengah kami. Jadi hal-hal seperti itu mengingatkan kembali kepada anak bahwa kehadirannya itu dibutuhkan. Sekali lagi ini untuk menjadi penyeimbang tuntutan yang kita memang harus berikan pada anak atau kadangkala sanksi yang harus juga kita terapkan pada anak. Dengan mengkomunikasikan betapa bahagianya kita karena mereka adalah anak kita dan ada di tengah-tengah kita. Dan mendapatkan kepastian bahwa mereka bukanlah beban bagi orang tua, bahwa mereka bukanlah tambahan untuk keluarga ini, tapi mereka adalah anggota keluarga yang memang sangat diinginkan. Itu melambangkan cinta kasih orang tua kepada anak.
GS : Itu biasanya memang dilakukan oleh banyak orang tua Pak Paul, terutama kalau itu anak pertama. Tapi begitu keluar anak kedua, sudah kurang mendapatkan perhatian seperti anak yang pertama tadi. Apalagi kalau jarak antara anak yang pertama dan yang kedua cukup dekat ya, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Memang beralasan juga, masing-masing punya alasannya, bagaimana caranya membagi supaya mereka itu tetap bisa merasakan dua-duanya diterima dengan sama?

PG : Kadangkala anak sendiri yang akan mengingatkan kita. Misalkan anak saya yang satu akan berkata kepada saya atau istri saya, kenapa akhir-akhir ini Papa atau Mama jarang bersama-sama denan saya, lebih memperhatikan dia daripada saya.

Nah, kalau anak-anak mempunyai komunikasi yang cukup terbuka dengan orang tua, dia akan berani mengungkapkan ketidakpuasannya atau dia merasa kenapa tidak diperlakukan sama seperti kita memperlakukan kakak atau adiknya. Kadangkala itu bisa kita tangkap, namun yang lebih penting lagi, kita sendiri yang harus peka, nah ini yang coba kami lakukan juga di rumah. Kalau kami mau melakukan sesuatu pada salah seorang anak, kami mencoba mengingat dampak perlakuan itu pada adik atau kakaknya, kami coba mengingat hal itu. Karena memang anak-anak peka sekali dengan perlakuan yang berbeda meskipun kita berupaya memperlakukan mereka dengan rata. Anak-anak cenderung menuduh kita tidak memperlakukan mereka dengan sama. Jadi, Pak Gunawan tadi memang memunculkan hal yang penting sekali, ya kecenderungan kita menspesialkan anak yang pertama. Kedua, ketiga, keempat, apalagi kalau 10 anak kita, tidak begitu banyak lagi energi yang kita berikan pada anak-anak yang dibawahnya, jadi memang kita tetap perlu konsisten memberikan cinta kasih kepada mereka semua.
GS : Ada satu hal lagi Pak Paul, anak tidak merasa diterima atau kurang diterima ketika dia dibandingkan dengan kakaknya atau adiknya, apa memang seperti itu?

PG : Itu seringkali terjadi Pak Gunawan, cukup sering orang tua berkata kami membandingkan dengan tujuan baik untuk memacu si anak. Bukankah waktu kami membandingkan dengan yang lebih baik drinya dia akan terpacu.

Hati-hati kalau kita terlalu sering membandingkan, pesan yang anak terima bukanlah mereka dipacu, yang diterima anak adalah orang tua merasa tidak puas dengan mereka. Dan juga kalau dibandingkan dengan adik atau kakak sendiri, seringkali kurang begitu ampuh karena kakak atau adik terlalu dekat, bahkan saudara sepupu pun seringkali menjadi orang yang terlalu dekat. Bukankah kalau misalkan kita dibandingkan dengan saudara sepupu kita yang sering ke rumah kita, kita jadinya sering tidak nyaman juga. Jadi perbandingan sebaiknya bukan dengan orang lain, tapi dengan kemampuan si anak itu sendiri. Kita katakan kami tidak puas dengan hasil ujianmu atau tesmu, karena kami tahu engkau mempunyai kemampuan yang lebih dari ini. Jadi kita coba hindarkan kata-kata "dengan kakakmu bisa begini tinggi, adikmu bisa begitu tinggi, kenapa engkau tidak bisa". Nah jadi dia akan merasa Papa dan Mama lebih senang dengan adik atau kakak, karena mereka memenuhi target Papa Mama, saya tidak memenuhi target berarti saya anak buangan. Jadi orang tua perlu berhati-hati dalam mengungkapkan kata-kata, dalam membandingkan anak satu dengan yang lainnya.
IR : Dan itu menyakitkan biasanya Pak Paul, biasanya anak kalau dibandingkan dia mengungkapkan "aku...aku, dia...dia", seperti itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali, mereka akhirnya ingin menunjukkan siapa diri mereka apa adanya, nah kadangkala dampaknya jadi berlebihan. Si anak bukan saja berkata aku ini aku, kakak atau adik ya kakak tau adik, bukannya saya.

Kadang-kadang karena ingin menunjukkan jati dirinya, dia justru melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilainya sendiri, atau yang kita agungkan nilai-nilai yang baik yang kita percayai, justru dia melakukan yang kebalikannya. Hanya untuk membuktikan bahwa dia itu unik, berbeda dari kakaknya atau adiknya.
GS : Pak Paul kedekatan kita dengan anak-anak, orang tua dengan anak-anak khususnya usia masih di bawah 5 tahun seringkali membuat anak itu suka bertanya, sudah dasarnya memang senang bertanya. Dan kalau orang tua memberikan respons itu membuat dia makin banyak bertanya, sampai kadang-kadang banyak orang tua yang mengeluh karena waktunya tersita untuk menjawab pertanyaan yang menurutnya sepele. Sebenarnya bagaimana kita harus menanggapi pertanyaan dari anak yang masih balita?

PG : Pada prinsipnya yang diperlukan oleh anak adalah interaksi, seringkali pada anak-anak yang masih balita kita tidak perlu memberikan jawaban yang kompleks atau yang sangat tepat sebab yag anak butuhkan juga bukannya jawaban yang tepat, atau jawaban yang memang merupakan kebenarannya.

Yang lebih dibutuhkan oleh anak balita sebetulnya adalah sekadar jawaban. Dia mempunyai keingintahuan dan dia menginginkan jawaban itu saja, ketepatannya nomor dua. Waktu anak mulai besar misalkan sudah memasuki pra-remaja, itu penting sekali kita memberikan jawaban yang tepat, sampai usia remaja dan seterusnya. Tapi pada usia-usia di bawah itu yang lebih perlu adalah melayani pertanyaannya, melibatkan si anak dalam dialog, sebab itu yang lebih penting. Dia mempunyai rasa ingin tahu dan dengan mendapatkan jawaban, itu cukup baginya, tepat atau tidak tepatnya itu nomor dua bagi si anak. Waktu kita memberikan jawaban-jawaban kepada pertanyaan anak itu, sebetulnya sekaligus menunjukkan kasih kita kepada anak. Tanpa disadari kalau kita dengan singkat atau sedikit ketus memutuskan pertanyaan anak, sebetulnya itu sedang mengkomunikasikan bahwa aku tidak sabar denganmu, aku sebetulnya tidak begitu menikmati engkau, karena engkau mengganggu. Tapi orang tua yang bisa sabar dan sebaiknya bisa menjawab pertanyaan anak, karena akan membuat anak merasa bahwa dia dikasihi, bahwa dia menanyakan pertanyaan dan dijawab berarti dia merasa cukup penting; yang dia lakukan bukannya sesuatu yang lewat begitu saja, tapi diperhatikan oleh orang tuanya. Pertanyaan-pertanyaan ini sekali lagi adalah upaya anak untuk melibatkan orang tua dalam dialognya. Jadi penting bagi orang tua berusaha sebaiknya untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan anak.
IR : Bagaimana kalau anak-anak itu seringkali mengajak bermain Pak Paul, apakah kita juga harus melayani dia?

PG : Sebaiknya ya, sebisanya waktu anak-anak masih kecil kita lebih melibatkan diri bermain dengan anak-anak. Sampai sekarang meskipun anak-anak saya sudah mulai besar mereka menikmati sekal bermain.

Dalam hal ini saya harus akui, istri saya jauh lebih berperan, istri saya sering bermain dengan anak-anak, main halma, main congklak dan sebagainya, saya kadang-kadang juga bermain kartu, bermain catur dengan anak-anak. Sebab permainan adalah dunia anak, jadi kalau kita mau memasuki dunia anak kita harus memasukinya melalui permainan. Waktu kita bermain dengan anak, anak cenderung merasa sangat senang, anak jarang sekali merasa terganggu tatkala kita bermain dengan dia, justru dia menyambutnya dan dia ingin bermain. Kadang-kadang saya suka bercanda dengan anak-anak saya, misalnya anak saya berkata "Aduh sepi, tidak ada teman," lalu saya berkata, "Saya kan teman kamu." Anak saya berkata," Lain ". Kenapa lain saya tanya: "Lain karena Papa tidak bisa bermain dengan saya, teman-teman saya bisa main." Dengan kata lain waktu saya tidak bisa main, lompat, lari dengan dia ke mana-mana, saya mulai memisahkan diri dari dunianya maka sebisanya kita main. Waktu kita bermain dengan anak ini juga sebetulnya merupakan bahasa kasih kepadanya, anak tahu kita mementingkan dia sehingga kita bermain dengan dia. Jadi sama dengan melayani pertanyaan, mengajak dan menerima anak untuk bermain dengan kita juga menunjukkan kasih sayang kita kepada anak.
GS : Masalahnya kita sebagai orang tua tidak selalu dalam kondisi siap untuk melayani mereka, menjawab pertanyaan atau bermain. Katakan pada saat kita tidak siap untuk itu dan mereka memintanya, alasan apa atau bagaimana kita mengalihkan perhatiannya Pak Paul?

PG : Saya kira kita boleh jujur kepada anak dan berkata, saya sedang lelah sekali. Misalkan kita tahu kita akan pulih dengan cepat setelah kita pulang kerja, kita bisa berkata beri Papa wakt atau beri Mama waktu 1 jam, setelah itu kita akan main.

Nah kita bisa sebut main apa dan dia akan menunggu. Kadangkala saya masih ingat waktu anak-anak masih kecil itu yang kami lakukan, kadang-kadang saya juga melakukan itu, saya berkata,"Bisakah kamu tunggu ½ jam lagi, nanti Papa main dengan kamu." Saya masih ingat sekali menantikan ½ jam itu si anak sudah menyiapkan permainannya, dia sudah membuka halmanya, caturnya, dia sudah pasang semuanya, menunggu saya datang untuk bermain. Di situ kita melihat anak rindu sekali bermain dengan orang tuanya, jadi kalau kita lelah, beritahu saya sekarang lelah, bisakah kalau nanti saja. Atau kalau kita tahu kita sangat lelah hari ini kita berjanji, "besok Papa berjanji atau besok Mama berjanji akan bermain dengan kamu," lalu kita tepati besok mau main apa.
GS : Bisakah Pak Paul itu dialihkan misalnya ayah yang sedang tidak siap atau sibuk, lalu kita menyuruhnya main dengan ibunya?

PG : Itu juga boleh asalkan tidak selalu demikian. Bagaimana kalau main dulu dengan ibumu, nanti saya ikut atau saya bergabung, misalnya seperti itu.

GS : Intinya dari semua itu adalah menanamkan keyakinan pada anak bahwa dia itu diterima dan dikasihi.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, kalau kita gunakan bahasa orang dewasa, bukankah teman yang mau berkunjung ke rumah kita adalah teman yang mengasihi kita, teman yang mau menolong kita sepertianak kecil yang bermain dengan kita adalah teman yang kita tahu mengasihi kita.

Jadi sebetulnya sama dengan anak-anak.
GS : Tadi kalau dalam hal menjawab pertanyaan itu, Pak Paul katakan bukan jawabannya itu yang penting artinya harus serius. Juga di dalam permainan bukan menangnya itu yang penting.

PG : Tepat sekali, jadi mainlah dengan anak misalkan main Video Games, apalagi anak-anak laki senang sekali main Video Games. Saya dulu sering sekali main Video Games dengan anak saya, tapi ekarang dia sudah besar, hampir remaja tidak mau main dengan saya.

Kadang-kadang dia saya ajak main lagi tetapi tidak mau, sekarang hanya mau main dengan temannya. Jadi sekali lagi waktu sangat singkat, dulu saya berpikir banyak waktu sampai umur 18 tahun, ternyata makin tahun makin terbatasi hal-hal yang bisa saya lakukan dengan anak-anak saya.
GS : Jadi mungkin ada baiknya orang tua juga mempersiapkan diri dengan pengetahuan dasar terhadap jiwa anak-anak itu.

PG : Betul sekali, akhirnya perhatian lebih terpusatkan keluar.

GS : Tapi saya yakin sekali ada firman Tuhan yang bisa memberikan bimbingan secara tepat.

PG : Firman Tuhan yang akan saya bacakan terambil dari Mazmur 90, Mazmur yang dipercaya ditulis oleh Musa, ayat 10 berkata : "Masa hidup kami 70 tahun dan jika kami kuat 80 tahu dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan.

Sebab berlalunya buru-buru dan kami melayang lenyap." Firman Tuhan meletakkan hidup dalam perspektif yang sebenarnya bahwa hidup tidak selamanya, jadi kita harus memakai waktu dengan sebaik-baiknya. Tuhan memberi waktu hanya beberapa tahun untuk membina, menanamkan prinsip yang indah pada anak-anak kita, jadi jangan sampai waktu itu berlalu tanpa kita memberikan cukup pada anak-anak kita. Sebab firman Tuhan berkata : "Waktu itu berlalunya dengan terburu-buru", saya kira kita yang sudah ½ abad ini bisa menengok ke belakang dan berkata betul waktu berjalan terlalu cepat, jadi pakailah, isilah dengan sebaik-baiknya.

GS : Sampai ada orang yang mengatakan saya tidak ada waktu lagi, juga untuk anak-anak mereka, Pak Paul. Tapi masalahnya yang mengatur waktu adalah kita. Bagaimana kita menggunakan waktu itu dengan sebaik-baiknya. Jadi saya rasa Pak Paul karena tadi di awal perbincangan ini Pak Paul mengatakan ada 3 aspek yaitu aspek emosional, aspek sosial dan aspek rohani. Padahal kita kali ini baru berbicara tentang aspek emosional dan itupun saya rasa masih ada beberapa hal yang harus kita bicarakan, maka pembicaraan ini tentunya menghimbau para pendengar untuk tidak kehilangan sesi yang akan datang. Namun untuk kali ini kami akhiri dulu, saudara-saudara pendengar, kami baru saja memperbincangkan tentang beberapa hal praktis mengasuh anak pada usia 0-9 tahun. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



19. Nasihat Praktis untuk Mengasuh Anak Usia 0-9 Tahun 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T064B (File MP3 T064B)


Abstrak:

Lanjutan dari T64A, bagaimana memberikan asuhan kepada anak-anak khususnya dalam aspek sosialisasi anak dan memberikan asuhan secara aspek rohani anak sedini mungkin.


Ringkasan:

Menyadari singkatnya waktu dan banyaknya hal yang harus diberikan pada anak-anak kita, sekurang-kurangnya ada 3 aspek yang perlu kita perhatikan yaitu:

  1. Aspek Emosional.

    Pada usia antara 0-9 tahun, anak-anak itu secara emosional mempunyai 3 kebutuhan mendasar:

    1. Yang pertama adalah kebutuhan akan kasih.

      Konkretnya adalah orang tua bertugas menyediakan kasih, misalnya dengan cara memberikan sentuhan fisik. Selain sentuhan fisik, orang tua bisa juga menyediakan kasih dengan cara mengkomunikasikan kebahagiaannya mempunyai anak itu. Karena di sini anak akan mendapatkan kepastian bahwa mereka bukanlah beban bagi orang tua. Dengan mengkomunikasikan betapa bahagianya kita karena mereka adalah anak kita yang ada di tengah-tengah kita, anak akan mendapatkan kepastian bahwa mereka bukanlah beban bagi orang tua. Bahwa mereka bukan hanya tambahan untuk keluarga ini, tapi mereka adalah anggota keluarga yang memang sangat diinginkan.

      Pada prinsipnya yang diperlukan oleh anak adalah interaksi, seringkali untuk anak-anak yang masih balita kita tidak perlu memberikan jawaban yang kompleks atau yang sangat tepat. Sebab yang anak butuhkan juga bukannya jawaban yang tepat atau jawaban yang memang merupakan kebenarannya. Yang lebih dibutuhkan oleh si anak balita sebetulnya adalah sekadar jawaban. Waktu anak mulai besar misalkan sudah memasuki pra-remaja itu penting sekali kita memberikan jawaban yang tepat, demikian pula sampai usia remaja dan seterusnya. Orang tua harus berusaha sebaiknya untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan anak.

      Mazmur 90:10, "Masa hidup kami 70 tahun dan jika kami kuat 80 tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan. Sebab berlalunya buru-buru dan kami melayang lenyap." Firman Tuhan meletakkan hidup dalam perspektif yang sebenarnya, bahwa hidup tidak selamanya, jadi kita harus memakai waktu dengan sebaik-baiknya. Tuhan memberi waktu hanya beberapa tahun untuk membina, menanamkan prinsip yang indah pada anak-anak kita, jangan sampai waktu itu berlalu tanpa kita memberikan cukup pada mereka.

    2. Yang kedua, kebutuhan akan disiplin.
      Anak-anak tidak saja memerlukan cinta kasih, mereka memerlukan disiplin yang juga merupakan kebutuhan emosional. Disiplin bukanlah sesuatu yang boleh ada, boleh tidak ada. Disiplin adalah sesuatu yang diperlukan anak, itu merupakan kebutuhannya sama seperti dia membutuhkan cinta kasih.
      Orang tua harus sudah mulai mendisiplin sejak anak masih kecil.

      1. Disiplin dilakukan dengan suara atau dengan pukulan yang terkendali.
      2. Kita perlu memberikan disiplin yang sesuai dengan usia dan kesalahannya. Dr. James Dobson seorang psikolog Kristen mengatakan: "Hukumlah anak untuk kekurangajarannya, untuk sikap mau melawan kita secara sengaja. Jangan hukum anak untuk kekeliruan atau kesalahan yang lazim dilakukan oleh anak-anak kecil."

    3. Yang ketiga, anak memerlukan panutan, contoh, atau teladan.
      Anak senantiasa belajar bagaimana berjalan, bagaimana berbicara, bagaimana bersikap terutama dari orang tuanya. Jadi orang tua perlu sekali menjadi teladan yang nyata dalam kehidupan si anak.

  2. Aspek Sosial
    Pada usia 0-9 tahun anak-anak memerlukan keterampilan bergaul.
    Ada beberapa tugas orangtua di sini:
    1. Orang tua secara sengaja harus mengajarkan beberapa keterampilan penting dalam pergaulan. Misalnya anak perlu belajar untuk membagi, untuk meminjamkan barangnya, untuk berkata ini ½ untukmu, ini ½ untukku itu perlu diakarkan.

    2. Anak-anak perlu bersikap adil, maksudnya adalah waktu dua temannya berselisih dia perlu menempatkan diri di antara keduanya.

  3. Aspek Rohani
    Sebagai orang tua Kristen, tentu kita mau mencoba menanamkan aspek rohani kepada anak-anak kita sedini mungkin. Pada usia 0-9 tahun, satu aspek tentang Tuhan yang perlu kita tanamkan pada anak ialah:
    1. Tuhan sebagai pencipta.
      Kita perlu mengajarkan kepada anak bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta termasuk isinya. Jadi anak-anak sejak kecil memperoleh kesempatan untuk mengagumi ciptaan Tuhan dan karya Tuhan.

    2. Tuhan pemelihara dan penjaga hidupnya.

Amsal 27:5 dikatakan: "Lebih baik teguran yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi."

Saya mau menggabungkan dua kata di sini, teguran dan kasih. Tuhan mau kita memberikan kasih tanpa sembunyi-sembunyi, limpahkan, nyatakan kasih, tapi Tuhan juga menekankan bahwa teguran yang nyata itu baik, dan bahkan kata Tuhan lebih baik dari pada kasih yang kita tidak nyatakan. Jadi dalam membesarkan anak 2 hal ini tidak bisa terlepas, menegur anak dan mengasihi anak dan tegur dengan nyata, kasihi juga dengan nyata itu firman Tuhan bagi kita orangtua.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan melanjutkan berbincang-bincang tentang nasihat praktis untuk mengasuh anak usia 0-9 tahun. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita sudah memperbincangkan tentang bagaimana memberikan suatu asuhan pada anak-anak khususnya dalam aspek emosional, dan waktu itu Pak Paul banyak menekankan tentang bagaimana kita menunjukkan kasih kita kepada anak ataupun anak-anak kita. Yang seringkali timbul Pak Paul, kadang-kadang anak bisa salah mengerti tentang kasih yang kita berikan sehingga dia menjadi manja Pak Paul, dan orang tua jadi kerepotan juga setelah anaknya manja, mau menang sendiri dan seterusnya. Dalam hal ini bagaimana membatasinya supaya apa yang kita maksudkan baik yaitu melimpahkan kasih pada anak ditanggapi pula dengan seimbang?

PG : Saya mengibaratkan kasih dengan gizi, jadi anak-anak memerlukan gizi untuk pertumbuhannya, tanpa gizi yang cukup pertumbuhan anak akan terhambat. Demikian juga dengan cinta kasih Pak Guawan, jadi anak-anak itu mutlak memerlukan kasih agar dia bisa mengembangkan dirinya dengan kasih.

Tapi kita juga tahu bahwa kalau kita memberikan gizi secara berlebihan kepada anak, tubuhnya justru tidak akan sehat, tanpa olah raga, tanpa pengeluaran gizi yang telah diterimanya dia tidak akan mencapai keseimbangan dalam kesehatannya. Jadi yang Pak Gunawan tadi sudah munculkan adalah hal yang memang sangat tepat, yakni anak bukan saja memerlukan cinta kasih, anak-anak juga memerlukan unsur yang lainnya yaitu disiplin, ini adalah kebutuhan emosional anak. Jadi disiplin bukanlah sesuatu yang boleh ada, boleh tidak ada, seringkali kita memikirkan disiplin seperti itu. Disiplin adalah sesuatu yang diperlukan anak, merupakan kebutuhan yang sama seperti dia membutuhkan cinta kasih dan dalam aspek jasmani sama seperti dia memerlukan gizi yang cukup. Jadi disiplin itu merupakan kebutuhan pokok anak yang harus orang tua berikan.
(1) GS : Tapi kelihatannya agak bertentangan Pak Paul antara di satu pihak mengasihi, di lain pihak mendisiplin, mengasihi itu sendiri sudah sulit. Nah secara praktis karena kita sedang berbicara tentang nasihat-nasihat praktis Pak Paul, bagaimana kita menerapkan disiplin kepada anak yang masih di bawah umur 10 tahun ini?

PG : Disiplin adalah upaya kita untuk memangkas anak. Ibarat pohon, kita memangkasnya agar pohon itu dapat menumbuhkan carang-carangnya dengan indah, dengan baik kalau tidak pohon itu akan tmpak liar.

Anak yang terlalu banyak cinta kasih tanpa disiplin akan menjadi anak yang terlalu kuat dan pada usia remaja orang tua akan kewalahan. Biasanya pada usia kecil masih belum tampak masalahnya, jadi orang tua dari kecil harus sudah mulai mendisiplin anak. Ada beberapa hal yang bisa saya bahas di sini, yang pertama adalah disiplin dilakukan dengan suara, dengan pukulan yang terkendali. Biasanya waktu kita mendisiplin, kita menggunakan suara misalkan kita memarahi si anak atau menegurnya. Nah penggunaan suara di sini haruslah terkendali, jangan sampai kita menunjukkan ketidakterkendalian suara kita, misalkan mencaci maki dia, saking kasarnya anak terluka, atau kita mengeluarkan suara yang begitu keras dan histeris. Itu menandakan kita tidak menguasai diri dan itu menjadikan hukuman yang kita berikan kepada anak bukanlah sesuatu yang membangunnya malahan terlalu menakutkan dan akhirnya berdampak tidak positif bagi si anak. Pukulan kita juga harus terkendali jangan kita memukul semena-mena, seenaknya, kita sedang marah kepadanya, kita mau memukul tubuhnya, kita pukul sekeras-kerasnya, atau kita ingin menampar mukanya, kita tampar semau kita. Saya selalu mengatakan anak boleh dan seharusnya dipukul, namun pukullah di bagian yang memang cocok, saya selalu meminta orang tua memukul anak di bagian pantatnya dan jangan menyuruh anak membuka celananya, memukul pantatnya langsung pada kulitnya itu juga terlalu sakit. Biarkan dia pakai celana gunakan tangan kita atau kalau ada orang berkata tangan adalah lambang kasih jadi jangan digunakan untuk memukul anak, harus menggunakan misalnya rotan atau apa. Silakan untuk saya tidak menjadi soal, kalau saya pribadi lebih suka menggunakan tangan saya karena saya bisa tahu berapa keras kita telah memukulnya. Jadi intinya suara kita, serta pukulan kita haruslah terkendali, barulah pendisiplinan itu berjalan seefektif mungkin.
IR : Apa ada hukuman yang lain, Pak Paul?

PG : Yang berikutnya adalah kita perlu memberikan disiplin yang sesuai usia dan juga kesalahannya. Adakalanya untuk anak yang sudah besar misalnya sudah umur 12 tahun, kita hanya beri dia dsiplin yang sangat ringan misalnya kamu harus berdiri di belakang pintu.

Sebenarnya itu tidak akan terlalu berdampak positif karena tidak terlalu membawa aspek hukuman pada si anak. Atau kebalikannya anaknya masih kecil kita hukum terlalu berat itupun tidak boleh, jadi berilah hukuman sesuai dengan usia anak. Juga berikan hukuman sesuai dengan kesalahan anak, jangan sampai kesalahan yang natural dilakukan anak-anak kecil, kita jadikan itu sebagai suatu kesalahan besar. Saya ingat sekali nasihat Dr. James Dobson seorang psikolog Kristen, beliau selalu mengatakan hukumlah anak untuk kekurangajarannya, untuk sikap mau melawan kita secara sengaja. Jangan hukum anak untuk kekeliruan atau kesalahan yang lazim dilakukan oleh anak-anak kecil. Misalkan anak kecil umur 4, 5 tahun sedang makan di meja, karena tangannya bergerak-gerak akhirnya menumpahkan gelas atau piring makanannya. Nah kita tidak perlu bereaksi terlalu keras, memarahi dia, kemudian memukul dia. Itu merupakan kesalahan, tapi sebetulnya untuk si anak itu merupakan bagian dari anak yang tidak bisa diam dan koordinasi tubuhnya belum begitu baik sehingga akhirnya menyentuh gelas atau piringnya. Jadi selalu bedakan apakah ini tindakan kurang ajar, melawan kita dengan sengaja, untuk yang itu kita perlu mengkonfrontasi, menghadapi si anak dan menaklukkan sikap kurang ajar atau melawannya itu dengan ketegasan. Tapi untuk kesalahan-kesalahan yang lebih manusiawi, sebisanya tidak perlu menegurnya dengan keras. Misalnya katakan lihat kamu makan terlalu banyak bergerak, ini hasilnya, lain kali hati-hati ya.
GS : Tadi kalau contoh terakhir Pak Paul, katakan anak yang menumpahkan air atau kuah itu perbuatan si anak, tapi yang tadi Pak Paul katakan anak yang melawan orang tua itu juga berarti sifat dari anak itu. Nah di sini kadang-kadang disiplin itu seharusnya diterapkan bagaimana, Pak Paul?

PG : Sebisanya kita tidak memarahi karakter atau pribadi si anak, kita tidak mencaci maki siapa si anak itu tapi menyoroti pada perbuatannya. Misalnya kita sudah katakan kepada dia jangan keuar main sebelum selesai PR-mu, tiba-tiba kita melihat dia tidak ada lagi di kamar belajarnya dan kita harus mencari sebab dia sedang bermain di luar.

Kita memanggilnya dan kita marahi dia, tadi saya sudah katakan tidak boleh keluar tapi sekarang saya temukan kamu di luar. Itu adalah kenakalan dan ada aspek melawannya, silakan kita marahi perbuatannya itu, kita katakan "tadi saya katakan tidak boleh keluar engkau tetap keluar berarti engkau membangkang, engkau harus saya hukum." Jangan kita mencaci maki dia misalnya yang tidak boleh kita lakukan adalah kita berkata kepadanya "engkau memang anak yang bebal, engkau memang anak yang tidak bisa diajar", kata-kata seperti itu jangan kita katakan. Sama seperti anak pulang membawa nilai buruk, jangan kita berkata "kamu memang anak yang bodoh" atau apa lagi kita berkata, "saya malu punya anak seperti engkau". Itu adalah serangan-serangan yang menohok langsung pada pribadi si anak dan akan melukainya. Tapi waktu kita menegur perbuatannya, itu tidak melukai hati atau jiwa anak, misalkan dia pulang hasil tesnya buruk, kita berkata, "Bukankah Mama atau Papa sudah katakan engkau harus belajar kemarin, engkau tidak mengulang lagi dan ini hasilnya engkau kurang bertanggung jawab dengan pekerjaanmu, maka engkau mendapatkan nilai yang buruk". Itu jauh lebih bisa membangun anak dan hukuman itu tetap bisa kita berikan pada si anak. Kadangkala ini yang saya lakukan pada anak, waktu saya harus memukulnya saya berkata ini kesalahanmu, kira-kira berapa kali pukulan di pantat yang engkau layak terima dari saya. Kadang-kadang dia berkata misalnya 2 kali, nah kalau saya lihat kesalahannya agak besar misalnya saya berkata, tidak saya minta 4 kali akhirnya kami negosiasi, ya sudah 3 kali, saya pukul dia 3 kali. Hukuman seperti itu jauh lebih efektif daripada kita memukul dia sembarangan. Saya ini juga tidak sempurna, Pak Gunawan dan Ibu Ida, saya pernah juga memukul anak saya berlebihan, saya seharusnya bertanya dulu. Tapi karena terjadinya begitu spontan, saya langsung minta dia turun, saya minta dia berbalik kemudian saya pukul pantatnya tanpa saya bernegosiasi. Adakalanya bisa negosiasi, adakalanya tidak juga tapi sebisanya waktu kita mengajak anak bernegosiasi engkau layak menerima berapa pukulan, si anak lebih menyadari bahwa kesalahan ini kesalahannya dan pemukulan orang tua adalah akibat dari perbuatannya itu. Jadi penting sekali kita mulai meletakkan tanggung jawab pada si anak.
IR : Kadang-kadang si anak kesalahannya selalu berulang-ulang, berarti disiplin kita perlu kita tingkatkan juga, Pak Paul. Sampai seberapa jauh disiplin itu kita tingkatkan, kalau anak ini selalu mengulang kesalahannya?

PG : Secara teoritis Bu Ida, kalau dari kecil kita sudah menambahkan bobot hukuman seyogyanya itu tidak lagi diulang oleh si anak. Nah ini kadangkala yang terjadi dalam rumah tangga, Ibu Idadan Pak Gunawan, biasanya anak tidak terlalu takut pada ibu, anak biasanya lebih takut pada ayah, sebab ayah memang mewakili figur otoritas.

Itu sebabnya firman Tuhan di Kolose juga meminta ayah untuk membesarkan anak dalam disiplin, dengan kata lain Tuhan meminta ayah yang mendisiplin anak karena ayah adalah figur otoritas. Seyogyanya waktu seseorang mengalami kesulitan mendisiplin si anak, dia melibatkan suaminya sehingga ini menjadi dukungan atau bantuan yang mencoba atau membatasi perilaku si anak yang nakal itu. Kalau pada masa kecil dilakukan seperti itu dengan konsisten, seharusnya memang tidak diulang, kalau sampai diulang berkali-kali meskipun kita menggunakan bantuan, mungkin kita harus mengubah strategi kita, mungkin hukuman itu kurang cocok, atau mungkin kita sendiri yang kurang konsisten sehingga anak tidak bisa menghormati wibawa kita.
GS : Memang saya merasa ada pola yang berbeda Pak Paul, ibu yang marah dengan ayah yang marah. Ibu yang marah banyak mengeluarkan kata-kata keras tapi lama sekali, sedang ayah kata-katanya tidak terlalu banyak tapi tangannya yang memukul dan sebagainya. Tapi masalah konsistensi itu penting, karena seringkali anak bingung juga bila pada suatu saat dia dihukum, lalu pada kesempatan yang lain dengan kesalahan yang sama dia tidak dihukum.

PG : Tepat dan tadi kita sudah singgung tentang intensitas pemukulannya atau hukuman itu sendiri. Kalau orang tua memberikan hukuman yang berlebihan, seyogyanya menghentikan perilaku anak yag tidak kita inginkan.

Tapi kecenderungannya justru perilaku anak tidak berhenti malah diulang. Jadi akhirnya kita melihat bahwa ketepatan hukuman itu sangat penting, karena hukuman yang tidak tepat justru tidak menghentikan perilaku anak yang nakal itu malahan mengundangnya lagi untuk melakukan hal yang sama. Dan di sini memang seolah-olah si anak menantang, seolah-olah anak berkata "engkau tidak bisa menaklukkan saya". Seolah-olah anak berkata "aku bukanlah semudah itu engkau taklukkan, aku masih bisa melakukannya lagi". Akhirnya terjadilah pergumulan kekuasaan di sini.
GS : Pak Paul, kalau begitu yang dilihat oleh anak, yang menjadi pelajaran buat anak itu bukan yang dia rasakan tetapi yang dia lihat.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi hal ketiga yang perlu dilihat bukan saja orang tua menyediakan cinta kasih, disiplin yang cukup. Orang tua juga harus memberi panutan, contoh dan teladan.Anak itu senantiasa belajar bagaimana berjalan, bagaimana berbicara, bagaimana bersikap.

Itu semua adalah hal-hal yang dia pelajari terutama dari orang tuanya. Jadi orang tua perlu sekali menjadi teladan yang nyata dalam kehidupan si anak. Itu sebabnya saya menggunakan istilah di sini orang tua harus hidup di rumah, apa maksudnya dengan hidup, misalnya orang tua bergaul, dengan siapa dia bergaul, teman-teman seperti apa yang datang ke rumah, itu dilihat oleh anak. Misalnya yang lain, orang tua berdialog antara satu dengan yang lain, antara orang tua dengan anak, orang tua berselisih pendapat bagaimanakah mereka berselisih, berteriak-teriakkah, atau bisa mungkin suara meninggi tapi kemudian bisa juga akhirnya menyelesaikan masalahnya. Apakah orang tua meminta maaf kepada satu sama lain atau kepada anak, nah ini adalah hak yang akan dilihat oleh anak. Hal-hal kecil seperti ini seolah-olah memang tidak bermakna, tapi sebetulnya merupakan pelajaran-pelajaran yang sangat berharga yang anak-anak rekam tanpa dia harus merekamnya dengan sadar, jadi dia sudah merekam dan itu menjadi hal yang baik untuk si anak.
GS : Nah, Pak Paul selain ada aspek emosional yang kita sudah bicarakan, beberapa waktu yang lalu kita bicarakan ada aspek yang lain yaitu aspek sosial, bagaimana konkretnya?

PG : Pada usia 0-9 tahun anak-anak itu memerlukan ketrampilan bergaul. Dengan kata lain anak-anak mulai terjun ke lingkup sosialnya yang lebih besar dari rumahnya sendiri, nah untuk itu dia erlu mempunyai ketrampilan-ketrampilan.

Saya melihat ada beberapa tugas orang tua di sini, yang pertama adalah orang tua secara sengaja harus mengajarkan beberapa ketrampilan penting dalam pergaulan. Misalnya anak perlu belajar untuk membagi, meminjamkan barangnya, untuk berkata ini separuh untukmu, ini separuh untukku, itu perlu diajarkan. Sebab anak-anak tidak secara natural bisa berbagi milik atau kesenangannya, tugas orang tua di sini adalah memberi pelajaran itu kepada anak. Kalau dia tidak bisa belajar berbagi, dia tidak bisa masuk ke dalam lingkup pergaulan teman-temannya. Yang lainnya lagi yang saya bisa pikirkan adalah anak misalnya perlu mengalah, tidak bisa kehendaknya yang selalu terjadi, sekali-sekali anak harus berkata,"silakan engkau dulu", misalkan seperti itu.
GS : Aspek sosial akan dipelajari oleh banyak anak di sekolah Pak Paul, kalau dia sudah mulai sekolah.

PG : Seringkali kita berpikir bahwa sekolah merupakan tempat anak bergaul, sesungguhnya kalau kita pikir dengan lebih serius, sekolah itu hanya menyediakan sedikit waktu bagi anak untuk bergul.

90% waktu anak di sekolah sebetulnya hanya dipusatkan pada satu figur yaitu guru, mereka duduk berhadapan tidak dengan satu sama lain tapi dengan guru. Kebetulan kalau gurunya tidak ada, ketika jam pelajaran yang ke-1, itu mereka bisa gunakan untuk saling ngobrol. Tapi kalau gurunya selalu ada berarti mereka harus menujukan mata mereka hanya pada satu arah yaitu guru. Keluar main hanya 10 menit misalnya, 2 kali keluar main ya hanya 20 menit, anak-anak di sekolah bisa sampai 6, 7, bahkan 8 jam. Jadi sebetulnya kesempatan bergaul tidak banyak, di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan. Yang lainnya lagi juga bisa saya munculkan adalah anak-anak perlu bersikap adil. Maksudnya bersikap adil waktu kedua temannya berselisih, dia perlu bisa membedakan mana yang salah atau mana yang betul atau dia perlu menempatkan diri di antara keduanya. Kadang-kadang hal ini yang dihadapi oleh anak kita, dilema-dilema seperti ini. Sekali lagi kalau orang tua dan anak mempunyai hubungan yang akrab, anak kadang-kadang dengan sukarela bercerita, saya menghadapi masalah ini, teman saya begini, ribut dengan yang ini saya harus bagaimana. Nah, kita di sini bisa memberikan masukan kepada mereka.
GS : Bagaimana dengan kesempatan anak untuk bisa bersosialisasi, kalau dia cuma anak tunggal?

PG : Terbatas Pak Gunawan, otomatis sebisanya kalau kita memang dikaruniai kemampuan mempunyai anak lebih dari satu, saya menganjurkan sebaiknya lebih dari satu. Kalau tidak memang kita haru proaktif membawa anak ke tempat saudara kita, atau ke rumah temannya.

Nah yang lain dari itu, meskipun kita punya anak dua atau tiga, saya kira sekarang ini orang tua harus memikirkan dengan terencana mengenai aspek sosialisasi anak. Dengan begitu padatnya pelajaran di sekolah, anak-anak makin mengalami kesulitan menemukan waktu bermain dengan teman-teman. Jadi sebaiknya waktu libur atau hari Sabtu dan hari Minggu, kita berikan kesempatan mereka untuk main. Pulang sekolah pun ada baiknya diberikan waktu kepada mereka untuk santai atau bermain dulu, jadi waktu bermain itu tidak terhilang sebab bermain dan bergaul dengan teman merupakan tulang punggung sosialisasi anak.
(2) GS : Nah sebagai orang tua Kristen, Pak Paul, tentu kita mau mencoba menanamkan aspek rohani, tapi ada banyak masalah yang dihadapi orang tua. Jadi bagaimana kita menanamkan aspek rohani ini kepada anak-anak kita sedini mungkin?

PG : Pada usia 0-9 tahun saya kira satu aspek tentang Tuhan yang kita perlu tanamkan pada anak ialah Tuhan sebagai pencipta dan penjaga atau pemelihara hidupnya. Kita perlu mulai mengajarkankepada anak bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta termasuk isinya.

Kita mulailah mengajarkan tentang betapa kompleksnya hidup dan semua ciptaannya. Jadi anak-anak sejak kecil memperoleh kesempatan untuk mengagumi ciptaan Tuhan dan karya Tuhan. Yang kedua, dia juga perlu belajar bahwa Tuhan pemelihara dan penjaga hidupnya, jadi kita bisa mengajak anak-anak untuk misalnya berdoa secara langsung dalam ketakutan, kesusahan, dalam problem sehingga anak-anak mulai mempunyai konsep bahwa Tuhan berada di dekatnya untuk menolongnya. Waktu dia sakit kita doakan dia, lama-lama kita bisa minta dia untuk mendoakan temannya atau saudaranya yang sakit. Sehingga anak-anak itu bukan saja mempunyai pengetahuan tentang Tuhan, diapun mulai membangun hubungan dengan Tuhan. Saya kira pada usia mendasar, inilah yang bisa kita tanamkan pada anak-anak kita.
IR : Juga kita perlu, ya Pak Paul, mengajarkan anak-anak ambil bagian dalam pelayanan?

PG : Pada usia 0-9 tahun kalau misalkan ada yang bisa mereka lakukan silakan, yang kecil yang tampaknya sederhana, misalnya ikut paduan suara anak. Itu akan membuat anak merasa senang bisa mlakukan sesuatu untuk Tuhan yang telah memelihara dan menjaga hidupnya.

GS : Bagaimana pendapat Pak Paul dengan beberapa orang yang mengatakan orang tua membiarkan anak untuk memilih agamanya sendiri?

PG : Sangat tidak setuju, karena anak-anak itu tidak ada yang hidup tanpa arahan. Dalam hal-hal yang lain, orang tua mengarahkan anak, mengkondisikan anak menjadi seperti yang orang tua ingikan.

Mengapa dalam soal iman kepercayaan tiba-tiba kita berkata berikan hak asasi itu kepada anak, tidak. Kita tidak akan mengatakan biar dia sadar sendiri untuk menjadi anak yang adil, menjadi anak yang bisa mendahulukan teman, tidak. Kita akan mengajarkan itu pada anak, kenapa tidak mengajarkan pada anak tentang Tuhannya?
GS : Mungkin ada banyak orang khawatir menjadi repot Pak Paul, untuk menanamkan aspek emosional maupun sosial dan rohani. Karena dari pembicaraan ini kita tahu bahwa itu bukan sesuatu hal yang mudah, tetapi sangat dibutuhkan oleh para orang tua itu bimbingan dari firman Tuhan, nah dalam hal ini apa yang Pak Paul ingin sampaikan.

PG : Saya akan bacakan dari kitab Amsal 27:5 "Lebih baik teguran yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi." Saya mau menggabungkan dua kata di sini, teguran dan kasih. Than mau kita memberikan kasih tanpa sembunyi-sembunyi, limpahkan, nyatakan kasih, tapi Tuhan juga menekankan bahwa teguran yang nyata itu baik, dan bahkan kata Tuhan lebih baik daripada kasih yang kita tidak nyatakan.

Jadi dalam membesarkan anak, dua hal ini tidak bisa terlepas, menegur anak, mengasihi anak dan menegur dengan nyata, mengasihi juga dengan nyata. Itulah firman Tuhan bagi kita sebagai orang tua.
GS : Di tengah-tengah kesibukan orang tua seperti saat ini, banyak yang mengatakan yang penting mutu dalam pertemuan dengan anak walaupun cuma sebentar, tetapi kita tahu seperti James Dobson itu selalu menganjurkan baik mutu ataupun waktunya itu harus cukup. Bagaimana menurut Pak Paul?

PG : Setuju sekali Pak Gunawan, mutu hanya muncul di dalam waktu yang tersedia, tanpa waktu yang tersedia, tidak akan cukup yang akan muncul.

GS : Jadi kalau Tuhan mengaruniakan anak atau anak-anak kepada kita itu memang tanggung jawab yang cukup besar. Pembicaraan ini sangat penting dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami telah memperbincangkan beberapa hal tentang nasihat praktis untuk mengasuh anak usia 0-9 tahun. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



20. Bagaimana Menghadapi Anak yang Cerdik


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T072A (File MP3 T072A)


Abstrak:

Kebanyakan anak-anak yang cerdik adalah anak yang cerdas, akan tetapi hal ini perlu diarahkan, jika tidak diarahkan dapat berkembang menjadi sesuatu yang negatif.


Ringkasan:

Cerdik dan cerdas keduanya memang bisa saling mengisi atau tumpang tindih. Kebanyakan anak-anak yang cerdik adalah anak-anak yang cerdas, cerdas bagi saya adalah tingkat kepandaian. Cerdik menggunakan tingkat kepandaian itu untuk kepentingannya. Jadi anak-anak yang cerdik adalah anak-anak yang bisa memanfaatkan kesempatan, memanipulasi orangtuanya, guna kepentingan pribadinya.

Ciri-ciri anak yang cerdik:

  1. Anak-anak itu mudah sekali meluluhkan hati orangtua atau hati orang lain dengan perbuatan baiknya. Di mana perbuatan baik itu bersifat sementara. Dengan kata lain dia bisa mempertunjukkan suatu perilaku yang dia tahu sangat dirindukan atau diharapkan oleh orang lain guna mendapatkan yang dia inginkan.

  2. Anak-anak ini bisa membaca dengan cepat kelemahan orang dalam hal ini misalnya kelemahan orang tuanya.

  3. Anak-anak ini pandai mengadu domba.

Yang melatarbelakangi anak mempunyai sikap-sikap cerdik adalah:

  1. Yang menjadi dasar utamanya adalah anak-anak ini pandai, jadi secara genetik anak ini memang sudah cerdik. Artinya apa, artinya dia bisa membaca situasi dengan cepat sekali.

  2. Anak yang dibesarkan di rumah yang tidak ada anak lain, dia anak tunggal. Jadi segala perhatian ditumpahkan padanya sehingga yang dia inginkan cenderung dia dapatkan.

  3. Anak ini adalah anak yang disanjung karena di rumah ada 2, 3 anak, dia paling pandai. Karena itulah dia banyak mendapatkan pujian-pujian, pujian-pujian ini membuat dia semakin mudah mendapatkan yang dia inginkan.

Langkah-langkah yang perlu kita lakukan untuk menghadapi anak yang cerdik, yaitu:

  1. Kita tidak mesti harus selalu membuka kedok anak. Yang saya maksud adalah kita bukannya menyuburkan ketidaktulusannya tapi kita mau mengakui bahwa dalam rel yang benar di mana tidak ada kebohongan, cerdik atau banyak akal adalah suatu aset, suatu kelebihan yang dapat digunakan untuk hal yang baik. Misalnya lagi bukankah ketajaman membaca reaksi orang, membaca perasaan orang, itu sesuatu yang sangat berguna dalam pergaulan. Jadi itu adalah aset yang kita tidak ingin hilangkan dari dirinya.

  2. Konsisten, jadi konsisten adalah obat penawar yang sangat ampuh untuk anak-anak cerdik ini. Jadi kalau kita sudah katakan minggu ini tidak beli barang, tidak beli mainan. Kita harus konsisten tidak beli mainan untuk selama 1 minggu ini.

Hal-hal di atas sangat perlu kita lakukan dengan tujuan pertama-tama adalah

  1. Mengajarkan kepada anak bahwa kitalah yang mengatur rumah, kitalah yang mengatur perilakunya, kitalah orang tua dan dia anak. Jangan sampai melupakan atau dilewati, anak senantiasa harus tahu dia anak dan kita orang tua. Dan pada titik terakhir orang tualah yang akan menentukan tindakannya.

  2. Anak-anak perlu belajar mengendalikan dirinya. Artinya dia harus belajar menahan diri, menguasai hasratnya dengan kata lain kita mulai membantunya menumbuhkan disiplin diri.

Amsal 2:20,21, "Sebab itu tempuhlah jalan orang baik dan perliharalah jalan-jalan orang benar, karena orang jujurlah akan mendiami tanah dan orang tak bercelalah yang akan tetap tinggal di situ." Jadi firman Tuhan mau menegaskan satu prinsip ini, orang yang jujur akan bisa bertahan, orang yang tidak jujur tidak bertahan, justru dia akan kehilangan yang menjadi miliknya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang topik bagaimana menghadapi anak yang cerdik. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, ada anak-anak yang memang dikaruniai oleh Tuhan dengan kecerdikan dan itu nampak sejak kecil. Tetapi kadang-kadang juga anak cerdik ini merepotkan orang tuanya. Supaya kita sama-sama mempunyai satu persepsi tentang pengertian cerdik, dalam hal ini apa yang hendak Pak Paul ungkapkan?

PG : Di sini saya membedakan kata cerdik dan cerdas, meskipun keduanya bisa saling mengisi atau tumpang tindih. Kebanyakan anak-anak yang cerdik adalah anak-anak yang cerdas, cerdas bagi say adalah tingkat kepandaian.

Cerdik menggunakan tingkat kepandaian untuk kepentingannya, jadi anak-anak yang cerdik adalah anak-anak yang bisa memanfaatkan kesempatan, memanipulasi orang tuanya untuk kepentingan pribadinya.
(2) GS : Mungkin ada suatu dongeng anak-anak yang mengatakan kancil yang cerdik, yang bisa menggunakan buaya sebagai jembatan, apakah seperti itu yang Pak Paul maksudkan? Ciri-ciri anak yang cerdik itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Yang jelas adalah anak-anak ini mudah sekali meluluhkan hati orang tua atau hati orang lain dengan perbuatan baiknya. Yang perlu kita perhatikan, umumnya perbuatan baik itu adalah perbutan yang bersifat sementara.

Dengan kata lain, dia bisa mempertunjukkan suatu perilaku yang dia tahu sangat dirindukan atau diharapkan oleh orang lain untuk mendapatkan yang dia inginkan. Jadi di sini bukannya dia ingin melakukan hal-hal yang baik untuk orang lain, tapi untuk memenuhi kebutuhannya atau keinginannya.
IR : Itu sifatnya positif atau negatif, Pak Paul?

PG : Saya kira awalnya sesuatu yang natural, tapi kalau tidak kita arahkan bisa berkembang menjadi sesuatu yang negatif, Bu Ida. Jadi benar-benar dia akan menjadi anak-anak yang saya sebut sbagai anak-anak plastik, anak-anak yang hanya menunjukkan perilaku tertentu tapi sebetulnya itu bukanlah dirinya yang sebenarnya.

GS : Mungkin yang negatif sering kali kita sebut licik, sedang yang cerdik ini lebih bersifat positif, Pak Paul. Kalau sifatnya hanya sementara Pak Paul, sebenarnya tujuannya untuk memperoleh apa yang dia inginkan, berarti dia bisa "memperalat" orang tuanya atau orang lain yang lebih dewasa dari dia?

PG : Tepat sekali, jadi mereka ini anak-anak yang bisa membaca dengan cepat kelemahan orang, dalam hal ini misalnya kelemahan orang tuanya. Itu yang dia lakukan, dia memperalat kelemahan orag tua atau orang lain untuk mendapatkan yang dia inginkan.

GS : Contoh konkretnya apa, Pak Paul?

PG : Misalnya ibunya tidak tahan dengan tangisannya, jadi kalau dia sudah mulai merengek-rengek ibunya pasti tidak tahan. Yang dia akan lakukan adalah merengek dan dia tahu dia akan dengan sgera mendapatkan yang dia inginkan.

Atau dia tahu ayahnya tidak tega dengan dirinya, ayahnya sangat mencintainya, jadi ayahnya tidak akan tahan kalau dituduh bahwa ayahnya tidak mengasihinya. Yang dia akan lakukan adalah menuduh ayahnya, "ayah tidak lagi sayang kepadaku". Begitu mendengar kata-kata ayah tidak sayang lagi kepadaku, si ayah langsung panik dan terpaksa melakukan apa yang diinginkan oleh si anak.
IR : Apa ada ciri-ciri lain, Pak Paul?

PG : Yang lainnya adalah anak-anak ini pandai mengadu domba, misalkan si ayah berkata: "tidak boleh", si anak akan lari kepada mamanya dan meminta hal yang sama, begitu mamanya berkata "ya bleh".

Nah, dia datang kembali kepada ayahnya dan berkata: "Mama sudah bilang boleh". Dengan kata lain anak ini memang cerdik sekali, dia tahu bagaimana mendapatkan yang dia inginkan, salah satu metodenya adalah mengadu domba. Dia bisa melakukan bukan saja kepada orang tuanya, tapi juga kepada kakak adiknya, dia bisa berkata: "pinjamkan barangmu!", "tidak boleh", "kakakmu sudah berikan kok..!", o...ya....?", "Ho'..oh! Boleh tidak?", "Ya kalau kakak sudah beri, ya boleh." Padahal mungkin sekali kakak yang satunya belum memberikan izin. Kemudian dia akan datang kepada kakak yang satunya dan berkata: "adik sudah berikan, boleh tidak saya pinjam?" o...ya jadi boleh. Nah jadi memang dia bisa mengadu domba, bahkan di kalangan teman. Jadi trik-trik seperti ini seolah-olah ada secara natural di dalam dirinya, yang sering kali mengherankan orang tua, sebab orang tua sendiri tidak pernah mengajarkan trik-trik seperti itu.
IR : Itu bisa terjadi sejak usia mulai kecil, ya Pak Paul?

PG : Betul sekali, Bu Ida, jadi ada anak-anak yang mulai bisa memanipulasi orang lain atau orang tuanya, sejak usia sekitar 2 ½ atau 3 tahun, jadi sedini itu.

GS : Kalau katakan cara-cara yang dia gunakan masih halus kelihatannya ya Pak Paul, tidak membuahkan hasil, apa kira-kira yang dilakukan oleh si anak?

PG : Dia akan menggunakan metode mengancam, Pak Gunawan, jadi dia akan berkata: "kalau tidak dibelikan saya akan mogok makan." Nah dia tahu mogok makan itu akan sangat menakutkan orang tuany, dia tahu orang tuanya akan membujuk-bujuk dia supaya dia makan dan dia akan terus marah dan berkata: "tidak, sampai saya mendapatkan barang itu, saya tidak akan makan dulu."

Atau yang lainnya lagi misalnya, dia akan mengancam besok tidak mau sekolah, nah orang tua jadi terpaksa membelikan barang atau menuruti kehendaknya, karena orang tua tahu besok kalau dia di rumah menangis-nangis tidak mau ke sekolah, ramai di rumah sebelum ke sekolah. Jadi orang tua akhirnya terpaksa menuruti kehendaknya. Sering kali kalau dia merasakan tidak lagi mempunyai hasil, dia akan mengancam.
IR : Dan sikap itu bisa dimanfaatkan untuk orang lain juga, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Ibu Ida, jadi bukan saja dia bisa mengancam orang tuanya, dia mulai bisa mengancam temannya, supaya dia mendapatkan yang dia inginkan.

GS : Apakah ancaman itu selalu dalam bentuk kata-kata, Pak Paul? Dia ungkapkan atau hanya tingkah lakunya atau bagaimana?

PG : Sering kali memang dalam bentuk ucapan, jadi dia akan berbuat ini, berbuat itu. Tapi waktu tidak dituruti kehendaknya, dia melaksanakan misalkan dia mengancam dia tidak makan, ya dia tiak makan.

Tapi saya percaya kalau misalkan dia tidak makan untuk 2, 3 hari dia pasti akan makan juga. Saya menduga paling dia hanya mogok tidak makan dan dia berhasil tidak makan ya mungkin dia kehilangan 2 makan pagi dan siang, malamnya dia akan makan. Atau kalau tidak sekolah ya benar-benar dia akan menangis, dia akan berontak tidak mau ke sekolah begitu.
GS : Sebenarnya apa yang melatarbelakangi anak sampai melakukan sikap-sikap seperti itu?

PG : Yang menjadi dasar utamanya adalah anak-anak ini memang pandai, jadi secara genetik anak ini memang sudah cerdik. Artinya apa? Artinya dia bisa membaca situasi dengan cepat sekali. Ada nak-anak yang tidak bisa membaca dengan begitu cepatnya, tapi anak-anak yang cerdik ini mudah sekali membaca perasaan orang, reaksi orang, dia bisa melihat keragu-raguan orang dalam melarang dia.

Nah, anak-anak yang lain mungkin tidak bisa membedakan tapi dia bisa, dia tahu orang tuanya sepenuh hati melarang dia atau ¾ hati atau ¼ hati, dia bisa membedakan semuanya. Dia tahu kapan orang tuanya melarang dia dengan ½ hati, waktu dia mendengar ½ hati dia akan masuk untuk mengubah yang ½ nya lagi, misalnya. Jadi memang mudah sekali, peka sekali dengan reaksi orang dan dia benar-benar bisa memanfaatkan itu.
GS : Bagaimana sikapnya seandainya anak itu mempunyai adik atau teman lain yang kelihatannya tidak terlalu cerdik seperti dia, dalam teman bermain sering kali seperti itu, Pak Paul?

PG : Jadi kecenderungannya, Pak Gunawan, anak-anak ini memanfaatkan anak-anak lain yang lebih lemah, lebih muda atau lebih bergantung kepadanya atau yang tidak sepandai dia. Kecenderungannyaakhirnya bisa memanfaatkan orang lain, dia bisa menyuruh-nyuruh orang untuk melakukan yang dia minta atau memberikan yang dia inginkan.

Nah, dalam tindakan yang lebih ekstrimnya, dia bisa membujuk anak-anak lain yang lebih muda atau yang lebih bodoh darinya untuk melakukan atau memberikan yang dia minta dan anak-anak lain itu seperti terpedaya sekali dengan dia, langsung saja memberikan dan mengikuti kehendaknya, karena begitu pandainya dia membujuk anak-anak lain itu. Jadi misalnya contoh yang bisa terjadi temannya datang membawa satu bolpoint yang baru, dia bisa membujuk temannya itu. Nah ini akan membuat orang bingung, kok bisa anak itu membawa bolpoint baru dengan bolpoint bekas, seperti itu.
(3) IR : Kira-kira apa sebabnya anak menjadi cerdik itu, Pak Paul?

PG : Saya kira yang memang lebih melatarbelakangi adalah kepekaan secara genetik, kepandaian yang memang dia bawa sejak lahir. Jadi memang sudah mempunyai akal yang banyak karena pandai dan udah membaca situasi, begitu tajam melihat reaksi orang dan membedakan reaksi orang.

Itu saya kira tidak perlu diajarkan, jadi tidak pasti ada masalah di rumah sehingga anak ini menjadi cerdik, seperti itu.
IR : Atau terkait juga dengan sifat yang ingin mendapatkan sesuatu, Pak Paul?

PG : Nah itu biasanya tambahan jadinya, Bu Ida, jadi saya kira penyebab pertamanya memang sudah ada bakat atau bawaan yang dibawa sejak lahir, kepandaian dan kecerdikannya. Biasanya di rumah dia akan mendapatkan masukan-masukan yang makin menyuburkan perilakunya itu, kenapa? Sebab pada umumnya orang tua senang dengan anak yang cerdik, jadi meskipun ada nada marah orang tua akan berkata: "Aduh ini anak pintar benar bisa membohongi Mama."

Bukankah ini suatu kata-kata yang penuh dengan kontradiksi, ada tegurannya karena membohongi Mama tapi sekaligus ada nada bangga bisa berhasil membohongi Mama. Jadi dengan kata lain anak-anak ini memang menerima banyak tanggapan positif terhadap kecerdikannya itu. Yang kedua misalkan anak ini dibesarkan di rumah yang tidak ada anak lain, dia anak tunggal. Jadi segala perhatian ditumpahkan padanya sehingga yang dia inginkan cenderung dia dapatkan. Nah lama-lama dia mulai mempelajari cara-cara mendapatkannya. Sebab mudah sekali tidak perlu berusaha keras, langsung bisa mendapatkannya sebab dia anak tunggal. Atau yang ketiga dan cukup umum adalah anak ini adalah anak yang disanjung karena di rumah ada 2, 3 anak tetapi dia yang paling pandai. Karena itulah dia banyak mendapatkan pujian-pujian. Pujian-pujian ini membuat dia semakin mudah mendapatkan yang dia inginkan. Atau yang klasik adalah orang tua yang bermasalah, sehingga orang tua yang bermasalah itu tidak tahu bagaimana mendidik anak dengan tepat atau tidak mempunyai waktu untuk mendidik anak. Jadi memberikan saja dengan mudah apa yang diinginkan oleh anak.
(4) GS : Ya sebenarnya punya anak cerdik itu juga merepotkan orang tua, Pak Paul, kalau melihat seperti tadi, maka kira-kira langkah-langkah apa yang bisa ditempuh oleh orang tua menghadapi anak yang cerdik seperti itu?

PG : Ada beberapa langkah yang perlu kita lakukan, yang pertama adalah kita tidak harus selalu membuka kedok anak. Nah mungkin ini pernyataan yang sedikit membingungkan, bukankah anak-anak ii mempunyai bakat untuk tidak tulus, jadi reaksi kita sebagai orang tua bukanlah seharusnya membuka kedok supaya kita bisa lebih jujur atau tulus.

Yang saya maksud di sini adalah kita bukan menyuburkan ketidaktulusannya tapi kita mau mengakui bahwa dalam rel yang benar di mana tidak ada kebohongan. Cerdik atau banyak akal adalah suatu asset, suatu kelebihan yang dapat digunakan untuk hal yang baik. Jadi kekreatifan seorang anak atau memikirkan solusi waktu menghadapi tembok itu sesuatu yang baik. Tidak selalu negatif, jadi relnya saja yang kita harus perhatikan. Atau yang lainnya lagi anak-anak mempunyai banyak akal, memang sangat-sangat berguna dalam pergaulannya. Misalnya dia menolong teman yang dalam menghadapi problem, sangat berguna sekali akal-akal yang dia miliki. Nah jadi anak-anak ini bisa memberikan bantuan kepada teman yang mengalami problem. Yang lainnya lagi, bukankah ketajaman membaca reaksi orang, membaca perasaan orang, itu sesuatu yang sangat berguna dalam pergaulan. Jadi itu juga adalah asset yang kita tidak ingin hilangkan dari dirinya, dengan perkataan lain waktu mulai berbohong, waktu mulai melewati batas kita perlu menegur, kita perlu munculkan. Tapi tidak selalu waktu dia mulai cerdik-cerdik kita memarahinya, menghukumnya karena saya kira itu hanya akan menghilangkan semua asset yang sebetulnya berguna bagi dia pula.
GS : Di dalam hal ini Pak Paul, tadi Pak Paul katakan kadang-kadang si ibu itu mengatakan sesuatu yang bertentangan, pintar anak bisa membohongi ibu, nah itu sesuatu yang bertentangan, yang bisa membingungkan anak. Nah sebenarnya bagaimana sikap orang tua menghadapi anak cerdik ini?

PG : Yang paling penting adalah konsisten. Jadi kalau Papa sudah mengatakan tidak boleh, Mama harus mendukung Papa, tidak boleh. Kalau Papa berkata tidak boleh, Mama berkata boleh si anak lagsung tahu o....

ini dia duduk masalahnya, mereka tidak sepakat si anak akan terus menggunakan celah itu. Jadi konsisten adalah obat penawar yang sangat ampuh untuk anak-anak seperti ini. Jadi kalau kita sudah katakan minggu ini tidak membeli barang, tidak membeli mainan. Kita harus konsisten tidak membeli mainan untuk selama 1 minggu ini.
IR : Juga kalau anak menunjukkan reaksi, misalnya mogok makan dan sebagainya, si orang tua tidak perlu takut ya Pak Paul?

PG : Betul, sering kali kita menjadi panik karena anak tidak mau makan. Biarkan dia tidak makan sekali, dua kali misalkan sampai malam dia tidak mau makan juga, orang tua harus mengambil tinakan yang lebih tegas.

Misalnya memarahi dia dan kalau perlu kita memukul dan kita tahu kita memukul hanya di pantat anak, kita marahi, kita tegur dia dengan suara yang mantap, dengan suara yang tegas dan melihat matanya. Setelah itu kita katakan, "makan", tujuannya apa? Tujuannya adalah mulai memberitahu kepada si anak bahwa engkau tidak selalu bisa memperoleh yang engkau inginkan, ada waktu-waktu engkau harus melakukan sesuatu yang tidak engkau inginkan dalam hal ini engkau harus makan. Mungkin dia tidak makan juga malam itu, dia menangis dan sebagainya. Tapi karena malam itu dia tidak makan, dia dimarahi dan dipukul, besok kalau dia tidak makan dia akan menerima perlakuan yang sama dari kita. Kita akan memarahi dan memukul dia, dengan perkataan lain kalau besok pagi dia tidak makan dia akan berpikir dua kali karena dia sudah mendapatkan perlakuan kita yang tegas di malam sebelumnya. Jadi di sini diperlukan tindakan-tindakan yang bisa juga mematahkan kemauannya yang keras itu bahwa sampai titik tertentu dia harus melakukan yang kita inginkan. Jangan sampai orang tua dalam hal seperti ini 'kehilangan gigi' dan benar-benar menunjukkan kehilangan giginya, tidak tahu lagi harus berbuat apa dengan kamu, itu perkataan yang kurang bijaksana dilontarkan di hadapan anak. Anak benar-benar akan bersukacita mendengar orang tua berkata: "tidak tahu lagi bagaimana menghadapi kamu". Ya untuk lain kali, dia benar-benar akan terus menerus memanfaatkan orang tuanya.
GS : Cuma kadang-kadang orang tua berada dalam posisi yang sulit Pak Paul, sehingga sering kali yang dia ungkapkan adalah "OK-lah tapi sekali ini saja, lain kali tidak", nah itu apakah menunjukkan hal yang tidak konsisten?

PG : Saya kira bisa ya, bisa tidak. Jadi saya tidak mau terlalu kaku juga kalau orang tua bisa konsisten dan berkata: "Kali ini saja, lain kali Mama tidak akan memberikan hal ini". Nah lain alinya benar-benar tidak boleh, tidak apa-apa.

Tapi kalau lain kali masih ada lain kali lagi, nah itu bahaya tidak akan ada habisnya.
GS : Sebenarnya kita mengasihi anak-anak ini, apa sebenarnya yang hendak kita ajarkan pada anak ini, Pak Paul, melalui hal-hal seperti itu?

PG : Pertama-tama kita ingin mengajarkan bahwa kitalah yang mengatur rumah, kitalah yang mengatur perilakunya, kitalah orang tua dan dia anak. Itu jangan sampai dilupakan atau dilewati, anaksenantiasa harus tahu dia anak dan kita orang tua.

Dan pada titik terakhir orang tualah yang akan menentukan tindakannya. Yang kedua adalah anak-anak ini perlu belajar mengendalikan dirinya. Anak-anak yang cerdik ibarat kereta api yang berjalan dengan cepat, kalau tidak ada yang menghalangi kereta akan terus berjalan, dia akan menjadi seorang anak yang tak tertahankan, di mana keinginannya tidak boleh dihalangi oleh siapapun, ini yang berbahaya. Jadi dengan tindakan-tindakan yang tegas dan konsisten anak yang cerdik itu tahu, bahwa dia tidak selalu mendapatkan yang dia inginkan. Artinya dia harus belajar menahan diri, menguasai hasratnya, dengan perkataan lain, kita mulai membantunya menumbuhkan disiplin diri. Sebab yang namanya disiplin sesungguhnya adalah kemampuan menguasai hasrat pribadi, ini yang sedang kita lakukan terhadapnya.
(5) GS : Bagaimana dengan pembentukan anak itu sendiri?

PG : Lepas dari yang saya katakan tapi saya sudah singgung, awalnya anak-anak ini mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan kecerdikan menjadi ketidaktulusan. Yang kita akan bentuk adalah ecenderungan untuk menjadi tidak tulus, kecerdikan kita ketahui sebagai hal yang bermanfaat, tapi kalau sudah tidak tulus itu sudah melewati batas, sehingga ini yang kita perlu perhatikan.

Kalau dia mulai berbohong, memutarbalikkan perkataan seseorang atau merugikan orang dengan bujukannya, di sini kita mulai mencium ketidaktulusan. Di sini orang tua harus memberikan teguran, kalau perlu memarahinya. Kalau perlu misalkan dalam contoh bolpoint tadi, mengembalikan bolpoint itu kepada temannya. Jadi kita harus mendidik dia untuk tidak merugikan orang lain dengan kecerdikannya itu. Misalnya dia mulai berbohong kepada gurunya dan sebagainya, dengan kata-kata yang pandai itu besok kita bawa dia ke sekolah dan minta dia mengatakan hal yang sebenarnya kepada gurunya. Tindakan seperti itu mengajar dia agar lain kali tidak menggunakan kecerdikan untuk hal-hal yang tidak tulus.
GS : Mungkin dari situ anak harus belajar, kecerdikannya itu juga bisa merugikan temannya dan dirinya sendiri, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, tepat sekali jadi kita bisa beritahu dia bahwa "ketika engkau merugikan temanmu, dia tidak mau lagi berteman denganmu, sebab dia akan melihat engkau sebagai orang yang jaht.

Engkau memang mendapatkan apa yang engkau inginkan, tapi engkau akan kehilangan lebih banyak hal, orang tidak akan percaya lagi kepadamu. Apa yang engkau katakan selalu akan dicurigai, diragukan, apa kau senang? Kalau tidak mau jangan berbohong lagi." Jadi hal-hal ini bisa kita terus ajarkan kepada si anak.
GS : Nah, Pak Paul, kecerdikan itu juga merupakan suatu dari Tuhan ya? Tuhan yang memberikan dia kecerdikan. Tentunya Tuhan juga memberikan kepada kita khususnya orang tua itu pedoman melalui firmanNya, dalam hal ini apa yang firman Tuhan katakan?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 2:20-21, "Sebab itu tempuhlah jalan orang baik dan peliharalah jalan-jalan orang benar, karena orang jujurlah akan mendiami tanah dan orang takbercelalah yang akan tetap tinggal di situ."

Jadi firman Tuhan mau menegaskan satu prinsip, orang yang jujur akan bisa bertahan, orang yang tidak jujur tidak bertahan, justru dia akan kehilangan yang menjadi miliknya, nah ini yang kita tegaskan kepada si anak. Meskipun orang tidak tahu mula-mulanya, Tuhan tahu dan Tuhan akan menghukum orang yang tidak jujur, bahkan yang dia miliki akan menjadi terhilang darinya. Tapi orang yang jujur dia akan terus mempunyai yang memang merupakan bagiannya.
GS : Memang setiap orang tua pasti akan menanamkan kejujuran berdasarkan firman Tuhan kepada anak-anak, tapi khusus untuk anak-anak yang cerdik seperti ini harus diberikan tambahan pelajaran contoh yang konkret begitu?

PG : Tepat sekali, tepat sekali, jadi nomor satu orang tuanya sendiri harus memberi teladan bagaimana orang tua juga tulus, orang tua juga tidak mengarang-ngarang untuk menakut-nakuti anak, itam ya hitam, putih ya putih, boleh ya boleh, tidak boleh ya tidak boleh.

Orang tua juga tidak terlalu banyak menakut-nakuti atau memberi kisah-kisah yang tidak betul, nah ini membuat anak belajar bahwa orang tua itu tulus, dan dia akan lebih bisa menerapkan kejujuran itu dalam hidupnya.
GS : Kita pasti bersyukur mempunyai anak yang cerdik, tetapi kita juga mohon pimpinan Tuhan tentang bagaimana membesarkan anak-anak ini dalam ketulusan dan kejujuran.

Dan demikianlah tadi saudara-saudara pendengar, Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang menghadapi anak yang cerdik, bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio, kami sampaikan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



21. Mengajar Anak Menggunakan Uang


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T072B (File MP3 T072B)


Abstrak:

Sebagai orangtua sangat perlu untuk mengajarkan anak menggunakan uang secara tepat guna dan sesuai dengan firman Tuhan.


Ringkasan:

Cinta akan uang bisa muncul dari dua situasi yang bertolak belakang, yaitu:

  1. Kita dibesarkan di rumah di mana uang terlalu berlimpah, sehingga kita bisa menikmati hidup dengan mudahnya. Oleh karena itu kita menjadi terbiasa dengan keberadaan uang di kantong kita, tanpa disadari terbentuklah hubungan cinta antara kita dan uang itu.

  2. Hidup yang sangat sulit. Di mana susah sekali membeli kenikmatan hidup karena tidak tersedianya uang.

Dua kondisi ini sama-sama berbahaya, sebab Tuhan berkata: "Ini adalah akar, akar dari segala kejahatan."

Hal yang dapat dilakukan orangtua untuk mengajarkan anak menggunakan uang:

  1. Konsep uang jajan, ini akan menolong anak belajar mengatur uang. Anak hanya bisa mengatur uang karena dia memegang uang, tanpa uang ditangannya tidak ada yang harus diatur. Uang saku kita bisa mulai berikan pada waktu anak-anak itu kelas 0 (nol), jadi uang saku untuk membeli sesuatu yang memang dia inginkan atau perlukan pada jam sekolah itu. Setelah mulai misalnya usia 11, 12 tahun kita bisa mulai lebihkan uang, supaya dia bisa mulai nantinya menggunakan uang untuk keperluan yang lain.

  2. Mengajarkan prinsip pemakaian uang yakni membedakan antara yang perlu dan yang tidak perlu. Membedakan antara yang menyenangkan hati dan membedakan antara yang sedang model atau yang benar-benar dia butuhkan. Tapi yang penting adalah kita mengajarkan:

    1. Mengutamakan membeli barang yang dibutuhkan.

    2. Kemudian membeli barang yang ia sukai.

    3. Barulah kalau ada uang sisa dia bisa membeli barang yang memang sedang model.

Amsal 3:9-10, "Muliakanlah Tuhan dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu. Maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya."

Yang Tuhan katakan di sini yang pertama adalah bahwa harta itu tidak harus bersikap negatif atau salah. Jadi kita mesti mempunyai pengajaran yang berimbang, jangan akhirnya menekankan kepada anak uang itu kotor, hitam dari setan, tidak. Harta adalah sesuatu yang memang sebetulnya bisa digunakan untuk yang baik. Artinya kita bisa memuliakan Tuhan, membuat nama Tuhan menjadi dipuji oleh karena harta yang kita miliki atau kita berikan itu. Dan dikatakan juga dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu. Supaya kita ini mengakui bahwa semua itu berasal dari Tuhan tetap hak milik Tuhan, Tuhanlah yang harus menikmatinya bukan kita.

Tuhan berkata : "Lumbung-lumbungmu akan terisi penuh sampai melimpah-limpah dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya." Artinya kalau kita bisa memberikan kepada Tuhan, Tuhan akan memberikannya kepada kita. Kalau tangan kita terlalu erat menggenggam tidak akan banyak yang Tuhan bisa taruh di tangan kita. Tapi kalau tangan kita bisa dengan elastis membuka genggaman tangan itu maka akan lebih banyak yang Tuhan letakkan pada tangan kita. Prinsip ini yang terus akan kita ajarkan kepada anak-anak sehingga mereka tidak mempunyai pandangan yang negatif tentang harta tapi mempunyai pandangan yang positif, dia bisa kembalikan kepada Tuhan dan dengan itu dia memuliakan Tuhan dan Tuhan memberkati dia.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang topik bagaimana "Mengajar Anak Menggunakan Uang". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kita sebagai orang dewasa tahu bahwa mencari uang itu sulit. Tetapi menggunakan uang pun bukan sesuatu hal yang mudah, nah karenanya kita sebagai orang yang sudah lebih dewasa tentu ingin mengajarkan, mempersiapkan anak-anak ini supaya mereka bisa menggunakan uang yang mereka miliki secara tepat guna. Tetapi masalahnya kita sebagai orang tua juga tidak pernah menerima pendidikan untuk itu Pak Paul. Nah melalui acara TELAGA ini Pak Paul mungkin bisa memberikan saran-saran tentang bagaimana orang tua mengajarkan kepada anaknya di dalam menggunakan uang yang dipercayakan kepadanya.

PG : Sebelum kita masuk ke saran-saran praktisnya Pak Gunawan, saya ingin membawa kita semua kembali kepada firman Tuhan. Kalau kita teliti dalam firman Tuhan ada satu tema yang mengalir denan sangat kuat terutama di Perjanjian Baru yaitu tentang uang.

Dan bahkan kita tahu Tuhan pernah berkata: "Engkau tak bisa melayani Tuhan dan Mamon." Nah Mamon itu adalah representasi atau perlambangan dari uang, dengan kata lain ada satu hal yang Tuhan setarakan dengan diri-Nya dalam pengertian begitu mengancam manusia, begitu berpengaruh terhadap manusia selain Tuhan yakni uang. Jadi kalau kita menyadari bahwa Alkitab sendiri memberi begitu banyak peringatan tentang harta dan tentang uang, nah saya kira sudah pada tempatnyalah kita sebagai orang tua juga memperhatikan aspek ini. Nah saya perhatikan ini adalah aspek kehidupan atau aspek dalam mendidik anak yang cukup sering terabaikan, nah sedangkan sekarang kita baru disadarkan bahwa ini adalah hal yang sangat penting sekali. Jadi Tuhan tahu bahwa hal ini hal yang justru bisa mengerosi iman seseorang. Kalau kita ingat perumpamaan penabur benih yang tercatat di Injil Lukas, nah benih yang jatuh di tanah yang mempunyai banyak semak duri diibaratkan dengan orang yang sudah mulai bertumbuh dalam Tuhan tapi akhirnya tidak bisa bertumbuh dan berbuah dengan lebat, karena apa? Himpitan-himpitan apa yang dikatakan di Alkitab, kekhawatiran, kenikmatan dan juga kekayaan. Jadi dengan kata lain sekali lagi di situ ditekankan meskipun digunakan tiga istilah sebetulnya apa yang sering kali mengawatirkan kita, apa itu yang namanya kenikmatan dunia, bukankah itu semuanya berkaitan dengan uang. Jadi sekali lagi yang akan bisa menghambat pertumbuhan rohani kita juga adalah uang, jadi sudah pada tempatnyalah kita sekarang sebagai anak-anak Tuhan memberi perhatian yang lebih besar terhadap uang dalam rumah kita. Bagaimana kita bisa mengajar anak-anak kita bersikap terhadap uang dan memakai uang dengan lebih bijaksana.
(2) GS : Lagi pula saya tiba-tiba teringat akan firman Tuhan yang mengatakan bahwa akar segala kejahatan itu cinta akan uang, padahal kita juga membutuhkan uang itu tapi tidak boleh cinta, nah ini sesuatu yang mungkin Pak Paul perlu jelaskan?

PG : Dan cinta akan uang itu Pak Gunawan, bisa muncul dari dua situasi yang bertolak belakang. Yang pertama adalah kita dibesarkan di rumah di mana uang terlalu berlimpah sehingga kita bisa enikmati hidup dengan mudah karena tersedia banyak uang.

Oleh karena itu kita menjadi terbiasa dengan keberadaan uang di kantong kita, nah tanpa disadari terbentuklah hubungan cinta antara kita dan uang itu. Namun ada situasi yang lain yang juga bisa menelorkan perilaku yang sama atau kecintaan terhadap uang yaitu hidup yang sangat sulit. Di mana susah sekali membeli kenikmatan hidup karena tidak tersedianya uang, nah dua kondisi ini sama-sama berpotensi menumbuhkan cinta akan uang yang berlebihan. Nah ini yang sangat berbahaya, sebab Tuhan berkata: "ini adalah akar, akar dari segala yang jahat."
(3) IR : Bagaimana sebaiknya Pak Paul, cara mengatur untuk memberikan uang jajan kepada anak-anak itu?

PG : Jadi anak-anak itu Bu Ida, tidak lepas dari uang jajan, biasanya pada masa-masa kecil kita ini mulai memperkenalkan uang pada anak dalam bentuk uang jajan. Sebelumnya uang itu dipegang leh kita, dan barang-barang yang dia butuhkan kita yang membelikannya.

Pada waktu anak-anak sudah berusia misalnya 6 tahun dan sebagainya mulailah kita memberikan dia uang jajan. Nah saya sangat setuju dengan konsep uang jajan, karena apa? Konsep uang jajan menolong anak belajar mengatur uang, nah ini aspek pertama yang kita harus ajarkan kepada anak. Yakni bagaimana mengatur uang, nah anak hanya bisa mengatur uang karena dia memegang uang, tanpa uang di tangannya tidak ada yang harus diatur. Jadi orang tua yang tidak memberi uang jajan sama sekali dan punya uang saya kira itu bukan tindakan yang tepat, karena tidak mendidik anak mengatur uang. Bagaimanakah kita mendidik anak mengatur uang melalui uang jajan ini. Pada masa anak-anak kecil, misalkan yang di bawah umur 8 tahun, kita memberikan uang jajan itu sehari demi hari, mungkin kita bisa terapkan ini sampai SD, sampai kelas 6 SD hari lepas hari. Dan kita berikan uang jajan pas untuk yang dia ingin beli, nah anak-anak akan secara alamiah memberitahukan kita, tadi mau beli ini, kita bawa jalan keluar sekolah dia akan berhenti di tempat ini, di tempat itu dengan berkata: "Ma.. beli ini", "Ma..beli itu", nah kita mulai tahu kira-kira apa yang dia ingin beli setiap hari misalkan gambar tempel atau apa. Nah kita perkirakan kira-kira berapa uang yang dia butuhkan atau misalkan kita mau dia membeli makanan di kantin sekolah, kita juga perhitungkan secara pas berapa uang yang dia butuhkan membeli makanan itu, itu yang kita berikan kepada dia. Jadi uang yang sangat pas sehingga dia tidak usah berpikir lagi bagaimana dia mengatur uangnya, dia hanya tahu beli ini, beli itu, itu tahap pertama dalam pengaturan uang. Waktu anak-anak sudah SMP saya sarankan, sudah waktunya anak-anak diberikan uang yang lebih banyak. Misalkan kita berikan dia uang jajan untuk selama 3 hari dan dia mulai mengaturnya pula, misalkan dia beli barang makanan atau apa, kita sudah perhitungkan juga dan kita lebihkan sedikit untuk yang dia ingin beli. Nah di situ dia mulai bisa juga belajar mengatur uangnya. Nah pada waktu anak-anak SMA kita bisa berikan dia uang jajan untuk 1 minggu berarti ini termasuk uang dia pergi dengan temannya pada hari Sabtu atau hari Minggu. Itu tidak lagi kita berikan satu kali, kita berikan dia 1 minggu, dan dia harus belajar mengatur uang untuk keperluannya, dia tidak bisa lagi meminta dari kita, karena itu adalah alokasi dana yang kita berikan kepadanya.
(4) IR : Pada usia berapa Pak Paul anak diberi uang saku itu?

PG : Saya kira uang saku itu kita bisa mulai berikan pada waktu anak-anak itu kelas 0 (nol), jadi uang saku untuk membeli sesuatu yang memang dia inginkan atau perlukan pada jam sekolah. Dantidak ada sisanya sama sekali, pada masa-masa taman kanak-kanak itu.

Setelah dia mulai misalnya usia 11, 12 tahun kita bisa mulai lebihkan uang itu, supaya dia bisa mulai nantinya menggunakan uang itu untuk keperluan yang lain.
GS : Sering kali anak bertanya Pak Paul, "saya mau beli ini boleh tidak, beli ini boleh tidak?" pada tahap-tahap awal kita memang bisa mengerti tetapi kalau dia makin dewasa masih terus tanya seperti itu, itu agak mengganggu sifatnya Pak Paul. Nah yang kita mau ajarkan kepada anak tentunya adalah prinsipnya, supaya dia mempunyai semacam pedoman di dalam menggunakan uang itu. Nah prinsip apa Pak Paul sebetulnya yang bisa kita ajarkan kepada anak-anak ini?

PG : Kita bisa mengajarkan prinsip pemakaian uang yakni membedakan antara yang perlu dan yang tidak perlu. Membedakan antara yang menyenangkan hati dan membedakan antara yang sedang model atu yang benar-benar dia butuhkan.

Jadi adakalanya anak membeli sesuatu bukan karena dia perlukan, tapi menyenangkan hatinya, dia suka. Atau adakalanya dia beli karena barang itu sedang model, teman-temannya membelinya jadi dia juga mau membelinya. Nah saya tidak berkata kita hanya belikan barang yang dia butuhkan tidak. Sebab kita harus mengakui hidup itu tidaklah sesederhana itu, kita pun kadang-kadang membeli barang yang kita sukai dan tidak terlalu perlu. Tapi yang penting adalah kita mulai mengajar dia melihat berapa uang yang dia punya, kalau uang itu jumlahnya misalnya hanya sekian dan dia hanya bisa membeli barang yang dibutuhkan, itu yang harus dia utamakan. Tingkatan kedua adalah setelah barang yang ia sukai. Terakhir yang ketiga barulah kalau masih ada uang sisa dia bisa membeli barang yang memang sedang model, dengan kata lain memang itu yang dimiliki oleh teman-temannya dan dia ingin sama seperti teman-temannya. Nah urutan ini jangan terbalik-balik, ada kecenderungan anak-anak kalau tidak kita ajarkan hal seperti ini begitu ada uang dia akan buru-buru membeli barang yang menjadi model. Nah sedangkan dia sendiri tidak suka barang itu tapi sudah model, nah kita ajarkan "tidak, kalau engkau masih punya uang estra setelah engkau membeli yang engkau butuhkan engkau harus utamakan yang engkau sukai. Engkau sukai tidak? Memang ini sesuai seleramu tidak? Menyenangkan hatimu tidak?" Kalau dia bilang: "Sebetulnya tidak, cuma teman-teman pada pakai", nah kita katakan: "Belilah barang yang engkau sukai." Nah terakhir kalau engkau tidak punya uang lagi ya sudah jangan beli tapi masih ada sisa uang barulah engkau sisakan itu uang untuk membeli barang yang sedang model, yang sedang trend. Saya kira prinsip ini perlu kita ajarkan kepada anak-anak sehingga nanti setelah dia dewasa, dia mulai berpikir seperti itu pula. Waktu ada sejumlah uang dia harus prioritaskan mengeluarkan uang itu untuk yang dia butuhkan dulu, baru setelah itu yang ia sukai dan terakhir baru yang sedang model.
IR : Pak Paul, apakah orang tua juga harus memberikan teladan?

PG : Saya kira itu penting sekali, itu point yang bagus sekali Bu Ida, jadi kalau kita mengajar kan itu kepada anak, tapi tidak melakukannya ya percuma. Dia akan berkata papa atau mama kok jga membeli barang ini mentang-mentang lagi modelnya.

Misalnya contoh yang gampang kita tahu sekarang televisi itu keluar model-model yang baru-baru apalagi sekarang itu yang flat tron ya yang rata, nah televisi kita masih bagus kita baru beli misalnya 2 tahun yang lalu tapi tidak flat namun bagus sekali suaranya seperti home teader dan sebagainya, tapi gara-gara keluar yang flat tron kita langsung membelinya. Nah saya tidak melarang orang membeli barang yang sedang model tapi kalau begitu keluar kita langsung menyambar saya kira kita mengajarkan kepada anak, model itu terlalu penting buat kita. Nah ada baiknya kalau misalnya kita punya uang dan memang kualitasnya bagus kita tetap perlu menunggu sehingga anak-anak sudah melihat: "Pa, ini ada yang baru, Pa, Ma, televisinya ada yang baru flat tron" dan sebagainya, kita tidak langsung membelinya. Nah jedah ini atau jarak waktu ini mengajarkan kepada anak bahwa orang tua tidak langsung membelinya. Nah jedah ini atau jarak waktu ini mengajarkan kepada anak bahwa orang tua tidak langsung membeli gara-gara modelnya itu yang sedang trend.
IR : Saya pernah menemukan satu keluarga Pak Paul, orang ini mampu, mempunyai uang sehingga anaknya ini sering menuntut, dia bisa beli apa saja toh orang tuanya ada uang. Tapi orang tuanya selalu mengajarkan bahwa uang yang dimiliki itu adalah uang milik Tuhan, sehingga setiap pengeluaran uang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, jadi hanya membeli apa yang perlu dan tahapan seperti tadi itu yang diajarkan. Tapi dia selalu mengembalikan bahwa uang itu bukan milik orang tuanya tapi milik Tuhan jadi akhirnya juga tidak memaksa.

PG : Itu bagus, jadi dari kecil si anak diajarkan bahwa kita adalah juru kunci yang Tuhan percayakan, jadi jangan sampai kita sembarangan dengan kepercayaan yang Tuhan telah berikan kepada kta.

Itu bagus sekali Bu Ida.
GS : Kembali ke uang saku Pak Paul, itu biasanya anak tetap punya tabungan, entah pada hari ulang tahun diberi oleh orang tua atau neneknya dan sebagainya. Nah apakah mereka itu boleh menggunakan uang tabungannya itu menurut apa yang dia inginkan?

PG : Tetap kita harus memantau, jadi tidak bisa pada anak-anak yang terutama masih remaja, kita izinkan mebeli apa saja semaunya, tetap kita harus beritahukan dia. Nah jadi meski anak berkat : "Ini uang tabungan saya, saya mau pakai untuk beli ini" tetap kita gunakan prinsip yang tadi, "engkau butuh atau tidak?" Misalkan dia bilang, yang mudah sekali saja mainan games atau playstation.

Dia bilang "ya saya sudah beli ini tapi saya sudah mainkan dan sudah habis," nah kita harus tetap berikan jarak yaitu kapan dia belinya. Meskipun dia sudah mainkan habis tapi kalau misalkan dia baru beli dua hari yang lalu. Kita bisa berkata: "jangan! Engkau baru beli barang itu dua hari yang lalu." Jadi salah satu cara menolong anak mengatur uang termasuk uang jajan itu adalah dengan cara menjatahkan. Kita menjatahkan dia sehingga dia lama-lama juga belajar menjatahkan untuk dirinya, tidak setiap saat dia inginkan sesuatu dia mesti mendapatkannya, dia harus tunggu waktu yang berikutnya. Misalkan di rumah kami untuk barang-barang yang kami anggap bernilai lebih mahal kami selalu harus minta anak-anak menunggu sampai hari besar. Hari besar itu apa, di rumah kami ada 2 hari yaitu hari ulang tahun dan hari Natal, sudah kalau untuk barang-barang yang bernilai tinggi, tapi biasanya memang hari ulang tahun. Jadi biasanya kami hanya membelikan barang yang sedikit lebih mahal pada 2 hari itu atau biasanya hanya pada 1 hari, hari ulang tahun. Selain itu biasanya kami hanya membelikan barang-barang yang relatif murah, tapi itu misalkan seperti video games, playstation games kami hanya izinkan membeli seminggu sekali. Jadi dia ada waktu 1 minggu untuk main, memang barang yang sama itu, tidak bisa dia beli setiap hari atau 2 hari sekali.
GS : Mengajar anak menabung itu sampai berapa jauh Pak Paul?

PG : Saya kira kita mesti juga mengajar pada anak-anak usia belasan ya SMP, SMA. Jadi kita beritahukan dia kamu sudah punya uang sekian, nah engkau perlu menabung. Tapi anak-anak itu sering ali tidak bisa menabung dengan begitu saja, perlu ada objeknya, tujuannya.

Misalkan dia mulai berkata saya senang sekali dengan ini atau apa gitu, tapi kita tahu harganya sangat tinggi, nah kita bisa berkata setiap minggu engkau tabung sekian nanti setelah misalnya 2 bulan uangmu itu akan mencapai ½ harga barang itu ½ nya kami akan tambahkan, tapi 1/2 nya dari uang tabunganmu. Nah ini menolong anak bermotivasi menabung, sekali lagi anak-anak belum mengerti arti menabung seperti kita ini, kalau kita menabung karena kita memikirkan jauh ke depan. Jadi kita bisa tekankan tentang barang yang dia mau beli, dia bisa mulai menabung untuk membeli barang tersebut.
IR : Di sekolah itu diajarkan Pak Paul, anak-anak itu menabung lewat ibu guru mereka, itu baik atau tidak, meski tidak melihat untuk apanya. Jadi berapa besar sangat dikaitkan untuk apanya, kadang-kadang anak-anak rela sengaja makan makanan yang lebih kecil atau lebih murah atau bahkan tidak makan sama sekali di sekolah untuk menabung sebab dia ingin membeli barang tersebut. Jadi sekali lagi berapa besar sangat dikaitkan dengan untuk apa, tapi kalau dia menabung tidak tahu tujuannya sering kali dia akan kehilangan motivasi.
GS : Bagaimana halnya dengan memberikan persembahan pada hari minggu Pak Paul, khususnya dalam kebaktian. Ada orang tua yang langsung memberikan sudah ini nanti masukkan ke kantong persembahan, ada yang diberikan seperti tadi uang saku lalu anak boleh menentukan sendiri persembahannya berapa. Yang mana yang seharusnya?

PG : Saya kira sampai anak-anak itu berusia sekitar misalnya 12, 13 tahun tidak apa-apa orang tua memberikan uang kemudian ditaruh di dalam persembahan. Tapi setelah itu sekitar SMP 2 ke ata anak-anak perlu diajar memberikan persembahan dari uang sakunya.

Kenapa? Di situlah anak-anak belajar memberi. Kalau dia hanya memberikan uang yang sudah kita berikan kepadanya, dia itu tidak memberikan dia hanya mentransfer, dia hanya sebagai medium menyalurkan saja. Jadi perlu dia memberikan dari uang sakunya, ini mutlak harus diajarkan kepada anak. Dan di sini kita bisa melihat betapa susahnya si anak memberikan di sinilah kita mulai bisa memberikan kepada anak itu prinsip-prinsip rohani, bahwa Tuhan akan membukakan tingkap-tingkap langit dan menurunkan berkatNya atas kamu, kita bisa membacakan Matius pasal 6 kesusahan hari ini untuk hari ini jangan khawatir untuk hari esok dan sebagainya. Nah di situ kita juga bisa menolong dia misalkan dia tahu uangnya tinggal segini, tapi dia tahu dia harus berikan persembahan dan kita katakan hari ini untuk hari ini, nanti akan ada berkat, nah dia berikan dengan iman. Nah hari-hari lainnya waktu dia perlu sesuatu kita bisa berikan uang itu kepadanya uang yang lain kita gantikan. Jadi kita mengajarkan prinsip bahwa memang Tuhan akan mencukupi kebutuhan dia.
(5) IR : Sekarang mendidik anak untuk menolong teman Pak Paul, itu sejauh mana Pak Paul?

PG : Ini point yang bagus sekali Bu Ida, sebab anak-anak kadang kala tidak bijaksana memakai uang, gara-gara soal teman. Teman minjam lagi, tidak diberikan susah, takut dimusuhi, takut diangap pelit, nah jadi kita perlu mengajarkan anak membedakan antara menolong teman dan menyenangkan hati teman.

Kita tidak memberikan uang hanya untuk menyenangkan hati teman, yang kita perlu ajarkan anak adalah memberikan uang guna menolong teman yang memang memerlukan uang. Dengan kata lain kita harus mengajarkan anak membedakan teman ini, teman yang seperti apa. Apakah dia memang sering meminjam uang dari orang-orang, apakah dia mengembalikan uang yang dia pinjam, jadi kita mau mengajar anak juga memberikan uang kepada orang yang memang sepatutnya menerima uang itu, sehingga tidak disalahgunakan. Jadi prinsip memberikan menjadi suatu prinsip yang sangat konstektual, kita bisa benar-benar ajarkan dia dengan lengkap, bukan saja soal jumlahnya tapi soal siapa yang meminjam itu kita harus juga perhatikan. Digunakan untuk apa oleh dia dan apakah memang dia orang yang bertanggung jawab dengan pinjamannya dan apakah dia ini maksudnya memberikan untuk menyenangkan hati temannya atau menolong teman, jadi semua ini kita bisa ajarkan.
GS : Bagaimana kalau sebaliknya kita sebagai orang tua mengetahui karena anak yang cerita bahwa dia meminjam uang temannya untuk membeli sesuatu barang?

PG : Nah di sini kita bisa tanyakan kepada anak, nomor 1, apa yang membuat engkau tidak meminta kepada kami, kok meminjam kepada teman. Nah biasanya anak meminjam kepada teman karena dia tah dia tidak bisa mendapatkannya dari kita, karena dia akan membeli barang yang akan kita larang itu biasanya terjadi.

Nah kalau kita tahu dia meminjam uang dari teman, saya pribadi akan mengatakan itu bukan kebiasaan yang baik, ini juga Akitab, Alkitab memang pernah berkata: "Jangan berhutang kepada siapapun kecuali berhutang kasih." Jadi memang Alkitab sangat menekankan bahwa kita sebagai anak Tuhan perlu mandiri jangan mudah bergantung pada orang dalam hal finansial ini. Nah kita bisa katakan kepada si anak itu bukan kebiasaan baik, meskipun engkau bisa membayarnya nanti, kalau belum bisa beli karena tidak punya uang, jangan beli dulu, kalau sudah punya uang baru beli. Jadi kita ajarkan dia suatu gaya hidup yang lebih sehat, jangan hutang nanti bayar, hutang nanti bayar o.....tidak, kita ada uang baru beli, meskipun kita inginkan barang itu.
IR : Dan kita tekankan prinsip Alkitab Pak Paul, cukupkanlah apa yang ada padamu gitu Pak Paul ya.

PG : Tepat sekali.

GS : Nah dalam hal itu apakah perlu orang tua langsung melunasi katakan hutang anak kita pada orang luar atau ya sudah tanggung sendiri sampai lunas atau bagaimana Pak?

PG : Saya kira kita harus memberi tanggung jawab itu kepada si anak. Jadi misalkan uang jajannya berapa, uang sakunya berapa dari situlah kita potong, dia harus juga merasakan sakitnya membaar hutang.

Nah anak-anak yang tidak pernah belajar membayar hutang tidak bisa menghargai artinya pemberian. Anak-anak yang terus menerima-menerima, pemberian-pemberian cenderung tidak menghargai betapa bernilainya pemberian itu. Waktu dia harus membayar sesuatu hutangnyalah atau apa, dia lebih menghargai artinya pemberian. Jadi tanggung jawab membayar balik saya kira harus kita embankan pada si anak.
GS : Pak Paul, memang ada begitu banyak ayat di dalam Alkitab tadi Pak Paul katakan khususnya di Perjanjian Baru yang berbicara tentang uang. Tapi tentu ada bagian tertentu juga di Perjanjian Lama yang bicara tentang ini Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari kitab Amsal 3:9-10, "Muliakanlah Tuhan dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu. Maka lumbung-lumbungmu akan di isi penuh sapai melimpah-limpah dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya."

Yang Tuhan katakan di sini yang pertama adalah bahwa harta itu tidak harus bersikap negatif atau salah. Jadi kita mesti mempunyai pengajaran yang berimbang, jangan akhirnya menekankan kepada anak harta, uang itu kotor, hitam dari setan dan sebagainya, tidak. Harta itu adalah sesuatu yang memang sebetulnya bisa digunakan untuk yang baik. Nah yang baiknya apa, di sini dikatakan kita bisa memuliakan Tuhan dengan harta ini, nah artinya memuliakan Tuhan berarti membuat nama Tuhan menjadi dipuji oleh karena harta yang kita miliki atau kita berikan itu. Dan di sini dikatakan lagi dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu. Kita cenderung mau menikmati hasil pertama kita, kita merasa ini adalah jerih payah kita, nah Tuhan menginginkan hasil pertama itu diberikan kepadaNya. Supaya apa? Supaya kita ini mengakui bahwa semua itu berasal dari Tuhan tetap hak milik Tuhan, Tuhanlah yang harus menikmatinya bukan kita. Tuhan kemudian berkata: "Lumbung-lumbungmu akan terisi penuh sampai melimpah-limpah dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya." Artinya kalau kita bisa memberikan kepada Tuhan, Tuhan akan memberikannya kepada kita. Jadi prinsip selalu adalah inisiatif dalam soal uang ada pada kita berani tidak, rela tidak kita memberikan kepada Tuhan. Kalau tangan kita terlalu erat menggenggam tidak akan banyak yang Tuhan bisa taruh di tangan kita. Tapi kalau tangan kita bisa dengan elastis membuka tangan itu, genggaman itu, maka akan lebih banyak yang Tuhan letakkan pada tangan kita. Nah prinsip ini yang akan terus kita ajarkan kepada anak-anak sehingga mereka tidak mempunyai pandangan yang negatif tentang harta tapi mempunyai pandangan yang positif, dia bisa kembalikan kepada Tuhan dan dengan itu dia memuliakan Tuhan dan Tuhan akan memberkati dia.

GS : Memang sesuatu yang tidak gampang menggunakan uang pada saat-saat seperti ini tetapi terutama kita sebagai orang tua tentunya harus belajar lebih banyak dari kebenaran firman Tuhan sebelum kita mengajarkannya kepada anak-anak kita. Jadi demikianlah tadi saudara-saudara pendengar Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang bagaimana "Mengajarkan Anak Menggunakan Uang". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58, Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan akhirnya dari studio kami sampaikan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



22. Mengajar Anak Berkata Tidak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T078A (File MP3 T078A)


Abstrak:

Anak-anak pada waktu di rumah akan mendapatkan prinsip-prinsip kehidupan dari orangtuanya tapi begitu dia menginjak usia remaja dia akan mulai menerima masukan-masukan dari teman-temannya. Dalam proses inilah dia akan mematangkan apa itu yang diyakininya.


Ringkasan:

Pandangan kita sebagai orang tua berseberangan dengan anak-anak. Apa yang mereka nilai baik, kita menilainya tidak baik. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Waktu kita melihat dia memberontak kita juga harus meyakini bahwa waktu dia di kalangan teman-temannya dan melihat nilai hidup yang telah dia peroleh dari rumah itu tidak sama dengan nilai hidup yang dimiliki oleh teman-temannya, sebetulnya dalam hatinya dia pun mengalami konflik.

  2. Yang paling penting yang bisa kita lakukan adalah, pada waktu kita menyampaikan nilai-nilai hidup itu kita harus menyampaikan substansinya, intinya atau isinya. Contohnya: "Apakah anak itu boleh ke disco?" Biasanya orang tua dengan cepat akan berkata tidak boleh, tapi anak-anak remaja pasti ingin tahu kenapa tidak boleh. Tidak bolehnya itu tidak bisa hanya dikatakan disco tempat yang tidak baik, apa yang membuat tempat itu tidak baik harus dijelaskan oleh si orang tua.

  3. Seringkali remaja tidak mudah untuk menerima begitu saja apa yang kita katakan, kita bisa berkata dua hal:

    1. Kita menyampaikan pemahaman kita bahwa memang dia sulit untuk mengertinya. Kita bisa berkata: "Saya mengerti engkau tidak bisa menerimanya, saya mengerti sulit bagi engkau untuk menerimanya."

    2. Ada waktu-waktu di mana kita tetap harus berkata pada anak kita: "Engkau tidak boleh", tidak mengerti atau mengerti tetap tidak boleh. Jadi ada pagar yang tetap kita harus dirikan sehingga anak itu tahu bahwa dia tidak bisa melompati pagar tersebut.

  4. Pengertian memang penting dan harus kita sampaikan kepada para remaja, namun di pihak lain tetap harus dirikan pagar yang membatasi sampai di mana kita bisa berkompromi dengan mereka.

Amsal 8:13
"Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat."

Di sini firman Tuhan menjelaskan bahwa membenci kejahatan awal dari takut akan Tuhan, anak-anak perlu tahu apa itu kejahatan-kejahatan dan perlu belajar untuk membencinya. Membenci dalam pengertian dia harus jauhkan, dia tahu ini bukanlah bagian dari hidupnya, dia tahu ini bukanlah sesuatu yang boleh dia lakukan. Waktu memberitahukan kita juga berikan alasannya kenapa hal itu jahat, kenapa hal itu berdosa sehingga anak-anak bisa mengertinya dari sudut firman Tuhan. Setelah itu baru kita katakan bahwa orang yang melakukan ini semua adalah orang yang takut akan Tuhan. Dan firman Tuhan berkata takut akan Tuhan adalah awal dari hikmat, jadi ini yang juga perlu kita sampaikan pada anak-anak kita. Sehingga kita semua betul-betul berpegang pada kebenaran firman Tuhan.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang mengajar anak berkata tidak. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Biasanya ketika anak-anak masih kecil dan sering di rumah, kita melihat anak kita itu begitu menurut, patuh dengan yang kita perintahkan maupun yang kita larang dan sebagainya. Tapi semenjak dia bersosialisasi di masyarakat dan sebagainya, banyak orang tua dan kami sendiri juga mengalami hal itu agak kewalahan, Pak Paul. Seolah-olah kehilangan kendali dan kalau ditelusuri lebih jauh ternyata pengaruh dari lingkungan itu besar sekali, sehingga kalau ditanya siapa yang mengajari hal itu? O.... teman saya, kawan baik saya dan sebagainya. Sebenarnya apakah permasalahan ini bisa diatasi orang tua, Pak Paul?

PG : Anak-anak pada waktu di rumah mendapatkan semua prinsip kehidupan dari kita, begitu dia menginjak usia remaja dia akan mulai menerima masukan-masukan dari teman-temannya. Pada awalnya tman-teman masa kecil itu belum bisa memberikan dia masukan-masukan, karena memang usianya masih kecil.

Pada usia remajalah anak-anak itu mulai bisa mencetuskan pikiran-pikirannya, nilai-nilai hidupnya. Oleh sebab itulah anak-anak kita sewaktu beranjak ke usia remaja, barulah mulai menunjukkan sikap memberontak atau tidak setuju dengan yang telah kita ajarkan kepadanya. Sikap kita terhadap gejala ini tidak harus negatif, karena justru anak-anak itu terjun ke masyarakat dimulai pada usia remaja. Di situ dia mulai diuji dan mulailah dia membuktikan bahwa yang dikatakan orang tuanya itu benar atau tidak. Kalau tidak ada kesempatan sama sekali justru dia akan miskin pengalaman, yang dia pelajari itu semua hanya seolah-olah bersifat teoritis dan tidak bisa dia buktikan. Nah pada masa remaja inilah, hal-hal yang dia akan alami itu seolah-olah menantangnya untuk membuktikan bahwa yang telah dia yakini itu adalah benar, jadi ini adalah suatu proses yang sehat, Pak Gunawan.
(1) GS : Tapi sering kali pandangan kami sebagai orang tua dengan anak-anak kita itu sering berseberangan, Pak Paul. Apa yang mereka nilai baik, kami menilainya tidak baik, karena kelihatannya juga tidak baik. Tapi kalau kita katakan kepadanya temanmu itu tidak baik, dia bisa marah sekali, Pak Paul. Jadi tolok ukur yang bisa kita berikan itu bagaimana, Pak Paul?

(2) PG : Pertama-tama waktu kita melihat dia memberontak, kita juga harus meyakini bahwa waktu dia di kalangan teman-temannya dan nilai hidup yang telah dia peroleh dari rumah itu tidak ama dengan nilai hidup yang dimiliki oleh teman-temannya, sebetulnya dalam hatinya diapun mengalami konflik.

Tapi bedanya dengan kita adalah di hadapan teman-temannya dia tidak berani untuk langsung memberitahukan pendapatnya. Sebab kita tahu pada usia remaja itu tekanan teman besar sekali dan dia ingin sekali diterima oleh teman-temannya. Berbeda teman-temannya dengan kita sebagai orang tua remaja, dia lebih bebas untuk mengutarakan bahwa dia tidak setuju dengan apa yang telah kita katakan. Jadi intinya adalah proses ini proses yang sehat, proses ini adalah proses dimana si remaja akan bolak-balik antara kita dan temannya. Di hadapan kita dia akan membawa gagasan dari teman-temannya, di hadapan teman-temannya sesungguhnya dia pun membawa gagasan kita atau nilai-nilai hidup kita itu. Dalam proses inilah dia mematangkan apa yang diyakininya, apa yang bisa kita lakukan. Yang paling penting adalah pada waktu kita menyampaikan nilai-nilai hidup itu, kita harus menyampaikan substansinya atau intinya atau isinya. Kita akhirnya sering terperangkap pada bungkusannya, namun kehilangan perspektif pada intinya. Saya berikan contoh misalnya apa anak itu boleh ke disco, nah orang tua dengan cepat biasanya akan berkata tidak boleh, tapi anak-anak remaja ingin tahu kenapa tidak boleh. Nah kenapa tidak bolehnya itu, tidak bisa hanya dikatakan disco tempat yang tidak baik, apa yang membuat tempat itu tidak baik tidak dijelaskan oleh si orang tua. Jadi sekali lagi bahasa yang digunakan haruslah bahasa yang langsung ke arah intinya, saya kira ini akan menolong anak-anak untuk melihat alasan kita sehingga tidak dilihat oleh anak kita ini hanya mencari-cari alasan. Nah ini yang sukar dia terima.
GS : Tapi kalau suatu tempat misalnya diskotik atau pub dan sebagainya, Pak Paul, ini menyangkut pribadi teman dari anak kita itu. Bagaimana kita menguraikannya supaya dia bisa menyadari bahwa temannya itu tidak baik untuk dijadikan sahabat karibnya, Pak Paul?

PG : Adakalanya itu akan kita hadapi, Pak Gunawan, yaitu kita melihat bahwa dia sedang berteman dengan orang-orang yang tidak baik. Tapi masalahnya dia tidak setuju, dia anggap itu teman yan baik.

Jadi di sini kita harus mengajarkan anak membedakan antara teman baik dan teman yang baik, memang ini adalah suatu penggunaan istilah saja atau permainan kata. Namun saya akan membedakannya, teman baik saya definisikan sebagai teman yang menyenangkan dan berbuat hal-hal yang kita harapkan. Masalahnya adalah teman baik belum tentu orang yang baik dan orang yang baik bukanlah teman yang baik. Orang yang baik adalah orang yang misalnya tidak menipu atau berbohong, ia adalah seorang yang jujur dan takut akan Tuhan. Nah jadi yang akan kita tekankan pada anak-anak, dia harus memilih seseorang yang baik untuk menjadi temannya bukan sembarang teman baik. Anak-anak sering kali tidak mengerti ini, pokoknya teman baik adalah teman yang berbuat banyak kebaikan buat dia. Membelanya kalau ada urusan dengan orang, sama-sama menyontek dengan dia, sama-sama berbohong kepada guru dan sebagainya. Kita harus tekankan bahwa perbuatan-perbuatan itu perbuatan yang tidak baik dan jika dilakukan oleh temannya maka menjadikan dia seseorang yang tidak baik meskipun orang itu berbuat banyak kebaikan kepadanya. Nah, saya bisa menggunakan ilustrasi tentang perampok, perampok akan baik dengan temannya sesama perampok, tapi apakah dia seseorang yang baik? Saya kira semua orang akan berkata perampok bukanlah seseorang yang baik karena dia merampok dan merugikan orang lain meskipun dia akan baik kepada mitra perampoknya. Jadi prinsip seperti ini yang kita tanamkan kepada anak-anak. Yang pertama adalah dia harus tahu bagaimana memilih teman yang baik. Jangan hanya memilih teman baik, teman yang banyak berbuat kebaikan buat dia, tapi pilih seseorang yang baik untuk menjadi temannya.
(3) GS : Kalau kita menyampaikan hal-hal yang seperti itu, yang seperti Pak Paul katakan pada anak-anak yang memasuki usia remaja khususnya yang kritis dan sebagainya, tidak begitu saja remaja langsung bisa menerima. Sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan di antara kami sebagai orang tua dan anak remaja kita itu, perdebatan atau suatu diskusi atau apa tapi dia tidak bisa menelan begitu saja. Nah bagaimana sikap kita sebagai orang tua, Pak Paul?

PG : Nah waktu dia tidak bisa menerima begitu saja yang kita katakan, kita bisa berkata 2 hal. Pertama adalah kita bisa berkata saya mengerti engkau tidak bisa menerimanya, saya mengerti sult untuk menerimanya, jadi kita menyampaikan pemahaman kita memang dia sulit untuk mengerti.

Tapi yang kedua adalah ada waktu-waktu di mana kita tetap harus berkata pada anak kita engkau tidak boleh, tidak mengerti atau mengerti tetap tidak boleh. Jadi ada pagar yang tetap kita harus dirikan, sehingga anak itu tahu bahwa dia tidak bisa melompati pagar tersebut. Jadi sekali lagi pengertian memang penting dan harus kita sampaikan kepada dia, namun di pihak lain tetap harus didirikan pagar.
GS : Batas pagarnya itu sampai di mana, Pak Paul, jadi sampai di mana yang kita katakan yang pertama tadi kita bisa berkompromi, saya mengerti dengan kamu? Tapi ada yang tadi Pak Paul katakan, ada pagar di mana kita tidak lagi berkompromi dengan dia. Pokoknya kita bilang sampai batas itu kamu tidak boleh, nah ini bagaimana maksud Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah kalau kita tahu yang dilakukannya suatu perbuatan dosa, jadi kita harus berbicara kepada dia sekonkret mungkin tentang perbuatan negatif yang mungkin akan ditawarkanoleh teman-temannya.

Misalnya teman-temannya akan mengajak dia untuk berbohong, nah berbohong tetap adalah suatu perbuatan dosa, teman-temannya bisa mungkin mengajak dia untuk mulailah merugikan orang dengan cara mengambil barang yang bukan miliknya, misalnya mencuri ke toko mengambil barang. Nah seperti itu jelas-jelas adalah suatu perbuatan dosa dan kita bisa melarangnya untuk berbuat hal itu. Teman-temannya bisa mengajak dia untuk menemui wanita tuna susila, nah di sini kita harus berkata dengan jelas ini adalah hal yang salah. Dengan perkataan lain peranan kita sebagai orang tua adalah memberikan contoh-contoh sekonkret mungkin. Adakalanya kita ini agak enggan untuk masuk sekonkret itu, jadi kita cenderungnya hanya berbicara secara umum. Saya kira orang tua perlu bicara secara spesifik hal-hal apa yang akan ditawarkan oleh teman-temannya itu sehingga dia mengerti jelas bahwa itu adalah perbuatan yang salah.
GS : Memang sulit untuk berbicara Pak Paul, karena kita sendiri juga tidak tahu persis apa yang sedang dihadapi oleh anak kita itu. Temannya mau mengajak apa 'kan terselubung oleh sesuatu yang tidak kelihatan apa-apa, Pak Paul. Misalnya saja diajak piknik ke luar kota berdua, berdua laki perempuan tidak apa-apa Pa, cuma piknik saja, cuma mau cari suasana baru. Tapi kita tahu arahnya ke mana, bagaimana memberitahukan kepada anak remaja ini yang memang senang keluar rumah, senang bepergian untuk berkata tidak, Pak Paul?

PG : Kita perlu memberitahukan dia hal-hal yang bisa membawanya ke tindakan yang salah. Jadi memang ada hal-hal yang belum salah, namun akan membawanya jauh lebih dekat kepada perbuatan yangsalah itu.

Kita juga perlu melengkapi anak kita dengan kemampuan melihat hal-hal yang bisa membawanya kepada hal yang salah. Misalnya dimulai dengan merokok, nah dari merokok bisa akhirnya memakai mariyuana atau ganja, atau obat-obat yang lainnya. Atau mulai berteman dengan teman-teman yang kecanduan narkoba, mula-mulanya tidak kecanduan narkoba, tapi lama-lama bisa ikut juga. Anak-anak mungkin akan berkata "Papa atau Mama terlalu khawatir" dan bisa juga mereka berkata, "bukankah kita ini orang Kristen, dipanggil untuk bersama dengan semua orang termasuk yang bermasalah seperti itu, kenapa saya harus menjauhkan diri dari mereka". Kita tetap harus memberitahukan dia, meskipun kita mendapatkan bantahan seperti tadi atau juga kita mungkin seolah-olah dipertanyakan apakah kita mempunyai iman Kristiani yang benar, tetap kita harus sampaikan. Meskipun dia menuduh kita terlalu khawatir berlebih-lebihan, mencemaskan dia, tetap kita harus sampaikan. Karena dia perlu tahu hal-hal ini bisa membawanya ke hal yang lebih dalam. Jadi meskipun dia tidak melakukannya, tapi karena kita sudah membekali dia dengan kecemasan kita tadi, dengan peringatan kita tadi, dia akan lebih hati-hati sewaktu temannya mulai memakainya dan dia di sana. Nah misalnya temannya mengajaknya untuk memakai narkoba, dia bisa berkata tidak mau, karena apa? Dia akan teringat peringatan yang telah kita sampaikan. Jadi dengan perkataan lain, Pak Gunawan, kita bukan saja mengatakan hal itu salah, tapi kita juga mengatakan bagaimana dia bisa menghindarinya, ini perlu kita beritahukan. Kita juga jangan ragu-ragu, Pak Gunawan, untuk menceritakan pengalaman hidup kita, kita tidak selalu sukses dalam hidup ini. Jadi kita bisa bagikan bagaimana kita dulu misalnya sampai jatuh atau bagaimana kita sehingga kita tidak jatuh, nah hal-hal ini menjadi pelajaran yang sangat bermanfaat bagi anak-anak kita.
GS : Sering kali juga yang dikemukakan sebagai alasan adalah ingin tahu atau bereksperimen, misalnya berkata masa saya tidak boleh mencoba, saya cuma ingin tahu saja. Bagaimana itu Pak Paul?

PG : Sering kali itu alasan yang ditujukan oleh anak-anak kita dan dia akan berkata, "apa salahnya mencoba, saya tidak akan kecanduan, saya hanya ingin tahu rasanya seperti apa". Kita bisa ktakan kepada dia, hampir semua orang atau dapat dikatakan semua yang memakai narkoba awalnya hanya mencoba.

Jadi itu yang bisa kita sampaikan kepada anak-anak kita, semua dimulai dengan mencoba-coba, tapi karena mencoba akhirnya berkembang menjadi kecanduan. Memang ada hal yang harus kita katakan tidak boleh engkau lakukan meskipun hanya sekali. Kita bisa berikan argumen pada anak-anak kita, sebab anak-anak pada tahap ini membutuhkan argumentasi yang logis, misalkan kita berkata engkau pernah membunuh belum? Anak kita berkata: belum pernah, apakah engkau ingin mencoba membunuh orang? Tentu jawabannya tidak. Jadi jelas ada hal yang tidak boleh kita lakukan bahkan dalam tahap mencoba sekalipun, kita katakan mencoba narkoba sama dengan misalnya menghancurkan hidup orang, mengambil nyawa orang, meskipun hanya sekali. Misalkan hal-hal yang lainnya tentang hubungan seksual di luar nikah, teman-temannya mungkin sudah melakukannya dan dia akan berkata kenapa tidak boleh? Nah kita akan katakan kepada dia intinya Tuhan berkata jangan. Tuhan melarang kita untuk bercabul sebelum kita menikah, kita tidak boleh berhubungan seksual. Kita kembalikan kepada dia, Mama dan Papa tidak mungkin mengikuti kamu dan melihat setiap perbuatanmu, tapi Tuhan melihat dan tubuhmu adalah bait Allah. Apa yang engkau perbuat dengan bait Allah itu, engkau harus pertanggungjawabkan nanti kepada Tuhan. Nah sekarang terserah engkau, jadi setelah kita memberitahukan dia konsekuensinya kita kembalikan kepadanya, karena apa? Pada usia-usia dia sudah mulai remaja, dia perlu menyadari bahwa tindakannya menuntut konsekuensi dan konsekuensi adalah tanggungannya sendiri.
GS : Mungkin yang menarik itu, Pak Paul, melimpahkan tanggung jawab itu tetap pada si anak remaja. Sering kali kita sebagai orang tua mengambil alih tanggung jawab itu ke pundak kita, sehingga kita seolah-olah yang menanggungnya, Pak Paul.

PG : Dan saya bisa mengerti kenapa, Pak Gunawan, jadi adakalanya memang sulit untuk meletakkan diri kita di tengah-tengah. Adakalanya ada hal-hal yang harus sedikit otoriter, misalkan kita mngetahui kalau dia pergi dengan teman-temannya, dia bisa melakukan hal-hal yang sangat salah, nah kita melarangnya apapun jawabannya, apapun bantahannya tetap kita melarangnya.

Dan di situ kita memang mengambil tanggung jawabnya, tapi ada waktu-waktu tertentu untuk hal-hal yang tidak serius itu kita biarkan dia mengambil tanggung jawab tersebut. Memang harus selalu ada hikmat membedakan mana yang bisa kita lepaskan dan di situasi mana yang tidak bisa kita lepaskan.
GS : Mungkin kalau remaja itu mau menerima apa yang kita beritahukan, nasihatkan kepadanya, saya rasa juga bisa timbul perasaan sedih, Pak. Karena mungkin dia akan berbeda dengan teman-temannya yang lain dan untuk dia itu menjadi suatu beban yang akhirnya dia bisa diolok-olok dan sebagainya, nah sikap kita bagaimana Pak Paul?

PG : Saya kira kita perlu menyampaikan pemahaman kita, pengertian kita bahwa untuk tidak ikut teman-temanmu itu memerlukan keberanian dan pengorbanan. Berani untuk berbeda dan pengorbanan adlah untuk dijauhkan atau ditinggalkan teman-temannya dan ini adalah hal yang berat bagi seorang remaja.

Jadi orang tua adakalanya hanya memberikan instruksi dan larangan, tapi lupa menyampaikan pengertiannya bahwa hal yang harus dilakukan oleh anak remaja ini memang berat. Ada baiknya orang tua juga berempati mengemukakan bahwa ini sulit bagimu dan ada resiko seperti ini yang harus engkau tanggung dan pasti berat bagimu, ayah atau ibu mengerti penderitaanmu ini. Tapi kita bisa mendorong dia untuk melakukan hal yang benar, jadi kita tegaskan bahwa yang penting adalah melakukan hal yang benar. Apapun reaksi orang, apapun tanggapan orang, coba lihat apa yang benar dan lakukanlah yang benar itu, jangan melakukan yang salah atau yang jahat hanya karena ingin diterima teman dan ingin menjadi bagian dari teman-teman.
GS : Apakah hal itu biasanya bisa diterima oleh anak-anak remaja, Pak Paul?

PG : Saya kira kalau kita menyampaikannya dengan penuh empati, dengan penuh pengertian anak remaja akan lebih mudah menerimanya. Nah, khawatirnya yang lebih sering kita lakukan adalah melarag, memberi instruksi tanpa mengemukakan perasaan kita bahwa kita mengerti kesusahannya itu.

Saya kira kalau kita menyampaikan dengan pengertian, dia lebih mudah menerimanya meskipun saya tetap berkata dan dia tidak terima. Setiap anak ingin melakukan yang dia ingin lakukan dan waktu dihalangi oleh orang tua pasti tidak suka, tapi karena kita tahu ada hal-hal yang membahayakannya maka tetap harus kita sampaikan itu.
GS : Apakah kita sebagai orang tua bisa melihat bahwa anak kita setuju atau menerima dengan apa yang kita katakan atau tidak?

PG : Saya kira kita bisa menilai dari reaksinya, kalau reaksinya dingin, mendiamkan kita berarti dia menerima dengan terpaksa. Atau yang jelas adalah kalau dia memberontak, membantah kita. Tpi kalau dia menerimanya, saya kira dia akan lebih tenang dan bisa lebih ramah kepada kita, Pak Gunawan.

Kita juga harus menyadari bahwa anak tidak mungkin menerima saat itu atau jarang menerima saat itu, jadi kita perlu memberi dia waktu, biarkan dia supaya dia bisa memikirkannya. Ada hal-hal yang dia bisa, dia sadari dua hari kemudian, tapi ada hal-hal yang baru dia sadari 2 tahun kemudian.
GS : Dalam hal itu saya merasa perlu pendampingan dari orang tua terhadap remaja itu, sehingga keterbukaan kita bisa dimanfaatkan oleh remaja untuk berbicara, ya Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, dan apakah remaja mau terbuka dengan kita juga sangat bergantung pada apakah kita mau terbuka padanya. Jadi waktu kita misalnya melarang, berikan dia kesempatan untu mengemukakan pandangannya, jangan kita tergesa-gesa memberangusnya dengan berkata kamu masih kecil, kamu tidak mengerti apa-apa atau pokoknya saya bilang begini.

Saya kira sebaiknya kita mendengarkan alasannya karena apa, karena mungkin juga ada hal-hal yang tidak kita sadari dan kita tidak lihat, ada hal-hal yang akhirnya dia perlu ajarkan pada kita sehingga kita lebih bisa mengerti. Contoh yang mudah Pak Gunawan, sekarang ini ada kontroversi tentang boleh tidak anak-anak kita ini bermain video game atau melihat gambar-gambar tertentu dan sebagainya. Nah memang saya bisa mengerti ada orang tua yang cemas dengan hal-hal seperti ini, takutnya nanti jadi keras, jadi maunya berkelahi terus dan sebagainya. Tapi kalau kita menanyakan pada anak-anak ini dan mereka bisa menjelaskannya kepada kita mungkin sekali mereka akan berkata, "Ma atau Pa ini hanya permainan saya, habis main ya sudah tidak dipikirkan lagi". Dan kita memang melihat dia tidak menjadi keras, dia tidak memukuli adiknya atau kakaknya, dia tidak menjadi orang yang suka berkelahi di sekolah, akhirnya kita bisa simpulkan ini hanya permainan. Jadi ada baiknya kita mendengarkan masukannya, biar dia menjelaskan apakah memang ada dampaknya pada dirinya. Dan kalau memang tidak ada dampaknya mungkin kita bisa berkata ya sudah silakan bermain video game, hanya kita batasi waktunya sehingga tidak mengganggu jam belajarnya.
GS : Memang ternyata tidak mudah mengajar anak kita berkata tidak, memilih sesuatu yang lebih baik, tetapi saya yakin ada bagian firman Tuhan yang bisa kita jadikan pedoman dalam hal ini, Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari kitab Amsal 8:13 "Takut akan Tuhan ialah membenci kejahatan, aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat dan mulut penuh tipu uslihat."

Nah di sini firman Tuhan menjelaskan bahwa membenci kejahatan awal dari takut akan Tuhan, anak-anak perlu tahu apa itu kejahatan dan perlu belajar untuk membencinya. Membenci dalam pengertian dia harus menjauhkan, dia tahu ini bukanlah bagian dari hidupnya, dia tahu ini bukanlah sesuatu yang boleh dia lakukan, anak-anak perlu diberitahukan. Pada waktu kita beritahukan, kita juga berikan alasannya kenapa hal itu jahat, kenapa hal itu berdosa sehingga anak-anak bisa mengerti dari sudut firman Tuhan. Setelah itu baru kita katakan bahwa orang yang melakukan ini semua adalah orang yang takut akan Tuhan. Dan firman Tuhan berkata, "Takut akan Tuhan adalah awal dari hikmat", jadi ini yang juga perlu kita sampaikan pada anak-anak kita.

GS : Jadi memang itu yang paling tepat Pak Paul, untuk kita semua baik yang ada di sini maupun yang sedang mendengarkan kita untuk betul-betul berpegang pada kebenaran firman Tuhan. Nah saudara-saudara pendengar demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang mengajar anak berkata tidak. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



23. Mendidik Anak yang Lamban


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T078B (File MP3 T078B)


Abstrak:

Anak yang lamban adalah anak yang mengalami kesukaran untuk mengerti konsep-konsep yang dijelaskan kepadanya. Sehingga dia memerlukan waktu yang lebih lama untuk bisa memahaminya. Dan dari pihak orangtua, seharusnya mereka dapat menerima kenyataan ini dan mulai melakukan pertolongan bagi anak.


Ringkasan:

Yang dikatakan lamban adalah anak-anak yang mengalami kesukaran untuk mengerti konsep-konsep yang dijelaskan kepadanya. Sehingga dia memerlukan waktu yang lebih lama untuk bisa memahaminya dan biasanya itu terlihat sewaktu dia memasuki SD. Pada dasarnya anak yang lamban ini memang kita kategorikan secara lebih spesifik, yaitu yang ber-IQ di bawah rata-rata.

Bila menghadapi anak yang kurang cerdas dibandingkan saudara-saudaranya yang lain, sebagai orang tua yang paling penting dilakukan adalah menerima fakta ini. Kita harus memperlihatkan sikap penuh penerimaan pada anak itu. Sebab kelambanan bukan salahnya dan ia tidak ingin menjadi adak yang lamban.

Bagi anak yang lamban pergi ke sekolah merupakan penderitaan yang tersendiri. Waktu gurunya menjelaskan dia tidak mudah menangkapnya dan waktu ulangan diberikan kembali dia paling takut menerimanya, karena dia tahu angkanya jelek dan nanti kadang-kadang juga dicemooh teman-temannya atau kalau ada guru yang kurang sensitif dialah yang dipermalukan. Jadi bersekolah adalah suatu penderitaan bagi anak-anak ini, dia perlu pulang ke rumah mendapatkan penerimaan penuh dari orang tuanya. Dia tahu dia di luar dievaluasi, dinilai dan dianggap gagal, di rumah dia tidak dianggap gagal, dia bebas dari penilaian karena orang tuanya menerima dia dengan apa adanya.

Anak-anak yang lamban ini cenderung menyimpan rasa frustrasi, dan orang yang frustrasi perlu melampiaskannya. Biarkan dan arahkan dia melampiaskannya dengan cara yang sehat, setelah pulang sekolah dia main, mungkin main sepeda, mungkin main vidio game atau menggambar, dan dengarkan musik. Berikan dia jeda, berikan dia jarak antara sekolah dan nanti baru belajar kembali pada malam hari, berikan waktu yang cukup banyak untuk dia bisa melampiaskan kecapaiannya, keletihan dan rasa frustrasi. Kadang kala orang tua salah menangani masalah ini, anak justru disuruh les, pulang sekolah habis makan jam 2-an langsung les sampai jam 5.00, jam 5.30. Dia pulang les sudah capek, dia mandi, makan, malam buat PR lagi, belajar lagi buat besok ulangan, ini makin merusakkan dia.

Kalau dari awalnya kita terima anak kita, bahwa dia itu agak lamban dan kita memberi ruang gerak yang cukup luas baginya untuk main, untuk mengerjakan hal-hal yang lainnya, seharusnya dia tidak melampiaskan frustrasinya secara negatif. Karena dia tahu dia pulang ke rumah, dia bisa main-main berjam-jam dan itu sudah menjadi penyaluran buat dia.

Mazmur 42:9 dikatakan: "Tuhan memerintahkan kasih setiaNya pada siang hari, dan pada malam hari aku menyanyikan nyanyian, suatu doa kepada Allah kehidupanku."

Di sini kita bisa melihat satu kebenaran tentang Tuhan, yaitu dia selalu memberikan kasih setiaNya kepada kita. Adakalanya kita bertanya-tanya kok anak saya lamban, kok tidak sama seperti adiknya atau kakaknya atau seperti saya. Kita harus selalu ingat itu kasih setia Tuhan tidak hanya cukup untuk kita, tapi cukup untuk dia pula. Kalau Tuhan sudah setia dengan kita dia akan setia memelihara anak kita pula. Jadi kita jangan sampai melupakan hal ini. Kalau sampai saat ini kita ada, itu pun semata-mata karena Tuhan setia kepada kita. Mungkin kita pun di mata Tuhan sebagai anak yang lamban, tetapi hanya karena kasih setia Tuhan Ia tetap menyayangi kita dengan sabar. Karunia dan firman Tuhan itulah yang menguatkan kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang mendidik anak yang lamban. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, anak-anak yang lahir ke dunia ini sama seperti kita yang dewasa tentunya, tingkat kecerdasannya pun berbeda-beda walaupun itu saudara sekandung. Nah masalahnya apakah kita bisa mengenalinya sejak dini dan sebenarnya apa yang dikatakan atau bagaimana anak yang dikatakan lamban itu, Pak Paul?

PG : Yang dikatakan lamban adalah anak-anak yang mengalami kesukaran untuk mengerti konsep-konsep yang dijelaskan kepadanya, sehingga dia memerlukan waktu yang lebih lama untuk bisa memahamidan biasanya terlihat sewaktu dia memasuki SD.

Nah, semakin tinggi kelasnya semakin bisa terlihat bahwa itulah duduk masalahnya. Biasanya pada usia yang lebih dini yaitu usia TK atau SD kelas I, kelas II hal ini belum terlihat, mulai menginjak ke kelas III dan seterusnya baru bisa mulai terlihat dengan jelas, inilah duduk masalah si anak. Pada dasarnya anak yang lamban memang kita bisa kategorikan secara lebih spesifik, yaitu yang ber-IQ di bawah rata-rata. Yang di bawah rata-rata sebetulnya memang ada banyak bagian atau kategorinya, tapi anak-anak yang misalnya ber-IQ sekitar 100 dan ke bawah sampai 90 biasanya akan mengalami masalah-masalah dalam sekolah. Atau anak yang memang tidak begitu bisa berpikir secara abstrak dan dia memerlukan contoh-contoh yang sangat konkret sekali, biasanya anak-anak ini akan mengalami kesulitan dalam sekolah karena kebanyakan sekolah itu menggunakan metode belajar yang bersifat abstrak. Jadi memberikan penjelasan-penjelasan secara verbal dan si anak diharapkan bisa mengkonsepkannya secara abstrak dalam benaknya. Nah, anak-anak yang kemampuan berpikir abstraknya agak lemah biasanya akan mengalami kesulitan.
(2) GS : Dalam hal yang nanti akan kita bicarakan tentang anak lamban masih kategori anak yang belum membutuhkan pendidikan di sekolah luar biasa, maksudnya belum ke sana ya Pak Paul? (PG :belum) Anak bisa mempunyai kecerdasan yang lamban seperti itu, faktor penyebabnya apa Pak Paul?

PG : Sebetulnya tidak bisa kita ketahui kenapa seorang anak ini mempunyai kemampuan yang terbatas, dibandingkan misalnya dengan kakak atau adiknya. Jadi benar-benar kelahiran anak adalah suau misteri, kadang-kadang kita mengaitkannya dengan hal-hal tertentu pada masa kehamilan ibunya.

Tapi sesungguhnya tidak bisa kita ketahui apa penyebabnya. Yang cukup sering terjadi adalah sebetulnya anak-anak itu mewariskan kecerdasan intelektual dari orang tuanya, jadi ada kecenderungan orang tua yang cerdas biasanya mewariskan kecerdasannya itu kepada anaknya. Tapi ini bukan suatu prinsip umum, sebab adakalanya orang tua yang biasa-biasa saja tetapi mempunyai anak-anak yang sangat cerdas, jadi tidak bisa kita pastikan.
GS : Kalau kita menghadapi anak yang kurang kecerdasannya dibandingkan dengan saudara-saudara yang lain, bagaimana sebaiknya kita sebagai orang tua harus bersikap, Pak Paul?

PG : Yang pertama, yang paling penting adalah kita menerima fakta itu. Dalam konseling saya Pak Gunawan, saya cukup sering juga menerima kedatangan orang tua yang membawa anak mereka yang dinggap lamban.

Tapi sebetulnya yang menarik adalah kebanyakan mereka itu tidak mengakui bahwa anak mereka lamban. Jadi hampir dapat dipastikan semua orang tua berkata sebetulnya anak saya pandai, tapi...... misalnya malaslah, maunya main dan sebagainya. Jarang ada orang tua yang dengan berani berkata rasanya anak saya ini lamban, tidak mengerti dengan jelas dan perlu waktu yang lama sekali. "Saya menjelaskannya harus beberapa kali baru dia mengerti, kalau kakaknya saya jelaskan sekali langsung mengerti". Sebetulnya yang terjadi adalah orang tua enggan untuk mengakui inilah faktanya, nah keengganan ini memang saya kira juga hal yang wajar, Pak Gunawan, wajar karena kita sebagai orang tua mengharapkan anak-anak kita ini cerdas, maju, dan berprestasi baik di sekolah. Waktu dia tidak memenuhi harapan kita, kita kecewa sehingga enggan mengakui bahwa inilah faktanya atau kita enggan karena kita takut dia mencoreng wajah kita. Kita menjadi malu karena anak kita tidak pandai, tidak sepandai anak-anak lainnya misalnya.
GS : Tapi memang faktanya kadang-kadang ada anak yang lamban karena faktor kemalasannya, bagaimana itu Pak Paul?

PG : Kalau dia lamban karena kemalasannya, saya tidak kategorikan dia lamban, dia malas. Nah misalkan dalam hal-hal yang lain dia cepat sekali, kalau yang dia sukai dia cepat mengerti, kalaupelajaran yang tidak disukai lambat sekali, itu masalah lain lagi, masalah bagaimana mendisiplinkan dan memotivasi dia.

Tapi kita sekarang sedang membicarakan hal yang memang kita harus akui dia lamban, jadi ada anak yang memang sungguh-sungguh lamban.
GS : Itu berarti orang tua harus terlebih dahulu mendeteksi atau mengetahui dengan jelas bahwa memang anaknya lamban, baru dia bisa mengakuinya, Pak Paul.

PG : Caranya yang paling mudah adalah tidak perlu dibawa ke psikolog atau test kepandaian. Yang mudah sekali adalah waktu dia memberikan penjelasan-penjelasan kepada si anak, coba berikan seara konkret apakah anak itu mudah menangkapnya.

Kalau sudah memberikan contoh-contoh konkret si anak tetap sulit menangkapnya, bisa kita pastikan memang dia agak lamban. Nah, kalau dengan kita di rumah, satu dengan satu, dia mengalami kesulitan memahami konsep yang kita ajarkan dengan konkret itu, dapat dipastikan di sekolah dia mengalami kesulitan yang lebih besar. Karena ada kemungkinan guru tidak akan bisa menjelaskannya secara pribadi dengan dia, satu dengan satu.
GS : Selain kita harus mengakui keberadaan anak kita yang memang lamban, langkah konkret apa yang bisa dilakukan, Pak Paul?

PG : Yang berikutnya adalah kita harus memperlihatkan sikap penerimaan pada anak itu. Kenapa kita perlu memberikan sikap penuh penerimaan, sebab kelambanan bukan salahnya dan ia tidak ingin enjadi anak yang lamban, ini yang harus selalu kita ingat.

Tidak ada anak yang senang menjadi bahan olokan dan tidak ada anak yang mau tersiksa 7 jam sehari, bagi anak yang lamban pergi ke sekolah merupakan penderitaan yang tersendiri, Pak Gunawan. Waktu gurunya menjelaskan dia tidak mudah menangkapnya dan waktu hasil ulangan diberikan dia paling takut menerimanya karena dia tahu angkanya jelek dan kadang-kadang dicemooh teman-temannya atau kalau ada guru yang kurang sensitif, dia dipermalukan. Jadi bersekolah adalah suatu penderitaan bagi anak-anak ini. Nah dia perlu pulang ke rumah mendapatkan penerimaan penuh dari orang tuanya. Dia tahu dia di luar dievaluasi, dinilai dan dianggap gagal, di rumah dia tidak dianggap gagal, dia bebas dari penilaian karena orang tuanya menerima dia dengan apa adanya.
GS : Tapi kalau anak yang lamban seperti itu lalu diterima apa adanya, ya memang kita harus menerima apa adanya. Yang saya khawatirkan apa tidak berdampak pada anak itu, lalu dia merasa memang saya ini orang yang lamban, ya sudah tidak apa-apa sehingga dia tidak termotivasi untuk maju. Akibatnya yang nampak adalah kemalasan seperti tadi di sekolah, dia tidak cepat bisa menangkap apa yang diterangkan oleh guru, ketinggalan dengan teman-temannya, itu bisa membuat dia jadi malas ke sekolah, Pak Paul.

PG : Sangat mungkin sekali, sebab bukankah kita pun harus akui kalau kita diminta melakukan pekerjaan yang kita tidak sukai maka kita malas melakukannya. Jadi saya kira itu adalah reaksi mansiawi, reaksi alamiah dari semua orang, baik anak kecil ataupun orang dewasa.

Jadi apa yang bisa kita lakukan adalah kita menekankan pentingnya melakukan bagiannya. Dia perlu belajar dan itu tidak bisa dia lalaikan, dia perlu belajar malam hari selama 2 jam dan dia harus duduk selama dua jam. Dan kita katakan kepadanya selama engkau sudah belajar, apapun hasilnya saya akan terima. Atau misalkan yang lain, dia harus menghafal misalnya 100 ibu kota, nah memang dia tidak bisa hafal 100 ibu kota. Yang harus bisa kita lakukan, daripada kita memaksanya menghafalkan 100 ibu kota. Kita mula-mula minta dia menghafalkan 5 ibu kota. Hari ini belajar 5 ibu kota besok belajar 5 ibu kota lagi, hari ke-3 baru tambah lagi dengan 2 ibu kota, menjadi 12 ibu kota. Dan kalau misalnya kita sudah penuhi dia dengan 25 ibu kota waktu ke 26, 27 dia mulai lupa yang lain-lainnya nah kita tahu itu batasnya. Dan kita berhenti di 25 ibu kota dan kita katakan sudah cukup kami melihat engkau belajar, makin dipaksakan makin lupa yang lainnya. Kami mau kamu ingat terus yang 25 ibu kota ini, nah kemungkinan yang jelek ada tidak? Ya ada, tapi ya tidak apa-apa karena kita bisa katakan kepada dia, yang penting kamu telah melakukan bagian kamu. Nah jadi itulah salah satu cara untuk tetap menyeimbangkan penerimaan dan mengerjakan bagiannya atau tanggung jawabnya.
GS : Tetapi katakan dia di rumah dia bisa mengerti seperti itu, tapi waktu di sekolah kenyataannya lain, berbeda sekali. Mungkin dia di sekolah dipermalukan walaupun sudah berusaha keras, dengan begitu pasti menimbulkan perasaan putus asa di dalam dirinya. Bagaimana menurut Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi anak-anak yang lamban ini cenderung menyimpan rasa frustrasi. Sebab kita bayangkan saja, kita harus berada di tempat yang sama hari lepas hari kira-kira, 7 jam per harinya dan kita dinilai orang bukan orang yang sukses tapi kita harus memendam rasa malu sehingga kita tertekan hampir setiap hari.

Terhadap anak-anak yang mudah frustrasi itu, kita harus hadapi rasa frustrasi itu. Hadapi dalam pengertian kita menyadari bahwa dia menyimpan rasa frustrasi dan orang frustrasi perlu melampiaskannya. Nah, bagaimanakah dia bisa melampiaskannya dengan cara yang sehat, biarkan setelah pulang sekolah dia main, mungkin main sepeda, video game, menggambar atau mendengarkan musik. Jadi berikan dia jedah, berikan dia jarak antara sekolah dan nanti baru belajar kembali pada malam hari, berikan waktu yang cukup banyak untuk dia bisa melampiaskan kecapaiannya, keletihan dan rasa frustrasinya itu. Setelah makan malam dan sebagainya, baru kita beritahu dia, "Ayo.. kita belajar" dan kita beritahu dia hanya 2 jam, setelah itu sudah. Jadi dia tahu dia hanya diharuskan belajar 2 jam dan yang paling penting dia melakukan tugasnya itu. Kadangkala orang tua salah menangani masalah ini, anak justru disuruh les. Pulang sekolah habis makan, jam 2.00 langsung les sampai jam 5.00, jam 5.30 dia pulang les sudah lelah, dia mandi, makan malam, malamnya membuat PR lagi dan belajar buat besok ulangan, nah ini makin merusakkan dia. Dia tidak suka dengan pelajaran itu dan dari pagi sampai siang dia harus menghadapinya di sekolah. Pulang ke rumah dibebani lagi dengan les, kemudian malam harus membuat PR lagi, ini tidak menolong. Tidak menolong dia, dalam pengertian pertumbuhannya secara keseluruhan akan sangat terganggu karena satu aspek ini yaitu aspek pelajarannya. Jadi kita harus menempatkan masalah akademik ini dalam persepsi yang benar. Masalah akademik hanyalah satu bagian dari kehidupannya bukan seluruh bagian dari kehidupannya, jadi biarkan dia hanya bisa sebegini. Kita dorong dia melakukan tanggung jawabnya, dia bisa belajar 2 jam ya 2 jam. Tapi 2 jam itu dia sungguh-sungguh belajar dengan konsentrasi, kalau dia main-main tidak bertanggung jawab maka kita harus menegurnya.
GS : Ada sebagian orang tua yang memindahkan anaknya ke sekolah lain yang tuntutannya tidak setinggi sekolah yang lama, nah itu bagaimana Pak Paul?

PG : Kalau memang anak ini tidak mencapai standar yang dituntut oleh sekolahnya, saya anjurkan memang pindah. Saya anjurkan pindah sehingga kompetisinya tidak terlalu tinggi dan si guru tida terlalu menyoroti dia.

Kalau dia di kalangan orang yang cerdas-cerdas, si guru akan menyoroti dia, dia akan menonjol bukan sebagai anak yang pandai, menonjol sebagai anak yang tidak pandai dan itu akan sangat membawa tekanan bagi dia. Sering kali orang tua ini berkepentingan menyekolahkan anak di sekolah yang bagus-bagus, tapi kita sebagai orang tua harus menyadari kemampuan dan keterbatasan anak kita. Kalau memang tidak mampu, jangan dipaksakan di sekolah yang bagus, di sekolah yang sedang-sedang saja sehingga dia tidak terlalu tertekan. Nah sering kali kita sebagai orang tua sudah stres karena pulang ke rumah dia tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik, kita frustrasi lalu kita melampiaskan kepadanya karena kita mengajarkannya susah sekali, dia bertambah stres dan frustrasi. Jadi akhirnya di sekolah dia frustrasi, di rumah bertambah frustrasi dan akhirnya dia takut pulang ke rumah. Karena apa, dia tahu akan terjadi keributan dengan orang tuanya, di sekolah dia sudah stres, di rumah dia takut nanti ribut dengan orang tua. Jadi kita sangat menekan anak ini secara tidak perlu dan akan menghambat pertumbuhannya, maka tidak heran kalau nantinya dia menjadi lebih lamban lagi.
GS : Nah Pak Paul, kalau frustrasinya itu diungkapkan dalam bentuk yang positif, seperti tadi Pak Paul katakan bermain, pergi ke rumah temannya itu masih bisa kita pahami. Tapi kalau frustrasinya itu justru disalurkan ke hal-hal yang negatif, Pak Paul?

PG : Sebetulnya Pak Gunawan, kalau dari awalnya kita menerima anak kita, bahwa dia itu agak lamban dan kita memberi ruang gerak yang cukup luas baginya untuk bermain, untuk mengerjakan hal-hl yang lainnya, seharusnya dia tidak melampiaskan frustrasinya secara negatif.

Karena dia tahu dia pulang ke rumah, dia bisa main-main berjam-jam dan itu sudah menjadi penyaluran buat dia. Nah sudah tentu pada waktu malam kita ingin dia belajar ya susah, karena sekali lagi tidak ada orang yang senang mengerjakan hal-hal dimana dia merasa gagal di situ. Jadi kita memang harus menyediakan waktu untuk bersama dia, misalkan duduk di samping dia atau sekali-sekali mengecek lagi, menanyakannya, jadi orang tua harus terlibat di sini. Selama misalnya 2 jam pada waktu malam hari, kita ajak dia belajar. Kalau sudah bisa ya sudah tidak perlu dipelajari lagi, biarkan. Karena kita tahu kalau kita paksakan masuk semuanya, maka akan keluar semua dari benaknya.
GS : Pak Paul, apakah seseorang anak yang lamban tadi, di semua bidang ilmu pengetahuan juga lamban?

PG : Nah ini pertanyaan yang bagus sekali Pak Gunawan, sebab faktanya adalah tidak. Jadi kecenderungannya adalah anak itu lamban pada 1 bidang saja, bahkan waktu dia lamban misalkan hal-hal ang bersifat absrak.

Jadi misalkan dia akan susah misalkan nanti mengerjakan matematika, fisika dan lain sebagainya. Tidak berarti dia akan lamban misalkan dalam bidang-bidang yang lainnya, dia mungkin sekali sangat pandai dalam bidang seni, dalam bidang yang misalnya juga menuntut penguraian secara tertulis. Jadi ada hal-hal yang mungkin dia bisa lakukan dengan baik, selain dari itu mungkin dia akan sangat berprestasi dalam bidang olah raga atau dalam bidang komputer. Dia bisa bermain dengan sangat bagus sekali. Nah tugas kita sebagai orang tua adalah membantunya menemukan minat-minat yang lain itu, saya tidak menggunakan kata menemukan kelebihan-kelebihannya, sebab kadangkala kita mempunyai anggapan o....... dia lemah di sini, dia pasti punya kelebihan yang lain, kenyataannya adalah tidak, kelebihannya hanya biasa-biasa saja.
GS : Hanya berminat di satu bidang itu, dan itu harus dikembangkan terus ya, Pak Paul?

PG : Betul, jadi minatnya apa kita coba mencari tahu bersama dia, mencari tahunya bagaimana? Ya kita memang harus berikan dia kebebasan untuk mencari tahu dan kita bisa membantunya menanyakamau coba ini apa tidak? Kalau yang ini mau apa tidak.

Nah waktu dia senang melakukannya, dia gembira melakukannya kita tahu ini minatnya. Kita mendorong dia untuk melakukan yang dia senangi itu dengan sebaik-baiknya, ini penting sekali untuk pertumbuhan keyakinan dirinya. Dengan dia mampu mengembangkan diri pada bidang-bidang yang lain, dia menjadi tahu bahwa dia bernilai pula.
GS : Banyak pandangan yang mengatakan bahwa kalau orang yang lamban ini khususnya kecerdasannya tidak terlalu tinggi, lalu dia menjadi seseorang yang agresif atau yang merusak dan sebagainya yang tingkah lakunya itu negatif, apakah itu benar?

PG : Itu bisa terjadi Pak Gunawan, yaitu anak-anak ini karena tidak mendapatkan penyaluran di rumah dan tidak diterima tetap dimarahi di rumah, dia akan melampiaskannya keluar. Dia agresif, ia berkelahi sebab apa, mungkin dengan dia agresif, dia berkelahi, dia menjadi anak yang dikenal sebagai anak yang disegani padahal sebelumnya dia dianggap "anak bawang", tidak ada apa-apa.

Nah sekarang karena dia berhasil berkelahi maka disegani oleh teman-temannya. Itu menjadi jati dirinya dan itu berbahaya atau karena dia frustrasi tidak mampu dianggap bodoh, dia akhirnya harus melampiaskan frustrasinya secara fisik. Dia berkelahi dengan orang dan sebagainya. Atau berperilaku yang lain Pak Gunawan, yang juga umum adalah anak ini mulai mengucilkan diri, dia tidak diterima oleh teman-temannya, menjadi bahan olok-olokan, jadi daripada malu maka dia menyendiri, nah ini perilaku-perilaku yang tidak sehat.
GS : Lalu bagaimana kita harus bersikap sebagai orang tua, Pak Paul?

PG : Untuk yang agresif dan merusak orang kita harus memberikan sanksi, jangan ragu menghukumnya, dan jangan sampai karena kita tahu dia lamban, akhirnya kita membiarkan dia berbuat semaunya Jadi tetap kalau dia salah kita berikan hukuman, kalau dia menarik diri, mengucilkan diri di kamar dan sebagainya kita harus proaktif mengajak dia keluar, membawa dia ke rumah temannya atau mengajak teman-temannya ke rumah.

Jadi orang tua harus peka melihat ini dan secara aktif melibatkan dia dalam pergaulan dengan teman-temannya kembali. Daripada nanti dia sudah berumur 19, 20 tahun, baru kita sadar wah anak saya ini tidak pernah bergaul, tidak pernah keluar dengan teman-teman, baru kita panik dan saat itu sudah terlambat. Sebab keterampilan bergaul itu dipupuk pada masa-masa umur sekitar 8, 9 tahun terus sampai usia sekitar misalnya 13, 14 tahun. Jadi pada masa kecil itulah keterampilan bergaul dipupuk, sehingga pada masa remaja dia bisa memakai keterampilan itu. Kalau dari kecil sudah mulai diam maka remaja tidak bisa bergaul, setelah itu ya sudah tidak bisa bergaul terus.
GS : Walaupun anak itu mempunyai kecerdasan yang lamban dan sebagainya, tetapi kita sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus mengakui bahwa anak itu sebagai karunia dari Tuhan dan tentu ada firman Tuhan yang akan diberikan kepada kita sebagai bekal.

PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 22:9, " Ia menyerah kepada Tuhan, biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?". Tuhan memrintahkan kasih setiaNya pada siang hari dan pada malam hari, aku menyanyikan suatu doa kepada Allah kehidupanku.

Tuhan memerintahkan kasih setiaNya pada siang hari. Di sini kita bisa melihat satu kebenaran tentang Tuhan yaitu dia selalu memberikan kasih setiaNya kepada kita. Adakalanya kita bertanya-tanya kenapa anak saya lamban, tidak sama seperti adiknya atau kakaknya atau seperti saya. Kita harus selalu ingat itu, kasih setia Tuhan tidak hanya cukup untuk kita, tapi cukup untuk dia pula. Kalau Tuhan sudah setia dengan kita, dia akan setia memelihara anak kita pula. Jadi kita jangan sampai melupakan hal ini, Pak Gunawan.

GS : Sebenarnya kalau sampai saat ini pun kita ada, semata-mata karena Tuhan setia kepada kita, kita pun di mata Tuhan mungkin juga sebagai anak yang lamban, ya Pak Paul. Tetapi hanya karena kasih setia Tuhan, kita tetap sebagai karunia Tuhan dan firman Tuhan itu sudah menguatkan kita.

Jadi saudara-saudara pendengar demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang menangani anak yang lamban. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.



24. Ayah dan Arah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T118A (File MP3 T118A)


Abstrak:

Seorang ayah mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seorang anak laki-lakinya. Keterlibatan ayah yang sangat minim terhadap pertumbuhan anak laki-lakinya dapat menyebabkan anak laki-laki nantinya menjadi orang-orang dewasa yang tidak pasti, penuh keraguan, kebimbangan, dan tidak mempunyai arah.


Ringkasan:

Seorang ayah mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seorang anak laki-lakinya. Keterlibatan ayah yang sangat minim terhadap pertumbuhan anak laki-lakinya dapat menyebabkan anak laki-laki tersebut setelah besar menjadi orang-orang yang tidak pasti, penuh keraguan, kebimbangan dan tidak mempunyai arah dalam hidup itu. Anak laki-laki memerlukan objek identifikasi seperti yang dikatakan oleh Sigmund Freud bahwa identifikasi yang dimaksud adalah menginternalisasi atau memasukkan sifat atau kwalitas dari orang lain ke dalam diri kita.

Peranan ayah dalam kehidupan anak laki-lakinya yaitu:

  1. Menyediakan rasa aman, sebagai figur otoritas. Jadi anak-anak laki perlu menyerap sifat-sifat ayah yang mengayomi, sifat ayah yang bisa melindungi. Kalau anak tidak memperoleh objek identifikasi dari ayah ini, waktu mereka besar bisa mencari-cari orang yang bisa melindungi atau mengayomi mereka. Seakan-akan mereka menjadi orang dewasa yang terus-menerus membutuhkan orang yang lebih dewasa lagi darinya untuk bisa menunjukkan arah hidup, menunjukkan jalan atau menyediakan bantuan, jadi ketergantunggannya sangat besar.

  2. Ayah lambang pemimpin, karena Tuhan memberikannya tugas sebagai kepala keluarga. Otomatis kepala atau pemimpin harus mempunyai keyakinan diri, kepastian dalam pengambilan keputusan, tidak meragukan pertimbangannya. Kalau anak bisa menyerap sifat-sifat ini dari ayah, dia akan bertumbuh menjadi anak yang relatif percaya diri, nyaman dengan pertimbangannya dan percaya pada pertimbangannya. Sebaliknya kalau ayah tidak hadir atau tidak ada di rumah, si anak akan bertumbuh besar memiliki seribu satu macam keraguan. Jadi kefakuman ayah menimbulkan kebingungan kepada anak, ketersesatan kepada anak laki-laki.

Yang perlu ayah ajarkan kepada anak laki-lakinya adalah:

  1. Bertanggung jawab, hal ini penting sekali sehingga dia tidak mengelak dari tanggung jawab atau melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.

  2. Berani mengambil resiko, adalah salah satu kwalitas kepriaan yang penting yang harus mulai ditumbuhkan pada diri si anak sejak usia yang lebih awal.

  3. Kemampuan mengambil keputusan, anak harus diajarkan memilih alternatif-alternatif yang tersedia, baiknya apa, kurangnya apa.

Kolose 3:21, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Jadi kalau boleh saya balik, "Hai bapa-bapa besarkanlah hati anak-anakmu sehingga manislah hatinya." Artinya tugas ayahlah membesarkan si anak, membesarkan hatinya sehingga hati atau jiwa si anak menjadi jiwa yang penuh rasa, nggak menjadi jiwa yang tawar sekali penuh dengan ketidaksukaan, kepasifan, keapatisan. Ini hanya bisa terjadi kalau si ayah terlibat dalam kehidupan anak laki-lakinya.


Transkrip:

Saudara-daudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Ayah dan Arah", kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Paul, sebenarnya berapa besar pengaruh seorang ayah terhadap anak laki-lakinya khususnya di dalam mengarahkan anak ini untuk mencapai masa depannya?

PG : Sangat-sangat besar sekali pengaruhnya Pak Gunawan, akhir-akhir ini saya sampai pada suatu kesimpulan yang muncul dari pengamatan yaitu anak laki-laki yang bertumbuh besar di rumah di mna keterlibatan ayah itu sangat minim ternyata setelah besar mereka menjadi orang-orang yang tidak pasti.

Penuh keraguan, kebimbangan dan tidak mempunyai arah dalam hidup itu.
GS : Bukankah biasanya anak itu banyak dipengaruhi oleh ibunya Pak?

PG : Pada masa kecil memang anak laki maupun perempuan sangat dipengaruhi oleh ibu karena ibulah yang melahirkan dan merawat terutama pada masa-masa kecil itu. Nah saya ingin memperkenalkan uatu istilah yang memang awalnya diperkenalkan oleh Sigmund Freud yaitu istilah identifikasi.

Identifikasi dalam pengertian o.... saya bisa memahami engkau, saya bisa mengidentifikasi diri saya dengan situasi yang engkau sedang hadapi seperti itu. Namun sebetulnya istilah ini sendiri mengandung arti yang berbeda bagi Freud, identifikasi berarti menginternalisasi atau memasukkan sifat atau kwalitas dari orang lain ke dalam diri kita. Dengan kata lain misalkan kita dibesarkan dengan seseorang yang senang bercanda, mungkin sekali atau besar kemungkinannya kita memasukkan sifat tersebut menjadi bagian diri kita, akhirnya kita pun turut menjadi orang yang senang bercanda. Nah pada masa kecil anak-anak baik laki maupun perempuan terlibat dalam proses identifikasi dengan ibu mereka, jadi sifat-sifat mama itulah yang diserap. Anak laki-laki terpaksa pada usia yang sudah makin dewasa harus mengubah atau mengalihkan objek identifikasinya, dulunya kepada ibu sekarang harus dipindahkan kepada ayah sebab dia menyadari bahwa dia bukanlah wanita. Otomatis anak wanita tidak perlu mengubah objek identifikasinya ini. Nah anak laki-laki memerlukan objek itu, di sinilah keterlibatan ayah menjadi sangat-sangat penting sebab kefakuman figur ayah akan mempunyai dampak-dampak negatif Pak Gunawan.
(2) GS : Mungkin yang kurang kami sadari sebagai ayah adalah sejak kapan anak ini membutuhkan kita sebagai orang tua itu Pak?

PG : Sebetulnya sejak si anak mulai menyadari bahwa dia adalah seorang anak laki-laki. Nah kita mungkin berpikir bahwa anak tiga tahun pun sudah menyadari dia laki-laki, tapi sebetulnya kesaaran ini muncul secara bertahap pada usia-usia misalnya sekitar 3, 4 tahun, anak-laki-laki baru menyadari perbedaan fisik bahwa dia laki-laki dan ada yang namanya perempuan.

Karena mungkin pada masa kecil itu mereka anak-anak kita laki dan perempuan mandi sama-sama dan sebagainya, barulah mereka menyadari perbedaan fisik ini. Namun dampak emosional atau bobot emosional sebagai seorang pria dan perbedaannya dari wanita itu sebetulnya belum ada pada anak-anak usia sekitar 3, 4 tahun. Nah kesadaran saya ini pria secara mental atau emosional itu baru muncul biasanya pada usia menjelang remaja misalnya usia 9, 10 tahun, nah mendekati usia pra-remaja itulah kesadaran saya pria dan saya harus bersikap sebagai seorang pria muncul. Nah ini akan muncul lebih kuat lagi sewaktu anak itu memasuki usia remaja 11, 12 tahun, 13 tahun, makin bergaul dengan teman-teman pria dan mulailah meledek-ledek teman wanita, menyukai teman wanita, membicarakan wanita nah barulah peran seksual dan sosial itu dikembangkan sebagai seorang pria yang berbeda dari wanita.
GS : Nah Pak Paul, dalam pertumbuhan seperti itu yang tadi Pak Paul katakan dia punya teman-teman pria dan sebagainya, apakah teman-teman itu tidak bisa menjadi contoh buat dia, apakah itu tidak cukup?

(3) PG : Sudah tentu teman-teman akan berpengaruh, tapi teman-teman berpengaruh sebagai tambahan Pak Gunawan, akarnya itu sebetulnya di rumah. Sebab apa? Sebab anak menyerap dalam relasiyang dekat atau akrab, jadi semakin dekat, semakin banyaklah yang diserap, kalau tidak dekat sedikit yang diserap.

Nah teman-teman mulai berpengaruh dalam diri anak-anak remaja yaitu waktu anak berusia sekitar 13 tahunan sampai usia 20 tahun. Berarti dari usia sekitar 3, 4 tahun tatkala di awal atau dimulailah proses pembedaan jenis kelamin saya ini pria dan wanita, sampai usia sekitar 12, 13 tahun itu terjadilah gap, kekosongan kalau tidak ada figur ayah di rumah. Mungkin boleh saya jelaskan Pak Gunawan sebetulnya apa itu peranan ayah di sini, sehingga kok begitu berpengaruh pada pertumbuhan anak. Ayah itu pertama-tama menyediakan rasa aman karena sikap atau pembawaan ayah sebagai figur otoritas, bertumbuh besar, bersuara lebih berat dan yang memang biasanya ayah itu yang menunjukkan kekuatan, itu seyogyanya memberikan rasa aman kepada anak-anak. Jadi anak-anak laki itu perlu menyerap sifat-sifat ayah yang mengayomi, sifat ayah yang bisa melindungi. Nah kalau si anak tidak memperoleh objek identifikasinya dari ayah ini, saya lihat waktu mereka besar mereka mencari-cari Pak Gunawan, mencari-cari orang yang bisa melindungi atau mengayomi mereka. Seakan-akan mereka menjadi orang dewasa yang terus-menerus membutuhkan orang yang lebih dewasa lagi darinya untuk bisa menunjukkan arah hidup, menunjukkan jalan atau menyediakan bantuan, jadi kebergantungannya menjadi sangat besar. Nah inilah salah satu peranan ayah di dalam kehidupan si anak itu.
GS : Ya jadi kalau begitu sekalipun ayah itu hadir di tengah-tengah keluarga, namun kalau ayah itu tidak memberikan suatu teladan yang baik yang bisa dicontoh, anak itu juga akan mencontoh yang tidak baik dari ayahnya Pak?

PG : Tepat sekali, jadi kalau si ayah itu menjadi figur yang negatif tidak bisa tidak karena memang hidup serumah dan dekat dengan si anak akan berpotensi menularkan sifat atau karakternya kpada si anak, meskipun nantinya si anak akan berusaha keras untuk melawannya kalau dia memang tidak menyukai sifat-sifat ayah itu.

Saya jelaskan Pak Gunawan yang saya maksud, bukankah adakalanya kita menyukai sifat tertentu dari orang tua kita, kemudian kita serap menjadikan itu bagian dari diri kita nah itu yang kita lakukan. Tapi adakalanya kita pun menemukan bahwa ada sifat tertentu dari orang tua kita yang tidak kita sukai dulu itu, e.....tahu-tahu ada pada diri kita, kita terkejut kok bisa ada pada diri saya misalnya. Si ayah mudah marah, setiap kali kalau kita berbuat kesalahan sekecil apapun langsung marah, kita tidak suka dengan sifat itu. Entah mengapa setelah kita dewasa, kita punya anak tiba-tiba kita menemukan hal yang sama pada diri kita, anak kita berbuat kesalahan kita langsung bereaksi dengan keras, memarahinya dan kita sadari tanpa kita mau kita sudah menyerapnya.
GS : Ya dan anak pun tidak menyadari betul proses seperti itu Pak, bahwa itu terjadi dalam dirinya?

PG : Sering kali tidak Pak Gunawan, jadi biasanya si anak baru menyadari dia memiliki sifat itu tatkala dia berada di tempat yang sama dengan ayahnya dulu. Misalnya dia belum menyadari dia iu akan mudah sekali marah terhadap anaknya, sampai dia punya anak.

Nah mungkin sekali sebelumnya dia adalah anak atau seseorang yang lumayan sabar tapi waktu dia punya anak barulah karakter atau sifat tersebut dihidupkan kembali. Jadi sekali lagi pengaruh ayah di sini sangat penting, tadi kita bicara pengaruh yang negatifnya nah kita bicara lagi sekarang tentang pengaruh yang positif. Yang pertama tadi saya sudah singgung adalah tentang pentingnya ayah hadir di rumah untuk memberikan contoh atau sifat mengayomi, melindungi nah itulah yang harus dimiliki oleh si anak. Kalau dia tidak memiliki atau tidak sempat menyerap sifat melindungi atau mengayomi, setelah dewasa dialah yang berusaha mencari orang untuk mengayomi, untuk melindunginya. Nah yang kedua yang saya bisa juga amati yang penting adalah ayah itu lambang pemimpin, karena Tuhan memberikannya tugas sebagai kepala keluarga. Nah otomatis kepala atau pemimpin harus mempunyai keyakinan diri, kepastian dalam pengambilan keputusan, tidak meragukan pertimbangannya. Nah kalau si anak berkesempatan menyerap sifat-sifat ini dari si ayah, dia akan bertumbuh menjadi anak yang relatif percaya diri, nyaman dengan pertimbangannya dan percaya pada pertimbangannya. Sebaliknya kalau si ayah tidak hadir atau tidak ada di rumah, si anak itu akan bertumbuh besar memiliki seribu satu macam keraguan. Si anak tidak pernah menyerap kepastian itu, keyakinan untuk memimpin. Akhirnya apa yang dia lakukan? Dia akan sekali lagi mencari-cari orang lain yang bisa memimpin, yang bisa menunjukkan arah sebab dia memang tidak memiliki kepastian itu. Jadi saya simpulkan kefakuman ayah menimbulkan kebingungan kepada anak, ketersesatan kepada anak laki-laki, nah ini yang sering kali saya saksikan Pak Gunawan.
GS : Nah itu juga termasuk kalau misalnya dalam keluarga itu ibunya, peran ibunya yang lebih dominan dari pada ayahnya begitu Pak?

PG : Ya, jadi memang ayahnya absen sering kali untuk menambal kekurangan itu si ibu yang berperan lebih besar, berperan ganda. Nah ini akhirnya sedikit banyak bisa menimbulkan juga konflik dlam diri si anak pada masa pertumbuhannya.

Memang Tuhan mendisain seharusnyalah si ayah yang menjadi seorang pemimpin dan menstransfer sifat atau karakter itu kepada anak laki-lakinya. Sewaktu itu tidak terjadi memang akan sedikit banyak terjadi gangguan.
GS : Ya itu memang kadang-kadang ayahnya hadir di situ, tetapi katakan kalah pengaruh dengan istrinya, bagaimana Pak Paul?

PG : Bisa jadi karena memang ayahnya terlalu pasif, sehingga tidak terlalu berperan. Jadi di sini bisa kita simpulkan Pak Gunawan bahwa yang penting adalah keterlibatannya bukan kehadirannyasemata tapi keterlibatan.

Kalau boleh saya gunakan pengibaratan begini, ada kasus di mana ayah-ayah itu sebenarnya figur yang positif dan panutan model yang baik, terhormat, terpuji tapi masalahnya adalah ayah-ayah ini tidak terlibat di dalam kehidupan anak. Waktu si ayah tidak terlibat walaupun dia adalah figur yang positif dia itu hanyalah menjadi, kalau saya boleh ibaratkan seperti ikan, ikan hias di dalam akuarium yang sudah tentu sedap dipandang, indah sekali tapi ikan di akuarium itu tidak bersinggungan dengan kita, tidak bersentuhan dengan kita, terpisah oleh gelas, oleh kaca dan oleh air. Demikian pulalah ayah yang indah dan terpuji, kalau tidak terlibat di dalam kehidupan anak dia hanyalah menjadi tontonan di rumah. Nah keterlibatan ayah ini yang menjadi kuncinya, ayah yang mau tahu tentang kehidupan anaknya, mengajak anaknya bicara, yang melakukan ha-hal tertentu bersama-sama anaknya pergi misalnya, ngobrol atau melakukan suatu pekerjaan bersama, tukar-menukar pikiran, bermain bersama pokoknya terlibat di dalam kehidupan si anak, di rumahnya maupun di luar rumah. Nah ini sekali lagi Pak Gunawan biasanya hanya terjadi sampai usia sekitar 12 tahun sebab setelah anak-anak berusia 12 tahun memasuki remaja dia mulai menutup pintu dari kita, kita mau masuk pun dia tidak izinkan.
GS : Tetapi ada ayah yang ini Pak Paul, katakan bisa menjadi pemimpin di luar, di tempat kerja atau pun di masyarakat begitu tetapi di rumah dia tidak mampu memimpin.

PG : Ya, ada ayah yang seperti tadi Pak Gunawan sudah siratkan mungkin karena istrinya yang terlalu dominan. Atau juga mungkin dia menganggap tugas rumah tangga tugas kurang penting jadi ya ugas dia di luar rumah mencari uang dan stop, dia sungguh-sungguh tidak mau tahu dengan urusan anaknya.

GS : Nah Pak Paul, katakan sampai usia 12 anak itu biasanya menutup diri memang dari orang tua, tetapi sejak awal orang tua itu dalam hal ini si ayah itu memang sudah terlibat di dalam kehidupan anak itu, 'kan anak itu tidak akan mudah untuk menutup dirinya itu.

PG : Tepat sekali, akan ada perbedaan itu tidak bisa kita hindari sebab anak mulai mengembangkan kemandiriannya sebagai seorang remaja, namun kalau relasinya baik dengan si ayah si anak lakiini tetap akan membukakan pintu komunikasi dengan ayahnya.

Dan akan terjadilah dialog, nah dialognya sudah tentu berubah bukan lagi sebagai seorang pengayom, sebagai seorang yang memberikan petunjuk kepada si anak, memerintahkan, menyuruh, namun lebih merupakan seperti seorang pembimbing tugas ayah di sini kepada anak remajanya. Dia mungkin memberikan masukan, memberikan jalan keluar dalam kesulitan yang dihadapi si anak remaja tapi sekali lagi si anak remaja tetap akan membuka pintu itu kepada si ayah. Nah kalau sebelumnya tidak ada jalur itu sudah tentu setelah masuk remaja, si ayah semakin tidak bisa masuk ke dalam diri si anak.
GS : Nah itu menjadi kesulitan berikutnya buat kami sebagai ayah itu Pak, mengubah peran yang tadinya sebagai ayah yang otoriter, yang tinggal memerintah anak kecil, sekarang dengan beranjak dewasa tadi Pak Paul katakan menjadi teman, menjadi sahabat untuk berbicara itu 'kan sebagai orang tua merubah peran itu Pak?

PG : Betul, jadi mengubah peran ini memang adakalanya harus diawali dengan perlawanan dari anak kita, dia tidak suka lagi kita beritahukan seperti dulu nah itu sebagai tanda-tanda atau sinya-sinyal, OK....saya

mungkin harus menggunakan pendekatan yang berbeda. Nah sekali lagi ini penting Pak Gunawan, sebab kalau sampai ayah itu tidak terlibat dan si anak melihat sebetulnya si ayah itu bisa terlibat, efek sampingan yang sering kali muncul pada masa remaja ialah pemberontakan, si anak marah. Marah kenapa? Sebab dia tahu si ayah sebetulnya terlibat, bisa membantu anak-anaknya tapi tidak mau, tidak peduli nah nanti si anak itu mulailah mengembangkan kemarahan. Berbeda dengan anak yang misalnya tidak ada ayah karena ayahnya sudah meninggal dunia dia akan rindu tapi dia tahu memang ayahnya meninggal. Tapi kalau ayahnya itu tidak meninggal namun tidak terlibat dia akan rindu, merindukan si ayah sekaligus marah, nah muncul dalam bentuk pemberontakan atau kebalikannya apatis memasabodohkan semua hal, sangat pasif dalam hidup, tidak mau tahu dan harus terus-menerus dipimpin tapi dipimpin pun susah, nanti ngambek, nanti tidak mau, nanti tukar pikiran lagi seperti itu.
GS : Ya mungkin juga ada salah pengertian itu Pak Paul, memberikan kecukupan terhadap anak laki-lakinya itu hanya sebatas cukup material, hanya materinya saja Pak dicukupi.

PG : Ini kesalahan kebanyakan kita Pak Gunawan, kita beranggapan bahwa kalau saya cukupi anak-anak secara materi, memberikan kecukupan pendidikan maka tugas saya sudah selesai, tidak. Ayah prlu terlibat di dalam kehidupan anak-anaknya barulah nanti si anak bisa menjadi seorang pria dewasa yang matang dan mantap.

Kadang-kadang ayah hanya berharap ayahnya tiba-tiba bisa lompat dan menjadi pria dewasa, tidak! Dia harus menolong si anak menjadi seorang pria dewasa.
(4) GS : Buknakah tidak sekadar pria dewasa yang tadi kita bicarakan tentang pengarahan anak ini, nah sebenarnya anak laki-laki ini harus diarahkan ke mana Pak Paul secara spesifik?

PG : Anak laki-laki diajarkan untuk pertama-tama bertanggung jawab ini penting sekali, sehingga dia tidak mengelak dari tanggung jawab atau melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Selan bisa bertanggung jawab si anak diajarkan untuk berani juga mengambil resiko, ini adalah salah satu kwalitas kepriaan yang penting yang harus mulai ditumbuhkan pada diri si anak sejak usia yang lebih awal, jadi kita mendorongnya, menggiringnya tapi tidak mencemeti dia, memaksa dia, kita berikan dia dorongan.

Dan yang ketiga adalah kemampuan mengambil keputusan, anak harus diajarkan memilih alternatif-alternatif yang tersedia, baiknya apa, kurangnya apa. Sebab anak laki-laki nanti harus mengambil keputusan, jadi kalau boleh saya simpulkan sekurang-kurangnya tiga kwalitas inilah yang perlu ayah ajarkan kepada anak laki-lakinya.
GS : Nah di dalam pengambilan resiko itu Pak Paul, yang saya sendiri alami itu agak sulit kita justru sebagai orang tua kurang berani untuk memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil resiko, Pak Paul?

PG : Betul, ini menjadi masalah saya juga, memang kita harus mengingatkan diri kita bahwa terlalu melindungi anak akan berdampak kurang baik kepadanya. Dia perlu menjadi anak yang bisa mengabil resiko, sebab hidup memang menuntut pengambilan resiko itu.

GS : Ya masalahnya nanti kalau ada apa-apa yang repot kita juga, Pak Paul.

PG : Betul, jadi sudah tentu dalam pengambilan resiko kita memintanya untuk cerdas, tidak sampai gelap mata, sembarangan dan kita memintanya untuk berpikir dengan lebih luas.

GS : Nah Pak Paul dalam hal pengarahan terhadap anak laki-laki ini, apakah ada firman Tuhan yang mengarahkan ayah seperti kita ini.

PG : Saya akan bacakan dari Kolose 3:21, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." Jadi kalau saya boleh balik firman Tuhan ini sehingga lebih ersifat positif untuk ayah-ayah, saya boleh katakan.

"Hai Bapa-bapa, besarkanlah hati anak-anakmu sehingga manislah hatinya." Artinya tugas ayahlah membesarkan si anak, membesarkan hatinya, sehingga hati atau jiwa si anak menjadi jiwa yang penuh rasa tidak menjadi jiwa yang tawar sekali penuh dengan ketidaksukaan, kepasifan, keapatisan. Nah tugas ayah itu hanya bisa terjadi kalau si ayah terlibat dalam kehidupan si anak laki-lakinya.

GS : Dan itu menuntut pengorbanan dari si ayah juga Pak. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan tentu ini akan sangat bermanfaat bagi para pendengar kita. Para pendengar sekalian yang kami kasihi, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Ayah dan Arah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



25. Menghukum Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T120A (File MP3 T120A)


Abstrak:

Orang tua kadang-kadang harus menghukum anak walau itu dilakukan dengan hati yang berat, tetapi menghukum anak itu bukan saja perlu tapi harus. Karena hukuman ini adalah semacam paksaan bagi anak supaya anak tunduk pada aturan dan otorita. Tanpa adanya hukuman wibawa orangtua tidak mungkin dapat dibangun.


Ringkasan:

Orang tua kadang-kadang harus menghukum anak walau itu dilakukan dengan hati yang berat. Tetapi menghukum anak itu bukan saja perlu tetapi harus. Karena hukuman ini adalah semacam paksaan bagi anak supaya anak tunduk pada aturan dan otorita. Tanpa adanya hukuman wibawa orang tua tidak mungkin dapat dibangun.

Anak akan menganggap sepele peraturan atau didikan yang ditetapkan orang tuanya, kalau peraturan itu tanpa sanksi atau hukuman itu ibarat polisi tanpa senjata, nah anak tidak akan segan melanggar peraturan yang demikian.

Tujuan akhir dari kita mendidik atau menghukum anak adalah supaya anak bisa menyadari, bertanggung jawab dan mandiri, bisa mengontrol dirinya sendiri. Wibawa orang tua sebetulnya tidak bisa dibangun hanya dengan hukuman saja, jadi orang tua menghukum anak tidak dengan sendirinya orang tua itu menjadi berwibawa.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan supaya orang tua dapat menjaga wibawanya yaitu:

  1. Orang tua itu dapat memberikan teladan yang baik, hidupnya tertib

  2. Tindakannya konsekuen dengan apa yang diucapkannya, dan juga

  3. Dapat menghargai anak serta

  4. Dapat menghukum anak sepadan dengan perbuatannya.

Cara menghukum anak supaya anak mengerti peraturan yang telah ditetapkan di rumah adalah:

  1. Sebagai orang tua kita perlu tentukan dulu aturan yang ingin kita tegakkan.
    Perlu kita meyakinkan diri sendiri bahwa:

    1. Peraturan ini hendaknya sudah mampu dipahami oleh anak dan kita yakin bahwa ia sanggup menjalankannya.

    2. Peraturan ini jangan terlalu rumit atau terlalu banyak, cukup sederhana saja dan ada konsekuensi yang menyenangkan.

  2. Beritahukan secara jelas konsekuensi yang bakal diterimanya bila ia melanggar peraturan yang kita tetapkan serta juga konsekuensi menyenangkan bila ia menaatinya. Berikan peringatan lebih dulu sebelum peraturan itu dijalankan.

  3. Pastikan anak telah terpenuhi kebutuhannya sebelum peraturan itu diterapkan. Pelanggarannya adakalanya terjadi bukan karena anak sengaja melanggar, melainkan karena ada kebutuhannya yang tak terpenuhi, misalnya kebutuhan akan perhatian orangtua dan kebutuhan akan rasa aman.

Anak ada kalanya terus-menerus melakukan hal yang dilarang sekalipun telah memperoleh hukuman, dikarenakan:

  1. Kemungkinan anak kita tergolong sebagai anak yang lebih sulit dan memerlukan tindakan disiplin orang tua yang lebih tegas.

  2. Kemungkinan sanksi yang kita berikan terlalu ringan dan anak lebih menikmati hasil pelanggaran yang dilakukannya dibandingkan dengan hukuman ringan yang harus ditanggungnya.

  3. Anak tidak memperoleh larangan kita ketika ia melakukan pelanggaran untuk pertama kalinya. Mungkin sudah terjadi sedemikian banyak pelanggaran sebelum kita menetapkan peraturan, sehingga tingkah laku itu sudah terlanjur menjadi kebiasaan.

Ibrani 12:7-8, "Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang." Ini adalah contoh ganjaran atau juga didikan yang dilakukan oleh Allah kepada anak-anak-Nya yang dianalogikan dengan orang tua kita atau kita sendiri sebagai orangtua terhadap anak-anak kita.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, kali ini berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. beliau adalah seorang pakar di bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menghukum Anak". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, sukar dihindari kita itu sebagai orang tua kadang-kadang harus menghukum anak atau anak-anak kita Pak Heman, walaupun itu kita lakukan dengan hati yang sedih kita harus melakukan itu. Kadang-kadang setelah menghukum ada perasaan bersalah. Sebenarnya apakah memang bisa dibenarkan orang tua itu memberikan hukuman kepada anak?

HE : Ya betul Pak Gunawan, kadang-kadang waktu kita menghukum anak, kita rasanya tidak enak begitu. Tetapi kita bahkan adakalanya harus, bukan saja perlu menghukum anak tetapi harus. Kenapa?Karena kalau bisa digambarkan hukuman ini adalah semacam paksaan bagi anak supaya anak tunduk pada aturan dan otorita.

Dalam hal ini yang disebut otorita adalah orang tuanya, tanpa ada hukuman wibawa orang tua tidak mungkin dapat dibangun. Anak sering kali akan menganggap sepele peraturan yang ditetapkan orang tuanya juga didikan dari orang tuanya. Kalau peraturan itu tanpa sanksi atau hukuman, itu ibaratnya seperti polisi tanpa senjata, nah anak tidak akan segan melanggar peraturan yang demikian.
GS : Tetapi bukan tujuan kita untuk memaksa anak itu Pak untuk tunduk pada peraturan-peraturan yang ada di dalam rumah. Bukankah kita maunya anak itu sadar, Pak?

HE : Betul Pak Gunawan, jadi memang akhirnya tujuan akhir dari cara kita mendidik anak adalah supaya anak bisa menyadari, bertanggung jawab dan mandiri, dia bisa mengontrol dirinya. Tetapi pda awalnya kita kadang-kadang perlu untuk menghukum anak supaya anak itu tunduk.

Karena bagaimana pun pada dasarnya anak itu tidak demikian saja mau tunduk karena kadang-kadang tunduk atau menaati orang tua itu bukan merupakan natur dari anak.
GS : Nah kalau begitu apakah kita memang perlu membangun kewibawaan kita itu sebagai orang tua atau otorita kita itu dengan melakukan hukuman sesering mungkin Pak, supaya anak menjadi takut kepada kita?

HE : Nah mengenai wibawa ini logikanya memang tidak sesederhana itu, karena wibawa orang tua sebetulnya tidak bisa dibangun hanya dengan hukuman saja. Jadi orang tua menghukum anak tidak denan sendirinya bahwa orang tua itu menjadi berwibawa.

Untuk masalah wibawa ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan supaya orang tua dapat menjaga wibawanya yaitu kalau misalnya orang tua itu dapat memberikan teladan yang baik, kemudian hidupnya tertib, tindakannya konsekuen dengan apa yang diucapkannya, selain itu dapat menghargai anak serta dapat menghukum anak sepadan dengan perbuatannya di mana perlu, nah baru dengan demikian orang tua itu bisa membangun wibawanya. Kalau semata-mata dengan hukuman justru kemungkinan ada pemberontakan dari anak, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
(2) GS : Kalau begitu Pak Heman, apakah kita ada semacam pedoman atau cara bagaimana kita menghukum supaya anak itu bisa mengerti peraturan yang ada di dalam rumah kita itu, ada atau tidak Pak?

HE : Ya mungkin bisa diuraikan dalam beberapa langkah atau beberapa prinsip. Yang pertama sebagai orang tua kita perlu menentukan dulu aturan yang ingin kita tegakkan. Nah perlu kita yakinka diri sendiri bahwa peraturan ini hendaknya sudah mampu dipahami oleh anak dan kita yakin bahwa ia sanggup menjalankannya.

Masalahnya kadang-kadang waktu kita menerapkan suatu peraturan anak masih terlalu muda, sehingga anak tidak bisa menjalankannya dengan baik. Jadi kita harus meyakinkan diri dulu bahwa peraturan ini bisa dilakukan oleh anak. Hendaknya juga peraturan ini jangan terlalu rumit atau terlalu banyak, cukup sederhana saja dan untuk itu ada konsekuensi yang menyenangkan. Kita perlu siapkan konsekuensinya yang menyenangkan ketika anak menaati peraturan ini.
GS : Nah itu mengenai peraturan yang mau kita beritahukan kepada anak-anak kita di dalam rumah, sering kali mereka itu tidak memahami bahwa itu adalah suatu peraturan yang harus mereka taati. Nah bagaimana mengkomunikasikan pikiran kita atau peraturan yang harus mereka taati itu Pak?

HE : Pertama, kita biasanya memulai dengan membiasakannya, jadi biasanya kita mempunyai jadwal kapan anak itu bangun tidur, kapan makan, mandi dst. Nah ketika anak sudah mulai bisa menaati jdwal ini, mulai terbiasa dengan jadwal ini tapi kadang-kadang anak-anak juga ingin melanggar peraturan-peraturan ini, pada saat itu ketika terjadi pelanggaran kita beritahukan peraturannya.

Misalnya peraturannya adalah tidak boleh tidur terlalu malam atau tidak boleh nonton televisi sampai jauh malam. Nah ketika peraturan itu diterapkan pertama kali kita beritahukan pada jam berapa dia sudah harus siap-siap untuk tidur. Nah tentu perlu beberapa kali latihan dan pemberitahuan, dan ketika beberapa kali diberitahukan tapi tidak didengarkan, kita beritahukan juga sanksinya.
GS : Nah itu sulitnya Pak Heman, untuk tahap-tahap awal kita bisa memaklumi dia, memaafkan dia kalau dia sedang melakukan kesalahan. Tapi pada suatu saat kita menghukum dia kalau dia melakukan kesalahan itu. Nah anak itu juga menjadi bingung, dulu tidak apa-apa dilakukan sekarang kok menerima hukuman.

HE : O........ya kita tidak boleh memperlihatkan keragu-raguan kita pada saat kita menghukum anak. Jadi ketika kita sudah menetapkan peraturannya dan juga menetapkan hukumannya, hukuman apa ang kita ingin terapkan kepada anak itu maka kita harus segera melakukannya dengan pasti.

Ketika ada suatu kepastian di dalam kita menjalankan hukuman mungkin anak akan kaget, terkejut, untuk pertama kalinya tapi setelah itu dia akan mengerti bahwa kalau saya melanggar, orang tua pasti menerapkan sanksinya jadi dia juga tidak berani sembarangan melanggar peraturan yang kita tetapkan.
GS : Nah itu berarti suatu konsekuensi logis yang harus diajarkan kepada anak, Pak?

HE : Ya betul Pak Gunawan.

GS : Nah bagaimana caranya anak itu untuk dapat menghindari diri dari hukuman itu?

HE : Itu juga perlu kita beritahukan, bagaimana caranya dia bisa menghindarkan diri dari itu. OK! Sekarang kita berikan jam weker misalnya. Pada jam sekian akan berbunyi alarmnya, nah setela berbunyi dia harus mulai apa begitu kita beritahukan.

Kalau misalnya dia sudah siap dengan mau tidur, nah waktu dia mau tidur kita berikan cerita-cerita biasanya anak suka dengan cerita-cerita. Tetapi kalau dia melanggar dia bukan saja tidak mendengar cerita tapi mungkin ada sanksi yang khusus, misalnya begitu.
GS : Apakah ada cara yang lain Pak, jadi tadi sudah diberitahukan mengenai peraturan ada konsekuensinya, apa ada cara yang lain?

HE : Ya ada berbagai cara untuk memberikan sanksi ini maksudnya dalam konteks menghukum anak ya Pak. Jadi di dalam menghukum anak ini tentu saja ada beberapa macam sanksi yang bisa kita terakan.

Jadi ada sanksi misalnya meminta anak untuk berdiri di satu tempat selama jangka waktu tertentu, saya kira tidak perlu terlalu lama misalnya menyuruh anak berdiri, cukup asal dia tahu bahwa dia tidak suka dengan konsekuensi seperti itu. Adakalanya kita bisa meminta anak untuk tidak bermain, jadi mengurangi jam main dari anak itu. Adakalanya kita bisa meminta anak misalnya kalau dalam hal makan, dia susah sekali makan dan tidak mau makan misalnya, adakalanya kita boleh tidak memberikan dia makan itu sebagai konsekuensinya.
GS : Apakah itu tidak malah merusak tubuhnya Pak, kalau tidak diberi makan misalnya?

HE : Saya kira itu hanya satu kali dia tidak diberi makan, itu tidak berdampak buruk kepada dia. Efek positifnya adalah dia berhati-hati untuk tidak melanggar. Nah untuk hal seperti ini misanya macam-macam sanksi ini dapat dibahas lebih mendetail di waktu yang akan datang.

(3) GS : Nah Pak Heman, tetapi ada anak itu walaupun kita sudah menghukumnya, kita sudah peringatkan dihukum lagi dst, tapi tetap melakukan pelanggaran yang sama, itu bagaimana?

HE : Itu ada kemungkinan ada beberapa sebab, sebab yang biasanya terjadi adalah kemungkinan hukuman yang kita terapkan itu kurang keras. Kadang-kadang misalnya ada ibu-ibu yang mengatakan bawa anaknya itu suka melempar barang, atau kalau mau kencing sengaja dia naik ke kursi, dia tahu mamanya marah mamanya menghukum.

Nah ketika dikonfermasi hal ini, diperjelas masalahnya ternyata ibu ini waktu menghukum anak itu juga tidak tega dan cenderung untuk ikut tertawa kalau misalnya anaknya melucu. Dengan demikian orang tua menjadi kehilangan wibawa di mata anak. Dan karena anak merasa bahwa ibunya itu hanya tidak serius bahkan cenderung bermain, anak akan melakukan ini terus karena anak juga merasa ini tingkah laku yang lucu. Nah ada hal lain yang juga perlu kita perhatikan adalah bahwa adakalanya hukuman itu tidak mempan atau anak melanggar terus karena ada kebutuhan-kebutuhannya yang tidak terpenuhi. Jadi misalnya anak yang butuh sekali akan perhatian orang tua lalu dia berusaha menarik perhatian dari pelanggarannya. Karena kalau misalnya dia berusaha berbuat yang baik, bermain yang biasa-biasa saja orang tua sering tidak memperhatikan. Justru dengan dia berbuat "nakal" itu dia mendapat perhatian sekalipun perhatiannya dalam bentuk yang negatif dan dia merasa saya toh bisa menerima konsekuensi hukuman ini, saya bisa tanggung tapi yang penting saya mendapat perhatian dari orang tua. Nah ini kekhasan anak-anak yang hidup di dalam keluarga yang bermasalah.
GS : Ya adakalanya anak itu merasa kesalahan yang dia perbuat itu sudah menjadi kebiasaan rutinnya Pak. Dia malah merasa tidak enak kalau dia tidak melakukan itu, padahal itu sesuatu yang melanggar.

HE : Ya nah di dalam hal ini kita juga perlu memperhatikan dari perilaku dia itu hasil positif apa yang diperoleh oleh anak itu. Jadi seringkali sesuatu yang menjadi kebiasaan itu dilakukan erus karena dia memperoleh hasilnya.

Hasilnya misalnya kepuasan, umpama ada anak yang suka memukul adiknya atau mengganggu adiknya waktu adiknya lagi bermain, adiknya berteriak-teriak lalu misalnya dia dihukum oleh ibunya, tidak boleh main dsb. Nah semakin dia tidak boleh main semakin dia berusaha untuk mengganggu adiknya lagi karena itu memberikan dia kesenangan. Dia bisa melihat orang lain juga ikut menderita.
GS : Atau mungkin dia merasa tidak mempunyai pilihan lain Pak?

HE : Ya, itu juga bisa terjadi Pak Gunawan, jadi tidak ada pilihan lain dan orang tua harus menciptakan pilihan ini. Kalau misalnya dia memukul adik dan dia tidak boleh memukul, apa yang diaboleh lakukan? Kadang-kadang misalnya adiknya yang usil lalu dia marah.

Di dalam kemarahan ini kita ajarkan anak ini misalnya untuk melampiaskan atau mengungkapkan kemarahannya dalam bentuk kata-kata atau boleh juga dalam bentuk gambar-gambar. Ini salah satu yang kita boleh ajarkan karena kalau misalnya anak itu mengungkapkan kemarahan dalam bentuk kata-kata biasanya ini lebih mudah untuk dikontrol.
GS : Pak Heman, kadang-kadang kita sebagai orang tua itu melakukan kesalahan dengan menghukum anak di mana anak itu sendiri tidak bisa menguasai dirinya bahwa dia itu melakukan suatu pelanggaran. Contohnya begini Pak Heman, ada anak itu yang sudah diberitahu kalau malam pipis dulu supaya tidak ngompol, dia sudah pipis malam itu tapi malamnya tetap ngompol. Nah besoknya dia mendapat hukuman dari orang tuanya, apakah hukuman itu tepat padahal anak ini tidak bisa mengontrol dirinya pada waktu malam, dia mungkin mimpi atau apa lalu terkencing di tempat tidurnya, ini bagaimana?

HE : Ini pertanyaan yang baik Pak Gunawan, jadi kalau di dalam keadaan anak itu tidak sengaja kita tidak perlu menghukum anak. Peraturan dan hukuman itu hanya perlu kalau misalnya anak itu mlakukan pelanggaran secara sengaja.

Kita sudah tahu bahwa dia sudah bisa bertanggung jawab, dia cukup matang, dan dia tahu aturannya dan dia sebetulnya bisa melakukan untuk taat pada aturan tapi dia sengaja melanggar maka kita harus berikan sanksi. Dalam contoh Pak Gunawan tadi tentang mengompol saya kira kurang tepat kalau misalnya dihukum berat, karena kadang-kadang mengompol itu terjadi bukan cuma karena terlalu banyak minum dsb, tetapi kalau terjadi terus-menerus ada kemungkinan ini karena berakar dari kecemasan yang lebih dalam. Nah untuk hal-hal begini yang perlu kita perhatikan lebih dulu adalah pemenuhan kebutuhan akan rasa amannya. Kalau misalnya kebutuhannya akan rasa aman ini sudah terpenuhi maka selanjutnya adalah melatih dia. Salah satu contoh yang bisa kita lakukan adalah anak ini diminta untuk mengangkat spreinya dan kemudian membantu orang tua untuk menjemurnya, mungkin anak seusia itu belum cukup kuat untuk mengangkat sampai ke jemuran jadi kita juga membantu dia. Tapi setidaknya ada sesuatu yang dia perlu lakukan sebagai konsekuensinya.
GS : Adakalanya juga ini di dalam mengajar anak untuk persiapan sekolah dsb maksudnya orang tua ini membantu, tapi anak ini karena selalu gagal di situ misalnya mengucapkan huruf R itu sulit buat anak dan dia selalu mengatakan L, L, L. Nah orang tuanya marah dan menghukum anak itu, nah itu bagaimana Pak?

HE : Ya dalam kaitan ini juga, karena anak ini belajar dan bukan sengaja dia belum bisa, dia hanya perlu untuk dilatih dan ada masanya dia akan bisa nanti. Di dalam ketidaksengajaan dan pross belajar maka pemberian hadiah, pujian, tepukan tangan atau tepukan di bahu, senyuman, itu lebih efektif dari pada diberikan hukuman.

Justru dengan hukuman anak menjadi takut untuk belajar bahkan dikhawatirkan makin bermasalah dan akhirnya belajarnya terhambat.
GS : Ya kadang-kadang kita itu sebagai orang tua menghukum, marah kepada anak karena kita sendiri jengkel Pak. Mungkin kalau kita tidak jengkel, kita mungkin tidak sampai menghukum dia.

HE : Ya ini baik sekali Pak Gunawan, sebuah masukan bagi kita sebagai orang tua untuk juga belajar bagaimana mengontrol diri. Kita berusaha sadar akan diri kita ketika kita menghukum, hukuma yang kita berikan hendaknya di dasarkan kepada kasih dan juga bertujuan untuk mengoreksi anak, memperbaiki perilakunya, bukan dengan tujuan supaya memuaskan atau melampiaskan hawa nafsu kita.

GS : Pak Heman, kalau kita menghukum anak dengan sangat, apakah itu akan menimbulkan satu trauma terhadap anak atau bahkan kita sendiri yang trauma atau bagaimana Pak?

HE : Sebetulnya kalau hukuman itu kita bisa batasi dengan sepatutnya saja kepada anak, maka hukuman ini tidak akan memberikan dampak trauma kepada anak bahkan justru mempunyai efek yang posiif bagi anak.

Sehingga anak bisa juga mempunyai rasa aman bisa lebih berdisiplin diri. Hukuman hanya dapat menimbulkan trauma pada situasi-situasi tertentu. Misalnya saja seperti yang Pak Gunawan katakan tadi diberikan secara berlebihan. Trauma itu biasanya terjadi kalau orang tua melakukan tindakan dan perkataan yang menghina dan merendahkan anak. Juga pelampiasan hawa nafsu orang tua, mengamuk sejadi-jadinya dengan memukul anak dsb ini akan menimbulkan trauma. Tetapi kalau orang tua menerapkan hukuman dengan pertimbangan akal sehat dan dengan kasih, nah hukuman-hukuman ini akan berefek positif bagi anak.
GS : Kalau anak itu sudah sampai besar, katakan sampai mahasiswa tapi masih mengingat apa yang dilakukan ibunya atau ayahnya terhadap dia di dalam memberikan hukuman, apakah itu sudah dianggap sebuah trauma Pak?

HE : Kalau misalnya trauma itu berarti dia sensitif terhadap hal-hal tertentu, yang mengasosiasikan atau mengingatkan dia pada peristiwa hukuman itu. Misalnya dia takut dengan air, kenapa di takut dengan air? Pada waktu dia mandi lalu dia bermain-main dengan air di situ dia dihukum dengan sangat keras oleh ayahnya misalnya.

Sehingga setiap kali melihat air dia ketakutan nah ini yang disebut trauma.
GS : Kalau sekadar mengingat tidak ya Pak, karena ada anak yang sampai mahasiswa pun masih ingat bagaimana dulu dia dimasukkan ke dalam gudang.

HE : Kalau sekadar mengingat tidak, kecuali kalau dimasukkan gudang dia takut dengan tempat gelap yang sempit dsb itu trauma. Tetapi kalau ada kepahitan di dalamnya nah ini juga perlu diseleaikan.

Kadang-kadang orang tua boleh mengajak anak yang demikian untuk lebih akrab, berbincang-bincang, di mana kemudian kalau perlu orang tua memeluk anaknya memohon maaf.
GS : Tetapi apakah sebenarnya ada orang tua itu yang trauma karena dia terlalu keras menghukum anaknya yang pertama, sehingga dia tidak melakukan hukuman yang sama terhadap anak yang kedua Pak?

HE : Ya bisa terjadi, kadang-kadang orang tua menyesal juga untuk melakukan itu. Saya mengetahui ada orang tua yang setelah tahu bahwa dirinya itu menghukum anaknya terlalu banyak dan terlal keras, anaknya sakit hati, ketika anaknya berkuliah keluar kota dia berusaha untuk setiap kali menulis surat kepada anaknya dan di antaranya disisipkan kata-kata saya mengasihimu dan saya menyesal dulu pernah menghukum kamu terlalu keras.

GS : Itu biasanya tanggapan si anak bagaimana Pak, kalau kita sebagai orang tua itu meminta maaf apakah dia bisa begitu saja melupakan sakit hatinya itu atau butuh waktu yang lama?

HE : Paling tidak anak ini akan lebih cepat untuk pulih dan akan lebih lembut hatinya, pemberontakan lalu pembalasan itu akan sangat berkurang. Biasanya masalah terjadi adalah kalau orang tu tidak mau tahu dan orang tua tidak pernah mengucapkan kata maaf.

GS : Nah Pak Heman, untuk masalah menghukum anak ini tentunya tidak mudah juga buat orang tua, apakah ada firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman untuk kita sebagai orang tua khususnya.

HE : Sebuah ayat yang indah akan saya bacakan dari Ibrani 12:7-8, "Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tida dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang."

Nah ini adalah sebuah contoh ganjaran atau juga didikan yang dilakukan oleh Allah kepada anak-anak-Nya yang dianalogikan dengan orang tua kita atau kita sendiri sebagai orang tua, apa yang harus kita lakukan terhadap anak-anak kita.
GS : Jadi itu bertujuan yang positif Pak, jadi tujuannya untuk membangun anak bukan untuk merusakkan atau menghancurkan anak itu.

HE : Betul Pak Gunawan.

GS : Terima kasih banyak Pak Heman untuk perbincangan pada kesempatan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan pula banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M. Psi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghukum Anak". Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



26. Mengoreksi Perilaku Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T120B (File MP3 T120B)


Abstrak:

Mengoreksi dan memperbaiki bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi mau tidak mau tatkala kita mendidik anak-anak kita ternyata ada sifat atau tingkah laku atau kebiasaan yang kita anggap kurang tepat dan mau tidak mau ini harus dikoreksi.


Ringkasan:

Mengoreksi atau memperbaiki itu bukan sesuatu hal yang mudah dilakukan, tetapi mau tidak mau tatkala kita mendidik anak-anak kita ternyata ada sifat atau tingkah laku atau kebiasaan yang kita anggap kurang tepat dan mau tidak mau ini harus dikoreksi.

Tindakan-tindakan yang bisa kita lakukan selain dari memberikan hukuman atau memarahi anak ini yaitu:

  1. Bagi anak yang masih sangat muda misalnya di bawah 2 tahun, dengan cara mengalihkan perhatian anak kepada hal-hal yang lebih positif. Biasanya cara ini cukup efektif, kadang-kadang karena kekurangmatangannya sang anak misalnya ingin terus-menerus merobek buku atau majalah yang kita simpan.

  2. Mencari sumber kenikmatannya dan menutup sumber kenikmatannya maka kita harapkan kita bisa menghentikan pelanggarannya. Maksudnya biasanya anak melakukan suatu perilaku dengan terus-menerus bahkan menjadi kebiasaan karena ada hasil yang menyenangkan yang dia bisa petik dari pelanggaran atau kesalahan dari perilakunya, jadi setiap dia melanggar dia menikmatinya.

  3. Membiarkan atau memberikan konsekuensi yang tidak enak bagi anak. Jadi kita tidak mencegah konsekuensi yang tidak enak hasil tindakandari anak itu untuk anak tanggung sendiri. Contoh anak tidak mau makan, konsekuensinyadia harus mau kehilangan makanannya.

Ada hal yang perlu kita pertimbangkan sebelum kita menerapkan suatu konsekuensi tertentu yaitu:

  1. Misalnya makan, apakah perilaku tidak mau makan ini ada unsur manipulatifnya atau jangan-jangan disebabkan karena anak sedang tidak enak badan. Atau karena kurang nafsu makan akibat suatu penyakit.

  2. Apakah konsekuensi itu sudah pantas dan dapat ditanggung baik oleh anak maupun orangtua. Jadi bukan hanya bisa ditanggung oleh anak tetapi juga bisa ditanggung oleh orangtua.

Ibrani 12:11, "Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya." Allah memberikan ganjaran kepada anak-anak yang dikasihi-Nya. Orang tua pun perlu kadang-kadang menegakan hati, menahan rasa kasihan karena pada waktu dia memberikan ganjaran memang tidak membuat sukacita anaknya tetapi dukacita, tetapi setelah itu anak bisa dilatih.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. beliau adalah seorang pakar di bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Mengoreksi Perilaku Anak". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
(1) GS : Pak Heman, memang mengoreksi atau memperbaiki itu bukan sesuatu hal yang mudah dilakukan, tetapi mau tidak mau tatkala kita mendidik anak-anak kita atau mempersiapkan mereka untuk masa depan mereka ternyata ada sifat atau tingkah laku atau kebiasaan yang kita anggap kurang tepat dan mau tidak mau ini harus dikoreksi. Tidak mungkin ini dibiarkan saja. Nah memang sering kali kita itu melakukan bentakan melampiaskan kemarahan kepada anak ini tetapi itu pun tidak selamanya membawa suatu hasil yang baik. Nah kadang-kadang kita merasa putus asa dan berkata apa perlu dibiarkan saja kesalahan-kesalahan ini, tidak perlu dikoreksi toh sulitnya setengah mati itu Pak, itu bagaimana Pak sebenarnya?

HE : Kita harus usahakan supaya kita bisa menggunakan cara-cara lain selain yang Pak Gunawan katakan dengan memarahi dan menghukum anak. Mungkin ada cara-cara yang lain yang masih bisa cukupefektif yang bisa kita usahakan.

GS : Kalau cuma dengan kemarahan apakah itu tidak cukup Pak?

HE : Kemarahan boleh dilakukan tetapi masalahnya adalah seperti ini, kadang-kadang anak itu sudah terbiasa orang tuanya ngomel-ngomel, setiap kali ngomel lama-lama anaknya kebal. Lama-lama da terbiasa dan tidak mempan lagi dan dengan hal seperti itu kadang-kadang kita perlu tambahkan kemarahan kita, tambahkan bentakan kita, tambahkan hukuman kita, tetapi itu pun ada batasnya.

Kalau misalnya kita sering memarahi anak, sering membentak, anak pun kadang-kadang hanya takut di depan kita dan kemudian perilakunya tetap saja berlangsung.
GS : Maksudnya itu menambah katakan kalau obat itu dosisnya kita tingkatkan supaya anak ini menjadi jera atau kapok, tetapi kenapa juga tidak berhasil Pak?

HE : Ya ada beberapa kemungkinan di sini kalau misalnya hukuman atau kemarahan kita tidak berhasil. Misalnya saja anak yang sulit, sulit untuk dikoreksi dan lebih bandel kalau dibandingkan dngan anak yang lain.

Memang ada anak-anak yang khusus seperti ini, tetapi juga ada kemungkinan bahwa orang tua tidak harmonis sehingga membuat anak itu tidak puas, frustrasi dan kemudian melakukan pemberontakan-pemberontakan. Kemungkinan lain juga adalah bahwa anak-anak tertentu itu kalau memakai cara hukuman atau dimarahi dia akan lebih sakit hati dan dia melawannya, tetapi kalau dengan cara-cara yang lain dia bisa misalnya dengan teknik-teknik untuk melatih dia supaya dia teralih ke perilaku yang lain yang lebih baik, adakalanya cara yang seperti ini yang lebih berhasil.
GS : Ya berarti dalam rangka membenahi tingkah laku anak tadi juga dibutuhkan suatu kreatifitas tersendiri untuk orang tua itu Pak?

HE : Betul Pak Gunawan.

GS : Nah kalau begitu kapan kita itu harus berpindah ke cara-cara yang lain, Pak?

HE : Kadang-kadang bukan saja harus berpindah tetapi kadang-kadang memang kita harus sudah menggunakan cara lain itu sebelum kita melakukan hukuman atau kita marah-marah. Yaitu kalau misalny anak melanggar sesuatu atau melakukan kesalahan itu karena kekurangmatangannya dan bukan karena kesengajaannya.

Kita melatihnya supaya dia memperoleh perilaku yang lebih baik dan perilaku yang baru.
GS : Ya, walaupun anak itu tidak atau belum matang atau belum mengerti benar, tetapi yang namanya kesalahan kita tetap mesti melakukan suatu tindakan koreksi terhadap anak itu Pak?

HE : Ya Pak Gunawan, kita harus koreksi mereka.

GS : Nah di dalam hal ini mungkin Pak Heman bisa menjelaskan tindakan-tindakan apa yang bisa kita ambil selain memberikan hukuman atau memarahi anak?

HE : Kalau misalnya ini bergantung kepada usia, kita berhadapan dengan anak yang masih sangat muda misalnya di bawah 2 tahun. Biasanya anak-anak di bawah usia 2 tahun itu perhatiannya mudah ita alihkan.

Cara mengalihkan perhatian anak ini cukup efektif, kadang-kadang karena kekurangmatangannya itu sang anak misalnya ingin terus-menerus merobek buku atau majalah yang kita simpan. Atau kadang-kadang dia suka bermain-main dan kita makin melarang dia, dia makin sengaja bermain misalnya colokan listrik yang biasanya cukup berbahaya. Kita bisa mengalihkannya misalnya membujuk dia lalu mengalihkan perhatian dia kepada hal-hal yang lebih menyenangkan misalnya kita sediakan botol-botol plastik bekas shampoo atau bekas isi kecap atau yang lainnya yang tidak berbahaya, yang tidak ada tajam-tajamnya. Dia bisa bermain di situ putar-putar kemudian buka tutup, dibanting, dilempar dsb dengan demikian perhatiannya untuk bermain hal itu teralihkan ke hal yang lain yang tidak berbahaya. Nah untuk hal ini kita juga bisa melakukan dengan manipulasi lingkungan, artinya kita tidak izinkan dia bermain di tempat-tempat yang banyak gelas atau banyak barang pecah belahnya. Untuk colokan listrik kita bisa menggantinya dengan colokan yang lebih tidak berbahaya jadi harus dengan diputar, dibuka tutupnya dan diputar misalnya baru bisa dihubungkan dengan listrik dsb.
GS : Menurut saya ada kebiasaan anak yang masih sangat muda itu agak sulit untuk diubah Pak Heman, ada anak yang kalau diberikan makanan itu tidak langsung ditelan, dibiarkan terus di dalam mulutnya nah ini mau mengalihkan perhatiannya bagaimana Pak. Tapi memang kalau anak ini diajak makan sambil jalan-jalan, keliling-keliling itu dia bisa makan tapi bukankah itu tidak sehat, makan dengan keliling jalan sana jalan sini, begitu Pak?

HE : Ya, kekhawatirannya adalah kalau diajak jalan-jalan seperti itu memang makan, tetapi dia memperoleh kebiasaan yang kurang baik, tidak bisa makan di (GS : Rumah atau di tempatnya, itu baaimana Pak mengalihkan perhatiannya?) Ada cara misalnya kita bisa bercerita, di dalam cerita-cerita itu kita sisipkan supaya dia bisa membuka mulutnya.

Misalnya kita bisa bercerita ada pesawat terbang, dia ingin terbang kemudian bersembunyi di sebuah gua, ini ada gua, buka dong guanya lebar-lebar. Nah minta anak membuka mulutnya lalu pesawat terbang ini masuk, nah akhirnya sendoknya masuk. Lalu bercerita tentang yang lain yang menarik sehingga anak itu ingin mengunyah dengan cepat. Saya mengenal ada orang tua yang dengan kreatif memakai cerita-cerita misalnya cerita anak-anak, cerita tentang pahlawan misalnya dia suka pahlawan apa begitu lalu dia mengatakan oh.....si ini. Kalau misalnya mau berperang apakah dia makannya lambat-lambat wah keburu dibunuh sama musuhnya misalnya begitu. Nah dengan begitu anak ini terdorong untuk makan dengan lebih cepat.
GS : Nah itu suatu cara, teknik tersendiri yang mungkin bisa berguna bagi para pendengar kita. Tetapi apakah ada cara lain lagi Pak Heman?

HE : Yang lain lagi misalnya adalah biasanya anak melakukan suatu perilaku itu dengan terus-menerus bahkan menjadi kebiasaan karena ada hasil yang menyenangkan yang dia bisa petik dari pelangaran atau kesalahannya itu atau perilakunya itu.

Jadi setiap kali dia melanggar dia menikmatinya, kalau kita bisa mencari sumber kenikmatannya dan kita menutup sumber kenikmatannya maka kita harapkan kita bisa menghentikan pelanggarannya ini.
(2)GS : Misalnya apa itu Pak Heman, kesalahan yang dibuat oleh anak itu yang menimbulkan kenikmatan bagi dirinya?

HE : Ya ini memang memerlukan sebuah contoh konkret. Mungkin seperti ini Pak Gunawan, kalau seorang anak misalnya suka merengek, menangis, kalau orang tuanya di rumah minta ini minta itu tidk dituruti menangis dsb, ini banyak terjadi.

Kalau misalnya anak ini dimarahi, dihukum, tangisannya, rengekannya justru menjadi-jadi suaranya justru terdengar sangat mengenaskan. Nah kalau diperhatikan ketika anak ini merengek atau menangis perhatian orang tua justru menjadi berlebihan. Dan cukup sering terjadi setelah diberi hukuman orang tua mungkin merasa bersalah lalu anak ini justru dibelikan apa yang tadinya diinginkannya yang dia minta atau yang dia paksa orang tuanya untuk memberikannya. Nah kalau ini terjadi, berarti ketika dia menangis dia justru bisa menarik semua perhatian dan juga selain itu dia memperoleh apa yang dia inginkan. Karena itu tidak heran setiap kali dia menginginkan sesuatu dia semakin menangis, semakin kuat merengek. Nah kalau pada situasi demikian bagaimana cara menutup sumber kenikmatannya itu, ya kita tidak memberikan apa yang dia inginkan kalau dia dalam keadaan menangis atau merengek. Bahkan misalnya kalau dia punya saudara yang lain, kita berikan apa yang dia inginkan tadi kepada saudaranya yang lain yang tidak merengek. Dan kita jelaskan pada anak ini kalau kamu merengek kamu tidak akan mendapat apa-apa, tetapi di lain pihak kita juga harus memperbanyak perhatian untuk anak yang bersangkutan, bila dia berperilaku manis. Juga kalau dia minta sesuatu tanpa menangis atau merengek nah kalau bisa kita mengusahakannya kita berikan pada saat itu, jadi dengan demikian kita melatih dia untuk meminta sesuatu tanpa merengek.
GS : Ya berarti itu semacam bisa kita janjikan kepada anak itu misalnya kalau kamu tidak menangis ini menjadi milikmu, bisa begitu Pak?

HE : Boleh dijanjikan juga.

GS : Tapi betul-betul kita harus penuhi itu Pak ya?

HE : Nah di situ orang tua juga harus memperhitungkan, kalau misalnya sesuatu yang sulit dipenuhi dan anak ini juga sulit mencapainya ya jangan. Sebab kalau orang tua tidak memenuhi janjinya lain kali anak tidak mau lagi berbuat seperti yang kita inginkan.

Di samping itu kalau anak merasa wah.....saya tidak mungkin bisa mencapai hal itu dan dia tidak pernah mendapatkan hal itu maka dia juga frustrasi dan dia peduli amat dengan janji-janji orang tua.
GS : Tapi memang sering kali anak itu menggunakan senjatanya yaitu menangis untuk memaksakan kehendaknya. Dan biasanya orang tua yang kalah apalagi nangisnya di tempat umum banyak saudara-saudara yang lain kita sebagai orang tua menjadi tidak enak. Akhirnya kita sebagai orang tua yang mengalah untuk memenuhi permintaan anak itu.

HE : Sekali orang tua mengalah di dalam situasi ini maka anak merasa bahwa dia menang, bukan cuma menang terutama dia mendapatkan apa yang dia inginkan, dan hukum perilaku adalah suatu perilku akan cenderung diulang kalau perilaku itu memperoleh hasil yang menyenangkan.

Jadi dia belajar dari situ dan mengulang itu, jadi dalam keadaan ini sedapat mungkin orang tua tidak boleh memenuhi permintaan rengekan dari anak. Bagaimana kalau hal-hal seperti ini terjadi di tempat umum, orang tua sendiri mungkin malu. Tapi saya kira salah satu cara yang kita bisa lakukan adalah mendiamkannya saja, hanya melihatnya saja. Kalau misalnya anak merasa bahwa dia merengek atau dia menggelesot di lantai itu tidak mendapat perhatian orang tuanya ya dia akan berhenti.
GS : Pak Heman, apakah ada cara lain juga selain mengalihkan perhatian dan mencabut sumber kenikmatan ini dalam rangka kita mau mengoreksi tingkah laku yang kurang benar itu?

HE : Cara yang lain lagi adalah misalnya dengan membiarkan atau memberikan konsekuensi yang tidak enak bagi anak. Jadi kita tidak mencegah konsekuensi yang tidak enak atau hasil tindakan dar anak itu untuk anak tanggung sendiri.

GS : Contohnya bagaimana Pak?

HE : Misalnya ini kembali soal makan yang sering kali menjadi ajang pertarungan orang tua-anak. Katakanlah misalnya orang tua sudah bersusah payah menyiapkan makanan lalu anak tidak mau maka, kalau dipaksa anak akan makan dengan lambat sekali atau kadang-kadang ada anak yang berpura-pura mau muntah.

Dalam hal ini kita bisa melakukan koreksi misalnya dengan cara membiarkan anak menanggung konsekuensi tidak enak dari tindakannya yang tidak mau makan. Kita misalnya bisa batasi waktu makan anak, katakanlah misalnya kalau anak biasanya makan 1 jam, kita bisa targetkan misalnya 45 menit harus sudah selesai makan atau mulai makan. Ketika anak tidak memenuhi itu konsekuensinya adalah dia harus tunggu jam makan berikutnya. Kadang-kadang dengan cara yang demikian hanya perlu satu kali ini dilakukan anak sudah jera dan selanjutnya dia akan berhati-hati untuk memenuhi jadwal makan ini. Paling dua atau paling banyak 3 kali setelah dia merasa bahwa orang tuanya pasti memenuhi perkataannya maka anak akan taat kepada orang tuanya.
GS : Yang sering kali ini terutama banyak dihadapi oleh ibu-ibu, bukan anaknya menolak seluruh makanan itu Pak tapi sebagian. Jadi misalnya begini kita sebagai orang tua tahu bahwa sayur-sayuran itu penting untuk pertumbuhan anak, tetapi anak hanya memilih dagingnya saja, sayurnya tidak mau makan. Padahal kita mau mengoreksi bahwa ini suatu tingkah laku yang kurang baik, kalau makan ya makan keseluruhan tapi dia tidak mau, dia selalu sisihkan, disisihkan begitu Pak.

HE : Kadang-kadang ada hal-hal yang memang kita tidak bisa koreksi dan langsung perilakunya menjadi baik sepenuhnya. Adakalanya seperti dia menyisihkan sayur-sayuran dsb, kita boleh variasikn entah dengan cara masaknya ataupun dengan disembunyikan, dibungkus di dalam daging dsb.

Cara mengolah tertentu yang kreatif bisa membuat anak itu berselera. Nah setelah dia merasakan enaknya dia akan belajar menyukainya, kadang-kadang anak itu bisa menyukai makan pare yang pahit itu, dengan memuji dia kalau dia makan itu dia menjadi kuat seperti popaye misalnya. Dan kita juga mengatakan wah kamu kelihatannya lebih sehat, kamu berani makan pare yang pahit itu dsb. Nah dengan cara-cara seperti ini kadang-kadang anak bisa menunjukkan keberaniannya.
GS : Ya karena kalau tidak boleh makan atau makannya ditunda itu kelihatannya kok agak terlalu kejam Pak, apalagi kalau serumah dengan neneknya dsb wah ini bisa menjadi masalah lain Pak.

HE : Ada satu prinsip yang melatarbelakangi kenapa ini juga kadang-kadang sebagai cara yang boleh kita lakukan. Dengan membiarkan anak mengalami konsekuensi yang kadang-kadang bersifat alamih ini, kita mengajarkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Jadi karena tidak setiap kali orang tua berada di samping anak, kalau orang tua berada di samping anak orang tua selalu menolongnya. Dengan orang tua selalu menolongnya, anak jarang memperoleh kesempatan untuk merasakan pahit getirnya akibat perbuatannya sendiri. Jadi ketika anak sudah merasakan bahwa dari tindakannya itu ada konsekuensi yang harus dia tanggung dan itu bukan karena tindakan hukuman dari orang tuanya tetapi memang konsekuensi dia tidak mau makan ya berarti kehilangan makanan, maka anak akan belajar untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri seperti itu.
GS : Nah pada saat kita melakukan koreksi seperti yang Pak Heman katakan tadi dengan menunda makan dsb, berarti kita perlu mempertimbangkan beberapa hal Pak ya sebelum hukuman itu kita laksanakan, kira-kira hal-hal apa saja yang perlu kita pertimbangkan itu?

HE : Kembali soal makan, memang betul Pak Gunawan bahwa sebelum kita menerapkan suatu kosekuensi tertentu kita memang harus memperhitungkan beberapa hal misalnya yang perlu kita segera perhaikan adalah apakah perilaku tidak mau makan ini ada unsur manipulatifnya atau jangan-jangan ini disebabkan karena anak sedang tidak enak badan, dia tidak bisa cerita karena perbendaharaan katanya masih terbatas.

Atau terjadi karena kurang nafsu makan akibat suatu penyakit tertentu. Nah di dalam keadaan ini yang diperlukan oleh anak adalah obat dan bukan tindakan koreksi dari orang tua.
GS : Ya itu masalahnya anak sulit untuk menceritakan apakah dia sakit, atau menjelang mau sakit itu Pak, kita sebagai orang tua apakah cukup cepat untuk mengenali kondisi seperti itu?

HE : Orang tua memang perlu belajar peka dalam hal ini, nah saya kira ini memang tidak selalu mudah dan terutama pada masa-masa balita. Orang tua perlu mengorbankan lebih banyak waktu bersam anaknya sehingga orang tua tahu kondisi anak ketika ada perubahan tertentu, orang tua dengan segera bisa mengetahuinya.

GS : Apakah ada hal lain lagi yang bisa dijadikan bahan pertimbangan Pak?

HE : Ada hal lain yaitu apakah konsekuensi itu sudah pantas dan dapat ditanggung baik oleh anak maupun orang tua. Jadi bukan hanya bisa ditanggung oleh anak tetapi juga bisa ditanggung oleh rang tua.

Sebagai contoh ini juga banyak terjadi anak itu selalu berlambat-lambat ke sekolah, menyiapkan diri lambat dsb. Nah ada beberapa konsekuensi yang bisa dipertimbangkan, kalau misalnya tujuan anak untuk berlambat-lambat itu memang dia tidak suka sekolah dan ingin membolos, maka kita perlu pikirkan cara apa yang bisa membuatnya tetap harus ke sekolah namun dia jera untuk tidak berlambat-lambat. Masalahnya kalau kita dengan segera menjalankan konsekuensi kalau dia berlambat-lambat ya sudah dia tidak sekolah pada hari itu, padahal itu tujuannya maka kita akhirnya tidak bisa menanggung konsekuensi itu sendiri ketika anak semakin hari semakin buruk prestasinya. Nah salah satu alternatifnya adalah anak diharuskan berjalan kaki ke sekolah bersama orang tuanya, tentu saja dengan memperhitungkan jarak ke sekolah yang tidak terlalu jauh. Kalau misalnya dia biasa diantar dengan kendaraan pribadi nah kali ini dia harus misalnya bersama orang tuanya naik angkutan umum dsb. Nah konsekuensi ini kadang-kadang anak merasa tidak suka dan dia berusaha untuk lain kali tidak berlambat-lambat lagi. Nah sekali lagi ini juga perlu memperhitungkan konsekuensi, misalnya lagi kalau anak memang ingin bersekolah, memang suka bersekolah dan ada perasaan cemas kalau dia tidak bersekolah, adakalanya kita boleh membiarkan dia tidak masuk sekolah untuk hari keterlambatannya sebagai konsekuensi keterlambatannya itu. Di dalam situasi ini biasanya anak akan jera walaupun hanya terjadi sekali saja. Nah ini beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan.
GS : Bagaimana halnya dengan anak yang kalau sudah bermain itu lalu sering kali mainannya ditinggal begitu saja, nah orang tuanya yang harus membereskan sementara anaknya sudah main di tempat lain lagi, nanti di sana ditinggal lagi. Ada anak yang mempunyai kebiasaan itu dan itu saya rasa tingkah laku yang kurang baik Pak?

HE : Ya, satu contoh kita melatih anak untuk membereskan mainannya supaya dia bisa belajar untuk bertanggung jawab atas barangnya sendiri. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah menyediaka subuah kotak atau kardus besar, umpamanya kita bisa memberi nama kotak itu sebagai kotak Sabtu maksudnya kotak hari Sabtu.

Maksudnya apa, ini adalah salah satu alternatif semua mainan yang tidak dibereskan diberi peraturan akan dimasukkan ke dalam kotak itu kemudian di segel dan dikunci. Mainan-mainan itu baru boleh dibuka dan dimainkan pada hari Sabtu. Tetapi kalau misalnya mainan itu dimainkan lalu dibereskan, anak boleh bermain kapan saja asalkan dibereskan, kalau tidak beres kembali lagi masuk ke dalam kotak itu. Apa saja yang tercecer masuk ke dalam kotak itu setelah permainan selesai atau setelah malam pada saat jam tidur mainannya belum beres itu dimasukkan ke kotak itu. Dengan demikian anak menerima konsekuensinya sendiri kalau dia tidak membereskan mainan tanpa kita perlu menghukum mereka.
GS : Tapi memang kadang-kadang ada orang tua itu yang menurut saya agak berlebihan Pak, menyuruh mengembalikan mainannya itu harus ditata rapi lagi di rak-raknya ini, padahal bagi anak itu sulit. Nah apakah cukup anak ini mengembalikankannya hanya pada sebuah kotak tadi atau dus tadi atau box tadi ya sudah dimasukkan begitu saja pada kotak tadi Pak?

HE : Ya betul Pak Gunawan, jadi waktu kita menetapkan peraturan kita juga harus memperhitungkan kemampuan dan usia perkembangan anak. Katakanlah kalau misalnya usianya masih muda dia memanggerakan motoriknya masih terbatas, kita tidak perlu seteliti itu dan menuntut setinggi seperti yang dilakukan oleh orang dewasa.

GS : Ada anak yang saya rasa juga melakukan perbuatan yang kurang baik itu dengan mencoret-coret dinding pakai spidol dsb. Dia senang sekali melihat wah......ni dindingnya baru dibersihkan orang tuanya lalu dicoret-coret, nah ini bagaimana Pak mengatasinya?

HE : Nah ini bisa diberikan alternatif jadi memang harus diusahakan ada alternatif-alternatif. Kalau dia memang tidak ada alternatif dia akan mencoret dinding. Mungkin kita bisa berikan merea misalnya whiteboard atau papan yang besar atau pakai kertas, dan ini memang bergantung juga pada kemampuan orang tua sendiri.

Ada orang tua yang menyediakan satu ruang khusus di mana anaknya boleh mencoret, bermain di situ sesukanya dsb. Memang anak perlu satu lingkungan tertentu di mana dia bisa lebih bebas bergerak dan kita harus memperhatikan juga bahwa aturan yang kita tetapkan jangan sampai sedemikian mengekang kebebasan berkreasi anak dan ini juga kurang baik, dapat mematikan potensi-potensi anak sendiri.
GS : Sering kali anak itu cepat bosan Pak, jadi habis main di sini pindah lagi main di sana, nah orang tuanya terus yang membersihkan itu.

HE : Ya itu juga ekstrim yang lain lagi, jadi di sini diperlukan tahapan-tahapan, kalau untuk melatih anak selalu tuntutan kita itu tidak boleh sangat tinggi di atas kemampuan anak. Kita mentapkan peraturan itu sedikit lebih tinggi dari yang sekarang dia lakukan.

Misalnya sekarang mainan berantakan di mana-mana, maka dia harus membereskan bukan dengan sangat rapi tetapi misalnya cukup mengumpulkan di suatu ruangan tertentu. Setelah dia terbiasa mengumpulkan di ruangan itu, kembali lagi dipersempit aturannya jadi dia harus memasukkan ke dalam kotak tertentu atau lemari tertentu tanpa dirapikan dulu. Sampai pada akhirnya dia bisa merapikan seluruh mainan.
GS : Pak Heman apakah ada ayat firman Tuhan yang Pak Heman sampaikan sehubungan dengan mengoreksi perilaku anak ini?

HE : Dari Ibrani 12:11, "Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang membrikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya."

Nah ayat ini sebetulnya ditujukan kepada ganjaran yang dimaksud ganjaran ini adalah ganjaran yang diberikan oleh Allah kepada anak-anak yang dikasihi-Nya. Tetapi ini juga bisa mewakili ganjaran yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua perlu kadang-kadang menegakan hati, menahan rasa kasihan karena pada waktu dia memberikan ganjaran memang tidak membuat sukacita anaknya tetapi dukacita, tetapi setelah itu anak bisa dilatih.

GS : Ya terima kasih Pak Heman, para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M. Psi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengoreksi Perilaku Anak". Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Sekali lagi terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



27. Ironi-Ironi Imam Eli


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T123A (File MP3 T123A)


Abstrak:

Lingkungan yang baik dan pelajaran agama yang cukup tidak dengan sendirinya menjamin anak-anak akan tumbuh dewasa dan menjadi baik. Tetap diperlukan kepekaan dan kesungguhan orang tua dalam membimbing dan memimpin anak-anaknya.Kehidupan imam Eli menjadi pelajaran bukan hanya bagi hamba-hamba Tuhan tetapi juga sebagai orang tua dalam mendidik anak-anaknya.


Ringkasan:

Kehidupan keluarga Imam Eli adalah sebuah tragedi yang sangat pahit dalam keluarga anak Tuhan. Secara singkat yang menarik perhatian dari latar-belakang kehidupannya adalah Ada beberapa ironi yang terjadi yang perlu kita cermati dan bercermin darinya. Imam Eli adalah tokoh pemimpin Israel pada jamannya yang kata-katanya didengar dan hidupnya diperhatikan banyak orang. Ia dapat dianggap sebagai representasi umat Israel di hadapan Tuhan dan memanjatkan doa serta mempersembahkan korban bakaran bagi orang Israel. Masalah timbul ketika kesaksian hidupnya dirusak oleh anak-anaknya.

Bagaimana itu terjadi?

Anak-anak Imam Eli ini juga menjadi imam. Tetapi Alkitab berkata bahwa mereka tidak mengindahkan Tuhan dan melanggar batas hak para imam. Mereka merampas yang bukan haknya dengan mengambil bagian yang seharusnya adalah milik Tuhan, yaitu daging yang seharusnya dipersembahkan kepada Tuhan. Mereka juga tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di pintu Kemah Pertemuan. Ini membangkitkan murka Tuhan kepada imam Eli.

Rupanya ada yang menarik di sini, yakni bahwa Tuhan justru marah kepada imam Eli. Benar. Hal ini menarik perhatian, dan menunjukkan bahwa kedudukan orang tua sangat strategis. Pertanggungan jawab tidak hanya dibebankan kepada anak, melainkan juga atas diri orang tua. Anak-anak imam Eli berbuat amoral, namun yang mendapat teguran keras adalah ayahnya. Kalau begitu orang tua harus bertanggungjawab atas perbuatan anaknya yang tidak baik. Sebenarnya yang dituntut oleh Allah adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua, yakni agar kita mengoreksi anak-anak kita ketika mereka menyimpang dari jalan Tuhan.

Jadi ironi yang kita dapat simak adalah bahwa:

  1. Anak-anak imam Eli berbuat jahat, tetapi ayahnya lah yang memperoleh kecaman dari Tuhan.

  2. Yang juga kita dapat perhatikan adalah bahwa kedua anak imam Eli, yakni Hofni dan Pinehas dibesarkan dalam suasana keagamaan yang sangat kuat. Tetapi lingkungan agama dan pendidikan yang baik ternyata tidak cukup untuk menghasilkan anak-anak yang baik pula. Kita dapat amati bahwa dalam hal mendidik anak, lingkungan pergaulan maupun lingkungan masyarakat yang baik dan rohani ternyata tidak cukup. Diperlukan orangtua yang tegas dalam mendidik anak. Prinsipnya di sini adalah mendidik anak agar menghormati dan menaati Tuhan, membawa anak kepada Tuhan.

  3. Imam Eli memohonkan berkat bagi orang lain, dan kita dapat melihat Hana yang mandul dibuka kandungannya oleh Tuhan sehingga melahirkan Samuel yang dipersembahkannya buat Tuhan. Di lain pihak Eli sendiri bersama anak-anaknya memperoleh bencana dari Tuhan.

Eli ini tergolong orang baik dan lembut hatinya. Imam Eli adalah orang yang baik. Kebaikan Eli ini pula yang membuatnya tidak tega memarahi anak-anaknya. Bahkan untuk hal sepenting menghormati Tuhan pun, imam Eli tidak berbuat apa-apa untuk mencegah anaknya berbuat amoral di hadapan Tuhan. Di sini ada ironi yang luar biasa, yakni bahwa seorang hamba Tuhan yang baik dihukum karena tidak mendidik anak-anaknya untuk takut akan Tuhan.

Jadi apa aplikasinya buat kita yang menjadi orang tua?

Itu artinya kita tidak boleh meremehkan tugas mendidik anak-anak dan memperhatikan pertumbuhan kerohanian mereka. Kita dapat dikenal baik dan bereputasi baik di masyarakat, namun Tuhan lebih memperhatikan apakah kita memimpin keluarga kita untuk takut kepada Tuhan.

Ibrani 12:28-29, "Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada Nya, dengan hormat dan takut. Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M. Psi. beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Ironi-ironi Imam Eli". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, sebelum kita lebih jauh pada perbincangan ini, mungkin sebagian dari pendengar kita ini kurang mengenal atau kurang jelas siapa sebenarnya imam Eli itu?

HE : Imam Eli adalah seorang imam yang pada zamannya itu dia menjadi pemimpin umat Israel. Nah imam Eli ini yang bertugas untuk menjadi perantara antara Allah dengan umat-Nya Israel. Dan ketikaitu imam mempunyai tugas untuk mempersembahkan korban bakaran dari umat kepada Tuhan.

Dan seorang imam itu harus hidup kudus di hadapan Tuhan.
GS : Nah kalau disebut ironi itu kenapa Pak?

HE : Ya, imam Eli ini mengalami beberapa ironi-ironi di dalam kehidupannya, di dalam arti bahwa di satu pihak dia ini seorang hamba Tuhan, semacam pendeta pada masa sekarang ini. Tetapi di lainpihak justru karena keimamannya ini maka kelemahannya itu semakin jelas terlihat, dan juga ada tragedi yang terjadi di dalam kehidupannya.

GS : Bukankah itu sesuatu yang merupakan aib sebenarnya Pak Heman, tapi kenapa Kitab Suci itu mencatat dengan jelas?

HE : Ya Alkitab memang jujur, dan Alkitab itu juga ingin mengajarkan kepada umat Tuhan bagaimana seharusnya kita hidup di hadapan Tuhan. Itu sebabnya adakalanya aib itu dikemukakan juga di dala Alkitab untuk menjadikan pelajaran bagi kita.

GS : Tadi Pak Heman menyinggung bahwa ada tragedi yang dialami oleh imam Eli, itu apa Pak Heman?

HE : Ya imam Eli ini mempunyai dua anak yakni Hofni dan Pinehas, mereka juga menjabat sebagai imam. Tetapi anak-anaknya ini tidak hidup menurut kehendak Tuhan, jadi anak-anak ini jahat sekali dn dikatakan bahwa mereka merampas dan mengambil bagian apa yang seharusnya menjadi milik Tuhan.

Jadi daging yang dipersembahkan itu harusnya dipersembahkan dulu kepada Tuhan baru nanti ada sisanya itu yang boleh diambil. Tetapi para imam ini tidak demikian, jadi anak-anaknya ini mengambil begitu saja untuk diri mereka, sehingga Tuhan marah sekali dan ini sungguh-sungguh membuat mereka hidup tidak kudus. Dan selain itu juga anak-anaknya ini tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di pintu kemah pertemuan. Dan ketika Tuhan begitu marah kepada mereka, Tuhan berfirman: Tuhan akan menghabisi keluarga dari imam Eli.
GS : Kalau mereka itu mengambil dari persembahan yang sebenarnya untuk Tuhan di dalam bait Allah, bukankah itu pencurian Pak? Atau bahkan perampasan, yang mestinya hak Tuhan lalu dirampas oleh mereka. Padahal Eli sendiri sebagai imam kenapa tidak bisa mencegah itu Pak?

HE : Ya di sinilah letaknya kelemahan dari imam Eli yang sungguh membuat Allah itu marah yaitu imam Eli menegur tetapi dengan teguran yang tidak cukup keras dan di Alkitab dikatakan bahwa imam li ini lebih menghormati anak-anaknya dari pada menghormati Tuhan.

Jadi dengan kata-kata yang lunak sekali, dia mengatakan kepada anak-anaknya: "Anak-anak janganlah begini dan begitu itu tidak baik" dan sebagainya tetapi tidak ada tindakan yang drastis dari imam Eli selaku ayah dari dua anaknya ini.
GS : Atau mungkin karena kesibukan sehari-harinya imam Eli itu sehingga tidak sempat untuk mendidik, memberikan pendidikan yang cukup bagi anak-anaknya Pak?

HE : Saya kira waktu bagi imam Eli itu bukan terlalu menjadi masalah dan juga bukan sebagai alasan pembenaran. Yang lebih penting adalah bahwa imam Eli itu sebetulnya sudah tahu bahwa anak-anakya itu bertindak amoral, dursila, kata Alkitab.

Tetapi imam Eli tidak mencegahnya dengan keras atau tidak memarahi mereka dengan keras, nah ini masalahnya jadi bukan masalah waktu tetapi masalah keberanian atau sikap, sikap terhadap Tuhan, sikap terhadap cara mendidik anak.
GS : Sebenarnya di dalam hal ini kalau kita melihat itu semacam kenakalan remaja atau kenakalan pemuda begitu ya. Nah kalau kita melihat kasus ini Pak Heman, itu akar-akarnya akan kembali kepada salah asuh dari orang tua itu sendiri.

HE : Ya rupanya ini yang ingin dituju atau maksud dari Alkitab menceritakan ini semua.

GS : Nah itu bagaimana Pak Heman, kalau kita tentu mau belajar dari kasus ini supaya kita tidak mengulang kesalahan yang sudah diperbuat oleh imam Eli itu, sebagai orang tua tindakan apa yang harus kita lakukan?

HE : Prinsipnya di sini adalah orang tua harus mendidik anak-anaknya sejak mereka masih kecil, bukan hanya di dalam hal disiplin. Disiplin itu satu hal yang harus, orang tua juga harus tegas, oang tua juga harus kadang-kadang di mana perlu mereka memarahi bahkan menghukum anak-anaknya untuk mencegah supaya mereka tidak bertumbuh dewasa dan terbiasa dengan perbuatan-perbuatan asusila.

Nah, di sini yang penting juga adalah bahwa imam Eli atau kita sebagai orang tua haruslah mengajarkan atau membimbing, memimpin kerohanian dari keluarga juga dari anak-anak. Jadi bukan hanya apa yang baik, apa yang pantas, apa yang tidak pantas tetapi juga bagaimana membina, membimbing kerohanian dari anak-anak.
GS : Pak Heman, saya tidak tahu latar belakangnya pada waktu itu, tetapi biasanya kalau kita pendidikan anak itu kita serahkan kepada si ibu, jadi istri kit. Itu bagaimana Pak Heman, dalam kasusnya imam Eli ini tidak disebut-sebut mengenai peranan ibu atau peranan istri dari imam Eli?

HE : Ya betul, di sini ini memang tidak ditonjolkan peran ibu dan ini semakin menegaskan kepada kita bahwa seorang laki-laki di dalam keluarga, seorang ayah itu harus menjadi pemimpin terutama emimpin rohani dari keluarganya termasuk untuk istri dan anak-anak.

Nah kepala dari istri adalah suaminya, nah ini prinsip dari Alkitab. Dan memang betul hal seperti ini jadi ini tidak bisa dibalik, nah apa peran dari ibu? Tentu ibu juga mempunyai peran untuk mendidik anak-anaknya. Alkitab didalam I Timotius misalnya mengatakan bahwa seorang ibu juga membimbing, mendidik anak-anaknya di dalam Tuhan, itu juga kewajiban seorang ibu. Tetapi dituntut kewajiban yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dari seorang ayah.
GS : Ya mungkin jabatan Eli sebagai imam itu menghalangi dia untuk bertindak disiplin atau bertindak tegas terhadap anak-anaknya, apakah hal itu mungkin, Pak Heman?

HE : Ya, kalau dilihat dari satu sisi mungkin saja imam Eli berpikir demikian tetapi dari sisi lain misalnya dari umat Israel sendiri atau dari jemaat Tuhan, mereka akan melihat wah pemimpin saa ini kok tidak bisa memberi contoh dan tentu saja Alkitab juga mengatakan demikian, umat Israel pada waktu itu merasa sangat tidak enak hati, sangat merasa susah, tetapi mereka tidak bisa apa-apa karena itu pemimpin mereka.

GS : Nah menurut pengamatan Pak Heman, apakah sampai saat ini kesalahan atau tragedi seperti ini masih banyak terjadi di keluarga-keluarga masa kini?

HE : Ya inilah yang memprihatinkan karena keadaan yang demikian ini justru sangat-sangat banyak terjadi di dalam keluarga-keluarga kita.

GS : Nah biasanya sebab utamanya apa, Pak?

HE : Ya banyak alasan tetapi pada umumnya yang saya lihat adalah keengganan orang tua untuk mengambil tanggung jawab memimpin, membimbing kerohanian anak-anaknya dengan berbagai alasan.

GS : Pak Heman, kalau kita melihat Eli sebagai seorang imam tentunya pendidikan agamanya kuat sekali Pak terhadap anak-anaknya?

HE : Betul, nah inilah di sini ironi ini terjadi, jadi sekali lagi di sini menunjukkan bahwa lingkungan yang baik dan kemudian pelajaran agama yang cukup dan sebagainya ini tidak dengan sendiriya menjamin bahwa anak-anak akan tumbuh dewasa dan kemudian menjadi baik pula.

Tetap masih dituntut kepekaan dan kemudian kesungguhan orang tua di dalam membimbing, memimpin anak-anaknya. Jadi bukan hanya misalnya kita sudah cukup mengantar anak ke sekolah minggu, memberikan mereka pelajaran-pelajaran yang baik dan sebagainya tetapi kita juga harus memperhatikan kehidupan kerohanian mereka secara sungguh-sungguh.
GS : Contoh praktisnya apa Pak Heman, yang memperhatikan kerohanian mereka dengan sungguh itu seperti apa misalnya?

HE : Misalnya ketika anak-anak di sekolah atau di rumah mengalami apa misalnya berbohong atau merampas hak orang lain atau katakanlah yang sederhana waktu mereka berdoa mereka tidak berdoa dengn sungguh-sungguh.

Banyak hal yang kita bisa lihat dari kehidupan anak-anak atau diri kita yang itu sebetulnya tindakan-tindakan yang tidak menghormati Tuhan. Kita beranggapan seolah-olah Tuhan itu tidak ada atau jauh, atau kita tidak hidup kudus di hadapannya, anak-anak juga sering kali begitu. Nah ketika itu terjadi misalnya pada waktu anak-anak berdoa, lalu misalnya nungging-nungging dsb, nah pada saat permulaan itulah kita perlu segera mengajarkan mereka rasa hormat dan rasa takut akan Tuhan.
GS : Pak Heman, kalau kita bicara tentang disiplin terhadap anak atau anak-anak kita itu sebaiknya kapan mulai diajarkan kepada anak-anak kita ini?

HE : Saya pikir sedini mungkin terutama ketika mereka sudah mulai mengerti akan bahasa. Nah, ketika mereka belum mengerti akan bahasa dan ketika mereka juga belum bisa relatif mengetahui bahwa ereka bisa mengontrol tingkah laku orang lain dari tindakan mereka misalnya dengan menangis lalu orang tuanya datang menolong dsb.

Sebelum itu terjadi maka yang diperlukan adalah membuat suasana rumah, suasana seperti apa? Ya suasana yang rohani, suasana yang saling mengasihi antara suami-istri, jadi itu dasar dari disiplin. Dan ketika anak sudah bertumbuh semakin dewasa kita perlu melatih mereka setahap demi setahap sesuai dengan tingkat perkembangan kemampuan mereka.
GS : Ya, kalau melihat uraian Pak Heman, disiplin itu berbeda dengan hukuman Pak?

HE : Ya, disiplin itu bukan sekadar menghukum semata-mata, tetapi disiplin itu juga mengarahkan, memberi nasihat bahkan juga melatih. Jadi melatih itu berarti belajar bersama-sama dengan anak stahap demi setahap agar anak semakin bisa menguasai dirinya.

GS : Apakah boleh dikatakan bahwa disiplin itu sesuatu tindakan preventif sedangkan hukuman itu suatu tindakan untuk menghukum seseorang yang sudah melanggar disiplin itu sendiri, Pak?

HE : Saya kira di sini hukuman itu harus menjadi bagian dari disiplin, kalau hukuman itu lepas dari disiplin maka bahayanya adalah kita lebih menuruti hawa nafsu kita di dalam melakukan hukumanitu, karena disiplin harus didasarkan kepada suatu dasar yaitu kasih dari orang tua dan kemudian tujuannya adalah supaya anak bertumbuh semakin matang.

GS : Jadi di dalam mendisiplin anak itu kita tidak perlu ragu-ragu untuk menjatuhkan hukuman kalau dia bersalah.

HE : Tepat sekali Pak Gunawan, nah di sinilah kelemahan dari imam Eli, imam Eli tidak berani bertindak.

GS : Ya mungkin dia sudah pernah memberitahukan bahwa itu tidak boleh, tapi ketika anaknya melanggar, dia tidak melakukan hukuman, Pak.

HE : Ya tampaknya begitu.

GS : Pak Heman, kita bicara tentang ironi-ironi, tapi kita baru bicara tentang satu ironi saja yaitu yang kita sudah bahas. Apakah ada ironi yang lain yang dialami oleh keluarga ini?

HE : Ada, yaitu imam Eli ini sebetulnya pernah melihat Hana, Hana waktu itu kandungannya mandul, dia tidak punya anak dan meratap di bait Allah memohon belas kasihan Tuhan. Dan ketika imam Eli elihat Hana dikiranya Hana ini sedang mabuk, lalu didekati dan ketika dia tahu bahwa Hana ini menginginkan anak maka imam Eli memberkati Hana sehingga Tuhan membuka kandungan Hana.

Dan dia melahirkan seorang anak yaitu Samuel yang kemudian diantar ke Bait Suci dipersembahkan kepada Tuhan, dijadikan anak angkat dari imam Eli. Nah di sini kita melihat bahwa imam Eli ini bisa memberkati orang lain dan berkatnya itu nyata, Tuhan memberkati lewat imam Eli tetapi imam Eli sendiri justru menerima kutukan atau hukuman dari Tuhan, ini ironi yang kedua. Dan ironi yang ketiga yang nyata juga adalah Samuel ini anak angkatnya, dia semakin besar dan semakin dikasihi oleh Tuhan maupun manusia, tetapi justru anak-anak imam Eli itu ingin dimusnahkan oleh Tuhan karena dosa-dosanya. Jadi anak dari imam Eli sendiri sangat tidak disukai pada waktu itu.
GS : Nah, kalau kita melihat tadi yang Pak Heman katakan pasti ada kesan dari umat Tuhan yang datang ke sana, Eli ini tidak bisa mendidik anaknya. Kenapa Hana ini yang sudah lama mendambakan anak dari Tuhan dan Tuhan memberikan anak, kemudian anaknya ditu ititipkan kepada imam Eli?

HE : Ini janji dari Hana, semacam nazar bahwa kalau misalnya Tuhan memberikan anak maka Hana akan memberikan anaknya ini dan mengantarnya menjadi hamba Tuhan di Bait Allah. Jadi sejak kecil, siSamuel kecil ini sudah dipersiapkan oleh Hana.

Dan saya percaya bahwa Hana mendidik anaknya ini untuk cinta kepada Tuhan, untuk takut kepada Tuhan dan kemudian pada masa lepas susu anaknya diantarkan ke Bait Suci.
GS : Bukankah itu masih kecil sekali, Pak?

HE : Ya betul masih kecil, tetapi dasar-dasarnya saya kira sudah ditanamkan. Dan setiap tahun itu Hana pergi ke Bait Suci menengok anaknya.

GS : Ya dan itu pendidikannya bagaimana, bagaimana imam Eli bisa mengasuh anak yang kecil ini sedangkan anaknya sendiri, anak kandungnya, dia tidak mampu mengasuhnya.

HE : Tidak sepenuhnya kita bisa pahami di sini, tetapi saya percaya pendidikan yang sangat dini oleh Hana sama seperti juga ibu dari Musa itu mendidik Musa, itu rupanya tertanam dalam, membekassedemikian dalam.

Tetapi memang ada satu hal yang saya sebetulnya tidak terlalu berani menafsirkannya tetapi mungkin kalau saya duga Samuel tidak mendapat suatu teladan bagaimana harus mendidik anak sehingga anak-anak Samuel sendiri juga tidak berkenan di hadapan Tuhan. Dan juga anak-anaknya itu tidak baik, tetapi Samuel sendiri tidak dihukum oleh Tuhan sama seperti Tuhan menghukum imam Eli. Karena Samuel mempunyai hati seperti hati Tuhan, ketika Samuel di kemudian hari melihat raja Saul yang diurapinya itu berbuat dosa dia berduka, sedemikian berduka sehingga Tuhan menghibur hati Samuel ini.
GS : Pak Heman, kalau kita melihat dari sisi yang lain, sebenarnya imam Eli itu dalam pengertian kita orang yang bisa dikatakan baik. Kita senang kalau ada orang yang lemah lembut, tidak suka marah dsb. Kebanyakan anak-anak itu senang dengan orang tua yang seperti itu.

HE : Ya Pak Gunawan, ternyata memang imam Eli ini orang yang baik, yang sabar, yang tidak berani marah, ini memang merupakan keunggulan dari imam Eli tapi sekaligus juga merupakan kelemahan bagnya.

Bayangkan saja bagaimana imam Eli tidak serta merta mengusir Hana yang kelihatannya sedang mabuk pada saat itu meskipun dia sebetulnya sedang berdoa dan meratap di sana. Tetapi Eli kalau misalnya dia pemarah dia tentu langsung mengusir si Hana, tapi dia tidak demikian. Dan dia juga tidak tega terhadap anak-anaknya, di samping itu ada satu peristiwa penting lagi yaitu ketika Tuhan berfirman lewat Samuel yang masih muda, yang tinggal di rumah imam Eli tentang sesuatu yang merupakan kutuk bagi keluarga imam Eli. Nah reaksi dari imam Eli ini sedemikian lunak, dia mengatakan jadilah yang menurut Tuhan baik. Nah, di sini kita melihat bahwa Eli menyadari kesalahannya dan dia tidak memberontak kepada Tuhan. Coba kita bandingkan dengan misalnya raja Saul waktu dia berhadapan dengan Daud dan ketika Daud itu mendapatkan berkat dari Tuhan, raja Saul begitu marah kepada Daud tetapi imam Eli sama sekali tidak merasa iri kepada Samuel muda yang dipercayakan Tuhan untuk menggantikan dirinya.
GS : Apakah kepribadiana Eli memang seperti itu?

HE : Ya, memang kadang-kadang kita berpikir juga kepribadiannya seperti itu, tapi masalahnya juga adalah bahwa mau tidak mau kalau kita sudah menjadi orang tua, ada tanggung jawab yang harus kia pikul dan tanggung jawab itu juga selalu berarti bahwa kita harus belajar memikul tanggung jawab itu, harus berani.

Dan di sini sekali lagi Alkitab mengatakan bahwa imam Eli ini lebih menghormati anak-anaknya daripada menghormati Allah. Dan rupanya di sini prinsipnya, jadi prinsipnya adalah sikap hidup itu lebih ditekankan, kalau kita memiliki sikap hidup yang benar sekalipun kita mempunyai kelemahan-kelemahan di dalam kepribadian kita seharusnya kita juga bisa melatih diri kita sehingga kita berjalan lebih sesuai dengan kehendak Tuhan.
GS : Itu ada suatu ketidakseimbangan saya melihat Pak Heman, antara kelemahlembutan yang begitu menonjol dan ketegasan atau disiplin yang kurang sekali nampak di dalam diri imam Eli ini Pak.

HE : Ya ini suatu kesimpulan yang baik sekali, jadi imam Eli ini tidak seimbang. Di satu pihak dia cukup mengasihi tetapi terlalu membiarkan. Dan Alkitab juga mengatakan bahwa imam Eli suka memaskan hawa nafsunya sendiri yaitu dia tidak bisa tegas artinya dia juga ikutan makan, makanan rampasan itu yang seharusnya dipersembahkan kepada Tuhan.

GS : Jadi tidak konsisten dengan apa yang disampaikan kepada anak-anaknya itu.

HE : Betul, dan Alkitab juga mengatakan bahwa imam Eli ini menggemukkan dirinya dengan yang bukan haknya.

GS : Pak Heman, untuk merangkum semua pembicaraan kita kali ini apakah ada ayat firman Tuhan yang mendukung itu?

HE : Saya ingin bacakan dari kitab Ibrani 12:28-29, demikian bunyinya: "Jadi karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadahkepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya dengan hormat dan takut.

Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan." Jadi kepada kita telah diwariskan kerajaan sorga, tetapi kita dituntut untuk beribadah dengan cara yang berkenan kepadanya dengan hormat dan takut.
GS : Ya mungkin ini perlu kita sadari karena kadang-kadang sering kali kita sendiri itu datang beribadah dengan perasaan yang asal-asalan saja karena sudah rutin setiap kali dilakukan seperti itu, Pak Heman.

HE : Ya betul, di dalam tempat ibadah sering kali kita terlambat atau kita memakai handphone dan handphone kita tidak kita matikan dan sebagainya. Ini cara-cara yang kurang patut.

GS : Dan kalau kita mau mendidik anak kita agar mereka sejak sedini mungkin itu hormat dan sungguh-sungguh beribadah kepada Tuhan bukankah mesti diajarkan Pak? (HE : Betul kita harus ajarkan itu). Dan mungkin teladan itu yang sangat diperlukan supaya mereka melihat bagaimana kita beribadah kepada Tuhan.

HE : Ya dan disiplin diri itu juga penting.

GS : Kadang-kadang anaknya mengajak ke gereja tapi orang tuanya berkata wah....kali ini tidak usahlah, kita jalan-jalan dulu, bisa terjadi hal itu. Dan itu akan sangat membekas di dalam diri anak-anak itu.

HE : Ya membuat anak-anak meneladani sesuatu yang sebetulnya kurang menghormati Tuhan.

GS : Juga di dalam memberikan persembahan misalnya Pak, kita sering kali mengatakan jangan banyak-banyak, kasihkan saja yang kecil.

HE : Betul, Pak Gunawan.

GS : Itu sebenarnya mencuri hak Tuhan itu ya?

HE : Ya

GS : Pak Heman, hukuman apakah yang Tuhan berikan kepada imam Eli itu?

HE : Nah ketika terjadi perang antara Israel dengan Filistin, kedua anak imam Eli ini mati dibunuh oleh musuh dan ketika berita itu disampaikan kepada imam Eli, imam Eli waktu itu ada di depan intu gerbang, karena badannya gemuk, dia jatuh terlentang dan kemudian lehernya patah dan dia meninggal.

Dan demikian juga istrinya yaitu menantunya waktu itu akan melahirkan dan ketika melahirkan dia memberi nama anaknya itu Ikabot dan kemudian si menantunya ini juga meninggal.
GS : Jadi itu betul-betul suatu tragedi yang tidak perlu terjadi di kalangan kita sendiri Pak.

HE : Dan dikatakan di Alkitab bahwa keturunannya tidak ada seorang kakek, jadi kakek itu pasti meninggal duluan begitu.

GS : Terima kasih Pak Heman, untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi dalam acara Telaga Tegur Sapa Gembala Keluarga. Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ironi-ironi Imam Eli". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk No. 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan; akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



28. Mengubah Kompetitif Menjadi Produktif 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T141A (File MP3 T141A)


Abstrak:

Sifat kompetitif adalah keinginan yang kuat untuk menjadi nomor satu dan disertai reaksi keras terhadap kekalahan. Banyak ciri yang harus kita ketahui untuk membedakan anak yang kompetitif dan produktif. Tugas orangtua bukannya mengikis habis sifat kompetitif, melainkan membentuk dan mengarahkannya menjadi produktif.


Ringkasan:

Sebagian anak, sejak lahir, telah membawa kecenderungan kompetitif. Sifat kompetitif adalah keinginan yang kuat untuk menjadi nomor satu yang disertai dengan reaksi keras terhadap kekalahan.

Beberapa ciri sifat kompetitif:

  1. Mau menang terus, sulit menerima kekalahan.

  2. Menuntut pengakuan orang atas keberhasilannya.

  3. Obyektif-memfokuskan pada fakta, bukan pada unsur pribadi.

  4. Berorientasi pada tugas dan target, kurang peka dengan relasi dan perasaan.

  5. Keras kepala dan tidak mudah menyerah atau tunduk pada orang.

  6. Memang sanggup dan cepat menguasai bidangnya.

  7. Kurang sabar dan kritis.

  8. Menuntut orang seperti dirinya, membuatnya mudah marah.

  9. Dapat menghalalkan segala cara untuk memperoleh keinginannya.

  10. Bermasalah dengan penerimaan dirinya; mudah anjlok dalam kekecewaan.

Dengan kata lain, anak yang kompetitif adalah anak yang tidak mempunyai rem; ia hanya memiliki pedal gas. Tugas orang tua bukanlah mengikis habis sifat kompetitif melainkan membentuk dan mengarahkannya. Dengan bentukan dan arahan yang tepat anak ini akan menjadi anak yang produktif; arahan yang keliru akan membuatnya menjadi anak yang kompetitif saja.

Beberapa ciri sifat produktif:

  1. Tetap mau menang, namun bisa menerima kekalahan.

  2. Senang menerima pengakuan orang namun bisa memahami tatkala orang tidak memberinya pengakuan.

  3. Obyektif dan subyektif-berimbang dalam melihat fakta dan unsur pribadi.

  4. Tetap cenderung berorientasi pada tugas dan target tetapi peka dengan faktor relasi dan perasaan.

  5. Tetap keras kepala namun bisa menundukkan diri pada orang.

  6. Terampil dan menguasai bidangnya.

  7. Kurang sabar dan kritis, namun bisa menguasai emosinya.

  8. Cenderung menuntut orang seperti dirinya namun dapat memahami keunikan orang.

  9. Tidak menghalalkan segala cara untuk memperoleh yang diinginkannya.

  10. Menerima dirinya-kekuatan dan keterbatasannya-tetap dapat anjlok tatkala kecewa tetapi tidak berlangsung lama; ia cepat bangkit kembali.

Dengan kata lain, anak yang produktif adalah anak yang mempunyai pedal gas dan rem; ia tahu bagaimana dan kapan maju tetapi ia pun tahu bagaimana dan kapan harus berhenti.

Apa yang orang tua dapat lakukan:

  1. Silakan sediakan penyaluran atas hasrat anak mengaktualisasikan kemampuannya.

  2. Tetapkan target sedikit di atas kemampuannya guna menambah dorongan.

  3. Jangan menitikberatkan penilaian pada hasil, melainkan pada usahanya.

  4. Jangan miskin memuji namun jangan pula terlalu mengumbar pujian.

  5. Jangan membanding-bandingkannya dengan anak lain; selalu gunakan dirinya sendiri sebagai tolok ukur.

  6. Sering-seringlah menyoroti karakter dirinya atau orang lain sebagai kriteria yang kita gunakan untuk menilai orang.

  7. Terima kegagalannya dengan tepat: Jangan meremehkan atau membesarkan kegagalan. Meremehkan kegagalannya bisa membuatnya merasa bahwa dia tidak penting; sebaliknya, membesarkan kegagalannya membuatnya sulit menerima diri secara utuh.

  8. Ajarkan untuk memahami orang yang berbeda dengannya; ceritakan latar belakang atau situasi yang dihadapi orang yang membuat mereka menjadi seperti itu.

  9. Didiklah agar dia bisa menguasai perasaannya marahnya dan mengungkapkannya dengan sehat, misalnya boleh marah namun jangan menghina; boleh marah tetapi tidak boleh berteriak, dsb.

  10. Kenalkan dia kepada Tuhan agar dia dapat hidup takut kepada Tuhan-bahwa potensinya berasal dari Tuhan dan bahwa dia bertanggung jawab kepada Tuhan.

Firman Tuhan mengingatkan kita, "Takut akan Tuhan ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut yang penuh muslihat." (Amsal 8:13) Anak yang kompetitif tanpa takut akan Tuhan berpotensi menjadi orang seperti yang firman Tuhan katakan. Dia akan sibuk menyikut orang lain.

Sebaliknya, anak kompetitif yang takut akan Tuhan-produktif-akan sibuk menggandeng dan menopang orang lain. Ia akan menjadi seperti, "pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (Mazmur 1:3)


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami akan melakukan sebuah perbincangan dan perbincangan kami kali ini berjudul "Mengubah Kompetitif menjadi Produktif ", mengingat banyaknya bahan yang harus kami bahas maka judul ini akan kami lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Dan kini kami akan memasuki bagian yang pertama dengan judul "Mengubah Kompetitif menjadi Produktif". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, sifat kompetitif atau bersaing itu apakah sudah dimiliki oleh anak sejak kecil Pak Paul?

PG : Pada akhirnya harus saya simpulkan memang demikian Pak Gunawan, jadi sebagian anak memang dilahirkan dengan sifat kompetitif. Tapi sebagian anak memang dilahirkan tanpa sifat kompetitifitu.

Anak-anak yang dilahirkan tanpa sifat kompetitif itu akan tampil lebih sabar, lebih santai, lebih lamban. Tapi anak-anak yang dilahirkan dengan sifat kompetitif dari kecil terlihat sekali dorongan-dorongan yang cukup keras yang muncul dari dalam dirinya.
GS : Tapi pada umumnya apakah anak dibekali dengan sifat kompetitif atau tidak Pak Paul?

PG : Saya kira tidak, sebagian anak memang tidak dibekali dengan sifat kompetitif itu nah justru inilah yang akan kita angkat apakah sifat kompetitif itu sifat yang akan kita biarkan berkembng tanpa pengarahan ataukah ini adalah sifat yang mesti kita arahkan sehingga tidak menjadi sesuatu yang merugikan anak itu dan juga kehidupannya kelak.

GS : Sebenarnya sifat kompetitif pada anak itu seperti apa Pak Paul?

PG : Pada dasarnya sifat kompetitif adalah keinginan yang kuat untuk menjadi nomor satu yang disertai dengan reaksi keras terhadap kekalahan, nah itu kira-kira definisi umumnya Pak Gunawan. engan kata lain fokus anak-anak yang kompetitif adalah menjadi nomor satu di antara teman sebayanya atau di antara lingkungannya selalu ada aspek perbandingan.

Dia tidak bisa terima kalau dia dikalahkan orang lain maksud saya kalau dia menjadi nomor dua atau nomor tiga.
GS : Ya, berarti sifat kompetitif itu akan muncul dalam diri anak atau tampak bagi kita orang tua ini setelah anak ini bersosialisasi.

PG : Biasanya ya, biasanya dalam sosialisasi atau nanti juga kalau anak itu mempunyai kakak atau adik bisa terlihat pula dia menjadi anak yang memang hendak menjadi nomor satu terus-menerus.

GS : Kalau adik itu rasanya akan sulit untuk bersaing dengan kakaknya itu.

PG : Tapi ada anak-anak yang kompetitif justru dengan kakaknya sendiripun dia terus bersaing, dia tidak mau mengalah.

GS : Ya berarti kita bisa melihat tanda-tanda atau ciri-ciri anak yang memang memiliki sifat kompetitif itu Pak Paul?

PG : Bisa Pak Gunawan, kebetulan memang anak-anak ini mempunyai beberapa ciri yang cukup jelas terlihat, nah misalkan apa saja yang pertama adalah anak-anak ini mau menang terus itu ciri yan paling paling kuat, dia sangat sulit menerima kekalahan.

Nah kalau kita misalkan meminta dia untuk mengalah dia akan bereaksi keras sekali dan selalu argumennya adalah kenapa harus saya yang mengalah, kenapa bukan kakak atau adik yang mengalah. Nah jadi ciri utama yang jelas tampak adalah itu mau menang terus.
GS : Itu bukan sifat egoisnya dia itu Pak Paul yang menonjol?.

PG : Saya kira memang ada unsur ego itu sendiri, jadi kurang bisa melihat kepentingan orang lain, jadi semua terpusat kembali pada dirinya.

GS : Ya, apa ada ciri yang lain Pak Paul?

PG : Ciri yang lain adalah menuntut pengakuan orang atas keberhasilannya, jadi anak-anak yang kompetitif memang melakukan sesuatu agar orang melihat dan mengakuinya. Dia tidak akan senang kaau orang tidak melihat atau tidak mengakuinya.

Pada akhirnya dia memang akan datang kepada orang yang diharapkan memberi pengakuan dan sedikit banyak akan memaksa atau menuntut agar orang itu memberikan pengakuannya. Di rumah pada anak-anak yang lebih kecil kita akan melihat sifat seperti ini, dia akan meminta ibunya atau ayahnya melihat yang dia lakukan dan dia akan membanggakan kebisaannya itu dan dia akan tidak suka sekali kalau misalkan si ibu atau si ayah gagal melihatnya atau tidak memberikan pujian atau malah memuji kakaknya atau adiknya wah itu akan sangat mengganggu sekali pada anak-anak yang kompetitif ini.
GS : Pengakuan itu diidentikkan dengan pujian Pak Paul, artinya kalau orang tuanya atau orang lain mengakui tetapi tidak memuji dia bagaimana reaksinya kira-kira?

PG : Ya dia tidak akan senang sebab yang dia inginkan adalah pengakuan itu bahwa dia berhasil, bahwa dia bisa, bahwa dia melakukannya lebih baik daripada kakak atau adiknya, dan kalau misalkn si ayah atau ibu masih terus belum melihat maka dia akan memanggil-manggil ayahnya atau ibunya dan meminta mereka melihat apa yang sedang dilakukannya.

Dan sekali lagi dia akan melakukan sesuatu yang juga dilakukan oleh kakak atau adiknya, misalkan kakaknya sedang belajar naik sepeda buru-buru akan mau menaiki sepeda itu dan menunjukkan dia pun bisa dan dia akan memperlihatkan kebisaannya di hadapan mama atau papanya dan dia meminta si ayah atau si ibu untuk berkata: wah kamu pandai sekali, dengan cepat kamu sudah bisa, nah kalau kita tidak berkata: ya kakakmu lebih lama belajar daripada kamu dia yang akan berkata ya saya lebih cepat daripada kakak, kakak perlu dua hari saya langsung bisa nah kata-kata atau sikap-sikap seperti itulah yang akan kita lihat dari anak-anak ini.
GS : Jadi kalau cuma sekadar dilihat lalu kita berkata: ah ya biasa, dia akan susah sekali Pak Paul ya.

PG : Ya dia akan susah sekali dan yang paling-paling dia tidak bisa terima kalau kita justru memuji kakaknya atau adiknya dalam hal yang persis sama. Dia tidak akan terima itu.

GS : Ada ciri yang lain Pak Paul?

PG : Yang lainnya, yang memang lumayan positif yaitu mereka cenderung obyektif artinya memfokuskan pada fakta. Jadi dalam misalkan berpikir atau mempertimbangkan sesuatu anak-anak ini cenderng rasional sekali dia akan mau mencari kenyataannya dan dia akan berpikir secara logis dan rasional, unsur-unsur pribadi itu lebih dikesampingkan oleh anak-anak yang kompetitif ini.

GS : Ya tapi apakah ini tidak agak bertentangan dengan yang kedua tadi Pak Paul saya pikir kalau dia obyektif misalnya, memang kenyataannya dia kalah atau tidak sebaik kakaknya dia 'kan bisa menerima itu tapi tadi yang kedua Pak Paul katakan dia tidak bisa menerima itu.

PG : Betul sekali, justru khusus untuk hal-hal yang berkaitan dengan keberhasilan atau kemenangan nah itu dia sangat subyektif, dalam pengertian dia akan memaksa supaya orang mengakui keberhsilannya.

Tetapi sebetulnya dalam hal ini juga pun dia itu bukannya tidak melakukan terus menuntut pengakuan, oh tidak. Dia akan melakukannya dan dia akan melakukan sebaik-baiknya. Kalau setelah dia lakukan itu tidak diberikan pengakuan atau pujian barulah dia marah. Jadi dalam hal ini ada dua unsur itu ada subyektifnya dan ada obyektifnya. Subyektif dalam pengertian tetap mau menjadi yang pertama atau yang menang. Obyektif dalam pengertian dia juga akan bekerja sebaik-baiknya, dia tidak akan menuntut pengakuan tanpa dia itu melakukan sesuatu.
GS : Ya bagaimana kalau pekerjaan itu bukan dia yang menciptakan tapi kita yang memberikan suatu tugas atau pekerjaan Pak Paul?

PG : Biasanya kalau memang pekerjaan itu diberikan dan dia tahu dia akan memperoleh pujian, dia akan diakui keberhasilannya, maka dia akan lakukan karena anak-anak yang kompetitif itu akan snang sekali menerima pujian.

GS : Ya ciri yang berikutnya apa Pak Paul?

PG : Ciri yang lainnya adalah ini anak-anak itu cenderung berorientasi pada tugas dan target ini berkaitan dengan tadi yang obyektif Pak Gunawan. Karena terlalu terpusat pada tugas dan targe akhirnya mereka cenderung kurang peka dengan hal-hal yang berkaitan misalkan dengan relasi, perasaan orang, nah dia kurang peka itu.

Misalkan mengalah kalau kita 'kan kadang-kadang terpaksa mengalah demi perasaan orang kita mengesampingkan kepentingan kita demi orang. Nah anak-anak ini tidak, kalau memang merupakan hak dia untuk mendapatkan sesuatu dia tidak akan lepaskan itu, anak-anak ini akan berkata tidak memang hak saya kok, nah susah sekali orang tuanya meyakinkan anak-anak ini bahwa adikmu nanti kasihan, adikmu lebih lemah darimu, adikmu itu lebih butuh daripada kamu. Nah anak-anak ini akan susah mengerti bahwa dia harus mengalah demi hal-hal yang berkaitan dengan perasaan atau tenggang rasa itu sulit sekali, karena terlalu terpaku pada faktanya dia sudah menang, dia sudah melakukannya dan dia seharusnya mendapatkan dan dia tidak akan rela orang lain yang memperolehnya seperti itu.
GS : Rasanya mempunyai pendirian yang sangat kuat orang-orang seperti ini.

PG : Kuat dan memang kadang-kadang kurang fleksibel, jadi agak kaku begitu. Nah nanti kalau memang anak-anak ini besar tanpa pengarahan cenderung bisa bermasalah dengan orang karena hal-hal ni.

Dia akan sulit sekali tenggang rasa, mengerti perasaan orang, pokoknya dia sudah melakukan dia harus mendapat ini dia akan tuntut bagiannya, nah dia tidak akan mau terlalu peduli dengan perasaan-perasaan orang.
GS : Ciri yang lain Pak Paul?

PG : Ciri yang lain adalah nak-anak ini cenderung keras kepala, ini berkaitan dengan yang tadi juga tidak mudah menyerah atau tunduk pada orang. Orang harus membuktikan dirinya itu lebih dar dia baru dia akui.

Nah di sinilah dia obyektif, kalau memang dia akui orang ini benar-benar jago di atas dia, dia akan berkata oke! memang saya di bawah dia. Tapi waktu dia tahu dia di atas, dia juga menuntut di atas, dia tidak akan menerima untuk diturunkan sementara, mengalah demi apa, dia tidak bisa terima. Berkaitan dengan hal itulah anak-anak ini memang cenderung keras kepala kalau dia sudah minta dia sudah yakini ini nah dia tidak mudah untuk mengubah pandangannya itu.
GS : Pak Paul, setelah Pak Paul menguraikan sekitar lima ciri-ciri tadi. Rasanya terkesan buat saya itu kebanyakan anak laki-laki yang seperti ini.

PG : Ya sebagian saya kira yang lebih banyak adalah anak laki. Saya kira anak-anak wanita karena unsur atau aspek perasaannya yang kuat, jadi lebih tergiring untuk mengerti perasaan orang lan.

Waktu dia ingin melakukan sesuatu tapi dia tahu mungkin adiknya atau kakaknya akan sedih nah dia akan lebih merasakan kesedihan tersebut. Jadi akhirnya dia memilih untuk mengalah, misalnya seperti itu.
GS : Tetapi tetap saja ada anak perempuan yang bersifat kompetitif seperti itu Pak Paul?

PG : Ada, jadi ada anak-anak wanita yang sangat kompetitif, yang kuat sekali, yang keras kepala seperti ini.

GS : Kita lanjutkan ke ciri-ciri yang berikutnya apa Pak Paul?

PG : Anak-anak ini memang pada umumnya anak-anak yang mampu melakukan tugasnya, cepat sekali menguasai bidangnya, jadi ada alasan buat dia itu susah mengalah dan ada alasan mengapa ada anak-nak ini kompetitif mau bersaing dan mau menjadi nomor satu karena memang dia bisa.

Nah memang kebalikannya dalam kasus yang ekstrim anak-anak yang tidak bisa dan dia tahu susah untuk menguasai sesuatu ya lebih lemah daya kompetitifnya karena dia sudah mengantisipasi bahwa dia tidak akan mendapatkan, bahwa dia tidak akan menjadi nomor satu. Jadi ya sudah dia tidak berusaha lebih keras lagi menjadi nomor satu, tapi anak-anak ini karena dia tahu dia bisa meraih nomor satu dia cenderung mau nomor satu terus.
GS : Ya apakah ada ciri yang lain Pak Paul?

PG : Masih ada Pak Gunawan yaitu (nah ini saya kira konsekuensi logisnya) anak-anak ini cenderung kurang sabar, kritis, kurang sabar terutama dengan orang-orang lain, dengan anak-anak lain, engan rekan-rekan kalau mereka itu tidak secepat dia menguasai pekerjaannnya, tidak sebertanggung jawab seperti dia, tidak bisa berpikir secepat dia, sejauh dia nah itu membuat dia jengkel sekali dengan orang-orang seperti itu, dan kritis ya anak-anak ini.

Jadi dia akan melihat dengan jelas kekurangan, kelemahan yang ada pada diri orang lain. Nah karena dia juga kurang peka dengan perasaan-perasaan orang kadang-kadang komentarnya, kritikannya itu muncul secara bebas dan adakalanya menyinggung orang.
GS : Karena spontanitasnya itu.

PG : Ya karena spontanitasnya itu dan kurang memikirkan perasaan orang lain.

GS : Ya tapi penilaian kurang sabar itu sebenarnya kita yang menilai. Mungkin saja dia merasa dia sudah cukup sabar Pak Paul.

PG : Iya sudah tentu itu memang relatif Pak Gunawan. Mungkin buat dia, dia tidak ngomong sekali itu berarti dia cukup sabar begitu, kedua kalinya terjadi dia tidak bisa tutup mulut, dia haus ngomong, memang betul juga.

GS : Ciri yang lain Pak Paul?

PG : Menuntut orang menjadi seperti dirinya. Jadi kalau dia cepat orang harus cepat, kalau dia menguasai, dia harap orang menguasai. Kalau dia bertanggung jawab, diharapkan orang lain juga brtanggung jawab, nah akibatnya dia mudah marah.

Anak-anak ini memang masalahnya adalah kurang sabar dan mudah marah. Dan karena dia kritis berarti dia melihat banyak berarti dia bisa melihat yang tidak dilihat orang, yang buruk-buruk juga. Nah ini salah satu problem yaitu akhirnya dia bisa disalahmengerti oleh orang, kok dia mengatakan hal-hal yang orang lain belum lihat jadi seolah-olah dia mencari gara-garalah, dia menciptakan masalahlah dan sebagainya, disalahmengerti itu menjadi problem dia nantinya. Dan relasinya dengan orang kalau orang tidak benar-benar mengerti bahwa dia sebetulnya hatinya baik atau apa ya, orang akan susah dekat-dekat dengan dia, karena orang ya akan merasa dituntut menjadi seperti dirinya, harus bisa seperti dia, harus secepat dia dan orang tidak merasa diterima apa adanya, tidak merasa dirinya dihargai oleh dia sebab tuntutannya tinggi. Jadi sekali lagi anak-anak seperti ini kalau tidak diarahkan ya mudah sekali akhirnya menciptakan masalah dalam relasi dengan anak-anak lain.
GS : Ya ada orang tua yang mengamati katanya anak-anak yang ini kan cepat sekali bergeraknya, memutuskan ya cepat, minta segala sesuatunya, itu juga kelihatan pada saat dia makan. Makannya bisa cepat-cepat selesai, kalau jualan juga cepat- sekal, apa memang betul begitu Pak Paul?

PG : Ya saya kira ada kaitannya ya dengan kecepatan-kecepatannya itu. Ada kaitannya juga dengan kesabarannya yang tipis karena cepatnya dia kerja, cepatnya dia makan dan sebagainya, saya kir itu ada kaitannya semua.

GS : Ada ciri yang lain Pak Paul?

PG : Nah ini bisa menjadi hal yang tidak baik ya, yaitu anak-anak ini akhirnya dapat menghalalkan segala cara untuk memperoleh keinginannya. Kalau tidak dibimbing, kalau tidak ada bimbingan ohani, anak-anak yang kompetitif ini akhirnya demi menjadi nomor satu, demi tidak mau kalah menghalalkan segala cara.

Akhirnya misalnya berbohong bisa dilakukannya, curang atau menjiplak atau mencontek atau apa, nah itu godaan-godaan buat dia yang sangat besar kalau dia tidak bisa mengontrol dirinya dengan baik dia bisa terjerumus masuk ke dalam perilaku negatif itu.
GS : Apakah sebenarnya dia puas dengan keadaan dirinya sendiri Pak Paul?

PG : Sebetulnya begini Pak Gunawan, anak-anak ini sebetulnya ada masalah juga dengan penerimaan dirinya ya, artinya apa? Dia mudah anjlok juga dalam kekecewaan karena dia menuntut diri ini ckup tinggi, kalau tidak mendapatkan yang dia sudah targetkan anjloknya itu dalam.

Kita yang lebih di tengah-tengah ya kalau tidak mendapatkan yang kita inginkan kita kecewa tapi tidak terlalu terpukul, tapi kalau mereka sudah menargetkan sesuatu tapi tidak mendapatkannya wah kecewanya itu bisa sangat dalam dan bisa sangat ekstrim, makanya orang tua yang mempunyai anak-anak seperti ini kadang-kadang terkaget-kaget ya. Si anak tadinya bergebu-gebu misalkan mau masuk ke liga basket di sekolahnya, tapi setelah ujian, sudah tes penerimaan tidak diterima, nah bisa-bisa anak itu tidak mau menyentuh bola basket sama sekali. Nah orang tuanya bingung, dulu begitu tergila-gila dengan basket, nonton basket, main basket di rumah terus begitu tapi pas ingin masuk ke tim tidak diterima, dia benar-benar meninggalkan basket, ekstrim sekali, kecewa merasa dirinya gagal atau marah, tidak mau main lagi sama sekali, nah itu hal-hal yang memang perlu dilihat oleh orang tua yang mempunyai anak kompetitif seperti ini.
GS : Ya mungkin dari seluruh ciri-ciri ini Pak Paul bisa memberikan suatu ilustrasi begitu Pak Paul?

PG : Begini Pak Gunawan untuk memudahkan kita mengingat ya, anak-anak ini saya umpamakan seperti mobil yang tidak ada remnya, dia hanya mempunyai berangkas. Jadi benar-benar dia bisanya hany jalan terus maju terus, tak ada remnya yang bisa menghentikan dia.

Jadi tugas orang tua adalah bukannya mengikis habis sifat kompetitif ini sebab nanti kita akan melihat dari sifat-sifat ini sebetulnya bisa muncul karakter yang baik, bukan mengikis habis melainkan membentuk dan mengarahkannya. Harapan saya dengan campur tangan orang tua yang tepat sifat kompetitif ini bisa berubah menjadi sifat yang produktif, nah saya bedakan antara kompetitif dan produktif tapi sebaliknya arahan yang keliru, orang tua yang bergebu-gebu supaya anaknya tetap nomor satu dan sebagainya. Nah itu akan membuat si anak menjadi anak yang kompetitif saja.
GS : Kalau orang tua mengarahkan anaknya supaya menjadi produktif Pak Paul, tentunya kita harus bisa melihat apa ciri-ciri anak yang produktif itu Pak Paul?

PG : Ok! Saya akan memberikan beberapa Pak Gunawan. Yang pertama adalah anak-anak yang produktif ini sama dengan anak-anak yang kompetitif, mereka sebetulnya tetap mau menang. Namun bedanya anak yang produktif bisa menerima kekalahan, nah anak-anak yang kompetitif tidak bisa menerima kekalahan.

Anak yang produktif dengan arahan orang tua yang baik tadi ya, bisa menerima kekalahan. Waktu dia harus kalah, ya sudah dia stop dan dia katakan saya kalah, dan dia tidak akan muter-muter dan tidak marah-marah.
GS : Ya selain itu Pak Paul?

PG : Yang lainnya adalah anak-anak ini tetap senang menerima pengakuan orang, namun bisa memahami tatkala orang tidak memberinya pengakuan. Dia bisa memaklumi mungkin orang lupa, orang tua mngkin tidak melihat atau mungkin orang tua keliru menilai sehingga si adik yang mendapatkan pujian, dia tidak mendapatkan pujian.

Dia bisa menerima ketidaksempurnaan itu hal-hal seperti itu dan dia juga bisa menerima bahwa ya mungkin dia tidak mendapat pujian sebab dia tidak sesempurna yang dia pikir, dia bisa menerima semua itu. Jadi tetap dia berorientasi pada pujian, pengakuan tetap itu anak yang produktif juga sama namun bedanya adalah pada akhirnya dia bisa menerima fakta kalau orang tidak memberi pujian.
GS : Tadi kita bicara tentang anak-anak yang kompetitif itu adalah anak yang obyektif, apakah kalau dia produktif masih obyektif?

PG : Masih obyektif tetap dia akan melihat fakta, namun ada subyektifnya juga. Dalam pengertian anak-anak ini bisa melihat unsur-unsur pribadi, keunikan orang, perasaan orang dan sebagainya Nah dia masih bisa melihat itu sebaliknya anak-anak yang kompetitif tidak bisa, pokoknya faktanya begini saya harus mendapatkan hak-hak saya.

Nah anak-anak yang produktif lebih bisa melihat unsur pribadi, hal-hal yang personal seperti itu.
GS : Berarti sudah mulai ada remnya Pak Paul?

PG : Sudah ada remnya, betul.

GS : Ya, ciri yang lain Pak Paul?

PG : Tetap cenderung berorientasi pada tugas dan target tetapi peka dengan faktor relasi dan perasaan. Maksudnya meskipun anak-anak ini cenderung memfokuskan pada tugas-tugas, tapi dia bisa embangun relasi dengan orang karena dia cukup peka dengan hal-hal yang bersifat personal, dia bisa tenggang rasa, dia bisa memasuki alam pikir orang bahwa ya saya dapatkan hak saya, tapi orang nanti sakit hati ya lebih baik mengalah.

Jadi dia masih bisa berkata seperti itu kepada dirinya.
GS : Ya jadi di sana bukan hanya unsur orang tua saja tetapi harus ada kemauan yang kuat dari dirinya, Pak?

PG : Betul, pada akhirnya memang ini merupakan campuran dari bentukan orang tua dan juga usaha dari dalam dirinya sendiri.

GS : Ya anak yang produktif ini Pak Paul, apa masih tetap keras kepala?

PG : Masih ada keras kepalanya itu, tetap, kemauannya keras sama seperti anak yang kompetitif tapi pada akhirnya dia bisa menundukkan diri pada orang. Karena apa? Tadi yang saya sudah sebut tu meskipun dia berfokus pada fakta yang obyektif, namun dia sudah bisa memasuki alam relasi, alam perasaan baik perasaan dirinya maupun perasaaan orang lain, bisa tenggang rasa, sehingga pada akhirnya dia bisa tunduk.

Karena tunduk bukan hanya masalah fakta, saya seharusnya nomor satu atau nomor dua tidak, tapi bisa juga menyangkut pada perasaan orang, dia lebih tua atau apa nah itu hal-hal yang bisa dipertimbangkan. Nah anak-anak yang produktif bisa mempertimbangkan hal-hal tersebut sehingga akhirnya dia bisa tunduk kepada orang.
GS : Pak Paul tadi katakan juga kalau anak yang kompetitif itu berorientasi pada tugas-tugas yang diberikan atau yang mungkin dia lakukan sendiri. Nah bagaimana dengan anak yang produktif itu Pak Paul?

PG : Sama tetap dan dia cenderung juga terampil ya bisa begitu. Memang anak-anak ini sebetulnya sama dengan anak yang kompetitif tapi sudah diarahkan oleh orang tuanya sehingga menjadi anak-nak yang produktif.

Tetap dia berorientasi pada tugas, target, keras kepala dan juga cepat menguasai bidang-bidangnya, pandai.
GS : Ya, mengenai kesabarannya bagaimana Pak Paul?

PG : Sama ya dengan anak-anak yang kompetitif, dia tetap kurang sabar dan cenderung kritis, namun ia lebih bisa menguasai emosinya. Sehingga dia tidak mudah meledak, tidak mudah mengkritik dngan cepat, dia masih bisa mengerem dirinya.

Nah ini berkaitan dengan yang berikutnya Pak Gunawan, yaitu dia tetap menuntut orang seperti dirinya tapi karena dia sudah bisa memahami orang dia bisa menerima oranglah bahwa orang lain tidak seperti dia, tidak secepat dia dan dia bisa memaklumi itu sehingga akhirnya relasi kerjasamanya dengan anak lain akan lebih baik. Nah dan juga karena dia lebih peka dengan perasaan orang dan juga lebih peka dengan hal-hal yang bersifat moral, dia tidak begitu saja menghalalkan segala cara untuk memperoleh yang dia inginkan, dia tahu ini salah, dia tahu ini benar, jadi dia tidak sembarangan melakukan hal yang salah. Pada akhirnya saya simpulkan anak-anak ini sebetulnya lebih bisa menerima dirinya, mereka sudah berdamai dengan dirinya, tahu apa kekuatannya, tahu apa keterbatasannya. Tetap mudah kecewa kalau misalkan apa yang dia inginkan tidak diperoleh. Namun tidak berlangsung lama dan tidak se-ektrim anak-anak yang kompetitif, dia bisa bangkit kembali dia tidak langsung membuang semuanya sekaligus.
GS : Ya karena dari tadi Pak Paul sudah katakan bukan mengikis habis begitu Pak Paul ya.

PG : Betul, tetap akarnya sama tapi sudah dipoles, sudah dipangkas, sudah diarahkan oleh orang tua sehingga sifat kompetitif itu berubah menjadi sikap yang produktif, yang jauh lebih sehat krena anak ini bukan saja sekarang punya gas pedal gas tapi juga mempunyai rem.

Anak-anak yang kompetitif saya tadi umpamakan hanya pedal gas saja.
GS : Ya jadi tentu kita semua mengharapkan kalaupun Tuhan mengaruniakan kepada kita anak-anak yang memang mempunyai sikap kompetitif tentu kita akan berusaha membuat anak ini menjadi produktif Pak Paul. Tentu kita tidak mempunyai waktu untuk membicarakan itu sekarang dan ini akan kita bicarakan pada kesempatan yang akan datang sebagaimana tadi sudah kami pesankan di awal acara ini, namun Pak Paul sebelum kita menyelesaikan perbincangan kita saat ini, apakah ada ayat firman Tuhan Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 1:3 ya, saya mengumpamakan anak-anak yang produktif ini "seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimna, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil."

Mereka produktif dan mereka itu sehat ya enak dilihat menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak menyikut-nyikut anak-anak lain tidak mendorong orang lain, tidak menjatuhkan orang lain tapi mereka juga mau menolong orang lain dengan kebisaan-kebisaan yang telah mereka peroleh dari Tuhan ya. Anak-anak yang kompetitif cenderung untuk diri sendiri semuanya supaya dia menjadi yang tertinggi, anak-anak yang produktif tidak. Tetap dia mau menjadi yang tertinggi tapi dia ingat orang-orang lain dan dia mencoba menolong yang lainnya, dia menjadi berkat bagi sekelilingnya.

GS : Ya tentunya ini menjadi panggilan kita sebagai panggilan dari Tuhan kepada kita, sebagai orang tua menolong anak-anak kita menjadi anak yang produktif Pak Paul dan pada kesempatan yang akan datang kita akan memperbincangkan tentunya apa yang harus orang tua lakukan supaya anak yang kompetitif ini bisa menjadi anak yang produktif. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengubah Kompetitif menjadi Produktif" bagian yang pertama dan kami akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mngucapkan terima kasih atas perhatian Anda sampai jumpa pada acara telaga yang akan datang.



29. Mengubah Kompetitif Menjadi Produktif 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T141B (File MP3 T141B)


Abstrak:

Lanjutan dari T141A


Ringkasan:

Sebagian anak, sejak lahir, telah membawa kecenderungan kompetitif. Sifat kompetitif adalah keinginan yang kuat untuk menjadi nomor satu yang disertai dengan reaksi keras terhadap kekalahan.

Beberapa ciri sifat kompetitif:

  1. Mau menang terus, sulit menerima kekalahan.

  2. Menuntut pengakuan orang atas keberhasilannya.

  3. Obyektif-memfokuskan pada fakta, bukan pada unsur pribadi.

  4. Berorientasi pada tugas dan target, kurang peka dengan relasi dan perasaan.

  5. Keras kepala dan tidak mudah menyerah atau tunduk pada orang.

  6. Memang sanggup dan cepat menguasai bidangnya.

  7. Kurang sabar dan kritis.

  8. Menuntut orang seperti dirinya, membuatnya mudah marah.

  9. Dapat menghalalkan segala cara untuk memperoleh keinginannya.

  10. Bermasalah dengan penerimaan dirinya; mudah anjlok dalam kekecewaan.

Dengan kata lain, anak yang kompetitif adalah anak yang tidak mempunyai rem; ia hanya memiliki pedal gas. Tugas orang tua bukanlah mengikis habis sifat kompetitif melainkan membentuk dan mengarahkannya. Dengan bentukan dan arahan yang tepat anak ini akan menjadi anak yang produktif; arahan yang keliru akan membuatnya menjadi anak yang kompetitif saja.

Beberapa ciri sifat produktif:

  1. Tetap mau menang, namun bisa menerima kekalahan.

  2. Senang menerima pengakuan orang namun bisa memahami tatkala orang tidak memberinya pengakuan.

  3. Obyektif dan subyektif-berimbang dalam melihat fakta dan unsur pribadi.

  4. Tetap cenderung berorientasi pada tugas dan target tetapi peka dengan faktor relasi dan perasaan.

  5. Tetap keras kepala namun bisa menundukkan diri pada orang.

  6. Terampil dan menguasai bidangnya.

  7. Kurang sabar dan kritis, namun bisa menguasai emosinya.

  8. Cenderung menuntut orang seperti dirinya namun dapat memahami keunikan orang.

  9. Tidak menghalalkan segala cara untuk memperoleh yang diinginkannya.

  10. Menerima dirinya-kekuatan dan keterbatasannya-tetap dapat anjlok tatkala kecewa tetapi tidak berlangsung lama; ia cepat bangkit kembali.

Dengan kata lain, anak yang produktif adalah anak yang mempunyai pedal gas dan rem; ia tahu bagaimana dan kapan maju tetapi ia pun tahu bagaimana dan kapan harus berhenti.

Apa yang orang tua dapat lakukan:

  1. Silakan sediakan penyaluran atas hasrat anak mengaktualisasikan kemampuannya.

  2. Tetapkan target sedikit di atas kemampuannya guna menambah dorongan.

  3. Jangan menitikberatkan penilaian pada hasil, melainkan pada usahanya.

  4. Jangan miskin memuji namun jangan pula terlalu mengumbar pujian.

  5. Jangan membanding-bandingkannya dengan anak lain; selalu gunakan dirinya sendiri sebagai tolok ukur.

  6. Sering-seringlah menyoroti karakter dirinya atau orang lain sebagai kriteria yang kita gunakan untuk menilai orang.

  7. Terima kegagalannya dengan tepat: Jangan meremehkan atau membesarkan kegagalan. Meremehkan kegagalannya bisa membuatnya merasa bahwa dia tidak penting; sebaliknya, membesarkan kegagalannya membuatnya sulit menerima diri secara utuh.

  8. Ajarkan untuk memahami orang yang berbeda dengannya; ceritakan latar belakang atau situasi yang dihadapi orang yang membuat mereka menjadi seperti itu.

  9. Didiklah agar dia bisa menguasai perasaannya marahnya dan mengungkapkannya dengan sehat, misalnya boleh marah namun jangan menghina; boleh marah tetapi tidak boleh berteriak, dsb.

  10. Kenalkan dia kepada Tuhan agar dia dapat hidup takut kepada Tuhan-bahwa potensinya berasal dari Tuhan dan bahwa dia bertanggung jawab kepada Tuhan.

Firman Tuhan mengingatkan kita, "Takut akan Tuhan ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut yang penuh muslihat." (Amsal 8:13) Anak yang kompetitif tanpa takut akan Tuhan berpotensi menjadi orang seperti yang firman Tuhan katakan. Dia akan sibuk menyikut orang lain.

Sebaliknya, anak kompetitif yang takut akan Tuhan-produktif-akan sibuk menggandeng dan menopang orang lain. Ia akan menjadi seperti, "pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (Mazmur 1:3)


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengubah Kompetitif menjadi Produktif II," dan perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang lalu tentang "Mengubah Kompetitif menjadi Produktif." Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, mungkin ada beberapa pendengar kita yang tidak sempat mengikuti perbincangan tentang mengubah kompetitif menjadi produktif pada beberapa waktu yang lalu, mungkin Pak Paul bisa mengulas sekilas tentang apa yang sudah kita perbincangkan.

PG : Anak-anak yang kompetitif pada dasarnya adalah anak-anak yang mau menang dan tidak bisa menerima kekalahan, dia ingin menjadi nomor satu, dia tidak bisa kalau dia itu ditempatkan di nomr dua, dan anak-anak ini akan menuntut orang untuk memberikan pengakuan atau pujian kepadanya.

Kalau orang tidak memberikan pujian atau pengakuan kepadanya ia bisa sangat marah. Tugas orang tua adalah melihat anak-anak yang seperti ini dan mengawasi dan membesarkannya. Perlu sekali mereka ini diberikan arahan sehingga sifat-sifat kompetitif itu tidak menjadi sifat-sifat yang merugikan dirinya atau malah nanti mengganggu relasi dengan orang-orang lain. Maka saya menggunakan istilah produktif, bagaimana nanti kita sebagai orang tua mengubah sifat-sifat anak yang kompetitif menjadi produktif. Produktif adalah sama seperti anak-anak yang kompetitif tapi sekarang mereka menjadi anak-anak yang tetap mau menang, tetap mau menjadi nomor satu tapi bisa menerima kekalahan, tetap keras kepala tapi bisa tunduk kepada orang. Nah ini kalau boleh saya ibaratkan seperti ini anak-anak yang kompetitif adalah anak-anak yang hanya punya pedal gas maju terus, tapi anak-anak yang produktif anak-anak yang mempunyai keduanya pedal gas dan juga rem. Dia bisa mengerem dirinya sehingga dia tidak selalu menuruti kehendaknya dan pendapatnyalah yang selalu benar buat dia.
GS : Tetapi untuk mengubah dari kompetitif menjadi produktif ini peran orang tua menjadi sangat besar Pak Paul ya?

PG : Nah saya percaya peran orang tualah peranan yang paling penting di sini. Memang guru atau teman atau guru sekolah minggu dan gereja bisa juga memberi sumbangsih dalam pembentukan jiwa aak.

Tapi sekali lagi yang paling besar pengaruhnya adalah orang tua. Jadi kita harus siapkan anak-anak kita menjadi anak-anak yang tangguh sehingga Tadi saya juga sudah singgung bahwa adakalanya orang tua itu menyuburkan sifat atau sikap kompetitif karena orang tua berpikir ini dunia yang sekarang adalah dunia yang kompetitif, penuh persaingan bisa menang dalam dunia yang penuh persaingan ini. Nah kadang kala orang tua keliru akhirnya mendorong anak-anak menjadi nomor satu terus-menerus, tapi akhirnya mereka kehilangan banyak dan terutama mereka akan kehilangan sentuhan pribadi, sentuhan-sentuhan perasaan dengan orang, tenggang rasa dengan orang itu yang terhilang dan itu akhirnya menjadi bumerang bagi dirinya.
GS : Atau kadang-kadang orang tua kurang melihat sisi negatif dari anak yang bersifat kompetitif itu Pak Paul?

PG : Biasanya sifat-sifat ini pada awalnya menjadi kebanggaan orang tua karena anak-anak ini membawa hasil raport yang selalu paling tinggi, rangking satu, rangking dua, terus-menerus sepert itu.

Barulah orang tua menyadari problem tatkala anak-anak misalkan sudah mulai mendekati usia pra-remaja atau remaja. Orang tua baru sadar bahwa anak-anak ini hampir tidak mempunyai teman karena apa, karena anak-anak ini terpusat kembali pada dirinya, kurang bisa menjalin relasi dengan anak-anak lain. Dan di kalangan teman-temannya mereka dikenal sebagai anak yang sombong, yang hanya main dengan klubnya sendiri, kelompoknya sendiri, dan susah sekali untuk bisa diajak berdiskusi, mengerti orang, terlalu banyak mengkritik, dan sebagainya. Nah akhirnya memang kurang berteman nah pada saat-saat seperti itulah orang tua baru akhirnya terbangun melihat wah anak saya kok tidak mempunyai teman ini dan pada masa remaja mereka mulai memberontak, orang tua berkata apa mereka tidak terima mereka lawan, barulah orang tua sadar wah anak saya terlalu keras sekarang, kehendaknya harus dituruti, kok dia harus menang terus, kok dia tidak bisa mengalah sedikitpun, baru orang tua sadar wah anak ini kok jadi begini. Pada halnya pada masa-masa sebelumnya orang tua seakan-akan memberi minyak pada api itu terus berkobar, makin hari makin kompetitif.
GS : Atau orang tuanya sendiri dulu waktu masa mudanya dia juga seorang yang bersifat kompetitif?

PG : Itu mudah sekali memang kita wariskan, kalau kitanya juga seperti itu. Jadi kalau kita memang mempunyai persepsi hidup bahwa kita ini harus kompetitif. Nah anak-anak kita akan cetak seprti kita juga.

GS : Ya, jadi sekarang setelah kita tahu bahwa ternyata ada yang lebih baik yaitu yang produktif Pak Paul, apa yang bisa dilakukan oleh orang tua?

PG : Yang pertama adalah silakan sediakan penyaluran atas hasrat anak mengaktualisasikan kemampuannya. Anak-anak yang kompetitif atau yang nanti kita mau ubah menjadi produktif ini ya memangbanyak kebisaannya, banyak yang dia ingin lakukan.

Orang tua sebaiknya menyediakan outlet atau saluran-saluran ini sehingga dia bisa berkreasi, mengaktualisasikan dirinya. Dia mau main basket silakan, dia mau belajar ini silakan. Jadi berikan kesempatan itu asalkan kehidupannya tidak sampai terganggu. Dan jangan sampai gara-gara dia ikut banyak hal dia akhirnya tidak punya kehidupan pribadi dengan teman, tidak bisa bermain-main, kurang santai, terlalu tegang nah itu kita harus imbangkan. Tetapi selama masih bisa terimbangkan saya akan anjurkan kepada orang tua silakan berikan wadah-wadah itu sehingga bisa mengekspresikan dirinya secara maksimal.
GS : Ya kalau sejak awal itu sudah kita tahu dan kita batasi semampu anak itu, bagaimana Pak Paul?

PG : Memang tuntutan kita itu kepada anak-anak yang kompetitif sebaiknya sedikit di atas kemampuannya dia, meskipun dia berkata ya saya sudah segini, tapi dengan anak-anak yang kompetitif meeka itu senang kalau diberikan rangsangan atau dorongan, dipacu lagi.

Jadi kita bisa berkata bagaimana kamu rasanya memang sudah bisa segini mau coba yang ini. Tapi kalau memang anak itu tidak mau ya tidak apa-apa jangan dipaksa, jangan sampai memberi tekanan berlebihan kepada si anak. Jadi misalkan anak itu bersedia nah saya sarankan kepada orang tua silakan menetapkan target yang sedikit lebih tinggi dari kemampuan si anak itu. Sehingga dia terus-menerus meraih target yang lebih tinggi untuk bisa mengoptimalkan dirinya.
GS : Kalau kita sudah tetapkan target itu lebih tinggi sedikit dan dia bisa melakukan itu, apa yang harus kita lakukan Pak Paul?

PG : Waktu kita memberikan pengakuan kita katakan kita senang, kita bangga atau apa namun setelah itu kita tetap harus kembali kepada usaha itu yang paling penting Pak Gunawan. Jadi jangan ampai orang tua terlalu terpaku pada hasil, prestasi, jangan, kita akui kita senang dan sebagainya tapi waktu kita berikan pujian yang lebih kita tekankan adalah pada usahanya kamu telah bekerja keras mama bangga sekali, kok kamu sampai begadang kemarin wah papa kagum sekali dengan kamu, kamu benar-benar berusaha dengan baik.

Nah usaha ya yang menjadi pengamatan si orang tua dan yang dia sampaikan kepada si anak. Dan jangan si orang tua terlalu terpaku pada wah kamu dapat A, wah kamu dapat 10 lagi. Angkanya itu yang terlalu dipengaruhi, yang terlalu berperan besar, jangan! Tetap fokuskan pada usaha. Kami senang kamu telah bekerja keras dan sekarang kamu mencicipi hasil yang baik kami senang sekali. Nah itu usaha-usahanya itu lah.
GS : Ya, memang memberikan pujian itu kan gampang-gampang susah Pak Paul ya?. Nah itu sebaiknya bagaimana kita memberikan pujian itu?

PG : Saran saya berikan pujian, tapi jangan mengumbar pujian. Ya anak-anak itu jangan sampai mengembangkan ego yang bengkak, artinya bengkak, menganggap diri itu terlalu hebat sehingga akhirya susah menghargai kemenangan orang, susah menerima kekalahan diri.

Nah itu yang membuat anak-anak menjadi kompetitif yang murni. Nah kita mau mengubah mereka menjadi anak-anak yang produktif, jadi hati-hati waktu memuji sekali saja cukup jangan di depan orang-orang dipuji-puji terus, sekali memuji di depan orang boleh, tapi terus-menerus memuji di depan orang itu tidak sehat. Akhirnya ego anak benar-benar bengkak nah dia akan terus-menerus menuntut orang memberikan pujian, kalau orang tidak memberikan pujian dia tidak akan merasa senang, dia merasa ditolak, dan sebagainya. Nah itu akses-akses yang negatifnya.
GS : Ya, itu sebenarnya kan kita melatih dia untuk tidak terlalu menuntut pujian Pak Paul?

PG : Betul sekali, dia menerima pujian sebagai anugerah Pak Gunawan, sebagai tanggapan orang yang positif tapi dia sendiri tidak haus dan mengejar-ngejar pujian tapi anak yang terlalu seringmendengar pujian akhirnya menjadi anak-anak yang mengejar-ngejar pujian dan targetnya selalu pujian.

Dia kehilangan makna berkarya jadinya bahwa karya itu yang penting mementingkan aktualisasi diri sebaik-baiknya nah itu yang terhilang dalam diri dia, sehingga penekanannya lebih pada orang, dinilai orang baik, dinilai orang sukses, dan sebagainya. Bukan pada dirinya dia puas dengan apa yang sudah dia kerjakan, dia bisa karyakan.
GS : Berarti kalaupun dia suatu saat gagal di dalam melakukan tugas yang diberikan kepadanya itu kita tetap harus memberikan pujian?

PG : Begini kalaupun dia gagal kita akan bandingkannya itu dengan diri dia Pak Gunawan. Jangan sampai kita terpancing membanding-bandingkan dia dengan orang lain kok orang lain bisa kamu tidk bisa, kok orang lain dapat segini kamu dapat segini, jangan, kalau kita mau mengubah anak-anak yang kompetitif menjadi produktif justru jangan bandingkan dia dengan orang lain.

Anak-anak yang kompetitif itu hidup dalam perbandingan, artinya kalau tidak ada perbandingan dia tidak semangat, kalau tidak ada lain-lain pesaing dia tidak semangat, tidak, justru kita mau anak-anak kita membandingkan diri dengan diri sendiri artinya potensinya seperti apa, hiduplah sesuai dengan potensimu, karuniamu apa hiduplah sesuai dengan karuniamu itulah yang menjadi tolak ukur si anak, ini yang kita mau tanamkan pada anak. Engkau harus hidup sesuai dengan kemampuanmu bukan engkau harus hidup sesuai dengan orang lain, nah itu caranya mengubah anak-anak dari kompetitif menjadi produktif.
GS : Ya memang dibandingkan dengan dirinya sendiri tetapi pada masa yang lampau misalkan begini Pak Paul anak itu dulu waktu kelas tiga SD dia memang mampu masuk rangking satu atau dua terus di sana, waktu di kelas empat dia mulai gagal kita membandingkannya dengan masa lalu; lho dulu waktu kamu kelas tiga bisa itu juara satu, juara dua, sekarang kok tidak bisa.

PG : Itu boleh dalam pengertian sekarang ada kemunduran, sebelumnya kan kamu begini, kemampuan kamu seperti ini, kok sekarang jadi begini, itu tidak apa-apa. Tapi jangan sampai keluar omonga kakak kamu begini, adik kamu begini, kok kamu begini nah itu yang jangan.

Jadi perbandingan dengan diri sendiri, tapi juga kita mau mengerti kenapa sekarang dia jeblok/anjlok, kita mau tahu apa yang ia suka, apa yang dia tidak bisa dan sebagainya sehingga kita tidak menekan dia. Satu hal lain lagi tentang pujian yang juga saya kira penting untuk diketahui orang tua adalah sering-seringlah orang tua menyoroti karakter anak Pak Gunawan bukan prestasinya, tadi saya sudah singgung usaha bukan hasil. Nah yang berikutnya ini karakternya, sering-seringlah puji karakter si anak, jadi imbangi pujian atas dasar karya dan pujian atas dasar karakter. Nah menurut saya harus lebih banyak pujian terhadap karakter anak, kalau mau diperbandingkan secara kasarnya mungkin 80% karakter; 20% karya kita memuji dia kok sabar, kita memuji dia murah hati, mau memberikan barangnya, bantuannya, kita mau memuji dia dengan penuh kasih karena dia kok memikirkan temannya yang susah dan sebagainya. Jadi karakter-karakter seperti itulah yang lebih sering kita lontarkan kepada anak-anak yang kompetitif terutama. Sebab sekali lagi anak-anak yang kompetitif harus kalau sering menerima pujian yang berorientasi pada kemampuannya wah makin subur kompetitifnya itu, tapi anak-anak yang kompetitif mendapat pujian-pujian terhadap usahanya bukan hasilnya, mendapat pujian atas karakternya dan tidak melulu hasilnya nah lama-lama menjadi anak-anak yang berimbang. Dia juga menekankan aspek karakter hidup itu menolong orang, bermurah hati kepada orang, sehingga nantinya dia bisa mempertimbangkan perasaan orang dan bahwa hidup itu bukan saja target dan keberhasilan tapi menggalang relasi, hidup damai dengan orang, mengasihi orang itu hal-hal yang penting.
GS : Ya, jadi kalaupun anak yang diupayakan dari kompetitif menjadi produktif itu suatu saat gagal, mengalami kegagalan kita harus bersikap apa Pak Paul?

PG : Kalau sampai dia gagal kita harus menerima kegagalannya dengan tepat. Tepat maksudnya begini Pak Gunawan, jangan kita meremehkan atau membesarkan kegagalannya. Ini yang saya maksud, mermehkan kegagalan maksudnya begini tidak apa-apa gagal, tidak apa-apa nah anak-anak yang kompetitif kalau mendengar kata-kata seperti itu dia merasa justru disepelekan karena buat dia kegagalan adalah hal yang penting sebab keberhasilan hal yang penting.

Jadi waktu orang tua mengatakan sudah jangan dipusingkan, kita sudah tidak membahasnya, tidak menanyakan kenapa dia gagal, dia akhirnya merasa dia disepelekan tapi sebaliknya juga jangan yaitu membesarkan kegagalan, memarahi si anak habis-habisan kenapa kamu gagal kamu tidak ini, nah itu akan membuat si anak sulit menerima dirinya. Jadi waktu anak gagal terutama anak-anak yang kompetitif ini kita perlu tanya kenapa gagal, apa yang terjadi, terus kita bisa tanya bagaimana perasaanmu, kita juga bisa berkata saya juga turut sedih, tapi setelah mengatakan semua, menanyakan itu kita berkata kepada anak itu: "Yang sudah - sudah, nanti kita lihat ke depan kita, kita fokuskan pada yang sekarang tidak lagi pada yang lampau. Sudah jangan sampai kamu kecewa, jangan sampai kamu mundur, tidak apa-apa kita belajar dari kegagalan kita." Nah dengan cara seperti itu si anak tetap merasa dirinya itu penting tidak disepelekan tapi tidak dijatuhkan, tidak dihakimi atau didakwa.
GS : Ya, apakah ada upaya yang lain Pak Paul yang bisa dilakukan oleh orang tua?

PG : Salah satu yang penting adalah mengajarkan anak-anak untuk memahami orang yang berbeda dengannya. Anak-anak kompetitif ini cenderung 'kan hanya melihat dari kacamatanya sendiri, tidak bsa melihat sesuatu dari kacamata orang lain nah kita bisa mengajar dia memahami orang lain yang berbeda darinya.

Misalkan kita menceritakan latar belakang atau situasi yang dihadapi orang yang membuat mereka menjadi seperti itu, dia tidak cepat-cepat mengkritik orang malas. Kita katakan bukannya orang itu malas tapi orang itu tidak tahu bagaimana memajukan dirinya misalkan begitu, bukannya orang itu tidak mau berusaha tapi mungkin dia mau berusaha tapi tidak punya dukungan tidak punya jalan keluarnya nah makanya akhirnya dia tetap hidup seperti itu terus. Nah kita mesti sering-sering memberikan komentar seperti ini kepada anak-anak yang kompetitif sehingga akhirnya dia lebih bisa menerima anak-anak atau orang lain, kalau tidak dia akan sukar menerima orang sebab dia menuntut orang menjadi seperti dirinya. Nah itu yang perlu orang tua lakukan.
GS : Ya, itu ada orang tua yang mengalami kesulitan Pak Paul karena anaknya itu membandingkan dengan orang tuanya, yang dulu pendidikannya memang rendah, lalu dia mengatakan seolah-olah menyepelekan orang tuanya karena orang tuanya dibandingkan dengan dia yang sekarang sudah perguruan tinggi dan sebagainya, orang tuanya dianggap sepele sekali, direndahkan begitu nah itu bagaimana orang tua akan memberitahukan kepada anaknya?

PG : Pertama-tama orang tua bisa berkata kepada si anak bahwa waktu kamu mengatakan ini ini kamu benar-benar membuat kami merasa sedih, kamu benar-benar memandang kami begitu rendah dan kamisangat sedih.

Jadi beritahukan dampak perlakuan atau perkataan anak pada diri si orang tua itu. Nah mungkin si anak tidak mengerti itu karena tadi saya sudah singgung anak-anak yang kompetitif hanya melihat faktanya, dia sudah melakukan ini orang lain tidak melakukan ini, nah dia 'kan tidak bisa tenggang rasa mengerti dan menyelami perasaan orang, biarkan orang tua memberikan pantulan. "Waktu kamu berkata begini-begini papa sakit hati sekali, kamu seolah-olah itu memandang papa begitu rendahnya seolah-olah papa tidak mempunyai arti dalam hidupmu, papa sangat sedih nah tolong lain kali jangan begitu." Nah itu yang orang tua harus lakukan sehingga anak-anak mengerti bahwa waktu dia ngomong seperti itu ada dampak dan dampak itu menyakitkan orang, dan dia tidak mau menyakitkan orang seperti itu.
GS : Ya, biasanya reaksinya adalah kemarahan dan itu tidak menyelesaikan masalah ternyata Pak Paul?

PG : Nah itu yang sering kali orang tua lakukan langsung memarahi dan anak-anak akan berkata dalam hatinya: "Saya 'kan berkata yang benar, kenapa orang tua tidak mau menerima kebenaran ini."Nah sedangkan masalahnya bukanlah soal kebenaran atau fakta tetapi perkataannya itu berdampak secara negatif pada orang dan dia tidak sadari itu.

GS : Berarti dalam hal ini kita lebih banyak membentuk perasaan anak itu.

PG : Salah satunya adalah ini memang kita harus mengajar anak-anak yang kompetitif ini bisa menguasai perasaannya terutama perasaan marah dan mengajarkan dia untuk mengungkapkan kemarahan it dengan sehat.

Misalnya kita berkata kepada anak boleh marah, namun jangan menghina misalkan begitu. Misalkan dia marah dengan kakaknya terus dia menghina kakaknya, dasar kamu bodoh atau apa nah itu kita langsung harus tegur si anak, kita harus berikan dia sanksi, jangan menghina kakakmu. Atau yang lainnya misalnya boleh marah tapi tidak boleh berteriak, nah anak-anak yang kompetitif ini memang karena ledakan amarahnya bisa cukup besar kadang-kadang dia berteriaklah atau apa, nah kita harus mencegah dan mengajar dia untuk berbicara. Kamu marah kenapa, kamu tidak senang kenapa, coba ngomong, coba sampaikan nah ajarkan dia untuk mengungkapkan perasaan-perasaan marahnya secara verbal dan dengan cara yang tidak menghina atau mencaci-maki orang lain.
GS : Ya, biasanya anak-anak yang kompetitif ini malah mengajak diskusi, bukan diskusi justru berdebat Pak Paul dan dia biasanya menang dalam perdebatan itu.

PG : Ya, ada kecenderungan begitu karena memang dia mendasari argumennya juga pada fakta pada apa yang telah terjadi atau yang dia lakukan dan kita bisa berkata kamu benar, semua yang kamu ktakan bena, tapi cara kamu mengatakannya benar-benar membuat orang merasa diri remeh dan rendah di hadapanmu.

Nah kalau kamu terus begitu terhadap orang, orang tidak akan mau dekat dengan kamu, dan kamu akan hidup sendirian meskipun kamu berhasil nah apakah itu yang kamu inginkan. Nah ini yang orang tua harus sering-sering katakan kepada anak sehingga akhirnya dia sadar bahwa tidak bisa dia hanya mengutarakan pikiran-pikirannya tanpa menghiraukan reaksi atau perasaan orang. Nah itu yang mau kita munculkan dalam dirinya.
GS : Berarti pendekatan ini sangat penting di dalam hal pembentukan anak.

PG : Sangat penting sekali Pak Gunawan, yang terakhir jangan sampai kita lupakan juga adalah kita mesti mengenalkan dia kepada Tuhan agar dia dapat hidup takut kepada Tuhan, dia perlu belaja mengerti bahwa potensinya berasal dari Tuhan anak-anak ini karena terlalu percaya diri bahwa dia itu mampu segalanya akhirnya bersandar pada diri sendiri.

Nah kita tahu Amsal 3:5-6 berkata: "Janganlah engkau menyandarkan diri pada pengertianmu sendiri, dengan akalmu sendiri tapi bersandarlah kepada Tuhan." Nah anak-anak ini sangat butuh firman Tuhan yang seperti itu jadi kita mesti ajarkan dia. Kenyataan kamu pandai bukan karena kamu lahir memilih otak yang seperti ini, kamu tidak pernah memilih otak kamu, Tuhan yang memilihkan otak itu untuk kamu, kamu bisa mempunyai kaki yang cepat sehingga berlari dengan cepat kamu tidak pernah memilih kaki ini untuk kamu lahir, Tuhan yang memberikan kaki ini kepadamu, Dia yang pilihkan untuk kamu. Nah itu hal-hal yang perlu kita sering komunikasikan kepada anak-anak yang kompetitif ini dan kita tekankan bahwa dia bertanggungjawab kepada Tuhan. Kadang-kadang anak ini kalau tidak hati-hati melihat dirinya sebagai pusat kehidupan, dia tidak bertanggungjawab terhadap siapapun, dialah yang harus menang, dialah yang harus nomor satu, tidak kita mau tekankan bahwa kamu harus bertanggungjawab kepada Tuhan. Tuhan melihat yang kamu lakukan, dan Tuhan mencatat yang kamu lakukan, jadi kita mau tanamkan takut akan Tuhan pada dirinya sehingga dia tidak menghalalkan segala cara. Karena anak-anak yang kompetitif akhirnya mudah terjebak ke dalam perilaku menghalalkan segala cara supaya tetap menjadi nomor satu, kita harus tekankan tidak, Tuhan melihat yang kamu lakukan meskipun kamu nomor satu tetapi kalau kamu tidak benar Tuhan akan bisa balas kamu.
GS : Dalam hal tanggungjawab ini biasanya mereka justru menuntut orang lain bertanggungjawab kepada dia dan dia sendiri tidak bertanggungjawab kepada siapa-siapa.

PG : Ya, seakan-akan bahwa hidup itu memang harus berputar di sekitar dia bahwa oranglah yang harus memahami dia dan memberikan pujian atau pengakuan kepadanya, jadi itu yang memang harus kia poles, kita kikis sehingga tidak menjadi duri yang tajam.

GS : Nah Pak Paul, hal-hal yang tadi Pak Paul sampaikan itu sebenarnya 'kan dilakukan sedini mungkin, biasanya yang kita tahu itu seperti Pak Paul katakan ketika anak itu remaja atau pra-remaja baru kelihatan waduh anak saya ini ternyata anak yang kompetitif. Nah apakah kita masih mempunyai waktu untuk mengubahnya?

PG : Sudah tentu semakin dewasa anak semakin sulit untuk berubah, jadi kalau memang sudah remaja usia sudah 15 atau 16 tahun, baru orang tua menyadari dan mau membentuknya memang sulit. Nah tu-satunya harapan kalau anak itu sudah remaja adalah pertobatan rohani karena pertobatan rohani akan mengubah cara pandang.

Misalkan dulu harus nomor satu, tetapi sekarang dia sadar bahwa itu bukan jalan Tuhan. Nah akhirnya dia mengerti dia harus mengalah, dia harus belajar menekan dirinya, nah pertobatan rohanilah yang bisa mengubah orang dengan lebih drastis.
GS : Tapi di sini peran firman Tuhan yang disampaikan itu akan sangat berpengaruh pada anak ini.

PG : Sangat-sangat berpengaruh anak-anak yang kompetitif perlu sekali dibina dengan firman Tuhan, kalau tidak dia menjadi duri bagi orang lain tidak menjadi berkat.

GS : Ya apakah ada firman Tuhan untuk itu Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari Amsal 8:13 "Takut akan Tuhan ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu musliat."

Nah anak-anak yang kompetitif tanpa takut akan Tuhan berpotensi menjadi orang seperti yang firman Tuhan katakan dia mudah menjadi sombong, congkak, bisa menjadi jahat dan mulutnya bisa mudah berbohong untuk menghalalkan yang dia ingin peroleh, justru anak-anak yang kompetitif harus dibina dengan takut akan Tuhan sehingga akhirnya potensinya itu tidak merugikan dirinya malah menjadi berkat bagi dirinya dan orang lain.

GS : Ya jadi berdasarkan firman Tuhan ini mungkin kita sebagai orang tua di dalam pembinaan ini mesti bersandar penuh pada Tuhan yang menciptakan anak ini Pak Paul, karena saya rasa sangat sulit ini untuk mengubah atau katakan hampir mustahil mengubah seseorang menjadi produktif tanpa pertolongan Tuhan. Ya terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih bahwa anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt.Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengubah Kompetitif menjadi Produktif II", di mana lebih banyak ditekankan bagaimana kita sebagai orang tua berperan di dalam mengubah anak yang kompetitif menjadi produktif. Dan bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id saran-saran, pertanyaan serta tanggapan anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda sampai jumpa pada acara telaga yang akan datang.



30. Makna Kematian Buat Anak


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T150A (File MP3 T150A)


Abstrak:

Membicarakan tentang kematian kepada anak merupakan hal yang kurang enak dan kurang nyaman. Tetapi akan lebih baik kalau anak memperoleh pengertian yang benar mengenai kematian, sehingga tidak membawa dampak buruk bagi anak tersebut.


Ringkasan:

Beberapa penyebab kenapa kita enggan untuk membicarakan kematian:

  1. Kita mungkin memperoleh pengaruh budaya yang berkaitan dengan takhayul.

  2. Kita sering mengaitkan dengan sesuatu yang menyedihkan.

Manfaat kita membicarakan mengenai kematian kepada anak:
Supaya anak memperoleh pengertian yang benar mengenai kematian. Karena apabila anak mempunyai konsep yang keliru tentang kematian, maka anak akan menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dan kadang-kadang hal ini akan menyebabkan rasa duka yang sulit diselesaikan pada diri anak.

Konsep yang salah tentang kematian:

  1. Anak memandang kematian sama dengan tidur, tidur yang sangat panjang yang tidak bangun-bangun lagi.

  2. Kematian bukan hal yang permanen, sehingga kadang-kadang anak mengharapkan sesuatu yang tidak masuk akal misalnya meminta binatang peliharaan yang sudah mati untuk dibangunkan lagi.

Beberapa moment di mana kita bisa membicarakan tentang kematian kepada anak:

  1. Pada saat kita bercerita, kemudian ada cerita atau dongeng tentang kematian, nah kita bisa sedikit menjelaskan di situ.

  2. Saat misalnya sedang menghadapi seorang kerabat atau orang dekat atau siapa saja yang meninggal atau anak mengatakan bahwa orang tua dari temannya meninggal.

  3. Kalau anak mempunyai binatang peliharaan, nah itu kesempatan yang baik untuk menjelaskan tentang kehidupan dan kematian kepada anak.

Dampak kalau kita sampai memberikan konsep yang keliru tentang kematian kepada anak:

  1. Misalnya mati sama dengan tidur yang panjang, untuk anak yang peka mungkin saja mereka tidak berani tidur karena takut tidak bisa bangun lagi.

  2. Menimbulkan rasa marah karena merasa dibohongi. Ada anak yang sampai menulis surat kepada sahabatnya yang sudah meninggal atau bahkan menulis surat kepada ayahnya di tempat yang jauh, di tempat yang dikatakan indah sekali padahal ayahnya sudah meninggal. Nah ketika dia tidak mendapatkan fakta yang sebenarnya, ada rasa duka, nah ketika anak itu dewasa dan tahu fakta yang sebenarnya dia bisa marah.

Mazmur 116:15, "Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihiNya."


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang bersama dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Makna Kematian buat Anak", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, ini suatu tema yang sangat menarik yang mungkin jarang dibicarakan, bahkan ada orang yang merasa enggan untuk membicarakan hal ini. Sebenarnya bagaimana kita bisa membicarakan masalah yang begitu serius, begitu sulit dibicarakan bahkan oleh orang dewasa tapi kita mau membicarakannya dengan anak tentang kematian?

HE : Ya, karena kematian itu sering kali suatu topik yang kita hindari, kita merasa kurang enak, kurang nyaman kalau kita membicarakannya. Itu sebabnya kadang-kadang kita susah untuk membicaakannya bersama dengan anak.

GS : Sebenarnya kenapa Pak Heman, kita sendiri merasa enggan untuk membicarakan kematian?

HE : Ada beberapa kemungkinan penyebab yang saya amati, kemungkinan pertama adalah kita mungkin memperoleh pengaruh budaya yang berkaitan dengan takhayul. Dan kita tahu bahwa budaya Timur bayak takhayul tentang kematian ini.

Seolah-olah kalau kita membicarakannya sepertinya kita akan lebih mudah mengalami musibah. Sudah barang tentu pandangan demikian kurang tepat, karena bagi orang percaya hidup dan mati kita berada di tangan Tuhan yang telah mengalahkan maut. Kemungkinan kedua, kita sering mengaitkan dengan sesuatu yang menyedihkan. Mungkin ada hubungannya dengan kematian orang tua kita, saudara kita atau kerabat kita yang kita kasihi, nah untuk itu dalam hal ini kita perlu belajar untuk menerima kenyataan kematian kekasih kita terlebih dahulu.
WL : Apakah manfaatnya kalau kita membicarakan mengenai kematian kepada anak, Pak Heman?

HE : Kita perlu membicarakannya supaya anak memperoleh pengertian yang benar mengenai kematian. Sesuai dengan perkembangannya, anak yang masih muda memang sulit memahami tentang kematian, naun kita tetap perlu membicarakannya supaya anak memperoleh pengertian mengenai hal ini.

Kalau kita balik, apabila anak keliru konsep tentang kematian maka anak akan menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dan kadang-kadang hal ini akan menyebabkan rasa duka yang sulit diselesaikan pada diri anak.
GS : Sebenarnya konsep yang salah itu seperti apa, Pak?

HE : Konsep yang salah itu misalnya anak memandang kematian sama dengan tidur, tidur yang sangat panjang yang tidak bangun-bangun lagi. Kematian misalnya juga bukan hal yang permanen, sehinga kadang-kadang anak mengharapkan sesuatu yang tidak masuk akal misalnya dia meminta binatang peliharaan yang sudah mati dan minta orang tuanya untuk membangunkannya lagi.

GS : Ada juga yang mengatakan bahwa kematian itu seperti pergi ke tempat yang jauh dan indah yang lama tidak kembali-kembali.

HE : Ya, itu adalah beberapa konsep tentang kematian yang mungkin terjadi.

GS : Nah, kalau hal itu dibicarakan kepada anak, apakah tujuannya adalah supaya anak bisa memahami dengan bahasanya anak-anak.

HE : Memang di sini kita berhadapan dengan anak yang belum cukup matang dan kadang-kadang kita memang tidak bisa menjelaskan semuanya sekaligus. Dan dalam hal ini kita tetap bertanggung jawa untuk menjelaskan sebisa mungkin supaya anak bisa memahami secara lebih tepat.

GS : Itu momentnya saat bagaimana Pak Heman, bukankah kita tidak bisa tiba-tiba membicarakan tentang kematian terhadap anak itu?

HE : Betul, dan ada beberapa moment. Yang pertama, pada saat kita bercerita biasa saja kemudian ada cerita-cerita atau dongeng tentang kematian nah kita bisa menjelaskan sedikit di situ. Kemdian juga saat misalnya kita sedang menghadapi seorang kerabat atau orang dekat atau siapa saja yang meninggal atau anak mengatakan bahwa orang tua dari temannya itu meninggal, nah itu saat yang baik juga untuk menjelaskan tentang kematian kepada anak.

Dan satu kesempatan lagi yaitu kalau anak mempunyai binatang peliharaan, nah itu kesempatan yang baik untuk menjelaskan tentang kehidupan dan kematian kepada anak.
GS : Pak Heman, dalam keadaan yang bagaimana terjadinya kesalahan konsep yang tadi Pak Heman katakan atau yang kita bicarakan itu bisa terjadi?

HE : Kadang-kadang misalnya kalau anak itu kita lindungi dari perasaan dukanya, kemudian kita berusaha untuk misalnya "menghibur" dia dengan sesuatu yang tidak benar, itu bisa menyebabkan ank mengalami atau memperoleh konsep yang salah tentang kematian.

Nah, sebagai contoh misalnya ada binatang peliharaannya itu mati, kemudian kita diam-diam membelikan anak binatang yang mirip. Kelihatannya anak memang tidak sedih lagi, tetapi dengan demikian dia memperoleh konsep yang salah tentang kematian karena seolah-olah kematian itu bukan sesuatu yang permanen.
WL : Pak Heman, kalau secara tidak sadar orang tua belum memiliki pengetahuan yang tepat mengenai bagaimana menyampaikan konsep yang benar kepada anak tentang kematian tapi sudah terlanjur salah menyampaikannya, apakah dampaknya terhadap anak?

HE : Ada beberapa dampak, misalnya kalau kita sampai memberikan konsep bahwa mati itu sama dengan tidur yang panjang, untuk anak yang peka mungkin saja mereka tidak berani tidur karena takuttidak bisa bangun lagi.

Atau misalnya beberapa konsep ada anak yang sampai menulis surat kepada sahabatnya yang sudah meninggal atau bahkan ada yang menulis surat kepada ayahnya di tempat yang jauh, di tempat yang dikatakan indah sekali padahal ayahnya itu sudah meninggal. Nah, ketika anak melakukan hal ini, dia tidak mendapat fakta yang sebenarnya ada rasa duka yang prosesnya belum selesai. Misalnya pada suatu ketika anak itu dewasa dan dia tahu fakta yang sebenarnya dia bisa marah sekali kepada orang tuanya atau kepada kita yang tidak menjelaskan dengan benar tentang kematian. Karena seolah-olah dia merasa dibohongi.
WL : Kalau misalnya untuk sementara waktu saja tidak sampai dewasa, jadi istilahnya masa transisi, dia 'kan belum dewasa, belum cukup kuat, ya kita biarkan dia menulis surat, seolah-olah papanya masih ada di suatu tempat yang dia tidak tahu, suatu tempat yang indah seperti yang tadi Pak Heman jelaskan, nanti setelah dewasa baru diberitahu, itu dampaknya tetap buruk Pak Heman?

HE : Ya menurut saya begitu, karena kita perlu memberi kesempatan kepada anak untuk melalui proses kedukaan ini secara wajar. Dan kalau dia sudah berhasil melewati proses ini baru nanti kitamembantu dia untuk mengatasi perasaan duka ini, saya kira itu akan lebih sehat.

GS : Pak Heman tadi mengatakan bahwa saat yang tepat kita itu menjelaskan tentang kematian adalah pada saat hewan kesayangannya ada yang mati. Nah bagaimana kita itu menjelaskan, bukankah hewan dan manusia itu sesuatu yang berbeda?

HE : Ya betul, dan di dalam kesempatan ini tentu saja kita perlu menjelaskan bahwa ada perbedaan antara kematian binatang dan manusia. Misalnya saja kita bisa menjelaskan bahwa jiwa manusia tu berharga di mata Allah, karena itu Allah menyelamatkan manusia berdosa melalui anakNya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus.

Sedangkan binatang itu diciptakan untuk hidup manusia, mungkin dengan penjelasan seperti ini anak akan mempunyai konsep yang lebih tepat mengenai kematian.
GS : Tapi binatang itu adalah binatang yang dia sayangi, yang tiap hari berkumpul atau bermain dengan binatang itu, kalau kita menjelaskan seperti itu apakah dia tidak lebih sedih lagi, seolah-olah kita itu menyepelekan binatang kesayangannya.

PG : Ya mungkin kita perlu membedakan dua hal ini yaitu yang pertama soal perasaan. Kita tangani perasaan itu terlebih dahulu dengan menerima bahwa dia tidak apa-apa berduka dan itu sesuatu al yang wajar, bahwa kalau kita kehilangan suatu makluk apalagi orang yang kita kasihi, kita wajar kalau berduka.

Yang kedua adalah hal konsep, untuk hal konsep ini kita perlu memberikan penjelasan-penjelasan. Jadi kita bedakan dua hal ini, untuk perasaan kita terima sedangkan untuk konsep kita luruskan.
WL : Pak Heman, itu tadi penjelasan tentang sama-sama makluk hidup, yang satu binatang, yang satu manusia. Bagaimana kalau benda yang bergerak dibandingkan dengan makluk hidup yang bergerak, bukankah anak-anak kadang-kadang sulit membedakan, dianggapnya itu hidup juga, bagaimana penjelasannya untuk hal ini Pak?

HE : Betul, ini bagian yang agak sulit terutama buat anak-anak yang masih muda. Kita bisa menjelaskan bahwa diri kita dan mereka itu adalah hidup, jadi anak itu hidup dan mereka berbeda dengn benda yang tidak hidup.

Misalnya mainan itu bisa bergerak bukan berarti mainan itu mempunyai kehidupan, nah kita membantu anak untuk memahami bahwa kalau makluk hidup itu bedanya bernafas, dia perlu makan, perlu minum, jantungnya berdegup untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Dan kematian itu berarti berhentinya nafas, berhentinya kerja jantung, berhentinya semua aktifitas, orang mati tidak dapat melakukan apapun juga. Kalau misalnya mainan, itu karena ada baterainya, nah kita bisa menjelaskannya seperti itu.
WL : Pak Heman, dengan kemajuan teknologi saat ini, lebih-lebih yang saya dengar di Jepang bahwa mainan-mainan sudah sangat maju. Ada mainan yang bisa kita beri makan, ada yang minta minum, harus dirawat, tidur, itu mungkin anak akan lebih sulit membedakan bahwa itu benar-benar benda mati ya Pak?

HE : Ya betul, jadi memang manusia pandai sekali menciptakan hal-hal seperti itu. Nah, kalau misalnya mainan-mainan yang seperti itu sudah mulai ada di Indonesia dan mungkin kita miliki, memng itu bagian yang lebih sulit untuk dijelaskan.

Tetapi kita tetap bisa menjelaskan bahwa kalau yang dibuat oleh manusia, nah manusia sampai saat ini tidak bisa membuat kehidupan, kehidupan hanya diberikan oleh Tuhan.
GS : Dan kenyataannya anak harus menghadapi bahwa setiap makluk hidup baik manusia atau hewan suatu saat harus mati, nah ini bagaimana kita menjelaskan kepada anak supaya anak itu jangan merasa takut karena nanti suatu saat saya akan mati juga?

HE : Kadang-kadang ketakutan memang tidak bisa dihindarkan sepenuhnya, tetapi kita perlu siapkan anak bahwa pada akhirnya semua manusia akan mati. Tetapi sampai titik ini kita tidak berhenti kita sebagai orang percaya mempunyai pengharapan dan kita bisa menjelaskan bahwa kematian manusia bukan akhir dari segalanya.

Barangkali itu kuncinya.
GS : Sering kali anak melihat di tayangan TV dan sebagainya cerita-cerita khayal yang menunjukkan bahwa yang sudah mati ini bisa hidup kembali. Ini kadang-kadang sulit menerangkan kepada anak-anak.

HE : Ya, mungkin ini betul bagian yang sulit, kita perlu juga lebih banyak bercerita kepada anak hal-hal dari Alkitab, dari dunia nyata. Dan perlu kita jelaskan kepada anak bahwa antara kehiupan nyata dengan cerita atau dongeng atau yang dikarang oleh manusia itu berbeda.

Jadi ada fakta yang anak perlu kenali dan ada juga fiksi. Betul pada anak yang masih muda ini lebih sulit, tapi secara bertahap anak harus tahu bahwa yang benar adalah kematian itu sesuatu yang permanen, memang betul pada saat manusia itu mati di dunia ini dia tidak akan hidup kembali, tetapi kematian bukan akhir dari segalanya, jadi masih ada kehidupan di alam sana, kehidupan atau kebinasaan yang kekal. Nah, kita di sini bisa menjelaskan hal-hal yang rohani bahwa orang yang percaya akan masuk ke kehidupan yang kekal.
GS : Pak Heman, sehubungan dengan hal itu bagaimana kita menjelaskan tentang kebangkitan Tuhan Yesus yang juga kita terangkan kepada anak bahwa Tuhan Yesus itu setelah meninggal, tiga hari kemudian Dia bangkit?

HE : Di sini bedanya kita menjelaskan bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan dan Dia memang lahir sebagai manusia, tetapi Dia mengalahkan maut dan itulah pengharapan dari kita. Jadi kita yang mati i dalam dosa, kita akan bangkit nantinya karena kebangkitan Tuhan Yesus yang kita percayai.

Memang tidak semuanya anak bisa langsung pahami, salah satu contoh misalnya soal kekekalan, karena kekekalan ini baru akan dipahami anak mungkin kalau anak remaja, anak mulai bisa berpikir secara abstrak, kekekalan itu banyak berkaitan dengan pikiran abstrak.
GS : Pak Heman, apakah ada dampak yang negatif kalau anak itu melihat seseorang yang meninggal dengan cara yang tidak wajar, misalnya bunuh diri atau tertabrak sampai luka parah, itu ada pengaruhnya atau tidak terhadap anak?

HE : Tentu saja ada, tetapi kita bisa menjelaskan seperti ini. Apapun cara seseorang itu mati dengan cara yang tragis misalnya tetapi kalau seseorang itu sudah hidup di dalam Tuhan, kematianya adalah kematian yang berharga juga di mata Tuhan.

Dan kita tidak membedakan cara seseorang mati tetapi apakah seseorang itu mati di dalam Tuhan atau di luar Tuhan.
WL : Pak Heman, biasanya kalau acara melayat, kita sering menemukan orang tua menghindarkan anak dari acara-acara seperti itu, walaupun itu sebetulnya keluarga terdekat, apakah kakak dari si anak atau ayah. Itu sebenarnya positif atau negatif kalau menurut Pak Heman?

HE : Saya pribadi berpendapat adakalanya anak juga boleh diajak ke tempat pemakaman, terutama pemakaman orang-orang terdekat dengan kita. Saya sendiri mengajak anak saya menghadiri pemakamandengan asumsi saya bisa mengajarkan hal yang benar kepada mereka.

Selain itu juga penyelesaian masalah kedukaan tadi bahwa upacara penguburan itu sepertinya menutup bagian dari sejarah hidup kita dan di sana ada perpisahan. Ketika anak mengalami perpisahan itu, anak sepertinya bisa lebih tuntas di dalam penyelesaian masalah emosionalnya.
WL : Kalau anaknya Pak Heman mungkin sudah remaja ya, kalau anak-anak apakah itu bisa mengerti?

HE : Ya saya mengajak anak saya ke tempat pemakaman itu mungkin sejak usia 6 tahun, 7 tahun mereka sudah menghadiri.

WL : Mereka memahami Pak?

HE : Tentu saya percaya tidak sepenuhnya mereka dapat memahami, tetapi mereka akan lebih cepat mengerti nantinya.

GS : Kesedihan yang mereka alami, karena nanti itu ada suatu perpisahan, apakah itu bisa cepat hilang daripada kita yang dewasa ini?

HE : Tergantung siapa yang hilang dan seberapa jauh kedekatan mereka. Kadang-kadang anak merasa kehilangan karena kematian, itu tidak terlalu nampak dari luarnya tetapi diam-diam mereka menympan kedukaan.

Jadi sekali lagi justru di sini pentingnya kalau anak tidak mendapatkan konsep yang jelas, dia bisa marah.
GS : Tetapi untuk menjelaskan itu bukankah tidak mungkin sekaligus mereka bisa pahami?

HE : Di sini kuncinya adalah kesabaran kita dan kalau misalnya ada sesuatu yang mungkin semakin membuat anak bingung, dan kita sendiri sulit untuk menjawabnya mungkin lebih bijaksana kalau kta katakan misalnya soal kekekalan, anak belum bisa memahami seluruhnya, kita katakan: "Pelan-pelan kamu akan lebih mengerti tentang kekekalan, Papa atau Mama belum dapat menjelaskan semuanya nanti akan kita bicarakan lagi mengenai hal ini kalau kamu sudah lebih besar nanti.

Misalnya dengan cara begitu jadi anak bisa lebih puas.
GS : Pak Heman, bagi anak yang sudah memahami tentang kematian, kemudian dia mempunyai sikap yang lain terhadap kematian artinya tidak lagi takut menghadapi kematian atau bagaimana, Pak?

HE : Setidaknya dia akan lebih siap menghadapi kematian orang lain, kerabat dekatnya maupun dirinya sendiri. Dia tahu bahwa semua orang akan mati itu yang pertama, dan yang kedua, kematian bkan berarti akhir dari segalanya jadi anak mempunyai pengharapan dibalik kematian itu.

Sekalipun ada rasa duka tetapi bukan rasa duka yang tak terselesaikan.
GS : Nah, sering kali waktu menghadapi jenazah kita itu mempunyai perasaan yang agak lain dengan menghadapi pada saat dia hidup, itu sebenarnya perasaan apa yang muncul dalam diri kita?

HE : Kadang-kadang bisa perasaan kehilangan, sesuatu perasaan yang asing, aneh karena kita tidak bisa mengetahui sepenuhnya apa yang terjadi dengan orang yang meninggal itu sampai pada saat ungkin kita sendiri meninggal.

GS : Makanya kadang-kadang kita itu tidak mengajak anak atau tidak melibatkan anak, karena anak itu sering kali ingin tahu, bertanya-tanya, nah kita itu sudah merasa sedih, merasa kehilangan kemudian ditanya-tanya seperti itu menjadi tidak enak, Pak Heman.

HE : Di dalam situasi seperti itu kita boleh saja mengatakan seperti ini: "Ya, Papa mengerti kamu ada banyak pertanyaan, ada hal yang belum kamu pahami, boleh tidak nanti setelah selesai sema, sesudah sampai di rumah dan sudah tenang baru Papa jelaskan tentang hal ini lebih banyak kepada kamu."

GS : Itu masih lebih bisa diterima oleh anak ya.

HE : Ya, kalau kita langsung marah-marah, dikhawatirkan untuk seterusnya anak tidak berani lagi bertanya kepada kita. Dan juga yang sangat penting di sini adalah supaya anak memahami juga tetang konsep-konsep rohani misalnya tentang dosa, kematian itu akibat dosa, tentang penyelamatan dari Yesus Kristus.

GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa mendukung kita untuk mengajarkan atau menjelaskan tentang kematian ini kepada anak kita?

HE : Ada satu ayat yang bagus sekali dari Mazmur 116:15, "Berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihiNya."

GS : Itu kita jelaskan bagaimana kepada anak?

HE : Bahwa kita adalah orang-orang yang dikasihi oleh Tuhan, kita yang sudah percaya di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Dan kematian kita itu bukan kematian yang sia-sia tetapi sesuatu yang erharga di mata Tuhan.

GS : Jadi kita mesti menjelaskan kepada anak-anak ini dengan bahasa mereka supaya mereka mengerti dan menghadapi kenyataan hidup yang pasti suatu saat akan berakhir. Terima kasih Pak Heman dan juga Ibu Wulan untuk perbincangan pada kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Makna Kematian buat Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs atau website kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



31. Anak dan Ketakutan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T156A (File MP3 T156A)


Abstrak:

Adakalanya orang tua bingung melihat perubahan sikap anak yang tiba-tiba menjadi penuh ketakutan. Apa yang terjadi dan apa yang dapat dilakukan orangtua?


Ringkasan:

Adakalanya orang tua bingung melihat perubahan sikap anak yang tiba-tiba menjadi penuh ketakutan. Apa yang terjadi dan apa yang dapat dilakukan orangtua?

Penyebab Ketakutan dan Penanganannya:

  1. Anak melihat dunia sekitarnya dengan mata yang berbeda dari orang dewasa. Acap kali apa yang menjadi ketakutan orang tua bukanlah apa yang menjadi ketakutan anak. Kadang anak mengalami teguran dari orang asing dan ini cukup untuk membuatnya ketakutan. Atau, anak melihat orang tua sakit dan ia mengembangkan ketakutan kalau-kalau orang tua akan meninggal. Itu sebabnya orang tua perlu memberi penjelasan terhadap peristiwa yang tidak dimengerti oleh anak agar ia tidak menarik kesimpulan yang keliru atau irasional.

  2. Anak memiliki fantasi yang aktif dan rentan terhadap ketakutan sebab bukankah ketakutan sering kali muncul dari sesuatu yang dibayangkan? Anak dapat membayangkan sesuatu yang mengerikan dari film yang ditontonnya atau buku yang dibacanya. Itu sebabnya anak harus dilindungi dari kisah-kisah yang menyeramkan sebab apa yang telah terekam akan sukar dihapus dari memorinya.

  3. Relasi orang tua yang tidak stabil dan rawan konflik juga berpotensi menciptakan ketakutan pada anak. Ia takut kehilangan orangtuanya dan ia takut menyaksikan pertengkaran mereka. Itu sebabnya orangtua perlu membereskan pernikahannya dan berupaya keras melindungi anak dari konflik antara mereka.

  4. Penolakan teman di sekolah atau lingkungan juga dapat membuat anak ketakutan. Teman menolak melalui pelbagai cara misalnya, ejekan, ancaman, atau pengucilan. Teman menolak anak atas berbagai alasan misalnya perbedaan fisik dan kelemahan tertentu. Alhasil anak hidup penuh dengan ketakutan karena membayangkan perjumpaan dengan teman-teman. Itu sebabnya orangtua perlu menjalin komunikasi yang baik dengan anak tanpa menyalahkannya agar ia berani bercerita tentang lingkungannya.

  5. Tekanan akademik yang membuat anak malu atau gagal juga bisa menciptakan ketakutan. Ketidakbisaan dan ketidakberdayaan merupakan perasaan yang menakutkan. Itu sebabnya orangtua harus peka dengan kondisi anak agar tidak memaksakan anak masuk ke sekolah yang memiliki tuntutan di atas kemampuan anak.

Firman Tuhan: "Takut akan Tuhan adalah didikan yang mendatangkan hikmat..." Amsal 15:33.

Anak perlu dididik untuk takut akan Tuhan dan berani menghadapi apa pun. Ketakutan dihilangkan melalui pendampingan atau penyertaan, jadi, didik anak untuk selalu ingat bahwa Tuhan menyertainya.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini saya bersama dengan Ibu Wulan, S.Th kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak dan Ketakutan", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, memang semua orang tentu pernah dikuasai oleh rasa takut, bahkan anak-anak juga sering kali kita melihat mereka ketakutan. Tetapi apakah ada perbedaan yang mendasar antara ketakutannya anak dengan ketakutan kita orang dewasa?

PG : Memang ada perbedaan Pak Gunawan, kita misalkan takut akan sesuatu yang riil atau yang nyata sekali, sedangkan anak-anak ketakutan akan hal-hal yang tidak riil. Itu sebabnya kita sebagai oang tua perlu peka melihat perubahan pada diri anak-anak kita.

Kadang-kadang yang kita lihat, mereka pada masa awal adalah anak yang sangat sehat, berani, namun suatu masa mereka berubah; mereka menarik diri, penuh ketakutan; kalau kita meminta untuk berkenalan dengan anak lain, mereka tidak berani, mencoba sesuatu yang baru mereka tidak berani, mereka diminta tidur sendiri di kamar tidak berani padahal sebelumnya berani, minta ditemani kalau ke kamar kecil, kita sudah melatihnya untuk ke kamar kecil sendiri tapi sekarang tidak berani dan meminta kita untuk mendampinginya. Nah, kita mulai berpikir apa yang terjadi, kok anak kita mengalami perubahan seperti ini. Yang pertama, kita mesti melihat sebetulnya apa yang dialami oleh seorang anak, apakah itu proses di dalam diri anak itu sendiri. Anak-anak melihat dunia sekitarnya tidak sama dengan mata orang dewasa. Misalkan anak itu menerima teguran dari seorang asing di luar, nah dia bisa sekali ketakutan. Padahal tegurannya hanyalah misalkan, jangan main-main dengan bunga, jangan memetik bunga sembarangan, tapi teguran itu bisa memancing reaksi ketakutan pada anak. Atau contoh yang lain, anak melihat orang tua sakit, nah si anak itu mengembangkan ketakutan kalau-kalau orang tuanya itu akan meninggal. Jadi dengan kata lain si anak bisa mengembangkan pemikiran-pemikiran dan menyimpulkan sesuatu dengan cara yang sangat berbeda. Misalkan, si orang tua selama 3, 4 hari tidak bisa bangun, di ranjang terus. Nah, si anak bisa mengembangkan ketakutan, takut kalau-kalau orang tuanya itu akan meninggal dunia. Atau dia itu sering main dengan neneknya, kemudian neneknya tidak pulang selama beberapa hari. Diberitahukan kepada dia bahwa neneknya itu tinggal di rumah siapa, nah dia bisa saja mengembangkan ketakutan kalau-kalau neneknya nanti di rumah saudaranya yang lain mengalami kecelakaan, meninggal dunia dan sebagainya. Itu sebabnya penting sekali orang tua memberikan penjelasan terhadap peristiwa yang tidak dimengerti oleh anak, agar anak tidak menarik kesimpulan yang keliru dan irasional.
GS : Mungkin yang sulit itu menjelaskannya, karena kita harus menjelaskan dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh anak itu.

PG : Betul sekali, jadi bahasanya memang harus sangat konkret. Misalkan kita berkata kepada anak itu, "Mama tidak apa-apa, mama itu hanya sakit 3 hari karena mama ingin istirahat; kamu pernah cpek atau tidak? "Pernah", "Kalau capek apa yang ingin kamu lakukan?" "Tidur", "Nah, mama juga begitu, mama sedang capek dan mama perlu beristirahat dan tidur.

Nanti 3 hari kemudian mama akan sehat (misalkan ini hari Senin) hari Kamis ya kamu lihat mama akan sehat kembali." Jadi utarakanlah atau berikan penjelasan dengan kata-kata yang sederhana dan dengan sekonkret mungkin.
WL : Pak Paul, berdasarkan penjelasan tadi berarti dunia sekitar atau lingkungan sekitar anak itu sangat mempengaruhi bagaimana anak itu bereaksi takut atau tidak. Nah, pertanyaan saya, kalau seorang anak hidup di tengah-tengah keluarga misalnya orang tuanya sedikit-sedikit ketakutan, untuk hal-hal kecil juga takut, nah itu dampaknya bagaimana terhadap anak tersebut?

PG : Saya kira ketakutan orang tua itu langsung tertransfer, dipindahkan pada si anak. Jadi orang tua yang memang mencemaskan banyak hal cenderung menularkan kecemasannya itu pada anak, sehingg si anak pun pada akhirnya mencemaskan banyak hal.

Jadi saya setuju dengan pengamatan Ibu Wulan, memang ada pengaruhnya.
WL : Ada bedanya atau tidak Pak Paul, pada orang dewasa 'kan kita bisa membedakan antara kecemasan dan ketakutan, hal yang riil atau tidak riil, nah, untuk anak apakah semua itu menjadi sama karena mereka memang belum bertumbuh sekompleks seperti orang dewasa atau bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira pada usia yang lebih muda memang ketakutan anak lebih irasional, lebih kekurangan data objektifitasnya. Tapi pada masa anak-anak lebih dewasa, misalkan sudah mulai menginjak usia9, 10 tahun, seyogyanya ketakutan anak itu lebih riil sehingga kita katakan memiliki objek yang bersentuhan dengan realitas.

GS : Pak Paul, makin anak itu besar dia mulai bisa membaca, dia menonton TV dan sebagainya. Kita juga tahu melalui bacaan atau melalui TV itu kadang-kadang ada pengaruh yang negatif, karena ditakut-takuti, setan atau tokoh-tokoh yang fiktif, menakutkan, itu pengaruhnya seberapa besar Pak?

PG : Pengaruhnya besar Pak Gunawan. Saya telah menemukan beberapa kasus orang dewasa yang sampai dewasa memiliki ketakutan. Dan ternyata mereka mengalami ketakutan itu sejak kecil. Sewaktu sayabertanya apa yang terjadi, rata-rata mereka mengatakan sewaktu kecil mereka disuguhkan kisah-kisah yang menyeramkan, tentang dunia orang mati, tentang dunia setan dan sebagainya.

Nah, pada masa kecil itu anak-anak itu belum bisa mencerna bahwa ini adalah sebuah kisah yang tidak memiliki realitasnya. Namun anak-anak itu mendengarkannya karena terpaksa, dan karena ada rasa ingin tahu maka mereka mendengarkan kisah-kisah yang menyeramkan ini. Wah.....dampaknya bisa sangat berat. Memang ada sebagian anak yang mendengarkan kisah seperti ini, akhirnya bisa melewatkan dan melupakannya. Tapi bagi anak-anak yang mempunyai kepekaan, yang perasaannya memang halus, mudah sekali mengingat dan sukar sekali untuk melupakannya. Jadi akhirnya kisah-kisah yang menyeramkan itu terus-menerus berputar dalam benaknya. Waktu dia ingin tidur kamarnya gelap, dia bisa berteriak ketakutan, waktu dia ingin ke kamar kecil tapi dia melihat kamar kecil itu seolah-olah ada lubang, dia takut dari lubang itu akan keluar makhluk atau apa. Dengan kata lain si anak akhirnya mengembangkan fantasi yang liar, yang memang ada sumbernya. Sumbernya adalah kisah-kisah yang menyeramkan itu. Maka, saya menghimbau kepada orang tua, anak harus dilindungi dari kisah-kisah yang menyeramkan. Sebab apa yang sudah terekam oleh anak, akan sukar dihapus dari memorinya. Jadi sebaiknya orang tua peka melihat dengan siapa anak-anak kita bergaul. Kalau kita tahu misalkan orang-orang di sekitarnya suka menceritakan kisah-kisah yang seram atau misalkan kita melihat temannya di sekolah mulai menceritakan kisah-kisah yang seram, kita harus berusaha dengan aktif melindungi anak kita dari anak itu. Misalkan, kita berani ke sekolah dan berkata kepada anak itu, "jangan lagi menceritakan hal ini kepada anak saya." Sekali lagi yang mau kita lindungi adalah diri anak kita.
WL : Pak Paul, beberapa kali saya melihat film yang menayangkan, ada anak itu berdiri takut, tegang atau ada yang bersembunyi di balik pintu melihat konflik atau pertengkaran kedua orang tuanya. Dan mungkin secara teori memang benar juga, tapi kaitannya bagaimana Pak antara konflik orang tua sampai anak itu seperti itu?

PG : Konflik menimbulkan ketegangan, Ibu Wulan, kita saja orang dewasa kalau diperhadapkan dengan konflik pasti tidak nyaman dan tegang, nah anak pun mengalami hal yang serupa. Tapi bedanya denan kita adalah karena kita sudah dewasa, kita masih bisa merasionalisasi atau memberikan penjelasan kepada diri sendiri.

Tapi anak-anak kecil tidak bisa memberikan penjelasan seperti itu. Nah, akhirnya ketegangan itu diserap bulat-bulat oleh si anak. Apa yang terjadi? Si anak akhirnya bertumbuh besar membawa ketegangan itu. Ketegangan sudah tentu adalah reaksi yang berlebihan, berarti kalau anak itu melihat sesuatu atau mengalami sesuatu, maka reaksi tegang itu akan berlipat ganda. Jadi akhirnya si anak bisa jadi penuh ketakutan. Ketakutan si anak bisa juga disebabkan oleh ketakutannya kehilangan orang tua, kalau-kalau nanti orang tuanya bercerai dan meninggalkan dia. Sehingga dia tiba-tiba sering menangis. Dulu tidak apa-apa ditinggal sendirian, tapi sekarang menangis; ditinggalkan di sekolah, lari mau mengikuti mamanya; ditinggalkan di rumah meski ada orang di rumah, tidak mau, akan menangis menggerung-gerung meminta orang tuanya tidak meninggalkannya. Nah, sebetulnya apa yang terjadi? Si anak ketakutan, ketakutan akan satu kemungkinan di benaknya bahwa orang tuanya itu karena tidak rukun, saling membenci maka akhirnya akan meninggalkannya. Maka, saya menghimbau kepada orang tua untuk membereskan masalah pernikahannya, dan berupaya keras melindungi anak dari konflik di antara mereka. Jangan sampai akhirnya anak-anak kita itu menyerap ketegangan-ketegangan di dalam jiwanya. Sedangkan pada masa-masa kecil itu, anak-anak tidak seharusnya menyerap ketegangan pada jiwanya.
GS : Ada anak yang ketakutan karena sering kali menjadi pelampiasan kemarahan dari ayahnya. Kalau ayahnya sedang bertengkar dengan ibunya (istri) yang belum selesai, kemudian anaknya yang ada di dekatnya dipukul.

PG : Sering kali anak-anak menjadi sasaran kemarahan orang tua, yang seharusnya dialamatkan pada pasangannya. Nah, ini juga bisa pada akhirnya menimbulkan ketakutan, sebab dia tahu setiap kali rang tuanya bertengkar, maka ada resiko tinggi dia akan kena getahnya.

Jadi setiap kali orang tuanya mulai berbicara dan suaranya agak keras, dia sudah ketakutan. Nah, bisa jadi dia akan memanifestasikan perilaku-perilaku yang bermasalah. Misalkan, dia mengurung diri di kamar, menyembunyikan dirinya di bawah selimut, atau ini yang klasik dan sering terjadi, malam hari sering ngompol. Karena apa? Karena ketegangan yang dibawanya itu, sehingga pada malam hari ketegangan itu mengeluarkan wujudnya dalam bentuk ngompol.
WL : Berarti sebaiknya kalau ada pertengkaran atau konflik, jangan diperlihatkan di depan anak-anak. Atau ada kemungkinan lain Pak Paul, saya pernah membaca dari buku-buku tentang dampak perceraian. Orang ini pernah mengalami dampak perceraian dari orang tuanya dan dia menceritakan, waktu kecil tidak pernah melihat atau jarang melihat orang tuanya bertengkar, konflik hebat. Tetapi tiba-tiba suatu hari seperti disambar petir, orang tuanya mengatakan kami akan bercerai. Menurut Pak Paul, mana yang lebih baik, memang di satu sisi berani melakukan di depan anak tapi akhirnya menimbulkan ketakutan. Di sisi yang lain ada dampak yang negatif juga Pak Paul?

PG : Tidak bertengkar di depan anak dan tiba-tiba bercerai, sudah tentu akan mengejutkan si anak, dia akan mengalami kehilangan yang sangat besar. Nah ini dapat diidentikkan dengan reaksi berduacita karena kehilangan seseorang secara mendadak, nah itulah yang dialami oleh si anak.

Dia mungkin akan sedih sekali, dia menangis, dan kehidupannya akan mengalami goncangan untuk beberapa waktu. Tapi dampaknya tidak sama dengan anak-anak yang diperhadapkan terus-menerus dengan konflik orang tua. Karena anak-anak yang diperhadapkan terus-menerus dengan konflik orang tua, sebetulnya itu sedang mengisi sanubarinya, jiwanya itu dengan ketegangan, ketakutan karena kerasnya, atau suara atau caci maki itu. Sehingga hati si anak digenangi terus-menerus dengan ketakutan. Ini biasanya efeknya akan jauh lebih panjang dan merugikan si anak, dibanding dengan anak yang tidak pernah atau jarang mendengarkan pertengkaran orang tua, bahkan kalau pun orang tua akhirnya harus berpisah.
GS : Pak Paul, ada anak yang pada awalnya tahun ajaran baru dia masuk sekolah tidak apa-apa, lancar-lancar saja. Tetapi jalan satu, dua bulan kemudian dia mogok, artinya dia tidak mau masuk sekolah lagi. Ibunya juga bingung, kenapa anaknya tiba-tiba tidak mau masuk sekolah. Biasanya kenapa Pak Paul?

PG : Biasanya anak-anak itu takut berjumpa dengan teman-temannya, sebab kenapa? Teman-temannya itu mungkin sekali menolak kehadiran dia. Dengan cara apakah teman-temannya itu menunjukkan penolaan terhadap anak kita, misalkan mengejek-ejek atau mengancam.

Anak-anak itu memang (karena kita semua manusia berdosa), bahkan sejak kecil pun kita bisa saja merugikan anak-anak lain nah salah satunya mengancam. "Mau kasih atau tidak, kalau tidak mau kasih besok habis lu." Atau "Kalau kamu tidak mau kasih, kami akan menjauhkan kamu, kami akan kucilkan kamu, kamu tidak punya teman di sini." Nah reaksi atau perlakuan teman-teman yang buruk itu akan menimbulkan ketakutan pada anak-anak. Pertanyaan berikutnya adalah kenapa teman-teman memberikan reaksi seperti itu kepada anak kita? Memang bisa jadi anak kita pun bertanggung jawab, ada andilnya. Misalkan anak kita itu membangkitkan kemarahan, menunjukkan sikap-sikap yang jelek kepada teman-temannya sehingga anak kita dikucilkan. Tapi bisa jadi juga anak kita tidak mempunyai salah apa-apa, namun anak kita menunjukkan perbedaan secara penampilan. Misalnya fisiknya, teman-temannya tinggi-tinggi nah dia kecil/tidak tinggi sehingga akhirnya menjadi bulan-bulanan teman-temannya. Teman-temannya suka berolahraga misalnya lari, petak umpet, sepak bola, dia tidak suka, dia lebih sukanya duduk membaca atau ngobrol dengan teman-temannya. Sehingga akhirnya dia menjadi objek atau sasaran ejekan, kamu tidak mau main, penakut, apa dan sebagainya. Atau ada teman-teman yang memang senangnya berkelahi, dan dia anak baru di kelas itu, langsung ditantang berkelahi. Dan selama dia tidak mau meladeni, setiap hari dia masuk ke sekolah ditantang berkelahi, akhirnya dia mengembangkan ketakutan, karena besok dia harus berjumpa dengan teman-teman yang menganiayanya itu. Itu sebabnya saya menghimbau kepada orang tua, kita perlu menjalin komunikasi yang baik dengan anak tanpa menyalahkannya agar dia berani bercerita tentang lingkungannya. Adakalanya kita itu mendengar anak kita menuturkan pengalaman di sekolahnya, bahwa ada teman-temannya yang mulai jahat kepadanya; bukannya kita bersimpati dengan anak kita, malah kita memarahinya. "Kamu penakut, masa begitu saja kamu diam, lawan, kamu beritahu guru kamu." Atau kita berkata, "Pokoknya besok papa-mama akan ke sekolah, kami akan beritahu guru kamu." Nah si anak akan makin ketakutan, sebab dia berpikir kalau papa-mama datang ngomong dengan guru dan guru tegur temannya, setelah itu temannya bebas membalas kepada dia waktu orang tuanya tidak ada di situ, sementara gurunya tidak selalu dapat melihat dia maka dia makin ketakutan. Akhirnya si anak tidak berani cerita kepada orang tua, pengalaman buruk seperti apa pun di sekolah, dia simpan sendiri. Tapi dia makin takut, kecuali dia berhasil melawannya barulah tumbuh keberanian. Tapi kalau dia tidak bisa melawannya berarti dia setiap hari masuk ke sekolah akan dirundung oleh ketakutan itu.
WL : Pak Paul, kalau tadi pengaruh dari teman-teman yang setara. Ada atau tidak pengaruh dari guru itu sendiri. Misalkan pada suatu hari dia salah atau tidak salah dia dihukum, tiba-tiba besoknya dia tidak berani ke sekolah atau pengaruh yang lain. Menurut Pak Paul bagaimana?

PG : Saya kira besar sekali pengaruhnya Ibu Wulan, karena sebetulnya anak-anak itu setiap hari diperhadapkan dengan tekanan akademik. Karena setiap hari dia sekolah dia akan mendapatkan penilain, berarti apa? Dia bisa berhasil, dia bisa juga gagal.

Kalau kebetulan dia berhasil dia bisa mengatasi tuntutan akademik ya tidak apa-apa, tapi kalau misalkan dia tidak bisa mengatasi tuntutan akademik itu, wah itu akan mencemaskannya. Setiap hari dia ke sekolah dia takut, dia takut nanti gurunya akan bertanya dia tidak bisa menjawab, dia bungkam, mukanya memerah, malu. Belum lagi kalau kadang-kadang teman-temannya mulai ketawa-ketawa dia tidak bisa menjawab. Apalagi kalau gurunya misalkan kurang profesional, kurang dewasa, malah mempermalukan anak itu yang tidak bisa menjawab dengan benar, makin dia ketakutan. Akhirnya setiap hari dia ke sekolah dia akan minta-minta kepada orang tuanya untuk ditemani. Atau dia malah mogok ke sekolah, sebab masalahnya adalah dia takut sekali dipermalukan. Dengan kata lain kita bisa simpulkan, bahwa ketidakbisaan dan ketidakberdayaan itu merupakan perasaan yang menakutkan. Jadi sewaktu anak membayangkan, saya tidak bisa ini atau saya tidak berdaya ini dan saya harus menghadapi ketidakbisaan dan ketidakberdayaan itu, wah itu sangat mencekam sekali, sangat menakutkan. Sama dengan kita yang dewasa, kalau kita bekerja di sebuah tempat di mana kita dituntut untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa kita lakukan, saya kira setiap hari kita akan kerja kita akan cemas, kita tidak berdaya mengubahnya, kita harus hadapi, wah....itu sangat-sangat menekan kita. Inilah yang kadang-kadang juga dialami oleh anak-anak kita. Itu sebabnya saya menghimbau kepada orang tua, orang tua harus peka dengan kondisi anak agar tidak memaksakan anak masuk ke sekolah yang memiliki tuntutan di atas kemampuan anak. Jadi kalau kita tahu memang anak kita tidak sanggup memenuhi tuntutan di sekolah tersebut, daripada anak kita merana lebih baik kita pindahkan ke sekolah yang memang lebih sesuai dengan kemampuannya. Sehingga waktu dia ke sekolah di pagi hari itu, dia akan memiliki kepercayaan diri bahwa dia bisa menghadapi tuntutannya.
GS : Pak Paul, ada beberapa orang yang memang mempunyai ketakutan yang berlebihan, yang kita kenal dengan phobia. Nah, apakah itu sejak kecil bisa menyerang anak?

PG : Bisa, misalkan suatu kali anak itu sedang duduk-duduk, tenang, kemudian dia melihat ular, dia sangat takut sekali karena ular itu dekat dengan dia. Dia berteriak, dia menangis ketakutan, tpi akhirnya dia bisa ditolong dan ular itu bisa dihalau.

Tapi ingatan tersebut itu cukup memberikan trauma dalam jiwanya. Sehingga setiap kali dia melihat ular, dia ketakutan. Nah lama-lama trauma itu bisa berkembang, kalau misalnya tidak sembuh. Berkembangnya seperti apa? Setiap kali kalau dia melihat ada sepertinya benda panjang dan melilit, dia akan ketakutan. Sebab dia akan identikkan itu dengan ular. Atau yang klasik yang sering kali dialami oleh anak-anak adalah takut akan kegelapan. Misalkan orang tuanya salah menghadapinya, waktu anak itu menangis karena mungkin (tadi kita sudah bahas) karena fantasinya yang irasional dan sebagainya dia ketakutan dan dia menangis. Orang tua datang bukan menghibur, menemani, malah memukuli si anak, memarahi si anak, karena mengganggu adiknya yang sedang tidur. Nah itu bisa menimbulkan luka yang dalam pada si anak dan membuat dia tambah ketakutan dengan kegelapan. Setiap kali lampu itu dimatikan, dia ketakutan luar biasa dan dia harus tidur dalam ketakutan, nah itu akan dia bawa dalam waktu yang sangat lama. Bisa jadi sampai usia dewasa pun kalau tidur, lampu harus tetap menyala karena dia sudah mengembangkan ketakutan irasional alias phobia terhadap kegelapan itu.
WL : Pak Paul, akhir-akhir ini di mana-mana banyak terjadi kerusuhan, sebetulnya pasca kerusuhan itu berdampak besar atau tidak terhadap anak-anak. Biasanya yang kita perhatikan kebanyakan orang dewasa, anak-anak itu sepertinya tidak terpikir apa dampaknya. Kerusuhan, kebakaran atau peristiwa-peristiwa yang besar begitu Pak Paul?

PG : Sangat bisa, karena seperti yang tadi kita bahas, anak melihat dunia sekitarnya dengan mata yang berbeda dari orang dewasa. Kita saja ketakutan apalagi anak-anak, dia melihat keramaian, di melihat orang berteriak, dia melihat api menjilat, dia bisa mengembangkan ketakutan yang luar biasa besarnya.

Karena dia berpikir, ini pasti akan menyambar rumah kami, ini pasti juga akan menyerang rumah kami. Sehingga dari kecil dia sudah membawa ketakutan itu, sehingga waktu besar dia misalkan waktu dia bersama-sama dengan teman-teman sedang jalan-jalan, tiba-tiba dia melihat orang datang ramai-ramai, dia bisa sangat lemas sekali, dia menjadi sangat ketakutan. Nah, dia sendiri tidak mengerti kenapa begitu, bisa jadi itu disebabkan oleh peristiwa yang awal itu.
GS : Nah, Pak Paul kita sebagai orang tua tentu dituntut untuk memahami akan ketakutan anak ini. Tetapi apakah ada firman Tuhan yang bisa memberikan bimbingan kepada kita dalam hal ini Pak?

PG : Ada firman Tuhan di Amsal 15:33 yang berkata, "Takut akan Tuhan adalah didikan yang mendatangkan hikmat,..." Jadi anak-anak itu perlu dididik untuk takut akan Tuhan dan beranimenghadapi apa pun.

Jadi kita tanamkan Tuhan yang perlu kita takuti, selain dari Tuhan kalau kita tahu kita benar, kita tidak perlu takut. Ketakutan itu mesti dihilangkan melalui pendampingan atau penyertaan. Jadi jangan kita itu memarahi si anak sewaktu dia takut, atau menambahkan ketakutan si anak dengan ancaman kita, itu tidak menyelesaikan masalah. Justru kita mau menekankan pada si anak bahwa Tuhan besertamu, dan papa-mama juga akan menyertaimu. Nah penyertaan Tuhan dan penyertaan orang tua itu yang harus kita berikan kepada anak-anak, sehingga dia berani menghadapi apa pun yang menjadi ketakutannya. Kita selalu ingatkan Tuhan melihat, Tuhan memandang, Tuhan bersama meskipun kita tidak bisa melihatnya dengan kasat mata. Nah hal-hal seperti itu makin menghibur dan memperkuat si anak.
GS : Pengertian takut akan Tuhan sendiri, itu menumbuhkan rasa hormat kepada Tuhan ya Pak Paul?

PG : Betul, hormat kepada Tuhan dan takut terhadap dosa, karena Tuhan nanti melihat dan mengawasi. Jadi itulah yang kita tekankan kepada anak, sehingga sejak kecil anak-anak sudah mempunyai konep yang jelas bahwa satu-satunya yang perlu kita takuti adalah Tuhan yaitu jangan sampai berdosa.

Yang lain-lainnya kalau kita tahu kita benar kita tidak usah merasa takut.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan kali ini yang tentunya sangat berguna bagi kita sekalian. Juga Ibu Wulan, terima kasih untuk kebersamaan ibu. Dan para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak dan Ketakutan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



32. Anak yang Tidak Kenal Takut


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T156B (File MP3 T156B)


Abstrak:

Sebagian anak sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk tidak mengenal takut. Ciri-cirinya adalah keras kepala, tidak mudah mendengar atau menaati perintah orangtua, tidak takut ancaman, tidak takut bahaya dan cenderung menyerempet bahaya.


Ringkasan:

Sebagian anak sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk tidak mengenal takut. Ciri-cirinya adalah keras kepala, tidak mudah mendengar atau menaati perintah orangtua, tidak takut ancaman, tidak takut bahaya dan cenderung menyerempet bahaya.

Apa yang orangtua harus lakukan?

  1. Terima keunikan anak dan jangan memandangnya sebagai masalah. Memperlakukannya sebagai problem malah makin menggiringnya menjadi problem. Ingat, ia sendiri tidak tahu mengapa ia menjadi seperti itu; dipersalahkan karena kondisinya makin membuatnya frustrasi dan ini makin mendorongnya untuk lepas kendali.

  2. Buatlah garis pembatas yang luas; dengan kata lain, jangan membatasi ruang geraknya terlalu sempit karena ini hanya akan memancingnya untuk melanggar batas. Berkatalah "tidak" hanya untuk hal-hal yang memang tidak dapat dikompromikan lagi. Terlalu banyak "tidak" malah membuatnya menabrak rambu.

  3. Upayakan untuk selalu memberi kejelasan antara apa yang diharapkan dan apa yang tidak diharapkan. Ia harus mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

  4. Upayakan untuk memberinya peringatan akan sanksi yang harus ditanggungnya sebelum pelanggaran terjadi.

  5. Jangan lupa untuk menyampaikan pujian atas pencapaiannya.

  6. Didik anak untuk tenggang rasa dengan pikiran dan perasaan orang lain. Kita tidak perlu menciptakan rasa takut dalam dirinya, yang penting adalah ia dapat mengerti perasaan orang lain dan menguasai diri.

Firman Tuhan: "Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati." Amsal 16:2


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini bersama dengan Ibu Wulan, S.Th kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak yang tidak Kenal Takut", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita berbincang-bincang tentang anak dan ketakutannya, tetapi rupa-rupanya ada beberapa anak yang istimewa yang memang tidak kenal takut. Sampai pada saat-saat tertentu kita tahu bahwa itu berbahaya buat dia, misalnya naik ke atap yang tinggi, dia enak saja. Kemungkinan bisa juga bersaudara, ada kakaknya yang penakut, adiknya tidak kenal takut kok bisa begitu bagaimana Pak Paul?

PG : Inilah anak-anak yang kita katakan berurat baja, sehingga rasa takutnya sangat tipis. Pada umumnya anak-anak yang sangat aktif atau bisa kita golongkan masuk dalam kategori "Attention-Defiit Hyperactivity Disorder" gangguan tidak bisa berkonsentrasi dan hiperaktif.

Nah, umumnya anak-anak yang seperti ini rasa takutnya memang sangat tipis, alias rasa beraninya itu sangat besar. Sehingga tidak bisa lagi membedakan antara apakah ini membahayakan atau tidak. Anak-anak yang takut adalah anak-anak yang terlalu peka dengan derajat bahaya, kalau dia melihat sesuatu dia langsung ukur berapa berbahayanya. Kalau anak-anak yang tidak kenal takut kebalikannya, melihat bahaya sekalipun tapi tidak memandangnya itu sebagai bahaya. Ada beberapa ciri-cirinya Pak Gunawan, yang bisa kita kenali anak-anak seperti ini. Misalnya cenderung keras kepala, tidak mudah untuk kita mintai tolong atau kita nasihati atau kita tegur. Kalau sudah yakin dengan pendapatnya, maunya ke sana tidak bisa dicegah. Tidak mudah untuk menaati perintah orang tua, misalkan kita tegur dengan keras, tetap saja dia kerjakan apa yang ingin dia kerjakan. Benar-benar suara kita, mata kita yang membelalak itu seolah-olah tidak berdampak pada jantungnya, jantungnya tetap berdegup dengan normal. Atau yang lainnya lagi adalah tidak takut bahaya, tidak takut ancaman dan cenderung justru menyerempet bahaya. Sebab sebetulnya bagi mereka bahaya itu sesuatu yang menarik, sesuatu yang dinamis, membangkitkan keingintahuannya. Dan untuk mendapatkan informasi akan keingintahuannya itu, dia akan rela untuk menempuh bahaya. Sebab sekali lagi kita memanggilnya bahaya, anak itu sendiri tidak memanggilnya bahaya. Jadi memang adanya perbedaan persepsi tentang bahaya; buat kebanyakan orang, ini membahayakan, buat anak-anak yang tidak kenal takut mereka tidak melihatnya sebagai bahaya, itu sebabnya mereka tidak takut.
WL : Pak Paul, tadi yang pak Gunawan katakan antara dua saudara bisa seperti itu, saya alami sendiri. Saya dengan kakak saya derajatnya benar-benar terbalik. Dia benar-benar bisa merasa exciting, menikmati hal-hal yang seperti itu. Bagi orang itu hal-hal yang menakutkan, dia malah ketawa-ketawa, menikmati. Nah, sementara saya jangankan menikmati, melihat saja jantung saya mau copot. Tapi kakak saya bukan termasuk "Attention-Deficit Hyperactivity Disorder" apakah memang ada orang yang tidak termasuk itu tapi tidak kenal takut?

PG : Saya kira secara fisiologis, anak-anak ini mempunyai jantung yang kuat, jadi secara fisik jantungnya kuat. Karena ketakutan itu langsung mempengaruhi kinerja jantung, waktu kita takut jantng itu akan berdegup.

Ada anak-anak yang memang dilahirkan dengan jantung yang sangat kuat; pompa satu kali, darah itu sudah langsung mengalir ke mana-mana. Ada anak-anak yang lahir dengan jantung yang tidak sekuat itu; dipompa beberapa kali, baru darah itu bersirkulasi di tubuh kita. Akibatnya waktu kita mengalami ketegangan, benar-benar kita merasakan pada jantung kita, sebab jantung kita langsung berdetak. Sedangkan pada anak-anak yang tidak kenal takut ini, jantungnya itu tidak memberikan reaksi secepat itu, alias dia memang tidak mendengarkan detak jantungnya yang berdegup dengan cepat, biasa saja, maka dia tidak takut. Tapi saya mau perjelas lagi, sebetulnya anak-anak ini mempunyai rasa takut dan bisa takut, namun yang ingin saya tekankan adalah persepsinya atau pandangannya tentang bahaya itu yang berbeda dengan orang kebanyakan. Sehingga karena baginya ini tidak berbahaya, maka dia tidak takut. Kalau memang ini dianggap sangat berbahaya, dia bisa jadi sangat takut. Tapi memang untuk dia melihat sesuatu itu sebagai hal yang membahayakan itu memang tidak sering, itu yang menjadi masalah.
GS : Apakah juga terkait dengan rasa percaya diri, jadi yang mempunyai rasa percaya diri katakan berlebihan, dia tidak takut?

PG : Ya, itu saya kira akan berpengaruh juga, karena rasa percaya diri yang kuat itu membuat dia lebih berani menerjang resiko.

GS : Sekarang kita sebagai orang tua, menghadapi anak-anak yang seperti itu juga pusing. Orang tua tidak ada yang ditakuti, bahaya di luar juga rasanya tidak takut, tapi kita yang malah takut. Kemudian bagaimana sebaiknya kita bersikap, Pak Paul?

PG : Pertama, kita harus menerima keunikan anak kita dan jangan memandangnya sebagai masalah. Artinya apa? Jangan kita itu memperlakukannya sebagai problem, ketidaktakutannya itu, kecenderunganya untuk menyerempet bahaya itu sebagai problem.

Karena apa? Kalau kita sudah mulai memandangnya sebagai problem, kita makin menggiringnya menjadi problem, sehingga dia lama-lama merasa bahwa dirinya itu masalah. Keunikannya ini sesuatu yang sakit, yang tidak normal, nah saya merasa ini tidak sehat. Jadi pada awalnya orang tua diharapkan menerima keunikan anak itu dan jangan memperlakukan si anak dengan keberaniannya itu sebagai sebuah problem. Ingatlah bahwa anak itu sendiri tidak tahu mengapa dirinya menjadi seperti itu, dia tidak meminta untuk menjadi seperti itu, dia lahir sudah seperti itu. Jadi dipersalahkan karena kondisinya itu, makin membuatnya frustrasi dan ini makin mendorongnya untuk lepas kendali. Karena dipersalahkan, karena dia sendiri tidak tahu kenapa dia begitu berani. Adiknya dipanggil sekali dengan bentakan langsung datang dan mengerjakan yang ibunya minta, kalau dia tidak. Ibunya memanggil dia dan membentak dia sepuluh kali, dia tidak merasakan dia harus datang kepada ibunya. Kenapa? Karena dia tidak merasakan adanya panggilan dan ketakutan untuk menaati ibunya. Nah kalau orang tua langsung menge-cap dia atau melabelkan dia sebagai problem, saya khawatir anak ini nantinya benar-benar menjadi problem. Jadi kita akui, "Kamu anak yang unik, Tuhan sudah mengaruniakan kepada kamu keberanian, itu sebabnya kamu tidak gampang takut. Dan ini nanti akan sangat menolong kamu dalam hidup, kamu tidak gampang ditakuti oleh apa yang terjadi dan Tuhan bisa memakai kamu nanti mengerjakan pekerjaan Tuhan. Karena kamu bukan orang yang mudah mundur, kamu orang yang tabah." Justru kita mau tekankan bahwa keunikannya ini sebagai sesuatu yang Tuhan berikan dan nanti Tuhan dapat gunakan untuk kepentingan Tuhan. Sehingga dia melihat dirinya sebagai anak yang normal, bukan anak yang abnormal yang harus diubah, dikoreksi, dipermak lagi supaya lebih baik, tidak. Yang kita nanti akan lakukan adalah mengarahkannya, bukan menciptakan seorang anak yang baru.
GS : Tadi Pak Paul katakan, yang berbeda adalah tentang pandangan dia terhadap bahaya. Apakah kita sebagai orang tua dapat mengarahkan atau meluruskan pandangan yang bahaya itu seperti apa?

PG : Bisa, dan ini adalah tugas kita Pak Gunawan, jadi sering-seringlah kita memberikan penjelasan dengan nada yang baik, bukan dengan nada memarahi. Bahwa, "kalau engkau main api, nanti api in bisa membakar dan membakar kertas yang seperti ini bisa membakar karpet yang seperti ini".

Mungkin sekali-kali kita tunjukkan, kertas kecil gara-gara dibakar menyambar kertas yang lebih besar, kertas yang lebih besar bisa membakar kertas yang lebih besar lagi. Dan akhirnya bisa membakar satu rumah, dan kalau satu rumah terbakar kita katakan, "engkau tidur di mana? Kami tidur di mana? Mainanmu akan ke mana? Habis semua, baju-bajumu akan habis juga." Nah kita berikan penjelasan seperti itu kepada si anak, sehingga dia bisa memahami o.....bahayanya seperti itu. Karena memang dia tidak mudah melihatnya.
WL : Pak Paul, kalau Pak Paul tadi sudah katakan kita sebagai orang tua belajar menerima keunikan anak seperti itu. Walaupun misalnya sebagai orang tua juga khawatir dan jantungan. Atau bagaimana, belajar menerimanya itu sebatas kita diamkan atau kita dorong semakin memberikan dia semangat, atau diarahkan misalnya dia diberikan kegiatan-kegiatan yang memang bagi kita sebenarnya "mengerikan". Misalnya kelak menjadi pemanjat tebing, sesuatu yang menantang-menantang atau bagaimana menurut pendapat Pak Paul?

PG : Saya kira pada akhirnya kita memang harus menerima kondisi anak kita yang tidak suka dengan olahraga yang membosankan, yang tidak ada unsur tandingnya, tidak ada unsur kompetisinya, yang tdak mengeluarkan tenaga.

Jadi kita memang harus menerima bahwa dia akan senang dengan olahraga-olahraga yang lebih aktif, yang lebih menggunakan kekuatan fisik, dan ada unsur kompetitifnya. Jadi biarkan, asalkan kita terus bimbing dia dan arahkan, memberikan penjelasan tentang apa itu bahaya.
GS : Pak Paul, anak-anak seperti ini biasanya suka aktif sekali; lari ke sana-ke sini. Nah apa yang bisa kita lakukan?

PG : Kita memang harus memberikan dia ruang untuk bisa lari, jadi jangan kita itu membatasi anak secara berlebihan alias kita membuat garis pembatas yang lebih luas, jangan kita memperkecil ruag geraknya.

Sedikit-sedikit tidak boleh, sedikit-sedikit tidak boleh, akhirnya karena sedikit-sedikit tidak boleh, si anak itu meledak, dia malah memberontak. Jadi saya minta, berkatalah 'tidak' hanya untuk hal-hal yang memang tidak dapat dikompromikan lagi. Misalnya, dia ingin menyakiti binatang, kita katakan, "Jangan, sebab kalau kamu disakiti seperti ini, rasanya bagaimana, atau kalau papa atau mama disakiti seperti itu rasanya bagaimana. Nah, binatang pun bisa merasakan sakit, bukan hanya binatang itu hanya terdiri dari kulit dan tidak bisa merasakan sakit." Kita berikan penjelasan seperti itu. Jadi sebisanya, kalau masih bisa berkata 'ya' kepada anak-anak ini, katakanlah 'ya'. Hanya untuk yang benar-benar kritis, barulah kita berkata 'tidak'. Sekali lagi kenapa? Sebab terlalu banyak 'tidak', malah membuatnya ingin menabrak rambu, karena sifat anak-anak yang seperti ini yang tidak kenal takut. Jadi sekali lagi berikan ruangan yang lebih luas. Misalkan, kalau anak kita begitu berani lompat sini, lompat sana, nah sebaiknya kita jangan membeli barang pecah belah di rumah kita terlalu banyak karena hanya mencari penyakit. Karena benar-benar bukan hanya dipecah belah, tapi benar-benar pecah dan terbelah-belah barang-barang kita. Atau kalau bisa rumah kita jangan berloteng, karena kalau berloteng dia mungkin akan manjat dan melompat dari atas, jadi kita mencoba sesuaikan kondisi kehidupan kita dengan kondisi anak kita itu.
WL : Pak Paul, memang benar ya anak yang termasuk dalam kategori seperti ini selain berani menyerempet bahaya, dia juga mempunyai kecenderungan mau menyakiti binatang dan sebagainya. Apakah itu pada dasarnya rasa belas kasihan dalam diri anak seperti ini agak tipis dibandingkan dengan orang pada umumnya?

PG : Betul sekali, anak-anak ini memang tidak dengan mudah merasakan kasihan atau iba. Jadi untuk dia bisa memahami bahwa tindakannya itu menyakiti orang, akan sukar. Sebab bagi dia itu biasa dn yang membuat dia ingin melakukannya adalah ini menyenangkan.

Waktu orang kesakitan, itu membawa sukacita tertentu, jadi anak-anak seperti ini misalkan melihat temannya terjatuh, dia bisa terpingkal-pingkal tertawa. Kenapa? Sebab melihat seseorang jatuh itu sesuatu yang beda, jadi menggugah dia, menyenangkan dia dan menarik bagi dia.
GS : Tetapi kita sebagai orang tua tetap harus memberikan garis itu tadi Pak Paul, supaya dia juga tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dia lakukan.

PG : Betul, di sini diperlukan kejelasan, apa itu yang orang tua harapkan dan apa itu yang orang tua tidak harapkan, jadi orang tua jangan sampai memberi kesan samar-samar. Ini sebetulnya ya tiak boleh atau boleh, tidak; "tidak boleh ya tidak boleh, jangan ya jangan.

Ini yang kami harapkan dari engkau," itu pun harus disampaikan kepada anak. Sebab anak-anak yang tidak kenal takut, sangat memerlukan suatu instruksi atau standar yang jelas. Ketidakjelasan membuat anak ini akhirnya tidak peduli dengan apa pun yang orang tuanya harapkan, dia akan tabrak semuanya. Jadi selalu kita jelaskan, ini yang diharapkan dan kalau tak dilakukan, maka ini sanksinya. Hal seperti itu perlu dikomunikasikan kepada anak-anak yang tidak kenal takut ini.
GS : Berarti sanksi itu masih tetap dibutuhkan oleh anak ini, Pak?

PG : Tepat sekali, jadi kita upayakan untuk selalu memberikan peringatan sebelum perbuatannya itu dilakukan olehnya. Kalau sudah dilakukan baru kita memberi peringatan ya percuma. Misalkan kitaberkata, "Jangan naik-naik, kalau kamu naik ke sini, nanti kami berikan hukuman.

Misalkan, kamu harus masuk ke kamar tidak boleh keluar selama setengah jam." Nah kita sudah beritahukan hal itu sebelum dia naik-naik ke atas tangga atau ke mana atau ke loteng, nah akhirnya waktu dia melanggar, kita katakan, "Tadi saya sudah katakan, kalau engkau melakukan ini, maka inilah sanksinya; sekarang engkau masuk ke kamar." Jadi ketegasan yang konsisten menolong si anak yang tidak kenal takut ini untuk hidup di dalam pagar yang jelas. Karena memang mereka itu memerlukan pagar yang jelas, nah itu sebabnya kalau ada anak yang tidak kenal takut kemudian orang tuanya bermasalah sehingga tidak bisa mengawasi anak dengan baik, memang anak ini tambah liar. Benar-benar itu menjadi lahan yang subur untuk anak ini tambah liar, kalau orang tuanya tidak lagi berwibawa, tidak lagi konsisten karena ada masalah di antara mereka sendiri.
WL : Pak Paul, ada kemungkinan atau tidak waktu kecil tidak begitu kelihatan sikap yang seperti ini, sangat tidak takut terhadap bahaya dan sebagainya. Tapi waktu remaja (saya menemukan anak remaja) yang benar-benar sangat ekstrim seperti ini. Misalnya di tikungan-tikungan yang berbahaya di daerah Puncak, bisa naik motor itu dengan lututnya itu sampai menyentuh aspal. Kemudian waktu terjadi kecelakaan, waktu kami jenguk di rumah sakit ternyata menangis, walaupun laki, ternyata ada masalah dengan orang tuanya. Atau ada juga yang lain, memang benar-benar ingin menunjukkan 'siapa saya' dan sebagainya. Itu apa yang terjadi, sebenarnya pada waktu kecil tidak seperti ini, Pak Paul?

PG : Saya cenderung mengatakan bahwa kalau anak-anak ini baru mengembangkan perilaku beresikonya ini pada usia remaja, itu lebih disebabkan oleh kondisi eksternal bukan kondisi internal pada diinya.

Misalkan, memang adanya keperluan untuk menonjolkan diri, untuk setara dengan teman-temannya bahwa saya juga berani. Atau lagi frustrasi misalnya putus pacar, orang tuanya di rumah konflik, nah itu bisa memicu tindakan-tindakan anak yang riskan, yang menyerempet bahaya, kalau anak-anak itu pada masa kecilnya memang tidak seperti itu. Jadi anak-anak yang tidak kenal takut ini umumnya dari kecil memang sudah demikian, kelihatan sekali dari kecil itu sangat berani sekali. Naik-turun tangga, tidak bisa jalan harus cepat atau kadang-kadang dia meluncur dari atas ke bawah atau dia akan bergelayutan dan dia akan lompat. Benar-benar bagi dia ini tidak membahayakan, sekali lagi ini memang masalah persepsi, bagi dia ini menyenangkan. Bagi kita yang melihatnya takut karena membahayakan.
GS : Secara tidak langsung, dengan demikian dia tidak mau perhatian dengan perasaan orang lain termasuk orang tuanya. Kalau orang tuanya merasa ketakutan, dia pun tidak merasa perlu untuk perhatian terhadap ketakutan orang tuanya itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali, karena dia memang memiliki perasaan yang tidak terlalu peka. Jadi anak-anak yang memang peka dan halus, mudah sekali membaca reaksi orang dan mencoba memahami perasaan orang,kalau anak-anak ini tidak.

Jadi kemampuan untuk tenggang rasa juga lemah, ini harus kita akui. Tenggang rasa, artinya kalau saya berbuat ini kepadamu, saya sengkak kamu, kamu akan jatuh dan kamu akan sakit, nah itu kurang dalam dirinya. Tenggang rasanya memang tidak ada, itu sebabnya kalau kita mempunyai anak seperti ini, penting sekali kita mengajarnya untuk mengerti perasaan anak-anak lain atau perasaan orang lain. Misalnya dengan cara apa, waktu kita menonton televisi, kita melihat seseorang dilukai kita memberikan komentar kasihan orang itu ya, kok bisa dilukai seperti itu dia pasti sedih sekali. Atau misalkan ada film, anak yang ditinggal oleh orang tuanya, kita kemudian memberikan komentar juga, "anak itu kok kasihan, orang tuanya tega meninggalkan dia." Nah, sering-seringlah kita mengajarkan hal seperti itu, dan juga dari kecil kita ajak anak itu untuk dekat dengan Tuhan. Supaya anak itu meskipun pada dasarnya tidak kenal takut, namun dari kecil dia sudah mulai tenggang rasa kepada Tuhan, mau hormat kepada Tuhan, dan takut akan Tuhan.
GS : Saya melihat ada beberapa orang tua yang malah bangganya berlebihan mempunyai anak seperti ini. Dia ceritakan kepada temannya tanpa menghiraukan bahwa pujiannya itu bisa memicu anak ini semakin berlebihan.

PG : Betul sekali, jadi orang tua perlu memuji si anak untuk memang hal-hal yang positif yang dilakukan oleh si anak. Karena anak-anak yang tanpa takut ini cenderung memancing reaksi omelan, teuran, dari guru, dari orang tua, dari teman-temannya.

Sedikit-sedikit orang di luar dia itu menegur dia, "kamu jangan, nanti begini." Jarang sekali dia menerima pujian, nah penting memang bagi orang tua peka untuk melihat hal ini dan penting bagi orang tua untuk menyampaikan pujian atas hal-hal positif yang dilakukannya. Namun untuk perilaku-perilakunya yang menyerempet bahaya, kita memang tidak memberikan pujian. Jadi jangan sampai kita justru di depan orang kita memuji-muji si anak yang berani lompat dari tiga meter di atas dan sebagainya. Nanti dia makin naik ke empat meter.
GS : Itu kalau hidup dengan saudaranya yang justru sebaliknya, itu agak sulit, dan bahkan dengan teman-teman yang lain pun dia merasa agak kesulitan untuk bersosialisasi, Pak Paul.

PG : Anak-anak ini akan cenderung mencari teman-teman sejenis. Jadi memang mereka itu susah sekali bergaul dengan teman-teman yang berbeda darinya. Karena teman-teman yang berbeda darinya pun, gak sukar juga bergaul dengan dia, karena dia akan mengajak teman-temannya melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya, dan mungkin teman-temannya tidak mau.

Jadi akhirnya jarak antara dia dengan teman-teman pada umumnya akan tercipta, akhirnya dia akan mencari teman-teman yang sejenisnya. Nah, masalahnya adalah dua anak yang tidak kenal takut, kalau berkumpul bersama itu menjadi kelompok yang tidak kenal takut yang lebih berbahaya lagi. Karena anak yang tidak kenal takut sendirian masih jauh lebih mendingan, dibanding kalau dia bersama dengan anak sejenis seperti dia. Itu benar-benar bisa melipatgandakan perilaku-perilaku yang penuh resiko dan menyerempet bahaya.
GS : Tapi dengan bertambahnya usia dia, apakah rasa beraninya itu juga akan berkurang, Pak Paul?

PG : Tergantung Pak Gunawan, ada anak-anak yang sampai besar pun, sampai dewasa pun tetap keinginannya menyerempet bahaya. Sebab definisi bahayanya tidak sama dengan kita, bagi dia memang tidakbahaya.

Jadi sampai usia agak tua pun tetap saja senang dengan olah raga atau hal-hal yang bersifat penuh resiko.
WL : Kalau mencari pasangan bagaimana Pak Paul? Sebaiknya yang memang sama-sama seperti itu atau dia justru butuh yang meredam dia, Pak Paul?

PG : Saya kira dia butuh mencari pasangan hidup yang bisa mengerti, sehingga tidak menjadikan keunikannya itu sebagai problem. Mengerti bahwa inilah dia dan memberikan ruang gerak yang besar keadanya sehingga dia bisa menjadi dirinya sendiri.

Tapi di pihak lain pasangannya mesti bisa memberikan penjelasan-penjelasan kepadanya. "Bahwa kalau ini terjadi, maka saya akan sangat kehilangan kamu, saya ini tidak siap hidup sendiri tanpa kamu." Nah kadang-kadang hal itu juga disampaikan kepadanya. Nanti lama-kelamaan dengan bertumbuhnya cinta, tanggung jawabnya kepada keluarga, ada kemungkinan dia mulai meredam keinginannya untuk benar-benar menyerempet bahaya dan ketakutan itu mulai muncul juga, karena dia takut kehilangan atau berpisah dengan orang yang dikasihinya.
GS : Ada banyak orang tua yang sampai kehilangan kata-kata atau kehabisan akal untuk mengatasi anak seperti ini, bagaimana firman Tuhan memberikan bimbingan kepada kita?

PG : Firman Tuhan berkata: "Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati." Amsal 16:2. Ini ayat yang saya kira perlu kita ajarkn kepada anak-anak yang tidak kenal takut, yaitu bahwa Tuhan menguji, Tuhan melihat; meskipun jalan ini, tindakan ini bagi kita betul.

Anak-anak yang tidak kenal takut, kecenderungannya untuk tidak takut kepada Tuhan juga besar. Dan sangat bergantung pada penilaiannya sendiri. Sehingga kalau tidak hati-hati, mudah sekali anak-anak ini akhirnya terlibat dalam perilaku yang bermasalah. Memakai narkoba dan sebagainya, sebab apa? Sebab begitu ditanya: "Berani tidak kamu?" Dia pasti akan menjawab berani, dia tidak akan berkata 'tidak berani' sebab memang begitu ditantang rasa berani menunjukkan dirinya itu langsung keluar. Maka dari kecil kita tanamkan Tuhan melihat, Tuhan mengawasi dan kita bertanggung jawab kepada Tuhan. Bukan hanya apa yang kita pikir, kita harus juga peka dengan apa yang Tuhan pikir, ini yang perlu kita tanamkan. Sebab kalau tidak, anak-anak ini memang hanya mendasarkan tindakannya atas pendapat atau pemikirannya saja.

GS : Saya percaya sekali bahwa firman Tuhan itu berkuasa untuk mengubah anak ini, karena Tuhan pasti mempunyai rencana tertentu dengan anak yang pemberani ini. Terima kasih sekali Pak Paul, terima kasih juga Ibu Wulan untuk perbincangan pada saat ini. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak yang tidak Kenal Takut". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



33. Membentuk Kebiasaan Anak


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T160A (File MP3 T160A)


Abstrak:

Anak selalu terbuka untuk menerima bentukan. Tinggal tergantung pada kita, orangtua, apakah kita tekun membentuknya atau tidak. Kita perlu menanamkan kebiasaan yang baik pada anak agar pada akhirnya ia dapat mengembangkan karakter yang baik pula.


Ringkasan:

Ibarat tabula rasa, anak terbuka untuk menerima bentukan. Tinggal tergantung pada kita, orang tua, apakah kita tekun membentuknya atau tidak. Pada prinsipnya, kita meyakini bahwa kebiasaan melahirkan karakter, itu sebabnya kita perlu menanamkan kebiasaan yang baik pada anak agar pada akhirnya ia dapat mengembangkan karakter yang baik pula. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa masukan bagi orang tua untuk membentuk kebiasaan anak yang positif.

  1. Dalam hal merawat diri, biasakan anak untuk sikat gigi, mandi, dan mengganti pakaian bersih secara teratur.

  2. Dalam hal makan, biasakan anak untuk makan apa yang disediakan dan jangan menanyakan, "Suka atau tidak?"

  3. Dalam hal menjaga lingkungan hidup, biasakan anak untuk membersihkan kotoran yang ditimbulkannya, merapihkan barang yang dipakainya, dan mengembalikan barang yang diambilnya ke tempat semula.

  4. Dalam hal belajar, biasakan anak untuk mencoba terlebih dahulu sebelum bertanya atau meminta bantuan.

  5. Dalam hal bersosialisasi, biasakan anak untuk:

    1. meminta maaf tatkala bersalah;
    2. mengajak,
    3. bukan hanya mau diajak, bermain;
    4. mengalah tatkala diperlukan dan bertahan jika diperlukan;
    5. bertanya karena ingin tahu bukan karena ingin diperhatikan.

  6. Dalam hal tanggung jawab, biasakan anak untuk mempersiapkan buku pelajarannya, mengambil makanannya sendiri, memakai sepatunya sendiri, dan mencari barangnya sendiri sebelum meminta orang lain mencarikan untuknya.

  7. Dalam hal berelasi, biasakan anak untuk:

    1. mengeluarkan pendapat dan hargai pendapatnya itu dan
    2. izinkan anak untuk berdiam sejenak dalam perasaannya dan jangan tergesa-gesa membuatnya merasa lega dengan segera.

  8. Dalam hal kerohanian, biasakan anak untuk beribadah bersama dan pribadi (melalui saat teduh).

Firman Tuhan: "Siapa mengabaikan didikan membuang dirinya sendiri, tetapi siapa mendengarkan teguran memperoleh akal budi." Amsal 15:33


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membentuk Kebiasaan Anak", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kalau kita melihat satu keluarga yang mempunyai beberapa anak, masing-masing anak tentunya bisa berbeda-beda sifat atau karakter atau kebiasaannya. Padahal mereka seayah dan seibu serta tinggal serumah, sebenarnya faktor apakah yang membuat seperti itu?

PG : Sudah tentu anak-anak masing-masing memang membawa karakter yang sudah merupakan kekhasannya dan tidak ada anak yang persis sama 100% dengan kakak atau adiknya. Namun Pak Gunawan, meskipunsetiap manusia itu membawa karakter dasarnya tapi manusia juga lentur untuk menerima masukan atau bentukan dari luar, terutama bentukan dari orang tuanya sendiri.

Jadi saya kira sebagai orang tua kita tidak bisa berkata: "Ya, memang dasarnya begini anak saya ini." Tidak, masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk bisa membentuk karakter anak ini.
GS : Berarti itu mesti dilakukan sedini mungkin pada saat anak-anak masih dalam tahap belajar, begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali, pada saat masih dini dan kita mulai dengan kebiasaan-kebiasaan. Karena prinsipnya adalah bahwa dari kebiasaan nanti muncul karakter. Jadi sebagian karakter bahkan mungkin sebgian besar karakter bertumbuh dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh anak.

Nah, kita tidak bisa menciptakan karakter, tapi kita bisa membentuk kebiasaan-kebiasaan anak sehingga pada akhirnya si anak dapat membangun karakter yang positif pula.
GS : Dan sebagai orang tua kita tentu ingin membentuk kebiasaan-kebiasaan yang baik di dalam diri anak-anak kita. Nah dalam hal ini apakah saran Pak Paul?

PG : Ada beberapa yang akan kita bahas Pak Gunawan. Yang pertama adalah misalkan dalam hal merawat diri, biasakan anak untuk sikat gigi, mandi dan mengganti pakaian bersih secara teratur. Janga membiarkan anak kapan dia mau sikat gigi ya sikat gigi, kapan dia tidak mau ya tidak mau, tidak.

Kita tidak berkata nanti dia akan sadar sendiri, o.....tidak, dari kecil ada waktunya dia sikat gigi, ada waktunya dia mandi, ada waktunya dia mengganti pakaian. Jangan sampai ada orang tua yang berkata: "Biarkan, dia tidak ganti pakaian, biar bajunya bau dan nanti orang-orang akan kebauan." O......tidak, ada anak-anak yang makanya tumbuh besar tidak peduli dengan berapa kotornya pakaian yang ada pada tubuhnya, nah ini akan membentuk karakter si anak juga. Maka penting sekali kebiasaan yang sederhana seperti itu dalam hal menjaga dan merawat dirinya kita tanamkan sejak usia dini.
WL : Menurut Pak Paul, seberapa besar (kalau tadi saya menangkapnya besar sekali pengaruh dari peran orang tua membentuk kebiasaan-kebiasaan sampai benar-benar membentuk hal yang positif bagi diri si anak). Seolah-olah si anak lahir putih bersih seperti teori tabula rasa. Dalam hal ini pengaruh dosa di mana, Pak Paul, bukankah setiap anak lahir tidak terhindar dari dosa?

PG : Dosa sudah tentu melebihkan atau melencengkan sesuatu yang tadinya bersifat netral. Sebagai contoh, kalau anak kita bersifat periang; senang bergaul, bersosialisasi. Karena ada dosa, dosa tu bisa melencengkan sifat yang tadinya netral itu.

Misalkan bukan hanya senang, tapi anak ini akhirnya hanya maunya senang dalam hidup tidak mau susah. Atau kalau lagi senang sampai lupa daratan, tidak mau mengenal tanggung jawabnya. Jadi pengaruh dosa adalah melencengkan atau melebihkan sesuatu yang tadinya netral.
WL : Dan justru peran orang tua dituntut di sini ya Pak?

PG : Betul, jadi peran orang tua mengurangi dampak-dampak dari dosa itu terhadap jiwa atau perilaku anak kita dengan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang positif sejak usia dini.

GS : Tadi kalau Pak Paul membicarakan tentang kebersihan, bukankah itu sangat terkait dengan lingkungannya dan terkait dengan orang tuanya sendiri. Bagaimana kalau orang tuanya itu seorang yang kurang bersihan, kemudian anaknya bisa menjadi anak yang bersihan?

PG : Memang banyak variabel yang akan mempengaruhi anak kita, jadi ada kasus-kasus di mana orang tuanya itu tidak bersih tapi anaknya bersih. Sudah tentu memang ada pengaruh luar yang membuat s anak belajar tentang manfaat dari kebersihan, itu sebabnya si anak menjadi anak yang bersih.

Namun sekali lagi tetap saya ingin tekankan bahwa kebiasaan-kebiasaan orang tua itu akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan si anak. Dan akhirnya akan mempengaruhi juga karakter anak itu. Yang lainnya lagi misalnya tentang hal makan Pak Gunawan dan Ibu Wulan, biasakan anak untuk makan apa yang disediakan dan jangan terlalu sering menanyakan kepada anak suka atau tidak makanan ini. Ada orang tua yang sejak anaknya kecil kalau disajikan makanan, orang tuanya akan bertanya kepada si anak, "Suka atau tidak, tidak suka ya kalau tidak suka ya tidak usah dimakan." Sehingga si anak sejak kecil, pada waktu dia belum bisa memilih untuk mau makan apa atau makan apa, akhirnya sudah memberikan pilihan-pilihan yang sudah tentu tidak bijaksana, karena masih kecil belum bisa memilih dengan baik. Namun pilihan yang begitu sederhana itu akhirnya mempengaruhi dia, pada usia agak besar kalau makan sangat memilih. Ini tidak mau, ini tidak suka dan akhirnya orang tuanya mengeluh kok anak saya makannya cerewet. Nah, persoalannya adalah kita yang mungkin telah menciptakan sifat cerewet makan itu. Dengan cara, pada masa kecil memberikan pilihan terlalu banyak kepada anak. Tidak semestinya, sejak masa kecil sajikan semua dan jangan tanya-tanya suka atau tidak. Biarkan dia nanti yang mencicipinya sendiri, kalau dia tidak suka dia akan katakan 'tidak suka'. Dan kita bisa berdialog dengan dia, "Tidak suka, kenapa?" Rasanya atau apa. Nah, kita katakan, "Makanan ini memang rasanya agak begini, sayuran agak pahit tapi sangat penting buat tubuh kamu, maka meskipun agak pahit tetap kamu harus makan, karena kalau tidak tubuhmu nanti kurang kuat." Jadi kita justru tekankan seperti itu. Jadi ini salah satu kebiasaan pula yang nanti berguna dalam pembentukan karakter si anak. Misalnya apa, dia menjadi anak yang lebih bisa mensyukuri apa yang disediakan di meja, dia menjadi anak yang tidak sedikit-sedikit meminta-minta hal-hal yang khusus untuk dirinya; tidak, dia bisa hidup dan beradaptasi dalam kondisi hidup yang berbeda-beda.
WL : Menurut Pak Paul, sampai usia batasan berapa ajaran yang Pak Paul tadi sampaikan harus diberikan kepada anak. Masalahnya kalau orang tidak mengerti, berpikir seolah seperti memaksa. Terus masalah kedua, saya memperhatikan beberapa bayi; ada bayi-bayi yang waktu disuapi misalnya makanan-makanan seperti sereal, tidak mau membuka mulutnya, tetap terkatup meski dipaksa pun tetap. Tapi waktu diberi makanan lain, dia mau. Nah, bayi 'kan belum bisa kita berikan pengertian, ini makanan pahit tapi berguna segala macam. Tapi di lain sisi; dari bayi, anak ini sudah seperti itu, Pak Paul?

PG : Betul, sudah tentu kita memang membawa selera yang sangat pribadi. Itu sebabnya kita pun yang sudah dewasa tidak bisa berkata bahwa kita menyukai semua makanan. Ada yang sangat kita sukai,ada yang biasa-biasa saja, ada yang tidak kita sukai, itu betul sekali.

Ada yang suka pedas, ada yang suka kurang pedas dan sebagainya. Namun yang ingin saya tekankan adalah jangan perbesar hal invidualitas ini dalam soal makanan, lebih tekankan pada nikmati, syukuri apa yang ada sehingga engkau juga bisa mensyukuri dan beradaptasi di dalam kondisi yang berbeda.
GS : Dalam hal makanan, kebanyakan anak nurun orang tuanya, karena biasanya kalau orang tua tidak suka sesuatu ya tidak akan menyediakan makanan seperti itu. Anak tidak pernah mencoba makanan yang orang tuanya tidak menyajikan itu.

PG : Nah, itu point yang baik, jadi memang sangat berpengaruh sekali, apakah orang tuanya juga sangat memilih-milih makanan. Dan kalau orang tuanya memang memilih-milih makanan, sudah tentu selksi makanannya akan terbatas dan si anak akhirnya hanya juga mempunyai selera yang terbatas pula.

Jadi bersyukurlah anak-anak yang dibesarkan oleh ayah-ibu yang mempunyai seleksi makan yang luas, sehingga si anak pun belajar untuk mencicipi dan menikmati segala jenis makanan.
GS : Memang ada kecenderungan yang saya lihat sekarang, anak kurang senang atau enggan untuk makan sayuran Pak Paul. Maunya yang daging-daging, ayam cepat saji dan sebagainya.

PG : Itu sebabnya tidak bisa tidak kita sebagai orang tua, pada masa anak-anak kecil kita mesti mengajarkan dan akhirnya memaksa anak untuk memakannya. Meskipun dia mengatakan tidak suka, pahit "Tidak, ini penting bagi tubuhmu, engkau harus makan."

Nah, lama-kelamaan sudah 5, 10 tahun dipaksa makan sayuran, lama-lama sayuran itu tidak terlalu pahit buat lidahnya dan dia bisa menerimanya.
GS : Cuma kadang-kadang kita orang tua itu tidak mau terlalu repot seperti itu. Tidak mau ini ya disediakan yang lain, daripada bertengkar hanya karena itu.

PG : Ya, saya mengerti, tapi kalau bagi saya untuk yang bisa kita abaikan ya kita abaikan dan itu tidak apa-apa. Namun secara prinsip pada umumnya, kita meminta anak untuk memakan apa yang kitasajikan di meja.

GS : Ada kebiasaan baik yang harus diajarkan lagi?

PG : Ada Pak Gunawan, yaitu di dalam hal menjaga lingkungan hidup. Sudah tentu lingkungan hidupnya anak-anak itu di rumah atau bahkan di kamarnya, di ruang tamu atau di ruang santai. Biasakan aak untuk membersihkan kotoran yang ditimbulkannya.

Misalnya tumpukan sampah, barang-barang yang berserakan akhirnya tidak bersih, ditaruh sembarangan, dia habis minum ditaruh sembarangan. Kita tidak akan membiarkan anak menaruh, mengotorkan dan kemudian berkata: "Tolong bersihkan!" Tidak, kita ajarkan anak, "Engkau yang mengotori, nah sekarang tolong engkau yang bersihkan. Sampah-sampah yang engkau ciptakan, coba sekarang engkau bersihkan; barang-barang yang berantakan, engkau tadi pakai untuk main rapikan kembali." Dan kita ajarkan anak untuk mengembalikan barang yang diambilnya ke tempat semula. Biasakan itu, jangan biarkan anak membawa barang ke mana-mana dan kemudian tidak dikembalikan. O....tidak, kita akan katakan, "Kamu kembalikan, kamu yang mengambilnya sekarang kamu kembalikan." Kenapa? Supaya orang lain nanti waktu ingin memakainya tahu di mana letaknya. Nah, kehidupan seperti ini akan menjadi kehidupan yang lebih bersih nantinya dan dia lebih bisa menjaga lingkungannya. Setiap pagi saya berjalan pagi di daerah dekat rumah saya, saya terus-terang sering kesal. Kesal kenapa, sebab saya tahu daerah dekat rumah saya itu tempat orang berjalan pagi, namun botol aqua berserakan di mana-mana. Saya pikir mereka orang terpelajar, terdidik, terbudaya, tapi kok tidak bisa mikir buang sampah seenaknya. Seolah-olah botol aqua itu akan menguap dengan sendirinya, tidak mengotori lingkungan. Nah, hal seperti ini yang kita mau ajarkan kepada anak-anak kita; mungkin saja yang jalan-jalan dekat rumah saya itu tidak pernah diajar oleh orang tuanya untuk bisa memungut sampah yang telah mereka buang, jadi dibawa kebiasaan itu sampai dia dewasa.
GS : Memang biasanya kalau anak yang diasuh pembantu, habis main-main biasanya dia menyerahkan kepada pembantunya yang membersihkan, dan pembantunya juga merasa ada pekerjaan yang harus dikerjakan.

PG : Sudah tentu akan ada hal-hal yang si anak akan minta tolong kepada pembantunya atau susternya untuk ambilkan, tapi tidak semuanya. Misalkan makan di rumah kami, piring yang setelah dipakaikembalikan ke dapur, meskipun ada pembantu yang akan bisa mengambilnya tapi kami katakan, "Tidak, kamu sudah makan, taruh kembali piring ke dapur."

Jangan biasakan anak-anak itu pada masa kecil hidup seperti raja, kalau pada masa kecil sudah seperti raja, pada saat besar seperti apa. Nah, itu bahaya yang harus kita pikirkan dari sekarang.
WL : Tapi ada keluarga-keluarga di mana orang tuanya justru memupuk atau menyuburkan hal seperti ini. Saya beberapa kali melihat misalkan anak menumpahkan sesuatu, lalu anak ini langsung teriak memanggil pembantunya. Terus saya bilang kepada orang tuanya, "Kenapa anak tidak dilatih untuk bersihkan?" kalau begitu gunanya pembantu buat apa.

PG : Nah, itu memang saya bisa mengerti, kadang kala tidak semua tumpahan itu anak yang membersihkannya, itu betul. Memang ada pembantu ya gunanya untuk juga merawat rumah dan membersihkan rumah. Namun sekali lagi kita itu juga harus merencanakan, membentuk kebiasaan anak sehingga dapat membentuk karakter anak. Dan ini adalah hal yang baik untuk anak lakukan, jadi saya tidak meminta setiap kali anak menumpahkan, anak harus bersihkan; tidak, kadang-kadang biarkan dibersihkan oleh pembantu atau apa. Tapi pada hal-hal yang lain sepertinya dia kurang hati-hati kemudian dia tumpahkan, kita diamkan dan kita berkata: "Tolong sekarang engkau yang bersihkan." Jadi ada waktunya kita panggil pembantu, ada waktunya kita berkata kepada anak kita, "Tidak, sekarang engkau yang bersihkan, jangan setiap kali minta pembantu, sekali-sekali engkau yang bersihkan." Jadi dia belajar bertanggung jawab atas kekacauan atau kekotoran yang ditimbulkan oleh perbuatannya sendiri.

WL : Tapi apakah itu tidak terkesan tidak konsisten Pak? Bukannya setahu saya teori yang mengajarkan tentang disiplin anak harus sama atau konsisten. Jangan sebentar begini, sebentar begitu, akhirnya anak mengalami kebingungan.

PG : Saya kira tidak ya, ada waktunya memang si anak akan karena dia tahu dia yang tumpahkan dia akan bersihkan sendiri. Dan kalau memang itu menjadi kebiasaan dia, itu akan lebih baik lagi, naun kalau tidak ya setidak-tidaknya kita yang nanti meminta pembantu untuk membersihkannya.

Jadi jangan sejak kecil anak-anak itu sudah menjadi raja, sejak umur 5, 6 tahun memerintah-merintah pembantu seperti raja. Tidak semestinya anak umur 5 tahun memerintah-merintah orang umur 35 tahun, itu tidak benar. Jadi biarkan kita orang tua yang meminta pembantu untuk mengerjakannya, dan anak-anak kita kalau misalnya kita lihat memang kotor perlu dibersihkan, kita minta tolong pembantu tidak apa-apa. Tapi anak itu sendiri jangan terlalu mudah memerintah.
GS : Ada kebiasaan baik yang lain yang harus diajarkan?

PG : Yang lain adalah dalam hal belajar. Biasakan anak untuk mencoba terlebih dahulu sebelum bertanya atau meminta bantuan, jangan sedikit-sedikit kita yang mengurus, kita terus yang menanyakan Tidak, biarkan anak membaca dulu; dia tidak mengerti, kita katakan, "Coba, tolong pikir dan baca lagi dan tidak mengertinya di mana baru tanyakan."

Jadi jangan gampang-gampang apa ini jawabannya, apa ini jawabannya. Saya masih ingat dulu anak-anak bertanya, artinya kata ini apa? Istri saya langsung berkata: "Kami sudah membelikan kamus, bacalah kamus dan cari. Kami ajarkan bagaimana mencari atau membuka kamus, nah sekarang cari sendiri." Hal seperti itu perlu kita tanamkan pada anak-anak kita.
GS : Pak Paul, anak-anak ini makin besar makin sering bersosialisasi, berkumpul dengan temannya dan sebagainya. Nah dalam hal itu apa yang bisa kita ajarkan?

PG : Pertama, biasakan anak untuk meminta maaf tatkala bersalah, kalau salah meminta maaf. Yang kedua yaitu mengajak dan bukan hanya mau diajak bermain. Ada anak-anak yang diam pasif diajak berain baru main.

Tidak, kita dorong anak kita, "Sekarang kamu yang ajak, sekarang coba kamu telepon minta teman kamu datang atau kamu yang ke rumah teman kamu." Latih dia untuk mengajak. Yang lainnya mengalah tatkala diperlukan dan bertahan jika diperlukan. Artinya jika memang harus mengalah dalam suatu permainan atau apa, kita katakan kepada anak kita, "Kamu seharusnya mengalah, kenapa harus sampai bermusuhan seperti itu." Tapi kalau kita tahu anak kita di pihak yang benar, dan dia sedikit-sedikit maunya mundur, mengalah, kita katakan, "Jangan, engkau di pihak yang benar, jangan, engkau bertahan dulu; biarkan nanti teman kamu itu yang datang kepada kamu." Jadi kita memang memberikan keseimbangan antara mengalah dan bertahan. Dan yang lainnya lagi dalam bersosialisasi adalah kita ajarkan anak kita untuk bertanya, karena ingin tahu bukan karena ingin diperhatikan. Kadang-kadang dalam kumpulan teman-temannya, anak-anak itu bertanya ini dan itu, teman-temannya akhirnya sebel dengannya. Kenapa? Karena kalau bertanya bukannya ingin tahu tapi ingin diperhatikan, ingin dianggap tahu, ingin dianggap menguasai bidangnya atau paling hebat sehingga teman-temannya tidak suka, akhirnya tidak mempunyai teman bergaul. Nah, hal-hal kecil seperti itu mulai kita tanamkan kepada anak, kebiasaan-kebiasaan kecil seperti itu. Akhirnya anak-anak belajar dan akhirnya lebih bisa bergaul dengan teman-teman.
WL : Pak Paul, ada juga anak-anak yang agak sulit menerima kekalahan. Bisa marah, segala macam, nah nanti pulang orang tuanya juga ikut-ikutan memarahi temannya anak.

PG : Ya, jadi hati-hati, kadang-kadang kita menganggap anak kita yang paling benar sementara teman-temannya jahat. O.....tidak, kadang-kadang anak kitalah yang justru membuat kekacauan di sekolh.

GS : Memang untuk berelasi dengan orang lain ini sulit, apa yang kita bekalkan kepada anak-anak ini supaya mereka bisa berkomunikasi dengan baik, Pak Paul?

PG : Salah satunya lagi adalah misalnya dalam hal tanggung jawab, biasakan anak untuk berlatih bertanggung jawab. Misalnya untuk mempersiapkan buku pelajarannya, mengambil makanannya sendiri, mmakai sepatunya sendiri; jangan sampai anak sudah usia 12 tahun sepatunya masih dipakaikan orang tua.

Mencari barangnya sendiri sebelum orang lain mencarikan untuknya. Tanggung jawab ini penting sekali. Dan berikutnya lagi adalah dalam hal berelasi, biasakan anak untuk mengeluarkan pendapat dan kita hargai pendapatnya itu. Kita bertanya, "Menurut kamu bagaimana?" Misalkan dia ingin keluar, kita katakan, "Hari biasa kamu tidak keluar, hari Sabtu boleh keluar karena Minggu libur. Hari biasa tidak keluar, main dengan teman-teman hanya hari Sabtu." Misalkan tidak terima; tidak terima kita katakan, "Kenapa kamu tidak terima, tolong beritahu Papa." Biarkan dia jelaskan, jadi memang kita mau menghargai pendapat, kita inginkan anak untuk berdialog dengan kita. Berikutnya dalam hal berelasi kita izinkan anak untuk berdiam sejenak dalam perasaannya. Dan jangan tergesa-gesa membuatnya merasa lega dengan segera. Anak kita tidak suka tidak diizinkan keluar, marah, diam di kamar; biarkan, latih anak, biarkan dia diam sendiri dalam perasaan marahnya. Setelah itu hampiri dia di kamar dan ajak dia ngomong, kenapa? Biarkan dia dalam perasaan tidak sukanya karena itu akan melatih diri untuk menguasai perasaan marahnya dan berdialog dengan dirinya. Dan membuat dirinya lebih mengerti kenapa dia tidak boleh keluar. Jangan sampai sedikit-sedikit kita ketakutan nanti anak marah sama kita, kita bujuk dan sebagainya, sehingga si anak tidak pernah melatih diri untuk reda. Dia selalu membutuhkan orang lain untuk meredakannya, emosinya tidak bisa dikendalikan sendiri. Harus orang lain yang seolah-olah menyembah-nyembah dia, baru nanti bisa menguasai perasaannya.
WL : Pak Paul, tadi dalam hal tanggung jawab itu ada kaitannya dengan kemandirian anak, karena kita sedang melatih kemandirian anak?

PG : Betul sekali, dia mandiri dalam pengertian bukan saja dia belajar untuk bertanggung jawab mendapatkan yang dia inginkan, tapi dia juga belajar untuk bertanggung jawab dengan perasaannya. Bhwa perasaannya itu bukan tanggung jawab orang untuk bisa menenangkan dia.

GS : Pak Paul, bagaimana kita bisa menciptakan kebiasaan yang baik dalam diri anak, khususnya dalam bidang kerohanian?

PG : Biasakan anak untuk beribadah bersama dan pribadi. Artinya apa beribadah bersama? Dari kecil kita ajak dia ke gereja, ke sekolah minggu untuk belajar beribadah bersama-sama. Dan secara priadi artinya pada waktu misalnya usia 9, 10 tahun ajak dia untuk belajar membaca Alkitab sendiri.

Ajak dia, minta dia untuk membaca satu ayat, dua ayat, sehingga dari kecil dia belajar mempunyai hubungan pribadi dengan Tuhan. Ini penting, ada orang tua yang tidak melakukan hal ini hanya menekankan ke sekolah minggu, sudah lepas dari gereja tiba-tiba hidupnya bisa benar-benar berubah seolah-olah tidak pernah mengenal Kristus dalam kehidupannya. Jadi ibadah pribadi itu sangat penting.
WL : Sekarang juga sudah banyak buku santapan rohani yang khusus untuk anak-anak ya.

PG : Betul, dan itu bisa kita berikan kepada anak-anak kita untuk dipakainya.

GS : Pak Paul, di dalam hal membiasakan anak seperti itu, apakah kita perlu memuji atau memberikan disiplin?

PG : Seharusnya ya Pak Gunawan, jadi waktu anak-anak itu melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik tersebut, kita puji, kita berikan tanggapan positif. "Aduh, kamar kamu bersih, aduh luar biasa kmu bertanggung jawab."

Kita puji, waktu dia tidak melakukannya berikan sanksi; kita berikan misalnya teguran dengan suara yang lebih keras, kita bisa marahi dia lakukan seperti itu. Sekali lagi kita menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang memang akan perlu waktu untuk kita melihat dan bisa memetik buahnya. Namun kalau kebiasaan ini kita tanamkan dari kecil, waktu dia meninggalkan rumah kita kebiasaan itu akan menyertainya.
GS : Pak Paul, dalam hal ini apa yang firman Tuhan katakan?

PG : Saya akan bacakan Amsal 15:32, "Siapa mengabaikan didikan membuang dirinya sendiri, tetapi siapa mendengarkan teguran, memperoleh akal budi." Jadi firman Tuhan berkata siapa mngabaikan didikan membuang dirinya, ini tadi yang saya maksud dengan membangun karakter.

Kalau anak tidak mau menerima didikan, itu sama dengan si anak membuang dirinya, tidak ada lagi karakter. Tapi anak-anak yang menerima didikan, dia menerima diri, dia mempunyai diri. Sebab didikan dari orang tua itulah yang menjadikan siapa dia nantinya.
GS : Dan itu menjadi bekal dia untuk memasuki masa pemuda atau masa dewasanya?

PG : Betul sekali, dan bukankah kalau dia mempunyai karakter yang baik, orang-orang di sekelilingnya akan mendapatkan berkat dan nama Tuhan pun dipermuliakan.

GS : Jadi ini menjadi tanggung jawab dari kita sebagai orang tua terhadap generasi yang ada di bawah kita. Terima kasih sekali Pak Paul juga Ibu Wulan banyak terima kasih. Saudara-saudara pendengar kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membentuk Kebiasaan Anak." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



34. Malas Belajar


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T160B (File MP3 T160B)


Abstrak:

Banyak orangtua mengeluh bahwa anak mereka malas belajar dan bahwa kesenangannya hanyalah bermain. Pertanyaannya adalah, mengapa dan bagaimana orangtua harus menghadapinya?


Ringkasan:

Dewasa ini banyak orangtua mengeluh bahwa anak mereka malas belajar dan bahwa kesenangannya hanyalah bermain. Pertanyaannya adalah, mengapa?

  1. Sekarang bersekolah telah melebihi pekerjaan purnawaktu dan anak membutuhkan porsi waktu santai yang lebih besar.

  2. Kebanyakan proses pembelajaran di sekolah masih mengandalkan metode penghafalan dan penjelasan yang abstrak. Metode ini sangat kontras dengan permainan anak yang merangsang kreativitas. Itu sebabnya banyak anak tidak menyukai pelajaran sekolah dan memilih bermain.

  3. Secara kodrati, memang anak berada pada tahap kehidupan di mana tugas utamanya adalah bermain, bukan belajar. Dengan kata lain, belajar merupakan tugas yang bertentangan dengan kodrat manusiawi anak.

Jika demikian, apa yang harus orangtua perbuat?

  1. Sediakan (jadwalkan) waktu bermain, jangan sampai bermain merupakan waktu sisa (jika masih ada waktu). Bila anak mempunyai energi yang tinggi, jadwalkan aktivitas yang menguras tenaga.

  2. Gunakan ilustrasi yang berasal dari dunia anak. Banyak konsep absrak dalam pelajaran yang memerlukan pengejawantahan.

  3. Terima keterbatasan anak. Jika daya tangkapnya lemah, ia memerlukan pengulangan dan kejelasan. Kadang anak tidak bisa berkonsentrasi untuk jangka yang panjang, jadi, izinkan anak untuk beristirahat sejenak.

  4. Ciptakan suasana santai. Jangan sampai anak ketakutan sebab anak tidak akan dapat belajar di tengah suasana yang tegang.

  5. Senantiasa tekankan kepada anak bahwa yang terpenting bukanlah nilai melainkan pembelajaran itu sendiri dan bahwa yang kita tuntut adalah usaha, bukan hasil akhir.

  6. Jangan korbankan relasi kita dengan anak hanya gara-gara masalah belajar.

Firman Tuhan: "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu." Mazmur 103:13-14


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Malas Belajar", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Rupanya menjadi keluhan umum bagi orang tua sekarang ini di mana anaknya malas belajar. Dan yang sering kali disalahkan adalah karena adanya TV dan sarana hiburan yang banyak kemudian anaknya malas belajar. Tapi apakah sesederhana itu Pak Paul?

PG : Sudah tentu hiburan-hiburan yang ada di televisi itu juga dapat menggoda anak-anak. Pada zaman kita masih lebih muda saya masih ingat film televisi yang saya nantikan adalah "Popeye The Salor", tahun 60-an, tahun 70-an.

Nah sekarang begitu beragam dan itu sendiri menjadi daya tarik. Tapi saya kira masalahnya tidak sesederhana itu. Ada beberapa penyebab kenapa anak-anak sekarang rata-rata malas belajar, itu keluhan orang tua dewasa ini. Yang pertama adalah sekarang ini bersekolah telah melebihi pekerjaan purna waktu dan anak membutuhkan porsi waktu santai yang lebih besar. Pagi sampai siang, misalkan anak-anak yang SD atau SMP bisa sampai jam 02.00, jam 03.00 baru pulang. Setelah pulang ada les, setelah les beberapa jam ada pekerjaan rumah atau ulangan yang harus dipelajari. Jadi dapat dikatakan anak-anak itu dari jam 07.00 pagi sampai jam 10.00, 11.00 malam hampir dapat dikatakan bekerja. Yang satu jam-satu jam itu adalah waktu istirahatnya. Tapi jam 07.00 pagi sampai jam 10.00 malam dia bekerja. Nah, kita saja orang dewasa kalau diharuskan bekerja jam 07.00 sampai jam 10.00 meskipun di tengah-tengahnya ada istirahat satu jam atau ½ jam hanya bertahan sampai beberapa waktu, setelah itu kita akan stres berat sekali. Nah inilah kondisi anak-anak kita, itulah sebabnya makin besar tekanan di sekolah makin besar keinginan atau kebutuhannya untuk santai, makanya dia ingin bermalas-malasan, bermain-main tidak mau belajar.
WL : Tapi banyak orang tua menjadi khawatir Pak Paul, kalau waktu santai anak terlalu banyak karena bisa ketinggalan materi pelajaran.

PG : Betul sekali, memang sebagian sekolah berpendapat bahwa semakin susah, semakin baik sekolah itu; semakin banyak pelajaran, semakin baik sekolah itu. Ini pandangan yang keliru; sekolah yangbaik adalah sekolah yang efektif, sekolah yang efektif adalah sekolah yang membuat anak-anak belajar.

Karena proses pembelajaran hanya mempunyai satu tujuan yaitu belajar. Ada orang-orang atau pendidik benar-benar bermegah dengan susahnya ujian. Ujian itu adalah alat bukan tujuan, kalau kita jadikan ujian itu sebagai tujuan sehingga dihormati karena susah, pendidik itu keliru. Ujian hanyalah alat untuk menguji kebisaan anak, jadi memang tujuannya bukan untuk menyusahkan si anak tujuannya hanyalah menguji si anak, dia bisa atau tidak. Yang paling penting adalah anak itu belajar. Nah, dalam hal inilah saya kira sebagian sekolah telah keluar jalur dan anak-anak kita akhirnya menderita.
GS : Mungkin secara umum ada metode yang kurang tepat yang diterapkan di sekolah-sekolah saat ini?

PG : Saya kira salah satu metode yang memang makin hari makin kurang tepat untuk generasi di bawah kita adalah metode menghafal. Atau menggunakan penjelasan-penjelasan atau konsep yang abstrak engan melalui ucapan atau pengajaran.

Anak-anak itu akan kesulitan untuk memusatkan perhatian dan mendengarkan serta menghafalkan, titik, koma harus sama seperti yang diajarkan oleh guru. Nah, metode-metode yang tradisional ini sangat kontras, berlawanan dengan permainan anak yang merangsang kreatifitas. Dan permainan anak sekarang ini terutama yang ada di computer games atau playstation game, itu adalah permainan yang merangsang kreatifitas anak dan banyak tantangan-tantangannya. Nah, akibatnya apa yang terjadi? Anak-anak tidak menyukai pelajaran dan memilih bermain. Sebab memang kreatifitasnya lebih tinggi, mereka lebih ditantang untuk dapat mengalahkan atau dapat membereskan masalah, sedangkan kalau di sekolah atau dia bawa pelajarannya pulang dia harus menghafal. Ulangan kurang satu titik salah, kurang satu huruf salah, menggunakan kata yang lain meskipun maknanya sama juga salah. Ya stres, kita saja yang dewasa mendengar saja sudah stres apalagi anak kita.
GS : Kalau kita melihat sebenarnya anak ini membutuhkan waktu untuk bermain seperti yang tadi Pak Paul katakan, nah bagaimana kita bisa mengatur waktunya sementara di sekolah tuntutannya begitu banyak dan anak pun menuntut waktu untuk bermain?

PG : Memang anak-anak itu perlu bermain, secara kodrati anak berada dalam tahap di mana dia membutuhkan bermain bukannya hanya senang bermain, tapi membutuhkan bermain untuk kesehatan jiwanya, ntuk pembentukan jiwa yang berimbang, yang sehat.

Kalau anak-anak kehilangan kesempatan bermain, itu akan menggoyangkan atau jiwa anak tidak seimbang. Maka kita perlu sediakan waktu bermain; kita jadwalkan jangan sampai bermain merupakan waktu sisa. Artinya kalau ada waktu baru boleh bermain. Pada usia anak-anak masih kecil di bawah usia 12 tahun, anak-anak sangat memerlukan waktu untuk bermain, untuk kesehatan jiwanya sendiri, jadi jadwalkan. Berikan waktu misalnya 1 jam, 2 jam untuk dia boleh bermain baru nanti belajar; boleh nonton televisi, boleh main video game dan sebagainya. Nanti setelah 2 jam, dia sudah merasa segar, baru dia belajar. Misalkan anak kita mempunyai energi yang tinggi sekali, aktif luar biasa, nah jadwalkan aktifitas yang bisa menguras tenaganya. Daftarkan dia, jadikan dia anggota misalkan di club-club basket, sepak bola dan sebagainya, sehingga energinya terpakai. Setelah pulang sekolah energinya terpakai, olahraga dan dia pulang; jiwanya pun lebih ringan, tubuhnya pun rasanya lebih segar. Nah itu hal-hal yang orang tua perlu jadwalkan.
WL : Pak Paul, tapi masalahnya kebanyakan kalau kita perhatikan setelah puas bermain anak-anak kecapaian, ya sudah tidak bisa belajar, tidur atau apa. Terus masalah kedua kalau kita perhatikan, sekarang ini makin banyak anak yang keletihan karena terpaksa harus "bekerja". Membantu orang tualah, dengan berbagai macam bentuk, Pak Paul?

PG : Nah, kalau memang tidak bisa misalkan olahraga membuat dia terlalu capek, ya kita jadwalkan misalnya tidak setiap hari. Misalkan 2 kali seminggu, 3 kali seminggu dia berolahraga, tidak usa setiap hari.

Atau misalkan dia memang ada tugas-tugas lain di rumah dan memang kita memerlukannya atau membutuhkan bantuannya, ya misalkan kita berikan jadwal untuk bermainnya sedikit lebih kurang sehingga dia nanti bisa istirahat. Menyegarkan jiwanya dan nanti baru membantu kita. Jadi sekali lagi yang saya minta adalah bermain itu janganlah dijadwalkan secara asal-asalan; kalau ada ya bagus, kalau tidak ada ya tidak apa-apa karena tidak penting. O.....itu keliru, buat anak-anak bermain itu hal yang mutlak, yang penting sekali untuk kesehatan jiwanya jadi jadwalkan. Anak-anak yang mempunyai kehidupan yang lebih berimbang, ada waktu bermain dia akan lebih bisa belajar. Anak-anak yang ditekan harus belajar terus-menerus kalau memang kepandaiannya super dan anak itu gemar belajar tidak punya lagi pergaulan ya mungkin tidak ada masalah. Tapi kalau anak ini anak yang sehat, yang normal, tidak punya pergaulan ditekan seperti itu; tidak akan bisa berprestasi.
GS : Sebenarnya di dalam bermain, anak itu belajar sesuatu?

PG : Betul sekali, dia belajar berelasi, dia belajar mengerti perasaan orang, belajar mengerti pikiran orang, belajar menebak kira-kira nanti orang akan berkata apa, berbuat apa dalam permainandan sebagainya.

Jadi benar-benar menumbuhkan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup nantinya. Buat apa nanti anak kita pintar dalam bidangnya tapi tidak bisa hidup sama sekali dengan orang lain, itu juga akan menjadi masalah nantinya.
GS : Di sini memang dibutuhkan suatu kreatifitas para pendidik untuk bisa mengajar tapi juga sekaligus bermain.

PG : Betul, ini memang unsur yang penting sehingga anak-anak kita itu akhirnya menjadi anak yang seimbang. Yang lainnya yang bisa saya berikan adalah, kalau kita di rumah terus kesal melihat ank kita belajarnya malas sekali, mungkin sekali anak kita itu tidak memiliki konsep tentang apa yang dipelajarinya.

Dia bingung, dia tidak mengerti, nah kalau kita tahu itu masalahnya kita bantu anak kita. Gunakan ilustrasi yang berasal dari dunia anak. Saya masih ingat sekali waktu anak saya kecil, istri saya mencoba mengajarkan tentang lokomotif, dalam buku pelajarannya (saya lupa kelas berapa). Dia tidak mengerti apa itu lokomotif, kenapa, karena tidak pernah melihatnya. Nah sekarang berapa anak yang tidak pernah melihat lokomotif, tidak terlalu banyak. Jadi akhirnya waktu istri saya mencoba menjelaskannya, dia tidak mengerti. Mungkin dia bisa mengerti yang ada di jalanan tapi yang tidak ada di jalanan seperti lokomotif tidak bisa dia bayangkan sama sekali, namun ada dalam pelajarannya. Nah, kalau misalnya orang tua melihat masalah seperti itu, bisa kreatif, ini misalkan ada mobil atau ada bus, anak kita tahu; nah kita katakan, "Busnya banyak dan diikat satu bus dengan bus yang lain, o....itu namanya kereta api atau lokomotif." Akhirnya dia mengerti, jadi gunakan ilustrasi-ilustrasi yang dapat dipahami oleh anak dan ilustrasi yang memang ada dalam dunianya. Banyak konsep abstrak dalam pelajaran yang memerlukan pengejawantahan, benar-benar kita menolong anak untuk melihatnya dengan lebih konkret, ini yang diperlukan oleh anak-anak kita.
WL : Perlu atau tidak Pak Paul, orang tua menolong anak mengenal gaya belajar atau metode belajar yang efektif. Setiap anak pasti berbeda-beda, ada anak yang benar-benar bisa efektif belajar dengan visual. Yaitu dengan melihat gambar, ada yang berbeda lagi yaitu dengan mendengar atau dari hal-hal lain?

PG : Sangat penting Ibu Wulan, jadi kalau kita sadari bahwa anak kita itu belajar sangat cepat dengan melihat. Kita memang harus berusaha keras untuk menyajikan pelajarannya dengan alat peraga.Kita bisa gambarkan, kita mungkin bisa membawa barangnya itu sendiri.

Misalkan berhitung, susah sekali berhitung; kita bisa membawa jeruk, misalkan 3 jeruk ditambah 2 jeruk menjadi berapa. Terus dia hitung misalkan, nah itu sangat berguna bagi anak-anak yang memang belajar secara visual karena akan ingat sekali. Meskipun kita memakai garis 1 2 3 4 5, memang bisa dihitung olehnya tapi semakin jelas dan semakin riil benda yang harus dia hitung itu semakin menempel atau melekat di benaknya. Dan waktu di sekolah diminta untuk menghitung atau apa secara luar kepala, dia bayangkan jeruk-jeruk itu, nah itu menjadi alat yang bisa kita gunakan juga.
GS : Ada anak yang walaupun sudah diajarkan dengan beberapa metode itu memang sulit sekali menangkap. Saya melihat kesulitan yang sama, mengajar anak yang terlalu pandai dengan anak yang kurang cepat menangkap ini masalahnya juga sama.

PG : Betul, jadi memang kita harus mengenal siapa anak kita; apa kelebihannya dan apa keterbatasannya. Misalkan ada anak-anak yang memang tidak begitu pandai mengekspresikan diri melalui ucapanatau bahasa tulisan.

Ada anak-anak yang menulis dengan salah-salah, dia tahu kata itu tapi waktu dia menuliskan hurufnya terbalik-balik. Ada juga anak-anak yang lambat sekali berbicara, kita ajarkan tapi tetap tidak bisa dia pahami dengan cepat. Nah anak ini ternyata memang mempunyai masalah di dalam pengekspresian diri dengan bahasa ucapan atau tulisan. Namun dalam hal seperti matematik atau aritmatika belajarnya sangat cepat sekali, berarti ini memang keterbatasan anak dan kelebihan anak. Apa yang harus kita lakukan? Kita mesti menerimanya, kita mesti menerima bahwa dalam hal-hal seperti ini misalkan penggunaan bahasa dia akan lemah, dalam hal yang bersifat matematika dia akan kuat. Jadi di titik yang lemah itu kita bangun, kita ajarkan, kita harus ulang lagi, ulang lagi dan tidak bisa tidak mesti harus sabar, pengulangan-pengulangan sangat dibutuhkan atau penjelasan-penjelasan. Misalkan dia susah sekali berbicara, kita bisa misalkan menggunakan apel, kita gunakan kata a-pel; ini 'a' dan ini apel. Huruf b, tidak bisa dia membayangkan huruf b itu apa. Misalkan ba-ju, nah itu kata baju yang akan dia ingat nanti yang berlambangkan huruf b. Jadi benar-benar konkret, untuk anak-anak yang memang daya tangkapnya agak lemah memerlukan pengulangan dan pengkonkretan.
WL : Menurut Pak Paul sendiri secara pribadi, setuju atau tidak misalnya tadi anak yang lahir dengan keterbatasan itu, ya sudah begitu saja atau tetap bisa berkembang. Saya ingat setelah dewasa saya pernah mengikuti test, testnya kilas balik ke masa anak-anak; kemampuan-kemampuan yang memang dasarnya telah saya punyai. Ternyata sangat minim, tapi setelah saya dewasa seperti ini menjadi sangat berbeda, berarti 'kan ada banyak perkembangan. Sedangkan waktu kecil orang di rumah mungkin kurang mengerti untuk memberikan stimuli-stimuli atau bahkan dilarang ini, dilarang itu, jadi hal itu kreatifitasnya tidak bisa muncul. Padahal sekarang orang bilang saya cukup kreatif, itu sebenarnya banyak kemajuan, perkembangan. Jadi yang terbatas itu tidak mati di situ, Pak Paul?

PG : Betul sekali Ibu Wulan, kondisi kehidupan kita itu sangat berpengaruh terhadap cepat lambatnya kita belajar. Misalkan kita hidup dalam suasana yang lumayan tegang, tidak bisa tidak anak-ank akan mengalami hambatan dalam belajar.

Karena apa, dia lagi mau belajar, orang tuanya bertengkar; dia lagi mau belajar, nanti dimarahi; ini kurang ini, harus begini, harus begitu. Nah suasana yang tegang tidak akan menjadi suasana kondusif buat anak bisa belajar. Maka salah satu prinsip adalah ciptakan suasana santai dalam rumah kita. Kalau kita ingin anak-anak kita bisa belajar dengan baik, ciptakan suasana santai. Tenang, juga perlu tapi jangan sampai sepertinya sunyi, tidak ada suara; anak-anak juga tidak bisa menikmati. Biarkan sekali-sekali mereka menyanyi, mendengarkan musik, tidak apa-apa. Anak-anak kami ada 3, yang dua kalau belajar selalu memasang musik, yang satu belajar meskipun di kamarnya tidak ada musik sekalipun kalau di luar ada musik tidak bisa belajar, dia merasa terganggu. Jadi sekali lagi memang masing-masing anak mempunyai keunikannya, nah kita biarkan yang penting anak kita belajar. Bukan belajar dengan cara kita, sunyi, tegang dan sebagainya, jadi penting suasana rumah kita itu santai. Nah ini jangan sampai menciptakan rasa takut pada anak-anak kita, adakalanya anak-anak itu belum belajar sudah ketakutan. Baru dipanggil orang tuanya dia sudah ketakutan, kenapa? Karena dia tahu tinggal tunggu 5 menit setelah dia mulai belajar, orang tuanya itu akan marah-marah dan dia tidak akan bisa belajar. Sebelum belajar pun dia sudah ketakutan, karena membayangkan nanti bakal dimarahi apalagi waktu belajarnya. Bayangkan anak seperti itu hidupnya, pagi sampai siang sekolah mungkin juga sudah stres karena dia tidak bisa, dia pulang ke rumah juga stres karena memikirkan nanti orang tuanya akan stres dan memarahi dia. Nah bayangkan suasana hidup seperti itu yang akan ditanggung oleh anak-anak kita.
GS : Banyak anak yang mengatakan dia malas belajar itu juga karena terlalu dituntut oleh orang tuanya untuk mendapatkan nilai yang terbaik terus, sehingga dia katakan saya tidak mampu dan dia menjadi malas. Atau malah kontras sekali, dia berikan angka-angka yang jelek terus.

PG : Betul, kadang-kadang akhirnya anak menjadi takut mempunyai prestasi yang tinggi. Karena apa, dia takutnya orang tua itu akan terus-menerus menuntutnya mendapatkan nilai yang terus seperti tu atau bahkan lebih tinggi, nah lebih baik dia berikan nilai yang pas-pasan.

Sehingga lama-lama orang tuanya tidak terlalu mengharap. Jadi kita mesti tekankan kepada anak bahwa yang terpenting bukanlah nilai melainkan pembelajaran itu sendiri. Dan bahwa yang kita tuntut adalah usaha bukan hasil akhir, prinsip ini yang harus kita camkan. Ada orang tua luar biasa senangnya anaknya mendapat nilai bagus, belajar apa tidak tahu, tidak belajar pun tidak apa-apa yang penting nilainya bagus. Kalau itu yang kita tekankan, saya khawatir anak kita itu mendapatkan suatu pelajaran yang keliru dari orang tuanya. Yaitu apa, yang penting penampilan, cara mendapatkannya tidak peduli, nyontek juga tidak apa-apa. Maka kita tahu masalah nyontek ini di sekolah-sekolah kita menjadi masalah kronis. Begitu banyak orang menyontek dari kelas 0 sampai kelas doktoral. Kenapa begitu, karena yang dipentingkan adalah penampilan, nilai akhir atau hasil akhir. Orang itu belajar atau tidak, tidak lagi dipusingkan, nah ini yang harus kita ubah.
GS : Karena memang kalau mendapat juara, orang tuanya bangga Pak Paul. Dan ini mempengaruhi mereka yang anaknya tidak mencapai juara.

PG : Dan kadang-kadang orang tuanya membanding-bandingkan, "Kamu kok tidak seperti anak ini yang mendapat juara." Padahalnya memang anak kita berbeda, dan mungkin sekali pada bidang itu, anak kta tidak bisa menuntutnya.

Jadi sekali lagi saya menekankan, jangan mementingkan nilai; yang penting adalah anak kita telah berusaha, dan yang penting kita tahu anak kita telah belajar. Dia mendapatkan sesuatu, dan ini yang kita tekankan kepada anak kita, sehingga tatkala dia dewasa dia mempunyai nilai hidup yang baik. Yang penting saya belajar, saya tahu saya telah belajar, sementara untuk nilainya apabila orang tidak melihat atau menghargai, itu nomor dua yang penting saya telah belajar. Jangan sampai kita itu seperti kepompong kosong, kita bawa kepompong dalamnya sudah tidak ada lagi, kosong melompong. Saya khawatir, inilah tipe-tipe generasi yang akan kita hasilkan.
GS : Pak Paul, ada anak yang malas belajar karena tidak senang dengan gurunya, terhadap mata pelajaran tertentu dan dia senang dengan gurunya, nilainya cukup baik. Dan dia senang dengan pelajaran itu.

PG : Betul sekali, ini point yang sangat penting, maka kita sebagai pendidik memang harus bisa mendapatkan hati anak, baru akhirnya kita bisa memperoleh otak anak. Kalau kita tidak mendapatkan ati anak, jangan berharap kita akan bisa memperoleh otak anak itu.

Kita benar-benar harus menyadari prinsip ini. Kalau anak sudah menyukai kita, dia tahu kita adalah guru yang memperhatikannya, baik dan sebagainya, dia akan lebih bersedia belajar; dia akan lebih bersedia mencurahkan waktunya dan membela mati-matian agar dia bisa mendapatkan nilai yang baik dalam kelas kita. Kenapa, karena dia tahu kita memang memperhatikannya. Jadi sekali lagi jalan menuju ke otak anak harus melewati hati anak dulu.
GS : Tapi kita sebagai orang tua juga repot Pak Paul, karena tidak mungkin anak itu dipindahkan ke kelas lain. Nah bagaimana kita memberikan pengarahan kepada anak ini, walaupun dia tidak senang dengan gurunya dia tetap mempunyai semangat untuk belajar?

PG : Ini adalah hal yang penting sebab hidup memang tidak selalu berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Dan ini juga yang kita tanamkan kepada anak-anak kita, bahwa kebetulan kamu mendapatkn guru yang seperti ini.

Dan kita katakan betul, betulnya apa, "anak-anak yang sebelum kamu pun orang tuanya mengeluhkan hal yang sama dan anak-anak mereka pun mengeluhkan hal yang sama tentang guru ini." Jadi kita itu tidak memarahi si anak, kita mengakui, "Ya, bahwa gurumu memang seperti itu, kami telah mendengarnya bukan hanya satu orang yang berbicara tapi banyak orang telah mengutarakan hal yang sama tentang guru itu." OK! Dengan kata lain kita jangan mudah meng-iakan anak. Anak berkata guru ini tidak baik karena begini, begini, nah kita sudah langsung mau menabuh gendang perang melawan si guru itu. Jangan, bisa jadi anak kita yang tidak tepat melihat gurunya. Tapi kalau memang banyak orang mengatakan hal yang serupa, ya kita harus akui kemungkinan besar anak kita benar. Dan jangan salahkan anak, kita konfirmasikan pendapatnya, pandangannya, "Ya, memang gurumu seperti itu, ya mama dan papa kasihan dengan kamu, pasti kamu susah di kelas ya. Namun inilah kenyataan hidup, kadang-kadang kita harus berhadapan dengan situasi yang tidak kita inginkan, namun kita harus bisa melewatinya." Dengan cara apa, bertahan, pisahkan orang dari pelajarannya; kita paksa anak kita untuk berpikir seperti itu. Nah waktu dia bisa melewati, dia pun akan mengembangkan kebanggaan pada dirinya, "Saya bisa melewati guru itu, meskipun guru itu tidak menyenangkan." Nah yang berikutnya adalah jangan korbankan relasi kita dengan anak hanya gara-gara masalah belajar. Kadang-kadang kita itu ribut dengan anak gara-gara soal belajar, jangan seperti itu, kasihan, sayang; relasi anak dengan orang tua rusak hanya gara-gara masalah belajar.
GS : Sekarang itu memang orang berlomba-lomba untuk mendidik anaknya sedini mungkin. Maksudnya supaya kelihatan di antara teman-temannya, di masyarakat bahwa anaknya terpelajar dan bisa cepat belajar. Menurut Pak Paul bagaimana?

PG : Menurut saya ikuti saja ritme alam yang Tuhan telah tetapkan bagi manusia. Yaitu nomor satu anak belajar paling banyak dari bermain, bukan dari sekolah. Semakin kecil anak banyak belajar dri bermain bukan dari sekolah, nah semakin besar dia akan belajar semakin banyak secara kognitif dari pelajaran-pelajaran yang telah tersusun dengan sistematis.

Tapi memang porsinya dari sedikit, ringan, baru makin hari makin lebih berat. Dan dari yang umum, umum, makin hari dan makin tinggi tingkatannya makin spesifik.
GS : Di dalam hal memotivasi anak supaya rajin belajar ini, apa yang firman Tuhan sampaikan Pak Paul?

PG : Saya bacakan Mazmur 103:13-14, "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingt, bahwa kita ini debu."

Jadi Tuhan menyayangi kita, begitu sayang kepada kita. Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama. Kalau Tuhan sayang kepada kita, mari kita sayangi anak kita. Caranya bagaimana, nah Tuhan berkata Dia tahu siapa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu. Artinya kita pun terhadap anak sama, kita tahu anak kita itu siapa, keterbatasannya apa. Kita tahu anak kita juga debu, tidak sempurna, nah belajarlah menerima. Ini akan jauh lebih baik daripada menuntut anak untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya.

GS : Terima kasih Pak Paul dan Ibu Wulan untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Malas Belajar." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



35. Membantu Anak Mengendalikan Diri


Info:

Nara Sumber: Heman Elia, M.Psi.
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T164A (File MP3 T164A)


Abstrak:

Menjadi dewasa tidak sekadar bertambahnya usia, tapi salah satunya juga semakin terampil mengendalikan diri. Jadi untuk mendewasakan anak, kewajiban orangtua adalah mendidik mereka mampu bertanggungjawab dan mengendalikan diri.


Ringkasan:

  1. Banyak pendapat bahwa anak yang masih muda memang tidak bisa mengendalikan diri. Pandangan demikian tidak sepenuhnya benar. Pengendalian diri memang datangnya tahap demi tahap, dan dalam hal ini usia memegang peranan penting.

  2. Sekalipun dalam banyak hal, anak akan lebih mampu mengendalikan diri setelah mereka besar, kita tetap berkewajiban memperhatikan perkembangan mereka dan membantu mereka. Sebagaimana belajar berjalan, berlari, berenang dsb, anak perlu latihan agar tahu bagaimana caranya mengendalikan dirinya. Menjadi dewasa tidak sekadar bertambahnya usia, melainkan salah satunya juga adalah semakin terampil mengendalikan diri. Jadi, untuk mendewasakan anak, kewajiban orangtua adalah mendidik mereka mampu bertanggung jawab & mengendalikan diri.

  3. Kita perlu memperhatikan pengendalian diri mereka dalam hal : Pertama, dalam hal pola makan. Kedua, dalam hal kebersihan. Ketiga, dalam hal kontrol emosi. Keempat, dalam hal perkataan. Kelima, dalam hal penggunaan waktu. Keenam, dalam hal penggunaan uang. Ketujuh, untuk anak yang memasuki masa pubertas atau remaja, mereka perlu diajarkan pengendalian diri dalam hal seksual.

  4. Ada dua kunci terpenting dalam hal membantu anak mengendalikan diri. Pertama, kita harus sabar mengikuti tahap-tahap usia dan kemampuan mereka. Setiap anak berbeda dalam hal kecepatan menyesuaikan diri dan kecepatan belajar menguasai diri. Dengan kata lain, orangtua jangan memasang target terlalu tinggi sehingga anak tidak bisa mencapainya. Target yang terlalu tinggi juga akan membuat anak frustrasi sehingga malas mengembangkan diri. Kedua, kita memberi contoh dan arah dari tingkah laku yang diharapkan. Sering kali kita lebih mudah melarang ini dan itu, sehingga membuat anak tidak belajar untuk melakukan sesuatu secara terkendali. Padahal ada banyak hal yang perlu dilakukan anak, hanya saja perlu ada pembatasan.

  5. Pengendalian diri itu memiliki beberapa ciri. Pertama, kemampuan untuk menunda pemenuhan keinginan atau dorongan. Kedua, kemampuan mengalihkan dorongan ke arah yang lebih berguna, meskipun harus mengorbankan kenikmatan yang diinginkan. Ketiga, kemampuan mengenali batas. Mungkin ini yang paling sulit, yaitu bagaimana kita tetap melakukan sesuatu, tetapi dalam batas-batas tertentu. Tetap menggunakan uang, tetapi seturut keperluan yang penting dan tidak melebihi batas kemampuan..

  6. Ada orang mengatakan bahwa anak hiperaktif sulit mengendalikan dorongan-dorongannya, dan itu terjadi antara lain karena faktor bawaan. Memang ada anak yang lebih sulit diajar untuk mengendalikan diri karena faktor bawaan. Namun tidak berarti bahwa anak-anak demikian tidak perlu diajar dan belajar mengendalikan diri. Jadi sebetulnya banyak cara yang bisa kita pakai agar anak-anak hiperaktif lebih bisa mengendalikan dirinya. Untuk anak-anak demikian, kita memang harus selalu mengingatkan diri bahwa tuntutan kita tidaklah boleh terlalu tinggi. Kita perlu menerima kekurangan mereka, sambil tetap berusaha membantu agar mereka mencapai batas kemampuan untuk belajar mengendalikan diri.

  7. Ada orangtua yang mengajar anaknya sejak kecil untuk melakukan segala sesuatu secara disiplin. Namun setelah anak besar, mereka tetap memerlukan banyak pengawasan orangtua. Kalau tidak, mereka akan berbuat semau-maunya. Masalahnya kendali yang dipegang orangtua harus dialihkan secara bertahap kepada anak-anak, sehingga mereka terlatih untuk mengendalikan diri, bukan dikendalikan orangtua terus-menerus.

Firman Tuhan diambil dari IKorintus 9:24-27.


Transkrip:

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membantu Anak Mengendalikan Diri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Heman, pada kesempatan yang sangat berharga ini kita mengangkat suatu tema tentang "Membantu Anak Mengendalikan Diri". Sepanjang yang saya ketahui, biasanya ini ditujukan kepada orang yang dewasa, minimal pemuda, yang dikatakan tidak bisa mengendalikan diri dan sebagainya. Ini sesuatu yang menarik bahwa perbincangan ini tentang anak yang mengendalikan diri, apakah memang seorang anak bisa dibantu untuk mengendalikan dirinya, begitu Pak?

HE : Ya, seharusnya memang demikian meskipun kita tahu bahwa anak-anak umumnya belum bisa mengendalikan diri sebagaimana orang dewasa.

GS : Biasanya kita melihat kalau anak itu mau menangis ya menangis, kalau dia mau teriak-teriak ya teriak-teriak, apakah itu suatu manifestasi tentang dia tidak bisa mengendalikan dirinya?

HE : Tergantung usianya kalau kita lihat memang perkembangan usianya sesuai maka kita tidak bisa katakan bahwa dia tidak bisa mengendalikan diri, meskipun sebetulnya kalau diukur dari ukuran orng dewasa ia tergolong tidak bisa mengendalikan diri.

Nah, di dalam hal ini tahapan usia memang penting untuk diperhitungkan, sehingga kita bisa melihat apakah ini wajar, apakah tingkah laku ini wajar atau tidak ataukah memang dia harus dibantu untuk mengendalikan dirinya.
WL : Ya menarik sekali penjelasan dari Pak Heman. Pak, apakah itu berarti kita tidak perlu kuatir karena memang sesuai usia mereka, mereka belum bisa mengendalikan diri.

HE : Ya, memang anak belum bisa mengendalikan diri kalau usia mereka masih sangat muda tapi bukan berarti kita harus membiarkan mereka begitu saja atau kita tidak perlu mengawasi mereka. Dimanaperlu kita tetap perlu membantu atau pun melatih mereka, jadi seumpamanya seperti mereka berjalan, berlari atau berenang dan sebagainya untuk keterampilan-keterampilan itu anak memerlukan latihan supaya dia bisa mengendalikan tubuhnya dan dengan latihan-latihan itu dia semakin terampil.

Demikian juga dengan pengendalian dalam hal-hal yang lain.
GS : Biasanya orang menganggap bahwa dengan bertambahnya usia seseorang dia akan mampu dengan sendirinya mengendalikan dirinya, begitu Pak Heman.

HE : Pandangan demikian memang ada benarnya, jadi seperti tadi kalau dia berjalan, berlari, berenang dia memerlukan perkembangan otot-otot yang semakin matang, semakin kuat tetapi tidak seluruhya benar juga karena selain pengendalian diri itu harus datangnya tahap demi tahap sejalan dengan usia, kita juga perlu melatih mereka karena kalau tanpa latihan maka barangkali mereka tidak bisa mengendalikan tingkah laku mereka sebagaimana kalau mereka dilatih untuk itu.

GS : Kalau begitu dalam hal apa saja kita perlu melatih atau mempersiapkan anak untuk bisa mengendalikan dirinya?

HE : Ada banyak hal yang kita bisa bantu anak supaya bisa mengendalikan diri. Yang pertama misalnya dalam hal pola makan, jadi ada anak yang makannya hanya mau itu saja, kalau tidak makan es krm kalau tidak makan yang enak-enak, ayam goreng dan sebagainya maka dia tidak mau makan atau ada anak yang kalau makan ia makan berlebihan atau ada yang tidak mau makan sama sekali, susah sekali makan.

Jadi ini perlu dilatih. Yang kedua misalnya dalam hal kebersihan. Ada anak-anak yang kalau sudah misalnya buang air dan sebagainya tidak mau membersihkan ini perlu dilatih juga supaya mereka bisa mengendalikan dirinya. Yang ketiga misalnya dalam hal kontrol emosi jadi seperti Bapak katakan tadi, kalau marah anak kadang-kadang berteriak-teriak dan sebagainya. Nah kalau ini dibiarkan, lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan dan susah untuk dikontrol kembali. Yang keempat misalnya dalam hal perkataan jadi ada anak-anak yang tidak bisa menahan diri dengan mengata-ngatai orang dengan kata-kata yang kasar, kotor dan sebagainya.
GS : Itu 'kan biasanya mereka mencontoh, misalnya dalam hal pola makan, kalau orangtuanya hanya makan menu-menu tertentu, dia akan mengikuti itu biasanya.

HE : Ya ini baik sekali, Pak Gunawan. Memang kadang-kadang anak meniru tetapi juga tidak sepenuhnya demikian. Jadi memang dalam cara kita untuk mengendalikan diri mereka, salah satunya adalah mmberikan contoh.

Dalam hal ini seperti yang dicontohkan oleh Pak Gunawan dalam hal makan kita juga perlu mengontrol diri.
GS : Tapi ada anak yang oleh pembantunya kalau makan mesti di jalan, itu saya sering kali melihat. Jadi terus diajak keliling-keliling jalan-jalan sambil disuapi, kalau tidak maka dia tidak mau. Apakah itu termasuk harus dilatihkan supaya dia bisa makan di meja makan atau di rumah paling tidak, begitu Pak.

HE : Sebaiknya begitu, itu kalau kita menginginkan anak bisa makan dengan tertib di rumah, di meja makan, supaya terjadi sosialisasi begitu ya, supaya dia bisa menyesuaikan diri dengan masyarakt.

Untuk membantu supaya dia mengendalikan diri, memang harus dilakukan tahap demi tahap supaya dia bisa diarahkan dari cara yang kurang baik seperti itu.
WL : Pak, kalau kita perhatikan mengapa banyak anak yang selain tadi pola makannya Pak Gunawan bahas seperti itu, tapi juga makannya berantakan, tercecer ke mana-mana, susunya ada di mana-mana, tapi ada anak-anak lain yang kelihatannya cukup bersih dengan dirinya rapi, tanpa kita harus memarah-marahinya. Apa yang menyebabkan ada perbedaan seperti itu, ya?

HE : Ini pertanyaan yang baik sekali. Jadi memang ada anak-anak yang secara bawaan lebih bisa mengendalikan diri dalam hal-hal tertentu. Kita bisa katakan, ada anak yang sulit, ada anak yang seang-sedang saja, gampang-gampang sulit atau sulit-sulit gampang dan yang ketiga ada anak yang gampang.

Jadi dengan latihan sedikit saja mereka bisa mengendalikan diri. Memang ada anak yang kita perlu lebih bersusah payah membantu mereka, ada juga yang lebih mudah.
GS : Pak Heman, selain kita bisa melatih dalam pola makan, kebersihan, lalu kontrol emosi dan perkataan, apakah ada yang lain, Pak Heman?

HE : Masih ada beberapa hal yang lain lagi yaitu misalnya kita juga perlu membantu mereka mengendalikan diri dalam hal penggunaan waktu karena kadang-kadang misalnya mereka main terus dan tidakmau melakukan kegiatan yang lain atau tidur terus kalau tidak dibangunkan mereka tidak bangun dan sebagainya.

Kemudian selanjutnya dalam hal penggunaan uang terutama untuk anak-anak yang sudah sekolah dan kita berikan uang saku, mereka perlu mengatur penggunaan uang itu. Juga untuk anak-anak yang sudah lebih besar masuk dalam masa pubertas atau remaja, mereka perlu diajarkan pengendaian diri dalam hal seksual juga.
WL: Pak Heman, tadi menarik sekali dijelaskan tentang pengendalian diri dalam hal waktu, penggunaan waktu. Kalau misalnya ada anak yang sangat energik, Pak Heman, agak sulit disuruh istirahat, inginnya main melakukan aktifitas dan sebagainya begitu. Itu ada pengaruhnyakah dari keunikan masing-masing anak pada waktu kita mengajarkan mengendalikan diri?

HE : Ya ketika kita membantu mereka mengendalikan diri, kita memang juga harus melihat keunikan mereka masing-masing. Jadi kita tidak bisa memberikan target yang terlalu tinggi kepada mereka, krena dengan mereka diberi target yang terlalu tinggi, mereka tidak bisa mencapai lalu mereka juga frustrasi, membuat mereka malas untuk melatih diri.

Jadi ini bagian penting, karena kadang-kadang seorang anak bisa berpikir, "Ah saya tidak mungkin bisa mengendalikan diri saya" dan akhirnya semau-maunya.
GS : Bagaimana peran orangtua dalam hal membantu anak remajanya dalam pengendalian diri bidang seksual itu, Pak?

HE : Tentang bidang seksual, kalau anak sudah mencapai masa pubertas orangtua perlu sedikit banyak memberitahukan dan memberikan mereka pendidikan seks jadi mereka tahu apa yang mereka akan alai dan apa yang akan mereka hadapi.

Rangsangan atau godaan seksual apa yang akan mereka temui dan setelah itu mereka perlu dipersiapkan untuk masa pacaran. Jadi orangtua perlu banyak diskusi dengan mereka, nah tentu hal semacam ini perlu persiapan-persiapan sebelumnya di dalam kontrol pengendalian diri yang lain seperti yang disebutkan tadi antara lain juga dalam hal penggunaan waktu. Misalnya mereka berpacaran dan mereka sudah dapat mengendalikan emosinya, juga penggunaan waktunya, mereka akan lebih mudah dilatih untuk menghadapi hal-hal seksual.
WL : Pak Heman, ternyata banyak sekali hal-hal yang perlu kita perhatikan dalam mendidik anak terutama bidang mengendalikan diri anak. Kira-kira Pak Heman bisa memberikan panduan atau prinsip-prinsip apa yang perlu kita mengerti dalam hal melatih mereka ini, Pak.

HE : Saya kira ada dua kunci terpenting ketika kita membantu anak mengendalikan diri yaitu yang pertama kita harus sabar untuk mengikuti tahap-tahap usia dan kemampuan mereka, jadi seperti tadisudah dijelaskan bahwa setiap anak berbeda di dalam hal kecepatan menyesuaikan diri, kecepatan belajar menguasai diri.

Kita tidak memberikan target yang terlalu tinggi sehingga anak itu frustrasi. Kemudian yang kedua, kita memberikan contoh dan arah dari tingkah laku yang diharapkan. Sering kali masalahnya adalah begini, kita lebih mudah melarang anak untuk tidak melakukan ini, tidak melakukan itu, sehingga anak tidak belajar untuk melakukan sesuatu secara terkendali, sebagai contohnya misalnya kita tidak membolehkan anak itu main, main di luar rumah, main di dalam rumah, anak itu harus belajar terus misalnya. Ini sebetulnya kurang baik untuk pengendalian diri karena bagi seorang anak mereka juga perlu bermain untuk berkembang lebih sehat. Jadi masalahnya di sini adalah bagaimana agar kita memberikan kesempatan kepada mereka untuk bermain. Dalam hal uang, kita memberikan uang kepada mereka untuk belajar menggunakan uang. Yang penting adalah kita memberikan batas dan juga memberikan keseimbangan kepada mereka, mana waktu untuk belajar, mana untuk istirahat, bermain dan juga uang seberapa ia boleh pakai untuk apa dan sebagainya.
GS : Menjadi kesulitan bagi kita orangtua, Pak Heman, karena batasan itu sulit untuk kita tetapkan secara tegas. Pada masing-masing keluarga itu berbeda-beda, lalu usia tadi Pak Heman juga katakan, berbeda-beda lagi. Untuk mengubah-ubah ini, batasan ini supaya jelas bisa diikuti anak, tidak terlampau tinggi tetapi juga tidak terlalu mudah untuk dilakukan sehingga memotivasi mereka untuk memenuhi ini. Nah orang cenderung membiarkan atau cenderung bersikap ekstrim begitu ketatnya sehingga kelihatan aneh, buat yang dilatih juga terlalu berat dan orangtuanya juga marah-marah terus karena anak tidak bisa mencapai tujuan itu, Pak Heman. Nah itu bagaimana?

HE : Ya betul sekali. Kalau kita terlalu kaku, terlalu ketat di dalam melarang anak ini dan itu kita memang akan menjadikan anak juga terlalu kaku atau malah sebaliknya dia tidak bisa mengendalkan diri dengan baik ketika dia diberi kebebasan.

Betul ada kesulitan bagaimana menetapkan batas-batas seperti ini. Kita hanya bisa memberikan prinsipnya, tapi kita memang tidak bisa memberikan pastinya itu seperti apa. Sebagai contoh masalah penggunaan uang, kalau keluarga yang cukup mampu tentu akan bisa memberikan kebebasan dan kelonggaran yang lebih banyak bagi anak tapi saya juga mengetahui ada keluarga-keluarga mampu yang karena ingin mengendalikan anaknya dan membantu anaknya mengendalikan diri, dia memberikan jatah tertentu yang secukupnya saja supaya anak bisa hidup dengan itu. Jadi misalnya anaknya masih perlu naik angkot meskipun dia bisa punya supir untuk antar jemput dan sebaliknya untuk melatih anaknya itu. Jadi memang tergantung masing-masing keluarga dan prinsip mendidik anak dari setiap keluarga, tapi prinsipnya di sini kalau anak sudah bisa mengatur dirinya sendiri sampai pada tahapan tertentu kita perlu memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada mereka. Sebagai contoh misalnya kalau anak diberikan uang Rp. 5.000,- selama seminggu dan dia bisa mempertanggungjawabkan penggunaannya dan kita tahu dia cukup dengan uang Rp. 5.000,- itu, maka kita bisa memberikan uang lebih dari itu dan kemudian meminta dia untuk menabung sisanya. Nah kalau kita lihat bahwa ternyata dia tidak bisa menabung, kita perlu membantu dia setengah memaksa dia untuk menyisakan uang sejumlah tertentu sampai kalau dia sudah bisa, diberikan kelonggaran yang lebih besar lagi dan seterusnya.
WL : Pak Heman, kalau dari penjelasan-penjelasan Pak Heman bila saya tidak salah tangkap, jadi yang mau dilatih adalah kemampuan anak mengendalikan diri dari dalam diri anak. Kalau pun tidak ada orangtua, anak ini tetap bisa mengendalikan. Tapi apakah faktor-faktor luar penting juga atau Pak Heman bisa memberikan beberapa ciri dari orang yang bisa mengendalikan diri.

HE : Kalau tentang pengendalian diri ini kita bisa kenali dari beberapa ciri sehingga kita bisa bedakan itu misalnya orang itu begitu kaku atau begitu takut dan misalnya dia kehilangan kontroldirinya dia bisa lebih kacau lagi.

Nah orang yang bisa mengendalikan diri, ditandai oleh dia itu mampu menunda pemenuhan keinginan atau dorongan dia. Misalnya harus menunda makan yang enak dan sebagainya, dia bisa menunda. Ini berarti dia bisa mengendalikan diri. Yang kedua, dia mampu mengalihkan dorongan ke arah yang lebih berguna, misalnya kalau dia masih bisa bermain tetapi lebih penting untuk saat ini dia memprioritaskan hal lain, misalnya belajar dan sebagainya, maka dia harus bisa mengorbankan kenikmatan yang dia inginkan dari bermain itu. Yang ketiga cirinya adalah kemampuan untuk mengenali batas-batas, ini yang paling sulit barangkali yaitu bagaimana kita tetap bisa melakukan sesuatu tapi kita tahu batas, tetap menggunakan uang tapi sesuai dengan keperluan kita yang penting dan tidak melebihi batas kemampuan. Tetap bisa menyatakan kemarahan tapi dengan kata-kata yang lebih baik dan lebih bisa diterima orang lain. Tetap makan tetapi tidak sampai merusak kesehatan, ini ciri-ciri orang yang mengetahui batas dan juga bisa mengendalikan diri.
GS : Pak Heman, ada beberapa anak yang memang dari lahirnya mungkin diberi energi yang agak lebih sehingga yang kelihatan adalah dia sangat aktif sekali, larinya dan sebagainya, banyak sekali kegiatan yang dia lakukan nah orangtua kesulitan untuk membantu mereka menerapkan apa yang kita bicarakan yaitu mengendalikan diri. Apakah memang perlu terhadap anak-anak yang seperti ini juga diberlakukan pengendalian diri?

HE : Tetap perlu agar mereka sesuai dengan batas kemampuan mereka tetap bisa berlatih untuk mengendalikan diri, karena kalau tidak maka ini akan menyulitkan mereka di masa-masa mereka dewasa, ktika mereka harus bekerja dan sebagainya.

Jadi memang ada kesulitan tetapi bukan berarti kita lalu menyerah dan lepas tangan. Yang sulit dalam hal ini biasanya orangtua tidak sabar, frustrasi lalu orangtua sendiri tidak bisa mengendalikan dirinya waktu menghukum, memberikan sanksi dan sebagainya. Yang kita perlu hati-hati adalah kita juga perlu menerima kekurangan mereka, jadi kita tetap berusaha membantu mereka tetapi kita juga mengetahui bahwa mereka tidak seperti anak-anak yang lain yang lebih mudah diatur dan mereka tetap perlu diberi cara-cara untuk mengendalikan diri sesuai dengan kemampuan mereka, jadi tidak memasang target yang terlalu tinggi.
GS : Bagaimana kalau anak itu sudah dilatih, sudah dicoba oleh orangtua untuk dilatih tapi tetap nanti kalau sudah dewasa karena pengaruh lingkungan dan sebagainya, lalu tak terkendali lagi sampai orangtuanya kewalahan.

HE : Nah ini tadi karena ada masalah yaitu masalahnya adalah kalau anak terus-menerus diawasi, dibantu terus-menerus untuk mengendalikan diri dan kendali itu selalu dipegang oleh orangtua, akibtnya lalu anak-anak jadi bergantung pada pengendalian dari luar diri mereka.

Jadi caranya yang lebih baik adalah anak-anak ini ketika sudah berhasil melatih diri, menguasai diri sampai tahap tertentu mereka harus dilepas pelan-pelan. Dengan melepas mereka perlahan-lahan nantinya kita harapkan mereka bisa sepenuhnya mandiri, sepenuhnya mengendalikan diri sehingga kita tidak perlu mengawasi mereka lagi atau paling tidak sekali-sekali saja memantau mereka. Kalau tahapan ini bisa dijalankan, maka mereka akan lebih bisa mengontrol dirinya sekali pun tanpa pengawasan. Jadi itu tumbuh dari dalam.
GS : Mungkin yang paling sulit itu pada masa anak-anak ini menginjak masa remaja, Pak. Itu terasa lebih sulit membantu mereka dalam hal pengendalian diri dibandingkan ketika mereka masih kanak-kanak dimana kita mengasuh hampir sepenuhnya.

HE : Ya betul karena itu kita harus betul-betul menyiapkan mereka ketika mereka anak-anak, lebih mudah dilatih dan juga mereka lebih taat. Pada masa remaja itu saatnya kita untuk makin banyak mmberi kebebasan kepada mereka, sekali-sekali kita tegur dan bila dasar pengendalian diri itu sudah tertanam sejak anak-anak, maka biasanya lebih mudah untuk mengatur mereka pada waktu remaja.

WL : Ada beberapa pasang orangtua atau suami istri yang nampaknya kalau dari luar kelihatan sopan, cukup OK begitu, tapi kadang-kadang anaknya bila minta sesuatu tidak diberi itu bisa menangis meronta-ronta atau berguling-guling di depan orang-orang atau ketika ada acara tertentu. Nah itu apakah karena di rumah tidak dilatih masalah pengendalian diri atau ada faktor lain, Pak Heman?

HE : Kemungkinan besar anak-anak ini tidak dilatih untuk mengendalikan diri. Dalam hal ini kemungkinan besar yang terjadi ketika anak berguling-guling lalu orangtua menuruti apa yang diinginkanoleh anaknya.

Jadi dalam hal ini anak tidak belajar lagi untuk misalnya menunda yang seperti tadi kita bicarakan. Kalau dia mau dia berguling-guling dan dia segera mendapatkan yang dia inginkan, tapi kalau dia bisa dilatih untuk menunda kemudian dia dilatih tidak boleh memperlihatkan kemarahan dalam bentuk yang demikian maka saya percaya hal ini tidak akan terjadi.
GS : Pak Heman, sebelum kita mengakhiri perbincangan ini, apakah ada ayat di dalam Alkitab yang mendukung perbincangan ini, Pak?

HE : Ada, saya ingin bacakan untuk kita semua dari 1Korintus 9:24-27, ini sebetulnya adalah tulisan dari Rasul Paulus waktu dia menceritakan bagaimana dia berusaha menguasai diriny, mengendalikan dirinya ketika dia memberitakan Injil, tetapi bukan dalam pemberitaan Injil saja ini diperlukan namun dalam segenap aspek kehidupan kita sebagai orang percaya.

"Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak".

GS : Baik Pak Heman. Terima kasih untuk perbincangan pada kesempatan ini, juga Ibu Wulan terima kasih. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Kami baru saja berbincang-bincang dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga) dan kami mengangkat suatu topik yang berjudul "Membantu Anak Mengendalikan Diri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



36. Masalah Anak Belajar Disekolah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T209A (File MP3 T209A)


Abstrak:

Tatkala anak mulai tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah pada umumnya kita beranggapan bahwa anak itu malas. Sesungguhnya ada banyak alasan mengapa anak mengalami kesukaran belajar; kemalasan hanyalah salah satunya. Ada 7 alasan mengapa anak mengalami kesukaran belajar yang dibahas dalam bagian ini.


Ringkasan:

T 209 A "Masalah Anak Belajar di Sekolah" oleh Pdt. Paul Gunadi

Tatkala anak mulai tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah pada umumnya kita beranggapan bahwa anak itu malas belajar. Itu sebabnya biasanya kita bereaksi dengan menegurnya dan pada akhirnya meminta bantuan guru les. Sesungguhnya ada banyak alasan mengapa anak mengalami kesukaran belajar; kemalasan hanyalah salah satunya.

  1. Anak tidak bisa mengikuti pelajaran karena kecerdasannya tidak memadai. Orangtua mesti menilai kemampuan anak dengan tepat dan menyekolahkannya di sekolah yang sesuai dengan kesanggupannya. Jika kita melihat bahwa anak telah berusaha dan dengan tekun belajar namun hasilnya tetap tidak memadai, itu berarti tuntutan sekolah melampaui kesanggupannya. Bila kita memaksakannya anak akan tertekan dan sebagai akibatnya, aspek lain dari perkembangan dirinya akan terganggu.
  2. Anak tidak bisa mengikuti pelajaran karena pelajaran disampaikan dengan cara yang tidak sesuai dengan cara belajarnya. Anak belajar dengan cara yang berbeda: ada yang cenderung berpikir abstrak namun ada yang berpikir konkret; ada yang belajar berurut dan ada yang belajar secara acak. Seorang guru tidak selalu dapat menyampaikan dan menjelaskan materi pelajaran yang cocok untuk setiap anak didik. Itu sebabnya penting bagi kita orangtua untuk mengenali cara belajar anak dan pola pikirnya. Bila setelah menjelaskannya dengan cara berbeda anak mengerti, itu berarti pola pembelajaran di sekolah tidak pas untuknya dan kitalah yang harus berperan membantunya di rumah.
  3. Anak mengalami kesukaran karena minat belajarnya terbatas pada satu atau pelajaran saja. Jika dirata-ratakan anak mesti menguasai sekitar 10 mata pelajaran. Masalahnya adalah sepuluh mata pelajaran ini mewakili sepuluh bidang keahlian dan sedikit manusia yang dapat menguasai sepuluh bidang keahlian. Makin merata keahlian seseorang, makin dapat ia mengikuti pelajaran-pelajaran itu semua. Namun bila kemampuannya terfokus pada satu atau dua bidang saja, sudah tentu ia akan mengalami masalah dalam bidang lainnya. Tugas orangtua adalah menolong anak agar dapat melewati pelajaran-pelajaran lainnya. Ia tidak usah mendapat nilai 10, nilai 6 pun memadai sebab pada akhirnya ia akan mengembangkan bidang keahliannya di tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
  4. Anak mengalami kesulitan belajar karena alasan pribadi yang berkaitan dengan pengajar. Misalnya ada anak yang tidak menyukai pelajaran tertentu karena ia tidak menyukai kepribadian pengajarnya. Bisa pula ia tidak menyukai pengajar karena pernah diejek atau dipermalukan. Sebagai akibatnya ia tidak memberi perhatian apalagi menumbuhkan minat pada bidang tersebut. Nilainya pun akhirnya merosot. Sebagai orang tua kita harus membantu anak untuk memisahkan pengajar dan ajarannya; melalui contoh konkret kita menjelaskan materi pelajarannya dan menumbuhkan minatnya sebab sayang sekali kalau gara-gara faktor pribadi, ia kehilangan kesempatan mengembangkan minat pada bidang yang dikuasainya itu.
  5. Anak mengalami kesukaran belajar akibat perlakuan teman yang tidak bersahabat. Akhirnya ia tidak suka ke sekolah dan sukar berkonsentrasi belajar sebab ia kerap merasa takut ke sekolah. Membayangkan sekolah saja sudah membuatnya tertekan, apalagi pergi ke sekolah. Kalau ini yang terjadi, maka kita perlu melindunginya. Kita dapat menawarkan bantuan kepadanya namun bila ia menolak, berilah kesempatan kepadanya untuk menyelesaikan masalah itu dengan temannya. Sudah tentu kita harus menawarkan masukan tentang apa yang dapat dilakukannya untuk mengatasi masalah dengan temannya.
  6. Anak mengalami kesukaran belajar akibat masalah rumah tangga. Problem orangtua pada akhirnya menjadi problem anak pula sebab anak akan terpengaruh olehnya. Biasanya anak menjadi tegang dan sulit berkonsentrasi akibat pertengkaran yang didengarnya semalam. Kadang anak khawatir bahwa orangtua akan bertengkar lagi tatkala ia berada di sekolah dan mungkin salah satu akan mengalami luka. Jika ini yang terjadi, orangtua mesti mencari pertolongan dan menyelesaikan masalahnya.
  7. Anak mengalami kesukaran belajar sebab baginya bermain jauh lebih menyenangkan daripada belajar. Ketersediaan mainan dapat menjadi cobaan yang terlalu sulit untuk ditampik anak; akhirnya ia asyik bermain dan lupa waktu dan lupa tanggung jawab. Orangtua mesti membatasi waktu bermain anak namun tidak seharusnya orangtua melarang anak bermain sama sekali. Anak perlu bermain setiap hari untuk menyeimbangkan hidupnya kembali. Dengan pengawasan, anak seharusnya diizinkan waktu bermain agar ia dapat menyegarkan jiwanya kembali.ol>

    Firman Tuhan: Didiklah anakmu maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu dan mendatangkan sukacita kepadamu. (Amsal 29:17)


Transkrip:

T 209 A

Lengkap

"Masalah Anak Belajar di Sekolah" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Masalah Anak Belajar Di Sekolah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, anak memang perlu belajar di sekolah, tetapi sering kali itu juga menimbulkan tantangan dan menimbulkan masalah-masalah dalam diri anak dan juga dalam diri orangtua itu. Masalah-masalah apa yang biasanya muncul?

PG : Ada banyak masalah yang dihadapi oleh anak-anak kita jadi kalau kita sekarang ini mengadakan survey di kalangan orangtua dan bertanya apa itu masalah yang dihadapi dalam keluargamu, akan bnyak yang menjawab masalah anak-anak belajar di sekolah.

Ada beberapa yang ingin kita bahas pada saat ini, yang pertama adalah adakalanya anak-anak tidak bisa mengikuti pelajaran karena kecerdasannya tidak memadai. Orangtua mesti menilai kemampuan anak dengan tepat dan menyekolahkannya di sekolah yang sesuai dengan kesanggupannya. Jika kita melihat anak sudah berusaha dan dengan tekun belajar namun hasilnya tetap tidak memadai, itu berarti tuntutan sekolah melampaui kesanggupannya. Bila kita memaksakannya, dikhawatirkan anak akan tertekan dan sebagai akibatnya aspek lain dari perkembangan dirinya akan terganggu. Jadi sekali lagi anak belum tentu yang mengalami masalah belajar di sekolah adalah anak yang malas, bisa jadi inilah salah satu penyebabnya.
GS : Kadang-kadang dengan gampangnya orangtua itu menganggap anaknya malas, anaknya bodoh, kemudian dicarikan guru les; menambah jam pelajaran. Nah ini menjadi masalah baru bagi anak karena jam bermainnya menjadi berkurang Pak Paul?

PG : Betul, dan les itu saya kira suatu kepanjangan sekolah. Jadi di sekolah sudah tujuh jam belajar kemudian pulang ke rumah dari jam 04.00, jam 05.00 terus sampai jam 09.00 malam, jadi bolehdikatakan anak ini sejak melek mata sampai tutup mata yang dia lakukan adalah belajar.

Itu akhirnya menjadi beban yang terlalu berat untuk ditanggungnya, jadi langkah pertama periksalah, apakah anak kita memang memiliki kecerdasan yang memadai untuk disekolahkan di sekolah itu. Jangan kita ini terlalu beranggapan anak kita pasti bisa kalau saja dia rajin; belum tentu, karena tidak semua sekolah sama. Ada sekolah yang sangat menekankan prestasi akademik dan akan memberikan tuntutan yang sangat tinggi, jadi kita mesti menyadari kemampuan anak kita.
GS : Biasanya justru orangtua terobsesi untuk anak-anaknya sekolah di sekolah favorit yang notabene justru sangat menekankan prestasi akademik.

PG : Sudah tentu saya tidak mengecilkan sumbangsih sekolah yang baik, pasti akan banyak sumbangsih dalam kehidupan seorang anak, tapi akan jauh lebih baik jika anak bersekolah di mana dia bisa erprestasi sehingga dia bisa bangga dengan dirinya.

Kalau disekolahkan di sekolah yang terlalu susah meskipun dia bisa melewatinya, tapi kalau nilainya terus di bawah dan anjlok dan mungkin dia menjadi anak yang paling lemah di kelasnya itu justru akan berdampak buruk pada penghargaan dirinya.
GS : Mungkin ada yang lain, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah kadangkala anak tidak bisa mengikuti pelajaran karena pelajaran disampaikan dengan cara yang tidak sesuai dengan cara belajarnya. Anak belajar dengan cara yang berbeda, da anak yang berpikir abstrak namun ada anak yang berpikir konkrit.

Sudah tentu yang harus kita lakukan adalah menyesuaikannya; kalau anak itu belajar dengan abstrak berarti apa yang kita sampaikan lewat perkataan bisa dia bayangkan dan dia cerna. Tapi kalau berpikirnya konkrit, sang guru menjelaskan lewat perkataan si anak tidak bisa membayangkan, si anak tidak bisa menerbitkan konsep itu di dalam pikirannya, akibatnya dia tidak bisa mengikutinya. Berikutnya ada anak yang belajar berurut, mesti dijelaskan satu persatu baru dia bisa mengikuti. Tapi ada anak yang belajarnya acak, justru kalau dijelaskan satu persatu materi yang sama diajarkan kemarin, diajarkan hari ini, diajarkan besok ditambah sedikit demi sedikit wah dia bosan sekali karena bukan begitu cara belajarnya. Akibatnya yang terjadi adalah dia tidak belajar dengan efektif. Tapi saya memahami guru tidak bisa menyampaikan dan menjelaskan materi pelajaran yang cocok untuk setiap anak; itu sebabnya penting bagi kita orangtua mengenali cara belajar anak dan pola pikirnya. Bila setelah menjelaskannya dengan cara berbeda dan anak mengerti, itu berarti pola pembelajaran di sekolah tidak pas untuknya dan kita yang harus berperan membantunya di rumah.
GS : Itu mungkin bedanya antara pengajar dan pendidik; seorang pendidik itu lebih tahu dan menyesuaikan dirinya terhadap bagaimana daya serap anak itu; yang mengajar hanya mengajar begitu saja.

PG : Idealnya demikian Pak Gunawan, dan saya mengerti bahwa para pengajar di sekolah pun berusaha untuk menerapkan konsep itu dalam proses belajar mengajar. Tapi dengan adanya 30, 40 anak dala satu kelas si pengajar akan mengalami kesulitan menyesuaikan metode mengajarnya yang pas bagi setiap anak, jadi di sini orangtua mesti berperan.

Kalau kebetulan anaknya berpikir abstrak dan belajarnya berurut, hampir dapat dipastikan si anak akan mudah mengikuti pelajaran di sekolah. Tapi kebalikannya kalau cara berpikirnya sangat konkrit, dia mesti melihat contoh-contoh yang langsung dan cara belajarnya juga sangat acak, tidak bisa yang sama; variatif akan lebih baik buat dia. Di rumahlah orangtua mengilustrasikannya, memberikan ilustrasi, memberikan contoh-contoh yang konkrit sehingga si anak bisa mencernanya. Kalau orangtua tidak berperan seperti itu, sudah tentu si anak akan mengalami kesukaran. Dan saya kira tidak adil kalau orangtua langsung menuduh bahwa si anak malas dan sebagainya, sebab duduk masalahnya bukan pada kemalasan itu.
GS : Orangtua perlu mendampingi anak di dalam belajar, sebaiknya ayah atau ibu yang mendampingi anak?

PG : Sebisanya memang yang mempunyai waktu, sebab kita tahu kalau kita tidak mempunyai waktu kita akan mudah marah, kita tidak sabar dengan anak. Yang kedua adalah yang memang bisa mengajarkandengan cara yang dimengerti oleh anak.

Karena kadang-kadang anak yang satu cocok dengan si ayah, anak kedua cocok dengan si ibu; tidak mesti sama sebab kadang-kadang cara belajar dan cara berpikir orangtua pun berbeda, dan cocoknya dengan anak tertentu. Jadi saya menyerahkan hal ini kepada orangtua, yang penting ialah lihatlah yang paling cocok untuk melakukannya.
GS : Orangtua kadang-kadang mencoba menerapkan pola belajar waktu dia dulu masih sekolah setingkat dengan anaknya ini.

PG : Nah kadang-kadang itu yang kita lakukan, apalagi kalau kita dulu tidak mengalami masalah dalam belajar kita akan susah mengerti kenapa anak kita begitu. Misalkan, kita ini berpikir abstra sehingga kita mudah mengerti perkataan-perkataan karena sudah bisa langsung membuahkan konsep itu dalam benak kita.

Tapi misalkan kita menikah dengan seseorang yang cara berpikirnya sangat konkrit, sudah tentu salah satu anak kita akan mungkin seperti pasangan kita atau mungkin semua anak kita seperti pasangan kita. Jadi kita mungkin akan mengalami kesukaran menerima fakta itu, haruslah kita terima bahwa inilah cara belajar anak kita dan memang berbeda dari kita.
GS : Ada beberapa anak yang menyukai pelajaran di sekolah hanya satu atau dua bidang mata pelajaran, ini bagaimana?

PG : Biasanya kalau anak itu sangat berminat pada satu atau dua pelajaran atau sangat baik pada satu atau dua mata pelajaran, ada kecenderungan dalam mata pelajaran yang lainnya dia akan lemah. Jadi jarang anak itu bisa baik dalam semua mata pelajaran, kebanyakan hanya beberapa.

Tapi ada anak-anak yang ekstrim, dia sangat kuat dalam matematika, luar biasa kuatnya dalam matematika, tapi dalam bidang-bidang yang lain luar biasa lemahnya. Namun kalau dia rata-rata di bidang satu dan dua, kebanyakan di bidang-bidang yang lainnya pun lebih rata-rata. Kita memang harus peka melihat anak kita, kita mesti menyadari satu fakta ini. Di sekolah misalkan rata-rata ditawarkan 10 mata pelajaran. Sepuluh mata pelajaran ini mewakili 10 bidang keahlian; bukankah sedikit manusia yang bisa menguasai 10 bidang keahlian. Makin rata keahlian seseorang mengikuti mata pelajaran itu semua, tapi bila kemampuannya terfokus pada satu atau dua bidang saja, biasanya dia mengalami masalah dalam bidang lainnya. Tugas kita orangtua menolong anak agar anak dapat melewati pelajaran-pelajaran lainnya. Kita tekankan pada anak, "engkau tak usah mendapatkan nilai 10, nilai 6 pun memadai," sebab pada akhirnya dia yang akan mengembangkan bidang keahliannya di tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
GS : Pak Paul, kadang-kadang memang sulit untuk mencapai nilai 6 pun kadang-kadang buat anak itu menjadi masalah tertentu, sehingga kalau pun ada angka di bawah 6 sebenarnya masih ditolerir selama dia masih normal-normal saja.

PG : Betul, kalau misalkan angka 5 diizinkan untuk lulus dan sebagainya ya tidak apa-apa. Nah ini kita sedang membicarakan anak yang sangat kuat dalam satu bidang tertentu dan lemah dalam bidag-bidang yang lainnya.

Ya sudah kita terima saja, kalau misalkan dia sudah kuliah dia masuk ke bidangnya, di situlah kita melihat dia berkembang dengan sangat cepat. Dalam bidang-bidang yang lainnya ya kita harus tahan, minta kita dia harus tahan dan sabar. Kita jelaskan, bahwa ini sesuatu yang wajar, tidak apa-apa, dia bukanlah bodoh tapi memang kekuatannya terkonsentrasi pada satu bidang saja sehingga bidang-bidang yang lainnya dia lemah. Ini perlu kita sampaikan jangan sampai si anak akhirnya merasa minder, "kok saya tidak bisa Sejarah, tidak bisa Bahasa, tidak bisa mengarang, tidak bisa bidang sosial," tapi misalkan di Fisika dia sangat baik. Kita katakan, "Ini adalah karunia Tuhan, dan Tuhan tidak mengaruniakan persis sama kepada semua anak."
GS : Kalau yang diminati oleh anak itu sesuai dengan apa yang diminati oleh orangtua itu tidak terlalu menjadi masalah, yang menjadi masalah itu kalau apa yang diminati anak ini tidak sesuai dengan yang diminati orangtua.

PG : Saya memahami Pak Gunawan, bahwa kita sebagai orangtua mempunyai idealisme, kita menginginkan anak kita menjadi apa tapi kita mesti mengingat bahwa hidupnya adalah tanggung jawabnya dan di yang harus menghidupi kehidupannya itu; kita tidak boleh mendudukinya dan memasukkan kehidupan kita ini kepada dirinya.

Tuhan tidak menganugerahkan karunia yang sama kepada anak kita, mungkin berbeda tapi kita perlu menerimanya. Misalnya meskipun kita kurang begitu menghargai bidang tersebut tapi kalau bidang itulah yang dikuasainya dan dia tidak menguasai bidang yang lain ya terimalah, ucapkan syukur kepada Tuhan, percayalah Tuhan yang telah memberikan bidang keahlian ini kepada anak kita; Tuhan pulalah yang akan memakainya, Tuhan tidak akan menyia-nyiakan anak kita.
GS : Apakah hubungan antara anak dan pengajar dalam hal ini gurunya itu berpengaruh pada masalah yang muncul?

PG : Biasanya berpengaruh Pak Gunawan, ini salah satu masalah yang kita mesti juga cermati. Adakalanya anak-anak tiba-tiba malas belajar, biasanya OK-OK saja, tapi ini mulai anjlok, kita mestiselidiki kenapa.

Kadang-kadang yang terjadi adalah si anak tidak suka dengan pengajarnya. Misalnya dia tidak menyukai kepribadian pengajarnya atau bisa pula dia tidak menyukai pengajarnya karena pernah diejek atau dipermalukan; sebagai akibatnya dia tidak memberikan perhatian apalagi menumbuhkan minat pada bidang tersebut. Nilainya pun akhirnya merosot, nah kita sebagai orangtua harus membantu anak untuk memisahkan pengajar dan ajarannya. Melalui contoh konkrit kita menjelaskan materi pelajarannya dan menumbuhkan minatnya, sebab sayang sekali kalau gara-gara faktor pribadi, dia kehilangan kesempatan mengembangkan minat pada bidang yang dikuasainya itu.
GS : Ini muncul ketika anak dibimbing oleh banyak guru, ketika masih kecil kelas 1 atau 2 masih tidak terlalu masalah karena gurunya hanya satu atau dua atau tiga orang. Tapi menginjak kelas 4, kelas 5, masing-masing guru pada bidangnya. Anak cenderung membanding-bandingkan sehingga muncul dia suka guru ini dan tidak suka guru yang itu. Nah terhadap guru yang tidak dia sukai, biasanya angkanya akan merosot.

PG : Betul dan sebagai pengajar saya kira perlu sensitif terhadap apa yang diucapkan atau yang dilakukannya. Saya kira adakalanya guru pun tidak berniat secara sengaja menjatuhkan anak, tapi krena kurang menyadari dampaknya, misalkan meledek si anak; mungkin dengan harapan bercanda atau humor tetapi rupanya si anak itu sangat terpukul, malu, merasa anak-anak lain menertawakan dia.

Akhirnya dia malas sekali mengikuti pelajaran tersebut. Kita tidak bisa menyalahkannya 100%, karena memang berpengaruh kalau kita tidak menyukai pribadi pengajar tersebut, kita akan sukar menikmati pelajarannya. Itu sebabnya tadi saya usulkan orangtualah yang mesti menambalnya, karena pada saat ini atau pada tahun ini si anak dididik oleh guru tersebut ya sudah harus diterima. Namun di rumah, orangtua kalau bisa mengajarkannya atau memanggil guru les yang juga baik yang bisa mengajarkannya sehingga si anak akhirnya mengembangkan kesukaan pada pelajarannya itu, dan tidak terpengaruh oleh si guru tersebut.
GS : Ada orangtua yang langsung datang ke sekolah dan menemui guru yang anaknya tidak senang, kemudian orangtua mengungkapkan ketidaksenangan anaknya. Akibatnya guru semakin tidak senang terhadap si anak itu.

PG : Dan si anak makin menderita dan menjadi korban. Idealnya guru pun bersifat profesional tatkala menerima tanggapan dari orangtua murid. Si guru hendaknya berhati besar menerima masukan it dan tidak membedakan si anak, tapi tidak semua pengajar seperti itu; ada yang mudah tersinggung, ada yang kurang berhati besar sehingga akhirnya justru malah bersikap lebih negatif terhadap si anak itu.

Di lain pihak saya pun mengerti menjadi guru tidaklah mudah sebab saya juga paham kanan-kiri mendapatkan kritikan, kalau ada masalah dengan anak kecenderungan orangtua menuding guru sebagai penyebabnya. Sedangkan ini yang coba kita lakukan menjelaskan kepada para pendengar bahwa banyak hal yang harus dilakukan oleh orangtua untuk menolong anak belajar dengan baik di sekolah, orangtua tidak bisa lepas tangan begitu saja. Jadi partisipasi orangtua memang dibutuhkan, jangan kita juga terlalu cepat menuding guru, sebab guru pun terbatas dan tugasnya pun terbatas di situ, selebihnya adalah tanggung jawab kita.
GS : Kalau hubungan dengan teman-teman di sekolah khususnya di kelas dia, apakah itu juga bisa mempengaruhi prestasi seorang anak?

PG : Bisa sekali Pak Gunawan, ini salah satu faktor yang orangtua mesti peka juga. Ada anak yang mengalami sulit belajar akibat perlakuan teman yang tidak bersahabat. Memusuhinya, mengejeknya menjadikan dia bulan-bulanan, akhirnya dia tidak suka ke sekolah dan sukar berkonsentrasi belajar, sebab dia kerap merasa takut ke sekolah.

Bahkan membayangkan sekolah saja sudah membuatnya tertekan, apalagi pergi ke sekolah. Kalau ini yang terjadi maka kita perlu melindungi anak kita, kita dapat menawarkan bantuan kepadanya, namun kalau dia menolak berikan kesempatan kepadanya untuk menyelesaikan masalah itu dengan temannya. Sudah tentu kita menawarkan masukan tentang apa yang dapat dilakukannya untuk mengatasi masalah dengan temannya itu.
GS : Biasanya masalah dengan teman bisa mereka selesaikan sendiri tetapi kalau sudah terlalu parah, apakah peran guru BP (bimbingan & penyuluhan/semacam konselor) bisa membantu?

PG : Seharusnya bisa, jadi guru BP bisa memanggil anak kita dan juga bisa memanggil anak yang mengejeknya. Mungkin di luar, dia akan tetap misalnya mengejek anak kita, tapi karena telah dilaprkan ke pihak sekolah dia akan takut.

Karena dia tahu kalau dia tetap melakukannya maka akan ada sanksi yang dijatuhkan kepadanya. Jadi meskipun dia tidak suka setidak-tidaknya ejekan-ejekannya atau sikap bermusuhannya itu akan berkurang. Jadi orangtua bisa menolong anak, tapi tadi juga saya tekankan tanyakan kepada si anak apakah perlu bantuan kami orangtua. Jangan sampai orangtua itu terlalu cepat membantu anak karena ini justru bisa menjatuhkan si anak. Kalau dia tidak bisa mengatasi masalah tapi malah mengundang orangtuanya, seolah-olah dia anak kecil tidak bisa mengatasi masalah dengan temannya. Jadi kita perlu bertanya anak kita sendiri, kalau dia bisa silakan kalau tidak bisa baru kita tawarkan bantuan.
GS : Apakah ada faktor lain yang membuat anak bermasalah di sekolah?

PG : Ada, yaitu kadang anak mengalami sulit belajar akibat masalah rumah tangga. Problem orangtua pada akhirnya menjadi problem anak, sebab anak akan terpengaruh dengan problem orangtua. Biasnya anak menjadi tegang dan sulit berkonsentrasi akibat pertengkaran yang didengarnya semalam.

Kadang anak khawatir bahwa orangtua akan bertengkar lagi atau ayah akan memukul ibu kalau dia berada di sekolah. Hal-hal seperti ini akhirnya masuk ke dalam benak anak hari lepas hari, akan mengganggu perasaannya, dan kalau perasaan si anak sudah terganggu, takut, khawatir, dia tidak akan bisa berkonsentrasi dengan baik. Justru kalau inilah masalahnya, orangtua juga mesti introspeksi diri. Mungkin sekali kamilah penyebabnya, kalau kami penyebabnya sebaiknya orangtua menyelesaikan masalah; carilah bantuan pihak ketiga untuk bisa menolong masalah mereka.
GS : Di samping itu kadang-kadang hubungan dengan kakak atau adik sering kali juga berpengaruh pada diri anak itu Pak Paul?

PG : Bisa, sebab saya juga tahu ada kasus di mana si adik kecil itu justru ditekan dan dianiaya bukan oleh orangtua tapi oleh kakaknya. Yang memang misalkan pemarah, suka semena-mena sehingga i anak tertekan sekali.

Dan bisa jadi orangtua tidak menyadari; orangtua pergi pagi sampai malam, pulang sudah letih, tidak tahu bahwa di rumah si adik sangat tertekan oleh tindakan kakaknya. Hal-hal seperti itu sudah tentu akan berpengaruh pada minat dan kemampuan anak belajar, jadi orangtua perlu peka melihat apakah mungkin justru faktor-faktor di rumahlah yang telah menyulitkan anak untuk belajar.
GS : Jadi kadang-kadang waktu anak itu belajar, kakaknya atau adiknya itu ramai sekali membuat kegaduhan, sehingga anak ini tidak bisa konsentrasi di rumah.

PG : Atau seperti itu adanya gangguan-gangguan, keributan, atau tetangga terlalu ribut sehingga akhirnya tidak bisa belajar dengan baik.

GS : Kadang-kadang anak harus tinggal di suatu lingkungan yang tetangga-tetangganya tidak mendukung. Misalnya menyalakan TV keras-keras, radio, dan sebagainya itu juga akan berpengaruh.

PG : Betul, kita pun di rumah mesti sensitif jangan sampai menyalakan televisi terlalu keras sehingga anak kita tidak bisa belajar juga.

GS : Faktor yang lain apa, Pak Paul?

PG : Anak mengalami sulit belajar, sebab baginya bermain jauh lebih menyenangkan daripada belajar. Apalagi sekarang begitu banyak mainan yang telah tersedia, nah semuanya ini menjadi cobaan yag sulit dilawan oleh anak.

Akhirnya dia lupa waktu, lupa tanggung jawab. Tugas orangtua di sini adalah membatasi waktu bermain anak, namun orangtua jangan melarang anak bermain sama sekali. Anak perlu bermain setiap hari untuk menyeimbangkan hidupnya kembali. Dia sudah belajar, dia tertekan juga di sekolah, lelah dan dia perlu main untuk menyegarkan dirinya. Jadi dengan pengawasan dari orangtua anak seharusnya diijinkan waktu bermain agar dia dapat kembali memulihkan jiwanya.
GS : Memang sekarang juga sulit mencari jenis permainan yang bisa menumbuhkan kreatifitas anak yang mendukung prestasinya di sekolah.

PG : Betul, kita mesti jeli juga sebetulnya mainan-mainan yang bisa dipakai untuk anak agar bisa menambah kemampuannya belajar. Tapi sudah tentu dalam bermain si anak tidak suka yang bersifat erlalu 'educational', berpendidikan, mereka justru lebih suka yang benar-benar menyenangkan.

Jadi kita mesti juga memberikan ijin itu asal yang penting ada batasnya.
GS : Ada pula anak yang terganggu pelajarannya di sekolah, karena penglihatannya kabur, Pak Paul.

PG : Itu betul, itu banyak terjadi Pak Gunawan, ada anak yang matanya tidak lagi jelas melihat papan tulis tapi duduk di belakang; dia sendiri pun tidak tahu bahwa itu masalahnya. Atau pendengrannya kurang, nah orangtua bisa perhatikan; kalau ini masalahnya coba periksa ke dokter, telinga dan mata diperiksa kalau itu bukan masalahnya, berarti masalahnya lain.

Tapi itu poin yang betul dan baik karena memang adakalanya itulah penyebabnya.
GS : Memang cukup banyak masalah yang dihadapi anak di sekolah dan peran orangtua sebenarnya sangat penting bukan hanya menuntut tetapi menuntun, membimbing anak ini, agar bisa berprestasi atau setidak-tidaknya bisa menunjukkan hasil yang baik di sekolahnya.

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Dalam hal ini Pak Paul apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin disampaikan?

PG : Amsal 29:17 berkata, "Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenangan, ketenteraman kepadamu. Dan mendatangkan sukacita kepadamu." Tugas kita mendidik anak, kalau kita mau ketenteramn dan sukacita kita harus mengeluarkan tenaga dan waktu mendidik anak.

Mengawasinya, membimbingnya, mengetahui penyebab-penyebab kenapa dia tidak bisa belajar dengan baik. Jangan menggampangkan dan langsung menuding dia malas tetapi kita hanya menuntut hasil, kita harus turun tangan dan mendidik anak.

GS : Jadi sebenarnya firman Tuhan yang Pak Paul sampaikan tadi selain memberikan petunjuk agar kita mendidik anak, tapi juga ada suatu janji bahwa itu akan memberikan ketenteraman dan akan mendatangkan sukacita pada orangtua. Jadi sebenarnya tidak sia-sia kita mendidik anak ini. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini pasti akan sangat bermanfaat bagi para pendengar kita. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Masalah Anak Belajar Di Sekolah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



37. Anak Lari dari Kenyataan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T209B (File MP3 T209B)


Abstrak:

Ada anak yang tidak mau belajar dan malah membenamkan diri dalam kegiatan lain yang lebih bersifat kesenangan. Ia tidak memiliki semangat belajar dan tidak peduli dengan sanksi yang diterimanya baik dari orangtua atau sekolah. Apakah yang terjadi pada anak ini? Pada dasarnya anak ini lari dari kenyataan. Disini akan dipaparkan apa yang menjadi alasan dan bagaimana cara mencegahnya.


Ringkasan:

T 209 B "Anak Lari dari Kenyataan" oleh Pdt. Paul Gunadi

Ada anak yang tidak mau belajar dan malah membenamkan diri dalam kegiatan lain yang lebih bersifat kesenangan seperti main video games atau skateboard. Ia tidak memiliki semangat belajar dan tidak peduli dengan sanksi yang diterimanya baik dari orangtua atau sekolah. Apakah yang terjadi pada anak ini? Pada dasarnya anak ini lari dari kenyataan. Berikut ini akan dipaparkan alasan dan pencegahannya.

  1. Di sini "kenyataan" yang tak dapat dihadapi anak adalah tuntutan pelajaran di sekolah. Ia tak sanggup lagi mengikuti proses belajar sehingga hari lepas hari ia hanya hadir di sekolah secara fisik namun tidak hadir secara mental. Sekolah menjadi sumber stres yang berat karena ia harus hadir setiap hari selama berjam-jam.
  2. Berbeda dari orang dewasa yang dapat menghadapi kenyataan buruk dengan pelbagai cara seperti berbagi atau berolah raga, anak biasanya tidak memahami cara untuk menghadapi stres. Responsnya biasanya adalah lari dan membenamkan dirinya di dalam aktivitas yang disenanginya.
  3. Untuk melupakan hari-hari yang tidak mengenakkan dan tidak memikirkan tanggung jawab yang menantinya, ia pun terus memfokuskan perhatiannya pada aktivitas sampingan itu.
  4. Selain berfungsi sebagai alat untuk melupakan stres, aktivitas sampingan kerap berfungsi sebagai penopang penghargaan dirinya yang tengah merosot. Dengan dia memahiri permainan tertentu, ia akan lebih percaya diri dan mendapatkan penerimaan dari teman.
  5. Pada akhirnya ia melupakan tanggung jawabnya untuk bersekolah; ia asyik memoles keterampilannya dan menolak melihat realitas.

Apa yang dapat kita lakukan bila hal ini terjadi pada anak kita?

q Sudah tentu langkah pertama adalah mencari tahu sumber masalahnya yakni apa itu yang membuatnya kehilangan motivasi untuk bersekolah.

q Kita tidak usah melecehkan aktivitasnya bahkan kalau perlu kita memujinya sebab memang pada akhirnya ia dapat menunjukkan kebolehannya dalam kegiatan tersebut. Namun kita pun perlu mengingatkannya untuk tidak melalaikan tanggung jawab sekolahnya. Jadi, katakan kepadanya bahwa kita tidak berkeberatan ia bermain games namun ia perlu menggunakan waktunya dengan lebih baik. Jadi, tetapkanlah waktu yang tertentu untuk dia bermain dan panggilah dia setelah waktu itu berlalu.

q Kita harus turun tangan menolongnya. Anak yang lari dari kenyataan adalah anak yang sedang ketakutan dan orang yang ketakutan memerlukan pendampingan. Jadi, komunikasikan pengertian kita akan ketakutannya dan janjikanlah bahwa kita akan terus mendampinginya. Ingatlah, obat untuk melawan ketakutan adalah penyertaan. Bantulah ia menyelesaikan pekerjaan rumah dan tolonglah ia belajar dengan lebih efektif agar ia kembali dapat memulihkan kepercayaan dirinya.

q Kita pun mesti mengupayakan agar anak mengetahui kebisaannya dan mengaitkan kebisaannya itu dengan masa depannya. Anak perlu melihat hubungan antara dirinya sekarang dan masa depannya; ini dapat menambah semangatnya belajar.

q Firman Tuhan berkata, "Sisihkanlah sanga dari perak maka keluarlah benda yang indah bagi pandai emas." (Amsal 25:4) Kadang kita terlalu tergesa-gesa menyimpulkan masalah dan menyalahkan anak tanpa memahami sesungguhnya apa yang tengah terjadi dalam hidupnya. Jika kita berhasil memisahkan dirinya dari problem yang dihadapinya maka kita akan dapat menolongnya keluar dari masalahnya dengan lebih mudah.


Transkrip:

T 209 B

Lengkap

"Anak Lari dari Kenyataan" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak Lari dari Kenyataan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Dengan banyaknya masalah yang dihadapi oleh anak di sekolah, ada beberapa anak yang mencoba mengingkari kenyataan itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan lain yang sebenarnya malah mengganggu atau merusak masa depannya. Ini bagaimana Pak Paul?

PG : Kita memang makin hari makin sering melihat hal-hal seperti ini Pak Gunawan, jadi ada anak-anak yang tidak mau lagi belajar, kehilangan motivasi ke sekolah, membenamkan dirinya dengan vide game, pergi dengan temannya hanya bermain video games atau ada yang bermain skateboard, pokoknya permainan-permainan yang memang tidak begitu penting.

Apa yang terjadi dengan mereka, sebetulnya kita bisa simpulkan bahwa mereka adalah anak-anak yang lari dari kenyataan. Tapi pertanyaannya adalah kenyataan apakah yang begitu mengerikan sehingga si anak harus lari darinya. Sebetulnya salah satu kenyataan yang sering membuat anak-anak lari adalah tuntutan sekolah. Sudah tentu ada hal lain yang bisa ditakuti oleh si anak sehingga dia lari, misalkan masalah dalam keluarganya tapi kali ini kita akan fokuskan pada tuntutan sekolah yang tidak lagi dapat diikutinya. Kita tahu bahwa kita belajar di sekolah itu seperti membangun rumah, dari alas, dari dasar, terus perlahan-lahan naik ke atas. Kalau kita pernah kehilangan satu semester atau satu tahun karena tidak serius belajar dan sebagainya, hampir dapat dipastikan tahap berikutnya itu akan sukar mengejar ketinggalan itu. Tapi misalkan ada bantuan-bantuan atau dorongan-dorongan yang kuat mungkin kita masih bisa mengejarnya. Tapi sekali lagi diperlukan tenaga, usaha yang kuat; kalau kita tidak mempunyai dukungan dan dorongan yang kuat itu kita biasanya akan makin ketinggalan. Jadi anak-anak itu makin tahun makin ketinggalan, jadi waktu dia akhirnya lepas dari sekolah tidak mau lagi sekolah. Misalkan di tahapan SMA, sebetulnya dia sudah mulai mengalami problem itu beberapa tahun sebelumnya, tapi puncaknya atau meledaknya itu misalkan di usia remaja.
GS : Karena itu sering kali kita melihat anak-anak pada jam sekolah itu berada di mall dan sebagainya itu salah satu bentuknya Pak Paul?

PG : Betul, mereka akhirnya tidak mau lagi menghadapi kenyataan, mereka sekolah pun tidak bisa lagi mengikuti pelajaran, duduk di kelas pun tidak lagi bisa mengerti apa yang dikatakan oleh guruya, sedangkan PR banyak dia harus selesaikan tugasnya; benar-benar dia tidak tahan lagi dengan tuntutan dan tanggung jawab yang dia tidak bisa lagi lakukan.

GS : Ini jadinya seperti lingkaran setan Pak Paul, karena dia tidak datang ke sekolah dan akhirnya prestasinya jatuh; kalau jatuh dimarahi oleh orangtuanya dengan mengatakan bodoh dan sebagainya dan timbul masalah lagi.

PG : Betul, dia akan makin bermasalah dengan orangtuanya, dia akan makin membenamkan diri dalam aktifitas-aktifitas ini. Sebetulnya dari satu sudut kita bisa berkata bahwa aktifitas ini merupaan jalan keluar sementara buat dia untuk bisa mengembalikan kewarasannya.

Sebab dia merasa dia sudah sangat tertekan sekali, sangat stres berat; dia tidak mengerti cara lain untuk mengatasi stres karena ya memang masih anak-anak, masih remaja sehingga akhirnya anak-anak ini lari ke aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan bermain. Beda dengan orang dewasa, kalau kita mengalami stres dan kita merasa tidak sanggup hadapi kita akan ngomong dengan seseorang, mendapatkan bantuan dari seorang profesional dan sebagainya. Anak-anak tidak demikian, dia larinya langsung ke bermain sebab bermain adalah lawan dari stres, nah dia akan bermain. Makanya benar-benar dia membenamkan diri jam demi jam bermain terus.
GS : Dan itu anehnya justru dilakukan pada saat-saat mau ulangan atau bahkan mau ujian.

PG : Betul, memang sehari atau seminggu sebelum ujian dia sudah stres, dia sudah sangat-sangat tertekan membayangkan ujiannya, dia bakal anjlok lagi. Dia tidak lagi bisa memikirkan itu dan tidk mau memikirkannya lagi jadi lebih baik dia tidak usah muncul di sekolah, dia tidak usah melihat guru, dia tidak usah mendengar teguran, dia tidak usah melihat tugas; jiwanya akan lebih tenteram, makanya dia lari ke permainan yang memang akan membuat dia melupakan masalahnya itu.

GS : Dan itu biasanya tidak dilakukan sendirian melainkan mengajak teman-temannya yang senasib, Pak Paul?

PG : Betul, dengan banyaknya teman dia merasa sedikit lebih baik karena dia tidak sendirian bermasalah. Dan akhirnya permainan-permainan itu menjadi alat dongkrak penghargaan dirinya, ini yangjuga harus kita pahami.

Mengapa mereka seolah-olah itu bergebu-gebu mempertajam keahliannya dalam bermain, misalkan main video games, main skateboard dan lain-lainnya. Benar-benar serius sekali, beli alatnya, minta orangtua membelikan perkakasnya yang misalkan tembak-tembakan dan sebagainya. Sebab bagi mereka inilah aktifitas yang bisa mendongkrak penghargaan dirinya. Setidak-tidaknya di mata teman-temannya mereka dikenal sebagai anak-anak yang bisa main ini, main itu, dan ini merupakan sumber penghormatan, sumber respek, penghargaan dari teman-temannya. Karena di bidang pelajaran dia sudah ambruk, tidak ada lagi yang bisa dibanggakan, dan sekarang inilah yang bisa dibanggakan. Itu sebabnya kadang-kadang kita melihat ini bukan lagi sekadar permainan, si anak benar-benar terobsesi dengan permainan ini.
GS : Sebenarnya itu suatu peluang buat sekolah untuk mewadahi anak-anak seperti ini sehingga mereka bisa dibimbing dan diarahkan, dan mereka bisa tetap memiliki harga diri yang tinggi juga Pak Paul.

PG : Itu salah satu cara yang baik sebab anak-anak ini memerlukan penyalurannya, dan di samping itu memang sekali lagi baik pihak sekolah maupun orangtua memikirkan cara supaya si anak bisa menejar ketinggalannya.

Tapi saya juga harus akui secara realistik, kalau dia sudah ketinggalan misalnya 4, 5 tahun karena selama 4, 5 tahun dia benar-benar tertatih-tatih dan tidak lagi menyerap apa yang diajarkan, untuk dia mengejar akan sangat susah sekali. Itu sebabnya yang diperlukan adalah pencegahan, orangtua mesti awas, mesti melihat apa yang terjadi pada anaknya pada waktu sedang terjadi, jangan sampai baru menyadari o....ini masalahnya tapi problem itu sudah berumur 4, 5 tahun.
GS : Kalau sudah sekian lamanya, bagaimana anak itu dengan tanggung jawabnya terhadap sekolah?

PG : Biasanya pada titik itu si anak tidak lagi peduli dengan tanggung jawab. Itulah yang membuat orangtua kadang-kadang kesal dan sekolah pun frustrasi sebab diancam, diberitahukan sanksi apapun si anak itu tidak lagi peduli.

Karena memang dia tidak ada lagi pilihan lain, dia tidak bisa lagi mengikuti pelajaran, bagaimanakah mengharapkan dia ada motivasi sehingga dia akan terus lari dari kenyataan itu dan mencoba mengembangkan dirinya di luar wadah sekolah. Maka ada yang ingin masuk ke bidang-bidang yang lebih praktis dengan cepat supaya bisa kerja, itulah akhirnya yang menjadi pelarian mereka.
GS : Jadi sebenarnya ada sesuatu yang harus dilakukan oleh kita sebagai orangtua Pak Paul?

PG : Betul Pak Gunawan, yang pertama yang bisa kita lakukan adalah mencari tahu sumber masalahnya, yakni apa itu yang membuatnya kehilangan motivasi untuk bersekolah. Di saat yang lampau kita udah membahas masalah-masalah dalam sekolah, dalam belajar anak di sekolah dan itu yang perlu juga kita cermati.

Sebetulnya apa penyebabnya; jangan mudah melabelkan anak malas. Kita sudah membahas sekurang-kurangnya ada 8 atau 9 faktor yang membuat anak akhirnya kehilangan motivasi belajar. Jadi kita harus tahu jelas apa itu problemnya. Yang kedua dan ini juga penting adalah jangan kita langsung melecehkan aktifitasnya. Misalkan dia main olahraga tertentu atau main video game jangan kita langsung memojokkannya. Bahkan kalau perlu kita memujinya sebab pada akhirnya dia dapat menunjukkan kebolehannya dalam kegiatan tersebut, dan ini menjadi sumber pendongkrak penghargaan dirinya, sehingga dia tidak harus merasa minder sekali. Tapi kita perlu mengingatkannya untuk tidak melalaikan tanggung jawab sekolahnya. Misalkan kita katakan kepada anak kita bahwa kita tidak berkeberatan dia main game, tapi perlu menggunakan waktunya dengan lebih baik. Jadi kita tetapkan waktu yang tertentu untuk dia bermain dan panggillah dia setelah waktu itu berlalu; ingatkan dia untuk belajar kembali.
GS : Memang biasanya anak-anak ini tidak menyadari apa risikonya di masa depan nanti, pokoknya sekarang ini dia senang.

PG : Memang dia tidak bisa lagi mengaitkan prestasi belajarnya dengan masa depannya, karena benar-benar sudah ambruk. Saya juga sudah katakan kalau memang sudah ambruk seperti itu, membangunny kembali sangat susah.

Tapi misalkan orangtua itu menyadari sebelum masalah ini berkembang, memang ada yang bisa dilakukan oleh orangtua sebagaimana yang baru saja saya sarankan, lihat dia bisa main apa jangan hina permainannya, jangan lecehkan kesukaannya itu, berikan pujian bahwa dia baik dalam aktifitas tersebut tapi ingatkan dia untuk membagi waktu dengan baik, sehingga dia bisa meneruskan pelajarannya. Dan kita mesti tahu penyebab kenapa dia tidak termotivasi lagi untuk belajar. Jika sekolahnya terlalu susah untuk dia, kita mesti konsekuen memindahkannya ke sekolah lain. Kalau metode belajar di sekolah tidak sesuai dengan metode belajarnya dia, kita mesti carikan guru yang bisa cocok sehingga dia bisa mengerti atau kitalah yang turun tangan mengajarkannya. Atau masalahnya adalah kita di rumah terlalu banyak aktifitas, ribut, sehingga anak tidak bisa belajar; itu yang harus kita kurangi. Atau masalahnya dengan teman-teman di sekolah dia dimusuhi, kita coba bereskan, selesaikan atau masalah fisik; tidak bisa mendengar, matanya tidak dapat melihat dengan jelas, kita coba selesaikan. Jadi mesti tahu penyebabnya apa dan coba selesaikan. Setelah itu barulah kita juga mengatur jam bermainnya; kita tidak bisa memotong dan langsung membuangnya, itu tidak baik juga, kita akan coba kurangi saja.
GS : Sebenarnya anak yang mencoba melarikan diri pada hal-hal atau aktifitas seperti itu, apakah ada perasaan takut dalam diri anak itu?

PG : Sebetulnya ada Pak Gunawan, sebetulnya dia sudah melihat bahwa dia tidak mempunyai masa depan, karena dia tidak bisa lagi mengikuti pelajaran sekolah. Itu sebabnya dia berusaha membenamka diri dalam aktifitas sampingan itu.

Dengan harapan dia bisa menjadi sangat mahir dan mudah-mudahan kemahirannya itu akan dihargai dan akhirnya dia bisa mulai merajut masa depannya kembali. Jadi kita mesti menyadari bahwa sebetulnya si anak walaupun dengan cara yang kurang tepat sedang mencoba membangun hidupnya kembali, dengan mencoba memahiri permainan-permainan itu, sebab dia berharap dia akan mendapatkan pengakuan, mendapatkan uang, bisa kerja dalam bidang ini. Itulah yang diharapkan oleh anak karena dia sudah sadar kalau lewat jalur sekolah tidak ada lagi harapan baginya.
GS : Tapi biasanya anak ragu bahkan tidak mau mengutarakan ketakutan yang sebenarnya.

PG : Karena biasanya kita harus akui kita ini marah kalau mendengar atau melihat anak kita tidak lagi mempunyai motivasi untuk sekolah, kita akhirnya emosional. Sekali lagi yang ingin saya ingtkan pada orangtua adalah kita mesti tahu penyebabnya, sebab pasti ada penyebabnya.

Jangan buru-buru melabelkan penyebabnya adalah kemalasan anak. Banyak penyebab lain yang kita mesti tahu dengan tepat, dan kita coba selesaikan di situ. Kalau anak-anak kita marahi terus-menerus, sudah tentu yang akan dia lakukan adalah makin lari dari kenyataan itu. Jadi lebih baik daripada memarah-marahi kita bicara baik-baik dengan anak, pikirkan solusinya bersama, minta dia memberikan masukan. Kalau memang dia tidak bisa lagi bersekolah, tidak ada lagi semangat karena ini sudah menjadi masalah yang terlalu lama, dia tidak bisa mengikuti pelajaran lagi, kita berikan masukan, dia berikan masukan, cari alternatif lain, mungkin kita bisa masukkan dia ke sekolah tertentu sehingga dia bisa belajar dengan lebih cepat. Atau dia bisa mengambil ujian persamaan, namun di samping itu dia bisa les beberapa mata pelajaran yang memang disukainya. Jadi pada saat itu, memang nasi sudah menjadi bubur jangan lagi ributkan yang telah terjadi, marilah kita pikirkan apa langkah konkrit di depannya.
GS : Mungkin ada hal lain yang bisa kita lakukan sebagai orangtua?

PG : Kita harus turun tangan menolongnya Pak Gunawan, kadang-kadang saya akui kita orangtua ini sudah lelah; lelah hati, lelah tenaga, akhirnya mau lepas tangan tidak peduli anak itu menjadi apa. Tidak bisa demikian, kita harus turun tangan menolongnya. Anak yang lari dari kenyataan adalah anak sedang ketakutan dan anak yang ketakutan memerlukan pendampingan. Pendampingan artinya apa? Kita mesti bersamanya, menyertainya. Kita komunikasikan pemahaman kita akan ketakutannya, janjikan bahwa kita akan bersamanya. Jadi cobalah tolong dia, misalkan pekerjaan-pekerjaan rumahnya yang harus diselesaikan, jangan hanya menuntut selesai, tapi kita memberi dukungan, kita berada di ruangan yang sama, dia belajar kita pun belajar, atau dia mau tanya kita jawab sebisanya. Dengan kata lain, kita mesti menyertainya, menyertainya langkah demi langkah, hari lepas hari, agar perlahan-lahan dia tidak takut lagi sebab dia mulai percaya diri. Oh...dia bisa karena adanya pertolongan dari kita. Nah itulah yang diperlukan. Sekali lagi saya sadar ini tidak mudah, kadang-kadang anak itu pun tidak mau tapi kalau kita janjikan, "Kalau kamu kamu, Mama dan Papa akan di sini bersama kamu, akan mendukungmu, ayo kita lakukan ini bersama-sama, kita lewati ini bersama." Nah itu bisa menjadi dukungan moril yang anak butuhkan.

GS : Jadi dalam hal ini anak-anak tidak butuh kata-kata dari kita yang memarahi dia, tapi butuh suatu tindakan yang konkrit sehingga dia merasa aman dengan orangtuanya.

PG : Betul, itu yang diperlukan sebab dia sendiri pun memang takut ditolak, dimarahi oleh orangtua, dia takut memikirkan masa depannya, makanya dia lebih baik tidak mau memikirkannya. Namun kia orangtua harus menyadarkan, bahwa bagaimana pun, "kamu harus memikirkannya dan kami di sini mau menolongmu jadi tolong kita kerja sama.

Kamu jangan jalan sendiri sebab kalau kamu jalan sendiri kamu makin tersesat."
GS : Jadi ancaman orangtua pada anak dalam kondisi seperti itu tidak banyak menolong, Pak Paul?

PG : Tidak banyak menolong, justru malah semakin melemahkan semangat anak, makin membuat anak lari dari kenyataan, membenamkan dirinya di dalam dunianya. Jadi orangtua jangan cepat mengancam aak; orangtua pun perlu memikirkan alternatif berdasarkan kebisaan anak.

Ini memang agak susah untuk menemukannya tapi orangtua perlu melihat lagi sejarah perkembangan si anak. Apa sebetulnya yang dia sukai di masa lampau, mungkin dia sekarang sudah tertinggal tapi mungkin saja bidang yang diminati dan dapat dikuasai oleh si anak. Kalau kita tahu itulah bidang yang disenangi dan dikuasai oleh si anak, mungkin kita dorong si anak untuk belajar bidang itu saja. Misalkan kita leskan dia, kursuskan dia, sehingga dia bisa mengembangkan kemampuannya di bidang tersebut. Misalkan kita tahu dia kreatif, meskipun dia di dalam pelajarannya sudah begitu anjlok dan tertinggal, tapi dia kreatif, dia suka sekali dengan hal-hal yang bersifat kreatifitas. Misalkan kita leskan atau kursuskan dia di bidang itu sehingga perlahan-lahan dia mulai mengembangkan kepercayaan diri. Dan kita mesti sampaikan kepada dia bahwa, "apa yang kamu lakukan sekarang berdampak pada masa depanmu, apa yang tidak kamu lakukan sekarang juga akan berdampak pada masa depanmu. Yang sudah lewat ya sudah, nah ini sekarang yang bisa kamu lakukan, ayo lakukan." Jadi jangan fokuskan lagi pada apa yang dia tidak bisa lakukan. Kadang-kadang kita sebagai orangtua terjebak pada pola itu, tetap kita itu tekankan "kamu harus bisa ini, kamu harus bisa itu," tapi faktanya tidak bisa. Justru kita mau membangun dia di atas kebisaannya bukan di atas ketidakbisaannya.
GS : Sebenarnya selama anak itu masih mempunyai semangat untuk membangun masa depannya, itu masih bisa dibimbing. Tetapi ada sebagian anak yang apatis terhadap masa depannya?

PG : Memang sampai titik tertentu kalau si anak itu sudah tidak lagi bisa mengikuti pelajaran di sekolah, umumnya dia apatis. Karena kita harus akui, dunia anak dari umur 5, 6 tahun terus sampi 22, 23 tahun adalah dunia akademik, dunia sekolah.

Jadi waktu dia itu tidak lagi bisa masuk dan bertumbuh apalagi berkembang di bidang akademik ini, dia memang akan merasa dirinya itu tidak berharga. Dia akan sangat-sangat apatis sekali dengan hidupnya, dengan masa depannya, jadi tidak heran mereka memang akan putus asa atau apatis sekali. Itu sebabnya sekali lagi yang diperlukan adalah nomor satu, keterbukaan dari orangtua mengakui duduk masalahnya. Tidak menyalahkan pihak lain, tidak menyalahkan lingkungan, tapi ya sudah lihat duduk masalahnya apa dan akui apa pun itu. Nomor dua, tidak lagi mengancam, memarahi anak, karena tidak akan menolong dalam situasi seperti ini. Dan nomor tiga, kita bicara dengan anak secara baik-baik, carikan solusi. Solusinya harus benar-benar yang sepraktis mungkin, jangan lagi memikirkan yang jauh dan panjang. Pada tahap seperti itu si anak tidak bisa melihat, dia harus berusaha 5,6 tahun lagi baru mencapai ini. Ini tidak bisa, dia perlu melihat sesuatu yang lebih cepat dan lebih konkrit; belajar ini selama 6 bulan, belajar ini selama setahun, maka kamu bisa ini. Nah kita bangunnya dari situ, kita tidak berkata, "kamu coba lulus SMA bukankah kamu bisa masuk ke perguruan tinggi, nanti setelah lulus perguruan tinggi kamu bisa kerja ini." Si anak pada level ini, alih-alih SMA, pelajaran SMP pun dia sudah tidak kuasai lagi. Nah dia membayangkan harus belajar 5, 6 tahun lagi untuk mendapatkan ijazah SMA, padahal umurnya sudah 19 tahun. Belum lagi 4, 5 tahun untuk kuliah, dia sudah tidak lagi ada semangat, jadi kita mesti menetapkan target yang pendek-pendek, yang singkat-singkat, yang dapat diraihnya dengan segera, sehingga kepercayaan dirinya perlahan-lahan mulai dibangun kembali.
GS : Bagaimana kalau anak ini melarikan diri pada hal-hal yang sangat negatif, misalnya kebut-kebutan, minuman keras, obat terlarang, bukankah ini sudah membahayakan jiwanya?

PG : Kalau itu yang terjadi kita mesti turun tangan, benar-benar membentenginya. Kita harus melarangnya keluar dengan teman-teman itu, kita harus memasukkannya ke panti rehabilitasi, kalau memng dia sudah tergantung pada obat-obatan.

Kalau sudah melakukan hal-hal yang membahayakan jiwanya atau tubuhnya, benar-benar kita harus agresif membentengi dia agar tidak terjerumus makin jauh. Memang di sini diperlukan pengorbanan yang sangat besar dari keluarga. Misalkan nomor satu, secara sosial harus merasa malu anaknya bermasalah seperti itu, tapi harus diurus. Dan juga perlu biaya yang besar, kadang-kadang tidak murah memasukkan anak-anak ke panti rehabilitasi dan sebagainya, tapi itu adalah harga yang harus kita bayar dan bahkan kalau perlu pindah ke kota supaya dia mendapatkan lingkungan yang baru. Nah hal-hal seperti itulah yang harus kita lakukan dengan pengorbanan yang besar.
GS : Untuk mengetahui anak sedang melarikan diri, kerja sama dengan pihak sekolah penting sekali karena kita sebagai orangtua 'kan terbatas. Kita tidak tahu, seolah-olah anak ini berangkat ke sekolah tapi nyatanya melakukan hal-hal di luar sekolah, Pak Paul.

PG : Betul, biasanya pihak sekolah akan memberikan laporan kepada orangtua dan kalau sudah tidak masuk beberapa kali. Pada umumnya sekolah akan memanggil orangtua untuk datang dan bertanya, kenpa anaknya mengalami masalah seperti ini.

Sekali lagi saya meminta kepada orangtua untuk berbesar hati, pada waktu anak kita itu diketahui mempunyai masalah; kita pasti frustrasi, kita cenderung memang menyalahkan segala pihak dan segala sumber. Sebaiknya jangan, kita mesti kembali lagi kepada diri kita, kembali pada anak kita dan lihatlah di mana duduk masalahnya. Akui, lebih cepat kita mengakui duduk masalahnya, lebih cepat pula kita menemukan solusinya daripada tidak mau melihat fakta tapi malah menyangkal dan menyalahkan kanan-kiri, akhirnya masalah makin bertambah.
GS : Juga kalau orangtua kewalahan, tidak mampu lagi; sebenarnya meminta tenaga ahli untuk menangani hal ini juga sangat dibutuhkan, Pak Paul?

PG : Kalau itu yang diperlukan lakukanlah, jadi benar-benar kita mengambil langkah-langkah untuk menolong anak kita, agar jangan sampai terjerumus makin dalam.

GS : Karena makin lama, dengan berjalannya waktu kondisi anak ini akan semakin parah.

PG : Betul sekali, jadi kuncinya sebetulnya adalah pengawasan. Orangtua yang memberikan pengawasan dan perhatian yang cukup kepada anak, seyogianya sudah mulai menemukan masalah pada masa dini Sama halnya dengan penyakit, kalau kita tidak hiraukan sampai benar-benar parah, pengobatannya pun sangat lama dan kadang-kadang sudah tidak lagi memungkinkan.

GS : Jadi itulah perlunya membina hubungan yang baik antara orangtua dan anak ini sedini mungkin?

PG : Betul sekali, sehingga apa pun perubahan yang terjadi kita cepat untuk menangkapnya.

GS : Untuk memberikan dasar yang kuat pada pembicaraan ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Firman Tuhan di Amsal 25:4 mengatakan, "Sisihkanlah sanga dari perak, maka keluarlah benda indah bagi pandai emas." Kadang-kadang kita terlalu tergesa-gesa menyimpulkan masalah, menyalahkn anak tanpa memahami sesungguhnya apa yang telah terjadi dalam hidupnya.

Jika saja kita berhasil memisahkan dirinya dari problem yang dihadapinya maka kita dapat menolongnya keluar dari masalahnya dengan lebih mudah. Jadi identifikasilah, kenalilah apa duduk masalahnya, selesaikanlah; itu akan lebih cepat menolong si anak daripada menutup mata, terus-menerus memberikan pertolongan-pertolongan yang tidak tuntas, hanya menutupi sejenak. Daripada seperti itu kita mesti langsung ke akarnya. Nah waktu si anak lebih bisa dipisahkan dari problemnya, barulah kita akan melihat dia bertumbuh. Ibarat seorang pandai emas yang melihat benda yang indah tatkala sanga dipisahkan dari perak.
GS : Itu suatu proses yang menyakitkan Pak Paul, sebab bagaimana sanga itu dipisahkan dari perak dengan api, sehingga harus dibakar, meleleh dan sebagainya itu menyakitkan, dan biasanya ini dihindari oleh orang.

PG : Betul sekali, ini harga yang harus kita bayar tapi kalau kita membayarnya sekarang, kita tidak usah membayarnya terus-menerus sampai nanti.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan yang sangat menarik dan sangat bermanfaat ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak Lari dari Kenyataan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



38. Tatkala Anak Sukar Mengingat


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T213A (File MP3 T213A)


Abstrak:

Salah satu sumber frustrasi orangtua dalam mengajar anak adalah kesulitan anak untuk mengingat pelajaran. Apa yang telah dipelajari malam itu, tiba-tiba hilang tidak berbekas tatkala ulangan keesokan harinya. Apakah yang terjadi dengan memorinya? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama kita harus mengenal cara kerja memori.


Ringkasan:

T 213 A "Tatkala Anak Sukar Mengingat" oleh Pdt. Paul Gunadi

Salah satu sumber frustrasi orangtua dalam mengajar anak adalah kesulitan anak untuk mengingat pelajaran. Apa yang telah dipelajari malam itu, tiba-tiba hilang tidak berbekas tatkala ulangan keesokan harinya. Apakah yang terjadi dengan memorinya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama kita harus mengenal cara kerja memori. Informasi baru biasanya disimpan di dalam memori jangka pendek; informasi baru di sini mengacu kepada segala peristiwa dan data yang memberi kesan cukup kuat untuk diingat-atau lebih tepatnya, dikenang-untuk sementara. Data tersebut tersimpan untuk beberapa menit hingga beberapa jam.

Peristiwa yang memberi kesan mendalam akan merembes masuk ke dalam memori jangka panjang di mana informasi tersebut akan dapat dipanggil keluar kembali, baik secara langsung atau lewat metode asosiasi. Informasi yang tidak memberi kesan mendalam juga dapat disimpan di memori jangka panjang melalui cara pengulangan atau penghafalan. Makin lama proses pengulangan, makin lama informasi tersebut bertahan di memori jangka panjang.

Biasanya orangtua berusaha membantu anak menyimpan informasi belajar lewat proses pengulangan agar materi tersebut dapat dipancing keluar sewaktu ulangan keesokan harinya. Masalah timbul tatkala anak tidak berhasil memanggil keluar materi yang telah dipelajarinya kemarin. Berikut akan dipaparkan beberapa kemungkinan penyebabnya.

  1. Anak tidak dapat memancing keluar informasi itu karena kemarin materi itu baru masuk ke dalam memori jangka pendek, belum masuk ke memori jangka panjang. Kenyataan anak dapat mengulangnya dengan baik, itu mungkin disebabkan materi itu masuk ke dalam memori jangka pendek sehingga dalam hitungan menit atau jam, materi tersebut masih tersimpan dan dapat dipanggil keluar dari memori jangka pendek. Agar materi dapat tersimpan di memori jangka panjang, proses penyimpanan harus dilakukan secara mencicil lewat jangka waktu yang panjang dan mesti berulang kali. Jika langsung dipadatkan dalam satu waktu, besar kemungkinan materi tidak tersimpan di memori jangka panjang.
  2. Anak tidak menyimpan materi di memori jangka panjang sebab ia tidak berminat terhadap materi itu. Kita tahu bahwa pada umumnya kita hanya menyukai beberapa mata pelajaran tertentu dan biasanya kita lebih mudah mengingat materi yang kita sukai. Itu sebabnya untuk materi yang tidak disukai anak, waktu belajar mesti diperpanjang dan dimasukkan secara mencicil.
  3. Anak tidak dapat memancing keluar materi pelajaran sebab anak tidak tahu bagaimana caranya memanggil keluar materi yang telah tersimpan di memori jangka panjang. Biasanya materi keluar lewat cara asosiasi yakni mengasosiasikan informasi tertentu dengan informasi lainnya yang mudah atau telah diingatnya. Dengan kata lain, orangtua perlu mengajarkan materi pelajaran kepada anak secara tepat yakni mengaitkan materi itu dengan sesuatu yang diketahuinya. Itu sebabnya penggunaan contoh konkret akan sangat membantu anak mengingat dan memancing materi itu keluar.
  4. Anak tidak dapat memancing materi itu keluar sebab ia mengalami ketegangan. Dalam kondisi cemas, anak akan sulit memancing keluar materi yang telah disimpannya kemarin. Ketegangan dapat bersumber dari suasana ulangan yang senyap, tetapi dapat pula berasal dari ketakutan si anak untuk gagal. Masalah dalam keluarga juga berpengaruh terhadap kondisi psikologis anak sehingga ia mengalami kesukaran untuk memasukkan materi ke memori jangka panjang atau memanggilnya keluar. Itu sebabnya penting bagi orangtua untuk menciptakan suasana belajar yang santai sebab ancaman dan kemarahan hanyalah menambah bobot ketegangan.

Firman Tuhan: "Hati yang gembira adalah obat yang manjur tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang." (Amsal 17:22)


Transkrip:

"Tatkala Anak Sukar Mengingat" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tatkala Anak Sukar Mengingat". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Salah satu masalah yang dihadapi oleh orangtua di dalam membantu anaknya belajar adalah anaknya sukar mengingat, sudah diajar dan dilatih berkali-kali, pada saat itu dia bisa mengingat tetapi pada saat ulangan hasilnya jelek. Dan kalau ditanya, anaknya berkata lupa, ini masalahnya bagaimana Pak Paul?

PG : Ini masalah yang benar-benar menjadi sumber banyak frustrasi orangtua, saya sendiri masih mengingat istri saya kalau mengajarkan anak-anak dulu, pasti harus marah, berteriak sedikit. Karea nomor satu membuat anak menghafal saja itu sudah susah, besoknya yang sudah dihafalkan tidak bisa diingatnya lagi.

Jadi saya mengerti ini sering kali menjadi pergumulan para orangtua di rumah. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita pertama-tama harus memahami cara kerja memori di dalam otak kita. Memori dapat dibagi dalam dua jenis, yang pertama adalah memori jangka pendek dan yang kedua memori jangka panjang. Hal yang kita ingat dalam memori jangka pendek biasanya hal-hal yang kita alami atau kita catat lewat otak kita atau lewat indra kita, namun hal-hal itu tidak memberi kesan yang terlalu mendalam. Maka biasanya memori tersebut atau data tersebut tersimpan hanya mungkin dalam hitungan menit atau paling lama satu jam atau dua jam. Misalkan, waktu kita makan kita merasa senang, setelah itu kira-kira dua, tiga jam kemudian dalam percakapan orang bertanya, "tadi makan apa". Kita biasanya memerlukan beberapa detik untuk bisa mengingat, tadi kita makan apa. Kalau sudah lewat satu hari, ditanya kemarin makan apa, kita mungkin bisa lupa kemarin pagi makan apa. Berarti hal-hal yang kita alami yang tidak memberikan kesan mendalam umumnya hanya bertahan dalam hitungan menit atau hitungan jam, setelah itu akan hilang. Tapi kalau hal itu berkesan maka kesan tersebut akan tersimpan di memori jangka panjang, sehingga kita bisa mengingatnya untuk waktu yang lama. Sebagai contoh, kita makan sesuatu kemudian sakit perut sehingga harus dirawat di rumah sakit selama dua sampai tiga hari gara-gara sakit perut itu. Saya kira peristiwa ini akan kita ingat sampai bertahun-tahun; tiap kali seseorang membicarakan tentang makanan tersebut kita langsung berkomentar, "O....ya...ya...makanan itu, saya makan sampai akhirnya masuk rumah sakit." Kenapa? Sebab data tersebut mempunyai makna yang mendalam sehingga akhirnya kita simpan di memori jangka panjang.
GS : Jadi masalahnya adalah pada kita berkesan atau tidak, pada hal pelajaran itu sesuatu yang sudah rutin, setiap hari dilakukan. Bagaimana bisa menimbulkan suatu kesan dalam otak anak?

PG : Ini suatu pertanyaan yang baik sekali Pak Gunawan, sebab itulah kenyataannya kebanyakan anak-anak memang tidak memiliki kesan yang mendalam terhadap pelajaran yang diterimanya. Jarang sekli anak-anak kecil itu sudah mengembangkan minat yang jelas terhadap mata pelajaran tertentu, pada umumnya semua mata pelajaran sama.

Artinya, sama-sama tidak mengesankan atau sama-sama tidak menarik. Berarti untuk dimasukkan ke dalam memori jangka panjang, perlu alat bantu. Alat bantunya yaitu kita mesti mencicil informasi, karena ternyata kalau kita mencicil informasi kemungkinan informasi itu bertahan dalam memori jangka panjang akan lebih besar, dibandingkan dengan kita belajar sehari sebelum ujian. Mungkin besok masih teringat 80%, 75% namun setelah itu beberapa hari kemudian semua data itu hampir terhilang, jadi kita mesti mencicilnya. Yang kedua adalah memang kita harus mengulangnya berkali-kali, materi yang kita ulang berkali-kali akhirnya masuk ke dalam memori jangka panjang. Jadi dengan kata lain untuk menolong anak-anak belajar supaya materi itu masuk ke dalam memori jangka panjang, kita harus melakukan dua hal itu belajarlah secara mencicil, jangan sehari sebelumnya baru belajar; cicillah pelajaran itu sedikit demi sedikit. Dan yang kedua, terus-menerus harus diulang. Yang hari ini kita pelajari, besok mesti kita ulang kembali, besoknya lagi kita mesti ulang lagi, jadi terus diulang seperti itu. Waktu ulangan kemungkinan yang lebih besar adalah si anak akan dapat mengingatnya, karena data tersebut telah tersimpan di memori jangka panjang.
GS : Tetapi di dalam proses mengingat kembali, sebenarnya cara kerjanya bagaimana?

PG : Biasanya kita mengingat kembali itu lewat proses yang kita sebuat asosiasi. Kita mengingat sesuatu yang konkret, yang jelas, sehingga nanti lewat itu kita akan bisa memanggilnya. Anggap ajalah anak kita berhasil belajar dan mengingatnya semalam sebelumnya, terus kemudian keesokan harinya dia ulangan dia bisa mengingatnya.

Apa yang terjadi? Yang ingin saya paparkan adalah beberapa kemungkinan penyebabnya. Yang pertama adalah si anak tidak dapat memancing keluar informasi itu karena kemarin materi itu baru masuk ke memori jangka pendeknya belum masuk ke memori jangka panjangnya. Kenyataan si anak dapat mengulang dengan baik, waktu kita bertanya, mengetesnya, dia bisa menjawab dengan baik; itu mungkin disebabkan materi itu masuk ke dalam memori jangka pendek, sehingga dalam hitungan menit atau bahkan dalam jam yang sama itu materinya masih tersimpan di memori jangka pendek dan dia masih dapat panggil keluar, itu sebabnya dia masih bisa menjawab. Kita sudah keburu senang, beranggapan bahwa si anak pasti bisa, tapi sebetulnya belum. Sebab sekali lagi proses penyimpanan memang umumnya dilakukan lewat metode mencicil dan metode mengulang, kalau malam itu saja dipadatkan sekaligus, kemungkinan besar materinya hanya menyangkut di memori jangka pendek. Itu sebabnya 24 jam kemudian sewaktu diuji, materi tersebut tidak bisa dia panggil keluar karena sudah tidak ada lagi di memori jangka pendek.
GS : Dalam hal ini, latihan itu sangat penting. Sesuatu yang sudah dia terima misalnya menggunakan rumus. Dia memang hafal rumusnya itu tetapi untuk menggunakannya dalam memecahkan soal, dia kesulitan tanpa melakukan latihan. Nah apakah ini terkait dengan asosiasi tadi?

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, latihan dalam pengertian menerapkan rumus yang telah dipelajari ke dalam situasi atau problem yang spesifik, itu akan menolong si anak untuk mengingatnya. Karenananti si anak dapat mengingat lewat situasi yang spesifik itu.

Waktu dia mengingat situasi yang spesifik itu, dia mulai mengingat kembali rumusnya atau prinsip yang dapat dia gunakan untuk diterapkan dalam situasi yang spesifik itu.
GS : Juga dalam hal ini ada anak yang cepat mengingat nama-nama orang, jadi dia hafal betul dengan nama-nama keluarga. Tetapi ada anak yang sulit mengingat-ingat nama keluarganya sendiri, apakah ini juga terkait?

PG : Terkait sekali. Memang kemampuan kita itu jarang sekali merata di segala bidang, kita cenderung hanya kuat dalam bidang tertentu. Ada anak-anak yang memang mempunyai kemampuan yang tingg di dalam menghafal nama, tapi anak yang sama itu kalau misalkan diminta untuk memecahkan problem yang bersifat matematik atau analitik, dia bisa akan sangat-sangat kesusahan.

Dan rumus yang diajarkan dengan kuadrat, dengan akar dan sebagainya tetap tidak bisa terekam di kepalanya. Tapi kalau misalkan menghafal nama tempat, atau menghafal tanggal, dia bisa benar-benar mengingatnya untuk waktu yang lama sekali. Itu dikarenakan kita memang tidak memiliki kemampuan yang sama di segala bidang. Jadi kita mesti mengerti juga kemampuan anak kita.
GS : Tetapi apakah ada alasan yang lain kenapa anak sulit untuk mengingat?

PG : Adakalanya anak memang tidak berminat terhadap materi yang diajarkan, itu sebabnya waktu kita mencoba menolongnya belajar, mengingatnya, sangat susah sekali. Karena kalau kita tidak memintinya, waktu kita mencoba memasukkannya ke dalam memori baik jangka pendek maupun jangka panjang, akan timbul perlawanan dari dalam diri kita.

Yaitu perlawanan yang memang kurang menyukainya, kurang bisa menikmatinya, karena itulah sifat dasar manusia kalau kita harus mengadopsi sesuatu atau memasukkan sesuatu yang tidak kita minati, biasanya secara alamiah akan timbul perlawanan. Akhirnya materi itu mengalami kesukaran untuk masuk ke dalam diri kita. Tapi kalau kita memang meminatinya, otomatis materi tersebut akan mudah untuk masuk dan kita ingat.
GS : Memang yang sulit itu membangkitkan minat anak terhadap pelajaran yang memang dia tidak sukai. Nah bagaimana orangtua bisa berkreasi atau lebih kreatif membangkitkan minat anak ini?

PG : Ini sebetulnya terkait dengan penyebab yang berikutnya. Adakalanya anak-anak tidak dapat memancing keluar materi pelajaran sebab anak tidak tahu bagaimana caranya memanggil keluar materi ang telah tersimpan di memori jangka panjang itu.

Maksudnya begini, biasanya materi itu keluar lewat cara asosiasi, yakni mengasosiasikan informasi tertentu dengan informasi lainnya yang mudah atau yang telah diingatnya. Jadi untuk orangtua menolong si anak agar dapat menumbuhkan minat sehingga dapat mengingatnya dengan lebih baik, dan pada waktu ulangan dapat memanggil informasi itu keluar; si anak memang perlu ditolong untuk dapat menerapkan situasi tersebut di dalam contoh-contoh konkret, karena contoh konkret itu yang akan diingat oleh si anak. Waktu si anak mau memanggilnya, ia memanggil lewat contoh konkret tersebut dan minat akan cenderung bertumbuh atau meningkat tatkala si orangtua atau si guru berhasil menyajikan informasi tersebut dalam contoh konkret. Kecenderungan kita adalah tidak begitu menyukai sesuatu yang tidak dapat kita terapkan; kalau dapat kita terapkan dan bagi kita itu konkret sekali, jelas sekali, kita lebih menumbuhkan minat untuk mempelajarinya. Saya berikan contoh antara saya dan anak saya. Saya menyukai hal-hal sosial, maka pelajaran-pelajaran yang bersifat sosial lebih mudah saya ingat dan bagi saya itu sangat konkret dan sangat jelas. Tapi kalau untuk mengingat hal-hal yang bersifat ilmu pengetahuan seperti fisika, saya mengalami kesulitan sebab saya tidak bisa menerapkannya dalam situasi yang konkret. Anak saya mempunyai kecenderungan yang berbeda dengan saya. Anak saya menyukai fisika, saya bertanya, "Kenapa?" Dia berkata, "Bagi saya itu sangat konkret, sangat jelas." Nah saya bingung sekali, sebab saya mengalami kesulitan mengkonkretkannya tapi dia tidak; bagi dia itu sangat jelas dan sangat konkret. Maka dia sangat berminat mempelajari fisika. Jadi orangtua dapat menolong menumbuhkan minat anak dengan cara mengaplikasikan pelajaran itu dalam contoh-contoh kehidupan yang konkret.
GS : Apakah itu terkait dengan bakat?

PG : Kalau memang anak itu mempunyai bakat ke arah tersebut, sudah tentu dia akan lebih mudah menyerap pelajaran tersebut. Dan inilah sesuatu yang anak akan bawa dari lahir. Misalkan pelajara musik, ini adalah pelajaran yang tidak bisa dipaksakan, karena akan ada anak-anak tertentu yang memang tidak mempunyai bakat musik, sehingga untuk mengingat not akan kesulitan, untuk membedakan nada juga setengah mati susahnya.

Sebaliknya kalau memang ada anak yang mempunyai bakat musik, dia akan mudah sekali mengenali not; bahkan bagi anak-anak tertentu dia tidak usah melihat not-nya dia bisa menuliskan not di benaknya atau di kepalanya saja, dan dia bisa langsung menyanyikan nada suara tersebut. Apalagi di sini kita memang melihat bakat si anak akan mempengaruhi kemampuan si anak menyerap pelajaran tersebut.
GS : Yang membuat saya tidak jelas itu yang awal yang mana, karena anak itu berbakat kemudian berminat atau dia berminat kemudian dia berbakat?

PG : Biasanya bakat adalah awal, karena si anak itu sudah membawa bakat tertentu. Sebetulnya pada umumnya bakat itu tidak jauh berbeda dari orangtua, kalau si orangtua pecinta seni, hampir dapt dipastikan sebagian atau mungkin semua anak-anaknya akan mencintai seni.

Atau orangtuanya memang seorang pedagang, dua-dua berdagang; lebih besar kemungkinan anak-anaknya juga akan mempunyai bakat dalam hal dagang. Karena memang kita mewarisi dari orangtua bakat-bakat yang mereka miliki pula, jadi itulah awalnya. Karena dia memiliki bakat itu, waktu dia mempelajari bidang tersebut dia bisa menguasainya. Karena dia bisa menguasainya, dia tambah menyukai bidang tersebut. Kebalikannya, kalau kita tidak mempunyai bakat tersebut, mempelajari bidang itu kita akan mengalami kesulitan-kesulitan. Contoh, kita tidak mempunyai bakat musik, diminta belajar musik maka setengah mati susahnya. Tidak bisa mengenali nada suara, kunci apa dan sebagainya tidak bisa, nah akhirnya yang terjadi adalah kita frustrasi, kita tambah tidak tertarik. Karena kita tidak suka mempelajari sesuatu yang tidak bisa kita kuasai, akhirnya kita tinggalkan bidang tersebut.
GS : Jadi dalam membimbing anak belajar, kita sebagai orangtua perlu mengenali bakat anak kita, sehingga kita memang tidak perlu memaksakan apa yang tidak dimiliki sebagai bakat, Pak Paul?

PG : Nah masalahnya kadang-kadang orangtua kurang dapat menerima dirinya. Misalnya dia lemah di bidang ilmu pengetahuan, teknik dan sebagainya, tapi si orangtua mempunyai idealisme, bahwa oran yang cerdas adalah orang yang menguasai bidang-bidang ilmu pengetahuan.

Si orangtua selalu menganggap dirinya tidak cerdas karena tidak menguasai bidang-bidang ilmu pengetahuan tersebut. Itu sebabnya orangtua benar-benar mendorong dan memotivasi si anak untuk berprestasi sangat baik di bidang ilmu pengetahuan. Masalahnya adalah kalau kedua orangtua bukan dari bidang ilmu pengetahuan, lebih besar kemungkinan si anak pun mewarisi bakat orangtua yakni bukan bidang ilmu pengetahuan. Tapi kalau si orangtua tidak bisa menerima situasinya, mereka justru menuntut si anak mengembangkan kemampuan yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan, kasihan si anak. Karena dia dipaksa untuk menguasai sesuatu yang memang dia tidak mempunyai bakat untuk itu. Jadi orangtua saya kira penting untuk bisa mengintrospeksi diri dan lebih menerima si anak apa adanya.
GS : Pak Paul, tadi yang kita bicarakan adalah faktor-faktor yang ada dalam diri anak; apakah faktor di luar diri anak juga membuat seorang anak sulit untuk mengingat apa yang dia pelajari?

PG : Sudah tentu akan ada Pak Gunawan, contoh: misalkan di sekolah si anak itu sangat takut dengan gurunya, karena dalam ulangan yang lampau sewaktu si guru menemukan ada siswa yang nilainya buuk, dia marah.

Dia menyebut anak itu, dia menunjuk-nunjuk anak itu di kelas, itu benar-benar menimbulkan ketakutan pada banyak anak di situ. Akibatnya waktu ujian, karena ketakutan akan gagal dan dipermalukan; benar-benar dia tidak bisa berpikir, konsentrasinya pecah, sebab kecemasan akan menghambat kita untuk berkonsentrasi. Untuk mengingat sesuatu yang tersimpan dalam memori jangka panjang, kita memang perlu untuk tenang, berkonsentrasi; kalau kita tidak bisa berkonsentrasi akibat kecemasan biasanya kita sukar sekali untuk mengingatnya.
GS : Ada pula karena di rumah terlalu gaduh atau karena orangtuanya sedang bertengkar, anak juga akan sulit berkonsentrasi dan menyerap pelajaran yang dia hafalkan.

PG : Betul sekali, jadi suasana belajar di rumah itu juga akan sangat berperan. Kalau si anak di rumah terlalu sering mendengar konflik, pertengkaran, atau orangtuanya juga sering memarahinya arena dia di dalam pelajaran kurang begitu bisa, nah suasana ini sudah tentu akan memberikan dampak pada si anak yaitu dia tegang.

Dia mungkin bisa mengulang seperti yang orangtuanya minta malam itu, dalam ketegangan memori jangka pendek masih bisa menyerap apa yang dipelajarinya. Tetapi hanya berhenti sampai di memori jangka pendek, tidak masuk ke dalam memori jangka panjang karena dihalangi oleh ketakutan dan ketegangannya. Itu sebabnya tatkala esok ulangan, dia tidak bisa memanggil keluar memori tersebut karena sudah tidak ada lagi. Jadi ini penting untuk orangtua sadari. Anak-anak perlu suasana belajar yang kondusif, yang tenteram, yang memberikan dukungan dan harapan, bukan suasana belajar yang menakutkan. Semakin kita menciptakan suasana belajar yang menakutkan, anak akan makin mengalami kesulitan belajar.
GS : Tapi ada anak baru bisa belajar kalau mendengar musik yang keras, ini bagaimana Pak Paul?

PG : Kita memang harus menerima "kelainan" dalam pengertian kita dulu tidak begitu tapi sekarang anak kita begitu. Sebab memang ada kecenderungan anak-anak sekarang itu lebih "multi-tasking". Multi-tasking" berarti dapat mengerjakan beberapa hal sekaligus.

Misalnya, sewaktu dia belajar dia harus mendengarkan musik terus tangannya sembari menuliskan PR-nya, dia juga bisa chatting lewat komputer. "Multi-tasking" sudah tentu baik dalam pengembangan kreatifitas, karena bisa spontan mengembangkan diri lewat ide-ide yang segar, dari berbagai sudut bisa melihat masalah, itu sudah tentu keunggulannya. Tapi kelemahannya adalah kalau anak-anak belajar dengan cara seperti itu, besar kemungkinan si anak memang tidak memasukkan materi tersebut di memori jangka panjangnya. Kalau pun besok dia bisa ingat, kemungkinan besar hanya tersimpan di memori jangka pendek, sebab keesokan harinya lagi dan keesokan harinya lagi; dua, tiga hari kemudian dia sudah melupakannya. Jadi kelemahan dari "multi-tasking" adalah kehilangan kesempatan untuk mendalami, karena materi tidak sempat masuk sampai ke dalam.
GS : Tapi biasanya memang tujuannya untuk jangka pendek, hanya untuk menjawab soal-soal ulangan besok atau ujian besok, jadi dia pikir tidak apa-apa, pokoknya besok saya bisa menjawab. Untuk mengendapkan apa yang dia sudah pelajari, apakah ada kiat-kiat tertentu?

PG : Yang tadi saya singgung adalah menerapkannya. Saya mendapat berkat dari tulisan Bp. Yohanes Surya di surat kabar tentang penerapan fisika. Dulu waktu saya SMA tidak tertarik dengan fisik, karena memang saya tidak bisa menerapkannya dalam situasi kehidupan.

Waktu saya membaca tulisan Bp. Yohanes, saya sangat-sangat kagum dengan kecerdasan beliau tapi yang membuat saya belajar banyak adalah penerapannya itu. Ternyata bisa diterapkan dalam situasi ini, bisa diterapkan dalam fenomena itu, sehingga tiba-tiba saya cukup tertarik. Jadi rupanya kalau orang melihat kegunaannya, orang itu akan lebih tertarik untuk mempelajari. Kenapa anak-anak sering kali mengalami kesulitan mempelajari, karena anak-anak tidak bisa melihat kegunaannya.
GS : Jadi peran guru dan orangtua sangat besar untuk menolong anak agar bisa mengingat dengan baik, Pak Paul.

PG : Betul.

GS : Apakah dalam hal ini Pak Paul ingin menyampaikan firman Tuhan yang tepat untuk ini?

PG : Saya akan bacakan Amsal 17:22, "Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang." Ciptakanlah suasana belajar yang ringan sehingga hati anak gembra, dalam kegembiraan dia akan belajar dengan lebih baik.

Kalau kita mematahkan semangat anak dengan ketegangan, bukan saja tulangnya kering, daya ingatnya pun akan juga kering sehingga tidak bisa mengingat apa yang dipelajarinya.

GS : Dan dalam hal ini otak memang harus selalu dilatih untuk bisa menerima sesuatu yang dia baca atau yang dia lihat. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan ini pasti akan bermanfaat bagi para pendengar sekalian. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tatkala Anak Sukar Mengingat". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



39. Menangani Anak Sulit Belajar


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi & Ibu Winny Soenaryo, M.A.
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T213B (File MP3 T213B)


Abstrak:

Banyak guru atau orangtua mulai bertanya-tanya kenapa anaknya sulit belajar. Untuk mengetahuinya kita perlu mengerti beberapa tipe kesulitan belajar yaitu: Kesulitan dalam membaca (dyslexia), Kesulitan dalam menulis (dysgraphia), Kesulitan dalam aritmatika (dyscalcula).


Ringkasan:

T 213 B "Menangani Anak Sulit Belajar " oleh Ibu Winny Soenaryo M.A.

Banyak guru atau orangtua mulai bertanya-tanya kenapa anaknya sulit belajar. Anggapan yang sering kali muncul adalah anaknya bodoh atau mempunyai IQ yang rendah atau memang malas belajar. Tapi sebetulnya ada beberapa tipe kesulitan belajar yang disebut learning disability, yaitu:

  1. Kesulitan dalam membaca (dyslexia)
    Dengan cirri-ciri sebagai berikut:
    • Kemampuan mengeja buruk
    • Sulit membedakan huruf-sering salah ucap
    • Kurangnya daya tangkap mengenai pengucapan dalam kata-kata
    Hal yang bisa dilakukan untuk menolong anak yang mengalami kesulitan membaca:
    • Menyampaikan pesan dengan menggunakan multisensory (mendengar, menyentuh, menulis dan berbicara).
    • Menggunakan strategi visual
  2. Kesulitan dalam menulis (dysgraphia)
    • Sulit menulis
    • Ketidakkonsistenan, untuk menggabungkan huruf cetak dan cursive serta ukuran hurufnya
    • Kata-kata atau huruf-huruf yang tidak tuntas, pengurangan kata
    • Jarak yang tidak konsisten antar kata-kata dan huruf-huruf
    • Lamban atau butuh dorongan dalam menyalin/menulis

    Hal yang bisa dilakukan untuk menolong anak yang mengalami kesulitan dalam menulis, yaitu:
    • Luangkan waktu lebih, dalam tugas menulis
    • Kalau kesulitan dalam jarak, kita bisa membantu mereka dengan menaruh jari di mulut antara satu kata dengan kata yang lain.
  3. Kesulitan dalam aritmatika (dyscalcula)
    • Bagus dalam hal berbicara, membaca & menulis, tapi lamban untuk meningkatkan kemampuan berhitung dan memecahkan soal matematika
    • Memiliki memori yang baik untuk karya tulis/kata-kata tetapi kesulitan membaca angka atau mengintat/menghafal urutan angka.
    • Memiliki kesulitan untuk memegang uang
    • Memiliki kesulitan dalam memahami konsep yang berhubungan dengan waktu seperti hari, minggu dan bulan.
    Kita bisa menolong mereka dengan cara sbb:
    • Gunakan diagram dan gambarkan konsep-konsep matematika
    • Gunakan kertas grafik
    • Latihan berulang-ulang

Mazmur 62:6 dan 9, "Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab daripada-Nyalah harapanku....Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya, Allah ialah tempat perlindungan kita."


Transkrip:

T 213 B

Lengkap

"Menangani Anak Sulit Belajar" oleh Ibu Winny Soenaryo, M. A.

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali bersama Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi, kami akan berbincang-bincang dengan Ibu Winny Soenaryo M.A. Seorang ahli terapis okupasi. Perbincangan kami kali ini tentang "Menangani Anak Sulit Belajar". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

PG : Selamat datang Ibu Winny, dan kami senang Ibu bisa bergabung dengan kami. Kami mempunyai banyak pertanyaan, terutama berkaitan dengan problem belajar dari anak-anak. Apakah Ibu Winny bisa memberikan kepada kami penjelasan tentang apa saja problem yang biasanya dihadapi oleh anak-anak dalam belajar?

WS : Sekarang ini banyak sekali di sekolah atau orangtua mulai bertanya-tanya, kenapa anak saya sulit belajar. Mungkin mereka menganggap anaknya bodoh atau mempunyai IQ yang rendah atau meman malas belajar.

Tapi sebetulnya ada beberapa tipe kesulitan belajar yang disebut "learning disability". Dan kesulitan belajar itu dapat dibagi dalam beberapa tipe kesulitan. Yang pertama, kesulitan dalam membaca (dyslexia), atau kesulitan dalam menulis (dysgraphia), kesulitan dalam aritmatika (dyscalcula) atau juga kesulitan untuk mengerti apa yang mereka baca.

PG : Jadi rupanya ada beberapa jenis, dan yang Ibu sudah sebut itu sudah tentu akan sangat-sangat mempengaruhi prestasi belajar seseorang di sekolah. Sebab bukankah membaca, memahami, menulis,menghitung, itu adalah bagian yang penting dalam sekolah.

Bisakah Ibu jelaskan, apa yang Ibu maksud dengan yang pertama tadi kesulitan membaca atau disleksia?

WS : Anak yang biasanya mempunyai kesulitan dalam membaca yaitu disleksia, kita bisa ketemukan guru atau orangtua sering mengatakan bahwa anak saya sulit dalam mengeja. Atau pada waktu didikte selalu salah, jadi waktu didikte B, menulisnya D atau P; ketika disuruh membaca, sering terbalik-balik.

Dan juga mereka sulit untuk melihat satu kata itu sebagai satu kata, misalnya waktu mereka melihat ibu, apa yang mereka lihat mungkin saja 'i-b-u' itu terpisah. Atau bisa juga mereka melihat 'i dan bu'. Jadi waktu mereka membaca, "i-bu," tidak bisa membaca dengan, "ibu" (satu kata).
GS : Ini kesulitannya atau masalahnya ada di bagian apa dari tubuh anak itu?

WS : Itu disebabkan dari otaknya, jadi otaknya ada masalah sehingga gangguan itu membuat mereka sulit untuk melihat suatu kata itu menjadi satu kata.

GS : Jadi semakin panjang suatu kata, makin sulit buat dia untuk membacanya?

WS : Betul.

GS : Bagaimana dengan mengejanya, per-suku kata, apakah tetap kesulitan?

WS : Buat mereka masih kesulitan untuk mengeja. Jadi misalnya kita meminta menulis 'bapak', mereka akan berpikir bagaimana 'bapak' itu, mengeja itu buat mereka sangat sulit.

GS : Biasanya ini harus melalui pengamatan yang cukup panjang sehingga kita bisa tahu anak ini memang mengalami kesulitan di dalam membaca. Langkah-langkah apa yang biasanya Ibu ambil?

WS : Biasanya yang mendiagnosa anak itu mempunyai "learning disability" (kesulitan belajar), bisa dibawa ke ahli ilmu jiwa atau psikiater anak yang bisa lebih mengerti dalam hal ini dan juga mugkin kita bisa mendapatkan laporan dari sekolah, khususnya guru-guru yang selalu bersama dengan anak, dan juga orangtua.

Jadi ketika orangtua merasa anaknya ada kesulitan dalam mengeja atau dalam membaca, bisa membawa anak itu ke ahli ilmu jiwa.

PG : Bahasa itu sebuah simbol, bahasa itu membuat makna, apakah masalahnya itu terletak pada ketidakmampuan si anak untuk menghubungkan bahasa yang adalah simbol dengan makna yang dilambangkannya itu?

WS : Jadi mereka mempunyai kesulitan kalau mereka membaca sesuatu mereka tidak bisa melihat itu sebagai (misalnya mereka melihat kata-katanya 'kursi') mereka tidak bisa melihat sebagai kursi atu membayangkan itu sebagai objek kursi.

PG : Jadi meskipun kita sudah memberitahukan si anak bahwa inilah kursi dan kita memberikan pengejaannya atau kata itu dalam bentuk tulisan 'kursi' tetap si anak itu mengalami kesulitan menghubungkan kata kursi itu dengan kursi itu sendiri?

WS : Betul, biar pun mereka diberi tahu itu kursi, mereka tahu kalau itu kursi.

PG : Jadi waktu mereka mendengar kata kursi, mereka bisa menunjuk itu kursi. Tapi waktu mereka melihat kata kursi yang tertulis, mereka tidak bisa mengaitkannya dengan kursi.

GS : Kalau itu mengenai huruf, bagaimana kalau mengenai angka. Misalnya ada angka 1, angka 2, apakah mereka juga kesulitan membacanya?

WS : Angka mungkin tidak terlalu rumit dibandingkan dengan huruf. Tapi mungkin ada anak yang juga kesulitan dengan angka-angka.

GS : Seperti angka 3 dan 8 itu hampir mirip, apa mereka juga kesulitan?

WS : Mungkin yang seperti itu mereka akan lebih baik, tapi kalau misalnya mereka melihat 12 dan 21, kadang-kadang bisa terbalik.

GS : Bagaimana dengan tanda baca, misalnya titik (.), koma (,), tanda seru (!), tanda tanya (?), apakah mereka juga kesulitan?

WS : Buat mereka tidak terlalu sulit, karena anak yang kesulitan membaca mungkin saja mereka lebih baik dengan yang abstrak seperti gambar-gambar.

GS : Kalau warna mungkin tidak menjadi masalah. Bagaimana kita bisa membantu anak-anak yang seperti ini; sebagai orangtua apa yang bisa kita lakukan, setelah misalnya dibawa ke psikiater atau terapis?

WS : Dari sana kita bisa menggunakan strategi-strategi lain selain menyuruh anak itu membaca dan mempelajari sesuatu. Misalnya dalam suatu ulangan, anak itu harus menghafal semua, mungkin kitabisa menggunakan strategi lain dengan kita membacakannya dan dicatat kemudian mereka bisa mendengarkannya.

Dengan cara seperti itu anak bisa mendengarkan apa yang mereka harus belajar. Atau mereka bisa menonton sesuatu dengan suara dan gambar, dengan visual seperti itu mungkin juga dapat membantu mereka.
GS : Tapi di sekolah, bukankah mereka tidak bisa mendapatkan fasilitas seperti itu?

WS : Mungkin kita bisa membicarakan dengan gurunya, "kalau anak saya ini mengalami kesulitan dalam membaca, apakah mungkin saya menaruh tape recorder di kelas agar bisa membantu." Atau juga mugkin mereka harus mencatat dari papan tulis, atau kita bisa meminjam catatan temannya, dan di rumah bisa pelan-pelan membantu anak itu.

GS : Tadi Ibu katakan anak juga bisa mengalami kesulitan di dalam komprehensifnya yang sangat terkait dengan membaca, nah ini bagaimana?

WS : Kesulitan dalam komprehensif itu mungkin terpisah dengan membaca, karena mungkin juga satu anak bisa membaca dengan baik tapi apa yang mereka baca belum tentu mereka bisa mengerti. Misalna seperti tadi yang kita bicarakan, kalau anak itu membaca kata ibu dan mereka melihatnya kata i dan bu.

Tapi kalau anak yang kesulitan komprehensif, mereka mungkin bisa membaca kata ibu, tapi kalau mereka disuruh berpikir apakah ibu, mungkin mereka akan sulit untuk mengerti.

PG : Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong anak-anak ini?

WS : Untuk anak-anak yang susah "comprehension", biasanya kita bisa mencoba salah satunya dengan audio atau juga untuk yang lebih besar karena mereka harus membaca banyak paragraf yang panjang,jadi bisa dibagi.

Setiap kali mereka membaca satu kalimat, kita bisa bertanya kepada mereka, "Apa yang baru saja kamu baca?" Kalau abstrak, mereka tahu dan bisa menjawabnya tapi kalau lebih dalam dari itu mereka akan kesulitan. Jadi mungkin bisa kalimat-per kalimat, kita membantu mereka untuk mengerti.

PG : Tadi Ibu menekankan, kalau anak mengalami masalah dalam membaca atau dalam memahami, Ibu mencoba menolongnya dengan mengembangkan fungsi-fungsi yang lain, sehingga dia tidak lagi mendasarimasuknya informasi lewat bacaan saja.

Pertanyaan saya, apakah tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menolongnya mengeja dengan lebih benar?

WS : Mengeja itu satu proses, jadi mungkin dalam otak kita sudah terbentuk sekian sehingga anak itu sulit untuk mengeja. Kita mungkin bisa membantu mereka mengeja dengan menghubungkannya denga gambar, karena mereka abstraknya lebih baik, jadi kita bisa menghubungkan gambar dan kata-kata itu.

Itu bisa menjadi salah satu strategi kita menolong mereka, tapi kalau kita bisa berulang-ulang membantu mereka mengeja, karena kita tahu kelemahan mereka di sana, itu akan bisa membantu mereka. Karena pengulangan itu juga akan membantu mereka.

PG : Jadi kalau seorang ibu di rumah ingin membantu anaknya yang mempunyai masalah dengan disleksia, si ibu itu memang mesti mempersiapkan diri. Misalkan dengan menggunting gambar-gambar, sehigga makin banyak gambar akan makin banyak contoh yang bisa digunakan olehnya untuk menolong si anak.

Dan memarahi si anak supaya bisa lebih baik menghafal atau lebih baik mengeja, mungkin Ibu tidak sarankan itu?

WS : Ya, karena anak itu mungkin juga ingin bisa membaca tapi karena ada masalah di otaknya sehingga dia mempunyai kesulitan. Kalau anak ini tambah dimarahi, mungkin akan trauma dengan kemarahn itu dan dia tidak mau belajar lagi.

Jadi sebaiknya kita mengembangkan apa yang positif buat anak ini, supaya bisa membantu anak dengan baik.
GS : Selain anak yang mengalami kesulitan dalam membaca, tadi Ibu katakan ada anak yang kesulitan dalam hal menulis. Itu bagaimana?

WS : Anak yang sulit menulis, mereka mempunyai beberapa problem dalam menulis, misalkan mereka kesulitan bagaimana cara membentuk huruf A, sehingga mereka tidak dapat menulisnya memang mereka thu harus menulis huruf A tapi mereka kesulitan.

Atau juga bisa terbalik-balik antara huruf besar dan huruf kecil, jadi dalam satu kata, dua-duanya bisa dalam satu kata itu. Atau juga mereka ada masalah dengan jaraknya, jadi menulisnya semua dijadikan satu.
GS : Ini bukan berarti dia tidak bisa menulis dengan baik, artinya bentuk hurufnya jelek, bukan itu ya Bu?

WS : Hurufnya jelek mungkin, tapi anak yang kesulitan menulis itu lebih ke arah mereka tidak tahu bagaimana caranya menulis kata-kata itu.

GS : Dan ini hanya untuk huruf-huruf tertentu seperti tadi kesulitan membaca, Ibu katakan terbalik-balik dan sebagainya, atau apakah untuk semua huruf dia kesulitan untuk menulis?

WS : Ini lebih diarahkan pada kata-kata, huruf yang ada ABCD-nya.

GS : Jadi maksudnya bukan huruf yang berdiri sendiri, hanya menulis A dia tidak bisa tapi huruf B dia bisa. Bukan seperti itu?

WS : Tergantung anaknya, setiap anak berbeda. Mungkin mereka kesulitan untuk memformasikan kata-kata itu.

GS : Tetapi menulis angka dia tetap bisa?

WS : Kadang kala bisa, kadang kala tidak, itu juga tergantung pada anaknya.

GS : Berarti perlu diobservasi lagi, di bagian mana dia tidak bisa. Langkah apa yang biasanya Ibu lakukan untuk membantu anak yang kesulitan menulis?

WS : Biasanya saya akan membantu dengan menggunakan visual strategi. Misalnya, anak itu lupa bagaimana cara menulis huruf A, saya akan taruh di depan meja mereka contoh-contoh huruf dari A samai Z.

Jadi ketika anak itu melihat bagaimana menulis A, karena sudah ada contohnya mereka menjadi bisa. Begitu juga dengan angka, jadi mereka akan lebih gampang untuk menulis. Juga menggunakan strategi kalau mereka kesulitan dalam hal jarak antara satu kata dengan kata yang lain, kita bisa membantu mereka dengan berbicara antara satu kata dengan kata yang lain kita taruh jari.

PG : Apakah masalahnya juga seperti ini Bu, yaitu misalkan si anak harus mengeja atau melafalkan kata mobil, terus dia harus menuliskannya. Dia tidak menulis mobil tapi mobi, karena dia tidak isa mengaitkan suara L dalam bentuk tulisan L.

Apakah itu juga masalahnya?

WS : Anak yang sulit menulis mungkin mereka tahu, mungkin yang mengalami disleksia yang mengeja kurang atau hilang.

PG : Jadi kalau yang ini, pengurangan katanya terjadi dalam bentuk apa, bisa diberikan contoh?

WS : Misalnya mereka disuruh menulis mobil, mereka mungkin tahu menulis mobil itu m-o-b-i-l, tetapi disuruh menulis huruf m-nya kesulitan, jadi mereka berpikir dulu bagaimana saya menulis hurufm, menulis o, i atau l.

Jadi di dalam otak mereka tahu, tetapi mereka sulit untuk menulisnya.

PG : Jadi sebetulnya mereka mempunyai konsep itu di benaknya atau di otaknya, tapi waktu harus menuliskan tiba-tiba terjadi kemacetan. Meskipun mungkin saja kemarin dia baru saja menulis mobildan bisa menulis m, atau mungkin sejam yang lalu mereka masih bisa menulis huruf m tapi sejam kemudian tiba-tiba huruf m itu hilang dari catatan di otaknya.

GS : Seingat saya waktu saya kecil, kami disuruh menulis suatu huruf itu sampai berulang-ulang, satu lembar itu hanya menulis huruf O atau huruf A saja. Apakah cara seperti itu akan membantu anak-anak yang kesulitan dalam menulis?

WS : Itu bisa membantu, karena dengan berulang-ulang akan membantu anak untuk mengingat bagaimana caranya menulis.

GS : Saya juga pernah mengalami, sudah ada tulisannya di bawahnya kemudian ditutup dengan kertas yang agak tipis, dan waktu itu kami mengulang di atasnya; mencontoh persis seperti contoh yang ada di bawahnya.

WS : Itu juga bisa, mungkin itu salah satu hal yang bisa dilakukan di awal, tapi pelan-pelan kita juga harus melepaskan itu, dengan berulang-ulang akan membantu anak lebih mengerti bagaimana caa menulisnya atau bagaimana kata itu dibentuk.

GS : Memang itu sangat membantu karena kalau kita melihat sekarang itu agak banyak anak yang tulisannya cenderung jelek, karena di sekolah memang tidak diajarkan lagi bagaimana menulis dengan baik.

PG : Saya ingin bertanya, hal-hal yang tadi Ibu sebutkan itu berasal dari otak, apakah itu bisa diturunkan atau diwariskan. Misalnya kalau orangtuanya menderita disleksia, maka anaknya mempunyi kemungkinan yang lebih besar untuk menderita disleksia.

Apakah ada kaitannya?

WS : Itu mungkin bisa terjadi ada turunan, tapi bisa juga tidak, itu tergantung anaknya.

PG : Ada yang ketiga yang Ibu katakan masalah diskalkulia, bisa dijelaskan apa itu dyscalculia?

WS : Diskalkulia itu kesulitan dalam aritmatika, yaitu matematika dalam berhitung. Buat anak seperti ini, berhitung itu sangat sulit. Misalnya ditanya yang gampang, 2+2, dalam otak atau benakmereka, mereka tidak bisa membayangkan 2+2 itu berapa.

Jadi kita harus membeberkan mereka gambar misalnya ada 4 apel, jadi 2 apel + 2 apel, dan mereka harus hitung 1,2,3,4, baru mereka bisa. Atau seperti anak yang sudah besar, mengenai uang. Mereka akan kesulitan, misalnya membeli sesuatu harganya 2.000 dan mereka ada uang 5.000, akhirnya mereka berikan 5.000 itu tapi mereka tidak tahu kembalinya harus berapa.

PG : Sekali lagi itu berkaitan dengan visualisasi, sebab bukankah angka itu simbol sama seperti bahasa. Jadi angka itu mencerminkan sebuah makna, dan rupanya waktu dia melihat angka, angka itutidak bisa menghasilkan gambar atau konsep di benaknya maka akhirnya dia tidak bisa membayangkan atau menghitungnya, sebab benar-benar terputus.

WS : Dan uniknya anak-anak yang mengalami kesulitan dalam aritmatika ini, dalam hal lain mereka bisa. Misalnya mereka dapat menulis dengan baik, membaca dengan baik tapi hanya dengan matematik ini yang sulit.

PG : Jadi ada keterputusan dalam hal memaknai angka itu, di dalam hal-hal yang lain mungkin saja tidak ada masalah.

GS : Bagaimana dengan soal-soal aritmatika itu diberikan dalam bentuk tulisan, jadi bukan dalam bentuk simbol-sombol angka tapi dalam bentuk kata-kata, apakah dia tetap kesulitan atau bagaimana?

WS : Biasanya mereka juga mempunyai kesulitan itu, yaitu mereka membaca, mereka bisa mengerti tapi karena harus menambah dan mengurang, mereka tetap kesulitan mengerjakan persoalan seperti itu.

GS : Itu terkait juga kalau kita berbicara tentang hari, tentang bulan, tentang umur dan sebagainya?

WS : Betul, mereka sulit untuk mengerti.

GS : Karena itu berhubungan dengan angka, juga dengan jarak dan sebagainya.

WS : Ya, mereka kesulitan dalam hal-hal seperti itu.

GS : Nah bagaimana cara Ibu menangani hal ini?

WS : Saya akan mencoba melakukannya lebih ke arah strategi visual, misalnya kalau dalam hal angka saya akan menggunakan gambar, mungkin dengan gambar-gambar akan lebih bisa dimengerti daripada ngka 1,2,3; mereka mungkin bisa tahu tapi kalau dengan gambar mereka bisa hitung 1,2,3.

Atau dengan menggunakan diagram, agar mereka bisa melihat dengan lebih jelas. Selanjutnya saya juga akan mengulang berkali-kali, karena dengan berulang-ulang akan membuat mereka lebih fasih lagi. Kalau angka ini abstrak, jadi 1+1 sudah pasti 2.

PG : Dengan kata lain, karena mereka tidak bisa menghadirkan gambar itu di benaknya, jadi Ibu membantunya dengan cara menghadirkan gambar itu di depan matanya. Jadi mengaitkan gambar itu denga angka itu sendiri sehingga akhirnya dia bisa mentransfer, memindahkan gambar yang di depan matanya itu ke dalam benaknya sendiri.

WS: Ya, mungkin juga waktu kita memberikan gambar, mereka juga kesulitan, tapi mungkin ini akan lebih membantu karena buat mereka gambar itu lebih berarti daripada angka-angka itu.

PG : Tapi apakah dalam pengalaman Ibu, metode-metode itu bisa membuahkan hasil, sebab saya terus terang khawatir juga kalau kesulitan dengan angka, kemudian mereka berbelanja, benar-benar dia bsa sangat salah dan dirugikan orang.

WS : Betul, karena di tipu pun anak itu tidak akan tahu. Tapi kita mungkin bisa memakai strategi-strategi lain yang bisa dilatih di rumah misalnya dengan permainan monopoli. Jadi anak itu diltih, "Kalau saya berikan ini, kembalinya berapa."

Atau kalau berbelanja, kita bisa membantu anak itu dengan menggunakan credit card, karena credit card sudah pasti jumlahnya, jadi anak itu tidak usah menghitung lagi kembaliannya berapa.

PG : Kalau misalnya kita memberikan kepadanya kalkulator, dia bisa atau tidak menggunakan kalkulator untuk menghitung?

WS : Bisa, itu salah satu strategi juga yang bisa digunakan oleh mereka.

PG : Jadi misalnya dia sudah mendengar harganya 5.000 dan uangnya 10.000, dia langsung menuliskan itu kemudian menguranginya, begitu Bu. Sebab dia bisa langsung melihatnya. (WS : ya)

GS : Menghadapi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar seperti ini, apa yang Ibu bisa berikan kepada khususnya para orangtua?

WS : Yang pertama-tama saya akan terus memberi semangat kepada orangtua jangan putus asa, karena anak itu mungkin kesulitan dalam satu hal, tapi mungkin mempunyai kemampuan yang bagus di tempatlain yang mungkin kita tidak tahu.

Jadi kita bisa kembangkan strong point mereka. Saya juga akan mendorong orangtua untuk menyayangi dan menghormati anak-anaknya karena mungkin mereka ingin sekali bisa belajar. Tapi dengan kondisi mereka, mereka sulit untuk belajar. Saya juga akan mendorong orangtua untuk meluangkan lebih banyak waktu dengan anak-anaknya itu, karena dengan lebih banyak waktu yang diberikan, anak-anak akan merasa lebih senang karena merasa disayangi orangtua. Ada banyak juga anak yang mengalami sulit belajar itu IQ-nya rendah, jadi mereka menganggap saya bodoh. Jadi orangtua bisa memberi semangat kepada mereka bahwa mereka tidak bodoh, tapi mereka mempunyai kelebihan di tempat lain yang kita bisa kembangkan, dan itu akan lebih baik. Dan kalau memang orangtua tahu bahwa anaknya mengalami masalah pada hal-hal tertentu, mereka segera bisa mendapatkan intervensi yang lebih dini, juga intervensi yang khusus dengan kesulitan anak-anak. Mereka juga bisa bekerja sama dengan para ahli yang bisa membantu anak dalam bidang seperti itu.
GS : Intinya anak seperti ini membutuhkan banyak perhatian dan banyak kasih sayang. Apakah Pak Paul ingin menyampaikan sesuatu untuk melengkapi perbincangan kita ini?

PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 62:6, "Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku. Ayat 9, "Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatmu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita.

Memang gangguan -gangguan belajar seperti yang tadi dibahas oleh Ibu Winny, gangguan yang sudah tentu menyusahkan orangtua dan menyusahkan anak itu sendiri. Orangtua perlu bersabar, perlu tenang; firman Tuhan berkata, "Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang." Tenang dalam pengertian orangtua perlu percaya bahwa anak ini bukanlah sebuah kesalahan. Tuhan tidak memberikan anak yang salah kepada kita, Tuhan memberikan anak yang tepat untuk kita. Percayalah, karena Allah yang memberi Allah juga akan memeliharanya. Tugas kita adalah dengan sabar mencoba untuk membesarkan anak ini, kita harus meluangkan waktu untuknya. Jadi kalau kita sebagai orangtua memang sibuk, kita harus memberikan waktu untuk anak kita; mengurangi kegiatan di luar, mungkin juga harus mengurangi kegiatan kerja kita agar kita bisa memberi waktu untuk anak kita. Kalau si anak melihat kita belum apa-apa sudah tidak tenang, resah, maunya marah saja, dia tambah cemas; dalam keadaan cemas, sudah tentu masalahnya bukan membaik malah makin memburuk. Dan kepada saudara-saudara kita yang mempunyai masalah seperti ini, yang mungkin mendengarkan siaran ini, saya juga ingin mengingatkan bahwa Tuhan berkata, "Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita." Curahkanlah isi hatimu kepada Tuhan, Dia melindungi, Dia mempunyai rencana atas hidup Saudara dan masalah ini tidak menghalangi Tuhan menggenapi rencana-Nya atas hidup Saudara.

GS : Terima kasih Pak Paul, terima kasih Ibu Winny untuk perbincangan dengan kami pada saat ini. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Ibu Winny Soenaryo M.A. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menangani Anak Sulit Belajar". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



40. Belajar Dari Pengkotbah


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T238A (File MP3 T238A)


Abstrak:

Ada orang yang beranggapan bahwa kitab Pengkhotbah bukanlah ditulis oleh Salomo, putra Raja Daud. Alasannya adalah, jika penulisnya Salomo berarti ia mengkontradiksi dirinya sendiri sebab dalam kitab Amsalia justru menampilkan sikap positif terhadap hidup, berbeda dengan nada keputusasaan yang dirasakan dalam kitab Pengkhotbah. Di sini akan dipaparkan fakta kehidupan dan bagaimanakah seharusnya kita menyikapinya.


Ringkasan:

"Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena inilah kewajiban setiap orang."

Pengkhotbah 12:13

Ada orang yang beranggapan bahwa kitab Pengkhotbah bukanlah ditulis oleh Salomo, putra Raja Daud. Alasannya adalah, jika penulisnya Salomo berarti ia mengkontradiksi dirinya sendiri sebab dalam kitab Amsal-yang juga ditulisnya-ia justru menampilkan sikap positif terhadap hidup, berbeda dengan nada keputusasaan yang dirasakan dalam kitab Pengkhotbah.

Sesungguhnya kita dapat mengatakan bahwa Amsal adalah kitab dari Salomo muda, sedangkan Pengkhotbah adalah kitab dari Salomo tua. Pada hari tuanya akhirnya Salomo menyadari bahwa hidup tidak menawarkan makna sebanyak dan seindah yang dipikirkannya dulu. Berikut akan dipaparkan fakta kehidupan dan bagaimanakah seharusnya kita menyikapinya.

Fakta Kehidupan

• Kita lahir ke dalam dunia tidak membawa apa-apa namun dalam perjalanannya, kita mulai mengumpulkan kepunyaan, mulai dari pengetahuan, teman, harta, pelayanan, sampai keluarga. Namun pada suatu titik tertentu, kita harus melepaskan kepunyaan ini satu per satu, mulai dari anak, kesehatan, harta, teman, pengetahuan, pelayanan, dan akhirnya pasangan hidup.

• Puncak kebahagiaan tercapai tatkala kita memiliki "semua." Kebahagiaan melemah ketika kita mulai melepaskan kepunyaan itu satu per satu. Pada akhir hidup dalam kondisi hampir tidak memiliki apa pun kecuali nafas, kebahagiaan menjadi sangat tipis untuk dirasakan.

Sikap Kita

• Kita harus menerima fakta bahwa memang kita tidak bisa mengembalikan kebahagiaan yang terdahulu da bahwa kita harus hidup yang "kurang" ini.

• Kita harus menemukan hal-hal kecil yang dapat kita lakukan dan bersyukur atasnya. Kuncinya di sini adalah bersyukur. Di dalam rasa syukur akan ada kebahagiaan.

• Di dalam ketiadaan itulah ternyata yang terpenting dalam hidup adalah takut akan Tuhan dan memegang perintah-Nya. Dengan kata lain, dalam kondisi paling sendiri, kita hanya akan dapat menemukan makna hidup ini di dalam-bukan di luar-Tuhan.

• Takut akan Tuhan dan memegang perintah-Nya merupakan sebuah kesatuan. Pernyataan ini dapat diartikan baik dari segi positif maupun negatif. Dari segi positif, ini berarti senantiasa mengutamakan Tuhan dan melakukan hal-hal yang berkenan kepada-Nya. Dengan kata lain, kita memegang perintah-Nya.

• Dari segi negatif, takut akan Tuhan berarti tidak melakukan hal-hal yang tidak berkenan kepada-Nya. Kita tidak ingin menyedihkan-Nya dan kita pun takut akan ganjaran yang dapat Ia berikan.

• Dengan kata lain, takut akan Tuhan dan memelihara perintah-Nya merupakan penyataan hidup dengan Tuhan dan untuk Tuhan. Di dalam kesementaraan dan ketidaksempurnaan hidup, Solomo menyimpulkan bahwa hidup dengan dan untuk Tuhan merupakan satu-satunya cara dan alasan untuk hidup.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Belajar dari Pengkhotbah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, ada banyak hal yang menarik dari buku Pengkhotbah tapi seseorang juga pernah berkata bahwa buku itu penuh dengan kata sia-sia, seolah-olah hidup itu sesuatu yang pesimis. Dan ini sebetulnya apa, Pak Paul?

PG : Saya bisa mengerti kalau orang mempunyai perasaan seperti itu terhadap kitab Pengkhotbah, apalagi jika disandingkan dengan kitab Amsal. Yang sebelumnya kitab Amsal seolah-olah penuh denganharapan, semangat, optimisme tapi penulis ini yang adalah Salomo berubahnya 180 derajat dari orang yang penuh pengharapan, optimis menjadi pesimis seolah-olah putus asa dalam kitab Pengkhotbah.

Maka ada sebagian orang yang berkata bahwa kitab Pengkhotbah bukan ditulis oleh Raja Salomo, itu salah. Sebetulnya kita tahu bahwa ini adalah buah karangannya makanya dia berkata di awal kitab itu ia adalah putra Daud. Apa yang terjadi? Kita bisa simpulkan kitab Amsal ditulis oleh Salomo muda sedangkan kitab Pengkhotbah ditulis oleh Salomo yang tua, diusia tuanya Salomo akhirnya menemukan bahwa hidup tidaklah seindah dan sebermakna yang dia bayangkan. Dia dulu berpikir dengan menemukan hikmat demi hikmat maka dia akan menjumpai dan mengalami sebuah hidup yang sangat bermakna, sudah tentu dengan adanya hikmat kita akan lebih dapat menjalani hidup dengan baik, dengan takut akan Tuhan sebagai permulaan hikmat kita pun juga akan menjalani hidup yang menyenangkan hati Tuhan. Tapi akhirnya Salomo di hari tuanya berpapasan dengan realitas kehidupan, bahwa ternyata hidup itu tidaklah sebermakna dan seindah yang dia dulu pikirkan. Bahwa pada akhirnya dia melihat begitu terbatasnya, dan yang terpenting ialah begitu tidak sempurnanya hidup. Dan inilah yang memang terjadi dalam hidup, Pak Gunawan, sejak manusia membawa masuk dosa ke dalam kehidupan ini maka hidup menjadi jauh dari sempurna. Segala sesuatu yang kita agungkan tentang hidup ini yang membawa kebahagiaan dalam hidup kita, pada akhirnya kita baru sadari, kenapa tidak seindah yang saya dulu pikirkan.
GS : Mungkin itu yang rasul Paulus katakan, "Yang dulu menjadi kebanggaannya" tapi pada saat dia menyelang usia lebih lanjut dia katakan "Itu ternyata sampah."

PG : Betul sekali. Jadi Paulus membandingkan semua yang telah diperolehnya dengan sekarang yang diperolehnya dari Tuhan yaitu keselamatan, kesempatan boleh mengenal Tuhan Yesus menjadi anakNya,menikmati persekutuan dengan Tuhan.

Ternyata bagi Paulus hal itu jauh lebih bermakna dari pada apa pun yang pernah dicicipnya dari dunia ini atau dari hidup ini.
GS : Tapi sebaliknya pada usia yang lanjut kita juga melihat ada beberapa yang hilang dari kehidupan kita itu, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi seolah-olah ini yang kita mesti terima sebagai fakta kehidupan yaitu pada waktu kita lahir, kita datang tidak membawa apa-apa kemudian kita mulai memiliki msalkan kita memiliki baju, mainan kemudian kita memiliki ilmu lewat sekolah, kita memiliki teman kemudian kita memiliki sahabat dan dari sahabat kita memiliki istri atau suami dan kita juga memiliki kesehatan, kita makin sehat dan makin sehat.

Sewaktu kecil lebih sering sakit tapi setelah remaja makin sehat dan makin sehat dan kalau kita menjadi anak Tuhan, kita nanti akan diberikan kepercayaan untuk melayani Tuhan terlibat dalam pelayanan, memiliki kesempatan melayani Tuhan. Semua itu adalah hal-hal yang makin hari makin kita miliki, tapi fakta berikut yang kita mesti sadari adalah sampai titik tertentu sebetulnya kita akan mulai berhenti memiliki, kita tidak akan menambah yang kita miliki itu. Justru sebaliknya kita mulai akan kehilangan yang kita miliki itu dengan misalkan bertambahnya usia mencapai paro-baya. Misalkan kita akan melepaskan anak, tidak lagi bersama kita. Kadang mereka membentuk keluarga sendiri dan terus perlahan-lahan karena kita juga makin terbatas, kita tidak lagi memiliki kesempatan sebanyak dulu untuk pergi kesana-kesini, melakukan ini dan itu, kita juga tidak lagi mempunyai kesempatan pelayanan yang sebebas dulu pula. Kita akhirnya makin sakit-sakitan, kita akhirnya juga kehilangan kebebasan karena sakit-sakitan itu. Dan sampai usia tertentu, kalau bukan kita maka pasangan kita dulu dipanggil Tuhan. Berarti kita akan kehilangan belahan hidup kita, kita akan sendirian dalam melewati fase itu dan dalam tubuh itu, kita sangat-sangat tidak terima lagi. Jadi di puncak kita sendiri; tidak ada pasangan, di saat itu jugalah kita berada di titik terbawah dalam kondisi kesehatan kita. Jadi kesendirian dan kesakitan itu akhirnya menjadi porsi hidup kita diakhir hidup ini.
GS : Dan seringkali orang berusaha untuk mempertahankan apa yang dia miliki, mungkin seperti harta masih bisa dipertahankan, tapi kesehatan atau pasangan hidup atau anak-anak adalah sesuatu yang tidak bisa dipertahankan.

PG : Betul sekali. Saya belum lama ini berbicara dengan seseorang yang memang diberkati Tuhan secara materi, dia berkata "Dulu waktu saya kecil (Memang dulu hidupnya susah) saya susah makan karna memang tidak punya uang, sekarang saya tetap susah makan karena sudah sakit-sakitan."

Uang ada, bisa beli tapi tetap susah makan. Itulah ironinya hidup dan itulah ketidak sempurnaan hidup, Pak Gunawan. Jadi pada usia-usia lanjut, kesehatan kita menurun. Uang mungkin masih ada tapi dengan uang itu kita tidak lagi bisa menikmati hidup, kita tidak bisa lagi memiliki yang sebetulnya kita miliki.
GS : Di dalam kehidupan Salomo, sebenarnya kita bisa berkata "Apa yang kurang di dalam dirinya" tetapi pada masa tuanya dia berkata "Memang semua itu betul-betul sia-sia".

PG : Betul sekali, pada akhirnya kita juga menerima fakta bahwa kesukacitaan atau kebahagiaan kita yang terkait yang disumbangsihkan oleh kepunyaan-kepunyaan kita itu baik ilmu, baik teman, bai istri atau suami, baik kedudukan dan sebagainya.

Waktu mulai diambil pergi dari diri kita, tidak bisa tidak kebahagiaan pun akan mulai merosot. Waktu anak-anak meninggalkan rumah dan kita tinggal berdua, sudah tentu kita tidak seperti sewaktu ada anak-anak. Waktu nanti kita sering sakit-sakitan; kita juga tidak akan sebahagia waktu kita masih sehat; waktu nanti kita kehilangan pasangan, kita tidak akan sebahagia waktu kita masih bisa berduaan dengan pasangan. jadi kita harus menerima fakta bahwa sampai titik tertentu kita tidak akan bisa lagi mencicipi kebahagiaan seperti sediakala dan kita harus mulai melepaskan, kita harus menerima fakta bahwa yang membuat kita bahagia makin hari makin sedikit dan makin kurang.
GS : Yang masih bisa dipertahankan mungkin kenangan Pak Paul, kenangan akan masa-masa itu. Dan dalam hal ini Pak Paul, kenangan ini menjadi sesuatu yang bisa memotivasi dia untuk tetap bertahan hidup atau malah menyakitkan karena mengenang itu, padahal sekarang sudah tidak ada lagi. Dan itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Kenangan memang bisa menguatkan kita, menghargai apa yang telah kita terima dari Tuhan, masa-masa yang memang penuh dengan moment yang manis itu tapi disaat yang sama kita juga akan merasasedih.

Jadi kenangan itu seperti pedang bermata dua, ada dua efeknya. Efek senang, efek bersyukur tapi efek sedih kenapa tidak lagi mempunyainya, kenapa tidak bisa lagi mencicipinya, kenapa tidak bisa lagi melakukannya bersama-sama dengan orang-orang yang kita kasihi ini. Jadi itulah efek kenangan yang bermata dua.
GS : Pak Paul kalau sudah begitu apa yang kita harus lakukan atau bagaimana kita mesti menyikapi kenyataan hidup seperti itu?

PG : Kita memang seharusnya seperti Salomo, menerima fakta itu, menerima fakta bahwa misalnya kita tidak bisa lagi sebahagia dulu karena hal-hal yang membawa sukacita dalam hidup kita semakin hri semakin lepas dari genggaman kita.

Itu sebabnya kebahagiaan kita akan makin berkurang, jadi jangan lagi berharap atau menuntut hidup harus seperti dulu, harus sebahagia dulu dan mau menciptakan hal-hal dalam hidup supaya tetap seramai dulu, tidak! Memang ada, mungkin hal-hal yang harus kita lakukan misalkan tentang kesehatan, kita bisa menjaga kesehatan tubuh dengan berolah raga sehingga kita bisa memperpanjang usia hidup yang berkwalitas itu. Tapi ada hal lain yang tidak bisa, misalnya anak harus pergi karena menikah, maka kita tidak bisa memaksa anak untuk tetap tinggal dengan kita sampai tua. Atau ada sesuatu yang seharusnya kita bagikan dan kita berikan kepada anak kita yang lain yang lebih membutuhkan, jangan kita malah menggenggamnya erat-erat karena kita berkata, "Ini yang membuat kita bahagia, kita tidak mau lepaskan sama sekali," atau bahkan dalam pelayanan juga, ada orang yang tidak bisa melepaskan genggaman pelayanannya dan harus tetap melakukan karena inilah yang membuat dia sukacita, tidak mau digantikan orang malah menggantikan orang lain, itu salah! Kita harus terima, kita harus lepaskan dan kita harus menerima kebahagiaan kita yang akan berkurang dan menerima itu sebagai fakta yang kita harus lewati.
GS : Menerima fakta seperti itu Pak Paul, merupakan fakta yang tidak mengenakkan buat kita dan mengkhawatirkan buat kita untuk masa yang akan datang.

PG : Betul sekali, karena akhirnya kita akan memaksa untuk kita berubah, kehidupan kita harus berubah, diri kita harus berubah dan kita memang tidak selalu siap menerima diri kita untuk selalu erubah.

GS : Dan kalau pun kita harus melepaskan itu semua yang tadinya menjadi milik kita maka kita membutuhkan sesuatu yang bisa menggantikan hal itu, Pak Paul?

PG : Betul sekali Pak Gunawan. Sudah tentu yang nanti kita akan ambil untuk menggantikan yang terhilang itu, bukanlah hal-hal yang seperti itu lagi karena kita sudah harus melepaskan. Jadi apa ang kita harus lakukan? Kita mesti melihat hal yang lebih sederhana, yang nantinya lebih membuat kita bersyukur bahwa kita masih bisa melakukan ini dan kita masih bisa itu.

Jadi kita lebih menyederhanakan hidup setahap demi setahap, misalkan kita sekarang sering sakit misalnya rematik. Waktu kita bisa berjalan di pagi hari, itu yang kita fokuskan dan kita syukuri, kita berkata "Tuhan terima kasih pagi ini saya masih bisa berjalan, kaki saya enak." Meskipun setelah siang apalagi pada malam hari rasanya sakit, linu-linu dan lain-lain. Misalkan kita dulu memiliki pelayanan yang luas tapi sekarang hanya yang sederhana dan sedikit yang kita masih bisa kerjakan, itulah yang kita syukuri. Kita masih bisa melakukan hal ini meskipun sederhana atau kita masih bisa menulis artikel kecil-kecil yang kita bisa kirimkan dan bisa dibaca orang, itu yang kita syukuri. Meskipun sekarang kita tidak bisa lagi berdiri di depan orang dan didengarkan oleh orang, tidak apa-apa. Jadi kita mesti pintar-pintar menemukan hal kecil yang dapat kita syukuri. Orang yang terus-menerus membuka mata mencari-cari hal besar yang dapat dia gunakan untuk membuat dia kembali bahagia dan sukacita akhirnya menciptakan masalah bagi dirinya maupun bagi orang lain, dirinya tidak pernah menemukannya dan akhirnya frustrasi dan sering marah sehingga menyusahkan orang, karena dia cenderung menciptakan problem dengan orang-orang di sekitarnya. Orang yang nanti dia akan labrak, dia tidak akan beri, dia akan batasi, dia tidak mau berikan akhirnya malahan menimbulkan konflik dan bukankah nanti yang jadi korban adalah dia sendiri.
GS : Memang kalau anak sudah besar atau sudah berkeluarga, kita memang tidak bisa berkumpul terus dengan mereka tetapi bisa berhubungan baik lewat telepon atau kadang-kadang mereka datang, dan itu menjadi kebahagiaan tersendiri buat orang tua, Pak Paul.

PG : Bagus sekali, jadi hal kecil seperti itu, bahwa kita masih bisa kontak lewat telepon atau pesan-pesan singkat (sms) atau kita masih bisa bertemu misalkan beberapa bulan sekali, hal itulah ang kita syukuri.

Kadang-kadang kalau kita tidak bisa menerima hal ini, kita menuntut pasangan, menuntut anak, "Kamu harus lebih sering berkunjung, kenapa kamu tidak begini dan begitu." Akhirnya membuat orang tertekan, jadi bukannya bersenang-senang sewaktu bertemu dengan kita tapi malah tertekan saat ketemu kita. Jadi kita bisa memfokuskan pada hal-hal yang lebih sederhana dan bersyukur atasnya, kita juga bisa hidup lebih bahagia dan orang di sekitar kita pun hubungannya akan lebih harmonis.
GS : Bagaimana supaya seseorang bisa mempunyai pola pikir seperti itu, Pak Paul?

PG : Saya kira ujung-ujungnya adalah kita harus melihat untuk apakah sebenarnya kita hidup, Pak Gunawan. Inilah esensinya yang saya pikir, di akhir segalanya kata Salomo, "Takutlah akan Allah dn peganglah perintah-perintahNya."

Itulah wejangan dari seorang yang telah mencari hikmat seumur hidupnya, di hari tuanya dengan sederhana dia hanya berkata seperti itu. Dua hal ini Pak Gunawan, takutlah akan Tuhan dan peganglah perintahNya, sebetulnya merupakan sebuah kesatuan dan saling melengkapi, yang satu menjelaskan yang lainnya, dan dapat kita artikan dari dua sudut positif maupun negatif. Dari segi positifnya adalah kita mengutamakan Tuhan dan melakukan hal-hal yang berkenan kepadaNya, apa yang berkenan kepadaNya, perintahNya. Jadi apa pun yang Tuhan perintahkan itu yang kita taati, kita mesti memaafkan, kita mesti melupakan kesalahan, kita tidak mau mengingat-ingat lagi atau menghitung-hitung kesalahan orang dan kita lakukan itu, Tuhan meminta kita mengasihi maka kita mengasihi, kita diminta Tuhan untuk memberikan persembahan maka kita berikan persembahan. Semua yang Dia inginkan itulah yang kita lakukan yakni perintah demi perintahNya, dengan cara itulah kita mengutamakanNya dan dengan cara itu pulalah kita menunjukkan bahwasanya kita takut akan Tuhan maka kita mengutamakan perintah-perintahNya. Ini bagian positif yang pertama tentang takut akan Tuhan dan melakukan perintahNya.
GS : Tentang takut akan Tuhan, rupanya sejak muda Salomo sudah mempunyai prinsip seperti itu, kalau kita baca di awal-awal kitab Amsal mengatakan bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat bagi dia.

PG : Betul sekali Pak Gunawan. Jadi di awal Amsal dia sudah mengatakan takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat dan yang menarik adalah kalau kita jadikan satu kitab Amsal dan kitab Pengkhotbah 31 pasal dengan 12 pasal adalah 43 pasal.

Seolah-olah di awal Salomo berkata takutlah akan Tuhan, di akhir 43 pasal kemudian Salomo tetap berkata takutlah akan Tuhan. Jadi akhirnya Salomo menemukan bahwa dalam hidup ini ternyata yang terpenting itu, didalam ketiadaan lagi sukacita, kebahagiaan yang tadinya kita bisa didapatkan dari hidup ini, di dalam ketiadaan semua itu ternyata yang penting adalah kita dan Tuhan, tidak ada lagi yang menghalangi kita dan Tuhan. Hanya tinggal apakah kita takut dan kita juga memegang perintah-perintahNya.
GS : Di dalam perwujudan kehidupan sehari-hari, memegang perintahNya itu sulit. Kadang-kadang kita lebih condong melakukan apa yang kita mau sehingga kebahagiaan itu tidak muncul di dalam hidup ini.

PG : Betul sekali, terutama didalam ketiadaan hal-hal yang memberikan kita sukacita, memegang perintah-perintahNya itulah yang memberi kita sukacita dan tatkala kita melakukannya, kita bahagia.Sisi negatif atau kalau kita mau definisikan secara negatif dari yang Salomo katakan artinya adalah takut akan Tuhan dan memegang perintah Tuhan artinya tidak melakukan hal yang bukan perintah Tuhan, tidak melakukan hal yang tidak diperkenankan Tuhan alias jangan berdosa.

Sebagai wujud takut akan Tuhan maka kita tidak berdosa, kita tidak mau melakukan hal-hal yang Tuhan tidak kehendaki. Di dalam hidup seperti itulah kita justru menemukan sukacita. Jadi dengan kata lain, di hari tuanya Salomo seolah-olah menebas pohon yang begitu rindang dengan begitu banyak bunga-bunga, Salomo pangkas semua itu dan akhirnya membawa kita masuk ke dalam taman yaitu melihat akar yang masuk ke dalam menyentuh air dan mendapatkan air dari dalam tanah itu. Salomo seolah-olah berkata, "Itu akarnya, yakni takutlah akan Tuhan, peganglah perintahNya. Nanti bunga akan layu, buah tidak akan lagi bertumbuh, nanti carang-carang pun akan kering nanti bahkan dahan-dahan akan patah, bahkan nanti kita bisa lihat batang pohon itu pun makin kusam dan tua tapi lihat akar, selama akar ada di bawah tanah dan mendapatkan air maka pohon itu akan selalu ada. Akarnya adalah takutlah akan Tuhan, peganglah perintahNya".
GS : Tadi kalau kita melihat kehidupan Salomo dengan membaca Amsal dan Pengkhotbah, takut akan Tuhan harus dimulai sejak muda dan bukan pada usia yang sudah lanjut baru takut akan Tuhan. Itu menjadi sesuatu yang sulit, Pak Paul.
GS : Dengan kata lain memang kita harus membiasakan hal yang baik ini sejak kecil dan di tengah-tengah gemuruh kesuksesan kita, keberhasilan kita dalam hal-hal yang kita ingin lakukan ingatlah bahwa yang terpenting adalah akar itu. Jangan gantungkan sukacita, kebahagiaan kita pada daun dan bunga-bunga tapi gantungkan pada akar, sebab kita tidak tahu juga kapan kita harus lepaskan bunga-bunga dan daun-daun. Orang yang menggantungkan dirinya pada bunga dan daun-daun, waktu daunnya rontok, bunganya layu, hidupnya pun rontok dan layu. Tapi orang yang menggantungkan hidupnya pada akar, takut akan Tuhan dan juga memegang perintah Tuhan akan terus berjalan.
GS : Jadi ada orang yang merasa kecewa ketika dia memasuki usia tua Pak Paul, sebenarnya masalah apa yang terjadi di dalam kehidupannya?

PG : Bisa jadi dia memang tidak puas dengan kehidupannya selama ini, mungkin dia menengok ke belakang dan dia melihat begitu banyak kegagalan, lebih banyak penyimpangan, tidak seperti yang dihaapkan.

Jadi dia menyesali masa lampaunya, dia mungkin juga melihat; masa tua saya sudah tiba, saya tidak bisa lagi mengubah yang telah terjadi, misalnya anak saya tidak lagi hormat kepada saya, tidak mau lagi menjalin hubungan dengan saya, teman-teman saya sudah meninggalkan saya. Waktu dia melihat semua itu dia berkata "Bagaimana saya bisa mengoreksi yang telah terjadi," makanya dia putus asa sekali waktu dia melihat ke depan kira-kira inilah hidup yang harus saya lalui tapi kalau sampai ini terjadi pada diri kita, saya tetap berkata, "Masih ada harapan." Kembali kepada firman Tuhan yang sederhana ini, "Akhir dari segalanya adalah takutlah akan Allah dan peganglah perintahNya." Itulah yang kita lakukan dan waktu kita menaati Tuhan, melakukan perintahNya bukankah sukacita akan muncul dan temukanlah hal-hal kecil yang kita bisa syukuri, jangan terus membandingkan dengan orang, jangan mengharapkan masa lalu untuk kembali kepada masa sekarang, itu salah. Hal-hal yang kecil-kecil itulah yang harus kita syukuri dan itulah yang akan membuat hidup kita kembali bermakna.
GS : Jadi sebetulnya kalau kita melihat orang yang sudah mulai lanjut usia lalu rajin beribadah kepada Tuhan, sebenarnya itu suatu hal yang perlu kita syukuri dan tidak perlu kita jadikan bahan olok-olokan, "Dulu mudanya seperti itu tapi sekarang tua menjadi seperti ini," itu sebenarnya sesuatu yang baik Pak Paul.

PG : Betul. Waktu ada kesempatan, kita gunakan kesempatan itu untuk mengenal Tuhan, hidup dengan Tuhan dan hidup untuk Tuhan di usia berapa pun. Dari pada terlambat dan tidak ada kesempatan, maa gunakan kesempatan itu meskipun usia sudah lanjut.

GS : Dan biasanya orang yang bersangkutan pun menyesal, kenapa tidak dari dulu dari sejak dia muda melakukan hal-hal seperti ini?

PG : Tepat sekali. Hampir dapat dipastikan semua orang yang baru kenal Tuhan di usia lanjut dan hidup dengan Tuhan menyesal, "Ternyata hidup dengan Tuhan indah," mendapatkan kekuatan dan hal-ha yang sederhana, "Kenapa dari dulu tidak seperti ini."

Tadi Pak Gunawan sudah katakan kalau dari awal, dari muda kita terus menekankan takut Tuhan, pegang perintah Tuhan berbahagialah orang seperti ini karena akarnya akan kuat.
GS : Mungkin Pak Paul mau bacakan ayat dari Pengkhotbah tadi yang Pak Paul singgung-singgung isi lengkapnya bagaimana, Pak Paul?

PG : Firman Tuhan di Pengkhotbah 12:13 berkata "Akhir kata dari segala yang didengar ialah, Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintahNya, karena ini adalah kewajiban setiap orng."

GS : Jadi itu menjadi bekal bagi kita semua Pak Paul yang akan memasuki usia lanjut, yaitu sesuatu kenyataan hidup karena diucapkan oleh orang yang mengalami sendiri bagaimana kehidupan itu.

PG : Betul.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Belajar dari Pengkotbah". Bagi Anda yang berminat untuk mengikuti lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



41. Pelajaran Dari Daud 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T242A (File MP3 T242A)


Abstrak:

Di sini kita bisa belajar dari kehidupan Raja Daud, belajar dari kejayaannya sekaligus kejatuhannya juga.


Ringkasan:

Raja Daud adalah figur yang menarik untuk dipelajari. Begitu banyak pelajaran yang dapat kita petik lewat kehidupannya. Berikut adalah beberapa di antaranya.

• Darinya kita belajar tentang kesabaran menantikan waktu Tuhan - kendati sudah diurapi, namun ia menunggu waktu Tuhan untuk mendudukkannya sebagai raja.

• Kita pun bisa belajar tentang rasa hormatnya yang besar pada Tuhan - itu sebabnya ia menolak dan melarang perwiranya membunuh Saul meski ia berkesempatan melakukannya.

• Dari Daud kita pun belajar tentang keberanian - dari keberanian melawan binatang buas sampai keberanian melawan Goliat. Ia tahu hidup ada di tangan Tuhan dan tidak ada satu pun yang akan terjadi di luar kuasa Tuhan.

• Dari Daud kita belajar akan cintanya yang besar pada sahabatnya Yonatan. Kitabelajar akan kesetiaannya pada janji yang diberikannya kepada Yonatan sehingga ia bersedia memelihara anak Yonatan.

• Dari Daud kita pun belajar tentang kesediaannya untuk belajar dan mendengarkan saran orang lain. Ini menunjukkan kerendahan hatinya. Ia tidak jadi membunuh Nabal yang telah menghinanya atas desakan Abigail.

• Dari Daud kita belajar akan cintanya yang begitu besar kepada Tuhan. Ia marah dan berani melawan Goliat karena Goliat menghina umat Tuhan. Ia pun bersedia terlihat "tak terhormat" - menari-nari dengan rakyat - sewaktu membawa pulang Tabut Perjanjian.

• Dari Daud pun kita belajar bahwa sedekat - dekatnya kita dengan Tuhan, ternyata kita masih sanggup berbuat dosa yang begitu jahat. Daud berzinah dan untuk menutupi dosanya, ia membunuh suami Betseba.

• Dari Daud kita belajar bahwa pertobatan adalah suatu keniscayaan dalam menghadapi dosa pribadi. Setelah ditegur Natan, Daud bertobat dan memohon belas kasihan Tuhan. Ia pun bersedia menanggung akibat buruk dari dosanya yaitu terusir dari kerajaan dan terancam untuk dibunuh oleh putranya sendiri. Daud tahu itu adalah ganjaran atas dosanya dan ia menerima dengan pasrah.

Kesimpulan

Di akhir hidupnya Daud bersaksi, "Apabila seorang memerintah manusia dengan adil, memerintah dengan takut akan Allah, ia bersinar seperti fajar di waktu pagi, pagi yang tidak berawan yang sesudah hujan membuat berkilauan rumput muda di tanah. Bukankah seperti itu keluargaku di hadapan Allah?" 2 Samuel 23:3-5


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu tentang "Pelajaran dari Daud". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pada perbincangan yang lalu kita memperbincangkan tentang kehidupan Daud yang sungguh unik, kita bisa belajar dari kehidupannya karena Kitab Suci secara transparan sekali menuliskan kehidupan raja Daud, bahkan sebelum menjadi raja. Untuk melanjutkan perbincangan ini, supaya para pendengar kita mendapatkan gambaran yang lebih lengkap, mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat apa yang kita telah perbincangkan pada kesempatan yang lalu.

PG : Sebagai tokoh yang kita mau lihat dan pelajari. Karena bagi kita Daud adalah seseorang yang memberikan inspirasi sekaligus penghiburan. Inspirasi untuk kita melangkah melampaui apa yang seang kita lakukan, melampaui apa yang biasanya membatasi kita.

Itulah yang dilakukan oleh raja Daud tapi dia juga adalah sumber penghiburan karena nanti kita akan lihat bahwa dia manusia seperti kita, seseorang seperti Daud pun juga bisa jatuh, tapi kita nanti akan lihat bahwa pengampunan dari Tuhan juga tersedia dan nanti pun kita akan lihat Tuhan kembali memulihkan Daud. Jadi hidup Daud adalah hidup yang memberi inspirasi sekaligus penghiburan bagi kita. Sebuah kehidupan yang juga merefleksikan kita semua sebagai anak-anak Tuhan, kita telah belajar sekurang-kurangnya 3 hal tentang Daud yaitu yang pertama adalah dia orang yang menantikan waktu Tuhan. Kesabaran yang luar biasa meskipun dia telah diurapi menjadi seorang raja, dia tidak tergesa-gesa, dia menunggu waktu Tuhan menjadikannya raja. Dia juga menaruh rasa hormat yang begitu besar kepada Tuhan sehingga meskipun berkesempatan mengakhiri hidup Saul, mengakhiri penderitaannya yang dikejar-kejar oleh Saul, dia tidak melakukannya sebab dia menaruh hormat kepada Tuhan, dia mengatakan dia tidak boleh membunuh Saul sebagai orang yang Tuhan telah urapi. Jadi itulah sikap yang mesti kita juga kedepankan, mementingkan Tuhan, melakukan yang berkenan kepada Tuhan apa pun kondisi yang kita alami. Dan yang terakhir kita telah belajar tentang keberanian, keberanian melawan hewan buas, keberanian melawan Goliat, keberanian yang benar-benar meresikokan nyawanya sendiri meskipun dia tidak harus melakukan semua itu, keberanian yang bersumber dari iman yang kuat bahwa semua ada di tangan Tuhan, tidak ada hal yang terjadi jika Tuhan tidak menghendakinya. Jadi inilah tiga pelajaran yang kita petik dari kehidupan Daud, Pak Gunawan.
GS : Dan selanjutnya apa, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah dari Daud kita belajar akan cintanya yang besar pada sahabatnya, Yonatan. Daud bukan hanya seorang yang berani, hidup beriman kepada Tuhan tapi dia juga seorang manusiayang menghormati satu sama lain, yang bisa membangun persahabatan dengan begitu kuat dan akrab.

Ada orang yang rohani sekali tetapi tidak bisa hidup dengan manusia, yang menekankan Tuhan, berbicara tentang Tuhan dan sebagainya, tapi dia sangat sulit sekali untuk bisa berhubungan dengan sesama manusia. Tidak demikian dengan Daud, hidupnya selalu dikelilingi oleh orang dan orang-orang yang memang setia bahkan berani menaruhkan nyawa baginya. Kita tahu dari perwira Daud yang bahkan bersedia mengambilkan air, menembus garis pertahanan musuh, mempertaruhkan nyawa mereka. Kenapa mereka mencintai Daud? Jadi kita bisa melihat bahwa Daud pun orang yang bisa membangun persahabatan dengan orang lain. Kita lihat dia bukan saja setia kepada Yonatan, pada waktu Yonatan masih hidup, dia memegang janjinya, dia akan memelihara keturunan Yonatan dan itulah yang dia lakukan. Waktu Yonatan sudah mati, dia mencari tahu siapakah keturunan Yonatan, dia mendapatkan Mefiboset dan kemudian dia merawatnya sampai-sampai membiarkan anak Yonatan makan, duduk di mejanya di dalam kerajaannya. Rupanya inilah yang membuat Daud bisa bersahabat dengan orang, dia setia. Makanya Amsal berkata, "Banyak orang mengaku-ngaku mengasihi tapi siapakah yang setia." Setia adalah bukti kasih, setia adalah karakter yang memang mulia tapi Daud menunjukkan kesetiaan bukan hanya kepada Tuhan tapi juga kepada sesama, dia tidak sembarangan melanggar janji, apa yang dia katakan, dia tepati. Ini sikap atau karakter mulia yang perlu kita pegang, Pak Gunawan. Betapa mudahnya kita berjanji tapi tidak menepati, betapa mudahnya kita mengumbar perkataan, "Saya mengasihi saudara," tapi tidak ada apa-apa dibalik perkataan itu, tidak demikian dengan Daud, dia pegang janjinya dan dia buktikan kasihnya.
GS : Memang persahabatan Daud dan Yonatan ini menjadi teladan nyata bagi kita, suatu contoh konkret tentang persahabatan yang sebenarnya Pak Paul, padahal sebenarnya diantara mereka ada suatu jurang pemisah yang besar yaitu Daud dari desa, dia anak orang yang kurang mampu, sedang Yonatan adalah anak Raja Saul sendiri. Kalau kita lihat di sini sebenarnya persahabatan itu tidak terhalangi oleh hal-hal seperti itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi persahabatan lintas kelas ekonomi. Jadi Daud dan Yonatan adalah yang satu dari latar belakang kurang, yang satu dari latar belakang berlebihan, satu orang biasa, satu orng ningrat tapi dua-duanya bisa bersahabat dan kita juga harus mengakui bahwa persahabatan ini tidak bertepuk sebelah tangan, Daud seorang yang berkarakter mulia, demikian pula Yonatan, meskipun ayahnya melarang dia bersahabat dengan Daud, dia tetap bersahabat bahkan melindungi Daud dari rancangan ayahnya untuk membunuh Daud.

Makanya Saul begitu marah, mengutuki Yonatan tapi Yonatan tidak peduli. Dia tahu kalau dia melakukan hal yang benar bahkan Yonatan berkata bahwa dia tahu bahwa Tuhan sudah menyerahkan tahta ayahnya kepada Daud. Kita melihat sebuah jiwa yang begitu mulia tidak mengungkungi tahta kerajaan ayahnya. Dia putra mahkota seharusnya dia yang menggantikan tapi dia begitu rela melepaskannya, memberikan kepada sahabatnya sebab sekali lagi dia melihat Tuhan memang sudah menetapkan Daud. Jadi ujung-ujungnya sahabat ini memang terpulang pada Tuhan, dua-duanya tunduk pada Tuhan, dua-duanya menaruh hormat kepada Tuhan dan mengesampingkan pendapat pribadi mereka. Sebetulnya inilah kunci persahabatan Pak Gunawan, kadang-kadang kita tidak bisa mempertahankan persahabatan gara-gara perbedaan-perbedaan, kepentingan-kepentingan kita bertabrakkan dan sebagainya. Tapi kita melihat dalam kasus Daud dan Yonatan, meskipun dua-duanya sebetulnya dipisahkan oleh kepentingan. Daud mempunyai kepentingan menjadi raja, Yonatan juga sebetulnya mempunyai kepentingan menjadi raja menggantikan ayahnya, tapi dua-dua tunduk kepada Allah, dia tetap menunggu waktu Tuhan, sabar pada cara Tuhan untuk memberikan tahta Saul kepadanya, di sini kita bisa melihat atau saya kira Yonatan bisa melihat betapa mulainya karakter Daud, Daud tidak mau membalas, Daud berkesempatan membunuh Saul tapi Daud tidak melakukannya. Saya kira Yonatan diingatkan lagi dan diingatkan lagi betapa mulianya Daud tapi kita bisa melihat kenapa Daud tidak melakukan semua itu? Karena dia menaruh hormat kepada Tuhan. Sama juga dengan Yonatan, kenapa dia tidak menyingkirkan Daud yang akan mengambil tahtanya? Karena dia tahu bahwa Tuhan sudah menetapkan Daud. Jadi kita lihat persahabatan itu akhirnya langgeng, begitu kuat sebab dua orang ini tidak mementingkan diri, dua-dua mementingkan Tuhan dan kehendakNya.
GS : Jadi pernyataan Tuhan Yesus kepada kita bahwa kamu adalah sahabatku, itu adalah sesuatu yang sangat besar artinya buat kita sebenarnya, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi itu menunjukkan suatu kehormatan yang Tuhan berikan kepada kita, kita bukan saja hamba, kita memang tetap hamba Tuhan tapi kita telah dinobatkan menjadi seorang sahabat ang setara dengan Tuhan.

Dan itu juga menunjukkan sebuah kepercayaan yang besar, Tuhan menaruh percaya kepada kita bahwa kita itu akan setia kepadaNya, melakukan pekerjaan-pekerjaanNya dan membela kepentinganNya.
GS : Masih ada hal lain yang kita akan pelajari dari Daud, Pak Paul?

PG : Dari Daud kita pun belajar tentang kesediaannya untuk belajar dan mendengarkan saran orang lain dan ini menunjukkan kerendahan hatinya. Misalnya dia tidak jadi membunuh Nabal yang telah meghinanya atas desakan Abigail.

Dia sudah siapkan pasukan, dia mau membunuh Nabal yang telah menghinanya. Tapi waktu istri Nabal datang memohon jangan lakukan itu, dia mendengarkan. Kita juga melihat ini berulang-ulang kali. Waktu Nabi Natan menegurnya, dia pun juga belajar rendah hati menerima tegurannya. Jadi kita melihat sebuah sikap rendah hati pada diri Daud. Susah untuk kita rendah hati kalau kita sudah gemilang tapi waktu kita memang kehilangan apa-apa, tidak punya apa-apa, kita mudah rendah hati karena tidak ada lagi yang kita bisa banggakan, tidak ada lagi yang kita gunakan sebagai perisai dan pertahanan. Tapi Daud dalam posisi sebagai seorang raja, sebagai seorang yang berkuasa dia bersedia mendengarkan orang. Makin hari makin saya lihat inilah yang seringkali terhilang di dalam sosok kita sebagai anak-anak Tuhan yang akhirnya diberi kesempatan oleh Tuhan menduduki tampuk kepemimpinan, betapa susahnya kita yang sudah duduk di tampuk kepemimpinan untuk mendengarkan orang lain. Kita terus mengklaim kita mendengarkan Tuhan tapi kita lupa bahwa seringkali Tuhan juga menyatakan pimpinan dan kehendakNya lewat orang-orang biasa, orang-orang di sekitar kita tapi kita menutup telinga, kita berkata "Ini dari Tuhan dan saya dengar dari Tuhan langsung." Tidak demikian dengan Daud, sebenarnya dia bisa berkata kepada Abigail, "Kamu siapa, menyuruh-nyuruh saya tidak membalas kejahatan suamimu, saya patut membalas kejahatan suamimu." Dan saat itu dia bisa membawa pasukannya yang ribuan itu. Siapakah seorang wanita Abigail yang seorang diri saja meminta dan menyarankan itu, tapi tetap Daud lakukan. Jadi karakter rendah hati, siap mendengarkan masukan orang lain, ini sesuatu yang perlu kita pelajari dari Daud.
GS : Memang sebenarnya akan jauh lebih baik kalau kita mau mendengarkan pendapat orang lain karena dengan begitu wawasan kita sebenarnya lebih dibukakan. Mungkin orang lain bisa memberikan masukan yang lebih baik dari pada kalau kita memutuskan sendiri atau mengambil kesimpulan sendiri, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Orang yang tidak lagi mau mendengarkan orang lain, pada akhirnya hanyalah akan mendengarkan dirinya sendiri, itu bahaya sekali sebab orang yang hanya mendengarkan dirinya seniri pada akhirnya akan dikuasai oleh dirinya sendiri.

Jadi akan terpaksa oleh realitas dan bahkan pada akhirnya terlepas dari tuntunan Tuhan.
GS : Sering kali Tuhan memakai anak-anak kita untuk memperingatkan kita sebagai orang tua.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kalau kita sudah mempunyai tekad untuk terbuka mendengarkan masukan orang, Tuhan akan begitu senang dan akan menghadirkan begitu banyak situasi, begitu banyk orang untuk berbisik kepada kita.

Itu sebabnya orang yang begitu terbuka, mau mendengarkan pimpinan Tuhan dan belajar dari masukan-masukan orang, makin hari makin diperkaya, makin hari makin diberkati. Kenapa? Sebab dia makin dipimpin oleh Tuhan. Jalannya makin di jalur yang Tuhan kehendaki, sebaliknya orang yang tidak mau mendengarkan orang lain, akhirnya Tuhan tidak bisa lagi berbicara kepada dia.
GS : Saya juga terkesan akan kasih Daud kepada Tuhan atau cinta Daud kepada Tuhan, ketika dia melihat bahwa dia tidak pantas di sebuah istana yang begitu besar padahal waktu itu Bait Allah sangat sederhana sekali dan dia bertekad untuk mendirikan Bait Allah, Pak Paul, walau pun akhirnya dia dilarang oleh Tuhan.

PG : Betul sekali. Kita melihat memang sebuah hati yang penuh akan cinta kepada Tuhan, itu pun bisa kita lihat pada tulisan-tulisannya di Mazmur yang sebetulnya merupakan lagu atau pujian. Kitabisa belajar dari Daud akan cintanya yang begitu dalam kepada Tuhan.

Kita lihat cinta itu dinyatakan waktu dia membela nama Tuhan di hadapan Goliat, meskipun nyawanya bisa melayang di tangan Goliat, karena cintanya kepada Tuhan dia tetap maju. Kita juga tahu waktu dia membawa tabut pulang ke Yerusalem, dalam perjalanan dia begitu senang karena bisa membawa tabut perjanjian Tuhan kembali ke Yerusalem, dia menari-nari dan mungkin bajunya atau tindakannya itu seperti orang awam tidak lagi ningrat, seperti orang kelas atas sehingga istrinya Mikhal menghinanya, tapi dia tidak peduli dan berkata "Kalau saya mau melakukan hal yang lebih hina dari ini pun saya bersedia demi Tuhan." Jadi itulah jatuh cinta kepada Tuhan, dia akan bersedia melakukan apa pun. Kenapa? Cinta yang besar itu memotivasinya, dan ini yang penting. Cinta yang besar kepada Tuhan memerdekakan kita untuk melakukan apa pun yang Tuhan kehendaki.
GS : Memang banyak hal yang kita sudah bicarakan tentang kebaikan Daud tapi juga kita melihat bahwa Kitab Suci tidak menutup-nutupi akan kekurangan Daud, Pak Paul. Hal apa yang kita bisa pelajari dari kejatuhan Daud, Pak Paul?

PG : Kita tahu akhirnya di masa kegemilangannya Daud jatuh ke dalam dosa perzinahan, dia jalan-jalan di sotoh rumahnya atau di loteng rumahnya. Dan dari atas dia melihat seorang wanita yang sedng mandi, rupanya saat itu istana Daud dikelilingi oleh rumah-rumah perwiranya.

Dan rupanya rumah perwira Uria, suami Batsyeba, tidak jauh dari istana maka Daud bisa melihatnya, di sini pun kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa besar kemungkinan Uria adalah salah satu perwira yang memang ditempatkan dekat dengan rumah Daud sebagai penjaga. Jadi yang lebih jauh mungkin tidak ditempatkan sebagai penjaga, tapi dialah penjaga dan juga penjaga nyawa Daud. Oleh karena itu ditempatkan dekat dengan rumah Daud sehingga kalau musuh menyerang dan sebagainya, merekalah menjadi lingkaran terdalam yang melindungi Raja Daud. Inilah ironi dari semuanya, Pak Gunawan, akhirnya Daud justru melihat Batsyeba mandi, berzinah dengannya, hamil, dia mau menutupi dosanya, dia panggil Uria dari medan pertempuran, dia pesta, dia mengajak minum dengan tujuan menyuruhnya pulang supaya nanti Uria bisa kembali bersetubuh dengan Batsyeba dan nanti Batsyeba bila mengklaim ini anak Uria. Tapi begitu setianya Uria, dia tidak mau pulang, dia tidur di pintu istana Daud, besoknya Daud kaget kenapa dia tidak pulang. Dibuatkan pesta lagi, diajak minum lagi sampai mabuk dengan harapan dia akan pulang dan mungkin meniduri istrinya tapi tetap itu tidak dilakukannya. Dia tidur di pintu istana, akhirnya disuruh kembali ke medan pertempuran, Daud menulis surat kepada Saul memintanya untuk menempatkan Uria di gugusan terdepan supaya bisa dibunuh. Dosa yang luar biasa, bagaimanakah bisa keluar dari seorang Daud? Tidak bisa kita mengerti, Pak Gunawan. Tapi di sini kita bisa menyimpulkan, kita memang manusia berdosa. Tuhan memang sudah katakan bahwa hati manusia itu teramat jahat dan teramat jahat. Jadi kita bukan hanya kehilangan kemuliaan Tuhan tapi masuk menjadi yang terjahat, makanya dari seorang Daud yang begitu mulia bisa keluar hal yang begitu keji. Inilah manusia, inilah kita semua jangan sampai kita lengah, jangan beranggapan kita kuat. Saya ingat sekali perkataan dari Pdt. Track Lorrey di Amerika, dia berkata "Kita manusia dalam kondisi terbaiknya, tetap seorang berdosa," dan betul sekali. Saat itu Daud dalam kondisi terbaiknya secara rohani, secara karier dan sebagai seorang tentara, sebagai seorang raja, kerajaannya makmur, luas dan kokoh. Di dalam kondisi terbaiknya Daud seorang berdosa sayangnya dia lupa, dia lengah dan di situlah dia jatuh.
GS : Hal itu memang menyadarkan kita akan kebenaran Firman Tuhan bahwa pada saat kita kuat, justru kita harus sangat berhati-hati, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Dan Tuhan sudah mengingatkan juga bahwa betul yaitu Roh memang penurut, maunya kita memuliakan Tuhan, maunya kita melakukan hal yang Tuhan kehendaki, Roh penurut tapi daging emah.

Jadi Tuhan berharap kita selalu mawas diri. Mengertilah bahwa daging kita sangat lemah sehingga kapan waktu kita bisa jatuh maka kita harus memagari diri kita. Sudah tentu yang Daud lakukan adalah buru-buru turun jangan diam di atas loteng, buru-buru turun dan tidak mau melihatnya lagi dan meminta Tuhan menguatkan dirinya tapi itu tidak dilakukan oleh Daud. Dia malah menonton dan kemudian dia memanggil pesuruhnya untuk memanggil Batsyeba. Benar-benar sebuah langkah yang terencana dan itu semua memerlukan waktu, Daud punya waktu untuk berkata tidak, Daud punya waktu untuk melawan dosa tapi tidak dilawannya sama sekali. Di sini kita melihat kelemahan orang itu dibawa dari kecil sampai besar. Kita bandingkan Daud dengan Uria, Uria mempunyai penguasaan diri yang luar biasa kuatnya. Saat itu kalau tentara pergi berperang bukan hanya berbulan-bulan, tapi bisa juga sampai bertahun-tahun. Tidak sama seperti sekarang, ada rotasi bisa pulang dan sebagainya tapi pada saat-saat itu tidak! Selama pertempuran belum selesai, mereka tidak bisa pulang karena kalau mereka keluar pulang, maka musuh masuk. Jadi di gugusan terdepan, tentara terus berbaris berperang dan tidak ada yang pulang. Jadi bisa dibayangkan sebagai seorang manusia, sebagai seorang laki-laki, Uria sudah tentu membutuhkan istrinya. Dan juga dikatakan Batsyeba seorang wanita yang cantik dan mereka pasangan muda. Jadi kita bisa melihat betapa kuatnya penguasaan diri Uria, bahkan setelah dicekoki anggur sampai mabuk sekalipun, karakternya, penguasaan dirinya yang begitu kuat melarang dirinya untuk pulang meskipun secara manusiawi dia seorang laki-laki yang pergi tidak tahu sudah berapa bulan atau berapa tahun, dia pasti membutuhkan relasi seksual dengan istrinya, tapi dia tetap tidak pulang dengan satu alasan yaitu serdadu-serdadu tuanku tidur di bawah langit menghadapi maut, mana mungkin saya enak-enakkan dengan istri saya, itu sebuah karakter yang mulia. Di sini kita lihat kekuatan Uria, dikontraskan dengan kelemahan Daud, Daud berpikir pasti Uria mau pulang dan bersetubuh dengan istrinya. Kenapa Daud berpikir begitu, sebab Daud seperti itu, sebab dia memiliki kelemahan dalam soal seksual. Dia senang dengan yang cantik, dengan yang indah dan kelemahan itu rupanya dia bawa. Kita tahu juga dari seorang Abigail, setelah Nabal menikah, dia menikahi Abigail, janda itu dan itu langsung bukan karena Abigail perempuan yang salah, tapi Abigail adalah perempuan yang mulia, tapi kita lihat Daud sangat mudah tertarik pada kecantikan. Kita lihat di sini sebuah pengkontrasan, Daud mempunyai kelemahan. Pelajaran buat kita adalah waspada dengan diri kita. Kita mesti menyadarinya, mengakuinya dan menjaganya hati-hati.
GS : Tapi kita bersyukur ketika Nabi Natan datang dan mengingatkan Daud, Daud sempat bertobat.

PG : Itu yang indah yaitu Daud bertobat dan ini merupakan suatu keniscayaan, keharusan dalam menghadapi dosa. Kita belajar dari Daud apapun perbuatannya, sebesar apa pun dosanya perlu minta penampunan Tuhan, perlu bertobat.

Dia pun juga berani menanggung akibat buruk dosanya yaitu diusir dari kerajaannya, terancam dibunuh oleh putranya sendiri. Daud tahu kalau itu adalah ganjaran atas dosanya dan ia menerimanya dengan pasrah, inilah spirit Daud yang perlu kita pelajari. Sudah berdosa maka minta ampun, bertobat dan inilah yang Tuhan minta dari kita, Daud tidak mengulang dosanya itu, kita tahu sampai akhir hidupnya Daud tidak pernah mengulang perzinahan, dia benar-benar bertobat, dia berubah 100 persen di sini.
GS : Memang Natan pun dengan bijak mengingatkan Daud, dan Daud cukup peka dengan perkataan itu.

PG : Betul sekali. Dan Daud tidak mempertanyakan apakah ini dari Tuhan dan sebagainya, kita tahu ada raja-raja Israel waktu diingatkan oleh nabi, malahan dia mau membunuh nabinya dan banyak yan seperti itu.

Tetapi tidak dengan Daud, dia tahu Natan hamba Tuhan, dia percaya ini adalah titipan Tuhan dan dia tahu bahwa Tuhan sudah menegurnya maka dia langsung bertobat. Maka pelajaran buat kita, jangan keraskan hati, kadang-kadang inilah yang menjadi penghalang kita datang kepada Tuhan yaitu mengeraskan hati, tidak mau mengakui, tidak mau meminta belas kasihan Tuhan, tidak mau meminta Tuhan kembali merajut hidup kita tapi seringkali kita mau urus sendiri dengan cara kita, jangan! Daud maju ke hadapan Tuhan, mengakui kehancurannya, memohon belas kasihan Tuhan untuk kembali menyentuhnya dan memulihkannya dan itu yang Tuhan lakukan.
GS : Dan dari situ kita bisa belajar, Pak Paul, bahwa Tuhan selalu memberikan kesempatan bagi kita untuk menyesali dosa dan bertobat.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Pak Paul, dari semuanya ini, kesimpulan dari pembicaraan ini apa?

PG : Saya akan bacakan dari 2 Samuel 23:3-5, di akhir hidupnya Daud bersaksi "Apabila seseorang memerintah manusia dengan adil, memerintah dengan takut akan Allah, ia bersinar seperti fajar diwaktu pagi, pagi yang tidak berawan, yang sesudah hujan membuat berkilauan rumput muda di tanah.

Bukankah seperti itu keluargaku di hadapan Allah?" Ini sebuah kesaksian Daud di penghujung hidupnya. Dia memberikan resep yaitu takut akan Tuhan, adil dengan manusia dan inilah yang nanti Tuhan akan perbuat, dia akan memberkati, dia akan memuliakan diri kita dan keluarga kita.
GS : Dan memang di dalam kehidupan Daud, kelihatan sekali bahwa dia seorang yang adil dan patut kita contoh, kita teladani di dalam kehidupan kita sehari-hari.

PG : Betul.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kita kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pelajaran dari Daud" bagian yang ke II, merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang lalu. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



42. Pelajaran Dari Daud 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T242B (File MP3 T242B)


Abstrak:

Di sini kita bisa belajar dari kehidupan Raja Daud, belajar dari kejayaannya sekaligus kejatuhannya juga.


Ringkasan:

Raja Daud adalah figur yang menarik untuk dipelajari. Begitu banyak pelajaran yang dapat kita petik lewat kehidupannya. Berikut adalah beberapa di antaranya.

• Darinya kita belajar tentang kesabaran menantikan waktu Tuhan - kendati sudah diurapi, namun ia menunggu waktu Tuhan untuk mendudukkannya sebagai raja.

• Kita pun bisa belajar tentang rasa hormatnya yang besar pada Tuhan - itu sebabnya ia menolak dan melarang perwiranya membunuh Saul meski ia berkesempatan melakukannya.

• Dari Daud kita pun belajar tentang keberanian - dari keberanian melawan binatang buas sampai keberanian melawan Goliat. Ia tahu hidup ada di tangan Tuhan dan tidak ada satu pun yang akan terjadi di luar kuasa Tuhan.

• Dari Daud kita belajar akan cintanya yang besar pada sahabatnya Yonatan. Kitabelajar akan kesetiaannya pada janji yang diberikannya kepada Yonatan sehingga ia bersedia memelihara anak Yonatan.

• Dari Daud kita pun belajar tentang kesediaannya untuk belajar dan mendengarkan saran orang lain. Ini menunjukkan kerendahan hatinya. Ia tidak jadi membunuh Nabal yang telah menghinanya atas desakan Abigail.

• Dari Daud kita belajar akan cintanya yang begitu besar kepada Tuhan. Ia marah dan berani melawan Goliat karena Goliat menghina umat Tuhan. Ia pun bersedia terlihat "tak terhormat" - menari-nari dengan rakyat - sewaktu membawa pulang Tabut Perjanjian.

• Dari Daud pun kita belajar bahwa sedekat - dekatnya kita dengan Tuhan, ternyata kita masih sanggup berbuat dosa yang begitu jahat. Daud berzinah dan untuk menutupi dosanya, ia membunuh suami Betseba.

• Dari Daud kita belajar bahwa pertobatan adalah suatu keniscayaan dalam menghadapi dosa pribadi. Setelah ditegur Natan, Daud bertobat dan memohon belas kasihan Tuhan. Ia pun bersedia menanggung akibat buruk dari dosanya yaitu terusir dari kerajaan dan terancam untuk dibunuh oleh putranya sendiri. Daud tahu itu adalah ganjaran atas dosanya dan ia menerima dengan pasrah.

Kesimpulan

Di akhir hidupnya Daud bersaksi, "Apabila seorang memerintah manusia dengan adil, memerintah dengan takut akan Allah, ia bersinar seperti fajar di waktu pagi, pagi yang tidak berawan yang sesudah hujan membuat berkilauan rumput muda di tanah. Bukankah seperti itu keluargaku di hadapan Allah?" 2 Samuel 23:3-5


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pelajaran dari Daud". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Kita patut bersyukur kepada Tuhan karena Alkitab, kitab suci kita tidak menutupi kejelekan seseorang, tokoh-tokoh di dalam Alkitab. Sekalipun banyak menguraikan tentang kelebihannya sehingga dari dalamnya kita bisa belajar tentang kehidupan pribadi seseorang dengan cukup lengkap. Salah satunya kita bisa belajar tentang Daud. Mulai sejak kecil sampai wafatnya kita bisa pelajari sesuatu yang unik, bukan begitu, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Alkitab memang tidak ragu untuk mengungkapkan siapakah manusia itu. Alkitab itu tidak mempunyai kepentingan menutupi kelemahan manusia, justru Alkitab itu dengangamblang memaparkan keadaan manusia apa adanya, baik dalam kondisi terbaiknya ataupun dalam kondisi terburuknya.

Saya kira dari sosok Daud inilah kita bisa melihat sebuah kelengkapan hidup di dalam Tuhan, hidup dalam Tuhan memang tidak selalu perjalanan yang lancar tapi adakalanya juga berbatu dan adakalanya bukan saja naik, tapi juga akan meluncur turun ke dalam dosa. Hal-hal inilah nanti kita akan coba timba dari kehidupan Daud, Pak Gunawan.
GS : Di antaranya apa Pak Paul yang bisa kita pelajari dari kehidupan Daud?

PG : Yang pertama adalah Daud seorang yang sabar menantikan waktu Tuhan, dia sudah diurapi oleh Samuel untuk menjadi seorang raja. Dia tahu ini pasti dilaksanakan, digenapi oleh Tuhan. Tidak mugkin Tuhan mengirim hambaNya mengurapi Daud kemudian Tuhan berkata, "Tidak jadi atau nanti setelah kamu meninggal baru ada orang lain yang," tidak! Tapi dialah yang akan menjadi raja.

Masalahnya adalah itu tidak terjadi dengan segera. Bertahun-tahun Daud sama sekali tidak melihat pemenuhan janji Tuhan bahkan sampai saat itu pun dia masih menjadi seorang gembala, belakangan karena raja Saul sering diganggu oleh roh jahat, 'mood' atau perasaannya naik turun akhirnya orang di istana berkata, "Bapa raja ini perlu seorang pemusik, perlu mendengarkan musik yang tenang," dan musik kecapilah yang dianggap bisa membuat raja Saul tenang dan mereka berpikir siapa yang bisa? Dan mereka terpikir Daud, seorang pemuda yang rupanya saat itu kepiawaiannya bermain musik sudah cukup dikenal. Maka orang di sana bisa kenal dan tahu dia, jadi kemungkinan besar memang Daud sudah dikenal sebagai seorang musisi muda yang berbakat itulah yang membuat Daud dipanggil ke istana tapi bukan sebagai raja tapi sebagai pemain musik. Jadi saya berpikir-pikir kalau saya jadi Daud apakah mungkin nanti saya membayang-bayangkan, "Tuhan saya sudah diurapi, saya akan menjadi raja tapi tidak dipanggil-panggil," akhirnya dipanggil masuk ke istana bukan sebagai raja, tapi sebagai pemain musik kemudian untuk bermain musik bagi raja yang 'mood'nya ini turun naik tidak stabil dan juga lalim. Dari titik itu kita bisa melihat sebuah perjalanan panjang dalam hidup Daud yang akhirnya itu membuat dia menderita gara-gara urapan Tuhan itu, dia dikejar-kejar oleh Saul mau dibunuh berapa kali, dia harus lari tinggal di padang belantara, bahkan dia harus lari ke orang Filistin bahkan pura-pura gila. Itu sebuah pengalaman yang penuh dengan derita, itu bertahun-tahun bukan berhari-hari. Dan pertanyaannya adalah bagi Daud saat itu "Kapan Tuhan memenuhi janjiNya." Tapi Daud itu tetap kuat kokoh dalam Tuhan, dia tidak meragukan janji Tuhan, dia tahu Tuhan sudah berkata Tuhan akan menggenapi dan tinggal masalah waktu. Jadi di sini kita bisa melihat sebuah manusia yang berkarakter kokoh sekali, begitu sabarnya ditempa oleh derita, oleh ketidakmengertian, kebingungan tapi tetap setia kepada Tuhan, menunggu waktu Tuhan.
GS : Kalau kita melihat profesi Daud sebagai gembala waktu dia masih muda, itu juga bisa menolong pembentukan karakternya sehingga dia cukup sabar menghadapi itu semua, Pak Paul.

PG : Saya kira itu berperan besar Pak Gunawan, salah satunya kita bisa lihat memang berperan besar juga dalam hal tanggung jawab. Dia memang seorang yang penuh tanggungjawab dan sudah tentu sebgai gembala, dia harus duduk di padang belantara, menjaga kawanan dombanya, memang itu semua memerlukan kesabaran.

Dan dia juga melihat selama ini Tuhan setia dalam hidupnya. Jadi saya percaya Daud itu tidak tiba-tiba menjadi seorang raksasa rohani, tidak! Dia pasti di dalam masa mudanya sudah menyaksikan kasih setia Tuhan, itu sebabnya meskipun tidak melihat pemenuhan janji Tuhan dan bukan saja tidak melihat pemenuhan janji Tuhan malah menderita sengsara gara-gara Tuhan mengurapinya, tapi tetap dia setia. Tidak ada keluhannya kepada Tuhan menyesalkan pilihan Tuhan untuk mengurapinya, gara-gara urapan Tuhan hidup saya jadi kacau, saya tidak pernah minta jadi raja, sekarang saya jadi diusir, dikejar-kejar mau dibunuh. Daud tidak pernah sekali pun mempertahankan janji dan niat Tuhan, dia percaya penuh yang penting Tuhan sudah berjanji maka nanti Tuhan akan genapi. Kapan? Tidak tahu, itu bukan lagi urusan kita manusia untuk tahu dan yang penting kita tetap menantikan janji Tuhan.
GS : Apakah statusnya sebagai anak bungsu, itu juga membuatnya sabar seperti itu, Pak Paul?

PG : Mungkin saja tapi mungkin juga tidak. Memang kita tidak tahu pasti karena kita tahu juga ada kasus-kasus di mana anak bungsu paling tidak sabar karena cenderung dimanja oleh kakak-kakaknyadan sebagainya.

Tapi dalam kasus Daud memang yang kita bisa petik dari peristiwa waktu Daud menjumpai saudara-saudaranya, kakak-kakaknya yang sedang dalam medan pertempuran melawan bangsa Filistin, mereka tidak menyambut kedatangan Daud tapi malah seolah-olah mereka itu menghina Daud, menekan Daud seolah-olah malah menuduh Daud itu tidak bertanggungjawab, tidak menjagai kawanan domba, malah meninggalkan, malah mau ke medan pertempuran, mau melihat-lihat. Sepertinya kalau dalam istilah sekarang itu mereka menuduh Daud maunya senang-senang, maka melalaikan tanggungjawabnya. Jadi dari jawaban saudara-saudara Daud, kita petik rasanya mereka bukan tipe kakak yang memang memanjakan si adik justru terlalu keras kepada si adik dan justru kurang menghargai si adik. Jadi lebih besar kemungkinannya adalah Daud memang tidak dimanja justru lebih sering ditekan oleh kakak-kakaknya. Nampaknya dalam keadaan seperti itu Daud menjadi seorang pribadi yang ditempa, tahan dengan tekanan-tekanan, tahan dengan ejekan-ejekan dan tidak apa-apa, yang penting dia jangan terus seperti itu.
GS : Memang seringkali anak bungsu menjadi korban dari kakak-kakaknya seperti yang dialami Daud tetapi melalui peristiwa ini sebenarnya kita melihat bahwa Tuhan bisa memakai seorang anak bungsu seperti Daud ini menjadi pemimpin suatu negara yang cukup besar pada waktu itu, Pak Paul.

PG : Betul. Dan memang ayahnya sendiri pun, Isai, tidak menduga Daudlah yang akan dipilih. Makanya waktu Samuel datang, yang dipresentasekan adalah semua saudara-saudaranya yang lain. Sebab rupnya mereka itu gagah perkasa makanya mereka yang langsung direkrut menjadi serdadu untuk melawan bangsa Filistin.

Jadi Isai pun berpikir pasti kakak-kakaknya yang akan dipilih. Rupanya Daud memang meskipun kita tahu dia memiliki kelebihan tapi dia seorang pemusik jadi si ayah mungkin berpikir dia bukan orang yang tidak begitu kuat, lemah tapi kita melihat inilah cara Tuhan bekerja, Ia tidak mementingkan kekuatan manusia. Dalam standart manusia, Daud mungkin paling lemah di antara saudara-saudaranya, tapi Tuhan memilih dia karena lewat dialah Tuhan menunjukkan kuasaNya yang besar itu.
GS : Selain kita melihat tentang kesabaran Daud menunggu waktu Tuhan, apakah ada hal lain yang kita bisa pelajari dari Daud?

PG : Daud itu begitu hormat kepada Tuhan dan sangat hormat kepada Tuhan sehingga dia menolak dan melarang perwiranya membunuh Raja Saul meskipun dia berkesempatan melakukannya. Ini memang hal yng sepintas sepele, mudah dilakukan, tapi sebetulnya ini sangat sukar dilakukan, kenapa? Sebab pada saat itu Daud benar-benar hidupnya di ujung tanduk, kapan pun serdadu Saul bisa menyergap dan membunuhnya dan Saul tidak main-main ingin membunuhnya, dua kali sekurang-kurangnya Saul hendak melemparkan tombak untuk membunuh Daud, jadi benar-benar tekadnya adalah menghabisi nyawa Daud tapi waktu Daud berkesempatan mengakhiri semua itu, mengakhiri penderitaannya, mengakhiri kelaliman Saul, dia tidak melakukannya.

Kalau kita tidak dalam penderitaan, kesusahan oleh orang yang menganiaya kita, mungkin kita masih bisa berkata, "Tidak perlu balas dan sebagainya." Tapi di sini Daud sedang dianiaya, bayangkan kalau kita terapkan dalam situasi sekarang ada orang yang jahat kepada kita, selalu mau mencari perkara dan begitu jahatnya mau membunuh kita, berusaha mencari kesempatan menghabisi nyawa kita. Tahu-tahu dia ada di depan hidung kita dalam keadaan yang sangat mudah sekali kita balas, kita akhiri hidupnya. Bukankah di saat seperti itu mudah sekali terbersit pemikiran, "Saya tidak salah jika membunuh dia," sebab ini masalah nyawa, "Kalau saya tidak mati berarti dia yang mati karena dia mau membunuh saya. Kalau saya tidak membunuh dia maka suatu hari kelak saya akan dibunuh olehnya." Jadi kita mudah sekali berasionalisasi dan membenarkan tindakan kita, tapi itu pun tidak dilakukan Daud. Ini juga susah sebab serdadu-serdadunya itu banyak, belum lagi keluarganya, anak-anaknya, mereka berduyun-duyun kalau pindah dari tempat ke tempat di padang belantara. Bayangkan betapa susahnya hidup di padang belantara, air susah, makan pun susah jadi hidup yang sangat sulit sekali penuh dengan tekanan. Makanya perwiranya langsung berkata, "Inilah hari yang Tuhan telah sediakan buatmu Daud, ini hari kemenanganmu, habisi nyawa Saul," itu diucapkan dua kali bukan hanya sekali, tapi Daud berkata "Tidak mau" kenapa tidak mau? Satu hal saja yang Daud gunakan sebagai alasan yaitu Saul adalah orang yang Tuhan urapi. Jadi benar-benar kita melihat rasa hormat yang tinggi kepada Tuhan, Tuhan yang telah mengurapi maka Tuhan yang nanti akan mengurus kelangsungan hidup raja Saul, dia tidak boleh bertindak di luar kehendak Tuhan, kalau Tuhan tidak perintahkan maka dia tidak akan melakukan apa-apa. Ini rasa hormat yang saya kira kita perlu pelajari dari Daud, Pak Gunawan, betapa seringnya kita memang akhirnya melangkahi Tuhan, kita beranggapan bahwa dia ini pasti benar kita harus lakukan maka kita lakukan. Kita tidak ingat bahwa tunggu dulu apa yang Tuhan kehendaki apa yang Tuhan sebetulnya sedang lakukan. Hormat kita akhirnya mengedepankan kehendak Tuhan, kalau kita tidak menghormati Tuhan sudah pasti yang akan kita kedepankan adalah diri kita sendiri.
GS : Memang seringkali godaan seperti itu juga ada di dalam kehidupan kita sehari-hari, Pak Paul. Pada saat kita butuh uang justru ada orang yang menawarkan kepada kita pinjaman uang atau bahkan pemberian uang, tetapi kita tahu itu sesuatu yang bertentangan dengan Firman Tuhan, dan ini sikap yang seperti diambil oleh raja Daud mestinya kita teladani juga, Pak Paul?

PG : Betul. Kadang-kadang kita melihat contoh yang memang menyedihkan yaitu misalkan saya tahu di sebuah tempat ada seorang dokter yang diajak bekerja sama untuk melakukan yang tidak halal di mta Tuhan.

Sebetulnya saya tahu dia bukan orang miskin, orang berada, tapi memang tawarannya menggiurkan akhirnya dia terlibat, tapi puji Tuhan dalam proses itu Tuhan menyadarkan dia untuk tidak melanjutkan. Ini contoh rasa hormat yang pudar. Ini dalam contoh dimana seseorang itu tidak kekurangan, saya bisa bayangkan betapa susahnya untuk kita itu tetap menaruh hormat besar kepada Tuhan, tatkala kita sedang pas-pasan atau hidup kita itu benar-benar sedang dalam kesusahan yang berat dan ini jalan keluarnya, kenapa tidak? Saya mengerti kenapa tidak sempurnanya hidup ini. Saya tahu ada orang yang juga dilanda kesusahan, diperlakukan tidak adil, dizalimi oleh orang dan dia saking tidak tahan dia akhirnya harus mengambil tindakan melawan dan tindakan yang dilakukannya adalah menggunakan cara-cara yang sama kotornya dengan cara yang digunakan oleh lawannya. Saya mengerti godaan ini besar apalagi kalau ini menyangkut kelangsungan hidup, tapi di sini kita bisa belajar sebuah jiwa yang sangat mulia, Pak Gunawan, dari seorang Daud. Di dalam kondisi yang sangat tertekan dan dia seharusnya memikirkan bawahannya, keluarga bawahannya, tapi dia bergeming kokoh "Tidak" dia tetap menghormati Tuhan, dia tidak mau melakukan hal yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Jadi apa pun harga yang dia harus bayar, dia tetap lakukan. Ini suatu sikap yang tegar dan tidak mudah untuk kita lakukan.
GS : Tapi karakter seperti itu Pak Paul, hanya terbentuk kalau orang itu sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dan mengenal siapa Tuhan itu bagi dirinya.

PG : Seyogianyalah begitu, Pak Gunawan. Sebab tanpa pengenalan akan Tuhan, tanpa cinta yang begitu besar akan Tuhan, memang kita itu seperti pohon yang mudah tertiup dan akhirnya ditumbangkan oeh angin kehidupan ini.

Maka dari awal kita mesti mempunyai sebuah komitmen yang kuat, cinta yang amat besar kepada Tuhan. Saya masih teringat cerita pendeta tua di Tiongkok, mungkin sekarang sudah meninggal dunia, Wang Ming Tao pada masa komunis berkuasa naik tahta di Tiongkok maka banyak hamba-hamba Tuhan yang ditangkap salah satunya adalah Pdt. Wang Ming Tao, waktu beliau ditangkap tidak diadili dengan benar dan langsung dijebloskan ke dalam penjara dan mendekam di penjara puluhan tahun, tapi dia tidak mau menyangkali imannya, dia tetap berpegang kepada Firman Tuhan, dia adalah hamba Tuhan, dia menghormati Tuhan. Berpuluhan tahun kemudian barulah dia dilepaskan, waktu Pdt. Billy Graham datang mengunjunginya, dia mengunjungi orang yang sudah tua renta tinggal di sebuah loteng yang sederhana dan disitulah Pdt. Billy Graham berkesempatan berbincang-bincang dengan Pdt. Wang Ming Tao dan sebelum pulang dia bertanya apa yang bisa Pdt. Wang Ming Tao sampaikan kepada orang-orang kristen di Amerika. Beliau mengutip dari kitab Wahyu yaitu kita mesti tetap bertahan dan setia sampai akhir untuk mendapatkan mahkota kehidupan. Jiwa yang seperti itulah yang kita perlu pelajari, benar-benar menaruh hormat kepada Tuhan, sehingga tidak mau melakukan hal yang tidak berkenan kepada Tuhan.
GS : Memang itu yang pada akhirnya nanti dinilai adalah kesetiaan kita dan bukan aktifitas kita sehari-hari.

PG : Betul sekali.

GS : Apakah ada hal-hal lain yang kita bisa pelajari dari Daud ini?

PG : Yang berikut dari Daud, kita akan belajar tentang keberanian, Pak Gunawan. Dari keberanian melawan binatang buas waktu dia sedang menggembalakan kambing dombanya sampai keberanian melawan oliat.

Di sini kita melihat sebuah keberanian yang amat besar sebab ini keberanian yang meresikokan nyawa. Memang dicatat dia seorang diri dengan tongkat melawan beruang, melawan binatang buas. Itu semua memerlukan keberanian dan pertanyaannya adalah saat itu apakah Daud harus melawan misalnya hewan-hewan buas itu? Sesungguhnya tidak! Dia bisa berpikir saya korbankanlah hewan daripada saya korbankan nyawa. Jadi Daud tidak harus meresikokan nyawanya. Waktu melawan Goliat, tentara Israel yang sedang perang, dia bukan serdadu dia tidak berkewajiban maju ke depan untuk melawan Goliat dan itulah yang dia lakukan. Jadi apa yang kita bisa lihat di sini? Memang sebuah keberanian yang teramat tinggi, sehingga meskipun tidak harus melakukannya. Banyak orang berani karena terpaksa Pak Gunawan, karena terpaksa tidak ada situasi lain, tidak ada jalan keluar lain, maka dia langsung menjadi berani mendadak, ini yang kita sebut dengan berani karbitan. Daud tidak berani karbitan, Daud tidak harus terlibat tapi dia melibatkan dirinya dan taruhannya adalah nyawanya sendiri. Pertanyaannya adalah kenapa Daud bisa begitu berani? Dia tahu bahwa hidup ada di tangan Tuhan dan dia tahu tidak ada satu hal pun yang akan terjadi di luar kuasa Tuhan. Itu sebuah iman yang benar-benar sangat kokoh. Maka bagi dia apapun yang dia lakukan, dia tahu Tuhan berkuasa menjaganya kalau sampai dia harus mati maka biarlah dia mati, tapi kalau belum waktunya Tuhan menginginkan dia hidup maka dia akan tetap hidup. Jadi keberanian inilah yang kita lihat pada diri Daud, bukan saja sewaktu dia sudah menjadi raja, sejak dia menjadi seorang gembala. Banyak orang yang karena dibebankan tanggung jawab sebagai pemimpin terpaksa berani. Dia sebagai raja, dia harus berperang di gugusan terdepan jadi terpaksalah menunaikan kewajiban. Itu berani karena keharusan atau kewajiban pula, tapi tidak dengan Daud, Daud dari awal sudah berani. Kita lihat kebalikannya dari raja Saul, Pak Gunawan. Raja Saul itu sebenarnya beraninya karena jabatan, dia sebetulnya tidak begitu. Waktu dia dipilih menjadi seorang Raja maka benar-benar dia berperang melawan bangsa Amalek dan sebagainya, tapi sebelumnya tidak ada catatan keberanian dia. Tapi Daud memang dari awal berani, kenapa? Dia tahu bahwa hidup ini sepenuhnya di tangan Tuhan.
GS : Memang di dalam menghadapi Goliat, keberanian Daud lebih tersulut lagi ketika Goliat itu menghina Allah yang disembah dan dikasihi oleh Daud ini, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi bagi Daud, orang ini sudah keterlaluan, benar-benar menghina Tuhan, kok seenaknya begitu. Jadi dia tahu apa pun yang dia lakukan itu memang adalah untuk kemuliaan Tuhan,dia membela Tuhan.

Sehingga dia tidak takut meskipun tubuhnya hanya separuh besarnya dari Goliat, meskipun juga dia hanya membawa ketapel sedangkan Goliat mempunyai perisai, mempunyai tombak dan pedang yang begitu berat, tapi dia tidak takut, dia tidak pernah berperang, dia tidak pernah terlatih sebagai seorang tentara tapi sekali lagi dia tahu Siapa yang menyertainya. Dan itulah yang Daud katakan kepada Goliat bahwa kamu telah menghina Tuhan Allah, Allah orang Israel dan dia membuktikan bahwa Tuhan bisa melakukan sesuatu lewat dia yang kecil itu untuk menunjukkan kekuasaanNya. Maka dia tidak sekali pun ragu, tidak ada keraguan dalam diri Daud, dia dengan tenang, dengan perencanaan yang masak, dia ambil batu itu, dia lempar batu itu dan tepat mengenai dahi Goliat sebab dia tahu kalau Tuhan bisa mengarahkan batu itu ke tempat yang pas yaitu di dahinya, di situlah memang ada lubang, di situlah ada ruangan yang bisa dimasuki oleh batu kecil dan akhirnya Goliat yang besar itu jatuh.
GS : Itu memang sesuatu yang menarik saya juga. Sebab kepada Daud juga ditawarkan memakai pakaian perlengkapan perang, hanya karena dia tidak terbiasa dengan perlengkapan yang berat itu, dia hanya lebih mengandalkan pengalih-alih yang sudah dipakainya bertahun-tahun dan dia betul-betul menguasai alat ini, saya rasa kita perlu mengingat suatu pelajaran yang penting bagi kita, kita bisa menggunakan peralatan sederhana itu tapi yang yang kita mahir menggunakannya, Pak Paul.

PG : Pada akhirnya kita melihat Tuhan memakai kita apa adanya. Tuhan tidak mengharapkan kita itu menjadi orang yang lain, menggunakan hal-hal yang lain, tidak! Dalam keseharian kita, apa adanyaTuhan bisa menggunakan kita untuk menggenapi rencanaNya.

GS : Keberanian ini kita sering salah dalam menggunakan. Kita berani untuk hal-hal yang salah, tapi tidak berani untuk hal-hal yang benar, ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Itu betul sekali Pak Gunawan. Akhirnya banyak di antara kita yang hanya berani melakukan hal yang salah. Misalnya hal yang salah kalau kita terapkan pada konteks remaja pemuda, misalnya beaninya kalau keroyokan, memukuli satu orang jadi melakukan hal yang salah baru berani atau beraninya kalau dalam konteks remaja pemuda, beramai-ramai mencela guru, menghina guru dan sebagainya.

Jadi sekali lagi berani ramai-ramai. Atau dalam konteks orang dewasa beraninya ramai-ramai mengkorupsikan uang, mereka berani karena melakukannya ramai-ramai dan melakukannya untuk hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan. Kita akhirnya harus mengakui kita sebetulnya pada dasarnya pengecut, tidak seperti raja Daud, dia berani melakukan hal yang benar dan mempertaruhkan nyawanya seperti itu, sebab dia tahu kalau dia berjalan di jalan Tuhan.
GS : Pak Paul, rupanya banyak hal yang kita perlu pelajari dari kehidupan Daud ini, dan waktu jualah yang membatasi kita pada kesempatan ini, namun kita akan melanjutkan perbincangan kita pada kesempatan yang akan datang dan kita berharap para pendengar bisa mengikutinya karena ini perbincangan yang sangat menarik, kita bisa menggali banyak hal dari kehidupan Daud. Banyak terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pelajaran dari Daud". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



43. Sewaktu Doa Tak Terjawab 1


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T243A (File MP3 T243A)


Abstrak:

Doa adalah percakapan antara manusia dan Tuhan. Lewat doa kita memohonkan permintaan dengan harapan Tuhan menjawabnya. Namun tidak selalu kita menerima apa yang kita harapkan kendati sering kita mendoakannya. Apakah yang sebenarnya terjadi?


Ringkasan:

Doa adalah percakapan antara manusia dan Tuhan. Lewat doa kita memohonkan permintaan dengan harapan Tuhan menjawabnya. Namun tidak selalu kita menerima apa yang kita harapkan kendati sering kita mendoakannya. Apakah yang sebenarnya terjadi?

• Pertama, kita mesti menyadari bahwa kita dan kehidupan kita hanyalah sebagian kecil dari rencana Allah yang besar, yang kadang bukan saja meliputi suatu daerah atau suatu kelompok manusia tertentu melainkan lintas beberapa wilayh dan bahkan kumpulan sejumlah bangsa. Sebagai contoh, Yusuf "sipersiapkan" Tuhan untuk pergi ke Mesir terlebih dahulu sehingga di kemudian hari ia dapat menyambut dan memelihara keluarganya pada masa kelaparan. Kadang Tuhan tidak menjawab doa ita karena sesuatu harus terjadi terlebih dahulu di tempat dan kumpulan manusia yang berbeda.

• Kedua, kita tidak akan dapat memahani rencana Tuhan sepernuhnha sebab rencanaNya terlalu luas dan kerap melintasi batas waktu hidup kita. Sebagai contoh, Naomi mengalami kemalang demi kemalangan dalam hidupnya diawali dengan perpindahannya ke Moab akibat bala kelaparan di Negerinya, berakhir dengan kemarian suami dan kedua putranya. Ia kembnali ke negerinya dengan kepahitan namun ia pulang membawa serta menantinya, Rut yang pada akhirnya menikah dengan Boaz yang beranakkan Obed, dan Obed beranakkan Isai dan Isai beranakkan Daud. Dari garis keturunan daud lahirlah Tuhan kita Yesus Kristus, Juruselamat dunia. Rut seorang Moab masuk dalam nenek moyang Tuhan untuk menunjukkan bahwa keselamatan Tuhan adalah untuk semua bangsa di bumi. Jadi, adakalnya Tuhan tidak menjawab doa sebab telah tersedia solusi yang lebih baik pada titik waktu yang jauh terpaut dar masa kehidupan kita.

• Ketiga, kadang Tuhan tidak menjawab doa sebab motivasi kita tidak benar. Ingat, Tuhan tidak hanya mendengar ucapan bibir, Ia megetahuo getaran hati terdalam. Apa itu yang sesungguhnya terkadung di hati semua orang terbuka di hadapanNya. Misalnya, kita memohon perluasan pelayanan untuk memnuhi ambisa pribadi semata. Bukankah kadan kita mencampur adukkan kesenanan pribadi dengan kepentingan Tuhan? Jadi, kadang Tuhan tidak menjawab doa untuk memurnikan diri kita.

• Keempat, Tuhan tdiak menjawab dia sebab proses penantian menjadi sesuatu yang jauh lebih bernilai daripada jawaban itu sendiri. Misalnya, kita ingin disembuhkan dari sakit namun justru dalam sakitlah kita malah mengenal Tuhan dengan lebih akrab dan makin beriman. Dengan kata lain, adakalanya Tuhan tdiak menjawab doa untuk menumbuhkan diri rohani kita.

• Kelima, Tuhan tidak menjawab doadengan cara yang kita bayangkan sebab Ia menghendaki kita untuk menerima jawabanNya dengan cara yang berbeda - cara Tuhan! Para murid kebingungan tatkala Tuhan Yesus menjawab permasalahan mereka untuk memberi makan ribuan orang. Tuhan pun menjawab permasalahan ini dengan cara yang tampak "alamiah namun aneh" yakni mengambil lima roti dan dua ikan dari seorang anak. Mukjizat pun terjadi. Orang yahudi menantikan seorang oenyelamat yang dapat membebaskan mereka dari belenggu dosa.

Kesimpulan

Apa pun jawaban Tuhan kita mesti menyakini dua hal: (a) Ruhan mengasihi kita dan (b) Tuhan mendengar doa kita. Dengarlah Firman Tuhan, "Siapa yang daoat mengatur Roh Tuhan atau memberi petunjuk kepadanya sebagai penasehat?

Kepada siapa Tuhan meminta nasehat untuk mendapat pengertian dan siap ayang mengajar Tuha untuk menhalankan keadilan atau siapa yang mengajar Dia pengetahuan dan memberi Dia petunjuk supaya Ia bertindak dengan pengertian?

Sesungguhnya bangsa-bangsa adalah seperti setitik air dalam timba dan dianggap seperti sebutir debu pada neraca. Sesungguhnya pulai-pulau tidak lebih dari abu halus beratnya.( Yesaya 40:13-15)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sewaktu Doa tak Terjawab". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Walaupun setiap hari kita berdoa, tetapi rupanya ada banyak misteri di dalam doa itu terutama kita sudah berdoa banyak, sudah lama sekali kita menggumulinya di dalam suatu doa atau permintaan kita. Namun ada yang dijawab, ada yang tidak di jawab, ada yang menunggu lama lalu dijawab. Ini sebenarnya apa, Pak Paul?

PG : Yang Pak Gunawan katakan betul sekali. Jadi doa bisa menjadi sebuah sarana yang mengakrabkan kita dengan Tuhan, tapi doa juga bisa menjadi sebuah sarana yang malah menjauhkan kita dari Tuhn.

Karena apa? Tadi Pak Gunawan sudah singgung, ada doa yang Tuhan langsung jawab sesuai dengan permintaan kita, hal itu yang mengakrabkan kita dengan Tuhan. Tapi ada doa yang Tuhan tidak jawab, hal itu tidak bisa tidak biasanya akan mempengaruhi kita. Kalau kita tidak mengerti tentang doa malahan kita akan menjauhkan diri dari Tuhan, beranggapan kenapa Tuhan kejam, Tuhan tidak mau memberikan hal yang memang baik buat saya dan sebagainya. Jadi sekali lagi doa adalah sesuatu yang bisa begitu bermanfaat, tapi kalau kita tidak mengertinya justru kita malah merasa Tuhan meninggalkan kita.
GS : Memang saya percaya setiap doa itu dijawab, hanya kadang-kadang jawaban doa itu tidak sesuai dengan yang kita minta atau harapkan, Pak Paul. Kalau kita masih nantikan jawaban itu, memang menimbulkan pengharapan bahwa suatu saat Tuhan pasti menjawabnya, tapi tidak semua orang bisa seperti itu.

PG : Betul sekali. Kita ini harus menyadari bahwa meskipun kita di mata Tuhan istimewa, tapi kita juga hanya satu dari sejumlah manusia dan peristiwa yang Tuhan atur. Jadi kadang-kadang karena ita menganggap kita istimewa, spesial, anak Tuhan, seyogianyalah kita mendapatkan perhatian khusus dari Tuhan dan apa yang kita minta Tuhan kabulkan sebab bukankah kita anak yang istimewa, anak yang khusus, namun kita mesti mengingat bahwa seistimewa-istimewanya kita, kita bukanlah satu-satunya orang yang Tuhan harus urus.

Jadi itu sebabnya tidak semua doa akan terjadi seperti yang kita harapkan karena ada hal-hal lain yang nanti Tuhan harus ikut sertakan dalam pertimbanganNya dan dalam mengenapi kehendakNya.
GS : Yang menghiburkan saya adalah kalau Tuhan Yesus sendiri saja berdoa di Taman Getsemani, Tuhan tidak kabulkan. Kemudian Rasul Paulus berdoa supaya duri itu dicabut dari dirinya, Tuhan juga tidak kabulkan. Bagi saya itu sebuah penghiburan karena siapa saya ini yang harus menuntut Tuhan supaya mengabulkan setiap doa-doa saya.

PG : Betul sekali dan bukankah kita juga tahu bahwa bukankah keinginan Raja Daud sangat baik mau membangun Baik Allah untuk Tuhan, tapi permintaan itu akhirnya tidak Tuhan kabulkan juga. Jadi mmang ada waktu-waktu jelas Tuhan tidak mengabulkannya dengan berkata "Tidak," Tuhan berkata jelas kepada Daud "Kamu bukan orangnya."

Dan Putra Allah, Tuhan Yesus Kristus meminta agar cawan pahit itu tidak diminumNya, itu pun jawabannya adalah "Tidak" dan Dia harus meminum cawan pahit itu dan disalibkan serta mati untuk dosa-dosa kita. Jadi ada waktu-waktu memang Tuhan berkata "Tidak" ada waktu-waktu juga memang Tuhan berkata "Tunggu" dan yang kita harapkan selalu adalah Tuhan berkata "Ya" kepada semua permintaan kita.
GS : Untuk yang "Tunggu" kalau kita tidak mendapat jawaban yang pasti, pasti kita tetap berharap Pak Paul, bahwa Tuhan suatu saat akan mengabulkan. Dan ini sampai seberapa lama kita akan terus bergumul dengan doa yang kemungkinan juga tidak dikabulkan oleh Tuhan, Pak Paul?

PG : Berapa lama kita akan mendoakan sesuatu memang tergantung pada berapa besarnya iman kita, kalau kita beriman bahwa Tuhan akan mengabulkan doa kita dan itu adalah sebuah keyakinan yang kitapegang maka teruslah berdoa, karena memang Tuhan juga tidak mau kita gampang-gampang menyerah atau tidak mau lagi mendoakan atau memintanya.

Karena hal itulah adakalanya Tuhan tidak langsung menjawab sebab Ia mengharapkan kita untuk terus meminta.
GS : Untuk terus mengkonkretkan pembicaraan kita, mungkin ada contoh-contoh konkret dalam Alkitab Pak Paul, tentang maksud Tuhan terhadap anak-anakNya.

PG : Ada beberapa faktor yang kita mesti camkan tatkala kita sedang berdoa. Yang pertama adalah kita mesti menyadari bahwa diri kita dan kehidupan kita hanyalah sebagian dari rencana Allah yangbesar, yang kadang bukan saja meliputi satu daerah atau satu kelompok manusia, melainkan lintas beberapa wilayah bahkan menyangkut kumpulan sejumlah bangsa.

Misalnya kita tahu tentang cerita Yusuf, Yusuf ditangkap oleh saudara-saudaranya kemudian ditangkap sebagai budak dan akhirnya di beli oleh seorang mesir bernama Potifar. Kita tahu akhirnya Yusuf dijebloskan ke penjara karena fitnah istri Potifar, setelah itu dia bertahun-tahun menantikan dan akhirnya Tuhan melepaskan Yusuf dengan cara yang sangat-sangat ajaib yaitu lewat mimpi Firaun. Dia bisa menjelaskan mimpi Firaun dan Firaun kemudian menunjuknya menjadi penanggung jawab negeri Mesir. Di sini kita bisa melihat bahwa Tuhan sengaja mengirim Yusuf ke Mesir, agar Bani Israel terselamatkan dari kelaparan di negerinya. Kalau Yusuf tidak ada di Mesir, mereka tidak akan bisa mendapatkan pertolongan. Karena Yusuf di Mesir, maka mereka mendapatkan pertolongan dan malah dipelihara oleh Yusuf sehingga pada akhirnya umat Tuhan yang Tuhan sudah pilih diselamatkan dari kelaparan. Sudah tentu saya yakin Pak Gunawan, dalam masa dia dibuang di sumur, dia pasti berdoa, dia meminta Tuhan mengeluarkannya dari sumur. Mungkin saudara-saudara dia mengangkat dia dari sumur, dia berharap Tuhan menjawab doa saya agar saya dilepaskan, ternyata dijual. Mungkin dalam perjalanan dia tetap berdoa supaya Tuhan menyelamatkannya dengan cara yang tak terduga, tidak! Dan akhirnya dijual menjadi budak di rumah orang Mesir. Dan di situ pun saya yakin Yusuf pun pasti berdoa memohon agar Tuhan melepaskan dia dari perbudakan itu, dia tidak lepas malahan dia dibuang lagi ke penjara. Di penjara sudah tentu dia terus meminta Tuhan dengan cara yang ajaib melepaskan dia tapi tidak juga dilepaskan. Total Yusuf keluar dari keluarganya dan hidup dalam pembuangan itu mungkin bisa antara belasan sampai dua puluhan tahun lebih, waktu yang panjang sekali. Dan saya percaya di dalam masa itu Yusuf tidak henti-hentinya berdoa tapi dia harus menunggu belasan hingga puluhan tahun. Jadi waktu yang sangat lama namun akhirnya Tuhan lepaskan dia dan dia dudukkan di kursi pemerintahan sehingga akhirnya berada di posisi untuk menolong bangsa Israel dikemudian hari. Di sini kita lihat rencana Tuhan bukan hanya melibatkan satu manusia bernama Yusuf tapi rencana Tuhan itu melibatkan satu bangsa yaitu bangsa Israel dan juga melibatkan bangsa Mesir karena nanti Firaun yang membukakan pintu supaya Yusuf bisa masuk menjadi seorang wakilnya. Jadi kita bisa melihat bahwa ini melibatkan dua letak geografis yang berbeda, yang pertama di tanah Kanaan di Israel, yang kedua di Mesir dan melibatkan dua bangsa, bangsa Israel dan bangsa Mesir. Jadi bukan hanya satu orang yang bernama Yusuf. Itu sebabnya Pak Gunawan, waktu kita berdoa kita menutup dengan berkata "KehendakMulah yang jadi" itu karena kita harus menempatkan diri di posisi kita sebagai manusia. Kita terlalu kecil, kita bukanlah satu-satunya orang di dalam rencana Tuhan, rencana Tuhan itu melibatkan begitu banyak orang, begitu banyak kepentingan manusia dan seringkali lintas daerah atau wilayah geografis. Jadi bukan hanya kita, kita bukan pusat dunia, meskipun kita tahu kita istimewa di hadapan Tuhan tapi ada banyak hal lain atau kepentingan lain yang Tuhan juga nanti harus perhatikan.
GS : Mungkin karena sifat egosentris kita yang membuat doa-doa kita selalu menekankan untuk kepentingan saya karena itu saya berdoa, apa bukan karena itu?

PG : Saya kira memang seperti itu, Pak Gunawan. Kita punya kecenderungan memang meminta rasa aman, perlindungan untuk diri kita dan orang-orang yang kita kasihi. Kita pun juga mendoakan Tuhan mmberikan kepada kita kecukupan sandang dan pangan supaya kita tidak kelaparan.

Karena sudah tentu permintaan doa seperti itu tidak apa-apa, tidak salah. Seperti Amsal 30 dikatakan bahwa ada dua hal yang engkau minta ya Tuhan, jauhkanlah dari padaku tipu muslihat dan kebohongan dan yang kedua jangan sampai aku terlalu kaya atau aku terlalu miskin, cukup! Tidak salah berdoa seperti itu minta kepada Tuhan hal seperti itu. Tapi sekali lagi kita mesti mengingat kehendak Tuhanlah yang terjadi sebab rencana Tuhan melibatkan bukan hanya diri kita tapi seringkali orang lain yang tidak bisa kita ketahui dan juga wilayah-wilayah yang berbeda secara geografis.
GS : Jadi untuk punya konsep seperti itu, Pak Paul, itu tentu dibutuhkan suatu pemahaman yang utuh terhadap Tuhan sendiri. Itu seperti apa?

PG : Betul, jadi kita mesti melihat Tuhan sebagai Allah yang besar, sangat agung dan besar. Bayangkan saja kita berdiri di tanah lapang, kita rasanya kecil. Bayangkan satu kota kita ini terdiridari beratus tanah lapang dan dari satu pulau kita ini mungkin terdiri dari berapa puluh ribu tanah lapang seperti itu dan satu negara ini merupakan mungkin jutaan tanah lapang dimana kita itu berdiri di tengahnya.

Itu satu negara, belum kita bicarakan satu benua, belum kita bicarakan akhirnya satu planet bumi ini. Itu adalah satu planet bumi dan kita tahu dalam galaksi kita, ini planet yang kecil sedangkan di luar kita begitu banyak planet lain, belum lagi bintang-bintang yang jaraknya jutaan tahun kecepatan cahaya. Jadi kita sungguh-sungguh terlalu kecil dan Tuhan sungguh-sungguh terlalu besar, maka kita harus percaya bahwa apa pun yang diputuskanNya itu adalah baik, kalau kita tidak mendapatkannya itu bukan berarti Tuhan jahat tapi memang ada hal-hal lain yang Tuhan memang harus perhitungkan.
GS : Jadi ini suatu kesempatan atau suatu penghargaan yang luar biasa dari Tuhan bahwa kita makhluk yang demikian kecil ini diperkenankan meminta sesuatu kepada Tuhan.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Karena seringkali kita berkata "Biar Tuhan saja yang atur, kita tidak perlu meminta karena Tuhan yang tahu apa yang baik," itu saya kira pemikiran yang kurang tepat.

PG : Betul. Sebab Tuhan ingin kita menjalin relasi dekat denganNya, sebagai anak terhadap orang tua, kepada Bapak. Maka Tuhan sangat mendorong kita untuk meminta dan nanti apakah ini akan Tuhanberikan atau tidak, kita serahkan kembali kepada Tuhan.

GS : Mungkin ada faktor yang lain, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah kita tidak akan dapat memahami rencana Tuhan sepenuhnya, sebab rencanaNya terlalu luas dan kerap melintasi batas waktu hidup kita, contohnya adalah Naomi. Naomi mengalamikemalangan demi kemalangan dalam hidupnya, diawali kepindahannya ke Moab akibat bala kelaparan di negerinya berakhir dengan kematian suami dan kedua putranya, dia kembali ke negerinya dengan kepahitan.

Namun dia pulang membawa serta menantunya Rut yang pada akhirnya menikah dengan Boaz yang beranakkan Obed dan Obed beranakkan Isai, Isai beranakkan Daud dan dari garis keturunan Daudlah garis keturunan Yesus Kristus Juruselamat dunia. Rut seorang Moab masuk ke dalam nenek moyang Tuhan untuk menunjukkan bahwa keselamatan Tuhan adalah untuk keselamatan di bumi. Jadi adakalanya Tuhan tidak menjawab doa sebab telah tersedia solusi yang lebih baik pada titik waktu yang jauh terpaut dari masa kehidupan kita, tidak mungkin Naomi melihat ini. Dia mungkin hidup sebatas kelahiran anak dari Rut, yaitu Obed. Dia tidak tahu Obed punya anak Isai dan cucu Obed adalah Raja Daud. Mungkin sekali Rut pun tidak pernah melihat cicitnya Daud menjadi seorang raja. Jadi benar-benar itu melewati batas waktu kehidupan kita, barulah digenapi dan digenapi. Maka kalau kita tidak melihatnya digenapi sekarang belum tentu untuk selama-lamanya tidak digenapi. Mungkin ada rencana Tuhan yang lebih indah, ada sebuah solusi yang Tuhan sediakan, namun solusi itu terletak di generasi-generasi berikutnya.
GS : Memang ini sebuah penghiburan yang besar buat kita khususnya ketika doa tidak dikabulkan oleh Tuhan, kita bisa berkata, "Mungkin rencana Tuhan lebih baik dari pada apa yang kita minta." Tetapi kita itu tetap seperti yang Pak Paul tadi katakan tidak bisa melihat rencana Tuhan secara keseluruhan, bagaimana kita bisa meminta sesuatu yang sesuai dengan rencana Tuhan ini.

PG : Sudah tentu kita boleh dan seyogianyalah meminta sesuai dengan keinginan kita, Pak Gunawan. Sebab memang Firman Tuhan juga berkata di Mazmur 37, kita harus menyenangkan, "be like yourself n the Lord, "Bersenang-senanglah di dalam Tuhan," melakukan kehendaknya, menaati FirmanNya dan Dia akan memberikan kepada kita keinginan hati kita.

Jadi tidak ada salahnya. Misalkan kita merindukan seorang suami atau seorang istri dan kita meminta kepada Tuhan, dan yang penting adalah kita katakan ini kami serahkan kembali kepadaMu, biarlah kehendakMu yang jadi. Sebab pada akhirnya memang Tuhan yang tahu. Kita tidak mungkin tahu selengkap-lengkapnya, jadi yang kita tahu sekarang adalah ini hal yang baik, ini adalah hal yang tidak berdosa jadi silakan minta. Kalau ini memang kehendak Tuhan, cocok untuk kita maka Dia akan berikan. Jadi yang Dia ingin tekankan kepada kita adalah justru keinginan hati Tuhan mau memberikan, kalau Dia sampai tidak memberikan, itu berarti ada hal-hal lain yang lebih penting lagi yang melibatkan lebih banyak orang dan mungkin harus digenapinya bukan di waktu hidup kita, tapi di waktu hidup generasi setelahnya.
GS : Tetapi dalam keadaan yang sangat butuh Pak Paul, kita tergoda untuk berdoa kepada Tuhan dan meminta dengan sungguh-sungguh bahkan dengan puasa atau melakukan hal-hal yang lain supaya Tuhan memenuhi permintaan kita itu, dan sikap ini bagaimana Pak Paul?

PG : Saya ingat sekali kesaksian Joni Erickson Tada beliau seorang wanita yang "paraplegic" lumpuh keempat anggota tubuhnya tidak bisa digerakkan di bawah leher ke bawah sudah lumpuh, umur 17 thun mengalami musibah.

Mau berenang lompat ke danau, lehernya menumbuk dasar danau akhirnya lumpuh seperti itu. Beliau bercerita bahwa setelah bertobat dia sebelumnya mau bunuh diri, mau mati dan sebagainya, setelah dia bertobat dia berdoa untuk kesembuhannya dan dia menggunakan segala cara, Pak Gunawan. Misalkan ada yang mengatakan kamu harus mengklaim kesembuhan itu dan menganggap dirimu sembuh, itu pun dia lakukan tapi tetap saja dia lumpuh. Semua dia lakukan, yang namanya doa iman dan sebagainya dia lakukan dan dia doakan tapi tetap tidak sembuh-sembuh. Setelah melewati semua itu dan Tuhan menunjukkan kehendakNya yaitu dia memulai pelayanan kepada orang-orang yang juga adalah penyandang cacat, baru dia menyadari dia harus menyadari kalau dia harus menjadi seorang penyandang cacat, supaya bisa melayani sesama penyandang cacat. Sebab sebelum itu di Amerika Serikat tidak terdengar seseorang melayani penyandang cacat tapi dia sendiri adalah penyandang cacat. Jadi biasanya adalah yang melayani adalah orang-orang yang sehat, dengan dia sebagai penyandang cacat, melayani sesama penyandang cacat itu sangat efektif, membuat orang-orang itu akhirnya terhibur, karena ada orang yang sama seperti saya namun semangat hidupnya tinggi, namun mau dipakai Tuhan seperti itu. Ini membangkitkan semangat dan pengharapan kepada rekan-rekannya yang lain. Jadi dia berdoa sungguh-sungguh, mula-mula memang dia cerita ada rasa bersalah karena ada orang yang berkata kamu kurang iman makanya tidak sembuh, kalau kamu berdoa dengan iman maka pasti sembuh, itu yang dia lakukan tapi tetap tidak sembuh dan ada rasa bersalah mungkin saya kurang iman. Namun sekali lagi, di akhir semua itu dia menyadari memang Tuhan tetapkan dia menjadi penyandang cacat agar bisa melayani sesama penyandang cacat dengan efektif. Jadi dia menyadari maksud Tuhan yang berbeda dari yang dia sudah doakan itu. Pertanyaannya boleh tidak kita berdoa meminta kepada Tuhan, itu boleh. Sebab waktu kita meminta, kita harus meyakini bahwa Tuhan mau menjawab doa kita, Dia bukannya jahat tidak mau menjawab doa kita, Dia mau tapi tetap kita harus tundukkan diri kita pada kehendakNya sebab rencanaNya jauh lebih luas dari pada pemikiran kita.
GS : Justru itu yang di awal pembicaraan ini Pak Paul katakan bahwa doa juga bisa menjadi sarana menjauhkan kita dari Tuhan. Kalau itu menyangkut diri kita sendiri seperti kesaksian tadi, itu mungkin bisa dipahami karena dia bertumbuh di dalam imannya tetapi ini mengenai keluarganya. Misalnya anaknya yang sakit, orang tuanya ingin anaknya sembuh, orang tuanya berdoa sungguh-sungguh dengan cara yang bermacam-macam seperti tadi dan bagaimana kita meyakinkan dia, bahwa Tuhan itu mempunyai rencana yang baik. Kalau pun anak ini tidak sembuh atau bahkan meninggal sekali pun, itu tetap baik untuk keluarga ini dan ini sulit, Pak Paul.

PG : Memang tidak mudah. Mungkin kita bisa ingatkan tentang Naomi, tadi kisah yang telah kita sebut. Naomi lari dari tanah kelahirannya karena kelaparan, jadi musibah dan bukannya dia piknik atu jalan-jalan, jadi dia harus pindah ke Moab dan di Moab kedua anaknya mati, suaminya pun mati.

Nama dua anak Naomi, Mahlon dan Kilyon, itu sebetulnya berarti yang pertama adalah sakit-sakitan dan anaknya yang kedua adalah lemah tubuh, nama mereka berarti seperti itu. Bisa kita duga ini nama-nama yang diberikan akibat kondisi tubuh mereka yang lemah. Jadi besar kemungkinan anak-anak Naomi sejak kecil itu berpenyakitan, tidak sehat tubuhnya maka di usia muda dua-duanya meninggal dunia. Naomi tidak mungkin mengerti rencana Tuhan saat itu, dia mungkin akan berkata memang hidup saya begitu pahit makanya dia berkata jangan panggil saya Naomi, tapi panggil saya Mara, sebab nama Naomi berarti menyenangkan, Mara berati pahit, hidupnya pahit sekali. Tapi Tuhan memang tidak bisa tidak harus menjalankannya dengan cara seperti itu supaya Rut istri dari salah satu anak Naomi itu dan dia kembali ke kampung kelahirannya supaya Rut menikah dengan Boas dan Boas adalah anak dari garis keturunan Yehuda dan sudah diramalkan oleh Tuhan, bahwa Yesus Tuhan kita lahir dari garis keturunan Yehuda dan Naomi tidak mungkin melihat hal itu. Waktu anak kita misalkan yang pertama meninggal dunia, sudah tentu kita sangat sedih karena kita berdoa dan minta Tuhan menyembuhkan tapi Tuhan tetap mengambil, kita tidak mengerti selanjutnya apa dalam rencana Tuhan. Tapi yang saya mau tegaskan adalah ada rencana Tuhan, Naomi tidak melihatnya sebab ini digenapi oleh Tuhan Allah ratusan tahun setelah itu, waktu Tuhan Yesus dilahirkan. Sudah beberapa belas generasi barulah terjadi seperti itu tidak mungkin Naomi melihatnya.
GS : Memang kita tergoda untuk mencari tahu apa kehendak Tuhan sebenarnya di dalam segala perkara yang kurang menyenangkan kita ini. Tapi kalau seandainya Tuhan itu berbaik hati lalu membukakan semua rencanaNya atas hidup kita, kita pun juga bisa ngeri.

PG : Dan kita tidak bisa lagi benar-benar hidup seperti sekarang ini, hidup dengan benar sebab kita setiap hari dihantui oleh hal-hal yang kita alami. Meskipun kita sudah diberitahu Tuhan misalya meskipun engkau mengalami ini akan ada jalan keluar, akan ada solusi tetap kita akan fokuskan pada masalahnya dan itu akan mengganggu kita terus menerus, tidur pun tidak hilang.

Dan kita akan menghitung-hitung hari kapan kita akan menderita itu dan sebagainya. Jadi memang tidak mungkin Tuhan beritahukan kepada kita karena akan mengacaukan dan menghancurkan hidup kita, maka Tuhan memang harus tutup dan Dia lakukan pekerjaanNya diam-diam namun tetap yang kita harus ingat adalah bahwa Dia itu sayang pada kita, Dia adalah ayah kita sendiri.
GS : Jadi memang sikap yang diambil oleh Naomi, saya rasa sudah paling betul untuk mengikuti pimpinan Tuhan kembali ke Betlehem dan seterusnya menjalani kehidupan ini seperti apa adanya.

PG : Meskipun kita juga tahu dia sebetulnya tidak mengerti rencana Tuhan, dia sebetulnya kecewa berat makanya dia meminta namanya diubah menjadi Mara yang berati pahit. Jadi memang dia tidak bia melihatnya, mungkin dia hanya terhibur tatkala melihat bekas menantunya itu, Rut akhirnya menikah dengan Boas dan punya anak, dia senang bahwa akhirnya kehidupan Rut menjadi baik lagi.

GS : Walaupun menantu yang satu tidak sesetia Rut, jadi meninggalkan atas desakan Naomi sendiri. Pak Paul rupanya ini ada beberapa hal yang harus kita perbincangkan tentang doa ini Pak Paul, sebelum kita menuntaskan perbincangan kita bagian yang pertama ini, ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan dan jelaskan?

PG : Saya akan bacakan dari Matius 7:7-11, "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang memint, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.

Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." Ini dasar iman kita Allah baik, Allah mengasihi kita, Allah adalah Bapa kita di sorga, Dia mengorbankan Putranya untuk kita. Tidak ada yang lebih besar dari itu yang bisa diberikan Tuhan kepada kita. Jadi kalau sampai doa kita tidak terjawab itu berarti satu hal Allah yang baik mempunyai rencana yang lebih baik daripada permintaan doa kita. Sudah tentu bagi kita apa yang kita minta adalah yang terbaik misalkan anak kita sakit dan sembuh itu 'kan yang terbaik, sudah tentu. Tapi ternyata dalam rencana Tuhan ada yang lebih baik karena menyangkut kehidupan lebih banyak orang dan menyangkut kepentingan Tuhan yang lebih luas lagi. Jadi kita harus percaya kepada kebaikan Tuhan dan bahwa rencanaNya tetap baik meskipun doa kita tidak terjawab seperti yang kita harapkan.
GS : Memang didalam membaca dari Alkitab seperti itu kita harus mempunyai gambaran secara utuh, kadang-kadang orang hanya membaca sebagian lalu mengartikannya sendiri seolah-olah Tuhan akan mengabulkan apa pun yang kita minta karena ada janji yang mengatakan mintalah apa saja akan diberikan padamu, itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi waktu Tuhan berjanji mintalah maka akan diberikan dan kalau engkau percaya kalau engkau sudah menerimanya maka engkau menerimanya. Tuhan mau mendorong kita ntuk percaya kepadaNya bahwa Dia itu berniat baik dan mau memberikan kepada kita.

Jadi itu yang terkandung di dalam hati Tuhan, namun adakalanya rencanaNya itu ada yang lebih baik lagi yang kita belum bisa memahaminya sekarang.

GS : Pak Paul nanti kita akan lanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang, terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sewaktu Doa Tak Terjawab" bagian yang pertama, dan kami akan melanjutkan dengan topik yang sama pada kesempatan perbincangan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



44. Sewaktu Doa Tak Terjawab 2


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T243B (File MP3 T243B)


Abstrak:

Doa adalah percakapan antara manusia dan Tuhan. Lewat doa kita memohonkan permintaan dengan harapan Tuhan menjawabnya. Namun tidak selalu kita menerima apa yang kita harapkan kendati sering kita mendoakannya. Apakah yang sebenarnya terjadi?


Ringkasan:

Doa adalah percakapan antara manusia dan Tuhan. Lewat doa kita memohonkan permintaan dengan harapan Tuhan menjawabnya. Namun tidak selalu kita menerima apa yang kita harapkan kendati sering kita mendoakannya. Apakah yang sebenarnya terjadi?

• Pertama, kita mesti menyadari bahwa kita dan kehidupan kita hanyalah sebagian kecil dari rencana Allah yang besar, yang kadang bukan saja meliputi suatu daerah atau suatu kelompok manusia tertentu melainkan lintas beberapa wilayh dan bahkan kumpulan sejumlah bangsa. Sebagai contoh, Yusuf "sipersiapkan" Tuhan untuk pergi ke Mesir terlebih dahulu sehingga di kemudian hari ia dapat menyambut dan memelihara keluarganya pada masa kelaparan. Kadang Tuhan tidak menjawab doa ita karena sesuatu harus terjadi terlebih dahulu di tempat dan kumpulan manusia yang berbeda.

• Kedua, kita tidak akan dapat memahani rencana Tuhan sepernuhnha sebab rencanaNya terlalu luas dan kerap melintasi batas waktu hidup kita. Sebagai contoh, Naomi mengalami kemalang demi kemalangan dalam hidupnya diawali dengan perpindahannya ke Moab akibat bala kelaparan di Negerinya, berakhir dengan kemarian suami dan kedua putranya. Ia kembnali ke negerinya dengan kepahitan namun ia pulang membawa serta menantinya, Rut yang pada akhirnya menikah dengan Boaz yang beranakkan Obed, dan Obed beranakkan Isai dan Isai beranakkan Daud. Dari garis keturunan daud lahirlah Tuhan kita Yesus Kristus, Juruselamat dunia. Rut seorang Moab masuk dalam nenek moyang Tuhan untuk menunjukkan bahwa keselamatan Tuhan adalah untuk semua bangsa di bumi. Jadi, adakalnya Tuhan tidak menjawab doa sebab telah tersedia solusi yang lebih baik pada titik waktu yang jauh terpaut dar masa kehidupan kita.

• Ketiga, kadang Tuhan tidak menjawab doa sebab motivasi kita tidak benar. Ingat, Tuhan tidak hanya mendengar ucapan bibir, Ia megetahuo getaran hati terdalam. Apa itu yang sesungguhnya terkadung di hati semua orang terbuka di hadapanNya. Misalnya, kita memohon perluasan pelayanan untuk memnuhi ambisa pribadi semata. Bukankah kadan kita mencampur adukkan kesenanan pribadi dengan kepentingan Tuhan? Jadi, kadang Tuhan tidak menjawab doa untuk memurnikan diri kita.

• Keempat, Tuhan tdiak menjawab dia sebab proses penantian menjadi sesuatu yang jauh lebih bernilai daripada jawaban itu sendiri. Misalnya, kita ingin disembuhkan dari sakit namun justru dalam sakitlah kita malah mengenal Tuhan dengan lebih akrab dan makin beriman. Dengan kata lain, adakalanya Tuhan tdiak menjawab doa untuk menumbuhkan diri rohani kita.

• Kelima, Tuhan tidak menjawab doadengan cara yang kita bayangkan sebab Ia menghendaki kita untuk menerima jawabanNya dengan cara yang berbeda - cara Tuhan! Para murid kebingungan tatkala Tuhan Yesus menjawab permasalahan mereka untuk memberi makan ribuan orang. Tuhan pun menjawab permasalahan ini dengan cara yang tampak "alamiah namun aneh" yakni mengambil lima roti dan dua ikan dari seorang anak. Mukjizat pun terjadi. Orang yahudi menantikan seorang oenyelamat yang dapat membebaskan mereka dari belenggu dosa.

Kesimpulan

Apa pun jawaban Tuhan kita mesti menyakini dua hal: (a) Ruhan mengasihi kita dan (b) Tuhan mendengar doa kita. Dengarlah Firman Tuhan, "Siapa yang daoat mengatur Roh Tuhan atau memberi petunjuk kepadanya sebagai penasehat?

Kepada siapa Tuhan meminta nasehat untuk mendapat pengertian dan siap ayang mengajar Tuha untuk menhalankan keadilan atau siapa yang mengajar Dia pengetahuan dan memberi Dia petunjuk supaya Ia bertindak dengan pengertian?

Sesungguhnya bangsa-bangsa adalah seperti setitik air dalam timba dan dianggap seperti sebutir debu pada neraca. Sesungguhnya pulai-pulau tidak lebih dari abu halus beratnya.( Yesaya 40:13-15)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu tentang "Sewaktu Doa tak Terjawab". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pada kesempatan yang lalu kita sudah berbincang-bincang tentang "Sewaktu Doa Tak Terjawab" dan banyak hal yang menarik yang Pak Paul sudah sampaikan, supaya para pendengar kita bisa mengingat kembali apa yang telah kita perbincangkan atau mungkin sebagian dari pendengar kita waktu itu tidak sempat mengikuti perbincangan yang pertama itu, mungkin Pak Paul bisa menjelaskan secara ringkas apa yang kita perbincangankan pada kesempatan itu, Pak Paul?

PG : Saya akan memulai kata pembukaan yang saya sudah katakan sebelumnya yaitu bahwa doa bisa menjadi sarana yang mendekatkan kita dengan Tuhan tapi sebaliknya doa juga bisa menjadi sarana yangmenjauhkan kita dari Tuhan.

Maksud saya adalah karena kita dalam keadaan butuh kita datang kepada Tuhan meminta sesuatu dan kita tahu Tuhan itu sanggup melakukan segalanya. Waktu kita berikan kepadaNya, luar biasa sukacitanya kita dan itu akan membawa kita akrab, dekat dengan Tuhan sebaliknya waktu kita dalam keadaan butuh sekali, berdoa dan meminta Tuhan tidak menolong atau menjawab seperti yang kita harapkan itu merupakan pukulan besar, maka ada sebagian orang kecewa berat karena merasa doanya tidak dijawab Tuhan, dan itu yang membuat mereka mundur dan menjauhi Tuhan. Maka penting bagi kita menyadari atau memahami tentang apakah doa itu. Ada dua hal yang telah kita ulas, yang pertama adalah bahwa Tuhan harus juga memperhitungkan bukan saja diri kita tapi kelompok manusia yang lain dan juga adakalanya rencana Tuhan bukan hanya berkaitan dengan kita di lokasi di mana kita berada, tapi juga melibatkan orang-orang lain atau diri kita di lokasi yang berbeda-beda, jadi letak geografis yang tidak sama. Kita sudah membahas contohnya tentang Yusuf yang dari tanah kelahirannya di Israel dijual akhirnya mendekam di penjara di Mesir, dari Israel ke Mesir supaya nantinya bisa membuka pintu bagi keluarganya bani Israel untuk bisa dipelihara di tanah Mesir. Bagaimanakah Yusuf bisa mengerti rencana Tuhan sewaktu dia meminta Tuhan membebaskan dia dari penahanan dan penangkapannya, tidak mungkin dia mengerti semua itu. Yang kedua kita juga harus sadari bahwa rencana Tuhan itu sangat besar sehingga penggenapan rencana Tuhan adakalanya terjadi ke beberapa generasi setelah kita itu tidak ada lagi di dunia. Jadi Tuhan tidak selalu menggenapi rencananya di dalam batas waktu kehidupan kita di dunia ini. Contohnya adalah Naomi, Naomi harus mengungsi karena ada bahaya di tanah kelahirannya, dia pindah ke Moab, suaminya meninggal dunia, dua anaknya juga meninggal dunia, tapi dia kembali dengan menantunya Rut. Rut akhirnya menikah dengan Boaz dan Boaz mempunyai cicit yang bernama Raja Daud, dan dari Raja Daud kita tahu nanti akan lahir Tuhan kita Yesus Kristus untuk menyatakan rencana Allah bahwa Dia mengasihi seluruh dunia, semua bangsa di dunia, bukan hanya satu bangsa Israel. Maka dari garis keturunan Yesus Kristus harus ada wanita yang bernama Rut yang berkebangsaan Moab. Apakah Naomi melihat penggenapan rencana Tuhan, sama sekali tidak! Dia mengerti tidak ada rencana Tuhan, juga tidak! Sampai dia meninggalkan dunia ini, tetap dia tidak mengerti. Maka di konklusi yang telah kita lakukan pada acara sebelumnya adalah kita harus tetap percaya Tuhan itu baik. Dalam Matius 7:7-11 dikatakan masakan Dia akan memberikan ular waktu kita meminta roti, tidak mungkin! Dia akan memberikan kepada kita yang baik, namun apa yang baik bagiNya mungkin tidak sama dengan apa yang baik bagi kita, sebaik-baiknya rencana dan keinginan kita, rencana dan keinginan Tuhan lebih baik meskipun tidak bisa kita pahami saat ini.
GS : Pak Paul, jadi pada waktu itu kita membicaraka tentang permintaan kita yang tidak sejalan dengan rencana Tuhan karena kita sendiri tidak tahu, tidak mungkin bisa memahami seluruh rencana Tuhan. Dan yang berikutnya apa Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah kadang Tuhan tidak menjawab doa sebab motivasi kita tidak benar, ingatlah bahwa Tuhan tidak hanya mendengar ucapan bibir, Dia pun mengetahui getaran hati yang terdalam.Apa itu yang sesungguhnya terkandung di hati semua terbuka lebar di hadapanNya.

Misalnya kita memohon perluasan pelayanan yang sebetulnya untuk memenuhi ambisi pribadi semata atau kita juga bisa berkata bukankah kadang kita mencampur adukkan kesenangan pribadi dengan kesenangan Tuhan. Jadi adakalanya Tuhan tidak menjawab doa justru untuk memurnikan kita dan kita tidak selalu menyadarinya sebab bisa jadi buat kita permintaan doa itu adalah permintaan yang sah-sah saja, tapi adakalanya Tuhan sengaja menghentikan langkah kita karena dia ingin memurnikan kita supaya kita bisa benar-benar membedakan kepentingan Tuhan dan kepentingan pribadi. Seringkali kedua itu bisa berubah campur aduk, Pak Gunawan.
GS : Memang tentang motivasi ini kalau dilihat dari sudut kita, kita akan terus membenarkan bahwa motivasi saya berdoa ini sudah benar. Tapi di mata Tuhan bisa salah.

PG : Betul sekali, adakalanya kita memang menyadarinya adakalanya tidak, karena apa? Karena bisa saja keinginan kita terlalu kuat. Misalkan saya tadi gunakan contoh pelayanan, bukankah kita aka berkata ini untuk Tuhan, pelayanan ini bukan untuk saya, tapi untuk Tuhan.

Namun bisa jadi Tuhan ingin memurnikan hati kita, sebab ada unsur-unsur kitanya dan kita ingin tanggalkan dari diri kita, benar-benar akhirnya kita tidak ada lagi unsur-unsur kebanggaan atau kepentingan diri kita gara-gara Tuhan tidak menjawab doa kita sehingga apa yang kita harapkan Tuhan perluas pelayanan kita tapi justru tidak. Atau kita sudah membesarkan pelayanan ini akhirnya Tuhan tidak besarkan lagi malah Tuhan surutkan menjadi lebih kecil dan lebih kecil, di situ pun Tuhan memurnikan diri kita bahwa ini benar-benar pekerjaan Tuhan dan bukankah kalau ini benar-benar pekerjaan Tuhan, maka kita tidak apa-apa, kita akan lepaskan. Saya ingat sekali prinsip Dr. James Dobson, psikolog kristen di Amerika, dia selalu berkata pelayanan dia itu didasarkan atas iman kepada Tuhan, Tuhan menghendaki ada "Focus on the Family", maka Tuhan akan memeliharanya. Di suatu titik dimana Tuhan berkata sudah, stop tidak ada lagi, tidak perlu "Focus on the Family", Tuhan mungkin akan bangkitkan pelayanan yang lain dan dia bilang Tuhan akan berikan dukungan untuk "Focus on the Family" dan kalau itu terjadi, dia akan menjadi orang yang berkata harus kita selesaikan dan sudahi karena memang sudah waktunya. Hal-hal seperti ini memang menunjukkan motivasinya murni, karena ini dari Tuhan maka tidak apa-apa Tuhan ambil kembali, tapi ada orang-orang, Pak Gunawan, yang berpikir ini untuk Tuhan, dia melayani, mengerjakan ini dan sebagainya. Waktu jabatannya itu diminta untuk diserahkan kepada orang lain, dia marah tidak terima, dia berkata, "Saya yang memulai, saya yang harus mendapatkan ini, kenapa saya tidak bisa" dan dia marah-marah. Dalam situasi seperti itulah justru terlihat sebetulnya ambisi pribadinyalah yang lebih berperan bukan kepentingan Tuhan. Jadi sekali lagi adakalanya Tuhan sengaja tidak memberikan apa yang kita minta untuk memurnikan motivasi kita.
GS : Ini sebenarnya agak menjadi beban pikiran bagi saya atau bagi banyak orang bagaimana membedakan bahwa ini adalah ambisi saya sendiri atau untuk kemuliaan Tuhan, Pak Paul.

PG : Seringkali kita memang tidak bisa melihatnya dengan jelas, Pak Gunawan dan Tuhan saya kira tidak menuntut kita mengetahui dengan jelas di tahap awal ini, tidak, karena kita terbatas. Kita enar-benar berpikir ini untuk Tuhan, tapi waktu tidak seperti yang kita harapkan, pelayanan seperti ini dan begitu dan tidak seperti yang kita harapkan, apa respons kita? Kalau kita marah kita tidak bisa terima, kita menyalahkan kanan kiri, orang-orang di sekitar kita, akhirnya kena damprat, jelas ini untuk kita.

Tidak heran dengan doa-doa kita supaya Tuhan perluas tapi Tuhan tidak perluas, sebab Tuhan mau menunjukkan kepada kita ini untukmu bukan untukKU. Makanya kamu begitu frustrasi, waktu itu terjadi seharusnya kita sadar "Oh, ya kenapa saya seperti ini, saya pikir untuk Tuhan ternyata untuk saya pribadi, sudahlah sekarang saya harus bersihkan diri saya, ini untuk Tuhan sepenuhnya tidak apa-apa terserah Tuhan." Justru kalau kita bisa memberi respons seperti itu kita dimurnikan.
GS : Tapi seringkali responsnya adalah ini tantangan pelayanan ini, ini tentu hambatan dari iblis, saya mesti berdoa lebih banyak lagi. Saya harus mencari cara yang lebih baik lagi supaya saya tetap berkembang lagi. Bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu akan ada memang waktu dimana kita mendapatkan tantangan dan kita memang harus bisa memilah untuk apa. Tapi bedanya saya kira adalah ini Pak Gunawan, yaitu beban mental. Kalau oang itu memang mendasarinya atas dasar kepentingan pribadi, lebih ngotot atau kalau orang Jawa bilang lebih "ngoyo" tidak bisa lepaskan, dia benar-benar menggenggamnya, dia harus pegang, dia harus peroleh, tapi kalau kita tahu ini dari Tuhan dan tidak apa-apa Tuhan ambil kembali, ya sudah meskipun kita mau bertahan, kita coba bertahan tapi kita itu lega kita merdeka, sebab kita sudah melepaskan.

Kita tahu kalau ini milik Tuhan dan bukan milik kita.
GS : Ada faktor lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Yang lain adalah ini, Tuhan tidak menjawab doa sebab proses penantian menjadi sesuatu yang jauh lebih bernilai dari pada jawaban itu sendiri. Misalnya kita ingin disembuhkan dari sakit namn justru dari sakitlah kita malah mengenal Tuhan dengan lebih akrab dan makin beriman, dengan kata lain, adakalanya Tuhan tidak menjawab doa untuk menumbuhkan diri rohani kita.

Kita tidak ada yang suka menanti, kita ingin semua yang kita minta cepat dijawab Tuhan, dengan segera, tapi banyak karakter Kristiani itu tidak bisa muncul di luar penantian dan hanya bisa muncul dalam penantian, misalnya beriman itu benar-benar muncul dalam penantian, kalau kita minta langsung kita dapatkan, tidak ada lagi iman di situ dan tidak perlu lagi iman, berarti iman kita tidak akan muncul. Kesabaran hanya akan muncul di dalam penantian karena kita harus menahan diri tidak mendapatkan yang kita inginkan, misalkan lagi adalah kekuatan menahan rasa sakit, kadangkala kita cepat-cepat ingin lari dari semua yang tidak nyaman, tapi dalam penantian kita harus tinggal bersama rasa tidak aman itu, tidak adanya rasa kepastian itu yang menggelisahkan kita. Namun itu akan muncul daya tahan kita bahwa bertumbuh lebih matang dan sebagainya. Salah satunya yang akan muncul dalam penantian adalah pemahaman tentang Allah, kita akhirnya itu dibukakan melihat Allah dengan lebih luas, Pak Gunawan, "Oh ya Tuhan itu luar biasa besar sekali," ternyata Tuhan itu memang rencanaNya di luar dugaan kita dan itu hanya akan muncul di dalam penantian. Kalau apa yang kita minta langsung kita dapatkan, dunia kita sempit termasuk pemahaman kita tentang Allah pun sempit. Seolah-olah minta satu dapat satu, minta dua dapat dua, tapi waktu kita harus menanti kita akhirnya dipaksa mengenal siapakah Tuhan, Dia jauh lebih luas daripada pemikiran kita.
GS : Uraian Pak Paul ini mengingatkan saya tentang Abraham yang Tuhan janjikan keturunannya akan seperti pasir di laut, seperti bintang di langit. Tapi sampai tua dia harus menunggu, kenyataannya lambat sekali dan ini seringkali menggoda kita, betul atau tidak Tuhan itu menjanjikan, memenuhi janjiNya.

PG : Dan dia menunggu 25 tahun. Jadi umur 75 tahun dia mendapatkan janji pertama kali, umur 100 tahun barulah digenapi.

GS : Itu suatu waktu yang cukup panjang sebenarnya, tapi tetap dia bisa bertekun menantikan itu.

PG : Betul, dan kita tahu orang Israel menderita di Mesir di tangan Firaun bukannya sehari atau dua hari, untuk waktu yang sangat lama, 400-an tahun. Namun ada waktu Tuhan, Alkitab berkata merea berteriak minta tolong makanya akhirnya Tuhan memanggil Musa dan berkata, "Aku telah mendengar teriakkanmu minta tolong umatKu."

Berapa lama? 400 tahun lebih, empat abad lebih dan itu tidak cepat. Inilah rahasia-rahasia yang nanti kita bisa tahu jawabannya di sorga, kita tidak bisa memahaminya kenapa harus menunggu begitu lama, kenapa Abraham harus menunggu 25 tahun baru datanglah anak perjanjian yaitu Ishak.
GS : Sekarang pun kita sebagai orang-orang yang beriman kepada Tuhan Yesus ini menantikan janji Tuhan mau datang dan ada banyak orang tidak mau menunggu atau sukar untuk menunggu, sampai hari ini Tuhan tidak datang-datang, Tuhan ini jadi datang atau tidak?

PG : Ada dua sikap orang dalam hal menantikan janji Tuhan, yang pertama adalah kecewa berat sama Tuhan. Kenapa tidak muncul, mana janji Tuhan dan kecewa berat. Yang kedua adalah supaya tidak keewa berat akhirnya ada orang-orang yang tidak pusing dengan janji Tuhan, tidak lagi mengharapkan dan tidak lagi meminta memang tidak akan kecewa, tapi sebetulnya menurut saya sebetulnya lebih parah dari pada kecewa, sebab seolah-olah orang-orang ini sudah melabelkan Tuhan tidak baik, Tuhan itu tidak mengasihi, Tuhan itu memang niatnya sudah tidak baik makanya tidak akan menjawab doa kita, makanya tidak perlu susah-susah minta Tuhan.

Bagi saya lebih baik minta dan tidak dapat serta kecewa dari pada tidak pernah minta dan tidak pernah kecewa karena tidak pernah percaya kepada Tuhan. Jadi yang baik, yang seharusnya adalah terus meminta, terus berharap apapun itu jawaban Tuhan.
GS : Dan di dalam masa penantian misalnya kita sakit menantikan kesembuhan itu datang segala upaya itu harus tetap kita jalankan, misalnya ke dokter atau minta dukungan doa orang lain dan itu bagaimana?

PG : Itu semua adalah jalan-jalan yang memang Tuhan sediakan, jadi ini bukannya jalan di luar kehendak Tuhan, tidak! Ada orang yang sampai merasa bersalah kalau harus ke dokter, seolah-olah ke okter bukanlah jalan yang Tuhan sediakan.

Salah satu Injil ditulis oleh seorang dokter, kenapa dia seorang dokter, dia memang seorang yang mengobati orang sakit yaitu dokter Lukas. Tidak apa-apa menjadi seorang dokter, tidak apa-apa mencari pelayanan seorang dokter pula, ini bukanlah jalan di luar Tuhan tapi tetap ini jalan di dalam Tuhan. Yang penting kita tahu dan kita terus berdoa sebab kita tahu yang memberi penyembuhan bukanlah tangan dokter, bukanlah pengetahuan dokter tapi Tuhan sendirilah yang memberi kepada kita kesembuhan.
GS : Dan kalau kita bedoa lalu didukung oleh teman-teman kita, saudara-saudara seiman kita ikut mendoakan, buat saja itu sesuatu penghiburan, kalau pun doa itu tidak dijawab, yang tidak dijawab pun bukan hanya doa saya tapi doa teman-teman ini juga ikut tidak dijawab. Seperti itu?

PG : Betul. Jadi memang ini bukanlah derita kita sendiri, tapi derita kita ramai-ramai.

GS : Jadi bersama-sama agak menghiburkan.

PG : Betul, dipikul bersama.

GS : Ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Yang lain adalah Tuhan tidak menjawab doa dengan cara yang kita bayangkan sebab Dia menghendaki kita untuk menerima jawabannya dengan cara yang berbeda yaitu cara Tuhan. Misalnya para muri kebingungan tatkala Tuhan Yesus meminta mereka untuk memberi makan ribuan orang, Tuhan pun menjawab permasalahan ini dengan cara yang tampak alamiah namun aneh yaitu mengambil 5 roti dan dua ikan dari seorang anak, mukjizat pun terjadi.

Jadi cara Tuhan itu di luar dugaan para murid, siapa yang bisa menduga itu yang akan dia lakukan mengambil lima roti dan dua ikan membelah-belah, membagi-bagikannya sampai untuk ribuan orang. Kadang-kadang itulah yang Tuhan lakukan, dia tidak menjawab doa dengan cara yang kita sudah bayangkan sebab ada cara lain yang dia ingin berikan kepada kita. Contohnya lagi yang lain, orang Yahudi menantikan seorang penyelamat yang dapat membebaskan mereka dari belenggu Roma, namun Allah mengirim Tuhan Yesus untuk membebaskan mereka dan kita semua dari belenggu dosa. Mereka mengharapkan seorang penyelamat datang dari sorga dengan segala kemewahan, kemuliaan dan kemegahannya, tidak! Tuhan Yesus datang sebagai bayi sebagai orang yang sama seperti kita, itu di luar dugaan orang. Jadi waktu kita berdoa kita mesti siap menerima jawaban Tuhan yang menyediakan solusi dengan cara yang berbeda. Ini sering saya saksikan dalam kasus orang yang mencari pekerjaan, Pak Gunawan, dia beranggapan bahwa ini pekerjaan yang cocok buat saya terus ini yang dia kejar-kejar dan terus berdoa supaya Tuhan berikan pekerjaan itu kepadanya, tapi tidak, akhirnya apa yang terjadi? Dia menyadari yang di depan matanya yang sebetulnya dia bisa kerjakan, tapi dia tidak kerjakan, akhirnya dia kerjakan dan justru itu yang menjadi mata pencahariannya.
GS : Memang kita cenderung melihat dari kacamata kita, seperti Naaman minta disembuhkan dan dia pikir caranya ajaib, tapi ketika dia disuruh mandi di sungai Yordan yang kotor, dia enggan untuk melakukannya, padahal melalui cara itulah Tuhan menyembuhkan dia, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi waktu kita berdoa, kita memang harus terbuka dengan segala cara. Maka tadi Pak Gunawan memunculkan pertanyaan tentang ke dokter dan sebagainya, makan obat dan sebagainya itu boleh! Karena itu salah satu cara yang Tuhan gunakan menyembuhkan kita.

Pengetahuan-pengetahuan itu juga adalah untuk kebaikan manusia dan Tuhan bisa memakai dan memberkatinya, jadi terimalah juga, jangan kita akhirnya menutup diri terhadap kemungkinan lain yang Tuhan sudah sediakan untuk kita. Namun di sini Pak Gunawan kita mesti berhati-hati agar jangan sampai apa yang kita lakukan itu akhirnya bertentangan dengan kehendak Tuhan, contohnya adalah Ishak. Abraham seharusnya tetap percaya bahwa suatu hari kelak Tuhan akan menyediakan keturunan bagi dia, yaitu Ishak, mula-mula dia pikir dari budaknya Eliezer, Tuhan berkata "Tidak, dari dirimu", tapi istrinya Sara berkata, "Kalau begitu sudah menunggu-nunggu, lama tidak punya-punya anak, mungkin saya tahu dari budak saya Hagar," kemudian lahirlah Ismail. Ini adalah suatu cara yang Tuhan tidak kehendaki, yang keliru, sebab memang Tuhan sudah meminta Abraham untuk menunggu janji Tuhan tapi dia tidak menunggu, tatkala dia tidak menunggu, maka akhirnya muncul anak lagi dari wanita yang lain. Nah kita tahu akhirnya terjadi konflik antara kedua anak ini dan kedua keluarga ini. Jadi memang kita juga mesti berhati-hati jangan sampai kita ini "grabak-grubuk", "seradak-seruduk" karena memikirkan mungkin Tuhan akan menyediakan jalan dengan cara yang ini dan itu dan sebagainya, Tidak! Jadi mesti berhati-hati jangan juga nantinya melakukan hal yang bukan kehendak Tuhan.
GS : Jadi kita harus tetap berjalan sesuai kebenaran Firman Tuhan.

PG : Betul.

GS : Kita tidak boleh menyimpang dari itu, pedomannya hanya itu.

PG : Betul sekali.

GS : Memang kita punya kecenderungan juga Pak Paul, untuk meniru di dalam saat-saat seperti ini. Mungkin ada orang yang sakit lalu disembuhkan dengan cara tertentu, kita mengira kita pun disembuhkan dengan cara seperti itu. Padahal Tuhan begitu kaya dengan variasi untuk menolong seseorang, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi kita tidak bisa membatasi diri kita sebab cara Tuhan tidak mesti sama dan seringkali dalam pengalaman kita semua, saya kira Tuhan menggunakan cara-cara yang mengejutkan,yang di luar dugaan kita, maka kita mesti terbuka dengan cara-cara lain itu pula.

GS : Pak Paul sudah menyampaikan setidaknya lima hal tentang doa yang tidak terjawab ini, mungkin Pak Paul mau menyimpulkannya?

PG : Kesimpulannya adalah ini Pak Gunawan, apa pun jawaban Tuhan kita mesti meyakini dua hal. Yang pertama adalah bahwa Tuhan mengasihi kita dan bahwa Tuhan mendengar doa kita. Coba dengarkan Frman Tuhan yang diambil dari Yesaya 40:13-15, "Siapa yang dapat mengatur Roh TUHAN atau memberi petunjuk kepadaNya sebagai penasihat? Kepada siapa TUHAN meminta nasihat untuk mendapat pengertian, dan siapa yang mengajar TUHAN untuk menjalankan keadilan, atau siapa mengajar Dia pengetahuan dan memberi Dia petunjuk supaya Ia bertindak dengan pengertian.

Sesungguhnya, bangsa-bangsa adalah seperti setitik air dalam timba dan dianggap seperti sebutir debu pada neraca. Sesungguhnya, pulau-pulau tidak lebih dari abu halus beratnya." Tuhan Maha tahu, kita mesti percayakan pada kehendakNya dan itu sudah pasti yang terbaik. Kehendak kita pengetahuan kita sebaik apa pun tetap jauh di bawah pengetahuan Tuhan yang sempurna itu.
GS : Memang pemahaman tentang Tuhan mengasihi kita itu kadang-kadang kita salah artikan bahwa Tuhan memenuhi semua permintaan doa-doa kita.

PG : Betul sekali. Jadi kita kembali harus mengingatkan diri kita bahwa di satu pihak kita istimewa, di satu pihak yang lain Tuhan juga harus memikirkan kepentingan-kepentingan lain yang juga juh lebih panjang dan jauh lebih luas dan bahkan kadang memakan waktu yang jauh lebih lama dari batas kehidupan kita.

Jadi kita mesti percaya itu pula.
GS : Memang itu bisa kita lihat setelah masalah atau problema itu lewat, kita baru melihat ini baru ternyata kehendak Tuhan itu. Ini yang baik tapi sebelumnya memang sulit untuk melihat Tuhan itu mengasihi kita dan membiarkan kita mengalami, itu sangat sulit, Pak Paul.

PG : Maka pada masa yang sulit itu yang akan berperang besar adalah iman, Pak Gunawan. Iman yang percaya bahwa masih ada Tuhan dan Tuhan mengasihi kita dan dia sanggup melakukan apa pun dan baha kehendakNya tetap yang terbaik untuk kita.

GS : Dan itu yang harus terus-menerus dipelihara di dalam kehidupan kita, harus dibangun terus-menerus karena kalau tidak, maka kita akan kehilangan pegangan seperti itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sewaktu Doa Tak Terjawab" bagian yang kedua, yang merupakan kelanjutan dan akhir dari perbincangan kita tentang topik itu. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



45. Terapi Bermain


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T245A (File MP3 T245A)


Abstrak:

Kita tahu anak-anak menyukai permainan, dan hampir semua permainan disukai oleh anak-anak. Tapi sangat asing bagi kita kalau permainan, bisa digunakan sebagai terapi. Dengan terapi bermain itu, kita bisa mengetahui apa yang dirasakan oleh anak, karena anak tidak bisa mengungkapkan perasaannya melalui kata-kata seperti orang dewasa. Bagaimana caranya dan apa saja bentuk permainannya? Di sini akan dibahas secara tuntas


Ringkasan:

Kita tahu anak-anak menyukai permainan dan hampir semua permainan disukai oleh anak-anak. Tapi sangat asing bagi kita kalau permainan, digunakan sebagai terapi. Sebelum kita belajar lebih lanjut tentang terapi bermain ini, sebenarnya apa yang dimaksud dengan terapi bermain?Terapi bermain adalah suatu permainan yang digunakan sebagai alat untuk berdialog atau bertukar pikiran dengan anak-anak.

Terapi bermain ini sangat dibutuhkan oleh anak-anak karena terapi bermain adalah bahasa anak-anak. Kita tahu kalau orang dewasa, berbicara menggunakan kata-kata tapi kalau dengan anak-anak kita menggunakan permainan sebagai alat untuk berbicara.

Contoh menggunakan terapi bermain dalam kasus anak yang tidak mau sekolah :
Kita dengan anak itu sangat asing, sehingga anak akan merasa canggung kepada kita. Maka kita bisa mengajak anak itu dengan berkata "Mari Bermain" dan kita mengajak dia bermaian. Dengan permainan itu, anak akan merasa nyaman dengan kita dan kita juga harus ramah kepada anak itu. Kita bisa menggunakan permainan binatang-binatang kecil yang terbuat dari plastik dan kita tanya-tanya dia "Kenapa tidak mau sekolah?". Mungkin dia tidak bisa menjawab. Maka saya akan katakan "Pilihlah binatang yang kamu sukai, yang paling menyerupai dirimu yang mana? Yang paling menyerupai gurumu yang mana?" Dia memilih sendiri, bukan menyerupai mukanya tapi karakternya. Dan saya ingat anak itu memilih kingkong. Dan kemudian kita tanya-tanya kepada anak itu "Mengapa kamu memilih binatang itu?" maka si anak akan lebih mudah untuk menjelaskan kepada kita. Jadi dengan permainan sepertinya kita mengalihkan perhatian dia.

Dan setelah saya mengetahui permasalahan anak lewat permainan itu, kemudian saya memberitahu kepada orang tua apa yang sedang terjadi kepada anaknya.

Bentuk-bentuk dari terapi bermain ini bermacam-macam dan sederhana sekali, juga tidak memerlukan biaya yang mahal namun memerlukan kreativitas. Tapi kita bukan menggunakan video games sebagai permainan tapi menggunakan alat-alat yang nantinya akan menghasilkan sesuatu. Dan dari hasil itu, kita tidak melihat nilai seninya namun kita melihat hasil dari apa yang dibuatnya dan biasanya hasil itu menunjukkan dirinya atau perasaannya.

Alat-alat permainan yang biasa digunakan antara lain boneka ("puppet"), menggambar, binatang-binatang kecil dari plastik, pedang-pedangan dari plastik, kartu forty-one, pasir, malam atau pledo, dan lain-lain. Dalam melakukan terapi bermain ini kita membutuhkan waktu + 30 menit

Firman Tuhan :
"Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: "Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku." Markus 9:36,37


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Ibu Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo dalam acara Telaga ini. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Terapi Bermain". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Bu Vivian, terima kasih Ibu berkenan untuk melakukan perbincangan dalam acara Telaga kali ini dan kita mau membicarakan tentang terapi bermain. Kita tahu anak-anak menyukai permainan, tapi permainan itu bisa digunakan sebagai terapi, bagi kami itu sesuatu yang sangat asing. Mungkin Ibu bisa jelaskan apa sebenarnya terapi bermain itu?

VA : Terapi bermain adalah suatu permainan digunakan sebagai alat untuk berdialog atau bertukar pikiran dengan anak-anak. Kalau dengan orang dewasa, kita berbicara menggunakan kata-kata tapi degan anak-anak kita menggunakan permainan sebagai alat untuk berbicara.

Jadi permainan adalah bahasa anak.
GS : Kalau kita mau berdialog dengan anak dimana ada masalah tertentu dengan diri anak itu, Bu, dalam hal ini sebenarnya apa yang ingin kita capai?

VA : Yang kita ingin capai dari terapi bermain adalah dengan menggunakan permainan itu, kita lebih mengenal anak. Lebih mengerti apa yang ada di dalam diri anak, karena anak sulit untuk mengutaakan sebetulnya ada sesuatu yang tidak suka di dalam dirinya, atau dia tidak bisa menceritakan sesuatu yang mengganggu dirinya.

Maka dengan permainan itu si anak bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam dirinya.
GS : Seringkali yang ibu hadapi, masalah-masalah apa yang dialami oleh anak?

VA : Bermacam-macam misalnya anak ini tidak mau ke sekolah, biasanya ke sekolah dan tiba-tiba mogok tidak mau sekolah dan orang tua bertanya, "Kenapa tidak mau sekolah?" jawabnya adalah "Pokokna tidak mau sekolah," dan hanya menangis, itu salah satu masalah.

Dengan permainan bisa diketahui ternyata dia tidak mau sekolah karena ada teman yang mengganggu atau ada guru yang bersikap keras terhadap dia, dia di rumah tidak pernah dipukul dan sekarang di kelas dipukul. Jadi dengan permainan itu akhirnya bisa diungkapkan sesuatu yang sulit dia ekspresikan.
GS : Apakah anak-anak juga mengalami krisis seperti orang dewasa?

VA : Betul. Jadi anak-anak bisa mengalami krisis bermacam-macam mungkin karena dia punya adik baru, itu juga bisa menjadi sebuah krisis. Mungkin dengan sakit juga mengalami krisis atau orang tunya yang sakit juga mengalami krisis, atau dia mulai sekolah dahulunya belum sekolah dan akhirnya memulai sekolah dan itu membuat krisis karena berarti dia itu pisah dengan orang tuanya.

Dia merasa takut dan krisis juga bisa bermacam-macam mungkin ada kematian di dalam keluarganya atau binatang kesayangannya meninggal atau kehilangan sesuatu itu menyebabkan krisis.
GS : Tapi anak sulit untuk mengungkapkan itu dengan bahasanya, begitu?

VA : Betul, dia sulit untuk mengungkapkan. Kelihatannya dia riang gembira, bermain-main tapi sebetulnya ada sesuatu yang mengganggu dia.

GS : Berarti yang tahu lebih dulu itu seharusnya orang tua bahwa anak ini memerlukan suatu terapi.

VA : Tapi kadang-kadang orang tua tidak tahu dan dari permainan anak, sebetulnya anak itu mengungkapkan sesuatu. Seandainya dia kehilangan kakek yang dia sayangi, mungkin dia bisa menggunakan prmainan dengan menggunakan boneka.

Ini menunjukkan boneka yang hidup kemudian bonekanya tidur, dengan permainan itu sebetulnya menunjukkan bahwa orang yang dia kasihi sudah tidak ada lagi.
GS : Kalau kita bicara tentang anak, permainan ini cocok untuk anak-anak sekitar usia berapa?

VA : Anak-anak di bawah usia 12 tahun.

GS : Kalau anak di usia lebih dari 12 tahun, dia sudah bisa mengungkapkan lewat pembicaraan.

VA : Di atas 12 tahun adalah usia remaja. Jadi mereka lebih bisa mengungkapkan diri lebih baik.

GS : Apakah semua jenis permainan itu bisa digunakan untuk terapi?

VA : Tidak semua jenis permainan. Jadi yang cocok untuk anak itu, kalau ada anak yang terlalu kecil, permainannya tidak cocok karena dia belum bisa berimajinasi. Jadi ada jenis tertentu itu untk anak yang berumur 7 tahun ke atas bisa digunakan, ada pula untuk anak yang lebih kecil.

GS : Kira-kira permainan jenis apa yang ibu gunakan untuk melakukan terapi ini?

VA : Biasanya sering menggunakan seni, anak-anak kecil suka dengan menggambar, juga menggunakan permainan binatang-binatang kecil karena anak suka dengan binatang-binatang, mungkin dengan malam(lilin) atau sesuatu yang anak sukai, seperti buku cerita, itu juga disukai anak-anak.

GS : Kadang-kadang anak laki-laki dengan anak perempuan itu jenis permainannya berbeda. Kalau anak perempuan itu lebih senang dengan boneka dan kalau anak laki kurang senang dengan boneka. Itu bagaimana, Bu?

VA : Ini harus dibedakan, permainan ini bukan permainan yang biasa dilakukan oleh anak tapi permainan ini adalah alat untuk mengungkapkan isi hati anak. Lain dengan permainan seperti nintendo dn sebagainya, tapi ini adalah alat supaya dia mengungkapkan apa yang ada di dalam dirinya.

GS : Jadi itu sudah dipersiapkan lebih dahulu.

VA : Ya, jadi yang bisa cocok untuk anak itu.

GS : Misalnya kalau kita mau bermain-main dengan boneka, boneka apa yang biasa digunakan?

VS : Boneka yang digunakan adalah "puppets", yang biasa digunakan untuk panggung boneka dan boneka itulah yang berbicara. Jadi kalau anak itu tidak mau berbicara maka bonekanya ini yang berbicaa sehingga akhirnya anak ini berbicara juga.

GS : Tapi yang mengungkapkan itu anak? Jadi yang memainkan "puppets" seperti sarung tangan yang dimainkan lalu ada bonekanya itu tadi, itu si anak yang berbicara?

VA : Ya, kalau dia mau bicara. Tapi kalau tidak mau bicara maka orang dewasanya yang bicara sendiri. Kadang berperan menjadi orang dewasa tapi kadang juga menjadi anak-anak, jadi dia berdialog ntar satu boneka sebentar sebagai anak, sebentar sebagai orang dewasa.

Tapi anaknya kalau mau bicara juga baik sehingga bisa terjadi dialog.
GS : Kalau tidak sesuai dengan pikiran anak, maka anak akan menyanggahnya? Apakah maksud ibu seperti itu?

VA : Bukan begitu. Sebetulnya ini hanya untuk mengungkapkan isi hatinya, misalnya dia tidak mau bicara karena mungkin dia takut, dia tidak kenal tapi karena menggunakan cara itu maka anak bisa enghilangkan rasa takutnya, dia bisa bercerita.

GS : Yang penting dia bisa mengungkapkan isi hatinya kepada orang yang lebih dewasa supaya kita yang lebih dewasa ini tahu sebetulnya masalahnya apa?

VA : Betul.

GS : Dan apa kesulitan yang ibu hadapi jika ada anak yang sulit untuk berbicara seperti itu?

VA : Memang semua anak sulit kalau ditanya, "Kenapa kamu tidak mau sekolah, kenapa kamu takut," mereka tidak mengerti bagaimana mengungkapkan, oleh sebab itu menggunakan permainan ini akhirnya ia bisa menceritakan.

Seperti ada satu anak yang penakut dan ternyata dengan salah satu permainan yang saya gunakan yaitu dengan menggambar, kemudian dia bertanya, "Apa yang harus saya gambar?" Saya jawab, "Gambarlah keluargamu," dia menggambarkan mamanya seperti raksasa padahal bentuk tubuh mamanya kecil. Ternyata setelah digali-gali dia bercerita ternyata mamanya sering memarahi dia mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, jadi sepanjang hari, apa yang dia lakukan selalu dicacat cela. Akhirnya anak ini takut melakukan segala sesuatu, dari permainan ini menunjukkan dia mempunyai rasa takut bukan karena dia itu takut tapi karena selalu dimarahi, selalu dicacat cela dan dia menjadi orang penakut.
GS : Jadi pada waktu dia menggambar, ibunya digambar dengan sosok yang besar itu sebenarnya dia menyadari betul, Bu?

VA : Tidak. Dia tidak sadar. Jadi secara tidak sadar dia menggambarkan seperti itu karena ibunya sendiri kecil. Maka dengan permainan itu menyatakan apa yang ada di dalam dirinya, ibunya sepert raksasa yang selalu mengendalikan, mengontrolnya terlalu keras.

GS : Kalau anak tidak bisa menggambar, ibu biasanya menggunakan apa?

VA : Bisa permainan. Jadi seperti anak yang sudah saya katakan yang tidak mau sekolah, saya katakan, "Mari kita bermain binatang-binatang ini yang mau pergi ke sekolah" jadi dengan binatang-bintang itu kita menggambarkan situasi sekolah.

Ada binatang yang berperan sebagai dia dan temannya, ada binatang yang berperan sebagai gurunya, ternyata dia menceritakan bahwa "Guru ini suka memukul" barulah dia bercerita kalau dia dipukuli oleh gurunya. Dan hal itu tidak bisa dia ceritakan kepada orangtuanya pada saat orang tuanya bertanya, "Kenapa tidak mau sekolah" dia tidak bisa menjelaskan, tapi dia bisa menjelaskan lewat binatang-binatang itu, secara tidak sadar dia keluarkan. Kita baru tahu kalau dia tidak mau sekolah karena dipukuli oleh gurunya padahal anak ini di rumah tidak pernah dipukuli.
GS : Apakah binatang-binatang itu yang bisa kita temui di toko-toko, yang kecil-kecil dan terbuat dari plastik itu?

VA : Ya, binatang kecil-kecil dari plastik itu jadi berbagai macam binatang.

GS : Binatang-binatang itu memproyeksikan diri anak, begitu?

VA : Memproyeksikan apa yang dia rasakan di dalam dirinya.

GS : Misalkan dia memilih seekor singa, lalu apa yang dilakukan?

VA : Singa itu bisa dia proyeksikan sebagai karakter dari orang yang dia pilih itu. Untuk anak yang tidak mau sekolah ini saya ingat, dia memilih kingkong, dan itu karakter gurunya menurut pandngan dia, karakternya seperti kingkong yang menakutkan.

Biasanya seperti itu.
GS : Bagaimana cara ibu menanyakan kepada anak, merangsang anak supaya dia bisa memilih binatang itu secara tepat, paling tidak mendekati tepat.

VA : Biasanya saya katakan, pilihlah binatang yang kamu sukai, yang paling menyerupai dirimu yang mana? Yang paling menyerupai gurumu yang mana? Dia memilih sendiri, bukan yang menyerupai muknya tapi karakternya itu.

GS : Jadi anak sedikit banyak butuh pengetahuan tentang karakter-karakter binatang-binatang itu.

VA : Betul. Tapi dari gambaran sesungguhnya, dari binatang itu sudah kelihatan bahwa kingkong itu menakutkan.

GS : Apakah itu bisa berlangsung cukup lama?

VA : Waktu itu kita bermain 20 menit dan dia cukup senang bermain-main. Itu menceritakan semua yang ada di dalam dirinya.

GS : Biasanya setelah anak menceritakan segala sesuatunya baik lewat gambar atau lewat boneka-boneka tadi, lalu apa yang ibu lakukan?

VA : Setelah dia menceritakan seperti itu tadi, akhirnya saya berbicara kepada orang tuanya, karena bagaimana pun anak masih perlu bimbingan orang tua, jadi saya tunjukkan kepada orang tuanya aa yang sedang terjadi.

Seperti satu anak tadi itu apa yang sedang terjadi, ternyata anak itu terlalu sering dimarahi orang tua. Orang tuanya saya ajak bicara ternyata tahu bahwa anak ini memang di tolak. Jadi orang tua harus mengubah supaya anak ini diterima kembali akhirnya anak itu diterima apa adanya, dan anak ini berubah. Demikian juga anak yang mengambil binatang kingkong tadi, akhirnya tahu, "Oh, kamu ini ternyata diperlakukan demikian", sehingga orang tuanya mengambil keputusan untuk berbicara dengan pihak sekolah, sekolahnya akhirnya tidak mau berubah karena sekolah ini muridnya banyak, jadi harus dengan kekerasan. Akhirnya mereka pilih pindah sekolah lain dimana anak tidak takut. Jadi kita harus bekerjasama dengan orang tua.
GS : Untuk menolong anak ini rupanya keterlibatan orang tua, pendidik dan sebagainya itu cukup besar.

VA : Ya, harus kerjasama.

GS : Dan oleh konselor semuanya dilibatkan.

VA : Betul, harus kerjasama kalau tidak ada kerjasama maka tidak akan bisa dilakukan.

GS : Dan biasanya anak pergi ke konselor itu bukan maunya sendiri.

VA : Bukan.

GS : Dan dapat dari mana biasanya?

VA : Biasanya orang tua yang membawa dan bertanya, "Kenapa anak saya yang satu ini tidak mau sekolah, biasanya mau sekolah tapi kenapa sekarang tidak mau sekolah selalu menolak dan menangis." Jdi orang tuanya sudah sekian lama mencoba akhirnya mereka mencari jalan keluar pergi ke konselor, apa yang terjadi, ternyata ketahuan.

Ibunya bertanya, "Kenapa kamu ditanya mama tidak mau cerita?" Itulah yang sulit bagi anak untuk mengutarakan isi hatinya dan melalui permainan itu akhirnya bisa.
GS : Mungkin ibu bisa memberikan tips kepada para orangtua karena sesuai pengamatan itu, berbicara dengan anak itu tidak mudah, kalau kita mau memakai bahasa mereka juga sulit dan ini hal-hal apa yang harus kita perhatikan ketika kita berbicara dengan seorang anak.

VA : Yang harus kita perhatikan bicara dengan anak, kita harus melihat bahwa anak itu bukanlah orang dewasa yang kecil, mereka itu adalah seorang anak. Jadi kita harus memahami anak, dunia anakini menggunakan permainan, anak tidak bisa diajak berwawancara seperti saya dengan Pak Gunawan begini, tidak bisa.

Maka kita harus bermain, dengan permainan itu kita tahu.
GS : Kadang-kadang anak juga takut bicara dengan orang asing, dengan orang yang belum dia kenal dan ini bagaimana ibu melakukan pendekatan?

VA : Dengan permainan itulah mereka menjadi tidak takut lagi. Jadi dengan permainan itu akhirnya mereka lupa bahwa ini berbicara dengan orang asing, kita perlu ramah dengan mereka.

GS : Berarti tidak bisa langsung ditanya permasalahan mereka apa?

VA : Jadi yang bisa kita lakukan adalah bermain dahulu. "Ayo kita main", kalau sudah main mereka lupa dengan apa yang dia hadapi, apakah itu orang asing.

GS : Dan makin akrab. Seandainya dia bosan dengan permainan boneka tadi atau menggambar juga bosan, kalau mau ganti permainan apakah ibu perkenankan?

VA : Boleh. Tentunya ganti dengan permainan yang lainnya. Jadi mainan mana yang dia sukai dan cocok. Tapi permainan itu selalu ada tujuannya yaitu untuk menggali sesuatu di dalam diri anak. Jad mungkin anak ini tidak cocok dengan permainan ini dan anak itu juga bisa membaca dan menulis, mungkin dengan permainan kata-kata jadi dengan kata-kata itu dia mulai menyelesaikan kalimat.

Jadi misalnya, "Saya merasa....", dia harus meneruskan. "Menurut saya papa bagaimana, mama bagaimana?" Kemudian dia bisa menceritakan apa yang dia harapkan dan dia bisa tuliskan itu.
GS : Ibu sebagai pendeta apakah pernah mengalami hal-hal seperti itu dalam jemaat yang Ibu layani, jadi jemaat anak-anak ini apakah ibu pernah melakukan konseling dengan mereka atau bagaimana?

VA : Kalau dengan jemaat sendiri, biasanya saya bicara-bicara dengan mereka dan tidak langsung terapi seperti ini, tapi berteman dengan mereka lalu berbicara dan mereka bercerita.

GS : Tapi jemaat anak-anak juga punya persoalan juga?

VA : Tentu saja. Seperti satu jemaat yang saya layani, orangtuanya bertengkar terus, bapaknya memperlakukan istrinya dengan sangat kasar sekali, bahkan dipukuli dan pakai pistol mau dibunuh, akirnya anaknya ketakutan menangis terus.

Jadi saat itulah saya membantu anak itu, memberikan rasa aman sehingga ketakutannya itu bisa diceritakan.
GS : Kadang-kadang gereja hanya menangani masalah orang dewasa dan perkara anak-anak kurang diperhatikan, padahal ini seringkali menjadi masalah juga di dalam jemaat.

VA : Betul. Karena anak-anak ini sebetulnya mereka mengalami krisis, kalau tidak diperhatikan nanti lain kali kalau masalah ini belum dibereskan, nanti setelah dewasa akan mengganggu dia.

GS : Menurut pengalaman Ibu,terapi bermain ini membutuhkan waktu berapa lama?

VA : Biasanya kurang lebih dengan anak, 30 menit.

GS : Setiap kali pertemuan?

VA : Tapi biasanya 10 menit sebelumnya dengan orang tua dulu, bicara sebentar, kemudian 30 menit dengan anak dan nanti akan diakhiri dengan orang tua lagi.

GS : Dengan terapi bermain ini biasanya yang ibu tangani adalah yang menyangkut kejiwaan anak-anak, Bu?

VA : Sebenarnya menyangkut segala sesuatu yang mengganggu, misalnya emosinya terganggu. Anak yang menjadi penakut atau menangis terus atau ada anak yang terlalu pendiam, itu sesuatu yang lain.

GS : Biasanya yang dialami anak adalah kesedihan karena ditinggal orang tuanya entah karena perceraian atau karena kematian dan ini bagaimana menanganinya, Ibu?

VA : Untuk anak semacam itu, kita harus memberitahu orang tuanya. Anak yang mengalami kesedihan itu sesuatu yang normal dan orang dewasa pun juga mengalami hal seperti itu. Sehingga kita harus embantu anak mengungkapkan isi hatinya, apa yang menjadi kesedihannya dan dia kehilangan apa.

Kalau orang dewasa bisa mengungkapkan akan menjadi lega, demikian juga dengan anak-anak tapi caranya anak mungkin dengan gambar-menggambar.
GS : Atau permainan tadi ya Bu, sehingga menjadi sesuatu yang hilang di dalam permainan itu. Dan yang memang sulit adalah memahami apa yang dimaksud oleh anak, apakah ibu sebagai konselor yang menerjemahkan atau anak yang menceritakan?

VA : Anak yang menceritakan. Jadi kalau tidak jelas maka saya bertanya, "Maksud kamu apa?"

GS : Dan biasanya mereka tahu dengan kita bertanya, "Apa?" karena sudah dibantu tadi.

VA : Ya. Dan kalau dia mengatakan satu kata maka kita sudah harus menangkap apa yang dia katakan itu.

GS : Ibu melakukan hal seperti itu secara massal atau sendiri-sendiri?

VA : Biasanya sendiri-sendiri, atau kalau anaknya takut biasanya bila dia kakak beradik, saya menyuruh kakak beradik bersama-sama supaya dia merasa lebih aman. Kalau sendirian dia mungkin takut.

GS : Jadi yang penting menciptakan rasa aman ini untuk mengungkapkan isi hatinya.

VA : Betul.

GS : Dan itu biasanya anak bisa bertahan, bisa terus-menerus melakukan permainan walaupun itu harus berganti jenis permainan.

VA : Biasanya anak senang sekali. Jadi kalau dia merasa aman malah biasanya dia mengatakan, "Lho kok cepat sekali selesai," malah ada beberapa anak tidak mau selesai, mereka main terus.

GS : Berarti Ibu membatasi waktunya. Jadi kalau sudah waktunya berhenti maka harus dikatakan berhenti.

VA : Karena biasanya waktu untuk berbicara dengan anak itu 30 menit.

GS : Tapi lain kali dia diminta datang lagi?

VA : Ya.

GS : Kalau ada kasus-kasus yang khusus, biasanya bagaimana ibu menangani, ternyata anak ini bukan saja hanya mengalami trauma atau krisis tapi ada suatu kelainan di dalam dirinya. Ini bagaimana?

VA : Kalau memangnya ada kelainan, maka kelainan apa? Berarti perlu ahli yang lainnya. Jadi mungkin dia perlu untuk ke ahli psikologi, biasanya di test untuk kekurangan atau dia perlu diperikskan ke dokter.

Jadi lain dan kami konselor bukan untuk itu.
GS : Dan memang untuk melakukan terapi bermain ini harus dilakukan oleh seorang ahli seperti yang ibu lakukan terhadap anak tetapi untuk orang tua, apakah orang tua bisa mengakrabkan diri dengan anak lewat bermain ini?

VA : Saya kira bisa orang tua melakukan dengan terapi bermain. Jadi maksudnya bermain dengan anak untuk mencari tahu apa yang dipikirkan oleh anak asal orang tuanya mau sabar dan belajar bersam-sama dengan anak-anaknya.

GS : Supaya anak juga mulai berani mengungkapkan perasaannya kepada anak-anaknya.

VA : Ya, jadi bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam dirinya yang biasanya diungkapkan oleh anak melalui bahasa non verbal. Bahkan dengan permainan pun misalkan anak dengan sangat ketakutan mlihat terorisme, kalau dia anak laki-laki mungkin dia bisa menggunakan seperti pistol-pistolan, pedang-pedangan, sesuatu seperti ada bom, dia bisa mempermainkan itu.

GS : Tapi apa pun bentuk permainan itu, harus kita percaya bahwa permainan itu aman buat anak seperti pedang-pedangan itu.

VA : Itu semua dari plastik.

GS : Memang dipilih sesuatu yang aman bagi anak.

VA : Itu semua menunjukkan kurang lebih ketakutan dia. Saya masih ingat sekali dulu anak saya sangat takut sekali dengan suara keras dan dia sendiri sering sekali bermain dengan sesuatu yang besuara keras.

Jadi dengan sirene ternyata itu sesuatu yang dia takuti. Itu yang dia ulang-ulang. Apa yang dia takuti itulah yang dia ulang-ulang.
GS : Untuk pengalaman ibu yang terakhir ini menangani anak yang macam apa di dalam terapi bermain?

VA : Yang terakhir adalah anak yang orangtuanya "single parent". Jadi ibu ini tidak bisa menangani anaknya sendiri karena ibu ini stres, akhirnya anak ini terlalu sering diberikan ke orang tua suh.

Anak ini mengalami ketakutan, "Saya ini mau diberikan kepada orang tua asuh", anak ini sering menangis di rumah. Padahal dia membutuhkan ibu. Dan ibu yang melihat anak ini terus menangis akhirnya malah tidak mau anak itu. Dengan permainan dia menceritakan kalau dia tidak mau dikeluarkan dari rumah ini, diberikan kepada orang tua asuh. Tapi ibunya malah mau mengirim karena anak ini selalu menangis. Ibunya tidak mengerti pergumulan dalam diri anak itu.
GS : Jadi lewat terapi bermain ini muncul perasaan yang sebenarnya dalam diri anak itu.

VA : Dengan begitu ketakutan.

GS : Kalau melihat hal ini, dengan biaya yang tidak terlalu besar, sebenarnya dengan permainan sederhana itu, kita bisa memperoleh sesuatu yang sangat berharga dari dalam diri anak. Hanya sangat dibutuhkan waktu, ketelatenan, kreativitas untuk bisa mendekatkan diri dengan anak.

VA : Betul. Sebetulnya biayanya tidak besar tapi yang dibutuhkan adalah waktu dan mau mendengarkan anak melalui bahasa non verbalnya anak.

GS : Saya percaya banyak orang tua sangat tertolong dengan perbincangan kita kali ini. Dimana mereka akan mencoba mendekatkan diri dengan anak, kalau tidak jarak akan makin jauh dan makin sulit mengerti anak ini.

VA : Saya kira begitu. Orang tua berperan sekali untuk membantu anak-anaknya. Kalau konselor sendiri tidak bisa dan juga butuh orang tua.

GS : Ibu, Sebelum kita mengakhiri perbincangan kali ini mungkin ada ayat firman Tuhan atau teladan yang Tuhan Yesus tinggalkan bagi kita berkenaan dengan hubungan orang tua dan anak ini?

VA : Baik. Ini akan diambil dari Markus 9:36-37, "Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: 'Baangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.

Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku'."
GS : Ini secara singkat, maknanya seperti apa, Ibu Vivian?

VA : Menurut saya Yesus menerima anak. Jadi Yesus menempatkan anak-anak di tengah mereka menunjukkan bahwa anak ini ada di tempat yang khusus dan di tengah-tengah itu adalah tempat yang pentingdan memeluk menunjukkan bahwa Tuhan menerima dan mengasihi.

Disini ditunjukkan bahwa siapa yang bisa menerima anak adalah menerima Tuhan, siapa yang menyambut anak maka menyambut Tuhan juga dan juga menyambut Allah. Dengan kata lain anak itu penting sekali dan berharga.
GS : Kalau di hadapan Tuhan Yesus saja anak-anak ini begitu berharga seyogianya kita juga memberikan perhatian yang khusus kepada anak-anak.

VA : Betul.

GS : Terima kasih Ibu Vivian untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Ibu Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Terapi Bermain". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



46. Mengenal Anak Melalui Karyanya


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T245B (File MP3 T245B)


Abstrak:

Tanpa kita sadari karya anak menunjukkan apa yang mereka alami dan apa yang mereka harapkan. Bagaimana kita bisa mengetahui atau membaca karya itu? Sebagai orang tua apa yang harus kita lakukan untuk lebih dekat dengan anak? Di sini akan dibahas, dan kita bisa belajar dari Ibu Vivian.


Ringkasan:

Ternyata melalui karya yang telah dibuat oleh anak, kita lebih bisa mengenal anak. Mungkin untuk kita hal itu sangat aneh, karena seringkali anak membuat sesuatu tanpa dia memikirkan atau asal-asalan saja. Bagaimana kita bisa memahami hal ini?

Apa yang bisa kita ketahui dari gambar yang dibuat anak?
Kita tidak melihat gambar yang dibuat oleh anak ini, menurut nilai artistik, sebagaimana kita orang dewasa. Tapi apa yang dia gambarkan itu menunjukkan isi hatinya. Jadi seandainya kita mengatakan, "Coba kamu gambarkan tentang dirimu sendiri," kemudian dia menggambarkan dirinya sendiri, misalkan :

  1. Bentuk muka yang sederhana tapi dia mencorat-coret mukanya, itu menunjukkan kalau dia sedang marah dengan dirinya, begitu sedih dengan dirinya, harga dirinya tidak ada.
  2. Atau warna yang dipakainya, misalkan warna merah atau hitam semua, itu menunjukkan kemarahannya.
  3. Bentuk gambar, misalkan dia menggambar ibunya yang suka melotot maka dia akan menggambar sesuatu yang matanya besar dan bentuk tubuh yang lain kecil, itu menunjukkan bahwa mata yang melotot itu yang paling dia ingat.

Tidak semua anak suka menggambar, maka kita bisa menggunakan alat-alat seperti :

  1. Malam atau pledo. Dalam menggunakan pledo ini seringkali anak hanya membentuk gumpalan, tapi sekali lagi kita jangan melihat bentuk artistiknya namun apa artinya itu, dan kita tanya kepada anak, apa artinya?
  2. Lambang-lambang dan kita menyuruh meletakkan lambang-lambang itu. Misalnya anak mengalami trauma karena orang tua berpisah dan dia sekarang baru pindah rumah bersama mamanya dan papanya di rumah yang lain. Coba letakkan lambang rumah, rumahmu yang baru dan lambang siapa yang tinggal di sana mungkin itu orang-orang kecil. Lalu lambang tentang papanya yang berkunjung, jadi lambang itu menunjukkan pergumulan di dalam hatinya.
  3. Kartu. Kartu bisa bermacam-macam seperti forty-one atau kartu tentang perasaan. Kita bisa bertanya "Bagaimana perasaanmu hari ini?" dan dia bisa memilih salah satu kartu perasaan itu yang menunjukkan perasaan itu. Dan dari situ kita bisa berkomunikasi dengan dia.
  4. Gunting. Ada anak yang mengambil gunting karena apa pun yang dia perbuat, orang tuanya selalu menggunting. Dan itu sangat membekas kepada anak.

Jadi kita harus selalu bertanya "Apa artinya itu?" kita tidak bisa mengetahui isi hati anak, sehingga anaklah yang harus mengungkapkan isi hatinya dan dari situlah kita tahu apa yang sedang anak rasakan. Maka kita harus lebih aktif bertanya.

Tuhan Yesus sering menggunakan cerita sebagai sarana untuk menyampaikan ajaranNya. Kita juga bisa menggunakan cerita untuk mendekatkan diri dengan anak. Oleh sebab itu orang tua perlu belajar bercerita. Seringkali kita beranggapan bahwa kita orang tua sulit untuk bercerita karena tidak mempunyai pengalaman bercerita. Maka kita bisa menggunakan buku penuntun karena dengan menggunakan buku, anak-anak akan lebih bisa mengingatnya karena di dalam buku itu ada gambar-gambar yang bisa dilihatnya. Kalau orang tua tidak menggunakan buku, maka orang tua harus lebih lebih kreatif dalam menyampaikan cerita.

Firman Tuhan :
Markus 10:14, "Sabda Tuhan Yesus, 'Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah'." Maksudnya adalah bahwa Yesus ini sangat senang kalau anak-anak datang kepada Yesus dan kalau anak-anak datang kepada Yesus itu bukan sesuatu yang merepotkan.


Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Ibu Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Mengenal Anak Melalui Karyanya". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Bu Vivian terima kasih, kembali kita bisa berbincang-bincang dengan Ibu. Ibu sudah menyediakan waktu, sekarang ini kita mau membicarakan tentang mengenal anak melalui karyanya. Beberapa waktu yang lalu kita berbincang-bincang tentang terapi bermain dan kadang-kadang kita sering menyepelekan apa yang dibuat oleh anak baik itu gambar, patung-patung atau yang lainnya padahal dari sana kita bisa mengenal anak lebih banyak. Dan sebetulnya bagaimana kita bisa mengenal anak melalui gambar yang dia buat atau lukisan sederhana yang dia buat, Bu?

VA : Gambar yang dibuat oleh anak ini, kita bukan mau menilai menurut nilai artistik, sebagaimana kita orang dewasa ini. Tapi apa yang dia gambarkan itu menunjukkan isi hatinya. Jadi seandainyakita mengatakan, "Coba kamu gambarkan tentang dirimu sendiri," kemudian dia menggambarkan dirinya sendiri, bentuk muka yang sederhana tapi dia mencorat-coret mukanya, itu menunjukkan kalau dia sedang marah dengan dirinya, begitu sedih dengan dirinya, harga dirinya tidak ada.

GS : Memang kadang-kadang saya pernah melihat gambar yang dibuat anak itu baik tapi kemudian dicoret-coret, disilang-silang berarti itu menunjukkan kemarahan yang tadi Ibu katakan.

VA : Mungkin itu salah satu yang menunjukkan kemarahan di dalam dirinya.

GS : Apa ada ciri yang lain di dalam gambar anak?

VA : Mungkin ada gambar yang semuanya menggunakan warna merah, itu juga menunjukkan kalau dia marah. Mungkin juga menggunakan warna hitam. Ada anak kecil yang disuruh menggambar tentang ayahnya ayahnya digambar seperti memakai topengnya iblis, karena begitu marahnya dia kepada papanya, papanya suka memukuli dia, menyakiti dia.

Jadi dia gambarkan seperti itu, papanya seperti membawa garpu yang besar, garpu itu yang akan menusuk orang lain.
GS : Pada perbincangan yang lalu, ibu juga pernah menyampaikan ada seorang anak yang menggambar ibunya itu, besar sekali seperti raksasa sedangkan anggota keluarga yang lain itu kecil-kecil saja.

VA : Betul. Ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat menguasai hatinya yaitu ibu yang seperti raksasa itu, bahkan dibuat matanya melotot karena itulah yang ada di dalam pikirannya, ibunya elalu marah dengan mata yang melotot, padahal anggota tubuh yang lainnya kecil-kecil, itu yang tidak mengganggu dalam pikirannya.

GS : Ada anak yang menggambar dirinya tidak diberi tangan padahal sebenarnya dia tahu bahwa dia punya tangan, itu kenapa?

VA : Ada anak yang beberapa anggota tubuhnya dihilangkan, bukan hanya tangan mungkin bagian tubuhnya juga tidak ada, dan anak yang seperti itu adalah anak karena korban kekerasan seksual. Jadi agian itu adalah bagian yang dia tidak mau hadapi, bagian yang menyakitkan hatinya.

Secara tidak sadar dia mau membuang.
GS : Dalam hal menggambar, apakah anak harus menggambar untuk mengetahui perasaannya dan apakah harus menggambar objek manusia?

VA : Tidak. Dia juga bisa menggambar tentang pohon, tentang rumah di mana dia tinggal. Biasanya "Coba gambarkan keadaan keluargamu" dia bisa menggambar keluarga sedang berbuat apa, saya pernah enyuruh seorang anak menggambar sesuatu di keluargamu.

Dia bisa menggambar sedang duduk di situ, di lantai menonton TV, mamanya tidak ada dan dia sendirian, saya bertanya, "Apa maksudmu di sini?" Kemudian dia langsung menceritakan, dia selalu merasa sendirian saat berada di rumah karena mamanya sibuk dengan berbagai hal dan papanya tidak ada. Lalu saya tanyakan, "Apa yang kamu inginkan?" Dia menginginkan gambar di sebelahnya ada papanya, nonton TV bersama dia. Dari gambaran itu mengungkapkan apa yang ada di dalam dirinya.
GS : Jadi sebenarnya melalui gambaran sederhana itu, kita tidak memperhatikan nilai seninya tapi maknanya, maka ada banyak hal yang bisa mengungkapkan perasaan anak.

VA : Betul.

GS : Kalau pohon itu tidak secara langsung memproyeksikan diri anak. Kalau pohon kita bisa menerjemahkannya seperti apa, Bu?

VA : Kalau pohon, umpamakanlah dirimu seperti ada buahnya dan bagi anak mungkin pohon yang tidak ada apa-apanya, jadi pohonnya kosong menunjukkan tidak ada apa-apanya tapi kalau dia bisa mengunkapkan pohon yang ada banyak buahnya, itu mengungkapkan bahwa ada banyak hal yang ada di dalam dirinya yang bisa diberikan kepada orang.

GS : Selain menggambar, memang tidak semua anak mempunyai bakat menggambar atau senang menggambar. Selain menggambar, karya apa yang sebenarnya bisa kita harapkan untuk anak itu mengungkapkan perasaannya?

VA : Yang bisa mengungkapkan perasaannya, bisa menggunakan malam(lilin) atau pledo. Jadi dia bisa membentuk sesuatu dan itu mengungkapkan apa yang ada di dalam dirinya dalam bentuk-bentuk itu.

GS : Kalau gambar hanya dua dimensi, tapi kalau pledo atau sejenis malam atau tepung yang sudah diolah dan sebagainya, apa yang bisa kita harapkan dari ini?

VA : Jadi dia bisa membentuk dan bentuk itu tidak harus berbentuk apa. Jadi buatlah sesuatu, seandainya anak ini tukang marah, bentuklah sesuatu yang menunjukkan dia marah, jadi dia bisa membenuk "inilah marah", lalu buatlah satu bentuk orang yang membuat dia marah, yang dia anggap selalu mengganggu dia.

Jadi apa itu dan tidak selalu berbentuk orang, itu menunjukkan emosinya, menunjukkan apa yang ada di dalam dirinya melalui karya-karya itu.
GS : Dalam hal itu kita juga tidak melihat nilai seninya seperti menggambar tadi.

VA : Tidak, mungkin hanya berbentuk gumpalan.

GS : jadi hanya bentuk-bentuk yang menurut dia sudah mengungkapkan hal itu. Dan kita tanyakan kepada dia apa maksudnya?

VS : Betul. Apa maksudnya? Mungkin ini menunjukkan kemarahannya, ini monsternya.

GS : Bagaimana memperkenalkan kepada anak bahwa melalui pledo ini anak bisa mengungkapkan perasaan hatinya?

VA : Dengan sendirinya, buatlah bentuk dirimu sendiri waktu bayi, seandainya anak ini sudah berumur 10 tahun tapi dia selalu merasa ditolak oleh orang tuanya, buatlah dirimu seperti bayi. Dia aan membentuk-bentuk dirinya kecil, lalu kita tanya apa yang terjadi dengan bayi ini, mungkin dia akan menceritakan kalau bayi ini tidak ada yang menyayangi, tidak ada yang mau, lalu bentuklah dirimu sendiri tentang sesuatu yang lain, apa yang mengganggu dia.

GS : Ada anak yang setelah membentuk bayi, lalu dirusakkan lagi.

VA : Ini menunjukkan sesuatu bahwa dia ini sebetulnya merasa gemas, marah dan ini ditunjukkan di situ.

GS : Jadi anak juga boleh membanting-banting pledonya itu.

VA : Dan itu tidak apa-apa, mengungkapkan apa yang ada di dalam dirinya.

GS : Tadi kita sudah perbincangkan melalui gambar atau melalui pledo yang berbentuk itu, apakah ada karya anak dalam bentuk-bentuk yang lain yang bisa mengungkapkan perasaan isi hati anak itu?

VA : Juga bisa menggunakan lambang-lambang, seperti orang dewasa ada lambang salib ada lambang-lambang tentang Tuhan Yesus, dia juga bisa melambangkan apa itu salib, dia menggunakan lambang tenang sesuatu, mungkin dengan binatang yang menakutkan.

GS : Untuk itu, apakah kita yang menyediakan atau anak yang mencari sendiri?

VA : Kita sudah sediakan di situ dan kita menyuruh mereka memilih dan suruh meletakkan di mana.

GS : Maksudnya meletakkan ini bagaimana?

VA : Jadi kita menyuruhnya misalnya anak mengalami trauma karena orang tua berpisah dan dia sekarang baru pindah rumah bersama mamanya dan papanya di rumah yang lain. Coba letakkan ini lambang umah, rumahmu yang baru dan lambang siapa yang tinggal di sana mungkin itu orang-orang kecil.

Lalu lambang tentang papanya yang berkunjung, jadi lambang itu menunjukkan pergumulan di dalam hatinya.
GS : Jadi bukan dalam bentuk yang nyata tapi lewat lambang-lambang tapi itu mencerminkan siapa yang dilambangkan.

VA : Ya, siapa yang dilambangkan dan pergumulan dia juga kelihatan di sana.

GS : Biasanya kalau terjadi perpisahan orang tua, apa yang dilambangkan oleh anak?

VA : Mungkin papa yang tidak hadir di situ, dan untuk Papa tetap dilambangkan dengan orang tapi mungkin untuk tempat tinggal papa dia menggunakan batu saja. Jadi sesuatu yang tidak bisa dia kunungi dan tidak bisa dia tinggali.

GS : Dan biasanya dengan permainan lambang-lambang ini, ibu bisa menangkap maksud anak itu?

VA : Jadi dari sana kita bisa melihat apa yang terjadi dan kita tanyai, "Apa yang terjadi di sini?" dan dia menginginkan papanya kembali tapi di satu pihak tidak bisa sehingga terjadi perpisahn.

Dan itu menceritakan.
GS : Kemudian kita selalu bertanya apa yang diharapkan?

VA : Ya, apa yang kamu pikirkan, apa yang terjadi di sini yang dilambangkan, apa intinya. Kita sendiri tidak bisa mengartikan dan si anak harus mengartikan sendiri.

GS : Ya benar. Karena kadang-kadang yang dipilih anak adalah benda-benda yang kering seperti ranting, daun kering lalu batu yang keras dan itu mencerminkan sesuatu.

VA : Jadi kita harus tanya dia, "Apa itu artinya?" Seperti sekarang ini dia menggunakan lambang gunting, apa itu artinya? Dia mengatakan, kalau dia melakukan sesuatu, orang tuanya selalu mengunting semua usahanya dan rasanya dia kehilangan semangat karena usahanya digunting terus, dia menggunakan lambang itu.

GS : Selain itu apakah ada bentuk permainan yang lain, Bu?

VA : Ada permainan yang lainnya misalkan menggunakan games.

GS : Apa yang dimaksud games?

VA : Games itu seperti menggunakan kartu, kartu apa saja. Jadi sambil bermain kartu anak itu ditanya-tanyai, sehingga dia nanti akan bercerita. Jadi anak itu tidak bisa langsung untuk menceritaan keadaannya karena anak tidak bisa langsung diajak berdiskusi seperti ini.

Pikirannya itu dengan bermain games.
GS : Bentuk kartu seperti apa yang biasa digunakan?

VA : Macam-macam. Kartu yang juga biasa kita gunakan forty-one, atau ada kartu yang kuno, akan lebih baik kalau kita menggunakan kartu-kartu yang tidak ada menang atau kalahnya.

GS : Karena memang dalam permainan kartu ini tidak dicari menang atau kalahnya, hanya mengungkapkan perasaan saja.

VA : Betul. Ada juga kartu-kartu perasaan yang dipakai, jadi ada kartu-kartu yang menggambarkan perasaan-perasaan, jadi kita bisa mengatakan, "Pilihlah perasaanmu hari ini" dan dia menunjukkan perasaan menangis, kemudian kita bertanya, "Kenapa kamu mengambil perasaan yang menangis ini?"

GS : Dan memang yang diungkapkan adalah perasaannya. Melalui kartu-kartu itu dia menunjukkan isi hatinya. Tentang perasaan orang tuanya terhadap dia seperti apa.

VA : Biasanya saya mengatakan, "Pilihlah kartu yang menunjukkan perasaanmu hari ini". Dan dia akan memilihnya.

GS : Kalau tadi Ibu katakan menggunakan kartu forty-one, bagaimana kita bisa menggunakannya karena kartu ini sudah banyak di Indonesia.

VA : Kartu itu saya gunakan untuk anak yang sudah agak besar, jadi maksudnya sambil kita bermain, kita juga bercerita. Dengan kata lain dia konsentrasinya bukan pada cerita untuk mengungkapkan erasaan hatinya, tapi bermain.

Sehingga sepertinya dibelokkan supaya tidak langsung seperti wawancara.
GS : Jadi kita sebagai orang dewasa mesti tahu bahwa tujuan bermain ini bukan untuk menang, sehingga kita juga perlu mengalah supaya anak senang dan mau terus bermain, karena biasanya kalau dia kalah dia tidak mau bermain lagi.

VA : Betul.

GS : Ada anak yang aktif sekali. Jadi di dalam ruangan, dia suka menendang-nendang dan bermain bola, apakah itu kita perkenankan?

VA : Kalau di ruang konseling yang banyak kacanya itu tidak mungkin, jadi kita tidak berlakukan itu.

GS : Tapi kalau sekadar lompat-lompat tidak apa-apa, asal tidak merusakkan barang-barang?

VA : Betul.

GS : Betul, itu juga bentuk menyalurkan energi dia.

VA : Tapi harus ada batasannya.

GS : Jadi ada pengawasan. Sekarang Ibu sebagai Ibu kandung dari anak-anak Ibu, pengalaman Ibu dengan anak-anak bagaimana?

VA : Anak-anak saya suka membaca jadi saya menggunakan buku-buku. Dulu saya suka mengumpulkan buku untuk menceritakan kepada anak, apa yang ingin saya ajarkan kepada mereka lalu mereka bisa meneritakan diri mereka sendiri melalui karakter-karakter dalam buku itu.

GS : Sekaligus menimbulkan minat baca anak.

VA : Ya.

GS : Apakah tanggapan mereka cukup positif?

VA : Mereka sangat senang sekali dengan buku-buku itu. Sehingga buku untuk anak-anak menjadi banyak sekali dan tidak bosan-bosan.

GS : Tapi itu bisa disimpan. Jadi semacam perpustakaan kecil buat anak-anak sendiri. Apakah Ibu yang bercerita?

VA : Saya yang bercerita untuk mengajarkan sesuatu dan mereka sendiri juga suka untuk membaca buku, dan mereka juga bisa bermain-main yaitu bermain dengan menggunakan lambang-lambang dan di sitlah mereka bermain.

Jadi lambang juga saya gunakan.
GS : Ada anak yang bermain menggunakan balok-balok jadi membentuk rumah-rumahan atau bangunan tertentu, apakah ini bisa mengungkapkan perasaannya juga?

VA : Mungkin bisa dengan balok-balok tertentu, kalau seandainya dia membuat "tower" (menara) seperti yang terjadi pada 11 September, lalu menaranya ini diruntuhkan. Itu menunjukkan traumanya sat melihat di TV bahwa ada 2 menara yang runtuh, mungkin dia akan membangun menara dan meruntuhkannya.

Membangun menara lalu diruntuhkan lagi. Apa yang dia buat itu menunjukkan traumanya.
GS : Atau membuat mobil-mobilan lalu ditabrakkan.

VA : Itu juga bisa, dia trauma melihat tabrakan, atau dia juga pernah mengalami, itu juga bisa seperti itu.

GS : Kembali ke soal bercerita, kalau bercerita dengan anak sebaiknya memakai buku atau langsung kita bercerita kepada anak?

VA : Kalau kita langsung menceritakan sesuatu kepada anak maka orang tua harus pandai bercerita. Tapi kalau ada buku, paling tidak gambarnya itu akan membuat anak menarik. Dan dalam bercerita, alau orang tua pandai bercerita, sebaiknya bercerita tentang masalah yang dihadapi oleh anak dan itu dibuat sebuah cerita.

Misalkan masalah tentang anak yang merasa tidak dicintai karena adik datang. Mungkin orang tua bisa bercerita dengan menggunakan binatang, ada binatang kecil datang tapi mamanya masih mencintai binatang yang besar dan juga masih mencintai binatang yang kecil. Jadi dengan cerita itu menampilkan bahwa mama masih mengasihi yang besar dan juga yang kecil. Jadi cerita yang dibuat khusus untuk anak itu.
GS : Menggambarkan sesuatu tapi tidak secara langsung.

VA : Ya.

GS : Melalui cerita apakah kita bisa mengajarkan anak berdisiplin terhadap sesuatu. Secara konkretnya seperti ini, ada anak kalau malam suka mengompol, dia selalu ngompol dan sering ngompol. Lalu ibunya ingin mengajari anaknya supaya bisa ke kamar kecil. Untuk hal ini apakah bisa menggunakan cerita?

VA : Mungkin untuk hal itu bisa menggunakan cara yang lain. Seperti menggunakan permainan yang mengatakan bahwa, "Ayo kita mendisiplinkan" bukan anak itu tapi menggunakan simbol sebagai si ngopol.

Jadi bukan anak. Dan itu dibuat bermain, ini ada latihannya, "Ayo kita melatih si ngompol ini, supaya tidak ngompol." Agar tidak mengompol, itu harus ada ritualnya, "Bagaimana supaya tidak terjadi," dan kalau akhirnya tidak ngompol ada "chart"nya mendapat bintang-bintang. Jadi akhirnya bermain, sambil bermain sambil melatih.
GS : Karena ibunya berkata, "Kalau dimarahi maka dia semakin mengompol dan malah sering mengompol."

VA : Karena dia takut.

GS : Iya. Jadi lewat permainan ya, Bu?

VA : Lewat permainan "Ayo kita melatih si ngompol" jadi si ngompol dibuat nama yang menarik.

GS : Dan yang penting ada penghargaan, yang Ibu katakan tadi ada chart yang bisa ditandai, jadi kalau dia tidak ngompol maka dia diberikan sesuatu.

VA : Ya menggunakan bintang-bintang. Kalau dalam satu minggu hanya menghasilkan satu, kita sudah bersyukur karena nanti akan bertambah lagi dan bertambah lagi.

GS : Mungkin tuntutannya tidak terlalu berat.

VA : Harus dimulai dengan hal-hal yang kecil. Jadi mulai dengan satu saja sudah bagus.

GS : Juga untuk mendisiplin yang lain, misalnya makan dan sebagainya itu juga bisa dilakukan begitu?

VA : Bisa dilakukan. Jadi menggunakan permainan yang ada nama-namanya. Juga untuk anak yang tukang marah, kita bisa menggunakan gambaran monster yang sedang marah dan sebagainya dan mungkin dibri nama si marah.

Jadi sewaktu malam kita memasukkan si marah ini ke dalam dos, sebelum tidur si marah dimasukkan ke situ lalu ditutup, berarti marah itu bisa dikendalikan. Kalau dia mau marah, permainan ini ditunjukkan lagi, jadi seperti lampu merah, hati-hati ini marahnya mau keluar dan dimasuk-masukkan lagi.
GS : Karena biasanya marahnya itu terjadi pada siang hari, pulang sekolah atau mau berangkat ke sekolah lalu anak marah-marah terus, Bu. Kalau malam menjelang tidur biasanya jarang ia marah-marah.

VA : Ada jamnya, diberitahu kepada si marahnya, kalau pada jam tertentu tidak boleh keluar, waktu itu harus ditentukan yang disetujui oleh orang tua dan anak. Jadi dilatih, mungkin si marah kelarnya malam saja, yang biasanya tidak marah, malah disuruh marah, dan kalau siang hari si marah keluar, tapi dilatih untuk tidak keluar.

Sehingga kemarahannya dikendalikan, jadi ada waktu untuk marah dan ada waktu untuk tidak marah. Akhirnya anak belajar ternyata kemarahannya itu bisa dikendalikan, bukannya keluar dengan sendirinya tapi bisa dikendalikan, ada waktu untuk marah ada waktu tidak marah, akhirnya dia bisa belajar tidak marah.
GS : Jadi mendidik anak untuk mengendalikan emosinya, tidak perlu kemarahannya meledak-ledak, karena anak ini agak keras suka memukul, suka membanting. Jadi orang tuanya agak sulit dan mungkin dengan cerita rasanya juga kurang berhasil. Mungkin dengan perbincangan ini orang tua akan sedikit tertolong dan mengajarkan anak untuk mendisiplin atau menguasai emosinya.

VA : Betul.

GS : Ada anak yang juga suka bermain di pasir. Jadi dia menggunakan pasir, kalau diajak ke pantai atau di rumahnya ada tumpukan pasir bekas bangunan, dia selalu bermain di sana.

VA : Itu baik sekali karena dengan pasir, dia bisa membentuk banyak hal. Di situ dia bisa membuat bukit, di situ dia bisa membuat rumah-rumahan dan apa saja. Di situ ada lambang-lambang dan diabisa taruh di sana.

Pasir sangat berguna sekali untuk terapi anak.
GS : Tapi yang penting orang tua juga harus memberikan perhatian, tentang apa yang telah dibuat oleh anak.

VA : Maka dari itu orang tua perlu mendampingi dan melihat apa yang anak lakukan, setelah itu kita tanya, "Apa yang ada di sini, saya melihat kamu meletakkan benda ini di sini dan kamu menyembuyikan sesuatu di sini," mungkin sesuatu yang dia takuti itu yang dia sembunyikan, sesuatu yang dia tidak mau hadapi itulah yang dia sembunyikan.

GS : Jadi sebenarnya ada banyak karya anak yang mencerminkan diri anak itu sendiri, Bu?

VA : Betul. Dengan permainan itu menunjukkan siapa dirinya.

GS : Hanya kadang-kadang kita sebagai orang tua itu tidak peka dan kurang tanggap terhadap apa yang anak dilakukan anak ini.

VA : Betul.

GS : Bahkan kecenderungannya kita mengatakan, "Mengapa gambarnya seperti itu, mengapa patungnya juga seperti itu." Sehingga anak menjadi malas untuk mengerjakannya.

VA : Ya. Jadi ini bukan karya seni seperti biasanya tapi karya untuk menunjukkan siapa dirinya.

GS : Tuhan Yesus sendiri juga sering bercerita kalau kita baca di dalam kitab Injil, Ia menggunakan cerita-cerita untuk menyampaikan ajaran-ajaranNya. Apakah pola seperti itu bisa kita gunakan?

VA : Sangat bagus sekali kalau kita menggunakan cerita, bahkan kalau zaman dahulu belum ada permainan seperti sekarang. Kalau kita lihat di dalam Alkitab, orang tua zaman dahulu selalu menggunaan cerita untuk menyampaikan sesuatu.

GS : Jadi cerita dari generasi ke generasi yang terus-menerus dilakukan.

VA : Betul.

GS : Itu bisa memberikan kesan yang dalam di dalam diri anak?

VA : Betul. Jadi anak akan mengingat cerita itu.

GS : Kita sebagai orang dewasa perlu belajar bercerita. Kita terlalu sering mendengarkan cerita tapi kurang mau bercerita kepada anak.

VA : Ya.

GS Ibu, sebelum mengakhiri perbincangan ini, apakah ada ayat Firman Tuhan yang Ibu ingin sampaikan?

VA : Saya baca di dalam Markus 10:14, "Sabda Tuhan Yesus, 'Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan llah'."

GS : Maksudnya bagaimana?

VA : Maksudnya adalah bahwa Yesus ini sangat senang kalau anak-anak datang kepada Yesus dan kalau anak-anak datang kepada Yesus itu bukan sesuatu yang merepotkan. Karena orang yang seperti, ana-anak itulah yang empunya kerajaan Allah.

Jadi bukan orang yang seperti anak-anak atau kekanak-kanakan tapi ketulusannya seperti anak dan hatinya terbuka seperti anak-anak, itulah yang Tuhan mau.
GS : Kadang-kadang kita terlalu sibuk untuk melayani anak-anak, untuk mengetahui keluh kesah mereka dan perasaan mereka. Dan Tuhan Yesus sudah sangat sibuk sekali dan di tengah-tengah kesibukanNya masih menyempatkan diri, membiarkan diriNya didatangi oleh anak-anak.

VA : Dan waktu itu murid-murid Yesus berkata, "Jangan" tapi Tuhan Yesus menjawab, "Biarkanlah, karena anak-anak itu sangat berharga," Tuhan Yesus menyayangi anak-anak juga.

GS : Terima kasih, Ibu Vivian untuk perbincangan kali ini, saya percaya dengan perbincangan kita ini, kita akan lebih memberikan perhatian kepada anak-anak kita. Pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Ibu Pdt. Dr. Vivian Andriani Soesilo dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengenal Anak Melalui Karyanya". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



47. Belajar Kepemimpinan Musa


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T249A (File MP3 T249A)


Abstrak:

Di dalam keluarga yang tidak sehat dimana relasi suami-istri buruk, masalah anak yang sekecil apa pun berpotensi untuk berkembang akibat tidak adanya kerangka yang dapat menahan lajunya perkembangan masalah. Itu sebabnya peran pemimpin sangatlah penting. Musa harus memimpin umat Israel didalam kondisi kehidupan yang sangat sulit dan untuk kurun yang panjang. Ada baiknya kita menimba pelajaran dari pengalamannya ini.


Ringkasan:

Di dalam keluarga yang tidak sehat di mana relasi suami-istri buruk, masalah anak yang sekecil apa pun berpotensi untuk berkembang akibat tidak adanya kerangka yang dapat menahan lajunya perkembangan masalah. Itu sebabnya peran pemimpin sangatlah penting. Di setiap organisasi akan timbul masalah dan di setiap organisasi akan ada anggotanya yang memiliki keunikan dan potensi masalahnya, namun jika pemimpin berfungsi dengan efektif, maka masalah akan dapat ditangani dengan segera dan sehat. Musa harus memimpin umat Israel di dalam kondisi kehidupan yang sangat sulit dan untuk kurun yang panjang. Ada baiknya kita menimba pelajaran dari pengalamannya ini.


Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Belajar Kepemimpinan Musa". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, sebagian besar kita pasti sudah mengenal Musa. Tokoh yang besar yang memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir menuju ke tanah perjanjian. Tapi kalau kita kembali ke Alkitab kita melihat bahwa banyak lika-liku kehidupan yang harus ditempuh oleh Musa dan tentunya banyak pelajaran yang bisa kita petik dari Musa sebagai seorang pemimpin. Apa yang Pak Paul mau sampaikan dari perbincangan kali ini?

PG : Pak Gunawan, kalau kita menengok ke kiri dan ke kanan, dan melihat lembaga-lembaga pelayanan atau organisasi pelayanan seperti di gereja, saya kira kita mesti mengakui bahwa terlalu banyakmasalah yang timbul di antara anak-anak Tuhan dalam bekerjasama.

Pertanyaannya adalah mengapa sampai seperti itu? Saya kira salah satu kuncinya adalah kepemimpinan yang efektif. Itu sebabnya saya kira kita perlu menyoroti figur atau sosok Musa sebagai seorang pemimpin karena kepemimpinan Musa itu sebetulnya sebuah kepemimpinan yang sebetulnya sangat sulit alias tidak ideal. Bayangkan dia harus memimpin anak-anak dan orang tua dan itu lebih dari 1.000.000 orang, dari tanah Mesir melewati padang gurun selama 40 tahun. Itu suatu kepemimpinan yang sangat tidak ideal, bahkan memimpin sebuah bangsa di dalam suatu negara yang permanen pun tidak mudah, apalagi ini memimpin sebuah bangsa di dalam perjalanan menuju ke tanah Kanaan, tanah yang dijanjikan Tuhan. Di tengah-tengah keminiman makanan, minuman, di tengah-tengah terik matahari dan dinginnya gurun pasir di waktu malam, di tengah-tengah ketiadaan rumah karena mereka harus tinggal dalam tenda-tenda dan kurang lebih 1.000.000 orang hidup bersama-sama. Jadi bisa dibayangkan betapa susahnya memimpin dalam kondisi Musa ini. Tapi kita bisa berkata atas anugerah Tuhan, Musa berhasil memimpin Israel selama 40 tahun. Untuk inilah kita sekarang mengadakan acara ini supaya kita bisa menimba apa yang dilakukan Musa sehingga nantinya bisa kita terapkan di dalam pelayanan kita.
GS : Pak Paul saya masih ingat, bangsa yang dipimpin ini bukan bangsa yang mudah untuk diatur.

PG : Betul sekali dan Firman Tuhan sendiri berkata bangsa ini adalah bangsa yang tegar tengkuk, keras kepala. Bangsa yang memang Tuhan katakan kecenderungannya adalah memberontak, tidak mudah tnduk kepada kepemimpinan seseorang bahkan kepemimpinan Tuhan sekali pun.

Jadi benar-benar Musa harus menangani orang-orang yang memang sulit sekali untuk diatur. Dan satu hal lagi adalah pada waktu mereka keluar dari Mesir mereka baru keluar dari perbudakan, dengan kata lain mereka bukanlah orang yang terbiasa hidup dengan baik, terdidik, hidup dengan nyaman, belajar kesantunan dan sebagainya. Kita membicarakan ratusan ribu budak beserta keluarga mereka. Orang-orang yang biasa tertindas, tertekan tidak mudah sekali untuk menerima instruksi atau tidak mudah menerima perintah. Maka kecenderungan mereka yang pertamanya adalah memberontak, tidak mau menerima kepemimpinan siapa pun. Di saat inilah Tuhan menempatkan seorang Musa untuk memimpin mereka.
GS : Memang pada awalnya kita membaca di Alkitab bahwa Musa ini mencoba menghindar dari panggilan Tuhan. Jadi dia mencoba, kalau bisa bukan dia, tapi nyatanya Tuhan tetap memilih dia dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Sebetulnya Tuhan sudah tahu siapakah orang yang paling tepat yang Tuhan akan pakai untuk melakukan tugas yang maha besar ini, dan dalam perencanaan Tuhan Musalah orangnya. Nanti kita akan ihat sebenarnya apa yang harus dimiliki dan apa yang harus terjadi sebelum seseorang bisa memimpin dengan baik.

GS : Dan kita awali dengan apa?

PG : Ada beberapa, Pak Gunawan. Yang pertama adalah mesti adanya panggilan, Tuhan jelas memanggil Musa pada Firman Tuhan di kitab Keluaran 3:10, Tuhan berkata "Jadi sekarang, pergilah, Aku mengtus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir."

Disini kita bisa melihat bahwa kepemimpinan Musa berawal dari panggilan Tuhan. Dia tidak berkata "Saya mau memimpin" dan dia langsung melakukannya tapi kepemimpinan Musa berawal dari panggilanNya. Kita perlu kontraskan dengan 40 tahun sebelumnya, saat itu Musa juga berusaha untuk melakukan sesuatu bagi bangsanya namun tanpa panggilan Tuhan, dia berinisiatif sendiri hendak menjadi seorang pemimpin, waktu dia melihat seorang Israel sedang dianiaya oleh seorang Mesir, dia marah kemudian langsung membunuh orang Mesir tersebut. Kemudian pada waktu yang berbeda dia melihat dua orang Israel sedang bertikai dan dia mencoba melerai, tiba-tiba dua orang itu marah dan berkata, "Siapa yang menunjuk engkau sebagai pemimpin bagi kami." Karena Musa telah diketahui membunuh seorang Mesir dan dicari oleh Firaun maka dia melarikan diri. Di sini kita melihat kalau kita tanpa panggilan Tuhan menduduki tempat, berambisi menjadi pemimpin pada akhirnya kekacauanlah yang kita akan tuai, itu yang terjadi pada Musa karena dia tidak menunggu waktu Tuhan maka akhirnya kekacauan yang harus dituainya, dia ditolak oleh bangsanya dan dia harus lari. Tapi dalam rencana Tuhan memang kepergiannya ke Midian menjadi tempat pendidikan bagi Musa. Intinya adalah Musa mendapatkan panggilan barulah menjadi pemimpin. Kadang kita berpikir ini adalah kesempatan, kalau ada kesempatan berarti ini dari Tuhan tapi itu belum tentu. Musa tadinya berpikir demikian, "Ini adalah kesempatan, saya bisa menunjukkan kepemimpinan saya," tapi bukan itu, jadi memang mesti ada kejelasan bahwa Tuhan memanggil. Sekali lagi kesempatan tidak selalu identik dengan waktu Tuhan dan waktu Tuhanlah yang mesti kita yakini dan tunggu.
GS : Menjadi kesulitan tersendiri, kalau kita mengalaminya pada zaman ini. Bagaimana seseorang bisa dengan jelas dan sadar kalau Tuhan memanggil dia untuk satu jabatan tertentu, Pak Paul?

PG : Setidak-tidaknya kita tidak boleh tergesa-gesa, kalau memang ada kesempatan yang terbuka untuk kita menjadi seorang pemimpin, kita tidak boleh langsung berkata "Ya", tapi kita mesti datangkepada Tuhan, kita benar-benar bertanya dan meminta kehendak Tuhan, misalkan dalam satu kurun tertentu kita merasakan bahwa inilah tuntunan Tuhan, dalam takut akan Tuhan kita meminta kehendakNya.

Kedua, kita bisa datang kepada orang yang lebih rohani, yang lebih dewasa dari pada kita dan kita juga meminta nasehat mereka, kita membaca Firman Tuhan pula, kita juga menantikan Firman Tuhan bersabda kepada kita. Dan dari semua itu kita nanti perlahan-lahan melihat apakah ini sesuatu yang datang dari Tuhan. Seringkali, Pak Gunawan, kalau ini memang dari Tuhan yang akan muncul di benak kita adalah kita tidak sanggup sebab pekerjaan ini terlalu besar, justru kalau kita berkata, "Saya pasti sanggup, ini mudah dan sebagainya," kita mesti berhati-hati sebab bisa jadi itu justru bukan dari Tuhan. Kalau dari Tuhan pada umumnya kita akan merasakan kegentaran yang besar sekali, karena kita merasa kita tidak sanggup melakukannya. Di dalam ketidakberdayaan inilah kita datang kepada Tuhan dan kalau dalam pergumulan itu kita mendapatkan kekuatan Tuhan, peneguhan dari Tuhan dan dari anakNya yang lain maka barulah kita berkata "Tuhan saya yakini ini berasal dariMu, maka saya bersedia." Kalau dalam perjalanan "Ini salah! Saya salah menafsir kehendak Tuhan, Tuhan hentikanlah, ciptakanlah situasi, halangilah langkah saya supaya saya terhenti." Kalau saya berdoa seperti itu dan dalam jiwa yang merendah memohon pimpinan Tuhan, saya percaya Tuhan akan menjawab dan menunjukkan kehendakNya sebab Tuhan tidak mempunyai kepentingan sedikit pun menyesatkan kita, kepentingan Tuhan adalah menuntun kita dijalanNya supaya kita bisa hidup sesuai dengan kehendakNya. Maka sekali lagi kalau kita sudah menjalaninya, berdoa seperti itu, maka kita terus maju dan kita lakukan dengan ketaatan.
GS : Peranan keluarga dalam memberikan kepastian, juga sangat penting, Pak Paul?

PG : Ini point yang penting sekali Pak Gunawan, jadi jangan sampai melakukan sesuatu namun keluarga kita belum siap. Sebab kalau keluarga kita belum siap maka akan menjadi beban yang menghalang kita untuk melakukan tugas dan kewajiban kita.

GS : Tetapi masalahnya Pak Paul, seringkali di organisasi menuntut keputusan-keputusan yang cepat sedangkan kita memerlukan waktu untuk pergumulan dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira memang kita mesti berani berkata kepada orang yang meminta kita bahwa kita memerlukan waktu dan kita bisa memberikan satu kurun misalkan selama satu bulan supaya kita bisa benar-enar berdoa dan meminta kehendak Tuhan karena kalau memang dari Tuhan, kita tidak perlu takut hal ini akan lepas dari tangan kita atau organisasi ini akan hancur, kalau memang ini sudah dari Tuhan sudah pasti Tuhan memegang kendali penuh atas kehidupan kita dan juga atas masa depan organisasi tersebut.

Jadi kita bisa bersandar dengan tentram pada kedaulatan dan kekuasaan Tuhan.
GS : Pak Paul, selain panggilan yang harus jelas untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, apakah ada hal lain, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah mestinya adanya misi, kita tahu bahwa sewaktu Tuhan memanggil Musa, Tuhan memberinya sebuah tugas yaitu membawa umat Tuhan keluar dari Mesir. Dan di ayat sebelumnya di Keuaran 3:9 Firman Tuhan berkata, "Sekarang seruan orang Israel telah sampai kepada-Ku; juga telah Kulihat, betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka."

Dengan kata lain di sini Tuhan memberikan penjelasan alasan kenapa Tuhan memanggil Musa, alasan ini adalah misinya, tugasnya, amanahnya. Setiap orang yang dipanggil Tuhan mesti menyadari misi yang Tuhan embankan, tanpa misi kepemimpinan menjadi tanpa arah, dalam tugas kepemimpinannya seorang pemimpin harus jelas dengan misinya sehingga dia dapat mengarahkan dan membawa pengikutnya berjalan bersamanya sampai kepada penggenapan misi itu. Malangnya Pak Gunawan, banyak pemimpin yang mulai dengan misi yang jelas namun kemudian berubah santai dan kehilangan misi itu. Maka saya mau mengatakan jikalau seorang pemimpin sudah mulai kehilangan misi yang Tuhan sudah embankan, tidak tahu lagi apa yang mesti diperbuat, kalau sampai itu dialaminya memang ada baiknya dia bertanya, "Apakah ini saatnya saya mengundurkan diri?"
GS : Seringkali di dalam perjalanannya, misi ini menjadi tidak jelas seperti yang Pak Paul katakan. Tetapi dia dipaksakan untuk memimpin karena tidak ada lagi orang yang mau menduduki jabatan itu apalagi didalam kepemimpinan gerejawi yang biasanya orang tidak terlalu berminat dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Di dalam kondisi seperti itu kita mesti melihat kalau sampai tidak ada yang melakukannya apa yang menjadi dampaknya? Seringkali itu menjadi pertimbangan pertama Pak Gunawan, kalau sampai idak ada yang memimpin, dampaknya itu misalkan kebutuhan jemaat akan terabaikan dan sebagainya dan meskipun kita masih tidak begitu jelas dengan misi kita namun karena adanya kebutuhan, sebaiknya kita memang langsung melakukannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada.

Namun kita juga mau bersiap-siap untuk terbuka terhadap pimpinan Tuhan yang lain, berdoa misalkan untuk orang yang nanti Tuhan akan kirim, yang lebih efektif yang nantinya dapat meneruskan pekerjaan kita. Jadi pekerjaan Tuhan harus kita lakukan meskipun saat itu kita merasakan "Rasanya ini bukanlah kemampuan saya, karunia saya tapi memang tidak ada orang lain, kalau kita tidak melakukannya maka dampaknya lebih buruk, merugikan jemaat Tuhan." Dari pada hal itu terjadi, maka kita yang harus sediakan diri, kita lakukan sampai nanti Tuhan mengirimkan orang yang lebih tepat untuk menggantikan kita.
GS : Biasanya misi sudah ditentukan oleh orang yang ada di kelompok organisasi itu. Jadi misalnya kita dipanggil untuk menjadi pemimpin di sana, mereka hanya menyodorkan "Misinya seperti ini dan kamu kerjakan".

PG : Dalam hal ini seorang yang dipanggil untuk memimpin, harus menyelaraskan misi yang diterimanya dari Tuhan dan misi yang dimiliki dari organisasi tersebut. Kalau memang tidak ada keselarasa dari awalnya, sebaiknya dia tidak bergabung sebab pada akhirnya sebuah organisasi harus mengikuti langkah pemimpinnya dan sebuah organisasi atau pengikut-pengikut tidak seyogianya memiliki misi tersendiri yang berbeda dari misi yang ada pada diri si pemimpin itu.

Maka perlu kejelasan bahwa misi kedua pihak bisa bersatu, kalau tidak bisa maka sebaiknya tidak bersatu.
GS : Pak Paul, ada faktor lain apa yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang efektif?

PG : Kalau kita lihat dari panggilan Musa dan kepemimpinan Musa, kita juga melihat adanya kesiapan. Tuhan memilih Musa setelah Tuhan mempersiapkannya terlebih dahulu. Misalkan kita bisa melihatpada penggalan pertama hidupnya, Musa digembleng ilmu kenegaraan, peperangan di Mesir, selama 40 tahun menjadi cucu raja, belajar kenegaraan, belajar ilmu perang dan sebagainya.

Penggalan kedua, berikutnya Musa mengalami bentukan karakter yakni kasih dan kesabaran, di padang gurun di Midian Tuhan membentuk karakter Musa sehingga nantinya dia siap untuk menjadi seorang pemimpin. Pada penggalan ketiga, 40 tahun terakhir barulah Tuhan memakai Musa dan seorang yang menjadi pemimpin haruslah melihat dan merasakan tangan Tuhan yang telah mempersiapkannya. Jadi dengan kata lain, kalau kita menengok ke belakang dan berkata, "Saya sama sekali tidak mempunyai persiapan dan rasanya ini bukan saya." Kita mesti dengan jujur berkata kepada orang yang meminta kepada kita, "Bukan saya orangnya, saya tidak memiliki persiapan dari Tuhan untuk tugas ini," dan di pihak yang satunya yakni yang memilih seorang pemimpin juga harus menilai kesiapan orang yang dipilih tersebut, jangan kita mengambil orang yang dengan jelas kita ketahui mereka tidak memiliki persiapan untuk tugas memimpin. Jadi saya simpulkan Pak Gunawan, pada dasarnya kesiapan terdiri dari 2 unsur yaitu kemampuan dan karakter. Ada pemimpin yang mempunyai kemampuan namun tidak memiliki karakter yang dibutuhkan, dia akan merusak orang yang dipimpinnya, sebab dia bisa memimpin, mempunyai kemampuan tapi tidak punya karakter, tidak punya kasih, tidak punya kepedulian, kesabaran, maka dia akan merusakkan orang yang dipimpinnya. Sebaliknya ada orang yang tidak mempunyai kemampuan namun mempunyai karakter yang mendukung maka orang ini akan menimbulkan kekacauan, orangnya baik, mau memimpin, sabar, penuh kasih tapi tidak mampu memimpin, tidak bisa tegas dan akhirnya yang terjadi adalah kekacauan. Maka mesti ada dua unsur, baik itu kemampuan atau karakter untuk menjadikan kita siap melakukan tugas.
GS : Memang idealnya seperti itu Pak Paul, tapi yang seringkali dijumpai justru ada orang yang punya karakter tapi tidak punya kemampuan. Kemudian oleh organisasi itu dipaksakan dengan alasan nanti kalau kamu sudah masuk di dalam organisasi itu, maka dia akan dilatih supaya dia memiliki kemampuan yang mencukupi untuk memimpin organisasi itu, ini bagaimana?

PG : Kalau memang benar-benar tidak ada orang lain dan memang orang inilah yang tersedia mungkin saja dilakukan uji coba, kita berikan kepadanya untuk memimpin dan nanti dievaluasi dalam satu krun apakah orang ini mulai belajar dan mengembangkan kemampuannya, sebab ada orang yang memang belum memiliki kemampuan karena tidak pernah mempunyai kesempatan itu.

Dalam waktu yang singkat kalau dia mulai mengembangkan kemampuan barulah kita mulai berharap bahwa orang ini bisa lanjut melakukan tugas kepemimpinannya. Tapi sekali lagi kita memang mesti berhati-hati, saya masih ingat sekali dengan cerita dari Pdt. Rick Warren dengan gerejanya "Sandle back", dia berkata bahwa untuk satu kurun dia tidak mempunyai pembina remaja meskipun saat itu kelompok remajanya sudah begitu besar, saya tidak tahu persis jumlahnya kurang lebih 1.000 orang, namun untuk jangka waktu yang panjang dia hanya menggunakan tenaga-tenaga yang lebih merupakan relawan bukan tenaga purna waktu, seorang staf pembina. Kenapa? Sebab dia katakan belum menemukan orang yang cocok. Jadi Pdt. Rick Warren sangat menekankan pentingnya orang yang cocok, dia berkata pelayanan itu mempunyai dua syarat untuk bisa dipanggil sebagai pelayan. Harus ada kebutuhan untuk melakukan sesuatu, ada yang harus dikerjakan dan yang kedua adalah mesti ada orangnya. Kalau pun ada kebutuhannya namun tidak ada orangnya maka jangan memaksakan diri atau kebalikannya kalau pun ada orang namun tidak ada kebutuhan maka jangan lakukan apa-apa sebab kita hanya melakukan sesuatu yang tidak ada. Jadi kita hanya bisa melayani kalau ada sebuah kebutuhan tapi intinya adalah dia rela untuk bersikap tegas tidak menetapkan orang yang keliru, sampai dia benar-benar yakin telah menemukan orang yang cocok untuk pelayanan tersebut. Jadi memang ini sebuah faktor yang mesti dipertimbangkan.
GS : Yang lebih sulit adalah orang yang punya kemampuan tapi tidak punya karakter Pak Paul, dan rupanya ini menjadi jauh lebih sulit.

PG : Betul sekali. Sebab pada akhirnya orang ini seringkali malahan lebih menimbulkan kerusakan di dalam orang-orang yang dipimpinnya.

GS : Faktor yang lain apa, Pak Paul?

PG : Mesti ada kesalehan, Pak Gunawan dan ini penting. Apa pun yang Musa lakukan, dia selalu mendasarkan pada Firman Tuhan, misalkan sewaktu dia berhadapan dengan Firaun, dia menyampaikan Firma Tuhan, sewaktu dia harus berhadapan dengan gejolak di tengah bangsanya dia pun kembali kepada Firman Tuhan.

Tidak heran kita melihat ada dwi kepemimpinan yaitu Tuhan dan Musa, Tuhan dan Musa selalu bersama memimpin. Pemimpin yang efektif berjalan di atas rel Firman Tuhan dan bergaul akrab denganNya, sewaktu pemimpin mulai jauh dari Tuhan, dia akan semakin sering memunculkan gagasan-gagasan yang berasal dari ambisi-ambisi pribadi dan kehilangan sentuhan dengan kepentingan Tuhan. Salah satu tandanya adalah dia sulit menerima masukan dari pihak lain karena ambisi pribadilah yang lebih berperan. Maka kita bisa simpulkan makin kita dekat dengan Tuhan maka makin kita tidak menggengam posisi maupun pendapat pribadi dan inilah ciri kesalehan.
GS : Ini menjadi ciri khas tokoh-tokoh atau pemimpin-pemimpin di seluruh Alkitab sampai pada Gideon. Gideon berkata, "Bukan karena dia tapi karena Tuhan," jadi bukan upaya dirinya sendiri, Pak Paul. Tetapi memadukan dan mewujudnyatakan dwi kepemimpinan di dalam suatu organisasi menjadi masalah tersendiri, Pak Paul.

PG : Memang tidak mudah tapi kalau kita bergaul akrab dengan Tuhan maka akan nampak, di Alkitab dikatakan sewaktu Musa turun dari gunung Sinai setelah bergaul dengan Tuhan, bertemu dengan Tuhan wajahnya pun menyinarkan sinar Tuhan.

Jadi memang orang yang bergaul akrab dengan Tuhan akan tampak kesalehannya.
GS : Mungkin masih ada faktor yang terakhir, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah mesti adanya kasih dan ketegasan, berulang kali Musa harus menghadapi pemberontakan bangsanya dan semua dia hadapi dengan kasih dan ketegasan. Dia mengasihi Israel, it sebabnya dia melarang untuk memusnahkan bangsanya namun ia juga tegas kepada mereka yang bersalah, dia tidak ragu menghukum orang yang bersalah.

Pemimpin yang tidak mengasihi pengikutnya akan terus memobilisasi mereka demi kepentingannya, pemimpin yang mengasihi pengikutnya memikirkan kepentingan mereka dan bersedia berkorban bagi mereka. Sebaliknya pemimpin yang tidak mengasihi justru terus meminta pengikutnya untuk berkorban seolah-olah untuk kepentingan bersama namun sebenarnya untuk kepentingan pribadinya, pemimpin juga harus tegas karena tanpa ketegasan dia akan menuai kekacauan. Sekali pemimpin tidak tegas maka pengikut akan mulai kehilangan respek dan arah, sehingga pada akhirnya pengikutnya akan berbuat sekehendak hati.
GS : Pak Paul, ini memang sesuatu yang penting dan Musa pun tidak luput dari kekurangan-kekurangannya itu sebabnya dia juga pernah dinasehati oleh mertuanya dan bahkan ditegur oleh Tuhan karena cara kepemimpinannya. Pada saat-saat seperti itu Pak Paul, apa yang sebetulnya diperlukan oleh seorang pemimpin?

PG : Satu sikap yaitu sikap rendah hati, ini satu kuncinya. Maka Firman Tuhan berkata, "Barang siapa hendak menjadi yang terdahulu, dia harus menjadi yang paling akhir." Dia harus justru melayai, kunci di situ adalah kerendahan hati.

Ini adalah sebuah tugas berat bagi seorang pemimpin untuk mempertahankannya, sebab makin berhasil, makin gemilang kepemimpinan maka makin sombong, makin mudah jatuh kedalam keangkuhan, maka dia harus selalu bergumul, berjuang di hadapan Tuhan supaya dia tetap rendah hati supaya dia bisa mendengarkan teguran Tuhan maupun orang-orang yang Tuhan kirim kepadanya.

GS : Ditengah-tengah krisis kepemimpinan artinya begitu sulitnya mencari seorang pemimpin, tentunya perbincangan kita ini sangat berguna bagi para pendengar kita, Pak Paul, baik di gereja, di organisasi-organisasi Kristen juga di dalam rumah tangga kristen yang membutuhkan suatu kepemimpinan seperti Musa ini. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Belajar Kepemimpinan Musa". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terimakasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



48. Membangun Kerjasama


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T249B (File MP3 T249B)


Abstrak:

Kita akan menyoroti masalah kerjasama dari sudut pengikut atau anggotanya. Pada dasarnya ada beberapa karakteristik yang mesti dimiliki oleh orang yang bersedia masuk ke dalam sebuah organisasi. Untuk dapat bekerja sama diperlukan pemahaman proses terjadinya kerja sama yang antara lain akan dibahas di dalam pembahasan ini.


Ringkasan:

Sebelum ini kita telah membahas tentang kepemimpinan, sekarang kita akan menyoroti masalah ini dari sudut pengikut atau anggotanya. Pada dasarnya ada dua karakteristik yang mesti dimiliki oleh orang yang bersedia masuk ke dalam sebuah organisasi:

  1. Berinisiatif
    Saya kira hampir semua pemimpin yang efektif menghendaki bawahannya untuk bersikap aktif. Sebab, jika mereka tidak berinisiatif, itu berarti semua beban kerja akan jatuh pada pundak si pemimpin. Jadi, seorang pemimpin yang efektif berkepentingan melatih dan memberi ruang gerak kepada bawahannya untuk berinisiatif. Pemimpin yang efektif juga menginginkan anggotanya untuk berinisiatif sebab ia tahu bahwa idenya sendiri tidak akan cukup untuk menjalankan dan mengembangkan roda organisasinya. Itu sebabnya ia berharap pada masukan bawahannya untuk memberinya ide yang baik.
  2. Arif
    Ada batas yang tipis antara berinisiatif dan dominan. Orang yang berinisiatif pada umumnya mempunyai kecenderungan untuk menjadi dominan; sebaliknya, orang yang tidak berinisiatif cenderung pasif dan bergantung. Hampir semua pemimpin menghendaki bawahannya untuk berinisiatif tetapi tidak dominan. Jadi, penting bagi bawahan untuk menyadari fungsi dan batasnya. Fungsinya adalah memberi masukan; batasnya adalah menyerahkan keputusan akhir kepada atasannya. Inilah yang saya maksud dengan arif: tahu kapan berkata, namun tahu kapan untuk diam!

Untuk dapat bekerja sama diperlukan pemahaman proses terjadinya kerja sama. Berikut akan saya paparkan tahapan kerja sama yang umumnya terjadi.

  1. Tahap Asimilasi
    Pada waktu seseorang masuk ke dalam sebuah organisasi, ia diharapkan untuk berasimilisasi. Ini berarti ia diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan tuntutan serta nilai yang dianut dalam organsisasi itu. Jika dari awal ia sudah menunjukkan sikap tidak suka atau tidak respek terhadap nilai dan kondisi di dalam organisasi itu, dapat dipastikan kerja sama tidak akan terjadi dan masa baktinya pun akan cepat berakhir. Pada umumnya di tahap asimilisasi ini kerja sama berjalan baik oleh karena sebagai anggota baru, ia hanya menyerap, tanpa memberi reaksi yang berarti. Sudah tentu karakteristik yang dibutuhkan di sini adalah kerendahan hati untuk belajar. Jika dari awal kita sudah datang dengan sikap menggurui, niscaya kita akan menjumpai konflik. Pada tahap awal ini kita mesti menyadari bahwa peran kita adalah sebagai perpanjangan tangan dari apa yang telah ada. Singkat kata, kita hanyalah menerima dan meneruskan apa yang sudah digariskan.
  2. Tahap Akomodasi
    Setelah ia diterima masuk dan menjadi bagian dari organisasi, barulah ia dapat bersikap lebih independen dalam mengeluarkan gagasannya. Sudah tentu pada tahap ini akan ada orang yang menolak namun akan ada pula yang menyambut gagasannya. Organisasi yang sehat akan berupaya untuk mengakomodasi masukan-masukan baru yang diterimanya. Sebaliknya, organisasi yang tidak sehat enggan mengakomodosasi kepentingan dan masukan anggotanya. Pada tahap ini kerja sama mulai menemui kerikil namun agar organisasi tetap dinamis dan relevan, diperlukan kesediaan untuk mengakomodasi. Karakteristik yang dibutuhkan di sini adalah kepekaan dan kelembutan. Kendati sekarang kita sudah mulai menjadi bagian dari organisasi dan dapat memberi sumbangsih yang berarti, kita tetap harus menyampaikan usulan dengan tepat dan untuk ini diperlukan kepekaan untuk melihat kesiapan dan dinamika yang ada di dalam organisasi itu. Tanpa kepekaan, masukan kita kendati baik mudah disalahpahami. Kita pun mesti menyampaikan usulan dengan lembut sebab kelembutan mencerminkan respek dan ketundukan. Sekali lagi, sebaik apa pun saran yang kita hendak berikan, bila disampaikan dengan kasar, itu akan menyakiti hati orang. Pada tahap ini sesungguhnya relasi kerja kita mulai bergeser: dari perpanjangan tangan menjadi tangan itu sendiri. Dengan kata lain, kita mulai dapat berinteraksi dengan pengambil keputusan dan memberi masukan yang diperlukan.
  3. Tahap Integrasi
    Pada tahap ini tanggapan sudah diakomodasi dan terintegrasi ke dalam organisasi. Kerja sama kembali membaik dan penghargaan terhadap masing-masing akan bertambah. Tidak bisa tidak, pada tahap ini organisasi akan mengalami perubahan namun itulah yang seharusnya terjadi sebab organisasi terdiri dari manusia dan manusialah yang menentukan jiwa organisasi itu. Kendati sekarang kita telah menjadi otak-bukan tangan atau perpanjangannya-namun kita mesti tetap saling menghargai dan terbuka terhadap masukan segar dari anggota baru. Godaan terbesar yang mesti dihindari adalah melembaga sebab tatkala ini terjadi keangkuhan pun merasuk. Ingat, "Rancangan gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasihat banyak." (Amsal 15:22)

Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membangun Kerjasama". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, ternyata kerjasama itu tidak begitu saja tercipta dan kenyataannya harus diupayakan, diusahakan, harus dibangun. Tetapi masalahnya adalah bagaimana membangun kerjasama, karena yang seringkali kita alami adalah bukan bekerjasama tetapi sama-sama bekerja, itu berarti tidak ada saling keterkaitan antara satu unit dengan unit yang lain atau pribadi yang satu dengan pribadi yang lain walaupun sama-sama bekerja, sehingga tidak membawa suatu dampak yang positif. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu untuk bisa tergalang sebuah kerjasama yang baik diperlukan kepemimpinan yang juga efektif, Pak Gunawan. Saya akan mengutip pendapat seorang yang bernama Virginia Satir, dia ituseorang pemikir dan juga seorang terapist untuk terapi keluarga, dia berkata bahwa dalam sebuah keluarga unsur yang terpenting adalah orang tua atau suami istri, sebab ini poros keluarga.

Kalau porosnya sudah tidak lagi efektif, tidak lagi bekerja sesuai yang seharusnya, maka akan mempengaruhi anak-anak dan sebagainya. Sudah tentu dalam organisasi atau pelayanan juga sama, kepemimpinan itu diperlukan dan harus berfungsi dengan baik sehingga kalau pun ada masalah dengan anggotanya, pemimpin yang efektif itu dapat menyelesaikannya atau setidaknya dapat meminimalkan dampak buruk tersebut. Kita telah membahas tentang kepemimpinan maka sekarang kita mau mengarahkan pandangan kita kepada pihak yang satunya yaitu dari yang dipimpin atau para pengikut. Ternyata untuk mewujudkan suatu kerjasama yang baik bukan saja diperlukan pemimpin yang efektif tapi diperlukan juga pengikut yang pas. Ciri-ciri pengikut yang pas sehingga cocok untuk menjadi bagian dari sebuah kerjasama yang pertama adalah tidak semua orang bisa masuk dan menjadi pengikut dalam sebuah organisasi, ada orang yang sangat susah sekali untuk bisa bekerjasama, dari pada dia memaksakan dan dia menginjak-injak orang lain atau menyinggung orang lain. Kedua, saya juga mau mengatakan bahwa tidak semua orang cocok untuk organisasi atau kepemimpinan, itu memang sangat bergantung pada kepemimpinan atau corak organisasinya. Maka kadang-kadang proses untuk menemukan lembaga atau organisasi dimana kita bisa cocok, itu memang tidak mudah. Dan lepas dari yang saya katakan, nanti yang akan saya angkat sebetulnya sekurang-kurangnya ada dua karakteristik yang dituntut dari seorang pengikut untuk dia akhirnya masuk menjadi bagian dari sebuah organisasi dan bekerjasama dengan rekannya.
GS : Apa dua karakteristik itu, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah berinisiatif, saya kira hampir semua pemimpin menghendaki bawahannya untuk bersikap aktif, kecuali kalau pemimpinnya tidak efektif dia justru senang kalau pengikutnya tdak aktif.

Tapi dalam kasus kepemimpinan yang sehat seyogianyalah pemimpin mengharapkan anggotanya untuk bersifat aktif sebab jika mereka tidak berinisiatif itu berarti semua beban kerja akan jatuh pada pundak si pemimpin. Jadi dengan kata lain seorang pemimpin yang efektif berkepentingan melatih dan memberi ruang gerak kepada bawahannya untuk berinisiatif. Pemimpin yang efektif juga menginginkan anggotanya untuk berinisiatif sebab ia tahu bahwa idenya sendiri tidak akan cukup untuk menjalankan dan mengembangkan roda organisasinya, itu sebabnya dia berharap dan bergantung pada masukan bawahannya untuk memberikan ide yang baik.
GS : Contoh konkretnya ini seperti apa, Pak Paul?

PG : Saya berikan sebuah contoh bahwa inisiatif begitu penting. Untuk waktu yang lama mobil-mobil Amerika itu mendominasi pasar mobil di dunia kemudian mulai tahun 1970 atau 1980 mobil-mobil Jeang mulai memasuki pasar dunia dan membuktikan dirinya tangguh dan dapat dipercaya.

Oleh sebab itu banyak perusahaan mobil dan manajemen di Amerika melirik kepada metode kepemimpinan Jepang dan inilah yang mereka temukan. Sewaktu perusahaan mobil Jepang datang membangun pabrik mereka di Amerika, yaitu misalkan yang pertama adalah ternyata pemimpin di dalam perusahaan-perusahaan yang ditangani Jepang, parkir mobil saja tidak disediakan khusus untuk pemimpinnya, siapa datang lebih pagi maka akan dapat parkir yang lebih dekat, kalau datang lebih siang maka parkirnya akan lebih jauh, semua orang sama tidak ada yang dibedakan. Dan yang kedua di dalam ruangan memang seminimal mungkin disediakan kantor, jadi sedapatnya memang sekat-sekat dibuka, karena dianggap dengan dibukanya sekat maka arus komunikasi lebih lancar antara semua staf baik atasan maupun bawahan. Dan berikutnya yang ditekankan adalah bahwa setiap pekerja di dalam pabrik mobil Jepang berkesempatan untuk menelurkan dan menyampaikan idenya kepada perusahaan. Jadi yang di atas berkepentingan untuk menerima masukan-masukan baru dan yang segar dari bawahannya dan inilah cara perusahaan mobil-mobil Jepang itu bekerja dalam mengelola perusahaan mereka. Tidak heran makanya di dunia ini pasar mobil dikuasai oleh Jepang. Sampai tahun lalu GM (General Motors) memang menempati posisi pertama tapi setelah beberapa bulan lalu ternyata Toyotalah yang menjadi pertama di Amerika dan bukan lagi General Motors. Memang ini menyakitkan sebab tuan rumah akhirnya tersingkir oleh perusahaan mobil dari negara lain. Dan itu yang kita lihat bahwa mereka benar-benar membuka sekat dan meminta semua staf untuk berinisiatif menelurkan dan menyampaikan ide mereka.
GS : Dalam hal ini seringkali pemimpinnya juga belum siap Pak Paul untuk menerima ide-ide dari bawahannya atau dari anggotanya. Di dalam hal ini apa yang harus dilakukan oleh anggota yang merasa, "Saya sudah memberikan ide, saya sudah memberikan inisiatif tapi tidak diberi tanggapan yang positif," dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Ini diperlukan kwalitas yang kedua, Pak Gunawan. Memang yang pertama adalah berinisiatif tapi anggota atau pengikut juga harus arif, jadi bukan hanya berinisiatif tapi juga harus arif, adabatas yang tipis antara berinisiatif dan dominan, orang yang berinisiatif pada umumnya mempunyai kecenderungan untuk menjadi dominan karena aktif mengeluarkan pendapat dan sebagainya.

Sebaliknya orang yang tidak berinisiatif cenderung pasif dan bergantung, hampir semua pemimpin menghendaki bawahannya untuk berinisiatif tetapi tidak dominan dan ini yang tidak disukai oleh pemimpin kalau bawahannya itu dominan artinya tidak bisa menerima bahwa pendapatnya ini sekarang belum bisa disetujui dan tetap memaksakan kehendak, inilah yang disebut dominan, pemimpin memang tidak begitu senang dengan bawahan yang begitu dominan. Jadi penting bagi bawahan mengetahui fungsi dan batasannya, fungsinya adalah memberi masukan kepada pimpinan, batasnya adalah memberikan keputusan terakhir kepada atasannya. Inilah yang saya sebut dengan arif Pak Gunawan, yaitu tahu kapan berkata namun tahu kapan untuk diam.
GS : Seringkali faktor subjektifitas sangat tinggi Pak Paul, jadi pemimpin yang menyukai bawahan atau anggota tertentu, maka idenya itu selalu diterima. Misalnya ada orang yang merasa idenya selalu ditolak karena merasa pimpinan itu tidak menyukai dia dan sikap seperti ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Langkah pertama kita mesti introspeksi diri kenapa pimpinan sampai tidak suka kepada kita, apakah cara penyampaian kita yang kurang tepat ataukah kita itu pernah melukainya atau mempermaluannya.

Jadi hal-hal itu mesti kita coba lihat apakah pernah kita lakukan, namun saya juga tidak menutup kemungkinan bahwa adakalanya pemimpin memang tidak mau menerima masukan dari orang-orang tertentu sebab dia sangat mementingkan posisinya sebab dia takut kalau dia menerima masukan dari orang-orang ini yang memang bagus-bagus, suatu hari kelak posisinya akan digeser, itu pun bisa terjadi. Maka didalam bekerjasama, semua faktor ini memang mesti kita pertimbangkan, kalau kita sudah berinisiatif dan kita sudah arif tidak pernah memaksakan dan mengatakan dengan santun, namun terus tidak pernah ditanggapi, saya kira harus ada waktu dimana kita mesti mengevaluasi apakah kita efektif di dalam lembaga ini sebab pada ujungnya yang penting adalah keefektifan. Jangan sampai kita terlibat dalam sebuah lembaga misalkan pelayanan atau organisasi lainnya dan kita tidak lagi efektif, sehingga waktu dan tenaga kita dibuang dengan percuma. Bukankah lebih baik jika kita kontribusikan itu di lembaga yang berbeda sehingga kita bisa melihat bahwa kita ini efektif di situ.
GS : Seperti perbincangan ini, kita memberikan judul atau tema yakni membangun kerjasama. Namanya membangun maka tidak bisa sekaligus, artinya ada suatu proses, tahapan-tahapan. Dan di dalam membangun suatu kerjasama tahapannya seperti apa, Pak Paul?

PG : Saya kira penting untuk kita pahami yakni bahwa ternyata supaya terwujud suatu kerjasama itu harus lewat proses atau tahapan-tahapan. Jadi penting bagi yang memimpin maupun yang baru masukuntuk menyadari proses ini, setidaknya ada tiga yang mesti dilewati, yang pertama adalah tahap asimilasi.

Pada waktu seseorang masuk ke dalam organisasi dia diharapkan untuk berasimilasi, ini berarti dia diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan tuntutan serta nilai yang dianut oleh organisasi itu. Jika dari awal dia sudah menunjukkan sikap tidak suka atau tidak respek terhadap nilai dan kondisi dalam organisasi itu maka dapat dipastikan kerjasama tidak akan terjadi dan masa baktinya pun akan cepat berakhir. Jadi pada umumnya di tahap asimilasi ini kerjasama berlangsung baik oleh karena sebagai anggota baru dia hanya menyerap tanpa memberi reaksi yang berarti, ini adalah tahapan pertama yang mesti kita lewati, Pak Gunawan.
GS : Dan ini tergantung dari orang itu sendiri Pak Paul, membutuhkan waktu berapa lama? Ada orang yang cepat berasimilasi, tapi ada orang yang lambat berasimilasi.

PG : Betul memang diperlukan kesabaran untuk bisa berasimilasi dan orang-orang tertentu bisa berasimilasi dengan cepat sedangkan yang lain lebih lama. Namun sesungguhnya Pak Gunawan, sebetulnyaada satu karakteristik yang berperan cepat untuk berasimilasi yaitu kerendahan hati untuk belajar, jikalau kita pertama datang dengan sikap ingin menggurui, niscaya kita akan menjumpai konflik.

Pada tahap awal ini kita mesti menyadari bahwa peran kita adalah sebagai perpanjangan tangan dari apa yang telah ada, singkat kata kita hanyalah meneruskan dan menerima apa yang telah digariskan maka tadi saya katakan karakteristik yang dibutuhkan disini adalah kerendahan hati untuk belajar, makin kita rendah hati mau belajar maka makin kita itu lebih bersedia untuk menjadi perpanjangan tangan. Kita hanyalah meneruskan yang telah digariskan. Dengan cara itu kita akan memulai dan bahkan melewati masa asimilasi itu dengan relatif cepat.
GS : Ini agak lebih mudah dilakukan oleh bawahan atau anggota dibandingkan dengan pimpinan, jadi kalau ada pimpinan yang masuk, seringkali untuk berasimilasi itu dibutuhkan waktu yang cukup lama, Pak Paul, karena faktor kerendahan hati yang tidak semua pemimpin memilikinya.

PG : Betul sekali. Tapi kalau kita lihat kebalikannya misalkan si pemimpin rendah hati mau belajar, mau mendengarkan masukan dan dia menunjukkannya kepada para anggotanya justru bukankah itu meguntungkan dirinya, bukankah dia akan cepat dirangkul dan bahkan dia juga akan mendapatkan respek yang lebih dari anggotanya.

GS : Setelah proses asimilasi atau tahapan asimilasi ini dilalui, kita memasuki tahap apa, Pak Paul?

PG : Tahap berikutnya adalah tahap akomodasi, setelah kita diterima masuk menjadi bagian dari organisasi maka barulah kita dapat bersikap lebih independent dalam mengeluarkan gagasan. Sudah tenu pada tahap ini akan ada orang yang menolak gagasan kita, tapi akan ada juga orang yang menyambut gagasan.

Organisasi yang sehat akan berupaya mengakomodasi masukan-masukan baru yang akan diterimanya, sebaliknya organisasi yang tidak sehat enggan mengakomodasi kepentingan dan masukan anggotanya. Pada tahap ini kerjasama mulai menemui kerikil namun agar organisasi tetap dinamis dan relevan diperlukan kesediaan untuk mengakomodasi masukan-masukan dari anggota yang baru ini.
GS : Jadi pengertian akomodasi di dalam contoh berorganisasi itu seperti apa?

PG : Misalkan saya kembali lagi kepada contoh perusahaan mobil Jepang yang masuk ke Amerika mulai tahun 1970 atau 1980an, itu merevolusi cara manajemen perusahaan di sana, terutama perusahaan mbil juga.

Kalau misalkan kebalikannya yang terjadi atasannya itu tidak mau terima malahan berkata, "Ini sudah ditetapkan, ini adalah garisnya maka harus selalu ikuti, tidak boleh melenceng sedikit pun," dan menolak ide-ide yang baru, akhirnya yang terjadi adalah masalah. Saya berikan satu contoh juga yang sering terjadi dalam gereja, Pak Gunawan, saya percaya bahwa seorang pemimpin gereja atau seorang hamba Tuhan dipanggil untuk memimpin generasinya artinya setelah dia berusia lebih lanjut dia memang makin terpaut dari generasi di bawahnya. Kita bisa melihat itu pada diri Musa dan Yosua, memang Tuhan melarang Musa masuk ke dalam tanah perjanjian karena Tuhan memang menghukum dia, tapi saya juga percaya bahwa Musa adalah pemimpin untuk generasinya, untuk generasi berikut maka Tuhan menetapkan Yosua yang usianya memang satu generasi di bawah Musa dan kita melihat betapa efektifnya Yosua memimpin umat Israel masuk ke tanah yang Tuhan janjikan. Jadi saya percaya memang setiap pemimpin itu sebetulnya memimpin untuk generasinya, tapi ada pemimpin yang tidak terima itu Pak Gunawan, meskipun dia sudah lanjut usia dia tetap terus mau menguasai dari ujung ke ujung, dari hulu ke hilir, dari usia tua ke usia bayi dan dia mau mengatur semuanya, akhirnya apa yang terjadi? Anggotanya mulai pindah keluar karena dia sudah buntu berdasarkan usianya, dia tidak mudah menerima yang baru-baru, yang segar-segar akhirnya dia terus membentengi diri, akhirnya dia berjalan sesuai yang telah digariskan meskipun garis itu dibuat pada waktu 40 tahun yang lalu, itu merugikan jemaat. Akhirnya banyak orang yang keluar dan sebagainya. Jadi kalau kita memang sudah mulai uzur, sudah mulai lanjut usia, kita mungkin sebagai hamba Tuhan di gereja harus berpikir, "Baik, saya akan menangani orang yang seusia saja sebab mereka tetap membutuhkan gembala yang seperti saya," dan nanti saya akan menunjuk anak muda untuk menggantikan, mereka yang lebih bisa menangani jemaat yang lebih muda dari kita.
GS : Jadi seperti pada tahap asimilasi, itu dibutuhkan suatu karakter tersendiri yaitu kerendahan hati. Di dalam tahap akomodasi ini karakter apa yang dibutuhkan Pak Paul?

PG : Ada dua, Pak Gunawan. Yaitu kepekaan dan kelembutan, kendati kita sekarang sudah menjadi bagian dari organisasi, dapat memberi sumbangsih yang berarti, kita tetap harus memberikan usulan yng tepat dan untuk itu diperlukan kepekaan melihat kesiapan dan dinamika yang ada dalam organisasi itu.

Tanpa kepekaan masukan kita kendati baik, mudah disalah pahami. Kita mesti lihat kecocokan waktunya dan tidak asal lontar, orang tidak siap pun kita langsung melontarkannya. Dalam dinamika organisasi kita juga harus lihat apakah memang sudah siap ada infrastrukturnya untuk mendukung dan sebagainya dan kita pun mesti menyampaikan usulan dengan lembut, sebab kelembutan mencerminkan respek dan ketundukan, sekali lagi sebaik apapun saran yang kita hendak berikan bila disampaikan dengan kasar itu akan menyakiti hati orang. Pada tahap ini sesungguhnyan relasi kerja kita, mulai bergeser dari perpanjangan tangan menjadi tangan itu sendiri. Dengan kata lain kita mulai dapat berinteraksi dengan pengambil keputusan dan memberi masukan yang diperlukan, inilah tahap kedua atau tahap akomodasi.
GS : Karakter kelembutan atau kepekaan itu bisa dilatih atau dimiliki sejak orang itu lahir, Pak Paul?

PG : Saya kira bisa dilatih Pak Gunawan, orang yang sombong memang akan lebih susah untuk peka, untuk lembut, tapi untuk orang yang rendah hati, dia akan lebih mudah untuk peka, untuk sensitif.Kadang-kadang meskipun dia memiliki ide yang baik tapi dia tahu kalau dia melontarkannya sekarang dia dapat menyudutkan pemimpinnya maka dia memilih untuk tidak mengatakannya tapi dia menunggu saat yang lebih tepat mungkin secara pribadi dia mulai mensosialisasikannya, membagikan pendapatnya dan misalkan ditolak dia juga tidak apa-apa, dia akan tunggu lagi mungkin lain kali ada waktu yang lebih tepat, waktu dia harus bersilang pendapat dia juga tidak berteriak-teriak, memukul meja apalagi menghina orang, itu tidak akan dilakukannya tapi dia tetap menyampaikannya dengan lembut.

Dengan cara-cara ini biasanya pihak yang sudah lama di lembaga tersebut akan lebih siap untuk menerima masukan-masukan kita. Sekali mereka siap menerima berarti mulai terjadilah dialog. Kita tidak berdialog dengan rekan tapi dengan atasan sebetulnya. Jadi kita mulai sedikit banyak dapat mempengaruhi pengambilan keputusan meskipun saat ini tahap akomodasi, kita belum menjadi pengambil keputusan tapi kita sudah bisa berdialog dengan pengambil keputusan.
GS : Berarti setelah melewati tahap asimilasi dan akomodasi ada satu tahap lain yang Pak Paul mau sampaikan?

PG : Yaitu tahap integrasi, pada tahap ini tanggapan sudah diakomodasi dan terintegrasi ke dalam organisasi. Kerjasama membaik dan penghargaan terhadap masing-masing akan bertambah, tidak bisa idak pada tahap ini organisasi akan mengalami perubahan namun itulah yang seharusnya terjadi sebab organisasi sendiri terdiri dari manusia dan manusialah yang menentukan jiwa organisasi itu.

Kadang-kadang orang berkata ia tidak siap karena tidak mau mengubah corak organisasi itu tapi itu salah! Karena organisasi yang sehat memang harus mengalami transformasi secara berkala. Jadi jangan sampai kita kaku tidak mau mengintegrasikan sesuatu yang baru. Dan pada tahap ini kita telah menjadi otak dan bukan hanya sekadar tangan atau perpanjangannya, tapi meskipun kita telah menjadi otak kita mesti tetap saling menghargai dan terbuka bagi masukan segar dari anggota baru, godaan terbesar yang mesti kita hindari adalah melembaga, seringkali kita merasa karena kita sudah menjadi bagian dari pengambil kebijakan, penentu kebijakan pengambil keputusan kitalah nanti yang menutup diri terhadap anggota yang lebih baru, maka jangan sampai itu terjadi! Jangan sampai kita melembaga sebab tatkala ini terjadi maka keangkuhan pun merasuk. Jadi kita mesti menjaga diri jangan sampai akhirnya menjadi kaku setelah kita menjadi penentu kebijakan.
GS : Ketika anggota memasuki tahap integrasi itu, tidak berarti dia harus menjadi pemimpin yang formal, Pak Paul?

PG : Tidak, itu tidak harus terjadi. Tapi karena dia sudah dianggap bagian dari pengambil keputusan kalau pun dia belum diangkat menjadi seorang atasan atau pemimpin secara formal maka dia akandicari, pendapatnya akan dibutuhkan sebab mereka tahu masukannya ini berharga.

Jadi dengan kata lain secara formal dia pun telah menjadi bagian dari penentu kebijakan.
GS : Memang seringkali kita melihat di dalam suatu organisasi, ada pemimpin yang memang diangkat tetapi ada orang-orang yang walaupun belum menjadi pemimpin, tapi dia patut untuk disebut sebagai pemimpin.

PG : Dan ini bukanlah sesuatu yang buruk, malahan saya kira sesuatu yang wajar dan baik, memang kita tidak selalu bisa mengangkat pemimpin yang jabatannya formal dan seringkali ada regenerasi, amun untuk orang-orang yang matang, kita sebetulnya masih bisa manfaatkan, untuk tempat kita berkonsultasi dengan mereka.

GS : Tapi seringkali terjadi gesekan atau benturan antara pemimpin yang formal dan pemimpin yang informal ini.

PG : Dalam hal ini pemimpin yang informal tetap harus tahu batasnya, kendati dimintai pendapat, kendati dia mungkin sekali tahu lebih banyak tapi berhubung dia tidak lagi menduduki jabatan forml, dia harus tahu batasnya.

Dia harus berkata, "Ini masukan saya, namun kalau memang tidak diterima itu tidak apa-apa," terserah pada yang menduduki posisi jabatan formal itu. Kalau si pemimpin informal bersikap seperti itu, saya rasa justru ini menguntungkan organisasi, sebab yang masih sedang menduduki jabatan formal tidak takut dan tidak ragu meminta pendapat dari pemimpin yang informal ini sebab dia tahu pendapat itu tidak harus dilakukannya. Dia tidak harus dirinya dikendalikan oleh orang-orang ini. Justru ini yang menjadi keuntungan bagi organisasi tersebut.
GS : Pak Paul, sebelum mengakhiri perbincangan ini apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul bacakan?

PG : Amsal 15: 22 berkata, "Rancangan gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasihat banyak." Dengan kata lain kita bisa simpulkan di dalam konteks adanya penasehat yang anyak, maka pertimbangan akan lebih masak.

Jadi Firman Tuhan meminta kita untuk mengundang adanya penasehat-penasehat supaya keputusan dapat dipertimbangkan dengan baik.
GS : Perbincangan ini penting sekali, Pak Paul, karena Tuhan Yesus juga membentuk kita sebagai anggota tubuhNya dan masing-masing anggota tubuh ini harus bekerjasama Pak Paul, karena kalau tidak maka akan tercerai-berai.

PG : Betul sekali.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun Kerjasama". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terimakasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.



49. Natal dan Keluarga


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T258A (File MP3 T258A)


Abstrak:

Kita sering berasumsi bahwa natal adalah hari yang menyenangkan sehingga kita sibuk untuk menyiapkan segala sesuatu, dan seringkali kita juga bertukar kado untuk mengungkapkan kegembiraan kita dengan orang yang kita sayangi. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa natal adalah sebuah kisah sedih? Sebagai orang tua, apa yang harus kita sampaikan kepada anak-anak kita, sehingga mereka lebih mengerti arti natal yang sesungguhnya?


Ringkasan:

Keluarga adalah desain Tuhan untuk manusia hidup dan dibesarkan dalam kasih. Puncak kasih adalah penyatuan, bukan hanya keintiman. Di dalam keluarga kasih antara dua individu mengecap titik tertingginya. Di dalam keluargalah anak bertumbuh dalam kasih dan belajar mengasihi. Secara alamiah kita mengasihi anak sebab anak adalah darah dan daging-perpanjangan-diri kita. Kasih adalah gizi mutlak yang diperlukan anak untuk dapat bertumbuh dengan sehat. Namun di dalam keluarga pulalah anak belajar mengasihi. Setelah menerima kasih, anak belajar membalas kasih orangtua dan pada akhirnya ia pun belajar mengasihi kakak adik, teman dan orang di sekitarnya. Inilah rencana Tuhan akan keluarga; itulah sebabnya dari semua ciptaan-Nya, hanya manusialah yang didesain untuk berkeluarga.

Keluarga juga merupakan miniatur relasi Tuhan dengan manusia. Allah adalah Bapa dan kita adalah anak-anak-Nya. Kita diciptakan Tuhan dan menerima nafas kehidupan juga dari Tuhan. Kita dikasihi Tuhan sebab Ia adalah kasih dan Ia telah menetapkan kita untuk menjadi penerima kasih-Nya. Surga pun merupakan sebuah keluarga di mana Allah adalah Bapa dan Kristus adalah Putra Allah. Namun Allah Bapa rela melepaskan Putra-Nya untuk meninggalkan surga, turun ke dunia, dan akhirnya mati untuk menggantikan kita, anak-anak Allah.

Jadi, Natal adalah kisah sedih seorang Bapa yang merelakan kematian Putra-Nya demi menyelamatkan anak-anak-Nya yang lain. Sesungguhnya kita, anak-anak-Nya, bukanlah anak-anak-Nya yang baik. Kita melawan-Nya, meninggalkan-Nya, bahkan menolak mengakui-Nya sebagai Bapa. Namun Ia tetap mengasihi kita; Ia mengundang kita kembali ke rumah-Nya untuk menjadi bagian dari keluarga-Nya. Kendati untuk melakukan semua itu, Ia harus mengorbankan Putra-Nya, Yesus Kristus. Natal adalah kisah kasih antara Bapa kepada anak-anak-Nya; Natal adalah bukti kasih Bapa kepada anak-anak-Nya.

Apakah yang seharusnya menjadi respons kita selaku orangtua kepada Tuhan sewaktu kita memperingati Natal?


Transkrip:
Lengkap
GS : Pak Paul, pada akhir tahun seperti ini biasanya setiap keluarga bersiap-siap menyambut Natal dan itu memang suatu momen yang indah, yang penuh arti, penuh makna bukan hanya untuk kita pribadi tapi juga untuk anggota keluarga kita. Namun perlu diakui tidak semua keluarga bisa menikmati atau menyelenggarakan itu Pak Paul, sebenarnya Natal adalah Tuhan Yesus sendiri hadir di tengah-tengah keluarga Yusuf dan Maria. Bagaimana untuk kita aplikasikan pada zaman sekarang ini, Pak Paul?

PG : Betul sekali yang Pak Gunawan sudah katakan tadi, bahwa Tuhan memilih sebuah keluarga untuk menjadi tempat dimana Dia hadir, itu adalah sebuah peristiwa yang tidak bisa kita abaikan begitusaja seolah-olah itu peristiwa biasa, tidak! Itu menandakan bahwa memang Tuhan mengerti sesungguhnyalah seorang anak harus dibesarkan di dalam sebuah keluarga yang menyambut dan mengasihinya.

Di dalam keluarga, Tuhan Yesus diterima dibesarkan dalam kasih dan akhirnya menjadi seorang dewasa bahkan dikatakan di dalam Firman Tuhan bahwa Tuhan dikatakan makin hari makin bertumbuh. Keluarga mempunyai sebuah simbol juga di dalam makna Natal ini, sebab keluarga adalah tempat dimana kasih itu harus menjadi sebuah suasana, menjadi sebuah jiwa dari sebuah keluarga dan itu menandakan bahwa anak seharusnya memang bertumbuh di dalam sebuah lingkup yang penuh dengan kasih, barulah dia dapat bertumbuh seperti bagaimana adanya. Ini sedikit banyak merupakan sebuah simbol juga bahwa di dalam keluarga Allah seharusnyalah ada kasih yang melimpah dimana semua anak-anak akhirnya akan menerima kasih dari Allah Bapa di surga. Yang kedua, saya rasa ada yang Tuhan juga ingin lakukan lewat keluarga di dalam Natal ini yaitu bukankah yang digunakan adalah bahasa keluarga yaitu Allah Bapa, Allah Putra. Yesus dipanggil sebagai Anak Allah, makanya dikatakan juga bahwa Allah mengasihi sehingga menyerahkan atau memberikan Putra tunggalNya. Lewat keluarga, barulah kita memahami sedikit banyak makna pengorbanan kedatangan Kristus ke dalam dunia ini yaitu demi kasih Allah Bapa kepada kita anak-anakNya maka Allah Bapa rela mengorbankan Putra Tunggalnya. Atau kalau kita kaitkan dengan kita ini, Tuhan Allah mengorbankan Putra sulungnya agar kita saudara-saudaraNya, adik-adikNya dari Tuhan Yesus Kristus bisa pulang kembali ke rumah Allah Bapa. Bahasa-bahasa ungkapan ini bisa dimengerti oleh manusia karena manusia mempunyai keluarga, jadi memang tanpa kita ketahui dari awalnya Tuhan sudah mempunyai sebuah desain, sebuah rancangan, kenapa Tuhan menetapkan adanya keluarga di dalam bumi ini, bukan hanya supaya anak-anak kita bisa dibesarkan dalam kasih sehingga anak-anak nanti setelah besar pun dapat menjadi manusia-manusia yang utuh tapi sekaligus keluarga menjadi sebuah miniatur relasi, suatu perlambangan antara Allah dan kita manusia sehingga kita lebih dapat memaknai pengorbanan Allah Bapa yang harus menyerahkan dan melepaskan putraNya, Tuhan Yesus Kristus untuk kita supaya akhirnya kita bisa dipersatukan kembali dengan Allah.
GS : Memang ada satu keunikan di dalam hubungan keluarga ini, yang rasanya hanya manusia saja yang mengalami kehidupan berkeluarga ini.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, memang kita harus menyadari bahwa begitu banyaknya hal-hal yang kita harus hadapi dan melalui keluarga pulalah kita nantinya akan mendapatkan kekuatan dan penghibran.

Khusus untuk masalah Natal ini yang kita akan kaitkan dengan keluarga sebetulnya lewat Natal keluarga, kita lebih bisa memaknai kasih Allah Bapa yang begitu besar, bahwa sebetulnya Natal adalah kisah sedih seorang Bapak yang merelakan kematian putraNya demi menyelamatkan anak-anakNya yang lain yaitu kita sendiri dan ini adalah faktanya sesungguhnya anak-anakNya bukanlah anak-anak yang baik tapi melawanNya, meninggalkanNya bahkan menolak mengakuiNya sebagai Bapak namun Dia tetap mengasihi kita, Dia mengundang kita kembali ke rumahNya untuk menjadi bagian dari keluargaNya, kendati pun Ia harus mengorbankan PutraNya Yesus Kristus. Jadi Natal adalah kisah kasih antara Bapak kepada anak-anakNya, Natal adalah juga bukti kasih Bapak kepada anak-anakNya.
GS : Memang seringkali kita mendengar kesaksian atau kita membaca kisah-kisah seputar Natal dimana relasi antara anak dan ayah atau suami dan istri itu di pertautkan kembali, Pak Paul.

PG : Seringkali itu terjadi dan sudah tentu itu adalah harapan kita dimana akhirnya orang tua yang tadinya berpisah, maka lewat Natal mereka bisa dipersatukan kembali atau relasi orang tua dan nak yang tadinya sudah retak akhirnya dijahit kembali, sudah tentu itu adalah harapan kita semua dan sesungguhnyalah itu yang harus terjadi sebab Natal mengingatkan kepada kita bahwa Allah Bapa mengorbankan, merelakan diriNya melepaskan PutraNya untuk menjahit relasi dengan kita, untuk membangun kembali sesuatu yang telah terhilang.

Jadi seharusnyalah Natal mendorong kita untuk melakukan pengorbanan yang sama, kalau Allah Bapa rela melepaskan PutraNya demi kita anak-anakNya yang lain, yang sebetulnya juga tidak baik, kemudian melawanNya tidak menghormatiNya dan berdosa kepadaNya tapi Dia begitu rela. Kita pun juga mesti belajar dari Allah mesti melakukan hal yang sama pula.
GS : Jadi apa yang seharusnya kita lakukan yang menjadi suatu tanggapan bagi kita sebagai orang tua kepada Tuhan, waktu menjelang memperingati Natal, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah kita dapat mengajak anak untuk berterima kasih kepada Tuhan atas kasihNya yang begitu besar. Jadi sekali lagi pada waktu Natal inilah kita menekankan kepada anak-anak, ersyukur kepada Tuhan atas kasih Tuhan yang begitu besar.

Kita bisa membacakan kisah Natal yang terdapat di Matius 1:18 hingga Matius 2:12, kita bisa membacakan Lukas 2:1-20, itu adalah peristiwa menjelang Natal, dan setelah itu pada hari Natal kita bisa membacakan untuk keluarga Filipi 2:5-11. Disana dijelaskan makna pengorbanan kedatangan Kristus bahwa Tuhan Yesus tidak mempertahankan hakNya, kedudukanNya sebagai Allah di sorga, Dia merelakan mengosongkan diriNya menjadi seorang Hamba hingga mati di kayu salib, itulah makna dari Natal. Jadi kita bacakan Filipi 2 sehingga kita tidak hanya terpaku pada gambar Tuhan Yesus sebagai bayi kecil saja, tapi kita juga bisa melihat makna di belakangnya yaitu pengorbanan seorang Putra Allah untuk datang ke dunia. Kita bisa memberikan kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk menyatakan syukur kepada Allah Bapa yang telah rela melepaskan Kristus datang ke dunia untuk mati bagi kita.
GS : Membacakan kisah-kisah Natal seringkali juga menjadi masalah buat orang tua karena kebanyakan anak sudah memahami dan sudah mengerti kisahnya, bagaimana supaya apa yang kita bacakan itu tetap didengar oleh mereka, Pak Paul?

PG : Kita bisa membuat variasi misalnya kita meminta untuk seseorang membacakan menjadi narator, kita bisa meminta anak yang satu membacakan dari pihak malaikat atau dia bisa membacakan atau meyuarakan Maria, ibu Yesus dan sebagainya.

Dengan cara-cara seperti itu saya kira anak-anak akan lebih tertarik untuk membacakannya. Maka tadi saya sudah singgung, penting sekali setelah membacakan kisah Natal kita membaca juga Filipi 2:5-11 sehingga anak-anak memperoleh perspektif bahwa kedatangan Tuhan Yesus ke dunia ini bukanlah sebuah kedatangan agar kita bisa merayakan Natal dan bersukacita di hari Natal, tapi akhirnya kita mempunyai hubungan kembali dengan Allah. Katakan kepada anak-anak, "Kalau Yesus tidak datang, kita tidak bisa berdoa kepada Allah Bapa, kita tidak bisa mempunyai jaminan bahwa setelah kita meninggalkan dunia ini maka kita akan pulang ke rumah Bapa di sorga, kita tidak bisa mendapatkan berkat-berkat dari Allah Bapa untuk kita karena kita akan tetap menjadi orang-orang yang telah berbuat dosa dan telah bersalah kepada Tuhan tapi karena kedatangan Tuhan dan kematian Tuhan maka semua dosa-dosa itu telah ditanggung oleh Tuhan sehingga kita bisa kembali merajut relasi dengan Allah Bapa. Jadi semua kita mesti jelaskan kepada anak-anak.
GS : Dan untuk doa, kita memang tidak perlu menuntut mereka untuk berdoa yang panjang-panjang tetapi yang sungguh-sungguh yakni apa yang mereka syukuri dengan mengingat peristiwa Natal ini, Pak Paul.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kita jangan mengharapkan anak-anak bisa memanjatkan doa-doa yang kompleks dengan kata-kata yang juga manis di- dengar, itu tidak perlu! Tapi minta mereka mnggunakan bahasa anak-anak menyatakan syukur kepada Tuhan.

GS : Selain hal mengucap syukur, mungkin ada hal lain, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah sebagai orang tua kita bisa membagikan perasaan kita, bagaimana perasaan kita jika kita harus merelakan kepergian seorang anak agar bisa membawa pulang anakNya yang lai, kita bisa tanyakan kepada anak, bagaimana perasaannya bila harus terjadi pada keluarga ini.

Misalkan kita berkata, "Bagaimana perasaan kalian kalau supaya adik pulang, kakak harus pergi dan tidak ada di rumah lagi, bagaimana rasanya, bisa tidak kita memilih itu." Anak-anak saya duga akan berkata, "Tidak bisa, saya tidak mau kehilangan kakak supaya adik kembali dan sama kami juga tidak mau kehilangan adik supaya kakak kembali." Itulah yang Allah Bapa harus lakukan agar kita anak-anakNya yang lain kembali kepada Tuhan, maka Dia harus merelakan, melepaskan Tuhan Yesus. Dengan cerita seperti ini, anak-anak akan tergugah untuk lebih memahami betapa besar pengorbanan seorang ayah, betapa besar pengorbanan seorang Allah Bapa, yang dilandasi atas kasih. Itulah yang kita tekankan kepada mereka, itu berarti bukankah Allah Bapa begitu mengasihi kita, begitu besar kasihNya sehingga Dia rela melepaskan Putra tunggalNya. Jadi anak-anak melalui pembahasan seperti ini akan lebih mengerti, Pak Gunawan apa itu arti Natal bagi mereka.
GS : Apakah itu tidak akan menimbulkan suatu kekhawatiran di dalam diri anak bahwa perpisahan itu menjadi sesuatu yang sangat berat, Pak Paul?

PG : Memang tidak bisa tidak anak akhirnya harus disadarkan bahwa perpisahan itu adalah sesuatu yang sangat berat dan itulah harga yang Tuhan rela bayar supaya kita bisa untuk selamanya tidak aan pernah berpisah lagi dari Tuhan.

Jadi kita tekankan kepada anak-anak kita, kalau Tuhan Yesus tidak datang ke dunia, kita selama-lamanya akan terpisah dari Tuhan tapi karena Dia datang ke dunia maka kita dapat pula merajut kembali relasi dengan Allah Bapa, betapa besar harga yang harus dibayar tapi sekali lagi kita tekankan Allah rela membayarnya karena kasihNya yang begitu besar kepada kita. Ini akan membawa kita kepada point berikutnya, kita bisa langsung bertanya kepada mereka, sebetulnya apakah perbuatan kita begitu baik sehingga Allah rela mencintai kita sebegitu besarnya. Kita bisa bertanya kepada anak-anak, "Apa yang telah mereka lakukan untuk Tuhan, yang membuat Tuhan rela memberikan pengorbanan sebesar itu." Akhirnya yang kita ingin tekankan kepada anak-anak adalah bahwa bukankah sebetulnya kita tidak melakukan apa-apa untuk Tuhan, kita tidaklah melakukan hal-hal yang baik untuk Tuhan tapi kenapa Dia rela, melepaskan putraNya bahkan mati untuk kita, sekali lagi itu menunjukkan betapa besarnya kasih Tuhan. Justru kita katakan kepada mereka seringkali bukannya perbuatan baik yang kita lakukan untuk Tuhan, tapi kita melakukan perbuatan yang mengecewakan Tuhan, kebalikannya. Berapa banyak di antara kita kalau marah memaki orang, berapa banyak di antara kita yang kadang-kadang berdusta, justru kita melakukan hal-hal yang buruk tapi Tuhan tetap mengasihi kita dan rela melepaskan Yesus, di hari Natal datang ke dunia. Kita tekankan itu berarti Allah mengasihi kita tanpa syarat, meskipun kita tidak layak untuk dipanggil Anak Allah, tapi Dia memanggil kita anak Allah dan bahkan mengorbankan PutraNya untuk mendapatkan kita yang tidak layak menjadi anakNya.
GS : Jadi momen Natal juga bisa menjadi suatu momen untuk bisa mengintrospeksi diri, untuk mengevaluasi diri baik secara pribadi maupun secara bersama-sama seperti suatu keluarga, Pak Paul.

PG : Betul, kita bisa menggunakan kesempatan itu untuk memeriksa, bercermin diri, apakah yang telah kita lakukan untuk Tuhan, berapa banyak, berapa besarkah hal-hal yang telah kita perbuat untu Tuhan ataukah kebalikannya bukannya melakukan hal yang baik untuk Tuhan, justru kita melakukan hal-hal yang mengecewakan Tuhan.

Mungkin anak-anak sudah besar dan bisa diajak bicara, dan di waktu Natal itulah kita bisa saling membagikan kelemahan-kelemahan kita, perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan tidak menyenangkan hati Tuhan, di samping kita pada akhirnya meminta ampun kepada Tuhan, mengakui dosa kita, kita juga bisa melakukan hal yang sama satu sama lain. Mungkin di saat itulah ayah berkata kepada anaknya, "Nak, Papa ingin minta maaf. Papa kadang-kadang kurang sabar kepadamu, Papa kadang-kadang tidak membangun tapi malah melukai hati kamu dengan perkataan Papa." Atau Mama bisa berkata, "Nak, aku juga mau minta maaf kepadamu. Aku sepertinya tidak percaya kepadamu, selalu menyuruh-nyuruh kamu melakukan ini dan itu sehingga tidak memberikan kepercayaan kepadamu bahwa kamu itu sudah mampu, Mama minta maaf juga." Dengan kita memelopori, mengakui kesalahan pada anak dan anak-anak pun nantinya termotivasi melakukan hal yang sama kepada kita maupun kepada adiknya atau kakaknya.
GS : Walaupun itu sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh orang tua apalagi dalam suasana seperti itu dimana orang mengharapkan bergembira ria dan sebagainya, ini bisa menurunkan derajat dari kesukacitaan itu tadi, Pak Paul.

PG : Memang akan sedikit banyak mempengaruhi dalam pengertian menghilangkan suasana ceria itu, Pak Gunawan. Tapi memang tadi saya sudah tekankan, sesungguhnya Natal adalah sebuah kisah sedih Alah Bapa yang kehilangan Allah Putra.

Jadi inilah sesuatu yang mesti kita sadari, kenapakah sampai Allah Bapa harus mengirimkan Allah Putra? Karena kita ini memang perlu ditolong. Kenapakah kita ini perlu ditolong? Sebab kita ini sudah hidup di dalam dosa dan tidak ada lagi yang bisa menolong kita dari jerat dosa dan terutama tidak ada yang bisa lagi membebaskan kita dari hukuman dosa selain kedatangan dan akhirnya kematian Putra Allah sendiri. Justru itulah makna Natal yang perlu kita dengarkan sebab itulah intinya kedatangan Tuhan di dunia ini, Tuhan datang ke dunia ini bukan untuk berpesta pora, Tuhan datang ke dunia ini bukan untuk bergaul dan berteman ria, Tuhan datang ke dunia ini mengorbankan Kerajaan Sorga, mengorbankan diriNya menjadi begitu terbatas sebagai seorang Bayi. Dari seorang Allah yang tanpa batas dan akhirnya 33 tahun kemudian harus mati, dengan kata lain kita harus membagikan cerita yang menyedihkan ini dan saya justru percaya ketika kita bisa mengakui kesalahan, perbuatan-perbuatan kita yang tidak baik, yang tidak menyenangkan Tuhan dan juga melukai sesama, justru itu akan menjahit kembali relasi. Sebagaimana tadi yang Pak Gunawan telah angkat yaitu betapa baiknya atau betapa indahnya, kalau di hari Natal kita bisa merajut kembali relasi yang tadinya sudah renggang atau terputus. Memang langkah pertama untuk merajut relasi adalah pengakuan apa yang telah kita perbuat, kesalahan apa yang telah kita lakukan dan meminta maaf kembali kepada sesama.
GS : Mungkin ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Yang terakhir, Pak Gunawan, karena Natal adalah bukti kasih Allah maka ajaklah anak untuk menyatakan bukti kasih kepada Allah pula. Selain dari dorongan untuk memberi dan berkorban bagi yag lain, tekankanlah bahwa kehadiran Kristus di hari Natal adalah untuk mengajak anak-anakNya yang telah meninggalkanNya untuk kembali kepadaNya.

Jadi kita bisa bertanya kepada anak-anak, "Siapakah yang ingin mereka doakan," ajak mereka untuk mengenal Kristus, sekali lagi kita harus mengingatkan anak-anak bahwa tugas Tuhan belum selesai, pekerjaan Tuhan masih tersisa, Dia sebetulnya mati untuk semua orang tapi tidak semua orang mengakui dan menerima kematianNya, memang semua orang telah mendengar tentang Tuhan Yesus tapi tidak semua orang memahami hal ini dan tidak semua orang mengakuiNya. Maka kita juga harus meneruskan pekerjaan Tuhan yang belum selesai itu, memberikan kepada orang bahwa Tuhan mengasihi kita semua dan Tuhan telah mengirimkan putraNya untuk datang dan mati bagi kita, supaya kita bisa membenahi relasi kembali dengan Allah Bapa. Maka kita tanya kepada anak-anak, siapa teman-teman mereka yang mereka ingin doakan supaya suatu hari kelak bisa menerima Kabar Baik ini, bahwa Yesus telah datang ke dunia dan akhirnya mati untuk dosa mereka. Kemudian kita bisa berdoa bersama untuk nama-nama yang telah mereka sebutkan itu.
GS : Mungkin juga bukan hanya teman-teman dari anak-anak kita tapi juga mungkin ada kerabat yang anak-anak kita kenal dan kita juga kenal yang masih belum percaya Tuhan dan mengalami banyak kesulitan, bisa kita doakan bersama, Pak Paul.

PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi bukan hanya teman-teman tapi orang-orang yang mereka kenal yang mereka tahu belum mengenal Tuhan Yesus. Mereka sebutkan atau kita sebutkan dan kita doakan besama sehingga lewat itu anak-anak juga mulai ditanamkan kepedulian kasih kepada sesama terutama yang belum mengenal Tuhan supaya orang-orang ini akhirnya bisa mengenal Tuhan.

GS : Jadi acara Natal keluarga seperti ini sebetulnya sifatnya lebih tertutup Pak Paul, jadi hanya untuk keluarga inti kita sendiri.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, sebab kalau kita mengundang banyak orang akhirnya kita hanya berpesta ria, tapi kalau kita hanya menggunakannya pribadi sebagai satu keluarga, ini akan sangat menekatkan satu sama lain, bukan saja kita akan mempunyai perspektif yang tepat akan Natal dan kedatangan Tuhan tapi kita juga bisa memperbaharui relasi kita dengan Tuhan dan relasi kita dengan sesama yaitu dengan sesama anggota keluarga.

GS : Dan biasanya pada acara Natal seperti ini Pak Paul, kita biasa tukar-menukar kado, saling memberikan hadiah dan sebagainya, itu seringkali juga menimbulkan masalah dimana anak-anak merasa tidak sesuai dengan harapannya, dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Maka kalau bisa lebih menekankan aspek ini, kita tetap bisa menyampaikan kepada mereka bahwa kita akan sering memberikan hadiah atau kado sebagai tanda kasih kita kepada satu sama lain tap ini bukanlah Natal, ini bukanlah makna Natal itu sendiri, namun kita tetap melakukannya untuk saling menyenangkan hati satu sama lain.

Dengan kata lain, kita mengajak anak untuk melihat perspektif sebenarnya sehingga mereka diajar untuk tidak menekankan pada masalah hadiah ini.
GS : Pak Paul, ada suatu keluarga yang merindukan kesempatan seperti itu tapi karena tugas dan sebagainya akhirnya mereka berpisah Pak Paul, bagaimana supaya mereka tetap bisa mewujudkan keinginan mereka meskipun di tempat terpisah, Pak Paul?

PG : Karena sekarang kemajuan teknologi sudah begitu baik, mungkin bisa dilakukan lewat email, telepon atau lewat SMS, sehingga masing-masing tetap bisa bukan saja menghaturkan "Selamat Natal" api mungkin antara ayah atau ibu dan anak-anak ada sebuah pengakuan bahwa, "Saya telah melakukan ini dan saya mohon maaf kepadamu," sehingga kembali relasi itu bisa dijahit kembali.

GS : Jadi tetap bisa diwujudkan suatu interaksi yang baik di antara keluarga ini?

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Karena Natal sendiri merupakan interaksi Allah secara langsung dengan manusia.

PG : Betul. Allah berinisiatif untuk merajut kembali relasi yang telah putus itu.

GS : Pak Paul, mungkin sebelum mengakhiri perbincangan ini ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul bacakan?

PG : Saya akan bacakan ayat yang kita semua kenal Yohanes 3:16 untuk mengingatkan bahwa sesungguhnya inilah arti Natal, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengarniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal."

Natal adalah karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal. Itulah Natal.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, dan saya rasa pada tempatnya kalau kita mengucapkan "Selamat Natal" dan juga keluarga-keluarga yang dengan setia mengikuti acara Telaga ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Natal dan Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



50. Aborsi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T258B (File MP3 T258B)


Abstrak:

Ada banyak alasan mengapa orang melakukan aborsi namun salah satu alasan yang paling umum adalah ketidaksiapan mempunyai anak. Apa pun posisi kita tentang aborsi, pada umumnya kita mendasari pandangan itu pada status kehidupan si anak dalam kandungan. Sudah tentu hal ini tidak salah namun sesungguhnya kita pun mesti menyoroti masalah aborsi dari sudut rencana Allah dalam hidup kita.


Ringkasan:

Ada banyak alasan mengapa orang melakukan aborsi namun salah satu alasan yang paling umum adalah ketidaksiapan mempunyai anak. Ada yang tidak siap karena telah mempunyai banyak anak; ada yang tidak siap karena belum ingin mempunyai anak kendati telah menikah; ada pula yang tidak siap karena belum dalam status menikah. Apa pun posisi kita tentang aborsi, pada umumnya kita mendasari pandangan itu pada status kehidupan si anak dalam kandungan. Sudah tentu hal ini tidak salah namun sesungguhnya kita pun mesti menyoroti masalah aborsi dari sudut rencana Allah dalam hidup kita.

Untuk memperoleh pemahaman yang tepat akan hal ini, kita akan menimba pelajaran dari kisah Maria, ibu Tuhan kita Yesus Kristus. Kendati ada perbedaan besar antara penyebab kehamilan Maria dan kehamilan lainnya, namun ada kesamaan situasi yang dihadapi wanita yang mengalami kehamilan dalam ketidaksiapan. Berikut adalah sikap atau respons yang diperlihatkan Maria dapat kita terapkan dalam hidup ini.

  1. Konsep yang benar tentang siapakah kita di hadapan Tuhan. Sewaktu malaikat Tuhan datang untuk mengabarkan bahwa ia akan mengandung bayi Yesus, Maria adalah seorang gadis belia yang telah bertunangan dengan Yusuf. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Maria dengan "interupsi" yang dialaminya ini. Kehamilan bukanlah sesuatu yang ada di dalam rencana kehidupannya. Ada wanita yang tidak mengharapkan kehamilan oleh karena pelbagai alasan. Biasanya respons yang diberikan adalah tidak menerimanya dan berusaha menghilangkan janin dalam kandungan. Namun lihatlah bagaimana Maria menyikapi "interupsi" ini: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Lukas 1:38) Maria menempatkan diri sebagai hamba Tuhan dan siap menerima apa pun yang ditetapkan Tuhan atasnya. Sebaliknya, orang yang memutuskan untuk melakukan aborsi tidak menempatkan diri sebagai hamba di hadapan Tuhan.
  2. Konsep yang benar tentang siapakah Tuhan. Maria mempercayai sepenuhnya akan perkataan malaikat kepadanya, "Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil." (Lukas 1:37) Allah adalah Tuhan, pencipta dan penguasa alam semesta beserta isinya. Maria tidak dapat menggunakan nalarnya untuk memahami apa yang tengah dilakukan Allah atasnya namun Maria percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah. Wanita yang hamil di luar kesiapan pasti memikirkan hari esok dan mengkhawatirkan banyak hal. Kita mesti tetap percaya bahwa Allah bukanlah Allah yang terbatas; Allah sanggup melakukan apa pun asal kita tunduk kepada kehendak-Nya dan hidup dalam jalan-Nya. Tidak ada yang mustahil bagi Allah.
  3. Konsep yang benar tentang rencana Allah. Maria tidak dapat melihat rencana keselamatan Allah untuk menebus dosa manusia. Mustahil baginya memahami rencana Allah yang melampaui batas waktu dan wilayah itu, tetapi ia bersukacita dapat menjadi bagian dari rencana Allah. Maria percaya bahwa bayi yang dikandungnya merupakan rencana Allah untuk menyelamatkan manusia. Itu sebabnya ia berseru, "Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah Juruselamatku" (Lukas 2:46-47). Sewaktu kita hamil di luar kesiapan, biasanya reaksi kita adalah, bahwa ini di luar rencana Allah. Sesungguhnnya kebalikannyalah yang terjadi: Ini di luar rencana manusia tetapi di dalam rencana Allah! Mungkin nantinya anak ini akan harus diserahkan kepada pihak yang lebih siap untuk membesarkannya, namun yang pasti adalah Tuhan memiliki rencana akan keberadaannya di dunia ini. Jadi, terima dan sayangilah anak ini.
  4. Konsep yang benar tentang dosa. Dosa adalah sikap dan tindakan melawan kehendak Allah karena tidak lagi mempercayai dan memperlakukan-Nya sebagai Allah. Tuhan tidak membiarkan dosa; Tuhan menghukum perbuatan dosa. Maria berkata, "sebab Ia memperhatikan kerendahan hamba-Nya... dan rahmat-Nya turun atas orang yang takut akan Dia... Ia menceraiberaikan orang yang congkak hatinya... Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar...." (Lukas 2:48-53). Maria tahu bahwa melawan kehendak Tuhan adalah dosa; kehamilan adalah bukti kehidupan yang Tuhan ciptakan dalam hidup kita dan itu berarti Ia menghendaki adanya kehidupan yang baru lewat tubuh kita. Firman Tuhan berkata, "Tangan-Mu telah menjadikan aku dan membentuk aku.... mata-Mu melihat selagi aku bakal anak dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk sebelum ada satu pun dari padanya." (Mazmur 119:73; 139:16) Jadi, janganlah kita berdosa dan menghilangkan ciptaan Tuhan yang hidup yang dititipkannya kepada kita.

Transkrip:
Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Aborsi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Ada banyak orang yang melakukan pengguguran anak atau aborsi dan dengan alasan yang bermacam-macam. Alasan apa yang biasa dikemukakan, Pak Paul?

PG : Memang ada beberapa namun yang umum adalah tidak siap mempunyai anak. Ada yang tidak siap karena telah memiliki banyak anak, ada yang belum siap karena belum ingin mempunyai anak kendati sdah menikah, atau ada yang belum siap karena belum dalam status menikah.

Tapi memang benang merahnya adalah ketidaksiapan mempunyai anak.
GS : Biasanya bisa diketahui kondisi anak di dalam kandungan, misalnya melalui USG dan terdapat kecacatan pada anaknya dan dia mengetahuinya kemudian mereka melakukan aborsi, apakah tepat kalau itu dijadikan alasan?

PG : Itu kadang juga dilakukan meskipun kasus seperti ini tidak dilakukan sebanyak yang seperti telah saya sebutkan, nanti kita akan membahas bagaimana kita bersikap untuk kasus-kasus seperti ii dan yang penting untuk kita soroti adalah bukan masalah si anak itu, kebanyakan argumen-argumen tentang aborsi adalah tentang anak itu, apakah dia sudah menjadi seorang anak atau belum atau hanya masih berbentuk janin dan sebagainya, kapan kehidupan itu mulai dan sebagainya, jadi terlalu fokus yang diberikan kepada si anak.

Yang akan saya lakukan adalah menyoroti masalah aborsi ini dari sudut rencana Allah dalam hidup kita. Jadi kita mau menengadah ke atas, kita mau melihat kita dan Tuhan, Tuhan dan kita. Dan bagaimana kita menempatkan aborsi dalam hubungan kita dengan Tuhan.
GS : Dalam hal ini apa yang bisa disampaikan kepada kami, Pak Paul?

PG : Untuk kita bisa membahaskan secara konkrit, saya memilih untuk menyoroti peristiwa kelahiran Tuhan Yesus yaitu pada waktu malaikat datang memberitakan kepada Maria, Ibu Yesus, bahwa dia akn mengandung dan bahwa dia akan melahirkan Tuhan Yesus.

Memang sudah tentu ada perbedaan besar antara penyebab kehamilan Maria dan kehamilan lainnya dewasa ini namun ada kesamaan situasi yang dialami wanita yang mengalami kehamilan yaitu dalam hal ini orang-orang tersebut tidak siap, dan Maria pun saat itu juga tidak siap. Kita akan melihat beberapa respons yang diperlihatkan Maria dan mudah-mudahan inilah yang bisa kita timba dalam kehidupan kita sewaktu kita menghadapi masalah yang sama. Yang pertama adalah kita mesti memiliki konsep yang benar tentang siapakah kita di hadapan Tuhan sewaktu malaikat Tuhan mengabarkan bahwa dia akan mengandung bayi Yesus. Maria adalah seorang gadis belia yang telah bertunangan dengan Yusuf dan dapat dibayangkan betapa terkejutnya Maria, dalam tanda kutip interupsi yang dialaminya itu, tidak ada angin dan hujan malaikat Tuhan datang, memberitahukan bahwa dia akan mengandung seorang anak sedangkan dia belum menikah. Ini adalah sebuah interupsi, sebuah kejutan, kehamilan bukanlah sesuatu yang ada dalam rencana kehidupannya, ini bisa kita pastikan. Dalam masa sekarang ada juga wanita yang tidak mengharapkan kehamilan oleh karena pelbagai alasan, biasanya respons yang diberikan adalah tidak menerimanya dan berusaha menghilangkan janin dalam kandungan karena kita tidak bisa menerima bahwa "Kenapa saya hamil, ini bukan dalam rencana kehidupan saya," maka kebanyakan atau wanita berkata, "Sudahlah saya tidak mau menerimanya, saya hilangkan saja janin dalam kandungan," tapi sekarang kita akan melihat bagaimana Maria menyikapi interupsi ini. Firman Tuhan di Lukas 1:38, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Maria menempatkan diri sebagai hamba Tuhan dan siap menerima apa pun yang ditetapkan Tuhan atasnya, sebaliknya orang yang memutuskan diri untuk aborsi tidak menempatkan diri sebagai hamba di hadapan Tuhan. Kita mesti melihat kehamilan sebagai penetapan Tuhan dan apa pun yang ditetapkanNya, menyenangkan atau tidak, harus kita terima karena kita adalah hambaNya.
GS : Ini menjadi masalah jika dia belum menikah, padahal kasusnya sama seperti Maria tapi Maria menyadari kalau kehamilannya datang dari Roh Kudus tapi seorang gadis yang belum menikah kemudian hamil. Apakah bisa menggunakan alasan ini, Pak Paul?

PG : Dengan kata lain, dia harus berkata bahwa meskipun dia hamil karena dosa yang dilakukannya tapi dia mesti menempatkan dirinya bahwa inilah yang Tuhan tetapkan dan inilah yang harus terjadi sebab kita mengetahui bahwa tidak semua orang mempunyai kesempatan mempunyai anak meskipun berusaha mencoba.

Jadi kalau benar-benar dia hamil, ini adalah sebuah tindakan Allah untuk menghadirkan seorang manusia di dalam dunia maka kita harus bersikap sebagai hamba, kita harus menerima penetapan itu, meskipun anak itu dikandung dari hubungan seksual di luar pernikahan yang memang adalah dosa. Namun sekali lagi kita mesti menempatkan diri sebagai hamba. Kalau kita berkata, "Saya tidak mau, saya mau hilangkan, saya mau aborsi," berarti kita menempatkan diri di hadapan Tuhan bukan sebagai hamba, kita menempatkan diri sebagai orang yang setara dengan Tuhan, makanya kita merasa tidak harus menerima penetapan Tuhan ini, kita merasa kita mempunyai hak yang sama dengan Tuhan. Ini adalah sikap yang mesti kita pelajari dari Maria.
GS : Tapi seringkali yang dipakai sebagai alasan adalah, "Saya tidak mampu membesarkan anak ini, dari pada anak ini menderita maka dilakukan aborsi saja."

PG : Nanti kita akan menyadari bahwa kita ini orang yang terbatas, kalau memang tidak mungkin kita membesarkan anak ini di usia yang masih muda, dalam kondisi yang seperti ini, biarkanlah! Nani Tuhan akan menetapkan orang tua yang lain untuk mengasuh dan membesarkan anak ini tapi pada intinya adalah, sikap kita adalah sikap seorang hamba, bukan sikap yang langsung mau mengambil keputusan, mengatur atas hidup kita.

Hidup ini bukan milik kita lagi, hidup ini milik Tuhan, jadi kita tidak lagi mempunyai hak atas hidup ini, atas hidup kita dan sebagainya, ini semua adalah hak milik Tuhan. Dan sikap seperti ini yang sering luput dilihat oleh banyak orang dalam menghadapi kehamilan di luar nikah.
GS : Karena kadang-kadang dia memikirkan tentang dirinya, didalam hal ini orang tersebut seringkali merasa dirinya sudah berdosa, jadi tidak berani mengaku sebagai hamba Tuhan.

PG : Jadi hamba di sini sudah tentu dalam pengertian sebuah sikap bahwa saya itu bukanlah pemilik atau empunya dari dunia ini, saya adalah hamba dan Tuhanlah yang empunya hidup saya atau diri sya, maka saya tidak berhak mengambil keputusan, dan hanya Tuhan sendiri yang memiliki keputusan itu.

GS : Termasuk juga pasangan suami istri yang mungkin keduanya sudah menggunakan alat kontrasepsi, tapi seberapa jauh alat ini akan mencegah tidak terjadi kehamilan, nyatanya tetap ada kehamilan terjadi dan ini juga sikap yang harus diambil.

PG : Betul. Jadi memang tadi saya sudah singgung, kebanyakan aborsi dilatar belakangi oleh ketidaksiapan untuk mempunyai anak, baik dalam naungan pernikahan maupun bukan di dalam pernikahan sebb memang tidak siap dengan adanya anak.

Dalam kasus dimana orang sudah menikah dan akhirnya hamil sering berkata, "Anak kita sudah banyak dan saya tidak mau lagi," itu salah! Kita harus menempatkan diri sebagai hamba, bukan kita yang memiliki hidup ini tapi Tuhan. Maka kalau Dia sudah menetapkannya seperti ini maka kita mesti menerima porsi ini.
GS : Untuk bisa sampai kepada konsep seperti itu Pak Paul, kita juga harus mempunyai konsep yang benar dulu tentang sebenarnya Tuhan itu siapa bagi kita?

PG : Tepat sekali. Jadi kita mesti mempunyai konsep yang benar tentang siapakah Tuhan, kalau kita kembali lagi kepada Maria, kita bisa melihat Maria mempercayai sepenuhnya akan perkataan Malaikt Tuhan kepadaNya, di Lukas 1:37 ditulis "Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil," ini sebuah perkataan yang luar biasa sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil, Allah adalah Tuhan pencipta dan penguasa alam semesta beserta isinya.

Maria tidak dapat menggunakan nalarnya untuk memahami apa yang tengah Tuhan lakukan kepadanya sebab hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya, Dia belum pernah melalui RohNya yang Kudus masuk dan dilahirkan sebagai manusia. Namun Maria percaya tidak ada yang mustahil bagi Dia, Maria tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di hari esok, ia tahu jika itu berasal dari Allah maka Allah akan memeliharanya. Kalau kita akan terapkan pada zaman sekarang ini, wanita yang hamil di luar kesiapannya pasti memikirkan hari esok dan memikirkan banyak hal. Kita mesti percaya bahwa Tuhan bukanlah Allah yang terbatas, Allah sanggup melakukan apa pun asal kita tunduk kepada kehendakNya dan hidup di dalam jalanNya sebab tidak ada yang mustahil bagi Allah.
GS : Kalau kita melihat kehidupan Maria, memang sejak awal Maria ini sudah dipersiapkan dididik oleh orang tuanya sehingga mempunyai konsep yang benar tentang Tuhan. Dan bagaimana dengan mereka yang melakukan aborsi ini, tapi tidak mempunyai konsep yang benar tentang Tuhan?

PG : Memang kita mesti mengajaknya melihat Allah lebih luas dari pada dirinya dan pemikirannya. Seringkali orang yang dirundung masalah, hamil di luar nikah atau sedang mengalami kehamilan yan tidak diinginkan, tidak melihat Tuhan seluas dan sebesar Tuhan apa adanya, justru menyempitkan Tuhan sesempit pemikiran manusia, bahkan kita sudah membayangkan semua yang buruk yang akan menimpa kita, tidak! Tuhan itu lebih besar, Dia berkuasa, Dia sanggup memelihara baik kita maupun anak ini.

Sekali lagi jangan kita khawatirkan, kita hanya perlu taati Tuhan, jangan mencemaskan Tuhan, taati saja Tuhan, kita lakukan kehendak Tuhan, jalani perintahNya saja. Nanti Tuhan akan pelihara anak ini, sekali lagi kalau kita belum siap untuk memelihara anak ini, akan ada orang tua lain yang nanti akan Tuhan tetapkan untuk mengasuh dan memelihara anak ini. Mungkin kita pernah punya kenalan yang telah dianugerahkan anak dari adopsi, kita bisa melihat sukacita mereka memperoleh anak, memang mereka merindukan seorang anak tapi mereka bisa melahirkan. Ada orang yang dulu tidak punya anak dan sekarang punya anak, hidupnya begitu berbeda, penuh dengan sukacita, dan memang anak itu pada masa kecil benar-benar tidak tahu bahwa ibu ini bukan ibu yang melahirkan dia dan ayah yang sekarang ini bukanlah ayah kandungnya, dia tidak tahu! Dan memang tidak penting, karena yang diperlukan anak adalah kasih sayang, perawatan pemeliharaan dari orang tuanya. Inilah yang diperlukan oleh anak dan ada orang tua lain yang memberikan semua ini.
GS : Kalau seseorang tidak memiliki konsep yang benar dengan Tuhan, bukan tidak mungkin dia menyalahkan Tuhan kenapa bisa sampai terjadi kehamilan, padahal dia belum siap. Pasti Tuhan juga tahu kalau dia tidak siap.

PG : Memang kembali kepada satu pokok hal yang mesti kita angkat yaitu kita mesti memiliki konsep yang benar tentang rencana Allah, kalau kita menyalahkan Allah, kita sebetulnya berkata bahwa "uhan mengapa rencanaMu bisa salah, melenceng, saya bisa hamil seperti ini."

Kita mesti memiliki konsep yang benar tentang rencana Allah, kita akan kembali lagi kepada Maria. Maria tidak bisa melihat rencana keselamatan Allah untuk menebus dosa manusia, mustahil bagi dia memahami rencana Allah yang melampaui batas waktu dan wilayah itu, dia belum mengerti tentang Yesus yang menjadi Juruselamat bagi manusia, dan dia baru diberitahu oleh Malaikat. Tapi ini yang penting yaitu dia bersukacita, dia dapat menjadi bagian dari rencana Allah. Maria percaya bahwa bayi yang dikandungnya merupakan rencana Allah untuk menyelamatkan manusia. Itu sebabnya dia berseru di Lukas 1:46-47, "Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku," coba kita terapkan dalam kondisi sekarang ini. Sewaktu kita hamil di luar kesiapan biasanya reaksi kita adalah ini semua di luar rencana Allah. Sesungguhnya kebalikannya yang terjadi, memang ini di luar rencana manusia tapi di dalam rencana Allah, ada rencana Allah yang ingin digenapiNya lewat kelahiran anak ini, mungkin anak ini akan harus diserahkan kepada pihak yang lebih siap untuk membesarkannya. Namun yang pasti adalah Tuhan memiliki rencana akan keberadaannya di dunia ini, jadi terima dan sayangi anak ini.
GS : Memang posisi Maria saat itu sangat sulit Pak Paul, apalagi pada zaman saat itu, dimana tidak ada orang yang mentolerir ada gadis hamil Pak Paul. Sebenarnya bagaimana Maria bisa mengatasi perasaannya bahwa Dia pasti akan dicemoohkan orang, Pak Paul.

PG : Dalam hal ini kita bisa melihat sebuah kehidupan anak Tuhan yang begitu matang, diduga umur Maria saat itu masih belasan tahun sebab pada masa itu wanita-wanita Yahudi menikah pada usia yag masih sangat belia.

Tapi kita bisa membayangkan tingkat kematangan rohani yang begitu tinggi dalam diri Maria, begitu matangnya dia sehingga dia tidak lagi menghiraukan tentang hidupnya, tentang reputasinya, tentang pandangan orang terhadap dirinya, sebab dia tahu ini dari Tuhan. Sebab dia yakin karena ini dari Tuhan, dia percaya ini adalah rencana Tuhan dan rencana Tuhan akan Tuhan genapi untuk kebaikan. Maka dia bersedia menjadi bagian dari rencana Tuhan. Dari percakapan pertama dengan Malaikat kita bisa melihat bahwa tidak ada spirit atau roh pemberontak dalam diri Maria. Memang kalau kita bandingkan kelahiran Yohanes Pembaptis, ayahnya seorang imam besar Zakharia, waktu dia diberitahukan bahwa nanti dia akan mempunyai anak di hari tuanya, responsnya adalah dia susah percaya. Tapi seorang Maria yang berusia belia, tidak memiliki pendidikan kerohanian yang tinggi tapi memiliki kerohanian yang begitu tinggi, maka dengan apa adanya dia langsung menerima, apa pun konsekuensi, dia berani tanggung karena dia tahu kalau dia berjalan di dalam rencana Allah, demikian juga kepada wanita yang tengah menghadapi masalah yang sama, yang penting lakukanlah semua seturut dengan cara dan kehendak Tuhan, yang terpenting adalah taatilah Tuhan. Jangan khawatirkan yang lainnya, Tuhan akan dapat menolong, Tuhan akan dapat memelihara kalau kita tahu bahwa kita berjalan di dalam kehendak Tuhan, benar-benar kita tidak perlu lagi takut akan konsekuensi dari manusia.
GS : Dan rupanya dia sangat yakin bahwa keluarganya pun juga memahami hal ini Pak Paul, dengan dia berkunjung ke rumah Elisabet dan ternyata Elisabet juga bisa menyambut Maria dengan baik.

PG: Dan bukan saja disambut tapi dikonfirmasi bahwa pada akhirnya bayi yang dikandung olah Maria adalah dari Allah sendiri. Makanya Elisabet langsung berkata bahwa, "Anak dalam kandungannya (Yoanes pembaptis) langsung melonjak seolah-olah bersukacita bisa melihat Yesus", bahkan masih dalam wujud kandungan ibunya.

GS : Memang kadang-kadang kita masih bisa mengabaikan pandangan masyarakat, tapi pandangan keluarga juga penting, karena kita tidak bisa lari. Tapi Maria cukup percaya diri untuk bisa melakukan itu.

PG : Yang kita bisa simpulkan adalah bahwa orang tua Maria pun juga tidak ada sedikitpun keraguan tentang integritas putri mereka, karena mereka melihat seperti apa puteri mereka, tidak mungkinputeri mereka ini akan mengarang sebuah cerita.

Kalau orang yang tidak percaya kepada anaknya akan dengan cepat menuduh anaknya, "Kamu mengarang cerita, mana mungkin Allah turun ke atas kamu dan kamu akan mengandung dan melahirkan anak dari Roh Tuhan yang Kudus itu, tidak mungkin. Kamu hanya mengarang cerita menutupi dosa dan aibmu," tapi itu tidak terjadi! Dan rupanya orang tuanya memiliki kepercayaan yang penuh kepada puteri mereka, dia hanyalah seorang anak yang memang taat kepada Tuhan, hidup saleh di hadapan Tuhan. Maka mereka percaya, kalau itu yang dikatakan Maria berarti itu yang terjadi. Jadi kita bisa melihat sebuah keharmonisan dan Tuhan menetapkan ini semua terjadi di dalam sebuah keluarga yang Tuhan tahu akan sanggup menerima Maria dan memberi dukungan kepada dia tanpa harus menambahkan penderitaan Maria karena disalah mengerti.
GS : Jadi dalam hal ini sebenarnya peranan keluarga untuk bisa menerima Maria apa adanya ini sangat penting dan menolong Maria untuk bisa menjalani masa kehamilannya dengan baik, Pak Paul. Karena Yusuf sendiri pada mulanya juga mau menceraikan Maria dengan diam-diam.

PG : Betul sekali. Dan mungkin pendengar kita yang belum begitu mengerti tentang kebudayaan Yahudi akan bertanya-tanya, "Tadi dikatakan dia belum menikah, masih bertunangan tapi ada istilah maubercerai."

Karena memang di dalam adat istiadat mereka, ada tahapan-tahapan sebelum pernikahan. Jadi yang paling akhir adalah sebuah pesta pernikahan, namun sebelumnya itu ada yang disebut dengan pertunangan tapi pertunangan itu lebih serius lagi. Jadi sebuah pengikatan dengan sebuah kepastian, nanti hanya tinggal menunggu hari dimana mereka akan dinikahkan. Jadi statusnya sama yaitu mengikat tapi memang belum tinggal bersama. Tahap sebelum itu adalah tahap pertunangan seperti yang kita sudah kenal sekarang, dimana kedua orang itu akan dikenalkan misalkan mereka saling menyukai maka diikat sebagai tunangan dan itu masih dalam tahap pertama, dan statusnya memang tidak sama dengan pertunangan tahap kedua. Maria dan Yusuf rupanya sudah sampai pada pertunangan tahap kedua, maka kalau sampai berpisah, maka itu prosesnya sama persis dengan perceraian dalam pernikahan.
GS : Pak Paul, mungkin ada konsep lain yang perlu dipahami?

PG : Yang terakhir adalah kita mesti memiliki konsep yang benar tentang dosa. Dosa adalah sikap dan tindakan melawan kehendak Allah karena tidak lagi mempercayai dan memperlakukannya sebagai Alah, Tuhan tidak membiarkan dosa, Tuhan menghukum perbuatan dosa.

Maria berkata di Lukas 2:48-53 "Sebab Tuhan memperhatikan kerendahan hambaNya, dan RahmatNya turun atas orang yang takut akan Dia, Ia menceraiberaikan orang yang congkak hatinya, Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar." Maria tahu bahwa Tuhan adalah Allah yang Kudus dan bahwa Tuhan menghukum perbuatan dosa, melawan kehendak Tuhan adalah dosa, kehamilan adalah bukti kehidupan yang Tuhan ciptakan dalam hidup kita, dalam tubuh kita dan itu berarti Tuhan menghendaki adanya kehidupan yang baru lewat tubuh kita. Firman Tuhan berkata di Mazmur 119:73, 139:16, "Tangan-Mu telah menjadikan aku dan membentuk aku, mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya." Jadi janganlah kita berbuat dosa dan menghilangkan ciptaan Tuhan yang hidup yang telah dititipkannya kepada kita.
GS : Jadi kalau ada kehamilan di luar nikah dan direncanakan untuk melakukan aborsi, sebenarnya kita melakukan dosa dua kali, Pak Paul. Bisa terjadi suatu kehamilan itu sudah merupakan dosa dan melakukan pengguguran dengan aborsi ini menjadi dosa yang lain lagi, Pak Paul.

PG : Betul Pak Gunawan, kita jangan sampai menyelesaikan dosa dengan melakukan dosa yang lain. Maria memang memiliki pengertian yang jelas tentang dosa, Tuhan akan menceraiberaikan orang yang cngkak tapi Tuhan akan melimpahkan orang yang lapar.

Jadi dia tahu bahwa Tuhan akan menghukum dosa dan kita mesti memiliki konsep yang benar tentang dosa pula, jangan menambahkan dosa pula, kehamilan adalah bukti bahwa inilah yang Tuhan kehendaki, ada kehidupan dalam tubuh kita dan Dia menghendaki untuk kehidupan itu ada, jangan kita menghilangkannya. Jadi inilah yang Tuhan minta dari kita, saya mengerti ini semua tidak gampang dilewati, cobaan, godaan untuk aborsi akan sangat kuat dan sangat banyak, bahkan mungkin dari keluarga sendiri. Tapi kita mesti kembali kepada kita dan Tuhan, bagaimanakah kita bisa mempertanggungjawabkan semua ini di hadapan Tuhan. Jadi ingat kita dan Tuhan, lakukanlah apa yang Tuhan kehendaki dan berjalanlah di dalam kehendakNya itu.
GS : Kalau memang dia sudah menikah, dukungan suami terhadap istri sangat penting sekali Pak Paul, kalau suaminya justru menganjurkan untuk aborsi maka ini akan memposisikan si calon ibu ini dengan kondisi yang sangat sulit sekali.

PG : Betul. Memang dalam hal ini si ibu juga harus tegas tapi juga harus dengan lembut menyadarkan suami bahwa kita jangan melihat anak ini tapi kita lihat Tuhan, Tuhan yang memberikan maka Tuhn akan memelihara kita.

Apakah nanti kita yang memeliharanya itu masalah kedua, mungkin Tuhan menghendaki anak ini dipelihara oleh orang lain yang memang lebih sanggup. Jadi bicaralah kepada suami seperti itu, kalau suaminya berkata, "Baiklah kita pelihara sama-sama, kita sayangi anak ini, kita percayakan kepada Tuhan hidup kita ini." Jadi sekali lagi fokusnya tidak lagi pada si anak, tapi pada Tuhan dan kita dengan Tuhan.

GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Aborsi." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



51. Anak dan Kemajuan Teknologi


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T259A (File MP3 T259A)


Abstrak:

Kendati kemajuan teknologi dicicipi oleh semua lapisan masyarakat, namun tidak bisa disangkal bahwa kelompok remaja adalah kelompok yang paling memanfaatkan kemajuan ini. Tidak heran, generasi remaja sekarang dijuluki Generasi M—singkatan dari multi-tasking yang berarti melakukan beberapa hal pada saat bersamaan. Di sini akan dijelaskan beberapa tanggapan terhadap pengaruh positif maupun negatif kemajuan teknologi pada perkembangan hidup anak.


Ringkasan:

Kendati kemajuan teknologi dicicipi oleh semua lapisan masyarakat, namun tidak bisa disangkal bahwa kelompok remaja adalah kelompok yang paling memanfaatkan kemajuan-kemajuan ini. Lihat saja permainan video yang sekarang begitu canggih dan melibatkan tiga dimensi. Disamping itu remaja pun dapat menikmati musik lewat iPod, bercengkerama lewat chatting, sms, email, dan dapat berkreasi sekaligus berkomunikasi lewat FaceBook, dan YouTube. Tidak heran, generasi remaja sekarang dijuluki Generasi M-singkatan dari multi-tasking yang berarti melakukan beberapa hal pada saat bersamaan. Berikut adalah beberapa tanggapan terhadap pengaruh positif maupun negatif kemajuan teknologi pada perkembangan hidup anak.

Pengaruh Positif
  1. Kemajuan teknologi tidak bisa tidak membuat anak jauh lebih fasih dengan teknologi, terutama teknologi informasi. Sudah tentu semua ini berdampak baik karena kemajuan ini membawa banyak kemudahan seperti kemudahan mendapatkan informasi dan kemudahan menjalin kontak.
  2. Kemajuan teknologi juga telah menciptakan sebuah kolam pergaulan lewat jalur maya. Tidak bisa tidak, anak dapat mengenal dan menjalin hubungan dengan lebih banyak orang dari pelbagai belahan dunia.
  3. Kemajuan teknologi telah menciptakan beragam permainan yang kreatif dan menantang. Banyak anak yang termasuk kategori ADHD diuntungkan oleh permainan ini oleh karena tingkat kreativitas dan tantangan yang tinggi.
Pengaruh Negatif
  1. Kemajuan teknologi berpotensi membuat anak cepat puas dengan pengetahuan yang diperolehnya sehingga menganggap bahwa apa yang dibacanya di internet adalah pengetahuan yang terlengkap dan final. Pada faktanya ada begitu banyak hal yang mesti digali lewat proses pembelajaran tradisional dan internet tidak bisa menggantikan kedalaman. Kalau tidak dicermati, maka akan ada kecenderungan bagi generasi mendatang untuk menjadi generasi yang cepat puas dan cenderung berpikir dangkal. Membaca 300 halaman buku yang ditulis secara cermat lewat proses pemikiran yang panjang tidak sama dengan membaca beberapa lembar halaman berisikan kesimpulan di layar komputer. Sebaiknya orangtua terus mendorong anak untuk membaca buku bermutu di samping memanfaatkan informasi dari internet. Juga, secara berkala ajaklah anak berdiskusi sebab proses pengambilan keputusan yang efektif tercapai lewat dialog dua arah. Lewat dialog anak dilatih untuk mendengarkan masukan atau pendapat lain sekaligus memberi respons yang tepat.
  2. Oleh karena kemajuan teknologi membawa banyak kemudahan, maka generasi mendatang berpotensi untuk menjadi generasi yang tidak tahan dengan kesulitan. Dengan kata lain, asumsi yang tersirat dalam diri anak adalah bahwa hidup ini seharusnya mudah. Singkat kata, pada akhirnya anak berpacu untuk menyederhanakan masalah dan berupaya menghindari kesukaran. Sudah tentu orangtua tidak perlu melarang anak untuk menikmati kemudahan-kemudahan ini; tugas orangtua di sini adalah mendampingi anak tatkala ia tengah menghadapi kesulitan. Amatilah kecenderungannya untuk mencari jalan pintas dan ajaklah untuk memikirkan alternatif penyelesaian. Doronglah anak untuk bersabar dan menantikan Tuhan dalam menghadapi kebuntuan.
  3. Kemajuan teknologi mempercepat segalanya dan tanpa disadari anak pun dikondisikan untuk tidak tahan dengan kelambanan dan keajegan. Alhasil anak makin hari makin lemah dalam hal kesabaran serta konsentrasi dan cepat menuntut orang untuk memberi yang diinginkannya dengan segera. Hal ini perlu mendapat perhatian orangtua. Sekali lagi, respons yang tepat bukanlah melarang anak untuk memanfaatkan teknologi melainkan mendorongnya untuk berkonsentrasi mendengarkan sesuatu yang bersifat monologis. Juga, ajaklah anak untuk mengembangkan toleransi yang besar terhadap perbedaan-bahwa tidak semua orang dan hal harus berjalan secepat yang diinginkannya.
  4. Kemajuan teknologi juga berpotensi mendorong anak untuk menjalin relasi secara dangkal. Waktu untuk bercengkerama secara langsung berkurang karena sekarang waktu tersita untuk menikmati semuanya dalam kesendirian. Bahkan permainan pun bersifat individual sehingga makin memperkecil jalinan relasi. Semua ini bisa berdampak negatif terhadap pernikahannya dan relasi kerjanya kelak. Ia terbiasa menjalin relasi tidak langsung lewat jasa on-line, sehingga tidak mudah baginya untuk masuk ke dalam relasi yang mendalam. Dan, kita tahu relasi menuntut kesabaran dan ketabahan. Jadi, doronglah anak untuk tidak mengabaikan pergaulan dengan teman sebab relasi dibangun lewat pergaulan berbagi hidup.
Firman Tuhan:
"Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu. " (Yesaya 30:15) Terpenting adalah mengajar anak bahwa semua kemajuan teknologi tidak boleh menggantikan Tuhan di dalam hidupnya. Pada akhirnya semua ini tidak akan dapat menyelamatkannya dari dosa; hanya Tuhan dan kasih karunia-Nya yang menyelamatkan kita dari dosa. Problem teknologi dapat dipecahkan lewat teknologi namun masalah relasi dan hati manusia, tidak akan dapat diselesaikan lewat teknologi.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak dan Kemajuan Teknologi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Pak Paul, kita melihat sekarang kita hidup di era kemajuan teknologi yang sangat luar biasa. Bagi kita yang lebih dewasa ini, lebih mudah untuk mengantisipasinya tetapi bagaimana dampak kemajuan teknologi ini terhadap anak-anak yang dulu Pak Paul katakan tidak ada pagarnya.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Kita ini memang harus mencermati dampak kemajuan teknologi pada perkembangan hidup anak dan kita harus menyadari bahwa segala sesuatu itu bisa berdampak positif tau pun berdampak negatif, itu sebabnya kita perlu mencermati hal-hal apa saja yang menjadi dampaknya.

Kita tahu sekarang begitu berlimpah ruahnya misalkan permainan video, sekarang sudah menggunakan 3 dimensi. Dan kemudian teknologi informasi itu benar-benar telah membuka keran komunikasi antara anak-anak seperti "chatting", SMS, belum lagi masuk ke internet dan kemudian misalnya membuat "FaceBook", atau bisa melihat di "YouTube" atau membuka blog-blog tertentu dan ini semua memang adalah hal-hal yang baru. Dan anak-anak sekarang ini disebut anak-anak generasi M. Kenapa disebut generasi M, karena di Amerika disebut "multi-tasking" artinya mampu mengerjakan banyak hal sekaligus. Saya memperhatikan anak saya kalau sedang belajar, bukunya di depan tangan sedang menulis tapi kadang-kadang menaruh bolpoint dan langsung "chatting", kadang-kadang membalas email, kita tahu "chatting" dengan email itu berbeda. Dan kadang-kadang masuk ke "FaceBook" dan dia melihat "FaceBook" temannya, kadang-kadang dia masuk lagi ke "YouTube" nonton acara-acara tertentu. Itu semua dilakukan dalam jam yang sama, detik yang sama dan memang fokusnya pada belajar. Itulah generasi anak-anak sekarang ini, kalau kita sekarang disuruh seperti itu, maka mungkin sekali kepala kita akan pening, tapi anak-anak memang terbiasa. Kita sekarang ini akan berbicara kira-kira apa dampak-dampaknya.
GS : Dan memang sejak dini, anak itu rupanya dibuat untuk tidak gagap dengan teknologi. Artinya sangat 'familiar' dengan kemajuan teknologi seperti itu, Pak Paul?

PG : Dan kita ini sudah tertinggal jauh dengan hal-hal yang mereka miliki itu dan kita sekarang ini memang benar-benar buta teknologi, tapi mereka cepat sekali untuk belajarnya.

GS : Mungkin juga keingintahuan yang besar dari anak ini terjawab dengan adanya kemajuan teknologi seperti itu, Pak Paul.

PG : Saya kira benar, Pak Gunawan, dan sekarang banyak hal yang cepat untuk mereka ketahui lewat teknologi informasi yang sudah begitu canggih.

GS : Tapi seperti tadi yang telah Pak Paul janjikan. Kita akan membahas dampak positif dan dampak negatifnya. Dan sekarang lebih baik kita berbicara dampak positifnya lebih dulu.

PG : Baik. Yang pertama adalah kemajuan teknologi tidak bisa tidak akan membuat anak jauh lebih fasih dengan teknologi, terutama teknologi informasi dan ini adalah dampak baiknya karena kemajua seperti ini membawa banyak kemudahan seperti kemudahan mendapatkan informasi, kemudahan memperoleh kontak.

Belum lagi keterampilan-keterampilan seperti ini dibutuhkan dalam pekerjaannya sebab sekarang ini semua pekerjaan hampir dapat dipastikan akan memakai teknologi informasi dan komunikasi. Jadi benar-benar mereka itu nantinya disiapkan untuk masuk ke dunia kerja mereka.
GS : Dan itu berarti anak ditantang untuk mau berusaha lagi menguasai teknologi yang perkembangannya sangat cepat itu tadi, Pak Paul?

PG : Betul sekali, dan kata cepat memang kata yang tepat sebab apa yang sekarang menjadi modern dan baru, tahun depan sudah menjadi kuno bagi mereka. Dengan mereka mengikutinya jadi mereka tida ketinggalan.

GS : Untuk itu mereka kadang-kadang tidak segan-segan untuk mempelajari bahasa asing, khususnya bahasa Inggris untuk memahami teknologi itu sendiri, Pak Paul?

PG : Betul. Dan kalau berbicara tentang bahasa Inggris, sekarang pun sudah ada begitu banyak program 'online' agar kita bisa belajar bahasa dengan lebih cepat. Jadi memang sekali lagi kemajuan ni membawa mereka sangat fasih dan memudahkan mereka mendapatkan pengetahuan dan informasi.

GS : Bagaimana dengan pergaulan, Pak Paul? Pergaulan anak-anak sampai remaja ini.

PG : Pada zaman kita, pergaulan itu dibatasi oleh lingkup atau geografi tapi sekarang tidak lagi. Jadi ada anak-anak yang mempunyai teman di belahan dunia berbeda atau di pulau berbeda dan di dlam satu kolam, mereka itu berkumpul, bisa bercakap-cakap melalui "FaceBook", mereka bisa berbagi, menjadi anggota atau menjadi anggota dari "mailing list" dan itu semua disatukan.

Sehingga yang tadinya jauh, sekarang menjadi dekat. Jadi ini adalah salah satu dampak positifnya juga.
GS : Bahkan kadang-kadang ada di antara mereka sampai berpacaran dan akhirnya menikah hanya lewat dunia maya seperti ini.

PG : Dan memang ada, yang saya kenal seperti itu. Pacarannya lewat email, berkenalan, kirim foto, kemudian berjumpa beberapa kali lalu menikah dan mudah-mudahan memang mereka siap menikah dan iu memang benar-benar terjadi.

GS : Bagaimana dengan dampak positif yang lain, Pak Paul?

PG : Yang lain adalah dampak kemajuan teknologi telah menciptakan beragam permainan kreatif dan menantang. Banyak anak yang termasuk kategori ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) diuntngkan oleh permainan ini oleh karena tingkat kreatifitas dan tantangan yang tinggi.

Jadi orang tua yang dibuat letih oleh anak-anak super aktif ini dan sukar konsentrasi, dia mendapatkan kelegaan, istirahat, karena si anak bisa duduk main video games yang memang menantang dan kreatif itu sehingga akhirnya dia bisa duduk juga, duduk tenang dan berkonsentrasi. Jadi sekali lagi saya tidak anti dengan permainan video games yang dapat juga bermanfaat digunakan secara tepat untuk anak-anak yang memang memerlukan daya konsentrasi tinggi.
GS : Jadi dengan bimbingan seorang konselor yang handal, kemajuan teknologi ini bisa digunakan sebagai terapi untuk anak-anak yang bermasalah seperti itu.

PG : Betul. Saya seringkali memberikan saran kepada orang tua, biarkan untuk anak-anak yang super aktif ini untuk duduk dan main video games, tapi yang penting waktunya harus dibatasi dan biarkn mereka bermain karena itulah yang dapat membuat mereka duduk tenang untuk belajar berkonsentrasi, dari pada dia sama sekali tidak ada alat bantu untuk menolongnya duduk diam maka lebih baik gunakan itu, kalau tidak maka dia akan lari ke sana-ke sini dan mungkin akan banyak menimbulkan dampak kerugian.

Dengan adanya video games atau permainan seperti ini maka mereka bisa duduk tenang dan belajar untuk berkonsentrasi pula.
GS : Dan itu meningkatkan kreatifitas mereka Pak Paul, dalam menggambar atau melakukan yang baik dan sebenarnya banyak.

PG : Betul sekali. Karena memang kebanyakan games ini diciptakan oleh orang-orang yang mempunyai daya kreatifitas yang tinggi. Jadi anak-anak yang bermain itu, lama-kelamaan akan belajar mencipakan seperti video games.

GS : Bahkan sampai robot-robot yang sederhana banyak diciptakan oleh anak-anak yang masih relatif muda.

PG : Betul sekali dan memang sekali lagi menuntut kreatifitas yang tinggi pula.

GS : Namun kita tidak menutup mata bahwa disamping ada dampak-dampak positif seperti itu, tentu ada dampak-dampak negatifnya, Pak Paul? Itu apa saja, Pak Paul?

PG : Ada beberapa, Pak Gunawan dan yang pertama adalah kemajuan teknologi berpotensi membuat anak cepat puas dengan pengetahuan yang diperolehnya sehingga menganggap apa yang dibacanya di interet adalah pengetahuan yang terlengkap dan final.

Ini adalah dampak negatif sebab pada faktanya ada banyak hal yang mesti digali lewat pembelajaran tradisional dan internet tidak bisa menggantikan kedalaman. Maka kalau tidak dicermati, akan ada kecenderungan bagi generasi mendatang untuk menjadi generasi yang cepat puas dan cenderung berpikir dangkal. Saya mau tekankan hal ini yaitu membaca 300 halaman buku yang ditulis secara cermat lewat proses pemikiran yang panjang, tidak sama dengan membaca beberapa lembar halaman berisikan kesimpulan di layar komputer. Jadi ada anak-anak yang cenderung beranggapan, "Saya sudah tahu, saya sudah baca", di mana membacanya? "Di internet". Kita tahu informasi yang ditayangkan di internet seringkali lebih bersifat ringkasan-ringkasan, bukan merupakan sebuah penulisan yang mendalam. Dan ini kita mesti cermati, sebagai orang tua ada baiknya kita harus mendorong si anak untuk membaca buku-buku bermutu, disamping memanfaatkan informasi dari internet. Misalkan juga secara berkala kita mengajak anak berdiskusi sebab proses pengambilan keputusan yang efektif tercapai lewat dialog dua arah. Karena lewat dialog, anak dilatih untuk mendengarkan masukan atau pendapat lain sekaligus memberikan respons yang tinggi, dari pada dia duduk pasif, membaca, menyimpulkan, maka ajak dia bicara, diskusi sehingga dia belajar menarik kesimpulan berdasarkan sebuah dialog. Dialog itu memaksa anak untuk melihat dari kaca mata orang lain, kalau dari internet atau yang dia baca yaitu searah, dengan adanya dialog dia belajar untuk melihat dari kaca mata orang, belajar membela pendapatnya juga, belajar menghargai pendapat orang lain juga dan itu saya kira tidak bisa digantikan oleh kemajuan teknologi.
GS : Ada dampak negatif yang lain, Pak Paul?

PG : Yang lain adalah oleh karena kemajuan teknologi itu membawa banyak kemudahan maka generasi mendatang berpotensi menjadi generasi yang tidak tahan dengan kesulitan. Dengan kata lain, asumsiyang tersirat dalam diri anak adalah bahwa hidup ini seharusnya mudah.

Singkat kata akhirnya anak berpacu untuk menyederhanakan masalah dan berupaya menghindari kesukaran. Sudah tentu sebagai orang tua kita tidak perlu melarang anak untuk menikmati kemudahan-kemudahan ini, tugas orang tua di sini adalah mendampingi anak, tatkala anak menghadapi kesulitan. Jadi amatilah kecenderungannya untuk mencari jalan pintas dan ajaklah dia untuk memikirkan alternatif penyelesaian. Jadi jangan sampai anak kita itu akhirnya terkotak di dalam suatu pola hidup yang terlalu mudah menyerah pada kesukaran dan selalu mau mencari jalan pintas. Dan ini sebetulnya secara tidak langsung disebabkan oleh kemajuan teknologi yang terlalu banyak membawa kemudahan.
GS : Memang prinsipnya kebanyakan mengatakan, "Kalau bisa dikerjakan dengan mudah, kenapa kita harus mencari yang sukar?" seperti itu, Pak Paul.

PG : Memang kalau kita bisa mendapatkan jalan keluar yang lebih mudah, itu baik dan silakan. Tapi masalahnya adalah karena kita itu tidak lagi mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kesukara maka kecenderungan kita akhirnya tidak mau menghadapi masalah atau bukan saja kita lari dari masalah namun ada kecenderungan menyederhanakan masalah yang seharusnya rumit.

Sehingga karena kita tidak lagi mau melihat masalah secara utuh, kita hanya memotong sana-sini akhirnya tidak lagi bisa membereskan masalahnya dengan tepat. Dan saya kira anak-anak juga harus diamati di dalam hal seperti ini, waktu dia menghadapi kesulitan, kecenderungannya untuk lari dan sebagainya itu mesti kita perhatikan, kita ajak dia bicara, kita ajak dia untuk memikirkan, memertimbangkan apa jalan keluarnya, apa alternatifnya sehingga dia belajar untuk diam, untuk bisa menghadapi. Sudah tentu kita jangan bereaksi marah "Kamu ini cepat menyela", langsung memarahi dia, itu tidak efektif tapi dampingi dia dan ajaklah dia untuk melihat alternatif penyelesaiannya.
GS : Menjadi sifat anak untuk cepat lari dari kenyataan yang tidak enak seperti itu. Jadi memang dia atau mereka lebih berusaha untuk menyelesaikan masalah itu cepat-cepat atau lari dari kenyataan itu.

PG : Dan saya takut sekali, Pak Gunawan, di dalam generasi mendatang ini kecenderungan itu akan memburuk. Sebetulnya kita harus akui, ada di antara generasi kita ini yang misalnya usianya paro aya dengan generasi orang tua kita yang sudah tujuh puluh atau delapan puluhan, sebetulnya itu sudah ada gap.

Generasi orang tua kita saya kira adalah generasi yang lebih sabar, lebih tahan menderita karena zaman-zaman itu kemudahan-kemudahan teknologi belum ada dan hidup itu jauh lebih sulit, jadinya orang lebih terbiasa dengan kesulitan namun karena kita hidup dalam generasi yang sudah lebih baik atau lebih banyak kebaikan dan kemudahan maka kita itu sebetulnya tidak terlalu kuat lagi menghadapi kesukaran-kesukaran dan derita, dan saya takut nanti generasi di bawah kita akan lebih buruk lagi karena kemudahan-kemudahan itu makin melimpah ruah sehingga mereka semakin tidak tahan dengan yang namanya susah, sukar, atau menderita, mereka semakin tidak tahan. Jadi akhirnya terburu-buru dan sebagai contoh adalah salah satu hal yang makin hari makin menjamur adalah perceraian. Perceraian adalah bukti bahwa bukan saja kita itu keliru memilih pasangan hidup karena terlalu tergesa-gesa, tidak melihat semua secara utuh. Tapi salah satu penyebab utamanya adalah kesulitan kita untuk duduk diam dengan penderitaan itu dan kita ingin segera lari, akhirnya mengambil jalan pintas yaitu cerai saja.
GS : Tapi masalah juga berkembang begitu rupa sehingga masalah-masalah saat ini jauh lebih kompleks dari pada generasi orang tua kita atau bahkan kita.

PG : Itu betul. Memang sekarang masalah lebih beragam tapi kalau kita bicarakan tentang kadar intensitas atau derajat keparahannya, saya kira sama. Setiap zaman mempunyai masalah-masalah terseniri yang tidak kalah beratnya.

Misalnya waktu orang tua kita masih muda hidup di dalam kondisi yang sangat minim karena masih dalam penjajahan dan sebagainya, sudah tentu itu adalah suatu tekanan ekonomi yang berat untuk mereka yaitu hidup di dalam keterbatasan tapi mereka menerima dan belajar untuk menghadapinya. Dan saya kira generasi-generasi mendatang lebih tipis lagi kemampuan untuk bertahan di dalam derita itu.
GS : Mungkin ada dampak negatif yang lain, Pak Paul?

PG : Yang lain adalah kemajuan teknologi mempercepat segalanya dan tanpa disadari anak-anak pun dikondisikan untuk tidak tahan dengan kelambanan dan keajegan. Misalkan dengan internet, dulu untk kita bisa masuk ke internet memakai saluran telepon, dan kita menunggu lama barulah bisa masuk tapi sekarang tidak perlu lagi karena bisa menggunakan 'wireless' dan makin hari makin cepat.

Jadi sekarang begitu kita membuka, kita bisa langsung masuk. Sekarang misalnya program-program sudah begitu cepat sekali sehingga sekarang masuk, kemudian berpindah, itu sudah begitu cepat melalui internet sedangkan dulu lebih lambat. Maka untuk kita yang terbiasa dengan cepat, waktu menghadapi kelambanan, susah untuk menerimanya artinya kalau kita tidak hati-hati, generasi mendatang ini akan menjadi generasi yang susah sabar Pak Gunawan, susah sekali menoleransi kelambanan dan ada satu lagi yang sama pentingnya adalah susah menerima keajegan yang sama, karena maunya yang bervariasi. Makanya anak-anak kalau tidak hati-hati sangat mudah jemu, sedikit-sedikit merasa bosan, kalau diajak orang tua alasannya adalah bosan. Kalau kita bandingkan dengan dulu, bukankah kita jarang mengatakan bosan karena memang kurang hiburan, pilihannya terbatas. Jadi kalau diajak ke luar walau hanya satu minggu sekali atau dua minggu sekali, rasanya sudah senang sekali. Tapi anak-anak sekarang kalau diajak pergi ke suatu tempat dan diminta ke sana lagi mereka sudah bosan. Jadi derajat kemampuannya untuk menoleransi yang sama itu makin hari, makin menipis. Kita mesti mengajar anak untuk belajar sabar dan juga belajar untuk menerima keajegan. Makanya sebagai hamba Tuhan saya juga semakin menyadari bahwa untuk jemaat muda agar mereka duduk diam mendengarkan khotbah, makin hari makin susah karena ini bukan lagi sebuah dialog tapi sebuah monolog, satu orang berbicara dan dia harus mendengarkan sampai empat puluh menit dan ini bukanlah sebuah hal yang mudah lagi buat generasi muda ini.
GS : Kita sebagai orang tua ini akan mengajar anak untuk tetap ajeg, untuk tetap tenang mendengarkan itu atau kita yang merubah pola kita menyampaikan, ini yang mana yang harus kita lakukan?

PG : Saya kira perlu ada dua-duanya, Pak Gunawan, karena kita mau menjangkau generasi muda yang sudah mempunyai kemajuan teknologi, tidak ada salahnya kita memanfaatkan dua-duanya. Karena kita au menjangkau generasi muda yang sudah mempunyai kemampuan teknologi, tidak ada salahnya kita juga memanfaatkan kemajuan teknologi.

Karena di luar konteks gereja, itulah yang mereka hadapi, semua serba bervariasi, semua serba cepat tidak ada yang sama, semua cepat sekali berubahnya. Maka dalam presentasi-presentasi misalkan di perguruan tinggi, di sekolah, atau pun di gereja tidak disangka kita harus memanfaatkan kemajuan teknologi itu pula. Tapi disamping itu kita tetap harus mendampingi anak untuk menumbuhkembangkan kesabaran, untuk mengajarkan anak menerima bahwa tidak semua orang secepat yang dia inginkan, tidak semua orang bisa menciptakan sesuatu yang sangat menarik, kalau tidak anak-anak itu akan cepat sekali menyalahkan lingkungan dengan alasan membosankan, orang ini selalu sama, menjemukan. Jadi cepat sekali menyalahkan orang, tidak mempunyai lagi kemampuan untuk menoleransi bahwa orang itu berbeda darinya bahwa mungkin sekali memang orang ini tidak mampu untuk melakukan yang dia inginkan. Jadi lama-lama derajat toleransi makin menipis, ini yang kita harus pupuk terus pada anak-anak kita, harus belajar menerima dengan mengajaknya berbicara untuk memberikan kepada dia pandangan-pandangan yang berbeda dan ini nanti yang berguna bagi dia.
GS : Apakah masih ada dampak teknologi yang negatif terhadap anak, Pak Paul?

PG : Ada satu lagi Pak Gunawan, yaitu kemajuan teknologi berpotensi pula mendorong anak untuk menjalin relasi secara dangkal karena waktu untuk bercengkerama secara langsung sekarang berkurang,sebab waktu tersita untuk menikmati semua kemajuan-kemajuan teknologi ini dalam kesendirian, dia duduk di depan komputer, telinganya dipakaikan "headset" mendengarkan iPod misalnya, kemudian tangannya cetak-cetik SMS di handphone kemudian balik lagi pada email, "chatting" dan semuanya dilakukan sendiri.

Jadi ini tidak bisa menggantikan relasi sebab permainan bersifat individual. Jadi makin hari, anak-anak itu tidak mempunyai jalinan relasi, nanti waktu mereka bekerja, waktu mereka menikah, ini bisa menjadi masalah karena kemampuan mereka berelasi tidak dipupuk dengan maksimal sebab banyak anak sekarang, daripada pergi bercengkerama dengan teman-teman lebih baik di kamar, cetak-cetik sendirian di kamar bisa berjam-jam. Sedangkan nanti bukankah dia harus berkecimpung dalam masyarakat, bergaul dengan orang lain, nantinya dia harus berkeluarga dan semua itu harus menuntut kemampuan berelasi. Semua ini yang akan menjadi duri dalam hidup mereka.
GS : Berarti itu akan memupuk anak untuk menjadi egois?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan, karena mereka susah sekali menoleransi perbedaan, kenapa orang tidak mau cepat mengerti pemikirannya, jadi lebih baik tidak perlu, pokoknya semua kembali kepada irinya sendiri.

Sedangkan untuk membuat pergaulan itu akrab, dia harus selalu belajar menempatkan diri di posisi orang lain, melihat posisi orang lain, mendengarkan orang lain dan inilah yang makin hari makin berkurang. Maka sebagai orang tua kita harus jeli melihat ini dan juga harus membatasi jam mainnya. Selain dari main itu, kita ajak dia keluar, ajak dia pergi dengan teman-temannya, sebab ini tidak boleh digantikan karena sangat penting untuk perkembangan jiwanya.
GS : Mungkin itu sebabnya makin banyak anak yang asosial, Pak Paul, yang sulit untuk bersosialisasi.

PG : Pengamatan Pak Gunawan tepat. Makin hari akan banyak anak yang tidak begitu bisa bergaul dan maunya hanya menyendiri dan anak yang seperti itu susah sekali untuk diajak bekerjasama atau bedialog, susah sekali mengalah, kehendaknya harus terjadi.

Makin hari makin banyak yang egois seperti itu.
GS : Dan itu akan membentuk suatu komunitas, yang masing-masing egois dan buat dia sebenarnya tidak masalah karena dia juga acuh dengan saya.

PG : Betul sekali dan inilah bahayanya, Pak Gunawan. Sebab mereka sekarang sudah menemukan kolam pergaulan, di mana anak-anak yang hidup di dalam pergaulan itu serupa dengan mereka sehingga merka tidak perlu lagi di luar kolam ini karena mereka sudah merasa di sini sudah ada teman.

Tapi resikonya adalah relasi mereka adalah relasi yang dangkal dan ini hanyalah untuk sementara. Bukankah pada akhirnya mereka harus bekerja, harus bersama orang, apalagi kalau menjadi pimpinan, harus mengatur manusia lain, belum lagi menjadi seorang suami atau istri, menjadi seorang ayah atau ibu, semua menuntut kemampuan untuk berelasi. Jadi tetap kita harus mendorong anak untuk keluar dari sangkar.
GS : Karena pada kenyataannya tidak semua anak mempunyai kesempatan menggunakan teknologi maju seperti sekarang ini sehingga timbul suatu gap antara mereka yang menggunakan teknologi dan mereka yang tidak mampu menggunakan teknologi itu.

PG : Tepat sekali Pak Gunawan, dan ada kecenderungan, yang sudah begitu canggih dengan teknologi akan susah sekali sabar dengan yang lain-lain dan dia akhirnya makin terkucilkan dari pergaulan.

GS : Jadi tanggung jawab kita sebagai orang tua cukup berat, kita sendiri tidak terlalu menguasai teknologi, menghadapi anak yang lebih memahami teknologi. Tapi kita mau mempersiapkan mereka menghadapi suatu kehidupan yang lebih baik, Pak Paul.

PG : Jadi memang kita harus mengatakan bahwa ini semua banyak baiknya, banyak manfaatnya tapi kita juga harus mengajarkan kepada anak-anak akan beberapa dampak negatifnya ini. Supaya mereka menadari bahwa ada beberapa yang harus mereka perhatikan dan jangan hanya tenggelam di dalam teknologi-teknologi ini.

GS : Tapi mereka ini sedang dipersiapkan untuk masa depan dimana teknologi ini memang banyak digunakan di dalam kehidupan mereka, Pak Paul.

PG : Betul. Dan sekali lagi kita tekankan kepada anak-anak bahwa teknologi komunikasi tidak bisa menggantikan komunikasi itu sendiri, bahwa komunikasi itu tetap harus dilakukan muka dengan muka relasi itu hanya bisa bertumbuh di dalam kenyataan bukan di dalam dunia maya.

Jadi inilah hal-hal yang harus kita tekankan kepada anak-anak, bagaimana kamu harus belajar bersabar, menoleransi perbedaan, mengerti orang yang tidak sama dengan kamu. Ini adalah hal-hal yang mesti kita tekankan agar jangan sampai anak-anak itu nantinya terlalu egois.
GS : Yang terpenting kita harus kembalikan ke dalam Firman Tuhan karena yang dikhawatirkan adalah mereka mempertuhankan teknologi itu. Dalam hal ini apakah ada Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Yesaya 30:15 berkata, "Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu." Yang terpenting adalah kita mengajar anak bahwa semuakemajuan teknologi tidak boleh menggantikan Tuhan dalam hidupnya.

Pada akhirnya semua ini tidak akan dapat menyelamatkannya dari dosa, hanya Tuhan dan kasih karuniaNya yang menyelamatkan kita dari dosa. Problem teknologi dapat dipecahkan lewat teknologi, namun masalah relasi dan hati manusia tidak akan bisa diselesaikan lewat teknologi.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak dan Kemajuan Teknologi." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



52. Membedakan Dosa


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T259B (File MP3 T259B)


Abstrak:

Ada orangtua yang cepat berkata "Ini dosa!" kepada anak; sebaliknya ada pula orangtua yang dengan ringan berkata " Ini bukan dosa." Singkat kata, kita tidak terlalu jelas dengan definisi dan cakupan dosa sehingga adakalanya kita keliru menilai sesuatu. Bagaimanakah kita mengetahui kapan dan dalam hal apa batasan dosa? Prinsip apa yang dapat digunakan untuk membedakan dosa?


Ringkasan:

Ada orangtua yang cepat berkata "Ini dosa!" kepada anak; sebaliknya ada pula orangtua yang ringan berkata " Ini bukan dosa." Singkat kata, kita tidak selalu jelas dengan definisi dan cakupan dosa sehingga adakalanya kita keliru menilai sesuatu. Pada dasarnya dosa adalah sikap atau tindakan melawan perintah Allah. Jadi, sebagai langkah awal orangtua mesti mengetahui perintah Allah sebagaimana tersurat di Firman-Nya. Namun di dalam hidup ada sejumlah hal lainnya yang kadang tidak tampak jelas batas dosanya. Berikut adalah beberapa prinsip yang dapat digunakan untuk mengetahui kapan dan dalam hal apa batasan dosa.

  1. Orangtua perlu memisahkan antara perbuatan membangkang perintah orangtua dan melawan perintah Tuhan. Belum tentu anak berdosa sewaktu ia, misalnya, menolak mengerjakan pekerjaan rumah atau menunda makan. Dengan kata lain, orangtua perlu berhati-hati agar tidak cepat menggunakan istilah dosa untuk mengancam atau menakut-nakuti anak.
  2. Orangtua harus membedakan antara selera pribadi dan kehendak Tuhan. Misalnya ada orangtua yang tidak menyukai mode rambut tertentu. Nah, di sini orangtua perlu menahan diri untuk tidak melabelkan mode rambut itu sebagai dosa.
  3. Orangtua perlu membedakan antara sesuatu yang tidak berdosa namun berpotensi menuju kepada dosa dan perbuatan dosa itu sendiri. Misalnya, mengunjungi klub malam. Mengunjungi dan berada di tempat itu sendiri bukanlah dosa namun tempat seperti itu merupakan jembatan menuju dosa. Firman Tuhan berkata, "Berbahagialah orang yang... duduk dalam kumpulan pencemooh" (Mazmur 1:1). Sudah tentu duduk bersama orang yang berdosa tidak menjadikan kita berdosa namun Firman Tuhan meminta kita untuk tidak melakukannya oleh karena bergaul dan hidup bersama orang berdosa cenderung berdampak buruk pada diri kita. Kita harus menjelaskan hal ini kepada anak sehingga ia mengerti alasan mengapa kita harus memberinya peringatan.
  4. Orangtua harus membedakan antara nilai budaya yang dipegangnya dan nilai moral Tuhan. Misalnya dalam soal "membuang waktu." Ada orangtua yang tidak nyaman berdiam diri dan menganggap itu sebagai kesalahan. Itu sebabnya orangtua menerapkan nilai yang sama pada anak dan menyamakan itu sebagai kehendak Allah. Pada akhirnya anak dibuat tidak nyaman jika terlihat tidak berbuat apa-apa atau santai. Ingatlah, nilai budaya belum tentu identik dengan kehendak Tuhan.
  5. Orangtua mesti berhati-hati dengan kelemahan pribadi. Ada kecenderungan bagi kita untuk menoleransi kelemahan sendiri dan tidak memanggilnya dosa. Misalnya, kita berkata bahwa berbohong itu tidak salah sebab pada dasarnya kita hanya menyenangkan hati orang dan ingin orang lain melihat kita baik. Pada akhirnya hal ini tertanam pula pada diri anak dan anak pun mencontoh perbuatan kita.
  6. Orangtua harus menyadari bahwa dosa pada hakikinya keluar dari diri yang tidak ingin tunduk kepada Allah. Dosa lahir dari keinginan untuk hidup bebas tanpa Tuhan dan tidak membutuhkan kasih karunia-Nya. Dan sering kali lahan dosa tersubur adalah hati yang keras. Sesungguhnya hati yang keras merupakan bentuk keangkuhan dan ini adalah dosa terselubung yang serius. Sejak anak kecil, ajarlah anak untuk mengembangkan sikap rendah hati misalnya, mengaku salah dan meminta maaf. Sudah tentu kita harus mengajarkannya dengan tepat bukan dengan paksaan sebab paksaan hanyalah akan makin mengeraskan hatinya. Sikap rendah hati akan mempersiapkan dirinya untuk peka dengan suara Tuhan dan taat kepada kehendak-Nya.
  7. Terakhir, resep untuk melawan dosa sesungguhnya satu yakni mengasihi Tuhan, "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu" (Matius 22:37). Makin mengasihi Tuhan, makin menjauh dari dosa. Jadi, doronglah anak untuk mengasihi Tuhan dengan cara membicarakan tentang kasih karunia Tuhan. Doronglah anak untuk mulai mengasihi Firman Tuhan dan memikirkan isi hati Allah.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membedakan Dosa". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Judul ini akan membuat orang menjadi bertanya-tanya, karena yang namanya dosa itu tetap dosa. Tapi apa yang Pak Paul maksudkan dengan mengangkat judul ini?

PG : Ada kecenderungan, kita sebagai orang tua tidak jelas dengan dosa sehingga kadang-kadang menyamaratakan semua tindakan sebagai dosa. Sehingga sedikit-sedikit anak ditegur, "Ini tidak boleh dosa" semua dianggap dosa.

Tapi ada juga orang tua yang terlalu longgar, sehingga tidak ada yang namanya dosa, semuanya boleh. Jadi kita perlu sebagai orang tua belajar mengerti apa yang namanya dosa sehingga kita nanti juga bisa mendidik anak kita, untuk juga mengenal dan membedakan ini dosa atau tidak dosa, begitu maksud saya.
GS : Dan bagaimana mengindikasikan bahwa ini dosa dan ini bukan dosa?

PG : Sebetulnya kita harus jelas dulu, apa definisi hakiki dari dosa itu sendiri. Kita tahu dosa adalah sebuah sikap atau tindakan melawan perintah Allah. Jadi apa yang sudah tersurat di dalam irman Tuhan, itu yang tidak boleh kita langgar karena waktu kita melanggarnya itu adalah sebuah tindakan dosa.

Itu sebabnya sebagai langkah awal, kita sebagai orang tua mesti mengetahui perintah Allah seperti yang tersurat di Firman-Nya. Jangan sampai kita cepat-cepat melabelkan ini dosa dan itu dosa. Padahal kita tidak tahu sebetulnya apa yang Tuhan perintahkan di dalam Firman-Nya. Jadi langkah pertama adalah orang tua sendiri perlu tahu Firman Tuhan sehingga tahu apa yang Tuhan perintahkan untuk kita semuanya. Selain dari itu kita akan mencoba bahas, Pak Gunawan, langkah-langkah praktis untuk bisa menolong orang tua mengajar anak-anak, "Apa itu dosa" sehingga tidak cepat-cepat melabelkan dosa atau terlalu longgar mengatakan, "Semua hal tidak dosa".
GS : Mungkin para pendengar kita juga ingin segera mengetahui langkah-langkah apa yang harus diambil, Pak Paul.

PG : Yang pertama adalah orang tua perlu memisahkan antara perbuatan membangkang perintah orang tua dan melawan perintah Tuhan. Saya kira kita sebagai orang tua mesti hati-hati, kadang-kadang kta terlalu cepat mengidentikkan perintah Tuhan dan perintah kita, seolah-olah apa yang kita perintahkan adalah perintah Tuhan sehingga sewaktu anak tidak mengikuti perintah kita, kita langsung panggil itu sebagai dosa terhadap Tuhan, jadi kita mesti berhati-hati.

Belum tentu anak berdosa sewaktu ia misalnya menolak mengerjakan PR, bermain-main saja atau menunda-nunda makan atau mandi, atau tidak mau membersihkan kamarnya. Jangan sampai kita itu langsung dengan cepat menuduh, "kamu telah berdosa", itu belum tentu! Karena memang hal-hal itu belum tentu dosa. Adakalanya orang tua karena ingin mendapatkan hasil dengan segera maka mengancam dengan cara menakut-nakuti anak dan menyebut-nyebut dosa. Dampaknya tidak sehat, Pak Gunawan, karena lama-lama anak menjadi terlalu takut, cemas karena merasa larangan yang telah dia langgar sangat besar. Dia melihat dirinya sebagai anak yang buruk, sebagai anak yang dikutuk Tuhan, karena telah banyak berbuat dosa, anak kita ini sangat kasihan. Atau ada reaksi yang kebalikannya, Pak Gunawan, ada anak-anak yang karena terlalu di"bombardir" oleh orang tua, "Ini dosa, ini dosa, ini dosa" akhirnya bereaksi keras, justru menolak, tidak mau menerima orang tua "Ini dosa" meskipun sebenarnya itu sungguh-sungguh dosa, akhirnya dia tidak peduli! Justru dia melawan dan dia tidak pusing lagi ini dosa atau tidak dosa. Jadi kita mau menghindari dua reaksi yang ekstrem ini dari anak. Maka pertama-tama kita harus berhati-hati jangan mengidentikkan perintah kita sebagai orang tua, sebagai perintah Tuhan, karena belum tentu sama.
GS : Seringkali orang berlindung di dalam hukum Tuhan yang berkata, "Hormatilah orang tuamu" jadi kalau mereka tidak menurut atau membangkang, maka mereka dianggap melanggar hukum kelima itu, Pak Paul.

PG : Dan masalahnya adalah orang tua mesti memahami apa yang Tuhan maksud dengan menghormati orang tua. Sebetulnya kalau kita terjemahkan secara praktis, kata menghormati orang tua adalah janga sampai kita kurangajar kepada orang tua, "disrespectful".

Tuhan melarang itu karena kita tahu, ini adalah perintah yang Tuhan mau teruskan karena anak yang berani kurang ajar kepada orang tua, nantinya tinggal tunggu waktu akan berani kurang ajar kepada Tuhan, karena Tuhan sangat peka dengan kekurangajaran. Waktu Musa disuruh Tuhan berkata kepada batu karang untuk mengeluarkan air, Musa dengan emosi marah malah memukul dengan tongkatnya dua kali pada batu karang itu dan Tuhan marah, sehingga Tuhan berkata, "Engkau telah tidak menghormati kekudusanKu" alias kurang ajar. Anak juga perlu hormat, jangan sampai kurang ajar terhadap orang tua. Dan yang kedua maksudnya menghormati orang tua adalah anak itu bertanggung jawab merawat, jangan sampai mengabaikan orang tua, itulah artinya. Tapi apakah setiap kata dari orang tua itu identik dengan perkataan Tuhan, sudah tentu tidak! Kita pun sebagai orang tua tidak selalu hidup seturut dengan Firman Tuhan. Jadi tidak semua hal yang keluar dari mulut kita sesuai dengan kehendak Tuhan pula.
GS : Tapi kalau ukurannya adalah kita sendiri sebagai orang tua dan kita tidak melakukan maka kita sendiri juga sulit untuk memberikan disiplin kepada anak. Jadi anak akan berkata, "Papa atau Mama sendiri tidak bisa melakukan itu". Tapi kalau itu yang menjadi alasan untuk memperbolehkan anak melakukan suatu kesalahan, maka kita tidak mendidik anak dengan baik.

PG : Maka kalau kita sendiri menyadari bahwa kita tidak bisa melakukannya, yang pertama kita harus berusaha melakukannya karena sekali lagi, kita menjadi panutan anak, kalau sampai kita hanya bsa mengajarkan tapi tidak melakukannya, itu malahan akan melemahkan otoritas kita.

Namun dalam kasus-kasus tertentu kalau memang kita itu sadar kita belum mampu, tapi kita tahu kalau ini penting untuk anak-anak ketahui, maka kita katakan dan akui dengan jujur, "Saya sendiri belum bisa, tapi tolong kamu coba untuk melakukannya, karena ini yang Tuhan kehendaki." Anak akan melihat bahwa kita bukanlah seorang yang munafik, kita mengakui kelemahan kita sendiri.
GS : Langkah berikutnya apa, Pak Paul?

PG : Orang tua harus membedakan antara selera pribadi dan kehendak Tuhan, maksudnya begini Pak Gunawan, ada orang tua yang tidak menyukai mode rambut tertentu, anak-anak sekarang banyak modenyaatau perhiasan seperti anting-anting dan sebagainya.

Kita harus berhati-hati dan menahan diri, supaya tidak cepat melabelkan mode rambut itu sebagai dosa karena sebetulnya itu adalah masalah selera. Sama dengan musik, kita mempunyai selera musik tertentu, kemudian anak-anak kita sering mendengarkan lagu-lagu rap. Kita memang harus hati-hati melihat liriknya sebab lagu-lagu rap banyak mempunyai lirik-lirik yang kotor yang memang benar-benar suatu sampah. Jadi kita mesti melihat liriknya baik-baik. Tapi kalau anak kita untuk bahasa Inggris saja tidak bisa dan tidak mengerti, jadi hanya suka dengan dentuman nada-nada itu saja, mungkin kita harus toleransi dan kita tidak cepat-cepat melabelkan itu sebuah dosa. Jadi apa yang berbeda dari selera pribadi kita, kita mesti menjaga jangan sampai kita terlalu cepat melabelkannya sebagai dosa.
GS : Juga dalam hal berpakaian atau hal yang lain-lainnya. Banyak hal yang memang tidak cocok dengan selera kita dan selera anak. Dan memang kalau dilabelkan sebagai dosa, maka anak akan bingung karena dia menjadi bertanya-tanya, "Sebetulnya apa yang menjadi dosanya?"

PG : Tepat sekali dan waktu anak-anak menginjak usia remaja, kita sudah harus mulai menjelaskan kepada anak-anak. Semakin sering tercetus kata-kata, "Pokoknya tidak boleh" maka anak-anak akan mlai mempunyai anggapan bahwa percuma berdialog dengan orang tua sebab pintu telah tertutup, karena orang tua kalau sudah berpikir, tidak akan berubah lagi.

Jadi tidak perlu lagi bicara. Akhirnya anak-anak mulai mengembangkan kehidupan ganda, di depan orang tua dia memberikan tampilan yang sesuai dengan keinginan orang tua tapi di luar orang tua ternyata berkebalikan dan hal ini yang mesti kita hindari. Jadi sebagai orang tua kita mesti menjaga dan berhati-hati, jangan sampai menyamakan selera pribadi dengan kehendak Tuhan, jangan sampai itu terjadi.
GS : Tapi ada kekhawatiran di dalam diri orang tua dan termasuk saya, Pak Paul, kalau anak sudah berpenampilan yang tidak sesuai dengan selera kita atau mengikuti suatu aliran musik tertentu, dan kita tahu itu sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang bukan mengasihi Tuhan, kita menjadi khawatir, apakah anak ini tidak terseret ke dalam pergaulan yang keliru?

PG : Dan ini yang membawa kita ke point yang berikutnya, Pak Gunawan, yaitu kita sebagai orang tua perlu membedakan antara sesuatu yang tidak berdosa namun berpotensi menuju kepada dosa dan peruatan dosa itu sendiri.

Tadi Pak Gunawan memberikan contoh tentang cara berpakaian, misalkan anak kita anak gadis yang sudah remaja dan memakai pakaian yang terlalu terbuka. Memang kita bisa bicara dengan anak dan anak bisa menjawab, "Kenapa? Tidak ada salahnya! Ini hanya pakaian dan orang juga memakai seperti ini dan sebagainya." Kita bisa menjelaskan kepada anak bahwa, "Memang kalau kamu berpakaian seperti ini tidak ada dosanya tapi ini berpotensi menuju kepada dosa sebab nanti kamu pergi dengan teman-teman priamu, teman-teman priamu melihat tubuh kamu seperti itu dan nanti teman pria kamu bisa tergoda sehingga akhirnya kamu pun juga bisa tergoda dan masuk ke dalam dosa." Atau contoh lain lagi yaitu mengunjungi club malam, anak-anak biasanya akan berkata, "Kenapa salah? Apa salahnya? Saya di sana hanya ramai-ramai, senang-senang, saya hanya dansa-dansa, kenapa tidak boleh? Apa dosanya?" Kita mesti menjelaskan kepada anak, "Memang tempat itu sendiri, dansa itu sendiri, bercengkerama dengan teman-teman itu sendiri bukanlah dosa, tapi ini adalah sebuah tindakan yang berpotensi menuju kepada dosa. Karena di tempat itu kita bisa terlalu lupa daratan dan akhirnya mulai mengkonsumsi minuman-minuman beralkohol, nanti mulailah kita mabuk atau nanti akan ada yang memberikan kita obat-obatan terlarang karena kita tahu di tempat-tempat itulah obat terlarang mudah dijual. Atau kita juga bertemu dengan orang-orang yang memang berakhlak buruk dan kita menjadi mangsanya. Atau mereka yang berakhlak buruk dan kita mengenal orang-orang yang berakhlak buruk, nanti kita pun akan dipengaruhi oleh mereka." Nah ini adalah yang Firman Tuhan katakan di Mazmur 1:1, "Berbahagialah orang yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh". Sudah tentu duduk dengan orang yang berdosa tidak menjadikan kita berdosa dan itu betul. Namun Firman Tuhan mengatakan untuk tidak melakukannya oleh karena bergaul bersama dengan orang berdosa cenderung berdampak buruk pada diri kita dan kita harus menjelaskan hal ini kepada anak, agar dia mengerti alasannya mengapa kita harus memberinya peringatan.
GS : Itu berarti kita harus menunjukkan konsekwensi atau akibat yang harus ditanggung kalau melakukan hal seperti itu.

PG : Betul. Dan kalau satu waktu, anak kita tidak bisa terima dan terus saja, mungkin di saat itulah kita harus mengambil tindakan yang lebih tegas, yaitu benar-benar menghentikannya. Tapi poin saya adalah kita tidak serta merta melarangnya langsung "Tidak boleh" dan langsung melabelkannya dosa, itu yang saya kira kita mesti mencegahnya, sehingga anak-anak tidak melihat kita seperti orang yang membabi buta, membabat semua hal dan mengatakan semua hal adalah dosa dan kita harus hidup terpisah dari semua orang di dunia ini, tidak! Kita mesti hati-hati jangan sampai bertindak sejauh itu.

Namun kalau kita sudah memberikan peringatan demi peringatan, ajak dia berbicara berkali-kali tapi dia terus melakukannya maka kita makin hari makin melihat sikapnya, nilai-nilai hidupnya pun mulai bergeser, di situ kita harus bertindak dengan tegas dan berkata, "Saya melihat perubahan dalam diri kamu, dulu kalau sudah mulai pagi kamu segera siap untuk ke gereja, kamu mengutamakan beribadah kepada Tuhan tapi sekarang tidak lagi karena kamu pulang sudah jam 2 atau jam 3 pagi dan pagi-pagi kamu tidak bisa bangun, kamu tidak merasa ada yang terhilang di dalam hidup kamu, berarti ini sudah salah. Dan sebagai orang tua saya tidak mau kamu hidup terus-menerus di dalam kesalahan ini", maka kita berikan dia sangsi, "Kalau minggu depan kamu tetap seperti ini berarti saya akan melarang kamu untuk keluar malam." Jadi kita harus mengambil tindakan yang tegas, jangan sampai anak kita tenggelam di dalam lumpur.
GS : Karena kita sebagai orang dewasa tentu tahu akibatnya, Pak Paul.

PG : Betul sekali.

GS : Dibandingkan dengan anak-anak yang kurang berpengalaman dalam hal ini, tapi seringkali mereka bersikeras, Pak Paul.

PG : Betul, dan sampai titik terakhir kita harus bersikap tegas.

GS : Pak Paul, mungkin masih ada sisi lain yang seringkali kita menganggap sebagai dosa padahal bukan.

PG : Orang tua harus membedakan antara nilai budaya yang dipegangnya dan nilai moral Tuhan. Misalnya dalam soal membuang waktu, ini seringkali keluar dari mulut kita sebagai orang tua, "Jangan uang waktu" ada orang tua yang tidak nyaman berdiam diri dan menganggap itu sebagai kesalahan dan kita katakan "Kurang bertanggung jawab, malas" dan jatuh-jatuhnya kita mengatakan ini adalah sebuah dosa.

Akhirnya orang tua menerapkan tuntutan itu kepada anak-anak, "Tidak boleh diam, tidak boleh relaks" disangka itu adalah tindakan membuang waktu dan dianggapnya itu adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab kepada Tuhan dan akhirnya dikatakan ini adalah sebuah dosa. Hati-hati, besar kemungkinan ini adalah nilai budaya kita, nilai-nilai di mana kita dibesarkan. Mungkin dulu orang tua kita seperti itu, tidak bisa melihat kita duduk diam, langsung disuruh kerja. Kalau kita duduk diam dan tidak mau maka kita akan langsung dimarahi, dikatakan "Malas." Atau kita sebagai pelajar, kita tidak lagi belajar, kemudian dimarahi dan langsung dikaitkan, "Kamu ini tidak menjadi juru kunci yang bertanggung jawab, Tuhan telah memberi kamu kesempatan untuk kamu belajar tapi kamu tidak menggunakan kesempatan untuk belajar." Maka kita coba menjelaskan kepada orang tua, "Saya telah mengerjakan PR saya, semua sudah selesai dan saya mau relaks" tapi orang tua tetap mengatakan, "PR sudah selesai, tapi bukankah masih ada buku yang bisa dibaca, kenapa tidak membaca buku yang lain?" akhirnya kita terus dicekoki dengan konsep seperti ini dan kita terpengaruh, kita menjadi orang tua dan kita menerapkan hal yang sama dan kita harus bedakan antara nilai-nilai budaya di mana kita dibesarkan dan nilai moral yang Tuhan telah tetapkan, belum tentu sama. Jangan cepat-cepat melabelkan itu sebagai sebuah dosa.
GS : Memang agak sulit membedakannya tapi kadang-kadang pengalaman kita yang membuat kita melabelkan ini sebagai dosa, padahal yang sebenarnya bukan, seperti tadi yaitu membuang waktu atau penggunaan uang berlebihan. Kadang-kadang kita mau menerapkan kedisiplinan di dalam diri anak ini, tapi akibatnya anak memiliki persepsi yang keliru tentang dosa yang sebetulnya dosa.

PG : Betul, misalkan membeli barang menggunakan uang, misalnya untuk membeli komputer, memang kita bisa membeli komputer biasa atau kita bisa membeli misalnya komputer "Apple". Kita tahu kompuer "apple" itu komputer yang bagus dan mempunyai banyak kelebihan dan kita juga tahu "apple" itu bisa bertahan lama, jadi "apple" itu adalah komputer dengan kwalitas tinggi seperti IBM, bisa tahan 10 tahunan dan sebagainya.

Anak kita misalnya berkata "Mengapa tidak beli seperti itu" dan kita tahu dia juga senang dengan multimedia, jadi benar-benar dia bisa memanfaatkan karena pada komputer "apple" banyak sekali hal-hal yang bisa dia gunakan untuk multimedia itu. Bisa jadi kita itu terlalu cepat berkata, "Kalau kamu keluarkan uang untuk komputer "apple" ini, berarti kamu tidak membelanjakan uang yang Tuhan percayakan kepada kita." Sehingga kita terlalu menekankan kepada anak, bukan saja hidup sederhana tapi susah, kita mesti hati-hati. Sudah tentu jangan memboroskan uang, tapi kalau kita memang mempunyai uang itu dan kita hanya menggunakan sekali-sekali, apa salahnya? Kalau kita setiap kali membeli yang mahal-mahal dan kita tidak gunakan, itu semua untuk apa, itu salah! Tapi kalau hanya sekali-sekali dia perlu ini dan dia gunakan, itu tidak apa-apa. Namun adakalanya kita dibesarkan tidak seperti itu, akhirnya kita menuntut anak untuk tidak boleh sedikit pun mempunyai barang yang agak mewah, sama sekali tidak boleh.
GS : Seringkali kita mengatakan, "Suatu kelemahan pribadi, itu juga suatu dosa" dan apakah memang kelemahan pribadi itu suatu dosa?

PG : Kelemahan pribadi tidak mesti sebuah dosa, Pak Gunawan, misalnya ada anak yang susah sekali untuk belajar karena dia mudah sekali belajar lewat interaksi langsung atau pengamatan langsung.Justru untuk duduk dan membaca itu sangat susah dan akibatnya dia tidak bisa mengejar atau mempunyai prestasi belajar yang tinggi seperti orang lain.

Jadi kita mesti hati-hati, tidak melabelkan itu sebuah dosa. Saya juga mau menerapkan hal ini kepada kita sebagai orang tua, ada kecenderungan kalau kita yang mempunyai kelemahan itu sendiri, meskipun itu adalah sebuah dosa, kita cenderung mengatakan dosa. Tapi kalau orang lain yang mempunyai kelemahan itu, maka kita katakan itu adalah dosa, sedangkan kalau kita yang mempunyai kelemahan maka kita katakan itu bukanlah dosa. Misalnya contoh yang sering terjadi adalah ada orang tua yang cepat berbohong, kita tidak memanggilnya berbohong tapi kita memanggilnya asal bicara, dari pada nanti menyakiti hati orang, jadi bicara saja seperti ini, dia nanti akan senang mendengar hal ini maka kita mengatakannya. Tapi intinya sebetulnya kita mengatakan hal yang tidak benar yang tidak sesuai tapi kita tidak mengatakan hal itu dosa, kita tidak memanggil itu sebagai sebuah kesalahan karena itu adalah sebuah kelemahan pribadi kita. Jadi itulah sifat dasar kita sebagai manusia, kalau itu menyangkut diri kita maka kita menyebutnya kelemahan pribadi, tapi kalau menyangkut orang lain maka kita katakan itu pasti dosa. Jadi dengan anak-anak kita mesti berhati-hati, jangan cepat-cepat melabelkan kelemahan pribadi anak itu dosa dan jangan cepat-cepat melabelkan kelemahan pribadi kita sebagai bukan dosa.
GS : Itu memang akan membingungkan anak bahkan anak sendiri juga akan bingung "Ini dosa atau tidak" karena ada yang katanya bohong putih, bohong untuk kebaikan, bohong untuk siasat dan sebagainya. Memang agak sulit Pak Paul, kita sendiri tidak jelas bahwa hal ini dosa atau tidak, memang paling aman kalau yang melakukan orang lain maka kita sebut dosa tapi kalau diri kita maka kita sebut tidak dosa dan memang ini menguntungkan buat kita.

PG : Betul dan seringkali kita melakukannya. Jadi sekali lagi kita mesti hati-hati, maka untuk benar-benar kita tahu bahwa hal ini dosa atau tidak dosa, kita harus kembali kepada Firman Tuhan shingga kita tahu apa isi hati Tuhan.

Kalau masih kurang jelas, nanti kita bisa bertanya kepada hamba Tuhan.
GS : Jadi bagaimana tentang dosa ini sendiri?

PG : Ada satu lagi yang saya mau paparkan yaitu orang tua mesti menyadari bahwa dosa pada hakikinya keluar dari diri yang tidak ingin tunduk kepada Allah. Dosa itu lahir dari keinginan untuk hiup bebas tanpa Tuhan dan tidak membutuhkan kasih karuniaNya.

Dan seringkali lahan dosa tersubur adalah hati yang keras, sesungguhnya hati yang keras merupakan suatu bentuk keangkuhan dan ini adalah sebuah dosa terselubung yang serius. Sejak anak-anak masih kecil, harus mulai diperhatikan apakah anak kita itu mempunyai kecenderungan untuk berhati keras, kalau dia memang memiliki kecenderungan berhati keras maka kita harus mengamatinya, karena hati yang keras adalah ladang yang subur munculnya dosa sebab tadi saya sudah singgung, dosa sebetulnya keluar dari keinginan untuk hidup bebas atau kalau kita balik, tidak suka diperintah. Jadi anak-anak yang berhati keras itu atau yang berwatak keras, tidak suka diperintah, bahkan oleh Tuhan sendiri. Orang tua mungkin tidak melihat ini dari kacamata dosa, tapi saya mau melihatnya dari kacamata dosa bahwa watak keras seperti ini sebuah ladang subur munculnya dosa dalam kehidupannya kelak. Maka kita mesti mewaspadainya dari kecil, misalnya sejak anak kecil, kalau anak ini berwatak keras maka kita harus mendidik dia untuk berani mengakui salah, untuk berani merendahkan diri dan meminta maaf. Hal ini perlu kita lakukan dan sekali lagi bagaimana kita melakukannya, mungkin kadang-kadang kita harus tegas dengan dia, memaksa dia untuk meminta maaf tapi yang lebih sering yang harus kita lakukan adalah mengajaknya berbicara untuk menjelaskannya bahwa engkau telah melakukan kesalahan ini dan engkau perlu mengakuinya. Karena engkau telah mengakuinya maka engkau telah maju lagi satu langkah yaitu meminta maaf kepada orang, kepada siapa kamu telah berbuat salah itu. Dengan cara itu anak belajar untuk melihat diri mengakui kelemahannya, keterbatasannya dan untuk meminta maaf, sehingga ini menolong anak untuk belajar rendah hati. Waktu dia belajar rendah hati, berarti hatinya itu tidak lagi terlalu keras sehingga nanti waktu Tuhan menegur dia dan sebagainya, maka dia akan cepat mendengar suara Tuhan.
GS : Memang anak-anak sering menanyakan baik kepada guru atau kepada orang tuanya, "Ini dosa atau tidak?" dan kadang-kadang kita susah untuk menjawabnya.

PG : Kadang-kadang ada hal-hal yang jelas yang kita bisa langsung katakan, "Ini dosa" tapi ada hal-hal yang memang kurang jelas. Kalau anak-anak itu sudah mulai remaja sebaiknya kita memberinyapenjelasan dan mengajaknya berpikir sehingga nanti yang dia akan serap dari kita sebagai orang tua adalah bukan hanya bentuk akhir dari dosa, tapi kenapa itu akhirnya menjadi sebuah dosa misalkan contoh yang tadi telah kita bahas, waktu Tuhan menyuruh Musa berkata kepada batu karang "Keluarlah air" dan Musa marah kemudian memukul batu itu, Tuhan melarang Musa untuk masuk ke tanah Kanaan sebagai bentuk hukuman kepada Musa yang tidak menghormati kekudusan Tuhan, dan pertanyaannya adalah, "Kenapa? Sampai-sampai Musa yang sudah bekerja begitu keras buat Tuhan tapi tidak bisa menginjakkan kaki di tanah Kanaan, kenapa?" Sebab kita bisa katakan yang pertama batu karang itu menyimpulkan Tuhan.

Jadi Musa itu benar-benar seperti memukuli Tuhan, benar-benar tidak ada respek kepada Tuhan, kenapa hal itu begitu besar di mata Tuhan? Sebab Tuhan adalah Tuhan, kalau orang tidak bisa lagi tunduk, tidak bisa respek kepada Tuhan, dia akan terlepas sepenuhnya dari Tuhan pula. Tuhan tidak mau hal itu terjadi, Tuhan mau anak-anakNya tetap tunduk dan hormat kepadaNya. Kita mesti menjelaskan dengan lebih rinci kepada anak-anak, sehingga dia mengerti kenapa hal ini menjadi hal yang lebih serius atau dosa di mata Tuhan, karena ada pertimbangan-pertimbangan ini, sehingga nanti anak-anak akan menyerap proses ini, Pak Gunawan.
GS : Jadi yang berotoritas ini dosa atau tidak, sebenarnya hanya Tuhan sendiri melalui Alkitab.

PG : Betul.

GS : Apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan untuk ini?

PG : Firman Tuhan di Matius 22:37 berkata, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu." Sebetulnya resep untuk melawan dosa hanyalh satu yaitu mengasihi Tuhan, makin mengasihi Tuhan makin menjauh dari dosa.

Jadi doronglah anak untuk mengasihi Tuhan dengan cara membicarakan tentang kasih karunia Tuhan, doronglah anak untuk mengasihi Firman Tuhan, membacanya, merenungkannya serta memikirkan isi hati Tuhan, inilah cara tertepat dan terbaik untuk mendidik anak agar bisa jauh dari dosa.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk penjelasan ini sehingga kita bisa mengerti tentang membedakan dosa. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membedakan Dosa." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



53. Anak dan Kemarahan


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T260A (File MP3 T260A)


Abstrak:

Salah satu emosi yang kerap menjadi masalah dalam hidup adalah kemarahan. Alangkah baiknya kalau kemarahan itu dapat diatur mulai anak berusia dini dan ini adalah tugas dari orangtua untuk mendidik anak mengatur kemarahannya dan tugas orangtua pula mengajarkan bagaimana caranya agar kemarahan itu tidak terjadi?


Ringkasan:

Salah satu emosi yang kerap menjadi masalah dalam hidup adalah kemarahan. Adalah tugas orangtua untuk mendidik anak mengatasi kemarahannya supaya pada akhirnya anak dapat nyaman sekaligus tahu bagaimana mengatur kemarahannya. Terkait dengan kemarahan, pada dasarnya ada dua respons yang umumnya terbentuk:

Singkat kata, respons pertama adalah respons yang menandakan tanggung jawab pribadi sedangkan respons kedua adalah respons yang lari dari tanggung jawab pribadi dan malah melimpahkan tanggung jawab ini kepada orang lain. Sudah tentu tugas kita sebagai orangtua adalah mendidik anak agar bertanggung jawab penuh atas kemarahannya sehingga ia dapat belajar mengaturnya dengan efektif.

Untuk dapat mengatur kemarahan, kita perlu mengetahui faktor apa sajakah yang mempengaruhinya: Cara untuk mengatasinya:

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Anak dan Kemarahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Kemarahan memang bisa menguasai siapa saja, bukan hanya orang dewasa. Anak-anak pun juga sering kali terlihat marah-marah. Tentu kita sebagai orang tua tidak menghendaki kalau anak-anak kita mengungkapkan sesuatu dengan kemarahan. Dan bagaimana kita sebagai orang tua bisa memberikan arahan atau didikan kepada anak supaya, kalau dia marah tidak harus seperti itu. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang kemarahan adalah emosi yang saya kira menimbulkan masalah paling banyak dalam kehidupan ini. Kita tidak berkata bahwa kita tidak boleh marah, atau kita juga boleh marah, tapi jangansampai kemarahan itu terus hingga matahari terbenam.

Namun yang terpenting adalah kita mesti belajar mengaturnya, saya kira kebanyakan dari kita paling sulit belajar mengatur kemarahan. Ternyata saya perhatikan orang-orang yang punya masalah dengan kemarahan di usia dewasa sebetulnya sudah mulai mengembangkan problem kemarahan itu sejak usia kecil. Jadi dengan kata lain, kalau orang tua berhasil menangani si anak, menolong si anak mengatur kemarahannya sejak usia kecil, bukankah si anak itu tidak harus hidup dengan masalah kemarahan di usia dewasanya. Sebaliknya kalau orang tua gagal menolong anak mengatasi kemarahannya, bukankah sayang kalau anak ini nanti saat sudah besar harus mempunyai masalah dengan kemarahannya. Itu sebabnya sekarang ini kita akan mengambil waktu untuk membicarakan bagaimana orang tua dapat menolong anak mengatasi kemarahannya. Dan supaya orang tua bisa memulai dengan suatu perspektif, maka saya akan bagikan dulu secara umum apa yang seringkali menjadi respons kita terhadap kemarahan. Yang pertama adalah orang-orang yang berkata bahwa, "Saya marah" berarti ini tanggung jawab saya, sayalah yang telah memilih untuk memberi respons. Tapi ada jenis yang kedua yaitu orang-orang yang berkata, "Kamu yang membuat saya marah" kalau kamu tidak memancing saya untuk marah, saya pun tidak akan marah. Dengan kata lain beda dari yang pertama dan yang kedua adalah yang pertama meletakkan tanggung jawab pada dirinya sendiri sedangkan yang kedua meletakkan tanggung jawab pada orang lain sebagai penyebab kemarahannya. Sebagai orang tua, inilah arah yang dia mesti tempuh atau mendorong si anak untuk sampai ke sana yaitu mengajar anak untuk bertanggung jawab atas kemarahannya dan belajar mengatasinya.
GS : Tapi kalau kemarahan anak itu disebabkan oleh tindakan orang lain yang merugikan dia dan kita melihat memang dia pantas untuk marah, itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Sudah tentu sekali lagi marah itu bukanlah sebuah emosi yang harus kita lenyapkan. Jadi boleh saja marah, namun sebagai orang tua kita mesti bisa menolong anak untuk bisa mengatur kemaraha dengan tepat, memberi respons yang sesuai.

Sebab intinya adalah kemarahan menjadi problem jikalau kita tidak bisa lagi mengaturnya sehingga kemarahan itulah yang mengatur kita atau menguasai kita. Dan kita tahu sewaktu kemarahan menguasai kita, kita akan melakukan hal-hal yang sebenarnya belum tentu kita ingin lakukan dan sering kali pada akhirnya kita sesali, dan hal ini yang kita mau cegah. Jadi sebenarnya bukannya bagaimana untuk tidak marah, tapi bagaimana mengatur kemarahan, menguasainya sehingga kemarahan itu tidak menguasai kita.
GS : Berarti ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak itu mudah marah?

PG : Sebetulnya, ya. Jadi kadang-kadang kita terlalu menyederhanakan masalah dan hanya menyimpulkan bahwa kalau orang itu sering marah berarti sifatnyalah yang pemarah. Jadi sekurang-kurangnya da 5 faktor penyebab yang menyebabkan orang itu lebih mudah marah.

Yang pertama adalah latar belakang keluarga yang buruk karena tidak ada panutan yang tersedia sehingga si anak hanya melihat satu model atau cara mengungkapkan kemarahan. Misalnya si ibu, kalau tidak senang dia akan marah dan berteriak, kalau si ayah marah dia akan berteriak atau bahkan memukul atau membanting. Semua model atau contoh-contoh yang seperti itulah yang nanti akan diserap oleh si anak dan pada masa kecil, dia mulai mencontoh atau melakukannya akhirnya kemarahan-kemarahan itu menjadi bagian dalam hidupnya yang tidak bisa diatasinya.
GS : Anak juga punya pengalaman kalau ayahnya marah lalu dia melihat ayahnya mendapatkan apa yang diinginkan, bukankah ini akan dipakai sebagai suatu cara oleh anak ini untuk mendapatkan apa yang dia inginkan?

PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi waktu anak ini melihat si ayah marah dan ayah mendapatkan apa yang diinginkannya, sewaktu si ayah marah dan dia menjadi takut akhirnya dia melakukan apa yang diingnkan ayahnya.

Akhirnya itu yang dia pelajari bahwa untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, dia hanya perlu membuat orang takut dengan kemarahannya. Cara-cara inilah yang nanti diserap olehnya dan itu yang dia gunakan.
GS : Bagaimana kalau anak ini mempunyai kakak-kakak yang juga sering marah, Pak Paul? Apakah ini juga akan menunjang anak ini menjadi anak yang pemarah?

PG : Jadi tidak harus hanya orang tua, tapi kakak-kakaknya juga punya tegangan tinggi, cepat sekali marah. Tidak bisa tidak dia akan terpengaruh, jadi dia pun akan cepat marah.

GS : Jadi sebenarnya sejak kecil anak ini tidak mempunyai bakat tertentu untuk marah.

PG : Memang ya pada dasarnya. Memang ada anak-anak yang mulai dari lahir, nanti kita juga akan bahas tentang anak yang berenergi. Kalau dia memang berenergi, dia memang akan mudah marah. Dia seetulnya kalau diberikan contoh-contoh yang positif maka dia juga akan lebih mampu untuk mengutarakan kemarahannya dengan lebih baik.

GS : Orang yang berenergi itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Pada akhirnya kita simpulkan bahwa tingkat energi yang tinggi membuat anak sukar mengatasi gejolak kemarahannya, cenderung melampiaskan secara fisik dan langsung. Jadi anak-anak yang meman dari lahir berenergi sangat tinggi, dia memang lebih rentan terhadap kemarahan.

Itu sebabnya sebagai orang tua kita mesti memahami hal ini dan mendorong si anak untuk menguras energinya dengan cara-cara yang lebih konstruktif, seperti berolah raga, permainan-permainan, tapi tetap tugas orang tua sama, waktu anak kesal mau marah dan mau melampiaskannya secara fisik, orang tua harus langsung bertindak mencegahnya dan menyuruh si anak untuk mengutarakannya melalui ucapan secara verbal, sehingga dia tidak terburu melampiaskannya secara fisik. Jadi itu adalah tindakan yang kita harus lakukan kalau kita menyadari bahwa anak kita berenergi tinggi.
GS : Energi yang tinggi ini juga bisa diperoleh dari makanan yang dia konsumsi setiap hari, apakah itu berpengaruh juga?

PG : Untuk anak-anak yang berenergi tinggi, kita juga harus memerhatikan makanan yang dimakannya, sudah tentu kalau banyak sekali protein yang yang dimakan maka akan banyak sekali energi yang dperolehnya.

Sehingga memang perlu keseimbangan, saya memang bukan ahli dalam gizi jadi saya tidak berani mengatakan berapa banyak dan sebagainya. Mungkin orang tua harus konsultasi langsung dengan ahli gizi.
GS : Memang kemarahan itu sendiri sebenarnya menguras energi yang cukup besar sebagai orang dewasa, apakah hal itu juga dialami oleh anak-anak?

PG : Sudah tentu setelah mereka mengutarakan kemarahannya secara fisik, dia akan merasakan letih, lelah dan sedikit banyak akan mengurangi energinya. Namun sebagai orang tua itu yang mesti kitacegah, jangan sampai dia terbiasa mengutarakan kebiasaannya segera dan secara langsung lewat tindakan-tindakan fisik.

GS : Ada faktor yang lain, Pak Paul?

PG : Yang ketiga adalah tingkat kepekaan yang tinggi. Jadi umumnya anak-anak dengan kepekaan yang tinggi sensitif sekali, dia jadi mudah terganggu karena perasaannya sangat sensitif, dia akan lbih mudah tersinggung dan dia akhirnya lebih mudah marah.

Itu sebabnya kepada anak-anak ini kita sebagai orang tua harus lebih proaktif karena anak-anak kita itu peka sekali. Waktu kita melihat dia sudah terganggu, kita ajak dia bicara, "Apa yang mengganggu kamu? Kenapa kamu merasa seperti itu?" biarkan dia belajar mengutarakannya dan kita berikan masukan-masukan dan pertimbangan sehingga anak-anak perlahan-lahan belajar untuk menggunakan pemikirannya, tidak hanya mendasari tindakannya atas perasaannya yang peka itu. Sekali lagi di sini dibutuhkan peran orang tua yang aktif, kalau orang tua tidak berperan, jadinya apa pun emosi anak maka itulah yang dia akan ikuti. Kalau orang tua bisa melihat atau mendeteksinya dengan cepat, mengajaknya berbicara dan mulai memertimbangkannya secara rasional maka si anak akan dilatih mengembangkan kemampuan nalarnya untuk mengatasi gangguan-gangguan dalam hatinya.
GS : Mengapa ada sebagian anak yang tingkat kepekaannya begitu tinggi, tapi ada anak yang acuh. Jadi dia bisa saja meremehkan hal-hal itu sehingga dia tidak marah.

PG : Ini sebenarnya disebabkan oleh faktor lahiriah, genetik. Kalau orang tua memiliki kepekaan seperti itu besar kemungkinan anak kita itu mewarisinya. Itu sebagai warisan dari orang tua. Dan ertanyaannya, dari mana ini semua? Maka kembali kepada susunan syaraf yang ada di otak kita, itulah yang menentukan reaksi seperti apakah yang kita akan berikan, ada yang super peka, ada yang biasa-biasa saja dan ada juga yang sangat tidak sensitif.

GS : Faktor yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang lain adalah cara pandang yang berorientasi detail, anak-anak dengan kecenderungan mendetail sekali, tidak bisa tidak dia akan melihat masalah dengan begitu jelas, melihat semuanya denan teliti.

Tidak bisa tidak, makin banyak melihat maka makin terbuka kemungkinan melihat hal-hal yang tidak disukai. Sebaliknya ada anak-anak yang berpandangan lebih global tidak begitu melihat hal-hal kecil, dia akan lebih susah marah karena yang lebih melihat banyak sudah tentu akan lebih terganggu dan akhirnya cepat marah. Kalau kita sadar anak-anak kita seperti itu, maka sekali lagi kita harus menolongnya. Sudah tentu komunikasikan pengertian kita, "Karena kamu melihat dengan lebih mendetail atau lebih banyak maka kamu lebih mudah marah, namun kalau bisa kamu memberikan jarak pada dirimu, jangan terlalu dekat, sementara kamu memikirkan masalah itu, maka doronglah kehendakmu atau halau peristiwa itu sehingga kamu tidak terlalu terpengaruh." Kemudian mengajak anak untuk bisa melihat gambar utuh, "Coba lihat globalnya, umumnya" sehingga tidak terlalu diganggu oleh hal-hal yang mendetail itu.
GS : Hal-hal yang mengganggu itu bisa saja orang, bisa saja keadaan atau macam-macam hal.

PG : Betul sekali. Jadi tidak selalu hanya orang saja. Jadi bisa juga kondisi-kondisi tertentu apa yang dilihatnya, karena dia memiliki orientasi kognitif yang detail, dia akan melihat semuanya "Ada yang benar, ada yang tidak benar."

Kita harus mengajar anak untuk berkata, "Saya harus memisahkan diri dari hal yang kecil-kecil itu, meskipun menurut saya salah tapi tidak apa-apa."
GS : Dalam hal itu sebenarnya yang memicu kemarahan dia adalah dia sendiri.

PG : Benar. Karena dia memang melihat dengan lebih detail, lebih banyak hal yang tidak sesuai dengannya, dia cepat melihatnya.

GS : Apakah kemarahan ini ada kaitannya dengan ego seseorang?

PG : Ada dan bahkan sangat erat. Jadi anak-anak dengan ego yang kuat artinya keras kepala, kemauannya keras, cenderung membuat dia menjadi mudah marah dan kalau marah umumnya lebih eksplosif, lbih kuat ledakannya karena memang egonya sangat kuat.

Kalau ada anak seperti ini tidak bisa tidak kita harus sering-sering mengajaknya berbicara, mengajarnya untuk menarik napas yang panjang sebelum mengatakan apa-apa, mengajarnya untuk keluar dari ruangan, jangan bicara apa-apa dulu sebab kalau sudah terlanjur berbicara akhirnya ledakannya yang terjadi. Maka kita ajak dia, "Mari kita keluar dulu, mari kita tenangkan diri dulu, coba hela napas yang panjang dan keluarkan pelan-pelan." Teknik-teknik seperti itu kita ajarkan kepada dia, sehingga dia bisa tenang, kemudian dia mengeluarkan isi hatinya.
GS : Pak Paul, bentuk kemarahan itu beragam. Ada anak-anak yang memang secara eksplosif menyatakan kemarahannya sehingga kita tahu kalau dia marah tapi ada anak yang kalau marah dia diam, namun kita tahu kalau dia sedang marah. Waktu kita bertanya, "Apakah kamu marah?" dia menjawab, "Tidak" tapi jawaban "Tidak" itu dengan nada marah. Dan ini bagaimana kita mengatasinya?

PG : Kalau ada anak yang seperti itu, kita memang tidak bisa bicara saat itu juga. Jadi kita biarkan, kalau dia berkata "Tidak" maka kita biarkan saja. Setelah lewat satu masa dia sudah lebih tnang, dan dalam keadaan santai kita ajak dia berbicara, "Tadi Papa atau Mama melihat, kamu sepertinya sedikit terganggu dengan tindakan adikmu.

Mama mengerti kamu marah karena mungkin adikmu tidak sensitif dengan kamu, apakah seperti itu peristiwanya?" barulah kita ajak bicara. Misalkan dia berkata ini dan itu, maka kita katakan, "Baik, kita bicarakan solusi-solusinya, sehingga dia bisa katakan atau lakukan pada adiknya. Dan kita katakan, "Meskipun kamu tidak bisa langsung mengutarakan perasaanmu atau pikiranmu saat itu, tidak apa-apa. Tunda sementara dan kemudian kamu harus bicara dengan adikmu sehingga dia akan tahu". Misalkan dia akan berkata "tidak perlu" nanti kita akan tawarkan bantuan kita, "Nanti Mama temani kamu." Kemudian kita panggil adiknya dan mengajaknya bicara dan membantu dia untuk berbicara. Waktu tindakan itu membuahkan hasil yang positif, kita berkata kepada dia, "Kamu lihat yang positif, adikmu sekarang mengerti, penting untuk mengutarakannya meskipun saat itu kamu tidak bisa, sekarang kamu lebih lega, tolong kamu utarakan."
GS : Jadi disini yang penting adalah cara mengatasinya, bagaimana anak bisa mengatasi kemarahannya. Selain dari itu, apakah ada hal-hal lain, Pak Paul?

PG : Ada, Pak Gunawan. Memang ada beberapa yang orang tua perlu sadari. Misalnya kita mau mendidik anak mengembangkan kesabaran sebab kesabaran pada dasarnya adalah kemampuan untuk tinggal diambersama ketidak- nyamanan, artinya makin kita lama duduk dengan ketidaknyamanan makin tinggi tingkat kesabaran, ini yang kita mau anak-anak mulai mengembangkannya.

Kita tahu dari Firman Tuhan salah satu buah Roh Kudus adalah kesabaran di Galatia 5:22. Kalau begitu kita bantu si anak untuk mengembangkan kesabaran. Kadang-kadang kita tidak jelas tentang, "Apa itu sabar?" jadi sekarang kita mengerti sabar itu artinya bisa duduk bersama ketidaknyamanan, bisa menoleransi ketidaknyamanan itu. Hal seperti ini yang mesti mulai kita tekankan kepada anak. Waktu dia tidak merasa nyaman maka kita mulai mengajak dia untuk duduk-duduk, dan bicara dulu, biarkan kamu tetap di sini, kamu jangan lari dulu, jangan kemana-mana dulu. Jadi ajar anak untuk berhadapan dengan ketidaknyamanan, kadang-kadang orang tua tidak menyadari ini dan terlalu cepat memberikan jalan keluar sehingga anak tidak harus tinggal di dalam ketidaknyamanan, tergesa-gesa melepaskannya dan ini menjadi bagian dari reaksinya terhadap ketidaknyamanan. Kalau tidak nyaman dia inginnya lari, kalau dia tidak bisa lari dan cepat-cepat keluar dia bisa langsung marah dan justru ini yang kita mau kembangkan.
GS : Dan yang menjadi kesulitan tersendiri kalau orang tuanya tidak sabar, Pak Paul. Orang tuanya sendiri justru ingin cepat-cepat lari dari kondisinya yang tidak nyaman yaitu anaknya yang marah-marah ini, Pak Paul.

PG : Seringkali itulah yang terjadi sehingga makin hari anak ini makin mengembangkan ketidaksabaran, begitu ada hal-hal yang tidak enak dia mesti mendapatkan solusi, dia mesti tergesa-gesa lepa sehingga kesabarannya tidak pernah ditumbuh kembangkan.

GS : Pak Paul, kalau orang tidak nyaman tapi harus tetap di situ, maka itu erat sekali dengan penyangkalan diri, Pak Paul?

PG : Betul, Pak Gunawan, jadi kesabaran erat kaitannya dengan penyangkalan diri. Dan memang Tuhan sudah ajarkan pada kita bahwa untuk mengikutNya, kita harus menyangkal diri. Apa itu artinya enyangkal diri? Saya definisikan meskipun kita layak untuk menerimanya namun kita harus mengekang diri untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.

Sebagai orang tua ini yang mesti kita tekankan kepada anak yaitu meskipun kamu layak mendapatkannya namun secara berkala atau sekali-sekali itu tidak apa-apa kamu tidak mendapatkannya. Jadi sekali-sekali kamu mesti berkata tidak kepada dirinya. Sudah tentu kalau orang tua selalu menyuruh anak untuk menyangkal diri, maka anak akan sangat kasihan. Dia tidak pernah mengutarakan keinginannya, selalu harus mengalah dan itu tidak tepat. Tapi secara berkala orang tua memang mesti mengajar tidak kepada anak. Meskipun dia sebenarnya layak, dia harusnya mendapat, tidak apa-apa dia tidak harus mendapatkan apa yang dia inginkan.
GS : Apakah ada cara yang lain untuk mengatasi anak yang marah ini, Pak Paul?

PG : Yang berikut adalah mendidik anak untuk menerima dan hidup dengan kenyataan bahwa dalam dunia ini tidak ada yang sempurna, semua ada kecacatannya. Jadi semua ada waktunya bagi anak untuk mlupakannya dan tidak mempermasalahkan hal yang mengganggunya.

Artinya "Ya sudah" jadi sekali-sekali harus seperti itu dan tidak apa-apa. Kenapa? Karena memang kita hidup di dalam dunia yang tidak sempurna, tidak semua seperti yang dia inginkan. Memang ada anak yang secara bawaan inginnya sempurna, dia tidak bisa berkata, "Ya sudahlah". Justru kepada anak-anak yang seperti ini, kita sebagai orang tua harus berperan untuk mendorong dia, "Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, jangan kamu terlalu menginginkan semuanya sempurna seperti apa yang kamu inginkan." Dengan cara inilah anak-anak dikondisikan untuk bisa melepaskan dan tidak selalu harus mengejar apa yang dia inginkan supaya terjadi.
GS : Mungkin itu akan lebih mudah diajarkan sejak kecil dari pada sudah menjadi dewasa?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Kalau sudah dewasa memang sangat susah, justru itu harus dimulai saat dia masih sangat kecil misalnya usia 2 atau 3 tahun. Dan di saat-saat itulah kita harus muli memberikan masukan-masukan seperti ini.

GS : Dan untuk mulai mengajarkannya, khususnya seperti yang Pak Paul katakan untuk anak yang berusia 2 atau 3 tahun yang sangat kecil itu, bagaimana kita bisa mengajarkan kepada mereka, seperti "Semua itu tidak harus terlalu dipikirkan atau menimbulkan kemarahan," bagaimana Pak Paul?

PG : Misalkan mainannya diambil oleh kakak atau adiknya, dia akan marah dan dia berkeinginan untuk mengambilnya kembali, tentu suatu saat kita akan minta si kakak untuk mengembalikan mainannya uga.

Namun ada waktu-waktu kita akan berkata, "Ya sudah biar kakak bermain mainanmu dulu dan kamu ikut Mama atau Papa dan kita mengerjakan hal ini." Jadi dengan tindakan seperti itu maka si anak akan berkata, "Ya sudahlah saya tidak ambil mainan yang itu dan saya akan mengerjakan yang lain", maka dia akan mulai mengalihkan perhatian dengan cara melupakan yang satu dan melakukan yang satunya.
GS : Dan sebetulnya itu juga bisa dilakukan oleh orang dewasa yaitu mengalihkan perhatian kepada hal lain yang mungkin lebih positif.

PG : Betul sekali. Jadi itu adalah satu cara yang efektif untuk bisa mengatasi kemarahan kita pula.

GS : Ada cara yang lain Pak Paul, untuk mengatasi kemarahan ini?

PG : Ini juga penting yaitu mendidik anak untuk mengampuni. Tentu kita sudah tahu bahwa mengampuni bukanlah melupakan, karena kita pasti bisa mengingat karena kita mempunyai memori. Mengampuni ustru menuntut kita melihat dengan jelas apa yang telah terjadi namun memutuskan untuk tidak membalas dan memilih untuk tetap menjalin relasi.

Firman Tuhan berkata di Kolose 3:13, "Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah se-orang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian." Jadi pada waktu anak-anak masih kecil dengan kakak atau adiknya, kita mau anak-anak itu belajar mengampuni bukan hanya, "Sudah lupakan" jadi akui apa yang telah terjadi dan biarkan dia melihat, tapi ajar dia untuk tidak membalas, kalau mau membalas katakan, "Itu bukan hakmu" dan kita katakan, "Coba Mama yang mengurusi, coba Papa yang urus" jadi kita mulai alihkan tanggung jawab itu kepada kita, sehingga si anak tidak langsung harus membalas.
GS : Mungkin ada hal lain bagi kita untuk mengatasi kemarahan ini?

PG : Dan ini yang terakhir dan yang penting dari Kolose 3:14 berkata, "Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan." Hati yang penuh kasihsudah tentu akan lebih susah marah, dan hati yang hampa kasih sudah tentu mudah marah.

Maka kita mesti mendidik anak untuk mengasihi, belajar mempunyai belas kasihan kepada orang lain sehingga dia tidak mudah marah. Jadi tetap kita ajak dia untuk mengasihi, kita ajak dia untuk mendoakan orang, baik itu kakak atau adiknya yang telah melukai hatinya.
GS : Tapi sebagai orang tua, kita punya tugas untuk memberikan teladan atau memberikan contoh konkret kepada anak, bagaimana kita mengatasi kemarahan kita itu. Kalau tidak, apa yang kita ajarkan itu sia-sia kepada mereka.

PG : Jadi memang semua terpulang kepada kita sebagai orang tua, kalau kita hidup sesuai dengan yang kita ajarkan, maka anak akan dengan cepat meniru hal-hal yang positif dari diri kita.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan saya rasa akan menjadi berkat bagi banyak orang. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak dan Kemarahan." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



54. Diolok-olok Teman


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T260B (File MP3 T260B)


Abstrak:

Anak tidak hidup di dunia yang sempurna. Biasanya akan ada anak lain yang gemar mengolok-oloknya dan tidak jarang, olokan tinggal dalam hati anak dan mempengaruhi konsep dirinya. Apa yang bisa diajarkan orang tua kepada anaknya ketika anak menghadapi olokan? Dan kenapa anak kita bisa mengolok-olok temannya?


Ringkasan:

Anak tidak hidup di dunia yang sempurna. Biasanya akan ada anak lain yang gemar mengolok-oloknya dan tidak jarang, olokan tinggal dalam hati anak dan mempengaruhi konsep dirinya. Pada dasarnya, mengolok adalah tindakan membuat orang lain merasa kurang berharga dan ini dapat dilakukan lewat perkataan maupun bahasa tubuh. Mari kita lihat lebih saksama tentang olokan ini.

Mengapa kita mengolok-olok yang lain? Sesungguhnya ada dua jenis olokan:

Kita mesti menjelaskan kepada anak akan perbedaan dua olokan ini. Sewaktu ia mendengar olokan temannya, ia harus dapat membedakan keduanya. Jangan sampai anak menjadi terlalu peka dan menyamaratakan semua olokan. Terhadap olokan canda, kita mengajarnya untuk tidak menanggapinya dengan serius. Terhadap olokan beracun, kita didik anak untuk berbicara langsung dengan temannya dan menanyakan apakah maksud yang terkandung di belakang olokan itu.

Menghadapi Olokan

Firman Tuhan
"Aku berlaku tidak bercela di hadapan-Nya dan menjaga diri terhadap kesalahan. Karena itu Tuhan membalas kepadaku sesuai dengan kebenaranku, sesuai dengan kesucian tanganku di depan mata-Nya." (Mazmur 18:24, 25)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Diolok-olok Teman". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Di dalam pergaulan sehari-hari, Pak Paul, yang namanya anak tidak luput dari saling mengejek, saling mengolok-olok. Tapi kita sebagai orang tua tentu juga tidak senang kalau anak kita menjadi bahan olok-olokan, anaknya juga pasti menderita karena itu. Dalam hal ini Pak Paul, hal apa saja yang bisa kita lakukan?

PG : Diolok-olok adalah tindakan atau perkataan lewat ucapan langsung atau lewat bahasa tubuh, dengan tujuan untuk menjatuhkan atau membuat orang lain merasa kurang berharga. Jadi pada akhirnyakalau seseorang terus menerima olok-olokan, tidak bisa tidak dia akan mengembangkan rasa kurang percaya diri, melihat dirinya tidak berharga dan banyak kekurangan.

Jadi sekali lagi inilah tugas orang tua untuk melindungi anak, jangan sampai anak menjadi korban olok-olokan dari teman-temannya. Namun nanti kita juga mesti belajar untuk bisa menolong anak menjaga reaksinya, jangan sampai karena dia diolok-olok kemudian nantinya dia akan melakukan hal-hal yang sama buruknya kepada teman-temannya.
GS : Motivasi dari olok-olokan itu bermacam-macam, sebenarnya latar belakangnya apa? Dan bagaimana kita mengelompokkan olok-olokkan itu?

PG : Saya kategorikan dalam dua golongan, yang pertama yang saya panggil olok-olok canda, sudah tentu dalam pergaulan anak-anak akan ada olok-olokan canda, biasanya untuk memancing tertawa. Jad tidak ada niat-niat tertentu di belakang itu.

Tapi yang berbahaya adalah yang saya sebut olokan beracun, sebab ini dilakukan dengan sengaja untuk menjatuhkan temannya atas dasar iri atau marah. Jadi ada anak yang sebetulnya iri atau marah kepada temannya, dari pada dia melakukan tindakan-tindakan yang lebih nyata untuk menunjukkan keirihatiannya atau kemarahannya, dia menggunakan sikap mengolok-olok tapi sebetulnya olok-olokannya itu sangat tajam dan benar-benar dengan tujuan untuk menjatuhkan, membuat orang itu lebih rendah dari dirinya atau menerima pembalasannya karena dia marah terhadap orang itu. Terhadap olok-olok yang seperti inilah kita mesti menjaga dan melindungi anak-anak kita.
GS : Walaupun olok-olokan itu bersifat canda tapi itu juga akan merugikan anak yang menjadi olok-olokan itu.

PG : Betul sekali, meskipun olok-olokan canda dan teman-temannya tidak mempunyai maksud apa-apa, namun pada akhirnya kita harus menolong anak untuk bisa menangkis olokan ini, sehingga dia tidakmemasukkan dan memercayainya.

Jadi disini peran orang tua sangat besar, Pak Gunawan. Misalkan kalau teman-temannya mengolok-olok dia dan berkata, "Kamu ini kegemukan" misalnya seperti itu, anggap saja anak kita memang agak gemuk nah apa yang harus kita lakukan? Kita bisa mengajak anak untuk melihat hal-hal lain pada dirinya atau pada tubuhnya yang baik atau yang indah, dengan kata lain kita mencoba menetralisir. Jadi meskipun teman-teman dia itu secara bercanda mengatakan hal itu, memang tidak ada niat untuk melukainya, tapi mungkin saja dia benar-benar terluka dan di sinilah kita berperan menyeimbangkan komentar temannya sehingga si anak tidak hanya melihat satu aspek pada dirinya, tapi dia juga akan melihat aspek-aspek pada dirinya yang indah.
GS : Didalam hal ini, Pak Paul mengajarkan anak untuk bisa melihat sesuatu yang positif di dalam dirinya, tentu kita mengatakan secara terus terang atau kita memang melebih-lebihkan saja.

PG : Saya kira kita harus mengatakan terus terang sebab kalau kita tidak terus terang, maka yang pertama apa yang kita katakan itu tidak terlalu berkekuatan dan si anak itu nanti dengan cepat aan berkata di dalam hatinya, "Papa dan Mama hanya bicara saja untuk menyenangkan hati saya atau menghibur hati saya," padahalnya tidak seperti itu.

Jadi kita tidak mau kalau anak kita akhirnya mengembangkan dugaan seperti itu sebab sekali anak mempunyai dugaan seperti itu, apa pun yang akan kita katakan kepada dia maka tidak akan memberikan hasil sebab dia sudah langsung berasumsi, "Hanya untuk menghibur saya saja" jadi waktu kita katakan bagian hidupnya atau dirinya yang memang baik, maka itulah hal-hal yang sungguh-sungguh kita akan lihat.
GS : Tapi kalau kita katakan apa adanya, sebenarnya si anak ini akan lebih percaya kata-kata temannya dari pada kata-kata kita sebagai orang tua.

PG : Jadi pada akhirnya si anak ini memang tidak akan hanya menggantungkan penilaian dirinya atas perkataan kita, dia tetap akan mendengarkan dan mempercayai apa yang temannya katakan pula. Tap kalau dia mendengarkan dua sumber dan dua komentar, itu berarti dia akan lebih dapat menyeimbangkan penilaian dirinya, dibandingkan kalau dia hanya mendengar satu sumber yang mengolok-olok.

Misalkan dalam hal ini tubuhnya yang gemuk, bukankah ini akan lebih berdampak buruk terhadapnya. Tapi kalau dia juga mendengarkan pendapat-pendapat yang positif dari orang tua, meskipun dia memercayai olokan temannya, namun apa yang kita katakan akan sedikit banyak menetralisir atau dapat menyeimbangkan apa yang temannya katakan.
GS : Jadi tugas kita adalah bagaimana membantu anak menghadapi olokan-olokan yang dia terima tiap-tiap hari, dan apa saja yang bisa kita lakukan Pak Paul?

PG : Yang pertama kita memang harus mengajak anak, untuk menilai apakah olokan temannya ini masuk ke dalam kategori olokan yang biasa atau olokan yang beracun. Jadi kenapa kita mesti mengajak aak memilah keduanya, sebab kita juga tidak mau kalau anak kita menjadi terlalu sensitif.

Ada orang tua yang keliru menanggapi, waktu anak datang dan menangis karena temannya atau kakaknya atau adiknya mengatakan olokan kepadanya, kemudian kita langsung menyalahkan pihak yang lain itu, kalau tidak hati-hati, tindakan orang tua yang seperti ini justru makin menyuburkan kepekaan seseorang, sebab saat dia pulang ke rumah dan dia bercerita ke orang tua dan orang tua langsung menyalahkan pihak luar. Jadi kita mesti hati-hati agar tidak menyuburkan sikap seperti ini kepada anak-anak. Jadi kita mesti bertanya kepada si anak apa yang sebenarnya terjadi, temannya bicara seperti apa dan kemudian kita tanya dia "Menurut kamu sesungguhnya teman-teman kamu itu berbicara seperti itu kepada kamu, untuk bercanda agar tertawa, atau kamu melihat ada unsur untuk membalas". Misalkan dia berkata, "Tidak, tidak ada unsur itu" mungkin kita bisa berkata kepada si anak, "Kalau begitu besar kemungkinan ini adalah olokan hanya untuk bercanda dan apa yang harus kamu lakukan kalau ini memang hanya untuk bercanda? Sudahlah! Kamu jangan tanggapi, kamu hanya tertawa biasa tapi kamu jangan masukkan ke dalam hati. Jadi kita mau mendidik anak agar bisa membedakan keduanya supaya dia tidak harus terus- menerus merasakan perasaannya tertusuk-tusuk, terus tersinggung, jadi dia harus belajar membedakan.
GS : Tapi apa pun jenis olokan itu Pak Paul, semuanya itu menimbulkan kemarahan dalam diri anak dan anak itu pasti tidak senang, Pak Paul. Pasti dia marah, kita pun pernah mengalami hal itu dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Sudah tentu dia akan marah dan reaksi pertama sewaktu marah adalah mau membalas dan kita bisa berkata kepada anak kita, "Saya mengerti kamu marah karena tindakan atau perkataan temanmu ini tapi mari kita pikirkan langkah terbaik yang harus dilakukan untuk menyadarkan temanmu bahwa dia telah melakukan hal yang keliru tapi yang penting adalah kamu juga harus menahan diri, jangan membalas sebab yang pertama Tuhan menekankan agar kita tidak membalas karena pembalasan adalah milik Tuhan."

Kita katakan kepada anak kita, "Apa yang temanmu perbuat itu dilihat Tuhan, nanti suatu hari kelak, Tuhan akan memberikan balasan kepada dia." Dengan cara itu, si anak juga akan belajar mengerem dan tidak langsung terlibat di dalam proses balas- membalas, pokoknya kalau dia berbuat ini maka saya harus membalas, kalau dia berbuat ini maka saya harus balas dan akhirnya tidak ada habisnya, saling mengejek, saling mengolok-olok dan dua-duanya menjadi benci satu sama lainnya. Jadi yang pertama kita mesti mengajarkan anak untuk tidak membalas.
GS : Tidak memupuk rasa benci kepada pihak yang mengolok-olok itu, Pak Paul?

PG : Betul, sebab semakin dibalas maka semakin membenci.

GS : Karena seringkali kalau kita marah saat diolok-olok, otomatis orang yang mengolok-olok kita menjadi senang, berarti olok-olokannya itu mengena.

PG : Betul, dia makin senang dan kita makin marah. Jadi memang cara yang lebih baik adalah tidak menghiraukan.

GS : Mungkin ada cara yang lain menghadapi olokan ini?

PG : Kita mesti mendidik anak untuk belajar mengolok canda teman tanpa harus menjatuhkan atau mempermalukannya. Kadang-kadang meskipun anak melakukan olok canda, dia melampaui batas dan mengelurkan kata-kata yang benar-benar menjatuhkan harga diri seseorang.

Jadi kita bisa mengajarkan pada anak untuk tidak mengatakan hal-hal buruk kepada teman atas dasar penampilan fisiknya, dia terlalu kurus, dia terlalu gemuk, dia terlalu pendek, dia terlalu tinggi, tangannya terlalu apa dan sebagainya, lebih baik jangan. Ajarkan kepada dia bahwa, "Tuhan menciptakan temanmu seperti itu sebab itulah desain Tuhan untuknya dan kamu tidak boleh mempermasalahkannya apalagi mengolok-olok apa yang Tuhan telah ciptakan sebab bagaimana pun, itu adalah ciptaan Tuhan, dia belajar untuk menghormati apa yang telah Tuhan ciptakan. Atau ada hal-hal lain yang bisa menghancurkan penghargaan diri orang yaitu intelektual, ajarkan anak untuk tidak mengolok-olok teman lain yang tidak pandai, adakalanya yang pandai seringkali mengatakan hal-hal yang buruk terhadap teman-teman yang kurang pandai, "Bodoh, otakmu dimana?" dan menjadikan itu sebagai panggilan di kelas, sebagai bahan olokan. Dan kita mengajarkan anak-anak kita, "Jangan begitu" kita bisa ajak dia melihat, "Kalau teman kamu yang mengatakan hal itu kepada kamu, bagaimana perasaanmu? Pastilah tidak enak." Jadi sekali lagi kita ajarkan bahwa tingkat intelektual adalah pemberian Tuhan, Tuhan memberikan karunia kepada anak-anaknya tidak sama, ada yang kuat dalam bidang tertentu dan ada yang lemah dalam bidang-bidang lainnya, jadi jangan permasalahkan. Dan yang lain yang kita harus ajarkan kepada anak adalah jangan mengolok-olok atas dasar latar belakang keluarga dan ekonomi, misalnya orang tuanya bercerai, hal itu jangan digunakan sebagai bahan untuk mengejeknya, atau yang lainnya adalah tidak punya ayah karena apa pun alasannya, jangan mengejek-ejek anak yang tidak punya ayah atau tidak punya ibu, atau latar belakangnya agak kurang, miskin dan sebagainya, jangan mengolok-olok anak yang tidak punya. Justru kita harus ajarkan pada mereka, engkau harus lebih berbelas kasihan sebab kalau mereka diberikan pilihan, mereka pun juga tidak mau menjalani hidup seperti itu, namun mereka justru hidup apa adanya sekarang, jadi kamu jangan mengolok-olok. Sebelum diapa-apakan dia sudah menderita, jadi jangan ditambahkan penderitaannya dengan olokan-olokanmu.
GS : Kadang-kadang ada orang tua yang dipenjara karena sesuatu hal, dan itu tidak cocok untuk dijadikan bahan olokan, Pak Paul.

PG : Betul sekali, saya pernah bercakap-cakap dengan seseorang, yang saya kenal dimana ayahnya pernah dipenjara, ditangkap, hal itu benar-benar memberikan dampak besar pada keluarga terutama ank-anak yaitu dari kecil anak itu merasa ada aib dalam keluarganya akhirnya dia bertumbuh besar dengan rasa minder, merasa ada yang harus disembunyikan, merasa diri tidak layak bersama-sama dengan teman yang lain karena dia merasa dirinya mempunyai suatu kekurangan, merasa diri tidak layak terhadap teman yang lain karena melihat bahwa dirinya mempunyai kekurangan.

Jadi sekali lagi kita tekankan kepada anak kita bahwa teman-temanmu yang seperti ini dalam hati mereka sudah menderita, jangan tambahkan lagi penderitaan mereka lewat olok-olokan itu.
GS : Kita juga perlu mengajarkan kepada anak-anak kita bahwa ada hubungan antara Tuhan dan anak-anak yang kita olok-olok itu, Pak Paul?

PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi kita harus kembalikan kepada konsep Alkitabiah bahwa mereka adalah ciptaan Tuhan, mereka adalah orang-orang yang Tuhan tempatkan di dunia ini dan kalau memang Tuha tempatkan di dunia ini pastilah Tuhan mempunyai maksud atas hidupnya.

Kita mesti mengingatkan anak bahwa yang terpenting adalah apa yang Tuhan katakan pada dirinya dan bukan apa yang temannya katakan. Dan salah satu dampak buruk olokan adalah kita merasa kita tidak bernilai dan seburuk apa yang dikatakan teman. Dan kita harus ingatkan tentang siapakah dia di mata Tuhan dan siapakah temannya di mata Tuhan. Jadi jangan sampai kita menghina orang lain maupun diri kita sebab kita adalah anak Tuhan dan ciptaan Tuhan.
GS : Penting sekali hal itu harus dikatakan kepada anak sebab kita adalah ciptaan Tuhan dan didesain begitu unik di hadapan Tuhan dan di hadapan sesama kita.

PG : Betul dan ini penting. Anak kita mulai mengatakan, "Pa, kenapa gigi saya seperti ini? Ma, kenapa mata saya seperti ini?" Atau "Pa, kenapa kulit saya seperti ini?" dan sebagainya. Disaat sperti itulah kita mesti mengajak anak untuk kembali melihat dari kacamata Tuhan, bukan saja melihat dari kacamatanya, bukan saja bercermin di depan cermin manusia atau di depan cermin dunia tapi di depan cermin Tuhan.

Kita bisa berkata kepadanya, "Kamu adalah ciptaan Tuhan, apa yang Tuhan ciptakan adalah baik karena Firman Tuhan berkata seperti itu. Memang kamu anggap ada yang lebih baik dari kamu, tapi apa yang Tuhan berikan kepada kamu itu baik dan kita terima dengan penuh syukur." Akhirnya kita harus menekankan satu hal kepada anak begini, "Kamu ini beranggapan bahwa temanmu dengan mempunyai misalkan kepandaian seperti ini atau wajah seperti ini, maka temanmu itu akan lebih bahagia." Kita tekankan kepada si anak, bahwa kita sudah lebih tua dari dia, kita sudah lebih mengerti tentang hidup ini dan kita bisa berkata bahwa, "Kita sudah melihat orang yang waktu masih muda tampan, cantik, mempunyai kelebihan-kelebihan tapi hidupnya jauh dari bahagia. Orang yang biasa saja, tidak mempunyai kelebihan-kelebihan seperti itu tapi kehidupannya jauh lebih bahagia mempunyai damai sejahtera dan sebagainya." Nah kenapa begitu? Kita katakan bahwa semua kelebihan itu ternyata tidak mempunyai janji atau garansi kebahagiaan. Kita bisa membuka di dalam Firman Tuhan dari kitab Pengkhotbah bahwa Tuhan akan memberikan kepada kita kemampuan untuk menikmati apa yang telah Dia berikan kepada kita. Jadi Tuhan yang memang nanti akan memberikan kebahagiaan supaya kita bisa menikmati apa yang Dia telah berikan kepada kita.
GS : Pak Paul, sebenarnya dampaknya lebih besar yang mana antara anak diolok-olok sesama anak atau diolok-olok oleh orang tua?

PG : Ini tidak bisa dipastikan, bisa dampak terbesar dari orang tua tapi juga bisa sebaliknya yaitu dari teman. Misalkan kalau bagi si anak, si orang dewasa yang mengatakannya, maka dianggap it paling penting maka efeknya akan lebih berat.

Atau kalau menurut si anak, temannya itu dianggap paling penting dalam hidupnya, itu yang juga akan lebih berdampak, jadi bisa kebalikannya. Kalau orang dewasa mengolok-olok si anak kecil ini sangat buruk, tapi bagi anak kecil itu orang dewasa tidak terlalu penting bagi dia, maka perkataan itu akan masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Dan sebaliknya juga sama, kalau dia menganggap teman-temannya itu tidak terlalu berperan, tidak begitu penting dalam hidupnya maka kalau temannya bicara apa saja, dia tidak akan terlalu memusingkan. Jadi bukan karena usia namun seberapa pentingnya orang itu terhadap dirinya.
GS : Dan bagaimana kedekatan relasi si anak dengan orang yang mengolok-olok itu, dia sudah begitu percaya dan dekat kemudian mengolok-olok, itu akan sangat menyakitkan sekali.

PG : Betul Pak Gunawan, dan kita mesti menyadari bahwa bukankah yang paling dekat dengan anak adalah kita orang tua, berarti apa yang kita katakan kepadanya itu akan lebih berdampak sebab meman dia paling dekat dengan kita.

Jadi makin dekat maka tabrakan itu akan memberikan dampak. Maka sebagai orang tua kita mesti berhati-hati karena kadang-kadang olok-olokan itu juga kadang keluar dari mulut kita, kita mungkin tidak berniat buruk namun kita mengatakannya dan hal inilah yang akan dia ingat sampai besar.
GS : Dan lebih parah lagi kalau itu dilakukan di depan teman-teman anak atau lebih banyak orang yang mendengarkan, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Mungkin buat kita itu hanya bercanda tidak ada rasa malu dan sebagainya, mungkin mempermasalahkan misalkan tentang penampilannya atau tingkat intelektualnya, maka itu akan sagat menjatuhkannya.

GS : Seringkali orang tua berkata dengan dalih, "Saya tidak mau menyombongkan anak saya" tapi malah merendahkan anak ini. Jadi terbalik dan itu menyakitkan sekali buat anak.

PG : Betul sekali dan kita mesti waspada, sebab sekali lagi karena kita dekat dengan si anak maka apa yang kita katakan itu akan lebih berdampak pada dirinya.

GS : Mungkin masih ada cara terakhir didalam menghadapi olokan ini?

PG : Yang terakhir adalah kita mesti mengingatkan anak untuk tidak berupaya membuktikan dirinya. Ada kecenderungan, guna mematahkan olokan teman, anak akan berusaha untuk memerlihatkan kepada lngkungan siapa dirinya dan dirinya bukan seperti apa yang dikatakan teman.

Kadang perilaku ini membuat anak mengatakan hal-hal yang tidak benar atau malah mengundangnya melakukan tindakan yang berlebihan. Jadi 'over-acting' karena dia ingin membuktikan dirinya tidak sama dengan yang temannya katakan, misalkan temannya mulai meledek-ledek, "Kamu pengecut dan sebagainya" maka dia makin menggebu-gebu dan menunjukkan kalau dirinya berani akhirnya melewati batas. Misalnya untuk menunjukkan kalau dirinya berani maka dia mulai melawan gurunya, padahal dia sendiri tidak ada niat untuk melawan guru, dia sendiri tidak ada masalah dengan guru, tapi karena ingin membuktikan diri maka akhirnya itulah yang dilakukannya. Kalau kita sebagai orang tua melihat bila sebelumnya tidak seperti itu dan sekarang dia menjadi seperti ini maka kita harus berpikir bahwa ada kemungkinan si anak ini akan mencoba membuktikan dirinya dan bisa jadi dia akan membuktikan dirinya karena diolok-olok oleh teman. Jadi kita harus menolong anak, kita harus meyakinkan si anak, bahwa dia tidak harus membuktikan dirinya sebab yang terpenting adalah bagaimana dia menerima dan mengenal dirinya. Apa yang temanmu katakan, "Kamu pengecut dan sebagainya" itu adalah sesuatu yang silakan kamu dengarkan tapi tidak harus langsung kamu percayai. Yang penting adalah bagaimana kamu melihat dirimu sekarang. Kalau kamu melihat diri kamu sekarang bahwa kamu bukanlah seorang pengecut tapi hanya tidak mau melakukan hal-hal yang salah, itu bukanlah pengecut. Jadi kamu tidak perlu menerima apa yang teman-temanmu telah katakan. Dan sudah tentu kamu tidak harus membuktikan dirimu lagi.
GS : Pak Paul, ada olok-olokan yang dilakukan secara massal, maksud saya seperti ini misalkan pada tahun ajaran baru, seorang pelajar yang masuk di kelas 1 atau mahasiswa awal, mereka itu semacam diolok-olok pada masa orientasi siswa. Tapi sifatnya massal, diberikan topi yang aneh-aneh, baju yang aneh-aneh, tulisan yang aneh-aneh juga dan ini pengaruhnya besar atau tidak?

PG : Biasanya tidak. Karena olok-olokan seperti ini adalah olok-olok yang sudah dimengerti, sudah diterima bahwa ini adalah olok-olokan dan berlaku hanya satu saat saja, setelah itu semua kembai normal lagi.

Sebab si pelajar atau mahasiswa dapat melihat bahwa bukankah kakak-kakak tingkatnya setelah lewat semua ini, biasa-biasa saja dan tidak ada apa-apa lagi. Jadi saya kira dalam masa orientasi mahasiswa, hal-hal ini dapat diterima, mereka tidak akan mengambil hati bahwa ini adalah kenyataan, setelah masa orientasi ini lewat mereka akan seperti biasa lagi.
GS : Kecuali kalau setelah masa itu, mereka masih diolok-olok Pak Paul, mereka masih keterusan dan ini menjadi masalah besar bagi anak itu sendiri.

PG : Betul sekali, kalau keterusan sampai kapan pun mereka tetap dipanggil dengan olokan itu maka dia akhirnya akan tahu bahwa ini bukannya terbatas pada masa itu tapi memang dia sedang diolok-lok.

GS : Mungkin kita sebagai orang tua memang perlu membekali anak itu, bagaimana menangkis olok-olokan itu sehingga dia tidak menjadi korban terus.

PG : Betul. Dan memang sekali lagi memang pendekatan dengan orang tua itu penting, orang tua yang dekat dengan anak akan dapat melihat perubahan pada diri anak sehingga dapat menolong anak membrikan masukan, memberikan cara untuk menangkisnya sehingga anak akhirnya lebih siap untuk menghadapi itu.

GS : Dan perlengkapan yang paling canggih tentunya Firman Tuhan sendiri, dan apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Mazmur 18:24 dan 25 berkata, "Aku berlaku tidak bercela di hadapan-Nya, dan menjaga diri terhadap kesalahan. Karena itu Tuhan membalas kepadaku sesuai dengan kebenaranku, sesuai dengan kescian tanganku di depan mata-Nya."

Saya kembalikan lagi kepada Firman Tuhan sebab pada dasarnya tatkala kita diolok-olok, kita marah dan kita ingin membalas tapi Firman Tuhan mengingatkan, "Biarkanlah, Tuhan akan melakukan tugasnya dan kita tidak perlu. Biarlah Tuhan nanti yang akan menilai kita, Tuhan akan memberi yang memang sesuai untuk kita terima." Jadi apa yang orang lain terima, mereka akan menerima bagiannya, yang penting kita hidup benar di hadapan Tuhan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Diolok-olok Teman." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



55. Menatap Diri dan Menata Diri


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T271A (File MP3 T271A)


Abstrak:

Banyak orang mendambakan perubahan namun tidak semua menyadari langkah menuju kepada perubahan, untuk mencapai ke situ perlu dua hal yaitu menatap diri dan menata diri. Menatap diri berarti melihat diri dengan tepat—apa adanya—dan sejahtera—bersedia menerima diri apa adanya. Menata diri berarti tahu apa yang mesti dilakukan agar perubahan terjadi. Agar kita bisa menatap diri dan menata diri, hal-hal apa saja yang kita perlukan?


Ringkasan:

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami tentang "Menatap Diri dan Menata Diri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Lengkap
GS : Dengan adanya perubahan yang begitu cepat, ada orang yang rasanya kurang siap bahkan tidak siap menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Dan ini membawa dampak negatif bagi dirinya dan juga orang-orang di sekitarnya, ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Tidak bisa tidak kalau lingkungan kita atau kondisi kehidupan kita berubah, kita pun akan turut terpengaruh, Pak Gunawan. Misalkan seseorang yang tadinya menempati posisi yang baik dalam sbuah perusahaan kemudian tiba-tiba harus kehilangan pekerjaan, apalagi di masa sekarang kita sedang dilanda krisis ekonomi, tidak bisa tidak apa yang terjadi juga akan menimpa pada dirinya dan akhirnya membawa dampak pada bagaimanakah dia memandang dirinya.

Dan ini adalah sesuatu yang nantinya harus dihadapi, inilah yang harus dilihatnya, dan ternyata tidak terlalu mudah bagi semua orang untuk bisa menyadari serta menerima dirinya ini.
GS : Memang perubahan itu diusahakan, baik dicari atau tidak, maka dengan sendirinya akan terjadi perubahan, Pak Paul?

PG : Ya sebab kita tidak memiliki kendali atas semua apa yang terjadi dalam hidup ini.

GS : Karena ada beberapa orang yang menghendaki selalu ada perubahan di dalam dirinya, kalau tidak ada perubahan di dalam dirinya maka dia merasa kehidupan ini monoton. Tetapi kalau terjadi perubahan yang cepat maka orang pun tidak siap, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi ada orang-orang yang kita katakan progresif, dia ingin sekali melihat dirinya itu bertambah baik, berubah. Jadi memang ada orang-orang yang menyambut perubahan itu. Tetapi ada uga sebaliknya yaitu ada orang-orang yang tidak menyambut perubahan-perubahan, tidak mau melihatnya sama sekali, dan sebaliknya ada orang yang ingin melihat perubahan tapi tidak bisa melihat keseluruhan pada dirinya itu.

Semua hal ini memang terkait dan akhirnya akan memengaruhi bagaimana dia melihat dirinya itu.
GS : Kalau hal ini terkait dengan dirinya sendiri, artinya masalahnya ada pada diri orang itu, maka apa yang harus kita lakukan sebenarnya kalau itu menyangkut diri kita sendiri?

PG : Dalam hidup ini ada dua keterampilan yang mesti kita miliki, Pak Gunawan. Yang pertama yaitu menatap diri dan yang kedua adalah menata diri, memang ini adalah dua kata yang mirip namun merka berbeda arti.

Apa yang saya maksud menatap diri? Menatap diri berarti melihat diri dengan tepat, apa adanya dan sejahtera, yang berarti menerima diri apa adanya. Saya akan menjelaskan apa yang saya maksud, ada orang yang dapat melihat diri dengan tepat namun tidak sejahtera, dengan kata lain orang ini menolak menerima kenyataan bahwa itulah dirinya. Jadi ada orang yang dapat melihat dirinya dengan tepat tapi tidak bisa melihat dirinya dengan sejahtera karena tidak bisa menerima apa yang dilihatnya itu. Ada juga kebalikannya, orang yang melihat diri dengan sejahtera artinya bisa menerima keberadaannya tetapi sayangnya dia tidak bisa melihat dirinya dengan tepat, maksudnya ia hanya bisa melihat sebagian dari dirinya. Untuk menciptakan perubahan diperlukan ketepatan dan penerimaan dalam melihat diri sehingga kita tahu bagian yang manakah yang sesungguhnya memerlukan perubahan.
GS : Kalau kita mau menilai diri kita sendiri atau menatap diri kita sendiri dengan apa adanya itu akan jauh lebih sulit daripada kalau kita itu menatap orang lain.

PG : Jauh lebih mudah memang menatap orang lain, sebab kita harus akui sejak kecil kita itu tidak begitu terlatih untuk melihat diri dengan tepat apalagi menerima diri dengan sejahtera, sebab oang tua memang kadang-kadang memiliki tuntutan tertentu atau harapan tertentu dalam diri kita sehingga waktu orang tua pun mulai menolak bagian-bagian dalam diri kita yang tidak disetujui atau tidak disenangi oleh orang tua maka kita pun akhirnya mulai mengembangkan sikap "bermusuhan" dengan bagian dalam diri kita yang kita tidak senangi itu.

Itu sebabnya walaupun kita bisa melihat diri kita dengan baik tapi belum tentu kita bisa melihatnya dengan sejahtera. Atau ada orang yang bisa melihat dirinya dengan sejahtera yaitu menerima namun tidak tepat sebab dia hanya menerima sepotong-potong dalam dirinya atau yang lebih parah justru dia itu menggelembungkan dirinya atau mengubah dirinya yang sebetulnya tidak ada, supaya dia bisa melihat dirinya dengan lebih sejahtera.
GS : Selain faktor orang tua, kadang-kadang faktor teman juga sangat berpengaruh, dia akan membandingkan dirinya dengan teman-temannya, "mengapa teman-temannya seperti itu dan dia tidak seperti itu?" Itu membuat dia tidak lagi nyaman dengan dirinya sendiri, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi ada waktu-waktu dimana anak itu dibanding-bandingkan dengan saudaranya atau dengan temannya sehingga pada akhirnya dia tidak bisa melihat dirinya dengan sejahtera. Dia justru mnginginkan apa yang ada pada diri temannya itu yang tidak dimilikinya.

Kalau tidak hati-hati, si anak nanti bisa hidup di dalam dunia khayali, seolah-olah dia memiliki apa yang dimiliki oleh temannya itu padahal dia tidak memunyainya.
GS : Kalau menata diri itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Jadi skill atau kemampuan pertama yang diperlukan adalah kemampuan untuk melihat diri atau menatap diri supaya nanti kita bisa maju ke arah perubahan. Yang kedua adalah menata diri artinyatahu apa yang mesti dilakukan agar perubahan terjadi.

Jadi maksudnya tidak cukup hanya memiliki kemampuan menatap diri bila tidak diikuti dengan kesanggupan mengambil langkah yang tepat menuju pada perubahan. Jadi seorang yang ingin berubah harus mampu untuk menata dirinya, dia bisa mengatur, merancang dan mengetahui apa yang mesti dikerjakannya supaya pada akhirnya dia bisa menikmati perubahan pada dirinya.
GS : Itu dalam rangka dia menyesuaikan diri dengan perubahan atau dia yang menciptakan perubahan, Pak Paul?

PG : Bisa dua-duanya, jadi kadang-kadang memang ada tuntutan dari luar sehingga dia harus berusaha mencapai standart itu. Saya berikan contoh misalnya dalam kehidupan saya dengan istri saya, awl pernikahan saya bukanlah orang yang mengerti perasaan dengan baik, tapi istri saya kebalikan dari saya yaitu orang yang memiliki kepekaan dengan perasaannya.

Setelah kami menikah tidak bisa tidak saya harus belajar lebih memiliki pengertian kepekaan terhadap perasaan terutama perasaan istri saya. Karena adanya tuntutan itu maka saya pun juga mau berubah ke arah itu dan saya juga harus memikirkan apa itu yang harus saya lakukan, misalnya dalam prakteknya yang harus saya lakukan adalah waktu istri saya berbicara maka saya harus diam dan mendengarkan apa yang sungguh-sungguh dia rasakan, saya tidak boleh dengan cepat tidak menghiraukannya, pokoknya yang penting berpikir praktisnya saja, itu tidak bisa. Saya justru harus memikirkan baik-baik apa yang dirasakannya. Dengan kata lain, saya harus memikirkan langkah apa yang harus saya kerjakan supaya pada akhirnya perubahan dalam diri saya bisa terjadi dan ini memang dimunculkan oleh tuntutan dari luar, kondisi dari luar yang memaksakan diri saya untuk berubah. Namun kadang-kadang tidak ada kondisi dari luar tapi keinginan dalam diri sendiri. Ada orang-orang yang misalkan ingin belajar berani mengambil resiko maka dia akan misalkan mengikuti program pelatihan atau dia akan mulai belajar untuk berani berbicara dengan, kalau ada orang yang tidak setuju dengan dia, dia tidak hanya tutup mulut dan dia berani untuk berkata, "Saya juga tidak setuju." Lewat langkah-langkah kecil seperti itu akhirnya dia mulai bisa menata dirinya alias menciptakan perubahan dalam hidupnya.
GS : Tetapi ada sebagian orang yang mencoba berusaha untuk bisa menatap diri dan bisa menata diri, tetapi selalu gagal. Biasanya itu kenapa, Pak Paul?

PG : Sudah tentu kadang-kadang kegagalan itu muncul karena besarnya problem, besarnya tugas proyek yang harus kita kerjakan. Ada hal-hal yang lebih mudah untuk kita bisa ubah, tapi ada hal-hal ang memang lebih berat untuk kita ubah.

Untuk itulah kita memerlukan pertolongan Roh Kudus. Saya melihat, Pak Gunawan, di dalam pertumbuhan saya sebagai orang Kristen, saya melihat hal-hal ada yang relatif dengan mudah berubah dalam hidup saya misalnya waktu saya masih SMP atau SMA meskipun tidak terlalu sering tetapi kadang-kadang saya ikut bicara jorok dengan teman-teman. Itulah bagian-bagian dalam hidup saya yang berubah dengan relatif cepat, setelah saya menyerahkan hidup saya kepada Tuhan Yesus waktu saya berusia 19-20 tahun itu. Namun setelah saya menjalani hidup ini saya baru menyadari ada bagian-bagian lain dalam hidup saya yang tidak terlalu cepat untuk berubah, misalnya saya menyadari kemampuan dalam hidup saya untuk bisa menoleransi rasa luka di hati, kecenderungan saya dari pada saya terluka di hati lebih baik saya tidak mau dekat, tidak mau lagi bergaul, tidak mau menghadapinya dan seolah-olah putus hubungan. Bagi saya tetap diam di dalam keterlukaan, ternyata sangat sulit dan ini bagian dalam diri saya yang memerlukan waktu jauh lebih lama untuk berubah. Itu sebabnya tadi saya katakan untuk bisa berubah terutama dalam hal-hal yang berat yang sangat pribadi, yang sudah berakar dalam diri kita memang sangat sulit dan memang sangat penting dan kita harus datang kepada Roh Kudus, kepada Tuhan kita untuk dapat menolong kita.
GS : Mungkin kebiasaan sehari-hari itu lebih cepat berubah dari pada kalau sudah menjadi karakter bagi seseorang, Pak Paul?

PG : Misalnya satu hal yang seringkali susah berubah karena sudah menjadi bagian karakter dari seseorang adalah keangkuhan. Karena orang tahu kata sombong itu adalah kata yang negatif, maka akhrnya orang merubah kata sombong menggantikannya dengan kata yang lain, misalnya berprinsip, misalnya harga diri.

Sejenak, kata berprinsip itu bukanlah kata yang buruk tapi kalau tidak hati-hati batas antara berprinsip dan angkuh atau sombong sangatlah tipis, atau mempertahankan harga diri dan keangkuhan itu juga batasnya sangat tipis, walaupun sebetulnya muatan di dalamnya adalah kesombongan itu sendiri. Jadi hal yang sudah menjadi bagian karakter kita, waktu kita harus mengubah ternyata sangat sulit sebab kita sudah terbiasa dan itu sudah menjadi bagian dalam konsep diri kita. "Saya orang yang berprinsip, saya orang yang mempertahankan harga diri" itulah yang sangat keras sekali untuk diubah.
GS : Tetapi Pak Paul, tadi katakan kita bisa berubah dengan pertolongan dari Roh Kudus dan memang cara kerja Roh Kudus ini yang membuat orang menjadi bertanya-tanya. Ada orang yang memang begitu cepat diubah oleh Roh Kudus seperti misalnya Saulus menjadi Paulus, perubahannya itu sangat drastik. Tetapi ada juga yang Pak Paul katakan yaitu secara bertahap tapi Roh Kudus itu tetap berkarya di dalam hidup kita.

PG : Betul, misalkan kita bandingkan Rasul Paulus dengan Petrus. Paulus memang tidak pernah hidup dengan Tuhan Yesus dan Petrus pernah hidup dengan Tuhan Yesus secara jasmaniah. Namun kita perhtikan buat Petrus perubahan itu perlu waktu lebih lama, waktu dia hidup dengan Tuhan kurang lebih 3 tahun namun dia masih bisa menyangkal Tuhan.

Dan kita tahu Paulus menulis di Galatia, waktu dia bertemu dengan orang-orang yang bukan Yahudi dia menerima dan dia makan tapi waktu orang-orang Yahudi datang dia menjadi orang yang munafik tidak mau bertemu, tidak mau bergaul dengan orang-orang non-Yahudi. Disitu kita melihat Petrus memerlukan waktu yang lebih lama untuk berubah, tapi ternyata di mata Tuhan, Pak Gunawan, yang penting adalah kita menuju kepada perubahan sebab pada akhirnya itulah yang Tuhan mau lihat. Ada yang cepat, ada yang lambat tapi dua-dua menunjukkan usaha yang besar, usaha yang kuat berjalan menuju kepada perubahan yang Tuhan inginkan itu.
GS : Karena waktu lama atau singkat bagi Tuhan itu relatif sekali dan tidak ada artinya, tapi kita berada pada proses itu.

PG : Betul sekali.

GS : Pak Paul, sebenarnya bagaimana cara kerja Roh Kudus di dalam diri seseorang yang mau berubah?

PG : Ada beberapa yang kita harus lakukan tapi sebelumnya saya ingin sedikit menjabarkan apa yang Roh Kudus lakukan supaya kita akhirnya bisa mengalami perubahan. Pertama yang Roh Kudus lakukanadalah membukakan mata supaya kita bisa melihat diri kita dengan tepat.

Jadi itulah langkah pertama yaitu Tuhan membukakan mata kita supaya kita bisa melihat diri dan kondisi kita dengan tepat. Setelah itu Roh Kudus juga akan menolong kita menerima apa yang kita lihat itu sehingga perlawanan atau upaya untuk menyangkal akan diredam oleh Roh Kudus Tuhan dan nantinya kita diminta untuk berhadapan muka dengan muka dengan diri kita yang seadanya itu. Pada akhirnya Roh Kudus juga yang menuntun kita kepada perubahan, ialah yang akan membisikkan kepada kita langkah-langkah apa yang nantinya harus kita ambil supaya kita dapat diubahkan.
GS : Jadi dari situ kita melihat Roh Kudus bukan merubah seseorang seperti robot yang harus mengikuti tapi menumbuhkan kesadaran dari orang itu bahwa dia memang memerlukan perubahan itu.

PG : Benar sekali. Sebab Roh Kudus bukan secara drastik mengambil alih kehendak dalam diri kita sehingga kita tidak lagi punya kehendak yang berbeda dari kehendak Roh Kudus. Jadi memang ada kerasama antara Tuhan dan kita, waktu kita berkata, "Tuhan saya mau berubah, saya mau menjadi lebih serupa dengan Engkau."

Memang kadang ada orang yang salah konsep dalam hal ini, Pak Gunawan, mereka berdoa, berdoa, meminta Roh Kudus untuk mengubahnya tapi sebetulnya yang mereka harapkan adalah mereka berharap supaya Roh Kudus itu mengambil alih kehendak jadi seolah-olah dengan mengundang Roh Kudus datang menolongnya maka Roh Kudus menghilangkan kehendaknya yang berbeda dari kehendak Tuhan, tidak seperti itu. Saya berikan contoh seorang pemuda yang ketemu dengan seorang pemudi, dia jatuh cinta habis-habisan tapi orang itu tidak seiman, dan dia berdoa, "Tuhan, kalau ini dari Tuhan atau kalau ini salah, ini bukan kehendak Tuhan saya bersama dengan perempuan ini maka Tuhan yang harus menghilangkan perasaan saya," tidak seperti itu! Tuhan tidak menghilangkan kehendak itu. Maka kita harus bekerjasama dengan Tuhan di mana kita harus mengakui bahwa kehendak kita belum sama dengan Roh Kudus dari situ kita harus menundukkan diri pada kehendak Tuhan.
GS : Jadi langkah-langkah Roh Kudus untuk menciptakan perubahan itu seperti apa?

PG : Yang pertama kita harus datang kepada Tuhan lewat Firman-Nya baik itu membaca Firman atau pun mendengarkan Firman-Nya sebab lewat pembacaan dan mendengarkan Firmanlah nantinya Roh Kudus akn menyadarkan kita akan apa yang terkandung dalam diri kita.

Kadang Roh Kudus membuka mata lewat masalah yang kita alami pula. Lewat peristiwa itu kita disadarkan bahwa kita sebenarnya adalah orang yang seperti ini dan umumnya reaksi kita ialah menolak dan kita tidak percaya bahwa itulah diri kita yang sesungguhnya, kita tidak memiliki gambaran bahwa "Saya itu seperti itu". Seringkali waktu kita berkata "Saya itu seperti itu" kita bermaksud bahwa kita itu seburuk itu dan itulah yang kita tidak bisa terima.
GS : Jadi dengan membaca Firman atau mendengarkan Firman, iman yang Tuhan berikan di dalam diri kita itu bertumbuh dan di dalam bertumbuh itu kita punya pandangan yang baru tentang perubahan itu.

PG : Jadi langkah pertama Roh Kudus membuka mata menyadarkan kita, "Inilah dirimu" sudah tentu di saat itu kita tidak selalu siap menerimanya, Pak Gunawan. Jadi adakalanya perlu berulang kali Than menyadarkan dan menyadarkan kita kembali.

Kalau belum sadar-sadar biasanya Tuhan menghadirkan suatu peristiwa yang langsung, interaksi lewat orang bahkan ada yang misalkan lewat benturan dengan orang dan sebagainya, supaya kita disadarkan. Salah satu contoh yang sering saya lihat pada diri orang yang mengalami kecelakaan sehingga harus diam tidak bisa jalan dan sebagainya untuk sementara waktu. Seringkali saya perhatian, Pak Gunawan, orang tersebut diminta Tuhan untuk menyadari ketidakberdayaannya. Jadi seringkali Tuhan membiarkan peristiwa itu terjadi supaya disadarkan bahwa, "Engkau ini tidak berdaya, jadi datanglah kepada Tuhan bersandarlah kepada-Nya." Tapi sekali lagi pada tahap ini Tuhan hanya menyadarkan dan membuka mata kita.
GS : Membaca dan mendengarkan Firman Tuhan saja tidak akan bermanfaat kalau tidak melakukannya. Jadi lewat peristiwa itu Tuhan mendorong kita untuk melakukan apa yang kita ketahui dari Firman Tuhan itu.

PG : Betul.

GS : Langkah berikutnya apa yang Roh Kudus kerjakan, Pak Paul?

PG : Roh Kudus biasanya akan terus mengingatkan kita akan keberadaan diri kita, jika itulah bagian yang mesti dirubah. Jadi kalau ini adalah bukan bagian yang Tuhan inginkan untuk berubah maka ita itu tidak diingatkan.

Justru Dia mengingatkan bagian dari diri kita yang Dia ingin ubah atau dia akan mengingatkan tentang bagian dalam diri kita supaya kita mengetahui bahwa kita memiliki kekuatan tersebut atau karunia tersebut supaya nanti Tuhan bisa memakai kita. Adakalanya kita ini menganggap diri kita tidak bisa, misalnya melayani Tuhan dalam bidang ini tapi Tuhan terus mengingatkan lewat Firman-Nya atau lewat peristiwa yang kita alami bahwa kita sebenarnya bisa, itu berarti Tuhan menginginkan kita memakainya. Tapi bisa jadi juga yang berikut adalah Dia mengingatkan kita bahwa itu adalah bagian yang Dia ingin untuk kita ubah, jika bagian itu yang harus berubah biasanya itu berkaitan dengan perubahan sebaliknya jika itu adalah bagian yang ingin dipakainya maka itu adalah salah satu kekuatan kita. Kadang dengan mudah kita menerimanya namun kadang sukar untuk kita menerimanya sekalipun itu berkenaan dengan kekuatan sebab tidak selalu kita bersedia dipakai Tuhan dalam bidang itu. Jika itu berkaitan dengan kelemahan pada umumnya kita sukar menerima fakta sebab adakalanya kita tidak mau dianggap masih atau mempunyai kelemahan tersebut, jadi ada daftar kelemahan yang bisa kita toleransi dan ada daftar kelemahan yang tidak bisa kita toleransi sehingga waktu Roh Kudus menyadarkan atau mengingatkan lagi dan mengingatkan lagi maka kita menyangkal atau menolak "Tidak, saya sudah lewati fase itu dan saya tidak mempunyai masalah itu lagi."
GS : Kalau orang itu terus menolak, apa dampaknya?

PG : Biasanya di saat itulah Roh Kudus akan berhenti mengingatkan dan ini berarti lampu kuning, Pak Gunawan. Ada satu masa Firman Tuhan tidak lagi menegur kita, tidak ada lagi peristiwa yang selah-olah dipakai Tuhan untuk menyadarkan kita, tiba-tiba semuanya itu sunyi.

Kita mungkin senang karena bebas teguran Roh Kudus tapi justru sebenarnya itu adalah waktu di mana kita harus sadar, harus bertobat karena biasanya kalau Roh Kudus sudah berdiam diri maka langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah dia akan membiarkan kita jatuh terjerembab, kita benar-benar harus mengalami sesuatu yang buruk supaya di situlah kita berkesempatan untuk benar-benar disadarkan. Kalau benar peristiwa itu terjadi maka kita tidak akan sadar-sadar.
GS : Sebaliknya kalau kita mau menerima, mau dituntun oleh Roh Kudus maka hasilnya apa, Pak Paul?

PG : Bila kita menerimanya maka sudah tentu kita harus meminta petunjuk Tuhan agar kita tahu apa yang harus dilakukan. Biasanya Tuhan akan menghadirkan situasi dimana kita akan berhadapan denga kelemahan tersebut dan di saat itulah kita harus datang kepada Tuhan dan mengakui ketidakberdayaan kita dan memohon kekuatan-Nya, kita tidak boleh menuding orang atau situasi sebagai penyebab kelemahan tersendiri jika itu berkaitan dengan kekuatan kita, setelah Roh Kudus menyadarkan kita bahwa kita memilikinya kita bisa menerimanya maka Tuhan akan membukakan pintu bagi kita untuk mendayagunakan apa yang telah diberikan kepada kita.

GS : Itu jauh lebih baik, Pak Paul.

PG : Betul sekali.

GS : Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan ini?

PG : Amsal 4:23 berkata, "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." Pak Gunawan, ayat ini sangat sederhana tapi sangat dalam bahwa hatilah sesuatu yangmesti kita jaga karena dari hati maka akan terpancar semua diri kita.

Tugas Roh Kudus adalah membuka mata agar bisa melihat hati itu dan memberi kepada kita untuk menata hati itu.
GS : Cara menjaga hati itu dengan firman Tuhan itu tadi, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi lewat Firman-Nya, teguran-Nya, Dia akan terus mengingatkan kita supaya akhirnya kita jangan sampai keliru melangkah.

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menatap Diri dan Menata diri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



56. Kejenuhan Ibu Rumah Tangga


Info:

Nara Sumber: Pdt.Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T287A (File MP3 T287A)


Abstrak:

Kejenuhan bisa melanda siapa saja termasuk melanda ibu-ibu muda yang baru memiliki anak. Hidup di komunitas baru dan tanggung-jawab baru namun rutin, membuat ibu-ibu muda cepat menjadi jenuh. Bagi ibu-ibu muda yang sekaligus bekerja di luar, tingkat kejenuhannya relatif sedikit. Namun bagi ibu-ibu muda yang secara purna waktu berada di rumah, kejenuhan itu seringkali melingkupi. Mengapa kejenuhan itu begitu besar dan apa yang mesti dilakukan jika kejenuhan itu melanda?


Ringkasan:
"Kejenuhan Ibu Rumah Tangga" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Status seseorang setelah menikah secara otomatis berubah, pria lajang kini menjadi suami, wanita lajang kini menjadi seorang istri, dengan tuntutan dan tanggung jawab masing-masing. Beban seorang istri bertambah dengan hadirnya seorang anak. Bagi istri yang secara purna waktu mengurus rumah tangga di rumah, seringkali mengalami kejenuhan dalam melakukan tanggung-jawabnya tersebut. Maka sekarang kita akan belajar menilai para ibu dengan lebih objektif dan yang kedua memberikan masukan-masukan untuk menolong para ibu mengatasi kejenuhan yang mereka harus hadapi. Penyebab kejenuhan mengurus rumah tangga:

  1. Tugas keseharian ibu rumah tangga relatif tidak memerlukan dan tidak menimbulkan stimulasi intelektual. Dewasa ini banyak wanita yang telah mengenyam bangku perguruan tinggi dan mungkin juga sudah bekerja, sehingga sudah terbiasa dengan tuntutan profesional yang menimbulkan rangsangan intelektual. Begitu meninggalkan dunia kuliah dan dunia kerja kemudian terjun di dalam dunia mengurus rumah tangga secara purna waktu, tidak bisa tidak dia akan kehilangan sumber stimulasi intelektualnya itu.
  2. Tugas ibu rumah tangga pada umumnya tidak berhubungan dengan manusia lain yang setingkat, setingkat dengan pengertian tingkat pengertiannya, kecerdasaannya, keluasannya. Jadi ibu rumah tangga harus berhadapan dengan anak-anak kecil yang tingkat kecerdasan, kematangannya jauh dibawah dirinya, dimana dalam hal ini ibu hanya memberi dan anak hanya menerima. Sebagaimana manusia normal sudah tentu dalam bekerja kita membutuhkan baik itu rekan kerja maupun objek pelayanan yang dapat diajak untuk bertukar pikiran dan berbagi rasa serta pengalaman, tapi kalau dengan anak kecil kita tidak bisa.
  3. Mengurus anak terutama anak balita merupakan sebuah tugas yang berat. Karena jadwal tidur anak yang tidak menentu membuat ibu rumah tangga letih yang akhirnya membuat tubuh tidak nyaman.

Mengatasi kejenuhan:

  1. Jangan malu meminta bantuan. Entah itu bantuan suami, kerabat atau pun bantuan professional. Mungkin yang diperlukan bukanlah pengalihan tanggung-jawab melainkan bantuan singkat dan praktis seperti minta bantuan seseorang untuk diam di rumah selama 2 jam agar dia bisa pergi keluar berolah raga atau bertemu dengan kerabat atau teman untuk bersantai sejenak, dengan memberi pengertian kepada suami tentang beratnya beban ini supaya suami bisa berjalan searah dengan istri dalam menanggulangi masalah ini.
  2. Jangan mengabaikan kebutuhan pribadi. Masa merawat anak balita sangatlah sukar bagi ibu untuk meninggalkan anak, selain kebutuhan anak yang tanpa henti, satu hal lain yang membuat ibu susah beranjak adalah rasa bersalah entah itu rasa bersalah meninggalkan anak demi kepentingan pribadi. Namun tetap, penuhilah kebutuhan pribadi dan lakukanlah hal-hal yang menyenangkan hati kendati tidak sesering dulu. Ingatlah bahwa ibu yang bahagia, membuat anaknya pun bahagia. Sebaliknya ibu yang merana pada akhirnya membuat anaknya turut merana.
  3. Jangan menjauh dari doa dan Firman. Menyisihkan kesibukan yang begitu padat dan terus menerus akhirnya membuat tubuh dan jiwa terlalu letih untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan. walaupun hati ingin membaca namun kesempatan makin menyempit. Maka saya sarankan, setelah suami kembali mintalah waktu untuk bersaat teduh, mintalah kesediaannya untuk mengawasi dan merawat anak selama kita bersaat teduh

Firman Tuhan di Yeremia 1:5 "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." Tidak ada sukacita yang besar bagi seorang ibu selain melihat anak-anaknya bertumbuh, dibentuk oleh Tuhan dan mencintai Tuhan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kejenuhan Ibu Rumah Tangga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Memang ada banyak keluhan dari ibu-ibu rumah tangga khususnya yang murni menjadi ibu rumah tangga, artinya tidak berkarier di luar, mereka mengeluh kadang-kadang jenuh menjadi ibu rumah tangga ini, lebih baik kerja di kantor dan sebagainya. Dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Saya kira kita perlu mengangkat topik ini karena kadang muncul persepsi yang keliru terhadap ibu yang tidak bersedia tinggal di rumah mengurus anak dan lebih suka untuk bekerja di luar. Kita mesti mengerti bahwa tidaklah mudah mengurus anak dan sekarang kita juga harus mengerti bahwa dengan kemajuan kehidupan dan perbedaan, ibu-ibu ini memang sudah dikondisikan untuk tidak lagi siap 100% seperti dulu untuk tinggal di rumah dan mengurus rumah tangga. Jadi banyak faktor yang memang kita harus pertimbangkan, dan inilah tujuan kita mengangkat topik ini agar yang pertama kita bisa menilai para ibu dengan lebih objektif dan yang kedua adalah mudah-mudahan masukan-masukan yang akan kita berikan kepada para ibu dapat menolong mereka mengatasi kejenuhan yang mereka harus hadapi jika mereka memutuskan untuk tinggal di rumah dan mengurus anak-anak mereka.

GS : Tetapi sekalipun mereka juga belum memiliki anak, banyak timbul keluhan seperti itu karena tidak ada kegiatan yang lainnya?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi memang ada beberapa penyebab yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan yang telah dialami wanita selama ini yang menyulitkan mereka untuk diam di rumah dan mengurus rumah tangga.

GS : Seperti apa, Pak Paul?

PG : Yang pertama adalah tugas keseharian ibu rumah tangga relatif tidak memerlukan dan tidak menimbulkan stimulasi intelektual. Jadi kita mesti menyadari bahwa dewasa ini banyak wanita yang telah mengenyam bangku perguruan tinggi dan mungkin juga sudah bekerja, sehingga sudah terbiasa dengan tuntutan profesional yang menimbulkan rangsangan intelektual. Begitu meninggalkan dunia kuliah dan dunia kerja kemudian terjun di dalam dunia mengurus rumah tangga secara purna waktu, tidak bisa tidak dia akan kehilangan sumber stimulasi intelektualnya itu. Otak yang terbiasa dengan tantangan yang bersifat intelektual sekarang tiba-tiba dipaksa untuk diam.

GS : Ini seringkali terjadi tetapi apakah itu juga tidak dialami oleh orang yang secara intelektual tidak banyak dituntut dari awal. Misalkan saja pendidikannya tidak sampai ke perguruan tinggi hanya sampai SMP atau SMA. Apakah juga mengalami kejenuhan yang sama?

PG : Saya kira, makin tinggi tingkat pendidikan maka makin tinggi tingkat rangsangan intelektual yang terbiasa dialami oleh seseorang. Maka makin sulit bagi dia untuk melepaskannya dan memilih untuk tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga. Tapi ada jenis yang kedua yaitu tidak mesti orang itu mengenyam pendidikan yang sangat tinggi tapi mungkin hanya tingkatan SMA namun terbiasa bekerja. Ini pun menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk mereka lepaskan karena tugas keseharian seorang ibu rumah tangga merupakan sebuah tugas yang relatif monoton atau rutin. Jadi tidak banyak perbedaan dari hari lepas hari. Jadi ini satu hal yang membedakan kerja di luar dan kerja di dalam. Yang kedua adalah selain dari fisik yaitu mengerjakan kerja rutin, perasaan pun dipaksa untuk menoleransi tuntutan anak yang terus- menerus dan meletihkan, anak minta ini dan itu, harus diurus ini dan itu. Itu adalah tuntutan yang tidak berhenti dan secara mental akan meletihkan seorang ibu. Jadi dalam waktu yang relatif singkat pada akhirnya dia mudah sekali mengalami kejenuhan, tubuh, perasaannya, pemikirannya seringkali tidak bisa menahan kejenuhan. Kadang akhirnya kesabarannya pun terganggu. Dia mudah marah, dia mudah tidak sabar karena menghadapi hal yang sama terus-menerus.

GS : Bagaimana dengan mereka yang berlatar belakang keluarga besar sehingga pada waktu sebelum menikah seringkali sudah banyak kesibukannya. Jadi tantangannya lain, banyak kesibukan dimana dia harus melayani keluarganya dan sekarang menikah dan belum memunyai anak, tiba-tiba dia kehilangan semuanya itu Pak Paul.

PG : Sudah tentu kalau dia dibesarkan dalam rumah tangga yang besar dengan banyak anak, sudah tentu itu menjadi sebuah keramaian yang telah dia nikmati dan waktu dia harus meninggalkan rumah yang ramai seperti itu dan masuk ke dalam rumah tangga baru tanpa ada keramaian, tanpa ada kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhinya maka tidak bisa tidak saya kira dia akan merasa sepi Pak Gunawan, bisa-bisa dia merasa sangat jenuh dan merasa tidak ada yang bisa dikerjakan hari lepas hari sebab sudah terbiasa dengan banyaknya kerjaan atau urusan yang mesti ditanganinya.

GS : Bagaimana hubungannya dengan orang lain, jadi kontak sosialnya dengan orang lain apakah itu juga bisa menimbulkan kejenuhan, Pak Paul?

PG : Saya kira demikian, sebab tugas dari seorang ibu rumah tangga memang pada umumnya tidak berhubungan dengan manusia lain yang setingkat, setingkat dengan pengertian tingkat pengertiannya, kecerdasaannya, keluasannya. Jadi ibu rumah tangga tidak bisa tidak akan harus berhadapan dengan anak-anak kecil yang tingkat kecerdasan, kematangannya jauh dibawah dirinya. Jadi artinya dia harus berhadapan dengan anak yang lebih menuntut pemenuhan secara fisik serta kebutuhan emosional untuk diberikan, disayangi maka tidak bisa tidak relasi antar ibu dan anak menjadi relasi searah dan bukan relasi timbal balik yang saling mengisi, saling menguatkan dan saling memenuhi, dimana dalam hal ini ibu hanya memberikan dan anak hanya menerima. Sebagaimana manusia normal sudah tentu dalam bekerja kita membutuhkan baik itu rekan kerja maupun objek pelayanan yang dapat diajak untuk bertukar pikiran dan berbagi rasa serta pengalaman, tapi kalau dengan anak kecil kita tidak bisa melakukan hal itu. Jadi dengan kata lain, seharian bisa jadi dia tidak bicara dengan siapa pun kecuali dengan anak dan anak pun dalam tahun pertama tidak begitu fasih untuk berbicara berarti dia hampir tidak bisa berkata-kata seperti biasanya. Bayangkan orang yang terbiasa dengan kata-kata yang rumit dan tinggi, yang dalam yang luas namun tiba-tiba selama beberapa tahun harus menggunting semuanya itu dan membuat dirinya setingkat dengan seorang anak kecil. Jadi meskipun tugas ini penuh dengan sukacita tapi ada juga tantangan yang membuat seorang ibu rumah tangga menjadi jenuh.

GS : Apalagi kalau dia harus pindah keluar kota, tentunya dia tidak memiliki teman yang biasanya diajak berbicara, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Ini adalah point yang sangat penting. Kalau kita membangun suatu keluarga yang baru dan kita harus pindah ke kota atau tempat yang baru, ini adalah suatu tekanan yang lumayan berat juga. Saya teringat waktu kami pertama kali pindah ke kota Malang. Bagi istri saya hal itu terlalu berat dengan mengurus anak umur 1 tahun, 3 tahan, dan umur 5 tahun dan sebagai ibu dia tidak meminta bantuan jadi semua diurus sendiri, tapi saya melihat hal itu sebagai masa yang sulit bagi kami berdua karena tuntutan itu sangat berat dan dia tidak memiliki tempat lain untuk berbagi, bercerita dan sebagainya, bagi saya itu baru dan bagi dia juga masih baru. Sehingga akhirnya menimbulkan tekanan dalam rumah tangga kami.

GS : Sekalipun keluarga ini mendambakan anak kecil misalnya berusia 3 tahun atau 2 tahun, apakah itu juga bisa menimbulkan kejenuhan, Pak Paul?

PG : Saya kira ya, sebab bagaimanapun juga seorang manusia memerlukan teman yang setingkat sehingga dia bisa saling berbagi dan saling mengisi dan mengasah, untuk waktu-waktu tertentu saya kira kita masih bisa tangani tapi kalau ini berlanjut untuk bertahun-tahun, ini adalah kondisi yang cukup menjenuhkan.

GS : Hal lain yang membuat seorang ibu rumah tangga cepat jenuh apa, Pak Paul?

PG : Karena mengurus anak terutama anak balita merupakan sebuah tugas yang memang berat, inilah hal yang susah dimengerti oleh banyak orang. Orang mungkin akan banyak berkata, "Apa susahnya mengurus anak, anak kecil itu lucu seharusnya kamu senang." Tapi orang tidak mengerti bahwa misalnya waktu tidur anak. Anak kecil tidur 3-4 jam dan dia akan terbangun, mungkin selama 3 atau 4 jam kemudian dia akan tidur lagi 3 atau 4 jam, jadi dengan kata lain dalam waktu 24 jam anak kecil yang usianya dibawah 1 tahun akan berkali-kali bangun dan tidur berkali-kali. Sehingga seorang ibu yang mengurus anak secara purna waktu seharusnya mengikuti jadwal tidurnya si anak, jadi 4 atau 5 jam si anak tidur, si ibu pun juga harus tidur dan waktu si anak bangun 4 atau 5 jam maka si ibu juga harus bangun. Tapi itu tidak mungkin sebab si ibu juga harus mengurus hal-hal lain dalam rumah tangganya dan dia juga harus memerhatikan suaminya atau orang lain. Jadi dia sendiri tidak bisa beristirahat sebanyak si anak atau sebanyak orang-orang lain. Yang pertama karena kekurangan waktu istirahat dan yang kedua adalah perubahan jadwal kehidupan. Jadi kalau kita bayangkan kehidupan kita itu harus dijadwalkan seperti itu yaitu 3 atau 4 jam berhenti untuk tidur dan kemudian bangun, mungkin kita sendiri tidak akan sanggup. Jadi sebuah perubahan jadwal kehidupan yang meletihkan dan yang akhirnya membuat tubuh tidak nyaman. Makanya tidak jarang pada masa-masa seperti ini seorang ibu rumah tangga akan sering mengeluh secara fisik entah itu sakit kepala pusing dan sebagainya karena memang ada perubahan jadwal itu, belum lagi waktu dia hamil dia juga harus mengalami perubahan-perubahan itu. Jadi keletihan terus berlanjut sampai anak itu sudah mulai lebih besar. Masalahnya adalah kalau setelah 3 atau 4 tahun dia punya anak kedua maka dia akan mengulang lagi dan kalau dia memunyai anak ketiga berarti dia harus mengulangnya lagi. Jadi dengan kata lain kurang lebih sekitar 12 tahun, hidupnya itu akan berbeda dengan hidup-hidup yang sebelumnya. Jadi dia akan cukup menderita berkepanjangan seperti itu. Memang akhirnya tubuh akan bisa menyesuaikan, tapi tetap itu adalah sebuah kondisi yang tidak nyaman.

GS : Hanya mungkin tingkat kejenuhan pada anak yang kedua apalagi anak yang ketiga mungkin sudah lebih berkurang karena anak-anaknya sudah mulai besar.

PG : Betul. Sudah tentu dengan adanya anak-anak yang lebih besar tugas itu sedikit lebih ringan dan anak-anak yang lebih besar juga bisa mengajak bermain adiknya pula. Jadi memang ada timbal baliknya.

GS : Apalagi kalau anaknya itu sedang sakit, itu bisa menimbulkan kejenuhan yang lebih kuat lagi.

PG : Betul. Sebab di tempat pekerjaan yang lain, hampir kebanyakan tuntutan bisa ditunda jadi kita tidak harus saat itu juga memenuhinya tapi tidak demikian dengan mengurus anak, misalnya waktu si anak membuang kotoran, kita tidak bisa berkata kepada si anak, "Tunggu satu jam lagi," tapi kita harus segera melakukannya. Dan waktu jam makan, si anak akan menangis dan kita harus segera memberikan ASI atau memberikan makanan. Jadi dengan kata lain tugas-tugas ini adalah tugas-tugas yang tidak menunggu dan hanya menuntut. Dengan kata lain, susah sekali bagi seorang ibu rumah tangga untuk mengatur jadwal bagi dirinya sendiri sebab apa pun yang dia inginkan itu tidak terpenuhi dan dia harus segera memenuhi apa yang dituntut oleh anaknya.

GS : Apa yang Pak Paul sampaikan ini tentu akan diamini oleh para ibu, khususnya mereka yang memiliki anak balita. Dan kemudian bagaimana cara mengatasinya?

PG : Saya ingin memberikan beberapa masukan karena kelompok ibu rumah tangga dan anak-anak balita merupakan kelompok wanita yang rentan terhadap depresi. Jadi penting bagi ibu rumah tangga untuk bisa menyiasati, jangan sampai ibu rumah tangga nanti masuk ke dalam lembah depresi akibat kejenuhan yang berlarut dan tuntutan yang begitu meletihkan. Yang pertama adalah jangan malu meminta bantuan, daripada tenggelam dalam kejenuhan mintalah pertolongan baik dari suami, kerabat atau pun bantuan profesional. Mungkin yang diperlukan bukanlah pengalihan tanggung-jawab melainkan bantuan singkat dan praktis seperti minta bantuan seseorang untuk diam di rumah selama 2 jam, agar dia bisa pergi keluar berolah raga atau bertemu dengan kerabat atau teman untuk bersantai sejenak, hal ini mungkin bisa dilakukan atau memberi pengertian kepada suami tentang beratnya beban ini supaya suami bisa berjalan searah dengan istri dalam menanggulangi masalah ini. Kadang saya harus mengaku, kita sebagai suami atau pria, kurang mengerti dan kita berpikir, "Saya juga lelah dan bukan hanya kamu yang lelah," tapi kita harus mengerti keletihan seorang ibu rumah tangga berbeda dengan keletihan kita di luar. Keletihan kita itu seringkali tidak bercampur dengan keletihan mental alias kejenuhan sedangkan ibu rumah tangga selain letih juga harus menanggung keletihan mental alias kejenuhan itu.

GS : Tapi yang menjadi masalah bagi kami kaum pria atau suami itu ialah si istri tidak mau terus terang mengatakan bahwa dia tidak sedang mengalami kejenuhan atau sedang depresi, tapi kemarahannya yang terus nampak. Jadi kita sebagai suami juga bingung mencari-cari penyebabnya dulu.

PG : Betul. Maka saya minta dengan sangat kepada ibu rumah tangga sebelum akhirnya meledak maka lebih baik ajaklah suami berbicara dari hati kehati berikanlah penjelasan bahwa kita ini sangat letih dan saya perlu bantuan. Saya tidak meminta bahwa kamu harus mengambil alih tugas dan tanggung-jawab saya karena ini adalah tugas yang mulia dan saya dengan senang hati ingin melakukannya bagi anak-anak tapi saya minta bantuan yang konkret. Jadi misalkan daripada si istri marah dan mengeluhkan, "Kamu ini tidak peduli dengan aku," lebih baik kita berbicara secara konkret kepada suami, "Bisa tidak kalau hari ini kamu memberikan saya waktu 2 jam saja karena saya ingin pergi untuk senam dan atau pergi dengan teman saya atau keluarga saya." Jadi langsung saja minta jangka waktu itu. Kadang-kadang memang si suami itu sering bereaksi kepada si istri karena si istri itu tidak langsung meminta dengan konkret atau secara spesifik apa yang dia butuhkan, tapi malah marah-marah. Jadi lebih baik si istri bicara dan meminta secara spesifik apa yang dibutuhkannya.

GS : Kadang-kadang usulan dari si suami juga tidak bisa ditanggapi secara spesifik juga misalkan disarankan untuk membayar perawat, si istri belum tentu mau padahalnya bagi kita lebih mudah membayar perawat karena mungkin si suami bertugas diluar kota, sering pergi keluar kota dan sebagainya, pasti akan menjadi lebih mudah kalau memanggil perawat yang bisa menemani dia. Tapi dia tidak mau.

PG : Dalam hal ini, kita harus mengerti bahwa mungkin bagi seorang istri ada sebuah kebanggaan tersendiri, dan ada sebuah sukacita tersendiri dalam merawat anak. Jadi yang dia butuhkan bukanlah pengambil alihan tugas secara penuh, tapi yang dia butuhkan adalah pertolongan-pertolongan singkat supaya dia bisa dibebaskan dan bisa menikmati hal-hal yang diinginkannya. Jadi saya mohon kepada suami meskipun kita punya solusi yang lebih praktis dan mungkin bisa menyelesaikan masalah, tapi kita juga harus mengerti bagi seorang ibu adakalanya mengurus anak memberinya sukacita tersendiri.

GS : Cara penanggulangan yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah saya minta kepada para ibu, jangan mengabaikan kebutuhan pribadi. Saya memahami pada masa merawat anak balita sangatlah sukar bagi ibu untuk meninggalkan anak, selain kebutuhan anak yang tanpa henti, satu hal lain yang membuat ibu susah beranjak adalah rasa bersalah entah itu rasa bersalah meninggalkan anak demi kepentingan pribadi. Mungkin untuk pergi ke pasar atau membeli kebutuhan pokok, itu masih bisa dilakukan tanpa rasa bersalah, namun pergi untuk sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya hal itu sangat berat dilakukan, ibu-ibu ini cenderung merasa egois kalau melakukannya sehingga kalau pun dia dapat pergi, maka ia pun juga tetap merasa tidak bahagia. Jadi yang saya minta kepada para ibu dengan anak-anak yang masih kecil, penuhilah kebutuhan pribadi dan lakukanlah hal-hal yang menyenangkan hati kendati tidak sesering dulu. Ingatlah bahwa ibu yang bahagia, membuat anaknya pun bahagia. Sebaliknya ibu yang merana pada akhirnya membuat anaknya turut merana.

GS : Yang sulit bagi para ibu untuk membedakan antara hal ini merupakan kebutuhan atau keinginan. Kadang-kadang dia merasa bersalah karena hanya memenuhi keinginannya sendiri misalkan ke salon. Bagi ibu-ibu ini tidak terbiasa untuk melakukan hal-hal itu, kemudian merasa, "Tidak apa-apa karena suami saya juga bisa menerima saya apa adanya, dia pasti mengerti kalau saya ini repot." Jadi sulit bagi dia untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

PG : Sesungguhnya ini adalah campuran keduanya, dalam kebutuhannya ada keinginan untuk memanjakan diri, menyenangkan hati namun itu juga merupakan sebuah kebutuhan, karena kalau tidak dipenuhi, maka kehidupannya akan kehilangan keseimbangan. Jadi terimalah ini sebagai suatu campuran dan tidak apa-apa selama kita tidak melalaikan tanggung-jawab dan anak-anak terurus dengan baik, tidak ada salahnya memenuhi kebutuhan atau pun kesenangan atau keinginan pribadi. Misalkan pergi ke salon, tidak mengapa pergi 2 jam, dia bisa dirawat, dia bisa relaks dan mungkin dia juga bisa ngobrol-ngobrol, itu pun sudah sangat menyegarkan jiwanya. Dengan jiwa yang lebih segar kemudian kembali ke rumah, maka dia bisa membagikan kesegaran itu kepada anak-anaknya, daripada dia menahan diri karena rasa bersalah, tidak mau keluar mengurus anak dan kemudian nanti anak-anak melakukan hal yang tidak diinginkannya, dan dia marah-marah. Kenapa marah karena dia merasa, "Saya sudah berkorban demi kamu, pergi ke salon pun tidak, pergi olahraga pun tidak, saya sudah mengorbankan semuanya demi kamu tapi kamu seperti ini, tidak menuruti mama dan sebagainya." Akhirnya yang terjadi menjadi lebih parah. Jadi tolong ibu-ibu perhatikan kebutuhan pribadi dan coba penuhi sedapat-dapatnya.

GS : Ada juga kekhawatiran di antara para ibu, kalau dia melakukan itu yaitu memenuhi kebutuhan pribadinya maka dia takut dimarahi atau ditegur oleh mertuanya, khususnya ibu mertuanya dan dianggap bahwa dia manja.

PG : Kadang-kadang ini terjadi sebab orang-orang dulu memunyai konsep bahwa tidak seharusnyalah seorang ibu mementingkan kesenangannya. Tapi bagi saya yang terpenting adalah suami mengerti, meskipun mertua tidak setuju maka hal ini bisa dilakukan dengan lebih berhati-hati dan lebih bijaksana sehingga dia bisa tetap menjalaninya. Atau memberikan pengertian kepada ibu mertua bahwa dia masih perlu dan dia adalah seorang manusia dan ini adalah hal-hal yang menyenangkan hatinya, sehingga nanti dia bisa lebih senang mengurus anaknya pula.

GS : Langkah yang lain apa, Pak Paul?

PG : Jangan menjauh dari doa dan Firman Tuhan. Salah satu tantangan terberat dalam mengurus rumah tangga dengan anak yang masih kecil adalah menyisihkan waktu untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan. Kesibukan yang begitu padat dan terus menerus akhirnya membuat tubuh dan jiwa terlalu letih untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan. Belum lagi adanya gangguan tatkala sedang berdoa dan membaca Firman, baru saja duduk tapi anak sudah bangun dan menangis. Pada akhirnya walaupun hati ingin membaca Firman dan berdoa namun kesempatan makin menyempit untuk bersekutu dengan Tuhan. Maka saya sarankan, setelah suami kembali mintalah waktu untuk bersaat teduh, mintalah kesediaannya untuk mengawasi dan merawat anak selama kita bersaat teduh. Jadi kita perlu kekuatan Tuhan dan mengingat kembali janji Tuhan dan kita pun perlu diingatkan akan rencana Allah memberikan anak kepada kita, bila kita terlepas dari persekutuan dan Firman Tuhan, maka nanti dengan mudah kita melupakan rencana Tuhan dan malah melihat tugas mengurus anak dengan kacamata duniawi.

GS : Kadang-kadang ada perasaan bersalah di antara para ibu kalau dia berdoa dan membaca Firman Tuhan, seolah-olah dia santai-santai saja. Ada suatu kekhawatiran kalau melakukan doa dan membaca Firman Tuhan kemudian pekerjaan yang lainnya itu terbengkalai.

PG : Jadi seorang ibu harus berkata kepada suaminya, "Ini penting bagi saya mendapatkan kekuatan dari Tuhan". Jadi mintalah waktu sekitar setengah jam atau berapa, agar suami mengawasi anak-anak sehingga ibu bisa duduk dan berdoa membaca Firman.

GS : Kalau ke gereja bagaimana Pak Paul, karena itu membutuhkan waktu yang agak lama biasanya ibu-ibu juga kesulitan kalau membawa anak yang masih kecil ke gereja.

PG : Sedapatnya pergilah ke gereja meskipun mungkin belum tentu ia bisa beribadah dalam ruang ibadah karena anaknya masih kecil. Kalau gereja punya ruangan khusus untuk ibu dan anak maka akan lebih baik, tapi kalau tidak ada saya rasa tetap pergi saja ke gereja. Misalkan si anak mulai resah maka bawa saja keluar sehingga si ibu masih bisa tetap ke gereja bersekutu dan berbicara dengan teman-teman, walaupun dia tidak selalu bisa untuk beribadah.

GS : Atau memutar lagu-lagu rohani maka itu akan menolong baik untuk dia maupun untuk anak-anaknya.

PG : Saya setuju sekali. Jadi dengan kata lain dia bisa tetap beribadah kepada Tuhan walaupun dia itu di rumah.

GS : Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang bisa kita jadikan pedoman untuk pembicaraan ini?

PG : Yeremia 1:5 berkata, "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." Dari ayat ini kita bisa melihat Tuhan terlibat penuh dalam penciptaan anak dalam kandungan, bahkan Dia telah menguduskan anak yang akan dipakainya kelak. Tugas mengurus anak dan rumah tangga, dan memang bukan pekerjaan mudah namun ini adalah pekerjaan Tuhan, bersama dengan Tuhan maka kita dipakai-Nya, bukan saja untuk membesarkan anak tapi juga untuk membentuk anak agar bertumbuh besar menjadi alat di tangan Tuhan. Tidak ada sukacita yang besar bagi seorang ibu selain melihat anak-anaknya bertumbuh, dibentuk oleh Tuhan dan mencintai Tuhan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kejenuhan Ibu Rumah Tangga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



57. Prioritas Hidup I


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T291A (File MP3 T291A)


Abstrak:

Hidup berisikan sederet pilihan. Bagaimana kita memilih dan apa yang dipilih akan menentukan kehidupan yang kita jalani. Sayangnya banyak orang yang menjalani hidup tanpa pemahaman yang benar tentang bagaimana seharusnya memilih. Kita mesti belajar sistem prioritas yang benar agar dapat menentukan pilihan yang tepat dalam hidup. Ada 7 prioritas yang mesti kita adopsi dari Alkitab, yaitu : karakter di atas kemampuan, keutuhan diri si pelayan di atas kegiatan si pelayan, ketaatan di atas keefesienan, mengedepankan yang kecil di atas yang besar, mengedepankan memberi di atas menerima, prioritaskan proses di atas produk dan utamakan Tuhan di atas segalanya.


Ringkasan:

Hidup berisikan sederet pilihan. Bagaimana kita memilih dan apa yang dipilih akan menentukan kehidupan yang kita jalani. Sayangnya banyak orang yang menjalani hidup tanpa pemahaman yang benar tentang bagaimana seharusnya memilih. Kita mesti belajar sistem prioritas yang benar agar dapat menentukan pilihan yang tepat dalam hidup. Untuk itu kita perlu kembali ke Alkitab dan belajar menetapkan prioritas. Berikut adalah tujuh prioritas yang mesti kita adopsi.

  1. Karakter di atas Kemampuan. Hidup perlu kemampuan. Tanpa kemampuan kita tidak dapat mengerjakan apa-apa dengan baik. Sungguh pun demikian kita mesti mengingat bahwa kemampuan bukanlah segalanya. Tuhan mengutamakan karakter di atas kemampuan. Oleh karena itu kita pun mesti mengutamakan karakter dan berusaha menambah kualitas karakter yang diinginkan Tuhan yaitu kasih. Di samping itu kita pun harus menitikberatkan karakter di atas kemampuan dalam menilai orang. Janganlah sampai kita terseret arus dan menilai orang atas dasar kemampuannya semata.
    Firman Tuhan di 1 Korintus 1:26 berkata, "Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang." Di sini Paulus mengingatkan jemaat di Korintus untuk tidak lupa diri dan terus ingat siapakah diri mereka sebenarnya. Kadang setelah mencapai status tinggi dalam masyarakat, kita lupa akan keberadaan diri kita. Pada akhirnya kemampuan menjadi tolok ukur dalam kita menilai dan menghargai orang. Hanya orang yang berkemampuan yang kita hormati; sebaliknya, orang yang tidak berkemampuan kita pandang sebelah mata.
    Inilah prioritas yang mesti kita terapkan di keluarga. Janganlah sampai kita meninggikan kemampuan di atas karakter. Hargailah usaha anak menajamkan kemampuan tetapi pujilah anak atas dasar karakternya. Begitu pun terhadap suami dan istri. Janganlah sampai kita menitikberatkan kemampuan di atas karakter. Perlakuan kita yang mengutamakan kemampuan di atas karakter niscaya membuatnya merasa seperti obyek yang tengah dimanfaatkan-hanya bernilai kalau masih berguna.
  2. Keutuhan Diri Si Pelayan di atas Kegiatan Si Pelayan. Sebagai anak Tuhan sering kali kita terlibat dalam pelayanan-baik di gereja maupun di luar gereja. Sudah tentu ini baik. Namun adakalanya kita menjadi terlalu sibuk; kita sukar menolak permintaan orang dan terus mengiyakan tugas pelayanan yang diembankan. Pada akhirnya kita melalaikan satu hal yang penting yakni menjaga kehidupan yang utuh. Itu sebabnya kalau tidak berhati-hati, kegiatan pelayanan yang tinggi akan menyita banyak dari kehidupan pribadi maupun keluarga. Alhasil, baik kehidupan keluarga ataupun pribadi menjadi kacau dan berantakan.
    Pendeta Bill Hybels menegaskan pentingnya menata kehidupan pribadi kita sendiri. Beliau mengemukakan bahwa seorang pemimpin yang tidak dapat menata dirinya tidaklah akan dapat menata pelayanannya. Bila kita memunyai prioritas seperti ini, hidup dan keluarga tidak menjadi korban malah menjadi penerima berkat.
  3. Ketaatan di atas Keefisienan. Kadang ketika membaca Firman Tuhan terlintas seutas pikiran, "Betapa banyaknya perintah Tuhan!" Pada kenyataannya hanya satu yang dituntut Tuhan-ketaatan. Suatu hari Tuhan Yesus sedang berada di rumah seseorang bernama, Simon, penderita kusta. Tiba-tiba datanglah seorang wanita dengan buli-buli berisikan minyak narwastu yang mahal. Ia memecahkan buli-buli itu dan menuangkan minyaknya ke atas kepala Tuhan. Bagi banyak orang-termasuk murid Tuhan-tindakan ini merupakan pemborosan uang alias tidak efisien. Namun dengarlah perkataan Tuhan, "Biarkanlah dia. Mengapa kamu menyusahkan dia? Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku." (Markus 14:6)
    Pada dasarnya efisiensi berarti menghasilkan sebanyak-banyaknya dengan modal seirit mungkin. Efisiensi adalah lawan dari pemborosan. Ternyata di mata Tuhan efisiensi bukanlah segalanya. Ada satu hal lain yang lebih bernilai yakni ketaatan. Ketaatan kepada Tuhan kadang melanggar hukum efisiensi. Jika kita memprioritaskan efisiensi dengan kaku, kita pun akan kehilangan tuntunan Tuhan. Langkah-Nya tidak selalu sama dengan langkah manusia dan melampaui logika kita. Itu sebabnya ketaatan mesti dikedepankan. Dengan cara itulah pekerjaan dan kehendak Tuhan terlaksana.
  4. Kecil di atas Besar. Menjadi besar adalah idaman kita semua. Bahkan dalam pelayanan sekalipun, kita merindukan menjadi besar. Ada satu hal yang mesti kita camkan: Tuhan memakai kita untuk menggenapi rencana-Nya. Tuhan meminta kita memfokuskan pada yang kecil sebab Ia tidak ingin kita jatuh ke dalam dosa kecongkakan. Dengarlah Firman Tuhan lewat Yakobus 4:6, "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati."
    Anak kecil sering kali menjadi perkara kecil. Itulah yang terjadi pada masa pelayanan Tuhan Yesus. Tatkala Ia tengah mengajar tentang kerendahan hati, Tuhan menggunakan seorang anak sebagai pokok acuan-Nya, "Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini." (Matius 18:10). Tuhan tahu kelemahan dan kecenderungan kita. Itu sebabnya Ia meminta kita untuk mengutamakan yang kecil, bukan yang besar.
  5. Memberi di atas Menerima. Tidak banyak orang yang bersedia memberi-tanpa menerima apa pun. Biasanya kita memberi karena kita menerima sesuatu-baik dari orang yang bersangkutan atau dari orang lain. Sebagian orang terus berusaha untuk memberi tanpa pamrih, tetapi ada orang yang memang hanya ingin menerima. Di antara menerima dan memberi ada "membayar." Kalau membayar saja susah, apalagi memberi? Tuhan mengajarkan kepada kita untuk memberi. Dengarlah seruan-Nya yang dicatat di Matius 20:28, "Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." Melayani adalah memberi-baik itu jasa atau barang-namun Tuhan memberi nyawa-Nya-pemberian termahal.
    Dalam hidup kita mesti berusaha untuk mencari kesempatan memberi, bukan mencari kesempatan untuk menerima. Jika memang kita butuh, jangan sungkan menerima sebab mungkin saja Tuhan tengah memelihara kita lewat bantuan yang ditawarkan orang.
  6. Proses di atas Produk. Makin hari makin kita menjadi masyarakat yang tidak sabar. Kita ingin melihat hasil atau produk; bila tidak melihat hasilnya, dengan cepat kita menyimpulkan bahwa upaya itu telah gagal dan semua upaya yang gagal harus dilenyapkan. Itu bukanlah prioritas Tuhan. Ia lebih mementingkan proses daripada produk. Jadi fokuskan perhatian justru pada prosesnya-memberi kesempatan, memeringati, mengajarkan, dan menunggu.
  7. Tuhan di atas Segalanya. Sebetulnya, jika kita jujur, kita mesti mengakui bahwa kita menginginkan keduanya-dunia dan surga. Kita ingin mendapatkan surga yang kekal, tetapi kita juga mendambakan dunia yang memuaskan. Sayangnya impian itu tidak akan menjadi kenyataan, sebab Tuhan tidak memberi kita kesempatan memiliki keduanya. Apa pun itu yang hendak kita lakukan, kita harus bertanya, "Tuhan, apakah kehendak-Mu dalam hal ini?" Dan, setelah bertanya, kita harus menaati-Nya. Sebab Tuhan tidak berbagi kuasa dengan siapa pun. Ia adalah Allah yang berkuasa penuh, termasuk atas diri kita. Itu sebabnya dalam hidup, tidak ada yang boleh lebih penting dan lebih besar dari Tuhan. Ia adalah segalanya.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Prioritas Hidup". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Memang hidup ini berisi dengan berbagai macam peristiwa, niat dan macam-macam, sehingga mau tidak mau kita harus memprioritaskan, walaupun dalam hati keinginannya semua bisa terjangkau tetapi nyatanya tidak mungkin seperti itu, Pak Paul. Tapi bagaimana kita bisa memprioritaskan dan apa sebenarnya yang harus kita prioritaskan terlebih dahulu, Pak Paul?

PG : Pengamatan Pak Gunawan benar. Hidup itu sebetulnya merupakan sederet pilihan, jadi bagaimana kita memilih dan apa yang dipilih akan menentukan kehidupan yang kita jalani. Sayangnya banyak orang yang menjalani hidup tanpa pemahaman yang benar tentang bagaimana seharusnya memilih akhirnya tersangkut pada pilihan-pilihan yang keliru. Kita harus belajar sistem prioritas yang benar agar dapat menentukan pilihan yang tepat dalam hidup.

GS : Pilihan memang banyak Pak Paul. Misalnya untuk memilih baju saja sudah sulit, memilih makanan kadang-kadang sulit, apalagi ini sesuatu yang sangat menentukan untuk masa depan kehidupan kita, Pak Paul. Apa saran Pak Paul dan apa yang harus kita pilih sebenarnya?

PG : Saya akan mengajak kita semua kembali ke Alkitab, ke Firman Tuhan dan belajar menetapkan prioritas nanti kita akan bahas sekurangnya ada 7, Pak Gunawan, prioritas yang mesti kita adopsi. Pertama adalah kita mesti memprioritaskan karakter di atas kemampuan, saya mengerti bahwa hidup perlu kemampuan, itu betul. Tanpa kemampuan kita tidak dapat mengerjakan apa-apa dengan baik dan tanpa kemampuan pun kita akan sulit mendapatkan penghargaan dari orang, itu sebabnya tidak salah bila kita berupaya mempertajam kemampuan. Sungguh pun demikian kita mesti mengingat bahwa kemampuan bukanlah segalanya. Saya tahu ada sebagian orang yang terus mengejar-ngejar kemampuan, tapi saya ingin mengatakan bahwa kemampuan bukanlah segalanya. Ternyata Tuhan mengutamakan karakter di atas kemampuan. Oleh karena itu kita pun mesti mengutamakan karakter dan mengusahakan menambah kualitas karakter yang diinginkan Tuhan, yaitu kasih. Disamping itu kita pun harus menitikberatkan karakter di atas kemampuan dalam menilai orang, artinya janganlah kita sampai terseret arus dan menilai orang atas dasar kemampuannya semata.

GS : Yang Pak Paul maksud dengan karakter dalam hal ini seperti apa?

PG : Jadi dengan kata lain saya rangkumkan, saya sarikan : memiliki kasih, karakter yang merupakan puncak dan sari dari semua karakter Kristus. Itulah yang seharusnya kita miliki.

GS : Padahal itu semua datangnya dari Tuhan, baik karakter maupun kemampuan dan kenapa karakter harus lebih diprioritaskan dari pada kemampuan, Pak Paul?

PG : Pak Gunawan, sebetulnya kemampuan itu pemberian Tuhan karena itu kita tidak boleh bermegah, menepuk dada dan memegahkan diri sebab kemampuan adalah pemberian Tuhan. Sebetulnya karakter tidaklah pemberian Tuhan semata, karakter adalah sebuah proyek kerjasama antara Tuhan dan kita manusia. Kita pun mesti berusaha sedapat mungkin untuk bersedia diubahkan Tuhan, bersedia menaati Tuhan sehingga karakter kita makin hari makin dipoles menjadi serupa dengan karakter Kristus yaitu kasih. Kenapa Tuhan lebih mengutamakan hal itu sebab Tuhan tidak memberikan kemampuan yang sama kepada setiap orang, Tuhan memberikannya berbeda-beda sesuai dengan rencana Tuhan atas diri kita masing-masing. Itu sebabnya kita mengetahui bahwa ini pemberian Tuhan maka kita tidak boleh bermegah hati, tetapi karakter itu sesuatu yang merupakan kerjasama antara Tuhan dan kita. Kita bekerja keras menumbuhkan, oleh karena itu Tuhan memberi penghargaan, karena seolah-olah karakter itu persembahan kita kepada Tuhan. Kasih, kemurahan, kelemah-lembutan dan sebagainya adalah persembahan kita kepada Tuhan dan itulah yang dihargai. Dan yang memuliakan Tuhan bukanlah kemampuan kita, yang memuliakan Tuhan adalah karakter kita. Orang melihat Tuhan di dalam hidup kita dalam pengertian orang melihat karakter kita, mirip dengan karakter Kristus barulah orang memuji Tuhan, memuliakan Tuhan karena melihat itu dalam diri kita.

GS : Apakah ada ayat Firman Tuhan yang terkait dengan itu, Pak Paul?

PG : Saya bacakan di I Korintus 1:26, Firman Tuhan berkata, "Ingat saja saudara-saudara bagaimana keadaan kamu ketika kamu dipanggil, menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh dan tidak banyak orang yang terpandang". Di sini Paulus mengingatkan jemaat di Korintus untuk tidak lupa diri dan terus ingat siapakah diri mereka sebenarnya. Kadang setelah mencapai status tinggi dalam masyarakat kita lupa akan keberadaan diri kita, pada akhirnya kemampuan menjadi tolok ukur dalam kita menilai dan menghargai orang. Hanya orang yang berkemampuan yang kita hormati, sebaliknya orang yang tidak berkemampuan kita pandang sebelah mata. Adakalanya ketika kita bertemu dengan orang berkarakter tidak baik namun berkemampuan tinggi, kita berdalih "Biarlah" sebab setidaknya ia berkemampuan tinggi. Ini menunjukkan sistem prioritas kita telah terbalik. Prioritas yang benar dan sesuai standard Tuhan adalah menghormati orang yang berkarakter baik. Seberapa tingginya kemampuan seseorang bila ia berkarakter buruk, ia tidak layak dihormati.

GS : Pak Paul, bila tadi dikatakan bahwa karakter adalah proyek kerjasama Tuhan dengan manusia, apa yang harus kita lakukan supaya kita memunyai karakter yang baik?

PG : Nomor satu kita harus sering-sering membaca Firman sehingga kita mengetahui apa yang Tuhan tuntut, apa yang Tuhan inginkan dari kita. Setelah itu kita mesti sering-sering berdoa, mengakui kelemahan dan keterbatasan kita dan memohon Tuhan untuk terus menolong kita memunculkan karakter seperti yang Dia inginkan itu. Dan yang ketiga ini kuncinya, memang hanya satu saja yang bisa merangkumkan semuanya yaitu ketaatan. Apa yang Tuhan minta kita lakukan, itu kita kerjakan. Ia meminta kita untuk meminta maaf, kita meminta maaf, Ia meminta kita untuk merendahkan diri, kita rendahkan diri. Pokoknya ikuti dan taati saja yang Tuhan inginkan, maka akhirnya karakter itu akan terbentuk. Dampaknya sangat luas, kalau kita bisa mengutamakan karakter di atas kemampuan, bukan saja akan memengaruhi relasi kita dan orang lain tapi juga relasi kita dengan anggota keluarga kita. Jangan sampai kita dalam keluarga sendiri pun meninggikan kemampuan di atas karakter. Kepada anak misalnya, hargailah usaha anak menajamkan kemampuan tetapi pujilah anak atas dasar karakternya, begitu pun terhadap suami dan istri jangan sampai kita menitikberatkan kemampuan di atas karakter. Perlakuan kita yang mengutamakan kemampuan di atas karakter niscaya membuatnya merasa seperti objek yang tengah dimanfaatkan, hanya bernilai kalau masih berguna. Kalau masih bisa membantu kita, masih bisa menghasilkan uang dan sebagainya, kita hargai. Begitu tidak bisa memberikan sumbangsih, kita sudah uring-uringan, marah-marah kepadanya, dengan cara itu kita mengkomunikasikan kepada pasangan dan anak-anak kita, kamu masih berguna kalau kamu masih memunyai fungsi. Kalau tidak ada lagi fungsi dalam hidup saya, kamu sudah tidak ada lagi gunanya dan tidak ada lagi nilainya.

GS : Tapi karakter seseorang itu bisa berubah-ubah, Pak Paul? Pada waktu karakternya masih baik kita bisa memprioritaskan dia, menghargai dia berdasarkan karakternya, tapi kemudian pada suatu saat karena suatu sebab karakternya menjadi buruk sekali. Bagaimana kita menghadapi orang seperti ini?

PG : Sudah tentu kalau orang itu dekat dengan kita atau dia anggota keluarga kita, kita mesti sering-sering mengingatkan dia bahwa kita melihat perubahan-perubahan dalam dirinya, sehingga yang tadinya begitu indah penuh dengan kasih sayang, sekarang makin hari makin hilang kasih sayang itu dan digantikan justru dengan kejudesan, kemarahan, tidak murahhati, semua itu hal-hal yang perlu kita kemukakan kepada orang tersebut supaya ia bisa kembali diingatkan bahwa "Benar ya, telah terjadi perubahan besar dalam hidup saya dan saya mesti kembali lagi kepada karakter Tuhan yang Tuhan inginkan itu".

GS : Hal lain yang perlu diprioritaskan, apa Pak Paul?

PG : Yang kedua adalah kita mesti memprioritaskan keutuhan diri si pelayan atau diri kita di atas kegiatan si pelayan. Coba saya jelaskan, sebagai anak Tuhan seringkali kita terlibat dalam pelayanan, baik di gereja maupun di luar gereja. Sudah tentu ini semua baik, namun ada kalanya kita menjadi terlalu sibuk. Kita sukar menolak permintaan orang dan terus mengiakan tugas pelayanan yang diembankan, pada akhirnya kita melalaikan satu hal yang penting yaitu menjaga kehidupan yang utuh, tidak bisa tidak kegiatan pelayanan akan menyita waktu dan tenaga. Itu sebabnya bila tidak berhati-hati kegiatan pelayanan yang tinggi akan menyita banyak dari kehidupan pribadi maupun keluarga kita, akhirnya baik kehidupan keluarga maupun kehidupan pribadi menjadi kacau dan berantakan.

GS : Apa yang maksudkan dengan keutuhan diri di sini?

PG : Jadi keutuhan diri adalah sebuah diri yang tertata, yang tidak berat di sini, ringan di sini tapi memunyai keseimbangan. Dalam contoh praktisnya, orang yang memunyai keutuhan, orang yang bijaksana, orang yang bisa bersikap dengan tepat. Orang yang bisa menghadapi masalah dengan bijaksana, orang yang tahu bagaimana menghadapi orang dan tuntutannya. Tidak mudah meletup, tidak mudah ambruk, tidak mudah diombang-ambingkan oleh badai kehidupan, dengan kata lain adanya sebuah kestabilan, sehingga ia bisa membagi waktu dan hidupnya itu dengan bijaksana kepada orang-orang di sekitarnya.

GS : Termasuk di dalam keluarganya, begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi kalau tidak hati-hati kita akan justru mengorbankan orang-orang dalam keluarga kita, terlalu banyak suami, istri dan anak yang harus menderita karena kita tidak lagi sanggup memberi waktu dan tenaga untuk mereka. Alhasil semua kocar-kacir dan merana termasuk diri kita sendiri. Saya ingin mengutip perkataan dari Pdt. Bill Hybel, beliau menegaskan pentingnya menata kehidupan pribadi kita sendiri. Beliau mengemukakan bahwa seorang pemimpin yang tidak dapat menata dirinya, tidaklah akan dapat menata pelayanannya. Pengamatannya ini memang benar, beliau mengamati pemimpin yang akhirnya jatuh, yang hidupnya berantakan, yang keluarganya berantakan. Dia berkata, "Orang-orang itu tidak bisa menata organisasi atau pelayanannya" dan dia pun melihat orang-orang yang gagal dalam pelayanannya seringkali diawali oleh kegagalannya menata dirinya sendiri. Jadi benar-benar beliau menekankan pentingnya mulai menata diri pribadi, sebelum nanti menata yang di luar, maka kalau kita sebagai anak Tuhan terlalu mementingkan kegiatan pelayanan dan mengabaikan diri kita, keutuhan diri kita sebagai seorang pribadi maka tinggal tunggu waktu akhirnya kita jatuh terjerembab.

GS : Apakah ada contoh yang konkret dari Alkitab, Pak Paul?

PG : Saya teringat Musa, Pak Gunawan. Musa itu harus mengalami perombakan hidup terlebih dahulu sebelum Tuhan memakainya, selama 40 tahun ia hidup dalam pengasingan di gurun Midian jauh dari kegiatan yang bermakna namun di situlah terletak maknanya, Musa harus diutuhkan terlebih dahulu sebelum ia terjun ke dalam kegiatan pelayanan yang maha berat itu. 40 tahun sebelumnya Musa penuh energi dan percaya diri, ia terobsesi memerdekakan bangsanya dari belenggu bangsa Mesir. 40 tahun kemudian Musa tidak berenergi dan tidak percaya diri, ia pun kehilangan obsesi memerdekakan bangsanya, itu sebabnya waktu Tuhan panggil ia menolak, tidak bersedia namun itulah saat yang ditunggu Tuhan. Sekarang di mata Tuhan Musa siap dipandu dan dipakai Tuhan, ia telah menjadi pribadi yang jauh lebih utuh dibanding sebelumnya.

GS : Seringkali kita mengagungkan tokoh Musa ini padahal perjalanan hidupnya bukan suatu perjalanan yang gampang, tapi bagaimana pun juga ini suatu panutan bagi kita yang mau melayani Tuhan, Pak Paul? Apa dampaknya langsung kepada kita yang mau melayani Tuhan?

PG : Begini, Pak Gunawan. Sebagai pelayan Tuhan kita harus senantiasa peka melihat dampak kegiatan pelayanan pada diri dan keluarga kita. Bila hidup kita mulai kocar-kacir dan keluarga mulai tercerai-berai, itulah pertanda kegiatan pelayanan telah menindih kita, itulah waktunya bagi kita menimbang ulang prioritas hidup. Sayangnya Pak Gunawan, ada banyak orang yang tidak memedulikan hal ini, mereka terus berjalan dengan cepat, mereka menuntut misalnya pasangan untuk mengambil alih tanggungjawab atau malah menuntut anak untuk tidak mengganggunya, kalau dimintai tolong dia tidak suka atau dia marah. Itu semua menandakan prioritas yang sudah mulai terbalik, kita terlalu menekankan pada kegiatan pelayanan itu sendiri dan mengabaikan keutuhan hidup kita pribadi.

GS : Tapi dalam hal ini Musa sendiri pernah diingatkan oleh mertuanya, Yitro, karena dia terlalu sibuk melayani orang lain sehingga banyak hal yang terbengkalai, begitu Pak Paul.

PG : Betul meskipun Musa telah menjalani pelatihan, pembinaan, pembentukan selama 40 tahun, tetap sebagai manusia dia gagal, dia bisa saja akhirnya khilaf, dia lupa, dia tidak bisa mengurus semua orang, semua masalah di bangsa Israel, maka Tuhan memakai mertuanya untuk memberitahukan Musa, "Kamu harus mendelegasikan", sebab intinya kita selalu harus ingat bahwa Tuhan mementingkan diri si pelayan di atas kegiatannya. Tuhan lebih mencintai kita dibanding kegiatan-kegiatan pelayanan kita. Itu sebabnya Tuhan tidak tergesa-gesa memakai Musa, Tuhan menunggu, membentuk Musa sampai utuh sebelum mengutusnya ke dalam pelayanan. Bila kita memunyai prioritas seperti ini, hidup dan keluarga tidak menjadi korban malah menjadi penerima berkat. Jadi dalam pelayanan kita harus menerapkan sistem prioritas yang benar. Kadang kita justru menuntut rekan pelayanan untuk berani membayar harga, padahal itu bukanlah harga yang semestinya dibayar. Roda pelayanan yang diputar di atas kegiatan dan bukan di atas keutuhan hidup si pelayan akhirnya menuai masalah. Bukankah terlalu sering kita menyaksikan pelayanan hancur oleh karena masalah pribadi si pelayan, bukan karena kegiatan pelayanan itu sendiri. Kita harus belajar dari kesalahan di masa lampau dan membangun prioritas yang benar.

GS : Kalau begitu apa prioritas yang ketiga yang perlu kita perhatikan, Pak Paul?

PG : Yang ketiga kita mesti memprioritaskan ketaatan di atas keefisienan. Kadang ketika kita membaca Firman Tuhan mungkin terlintas pikiran betapa banyaknya perintah Tuhan. Pada kenyataannya, Pak Gunawan, hanya satu yang dituntut Tuhan yaitu ketaatan. Raja Saul adalah contoh ketidaktaatan yang menyedihkan, berkali-kali ia tidak menaati Tuhan dan sewaktu ditegur ia selalu berdalih. Itu sebabnya Samuel, hamba Allah, mengingatkan Saul yang tercatat di I Samuel 15:22, "Apakah Tuhan itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara Tuhan? Sesungguhnya mendengarkan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan".

GS : Wujud ketaatan yang Tuhan kehendaki dari kita itu seperti apa, Pak Paul?

PG : Sudah tentu pada akhirnya yang pertama kita harus jelas secara spesifik, apa yang Tuhan inginkan dari kita, apa itu yang merupakan sabda-Nya kepada kita? Bisa kita melihat dari Firman Tuhan atau kadang-kadang Ia akan langsung membisikkannya kepada kita. Itulah yang akan kita taati, dalam kasusnya Saul, ia selalu tidak mentaati Tuhan karena Ia selalu memunyai pertimbangannya sendiri. Pertimbangannya selalu dianggap lebih efisien daripada perintah Tuhan. Misalnya, pernah Samuel memintanya untuk menunggu kedatangannya sebelum mempersembahkan korban. Saul tidak sabar, langsung mempersembahkan korban dengan alasan guna mencegah serdadunya meninggalkan dia sekaligus memohon restu Tuhan atas mereka dalam peperangan melawan bangsa Filistin. Memang kita bisa mengatakan, "OK pertimbangannya itu efisien, tapi justru menunjukkan ketidakberimanan Saul dan ini menunjukkan juga ia tidak mengerti isi hati Tuhan". Jadi benar-benar intinya kita harus mendengarkan Tuhan, itu adalah yang dimaksud dengan menaati Tuhan.

GS : Karena hampir setiap hari kita dituntut untuk hidup efisien khususnya pada saat-saat seperti ini, ini berimbas juga pada bagaimana kita berhadapan dengan Tuhan walaupun itu ternyata tidak benar.

PG : Tidak selalu, sudah tentu adakalanya efisien itu baik dan itulah yang dikehendaki Tuhan, namun kita mesti selalu mengedepankan ketaatan ketimbang keefisienan. Saya ada contoh lain, Pak Gunawan, tentang perempuan yang datang ke Tuhan Yesus. Pada suatu hari Tuhan Yesus sedang berada di rumah seseorang yang bernama Simon, seorang penderita kusta. Tiba-tiba datang seorang wanita dengan buli-buli berisikan minyak narwastu yang mahal. Ia memecahkan buli-buli itu dan menuangkan minyaknya ke atas kepala Tuhan. Bagi banyak orang termasuk murid Tuhan, tindakan ini termasuk pemborosan uang alias tidak efisien, namun dengarlah perkataan Tuhan di Markus 14:6, "Biarkanlah dia, mengapa kamu menyusahkan dia. Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku". Pada dasarnya efisiensi berarti menghasilkan sebanyak-banyaknya dengan modal seirit mungkin. Efisiensi adalah lawan dari pemborosan. Ternyata di mata Tuhan, efisiensi bukanlah segalanya, ada satu hal lain yang lebih bernilai yakni ketaatan. Perempuan itu ingin menaati panggilan Tuhan di hatinya, yaitu melakukan sesuatu yang baik buat Tuhan. Baginya tidak ada jalan atau cara lain yang dapat diperbuatnya untuk menunjukkan kasihnya kepada Tuhan, selain mempersembahkan minyak narwastu itu. Tuhan melihat isi hatinya dan menerima perbuatannya.

GS : Jadi efisien yang dikehendaki Tuhan itu sejalan dengan apa yang Tuhan rencanakan untuk kehidupan kita, tapi efisien yang kita rencanakan sendiri, yang kita buat sendiri itu bisa bertentangan dengan kehendak Tuhan.

PG : Betul sebab akhirnya bila efisiensi itu tidak didasari atas pengenalan akan isi hati Tuhan, tidak dilandasi oleh kasih, tidak dilandasi atas keinginan memuliakan Tuhan, efisiensi itu hanyalah memaksimalkan tanpa benar-benar mengerti untuk apakah kita memaksimalkan. Akhirnya saya perhatikan, kita terlalu terpaku pada efisiensi dan menjadikannya ilah baru. Segala sesuatu yang tidak efisien mesti dihilangkan dan dipastikanlah bukan berasal dari Tuhan. Ini keliru! Ketaatan kepada Tuhan kadang melanggar hukum efisiensi, misalnya Musa harus dibenahi Tuhan 40 tahun sebelum dipakai-Nya. Tidak efisien menurut standar kita sebab terlalu lama. Dan bukankah usia 40 jauh lebih baik daripada 80 untuk melayani Tuhan. Namun itulah yang Tuhan lakukan dan Tuhan berhasil. Tuhan Yesus misalnya hanya memilih 12 murid, tidak efisien, bagaimana mungkin menyebarkan Kabar Baik pengampunan Allah hanya lewat 12 manusia? Kenyataannya Nama Kristus didengar dan dikenal oleh bermilyaran manusia sekarang. Jadi jika kita memprioritaskan efisiensi dengan kaku, kita pun akan kehilangan tuntunan Tuhan, Pak Gunawan. Langkah-Nya tidak selalu sama dengan langkah manusia dan melampaui logika kita. Itu sebabnya ketaatan mesti dikedepankan, dengan cara itulah pekerjaan dan kehendak Tuhan terlaksana.

GS : Jadi yang penting di sini adalah mencapai pekerjaan dan kehendak Tuhan itu dengan cara yang Tuhan kehendaki, karena bagi Tuhan soal waktu, soal uang, soal jumlahnya orang itu tidak terlalu bermasalah yang seringkali kita permasalahkan.

PG : Tepat sekali, justru itulah yang menjadi fokus kita, tapi Tuhan mau berkata, "Taatilah dulu Aku, jangan khawatir dengan yang lain-lain, Aku akan bereskan yang lain-lainnya".

GS : Tadi Pak Paul katakan ada 7 hal yang perlu kita prioritaskan dalam hidup ini, tapi rupanya kita baru sempat membahasnya 3 saja, dan tentu saja perbincangan ini kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Terima kasih sekali untuk hal-hal yang Pak Paul sudah sampaikan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Prioritas Hidup" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



58. Prioritas Hidup II


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T291B (File MP3 T291B)


Abstrak:

Hidup berisikan sederet pilihan. Bagaimana kita memilih dan apa yang dipilih akan menentukan kehidupan yang kita jalani. Sayangnya banyak orang yang menjalani hidup tanpa pemahaman yang benar tentang bagaimana seharusnya memilih. Kita mesti belajar sistem prioritas yang benar agar dapat menentukan pilihan yang tepat dalam hidup. Ada 7 prioritas yang mesti kita adopsi dari Alkitab, yaitu : karakter di atas kemampuan, keutuhan diri si pelayan di atas kegiatan si pelayan, ketaatan di atas keefesienan, mengedepankan yang kecil di atas yang besar, mengedepankan memberi di atas menerima, prioritaskan proses di atas produk dan utamakan Tuhan di atas segalanya.


Ringkasan:

Hidup berisikan sederet pilihan. Bagaimana kita memilih dan apa yang dipilih akan menentukan kehidupan yang kita jalani. Sayangnya banyak orang yang menjalani hidup tanpa pemahaman yang benar tentang bagaimana seharusnya memilih. Kita mesti belajar sistem prioritas yang benar agar dapat menentukan pilihan yang tepat dalam hidup. Untuk itu kita perlu kembali ke Alkitab dan belajar menetapkan prioritas. Berikut adalah tujuh prioritas yang mesti kita adopsi.

  1. Karakter di atas Kemampuan. Hidup perlu kemampuan. Tanpa kemampuan kita tidak dapat mengerjakan apa-apa dengan baik. Sungguh pun demikian kita mesti mengingat bahwa kemampuan bukanlah segalanya. Tuhan mengutamakan karakter di atas kemampuan. Oleh karena itu kita pun mesti mengutamakan karakter dan berusaha menambah kualitas karakter yang diinginkan Tuhan yaitu kasih. Di samping itu kita pun harus menitikberatkan karakter di atas kemampuan dalam menilai orang. Janganlah sampai kita terseret arus dan menilai orang atas dasar kemampuannya semata.
    Firman Tuhan di 1 Korintus 1:26 berkata, "Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang." Di sini Paulus mengingatkan jemaat di Korintus untuk tidak lupa diri dan terus ingat siapakah diri mereka sebenarnya. Kadang setelah mencapai status tinggi dalam masyarakat, kita lupa akan keberadaan diri kita. Pada akhirnya kemampuan menjadi tolok ukur dalam kita menilai dan menghargai orang. Hanya orang yang berkemampuan yang kita hormati; sebaliknya, orang yang tidak berkemampuan kita pandang sebelah mata.
    Inilah prioritas yang mesti kita terapkan di keluarga. Janganlah sampai kita meninggikan kemampuan di atas karakter. Hargailah usaha anak menajamkan kemampuan tetapi pujilah anak atas dasar karakternya. Begitu pun terhadap suami dan istri. Janganlah sampai kita menitikberatkan kemampuan di atas karakter. Perlakuan kita yang mengutamakan kemampuan di atas karakter niscaya membuatnya merasa seperti obyek yang tengah dimanfaatkan-hanya bernilai kalau masih berguna.
  2. Keutuhan Diri Si Pelayan di atas Kegiatan Si Pelayan. Sebagai anak Tuhan sering kali kita terlibat dalam pelayanan-baik di gereja maupun di luar gereja. Sudah tentu ini baik. Namun adakalanya kita menjadi terlalu sibuk; kita sukar menolak permintaan orang dan terus mengiyakan tugas pelayanan yang diembankan. Pada akhirnya kita melalaikan satu hal yang penting yakni menjaga kehidupan yang utuh. Itu sebabnya kalau tidak berhati-hati, kegiatan pelayanan yang tinggi akan menyita banyak dari kehidupan pribadi maupun keluarga. Alhasil, baik kehidupan keluarga ataupun pribadi menjadi kacau dan berantakan.
    Pendeta Bill Hybels menegaskan pentingnya menata kehidupan pribadi kita sendiri. Beliau mengemukakan bahwa seorang pemimpin yang tidak dapat menata dirinya tidaklah akan dapat menata pelayanannya. Bila kita memunyai prioritas seperti ini, hidup dan keluarga tidak menjadi korban malah menjadi penerima berkat.
  3. Ketaatan di atas Keefisienan. Kadang ketika membaca Firman Tuhan terlintas seutas pikiran, "Betapa banyaknya perintah Tuhan!" Pada kenyataannya hanya satu yang dituntut Tuhan-ketaatan. Suatu hari Tuhan Yesus sedang berada di rumah seseorang bernama, Simon, penderita kusta. Tiba-tiba datanglah seorang wanita dengan buli-buli berisikan minyak narwastu yang mahal. Ia memecahkan buli-buli itu dan menuangkan minyaknya ke atas kepala Tuhan. Bagi banyak orang-termasuk murid Tuhan-tindakan ini merupakan pemborosan uang alias tidak efisien. Namun dengarlah perkataan Tuhan, "Biarkanlah dia. Mengapa kamu menyusahkan dia? Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku." (Markus 14:6)
    Pada dasarnya efisiensi berarti menghasilkan sebanyak-banyaknya dengan modal seirit mungkin. Efisiensi adalah lawan dari pemborosan. Ternyata di mata Tuhan efisiensi bukanlah segalanya. Ada satu hal lain yang lebih bernilai yakni ketaatan. Ketaatan kepada Tuhan kadang melanggar hukum efisiensi. Jika kita memprioritaskan efisiensi dengan kaku, kita pun akan kehilangan tuntunan Tuhan. Langkah-Nya tidak selalu sama dengan langkah manusia dan melampaui logika kita. Itu sebabnya ketaatan mesti dikedepankan. Dengan cara itulah pekerjaan dan kehendak Tuhan terlaksana.
  4. Kecil di atas Besar. Menjadi besar adalah idaman kita semua. Bahkan dalam pelayanan sekalipun, kita merindukan menjadi besar. Ada satu hal yang mesti kita camkan: Tuhan memakai kita untuk menggenapi rencana-Nya. Tuhan meminta kita memfokuskan pada yang kecil sebab Ia tidak ingin kita jatuh ke dalam dosa kecongkakan. Dengarlah Firman Tuhan lewat Yakobus 4:6, "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati."
    Anak kecil sering kali menjadi perkara kecil. Itulah yang terjadi pada masa pelayanan Tuhan Yesus. Tatkala Ia tengah mengajar tentang kerendahan hati, Tuhan menggunakan seorang anak sebagai pokok acuan-Nya, "Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini." (Matius 18:10). Tuhan tahu kelemahan dan kecenderungan kita. Itu sebabnya Ia meminta kita untuk mengutamakan yang kecil, bukan yang besar.
  5. Memberi di atas Menerima. Tidak banyak orang yang bersedia memberi-tanpa menerima apa pun. Biasanya kita memberi karena kita menerima sesuatu-baik dari orang yang bersangkutan atau dari orang lain. Sebagian orang terus berusaha untuk memberi tanpa pamrih, tetapi ada orang yang memang hanya ingin menerima. Di antara menerima dan memberi ada "membayar." Kalau membayar saja susah, apalagi memberi? Tuhan mengajarkan kepada kita untuk memberi. Dengarlah seruan-Nya yang dicatat di Matius 20:28, "Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." Melayani adalah memberi-baik itu jasa atau barang-namun Tuhan memberi nyawa-Nya-pemberian termahal.
    Dalam hidup kita mesti berusaha untuk mencari kesempatan memberi, bukan mencari kesempatan untuk menerima. Jika memang kita butuh, jangan sungkan menerima sebab mungkin saja Tuhan tengah memelihara kita lewat bantuan yang ditawarkan orang.
  6. Proses di atas Produk. Makin hari makin kita menjadi masyarakat yang tidak sabar. Kita ingin melihat hasil atau produk; bila tidak melihat hasilnya, dengan cepat kita menyimpulkan bahwa upaya itu telah gagal dan semua upaya yang gagal harus dilenyapkan. Itu bukanlah prioritas Tuhan. Ia lebih mementingkan proses daripada produk. Jadi fokuskan perhatian justru pada prosesnya-memberi kesempatan, memeringati, mengajarkan, dan menunggu.
  7. Tuhan di atas Segalanya. Sebetulnya, jika kita jujur, kita mesti mengakui bahwa kita menginginkan keduanya-dunia dan surga. Kita ingin mendapatkan surga yang kekal, tetapi kita juga mendambakan dunia yang memuaskan. Sayangnya impian itu tidak akan menjadi kenyataan, sebab Tuhan tidak memberi kita kesempatan memiliki keduanya. Apa pun itu yang hendak kita lakukan, kita harus bertanya, "Tuhan, apakah kehendak-Mu dalam hal ini?" Dan, setelah bertanya, kita harus menaati-Nya. Sebab Tuhan tidak berbagi kuasa dengan siapa pun. Ia adalah Allah yang berkuasa penuh, termasuk atas diri kita. Itu sebabnya dalam hidup, tidak ada yang boleh lebih penting dan lebih besar dari Tuhan. Ia adalah segalanya.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Prioritas Hidup" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita membicarakan tentang prioritas hidup dan Pak Paul katakan setidaknya ada 7 hal yang perlu diprioritaskan dalam kehidupan ini, tapi pada waktu yang lalu kita baru sempat membahas 3 dari ketujuh itu. Sebelum kita melangkah pada prioritas yang keempat, supaya para pendengar kita memunyai gambaran yang terdahulu atau mengingatkan yang terdahulu, mungkin Pak Paul secara sekilas bisa kembali mengulang membahasnya.

PG : Kita ini berangkat dari sebuah pengamatan bahwa hidup berisikan sederet pilihan, bagaimana kita memilih dan apa yang kita pilih akan menentukan kehidupan yang kita jalani. Karena itu kita harus belajar memilih dan kita mau kembali kepada Firman Tuhan, sehingga mengerti apa yang diutamakan Tuhan, sehingga kita bisa memilih sesuai dengan sistem prioritas Tuhan sendiri. Kita telah belajar bahwa yang pertama Tuhan itu mengedepankan karakter di atas kemampuan, meskipun kemampuan penting namun kita mesti tambah dan pertajamkan tapi jangan lupa nilai siapa kita ini dilandasi atas karakter kita. Yang membawa kemuliaan bagi Tuhan adalah karakter kita. Kedua, kita belajar bahwa Tuhan mengedepankan keutuhan hidup atau keutuhan diri kita sebagai pelayan Tuhan di atas kegiatan-kegiatan kita sebagai seorang pelayan Tuhan. Tuhan lebih berminat melihat kehidupan yang berimbang, kehidupan yang tertata, jangan sampai kita melakukan banyak hal untuk Tuhan, tapi hidup kita tidak beres, keluarga kita berantakan, emosi kita tidak terkendali, jiwa kita tidak stabil. Tuhan tidak mau melihat itu dan yang ketiga adalah Tuhan mengedepankan ketaatan di atas keefisienan. Kita belajar bahwa dewasa ini efisien itu telah menjadi ilah yang baru, segala sesuatu harus efisien sudah tentu itu benar, itu baik tidak salah, tapi jangan lupa yang diutamakan Tuhan adalah ketaatan. Kita melihat contoh perempuan yang membuka buli-buli dan menuangkannya di atas Tuhan, minyak narwastu itu mahal sekali tetapi bagi Tuhan pemborosan itu dinomorduakan, yang dinomorsatukan adalah hati si wanita itu yang mengasihi Tuhan. Dia merasa Tuhan mengetuk hatinya untuk memberi persembahan dan dia langsung berikan. Jadi itulah yang Tuhan kedepankan, ketaatan di atas keefisienan.

GS : Sekarang kita memasuki prioritas yang keempat, yang harus kita perhatikan tentang apa, Pak Paul?

PG : Yang keempat adalah Tuhan mengedepankan yang kecil di atas yang besar. Menjadi besar adalah idaman kita semua bahkan dalam pelayanan sekali pun kita merindukan menjadi besar. Sudah tentu kita menamakannya, menjadi besar buat Tuhan. Pertanyaannya adalah apakah Tuhan menginginkan semua pekerjaan-Nya menjadi besar sebagaimana kita mendefinisikan besar, dalam bentuk biasanya kuantitas. Di dalam kitab Hakim-Hakim 7 dicatat tentang karya penyelamatan Tuhan melalui hamba-Nya Gideon. Pada awalnya Gideon membawa 30.000 pasukan untuk melawan bangsa Midian namun Tuhan terus mengurangi jumlahnya hingga mencapai 300 orang, 1/100 dari jumlah awal, namun sebagaimana kita tahu mereka berhasil memenangkan pertempuran, karena Tuhanlah yang menyelamatkan mereka. Dari situ ternyata ukuran besar, tidak berarti buat Tuhan. Tuhan memilih 300 orang saja, 1/100 dari jumlah pasukan, supaya apa? Tuhan dibesarkan. Jadi kita akan melihat pola ini mengalir di Alkitab dari depan sampai belakang. Tuhan tidak mementingkan jumlah di mata manusia, Tuhan tahu bahwa apa yang bisa dilakukan-Nya, itu pasti berhasil.

GS : Jadi tepat sekali seperti Yohanes Pembaptis yang mengatakan, "Biarlah aku makin berkurang dan Engkau makin bertambah", begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali, justru itu adalah prinsip yang kita sering lupakan, Pak Gunawan. Ada satu hal yang mesti kita camkan, Tuhan memakai kita untuk menggenapi rencana-Nya, bukan sebaliknya. Kalau tidak hati-hati kita malah memakai Tuhan untuk menggenapi rencana kita! Ini bahayanya, orang yang ingin besar dan ingin melakukan karya besar mudah jatuh ke dalam perangkap memakai Tuhan menggenapi rencana kita sendiri. Rencana yang besar terlalu penting untuk diabaikan, sehingga akhirnya itulah yang menjadi kekuatan dan pendorong pelayanannya. Jadi kita mesti berhati-hati, seperti Yohanes Pembaptis berkata bahwa aku harus makin kecil, Ia harus makin besar. Justru ia menekankan hal itu jangan sampai ia menjadi penghalang bagi pekerjaan Tuhan.

GS : Tapi beberapa ada orang yang dipakai Tuhan untuk melakukan karya-karya yang besar, karya-karya yang mengubah dunia ini juga.

PG : Betul sekali, namun kalau kita perhatikan dari awalnya mereka tidak memikirkan melakukan perkara besar, mereka hanyalah menaati Tuhan, bersedia melakukan apa yang Tuhan berikan kepada mereka namun pada akhirnya itulah yang Tuhan lakukan. Kenapa Tuhan seolah-olah tidak begitu senang kita mengejar perkara besar? Karena begini, Tuhan meminta kita memfokuskan pada yang kecil sebab Dia tidak ingin kita jatuh ke dalam dosa kecongkakan, Pak Gunawan. Di Yakobus 4:6 Firman Tuhan berkata, "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati". Tidak mudah bagi kita yang mengejar perkara besar untuk tetap rendah hati, itulah sebabnya Tuhan meminta kita untuk tidak mengarahkan mata pada perkara besar, Ia meminta kita memandang dan mengutamakan perkara kecil. Dalam pelaksanaannya ada kalanya Ia melakukan perkara besar, melalui kita yang tengah mengerjakan perkara kecil, begitu Pak Gunawan.

GS : Dari perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus yang sering kita lihat Tuhan mengambil contoh yang kecil-kecil, seperti burung pipit, anak kecil, domba yang hilang satu saja, itu sesuatu yang sederhana tetapi punya makna yang besar sekali.

PG : Dan kedatangan Tuhan ke dunia ini sangat-sangat merupakan simbol dari prioritas itu. "O betlehem yang kecil" sebab memang kota itu kecil, kota yang besar adalah Yerusalem. Dan juda Nasaret, Tuhan Yesus pernah mengungsi dan tinggal di sebelah Utara, di Nasaret. Karena itu waktu Natanael bertemu ia bertanya tentang Tuhan, "Apa ada hal yang baik yang keluar dari Nasaret?" Kenapa? Karena memang tidak ada yang tahu tempat itu, terlalu terpelosok. Akhirnya itulah yang kita lihat, raja Israel yang pertama, Saul, dari suku Benyamin, suku terkecil. Jadi sekali lagi kita melihat Tuhan mau kita fokus pada yang kecil. Dalam pelaksanaannya Ia berkati kita, embankan kita dan mampukan kita melakukan perkara yang besar, itu kehendak-Nya tapi kita sendiri tidak boleh mengejar-ngejar yang besar-besar itu. Banyak orang, yang berlomba untuk menjadi besar, ada yang ingin cepat kaya, ada yang ingin berpengaruh besar, ada yang ingin bersumbangsih besar, ada yang ingin berpengikut besar dan seterusnya. Inilah bukti prioritas yang keliru. Kita pun terlalu cepat mengagumi orang yang besar dan menelantarkan orang yang kecil, orang yang bisa mengembangkan baik itu pekerjaannya, atau pengaruhnya atau pelayanannya menjadi besar, sering kita kagumi. Orang yang ingin besar hanya melihat yang besar dan mereka luput melihat yang kecil, yakni orang-orang yang kecil dan perkara-perkara kecil. Jadi sekali lagi fokus kita haruslah pada yang kecil.

GS : Bagaimana hubungan kita dengan keluarga, terkait dengan ini?

PG : Sudah tentu kalau kita memerhatikan anak-anak kita, suami kita, istri kita dan melihat hal-hal yang kecil, yang sederhana justru itulah yang mereka butuhkan, diperhatikan secara mendetail, diutamakan, dihargai oleh kita karena apa yang mereka bisa berikan, bukan karena mereka bisa memenuhi sekehendak kita. Kita lihat Tuhan Yesus sendiri pun memberikan contoh itu, Pak Gunawan, misalnya dalam hal anak-anak kecil, anak kecil seringkali menjadi perkara kecil, tidak dianggap. Itulah yang terjadi pada masa pelayanan Tuhan. Tatkala Ia sedang mengajar tentang kerendahan hati Tuhan menggunakan seorang anak sebagai pokok acuannya. Dia berkata di Matius 18:10, "Ingatlah jangan anggap rendah seorang seperti anak-anak kecil ini". Jadi sekali lagi Tuhan meminta kita melihat yang kecil. Tuhan melihat anak kecil, mereka tidak melihatnya. Salah satu bahayanya bila kita terus fokus pada yang besar adalah pada akhirnya kita menyamakan mulia dengan mewah, Pak Gunawan. Kita ingin melakukan pekerjaan Tuhan yang mulia, namun akhirnya mulia berganti menjadi mewah. Akhirnya kita terbiasa melakukan semua yang mewah dan tidak lagi bersedia melakukan pekerjaan yang tidak mewah. Pada akhirnya kita pun merendahkan yang kecil dan yang tidak mewah. Tuhan tahu kelemahan dan kecenderungan kita itu. Itu sebabnya dari awal Ia meminta kita mengutamakan yang kecil, bukan yang besar.

GS : Prioritas yang kelima yang perlu kita perhatikan apa, Pak Paul?

PG : Mengedepankan memberi di atas menerima. Saya kira konsep ini kita kenal, masalahnya adalah tidak banyak orang yang bersedia memberi, Pak Gunawan. Apa itu maksudnya memberi? Tanpa menerima imbalan, yang penting kita terus memberi. Biasanya kita memberi karena kita menerima sesuatu baik dari orang yang bersangkutan atau dari orang lain. Sebagian orang terus memberi tanpa pamrih tapi ada orang yang hanya ingin menerima. Di antara memberi dan menerima ada satu di tengah-tengahnya yaitu membayar, masalahnya dalam hal membayar tidak semua orang rela melakukannya. Ada banyak orang yang menghindar dari kewajiban membayar. Memberi adalah satu langkah di depan membayar dalam pengertian pada waktu kita membayar ialah kita tidak menerima apa pun. Itulah memberi dan itulah yang seharusnya kita kedepankan.

GS : Memang ini perlu dilatihkan sedini mungkin, karena kita terbiasa menerima dari pada memberi, bahkan mencari sesuatu yang gratis daripada harus membayar. Kalau ada yang gratis mengapa kita harus membayar, begitu Pak Paul.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Memang itulah yang terjadi, kita dikondisikan untuk mencari-cari yang gratis, menerima yang kita inginkan tanpa harus membayarnya. Jadi inilah prioritas kita sebagai manusia, kalau membayar saja susah, apalagi memberi, tapi Tuhan mengajarkan kepada kita untuk memberi. Di Matius 20:28 Tuhan berkata, "Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang". Kita tahu melayani adalah memberi, baik itu jasa atau barang, tapi Tuhan memberi nyawa-Nya, ini adalah sebuah pemberian yang termahal.

GS : Padahal, sebenarnya dengan memberi itu membuktikan bahwa kita kaya, Pak Paul. Punya sesuatu yang lebih yang kita bisa berikan kepada orang lain. Kalau kita menerima terus menunjukkan kemiskinan kita atau kebutuhan kita yang tidak terpenuhi.

PG : Sebetulnya begitu, Pak Gunawan, jadi dengan kita memberi kita menunjukkan iman, bahwa kita punya dan nanti kita akan diberikan oleh Tuhan dengan cukup sehingga waktu kita memberi kita tidak akan mengalami kekurangan. Ini seringkali kita identikkan dengan memberi, dianggap kalau kita memberi kita akan kehilangan, akan rugi karena pada dasarnya kita tidak mau rugi, kita hanya mau untung. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus selalu menolak untuk menerima apa pun dari siapa pun, bukan itu yang saya maksud. Saya hanya mengingatkan bahwa oleh karena Tuhan mementingkan memberi daripada menerima, maka kita pun harus mengutamakan memberi ketimbang menerima. Singkat kata, dalam hidup kita harus mencari kesempatan untuk memberi, bukan mencari kesempatan untuk menerima. Jika kita butuh, jangan sungkan menerima, sebab mungkin saja Tuhan tengah memelihara kita lewat bantuan yang ditawarkan orang. Namun sekali lagi jangan mencari-cari kesempatan untuk menerima, sebaliknya carilah kesempatan untuk memberi, tanpa mengharapkan imbalan.

GS : Masalahnya kita tidak bisa memberi kalau kita tidak menerima terlebih dahulu, Pak Paul.

PG : Betul, kalau kita terbuka, kita tahu bahwa kadang-kadang kita butuh dan Tuhan mengutus orang untuk menolong kita, sudah kita terima dan kita tahu bahwa nantinya pun kita bisa memberikan lagi. Selama kita fokuskan terus bagaimana kita bisa memberi dan memberi lagi, saya kira itu yang Tuhan inginkan ada pada diri kita, bukan mentalitas sebaliknya bagaimana supaya kita bisa menerima dan menerima dan menerima lagi. Tidak seperti itu, berkat Tuhan dikucurkan pada orang yang terus mencari kesempatan untuk memberi dan memberi lagi.

GS : Prioritas yang lain yang perlu mendapat perhatian kita, apa Pak Paul?

PG : Ini adalah yang keenam yaitu kita harus prioritaskan proses di atas produk. Makin hari kita makin menjadi masyarakat yang tidak sabar Pak Gunawan, kita ingin melihat hasil atau produk. Bila tidak melihat hasilnya, dengan cepat kita menyimpulkan bahwa upaya itu telah gagal dan semua yang gagal harus dilenyapkan. Itu bukanlah prioritas Tuhan, Ia lebih mementingkan proses daripada produk. Sebagai contoh, Tuhan terus bersabar membentuk Petrus sebab Ia tahu perubahan memerlukan proses, coba kita simak salah satu percakapan Tuhan dengan Petrus dan peristiwa penyangkalannya yang dicatat di Matius 26. Petrus menjawab, "Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak". Yesus berkata kepadanya, "Aku berkata kepadamu sesungguhnya malam ini sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali...". Maka mulailah Petrus mengutuk dan bersumpah, "Aku tidak kenal Orang itu" pada saat itu berkokoklah ayam, maka teringatlah Petrus akan apa yang dikatakan Yesus kepadanya, "Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali". Lalu ia pergi keluar dan menangis dengan sedihnya."

GS : Memang proses yang dialami oleh Petrus berbeda dengan proses yang dialami oleh Yohanes atau pun murid-murid yang lain, memang semua menjalani proses itu, Pak Paul. Ini yang seringkali membuat kita ketika memasuki proses itu merasakan mengapa begitu lama proses itu terjadi pada saya sedangkan orang itu bisa begitu cepat melewati proses itu?

PG : Betul, Pak Gunawan, memang kita sebagai manusia tidak bisa tidak akan membanding-bandingkan "Dalam proses ini saya lama sekali, mengapa Tuhan tidak menyelesaikan? Mengapa saya masih merangkak, orang itu lebih cepat." Maka kita mesti sabar dengan orang lain. Kita sebagai seorang ayah atau seorang ibu, kadang-kadang kita ingin melihat proses itu berjalan lebih cepat, kita ingin melihat hasilnya langsung pada anak-anak kita, tapi pada faktanya tidaklah demikian. Kita mesti mengingatkan diri bahwa Tuhan akan terus membentuk anak kita, memprosesnya tapi tentu akan makan waktu. Misalnya dalam hal Petrus, Tuhan tahu bahwa Petrus akan menyangkal mengenal-Nya dan Ia pun telah memeringati murid-Nya itu. Sayangnya Petrus terlalu percaya diri sehingga lalai menjaga diri, akhirnya dia jatuh, tapi Tuhan tidak memarahinya. Kita tahu di Alkitab tertulis jelas bahwa Tuhan hanya memandangnya dan itu sudah cukup. Petrus keluar dan menangis, perubahan pun terjadi. Dalam hidup kita mesti sabar menantikan hasil atau produk, fokus perhatian justru harus lebih diarahkan kepada prosesnya. Memberi kesempatan kepada seseorang, memeringatinya, mengajarkannya dan menunggu hasilnya. Inilah yang susah tapi inilah yang harus kita lakukan, menunggu hasilnya. Inilah yang menjadi prioritas Tuhan dan seyogianyalah ini pun menjadi prioritas kita pula.

GS : Kalau kita coba-coba ikut serta "membantu" Tuhan mempercepat proses ini pun malah hasilnya tidak menjadi baik, Pak Paul?

PG : Betul sebab seringkali yang kita lakukan yang namanya membantu lebih banyak memberikan tuntutan-tuntutan dan kadang-kadang emosi kita juga turut bermain, kita marah-marah dan sebagainya. Jadi ada waktunya kita memberi peringatan, ada waktunya kita juga bisa marah, tapi ada waktunya untuk menunggu dan memberi kesempatan kepada Roh Kudus bekerja dalam hidup seseorang, sehingga pada akhirnya orang itu akan mengalami perubahan.

GS : Jadi dibutuhkan kesabaran yang luar biasa dan itu pun cara Tuhan memproses kita memunyai karakter yang baik. Itu yang pernah kita bicarakan, Pak Paul.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Sebagai akhir dari prioritas ini, puncaknya apa, Pak Paul?

PG : Yang ketujuh adalah kita mesti mengutamakan Tuhan di atas segalanya. Sebetulnya jika kita jujur Pak Gunawan, kita mesti mengakui bahwa kita menginginkan keduanya. Apa itu keduanya? Dunia dan surga, kita ingin mendapatkan surga yang kekal tapi kita juga mendambakan dunia yang memuaskan. Kita menginjak dua perahu sebab kita menginginkan yang terbaik dari keduanya, sayangnya impian itu tidak akan menjadi kenyataan, sebab Tuhan tidak memberi kita kesempatan memiliki keduanya. Coba kita dengar perkataan Tuhan kepada seorang pemuda yang kaya raya, yang tercatat di Markus 10:21, "Hanya satu lagi kekuranganmu, pergilah dan juallah apa yang engkau miliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin maka engkau akan beroleh harta di surga kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku". Tuhan memintanya untuk menjual semua hartanya, sebab Tuhan tahu bahwa harta telah menjadi penghalang antara dirinya dan Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan tahu bahwa sesungguhnya pemuda itu mencintai keduanya, harta dan Tuhan. Ia menginjak kedua perahu, dunia dan surga, Tuhan ingin dan Tuhan menuntut kita untuk menempatkan-Nya di takhta kehidupan bukan di kursi menteri semata.

GS : Dalam hal ini, Pak Paul, apakah tidak ada hal-hal yang bisa dikompromikan, misalnya antara karakter dan kemampuan, efisiensi dan ketaatan. Menurut kita sebenarnya hal ini bisa berjalan bersama-sama, Pak Paul.

PG : Sudah tentu dalam hal-hal yang tadi Pak Gunawan singgung, tidak salah kita juga belajar supaya bisa memajukan ketrampilan dan kemampuan kita. Tidak salah juga kita belajar mengefisienkan pekerjaan kita. Ada hikmatnya dalam mengefisienkan pekerjaan namun intinya adalah tetap, ketaatan kepada Tuhan di atas dari keefisienan. Kadang-kadang waktu Tuhan meminta kita melakukan sesuatu, meski kita melihat tidak efisien, tapi kalau kita meyakini ini dari Tuhan, kita mesti menaatinya, lakukanlah. Contoh yang klasik adalah ini, Pak Gunawan, bukankah banyak orang-orang yang bersekolah, yang memunyai pendidikan yang baik, memutuskan untuk menjadi hamba Tuhan, mungkin keluarganya bisa mengatakan, "Aduh pemborosan sudah disekolahkan 4 tahun atau 6 tahun, akhirnya meninggalkan ini semua dan menjadi hamba Tuhan". Sekali lagi di dalam konsep sebagian orang, ini pemborosan tetapi yang dikedepankan haruslah tetap, ketaatan kepada Tuhan.

GS : Seperti Tuhan Yesus yang menyuruh pemuda tadi untuk menjual harta bendanya, itu tidak diberlakukan kepada semua orang yang mengikut Dia, Pak Paul.

PG : Betul sekali, tidak semuanya Tuhan tuntut, tapi dalam kasus tadi harta itu telah menghalangi orang tersebut mencintai Tuhan sepenuhnya. Jadi konkretnya, praktisnya dalam penerapannya, apa pun itu yang hendak kita lakukan, kita harus selalu bertanya, "Tuhan, apakah kehendak-Mu dalam hal ini?" dan setelah bertanya kita harus menaatinya. Buat apa kita bertanya kalau kita tidak berniat menaatinya? Misalnya ada orang yang tinggal bersama kekasihnya, artinya kumpul kebo, sewaktu ditanya ia selalu memberi jawab, "Bukankah Tuhan menginginkan saya hidup senang?" Inilah contoh orang yang tidak bertanya kepada Tuhan, sebaliknya ia hanya bertanya kepada dirinya sendiri. Waktu dia berkata begitu, "Bukankah Tuhan menginginkan saya hidup senang", sebetulnya dia hanya bertanya kepada dirinya sendiri, "Saya mau hidup senang, boleh atau tidak?" Sudah tentu karena dia bertanya kepada dirinya sendiri, ia jugalah yang memberi jawab kepada dirinya sendiri.

GS : Jadi dalam hal ini rupanya Tuhan mau kita taat secara mutlak kepada-Nya, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Tuhan tidak berbagi kuasa dengan siapa pun. Ia adalah Allah yang berkuasa penuh, termasuk atas diri kita, itu sebabnya Ia menuntut kuasa mutlak atas diri kita maka respons kita kepada-Nya hanya satu yaitu tunduk. Itu sebabnya dalam hidup tidak boleh ada yang lebih penting dan lebih besar daripada Tuhan, Dia adalah segalanya. Di dalam perahu hanya boleh ada Tuhan dan hanya boleh ada satu perahu, itulah syarat yang tidak boleh ditawar.

GS : Saya rasa ini jelas sekali, Pak Paul dan terima kasih untuk perbincangan bersama Pak Paul saat ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Prioritas Hidup" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



59. Mengasihi Anak dengan Benar


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T297A (File MP3 T297A)


Abstrak:

Anak membutuhkan kasih sama seperti ia membutuhkan gizi. Sebagaimana kekurangan gizi akan menimbulkan gangguan jasmaniah, demikian pulalah kekurangan kasih akan menyebabkan munculnya gangguan emosional pada anak. Sebagai orang tua kita mengasihi anak namun adakalanya kita tidak begitu paham bagaimanakah menyampaikan kasih itu kepada anak. Di sini akan dipaparkan beberapa petunjuk untuk mengekspresikan kasih kepada anak dengan benar.


Ringkasan:

Anak membutuhkan kasih sama seperti ia membutuhkan gizi. Sebagaimana kekurangan gizi akan menimbulkan gangguan jasmaniah, demikian pulalah kekurangan kasih akan menyebabkan munculnya gangguan emosional pada anak. Sebagai orang tua kita mengasihi anak namun adakalanya kita tidak begitu paham bagaimanakan menyampaikan kasih itu kepada anak. Berikut akan dipaparkan beberapa petunjuk untuk mengekspresikan kasih kepada anak dengan benar.


Transkrip:

"Mengasihi Anak dengan Benar" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengasihi Anak dengan Benar". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Semua orang tua kalau ditanya, pasti akan menjawab kalau mereka mengasihi anaknya, Pak Paul, tapi masalahnya adalah apakah mereka mengasihi anak secara benar atau tidak. Karena nyatanya ada orang tua yang modelnya begitu melimpahkan kasihnya kepada anak-anak, mungkin karena anak tunggal, anak yang sakit-sakitan, anak pertama dan sebagainya tapi nyatanya anak ini bukan menjadi baik tetapi malah menjadi misalnya saja manja atau keras kepala dan sebagainya. Jadi bagaimana sikap orang tua mengasihi anaknya dengan benar?

PG : Ada beberapa hal yang akan kita pelajari pada kesempatan ini agar nanti kita bisa mengerti apa yang harus kita lakukan supaya kasih yang kita miliki kepada anak, dapat diekspresikan denganbenar supaya anak-anak pun nantinya dapat bertumbuh dengan sehat.

Yang pertama adalah kita harus membedakan antara menerima anak dan membiarkan anak, kadang-kadang kita itu mengaitkan mengasihi anak dengan membiarkan anak, kalau mengasihi berarti tidak melarang, tidak memarahi jadi membiarkan anak, justru ini yang tidak tepat. Mengasihi mengandung unsur menerima dan bukan membiarkan, menerima artinya tidak mendasari kasih atas prestasi atau perbuatannya melainkan atas dasar fakta bahwa dia adalah anak pemberian Tuhan untuk kita. Artinya kita tidak berseri-seri, baru memeluknya sewaktu dia pulang membawa hasil ujian yang bagus. Kita tidak mengatakan, "Saya sayang kepada kamu" tatkala dia mendapatkan gelar atau penghargaan tertentu, tidak seperti itu. Justru dalam kondisi dimana dia tidak melakukan hal-hal yang dapat dia persembahkan kepada kita untuk membuat hati kita bangga, kita justru dalam keseharianlah menyatakan secara langsung bahwa kita itu mengasihi dia. Menerima berarti kita juga menyadari bahwa dia adalah manusia yang tidak sempurna seperti kita. Jadi kadang-kadang dia akan melakukan hal-hal yang keliru. Kita tidak boleh mendasarkannya pada prestasi-prestasinya. Jadi menerima adalah bagian-bagian yang penting didalam mengasihi. Misalkan waktu dia salah, maka kita merangkul dia kembali, ini artinya kita menerima anak dan menerima anak adalah porsi yang besar dalam mengasihi anak.
GS : Tetapi menghargai anak ketika dia berprestasi, sebenarnya tujuan kita sebagai orang tua adalah memotivasi anak ini untuk lebih maju lagi di dalam pelajarannya atau di dalam apa yang dia tekuni, Pak Paul.

PG : Kita perlu untuk mendorong anak karena anak itu seperti kita, kita kadang juga perlu dorongan orang untuk bisa memacu kita melakukan sesuatu dengan lebih baik lagi. Tapi kita juga perlu meyeimbangkan itu dengan penerimaan-penerimaan atas dirinya tanpa dikaitkan dengan prestasinya.

Jadi apakah boleh kita mendorong atau memacu anak? Itu boleh-boleh saja dan tidak menjadi masalah, misalkan kita berkata, "Kemampuanmu sepertinya bisa lebih dari ini, kamu masih bisa memerbaiki, dan tingkatkan." Hal-hal seperti itu tidak mengapa namun jangan lupa bahwa kasih itu mengandung unsur menerima dan menerima tidak ditentukan dengan prestasi atau perbuatan si anak. Jadi dalam kesempatan yang lain, dimana tidak ada urusan atau kaitannya dengan prestasi, kita itu menunjukkan kasih sayang kepadanya, kita memeluknya atau kita memberikan sesuatu untuknya dan itu semua kita lakukan tanpa alasan atau tanpa situasi tertentu. Kalau tidak hati-hati kita ini akhirnya membuat anak mengasosiasikan dikasihi orang tua dengan memberikan sesuatu yang diinginkan orang tua terlebih dahulu. Banyak anak akhirnya bertumbuh besar dengan konsep seperti ini, kalau mereka tidak dapat memberikan sesuatu yang diminta oleh orang tua berarti orang tua tidak mengasihi mereka dan hal ini yang kita mau pisahkan dan uraikan supaya anak-anak itu tahu kalau mereka itu dikasihi apa adanya.
GS : Kalau orang tua yang membiarkan, itu tadi seperti apa, Pak Paul?

PG : Membiarkan berarti tidak berbuat apa-apa sewaktu melihat anak melakukan perbuatan yang salah dan ada orang tua yang seperti itu karena sudah terlanjur sayang, "Saya dulu diperlakukan tidakbaik oleh orang tua saya maka sekarang saya tidak mau tegas kepada anak, saya tidak mau mendisiplin anak, kalau dia berbuat salah juga tidak apa-apa".

Atau membiarkan juga bisa berarti melepaskan tanggung-jawab untuk membentuk anak menjadi diri yang baik. Waktu anak melakukan yang salah, kita harus mengoreksinya, kita tidak boleh melepaskan tanggung jawab dan berkata, "Tidak mengapa kita terima saja dan tidak perlu kita mendorong dia menjadi tidak baik lagi," itu tidak benar. Membiarkan berarti mengizinkannya berjalan menuju ke jurang kehancuran tanpa berbuat apa-apa untuk menghentikan langkahnya. Jadi kalau kita tahu bahwa anak kita sedang berjalan dalam penyimpangan menuju kepada kehancuran, sedapatnya kita mencegah langkahnya itu. Apa pun yang harus kita lakukan maka kita akan lakukan karena kita mengasihi. Jadi mengasihi itu tidak membiarkan anak untuk melakukan kesalahan mengambil keputusan yang keliru, yang pada akhirnya akan menghancurkan hidupnya.
GS : Tapi ada sebagian orang tua yang mengatakan, "Anak ini 'kan belum mengerti, nanti kalau dia sudah dewasa pasti mengerti sendiri dan dia tidak akan melakukan itu". Dan itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Jadi kita mendidik anak, pada awalnya lewat pengendalian perilakunya. Jadi luarnya dulu, misalkan kita melarangnya bermain dengan api tanpa bisa menjelaskan kepada si anak bahaya api itu sndiri, kenapa? Misalkan anak kita baru berusia tiga tahun.

Bagaimana kita menjelaskan tentang bahaya api secara lengkap kepada anak usia tiga tahun dengan mengatakan, "Jangan bermain api, tidak boleh" dan mungkin kita hanya bisa berkata, "Panas, nanti membakar telunjukmu," dan kita berhenti sampai di situ, karena kita tidak bisa berkata bahwa "Nanti kalau bermain api, api ini bisa menjalar dan akhirnya bisa membakar satu ruangan, satu rumah dan sebagainya". Kita belum bisa menjelaskan. Jadi itulah cara kita mendidik anak dan mula-mula lewat batasan atau pembatasan perilakunya dulu, lama kelamaan barulah kita menjelaskan alasan-alasan di belakangnya.
GS : Jadi kalau itu yang merupakan hal pertama Pak Paul, membedakan antara menerima dan membiarkan. Mungkin ada hal lain, Pak Paul?

PG : Untuk kita bisa mengasihi anak dengan benar, kita juga harus mengenal bahasa kasih anak kita masing-masing dan ini penting sebab setiap anak itu unik dan tidak setiap anak serupa dengan kia.

Itu sebabnya kita harus memahami bahasa kasih anak, sehingga kita dapat menyampaikan kasih itu secara tepat. Misalnya ada anak yang membutuhkan pengungkapan kasih secara verbal alias lewat perkataan, kepada anak itu sebaiknya kita juga menyiraminya dengan perkataan yang berisikan kasih, "Papa sayang kamu, Mama sayang kamu". Atau ada anak yang membutuhkan sentuhan fisik karena itulah bahasa kasihnya, dan kepada anak-anak ini sering-seringlah kita memeluk, membelainya dan dia mungkin tidak terlalu butuh mendengarkan perkataan-perkataan yang mengandung kasih, tapi dia perlu mendapatkan pelukan-pelukan atau sentuhan-sentuhan. Ada pula anak yang tidak terlalu membutuhkan bahasa kasih verbal maupun fisik, tapi membutuhkan ungkapan kasih lewat pemberian. Dan kepada anak ini secara berkala berilah sesuatu yang tidak harus mahal, sebagai wujud kasih kita kepada dia, kita memberikan makanan, kita tahu kalau dia sedang memikirkan memunyai sepeda dan kemudian kita memberikan sepeda, kita memberikan dia bolpoint dan sebagainya. Dan yang terakhir, ada anak yang berbahasa kasih konkret, alias ingin melihat perbuatan langsung, nah kepada anak ini kita harus peka dan cepat melihat kebutuhannya sehingga kita dapat dengan segera memberinya pertolongan tanpa dia harus meminta-minta, jadi kita harus melihat berilah bantuan yang dia butuhkan. Inilah wujud kasih yang dibutuhkannya. Jadi kalau kita mengerti apa bahasa kasih yang dibutuhkan oleh anak-anak kita, maka nanti kita bisa men-'supply' kasih itu kepadanya dengan cara yang tepat pula.
GS : Seringkali yang kita lakukan sebagai orang tua adalah memberi yang kita punya misalnya kita tahu kalau anak kita membutuhkan ungkapan kasih yang verbal tapi karena kita bukan orang yang bisa mengungkapkan bahasa kasih lewat kata-kata dengan baik maka kita menggunakan lewat pemberian karena itu lebih mudah bagi kita yaitu diberikan sesuatu dan diterima. Apakah hal seperti itu salah, Pak Paul?

PG : Sudah tentu anak perlu dan harus belajar mengerti bahasa kasih orang tuanya tapi pada waktu anak-anak kecil, masalahnya adalah anak-anak belum bisa memahami kita, kitalah yang berada di poisi dapat memahami anak.

Itu sebabnya kitalah yang harus tahu apa yang dirasakan cocok oleh anak itu. Jadi misalnya ada anak yang senang bicara, dan dia adalah anak-anak yang sangat verbal maka dapat dipastikan kalau anak-anak seperti ini membutuhkan perkataan-perkataan, "Jangan seperti itu ya, mama sayang sama kamu, mama nanti akan pulang karena mama rindu sekali kepadamu. Kamu sayang tidak sama Papa, pasti kamu juga sayang pada Papa." Jadi anak-anak yang verbal cenderung ingin mendengar perkataan-perkataan langsung yang mengandung kasih. Atau anak-anak yang lebih bersifat konkret, tidak banyak bicara dan lebih banyak berbuat sesuatu dan anak seperti ini sangat membutuhkan pertolongan langsung dari kita, misalnya kita memberikan dia pertolongan membuatkan sesuatu, mencarikan bahan dan sebagainya. Itulah bahasa kasih yang dapat diterimanya. Jadi kita harus menyadari bahasa kasih anak karena biasanya sudah terlihat sejak mereka kecil dan anak belum berada di posisi memahami bahasa kasih kita. Jadi kitalah yang harus memulainya supaya anak-anak tahu bahwa dia dikasihi.
GS : Apakah hal itu bukan karena kita melatih mereka seperti itu? Maksud saya misalkan kalau anak ini perempuan dan ibunya ini suka berbicara maka anak ini menjadi anak yang membutuhkan sentuhan kasih lewat kata-kata. Tapi kalau anaknya laki-laki lalu jarang diajak bicara, melainkan diberikan sesuatu lalu jadilah anak yang membutuhkan pemberian sebagai ungkapan kasih.

PG : Ternyata memang tidak selalu seperti itu. Ada anak-anak perempuan yang justru tidak begitu nyaman dengan ungkapan-ungkapan langsung. Jadi misalnya orang-orang yang lebih introvert umumnya idak terlalu verbal.

Dan orang-orang yang lebih introvert, bisa jadi lebih suka dengan perbuatan langsung, menolongnya, bisa jadi dengan pemberian-pemberian, bisa juga misalkan dengan sentuhan. Ada juga anak laki-laki yang seperti itu yaitu membutuhkan pengakuan-pengakuan secara verbal, meskipun dia laki-laki tapi dia menikmati mendengarkan perkataan, "Saya sayang kamu, saya rindu pada kamu". Jadi kita harus peka melihat apa yang menjadi bahasa kasih anak kita.
GS : Kalau yang mengenai perbuatan langsung itu yang seperti apa, Pak Paul?

PG : Pada dasarnya perbuatan langsung adalah perbuatan menolongnya, apa yang dia butuhkan dan kita bisa berikan, itulah yang kita lakukan. Jadi benar-benar kasih dalam bentuk konkret, karena itlah yang nanti bisa mengkomunikasikan kepadanya kalau kita sungguh-sungguh memedulikannya.

Intinya makin kita dekat dengan anak maka seyogianya kita makin tepat pula mengasihinya. Jadi kita perlu rendah hati dalam hal ini dan kita tidak boleh berkata, "Pokoknya ini adalah cara saya, saya mengasihinya dengan cara yang seperti ini". Maka kita harus berhati-hati, bersedialah berubah karena sekali lagi yang terpenting bukanlah apakah kita mengasihi anak atau tidak, melainkan apakah anak dapat menerima kasih itu atau tidak. Kita harus memelajari dan coba mengekspresikan kasih sesuai dengan bahasa yang dikenalnya.
GS : Apakah bisa terlihat kalau anak ini menerima kasih yang kita berikan kepadanya atau tidak, Pak Paul. Apakah ada tanda-tandanya?

PG : Jadi awal-awalnya dia akan mencari perhatian, dia haus akan kasih. Dia akan berbuat hal-hal tertentu guna menarik perhatian kita. Misalkan kalau anak itu masih lebih kecil, dia akan cepat enangis, dia akan minta diperhatikan, mau digendong dan sebagainya tapi makin anak besar, kalau dia merasa dia tidak mendapatkan kasih itu dengan cukup, umumnya mulailah muncul perilaku-perilaku yang negatif.

Kalau masih kecil sekali misalkan di bawah umur 6 atau 7 tahun maka dia mungkin akan mencari perhatian, menangis dan sebagainya. Tapi kalau umurnya sudah mulai pra-remaja umur 8, 9, 10, 11 tahun, dia memang mulai melakukan hal-hal yang mengganggu ketentraman. Kalau sudah mulai remaja dan dia tidak mendapatkan kasih sayang, umumnya dia mungkin bisa menjadi pendiam, pemurung, tidak terlalu mau untuk bergaul, tertutup dengan orang atau dia akan mencari-cari kasih itu di luar misalnya dekat dengan orang, kalau sudah dekat dengan orang, dia tidak bisa lepas dan dia benar-benar bergantung pada orang itu untuk menjadi penyedia kasihnya. Atau misalkan sikapnya lebih keras maka dia akan berbuat keonaran di luar, sebetulnya yang dibutuhkan adalah kasih sayang dari orang tuanya.
GS : Apakah ada hal lain yang perlu kita pelajari sebagai orang tua, didalam menyatakan kasih kita kepada anak, Pak Paul?

PG : Kita harus mengungkapkan kasih pada segala waktu, namun terpenting adalah ungkapkanlah kasih pada waktu dia berada di titik terlemahnya. Jadi ungkapkanlah kasih kepadanya tatkala ia sedangmerasa takut, pada waktu dia meragukan kemampuannya, pada waktu dia gagal dan pada waktu dia menyesali kesalahannya.

Jadi itu adalah titik rawan atau lemahnya. Di saat seperti itulah kita perlu mengungkapkan kasih. Pertanyaannya adalah kenapa kita harus menunjukkan kasih kepadanya pada waktu dia berada pada titik terlemahnya. Sebab kasih yang dinyatakan pada titik terlemah, memberinya kepastian bahwa kita sungguh mengasihinya, kadang-kadang anak memang tidak tahu apakah kita sungguh mengasihinya ataukah hanya mengasihi perbuatannya yang menyenangkan hati kita, tapi ketika kita melakukan tatkala anak berada pada titik terlemah, memerlihatkan betapa besar dan murninya kasih kita atau penerimaan kita kepadanya.
GS : Apakah tidak berarti kita mengeksploitasi kelemahan atau kegagalan anak supaya kita dekat dengan dia, Pak Paul?

PG : Saya kira bukan. Jadi yang pertama adalah kita peka dengan kondisinya dan yang kedua adalah justru kita mau memberikan dukungan yang sebesar-besarnya pada titik terlemahnya dan biasanya itlah yang menunjukkan kasih.

Kita sebagai orang dewasa mengerti akan hal itu pula. Kalau misalkan kita sedang mengalami kemalangan, musibah, kejatuhan, kemudian ada teman yang akan mengulurkan tangan, yang peduli, yang menelepon, yang mengajak kita bertemu, itu adalah teman-teman yang sejati yang kita tahu bahwa mereka ini sungguh mengasihi kita, bukan hanya berteman dengan kita karena ada kebutuhannya yang dapat kita penuhi. Jadi anak juga seperti itu, kalau kita hanya memberikan kasih, bangga kepada anak waktu anak berhasil menyenangkan hati kita, pada akhirnya anak pun nanti mengadopsi sikap itu, kepada orang lain pun dia akan bersikap yang sama. Kalau orang menyenangkan hatinya, barulah dia baik. Kalau sedikit orang mengecewakannya kemudian kita langsung tidak mau peduli. Itu sebabnya kita sebagai orang dewasa terkadang juga bertemu dengan orang yang seperti itu, yakni mereka berbuat baik kepada kita, karena ada perlunya dengan kita, tapi begitu kita sedikit mengecewakannya, mereka langsung mencoret kita dari daftar pertemanannya. Jadi benar-benar, sama sekali mereka tidak peduli dengan kita. Mungkin sekali dia adalah korban sewaktu dia kecil, hal itu juga yang diperlakukan orang kepada dia, kalau dia berhasil menyenangkan orang tua maka dia akan mendapatkan perlakuan yang baik, kalau tidak melakukan dan mengecewakan orang tua sedikit, dia diabaikan dan didiamkan. Akhirnya hal itu yang dia teruskan kepada orang lain pula.
GS : Sebenarnya sebagai orang tua kita juga mau turun tangan mendampingi anak yang sedang mengalami kegagalan dan sebagainya, tapi ada juga anak yang justru malah menjauhkan diri, dia mau menyendiri, dia mau menyelesaikan masalahnya sendiri dan baru kalau semuanya sudah selesai pada waktu tertentu, barulah dia berbicara dengan kita tentang masalahnya. Jadi bagaimana kita mendekati orang yang memang menarik dirinya dan tidak mau didekati?

PG : Menunjukkan kasih memang memerlukan hikmat untuk tahu bahwa apakah ini waktu yang tepat atau cara yang tepat untuk menunjukkan kasih sedekat itu. Kadangkala kita juga harus menunjukkan kash dari jauh, tapi kadang juga dari dekat, sehingga pada akhirnya kita perlu hikmat untuk membedakan keduanya.

Adakalanya memang anak-anak itu tidak nyaman, ada anak-anak tertentu yang memang cenderung mandiri, tidak suka bergantung dan tidak terlalu mengutarakan perasaan. Waktu sedang mengalami masalah, susah sekali untuk terbuka dan bercerita kepada orang tua. Kepada anak yang seperti ini, kita juga jangan mendiamkan dan kita tetap mau menunjukkan kepedulian dan kasih kita kepadanya, tapi lakukanlah dari jauh, misalkan dengan meninggalkan sebuah kartu dengan firman Tuhan di situ dan berikan sebuah kata-kata mutiara atau katakan bahwa saya melihat bahwa engkau sedang sedih, jadi saya mendoakan kamu dan kemudian kita bisa menulis catatan, "Kalau kamu butuh bicara, maka saya senang sekali berbicara dengan kamu". Jadi hal-hal seperti itu kita lakukan dari jarak jauh. Tapi kalau kita tahu bahwa anak-anak kita cenderung terbuka dan mau berbicara maka kita langsung tunjukkan dan tanya, kemudian kita langsung peluk dia dan sebagainya. Jadi perlu menunjukkan kasihnya dari jarak jauh atau dari jarak dekat.
GS : Berarti kita harus mengenal sifat dari anak itu sendiri, Pak Paul?

PG : Sebab kalau tidak, untuk anak-anak yang memang tidak suka dengan jarak dekat, mereka akan marah karena mereka merasa seperti diganggu, ditanya-tanya dan tidak memberikan kesempatan bagi saa berdiam diri dulu.

Jadi akhirnya salah terima.
GS : Apakah mungkin anak itu menggunakan kegagalan atau masalahnya, supaya kita mengasihi dia. Jadi semacam menarik perhatian kepada orang tua.

PG : Ada. Jadi ada anak-anak yang manipulatif, terlalu 'self-centred' terlalu berpusat pada dirinya, egois, dia memang akan memanipulasi hal-hal yang terjadi di dalam dirinya misalnya kegagalanya untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tuanya.

Namun pada umumnya, pada masa atau pada waktu anak itu jatuh kedalam kegagalan, dia justru ingin melihat dan menguji apakah orang tua tetap tidak mengasihi dia, apakah orang tua akan memarahinya, tapi apakah orang tua justru akan menerimanya dan ini yang perlu diyakininya. Jadi selalu tanpa diyakini anak itu benar-benar mengerti dan melihat bahwa kasih orang tua itu kepadanya adalah murni.
GS : Pak Paul, apakah ada hal lain yang harus kita perhatikan sebagai orang tua? Pada akhirnya kita tetap harus mengatakannya yaitu bahwa kita mengasihinya, kendati bahasa kasih anak dan juga kita kadang berbeda, tapi anak perlu mendengar dengan jelas bahwa kita mengasihinya dan bahwa dia juga berharga dan bahwa dia juga pemberian Tuhan untuk kita, sebab tidak ada yang dapat menggantikan dampak dari mendengar ucapan bahwa kita dikasihi. Itu sebabnya walaupun kadang tidak mudah bagi sebagian dari kita, tapi teruslah berusaha untuk mengkomunikasikan kasih kepada anak secara verbal. Tidak harus terlalu sering, tidak apa-apa tapi sekali-sekali perlu kita sampaikan itu. Jika tidak bisa secara ucapan langsung maka kita mengungkapkannya lewat tulisan, maka tulislah bahwa saya mengasihi kamu, saya mendoakan kamu. Jadi hal-hal kecil seperti itu lakukanlah sebab anak tetap harus mendengarnya secara langsung atau membacanya secara langsung.
GS : Apakah itu harus dilakukan oleh kedua orang tuanya yaitu dari pihak ayah dan ibu, atau cukup hanya satu saja, Pak Paul?

PG : Saya kira harus dari dua-duanya supaya dia benar-benar tahu bahwa dia itu di mata Mama dan Papanya berharga, dikasihi tanpa syarat.

GS : Bagaimana kalau anak itu lebih dari satu. Bagaimana supaya kita tidak tampak di depan anak kita membeda-bedakan dengan mengasihi yang satu dan membenci yang lain. Dan bagaimana upaya kita, Pak Paul?

PG : Itu sebabnya kita harus mengerti secara merata mengatakan hal-hal itu atau mengungkapkan kasih secara tepat kepada semua anak dan yang penting sekali yaitu untuk tidak memberikan dengan wuud-wujud kasih sewaktu anak berhasil menyenangkan hati kita.

Kalau kita hanya memberikan kasih tatkala anak bisa menyenangkan hati kita, maka yang tidak menyenangkan kita akhirnya tambah merasa terbuang dan takutnya nanti setelah dia remaja, dialah nanti yang akan mengembangkan masalah.
GS : Tapi kalau semua diberikan kasih yang sama, misalnya yang satu merasa tidak ada bedanya antara saudara yang berprestasi dengan yang tidak berprestasi. Kalau timbul anggapan seperti itu, maka apa tanggapan kita?

PG : Sudah tentu, tadi Pak Gunawan sudah munculkan yaitu kita tetap perlu memacu atau mendorong anak. Jadi selain dari memberikan kasih kepada anak-anak, kita juga perlu menyuruh anak untuk lebh giat belajar, lebih keras bekerja dan sebagainya.

Dan itu harus kita lakukan kepada semuanya.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman dalam hal ini, Pak Paul?

PG : Keluaran 34:6,7 berkata, "Tuhan, Tuhan, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengapuni kesalahan, pelanggaran dan dosa; tetapi tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman."

Dari firman Tuhan ini, kita bisa melihat bahwa kasih setia adalah karakter Tuhan yang terutama tetapi dalam kasih-Nya, Ia pun tidak membiarkan kita hidup semaunya. Kita pun harus melakukan hal yang sama kepada anak-anak kita. Kasih setia kita tak berkesudahan kepada anak-anak, tapi kita juga tidak membiarkannya hidup semaunya.
GS : Jadi ada keseimbangan, seperti Tuhan telah melakukan hal itu kepada kita.

PG : Betul.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengasihi Anak dengan Benar". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



60. Mendisiplin Anak dengan Benar


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T297B (File MP3 T297B)


Abstrak:

Kita tahu bahwa sebagai orang tua kita harus mendisiplin anak namun kadang kita tidak tahu dengan pasti bagaimanakah mendisiplin anak dengan benar. Dalam bagian ini diajarkan 10 cara mengenai bagaimana mendisiplin anak secara benar.


Ringkasan:

Kita tahu bahwa sebagai orang tua kita harus mendisiplin anak namun kadang kita tidak tahu dengan pasti bagaimanakan mendisiplin anak dengan benar. Berikut akan dipaparkan beberapa masukan tentang mendisiplin anak.


Transkrip:

"Mendisiplin Anak dengan Benar" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mendisiplin Anak dengan Benar". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Mendisiplin anak, sebenarnya sampai sejauh mana, supaya apa yang dibutuhkan sesuai dengan yang diberikan, Pak Paul?

PG : Kita memang tidak bisa menyamaratakan pendisiplinan untuk semua anak, jadi kita harus mengenal anak dengan baik. Tapi pada intinya adalah kita harus meyakini bahwa disiplin adalah hal yangpenting dalam pembentukan diri si anak itu.

Tidak memberikan disiplin berarti merugikan si anak, tapi kita juga harus menyadari bahwa pemberian disiplin secara tidak tepat, itu juga akan berdampak buruk dan pada akhirnya merugikan si anak. Jadi kita harus belajar hal ini.
GS : Apakah kita bisa tahu, Pak Paul, bagaimana cara mendisiplin anak dengan cara yang sebenar-benarnya?

PG : Biasanya di saat-saat awal kita tidak begitu melihat reaksi si anak karena anak itu terlalu kecil. Dan umumnya kita baru melihat reaksi si anak itu pada usia remaja, kalau dia pada usia reaja sudah mulai memberontak maka dapat dipastikan bahwa ada hal-hal yang kurang tepat sehingga akhirnya dia memberontak kepada kita, atau ada juga anak tidak memberontak, namun dia memutuskan hubungan dengan kita dan tidak mau lagi dekat dengan kita.

Bisa jadi itu adalah akibat dari penerapan disiplin yang kurang tepat kepadanya.
GS : Apakah kita bisa membedakan bahwa anak ini menolak kita atau hanya sekadar kenakalan biasa saja, Pak Paul?

PG : Biasanya Pak Gunawan, kita bisa melihat hal itu dari reaksi-reaksinya. Kalau dia menolak itu berarti sama sekali dia tidak mau dekat dengan kita, tidak bisa diajak bicara, menjauh. Namun klau misalnya dia anak yang suka bicara terbuka tapi kadang-kadang juga bisa memberontak, marah, berarti dia bukannya menolak tapi itu adalah bagian dari pertumbuhannya, dia tidak begitu suka dengan hal-hal yang kita lakukan.

Jadi kita harus melihat apakah reaksinya itu benar-benar reaksi yang menyeluruh, tidak mau ada hubungan dengan kita. Kalau itu yang terjadi maka itu adalah penolakan terhadap diri kita.
GS : Sebenarnya apa dan bagaimana kita harus mendisiplin anak dengan benar, Pak Paul?

PG : Kata mendisiplin berasal dari kata bahasa Inggris, "to disciple" yang artinya adalah memuridkan atau menjadikan seseorang murid. Latar belakang budaya saat itu, waktu seseorang menjadi murd, bukan saja diharapkan dia memelajari ilmu sang guru, tapi juga berpikir dan berperilaku seperti si guru itu.

Jadi kita bisa sedikit banyak menyimpulkan bahwa mendisiplin anak artinya menanamkan nilai moral dan pengetahuan yang benar pada anak. Jadi dia perlu tahu, ini adalah aspek pengetahuan dan itulah tugas kita. Kedua, kita juga harus membuatnya berpikir dan berperilaku seperti kita. Jadi bukan saja pemikiran atau ilmu tapi juga perilakunya. Itulah konsep yang mendasari disiplin di dalam budaya Yahudi dan juga yang tertera di Alkitab.
GS : Padahal apa yang dilihat dari kita itu tidak selalu benar karena kita juga penuh dengan kelemahan dan sebagainya. Dan bagaimana dengan kita, apa salah jika kita tidak mendisiplin anak dengan alasan karena kita sendiri juga penuh dengan kekurangan atau bagaimana, Pak Paul?

PG : Itu sebabnya berdasarkan pemahaman ini sudah tentu diperlukan bukan saja pengetahuan yang benar tetapi juga perilaku yang benar dari diri kita sendiri, karena mustahil kita akan dapat menaamkannya dalam diri anak jika kita sendiri tidak memunyai keduanya.

Jadi singkat kata, syarat pertama untuk mendisiplin anak adalah memiliki pengetahuan yang benar dan juga hidup yang benar. Sebagai orang Kristen, pengetahuan dan nilai moral yang benar berasal dari pengenalan akan Tuhan lewat firman-Nya di Alkitab, sedangkan hidup benar bersumber dari ketaatan kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Jadi inilah dua kunci yang harus ada di dalam diri kita sebelum nantinya kita menjadi guru yang membentuk anak menjadi murid kita.
GS : Mungkin bagi anak, jauh lebih penting melihat hidup yang benar daripada pengetahuan yang benar.

PG : Betul sekali. Jadi anak lebih banyak belajar bukan dari perkataan kita, tapi dari perbuatan kita. Misalkan kita berkata kepada anak, "Jangan marah" tapi kita selalu marah-marah maka sudah entu yang anak akan lihat adalah marah-marahnya kita.

Jadi kita selalu harus mawas diri dengan perbuatan kita.
GS : Hal lain yang perlu kita perhatikan dalam mendisiplin anak apa, Pak Paul?

PG : Mendisiplin tidak berhenti sewaktu anak "tidak melakukan" apa yang kita larang. Jadi misalkan kita berkata kepada anak, "Kamu jangan pulang terlalu malam," dan kemudian anak itu tidak pulag terlalu malam.

Disiplin tidak berhenti sewaktu anak tidak melakukan hal yang kita larang, mendisiplin harus berlanjut sehingga anak "melakukan apa yang kita minta" jadi melakukan yang positif, dan bukan hanya melakukan yang negatif. Misalkan dalam contoh tadi anak bukan hanya mengikuti kita tidak pulang malam, tapi misalkan anak juga memunyai kerelaan untuk menolong kita, tidak dimintai bantuan pun tapi dia akan memberikan bantuan, waktu anak sanggup melakukan hal-hal yang positif yang juga kita harapkan darinya maka disitulah kita bisa berkata, "Kita telah berhasil mendisiplinnya."
GS : Jadi itu seperti mata uang yang memiliki dua sisi yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

PG : Betul. Jadi kalau anak akhirnya hanya bisa menghentikan perilaku yang tidak kita inginkan, berarti dia itu hanya tahu sepotong bahwa dia telah berhasil dibina secara sepotong. Sekali lagi ujuan akhir mendisiplin anak adalah agar dia memunyai pengetahuan dan nilai moral yang benar serta hidup benar.

Jadi tatkala anak berhenti untuk tidak melakukan, itu berarti dia belum benar-benar menghayati dan menerima nilai-nilai yang ditanamkan itu. Bila kita terlalu menitik beratkan pada yang salah dan bukan pada yang benar, maka akhirnya anak pun akan tahu apa yang salah dan bukan pada yang benar. Contoh, misalkan waktu barangnya diambil oleh si adik kemudian dia marah karena dianggap miliknya diambil. Sudah tentu nanti kita harus mengajarkan dia bukan saja jangan marah karena adikmu itu karena belum mengerti, tapi kita juga harus melihat apakah nanti si anak itu dengan sendirinya rela meminjamkan barangnya kepada si adik. Jadi disiplin yang tuntas adalah disiplin yang bukan saja menghentikan perilaku negatif tapi berhasil memunculkan perilaku yang positif pada diri si anak itu.
GS : Tapi sebelum kita berhasil menghentikan perilaku yang negatif, maka sulit bagi kita untuk mengajarkan bahwa dia harus melakukan sesuatu yang positif seperti itu tadi.

PG : Betul. Jadi biasanya pada waktu anak-anak kecil kita memulai dengan yang negatif, kita melarang dia atau membatasi perilakunya namun semakin besar, semakin kita harus menunjukkan yang posiif-positifnya sehingga nanti anak juga tahu apa yang positif yang baik yang harus dilakukannya dan dengan sendirinya dia bisa melakukannya.

Kalau saya boleh intisarikan, tidak cukup bagi kita tidak membenci orang, tapi kita juga harus mengasihi orang. Tuhan meminta kita untuk jangan membenci, tapi Tuhan juga meminta kita untuk mengasihi. Jadi langkahnya bukan saja berhenti di titik netral, "Kita tidak melakukan perilaku membenci" tapi kita harus maju selangkah lagi yaitu justru harus mengasihi. Inilah disiplin yang tuntas yang harus kita tanamkan kepada diri si anak.
GS : Hal yang lain untuk disiplin ini apa, Pak Paul, yang penting untuk kita perhatikan?

PG : Kadang kita menyamakan disiplin dengan hardikan atau hukuman fisik, tapi sebetulnya mendisiplin anak tidak selalu dengan memukul anak atau memarahi anak. Mendisiplin dimulai dengan memberiahukan anak akan apa yang benar atau yang diharapkan darinya, jika anak tidak melakukannya maka kita harus memberinya peringatan bahwa jika ini berulang maka kita terpaksa menghukumnya.

Seringkali yang lalai kita lakukan ialah kadang kita langsung menghukumnya tanpa memberitahukannya terlebih dahulu akan apa yang diharapkannya dan konsekuensi yang harus ditanggungnya bila ia tidak melakukannya. Singkat kata, mendisiplin anak harus lebih berpusat pada mengarahkannya dan bukan pada membatasinya, kendati kadang kita juga harus membatasi perilaku anak.
GS : Pak Paul di dalam hal ini, menghukum, menghardik dan sebagainya itu sebetulnya adalah kita ingin menunjukkan otoritas kita sebagai orang tua supaya anak mengerti bahwa kita ini berotoritas untuk melakukan hal-hal seperti itu. Apakah itu sesuatu yang tidak bisa dibenarkan, Pak Paul?

PG : Dibenarkan. Sudah tentu pada masa anak-anak kecil mereka masih belum bisa diberikan penjelasan-penjelasan sehingga sudah tentu akan ada hardikan, teguran supaya anak itu akhirnya takut denan kita.

Tapi yang saya mau tekankan adalah dengan bertambahnya usia anak maka hardikan atau teguran keras itu sudah tentu harus digantikan nantinya dengan penjelasan-penjelasan. Kalau anak-anak itu hanya takut kepada kita, akhirnya mereka akan membuat sebuah kesimpulan; kalau tidak ada orang tua, berarti saya harus melakukan yang saya ingin lakukan. Itu sebabnya dalam mendisiplin tujuannya bukan saja anak takut pada hardikan atau teguran-teguran kita, tapi pada akhirnya dari dalam dirinya ada keinginan untuk melakukan hal-hal yang benar dan tidak melakukan hal yang salah. Jadi kita tidak mau anak kita akhirnya berlaku benar tatkala kita ada di sampingnya. Kita mau ini menjadi bagian dalam hidupnya sehingga dari dalam dirinya sendiri akan muncul keinginan melakukan hal yang benar meskipun tidak ada kita di situ.
GS : Tapi bagaimana kita bisa tahu kalau anak ini sudah siap; walaupun tidak ada kita dia melakukan hal yang benar. Kadang-kadang sedikit repot bagi kita sebagai orang tua untuk tahu bahwa dia sudah bisa. Jadi kita punya kekhawatiran yang besar, kalau nanti tidak kita mendisiplin dia tidak akan melakukan hal ini secara benar. Kita melakukan hal itu terus menerus.

PG : Sudah tentu akan ada kemungkinan anak itu melakukan yang kita minta ketika kita ada di sini, di luar kita mungkin saja dia tidak melakukannya. Jadi selalu ada kekhawatiran itu, tapi sediki banyak kita memastikan itu tidak akan terjadi kalau di rumah kita sudah menerapkan yang kita bahas sekarang ini yaitu kita tidak hanya memfokuskan pada perilaku negatifnya atau bergantung pada hardikan atau teguran kita.

Bagaimanakah kita ini bisa memunculkan keinginan di dalam dirinya yaitu memunculkan hal-hal yang baik itu dalam dirinya sendiri tanpa kita harus menegur dia. Waktu kita melihatnya di rumah, dia melakukan hal seperti itu maka dapat kita duga di luar rumah pun dia juga akan melakukannya.
GS : Mungkin kita perlu berbesar hati kalau pun suatu saat anak ini jatuh pada kesalahan yang sama ketika kita tidak mendampingi atau mendisiplin dia.

PG : Jadi kita harus mengerti bahwa anak itu tidak akan selalu sanggup untuk melakukan yang kita inginkan, adakalanya dia juga gagal. Waktu itu terjadi adakalanya kita harus berupaya keras meneimanya dan tidak menghakiminya.

GS : Mungkin ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Misalkan kita ini harus menghukum anak, jadi dia berbuat kesalahan setelah kita peringatkan, maka lakukanlah hukuman itu dengan segera setelah pelanggaran terjadi dan jangan menunda. Makinlama waktu penundaan maka makin tidak efektif pendisiplinan sebab hukuman itu tidak lagi terlalu dikaitkan dengan perbuatannya yang semula, selain itu penundaan juga membuatnya hidup dalam ketegangan yang tidak perlu, ketegangan menantikan turunnya hukuman.

Jadi makin cepat, makin segera maka semakin efektif disiplin kita itu kepadanya.
GS : Tapi ada orang yang beralasan kenapa dia tidak segera melakukan hukuman karena emosinya sedang tinggi. Kalau saat itu juga dia melakukan disiplin maka bisa menjadi tidak rasional dan ini merugikan anak juga, Pak Paul.

PG : Itu baik sekali. Jadi kalau kita menyadari bahwa waktu kita marah, kita cenderung lepas kendali maka lebih baik jangan saat itu kita mendisiplin dia karena biasanya kalau dalam emosi tingg, kita tidak bisa mengendalikan diri.

Yang terjadi bukanlah pendisiplinan tapi penghamburan emosi, pelampiasan emosi belaka dan ini harus kita hindari sebab pendisiplinan tidak sama dengan pelampiasan emosi. Lebih baik kita tunda dulu, tenangkan diri dulu baru kita bicara. Maksud saya jangan sampai ditunda dua hari atau tiga hari, tapi dalam hitungan misalkan 1 atau 2 jam, itu masih dalam taraf normal.
GS : Dampaknya kalau terlalu lama apa, Pak Paul?

PG : Emosi anak itu relatif sudah turun kembali dan dia mau memulai hidupnya lagi, memulai aktifitasnya lagi. Waktu dia belum dihukum tapi sudah dijanjikan dihukum, akhirnya dia itu menjadi lumuh dan tidak bisa merencanakan sesuatu karena dibayang-bayangi oleh hukuman yang nanti akan turun atasnya.

Jadi dengan kata lain, makin lama penundaan yang pertama membuat tingkat kecemasannya makin tinggi dan ini yang kita mau hindari serta kita tidak mau anak-anak kita hidup dibayang-bayangi oleh kecemasan yang tidak perlu, jadi dengan segeralah. Dan yang juga penting, yang membuat anak menyadari anak menerima hukuman ini adalah karena perbuatannya yang tadi itu, sehingga dia langsung mengasosiasikannya, kalau lain kali waktu dia akan melakukan sesuatu atau keinginannya untuk berbuat yang tidak benar, akhirnya keinginan itu akan lebih cepat untuk dipadamkan karena dia sadar kalau perbuatan ini yang nantinya membuat orang tuanya marah kepadanya.
GS : Kalau mengenai pendisiplinan dengan cara menghukum secara fisik yaitu memukul dan sebagainya. Bagaimana pelaksanaannya?

PG : Sudah tentu tidak masalah mendisiplin anak secara fisik, tapi jangan menghukum dengan kekerasan yang melampaui batas. Boleh menggunakan tangan atau alat, namun pukullah pantatnya saja dengn tidak berlebihan dan jangan kita menamparnya, menjambaknya, menendangnya, menonjoknya, jangan seperti itu.

Jadi hukumlah anak sesuai dengan kesalahannya dan jangan kita membabi buta dengan memerlakukan semua kesalahan sama. Atau satu anak bersalah tapi kita memukul semuanya, juga jangan seperti itu. Tapi kita harus tepat sasaran, salahnya apa? Siapa yang salah? Itu yang nanti akan kita berikan disiplin dan jangan hanya gara-gara kesalahan satu anak kemudian semuanya kena.
GS : Jadi di dalam menghukum secara fisik, kita perlu hati-hati dan memerhatikan usia anak juga, Pak Paul?

PG : Betul.

GS : Bagaimana kalau kita sedang marah, apalagi waktu memukul dan sebagainya karena emosi kita itu sangat tinggi. Pada saat itu apakah kita tidak boleh mendisiplin anak, Pak Paul?

PG : Sebaiknya jangan karena kemarahan yang terlalu berlebihan, itu akan mengkomunikasikan dua hal. Yang pertama adalah kebencian. Jadi waktu anak melihat orang tua memarahinya dengan emosi yan begitu tinggi, yang dia tangkap bukanlah disiplin lagi tapi kebencian dan yang kedua adalah efeknya kepada anak, anak merasa ngeri sekali dengan kemarahan orang tua.

Tidak bisa tidak perasaan ngeri itu akan berdampak dan anak akan menjauh dari orang tua, tidak berani dekat-dekat lagi karena trauma oleh apa yang dilihatnya.
GS : Semakin anak menjauh, biasanya orang tua juga semakin marah sehingga kalau ada kesalahan sedikit saja, maka kemarahan orang tua bisa meledak-ledak.

PG : Betul. Jadi kadang-kadang orang tua meminta anak ketika akan dimarahi, dia harus duduk di sini, diam di sini dan jangan ke mana-mana, kalau dia semakin jauh maka orang tua biasanya semakinemosi.

Maka orang tua bisa menjelaskan, "Saya itu butuh kamu duduk di sini dan janganlah kemana-mana sebab saya mau tahu kalau kamu sungguh-sungguh mendengarkan saya, jadi jangan kamu pergi ketika saya marah."
GS : Pak Paul, ada orang yang mendisiplin dengan tindakan dan pukulan dan sebagainya tapi ada pula orang tua yang mendisiplin dengan kata-kata, entah keras atau lemah lembut tapi tetap disiplinnya itu dengan kata-kata. Apakah ada hal yang harus diperhatikan didalam mendisiplin anak melalui kata-kata kita?

PG : Kita harus berhati-hati supaya jangan seenaknya memarahi anak lewat perkataan kita, sebab ingatlah bahwa perkataan yang keluar tidak bisa ditarik kembali. Jadi jagalah lidah tatkala memarai anak dan jangan sampai akhirnya kita bocor.

Misalkan kita mengeluarkan kata-kata yang seperti ini, "Dasar kamu ini tidak layak menjadi anak saya, seharusnya kamu itu bukan menjadi anak saya dan kenapa kamu itu menjadi anak saya." Meskipun hanya sekali diucapkan, tapi kata-kata itu biasanya sangat-sangat kuat sekali menancap di hati kita sehingga sayang sekali karena itu menjadi pewarna yang akan memengaruhi relasi kita dengan anak. Kenapa saya bilang sayang, sebab bisa jadi kita hanya mengatakan hal itu sekali dan kita mungkin menyesal dan kita tidak pernah melakukannya lagi. Banyak kebaikan yang kita berikan kepada anak tapi perkataan yang terlalu keras meskipun hanya sekali, cenderung tertanam di dalam diri si anak. Jadi saya mau ingatkan bahwa kita harus berhati-hati dengan perkataan kita tatkala kita sedang marah.
GS : Walaupun diucapkan dengan lemah lembut dalam bentuk sindiran, saya rasa juga akan melukai hati anak, Pak Paul?

PG : Bisa. Kadang-kadang anak juga menangkap bahwa ini adalah kemarahan yang dilontarkan lewat sindiran.

GS : Perlu juga diperhatikan, kapan kita menyampaikan kata-kata itu dan di mana kita mengeluarkan kata-kata itu kepada anak, karena itu juga bisa membuat anak jauh dari kita.

PG : Betul. Jadi kalau kita tidak hati-hati memarahi anak di depan temannya, di depan orang lain di muka umum, itu jauh lebih mempermalukan dan melukai hati si anak. Jadi sebisanya kita perlu mngingat prinsip ini bahwa kita perlu mendisiplin anak tapi jangan menghancurkan anak.

GS : Itu salah satu tujuan yang perlu kita hayati sebagai orang tua dan tujuannya sebenarnya apa di dalam mendisiplin anak itu.

PG : Betul.

GS : Di dalam hal ini, apakah yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Kalau bisa kita mengingat bahwa baik ayah maupun ibu, dua-dua harus mendisiplin anak sehingga akhirnya respek anak pada keduanya baik ibu maupun bapak bertumbuh berimbang. Jika kita mendisplin dengan benar maka anak akan respek kepada kita sebaliknya bila kita tidak mendisiplin dengan benar atau tidak mendisiplin sama sekali maka respek anak kepada kita juga tidak akan bertumbuh.

Jadi itu bagian yang harus kita tekankan pula, Pak Gunawan.
GS : Jadi meskipun kita harus mendisiplin anak, itu tidak mematikan respek anak kepada kita, Pak Paul?

PG : Betul. Kalau kita melakukannya dengan benar maka anak akan terus dan makin respek kepada kita.

GS : Kalau kita tidak mendisiplin, itu malah membuat anak tidak respek kepada kita, seolah-olah kita menjadi orang tua tidak berani mendisiplin dia atau mereka.

PG : Betul.

GS : Pak Paul, bagaimana kalau anak itu sudah mengakui kesalahannya sehingga bisa dikatakan menyesal. Apa yang kita bisa lakukan, Pak Paul?

PG : Kita juga harus bisa menyeimbangkan disiplin dengan pengampunan, kadang kita sengaja tidak memberikan hukuman atau konsekuensi atas perbuatannya sewaktu dia meminta maaf atau menyesali peruatannya.

Memang kita juga tidak bisa membiarkan anak menggunakan itu untuk memanipulasi kita, jadi sedikit-sedikit minta maaf sehingga dia bisa bebas melakukan yang dia ingin lakukan. Kalau kita lihat bahwa dia sengaja memanipulasi maka kita harus tegas dan tetap memberikan kepada dia hukuman. Tapi kalau kita melihat dia jarang melakukan kesalahan tapi dia menyesal dan minta maaf, apalagi kalau dia sudah ketakutan dan sebagainya maka lebih baik jangan kita hukum dan kita bisa mengatakan, "Memang kamu salah, tapi yang terpenting adalah kamu belajar dari kesalahan ini. Papa dan Mama mengampuni kamu." Jadi anak belajar pengampunan dari kita, anak yang tidak mendapatkan pengampunan akhirnya juga susah memberi pengampunan kepada orang lain.
GS : Ada anak yang mengeluh Pak Paul, memang orang tua sudah mengampuni dia atas kesalahannya tapi orang tuanya selalu mengungkit-ungkit atau membicarakannya lagi tentang kesalahan anak ini dan anak ini sangat menyesal, Pak Paul.

PG : Betul. Orang tua harus bijak dan jangan sampai membuat anak merasa, "Kenapa saya harus meminta maaf, karena ternyata tidak ada gunanya malahan dimanfaatkan untuk menyerang dan menjatuhkan aya," jadi dia merasa jera dan tidak akan melakukannya lagi.

GS : Dan mungkin, orang tua juga harus konsisten didalam memberikan pendisiplinan artinya kalau anak salah dalam hal itu maka hal itu yang dihukum karena ada anak yang menjadi bingung, sekali dihukum tapi lain kali tidak maka dia merasa, "Sebenarnya saya ini patut didisiplin atau tidak?".

PG : Betul. Kalau kita mau mengampuni, itu bukan berarti kita tidak konsisten, kita tahu kesalahannya apa, tapi dia memang menyesali dan kita mengampuni. Dan yang tidak konsisten adalah waktu da berbuat apa, sekali kita marahi dan berikutnya kita tahu dia berbuat apa tapi kita hanya mendiamkan saja, dan itu yang tidak boleh.

Tapi kita harus konsisten kalau ini adalah sebuah kesalahan, reaksi kita bisa memberikan konsekuensi atau hukuman, tapi bisa juga kita mengampuni dia.
GS : Yang penting adalah kita memberikan penjelasan kenapa kita menghukum dia dan kenapa kali ini kita tidak menghukum dia, Pak Paul.

PG : Betul.

GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Saya bacakan dari Hosea 6:1 dan 3, "Mari, kita akan berbalik kepada Tuhan, sebab Dialah yang telah menerkam dan yang akan menyembuhkan kita, yang telah memukul dan yang akan membalut kita.Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal Tuhan, Ia pasti muncul seperti fajar, Ia akan datang kepada kita seperti hujan, seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi."

Tuhan Allah adalah Tuhan yang mendisiplin dan bukan hanya mengasihi, bahkan Ia menghukum dengan hukuman yang keras namun tujuannya jelas agar kita bertobat atau berbalik kepada Tuhan. Sewaktu kita bertobat, Ia segera datang kepada kita seperti fajar, seperti hujan untuk menyirami kita dengan kasih dan pengampunan-Nya. Kepada anak kita pun, kita harus bersikap sama, kita mendisiplinnya namun kita pun siap untuk membalutnya bila ia bertobat.

GS : Itu adalah kasih Tuhan yang luar biasa yang perlu kita teladani dalam kehidupan keluarga kita. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mendisiplin Anak dengan Benar". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



61. Mengapa Anak Susah Diatur


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T304A (File MP3 T304A)


Abstrak:

Ada pelbagai penyebab mengapa anak bertumbuh besar susah diatur, salah satunya adalah kurangnya disiplin orang tua. Di bagian ini akan dipaparkan cara mendisiplin anak agar dapat diatur sesuai dengan usia anak—tanpa harus menghancurkan jiwanya.


Ringkasan:

Ada pelbagai penyebab mengapa anak bertumbuh besar susah diatur, salah satunya adalah kurangnya disiplin orang tua. Berikut akan dipaparkan cara mendisiplin anak agar dapat diatur-tanpa harus menghancurkan jiwanya. Untuk itu pertama-tama kita akan melihat kondisi anak pada masa kecil, baru setelah itu kita akan membahas cara pendisiplinan yang sesuai.


Transkrip:

"Mengapa Anak Susah Diatur" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Anak Susah Diatur". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Semua orang tua pasti punya rencana yang baik bagi masa depan anak-anaknya. Dan untuk itu orang tua perlu menata anak ini, tapi kelihatannya sekarang ini anak-anak semakin sulit saja diatur dan memang ada sebagian anak yang taat dan menurut, tapi tidak sedikit pula yang sulit untuk diatur sehingga ini menjadi keluhan bagi banyak orang tua dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Secara umum, saya kira anak-anak di zaman sekarang ini tidak akan menjadi anak-anak yang sepenurut kita dulu, karena anak-anak itu hidup di dalam iklim yang sudah berbeda. Sebagai contoh, ita tidak bisa menyangkal bahwa sekarang sistem pendidikan lebih bisa memberikan kebebasan kepada anak untuk berekspresi, itu sebabnya iklim demokratis sudah mulai ditanamkan sejak anak-anak masa kecil di sekolah dan sebagainya.

Itu sebabnya secara umum, di sekolah anak-anak itu akan lebih berani untuk mengekspresikan dirinya, baik ketidak setujuannya, baik keinginannya kepada kita. Dan sekarang adalah bagaimana kita menyikapinya supaya jangan sampai kita ini langsung memberikan reaksi-reaksi yang ekstrem, yang tidak tepat. Misalkan yang pertama adalah kita memadamkan ekspresi anak sehingga kita tidak mengizinkan anak untuk melakukan banyak hal dan kita terlalu membatasi ruang geraknya. Atau ekstrem yang satunya lagi adalah membiarkan anak akhirnya berkembang bebas seperti apa adanya dan jarang sekali kita memberikan arahan-arahan atau disiplin yang dapat membentuk dirinya.
GS : Jadi sulitnya anak diatur ini, ada andil kesalahan dari orang tua, Pak Paul?

PG : Saya kira semua ini berpulang kepada bagaimanakah kita sebagai orang tua berusaha untuk membentuk anak-anak kita. Coba kita ambil waktu sejenak untuk memahami anak-anak dan kebutuhannya paa usia-usia awal.

Saya kira duduk masalahnya adalah karena kita sebagai orang tua kurang mengerti tahap pertumbuhan anak dan kondisi serta kebutuhannya pada tahap-tahap itu, misalnya pada masa awal yaitu 2 tahun pertama dalam kehidupan anak. Sudah tentu sesuai dengan keterbatasan tubuhnya, anak hanya dapat menerima dari orang tua. Saya akan menggaris bawahi menerima ini, pertama misalkan dia menerima air susu, kemudian dia menerima makanan, disamping menerima perawatan kebersihan dan kesehatannya. Oleh sebab itulah pada usia-usia awal ini anak cenderung bersikap pasif karena itulah kodratnya dan itulah kondisi tubuhnya. Itu sebabnya anak hanya akan menantikan apa yang dibutuhkannya oleh orang tua kepadanya.
GS : Tapi pada saat-saat awal itu Pak Paul sampai usia 2 tahun, ada anak-anak yang menunjukkan kecenderungan menolak misalnya tadi Pak Paul katakan untuk makan, diberi susu, dari mereka ada yang menolak.

PG : Kita bisa melihat bahwa ada anak-anak yang sejak kecil sudah membawa sifat-sifat keras yang tidak mudah tunduk begitu saja, ini bukan salah siapa-siapa tapi ini adalah bawaan karakternya. adi ada anak-anak yang dari lahir membawa kecenderungan untuk menurut, tapi ada anak-anak yang akan membawa kecenderungan untuk tidak begitu mudah menurut sehingga waktu diberikan makanan dan kalau dia tidak begitu suka, maka dia akan menggunakan tangannya untuk menghalau tangan kita dari mulutnya.

Sedangkan anak-anak yang relatif lebih penurut meskipun dia tidak begitu lapar, tapi karena ibunya menyuapinya dan berkata, "Makan ya, anak baik harus makan" dia akan makan meskipun sebetulnya dia tidak terlalu mau makan. Jadi kita harus menerima fakta bahwa memang anak datang ke dalam dunia membawa kepribadian yang berbeda-beda.
GS : Memang di situ dituntut kejelian baik dari pihak ibu atau ayah ini untuk mengenali anaknya sedini mungkin.

PG : Betul. Dan sudah tentu anak harus diperlakukan dengan unik atau khusus sehingga kita tidak memerlakukan semua anak sama rata sebab kepribadian atau karakternya pun juga tidaklah sama.

GS : Ini menjadi kesulitan yang cukup serius bagi orang tua ketika anak ini diberikan kepada baby sitter sehingga ibu tidak cukup punya banyak waktu untuk mengenali anaknya sendiri, Pak Paul?

PG : Betul. Dan yang kita harus pahami adalah karena baby sister atau pengasuh anak tahu bahwa dia bukanlah ibunya dan dia tidak memunyai hak untuk mendisiplin si anak. Maka ada kecenderungan pra perawat ini atau para pengasuh ini hanya mengawasi anak, fungsinya hanyalah mengawasi bahwa anak tidak melakukan hal-hal yang membahayakan jiwanya atau memastikan bahwa anak itu makan yang cukup dan sebagainya.

Namun aspek pendisiplinan itu tertinggal, kita jangan menyalahkan para pengasuh sebab memang dia tidak merasakan kalau itu adalah tanggung jawabnya atau tugasnya. Jadi dia akan membiarkan anak untuk melakukan hal-hal yang diingini si anak, sebab dia merasa kalau ini bukanlah tugas atau wewenangnya untuk memberikan disiplin sehingga dia akan mendiamkan. Pada umumnya hal ini nantinya dapat menimbulkan masalah dalam perilaku si anak.
GS : Setelah si anak meninggalkan usia 2 tahun dan beranjak lebih besar, apa yang terjadi, Pak Paul?

PG : Sekitar menjelang usia 2 tahun anak masuk ke tahap yang selanjutnya yaitu tahap meminta, kalau tahap awal tadi adalah tahap menerima, sekarang mulailah anak masuk ke tahap meminta. Pada taap ini anak sudah mulai bisa berjalan menjelajahi lingkungan di sekitarnya.

Sesuai dengan perkembangan fisiknya, anak pun mulai berinteraksi dengan lingkungan, misalnya dia mulai bermain dengan benda di sekitarnya atau memberi tanggapan kepada kita. Pada tahap ini anak pun mulai menunjukkan keinginan untuk menyentuh, menggenggam atau pun memiliki sesuatu yang dilihatnya. Inilah masa anak mulai meminta dan kalau tidak mendapatkannya, misalkan dia akan merengek dan dengan kata lain dia akan menuntut lewat tangisan, terpenting dia tahu keinginannya dan dia akan berusaha mendapatkan keinginannya itu, tatkala dia tidak mendapatkannya maka dia akan terus berusaha untuk mendapatkannya dengan cara meminta dan meminta orang tua.
GS : Jadi kesulitan orang tua di sini dalam mengatur anaknya adalah menuruti apa yang menjadi kemauan anaknya?

PG : Menuruti atau justru kebalikannya yaitu tidak menuruti sebab kita tahu kalau kita menuruti maka habislah masalah dan anak tidak akan merengek-rengek. Namun kita sebagai orang tua akan menydari bahwa tidak selalu benar untuk kita memberikan kepada anak apa yang dimintanya.

Oleh sebab itu adakalanya anak merasa kalau kita itu merintangi kehendaknya.
GS : Jadi masalah lain tentang anak susah diatur ini apa, Pak Paul?

PG : Waktu kita ini merintangi keinginan si anak yang mau sesuatu, mulailah terjadi ketegangan atau gesekan antara kita dan anak. Misalnya mungkin kita berpendapat, tidak semestinya dia bermainatau menyentuh benda tertentu seperti misalnya korek api dan sebagainya.

Atau kita melihat adanya bahaya yang mengancam sehingga kita harus melindunginya dengan cara menjauhkannya dari sebuah situasi, misalnya dia naik-naik ke atas meja, yang kita tahu kalau dia bisa jatuh dan kita menjauhkannya dari situasi tersebut. Sudah tentu dia tidak suka, dia naik ke atas meja karena dia ingin naik ke atas meja, dia bermain-main dengan korek api karena dia ingin bermain-main dengan korek api itu dan sewaktu kita merintangi niatnya, maka di sini terjadilah konflik atau gesekan sebab pada saat itulah anak-anak pada titik itu akan menunjukkan kemarahan-kemarahannya. Maka waktunya disiplin mulai diterapkan.
GS : Waktu itu anak tidak akan merasakan bahaya yang dihadapi kalau dia belum melakukannya. Yang dia tahu hanyalah keinginannya tidak dipenuhi oleh orang tuanya, sehingga dia marah dan melakukan hal-hal yang bagi orang tua dia menjadi anak yang susah diatur.

PG : Betul sekali. Jadi kita sebagai orang tua harus menimbang-nimbang apakah kita harus membiarkan atau justru merintangi si anak, kalau misalnya kita itu harus memutuskan sering-seringnya memiarkan anak mendapatkan yang diinginkannya itu maka ia pun terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa kesulitan.

Akibatnya adalah dia tidak pernah mengenal makna dan penggunaan kata meminta lagi. Jadi apa yang diinginkannya langsung dia dapatkan, dia tidak lagi harus melewati sebuah proses yang kita sebut meminta. Jadi ini adalah sebuah proses yang sangat penting, karena kalau tidak ada proses meminta ini dan terus berlanjut apa yang diinginkannya terus didapatinya, maka dia akan dengan mudah mengembangkan sikap berhak atas apa yang diinginkannya. Jadi dia tidak melewati lagi proses meminta karena dia sudah menganggap kalau dia berhak untuk memeroleh apa yang diinginkannya itu dan inilah sesuatu yang tidak sehat dalam pertumbuhan jiwa si anak.
GS : Biasanya proses meminta ini dialami oleh si anak sampai berapa lama, Pak Paul? Seperti tadi, kalau proses menerima itu hanya terjadi 2 tahun di awal kehidupannya, dan kalau proses meminta ini berapa lama, Pak Paul?

PG : Saya kira kalau orang tua bisa dengan konsisten membuat disiplin dalam pertumbuhan si anak sehingga anak dipaksa untuk memasuki proses meminta maka seharusnya sekitar dua atau tiga tahun stelah itu.

Anak-anak berusia sekitar 5 atau 6 tahun, anak-anak itu sudah mulai bisa untuk mengekang keinginannya, untuk dapat menerima rintangan dari orang tuanya. Tapi yang perlu adalah pada tahap-tahap awal ini, 2 atau 3 tahun pertama ini, orang tua harus konsisten untuk menerapkan disiplin sehingga adakalanya anak akan mendapatkan yang diinginkannya, tapi adakalanya orang tua akan menerapkan disiplin dan merintangi anak untuk memeroleh apa yang diinginkannya itu.
GS : Kesulitannya adalah orang tua itu sulit untuk menjelaskan kepada anak, kenapa kita sebagai orang tua tidak memenuhi permintaannya, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Sudah tentu kesulitan untuk menjelaskan karena usia anak masih kecil dan anak tidak begitu mengerti apa yang menjadi bahaya bermain dengan korek api, apa yang menjadi bahaya alau naik-naik ke atas meja.

Jadi memang kita akan menuai kemarahan si anak waktu dia dilarang untuk melakukan hal-hal yang diinginkannya. Tapi sekali lagi kalau kita konsisten, pada akhirnya dia akan belajar dan memahami dan menggunakan kata meminta. Dia tahu bahwa dia tidak selalu memunyai hak atas segala yang diinginkannya. Itu sebabnya dia pun dipaksa untuk belajar mengembangkan cara lain untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, karena dia tidak bisa naik ke atas meja, dia mau bermain dengan korek api tapi tidak bisa, maka akhirnya dia harus mengembangkan cara lain untuk mendapatkan apa yang diinginkannya itu. Ada anak-anak yang karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, tapi dia masih terus mau, kalau orang tua tidak berhasil merintangi atau menerapkan disiplin maka dia akan misalnya masuk ke dalam tuntutan, ke tahapan menuntut, menangis, merengek dan mungkin dia membanting-banting dirinya ke lantai, tapi kalau hal ini pun tidak membuahkan hasil maka dia akan meminta. Kalau dia meminta baik-baik lagi dan dia tetap tidak mendapatkannya maka dia pun terpaksa belajar untuk menerima kondisi apa adanya alias melepaskan. Sudah tentu kalau anak itu cenderung penurut, waktu kita merintangi pada tahap dia meminta kemudian berkata tidak, maka dia akan terus masuk ke tahapan yang lebih akhir yaitu setuju tidak menerima apa yang diinginkannya alias melepaskan apa yang menjadi keinginannya, tapi kalau kebetulan anak kita lahir ke dunia dengan kepribadian yang kuat yang tidak mudah tunduk maka dia tidak akan begitu saja menerima rintangan dari kita atau disiplin dari kita dan dia akan menuntut dan menangis, tapi kalau kita tetap konsisten kalau yang tidak boleh maka tidak boleh karena ini berbahaya buat dirinya, akhirnya dia dipaksa untuk melakukan cara yang lebih baik yaitu meminta lagi. Tapi kalau tetap kita berkata tidak, maka terpaksa dia akan menerima untuk melepaskan apa yang diinginkannya itu dan ini adalah sesuatu yang sehat dalam pertumbuhan jiwa si anak.
GS : Pak Paul, pada tahapan meminta ini apakah anak bisa meminta alternatif yang lain dari cara ketika dia meminta, misalnya dia meminta kepada ibunya dan ditolak apakah pada anak yang sekecil ini sudah punya gagasan untuk, "Kalau kepada Mama ditolak maka saya meminta kepada Papa saja" apakah ada yang seperti itu?

PG : Ada. Kalau dia sudah berusia sekitar 3 tahun, dia sudah bisa meminta kepada ayahnya karena dia tahu kalau ibunya akan melarangnya. Atau dia akan mengembangkan cara kreatif yang lain misalna membaik-baiki si ibu, bersikap manis kepada si ayah dan sebagainya sebab dia pernah mendengar pujian dari ibunya, "Anak manis, anak baik dan Papa atau Mama memberikan ini".

Dengan banyaknya pujian seperti itu maka si anak cukup mengerti bahwa kalau dia melakukan hal-hal yang menyenangkan hati orang tuanya, maka dia akan bisa mendapatkan hal yang diinginkannya itu. Maka dia akan berusaha meminta dengan cara-cara yang lain itu dan biasanya kalau dengan cara yang seperti itu tidak berhasil maka dia akan kembali kepada cara-cara yang lebih alamiah, cara yang lebih primitif yaitu dengan menangis, merengek, marah dan sebagainya. Tapi sekali lagi kalau itu tidak sehat baginya, maka kita harus merintangi keinginannya dan anak itu akhirnya harus terpaksa untuk melepaskan apa yang diinginkannya dan ini bukanlah sesuatu yang buruk, justru ini adalah sesuatu yang baik. Sudah tentu kalau untuk setiap hal kita merintanginya sehingga dia harus melepaskan apa yang diinginkannya, itu tidak sehat. Tapi kalau secara berkala bahwa itu adalah hal yang tidak baik dan kita merintanginya, kita belajar untuk melepaskan apa yang diinginkannya. Justru ini menjadi suatu pertumbuhan yang sehat.
GS : Berarti kedua orang tua itu harus seia-sekata di dalam menghadapi anak yang masih di dalam usia 5 tahun ini, Pak Paul?

PG : Tepat sekali. Karena pada usia ini kalau anak mulai melihat ayah dan ibu tidak seia-sekata maka dia nanti akan bisa seperti yang sudah kita singgung yaitu dia akan kreatif, kepada ibu dia idak dapat maka dia akan datang kepada ayah.

Kalau dia dapatkan dari ayah maka lain kali dia akan ke ayah. Atau lagi kalau dia pergi kepada ibu dan ibu tidak memberikan, maka dia tahu sekarang dia memunyai jalan keluar yang lain, yaitu dia akan datang kepada ayahnya. Di titik inilah akhirnya hubungan anak dengan orang tua sudah mulai mengalami gangguan, sebab si anak akan mulai melihat ibu sebagai figur yang jahat, ayah sebagai figur yang baik. Jadi ini tidak sehat kalau terus berlanjut sampai usia-usia remaja.
GS : Tentang proses melepaskan itu bagaimana, Pak Paul?

PG : Jadi si anak itu harus melewati fase-fase terlebih dahulu sebelum sampai pada tahap melepaskan yaitu misalnya yang tadi sudah saya singgung adalah dia akan mulai dari fase menuntut apa yan diinginkan, makanya dia akan mau dan dia akan menuntut orang tua untuk memberikan kepadanya.

Kalau tidak memberikannya maka dia akan masuk ke dalam fase meminta dengan cara-cara yang kreatif dan yang manis, kalau itu pun tidak didapatkannya maka dia harus melepaskan apa yang diinginkannya. Itu hanya terjadi jika orang tua menerapkan disiplin yang tepat, sebaliknya kalau anak-anak tidak mendapatkan disiplin yang tepat, maka anak akan terus berputar-putar pada fase menerima atau menuntut, yang penting dia ingin memunyai anggapan dia harus mendapatkan yang dia inginkan, sebab orang tua selalu menuruti apa yang diinginkannya. Jadi dia nanti akan berkubang di fase menerima seperti anak di bawah usia 2 tahun yang hanya menerima, kalau dia tidak menerima kemudian dia menuntut dan dia tidak pernah maju ke tahapan mau meminta dan akhirnya berusaha untuk melepaskan semuanya itu, maka akhirnya dia terus berhenti di situ, sehingga kita akan teringat mungkin orang-orang yang kita kenal, usia sudah agak dewasa tapi tetap ingin pada fase ini yaitu menerima dan menuntut dan tidak pernah masuk ke dalam fase belajar meminta apalagi belajar untuk melepaskan apa yang diinginkannya.
GS : Tapi ada anak yang mau melepaskannya tapi sifatnya sementara mungkin dalam kondisi dia takut dengan orang tuanya atau ada hal lain, dan suatu saat nanti dia akan meminta itu lagi, menuntut itu lagi, begitu Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi kalau itu adalah hal yang disukainya, dan si anak kebetulan lahir dengan kepribadian yang kuat, dia tahu kalau kali ini gagal maka tidak selama-lamanya dia harus gagal. adi di kesempatan yang lain, dia akan mencoba lagi dan dia akan mengulang lagi proses yang sama itu, mungkin dia akan menuntut lagi, merengek-rengek lagi, kalau tidak dapat maka dia akan meminta-minta dan memakai cara-cara yang lebih kreatif dan manis.

Kalau kita tetap konsisten berkata "tidak" maka barulah dia belajar untuk melepaskannya. Jadi sekali lagi dia perlu konsisten kalau memang itu tidak baik baginya dan dia harus mematuhi hal itu maka kita harus konsisten tidak mengubahnya sebab kalau dua hari yang lalu kita larang dan sekarang kita berkata "boleh", maka si anak akan belajar satu hal yaitu kalau hari ini si anak berkata "tidak" besar kemungkinan dua hari kemudian orang tua akan berkata "ya". Jadi dengan kata lain, sedikit banyak otoritas kita sudah mulai berkurang di depan si anak.
GS : Kadang-kadang memang sulit bagi orang tua itu mencari alasan yang tepat untuk menolak keinginan anak, Pak Paul, biasanya dikatakan, "Saat ini kami tidak punya uang, tidak ada dana untuk membelikan permintaanmu". Lain kali dia minta lagi dan kebetulan kita punya dana dan anak tahu kalau kita punya dana, mereka mengingatkan kita, "Kalau dulu menolak permintaan saya karena tidak ada dana, tapi sekarang ada dana?" jadi kita tidak bisa berdalih lagi untuk menolak itu.

PG : Makanya memang sedapat-dapatnya kita memberikan alasan yang lebih sesuai dengan kenyataan. Jadi jangan kita mudah membuat alasan tidak ada dana dan sebagainya. Kalau memang kita tidak mau emberikannya karena kita anggap kalau ini tidak baik bagi dia, maka kita katakan, "tidak mau" dan kalau ditanya "kenapa?" maka kita jelaskan alasannya, bisa jadi alasan itu susah diterima olehnya tapi tetap lebih baik kita berkata, "memang tidak saya berikan".

GS : Kesulitan orang tua yang lain adalah tentang waktunya, Pak Paul? Banyak orang tua yang tidak cukup banyak waktu untuk begitu dekat dengan anak-anaknya, dan ini bagaimana Pak Paul?

PG : Ini memang sesuatu yang sulit karena anak-anak yang susah diatur kebanyakan karena kita memang kurang konsisten menerapkan disiplin, anak-anak ini memang perlu lebih banyak waktu untuk bis diurus, untuk bisa diberikan disiplin.

Tapi kita ini juga sering kesulitan waktu, karena kita ini kadang-kadang sering bekerja dan jarang di rumah. Jadi ada orang tua yang akhirnya membiarkan. Tapi adakalanya juga orang tua membiarkan anak, "Dia mau melakukan apa saja, silakan" karena memang dari awal dia tidak berdaya kepada si anak, meskipun anak masih kecil tapi ada orang tua yang merasa tidak berdaya. Kalau anak melihat bahwa orang tua tidak berdaya untuk mengekang dirinya atau hasratnya maka dia pun akan semakin berani dan semakin semena-mena, perlahan tapi pasti dia akan mengembangkan lebih banyak "teknik" atau cara untuk memaksakan kehendaknya, misalnya jika sebelumnya menangis, sekarang dia mulai berguling-guling di lantai, kalau ini tidak berhasil misalnya dia akan merusak barang di sekitarnya dan membanting ini dan itu, kalau ini pun tidak membuahkan hasil maka akan ada anak-anak yang menyerang secara fisik kepada orang tuanya, mereka akan menabrak orang tuanya, memukul orang tuanya dan ini cukup mengagetkan dan memang akan ada anak-anak yang berbuat seperti itu. Singkat kata tanpa disiplin, anak makin mengembangkan perilaku manipulatif dan destruktif. Hal ini yang memang harus kita awasi.
GS : Seringkali anak sering melakukan hal itu dan orang tua langsung menuruti karena orang tua merasa malu dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya, misalkan anaknya berguling-guling justru di mall atau di tempat orang banyak "Daripada ramai-ramai, maka lebih baik permintaannya dituruti saja".

PG : Betul sekali itu yang seringkali terjadi dan orang tua merasa, "Daripada ribut-ribut maka lebih baik memberikan apa yang diinginkannya".

GS : Bagaimana kalau terjadi yang sebaliknya yaitu anak itu didisiplin secara tepat?

PG : Dengan disiplin yang tepat maka anak akan belajar membedakan antara apa yang menjadi miliknya dan apa yang bukan menjadi miliknya, apa yang menjadi waktunya dan apa yang bukan waktunya. Degan kata lain, anak belajar memisahkan diri dari sekitarnya.

Tanpa disiplin anak akan beranggapan bahwa ia dan di sekitarnya entah itu barang-barang dan sebagainya adalah satu, maksudnya semua dianggapnya adalah miliknya dan dia berhak berbuat apa pun. Sebaliknya dengan disiplin anak pun belajar untuk mengembangkan daya tahan untuk melepaskan apa yang diinginkannya atau menunggu sampai saat berikutnya. Singkat kata Pak Gunawan, dengan disiplin anak tidak berkembang dengan liar, justru sebaliknya dia akan mengembangkan kesanggupan untuk mengelola energi dan hasratnya.
GS : Jadi kunci bagi orang tua untuk bisa mengatur anak dengan lebih tertib dan sebagainya adalah kedisiplinan itu tadi, Pak Paul?

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Sehubungan dengan hal ini, apa ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Di Amsal 13:18, firman Tuhan mengingatkan, "Kemiskinan dan cemooh menimpa orang yang mengabaikan didikan, tetapi siapa mengindahkan teguran, ia dihormati." Kata didikan, kata teguran dua-uanya merujuk kepada disiplin.

Jadi orang yang mengindahkan disiplin justru akhirnya akan dihormati, orang yang justru mengabaikan disiplin nanti dia akan menjadi korban kemiskinan dan cemooh orang. Jadi anak-anak yang susah diatur berpotensi besar bertumbuh menjadi orang dewasa yang susah diatur dan orang dewasa yang susah diatur akan menerima konsekuensi sosial yang buruk, ia akan menjadi cemoohan orang.
GS : Tapi sebelum kita sebagai orang tua bisa mendisiplin anak dengan teratur, kita juga harus mendisiplin kita dulu, Pak Paul. Karena kita mengharapkan anak-anak kita mudah diatur, tapi kalau kita tidak bisa mengatur diri kita sendiri maka ini akan menimbulkan masalah bagi anak-anak ini bukan hanya di masa kecilnya tapi juga di masa yang akan datang.

PG : Betul sekali, Pak Gunawan.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Anak Susah Diatur". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



62. Disiplin yang Berlebihan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T304B (File MP3 T304B)


Abstrak:

Sebagai orang tua, kita berkewajiban untuk mendisiplin anak. Namun karena keterbatasan pengetahuan, orang tua seringkali mengadopsi cara disiplin yang dilakukan oleh orang tua kita di masa lalu tanpa mencerna apakah disiplin yang diberikan itu terlalu keras atau tidak. Di sini kita akan mencoba melihat apakah kita sudah tepat dalam mendidik anak? Kalau memang disiplin yang kita berikan itu belum tepat atau terlalu keras, maka apa yang harus kita lakukan agar kita bisa mendisiplin dengan tepat?


Ringkasan:

Belum lama ini kita dikejutkan dengan berita tentang seorang anak yang setiap hari diikat oleh ayahnya. Konon menurut ayahnya, si gadis cilik ini kerap pergi ke tong sampah dan mengais makanan. Oleh karena tidak ada yang menjaga, setiap hari ia mengikat anaknya sewaktu ia pergi ke luar rumah. Mengapa kita sampai mendisiplin anak secara berlebihan? Berikut akan dijelaskan mengapa sampai kita dapat mendisiplin anak berlebihan dan cara untuk menanggulanginya.

Cara Menanggulangi

Transkrip:

"Disiplin yang Berlebihan" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi

Lengkap

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Disiplin yang Berlebihan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Seperti obat, kalau diberikan dengan dosis yang tepat maka akan mengobati orang yang sakit tapi kalau diberikan dalam dosis yang berlebihan maka orangnya bisa mati. Disiplin itu rupanya juga seperti itu, kalau kita berikan disiplin terlalu lunak kepada anak, anak menjadi susah untuk diatur tapi kalau berlebihan maka juga menimbulkan dampak yang negatif, misalnya anak itu menjadi anak yang rendah diri atau bahkan cacat fisik dan sebagainya. Sebenarnya bagaimana memberikan disiplin yang pas, Pak Paul?

PG : Memang benar, seperti obat yang Pak Gunawan katakan. Disiplin itu perlu dan bukan sebuah pilihan, boleh ada atau tidak. Tapi memang perlu dan harus diberikan. Namun kita harus memberikanny dengan tepat dan jangan sampai berlebihan.

Baru-baru ini saya membaca di surat kabar tentang seorang bapak yang adalah seorang pengamen dan karena tidak ada yang menjaga anaknya di rumah kalau dia pergi mengamen, anak itu diikat jadi seperti mengikat hewan. Alasan dia mengikat anak ini adalah kalau anak ini tidak diikat biasanya anak ini akan mengais-ngais makanan di tong sampah. Itu adalah salah satu tanda bahwa kita ini tidak selalu mengerti bagaimana mendisiplin anak. Akhirnya adakalanya justru kita berlebihan dalam mendisiplin anak. Dalam kesempatan ini pertama-tama saya akan mencoba menguraikan kenapa kita mendisiplin anak sampai begitu berlebihan dan ternyata ada beberapa alasannya dan setelah itu mari kita mendisiplin anak dengan tepat. Yang pertama, mengapa kita itu mendisiplin anak secara berlebihan, misalkan kita ini belajar disiplin dari orang tua kita dan waktu orang tua mendisiplin kita, kita melihat bagaimana caranya. Adakalanya orang tua kita mendisiplin anak secara berlebihan dengan menggunakan standart yang kita gunakan sekarang dan akhirnya kita berkata, "Itu berlebihan". Saya masih ingat sewaktu kecil, teman saya bercerita kalau dia setiap kali berbuat nakal atau kesalahan, Papanya akan mengikat dia dengan rantai di pohon dan kemudian akan dipukuli dan terus akan diikat di pohon itu sampai berjam-jam dan kemudian dilepaskan. Itu adalah cara-cara mendisiplin yang memang berlebihan. Memang anak ini bertumbuh besar namun dia bertahan di dalam disiplin yang begitu keras dan misalkan dia berkata, "Karena disiplin itu akhirnya saya mengerti menggunakan waktu dengan benar, saya lebih mengerti untuk tidak menyusahkan orang tua atau melakukan pelanggaran". Anak-anak ini cenderung akan berkata bahwa disiplin yang seperti itu memang baik sehingga dia mencontohnya dan sebagainya, "Lihat buktinya, saya tidak apa-apa". Akhirnya dia melestarikan metode pendisiplinan berlebihan itu kepada anak-anaknya.
GS : Kalau melihat anaknya lebih nakal dari dia, pendisiplinannya itu bisa lebih berat daripada apa yang dialami pada waktu anak-anak dulu, jadi porsinya itu ditambahi.

PG : Betul sekali dan memang biasanya ada kecenderungan seperti itu, sebab saya merasa kalau saya dulu seperti ini, diperlakukan seperti ini dan saya tidak apa-apa, kalau anak lebih nakal lagi erarti harus ditambahkan kadarnya atau intensitasnya.

GS : Tujuan orang tua mendisiplin anak adalah agar anaknya menurut, patuh kepadanya tapi kalau sudah seperti itu, itu sudah mencelakai diri mereka sendiri.

PG : Betul. Sebab seperti tadi yang sudah saya ceritakan tentang ada anak yang diikat seperti hewan, saya membayangkan dia akan buang air dan sebagainya di sana. Sedangkan anak ini masih berusi lima tahun, atau seperti orang yang saya kenal tadi yaitu dipukuli di pohon dan diikat, bagaimanakah perasaannya sebetulnya waktu dia harus diikat, dipukuli seperti itu, bagaimana dia bisa melihat kasih sayang ayahnya kepadanya.

Saya kira itu semua akan menimbulkan cedera-cedera dalam jiwa si anak.
GS : Tetapi itu semua terjadi karena ketidak tahuan atau keterbatasan orang tua di dalam menerapkan disiplin, orang tua hanya tahu cara mendisiplin yang seperti itu dan itulah yang dia lakukan, Pak Paul.

PG : Dalam banyak kasus memang seperti itu.

GS : Jadi bagaimana kalau kita tidak menyukai disiplin yang keras itu. Lalu apa sikap kita, Pak Paul?

PG : Masalahnya adalah kalau pun kita tidak menyukai pola pendisiplinan yang keras itu pada akhirnya pola itu terserap ke dalam diri kita. Kalau kasus yang pertama sebetulnya kita tidak suka naun lama-lama kita bertahan jadi akhirnya kita katakan, "Itu baik bagi saya" dan akhirnya itulah yang kita terapkan kepada anak-anak kita.

Tapi dalam kasus yang kedua ini, sebetulnya kita tidak suka dan kita berkata, "tidak mau" namun kalaupun kita berkata "tidak mau untuk menggunakan disiplin ini" masalahnya adalah pola itu sudah terserap. Akhirnya kendati kita berupaya sekeras mungkin untuk tidak menerapkan pola tersebut, sewaktu-waktu kita dapat memunculkannya. Itu sebabnya ada orang tua yang sudah berusaha sekeras mungkin tidak mau mendisiplin anak-anaknya sekeras orang tuanya dulu mendisiplin dia, namun ada waktu ketika dia marah, kemarahannya itu bisa keluar keras sekali dan itu akan mengagetkan anak-anaknya dan berkata, "Papa dan Mama kenapa bisa seperti itu, biasanya tidak seperti itu", karena apa yang telah diserap oleh orang tua itu akhirnya bisa muncul kapan saja ketika dia dalam kondisi yang tidak begitu kuat, tidak begitu sehat untuk mengekang dirinya dengan baik.
GS : Memang ada sebagian orang tua yang awalnya hanya mengucapkan kata-kata sebagai ancaman, Pak Paul. Seperti tadi anak yang mengais di sampah, mungkin orang tuanya sudah mengingatkan, "Kalau kamu terus seperti itu, saya akan mengikat kamu di sini" dan hanya sebatas peringatan saja Pak Paul tapi karena peringatan ini tidak diperhatikan oleh anaknya, akhirnya dia melakukan hal yang betul-betul yaitu anaknya diikat atau yang tadi Pak Paul katakan dirantai di pohon dan dipukuli. Tapi sebelumnya sudah diperingatkan lewat kata-kata, Pak Paul.

PG : Seringkali itu yang terjadi, jadi orang tua itu mengalami rasa lepas kendali, Pak Gunawan, dia sudah menegur, dia sudah memberikan peringatan, diancam tapi tetap anak itu melakukan kesalahn atau pelanggaran.

Jadi dalam ketidaktahuannya, ketidakmampuannya menguasai dirinya akhirnya keluarlah disiplin yang berlebihan itu, kita frustrasi sekali dan kita tahu dalam kondisi frustrasi memang kita lebih sulit untuk menguasai diri. Itu sebabnya yang keluar bukan lagi disiplin tapi amukan amarah karena frustrasi itu harus dikeluarkan. Waktu dikeluarkan atas nama disiplin yang sesungguhnya, sebetulnya yang keluar adalah amukan amarah dan itu sebetulnya yang destruktif dan menghancurkan jiwa si anak.
GS : Kalau dia tidak melakukan hal itu padahal dia sudah berkali-kali membicarakannya maka dia juga akan kehilangan kewibawaannya di hadapan anak dan anaknya akan berpikir, "Orang tua saya ini hanya berani berbicara saja dan tidak akan dilakukan" akhirnya dilakukan juga.

PG : Dan memang ada anak-anak yang sengaja menantang orang tuanya, Pak Gunawan. Jadi bukan saja dia tidak melakukannya tapi dia memang tidak mau melakukannya dan memerlihatkan sikap tidak mau mlakukan di hadapan orang tua.

Jadi akhirnya emosi kita sebagai orang tua terpancing dan akhirnya meledak dan kita melihat anak kita itu kurang ajar dan terus membantah kita dan kita merasa sangat dilecehkan. Ini juga yang membuat terjadinya amuk amarah, bukan lagi pendisiplinan tapi merupakan luapan amukan yang sangat besar karena merasa kalau anak begitu berani menantangnya.
GS : Tapi ada juga kasus di mana orang tua marah secara berlebihan, sebetulnya yang salah bukan anak dan anak ini hanya sebagai korban saja. Apakah hal itu bisa terjadi, Pak Paul?

PG : Kita harus mengakui bahwa kita tidak selalu tepat sasaran dalam meluapkan kemarahan kita, misalnya di dalam pekerjaan adakalanya kita marah ketika kita tidak mendapatkan penghargaan, kita iperlakukan buruk dan sebagainya, atau kita terlibat dalam konflik dengan pasangan kita.

Jadi semua kemarahan itu berputar-putar di dalam jantung kita, ketika kemarahan ingin keluar, hal itu bertepatan dengan anak melakukan pelanggaran. Kalau kita tidak hati-hati maka kita akan mudah sekali melampiaskan kemarahan itu kepada anak. Dan anak adalah korban yang empuk, karena anak belum bisa berbuat apa-apa untuk melindungi dirinya atau melawan kita dan sebagainya. Jadi sebagai anak, mereka masih bergantung kepada kita dan terpaksa mereka akan diam dan menerima semua itu, padahal kemarahan kita merupakan sebuah kemarahan terhadap mungkin sekali orang-orang di luar atau terhadap hidup ini dan sebagainya. Jadi hal ini yang harus kita jaga, sebab mudah sekali bagi kita melampiaskannya kepada anak karena sekali lagi anak itu belum bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menerima kemarahan kita.
GS : Jadi sebelum kita melampiaskan kemarahan kepada anak, sebenarnya kita harus berpikir dengan tenang terlebih dahulu Pak Paul, tapi kalau kita sudah menjadi tenang seringkali kita tidak jadi marah.

PG : Ada orang yang justru merasa rugi kalau dia tidak jadi marah, tapi sebetulnya kalau kemarahannya sudah reda, dia bisa memikirkan cara yang lebih tepat untuk bisa mendisiplinkan anak itu kaena memang harus kita akui, salah satu penyebab umum kenapa ada orang tua yang menggunakan disiplin dengan begitu keras ialah karena ketidaktahuannya akan cara-cara lain yang lebih efektif.

Jadi yang dia tahu hanyalah satu, yaitu memukul dan variasinya adalah memukul tidak terlalu keras, memukul sedikit lebih keras, memukul keras, memukul sangat keras. Jadi hanya pada daerah memukul saja dan dia tidak tahu cara-cara yang lain, misalnya cara bagaimana harus dengan suara tegas memberikan teguran kepada anak, cara untuk mencegah sebelum anak melakukan perbuatan yang melanggar itu atau cara untuk mengambil sesuatu yang disukainya, supaya dia tidak bisa melakukan apa yang dia ingin lakukan. Jadi ada beberapa cara-cara lain yang bisa digunakan. Dan memang ada orang yang tidak mengerti cara-cara lain dan hanya tahu memukul dan divariasikan kadarnya saja.
GS : Jadi bagaimana orang tua itu bisa tahu bagaimana disiplin yang diterapkan kepada anaknya itu terlalu keras, Pak Paul?

PG : Seringkali anak akan memunculkan sikap marah yang lebih keras kepada kita, dan waktu kita melihat anak melampiaskan kemarahannya dengan begitu keras maka dapat kita duga bahwa inilah hasilya, benih yang telah kita tanam mulai bertumbuh dalam dirinya, benih apa? Benih kemarahan, benih kekerasan, itu semua mulai bertumbuh makanya dia pun kalau marah seperti itu.

Jadi kalau dia marah, dia akan menendang, memukul benda atau barang, dia membanting barang itu, atau dia akan berteriak sekeras-kerasnya. Bisa jadi itu adalah benih-benih yang telah kita tanamkan dalam dirinya. Atau kita telah berlaku berlebihan sehingga anak bereaksi dengan tindakan yang kebalikannya dari yang tadi yaitu justru anak menjadi sangat ketakutan, mudah tegang. Kalau kita melihat anak itu sangat ketakutan kepada kita, kita tahu kalau kita telah melewati batas kewajaran pula.
GS : Atau kalau kita menimbulkan luka pada tubuh anak itu atau anak itu sakit akibat kemarahan kita, itu juga pendisiplinan yang berlebihan, Pak Paul?

PG : Betul. Atau misalnya ada bekas-bekasnya akibat pukulan kita kepadanya, itu adalah pertanda kalau kita telah bertindak terlalu jauh. Satu lagi yang ingin saya angkat dan kadang-kadang susahdiakui oleh orang tua adalah kenapa kita mendisiplin anak secara berlebihan karena sudah ada rasa tidak suka kepada anak itu.

Kita ini manusia dan kita ini tidak selalu memunyai perasaan yang persis sama kepada setiap anak kita. Ada anak-anak yang memang bisa menyenangkan hati kita dan ada anak yang susah untuk menyenangkan hati kita maka kalau kita marah pun berbeda. Reaksi kita kepada anak yang sering menyenangkan hati kita, kemarahan kita itu jauh lebih singkat dan kadarnya pun lebih rendah tapi kepada anak yang susah untuk menyenangkan hati kita maka kadarnya lebih berat dan kasar. Kita harus lebih berhati-hati dengan rasa suka atau tidak suka kepada anak sebab kepada anak yang kita sudah simpan rasa tidak suka maka kecenderungan kita adalah menggunakan pendisiplinan yang berlebihan.
GS : Pendisiplinan yang berlebihan ini bukan hanya secara pukulan fisik, tapi kadang-kadang lewat kata-kata yang sangat keras, yang sangat sulit diterima oleh anak, itu pun merupakan disiplin yang berlebihan, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi tidak selalu menggunakan pukulan fisik, tapi kadang-kadang kita juga bisa menghancurkan anak lewat perkataan kita yang sangat menghina dan menusuk hati anak.

GS : Hal ini yang lebih sulit dilihat karena ini adalah luka batin yang dialami oleh anak, dan orang tua tidak melihat kemudian mengatakan, "Tidak apa-apa dan anak saya juga tidak ada apa-apa," namun sesungguhnya ada luka yang dalam di dalam diri anak yang orang tua tidak bisa melihat.

PG : Dan kadangkala saya harus mengakui bahwa mungkin saya pun juga melakukan hal yang sama tanpa disengaja. Jadi tanpa disengaja kita sebagai orang tua tidak menyadari dampaknya sehingga kita engatakan hal-hal tertentu.

Kadang hal ini juga yang sering saya dengar dari orang yang berkeluh kesah dengan saya. Waktu mereka masih kecil dan sebagainya, orang tua mengatakan hal-hal yang sangat menyakiti hati mereka. Namun masalahnya adalah bagi si orang tua, itu adalah ucapan-ucapan bergurau tapi ternyata bergurau yang sangat menyakiti hati si anak. Misalnya perkataan seperti, "Kamu ini tolol seperti kakakmu, kamu ini terlalu gemuk tidak seperti adikmu," kata-kata yang seperti itu mungkin bagi orang tua tidak ada apa-apa, tidak ada maksud jelek dan sebagainya tapi perkataan itu adalah perkataan yang sangat menyakiti hati si anak dan membuat dia merasa kalau dia tidak seberharga orang lain di dalam diri orang tuanya.
GS : Pak Paul, sebenarnya ini semua bisa diatasi kalau memang orang tuanya itu mau mendisiplin anaknya dengan benar, hanya bagaimanakah caranya untuk menanggulangi hal ini?

PG : Ada beberapa dan yang pertama kita harus menyadari sumber terjadinya disiplin yang berlebihan dan memulai membereskannya dari situ. Jadi di sini diperlukan kerendahan hati untuk mengakui bhwa pola pendisiplinan yang selama ini dilakukan ternyata keliru dan ini pola pertama yang paling sulit, Pak Gunawan.

Sebab kita sebagai orang tua seringkali berdalih, "Kenapa disalahkan, maksud saya baik. Kalau anak ini nanti tidak didisiplin bagaimana nanti jadinya, saya harus seperti ini karena dia seperti ini". Jadi saya mengerti sebagai orang tua melihat bahwa saya ini kelebihan, melewati batas, "Saya menyakiti anak saya seperti itu". Kita harus menyadari kalau kita salah dan saya telah berbuat yang berlebihan dan kita harus melihat apa yang menjadi sumbernya apakah karena kita tidak mengerti cara yang lain yang lebih efektif, atau karena kita menggunakan anak sebagai target kemarahan kita, pelampiasan kita karena kita frustrasi dengan orang lain, atau mungkin karena memang kita tidak ada rasa suka dengan anak ini atau anak ini memang sukar sekali diatur dan sering berbantahan dengan kita, sehingga kita mudah sekali terpancing dengan reaksinya yang kurang ajar itu. Jadi kita harus mengindentifikasi apa itu sumbernya, sehingga akhirnya kita menggunakan disiplin yang berlebihan dan kita harus akui kalau disiplin itu berlebihan, mungkin disiplinnya tepat yaitu mau merintangi dan membentuk anak dengan disiplin dan itu baik tapi caranya memang bisa jadi berlebihan.
GS : Biasanya yang tahu kalau kita mendisiplin anak dengan berlebihan itu justru orang lain. Pada saat kita mendisiplin anak, kita sendiri tidak menyadari hal itu. Masalahnya adalah orang lain itu enggan untuk menegur kita, bahkan mungkin pasangan kita juga enggan untuk menegur kita bahwa kita itu sudah melakukan pendisiplinan yang berlebihan, karena nanti dipikir mencampuri apalagi kalau kita ini orang luar Pak Paul, mencampuri urusan di dalam keluarga itu sendiri, dan ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang sekali lagi pasangan kita itu sudah sangat tergores hatinya dengan cara kita mendisiplin anak kita dan pasangan tidak berani berbicara kepada kita. Kalau sampai itu yang terjadi mak kita harus mengintrospeksi diri kenapa sampai pasangan kita itu takut untuk menyampaikan teguran itu kepada kita.

Jadi saya kira terefektif adalah melihat reaksi si anak itu, kalau reaksi anak begitu ketakutan, terkejut, tegang waktu kita marah, bagi saya itu adalah cermin, cermin untuk kita berkata, "Ya saya telah berlebihan, maka saya harus berubah" maka saya kira ukuran atau pertanda yang harus kita gunakan selalu adalah tanggapan si anak sewaktu kita mendisiplinnya. Kalau kita melihat reaksi-reaksi seperti itu berarti kita harus sadar kalau kita telah berlebihan.
GS : Jadi kita harus sadar untuk bisa mengendalikan diri kita terlebih dahulu, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, Pak Gunawan dan kita sendiri kalau mau mendisiplin anak dengan tepat, harus dapat mengendalikan diri sendiri. Jadi belajarlah untuk menguasai kemarahan dan janganlah mengkambnghitamkan anak sebagai penyebab kita marah.

Kita memang bisa marah karena pelanggaran anak, tapi kalau kita marah sedemikian besarnya, itu tanggung jawab kita sebab kitalah yang tidak dapat menguasai kemarahan kita.
GS : Sebenarnya itu berpusat pada pikiran kita, Pak Paul. Kalau kita berpikir tenang maka kita bisa menguasai perasaan kita, tapi kalau kita emosi kita sedang labil maka kita bisa marah secara berlebihan seperti itu.

PG : Betul sekali. Jadi memang waktu kita itu diamuk kemarahan karena kita melihat sesuatu yang anak kita perbuat, sedapatnya sebelum berkata atau berbuat apa-apa berdiam dirilah sejenak dan piirkanlah tindakan yang tepat untuk mendisiplinnya dan sedapatnya untuk jangan langsung bereaksi.

Ini adalah tindakan yang bijaksana untuk kita memberikan jedah antara munculnya emosi dan munculnya tindakan dan jangan sampai terlalu dekat munculnya emosi dan munculnya tindakan, sedapatnya renggangkan, beri waktu sehingga kita berkesempatan meredakan emosi dan memikirkan dengan jernih tindakan apa yang baik yang dapat kita berikan kepadanya. Kalau perlu diskusikan dulu dengan pasangan sebelum kita memutuskan untuk bertindak. Seringkali waktu kita mendiskusikannya dengan pasangan, maka nanti pasangan akan bisa memberikan kepada kita masukan-masukan yang memang baik untuk kita dengarkan supaya akhirnya pertimbangan itu sedikit banyak bisa meredam emosi kita kepada anak yang memang membuat kita marah itu.
GS : Memang ada orang yang tua yang baru sadar setelah dia marah dan dia cepat-cepat datang kepada anaknya untuk meminta maaf, tapi itu pun tidak berlangsung lama artinya lain kali dia akan mengulang perbuatan yang sama sehingga di hadapan anaknya permintaan maaf itu tidak ada artinya, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi benar-benar kalau kita memunyai masalah dalam hal ini, maka kita harus sering-sering berlutut dan berdoa, meminta kekuatan Tuhan, mengakui bahwa ini adalah kelemahan kit di hadapan Tuhan, supaya kita bisa lebih baik menguasainya dan janganlah justru kita ini menolak dan menjauh dari tanggung jawab kita dan malahan menyalahkan anak sebagai penyebab dan sebagainya.

Justru kita harus kembalikan ini ke dalam diri kita dan memohon Tuhan memberi kita kekuatan dan mengendalikan diri kita.
GS : Dalam kasus yang tadi Pak Paul angkat, ada seorang pengamen dan anaknya nakal kemudian dirantai dan diikat. Dalam kondisi yang seperti itu memang agak sulit bagi pengamen ini, kalau anaknya tidak diikat maka anaknya akan kembali mengais-ngais sampah, tapi kalau diikat dikatakan dia mendisiplin terlalu ketat padahal dia perlu kerja dengan mengamen. Bagaimana ini, Pak Paul?

PG : Jadi waktu kita mendisiplin seorang anak, maka kita harus memertimbangkan setidak-tidaknya 3 hal yaitu kita harus melihat usia dari si anak itu sendiri, karakter si anak dan kesalahan anak Misalnya dalam kita mendisiplin anak, kita harus selalu melihat usia si anak apakah memang sepantasnya anak seusia itu atau semuda itu menerima disiplin seberat itu.

Jadi kita harus selalu memertimbangkan hal ini. Tidak bisa kita menyamakan anak yang berusia tiga tahun dengan anak usia tiga belas tahun. Jadi ini adalah hal pertama yang harus kita lihat. Kedua, kita memang harus pertimbangkan karakter anak, jangan menyamakan semua anak, ada anak yang berkarakter keras dan cenderung membangkang dan anak ini memerlukan ketegasan. Atau memang ada anak yang memang susah sekali diberitahukan dan kita harus tegas. Tapi anak-anak yang berkarakter lembut dan penurut sudah tentu kita tidak perlu menggunakan ketegasan yang sekeras itu. Jadi selalu lihat karakter anak. Dan yang terakhir, selalu kenakan disiplin yang sesuai dengan kesalahan. Jangan menghukum anak yang berlebihan untuk kesalahan yang sepele dan kita harus mencari tahu duduk masalahnya. Contohnya dalam kasus yang tadi telah kita angkat, si bapak ini atau pengamen ini saya duga kemungkinan besar kenapa anaknya itu sampai mencari makanan di tong sampah, karena anak itu kelaparan, kenapa bisa kelaparan? Karena si bapak hanya bekerja sebagai pengamen dan mungkin sekali tidak bisa memberikan makanan yang cukup kepada si anak, sehingga anak itu kelaparan dan mencari makanan di tong sampah. Kalau anak itu sendiri cukup makan dan perutnya kenyang maka besar kemungkinan dia tidak akan mencari makanan di tong sampah, jadi harus dicari penyebabnya. Misalkan anak itu perlu untuk diawasi maka mungkin dia harus meminta pertolongan dari seseorang atau menitipkan anak itu di tempat siapa sehingga bisa diawasi ketika dia pergi untuk mencari uang.
GS : Jadi memang di dalam hal mendisiplin anak itu, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi seseorang itu sangat berpengaruh, Pak Paul?

PG : Benar, memang ada orang-orang yang dalam tingkat sosial ekonomi yang kurang, seringkali kurang memahami cara-cara lain yang lebih efektif untuk mendisiplin anak sehingga menggunakan cara-cra yang relatif lebih sederhana seperti itu.

GS : Apakah ada ayat-ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Amsal 14:17 mengingatkan, "Siapa lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang yang bijaksana, bersabar". Kita ini tidak mau menjadi orang tua yang bodoh tapi kita menjadi orang tua yang bjaksana.

Maka langkah yang penting untuk menjadi orang tua yang bijaksana adalah belajarlah bersabar dan jangan sampai kita kehilangan kesabaran terus menerus dan akhirnya menggunakan disiplin yang berlebihan yang justru akan menghancurkan anak.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Disiplin yang Berlebihan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



63. Keagungan Sang Pencipta


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T319A (File MP3 T319A)


Abstrak:

Kadang hidup menjadi begitu rutin sehingga kita kehilangan perspektif akan tujuan keberadaan kita di bumi ini. Melalui

Mazmur 8 kita diingatkan akan tujuan keberadaan kita di bumi ini, antara lain: Pusat kehidupan adalah Tuhan, Tuhan adalah Pencipta alam semesta dan kita hanyalah ciptaan-Nya. Menyadari karya ciptaan-Nya yang tak terbatas, hal itu menunjuk pada keagungan-Nya.

Ringkasan:

Kadang hidup menjadi begitu rutin sehingga kita kehilangan perspektif akan tujuan keberadaan kita di bumi ini. Mazmur 8 adalah satu mazmur yang mengingatkan kita akan tujuan keberadaan kita di bumi ini. Ada beberapa hal yang dapat kita petik dari Mazmur Daud ini.

Inilah karya Tuhan! Dan, karya Tuhan menunjuk kepada keagungan-Nya! Oleh karena Ia adalah Pencipta yang agung sudah sepatutnyalah kita, bukan saja mengakui keagungan-Nya, tetapi juga selalu menyembah-Nya. Sudah tentu Tuhan akan senang mendengar pengakuan dan pujian kita namun yang membuatnya terlebih senang adalah bila kita menyembah-Nya dan memuliakan-Nya lewat kehidupan kita sendiri.

Mazmur 50:7-15 menyatakan dengan jelas bahwa yang diinginkan Tuhan adalah hidup benar dan dekat dengan-Nya. Sewaktu kita hidup benar dan dekat dengan Tuhan, Ia pun akan memberkati dan memberi pertolongan-Nya kepada kita. Dari sinilah keluar syukur kepada-Nya dan melalui semua inilah kita memuliakan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Keagungan Sang Pencipta". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, kadang-kadang karena kesibukan sehari-hari dan rutinitas yang tidak ada habis-habisnya, kita juga sampai lupa bahwa alam semesta itu tidak terjadi begitu saja. Namun ada banyak macam teori tentang terjadinya alam semesta, bagaimana supaya kita bisa menghayati keagungan Tuhan itu lewat ciptaan-Nya?

PG : Saya ingin membacakan dari Mazmur 8, Mazmur yang memang memberikan kepada kita perspektif tentang kehidupan dan terutama tentang penciptaan itu sendiri. Firman Tuhan berkata, "Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam. Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!" Pak Gunawan, Mazmur ini adalah Mazmur yang mengingatkan kita akan tujuan keberadaan kita di bumi ini, kadang-kadang kita hidup rutin sehingga kita kehilangan perspektif akan tujuan keberadaan kita, dari Mazmur 8 ini kembali kita diingatkan akan makna kehidupan itu sendiri yaitu semua nanti harus diteropong dari kacamata Tuhan sebagai Pencipta kita.

GS : Mungkin kita juga tidak bisa menggubah Mazmur seperti Daud yang ahli di bidang itu namun mengapa ada juga orang yang bisa melihat keagungan Tuhan lewat ciptaan-Nya seperti Daud, dan ada orang yang mengabaikan begitu saja serta menganggap sebagai sesuatu yang memang sudah ada dari dulu sampai sekarang akan sama seperti itu, kenapa Pak Paul?

PG : Terhadap orang yang memang tidak bisa melihat atau tidak mau melihat apa yang ada di balik dari apa yang dilihatnya, misalkan ada orang yang melihat gunung dan hanya berkata, "Itu gunung", atau yang melihat pohon dan hanya berkata, "Itu pohon" ada yang melihat manusia yang begitu kompleks dan hanya berkata, "Itu manusia" dan sampai di situ saja. Tapi ada orang yang akan bertanya, "Siapakah yang menempatkan gunung, siapakah yang menciptakan hewan, tanaman atau pohon, siapakah yang menciptakan manusia, mengapakah manusia yang begitu kompleks bisa ada di dunia ini" kalau misalkan kita berkata, "Itu dari orang tuanya" kalau begitu, "Dari manakah orang tuanya?" dijawab, "Ya dari orang tuanya lagi dan seterusnya". Ada orang yang tidak mau berpikir jauh dan hanya puas dengan apa yang dilihatnya, kita memang seyogianyalah melihat lebih jauh dari apa yang kita lihat lewat mata kita dan menanyakan dari manakah semua ini, sebab ini yang nanti akan menentukan bagaimanakah semua ini ada yaitu kalau kita percaya pada firman Tuhan, kita yakini bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta beserta isinya.

GS : Jadi sekalipun Mazmur adalah sebuah puji-pujian tapi tetap di dalamnya kita bisa memelajari sesuatu tentang Tuhan. Hal-hal apa yang bisa kita pelajari dari Mazmur 8 ini, Pak Paul?

PG : Ada sekurang-kurangnya tiga hal yang bisa kita pelajari, yang pertama adalah Mazmur 8 ini mengingatkan bahwa pusat kehidupan adalah Tuhan, bukan manusia. Adakalanya kita sebagai manusia tatkala tengah jaya, kita lupa akan kenyataan bahwa kehidupan adalah ciptaan Tuhan dan berada di bawah penguasaan-Nya, oleh karena keberhasilan yang kita capai kemudian kita menganggap bahwa kita hebat. Kita harus senantiasa mengingat bahwa kita hanya ada di bumi ini untuk sementara, seberapa pun cerahnya bintang kejayaan kita sekarang suatu hari kelak cahaya itu pasti meredup dan akhirnya padam. Seberapa kuatnya diri kita sekarang, suatu waktu kita akan melemah dan membutuhkan bantuan orang.

GS : Yang Pak Paul maksud bahwa sebagai pusat kehidupan kita adalah Tuhan, secara praktisnya bagaimana, Pak Paul?

PG : Yang pertama hidup itu sebetulnya tidak berpusat pada diri kita artinya semua harus terjadi sesuai dengan keinginan yang kita inginkan atau kita butuhkan, tapi hidup itu berpusat pada Tuhan sendiri. Jadi hidup akan bergerak sesuai dengan keinginan atau rencana Tuhan dan semua yang terjadi hanyalah akan menggenapi keinginan dan rencana Tuhan. Kadang kita melihat diri kita seolah-olah sama besarnya dengan Tuhan sehingga kita beranggapan kehendak dan rencana kita harus terjadi dan rencana atau kehendak Tuhan tidak harus terjadi malah berada di bawah kehendak kita. Ini suatu pemikiran yang salah, kita selalu harus berkata, "Karena Tuhanlah pusat kehidupan maka kehendak dan rencana-Nyalah yang akan terjadi". Jadi hidup berarti tunduk kepada keinginan dan rencana Tuhan.

GS : Kalau begitu bukan pada saat kita jaya saja kita bisa menjadikan diri kita sebagai pusat kehidupan, tapi juga ketika kita misalnya menderita, mengalami kerugian, sementara kita meminta orang lain memerhatikan kita tanpa memerhatikan yang lain. Apakah itu juga menjadikan diri kita sebagai pusat?

PG : Kita sudah tentu membutuhkan bantuan dan perhatian orang, ini yang saya kira kebutuhan kita manusia, tapi sekali lagi kita tidak boleh menuntut Tuhan supaya Tuhan yang melakukan apa yang kita inginkan, justru kita harus tunduk kepada kehendak-Nya. Jadi apapun yang kita alami, kita harus berkata bahwa "Tuhan saya terima dan Tuhan biarlah kehendak-Mu yang jadi dan bukan kehendak saya". Jadi sekali lagi sebuah pengakuan bahwa Tuhanlah yang menjadi pusat kehidupan, suatu pengakuan yang mengharuskan kita untuk hidup tunduk kepada kehendak-Nya.

GS : Berarti itu membutuhkan sikap kerendahan hati dari kita, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi dengan kata lain, tidak ada tempat bagi kesombongan di dalam hidup dengan Tuhan. Kita tidak bisa sombong sebab kita ini meskipun sekarang kuat suatu hari kita akan lemah, dan sekarang ini kita yang mandiri tidak bergantung kepada orang suatu hari kelak kita akan bergantung kepada orang, kekuatan kita sangatlah sementara dan tidak ada yang kuat selama-lamanya. Itu sebabnya kita harus hidup di dalam kesadaran seperti ini bahwa kita memang kecil dan kita lemah dan kita sementara, jadi selalu bergantunglah kepada Tuhan dan mintalah agar kehendak-Nya yang terjadi dan bukan kehendak kita.

GS : Selain diri kita, kita juga bisa menempatkan suatu berhala sebagai pusat dari kehidupan kita, bukan Allah yang kita sembah di dalam Tuhan Yesus Kristus tapi ada suatu kuasa lain yang kita tempatkan sebagai pusat kehidupan kita, Pak Paul.

PG : Bisa. Misalkan di dalam firman Tuhan, Tuhan memang dengan jelas menyebut misalnya uang atau materi sebagai mammon atau ilah atau sebagai dewa yang bisa merebut perhatian dan penyembahan kita sehingga tidak lagi kita mengutamakan Tuhan karena kita akan mengutamakan harta, materi atau pun uang.

GS : Atau kuasa-kuasa kegelapan yang lain, Pak Paul?

PG : Atau misalkan kita justru menjauh dari kuasa Tuhan yang terang dan kudus dan kita masuk ke dalam kuasa iblis yang jahat dan kita merendahkan diri kita membiarkan hidup kita dibelenggu olehnya, supaya kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sudah tentu itu juga adalah sebuah kesalahan sebab itu berarti bukan Tuhan lagi yang kita sembah yang menjadi pusat kehidupan.

GS : Jadi melalui Mazmur 8 ini, sebenarnya kita diingatkan untuk menempatkan Tuhan sebagai pusat kehidupan kita, begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Hal lain yang bisa kita pelajari apa, Pak Paul?

PG : Mazmur 8 mengingatkan bahwa Tuhan adalah Pencipta alam semesta dan kita hanyalah ciptaan-Nya. Kita tidak tahu dengan pasti bagaimanakah Tuhan menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya, pengetahuan ini memang terlalu luas dan terlalu dalam untuk dapat dicerna oleh manusia, namun kita harus ingat bahwa alam semesta beserta isinya tidak muncul dengan sendirinya, lewat proses alamiah atau faktor kebetulan. Bila demikian kita pun harus menyadari bahwa kita bertanggung jawab kepada Pencipta kita, tidak ada seorang pun yang hidup sedemikian bebasnya sehingga dia tidak akan harus memertanggungjawabkan perbuatannya, suatu hari kelak kita akan berdiri di hadapan Tuhan Yesus dan memberi pertanggungjawaban atas semua yang telah kita perbuat.

GS : Mengenai teori penciptaan yang bermacam-macam, sikap kita sebagai orang Kristen bagaimana, Pak Paul?

PG : Kita memang tidak tahu bagaimanakah dengan pastinya, dengan mendetailnya cara Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya ini. Alkitab hanya menegaskan bahwa Tuhanlah yang menciptakan. Maka misalnya Dia menciptakan dalam satu hari seperti yang kita kenal atau suatu masa yang di bahasakan satu hari di dalam firman Tuhan, itu adalah hak Tuhan sebab Dialah yang tahu dengan pasti. Bagi kita sebagai anak-anak Tuhan, kita tidak perlu mematok "pasti Tuhan tidak menciptakannya dalam waktu 1 hari 24 jam, pastilah lebih lama atau kebalikannya", itu tidak benar! Karena pengetahuan ini terlalu luas. Jadi bagaimana kita bisa memahaminya, tapi yang terpenting adalah kita tahu Alkitab dengan jelas, tidak dengan ragu-ragu menyatakan Tuhanlah yang menciptakan semuanya yang ada di dalam alam semesta ini, inilah dasar iman kita bahwa Tuhan adalah Pencipta, dan kita hanyalah ciptaan. Kita bukanlah Pencipta tapi kita adalah orang atau manusia yang diciptakan Tuhan sehingga kita bertanggungjawab kepada Dia sebagai Pencipta kita. Jadi kita tidak hidup bebas seperti yang kita inginkan atau bayangkan sebab suatu hari kelak kita harus memertanggungjawabkan perbuatan kita kepada-Nya.

GS : Jadi yang terpenting bukan bagaimana alam semesta ini terwujud, tapi siapa yang mewujudkan ini semua yang harus kita ketahui.

PG : Betul sekali. Belum lama ini saya membaca sebuah ulasan dari seorang ahli fisika dari Inggris, John Volkinghorn yang menegaskan bahwa kehidupan seperti yang kita kenal sekarang ini berusia sekitar 10 miliar tahun, tapi sebetulnya kehidupan itu sendiri berusia sekitar 14 miliar tahun dan siapa yang bisa mengukur waktu dengan tepat atau pasti, tidak ada yang dapat memastikannya. Tidak ada! Semua adalah perkiraan. Jadi yang bisa kita simpulkan adalah bahwa alam semesta ini sudah ada untuk waktu yang sangat panjang dan inilah makna dari kekekalan itu sendiri, tidak ada awal tidak ada ujung berarti sangat panjang sekali. Memang Tuhan yang mengawali tapi kapan Dia mengawali, kapan Dia menciptakannya memang adalah rahasia Tuhan sendiri.

GS : Kalau begitu hal apa yang dapat kita pelajari melalui Mazmur 8 ini, Pak Paul?

PG : Hal kedua yang bisa kita petik adalah kita harus hidup berhati-hati, jangan hidup sembarangan, jangan menganggap bahwa kita adalah orang yang dikecualikan Tuhan jadi kita bebas berbuat apa pun, kita tidak takut siapa pun, jangan sampai kita hidup seperti itu. Kita harus ingat Tuhan adalah Hakim yang Maha tahu dan Maha adil tatkala kita berdiri dihadapan-Nya kita tidak bisa berkelit atau berdalih. Jadi hiduplah dengan kesadaran bahwa Tuhan mengawasi semua perbuatan kita dan suatu hari kelak kita harus memertanggungjawabkan semuanya dan bukan sebagian.

GS : Yang Pak Paul maksudkan dengan memertanggungjawabkan ini seperti apa?

PG : Artinya Tuhan nanti akan menuntut pertanggungjawaban kita akan semua yang kita telah katakan atau lakukan, jadi apakah itu sesuatu yang sesuai dengan kehendak Tuhan ataukah itu sesuatu yang melawan kehendak Tuhan, nanti Tuhan akan menanyakannya dan menuntut tanggungjawab kita terutama untuk hal-hal yang kita lakukan yang berlawanan dengan kehendak Tuhan. Jadi jangan sampai kita beranggapan, "Nanti saya akan lolos dan saya tidak akan dihukum oleh Tuhan, nanti Tuhan akan mengecualikan saya" tidak! Setiap dosa yang kita lakukan memang nanti harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

GS : Seringkali orang bersikap secara acuh tak acuh dan berkata, "Itu nanti urusan belakang karena kita semua nantinya tidak tahu". Bagaimana sikap seperti ini?

PG : Itu adalah sebuah pikiran pendek, tidak mau mengingat, tidak mau memikirkan supaya tidak merasa terganggu oleh apa yang telah dilakukan-Nya, ini adalah sebuah kesalahan yang besar sebab apakah kita mau memikirkannya atau tidak, fakta itu akan terjadi bahwa Tuhan dengan jelas mengatakan, "Ia akan menuntut pertanggungjawaban kita". Dia adalah Hakim yang adil dan tema yang mengalir dengan jelas di Alkitab dari depan sampai belakang. Berarti kita harus menghadap Dia, kita tidak mau memikirkan tidak berarti Tuhan lenyap dan tidak akan nantinya menghakimi kita, tetap Dia akan tetap ada dan penghakiman itu akan diberlakukan atas diri kita.

GS : Kalau Tuhan meminta pertanggungjawaban dari kita, tidak ada seorang pun yang bisa meloloskan diri, Pak Paul?

PG : Tidak bisa. Kita tidak bisa menuding orang menyalahkan orang, kita tidak bisa berkelit, "Saya tidak tahu dan sebagainya" sebab penghakiman Tuhan itu sangat adil. Kalau sungguh-sungguh tidak kita ketahui, maka Tuhan juga tidak akan menghakimi kita seolah-olah kita ketahui itu. Jadi apa yang nanti Tuhan lakukan itu adalah hal yang sudah sangat tepat dan pas sehingga tidak ada satu orang manusia pun yang memang bisa berkelit dan lolos dari penghakiman Tuhan.

GS : Katakan orang itu belum pernah mendengar Injil, belum pernah membaca Kitab Suci, tetapi melalui alam ciptaan sebetulnya manusia sudah diingatkan bahwa manusia harus bertanggungjawab atas apa yang diperbuat.

PG : Dan satu lagi adalah lewat hati nurani yang Tuhan tempatkan di dalam hati kita. Jadi Tuhan menempatkan hati nurani dengan sebuah tujuan tertentu yaitu yang pertama untuk memandu kehidupan kita, yang kedua adalah sebagai sebuah peringatan kalau nanti kita melawan-Nya maka Tuhan akan menggunakan nurani itu sebagai dakwaan yang Tuhan berikan kepada kita.

GS : Di dalam Mazmur 8 ini tentu banyak pelajaran lain yang bisa kita dapatkan. Apakah ada pelajaran lain yang bisa kita dapatkan, Pak Paul?

PG : Ada satu lagi yang bisa kita pelajari yaitu Mazmur 8 mengingatkan kita akan keagungan Tuhan, Tuhan Allah adalah Pencipta yang Maha mulia, artinya begitu tak terbatas karya ciptaan-Nya. Sebagai gambaran supaya kita benar-benar bisa mengerti kemuliaan dan keagungan Tuhan, kita simak data berikut ini. Saya menemukannya dan saya mau membagikan kepada para pendengar kita data seperti ini:

• Jarak dari bumi ke bulan adalah 240.000 mil (1 mil = + 4 km itu berarti hampir 1 juta km, jarak dari bumi ke bulan dan ini sebetulnya jarak yang paling dekat).

• Jarak dari bumi kita ke matahari adalah 93 juta mil (kalau tadi 240.000 mil sekitar 1 juta km berarti 93 juta mil x 4 berarti 300 juta km lebih jarak dari matahari ke bumi kita).

• Jarak dari bumi kita ke sebuah bintang yang bernama Alpha Entauri, bintang ini adalah bintang yang paling dekat dengan bumi jaraknya adalah 25 biliun mil. Jadi hampir 100 biliun mil jarak dari bumi kita ke bintang yang paling dekat.

• Jarak dari bumi ke bintang yang berada di gugusan terjauh dalam galaksi kita yang disebut Galaksi Milky Way 100.000 tahun kecepatan cahaya (kecepatan cahaya adalah 186.000 mil/detik) jadi hampir sekitar 700.000 km/detik itu kecepatan cahaya. Ini jaraknya 100.000 tahun dan bukan detik atau menit, atau hari atau minggu tapi tahun. Jadi bagaimana menghitungnya jarak dari bintang di dalam gugusan atau dalam Galaksi Milky Way ke bumi kita.

• Jarak bumi kita ke Galaksi Andromeda adalah 2 juta tahun kecepatan cahaya.

• Dan masih ada lagi objek angkasa lain atau bintang-bintang atau galaksi lain yang seribu kali lebih jauh daripada Andromeda.

• Satu lagi: Diperkirakan ada 350 milyar galaksi. Jadi 1 galaksi yaitu yang kita kenal galaksi kita sendiri adanya matahari, bulan, bintang ternyata itu hanya satu diantara 350 milyar galaksi.

Ini berdasarkan peneropongan atau alat-alat teknologi yang kita miliki untuk bisa mengukurnya. Berarti kalau alat-alat ini nanti dikembangkan bertambah canggih mungkin saja kita menemukan lebih banyak lagi galaksi. Waktu kita membaca atau mendengar data-data ini maka tidak bisa tidak, kita akan disadarkan betapa terlalu kecilnya kita dan betapa terlalu besarnya Tuhan, sebesar itulah sehingga tidak bisa lagi diukur, sehingga keagungan Tuhan itu tak terbatas.

GS : Memang banyak orang yang mengagumi akan ciptaan Tuhan, akan karya Tuhan seperti itu. Tetapi hanya sebatas mengagumi dan tidak ada tindak lanjut lain selain kagum, apakah hanya dengan kagum saja itu cukup, Pak Paul?

PG : Tidak cukup dan memang selain dari pengakuan, ketakjuban kita akan keagungan Tuhan dan kemuliaan-Nya, terlebih penting kita harus menyembah-Nya dan memuliakan-Nya lewat kehidupan kita sendiri. Biarlah orang melihat kemuliaan Tuhan lewat kehidupan kita. Jadi bukan hanya mulut kita yang mengagung-agungkan Tuhan, tapi biarlah hidup kita yang memuliakan Tuhan.

GS : Dalam hal ini memang banyak sekali Mazmur yang mengingatkan kita supaya kita mengagungkan kemuliaan Tuhan, mungkin selain Mazmur 8 ada Mazmur yang lain, Pak Paul?

PG : Saya ingin bacakan sebagai akhir dari Mazmur 50:7-15, "Dengarlah, hai umat-Ku, Aku hendak berfirman, hai Israel, Aku hendak bersaksi terhadap kamu: Akulah Allah, Allahmu! Bukan karena korban sembelihanmu Aku menghukum engkau; bukankah korban bakaranmu tetap ada di hadapan-Ku? Tidak usah Aku mengambil lembu dari rumahmu atau kambing jantan dari kandangmu, sebab punya-Kulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung. Aku kenal segala burung di udara, dan apa yang bergerak di padang adalah dalam kuasa-Ku. Jika Aku lapar, tidak usah Kukatakan kepadamu, sebab punya-Kulah dunia dan segala isinya. Daging lembu jantankah Aku makan, atau darah kambing jantankah Aku minum? Persembahkanlah syukur sebagai korban kepada Allah dan bayarlah nazarmu kepada Yang Mahatinggi! Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku." Jadi apa yang diinginkan Tuhan adalah hidup benar dan hidup dekat dengan-Nya, sewaktu kita hidup benar dan dekat dengan Tuhan, Ia pun akan memberkati dan memberi pertolongan-Nya kepada kita dan dari sinilah keluar syukur kita kepada-Nya dan melalui semua ini kita memuliakan Tuhan.

GS : Jadi wujud syukur kita tidak cukup hanya lewat kata-kata, Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Jadi apa yang bisa kita lakukan?

PG : Kita harus menjalani kehidupan yang benar yang sesuai dengan kehendak-Nya, kita harus menjadi pelaku dari firman Tuhan sehingga lewat itu semua orang nanti akan melihat bahwa Tuhan hadir dalam hidup kita dan nanti orang akan memuliakan Tuhan karena melihat kemuliaan Tuhan di dalam diri kita.

GS : Sebenarnya ada banyak Mazmur yang bisa menolong kita untuk memahami akan keberadaan Tuhan, akan kepribadian Tuhan bagi dan kehendak Tuhan bagi kehidupan kita, tetapi kadang-kadang sulit sekali membaca Mazmur dibandingkan misalnya kitab-kitab yang lain, ini sebenarnya kenapa?

PG : Sudah tentu Mazmur sedikit sulit dicerna karena ditulis dengan gaya puisi. Jadi tidak selalu langsung seperti bahasa prosa. Untuk memahaminya perlu kesabaran, perlu konsultasi membaca dan sebagainya sehingga akhirnya baru bisa mengerti apa yang sebetulnya ingin disampaikan oleh firman Tuhan kepada kita.

GS : Jadi sebetulnya perbincangan kita ini juga menolong para pembaca kita untuk lebih tekun mempelajari, membaca dan melakukan firman Tuhan yang ada di dalam kitab Mazmur. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Keagungan Sang Pencipta". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



64. Tujuan Hidup


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T319B (File MP3 T319B)


Abstrak:

Salah satu gejala depresi yang berat adalah hilangnya tujuan atau makna hidup. Kita tidak dapat lagi menatap hari depan sebab hari depan kelam tanpa arti, tanpa harapan.

Mazmur 8 memberikan pada kita pengertian yang jelas akan tujuan keberadaan kita di bumi ini. Di dalam pemahaman yang jelas ini hidup menjadi kokoh dan kita pun akan dapat melewatinya dengan penuh harapan.

Ringkasan:

Salah satu gejala depresi yang berat adalah hilangnya tujuan atau makna hidup. Kita tidak dapat lagi menatap hari depan sebab hari depan kelam tanpa arti. Alhasil harapan pun pupus. Mazmur 8 memberi pengertian yang jelas kepada kita akan tujuan keberadaan kita di bumi ini. Di dalam pemahaman yang jelas ini, hidup menjadi kokoh dan kita pun akan dapat melewatinya dengan penuh harapan.

Mazmur 8:7 mengungkapkan bahwa Tuhan menempatkan kita di bumi ini dan memberi kita kuasa atas segala ciptaan-Nya. Tuhan menjadikan kita penguasa di bumi dalam pengertian Ia memberi kita tanggung jawab penuh atas bumi beserta isinya. Lewat kecerdasan dan hikmat yang dikaruniakan Tuhan, kita mengatur dan mengelola bumi beserta segala isinya dengan sebaik-baiknya.

Wahyu 5:10 memberi kita pengertian yang lebih jelas lagi, "Dan Engkau (Kristus) telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan dan menjadi imam-imam bagi Allah kita dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi." Tuhan adalah Raja di atas segala raja. Ia telah menempatkan kita di bumi bak seorang Maha raja menempatkan salah seorang kepercayaan-Nya menjadi raja di wilayah kekuasaan-Nya.

Wahyu 5:10 juga memperjelas maksud keberadaan kita di bumi yaitu untuk menjadi imam bagi Allah. Fungsi imam sudah tentu adalah menjadi penghubung antara manusia dan Tuhan namun selain dari itu fungsi imam adalah menjadi wakil atau duta Tuhan. Jadi, Tuhan menempatkan kita di bumi agar kita menjadi duta atau utusan-Nya.

Sayangnya sejak dari awal, kita gagal melakukan tugas yang diembankan Tuhan. Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa sebab mereka tidak lagi bersedia menjadi raja di bawah Raja di atas segala raja. Dan, mereka pun tidak bersedia menjadi wakil Allah di bumi; sebaliknya, mereka memutuskan hubungan dengan Allah dan tidak mau menjadi duta siapa pun selain diri sendiri.

Kematian dan penebusan Kristus memungkinkan kita untuk kembali menjadi raja dan imam bagi Allah. Pada waktu Ia datang untuk kedua kalinya, itulah yang akan terjadi. Ia akan menyerahkan kembali bumi wilayah kekuasaan-Nya kepada kita untuk dikelola dengan sebaik-baiknya dan kita pun akan kembali menjadi duta Allah di bumi ini.

Berdasarkan pemahaman ini, maka setidaknya ada beberapa pelajaran praktis yang dapat kita tarik:
  1. Apa pun itu yang ditetapkan Tuhan bagi kita, terimalah dan jalanilah dengan penuh tanggung jawab. Tuhan menempatkan kita di dalam ruang kehidupan yang berbeda-beda. Tuhan pun memberi tanggung jawab yang berbeda-beda kepada kita. Namun satu hal yang dituntut-Nya adalah kesetiaan kita melakukan tugas dan kewajiban kita dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita lalai atau tidak setia karena tidak puas dengan apa yang telah dipercayakan-Nya kepada kita.
  2. Apa pun itu yang ditetapkan Tuhan bagi kita, lakukanlah sebagai bentuk persembahan ibadah kita kepada-Nya. Kita mesti senantiasa mengaitkan semua yang kita terima dengan Dia yang telah memberikannya kepada kita. Jadi, lakukanlah semua untuk Tuhan dan lakukanlah semua sebagai bentuk hormat kepada-Nya. Akuilah bahwa semua datang dari Dia dan oleh karena itu semua mesti kembali kepada Dia pula.
  3. Terakhir, kita harus mengingat bahwa hidup bukanlah hak, melainkan pemberian Tuhan kepada kita. Kita tidak memunyai hak untuk hidup sebab kita tidak pernah mengusahakan untuk hadir di dunia ini. Kita ada di bumi oleh karena Tuhan membawa kita ke sini. Jadi, kehidupan bukanlah suatu imbalan atas kerja atau usaha kita. Kehidupan merupakan pemberian Tuhan semata. Dan, Tuhan menempatkan kita di bumi dengan tujuan yang jelas—menjadi raja dan imam bagi Allah. OIeh karena itu hidup hanya akan berarti bila kita hidup sesuai garis yang ditetapkan Tuhan bagi kita.

Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tujuan Hidup". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Banyak orang menyadari bahwa tujuan hidup itu memang perlu, Pak Paul, tetapi masalahnya bagaimana menetapkan atau menentukan tujuan hidup dan hidup sesuai tujuan itu sendiri. Kalau itu tidak terwujud, tidak tercapai atau tidak dapat dilihat dengan jelas, sebenarnya apa akibatnya bagi seseorang?

PG : Waktu orang kehilangan makna atau tujuan hidup maka dia akan kehilangan pengharapan untuk hidup, akhirnya yang terjadi dia bisa mengalami keputusasaan. Waktu dia tidak lagi bisa melihat alasan kenapa dia harus hadir dalam dunia ini biasanya perasaan yang muncul adalah depresi, suatu kemurungan yang mendalam yang membuat dia benar-benar kehilangan semangat bahkan untuk hidup dengan optimal satu hari saja.

GS : Tetapi seseorang memang bisa di tengah perjalanan hidupnya itu menyimpang dari tujuan yang mula-mula sehingga dia kehilangan tujuan yang semula itu sehingga hanya berputar-putar di permasalahannya saja, Pak Paul.

PG : Dan ada banyak yang seperti itu. Jadi ada orang-orang yang akhirnya kehilangan tujuan yang Tuhan tetapkan dalam hidupnya, sehingga akhirnya dia berkubang di dalam tujuan hidup yang salah, yang memang semakin menjauhkan dia dari desain yang Tuhan telah berikan.

GS : Beberapa waktu yang lalu kita membahas tentang Mazmur 8, apakah di dalam Mazmur 8 itu juga diungkapkan oleh Daud, oleh pemazmur itu tentang tujuan hidup ini?

PG : Ternyata ya, Pak Gunawan, di Mazmur 8:7 dikatakan, "Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya" kakinya adalah kaki manusia. Jadi Tuhan memang memberikan kuasa kepada manusia atas segala yang Tuhan telah ciptakan. Dari sini kita bisa melihat bahwa Tuhan menjadikan kita penguasa di bumi dalam pengertian Ia memberi kita tanggungjawab penuh atas bumi beserta isinya. Jadi lewat kecerdasan dan hikmat yang dikaruniakan Tuhan, kita ini diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk mengatur dan mengelola bumi beserta segala isinya dengan sebaik-baiknya.

GS : Di sini seringkali ada banyak orang yang salah menafsirkan ayat ini atau memang dia sengaja melanggar ayat ini dengan mengekploitir bumi ini habis-habisan. Jadi kalau hutan ditebang habis-habisan, kalau itu barang tambang juga dikeruk habis-habisan karena katanya Tuhan meletakkan semua itu di bawah kakinya, jadinya semua dikuasai.

PG : Betul.

GS : Bagaimana pandangan seperti ini, Pak Paul?

PG : Sudah tentu itu adalah akibat dari keserakahan manusia dan kita tahu ketamakan adalah buah dari dosa. Tuhan itu dengan jelas memberikan kepada orang-orang Israel peraturan yaitu kalau mereka telah menanami ladangnya selama 6 tahun, di tahun ke 7 mereka harus berhenti, memberikan istirahat kepada ladangnya. Sekarang kita yang sudah mengerti ilmu pertanian modern menyadari kenapa Tuhan memberi perintah yang seperti itu. Kenapa setelah 6 tahun ditanami, ada baiknya setahun kemudian tidak ditanami, sebab ternyata sekarang disadari bahwa tanah itu memang memerlukan istirahat dan bahwa kalau diistirahatkan untuk sementara, maka tahun berikutnya dia akan kembali menjadi tanah yang subur sehingga bisa memproduksi hasil yang maksimal, justru kalau dikuras dan dikuras dan tidak diberikan istirahat sama sekali bahkan tanah itu sendiri pun bisa menjadi tanah yang bermasalah dan kehilangan kesuburannya. Dari situ kita bisa melihat itulah desain Tuhan, Tuhan tidak menghendaki kita mengekploitasi ciptaan-Nya, Tuhan ingin kita mengelola bertanggungjawab atasnya, kita diminta oleh Tuhan untuk bisa hidup dengan damai, dengan ciptaan Tuhan yang lainnya pula tapi karena kita manusia berdosa dan akhirnya kita menjadi tamak dan kita tidak lagi memikirkan bumi atau ciptaan Tuhan, kita hanya memikirkan diri kita sendiri.

GS : Dan dampaknya timbul bencana alam di berbagai tempat itu antara lain juga karena sikap serakah dari manusia ini, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Jadi kadang-kadang bencana alam datang bukan karena campur tangan manusia itu juga betul, tapi adakalanya bencana alam terjadi karena memang tingkah laku manusia itu sendiri. Misalnya yang sekarang menjadi perhatian banyak manusia di bumi adalah pencairan gunung-gunung es di kutub atau pantai. Ini adalah suatu bahaya yang juga besar karena dengan mencairnya es berarti air itu akan semakin meningkat, dengan makin meningkatnya air maka nanti akan lebih banyak terjadi bahaya-bahaya yang melibatkan air misalnya seperti kebanjiran dan ini yang sekarang kita saksikan di Brasilia, di Amerika Serikat, di mana-mana sekarang muncul kebanjiran dan perubahan cuaca yang begitu drastis sekali. Jadi kita bisa melihat bahwa kita sudah menanam atau menaburkan benih-benih tidak sehat dan sekarang kita harus menuainya.

GS : Jadi sebenarnya Tuhan memberikan kepada kita setiap manusia ini kecerdasan dan hikmat untuk mengelola dan bukan untuk merusakkan, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

PG : Betul sekali. Sayangnya karena dosa sudah masuk maka yang harusnya baik menjadi buruk. Yang harusnya dipersembahkan kepada Tuhan sebagai rasa syukur kita, kita persembahkan kepada diri kita sendiri untuk memuaskan hasrat kita saja.

GS : Pak Paul, selain dari kitab Mazmur yang sudah dibacakan di Mazmur 8:7 apakah ada bagian Alkitab yang lain yang Pak Paul ingin sampaikan?

PG : Di Wahyu 5:10 firman Tuhan berkata, "Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi." Tuhan kita ketahui adalah Raja di atas segala raja dan Dia telah menempatkan kita di bumi seperti seorang Maha raja menempatkan salah seorang kepercayaan-Nya menjadi raja di wilayah kekuasaan-Nya. Jadi Wahyu 5:10 ini juga memperjelas maksud keberadaan kita di bumi yaitu untuk menjadi imam bagi Allah, kita tahu bahwa fungsi imam adalah menjadi penghubung antara manusia dan Tuhan, namun selain dari itu fungsi imam adalah menjadi wakil atau duta Tuhan. Jadi Tuhan menempatkan kita di bumi agar kita menjadi duta atau utusan-Nya. Maka firman Tuhan berkata bahwa Tuhan menjadikan kita sebuah kerajaan dan menjadikan kita imam-imam bagi Allah. Kita ini menjadi duta Tuhan atau wakil Tuhan di bumi ini.

GS : Mungkin orang lebih senang dengan jabatan raja dibandingkan jabatan imam sebab sebagai raja lalu dia merasa bisa menguasai seluruhnya termasuk bumi dan isinya ini.

PG : Betul meskipun raja dalam pengertian bukan seperti yang kita bayangkan tapi sebagai orang kepercayaan, karena Dia adalah Raja segala raja, Dia adalah Maha raja, Dia menempatkan kita sebagai raja artinya bukan sebagai penguasa yang anarkis, yang mau apa saja harus kita dapatkan, bukan. Tapi kita menjadi orang kepercayaan-Nya, orang yang diberikan kepercayaan untuk mengatur mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya. Inilah yang Tuhan kehendaki dari anak-anak-Nya.

GS : Dan itu harus kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan sebagai Raja di atas segala raja?

PG : Tepat sekali. Namun sayang sekali kita ini sejak awal gagal melakukan tugas yang diembankan Tuhan. Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa sebab mereka tidak bersedia menjadi raja di bawah Raja di atas segala raja, namun mereka tidak bersedia menjadi wakil Allah di bumi, tapi sebaliknya mereka justru memutuskan hubungan dengan Allah dan tidak mau menjadi duta siapa pun selain duta dari dirinya sendiri, ini yang terjadi dengan manusia dan ini adalah dosa yang kita bawa sampai hari ini.

GS : Kalau jabatan sebagai imam itu jelasnya bagaimana, Pak Paul?

PG : Jadi Tuhan itu maunya agar kita menjadi wakil-Nya, menjadi utusan-Nya, kita ini menjadi suara Tuhan di bumi sehingga dari suara kita, dari kehidupan kita, kita membawa orang mengenal Tuhan, kita menjadi penghubung antara manusia dan Tuhan. Sehingga Tuhan menghendaki kita menjadi imam, menjadi utusan bagi-Nya yang membawa atau menghubungkan manusia kepada Tuhan.

GS : Setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa dan juga manusia-manusia berikutnya tetap melakukan dosa, apakah manusia bisa kembali kepada fungsi seperti yang Tuhan harapkan kepada manusia yaitu menjadi raja dan imam, Pak Paul?

PG : Ternyata Tuhan memang sudah merancang caranya agar manusia yang sudah terperosok jatuh ke dalam dosa dan kehilangan fungsi yang Tuhan embankan bisa direstorasi, bisa kembali menjadi raja dan menjadi imam seperti yang Tuhan telah rencanakan yaitu lewat kematian dan penebusan Yesus Kristus. Lewat kematian dan penebusan-Nya kita kembali dapat menjadi raja dan imam bagi Allah dan pada waktu Tuhan datang untuk kedua kali, itulah yang akan terjadi yaitu Ia akan menyerahkan kembali bumi wilayah kekuasaan-Nya kepada kita untuk dikelola dengan sebaik-baiknya dan kita pun akan kembali menjadi duta Allah di bumi ini. Jadi inilah garis besar tujuan keberadaan kita di bumi ini, pada awalnya inilah yang menjadi kehendak Tuhan, Dia menempatkan kita menjadi orang-orang kepercayaan-Nya, menjadi orang-orang yang diberikan kuasa untuk mengelola ciptaan-Nya ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggungjawab agar kita menjadi utusan atau duta-Nya, atau imam-Nya yang membawa manusia lain mengenal-Nya pula. Inilah yang Tuhan kehendaki tapi terselewengkan waktu kita jatuh ke dalam dosa dan karena Tuhan sudah mengampuni dosa kita lewat kematian Yesus Kristus di kayu salib maka sekarang kita sudah diberikan kembali kesempatan untuk hidup sesuai dengan tujuan yang semula, dan nanti waktu Dia datang kembali, tujuan semula itu akan digenapi dengan tuntas, dengan sempurna, kita benar-benar menjadi orang yang diberi kuasa oleh Tuhan untuk mengelola dan menguasai bumi ini dan menjadi imam-imam bagi-Nya.

GS : Tapi waktu Tuhan Yesus datang kembali dikatakan bahwa Dia akan menciptakan langit dan bumi yang baru, Pak Paul.

PG : Memang di dalam kitab Wahyu, dikatakan nanti Yerusalem akan turun. Jadi dengan kata lain, ada satu pendapat dan saya kebetulan memang juga meyakini pendapat ini bahwa nanti pada akhirnya surga itu adalah yang Tuhan bawa ke bumi ini, maka dikatakan Yerusalem yang baru akan turun. Jadi pada awalnya Tuhan akan mengangkat kita sehingga kita bertemu dengan Tuhan di udara tapi nanti setelah itu Tuhan bersama-sama dengan orang percaya akan turun kembali ke bumi dan tidak dikatakan di kitab Wahyu setelah kita turun kita akan naik lagi ke surga. Berarti itu adalah tempat final, pada akhirnya kita akan turun lagi bersama Tuhan dan Tuhan akan memerintah bumi ini sebagai Maha raja dan kita akan diberikan oleh Tuhan kekuasaan untuk mengelola dan untuk menguasai wilayah Tuhan ini.

GS : Berdasarkan pemahaman yang Pak Paul sudah paparkan, pelajaran apa yang sebenarnya bisa kita petik supaya berguna, bermanfaat bagi kehidupan kita sehari-hari saat ini?

PG : Tadi saya memang sengaja panjang lebar membahas tentang tujuan keberadaan kita di bumi namun sekarang kita perlu menerjemahkannya dengan lebih mendetail. Yang pertama, apa pun itu yang ditetapkan Tuhan bagi kita, terimalah dan jalanilah dengan penuh tanggungjawab, ini pelajaran yang bisa kita petik untuk kehidupan kita sekarang ini. Tuhan menempatkan kita dalam ruang kehidupan yang berbeda-beda, Tuhan pun memberi tanggungjawab yang berbeda-beda kepada kita, namun satu hal yang dituntut-Nya adalah kesetiaan kita melakukan tugas dan kewajiban kita dengan sebaik-baiknya dan jangan sampai kita lalai atau tidak setia karena tidak puas dengan apa yang telah dipercayakan-Nya kepada kita. Jadi kalau kita ingin mengikuti kehendak Tuhan dan memunyai tujuan hidup yang sesuai dengan keinginan-Nya maka kita pertama-tama harus menerima apa pun yang sedang kita jalani, apapun yang kita sudah terima dari Tuhan kita syukuri dan kita lakukan tugas kita sebaik-baiknya, kita yang bekerja, kita yang menjadi ibu rumah tangga, kita yang mengurus anak, apa pun yang sedang kita lakukan yang kita tahu itu adalah porsi yang Tuhan tetapkan bagi kita maka terimalah dan jangan bersungut-sungut atau melebarkan tanggungjawab atau justru malas atau lalai, tapi lakukanlah semuanya dan inilah sikap yang Tuhan tuntut dari kita. Jangan sampai kita kehilangan perspektif yang nyata, bahwa kita harus bertanggungjawab atas apa yang Tuhan telah percayakan kepada kita.

GS : Tapi itu bermula dari pemahaman kita bahwa segala sesuatu yang kita terima ini kita terima dari Tuhan dan apa yang kita lakukan, kita lakukan untuk Tuhan.

PG : Betul sekali. Jadi adakalanya kita tidak selalu menyenangi apa yang kita terima, dan kita berharap kita akan mendapatkan yang lebih baik lagi, tapi justru disinilah ketaatan kita diuji dan Tuhan mau melihat apakah kita waktu menerima yang sekecil ini tetap bertanggungjawab. Sehingga Tuhan pernah berkata kalau kita setia dalam hal-hal kecil, maka akan diberikan kepercayaan pada hal-hal yang lebih besar, ini adalah salah satunya. Jadi Tuhan mau melihat apakah kita bertanggungjawab dan setia dengan hal-hal yang sepele yang kecil yang membuat kita tidak berarti, tidak bernilai dan mungkin bagi kita itu membuang-buang waktu dan sebagainya. Bersedia atau tidak setia dan bertanggungjawab, waktu kita bersedia dan setia dengan hal-hal kecil ini, di situlah kita sebetulnya sedang menjalani apa yang menjadi panggilan dan tujuan hidup sebagaimana Tuhan tetapkan bagi kita.

GS : Godaan itu sebenarnya muncul ketika kita melirik kepada apa yang Tuhan berikan kepada orang lain, lalu kita berkata, "Kenapa tidak sama" kemudian timbul rasa tidak senang melakukan segala tugas dan tanggungjawab itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Jadi tidak ada yang sama dan jangan sampai kita beranggapan bahwa orang lain itu pasti akan lebih bahagia dibandingkan kita, belum tentu. Sebagai contoh misalkan kita tahu Michael Jackson penyanyi yang terkenal baru saja meninggal dunia, kita membayangkan kehidupannya pastilah sangat glamor, pasti banyak kesenangan dan sebagainya, tapi ternyata setelah dia meninggal barulah dibukakan faktanya bahwa dia adalah orang yang hidupnya sama sekali jauh dari senang, sampai-sampai tidur pun tidak bisa, itu sebabnya dia harus meminta dokter memberinya obat tidur, sampai-sampai tidak mempan lagi obat tidur dan pada akhirnya dia meminta dokter memberinya obat yang biasanya digunakan oleh dokter untuk membuat orang tidur sewaktu dioperasi. Dan itu yang akhirnya menghantar dia kepada maut. Jadi tidak ada yang begitu glamor atau bahagia dengan kehidupannya. Jangan cepat-cepat membandingkan diri dan menilai pasti orang lain lebih bahagia dari kita dan yang tadi saya sudah tekankan justru lewat hal-hal kecil itu Tuhan mau melihat apakah kita setia dan bertanggungjawab.

GS : Selain kesetiaan dan tanggungjawab, pelajaran lain apa yang bisa kita pelajari, Pak Paul?

PG : Apa pun yang ditetapkan Tuhan bagi kita maka lakukanlah sebagai bentuk persembahan ibadah kita kepada-Nya. Jadi kita harus senantiasa mengaitkan semua yang kita terima dengan Dia yang telah memberikannya kepada kita. Lakukanlah semua untuk Tuhan dan lakukanlah semua sebagai bentuk hormat kita kepada-Nya. Akuilah bahwa semua datang dari Dia dan oleh sebab itu semua harus kembali kepada Dia pula. Jadi apa pun yang kita kerjakan kita persembahkan itu kembali kepada Tuhan dan kita tahu ini adalah pemberian-Nya dan kita kembali mau mempersembahkannya kepada Dia. Jadi lakukanlah dengan sebaik-baiknya, ini adalah bentuk ibadah kita, ini yang Tuhan inginkan sehingga semua yang kita lakukan itu di mata Tuhan menjadi sesuatu yang nantinya dipersembahkan kepada-Nya.

GS : Kita seringkali merasa kalau kita hari Minggu ke gereja dan memberikan persembahan, kita merasa bahwa kita sudah cukup melakukan untuk Tuhan padahal ada banyak aspek yang lain dari ibadah dan persembahan ini.

PG : Bagaimana misalnya kita memerlakukan teman-teman dan orang yang lebih rendah daripada kita, orang yang lebih susah dari kita, bagaimana kita melakukan pekerjaan kita, apakah dengan jujur atau tidak, apakah kita akan berbohong, apakah kita akan merugikan orang dengan mudah, itu semua yang nantinya akan Tuhan lihat. Tatkala kita mau melakukannya dan dengan benar maka itu menjadi sebuah persembahan ibadah kita kepada-Nya. Bagi kita yang mau mencari apa tujuan hidup kita, ini langkah kedua atau prinsip kedua. Jadi apapun yang sedang kita kerjakan maka kita lakukan sebaik-baiknya sebagai persembahan ibadah kita kepada-Nya.

GS : Tapi rupaya yang kedua dan yang pertama ini saling terkait, Pak Paul?

PG : Betul sekali. Sebab memang tidak bisa tidak waktu kita mau memberikan persembahan kepada Tuhan lewat apa yang kita lakukan dan kita berikan, pertama-tama kita terima dengan syukur, kalau belum apa-apa kita sudah menolaknya, tidak mau menerimanya mana mungkin kita bisa menjadikan itu sebagai persembahan ibadah kita pada Tuhan.

GS : Apakah masih ada pelajaran yang lain yang masih bisa kita dapatkan dalam hal ini?

PG : Yang terakhir adalah kita harus mengingat bahwa hidup bukanlah hak melainkan pemberian Tuhan kepada kita, kenapa saya berkata, "Hidup ini bukanlah hak melainkan pemberian Tuhan"? Kita tidak punya hak untuk hidup sebab kita tidak pernah mengusahakan untuk hadir di dunia ini. Jadi kalau kita bekerja, kita mendapatkan gaji itu adalah hak kita, tapi kita ini tidak punya hak untuk mendapatkan kehidupan sebab kita memang tidak pernah mengusahakan atau bekerja atau melakukan apa pun untuk bisa lahir dan hidup di dunia ini. Kita ada di bumi ini oleh karena Tuhan membawa kita ke sini, sesederhana itu, kita tidak memesan tiket untuk dilahirkan, tidak ada yang pernah memesan tiket itu dan tidak ada yang pernah bisa. Jadi kehendak Tuhanlah yang membawa kita hadir di dalam hidup ini. Jadi sekali lagi saya simpulkan kehidupan bukanlah suatu imbalan atas kerja atau usaha kita, kehidupan merupakan pemberian Tuhan semata dan Tuhan menempatkan kita di bumi dengan tujuan yang jelas yaitu menjadi raja dan imam bagi Allah, oleh karena itu hidup hanya akan berarti bila kita hidup sesuai dengan garis yang ditetapkan Tuhan bagi kita.

GS : Ada orang yang berpikir demikian, Pak Paul, karena dia tidak minta dilahirkan di bumi lalu dia ada di bumi ini, maka dia berhak menuntut untuk Tuhan memenuhi apa yang dia inginkan.

PG : Ini saya kira teriakan orang yang mementingkan diri, yang tidak menghargai bahwa hidup ini adalah sebuah kehormatan yang besar. Jadi bagi kita yang diberikan kesempatan untuk hidup, maka kita seharusnya bersyukur karena sekali lagi kita tidak bisa membeli hidup ini. Belum lama ini di gereja yang saya layani ada seseorang yang harus masuk Rumah Sakit, dia harus diinapkan selama beberapa hari dan karena pernapasan terganggu dia harus diberikan oksigen, setelah dia keluar dia harus membayar meskipun asuransi yang membayar namun dia mendapatkan rekeningnya, dia kaget sekali, karena ternyata beberapa hari dia masuk rumah sakit oksigennya saja ribuan dolar yang harus dia bayar. Jadi dengan kata lain, begitu mahal udara atau oksigen yang harus kita terima setiap hari, bayangkan berapa banyak oksigen yang kita hirup kalau mau dibayar maka tidak mungkin kita mampu untuk membayarnya. Jadi benar-benar kita harus berkata, "Hidup ini adalah sebuah pemberian" dan boleh hidup adalah sebuah kehormatan. Jadi jangan sampai menuntut apa-apa sebab kita tidak punya hak, kenyataan kita berada di sini, ini adalah pemberian dan kehormatan yang Tuhan anugerahkan kepada kita.

GS : Bagi orang yang kehilangan atau yang tidak punya tujuan hidup kemudian dipaparkan hal-hal seperti ini, apakah dia bisa menerimanya?

PG : Sudah tentu akan ada orang yang tidak bisa menerimanya sebab dia akan berkata, "Setelah itu apa kaitan dengan saya, hidup saya tetap seperti ini saja" makanya dari awal saya minta agar kita memunyai bingkai yang jelas dalam menghadapi hidup dan kita harus mengerti kenapa pada awalnya Tuhan menciptakan kita, tadi kita sudah bahas bahwa Tuhan ingin agar kita menjadi umat-Nya, yang menjadi bagian dari kerajaan-Nya, kita menjadi imam-imam bagi-Nya, inilah tujuan Tuhan menciptakan kita. Kalau kita bisa menerima bingkai besar itu maka kita harus perhatikan dalam hidup kita, jadi kalau begitu kita harus menjadi orang kepercayaan Tuhan, apa yang Tuhan berikan, lakukan dengan sebaik-baiknya dan hendaklah kita menjadi orang kepercayaan Tuhan dan hendaklah kita menjadi imam bagi Tuhan sehingga kita membawa orang mengenal Tuhan dan menghormati-Nya pula.

GS : Jadi kalau seseorang itu punya tujuan hidup maka hidupnya menjadi bergairah dan dia penuh dengan puji-pujian kepada Tuhan dan dia bisa menjadi berkat bagi banyak orang, Pak Paul.

PG : Betul sekali dan memang syarat utamanya adalah melihat bahwa hidup ini bukanlah untuk kita, hidup ini adalah untuk Tuhan sebab hidup ini pun berasal dari-Nya. Jadi kita hanya sebetulnya anak-anak Tuhan atau ciptaan-Nya yang menempati bagian kecil dalam kehidupan ini sebab semua adalah untuk Dia.

GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tujuan Hidup". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



65. Berkomunikasi Lebih Lembut


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T335A (File MP3 T335A)


Abstrak:

Salah satu kelemahan pria adalah berkomunikasi dengan istri secara lembut. Pria bisa menjadi seorang orator yang baik namun belum tentu ia dapat berkomunikasi dengan istri secara lembut. Mengapakah demikian? Pembahasan ini menjelaskan cara-cara agar suami belajar berkomunikasi secara lembut


Ringkasan:

Salah satu kelemahan pria adalah berkomunikasi dengan istri secara lembut. Pria bisa menjadi seorang orator yang baik namun belum tentu ia dapat berkomunikasi dengan istri secara lembut. Mengapakah demikian?

Berikut akan dipaparkan anatomi bicara dan emosi pria yang mengatur jalannya komunikasi.

         Penyebab Mental

Kita mafhum bahwa bicara merupakan sebuah proses fisik dan mental. Bukan saja kita menggerakkan lidah dan mulut, kita pun menggunakan pikiran sewaktu berbicara. Makin erat jarak antara aktivitas mental atau pikiran dengan pergerakan lidah, maka makin cepat dan mudah terurai perkataan.

Entah mengapa, bagi kebanyakan pria, mengeluarkan sederet gagasan yang telah tersusun dalam benaknya, tidaklah semulus yang diinginkan. Singkat kata bagi kebanyakan pria, berbicara bukanlah sebuah aktivitas yang alamiah—yang dapat begitu saja mengalir keluar dari pikiran ke lidah. Sebaliknya dengan wanita. Bagi kebanyakan wanita, berbicara merupakan aktivitas yang begitu alamiah sehingga dapat dilakukan dengan mudah.

         Penyebab Emosional

Bagi kebanyakan pria, emosi bukanlah sesuatu yang merupakan bagian hidupnya yang alamiah. Hanya dalam waktu dan kondisi tertentu pria merasa bebas untuk mengungkapkan emosinya, terutama emosi negatif, seperti kemarahan. Bagi kebanyakan pria, hidup yang diidamkan adalah hidup tanpa gejolak emosi. Itu sebabnya sewaktu merasakan emosi (negatif), pria berusaha keras untuk meredamnya. Sebaliknya dengan wanita. Bagi kebanyakan wanita, emosi merupakan bagian dirinya yang hakiki. Emosi bukanlah sesuatu yang dianggap asing atau berasal dari luar dirinya. Nah, ketika hendak berbicara tentang suatu hal yang bermuatan emosi, kesulitan pria untuk mengungkapkannya menjadi dobel. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, secara mental, tidak mudah dan tidak cepat buat pria mengatakan isi hatinya. Nah, ditambah dengan kesulitan dan keengganannya mengutarakan emosi, akhirnya pria mengalami kesukaran besar untuk mengutarakan pikiran yang bermuatan emosi.

Inilah yang kerap melahirkan kekasaran pada pria. Oleh karena ia sukar dan lambat berkata-kata, ia mudah frustrasi. Oleh karena ia sukar mengelola emosi, ia cenderung marah dan kasar ketika harus menyampaikan sesuatu yang bermuatan emosi. Alhasil tatkala bicara dengan istri, nada tinggi dan kasar kadang muncul.

Bagaimana Berkomunikasi dengan Lembut

         PERTAMA, PRIA MESTI LEBIH MENYADARI APA YANG TERJADI PADA DIRINYA.
Ia harus menyadari bahwa untuk ia berkata-kata, ia perlu waktu dan usaha. Ia tidak bisa dengan begitu saja mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya apalagi bila bermuatan emosi tanpa ledakan emosi.

         Nah, setelah menyadarinya, PRIA HARUS MENYESUAIKAN DIRINYA DENGAN KONDISI TERSEBUT. Misalnya, jika pria sudah merasakan bahwa besar kemungkinan bila ia bicara, ia akan bersikap kasar, sebaiknya ia meminta pasangan untuk memberinya waktu terlebih dahulu. Dan, sudah tentu ia harus meminta pasangan untuk tidak memborbardir dirinya dengan kemarahan atau serangan lain.

         PADA SAAT TENANG KEMBALI, ADA BAIKNYA PRIA MEMINTA ISTRI UNTUK PERTAMA-TAMA, HANYA DUDUK MENDENGARKANNYA, TANPA MEMBERI REAKSI APA-APA.
Ketika suami melihat bahwa istri tidak akan menyerangnya, besar kemungkinan ia akan lebih tenang. Dalam situasi tenang TANPA TEKANAN, pria akan dapat mengutarakan isi hatinya dengan lebih lembut.

         Pria memang mempunyai keterbatasan dalam hal bicara lembut namun itu tidak berarti pria boleh terus bersikap kasar. PRIA HARUS MELIHAT INI SEBAGAI KELEMAHAN YANG PERLU DIPERBAIKI, BUKAN KEUNIKAN YANG MESTI DIPERTAHANKAN. Firman Tuhan di Matius 5:5 berkata, "Berbahagialah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi." Juga, dalam Galatia 5:23, kelemahlembutan dicantumkan sebagai wujud nyata dari buah Roh yakni kasih. Jadi, dari sini jelas terlihat bahwa Tuhan menghendaki kita menjadi orang yang lemah lembut, bukan kasar. Teruslah berusaha untuk berkomunikasi dengan istri secara lebih lembut.

 


Transkrip:

 

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Berkomunikasi Lebih Lembut". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

DL : Pak Paul, saya ingin bertanya, mengapa kita harus berkomunikasi dengan lebih lembut terhadap pasangan kita?

PG : Karena begini, kalau misalnya kita mendengar suami kita berbicara kepada kita dengan keras, kasar, seberapa besar pun cinta kepadanya, lama-lama akan membuat kita enggan untuk menjalin komunikasi dengan dia karena dia tidak suka menjadi objek kemarahannya, kekasarannya. Akhirnya lama-lama kita menjauh dengan cara mengurangi komunikasi, akhirnya yang terjadi adalah hubungan kita bukan makin mendekat malah makin retak. Kalau sudah mulai retak seperti itu, segala jenis konflik mudah untuk muncul.

GS : Kadang-kadang memang ada orang yang suaranya keras dan bahasanya juga kasar dan itu di beberapa suku tertentu di negara kita, kita bertemu dengan orang-orang yang seperti itu, Pak Paul. Jadi harus bagaimana?

PG : Sudah tentu kalau kita berasal dari budaya yang sama, mungkin kita akan lebih mudah untuk menerimanya, tetapi kalau kita kebetulan dari budaya yang berbeda, maka sudah tentu yang harus dilakukan adalah bukan saja kita belajar menerimanya, tapi pasangan kita yang berasal dari budaya yang keras dan kasar itu juga perlu menyesuaikan diri dengan kita. Sebab sekali lagi pernikahan merupakan penyatuan dari 2 pribadi dari latar belakang yang berbeda. Kita tidak bisa berkata, "Inilah saya, kamu harus terima saya apa adanya tanpa saya harus melakukan apa pun untuk menyesuaikan diri dengan engkau". Jadi mesti ada penyesuaian dari kedua belah pihak.

GS : Seringkali terjadi di mana salah satu berkata, "Yang saya maksud bukan begitu, saya tidak marah" dan sebagainya, begitu Pak Paul.

PG : Kalau misalkan orang itu berkata seperti itu, kita yang mendengarnya bisa berkata begini, "Oke, kalau begitu saya mengerti, saya tidak apa-apa namun untuk lain kali kalau misalnya kamu berbicara lebih lembut lagi, atau gunakan kata ini daripada kata yang itu yang kamu ingin gunakan". Jadi bisa lebih diterima oleh pasangannya juga, sudah tentu kita mesti sabar bahwa pasangan tidak berubah dalam waktu 1 atau 2 minggu, tapi perlu diingatkan lagi, diingatkan lagi sehingga pasangan lebih belajar untuk melembutkan kata-katanya.

DL : Apa sebabnya orang laki-laki itu temperamennya itu lebih kasar nampaknya bila berbicara?

PG : Memang saya tidak mengatakan bahwa semua laki-laki begitu, Bu Dientje, tetapi harus saya akui cukup banyak laki-laki ada kecenderungan untuk kasar. Saya akan membaginya dalam 2 kategori, yang pertama adalah penyebab mental dan yang kedua adalah penyebab emosional. Saya fokuskan dulu pada penyebab mental. Kita mengerti bahwa berbicara merupakan sebuah proses fisik dan mental, maksudnya secara fisik kita menggerakkan lidah kita untuk berbicara namun ini juga merupakan proses mental, artinya kita menggunakan pikiran pada waktu berbicara. Makin erat jarak antara aktifitas mental atau pikiran dengan aktifitas fisik yaitu kita menggerakkan lidah kita, maka makin cepat dan makin mudah terurai perkataan itu. Misalkan, kita berkata dalam pikiran kita, "Saya mau makan", nah makin cepat dan erat kaitan antara aktifitas mental kita yang berpikir, "Saya mau makan" dan lidah kita yang mengatakannya, maka makin mudahlah kita mengeluarkan perkataan-perkataan tersebut. Ternyata dalam hal ini pria memunyai keunikanlah saya sebutkan, pada umumnya jarak antara aktifitas pikiran atau mental dan aktifitas fisik, pergerakan lidah pria, terbentang relatif lebih lebar ketimbang jarak yang sama pada perempuan. Dengan kata lain, kalau pria berpikir, "Saya mau makan" ternyata jarak antara pikiran "Saya mau makan" dan lidah mengeluarkan kata-kata "Saya mau makan" itu lebih lambat daripada perempuan. Perempuan jauh lebih cepat, lebih menyatu apa yang ada di pikiran keluar dalam bentuk perkataan dengan langsung. Untuk pria lebih susah, jadi bukan saja pria itu lebih lambat mengeluarkan perkataan yang telah tersusun di dalam pikirannya, ia pun lebih sukar untuk mengeluarkannya. Entah mengapa bagi kebanyakan pria mengeluarkan sederet gagasan yang telah tersusun dalam benaknya tidaklah semulus yang diinginkan, singkat kata bagi para kebanyakan pria, berbicara bukanlah aktifitas yang alamiah, yang dapat begitu saja mengambil ke luar dari pikiran ke lidah. Sebaliknya dengan wanita, bagi kebanyakan wanita, berbicara merupakan aktifitas yang begitu alamiah sehingga dapat dilakukan dengan mudah. Ternyata pada kebanyakan wanita jarak antara aktifitas dalam pikirannya misalkan dia berkata, "Saya mau makan" dan gerakan lidahnya yang berkata, "Saya mau makan" itu jauh lebih pendek jaraknya lebih singkat. Itu sebabnya pada umumnya wanita dapat mengungkapkan gagasan dalam pikirannya jauh lebih cepat dan jauh lebih mudah dibandingkan dengan pria.

DL : Tapi ada juga wanita yang sulit kalau mau mengutarakan pembicaraannya dengan suaminya, suaminya lebih cepat. Itu ada yang begitu, Pak Paul.

PG : Memang ada sebagian kecil wanita yang lebih susah untuk mengeluarkan isi hatinya. Kalau sampai terjadi begitu, besar kemungkinan penyebabnya bukanlah sesuatu yang dibawa dari lahir, tapi pengaruh dari lingkungan. Misalnya dalam rumah atau dalam keluarganya ia dianggap anak paling kecil, sehingga tidak sering ditanya sedangkan kakak-kakaknya lebih dominan, lebih sering berbicara, lebih menonjol sehingga si anak wanita waktu kecil bertumbuh besar cenderungnya diam, tidak terbiasa mengeluarkan pendapatnya karena tidak sering ditanya dan yang seringnya maju ke depan langsung mengeluarkan pendapat adalah kakak-kakaknya. Akhirnya dia lebih susah, tetapi sebetulnya kalau hanya melihat secara lahiriah, bawaan dari lahirnya, umumnya perempuan lebih mudah dibandingkan laki-laki sebab di Amerika Serikat terbukti dari pelbagai penelitian yang dilakukan dari anak-anak mulai SD sampai SMU, di tes berkali-kali dalam pelbagai riset hasilnya sama, yaitu pria cenderung dalam kemampuan verbal atau kemampuan berbicara itu lebih rendah dibandingkan dengan siswa wanita. Siswa wanita entah kenapa, jauh lebih pandai dalam mengeluarkan isi hatinya atau pikirannya lewat perkataan.

GS : Tapi itu juga bisa dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya, Pak Paul. Jadi kalau anak ini melihat ayahnya yang pendiam, sulit berbicara dibandingkan dengan ibunya yang berbicaranya banyak sekali, mungkin ia juga terlatih bahwa sebagai pria itu sedikit saja bicaranya. Apakah hal itu ada pengaruhnya, Pak Paul?

PG : Ada, memang sebetulnya dia susah, lalu melihat ayahnya juga pendiam mungkin akhirnya dia terpengaruh juga untuk menjadi pribadi pendiam lagi. Karena itu kalau kita melihat secara umum salah satu keluhan istri atau ibu, "suami saya itu jarang atau susah berkomunikasi". Kita jarang menemukan pria yang mengeluh, "Istri saya itu jarang berkomunikasi" malah kebalikannya, "Istri saya terlalu sering berbicara".

GS : Kalau dipaksakan, Pak Paul, bisa menimbulkan anak menjadi gagap. Saya tidak mengetahui, saya hanya memunyai beberapa teman yang semuanya laki-laki yang gagap. Saya tidak pernah memunyai teman wanita yang gagap, Pak Paul.

PG : Sebetulnya yang menarik adalah ini bukan masalah lingkungan atau pengaruh dari luar, tapi ini memang bawaan. Riset memerlihatkan bahwa angka gangguan bicara jauh lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Jadi sekali lagi bukan karena lingkungan namun kalau lingkungan membuat dia cemas maka bertambah parah gagapnya. Sebetulnya penyebabnya itu bukan, saya sendiri memunyai bawaan gagap, kadang-kadang saya bisa gagap nah bukannya karena dibuat oleh lingkungan, tetapi memang bawaan saya dari kecil begitu. Saya mengetahui kalau saya merasa cemas, atau mau berbicara banyak tetapi mulut tidak bisa mengikuti, muncullah gagapnya saya. Memang kadang-kadang kita bisa melihat dengan jelas bahwa anak laki-laki lebih susah untuk mengeluarkan isi hati dan pikirannya lewat perkataan dibandingkan dengan perempuan. Ini nanti berpengaruh di dalam kekasarannya, karena dia susah mengeluarkan perkataannya kadang-kadang ia kasar, waktu keluar sudah dibumbui dengan rasa marah, karena sudah tegang dulu, sudah susah untuk bicara jadi bicara merupakan usaha yang lumayan berat untuk pria. Bahkan waktu ia berbicara sesuatu yang mengandung emosi, makin susah akhirnya yang keluar kasar.

GS : Kalau begitu sebenarnya hal ini bisa dilatih atau bisa dipelajari supaya seseorang itu secara mental bisa berimbang di dalam berbicara dan berpikir.

PG : Betul, jadi nanti kita akan coba hal-hal apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi kemungkinannya untuk bersikap kasar dalam ucapan kita.

DL : Selain penyebab mental, ada lagi, Pak Paul?

PG : Yang tadi sudah saya singgung penyebab emosional. Jadi bagi kebanyakan pria emosi bukanlah sesuatu yang merupakan bagian hidupnya yang alamiah, maksudnya meskipun pria itu bisa merasakan emosi, bisa mengekspresikan emosi namun pada kebanyakan pria emosi bukanlah sesuatu yang diterima atau disambut sebagai bagian dari dirinya. Hanya dalam waktu dan kondisi tertentu pria itu bebas dalam mengungkapkan emosinya, terutama dalam mengungkapkan emosi negatif yaitu kemarahan. Justru bagi kebanyakan pria hidup yang ideal adalah hidup tanpa gejolak emosi, itu sebabnya kalau pria merasakan emosi negatif misalnya marah, reaksi pertama biasanya meredam, menahan, tidak mau dikeluarkan. Sebaliknya dengan wanita, bagi kebanyakan wanita, emosi merupakan bagian dirinya yang hakiki, bukan sesuatu yang dianggap asing atau dianggap di luar dari dirinya. Itu sebabnya kebanyakan wanita lebih terbuka, lebih menyambut aktifitas emosi pada dirinya. Itu justru menjelaskan mengapa umumnya wanita tidak keberatan untuk tenggelam dalam emosi, maksudnya untuk bisa menangis, bisa sedih. Kalau pria tidak nyaman untuk menangis, untuk sedih, tergesa-gesa mau keluar dari semuanya. Ini nanti berkaitan dengan kekasarannya pria, yaitu waktu pria harus mengeluarkan perkataan yang bermuatan emosi, kesulitannya menjadi ganda. Tadi sudah diuraikan secara mental tidak mudah, tidak cepat untuk mengeluarkan isi hatinya ditambah dengan kesulitan dan keengganannya untuk mengutarakan emosi akhirnya pria mengalami kesukaran mengutarakan pikiran yang bermuatan emosi, pada waktu keluar yang keluar adalah dalam bentuk kekasaran. Ia sudah frustrasi bagaimana mengeluarkannya, dia merasa susah untuk mengeluarkannya. Emosinya juga susah untuk dikendalikan akhirnya yang keluar adalah biasanya kekasaran. Istrinya yang harus mendengarkan kata-kata kasar yang keluar dari mulut si suami.

GS : Katakan si suami tidak sampai mengeluarkan kata-kata, tetapi dari tindakannya saja sudah kelihatan kekasarannya, Pak Paul.

PG : Betul, meskipun dia belum mengeluarkan kata-katanya, tapi dari sikap memang biasanya sudah terlihat.

GS : Padahal seperti saat itu si istri menghendaki, "Kamu lebih baik bicara daripada bertindak kasar", ini kaitannya bagaimana?

PG : Masalahnya adalah dia tidak bisa mengeluarkannya secara langsung, tidak bisa oleh karena itu sebagian pria yang lebih parah lagi kesulitannya untuk mengungkapkan perasaan, ia akhirnya memukul tembok, membanting barang, membanting pintu karena energinya tidak bisa tersalurkan lewat perkataan, susah untuk dia, bukannya tidak mau, ini yang kadang-kadang keliru dimengerti oleh para istri. "Kamu bicara saja tidak bisa, mengapa mesti marah seperti begitu, bicaralah!" Justru pointnya adalah tidak bisa, karena tidak bisa jadi yang keluar adalah ledakan emosi. Kalau dia masih bisa menahan maka yang keluar hanya ledakan emosi, tapi kalau dia tidak bisa menahan maka yang keluar adalah kekasaran secara fisik, memukul tembok, membanting barang atau membanting pintu dan sebagainya.

GS : Sebenarnya pada saat seperti itu, pria itu membutuhkan pertolongan dari si istri untuk tidak memaksakan supaya pria itu mengeluarkan kemarahan dengan kata-kata, Pak Paul.

PG : Tepat sekali, justru yang lebih cocok untuk pria adalah diam dulu, jangan diajak bicara, tenangkan dirinya dulu karena kalau dia dibombardir, apalagi jika istrinya tidak bisa diam, memborbardir dia dengan perkataan menyerangnya, dia makin tidak berkutik untuk membalas, mengutarakan pikirannya, kalah cepat dan sukar, akhirnya ledakannya bersifat fisik, kasar. Betul kata Pak Gunawan, istri harus mundur kalau melihat suami kesulitan, marah sudah mulai menanjak. Setop dulu, biarkan dia tenang sebab dalam keadaan tenang dia lebih bisa untuk berbicara.

DL : Tapi ada juga istri yang dominan, Pak Paul. Membentak suaminya dan suaminya diam saja.

PG : Betul, karena itu dalam situasi seperti itu si suami diam, mungkin sekali dia menghindari terjadinya pertengkaran yang lebih hebat. Daripada ditanggapi, lebih baik dia tutup mulut, tidak bicara sebab dia mengetahui hal itu tidak akan ada habisnya dan dia tidak akan bisa mengikuti irama kemarahan istrinya. Lebih baik dia diam karena dia juga tidak mau pada akhirnya ia bertindak kasar. Memang ada yang seperti itu, Bu Dientje.

DL : Jadi sekarang bagaimana seorang pria bisa berkomunikasi lebih lembut terhadap pasangannya?

PG : Ada beberapa yang bisa saya sarankan. Pertama, pria harus lebih menyadari apa yang terjadi pada dirinya, dia harus menyadari bahwa untuk berkata-kata dia perlu waktu, perlu usaha, tidak bisa dengan begitu saja mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya. Apalagi bila bermuatan emosi tanpa ledakan emosi. Jadi dia mesti menyadari, "Ini merupakan problem dalam diri saya", sehingga nanti dia akan lebih bisa mengatur, mengelola dirinya dan akhirnya tidak langsung muncul dalam bentuk kasar atau kemarahan.

GS : Tapi sebenarnya, Pak Paul, bagi kita, para pria, kalau pun itu bermuatan emosi, emosi itu lebih cepat reda dibandingkan dengan kaum wanita, kaum istri misalnya yang berkepanjangan tidak selesai-selesai. Oleh karena itu kami sebagai pria berharap, yang tadi dikatakan, diamkan saja. Sebentar lagi turun.

PG : Jadi kita mungkin bertanya, kenapa pihak wanita susah berhenti waktu marah? Karena mereka, mungkin Bu Dientje bisa memberikan tanggapan dalam hal ini, pada umumnya wanita memerlukan untuk mengeluarkan semua perkataannya, isi hatinya, baru emosinya reda. Jadi benar-benar emosi itu dalam bentuk perkataan. Kalau mau mengurangi emosi, yang harus dikeluarkan adalah perkataannya, ini sangat berbeda dengan kita para pria, kalau misalnya emosi sangat tinggi, kita akan berteriak, membanting barang atau memukul tembok. Emosi kita lebih mereda karena diekspresikan secara fisik, tapi wanita emosinya dalam bentuk perkataan. Apabila mau dikurangi perkataannya harus dikeluarkan. Ini yang seringkali menjadi dilema.

DL : Kadang-kadang bila wanita emosi, sudah mengeluarkannya, akan merasa lega.

PG : Memang perlu dikeluarkan lewat perkataan baru merasa lega. Jadi perlu kerjasama, di pihak wanita perlu mengendalikan diri, dia perlu mengetahui bahwa akan ada waktunya dia mengeluarkan perkataan-perkataan ini tapi bukan sekarang. Kalau sekarang akan terjadi ekskalasi, peningkatan! Akhirnya pertengkarannya tidak terkendali, biarkan suami tenang lebih dahulu baru setelah itu istri mengutarakan isi hatinya.

GS : Hal lain lagi apa, Pak Paul?

PG : Setelah menyadari apa yang terjadi pada dirinya, siapakah dia, prosesnya mengeluarkan perkataan dan kesulitannya, pria harus menyesuaikan dirinya dengan kondisi tersebut. Artinya dia harus hidup dengan keterbatasan ini, sadarilah besar kemungkinan bila dia berbicara ia akan bersikap kasar. Sebaiknya dia meminta pasangan untuk memberinya waktu terlebih dahulu, sesudah itu dia harus meminta pasangan untuk tidak membombardir dirinya dengan kemarahan atau serangan lain. Jadi kerjasama dengan istri, "tolong waktu kamu melihat saya begini, kamu setop dulu. Waktu saya misalkan berkata 'setop, tolong setop', nanti kalau saya sudah tenang, kamu mau melanjutkan silakan, sebab kalau kamu lanjutkan terus menjadi 'perang' dan saya kuatir saya bertindak kasar, saya tidak mau kasar kepada kamu jadi tolong kamu juga membantu saya. Saya bersedia mendengarkan kamu, saya mau mendengarkan kamu sebab itu penting untukmu bisa mengeluarkannya tapi jangan sekaligus dan tidak harus saat ini juga, perlahan-lahan. Coba tolong dipilah-pilah, setelah ini saya tenang, silakan kamu berbicara lagi".

GS : Itu kadang-kadang bisa ditanggapi dengan diam terus, istri tidak mau berbicara, "ya sudah bila kamu tidak mau mendengarkan", dia tidak berbicara secara berkepanjangan, Pak Paul. Ketika kita sudah reda secara emosi sebenarnya sudah siap untuk mendengarkan, dia mengatakan, "Saya sekarang yang tidak siap untuk bicara".

PG : Ya, kalau itu yang terjadi ya sudah tidak apa-apa, mungkin inilah proses penyesuaiannya, Pak Gunawan. Mungkin istri karena sudah terlanjur diam, dia sudah lupa tapi setiap kali ini terjadi kalau istri sudah mengetahui dia bisa berbicara sebanyak ini dan kemudian diam, mungkin dia akan menyesuaikan. Dia mengetahui ini batasnya dimana dia bisa berbicara supaya suami masih bisa mendengarkan, dia bicara sebegitu dulu, lain kali waktu suasana lebih memungkinkan, silakan mengeluarkan isi hatinya.

GS : Masalahnya bukan lupa, Pak Paul, tetapi karena memutus pembicaraannya itu tadi, mau mengutarakan isi hatinya lalu diputus oleh si suami, jadi ia merasa jengkel pada suaminya.

PG : Jadi penting bagi suami untuk menjelaskan bahwa dia tadi begitu bukan untuk memutus pembicaraannya tetapi untuk menolong dirinya bersikap kasar. Jadi kita harus menjelaskan kepada istri bahwa tujuannya baik, tujuannya bukan untuk membungkamkan mulut istri, tetapi untuk mengekang diri kita jangan sampai kasar.

DL : Selain itu ada lagi, Pak Paul?

PG : Ada lagi, yaitu waktu sudah tenang, ada baiknya pria meminta istri untuk duduk mendengarkannya tanpa memberi reaksi apa-apa. Mengapa begitu ? Sebab ketika suami melihat istri tidak lagi menyerangnya, besar kemungkinan ia akan jauh lebih tenang. Dalam situasi tenang tanpa tekanan, dia mengetahui tidak akan dibombardir oleh istrinya, mungkin ia akan lebih dapat mengutarakan isi hatinya dengan lebih lembut. Jadi sekali lagi yang saya ingin tekankan di sini adalah kalau suami sudah mengantisipasi, dia bicara begini begini, istrinya akan menjawab begitu begitu, sebelum dia mengeluarkan perkataan itu sebetulnya emosinya sudah menanjak dan kesulitan dia untuk mengeluarkannya bertambah, bukannya berkurang. Dia makin susah oleh karena itu waktu mengeluarkan kata-kata, kasar. Istri benar saja jawabannya seperti yang diantisipasi, menyerangnya dia seperti itu. Dia makin sulit mengeluarkannya atau dia makin mau tergesa-gesa mengatakannya, sebab dia takut sebelum dia selesai, istrinya sudah terlanjur berbicara lagi oleh karena itu terjadilah pertengkaran yang hebat. Oleh karena itu perlu masa "cooling down", tenangkan dan dinginkan hati, setelah tenang baru berbicara pada istri, "coba tolong kamu dengarkan saya dahulu, jangan bicara apa-apa, kamu tidak setuju tidak apa-apa, saya mau dengarkan tapi tolong jangan dipotong, dengarkan saya sampai selesai". Setelah itu dia bicara, dia mengetahui bahwa istrinya akan diam mendengarkan dia, pembicaraannya akan lebih tenang sehingga kata-kata itu bisa keluar dengan lebih baik.

GS : Di dalam hal itu apakah istri bisa bertahan beberapa lamanya untuk tidak bicara apa-apa, Pak Paul? Tapi mendengarkan!

PG : Bisa, Pak Gunawan. Memang terakhir saya melihat perempuan juga bisa melatih dirinya untuk menahan tidak memberikan reaksi secara langsung.

GS : Karena biasanya istri itu mengeluarkan tanggapan-tanggapan.

PG : Akhirnya dia melihat begini, "iya dengan cara begini saya memberi dia kesempatan, diam, berbicara, dan saya juga diam tidak langsung membalas, bicaranya bisa enak dan menyambung. Dia mendengarkan saya dan saya mendengarkan dia. Banyak istri berpikir bahwa hasilnya ada dengan cara begini dan hal ini menolong mereka untuk lebih bisa mengekang emosi.

GS : Ada sebagian pria yang menganggap bahwa bicara kasar dan keras menjadi identitas dari seorang pria.

PG : Tidak bisa, mesti kita sadari bahwa ini memang masalah kita. Jangan berarti "memang saya sudah dilahirkan begini akan terus begini". Kita melihat ini sebagai kelemahan yang perlu diperbaiki, bukan keunikan yang mesti dipertahankan. Ini yang ingin saya sampaikan kepada kita para pria.

GS : Dalam hal ini, Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Ada, Pak Gunawan. Firman Tuhan di Matius 5:5 berkata, "Berbahagialah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi", ini janji dari Tuhan kita Yesus Kristus". Juga dalam Galatia 5:23, kelemahlembutan dicantumkan sebagai wujud nyata dari buah Roh yakni kasih. Jadi dari sini jelas terlihat bahwa Tuhan menghendaki kita menjadi orang yang lemah lembut, bukan kasar. Jadi teruslah berusaha berkomunikasi dengan istri secara lebih lembut.

GS : Berkomunikasi dengan lemah lembut itu bukan berarti menjadi kewanita-wanitaan, Pak Paul, karena ada sebagian orang mengartikan hal itu seperti itu. Jadi salah persepsi itu.

PG : Betul, sama sekali tidak sama.

GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berkomunikasi Lebih Lembut". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



66. Mengendalikan Emosi


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T335B (File MP3 T335B)


Abstrak:

Salah satu keunikan yang dimiliki wanita adalah kehidupan emosi yang dinamis. Namun kalau tidak berhati-hati, keunikan ini dapat pula menjadi kelemahan yang berpotensi menciptakan masalah. Misalnya seringkali suami dikejutkan dengan betapa cepatnya istri mengeluarkan reaksi emosional. Sudah tentu suami tidak akan berkeberatan dengan reaksi spontan dan cepat yang bersifat positif. Namun bila reaksi ini bersifat negatif, pada umumnya suami bersikap takut dan defensif. Kecenderungan pria menghadapi hal ini biasanya adalah menjauh atau berusaha meredam. Itu sebabnya penting bagi istri untuk belajar mengendalikan reaksi yang bermuatan emosi kuat.


Ringkasan:

Salah satu keunikan yang dimiliki wanita adalah kehidupan emosi yang dinamis. Tanpa kehidupan emosi yang dinamis, hidup terasa kering dan membosankan. Namun kalau tidak berhati-hati, keunikan ini dapat pula menjadi kelemahan yang berpotensi menciptakan masalah.

Salah satu hal yang kerap mengejutkan suami adalah betapa cepatnya istri mengeluarkan reaksi emosional. Sudah tentu suami tidak akan berkeberatan dengan reaksi spontan dan cepat yang bersifat positif. Namun bila reaksi ini bersifat negatif, pada umumnya suami bersikap takut dan defensif. Kecenderungan pria menghadapi hal ini biasanya adalah menjauh atau berusaha meredam. Itu sebabnya penting bagi istri untuk belajar mengendalikan reaksi yang bermuatan emosi kuat.

Berikut akan dipaparkan beberapa saran untuk mengendalikan lonjakan emosi :

         KUNCI PERTAMA DALAM PENGENDALIAN EMOSI ADALAH PENGENDALIAN PIKIRAN.
Salah satu penyebab mengapa emosi mudah keluar tak terkendali adalah dikarenakan berkembangnya pemikiran secara ekstrem. Sebagai contoh, istri melihat suami berbicara secara akrab dengan seorang wanita. Begitu melihat, istri tanpa sadar dan dengan cepat membayangkan skenario terburuk yaitu bahwa si suami sebenarnya menyukai perempuan itu, bahwa si suami tidak lagi menyukainya (si istri), bahwa si wanita juga menyukai si suami, dan bahwa si suami akan dan pasti meninggalkannya bila pertemanan ini berlanjut.

Ketika pemikiran liar muncul, ia mesti berdialog dengan diri sendiri. Sebagai contoh, ia harus mengajukan bukti terlebih dahulu, sebelum memberi kesimpulan sejauh itu. Ia mesti menimbang apa yang dilihatnya dari konteks yang lebih menyeluruh dan tidak hanya menyoroti dari satu sudut saja.

         KEDUA, UNTUK DAPAT MENGENDALIKAN EMOSI DIPERLUKAN TINDAKAN ANTISIPATIF ATAU PERENCANAAN.
Kebanyakan reaksi emosional keluar tanpa kendali oleh karena kita merasa bahwa situasi telah lepas kendali. Itu sebabnya sebelum menghadapi sesuatu penting bagi kita untuk mengantisipasi situasi yang akan dihadapi itu. Sebagai contoh, ibu hendak mengajak anak pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli sesuatu. Nah, si ibu harus mengantisipasi situasi tersebut sebelum pergi. Jika ada toko mainan, kira-kira apakah yang akan dilakukan anak. Atau, jika ada arena bermain, apakah yang akan dilakukan anak. Bila waktu tersedia, mungkin ada baiknya bagi si ibu untuk merencanakan, memberi kesempatan kepada anak untuk bermain sejenak. Bila memang sudah waktunya bagi anak untuk membeli mainan, pikirkan mainan apakah yang dapat dibelikan. Semua perencanaan ini memudahkan si ibu untuk bereaksi ketika anak meminta untuk dibelikan mainan atau untuk bermain.

         KETIGA, ISTRI PERLU MENUNJUKKAN SIKAP SEDIA UNTUK DIKOREKSI ATAU BERUBAH.
Mungkin istri masih memerlukan waktu yang lama untuk berubah. Mungkin ia tumbuh besar dalam keluarga yang kerap konflik atau lingkungan yang keras sehingga emosi mudah tersulut dan lidah sukar terkendali. Jika itu situasinya, jangan ragu untuk menyampaikan kepada suami bahwa ia sadar akan kelemahannya dan bahwa ia menerima teguran suaminya. Namun ia perlu waktu untuk berubah. Jadi, kendati sedikit, usahakanlah perubahan. Sewaktu suami melihat perubahan pada istri, ia pun terdorong untuk menerima istri dengan kelemahannya. Terlebih penting lagi, ia merasa bahwa perkataannya telah didengarkan oleh si istri. Sebaliknya, bila suami merasa bahwa istri tidak menggubris tegurannya dan terus berkelakuan seenaknya tatkala marah, pada akhirnya suami putus asa dan tidak lagi mau menyampaikan teguran. Komunikasi terganggu dan relasi pun retak.

         TERAKHIR, SEBELUM MENGELUARKAN PERKATAAN APA PUN, SEDAPATNYA PIKIRKAN DAMPAKNYA: PANJANG ATAU PENDEK.
Dengan kata lain, selalu pikirkan tujuan mengapa kita mengatakannya. Jangan mengeluarkan perkataan hanya untuk memuaskan hasrat di hati. Adakalanya istri mengeluarkan perkataan yang melukai hati suami sehingga akhirnya suami menjadi tawar hati. Atau, memarahi anak sampai-sampai anak terus memendam luka di usia dewasa. Ingat, perkataan dapat membangun dan menghancurkan jiwa seseorang. Firman Tuhan mengingatkan, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah." (Amsal 15:1)


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengendalikan Emosi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

 

DL : Pak Paul, saya ingin bertanya, mengapa wanita harus mengendalikan emosi?

PG : Nah ini pertanyaan yang bagus, Ibu Dientje, sebab kita harus mengakui meskipun tidak semuanya, tapi saya kira kebanyakan wanita mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosi sewaktu emosinya sedang berkobar. Itu sebabnya dalam konflik rumah tangga kalau wanita itu sedang beremosi, dia tidak bisa mengendalikan dengan mudah sehingga akhirnya keluar terus kemarahannya, bisa berlangsung berjam-jam dan bisa berhari-hari juga. Inilah sebabnya perempuan perlu untuk mengendalikan emosi.

GS : Sama seperti pria harus mengendalikan pikirannya, begitu, Pak Paul?

PG : Betul sekali, pria harus mengendalikan pikiran supaya jangan pikirannya berkembang sedemikian rupa dan dia memunyai sikap kasar kepada istrinya, jadi kita masing-masing harus belajar untuk mengendalikan diri kita.

GS : Tapi kadang-kadang sikap dari seorang istri atau wanita seringkali membuat kaum pria merasa heran atau terkejut atau kagum dan sebagainya, Pak Paul.

PG : Begini, Pak Gunawan, kadang-kadang suami melihat istrinya begitu cepat mengeluarkan emosi, hal itu sudah tentu mengejutkan dan menakutkan juga untuk suami. Suami tidak keberatan bila istrinya memberi reaksi spontan tetapi kalau yang positif, bila yang spontannya negatif biasanya suami menjadi takut, menjadi defensif. Yang biasa dilakukan pria adalah menjauh atau berusaha meredam istrinya supaya jangan sampai beremosi seperti itu. Kita mau belajar, kita semua tidak sempurna jadi kita mau belajar bagaimana mengendalikan emosi kita dengan lebih baik.

GS : Yang seringkali muncul adalah emosi-emosi kemarahan, kesedihan yang berlebihan, ketakutan, kekuatiran, seperti itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali, biasanya emosi yang mendominasi kita adalah empat yang tadi Pak Gunawan sudah sebutkan itu.

GS : Pak Paul, apakah ada langkah-langkah yang Pak Paul ingin usulkan bagaimana caranya seorang wanita itu bisa mengendalikan emosinya?

PG : Yang pertama adalah kuncinya adalah dalam pengendalian emosi ialah pengendalikan pikiran, maksudnya begini, salah satu penyebab mengapa emosi mudah keluar tak terkendali adalah dikarenakan berkembangnya pemikiran secara ekstrem. Misalnya istri melihat suami berbicara secara akrab dengan seorang wanita. Begitu melihat, istri tanpa sadar dan dengan cepat membayangkan skenario terburuk yaitu si suami sebenarnya menyukai perempuan tersebut atau "suami saya tidak lagi menyukai saya" atau "itu perempuan juga menyukai suami saya" atau pikiran yang lebih ekstrem lagi, "suami saya pasti akan meninggalkan saya jikalau hubungan mereka berlanjut". Nah, begitu skenario itu yang memang terburuk itu terbentuk di benak si istri, yang langsung muncul adalah rasa takut disusul oleh rasa marah karena "suami saya akan berbuat begini" dan sebagainya, sehingga reaksi yang keluar berbentuk kemarahan. Akhirnya yang keluar dari mulut si istri adalah tuduhan, "Kamu pasti ada hati dengan perempuan ini. Ini perempuan pasti suka dengan kamu" dan perintah untuk memutuskan relasi tersebut. Tidak bisa tidak pertengkaran terjadi, relasinya terganggu. Itu sebabnya langkah pertama, si istri harus dapat mengendalikan pemikirannya.

GS : Pak Paul, apakah dalam hal ini unsur kepercayaan juga mendominasi? Artinya kalau istri ini menaruh percaya penuh kepada suaminya, 'kan tidak mungkin muncul pikiran-pikiran seperti itu, Pak Paul?

PG : Kalau si suami selama ini menjalin hubungan yang baik dengan si istri sudah tentu kemungkinannya muncul pikiran itu lebih kecil, tetapi juga kebanyakan perempuan sudah hidup di tengah-tengah suatu keyakinan bahwa pria itu mesti dijaga, sebab kalau tidak pria itu cenderung serong tidak setia kepada istrinya, maka meskipun dia percaya kepada suaminya namun tidak bisa dihindari kadang-kadang pikiran-pikiran itu muncul, Pak Gunawan. Jadi muncul bahwa "Jangan-jangan nanti ada apa-apa", pemikiran seperti ini lebih jarang muncul dalam benak pria, sebab secara sosial budaya kita memang tidak terlalu sering mendengar kabar si istri ini lari dengan pria lain. Ada terjadi tapi tidak sebanyak yang kita dengar kalau itu dilakukan oleh pria, sehingga modal percayanya pria itu lebih besar kepada istri dibandingkan istri kepada suami, apalagi misalnya si suami ekonominya menanjak, karirnya juga melesat pesat, banyak istri meskipun suaminya tidak pernah berbuat apa-apa, tidak pernah mengkhianati tapi pada waktu dia mengetahui suaminya makin populer, maka dia makin merasa cemas. Skenario terburuk itu tetap bisa muncul dalam benak istrinya meskipun relasi mereka baik-baik, tidak ada apa-apa.

DL : Oleh sebab itu harus dikendalikan pikiran wanita itu, sehingga jangan "negative thinking".

PG : Betul, sebab ada kecenderungan itu, sedangkan kita mungkin tidak memunyai kecenderungan yang sama sebagai pria. Istri kita misalnya posisinya baik, kita masih biasa-biasa saja, karena kita tidak terlalu terekspose dengan berita-berita bahwa istri itu tidak setia, jarang dibandingkan dengan pria maka bisa dimaklumi kenapa istri yang lebih cepat mengembangkan skenario yang negatif tersebut. Masalahnya itu belum terjadi dan mungkin sekali tidak akan terjadi pada suaminya, tapi dengan cepat dia sudah memunyai pikiran yang sejauh itu. Saya harapkan waktu istri tiba-tiba memunyai pikiran yang buruk seperti itu, dia mesti berdialog dengan dirinya sendiri, misalnya berkata, "Saya mesti menemukan bukti, masa saya melihat suami saya berbicara dengan perempuan saya sudah berpikiran sejauh itu, buktinya apa? Jangan sampai saya mengambil kesimpulan tanpa bukti". Setelah itu dia juga mesti memandang peristiwa itu dan menempatkannya dalam konteks yang lebih luas, sejarah relasinya dengan suami bahwa selama ini suami saya baik, tidak pernah ada apa-apa, tidak berbohong, semuanya diceritakan. Mengapa saya berpikiran seperti ini? Kalau suami saya dari dulu pembohong, pengkhianat, silakan. Tapi tidak, jadi selain dari berdialog dan menuntut menemukan bukti sebelum menuduh hendaklah istri juga menempatkan apa pun yang dia alami, yang dia takuti dalam bingkai yang lebih luas. Apakah memang suaminya orang seperti itu, kalau tidak maka ia harus melawan pemikiran itu. Jangan sampai pemikiran yang berlebihan itu membuat dia akhirnya mengembangkan emosi yang panas.

GS : Sebenarnya apakah istri cukup memunyai keberanian untuk bertanya kepada si suami sebenarnya apa yang dia pikirkan itu benar atau tidak, mengkonfirmasi saja, Pak Paul.

PG : Ini pertanyaan yang sangat bagus sekali; pada umumnya istri tidak mau bertanya. Umumnya istri tidak mau bertanya seperti itu.

DL : Mungkin gengsi.

PG : Saya kira itu alasannya. Dipendam karena memang ada rasa gengsi, "Masa saya berbicara seperti itu, kelihatan kalau saya tidak merasa aman". Jadi kebanyakan istri mencoba untuk mengemasnya dengan bungkus yang berbeda, bungkus yang bermacam-macam. Orang ini begini, orang itu begitu, "kamu sebaiknya jangan dekat-dekat dengan dia". Suaminya terkejut, "Kamu mengapa bisa begitu kesal dan jengkel dengan perempuan itu, apa salahnya? Saya tidak ada apa-apa, kita baik-baik saja". Si istri menjadi marah, padahal istri sudah mengembangkan pemikiran-pemikiran yang sudah sangat jauh, yang negatif sekali, tapi menurut Ibu Dientje saya kira betul, gengsi untuk berbicara apa adanya bahwa dia memunyai ketakutan seperti itu. Kalau saja dia berani berbicara bahwa dia memunyai ketakutan seperti itu, mungkin suaminya akan lebih tanggap dan berkata, "Jangan berpikir seperti itu, saya tidak memunyai pikiran seperti itu, tidak ada hati dengan dia, saya hanya mencintaimu". Kalau berani terbuka seperti itu maka masalahnya akan beres.

GS : Tapi kalau dalam rangka memang mau mengendalikan pikiran, mau tidak mau hal itu harus dilakukan supaya pikirannya tertata, lama kelamaan setelah bertanya dan ternyata omongan suaminya bisa dibuktikan, itu akan menolong dia.

PG : Dua belah pihak memang harus bekerja sama, istri harus belajar terbuka, korbankan gengsi jangan sampai gengsi menahan dia melakukan hal yang baik. Si suami di pihak lain, cobalah mengerti bahwa inilah istrinya, bahwa inilah juga banyak wanita seperti ini. Coba langsung tohok masalah utamanya dengan berkata kepada si istri, "Oke, saya mengerti mungkin kamu agak merasa cemas, saya mau meyakinkan kamu bahwa saya hanya mencintai kamu, tidak ada perasaan saya kepada orang lain termasuk kepada dia. Kalau kamu merasa kurang yakin cobalah kamu mengikut saya selalu kalau berbicara dengan dia atau silakan kamu melihat apa yang menjadi bahan pembicaraan kami, di email kami, silakan". Jadi keterbukaan suami dan undangan suami untuk masuk mengeceknya sedikit banyak hal itu akan membuat istri lebih nyaman.

DL : Lebih lega rasanya. Selain itu apalagi, Pak Paul?

PG : Yang kedua untuk bisa mengendalikan emosi saya sarankan, perlu tindakan antisipatif atau perencanaan. Begini, kebanyakan reaksi emosional keluar tanpa kendali oleh karena kita merasa bahwa situasi itu telah lepas kendali, itu sebabnya sebelum menghadapi sesuatu yang penting, penting bagi kita untuk mengantisipasi situasi yang akan kita hadapi itu. Sebagai contoh, ibu hendak mengajak anaknya pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli sesuatu, si ibu harus mengantisipasi situasi tersebut sebelum pergi. Jika ada toko mainan, kira-kira apa yang akan dilakukan oleh si anak atau jika ada arena bermain apakah yang akan dilakukan si anak? Bila waktu tersedia ada baiknya bagi si ibu untuk merencanakan memberi kesempatan kepada si anak untuk bermain sejenak atau bila sudah waktunya bagi si anak untuk membeli mainan, pikirkanlah mainan apa yang dapat dibelikan. Semua perencanaan ini akan memudahkan si ibu bereaksi ketika si anak meminta dibelikan mainan atau mau bermain di arena permainan itu. Sebaliknya kalau si ibu tidak mengantisipasi semua ini, mudah sekali baginya marah pada waktu anak meminta membeli mainan, mau bermain di sini di situ, ibunya kalap dan marah. Jadi penting sebelum pergi sedapatnya istri atau ibu merencanakan, di sana akan berbuat apa dan apa. Makin jauh dan matang perencanaan makin mudah dia mengendalikan emosinya, sebab waktu anak meminta ini dan itu, dia sudah siap menghadapinya.

DL : Juga bersama suami dalam merencanakan kebutuhan rumah tangga kadang-kadang seorang wanita itu lebih boros.

PG : Memang perlu perencanaan dalam relasi dengan suami.

GS : Sebenarnya ketika ibu ini mengajak anaknya ke pusat perbelanjaan, dia sudah mengetahui apa yang akan terjadi di sana.

PG : Memang sekali pun kita mengetahui tidak selalu kita merencanakan apa yang akan dilakukan, jadi akhirnya terjadi seperti itu. Seharusnya kalau sudah mengetahui harus dipikirkan saya akan membelikan dia mainan atau tidak, jangan baru diputuskan ketika sudah berada di depan toko mainan, nanti ribut dengan si anak. Sebelumnya harus dipikirkan lebih dulu, kalau kita tidak mau membelikan mainan karena baru saja dibelikan mainan, kita katakan kepada si anak, "Nanti kamu akan melewati toko mainan itu, tapi kita tidak akan masuk ke sana karena kamu baru saja mendapatkan mainan, sekarang tidak dulu lain kali baru kita membeli mainan. Apakah kamu berjanji akan melewati toko itu dan tidak merengek-rengek minta masuk?", nah kalau si anak berkata, "Ya". Begitu anak nanti ikut di depan mall diingatkan lagi sampai 2 — 3x, waktu melewati toko, kecil kemungkinannya dia merengek, Kalau dia merengek juga, ibu mengingatkan lagi, dengan cara ini si ibu sudah lebih siap menghadapi anak yang masih merengek-rengek. Jika tidak, maka di toko si anak akan bereaksi, yang keluar kepanikan dan kemarahan si ibu.

GS : Itu kalau hubungan antara orang tua dengan anak, kalau suami istri? Kalau kita sudah memberitahukan kepada istri bahwa hanya akan jalan-jalan saja di mall ini, istri tidak jadi pergi, Pak Paul. "Itu tergantung saya nanti kalau senang saya akan masuk ke toko itu". Kalau kita katakan bahwa tadi sudah berjanji bahwa hanya akan jalan-jalan saja, bisa rusak hubungan suami istri itu.

PG : Kalau dalam kasus suami istri begini, Pak Gunawan, sudah tentu si istri misalkan mau pergi, dia juga dalam hati sudah siapkan hati, rencanakan, ada baiknya dia berbicara dengan suaminya sehingga suaminya juga mengetahui apa yang diharapkan. Kalau tidak misalnya ini yang terjadi, si istri pergi ke mall dengan suaminya, di pusat perbelanjaan itu dia melihat toko yang disukainya, dia masuk dan suaminya disuruh menunggu berjam-jam tidak keluar-keluar. Akhirnya suaminya marah, merasa kesal. Dia keluar dan suaminya berkata, "Kamu lama sekali". Si istri menjadi emosi juga, "Kamu juga tidak mau menunggui saya dan lain-lain.". Sekali lagi perencanaan itu penting, mungkin si istri berkata, "Saya akan masuk ke dalam, kamu mau menunggu berapa lama?" Jadi ada perencanaan, sehingga si istri juga bisa mengendalikan reaksi emosinya. Sebab kalau tidak dia baru keluar dari toko, suaminya merengut dan lain-lain. Dia mungkin marah jadi akhirnya terjadi pertengkaran.

GS : Dalam hal perencanaan mungkin si suami lebih senang diajak berencana, tetapi si istri belum tentu senang.

PG : Ini sesuatu yang memang tidak otomatis, harus belajar tapi ini yang seringkali menjadi penyebab munculnya ledakan emosi, karena tidak dipikirkan, tidak direncanakan dulu kira-kira apa yang akan terjadi. Pas terjadi tidak siap langsung emosi keluar, oleh karena itu meskipun tidak otomatis saya kira perlulah wanita juga belajar menguasainya.

GS : Kadang-kadang ledakan emosi muncul karena suatu peristiwa yang di luar dugaan seperti tadi yang Pak Paul contohkan, kita di mall atau di jalan bertemu dengan teman lama kita lalu kita begitu akrab, si istri bisa berpikir yang bukan-bukan, Pak Paul.

PG : Memang kita tidak bisa memastikan semua berjalan, tapi yang bisa silakan kita mulai membiasakan diri untuk memikirkan, sehingga kita tidak langsung bereaksi pada saatnya sehingga tidak siap. Masalah akhirnya muncul.

DL : Selain perencanaan apa lagi, Pak Paul?

PG : Yang berikut, istri perlu menunjukkan sikap sedia untuk dikoreksi atau berubah. Mungkin istri masih perlu waktu yang lama untuk berubah, mungkin ia tumbuh besar dalam keluarga yang kerap konflik atau lingkungannya keras sehingga emosinya mudah tersulut dan lidah sukar terkendali. Nah, jika itu situasinya, itu latar belakangnya, jangan ragu bagi istri untuk menyampaikan kepada suami bahwa "inilah masalah saya, saya sadar dan saya mau dikoreksi tolong beritahu saya, tapi tolong juga sabar karena saya memerlukan waktu untuk berubah". Jadi cobalah setelah itu berubah sedikit demi sedikit, memang kita tidak bisa berubah dengan cepat. Waktu suami melihat bahwa istrinya mulai berubah, mengaku tentang apa adanya tentang latar belakangnya, nah waktu suami mendengar istrinya berkata, "Tolong aku dikoreksi tapi tolong juga sabar" akhirnya suami lebih terdorong menerima istri dengan kelemahannya. Terlebih penting lagi ia akan merasa bahwa perkataannya itu didengar oleh si istri, koreksinya ditanggapi dengan positif sebaliknya kalau si suami sudah mencoba mengoreksi, memberitahu si istri, "Kamu jangan begini, suaramu terlalu keras, emosimu terlalu kasar dan lain-lain." Dan bila istri tidak menggubris dan terus berlaku seenaknya akhirnya suami 'putus asa' tidak mau lagi menyampaikan teguran, mendiamkan si istri. Didiamkan terus-menerus maka relasi akan menjadi renggang.

DL : Kalau terjadi seperti itu seharusnya bagaimana, Pak Paul?

PG : Memang suami perlu mencoba menenangkan si istri dengan berbicara baik-baik, beritahukan bahwa ia ingin relasi ini tidak sampai merenggang terus, bisa ada perbaikan. Dia bertanya kepada istri langsung, "Apakah kamu memunyai tujuan yang sama, mau memerbaiki relasi ini?" Kalau istri mengatakan, "Ya tentu saja". "Kalau begitu baiklah kita bekerja sama, coba engkau berikan saya satu koreksi dan saya akan bagikan kepadamu satu koreksi, ayo kita saling mengoreksi diri". Biarlah si istri berbicara lebih dulu koreksinya apa kemudian si suami berkata, "Oke, sekarang saya berikan koreksi saya kepadamu, coba dengarkan". Mudah-mudahan dengan cara begitu si istri lebih bisa mendengarkan koreksi dari si suami, beri kesempatan pada si istri untuk menyampaikan koreksinya kepada suami terlebih dahulu baru suami menyampaikannya kepada si istri juga.

GS : Jadi hal-hal seperti itu sebenarnya sangat tergantung dari bagaimana cara kita menyampaikannya, begitu Pak Paul. Inti dari permasalahannya tidak terlalu serius tapi kalau disampaikan dengan cara yang tidak tepat, seringkali baik bagi suami maupun istri menimbulkan pertengkaran.

PG : Memang cara itu sangat penting sekali, jadi kita selalu harus usahakan cara yang paling tepat, cara yang paling pas namun saya juga tidak mau naif, saya mau mengakui bahwa adakalanya meskipun cara kita sudah benar tetap tidak membuahkan hasil karena apa, sebagai contoh, ada faktor latar belakang. Kadang-kadang itu yang terjadi, maksudnya kalau kita dari latar belakang keluarga yang memang tidak baik, kita harus menanggung beban keluarga karena orang tua bermasalah, kakak adik bermasalah. Setiap kali kita berbicara dengan orang tua mendengarkan masalah, sudah menikah pun tetap mendengarkan masalah dari orang tua, dari adik kakak sehingga pikiran kita selalu dibebani dengan masalah keluarga. Kita mungkin sekali menjadi orang yang tidak siap mendengarkan koreksian karena sudah terlalu pusing dan lelah, pada waktu kita harus mendengarkan lagi masukan kita anggap hal itu tuntutan, karena kita sudah lelah dituntut oleh orang tua dan kakak adik yang bermasalah. Jadi tidak bisa lagi mendengarkan sedikit pun tuntutan dari siapa pun termasuk dari suami kita, akhirnya waktu kita mendengarkan tuntutan atau koreksi seperti itu maunya marah ! Kalau begitu kasusnya, suami harus berkata dengan jelas bahwa, "Saya ini melihat kamu terlalu lelah, kamu terlalu memikirkan keluargamu, saya mengerti bahwa hal ini tidak mudah tapi tolong kamu perhatikan juga pernikahan kita. Saya tidak bisa terus-menerus diperlakukan seperti ini oleh kamu, saya juga manusia. Saya tidak mau menambahkan beban tetapi tolong dengarkan saya juga". Jadi suaminya harus berkata dengan lebih tegas seperti itu.

DL : Selain hal itu apa lagi, Pak Paul?

PG : Yang terakhir adalah ini, sebelum mengeluarkan perkataan apa pun sedapatnya pikirkan dampaknya, panjang atau pendek. Perempuan perlu selalu memikirkan dampak perkataannya dan juga tujuannya. Mengapa saya mau mengatakannya, jangan mau mengeluarkan perkataan hanya untuk memuaskan hasrat di hati. Adakalanya ini yang dilakukan oleh istri, mengeluarkan perkataan yang melukai hati suami sehingga akhirnya suami menjadi tawar hati atau memarahi anak sampai anak memendam luka di usia dewasa. Jadi istri atau ibu perlu memikirkan dampak perkataannya, kadang-kadang terlalu cepat keluar tidak dipikir bahwa dampaknya bisa sangat menusuk hati dan berdampak panjang.

GS : Yang seringkali terjadi justru penyesalan setelah perkataan itu keluar, Pak Paul.

PG : Tapi ada juga yang tidak menyadarinya, oleh karena itu tadi sudah saya singgung penting bersedia mendengar koreksi dari pasangan juga.

GS : Jadi hal-hal yang perlu dipikirkan sebelum perkataan itu keluar dan berdampak buruk itu apa saja, Pak Paul?

PG : Misalnya kita menempatkan diri, kalau saya yang mendengarkan perkataan ini apa reaksi saya, apa perasaan saya, apakah saya akan merasa terhina? Atau kita juga bertanya, perkataan ini tujuannya menyelesaikan masalah atau tidak atau mengumbar perasaan saja. Jangan sampai tujuannya hanyalah mau mengumbar perasaan, kita keluarkan isi hati kita supaya bisa menyelesaikan masalah sehingga masalahnya tidak harus terulang lagi.

GS : Tetapi hal-hal seperti itu bukan hanya harus dipelajari oleh istri tetapi juga oleh suami, Pak Paul?

PG : Tepat sekali, memang ini dua belah pihak harus melakukannya, kebetulan saja tadi kita lebih memfokuskan pada masalah emosi pada wanita namun tetap ini berlaku untuk kedua-duanya.

GS : Dalam hal ini Pak Paul apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?

PG : Firman Tuhan berkata, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman tapi perkataan yang pedas membangkitkan marah" ini dari Amsal 15:1. Jadi jawaban lemah lembut meredakan kegeraman tapi perkataan yang pedas membangkitkan kemarahan, kita tidak mau membangkit-bangkitkan amarah, kita mau meredakan kegeraman dan juga kita mau menggunakan kata-kata yang membangun bukan menghancurkan jiwa orang lain jadi hendaklah kita belajar sedapat mungkin mengendalikan emosi kita sebab emosi itu seperti api akan menyambar dan membakar jiwa orang lain.

GS : Tapi ada sebagian orang kalau marah lalu tidak ditanggapi atau ditanggapi dengan lemah lembut, seolah-olah menghina yang marah sehingga kemarahannya lebih memuncak lagi. Bisa terjadi seperti itu, Pak Paul?

PG : Bisa saja karena dia merasa tidak diperhatikan atau apa, karena itu yang berkata lemah lembut tetap harus memberikan perhatian penuh, melihatnya dan memberikan benar-benar suatu kepastian bahwa saya mendengarkan engkau. Misalnya dengan mengulang perkataannya, "Inikah yang kau maksud?" atau "Apakah ini yang engkau katakan?" jadi dia mengetahui bahwa dia benar-benar sedang didengarkan. Saya kira dengan cara-cara seperti itu akhirnya yang sedang marah juga bisa reda.

GS : Jadi bukan diabaikan, tetap didengarkan hanya caranya dengan lemah lembut, begitu Pak Paul?

PG : Betul sekali.

GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengendalikan Emosi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



67. Autisme : Keunikan atau Kelainan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T340A (File MP3 T340A)


Abstrak:

Semua orang tua tentulah mengharapkan agar anak-anak bertumbuh besar "normal," dalam pengertian serupa dengan anak-anak lain. Masalahnya adalah tidak semua anak bertumbuh besar serupa dengan anak-anak pada umumnya. Dalam hal ini, jika anak kita ternyata anak yang autis, bagaimana kita sebagai orang tua menghadapi masalah ini?


Ringkasan:

Sebagai orangtua tentulah kita mengharapkan agar anak-anak bertumbuh besar "normal," dalam pengertian serupa dengan anak-anak lain. Masalahnya adalah tidak semua anak bertumbuh besar serupa dengan anak-anak lain. Ada keunikan tertentu pada anak yang menuntut kita untuk membesarkannya dengan cara yang sesuai dengan keunikannya. Berikut kita akan membahas keunikan anak yang memang dalam kasus ekstrem dapat berubah menjadi gangguan yang perlu penanganan lebih serius. Namun, dalam kadar yang lebih rendah sesungguhnya keunikan ini masih dan seharusnyalah ditangani oleh kita sendiri, orangtuanya.

Pada tahun 2003, Majalah Newsweek memuat sebuah artikel yang menarik tentang pemikiran seorang psikolog dari Universitas Cambridge di Inggris, bernama Simon Baron-Cohen. Ia menuangkan pemikirannya dalam sebuah buku berjudul, "The Essential Difference." Pada dasarnya pemikiran Baron-Cohen berkaitan dengan gangguan autisme yang tampaknya makin banyak dialami oleh anak dewasa ini. Sudah tentu beliau mengakui keberadaan gangguan ini namun lewat buku ini, beliau ingin mengajak kita untuk memandang masalah autisme dari kerangka pandang keunikan—bukan kelainan—anak. Baron-Cohen mendefinisikan autisme sebagai "ketidakseimbangan" antara dua jenis kecerdasan: pertama adalah kecerdasan yang digunakan untuk memahami orang (people) yang disebutnya, emphatizing, atau mengempati, dan kedua, kecerdasan yang digunakan untuk memahami benda (things), yang disebutnya systematizing atau mensistematikkan. Yang menarik adalah ternyata anak perempuan lebih mudah mengempati dibandingkan anak laki-laki dan anak laki-laki lebih mudah mensistematikan ketimbang anak perempuan. Memang, data mengungkapkan bahwa 80% dari penderita autisme adalah laki-laki.

Di dalam artikel itu dimuat tentang beberapa kasus anak yang mengidap autisme. Misalkan, ada seorang anak berusia 19 tahun di India yang dapat menyebutkan 14 stasion kereta secara berurut dan mengingat nada lagu dengan begitu cepatnya namun sulit mengungkapkan isi hatinya secara verbal. Pada umumnya anak-anak ini memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengumpulkan fakta, kemudian mengkategorikannya. Namun untuk memulai dan memutar roda percakapan, mereka tidak bisa. Satu hal lagi adalah mereka memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap bunyi dan cahaya.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah yang dapat atau seharusnya dilakukan oleh orangtua?

Pertama dan terpenting adakah kita harus menerima dan mengerti keunikan anak. Kita mesti menjaga sikap agar tidak menuntutnya untuk melakukan hal-hal yang memang tidak bisa atau teramat sulit dilakukannya. Kita harus menyadari bahwa sukar baginya untuk menjalin persahabatan; itu sebabnya ia cenderung menyendiri. Kita mesti menolongnya untuk bersosialisasi namun kita tidak boleh menyalahkannya kalau ia sulit untuk memulai pertemanan atau berinisiatif untuk berbuat sesuatu yang baik kepada orang lain.

Kedua, kita dapat melatihnya untuk meningkatkan kemampuannya berempati. Misalkan, kita dapat mengajaknya membaca buku bergambar dan menjelaskan emosi yang terkandung di balik wajah atau ungkapan yang terkandung di dalam gerakan atau bahasa tubuh. Sewaktu ia murung atau jengkel, ajaklah dia untuk menyatakan perasaannya. Dan, kita pun mesti mencontohkanya dengan cara memberitahukan kepadanya perasaan yang tengah kita rasakan.

Ketiga, kita harus meneguhkan keunikannya sebagai sesuatu yang baik. Berilah pujian sewaktu ia dapat dengan cepat menyelesaikan hitungannya dan katakanlah bahwa kemampuan itu dapat digunakannya untuk bekerja sebagai seorang ahli teknik atau akutansi. Singkat kata, berilah ia pandangan ke muka untuk melihat apa yang dapat dikerjakannya dengan apa yang dimilikinya. Bukan saja hal ini akan membuatnya melihat dirinya secara positif, ia pun akan mengembangkan kepercayaan diri yang lebih kokoh.

Pada akhirnya kita pun mesti melihat semua ini dari kacamata Tuhan. Mazmur 139:13-14 menyatakan, "Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib yang Kau buat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya." Mungkin kita sendiri kurang dapat menerima kondisi anak; mungkin tanpa disadari, kita telah mengkomunikasikan ketidakterimaan kita ini kepada anak. Memang tidak mudah untuk menerima ini sebab bagaimanapun juga kita ingin agar anak kita "sama" seperti anak lainnya. Namun kita harus mempercayai bahwa Tuhan tidak membuat kesalahan. Ia menciptakan anak ini sesuai gambar-Nya, sesuai desain yang memang dikehendaki-Nya. Tugas kita adalah membesarkan anak ini sedemikian rupa agar ia dapat menwujudkan rencana Allah dalam hidupnya.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Autisme : Sebuah Keunikan Atau Kelainan?" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, sebagian orang malah menyebutkan penderita autis, jadi bukan sebuah keunikan atau kelainan malah disebut penderita. Padahal kalau saya amati anak yang autis itu tidak menderita, jadi hidupnya biasa-biasa saja hanya tingkah lakunya agak berbeda tapi yang menderita malah orang tuanya. Sebenarnya betul atau tidak istilah penderita autis itu?
PG : Memang sebetulnya istilah autisme adalah sebuah diagnosis yang diberikan kepada anak-anak yang memunyai karakteristik tertentu yang dianggap nantinya bisa mengganggu pertumbuhannya terutama sosialisasinya. Kata autisme sendiri berasal sebuah kata 'auto', auto itu berarti sendiri. Kenapa anak ini disebut autis karena anak-anak ini memang sulit bersosialisasi dengan anak lain dan dia cenderung untuk berdiam diri dalam kesendirian, bisa bermain dengan satu mainan dan tidak bermain dengan mainan lainnya. Jadi kesendirian itu adalah ciri utamanya. Dalam kasus yang sangat parah sekali memang ada anak autistik yang sama sekali tidak bisa berelasi bahkan sama orang tuanya dan bahkan tidak bisa memandang orang tuanya. Gangguan ini sekarang disebutnya sebuah spektrum artinya ada tingkatan atau kadarnya dan tidak semuanya sama, jadi ada kadar yang parah dan ada kadar yang lebih rendah. Dalam kadar yang lebih rendah ada diagnosis yang lain misalnya asperger itu adalah gangguan yang memang sejenis dalam kategori autis, tapi sebetulnya kadarnya lebih ringan. Kalau dibilang penderita memang ada benarnya. Kita akan membahas, sebab sebetulnya meskipun ini dapat dikatakan sebuah gangguan namun dalam kadar yang lebih rendah sebetulnya ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh seseorang yang didiagnosis dengan gangguan ini.
GS : Sebetulnya tingkah laku anak seperti itu sudah lama ada. Tapi kenapa baru akhir-akhir ini, sekitar 10 atau 15 tahun mulai menggejala di mana-mana, sedikit-sedikit dikatakan anak ini dikatakan autis, sampai-sampai ada Yayasan Autis di Indonesia, ini bagaimana Pak Paul?
PG : Karena gangguan ini dalam kadar yang parah memang menunjukkan adanya perbedaan dalam susunan syaraf di otaknya dengan anak-anak yang lain, jadi perbedaannya bukan hanya dari segi perilaku tapi juga berbeda secara fisiologis atau jasmaniah dalam susunan syaraf di otaknya. Itu sebabnya akhirnya dikatakan ini sebuah gangguan.
GS : Kalau Pak Paul sendiri lebih cenderung menyebutnya sebagai suatu keunikan atau kelainan?
PG : Dalam kadar yang lebih rendah ini disebut sebagai suatu keunikan, tapi dalam kadar yang sangat parah itu merupakan sebuah problem atau kelainan. Jadi inilah yang akan kita bahas pada saat ini.
GS : Bagaimana itu, Pak Paul?
PG : Memang tadi sudah disinggung lebih banyak orang menderita gangguan ini dibandingkan dulu. Bisa jadi dulu tidak teridentifikasi sehingga kita anggap ini sebagai sebuah keunikan saja, bahwa anak ini agak sedikit nyentrik. Namun sekarang dengan adanya diagnosis ini akhirnya lebih banyak yang tertangkap dari diagnosis ini. Namun bisa jadi juga memang sebetulnya ada peningkatan kasus-kasus seperti ini dibandingkan dulu. Kalau kita perhatikan ada anak yang sangat khusus yang tidak bisa begitu bergaul dan benar-benar menjauh dari anak-anak lain. Jadi bukan karena anak kita pendiam, tapi ada anak-anak yang sama sekali tidak bisa dan benar-benar menunjukkan sebuah kelainan. Kalau ini terjadi pada diri kita memang tidak mudah kita terima sebab sebagai orang tua kita semua mengharapkan anak kita bertumbuh dengan normal dengan pengertian sama dengan anak-anak lain, masalahnya tidak selalu sama jadi ada keunikan tertentu yang mengharuskan kita untuk membesarkannya dengan cara yang khusus. Saya akan memunculkan sebuah pengamatan yang dituangkan dalam sebuah artikel di majalah Newsweek tahun 2003, artikel itu memuat sebuah tulisan yang ditulis oleh seorang psikolog dari Cambridge University di Inggris yang bernama Simon Baron-Cohen dia ini menuliskan pikirannya dalam sebuah buku yang berjudul "The Essential Difference". Pada dasarnya pemikirannya Baron-Cohen berkaitan dengan gangguan autisme. Sekali lagi dia tidak mengatakan bahwa gangguan ini tidak ada, tapi ada dan diakui. Tapi beliau ingin mengajak kita memandang autisme dari kerangka pandang keunikan bukan pada kelainan anak pada umumnya. Jadi menarik sekali apa yang dilakukannya sewaktu dia mendefinisikan gangguan ini. Dia berkata bahwa gangguan autisme adalah sebuah ketidakseimbangan antara dua jenis kecerdasan. Pertama adalah kecerdasan yang digunakan untuk memahami orang yang disebutnya 'empathizing' atau mengempati dan kedua kecerdasan yang digunakan untuk memahami benda yang disebutnya 'systematizing' atau mensistematikkan. Artinya begini, ada anak-anak yang memang memunyai kemampuan sangat tinggi untuk bisa memahami orang, mengerti orang, bisa mengetahui perasaannya, membaca raut mukanya, tahu cara bicara. Tapi ada juga orang yang kekuatannya bukan pada memahami orang tapi memahami benda, jadi dia bisa mengotak-atik benda, dia bisa mengamati itu dan dia bisa melihat dengan detail sekali. Kohen menyimpulkan ada dua jenis kecerdasan. Anak-anak yang seringkali dikategorikan autistik adalah anak-anak yang masuk dalam kategori keunggulannya mengsistimatikkan namun kelemahannya sangat parah di bidang mengempatinya. Semua manusia seharusnya punya dua-duanya, tapi kadarnya seharusnya misalnya 60% dan 40% atau 70% dan 30% baik yang satu maupun yang satunya. Tapi dalam kasus autistik benar-benar kemampuan untuk mengsistimatikkannya itu 99% dan kemampuan untuk mengerti manusia itu hampir-hampir 1% saja. Jadi benar-benar tidak seimbang. Ini yang dimaksud dengan ketidakseimbangan.
GS : Jadi, kalau anak itu tidak bisa merasakan perasaan orang lain atau tidak bisa mengamati perasaan orang lain, maka dia akan bertindak semaunya sendiri. Apakah anak yang hiperaktif juga tergolong ini?
PG : Tidak. Sebetulnya itu dua jenis problem yang tidak sama. Dua jenis diagnosis yang terpisah. Yang Pak Gunawan sebut hiperaktif itu masuk dalam kategori 'Attention Defisit Hiperactive Disorder' atau yang disingkat ADHD. Itu ciri-cirinya adalah sulit berkonsentrasi dan memunyai tingkat energi yang sangat tinggi jadi akhirnya susah sekali diam. Anak-anak ADHD ini tidak sama gangguannya dengan anak-anak autistik karena dia bisa jadi orang yang sangat pandai bergaul, teman-temannya mungkin banyak sekali karena dia senang berolahraga, bermain dan sebagainya. Jadi bisa jadi dia orang yang pandai dalam berteman. Anak-anak yang masuk dalam kategori autistik memang tidak bisa. Tapi ada yang kadarnya lebih ringan sudah tentu lebih bisa tapi sangat sedikit, teman-temannya dan kemampuan untuk memunyai persahabatan yang mendalam juga agak susah.
GS : Beberapa kali saya menjumpai anak yang autis itu adalah anak laki-laki, Pak Paul.
PG : Jadi memang datanya cukup mengejutkan, ternyata memang 80% dari penderita autisme adalah anak laki-laki, sebab memang kecenderungan anak laki-laki lebih kuat didalam kecerdasan mengsistematikkan sedangkan anak perempuan pada umumnya jauh lebih kuat didalam kecerdasan untuk memahami orang. Misalkan mereka ini para ilmuwan memberikan tes pada anak-anak perempuan dan laki-laki yang masih kecil. Waktu diberikan misalnya raut wajah, maka anak perempuan dengan cepat dan tepat mengatakan ini wajah sedih, wajah marah dan sebagainya. Dan anak laki-laki yang kecil itu waktu diberikan raut wajah tidak bisa mengetahui ini wajah sedih atau wajah marah dan sebagainya, mereka buta. Jadi secara umum memang anak-anak laki-laki tidak terlalu memunyai kepekaan atau kecerdasan untuk bisa memahami manusia atau orang, mengerti perasaan dan sebagainya, kalau anak perempuan jauh lebih cepat. Jadi karena autisme sepertinya merupakan kadar yang berlebihan dari mengsistematikkan ini sudah tentu lebih banyak keluar dari anak laki-laki.
GS : Kalau anak laki-laki lebih punya kelebihan didalam mengsistematikkan benda yang ada di sekitarnya, tapi dia punya kelemahan didalam mengempati, sedang yang wanita atau anak wanita lebih punya kelebihan didalam mengempati, sebenarnya 'kan pas atau berimbang, Pak Paul?
PG : Jadi kalau kadarnya di satu kategori berlebihan, sampai-sampai kadar yang satunya hampir habis maka itu menimbulkan masalah. Jadi kita tidak akan membahas hal ini, tapi sebetulnya ada lagi satu jenis gangguan untuk orang-orang yang sama sekali kemampuan untuk mengsistematikannya tidak ada, tapi kemampuan untuk memahami manusia begitu tinggi sehingga ada anak-anak sejak kecil sekali dia dianggap tidak begitu normal, karena sewaktu dia kecil tapi sudah bisa menangis cepat, menghayati perasaan orang, nonton TV langsung menangis padahalnya anak ini masih berusia 3 tahun atau 4 tahun. Ada yang seperti ini sehingga dianggap tidak lagi seimbang. Karena kemampuan mengsistematikkan hampir nol tapi kemampuan mengempatinya begitu tinggi. Jadi ada beberapa contoh yang diberikan dalam artikel itu, misalnya ada seorang anak di India yang bisa menyebutkan 14 stasiun kereta secara berurut dengan cepat, padahalnya baru membaca tapi dia bisa menyebutkan semuanya, tapi ketika disuruh bicara apa yang menjadi perasaannya dia tidak bisa. Atau ada anak laki-laki di Hongkong baru berusia 15 tahun, kemampuan verbalnya seperti anak umur 2 tahun. Jadi benar-benar tidak seimbang. Sudah berusia 15 tahun, tapi kemampuan bicaranya seperti anak umur 2 tahun, namun anak ini disuruh mendengarkan satu lagu, dia bisa langsung memainkan nadanya seketika itu juga, satu kali saja dia bisa langsung memainkan. Tapi disuruh menyanyikan kata-katanya dia tidak bisa. Jadi sekali lagi dengan kata-kata berarti harus lebih banyak lagi memahami manusianya, itu yang lemah tapi lagunya itu sendiri dia langsung bisa. Kenapa begitu? Karena ternyata anak-anak yang autisme ini mereka memunyai kesensitifan yang sangat tinggi terhadap bunyi dan cahaya. Jadi anak-anak itu kalau mendengar suara yang terlalu keras juga tidak tahan, tapi sebaliknya karena dia sangat peka dengan bunyi, maka kemampuan untuk menangkap nada dan mengingat nada luar biasa cepat. Dan juga cahaya, dia tidak bisa terlalu terang, jadi cenderung suka yang lebih redup karena sangat peka dengan cahaya.
GS : Apakah keunikan ini dibawa sejak lahir, Pak Paul?
PG : Iya, memang ada bawaannya, bukan karena pengaruh atau bentukan orang tua. Jadi anak-anak ini dari kecil memang sudah memunyai bawaan ini, sehingga anak-anak yang umurnya misalnya 2 atau 3 tahun bisa diajak tertawa, diajak untuk berdialog, anak-anak ini tidak bisa. Mungkin ada yang kepalanya goyang terus dan tidak bisa melihat wajah orang yang mengajak bicara.
GS : Kalau ini dibawa sejak lahir, kira-kira pada umur berapa orang tua menyadari kalau anak ini autis, Pak Paul?
PG : Sebetulnya cukup dini. Jadi misalnya umur 2 atau 3 tahun seharusnya sudah bisa mulai dilihat, kenapa tidak cepat merespon, diajak bicara tidak bisa menengok, bermain dengan satu benda bisa begitu lama dan tidak pindah-pindah. Pada usia 4 atau 5 tahun susah bicara dan tidak cepat bicara dan hanya bisa menunjuk. Tapi kalau diajak bicara matanya kemana-mana. Biasanya umur 2 atau 3 tahun sudah bisa dilihat.
GS : Jadi di sini, peran orang tua itu sangat besar untuk bisa membantu anak ini memahami keunikannya dan kita juga sebagai orang tua memahami keunikan anak ini.
PG : Betul sekali. Jadi kita sebagai orang tua mesti menerima dan mengerti keunikan anak ini. Misalnya, kita harus menjaga sikap dan jangan menuntutnya melakukan hal-hal yang memang sangat sulit untuk dilakukan. Misalnya kita harus mengerti bahwa memang sukar baginya untuk menjalin persahabatan, itu sebabnya dia senang menyendiri. Kita tidak mau dia tenggelam atau bermain sendirian saja. Jadi kita harus mengajak dia ke rumah temannya atau bawa temannya ke rumah. Tapi jangan sampai kita memarahi dia karena dia tidak bisa bermain dengan teman-temannya. Kita harus mengerti bukannya dia tidak mau tapi memang sangat susah sekali, dia tidak memunyai pengertian bagaimana misalnya memulai roda percakapan.
GS : Tapi dia tidak sampai mengganggu temannya dari sikapnya, Pak Paul?
PG : Tidak, kalau anak yang ADHD atau hiperaktif memang mengganggu. Tapi kalau autistik kebanyakan justru menjauh dari pertemanan, kalau temannya lagi berkumpul dia tidak mau mendekat. Jadi kebanyakan memang justru akhirnya diabaikan oleh teman-temannya.
GS : Kalau sudah saatnya anak ini harus sekolah maka akan jadi repot, Pak Paul?
PG : Ini akan menjadi masalah karena sudah tentu di sekolah guru harus mengawasi anak yang lain, jadi tidak bisa terus menerus memerhatikan satu anak ini, tapi biasanya di sekolah dia menyendiri. Kalau bermain dia diam saja atau dia bermain sendirian dan masalahnya adalah dia tidak merasa butuh, jadi kalau kita berkata, "Kamu sepi tidak punya teman" dia tidak seperti itu, dia tidak merasa itu adalah sesuatu yang kurang dalam dirinya, justru kalau ada yang mau bermain dengan dia itu malah mengganggu dia, karena dia maunya sendirian.
GS : Ketika dia merasa tidak senang atau merasa direcoki, untuk mengungkapkannya juga sulit, begitu Pak Paul?
PG : Betul. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa, dan mungkin dengan sikapnya dia tunjukkan misalnya dia menghindar dan teman-temannya akhirnya bisa tersinggung, jengkel dan sebagainya sehingga akhirnya dia tidak banyak teman.
GS : Apakah anak seperti ini seharusnya disekolahkan di sekolah khusus, Pak Paul?
PG : Sebaiknya jangan dulu kalau kadarnya tidak terlalu parah apalagi kalau tingkat kecerdasannya baik dan normal, karena di sekolah yang biasa dia lebih dipaksa atau ditarik untuk bisa bergaul dengan anak-anak lain.
GS : Hal lain yang bisa dilakukan oleh orang tua apa, Pak Paul?
PG : Kita bisa melatihnya untuk meningkatkan kemampuannya berempati, misalnya kita dapat mengajaknya membaca buku bergambar dan menjelaskan emosi yang terkandung di balik wajah atau ungkapan yang terkandung di dalam gerakan atau bahasa tubuh, jadi kita bisa bertanya kita jelaskan kalau orang ini sedang marah, dia sedang kesal, kenapa? Sebab anaknya tidak pulang, dia marah kenapa? Sebab ada orang mencuri. Jadi kita harus menjelaskan berulang-ulang sejak anak kecil, karena kecenderungannya dengan benda saja. Anak-anak autis kalau menggambar juga detail sekali dan yang menarik adalah misalkan dia menggambar mobil, kalau kita menggambar mobil maka pertama-tama kita akan menggambar badannya yang besar, dan kemudian baru kita tambahkan di dalamnya. Kalau untuk anak autis kebalikannya, dia akan mulai menggambar dengan setirnya, rodanya, kemudian dia gambar yang lain hingga menjadi kesatuan. Jadi sekali lagi kita bisa menyadari kemampuan dia untuk bisa melihat detail sangat luar biasa, sehingga kita bisa langsung kategorikan dan membangun sebuah gambar mobil dari gambar kecil-kecilnya itu. Jadi sekali lagi kita harus menolongnya untuk berempati waktu dia marah atau jengkel, kita minta dia untuk mengungkapkan perasaannya, kita tanyakan, "Kamu merasa apa?" dia tidak mengerti dan mungkin dia diam, maka kita katakan, "Kamu marah, ya? Coba kamu katakan kalau saya marah". Jadi harus diulang-ulang, "Kamu kenapa? Kamu kenapa? Kamu tidak suka, ya? Coba katakan tidak suka". Jadi kita harus terus mengajarkan seperti itu. Maka peranan orang tua di rumah sangat besar, kalau ada anak kita yang seperti ini tidak bisa tidak, ada satu orang yang harus benar-benar memberikan waktu untuk anak ini dan tidak bisa kita abaikan, malam baru ketemu dia dan sebagainya itu tidak bisa.
GS : Juga di sekolah itu ada guru pendamping untuk anak ini secara khusus, jadi orang tua memang menyewa guru itu untuk mendampingi anak ini di kelas. Seperti yang Pak Paul katakan, guru tidak mungkin memerhatikan anak ini sendiri.
PG : Nanti sewaktu guru bicara dia tidak mendengarkan dan dia terus menggambar, misalnya guru memberi PR dia tidak mendengarkan. Waktu pulang mamanya bertanya, "Mana agendamu, coba lihat ada PR apa tadi?" Agendanya kosong karena dia tidak mencatat, dia tidak ada koneksi dengan si guru.
GS : Hal lain yang harus diperhatikan oleh orang tua apa, Pak Paul?
PG : Kita harus meneguhkan keunikannya sebagai sesuatu yang baik, berikanlah pujian saat dia menyelesaikan hitungan dengan cepat dan katakanlah kalau kemampuan itu dapat digunakan untuk bekerja sebagai ahli teknik atau akuntansi. Jadi kita harus memberi dia pandangan ke muka untuk melihat apa yang dapat dikerjakannya dengan apa yang dimilikinya. Bukan saja hal ini akan membuatnya melihat dirinya secara positif, tapi dia pun nantinya akan bisa mengembangkan kepercayaan diri yang lebih kokoh.
GS : Sehubungan dengan kalau anak ini bukan anak tunggal, tetapi punya saudara yang lain, hubungan dengan saudara-saudaranya bagaimana, Pak Paul?
PG : Makanya kita sebagai orang tua harus mendorong adik atau kakaknya untuk mengajak dia bermain karena kebanyakan anak-anak yang normal kalau adiknya diajak main tidak mau main dan maunya main sendiri maka lama-lama tidak diajak main oleh saudaranya dan didiamkan. Jadi penting bagi kita sebagai orang tua mendorong anak-anak untuk mengajaknya bermain.
GS : Tapi kalau saudaranya melihat kita memberikan perhatian yang besar kepada anak yang autis, apa tidak menimbulkan iri, Pak Paul?
PG : Maka kita harus memberikan penjelasan pada adik atau kakaknya bahwa kamu harus mengajaknya bermain karena memang dia itu tidak begitu mengerti, dia tidak merasa butuh bermain, jadi dia maunya sendirian saja, coba tolong kamu ajak dia bermain. Jadi kita meminta adiknya atau kakaknya untuk berbelas kasihan juga untuk mengerti kondisinya dia, dengan cara itu dia mungkin lebih mau.
GS : Jadi sebagai orang tua kadang-kadang ingin memerlakukan anak yang autis seperti anak yang lain, padahal itu tidak bisa diserap oleh anak itu.
PG : Betul sekali. Maka kita harus berhati-hati jangan sampai akhirnya menuntut dia untuk sama dengan anak yang lain, karena kemampuannya memang lemah. Misalnya kita berkata kepada anak ini, "Tawarkan makan karena kamu akan makan", mungkin dia ingat maka dia lakukan, tapi besok dia lupa. Misalkan dia melihat orang yang keberatan membawa barang maka tawarkan bantuan, "Saya bantu ya" kalau anak autis tidak bisa dan dia akan diam saja dan dia tidak ada merasa apa-apa. Maka kita beritahu dia dengan baik-baik dan bukan dengan marah-marah, sebab waktu kita marah-marah kepada dia maka dia sungguh-sungguh bingung dan tidak mengerti kenapa papa harus marah kepada saya. Kenapa dia tidak membawakan barang orang itu karena dia tidak mengerti. Kepekaannya memang sangat lemah.
GS : Apakah hal itu bisa membahayakan anak ini. Kalau misalnya di jalan dan sebagainya, kalau konsentrasinya seperti itu maka sangat membahayakan.
PG : Bisa. Dia seperti orang yang linglung atau tidak sadar ada mobil dan sebagainya karena dia terserap pada satu hal. Kalau tidak hati-hati anak seperti ini bisa ditipu sebab kemampuannya untuk mengerti orang, orang itu jahat dan sebagainya dia tidak mengerti, jadi orang bicara apa dianggapnya sebagai hal yang benar.
GS : Katakan orang tua itu ingin mencari bantuan dari seorang ahli, dia harus datang pada siapa, Pak Paul?
PG : Memang dia harus datang pada seorang psikolog yang sedang mendalami hal ini dan cari psikolog yang sengaja spesialisasinya dalam bidang ini.
GS : Apakah ada nasehat firman Tuhan terhadap orang tua khususnya, kalau memiliki anak yang unik dengan autis ini?
PG : Firman Tuhan di Mazmur 139:13-14 berkata, "Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya." Mungkin kita sendiri kurang bisa menerima kondisi anak dan tanpa disadari kita telah mengkomunikasikan ketidakterimaan kita kepada anak, memang tidak mudah menerima ini sebab bagaimana pun juga kita ingin anak-anak kita sama dengan anak lainnya, tapi kita harus percaya bahwa Tuhan tidak membuat kesalahan, Dia menciptakan anak sesuai gambar-Nya dan desain yang dikehendaki-Nya, jika demikian faktanya maka Tuhan memunyai rencana atas hal ini. Tugas kita adalah membesarkan anak ini sedemikian rupa supaya ia bisa mewujudkan rencana Allah dalam hidupnya. Kalau anak melihat kita bersyukur pada Tuhan atas kehadirannya maka dia juga akan bersyukur atas kehadirannya di dunia ini.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Autisme : Sebuah Keunikan Atau Kelainan?". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


68. Kurang Cerdas : Keunikan atau Kelainan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T340B (File MP3 T340B)


Abstrak:

Salah satu hal yang dapat menimbulkan kekecewaan di hati orang tua adalah menemukan bahwa anak yang kita kasihi ternyata tidaklah secerdas yang kita harapkan. Nilai akademiknya di bawah rata-rata dan hanya akan dapat mencapai nilai rata-rata lewat perjuangan yang berat. Sebagai orang tua, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi fakta ini?


Ringkasan:

Salah satu hal yang dapat menimbulkan kekecewaan di hati orangtua adalah menemukan bahwa anak yang kita kasihi ternyata tidaklah secerdas yang kita harapkan. Nilai akademiknya di bawah rata-rata dan hanya akan dapat mencapai nilai rata-rata lewat perjuangan yang berat. Sebagai orangtua, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi fakta ini?

PERTAMA, KITA HARUS DENGAN JELI MELIHAT DI BIDANG APAKAH ANAK MENGALAMI KESULITAN BELAJAR. Ada anak yang lambat menghafal namun cepat mengerti soal matematika. Atau, ada anak yang sukar membaca buku pelajaran sosial tetapi cepat untuk menggambar apa yang ada di imajinasinya. Bila jelas terlihat bahwa memang ia lambat dalam bidang tertentu saja, ini berarti bahwa sesungguhnya masalah utamanya bukanlah masalah tingkat kecerdasan melainkan masalah talenta. Jika demikian halnya kita harus membingkai semua ini dari kacamata yang positif. Kita tidak boleh menyalahkannya atas kekurangannya ini; sebaliknya kita mesti meneguhkan kebisaannya. Kita harus mengedepankan apa yang dapat dilakukannya dengan baik, bukan menyoroti kekurangannya.

Sayangnya kebanyakan orangtua berpendapat bahwa untuk sukses, kita harus menguasai bidang sains dan jika tidak, maka hidup pasti merana. Memang benar bahwa kebanyakan bidang sains membukakan banyak pintu pekerjaan yang baik. Namun pada kenyataannya ada banyak bidang di luar sains yang juga dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang baik. Jadi, janganlah merendahkan anak jika nilai sainsnya lemah, apalagi menakuti-nakuti bahwa masa depannya pastilah suram. Jangan mengkomunikasikan kekecewaan atas talenta yang berbeda dari apa yang diharapkan. Sebab, bila ini yang kita lakukan, anak akan mengembangkan penolakan terhadap diri sendiri dan rasa malu atas keberadaan diri. Sikap negatif ini akan membuatnya lebih terpuruk.

Namun bila ternyata kemampuannya memang kurang pada semua bidang, itu berarti kemampuannya untuk menyerap pelajaran memang kurang. Dengan kata lain, tingkat kecerdasannya di bawah rata-rata. Jika ini faktanya, memang beban akan bertambah, baik buatnya maupun buat kita. Ia akan harus menghabiskan lebih banyak waktu belajar dan kita pun mesti lebih terlibat di dalam studinya. Sebagai orangtua kita tentulah ingin dapat berbangga atas prestasi akademik anak. Itu sebabnya jika anak mempunyai tingkat kecerdasan yang terbatas, pastilah kita merasa sedih. Sungguhpun demikian, seberapapun dalamnya kesedihan, kita tidak boleh memperlihatkannya kepada anak. Apabila ia melihat bahwa kita merasa sedih dan atas keterbatasannya, ia akan mengembangkan rasa sedih dan malu terhadap keberadaan dirinya.

Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk membingkai kehidupannya secara positif. PERTAMA ADALAH MENGASIHINYA TANPA SYARAT. Ia perlu mengetahui dengan pasti bahwa kita mengasihinya sama seperti kita mengasihi anak yang lain. Itu sebabnya kita tidak membanggakan atau menyebut-nyebut prestasi anak yang lain di hadapannya. Kita mesti memperlakukannya sama seperti kita memperlakukan anak yang lain supaya ia tahu bahwa kita mengasihinya bukan atas dasar prestasi akademiknya.

KEDUA, OLEH KARENA KITA TIDAK BISA MEMASTIKAN MASA DEPANNYA, SEBAIKNYA JANGANLAH MEMBERIKAN KEPADANYA JAMINAN YANG BELUM TENTU DAPAT TERPENUHI. Jangan berkata bahwa pastilah ia pun akan menuai sukses dan sebagainya. Terpenting adalah kita menjanjikan bahwa kita akan senantiasa mendampingi dan menolongnya.

KETIGA, KITA HARUS MULAI MENGEKSPLORASI KEMUNGKINAN LAIN BAGINYA. Mungkin jalur akademik akan menjadi terlalu terjal baginya; mungkin kita harus mencarikan pendidikan khusus yang praktis. Makin cepat ia menemukan kebisaannya, makin cepat mengasahnya.

TERAKHIR, KITA PUN MESTI MULAI MENCARIKAN KOMUNITAS BAGINYA. Mungkin hal ini tidak terlalu menjadi masalah baginya pada usia kecil namun dengan bertambahnya usia, akan makin bertambah pula tekanan sosial yang harus dialaminya. Besar kemungkinan ia akan sulit diterima teman sebaya dan merasa dikucilkan. Itu sebabnya penting bagi kita untuk mencarikan teman yang dapat menerimanya sehingga bersama mereka, ia akan dapat beraktivitas layaknya anak-anak lain.

Firman Tuhan di Mazmur 23 mengingatkan kita bahwa Tuhan adalah gembala yang baik dan setia. Ia tidak akan meninggalkan kita dan akan terus menuntun langkah hidup kita. Ingatkanlah anak akan janji pemeliharaan Tuhan ini. Sejak kecil ajarkanlah ia untuk datang kepada Tuhan agar ia tahu bahwa ada Tuhan yang mengasihi dan menjaganya.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kurang Pandai : Sebuah Keunikan Atau Kelainan?" Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Pak Paul, semua orang tua tentu berharap anaknya itu walaupun tidak jenius tapi pandai sehingga kalau di sekolah menerima raport tidak semua angkanya merah karena dia akan merasa anaknya ini bodoh. Tetapi tidak semua anak itu dikaruniai kepandaian intelektual seperti itu. Ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Tadi Pak Gunawan sudah bicara bahwa sebagai orang tua kita mengharapkan anak-anak kita pandai. Jadi pada waktu kita harus menyadari bahwa anak kita tidak sepandai anak-anak lain, nilainya rasanya pas-pasan dan untuk bisa nilai pas-pasan saja harus bekerja luar biasa keras, dileskan dan sebagainya, kemudian kita menjadi kecewa. Jadi apa yang harus kita lakukan? Yang penting adalah langkah pertama kita harus dengan jeli melihat di bidang apakah anak mengalami kesulitan belajar, misalnya ada anak yang lambat menghafal namun cepat mengerti soal matematika, atau ada anak yang sukar membaca buku pelajaran yang bersifat sosial tapi cepat untuk menggambar apa yang ada di imajinasinya. Bila jelas terlihat bahwa dia lambat dalam bidang tertentu saja, ini berarti bahwa sesungguhnya masalah utamanya bukanlah masalah tingkat kepandaiannya tapi masalah talenta. Jika demikian halnya kita harus membingkai semua ini dari kacamata yang positif dan kita tidak boleh menyalahkannya atas kekurangannya, sebaliknya kita harus meneguhkan kebisaannya, kita harus mengedepankan apa yang dianggap baik dan bukan justru menyoroti kekurangannya. Sebab sekali lagi tidak tentu anak itu bisa dan baik dalam semua bidang mata pelajaran, ada yang baik dan ada yang kurang baik. Jadi kalau masalahnya hanya itu, berarti masalahnya bukan karena anak itu kurang pandai, tapi kebisaannya itu dalam bidang tertentu saja.
GS : Padahal sebenarnya seseorang itu bukan hanya diukur dari hasil daftar mata pelajaran yang dia terima di sekolah, tapi di luar masih banyak kepandaian yang harus dia kembangkan dan dia cocok di bagian yang lain, tapi tidak termasuk di dalam daftar mata pelajaran itu.
PG : Betul sekali. Jadi memang sebetulnya kalaupun prestasi akademik anak kita kurang tapi kalau kita melihat dia dalam hal lain bisa mengamati dan bisa cepat belajar dari apa yang dilihatnya maka besar kemungkinan anak ini menjadi anak yang nantinya sangat praktis. Kalau dia sudah lebih besar di luar dia bahkan belajar banyak sekali dari pengalaman hidupnya. Jadi dengan kata lain kita jangan tergesa-gesa melabelkan anak kita bodoh, tidak bisa-bisa dan sebagainya, sebab kalau dalam bidang tertentu dia tidak bisa, tapi yang lain bisa maka masalahnya bukan dia bodoh, tapi memang ini masalah talentanya saja.
GS : Yang menyakitkan sebenarnya ketika anak ini dibandingkan dengan saudara-saudaranya dan dikatakan dia paling bodoh, itu yang menyakitkan sekali, Pak Paul.
PG : Memang kita berharap anak kita sukses, jadi kita akan bandingkan dengan anak lain dan kita mau anak kita menang dan sukses, tapi masalahnya tidak. Satu hal lain lagi yang harus saya ungkapkan, kita orang tua menyadari bahwa ada begitu banyak bidang dan tidak mesti anak kita bisa semuanya. Kita itu tidak bisa terima atau susah terima kalau anak kita itu bisanya dalam bidang-bidang yang kita anggap kurang terhormat, misalnya anak kita bisa menggambar atau senang membaca puisi atau sastra, kita kurang senang. Atau bisanya hanya bahasa, senangnya baca buku yang bersifat sosial, kita merasa kurang senang sebab kita sudah beranggapan untuk sukses dalam hidup maka orang harus menguasai sains. Jadi kalau dia kebalikannya bukan sains yang dia bisa, tapi hal-hal yang bersifat sosial atau sastra maka banyak orang tua kecewa sebab sekali lagi sudah dipatok kesuksesan hanya bisa diraih kalau dia kuat dalam bidang sains. Kita harus hati-hati, jangan sampai kita mengkomunikasikan hal itu pada anak kita sebab sesungguhnya ada banyak bidang lain yang masih bisa digali oleh anak itu.
GS : Tapi memang ada anak tertentu yang kurang dalam semua bidang, Pak Paul.
PG : Kalau memang anak kita kurang dalam semua bidang, maka kita pun harus mengakui bahwa kalau kita menjelaskan sesuatu dan lama sekali menangkapnya, dia seperti tidak mengerti dalam pikirannya, kita sudah berikan contoh tapi tetap tidak bisa, bukan hanya kita tapi orang lain pun misalnya gurunya mencoba mengajarkan memang susah sekali nyantolnya, maka tidak bisa tidak kalau itu yang terjadi kita harus mengakui bahwa kemampuannya kurang atau kepandaiannya di bawah rata-rata. Jika ini faktanya memang beban akan bertambah baik buatnya maupun untuk kita. Kita harus menghabiskan lebih banyak waktu belajar dan kita pun harus lebih terlibat dalam studinya. Jadi ini konsekuensinya, kita tidak bisa hindari. Sebagai orang tua sudah tentu kita ingin bisa berbangga terhadap prestasi akademik anak kita, kalau tingkat kepandaian anak kita terbatas tentu kita merasa sedih. Sungguhpun demikian seberapa pun dalamnya kesedihan kita, kita tidak boleh memerlihatkannya kepada anak. Kenapa? Bila anak melihat kita bersedih hati atas kepandaiannya yang terbatas akhirnya dia pun akan mengembangkan rasa mengasihani diri. Sebab dia melihat mamanya atau papanya sedih sekali, karena dia tidak mampu, itu yang akan dia serap dan akhirnya dia pun nantinya akan mengembangkan perasaan yang sama yaitu sedih terhadap kemampuan yang terbatas, artinya anak ini akan mengembangkan keminderan.
GS : Ada seorang pendidik yang dalam memotivasi murid-muridnya mengatakan "Tidak ada anak yang bodoh, yang sering dijumpai adalah anak yang malas" ini untuk membangkitkan jangan dia dianggap atau menganggap ada yang bodoh di dalam kelasnya.
PG : Saya kira untuk membangkitkan semangat, itu kata-kata yang baik. Jadi anak-anak itu lebih percaya diri bahwa ada sesuatu yang bisa dilakukannya, setidak-tidaknya meskipun kepandaiannya terbatas, tapi dia akan berusaha semaksimal mungkin sehingga modal yang terbatas itu masih dapat dikembangkan kalau anak itu berusaha lebih keras lagi. Misalnya anak-anak lain belajar sesuatu misalnya tentang ilmu ukur ruang, ilmu ukur sudut atau aljabar, sekali belajar mungkin bisa tapi khusus untuk anak ini sekali harus mengulangnya lagi, mengulangnya lagi, melatih lagi beberapa kali di rumah dan baru mengerti konsepnya. Kalau itu yang memang harus dilakukan oleh si anak maka lakukanlah. Jadi dengan kata lain, kita harus mendorong si anak sekaligus mengajak si anak melihat memang dia kurang bisa dalam hal ini, kalau begitu berikan waktu lebih banyak lagi supaya nanti bisa menutupi kekurangannya itu.
GS : Tadi Pak Paul katakan ini terkait dengan talenta bukan kecerdasan anak dan sebagainya, itu kita terima dari Tuhan. Ada anak yang sampai besar pun tidak tahu talentanya apa. Orang tua yang di sekitarnya pun tidak berani mengatakan kamu punya talenta ini sehingga dia merasa dia tidak punya talenta apa-apa.
PG : Memang banyak penyebabnya, salah satunya adalah kalau orang tua misalnya sudah beranggapan bahwa untuk sukses dalam hidup maka harus menguasai sains, masalahnya adalah anaknya lemah di sains. Berarti apa yang harus dilakukan? Maka dia akan paksa anak ini dalam bidang sains, tapi karena kemampuan anak terbatas di bidang sains maka anak ini akan berkubang dalam bidang sains, disuruh les dan sebagainya. Dan bidang yang dia bisa karena tidak dihargai oleh orang tuanya, tidak didorong untuk dia kembangkan. Jadi akhirnya sebetulnya dia tahu atau dia bisa dalam bidang yang lebih bersifat sosial, filsafat, seni dan sebagainya, karena tidak diberikan kesempatan oleh orang tua akhirnya dia tidak pernah kembangkan. Jadi akhirnya dia tidak pernah tahu dia bisa itu. Yang dia tahu bukan yang dia bisa, yang dia tahu adalah yang dia tidak bisa yaitu bidang sains, yang dipaksa les dari jam 4 sampai jam 8 malam setiap hari, jadi dia hanya tahu yang dia tidak bisa. Berarti setelah dia besar adalah yang dia tahu yang dia tidak bisa dan yang dia bisa apa dia tidak pernah tahu, karena tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan hal itu. Jadi sebagai orang tua kita harus hati-hati jangan sampai anak kita menjadi besar dan bingung, tidak tahu harus apa karena kita punya tuntutan dalam bidang tertentu saja, akhirnya yang dirugikan anak itu sendiri.
GS : Tapi orang tua memiliki nilai-nilai seperti itu lalu mengajarkan pada anak-anaknya, itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan, masyarakat di sekeliling kita memang menuntutnya seperti itu, orang yang sukses harus menguasai sains, begitu Pak Paul.
PG : Memang tidak bisa kita sangkal bahwa hal itu ada benarnya, anak-anak yang kuat dalam bidang sains nantinya dia bisa masuk dalam bidang teknik dan sebagainya. Anak saya misalkan mau menjadi guru dan mengambil Diploma mengajar dan kebetulan dia menguasai bidang sains sehingga nanti dia akan mengajar di bidang sains. Di sekolah-sekolah yang sekarang ini sedang butuh guru yang dibutuhkan kebetulan guru sains, sedangkan guru di bidang lainnya banyak sekali yang tidak diserap oleh sekolah. Jadi saya mengerti bahwa memang itu betul, tapi ujung-ujungnya daripada memaksa anak kita di bidang yang sama sekali tidak bisa, maka lebih baik dia kembangkan bidang yang dia bisa sebab nantinya bukankah dari bidang yang dia bisa inilah dia bisa membangun hidupnya.
GS : Jadi sebenarnya apa yang bisa dilakukan oleh orang tua, Pak Paul?
PG : Ada beberapa hal. Jadi yang kita perlu lakukan secara umum adalah membingkai kehidupannya secara positif. Jadi misalnya yang pertama kita harus mengasihinya tanpa syarat, artinya dia perlu mengetahui bahwa kita mengasihinya sama seperti kita mengasihi anak-anak yang lain, itu sebabnya kita misalnya tidak membanggakan atau menyebut-nyebut prestasi anak yang lain di hadapannya atau membanding-bandingkan prestasi kakaknya, kita harus memerlakukan dia sama seperti kita memerlakukan anak yang lain supaya dia tahu kita mengasihinya bukan atas dasar prestasi akademiknya. Jadi anak itu peka kalau dia melihat papa atau mama baru baik kalau dia bagus dalam bidang akademik, kalau tidak maka dijauhkan dan sebagainya, maka dia merasa tidak berharga. Dan dia akan mengaitkan penghargaan dirinya atas keberhasilan akademiknya.
GS : Sulitnya itu kalau anak-anak kita misalnya ada tiga atau dua, kalau menerima raportnya itu berbarengan, dia mendapat raport dan yang satunya juga dapat. Mau tidak mau maka orang tuanya membandingkan, begitu Pak Paul.
PG : Sebetulnya memang berat, karena tidak perlu di rumah tapi di sekolah pun juga begitu. Saya masih ingat waktu saya masih kecil, ada anak-anak yang begitu dapat raport atau ulangan dia tidak pernah buka dan dia cepat-cepat membuka dan cepat-cepat disisipkan di dalam buku pelajaran yang lain, dia tidak mau membukanya. Dan dia baru buka di rumah. Tapi untuk anak-anak yang biasa dapat nilai bagus maka dia akan cepat-cepat membuka dan ditunjukkan ke orang-orang karena dia tahu nilainya bagus. Jadi anak-anak kalau memang prestasinya kurang baik sudah tentu dia sendiri sudah punya rasa malu, sebaiknya jangan sampai kita menambah-nambahkan rasa malu dan jangan sampai dia semakin terpuruk tapi kita harus berikan dia dorongan yang positif.
GS : Kalau kita katakan pada anak itu, "Tidak apa-apa nilaimu segini," khawatirnya terpengaruh pada anak yang lainnya bahwa ternyata dapat nilai jelek juga tidak apa-apa, lalu dia enak-enakan, Pak Paul.
PG : Justru kita dorong anak kita untuk memberikan yang terbaik, jadi harus berusaha. Waktu dia belajar, "Apa sudah selesai" dan dia katakan, "Sudah" kalau begitu langsung ambil bukunya dan kita katakan kita tanya, memang kalau terbukti dia sudah bisa maka tidak apa-apa, tapi misalkan kita tanya-tanya dia berkata, "Tidak bisa, tidak bisa" maka kita berkata, "Kamu itu terlalu cepat maka harus belajar lagi, coba sekarang ulang lagi belajar". Dengan kata lain, sejak dia kecil kita mulai tanamkan bahwa sejak kecil yang terpenting ada proses atau usahanya dan kita katakan kepada mereka kalau papa atau mama melihat kamu sudah belajar dan kamu mengeluarkan usaha itu, papa dan mama tidak akan memersoalkan hasilnya, kalau hasilnya jelek papa dan mama akan terima jadi yang kami mau lihat adalah usahamu.
GS : Disitu memang sangat dibutuhkan perhatian yang lebih besar dari orang tua dibandingkan dengan orang-orang yang katakan "normal" ini tadi, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Memang tidak bisa tidak anak-anak yang memerlukan kebutuhan khusus ini lebih menyita lebih banyak waktu.
GS : Hal yang lain yang bisa dilakukan apa, Pak Paul?
PG : Oleh karena kita tidak bisa memastikan masa depan anak maka sebaiknya jangan memberikan kepadanya jaminan yang belum tentu dapat dipenuhi misalnya jangan kita berkata, "Kamu pasti akan menuai sukses, meskipun kamu tidak sepandai teman-teman kamu, jangan khawatir kamu pasti sukses" jangan katakan seperti itu. Waktu dia mulai besar nanti dia sadari bahwa ini keterbatasan menghambat dan saya tidak sama dengan anak lain, tapi papa dan mama bilang pasti sukses. Ini tidak sehat, sebab yang pertama dia kesal dengan kita seolah-olah kita memberikan janji kosong, dan yang kedua dia bisa kesal dengan dirinya sendiri karena dia tidak mencapai standar itu. Jadi akhirnya tambah terpuruk. Jangan berikan kepada anak-anak yang memang kepandaiannya terbatas janji-janji yang seperti itu bahwa "Kau pasti akan berhasil" dan sebagainya, jangan seperti itu. Yang kita mau janjikan adalah kita akan terus mendampinginya, "Papa Mama akan tetap sayang dan terus mendampingi kamu". Yang bisa kita janjikan dan penuhi, itu yang kita janjikan.
GS : Bagaimana caranya kalau orang tua itu ingin membangkitkan rasa semangat atau optimis dalam diri anak ini, Pak Paul?
PG : Sekali lagi kita tekankan pada anak ini meskipun kepandaiannya terbatas, terpenting adalah dia berusaha dan kita harus katakan juga bahwa karena dia tidak cepat mengerti maka akan lebih banyak waktu yang harus dikeluarkan, kalau anak lain belajar 30 menit dia harus belajar 60 menit. Jadi kita tekankan meskipun memang lebih susah tapi tidak berarti kamu tidak bisa meningkatkan. Yang kita mau tekankan adalah peningkatan dan kita tidak menuntut dia mendapat nilai yang terbaik, tapi tingkatkan dengan cara berikan waktu yang lebih. Dan mungkin kita bisa berikan contoh dari diri kita sendiri bahwa kita juga tidak terlalu cepat dalam hal ini, karena itulah kita memberi lebih banyak waktu untuk bisa melakukannya.
GS : Seringkali ini seperti lingkaran setan. Jadi karena dia melihat hasilnya kurang memuaskan dia menjadi malas belajar, tapi karena dia malas belajar maka dia semakin terpuruk sedang dia tahu bahwa dia punya kemampuan khusus di bidang yang lain dan itu yang ditekuninya dan kelihatan itu terus berkembang, dia senang mengerjakan itu.
PG : Biasanya yang kita tekankan adalah silakan yang kamu bisa kamu tekuni dan itu bagus tapi yang kamu tidak bisa jangan ditinggalkan 100% sebab bagaimana pun juga kamu akan dinilai. Jadi beritahu dia, "Silakan kamu kembangkan tapi yang ini tetap kamu lakukan". Dengan cara itu kita mau mengajar dia satu hal yang penting yaitu yang namanya keuletan, sebab kalau dia hanya mengerjakan yang dia bisa nanti keuletannya lemah sekali, tapi kalau kita dorong untuk terus mengejar yang dia tidak bisa meskipun kita tidak mengharapkan nilai yang maksimal setidak-tidaknya dia itu belajar untuk lebih ulet dan tidak cepat menyerah, jangan sampai nantinya anak ini cepat putus asa, ini yang akan kita cegah.
GS : Kalau kita menjanjikan kepada anak itu seperti yang Pak Paul katakan, "Saya akan dampingi kamu terus" padahal usia kita tidak tentu, ada orang tua yang masih muda pun lalu meninggal, apa ini tidak berdampak pada anak yang kita janjikan tadi, Pak Paul?
PG : Saya rasa tidak, sebab anak-anak semakin besar tahu bahwa hidup itu tidak selamanya bahwa kita juga akan pergi, namun dia bisa melihat bahwa semasa kita hidup, kita tetap mendampinginya dan terus menolongnya, tapi nantinya setelah dia besar, misalkan dia masih bisa mengerjakan hal-hal lain dia bisa mengerjakan ini sehingga menghasilkan uang maka kita senang. Jadi kita tidak menuntut dia harus seperti apa.
GS : Apakah ada hal lain lagi yang bisa dilakukan oleh orang tua, Pak Paul?
PG : Yang berikut adalah kita harus mulai mengekplorasi kemungkinan lain baginya. Misalnya jalur akademik memang terlalu susah bagi dia maka kita harus mencarikan misalnya pendidikan khusus yang lebih praktis, makin cepat dia menemukan kebisaannya maka makin cepat dia mengasahnya. Jadi saya mau tekankan kepada orang tua bahwa tidak harus anak kita menempuh jalur pendidikan formal seperti yang kita kenal. Ada anak-anak yang memang susah sekali dan itu berarti lebih baik kita gunakan jalur yang lain. Saya kadang bertemu dengan orang tua yang seperti ini, jelas-jelas anaknya tipe anak yang praktis, belajar cepat dari apa yang dilihatnya tapi disuruh duduk belajar baca buku sangat sulit. Saya suka memberikan nasihat setelah lulus SMA saya katakan, "Jangan masukkan dia ke universitas, biarkan dia mengambil pendidikan khusus, 1 tahun dia kursus ini dan sebagainya, itu saja". Tapi sayangnya banyak orang tua tidak terima, sebab mereka merasa gengsi nanti orang melihat anaknya tidak kuliah, anaknya hanya ikut program 1 tahun dan sebagainya dan akhirnya tidak mau, ini keliru. Saya sudah melihat berkali-kali anak yang akhirnya dipaksakan kuliah padahal kemampuannya bukan dari situ tapi dari yang praktis di luar itu, akhirnya menderita. Dia sendiri tidak bisa lulus kuliah dan selama kuliah penghargaan dirinya makin rontok dan dia makin melihat dirinya sebagai orang yang bodoh, tidak bisa sekolah. Jadi akhirnya setelah bertahun-tahun di universitas sebagai mahasiswa abadi, keluar-keluar makin tidak ada kepercayaan diri untuk memulai usaha, akhirnya orang tua merasa kesal, anak ini sudah diberikan kesempatan tapi masih begini, yang keliru adalah di awal sebetulnya jangan dipaksakan.
GS : Kita sudah membicarakan beberapa hal tadi, apakah masih ada yang lain lagi, Pak Paul?
PG : Yang terakhir adalah kita harus mulai mencarikan komunitas baginya karena waktu anak ini masih kecil dan dia kurang pandai maka ini tidak menjadi masalah, tapi dengan bertambahnya usia akan menjadi masalah sebab tekanan sosial akan mulai terasa, dia sudah mulai kuliah, atau dia mulai remaja teman-temannya mulai menjauhkan diri dari dia, sebab dianggap dia tidak sepandai mereka dan nantinya juga waktu dia mau bicara dengan teman-temannya, teman-temannya menertawakan dia karena bicaranya tidak terlalu pandai. Jadi akhirnya dia dikucilkan, itu sebabnya kita harus dari awal mencarikan teman yang dapat menerimanya sehingga bersama mereka dia akan dapat beraktivitas layaknya anak-anak lain.
GS : Sebenarnya apakah anak-anak seperti ini harus dimasukkan di dalam sekolah-sekolah khusus, Pak Paul?
PG : Menurut saya tidak. Kalau memang masih bisa mengikuti meskipun dengan susah payah tidak apa-apa sebab sekali lagi dia masih bisa menyadari siapa dirinya dan jangan sampai dia semakin terpuruk, kalau memang dia tidak bisa dan dia perlu sekali bimbingan khusus silakan masukkan dia di Sekolah Luar Biasa.
GS : Masalahnya di sini menggunakan istilah "Sekolah Luar Biasa". Lalu anak itu juga merasa apa luar biasanya saya, saya tidak bisa apa-apa. Hal itu pernah terjadi.
PG : Memang istilahnya itu kurang pas, sebetulnya istilah yang lebih tepat adalah dengan kebutuhan khusus.
GS : Tapi sebenarnya anak-anak ini punya sesuatu yang unik di dalam dirinya. Memang secara sains atau intelektual tidak sepandai teman-teman atau saudaranya yang lain tapi tetap punya talenta khusus yang bisa dikembangkan. Ini sesuatu yang bisa ditonjolkan dalam diri anak itu.
PG : Orang tua harus jeli melihat apa yang bisa dikerjakan oleh anak itu dan itulah yang ditekankan serta itulah yang akhirnya dipujikan pada anak itu, sehingga anak itu juga merasakan kalau dia berharga.
GS : Apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan hal ini?
PG : Saya akan bacakan ayat yang semua kenal yaitu Mazmur 23, "TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa". Firman Tuhan di Mazmur 23 mengingatkan kita bahwa Tuhan adalah Gembala yang baik dan setia, Dia tidak akan meninggalkan kita dan akan terus menuntun langkah hidup kita, jadi kita harus mengingatkan anak akan janji pemeliharaan Tuhan ini, sejak kecil biarkan dia untuk datang kepada Tuhan agar dia tahu bahwa ada Tuhan yang menjaga dan mengasihi dia.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kurang Pandai : Sebuah Keunikan Atau Kelainan?" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.


69. Mengadakan Perubahan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T364A (File MP3 T364A)


Abstrak:

Tuntutan akan perubahan ternyata diperhadapkan kepada semua orang baik itu suami istri atau juga organisasi. Ada orang yang setuju untuk berubah namun ada pula yang menolak untuk berubah. Sebagai pengambil keputusan entah itu kepala keluarga atau pimpinan organisasi harus memperhatikan beberapa hal sebelum melakukan suatu perubahan, antara lain apakah tuntutan itu beralasan, seberapa besarnya kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan umum, dampak penolakan itu pada diri kita.


Ringkasan:

Semua orang harus berhadapan dengan tuntutan akan perubahan, baik itu dalam kapasitas sebagai suami-istri, maupun sebagai pimpinan organisasi. Ada yang berhasil mengakomodasi tuntutan namun ada pula yang gagal. Yang gagal biasanya berpandangan bahwa perubahan itu tidaklah diperlukan. Sayangnya pada akhirnya kegagalan membuahkan perpecahan, baik secara terbuka ataupun tersembunyi. Itu sebabnya, sebagai pimpinan kita mesti jeli menentukan apakah perubahan sungguh diperlukan atau tidak. Berikut akan dipaparkan kriteria penentuan berdasarkan II Tawarikh 10.

Sebagai suami kita pun mesti jeli melihat bagaimana istri dan anak memandang kita jika kita menolak permintaan mereka untuk berubah. Jika penolakan untuk mengadakan perubahan membuat orang memandang kita tidak berintegritas, berilah perhatian besar untuk mengadakan perubahan. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus selalu meluluskan permintaan orang untuk berubah, namun setidaknya ketika kita menolak, mereka tidak akan dapat menuduh bahwa kita tidak berintegritas atau berkarakter buruk.

Kesimpulan

Siapa pun dan apa pun jabatan yang dipangku pada umumnya kita mesti berhadapan dengan tuntutan akan perubahan. Memang tidak selalu mudah untuk membedakan perubahan yang diperlukan dari perubahan yang sekadar diinginkan. Pada akhirnya selain memertimbangkan tiga prinsip yang dibagikan tadi, yang terpenting adalah kita berdoa, meminta hikmat dan kehendak Tuhan. Yakobus 1:5 mengingatkan, "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikannya kepada semua orang dengan murah hati.... " Di dalam Firman Tuhan tidak dicatat bahwa Rehabeam datang kepada Tuhan untuk meminta kehendak dan pimpinan-Nya. Inilah kesalahan besar yang berakibat fatal.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengadakan Perubahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Ada banyak orang yang mendambakan perubahan, sampai-sampai orang mengatakan, "Yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri" jadi itu artinya dimana pun kita berada, dalam kondisi apa pun perubahan itu kalau bukan kita atau orang lain yang mengadakan perubahan, maka mengenai diri kita yang terus-menerus berubah. Hanya masalahnya ada perubahan yang membawa kepada kebaikan dan ada perubahan yang membawa kepada kehancuran. Apakah di dalam Alkitab kira-kira ada peristiwa atau bagian peristiwa yang menceritakan tentang hal itu, Pak Paul?

PG : Salah satu kisah menyedihkan yang kita ketahui dicatat di Alkitab adalah kisah pecahnya kerajaan Israel, ironinya perpecahan itu disebabkan oleh kecerobohan putra Raja Salomo sendiri yaitu Rehabeam dan terjadinya setelah pemerintahan Raja Salomo yang kita ketahui sangat gilang-gemilang. Sebagaimana dapat kita lihat di 2 Tawarikh 10, perpecahan itu ditimbulkan oleh keinginan rakyat akan perubahan, Rehabeam menolak permintaan mereka dan pecahlah Israel menjadi dua yaitu kerajaan Utara yang terdiri dari 10 suku dan kerajaan Selatan di bawah Rehabeam yang terdiri dari 2 suku. Jadi kita harus berhadapan dengan tuntutan perubahan, siapa pun kita baik dalam kapasitas sebagai suami istri maupun sebagai pimpinan organisasi. Ada yang berhasil mengakomodasi tuntutan namun ada pula yang gagal. Yang gagal biasanya berpandangan bahwa perubahan itu tidaklah diperlukan, sayangnya kegagalan membuahkan perpecahan baik secara terbuka ataupun tersembunyi. Itulah sebabnya sebagai pimpinan atau siapa pun kita, kita harus jeli menentukan apakah perubahan sungguh diperlukan atau tidak.

GS : Dalam hal ini bukankah pernah dinubuatkan bahwa kerajaan Israel itu akan pecah menjadi dua, Pak Paul?

PG : Jadi sebetulnya peristiwa penubuatan itu terjadi setelah insiden rakyat datang kepada Raja Rehabeam ini. Waktu akhirnya raja mau memerangi kerajaan Utara dan memang akhirnya pernah terlibat peperangan, Tuhan akhirnya menyuruh nabinya datang dan memberitahukan kepada Rehabeam, "Jangan, ini adalah bagian dalam rencana Tuhan" namun dalam pengertian, ini sebetulnya ulah manusia tapi tidak ada yang terjadi di luar rencana Tuhan sebab nanti akan ada yang Tuhan lakukan lewat peristiwa ini. Namun kita tahu jelas ini adalah gara-gara penolakan Rehabeam untuk melakukan sebuah perubahan.

GS : Jadi sebelum kita melakukan perubahan, hal-hal apa yang perlu kita perhatikan, Pak Paul?

PG : Sebagaimana diuraikan di ayat 4 disini, coba saya bacakan yaitu, "Ayahmu telah memberatkan tanggungan kami maka sekarang ringankanlah pekerjaan yang sukar yang dibebankan ayahmu dan tanggungan yang berat yang dipikulkannya kepada kami supaya kami menjadi hambamu." Tuntutan akan perubahan ini bersumber dari beratnya beban kerja yang diembankan Raja Salomo kepada mereka. Satu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa besar kemungkinan mereka bukanlah orang Israel melainkan penduduk asli Kanaan. Saya bisa tahu itu sebab ini sebetulnya tercantum di 2 Tawarikh 8:7 -9, "Semua orang yang masih tinggal dari orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus, yang tidak termasuk orang Israel, yakni keturunan bangsa-bangsa yang masih tinggal di negeri itu dan yang tidak dibinasakan oleh orang Israel, merekalah yang dikerahkan Salomo untuk menjadi orang rodi; demikianlah mereka sampai hari ini. Tetapi orang Israel tidak ada yang dijadikan budak oleh Salomo untuk pekerjaannya, melainkan mereka menjadi prajurit, atau perwira pasukan berkuda, atau panglima atas pasukan kereta dan pasukan berkuda." Jadi dari firman Tuhan ini kita tahu bahwa mereka sebetulnya bukan orang Israel melainkan penduduk asli Kanaan, namun yang menarik untuk diperhatikan adalah yang datang mewakili mereka para pekerja rodi ini adalah orang Israel sendiri yaitu Yerobeam dan yang akhirnya memisahkan diri dari kerajaan Israel juga adalah 10 suku Israel. Singkat kata, dapat diduga bahwa orang Israel sendiri melihat dan mengakui bahwa kerja rodi yang dibebankan kepada penduduk asli Kanaan memang terlalu berat. Itu sebabnya mereka bersimpati terhadap perintah penduduk asli Kanaan dan memohon keringanan kerja. Sewaktu Rehabeam meminta waktu dan memutuskan untuk berkonsultasi dengan para tua-tua yang telah mendampingi Raja Salomo. Sekilas tampak dia telah bersikap bijaksana namun kenyataan bahwa setelah mendapat nasihat mereka untuk menuruti tuntutan itu, ia kemudian berkonsultasi dengan rekan-rekannya yang sebaya dengannya, hal ini memerlihatkan bahwa sebenarnya ia memang tidak menyukai nasihat para tua-tua itu. Kenyataan bahwa ia langsung menyetujui nasihat orang muda sebayanya menunjukkan bahwa memang ia sendiri ingin menolak tuntutan perubahan. Jadi sebagai pimpinan, baik itu rumah tangga sendiri atau organisasi lainnya kita harus dapat menilai tuntutan perubahan secara tepat dan kriteria yang harus kita gunakan adalah yang pertama, apakah memang tuntutan itu beralasan. Ini mesti kita benar-benar perhatikan apakah memang tuntutan itu beralasan. Sebagaimana dapat kita lihat sesungguhnya tuntutan yang diajukan rakyat terhadap Raja Rehabeam adalah beralasan dan bahkan penasihat raja yang pernah mendampingi Raja Salomo juga mengakuinya, sayangnya Rehabeam tidak meluluskannya.

GS : Memang kalau ditinjau dari segi orang Kanaan sendiri memang beralasan, tapi bagi Rehabeam mungkin itu bukan alasan yang tepat. Dan ini yang seringkali terjadi dalam diri kita, ketika orang menuntut diadakan suatu perubahan kita sendiri merasa belum waktunya, belum tepat berubah sekarang, ini adalah masalah sudut pandang.

PG : Dan dari pihak Rehabeam dia memiliki alasan sendiri, saya menduga alasan kenapa Rehabeam tidak menghiraukan tuntutan perubahan itu dikarenakan dia menganggap enteng tuntutan tersebut, karena tuntutan itu berkembang dari para pekerja rodi yang bukan orang Israel. Inilah kesalahan yang kerap kita pun lakukan dan kita ini cenderung meneropong tuntutan akan perubahan bukan dari substansi tuntutan itu sendiri, melainkan dari siapakah yang memintanya. Saya berikan contoh, kadang kita menolak permintaan istri untuk kita melakukan perubahan karena yang meminta adalah istri atau adakalanya kita menolak permintaan anak supaya kita mengadakan perubahan karena yang meminta adalah anak. Kadang kita menolak permintaan pegawai karena yang meminta adalah pegawai orang yang kita bawahi. Kita harus memisahkan orang yang mengajukan tuntutan dari substansi atau isi tuntutan itu sendiri. Bila kita mengakui kebenaran tuntutan tersebut, maka adakanlah perubahan tidak soal siapakah yang mengajukannya. Jadi kita lihat gara-gara Rehabeam melihat orang-orang ini hanyalah budak dan bukan orang Israel, maka dia tidak mau mendengarkan dan justru dia mau menunjukkan wibawanya, jadilah musibah yang paling besar yang dialami oleh Israel saat itu yakni pecah menjadi dua.

GS: Tapi hal itu juga terjadi di dalam keluarga seperti yang Pak Paul katakan, kalau istri yang meminta maka kita berusaha menunda dan juga menolak untuk melakukan perubahan itu, tapi ketika orang lain yang menasihati kita dan akhirnya kita menjadi lebih terbuka. Jadi ini suatu pandangan yang subjektif sekali dengan siapa orang itu mengajukan permintaan kepada kita.

PG : Betul sekali. Maka kita harus mendisiplin diri untuk menilai isi dari tuntutan tersebut, jangan dasari atas orangnya, "siapa yang bicara atau minta kita melakukan sesuatu atau berubah", kalau memang isinya itu benar bahkan kalau yang minta adalah anak kita atau yang kita anggap bawahan kita, maka kita harus mendengarkan dan melakukan perubahan. Jadi kriteria pertama penting sekali bukan orangnya yang kita teropong, tapi isi atau substansi tuntutan tersebut.

GS : Bukan hanya orangnya tapi kadang caranya orang itu membawakan usulan, itu kadang-kadang sangat memengaruhi kita untuk menerima atau menolak, begitu Pak Paul.

PG : Betul. Sudah tentu kadang-kadang kita yang memberikan usulan harus pikirkan baik-baik karena kalau kita tidak pikirkan baik-baik, kalau orang tidak hati-hati justru orang akan menolak bukan karena isi, tapi karena cara kita menyampaikan.

GS : Kita tidak tahu apakah para pekerja rodi itu telah menyampaikan dengan benar kepada Raja Salomo atau mungkin menimbulkan masalah sehingga Raja Salomo menolak.

PG : Memang Alkitab tidak memiliki rekaman suara jadi kita tidak tahu pasti suara mereka, kalau kita hanya melihat dari apa yang mereka sampaikan yang dicatat di 2 Tawarikh ini saya cenderung menyimpulkan, karena mereka menghadap raja tentunya cara mereka bicara penuh rasa hormat, makanya raja awalnya tidak menunjukkan sikap marah atau apa "Kamu ini kurang ajar", tidak! Tapi raja berkata, "Tunggu nanti akan saya konsultasikan" karena nasihat yang begitu baik yang diberikan oleh para tua-tua yang mendampingi Raja Salomo sebelumnya ditolaknya, justru nasihat teman-teman sebaya diterimanya, justru itu karena dia menganggap enteng sebagaimana dikatakan, "Pekerja rodi ini kenapa harus didengarkan?"

GS : Hal lain yang harus diperhatikan apa, Pak Paul?

PG : Hal kedua yang harus diperhatikan dalam menentukan perubahan adalah seberapa besarnya kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan umum. Kita mahfum bahwa seringkali kepentingan pribadi tersangkut dalam kepentingan umum dan itu tidak apa-apa, jarang ada yang murni kepentingan umum tanpa ada campuran dari kepentingan pribadi. Yang terpenting adalah persentase kepentingan umum harus jauh lebih besar daripada kepentingan pribadi. Dalam kasus Rehabeam sesungguhnya mereka meminta sesuatu yang berhubungan dengan hajat orang banyak, bukan diri mereka saja, para pekerja rodi ini. Jadi kesimpulannya makin besar dampak perubahan pada orang banyak, maka makin besar perhatian yang mesti diberikan pada tuntutan tersebut. Sayang sekali Rehabeam tidak melihat hal itu. Besar kemungkinan dia beranggapan bahwa permintaan itu hanya berkenaan dengan sejumlah orang yang sebetulnya adalah kelompok minoritas di negerinya dan dia luput melihat bahwa di mata kebanyakan rakyat Israel, kepentingan itu dianggap mewakili orang banyak. Singkat kata, seyogianyalah Rehabeam melihat bahwa tuntutan itu berkenaan dengan kepentingan hajat orang banyak, sayangnya Rehabeam lebih mementingkan kepentingan pribadinya, dia ingin dilihat tegas dan berwibawa seperti ayahnya, Raja Salomo.

GS : Memang kalau perubahan itu tidak membawa sesuatu keuntungan buat kita atau kebaikan pasti kita tolak, juga di dalam keluarga, kita selalu berpikir, "Apa untungnya buat kita" kalau hanya menguntungkan pihak lain biasanya ditolak, Pak Paul.

PG : Besar kemungkinan itu yang dilihat oleh raja Rehabeam dan tidak ada keuntungannya buat dia tapi kenapa dia harus meluluskan, dia lupa bahwa permintaan para pekerja rodi ini menyangkut hajat banyak orang, dampaknya begitu luas. Kenapa kita bisa simpulkan begitu, sebab waktu akhirnya mereka putuskan untuk berontak, 10 dari 12 suku Israel memisahkan diri. Menurut saya ini benar-benar diluar dugaan Raja Rehabeam. Dia mungkin beranggapan ayahnya, Raja Salomo, begitu berkuasa dihormati oleh rakyat Israel menyatukan kerajaan Israel 12 suku, semua di bawah satu payung. Dia tidak menyangka 10 suku begitu siapnya untuk putus hubungan dengan dia. Jadi ternyata dia tidak melihat bahwa orang-orang ini mewakili rakyat yang begitu luas, sehingga waktu dia menolak permintaan orang-orang ini maka 10 suku Israel langsung angkat kaki.

GS : Memang waktu itu Rehabeam bukan hanya menolak, tetapi memberikan ancaman bahwa dia akan memberikan tekanan lebih besar lagi daripada ayahnya, Salomo.

PG : Benar sekali dia mengatakan, "Kelingkingnya lebih besar daripada pinggang ayahnya".

GS : Hal itu yang membuat orang berpikir, "Buat apa mengikuti dia", tidak ada respek lagi terhadap pemimpin seperti Rehabeam ini.

PG : Betul sekali. Jadi kadang kita lebih mementingkan diri sendiri ketimbang kepentingan orang lain, terutama orang banyak misalnya, adakalanya istri tidak memedulikan permintaan suami untuk berubah karena dia lebih mementingkan diri sendiri, atau kadang pimpinan organisasi tidak bersedia mengadakan perubahan karena takut dinilai lunak padahal tuntutan itu beralasan dan berkenaan dengan kepentingan banyak orang. Jadi penting bagi kita untuk melihat dampak perubahan pada banyak orang. Makin besar dan makin positif maka makin besar pula perhatian yang mesti diberikan pada perubahan, walaupun untuk itu kita mesti mengesampingkan kepentingan pribadi. Jadi dalam kasus Rehabeam ini seharusnya dia mengalah, kepentingan pribadinya dia kesampingkan, mungkin dia harus mengurangi kerja dan mungkin dia dapat sedikit tapi mengalah, kepentingan pribadi dikorbankan, tapi dia tidak mau dan akhirnya dia kedepankan kepentingan pribadinya dan hilanglah 10 suku dari kerajaannya.

GS : Ini memang pergumulan setiap orang yaitu menyangkal diri sendiri, seperti yang Pak Paul katakan mau tidak mau, Rehabeam harus menyangkal dirinya sendiri dan baru dia bisa memerhatikan kepentingan orang banyak. Mana mungkin dia bisa memerhatikan kepentingan orang banyak, kalau dia tidak menyangkali dirinya sendiri.

PG : Betul, Pak Gunawan dan sebetulnya seringkali Tuhan memakai orang untuk memberitahukan kepada kita hal-hal tentang diri kita yang perlu kita ubah. Waktu kita mendengarkan masukan orang dan kita coba untuk mengadakan perubahan maka yang justru diuntungkan adalah kita juga. Saya sebagai hamba Tuhan, saya melayani sekarang di sebuah gereja, kadang-kadang saya mendapatkan tanggapan misalnya tentang cara saya berkhotbah mesti lebih menarik dan relevan karena misalnya ada segolongan orang yang merasakan khotbah saya tidak nyambung atau relevan dalam kehidupan mereka, ini sebetulnya adalah tuntutan akan perubahan. Saya bisa berkata, "Ini khotbah saya, orang memuji khotbah saya tapi kamu tidak bisa menghargai khotbah saya" saya bisa berkata seperti itu, tapi kalau saya berkata begitu berarti saya menutup kesempatan untuk orang memberikan masukan kepada saya. Jadi yang saya lakukan kalau orang memberikan komentar seperti itu kepada saya, maka saya akui kalau itu benar tapi kadang saya khotbah tidak relevan untuk golongan tertentu dan lebih cocok untuk golongan yang lain lagi, maka saya akui kelemahan saya dan waktu saya mempersiapkan khotbah, saya usahakan supaya lebih relevan lagi untuk golongan ini. Jadi sekali lagi kalau kita bersedia mendengarkan dan mengorbankan kepentingan pribadi dan tidak membela diri membenarkan orang dan hanya menerima, maka ujung-unjungnya yang diuntungkan adalah diri kita sendiri.

GS : Jadi perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri dan baru akan memberikan dampak kepada orang lain, tapi apakah ada hal lain yang perlu kita perhatikan didalam kita mengadakan perubahan ini, Pak Paul?

PG : Hal yang ketiga dan terakhir adalah yang harus diperhatikan untuk menilai tuntutan perubahan adalah dampak penolakan itu pada diri kita. Rupanya penolakan Rehabeam membuat rakyat berkesimpulan bahwa bukan saja raja tidak peduli dengan rakyat, tapi juga bahwa raja tidak berkarakter baik. Tadi yang Pak Gunawan katakan oleh para pekerja rodi ini yaitu bahwa mereka menilai raja keterlaluan waktu berkata, "Kelingking saya lebih besar daripada pinggang ayah saya", padahal dia baru naik takhta menjadi raja, masih muda dan belum ada prestasi apa-apa tapi sudah sombong, sepertinya dia lebih hebat dari ayahnya, Raja Salomo, maka pekerja rodi dan Yerobeam berkesimpulan, "Raja ini keterlaluan dan tidak punya karakter yang baik". Jadi setidaknya 10 suku di luar Yehuda dan Benyamin melihat bahwa tindakan raja yang semena-mena pada penduduk asli Kanaan bukanlah tindakan terpuji dan menjadi bukti bahwa raja tidak bersedia mendengarkan keluh kesah mereka. Pada akhirnya ketidakadilan raja kepada pekerja rodi ini membuat mereka tidak lagi dapat menghormatinya.

GS : Jadi disini timbul empati atau simpati suku-suku Israel ini terhadap orang Kanaan yang ditindas itu, Pak Paul?

PG : Betul. Saya menduga mereka sudah cukup lama kasihan, tapi karena Raja Salomo sangat kuat pemerintahannya dan memunyai banyak sekali keberhasilan jadi mungkin sekali rakyat diam dan tidak berani bicara, tapi dalam hati mereka tidak tega melihat para pekerja rodi diharuskan bekerja sebegitu kerasnya oleh Raja Salomo, maka pada waktu Raja Salomo wafat dan digantikan anaknya, mereka datang kepada anaknya meminta keringanan dan rupanya ini didukung oleh 10 suku Israel itu.

GS : Kalau itu terjadi di dalam organisasi atau negara seperti itu, kalau di dalam rumah tangga seperti apa, Pak Paul?

PG : Sebagai suami kita pun harus jeli melihat bagaimana istri dan anak memandang kita, jika kita menolak permintaan mereka untuk berubah maka kita harus menyadari, jika penolakan untuk mengadakan perubahan membuat orang memandang kita tidak berintegritas, berilah perhatian yang besar untuk mengadakan perubahan. Jadi seringkali penolakan mengkomunikasikan kepada orang tentang siapakah diri kita itu, jadi kita harus berhati-hati. Misalkan anak kita meminta kita berubah dan kita tidak mau meluluskannya, maka anak kita nanti bisa menilai kita bahwa kita ini orang yang kaku dan tidak sayang anak dan sebagainya, jadi harus hati-hati. Saya tidak mengatakan kalau kita harus selalu meluluskan permintaan orang untuk berubah, tapi setidaknya ketika kita menolak, mereka tidak akan menuduh bahwa kita tidak berintegritas atau berkarakter buruk.

GS : Tapi bagaimana kalau usulan istri atau anak menurut kita tidak pantas untuk kita lakukan atau di luar kemampuan kita pada saat itu, Pak Paul?

PG : Kita bisa memberikan jawaban yang jujur dan tepat dengan alasan yang kuat, kenapa rakyat akhirnya berbalik melawan Raja Rehabeam karena jawabannya itu, sewaktu dia berkata, "Kelingkingku lebih besar daripada pinggang ayahku". Bagi rakyat karakter itu kurang baik. Jadi sekali lagi saya tidak berkata, kita harus selalu meluluskan permintaan istri dan anak untuk kita selalu berubah, tapi kalau kita harus menolaknya hendaklah penolakan itu memang penolakan yang benar, yang baik dan keluar dari kehidupan kita yang berintegritas sehingga orang tidak bisa menuduh kita, "Lihat jawabannya, penolakannya memang dia orang yang begitu" maka itu tambah merusakkan. Jadi prinsip yang ketiga yang saya sebut adalah kita harus memerhatikan dampak penolakan itu pada diri kita, kalau kita menolak kita harus sadar dampaknya apa pada diri kita, jangan sampai orang melabelkan kita tidak berakhlak atau tidak berkarakter.

GS : Jadi katakanlah usulan perubahan itu dibawakan secara salah oleh orang yang mengajukan perubahan itu, tapi kalau jawaban kita juga keliru maka akan memperburuk keadaan dan menimbulkan masalah baru, bertambah ruwet. Mungkin kalau disampaikan dengan baik dan diterima dengan baik, maka tidak akan terjadi seperti itu. Pak Paul, pelajaran apa yang bisa kita tarik dari peristiwa yang sangat menyedihkan itu?

PG : Siapapun dan apa pun jabatan yang dipangku pada umumnya kita harus berhadapan dengan tuntutan akan perubahan, memang tidak selalu mudah untuk membedakan perubahan yang diperlukan dari perubahan yang sekadar diinginkan. Pada akhirnya selain mempertimbangkan 3 prinsip yang dibagikan tadi, yang terpenting adalah kita berdoa meminta hikmat dan kehendak Tuhan. Coba saya bacakan dari Yakobus 1:5, "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati". Di dalam firman Tuhan tidak dicatat bahwa Rehabeam datang kepada Tuhan untuk meminta kehendak dan pimpinan Tuhan, ini kesalahan besar yang kita ketahui berakibat fatal.

GS : Justru itulah kuncinya, ketika Rehabeam lebih bertanya kepada teman-temannya yang mendukung pola pikirnya daripada datang kepada Tuhan yang sumber hikmat untuk menanyakan apa yang sebenarnya Tuhan mau.

PG : Sama sekali dia tidak meminta petunjuk Tuhan, berbeda dengan ayahnya waktu Tuhan menampakkan diri dan bertanya apa yang kau inginkan sebelum memerintah Israel, dia hanya meminta hikmat untuk bisa memerintah umat Tuhan ini. Jadi Raja Salomo merendahkan diri meminta hikmat Tuhan, Raja Rehabeam tidak meminta pendapat Tuhan sama sekali.

GS : Hal itu juga seringkali tidak kita lakukan di dalam keluarga. Kadang-kadang kita justru lebih mendengarkan pendapat orang lain dan sebagainya daripada kita datang kepada Tuhan dengan segala kerendahan hati minta pimpinan dan pertolongan Tuhan, "Apa yang sebenarnya Tuhan kehendaki itu".

PG : Itu kuncinya, Pak Gunawan.

GS : Pak Paul, terima kasih untuk perbincangan kali ini dan saya percaya sekali perbincangan kali ini akan menjadi berkat bagi banyak orang, karena perubahan ini terus terjadi dan kita tidak bisa hindari. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengadakan Perubahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



70. Perubahan yang mendatangkan kebaikan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T364B (File MP3 T364B)


Abstrak:

Perubahan bisa terjadi di berbagai aspek termasuk juga di dalam kehidupan berorganisasi, untuk bisa membuat perubahan yang baik tidaklah mudah, kita mesti bersikap hati-hati dan bijaksana. Kegagalan kita untuk bersikap hati-hati dan bijak acap kali berakibat buruk, namun tidak dikatakan bahwa kita selalu harus menutup mata dan mengunci mulut—kadang kita harus tetap melakukan perubahan dan siap menanggung konsekwensinya. Yang ingin disampaikan disini, kita harus berhati-hati dan bersikap bijak, tidak emosional.


Ringkasan:

Salah satu kesalahan yang kerap kita perbuat tatkala bergabung ke dalam sebuah organisasi adalah kita terlalu cepat mengadakan perubahan. Setidaknya ada dua alasan mengapa dorongan mengadakan perubahan kerap timbul pada saat awal kita bergabung:

Sungguhpun demikian kita mesti bersikap hati-hati dan bijaksana dalam upaya kita mengadakan perubahan. Kegagalan kita untuk bersikap hati-hati dan bijak acap kali berakibat buruk. Mungkin kita harus meninggalkan organisasi itu atau kita justru memicu perpecahan, atau setidaknya konflik yang merugikan lebih banyak orang. Saya tidak mengatakan bahwa kita selalu harus menutup mata dan mengunci mulut—kadang kita harus tetap melakukan perubahan dan siap menanggung akibat. Yang saya ingin sampaikan adalah kita harus berhati-hati dan bersikap bijak, tidak emosional.

Berikut akan dipaparkan mengapa kita harus berhati-hati dan bagaimana seharusnya kita mengusahakan perubahan.

Kesimpulan

Di dalam Lukas 5:37-39, Tuhan Yesus memberikan perumpamaan kantong kulit untuk menyimpan anggur. Setelah dipakai untuk waktu yang lama kantong kulit akan menjadi kering dan kaku. Itu sebabnya sewaktu anggur baru dituangkan ke dalamnya, sering kali kantong kulit itu pecah. Tuhan Yesus mengerti betapa sulit mengubah sebuah sistem yang telah berakar, itu sebabnya Ia tidak berusaha masuk menjadi bagian dari komunitas rohaniwan. Sebaliknya, ia memilih 12 murid yang bukan berasal dari kelompok rohaniwan. Ia memilih kantong baru dan menyiapkannya selama 3 tahun.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Perubahan yang mendatangkan Kebaikan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Perbincangan kita kali ini sebenarnya juga bisa dikatakan sebagai lanjutan dari perbincangan kita terdahulu tentang bagaimana mengadakan atau mengusahakan perubahan, supaya para pendengar kita bisa mengikuti pembicaraan kita dengan lebih baik, mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau.

PG : Siapa pun dan apa pun posisi kita kadang dituntut untuk berubah, kita jadi harus jeli menentukan apakah memang perubahan itu diperlukan. Sebagai dasarnya saya mengambil contoh Raja Rehabeam yang diminta untuk mengadakan perubahan yaitu meringankan kerja para rodi tapi dia menolak. Akhirnya yang terjadi adalah pecahlah kerajaan Israel yang diperintahnya saat itu. Jadi dari peristiwa tersebut saya menarik beberapa pelajaran yang dapat kita gunakan untuk menentukan apakah perubahan itu diperlukan. Jadi misalkan kita membahas bahwa penting sekali kita melihat substansi tuntutan tersebut dan jangan hanya kita melihat siapakah orang yang menyampaikan tuntutan itu. Kalau kita pandang orangnya kita lakukan, kalau kita tidak hormati orangnya maka kita tidak lakukan. Tapi justru kita harus lihat tuntutan itu kalau memang benar dan beralasan maka harus kita terima dan kita harus berubah. Saya juga tekankan pentingnya untuk kita melihat apakah ini untuk kepentingan satu orang ataukah orang banyak, kalau memang menyangkut kepentingan orang banyak maka kita juga harus lebih memberikan perhatian dan kita berubah karena ini menyangkut kepentingan orang banyak dan mengesampingkan diri kita sendiri. Yang terakhir kita harus melihat dampak penolakan, kalau kita tidak mau berubah maka kita berkata, "Maaf saya tidak mau berubah" maka kita harus sadar apa dampaknya dalam diri kita, kalau orang menilai diri kita tidak berkarakter maka kita harus perhatikan. Jadi jangan sampai penolakan diri kira membuat citra kita akhirnya buruk sekali. Jadi orang harus percaya kalau kita menolak permintaan mereka untuk berubah maka itu keluar dari kehidupan yang bersih dan lurus.

GS : Kalau pun kita setuju untuk berubah dan mengadakan perubahan sebagaimana yang diusulkan, tentunya perubahan ini harus membawa suatu kebaikan bagi semua pihak walaupun sudah tentu kita tidak mungkin memuaskan hati semua orang, karena masing-masing punya tuntutannya. Di dalam hal ini agar supaya perubahan itu punya dampak yang positif, hal-hal apa yang perlu kita perhatikan, Pak Paul?

PG : Kita kadangkala masuk ke sebuah organisasi atau sebuah kelompok dan kita tidak puas dengan apa yang kita lihat maka kita mau mengadakan perubahan dan sudah tentu kita pikirkan untuk kebaikan. Jadi kita harus bijaksana mengusahakan perubahan tersebut atau menyampaikan tuntutan tersebut. Pertama-tama saya akan coba mengulas dua alasan mengapa dorongan untuk mengadakan perubahan kerap timbul pada saat awal kita bergabung di dalam sebuah kelompok atau organisasi. Yang pertama, kita ini cepat melihat "masalah" karena kita melihat dinamika kelompok atau organisasi itu dari luar ke dalam karena kita orang baru. Tidak bisa disangkal adakalanya jauh lebih sulit bagi kita yang di dalam melihat masalah, jika kita sudah menjadi bagian dari kelompok itu untuk waktu yang lama. Jadi seringkali kalau kita masih baru maka kita lebih cepat dan jeli melihat kalau ini kurang tepat dan ini seharusnya seperti ini. Yang kedua, kenapa sering kita begitu datang dan begitu masuk melihat masalah dan mau melakukan perubahan karena bisa jadi pengalaman yang pernah kita lalui telah mengajarkan kepada kita sesuatu yang berharga, yang sesungguhnya dibutuhkan oleh kelompok atau organisasi dimana kita sekarang berada. Jadi kita tahu ini tidak benar karena dulu saya pernah menghadapi yang sama dan ternyata ini yang saya pelajari. Jadi kita menjadi bersemangat dan merasa ada ide yang bagus dan ingin menyajikan dan memberitahukan. Jadi ini sebetulnya sekali lagi tidak salah dan baik, namun tadi Pak Gunawan sudah munculkan kita harus belajar melakukannya dengan tepat sehingga meskipun ini untuk kebaikan maka tetap kita bisa adakan perubahan itu dengan cara yang pas.

GS : Karena setiap orang punya idealisme dan kita masuk ke dalam organisasi atau keluarga dengan membawa idealisme itu, itu yang hendak kita coba praktekkan di dalam organisasi itu, dan ini menuntut perubahan luar biasa tapi seringkali ditolak.

PG : Jadi memang kita harus bersikap hati-hati dan bijaksana dalam upaya kita mengadakan perubahan, kegagalan kita bersikap hati-hati atau bijak acapkali berakibat buruk. Misalnya mungkin kita harus meninggalkan organisasi itu atau kita justru memicu perpecahan dalam kelompok tersebut atau setidaknya menimbulkan konflik yang merugikan lebih banyak orang. Mohon diperhatikan saya tidak mengatakan bahwa kita selalu harus menutup mata dan mengunci mulut. Tapi kita harus tetap melakukan perubahan dan siap menanggung akibat meskipun kita misalnya harus dikeluarkan dan sebagainya. Yang ingin saya sampaikan adalah kita harus berhati-hati dan bersikap bijak dan tidak emosional. Nanti akan saya coba paparkan mengapa kita harus berhati-hati dan bagaimana seharusnya kita ini mengusahakan perubahan.

GS : Kita langsung saja masuk ke permasalahan itu atau ke usulan Pak Paul, sebenarnya apa yang harus kita perhatikan didalam melakukan atau mengusulkan perubahan itu supaya mendatangkan kebaikan, Pak Paul?

PG : Pertama-tama kita harus berhati-hati dan bersikap bijaksana karena kendati mungkin saja pengamatan kita benar bahwa memang ada masalah dalam kelompok itu, kita tidak mengetahui kondisi secara menyeluruh. Ini penting, kita mengakui tidak mengetahui kondisi secara menyeluruh. Keuntungan melihat masalah dari luar adalah kita bisa melihatnya secara objektif, dan itu betul. Namun kerugiannya adalah kita tidak bisa melihat masalah dari dalam secara subjektif. Saya berikan contoh, mungkin kita menilai bahwa seorang pemimpin bersikap terlalu kaku dan tegas dalam menerapkan peraturan, kita beranggapan bahwa sebaiknya ia lebih fleksibel dan lebih memaafkan namun sebelum kita mengeluarkan saran ini, sebaiknya kita mencoba mengerti mengapakah ia bersikap demikian. Mungkin kita harus bertanya, "Apakah memang ini adalah bagian dari sifatnya ataukah ia hanya bersikap seperti ini dalam konteks bekerja". Mungkin kita juga harus menyelidiki lebih lanjut apakah memang cara yang lebih lunak pernah diterapkan olehnya dan kalau pernah apa hasilnya, kadang orang lebih tanggap terhadap penerapan aturan yang tegas dan memang kurang siap serta kurang bertanggung jawab terhadap kepemimpinan yang lunak. Singkat kata sebelum kita menuntut perubahan, pelajari terlebih dahulu kondisi dimana kita berada. Jadi jangan cepat-cepat, pelajari dulu baru setelah itu kita ajukan permintaan untuk berubah.

GS : Memang dibutuhkan kesabaran yang luar biasa, di satu sisi kita yang melihat dari luar ingin cepat-cepat mengadakan perubahan, tetapi seperti yang Pak Paul anjurkan tadi kita butuh waktu untuk melihat situasi yang sebenarnya dari dalam itu dan seringkali kadang-kadang bahkan membatalkan seseorang itu melakukan perubahan setelah tahu dalamnya.

PG : Ini bisa kita terapkan bukan hanya dalam organisasi yang besar, tapi juga dalam organisasi yang kecil misalnya keluarga. Kita melihat suami kita selalu berpikirnya jauh ke depan nanti muncul kekhawatiran dan selalu fokus pada kemungkinan terburuk, kita sebagai istri tidak suka dan kita ingin sebagai istri agar suami jangan melihat negatifnya tapi melihat yang positifnya. Sebelum kita menuntut dia atau mungkin marah-marah kepadanya maka kita harus pelajari dulu kenapa dia begitu. Mungkin sekali dari percakapan kita mengerti bahwa di masa lampau keluarganya, misalnya sebelum menikah dengan kita, keluarganya pernah mengalami kerugian atau kebangkrutan gara-gara misalnya orang tuanya tidak berhati-hati. Jadi dia sebagai anak belajar, kita harus selalu memikirkan kemungkinan yang terburuk karena orang tua saya dulu pernah gegabah sehingga kami mengalami kebangkrutan. Jadi sebelum kita menuntut orang untuk berubah, sebaiknya memang kita mencoba mengerti kenapa begitu dan apa kondisinya sehingga dia begitu.

GS : Selain kita harus hati-hati dan bersikap bijaksana, apakah ada hal lain yang harus kita perhatikan, Pak Paul?

PG : Kita harus menyadari bahwa kadang ketidaksempurnaan lebih baik daripada usaha untuk menyempurnakannya. Sekali lagi saya menekankan bahwa saya tidak mengatakan janganlah mengandalkan perubahan dan biarkan tidak sempurna, bukan seperti itu. Yang ingin saya sampaikan adalah kita harus mengetahui apakah memang ada pilihan lain yang lebih baik pada saat ini. Jadi sekali lagi saya ulang, kita harus mengetahui apakah memang ada pilihan lain yang lebih baik. Adakalanya kita hanya terpaku pada satu sisi yaitu perubahan tanpa memikirkan sisi lainnya, yakni apa yang terjadi tatkala perubahan dilakukan dan apakah sudah tersedia orang atau perangkat yang siap untuk menggantikannya, saya berikan contoh tentang Musa. Salah satu alasan kenapa Tuhan harus menempatkan Musa di Gurun Midian jauh dari hiruk-pikuk kegemilangan istana Mesir adalah supaya Musa belajar rendah hati dan lebih bergantung kepada Tuhan ketimbang pada kekuatan sendiri. Singkat kata, jika Tuhan membiarkan Musa mengadakan perubahan saat itu yakni melepaskan Israel dari perbudakan, 40 tahun lebih awal maka dapat dipastikan hasilnya akan jauh lebih buruk. Kenapa? Sebab saat itu Musa belum siap untuk menjadi pemimpin yang baik. Jadi dimana pun kita berada sebelum menyuarakan perubahan maka kita selalu harus memikirkan apakah memang ada alternatif lain yang lebih baik.

GS : Jadi di sini perubahan itu hampir tidak mungkin terjadi kalau kita paksakan, tapi kita lebih membutuhkan banyak waktu untuk menyiapkan orang lain dan diri kita sendiri masuk di dalam proses perubahan itu sendiri, begitu Pak Paul?

PG : Jadi memang untuk bisa memastikan apakah kita perlu mengadakan perubahan, itu perlu proses yang agak panjang dan harus kita pikirkan apakah ada alternatif yang lebih baik. Kalau memang kita melihat ada yang lebih baik, ada orangnya, ada perangkatnya dan sebagainya maka silakan. Tapi kalau tidak ada kadang-kadang kita harus berkata, "Kondisi yang tidak sempurna tetap lebih baik ketimbang kita paksakan sebuah perubahan tanpa ada kesiapan untuk menggantikan yang lama itu".

GS : Disitu timbul suatu kekhawatiran terhadap orang-orang yang mau mengadakan perubahan adalah dia khawatir dikatakan bahwa dia seorang pemimpin yang gagal. Gagal di sini adalah gagal melakukan perubahan padahal dia melihat tidak dirubah pun tidak apa-apa.

PG : Jadi kita kadang terlalu cepat terpesona dengan istilah perubahan, tanpa benar-benar memikirkan dampak panjangnya. Jadi itu sebabnya banyak peristiwa yang dapat kita sebut dimana perubahan itu membawa lebih banyak kekacauan ketimbang lebih banyak kebaikan. Jadi sekali lagi kalau kita memang mau menyuarakan perubahan terhadap pimpinan kita, kita juga harus tahu apa ada alternatif yang lain.

GS : Dan desakan dari orang-orang lain khususnya orang-orang yang di sekitar kita yang kita jumpai tiap hari, sangat besar dan mereka menuntut perubahan itu cepat-cepat dilakukan padahal kita butuh waktu untuk mengevaluasi dan menilai apakah memang betul perlu perubahan itu dan itu bisa bertahun-tahun, Pak Paul.

PG : Betul sekali, jadi tidak ada jawaban yang pasti untuk masalah seperti ini karena biasanya yang satu mau cepat dan yang satu merasa ingin perlahan, tapi sebagai prinsip umum ternyata kalau kita perhatikan dari firman Tuhan, Tuhan itu tidak terlalu tergesa-gesa mengadakan perubahan dan dia seringkali bekerja dengan perlahan dan salah satu penyebabnya adalah sebagaimana saya singgung tentang Musa, karena memang perlu ada kesiapan. Kalau Musa 40 tahun pertama di Mesir dia mengadakan sebuah revolusi mau membebaskan umat Israel dari Mesir dan dia bergantung pada diri sendiri dan dia melihat dirinya memunyai kemampuan, tapi dapat dipastikan kalau saat itu dia mangadakan sebuah revolusi, maka akhirnya akan jauh lebih buruk. Tapi karena Tuhan pisahkan dia 40 tahun menjadi seorang hamba yang rendah hati yang bergantung kepada Tuhan sepenuhnya maka dia siap membawa Israel menjalani 40 tahun masa yang sulit sekali di padang gurun dan kita tahu hasil akhirnya baik. Jadi kita harus selalu berpikir jauh.

GS : Dan disitu Musa sebenarnya tidak sadar kalau dia sedang dipersiapkan untuk memimpin bangsa yang begitu besarnya itu. Dia hanya menerima apa yang Tuhan berikan saat itu, Pak Paul.

PG : Betul sekali. Dan bisa saya berikan contoh yang lain dari Amerika Serikat. Boleh dikata krisis terbesar yang pernah dialami Amerika Serikat adalah sewaktu mereka perang saudara dimana negara-negara bagian di Selatan mau memisahkan diri dari yang di Utara. Kita tahu yang menjadi presiden saat itu adalah Abraham Lincoln. Abraham Lincoln adalah seorang presiden yang mengalami begitu banyak krisis dalam kehidupannya, misalnya dari umur 7 tahun saja dia satu keluarga diminta keluar dari rumah karena mereka orang miskin, pada waktu dia umur 9 tahun mamanya meninggal dunia, papanya buta huruf, kerja sebagai buruh serabutan dan dia sendiri tidak pernah mengecap bangku sekolah dan hidupnya penuh dengan kegagalan demi kegagalan, mau menjadi wakil rakyat berkali-kali ditolak dan mau usaha bisnis sampai bangkrut berkali-kali. Jadi akhirnya semua itu membentuk dia menjadi orang yang memang bisa mengatasi krisis sehingga sewaktu dia menjadi presiden Amerika mengalami krisis yang paling besar, dia bisa mengatasinya dengan baik. Jadi sekali lagi kita melihat cara Tuhan bekerja dan Tuhan siapkan satu orang yang memang pas untuk jabatan dan tugas tersebut. Jadi kita juga harus berhati-hati dan jangan tergesa-gesa kita harus melihat apakah memang ada alternatif lain yang lebih baik, karena kadang ketidaksempurnaan lebih baik daripada usaha untuk menyempurnakannya itu.

GS : Hal lain yang harus diperhatikan apa, Pak Paul?

PG : Kita harus menyadari perubahan yang permanen memerlukan bukan hanya sistem dan pemimpin yang baik, tetapi juga orang yang dapat mendukung perubahan itu. Kadang kita berpikir yang terpenting ganti pemimpinnya saja dan perbaharui sistemnya maka semua akan berjalan baik. Pemikiran ini keliru sebab terbukti bahwa pada akhirnya untuk memertahankan sistem pengelolaan yang baik, dibutuhkan orang atau sumber daya yang dapat mendukungnya. Coba kita lihat lagi contoh Musa. Jika saja Musa mengadakan perubahan 40 tahun lebih awal, itu berarti dia akan harus berhadapan dengan Firaun yang adalah salah satu paman angkatnya. Kita tahu Musa itu diadopsi menjadi putra salah seorang putri Firaun. Jadi pada masa kecilnya Firaun yang memerintah adalah kakeknya, itu berarti setelah dia dewasa Firaun yang memerintah adalah salah seorang paman atau mungkin salah seorang sepupunya. Kenyataan bahwa Musa itu bebas keluar masuk istana setelah dia kembali dari Gurun Midian pada usia 80 tahun, untuk mengeluarkan Israel dari Mesir, kita tahu dia bebas keluar masuk istana dan tidak ada usaha untuk menangkapnya, memerlihatkan bahwa besar kemungkinan Firaun yang memerintah 40 tahun kemudian itu adalah salah seorang keponakannya, generasi muda di bawah Musa yang mengagumi prestasi Musa ketika menjadi perwira di Mesir dan melihatnya sebagai salah seorang paman. Singkat kata, satu generasi harus lewat terlebih dahulu sebelum Tuhan mengadakan perubahan mengeluarkan Israel dari Mesir. Kadang kita harus simpulkan perubahan tidak dimungkinkan dan tidak dianjurkan karena memang tidak ada orang yang sanggup untuk meneruskan dan memelihara perubahan. Jika dipaksakan akan terjadi kekacauan dan tidak jarang perpecahan. Jadi sebelum mengadakan perubahan kita senantiasa harus memikirkan kesiapan sumber daya dan jika memang belum siap maka kita harus menyiapkan sumber daya terlebih dahulu.

GS : Mungkin yang Tuhan pakai untuk melakukan perubahan bukan kita dan bisa jadi orang lain yang Tuhan siapkan untuk melakukan perubahan itu demi kebaikan kita semua.

PG : Betul sekali. Jadi kita tidak tahu cara Tuhan yang akan Tuhan gunakan, kadang memang dituntut kesabaran.

GS : Seperti orang tua atau suami kadang-kadang tidak bisa merubah istri atau anaknya, bahkan sampai dia mati pun istrinya atau anaknya tidak berubah, tapi setelah kematian dari kepala keluarga ini ternyata ada perubahan yang terjadi di tengah-tengahnya.

PG : Itu membuktikan Tuhan bisa memakai cara-cara yang memang tidak pernah terbayangkan oleh kita dan kita pikir kitalah yang harus melakukannya, tapi tidak bisa dan nanti Tuhan yang akan pakai situasi atau orang lain.

GS : Memang untuk menerima itu bukan hal yang mudah dan inginnya kita melihat perubahan pada waktu kita masih hidup, sehingga kita bisa membanggakan diri, "Ini saya yang sudah menuntut perubahan itu".

PG : Saya masih ingat istri Dr. James Dobson namanya Shirley Dobson, ditanya "Apakah semua yang diajarkan oleh suamimu berhasil, karena suaminya adalah seorang psikolog Kristen yang kondang" dan dia berkata, "Tentu tidak" sebab kalau semua yang diajarkan suami saya berhasil, maka suami saya akan beranggapan dialah yang cerdas, dialah yang mampu menelurkan pemikiran-pemikiran yang brilian itu, justru dia bilang "tidak" supaya suami saya selalu sadar Tuhanlah yang membuat itu berhasil dan bukan dia.

GS : Itu menunjukkan betapa rendah hatinya dia, dia sudah mau menyangkali dirinya sendiri, Pak Paul.

PG : Betul.

GS : Dan itu adalah bagian yang tersulit bagi seseorang yang punya semangat berkobar-kobar untuk melakukan perubahan, tetapi dia harus memendam itu dalam-dalam sebelum siap, yang dirubah ini belum siap.

PG : Kita tidak bisa selalu melihat hasil, kita maunya melihat hasil dengan lebih cepat, tapi kadang dia mesti percaya dengan iman bahwa Tuhan mendengarkan doa kita dan perubahan itu akan terwujud mungkin bukan dalam masa hidup kita, tapi dalam masa hidup setelah kita, tapi kita harus mengimani Tuhan mendengarkan dan suatu hari kelak Tuhan akan bekerja.

GS : Yang ajaibnya itu seringkali pada saat perubahan itu terjadi orang yang mau melakukan perubahan sudah malas untuk berubah, seperti Musa sendiri, selalu berdalih kepada Tuhan agar "Jangan dia yang menjadi pemimpin" atau seperti ayahnya Yohanes Pembaptis yang berkata, "Saya sudah tua, dulu minta anak tidak diberi dan sekarang sudah tua". Itu juga suatu perubahan, Pak Paul.

PG : Betul. Jadi kita lihat setelah 40 tahun di Gurun Midian, Musa sudah tidak lagi punya minat atau cita-cita luhur membebaskan umat Israel, dia sudah serahkan semuanya kepada Tuhan dan dia sudah tidak peduli lagi.

GS : Tapi justru saat itu Tuhan memilih Musa.

PG : Betul.

GS : Pelajaran apa yang bisa kita pelajari dari peristiwa itu, Pak Paul?

PG : Saya akan bacakan dari Lukas 5:37-39, "Demikian juga tidak seorangpun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian, anggur yang baru itu akan mengoyakkan kantong itu dan anggur itu akan terbuang dan kantong itupun hancur. Tetapi anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula. Dan tidak seorangpun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: anggur yang tua itu baik." Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang kantong kulit untuk menyimpan anggur setelah dipakai untuk waktu yang lama maka kantong kulit akan menjadi kering dan kaku, itu sebab sewaktu anggur baru dituangkan kedalamnya seringkali kantong kulit itu pecah, Tuhan Yesus mengerti betapa sulit mengubah sebuah sistem yang telah berakar, itu sebabnya Dia tidak berusaha masuk menjadi bagian dari komunitas rohaniwan di Israel saat itu, sebaliknya Dia memilih 12 murid yang bukan berasal dari kelompok rohaniwan. Dengan kata lain, Dia memilih kantong yang baru dan menyiapkannya selama 3 tahun. Jadi kita yang menggebu-gebu mau mengadakan perubahan kita harus mengingat perumpamaan Tuhan Yesus ini, mengisi anggur yang baru ke dalam kantong yang lama seringkali membuatnya pecah. Jadi lebih baik membuat yang baru saja.

GS : Terima kasih untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Perubahan yang Mendatangkan Kebaikan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



71. Mengawasi Perkataan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T369A (File MP3 T369A)


Abstrak:

Mungkin lebih banyak masalah timbul akibat perkataan, bukan perbuatan. Sebagaimana dijelaskan oleh Firman Tuhan, walau kecil lidah berpotensi untuk "... membakar hutan yang besar." Itu sebabnya penting bagi kita untuk menguasai perkataan yang keluar dari mulut. Beberapa prinsip untuk bisa mengendalikan lidah akan diuraikan disini.


Ringkasan:

Mungkin lebih banyak masalah timbul akibat perkataan, bukan perbuatan. Sebagaimana dijelaskan oleh Firman Tuhan, walau kecil lidah berpotensi untuk "... membakar hutan yang besar." Itu sebabnya penting bagi kita untuk menguasai perkataan yang keluar dari mulut.

Berikut akan dipaparkan beberapa prinsip yang dapat membantu kita mengendalikan perkataan.

Sekali lagi, Tuhan tidak melarang kita mengeluarkan perkataan yang keras. Natan harus menggunakan perkataan yang keras ketika menegur Daud. Tuhan kita Yesus harus mengeluarkan perkataan yang keras sewaktu menegur kaum ulama Israel saat itu. Terpenting adalah tujuannya yakni kita bermaksud membangun, bukan menghancurkan orang, supaya pada akhirnya orang itu dapat menerima kasih karunia Tuhan Kita Yesus.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengawasi Perkataan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Banyak orang yang setuju bahwa kata-kata kita sulit dikendalikan, kadang-kadang kita berkata kelepasan bicara dan sebagainya. Tapi seringkali kata-kata itu menimbulkan sakit hati orang lain atau bahkan pertengkaran dan bagaimana kita bisa mengawasi, walaupun itu bagian dari diri kita sendiri, Pak Paul?

PG : Mungkin lebih banyak masalah timbul akibat perkataan ketimbang perbuatan. Jadi firman Tuhan sendiri juga sudah mengatakannya di kitab Yakobus bahwa walau kecil lidah berpotensi membakar hutan yang besar, jadi itu sebabnya penting bagi kita menguasai perkataan yang keluar dari mulut. Hari ini kita akan membahas beberapa prinsip yang dapat membantu kita untuk mengendalikan perkataan. Ada beberapa yang bisa kita angkat, yang pertama kita harus senantiasa mengingat bahwa fungsi utama perkataan adalah sebagai sarana untuk berkomunikasi. Kita harus menggunakan perkataan untuk menyampaikan berita kepada pihak yang lainnya, itu sebabnya pertama-tama kita harus memikirkan tujuan perkataan yang ingin disampaikan. Saya tidak mengatakan bahwa kita hanya boleh mengeluarkan perkataan yang bermakna dalam atau yang bersifat serius, saya pun tidak mengatakan bahwa kita hanya boleh mengatakan hal-hal yang enak didengar, tidak. Kadang kita perlu bergurau untuk meringankan suasana dan kadang kita harus mengatakan hal-hal yang tidak enak didengar. Saya hanya ingin mengatakan bahwa apa pun itu yang hendak kita katakana, terlebih dahulu kita harus memikirkannya secara saksama, ingat masalah mudah timbul jika kita sudah tidak lagi memikirkan arah atau tujuan perkataan. Singkat kata, mengendalikan perkataan dimulai dengan mengendalikan pemikiran, dalam hal ini tujuan kita mengatakan sesuatu.

GS : Memang disini biasanya kita tidak sempat memikirkan tujuannya, secara spontan saja kita berbicara karena mungkin sekali ada orang yang setelah berkata-kata dan ditanggapi ternyata mengatakan, "Maksud saya tidak seperti itu," ini masalah tujuan.

PG : Memang sebagaimana telah saya katakan kita harus selalu menyadari bahwa fungsi utama perkataan adalah sebagai sarana untuk berkomunikasi. Jadi kita menggunakan perkataan menyampaikan sesuatu kepada pihak yang lainnya, kita bisa berkata, "Saya tidak bermaksud demikian" namun begitu keluar dari mulut, itu akan tersampaikan kepada pihak yang satunya maka satu hal yang harus kita camkan adalah kita harus menjaganya berhati-hati dan itu dimulai dengan mengendalikan pemikiran kita sendiri. Sehingga apa pun yang keluar dari mulut kita, itu terkendali, kita sadari apa tujuannya. Masalah benar-benar bertebaran kalau kita tidak memikirkan apa yang hendak kita katakan, tapi kita langsung katakan, akibatnya perkataan-perkataan itu keluar dan tersampaikan kepada pihak yang satunya dan kita tidak bisa berkata, "Saya tidak berniat seperti itu dan sebagainya" itulah fungsi utamanya yaitu kita menyampaikan berita, langsung keluar, langsung sampai. Hati-hatilah karena ujung-ujungnya akan ditangkap oleh orang.

GS : Disitulah masalahnya, kita tidak sempat berpikir, sebelum perkataan itu keluar. Jadi tujuan utamanya mungkin hanya untuk mengalahkan lawan bicara kita dan itu spontan terus keluarnya.

PG : Kadang-kadang sepertinya kita main pingpong, bola langsung kita pukul dan tidak lagi memikirkan untuk apa dan sebagainya, maka latihlah dalam hal-hal yang kecil sebelum mengeluarkan perkataan pikirkan dulu baik-baik dan baru kita sampaikan. Sekali lagi saya tidak berkata, "Kita menjadi orang serius sekali dan tidak bisa bergurau" tidak! Bahkan dalam bergurau pun kita harus memikirkan apa yang ingin kita katakan itu, tapi tetap boleh bergurau. Jadi sekali lagi saya bukannya berkata kita tidak boleh bergurau, tidak! Tetap boleh bergurau namun kita harus memikirkan apa yang ingin kita katakan dalam bergurau itu, apakah nanti efeknya akan seperti yang kita bayangkan. Jadi orang yang sama sekali tidak memikirkan tujuan atau efeknya dari perkataannya, itu adalah orang yang akan tabrak sini dan tabrak sana, akhirnya disalahmengerti dan orang akan beranggapan yang tidak-tidak dengan dirinya, bicaranya sembarangan dan masalah akhirnya semakin banyak.

GS : Memang yang sering terjadi seperti itu, kita bicara dulu baru berpikir, jadi setelah bicara baru merasa, "Kenapa akibatnya seperti itu ", akhirnya kita analisa dan menyesalinya tapi itu sudah terlambat sekali, Pak Paul.

PG : Memang perlu disiplin, saya menyadari kita ini tidak terbiasa dan kita ini asal dalam mengeluarkan perkataan, tapi kita sudah menyadari bahwa betapa seringnya masalah muncul gara-gara perkataan yang keluar tanpa kita pikirkan terlebih dahulu.

GS : Seringkali yang dijadikan alasan, "Saya tadi hanya bergurau tidak sungguh-sungguh", setelah kita melihat reaksi dari lawan bicara kita yang tidak senang dengan perkataan kita.

PG : Memang kita tidak sempurna dan tidak selalu bisa memastikan efek perkataan kita pada orang lain, kadang-kadang kita sudah pikirkan baik-baik dan kita anggap ini tidak akan berakibat seperti itu ternyata berakibat seperti itu dan orang tersebut salah mengerti, marah dan kadang-kadang itu yang terjadi dan kita tidak bisa hindari. Tapi setidak-tidaknya mulailah dengan mengendalikan pikiran kita, kita sungguh-sungguh sadar apa yang ingin kita katakan sehingga waktu tersampaikan seperti yang kita harapkan.

GS : Mungkin itu juga yang firman Tuhan katakan hendaklah kita lambat berkata-kata, jadi dipikir dulu baru bicara, begitu Pak Paul?

PG : Betul. Jadi sekali lagi saya ingatkan ini tujuan utama perkataan atau fungsi utama perkataan adalah sebagai sarana untuk berkomunikasi. Apa pun yang keluar dari mulut kita akan disampaikan atau akan diberitakan kepada pihak yang satunya.

GS : Hal lain yang perlu diperhatikan dalam berkata-kata, apa Pak Paul?

PG : Yang kedua pilihlah perkataan yang tepat, terutama bila ini menyangkut kelemahan atau masalah yang tengah dihadapi lawan bicara. Memilih kata yang tepat tidak berarti kita hanya boleh menggunakan kata yang manis, adakalanya kita harus menyampaikan teguran yang keras dan teguran yang keras memerlukan kata yang keras pula. Namun sedapatnya jika tidak diperlukan janganlah menggunakan perkataan yang keras terutama sewaktu ingin menunjukkan kelemahan atau masalah yang tengah dihadapi lawan bicara, Gunakan kata yang halus dan lebih ringan dibandingkan kondisi yang sebenarnya. Kita harus menyadari bahwa tatkala membicarakan kelemahan atau masalah pada umumnya orang merasa malu, jadi penggunaan kata yang kurang tepat dapat membuatnya tambah terpojok. Ini prinsip yang bisa saya bagikan sebagai contoh misalnya dia memunyai kelemahan yaitu cepat sekali tersinggung, kita mau bicara tentang kelemahannya yang cepat tersinggung itu, kita sebaiknya tidak langsung mengatakan hal itu kepada dia bahwa, "Kamu itu cepat tersinggung" kita mungkin harus menurunkan kadar perkataan kita daripada kita berkata cepat tersinggung mungkin kita bisa berkata, "Saya agak sulit bicara dengan kamu, saya harus hati-hati sekali sebab saya tidak mau membuat kamu susah hati". Jadi waktu kita berkata seperti itu, itu lebih baik dari pada berkata, "Kamu itu orang yang cepat tersinggung". Kalau kita mau membicarakan masalah atau kelemahan yang dihadapi oleh lawan bicara kita sedapatnya kita memilih kata yang tepat.

GS : Memilih kata yang tepat hanya bisa kita lakukan kalau kita sering menggunakan kata-kata, kadang kita kesulitan mencari kata-kata yang tepat itu, tapi makin sering kita menggunakan perkataan maka makin kita terampil.

PG : Kalau kita tidak yakin maka kita hanya berkata, "Saya tidak tahu kata apa yang harus saya gunakan, jadi kalau kata-kata ini tidak pas maka mohon maaf dan kemudian kita katakan apa yang akan kita sampaikan" dengan cara itu pihak kita akan tahu bahwa kita itu benar-benar berusaha menggunakan kata yang tepat tapi memang masih belum menemukannya. Jadi tidak apa-apa untuk mengakui bahwa kita tidak tahu kata yang tepatnya apa.

GS : Tapi menggunakan perkataan ini pun, kita harus paham dengan lawan bicara kita. Ada beberapa orang, kalau kita tidak berkata-kata dengan langsung tegas, dia tidak menangkap seolah-olah reaksinya dia mengatakan, "Kamu bicara berputar-putar, terus terang saja" bahkan terhadap anak-anak kita, ada anak yang cepat mengerti bahkan dengan perkataan-perkataan sindiran, tapi ada yang sulit sekali menangkap itu.

PG : Penting sekali kita mengenal kondisi lawan bicara kita dan juga ini, tidak bisa tidak, berkaitan dengan seberapa seringnya kita sudah menyampaikan teguran itu kepada dia, kalau sudah cukup sering dan orang itu tetap melakukan hal yang sama, maka kita harus menggunakan kata yang lebih kuat atau keras supaya bisa diperhatikan oleh dia. Jadi sekali lagi menggunakan kata yang tepat tidak berarti hanya menggunakan kata-kata yang enak didengar, kadang kita harus gunakan kata yang memang agak tajam tapi sebagai prinsip yang ingin saya tekankan adalah kalau kita tahu kita ingin menyampaikan sesuatu yang menjadi masalah orang tersebut, gunakanlah kata yang tepat dan kalau bisa kurangi bobotnya sedikit. Sebagai contoh misalnya seorang sedang menghadapi masalah dengan anaknya, misalnya anaknya tidak mau sekolah, maunya di rumah dan bermain saja, kita bisa bayangkan dia sebagai orang tua pasti lelah mengurus anak dan sebagainya, tidak mau mendengar kata-kata orang tua, daripada kita mengatakan, "Anak kamu memang keterlaluan dan memang malas tidak bertanggung jawab", meskipun itulah kenyataannya, tapi karena itu anaknya tetap kata-kata itu bisa menyakiti hatinya. Jadi kita bisa berkata kepada dia bahwa, "Saya bisa bayangkan kadang-kadang bisa lelah kalau bicara dengan anak dan dia tidak mau mendengarkan" itu saja sudah cukup daripada kita menggunakan kata-kata yang lebih keras lagi, "Anakmu memang malas, tidak bertanggung jawab dan sebagainya".

GS : Penggunaan kata yang tepat sangat dipengaruhi suasana hati kita, ketika kita cenderung marah-marah atau ketika kita merasa bosan, biasanya kata-kata yang keluar kurang sedap didengar tetapi kalau kita tenang dan memang berniat baik, maka kita masih bisa mendapatkan kata-kata yang tepat itu.

PG : Memang perlu disiplin, Pak Gunawan, kita perlu kembali ke prinsip yang pertama yaitu pikirkan baik-baik apa yang ingin kita katakan sebelum kita mengatakannya.

GS : Hal yang lain apa, Pak Paul?

PG : Yang ketiga adalah sedapat-dapatnya berkatalah secara langsung terutama bila kita harus mengatakan sesuatu yang serius dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, penggunaan media seperti telepon atau surat atau email tidak bisa tidak memunyai potensi kesalah pahaman, tanpa nada suara dan tanpa ekspresi wajah, komunikasi mudah sekali disalah tafsir dan satu hal lagi penyampaian langsung menyediakan kesempatan bagi kita untuk melihat reaksi lawan bicara dan memberi kita peluang untuk menjelaskannya. Jadi kalau ini topik yang sensitif dan kita tahu bisa disalahpahami maka sedapat-dapatnya jangan gunakan media yang lain, bicaralah secara langsung muka dengan muka bahkan telepon pun meskipun secara langsung bersuara tapi karena kita tidak bisa melihat ekspresi wajahnya maka kita akan kehilangan kesempatan membaca reaksinya, kalau kita bisa membaca reaksinya maka kitapun bisa mengatur langkah berikutnya sehingga lebih pas dengan reaksinya.

GS : Kadang-kadang sulit karena jarak yang memisahkan misalkan kita dengan anak kita yang jauh di luar kota, mau ketemu juga jarang-jarang akhirnya kita memakai telepon, tapi saya rasa telepon lebih baik daripada SMS.

PG : Betul sekali karena memang tidak ada sama sekali nada suara, ekspresi wajah dan sebagainya. Jadi kalau kita bicara untuk hal-hal yang biasa sudah tentu tidak mengapa lewat email, lewat BBM atau apa. Tapi kalau untuk bicara yang serius sedapatnyalah bicara muka dengan muka.

GS : Bagaimana kalau kita mau membicarakan tentang orang lain, Pak Paul?

PG : Ini masuk ke prinsip yang berikutnya, yang keempat yaitu berhati-hatilah tatkala membicarakan tentang orang lain, tidak bisa tidak adakalanya kita butuh orang untuk mendengarkan keluh kesah kita dan acapkali keluh kesah itu menyangkut orang lain dan seringkali kita harus bicara tentang orang lain, jadi berhati-hatilah sebab keluhan dapat tersebar dan malah menimbulkan masalah yang lebih luas. Satu hal lagi jika kita sering membicarakan atau mengeluhkan orang lain pada akhirnya orang pun tidak mau berbicara kepada kita terlalu mendalam, sebab mereka takut kalau-kalau kita akan membicarakan tentang mereka kepada orang lain. Jadi sekali lagi sedapat-dapatnya berhati-hatilah membicarakan tentang orang lain, saya tahu kita tidak bisa sepenuhnya 100% menghilangkan topik berbicara tentang orang lain dalam pembicaraan kita, saya kira itu tidak realistik, tapi hati-hati ingat apa yang kita sampaikan bisa tersebar. Jadi benar-benar pilihlah apa yang ingin kita sampaikan sewaktu mau membicarakan tentang orang lain.

GS : Ini terkait dengan gosip atau apa, Pak Paul?

PG : Kadang tidak, jadi benar-benar kita itu mau berkeluh kesah tentang seseorang tapi tetap meskipun kita punya alasan dan ini hal yang sebenarnya terjadi, tapi tetap kita harus menyadari bahwa sekali perkataan itu keluar, memang bisa nanti tersampaikan atau terdengar oleh orang lain. Benar-benar kita harus berhati-hati dan memercayai orang yang akan kita ajak bicara dan jangan sampai ada apa-apa kalau tidak, nanti ini bisa disampaikan atau terdengar oleh pihak yang satunya.

GS : Memang membicarakan orang lain merupakan topik hangat yang membuat kita lebih bergairah di dalam kita berbicara, Pak Paul.

PG : Tapi kita harus ingat bahwa kalau kita sering membicarakan tentang orang, nanti teman-teman kita takut berbicara dengan kita, sebab mereka waktu ingin bicara pribadi dengan kita nanti akan berpikir, "Dia ini terus membicarakan orang lain, saya takut nanti kalau saya bicara dengan dia, nanti dia bisa sebarkan apa yang saya bicarakan ini". Jadi kalau kita sering-sering membicarakan orang apalagi mengeluhkan, itu benar-benar kita sedang bicara kepada semua orang "Janganlah percaya kepada saya".

GS : Mungkin disini yang harus kita pikirkan adalah apakah membicarakan orang lain ini bermanfaat atau tidak didalam hubungan kita dengan rekan bicara kita itu, kalau tidak, maka kita harus cepat-cepat tinggalkan pembicaraan seperti itu.

PG : Benar dan kita lihat apakah ada faedahnya. Sekali lagi saya tidak mengatakan kita tidak boleh sama sekali membicarakan orang, ada waktu dan ada tempatnya kita membicarakan orang apalagi misalkan kita dalam satu kelompok atau organisasi, misalkan ada keluhan maka kita harus bicarakan. Jadi sekali lagi ada tempat dan waktu membicarakan tentang orang lain, tapi kita harus benar-benar sadar ini untuk hal yang bermanfaat dan orang yang kita ajak bicara itu juga bisa mengerti dan menyimpan rahasia.

GS : Mungkin masih ada pedoman yang lain, Pak Paul?

PG : Yang kelima adalah kurangilah tekanan emosional sebelum mengatakan sesuatu, sedapatnya kurangilah tekanan emosional sebelum mengatakan sesuatu. Saya mengerti bahwa adakalanya kita terbawa emosi sehingga cepat mengatakan sesuatu untuk melampiaskan emosi keluar, namun sedapatnya tahanlah dan biarkanlah emosi surut terlebih dahulu sebelum kita mengatakan sesuatu, sedapatnya jangan gunakan pembicaraan sebagai ajang pelampiasan emosi. Bukankah acapkali kita menyesali perkataan yang dikeluarkan dalam kondisi emosional sebab pada akhirnya kita menyimpulkan bahwa sesungguhnya kita tidak perlu mengeluarkan perkataan tersebut. Jadi kalau kita mau mengawasi perkataan yang keluar dari mulut kita, ini yang penting. Coba perhatikan emosi kita, kalau emosi sedang menanjak tinggi sebaiknya setop dan jangan berkata apa-apa, sebab seringkali kita terbawa emosi dan akhirnya kita menyesali. Benar-benar saya sering mengalami kalau saja saya bisa menahan diri tidak bicara misalnya sekitar 15 menit atau setengah jam, seringkali yang tadinya ingin saya katakan sirna, tiba-tiba saya berpikir, "Tidak perlulah" yang setengah jam lalu rasanya perlu saya katakan, tapi setengah jam kemudian tidak perlu, sebab setengah jam yang lalu emosi saya sedang naik. Jadi gunakanlah tolok ukurnya sewaktu emosi kita sudah turun.

GS : Tapi ada orang yang justru dengan mengeluarkan kata-kata, emosinya turun.

PG : Betul, emosinya turun tapi perkataan-perkataannya itu sudah beterbangan kemana-mana dan bisa menimbulkan masalah lain yang lebih besar.

GS : Jadi dalam hal ini rupanya orang hanya mementingkan kepentingannya sendiri tapi menimbulkan emosi pada lawan bicaranya.

PG : Betul sekali dan bisa saja menciptakan masalah-masalah baru.

GS : Tapi kalau kita bicara tanpa emosi rasanya hambar. Jadi pembicaraan ini intonasinya sangat ditentukan oleh bagaimana emosi itu, kalau kita bersukacita atau kalau kita bersedih dan marah itu kelihatan sekali dari situ.

PG : Kalau kita sedang gembira maka tidak mengapa kita bicara, tapi kalau sedang marah saya kira disitulah waktu dimana kita harus menurunkan emosi, memang tidak bisa hilang 100%, yang penting sudah turun dan benar-benar yakin mungkin inilah perkataan yang ingin saya sampaikan.

GS : Masih ada lagi, Pak Paul?

PG : Yang ke enam gunakanlah perkataan untuk mencari kebenaran bukan untuk membenarkan diri. Saya mengerti bahwa sebagai manusia kita tidak ingin disalah mengerti sehingga mudah terjerat ke dalam siklus membenarkan diri, sudah tentu kita memang perlu melakukannya bila kesempatan tiba namun sedapatnya jangan jadikan keinginan membenarkan diri tambah hari tambah menguat dalam hidup kita. Kadang kita harus membiarkan orang menuduh kita atau bahkan menghakimi kita walau kita tahu itu tidak berdasar dan kita perlu menyadari kalau Tuhan melihat semua dan Ia akan membela kita. Jadi sedapatnya dalam pembicaraan, gunakan perkataan untuk mencari kebenaran bukan untuk membenarkan diri.

GS : Disini yang sulit adalah mencari kebenaran itu karena kebenaran ini lalu menjadi subjektif sekali, apa yang kita anggap benar bisa ditangkap orang bukan suatu kebenaran, tetapi sebaliknya apa yang orang lain menganggap benar, bagi kita belum tentu kebenaran.

PG : Tugas kita hanyalah menyampaikan sejelas-jelasnya. Kata sejelas-jelasnya mengandung arti seperlunya. Kadang kita merasa ini belum cukup, kita mau jelaskan lagi karena sebetulnya yang terkandung adalah keinginan membenarkan diri bahwa saya tidak salah dan saya mau membuktikan kalau saya tidak salah, akhirnya saya simpulkan kadang-kadang tindakan yang lebih bijaksana adalah mengalah dan berkata, "Tidak apa-apa dan saya sudah katakan seperlunya dan kalau masih tetap tidak dimengerti dan saya tetap dituduh maka biarkanlah" sebab kita mau percaya ada Tuhan dan Dia akan membela kita dan Dia nanti yang akan menyatakan kebenaran itu. Kadang-kadang pihak sana tidak akan siap untuk mendengarkan kita saat ini, daripada kita terus bicara mencoba menjelaskan supaya dia tahu kita tidak salah dan di pihak yang benar akhirnya makin memancing marahnya dia. Jadi lebih baik setop dan kita tidak perlu membenarkan diri dan terserah dia mau memandang kita seperti apa.

GS : Karena orang lain akan menilai kita sebagai orang yang tidak mau mendengarkan perkataan mereka, lalu kita mengambil sikap "Terserah saja" ini menimbulkan sikap seperti itu.

PG : Maka tetap pada awal saya meminta kita, karena dalam spirit mencari kebenaran kita menjelaskan dan jangan sampai kita tutup mulut dan tidak peduli orang bicara apa, jadi dalam spirit mau mencari kebenaran kita jelaskan seperlunya. Yang saya mau garis bawahi adalah rasanya ada kebutuhan dalam diri kita untuk menjelaskan sejelas-jelasnya supaya dia benar-benar tahu saya tidak begini, saya tidak salah dan sebagainya. Keinginan seperti ini yang saya kira kita harus kendalikan sebab kadang-kadang keinginan itu membawa kita tambah jauh terlibat dan tambah ribut serta tambah rumit.

GS : Itulah kepuasan kita berbicara, kalau lawan bicara kita bisa mengerti kita menjadi puas, tapi kalau yang tadi Pak Paul katakan, "Sudah putus saja di situ dan kita mengalah" terus terang masih ada ganjalan itu dan sebenarnya kita tidak puas karena berakhirnya seperti itu.

PG : Kita harus ingat ada Tuhan dan dalam waktu Tuhan, Dia bisa nyatakan kebenaran itu. Jadi kita belajar beriman dalam hal seperti ini.

GS : Apakah ada firman Tuhan yang mendukung kita atau mengarahkan kita untuk bisa mengawasi perkataan kita, Pak Paul?

PG : Memang firman Tuhan termasuk dalam prinsip yang ketujuh yang terakhir yaitu apapun yang kita katakan arahkanlah untuk membangun dan bukan menghancurkan orang. Efesus 4:29 menasehati, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia." Sekali lagi Tuhan tidak melarang kita mengeluarkan perkataan yang keras. Nabi Natan harus menggunakan perkataan yang keras ketika menegur Daud, Tuhan kita Yesus harus mengeluarkan perkataan yang keras sewaktu menegur kaum ulama Israel saat itu. Yang terpenting adalah tujuannya yakni kita bermaksud membangun dan bukan menghancurkan orang, supaya akhirnya orang itu dapat menerima kasih karunia Tuhan kita Yesus.

GS : Memang berkata-kata ternyata tidak mudah, banyak hal yang harus kita perhatikan dan kita harus terus-menerus belajar dari kebenaran firman Tuhan bagaimana mengunakan kata-kata supaya kata-kata kita menjadi berkat bagi orang lain. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengawasi Perkataan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



72. Racun dalam Perkataan


Info:

Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kategori: Pendidikan
Kode MP3: T369B (File MP3 T369B)


Abstrak:

Kadang kesalahpahaman terjadi dalam komunikasi. Mungkin kita mengatakan sesuatu namun ditafsir berbeda oleh yang orang lain atau dalam keadaan emosional kita mengatakan sesuatu yang tidak tepat. Semua ini dapat berakibat buruk dan perlu penjelasan supaya relasi kembali terajut. Namun adakalanya sesuatu yang lebih buruk terjadi yakni lewat perkataan kita menebar racun yang mematikan. Disini akan dipaparkan beberapa jenis racun dalam perkataan yang dapat kita temui di Alkitab.


Ringkasan:

Kadang kesalahpahaman terjadi dalam komunikasi. Mungkin kita mengatakan sesuatu namun ditafsir berbeda oleh yang lain atau dalam keadaan emosional kita mengatakan sesuatu yang tidak tepat. Semua ini dapat berakibat buruk dan perlu penjelasan supaya relasi kembali terajut. Namun adakalanya sesuatu yang lebih buruk terjadi yakni lewat perkataan kita menebar racun yang mematikan. Berikut akan dipaparkan beberapa jenis racun dalam perkataan yang dapat kita temui di Alkitab.

Racun Kepentingan Pribadi

Didalam 1 Samuel 21-22, dicatat sebuah peristiwa tragis yang menimpa sebuah keluarga imam bernama Ahimelekh. Oleh karena lapar dan butuh pertolongan akibat menjadi buronan Raja Saul, Daud datang kepada Imam Ahimelekh dan meminta makan. Malangnya perbuatan baik Imam Ahimelekh dilihat oleh seseorang bernama Doeg, yang adalah pengawas gembala-gembala Raja Saul. Doeg kemudian melaporkan apa yang dilihatnya itu kepada Raja Saul, "Telah kulihat bahwa anak Isai itu datang ke Nob, kepada Ahimelekh bin Ahitub. Ia menanyakan Tuhan bagi Daud dan memberikan bekal kepadanya, juga pedang Goliat, orang Filistin itu diberikannya kepadanya." (1 Samuel 22:9) Mendengar laporan itu, Raja Saul langsung memanggil paksa Imam Ahimelekh beserta keluarganya. Saul menuduh Imam Ahimelekh telah bekerja sama dengan Daud dan sebagai hukumannya, Saul memerintahkan Doeg untuk membunuh Imam Ahimelekh dan keluarganya—85 orang! Belum puas, Saul kemudian membunuh penduduk kota Nob—laki, perempuan, anak bahkan anak bayi sekalipun—semua dibunuh oleh Saul yang dibutakan oleh kebencian.Tragedi ini berawal dari perkataan Doeg, yang melaporkan apa yang diketahuinya kepada Saul. Akibat racun perkataannya, ratusan orang mati terbunuh! Memang, bila kepentingan pribadi sudah meracuni hati, apa pun sanggup kita katakan dan lakukan. Dari sini kita dapat memetik satu pelajaran: Kita mesti berhati-hati dengan racun kepentingan pribadi!

Racun Kepalsuan

Di Matius 26:49 dicatat dua kata yang sangat kejam, yaitu "Salam, Rabi." Perkataan itu dikeluarkan oleh Yudas namun sebetulnya bukan ditujukan kepada Tuhan kita Yesus melainkan kepada para penjaga imam yang datang untuk menangkap Yesus. Oleh karena mereka tidak mengenal Yesus, jadi Yudas perlu memberikan tanda tertentu. Dua kata dan ciuman kepada Tuhan kita Yesus—itulah tanda yang diberikannya kepada mereka. Sudah tentu perkataan, "Salam, Rabi" bukan kata yang jahat; sebaliknya dua kata ini adalah perkataan yang baik dan santun. Si orang yang mengatakannya—Yudas—adalah yang jahat, karena perkataan itu dilontarkan dalam rangka menjual dan menyerahkan Tuhan kita Yesus. Jadi, dari sini dapat kita petik satu pelajaran yaitu racun dalam perkataan Yudas adalah KEPALSUANNYA. Ia mengatakan sesuatu yang baik dan santun namun ia sama sekali tidak bermaksud baik. Kita pun mesti berhati-hati dengan racun kepalsuan dalam perkataan. Betapa sering kita mengatakan sesuatu yang baik kepada seseorang namun sesungguhnya di dalam hati, kita sama sekali tidak menyukainya.

Racun Meremehkan Tuhan

Di dalam Kisah Para Rasul 5 dicatat sebuah kisah yang berawal baik tetapi berakhir tragis. Pada saat itu komunitas orang Kristen mulai terbentuk dan mereka bukan saja rajin bersekutu, mereka pun memperlihatkan kepedulian yang tinggi kepada satu sama lain. Di dalam semangat kasih, banyak yang rela mempersembahkan dan memberikan uang dan harta milik untuk digunakan demi kepentingan bersama. Ananias dan istrinya, Safira adalah sepasang suami-istri yang juga terbakar oleh semangat memberi. Mereka menjual tanah dan berniat mempersembahkan uang hasil penjualan itu kepada Gereja. Namun entah apa yang terjadi, pada akhirnya mereka berubah pikiran—mereka memutuskan untuk tidak memberikan seluruh hasil penjualan itu. Masing-masing berbohong kepada Petrus dan mengatakan uang itu adalah seluruh hasil penjualan tanah. Kita tahu apa yang selanjutnya terjadi—keduanya dihukum mati oleh Tuhan secara langsung. Dengan tegas Petrus berkata, "Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah." (Kisah Para Rasul 5:4). Dari sini kita dapat memetik satu pelajaran yaitu racun dalam perkataan Ananias dan Safira adalah MEREMEHKAN TUHAN. Mereka tidak merasa takut kepada Tuhan; itu sebab mereka tidak segan-segan berbohong kepada Tuhan. Kita pun harus berhati-hati agar jangan sampai meremehkan Tuhan lewat perkataan kita. Betapa mudahnya mulut mengatakan sesuatu tentang Tuhan seakan-akan Tuhan adalah sesama kita manusia. Kita tahu bahkan Musa sendiri pun tidak diperbolehkan masuk ke Tanah Yang Dijanjikan Tuhan, Kanaan karena ia tidak memperlakukan Tuhan secara kudus, sebagaimana dicatat di Bilangan 20:12, "Tetapi Tuhan berfirman kepada Musa dan Harun, 'Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka.' " Jadi, jagalah perkataan kita; jangan gunakan perkataan untuk meremehkan Tuhan.


Transkrip:

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Racun dalam Perkataan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

GS : Mungkin tidak banyak orang yang menyadari bahwa kata-kata itu bisa menjadi racun bagi orang lain. Ini bagaimana, Pak Paul?

PG : Itu seringkali kita lakukan dan tergantung pada kadarnya. Jadi kita mengatakan sesuatu namun ditafsir berbeda oleh orang atau dalam keadaan emosional kita mengatakan sesuatu yang tidak tepat. Semua ini dapat berakibat buruk dan perlu penjelasan supaya relasi kembali terajut namun adakalanya sesuatu yang lebih buruk terjadi yaitu lewat perkataan, kita menebar racun yang mematikan dan kita tahu racun itu sesuatu yang memang mematikan dan berbahaya sekali, kadang mulut kita secara sengaja atau tidak sengaja menebarkan racun yang merusak orang lain.

GS : Seringkali malah tidak disengaja dan kita juga tidak terlalu menyadari bahwa itu bisa meracuni orang lain apalagi itu orang-orang yang hampir setiap hari mendengar kata-kata kita. Jadi misalnya pasangan hidup kita atau anak-anak kita, orang yang serumah dengan kita, itulah mereka yang tiap hari mendengarkan kata-kata kita. Kalau kata-kata kita beracun maka akan sangat berbahaya.

PG : Adakalanya kita tidak menyadari kalau perkataan kita telah menjadi racun bagi orang dan setelah dia dewasa pun tetap membawa racun tersebut. Jadi kita harus berjaga-jaga agar jangan sampai kita menebarkan racun lewat perkataan kita.

GS : Mungkin hal ini akan lebih jelas kalau ada contoh-contoh konkret di dalam kehidupan kita sehari-hari atau pun di dalam Alkitab, bagaimana Pak Paul?

PG : Ada tiga jenis racun yang saya bisa angkat, yang pertama adalah racun kepentingan pribadi. Di dalam 1 Samuel pasal 21 dan 22 dicatat sebuah peristiwa tragis yang menimpa sebuah keluarga imam bernama Ahimelekh. Oleh karena lapar dan butuh pertolongan akibat menjadi buronan Raja Saul, Daud datang kepada Imam Ahimelekh dan meminta makan, malangnya perbuatan baik Imam Ahimelekh dilihat oleh seseorang yang bernama Doeg yang adalah pengawas gembala-gembala Raja Saul, Doeg kemudian melaporkan apa yang dilihatnya itu kepada Raja Saul. Dikatakan di 1 Samuel 22:9, "Telah kulihat, bahwa anak Isai itu datang ke Nob, kepada Ahimelekh bin Ahitub. Ia menanyakan TUHAN bagi Daud dan memberikan bekal kepadanya; juga pedang Goliat, orang Filistin itu, diberikannya kepadanya." Mendengar laporan itu Raja Saul memanggil paksa Imam Ahimelekh beserta keluarganya dan menuduh Imam Ahimelekh telah bekerjasama dengan Daud dan sebagai hukumannya Saul memerintahkan Doeg untuk membunuh Imam Ahimelekh dan keluarganya; 85 orang keluarga Imam yang dibunuh oleh Doeg. Belum puas, Saul kemudian membunuh penduduk kota Nob, itu tempat Imam Ahimelekh tinggal, laki-laki, perempuan, anak bahkan bayi sekalipun semua dibunuh oleh Saul yang dibutakan oleh kebencian. Tragedi ini berawal dari perkataan Doeg yang melaporkan apa yang diketahuinya kepada Saul. Memang Doeg hanya melaporkan apa yang dilihatnya, namun yang membuat laporan ini salah adalah motivasinya, Doeg melakukan semua ini demi kepentingannya sendiri, ia begitu bersemangat menyenangkan hati Saul sampai-sampai dia tidak lagi memedulikan konsekuensi perkataannya, bahkan sewaktu Saul memintanya untuk membunuh Imam Ahimelekh dan keluarganya, tanpa ragu ia melakukannya. Akibat racun perkataannya Doeg, ratusan orang mati terbunuh. Memang bila kepentingan pribadi sudah meracuni hati apa pun sanggup kita katakan dan lakukan. Dari sini kita bisa memetik satu pelajaran, kita harus berhati-hati dengan racun kepentingan pribadi, bila kita menyadari bahwa ada kepentingan pribadi terselip di hati kita harus menjaga perkataan dengan lebih ketat.

GS : Tapi yang tahu itu hanya Doeg yang memberikan laporan kepada Saul, kitapun begitu kadang-kadang waktu kita mendengar orang berbicara kita tidak tahu apa motivasi orang itu sehingga kita anggap saja perkataannya itu benar dan ternyata itu racun, dan itu bagaimana Pak Paul?

PG : Dalam kasus Doeg karena memang dia sadar dan tahu jelas bahwa Raja Saul sedang mengejar untuk membunuh Daud. Jadi dia tahu bahwa perkataannya ini akan berakibat sangat fatal kepada keluarga Imam Ahimelekh, tapi karena sudah ada kepentingan pribadi dia ingin mencari muka dan dia ingin nanti Saul senang dan memuji dia, dia tidak peduli itu. Memang kita harus menjaga diri kita dan mengawasi apakah ada kepentingan pribadi, sebab kepentingan pribadi seringkali membutakan mata kita. Jadi apapun akan kita katakan atau lakukan.

GS : Tapi biasanya kita berkata-kata ketika ada kebutuhan pribadi kita dan ini kita sampaikan dan biasanya dimotivasi oleh kepentingan pribadi.

PG : Asalkan kepentingan pribadi itu memang tidak membahayakan atau tidak mencelakakan orang, dalam kasus Doeg dia tahu jelas dia punya kepentingan pribadi dan ingin disenangi oleh Raja Saul, tapi dia tidak peduli bahwa perkataannya ini akan menjadi racun yang secara harafiah mematikan ratusan orang yang tidak bersalah. Jadi sekali lagi bukannya kita tidak boleh berbicara atau mengatakan sesuatu demi kepentingan pribadi kita, tapi kita harus menjaganya jangan sampai kepentingan pribadi merajalela membutakan mata kita terhadap konsekuensi perkataan kita itu.

GS : Di tempat kerja, kita sering menghadapi orang seperti ini yang melaporkan seseorang tentang kejelekannya kepada atasannya dengan maksud orang itu dapat digeser dan dia dapat menduduki posisi yang ditinggalkan itu.

PG : Memang kadang-kadang batasnya sangat tipis antara melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh orang, dan itu adalah tanggung jawab kita dan kita harus menjaga supaya perusahaan kita bisa berkinerja dengan baik, tapi kita harus mengawasi motivasi kita, apa motivasi kita memberikan laporan tersebut. Kalau kita sadari motivasinya supaya dia bisa digeser, supaya saya bisa mendapatkan kedudukannya atau supaya atasan memuji saya, hati-hati lebih baik jangan. Jadi selalu jaga motivasi kita. Sebab sekali lagi kita melihat kalau kita turuti terus kemauan atau kepentingan kita, benar-benar lama-lama mulut kita tidak ada remnya dan kita akan katakan saja supaya kepentingan kita terpenuhi.

GS : Dalam kasusnya Saul dan Doeg ini, sebenarnya Raja Saul harus bersikap bijaksana didalam menerima laporannya Doeg itu.

PG : Masalahnya dia itu yang meminta bawahannya untuk menciptakan sesuatu. Jadi dia membuka perkataan dengan, "Kalian ini jahat sama saya, saya sudah begitu baik dengan kalian, saya menyediakan ini dan itu bagi kalian, tapi apa balasan terhadap saya" itu yang dikatakan oleh Raja Saul. Atas dasar itulah Doeg kemudian membuka mulut dan mengatakan semua itu. Meskipun dia mau mengatakan sesuatu yang dilihatnya dan memang terjadi seperti itu, tapi dia seharusnya tahu perkataan ini benar-benar secara harafiah bisa mematikan orang dan dia begitu terbutakan bahkan sewaktu Saul meminta bawahannya untuk membunuh Imam Ahimelekh, bawahannya atau tentara-tentaranya menolak karena mereka tahu ini imam Allah yang baik dan imam yang saleh dan tidak salah, sehingga mereka tidak berani membunuh Imam Ahimelekh, Doeg yang langsung ambil pedang dan membunuhnya.

GS : Sebenarnya di sini bukan Doeg yang mula-mula mau menyampaikan hal itu tapi dia terpancing oleh permintaan dari Raja Saul.

PG : Betul. Dan memang kepentingan pribadinya itu sangat kuat, dia ingin menyenangkan hati Saul bahkan waktu tentara bawahan Saul tidak mau membunuh, kemudian dia yang membunuh padahalnya dia bukan tentara, dia hanya pengawas gembala, jadi dia mengurus ternak-ternaknya Saul, tapi karena kepentingan pribadinya begitu besar dan dia tidak segan-segan melakukan kejahatan yang sebegitu buruknya.

GS : Disini memang perlu perhatian yang sungguh-sungguh terhadap diri kita, apa sesungguhnya motivasi kita menyampaikan laporan sesuatu kepada orang lain.

PG : Jadi kita jaga mulut kita dan pertama-tama mengawasi motivasi kita serta jangan sampai kepentingan pribadi kita membutakan mata kita.

GS : Memang benar pemazmur yang mengatakan dia minta supaya Tuhan menjaga pintu mulutnya supaya tidak menjadi racun bagi orang lain. Selain racun kepentingan pribadi, ada racun apalagi yang bisa ditemukan, Pak Paul?

PG : Racun kepalsuan, di Matius 26:49 dicatat dua kata yang sangat kejam yaitu 'salam rabi', atau 'salam guru'. Perkataan itu dikeluarkan oleh Yudas namun sebetulnya bukan ditujukan kepada Tuhan kita Yesus melainkan kepada para penjaga imam yang datang untuk menangkap Yesus. Oleh karena mereka tidak mengenal Yesus, jadi Yudas perlu memberikan tanda tertentu di malam hari itu di taman Getsemani, dua kata, dan ciuman kepada Tuhan Yesus itu menjadi tanda yang diberikannya kepada mereka. Sudah tentu perkataan salam rabi bukan kata yang jahat sebaliknya dua kata ini adalah perkataan yang baik dan santun, namun orang yang mengatakannya, Yudas adalah yang jahat karena perkataan itu dilontarkan dalam rangka menjual dan menyerahkan Tuhan kita Yesus. Dari sini dapat kita petik satu pelajaran yaitu racun dalam perkataan Yudas adalah kepalsuannya, ia mengatakan sesuatu yang baik dan santun "Salam rabi" namun dia sama sekali tidak bermaksud baik, kita pun harus berhati-hati dengan racun kepalsuan dalam perkataan, betapa sering kita mengatakan sesuatu yang baik kepada seseorang namun sesungguhnya di dalam hati kita sama sekali tidak menyukainya dan kita berpura-pura baik kepadanya namun sebetulnya di dalam hati kita menginginkan kehancurannya. Adalah terlebih baik bila kita berkata terus terang daripada memalsukan perkataan.

GS : Disini kita juga menemukan tentang motivasi yang tidak benar dari si penyampai berita itu, dari yang mengucapkan kata-kata, "Salam rabi" ini bedanya dengan yang pertama tadi apa, Pak Paul?

PG : Memang ada tumpang tindihnya, ada kepentingan pribadi dari pihak Yudas yakni ingin menjual Yesus, jadi dia menggunakan tanda itu supaya para serdadu bait Allah atau imam bisa mengenali siapa itu Yesus sehingga bisa menangkap-Nya. Sudah jelas ada unsur kepentingan pribadi dan itu racunnya, ia mau menjual Yesus karena dia sudah dijanjikan uang. Dan yang kedua yang saya mau angkat adalah kepalsuannya, dia menggunakan kata-kata yang manis sekali yaitu salam rabi. Dalam contoh yang pertama tadi dengan Raja Saul dan Doeg, Doeg itu tidak memalsukan kata-katanya dan tidak menggunakan kata-kata pemanis. Waktu Saul meminta untuk Doeg membunuh para imam dan dia langsung membunuh semua, tidak ada kepalsuan dalam hal itu dan tidak ada yang manis-manis tapi Yudas menggunakan kata-kata yang baik dan bersahabat, "Salam Rabi, salam guru" padahalnya itu hanyalah untuk menjadi penunjuk siapakah Yesus yang mereka cari, supaya mereka bisa menangkap orang yang mereka memang ingin tangkap. Jadi di situlah letak perbedaannya.

GS : Tapi di kalangan orang Yahudi atau bahkan kita, kalau ketemu guru kita selalu memberi salam dan mereka juga terbiasa dengan memberi salam, memberikan ciuman dan sebagainya. Hanya memang terkait dengan motivasi yang tidak benar itu tadi, Pak Paul.

PG : Dan sebenarnya tidak lumrah karena kita ingat bahwa mereka baru saja bersama-sama, Yudas dan Yesus dan murid-murid yang lain baru saja merayakan hari Paskah. Jadi mereka baru bersama-sama kemudian Yesus berkata kepada Yudas, "Apa yang hendak kau lakukan, lakukanlah" dan Yudas langsung pergi keluar. Alkitab mencatat iblis lalu datang memasuki hatinya. Jadi dia langsung keluar dan dia langsung ke rumah imam dan kemudian membawa serdadu imam, langsung ke taman sebab dia tahu Yesus dari tempat mereka makan bersama Ia akan langsung ke taman, sebab itulah tempat dimana biasanya Tuhan Yesus berdoa di malam hari. Seharusnya dia tidak perlu lagi berkata salam, karena dia baru makan bersama-sama, jadinya tidak lumrah dia berkata begitu. Kalau dia tidak bertemu dengan Tuhan Yesus beberapa hari maka masuk akal, tapi baru saja makan bersama-sama. Jelas-jelas dia hanya menggunakan kata itu untuk menunjuk siapa itu Yesus, jadi benar-benar luar biasa jahatnya, dan palsu.

GS : Kalau kepalsuan ini diucapkan oleh seseorang dengan tujuan untuk menjaga etika, apakah bisa menjadi racun atau tidak? Misalnya orang yang ditanyai mau diajak makan dan dia mengatakan, "sudah kenyang" padahal ini kepalsuan saja, dia sebenarnya masih lapar.

PG : Ini memang saya tidak masukkan kedalam kategori kepalsuan, karena saya kira ini sebagian dari budaya kita, kalau orang menawarkan kita makan dan sebagainya dan kita tidak berasa nyaman dengan orang tersebut, kita mungkin tidak enak terima undangannya, jadi kita beralasan sudah makan, sudah tentu kalau kita nyaman dengan orang tersebut dan kita ditawari makan sudah pasti kita bilang "Ya". Ini dalam koridor yang masih baik karena daripada kita bicara terlalu blak-blakan tidak enak, "Saya belum makan dan saya tidak mau makan dengan kamu" itu lebih tidak enak, jadi dalam koridor santun dan jangan sampai menyakiti hati orang maka kita bisa berkata, "Saya sudah makan". Itu masih bisa diterima, tapi dalam contoh Yudas saya sebut racun karena efeknya mematikan. Dari perkataan Yudas, "Salam Rabi" tentara imam menangkap Yesus dan membawa-Nya ke rumah imam besar dan keesokan harinya ke istana Pilatus kemudian siang harinya mereka menyalibkan Yesus.

GS : Mungkin racun kepalsuan ini seringkali digunakan oleh orang-orang yang berselingkuh dengan orang lain dan dia mengatakan itu kepada pasangannya dan pasangannya merasa baik-baik saja karena dibohongi terus-menerus, padahal itu adalah racun dalam rumah tangga.

PG : Bagus sekali, itu contoh yang baik supaya tidak ketahuan dan dia bisa terus menutupi perbuatannya, jadi akhirnya dia menggunakan kata-kata yang manis kepada pasangannya dan ini adalah racun kepalsuan sebab dia melakukan itu untuk menutupi perbuatannya.

GS : Jadi selain untuk kepentingan dirinya sendiri tapi juga untuk membunuh "lawan bicaranya ini", Pak Paul.

PG : Bisa begitu.

GS : Ada racun yang lain, Pak Paul?

PG : Racun yang ketiga saya sebut racun meremehkan Tuhan. Di dalam Kisah Para Rasul 5 dicatat sebuah kisah yang berawal baik tapi berakhir tragis. Pada saat itu komunitas orang Kristen mulai terbentuk dan mereka bukan saja rajin bersekutu, mereka pun memerlihatkan kepedulian yang tinggi satu kepada yang lain. Didalam semangat kasih, banyak yang rela memersembahkan dan memberikan uang serta harta milik untuk digunakan demi kepentingan bersama. Ananias dan istrinya Safira adalah sepasang suami istri yang terbakar oleh semangat memberi, mereka menjual tanah dan berniat memberikan atau memersembahkan hasil penjualan itu kepada gereja namun entah apa yang terjadi pada akhirnya mereka berubah pikiran dan mereka memutuskan untuk tidak memberikan seluruh hasil penjualan itu. Singkat kata, mereka berniat menyimpan sebagian untuk keperluan mereka. Masalahnya mereka tidak mau mengatakan apa adanya, Tuhan itu tidak menuntut mereka memberikan semuanya. Jadi seharusnya mereka bisa berbicara apa adanya dan mereka hanya memberikan sebagian dan menyimpan sebagian dan tidak apa-apa. Hal yang mereka lakukan adalah mereka masing-masing berbohong kepada Petrus dan mengatakan uang itu adalah seluruh hasil penjualan tanah. Kita tahu apa yang selanjutnya terjadi, keduanya dihukum mati oleh Tuhan secara langsung dengan tegas Petrus berkata di Kisah Para Rasul 5:4, "Engkau bukan mendustai manusia, tapi mendustai Allah". Mereka tidak rela memberikan semua hasil penjualan tanah itu kepada Tuhan dan malah memilih mendustai Tuhan. Dari sini kita dapat memetik satu pelajaran yaitu racun dalam perkataan Ananias dan Safira adalah meremehkan Tuhan dan mereka tidak merasa takut kepada Tuhan itu sebabnya mereka tidak segan-segan berbohong kepada Tuhan. Jadi kita harus berhati-hati dan jangan sampai meremehkan Tuhan lewat perkataan kita, betapa mudahnya mulut mengatakan sesuatu tentang Tuhan seakan-akan Tuhan adalah sesama kita manusia, bukan! Tuhan adalah Allah yang kudus dan Ia menuntut diperlakukan kudus.

GS : Disini Ananias dan Safira ini masalah utamanya adalah kebohongan yang dia ungkapkan bukan terhadap manusia, tetapi terhadap Tuhan.

PG : Betul sekali.

GS : Sebenarnya mereka mendapat kesempatan untuk jujur ketika Rasul Petrus menanyakan hal itu. Disini juga terkait dengan kepentingan pribadi mereka, mereka membutuhkan uang itu, jadi racun-racun ini rupanya dasar utamanya adalah kepentingan pribadi itu tadi.

PG : Betul sekali, gara-gara kepentingan pribadi, kita bisa memalsukan perilaku kita mengatakan sesuatu yang manis padahal di belakangnya adalah untuk mencelakakan orang dan dalam kasus yang ketiga ini, demi kepentingan pribadi Ananias dan Safira dengan gampang meremehkan Tuhan. Seolah-olah Tuhan itu sama seperti kita manusia yang bisa kita bohongi sehingga Petrus dengan tegas berkata, "Engkau tidak mendustai manusia tapi engkau telah berdusta kepada Allah". Tidak boleh kita main-main dengan Tuhan, tidak boleh kita menganggap Tuhan sama dan sederajat dengan kita, kita tidak boleh meremehkan Dia. Dia Allah yang kudus dan Dia menuntut kita memerlakukan-Nya juga dengan kudus.

GS : Hal yang serupa itu juga masih sering terjadi di kehidupan sehari-hari, kadang-kadang kita mengatakan menyesal di hadapan Tuhan. Tetapi beberapa saat kemudian kita melakukan dosa yang sama tanpa berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meninggalkan dosa itu. Itu juga merupakan sikap meremehkan Tuhan seolah-olah gampang dengan Tuhan, datang kepada Tuhan nanti diampuni.

PG : Saya kira memang pada akhirnya kita harus mengakui bahwa banyak orang yang sudah kehilangan rasa takut akan Tuhan karena tidak ada lagi rasa takut akan Tuhan, orang berbuat semaunya dan dia melakukan hal yang salah berulang-ulang kali dan dia tidak takut Tuhan dan tidak peduli Tuhan mau bersikap seperti apa, tinggal tunggu waktu Tuhan akan bertindak. Tinggal tunggu waktu, Dia akan berbuat sesuatu.

GS : Mungkin lebih banyak orang takut terhadap sesamanya daripada takut kepada Tuhan, Pak Paul.

PG : Betul, Pak Gunawan.

GS : Itu bisa terjadi di mana-mana dan bukan hanya di kalangan orang Kristen tapi di semua lini kehidupan bisa terjadi seperti itu.

PG : Kalau orang bertanya, "Kenapa Tuhan tidak bertindak seperti kepada Ananias dan Safira sekarang ini, kenapa Tuhan tidak menghukum langsung orang yang berdusta meremehkan Tuhan seperti Safira dan Ananias ini?" Karena Tuhan mengasihi kita, Dia menghukum Ananias dan Safira dengan harapan kita jadi takut dan jangan sampai mengulang kesalahan Ananias dan Safira, bukannya Tuhan sekarang lembek dan dulu keras, tidak seperti itu! Dia memang melakukan itu kepada Ananias dan Safira sebagai peringatan bagi kita di sepanjang zaman ini dan jangan mengulang hal yang sama, meremehkan dan berdusta kepada Tuhan seenaknya, jangan! Dia yang mampu menghukum Safira dan Ananias seperti itu juga sanggup menghukum kita pula, kenyataan Dia tidak melakukannya, karena Dia ingin mengingatkan kita supaya kita bertobat dan jangan lagi berbuat yang sama.

GS : Tapi tokoh-tokoh Alkitab pun cukup banyak yang meremehkan Tuhan, mungkin ada yang lain selain Ananias dan Safira?

PG : Musa. Kita tahu bahkan Musa sendiri pun tidak diperbolehkan masuk ke tanah yang dijanjikan Tuhan, Kanaan, karena ia tidak memerlakukan Tuhan secara kudus sebagaimana di catat di Bilangan 20:12, "Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun: "Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka." Kita tahu ceritanya Tuhan meminta Musa untuk memerintahkan batu karang mengeluarkan air, Musa emosi dan dia memukul batu karang itu, batu karang itu melambangkan Tuhan yang menyediakan air kepada umat Israel. Waktu dia pukul batu karang itu, dia menunjukkan ketidakhormatannya kepada Tuhan maka Tuhan berkata seperti itu, "Kamu tidak menghormati kekudusan-Ku di depan orang Israel." Dampaknya parah, Musa 40 tahun memimpin umat Israel keluar dari Mesir masuk ke tanah yang Tuhan janjikan, tapi dia sendiri tidak bisa menginjakkan kakinya masuk ke tanah Kanaan. Jadi jagalah perkataan kita dan jangan gunakan perkataan untuk meremehkan Tuhan. Sebaliknya gunakanlah perkataan untuk membawa pujian dan hormat kepada Tuhan.

GS : Memang melalui perbincangan ini rupanya membuat kita harus lebih berhati-hati atau lebih waspada, lebih bijaksana menggunakan kata-kata kita bagi kemuliaan nama Tuhan dan bukan untuk menyakiti sesama apalagi membunuh sesama. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Racun dalam Perkataan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.



END_OF_FILE <<Prev Next>> Kembali ke atas