Kategori ini berisi 76 artikel yang mengupas mengenai hal-hal terkait pengembangan diri, membentuk kebiasaan baik, belajar bijak, dan mengelola waktu. (Total Durasi: 38 Jam)<<Lihat Direktori>>
1. Kepercayaan Diri | |
Kepercayaan diri akan muncul pada diri anak apabila ada bekal atau bahan-bahan yang positif yang dia terima dari orangtuanya atau lingkungan di mana dia ada, di gereja misalnya. Dan mengenai bahan apa saja yang diperlukan topik ini akan membahasnya.
Ada 2 aspek besar di dalam kepercayaan diri, sbb:
Aspek diri itu sendiri, yang dimaksud diri bukan hanya tubuh jasmani namun yang lebih penting lagi adalah substansi dari diri kita. Yaitu siapa kita menurut pandangan kita dan juga yang terpenting adalah mempunyai suatu kekuatan dari dalam diri kita sehingga waktu kita mengarungi hidup, kita tidak merasa sebagai orang yang tersesat, terkatung-katung tanpa arah, sebab kita mempunyai substansi atau suatu isi dari dalam diri kita.
Aspek mempercayai diri. Jadi mempercayai pertimbangan kita, mempercayai kemampuan, kebiasaan yang bersumber dari satu hal yaitu kita mesti memiliki penilaian tentang diri yang lumayan positif.
Diri sebenarnya berasal dari bahan, bahan yang kita serap dari lingkungan kita dan terutama adalah dari keluarga kita. Jadi yang dimaksud dengan bahan adalah interaksi, pergaulan antara kita dengan orangtua kita. Yang dimaksud interaksi atau pergaulan adalah hidup bersama-sama dengan orangtua, melihat perilaku mereka, dididik oleh mereka, dinasihati oleh mereka, mengisi diri kita sehingga diri kita itu tidak kosong. Misalkan anak sudah berjanji kepada orangtua akan ada di rumah jam 09.00 malam, ternyata dia pulang jam 11.00 malam. Orangtua marah, waktu marah orangtua kemudian mengatakan satu kalimat: "Engkau harus belajar menepati janjimu, sebab orang hanya akan percaya kepada engkau kalau engkau bertanggung jawab dengan janjimu," itu adalah bahan. Bahan yang akhirnya membentuk diri dia, sebab si anak-anak tiba-tiba saat itu disadarkan akan satu hal yang mungkin dulunya dia sepelekan yaitu bahwa perkataannya atau janjinya itu adalah sesuatu yang akan dipegang oleh orang dan menjadi bahan penilaian orang terhadap dirinya.
Bahan di sini bisa positif maupun negatif. Bahan yang positif dapat menambah kekuatannya, bahan yang negatif justru akan menghancurkan dirinya.
Jadi di sini ada 2 aspek:
Pertama adalah kekurangan bahan yang positif misalnya orangtua jarang bergaul dengan anak, dua-dua sibuk, pulang malam, jarang mengungkapkan cinta, ngobrol, berdiskusi dengan anak hal ini menjadikan defisit, kekurangan dalam diri anak.
Kedua, banyak negatifnya artinya anak dikritik, anak dituntut secara berlebihan, dimarahi semau-maunya dsb itu adalah interaksi atau bahan-bahan negatif yang diserap oleh si anak sehingga si anak akhirnya memiliki diri yang penuh dengan perasaan-perasaan negatif.
Aspek mempercayai diri bersumber dari satu hal yaitu kita mesti memiliki penilaian tentang diri yang lumayan positif, apakah kita bisa mempercayai keputusan yang diambil oleh diri kita ini. Ada orang yang senantiasa ragu-ragu mengambil keputusan. Kerapuhan penilaian diri sangat tampak pada keputusan yang telah diambil yaitu seringkali keputusan itu diambil bukan berdasarkan pada apa yang kita pikir, apa yang telah kita timbang dengan baik-baik namun kita sangat dipengaruhi oleh faktor akibat. Kepercayaan diri yang lemah seringkali muncul atau terlihat dalam kasus seperti ini, jadi terlalu memikirkan pandangan orang, penilaian orang nanti akibatnya bagaimana, nanti orang lihat saya bagaimana, sehingga akhirnya keinginan diri, ide dari diri sendiri tertindih dan tidak muncul.
Yang perlu dilakukan untuk mengatasi / membangun kepercayaan diri adalah:
Pertama-tama, tahu siapa diri kita di hadapan Tuhan.
Kita mesti bereskan dulu relasi kita dengan Tuhan, Firman Tuhan menyatakan bahwa kita ini adalah anak Tuhan, dilihat Tuhan secara khusus dan spesial. Dengan kata lain kita mesti melihat bahwa kita ini diciptakan Tuhan bukan karena kebetulan, memang kita muncul dari orangtua tapi kehadiran kita di dunia ini ditetapkan oleh Tuhan, Tuhan menghendaki kita ada. Itu berarti Tuhan mempunyai rencana dengan kehadiran kita ini dan kita sebaiknya hidup sesuai dengan rencana Tuhan.
Mulai mengisi diri kita dengan pergaulan yang positif, kita mencari teman yang positif yang membangun, kita mencari lingkungan yang positif dan membangun relasi dengan baik.
Kedua, mempercayai diri. Di sini kita memang perlu pengalaman sukses, pengalaman keberhasilan dan juga perlu tanggapan dari orang lain bahwa kita berhasil. Nah dari kedua hal inilah kita akhirnya perlahan-lahan mulai membangun kepercayaan diri.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Dan kali ini kami akan mengajak saudara sekalian untuk berbincang-bincang tentang sebuah topik yaitu "Kepercayaan Diri". Kita percaya bahwa acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : OK! Sebetulnya ada 2 aspek besar Pak Gunawan, yang pertama adalah aspek diri itu sendiri dan yang kedua adalah aspek mempercayai diri.
PG : Sebelum kita bisa mempunyai kepercayaan diri alias sebelum kita bisa mempercayai diri kita, mempercayai diri maksudnya mempercayai pertimbangan kita, mempercayai kemampuan kita. Kita meti mempunyai diri terlebih dahulu, nah mungkin konsep ini sedikit membingungkan sebab mungkin ada yang berkata kami semua mempunyai diri jadi apa maksudnya dengan memiliki diri terlebih dahulu.
PG : Bukan, jadi tepat sekali yang dimaksud dengan diri bukan hanya tubuh jasmani namun yang lebih penting lagi adalah substansi dari diri kita ini. Yaitu siapa kita menurut pandangan kita dn juga yang terpenting adalah mempunyai suatu kekuatan dalam diri kita sehingga waktu kita mengarungi hidup kita tidak merasa sebagai orang yang tersesat, terkatung-katung tanpa arah, sebab kita mempunyai suatu substansi atau suatu isi dalam diri kita itu.
Nah mungkin yang langsung timbul dalam benak kita semua adalah dari mana asalnya diri itu, apakah semua orang otomatis lahir dengan diri yang seperti yang saya gambarkan, ternyata tidak Pak Gunawan. Itulah sebabnya dalam dunia ini kita bisa menyaksikan berbagai problem yang berkaitan dengan diri manusia, kita bisa melihat misalnya ada orang-orang yang mantap, ada orang-orang yang tidak mantap. Nah mungkin di antara para pendengar juga ada yang mengalami masalah seperti ini yaitu merasa diri kosong, hampa tidak tahu arah hidup dan sebagainya. Nah diri itu sebetulnya berasal dari bahan kalau boleh saya gunakan istilah bahan, bahan yang kita serap dari lingkungan kita dan terutama adalah dari keluarga kita Pak Gunawan. Jadi yang dimaksud dengan bahan adalah interaksi, pergaulan antara kita dengan orang tua kita. Yang saya maksud dengan interaksi atau pergaulan adalah hidup bersama-sama dengan orang tua, melihat perilaku mereka, dididik oleh mereka, dinasihati oleh mereka, tertawa dengan mereka jadi semua itu adalah masukan-masukan yang akhirnya mengisi kita, mengisi diri kita sehingga diri kita itu tidak kosong, kira-kira begitu.PG : OK! Misalkan kita terlambat pulang, kita sudah berjanji kepada orang tua akan ada di rumah jam 09.00 malam ternyata kita lambat pulang jam 11.00 malam, orang tua marah. Nah waktu orang ua marah kemudian mengatakan satu kalimat, "Engkau harus belajar menepati janjimu, sebab orang hanya akan percaya kepada engkau kalau engkau bertanggung jawab dengan janjimu," nah itu adalah bahan Bu Ida.
Bahan yang akhirnya membentuk dirinya, sebab si anak tiba-tiba saat itu disadarkan akan satu hal yang mungkin dulunya dia sepelekan yaitu bahwa perkataannya atau janjinya itu adalah sesuatu yang akan dipegang oleh orang dan menjadi bahan penilaian orang terhadap dirinya. Kalau orang tuanya tidak pernah berkata apa-apa misalkan dia hidup dalam rumah tangga yang kacau, orang tua tidak peduli dengan dia pulang jam 11.00, pulang jam 12.00 tidak ada yang menegur dia sama sekali dia akan kehilangan pelajaran berharga tersebut, nah ini yang saya maksud dengan bahan. Nah anak yang kurang sekali bahan-bahan seperti ini juga akan memiliki kekosongan, tapi anak yang banyak menerima bahan-bahan seperti ini dia akan menerima banyak bekal, isian untuk dirinya itu.PG : Nah bahan-bahan itu sebetulnya tidak perlu diolah secara sadar karena bahan-bahan itu juga ditanamkan secara tak sadar maksudnya tak sadar itu tak terencana Pak Gunawan (GS : tidak ada istem tertentu untuk itu ya) betul tidak diberikan secara formal.
Nah pengolahan itu akan berlangsung juga secara alamiah yakni sewaktu anak itu bergaul di luar, sewaktu dia itu hidup dengan teman-temannya di sekolah atau terlibat dalam pelayanan di gereja, melalui pergaulan, interaksi, persahabatan mungkin juga konflik dengan teman dan sebagainya bahan-bahan yang dia terima itu akan mengalami pengolahan. Nah otomatis nanti bahan yang kuat akan menolong dia untuk bisa terjun ke masyarakat dengan lebih kuat. Saya berikan contoh yang lain mengenai bahan, yakni bahan cinta, bahan kasih, mungkin banyak orang yang tidak menyadari bahwa kita ini mengasihi diri kita karena kita terlebih dahulu dikasihi, nah ini memang firman Tuhan, Tuhan terlebih dahulu mengasihi kita. Nah sebetulnya kita menyukai diri kita atau tidak pada awalnya sangat bergantung dari perlakuan orang tua. Anak itu lahir ke dunia benar-benar tidak memiliki konsep apapun tentang dirinya, tidak tahu dirinya itu positif atau negatif, dia tidak bisa berkata dia suka atau tidak suka tentang dirinya, tidak tahu. Nah bagaimanakah anak itu sampai bisa menyukai atau tidak menyukai dirinya, sebetulnya ada 2 faktor besar faktor yang umum yang sering kita pikirkan atau sering kita lihat terutama di kalangan anak remaja adalah anak itu menyukai dirinya. Kalau dia mencapai standar yang ditetapkan oleh lingkungannya terutama lingkungan remaja. Misalkan remaja sekarang menekankan tubuh yang langsing, nah otomatis kalau tubuhnya tidak langsing dia akan merasa tidak begitu sreg, tidak begitu menyukai dirinya atau penampilannya. Tapi itu adalah salah satu bagian saja, salah satu bagian yang memang berpengaruh dalam pertumbuhan diri si anak. Bagian yang lebih penting yang lebih awal juga adalah pandangan atau tanggapan orang tua terhadap dirinya itu. Kalau sejak kecil dia dicintai, dikasihi, dia disukai, dia dinikmati oleh orang tuanya dia akan belajar menyukai dan menikmati dirinya. Jadi anak belajar mengasihi diri dari kasih orang tua terhadap dirinya, kalau yang dia terima justru sering kali kemarahan, kebencian, orang tua rasanya sebel melihat dia dan sebagainya, orang tua tidak meluangkan waktu baginya, nah hal-hal itu menjadi isyarat bahwa dia itu tidak dikasihi, bahwa dia itu tidak penting dalam kehidupan orang tuanya, bahwa kehadirannya di dunia ini bukanlah sesuatu yang sangat berharga bagi orang tuanya. Nah akibatnya dia itu mulai merasa tidak begitu nyaman dengan dirinya, tidak mempunyai pandangan yang baik terhadap dirinya, nah ini adalah salah satu bahan. Jadi kalau anak itu dicintai dia menerima bahan yang banyak, bahan yang kuat, dia terjun ke sekolah ke masyarakat yang lebih luas, di sekolah temannya meledek dia misalnya e...kamu anak baru tidak bisa apa-apa, anak-anak 'kan biasa suka iseng. Kalau bahannya kuat, bahan yang dia terima sudah cukup banyak dan positif dari rumah, ejekan seperti itu sudah pasti mengganggu dia. Tapi tidak menghancurkan, tidak membuat dia menjadi anak yang bingung, tidak mau sekolah dan sebagainya, karena dia tahu diri dia, dia mempunyai suatu kekuatan untuk melawan tekanan dari luar. Nah anak yang kosong, yang hampa bahan waktu mendapatkan tantangan atau tekanan di luar akan mengalami kesukaran untuk melawan karena kekuatannya itu tidak ada.PG : Betul Bu Ida, jadi bahan yang positif menambah kekuatannya, bahan yang negatif justru akan menghancurkan dirinya. Jadi memang ada 2 aspek di situ, aspek yang pertama adalah kekurangan bhan yang positif.
Nah ada rumah tangga yang hampa sekali bahan positif karena misalnya orang tua jarang bergaul dengan anak, dua-dua sibuk pulang malam, jarang memarahi anak, jarang mengungkapkan cinta, menghabiskan waktu dengan anak, ngobrol, ketawa dengan anak, berdiskusi dengan anak, nah jarang sekali kesempatan itu ada karena orang tua sibuk. Yang negatif juga tidak ada namun itu juga menjadikan defisit, kekurangan dalam diri anak. Ada tipe yang kedua yaitu banyak negatifnya artinya apa, anak dikritik, anak dituntut secara berlebihan, dimarahi semau-maunya dan sebagainya, nah itu adalah interaksi atau bahan-bahan negatif yang diserap oleh si anak. Sehingga si anak akhirnya memiliki diri yang penuh dengan perasaan-perasaan negatif.PG : Memang akan ada orang yang seperti itu Pak Gunawan, jadi mereka mempunyai ketahanan yang kuat, tahan untuk menderita, tahan untuk tidak diperhatikan dan sebagainya. Dan secara sekilas aau penampilan luar, kita akan melihat orang ini OK! Bisa berfungsi di masyarakat dengan relatif baik.
Namun sesungguhnya kalau kita amati dan hidup serumah dengan dia kita akan melihat titik-titik rawan Pak Gunawan. Titik rawan seperti apa misalnya, misalkan ada orang yang kosong, anak yang dibesarkan dalam rumah di mana tidak dapat bahan-bahan dari orang tua. Tapi karena ketabahannya dia bisa bekerja dengan mati-matian dan misalnya berhasil dalam hidup, akhirnya dia mengalami musibah dalam masa krisis moneter ini misalkan dia bangkrut nah karena dalam dirinya itu sebetulnya ada kehampaan yang akhirnya ditutupi dan diisi oleh keberhasilannya di luar seolah-olah memang selama dia berhasil semuanya baik-baik saja tapi waktu usahanya jatuh dia benar-benar collapse, dia benar-benar hancur. Sebab bagi dia pekerjaan menjadi begitu penting, sedangkan bagi orang lain yang mendapatkan banyak dari lingkungan dari keluarganya dan dia tahu siapa dirinya bahwa dia berharga bukan karena pekerjaan atau uangnya tetapi karena siapa dia dalam Tuhan Yesus dan dia tahu banyak saudara-saudara seiman yang dekat dengan dia, orang tua yang mendukung dia, saudara yang mengasihi dia. Nah dia memang akan pasti goncang juga kehilangan pekerjaan tapi kita akan melihat ketabahannya itu bisa berbeda, dia tidak akan terlalu bereaksi, dia itu lebih bisa menerima dirinya bahwa diri dia OK, meskipun tidak ada pekerjaan.PG : Betul, dan ini sering kali nampak Pak Gunawan dalam hubungan suami-istri, misalkan dia mendapatkan kritikan dari istrinya wah dia tidak tahan, dia bisa marah sekali.
PG : Itu aspek mempercayai diri, jadi mempercayai kemampuan, kebisaan, nah ini bersumber dari satu hal yaitu kita mesti miliki yaitu penilaian tentang diri yang lumayan positif. Nah sekarangadalah penilaian kitanya, apakah kita sekarang bisa mempercayai keputusan yang diambil oleh diri kita ini.
Nah ada orang yang senantiasa ragu-ragu untuk mengambil keputusan A susah sekali beripikir berhari-hari, nah setelah mengambil keputusan berpikir lagi berhari-hari. Saya ini benar atau tidak, tepat atau tidak tepat dan sering kali ditandai oleh pemikiran tentang pandangan orang lain, nanti orang menilai saya bagaimana, nanti akibatnya bagaimana dan sebagainya. Jadi kerapuhan penilaian diri ini sangat tampak pada keputusan yang telah diambil yaitu sering kali keputusan itu diambil bukan berdasarkan apa yang kita pikir, apa yang telah kita timbang dengan baik-baik namun kita sangat dipengaruhi oleh faktor akibat. Nah saya bukan berkata dalam mengambil keputusan kita tidak mempertimbangkan akibat, kita harus mempertimbangkan segala faktor. Nah tapi kepercayaan diri yang lemah sering kali muncul atau terlihat dalam kasus seperti ini jadinya, terlalu memikirkan pandangan orang, penilaian orang, nanti akibatnya bagaimana, nanti orang melihat saya bagaimana, nanti ini bagaimana sehingga akhirnya keinginan diri, ide dari diri sendiri tertindih dan tidak muncul begitu.PG : OK! Jadi kalau memungkinkan memang kita ini mesti mengisi diri kita dulu. Nah sebelumnya kita bisa mengisi diri kita, memang kita harus pertama-tama jelas dulu siapa diri kita di hadapa Tuhan.
Sebab sebelum kita tahu siapa kita di hadapan Tuhan saya kira kita akan mengalami kesulitan untuk membangun diri kita yang sudah terlanjur kosong itu, jadi nomor 1 kita mesti bereskan dulu relasi kita dengan Tuhan. Nah Alkitab penuh dengan firman Tuhan yang menyatakan bahwa kita adalah anak Tuhan, kita ini disebut sebagai teman Tuhan, kita ini juga disebut sebagai pewaris kerajaan Tuhan. Kita ini benar-benar dilihat Tuhan secara khusus dan spesial. Nah dengan kata lain bahwa kita mesti melihat bahwa kita ini diciptakan Tuhan bukan karena kebetulan, memang kita muncul dari orang tua, memang kita dilahirkan oleh mereka tapi kehadiran kita di dunia ini ditetapkan oleh Tuhan, bahwa Tuhan memang menghendaki kita ada. Dan kalau Tuhan menghendaki kita ada berarti Tuhan mempunyai rencana dengan kehadiran kita ini dan kita sebaiknyalah hidup sesuai dengan rencana Tuhan itu, nah itu memang adalah dasarnya Bu Ida. Dan yang kedua adalah kita mulai mengisi diri kita dengan pergaulan yang positif, kita mencari teman yang positif yang membangun, kita mencari lingkungan yang positif, dan mulai membangun relasi dengan baik dan dalam. Sehingga kita akan mengisi kembali diri kita yang sudah terlanjur kurang itu atau kosong itu, nah itu langkah pertamanya Bu Ida.PG : Yang berikutnya adalah menyangkut aspek tadi, yaitu mempercayai diri. Nah untuk bisa mempercayai diri atau mempertimbangkan keputusan diri kita memang perlu pengalaman sukses, pengalama keberhasilan dan juga perlu tanggapan dari orang lain bahwa kita itu berhasil, sebab tidak cukup hanya kita saja berkata o.......saya
bisa, orang lain harus memberikan pengakuan yang sama. Nah dari dua sumber inilah kita akhirnya perlahan-lahan mulai membangun kepercayaan diri.PG : Saya senang sekali dengan satu ayat di Firman Tuhan yang berkata: "Pengetahuan mengangkuhkan diri, menyombongkan diri, cinta kasih membangun." Dalam bahasa Inggrisnya itu knowledge pop ff love edifies.
Pop off itu artinya adalah menggelembung, jadi pengetahuan cenderung membuat kita itu menggelembung saya tahu yang benar, saya tahu saya benar tapi yang Tuhan selalu tekankan bukanlah pengetahuan yang benar tapi cinta yang benar, sebab cinta itu akhirnya menjadi penyeimbang. Saya boleh tahu yang benar, saya boleh yakin bahwa saya benar tapi tatkala saya memaksakan kehendak saya dan mengabaikan sisi cinta sehingga orang lain terinjak oleh saya nah saya telah gagal di mata Tuhan. Jadi orang Kristen harus hidup dalam keseimbangan ini. Nah orang Kristen yang peka dengan suara Tuhan dan mau hidup di dalam Tuhan, sukar untuk bisa menggelembung karena sewaktu dia mulai menggelembung Roh Tuhan mulai berbicara kepada dia mengingatkan dia engkau keliru, engkau kehilangan cinta kasih. Waktu engkau membela argumenmu sampai begitu ngotot engkau itu akhirnya melukai hati orang dan waktu engkau melukai hati orang karena membela pandanganmu saja ya engkau telah kehilangan maknanya.PG : Orang ini mantap, tidak mudah ragu-ragu, dia tahu arah hidupnya, dia tahu ke mana langkah hidupnya. Ini tidak berarti dia tahu pasti hari depannya tidak, namun hidupnya itu memang memilki sasaran yang jelas Pak Gunawan (GS : Ada ketenangan, ada bijaksana dalam mengambil keputusan).
Betul, dan kalau kita melihat waktu dia mengambil keputusan dan dia berhubungan dengan dunia luar, kita melihat adanya suatu kekonsistenan Pak Gunawan dalam cara berpikirnya. Waktu dia mengambil keputusan kita bisa melihat dia menggunakan prinsip-prinsip tertentu dan prinsip itulah yang akan memandu hidupnya. Dia tidak menjadi orang yang terbelah-belah dalam situasi tertentu dia tidak berubah warna seperti bunglon. Jadi kita akan melihat ada sesuatu yang kokoh dalam dirinya, yang menghantar dia melewati suatu peristiwa demi peristiwa yang lainnya.PG : Betul, dan kadang kala Pak Gunawan harus kita sadari dan harus saya akui juga adakalanya kita ini memasuki suatu tahap dalam hidup di mana kita tiba-tiba rasanya bingung. Ada fase bingug, fase tidak mengerti kenapa ini terjadi, kenapa saya juga begini dan saya pikir itu juga baik, dalam tangan Tuhan ini semua baik, mengajar kita untuk rendah hati lagi, bersandar lagi pada Tuhan, sebab bukankah FirmanNya berkata janganlah bersandar pada pengertian atau kemampuan kita sendiri.
GS : Baik terima kasih banyak Pak Paul, demikianlah tadi telah kami persembahkan sebuah perbincangan tentang kepercayaan diri bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada anda yang sudah berkirim surat kepada kami untuk memberikan tanggapan, tetapi kami tetap menantikan saran-saran, pertanyaan dari anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
2. Rasa Malu dan Rendah Diri | |
Rasa malu dan rendah diri memiliki keterkaitan, kalau ditelusuri ada cukup banyak orang yang merasa malu, latar belakangnya adalah karena dia merasa rendah diri. Rasa malu digambarkan semacam perasaan yang tidak nyaman sementara orang yang menderita rendah diri adalah kalau orang tersebut merasa kurang berharga dibandingkan dengan orang lain.
Rasa malu dapat digambarkan seperti semacam perasaan tidak nyaman. Biasanya berkaitan dengan membuka diri kepada orang lain, jadi rasa malu timbul seolah-olah kita sedang disoroti dan seolah-olah dinilai rendah oleh orang lain.
Perbedaan rasa takut dan rasa malu:
Orang dikatakan menderita rendah diri adalah kalau orang tersebut merasa kurang berharga, dibandingkan dengan orang lain, kita kelihatannya kalah terus. Antara rasa malu dan rendah diri memiliki keterkaitan, kalau ditelusuri ada cukup banyak orang yang merasa malu, latar belakangnya adalah karena dia merasa rendah diri. Rasa malu juga diperlukan bagi kita terutama untuk mengendalikan diri kita hal ini berkaitan dengan etiket pergaulan dan sopan santun dan juga rasa malu untuk berdosa itu perlu kita miliki.
Dalam batas tertentu rasa malu diperlukan namun jika kelebihan pun hal ini justru akan menyiksa. Dalam pengertian orang menjadi tidak berani untuk bertemu dengan orang lain, lebih cenderung menarik diri, tidak merasa nyaman kalau bersama-sama dengan orang lain, akibatnya akan dirasakan dalam pergaulan. Lingkungan sering kali yang menciptakan rasa malu yang berlebihan, lingkungan juga yang menyebabkan asal mulanya seseorang kurang bisa menghargai dirinya sendiri atau merasa rendah diri. Dan lingkungan berperan besar untuk seseorang mulai mengurangi rasa malunya.
Cara berpikir kita kadang-kadang juga mengakibatkan kita merasa rendah diri atau rasa malu. Biasanya cara-cara berpikir seperti ini cara berpikir yang mengevaluasi diri secara negatif. Cara berpikir orang yang merasa malu itu kadang-kadang membesarkan hal yang negatif dari dirinya. Misalnya saja kita sekali waktu gagal kemudian kita mengatakan : "Saya orang yang gagal, saya tidak mungkin berhasil ya sudah saya tidak perlu tampil deh".
Perbedaan rendah hati dengan rendah diri:
Orang yang rendah diri, selalu tidak nyaman menerima kelebihan dirinya dan selalu membesarkan hal yang negatif dari dirinya.
Orang yang rendah hati, cukup merasa nyaman meskipun dia tidak berusaha menonjol-nonjolkan kelebihan dirinya, tapi kalau dipuji orang ya terima kasih tanpa berusaha membangga-banggakan berlebihan dirinya dan merendahkan orang lain.
Dalam kisah pribadi Yesus, Yesus sangat mengenali diri-Nya sebagai Anak Allah, sebagai Allah sendiri yang mempunyai kemuliaan yang luar biasa dan Dia tidak terpengaruh oleh evaluasi dari orang lain. Dia sama sekali tidak merasa direndahkan oleh orang lain bahwa Dia bisa mengampuni orang-orang yang telah mengolok-olok Dia. Nah inilah yang harus kita teladani bahwa kita sebagai manusia itu seharusnya menjadi manusia-manusia yang berharga di hadapan Allah. Kita sesungguhnya manusia yang berharga dan apapun yang dikatakan orang lain itu tidak harus menjadikan kita malu untuk merasa rendah.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. kali ini akan berbincang-bincang dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dan beliau adalah pakar di bidang konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang menarik dan bermanfaat yaitu tentang "Rasa Malu dan Rendah Diri" dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
HE : Rasa malu bisa digambarkan seperti ini, semacam perasaan tidak nyaman. Biasanya berkaitan dengan membuka diri kepada orang lain, jadi rasa malu timbul seolah-olah kita ini sedang disoroi dan seolah-olah dinilai rendah oleh orang lain dan karena itu kita cenderung menarik atau menutup diri.
HE : Ya, ada bedanya, kalau rasa takut berarti kita melarikan diri karena takut pada sesuatu, kita ingin menghindari sesuatu. Tetapi rasa malu biasanya lebih banyak terjadi di dalam relasi ssial.
Lebih terjadi dalam kaitan bagaimana saya dilihat oleh orang lain.HE : Disebut rendah diri kalau kita merasa kurang berharga, dibandingkan dengan orang lain kita kelihatannya kalah terus dan sebagainya, itu kita katakan bahwa kita sedang menderita rasa renah diri.
ET : Tapi antara rasa malu dengan rendah diri ini kadang-kadang susah dibedakan Pak Heman, karena tadi ada kata seolah-olah walaupun belum berarti orang sedang menyoroti. Tapi kalau orang yang rendah diri bukankah mempunyai pikiran begitu juga ya?
HE : Ya di sinilah adanya keterkaitan antara rasa rendah diri dengan rasa malu. Kalau ditelusuri cukup banyak orang yang merasa malu, latar belakangnya adalah karena dia merasa rendah diri. adi seolah-olah dia merasa dipandang rendah oleh orang lain atau dia merasa dirinya rendah dibandingkan dengan orang lain.
ET : Mungkin atau tidak, orang pemalu tetapi sesungguhnya tidak rendah diri?
HE : Ya ada, itu berkaitan dengan perasaan yang lain. Sebetulnya rasa malu juga sebagian didasari oleh sifat dasar kita, jadi ada orang yang lebih peka, lebih mudah untuk merasa malu. Tetapiada juga yang didasari oleh rasa bersalah, nah di sini memang yang saya lihat lebih banyak didominasi oleh rasa rendah diri.
HE : Betul, betul, Pak Gunawan, memang rasa malu penting bagi kita. Kita perlu memiliki rasa malu untuk mengendalikan diri kita terutama kaitannya dengan etiket, pergaulan dan sopan santun dn juga rasa malu untuk berdosa itu perlu kita miliki.
Jadi seperti Alkitab juga mengatakan bahwa ada seorang perempuan yang tidak baik yang memegang remaja kemudian menciumnya tanpa rasa malu, misalnya diET : Jadi seolah-olah di dalam tahap tertentu itu diperlukan, tetapi kalau kebablasan tidak punya malu juga salah, terlalu pemalu juga menyiksa, itu Pak Heman ya..?
HE : Tepat sekali Ibu Esther.
HE : Tersiksa, di dalam arti dia menjadi tidak berani untuk bertemu dengan orang lain, lebih cenderung menarik diri, tidak merasa nyaman kalau bersama-sama dengan orang lain, Nah, itu nanti kibatnya juga banyak dirasakan terutama di dalam pergaulan.
HE : Betul.
HE : Tentang rasa rendah diri prinsipnya adalah bagaimana kita perlu mengubah diri kita supaya kita lebih bisa menghargai diri kita sendiri. Nah itu memang tidak mudah, prinsipnya adalah seprti itu.
ET : Banyak yang tadi Pak Heman sempat singgung soal pergaulan. Seringkali kita menemukan orang-orang yang cenderung menyendiri terus, bukannya tidak bisa, tapi tidak berani untuk memulai. Jdi mungkin kalau situasinya memang sudah cukup enak bisa sebenarnya untuk bergaul, cuma untuk memulainya itu Pak Heman yang rasanya menjadi penghambat untuk seseorang dalam bergaul, jadi bukannya dia tidak bisa tetapi memulainya itu yang sulit.
HE : Betul, nah ini analisa yang baik Bu Esther. Mungkin dapat dijelaskan seperti ini, rasa rendah diri kemudian ada rasa malu yang diakibatkannya. Nah rasa malu akan sedikit demi sedikit mecair kalau orang itu merasa lebih aman, merasa lebih diterima dan merasa orang lain sebetulnya tidak memandang rendah dirinya.
Jadi perlu waktu untuk orang ini mengurangi rasa malunya atau rasa takutnya untuk tidak dipandang rendah oleh orang lain.ET : Waktunya itu yang kadang-kadang sulit dipahami, rasanya kita sudah men-cap kamu ini terlalu malu, ayo bergaul, seperti dipaksakan begitu. Sebenarnya ini tidak membuat dia lebih baik ya,harus dalam sekejap mengubah rasa malunya.
HE : Justru lingkungan yang seringkali menciptakan rasa malu secara berlebihan, lingkungan juga yang menyebabkan atau asal mulanya seseorang kurang bisa menghargai dirinya sendiri atau meras rendah diri.
Dan lingkungan berperan besar untuk seseorang mulai mengurangi rasa malunya.HE : Bisa beberapa macam, bisa dari kecil memang orang ini lebih sensitif, bisa juga sebetulnya dia cenderung tidak begitu peduli dengan dirinya sendiri. Tetapi karena dia terus-menerus dipemalukan, sengaja dipandang rendah, entah itu dalam bentuk hukuman dan sebagainya, lama-lama dia belajar merasa bahwa saya ini orang yang tidak berharga jadi dia malu waktu bertemu dengan orang lain.
Jadi ada 2 macam, memang ada yang dari kecil sudah sensitif. Hanya saja kalau dari kecil lebih sensitif terhadap rasa malu, itu bisa diperbaiki kalau lingkungan banyak mendukung, banyak memberikan penghargaan kepadanya, sehingga dia tampil lebih percaya diri.ET : Namun kadang-kadang ada peristiwa-peristiwa tertentu yang bisa membuat seseorang rasanya menjadi malu sekali, misalnya anak yang tidak naik kelas, dia mungkin dulunya pemberani sekarang menjadi enggan bertemu dengan teman-temannya atau juga orang-orang yang mungkin berada di tempat yang rasanya semua pintar-pintar, dan saya tidak mempunyai keahlian apa-apa, kalau seperti itu bagaimana, Pak Heman?
HE : Kalau kita sebagai orang dewasa atau orang tua mempunyai anak seperti ini, maka kita harus mencoba menerima anak ini, dan berusaha mengenali apa kelebihan anak ini dibandingkan anak-ana lain.
Jadi biasanya meskipun seseorang tidak terlalu pandai di sekolah misalnya pasti dia mempunyai satu keterampilan, suatu bakat yang bisa dilatih atau sesuatu yang bisa menjadi spesialisasi dia, dia lebih dari orang lain dalam hal itu. Nah, hal ini yang bisa dilatih supaya dia mempunyai suatu pegangan tertentu. Saya berikan contoh, misalnya ada orang yang mungkin berbakat dalam hal musik, nah mungkin dia dengan berlatih musik dia melebihi orang-orang lain, dia bisa mempunyai satu pegangan atau penghargaan terhadap diri sendiri dan sebagainya.HE : Betul.
HE : Betul, Pak Gunawan.
HE : Memang agak sulit, kalau misalnya kita hidup di dalam lingkungan yang mau tidak mau memandang rendah seseorang karena cacat fisik atau cacat lainnya. Tetapi dari kekurangan ini kita tetp harus berusaha untuk belajar mengenal diri, dalam hal ini kita harus percaya bahwa kita ini dikasihi oleh Allah, kita dipilih oleh Allah dan kita yang percaya itu ditebus oleh Allah dan Allah tidak memandang muka, Allah tidak membeda-bedakan.
Cacat atau tidak cacat, semua kita berharga di mata Allah. Nah dengan keyakinan seperti ini seseorang akan mulai keluar dari dirinya sendiri. Kita bisa mengambil banyak contoh di mana orang yang cacat tetapi menjadi sangat terkenal, bukan saja terkenal, tapi bermanfaat bagi orang lain. Banyak membantu orang lain justru karena dia cacat. Saya kira penekanannya bukan pada fisik tetapi pada sifat-sifat baik, selain juga spesialisasi keterampilan yang saya jelaskan tadi.ET : Tetapi kadang-kadang ada orang-orang yang sepertinya terbalik, ada orang yang cacat tapi bisa begitu percaya diri karena mengenali kemampuan-kemampuan dirinya, sebaliknya ada orang yangsebenarnya secara fisik normal dan juga lingkungannya mendukung, tetapi tetap saja seperti itu.
Mungkin memang cara berpikirnya itu sudah menganggap dirinya orang yang gagal, orang yang nasibnya jelek, yang tidak pernah bisa berhasil. Jadi kalau seperti ini, mungkin lingkungan memberikan dorongan seperti apapun tidak akan terlalu menolong karena ia memiliki cara berpikir yang sepertinya merusakkan dirinya sendiri.HE : Ya ini pertanyaan yang baik sekali tentang cara berpikir. Setiap kita memang suka berbicara dengan diri sendiri dalam bentuk memikirkan tentang diri sendiri. Ya kita bisa membantu diri ita untuk keluar dari rasa rendah diri dan yang berakibat rasa malu ini.
Tepat sekali tadi dikatakan tentang cara berpikir yang kadang-kadang mengakibatkan kita merasa rendah diri atau rasa malu. Biasanya cara-cara berpikir begini cara berpikir yang mengevaluasi diri secara negatif.HE : Coba kita melihat dahulu cara berpikir yang umumnya menyebabkan rasa rendah diri atau rasa malu. Cara berpikir orang yang merasa malu kadang-kadang membesarkan hal yang negatif dari dirnya.
Jadi sebetulnya, bagi orang lain kecil tetapi bagi dia itu besar sekali, dan sebaliknya mengecilkan hal-hal yang sebetulnya bagi dia merupakan hal yang baik atau hal yang positif. Saya berikan contoh, ada orang kalau berbicara selalu menutup hidungnya, lalu mengatakan bahwa, "ya habis hidung saya besar", nah ini dia malu terhadap hidungnya yang besar. Padahal bagi orang lain meskipun hidungnya agak besar tapi cukup harmonis di wajahnya. Nah, ini terlalu membesarkan sesuatu yang negatif dan ini mengalahkan diri sendiri atau mengecilkan diri sendiri. Kemudian kalau misalnya saya mempunyai sesuatu yang membanggakan, suatu prestasi kemudian orang lain memuji, cenderung saya yang pemalu ini akan mengatakan: "Ah.... seperti itu saja dipuji, bukankah saya tidak mempunyai apa-apa yang patut dibanggakan." Nah cara-cara berpikir seperti ini yang menyebabkan saya merasa malu. Atau misalnya berpikir yang ekstrim, kalau saya tidak bisa segala-galanya atau meraih semuanya, ya saya bukan apa-apa. Misalnya saja saya sekali waktu gagal untuk hal tertentu, baru gagal sekali kemudian saya mengatakan: "Ya.....saya orang yang gagal, saya tidak mungkin berhasil ya sudah saya tidak usah tampil," dan sebagainya.ET : Sudah meramal nasibnya sendiri ya Pak?
HE : Betul, betul.
HE : Ini tepat sekali, Pak Gunawan, jadi tadi saya juga sempat menyinggung bahwa lingkungan ini penting dalam seseorang mengevaluasi diri. Dalam hal demikian seseorang harus mengubah cara bepikirnya untuk lebih nyaman terhadap dirinya sendiri, untuk menerima kekurangannya maupun kelebihannya.
HE : Perbedaannya antara rendah diri dengan rendah hati saya kira di dalam hal seperti ini, orang yang rendah diri selalu tidak nyaman menerima kelebihan dirinya dan selalu membesarkan hal yng negatif dari dirinya.
Nah ini terbalik dengan orang yang rendah hati, orang yang rendah hati cukup merasa nyaman meskipun dia tidak berusaha menonjol-nonjolkan kelebihan dirinya, tapi kalau dipuji orang ya terima kasih tanpa berusaha membangga-banggakan kelebihan dirinya dan merendahkan orang lain, ini orang yang rendah hati.HE : Ya kalau hal itu memang agak sulit, tapi saya kira kalau misalnya seseorang menerima olok-olokan dan dia tidak merasa bahwa dirinya itu diserang atau direndahkan dan tetap berpikir bahw itu hanya bergurau saja, maka orang akan lebih bisa mengatasi rasa malunya.
ET : Mungkin masalahnya pada warna kulitnya ya, terlalu putih jadi begitu malu langsung kelihatan merah.
HE : Ada orang yang memang sudah sedemikian mendarah daging akan kebiasaannya. Memang bagi orang-orang tertentu tidak terlalu mudah, dibutuhkan waktu dan usaha terus-menerus untuk bisa menghrgai diri sendiri.
Biasanya kalau dihina orang kita mestinya masih bisa lebih tahan, sebetulnya yang menjadi kendala yang paling besar itu bukan orang lain menghina kita, tetapi diri kita sendiri yang menghina diri kita sendiri. Nah, ini repotnya pada orang-orang yang merasa sangat pemalu, orang ini sering memandang rendah dirinya, ini yang harus diubah perlahan-lahan.ET : Tampaknya semakin bertambah usia lebih sulit ya Pak, karena sudah terbentuk sekian puluh tahun, katakanlah untuk mempunyai nilai diri yang seperti itu, untuk merubahnya menjadi tidak mau pasti lebih sulit.
Tapi bagaimana dengan banyak orang tua yang menyuruh anaknya menyanyi di depan umum, menyuruh ikut perlombaan, katanya supaya anaknya tidak jadi pemalu lagi. Sebenarnya apakah memang ada manfaatnya, Pak Heman, dengan cara seperti itu bagi anak-anak yang pada dasarnya memang pemalu?HE : Kalau untuk anak-anak yang memang pemalu, saya lebih cenderung diperkenalkan secara bertahap untuk tampil di depan umum. Kalau misalnya dipaksakan, khawatirnya justru sebaliknya dia makn takut dan sangat takut menghadapi orang banyak.
ET : Jadi terlalu ekstrim begitu ya, dari pemalu harus langsung tampil.
HE : Dan dia tidak merasa ada orang yang memberikan perlindungan kepadanya atau memberikan penghiburan kepadanya, jadi lebih baik bertahap.
ET : Berarti sebenarnya untuk tampil di muka umum itu cukup memakai cara bertahap.
HE : Ini hal yang sangat menarik dalam kisah atau pribadi Yesus, Yesus sangat mengenali diriNya sebagai Anak Allah, sebagai Allah sendiri yang mempunyai kemuliaan yang luar biasa dan Dia tidk terpengaruh oleh evaluasi dari orang lain.
Dia sama sekali tidak merasa direndahkan oleh orang lain dan Dia bisa mengampuni orang-orang yang telah mengolok-olok Dia. Nah inilah yang harus kita teladani bahwa kita sebagai manusia-manusia yang berharga di hadapan Allah. Karena kondisi, karena status kita sebagai manusia, kita sesungguhnya orang yang berharga dan apapun yang dikatakan orang lain itu tidak harus menjadikan kita malu atau merasa rendah.HE : Ya tadi saya sudah menguraikan banyak tentang rasa malu dan cara berpikir dibalik itu dan kemudian cara-cara kita berusaha mengatasinya. Dan kalau kita melihat dari Alkitab, maka Alkita juga memberikan ayat-ayat yang baik yang menceritakan bagaimana kalau kita mencari pertolongan dari Tuhan maka kita tidak akan mendapatkan malu.
Saya akan bacakanGS : Jadi saya rasa ayat-ayat itu akan menghiburkan dan menguatkan karena yang berfirman adalah Tuhan Allah sendiri yang menciptakan kita. Nah saudara-saudara pendengar demikian tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami telah berbincang-bincang tentang rasa malu dan rendah diri. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
3. Rasa Malu dan Rasa Bersalah | |
Tindakan yang bisa dilakukan oleh orang yang sudah bersalah dan merasa malu yaitu berusaha menutup-nutupi akan apa yang telah mereka lakukan dan ada banyak contoh di peristiwa di Alkitab yang memperjelas tentang hal ini.
Tindakan yang biasa dilakukan oleh orang yang sudah bersalah dan merasa malu, yaitu berusaha menutup-nutupi.
Contoh-contoh peristiwa yang dicatat di dalam Alkitab adalah:
Pada saat manusia pertama jatuh dalam dosa, Adam dan Hawa setelah makan buah yang dilarang mereka merasa malu karena mereka segera melihat bahwa dirinya telanjang. Mereka berusaha menutupi ketelanjangannya dengan berbagai cara meskipun usaha itu tidak efektif, bagaimana kita bisa menutupi ketelanjangan kita di hadapan Allah. Inilah yang dilakukan manusia tatkala mereka berdosa dan merasa malu.
Raja Daud berdosa karena berzinah dengan Batsyeba. Waktu Daud berdosa dia berusaha menghilangkan jejak, karena kalau ketahuan dia akan merasa malu. Lalu dia berusaha membunuh Uria lewat tangan musuh. Dan kemudian Daud berusaha untuk menikahi Batsyeba, berarti aman kehamilan Batsyeba bisa ditutupi. Jadi ini betul-betul usaha yang bertahap untuk menutupi rasa malu.
Waktu kita berbuat dosa, kita sebetulnya merasa bersalah dan ada juga rasa malu di hadapan Tuhan. Hanya saja kita manusia sering kali berusaha menutupi rasa bersalah ini dengan cara macam-macam, dengan cara berpikir yang macam-macam. Ada berbagai usaha yang dilakukan manusia untuk menutupi rasa malunya, contoh ada orang yang setelah berdosa atau waktu akan melakukan dosa dia berdoa dulu. Ini usaha-usaha untuk menenangkan hati nurani sebetulnya dan ini cara yang salah dan memang yang lebih besar itu adalah rasa malu yang ditimbulkan karena takut ketahuan orang lain. Tetapi dua-duanya sebetulnya di hadapan Tuhan maupun di hadapan manusia kita juga merasa malu sebetulnya, tapi memang sering kali lebih takut kepada manusia daripada kepada Tuhan.
Cara mengatasi rasa malu dan rasa bersalah adalah:
Kita bisa menyelesaikan rasa berdosa dan perasaan malu itu dengan memohon ampun segera kepada Tuhan. Ini memerlukan keberanian kita untuk percaya bahwa penebusan Tuhan di atas kayu salib ini sempurna. Setelah kita percaya, kita meyakini waktu kita memohon ampun kita juga perlu mengampuni diri sendiri. Ini yang tidak mudah, karena nantinya kalau kita tidak bisa mengampuni diri sendiri, meskipun Tuhan sudah mengampuni kita, maka rasa malu itu akan terus timbul di dalam hati kita.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi., dan kali ini akan berbincang-bincang dengan Bapak Heman Elia, M.Psi., dan beliau adalah pakar di bidang konseling keluarga dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang menarik dan bermanfaat yaitu tentang hubungan rasa malu dengan rasa bersalah. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
HE : Ya, saya kira ini sangat menyiksa terutama pada waktu seseorang bersalah di dalam arti melakukan dosa, apalagi yang bisa tampak oleh semua orang. Saya berikan contoh misalnya wanita yan hamil di luar nikah, nah selain merasa bersalah, merasa berdosa, dia juga merasa malu luar biasa.
Sekali lagi seperti yang telah dibicarakan sehubungan dengan rasa rendah diri, rasa malu ini juga karena orang ini di bawah evaluasi orang lain, di bawah penilaian orang lain yang dinilai sebagai merendahkan dirinya, nah ini sangat menyiksa.HE : Pertama kali rasa bersalah, tetapi kemudian ada rasa takut diketahui oleh orang lain, nah rasa takut diketahui oleh orang lain itu berkaitan takut bahwa orang lain memandang rendah diriya karena dia melakukan dosa yang seperti itu, yang menurut anggapan masyarakat "dosa yang seharusnya tidak boleh dilakukan", sehingga membuat orang itu merasa malu.
HE : Ya inilah yang biasanya manusia lakukan, sebagai contoh saja, ini contoh Alkitab yang baik sekali yaitu pada saat manusia pertama jatuh di dalam dosa. Adam dan Hawa setelah mereka maka buah yang dilarang, mereka merasa malu karena mereka melihat bahwa dirinya telanjang.
Sebetulnya kalau kita berdosa, hubungannya tidak hanya dengan sesama kita manusia tetapi terutama di hadapan Allah yang membuat hati nurani kita tidak tenang dan kita merasa telanjang. Meskipun telanjang, orang yang merasa berdosa akan berusaha menutupi ketelanjangannya dengan berbagai cara. Meskipun kita mengetahui bahwa usaha Adam dan Hawa ini tidak efektif, bagaimana kita bisa menutupi ketelanjangan kita di hadapan Allah, tapi Adam dan Hawa berusaha menyemat daun pohon-pohonan dan kemudian lari bersembunyi dari hadirat Allah, itu yang dilakukan oleh manusia tatkala mereka berdosa dan merasa malu. Ada satu contoh lagi yang lebih dari pada itu, yang lebih gamblang dari pada itu yaitu ketika raja Daud berdosa karena berzinah dengan Batsyeba; II Samuel banyak bercerita tentang hal ini. Dan waktu Daud berdosa dia berusaha menghilangkan jejak, hal ini ada kaitannya kalau misalnya ketahuan, Daud akan merasa malu. Lalu dia berusaha membunuh Uria lewat tangan musuh, nah ini usaha yang cerdik sekali kelihatannya, sudah terhapus dan tidak bisa dilihat oleh orang lain. Kemudian Daud juga berusaha menikahi Batsyeba, berarti aman ini, kehamilan Batsyeba bisa ditutupi dan kemudian dia berlindung di balik kesalahan orang lain, jadi dia menyuruh orang lain untuk membunuh Uria, suami dari Batsyeba. Jadi ini betul-betul usaha yang bertahap untuk menutupi rasa malu.ET : Pak Heman, saya mengamati bahwa rasa malu biasanya baru muncul kalau ada konsekuensi diketahui oleh orang lain, sepertinya begitu. Jadi kalau memang berbuat kesalahan ada perasaan berdosa, tetapi kalau tidak ada orang yang tahu mungkin sepertinya seolah-olah selamat dari muka orang-orang ya, jadi rasa malunya itu tidak sebesar kalau ketahuan, sebenarnya bagaimana itu, Pak Heman?
HE : Ya waktu kita berbuat dosa kita merasa bersalah, sebetulnya ada juga rasa malu di hadapan Tuhan. Hanya saja kita ini manusia, sering kali berusaha menutupi rasa bersalah ini dengan caramacam-macam, dengan cara berpikir yang macam-macam.
Saya juga melihat ada orang yang bahkan setelah berdosa atau waktu akan melakukan dosa berdoa dulu. Nah ini usaha-usaha untuk menenangkan hati nurani dan ini cara yang salah sebetulnya dan memang yang lebih besar itu adalah rasa malu yang ditimbulkan karena takut ketahuan orang lain; nah rasa malu yang lebih besar membangkitkan usaha yang lebih besar pula dari orang tersebut untuk menutupi kesalahan atau keberdosaannya. Tetapi dua-duanya sebetulnya di hadapan Tuhan maupun di hadapan manusia merasa malu, tapi memang sering kali lebih takut kepada manusia dari pada kepada Tuhan.ET : Jadi mungkin kalau tidak ketahuan rasa malunya berdua begitu ya, akan lebih besar malunya kalau diketahui manusia. Jadi mungkin itu akhirnya di Indonesia ini diterapkan budaya malu supaya kalau ketahuan orang lain menjadi malu begitu, Pak Heman?
HE : Nah ini saya kira pertanyaan yang baik sekali, dan saya berpikir bahwa saya kurang begitu setuju dengan menciptakan budaya malu ini. Apakah kita tidak lebih baik menciptakan rasa bersalh kalau berbuat salah, karena akhirnya orang berpikir begini yang saya sangat ingat waktu saya bersekolah dulu di SMP atau SMA; orang-orang mengatakan bahwa nyontek itu tidak salah atau bukan dosa, nyontek baru salah atau menjadi dosa kalau ketahuan.
Nah ini pandangan yang tidak benar, bahwa kita berdosa, ketahuan atau tidak ketahuan ya tetap saja berdosa, maling atau mencuri kalau dia mencuri ya tetap saja namanya mencuri, tidak bisa kalau ketahuan baru namanya mencuri.ET : Bahkan mungkin berdoa mengucap syukur kalau tidak ketahuan.
HE : Ya itu sebetulnya juga kurang tepat, jadi seperti yang Paulus katakan seharusnya orang yang setelah ditegur lalu dia mengakui dosanya dan bertobat itu harus diterima kembali sebagai sesma saudara, dan itu juga ajaran Kristus.
HE : Ya betul dan itu harus menjadi introspeksi diri kita bersama.
HE : Yang pertama-tama kita harus ingat bahwa kita bisa menyelesaikan rasa berdosa dan perasaan malu itu dengan memohon ampun segera kepada Tuhan. Nah ini juga memerlukan keberanian kita untk percaya bahwa penebusan Tuhan di atas kayu salib ini sempurna.
Setelah kita percaya kita meyakini hal tersebut, waktu kita memohon ampun kita juga perlu mengampuni diri sendiri. Nah ini yang tidak mudah, karena nantinya kalau kita tidak bisa mengampuni diri sendiri, meskipun Tuhan sudah mengampuni kita, maka rasa malu itu akan terus timbul di dalam hati kita dan seperti juga Tuhan Yesus mengatakan kepada perempuan berzinah yang tertangkap basah, Yesus melepaskan perempuan itu dengan mengatakan kalau begitu saya juga tidak akan menghukum kamu dan jangan berbuat dosa lagi. Demikian juga kita yang berbuat dosa kita bertobat dan setelah itu tidak melakukan dosa lagi, nah kalau misalnya kita masih melakukan dosa itu lagi sekalipun sudah ketahuan, sekalipun sudah ditegur dan sebagainya perlu kita pertanyakan betul-betul bagaimana permohonan ampun kita, bagaimana evaluasi atau bagaimana iman atau kepercayaan kita.HE : Ini baik sekali jadi sekarang kita membicarakan tentang kesalahan yang umum terjadi jadi bukan kesalahan karena dosa. Ini juga kembali lagi seperti yang pernah kita bicarakan sehubungandengan cara berpikir dibalik rasa malu ini.
Kita ini tidak ada yang sempurna, tidak ada orang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Jadi kalau seseorang itu bisa menghargai dan kemudian menerima kekurangannya dan dia bisa menerima kesalahan-kesalahan dirinya, mengampuni dirinya, kesalahan yang bersifat "manusiawi", maka rasa malu akan bisa diatasi dengan lebih mudah. Masalahnya di sini adalah orang sering kalau melakukan suatu kesalahan lalu dia berpikir: seperti ini harus diubah.ET : Tapi ada benarnya juga Pak Heman, maksudnya masyarakat ini katakanlah kita sebagai jemaat di gereja yang lebih sempit, juga tidak semudah itu dalam melupakan kesalahan orang, khususnya isalnya seperti perbuatan dosa yang tampaknya besar sekalipun orangnya bertobat tetap mungkin ketika dia ke gereja lalu dia menemukan orang yang menatap dengan pandangan yang seperti menyelidik apakah orang ini sudah sungguh-sungguh bertobat atau belum.
Nah situasi yang seperti ini juga rasanya tidak menolong untuk orang yang memang sungguh-sungguh ingin bertobat dari rasa malu karena rasa berdosanya ini.HE : Betul dan mau tidak mau saya kira kita semua harus belajar merendahkan hati di hadapan Tuhan. Tuhan pernah mengatakan seperti ini, selumbar di mata saudaramu kamu lihat tetapi balok dimatamu sendiri kamu tidak lihat.
Artinya bahwa kita sering kali melakukan kesalahan atau dosa-dosa yang lebih besar, bahwa kita pun pernah melakukan dosa-dosa. Kenapa kita yang melakukan dosa kemudian diampuni oleh Tuhan, kita tidak bersedia mengampuni dan menerima orang lain yang berdosa dan kemudian bertobat.HE : Apapun yang dilakukan, kita lihat situasi, apakah kita akan keluar dari lingkungan itu, hidup di lingkungan yang baru atau tidak, yang jelas jangan sampai meninggalkan Tuhan, jangan samai meninggalkan persekutuan, karena di dalam persekutuan kita akan sama-sama mendukung, menghibur dan sebagainya.
HE : Kalau itu lebih baik, jadi memang masyarakat itu sering memberikan stigma tertentu dan itu sebetulnya merugikan dan kalau misalnya pindah dari lingkungan itu ke lingkungan yang lain, meulai hidup yang baru, itu lebih baik, saya kira tidak ada salahnya untuk dilakukan.
Hanya saja kalau itu dilakukan hanya untuk menghindari bahwa orang mengetahui tentang latar belakangnya dan sebagainya saya kira juga tidak bijaksana. Karena pindah kemana pun, mungkin saja di tempat yang baru juga ada orang yang akhirnya tahu. Jadi yang penting adalah bagaimana kita menghadapi stigma atau menghadapi pandangan masyarakat yang tidak bersahabat seperti itu.HE : Mungkin itu memang jalan yang lebih baik.
ET : Seperti membuka lembaran baru begitu Pak.
HE : Ya betul, saya setuju.
HE : Ya, saya setuju kalau misalnya seluruh keluarga ikut diajak berunding begitu.
ET : Tapi mungkin dalam kasus ekstrim lainnya, waktu tadi Pak Gunawan mencontohkan anaknya misalnya dipermalukan seperti itu kadang-kadang saya melihat ada reaksi yang sebetulnya manusiawi jga, Pak Heman.
Ada pendapat yang mengatakan, kalau diserang jangan diam saja, tapi perlu melakukan penyerangan, jadi ketika mungkin dosa masa lalunya dibongkar atau dipermalukan lagi, ia cenderung berusaha untuk mencari-cari juga kesalahan orang yang mencela dia, supaya kita dalam posisi yang sama-sama juga, kira-kira bagaimana cara yang seperti itu, Pak Heman?HE : Ini cara yang saya pikir kurang bijaksana, karena dengan membongkar kesalahan orang lain ya kedudukannya sama-sama saja, orang yang dipermalukan kemudian membongkar kesalahan orang lain.
ET : Saya sama-sama malu, begitu katanya.
HE : Tetapi tidak menyelesaikan masalah, bahkan mungkin bisa dipandang rendah, lebih rendah lagi oleh orang lain karena dengan demikian dia tidak mempunyai suatu nilai diri atau harga diri yng cukup baik, karena dia juga turut terpengaruh untuk menjelek-jelekan orang lain.
ET : Jadi sebaiknya bagaimana kalau memang ternyata misalnya kasusnya Pak Gunawan sekeluarga itu sudah pindah, tapi tetap ada yang mengetahui masa lalunya dan mungkin berusaha dipermalukan lagi di tempat yang baru; sebaiknya sikap yang bersangkutan bagaimana, Pak Heman?
HE : Saya kira dalam hal ini tetap saja berlaku tenang menunjukkan diri bahwa saya sekarang sudah berubah, tidak perlu menyerang balik karena itu akan percuma saja.
ET : Tapi bisa berkaitan dengan kepercayaan juga biasanya, jadi mungkin belum dipercaya lagi untuk diberi suatu kewenangan tertentu misalnya untuk dipilih menjadi pengurus ataupun majelis kaena masa lalunya, ini bagaimana Pak..?
HE : Akhirnya kita harus membiarkan waktu yang menguji, artinya perlu jangka waktu orang ini membuktikan diri bahwa dia memang sungguh-sungguh berbeda dengan dia di masa lalu. Dengan demikia orang akan pulih kepercayaannya bahkan mungkin akan lebih percaya kepadanya daripada di masa lalu.
Suatu kesaksian yang hidup bukan saja kesaksian dari kata-kata, tetapi dari kehidupan orang itu.ET : Sepertinya memang kadang-kadang kita yang mempunyai masalah mengampuni baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Mungkin Tuhan sudah mengampuni tapi kita masih merasa malu ataupun Than sudah mengampuni orang tersebut, tetapi kita masih mengungkit-ungkit kesalahannya.
HE : Ya tapi mungkin tidak terlalu berkaitan lagi dengan rasa malu, saya kira karena dia misalnya sudah tidak bisa berbuat hal yang serupa karena semua orang sudah tahu di kota tertentu, lal dia pindah ke kota lain dan sebagainya.
Ya saya kira adakalanya memang orang-orang tertentu atau kita pun bisa lemah dan jatuh pada hal yang sama dan kita terus bergumul dengan kebiasaan-kebiasaan buruk kita. Dan kita sungguh-sungguh memerlukan pengampunan yang sempurna dan juga perjuangan di dalam memenangkan diri dari dosa.HE : Ya betul bisa terkikis lama-lama, bisa tidak tahu malu lagi.
HE : Beberapa orang kenapa bisa kehilangan rasa malu karena dia sudah putus asa, sebagian merasa dia menyerah saja karena terlalu berat mengatasi kebiasaannya itu dan menyerah begitu saja. Nh, dalam hal ini saya meminta orang-orang yang seperti ini untuk meneruskan perjuangannya karena kemenangan terhadap dosa itu kemuliaannya jauh lebih besar dan lebih nikmat dari pada terus terpuruk di dalam dosa.
HE : Saya bacakan dari
GS : Saya percaya kedua ayat tadi yang sudah dibacakan oleh Pak Heman akan meneguhkan iman dan sekaligus memberikan semangat yang baru khususnya buat para pendengar kita yang mungkin saat-saat ini sedang diliputi oleh rasa bersalah dan rasa malunya. Terima kasih Pak Heman. Dan saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia M.Psi. dalam sebuah perbincangan tentang hubungan rasa malu dan rasa bersalah, dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran serta pertanyaan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
4. Hikmat dalam Pengambilan Keputusan | |
Pengambilan keputusan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dikerjakan, ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan agar keputusan yang kita ambil nantinya benar-benar bisa bermanfaat. Karena itulah sangat diperlukannya hikmat di dalam kita mengambil suatu keputusan.
Prinsip-prinsip yang bisa kita gunakan dan kita timba dari Firman Tuhan untuk menolong kita mengambil keputusan. Yang mendasarinya diambil dari cerita kisah Raja Rehabeam. Yaitu di
Keputusan yang benar tidak mesti dikaitkan dengan bagaimana orang lain melihat diri kita. Di sini kita lihat Rehabeam ingin menunjukkan kekuasaannya dan keinginannya untuk dipandang berkuasa telah membuatnya mengambil keputusan yang salah. Dengan kata lain adakalanya keputusan kita itu menjadi sangat salah, karena yang memotivasi kita mengambil keputusan itu bukanlah kita mempertimbangkan keputusan yang benar, namun kita lebih mempedulikan bagaimanakah orang lain melihat kita. Kita ingin agar orang melihat kita sesuai dengan citra yang kita coba proyeksikan kepada orang lain. Yang penting adalah kita ini memfokuskan mata kita pada permasalahannya.
Keputusan yang benar didasari atas masukan dari sumber yang memahami duduk masalahnya. Kadang-kadang kita mempunyai pandangan dalam mengambil keputusan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, saya kira itu tidak tepat, bukan kumpulkan data sebanyak-banyaknya, melainkan kumpulkan data setepat-tepatnya. Tepat dalam pengertian kita mencari sumber yang memang kompeten atau memahami duduk masalahnya, jangan sampai kita kumpulkan terlalu banyak pandangan dari orang-orang yang tidak kompeten.
Keputusan yang benar berpijak pada konsep kebajikan yang universal, yaitu harus adil, harus ada kasihnya, dan juga harus baik. Jadi dalam pengambilan keputusan kita mesti tanya juga aspek etisnya, aspek moralnya, apakah keputusan kita itu baik, apakah juga adil. Kadang-kadang baik, baik untuk kita tidak baik untuk orang lain. Adil, apakah adil untuk kita dan untuk orang lain dan apakah ada unsur kasihnya, karena kasih adalah isi hati Tuhan yang paling dalam yang juga mesti harus kita miliki. Tuhan pernah mengajarkan kepada kita suatu perintah yang disebut hukum emas yaitu perbuatlah kepada orang sebagaimana kita inginkan orang perbuat kepada kita. Jadi kita bisa gunakan prinsip ini juga dalam pengambilan keputusan.
Keputusan yang benar mesti mempertimbangkan dampak dari keputusan itu. Orang yang bijaksana akan selalu mengingat apa akibat keputusan saya ini pada saya, pada relasi saya dengan orang lain dan pada orang-orang lain juga.
Keputusan yang benar muncul dari pergumulan dalam doa. Rehabeam tidak mencari Tuhan. Kita ingat sebelum Salomo menunaikan, mengemban tugasnya sebagai seorang raja, dia berdoa, dia meminta Tuhan memberikan dia hikmat dan itu yang Tuhan karuniakan kepada dia. Jadi dalam kita mengambil keputusan jangan lupa untuk bergumul dalam doa, meminta Tuhan memimpin kita dan kita harus yakin setelah kita berdoa meminta pimpinan Tuhan, mulai detik itu Tuhan akan memimpin kita.
Keputusan yang benar tidak selalu tampak dengan jelas. Kita hidup dalam masyarakat yang instan kita ingin segala sesuatu muncul dengan seketika. Tapi keputusan yang baik sering kali menuntut waktu yang panjang, tidak selalu jelas apa itu keputusan yang baik yang kita bisa ambil. Jadi perlu adanya waktu untuk mendinginkan kita dan membuktikan motivasi kita yang sebenarnya.
Keputusan yang benar tidak menutup kemugkinan muncul dari keputusan yang salah. Jadi adakalanya kita keliru mengambil keputusan yang salah kita belajar kesalahannya apa dan belajar mengenal yang benar itu apa. Nah justru keputusan yang salah menjadi batu pijakan atau batu loncatan membawa kita masuk ke dalam keputusan yang benar. Jadi intinya adalah bersedialah untuk meminta maaf jika menyadari bahwa kita telah membuat keputusan yang salah.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Dan kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Hikmat dalam Pengambilan Keputusan". Kami percaya acara ini pasti akan sangat membantu kita sekalian dalam menjalani kehidupan ini. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Saya akan menggarisbawahi apa yang tadi Pak Gunawan katakan. Sungguh benar Pak Gunawan, bahwa kita ini belajar untuk menjadi seorang pilot. Kita ini bisa bersekolah untuk menjadi seorang asitek tapi tidak ada pelatihan atau sekolah yang mempersiapkan kita menjadi seorang pengambil keputusan.
Nah masalahnya adalah hidup ini penuh dengan keputusan yang harus kita ambil, namun kita tidak menerima persiapan untuk itu. Jadi sering kali yang terjadi adalah kita jatuh bangun agar sampai pada keputusan yang baik. Ada sebagian kita yang sering kali membuat kesalahan dalam pengambilan keputusan, maka saya kira tepatlah saat ini kita gunakan untuk membahas sebetulnya apa itu prinsip-prinsip yang bisa kita gunakan dan kita timba dari firman Tuhan untuk menolong kita dalam mengambil keputusan. Yang mendasarinya adalah saya ambil cerita kisah Raja Rehabeam, Pak Gunawan, ini diambil dariPG : Yang penting adalah kita ini memfokuskan mata kita pada permasalahannya. Nah adakalanya mata kita bergeser dari permasalahan ke citra, bagaimana orang melihat saya. Nah saya kira dalam uruan prioritas, tetap yang nomor 1 kita harus fokuskan adalah permasalahannya, apapun citra kita di mata mereka tetap permasalahannya yang kita fokuskan.
Saya berikan contoh, di kehidupan Tuhan Yesus ada satu kali Dia mengobrak-abrik Bait Allah. Dia membalikkan meja orang-orang yang berdagang di dalam pelataran Bait Allah. Secara manusiawi tindakan Tuhan Yesus itu tindakan yang sangat mengagetkan orang dan dapat dinilai kasar. Kenapa seseorang yang dianggap guru agama saat itu bertindak sekasar itu, memecuti hewan-hewan yang sedang diperdagangkan di Bait Allah. Sudah tentu image atau citra yang dibentuk oleh tindakan Tuhan adalah citra yang tidak enak, sebagai seorang guru agama kenapa bertindak sekasar itu. Tapi sekali lagi Tuhan Yesus tetap mengambil keputusan untuk mengusir hewan-hewan dan para pedagang dari Bait Allah. Sebab bagi Dia, Bait Allah adalah rumah Allah dan tidak boleh dikotori dengan hal-hal seperti itu. Nah ini contoh yang baik sekali yang dapat kita terapkan. Adakalanya keputusan yang kita ambil membuat kita menjadi orang yang tidak populer, justru orang yang tidak lagi dianggap atau dianggap sangat aneh, namun justru itu keputusan yang benar yang kita harus ambil. Jadi tetap kita nomorduakan penampilan kita, yang kita fokuskan adalah permasalahannya.PG : Betul, saya berikan contoh yang riil Pak Gunawan, kadang-kadang ada orang yang memilih jurusan tertentu bukan karena kehendaknya, tapi kehendak orang tuanya. Misalkan dia diminta untuk menadi seorang dokter, dia tidak mau menjadi dokter meskipun dia mampu, dia maunya misalkan masuk ke sekolah yang lain.
Namun karena itulah yang dituntut oleh orang tuanya dan itulah yang diharapkan, akhirnya dia menempuh sekolah kedokteran. Setelah bersekolah 6, 7 tahun dia lulus tidak dipakai, dia akhirnya menjadi seseorang yang dia inginkan. Namun sekali lagi 6, 7 tahun sudah terlewati jadi keputusan yang salah telah diambil karena apa? Karena ingin mendapatkan image atau gambaran sebagaimana yang diproyeksikan.PG : Nah kalau memang itu keputusannya ya dia berani bayar harga, ya silakan berarti memang dia menyadari keputusan itu dia ambil untuk menyenangkan hati orang tuanya. Dan tidak harus salah kalu memang itu merupakan kerelaan hatinya sendiri.
Yang saya takuti adalah adakalanya kita tidak menyadari hal itu, karena kita ingin orang melihat kita seperti gambaran yang kita inginkan akhirnya permasalahan yang harus kita putuskan menjadi tidak jelas lagi.PG : Yang kedua adalah keputusan yang benar didasari atas masukan dari sumber yang memahami duduk masalahnya. Rehabeam pertama-tama bertanya kepada para konselornya ya, penasihatnya yang tua-tu, orang-orang yang mengerti kebijakan yang ditetapkan raja Salomo, ayah Rehabeam.
Mereka juga mengerti dampak keputusan Salomo terhadap rakyat, yaitu rakyat terlalu dibebani, mereka yang mengerti. Kesalahan Rehabeam adalah setelah mendengarkan nasihat dari para penasihat yang tua-tua itu, dia lari kepada teman-temannya yang sebaya, yang tidak begitu mengerti duduk masalahnya. Karena mereka masih muda, mereka belum bisa melihat ke belakang seperti para penasihat yang tua itu. Akhirnya Rehabeam mengambil keputusan yang salah karena mendapatkan masukan dari orang-orang yang tidak kompeten. Jadi kadang-kadang kita mempunyai pandangan, Pak Gunawan, dalam mengambil keputusan kumpulkan data sebanyak-banyaknya, saya kira itu tidak tepat. Bukan kumpulkan data sebanyaknya-banyaknya, melainkan kumpulkan data setepat-tepatnya, dua hal yang tidak sama. Nah, tepat dalam pengertian kita mencari sumber yang memang kompeten atau memahami duduk masalahnya, jangan sampai kita kumpulkan terlalu banyak pandangan dari orang-orang yang tidak kompeten. Akhirnya masukan menjadi simpang siur, kita ini makin tambah bingung begitu.PG : Itu mungkin juga arogansinya dia, tapi bisa jadi mereka atau teman-temannya itu yang mempengaruhi dia. Sebab awalnya dia telah melakukan hal yang benar yakni meminta nasihat para penasihatpenasihat tua itu namun setelah dia pikirkan, dia mungkin mencari masukan dari yang lebih muda.
Yang lebih muda ini seolah-olah mengompor-ngompori dia. Engkau harus katakan seperti ini kepada rakyat "Kelingkingku lebih besar daripada pinggang ayahku." Jadi mereka memberikan nasihat yang sangat jahat, sangat keliru, sangat fatal. Dan masalahnya Rehabeam itu tidak matang sehingga terpengaruh oleh nasihat teman-temannya itu.PG : Bisa jadi, mungkin sekali karena nasihatnya dituruti mereka menjadi penasihat-penasihat yang penting dan bisa menggeser para penasihat yang tua itu.
PG : Betul, dan jangan sampai kita keliru dengan berkata kita harus terbuka terhadap semua nasihat, saya kira itu tidak tepat. Kita harus mendengarkan nasihat dari orang yang tepat.
PG : Yang ketiga adalah keputusan yang benar berpijak pada konsep kebajikan yang universal. Misalnya apa, apakah itu adil, apakah itu kasih, apakah itu baik, nah di sini kita melihat Rehabeam mnindas rakyat dengan menambahkan beban, tuntutan, tanggung jawab kepada rakyatnya.
Dan hal itu tidak dapat dibenarkan oleh alasan apapun, penindasan tidak dibenarkan oleh alasan apapun. Jadi keputusan Rehabeam apapun alasannya, tidak benar, karena apa? Melanggar prinsip kebajikan yang memang kita percayai sebagai orang Kristen yaitu harus adil, harus ada kasihnya, dan juga harus baik. Nah penindasan tidak termasuk ketiga-tiganya itu. Jadi dalam pengambilan keputusan kita harus bertanya juga aspek etisnya, aspek moralnya, apakah keputusan kita itu baik, apakah juga adil. Kadang-kadang baik untuk kita, tidak baik untuk orang lain, otomatis kita mencoba untuk baik bagi semuanya. Adil, apakah adil untuk kita dan untuk orang lain dan apakah ada unsur kasihnya, karena kasih adalah isi hati Tuhan yang paling dalam yang juga harus kita miliki, jadi itu adalah aspek moral dalam keputusan yang harus kita pertimbangkan.PG : Tuhan pernah mengajarkan kepada kita suatu perintah yang disebut hukum emas yaitu perbuatlah kepada orang sebagaimana kita inginkan orang perbuat kepada kita. Jadi kita bisa gunakan prinsi itu juga dalam pengambilan keputusan.
Adil memang bisa direlatifkan berdasarkan standar siapa tapi kalau kita tempatkan pada diri orang lain, kira-kira apa itu yang kita harapkan, nah itu yang kita gunakan juga. Sebab perintah Tuhan adalah seperti itu perbuatlah kepada orang seperti yang kita inginkan orang perbuat kepada kita.PG : Sudah tentu sangat terpengaruh pula oleh berapa bersih dan kotornya hati kita ini. Kalau hati kita kotor, kita akan berkata saya digitukan orang juga tidak apa-apa akhirnya semuanya menjad sangat kotor.
Dari hati yang kotor akan muncul timbangan yang juga kotor, tidak bersih.PG : Itu masuk ke prinsip yang keempat dan memang itu yang juga gagal untuk dilihat oleh Rehabeam. Jika Rehabeam mengabulkan permintaan rakyatnya, dia akan dicintai dan ditaati, sebaliknya penoakannya memang membuat rakyat takut kepadanya namun lebih dari itu penolakannya membuat rakyat membencinya dan tidak menaatinya.
Jadi dalam pengambilan keputusan, prinsip keempat kita harus juga ingat yaitu keputusan yang benar harus mempertimbangkan dampak dari keputusan itu. Orang yang bijaksana akan selalu mengingat apa akibat keputusan saya ini pada saya, pada relasi saya dengan orang lain dan pada orang-orang lain juga. Nah Rehabeam gagal melihat hal ini.PG : Tepat, dia hanya melihat dirinya dan dia gagal melihat rakyatnya bahwa rakyatnya itu sudah menderita. Dengan menambah penderitaan itu, dia hanya akan menambah kemarahan rakyat kepada dirina.
PG : Yang kelima adalah keputusan yang benar muncul dari pergumulan dalam doa. Rehabeam tidak mencari Tuhan di sini, Pak Gunawan. Kita bisa ingat bahwa sebelum Salomo menunaikan atau mengemban ugasnya sebagai seorang raja, dia berdoa, dia meminta Tuhan memberikan dia hikmat dan itu yang Tuhan karuniakan kepada dia.
Dan kata Tuhan karena Salomo tidak meminta kekayaan dan sebagainya, maka Tuhan juga akan menambahkan kekayaan itu kepada Salomo. Di sini kita melihat Salomo mencari Tuhan pada awal pemerintahannya. Tidak demikian dengan Rehabeam putranya, begitu dia memerintah diajukan suatu kasus seperti itu dia tidak mencari Tuhan malah dia menggunakan nasihat teman-temannya yang salah itu. Artinya apa? Dia terlalu bersandar pada dirinya. Jadi dalam kita mengambil keputusan jangan lupa untuk bergumul dalam doa, meminta Tuhan memimpin kita dan kita harus yakin setelah kita berdoa meminta pimpinan Tuhan, mulai detik itu Tuhan akan memimpin kita. Hal yang kita alami, peristiwa yang kita saksikan, pembicaraan dengan orang, firman Tuhan yang kita baca, firman Tuhan yang kita dengar, itu semua akan Tuhan pakai untuk menggiring kita masuk ke dalam jalurNya atau ke dalam kehendakNya, itu adalah proses pimpinan Tuhan dalam mengambil keputusan. Tapi intinya perlu kita gumulkan.PG : Sangat keliru, saya berikan contoh yang juga mendukung yang Pak Gunawan katakan yaitu bukankah kita pernah mendengar kisah dua orang yang berkata: "Aduh ini pasti jalan Tuhan, kalau tdak kita tidak akan ketemu."
Karena kita bertemu maka sekarang kami berpacaran, tunggu waktu 3 bulan kemudian sudah bubar. Waktu ditanya kenapa? Bukan kehendak Tuhan. Di situ kita melihat bahwa mereka berdua memang kurang dewasa, Tuhan akan mempertemukan kita dengan banyak orang, dengan banyak situasi. Tugas kita jugalah untuk memilah, untuk juga melihat apakah memang orang itu cocok atau tidak dengan kita. Jadi dalam pengambilan keputusan kita perlu berdoa, meminta Tuhan memimpin kita tapi kita sudah diberikan hikmat oleh Tuhan untuk menimbang, melihat dampaknya pada orang dan sebagainya, jadi itu kita gunakan.PG : Betul sekali, Pak Gunawan, ini prinsip yang keenam ternyata keputusan yang benar tidak selalu tampak dengan jelas. Kita ini hidup dalam masyarakat yang instan, kita ingin segala sesuatu mucul dengan seketika.
Tapi keputusan yang baik sering kali menuntut waktu yang panjang, tidak selalu jelas apa itu keputusan yang baik yang kita bisa ambil. Nah untuk itu perlu waktu, waktu berguna untuk membuktikan motivasi kita, kadang kala karena terlalu berapi-api emosional dan sebagainya, kita gagal melihat masalah dengan lebih menyeluruh. Jadi perlu adanya waktu untuk mendinginkan kita dan membuktikan motivasi kita yang sebenarnya. Dan waktu itu berguna untuk menjernihkan perspektif kita agar kita bisa melihat dengan lebih jelas, intinya adalah jangan tergesa-gesa. Rehabeam langsung menuruti nasihat rekan-rekannya dan tidak menunggu lagi, begitu dia mendengar nasihat teman-temannya dia langsung jawab pada rakyat dan dia jatuhkan vonis yang begitu fatal. Dia tidak lagi menunggu waktu untuk berpikir dengan jernih.PG : Tidak selalu, Pak Gunawan, dan ini membawa kita kepada prinsip yang ketujuh yaitu keputusan yang benar tidak menutup kemungkinan muncul dari keputusan yang salah. Jadi adakalanya karena kia keliru mengambil keputusan yang salah, kita belajar kesalahannya apa dan belajar mengenal yang benar itu apa.
Justru keputusan yang salah menjadi batu pijakan atau batu loncatan membawa kita masuk ke dalam keputusan yang benar. Jadi intinya di sini adalah bersedialah untuk meminta maaf jika menyadari bahwa kita telah membuat keputusan yang salah. Dalam kasus Rehabeam dia telah membuat keputusan yang salah, rakyat berontak bukannya dia itu sadar malah dia tetap bersikukuh pada keputusan yang salah itu, memberikan beban kepada rakyatnya sehingga benar-benar terjadi pemberontakan dan pemisahan dari 12 suku Israel itu terpecah menjadi 2. Dia hanya mendapatkan dua suku, yang memberontak mendapatkan 10 suku, dia menjadi yang paling kecil bukan menjadi yang besar. Jadi sekali lagi dia gagal untuk meminta maaf, adakalanya itu juga yang kita alami, Pak Gunawan. Kita salah mengambil keputusan tapi kita sadari itu setelah faktanya, setelah kita membuat keputusan itu. Jangan gengsi untuk berkata wah setelah saya mengambil keputusan baru saya sadar saya salah, rubah, ubahlah keputusan yang salah itu, meminta maaflah dan benarkanlah. Kadang-kadang yang menghentikan kita justru adalah gengsi kita itu.PG : Kalau kita memang menyadari bahwa seseorang misalnya pasangan kita mempunyai ketajaman dalam melihat, dalam mempertimbangkan sesuatu, mungkin kita dengan hati terbuka lebih berani mempercaakan pengambilan keputusan itu kepada dia.
Dan tidak perlu merasa defensif karena semua orang tidak sama, mempunyai karunianya masing-masing. Dan ada orang yang karena cepat emosi cenderung mengambil keputusan dengan seketika tanpa berpikir panjang, nah dia juga harus menyadari keterbatasannya itu dan lebih mempercayakan kepada yang lebih berpikir panjang dan sabar.PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
PG : Dan kita harus menyadari bahwa meskipun Tuhan bisa menggunakan segalanya, bahkan yang keliru itu tetap untuk mendatangkan kebaikan (
GS : Kita bersyukur sekali kepada Tuhan bahwa peristiwa-peristiwa seperti itu direkam dengan baik sekali di dalam Kitab Suci sehingga kita bisa belajar, terima kasih Pak Paul untuk ini dan saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami bersama Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hikmat dalam Pengambilan Keputusan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, Anda dapat menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
5. Kedewasaan | |
Kadang kedewasaan itu bisa semakin matang karena adanya suatu pengalaman di dalam hidup kita, tempaan, kesusahan, penderitaan dsb yang dapat mempercepat seseorang mencapai kedewasaan yang matang.
Yang lebih mencerminkan kedewasaan seseorang adalah sikap. Pdt. Charles Swindoll berkata semakin hari semakin dia menyadari pentingnya sesuatu yang disebut sikap. Jadi sikap itu mewarnai cara berpikir kita dan tindakan kita dalam menghadapi hidup ini. Kedewasaan dapat diukur dengan berapa matangnya sikap kita ini dalam menghadapi hudup.
Sudah tentu kedewasaan sangat dipengaruhi oleh :
Pengalaman hidup, jadi orang yang mau belajar dari hidup ini, dari apa yang dialaminya akan lebih mudah dewasa.
Hal yang berikutnya yang bisa menambah kedewasaan kita adalah kita tidak bisa sangkali bahwa tempaan hidup, kesusahan, penderitaan itu akan sangat mempercepat atau mematangkan seseorang menjadi lebih dewasa. Jadi saya dapat katakan bahwa kedewasaan bertunas dari jiwa yang telah mengalami tempaan.
Kita dapat belajar dari kisah Yusuf yang dicatat dalam
Orang yang dewasa ialah orang yang menghadapi tantangan hidup dan tidak lari menghindarinya. Yusuf itu dibuang pada usia yang relatif muda sebagai seorang remaja dijadikan budak, difitnah oleh istri majikannya dan dia dipenjarakan, namun ia menghadapi semuanya itu.
Orang yang dewasa adalah orang yang tidak cepat menyalahkan orang lain termasuk Tuhan atas kemalangan yang dideritanya. Saya kira kemalangan atau penderitaan menjadi ukuran yang sangat baik untuk menilai kedewasaan kita. Kalau kita semuanya cukup, tidak ada masalah, kita hidup dalam kemakmuran, sukar untuk mengukur kedewasaan kita. Yusuf tidak menyalahkan Tuhan sewaktu dia menderita dan setelah bebas dari penjara ia pun tidak menyalahkan saudara-saudaranya.
Orang yang dewasa adalah orang yang tabah dan sabar karena tahu bahwa Tuhan mengatur segalanya untuk kebaikan. Yusuf tidak membatasi matanya hanya pada apa yang dilihat dan dirasakannya, ia memandang hidupnya dari perspektif Tuhan. Kalau Yusuf membatasi matanya hanya pada apa yang dilihat dan dirasakannya dia akan hanya melihat penderitaannya, betapa malangnya hidup yang harus dilewatinya. Tapi Yusuf berhasil melebarkan perspektifnya dan dia melihat semua permasalahan hidupnya dari kaca mata Tuhan bahwa Tuhan mempunyai rencana dan bahwa dia adalah bagian kecil dari rencana Tuhan yang besar nah itulah tanda orang yang dewasa sabar dan tabah.
Orang yang dewasa ialah orang yang mampu membebaskan diri dari kepahitan hidup ini. Dengan kata lain orang yang dewasa tidak menyimpan dendam dan tidak mengingat-ingat kekurangan orang. Kita lihat contoh Yusuf, Yusuf tidak mendendam, dia malah memilih melihat hidup dari sisi baiknya yakni ia dapat bersama lagi dengan keluarganya. Kenapa Yusuf bisa begitu baik membalas kejahatan dengan kebaikan, sekali lagi adalah dia orang yang mampu membebaskan diri dari kepahitan hidup. Kalau orang terus memelihara kepahitan hidup dia tidak mungkin dewasa, karena kepahitan itu akan mewarnai sikapnya dalam mengambil tindakan atau dalam mengeluarkan reaksi sehingga sikapnya itu akan sangat mengotori apa yang dia lakukan.
Orang yang dewasa adalah orang yang tidak menempatkan diri di posisi Tuhan, jadi ada orang yang menempatkan diri pada tempat Tuhan. Dia menganggap dirinya tahu segala hal dan dia mempunyai hak untuk berbuat semaunya. Jadi orang yang dewasa orang yang tahu batasnya, tahu dirinya. Orang yang juga mengerti batas antara benar dan tidak benar, kehendak Tuhan dan dosa, sehingga dia tidak memasuki daerah yang berdosa yang Tuhan larang.
Orang yang dewasa ialah orang yang melihat fakta apa adanya.
Orang yang dewasa adalah orang yang memikul tanggung jawab atas tindakannya. Yusuf bisa menjadi orang yang sinis dan jahat karena hidup telah begitu menyakitkan dan tidak adil untuknya. Namun Yusuf memilih menjadi pekerja yang baik sewaktu di rumah Potifar, dia menjadi tahanan yang baik tatkala di penjara karena difitnah.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dan beliau adalah seorang pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Perbincangan kali ini kami beri judul "Kedewasaan". Kami percaya Anda akan mengikuti perbincangan ini dengan sukacita, kita akan sama-sama memikirkan sesuatu yang sangat penting untuk kehidupan kita. Maka dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Saya kira yang lebih mencerminkan kedewasaan seseorang adalah sikap, saya hendak mengutip perkataan Pdt. Charles Swindoll yang berkata: Semakin hari semakin dia menyadari pentingnya sesatu yang disebut sikap.
Jadi sikap itu mewarnai cara berpikir dan tindakan kita dalam menghadapi hidup ini. Saya kira kedewasaan dapat diukur dengan berapa matangnya sikap kita ini dalam menghadapi hidup. Sudah tentu kedewasaan sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup, jadi orang yang mau belajar dari hidup ini, dari apa yang dialaminya akan lebih mudah dewasa. Orang yang menutup telinga, menutup mata tidak mau belajar, tidak mau diberitahu, orang itu akan berhenti bertumbuh dewasa. Hal berikutnya yang tidak bisa kita sangkali akan menambah kedewasaan kita adalah dalam tempaan hidup ini ada kesusahan, penderitaan. Itu akan sangat mempercepat atau mematangkan seseorang menjadi lebih dewasa. Jadi dapat saya katakan bahwa kedewasaan bertunas dari jiwa yang telah mengalami tempaan.PG : Betul sekali tidak otomatis. Sebab semua tergantung pada faktor yang tadi kita sudah bicarakan yaitu faktor sikap. Apakah mau belajar dari kehidupan ini kalau ditempa oleh penderitaan, alau tidak mau belajar tidak akan dewasa.
PG : Kita akan melihat kisah seseorang yang bernama Yusuf di
PG : Betul, justru mereka yang tidak bisa menghadapi tantangan hidup itu. Mereka mengambil jalan pintas daripada merasa iri kepada Yusuf, kenapa ayahnya begitu sayang kepada dia. Mereka memiih untuk pertama-tama membunuh Yusuf tapi karena bujukan dari Ruben kakak tertua, maka Yusuf tidak jadi dibunuh dan akhirnya hanya dijual sebagai seorang budak.
PG : OK! Dalam kasus-kasus tertentu misalkan kita dirampok, saya kira tindakan yang lebih bijaksana kalau kita bisa lari. Namun kalau misalkan kita menghadapi penyakit seperti penyakit kanke, memang kita harus hadapi, kita tidak boleh lari dari kenyataan itu.
PG : Itu saya kira respons alamiah dari manusia, Pak Gunawan, sering kali waktu menghadapi kesusahan kita ini menunjukkan sikap kita yang asli yaitu menyalahkan orang. Ini merupakan prinsip ang kedua yaitu orang yang dewasa adalah orang yang tidak cepat menyalahkan orang lain termasuk Tuhan, atas kemalangan yang dideritanya.
Saya kira kemalangan atau penderitaan menjadi ukuran yang sangat baik untuk menilai kedewasaan kita. Kalau kita semuanya cukup, tidak ada masalah, kita hidup dalam kemakmuran, sukar untuk mengukur kedewasaan kita. Tapi penderitaan saya kira mempunyai goncangan untuk bisa memperlihatkan kedewasaan kita yang sesungguhnya. Kita mungkin bisa berkata-kata dengan indah, namun hidup kita relatif aman-aman saja, tapi ada orang yang telah mengalami penderitaan cenderung akan bisa memetik kedewasaan darinya. Yusuf tidak menyalahkan Tuhan sewaktu dia menderita dan setelah bebas dari penjara iapun tidak menyalahkan saudara-saudaranya. Dia berkata kepada saudara-saudaranya bahwa Tuhan mempunyai rencana yang indah dengan engkau melakukan semuanya itu, memang ya tidak benar tapi Tuhan mempunyai rencana yang indah. Jadi kita bisa melihat ciri orang dewasa, yang indah di sini adalah tidak cepat menyalahkan orang. Orang yang tidak dewasa beranggapan semua orang bertanggung jawab atas hidupnya, semua orang seharusnya mengerti dirinya, semua orang seharusnya bisa menoleransi perbuatannya, bisa memahami bahwa dia adalah seperti ini. Itu adalah bukti nyata ketidakdewasaan seseorang.PG : Betul kita membutuhkan bantuan orang, uluran tangan orang untuk menolong kita, saya kira itu natural dalam kesusahan kita. Namun kita tidak buru-buru menyalahkan orang, bisa jadi memangorang lain yang salah, tapi kita mau melihat juga andil kita apakah ada andil kita.
Nah misalkan ini kita kaitkan dalam pertengkaran rumah tangga, bukankah yang lebih alamiah adalah seorang suami menyalahkan istrinya, istri menyalahkan suaminya. Karena engkau berkata begini, maka saya tadi marah dan berkata seperti itu kepadamu. Jadi seolah-olah kalau engkau tidak berkata begitu, saya tidak akan mengeluarkan kata-kata tadi, nah itu suatu ucapan yang menurut saya kurang tepat. Sebab mulut adalah mulut kita, pikiran adalah pikiran kita, kita mempunyai pilihan untuk tidak mengatakannya jadi kita tidak bisa melempar tanggung jawab kepada orang lain.PG : Betul, sejak dari awalnya Adam juga menyalahkan Hawa, Hawa menyalahkan ular, jadi itu memang sifat manusia yang sudah tercemar oleh dosa.
PG : Bisa sekali Pak Gunawan, jadi ciri ketiga orang yang dewasa adalah orang yang tabah dan sabar karena tahu bahwa Tuhan mengatur segalanya untuk kebaikan. Yusuf tidak membatasi matanya haya pada apa yang dilihat dan dirasakannya, ia memandang hidupnya dari perspektif Tuhan.
Kalau Yusuf membatasi matanya hanya pada apa yang dilihat dan dirasakannya dia akan hanya melihat penderitaannya, betapa malangnya hidup yang harus dilewatinya. Tapi Yusuf berhasil melebarkan perspektifnya dan dia melihat semua permasalahan hidupnya dari kacamata Tuhan, bahwa Tuhan mempunyai rencana dan dia adalah bagian kecil dari rencana Tuhan yang besar. Kenapa sabar, kenapa tabah karena melihat masalah dan melihat hidup dari kacamata Tuhan. Orang yang tidak sabar harus terjadi seperti yang dia inginkan, tergesa-gesa membuat semuanya seperti yang dia mau, orang yang memang tidak lagi melibatkan Tuhan dalam kehidupannya. Tidak sadar bahwa Tuhan itu mengatur segalanya dan bahwa yang Tuhan atur adalah untuk kebaikan. Orang yang dewasa lebih tenang, tenang bukannya karena pasif tapi dia tahu ada Tuhan yang mengatur segalanya.PG : Yang keempat adalah orang yang dewasa ialah orang yang mampu membebaskan diri dari kepahitan hidup ini. Dengan kata lain orang yang dewasa tidak menyimpan dendam dan tidak mengingat-ingt kekurangan orang.
Kita melihat dari contoh Yusuf, Yusuf tidak mendendam, dia malah memilih melihat hidup dari sisi baiknya yakni ia dapat bersama lagi dengan keluarganya. Tidak heran ia membalas kejahatan saudaranya dengan kebaikan, kita tadi membaca di firman Tuhan, dia berjanji untuk menanggung kehidupan mereka. "Aku akan menanggung makanmu dan makan anak-anakmu juga." Kenapa Yusuf bisa begitu baik membalas kejahatan dengan kebaikan, sekali lagi dia adalah orang yang mampu membebaskan diri dari kepahitan hidup. Kalau orang terus memelihara kepahitan hidup dia tidak mungkin dewasa Pak Gunawan, karena kepahitan itu akan mewarnai sikapnya dalam mengambil tindakan atau dalam mengeluarkan reaksi sehingga sikapnya itu akan sangat mengotori apa yang dia lakukan.PG : Saya kira kalau kita melihat diri kita sebagai korban, hidup ini tidak adil, Tuhan jahat kepada saya. Jadi benar-benar kita memposisikan diri sebagai korban dari ketidakadilan hidup, dai Tuhan yang semena-mena.
Kita cenderung akan menyuburkan kepahitan ini, nah kita justru harus mempunyai pandangan yang benar. Tuhan menyayangi kita, kalau Tuhan tidak menyayangi kita Dia tidak akan mati untuk dosa kita. Karena Dia mati untuk dosa kita, kita tahu Tuhan sangat mencintai kita, kita bukanlah korban yang memang sengaja Tuhan jatuhkan secara semena-mena. Tidak ada hal-hal yang tidak kita mengerti kenapa harus terjadi pada kita, tapi itu tidak berarti Tuhan membenci kita atau tidak menyayangi kita.PG : Nah kadang kala ini yang terjadi Pak Gunawan, yang membawa kita pada prinsip yang kelima. Orang yang dewasa ini adalah orang yang tidak menempatkan diri di posisi Tuhan, jadi ada orang ang memang menempatkan diri pada tempat Tuhan.
Dia menganggap dirinya tahu segala hal dan dia mempunyai hak untuk berbuat semaunya, ini keliru sekali. Dalam contoh Yusuf meskipun dia berada pada posisi yang menguntungkan, Yusuf tidak memanfaatkan posisinya untuk membalas saudaranya. Ia dengan jelas berkata bahwa ia bukanlah Tuhan, dia berkata: "Akukah pengganti Allah? dengan kata lain dia berkata saya bukan Allah, jadi dia menyadari ada hal-hal yang boleh ia lakukan namun ada hal-hal yang memang tidak boleh ia lakukan, Yusuf seseorang yang tahu diri. Jadi orang yang dewasa tidak melihat dirinya itu tidak terbatas bisa berbuat apa saja seperti Tuhan, orang yang dewasa adalah orang yang tahu batasnya. Orang yang juga mengerti batas antara benar dan tidak benar, kehendak Tuhan dan dosa, sehingga dia tidak memasuki daerah berdosa yang Tuhan larang. Adakalanya orang beranggapan dia bisa berbuat semaunya sehingga akhirnya dia memasuki daerah terlarang itu, daerah yang Tuhan katakan jangan dimasuki. Jadi orang yang dewasa menyadari posisinya dia terbatas, dia tidak boleh menempatkan diri sebagai Tuhan dalam hidupnya.PG : Yang keenam prinsip yang perlu kita camkan di sini adalah orang yang dewasa ialah orang yang melihat fakta apa adanya. Yusuf tidak memutihkan perbuatan saudara-saudaranya, apa yang jaha tetaplah jahat, maka dia berkata: "Engkau mereka-rekakan yang jahat terhadap aku," Yusuf tidak menetralisir dan berkata o...engkau
itu bermaksud baik tapi engkau keliru sedikit di sini, tidak. Yusuf tahu saudara-saudaranya saat itu mempunyai niat jahat, mau membunuhnya dan akhirnya membuang dia, menjual dia menjadi seorang budak. Nah orang yang dewasa mau melihat fakta apa adanya. Kadang kala kita karena ingin tampil baik atau tampil rohani, kita ini sepertinya tidak hidup dalam kenyataan. Misalkan sesuatu yang orang lakukan yang tidak benar, kita hanya katakan o....itu tidak begitu maksudnya, adakalanya memang ada orang yang bermaksud tidak baik dan kita katakan apa adanya, nah jadi orang yang dewasa adalah orang yang bisa melihat kenyataan dengan pas.PG : Ini membawa kita pada prinsip yang ketujuh, yang terakhir yaitu orang yang dewasa adalah orang yang memikul tanggung jawab atas tindakannya. Kita melihat contoh Yusuf lagi, Yusuf bisa mnjadi orang yang sinis, negatif dan jahat karena hidup telah begitu menyakitkan dan tidak adil untuknya.
Namun Yusuf memilih menjadi pekerja yang baik sewaktu di rumah Potifar, dia menjadi tahanan yang baik tatkala di penjara karena difitnah. Dan dia menjadi teman yang baik bagi kedua rekan sepenjaranya, waktu dia melihat kedua rekannya menampakkan wajah yang muram, dia menanyakan ada apa...? Waktu dia menceritakan mimpi dia berusaha menolong menceritakan mimpinya atau makna mimpi itu. Kita melihat Yusuf berhasil mempertahankan hidup yang positif. Dia tidak dipahitkan oleh kehidupan, meskipun hidup itu pahit, jadi sekali lagi di sini kita bisa melihat yang dari dalam berhasil menangkal yang datang dari luar. Kita tidak bisa sangkali bahwa yang menimpa kita cenderung mewarnai kita, mempengaruhi kita. Tapi seharusnya orang yang dewasa adalah justru yang dari dalam mewarnai yang di luar, yang menangkal dari luar. Sekali lagi peristiwa kehidupan boleh pahit, tetapi tidak harus membuat kita menjadi orang yang pahit, itu yang ditunjukkan oleh Yusuf dalam kehidupannya. Jadi artinya sosok orang yang dewasa harus bertanggung jawab atas tindakannya. Meskipun keadaan bisa tidak menyenangkan tapi sikapnya atau tindakannya itu tanggung jawab dia. Dia bisa memilih menjadi pahit atau dia bisa memilih menjadi manis. Saya pernah waktu saya dulu di AS menangani sebuah kasus penganiayaan anak yang masih saya ingat sekali, karena ini menjadi berita surat kabar jadi saya bisa bicarakan dengan lebih terbuka. Waktu saya mewawancarai si ayah yang membunuh si anak umur 2 tahun, dia langsung berkata saya adalah korban masyarakat, dia pemakai obat terlarang, dalam gelap matanya dia membunuh anaknya sendiri. Nah yang dia katakan kepada saya adalah saya adalah korban masyarakat, dia tidak bisa melihat dirinya bahwa dia mungkin orang miskin tapi dia tidak harus menyalahgunakan narkoba, dia tidak harus memukuli anaknya seperti itu, nah itu tanda orang yang tidak dewasa, karena tidak melihat bahwa dirinya itu mempunyai tanggung jawab untuk memilih tindakan yang sesuai.PG : Dan hal ini sudah dimiliki Yusuf sejak awal, kita tahu bahwa Yusuf ditangkap oleh saudara-saudaranya karena dia ingin menghantarkan makanan. Dan kita tahu juga waktu ayahnya Yakub menyuuh dia mengantarkan makanan, sebetulnya Yusuf sudah melakukan tugasnya.
Namun tidak menemukan saudara-saudaranya, mereka rupanya sudah berkata akan berada di mana saya lupa nama kotanya, tapi ternyata waktu Yusuf ke sana mereka sudah pindah pergi jauh. Seharusnya Yusuf bisa pulang dan berkata: "Ayah, saya tidak temukan saudara-saudara, mereka sudah pergi" dan tidak akan diapa-apakan oleh Yakub. Namun dia orang yang bertanggung jawab dia tahu kakaknya membutuhkan makanan ini, sehingga dia terus telusuri di mana kakak-kakaknya berada, membawa makanan kepada mereka dan pada akhirnya justru dia diperlakukan sangat jahat oleh mereka. Sekali lagi kalau kita melihat sebagai anak, dia anak yang baik dan bertanggung jawab.PG : Betul Pak Gunawan, tapi bertumbuh dalam Tuhan tidak berarti kita ini melepas tanggung jawab, tidak mau memilih sikap semuanya tergantung Tuhan, tidak mau melihat fakta sebenarnya itu jutru menandakan ketidakdewasaan kita.
Tuhan menyelamatkan kita dari dosa, tapi Tuhan juga dalam proses mendewasakan kita supaya kita menjadi serupa dengan Tuhan Yesus. Waktu Tuhan Yesus di kayu salib, Dia tidak marah-marah, Dia justru berkata kepada Tuhan, kepada Allah Bapa meminta Allah Bapa untuk mengampuni orang yang menganiayaNya. Jadi sekali lagi Tuhan juga memilih untuk bersikap secara positif di dalam keadaan yang begitu pahit.PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi 2 hal yang sering kali memang bisa menipu kita atau mengelabui kita. Yang pertama adalah usia, kita menganggap orang yang lebih tua pasti lebih dewasa. Yag kedua adalah tingkat kepandaian, kita beranggapan semakin pandai seseorang semakin dewasa.
Sebab kepandaian atau latar belakang pendidikan hanyalah menandakan kita ini cerdas, kita ini orang yang berpengetahuan, namun tidak berkaitan dengan kedewasaan seseorang. Sekali lagi saya tegaskan kedewasaan itu bertunas dari jiwa yang telah melewati tempaan dan ini yang penting harus ada sikap yang terus-menerus mau belajar dari apa yang dialaminya. Nah itulah yang akan mendewasakan dia, tempaan dari hidup itu sendiri tidak akan mendewasakan kita, sikap yang mau belajar atau dalam bahasa Inggrisnya "teachable" yang akan mendewasakan dia.PG : Betul, baik dalam perusahaan ataupun dalam konteks organisasi yang lainnya. (GS : Juga dalam hal rumah tangga) dalam rumah tangga juga begitu.
Jadi saudara-saudara pendengar demikian tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kedewasaan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Pada kesempatan ini kami juga menyampaikan banyak terima kasih atas perhatian Anda, yang sudah berkirim surat kepada kami namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda masih sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
6. Membentuk Kebiasaan Baik | |
Kalau berbicara tentang kebiasaan, kita harus mengakui bahwa faktor belajar atau latihan atau seringnya kita melakukan sesuatu, itu lebih banyak berperan.
Pembentukan kebiasaan bisa dilakukan melalui beberapa cara misalnya:
Melakukan trial and error atau coba-coba, lalu suatu ketika karena dari eksperimen-eksperimen, terjadi suatu pembentukan tingkah laku dalam hal ini kebiasaan tertentu.
Kebiasaan juga terbentuk melalui contoh yang dikagumi atau diidolakan.
Kebiasaan terbentuk melalui dukungan, pujian dan penghargaan dari orang lain.
Kebiasaan terbentuk melalui latihan terus-menerus.
Menilik contoh-contoh berikut, tampaknya kebiasaan adalah sesuatu yang dipelajari. Lalu adakah peran faktor bawaan di sini?
Ada, dalam arti faktor bawaan dapat mempercepat, memperkuat atau justru menyulitkan terbentuknya suatu kebiasaan tertentu. Contoh: melatih diri untuk tekun sulit dilakukan oleh orang yang tidak mudah berkonsentrasi, melatih diri untuk bertindak dengan cepat dan efisien tidak mudah bagi orang yang energinya terbatas atau lemah fisiknya.
Faktor bawaan sering menyebabkan kita terpatok pada batasan-batasan yang menyulitkan atau mempermudah kita memperoleh kebiasaan baru.
Tetapi kabar baik bagi kita adalah bahwa faktor belajar atau latihan lebih banyak berperan dalam pembentukan kebiasaan seseorang.
Karena itu kuranglah bijaksana apabila kita tidak berusaha mendisiplin diri dalam membentuk kebiasaan baik dengan mengatakan, ya saya memang sudah begini dari sononya.
Kebiasaan baik yang perlu kita perhatikan dalam hidup:
Dalam hal pikiran. Contoh dalam hal pikiran :
Kita perlu melatih diri supaya kita bisa berpikir sehat dan rasional.
Kita lebih mengutamakan kekekalan dari pada yang sementara
Kita melatih diri bagaimana membantu orang lain daripada memikirkan secara egois tentang diri sendiri dan menimbun harta bagi diri kita.
Dari segi perasaan, biasakan untuk memiliki berbagai perasaan yang positif, rendah hati, sabar, penuh kasih, damai.
Dari segi tindakan, biarlah kita bertindak dengan melatih diri dengan penguasaan diri, kemudian perbanyak perkataan yang menyejukkan, mendatangkan damai sejahtera serta mendidik orang lain.
Biasakan untuk hidup disiplin, hidup jujur dan adil terhadap orang lain dan rela mengaku salah dan memperbaiki kesalahan sendiri.
Hambatan-hambatan untuk memperoleh kebiasaan baik:
Adakalanya kita terlambat untuk belajar kebiasaan baik tertentu sejak kecil.
Sering kali kita mempunyai cara berpikir yang kurang baik.
Saran praktis untuk kita memperoleh kebiasaan baik:
Biasakan untuk berdoa dan membaca Alkitab tiap hari dan mohon bantuan Roh Kudus.
Usahakan untuk mengarahkan diri selalu kepada hadiah yang akan diberikan oleh Allah untuk setiap orang yang menang dalam pertandingan.
Jangan mudah patah semangat karena kritik atau cemooh ketika kita berbuat baik.
Ingat bahwa adakalanya kebiasaan baik itu adalah juga suatu perjuangan seumur hidup, jadi terus berlatih tanpa putus asa.
"Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna kata Paulus, melainkan aku mengejarnya kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus. Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap bahwa aku telah menangkapnya tetapi ini yang kulakukan, aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus."
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan juga dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dan beliau berdua adalah para pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami akan menemani Anda berbincang-bincang dalam satu tema "Membentuk Kebiasaan Baik", kami percaya perbincangan ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
HE : Kalau kita ingin memperoleh suatu kebiasaan, biasanya atau umumnya kebiasaan itu bisa terbentuk melalui beberapa cara, misalnya ada kebiasaan yang terjadi lewat seseorang itu melakukan trial and error' atau coba-coba.
Lalu suatu ketika karena dari eksperimen-eksperimen percobaan dia, terjadi suatu pembentukan tingkah laku dalam hal ini kebiasaan tertentu. Dan kemudian kebiasaan juga mulanya bisa terbentuk dari seseorang itu melihat contoh di lingkungannya, dia melihat ada orang yang dikagumi atau dia idolakan lalu dia tiru sehingga itu menjadi suatu kebiasaannya. Kemudian hal lain yang bisa menjadi kebiasaan kalau misalnya terus-menerus suatu tingkah laku itu memperoleh dukungan, pujian dan penghargaan dari orang lain. Misalnya seorang anak yang menjadi rajin belajar musik, karena dia selalu dalam belajar musik mendapat penghargaan dari orang lain, sehingga akhirnya dia menjadikan latihan musik sebagai suatu kebiasaan. Dan kemudian juga ada satu hal lagi yaitu kalau kita melatih terus-menerus suatu tingkah laku tertentu, maka itu akan menjadi suatu kebiasaan.HE : Ada yang dalam kesadaran, dalam arti dia sengaja melakukan dan menjadikannya suatu kebiasaan, tetapi ada juga yang tidak sengaja seperti tadi "trial and error", bisa terjadi dan pada muanya itu tidak disengaja.
HE : Bisa jadi karena dia mencontoh, mencontoh tingkah laku orang tuanya.
ET : Dalam hal ini rasanya memang umpan balik itu penting sekali Pak Heman, saya cuma membayangkan kalau misalnya tidak ada contoh seperti yang Pak Heman katakan tadi tidak ada contoh yang bsa dikagumi, ada contoh tapi mungkin contoh yang salah, lalu juga tidak ada satu umpan balik bahwa yang dia tiru itu sudah pas atau belum.
Pasti proses pembentukan kebiasaan baik ini lebih terhambat atau masih akan ada cara lain yang akan menyelamatkan keadaan ini, Pak Heman?HE : Ya ada beberapa, tentu saja kita tidak bisa menggeneralisir begitu saja. Kalau misalnya seseorang itu tidak mempunyai contoh dan sebagainya, adakalanya pujian, dukungan ataupun dia pernh mendengar atau melihat sesuatu dan dia menirunya lalu menjadikan itu suatu kebiasaan.
Itu sebabnya ada misalnya orang tua yang kehidupannya kurang baik atau misalnya dia melihat orang tuanya bertengkar terus-menerus, nah sang anak kemudian belajar suatu kebiasaan untuk tidak menggunakan kata-kata yang menyerang orang lain. Tetapi menggunakan itu sebagai suatu kebiasaan yang baik untuk menggunakan kata-kata yang baik juga.ET : Tapi kalau memang misalnya tidak pernah ada yang memberitahu kalau bertengkar dengan cara seperti ini sebenarnya tidak baik, lebih baik dengan cara yang lain. Tapi yang setiap hari dia lihat adalah seperti itu, apakah memang tidak akan mempengaruhi anak-anak tersebut?
HE : Ya tentu saja akan mempengaruhi anak tersebut sehingga kebiasaan baik dalam kondisi seperti ini akan sangat sulit terbentuk.
HE : Faktor lahir itu ada, jadi misalnya ada kecenderungan pemarah dan sebagainya tetapi waktu dia mengekspresikan itu misalnya dengan membanting dan sebagainya, kadang-kadang ini yang disebt dengan "trial and error".
Dia tidak tahu bahwa itu salah dan dia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Dalam hal ini yang dikatakan oleh Ibu Esther tadi sangat relevan yaitu umpan balik. Kalau misalnya dia mendapatkan umpan balik waktu dia membanting barang dan keinginannya dituruti, nah ini bisa menjadikan dia suatu kebiasaan dalam hal kebiasaan buruk. Tetapi kalau dia tidak dipedulikan dan tidak memperoleh keinginannya pada saat dia marah, itu bisa mulai melatih suatu kebiasaan yang baik untuk dia, bagaimana seorang anak mengungkapkan perasaan marahnya.HE : Faktor bawaan ini bisa mendukung, mempercepat atau memperkuat suatu pembentukan kebiasaan atau sebaliknya juga bisa faktor bawaan itu menyebabkan seseorang sulit membentuk suatu kebiasan tertentu.
Saya berikan contoh di sini kita yang susah untuk berkonsentrasi terhadap sesuatu itu biasanya lebih susah untuk melatih diri agar tekun di dalam melakukan sesuatu. Contoh lain misalnya kalau orang yang lemah fisiknya sering sakit kemudian energinya terbatas akan lebih sulit bertindak dengan cepat, efisien karena keterbatasan energinya itu. Nah dalam hal keterbatasan energi, kemudian juga faktor kecerdasan, faktor kurang bisa konsentrasi ini sering kali membuat seseorang itu dihambat atau kalau dia sesuai, misalnya dia orangnya energik tetapi sekaligus orang yang konsentrasinya baik maka dia akan didorong atau diperkuat keinginannya melatih diri untuk bekerja cepat dan efisien.HE : Betul, meskipun ada keterbatasan.
ET : Justru kadang-kadang khawatirnya malah sebenarnya bawaannya baik tapi lingkungan justru tidak mendukung untuk pembentukan yang baik. (GS : Yang buruk malah yang terbentuk) Ya, yang terbntuk justru yang buruk.
Tapi saya jadi berpikir kalau memang faktor bawaan ini justru yang kadang-kadang membuat orang seperti menjadi sebuah alasan untuk membela diri, Pak Heman. Misalnya saya memang bawaannya seperti ini, jangan harap saya untuk berubah karena sudah melihat unsur ini tidak bisa dikutak-katik. Bagaimana menghadapi orang-orang yang punya pendapat seperti itu, Pak Heman?HE : Dalam hal ini kalau kita sedang bicara tentang kebiasaan kita harus mengakui bahwa faktor belajar atau latihan atau seringnya kita melakukan sesuatu, tingkah laku itu lebih banyak berpean.
Jadi porsinya lebih besar di dalam pembentukan kebiasaan seseorang. Karena itu saya kurang setuju bahwa dengan alasan saya memang orangnya pemarah dan sebagainya lalu tidak melatih diri untuk lebih menguasai kemarahannya. Misalnya lagi orang yang memang kurang energi lalu dia kurang bertanggung jawab di dalam melakukan pekerjaannya. Nah ini saya kurang setuju karena sebetulnya kita bisa dalam tingkat tertentu melatih diri sehingga menjadi lebih baik, bahkan kita bisa mengatasi faktor bawaan kita. Sebagai contoh ada orang yang sebetulnya sedikit cacat di kakinya, tetapi akhirnya dia melatih diri sedemikian rupa menjadi pelari yang hebat. Contoh-contoh seperti itu justru yang harus kita tiru.ET : Jadi tidak terpatok bahwa sudah bawaan berarti akan seperti itu seumur hidupnya, yang orang-orang perlu perhatikan belajarnya itu atau proses latihannya.
HE : Dalam hal pikiran, perasaan dan tindakan. Saya berikan contoh dalam hal pikiran, kita perlu melatih diri supaya kita bisa berpikir sehat dan rasional. Misalnya saja di dalam khotbah Yess di atas bukit tentang kekhawatiran.
Di dalam hal ini sering kali kita memperoleh kebiasaan untuk berpikir dengan khawatir akan apa yang kita pakai dan kita makan. Yesus dalam hal ini memberikan cara berpikir yang lain untuk tidak mengkhawatirkan itu, karena misalnya burung di udara pun yang biasa ditangkap dan dijual dengan murah itu dipelihara oleh Allah Bapa di Sorga. Nah cara-cara berpikir ini perlu kita biasakan di dalam kita melihat hidup ini. Contoh lain adalah di dalam pikiran kita banyak-banyak bersyukur dan memandang sisi positif hidup ini. Jadi juga hendaknya kita banyak mengisi pikiran kita dengan firman Tuhan, kemudian juga kita lebih mengutamakan kekekalan daripada yang sementara, di dalam Alkitab banyak contoh-contoh seperti ini. Orang yang mementingkan yang kekal itu biasanya lebih diberkati oleh Allah dan kemudian juga biarlah kita sering berpikir, melatih diri untuk bagaimana membantu orang lain daripada memikirkan secara egois tentang diri sendiri dan menimbun harta bagi diri kita. Hal yang lain misalnya dari segi perasaan biasakan untuk memiliki berbagai perasaan yang positif, rendah hati, sabar, penuh kasih, damai, dan seterusnya. Dari segi tindakan biarlah kita bertindak dengan melatih diri dengan penguasaan diri, latih untuk menahan perkataan yang tidak berguna, yang sia-sia, yang tidak membangun, fitnah dan sebagainya itu jauhkan. Kemudian perbanyak perkataan yang menyejukkan, mendatangkan damai sejahtera serta mendidik orang lain. Biasakan juga untuk hidup disiplin, untuk bisa diandalkan misalnya kalau hutang cepat melunasi kembali, kemudian juga belajar atau biasakan untuk hidup jujur, adil terhadap orang lain dan rela mengaku salah dan memperbaiki kesalahan sendiri. Jadikan ini sebagai kebiasaan sehari-hari.HE : Ya idealnya begitu.
ET : Ya tampaknya hal-hal yang sudah kita ketahui secara teori, tetapi untuk menjadikan kebiasaan baik ini rasanya tidak mudah juga dalam prakteknya.
HE : Betul, jadi memang di sini yang di dalam pikiran itu memang tidak kelihatan tetapi kalau seseorang itu hidupnya terbiasa dengan kehidupan rohani yang baik, dia banyak membaca Alkitab, mngisi dirinya dengan firman Tuhan, dia bisa dengan sendirinya akan mempunyai pikiran-pikiran yang baik.
HE : Hambatan pertama adalah dari segi natur kita sebagai orang berdosa. Jadi sejak lahir, Daud juga mengatakan bahwa kita dikandung di dalam dosa dan ini akan terus mempengaruhi kehidupan kta.
Sekalipun kita sudah lahir baru, tetapi kehidupan lama kita kadang-kadang menarik diri kita sehingga adanya konflik seperti ini. Ini perlu disadari dan hidup kita hendaknya berdasarkan kepada Roh Kudus, pada kuasa dari Roh. Jadi kita perlu sekali pertolongan dan minta tolong kepada Roh Kudus, biar hidup kita tunduk di bawah hukum Roh, kata Alkitab. Kemudian hambatan yang lain dari pembentukan kebiasaan baik adalah adakalanya kita terlambat untuk belajar kebiasaan baik tertentu sejak kecil. Jadi mungkin sudah remaja atau sudah dewasa bahkan, baru sadar saya mempunyai kebiasaan yang tidak efektif. Di dalam hal itu, hambatan yang cukup mempengaruhi diri seseorang yang harus dilawan, dan karena misalnya pembentukannya bertahun-tahun kita perlu juga bertahun-tahun untuk mengurangi bahkan menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik itu. Nah hambatan yang lain lagi adalah sering kali kita mempunyai cara berpikir yang kurang baik, maksudnya sering kali mengalahkan diri sendiri sewaktu kita berusaha melatih kebiasaan yang baik. Di dalam hal keberdosaan kita mengambil bagian di situ, nah saya kira untuk ini kita harus minta pertolongan dari Tuhan sendiri.ET : Soal terlambat untuk mempelajari kebiasaan baik rasanya ini juga biasanya menjadi hambatan antara orang tua dengan anak. Karena kadang-kadang misalnya tidak jarang dialog yang terjadi aalah orang tua yang menegur anak karena kebiasaan buruknya, sementara ketika anak mengatakan lho papa atau mama juga seperti ini, itu kadang-kadang menjadi sebuah alasan juga ya buat orang tua.
Wah......ya kalau kami sudah tua sudah terlambat untuk memperbaikinya, sementara kalian masih lebih muda. Rasanya berarti kalau dalam penjelasan Pak Heman tadi hal ini tidak kena, setua apapun tetap sebenarnya bisa untuk membangun kebiasaan yang baik?HE : Betul, sebaiknya orang tua dengan rendah hati mengaku kelemahannya dan bersama-sama dengan anak mengatakan saya punya kelemahan itu, mari kita sama-sama belajar.
ET : Memang sadar tapi untuk mengakuinya itu yang susah.
HE : Ya mengakuinya dan rela mengubahnya, biasanya orang kalau sudah punya satu kebiasaan menjadi malas untuk mengubahnya.
HE : Yang pertama, biasakan untuk berdoa dan membaca Alkitab tiap hari dan mohon bantuan Roh Kudus. Yang kedua, usahakan untuk mengarahkan diri selalu kepada hadiah yang akan diberikan olehAllah untuk setiap orang yang menang di dalam pertandingan.
Ini digambarkan oleh Paulus sebagai suatu pertandingan sehingga Paulus itu melatih diri sedemikian rupa. Kemudian yang ketiga, jangan mudah patah semangat karena kritik dan cemooh ketika kita berbuat baik. Dan yang keempat ingat bahwa adakalanya kebiasaan baik itu adalah suatu perjuangan seumur hidup, jadi teruslah berlatih tanpa putus asa.HE : Adakalanya jatuh bangun, tetapi juga bisa jadi kebiasaan baik itu selalu akan tarik-menarik dengan sesuatu yang kurang baik dari diri kita sendiri. Meskipun misalnya kebiasaan baik itu ang terus-menerus menang, tetapi kita perlu waspada jangan sampai suatu ketika yang menang adalah yang buruk.
HE : Ya itu masalahnya, (GS : Jadi harus ada suatu kedisiplinan yang kuat terhadap dirinya sendiri) dan kita harus sering kali mendorong diri sendiri. Dorongan kita apa? Nanti agar hadiah yag disediakan Allah untuk kita yang menang.
HE : Ya itu harapan kita, harapan orang percaya.
ET : Dan situasi, rasanya situasi-situasi tertentu juga bisa menguji seberapa jauh kita mempunyai kebiasaan tersebut. Maksudnya begini, kadang-kadang mungkin kita mengkritik seseorang yang mmpunyai kebiasaan seperti ini tetapi ketika kita ada dalam situasi yang sama juga mungkin kita melakukan hal yang sama.
Misalnya mungkin ketika saya belum menjadi orang tua saya mengatakan wah kebiasaan seperti ini adalah kebiasaan orang tua, kebiasaan yang tidak baik terhadap anak. Tapi mungkin ketika saya menjadi orang tua bisa jadi saya melakukan hal yang sama.HE : Baik saya akan bacakan dari
HE : Ya tepat sekali.
Saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. di dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membentuk Kebiasaan Baik". Bagi Anda berminat untuk melanjutkan acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
7. Menang dari Kebiasaan Buruk | |
Seperti halnya kebiasaan baik bisa dilakukan melalui latihan dan belajar, kebiasaan buruk pun dapat kita hilangkan melalui usaha-usaha keras kita.
Bagaimana suatu kebiasaan buruk terbentuk?
Hampir sama seperti kebiasaan baik, kebiasaan buruk kita terbentuk oleh pengalaman belajar, yakni melalui triol and error, melalui contoh dari orang lain yang kita kagumi, lewat pujian, dan dukungan orang lain, dan lewat latihan terus-menerus.
Sering kali mulanya kebiasaan buruk berawal dari suatu tindakan yang iseng atau tidak sengaja. Jadi pada mulanya adalah tindakan triol and error. Ketika tindakan itu menyebabkan yang melakukannya memperoleh kenikmatan tertentu, tindakan itu akhirnya cenderung diulang. Pengulangan ini akan menciptakan keinginan demi keinginan untuk melakukannya lagi, sehingga terbentuklah kebiasaan.
Dampak kebiasaan buruk dalam hidup kita:
Hidup menjadi tidak produktif, termasuk kehidupan rohani kita, banyak kesempatan untuk maju menjadi tersia-sia.
Beberapa gangguan jiwa diakibatkan oleh kebiasaan yang mendarah daging disertai dengan konflik emosional yang berat.
Mengapa kita sulit menghilangkan kebiasaan buruk?
Kebiasaan buruk sering kali telah tertanam sejak lama di dalam diri kita, sehingga untuk melatih kembali butuh waktu yang jauh lebih lama.
Ada tarik-menarik yang terjadi antara kebiasaan buruk dengan kebiasaan baik. Kebiasaan buruk sering berasosiasi dengan hal-hal yang menyenangkan dan menggairahkan, sehingga cenderung berulang, dan ini sesuai dengan natur kita selaku orang berdosa.
Ketika suatu kali kita tergoda kembali untuk melakukan suatu kebiasaan lama, kita sering menghibur diri dengan mengatakan bahwa ini adalah yang terakhir, tetapi sering kali yang terakhir ini justru menjadi awal dari kejatuhan kita yang berikutnya.
Kiat-kiat untuk menghilangkan kebiasaan buruk yaitu:
Pikirkan dampak buruknya lebih sering daripada kenikmatan sesaat dari kebiasaan kita
Ketika suatu kebiasaan buruk berulang, cepatlah berbalik kembali dengan mengakuinya, dan memaafkan diri. Jangan menghukum diri dengan semakin menceburkan diri ke dalamnya.
Mohon bantuan Roh Kudus lewat doa, dan lewat perenungan firman Tuhan.
Alihkan kebiasaan buruk kita ke kebiasaan yang lebih baik. Contoh: ke nightclub gantikan ke sport hall, makan tidak sehat digantikan dengan makan yang mementingkan keseimbangan gizi dst.
Minta bantuan teman baik untuk mengingatkan kita.
"Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala. Semuanya itu mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka. Dahulu kamu juga melakukan hal-hal itu ketika kamu hidup di dalamnya tetapi sekarang buanglah semuanya ini yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu. Jangan lagi kamu saling mendustai karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya dan telah mengenakan manusia baru yang terus menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya. Dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu."
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan juga Bapak Heman Elia, M.Psi. Beliau berdua adalah para pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Menang dari Kebiasaan Buruk". Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
HE : Kalau bicara contoh mungkin lebih baik saya ambil misalnya di dalam relasi. Di dalam relasi sering kali ada kebiasaan-kebiasaan buruk, misalnya suka gosip atau suka mengatakan keburukanorang lain.
Ini menyebabkan hubungan relasi yang pada mulanya baik akhirnya pecah, kemudian di dalam ungkapan perasaan, ungkapan emosi baik itu kesedihan atau kemarahan dan sebagainya. Ada orang yang punya kebiasaan kalau marah dia lempar barang, memukul meja dan kurang bisa menguasai diri di dalam ekspresi kemarahannya. Tapi juga bisa terjadi orang mengungkapkan perasaan-perasaan iri hati dan sebagainya untuk menyikut sana, menyikut sini dan sebagainya. Nah ada juga kebiasaan-kebiasaan di dalam hal pikiran yang sering kali menjadikan itu sesuatu yang kurang baik, membuat kita tidak bisa hidup dengan lebih sehat dan efektif. Sebagai contoh, misalnya orang yang terus-menerus memikirkan atau mengkhawatirkan hal yang kecil-kecil, orang yang sedikit-sedikit mengomel karena hidupnya tidak puas terus-menerus. Selalu melihat yang negatif dari diri orang lain dan ini dipikir terus sehingga menjadikan suatu kebiasaan yang kurang sehat. Itu kira-kira beberapa contohnya.HE : Bisa jadi satu kebiasaan itu terbentuk karena orang itu menerima konsekuensi positif dari satu tingkah laku yang ia lakukan. Jadi pertama kali waktu tingkah laku itu dilakukan mendapatkn konsekuensi yang positif dan ada lagi, ada lagi peristiwa yang sama dan dia lebih sering mendapat umpan balik atau hasil yang menyenangkan bagi dia, sehingga menjadikan itu suatu kebiasaan.
Saya ambil contoh misalnya waktu dia pertama kali meminjam dan dia lupa mengembalikan, tidak ada orang yang berani menegur dia dan akhirnya lama-lama menjadi milik dia, sehingga lama-lama menjadi suatu kebiasaan yang sulit dihilangkan.HE : Dan alasannya selalu bisa menghindarkan dia dari tanggung jawab dan konsekuensi yang kurang menyenangkan bagi dia.
HE : Tidak dianggap positif, tetapi karena dia mendapatkan hasil yang menyenangkan lebih daripada konsekuensi negatifnya.
ET : Jadi kolektor barang ya. Dan rasanya itu juga mungkin proses-proses kebiasaan buruk yang terjadi pada anak-anak yang saya amati, Pak Heman. Kadang-kadang misalnya tanpa kita sadari sebaai seorang dewasa mungkin menertawakan atau tidak langsung menegur ketika seorang anak melakukan satu kesalahan.
Misalnya saya ingat pernah kejadian ada anak tetangga saya yang mengatakan sesuatu hal yang sebenarnya tidak sopan, tetapi karena kami sebagai seorang dewasa melihat lucu dia bisa mengatakan seperti itu tanpa disadari kami menertawakan dan benar akhirnya dia senang mengucapkan kata-kata yang sebenarnya tidak sopan itu.HE : Ya betul, jadi memang suatu perilaku akan lebih mudah dipadamkan segera kalau misalnya begitu muncul lalu memperoleh konsekuensi yang negatif.
HE : Setidaknya bukan dibilang menikmati, dia pernah memperoleh konsekuensi positif jadi konsekuensi yang menyenangkan dia. Bisa saja terjadi misalnya kita punya kebiasaan yang kita tidak suai tetapi kita tetap tidak atau sulit melepaskan diri karena ada konflik di situ.
HE : Jadi saya misalnya sudah mengetahui ini tidak baik, tapi di dalam diri saya ada satu dorongan, satu keinginan, keinginan yang sebetulnya ingin memuaskan diri saya, ingin cepatnya saja dn ingin satu kenikmatan tertentu sehingga menyebabkan saya sulit menghindar dari itu.
Apalagi kalau ada pikiran-pikiran seperti ini, o......ya sudah terlanjur sekalian saja. Nah kalau orang sudah melakukannya sekali lalu keterusan, maka makin lama pasti makin buruk.HE : Ya karena dia merasa ini konsekuensi positifnya masih memenangkan konsekuensi negatifnya, seperti itu.
ET : Biasanya itu mungkin melalui proses yang sebelumnya ya, ada orang yang mungkin meminjam barang lupa tidak mengembalikan lama-lama jadinya seperti mengambil sekali tidak ketahuan lalu amil lagi, ambil lagi.
Jadi mungkin selamat dari situasi-situasi yang sebenarnya bisa menjadi resiko, itu juga membuat orang lebih berani lagi untuk melakukan yang berikutnya.HE : Betul dan akhirnya konflik-konflik itu dimenangkan oleh kebiasaan buruknya.
ET : Dan keuntungan-keuntungan yang didapatkannya.
HE : O.....ya sangat bisa, saya ambil contoh misalnya merokok atau banyak juga zat-zat lain yang kita konsumsi yang akhirnya menjadi kebiasaan. Dalam hal merokok itu jelas sekali bahwa tadina sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi karena dapat dukungan, tepuk tangan dari teman-teman dan sebagainya menyebabkan merokok itu menjadi suatu kebiasaan.
HE : Dan saya tambahkan satu hal lagi yaitu terutama di dalam hal makan, dalam hal konsumsi tubuh ini sering kali yang terjadi adalah adanya suatu proses toleransi yang semakin tinggi terhadp suatu zat tertentu seperti merokok.
Kalau orang berhenti mendadak yang tadinya merokok kemudian tidak merokok lagi, rasanya tidak enak sekali. Dan kecenderungannya adalah menambah terus, menambah terus. Ini karena tubuh kita terbiasa dan menjadi toleran, ini sangat merepotkan.ET : Kalau sudah begitu rasanya memang peringatan pemerintah seperti di iklan-iklan itu juga sudah tidak ada artinya.
HE : Ya karena sudah menyatu di fisiknya dan ada juga yang sampai di otak.
HE : Sering kali yang saya lihat itu kebanyakan orang menyadari tetapi masalahnya dia tidak bisa lepas, kompleks dari segi pikiran dan dari segi biologis yang seperti tadi saya katakan. Karea kalau dia sudah mengkonsumsi atau melakukan kebiasaan itu, dia dapat relief suatu kelegaan sementara dari segi fisiknya atau pikirannya.
Tetapi masalahnya setelah itu terjadi akhirnya rasa bersalah ini mendorong seseorang juga untuk seperti yang tadi saya katakan sudah terlanjur sekalian saja, sehingga tidak bisa lepas.HE : Yang kalau dalam hal zat-zat psikoaktif yang kita katakan tadi itu bisa kanker, bisa seperti merokok bisa sampai mematikan kalau over-dosis. Juga di dalam relasi kita itu semuanya bisa erganggu.
ET : Jadi walaupun orang-orang yang seperti itu tampak dari luarnya sepertinya bisa menikmati apa yang menjadi ketergantungan, sebenarnya di dalamnya mereka banyak mengalami konflik emosiona antara mau berhenti tapi juga ada ketagihan.
HE : Sangat tepat dan sebetulnya mereka adalah orang-orang yang menderita.
ET : Lalu bagaimana kalau memang orang sudah menyadari begitu, sebaiknya langkah-langkah berikutnya bagaimana, Pak Heman?
HE : Saya kira tergantung kebiasaannya, ada kebiasaan yang kita bisa atasi dengan kemauan kuat dari diri sendiri, ada yang perlu pertolongan orang lain. Misalnya dokter atau psikolog dan sebgainya.
Nah, kalau misalnya sudah seperti "drug abuse" itu saya kira perlu penanganan gabungan dari berbagai ahli termasuk rohaniwan, dokter, psikiater, psikolog dan sebagainya.HE : Betul itu harus besar juga.
HE : Selain dari cara berpikir yang tadi saya katakan juga, sering kali lingkungan. Saya melihat situasi misalnya di dalam keluarga sangat membuat seseorang itu tertanam kebiasaan buruknya aau tidak.
Saya ambil contoh misalnya di dalam pergaulan seks bebas atau misalnya kecanduan narkotik, putauw dan sebagainya itu banyak peran dari keluarga. Keluarga yang kurang harmonis menyebabkan orang terbiasa untuk lari ke obat, terbiasa lari ke pergaulan bebas dan seterusnya. Nah ini yang menyebabkan suatu kebiasaan buruk susah hilang. Dan kemudian juga misalnya ada lingkungan-lingkungan tertentu yang menerima orang-orang seperti ini, dengan segala kebiasaan buruknya karena menguntungkan bagi mereka, nah ini yang susah.HE : Misalnya bagi penjual obat (GS : mencari keuntungan dari penderitaan orang lain) ya.
HE : Baik saya akan mencoba memberikan beberapa saran selain yang tadi saya telah kemukakan. Yang pertama, usahakan untuk berpikir lebih banyak tentang dampak buruk suatu kebiasaan daripada emikirkan tentang kenikmatan sesaat dari kebiasaan kita tersebut.
Yang kedua, kalau misalnya ada satu kebiasaan buruk berulang padahal kita sudah mencoba berusaha untuk tidak lagi melakukan hal itu, cepat-cepat berbalik kembali dengan mengakuinya, mengakui di hadapan Tuhan dan kita sendiri mengakui dan memohon ampun dari Tuhan, tetapi juga kita tidak boleh lupa memaafkan diri sendiri. Kadang-kadang Tuhan sudah mengampuni tetapi kita justru sengaja menghukum diri kita dengan semakin menceburkan diri ke dalam kebiasaan-kebiasaan buruk atau akibat-akibat yang lain yang buruk juga. Kemudian yang ketiga adalah kita perlu mohon bantuan Roh Kudus lewat doa, lewat permohonan dan juga banyak memikirkan, merenungkan firman Tuhan. Yang keempat, alihkan kebiasaan buruk kita ke kebiasaan lain sebagai pengganti, dan kebiasaan itu seyogyanya kebiasaan yang baik. Satu contoh misalnya kalau kita terbiasa ke night-club gantikan kebiasaan untuk ke sport hall untuk berolah raga, makan yang tidak sehat gantikan makan yang mementingkan keseimbangan gizi dan seterusnya. Dan kemudian saya juga melihat yang kelima, kita sebaiknya bisa minta bantuan teman baik kita untuk mengingatkan kita. Supaya ketika kita akan melakukan suatu kebiasaan buruk kita, ada teman yang bisa mengingatkan sehingga membatalkan kebiasaan kita itu.ET : Mungkin kalau untuk kebiasaan yang nampak, orang sepertinya lebih menaruh perhatian yang besar misalnya seperti tadi untuk memakai obat-obatan atau kebiasaan-kebiasaan yang marah, yang emukuli orang atau membanting sesuatu.
Tapi rasanya memang mungkin yang lebih sulit orang lain tidak melihat seperti pikiran tentang kekuatiran, tentang ketakutan-ketakutan ataupun berpikiran negatif tentang orang lain. Rasanya memang hal-hal seperti itu kita minta orang lain untuk mengingatkan agak sulit juga ya, Pak Heman?HE : Kadang-kadang bisa juga karena mau tidak mau kalau ada pikiran seperti itu keluar juga diomongan. Kalau temannya diberitahu bahwa kadang-kadang saya suka berpikir yang seperti ini tolon ingatkan saya, nah ini akan membantu.
ET : Jadi memang ada kerelaan, harus ada kerelaan untuk ditegur, diingatkan oleh orang-orang di sekitarnya.
HE : Betul, ada kemauannya untuk mengubah kebiasaan buruk kita.
ET : Itu kalau sudah terjadi, kalau pencegahannya bagaimana supaya kita tidak sampai menciptakan satu kebiasaan buruk yang lain lagi dalam hidup kita, yang sudah ada saja hilangnya susah, Pak Heman?
HE : Ya kalau masalah pikiran memang sulit tetapi coba kita akan ambil beberapa prinsip. Kalau misalnya kita melihat di Alkitab Amsal, Salomo pernah memberikan suatu nasihat yang baik dalam al seksual.
Prinsipnya adalah jangan pernah menyentuh hal yang dapat menjadikan kita memiliki kebiasaan buruk. Sudah tahu misalnya putauw atau merokok itu tidak baik, sudah tahu berhubungan seks dengan seorang pelacur itu tidak baik maka jangan sentuh satu kalipun. DalamHE : Ya dan itulah biasanya orang jatuh ke dalam kebiasaaan buruk.
HE : Ya itu ada, tetap ada resiko dan resiko saya kira yang jauh lebih banyak dan terbukti itu adalah resiko yang menjadikan diri kebiasaan buruk.
HE : Betul, karena kebiasaan buruk biasanya lebih sesuai dengan natur kita sebagai orang berdosa.
HE : Kali ini saya akan bacakan agak panjang dari
Terima kasih, Pak Heman dan saudara-saudara pendengar demikianlah Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang menang dari kebiasaan buruk. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
8. Mengenal Kasih Berdasarkan 1 Korintus 13:1-13 | |
Kasih adalah karakteristik Allah yang paling utama, karena itulah Alkitab penuh dengan kata kasih. Begitu dalam dan luasnya kasih sehingga tidak ada kata-kata yang cukup untuk bisa menjadi wadah mengungkapkan secara tepat apa itu makna kasih.
Alkitab penuh kata kasih, sebab kasih adalah karakteristik Allah yang paling utama. Saya memberikan dua gagasan tentang kasih:
Memang kasih itu harus diwujudnyatakan, yang penting adalah tindakannya bukan perkataannya.
Kasih itu terlalu luas untuk bisa ditangkap dengan kata-kata manusia yang sederhana. Jadi dapat saya katakan bahwa kasih itu lebih luas dari pada perbendaharaan dan kemampuan nalar manusia itu sendiri, begitu dalam dan luasnya cinta sehingga tidak ada kata-kata atau nalar yang cukup untuk bisa menjadi wadah mengungkapkan secara tepat apa itu makna kasih.
Kasih dapat kita kelompokkan dalam 2 golongan yaitu:
Kasih itu mempunyai aspek mengekang diri. Mengekang diri maka kita mendengar kata-kata dari firman Tuhan. Kasih itu sabar, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan atau tidak kasar, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran, tidak menyimpan kesalahan orang lain, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih pada intinya mempunyai kerelaan untuk melepaskan hak itu yang Tuhan minta, hak untuk marah, hak untuk kenikmatan, hak untuk diakui, hak untuk membalas.
Kasih itu memberikan diri. Firman Tuhan berkata kasih itu murah hati, kasih itu menutupi segala sesuatu atau terjemahan yang lainnya adalah kasih itu melindungi segala sesuatu, protect segala sesuatu. Kasih itu percaya segala sesuatu, kasih itu mengharapkan segala sesuatu, jadi penuh pengharapan.
Kasih yang memberi diri maupun kasih yang mengekang diri adalah kasih agape, kasih yang memang tidak lagi bertumpu pada apa yang orang lain lakukan kepada kita.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Perbincangan kami kali ini akan dilandaskan pada suatu bagian Alkitab yang cukup terkenal dan penting yaitu dari
PG : Banyak orang yang bertanya apakah kasih itu dan banyak juga orang yang telah berupaya untuk mendefinisikan kasih. Yang menarik, Pak Gunawan dan Ibu Esther, Alkitab penuh dengan kata kash, sebab kasih adalah karakteristik Allah yang paling utama dan ternyata tidak memberikan definisi kasih secara formal atau secara teoritis melalui kata-kata.
Yang ada di Alkitab adalah ungkapan kasih, wujud nyata kasih dan terutama kasih Allah kepada manusia. Kesimpulan ini menurut saya setidak-tidaknya ada dua gagasan, yang pertama adalah memang kasih itu harus diwujudnyatakan, yang penting adalah tindakannya bukan perkataannya. Tapi yang kedua yang juga sama pentingnya bahwa kasih itu terlalu luas untuk bisa ditangkap dengan kata-kata manusia yang sederhana. Jadi dapat saya katakan bahwa kasih itu lebih luas daripada perbendaharaan dan kemampuan nalar manusia itu sendiri, begitu dalam dan luasnya cinta, sehingga tidak ada kata-kata atau nalar yang cukup untuk bisa menjadi wadah mengungkapkan secara tepat apa makna kasih itu.PG : Alasan yang paling penting adalah rasul Paulus sedang memberikan teguran kepada jemaat di Korintus. Mereka adalah jemaat yang menerima karunia besar dari Tuhan, karunia-karunia Roh Kudu, mereka gereja yang dinamis sekali.
Tapi Korintus adalah jemaat yang paling bermasalah, baik itu masalah doktrinal, masalah kurangnya moralitas, hubungan seksual di antara anggota keluarga dan sebagainya. Di tengah-tengah situasi yang kacau itu, rasul Paulus memberikan pengajarannya tentang penggunaan karunia dan pentingnya karunia Roh Kudus sehingga tidak disalahgunakan oleh mereka. Setelah dia memberikan pengajarannya barulah dia menekankan yang terpenting dari semua tetap adalah kasih, maka dia mengawaliPG : Kasih dapat kita kelompokkan dalam 2 golongan atau 2 kategori. Yang pertama adalah ternyata kasih itu mempunyai aspek mengekang diri, maka kita mendengar kata-kata seperti itu dari firmn Tuhan.
Kasih itu sabar, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan atau tidak kasar, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran, tidak menyimpan kesalahan orang lain, sabar menanggung segala sesuatu. Semua kata-kata yang digunakan bagi saya mengacu pada satu konsep yang serupa akarnya yaitu mengekang diri. Jadi kasih membuat manusia membatasi dirinya, sabar artinya apa? Sabar artinya kita ini tidak senang dengan sesuatu, reaksi yang alamiah adalah ingin menegur, ingin memarahi dan sebagainya. Tapi kasih membatasi tindakan kita yang seharusnya agresif menjadi tidak agresif. Tidak cemburu sama juga, tidak cemburu artinya seolah-olah kita mau menuntut sesuatu yang seharusnya menjadi milik kita, kita mau menguasai sesuatu yang baik, yang indah, yang menyenangkan buat kita. Tapi kasih berhasil membatasi diri sehingga kita tidak menguasai orang, jadi kasih mempunyai unsur mengekang diri.PG : Allah cemburu selalu harus dikaitkan dalam konteks penyembahan, bahwa hanya ada satu yang boleh kita sembah dalam hidup ini, yakni Allah. Dan Allah tidak akan menoleransi kalau kita menembah dewa-dewa atau illah-illah yang lainnya, nah dalam pengertian itulah Allah menuntut sepenuhnya penyembahan dari pihak kita sebagai manusia.
Jadi sangat berbeda sekali dengan konsep cemburu yang kita miliki.ET : Pak Paul tadi mengatakan kalau kasih itu artinya mengekang diri kita, sepertinya merasa boleh marah tapi kita tidak marah, tapi bagaimana hal ini mau dikaitkan dengan katakanlah seperti dengan proses penegakan kebenaran? Misalkan jelas-jelas kita melihat orang yang kita kasihi jalannya tidak tepat, apa yang seharusnya kita lakukan kaitannya dengan kasih yang mengekang ini?
PG : Saya kira secara alamiah marah itu bisa timbul dan marah itu kita ungkapkan pula, namun saya kira ada perbedaan antara reaksi marah dan reaksi memarah-marahi untuk menekan atau melindasseseorang, menghukum seseorang, menghancurkan seseorang.
Jadi yang dimaksud oleh firman Tuhan bukannya manusia itu sama sekali tidak bisa marah, Tuhan pun pernah berkata silakan marah asal jangan membiarkan kemarahan itu tinggal di hati kita sampai matahari terbenam. Jadi reaksi marah secara natural itu tidak apa-apa, yang Tuhan minta di sini adalah jangan sampai kemarahan itu menggebu-gebu menghancurkan orang, kasihilah yang mengekang kita untuk melakukan hal seperti itu. Coba kita terapkan misalkan dalam kondisi rumah tangga kita, bukankah itu yang kadang-kadang terjadi, kita marah melihat istri kita atau suami kita melakukan ini lagi, mengulang lagi. Kita pasti marah, tapi kasih seharusnya menolong kita untuk mengekang diri, mau mengatakan yang kasar tidak jadi sehingga kita tidak menggunakan kata-kata yang kasar. Makanya kasih tidak melakukan hal yang tidak sopan atau tidak kasar, jadi kasih mengekang manusia untuk bertindak.PG : Tepat, jadi karena kita kasih justru waktu melihat ketidakadilan kita bereaksi, sudah tentu reaksinya bukan reaksi tenang-tenang tapi kita pasti marah. Sebab kita mau melihat kebenaranlh yang ditegakkan, keadilanlah yang akhirnya dijunjung.
Tapi sekali lagi sebagai contoh yang konkret karena melihat ketidakbenaran terjadi, bukannya berarti kita mempunyai hak untuk membalas misalnya kita akhirnya bertindak sendiri, menghabisi orang karena kita menganggap dia tidak lagi benar. Kasih mengekang itu semuanya, jadi dapat saya simpulkan di sini, Pak Gunawan dan Ibu Esther, kasih pada intinya mempunyai kerelaan untuk melepaskkan hak, itu yang Tuhan minta yaitu hak untuk marah, hak untuk kenikmatan, hak untuk diakui, hak untuk membalas. Kenapa saya simpulkan atau saya gunakan kata hak, sebab tidak bisa disangkal dalam rumah tangga, istilah hak adalah hal yang penting apalagi zaman sekarang. Di mana hubungan suami-istri lebih merupakan hubungan setara, egalitarian benar-benar hak itu menjadi hal yang penting bagi kita. Saya takut pernikahan Kristen dewasa ini sudah kehilangan makna ini, Pak Gunawan dan Ibu Esther, kehilangan makna kasih yang Tuhan ajarkan yaitu sebetulnya kasih yang melepaskan hak, tidak menggenggam hak keras-keras, ini hak saya untuk begini kamu jangan ganggu, ini hak saya untuk begitu jangan kamu halangi, hak saya untuk mengembangkan diri, kenapa saya harus berkorban demi kamu. Inilah hal-hal yang menghancurkan pernikahan dewasa ini sebab unsur kasih yang Tuhan minta sudah terhilang, tidak ada lagi pengekangan diri, tidak ada lagi kerelaan untuk melepaskan hak.PG : Susah sekali Pak Gunawan, sebab memang ini berlawanan dengan kodrat kita sebagai manusia. Kodrat kita sebagai manusia ingin mengekspresikan seoptimal mungkin diri kita, kita marah inginekspresikan secara optimal, kita punya barang ini kita ingin miliki sepenuhnya begitu.
Waktu kita tidak bisa melakukannya rasanya frustrasi, jadi memang sangat bertentangan dengan kodrat manusia. Jadi kalau Pak Gunawan bertanya bagaimana caranya, saya kira terus-meneruslah belajar, contoh yang paling mudah adalah melalui suatu perumpamaan. Ada orang berdoa, Tuhan berilah saya kesabaran sekarang, sekarangnya itu dibesarkan jadi dia sudah gagal meminta kesabaran. Dan Tuhan menjawab doa kita memberikan kesabaran dengan cara yang sangat menusiawi dan praktis, yaitu Tuhan tidak menurunkan kado dari sorga dibungkus dan diberikan nama kesabaran. Tuhan menjawab kita yang meminta kesabaran dengan menghadirkan situasi-situasi dalam hidup kita yang membuat kita cepat naik darah. Sebab dalam keadaan cepat naik darahlah yang sangat menjengkelkan kita, maka kita diberikan kesempatan untuk sabar. Bagaimana dengan yang lain juga sama, sabar menanggung segala sesuatu, tidak menyimpan kesalahan orang lain. Saya berani berkata Tuhan akan hadirkan kesalahan di sekitar kita, membuat kita sangat jengkel mau menyimpan kesalahan dan di situlah Tuhan menyuruh kita bergumul untuk melupakannya, jangan ingat-ingat kesalahan orang.ET : Dan umumnya kita cenderung baru mampu melepaskan hak itu ketika memang sudah tidak ada pilihan, memang sudah berusaha tidak bisa mendapatkannya.
PG : Dan tidak terlalu salah, Bu Esther, sebab sering kali situasi seperti itulah yang diperlukan untuk benar-benar menelanjangi kita sehingga kita tidak berdaya. Dan dari situ mulailah kitaberangkat, mengembangkan aspek kesabaran dalam hidup kita.
Bukankah kita mungkin pernah mendengarkan kesaksian seseorang yang kaya raya, berkuasa luar biasa, kemudian musibah menghampirinya semua hilang habis dan dia bersaksi misalnya dulu saya sombong dan sebagainya sekarang tidak. Nah yang mengubah dia memang yang menjadi pemicunya adalah hilangnya semua kekuasaan itu, jadi dalam keadaan tidak berdaya, akhirnya dia harus berserah kepada Tuhan dan belajar lebih bersabar.PG : Yang lainnya adalah kebalikan dari mengekang diri yaitu memberikan diri. Jadi ayat-ayat yang bisa kita kaitkan dengan aspek memberikan diri adalah firman Tuhan berkata kasih itu murah hti, kasih itu menutupi segala sesuatu atau terjemahan yang lainnya adalah kasih itu melindungi segala sesuatu, kasih itu percaya segala sesuatu, kasih itu mengharapkan segala sesuatu, jadi penuh pengharapan.
Satu hal mengekang diri, hal yang lain memberikan diri kepada orang lain. Saya kira semua orang dapat memberikan dirinya, tapi pertanyaannya adalah kepada siapa dan untuk siapa. Dengan kata lain kita memberikan diri secara selektif, bahkan dalam hubungan suami-istri kita juga harus memberikan diri kita. Kita murah hati kalau dia murah hati, kalau dia tidak murah hati kita juga tidak murah hati, dulu kita diizinkan sekarang tidak diizinkan, kita balas dia juga sekarang tidak kita izinkan, misalkan seperti itu hal-hal yang tidak boleh kita lakukan. Jadi murah hati adalah benar-benar kita harus keluar dari diri kita, melampaui diri kita yang sempit ini sehingga kita melebarkan, memperluas diri kita, sehingga akhirnya bisa memberikan diri kepada orang lain meskipun rasanya tidak ada keinginan.ET : Dan berat, maksudnya saya juga membayangkan rasanya memang manusia mengasihi secara selektif. Karena rasanya di mata kita ada orang-orang yang katakanlah seperti tidak layak untuk dikashi.
Padahal kalau memang mau dipikir-pikir juga siapa kita bisa memilih yang layak dan tidak layak, tapi nyatanya itu yang berulang juga Pak Paul?PG : Betul sekali, kecenderungan manusia mengasihi dengan selektif, karena cinta kita yang sangat berkondisi. Kondisinya adalah engkau menyenangkan hati saya, maka saya akan menyenangkan hatmu.
Engkau mengasihi saya engkau berbuat baik kepada saya, maka aku akan baik kepadamu dan mengasihimu, jadi kondisi. Tapi di sini Tuhan meminta kita keluar dari diri kita melampaui kemanusiawian kita sehingga bisa memberikan kepada orang, meskipun tidak mendapatkan yang kita inginkan.PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi kasih yang memberikan diri bahkan tadi kasih yang mengekang diri adalah kasih agape, kasih yang memang tidak lagi bertumpu pada apa yang orang lain lakuka kepada kita.
Sekali lagi saya mau masukkan ini ke dalam konteks pernikahan. Saya melihat gejala di tengah-tengah kita makin banyak pernikahan Kristen yang bercerai atau berakhir dengan perceraian. Dan saya harus berkata bahwa saya tidak akan memahami semua penyebabnya dan saya tidak terburu-buru atau tergesa-gesa menghakimi orang yang bercerai, banyak hal yang saya tidak mengerti. Tapi kalau saya boleh berikan pengamatan saya, yang mulai terhilang dari pernikahan Kristen dewasa ini adalah unsur kasih agape. Yaitu unsur yang berkata bahwa aku senang bersamamu, apapun kondisimu sekarang ini. Apapun yang engkau lakukan yang tidak bisa memberiku kepuasan ya sudah, aku bisa terima. Nah itu yang saya kira terhilang secara nyata di dalam pernikahan Kristen.PG : Sejak dari dulu kasih adalah "trade mark" atau merk orang-orang Kristen. Orang Kristen dari dulu dikenal sebagai orang yang penuh dengan kasih. Nah "trade mark" ini diwariskan dari satugenerasi ke generasi lainnya, sebab ini adalah perintah Tuhan.
Bagaimanakah orang tahu kita murid Tuhan yaitu dengan saling mengasihi. Tuhan adalah kasih, bahkan Tuhan berkata kasihilah musuhmu jangan kita membalasnya, kita diminta Tuhan mendoakan dan memberkati musuh kita. Hal-hal yang memang melawan akal manusia dan melawan kodrat kita sebagai manusia yang ingin membalas. Bagaimanakah mungkin bermurah hati kepada orang yang tidak baik atau tidak bermurah hati kepada kita. Tapi sekali lagi inilah ciri Tuhan yang paling utama.PG : Dan ini kadang kala yang kita takuti dalam rumah tangga kita pula, bukan saja terhadap orang lain tapi terhadap istri atau suami kita juga sama. Kalau kita penuh kasih nanti kita dianggpnya pihak yang lemah, jadi kita akhirnya menggunakan sistem transaksi dalam pernikahan kita, kau beri satu aku berikan satu, istilahnya gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa, begitu.
PG : Bisa, jadi orang yang pertama-tama sabar dan tabah menanggung penderitaan tidak akan dikatakan dia lemah tapi akan dikatakan orang yang kuat. Contoh kasus, suami yang tidak setia kepadaistrinya, menyalahgunakan kepercayaan istrinya, menyia-nyiakan keluarganya tapi istrinya terus bertahan, membesarkan anak-anak juga mau menerima si suami.
Saya kira yang ada dalam hati si suami meskipun dia tidak kemukakan secara langsung pada si istri ialah rasa kagum, kagum bahwa istri saya begitu kuat. Dia tidak akan berkata istri saya begitu lemah, dia akan berkata istri saya begitu kuat sehingga meskipun saya sia-siakan dia tetap berdiri dengan teguh, nah itu adalah lambang kekuatan. Jadi justru sebetulnya meskipun tidak diakui, itulah kesan orang terhadap sesamanya yang berhasil tegar menghadapi penderitaan.ET : Jadi sepertinya walaupun di mata manusia kelihatannya dia lemah karena melepaskan hak-hak itu tadi, tapi kalau mau dilihat mungkin sebenarnya dia akan kembali mendapatkan hak-hak yang dia lepaskan itu, Pak Paul?
PG : Tepat sekali, saya berikan contoh yang mudah sekali, kita mungkin masih bisa mengingat beberapa nama milioner. Misalkan kita masih bisa mengingat siapa nama Onassis tapi bukankah nama Oassis itu nama yang makin hari makin pudar.
Nama seperti John Paul Gheatty, kita mungkin masih ingat nama-nama seperti Howard Huge tapi nama-nama itu makin hari makin pudar. Tapi bukankah kita tetap sampai sekarang mengingat nama misalnya Ibunda Theresa yang memberikan hidupnya untuk melayani Tuhan di sudut-sudut kota yang kumuh di Calcuta, India. Bukankah yang kita sebut dengan hati bergetar dan bulu kuduk berdiri adalah orang-orang yang menunjukkan kasih yang luar biasa seperti ini. Dan kita tidak akan berkata Ibunda Theresa orang yang lemah, meskipun dia orang yang melepaskan haknya dan hidup di tengah-tengah orang yang miskin. Kita juga mungkin pernah membaca kisah seorang pastur Katolik yang ke Hawai melayani orang-orang yang menderita lepra atau kusta, yang akhirnya mati karena penyakit kusta juga. Kita tidak akan berkata orang-orang seperti ini orang yang lemah, orang yang melepaskan hak dan memberikan diri dengan begitu luar biasa, kita akan katakan mereka orang-orang yang sangat kuat. Justru dari sinilah muncul respek dan kekaguman, saya kira rumah tangga perlu dibangun di atas respek yang seperti ini. Respek bukannya karena pasangan kita menuntut hak dan bukan karena kita menuntut hak, bukan karena kita ini tegas dengan hak dan kewajiban kita. Rumah tangga yang didirikan seperti itu akan menjadi seperti rumah tangga yang kaku sekali, tidak ada lagi unsur-unsur kemanusiawian tapi kita akan bisa mendirikan keluarga yang kuat jika kita memiliki kekaguman terhadap hal-hal yang seperti ini. Kekuatan batiniah, kekuatan mengekang, melepaskan hak dan kekuatan memberikan diri melampaui yang diminta dan dipikirkan oleh manusia.GS : Saya yakin sekali bahwa pada saat-saat seperti ini, sekarang ini orang-orang di sekeliling kita bahkan di dalam rumah tangga kita itu membutuhkan kasih yang nyata yang bukan cuma dibicarakan, didiskusikan tetapi dipraktekkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Jadi terima kasih sekali, Pak Paul dan Ibu Esther, untuk perbincangan kali ini yang tentu akan menjadi berkat bagi semua pendengar kita. Saudara-saudara pendengar kami baru saja memperbincangkan bersama Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengenal Kasih berdasarkan
9. Kecerdasan dan Test Kecerdasan | |
Kecerdasan adalah suatu kemampuan umum dari seseorang dalam hal bagaimana dia memecahkan masalah hidupnya sehari-hari. Dan setiap anak mempunyai tingkat kecerdasan yang berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Dan kecerdasan itu sendiri tidak hanya menyangkut hal-hal belajar di sekolah yang lebih bersifat akademis dan intelektual.
Kecerdasan itu adalah suatu kemampuan umum dari seseorang dalam hal bagaimana dia memecahkan masalah hidupnya sehari-hari. Dan kemampuan ini dapat tercermin dari kecepatan, ketepatan dan kedalaman berpikir seseorang itu di dalam mencari jalan keluar dari masalah hidupnya sehari-hari. Sementara kepandaian sebetulnya tetap diperlukan kecerdasan tetapi kepandaian lebih dikaitkan dengan masalah belajar.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kecerdasan anak itu berbeda:
Faktor bawaan, jadi meskipun mereka lahir dari orang tua yang sama, faktor bawaan ini bisa berbeda karena masalah genetik dan juga fungsi otak dan fungsi syaraf.
Masalah gizi, masalah kebiasaan-kebiasaan dari kecil, masalah rangsangan atau stimulasi dari lingkungan.
Latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan seorang anak dari kecil.
Secara konsep kecerdasan tidak hanya menyangkut hal-hal belajar di sekolah yang lebih bersifat akademis, dan bersifat intelektual. Sebetulnya jenis kecerdasan ini banyak diantaranya kecerdasan emosi, kecerdasan sosial di mana seseorang bisa berelasi dengan baik, kecerdasan kreatifitas, kecerdasan spiritual bahkan kecerdasan di bidang seni dan sebagainya. Kenapa terjadi kesalahpahaman bahwa kecerdasan itu hanya menyangkut hal-hal yang bersifat sekolah yaitu:
Karena adanya test kecerdasan yang sejak dulu hanya mengukur hal-hal yang bersifat akademis.
Kecerdasan itu sering kali bisa dilihat orang atau dihargai orang.
Ada beberapa macam test kecerdasan:
Test bine untuk anak-anak, biasanya dikenal dengan Stanford Bine karena dikembangkan oleh Terman dari Stanford University.
WPPSI untuk anak-anak pra-sekolah, test yang dibuat oleh Westler
WISC untuk anak-anak, ini test yang bersifat individual.
Ada test kecerdasan lagi yang bersifat kelompok, jadi test ini yang biasanya dipakai untuk mengetahui secara cepat kira-kira tingkat-tingkat kecerdasan seorang anak dan bagaimana kemampuan dia dalam mengikuti pelajaran di sekolah.
Bentuk test di atas umumnya adalah:
Ada subtest-subtest yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang informasi secara umum yang harus diketahui anak.
Pertanyaan yang menyangkut hal-hal sosial yang dia harus tahu
Menyangkut bahasa, menyangkut ketelitian dia di dalam melihat figur-figur atau gambar-gambar, logika, aritmatika, kemudian matematika dsb.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan juga Bp. Heman Elia dan beliau adalah seorang magister Psikologi akan menemani Anda berbincang-bincang pada acara Telaga kali ini. Perlu Anda ketahui bahwa Ibu Esther Tjahja maupun Bp. Heman Elia adalah dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Kecerdasan dan Test Kecerdasan", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
HE : Kalau boleh diartikan kecerdasan adalah suatu kemampuan umum dari seseorang dalam hal bagaimana dia memecahkan masalah hidupnya sehari-hari. Dan kemampuan ini dapat tercermin dari kecepata, ketepatan dan kedalaman berpikir seseorang itu di dalam mencari jalan keluar masalahnya dalam kehidupan sehari-hari.
HE : Ya kalau kepandaian boleh dikatakan kepandaian itu sebetulnya tetap diperlukan dasar kecerdasan tetapi kepandaian sering kali lebih dikaitkan dengan masalah belajar (GS: prestasi di sekolh dan sebagainya) betul.
HE : Ini ada beberapa faktor yang mempengaruhinya misalnya saja faktor bawaan, jadi meskipun mereka lahir dari orang tua yang sama, faktor bawaan ini bisa berbeda karena masalah genetik dan jug fungsi otak dan syarafnya.
Syaraf setiap orang itu bisa berbeda-beda, tapi selain itu masalah gizi, masalah kebiasaan-kebiasaan dari kecil, masalah rangsangan atau stimulasi dari lingkungan. Misalnya kalau anak pertama dia lebih banyak mendapat stimulasi daripada anak kedua umumnya, tapi tidak selalu begitu, itu akan membuat anak-anak yang pertama sering kali lebih cerdas meskipun tidak selalu berarti demikian. Ini tergantung dari masing-masing lingkungan yang berbeda dan juga latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan seorang anak itu akan berbeda-beda yang menyebabkan apakah seseorang bisa mengembangkan kecerdasannya atau tidak.ET : Dengan kata lain maksud Pak Heman kecerdasan itu masih dapat dikembangkan lagi?
HE : Ya, saya percaya bahwa tingkat kecerdasan seseorang masih bisa ditingkatkan sampai pada batas tertentu. Maksud saya batas tertentu itu adalah potensi yang disediakan oleh faktor genetik, jdi tergantung potensi dia.
Sering kali masalahnya adalah potensi seseorang itu tidak dikembangkan secara maksimal, jadi kita seharusnya bisa mengembangkan kecerdasan itu secara maksimal. Tetapi ini juga harus dilakukan sedini mungkin, jadi sebaiknya sejak anak masih sangat muda kecerdasannya mulai dikembangkan.ET : Masyarakat umum kadang-kadang menilai seseorang cerdas atau tidak, kalau saya melihat misalnya matematikanya bagus atau memorinya baik sehingga orang lebih mudah mengatakan anak ini cerdas. Sebenarnya apakah memang kecerdasan ini hanya dalam bidang-bidang tertentu saja, Pak Heman?
HE : Sebetulnya kalau secara konsep, kecerdasan tidak hanya menyangkut hal-hal belajar di sekolah atau hal-hal yang diajarkan di sekolah. Kecerdasan yang diajarkan di sekolah dan sebagainya itulebih bersifat akademis, lebih bersifat intelektual, tapi sebetulnya jenis kecerdasan ini banyak.
Jadi misalnya kita sekarang mengenal kecerdasan emosi, kecerdasan sosial di mana seseorang bisa berelasi dengan baik, kecerdasan kreatifitas, kecerdasan spiritual bahkan, kecerdasan di bidang seni dan sebagainya. Kenapa terjadi kesalahkaprahan bahwa kecerdasan itu hanya menyangkut hal-hal yang bersifat sekolah itu, pertama karena adanya test kecerdasan yang sejak dulu hanya mengukur hal-hal yang bersifat akademis. Dan yang kedua karena kecerdasan itu sering kali bisa dilihat orang atau dihargai orang itu dari sekolah yang memang dari sejak dulu sekolah ini sangat mendominasi kehidupan anak. Padahal sebetulnya kalau dilihat, diperhatikan bahwa kesuksesan hidup seseorang tidak tergantung semata-mata pada kesuksesan di masa dia sekolah. Jadi ada anak yang kurang begitu berprestasi di sekolah, tapi ternyata sangat berprestasi dalam kehidupannya sehari-hari. Dan itu banyak sekali contohnya, salah satunya misalnya Thomas Alfa Edison kemudian juga Albert Einstein yang kita semua tahu bahwa mereka adalah orang-orang genius tetapi gagal di sekolah.HE : Betul, ada faktor bawaan di situ dan memang bagi saya faktor yang paling berperan di dalam kecerdasan itu memang faktor bawaan.
HE : Saya beri contoh misalnya sejak anak di dalam kandungan begitu sang ibu sudah tahu bahwa dia hamil, seharusnya ibu ini lebih banyak makan makanan yang berprotein tinggi misalnya ikan, minu susu daripada makan bakso atau makan rujak dan sebagainya.
Dan kemudian pada waktu anak lahir, anak juga perlu diberikan gizi yang cukup. Nah ini dapat meningkatkan kecerdasan anak sampai dengan keoptimalan dari potensi kecerdasannya.HE : Saya kira ya, tapi kita juga harus pikirkan bahwa kalau misalnya anak tidak cukup mendapat gizi, maksudnya tidak cukup minum dari ASI, jadi ASI dari ibunya tidak mencukupi untuk kebutuhan naknya ya perlu juga diberikan makanan-makanan tambahan atau susu yang lain.
HE : Tentang test kecerdasan ini ada beberapa macam test yang di Indonesia yang banyak sekali beredar adalah test bine untuk anak-anak biasanya dikenal dengan Stanford Bine karena dikembangkan leh Terman dari Stanford University dan Bine ini sudah meninggal lama.
Nah test itu untuk anak-anak selain itu juga ada ejaannya WPPSI, test itu yang dibuat oleh Westler kemudian ada WISC itu untuk anak-anak, WPPSI itu untuk anak prasekolah sedangkan WISC itu untuk anak-anak, test yang bersifat individual. Kemudian ada beberapa test kecerdasan lagi yang bersifat kelompok, jadi test ini yang biasanya dipakai untuk mengetahui secara cepat kira-kira tingkat-tingkat kecerdasan seorang anak dan bagaimana kemampuan dia di dalam mengikuti pelajaran di sekolah.HE : Ada subtest-subtest misalnya ada pertanyaan-pertanyaan tentang informasi yang secara umum harus diketahui anak, misalnya bagaimana caranya memasak air atau misalnya juga siapa Presiden Indnesia dan sebagainya, itu pengetahuan umum yang harus dikuasai.
Kemudian ada pertanyaan yang menyangkut hal-hal sosial yang dia harus tahu misalnya apa yang kamu lakukan kalau kamu menemukan amplop berperangko cukup beralamat di tepi jalan dan seterusnya, kemudian ada hal yang menyangkut bahasa, menyangkut ketelitian dia di dalam melihat figur-figur atau gambar-gambar, logika, aritmatika, kemudian matematika dan seterusnya. Jadi ada banyak dan ini semua setelah dihitung secara total akan menggambarkan tingkat kecerdasan seseorang.ET : Lalu katakanlah angka hasil test itu bisa dipercaya, dalam arti sejauh mana hal ini bisa mengukur kecerdasan yang tadi kata Pak Heman sesungguhnya luas sekali?
HE : Test kecerdasan itu biasanya kita kenal dengan istilah IQ atau Intelligence Quotient, jadi sering kali orang salah kaprah mengatakan bahwa test kecerdasan itu test IQ. Sebetulnya bukan, IQitu adalah hasil dari test kecerdasan yang selalu di dalam bentuk skor.
Kemudian tadi pertanyaannya sejauh mana test kecerdasan itu bisa dipercaya? Sampai sekarang test yang ada menurut penelitian ± bisa memperkirakan keberhasilan belajar seorang anak hingga 25%. Jadi ini angka yang sudah cukup baik atau sangat baik bahkan bisa memperkirakan tingkat keberhasilan 25%. Tapi memang pada saat ini ada begitu banyak kritik terhadap test kecerdasan karena salah satunya misalnya tadi seperti yang kita bicarakan kecerdasan itu pengertiannya sangat luas, tetapi test kecerdasan hanya bisa mengukur sebagian kecil dari kecerdasan yaitu yang menyangkut prestasi belajar di sekolah. Sehingga sering kali orang mengatakan bahwa test kecerdasan itu sebetulnya test bakat sekolah, kira-kira seperti itu.ET : Mungkin itu jugakah sebabnya kita bisa temukan anak-anak yang sepertinya memang hasil testnya, test kecerdasan atau nilai IQ nya bagus di atas rata-rata atau cukup tinggi, tapi ternyata dalam sehari-hari prestasi di sekolahnya tidak sejalan dengan hasil test kecerdasannya?
HE : Itu ada beberapa masalah memang di dalam test kecerdasan, seperti tadi dikatakan bahwa paling maksimal 25% kemungkinan untuk memperkirakan keberhasilan belajar. Jadi yang 75% itu apa? 75% tu adakalanya sifat-sifat dari seorang anak itu mempengaruhi di dalam hal belajar.
Misalnya ada anak cerdas tapi dia terlalu malas atau terlalu ceroboh di dalam belajar, kemungkinan lain misalnya anak cerdas tetapi dia merasa bosan, suka-suka anak cerdas itu tidak tertantang dengan pelajaran di sekolah karena dia menganggap cara guru mengajar itu kurang menarik. Kemudian juga misalnya sifat-sifat anak yang lemah di dalam mendisiplin diri, konsentrasi, mengorganisir diri sendiri, dan itu menyebabkan prestasinya tidak seperti yang dicerminkan di dalam test kecerdasan. Kemudian juga masalah-masalah di dalam keluarga yang menghambat konsentrasi dia belajar, misalnya ada anak yang hidup dalam keluarga yang tidak harmonis sehingga dia selalu berpikir atau dia stres memikirkan keadaan keluarganya. Kemudian jangan lupa juga sebetulnya orang tua mempunyai peran di dalam prestasi belajar anak, sering kali orang tua yang kurang peduli atau kurang memahami bagaimana seharusnya mendisiplin dan mengajar anak di rumah, itu akan menyebabkan anak akhirnya prestasi belajarnya menurun atau rendah.ET : Jadi memang hal ini rasanya perlu dipahami lebih baik, karena saya amati banyak juga orang tua yang rasanya sudah bangga dengan anak-anak yang katakanlah dianggap cerdas sepertinya sudah pnya modal sehingga tidak dikembangkan seperti yang Pak Heman katakan tadi.
Akhirnya potensi sudah ada tetapi hasil tidak sejalan dengan hal itu.HE : Betul, Ibu Esther.
HE : Kalau bagi saya test kecerdasan sebetulnya tidak terlalu perlu dilakukan kecuali kalau ada masalah, misalnya anak tampak kurang bisa menangkap suatu pelajaran dan kita ingin tahu lebih jels ini penyebabnya apa? Apakah karena suasana di rumah atau adanya kelainan syaraf atau masalah-masalah yang lain, misalnya dia menderita stres di sekolah dan sebagainya.
Kalau memang ada masalah dan kita ingin tahu saya pikir baru perlu diberikan test inteligensi atau kalau kita curiga waktu berbicara anak ini tidak bisa menangkap pembicaraan orang lain dan sebagainya, nah di sana barulah kita berikan test inteligensi.HE : Ya saya kira itu tidak perlu dan itu agak berlebihan. Masalahnya begini, kalau misalnya seorang anak di test dan ternyata tingkat kecerdasan katakan IQ-nya itu ketahuan 90. Kadang-kadang blum pasti benar, itu merupakan label bagi anak tersebut sehingga anak itu menjadi malas belajar karena dia pikir saya pasti tidak mampu.
Hal-hal itu yang harus kita hindarkan, efek-efek samping seperti itu karena sering kali terbukti bahwa justru usaha keras itu yang lebih mendukung prestasi belajar daripada kecerdasan.ET : Padahal banyak orang menganggap sama halnya seperti pemeriksaan fisik yang sepertinya secara rutin harus dilakukan, mungkin jangan-jangan secara kecerdasan juga harus di cek untuk mengetahi ada kenaikan atau tidak, sehingga sepertinya perlu secara berkala.
Sebenarnya sejauh mana hal ini diperlukan, Pak Heman?HE : Saya kira itu juga kekeliruan pandangan di masyarakat, karena sebetulnya test kecerdasan itu dibuat dengan suatu standarisasi atau norma berdasarkan membandingkan seseorang dengan kelompokusia sebaya.
Jadi misalnya kalau kita itu memberikan test kepada anak usia 7 tahun, anak 7 tahun itu tidak dibandingkan dengan anak-anak usia yang lebih muda atau lebih tua. Dia akan dibandingkan dengan anak-anak usia sebaya karena itu kalau di test ulang pun kemungkinannya akan sama saja hasilnya atau kalau misalnya ada perbedaan skor biasanya perbedaan skor 7 sampai 10 point adalah masih wajar dan normal. Yang akan kita kuatirkan justru kalau menjalani test kecerdasan beberapa kali si anak sudah ada faktor belajar dan latihan-latihan test kecerdasan sehingga skornya itu meningkat. Tetapi sebetulnya tingkat kecerdasan yang sesungguhnya dari anak itu tidak meningkat, sehingga nantinya salah memberikan gambaran atau salah memperkirakan kecerdasan anak justru akan berakibat lebih buruk dalam hal ini.HE : Tingkat inteligensi yang normal bagi anak itu adalah antara 90-109 atau 110 itu tingkat inteligensi rata-rata. Pada tingkat inteligensi ini anak tergolong rata-rata di kelas, tentu saja leih tinggi tingkatannya dia akan lebih cepat menguasai pelajaran dan seterusnya.
Tetapi saya ingin tegaskan sekali lagi bahwa test inteligensi tidak perlu dilakukan apalagi dilakukan berkali-kali dan terus-menerus, karena itu suatu tindakan yang berlebihan.HE : Sebagai orang tua kita harus benar-benar menahan diri agar tidak memacu anak di luar kemampuannya, terus terang untuk anak yang dengan tingkat IQ 90 misalnya kalau katakan untuk masalah di akhirnya kita terpaksa memberikan test inteligensi kepada dia, maka anak demikian biasanya akan bersusah payah di dalam pelajarannya.
Usahakan supaya dia tidak diberikan sekolah misalnya bersekolah di sekolah favorit yang begitu sulit pelajarannya dan usahakan untuk memuji dia bukan berdasarkan prestasinya, tetapi atas dasar usaha keras yang dilakukannya. Dan kalau memungkinkan, sediakan lebih banyak alternatif supaya anak mendasarkan diri kepada usaha kerasnya dan bukan hasil prestasinya. Selain itu seperti tadi yang digambarkan bahwa kecerdasan ini menyangkut selain faktor-faktor intelektual maka kita perlu juga mengembangkan kecerdasan emosi dia, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, kecerdasan kreatifitas, kecerdasan seni dan sebagainya. Jadi tidak sesempit seperti hanya kecerdasan akademis saja yang dikembangkan, Pak?HE : Saya akan kutipkan dari
Jadi terima kasih sekali, Pak Heman untuk kesempatan perbincangan ini dan pada perbincangan yang akan datang kita pasti juga akan masih membicarakan tentang kecerdasan anak-anak ini. Juga terima kasih Ibu Esther untuk bersama dengan kami pada acara rekaman Telaga kali ini. Saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kecerdasan dan Test Kecerdasan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
10. Meningkatkan Kecerdasan | |
Kecerdasan itu sebenarnya dapat ditingkatkan, bisa melelui stimulasi dini atau rangsangan-rangsangan dini yang memungkinkan kecerdasan seseorang itu bisa meningkat.
Kecerdasan anak sebenarnya bisa ditingkatkan, dengan cara sebagai berikut:
Melalui stimulasi dini atau rangsangan-rangsangan dini yang memungkinkan kecerdasan seseorang itu bisa meningkat.
Kecerdasan bisa ditingkatkan lewat pemberian gizi yang cukup sejak mereka atau anak dalam kandungan
Dengan menciptakan suasana lingkungan yang baik bagi anak, yang sehat.
Stimulasi dapat diberikan sejak bayi masih di dalam kandungan. Kecerdasan berfungsi dalam otak kita, jadi kalau ingin mengembangkan kecerdasan berarti kita berusaha mengembangkan otak semaksimal mungkin. Sehubungan dengan otak, otak berkembang maksimal hingga anak usia 2 tahun dengan demikian kita harus segera menstimulasi anak sebelum usia ini. Anak yang dalam proses perkembangan kecerdasan akan mudah berkembang hingga usia 5 atau 6 tahun dan puncak perkembangan kecerdasan ini adalah sampai usia 20 - 22 tahun.
Untuk mengembangkan kecerdasan bayi, sejak di dalam kandungan seorang ibu perlu memberikan lingkungan, suasana hati yang baik bagi anaknya. Misalnya tugas seorang bapak mengasihi istrinya sehingga bayinya berkembang dengan baik. Ada musik yang baik di rumah, ibu yang bersukacita sering berdoa, sering menyanyi, bersyukur kepada Tuhan dan hubungan antar ibu dengan bapak baik, ini akan mengembangkan kecerdasan anak. Di samping itu adanya gizi yang baik bagi anak. Dan juga bagi ibu hamil sebaiknya menjaga agar tidak kekurangan kadar Hb (Haemoglobin).
Stimulan yang dapat kita berikan pada anak untuk meningkatkan kecerdasan adalah:
Berikan musik klasik yang lembut dan indah.
Sering mengajak anak bicara supaya anak terstimulasi bagaimana berkomunikasi dengan orang lain.
Jaga kesehatan fisiknya karena kesehatan fisik sangat berpengaruh terhadap perkembangan otaknya.
Berikan mainan yang sesuai dengan usia anak, dan usahakan meluangkan waktu yang banyak bersama dengan anak.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau berdua adalah para pakar di bidang konseling dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Meningkatkan Kecerdasan", perbincangan ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami beberapa waktu yang lalu, juga bersama bapak Heman Elia. Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
HE : Yang pernah saya kemukakan, kecerdasan dan hikmat itu bisa dikembangkan kalau kita taat kepada didikan Tuhan. Di sini saya ingin menambahkan juga bahwa kecerdasan itu bisa ditingkatkan ewat pemberian gizi yang cukup sejak mereka dalam kandungan, kemudian juga dengan menciptakan suasana lingkungan yang baik bagi anak, yang sehat dan melalui stimulasi atau rangsangan yang tepat dari orang tua atau pengasuh.
ET : Dalam hal ini apa ada batasan waktu, misalnya kapan waktu yang tepat untuk bisa diberikan stimulasi untuk pengembangan ini, Pak Heman?
HE : Kalau bisa stimulasi ini seharusnya dilakukan sejak bayi di dalam kandungan. Nah bagaimana mengembangkan atau menstimulasi anak di dalam kandungan, pada hakekatnya begini: kecerdasan it adalah berfungsinya secara baik otak kita, jadi kalau kita ingin mengembangkan kecerdasan berarti kita berusaha mengembangkan otak itu semaksimal mungkin.
Di sini terutama yang penting adalah kecerdasan yang bersifat intelektual. Nah sehubungan dengan otak, kita juga tahu bahwa otak itu berkembang maksimal hingga anak usia 2 tahun, dengan demikian kita harus segera menstimulasi anak sebelum usia ini. Anak yang masih dalam proses perkembangan kecerdasannya itu akan mudah dikembangkan itu hingga usia 5 atau 6 tahun dan setelah itu peningkatan kecerdasan akan semakin melambat dan puncaknya perkembangan kecerdasan itu adalah sekitar usia 20 sampai 22 tahun. Untuk tadi pertanyaan bagaimana kita mengembangkan kecerdasan bayi sejak di dalam kandungan, seorang ibu perlu memberikan lingkungan, suasana hati yang baik bagi anaknya. Jadi misalnya saja itu juga tugas seorang bapak ya mengasihi istrinya sehingga bayinya berkembang dengan baik. Misalnya ada suasana musik yang baik di rumah, ibu yang bersukacita sering berdoa, sering menyanyi, bersyukur kepada Tuhan dan hubungan antar ibu dengan bapak ini baik, ini akan mengembangkan kecerdasan anak. Di samping juga adanya gizi yang baik bagi anak itu untuk mengembangkan otak dari anak dan jangan lupa juga ibu hamil sebaiknya menjaga agar dirinya tidak kekurangan kadar Hb (Haemoglobin) karena kalau ibu kekurangan Hb dia akan menderita anemia. Padahal kita tahu bahwa otak itu berkembang sangat memerlukan oksigen, selain juga gula dan oksigen yang diikat oleh Hb di dalam darah. Jadi ibu hamil harus men-check tingkat kesehatannya, dalam hal ini tingkat Hb-nya di dalam darah.HE : Ibu yang mempunyai suasana emosi yang baik, dia akan menghasilkan hormon-hormon yang sifatnya juga akan menenangkan seorang anak sehingga anak itu tidak dalam keadaan stres. Kita tahu klau ibu hamil itu dalam keadaan kebingungan, gelisah, cemas maka bayinya juga akan ikut bergolak di dalam rahim.
Karena bayi itu juga merasakan suasana hati dari ibunya, antara lain dari hormon yang dikeluarkan ibunya kemudian juga aliran darah dan sebagainya.HE : Penelitian mengatakan demikian, jadi misalnya penelitian itu dilakukan pada anak-anak remaja yang dibandingkan antara waktu anak-anak ini sedang di dalam kandungan ibunya, ibunya menderta kecemasan atau ibunya dalam suasana yang baik.
Ibu-ibu yang menderita kecemasan waktu hamil, waktu anaknya remaja lebih mudah menderita stres, cemas, gelisah dan lebih banyak masalah di dalam kehidupannya dan ini tentu saja menghambat tingkat kecerdasannya.HE : Ya tentu ada hambatan dan saya kira itu tidak bisa dihindarkan dan kita pun tidak perlu menolaknya, tetapi kita kembangkan hal-hal yang masih bisa kita kembangkan. Seperti misalnya kala anak-anak hasil dari hubungan yang seperti itu tetapi kalau dia tetap mendapatkan pengasuhan yang penuh kasih sayang, dia akan berkembang dengan semaksimal mungkin.
Satu contoh gambaran ada penelitian yang cukup banyak membandingkan Panti Asuhan yang memberikan asuhan yang baik dengan seorang pengasuh yang tidak mengasuh lebih dari 10 anak, dibandingkan dengan misalnya seorang pengasuh mengasuh 50-an anak. Yang tingkat kecerdasannya berkembang jauh lebih baik adalah pada Panti Asuhan dengan pengasuhan yang lebih intensif dan lebih baik. Itu menunjukkan bahwa lingkungan dan pola asuh yang baik, penuh kasih sayang itu membantu anak meningkatkan kecerdasannya.HE : Ada beberapa hal di sini, kalau mulai bayi anak bisa dilatih untuk menerima stimulasi bagi kelima indranya, terutama indra penglihatan dan pendengaran. Cara-cara yang bisa kita lakukan,misalnya berikan musik klasik yang lembut dan indah.
Sering mengajak anak bicara supaya anak terstimulasi bagaimana berkomunikasi dengan orang lain. Meskipun pada saat anak-anak belum bisa berbahasa sekali pun suasana di mana anak itu diajak bicara akan menstimulasi otak dia, kemudian jaga kesehatan fisiknya kalau bisa waktu dia demam dan sebagainya, jangan sampai dia mengalami kejang. Dan kemudian juga kesehatan fisik ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan otaknya. Kalau anak yang sakit-sakitan terus, maka gizi yang menuju otak itu akan berkurang, jadi sangat perlu untuk dijaga kesehatannya. Kalau bisa memberikan mainan-mainan yang sesuai dengan usia mereka, tidak harus mahal tetapi yang penting Anda sebagai orang tua bisa sering bermain bersama mereka. Jadi kalau mereka sudah bisa belajar menggenggam dan mulai menggunakan jari tangan mereka, boleh berikan botol-botol plastik bekas, botol-botol plastik bekas shampoo, botol minum plastik bekas dan sebagainya yang tidak mudah pecah, robek atau tertelan. Semakin besar mungkin mereka bisa diberikan bermain pasir, bermain air dengan sumpit dan sebagainya. Dengan demikian mereka bebas bermain dan melakukan berbagai eksperimen dan melatih mereka untuk menggunakan tubuh dan motorik mereka, lompat, lari, berjalan, memanjat dan sebagainya. Banyaklah mengajak mereka untuk bercerita kalau anak sudah bisa berbahasa dan dengarkan cerita mereka tanpa berusaha mengkritik. Usahakan agar Anda meluangkan waktu yang banyak bersama mereka.ET : Saya yakin setiap orang tua pasti berharap anak-anaknya bisa bertumbuh menjadi anak yang cerdas, apalagi mungkin dengan informasi bahwa dengan distimulasi lebih dini saya yakin lebih bear keinginan orang tua untuk bisa membesarkan anak-anaknya menjadi cerdas, Pak Heman.
Cuma kadang-kadang mungkin kuatirnya kebablasan, dalam arti akhirnya ambisi orang tua yang lebih maju supaya anaknya pintar, biasanya orang tua kena pujian "Anak siapa itu". Kira-kira mungkin hal apa yang orang tua perlu perhatikan dalam hal pengembangan kecerdasan ini supaya tidak sampai akhirnya malah menekan anak sehingga anak tidak berkembang dengan bebas?HE : Ya point ini baik sekali Ibu Esther, jadi orang tua hendaknya sabar dan menanti proses perkembangan tahap demi tahap. Sering kali kita memang tidak bisa terburu-buru dengan perkembangananak dan setiap anak berbeda-beda di dalam tahap perkembangannya.
Kalau misalnya ada keterlambatan di salah satu aspek asal tidak terlambat terlalu lama dan pola itu masih kurang lebih sama dengan pola perkembangan anak-anak pada umumnya, berikan kesempatan, kesabaran Anda untuk menjalani proses ini. Yang penting Anda sudah melakukan apa yang harus Anda lakukan selaku orang tua sebaik mungkin. Juga ada hal-hal yang penting, misalnya orang tua perlu memberikan kesempatan kepada anak kalau mereka melakukan kesalahan. Jadi kalau mereka melakukan kesalahan dan selalu dimarahi karena mereka ingin cepat-cepat bisa, itu justru akan menyebabkan anak merasa dirinya gagal, tidak mampu berbuat apa-apa, nah ini tentu akan menghambat pengembangan kecerdasan mereka. Kecuali kalau anak sudah tahu bahwa dia pasti dapat bertanggung jawab dan dia melakukan kesalahan secara sengaja untuk menjengkelkan orang tua misalnya, maka di sana kita perlu memberikan disiplin. Kemudian kita juga perlu menjaga suasana yang konsisten dan disiplin, mempunyai suasana yang baik, rasa aman di rumah. Demikian juga kita perlu memberikan pujian setiap kali anak mencapai suatu kemajuan tertentu, pujian-pujian ini akan menyebabkan anak bersemangat untuk setiap kali belajar. Kalau misalnya kita selalu menyatakan kekecewaan kita ketika anak tidak berhasil, maka anak justru akan tidak berani mencoba lagi. Dan yang harus diingat oleh orang tua adalah tidak menaruh perhatian terutama kepada prestasi, jadi kalau bisa orang tua memfokuskan pada perhatiannya, karakter baiknya. Banyak orang tua yang memarahi anaknya habis-habisan ketika anaknya ulangannya jelek, tetapi kalau anaknya itu ulangannya baik tidak peduli dia nyontek atau dari hasil mana maka orang tua diam saja, nah ini saya kira kurang baik. Jadi kita harus memfokuskan kepada usaha anak, itu yang lebih penting. Dan berikan keseimbangan stimulasi, jadi jangan hanya satu aspek saja misalnya pelajaran saja tetapi harus seimbang antara rangsangan indrawi, intelektual, musik atau seni yang lain, motorik dan bahasa. Berikan juga mainan-mainan yang bisa dibongkar pasang, jadi jangan memberikan mainan-mainan yang sudah jadi. Kemudian boleh berikan mainan yang sudah jadi, maksud saya jangan itu saja, tapi yang bisa lebih mengembangkan kecerdasan anak dalam mainan yang bisa dibongkar pasang. Dan kemudian supaya kita tidak kebablasan, kita perlu sering sejak kecil mengajarkan anak-anak ini berdoa dan mengenal firman Tuhan, karena sumber kecerdasan dan hikmat adalah Allah sendiri.ET : Saya tertarik dengan yang tadi Pak Heman katakan, kemungkinan keterlambatan perkembangan anak. Saat ini memang dengan gizi yang lebih baik, kemudian stimulasi yang juga lebih macam-maca bentuknya dibandingkan dengan katakanlah 10, 20 tahun yang lalu akhirnya memang anak-anak kelihatannya memang lebih pintar.
Dalam arti misalnya dalam 4 tahun sudah bisa melakukan hal-hal yang mungkin beberapa tahun yang lalu anak usia seperti itu belum bisa lakukan. Akibatnya saya melihat anak-anak yang sebenarnya normal tetapi karena tidak seunggul anak-anak yang memang lebih unggul tadi untuk ukuran zaman sekarang, orang tua menjadi kuatir dan merasa anak saya lambat, anak saya kurang. Dalam hal ini sesungguhnya ukurannya sampai di mana, kapan orang tua bisa mulai, katakanlah layak untuk mulai curiga akan perkembangan anaknya memang lebih lambat, jadi memang sungguh-sungguh lebih lambat atau hanya kekuatiran orang tua saja dibandingkan dengan anak-anak yang unggul?HE : Agak susah memang menentukan kapan kita harus menaruh perhatian ekstra kalau anak-anak ini terlambat. Tapi ukuran secara umum adalah kalau misalnya kita bandingkan anak kita tingkat perembangannya itu masih tergolong 50% dari anak-anak seusianya, itu berarti anak ini berkembang normal.
Saya ambil contoh misalnya usia 2 tahun belum lancar bicara itu normal, tetapi kalau sudah usia 3 tahun belum ada satu patah katapun kecuali mama dan papa yang bisa diucapkan anak, berarti anak ini ada masalah dan harus dilatih secara khusus di dalam hal komunikasi itu salah satu contoh. Jadi secara umum kalau misalnya anak itu masih masuk di dalam 50% atau 50 atau 60%, maka anak itu tergolong baik masih tergolong sehat dan normal.HE : Ya bisa ada kemungkinan itu terjadi.
HE : Ya memang agak sulit karena pembuat mainan juga maunya untung. Kalau bisa hal-hal yang membahayakan anak, jangan diberikan kepada anak. Salah satu contoh misalnya pistol-pistolan yang bsa menembakkan sesuatu.
Beberapa waktu lalu ini benar banyak terjadi di Indonesia, banyak anak yang menjadi buta seumur hidup karena ketembak temannya. Kemudian juga seperti tadi dikatakan pecahan-pecahan atau komponen dari mainan yang terlalu kecil terutama untuk anak usia di bawah 4 tahun, 5 tahun itu jangan diberikan. Biasanya memang ada petunjuk di kotak setiap mainan tentang batasan usia, tetapi orang tua sebaiknya juga berhati-hati, lebih baik membelikan mainan yang bisa mengembangkan kecerdasan anak. Mengenal warna, mengenal bentuk, mengembangkan keterampilan motorik dan sebagainya, itu yang lebih baik dibelikan buat anak. Dan terutama kalau misalnya komponen-komponen yang kecil itu berbahaya bagi anak-anak yang masih banyak menggunakan mulutnya, segala macam dimasukkan ke mulutnya atau bahkan ke hidungnya, nah itu cukup berbahaya dan sebaiknya tidak diberikan kepada anak.ET : Kalau tadi Pak Gunawan berbicara soal toko penjual mainannya ya Pak, kalau saya sering melihat justru susternya, maksudnya kalau orang tua yang mempunyai uang pasti membelikan mainan yag paling modern, paling canggih tapi orang tua tidak pernah menemani main, suster atau pengasuh anak juga tidak mengerti.
Akhirnya yang sebenarnya bisa menstimulasi jadinya cuma sekadar dimainkan secara asal-asalan, tidak optimal.HE : Ya dan ada satu tambahan dari saya tidak harus kita belikan mainan, jadi misalnya anak-anak yang bisa berkembang kecerdasannya dia bisa bermain pura-pura. Dia menggunakan seketemunya pealatan di samping dia untuk dijadikan mainan, kain kemudian kursi, kalau digabung bisa menjadi mainan kereta-keretaan dan sebagainya.
Dan kadang-kadang sabuk itu bisa dijadikan alat pancing bagi anak-anak yang kreatif dan sebagainya, jadi tidak harus dibelikan. Tadi saya berikan contoh misalnya botol shampoo plastik bekas dan sebagainya, nah itu hal-hal yang murah yang biasanya kita buang tapi tidak membahayakan anak. Jadi anak main buka tutup shampoo di sambung-sambung dan sebagainya sudah merupakan latihan bagi anak.HE : Ya dalam arti perkembangan kalau seorang anak itu cerdas ditambah dengan kerohaniannya baik, maka dia akan lebih berkembang lagi kecerdasannya. Nah masalahnya di sini adalah bahwa sebagi anak Tuhan yang takut kepada Tuhan, diajarkan untuk taat pada firman Tuhan.
Jadi ada konsep di sini bahwa anak yang cerdas itu tidak sebagaimana, tidak selalu identik dengan kecerdasan yang dihargai oleh dunia ini. Karena sering kali kalau kita berhikmat di hadapan Tuhan itu menjadi kebodohan di pandangan manusia. Sebagai contoh rasul Paulus, rasul Paulus itu menjadikan hikmat dari dunia ini menjadi sampah baginya, meskipun dia sangat cerdas dan dia belajar pada Gamaliel. Dan dia orang yang sangat berhikmat, terbukti dari ucapan Raja Agripa misalnya ketika Paulus diadili dan dia harus membela diri di hadapannya. Agripa mengatakan demikian "Engkau gila Paulus, ilmumu yang banyak itu membuat engkau gila", Paulus mengatakan: "Aku tidak gila Festus yang mulia, aku mengatakan kebenaran dengan pikiran yang sehat" maka jawab Agripa: "Hampir-hampir saja kau yakinkan aku menjadi orang Kristen". Jadi di sini menunjukkan kita diberi petunjuk bahwa Paulus ini orang yang sangat cerdas. Tetapi Paulus tidak atau kurang dihargai oleh dunia ini.HE : Saya ambilkan dari
GS : Tetapi itu bukan berarti kita membiarkan diri kita hidup di dalam kebodohan. Karena konsep seperti ini memang sulit untuk diterima oleh masyarakat pada umumnya, tapi inilah firman Tuhan yang tadi Pak Heman katakan untuk menghibur kita. Jadi kita sebagai orang tua juga bertanggung jawab atas anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dan kita berharap tentunya melalui perbincangan ini orang tua lebih banyak menaruh perhatian, meluangkan waktu dan sebagainya untuk menstimulasi kecerdasan anak. Karena itu saya rasa membutuhkan banyak waktu, banyak perhatian dan segala macam pengorbanan dan sebagainya itu saya rasa harus ada. Jadi Pak Heman, banyak terima kasih untuk kesempatan kali ini dan saya percaya perbincangan meningkatkan kecerdasan ini akan menjadi bermanfaat bagi banyak pendengar kita. Saudara-saudara pendengar demikian tadi Anda baru saja mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M. Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Meningkatkan Kecerdasan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
11. Mengalahkan Pikiran Negatif | |
Berpikir negatif sudah menjadi suatu kecenderungan kita di dalam menghadapi suatu masalah atau cenderung melihat yang negatif. Dan ini merupakan upaya untuk mengurangi sakitnya kekalahan atau kegagalan yang akan diterima.
Yang dimaksud dengan pikiran negatif:
Berpikir negatif yang saya maksud di sini bukanlah berpikir negatif yang realistik. Kita harus melihat kenyataan yang memang buruk. Nah yang saya maksud adalah sebuah pola artinya adalah suatu kecenderungan, kalau menghadapi suatu masalah atau suatu hal yang dilihat adalah yang negatifnya. Berpola pikir negatif sesungguhnya upaya untuk mengurangi sakitnya kekalahan atau kegagalan atau upaya untuk menghindar dari sakitnya kekalahan atau kegagalan.
Yang menjadi penyebab kenapa orang mempunyai pola pikir negatif :
Kemungkinan seseorang pernah atau cukup mengalami kegagalan atau kekalahan.
Kurang percaya diri.
Salah satu ciri kepribadian yang mudah sekali berpikir negatif adalah orang yang perfeksionis, orang yang bergebu-gebu dan tersedot untuk melakukan sesuatu sesempurna mungkin. Karena mereka melihat secara mendetail, akhirnya orang perfeksionis ini sukar menoleransi yang namanya kekurangan. Jadi orang yang perfeksionis mudah sekali untuk melihat dan menitikberatkan pada yang negatif dan gagal akhirnya melihat yang positif.
Bagaimana menangani pola pikir negatif ini?
Kita harus memfokuskan pada apa yang ada atau yang telah terjadi, bukan pada yang tidak ada dan yang belum terjadi. Misalnya melamar pekerjaan, kalau belum terjadi karena kita belum melamar yang ke - 9 ini, kita jangan berkata saya pasti gagal karena memang belum terjadi meskipun yang 1 - 8 sudah terjadi, yang ke - 9 tetap kita harus berkata belum terjadi.
Berkonsultasilah dengan orang lain guna mendapatkan wawasan yang lebih luas atau dorongan. Sebab memang dari diri kita sendiri kemungkinan tenaga itu sudah hampir habis.
Kecenderungan orang yang berpola pikir negatif:
Mudah menutup diri terhadap masukan orang lain. Seolah-olah dia senantiasa mengkonfirmasikan ramalannya bahwa dia akan gagal, jadi waktu orang lain mencoba mendorongnya susah untuk dia terima.
Mempunyai masalah dengan kepercayaan diri, dan ini juga menghalangi dia untuk mendengarkan masukan dari orang. Karena orang yang mempunyai masalah dengan kepercayaan diri, susah untuk menerima tanggapan orang, dia takut orang melihat dirinya yang kurang itu, dia takut ditolak atau dihina.
Jadi pada prinsipnya cobalah dengan perhitungan dan iman. Jadi waktu kita menghadapi tantangan, hitung kekuatan kita, kemampuan kita, kebiasaan kita, lihat apa yang ada di depan kita. Tapi juga majulah dengan iman, artinya serahkanlah sisanya kepada Tuhan, kita lakukan bagian kita, setelah itu sisanya kembalikan kepada Tuhan.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat dan kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Mengalahkan Pikiran Negatif". Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Yang pertama, berpikir negatif yang saya maksud di sini bukanlah berpikir negatif yang realistik. Jadi saya kira ada batas-batas di mana kita bisa berkata tidak bisa lagi berpikir positif tau optimistis.
Kita harus melihat kenyataan yang memang buruk. Yang saya maksud adalah sebuah pola, artinya adalah suatu kecenderungan, kalau menghadapi suatu masalah atau suatu hal yang dilihat adalah yang negatifnya. Dan bukan hanya hal tertentu, tapi boleh dikata menghadapi segala macam hal selalu yang disoroti adalah aspek-aspek negatifnya. Seolah-olah yang positif itu luput dari pandangannya.PG : Misalnya seseorang akan menempuh ujian, dia langsung berpikir bahwa dia akan gagal dalam ujiannya, dia adalah orang yang banyak memiliki kekurangan sehingga dia tidak mungkin belajar denga baik, dia itu orang yang memang tidak bisa berpikir cepat, teman-temannya berpikir dengan cepat, dia tahu nanti dia akan tertinggal.
Dengan kata lain dia sudah mengantisipasi bahwa dia akan mengalami kegagalan. Nah ini saya kira yang sering kali terjadi pada kita sewaktu kita takut bahwa kita akan mengalami suatu kegagalan atau kekalahan. Saya boleh artikan bahwa pola pikir negatif sebetulnya merupakan reaksi kalah terhadap tantangan, kita belum menghadapi tantangan itu namun kita sudah beranggapan akan kalah. Jadi pikiran negatif sebetulnya berfungsi untuk menghindari kekalahan tersebut, dengan kita mengisi pikiran-pikiran yang negatif akhirnya kita tidak akan melakukannya. Nah dengan kita tidak melakukannya berarti kita terbebaskan dari kekalahan itu atau kalaupun kita melakukannya misalkan ujian kita ambil, kemudian hasilnya benar-benar jelek kita tidak akan terkejut, kita mudah berkata memang saya sudah mengantisipasi siapa tahu dapat jelek, saya memang tidak seberuntung teman-teman saya yang bisa berpikir dengan cepat, saya belajar perlu waktu yang lama. Dengan kata lain dia tidak perlu menghadapi realitas kekalahan sepahit itu dengan cara mengisi pikiran-pikiran yang negatif.ET : Tapi kalau ada orang yang mengatakan memang karena pengalaman menunjukkan seperti itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Nah ini yang sering kali menjadi alasan orang-orang yang berpikir negatif bahwa bukankah di masa yang lampau saya sudah mengalami kegagalan, kekalahan maka saya pasti akan mengalami kegagaan juga.
Pertanyaannya adalah apakah satu kegagalan pasti membawa kita kepada kegagalan berikutnya, sebetulnya belum tentu. Jadi nanti kita akan mencoba melihat cara-cara untuk menanganinya tapi memang saya bisa memahami akan ada orang yang berkata memang saya pernah gagal, saya pernah tidak bisa, jadi pasti saya juga tidak bisa. Namun saya mau tekankan bahwa satu kegagalan belum tentu membawa kita kepada kegagalan berikutnya.(2) PG : Saya kira berkaitan dengan itu Pak Gunawan, jadi adakalanya karena kita kurang percaya diri dan kita mengantisipasi pasti gagal maka kita terburu-buru mengisi benak kita dengan pikiranpikiran negatif itu.
Tapi yang menarik Pak Gunawan, salah satu ciri kepribadian yang mudah sekali berpikir negatif adalah orang yang perfeksionis, orang yang bergebu-gebu dan tersedot untuk melakukan sesuatu sesempurna mungkin. Pola ini mudah sekali melahirkan pola pikir negatif. Saya kira ada beberapa penyebab seseorang yang perfeksionis itu melihat secara mendetail, nah karena mendetail dia melihat banyak, melihat terlalu banyak yang kecil-kecil sekali dan orang yang perfeksionis itu sukar menoleransi kekurangan. Jadi memang orang yang perfeksionis mudah sekali untuk melihat, menitikberatkan pada yang negatif dan gagal akhirnya melihat yang positif.ET : Ada orang yang mengatakan seperti ini Pak Paul, apakah dia tergolong perfeksionis atau tidak? Dia bilang pokoknya kalau kita sudah berpikir yang jelek-jelek, kalau misalnya sungguh-sungguhjelek tidak mau sampai jatuh dan kalau memang ternyata baik ya itu anugerah.
PG : Mungkin bukan, bukan dalam perfeksionis kalau dalam hal seperti itu tapi merupakan gambar mental yang menyeluruh dari orang yang berpola pikir negatif. Jadi senantiasa mengalasi sesuatu degan yang negatif sehingga kalaupun dia harus jatuh dia tidak akan merasa terlalu sakit, karena dia sudah siapkan dirinya dengan yang negatif itu.
Maka saya tekankan tadi pada awalnya bahwa berpola pikir negatif sesungguhnya upaya untuk mengurangi sakitnya kekalahan atau kegagalan. Atau upaya untuk menghindar dari sakitnya kekalahan atau kegagalan.ET: Sedangkan orang perfeksionis mungkin kalau dia sudah antisipasi tapi gagal, dia cenderung tidak melakukan apa-apa.
PG : Betul, karena bagi dia sesuatu itu harus sempurna atau tidak sama sekali, jadi begitu dia melihat banyak yang negatif dia akan berkata tidak. Namun memang orang yang perfeksionis sebetulny karena terlalu tinggi dalam standarnya, sehingga yang di bawah standar itu dia anggap negatif.
Jadi memang mudah berpikir negatif karena dia itu standarnya yang terlalu tinggi, semua harus sesuai dengan standar.ET: Yang menurut orang lain sebenarnya sudah baik, bisa jadi buat dia tetap sebagai suatu kegagalan.
PG : Betul.
PG : Saya kira betul Pak Gunawan, bahwa itu adalah upaya untuk melindungi diri dalam pengertian melindungi citra diri yang selama ini dimilikinya. Dia melihat dirinya sebagai orang yang berkwaltas tinggi jadi dia mencoba mempertahankannya, nah saya tidak berkata hiduplah sembarangan dan tidak perlu menghasilkan karya yang indah atau yang bermutu.
Namun saya kira bedanya, orang yang perfeksionis dikuasai sehingga tidak bisa fleksibel untuk menerima sesuatu yang di bawah standarnya. Saya kira yang lebih sehat adalah kemampuan untuk fleksibel sehingga bisa mengurangi standar kalau memang itu yang terjadi dan itulah keadaannya. Nah orang yang perfeksionis memang tidak mempunyai kefleksibelan itu, dia sangat dikuasai terobsesi dengan keinginannya untuk mencapai kesempurnaan.(3) ET : Apakah pikiran negatif pada orang perfeksionis ini juga akan mempengaruhi di dalam dia berpikir tentang orang lain Pak Paul, selain kepada diri sendiri.
PG : Saya kira akan berpengaruh, Bu Esther, jadi orang-orang perfeksionis biasanya mengharapkan orang melakukan sesuatu yang dia minta, sesempurna mungkin. Dan sulit menerima karya kerja orang ang dianggapnya tidak mencapai standarnya.
Jadi dia bukan saja melihat kekurangan pada karyanya, tapi mudah sekali melihat kekurangan karya orang lain. Kalau tidak hati-hati dia akan menyalahkan orang seolah-olah orang itu sengaja tidak memberikan karya terbaiknya, meskipun sesungguhnya orang itu memang terbatas dalam karyanya atau kemampuannya.ET : Mungkin akhirnya saya membayangkan bisa jadi menimbulkan prasangka-prasangka yang lain, dalam arti memang dia tidak suka sama saya, dia tidak mendukung saya.
PG : Bagus sekali Bu Esther, saya kira itu sekali terbentuk karena dia langsung mempribadikan hal-hal itu, beranggapan bahwa orang-orang ini memang sengaja tidak mau menghargai dia, tidak mau mmberikan dukungan kepada gagasannya atau kerjanya, langsung ke pribadi.
PG : Saya kira ya Pak Gunawan, jadi saya harus akui bahwa salah satu penyebab yang lainnya dari pola pikir negatif adalah kemungkinan seseorang pernah atau cukup sering mengalami kegagalan ataukekalahan.
Jadi tadi ini kembali lagi kepada yang tadi Ibu Esther sudah katakan, akhirnya dia gamang dengan tantangan karena terlalu sering tantangan itu tidak bisa dilewatinya. Justru waktu ada tantangan dia jatuh, dia gagal dan dia pernah berusaha sebaik-baiknya. Namun kalau sudah beberapa kali gagal kecenderungannya memang orang akan takut gagal lagi. Saya berikan contoh yang mudah sekali, misalkan kita melamar pekerjaan, kita lamar sekali ditolak, kita masih bersemangat, lamar kedua kali masih bersemangat meskipun sudah ditolak. Tapi saya kira kalau kita sudah melamar pekerjaan misalnya 7, 8 kali untuk ke 9 kalinya tidak bisa tidak kita sudah mengisi pikiran kita dengan (GS : ditolak lagi) betul dan antisipasi kita bakal ditolak. Sebab sekali lagi sebagai manusia kita mau melindungi diri, kita tidak bisa merasakan sakitnya penolakan yang ke 9 kali. Jadi untuk mengurangi rasa sakit itu kita langsung berkata saya pasti akan ditolak. Nah jadi adakalanya memang pola pikir negatif muncul dari pengalaman hidup yang sarat dengan kekalahan atau kegagalan.ET : Kalau dari lingkungan keluarga pada masa kecil, pada masa remaja itu mempunyai pengaruh atau tidak, Pak?
PG : Saya kira berpengaruh pula Bu Esther, jadi saya kira ini adalah penyebab yang lainnya dari pola pikir negatif yaitu pada masa pertumbuhannya, dia hidup dengan figur-figur penting yang kera melecehkannya, atau justru meragukan kesanggupannya.
Saya pernah mendengar suatu kesaksian dari orang yang selalu mengalami kegagalan dalam ulangan waktu masa kecil. Kemudian suatu hari dia berhasil mendapatkan nilai yang baik, nah ironisnya pada waktu si guru mendapati nilainya baik, komentar pertama yang dilontarkan kepada si anak tersebut adalah kamu nyontek dari siapa. Si guru rupanya beranggapan anak ini tidak mungkin meraih nilai yang baik, padahal saat itu si anak berusaha sekeras mungkin dan berhasil mendapatkan nilai yang baik. Jadi memang orang lain pun kalau sudah mempunyai prasangka itu akan tetap berperan dalam penilaiannya terhadap orang lain, si anak ini yang menjadi korban. Hal-hal seperti tadi pelecehan, orang meragukan kemampuan, tidak bisa tidak akan tertanam. Akhirnya pola pikir dia bahwa kenapa orang selalu meragukan kemampuan saya, selalu menghina saya orang yang tidak mampu, jangan-jangan itu benar, bahwa memang saya orang yang tidak bisa apa-apa. Dan karena sudah berpikir dia bakal tidak bisa, akhirnya sungguh-sungguh dia membuktikan dia tidak bisa.PG : Saya kira perlakuan kita kalau kita orang tuanya harus memberikan lebih banyak dukungan dan mengurangi celaan-celaan. Saya mau memberikan suatu gambaran melalui kisah yang sungguh-sungguh erjadi, ini adalah sebuah riset.
Di sebuah sekolah diadakan riset seperti ini, siswa yang masuk menjalani test masuk, nah guru yang pertama sebut saja guru A diberitahukan bahwa test masuk anak-anak ini tinggi-tinggi, nah di kelas yang lain guru yang satunya diberitahukan bahwa sebut saja guru B misalkan test masuk siswa-siswa itu buruk, nah guru A dan guru B menghadapi siswa yang baru. Apa yang terjadi? Ternyata pada akhir tahun ajaran siswa dari guru A menghasilkan nilai yang tinggi-tinggi, sedang hasil dari guru B siswanya itu nilainya buruk-buruk. Ternyata apa yang terjadi dalam studi itu diselidiki bahwa si guru A karena beranggapan bahwa siswanya ini test masuknya tinggi-tinggi mereka adalah siswa yang pandai, si guru B karena melihat siswanya ini nilainya buruk beranggapan yang masuk ke kelas dia adalah anak-anak yang kurang pandai. Si guru A memperlakukan siswanya sebagai siswa yang pandai, memberikan pujian, memberikan tantangan yang tinggi. Si guru B karena menganggap siswanya ini kurang pandai memperlakukan siswanya sebagai orang yang kurang pandai tantangannya dikurangi, pujian-pujian dikurangi dan hasil akhirnya memang beda. Jadi saya kira kalau kita orang tua harus berhati-hati dalam memberikan komentar, jangan sampai kita melecehkan anak, yang mereka perlukan adalah dorongan-dorongan dari kita.PG : Ya memang itu suatu percobaan dan ternyata waktu seorang guru melihat bahwa test masuk siswanya itu buruk, dia sudah langsung beranggapaan bahwa siswanya itu memang orang-orang yang tidakpandai, nah itu adalah suatu percobaan.
Sebetulnya siswa-siswa itu tidak mengalami test apapun, itu adalah test yang dibuat saja dan hasilnya untuk si guru dan untuk diuji apakah memang akan membuahkan perbedaaan. Nah ternyata ada bedanya.PG : Saya kira ya, jadi kalau kita memang terlalu sering menerima pelecehan dan penghinaan kita cenderung akan mengembangkan pola pikir yang negatif.
PG : Yang pertama adalah kita harus memfokuskan pada apa yang ada atau yang telah terjadi, bukan pada yang tidak ada dan yang belum terjadi. Jadi sekali lagi contoh misalnya melamar pekerjaan, alau belum terjadi karena kita belum melamar yang ke-9, kita jangan berkata saya pasti gagal karena memang belum terjadi, meskipun yang 1-8 sudah terjadi, yang ke-9 tetap kita harus berkata belum terjadi.
Ini yang terjadi pada Thomas Alfa Edison sewaktu menemukan listrik, saya tidak ingat ke seribu berapa kalinya eksperimen itu dilakukan baru dia menemukan listrik. Nah mungkin sekali pada waktu dia ke-900 dia tetap berkata yang ke-900 belum saya lakukan, jadi belum bisa saya katakan saya pasti gagal. Jadi fokuskan pada apa yang ada atau apa yang telah terjadi, bukan yang tidak ada dan yang belum terjadi.PG : Betul.
ET : Cuma saya membayangkan kalau misalnya pola ini sudah dimiliki seseorang sampai sekian tahun namanya juga sudah pola begitu, Pak Paul. Dia harus berpikir menemukan pemikiran ini sendirian, pasti sulit ya?
PG : Sangat sulit, jadi memang kita ini kalau tahu teman kita mempunyai masalah dengan pola pikir negatif kita harus mendorongnya, nah kalau kita sendiri yang berpola pikir negatif dan kita sadri itu, saya rasa kita harus masuk ke langkah berikutnya yaitu yang tadi Ibu Esther sudah paparkan yakni berkonsultasilah dengan orang lain guna mendapatkan wawasan yang lebih luas atau dorongan.
Sebab memang dari diri kita sendiri kemungkinan tenaga itu sudah hampir habis.ET : Ya apalagi misalnya memang pengalamannya juga buruk, gagal berkali-kali, lalu memang belum pernah dapat dukungan dari orang lain, dia harus berjuang sendirian.
PG : Betul, jadi masuk akal kalau dia harus berjuang sendirian rasanya sudah kalah duluan, maka mintalah bantuan, konsultasilah dengan orang lain, tukar pikiranlah dengan orang lain sehingga orng lain pun bisa memberikan masukan apa yang perlu diperbaiki dan kira-kira apa kemungkinan keberhasilannya dan sebagainya.
Jadi dia memang perlu meminta bantuan kepada orang lain.PG : Dengan kata lain, seseorang memang pada akhirnya harus menginventarisasi kemampuannya dengan tepat, jadi jangan sampai dianya juga bermasalah dalam pengertian tidak memiliki gambar diri yag tepat, itu penting sekali untuk bisa juga merealisasikan pikiran negatif kita.
Kalau memang kita tidak bisa, kita akui tidak bisa, kita bisa kita akui kita bisa. Namun bukanlah dalam kategori bisa atau tidak bisa, ada tingkatannya pula. Jadi kita bisa katakan saya bisa dalam batas seperti apa, saya tidak bisa, tidak bisanya seperti apa. Sebaiknya memang kita juga memiliki gambar yang tepat dalam bidang-bidang itu.ET : Rasanya juga mungkin keinginan membuka diri itu Pak Paul, maksudnya hal-hal seperti itu juga perlu input dari orang lain. Kamu bisa sebenarnya, tapi kadang-kadang ada orang yang memang sudh tidak bisa ya tidak bisa, rasanya mungkin mau fleksibel untuk mendengar bahwa ada benarnya pandangan orang lain tidak selalu yang dia pikir tidak bisa selamanya juga tidak bisa.
PG : Dan ini akan menjadi tantangan orang yang berpola pikir negatif, Bu Esther, sebab ada kecenderungan orang yang berpola pikir negatif mudah menutup diri terhadap masukan orang lain. Seolah-lah dia senantiasa berusaha mengkonfirmasikan ramalannya bahwa dia akan gagal, kalau ada orang ingin menggugat dan memberikan dia harapan seolah-olah dia tepis, dia justru berikhtiar untuk senantiasa mengkonfirmasikan nubuatannya itulah bahwa dia akan gagal.
Jadi waktu orang lain mencoba untuk mendorongnya susah untuk dia terima, itu pertama. Kedua ada kecenderungan juga tadi Pak Gunawan sudah singgung, yaitu memang mempunyai masalah dengan kepercayaan diri. Jadi masalah itu sendiri juga menghalangi dia untuk mendengarkan masukan dari orang. Karena orang yang menerima diri dengan nyaman mempunyai kepercayaan diri yang baik, justru lebih terbuka mendengarkan masukan orang lain. Justru orang-orang yang memang mempunyai masalah dengan kepercayaan diri, susah untuk menerima tanggapan orang, dia takut orang melihat dirinya yang kurang itu, dia takut ditolak atau dihina.ET : Berarti untuk menginventarisasi diri itu benar-benar dia harus keluar dari kungkungannya ya?
PG : Betul, dan dia harus menemukan orang yang bagi dia aman, bisa menerimanya meskipun menunjukkan kekurangannya itu. Dia takut sekali orang tahu kekurangannya, sebab dia tahu orang akan menghna dia kalau tahu kekurangannya.
ET: Padahal dia sendiri juga menghina dirinya ya?
PG : Betul.
PG : Maka prinsip akhirnya adalah ini Pak Gunawan, cobalah dengan perhitungan dan iman itu prinsipnya. Jadi waktu kita menghadapi tantangan hitung kekuatan kita, kemampuan kita, kebiasaan kita,lihat apa yang ada di depan kita.
Tapi juga majulah dengan iman, artinya serahkanlah sisanya kepada Tuhan, kita lakukan bagian kita, kita sudah menghitung setelah itu sisanya kembalikan kepada Tuhan. Mungkin firman Tuhan ini cocok untuk kita bisa berikan kepada saudara-saudara kita yang mungkin mempunyai masalah seperti ini, Pak Gunawan. Diambil dariPG : Saya kira ya, jadi iman memang bukannya sesuatu yang langsung bisa kita nikmati kemenangannya pada saat itu. Sebab kalau kita sudah nikmati kemenangannya bukan iman lagi. Justru belum meliatnya, nah dalam kegalauan itulah seseorang bisa beriman yaitu belum melihat tapi sudah berserah.
PG : Betul, sebab pada akhirnya orang yang beriman adalah orang yang sangat positif.
GS : Terima kasih sekali, Pak Paul dan juga Ibu Esther. Saudara-saudara pendengar kami baru saja berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru membicarakan suatu pokok yaitu "Mengalahkan Pikiran Negatif". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
12. Mengalahkan Sikap Egois | |
Pada dasarnya sikap egois atau orang yang egois memiliki sifat serakah meskipun tidak selalu nampak bahwa itu serakah. Orang yang egois sebetulnya menyimpan ketakutan dan kekhawatiran akan kehilangan apa yang menjadi miliknya atau haknya. Dan sebetulnya orang tersebut memiliki kebutuhan yang besar akan ketenteraman atau keamanan.
Egois berasal dari kata ego, ego itu adalah aku dalam bahasa Yunani, jadi orang yang disebut egois orang yang memang mementingkan dirinya, mementingkan akunya. Jadi yang saya maksud egois adalah sikap mementingkan diri di atas kepentingan orang lain tanpa batas. Artinya tidak mengenal kondisi, dalam pengertian dengan siapakah kita bersama, pokoknya kita yang harus mendapatkan prioritas yang utama. Pada dasarnya orang yang egois memiliki sifat serakah meskipun tidak selalu nampak serakah. Orang egois sebetulnya menyimpan ketakutan, kekhawatiran. Apa yang dia khawatirkan, dia takut kehilangan apa yang menjadi miliknya atau haknya maka itulah dia tidak rela kehilangan sedikitpun yang sudah menjadi miliknya. Dia takut sekali, maka dikatakan orang yang egois sebetulnya mempunyai kebutuhan yang besar akan ketenteraman atau keamanan.
Penyebab orang memiliki sikap egois yang besar adalah:
Sikap egois ini merupakan kelanjutan dari apa yang telah diterimanya selama ini. Misalnya sejak kecil ia dijunjung dan diutamakan, ia tidak pernah disalahkan dan senantiasa dibenarkan, orang seperti ini sewaktu dia dewasa, dia menuntut perlakuan yang sama dari semua orang. Dan dia akan gagal mengembangkan satu keterampilan yang sangat penting, yakni berempati yang artinya adalah menempatkan diri pada posisi orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, merasakan sesuatu dari perasaan orang lain. Dalam hal ini anak tunggal cenderung juga untuk egois, karena anak tunggal tidak harus mengalah.
Sikap egois timbul dari kelaparan, kelaparan emosional, kelaparan finansial atau kelaparan jasmaniah. Artinya anak-anak ini bertumbuh dalam lingkungan yang minus, kurang mendapatkan gizi-gizi emosional, perhatian, kasih sayang dari orangtuanya atau hidupnya susah sekali secara finansial atau jasmaniah. Meskipun tidak selalu, anak-anak yang dibesarkan dalam kekurangan yang begitu besar kalau nggak hati-hati akan menjadi orang dewasa yang sangat haus atau lapar akan pemenuhan. Sehingga waktu dia menerima, waktu dia mencicipi dia tidak bisa melepaskan, tapi ini tidak semua.
Memerangi sikap egois yang memang sudah mendarah daging:
Kita mesti memahami sumber sikap egois kita, apakah sumbernya adalah karena kelebihan, kita terlalu banyak menerima sehingga kita menuntut orang memberikan yang sama.
Bertanya, jika orang berada pada posisi saya, apa yang akan mereka lakukan. Saya nggak berkata jika saya berada pada posisi orang, sebab orang yang egois akan berkata kalau saya berada pada posisi orang, saya akan begini dirinya lagi yang muncul, jadi harus dibalik. Pertanyaan ini bertujuan untuk menempatkan diri pada posisi orang, melihat dari kaca mata orang, merasakan dari perasaan orang, sebab itulah yang telah mati dalam hidupnya.
Berimanlah pada Tuhan yang memelihara hidup kita, selalu saya mau tekankan bahwa masih ada Tuhan dalam hidup ini dan Tuhan yang memelihara kehidupan kita, Dia nggak meninggalkan kita. Jadi jangan takut kehilangan, waktu kita melepaskan hak jangan takut rugi waktu kita berkorban, ada Tuhan yang melihat, ada Tuhan yang memberi berkat, ada Tuhan yang mencatat perbuatan manusia.
Ambillah secukupnya, ambil yang menjadi milik kita, ambil secukupnya jangan berlebihan dan langkah yang kedua bagilah meskipun sedikit. Jadi orang yang egois perlu belajar mengambil tapi secukupnya, perlu belajar membagi meskipun sedikit, itu awalnya.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dan beliau adalah seorang pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang kali ini kami beri judul "Mengalahkan Sikap Egois". Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Egois berasal dari kata ego, ego itu adalah aku dalam bahasa Yunani, jadi orang yang disebut egois adalah orang yang memang mementingkan dirinya, mementingkan akunya. Saya menyadari baha adakalanya kita memang harus memikirkan diri kita sendiri, adakalanya kita dipanggil Tuhan misalnya untuk menegakkan kebenaran.
Kita harus melakukan itu meskipun orang lain berkata kamu menegakkan kebenaran menurut pandanganmu, tapi kalau kita tahu ini jelas dari Tuhan kita terpaksa harus melakukan meskipun orang mengatakan kita egois. Atau yang juga saya harus akui, kita ini bisa dilihat egois waktu kita mementingkan kebutuhan mendasar kita, makan, minum nah kita memang harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan kita itu. Jarang sekali di antara kita ada yang bisa berkata saya kerja kemudian semuanya saya berikan kepada orang lain dan saya tidak perlu makan atau minum lagi. Jadi dalam hal-hal tertentu memang kita akan disebut egois, meskipun bukan egois yang saya maksud. Yang saya maksud egois adalah sikap mementingkan diri di atas kepentingan orang lain tanpa batas. Artinya tidak mengenal kondisi, tidak mengenal kondisi dalam situasi seperti apakah, tidak mengenal kondisi dalam pengertian dengan siapakah kita bersama. Yang penting kita yang harus mendapatkan prioritas utama, itulah kira-kira yang saya maksud dengan sikap egois di sini.PG : Kalau itu menjadi pola, caranya berelasi dengan orang-orang itu muncul secara insidentil, saya kira bukan. Jadi yang muncul secara konsisten, konstan dengan orang-orang di sekelilingnya Nah orang ini memang sukar sekali mengesampingkan dirinya, karena apa? Karena dia melihat dirinya terlalu penting untuk dikesampingkan.
Jadi dia akan berkata secara tidak sadar saya tidak harus dikesampingkan, yang harus dikesampingkan engkau atau mereka, bukannya saya. Kenapa? Sebab ujung-ujungnya dia beranggapan diri saya terlalu penting, terlalu berharga untuk saya kesampingkan atau kalau kita mau terapkan langsung pada orang lain, orang ini sesungguhnya berkata bahwa orang lain itu tidak sepenting saya, orang lain itu tidak seberharga saya, jadi mereka itu seharusnyalah berkorban demi saya, begitu.PG : Betul, kalaupun dia berkorban Pak Gunawan, itu pengorbanan yang penuh perhitungan artinya dia akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar dengan pengorbanannya itu. Misalkan waktu dia muli mencintai seseorang, dia mungkin akan berani berkorban, pergi, menjemput dan sebagainya, namun dia melakukan semua itu dengan perhitungan yang sangat jelas yaitu dia harus mendapatkan gadis itu.
Kalau dengan adanya keraguan dia tidak mungkin mendapatkannya, maka dia tidak mungkin melakukannya. Jadi dia soroti dari segi transaksi dan transaksi yang menguntungkan dirinya, kalau dia tahu tidak akan menguntungkan dirinya maka tidak dilakukannya.PG : Saya kira pada saat itu kedua anak Zebedeus yang diwakili oleh ibunya belum tentu bersifat egois, yang sudah jelas adalah dia itu hanya melihat bahwa Yesus itu dekat dengan kedua anakny, itu memang betul.
Dari ke-12 murid ada 3 murid yang dekat dengan Tuhan, 2 anak-anak Zebedeus, yang satu Petrus. Jadi si ibu ini mempunyai keyakinan kalau kedua anaknya ini begitu dekat dengan Tuhan. Nanti dalam kedatangan Tuhan yang kedua kali untuk memerintah, anak-anaknya ini akan berada di samping kiri dan samping kanannya Tuhan. Dia sendiri tidak mempunyai gambaran bahwa Yesus itu akan meninggal, Yesus adalah Juruselamat yang harus menderita terlebih dahulu sebagai orang Yahudi. Dia berpikir Yesus itu akan menjadi raja, menjadi Mesias tanpa harus menderita terlebih dahulu. Saya kira belum bisa dikategorikan egois.PG : Pada dasarnya orang yang egois memang serakah meskipun tidak selalu nampak serakah. Sebab definisinya serakah buat kita, misalnya orang yang merampas milik orang lain, orang yang benarbenar buat kita itu melewati batas kesopansantunan.
Namun orang yang egois belum tentu sevulgar itu, tapi kita bisa katakan pada dasarnya dia serakah, kenapa? Sebab orang yang egois itu tidak bisa membagi apa yang menjadi milik atau haknya. Kalau sesuatu dianggapnya milik dia, dia akan susah sekali membagikan untuk orang lain, sebab celakanya dia dulu harus dipenuhi itu sering kali tidak ada batasnya, harus dia lagi besok dan harus dia lagi keesokan harinya. Nah dalam pengertian seperti inilah saya memanggil orang yang egois adalah orang yang serakah.PG : Betul Pak Gunawan, jadi orang egois sebetulnya menyimpan ketakutan, kekhawatiran. Apa yang dia khawatirkan? Takut kehilangan apa yang menjadi miliknya atau haknya, maka itulah dia tidakrela kehilangan sedikitpun yang sudah menjadi miliknya.
Dia takut sekali, maka kita katakan orang yang egois sebetulnya mempunyai kebutuhan yang besar akan ketenteraman atau keamanan. Dia tidak bisa merasa aman, sebab dia merasa aman dengan misalnya 1 juta. Dia akan mempunyai keinginan besok saya harus lebih merasa aman dengan 1,1 juta dan nanti saya harus menjadi aman juga dengan 1,5 juta. Jadi sekali lagi ada kebutuhan yang besar untuk merasa aman, itu yang membuat dia susah sekali untuk melepaskan yang dianggap miliknya atau haknya.PG : Saya kira sampai titik tertentu kita ini dilahirkan bersifat egois, kita menyebutnya egosentrik, mementingkan diri. Namun waktu kita bertumbuh besar melalui bentukan-bentukan dari lingkngan, kita dipaksa untuk menyerahkan yang kita anggap milik kita.
Contoh waktu kita bermain-main sewaktu anak-anak, kita menganggap kita seharusnya menang, jelas-jelas kita kalah tapi di mata kita, kita seharusnya menang. Begitu kita tetap pada pendirian dan berkata saya harus menang, teman-teman berkata silakan, engkau anggap dirimu menang silakan main sendiri besok. Nah kita kerepotan besok main sendirian dan besoknya lagi main sendirian akhirnya kita menyerah, kita bermain dengan teman-teman lagi dan tidak bisa memaksakan diri bahwa kita menang. Akhirnya lingkunganlah yang membentuk kita menjadi orang-orang yang tidak terlalu egois, meskipun pada dasarnya kita semua lahir dengan kecenderungan egois.PG : Ada beberapa, Pak Gunawan, yang pertama adalah sikap egois ini merupakan kelanjutan dari apa yang telah diterimanya selama ini. Misalnya sejak kecil ia dijunjung dan diutamakan, ia tida pernah disalahkan dan senantiasa dibenarkan, nah orang seperti ini sewaktu dia dewasa dia menuntut perlakuan yang sama dari semua orang.
Dan dia akan gagal mengembangkan satu keterampilan yang sangat penting, yakni berempati yang artinya adalah menempatkan diri pada posisi orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, merasakan sesuatu dari perasaan orang lain. Nah dia tidak bisa mengembangkan keterampilan yang begitu penting, karena apa? Semua dia soroti dari dirinya. Sebab dirinyalah yang merupakan pusat dalam kehidupan keluarganya waktu dia masih kecil, semua orang menuruti kehendaknya, semua akan mengiakan permintaannya, tidak ada yang berani untuk melawannya karena misalkan dia anak yang terlalu dijunjung oleh orang tuanya. Orang-orang yang seperti ini akan menuntut perlakuan yang sama dari orang lain, maka tadi saya katakan sikap egoisnya ini merupakan kelanjutan dari perlakuan yang telah diterimanya selama ini.PG : Betul, ada kecenderungan anak-anak tunggal untuk egois, sebab anak tunggal tidak harus mengalah. Kepada siapakah dia harus mengalah tidak ada adik, tidak ada kakak yang akan meminjam manannya, yang akan memainkan barangnya tanpa seizin dia, tidak ada, semua dia dapatkan dengan begitu mudahnya.
Maka bagi orang tua yang beranak tunggal harus menyadari kecenderungan ini dan benar-benar memantau apakah sikap egois anak bertumbuh dengan besar. Kalau memang ada kecenderungan itu orang tua harus benar-benar bekerja keras membatasi si anak sehingga tidak mengembangkan sikap egois.PG : Itu sering terjadi Pak Gunawan, jadi ada sebagian anak-anak yang mengembangkan sikap egois, awalnya karena kondisi fisiknya yang lemah.
PG : Tepat, tepat itu sering terjadi.
PG : Penyebab yang lainnya justru kebalikan dari yang pertama Pak Gunawan, jadi ini adalah sikap egois yang timbul dari kelaparan emosional, kelaparan finansial atau kelaparan jasmaniah. Artnya anak-anak ini memang bertumbuh dalam lingkungan yang minus, kurang mendapatkan gizi-gizi emosional, perhatian, kasih sayang dari orang tuanya atau hidupnya susah sekali secara finansial atau secara jasmaniah dia kekurangan makanan pada masa kecilnya.
Nah ada kecenderungan meskipun tidak selalu, anak-anak yang dibesarkan dalam kekurangan yang sebegitu besarnya kalau tidak hati-hati akan menjadi orang dewasa yang sangat haus atau lapar akan pemenuhan-pemenuhan itu. Sehingga waktu dia menerima, dia mencicipi dia tidak bisa melepaskan, tapi ini tidak semua. Saya tahu ada banyak anak-anak yang dalam kekurangan bertumbuh besar menjadi orang-orang yang sangat matang, justru bisa membagi, karena pernah mengalami kekurangan. Tapi entah mengapa ada sebagian yang justru tidak seperti itu, justru sangat tamak, kikir, justru sangat egois sekali benar-benar dirinya itu tidak boleh berkorban, tidak boleh dikurangi, yang menjadi hak porsinya harus didapatkan, dia tidak boleh berkorban bagi yang lainnya.PG : Saya kira demikian Pak Gunawan, jadi kalau dia itu harus bekerja terus dan seolah-olah tidak mendapatkan belas kasihan orang, tidak pernah mencicipi karunia, anugerah dari orang atau dai Tuhan, kemungkinan dia akan mengembangkan sikap egois.
Tapi anak-anak yang besar dalam kekurangan kemudian mencicipi anugerah, baik anugerah manusia lainnya ataupun anugerah Tuhan yang berlimpah kepadanya. Dia melihat Tuhan itu baik, orangpun bisa baik kepadanya, nah saya percaya orang-orang seperti ini justru orang yang beranugerah besar, tidak egois.PG : Sering kali orang itu akan berkata saya itu hanyalah mempertahankan hak saya, tapi kalau dia senantiasa mempertahankan hak dan tidak pernah sekalipun melepaskan hak apa namanya. Bukanka seharusnya dia memanggil dirinya egois.
Jadi orang yang mempertahankan hak terus-menerus, tidak pernah sekejap pun melepaskan hak artinya orang yang egois.PG : Ada beberapa saran yang bisa ditawarkan, yang pertama adalah kita harus memahami sumber sikap egois kita, apakah sumbernya karena kelebihan, kita terlalu banyak menerima sehingga kita mnuntut orang memberikan yang sama.
Nah kalau itu sumbernya memang agak susah untuk memaksa diri menerima kurang, sebab kita mungkin berkata sebab kalau saya bisa menerima lebih kenapa saya harus menerima yang kurang dari yang lebih itu. Tapi kita harus berpikir bahwa semakin kita bersikap egois semakin kita menjauhkan diri dari orang lain, semakin kita menjadi orang yang sengsara karena kita akan sendirian. Ataukah sumbernya kekurangan, defisit-defisit yang kita alami, yang membuat kita akhirnya egois tidak rela melepaskan hak kita dan berkorban bagi orang lain. Nah kalau misalnya sumbernya adalah kekurangan pertanyaan kita adalah apakah selalu orang itu tidak pernah memberikan kepada kita. Bukankah kita kalau bercermin melihat ke belakang, kita akan bisa berkata bahwa orang pernah memberi kepada kita, Tuhan pernah memberi kepada kita, kita tidak pernah bisa berkata saya orang yang bebas hutang, jadi itu yang pertama bisa saya sarankan.PG : Nah itu betul, jadi saran yang kedua adalah bertanya begini jika orang berada pada posisi saya, apa yang akan mereka lakukan. Saya tidak berkata jika saya berada pada posisi orang, seba orang yang egois akan berkata kalau saya berada pada posisi orang saya akan begini ya dirinya lagi yang muncul, jadi harus dibalik.
Kalau orang lain panutannya dia yang dia hormati berada dalam posisinya apa yang dia akan lakukan. Kalau Tuhan Yesus berada pada posisi dia, apa yang Tuhan Yesus akan lakukan, nah hal seperti itu yang dia juga pasti tanyakan senantiasa.PG : Belajar untuk menempatkan diri pada posisi orang, melihat dari kacamata orang, merasakan dari perasaan orang, sebab itulah yang telah mati dalam hidupnya.
PG : Nah kalau bisa makanya dia langsung bertanya, dia langsung bertanya kepada orang yang dekat dengan dia, kalau engkau ada dalam posisiku apa yang engkau akan lakukan. Jadi dia belajar dai orang bagaimana harus bersikap.
PG : Betul, jangan dia membenarkan dirinya kembali.
PG : Yang ketiga adalah berimanlah pada Tuhan yang memelihara hidup kita, selalu saya mau tekankan bahwa masih ada Tuhan dalam hidup ini dan Tuhan yang memelihara kehidupan kita, Dia tidak mninggalkan.
Jadi jangan takut kehilangan, waktu kita melepaskan hak, jangan takut rugi waktu kita berkorban, ada Tuhan yang melihat, ada Tuhan yang memberi berkat, ada Tuhan yang mencatat perbuatan manusia.PG : Saran terakhir saya adalah ambillah secukupnya, saya tidak berkata jangan ambil, ambil yang menjadi milik kita, ambil secukupnya jangan berlebihan dan langkah kedua bagilah meskipun sedkit.
Jadi orang yang egois perlu belajar mengambil tapi secukupnya, perlu belajar membagi meskipun sedikit, itu awalnya.PG : Ada satu ayat yang bisa saya bagikan dari
PG : Betul, meskipun dia menganggap sedikitlah atau apa, tetap dia masih bisa memberikan kebaikan.
GS : Ya sering kali yang dipertanyakan adalah apakah artinya pemberian yang sedikit, biar orang lain yang bisa memberi banyak padahal sebenarnya alasan utamanya dia khawatir kehilangan itu ya Pak? (PG :betul sekali). Jadi saya percaya bahwa apa yang Pak Paul sampaikan, khususnya melalui
13. Menerima Kelebihan dan Kekurangan Diri | |
Setiap orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, tetapi seringkali yang menjadi kecenderungan kita adalah kita ingin menjadi orang di luar dari diri kita.
Setiap orang pasti ada kekurangan dan kelebihannya tetapi seringkali kita cenderung ingin menjadi orang di luar dari diri kita.
Ada beberapa hal yang menyebabkannya, yaitu:
Kita lihat terlebih dahulu tentang kelebihan. Kelebihan adalah suatu kemampuan karakteristik atau ciri tentang diri kita yang kita anggap lebih baik dari pada kemampuan-kemampuan atau aspek-aspek lain dalam diri kita. Jadi salah satu penyebab kenapa kita sulit menerima kelebihan kita, kadang kala karena memang kita nggak mau kita lebih dalam hal itu, maunya lebih dalam hal yang lain.
Kekurangan adalah kemampuan yang sebenarnya kita harapkan untuk lebih baik dari kondisi sesungguhnya namun ternyata tidak. Jadi yang kita anggap kurang, biasanya adalah hal yang kita inginkan lebih baik. Kekurangan ini biasanya melahirkan rasa malu dan rasa minder.
Salah satu pasal yang menjelaskan dengan mendetail tentang penerimaan terhadap satu sama lain yaitu
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik di sini:
Kita jelas bisa melihat bahwa kita tidak diciptakan sama, ada mata, kaki, telinga dsb. Tidak sama dalam 2 hal.
Dalam hal jenis kemampuan, nggak semua orang bisa filsafat, tidak semua orang bisa matematika dsb.
Dalam hal segi tingkat kemampuan.
Ternyata Tuhan menuntut yang lebih berbakat atau lebih berkarunia untuk memperhatikan yang lebih lemah. Tuhan berkata bukan saja kita perlu menoleransi keberadaan atau kehadiran seseorang yang lebih lemah dari kita, Tuhan menuntut kita memberi penghormatan yang khusus. Tuhan menginginkan kita memandang manusia bukan dari segi kegunaannya tapi dari segi bahwa dia adalah orang yang Tuhan sudah ciptakan dan tempatkan di samping kita dan siapapun yang Tuhan sudah tempatkan dan ciptakan di samping kita itu adalah ciptaan Tuhan yang kita mesti juga hormati.
Tuhan meminta kita untuk bisa sebaiknya memberikan bantuan kita juga kepada orang yang kita anggap lebih lemah, jangan kita malah melecehkannya atau membuangnya.
Tuhan berkata justru yang lebih lemah itu yang lebih dibutuhkan. Tiada kesimpulan lain yang dapat ditemukan kecuali satu, yaitu yang lemah akan Tuhan pakai untuk membentik kita agar kita lebih menyerupai Tuhan sebab tujuan Tuhan adalah membentuk kita menjadi serupa dengan Dia.
Ada pepatah Inggris yang bagus: "be yourself but be the best of you" artinya jadilah dirimu jangan jadi diri orang lain, jadilah dirimu tapi jadilah dirimu yang terbaik.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan dan pasti sangat menarik dan bermanfaat, yang kami beri judul "Menerima Kelebihan dan Kekurangan kita." Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Ada beberapa penyebabnya Pak Gunawan, yang pertama mari kita melihat tentang kelebihan. Saya memberi definisi kelebihan adalah suatu kemampuan atau karakteristik atau ciri tentang diri ita yang kita anggap lebih baik daripada kemampuan-kemampuan atau aspek-aspek lain dalam diri kita.
Artinya begini, misalkan kita pandai sekali dengan matematika namun kita lemah dalam misalnya bahasa atau sejarah, nah kita katakan itu kelebihan kita. Sebab dibandingkan dengan kemampuan-kemampuan kita yang lain, kemampuan kita dalam matematika-lah yang paling tinggi. Nah, masalahnya adalah adakalanya kita sendiri tidak menghargai kemampuan kita itu di mana, kita lebih dalam hal matematika misalnya atau yang lainnya. Kenapa kita tidak menghargai kelebihan kita itu, sebab kita menginginkan kita mampu dalam bidang yang lain. Saya berikan contoh: ada orang yang sangat cekatan dengan tangannya, begitu cekatan sehingga dia banyak mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan kerajinan tangan. Namun dia tidak suka, dia hanya cekatan dengan tangannya, dia ingin misalnya bisa menghafal banyak karena dia mau terpandang sebagai seorang dokter. Nah, memang dia tidak mempunyai kemampuan menghafal, tapi itulah yang menjadi fokus utamanya sehingga kelebihannya dalam bidang kecekatan tangan dia abaikan. Jadi salah satu penyebab kenapa kita ini sulit menerima kelebihan kita, kadang kala karena memang kita tidak mau kita lebih dalam hal itu, maunya lebih dalam hal yang lain.ET : Kadang kala juga ada orang yang sulit mengakui kelebihannya, karena dia selalu melihat orang lain yang lebih hebat dalam bidang yang dia rasa sebenarnya lebih.
PG : Betul, jadi yang kita sebut kekurangan maupun kelebihan sebetulnya relatif. Kelebihan relatif, karena kita mungkin merasa lebih dibandingkan dengan 5 orang, kita mungkin di kelas dari 2 anak kita lebih dalam hal tertentu misalnya dalam hal sejarah.
Kemudian kita kuliah, kita bertemu dengan teman-teman yang lain yang ternyata lebih pandai dari kita dalam hal-hal yang kita dulu sangat baik. Akhirnya yang kita anggap kelebihan berhenti menjadi kelebihan, sebab dibanding dengan teman-teman yang lain mereka lebih tinggi lagi.PG : Nah kekurangan adalah kemampuan yang sebenarnya kita harapkan untuk lebih baik dari kondisi sesungguhnya, namun ternyata tidak. Jadi yang kita anggap kurang, biasanya adalah hal yang kia inginkan lebih baik.
Misalkan kita tidak begitu peduli tentang kemampuan mereparasi mobil, kita tidak pusing kita ini bisa atau tidak dengan mesin-mesin mobil. Orang lain mungkin bisa montir, tapi kita tidak merasa terganggu, namun mungkin kita terganggu sekali karena kita tidak bisa bermain musik, teman-teman kita misalnya bisa bermain musik. Nah, kenapa kita terganggu tidak bisa bermain musik, namun tidak terganggu tidak bisa membetulkan mobil, alasannya sederhana yaitu kita menganggap seharusnya kita ini bisa bermain musik, kita mengharapkan kita ini mampu bermain musik, tapi kita tidak mengharapkan kita mampu membetulkan mobil, makanya kita tidak dipusingkan waktu kita tahu kita tidak bisa membetulkan mobil. Jadi sekali lagi kekurangan adalah kemampuan yang sebenarnya kita harapkan untuk lebih baik dari kondisi sebelumnya, namun ternyata tidak. Nah, kekurangan ini biasanya melahirkan rasa malu dan rasa minder. Kenapa, sebab kita akhirnya menganggap karena saya tidak bisa bermain musik misalnya saya tidak dihargai oleh orang. Jadi membuat kita akhirnya merasa malu atau merasa minder karena anggapan pada diri kita bahwa orang memandang tinggi orang yang bermain musik, yang tidak bermain musik orang anggap rendah, nah otomatis kita merasa rendah.PG : Nah sering kali inilah anehnya kita, kita ini kalau sudah terpaku pada kekurangan kita, kita akhirnya luput melihat kelebihan kita. Kita hanya menyoroti di mana kita kurang dan sekali lgi yang namanya kurang adalah waktu kita melihat seharusnya kita memiliki kemampuan itu.
Tadi saya sudah singgung bahwa kelebihan dan kekurangan itu relatif dibandingkan dengan orang-orang di sekitar kita. Di tengah orang yang lebih berbakat, kelebihan kita biasa-biasa saja dan di tengah orang yang berbakat, kekurangan kita semakin terasakan. Aduh rasanya kita benar-benar kurang karena kita di tengah-tengah orang yang kemampuannya tinggi. Tapi kalau misalkan kita di tengah-tengah orang yang kemampuannya di bawah kita, kemungkinan kita tidak akan merasa begitu, kita akan merasa OK saja.PG : Kalau hanya sebatas retorika atau perkataan-perkataan, saya kira bisa diterima. Untuk sopannya kita berkata: "Ya, saya tidak bisa kok," asal dalam hati kita memang percaya kita tahu kemmpuan kita.
Nah yang jangan sampai terjadi adalah bukannya retorika, benar-benar mempercayai kita tidak mampu.PG : Jadi akhirnya kita mengundurkan diri.
ET : Atau justru seperti mencari dukungan, maksudnya ada orang-orang yang melihat dirinya begitu kurang. Akhirnya mungkin sebagai pelampiasannya mencari orang-orang yang lebih kurang lagi dai dia, yang akhirnya justru dia tidak terpacu untuk mencapai atau mengembangkan sisi-sisi kelebihan yang lain.
Jadi sebenarnya kalau dia mau belajar masih bisa mengembangkan kemampuan yang dia miliki, tapi akhirnya dia bandingkan dengan orang lain untuk memuaskan pokoknya saya bisalah sehingga dia tidak terpacu untuk menjadi lebih.PG : Banyak hal yang kita lakukan untuk menyangkali keberadaan diri kita, itu anehnya kita Ibu Esther. Jadi salah satunya yang kita lakukan adalah karena kita mau menyangkali bahwa kemampuankita terbatas dan kita tidak mau orang lain melihatnya, kita akhirnya berteman dengan yang lebih kurang dari kita.
Atau kita menyembunyikan kebisaan kita karena kebisaan itu pun terbatas. Nah masalahnya bukannya kita ini terlalu rendah hati atau apa, bukan! Persoalannya kita malu, kita hanya mampu sampai sebegitu. Sekali lagi intinya adalah kita tidak mau menerima, kita menyangkali itu, bahwa kita hanya bisa sebegini, kita tidak terima sebab kita beranggapan seharusnya lebih. Nah ini salah satu sumber konflik batiniah dalam diri kebanyakan kita.PG : Salah satu pasal yang menjelaskan dengan mendetail tentang penerimaan terhadap satu sama lain adalah
PG : Salah satu pemikiran yang saya kira sering kali membuat kita itu bingung dengan diri kita waktu memikirkan kita bisanya apa adalah kita memikirkan sesuatu yang belum pernah terjadi dala hidup kita.
Nah saya kira Tuhan itu realistik, Tuhan tidak mengharapkan kita bisa melakukan sesuatu yang kita tidak pernah tahu itu apa. Yang saya ingin katakan adalah temuilah kebisaan kita dari hal-hal yang telah terjadi pada diri kita, kalau memangnya belum terjadi kita tidak tahu apa itu, kita tidak usah mencari-cari. Nah kadang-kadang saya melihat ini salah satu sumber masalah, orang itu sepertinya membuka-buka lemari, mencari-cari saya bisanya apa, dia tidak melihat yang sudah dia lewati, yang sudah pernah dia hadapi dalam hidup ini. Yang dia lihat adalah yang belum terjadi, yang belum pernah dia temukan, seolah-olah nun jauh di sana terdapatlah bakatnya yang masih tersembunyi, tidak. Tuhan menempatkan kita di dalam situasi-situasi kehidupan, kita ini tidak kebetulan melewati situasi kehidupan kita, Tuhan yang memang menempatkan dan dari situasi yang Tuhan telah tempatkan itulah kita perlu mengacak dan mengeksplorasi di manakah kira-kira saya itu telah masuk dengan baik, di manakah saya bisa bersumbangsih, di manakah saya bisa menyumbangkan kemampuan saya, apa kemampuan yang telah saya temui dalam hal-hal yang telah saya lewati itu. Jadi mulailah dari hal-hal yang sudah kita lewati.ET : Katakanlah jenis kemampuan itu sudah mulai kita temukan Pak Paul, tapi untuk mengetahui batasan tingkat kemampuan ini yang kadang-kadang susah. Maksudnya ada orang yang masih bisa terusberkembang lagi, tapi ada orang yang juga terus dipacu sesuai tingkat kemampuannya.
Tapi untuk kita bisa mengetahui OK-lah saya memang hanya sampai sebegini, ini yang sulit.PG : Saya kira memang tidak bisa dengan cepat kita pastikan o.....ini batasnya saya, jadi akan selalu ada tarik-menarik sampai seberapa jauhnya kita masih bisa mengembangkan diri. Tapi saya ira kita akan mengetahui kalau kita sudah mencobanya beberapa kali dan sudah mentok, kemungkinan memang kemampuan kita di sini.
Jadi kalau terlalu kita paksakan, kita sendiri juga akan mengetahui bahwa ini bukan diri saya lagi, saya sudah tidak lagi normal, ini mulai terlalu tertekan atau apa berarti sudah kita sabar dulu sampai di situ.PG : Yang berikutnya adalah ternyata Tuhan menuntut yang lebih berbakat atau lebih berkarunia untuk memperhatikan yang lebih lemah. Tuhan berkata bukan saja kita ini perlu menoleransi keberaaan atau kehadiran seseorang yang lebih lemah dari kita, Tuhan menuntut kita memberi penghormatan yang khusus.
Nah ini sesuatu hal yang memang bertentangan dengan jiwa atau sistem hidup di dunia ini. Di dalam dunia yang kompetitif, kita tidak akan berkata o.....ini prinsip yang betul, dalam dunia kompetitif kita akan berkata: siapa yang tidak bisa mengikuti, biarlah dia terpental, dan siapa yang tidak bisa berlari secepat kita hendaklah dia tinggal di belakang. Itulah falsafah dunia yang kompetitif. Tapi Tuhan menghendaki kita berbeda dari dunia, Tuhan justru berkata kepada yang lebih lemah, "perhatikan dan toleransilah kehadirannya, berilah dia penghormatan yang lebih khusus," jadi bukannya menginjak, membuang, tapi Tuhan ingin kita menyayangi, menghormati, jangan sampai kita itu akhirnya tidak lagi menghargai dan menghormatinya. Nah dari sini kita bisa belajar sekurang-kurangnya satu point, Pak Gunawan dan Ibu Esther, yaitu Tuhan menginginkan kita melihat manusia bukan dari kegunaannya, itu salah satu prinsip yang ditekankan sekali dalam Alkitab. Tuhan menginginkan kita memandang manusia bukan dari segi kegunaannya tapi dari segi bahwa dia adalah orang yang Tuhan sudah ciptakan dan tempatkan di samping kita, dan siapapun yang Tuhan sudah tempatkan dan ciptakan di samping kita, itu adalah ciptaan Tuhan yang kita mesti juga hormati.PG : Begini, kalau kita memang mempunyai kekuatan dalam bidang-bidang tertentu dan dia memang kurang, Tuhan meminta kita untuk sebaiknya memberikan bantuan kepada orang yang kita anggap lebi lemah itu.
Jangan malah kita melecehkannya atau membuangnya; sumbangkanlah, bagilah, tolonglah yang lebih lemah itu. Dalam hal inilah kita menghormati, memperlakukan dia dengan khusus seperti itu.PG : Yang lainnya lagi adalah Tuhan berkata justru yang lebih lemah itu yang lebih dibutuhkan. Jadi ini suatu hal yang memang ganjil, firman Tuhan berkata justru anggota-anggota tubuh yang nmpaknya paling lemah yang paling dibutuhkan atau justru penting.
Wah kita ini bisa dibuat pusing dengan firman Tuhan ini, sebab bukankah dalam hidup kita, kita berkata yang lemah, yang tidak bisa apa-apa itu menyusahkan kita, mengganggu, bukannya penting, tapi Tuhan berkata itu penting. Nah ini membuat kita bertanya-tanya, kok Tuhan berkata yang lemah itu penting, pentingnya untuk apa? Saya tidak bisa menemukan kesimpulan yang lain kecuali satu. Saya kira tema yang mengalir secara deras di Alkitab yaitu yang lemah akan Tuhan pakai untuk membentuk kita agar kita lebih menyerupai Tuhan, sebab tujuan Tuhan adalah membentuk kita menjadi serupa dengan Dia. Sebab firman Tuhan berkata kita dibentuk untuk serupa seperti Kristus, waktu saya bersabar dengan yang lebih lemah saya lebih menyerupai Tuhan, waktu saya menolong yang lebih lemah bukan menekan atau membuangnya, saya lebih menyerupai Tuhan, waktu saya menahan mulut saya daripada mencaci maki yang lebih lemah saya lebih menyerupai Tuhan.ET : Tampaknya memang konsep ini untuk diterapkan dalam nilai dunia yang begitu kompetitif, berat ya Pak Paul? (PG : Sangat berat) karena selama ini orang dibesarkan selalu berusaha untuk leih baik, lebih baik dan belajar dari orang yang lebih baik.
Dan dengan pandangan ini kita cenderung mengabaikan yang lebih lemah dan akhirnya seperti yang Pak Paul katakan, kita dalam bergaul atau bahkan melihat diri kita selalu dari nilai guna.PG : Betul, jadi salah satu pelajaran yang penting yang Tuhan ingin ajarkan kepada kita adalah ingatlah bahwa kemampuan yang engkau miliki pemberian Tuhan. Misalkan kita mempunyai 10 teman da punya 1, jangan kita berbangga sebab kita punya 10 dia punya 1, sebab Tuhan sudah menetapkan dalam kemurahan-Nya kita memiliki 10 dan dia hanya memiliki 1, bukannya karena kita lebih hebat.
Kalau Tuhan memutuskan kita diberikan IQ 50, kita harus terima 50 dan kita tidak mungkin mengembangkannya seperti apapun. Di dalam kemurahan Tuhan misalkan Tuhan memberikan kita IQ 135, sehingga kita belajar lebih cepat dan belajar lebih banyak, bisa meraih prestasi yang lebih tinggi, tapi itu bukan karena kita yang menentukan IQ kita dari awalnya, itu pemberian Tuhan, jadi itu yang Tuhan ingin kita sadari bahwa yang kita miliki adalah pemberian Tuhan. Jadi waktu Tuhan memberikan yang lebih kecil pada orang lain, jangan kita memandangnya rendah, sebab sebetulnya Tuhan bisa membalik, kita menerima yang kecil. Satu hal yang saya simpulkan adalah, Tuhan tidak terlalu berminat mengubah lingkungan luar, Tuhan lebih berminat mengubah diri kita. Betapa indahnya kalau tidak ada lagi orang yang minder di dunia ini, karena tidak bisa menerima dirinya dan sebagainya. Memang Alkitab tidak pernah membahas hal itu, yang Tuhan minta adalah kita menoleransi orang yang lebih lemah. Kenapa? Sebab waktu kita bisa menoleransi, membangun, memperlakukan orang yang lebih lemah dengan hormat, kita menjadi lebih seperti Tuhan, lebih sabar. Nah orang yang lebih sabar terhadap orang yang lemah, lebih bisa menerima orang yang lemah dan orang yang lemah kalau dia diterima dia tidak minder lagi, itu intinya. Sebab sebetulnya kita ini minder atau tidak minder, menghargai atau tidak, kebiasaan kita itu bergantung pada respons yang kita terima dari orang lain. Kita ini sebetulnya sesama orang yang berhutang, kita semua ini pemberi hutang sekaligus penerima hutang dari satu sama lain. Kita tahu kita bisa menyanyi karena orang mengatakan suara kita baik, kita tahu kita bisa Fisika, guru kita memberikan angka yang baik. Jadi kita tahu siapa kita, kemampuan kita dari pemberian orang, orang menerima kita, memuji kita itu akan membangun harga diri kita, orang mencela kita, kita akan lebih mempunyai harga diri yang lebih rendah. Jadi yang Tuhan ubah, sekali lagi bukannya tiba-tiba tidak ada orang lagi yang minder bukan, yang Tuhan ubah adalah yang mempunyai banyak apakah bisa mengasihani dan menolong yang lebih lemah, menerima yang lebih lemah. Sebab waktu kita lakukan itu yang lebih lemah nggak minder lagi.PG : Betul, dan ini memang susah karena yang lebih banyak sering kali tidak berpikir begitu.
PG : Ya jadi selama masih ada ruang, berkembanglah, bergeraklah. Ada suatu pepatah Inggris ya yang bagus sekali yang berkata : "Be your self but be the best of you" artinya jadilah dirimu jngan jadi diri orang lain, jadilah dirimu tapi jadilah dirimu yang terbaik.
Saudara-saudara pendengar, demikianlah tadi kami telah menyampaikan ke hadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga).
Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menerima Kelebihan dan Kekurangan Kita". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
14. Melawan Keputusasaan | |
Keputusasaan adalah lenyapnya pengharapan akan terjadinya sesuatu yang kita dambakan. Penderitaan yang tak kunjung berakhir dan harapan yang tidak terwujud bisa juga mengakibatkan munculnya keputusasaan.
Keputusasaan adalah lenyapnya pengharapan akan terjadinya sesuatu yang kita dambakan. Ada beberapa ciri orang yang sedang berputus asa:
Kita merasakan kesedihan yang dalam, keputusasaan sebetulnya adalah rasa kehilangan. Waktu pengharapan lenyap yang kita dambakan itu tidak lagi bisa menjadi kenyataan yang terjadi adalah kita memasuki proses kehilangan.
Rasa kecewa, jadi rasa kecewa muncul tatkala pengharapan tidak bisa kita realisasikan, yang kita nantikan tak mungkin kembali lagi. Kekecewaan itu bisa terjadi terhadap orang yang kita anggap bertanggung jawab untuk merealisasikan dambaan kita, bisa juga kepada organisasi yang kita anggap atau kita tuntut bertanggung jawab menyediakan yang kita dambakan, bisa kepada sesama kita orang-orang lain yang kita dekat atau kita kasihi dan dalam kasus tertentu kita kecewa kepada Tuhan, sebab kita beranggapan Tuhan tidak seharusnya melakukan ini kepada kita.
Rasa apatis, rasa tidak peduli lagi. Jadi orang yang putus asa cenderung bersikap masa bodoh sebab mereka tidak lagi mempunyai pengharapan pada orang di sekitar mereka, mereka sudah memvonis bahwa tidak ada yang bisa dikerjakan atau dilakukan oleh orang lain. Jadi mereka hanya pasrah menerima nasib.
Rasa ingin mengakhiri hidup, jadi lenyapnya pengharapan apa yang kita dambakan itu apalagi yang didambakan itu bermakna buat kita biasanya akan membuat kita berpikir buat apa hidup, kita akan kehilangan makna hidup atau tujuan hidup kita, buat apa lagi kita hidup.
Salah satu penyebab keputusasaan yang paling umum adalah:
Penderitaan yang tak kunjung berakhir.
Penantian akan yang lebih baik tidak terwujud. Jadi waktu kita akhirnya sadar bahwa yang kita dambakan itu lenyap, biasanya ada satu harapan tersirat yaitu OK-lah yang itu tidak saya dapatkan, namun mungkin saya akan dapatkan yang lainnya. Sesuatu yang tidak seideal yang kita dambakan tapi ya satu tingkat di bawahnya.
Ayat 12, "Bangkitlah Tuhan ya Allah, ulurkanlah tangan-MU, janganlah lupakan orang-orang yang tertindas." Jadi dalam keadaan sesak, tertekan, putus asa kita cenderung menuduh Tuhan seolah-olah sengaja bersembuyi dan sengaja tidak mau menolong kita yang tertindas.
Ayat 14, "Engkau memang melihatnya sebab Engkaulah yang melihat kesusahan dan sakit hati, supaya Engkau mengambilnya ke dalam tangan-Mu sendiri. Kepada-Mulah orang lemah menyerahkan diri, untuk anak yatim Engkau menjadi penolong." Ditutup ayat 17 berkata: "Keinginan orang-orang tertindas telah Kau dengarkan ya Tuhan, Engkau menguatkan hati mereka, Engkau memasang telinga-Mu untuk memberi keadilan kepada anak yatim dan orang yang terinjak, supaya tidak ada lagi seorang manusia di bumi yang berani menakut-nakuti." Terakhirnya pemazmur berkata "Tuhan bertindak."
Yang perlu kita lakukan sewaktu kita mulai merasakan keputusasaan adalah:
Melawannya dengan Firman Tuhan dan berdoa, mengingatkan lagi bahwa Tuhan tidak seperti yang kita rasakan.
Biarkan pikiran kitalah yang memandu langkah hidup kita bukan perasaan kita lagi.
Yang praktis adalah bersekutu dengan orang sesama kita, cari orang lain, bicara dengan orang lain, izinkan orang untuk menguatkan kita.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan sekitar 30 menit ke depan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Melawan keputusasaan". Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Keputusasaan adalah lenyapnya pengharapan akan terjadinya sesuatu yang kita dambakan. Sebetulnya kita pernah mengalami keputuasaan, tapi mungkin yang membedakan adalah derajatnya atau brapa parahnya.
Namun saya kira kita pernah kehilangan pengharapan akan terjadinya sesuatu yang sudah kita rindukan, yang kita pikirkan akan kita peroleh, akhirnya kita tidak bisa menikmati. Nah lenyapnya pengharapan itulah yang menimbulkan keputusasaan.PG : Betul, jadi selama masih ada pengharapan, tidak ada keputusasaan. Keputusasaan hanyalah muncul tatkala kita sudah benar-benar merasakan ini final, tidak ada lagi yang bisa kita harapkan yang kita dambakan itu tidak mungkin lagi untuk datang kepada kita.
PG : Ada beberapa cirinya Pak Gunawan, yang pertama adalah kita merasakan kesedihan yang dalam, keputusasaan sebetulnya adalah rasa kehilangan. Waktu pengharapan lenyap yang kita dambakan it tidak bisa menjadi kenyataan, sebetulnya yang terjadi adalah kita memasuki proses kehilangan.
Proses kehilangan melahirkan reaksi dukacita, jadi reaksi dukacita adalah reaksi kesedihan atas hilangnya sesuatu atau seseorang yang sangat bermakna bagi kita. Jadi ciri pertama biasanya adalah kita mengalami kesedihan yang dalam.PG : Biasanya kesedihan itu bersifat sementara, namun kalau situasi tidak berubah dan kita terpaksa harus hidup dalam kondisi kehilangan itu, bisa jadi kesedihan itu tidak pernah benar-benarberangkat meninggalkan kita.
Mungkin intensitasnya tidak sama hari perhari, tapi rasa sedih itu sebetulnya terus-menerus menggenangi hati kita.PG : Yang lain adalah rasa kecewa, rasa kecewa muncul tatkala pengharapan tidak bisa kita realisasikan, yang kita nantikan tak mungkin kembali lagi. Sebelum kita lanjutkan Pak Gunawan, saya ngin memberikan sebuah kisah kehidupan nyata yang pernah terjadi, dan ini akhirnya dibukukan.
Nama orang tersebut adalah Dr. Victor Frankle beliau seorang psikiater berkebangsaan Austria. Karena berketurunan Yahudi, dia dimasukkan ke dalam tempat penahanan yang disebut camp konsentrasi oleh Hitler pada Perang Dunia ke II. Nah dia menuliskan pengalamannya itu dalam sebuah bukunya yaitu "Pencarian Makna Hidup". Dia berkata bahwa pertama-tama, dia melihat rekan-rekan sesama tawanan mempunyai spirit yang kuat karena mereka berharap mereka akan segera dibebaskan. Setiap hari pembicaraan itu tidak lepas dari o...nanti tentara sekutu akan datang menyerang Jerman dan kita akan dibebaskan, terus-menerus itu yang mereka utarakan. Tapi hari lewat hari, bulan lewat bulan tidak ada pembebasan, akhirnya yang disaksikan oleh Dr. Frankle adalah para tawanan ini kehilangan harapan, putus asa. Waktu terjadi keputusasaan, yang muncul adalah kemurungan dan juga kekecewaan yang dalam karena yang mereka nantikan tidak menjadi kenyataan, dampaknya sangat-sangat tragis. Dr. Frankle menulis sebagian dari mereka mati bukan karena dibuang atau ditaruh dalam kamar gas, tapi mati dalam tidur mereka akibat depresi yang begitu dalam. Sebagian dari mereka memang mati di kamar gas, karena tentara Jerman mewajibkan mereka untuk tiap pagi berjalan ke sebuah tempat membangun jalan kereta api, pada musim panas atau pada musim dingin, sama. Nah Jerman akan melihat siapa yang berjalan dengan gagah dan siapa yang berjalan dengan kepala tertunduk karena tubuhnya sudah lemah. Yang mengalami keputusasaan akan berjalan dengan tubuh yang lemah dan mereka itulah yang langsung dipanggil keluar dari barisan dan langsung dimasukkan ke dalam kamar gas. Jadi dari cerita ini kita bisa melihat bahwa keputusasaan itu melahirkan ciri atau gejala yang bisa diamati, salah satunya adalah rasa kecewa yang dalam.PG : Misalkan kita kecewa terhadap orang yang kita anggap bertanggung jawab untuk merealisasikan dambaan kita itu. Bisa juga kepada organisasi yang kita anggap atau kita tuntut bertanggung jwab menyediakan yang kita dambakan.
Bisa kepada sesama kita orang-orang lain yang dekat dengan kita atau kita kasihi, misalnya pasangan hidup kita atau anak-anak kita dan bahkan dalam kasus-kasus yang tertentu kekecewaan terhadap Tuhan, sebab kita beranggapan Tuhan tidak seharusnya melakukan ini kepada kita kenapa kok Dia melakukannya.PG : Banyak ya, jadi saya pernah membaca cuplikan kisah-kisah yang lain, sebagian dari mereka memang kecewa berat terhadap Tuhan. Jadi saya pernah membaca satu cuplikan yang lain di mana sema tawanan akhirnya bertanya: "Dimanakah Tuhan?" Karena mereka tidak melihat pertolongan Tuhan, tahun demi tahun mereka melihat betapa banyaknya rekan-rekan mereka sesama orang Yahudi yang dibunuh di kamar gas, kok Tuhan tidak menolong mereka.
PG : Yang lainnya adalah rasa apatis, rasa tidak peduli lagi. Jadi orang yang putus asa cenderung bersikap masa bodoh. Kenapa bersikap masa bodoh? Sebab mereka tidak lagi mempunyai pengharapn pada orang di sekitar mereka, mereka sudah memvonis bahwa tidak ada yang bisa dikerjakan atau dilakukan oleh orang lain.
Jadi mereka hanya bisa pasrah menerima nasib mereka, maka salah satu respons yang biasanya muncul adalah rasa tidak peduli, apatis sekali. Itu sebabnya kalau kita ingin menolong orang yang sedang berada dalam kondisi putus asa tidak mudah, tidak mudah karena kita harus pertama-tama membangkitkan kembali motivasi yang sudah terhilang, karena mereka sudah tidak lagi mau peduli apapun yang kita katakan, jalan apapun yang kita tawarkan sebab mereka sudah putus asa.PG : Bisa, karena dengan apatis sebetulnya dia sudah menutup pintu terhadap bantuan orang, tapi itulah perasaan yang kuat, yang mendominasi keputusasaan. Benar-benar kita itu seolah-olah sudh menggunting tali hubungan kita dengan orang atau dengan lingkungan di sekitar kita, benar-benar kita itu sudah beranggapan bahwa saya dan mereka atau saya dan engkau tidak lagi berhubungan.
Jadi apapun yang engkau lakukan atau yang engkau katakan tidaklah membawa dampak kepadaku atau mengubah situasiku.PG : Saya kira ada bedanya, ada orang-orang yang memang mempunyai bawaan sikap tidak peduli dengan orang, hanya mengurus dirinya sendiri, tapi tidak putus asa, orang-orang seperti ini hanyalh orang yang memang mungkin sangat privat sekali, tidak mau mengganggu orang dan tidak suka diganggu orang, jadi akhirnya rasa kepedulian terhadap sesama juga berkurang.
Kalau ini tidak, bisa jadi orang yang tadinya sangat mempedulikan sesamanya, mau membantu orang lain akhirnya waktu keputusasaan menimpanya dia tidak lagi mempunyai keinginan tersebut.PG : Yang lainnya lagi adalah rasa ingin mengakhiri hidup, jadi lenyapnya pengharapan yang kita dambakan (apalagi yang didambakan itu bermakna buat kita) biasanya akan membuat kita berpikir uat apa hidup, kita akan kehilangan makna hidup atau tujuan hidup kita, buat apa lagi kita hidup.
Ini bisa saya kaitkan dengan seseorang yang misalkan kehilangan suami atau istri yang sangat dikasihi atau anak yang dikasihi atau orang tua yang sangat dikasihi. Saya kira yang terberat adalah tatkala kita berpikir sepeninggalnya orang tersebut, tidak akan ada orang lain yang bisa menggantikannya, tidak akan ada lagi yang bisa menduduki posisi itu. Misalnya kita terbiasa hidup dengan pasangan kita tahun demi tahun dan sekarang sudah berlangsung selama 30 tahun dan kita harus kehilangan dia. Nah yang sangat memukul sebetulnya bukan kehilangan itu sendiri, meskipun tadi saya katakan kehilangan itu memang berat, tapi yang lebih memukul lagi adalah pemikiran bahwa setelah dia pergi tidak akan ada lagi seseorang di sampingku yang bisa menemaniku, yang bisa mencintaiku dan dicintai olehku seperti ini, yang bisa bercengkrama denganku. Nah kehilangan pengharapan akan adanya moment-moment yang spesial seperti itulah yang bisa membuat kita akhirnya putus asa.PG : Pada awalnya semuanya memang bersumber dari luapan emosi, tapi riset memperlihatkan orang yang membunuh diri adalah orang yang pernah mencoba membunuh diri. Saya jelaskan artinya, orangyang berhasil mati karena membunuh diri adalah orang yang sebelumnya pernah mencoba, bisa sekali atau bisa berkali-kali membunuh diri tapi tidak berhasil.
Misalkan memakan atau menelan pil, tapi keburu diselamatkan atau hal-hal yang lainnya. Nah yang berikutnya lagi adalah orang yang pernah mencoba membunuh diri adalah orang yang pernah berkata-kata bahwa dia akan membunuh diri, meskipun belum ada tindakannya tapi sudah pernah berkata-kata. Dan yang terakhir adalah kaitannya dengan ini, orang yang pernah berkata-kata bahwa dia ingin membunuh diri adalah orang yang awalnya berpikir tentang kematian dan mau mati, jadi kaitannya atau urutannya memang seperti itu Pak Gunawan.PG : Ada, dan biasanya yang cenderung berhasil adalah pria, karena biasanya pria menggunakan cara membunuh diri yang lebih keras yang lebih 'violent', sehingga akhirnya waktu dia bunuh diri enar-benar meninggal.
PG : Biasanya keempatnya memang ada, tapi sekali lagi kita ini bisa membedakan dari sudut derajatnya berapa besar, berapa kecilnya. Sudah tentu rasa ingin mengakhiri hidup itu adalah puncak egalanya.
Kalau sudah rasa murung yang dalam, kecewa yang dalam, tidak peduli yang dalam, biasanya langkah terakhir atau respons terakhir adalah buat apa hidup.PG : Salah satu penyebab keputusasaan yang paling umum adalah penderitaan yang tak kunjung berakhir. Tapi kalau kita menderita, sebetulnya tanpa disadari kita memberikan jadwal atau memberikn batas waktu, seolah-olah kita ini mempunyai jam dalam hati kita atau jiwa kita atau penanggalanlah, kapan seharusnya penderitaan itu berakhir.
Nah sewaktu penderitaan itu tak kunjung berakhir meskipun sudah jatuh tempo menurut penanggalan jiwa kita, reaksi yang muncul adalah keputusasaan. Jadi sesuai dengan contoh tadi tentang orang-orang yang ditahan di camp konsentrasi.PG : Makanya ada orang-orang yang berhasil melewati tanpa putus asa, yaitu orang-orang yang berhasil menarik jadwal itu atau batas temponya dan dia akan berkata memang ini porsi hidupku, dandia akan lewati hari lepas hari.
Nah orang yang tidak berhasil mengundurkan batas temponya itulah orang yang akan akhirnya melewati keputusasaan.PG : Yang lainnya adalah penantian akan yang lebih baik ternyata tidak terwujud. Jadi waktu kita akhirnya sadar bahwa yang kita dambakan itu lenyap, biasanya ada satu harapan tersirat yaituOK-lah yang itu tidak saya dapatkan, namun mungkin saya akan mendapatkan yang lainnya.
Sesuatu yang tidak seideal yang kita dambakan tapi satu tingkat di bawahnya, nah ini yang saya maksud. Karena secara alamiah kita berpikir atau mempunyai pengharapan seperti itu, maka kita akan menginvestasikan penantian kita. Waktu yang kita nantikan itu tidak terwujud kita putus asa, sebab yang ideal tidak kita dapatkan, yang di bawah ideal yang kita juga harapkan itupun tidak datang, akhirnya kita terpaksa memakan yang paling buruk, menelan yang paling pahit, itu yang sering kali memukul kita.PG : Saya akan membacakan dari
PG : Sering kali demikian, maka pada awalnya sewaktu kita sudah mulai merasakan keputusasaan, kita harus langsung melawannya, melawannya dengan Firman Tuhan, dengan berdoa mengingatkan lagi ahwa Tuhan tidak seperti yang kita rasakan.
Biarkan pikiran kitalah yang memandu langkah hidup kita bukan perasaan kita lagi. Langkah yang lainnya lagi, yang praktis yang bisa kita lakukan lagi adalah bersekutu dengan sesama kita, cari orang lain, bicara dengan orang lain, ijinkan orang untuk menguatkan kita. Saya ingin tutup dengan sebuah kisah Pak Gunawan, tentang seorang wanita yang bernama Vivian Felix, dia adalah istri seorang rektor yang tinggal di Amerika Serikat, dia terkena kanker dan dalam keadaan sangat parah beliau dikunjungi oleh seorang hamba Tuhan bernama Pdt. Jack Hayford. Pdt. Jack Hayford memberikan nasihat yang sangat bagus yaitu: "Vivian, pada saat seperti ini engkau harus mengijinkan orang lain untuk memikulmu, mendukungmu." Nah nasihatnya terus diikuti oleh Vivian, sehingga begitu banyak orang yang mengasihi Vivian Felix ini dan memberikan dukungan, doa dan sebagainya sampai akhirnya tahun 2000 Tuhan memanggil dia pulang. Nah sekali lagi persekutuan, buka diri dan ijinkan orang masuk dan mengasihi kita dan mendukung kita.GS : Ya Pak Paul, saya percaya perbincangan ini akan menguatkan hati banyak orang khususnya para pendengar yang mungkin pada saat ini pada tahap-tahap awal dalam keputusasaan, namun saya percaya bahwa perbincangan kita ini akan menjadi berkat buat kita semua yang sudah mendengarkannya. Terima kasih Pak Paul, dan saudara-saudara pendengar, demikianlah tadi kami telah menyampaikan ke hadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga).
Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Melawan Keputusasaan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
15. Sedia Belajar | |
Belajar mempunyai arti luas, namun bisa kita katakan sebetulnya belajar itu adalah penambahan pengetahuan. Suatu yang belum kita ketahui kemudian kita ketahui setelah melewati proses yang disebut belajar.
Belajar sebetulnya mempunyai arti luas namun bisa kita katakan belajar itu sendiri sebetulnya adalah penambahan pengetahuan. Sesuatu yang belum kita ketahui kemudian kita ketahui setelah melewati proses yang disebut belajar. Belajar di sini yang dimaksud bukan belajar dalam lingkup akademik di sekolah tapi belajar dalam pengalaman hidup, apa yang harus kita timba dari peristiwa-peristiwa yang kita hadapi, apa yang Tuhan ajarkan yang mesti kita lihat dan kita terima. Kalau kita bisa mengembangkan sikap bersedia belajar dalam hidup ini kita akan bisa mengarungi kehidupan ini dengan lebih baik. Dibandingkan dengan orang yang tidak bersedia belajar dalam hidup ini karena menganggap yang dia ketahui sudah paling benar dan tidak ada lagi tempat buat dia bertumbuh atau belajar dengan orang lain.
Ada dua sifat dalam belajar yang perlu kita ketahui yaitu:
Belajar itu mengisi rasa ingin tahu kita. Kita adalah makhluk rasional dan sebagai makhluk rasional ingin tahu hal-hal yang belum kita ketahui. Belajar dalam pengetahuan ini memang memenuhi keingintahuan kita itu dan belajar dalam hal ini sesuai dengan kodrat kita, sesuai dengan sifat kita.
Belajar itu sebetulnya menuntut perubahan pada diri kita maka dikatakan bahwa belajar belum terjadi jika perubahan belum terjadi. Dengan kata lain tujuan belajar adalah perubahan baik itu perubahan dalam pemikiran kita, perasaan kita atau dalam hal perilaku.
Ada beberapa hal yang memudahkan terjadinya proses belajar dalam pengertian kita berani terbuka adalah:
Lingkungan di mana kita belajar mesti kondusif, dalam pengertian lingkungan itu mengembalikan tanggung jawab belajar pada si indiviidu. Kita perlu menciptakan situasi yang bebas sehingga orang bisa merdeka untuk berpikir dan untuk bertanya.
Dalam diri kita sendiri harus ada kesadaran bahwa kita perlu dan harus berubah. Kalau kitanya sudah mempunyai sikap saya tak perlu dan saya nggak usah berubah atau belajar, tidak mungkin kita belajar maka dapat dikatakan bahwa orang yang belajar adalah orang yang rendah hati.
Belajar adalah kebutuhan, kalau memang kita mempunyai kebutuhan untuk hal tersebut kita lebih terbuka untuk mempelajarinya kalau kita nggak merasakan kebutuhan itu kita nggak terbuka untuk belajar.
Adanya inspirasi. Untuk kita berubah kita mesti melihat yang mendidik kita atau yang mengajar kita itu yang telah memberikan contoh hidup. Nah contoh hidup yang langsung itu bisa menjadi inspirasi buat kita. Contoh mendiang Ibu Theresa tidak akan sukses pergi ke mana-mana untuk mengajak orang-orang terlibat pelayanan terhadap kaum papa dan kaum miskin di India, kalau dianya sendiri tidak terlibat di situ. Jadi diperlukan contoh, contoh di mana orang itu bisa menjadi inspirasi bagi yang lainnya, inspirasi seperti itulah yang akan membakar orang untuk bertindak sesuai dengan si pengajar.
Tuhan harus menjadi manusia, sebab Tuhan mengajarkan kepada kita untuk menyangkal diri dan memikul salib kalau hendak mengikut Dia. Menyangkal diri artinya mengatakan kepada diri bahwa yang kita minta, yang kita inginkan kita kesampingkan demi Tuhan. Memikul salib artinya bersedia menderita waktu kita mengikut Tuhan.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini akan kami beri judul "Sedia Belajar". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Belajar sebetulnya mempunyai arti yang luas Pak Gunawan, namun bisa kita katakan belajar itu sendiri sebetulnya adalah penambahan pengetahuan. Jadi sesuatu yang belum kita ketahui kemudiankita ketahui setelah melewati proses yang kita sebut belajar.
PG : Tidak, jadi belajar itu bisa terjadi di mana pun.
PG : Betul, jadi sikap yang baik adalah sikap yang mau belajar, dan kali ini yang akan kita ungkit adalah untuk bisa hidup sehat kita perlu mempunyai kesediaan untuk belajar. Nah, otomatis yangsaya maksud di sini bukan belajar dalam lingkup akademik di sekolah, tapi belajar dalam pengalaman hidup, apa yang harus kita timba dari peristiwa-peristiwa yang kita hadapi, apa yang Tuhan ajarkan yang mesti kita lihat dan kita terima, hal-hal seperti itulah yang akan kita fokuskan Pak Gunawan.
PG : Betul sekali, sehat di sini adalah sehat secara jiwani, sehat secara rohani. Saya kira kalau kita bisa mengembangkan sikap bersedia belajar dalam hidup ini kita akan bisa mengarungi kehiduan ini dengan lebih baik.
Dibandingkan dengan orang yang tidak bersedia belajar dalam hidup ini, karena menganggap yang dia ketahui sudah paling benar dan tidak ada lagi tempat buat dia bertumbuh atau belajar dari orang lain. Itu sikap yang saya kira akan membenturkan dia dengan tembok-tembok kehidupan ini.(2) PG : Ada dua sifat dalam belajar yang perlu kita ketahui Pak Gunawan, dua sifat ini sebetulnya saling bertentangan nah inilah yang jarang kita perhatikan. Sifat pertama adalah belajar itu mngisi rasa ingin tahu kita, kita adalah makhluk rasional dan sebagai makhluk rasional ingin tahu hal-hal yang belum kita ketahui.
Belajar dalam pengetahuan ini memang memenuhi keingintahuan kita dan belajar dalam hal ini sesuai dengan kodrat kita, sesuai dengan sifat kita. Tapi belajar mempunyai suatu sisi yang lain, nah ini yang mesti kita pahami. Sisi yang lainnya adalah belajar itu sebetulnya menuntut perubahan pada diri kita, maka dikatakan bahwa belajar belum terjadi jika perubahan belum terjadi. Jadi sekali lagi saya ulang, belajar belum terjadi jikalau perubahan belum terjadi. Dengan kata lain tujuan belajar ialah perubahan, baik itu perubahan dalam pemikiran kita, perasaan kita atau dalam hal perilaku. Jadi misalnya gara-gara kita belajar, maka sekarang kita tahu bagaimana berelasi dengan orang dengan lebih santun misalnya atau gara-gara kita belajar kita tahu bahwa angin itu bergerak dari tekanan udara, gara-gara kita belajar kita tahu bahwa matahari itu sebetulnya adalah berdaya sangat besar sekali dan kita itu di bumi tempat yang kecil sekali. Nah jadi perubahan-perubahan itu menyangkut perubahan cara pandang juga menyangkut perubahan perilaku. Kenapa ini saya katakan, ini adalah sesuatu yang sukar karena begini Pak Gunawan, belajar menuntut perubahan dan perubahan adalah sesuatu yang tidak kita inginkan karena perubahan itu mempunyai satu tuntutan yaitu kita mengubah sesuatu yang telah kita tetapkan untuk diri kita, sesuatu yang kita telah terbiasa dan untuk mengubah itu biasanya tidak mudah.PG : Tepat sekali, seorang kawan saya seorang ahli manajemen berkata: di dunia manajemen ada suatu motto yaitu sukses adalah guru yang buruk. Dalam pengertian, kita cenderung bersandar pada sukes di masa lampau dan menganggap karena saya sukses dengan cara itu di masa lampau, maka sekarang saya bisa menggunakan cara yang sama dan di kemudian hari pasti berhasil.
Maka kesuksesan itu bisa menjebak kita, karena cara kita yang dulu belum tentu cocok untuk sekarang atau pun nanti. Maka saya kira kalau kita terbiasa dengan diri kita dan kita anggap ini sesuatu yang sangat-sangat baik untuk kita meskipun dampaknya juga baik, kita lebih susah untuk berubah. Nah, salah satu hal kenapa berubah itu susah Pak Gunawan, karena berubah menuntut kita untuk mengakui bahwa cara kita yang dulu itu kurang efektif, kurang tepat, kurang pas, kurang baik alias kita mesti memperbaikinya. Nah, kita adalah makhluk yang tidak senang dipersalahkan, kita tidak senang mengakui bahwa cara kita itu keliru kita ingin membenarkan diri, itulah yang kita warisi dari Adam dan Hawa. Sejak pertama Adam dan Hawa sudah berkelit dari tanggung jawab mereka, Adam kepada Hawa, Hawa kepada ular. Jadi kita memang makhluk yang ingin benar, karena kita ingin benar jadi perubahan menjadi sesuatu yang sulit kita lakukan.PG : Ada beberapa hal Pak Gunawan, untuk memudahkan terjadinya proses belajar dalam pengertian kita berani berubah. Yang pertama adalah lingkungan di mana kita belajar mesti kondusif, dalam penertian lingkungan itu mengembalikan tanggung jawab belajar pada si individu.
Kadang kala dalam suasana belajar yang kita jalani, kita tidak mempunyai kebebasan, karena kita tidak mempunyai kebebasan, maka kita cenderung mengikuti apa yang telah digariskan. Mengikuti apa yang telah digariskan sebetulnya bukan belajar, itu hanyalah tranfer informasi dari satu orang kepada orang yang lainnya. Sedangkan tujuan belajar itu sendiri tidak tercapai, prosesnya memang terjalin yaitu proses penambahan ilmu atau pengetahuan. Tapi tujuan akhir belajar yaitu perubahan tidak terjadi, karena apa, seseorang tidak diberikan kebebasan untuk berpikir, untuk bertanya. Saya berikan contoh Pak Gunawan yaitu tentang Ayub dan ini sebetulnya juga dialami oleh para hamba Tuhan yang lainnya yang kita tahu di Alkitab. Tuhan memberikan kesempatan kepada Ayub untuk bertanya kenapa kemalangan menimpa saya, apa salah saya, berapa besar dosa saya, itu semua adalah kata-kata Ayub kepada Tuhan. Jadi kalau kita diberikan kesempatan untuk berpikir, untuk bertanya, belajar menjadi tanggung jawab kita. Kalau kita tidak diberikan kesempatan untuk berpikir atau pun bertanya, kita tidak lagi belajar sebab tanggung jawab belajar itu tidak ada pada diri kita yaitu tanggung jawab belajar ada pada si pendidiknya itu sendiri. Jadi penting sekali kita mengalihkan tanggung jawab itu kepada si anak didik bahwa ini yang engkau harus cari atau engkau temukan. Dan saya kira ini yang penting supaya kita bisa belajar dengan wajar, sehingga kita lebih mudah berubah. Saya berikan contoh yang lain yang sering kali terjadi Pak Gunawan, yaitu banyak anak-anak yang susah dewasa karena keputusan-keputusan sudah diambilkan oleh orang tuanya, sudah digariskan oleh orang tuanya. Hidup itu benar-benar tidak lagi mempunyai tuntutan untuk memilih, untuk berpikir, untuk memutuskan karena hidup itu sudah ditetapkan oleh orang tua. Nah, si anak tidak bisa berubah atau susah sekali untuk berubah karena apa? Dia tidak pernah memikul tanggung jawab itu untuk belajar. Jadi sekali lagi untuk bisa kita menciptakan suasana belajar, kita perlu menciptakan situasi yang bebas sehingga orang bisa merdeka untuk berpikir dan untuk bertanya.PG : Betul, jalan pintas itu memang memberikan kita solusi, tapi kita lupa bahwa solusi itu sementara bukan permanen. Yang lebih baik adalah melimpahkan tanggung jawab itu pada si anak. Nah, in bisa kita terapkan dalam segala relasi sebetulnya.
Tanggung jawab itu diberikan kembali kepada orang-orangnya, sehingga terjadilah perubahan yang diinginkan. Salah satu contoh yang saya juga sering lihat pada perusahaan-perusahaan yang besar, yang profesional yang dilakukan adalah saham dijual kepada para karyawan sehingga mereka tidak lagi menjadi karyawan meskipun status tetap karyawan, tapi mereka adalah pemilik karena mereka adalah pemegang saham. Dengan kata lain ini bukan perusahaan engkau, ini perusahaan kita bersama. Nah waktu seseorang menyadari ini adalah perusahaan kita bersama, maka dia akan lebih termotivasi berubah artinya memberikan semaksimal mungkin. Jadi dalam segala hal ini kita bisa terapkan, contoh yang lebih klasik adalah di gereja, kadang-kadang kita tidak begitu nyaman dengan perdebatan atau pertanyaan, kita kadang-kadang cenderung untuk menggariskan dengan kaku inilah jalurnya, di luar jalur ini berarti engkau sesat, di luar jalur ini berarti engkau memberontak kepada Tuhan dan sebagainya. Nah, orang-orang itu tidak akan belajar, tidak akan melakukan perubahan-perubahan yang diminta oleh Tuhan juga karena memang tidak pernah mempunyai tanggung jawab untuk itu.PG : Saya kira kalau kita sendiri mau belajar memang harus ada kesadaran bahwa kita perlu dan harus berubah. Jadi dalam diri sendiri memang harus ada kesadaran itu Pak Gunawan. Kalau kita sudahmempunyai sikap saya tak perlu dan saya tidak usah berubah atau belajar, tidak mungkin kita belajar maka dapat dikatakan bahwa orang yang belajar orang yang rendah hati.
Kadang-kadang ini yang kita temukan juga Pak Gunawan, ada orang seolah-olah belajar, tapi sesungguhnya dia hanyalah mengumpulkan data untuk mengkonfermasikan pendiriannya. Dia tidak bersedia belajar hal yang berlawanan dengan pendiriannya atau keyakinannya, dia selalu hanya mengumpulkan informasi-informasi yang hanya mendukung keyakinannya itu. Nah, orang ini hanya akan berkembang secara sempit, tapi tidak akan luas. Orang yang luas adalah orang yang bersedia belajar dari segala pihak. Kalau saya terapkan dalam konteks keluarga misalnya, bukankah kalau kita sudah mengembangkan praduga atau konsep bahwa pasangan kita ini orangnya tidak sensitif misalnya kita cenderung mencari data-data tambahan untuk mengkonfermasi bahwa dia orangnya tidak sensitif. Dengan kata lain hal-hal lain yang bisa mendukung bahwa dia itu sebetulnya bisa baik, bisa sensitif itu cenderung kita sampaikan, yang kita fokuskan adalah dia ini orangnya kurang sensitif. Data-data yang mendukung itulah yang kita lebih perhatikan.PG : Ya Pak Gunawan, jadi belajar itu berkaitan dengan kebutuhan kita, yang tadi Pak Gunawan sudah singgung. Kalau memang kita mempunyai kebutuhan untuk hal tersebut kita lebih terbuka untuk mepelajarinya, kalau kita tidak merasakan kebutuhan itu kita tidak terbuka untuk belajar.
Ini yang terjadi dalam gereja juga Pak Gunawan yaitu saya kira hampir semua gembala sidang atau hamba Tuhan berharap bahwa jemaat itu bertumbuh, bertumbuh dalam pengetahuannya akan Tuhan, cintanya akan Tuhan dan sebagainya. Nah, bagaimana membuat jemaat itu bertumbuh dalam pengetahuannya akan Tuhan, cintanya akan Tuhan kadang-kadang sulit, sulitnya adalah sebab ada orang-orang yang tidak merasakan hal tersebut sebagai kebutuhannya. Dia tidak merasa dia harus bertumbuh dalam pengetahuan akan Tuhan, yang dia tahu cukup. Ada orang yang berkata saya tahu isi Alkitab depan sampai belakang, yang dia maksud adalah dia tahu cerita-cerita yang umum yang tercatat di dalam Alkitab itu sebetulnya yang dia maksud, tapi saya yakin dia tidak tahu Alkitab dengan mendetail, belum tentu sebetulnya. Atau cinta kepada Tuhan, banyak orang beranggapan yang penting saya hidup baik cukuplah, apa gunanya cinta kepada Tuhan, tidak merasakan kebutuhan itu maka untuk seseorang mencintai Tuhan, bergumul akan pengetahuannya akan Tuhan dia mesti melihat akan kebutuhan itu dulu, baru dia akan bertindak ke sana.PG : Nah, ini kita masuk ke hal yang berikutnya Pak Gunawan, yaitu selain kebutuhan ada satu faktor yang juga bisa menstimulasi kita untuk belajar, yakni kita bukannya digerakkan oleh kebutuhantapi digerakkan oleh inspirasi.
Untuk kita berubah kita mesti melihat yang mendidik kita atau yang mengajar kita itu telah memberikan contoh hidup. Nah, contoh hidup yang langsung itu bisa menjadi inspirasi buat kita. Misalnya saya kira ibu Theresa atau mendiang ibu Theresa tidak akan sukses pergi ke mana-mana untuk mengajak orang-orang terlibat pelayanan terhadap kaum papa dan kaum miskin di India, kalau dia sendiri tidak terlibat di situ. Jadi seorang ibu Theresalah yang baru bisa mendorong orang-orang untuk terlibat dalam pelayanan kaum miskin. Kalau dia hidup dalam kekayaan, tidak pernah bersentuhan dengan orang miskin kemudian terus mendorong orang-orang terlibat dalam pelayanan seperti itu, tidak akan berhasil. Jadi diperlukan contoh, contoh di mana orang itu bisa menjadi inspirasi bagi yang lainnya, inspirasi seperti itulah yang akan membakar orang untuk bertindak sesuai dengan si pengajar itu.PG : Tepat sekali Pak Gunawan, nah ini yang akan saya kutib Pak Gunawan sebagai akhir dari apa yang kita bahas ini. Firman Tuhan di
PG : Ya Pak Gunawan, dan pada banyak orang lainnya juga, contohnya para murid, kita tahu mereka itu bukanlah orang-orang yang pemberani, sama dengan kita para murid Tuhan itu penakut. Tahunya dri mana, sebelum Tuhan disalibkan mereka berkata mereka bersedia mati dengan Tuhan, tatkala Tuhan ditangkap di taman Getsemani mereka lari kocar-kacir.
Saya kira itulah, kita juga dalam keadaan tenang dan tenteram kita berani, tapi dalam keadaan krisis di mana bahaya mengancam, nyawa kita mungkin harus kita pertaruhkan, tetapi apa yang terjadi dengan para murid ini setelah Tuhan naik ke Surga kecuali satu Yohanes, semua mati sahid. Dan dicatat dalam tradisi-tradisi adalah tulisan-tulisan yang di luar Alkitab, contoh tentang Petrus yaitu waktu dia hendak disalib oleh raja Nero, dia menolak untuk disalib berdiri, dia berkata : "Saya tidak layak disalib berdiri seperti Tuhanku dan dia minta disalib terbalik kepalanya di bawah, kakinya di atas. Untuk apa, untuk menunjukkan dia adalah hamba dia tidak layak mati seperti Tuhan. Nah, ini yang kita lihat Petrus telah belajar, tapi tidak mungkin Petrus belajar seperti ini kalau Tuhan di Surga dan menyuruh dia berkorban seperti itu. Dia melihat Tuhannya mati di salib dan itulah menjadi inspirasi dia belajar.PG : Betul, kita melihat sehingga kita lebih tahu, lebih jelas dan kita tahu ini bisa dilakukan, namun yang penting juga adalah inspirasi itu. Maka siapa yang hendak menjadi pendidik harus menjdi pelaku dari ajarannya itu, maka firman Tuhan berkata juga, kalau orang hanya mendengarkan tidak melakukan dia seperti orang yang bercermin kemudian dia tinggalkan cerminnya dia lupa wajahnya bagaimana.
Harus menjadi pelaku firman, jadi itu yang Tuhan inginkan dari kita pula. Maka sebagai catatan saja Pak Gunawan, saya bisa katakan: kita sedikit banyak bisa menilai gereja ini seperti apa, jemaatnya seperti apa dari hamba Tuhannya. Sebab saya melihat kalau hamba Tuhannya hidup benar, sungguh-sungguh kudus di hadapan Tuhan jemaatnya akan ikut, kalau hamba Tuhannya tidak pusing dengan Tuhan, hidup sembarangan jemaatnya ikut-ikutan. Jadi benar-benar kita melihat gembala seperti apa, dombanya seperti apa. Jadi gembala akan percuma, akan kesusahan juga mengajarkan kebenaran Tuhan kalau dia sendiri tidak hidup seperti itu. Nah, kita semua juga adalah gembala-gembala, dalam pengertian kita menjadi saksi Tuhan di dunia ini, maka pengajaran kita, kesaksian kita hanya akan jelas dan dilihat orang kalau memang hidup kita sesuai, barulah orang akan belajar dari kita.GS : Terutama di dalam rumah sendiri Pak Paul, di mana anak-anak kita itu melihat kita sehari-hari jadi untuk mendorong mereka belajar saya pikir bukan cuma menciptakan kondisi yang kondisif di rumah, tapi juga mereka butuh keteladanan kita sebagai orang tua. Jadi terima kasih sekali Pak Paul ini suatu perbincangan yang pasti menarik dan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan para pendengar yang setia kami mengucapkan banyak terima kasih bahwa Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sedia Belajar" sebagai suatu sikap hidup yang sehat. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara yang akan datang.
16. Hidup Fleksibel | |
Kita harus menyadari hidup itu tidak bisa kita kendalikan, supaya kita fleksibel dalam hidup kita harus mulai dengan suatu perspektif, sebetulnya hidup itu tidak dalam kuasa kita.
Di Amerika Serikat orang sering kali mengucapkan peribahasa yaitu 'don't take life to seriously' janganlah terlalu serius menghadapi hidup. Saya kira peribahasa ini mempunyai banyak kebenarannya terutama pada dewasa ini, saya melihat salah satu sumber penyakit adalah ketegangan, kita terlalu tegang karena kita menjalani hidup serius. Saya juga tidak berkata anggaplah hidup ini sebuah permainan, tidak! Tetapi yang saya maksud adalah kita hidup tidak terlalu tegang sehingga menjalani hidup dengan santai dan rileks, sikap-sikap inilah yang akan membentuk sikap hidup yang sehat.
Ciri-ciri orang fleksibel adalah:
Fleksibel adalah menyadari bahwa hidup di tangan Tuhan, jadi kita menyadari Tuhan bekerja sesuai rencana-Nya dan kita hanyalah bagian dari rencana Tuhan, tidak semua hal bergantung pada kita. Yang saya ingin tekankan, sadarilah bahwa ada Tuhan dalam hidup ini dan bahwa semua hal dalam hidup ini sebetulnya berada pada tangan Dia juga. Kita bekerja, kita melakukan bagian kita tapi berikan bagian Tuhan kepada Tuhan, jangan kita mengambil alih bagian Tuhan bahwa itu juga harus kita kerjakan.
Fleksibel adalah berani berubah sebab dia berani mengintrospeksi diri. Orang yang fleksibel itu orang yang berani melihat apa hal-hal dalam dirinya itu yang perlu diperbaiki, yang perlu ditambah sehingga akhirnya dia berani berubah. Orang yang tidak fleksibel orang yang sulit sekali melihat dirinya, kalaupun melihat dirinya hanyalah melihat secara selektif hanya hal-hal yang ingin dia lihat, yang baik untuk dirinya, yang dia memang yakini sebagai dirinya.
Orang Fleksibel adalah orang yang berani menerima yang tak diduga karena menyadari bahwa jika Tuhan yang memberi, Dia pula yang akan memampukan kita untuk menerimanya. Contoh, tokoh Ayub seorang yang kaya raya tapi mengalami musibah kehilangan anak-anaknya mati semua, hartanya habis, bahkan terakhir dia menderita penyakit. Teman-temannya menjauh darinya, sahabat karibnya meninggalkan dia, anak induk semangnya bahkan kanak-kanak mengejek Ayub.Tapi dia masih bisa berkata: "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil terpujilah nama Tuhan." Dan dia mendasarinya atas satu hal yang sangat sederhana, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya." Suatu sikap hidup yang luar biasa, inilah yang saya maksud dengan fleksibel, dia tahu bahwa Tuhan yang memberi semua yang dia miliki termasuk keluarganya, kesehatannya dan harta bendanya.
Seharusnya kita juga sebagaimana halnya Ayub, menyadari bahwa memang hidup itu tidak bisa kita kendalikan, nah bagaimanakah kita bisa fleksibel dalam hidup, kita mulai dengan suatu perspektif, sebetulnya hidup itu tidak dalam kuasa kita. Kita berpikir kita yang menentukan hidup ini, ada hal-hal yang memang kita bisa tentukan sampai titik tertentulah kita ini turut berperan dalam menentukan hidup tapi sebetulnya selain atau setelah titik itu benar-benar di tangan Tuhan bukan di tangan kita.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hidup Fleksibel". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Di Amerika Pak Gunawan, orang-orang sering kali mengucapkan mungkin disebut peribahasa yaitu don't take life to seriously, janganlah terlalu serius menghadapi hidup. Saya kira peribahasa ii mempunyai banyak kebenarannya terutama pada dewasa ini, saya melihat salah satu sumber penyakit adalah ketegangan, kita ini terlalu tegang dan kenapa tegang sebab kita menjalani hidup serius.
Saya juga tidak berkata anggaplah hidup ini sebuah permainan jadi kita sembarangan hidup bukan itu yang saya maksud, tapi yang saya maksud adalah kita hidup tidak terlalu tegang, sehingga menjalani hidup ini dengan lebih santai dan rileks, saya kira sikap-sikap inilah yang akan membentuk sikap hidup yang sehat.(1) PG : Saya kira yang dimaksud dengan fleksibel bukannya berarti tidak berpendirian. Fleksibel itu bukanlah berarti kita selalu seperti bunglon berubah-ubah sesuai dengan situasi yang menguntngkan kita, adakalanya tidak fleksibel dalam pengertian dia tidak mengubah pendiriannya, dia akan berdiri dengan tegak dan berkata inilah pendirian saya dan saya akan terus pertahankan ini.
Jadi yang saya maksud dengan fleksibel bukan itu, jadi pertanyaan berikutnya lagi adalah kalau begitu apa yang dimaksud dengan fleksibel di sini. Yang pertama fleksibel adalah menyadari bahwa hidup di tangan Tuhan, jadi kita menyadari Tuhan bekerja sesuai rencanaNya dan kita hanyalah bagian dari rencana Tuhan, tidak semua hal bergantung pada kita. Nah, kadang-kadang kita ini hidup seakan-akan semua hal bergantung pada kita kalau kita tidak ada, semuanya berantakan, jadi kita ini merasakan tanggung jawab yang terlalu besar pada pundak kita. Orang yang memikul tanggung jawab seperti itu akan susah fleksibel, sebab dia merasa bahwa semua itu berpulang pada dia, jadi dialah yang harus memutuskan segalanya. Yang ingin saya katakan adalah sadarilah bahwa ada Tuhan dalam hidup ini dan bahwa semua hal dalam hidup ini sebetulnya berada pada tangan Dia juga. Saya juga tidak berkata jadilah orang yang fatalis, yaitu ya sudah terserah Tuhan, semuanya terserah Tuhan tidak usah berusaha, tidak usah berbuat apa-apa, bukan itu yang saya maksud. Kita bekerja kita melakukan bagian kita, tapi berikan bagian Tuhan kepada Tuhan jangan kita mengambil alih bagian Tuhan bahwa itu juga harus kita kerjakan.PG : Saya pernah mendengar atau membaca sebuah pepatah yaitu jadilah dirimu, namun jadilah dirimu yang paling baik, saya kira itu hasil yang baik. Artinya jangan kita itu cepat puas dan berkatasaya hanya bisanya sampai di sini ya sudah, saya kira kita harus mencoba memaksimalkan, namun setelah maksimal kita harus berhenti dan berkata tidak ada lagi yang bisa saya lakukan dan saya harus serahkan kepada Tuhan.
Jadi orang yang fleksibel menjadi orang yang lebih tenang, tidak terlalu diburu-buru bahwa semuanya itu harus sesuai dengan rencana dan kehendak dia, bahwa masih ada Tuhan yang mengatur segalanya dan bahwa Tuhan berkuasa, berkuasa lebih dari kuasa kita sendiri, sehingga yang mustahil bisa akan terjadi. Yang kita anggap tidak mungkin akhirnya bisa karena Tuhan tetap berkarya.PG : Saya kira ada pengaruhnya Pak Gunawan, ada orang-orang yang memang bawaannya serius dan menganggap semua hal itu serius dan sikapnya cenderung lebih tegang, juga kebalikannya dengan orang ang lebih santai.
Jadi kalau memang ada pengaruh dari kepribadian masing-masing harus disadari, mungkin yang terlalu santai itu perlu belajar untuk sedikit lebih menuntut diri, berdisiplin diri, sedangkan yang lebih serius untuk belajar lebih mundur sehingga lebih kendor sedikit, misalkan seperti itu.PG : Saya kira demikian, jadi mesti ada perubahan. Ini membawa kita ke point berikutnya Pak Gunawan, sebetulnya apa fleksibel. Tadi saya katakan fleksibel orang yang menyadari ada Tuhan dan baha hidup ini di tangan Tuhan, bahwa semua ini tidak bergantung pada dirinya.
Yang kedua, rang yang fleksibel adalah berani berubah sebab dia berani mengintrospeksi diri. Orang yang fleksibel itu orang yang berani melihat hal-hal apa dalam dirinya itu yang perlu diperbaiki, yang perlu ditambah, sehingga akhirnya dia berani berubah. Orang yang tidak fleksibel, orang yang sulit sekali melihat dirinya, kalaupun melihat dirinya hanyalah melihat secara selektif hanya hal-hal yang ingin dia lihat, yang baik untuk dirinya, yang dia memang yakini sebagai dirinya. Tapi hal-hal yang dia lihat berlawanan dengan hal-hal yang dia pikir tentang siapa dirinya, itu dia abaikan, dia tidak mau melihatnya. Jadi orang yang seperti ini orang yang luar biasa kakunya, hanya satu arah melihat dari kacamata dia, masukan orang tidak akan dia serap.PG : Yang lain lagi orang yang fleksibel adalah berani menerima yang tak diduga, karena menyadari bahwa jika Tuhan yang memberi, Dia pula yang akan memampukan kita untuk menerimanya. Kadang kal kita ini mengatur hidup sedemikian rupa, sehingga kita ini sudah bisa memproyeksikan hidup kita misalnya 25 tahun di muka, semua harus terantisipasi, tidak ada yang tak terduga, orang yang seperti ini saya kira akan cukup sengsara dalam hidup kalau hidupnya ini tidak berkembang seperti yang dia inginkan.
Tapi orang yang fleksibel orang yang bisa berkata: saya membuat rencana, Tuhan juga tidak melarang kita membuat rencana, tapi seperti dalam Yakobus dikatakan, selalulah berkata jika Tuhan kehendaki, ini bukan hanya basa-basi di mulut tapi suatu keyakinan bahwa memang segalanya ditentukan oleh kehendak Tuhan. Nah, orang yang fleksibel akan bisa berkata: jika Tuhan kehendaki, rencanaku ini begini kalau Tuhan tidak kehendaki ya tidak apa-apa. Jadi orang yang fleksibel orang yang bisa menerima apapun porsi yang Tuhan berikan kepadanya, sehingga dia lebih bisa untuk juga melewatinya. Saya pernah berbicara dengan seseorang yang terkena serangan jantung, akhirnya menderita stroke untuk waktu yang cukup lama namun bisa sembuh kembali. Saya tanya pada dia, apa kiatmu kok bisa melewati masa stroke itu sedangkan dia orang yang sangat produktif sekali. Dia berkata: pada akhirnya kuncinya adalah bisa menerima bahwa inilah bagiannya dia, porsinya dia, bahwa sekarang dia tidak bisa selincah dulu lagi. Orang yang bisa menerima kondisinya inilah porsi yang Tuhan berikan itu adalah orang yang lebih bisa fleksibel, orang yang bisa jalan lagi dalam hidup.PG : Ya saya kira sebagai reaksi awal itu hal yang normal, apalagi kalau itu musibah yang berat misalnya ini kok terjadi pada diri kita, tidak seharusnya ini terjadi, itu reaksi yang alamiah. Nmun setelah itu kita harus melanjutkan perjalanan hidup kita, kita tidak bisa lagi hidup di masa lampau kok ini terjadi, tidak bisa kita harus berkata inilah yang terjadi, inilah porsi saya, saya akan terima, saya akan jalan lagi.
Jadi saya akan coba hidup produktif seperti yang Tuhan telah berikan pada saya.PG : Sebelum kita ke Alkitab Pak Gunawan, saya akan menunjukkan orang yang fleksibel yang saya tahu. Misalkan Jonny Ericson Tada, Jonny Ericson Tada itu tidak bisa berjalan, leher ke bawah dia umpuh.
Umur 17 tahun dia terjun ke danau dia sangka danaunya dalam ternyata tidak dalam, sehingga kepalanya menumbuk dasar danau, lumpuh dari leher ke bawah. Seorang gadis yang cantik, energik tiba-tiba lumpuh. Dia bergumul keras sekali, sehingga mau mati dan sebagainya tapi akhirnya dia bisa terima kondisinya dan Tuhan memakai dia di Amerika Serikat. Pelayanannya Jonny and friend itu pelayanan yang Tuhan berkati, menolong dan memberikan bantuan kepada para penyandang cacat di sana. Nah, artinya Jonny menerima porsinya, tentu tidak mudah, sudah tentu penuh perjuangan, tapi akhirnya sewaktu dia menerima, dia melihat Tuhan memakainya, dia menjadi berkat buat penyandang cacat. Sebelum Jonny belum ada lembaga Kristen yang khusus menangani orang-orang yang menyandang cacat, jadi setelah Jonny cacat barulah dimulai dan dikembangkan kesadaran kepada para penyandang cacat ini. Jadi sekali lagi kita melihat orang yang berhasil menerima porsinya, itu salah satu ciri kefleksibelan. Kalau di Alkitab yang saya langsung teringat adalah Ayub Pak Gunawan, Ayub ini seorang yang kaya raya, dikatakan dombanya 7000-an, 3000-an, anaknya pesta bersenang-senang, hidup yang rohani, Ayub mempersembahkan korban kalau-kalau anaknya telah berdosa jadi dia minta ampun kepada Tuhan, ayah teladan, cinta Tuhan, cinta keluarga. Tapi mengalami musibah kehilangan, anak-anaknya mati semua, hartanya habis, dan bahkan terakhir dia menderita penyakit, penyakit yang membuat dia menggaruk-nggaruk kulitnya dengan beling karena begitu sakit dan gatalnya. Jadi menjadi begitu menjijikkan, sehingga dia sendiri berkata: "teman-temannya menjauhkan diri darinya, sahabat karibnya meninggalkan dia, anak induk semangnya dan bahkan kanak-kanak mengejek aku," kata Ayub. Dan bahkan nafasku pun kata Ayub memancing kemarahan atau kebencian dari istrinya sendiri, berarti dia sudah begitu terlempar jauh dalam hidup dan sudah tentu susah menerima hal-hal seperti itu, susah sekali, maka Ayub sering kali datang kepada Tuhan dan berteriak, berseru menggugat Tuhan dan tidak apa-apa Tuhan menerima, Tuhan mendengarkan, Tuhan tidak memarahi Ayub karena Ayub kesakitan. Tapi ada perkataan Ayub yang ingin saya munculkan di sini, Ayub berkata : "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil terpujilah nama Tuhan." Dan dia mendasarinya atas satu hal yang sangat sederhana, "dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil terpujilah nama Tuhan." Suatu sikap hidup yang luar biasa, inilah yang saya maksud dengan fleksibel, dia tahu bahwa Tuhan yang memberi semua yang dia miliki termasuk keluarganya, kesehatannya dan harta bendanya. Dan dia mempunyai satu konsep yang jelas bahwa Tuhanlah pemilik, jadi sebagai pemilik Tuhan mempunyai hak untuk mengambil kembali sesuatu yang telah dipinjamkannya kepada Ayub. Nah, saya boleh katakan Ayub itu tidak menggenggam hidup Pak Gunawan, kalau saya umpamakan seseorang yang memegang gelas, dia itu tidak bisa menggenggam gelas keras-keras bisa-bisa gelasnya pecah, dia hanya cukup menggenggamnya supaya gelas itu tidak jatuh. Saya kira itulah sikap orang yang fleksibel dalam hidup ini, dia tidak memegang kehidupan ini keras-keras, sehingga tidak bisa keluar dari tangannya, yang dia miliki itu lepas dari genggamannya tidak bisa, jadi sebaiknya peganglah hidup ini. Yang Tuhan berikan kita pegang, kita terima, kita syukuri, tapi kita tidak menggenggamnya keras-keras. Karena nanti suatu hari kalau Tuhan menghendaki untuk mengambilnya dia harus memaksa kita membuka tangan dan itu akan sakit, akan sakit sekali waktu dia paksa tangan kita untuk mengambil yang ada dalam genggaman kita itu.PG : Sering kali begitu Pak Gunawan, apalagi bagi kita ini yang telah bekerja keras dan berkata jerih payahkulah yang telah membuat aku memiliki semua ini, siapa Tuhan yang memberikan, saya kokyang bekerja, keringat sayalah yang membuat saya memikili semua ini.
Kita lupa bahwa nafas kita pun diberikan Tuhan, kalau Tuhan tidak berikan kita nafas, tidak mungkin kita bekerja dan memiliki semua itu. Jadi benar-benar yang kita miliki ini sangat-sangatlah sementara dan Tuhan bisa mengambilnya kapan saja dan saya sudah bertemu dengan orang yang dalam hidupnya kehilangan banyak Pak Gunawan. Orang yang kehilangan harta benda, pada waktu dulu saya masih di Amerika saya masih ingat Pak Gunawan, di Amerika itu sering terjadi orang mempunyai misalnya mall yang besar tahu-tahu bangkrut habis, habis tidak ada lagi sisanya. Jadi dalam waktu sekejab yang dia miliki itu tiba-tiba habis tidak ada lagi, nah itu sering terjadi di sana. Kadang-kadang buka toko besar sekali di beberapa tempat tidak bertahan beberapa tahun habis, tutup semuanya. Nah, benar-benar semuanya itu bisa melayang pergi, nah orang yang fleksibel orang yang mengerti bahwa semua yang dia dapat pemberian Tuhan dan syukuri, terimalah, tapi jangan genggam keras-keras. Kadang kala juga yang kita tidak bisa hindari adalah kita lekat dengan semua itu Pak Gunawan, apalagi kalau itu anak, istri, suami, kita menjadi lekat sekali maka waktu Tuhan ambil, beratnya luar biasa. Itu bisa dipahami oleh Tuhan juga, sebab waktu orang-orang yang kita kasihi itu pergi atau meninggalkan kita hati kita turut terobek, turut tercabik dengan kepergiannya itu sangat melukai. Saya kira itu memang tidak ada jalan pintas kita harus berduka, sedih namun kita ingatkan lagi itupun Tuhan berikan.PG : Saya kira Ayub di sini mempunyai suatu sikap yang sudah jelas dari awalnya Pak Gunawan, Ayub pernah berkata begini: "Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tapi tidak mau meneima yang buruk, dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya."
Yang saya ingin tekankan di sini adalah Ayub tahu bahwa hidup itu di luar kendalinya, bahwa hidup itu sebetulnya bukan berada dalam genggamannya maka dia berkata hidup bisa baik, hidup bisa buruk dan dia sadari Tuhanlah yang memegang kendali atas hidup ini maka dia juga yakin waktu dia menerima yang baik, Tuhan yang memberikan, waktu dia menerima yang buruk sebetulnya Tuhan pun terlibat memberikan dia yang buruk itu. Kita mungkin tidak bisa mengerti kenapa Tuhan menetapkan agar kita menerima yang buruk itu. Tapi Ayub dan seharusnya kita juga menyadari bahwa memang hidup itu tidak bisa kita kendalikan, nah bagaimanakah kita bisa fleksibel dalam hidup, kita mulai dengan suatu perspektif, sebetulnya hidup itu tidak dalam kuasa kita, kadang-kadang kita lupa. Kita berpikir kita yang menentukan hidup ini, ada hal-hal yang memang bisa kita tentukan sampai titik tertentu, kita ini turut berperan dalam menentukan hidup, tapi sebetulnya selain atau setelah titik itu benar-benar itu di tangan Tuhan bukan di tangan kita.PG : Tetap dikerjakan, tapi memang dengan suatu kesadaran bahwa ada hal-hal yang bisa terjadi dan itu memang di tangan Tuhan. Saya berikan contoh Pak Gunawan, ada anak-anak Tuhan yang pernah megalami musibah atau pukulan-pukulan yang sangat hebat, contohnya adalah Jesus pengarang lagu "Mana Ada Sobat lagi seperti Yesus Tuhanku".
Sehari sebelum dia menikah tunangannya mati tenggelam, nah itu memukul dia sekali tapi dia bangkit dan dia menuliskan lagu "Mana Ada Sobat Lagi seperti Yesus Tuhanku" setelah kematian tunanganya itu. Tapi memang kita tahu setelah itu hidupnya tidak pernah sama, dia itu menjadi pengembara menolong orang, tapi dia sendiri diketahui tidak pernah menikah atau berkeluarga lagi setelah itu. Apa yang dapat kita lihat, hidup memang di luar jangkauan, ada orang yang sudah merencanakan sesuatu kemudian sesuatu terjadi, anaknya meninggal, istrinya meninggal atau suaminya meninggal atau terjadi musibah yang lain nah itu semua adalah bagian hidup, kita tidak bisa mengontrolnya. Kita yang terjun dalam bisnis, misalnya kita yakin sekali kerja sama ini akan menguntungkan, tapi ternyata kerja samanya ambruk, pecah semuanya, kepercayaan tiba-tiba tidak ada lagi, terjadi konflik, berantakan. Banyak hal yang sebetulnya di luar tangan kita, nah orang yang fleksibel orang yang mengerti prinsip itu.PG : Betul, jadi sebetulnya kalau saya boleh katakan orang yang fleksibel adalah orang yang beriman, nah sekali lagi ini bukannya orang yang tidak peduli, bukan. Yang saya maksud orang yang pedli dengan hidup berbuat semaksimal mungkin, tapi dia tahu batasnya, dan dia tahu ada bagian Tuhan dan dia menghormati bagian Tuhan itu.
Itulah orang yang beriman, orang yang berkata saya bagian ini, bagian ini saya kerjakan, di luar itu biar Tuhan yang kerjakan, dan masih ada Tuhan dalam hidup ini bahwa Dia masih bekerja itulah maksudnya orang itu beriman.PG : Ya kita tetap mempunyai prinsip, kita tahu apa yang kita yakini namun dalam kenyataan hidup ini kita juga berdampingan dengan Tuhan bahwa Tuhan ada bagiannya, dan kita pun ada bagian tersediri.
PG : Betul, an susah sekali orang yang tidak bersedia menyesuaikan diri. Sekali lagi di sini bukannya menyesuaikan diri dengan dosa, dengan yang salah, tapi dengan porsi kehidupan yang kita terma itu.
PG : Itulah yang Paulus katakan Pak Gunawan, aku telah belajar hidup dalam segala kondisi, dan dia akhirnya simpulkan dia bisa menanggung segalanya karena Kristus memberikan dia kekuatan. Tapi pa artinya dia berkata: saya belajar dalam kecukupan dan juga dalam kekurangan, yaitu dia menerima porsinya.
Para pendengar sekalian yang setia mengikuti acara Telaga ini kami ucapkan banyak terima kasih bahwa Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Kami baru saja berbincang-bincang tentang fleksibel sebagai suatu sikap hidup yang sehat, dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
17. Melawan Kekhawatiran | |
Kekhawatiran itu bukanlah sesutu hal untuk dihilangkan, tetapi untuk dilawan. Di dalam materi ini dijelaskan tentang hal-hal apa saja yang dapat kita lakukan untuk melawan kekhawatiran.
Mengapa ada orang yang begitu mudah khawatir? Ternyata jawabannya tidaklah sesederhana, "Dia kurang beriman!" Ada beberapa penyebab yang membuat orang mudah khawatir.
Ada orang yang secara fisik lebih mudah khawatir, misalnya jantungnya lemah dan cepat berdebar atau susah berkonsentrasi.
Ada orang yang secara emosional terkondisi untuk khawatir akibat pengalaman masa lalunya, misalnya ia dibesarkan di lingkungan keluarga yang penuh dengan ketegangan atau ia pernah mengalami trauma yang membuatnya merasa tidak aman lagi, misalnya tragedi atau musibah.
Ada orang yang memiliki kepekaan yang tinggi dan ini membuatnya merasakan segalanya dengan lebih kuat, termasuk kekhawatiran.
Ada orang yang sukar mempercayakan hidupnya kepada Tuhan dan memiliki konsep bahwa Tuhan tidak memelihara hidupnya.
Sebetulnya, apakah kekhawatiran itu?
Kekhawatiran adalah upaya untuk melindungi diri dari bahaya yang mengancam.
Kekhawatiran adalah alarm untuk memberi peringatan bahwa ada bahaya yang sedang mendatangi kita.
Kekhawatiran adalah tindakan untuk mengantisipasi ketidakberdayaan kita mengatasi ancaman yang datang.
Dengan kata lain, kekhawatiran timbul oleh karena dua unsur:
Cara Mengatasinya:
Kehawatiran tidak untuk dihilangkan melainkan untuk dilawan.
Alkitab menawarkan solusi yang berbeda dengan cara yang manusia kenal: Bukannya mengendalikan situasi, melainkan menyerahkan situasi kepada Tuhan (bukan berserah kepada situasi). "Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepada-Nya sebab Ia yang memelihara kamu."
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Melawan Kekhawatiran", kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi ada orang-orang tertentu yang lebih rentan terhadap kekhawatiran. Dan itu bukanlah sesuatu yang langsung bisa kita kaitkan dengan kurang berimannya dia. Nah,kadang-kadang kita terlalu cepat melabelkan orang yang khawatir adalah orang yang kurang beriman.
Ternyata memang hal kekhawatiran ini hal yang cukup kompleks.PG : Biasanya kami-kami ini di Psikologi membedakan, kekhawatiran dari ketakutan melalui satu objek, melalui satu faktor yaitu objeknya. Ketakutan memiliki objek, kekhawatiran tidak memiliki obek.
Jadi kalau saya misalkan didiagnosis menderita kanker dan saya takut sekali kanker ini akan mengganas dan akhirnya akan merenggut nyawa saya, nah itu takut karena saya memiliki objek yang jelas. Kekhawatiran tidak mempunyai objek yang jelas, jadi kita bisa khawatir anak kita nanti besar bagaimana, nanti situasi bagaimana, keuangan kita bagaimana; jadi orang yang khawatir itu seolah-olah tidak pernah habis-habisnya mengkhawatirkan hampir setiap hal dalam hidup berpotensi memberikan dia tambahan rasa khawatir.PG : Bagi orang-orang itu punya, cuma masalahnya adalah kekhawatiran itu tidak pernah bisa berhenti, selalu akan ada saja yang baru. Dan kalau kita coba menjelaskan tentang kekhawatiran itu seniri dia akan bisa berargumentasi dengan kita dan membenarkan rasa khawatirnya itu.
PG : Ada beberapa Bu Wulan, yang pertama adalah ada orang yang memang secara fisik lebih mudah khawatir. Nah saya ini memang bukan seorang dokter medis jadi saya akan hanya menggambarkannya secra umum.
Yaitu misalkan orang yang jantungnya lebih mudah berdegup, orang yang memang peka sekali sehingga kalau ada ketegangan apa-apa jantung itu berdegupnya sangat keras dan sangat cepat. Tapi sebaliknya ada orang yang memang degup jantungnya itu lebih perlahan dan degup jantungnya itu juga lebih kuat, benar-benar mempunyai power. Nah orang yang degup jantungnya mudah untuk diaktifkan, tidak bisa tidak akan lebih merasakan dan lebih rentan.PG : Ya itu sangat mungkin Bu Wulan, jadi kekhawatiran atau ketegangan itu bisa menyebabkan gangguan-gangguan fisik yang aneh-aneh. Contohnya yang aneh-aneh seperti apa, tadi bu Wulan sudah katkan misalnya yang paling umum sakit maag atau sakit perut, nah tadi yang saya sudah sebut juga adalah jantung deg-deg-an, atau ke luar keringat dingin, badan sering lemas.
Nah gangguan-gangguan yang lain yang sering dialami oleh orang yang memiliki ketegangan yang tinggi adalah dia itu misalkan sulit tidur. Nah kalau orang sulit tidur selama satu, dua hari mungkin mengganggunya secara umum tidak terlalu parah, tapi kalau dia tidak bisa tidur dengan pulas selama dua bulan wah itu gangguannya lebih parah. Ada orang yang bisa sampai berbulan-bulan karena ketegangan begitu tinggi bisa memunculkan masalah-masalah fisik yang lainnya, karena kurang tidur itu. Ada juga yang tubuhnya sampai timbul gatal-gatal jadi seperti mempunyai rush, kulitnya seperti korengan. Nah kalau khawatirnya lenyap, sakit kulitnya juga ikut lenyap, tapi kalau lagi khawatir atau ada ketegangan tertentu sekujur tubuh gatal-gatal dan merah-merah, bentol-bentol dan sebagainya. Ada lagi orang-orang yang merasakan lidahnya kering terus-menerus, jadi perlu minum karena lidahnya kering sekali. Nah benar-benar begitu banyak gangguan yang bisa ditimbulkan oleh masalah yang sangat sederhana ini, kekhawatiran. Tapi memang tadi saya sudah tekankan juga kekhawatiran itu sendiri bisa ditimbulkan oleh kerentanan fisik kita, jadi ada faktor-faktor bawaan yang membuat kita lebih rentan terhadap kecemasan ini.PG : Nah kalau kita katakan karena masalah fisik, kekhawatiran itu lebih gampang kita terima. OK! Jantung saya agak lemah jadi saya lebih mudah untuk khawatir. Yang lebih susah adalah ini meman adakalanya dan sering kali kekhawatiran itu disebabkan oleh pengalaman-pengalaman emosional yang kita pernah lewati pada masa yang lebih muda atau lebih kecil.
Dan rupanya kita itu terkondisi untuk lebih mudah khawatir atau lebih mudah tegang karena hal-hal yang pernah kita alami itu. Contoh misalnya kalau kita dibesarkan di rumah tangga yang penuh dengan ketegangan, orang tua sering kali bertengkar, kita lebih terkondisi untuk rentan terhadap kekhawatiran atau ketegangan. Kalau misalnya lagi rumah tangga kita itu saking tidak harmonisnya akhirnya kita hidup di dalam ketidakpastian. Sering pindah karena ayah kehilangan pekerjaanlah atau apa hidup kita susah lagi secara ekonomi, nah hal-hal seperti itu merentankan kita juga terhadap kekhawatiran.PG : Ya, misalnya ini yang sangat umum Pak Gunawan, ini dialami oleh cukup banyak orang yaitu kalau misalkan kita pernah mengalami peristiwa yang hampir merenggut nyawa kita. Ada orang-orang yag pernah mengalami kecelakaan, ada orang yang pernah mengalami misalnya rumahnya kebakaran, ada orang yang pernah mengalami situasi di mana dia hampir kehilangan nyawanya itu biasanya menimbulkan bekas.
Sehingga dia menjadi orang yang lebih khawatir dan ini tidak usah terjadi di masa kecil kita. Kalau ini terjadi di masa lampau, meskipun tidak masa kecil namun peristiwa itu sangat traumatis, cukup kuat untuk membuat kita akhirnya rentan sekali terhadap kekhawatiran. Saya masih ingat sekali dulu waktu saya masih bermukim di Amerika, ada seorang wanita yang terus-menerus dilanda oleh kekhawatiran. Ceritanya sangat sederhana sekali, cerita ini memang cerita yang sangat umum sekali jadi saya tidak membuka yang terlalu pribadi. Dia kehilangan salah seorang dari orang tuanya, meninggal dunia. Dan dalam masa berkabung, dia lagi mengendarai mobil tiba-tiba polisi naik mobil juga, mengejar penjahat, dan penjahat serta polisi menjepit mobil dia di tengah-tengah. Dan dua-dua ke luar, polisi ke luar, penjahatnya ke luar saling tembak-menembak jadi dia di tengah-tengah. Begitu takutnya, tegang sekali karena adanya tembak-menembak di sekitar dia, apa yang terjadi setelah itu, dia terserang oleh masalah kecemasan, tegang terus-menerus, khawatir ini, khawatir itu. Nah, jadi secara umum orang-orang yang pernah mengalami masalah atau hal-hal yang traumatis ini berkemungkinan besar akhirnya memang mudah sekali cemas, hal-hal kecil mengagetkan dia sekali dan dia akan benar-benar bingung karena hal yang kita anggap kecil itu, tapi itulah salah satu penyebabnya.PG : Betul, ya dia mungkin tidak menyadarinya, dan dia menganggap itu suatu tindakan yang normal-normal saja. Dan untuk situasinya, untuk konteksnya itu kita memang harus akui tindakannya tindaan yang masuk akal karena dia pernah mengalami perampokan misalnya, jadi dia harus berhati-hati.
Meskipun kita tahu tindakannya itu sudah melebihi takaran. Jadi salah satu penyebab yang memang memungkinkan orang untuk rentan sekali terhadap kekhawatiran adalah pengalaman masa lampau itu. Yang lainnya ini, Pak Gunawan dan Ibu Wulan, ada orang yang memiliki kepekaan yang tinggi artinya apa, orang ini memang perasaan ya, sangat-sangat halus, tajam sekali, peka sekali. Akibatnya apa? Dia akan mengalami perasaan-perasaannya dalam derajat yang sangat tinggi. Jadi bukan hanya takut, perasaan sedih kalau dia lagi mengalami kesedihan, sungguh-sungguh bisa hanyut, kalau lagi marah, sungguh-sungguh marahnya itu keluar dengan keras. Nah, orang yang perasaannya sepeka ini, sehalus ini tidak bisa tidak waktu dia khawatir benar-benar kekhawatiran itu melanda seluruh tubuhnya dan hidupnya. (WL : Lebih dari orang yang normal lainnya ya Pak Paul?) lebih dari orang yang lainnya karena kepekaannya itu. Jadi adakalanya ini yang terjadi, dia memang peka untuk segala hal, ya tidak bisa tidak termasuk perasaan khawatir juga dia akan lebih peka.PG : Nah, memang kita harus akui di kalangan wanita masalah ini biasanya lebih tinggi namun tetap saya katakan meskipun secara umum di kalangan wanita lebih tinggi ada juga kasus-kasus karena pngalaman traumatis di masa lampau sebagian pria juga mengalami masalah seperti ini pula.
PG : Penyembuhan untuk orang yang terserang kekhawatiran ini sangat bergantung pada penyebabnya apa ya. Misalkan tadi Ibu Wulan sudah katakan pengalaman traumatis, kalau itu penyebabnya dalam trapi kita harus kembali kepada peristiwa semula itu.
Dia mungkin tidak pernah membicarakan lagi, biarkan dia membicarakannya atau yang kedua dia mungkin membicarakannya tapi tidak benar-benar mengekspresikan perasaan-perasaan yang saat itu dia rasakan. Nah penting sekali dalam terapi kita memintanya dan menciptakan suatu kondisi di mana dia bisa dengan aman mengekspresikan perasaan-perasaan yang dulu itu dia rasakan. Nah perasaan-perasaan yang dulu itu, yang sudah banyak tertumpuk dalam hidupnya, tatkala mulai ke luar sedikit banyak akan mulai meredakan ketegangannya. Nah, ketegangan seperti ini kalau sudah terlalu tinggi, khawatirnya terlalu tinggi bukan saja mempengaruhi fungsi sehari-harinya tatkala dia melek mata, tapi bisa mempengaruhi dia tatkala dia sedang tidur. Jadi muncul dalam mimpi, mimpinya tentu bukan mimpi manis tapi mimpi yang menegangkan. (WL: Jadi tidur pun tidak nyenyak Pak Paul ya). Nah ini yang membuat orang itu kadang-kadang seperti tambah takut tidur karena dia takut nanti harus berhadapan dengan mimpi-mimpi yang mengerikan itu, jadi akhirnya memang terus berputar dalam terapi, kita akan kembali ke situ. Sebelum saya mengatakan bahwa semuanya itu karena akibat-akibat fisik dan emosional, saya rasa cukup adil juga dan pada tempatnya kalau kita katakan juga adakalanya penyebab kekhawatiran memang adalah masalah rohani. Saya kira ini tetap harus kita akui bisa terjadi, meskipun tadi saya sudah jelaskan bahwa masalah ini masalah yang kompleks tidak adil kalau langsung kita kategorikan masalah kekhawatiran adalah masalah kurang beriman, ini tujuannya saya menjelaskan faktor-faktor yang lainnya. Namun adakalanya memang karena kurang beriman, karena kurang bisa berserah kepada Tuhan sehingga terlalu mengawatirkan banyak hal.PG : Nah kalau memang masalahnya kurang beriman, dia pertama-tama harus mendekatkan diri hidup dengan Tuhan, maksud saya adalah dia benar-benar harus bersandar kepada firman Tuhan itu. Dia tida lagi mendasarkan hidupnya atas perasaannya, nanti kalau muncul pemikiran-pemikiran yang mengkhawatirkan nah dia harus lawan dengan firman Tuhan, firman Tuhan berkata apa.
Dia khawatir tentang anak-anaknya nah dia bisa berkata firman Tuhan katakan apa, jadi dia selalu harus menggunakan fakta jangan menggunakan perasaannya, nah itu kira-kira yang dia harus lakukan.PG : Sebetulnya kekhawatiran adalah upaya untuk melindungi diri, aneh sekali tapi sebetulnya itulah kekhawatiran. Kekhawatiran benar-benar sebuah selimut untuk melindungi diri kita, dengan kitakhawatir seolah-olah kita ini berjaga-jaga.
Maka saya katakan kekhawatiran adalah alarm, sinyal, peringatan bahwa ada bahaya.PG : Awalnya dalam kadar yang tidak berlebihan ini adalah peralatan yang Tuhan berikan kepada manusia untuk melindungi, menjaga dirinya dari bahaya yang mengancamnya. Namun dalam kadar yang berebihan nah kita tahu sekarang ada yang keliru di dalam sistem itu.
Jadi sistem khawatir itu memang adalah suatu peralatan yang sudah ahli dalam hidup kita. Saya berikan satu contoh yang sangat lucu tapi saya mau bagikan, maaf bukan menyamakan manusia yang khawatir dengan hewan, tapi ini cerita tentang anjing saya. Saya mempunyai seorang pengurus anjing, nah anjing saya ini setiap sore saya bawa ke luar untuk jalan, nah suatu hari saya bawa dia keluar apa mau dikata ada motor lewat, saya memang tidak pakaikan dia rantai, motor itu menabrak dia, dia mau lari nyeberang motornya pas lewat dia ditabrak kepalanya tapi tidak apa-apa. Saya mengalami suatu masalah dengan anjing saya setelah peristiwa itu, peristiwanya terjadi hanya satu kali tapi sampai hari ini sudah hampir setahunan setiap kali saya mau suruh anjing saya ke luar susah sekali karena dia itu takut sekali ke luar, trauma, dan saya baru bujuk-bujuk dia dengan rantai anjing baru dia mau ke luar. Kalau saya tidak membawa rantai anjing dia tidak akan mau ke luar. Rupanya rantai anjing membuat dia merasa aman sebab dia tahu saya memegang, melindungi dia. Kalau saya tidak membawa rantai anjing dan saya panggil ke luar dia tidak mau ke luar. Nah apa yang terjadi, insting, dalam anjing itu ada insting, insting untuk melindungi dirinya. Dalam diri manusia juga ada insting untuk melindungi diri kita; nah sinyalnya, alarmnya itu adalah kekhawatiran. Kekhawatiranlah bel yang berkata kepada kita ada bahaya, ada ancaman.PG : Betul, jadi banyak hal yang bisa membuat kita khawatir. Nah salah satu lagi cirinya adalah tadi saya sudah katakan kekhawatiran adalah sinyal, namun satu hal yang juga merupakan tema utamadari khawatir adalah kita merasa tidak berdaya.
Jadi kekhawatiran dikaitkan dengan ketidakberdayaan, ketidakmampuan mengatasi bahaya yang mengancam itu. Kalau justru kita merasakan kita berdaya, kita bisa melakukan sesuatu, kekhawatiran itu akan berkurang. Jadi kekhawatiran berkaitan erat dengan perasaan tidak berdaya itu. Bahaya mengancam dan kita rasanya ragu-ragu, rasanya justru lebih ke arah tidak berdaya untuk mengatasi bahaya yang mengancam itu.PG : Ya karena berita-berita itu mungkin sekali pada masa lampau terbukti benar, akhirnya kita mengantisipasi yang telah terjadi mungkin terjadi lagi. Nah jadi sekali lagi kita melihat suatu poa di sini, khawatir sebetulnya sinyal, sinyal bahwa akan datang bahaya dan tidak berdaya untuk melawan bahaya itu.
PG : Betul, ada orang-orang yang memang justru ditolong oleh rasa khawatir itu, karena dengan khawatir itu dia lebih bersiap-siap. Namun pertanyaan ibu Wulan memunculkan juga satu fakta yaitu slain tadi kita bicara ada orang yang memang lebih rentan terhadap kekhawatiran ada orang yang memang tidak rentan, dan susah khawatir (WL : Maksudnya cuek begitu) cuek, kita juga tidak bisa buru-buru berkata dia beriman besar sebab bisa jadi tidak punya iman.
Tapi kenapa misalnya sangat cuek karena misalnya pertama jantungnya terlalu kuat jadi susah berdebar-debar, dia tidak pernah mengalami hal-hal yang traumatis, dan yang ketiga memang kepribadiannya acuh tak acuh, tidak peduli dengan orang di luar. Perasaannya agak tebal, susah menangis, susah sedih, susah marah, susah segala macam termasuk susah khawatir, nah ada orang yang seperti itu juga.PG : Pada prinsipnya kita harus menyadari bahwa kekhawatiran itu bukan untuk dihilangkan tapi untuk dilawan. Saya menggunakan dua kata itu untuk menekankan upayanya. Kalau upaya kita menghilangan kita akan makin terjerat di dalam roda kekhawatiran itu.
Kita berkata saya tidak boleh khawatir, saya harus begini, saya harus begini. Waktu kita mengatakan hal-hal itu, mencoba menghilangkan kekhawatiran itu, kita makin terjerumus, makin tegang. Karena kita repot sekali berkelahi mencoba menghilangkannya, semakin kita lelah berkelahi dengan rasa khawatir itu, semakin letih. Makin letih semakin kurang kuat pertahanan kita, jadi itu prinsip yang pertama, kita memang tidak mencoba untuk menghilangkan. Nah, tapi saya katakan kita mesti melawannya, ada beberapa cara tadi telah saya singgung. Pertama adalah selalu kedepankan fakta. Ada yang takut akan masa depan, Tuhan berjanji memelihara hidup kita, burung di udara Tuhan pelihara masakan kita tidak Tuhan pelihara. Sampai sekarang pun kita Tuhan pelihara masakan dari sekarang sampai nanti Tuhan tidak pelihara. Jadi selalu kita gunakan fakta itu. Ada orang yang mengkhawatirkan misalnya Pak Gunawan keselamatannya, saya sudah selamat belum ya. Apalagi kalau orang ini sangat mempercayai doktrin pemilihan, saya dipilih Tuhan tidak ya, terus bertanya-tanya saya dipilih Tuhan atau tidak akhirnya keragu-raguan itu membuat dia tambah khawatir. Nah faktanya apa? Faktanya adalah dia sudah menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya, Tuhan berjanji akan memberikan hidup yang kekal, itu yang Tuhan akan genapi. Jadi hiduplah berdasarkan fakta firman Tuhan, nah itu caranya kita melawan dengan mengedepankan fakta. Dan yang kedua adalah menarik yaitu kita melawan kekhawatiran dengan tidak memberikan perlawanan, maksudnya apa. Kita justru berserah kalau terjadi, terjadilah, apapun yang terjadi tidak apa-apa, berserah. Sebab waktu kita berkelahi kekhawatiran itu makin menggila, waktu kita melepaskan terjadilah apapun yang harus terjadi, justru lama-kelamaan ketegangan itu akan berkurang. Jadi itu yang perlu kita selalu ingat kita tidak menghilangkan tapi kita melawan. Melawan dengan mengedepankan fakta dan yang kedua melawan dengan tidak memberikan perlawanan justru membiarkan.PG :
PG : Betul sekali, itu memang suatu siklus jadi memang tidak bisa selesai satu hari, hari ini dia berhasil mengalahkannya, besok dia harus memang mengalahkannya lagi.
PG : Betul. Nah bagi orang-orang yang memang lebih rawan atau lebih rentan itu harus menjadi pokok doanya dengan lebih serius lagi.
GS : Ya namun ada janji-janji Tuhan yang begitu pasti yang bisa dijadikan pegangan bagi kita untuk melanjutkan perjalanan hidup ini. Terima kasih Pak Paul, terima kasih juga Ibu Wulan. Para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Melawan Kekhawatiran". Bagi Anda yang berminat untuk mengikuti lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) JL. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
18. Mengendalikan Sifat Pemarah | |
Seringkali kita melabelkan sifat pemarah sebagai suatu kelemahan karakter, tapi pada kenyataannya sifat pemarah tidak sesederhana itu, ada banyak faktor yang bisa terlibat dalam sifat pemarah.
Pada umumnya sifat pemarah dikaitkan dengan masalah karakter. Namun sesungguhnya problem marah tidaklah sesederhana itu. Ada beberapa penyebabnya.
Orang yang berenergi tinggi mudah marah. Orang ini mudah bereaksi karena metabolismenya cepat dan sulit mengendalikan desakan emosinya.
Orang yang hatinya digenangi oleh kemarahan oleh karena pengalaman masa lalu yang penuh kepahitan dan ketidakadilan. Orang ini mudah tersinggung karena perasaannya peka.
Orang yang karakternya bermasalah, misalnya tidak suka mengalah, mengharapkan orang untuk senantiasa mengikuti kehendaknya, atau egois.
Kadang sifat pemarah dikaitkan dengan sikap tidak mengampuni. Memang sebagian kemarahan muncul akibat kesulitan kita untuk memberi pengampunan. Namun sebagian kemarahan tidak berhubungan dengan pengampunan.
Saran bagi yang mempunyai masalah dengan kemarahan:
Kenalilah kondisi yang mudah mencetuskan kemarahan, misalnya tubuh yang letih, udara yang panas, ketidaksukaan yang terpendam.
Kenalilah sikap orang yang mudah memancing kemarahan, misalnya sikap tidak peduli, meremehkan, dsb.
Kenalilah reaksi marah sebelum muncul dan akuilah itu sebagai kemarahan.
Berilah jeda, jangan terpancing untuk menyelesaikannya pada saat itu juga.
Latih penguasaan diri melalui pernapasan dan berdoa.
Tempatkan diri pada diri orang tersebut dan lihatlah masalah dari kacamatanya.
Bicaralah setelah diri tenang dan rileks, jangan menenangkan diri melalui kemarahan.
Setiap hari kita harus mengisi kalbu dengan Firman melalui persekutuan dengan Tuhan.
Firman Tuhan: "Karena itu kuasailah dirimu (self-controlled) dan jadilah tenang (clear minded) supaya kamu dapat berdoa." (
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami akan berbincang-bincang tentang "Mengendalikan Sifat Pemarah", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Hal yang akan kita bahas pada kesempatan ini yaitu sifat pemarah adalah suatu sifat yang sering kali keliru kita pahami. Kita sering kali melabelkan sifat pemarah sebagai suatu kelemahan krakter.
Ternyata sifat pemarah itu tidak sesederhana itu, ada banyak faktor-faktor yang bisa terlibat di dalam sifat pemarah. Nah penting sekali bagi kita untuk memahaminya itulah tujuan pembicaraan kita pada saat ini Pak Gunawan.PG : Yang pertama adalah memang ada orang-orang yang secara fisik mudah untuk marah, mengapa demikian misalkan ini yang sangat umum. Orang yang berenergi tinggi, jadi orang-orang yang mempunyaimobilitas yang tinggi, energinya sangat banyak, tenaganya sangat penuh, metabolismenya sangat cepat, nah orang-orang ini memang sangat sulit sekali mengendalikan emosinya termasuk emosi marah.
Karena apa? Karena tubuhnya atau fisiknya memang reaktif jadi dia mudah sekali reaktif terhadap stimuli yang ada di luarnya. Baik itu hal-hal yang misalnya mencemaskannya atau juga hal-hal yang memang membuat dia marah, jadi orang-orang seperti ini kalau marah kekuatan amarahnya sangat kuat sebab sekali lagi dia berenergi tinggi jadi bisa sekali mengeluarkan ledakan emosi yang kuat.PG : Sebetulnya kebalikannya setahu saya, justru gara-gara kita itu sifatnya pemarah, sering marah maka darah tinggi kita cepat naik, seharusnya begitu.
PG : Sangat ada, jadi temperamen manusia itu sebetulnya bersumber dari dua faktor yaitu faktor yang berasal dari tubuh kita dan faktor yang berasal dari pembentukan yang kita alami sejak kita kcil.
Nah orang yang plegmatik misalkan secara tubuh memang dia itu lebih lamban, metabolismenya lebih perlahan sehingga dia lebih susah untuk mengeluarkan kemarahannya. Tapi orang plegmatik juga susah untuk mengekspresikan perasaan-perasaan yang lainnya karena memang dia tidak mudah bereaksi. Tapi temperamen sanguin atau temperamen kolerik itu mudah sekali bereaksi karena memang mereka itu rentan terhadap stimulus dari luar. Atau orang yang memang melankolik, kalau lagi anjlok ya anjlok sekali, kalau lagi naik ya naik sekali. Kalau pas dia lagi anjlok ada orang yang membuat dia marah mungkin sekali emosi marah itu tidak keluar karena dia sedang sedih, namun kalau kebetulan dia lagi pas naik, terus ada orang yang membuat dia marah, marahnya bisa cepat keluar. Jadi temperamen juga berpengaruh itu betul sekali.PG : Saya kira ada dua faktor di situ, secara genetik mungkin sekali ada pengaruhnya, karena tadi saya sudah singgung bahwa tubuh kita juga berpengaruh terhadap reaksi marah. Namun yang kedua yng juga berpengaruh adalah budaya, karena budaya menuntut kita untuk bereaksi atau budaya kita memberi kebebasan kepada kita mengekspresikan perasaan.
Jadi orang-orang yang memang dari budaya yang memberi kebebasan untuk orang mengekspresikan perasaan, otomatis juga akan lebih sering mendengar emosi marah, tapi bukan hanya emosi marah yang akan terdengar dalam budaya tersebut juga kita akan sering mendengar emosi senang, tertawa dsb. Jadi memang faktor budaya bisa berpengaruh juga.PG : Betul, jadi perasaan memang bisa digenangi oleh rasa marah sehingga dia menjadi pemarah. Apa yang membuatnya tergenangi oleh perasaan marah, nah ini kita kembali kepada peristiwa masa lampu.
Ada orang-orang yang mengalami banyak sekali kemarahan dalam hidupnya, melihat papanya marah, melihat mamanya marah atau melihat tetangga-tetangganya suka marah, suka berkelahi, suka membenci. Nah orang yang hidup di dalam lingkup seperti itu susah sekali untuk bisa menangkal rasa permusuhan atau rasa marah, sehingga perlahan-lahan rasa marah itu menyelinap masuk dan menggenangi hatinya. Atau dia marah karena melihat orang tuanya sering bertengkar atau dia melihat orang tuanya diperlakukan tidak adil, mamanya diperlakukan tidak baik oleh ayahnya atau dan sebagainya. Nah hal-hal itu akhirnya membuat endapan-endapan dalam hatinya, emosi marah itu sudah tersedia, tinggal nanti tersulut oleh peristiwa-peristiwa yang kecil. Jadi masalah yang tidak seharusnya membuat dia marah besar dia akan keluarkan kemarahan yang besar seperti kawah tinggal tunggu untuk meletus. Sebab dia memang sudah mempunyai banyak kemarahan itu dan tanpa disadari seolah-olah dia memang menantikan adanya pemicu, sebab dia menyimpan begitu banyak kemarahan dan kemarahan itu memang membuat kita terbebani, emosi marah itu seperti tenaga. Jadi kadang-kadang dia sepertinya itu menantikan adanya pemicu jadi dengan adanya pemicu dia bisa menyalurkan kemarahan itu. Nah sering kali orang yang seperti ini, setelah marah besar akan menyesal besar. Dia akan melihat ke belakang dan berkata kenapa saya seperti itu, saya tidak mau menjadi orang seperti itu. Apalagi kalau dia melihat dulu orang tuanya seperti itu, dia tidak mau seperti orang tuanya tapi emosi marah itu sudah terlanjur terserap olehnya, sehingga mudah meledak, waktu meledak dia teringat akan imajinasi atau akan citra orang tuanya yang dia tidak suka karena suka marah itu, sekarang dia menjadi seperti orang tuanya juga.PG : Bisa Pak Gunawan, jadi memang harus saya akui ada faktor berikutnya yang membuat orang itu mudah marah, yaitu karakternya. Misalkan dia terbentuk dalam keluarga untuk menjadi orang yang egis.
Karena apa? Dia di dimanja, keinginannya selalu dituruti, dia adalah pusat perhatian, nah akibatnya yang dia katakan selalu harus diikuti oleh orang. Kalau orang tidak ikuti dia akan marah, jadi semua harus berjalan sesuai dengan rencana atau keinginannya, nah ini saya kira masalah karakter. Dan ada orang yang seperti ini berkarakter mau menang sendiri, mementingkan diri sendiri, tidak mau peduli dengan orang, segalanya harus seturut dengan kehendaknya. Nah orang yang seperti ini memang akan sangat mudah marah.PG : Ya memang tidak bisa tidak kita mengaitkannya dengan buah Roh Kudus, sebab Roh Kudus mempunyai buah penguasaan diri, mempunyai buah kasih; nah otomatis kita katakan mana kasihmu kalau engku marah, mana penguasaan dirimu kalau engkau marah.
Kelemahlembutan sudah langsung dilanggar, kesabaran sudah langsung dilanggar juga, jadi orang akan mengaitkannya dengan semuanya itu. Atau ada orang yang mengaitkan sifat pemarah dengan tidak bisa mengampuni orang jadi seolah-olah mendendam. Kenyataannya adalah tidak selalu begitu, memang ada yang begitu tapi kita harus teliti, harus jeli sewaktu mencoba memahami orang yang bersifat pemarah ini. Sebab bisa jadi memang latar belakangnya seperti itu, sehingga membuat dia selalu mudah meletup. Nah belum tentu dia tidak mengampuni, mungkin sekali itu tidak berkaitan dengan mengampuni, dia sudah mengampuni tapi karena hatinya tergenang oleh kemarahan dia mudah marah kembali. Nah kita tidak boleh terlalu cepat menuduhnya seolah-olah dia kurang dipenuhi oleh Roh Tuhan sehingga dia mudah marah, saya kira belum tentu begitu. Yang penting adalah kita mau melihat dalam dirinya adanya upaya untuk bergumul dengan masalahnya itu, sehingga dia tidak menjadi orang yang apatis dan berkata biarlah saya menjadi saya atau dia menyuburkan sifat pemarahnya itu sehingga menjadi suatu karakter yang melekat pada dirinya yaitu dengan cara berkata semua orang memang salah, dia yang benar, semua orang memang tidak bisa mengerti dirinya. Nah orang yang memang seperti itu akhirnya membentuk karakter yang sangat egois sekali dan itu memang lebih membuat dia mudah marah.PG : Pertama yang praktis dulu Bu Wulan yaitu kita mesti mengenali kondisi yang mudah mencetuskan kemarahan. Nah setiap orang kondisinya lain, tapi yang saya bisa berikan misalkan daftarkan: petama tubuh yang letih, mudah sekali kita marah kalau tubuh kita letih.
Nah kalau kita kenali memang tubuh kita ini sedang letih, dan kita tahu kita mudah marah kalau lagi letih mungkin kita bisa berjaga-jaga mengantisipasi sebelumnya misalnya istirahat dulu begitu atau kita rentan terhadap udara yang panas, nah kita mesti juga mengantisipasi wah....ini sudah mulai siang, hawa mulai panas saya harus bisa menjaga diri. Misalnya bawalah air es, minumlah lebih banyak air es. Hal yang sangat simpel tapi sebetulnya ampuh sekali karena air es itu akan menurunkan suhu kita. Kita akan lebih tenang misalnya atau kita ini tahu kita suka menyimpan perasaan, kalau tidak suka, tidak setuju kita simpan. Nah sekarang kita sudah kenali bahwa kalau perasaan ini kita tumpuk terus meledak dan meledaknya kuat sekali karena kita sudah kenali sekarang ya kita ubah, jangan menyimpan-nyimpan perasaan seperti itu. Tidak suka ya langsung ngomong saja, tidak setuju ya langsung ceritakan saja. Jadi pintar-pintarlah mengenali kondisi-kondisi yang mudah memicu kemarahan kita dan antisipasilah.PG : Dan kita tidak bisa tergesa-gesa melabelkan bahwa aduh ini Pak Gunawan sangat kedagingan sekali sehingga lapar bisa memicu marah, bukan. Karena memang entah mengapa yang saya juga tidak akn bisa mengerti, lapar dalam diri Pak Gunawan itu langsung berkaitan dengan emosi.
Mungkin untuk orang lain tidak begitu, lapar tidak akan membuat dia mudah marah. Misalkan dalam diri saya pribadi, saya rentan sekali dengan tubuh yang letih dan istri saya juga tahu itu. Saya pulang dari kerja saya mesti ada waktu sekitar setengah jam untuk sendirian, saya tidak bisa waktu pulang langsung tiba-tiba masuk lagi ke roda aktifitas yang baru. Saya harus benar-benar lepas selama setengah jam dari hiruk-pikuknya hidup, setelah setengah jam itu tiba-tiba saya menjadi orang yang normal lagi. Dalam waktu setengah jam itu kalau saya harus masuk lagi dalam kancah hiruk-pikuk tiba-tiba saya mudah sekali kehilangan kesabaran saya. Nah anak-anak saya pun juga menyadari hal itu. Jadi yang kita sudah kenali kita mungkin bisa beritahukan misalkan kita sudah berkeluarga kita bisa beritahukan, waktu saya pulang mohon berikan saya waktu setengah jam saja. Nah mereka lakukan itu, kita mendapatkannya juga, tiba-tiba masalah yang besar jadi kecil sekarang.PG : Sangat erat sekali dan suhu juga, saya pernah membaca di sebuah studi di Amerika Serikat. Perkara pembunuhan atau tindak kriminal lebih sering terjadi di musim panas daripada musim dingin.Jadi rupanya memang ada kaitan sekali, suhu membuat tubuh kita bereaksi juga.
Yang lainnya lagi adalah kenalilah sikap orang yang mudah memancing kemarahan. Tidak semua sikap orang memancing kemarahan kita dan setiap kita mempunyai sikap-sikap tertentu yang mudah sekali membuat kita marah, nah kita mesti kenali itu. (WL : Maksudnya kita jauhi orang itu begitu, Pak Paul?) Kita bisa jauhkan atau kita bisa antisipasi, maka mungkin kita bisa menghindar. Atau waktu dia mengatakan atau berbuat sesuatu kita sudah ada lagi pilihan reaksi yang lain karena kita sudah menyadari reaksi kita. Misalnya kita suka sekali marah dengan orang yang tidak peduli, waduh kita langsung tiba-tiba terbakar oleh emosi kalau orang memberikan sikap tidak peduli. Yang lainnya sikap meremehkan, ada orang yang sangat mudah marah dengan sikap orang yang meremehkannya. Tapi bagi sebagian orang lain tidak apa-apa, nah kita mesti kenali sikap seperti apakah yang mudah membuat kita marah. Nah dalam konteks suami-istri atau dengan anak-anak kita sekeluarga, hal-hal ini memang perlu kita komunikasikan, sikap seperti inilah yang membuat saya marah. Sebetulnya masalahnya tidak membuat saya marah, tapi waktu engkau menyampaikannya dengan sikap ini maka saya marah, nah hal-hal seperti itu perlu kita jelaskan.PG : Betul, macam-macam, ada orang yang karena pengalamannya dia diperlakukan tidak adil mudah sekali bereaksi dengan sikap tidak adil.
PG : Dan memang itu adalah diri kita. Misalkan Pak Gunawan dicaci maki, mungkin Pak Gunawan bisa lebih menahan diri dan tidak apa-apa, ya sudahlah dia tidak suka sama saya ya sudah saya terima,tapi gara-gara orang terlambat 10 menit itu menjadi masalah.
Jadi memang kadang-kadang karena pengalaman hidup kitalah ada hal-hal tertentu yang mudah memicu kemarahan kita. Sudah tentu tugas kita atau tujuan kita pada akhirnya kita bisa mengendalikannya, namun tidak ada salahnya mengenali pemicu-pemicunya ini. Yang lain lagi adalah kenalilah reaksi marah sebelum muncul dan akuilah itu sebagai kemarahan. Kenalilah reaksi marah sebelum muncul dan akuilah itu sebagai kemarahan maksudnya begini, salah satu hal yang sering kali dikatakan oleh orang yang mudah marah yaitu : "O......saya tidak marah, saya tidak marah kok", pasangannya berkata: "Kamu sudah marah ini, kenapa kamu marah-marah?"; "Tidak.......saya tidak marah kok!" Nah itu yang perlu disadari. Jadi orang yang tahu dirinya mudah marah, perlu peka dengan reaksi marah sehingga sebelum dia meledakkan kemarahan itu keluar dia langsung sudah berkata: "Saya sedang marah, nah dia langsung harus katakan saya sedang marah dan karena apakah saya marah." Dia langsung buru-buru harus berdialog dengan dirinya nah ini penting sekali.PG : Kalau sudah meledak tidak ada waktu lagi untuk berdialog makanya tadi saya katakan sebelum. Kalau sudah ya sudah terlambat, tidak ada lagi yang bisa memutar jarum jam untuk kembali. Maka da hanya bisa mengontrol kalau dia kenali sebelum kemarahannya keluar.
Nah tadi saya tekankan kecenderungan orang yang sifatnya pemarah tidak terlalu cepat mengakui dirinya sedang marah. Sering kali berkata: "Tidak, saya tidak apa-apa, saya tidak marah tapi tiba-tiba meledaknya besar.PG : Nah yang kita perlu lakukan adalah kita jangan mengeluarkannya dengan kata-kata. Sering kali waktu marah, kita katakan dengan keras: "Saya sedang marah!" Nah kalau itu terjadi suah terlambat.
Justru waktu dia marah, sebaiknya dia tidak mengeluarkan kata-kata marah itu, kata-kata marah semakin memberikan bobot pada kemarahannya. Hal yang lain yang sangat sederhana yang bisa dilakukan adalah ini Bu Wulan dan Pak Gunawan, yaitu melatih pernafasan kita, mengontrol pernafasan kita. Jadi pernafasan itu cenderung menjadi lebih cepat pada waktu kita marah, nah penting sekali kita menarik nafas panjang, tahan, keluarkan perlahan-lahan. Dan pada waktu kita keluarkan benar-benar tubuh kita itu kita lemaskan sekali. Nah pada waktu kita bisa melatih pernafasan kita itu dan tidak berpikir apa-apa hanya pikirkan pernafasan kita. Kita sudah mulai tenang baru kita berdoa, terus kita berdoa dan bernafas dengan perlahan, nah itu sendiri juga bisa menolong.PG : Sebetulnya tidak, kita sadari kita marah dan itulah cara kita mengontrolnya, jadi kita melatih menguasai pernafasan kita dan berdoa. Kalau sudah bisa kita lakukan barulah kita tempatkan dii pada diri orang lain, mulai kita melihat masalahnya dari kacamata dia.
Dia melihatnya begini, mungkin itu yang tadi terjadi, o.....ya......ya.....saya tadi tidak melihat begitu, o........OK...!. Nah waktu kita bisa berdialog dan menempatkan diri pada posisi lawan bicara kita, itu sangat menolong. Nah setelah itu baru kita bicara dengan diri kita sendiri, o........ya tadi dia begitu karena dia merasa begini-begini, saya bereaksi begini. Kita mulailah berbicara dengan diri kita, nah itu cara kita menenangkan diri. Sekali lagi saya tegaskan jangan kita menenangkan diri melalui kemarahan. Adakalanya orang yang terbiasa dengan marah menggunakan kemarahan untuk mengurangi kemarahannya. (WL : Maksudnya Pak Paul, bagaimana?) Setelah dia meledak dia merasa lebih baik.PG : Betul sekali, jadi jangan sampai menggunakan kemarahan untuk melepaskan kemarahan.
PG : Saya anjurkan setiap hari dia mesti berdoa, pagi-pagi bangun benar-benar ambil waktu yang sangat tenang untuk dia bersaat teduh. Dia perlu mengisi kalbunya dengan firman Tuhan, kalau hatina tidak dikuasai oleh firman Tuhan kemarahan itu akan mudah muncul.
Tapi hati yang dikuasai oleh firman Tuhan akan menjadi hati yang terjaga.PG : Tapi Tuhan Yesus bukan pemarah, Tuhan bisa marah, manusia pun diizinkan Tuhan untuk marah tapi bukan menjadi pemarah. Kalau pemarah itu sudah menjadi sifat, jadi itu yang kita mau kendalikn.
Nah firman Tuhan memang sangat jelas dalam hal ini Pak Gunawan, diPG : Betul sekali, kita tidak bisa lagi berpikir dengan tenang jadi memang firman Tuhan berkata: kendalikan diri, kuasai diri dan berpikirlah jernih. Orang yang bersifat pemarah susah sekali bepikir jernih.
PG : Betul, dan itu harus dijaga, dan dijaganya sebelum kemarahan itu keluar, justru itu yang penting dilakukan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan juga Ibu Wulan banyak terima kasih untuk kesempatan kali ini. Para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengendalikan Sifat Pemarah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) JL. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang
19. Memelihara Hati | |
Hati dapat diibaratkan seperti kaca: makin bening, makin tepat di dalam kita melihat realitas. Dalam bagian ini kita akan mengetahui hal-hal apa sajakah yang dapat mengotori hati dan bagaimana seharusnya kita menjaga hati itu.
"Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan karena dari situlah terpancar kehidupan."
Hati dapat diibaratkan seperti kaca: makin bening, makin tepat kita melihat realitas. Di bawah ini dipaparkan hal-hal yang dapat mengotori hati.
Ketakutan: Kita melihat dunia sebagai tempat yang tidak aman dan manusia lain sebagai ancaman yang sewaktu-waktu dapat membahayakan kita. Kita menjadi terlalu berhati-hati dan tidak mudah percaya pada maksud baik sesama. Terhadap Tuhan pun kita bersikap sama.
Kemarahan: Kita sakit hati dan ingin melampiaskan kemarahan kita pada siapa dan apa pun yang datang menghampiri kita. Kita melihat tindakan orang sebagai upaya untuk membuat kita marah dan akhirnya kita akan senantiasa menemukan alasan untk marah.
Kecemasan: Kita melihat ketidakpastian dalam setiap aspek kehidupan; kita cenderung menyoroti sisi negatif dari segalanya. Kita gagal melihat yang baik karena hanya melihat sisi buruk.
Kekuasaan: Kita haus akan kuasa dan melihat segala hal dari ukuran kuasa; kita memandang sesama sebagai pesaing yang harus kita taklukkan. Hidup akhirnya menjadi ajang pertarungan.
Kenikmatan: Kita dikuasai oleh segala jenis kenikmatan yang memberi kelegaan sementara, misalnya seks, narkoba, harta.
Ketamakan: Kita ingin memiliki lebih dan tidak pernah merasa cukup; kita cenderung mengeksploitasi orang demi keuntungan pribadi.
Prinsip Penjagaan Hati
Tuhan meminta kita menjaga-karena jika tidak, unsur pencemaran akan mudah muncul. Akui, bila memang ada keinginan atau kebutuhan tertentu, namun perhatikan cara pemenuhannya. Jangan gunakan cara yang keliru.
Hati yang bersih akan memancarkan air kehidupan; sebaliknya, hati yang kotor akan memancarkan air yang kotor. Firman Tuhan adalah air yang bersih, jadi isilah hati kita dengan Firman Tuhan. "Jawab Yesus kepadanya "Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barang siapa minum air yang Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selamanya, Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya akan menjadi mata air di dalam dirinya yang terus menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal." (
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan saya bersama Ibu wulan, S.Th. kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini kami beri judul "Memelihara Hati", kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Nah kata hati dalam bahasa atau terjemahan aslinya memang mengacu kepada jantung, tapi terjemahan kita pada hati. Nah jantung itu merupakan pusat manusia, jadi seolah-olah sepertinya semuatindakan kita, semua pikiran-pikiran kita itu diatur oleh hati atau oleh jantung.
Nah dengan kata lain firman Tuhan ingin mengajak kita untuk memperhatikan pusatnya kita itu agar jangan sampai yang keluar dari pusat itu hal-hal yang kotor, hal-hal yang bukan membawa kepada kehidupan. Nah sebaliknya kalau kita menjaga hati kita, firman Tuhan menekankan bahwa itu penting sekali sebab hati itu akan mengeluarkan sumber air hidup, nah ini yang akan menjadi pokok bahasan kita Pak Gunawan.PG : Saya kira yang dimaksud dengan hati kotor adalah hati yang mempunyai kecenderungan-kecenderungan, pola-pola yang justru tidak membangun, tidak menyehatkan malah bisa merusakkan. Hati yang ersih, hati yang bening itu artinya hati yang bisa melihat realitas dengan tepat.
Seperti kacamata atau seperti kaca, kalau bening kita bisa melihat realitas dengan tepat, tapi kalau kotor kita tidak bisa melihat realitas itu dengan tepat. Maka saya kira sama di sini hati yang bersih membuat kita bisa melihat dan bersentuhan dengan realitas secara tepat, tapi hati yang sudah kotor akan menyulitkan kita melihat dan bersentuhan dengan realitas.PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah ketakutan. Nah ini memang jarang kita pikirkan bahwa ketakutan itu bisa mempengaruhi hati secara buruk, tidak positif. Ketakutan yang terlalu enguasai hati kita akan membuat kita melihat dunia sebagia tempat yang tidak aman dan akhirnya kita melihat manusia lain sebagai ancaman yang sewaktu-waktu dapat membahayakan kita.
Jadi kalau hati kita penuh dengan ketakutan, kita menjadi orang yang terlalu berhati-hati sampai-sampai kita tidak mudah percaya pada maksud baik sesama. Nah kadang-kadang ini kita bawa juga ke dalam hubungan dengan Tuhan Pak Gunawan, kita menjadi penuh curiga dengan Tuhan. Tuhan itu belum tentu berniat baik kepada kita, akhirnya yang paling baik pun Tuhan berikan kepada kita, kita susah menerima dengan penuh pengucapan syukur. Karena kita bertanya-tanya nah di belakang ini ada apa, jadi hati yang penuh ketakutan akhirnya akan mendistorsi pandangan kita tentang realitas yang sebenarnya dan malah menuduh orang seakan-akan ingin melukai, mengancam kita.PG : Betul, adakalanya kita tidak memiliki banyak pilihan Bu Wulan, kita menjadi korban situasi, menjadi korban perbuatan orang yang jahat kepada kita dan tidak bisa tidak reaksi kita adalah taut, kita tidak mau masalah atau trauma yang sama terulang lagi pada kita.
Nah memang tadi saya katakan ini akan mempengaruhi hati kita, jadi ada orang yang mempunyai alasan untuk bersikap seperti itu, ada orang yang tidak terlalu mempunyai alasan untuk bersikap seperti itu. Nah apapun kondisinya, beralasan atau tidak kita sebaiknya atau sebisanya berusaha untuk bertumbuh tidak diam dalam ketakutan kita, tapi kita bertumbuh membangun relasi dan mulai mempercayai orang kembali bahwa tidak semua orang itu berhati jahat dan ada yang tidak jahat. Nah tugas kita adalah memilah-milah mana yang baik, mana yang jahat dan tidak menyamaratakan semua orang sebagai orang-orang yang tidak bisa kita percayai. Jadi intinya adalah itulah kondisi sebagian dari kita yang mengalami peristiwa yang buruk tapi tetap kita jalan lagi, kita jangan menyerah dan berdiam diri dalam kondisi seperti itu, karena akhirnya akan mempengaruhi relasi dengan orang lain dan juga dengan Tuhan.PG : Saya kira ya, Tuhan ingin mengingatkan manusia bahwa masih ada Tuhan dalam dunia ini, dalam hidup ini masih ada Tuhan. Dan bahwa segalanya itu berada dalam kendali-Nya, seburuk apapun peritiwa yang kita alami tetap terjadi dalam perizinan yang Tuhan berikan.
Jadi Tuhan ingin mengingatkan: "Percaya kepadaKu, percaya kepada-Ku, jangan takut masih ada Aku. Nah ini janji yang kita akan terus pegang.PG : Berikutnya adalah kemarahan. Nah ini mungkin bisa berkaitan juga dengan tadi yang dikatakan Ibu Wulan tentang seseorang yang mengalami perkosaan sampai begitu berkepanjangan. Sudah tentu slain dari takut, depresi, putus asa, salah satu yang akan juga dialami olehnya adalah kemarahan, marah kepada orang yang begitu jahat kepadanya.
Nah dengan kata lain, kalau kita mempunyai hati yang dipenuhi dengan kemarahan, sebetulnya kita ini sakit hati ingin melampiaskan kemarahan kita pada siapa atau apapun yang datang menghampiri kita. Kita cenderung melihat tindakan orang sebagai upaya untuk membuat kita marah, meskipun kita tahu sebetulnya bukan itu tujuannya, tapi kalau hati kita penuh dengan kemarahan kita cenderung menyangka orang memang sengaja membuat kita marah. Dan akhirnya kita akan senantiasa menemukan alasan untuk marah, ada orang yang seperti ini. Nah orang yang seperti ini akhirnya tidak bisa melihat realitas dengan tepat, tidak bisa melihat niat baik orang untuk menolongnya, membantunya, dia mungkin akan meledak, akan marah, merasa tersinggung, jadi benar-benar sedikit-sedikit dia marah karena sudah menganggap orang memang sengaja ingin membuatnya marah.PG : Ada waktunya kita marah, sudah tentu dalam kasus seperti tadi itu akan sangat bermanfaat kalau dia bisa mengutarakan kemarahan-kemarahannya. Nah mudah-mudahan dalam pembimbingan yang ditermanya di situlah dia menemukan kebebasan untuk mengungkapkan kemarahan-kemarahannya, nah silakan lakukan itu.
Ketakutannya juga akan menyertai dia sebab memang untuk jangka yang panjang dia akan sangat takut sekali percaya kepada orang, sebab mungkin yang memperkosanya seseorang yang dia kenal yang dia anggap seharusnya bisa melindungi dia, tapi kok malah merugikannya seperti itu. Jadi memang untuk waktu yang panjang dia akan terpengaruh, dan tidak realistik bila kita berkata sekarang juga engkau harus lepaskan dan engkau harus berubah, betul itu. Namun sekali lagi yang saya tekankan adalah jadikan ini sebagai pokok pertumbuhan kita bukan sebagai sesuatu yang akan kita terima untuk seumur hidup kita, bahwa sama seumur hidup saya akan membenci manusia, saya akan tidak mempercayai manusia, nah saya kira kalau kita sampai ke titik itu ya tidak sehat juga.PG : Ya tidak, karena memang adanya kotoran yang masuk ke dalam diri kita yang dilakukan oleh orang-orang, nah itu yang perlu kita bersihkan kembali, dalam pengertian kita mengungkapkan, mengelarkannya sehingga akhirnya tekanan emosi marah dan takut itu akhirnya bisa mulai lepas dari diri kita.
PG : Ada alasan yang jelas, jadi yang saya coba tekankan adalah hati yang bersih bisa melihat dan bersikap kepada realitas secara tepat. Kalau memang kita harus marah kepada realitas yang membut kita itu marah, silakan marah.
Tuhan bersikap marah kepada orang Israel karena tidak patuh, karena menyembah illah lain dan sebagainya. Jadi ada waktunya kita marah tapi tepat sasaran. Yang saya tadi coba ungkapkan adalah hati yang dipenuhi kemarahan terus-menerus sehingga membabi buta, tidak tepat sasaran. Tidak ada orang yang ingin membuatnya marah, dia anggap sengaja membuatnya marah dan sebagainya.PG : Yang lain adalah kecemasan. Kecemasan ini artinya kita melihat ketidakpastian dalam setiap aspek kehidupan. Saya mengerti memang tidak ada yang pasti dalam hidup ini, tapi juga jangan sampi kita senantiasa hanya melihat ketidakpastian dalam hidup.
Kita menjadi orang yang hanya menyoroti sisi negatif dari segalanya atau istilah yang lebih populer sekarang ini negatif thinking, kita akhirnya juga gagal melihat yang baik karena hanya melihat sisi yang buruk. Nah hidup seperti ini hidup yang mencemaskan dan hati kita penuh dengan ketakutan atau kecemasan-kecemasan kecil seperti ini, sehingga melihatnya yang negatif, melihatnya yang buruk nah orang yang seperti ini saya kira tidak juga bisa melihat realitas dengan tepat.PG : Yang tadi Pak Gunawan ungkapkan adalah bisa jadi memang kita ini sedang mencemaskan sesuatu yang kita tidak ingat atau sadari, tapi kita bawa kecemasan itu, sehingga akhirnya kita terus measakan adanya riak-riak, gelombang-gelombang dalam jiwa kita yang membuat kita tidak bisa tenang.
Tapi juga bisa kita memang orang yang mempunyai banyak kecemasan dalam hidup, sehingga kita tidak bisa melihat keindahan hidup ini, kita hanya menyoroti keburukan hidup ini. Nah ada orang yang juga seperti itu sehingga jarang bisa mengucap syukur, jarang bisa berterima kasih, yang lebih sering keluar dari mulutnya adalah misalnya keluhan atau bahkan umpatan.PG : Ok, kalau misalkan memang dia mempunyai naluri yang kuat seperti itu dan hanya terjadi kadang-kadang saya kira itu wajar. Kalau setiap hari dia cemas nah itu menjadi tidak wajar, berarti pkirannya terlalu dikuasai oleh hal-hal yang negatif, seolah-olah hal yang negatif itu selalu siap untuk menerkamnya.
PG : Maksud saya begini, jangan sampai segala hal kita pandang dari sisi negatif bahwa seolah-olah hidup itu penuh dengan hal-hal yang negatif yang selalu siap untuk menghadang kita. Nah ada orng yang selalu menyoroti hidup dari sisi negatif seperti itu.
PG : Baik sekali, tidak apa-apa ya, jadi yang penting seimbang. Kita bisa melihat yang positif dan negatif, nah orang yang hatinya dipenuhi kecemasan hanya melihat yang negatif dia gagal meliha ada sisi positifnya juga.
PG : Ya itu masuk dalam kategori kekuasaan Pak Gunawan, jadi orang ini memang haus akan kuasa dan melihat segala hal dari ukuran kuasa. Dengan kata lain yang tadi Pak Gunawan katakan, dia memanang sesama sebagai pesaing yang harus dia taklukkan dan akhirnya hidup tidak bisa damai dengan realitas, dia selalu melihat realitas seolah-olah sedang menantang, dia harus taklukkan.
Susah sekali orang seperti ini hidup rukun dengan sesama tanpa prasangka apa-apa, selalu ingin maju, ingin di depan dan harus nomor satu orang lain harus dia kalahkan.PG : Saya kira itu betul karena memang nomor satu pria lebih mengandalkan otot dan otot itu identik dengan kuasa juga. Pada masa kecil waktu dia diejek dia harus misalkan berkelahi menunjukkan totnya, nah waktu dia menang dia menjadi orang yang lebih berkuasa daripada orang yang dikalahkan, jadi saya setuju pria lebih rentan terhadap hal ini.
PG : Saya kira tidak selalu salah, jadi intinya adalah hal ini jangan sampai menguasai kita. Adakalanya kita ingin menang dan itu adalah hal yang positif, kita mempunyai daya kompetitif, tapi jngan sampai itulah yang mengisi hidup kita atau hati kita sehingga akhirnya kita melihat orang di sekeliling kita sebagai orang-orang yang sedang mencoba bersaing dengan kita.
PG : Bisa Pak Gunawan, jadi salah satu faktor lain yang bisa mengotori hati kita ialah kenikmatan. Kita dikuasai oleh segala jenis kenikmatan yang memberi kelegaan sementara misalnya seks, narkba, harta, jadi yang kita pikirkan hanya itu, bagaimana bisa mendapatkan hal-hal ini.
Akhirnya kita tidak bisa berhubungan dengan lawan jenis kita dengan murni, tidak berani menghadapi stres dalam hidup karena kita lari ke narkoba dan sebagainya.PG : Bukan, karena memang kenikmatan adalah bagian dari pemberian Tuhan, nah misalkan dalam hal hubungan seksual antara istri dan suami kita, itu bagian yang memang Tuhan berikan kepada kita. Nmun jangan sampai kita menjadi orang yang dikuasai oleh pikiran-pikiran ini sehingga yang kita cari adalah kenikmatan, tidak ada hal lain yang kita cari.
Dan segala hal kita hanya ukur dari sudut itu saja.PG : Ya maka kita harus menjaga juga, jangan sampai akhirnya terlalu tinggi dan menguasai kita. Ada orang yang hidupnya itu benar-benar dari satu kenikmatan kepada kenikmatan lainnya, dia tidakbisa hidup benar-benar lepas dari kenikmatan.
PG : Tidak ada yang permanen, kita misalkan mencari-cari harta, baju, kita membeli satu baju hanya akan memberikan kenikmatan misalnya selama sebulan, dua bulan, setelah itu baju yang sama tida lagi memberikan kenikmatan seperti pertama kali kita memakainya.
Ada orang yang terus mencari itu dan itulah yang menjadi pemenuhan kebutuhannya. Saya kira kalau hati diisi oleh keinginan seperti ini tidak bersih lagi, tidak bisa melihat realitas kehidupan.PG : Betul, jadi kita harus bisa menjaganya.
PG : Ya dan itu salah satu hal yang mengotori hati kita Pak Gunawan, yaitu kita ingin memiliki lebih dan tidak pernah merasa cukup akhirnya kita cenderung mengesploitasi orang demi keuntungan pibadi.
Jadi orang yang tamak hanya memikirkan apa yang bisa aku sedot lagi, apa yang bisa aku peroleh lagi, jarang atau tidak bisa memikirkan apa yang aku bisa berikan kepada orang, sekali lagi dia gagal melihat hidup dengan benar.PG : Tuhan meminta kita untuk menjaga hati kita Pak Gunawan, karena kalau tidak unsur pencemaran akan mudah muncul. Jadi langkahnya adalah, karena Tuhan meminta kita menjaga kita harus akui kalu memang ada keinginan atau kebutuhan tertentu itu.
Nah keinginannya atau kebutuhannya mungkin sekali tidak apa-apa, tapi kita harus perhatikan cara pemenuhannya, caranya itu jangan sampai cara yang tidak berkenan kepada Tuhan.PG : Betul, misalkan gara-gara kita menginginkan harta misalnya kita menginginkan satu televisi, akhirnya kita melakukan hal yang salah. Kita mengambil uang yang bukan milik kita, kita memeras rang dan sebagainya nah cara salah itulah yang Tuhan tidak perkenankan, keinginannya itu sendiri saya kira manusiawi.
PG : Betul, karena Tuhan melihat dua-duanya tujuannya dan juga caranya.
PG : Yang lain adalah firman Tuhan berkata bahwa hati yang bersih itu akan memancarkan air kehidupan, dengan kata lain hati yang kotor juga akan memancarkan air yang kotor. Firman Tuhan adalah ir yang bersih itu jadi kita mesti mengisi hati kita dengan firman Tuhan.
Nah ini yang Tuhan Yesus katakan kepada perempuan Samaria : "Barangsiapa minum air ini ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya akan menjadi mata air di dalam dirinya yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal." Ini saya ambil dariPG : Dia mesti memang melakukannya dengan kesadaran yaitu saya perlu, saya ini tidak bisa hidup tanpa firman Tuhan, jadi saya mau membiasakan diri membaca firman Tuhan dengan teratur kalau bisasetiap hari agar firman Tuhan menjadi bagian dari pikiran kita yang alamiah.
PG : Saya kira realistik untuk kita menyadari tidak selalu kita akan dapat memancarkan air kehidupan itu, adakalanya yang muncul mungkin kata-kata kasarlah atau kemarahan yang tidak semestinya an sebagainya, saya kira itu bagian dari kehidupan kita sebagai manusia.
Tapi yang penting kita menyadari ya sudah kita perbaiki, kita meminta Tuhan menolong kita untuk lain kali tidak mengulanginya lagi.Terima kasih sekali Pak Paul juga Ibu Wulan untuk perbincangan ini juga para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memelihara Hati". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
20. Tes Pujian | |
Pujian dapat merangsang kita untuk meraih yang lebih tinggi dan juga membuat kita bergantung pada penilaian orang, sehingga kadangkala kegagalan yang kita terima karena kita kehilangan apa yang dikehendaki Tuhan dan diri kita sendiri. Pertanyaannya bagaimana caranya agar kita lulus tes pujian ini? Bagian ini akan menjawab pertanyaan tersebut.
"Kui untuk melebur perak dan perapian untuk melebur emas dan orang dinilai menurut pujian yang diberikan kepadanya."
Tes akan mengakibatkan kita lulus atau gagal. Bagaimanakah pujian membuat kita gagal?
Pujian merangsang kita untuk meraih lebih tinggi, begitu tinggi hingga kita kehilangan perspektif akan siapa kita sesungguhnya. Jika pujian mengena sesuatu yang memang kita impikan, kita mudah tekebur. Sebaliknya, bila pujian mengena bagian hidup kita yang tengah kita gumulkan, kita dapat terkelabui dan menganggap kita telah sepenuhnya terbebas dari problem atau kelemahan itu.
Pujian membuat kita bergantung pada penilaian orang; akhirnya kita tidak lagi menghiraukan apa yang sebenarnya Tuhan atau kita kehendaki. Seperti hewan sirkus, kita bereaksi sesuai dengan imbalan/pujian yang diberikan. Kita tidak tahu apakah memang kita sesungguhnya seperti itu.
Pujian menciptakan ketakutan untuk memikul tanggung jawab; kita takut kalau-kalau kita gagal memenuhi harapan orang. Kita pun takut melihat fakta bahwa kita tidak seperti yang dipujikan. Akhirnya kita pun berhenti mencoba dan hanya bersembunyi.
Kesimpulan: Kita gagal karena kita kehilangan (apa yang dikehendaki) Tuhan dan diri sendiri.
Bagaimana caranya kita lulus tes pujian?
Mengenal diri. "Tidak ada seorang pun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari sorga." (
Terimalah yang memang bukan diri kita (Yohanes bukan Mesias)
Hargailah yang memang diri kita (Yohanes sebagai pembuka jalan)
Lupakan diri. "Ia harus makin besar tetapi aku harus makin kecil." (
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan saya bersama Ibu Wulan, S.Th. kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Test Pujian", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi Anda sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Memang seperti itu Pak Gunawan, jadi firman Tuhan berkata di
PG : Pertama-tama kita harus menyadari bahwa pujian-pujian itu memang bisa menggagalkan kita, nah nanti akan saya jelaskan dalam pengertian apakah kita gagal. Tapi ada sekurang-kurangnya tiga hl yang bisa terjadi tatkala kita menerima pujian.
Pertama pujian merangsang kita untuk meraih lebih tinggi, begitu tingginya hingga kita kehilangan perspektif akan siapa kita sesungguhnya. Nah jika kita memang mempunyai sesuatu yang kita impikan, terus kita akhirnya memperoleh pujian seolah-olah kita sudah mendapatkan impian itu, kita mudah takabur, kita mudah berpikir wah saya sudah sehebat itu. Nah waktu kita berpikir kita sehebat itu, jatuhlah kita, gagallah kita. Atau sebaliknya Pak Gunawan, misalkan pujian itu berkaitan dengan sesuatu yang tengah kita gumulkan, problem kita, kita belum bisa selesaikan terus akhirnya orang memuji kita. Nah ini juga kalau kita tidak hati-hati bisa membuat kita beranggapan kita sudah sepenuhnya terbebas dari problem atau kelemahan itu, meskipun sesungguhnya belum kita masih mempunyai kelemahan tersebut. Nah pujian membutakan mata kita o....bahwa kita masih punya kelemahan itu.PG : Kita harus berhati-hati, saya teringat sekali dengan nasihat yang diberikan oleh seorang hamba Tuhan bernama Max Lucado dia ditanya mana yang lebih berbahaya kesuksesan atau kegagalan, dandengan cepat dia menjawab kesuksesan.
Ditanya kenapa, dan dia menjawab kesuksesan membuat orang berpikir bahwa dia sudah sehebat itu. Jadi misalkan dalam hal berkhotbah, kalau kita berkhotbah dengan baik dan orang terus memuji kita nah kita benar-benar misalkan dari dulu kita bermimpi kita bisa berkhotbah dengan baik, waktu orang memberikan pujian itu waduh kita benar-benar merasa diri hebat, melayang. Nah waktu kita melayang kita lepaslah dari diri kita yang sesungguhnya bahwa itu sebetulnya sesuatu yang masih kita harus raih dengan susah payah. Tapi karena kita telah mendapatkannya kita takabur, kita sudah sehebat itu nah celakanya pada moment kita menganggap kita sehebat itu, kita menuntut orang memperlakukan kita sehebat itu pula, setara itu pula, sekelas itu pula. Kita tidak akan menerima orang memperlakukan kita di bawah taraf itu.PG : Bisa sekali, itulah yang sering terjadi pada hampir semua pemimpin, akhirnya jatuh, dan jatuh awalnya karena keberhasilan, karena keberhasilan dia mendapatkan banyak pujian dia akhirnya bepikir sehebat itu dan dia menuntut orang memperlakukannya sehebat itu pula.
Atau tadi yang keduanya yang saya sebut yaitu dia sebetulnya lemah dalam hal itu. Misalkan ada orang yang suka marah, nah akhirnya dia mulai belajar untuk menguasai kemarahannya dan banyak orang memuji-muji dia sekarang dia sabar, dia sabar. Karena terlalu sering mendapat pujian seperti itu dia terlena, dia lupa, dia masih mempunyai masalah dengan kemarahannya karena itu dia lepas pengawasan terhadap dirinya. Suatu hari waktu ada sesuatu terjadi, dia meledak, dia misalnya memukul orang dan sebagainya. Atau dosa yang umum yang sering terjadi dalam hal misalkan kejatuhan seksual. Kita gagal menyadari kita mudah atau bisa jatuh ini adalah problem kita semua, kita menganggap saya kuat tidak akan jatuh, akhirnya karena kita lengah sungguh-sungguh kita jatuh. Nah sekali lagi orang bisa buta karena pujian, jadi itulah caranya pujian menggagalkan kita.PG : Saya kira ada waktu dan tempatnya kita mendengarkan pujian, tapi jangan sampai kita jatuh seperti tadi itu.
PG : Itu betul sekali Pak Gunawan, jadi pujian itu bisa membuat kita bergantung pada penilaian orang, akhirnya kita tidak lagi menghiraukan apa yang sebenarnya Tuhan atau kita sendiri kehendaki Kita ini akhirnya seperti hewan sirkus Pak Gunawan, kita bereaksi sesuai dengan imbalan atau pujian yang diberikan.
Hewan sirkus diberikan ikan misalnya, diberikan daging dia akan berakting seperti yang kita inginkan. Nah kita akhirnya tidak tahu lagi apakah memang kita sesungguhnya seperti itu, tidak tahu. Karena yang penting adalah apa yang orang harapkan, apa yang orang nanti akan puji dan itu yang akan kita lakukan. Contoh yang umum adalah kita seharusnya berani untuk menegur rekan kita yang salah, tapi kita tidak berani karena apa, karena rekan ini sering kali memuji kita jadi kita tidak bisa efektif menjadi manusia. Tidak bisa efektif juga menjadi alat Tuhan, tidak bisa juga mendengarkan apa yang Tuhan inginkan. Contoh yang lainnya adalah waktu Yohanes Pembaptis menegur Herodes, dia benar-benar bisa memisahkan dirinya dari pujian-pujian dan apa yang orang harapkan pada dirinya makanya dia langsung datang ke Herodes dia tegur dosa Herodes walaupun untuk hal itu akhirnya dia harus kehilangan nyawanya. Dengan kata lain kalau kita terlalu bergantung pada pujian dan penilaian orang, kita tidak peduli lagi apa yang Tuhan kehendaki, apa yang sebetulnya saya harus lakukan, tidak peduli yang penting orang senang.PG : Jangan sampai kita bergantung pada penilaian-penilaian orang, kita mesti sadar selalu penilaian Tuhan akan diri kita dan penilaian diri kita sendiri terhadap kita ini.
PG : Sudah tentu silakan kita dengarkan, harus kita dengarkan masukan orang, tapi di samping itu kita mesti sadar juga apa yang misalkan firman Tuhan katakan, apa yang menjadi standar.
PG : Pujian memang bisa memberi kita beban mental dan ada sebagian orang yang tidak tahan memikul beban mental itu, jadi daripada dia memikul beban mental, dia mengelak dari tanggung jawab. Nahada orang yang menjadi seperti itu jadi pujian menyebabkan ketakutan untuk memikul tanggung jawab.
Takut apa, takut kalau-kalau kita gagal memenuhi harapan orang atau kita takut kalau kita harus melihat fakta bahwa kita ini tidak seperti yang dipujikan orang. Nah daripada kita melihat diri sendiri gagal, kita berhenti mencoba. Nah ada orang yang benar-benar keok atau sudah KO oleh pujian yang diberikan oleh orang, dia tidak akan berani mencoba, dia tidak berani lagi mengeluarkan kemampuannya karena sudah terlalu takut. Nah jadi dengan kata lain dalam hal itu juga pujian telah menggagalkan orang tersebut.PG : Betul, jadi pada akhirnya, sekali lagi yang salah bukannya pujian atau orang yang memberi pujian pada kita, tapi kita, kita harus mempunyai sikap yang benar terhadap pujian itu. Tadi awalna saya berkata bahwa pujian itu bisa menggagalkan kita, sebetulnya apa artinya menggagalkan kita.
Saya kira kita gagal karena kita gagal atau kehilangan Tuhan, kehilangan apa yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita dan kita juga gagal karena kita kehilangan diri sendiri. Orang yang termakan dan dikuasai oleh pujian akan kehilangan dua hal itu, dia kehilangan Tuhan dan kehilangan diri sendiri. Dia tidak bisa menjadi seperti yang Tuhan kehendaki dan dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri juga, dia menjadi hamba atau budak dari pujian itu.PG : Yang pertama adalah meminjam perkataannya Socrates kita harus mengenali diri sendiri. Saya akan mengambil satu perikop dari firman Tuhan yaitu dari kitab
PG : Ini sebuah proses yang panjang Pak Gunawan, dan biasanya atau seharusnyalah diawalinya itu dari rumah. Dari tanggapan yang orang tua berikan kepada kita perlahan-lahan kita makin mengenal iapa kita dan siapa yang bukan kita itu.
Ke sekolah kita mendapatkan masukan baik dari teman, maupun dari guru, dari pelajaran, dari kebisaan-kebisaan kita, nanti setelah kita lebih besar lagi masuk ke dunia pekerjaan itu pun akan menolong kita melihat siapa kita dan siapa bukan kita. Nah orang yang berbahagia adalah orang yang mengenal dirinya, dia tahu dia bisa apa, dan dia juga bisa menerima dia tidak bisa apa. Nah yang dia bisa itulah yang dia hargai, ada orang misalkan yang hanya bisa melakukan pekerjaan seni, ada orang yang tidak menghargai itu meskipun itu karunia yang begitu besar. Dia mau menjadi seorang ahli komputer, selalu akhirnya mengejar-ngejar bagaimana menjadi ahli komputer akhirnya dua-duanya tidak dia peroleh. Kita mesti mengenali, menerima kita memang bukan siapa dan menghargai kita itu siapa.PG : Semuanya itu bisa terjadi, jadi kita tidak bisa memastikan, bisa jadi memang dia mendapatkan terlalu banyak pujian-pujian dari orang sehingga dia akhirnya menobatkan dirinya sebagai Mesias Waktu saya di Amerika hal-hal ini kadang-kadang saya dengar ada orang yang mengklaim dirinya sebagai Mesias nah bisa jadi juga dia terlalu tenggelam di dalam kesubyektifitas persepsinya mengenai Alkitab atau mengenai kerohanian sehingga akhirnya dia sungguh-sungguh beranggapan dia mendengarkan panggilan Tuhan dan perkataan Tuhan bahwa dia Mesias itu sendiri.
Jadi itu pun bisa terjadi.PG : Saya kira pujian akan menyenangkan hati kita, maka di situlah letak bahayanya. Kadang-kadang kita akhirnya mengutamakan kesenangan hati itu sendiri dan gagal melihat faktanya memangkah kit layak menerima pujian itu, dan akhirnya itu tidak kita lihat, kita abaikan dan kita lebih memperhatikan kesenangan hati kita waktu menerima pujian itu.
PG : Ok, dengan kata lain ini prinsip yang kedua yang ingin saya munculkan adalah kita mesti berani melupakan diri kita, seolah-olah ini kontradiksi dengan prinsip yang pertama yaitu mengenali iri.
Bukankah mengenali diri berarti kita memfokuskan mata pada diri sendiri, jadi kita harus sadari siapa diri kita, tapi setelah menyadari siapa kita lebih seringlah kita tidak terlalu memusingkan diri. Makanya masukan atau nasihat kedua yang akan saya bagikan adalah lupakan diri. Ada orang yang terlalu terbungkus oleh dirinya dan terikat oleh dirinya, sedikit-sedikit dia marah, sedikit-sedikit merasa dirinya tidak dihargai, sedikit-sedikit mengutamakan kebutuhannya jadi terus-menerus kepentingannyalah yang dipikirkan, dirinyalah yang selalu disoroti ini juga tidak sehat. Jadi kita mesti mengikuti apa yang Yohanes katakan, dia pernah akhirnya menyimpulkan diPG : Sangat erat kaitannya, jadi kita tidak mendahulukan kepentingan kita, tapi demi Tuhan kita mendahulukan kepentingan Tuhan dan kepentingan orang lain.
PG : Ya jadi begini Pak Gunawan, intinya kita hanya bisa mengecilkan diri kalau kita membesarkan Tuhan. Orang yang mencoba mengecil-ngecilkan diri tanpa membesarkan Tuhan memang orang menjadi mnder, tapi orang yang membesarkan Tuhan otomatis akan tanpa disadarinya akan mengecilkan diri, itu efek langsung.
Makin melihat Tuhan yang bekerja, Tuhan yang berbuat, saya hanyalah alat, yang saya miliki semua dari Tuhan kita makin memang tidak ada alasan dan ruangan untuk memfokuskan diri, tapi kita tahu ini semua karya Tuhan. Jadi pada akhirnya jangan sampai kita itu terlalu dimakan oleh pujian. Ada satu cerita yang saya ingin bagikan Pak Gunawan sebagai akhir dari perbincangan kita. Ada seorang hamba Tuhan dibawa mengunjungi sebuah tambang batu bara, dan kita tahu tambang batu bara itu pasti kotor, hitam. Tiba-tiba dia terkejut melihat setangkai tanaman dengan bunga berwarna putih mengkilap tanpa satu pun debu kotor pada helaian daunnya, dia kaget sekali. Kemudian dia bertanya kepada pemandu yang membawanya kenapa bunga tersebut bisa begitu bersih di tengah-tengah debu dan tanah yang hitam ini. Si pemandu berkata coba lemparkan debu kotor ke bunga tersebut, dilemparkan debu-debu kotor di sana yang dia lihat sangat mengejutkan yaitu debu-debu itu hanya sempat hinggap sebentar kemudian melorot turun jatuh, tidak bisa tinggal pada daun-daun itu atau pada bunga itu. Nah si pemandu menceritakan atau menjelaskan bahwa bunga itu mempunyai permukaan yang sangat halus, begitu halusnya sehingga tidak bisa menahan satu butir debu pun maka bunga tersebut tetap bersih dan putih di tengah-tengah debu dan tanah yang hitam. Saya kira itu contoh yang baik untuk kita, kita haruslah menjadi seperti bunga itu, kita mendapat pujian pasti nempel sedikit tapi setelah itu biarkan pujian itu turun. Sama dengan kritikan, kita juga menerima biarkanlah kena kita mesti belajar dari masukan yang orang berikan, tapi setelah itu biarkan turun. Jangan terlalu seperti lem di mana semua hal melekat pada diri kita, pujian orang melekat pada diri kita, kritikan orang melekat pada diri kita, biarkan semuanya jatuh kita dengarkan setelah itu kita tanggalkan kembali.GS : Ya menarik sekali untuk satu ilustrasi yang tadi Pak Paul sudah sampaikan dan terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan juga Ibu Wulan terima kasih. Para pendengar sekalian kami juga berterima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Test Pujian." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
21. Belajar Bijak | |
Dapatkah hikmat dipelajari? Apakah orang dilahirkan bijak ataukah ia dibentuk menjadi bijak? Kitab Amsal menyediakan banyak contoh perilaku orang yang bijak dan ternyata hikmat dapat dipelajari. Nah melalui materi ini kita akan belajar, faktor-faktor apa sajakah yang dapat membuat orang bijak.
Dapatkah hikmat dipelajari? Apakah orang dilahirkan bijak ataukah ia dibentuk menjadi bijak? Kitab Amsal menyediakan banyak contoh perilaku orang yang bijak dan ternyata hikmat dapat dipelajari. Di bawah ini dipaparkan beberapa faktor yang membuat orang bijak.
Takut akan Tuhan. "Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan; tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan. Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat; dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian." (Amsal 1:7; 3:6) Ada dua implikasinya. Pertama, kita mengakui bahwa Tuhan adalah sumber hikmat dan kepada-Nya kita datang meminta hikmat. Kedua, jauhkanlah dosa, kejahatan, dan ketidakbenaran dari hidup kita.
Memiliki nilai hidup yang benar. "Janganlah menahan kebaikan dari orang-orang yang berhak menerimanya padahal engkau mampu melakukannya. Janganlah engkau berkata kepada sesamanu, 'Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi,' sedangkan yang diminta ada padamu." (Amsal 3:27, 28) Mengasihi orang dan memanfaatkan benda, bukan sebaliknya, mengasihi benda dan memanfaatkan orang.
Mengenal dan menerima diri. "Mengerti jalannya sendiri adalah hikmat orang cerdik, tetapi orang bebal ditipu oleh kebodohannya." (Amsal 14:8) Memahami apa yang bisa dan tidak bisa dikerjakannya.
Membaca situasi dengan tepat. "Rancangan terlaksana oleh pertimbangan, sebab itu berperanglah dengan siasat. Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak." (Amsal 20:18; 25:11)
Mengendalikan dan memanfaatkan emosi dengan efektif. "Orang yang sabar besar pengertiannya tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohoan. Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya." (Amsal 14:29; 18:13)
Berintrospeksi dan tidak senantiasa yakin diri. "Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan." (Amsal 3:7) Reaksi harus diapit oleh pertimbangan: sebelum memberi reaksi kita mempertimbangkannya baik-baik; setelah memberi reaksi, kita mempertimbangkannya lagi. Biarkan perasaan tidak enak atau rasa bersalah timbul agar kita tidak kehilangan kepekaan terhadap perasaan orang. Orang yang tidak memberi pertimbangan sebelum bertindak adalah orang bodoh, orang yang tidak memberi pertimbangan setelah bertindak, adalah orang yang menganggap diri benar.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan saya bersama Ibu Wulan, S.Th. kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Belajar Bijak", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Ini pertanyaan yang menarik Pak Gunawan, kalau kita berasumsi bahwa orang dilahirkan bijak, berarti ada sebagian orang memang tidak dilahirkan bijak dan sampai kapan pun dia tidak berkesematan menjadi bijak.
Kalau itu yang terjadi berarti kita bisa berkata Tuhan tidak berhak menuntut kita menjadi bijak sebab kita dilahirkan tidak bijak. Jadi jawaban yang betul adalah kebijakan itu bisa dipelajari itu sebabnya Tuhan menyisakan satu buku di Alkitab hanya khusus membahas tentang hikmat dan itu adalah buku Amsal.PG : Saya membedakan bijak dengan cerdas Pak Gunawan, cerdas itu memang sesuatu yang kita bawa sejak lahir yaitu kepandaian kita, tingkat intelegensia kita dan tidak semua orang mempunyai tingkt intelegensia yang tinggi atau sama tingginya.
Bijak bukan intelegensia, bijak adalah pertama kesanggupan untuk tahu apa yang harus dilakukan dan dia bisa melakukannya dengan cara yang begitu pas sehingga efektif dan bisa diterima.PG : Saya kira itu merupakan ungkapan kerendahan hatinya., dia berkata: "Tuhan, saya tidak akan sanggup untuk memerintah rakyat yang begitu besar dan banyak ini, jadi saya memerlukan tuntuan Tuhan."
Jadi permintaannya agar Tuhan memberikan kepadanya hikmat merupakan pengakuan akan ketidakkemampuannya itu, dan karena itu yang Salomo minta Tuhan melimpahkannya.PG : Amsal memulai dengan satu pernyataan, yang saya ambil dari Amsal 1:7 juga Amsal 3:6, "Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, atau dapat juga diterjemhkan takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat tetapi orang bodoh alias orang yang tidak berhikmat menghina hikmat dan didikan, karena Tuhanlah yang memberikan hikmat.
Dari mulutnya datang pengetahuan dan kepandaian." Sebetulnya kata pengetahuan dan kepandaian ini mempunyai makna yang sama yaitu hikmat. Jadi ada dua implikasi di sini Bu Wulan, yang pertama adalah kita mengakui bahwa Tuhan adalah sumber hikmat dan kepada-Nya kita datang meminta hikmat. Kita dengan kata lain berkata, dunia tidak akan menawarkan hikmat yang sempurna, hikmat yang paling puncak tapi Tuhan bisa memberikan kepada kita hikmat yang sempurna itu. Jadi kepada-Nyalah kita datang memohon hikmat. Kedua, ayat-ayat ini juga menegaskan kepada kita agar kita menjauhkan diri dari dosa atau dari kejahatan, dari ketidakbenaran sehingga hidup kita benar-benar lurus. Nah inilah tema yang berulang kali ditekankan dalam kitab Amsal. Dengan kata lain kalau boleh saya simpulkan dengan satu kalimat, ciri pertama orang bijak adalah atau kalau kita ingin belajar bijak kita mesti takut akan Tuhan, itu syaratnya.PG : Saya setuju dan memang akan ada banyak orang yang seperti itu, itu sebabnya sebagaimana kita akan lihat dalam buku Amsal nanti ternyata memang bukan hanya itu yang menjadikan kita bijak, iu salah satunya dan itu sudah tentu hal yang penting.
Saya berikan beberapa contoh Ibu Wulan, misalkan kita tahu Hitler itu sangat-sangat berkuasa pada Perang Dunia ke - II bisa menaklukkan begitu banyak negara. Nah ada satu negara yang ingin dia taklukkan tapi sebetulnya dia diberikan nasihat-nasihat untuk tidak pergi ke sana dan itu adalah negara Uni Soviet. Karena apa, karena Uni Soviet negara yang begitu luas dan begitu ganas hawa dinginnya, tapi dia tidak mendengarkan nasihat teman-temannya. Dia tetap ke sana, dia menyerbu Uni Soviet dan benar saja memang banyak yang mati juga karena tertembak di kota Stalingrad ada sekitar 250.000 orang Jerman yang mati di sana, tapi sebagian dari serdadu Jerman mati karena kelaparan dan kedinginan. Sebab tentara atau orang-orang Soviet sudah sangat bijak sekali mereka membakar gudang-gudang makanan sehingga waktu Jerman datang mereka tidak mendapatkan makanan. Dikepung dengan salju yang dingin itu akhirnya banyak di antara mereka yang mati. Itu adalah pertempuran atau penyerangan yang sebetulnya tidak begitu didukung oleh para penasihat Hitler, tapi dia tidak bijak, dia sangat dikuasai oleh nafsunya dan kita tahu Hitler orang yang tidak takut akan Tuhan, semua yang dia lakukan dia ukur dengan dirinya sendiri. Contoh kedua yang bisa saya pikirkan adalah pada tahun 80-an ada seseorang yang cukup dikenal di dunia Kristen namanya adalah Harold Morris dia itu seorang mantan narapidana di Amerika dituduh membunuh. Kenapa, nah dalam pengakuannya dan kesaksiannya adalah pada masa dia berusia muda dia bergaul dengan teman-temannya yang brengsek. Kemudian suatu kali teman-temannya mengajak dia merampok dan dia sendiri tidak tahu dalam perampokan itu seorang penjaga gudang tertembak mati, akhirnya apa yang terjadi, teman-temannya semua bersekongkol dia yang membunuh padahal dia tidak membunuh, akhirnya di masuk ke penjara dijatuhi hukuman mati, di situlah dia bertobat mengenal Tuhan Yesus. Dan melalui anugerah Tuhan akhirnya dia diberikan pengampunan oleh presiden dan dilepaskan dari penjara, tapi dia harus menghabiskan bertahun-tahun hidupnya dalam penjara dan itulah kesaksiannya yang sering dia berikan kepada kawula muda di sana, takut akan Tuhan, hidup lurus, jauhkan diri dari kejahatan. Sebab begitu kita tidak takut Tuhan, kita main dengan kejahatan kita akhirnya terperosok ke dalam jerat kejahatan itu sendiri.PG : Yang lainnya adalah kita perlu memiliki nilai hidup yang benar, ini tema yang juga berulang kali ditegaskan di Amsal. Saya bacakan dari Amsal 3:27,28, Janganlah menahan kebaikn dari orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya.
Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: "Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi," sedangkan yang diminta ada padamu. Nah prinsip apa yang bisa kita petik di sini, sudah tentu prinsip yang Tuhan Yesus juga tekankan yaitu kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri. Nah dengan kata lain prinsip mengasihi orang dan memanfaatkan benda, bukan sebaliknya, mengasihi benda dan memanfaatkan orang. Nah nilai hidup yang benar harus kita miliki, ini yang menjadi pondasi munculnya hikmat dalam hidup kita.PG : Di sini juga perlu kebijakan untuk melihat apakah memang orang itu sengaja memanfaatkan kita untuk kepentingannya saja dan apakah itu hal yang baik bagi dia untuk dia terima. Kadang kala oang memanfaatkan kita karena memang dia perlu bantuan kita, misalnya orang yang miskin yang datang ke rumah kita dua bulan sekali dan memang dia sangat miskin, tidak punya apa-apa lagi jadi dia terpaksa harus meminta dan dia datang ke rumah kita karena dia tahu kita akan memberikan, dan kalau ke rumah orang lain, orang lain tidak akan berikan apakah ada unsur pemanfaatan? Ada, tapi apakah itu memang juga baik buat dia, dia perlu makan, dia perlu hidup, ya benar juga baik buat dia.
Jadi adakalanya kita dengan rela membiarkan diri dimanfaatkan karena kita memang mau menolong orang. Tapi kalau kita tahu kita dimanfaatkan untuk hal yang tidak perlu, dan orang itu tidak begitu membutuhkan bantuan kita tapi dia sengaja mau memanfaatkan kita demi kepentingannya nah kita bisa melihat itu dan berkata saya tidak mau. Jadi prinsipnya adalah mengasihi manusia, memakai benda atau memanfaatkan benda jangan terbalik, banyak orang terbalik memanfaatkan manusia dan mengasihi benda-benda.PG : Memang kita perlu dengan jelas mengetahui siapa dia itu. Sebab kadang kala orang itu memang menyalahgunakan sekali, kalau kita sudah melihat memang kita disalahgunakan ya sudah kita berheni.
Kita juga tidak mau mendorong orang untuk menjadi tidak benar dengan perbuatan kita itu.PG : Namun dari pada tidak sama sekali saya pikir kita boleh memulai dengan memberikan benda, itu tetap lebih baik daripada tidak sama sekali.
PG : Yang ketiga adalah mengenal dan menerima diri, nah ini faktor yang juga diulang-ulang di kitab Amsal. Saya bacakan Amsal 14:8, Mengerti jalannya sendiri adalah hikmat orang cedik, tetapi orang bebal ditipu oleh kebodohannya.
Saya akan ulang lagi bagian pertamanya, mengerti jalannya sendiri adalah hikmat orang cerdik. Penting sekali kita ini mengenal siapa kita, keterbatasan kita, kekuatan kita, dan setelah mengenal menerima, jangan sampai kita itu tidak tahu diri dalam arti yang sebenarnya. Nah orang yang bijak orang yang tahu siapa dirinya, dia tahu apa yang dia bisa lakukan, dan dia juga bisa mengatakan: "Tidak, ini tidak bisa saya lakukan," itu adalah salah satu ciri orang yang bijak.PG : Ya sudah tentu ada ruang untuk kita berusaha, mencoba, kita tidak bisa selalu berkata ini bukan bidang saya, saya sama sekali tidak bisa mengerjakannya. Nah ada waktunya bagi kita untuk mecoba, tapi setelah kita mencoba dan memang kita tidak mampu kita katakan tidak mampu.
Atau kepada atasan kita bisa berkata: "Saya akan mencoba Pak, ini memang bukan keahlian saya tapi saya akan coba, mohon jangan kecewa kalau hasilnya tidak seperti yang Bapak harapkan." Misalkan itu kita katakan.PG : Bagi saya kalau kita sudah mengatakan bahwa ini memang bukan bidang keahlian kita tapi dia tetap meminta kita melakukannya terus kemudian kita sampaikan juga bahwa mungkin hasilnya tidak sperti yang Bapak harapkan, tapi saya akan coba sebisa saya, saya kira biarkan dia memutuskan.
Kalau dia putuskan silakan kerjakan saya akan terima apapun hasilnya, berarti ya sudah kalau pun hasilnya tidak maksimal yaitu memang konsekuensinya.PG : Betul, dan salah satunya misalnya yang paling umum adalah menjadi pemimpin. Banyak orang yang merindukan atau mendambakan menjadi pemimpin, sedikit orang yang sebetulnya bisa memimpin. Banak orang bisa menguasai betul, tapi tidak banyak orang yang bisa memimpin di dunia ini.
Nah makanya yang sering kali kita lihat bukannya pemimpin, penguasa, sekali lagi kenapa, sebab banyak orang tidak mengenal dirinya, tidak tahu diri akhirnya, menjadi sesuatu atau seseorang yang memang bukanlah bidangnya atau panggilannya, jadi itu adalah ketidakberhikmatan alias kebodohan yang Alkitab katakan. Orang berhikmat orang yang tahu diri.PG : Sangat mungkin sekali Bu Wulan, dan dengan cara itulah Tuhan membukakan wawasan kita pula. Jadi selalu harus ada keseimbangan antara mendengarkan masukan dari orang lain dan mempercayai peilaian pribadi kita terhadap diri kita juga, nah keduanya harus berjalan bersama-sama pula.
Orang yang hanya mempercayai penilaian dirinya sendiri dan menutup telinga terhadap masukan orang dia juga masuk dalam kategori orang yang tidak berhikmat. Sebaliknya orang yang hanya mendengarkan masukan orang, disuruh apa pun mau, disuruh lompat; lompat, terjun; terjun, dia tidak mempercayai penilaian pribadinya dia juga masuk dalam kategori orang yang tidak berhikmat. Jadi kita perlu memberikan kesempatan kepada diri kita mencoba yang memang belum pernah kita lakukan, siapa tahu memang itu betul.PG : Dan kadang kala kita langsung mencoba kalau memang kita belum pernah melakukannya.
PG : Yang lain adalah membaca situasi dengan tepat, firman Tuhan berkata di Amsal 20:18 dan Amsal 25:11, Rancangan terlaksana oleh pertimbangan, sebab itu berperanglahdengan siasat.
Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak. Dengan kata lain memang kita perlu bisa membaca situasi dengan tepat dan mempertimbangkan apa itu yang kita harus lakukan. Orang yang bijak, orang yang bisa membaca situasi, dia bisa melihat reaksi orang, dia bisa tahu sebetulnya apa yang orang rasakan, dia peka dengan lingkungan dan karena dia peka serta tepat dengan realitas dia bisa memberikan reaksi atau respons yang juga tepat. Nah kebalikannya orang yang tidak bijak, buta terhadap realitas, buta terhadap respons orang asal tabrak saja, tidak bisa membaca apa yang orang lain sedang rasakan.PG : Saya kira orang-orang tertentu memang Tuhan karuniakan kelebihan-kelebihan dalam membaca situasi, nah itu adalah hal-hal yang tidak bisa kita jelaskan. Bisa jadi karena pengalamannya tapi isa jadi juga memang dia mempunyai intuisi yang lebih kuat.
Tapi saya kira ini bisa juga dipelajari, pelajarilah reaksi orang, wajah orang waktu bereaksi, pelajarilah nada suara orang, pekalah dengan perasaan orang, sering-seringlah berpikir. Kalau saya yang diperlakukan seperti itu rasanya saya apa, kalau orang lain menerima perkataan seperti itu dari saya jadinya dia kira-kira merasa apa, dia akan berpikir apa, menafsirkan apa. Nah sering-seringlah kita berpikir dengan lebih luas dan melihat dari perspektif yang berbeda, nah dengan cara itu kita lebih bisa membaca suasana.PG : Ya betul sekali, karena itu jauh lebih gampang kita tidak usah berubah dan menyesuaikan diri dengan orang lain.
PG : Tapi orang bijak orang yang berani membayar harga, menyesuaikan diri dengan orang itu harus membayar harganya juga.
PG : Itu juga saya kira bagian yang penting dalam membangun hikmat, kita perlu bisa mengendalikan dan memanfaatkan emosi kita dengan efektif. Firman Tuhan berkata di Amsal 14:29 dan Amsal 18:13, Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan.
Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya. Saya kira memang benar sekali, saya belum pernah sekali melihat orang yang berhikmat terus orang itu dengan mudah mengumbar kemarahannya, justru orang yang berhikmat adalah orang yang berhati-hati. Jarang sekali dia marah, tapi bukan berarti dia tidak bisa marah. Dia bisa marah tapi kalau dia marah memang itu tepat sasaran dan itu memang harus dia keluarkan tapi itu jarang-jarang terjadi, nah ini saya kira penting sekali kita juga perhatikan.PG : Betul, betul sekali.
PG : Ya, betul pada saat itu yang memang sedang bekerja adalah emosinya dan emosi itu susah sekali untuk kita kontrol saat-saat itu. Jadi orang yang bisa menahan emosi berarti memberi ruang yan lebih besar kepada rasionya untuk berpikir, sehingga dia lebih tahu apa yang harus dan tidak harus dia lakukan.
PG : Betul, jadi penting sekali meskipun tidak berarti kita ini tidak boleh mendengarkan emosi kita, justru silakan dengarkan emosi kita sebab kadang-kadang kita harus ekspresikan tapi kita tidk dikuasai olehnya.
Sebagai penutup saja Pak Gunawan, saya langsung ke point terakhir yaitu kita mesti introspektif dan tidak senantiasa yakin diri, ini artinya apa? Saya bacakan dari Amsal 3:7, Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan. Ada orang yang bertanya kepada saya begini Pak Gunawan, setiap kali setelah mengambil keputusan saya dihantui oleh rasa bersalah saya benar atau tidak ya,. Saya katakan kepada dia, jangan engkau menghilangkan pertanyaan itu, biarkan pertanyaan itu menyertaimu. Jadi dengan kata lain sebelum bereaksi kita pertimbangkan baik-baik apa yang kita akan katakan atau kita akan perbuat. Setelah bereaksi biarkan diri kita mengevaluasi kembali, biarkan kita mempertimbangkan kembali yang telah kita lakukan itu. Jadi orang yang tidak mempertimbangkan sebelum bertindak kita katakan dia orang bodoh, dia langsung tabrak, langsung bertindak tanpa berpikir, kita katakan dia orang bodoh. Tapi orang yang setelah bertindak namun tidak mempertimbangkannya lagi, tidak mempertanyakan saya benar atau tidak, dia orang yang menganggap diri benar, nah ini adalah awal dari kejatuhan orang, menganggap diri benar. Jadi dengan kata lain tindakan kita harus diapit dari dua sisi pertimbangan dan pertimbangan, sebelum bertindak kita pertimbangkan, setelah bertindak kita pertimbangkan. Dan biarkan pertanyaan-pertanyaan saya benar atau tidak ya, orang itu merasakan bagaimana ya, biarkan pertanyaan itu ada di hati kita setelah kita berbuat sesuatu. Nah pertanyaan seperti itulah yang akan memandu kita agar tidak menganggap diri selalu bijak.PG : Betul sekali, kalau saja kita mau membayar harga untuk belajar kita bisa belajar dengan baik.
PG : Betul, kita mencari Tuhan, memohon dariNya dan belajar rendah hati, belajar untuk menahan emosi, belajar untuk mendengarkan masukan dari orang dan sebagainya.
PG : Betul Pak Gunawan.
GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan ini juga Ibu Wulan untuk perbincangan ini juga para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Belajar Bijak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
22. Pulih Setahap demi Setahap | |
Sebagian kita berjuang untuk menjadi manusia baru; dipulihkan atau diperbarui; namun kita lebih sering menjumpai kegagalan. Mengapa? Salah satu penyebabnya adalah kesalahpahaman akan makna pulih itu sendiri.
Firman Tuhan berkata, "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (
Pulih tidak berarti hilang; sering kali pulih hanyalah berarti dapat mengatasi dan tidak lagi dikuasai (kecuali dalam kasus kecanduan). Misalnya, masalah dengan ketakutan. Kita takut dengan penilaian orang dan mudah tersinggung tatkala mendengar komentar orang tentang diri kita. Pulih berarti kita menyadari bahwa ketersinggungan kita adalah karena kita takut dinilai negatif oleh orang namun kita tidak membiarkan ketakutan itu menghambat kita untuk berinisiatif.
Pulih berarti mempunyai reaksi kedua, tidak hanya reaksi pertama. Reaksi pertama adalah reaksi yang pertama kita berikan tatkala kita menghadapi peristiwa tersebut untuk pertama kalinya. Misalkan, ketegangan tatkala mendengar kemarahan dan keinginan untuk lari dari situasi itu. Reaksi kedua adalah reaksi yang kita pilih untuk kita berikan sekarang, misalkan tidak lari sebab kita tahu bahwa kita tidak dalam keadaan bahaya. Kita tidak selalu berhasil menghilangkan reaksi pertama, biarkan, namun sebelum bertindak, pikirkan reaksi keduanya.
Pulih berarti dapat mengalami kemunduran namun bisa bangkit kembali. Kemunduran adalah penggunaan cara menghadapi stres yang kita pakai sewaktu dulu atau pada masa kecil. Misalkan, tatkala tidak berani menghadapi ulangan, kita sakit. Sekarang kita tidak lagi seperti itu namun suatu ketika tatkala daya tahan kita sedang lemah, kita jatuh sakit sewaktu harus menghadapi peristiwa yang menekan.
Paulus berkata, "Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah bukan dari diri kami." (
Tahap Menuju Pemulihan:
Mengakui permasalahan yang ada; jangan mengecilkan masalah.
Mengakui andil kita sendiri dalam permasalahan itu.
Jika tidak bisa mengambil langkah besar, ambillah langkah kecil.
Bila hari ini mundur, besok maju lagi.
Jangan meninggalkan Tuhan, bersabarlah!
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Pulih Setahap Demi Setahap", kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Secara bertahap Pak Gunawan, jadi firman Tuhan mengatakan secara status kita adalah ciptaan yang baru, kita adalah anak Allah sekarang, kita sudah dikeluarkan dari maut dan masuk ke dalam ehidupan.
Namun untuk kita menjadi serupa dengan Tuhan, itu memerlukan waktu dan kita dituntut dari pihak kita untuk berusaha, bekerja keras bersama dengan kuasa Roh Kudus untuk memperbaharui hidup kita ini.PG : Betul sekali, dan perjuangan ini memang tidak mudah, namun kadang kala Pak Gunawan perjuangan ini dipersulit oleh kesalahapahaman-kesalahpahaman kita akan konsep mengenai pulih, konsep menenai sembuh, kita ingin sembuh, kita ingin pulih dengan cepat.
Nah konsep inilah yang saya kira kadang kala menyusahkan kita.PG : Betul, ini semuanya memang kembali kepada diri, kepada apa yang telah menjadi bagian dalam hidup kita sebelum kita mengenal Tuhan.
PG : Sudah tentu ada pengaruhnya dari luar, kalau lingkungan mendukung kita otomatis kita akan bisa lebih mudah bertumbuh tapi kalau memang lingkungan tidak mendukung kita ya kita akan lebih labat untuk berubah.
PG : Yang pertama adalah pulih itu tidak berarti hilang, kita kadang kala mengkonsepkan pulih itu sama dengan menghilangkan bagian diri kita yang tidak kita inginkan lagi, kita seolah-olah tida akan lagi harus berurusan dengan problem kita yang terdahulu itu, tidak ya.
Pulih itu sering kali hanyalah berarti kita dapat mengatasi dan tidak lagi dikuasai oleh problem itu. Nah ini saya gunakan untuk semua kasus kecuali dalam kasus kecanduan. Misalkan kita ini alkoholik, waktu kita pulih kita itu memang harus lepas 100% dari alkohol itu atau kita pengguna narkoba kita harus lepas 100% dari narkoba itu, kita tidak bisa berkata ya saya boleh pakai sekali-sekali asal saya bisa menguasainya, tidak bisa. Khusus untuk kecanduan kita harus putuskan hubungan dan menghilangkan kecanduan itu sendiri, tapi untuk hal-hal yang lain saya kira tidak ya, pulih itu tidak berarti menghilangkan, pulih hanyalah berarti mengatasi, kita tidak lagi dikuasai.PG : Dalam proses, memang ayat ini harus kita soroti dari kacamata proses. Kalau boleh saya gunakan tafsiran saya, jadi yang lama sedang berlalu, yang baru juga sudah datang tapi dalam pengertin datang untuk menguasai kita itu juga akan perlu proses, yang lama berlalu tapi tidak semuanya berlalu secara seketika, yang baru sudah datang tapi yang baru itu belum menguasai kita secara keseluruhan dan akan memerlukan waktu untuk menguasai kita secara keseluruhan, itu cara pertama untuk melihatnya.
Cara kedua adalah untuk melihat bahwa yang dimaksud di sini adalah kita telah menjadi manusia baru dalam pengertian kita mempunyai nilai hidup yang baru, cara pandang yang baru sehingga kita tidak sama lagi karena cara pandang kita sudah berbeda. Kita bisa berkata ini dosa, ini tidak akan saya lakukan, ini benar, ini salah, nah itu yang berubah dan itu yang langsung ada dalam diri kita.PG : Boleh saja menggunakan ilustrasi itu tapi dalam pengertian kepompong atau kupu-kupu itu merujuk pada cara pandang kita, cara pandang yang lama itu kepompong, cara pandang yang baru itu kup-kupu, yaitu sekejap memang berubah.
Karena setelah kita menjadi anak Tuhan kita mengadopsi nilai-nilai yang Tuhan ajarkan.PG : Betul, jadi secara keseluruhan perubahan itu akan memakan waktu tapi sentranya atau pusatnya itu langsung berubah. Kita mulai menyadari bahwa kita orang berdosa nah itu perubahan yang baru dulu kita berbuat dosa tidak menyadari kita orang berdosa, sekarang kita tahu kita orang berdosa kita mengaku kepada Tuhan, nah itu perubahan yang drastis.
Jadi pusatnya, sentranya berubah dengan drastis, pinggiran-pinggirannya akan memakan waktu yang lebih panjang.PG : Pulih juga berarti kita ini sekarang mempunyai pilihan reaksi yaitu yang saya sebut reaksi kedua dan tidak hanya reaksi pertama. Saya jelaskan yang saya maksud reaksi pertama, reaksi pertaa adalah reaksi yang pertama kita berikan tatkala kita menghadapi peristiwa tersebut untuk pertama kalinya.
Nah misalkan ketegangan tatkala mendengar kemarahan dan keinginan untuk lari dari situasi itu. Ini mungkin reaksi yang kita berikan waktu kita masih kecil, mendengar orang tua kita bertengkar kita tegang sekali dan kita ingin keluar dari rumah. Nah setelah kita dewasa, setiap kali kita mendengar orang misalkan marah atau suaranya meninggi, kita tegang sekali nah itu yang saya panggil reaksi pertama. Namun kita sekarang memiliki reaksi kedua, reaksi kedua adalah reaksi yang kita pilih untuk kita berikan sekarang. Jadi kita berpikir ini reaksi saya yang pertama saya takut, saya lari, saya tidak tahan dengan ketegangan ini namun kita berhenti dan kita berkata sekarang saya tidak dalam keadaan berbahaya seperti dulu lagi, jadi berarti saya tidak perlu lari, nah saya bisa diam, saya bisa tetap tidak mengacuhkan, tidak mempedulikan apa yang sedang terjadi, saya bisa mengerjakan hal-hal yang lain. Nah itu pilihan, itu adalah reaksi kedua dengan kata lain kita pulih sekarang karena kita mempunyai reaksi kedua. Dalam praktek saya, saya kadang-kadang bertemu dengan orang yang pernah mengalami trauma masa kecil, macam-macam traumanya. Dan adakalanya harapan mereka setelah melewati konseling adalah mereka tidak akan pernah lagi memberikan reaksi-reaksi ketakutan itu. Saya tekankan tidak, reaksi ketakutan itu reaksi pertama dan akan selalu ada. Ada yang misalnya mengatakan perutnya tiba-tiba mules, atau tiba-tiba jantungnya degup-degup, nah itu reaksi pertama dan reaksi pertama tidak bisa kita kontrol, akan muncul dengan alamiah, dengan sendirinya meskipun kita tidak menginginkannya, tapi akan ada. Namun pengharapan kita setelah kita melewati proses pemulihan, kita sekarang mempunyai reaksi kedua, dulu tidak punya. Sekarang reaksi keduanya adalah kita bisa berkata pada diri sendiri tenang, engkau dalam keadaan aman, engkau tidak dalam keadaan bahaya, engkau tidak usah merasa begitu, nah itu reaksi kedua. Nah inilah yang saya maksud dengan pulih memiliki reaksi kedua.PG : Betul, dengan cara-cara praktis seperti itu kita memang melatih diri untuk tidak langsung dikuasai oleh reaksi pertama.
PG : Betul, ini yang penting, orang yang tidak punya reaksi kedua dikuasai oleh reaksi pertamanya. Orang berbuat sesuatu dia marah langsung dia pukul, nah dia tidak memiliki reaksi kedua, yang arus kita kembangkan adalah reaksi kedua ini.
PG : Sangat alamiah karena kita terbiasa berbelasan tahun bahkan berpuluhan tahun memiliki reaksi itu.
PG : Betul, namun sekali lagi karena kita di dalam Tuhan, kita mengerti sekarang apa yang Tuhan inginkan, kita sekarang memiliki pilihan kedua ini nah tergantung kita mau atau tidak menaati pilhan kedua ini.
Tuhan berkata : jangan, nah kita stop, kita paksa diri kita untuk berkata jangan.PG : Bisa, dan kalau dianya sendiri juga mengakui problem dia dan dia ingin sembuh. Tidak semua orang ingin sembuh, kita harus sadari itu, sebagian dari mereka tidak ingin sembuh, kenapa? Sebabenak kok, menikmati, dia dapatkan yang dia inginkan.
Dia berteriak, dia maki, dia jambak istrinya, istrinya lakukan yang dia inginkan kenapa dia susah-susah harus merendahkan diri berbicara baik-baik dan sebagainya. Atau ada orang yang mempunyai ketakutan, kalau dia baik istrinya akan misalnya menginjak-injak dia, tidak menghormati dia nah ketakutan itu reaksi pertamanya. Mungkin dia dulu melihat ayahnya diinjak-injak oleh mamanya sehingga reaksi pertamanya selalu adalah takut dikuasai oleh istri, nah ini yang harus berubah. Dan kenapa kita mau berubah, sekali lagi motivasi kita adalah karena kita mau menaati Tuhan, dialah yang memberikan kita kesempatan memiliki reaksi kedua ini.PG : Betul, dia tidak lagi hidup dalam pilihan pertama.
PG : Saya kira bisa, ini bagian dari pertumbuhan kita. Seorang pendeta di Amerika yang bernama Charles Swindoll pernah menulis satu buku judulnya "Dua Langkah Maju Satu Langkah Mundur,&quo; kalau tidak salah begitu.
Dalam pengertian kita ini kadang kala setelah maju kita akhirnya mundur, kita mengalami kejatuhan dan itu saya kira bukannya hal yang bagus, tapi itu saya kira bagian dari pertumbuhan itu sendiri. Yang penting adalah kita bangkit kembali, Petrus pernah jatuh menyangkal Tuhan sampai tiga kali, tapi dia bangkit kembali dia tidak diam di dalam kejatuhannya. Nah Yudas diam dalam kejatuhannya maka akhirnya sampai membunuh diri. Kemunduran itu sebetulnya adalah penggunaan cara menghadapi stres yang kita pakai sewaktu dulu masih kecil. Saya berikan contoh yang klasik Pak Gunawan dan Ibu Wulan, yaitu misalnya sakit, waktu kita kecil kita itu takut ulangan terus kita sakit tidak masuk sekolah, akhirnya setelah dewasa kita lebih sadar jangan begitu akhirnya kita tidak begitu lagi. Namun kita sudah berumur misalnya 40 tahun kita menghadapi suatu situasi yang benar-benar berat dan kita harus menghadapi seseorang, nah pada hari kita mau menghadapi orang tersebut kita jatuh sakit, nah itu salah satu contoh kemunduran. Nah dalam bahasa psikologisnya istilah yang Fruid gunakan adalah regresi kita akan mundur ke cara penanganan yang lebih awal, yang lebih primitif.PG : Ya mudah-mudahan dia sadar memang tidak selalu kita menyadari, tapi mudah-mudahan dia sadar. Nah seberapa jauhnyakah orang bisa misalnya sampai sebegitu mundurnya. Contohnya adalah dalam kmarahan seseorang bisa lepas kendali dan misalnya memukul orang lain, nah kemunduran itu hal yang mungkin dia lakukan waktu dia terakhir kali lakukan itu misalnya 6, 7 tahun dia berantem dengan siapa dan tidak pernah lagi berkelahi sampai usia misalnya 35 tahun.
Jadi kita bisa mundur seperti itu, kita menggunakan cara yang lebih primitif untuk menghadapi stres tapi itu adalah bagian dari pertumbuhan manusia juga. Nah pulih berarti kadang kala kita bisa mundur, jangan waktu kita mundur berkata sudah semua sia-sia dan saya akan terus di sini, jangan. Yang Tuhan minta adalah coba lagi, bangkit lagi.PG : Nomor satu itu Tuhan menginginkan kita serupa dengan Dia. Jadi tujuan kita berubah agar kita makin sama seperti Bapa kita yang di sorga. Dia ingin kita itu mengalami perubahan-perubahan inernal secara batiniah.
Dan juga yang kedua dalam proses ini yang memang jatuh bangun Tuhan menginginkan kita bergantung kepadaNya, bahwa kekuatanNyalah yang akan menolong kita bukan kekuatan kita sendiri. Maka firman Tuhan diPG : Yang pertama adalah mengakui permasalahan yang ada, jangan menyangkal, jangan mengecilkan masalah. Perlu keberanian, perlu keberanian yang sangat besar mengakui, inilah masalahnya. Sering ali kita lari kanan-kiri mengecilkan masalah, melemparkan masalah, jangan, akui apa adanya masalah itu.
PG : Saya kira waktu orang berbicara, reaksi dari lingkungan kita juga mendukung dan kita itu cukup beranilah berdiam diri dan mengaca. Kalau kita berani berdiam diri dan mengaca, seharusnya kia sadar kita salah.
Jangan sampai seperti contoh-contoh yang kadang-kadang saya dengar dari suami yang memukuli istri, nah sebagian dari mereka berkata o......kami tidak ada masalah, baik-baik saja; hubungan kami normal-normal, ya bertengkar itu 'kan bumbu pernikahan, tapi itu bukannya bumbu, istri bengep-bengep. Dia tidak mau mengakui ada masalah, nah ini berkaitan dengan langkah berikutnya Pak Gunawan yaitu kita mesti mengakui andil kita dalam permasalahan itu. Kembali kepada contoh yang tadi, sebagian dari mereka akan berkata begini Bu Wulan: "O.......saya sebetulnya tidak ingin marah, tapi istri saya membuat saya marah makanya saya pukul dia. Kalau saja dia tidak membuat saya marah, saya tidak akan memukul dia." Sekarang pertanyaannya begini, banyak orang membuat kita marah atau membuat orang lain marah tapi orang lain itu tidak pukuli dia, kenapa mesti pukuli istrinya, dengan kata lain memang tidak mau mengakui andil. Jadi langkah kedua harus kembali ke diri sendiri apa andil saya dan kalau ada andil akui.PG : Dan itu saya kira salah satu pemikiran yang membuat kita akhirnya lumpuh tidak berjalan. Karena kita membayangkan kita harus secara serentak dan mengambil langkah yang drastis untuk berubah. Jadi langkah berikutnya yang ingin saya bagikan adalah mulailah dengan langkah yang kecil, kalau memang tidak bisa mengambil langkah yang besar. Misalkan biasanya kita langsung marah, nah ini dari semua hal-hal yang membuat kita marah, kita marah semuanya kecuali satu kali kita tidak marah. Jadi jangan berkata hari ini saya tidak mau marah misalnya, jangan, katakanlah saya akan kurangi satu saja kemarahan saya, jadi misalnya biasanya dia lima kali marah sehari nah sekarang empat kali dan ada satu kali dia sadar dia harus marah karena memang dia maunya marah, tapi dia berkata: tidak, saya tidak mau marah saya diam, nah yang berikutnya dia tidak tahan dia marah lagi. Jadi kuranginya satu, ambillah langkah kecil. Yang membuat kita mau maju adalah keberhasilan akan langkah kecil itu, yang membuat kita tidak mau maju adalah kita melihat ke belakang dan tidak melihat keberhasilan sama sekali.
PG : Otomatis dalam hal-hal yang drastis seperti itu tidak ya, kita akan menghilangkan.
PG : Kadang-kadang orang ingin pulih itu terlalu berpikir besar, jadi akhirnya kemajuan yang kecil itu tidak diakui sebagai kemajuan karena dia terlalu berpikir di awan-awan, nah ini penting seali untuk dia sadari.
Bahkan kembali kepada point yang semula tadi, kemajuan itu berarti dia bisa mundur dan dia harus terima hal itu. Jadi langkah berikutnya kita harus berkata pada diri kita, bila hari ini mundur besok maju, jangan besok mundur lagi tambah mundur. Waktu kita mundur akui kita mundur dan terima ini andil kita jangan kita menyalahkan kiri-kanan, tapi besok kita berkata saya mau maju lagi.PG : Saya kira kita ini memang secara manusia kadang-kadang terbuai oleh impian-impian hidup tidak dalam realitas, kita mengharapkan orang bisa berubah dengan seketika, melupakan bahwa kita seniri pun tidak begitu, kita sendiri pun tidak berubah dengan seketika.
PG : Dan kadang kita mengharapkan orang lain yang berubah dengan seketika, sementara kita akan sangat bersabar dengan diri sendiri, tidak apa-apa tidak berubah.
PG : Itu saya kira reaksi yang wajar, kadang-kadang kita marah dengan diri sendiri kenapa masih begini saja, kenapa belum maju, tidak apa-apa. Saya rasa itu reaksi yang normal tapi jangan sampa kejengkelan kita memadamkan api untuk mau terus berkobar dan untuk maju.
Jadi point terakhir yang ingin saya bagikan adalah jangan menyerah, jangan meninggalkan Tuhan, tetap pegang kaki Tuhan, apapun yang terjadi kita melihat diri kita mundur, kita melihat diri kita terjungkal jangan lepaskan kaki Tuhan, terus pegang kaki Tuhan. Sebab yang akan memberikan kita kesempatan lagi adalah Dia, yang akan memberikan kita kekuatan adalah Dia juga, kalau kita lepaskan kaki Tuhan kita terlepas, benar-benar terlepas dan tidak lagi ada pengharapan.PG : Ya betul, tekun dan misalkan kita ini tidak malu berdoa walaupun ada rasa malu kenapa masih begini terus tapi jangan berhenti berdoa. Bahkan dalam doa katakan: "Tuhan, saya malu datan kepada Engkau, karena saya masih seperti ini."
Jadi jangan karena malu tidak berdoa, justru berdoalah dan katakanlah Tuhan saya malu justru begitu.PG : Betul, betul, dan Dia inginkan kita berbagi susah dan duka dengan Dia.
Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan ini juga Bu Wulan terima kasih, para pendengar sekalian kami berterima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pulih Setahap Demi Setahap". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
23. Rasa Bersalah | |
Sering kali banyak orang mencampuradukkan antara penyesalan, ketakutan, rasa bersalah. Memang kita tidak bisa hidup tanpa rasa bersalah. Penting sekali kita belajar mengenai rasa bersalah ini dan bagaimana menghadapinya, agar jangan sampai kita pada akhirnya dikuasai oleh rasa bersalah.
Di masa lampau kita pernah melakukan kesalahan dan jatuh ke dalam dosa. Tidak tertutup kemungkinan kita pun akan melakukan kesalahan di masa yang akan datang. Sebagian kita hanya akan melakukan kesalahan kecil, namun sebagian lainnya mungkin akan melakukan kesalahan besar. Rasa bersalah merupakan bagian hidup yang harus kita hadapi; itu sebabnya kita perlu memahami dan menyelesaikannya dengan benar. Sebagai bahan acuan, kita akan melihat kehidupan Daud.
Definisi
Rasa bersalah tidak sama dengan rasa malu. Rasa malu merupakan reaksi terhadap perbuatan yang dianggap tidak lazim untuk dilakukan oleh budaya atau kebiasaan setempat. Misalnya, sebagai pria kita merasa malu kepada istri bila kita tidak dapat menafkahi kebutuhan ekonomi keluarga. Atau, sebagai istri kita merasa malu sebab kita tidak mampu membuahi keturunan bagi suami.
Rasa bersalah tidak sama dengan penyesalan. Penyesalan adalah perasaan sedih dan tertekan yang bercampur dengan rasa malu atas perbuatan yang telah kita lakukan. Penyesalan lebih terfokus pada dampak perbuatan kita terhadap orang atau lebih merupakan reaksi terhadap penilaian orang. Penyesalan tidak selalu dicetuskan oleh rasa bersalah; sebaliknya, rasa bersalah selalu membuahkan penyesalan.
Jadi, apa itu rasa bersalah? Rasa bersalah adalah kesadaran bahwa kita telah melakukan kesalahan dan apabila kesalahan ini berkaitan dengan hukum Tuhan, rasa bersalah merupakan pengakuan bahwa kita telah melanggar kehendak Tuhan.
Untuk dapat menyikapi rasa bersalah dengan tepat, kita mesti dapat membedakan antara rasa bersalah semu dan rasa bersalah sejati.
Rasa bersalah semu sangat dipengaruhi oleh situasi, sedangkan rasa bersalah sejati tidak terlalu dipengaruhi oleh situasi. Setelah berzinah dengan Batsyeba, Daud tidak menunjukkan rasa bersalah (karena belum diketahui). Setelah Batsyeba mengandung, Daud berupaya menutupi perbuatannya dengan cara mengundang Uria pulang dan setelah ini pun tidak berhasil, Daud mengenyahkan nyawa Uria secara licik. Di sini kita dapat melihat bahwa Daud menunjukkan rasa bersalah namun ini merupakan rasa bersalah semu (diakibatkan oleh situasi yakni Batsyeba mengandung).
Rasa bersalah semu terbatasi oleh waktu sedangkan rasa bersalah sejati tidak terbatasi oleh waktu. C. S. Lewis mengatakan biasanya kita merasa bersalah pada waktu melakukan perbuatan dosa namun setelah selang beberapa waktu, kita tidak lagi merasa bersalah-seakan-akan waktu telah mencuci bersih dosa kita. Lewis menekankan bahwa dosa tetap dosa-kapan pun dosa itu dilakukan. Sekurangnya ada setahun rentang waktu antara perbuatan zinah Daud dan kedatangan Nabi Natan. Ternyata Daud tidak meminta ampun kepada Tuhan dalam selang waktu itu dan tampaknya Daud pun telah melupakan dosanya, itu sebabnya ia tidak merasa ialah yang sedang dibicarakan Nabi Natan dalam ilustrasi yang disampaikannya.
Rasa bersalah semu lebih berorientasi pada penilaian orang sedangkan rasa bersalah sejati lebih berorientasi pada penilaian Tuhan dan Firman-Nya.
Rasa bersalah semu cenderung berlebihan dan memenjarakan sedangkan rasa bersalah sejati menjanjikan pengharapan. Rasa bersalah semu berkubang di masa lampau dan menimbulkan penyesalan tanpa akhir. Rasa bersalah sejati berani melihat dan mengakui masa lampau namun tidak berkubang di masa lampau. Rasa bersalah sejati memandang masa depan karena rasa bersalah sejati tidak terfokus pada penyesalan, melainkan pengharapan. Firman Tuhan menjanjikan, "Sebab dukacita menurut kehendak Allah (godly sorrow) menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak disesalkan (no regret), tetapi dukacita yang dari dunia ini (worldly sorrow) menghasilkan kematian." (
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Rasa Bersalah", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Rasa bersalah adalah bagian yang integral dalam kehidupan kita Pak Gunawan. Mudah-mudahan kita bisa hidup tanpa rasa bersalah, tapi memang tidak bisa. Kadang-kadang kita melakukan kesalaha kecil, kadang-kadang kita melakukan kesalahan besar, kadang melakukan dosa kecil, kadang melakukan dosa yang besar.
Jadi penting sekali kita belajar mengenai rasa bersalah ini dan bagaimana menghadapinya. Agar jangan sampai kita pada akhirnya ditindihi atau dikuasai oleh rasa bersalah.PG : Kadang-kadang kita agak sulit membedakan antara rasa bersalah dan rasa malu. Rasa malu merupakan reaksi terhadap perbuatan yang dianggap tidak lazim untuk dilakukan oleh budaya atau kebiasan setempat.
Saya berikan contoh misalnya sebagai pria kita merasa malu kepada istri bila kita tidak dapat menafkahi kebutuhan ekonomi keluarga. Atau misalnya sebagai istri kita merasa malu sebab kita tidak mampu membuahi keturunan bagi suami. Dari dua contoh ini saya kira kita tidak akan dapat menemukan kesalahannya melanggar hukum Allah atau hukum lainnya, namun yang muncul adalah rasa malu. Kalau kita tidak hati-hati kita mencampuradukkan kedua-duanya. Tidak bisa mempunyai keturunan, kita anggap itu kesalahan sehingga kita merasa bersalah terhadap pasangan kita. Kita tidak bisa menafkahi karena baru di PHK sehingga kita merasa bersalah padahal tidak ada yang salah dalam hal ini. Yang seharusnya muncul adalah rasa prihatin dengan keluarga kita. Ini adalah contoh rasa malu dan bukan rasa bersalah.PG : Adakalanya kita salah pilih, adakalanya itu adalah pilihan yang kita anggap paling baik. Jadi yang harus kita introspeksi adalah apakah berdasarkan data yang kita miliki saat itu memang itlah pilihan yang terbaik.
Kalau kita sudah mengumpulkan data sebaik mungkin mempertimbangkannya seteliti mungkin dan mencari masukan dari beberapa pihak lain dan akhirnya keputusan itulah yang kita ambil. Itu keputusan yang memang benar untuk kondisi saat itu. Kalau kemudian kita di PHK ini sungguh-sungguh sesuatu yang terjadi di luar kendali kita.PG : Betul. Jadi ini adalah peristiwa yang memang harus kita hadapi, mungkin kita merasa malu. Tapi bukannya rasa bersalah yang harus kita tanggung di sini.
PG : Betul Bu Wulan, jadi rasa bersalah memang sering kali bercampuraduk dengan penyesalan. Namun saya ingin membedakan keduanya. Penyesalan adalah perasaan sedih dan tertekan yang bercampur degan rasa malu atas perbuatan yang telah kita lakukan.
Penyesalan lebih terfokus pada dampak perbuatan kita terhadap orang atau lebih merupakan reaksi terhadap penilaian orang. Penyesalan tidak selalu dicetuskan oleh rasa bersalah. Ini kita harus perhatikan. Sebaliknya rasa bersalah selalu membuahkan penyesalan. Adakalanya orang menyesali perbuatannya tapi sebetulnya dia tidak menganggap itu suatu kesalahan. Tapi karena orang yang lainnya bereaksi keras atau memojokkan dia, dia menyesali karena reaksi dari pihak luar. Tapi dia sendiri tidak menganggap itu adalah suatu kesalahan yang harus dia koreksi. Jadi kadang-kadang kita ini menyamarkan penyesalan dengan rasa bersalah. Sebetulnya memang tidak sama. Sekali lagi penekanan pada penyesalan adalah perasaan. Nah jadi sekarang apa itu rasa bersalah. Tadi saya katakan penyesalan itu penekanannya pada perasaan. Rasa bersalah sebetulnya adalah suatu kesadaran, suatu pemahaman, suatu pengetahuan, suatu pengakuan secara rasional bahwa kita telah melakukan kesalahan. Dan apabila kesalahan ini berkaitan dengan hukum Tuhan rasa bersalah merupakan pengakuan bahwa kita telah melanggar kehendak atau perintah Tuhan. Jadi tidak harus diikuti oleh perasaan. Tapi suatu pengakuan secara rasional. Saya telah melakukan kesalahan.PG : Rasa bersalah tidak bisa dilepaskan dari nilai moral yang dianut oleh kita. Jadi betul sekali kita memang akhirnya membahas rasa bersalah dalam lingkup nilai moral tertentu. Tidak bisa hama nilai moral, sebab harus selalu ada rujukannya, acuannya apa.
Bisa jadi buat seseorang ini sangat salah. Buat orang lain ini sangat benar. Nah bergantung pada rujukannya, acuannya. Dalam pembahasan kita saat ini memang kita akan merujukkannya kepada Alkitab kepada firman Tuhan. Secara garis besar sudah tentu dalam detail-detailnya bisa juga ada perbedaan antara kelompok-kelompok Kristiani, tapi secara umum saja. Memang harus ada standar acuannya.PG : Ya, adakalanya memang rasa bersalah itu dirangsang atau ditimbulkan oleh reaksi-reaksi orang. Maka sebagai seorang Kristen kita harus jelas mengenal Tuhan kita, mengenal isi hatiNya. Bukanhanya perkataanNya yang tertuang dalam Alkitab tapi juga isi hatinya, sehingga kita bisa lebih mengerti apakah ini memang sesuai dengan kehendakNya meskipun tak tersurat secara langsung di firman Tuhan itu.
Kalau kita bisa mempunyai patokan yang jelas nantinya meskipun ada orang yang tidak setuju dengan kita atau apa kita masih bisa berkata: "Tidak, memang inilah firman Tuhan." Jadi kita bisa memegangnya dengan jelas.PG : Saya kira memang ada perbedaannya dan kadang kala kita ini justru dikuasainya oleh rasa bersalah yang semu. Jadi kita perlu membedakan keduanya. Yang pertama kita melihat bedanya rasa berslah semu sangat dipengaruhi oleh situasi sedangkan rasa bersalah sejati tidak terlalu dipengaruhi oleh situasi.
Nah, saya akan berikan contoh dari kehidupan raja Daud setelah dia berzinah dengan Batsyeba. Yang menarik adalah setelah berzinah itu Daud tidak menunjukkan rasa bersalah, sebab belum diketahui, dosanya itu masih tertutup. Setelah Batsyeba mengandung, Daud berupaya menutupi perbuatannya dengan cara mengundang suaminya Batsyeba Uria untuk pulang. Nah, dia mengharapkan dengan pulangnya Uria, Uria akan tidur bersama istrinya sehingga istrinya bisa berkata ini adalah anak saya dengan Uria. Tapi Uria seorang perwira yang setia tidak mau pulang ke rumah karena dia berkata anak buahnya, serdadunya masih tidur di bawah langit masa dia enak-enakan tidur dengan istrinya. Akhirnya Daud tidak bisa melaksanakan rencananya itu. Akhirnya Daud mengenyahkan nyawa Uria secara licik. Nah, di sini kita dapat melihat bahwa Daud menunjukkan rasa bersalah. Dia berusaha menutupinya dengan berbuat sesuatu memanggil Uria pulang dan sebagainya. Tapi ini yang saya panggil rasa bersalah semu. Karena dimunculkan oleh situasi yakni Batsyeba mengandung. Dengan kata lain kalau Batsyeba tidak mengandung atau kalau mengandung kemudian bisa ditutupi dengan kehadiran suaminya mungkin Daud akan tidur dengan pulas. Nah, ini salah satu contoh yang membedakan rasa bersalah semu dan rasa bersalah sejati.PG : Sebetulnya juga semu karena itu bukannya sesuatu yang salah dia tidak melakukan apa-apa, tetapi senantiasa dikuasai oleh rasa bersalah, karena terlalu sering disalahkan pada masa-masa pertmbuhannya.
Nah, kalau kita seperti itu kita memang mesti dengan berani melawan rasa bersalah kita itu dan berkata saya salah di mana? Kalau kita tidak bisa menunjukkan saya salah di mana atau apa kesalahan saya, nah kita tidak bisa mengatakan saya salah. Meskipun itu adalah tuduhan-tuduhan orang tua kita. Tetap kita berkata tidak, saya tidak salah. Memang kita sebagai orang Kristen, kita percaya kepada firman Tuhan kita bisa selalu merujuk ke sana apa yang harus kita katakan.PG : Rupanya rasionalisasi itu yang terjadi dalam diri Daud dan mungkin sekali itu salah satunya yang dia gunakan dengan mengatakan saya ini seorang raja atau mungkin saja dia bisa berkata semu manusia bisa jatuh ke dalam dosa dan sebagainya.
Namun sebetulnya dia seharusnya merasa bersalah karena dia mengambil istri orang. Daud seorang yang dekat dengan Tuhan, dia mengenal firman Tuhan. Jadi dia tahu dia salah. Tapi inilah kita bisa melihat kekuatan rasio yang sudah tercemar oleh dosa. Begitu kuatnya rasio itu sehingga bisa mematikan rasa bersalah yang seharusnya ada. Dan hanya memunculkan rasa bersalah semu sampai seperti itu.PG : Betul. Jadi akhirnya kita mendapatkan pembenaran ya sama-sama kita orang yang berdosa.
PG : Kita bisa membedakan ini juga dari soal waktu Pak Gunawan. Rasa bersalah semu terbatasi oleh waktu. Sedangkan rasa bersalah sejati tidak terbatasi oleh waktu. Seorang penulis Kristen bernaa See As Louis (16:20) mengatakan ini bahwa kita biasanya merasa bersalah pada waktu melakukan perbuatan dosa.
Namun setelah selang beberapa waktu kita tidak lagi merasa bersalah. Mengapa? Sebab kita seakan-akan berpikir bahwa waktu itu mencuci bersih dosa kita. Karena ingatan kita akan perbuatan kita sudah mulai menipis, mulai memudar, jadi rasa bersalah kita juga akhirnya luntur. Ini yang saya sebut rasa bersalah semu. Besok kita sudah merasa lebih baik lagi, besoknya lagi sudah merasa lebih baik lagi, nah ini yang terjadi pada Daud. Melewati waktu yang agak panjang dia merasa dia sudah tidak lagi berdosa. Louis mengatakan bahwa dosa tetap dosa kapanpun dosa itu dilakukan. Dalam kasus Daud sekurangnya ada setahun rentang waktu antara perbuatan zinah Daud dan kedatangan nabi Natan yang menegurnya. Ternyata Daud tidak meminta ampun kepada Tuhan dalam selang waktu itu yaitu setahun. Dan tampaknya Daud juga telah melupakan dosanya. Itu sebabnya dia tidak merasa dialah yang sedang dibicarakan nabi Natan dalam ilustrasi yang disampaikan nabi Natan itu. Jadi dengan kata lain dalam selang waktu setahun dalam kasus Daud dia bisa melupakan perbuatannya itu. Makanya dia merasa berani begitu benar waktu Natan menceritakan tentang kasus orang kaya dan orang miskin, orang kaya mengambil anak domba betina dari si orang miskin itu. Daud marah dan mau menghukum orang itu, sampai Natan berkata kamulah orangnya. Jadi apa yang terjadi, dosanya, perasaan bersalahnya hilang dengan berjalannya waktu, itu menandakan rasa bersalah yang semu. Sebab rasa bersalah sejati tidak mengenal waktu. Kalau kita telah berdosa kita tahu itu dosa kapanpun kita sebut itu tetap kita panggil itu dosa.PG : Saya kira bisa begitu. Maka itu yang diangkat oleh See As Louis bahwa kita ini sangat terpengaruh oleh waktu sehingga setelah kita melakukan dosa dan waktu sudah berjalan kita tidak lagi mngingat-ingat dan tidak lagi merasa bersalah sehingga meskipun itu dosa lama-lama jadi hilang dari ingatan dan perasaan kita.
PG : Sebab tidak terjadi apa-apa, sebab Tuhan tidak langsung bertindak dan menghukum kita. Bisa jadi itu.
PG : Betul hati nurani kita makin hari menjadi makin tebal.
PG : Rasa bersalah semu lebih berorientasi pada penilaian orang sedangkan rasa bersalah sejati lebih berorientasi pada penilaian Tuhan dan firmanNya. Kehamilan Batsyebalah bukan firman Tuhan yag membuat Daud panik.
Itu kita harus ingat. Dia panik bukan karena dia tertegur oleh firman Tuhan, dia sudah mengeraskan hatinya. Kehamilan Batsyebalah yang membuat dia panik dan berusaha menutupi perbuatannya. Itu sebabnya kita bisa melihat tindakan Daud menyelesaikan rasa bersalahnya itu sangat tidak rohani, yakni akhirnya membunuh suami Batsyeba.PG : Dosa yang beranakkan dosa dan anak dosa ini ternyata lebih besar daripada bapaknya dosa yang pertama.
PG : Tidak ada penilaian manusia pada saat itu.
PG : Betul, istrinya Potifar malah mengundang dia, dan dalam kasus Daud kita dengan jelas melihat Daud sangat terpengaruh oleh penilaian orang di sini. Makanya dia berusaha menutupi dosanya. Di kehilangan perspektif akan Tuhan bahwa dia telah berdosa terhadap Tuhan.
Terakhir waktu nabi Natan mengkonfrontasi dia menegur dosanya barulah dia berkata aku telah berdosa terhadap Tuhan. Terakhirnya baru dia mengakui itu.PG : Saya kira ada, orang yang dipengaruhi oleh rasa bersalah semu itu akhirnya menjadi orang yang terpenjarakan. Sehingga tidak bisa lagi memikirkan masa depan dan tidak lagi melihat pengharapn.
Sedangkan kalau rasa bersalah sejati dengan Kristus Tuhan kita itu yang menjanjikan pengharapan. Rasa bersalah semu berkubang di masa lampau menimbulkan penyesalan tanpa akhir. Sedangkan rasa bersalah sejati berani melihat dan mengakui masa lampau namun tidak berkubang di masa lampau. Jadi kita katakan rasa bersalah sejati memandang masa depan karena rasa bersalah sejati tidak terfokus pada penyesalan melainkan pada pengharapan. Ini yang membedakannya yang paling hakiki.PG : Saya kira akan selalu ada reaksi setiap kali kita mengingat perbuatan salah kita. Yang saya maksud di sini adalah bukannya sama sekali tidak mengingat atau merasakan apa-apa. Tetap ada tap kita tidak lagi dipenjarakan olehnya, kita belajar berkata bahwa ada Tuhan yang sudah mengampuni saya.
Ada Tuhan yang sudah menerima anak saya itu. Jadi dengan kata lain meskipun kita tetap merasakan luka itu dan tertusuk kenapa saya bisa begitu lalai seperti itu, tapi itu tidak berlangsung berlarut-larut sampai kita itu lumpuh tidak bisa memikirkan masa depan.PG : Kalau menaikkan dan mengingatkan diri supaya sekali lagi ingat Tuhan mengampuni. Saya kira tidak apa-apa berdoa seperti itu. Meskipun secara fakta Tuhan sudah mengampuni. Tapi sebagai manuia kadang kala kita perlu berdoa seperti itu lagi.
Meminta ampun lagi sebetulnya untuk kepentingan kita. Untuk supaya kita merasakan damai, tenteram walaupun sebenarnya Tuhan sudah mengampuni sejak pertama kita mengakui dosa kita.PG : Saya akan bacakan
PG : Betul sekali. Yudas akhirnya membunuh diri karena dia mempunyai rasa bersalah tanpa Tuhan. Petrus juga merasa bersalah tapi dengan Tuhan dan akhirnya justru Petrus yang direstorasi dipakaiTuhan menjadi rasul Tuhan.
PG : Betul sekali. Kita tidak sempurna kita akan melakukan kesalahan baik kesalahan kecil maupun kesalahan besar tapi kita tetap meyakinkan diri Tuhan lebih besar daripada kesalahan kita yang pling besar.
GS : Ya, terima kasih sekali Pak Paul, terima kasih juga Ibu Wulan untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih bahwa Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Rasa Bersalah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK JL. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
24. Dari Kejatuhan Menuju Kemenangan | |
Ada orang yang justru karena kejatuhan berubah menjadi manusia yang lebih baik tetapi ada juga yang menjadi semakin buruk. Salah satu penyebabnya adalah karena cara menghadapi kejatuhan atau dosa yang tidak sama. Untuk itu kita perlu tahu bagaimana menghadapi semua itu dengan benar.
Yang harus kita perbuat pada saat kita mengalami kejatuhan:
Akui perbuatan kita apa adanya; jangan mencoba membenarkan diri atau mengurangi kadar kesalahannya.
Lihatlah apakah ada firman Tuhan yang tersurat maupun tersirat yang telah kita langgar. Bedakan antara rasa malu, penyesalan, dan rasa bersalah.
Datanglah kepada Tuhan yang menjanjikan pengampunan, "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. " (
Ingatlah, rasa bersalah tanpa Tuhan membuahkan kematian namun rasa bersalah dengan Tuhan, menghasilkan keselamatan.
Rasa bersalah sejati membuahkan pertobatan; pertobatan sejati menghapuskan rasa bersalah. Pertobatan berarti mengubah arah, berusaha berhenti melakukan perbuatan yang salah.
Ingatlah, perkataan Ralph Waldo Emerson, "Keagungan kita bukanlah dikarenakan kita tidak pernah jatuh melainkan kita selalu bangkit setiap kali kita jatuh."
Camkan nasihat Pdt. Gordon McDonald, "Orang yang paling merdeka di dunia ini adalah orang yang memiki hati yang terbuka, jiwa yang hancur, dan arah yang baru." Hati yang terbuka artinya, terbuka mau menerima teguran Tuhan. Berani dan sanggup berkata: "Tuhan, saya salah," terbuka tidak menutup-nutupi, tidak berkelit. Orang yang memiliki jiwa yang hancur, artinya bukan saja berani melihat tetapi berani menangisi perbuatan atau kesalahan kita.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Wulan S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Dari Kejatuhan Menuju Kemenangan", kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Pak Gunawan, bahasan kita kali ini memang saya tujukan secara khusus kepada anak-anak Tuhan yang terlibat dalam pelayanan. Dengan kata lain ini adalah untuk orang-orang Kristen yang memng sungguh-sungguh hidup dalam Tuhan, ingin melayani Tuhan, dan terlibat dalam pelayanan, dan sebagainya.
Kita tidak sempurna adakalanya kita salah, kita jatuh, kita berdosa. Nah, apa yang harus kita perbuat pada waktu kita mengalami kejatuhan. Saya melihat seperti ini Pak Gunawan justru dalam kejatuhan akan muncul dua perubahan atau muncul dua reaksi yang saling bertentangan atau justru berlawanan. Maksud saya begini ada orang yang justru karena kejatuhan berubah menjadi manusia yang lebih baik. Tapi sebaliknya ada orang setelah kejatuhan atau gara-gara mengalami kejatuhan menjadi orang yang lebih buruk daripada sebelumnya. Nah, mengapa ada yang seperti itu? Mengapa ada sebagian orang justru bertambah baik, mengapa ada sebagian orang justru bertambah buruk. Saya kira salah satu penyebabnya adalah karena cara menghadapi kejatuhan atau dosa yang tidak sama. Justru itulah yang akan kita bicarakan pada kesempatan ini Pak Gunawan.PG : Yang pertama adalah kita mesti mengakui perbuatan kita apa adanya. Saya mau menggaris bawahi kata mengakui. Mengakui berarti kita ini berkata jelas bahwa ini salah, bahwa ini dosa. Kitamempunyai kekuatan rasionalisasi di mana kita bisa mengubah hal sekotor apapun menjadi sebersih yang kita inginkan.
Berhati-hatilah dengan kemampuan kita untuk berasionalisai yang kita juga harus tekankan di sini adalah apa adanya. Jangan kita ini mengurangi kadarnya, keseriusannya, jangan melabelkannya dengan cara yang lain, dan sebagainya. Misalkan sekarang ini kata zinah hampir kita tidak gunakan. Yang lebih sering kita gunakan adalah kata selingkuh. Celakanya kata selingkuh itu terdiri dari dua kata yang bila dipisah dari kata kuh berarti seling nah seling itu berarti suatu selingan dan kata selingan itu tidak berkonotasi buruk. Selingan sesuatu yang kita lakukan di tengah-tengah kegiatan kita yang lain. Seolah-olah hanya sebatas itulah perselingkuhan. Jadi kita tidak bisa memanggilnya hanyalah oh ini selingkuh, ini ya saya lagi kilaf, tidak. Dosa adalah dosa, apa adanya kita harus akui inilah prasyarat yang pertama Tuhan meminta kita datang kepadaNya mengakui apa adanya tidak merasionalisasi, tidak mengurangi kadarnya. Jangan belum apa-apa sudah menyalahkan orang. Oh orang ini membuat saya begini, begitu, tidak itu bukanlah yang Tuhan inginkan.PG : Ya, ada orang yang memang seperti yang Ibu Wulan katakan, begitu susah untuk bisa mengakui kekurangannya. Dia mungkin mempunyai anggapan ya dia benar, dia selalu harus benar dan orang hrus mengakui bahwa dia benar.
Jadi karena dia sudah beranggapan bahwa dia harus benar berarti yang salah adalah orang lain. yang juga sering kita dengar misalkan seperti ini ada orang marah dan kalau marah memukul pasangannya. Nah, orang seperti ini sering kali waktu ditanya mengapa memukul dia justru berkata: "Pasangan saya yang membuat saya itu jadi lepas kendali, maka saya memukul dia." Jadi seolah-olah sekali lagi kontrolnya itu tidak ada pada dirinya tapi pada diri orang lain. Orang yang seperti ini memang ingin jalan pintas bebas dari sangsi, bebas dari tanggung jawab terhadap konsekuensi perbuatannya. Dan dia akan menggunakan segala cara untuk bisa melepaskan diri dari lilitan sangsi yang seharusnya ditanggungnya itu.PG : Standarnya adalah firman Tuhan Pak Gunawan. Jadi langkah berikutnya adalah kita mesti melihatnya apakah ada firman Tuhan baik yang tersurat maupun yang tersirat yang telah kita langgar.Kita harus mengukurnya kembali ke sana.
Sekali lagi saya mau tekankan kita mesti mengenal Tuhan kita, sehingga bukan perintahnya saja yang tersurat yang kita bisa kenali tapi kita juga bisa mengenali perintahnya yang tersirat. Karena tidak semua hal yang ada dalam hidup ini sekarang ini tersuratkan di dalam Alkitab. Beda budaya dan sebagainya. Maka kita harus bisa menangkap isi hati Tuhan yang mungkin tidak terlalu jelas terlihat dari cerita-cerita yang kita baca pada firman Tuhan. Kita penting melihat firman Tuhan sebagai tolak ukur kita agar kita tidak terjebak ke dalam campuran-campuran perasaan yang sesungguhnya bukanlah rasa bersalah. Misalnya rasa malu, malu kita tahu adalah reaksi yang sebetulnya lebih dipicu oleh tuntutan masyarakat atau budaya atau kelompok di mana kita hidup. Belum tentu itu berkaitan dengan suatu pelanggran firman Tuhan dan juga kita harus bedakan dengan penyesalan belaka. Penyesalan sering kali dipicu oleh kita melihat dampak perbuatan kita pada orang jadi kita menyesalinya. Atau kita tertangkap basah orang-orang melihat kita, kita merasa mengapa saya berbuat hal seperti itu? Kita menyesali. Namun dalam hati tidak sungguh-sungguh merasakan itu adalah suatu kesalahan. Jadi penting tolak ukur kita itu jelas firman Tuhan. Kalau firman sudah katakan ini tidak benar ya ini tidak benar.PG : Sebetulnya dalam rel Tuhan justru kita merasakan kemerdekaan, di luar rel Tuhan benar kita akan banyak tidak bolehnya. Jadi saya umpamakan seperti ini orang tua yang melarang anaknya keuar dari pagar rumah, mengapa, sebab di luar pagar itu kebetulan jalan besar, banyak kendaraan bermotor lalu lalang.
Sudah tentu si anak berkata mengapa saya tidak bebas? Tapi orang tua mengerti kalau engkau dibebaskan masuk ke jalan raya itu akan membahayakan jiwamu. Maka nikmati kebebasan dalam pagar ini karena dalam pagar inilah engkau justru tenteram tidak ada bahaya di sini.PG : Tepat sekali Bu Wulan, kalau memang pengenalan kita sangat sedikit sudah tentu konsep kita akan dosa itu bisa dan sebagainya itu bisa samar dan tidak tepat sasaran. Saya pernah misalkanbercanda dengan beberapa teman kemudian ada teman saya yang baru bertobat.
Langsung tiba-tiba dia menegur saya dengan keras, dia berkata kamu bicara sia-sia tidak boleh bicara sia-sia. Padahal bercanda itu adalah bagian dari kehidupan tapi memang dia baru bertobat. Dan dia baru belajar tentang jangan bicara sia-sia. Dia tidak mengerti secara jelas maksud Tuhan itu apa dengan yang namanya bicara sia-sia. Bercanda dalam batas tertentu memang bukanlah bicara sia-sia itu bagian dalam percakapan manusia untuk bisa menghibur diri. Jadi memang perlu kenal Tuhan. Firman Tuhan memberikan kita janji pengampunan Bu Wulan. Nah ini yang kita harus ingatPG : Saya kira akan ada pengaruhnya latar belakang kita itu. Kalau memang kita dibesarkan oleh ayah yang seperti Ibu Wulan katakan bisa jadi dalam berelasi dengan Tuhan kita membawa pola-pol tersebut.
Sehingga kita tidak mudah mengaku meminta ampun, ada juga orang yang susah minta ampun karena gengsi akhirnya dengan Tuhanpun dia gengsi minta ampun, misalkan ada yang seperti itu. Saya kira bisa jadi. Jadi pengaruh-pengaruh itu masih mewarnai sikap kita tapi mari kita membaca lagi firman, kita kenal Tuhan berdasarkan firmanNya. Jangan sampai kita terjebak dalam teropong kehidupan kita. Jadi kita meneropong Tuhan melalui kacamata pengalaman kita dengan keluarga kita. Nah, itu yang harus kita tanggalkan teropongnya yang kita pakai dulu itu. Teropong kita adalah firman Tuhan sendiri. Kita kenal Tuhan seperti yang Alkitab sudah katakan. Memang di Alkitab Dia adalah Allah yang panjang sabar, penuh kemurahan seperti itu.PG : Karena kita memang membutuhkan peneguhan-peneguhan Pak Gunawan sebagai manusia. Adakalanya kita sudah tahu tapi kita mau mendengarkan peneguhan kembali bahwa engkau sudah diampuni Tuhan Nah, sudah jangan persoalkan lagi.
Kadang-kadang itulah yang kita butuhkan. Tapi yang tetap kita mau ingatkan diri kita adalah ini Pak Gunawan bahwa rasa bersalah dengan Tuhan itu akan menghasilkan keselamatan. Ini perlu kita garis bawahi sebagai seorang Kristen. Rasa bersalah dengan Tuhan menghasilkan keselamatan. Karena kita tahu kesalahan kita, dosa kita Tuhan ampuni. Dan karena Tuhan ampuni kita menerima pengampunan, kita menerima keselamatan itu. Tapi rasa bersalah di luar Tuhan tidak melibatkan Tuhan itu memang benar-benar membawa kepada kematian. Masalah dosa bukanlah masalah yang manusia bisa selesaikan. Kalau kita berdosa kepada sesama kita bisa minta maaf. Tapi kalau kita berdosa kepada Tuhan tentu hanya Tuhan yang bisa memberikan maaf atau ampunan. Maka kepadaNyalah kita harus datang. Kalau ada orang yang mengalami persoalan dengan dosa dia tidak akan bisa menyelesaikannya sendiri, itu memang wewenang Tuhan, dosa dilakukan terhadap Tuhan. Jadi wewenang Tuhanlah mengampuninya. Dan waktu dia mengampuni keselamatanlah yang dia berikan. Itulah janji Tuhan.PG : Saya kira tidak sehat. Kalau tidak salah pada akhirnyalah Martin Luther itu meyakini Tuhan sudah mati untuknya, menebus dosanya. Waktu dia merenungkan tentang pengorbanan Tuhan Yesus dikayu salib dan di saat itulah waktu dia membaca merenungkan kisah penyaliban Tuhan tiba-tiba dia disadarkan bahwa dosanya sudah diampuni Tuhan.
Itu katanya pertama kali Luther sungguh-sungguh mengalami pengampunan Tuhan. Dan bahwa dia tidak harus lagi bekerja, berbuat untuk mendapatkan pengampunan Tuhan ini. Jadi memang tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menghapus dosa kita, tidak ada. Kita hanya perlu datang kepadaNya mengakui dosa kita, meminta Tuhan mengampuni kita dan kita yakini bahwa Dia yang sudah berjanji akan mengampuni.PG : Nah di sana kita bisa melihat Pak Gunawan, bahwa Tuhan itu lebih besar daripada pengakuan-pengakuan verbal. Meskipun si orang jahat itu tidak pernah berkata Tuhan Yesus ampuni saya, tidk pernah berkata begitu.
Tapi Tuhan sudah tahu dia memang mengakui dosanya. Dari manakah kita bisa merêka itu, menebak bahwa Tuhan memang melihat bahwa dia sudah mengakui dosanya. Sebab waktu kawannya meledek Tuhan, dia menegur kawannya. Dan dia berkata kita selayaknya menerima ini, tapi orang ini yaitu Yesus tidak selayaknya menerima ini. Dengan kata lain dia memang sudah berdamai dengan dirinya. Dia sudah melihat bahwa ini memang perbuatan dosanya dan selayaknyalah dia menerima hukuman salib ini. Nah, dengan kata lain ya itulah pengakuan dia dan Tuhan sudah mendengar pengakuannya. Makanya waktu dia berkata ingatlah aku pada waktu Engkau turun di Firdaus, Tuhan berkata: "Hari ini juga engkau sudah bersama-sama denganKu di Firdaus." Jadi Tuhan sudah langsung menjanjikan keselamatan itu.PG : Seyogyanyalah Pak Gunawan, rasa bersalah itu membuahkan pertobatan. Pertobatan adalah suatu perubahan arah, kita berhenti melakukan perbuatan yang salah, nah itulah pertobatan. Rumusnyaadalah ini Pak Gunawan, rasa bersalah sejati akan membuahkan pertobatan sedangkan rasa bersalah semu tidak membuahkan pertobatan, hanya jera sebentar saja terus melakukan lagi.
Tapi rasa bersalah sejati membuahkan pertobatan. Dan pertobatan sejati menghapuskan rasa bersalah. Justru kalau kita sudah bertobat kita tidak lagi dikuasai oleh rasa bersalah. Kita bisa langsung mengklaim kalau kita digoda, dituduh lagi oleh rasa bersalah kita langsung mengklaim darah Tuhan Yesus sudah dicucurkan untuk semua dosaku, Tuhan sudah mengampuni dosaku. Nah, aku tidak lagi bersalah. Yang mesti kita ingat adalah juga perkataannya Ralph Waldo Amerson dia berkata begini: "Keagungan kita bukanlah dikarenakan kita tidak pernah jatuh, melainkan kita selalu bangkit setiap kali kita jatuh." Ini bagus sekali Pak Gunawan dan Ibu Wulan. Kita ini bukan orang yang sempurna, kadang kita jatuh, nah keagungan kita terletak pada fakta ini. Waktu kita jatuh kita bangun. Itu yang membuat kita sebagai manusia agung.PG : Meskipun kita belum bisa sempurna selesai dengan kesalahan kita, tapi kita mesti membuat atau mengambil langkah kecil. Langkah-langkah kecil yang berubah yang berbeda dari perbuatan kit yang sebelumnya.
Saya teringat perumpamaan yang dipaparkan oleh C.S.Lewis dia berkata: "Kalau kita membuat ujian dan mengosongkannya kita dapat nilai 0. Tapi kalau kita mencoba menyelesaikan ujian itu meskipun salah semua, guru akan memberikan kita nilai walaupun hanya 1 atau 2." Dia berkata Tuhan seperti itu. Tuhan tentu senang kalau bisa melihat hasil akhirnya. Kita benar-benar berbeda tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Tapi meskipun itu belum bisa kita capai kalau saja kita sudah mengambil langkah-langkah kecil, usaha-usaha itu kita sudah keluarkan, itulah yang Tuhan catat. Jadi ini yang harus kita ingat Tuhan mencatat usaha-usaha kita untuk memperbaiki dosa kita.PG : Tepat sekali Bu Wulan. Memang kita ini manusia sering kali lebih kurang sabar dibandingkan Tuhan. Tuhan jauh lebih sabar dengan kita. Meskipun belum mencapai puncaknya tapi kenyataan kia sudah mulai mendaki meskipun setelah mendaki 2 atau 3 meter merosot lagi turun ke bawah, tetap itu yang Tuhan catat.
PG : Ya, saya kira perasaan itu alamiah, manusiawi kita merasa mengapa saya tidak ada perubahan, mengapa saya masih sama. Tapi jangan sampai suara-suara itu memadamkan semangat kita untuk beubah.
Itulah yang diinginkan oleh iblis. Sudah jangan berbuat lagi kamu percuma tidak perlu lagi berusaha, terimalah kondisi kamu. Oh tidak. Kita tetap mau berusaha meskipun kita belum selalu berhasil. Yang terakhir Pak Gunawan dan Ibu Wulan yang saya ingin sampaikan adalah nasihat dari Pdt. Gordon McDonald, dia berkata begini: "Orang yang paling merdeka di dunia ini adalah orang yang memiliki hati yang terbuka, jiwa yang hancur, dan arah yang baru." Gordon McDonald seorang yang mengerti apa yang dia katakan. Dia pernah jatuh ke dalam dosa dan Tuhan tetap memeliharanya. Dia melewati proses pembimbingan, pemulihan secara bertahun-tahun, gereja asalnya memanggilnya kembali menggembalakan gerejanya. Tuhan memberikan kesempatan kepada dia melayani Tuhan kembali. Nah inilah yang dia katakan. Orang yang paling merdeka di dunia ini adalah orang yang memiliki hati yang terbuka artinya apa, terbuka mau menerima teguran Tuhan. Berani dan sanggup berkata Tuhan saya salah terbuka tidak menutup-nutupi, tidak berkelit dan dia katakan berikutnya orang yang memiliki jiwa yang hancur. Artinya bukan saja berani melihat tetapi berani menangisi perbuatan kita, kesalahan kita. Rupanya inilah yang Pdt. Mc Donald juga harus hadapi adalah kehancuran hidupnya, kehancuran jiwanya, karena dosa yang dilakukannya. Tapi orang yang paling merdeka di dunia ini adalah orang yang memiliki arah yang baru. Inilah yang membedakan kita dari orang yang tidak mengenal Tuhan. Kita mempunyai arah yang baru, sebab Tuhan tidak meninggalkan kita. Tuhan tetap memberi kita lembar yang baru untuk kita tulisi, arah yang baru. Dia akan pimpin lagi meskipun mungkin saja pimpinannya itu tidak seperti yang kita duga atau kita pikirkan sebelumnya.PG : Saran saya adalah ini dengarkan Tuhan, nomor satu dengarkan Tuhan. Orang boleh didengarkan tetapi nomor duakan. Perasaan sendiri boleh didengarkan tetapi nomor duakan juga. Nomor satu dngarkan Tuhan, apa yang Tuhan katakan pegang itu sebagai fondasi kita.
Mungkin rumah kita itu sudah hancur tapi fondasi kita masih ada dan di situlah kita tetap berdiri. Fondasinya adalah janji Tuhan. Kita tahu Tuhan penuh kasih, Dia tidak begitu saja melepaskan kita.GS : Ya, terima kasih Pak Paul itu suatu penghiburan dan kekuatan sekaligus motivasi bagi para pendengar kita yang mungkin saat-saat ini sangat membutuhkannya, juga terima kasih Ibu Wulan untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dari Kejatuhan Menuju Kemenangan" dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
25. Pembelaan Diri dan Pengembangan Diri | |
Membela diri adalah suatu sifat yang manusiawi, sering kali timbul secara otomatis meskipun kita tahu bahwa kita melakukan kesalahan. Untuk mengubah pola itu ada langkah-langkah yang perlu kita ketahui, khususnya dalam kaitan dengan pengembangan diri kita.
Membela diri adalah suatu sifat yang manusiawi dan cukup sering kita memang perlu menjelaskan posisi kita, yakni mengapa kita mengambil tindakan tertentu dan bukan tindakan lainnya. Namun tidak setiap tindakan manusiawi adalah tindakan yang dapat dibenarkan atau dapat diterima.
Dalam kaitan dengan pengembangan diri, ada pembelaan diri yang justru menghambat pengembangan diri itu, yaitu kalau kita menutupi kesalahan kita atau kalau motivasi kita tidak mau disalahkan. Pembelaan diri bila dilakukan terus-menerus menunjukkan adanya bagian dari diri kita yang sedang mengalami masalah. Salah satunya kita tidak ingin dilihat buruk, karena kita tidak merasa aman dengan diri kita sendiri. Kita sengaja menutup diri, melindungi diri dari masukan orang lain, dengan demikian tidak bisa mengembangkan diri secara optimal.
Sebaliknya ada orang yang tidak pernah membela diri. Ia tampak selalu merendah dan meminta maaf, sering kali juga untuk kesalahan yang dilakukan orang lain. Orang seperti ini tergolong orang yang kurang mampu mengembangkan dirinya, takut dengan hukuman sosial dan cenderung menolak untuk bertanggungjawab.
Ketika kita terdorong untuk membela diri maka perlu dipertimbangkan beberapa hal. Kita perlu peka dan rela melihat kelemahan diri kita. Kalau kita salah, kita belajar mengakui kesalahan itu. Kalau kita benar, namun dipersalahkan, kita juga tidak perlu dengan berbagai cara menjatuhkan orang yang mempersalahkan kita.
Pembelaan diri awalnya muncul dalam bentuk pikiran-pikiran yang saling membela atau menuduh dalam diri kita. Pikiran-pikiran yang menghalangi pertumbuhan diri memiliki ciri-ciri ingin terus mempertahankan pola lama, tidak terbuka terhadap kritik dan masukan serta menaruh tanggungjawab dan kesalahan pada hal yang di luar dirinya.
Pikiran yang lebih sehat adalah pikiran yang lebih meletakkan persoalan dan tanggungjawab pada diri kita, lebih terbuka terhadap kritik yang positif dan mempunyai kesediaan memperbaiki diri.
Sering kali kita otomatis membela diri kita meskipun kita tahu bahwa kita melakukan kesalahan. Untuk mengubah pola itu, pertama kita perlu menyadari apa yang sedang kita lakukan dan mengapa kita melakukannya. Kedua, kita selalu mengingatkan diri kita dan mengambil komitmen untuk mengembangkan diri, betapa pun itu menyakitkan. Ketiga, kita perlu mengganti pikiran-pikiran yang kurang berani bertanggungjawab dengan pikiran yang lebih baik, lebih terbuka terhadap perbaikan diri. Itu perlu dilakukan terus-menerus, terutama ketika pikiran-pikiran yang kurang mengembangkan diri muncul dalam diri kita.
Firman Tuhan diambil dari
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun Anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dan kali ini saya ditemani Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pembelaan Diri dan Pengembangan Diri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
HE : Membela diri memang adalah suatu sifat yang manusiawi. Kalau membela diri itu sudah kelebihan apalagi kalau kita sudah jelas-jelas melakukan kesalahan, tetap kita tidak mau disalahkan dan da dorongan yang kuat dalam diri kita untuk bertahan, nah itu berarti sudah tidak wajar.
HE : Memang itu manusiawi sekali ya, kita membela diri juga dalam hal-hal yang bersifat psikologis, tetapi yang manusiawi itu belum tentu adalah tindakan yang dapat dibenarkan atau secara otomais dapat diterima.
Sebagai contoh yang saya kira sangat menarik adalah waktu manusia yang pertama, Adam dan Hawa, jatuh di dalam dosa maka mereka berusaha membela dirinya, jadi tidak mau langsung mengaku salah dan ini sebenarnya bagian dari dosa, bukan lagi sekadar tindakan alamiah tetapi ada bagian dalam dosa manusia.HE : Ya, tepat sekali. Pembelaan diri yang berlebihan terutama dan apalagi tanpa alasan-alasan yang rasional, itu adalah tindakan yang bisa menghambat pengembangan diri kita.
HE : Kalau misalnya kita terus-menerus melakukan pembelaan diri bahkan sebelum tahu benar masalahnya atau sudah jelas-jelas salah kita masih bertahan, maka itu antara lain karena kita tidak ma dilihat sebagai sesuatu yang buruk.
Jadi itu yang membuat kita senantiasa membela diri kita. Nah, kenapa kita tidak suka dilihat sisi buruk kita? Karena kita tidak merasa aman dengan diri kita sendiri, mungkin dilatarbelakangi karena kita tidak percaya diri atau merasa akan ditolak orang kalau kita tampak lemah, kalau kita kelihatan melakukan kesalahan. Jadi kelihatannya seolah-olah kita menutup atau membutakan diri terhadap kesalahan kita, padahal sebetulnya orang lain sudah tahu dan sudah bisa melihat kesalahan-kesalahan atau kelemahan kita.HE : Kalau kita misalnya terus-menerus tidak mau melihat bahwa sebetulnya ada juga masukan-masukan atau kritikan yang berguna dari orang lain bagi diri kita, maka kita langsung menghentikan kesmpatan untuk memperbaiki diri kita.
Nah di sini berarti kita sudah kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri kita, ini yang menghambat.HE : Ya, ini pertanyaan yang baik sekali. Tentu saja orang yang selalu terima disalahkan dan sebagainya, belum tentu lebih sehat bahkan sama saja kemungkinan juga tidak sehat, karena orang-oran demikian kemungkinan kurang mampu mengembangkan dirinya.
Orang yang selalu tampak merendah dan juga meminta maaf, bahkan untuk kesalahan yang sebetulnya dilakukan oleh orang lain, itu tidak bisa berkembang karena mereka takut dengan hukuman sosial dan sering kali juga cenderung menolak untuk bertanggungjawab, jadi hubungannya adalah karena mereka takut dengan hukuman sosial, mereka meminta maaf. Karena dengan meminta maaf mereka tidak perlu lagi dituding atau dimintai pertanggungjawaban yang lain-lain.HE : Sering kali memang ada kaitannya, jadi dua contoh yang kita sebutkan tadi, yang satu terus-menerus membela diri tidak ingin dipersalahkan dan yang satu lagi selalu menyalahkan diri, nah it adalah kemungkinan didasari oleh rasa takut untuk ditolak dan itu tentunya kurang sehat karena didasari juga oleh karena orang tersebut belum menerima dirinya secara penuh, belum merasa aman dengan dirinya.
HE : Ini bagian dari proses menuju kematangan tetapi belum betul-betul sangat matang sehingga meskipun ia terima tetapi masih ada rasa sakit di dalam hati yang dia ingin tutupi, yang ingin dia indungi.
Jadi dengan membuat alasan seperti itu dia ingin menutupi lukanya itu.HE : Ya mungkin ini perlu latihan juga yaitu kita lebih peka dan senantiasa mengecek dulu apa yang sebetulnya mendorong kita untuk cenderung membela diri dan tidak mendengar dulu dari pihak lain. Apakah mungkin kita mempunyai ketakutan-ketakutan yang tidak sehat atau gambaran diri yang buruk yang harus kita perbaiki. Nah kalau kita memang salah, kita perlu belajar. Tadi dikatakan bahwa secara otomatis kita cenderung langsung membela diri, maka kita sekarang belajar untuk mengakui kesalahan itu dan kita memperbaikinya. Kalau kita benar namun dipersalahkan, sikap kita juga tidak perlu dengan berbagai cara berusaha menjatuhkan orang yang mempersalahkan kita. Itu saya kira lebih sehat, kita melihat misalnya di dalam kehidupan tokoh-tokoh Alkitab pun waktu mereka dipersalahkan, mereka tidak dengan serta-merta menjelaskan dan membela diri karena mereka yakin satu saat semuanya juga akan dibukakan atau diketahui.
HE : Ya, itu kebiasaan kita memang dan sebetulnya itu menunjukkan juga tingkat kematangan atau kedewasaan kita. Pada orang-orang yang sungguh dewasa bahkan untuk kritikan dari orang-orang yang erbawah pun, dari strata sosial masyarakat, dia tetap bisa terima dengan lapang dada dan saya kira ada beberapa pemimpin-pemimpin dunia yang sampai pada tingkat kematangan seperti itu.
Nah, kita baik kalau bisa mengarahkan diri ke arah yang seperti itu.HE : Ya, tergantung motivasinya dan juga tergantung nanti reaksi berikutnya apakah memang betul ada perkembangan yang nyata dari dirinya, dia mau sungguh-sungguh belajar dari kritikan-kritikan tu ataukah sebaliknya justru setelah itu, setelah dikritik itu dia justru membela dirinya.
HE : Ya jadi akhirnya dorongan apa yang ada di balik itu menjadi lebih nyata.
HE : Ya ini contoh yang baik sekali dari orang yang mempunyai ketakutan. Jadi kalau misalnya dia terus terang, dia tidak puas dan sebagainya, dia takut dengan konsekwensinya misalnya dengan hukman sosial dengan pandangan orang terhadap dirinya dan terutama itu tadi dengan penolakan.
HE : Ya ada beberapa contoh yang bisa kita simak di sini misalnya pikiran seperti ini, "Semua orang juga berbuat begitu, termasuk yang mengkritik saya" atau misalnya contoh lain, "Dia tidak menerti apa yang saya alami, coba kalau dia di posisi saya pasti dia juga melakukan hal yang sama", yang lain lagi, "Dia seharusnya tidak mengajak saya ke tempat itu, kalau saya tidak diajak tentunya saya tidak akan melakukan dosa itu", yang lain lagi, "Karena situasi dan lingkungan saya yang beginilah yang membuat saya sampai seperti ini".
Atau misalnya, "Kalau dia ngomong baik-baik saya masih bisa terima, tetapi karena dia ngomongnya kasar ya saya terpaksa harus berbuat seperti itu", seperti contoh Pak Gunawan tadi. Nah kesimpulannya di sini adalah pikiran-pikiran yang menghalangi pertumbuhan diri ini memiliki ciri-ciri ingin terus mempertahankan pola yang lama. Jadi dia membela diri supaya dia bisa berpegang pada pola yang lama, tidak terbuka terhadap kritikan dan masukan serta menaruh tanggungjawab dan kesalahan pada hal yang di luar dirinya. Nah ini beberapa ciri cara berpikir yang melumpuhkan dan tidak menyebabkan perkembangan diri.HE : Ya, betul ini cukup wajar, jadi memang kebanyakan dari kita atau mungkin semua orang pada awal perkembangan dirinya memunculkan pikiran-pikiran seperti ini. Kalau seseorang ingin mengembankan diri menjadi lebih dewasa, lebih matang baik secara sosial maupun untuk kedewasaan dirinya, maka dia akan melalui tahapan-tahapan seperti ini.
Dia akan berusaha untuk menenangkan diri dan kemudian dia akan mengisi pikiran-pikirannya dengan yang lebih baik dan lebih sehat.HE : Ada beberapa contoh yang kita bisa simak di sini misalnya pikiran seperti ini, "Meskipun kebanyakan orang lain berbuat seperti itu, saya tidak karena saya tahu Tuhan tidak suka saya melakuan hal itu".
Contoh yang lain lagi, "Peristiwa yang saya alami memang kurang menguntungkan, namun saya tahu justru dalam keadaan kurang menguntungkanlah seseorang itu bisa diketahui kualitasnya yaitu kalau dia lolos dari ujian itu", misalnya lagi, "Orang boleh ngomong apa saja tetapi kalau saya berbuat benar dengan motivasi yang tulus, mereka pun tidak bisa apa-apa", "Saya mempunyai kelemahan dan ini salah satu kelemahan saya yang akhirnya diketahui orang lain, saat ini yang saya perlukan adalah memperbaiki diri dan tidak perlu terus meratapi kesalahan itu". Ini beberapa contoh yang kesimpulannya adalah pikiran-pikiran ini lebih meletakkan persoalan dan tanggungjawab pada diri kita sendiri, lebih terbuka terhadap kritik yang positif dan mempunyai kesediaan untuk memperbaiki diri.HE : Ada beberapa hal, yaitu yang pertama kita perlu menyadari dulu apa yang sedang kita lakukan dan mengapa kita melakukannya, misalnya apakah kita mempunyai konsep diri yang buruk? Kalau ya,nah ini yang harus kita perbaiki lebih dulu.
Yang kedua, kita harus selalu mengingatkan diri kita sendiri dan mengambil komitmen untuk mengembangkan diri betapa pun itu menyakitkan. Memang kalau kita ingin mengembangkan diri, ingin menjadi lebih dewasa ada proses menyakitkan yang harus kita lewati. Dan yang ketiga kita perlu menggantikan pikiran-pikiran yang kurang berani bertanggungjawab dengan pikiran yang lebih baik, yang lebih terbuka terhadap perbaikan diri. Itu perlu dilakukan terus-menerus, terutama ketika pikiran-pikiran yang kurang mengembangkan diri itu muncul di dalam diri kita, jadi kita gantikan pikiran-pikiran yang kurang sehat itu.HE : Ya, kalau yang namanya represi berarti kita sedang menekan perasaan-perasaan kita supaya itu tidak muncul, tetapi yang kita lakukan ini berbeda. Perbedaannya adalah yang kita lakukan ini ita mengakuinya, kalau kita merasa sakit kita mengakuinya, kalau kita mempunyai gambaran diri yang buruk, kita takut ditolak orang, kita akui, lalu kita juga mengakui bahwa kita mempunyai kelemahan-kelemahan dan kelemahan-kelemahan yang masih bisa kita perbaiki, kita akan usahakan untuk perbaiki.
Jadi itu bedanya, kalau represi berarti menyangkali bahwa kita mempunyai masalah, sedangkan sebaliknya yang lebih sehat kita mengakuinya, menerimanya dan kita mengembangkan diri.HE : Ada beberapa sebab memang, antara lain itu dia terlalu sering disalahkan. Penyebab lain juga banyak terjadi dalam keluarga-keluarga yang tidak harmonis, waktu ayah-ibunya bertengkar misalna lalu berkeluh-kesah kepada anaknya ini, sehingga dari kecil dia harus menanggung beban yang terlalu berat.
Anak-anak yang baik biasanya menyimpan lalu sepertinya dia harus menanggung beban-beban seperti itu. Dia menyimpan kemarahan-kemarahan tetapi dia tidak menyatakannya dan lebih baik dia simpan sendiri, seperti itu. Ya ini bisa menjadikan anak rendah diri atau mempunyai konsep diri yang buruk.HE : Ini adalah sebagian dari Alkitab yaitu pengakuan dosa dari Daud dalam
HE : Sebetulnya ini contoh yang baik sekali, yang tadi baru disebutkan. Tuhan lebih suka yang mana? Tentu saja Tuhan lebih suka mereka yang langsung mengaku dosanya dengan hati yang hancur danlangsung bertobat, tetapi tetap Daud ini adalah orang yang sangat dewasa di dalam kerohanian dan kita bisa melihat kisah selanjutnya dimana ketika dia dilecehkan orang dan sebagainya, dia terima.
Jadi dia tidak membela dirinya, tidak membenarkan dirinya, biarlah Tuhan yang menjadi Hakim bagi dirinya.HE : Betul, Pak Gunawan, tepat sekali dan pada akhirnya seperti pada ayat 8 yang tadi sudah dibacakan. "Sesungguhnya Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin dan dengan diam-diam Engkau membeitahukan hikmat kepadaku".
Memang di sini diperlukan hikmat supaya kita bisa memilah, mana yang bisa mengembangkan diri kita, mana yang justru melumpuhkan.GS : Terima kasih banyak Pak Heman untuk perbincangan ini, juga Ibu Wulan terima kasih. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pembelaan Diri dan Pengembangan Diri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
26. Hidup Bersukacita | |
Semua orang ingin hidup bersukacita dan bergembira tapi sering kali kita harus menjumpai situasi dalam hidup yang tidak membawa sukacita. Dan pertanyaannya adalah bagaimanakah kita dapat hidup bersukacita?
Semua orang ingin hidup bersukacita dan bergembira. Dan Alkitab pun kerap kali mengingatkan kita untuk hidup dengan bersukacita. Tapi pada kenyataan dalam kehidupan sehari-hari sukar sekali mewujudkan sukacita di dalam diri kita. Hidup yang sehat adalah hidup yang bersukacita. Tapi masalahnya adalah kita harus benar-benar berjuang keras untuk menjadi sukacita. Karena sering kali kita harus menjumpai situasi dalam hidup yang tidak membawa sukacita. Nah hal-hal seperti itulah yang akhirnya menurunkan kadar sukacita dalam hidup kita.
Sukacita dari Kristus adalah sukacita hidup bersama Kristus, yang berarti bahwa kita tidak sendirian. Kristus mendampingi dan akan memberi kekuatan kepada kita untuk menghadapi segala tantangan hidup.
Setiap saat kita diperhadapkan dengan dua pilihan. Pilihan tetap memandang Kristus atau pilihan tidak lagi memandang Kristus.
Sukacita itu perlu dipelihara. Pertanyaannya adalah bagaimana kita memelihara sukacita itu. Paulus menegaskan bahwa kita membawa segala kekhawatiran kita dalam doa dan pengucapan syukur. Ini merupakan kata yang luar biasa pentingnya yaitu bersyukur. Paulus menekankan bahwa kita bisa memelihara sukacita dengan cara hidup bersyukur. Bersyukur berarti melihat apa yang telah Tuhan berikan atau lakukan. Masalahnya adalah kita hanya ingin melihat apa yang seharusnya Tuhan berikan atau lakukan. Kita menjadi gagal melihat apa yang Tuhan telah perbuat dalam hidup kita, kita hanya memfokuskan pada apa yang seharusnya Tuhan lakukan dalam hidup kita.
Salah satu cara yang jelas untuk merefleksikan bahwa kita ini hidup bersyukur adalah kita mempunyai wawasan hidup yang positif. Jadi orang yang bersyukur itu cenderung positif, dia tidak melihat hidup itu gelap atau suram. Dia menantikan hari esok, dia tahu bahwa ada berkat Tuhan untuk hari esok, dia bersedia membantu orang, dia bersedia mempercayai orang karena dia tahu bahwa masih ada kesempatan untuk orang itu bisa berubah dengan dia menolongnya. Dengan kata lain dia positif; dia berpandangan positif. Hatinya penuh sukacita karena hatinya penuh sukacita maka dia melihat hidup itu dengan lebih cerah. Dengan kata lain kita bisa melihat siklus, makin seseorang bersyukur, makin dia bersukacita. Dan makin dia bersukacita makinlah dia positif melihat hidup ini. Dan yang kita tahu pasti adalah Tuhan pun akan bersukacita, melihat anak-anakNya hidup bersyukur.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hidup Bersukacita". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Betul sekali yang Pak Gunawan katakan, kita ini tahu bahwa hidup yang sehat adalah hidup yang bersukacita. Tapi masalahnya adalah kita harus benar-benar berjuang keras untuk menjadi sukcita.
Karena sering kali kita harus menjumpai situasi dalam hidup yang tidak membawa sukacita. Nah hal-hal seperti itulah yang akhirnya menurunkan kadar sukacita dalam hidup kita. Nah sebagai orang Kristen kita tahu bahwa Tuhan juga menyuruh kita untuk bersukacita, tapi waktu kita mencoba untuk hidup sesuai dengan yang firman Tuhan katakan itu kita tidak selalu berhasil. Itu sebabnya kita perlu mengambil waktu ini dan kita sekali lagi melihat apa yang firman Tuhan katakan. Yang akan saya gunakan sebagai teks kita adalahPG : Tepat sekali Pak Gunawan, sudah tentu sukacita memang berkaitan dengan emosi tapi yang Alkitab ingin tekankan kepada kita adalah bahwa sumber sukacita bukanlah emosi itu sendiri. Sebetunya emosi hanyalah kendaraan yang kita gunakan untuk menggetarkan diri kita dan untuk menyalurkan sukacita itu keluar sehingga dapat kita rasakan.
Sering kali yang kita katakan sumber sukacita adalah situasi, situasi yang menggembirakan. Nah yang justru Alkitab ingin tekankan di sini adalah sukacita itu bukanlah bersumber pada situasi, situasi bisa berubah-ubah. Sumber dari sukacita adalah Kristus sendiri, jadi sekarang pertanyaan yang ingin kita ajukan adalah bagaimanakah Kristus menyalurkan sukacita kepada kita. Kendati situasi yang kita hadapi tidaklah menggembirakan. Ini sekarang yang menjadi pertanyaannya. Saya akan menjawab begini sukacita dari Kristus adalah sukacita hidup bersama Kristus, itu maksudnya waktu kita berkata bahwa sukacita berasal dari Kristus. Sekali lagi saya ulang, artinya bahwa sukacita dari Kristus adalah sukacita hidup bersama Kristus, yang berarti sebetulnya adalah kita tidak sendirian. Kristus mendampingi dan akan memberi kekuatan kepada kita untuk menghadapi segala tantangan hidup.PG : Betul sekali, saya berikan contoh yang mungkin lebih mudah untuk kita cerna. Misalkan kita itu harus melewati perjalanan yang panjang dan kita harus mungkin bersama dengan seseorang selma berhari-hari.
Saya kira faktor yang paling menentukan untuk membuat kita gembira atau tidak gembira adalah dengan siapakah kita melakukan perjalanan yang panjang ini. Kalau kita bersama dengan seseorang yang nyaman, yang membuat kita bahagia, yang mendorong, yang menguatkan kita, nah perjalanan yang panjang itu menjadi sebuah perjalan yang membawa sukacita. Tapi kebalikannya kita melewati perjalanan yang singkat yaitu hanya satu jam, tapi bersama dengan seseorang yang menyusahkan kita, memarahi kita, mengkritik kita, mengahakimi kita; satu jam itu menjadi perjalanan yang benar-benar tidak membuahkan sukacita, justru menambahkan kesusahan hati kita. Jadi faktor yang penting adalah pada dengan siapakah kita itu melakukan perjalanan itu. Jadi kita terapkan contoh itu ke dalam kehidupan kita juga dengan Kristus. Bahwa situasi itu kadang-kadang memang akan berubah, tidak selalu situasi yang kita hadapi situasi yang menyenangkan. Tapi yang Alkitab tekankan adalah kita harus mengingat dengan siapakah kita itu akan melewati situasi tersebut. Kalau kita tahu kita bersama dengan Kristus Tuhan kita Juru selamat kita, yang mengasihi kita, Dia yang perkasa, Dia yang bisa menolong kita, menghibur hati kita; seyogyanyalah itu cukup untuk membuat kita bersukacita.PG : Kalau mata kita lepas dari memandang Kristus, saya kira ya, kita akan bisa menjadi bosan atau jenuh. Tapi kalau kita tidak melepaskan pandangan dari Kristus, kita terus membaca firmanNy, kita datang kepadanya dalam persekutuan, kita tidak akan bosan.
Maka Paulus langsung setelah menyuruh kita untuk bersukacita, Paulus menambahkan bahwa kita harus membawa kekhawatiran kita dalam doa. Artinya kita mesti terus-menerus bercakap-cakap mengeluarkan isi hati kita kepada Tuhan. nah saya ingin tekankan di sini, kenapa Paulus meminta kita untuk berdoa, membawa kekhawatiran kita ini kepada Tuhan, sebab sesungguhnyalah kita bisa mengetahui bahwa kekhawatiran merupakan pembunuh sukacita. Dan kita tahu bahwa kekhawatiran itu juga berhulu dari ketidakpastian. Memang saya akui kehidupan syarat dengan ketidakpastian namun justru di sinilah seorang Kristen dapat hidup dengan bersukacita. Ia tahu bahwa dalam hidup hanya satu yang pasti yaitu Kristus dan firmanNya, jadi sekali lagi kita datang kepada Tuhan di dalam doa membawa kekhawatiran kita kepadaNya. Kita tahu kekhawatiran bersumber dari ketidakpastian, namun Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang pasti. Maka Dia akan memberikan kita ketenangan. Jadi jangan sampai kita berhenti atau luput melihat Kristus dan memelihara persekutuan denganNya.PG : Betul, setiap saat kita diperhadapkan dengan dua pilihan. Pilihan tetap memandang Kristus atau pilihan tidak lagi memandang Kristus. Saya kira kalau kita memilih tidak memandang Kristusdengan cepat sekali kita akan merasa jenuh datang kepaNya, berdoa kepadaNya, berbakti kepadaNya; kita merasakan ini tidak ada gunanya, membuang waktu dan sebagainya.
Tapi waktu kita tetapdatang kepadaNya, bergumul kepadaNya dalam doa kita; maka kita tidak akan merasa jenuh, kita makin lekat dengan Dia. Yang juga ingin saya tekankan adalah sukacita itu perlu dipelihara, Pak Gunawan. Sering kali kita beranggapan, sekali kita sukacita selama-lamanya kita akan bersukacita, tidaklah demikian kita harus memeliharanya. Pertanyaannya adalah bagaimana kita memelihara sukacita itu. Paulus di sini menegaskan bahwa kita membawa segala kekhawatiran kita dalam doa dan pengucapkan syukur. Nah kata ini merupakan kata yang luar biasa pentingnya yaitu bersyukur. Paulus menekankan bahwa kita bisa memelihara sukacita dengan cara hidup bersyukur. Pertanyaan berikutnya yang kita ajukan adalah apa artinya bersyukur. Bersyukur berarti melihat apa yang telah Tuhan berikan atau lakukan, ini adalah hal yang sangat-sangat penting namun masalahnya adalah kita hanya ingin melihat apa yang seharusnya Tuhan berikan atau lakukan. Kita menjadi gagal melihat apa yang Tuhan telah perbuat dalam hidup kita, kita hanya memfokuskan pada apa yang seharusnya Tuhan lakukan dalam hidup kita.PG : Betul sekali, kita cenderung memang melihat yang belum kita miliki dan kita mendasari hidup kita atas apa yang belum kita miliki. Tuhan mengajarkan kepada kita untuk melihat apa yang teah kita miliki, apa yang Tuhan telah berikan kepada kita.
Orang yang bersyukur adalah orang yang dapat melihat ini Pak Gunawan, lawan dari hidup bersyukur adalah hidup bersungut. Dan hidup bersungut adalah hidup menghitung apa yang belum terjadi, sebaliknya hidup bersyukur adalah hidup menghitung apa yang telah terjadi. Saya berikan contoh, misalkan kita ini bertahun-tahun kita hidup susah sekali kemudian akhirnya kita mulai menikmati perbaikan dalam hidup kita, Tuhan memberkati kita, kita akhirnya bertambah makmur. Ada orang yang bukannya bersyukur dia tambah makmur karena Tuhan tambahkan semua ini kepadanya, malahan marah kepada Tuhan. dan berkata: "Kenapa baru sekarang saya makmur, sekarang saya sudah berumur 50 tahun, saya dari umur 10 tahun hidup susah sampai 50 tahun." Nah dia tidak bsia bersyukur bahwa 40 tahun saya hidup susah dan sekarang saya hidup makmur. Dia memfokuskan pada kenapa Tuhan dulu tidak berbuat lebih dini, lebih cepat menolong saya, itu hal-hal yang memang cukup sering kita lakukan. Waktu kita sudah menikmati sesuatu untuk waktu yang lama kita merasa ini kurang, kita bersungut-sungut kepada Tuhan, kita minta Tuhan menambahkannya lagi, ini merupakan ciri khas sebagian manusia. Terlalu sering kita hanya memfokuskan pada apa yang belum kita miliki, kita gagal menghitung apa yang Tuhan telah berikan kepada kita.PG : Betul sekali, dan kita tidak melihat fakta itu bahwa sebelumnya pun kita tidak punya. Inilah sikap yang dimiliki oleh Ayub sewaktu dia kehilangan segalanya termasuk kesehatannya. Dia maih bisa berkata: "Ya saya datang ke dunia ini telanjang, tidak membawa apa-apa maka saya akan kembali maksudnya saya akan meninggalkan dunia ini juga dengan tidak membawa apa-apa."
Nah itu hidup bersyukur, tapi saya mengerti tidak mudah untuk kita mempunyai sikap seperti itu, tapi kalau kita bisa memilih untuk melihat apa yang Tuhan telah berikan dan bukannya melihat pada apa yang seharusnya Tuhan berikan, kita akan lebih mampu mempertahankan sukacita itu. Sebab sukacita dan sungut-sungut tidak bisa bercampur, tidak bisa menempati ruangan yang sama dalam hidup kita.PG; Betul sekali, akhirnya kita tidak melihat apa yang Tuhan telah berikan kepada kita; kita melihat pada apa yang Tuhan telah berikan kepada orang lain. Kita bertanya-tanya mengapakah Tuhan tidak memberikan hal yang sama itu kepada kita. Nah sekali lagi Tuhan itu tidak memberikan kepada semua orang hal yang sama, karena kalau semua mendapatkan yang sama kita itu tidak akan pernah belajar bermurah hati, berlapang dada; tidak pernah belajar untuk bisa bersukacita dengan orang yang bersukacita, sebab semuanya sama. Justru Tuhan membiarkan ketidaksamaan ini, agar kita semua bisa bertumbuh lebih mirip lebih serupa dengan Kristus. Misalkan kita menjadi lebih murah hati, kita bisa lebih bersyukur akan apa yang Tuhan telah berikan kepada kita.
PG : Ini memang masalah pilihan Pak Gunawan, jadi saya sendiri kalau ada orang bertanya bagaimanakah hidup bersyukur, pada dasarnya kita harus memilih untuk hidup bersyukur. Pilihan kita hana dua yaitu hidup bersyukur atau hidup bersungut.
Hidup bersyukur berarti memfokuskan apa yang Tuhan telah berikan, nah hidup bersungut hanya memfokuskan pada apa yang seharusnya Tuhan berikan kepada kita. Kita tidak bisa memaksa orang untuk memilih yang seharusnya dia pilih. Pertanyaan yang memang akan muncul juga adalah kenapa kita harus bersyukur, sebab kenyataannya memang Tuhan telah memberikan ktia banyak berkat. Ada orang yang berkata: "Kok saya dari dulu harus terus bekerja keras," tapi dia lupa dia punya sepatu, dia punya tempat tidur, dia punya piring makan, dia masih punya atap, jadi banyak hal yang telah kita terima. Dan atas hal-hal itulah kita masih bisa bersyukur kepada Tuhan. Tuhan tidak meminta kita untuk hidup berbohong Pak Gunawan, artinya mensyukuri apa yang tidak pernah kita terima. Tuhan meminta kita riil, dan memang kalau kita melihat apa yang telah kita terima, kita akan harus bersyukur dan Tuhan menyenangi orang yang bersyukur. Karena sebetulnya orang yang bersyukur adalah orang yang melihat bahwa Tuhan itu baik dan sesungguhnya Dia itu baik. Kenapa Tuhan tidak senang dengan orang yang bersungut-sungut, sebab sesungguhnya orang yang bersungut-sungut tidak mempunyai penilaian yang tepat akan Allah. Dia itu melihat Allah sebagai Allah yang jahat, orang yang bersungut sebetulnya mempunyai anggapan atau konsep bahwa Tuhan itu jahat, karena Tuhan jahat maka Tuhan tidak memberikan kepadanya seperti yang dimintanya. Tapi orang yang bersyukur dia berkata Tuhan baik, meskipun saya mendapatkan hanya segini tidak apa-apa karena saya tahu Tuhan baik, Dia pasti tahu apa yang paling buat untuk saya juga.PG : Itu point yang bagus sekali Pak Gunawan, sebab keselamatan yang kita terima itu identik dengan sorga yang akan nanti boleh kita tempati. Hidup ini tidak bisa dibandingkan dengan sorga yng nanti akan menjadi rumah kita yang abadi.
Jadi meskipun di dunia kita tidak memiliki banyak tapi janji kepastian, jaminan bahwa nanti kita akan bersama Tuhan di sorga itu benar-benar alasan yang paling kuat untuk berkata saya bersyukur, saya berterima kasih kepada Tuhan karena Dia sudah menjanjikan sorga untuk saya. Jadi sebetulnya meskipun tidak ada lagi yang lain yang kita miliki, itu saja memang yaitu keselamatan, hidup bersama dengan Tuhan itu sudah merupakan alasan yang lebih dari cukup untuk kita bersyukur kepadaNya.PG : Saya kira salah satu cara yan terjelas untuk merefleksikan bahwa kita ini hidup bersyukur, kita mempunyai wawasan hidup yang positif. Jadi orang yang bersyukur itu cenderung positif, di tidak melihat hidup itu sepertinya gelap, suram.
Dia menantikan hari esok, dia tahu bahwa ada berkat Tuhan untuk hari esok, dia bersedia membantu orang, dia bersedia mempercayai orang karena dia tahu bahwa masih ada kesempatan untuk orang itu bisa berubah dengan dia menolongnya. Dengan kata lain dia positif, dia tidak berkata percuma-percuma, tidak usah-tidak usah; dia berpandangan positif. Nah ini saya kira wujud nyata dari orang yang hidup bersyukur. Hatinya penuh sukacita karena hatinya penuh sukacita maka dia melihat hidup itu dengan lebih cerah. Dengan kata lain kita bisa melihat siklus, makin seseorang bersyukur, makin dia bersukacita. Dan makin dia bersukacita makinlah dia positif melihat hidup ini. Dan yang kita tahu pasti adalah Tuhan pun akan bersukacita, melihat anak-anakNya hidup bersyukur.PG : Sekali-sekali saya kira itu wajar, sudah tentu kalau misalkan kita ditimpa musibah, kemalangan yang berat, kita akan terpukul, sedih, menangis; tidak apa-apa karena Tuhan tidak anti airmata.
Itu bagian dari kehidupan yang wajar selama kita masih menjejakkan kaki di bumi ini. Namun orang yang bersyukur adalah orang yang tidak ditelan oleh musibah, orang yang tidak mengubah pandangannya terhadap Tuhan gara-gara musibah itu, dia tetap akan berkata: "Tuhan, meskipun saya harus kehilangan untuk sekarang ini tapi saya bersyukur saya pernah memilikinya, saya pernah mencicipi berkat-berkat yang Tuhan berikan kepada saya. Nah dia kembali bisa bersyukur karena dia tetap bisa melihat apa yang Tuhan telah lakukan. Jadi saya percaya juga orang yang bisa melihat apa yang Tuhan telah lakukan nantinya juga akan lebih berharap dan beriman pada apa yang akan Tuhan berikan kepadanya. Dan Tuhan akan lebih memberkati lagi orang yang bersyukur, Dia akan memberikan lebih banyak lagi kepada orang yang bersyukur.PG : Betul sekali, maka ironis sekali kalau kita bertemu dengan seseorang yang kaya raya tapi luar biasa negatifnya, bersungutnya, tidak pernah mengucapkan syukur akan apa yang Tuhan telah brikan kepadanya.
Sebaliknya ktiab isa bertemu dengan seseorang yang mungkin sekali sederhana, rumahnya pun sederhana tapi penuh dengan sukacita. Kenapa, sebab orang ini hidup bersyukur; dia menghitung berkat, dia menghitung apa yang Tuhan telah berikan kepadanya. Dan itu menjadi pondasi kehidupannya.GS : Memang akan ada banyak alasan kalau kita mau bersungut-sungut, tetapi tadi Pak Paul katakan ini merupakan suatu pilihan. Jadi sekalipun banyak alasan untuk bersungut-sungut tapi kita bisa memilih untuk bersyukur terhadap semua itu. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan saudara-saudara sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga. Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hidup Bersukacita". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
27. Hidup Tabah | |
Ketabahan bukanlah sesuatu yang dapat kita peroleh dengan hanya berdoa, kemudian tiba-tiba dari sorga Tuhan menurunkan sesuatu yang bernama ketabahan. Ketabahan sebenarnya hasil dari penggemblengan karakter lewat proses waktu dan tekanan hidup. Yang antara lain lewat gesekan, keputusan kita untuk tidak terikat oleh waktu dll.
Ketabahan bukanlah sesuatu yang dapat kita peroleh dengan hanya berdoa, terus tiba-tiba dari sorga Tuhan turunkan sesuatu yang bernama ketabahan. Ketabahan sebenarnya hasil dari penggemblengan karakter lewat proses waktu dan tekanan hidup. Sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa ketabahan bukanlah sesuatu yang dapat kita peroleh dari luar diri kita. Tuhan akan menerjunkan kita ke dalam situasi-situasi yang berat atau keras sebab melalui penggemblengan itulah akhirnya akan keluar ketabahan dari dalam diri kita.
Di dalam
Ketabahan muncul dari gesekan. Dalam menghadapi kesulitan biasanya reaksi awal kita adalah melarikan diri atau mencari jalan keluar secepat mungkin. Kadang memang kita berhasil, tapi adakalanya kita gagal mendapatkan solusi yang kita inginkan, pada akhirnya kita harus menghadapi kesulitan itu dan menanggung derita. Apa yang harus kita lakukan jika kita berhadapan dengan situasi seperti ini; kita harus diam, kita harus berdiri tegak, kita harus menahan derita dan sakit. Kalau kita mau belajar untuk bertahan sehingga bisa melahirkan ketabahan dalam diri kita, kita tidak boleh mencari jalan pintas yang salah atau membentengi diri agar tidak terjerumus dalam penyelesaian masalah yang berdosa.
Orang yang akhirnya jatuh atau remuk adalah orang yang tidak lagi melihat Tuhan dalam menghadapi gesekan dengan kesulitan itu. Kalau kita tetap menatap Tuhan, tetap berpegangan padaNya, tidak meninggalkan dan melepaskan genggaman tangan Tuhan, maka kita tidak akan jatuh, kita tidak akan remuk karena tangan Tuhan akan terus menuntun kita. Dan buktinya adalah Paulus, dia menderita seperti itu tapi dia tidak kehilangan Kristus dalam hidupnya, dia terus-menerus memegang tangan Kristus.
Ketabahan muncul dari keputusan kita untuk tidak terikat oleh waktu. Sering kali kita menetapkan batas waktu dalam penderitaan bahwa kita hanya akan menderita sampai batas waktu tertentu. Misalkan kita berkata sampai bulan depan atau sampai dua bulan lagi atau sampai tahun depan, seolah-olah kita itu mempunyai kuasa menetapkan kapan penderitaan itu akan berakhir. Masalahnya adalah kita tidak selalu tahu sampai kapan kita akan menderita. Jadi kita harus berkata kepada diri sendiri bahwa kita tidak tahu kapan semua ini akan berakhir dan kita mesti berhenti menduga-duga. Sebab setiap dugaan yang meleset akan memperburuk kekecewaan kita dan malah memperlemah daya tahan kita.
Ketabahan adalah buah dari pengharapan pada kebenaran janji Tuhan.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hidup Tabah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Pertama-tama kita ingin melihat dulu tentang ketabahan itu sendiri. ketabahan bukanlah sesuatu yang dapat kita peroleh dengan hanya berdoa, terus tiba-tiba dari sorga Tuhan turunkan sesatu yang bernama ketabahan.
Ketabahan sebenarnya hasil dari penggemblengan karakter lewat proses waktu dan tekanan hidup. Sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa ketabahan bukanlah sesuatu yang dapat kita peroleh dari luar diri kita. Tuhan akan menerjunkan kita ke dalam situasi-situasi yang berat atau keras sebab melalui penggemblengan itulah akhirnya akan keluar ketabahan dari dalam diri kita. Untuk kita bisa belajar bertahan di dalam penggemblengan itu sehingga akhirnya bisa membuahkan karakter yang tabah, kita perlu melihat firman Tuhan. Saya akan melihat kehidupan Paulus dan tekanan-tekanan yang harus dihadapinya.GS : Memang gesekan dengan kesulitan itu bisa menimbulkan ketabahan, tapi kalau gesekan itu terlalu keras, sehingga orang itu tidak siap menghadapi gesekan yang sedemikian keras lalu dia menjadi orang yang tidak tabah lagi menghadapi itu, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Adakalanya dalam menghadapi gesekan dengan kesulitan, kita akhirnya lepas perspektif, kita luput melihat Tuhan. Saya kira orang yang akhirnya jatuh atau remuk adalah orang yang tidak lai melihat Tuhan dalam menghadapi gesekan dengan kesulitan itu.
Kalau kita tetap menatap Tuhan, tetap berpegangan padaNya, tidak meninggalkan dan melepaskan genggaman tangan Tuhan, maka kita tidak akan jatuh, kita tidak akan remuk karena tangan Tuhan akan terus menuntut kita. Dan buktinya adalah Paulus, dia menderita seperti itu tapi dia tidak kehilangan Kristus dalam hidupnya, dia terus-menerus memegang tangan Kristus. Nah waktu dia tetap berpegangan dengan tangan Kristus, ketabahanlah yang mulai muncul dalam dirinya dan karakter tabah itulah yang akhirnya menjadi karakter yang sangat cemerlang dalam kehidupan Rasul Paulus.PG : Betul sekali, sebab sungguh-sungguh kalau kita pikir-pikir, di luar Kristus siapakah yang bisa menjadi sumber kekuatan kita seperti itu? Tidak ada, orang yang paling kita andalkan sekalpun bisa mengecewakan kita.
Orang yang kita gantungi, sandarkan tapi akhirnya bisa mengecewakan hati kita, memang tidak ada yang lain selain dari Kristus. Selain ketabahan itu muncul dari gesekan dan kesulitan, kita juga harus belajar bahwa ketabahan muncul dari keputusan kita untuk tidak terikat oleh waktu. Saya akan jelaskan apa yang saya maksud di sini. Sering kali kita menetapkan batas waktu dalam penderitaan bahwa kita hanya akan menderita sampai batas waktu tertentu. Misalkan kita berkata sampai bulan depan atau sampai dua bulan lagi atau sampai tahun depan, seolah-olah kita itu mempunyai kuasa menetapkan kapan penderitaan itu akan berakhir. Masalahnya adalah kita tidak selalu tahu sampai kapan kita akan menderita. Jadi kita harus berkata kepada diri sendiri bahwa kita tidak tahu kapan semua ini akan berakhir dan kita mesti berhenti menduga-duga. Kenapa, sebab setiap dugaan yang meleset akan memperburuk kekecewaan kita dan malah memperlemah daya tahan kita.PG : Harapan tidak apa-apa tapi jangan kita menjadikan harapan itu sebagai sesuatu yang pasti bahwa besok saya akan lepas dari penderitaan ini. Ketabahan muncul bukan dari harapan-harapan seerti itu, ketabahan muncul tatkala memang kita memutuskan kita harus tinggal bersama penderitaan ini, kita harus menerimanya bahwa ini adalah bagian dari hidup kita dan kita tidak lagi menetapkan batas waktu kapan derita ini harus berakhir.
Sekali lagi ini saya perlu angkat karena memang kecenderungan kita adalah menetapkan batas waktu, seolah-olah kita tahu kapan penderitaan akan berakhir atau seolah-olah kita mempunyai kuasa untuk mengakhirinya. Tidak, kita tidak tahu dan kita tidak mempunyai kuasa. Jadi kita harus berkata: "OK, saya akan hidup hari lepas hari; hari ini saya hidup dengan penderitaan saya minta kepada Tuhan untuk memberi kekuatan kepada saya untuk melewati hari ini, besok Tuhan juga akan memberikan kekuatan yang sama." Dan itulah caranya kita menghadapi penderitaan.PG : Betul sekali, nah tadi Pak Gunawan sudah menyinggung tentang pengharapan, dan saya mengatakan bahwa kita boleh berharap bahwa besok kita akan lebih baik lagi tapi kita mesti belajar hidp dengan penderitaan itu hari lepas hari.
Namun saya juga ingin menekankan satu hal yang lain bahwa kita juga harus tetap berharap pada kebenaran janji Tuhan. kita bukannya berharap bahwa besok saya pasti lepas, besok penderitaan ini akan berakhir, tidak. Itu belum tentu merupakan janji Tuhan atau rencana Tuhan atas hidup kita. Jadi saya ingin menekankan bahwa ketabahan adalah buah dari pengharapan pada kebenaran janji Tuhan. Janji Tuhan yang mana yang kita harus pegang, dan jangan sampai kita keliru menafsir janji Tuhan. saya akan bacakan dariPG : Saya kira itu tepat sekali, jadi orang yang tabah itu memang dia harus berdiam, tidak lari dari penderitaan tap bukannya berarti dia pasif tidak berbuat apa-apa. Dia juga akan terus memeri tanggapan kepada Tuhan, apa yang Tuhan lakukan, jalan keluar apa itu yang mungkin Tuhan sedang bisikan kepadanya.
Nah dia juga terbuka, sebab memang dia tidak tahu pasti sesungguhnya dengan cara apakah Tuhan akan menolongnya. Jadi apa yang Tuhan sedang kerjakan dia akan tanggapi, dia akan lakukan karena dia tahu bahwa Tuhan bisa memkai cara-cara yang belum terpikirkan olehnya.PG : Ketabahan tidak berarti selalu merasa kuat, ini adalah kesalahanpahaman yang kita harus luruskan. Misalkan sering kali kita beranggapan bahwa orang yang tabah itu selalu kuat atau kita arus merasa diri kuat baru kita menganggap diri kita tabah.
Tidak, berkali-kali Paulus berkata di dalam kelemahanku aku merasa lemah, dengan kata lain Paulus pun mengenal paham dengan perasaan lemah ini. Tapi yang dia ingin tekankan adalah pada waktu dia lemah kekuatan Kristus dinyatakan, artinya waktu dia benar-benar tergeletak di dalam kelemahan Tuhan akan mengangkatnya, Tuhan memberikan kekuatan dengan cara yang tak pernah terpikirkan olehnya. Jadi yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa tabah dan lemah bergandengan tangan. Bukannya kalau kita tabah, kita tidak boleh sekalipun merasa lemah. Perjalanannya jadi seperti ini, dari kelemahan kita beralih pada pengharapan akan janji Tuhan bahwa kasih karuniaNya cukup untuk kita. Nah dari pengharapan kita akan menerima kekuatan, karena janji Kristus tadi itu kasih karuniaKu cukup bagimu.PG : Betul sekali, dan waktu Dia memasuki taman Getsemani, Dia tidak besorak-sorai dan berkata saya kuat, saya tidak akan berpengaruh oleh penderitaan ini. Dia justru meminta murid-muridNya erdoa untuk Dia.
Kenapa, sebab sebagai Anak Allah namun juga sebagai manusia sama seperti kita, Dia bisa merasa lemah, Dia merasa takut sebab kata yang Dia gunakan hatiku itu susah. Kata yang memang sarat dengan muatan emosi, ketegangan, ketakutan, kelemahan, ini semua bercampur menjadi satu. Dan Dia mengakui itulah yang Dia rasakannya tatkala dia harus berhadapan dengan salib, maka Dia perlu berdoa. Dan kita melihat kuasa Tuhan dinyatakan, Dia mendapatkan kekuatan secara supernatural. Ini juga janji buat kita bahwa waktu kita menghadapi kesusahan, penderitaan, Tuhan akan menyatakan kekuatanNya untuk kita. Prinsip yang saya juga akan angkat di sini adalah Tuhan menyatakan kekuatanNya untuk kita hari ini. Ini acap kali kita barharap kekuatan ini akan berlangsung terus-menerus; besok, besoknya lagi terus akan kuat. Tidak demikian, kekuatan Tuhan diberikan kepada kita hari lepas hari, setiap hari kita merasa lemah, setiap hari kita datang kepadaNya untuk berserah dan berharap kembali dan setiap hari kita akan dikuatkan. Jadi jangan sampai kita berputus asa dan berkata: "Kemarin saya kuat tapi sekarang saya lemah." Betul, anugerah Tuhan cukup untuk kita hari ini dan besok minta lagi kekuatan Tuhan untuk menghadapi hari esok.PG : Sangat besar sekali Pak Gunawan, dalam penderitaan kita itu sangat membutuhkan uluran tangan teman-teman. Kita tidak membutuhkan penghakiman dari teman-teman karena itu akan makin mempelemah daya tahan kita, kita membutuhkan uluran tangan mereka.
Perhatian mereka itu sangat-sangat menghibur kita, apalagi kepedulian mereka yang dinyatakan secara konkret yaitu mereka mau membantu kita; nah itu akan sangat memberikan kita semangat untuk melanjutkan kehidupan ini. Jadi dengan kata lain sering kali ketabahan itu kita terima, kita pinjam dari orang lain, kita tidak bisa mendapatkannya dengan sendirian, kita perlu mendapatkan dukungan-dukungan. Tapi sekali lagi saya tekankan bahwa tetap sumbernya atau fondasinya bukan orang lain, jangan kita terlalu menggantungkan diri pada pertolongan orang karena belum tentu datang. Yang harus kita gantungi dan sadari adalah kekuatan Kristus sendiri, sebab janjiNya adalah kasih karuniaKu cukup bagimu.PG : Betul dan waktu tentara datang menangkap Tuhan, mereka bahkan melarikan diri dan Tuhan harus menjalani Via Dolorosa perjalanan kesengsaraan itu sampai ke kayu salib.
PG : Dan ketabahan yang murni memang bukanlah ketabahan yang dipinjamkan oleh orang. Kadang-kadang kita merasa lebih kuat karena ada orang-orang yang mendukung kita. Namun kalau kita hanya kat kalau ada orang berarti kita tetap belum memproduksi ketabahan itu.
Ketabahan yang murni hanya akan muncul tatkala kita memang tidak lagi bergantung pada yang lain tapi hanya pada Kristus. Nah di situlah ketabahan akan bertunas.PG : Sering kali orang yang berputus asa adalah orang yang tidak lagi memiliki pengharapan sebagaimana yang telah kita bahas dalam siaran yang lampau, bahwa kita mesti bersyukur. Bersyukur brarti menghitung apa yang Tuhan telah berikan kepada kita dan bersyukur berarti kita berharap, berpengharapan bahwa Tuhan tetap menyertai kita dan Dia akan menolong kita.
Orang yang berputus asa sebenarnya orang yang telah berhenti berharap bahwa Tuhan itu masih ada dan akan menolongnya. Tuhan masih ada dan Tuhan akan menolong, waktuNya Tuhan bukanlah waktunya kita, itu yang mesti kita sadari tapi pada waktunya Tuhan akan bertindak melepaskan kita dengan cara Tuhan yang paling sempurna itu.PG : Betul sekali, kita memang tidak bisa terus-menerus bertahan tanpa memiliki pengharapan. Jadi memang perlu adanya pengharapan bahwa di luar penderitaan ini, setelah melewati penderitaan ni akan ada hari yang lain; akan ada anugerah Tuhan yang lain untuk kita.
PG : Betul sekali, dan kita bisa kontroversikan dia dengan Yudas. Yudas memang membuat kesalahan yang besar sekali, dia menjual gurunya, Tuhannya, kepada orang-orang Farisi. Nah dalam penyeslannya dia tahu dia salah, dia tenggelam dalam penderitaan itu.
Dia tidak bisa melihat apa itu yang ada dibalik penderitaannya. Pandangan matanya tidak bisa melampaui penderitaannya, dia stop di penderitaan, tidak adanya harapan, maka akhirnya dia membunuh dirinya. Tapi lain dengan Jusuf, dia tahu Tuhan tidak meninggalkan dia meskipun saat-saat itu dia masih dalam penjara. Dan berbelasan tahu dia harus menjadi seorang budak dan tahanan, namun matanya bisa melihat melampaui penderitaan itu. Jadi orang yang bisa melewati penderitaan adalah orang yang bisa memandang melampaui penderitaan itu.GS : Di saat-saat seperti sekarang ini memang perbincangan seperti ini memang sangat penting sekali. Di mana kita berharap ada banyak orang yang bisa memiliki ketabahan dalam hidup ini. jadi Pak Paul banyak terima kasih untuk perbincangan pada kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga. Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hidup Tabah". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
28. Mengampuni Diri | |
Sebagai manusia kita tidak lepas dari kesalahan dan dosa. Kita seringkali menghukum diri atas kesalahan yang kita lakukan dan kita tidak sungguh-sungguh percaya bahwa Tuhan telah mengampuni dosa kita.
Sebagai manusia kita tidak lepas dari kesalahan dan dosa. Adakalanya kita melakukan kesalahan besar yang sukar kita lupakan; kita terus merasa berdosa meski kita tahu bahwa Tuhan telah mengampuni dosa kita. Bagaimanakah kita menyikapinya?
Mengapakah Kita Terus Merasa Bersalah?
Bagaimanakah Kita dapat Mengampuni Diri?
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Esther Tjahja, kami akan bersama-sama berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengampuni Diri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Betul Pak Gunawan, jadi ada orang yang susah mengampuni orang lain tapi terlalu mudah mengampuni diri sendiri, sebaliknya ada orang yang sangat-sangat susah mengampuni diri sendiri tetai sangat mudah mengampuni orang lain.
Pada kesempatan ini yang kita akan lihat adalah orang yang mengalami kesukaran mengampuni dirinya sendiri.PG : Biasanya memang kesalahan-kesalahan itu relatif Pak Gunawan. Karena memang setiap orang mempunyai standar nilainya masing-masing. Jadi mana yang kita anggap serius, mana yang kita angga tidak serius kadang-kadang berbeda-beda, tapi kita bisa merangkumkan beberapa karakteristik atau penyebab mengapa kita susah mengampuni diri atau dengan kata lain mengapakah kita terus merasa bersalah.
Nah sekurang-kurangnya ada 4 yang akan saya bagikan. Yang pertama adalah sering kali kita itu susah sekali mengampuni diri sendiri karena kita masih merasa perlu menghukum diri kita, perasaan bersalah yang kita rasakan itu sebetulnya merupakan bentuk penghukuman diri. Nah sampai kapankah kita akan berhenti merasa bersalah, ya sampai kita itu merasa kita telah menghukum diri kita dengan pas, cukuplah menghukum diri, barulah kita akan berhenti. Jadi saya ulang lagi adakalanya kesulitan kita mengampuni diri sebab kita menganggap kiat masih perlu menghukum diri dan kita menghukum diri sendiri lewat perasaan bersalah itu.ET : Jadi merasa bahwa yang sudah dilakukan ini begitu besarnya, sehingga saya harus menghukum diri saya, begitu Pak Paul?
PG : Betul, sebab ini memang sesuatu yang tertanam dalam diri kita Bu Esther, sejak kecil orangtua kita mendisiplin kita atau menghukum kita tatkala kita melakukan kesalahan. Jadi sejak keci sudah tertanam konsep dalam diri kita bahwa kesalahan itu harus dibayar dengan penghukuman.
Tatkala kesalahan itu tak terbayarkan lunas oleh hukuman, kita merasa seharusnyalah kesalahan itu terus bersarang, tidak lepas dengan mudahnya. Nah itu sebabnya konsep ini akhirnya terus menghantui kita jadi kita menganggap kita masih perlu menghukum diri sendiri dan tidak boleh dengan mudah bebas dari rasa bersalah ini. Nah sebetulnya konsep ini sendiri bagian dari kodrat keadilan yang kita miliki sebagai makhluk yang diciptakan berdasarkan gambar Allah. Memang keadilan adalah kesalahan perlu dibayar dengan hukuman inilah keadilan. Saya kira inilah yang juga tertanam dalam diri kita dan akhirnya menyebabkan kita tidak mudah mengampuni diri sendiri.PG : Dalam kasus yang kita bicarakan ini perasaan jijik dengan diri, perasaan benci dengan diri, memaki, mengkritik diri sendiri, menuding-nuding, menuduh-nuduh diri sendiri, menghina-hina dri sendiri, nah itu kira-kira yang biasanya kita lakukan.
PG : Dengan kata lain dalam upaya kita menghukum diri, tanpa sengaja atau mungkin kita sadari atau tidak kita sadari, kita itu membawa dampak negatif bagi orang-orang yang dekat dengan kita.Itu betul sekali, jadi upaya-upaya itu sering kali berdampak, dan dampaknya sering kali buruk.
Misalkan gara-gara kita terus merasa menghukum diri, kita menjadi mudah marah, mudah meledak dengan orang-orang di sekitar kita, atau kita depresi berat sehingga akhirnya kita itu tidak bisa berfungsi, lumpuh dalam kehidupan ini. Nah sudah tentu yang akhirnya menderita adalah orang-orang di sekitar kita. Yang saya juga ingin lanjutkan yang tadi Pak Gunawan katakan adalah tentang bahwa ini sebetulnya merupakan perasaan meskipun tuduhan itu dilakukan oleh pikiran kita namun yang menggerogoti adalah perasaan. Nah ini membawa kita kepada point yang berikutnya Pak Gunawan yaitu perasaan bersalah itu mengikuti kita sebab perasaan memang lebih sulit berubah dibanding pikiran atau persepsi kita. Maksudnya begini, kita sebetulnya sudah dapat memahami bahwa seharusnya kita tidak perlu lagi merasa bersalah karena Tuhan telah mengampuni kita namun pemahaman ini tidak serta merta mengubah perasaan kita. Kita tahu apa yang benar, kita tahu apa yang Tuhan sudah katakan, dan janjikan untuk kita yang telah berdosa bahwa dia akan mengampuni tetapi pemahaman atau pengetahuan ini tidak serta merta mengubah perasaan bersalah kita. Dan memang begitulah kodratnya atau yang harusnya terjadi. Sering kali perasaan itu datangnya belakangan, berubahnya belakangan; pikiran boleh berubah tapi perasaan masih di belakangnya kita, masih harus menyusul sebelum akhirnya berubah.ET : Jadi apakah artinya kalau memang misalnya ada orang yang seperti itu Pak Paul? "Iya, saya tahu Tuhan sudah mengampuni saya tapi........."(masih ada tapinya), jadi kita dorong dia untuk terus dengan pikirannya itu dulu untuk lama-lama menghidupi perasaannya?
PG : Betul, jadi dengan kata lain meskipun perasaannya itu membuntuti datangnya belakangan, berubahnya belakangan. Namun harus dilawan dengan pikiran, pikiran yaitu bahwa Tuhan sungguh-sunggh telah mengampuni kita.
Ini membawa kita ke penyebab berikutnya Ibu Esther yaitu kenapa kita terus menerus dihantui oleh rasa bersalah, sebab saya kira salah satu penyebabnya ialah kita tidak sungguh-sungguh percaya bahwa Tuhan telah mengampuni kita. Jadi sering kali kita meragukan janji Tuhan itu, benarkah Tuhan mengampuni kita, benarkah Tuhan sama sekali tidak akan membalaskan perbuatan kita, benarkah Tuhan tidak lagi menghitung-hitung perbuatan dosa kita. Nah itu yang sering kali menggerogoti kita. Jadi kita tidak sungguh-sungguh percaya Tuhan telah mengampuni kita. Itu sebabnya pikiran atau pemahaman bahwa Tuhan telah mengampuni kita kalau tidak kokoh atau tidak kuat akhirnya memang tidak bisa melawan perasaan bersalah itu karena kurang kuat. Jadi akhirnya yang menang adalah perasaan bersalah lagi. Maka kalau kita ingin memenangkan perkelahian atau pertempuran melawan rasa bersalah, kita memang mesti mempunyai keyakinan yang kokoh, yang didasari bukan atas perasaan, tapi atas fakta. Faktanya adalah firman Tuhan sudah mengatakan bahwa kalau kita mengaku dosa kita, maka Tuhan akan mengampuni kita. Nah itu fakta yang tidak bisa kita gugat, sudah pasti benar karena itu adalah janji Tuhan.PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi terulangnya perbuatan dosa atau kesalahan yang sama makin membuat kita meyakini bahwa kita memang sejelek itulah, kita seburuk itulah dan Tuhan pun akan etih mendengarkan doa-doa, permintaan maaf kita itu.
Tuhan mungkin sudah muak mendengarkan suara kita yang berseru-seru meminta pengampunan. Jadi betul sekali Pak Gunawan apa yang telah kita lakukan kalau kita lakukan lagi memang akan makin membuat kita terpuruk. Jadi sebetulnya kita bisa katakan bahwa sampai titik tertentu sebetulnya perasaan bersalah itu mesti ada, diperlukan dan sehat, tidak benar kalau kita itu berkata o... saya tidak mau merasa bersalah dan tidak perlu merasa bersalah, apapun yang saya lakukan Tuhan sudah ampuni dan akhirnya masuk lagi ke dalam lubang dosa yang sama. Itu tidak sehat, jadi saya juga tidak setuju kalau orang berkata kita harus 100% bersih dari rasa bersalah. Tidak, kalau kita memang melakukan kesalahan atau perbuatan dosa seyogyanyalah kita merasa bersalah sebab merasa bersalah ini bisa menjadi lampu peringatan yang mencegah kita jatuh ke dalam lubang dosa yang sama.ET : Kalau begitu kira-kira batasannya bagaimana Pak Paul, antara rasa bersalah yang memang semestinya dengan yang sudah seharusnya tidak kita miliki?
PG : Rasa bersalah harus ada sebagai reaksi atas perbuatan kita, namun rasa bersalah itu tidak semestinya menjauhkan kita dari Tuhan. Rasa bersalah seyogyanya membawa kita lebih dekat pada thta anugerah Tuhan karena kita tahu kita bersalah, kita berdosa dan kita memerlukan anugerah Tuhan untuk mengampuni kita.
Jadi rasa bersalah seharusnya membawa kita lebih dekat kepada Tuhan. Kalau rasa bersalah membuat kita lari dari Tuhan; seperti yang dilakukan oleh Yudas setelah dia menjual Tuhan, dia merasa bersalah dan dia menyesali perbuatannya akhirnya dia menggantung diri, dia menjauhkan diri dari Tuhan bukannya malah mendekatkan diri kepada Tuhan. Berbeda dengan Petrus, dia tahu dia salah bahwa dia menyangkal Tuhan, tapi dia terus mengikuti Tuhan sampai ke rumah imam besar pun dia ikuti. Tuhan sudah katakan bahwa dia akan lari, memang dia lari ketakutan tapi dia terus mengikuti Tuhan, dia memang jatuh ke dalam dosa. Tapi waktu Tuhan menatap dia, dia menangis, dia menyesali perbuatannya, dia tahu dia salah; namun kita tahu bahwa dia tetap mencoba mendekati Tuhan kembali. Jadi saya kira batasnya itu, jangan sampai rasa bersalah itu justru menjauhkan kita dari Tuhan.PG : Mungkin untuk sejenak atau waktu sementara, kita malu bertemu dengan Tuhan karena kita telah berdosa, saya kira itu bisa dimaklumi. Namun seyogyanyalah hanya sementara, sebab kalau teru-menerus alias permanen; yang menang adalah iblis.
Iblis akan bersorak-sorai dan berkata: "O.....saya berhasil, mematahkan relasi antara kita dengan Tuhan."PG : Yang saya maksud alasan keempat adalah bahwa memang rasa bersalah itu diperlukan. Jadi sampai titik tertentu rasa bersalah itu selayaknyalah ada dan selayaknya memang kita itu tidak mersa baik dengan terlalu cepat.
Itu sebabnya kadang-kadang kita masih terus merasa bersalah. Sekarang kita akan masuk ke point berikutnya yaitu bagaimanakah kita dapat mengampuni diri. Nah kita telah membahas mengapakah kita terus merasa bersalah, sekarang kita melihat bagaimana kita dapat mengampuni diri. Ada empat hal yang saya akan bagikan, yang pertama adalah kita harus melihat dan mengaku dosa atau kesalahan yang telah kita perbuat apa adanya. Maksud saya adalah janganlah kita mengecilkan atau membesarkan dosa. Firman Tuhan diET : Rasanya ini memang berkaitan erat dengan bagaimana penanaman nilai-nilai itu dalam keluarga Pak Paul? Selain itu juga norma masyarakat sekitar begitu?
PG : Betul sekali ada pengaruhnya. Jadi kalau memang kita itu dibesarkan dalam rumah yang jelas mempunyai nilai-nilai rohani yang sehat, yang baik; kita memang lebih bisa melihat perbuatan kta dengan jelas.
Sebaliknya kalau kita dibesarkan dalam lingkungan di mana nilai-nilai rohani itu tidak jelas, mungkin sekali kita akan juga mengalami kesulitan melihat kadar dosa kita dengan tepat. Jadi betul sekali lingkungan atau keluarga di mana kita dibesarkan akan mempengaruhi kejelian dan ketepatan kita melihat perbuatan dosa kita itu. Bagi orang-orang tertentu menipu adalah hal yang sangat biasa dan tidak usah merasa bersalah. Bagi orang-orang tertentu menyikut orang lain demi kepentingan pribadi adalah hal yang sangat dibenarkan, karena memang mereka tidak mempunyai standar nilai yang tepat. Jadi memang kita perlu memiliki standar nilai yang tepat. Namun adakalanya meskipun kita telah memiliki standar nilai yang tepat, namun kita itu tidak nyaman melihat perbuatan kita yang salah itu. Jadi kita mengotak-atik atau mengecilkan atau membesar-besarkannya sehingga tidak melihat dengan tepat. Mengampuni diri harus diawali dengan mengakui dan melihat perbuatan kita apa adanya.PG : Betul sekali Pak Gunawan, ini memang perjuangan untuk bisa jujur dengan diri sendiri. Kita itu susah jujur dengan orang lain, susah jujur dengan Tuhan, namun salah satu masalah kita adaah susah jujur dengan diri sendiri.
Perlu kedewasaan untuk bisa jujur dengan diri sendiri.PG : Betul sekali Pak Gunawan, maka dalam kondisi seperti itu kita harus maju ke langkah yang kedua yaitu kita harus melihat apa yang Firman Tuhan katakan, itu standar dan tolok ukur kita. Kta mesti percaya bahwa Tuhan sungguh-sungguh telah mengampuni dosa kita.
Firman Tuhan diET : Kadang-kadang memang ada kalangan rohani yang begitu sangat menekankan bahkan pada anak-anak kecil, bahwa karena kamu melakukan itu kamu akan dihukum Tuhan. Karena ketidaksempurnaan kam ini, kamu akan dihukum Tuhan; harus yang terbaik, kalau tidak sempurna ya dikaitkan dengan penghukuman.
Ini bagaimana Pak Paul?PG : Seperti tadi sudah saya singgung, sejak kecil memang kita dibesarkan dengan konsep bahwa kesalahan harus dibayar dengan penghukuman. Pada akhirnya konsep itu tertanam dalam diri kita, nmun setelah kita makin dewasa kita itu membentuk sebuah gambar diri, konsep diri tentang siapa kita.
Kita itu mengetahui kita punya kelemahan tertentu tapi kita tahu juga bahwa kita mempunyai kebaikan tertentu. Ini menjadi sebuah keseimbangan, sebuah gambar diri dalam hidup kita yang seimbang. Dan misalkan kita melihat diri kita lumayan positif, meskipun tidak sempurna. Waktu kita melakukan perbuatan yang benar-benar besar, melanggar hati nurani kita, melanggar norma-norma yang telah kita yakini biasanya kita itu akan merasa diri kita itu begitu jelek, begitu buruk. Dengan kata lain ketidaksempurnaan yang telah kita sadari sekarang harus kita definisi ulang. Sebab ketidaksempurnaan itu ternyata lebih berat lagi, lebih besar lagi daripada yang sebelumnya kita ketahui. Inilah yang berat dan inilah yang menyebabkan mengapa sebagian kita sulit untuk mengampuni diri. Kita hanya bisa mengampuni diri bila kita berhasil mengintegrasikan ketidaksempurnaan kita itu ke dalam gambar diri kita. Kita harus mengakui bahwa "Ya, saya telah berbuat sejahat ini dan yang berbuat itu adalah saya dan sekarang saya tidak seperti yang dulu saya pikirkan, gambaran saya itu sekarang harus berubah. Sekarang saya harus integrasikan, saya harus masukkan catatan kejelekan saya itu ke dalam konsep diri saya yang baru ini." Nah sekali lagi ini yang akhirnya menyulitkan kita untuk mengampuni diri. Sebab kita sering kali melawan, kita resisten terhadap gambar diri yang baru yang lebih buruk ini; kita tidak bisa menerimanya. Saya kira itulah sebabnya kita mencoba untuk menghukum diri, seolah-olah kita ingin membayar perbuatan dosa kita dengan hukuman itu. Dengan harapan tersirat bahwa setelah kita bayar hukuman dosa itu, diri kita yang semula akan kembali atau muncul lagi atau akan baik seperti dulu lagi. Ternyata tidak demikian, sebab kita tidak bisa membayar atau menebusnya. Jadi kita harus menerima bahwa diri kita tidaklah seperti dulu; ada kecacatan yang baru yang sekarang melekat pada diri kita. Firman Tuhan mengingatkan kita diPG : Betul sekali Pak Gunawan, dan ini memang langkah yang berikutnya dan terakhir bagaimana mengampuni diri yaitu kita harus berubah. Apapun yang kita katakan kalau kita tidak berubah, kitaakan tetap sulit untuk mengampuni diri.
Sebab kita masih melihat yang sama pada diri kita yaitu yang jelek itu masih tetap kita lakukan, maka susah untuk mengampuni diri. Saya akan kutib dariPG : Dan ini memang adalah bagian dari konsep keadilan yang memang tertanam dalam diri kita. Kita telah berbuat salah, kita telah membayarnya dan kita merasa lebih lega. Tapi sekali lagi kit kembali lagi pada Firman Tuhan, masalah rasa bersalah di satu pihak memang masalah manusia, namun di pihak lain ini masalah rohani.
Karena yang hanya dapat benar-benar menghapus bersih rasa bersalah adalah Tuhan. Karena kita tahu bahwa kita itu berdosa terhadap Tuhan, pada akhirnya atau ujung-ujungnya kita berdosa kepada Tuhan. Memang dalam tindakan nyatanya kita merugikan atau melukai orang, namun ujungnya adalah kita berdosa terhadap Tuhan. Maka pada akhirnya kita harus berdamai dengan Tuhan dan Dialah yang telah berjanji bahwa Dia akan mengampuni dosa kita, maka kepadaNyalah kita datang.PG : Kita terima, kita katakan: "Tuhan, waktu saya mengingat perbuatan saya, saya merasa malu, saya merasa bersalah lagi." Tapi setelah kita akui kita kembali kepada Firman Tuhan yng sudah menjanjikan pengampunan itu.
Dia adalah setia dan adil dan akan mengampuni segala dosa kita. Kita percaya itu, itu fakta dan itu adalah janji dari mulut Tuhan sendiri dan Tuhan tidak pernah memberikan janji yang bohong.PG : Akan menolong Pak Gunawan, jadi ada baiknya kita juga memberanikan diri mengaku kepada sesama kita, kepada seseorang yang kita anggap rohani dan dapat memahami kita. Nah kepadanyalah kia datang mengaku perbuatan kita, itu akan juga menolong kita melihat masalah atau perbuatan kita dengan lebih jernih, sekaligus menanamkan rasa pertanggungjawaban.
Sehingga lain kali kalau kita berbuat dosa yang sama kita akan merasa jauh lebih malu karena kita tahu sudah ada orang yang kita ceritakan.PG : Jangan sampai membunuh diri, dan dia harus berkata betul saya tidak bisa melakukan ini yaitu mengampuni diri tapi Tuhan sudah mengampuni saya. Maka yang saya harus lakukan adalah memint Tuhan mengampuni diri saya melalui diri saya juga.
Jadi terus meminta Tuhan menolong diri kita agar kita bisa mengampuni, sebab Tuhan sudah mengampuni dan itu adalah yang terpenting.GS : Terima kasih sekali Pak Paul, untuk penghiburan dan penjelasan ini, juga Ibu Esther terima kasih. Saya percaya ini menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi para pendengar kita. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengampuni Diri." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk menghubungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
29. Jika Kita Berselingkuh | |
Sering kita menipu diri sendiri dan berkata, "Ah, ini kan hanya persahabatan." Fakta: Perselingkuhan berawal dari persahabatan dan berlangsung dalam kedok persahabatan. Atau kita berkata, "Main-main, iseng-iseng, jajan, intermezzo." Fakta: Perselingkuhan adalah dosa perzinahan yang dilarang Tuhan dan menghancurkan pernikahan.
Jangan menipu diri sendiri dan berkata, "Ah, ini kan hanya persahabatan." Fakta: Perselingkuhan berawal dari persahabatan dan berlangsung dalam kedok persahabatan. Ini sekadar dalih untuk mengizinkan diri melanjutkan relasi.
Jangan bersandar pada kemauan keras kita dan berkata, "Manakala saya ingin mengakhirinya, saya pasti bisa." Fakta: Banyak pelaku selingkuh yang berjanji untuk tidak melakukannya tetapi terus melakukannya.
Jangan memberi nama lain untuk mengurangi makna pelanggarannya, misalnya, "Main-main, iseng-iseng, jajan, intermezzo." Fakta: Perselingkuhan adalah dosa perzinahan yang dilarang Tuhan dan menghancurkan pernikahan.
Jangan bersandar pada perasaan melainkan pada kebenaran. Fakta: Perasaan cenderung membenarkan perbuatan karena selingkuh cenderung membuat kita merasa hidup dan senang. Lakukanlah yang benar, bukan terasa benar.
Jangan mengasihani diri atau rekan selingkuh; kasihanilah pasangan dan anak kita. Fakta: Yang terluka bukanlah rekan selingkuh melainkan keluarga kita.
Jangan menyalahkan orang lain atau pasangan sebagai penyebab selingkuh. Fakta: Keputusan selingkuh merupakan keputusan pribadi.
Bersabarlah untuk membangun ulang relasi dengan pasangan. Relasi nikah tidak dengan otomatis membaik setelah selingkuh berakhir. Fakta: Perlu waktu dan usaha keras untuk membangun relasi dengan pasangan kembali.
Ambillah langkah pertama yaitu mengaku dosa kepada pasangan; jangan bersembunyi atau menyangkal. Fakta: Hidup dalam kebohongan berujung pada kehancuran.
Mintalah maaf bukan sekali melainkan berulang kali sebab tidak cukup sekali kita meminta ampun kepada pasangan. Fakta: Perasaan terluka memerlukan permintaan maaf-berulang kali-agar dapat sembuh.
Berhentilah selingkuh demi Tuhan, bukan demi orang lain. Fakta: Kita berdosa pertama dan terutama kepada Tuhan. "Sebab jika kita sengaja berbuat dosa sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu."
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Esther Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Jika Kita Berselingkuh". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Yang akan kita bahas bukan saja untuk orang yang merasa bersalah, tapi untuk orang yang belum merasa bersalah. Jadi memang kita mau mengalamatkan diskusi kita ini kepada semua yang memag terlibat dalam selingkuh.
Ada sepuluh hal yang ingin kita bagikan kepada para pendengar kita. Yang pertama, jangan menipu diri sendiri dan berkata: "Ah....ini hanya persahabatan." Ini adalah salah satu ungkapan yang sering diungkapkan atau dikatakan oleh orang yang berselingkuh atau memulai sebuah relasi di luar nikah dengan orang lain. Perselingkuhan berawal dari persahabatan dan berlangsung dalam kedok persahabatan. Kita sering berkata bahwa ini teman, tidak demikian, itu adalah kedok untuk mengijinkan kita akhirnya melanggengkan relasi selingkuh ini. Ada orang yang bahkan mengangkat adik, sampai-sampai istrinya itu gila dan terluka. Karena si istri tahu si suami ini bukannya mengangkat adik, tetapi mau mempunyai relasi dengan perempuan itu, maka terus dekat sehingga akhirnya diangkat adik. Supaya seolah-olah memberi dia temasi 03:00 buat si pria itu melanggengkan relasi dengan perempuan tersebut. Tapi si istri tahu bahwa suaminya ini bukannya angkat adik tanpa motivasi yang tersembunyi, jelas dia mempunyai ketertarikan kepada perempuan itu. Sebab kenyataannya adalah sering kali itu yang terjadi, jadi point pertama atau peringatan pertama jika kita berselingkuh adalah jangan menipu diri sendiri dan berkata ah.....ini hanyalah teman biasa.ET : Yang sering kali terjadi awalnya adalah curhat, rasanya ada orang yang mendengarkan, ada orang yang mengerti kemudian itu menjadi pintu masuk.
PG : Sering kali begitu, memang masuk akal Bu Esther, masakan orang berselingkuh gara-gara berkelahi, sudah tentu biasanya adalah dari persahabatan, perkenalan akhirnya makin banyak hal-hal eribadi yang diceritakan kepada rekan selingkuhnya itu, termasuk problem-problem rumah tangga.
Dan yang satunya itu sudah tentu menjadi pendengar yang baik, yang sungguh-sungguh mengerti dengan penderitaan orang ini, dan dia akan ebrkata: "Aduh......pasanganku sendiri tidak bisa mengerti dan orang ini bisa mengerti," ya sudah makin hari makin dekat. Jadi kita mesti berhati-hati, jangan sembarangan menjalin persahabatan dengan lawan jenis.PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi kita itu memang harus mengakui bahwa diri kita penuh tipu muslihat. Kitap unya potensi besar untuk menipu, jadi harus berani, harus jujur dan berkata, &qut;Saya tertarik dengan dia, dan karena saya tertarik dengan dia justru saya harus batasi persahabatan saya."
Jangan sampai kita itu menyangkal diri dan berkata, "O.....saya tidak tertarik, jadi tidak apa-apa bersahabat terus." Tidak demikian, justru harus mengakui ya saya tertarik dengan dia, oleh karena itu terus jaga. Jangan sampai makin mendekat, justru harus dijaga.PG : Malah sulit karena memang harus melawan keinginan diri sendiri.
PG : Jangan bersandar pada kemauan keras kita dan berkata manakala saya ingin mengakhirinya, saya pasti bisa mengakhirinya. Saya kira ini adalah salah satu bentuk penipuan terhadap diri sendri juga.
O......pasti bisa ini, o......tidak ada apa-apa, kapan waktu saya mau hentikan pasti bisa." Seolah-olah kita itu yang masih menguasai keadaan, mengendalikan perasaan kita. Tidak demikian, begitu kita terjerumus ke dalam kancah perselingkuhan, susah sekali keluar. Meskipun mau keluar tetap tidak bisa keluar, karena kita sendiri menginginkan menikmati relasi itu. Jadi untuk melawan atau menyangkal diri sendiri sangatlah susah.ET : Masalahnya kadang-kadang ada orang yang tidak menganggap itu sebagai suatu perselingkuhan. Jadi seperti hidup itu kalau dijalani begitu saja bosan, kurang selingan; jadi ini bukan perseingkuhan tapi hanya selingan, jajan, istilah-istilah ringan yang digunakan.
PG : Nah ini adalah salah satu bentuk penipuan diri sendiri juga. Dan ini membawa kita ke point ketiga juga yaitu jangan memberi nama lain untuk mengurangi makna pelanggaran itu. Yang tadi Iu Esther katakan, daripada kita memanggil perzinahan, kita memanggilnya main-main, iseng-iseng, jajan, internet show, selingan.
Jangan memberi nama lain untuk suatu dosa yang serius di mata Tuhan. Ini perbuatan yang menghancurkan pernikahan, menghancurkan bukan hanya satu orang yaitu istri atau suami kita tapi menghancurkan anak-anak kita. Anak-anak bertumbuh besar dalam benaknya selalu mengingat bahwa ayah atau ibu itu berselingkuh, tidur dengan perempuan atau laki-laki lain, berzinah dengan orang lain dan sampai tua pun dia akan selalu mengingat bahwa orangtuanya itu pernah berzinah. Itu ingatan yang menghancurkan diri orang, jadi jangan menganggap ringan. Dengan cara memanggilnya dengan nama-nama lain yang lebih ringan; panggilan perselingkuhan sebagai perzinahan sebagai perbuatan yang menghancurkan baik istri maupun suami dan anak-anak kita. Dan kalau kita masih ada keluarga dekat, mereka pun turut terhancurkan oleh perbuatan kita.PG : Ini membawa kita ke point yang keempat, yaitu jangan bersandar pada perasaan melainkan pada kebenaran. Ini sering kali memang kita lakukan, kita tidak merasa apa-apa, orang sudah melihanya, kita tetap saja seolah-olah melangsungkan relasi ini tanpa rasa bersalah dan seolah-olah orang pun tidak melihat hal itu.
Faktanya adalah perasaan cenderung membenarkan perbuatan, sebab selingkuh memang membuat kita merasa lebih hidup, lebih senang, lebih terpenuhi dan kita yang misalkan mengalami konflik dalam keluarga kita, kita sering kali susah, menderita. Waktu akhirnya bertemu dengan orang lain yang bisa mengerti kita, menjalin hubungan cinta dengannya, sudah tentu perasaan kita akan senang dan enak. Perasaan kita yang tadinya gundah gulana, kacau, sekarang tiba-tiba tenang tadinya tidak mengharapkan hari esok sekarang mengharapkan hari esok, esoknya dan esoknya lagi. Kenapa, sebab perasaan kita memang makin membaik, makin enak. Namun saya mau ingatkan jangan bersandar pada perasaan, jangan mengambil keputusan atas dasar perasaan, tapi atas dasar kebenaran. Dan kebenaran adalah firman Tuhan. Dan Firman Tuhan berkata ini perzinahan, meskipun rasanya enak, rasanya benar, tetap salah. Jadi nasihat saya adalah lakukan apa yang benar, jangan hanya yang terasa benar; lakukan apa yang benar dan itu firman Tuhan yaitu perselingkuhan adalah dosa. Lakukan apa yang benar, stop berhenti, jangan melakukan yang terasa benar.PG : Itu makanya orang sering berkata suami saya kok seperti jadi orang lain, saya tidak kenal dia lagi; dulu sama sekali berbeda sekarang setelah berselingkuh menjadi manusia yang seperti ii.
Betul, mereka benar-benar menjadi manusia yang berbeda; semua nilai norma yang pernah mereka anut itu tiba-tiba tidak ada lagi bekasnya dalam diri dia. Jadi manusia yang sangat berlainan karena memang kehilangan objektifitas.ET : Dan juga akhirnya pengakuan merasa kehilangan perasaan cinta pada pasangannya, Pak?
PG : Jadi akhirnya kita berkata ya tidak ada lagi cinta, dan di sini cinta bertumbuh dengan subur, dengan sehat. Karena perasaan itu makin membenarkan perbuatan kita dan berkata ini pasti bear sebab cinta makin bertumbuh.
Tinggal tunggu waktu, dua atau tiga tahun kemudian perasaan cinta yang bergebu-gebu itu pun nanti akan turun. Dan apalagi kalau mengalami konflik dengan rekan selingkuh itu, relasi itu akan menjadi sama dengan relasi yang sebelumnya. Dan terus begitu tidak ada akhirnya, jadi memang konflik atau masalah yang terjadi dalam keluarga kita mesti kita hadapi dan bereskan. Jangan lari kepada orang lain.PG : Betul, sering kali ini yang dikeluhkan oleh orang yang menjadi korban selingkuh yang biasanya adalah istri. "Suami saya itu lebih mengasihani perempuan itu daripada diri saya sendii."
Maka ini nasihat yang kelima kepada orang yang berselingkuh. Jangan mengasihani diri atau rekan selingkuh, justru kasihanilah pasangan dan anak kita. Ada orang yang justru mengasihani dirinya; saya memang orang malang, saya orang yang memang begini lemahnya tapi tidak mau lepas-lepas dengan rekan selingkuhnya. Atau kasihan dia kalau saya lepaskan, hidupnya hancur; sementara ini istri sudah babak belur, tidak dikasihi, dicampakkan dan dikhianati kenapa tidak ada rasa kasihan. Jadi bisa begitu keliru perspektif kita, maka saya mau mengingatkan kembalilah pada perspektif yang benar. Jangan mengasihani diri atau rekan selingkuh tapi kasihanilah pasangan dan anak kita. Merekalah yang terluka, merekalah yang sekarang benar-benar perlu perhatian kita.ET : Kadang-kadang mereka merasa sulit mengasihani pasangan karena pasangan itulah penyebab mereka berselingkuh. Nah itu bagaimana Pak Paul?
PG : Ini adalah salah satu alasan klasik yang sering kali saya dengar. Maka saya ingin memberikan masukan sebagai point yang keenam, yaitu jangan menyalahkan orang lain atau pasangan sebagaipenyebab selingkuh.
Saya tidak berkata bahwa relasi yang buruk itu tidak bersumbangsih terhadap kemungkinannya atau kerentanan kita berselingkuh, sudah tentu bersumbangsih. Tapi yang ingin saya tekankan adalah keputusan selingkuh merupakan keputusan pribadi. Tidak ada orang yang menjorokkan kita sehingga akhirnya kita masuk ke kolam selingkuh. Kita yang memutuskan untuk terjun ke kolam selingkuh, itu adalah keputusan pribadi kita dan untuk keputusan itu kita harus memikul tanggung jawab. Jangan menyalahkan atau ada orang yang menyalahkan orangtuanya, "Mereka terlalu keras sehingga hidup saya tidak pernah bebas, saya akhirnya hidup tertekan, menikah pun tertekan, maka saya sekarang merasa baru bebas, saya baru bersama dengan orang yang saya sungguh-sungguh cintai." Tidaklah demikian, keputusan itu tetap keputusan pribadi dan kita harus pikul, jangan menyalahkan orang lain. Kecenderungan kita adalah menyalahkan orang lain, orang lain mungkin salah, pasangan kita mungkin salah, dan ini memang memberikan sumbangsih, tapi tetap keputusan itu keputusan pribadi dan itu yang harus kita pikul.PG : Kadang-kadang itu betul, kita memang salah pilih namun resepnya terhadap salah pilih adalah cocokkan, bekerja keraslah untuk bisa mencocokkan, untuk bisa menyelamatkan pernikahan yang kta akui kita memang salah pilih.
Jangan lari, jangan akhirnya mencari jalan pintas yang mudah. Jadi usahakan sedapat-dapatnya untuk membereskan masalah. Yang ketujuh adalah bersabarlah untuk membangun ulang relasi dengan pasangan. Tadi memang sudah disinggung tentang relasi nikah yang memang bermasalah. Jadi waktu kita itu hendak putus hubungan dengan rekan selingkuh, kita mesti mempunyai kesadaran bahwa putusnya saya dengan rekan selingkuh tidak berarti secara otomatis akan membuat pernikahan saya membaik. Ada orang yang mengharapkan itu dengan otomatis, dengan segera, dengan cepat; karena saya sudah putus dengan rekan selingkuh saya maka relasi nikah saya ini harusnya baik, pasangan saya harus bisa mengerti, tidak lagi menuntut dan sebagainya. Tidaklah demikian, itu adalah dua hal yang terpisah. Relasi selingkuh putus, tapi masalah dalam pernikahan tetap ada dan harus kita bereskan. Dan ini akan memakan waktu dan usaha keras. Ada orang yang seolah-olah beranggapan, saya sudah putuskan hubungan relasi selingkuh saya berarti harus dapat imbalannya, yaitu pasangan saya harus baik dan mengerti saya. Kalau tidak, buat apa saya dulu putus dengan relasi selingkuh saya. Tetap dia harus mencucurkan keringat untuk membereskan masalah pernikahan ini.ET : Memang harus ada step atau langkah-langkah yang harus diambil untuk menjalani proses pemulihan ini.
PG : Betul Ibu Esther, tidak serta merta langsung beres begitu saja. Apalagi pasangan kita sudah dikhianati dan sangat terluka, itu pun memerlukan waktu bagi dia untuk sembuh, dia mungkin maih perlu marah, masih perlu untuk mengungkapkan kemarahannya itu kepada kita untuk waktu yang lama, dan kita mesti berani menanggung resiko untuk mendengarkan dan menerima ungkapan marahnya itu.
Jadi tidak cepat pemulihan atas luka yang disebabkan oleh selingkuh memakan waktu bertahun-tahun.ET : Ada kasus yang pernah saya dengar, suami ini setelah berselingkuh kemudian mengakui perbuatannya kepada istri, jadi rencananya mau mengadakan pemuliha. Tapi setelah melihat suaminya berni berbesar hati untuk mengaku, istri pun akhirnya mengakui kalau ada masa dalam hidupnya ini dia juga pernah mengkhianati suami.
Jadi pihak suaminya itu merasa pengakuan saya seolah-olah sia-sia karena saya sudah ditipu juga. Jadi prosesnya lebih sulit lagi.PG : Memang akan lebih rumit kalau begitu, kedua orang pernah berselingkuh tidak memudahkan proses pemulihan, justru sering kali lebih memperumit. Ada orang yang beranggapan saya pernah ditiu, saya dikhianati, sekarang saya mau balas mengkhianati.
Nah dengan dia membalas itu makin memperparah masalah, tidak mengecilkan masalah tapi malah membengkakan masalah dan lebih berat lagi. Tapi yang Ibu Esther tadi katakan tentang pengakuan dosa itu penting. Nah ini membawa kita pada point berikutnya yaitu point ke delapan, ambillah langkah pertama jika kita berselingkuh yaitu mengaku dosa kepada pasangan, jangan bersembunyi atau menyangkal. Hidup dalam kebohongan berujung pada kehancuran, tinggal tunggu waktu akan hancur. Jadi kita mesti membuang jauh-jauh kebohongan itu. Dengan cara, langkah pertama adalah akui dosa kita kepada pasangan kita.PG : Kalau belum diketahui dia harus dengan sukarela mengakuinya.
PG : Akan menimbulkan goncangan, tapi itulah langkah-langkah untuk menuju pemulihan yaitu pengakuan dosa. Sebab sering kali selingkuh itu merupakan sistem atau manifestasi problem. Problemny itu sendiri tersembunyi di dalam relasi nikah dan perlu dibereskan.
Jadi setelah diungkapkan, diangkat masalah selingkuh itu mereka harus mendapatkan pertolongan untuk bisa menggali masalah yang tersembunyi di dalamnya.PG : Betul, maka langkah pertama adalah kita datang, kita akui, kita minta ampun, naik kepada Tuhan maupun kepada pasangan yang telah kita lukai itu. Ini susah sekali, kita sering kali berkaa sudah berdamai dengan Tuhan, saya minta ampun dan Tuhan ampuni saya berarti sudah beres sementara dengan pasangan kita tidak.
Nah masalahnya adalah sering kali kalau kita tidak mengakui kepada pasangan kita, kita akan tergoda melakukannya lagi. Sebab harga yang kita bayar untuk menebus kesalahan kita itu terlalu kecil sehingga kita tidak mudah kapok. Lain kali kesempatan terbuka, kita akan lakukan lagi. Dan kita katakan dalam hati kecil kita nanti ´kan bisa kita akui di hadapan Tuhan dan Tuhan pasti mengampuni kita, jadi ya sudah. Dan pola itu akhirnya terus berputar.PG : Nah itu bisa terjadi dan mungkin saja merasa bersalah terus, tidak bisa mengampuni; nah dia harus belajar mengampuni sebab dia tahu Tuhan sudah mengampuni. Ini berkaitan dengan point kesembilan yaitu mintalah maaf bukan sekali melainkan berulang kali, sebab tidak cukup sekali kita meminta ampun kepada pasangan.
Kenapa saya menganjurkan hal ini yaitu berkali-kali meminta maaf, karena perasaan terluka memerlukan permintaan maaf berulang kali untuk dapat sembuh. Terlalu dalam luka yang ditimbulkan akibat perselingkuhan jadi untuk sembuh perlu minta maaf yang disampaikan berulang kali dan dilakukannya itu dengan tulus. Jangan sampai kita menyampaikan, ya, saya minta maaf tapi dengan nada marah seolah-olah kita lebih galak dari orang yang kia lukai. Itu tidak bisa tidak akan membuat pasangan kita beranggapan bahwa ktia tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatan kita. Jadi kalau salah ya minta ampun, sampai berapa kali kita harus minta ampun; mungkin ratusan kali karena mungkin sampai bertahun-tahun kemudian pasangan kita masih menyimpan terus sakit hati ini dan sampai bertahun-tahun kemudian setiap kali sakit hati itu muncul kita minta ampun, kita minta maaf. Kita katakan, saya minta maaf, saya dulu bodoh, saya dulu buta, saya melakukan sesuatu yang sangat memalukan Tuhan dan memalukan kamu; terus katakan begitu. Jangan sebaliknya, ada orang yang waktu pasangannya mengungkit kembali dia berkata jangan ungkit-ungkit yang lama, jangan sebut-sebut lagi. Perbuatan seburuk itu memang memerlukan permintaan maaf sebanyak itu.PG : Kalau memang dua-duanya bisa berkata begitu, dan yang dilukai bisa menerima itu ya tidak apa-apa. Kalau tidak bisa, pelaku selingkuh itu harus menerima konsekuensinya. Perlu kebesaran hti dan kerendahan hati untuk hal ini.
Sering kali orang yang sudah berdosa itu keangkuhannya makin membengkak, makin susah merendahkan diri.ET : Sepertinya sudah minta maaf lalu mengatakan, pokoknya saya sudah minta maaf terserah kamu.
PG : Seolah-olah begitu, menjadi lebih galak. Karena keangkuhan, tapi tidaklah demikian dia harus bayar dengan kerendahan hati.
GS : Ya mungkin bukan cuma keangkuhan tpi menutupi kelemahannya juga supaya dia masih disegani.
Pak Paul, ada orang yang mengatakan terhadap istrinya dia bilang, "Dulu saya ini juga kenalan biasa dengan istri saya, sekarang pun hanya kenalan-kenalan biasa." Jadi relasi nikahnya itu sudah begitu buruknya sehingga tidak dianggap sebagai pasangan tetapi kenalan. Kemudian dia mulai berselingkuh dengan orang lain.PG : Dalam semua kasus perselingkuhan nasihat kesepuluh ini harus dicamkan baik-baik Pak Gunawan, apapun alasannya. Yaitu berhentilah selingkuh demi Tuhan bukan demi orang lain. Karena orangbisa berkata lihat relasi nikah saya ini sudah hambar, tidak ada lagi kasih, dia tidak lagi seperti pasangan saya, dia seperti teman biasa saja atau alasan lainnya.
Dan mungkin sekali alasan-alasan itu benar, ada dasarnya namun ingat Tuhan. jadi berhentilah selingkuh demi Tuhan karena kita berdosa terutama dan pertama adalah kepada Tuhan. Meskipun pasangan kita tidak tahu tetapi Tuhan tahu, dan kita telah berdosa kepada Tuhan. Saya akan kutibGS : Terima kasih Pak Paul, semoga perbincangan ini bisa menegur dan mengarahkan banyak pendengar kita atau yang sedang mempunyai masalah dalam perselingkuhan ini. Terima kasih Pak Paul juga Ibu Esther. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Jika Kita Berselingkuh." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk menghubungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
30. Bersukacita dalam Tuhan | |
Bagaimanakah caranya agar kita dapat senantiasa bersukacita? Kata kunci di sini adalah "dalam Tuhan." Di luar Tuhan mustahil kita dapat senantiasa bersukacita. Dan sukacita seperti apa yang ada di dalam Tuhan?
"Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!"
Bagaimanakah caranya agar kita dapat senantiasa bersukacita? Kata kunci di sini adalah "dalam Tuhan." Di luar Tuhan mustahil kita dapat senantiasa bersukacita.
Definisi
Bersukacita merupakan sebuah sikap dan pilihan, tidak selalu berarti perasaan yang terus menerus kita rasakan. Mustahil dan tidaklah sehat bila kita selalu bersukacita apa pun kondisi yang kita hadapi. Itu sebabnya Firman Tuhan menegaskan, "ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari." (Pengkhotbah 3:4) Orang yang bersukacita dalam Tuhan tetap bisa bersedih, namun ia tidak terbebani atau ditindih oleh apa pun yang dialaminya.
Sekurang-kurangnya ada empat cara untuk bersukacita dalam Tuhan:
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Bersukacita dalam Tuhan." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Itu adalah perintah, jadi memang itu adalah kalimat yang dikeluarkan oleh rasul Paulus. Menariknya adalah waktu rasul Paulus menulis ayat ini, dia sendiri dalam posisi yang sebetulnya tida begitu menggembirakan karena dia berada dalam penjara.
PG : Sudah tentu itu sulit dilaksanakan, namun kalau sampai rasul Paulus mengeluarkan perintah ini atas suruhan Tuhan, saya yakin dia sendiri menghidupi perintah ini bahkan dalam situasinya yan tidak menguntungkan, dia dalam penjara karena iman kristennya namun dia tetap bisa mempertahankan sukacita dalam hatinya.
Memang kita harus juga mengerti sebetulnya apa yang dimaksud dengan sukacita.PG : Betul, apalagi kalau banyak problem yang harus dihadapi. Jadi apa definisi sukacita, saya kira kita langsung harus kembali pada firman Tuhan, sebab Paulus berkata, "Bersukacitalah senantiaa dalam Tuhan."
Dengan kata lain memang harus ada kondisinya yaitu harus di dalam Tuhan. Asumsinya adalah kita tidak bisa mempertahankan sukacita di luar Tuhan. Apa yang dimaksud dengan sukacita di sini, sukacita merupakan sebuah sikap dan pilihan; sukacita tidak selalu berarti perasaan yang terus menerus kita rasakan. Jadi saya tidak menyamakan dengan perasaan gembira, kadang-kadang ada hal-hal yang terjadi yang membuat kita senang sehingga kita akhirnya gembira. Tapi ini bukanlah yang dimaksudkan oleh Paulus, yang Paulus maksudkan adalah kita memilih sebuah sikap dan sikap kita adalah sikap sukacita. Tapi sekali lagi ini bukanlah berarti kita menjadi orang yang tidak peka, bukankah kita misalkan mengunjungi orang yang sedang berduka karena kematian orang yang dikasihinya, kita juga turut larut dalam kesedihan. Dan saya kira tidaklah benar kalau dalam suasana yang sedang sedih itu kita tertawa-tertawa, gembira dan berkata, "Saya mempunyai sukacita dalam Tuhan." Bukan itu yang Tuhan maksud, sebab waktu Tuhan harus menerima fakta bahwa Lazarus telah meninggal dan Dia berdiri di depan kubur Lazarus, Dia menangis. Kenapa Dia menangis, karena memang Dia sedih, Lazarus adalah sahabatnya dan dalam suasana yang sedang berduka, teman-teman, saudara dan semua sedang berduka, Tuhan sedang berada di sana dan Dia pun turut bersedih hati. DiPG : Mungkin saya bisa mengerti maksud yang terkandung di dalamnya yaitu kematian bukanlah akhir dari perjalanan kita sebagai manusia, karena kita adalah orang-orang yang sudah ditebus oleh Tuhn dan dijanjikan kehidupan yang kekal.
Jadi kita tahu bahwa kematian adalah jembatan yang menghantar kita pulang ke rumah Bapa di sorga dan untuk itulah kita bersukacita. Tapi saya kira yang lebih manusiawi adalah dalam suasana kedukaan seharusnyalah kita kehilangan dan karena dia adalah orang yang kita kasihi, kita akan merasakan kesedihan yang dalam. Jadi seyogianyalah kita bersedih dan tidak apa-apa. Perintah Tuhan, bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan bukan berarti kita tak boleh bersedih. Namun artinya kita memilih sebuah sikap dan sikap kita adalah sikap bersukacita, tidak terbebani atau ditindih oleh apapun yang kita alami.PG : Betul sekali Pak Gunawan dan ini yang kita akan bahas. Ada empat hal yang ingin saya bagikan. Yang pertama adalah kita mesti beriman, apa yang firman Tuhan katakan
PG : Saya kira wajar dalam pengertian, pada waktu kita menghadapi sebuah masalah yang mengancam kita dan masalah itu di depan mata, kita harus hadapi. Saya kira reaksi awal adalah cemas, tapi kta harus selalu mengingatkan diri kita, "Jangan cemas, jangan kuatir, tapi kita harus datang kembali kepada Tuhan.
Membawa segala kecemasan kita, kekuatiran kita di dalam doa." Dengan cara inilah kita menyerahkan penanganan masalah itu kepada Tuhan, sebab Tuhan berjanji Dia akan memberikan kepada kita damai sejahtera. Namun sekali lagi damai sejahtera hanya dapat diberikan dan dapat kita terima kalau kita memang sepenuhnya menyerahkan penanganan masalah itu kepada Tuhan. Benar-benar kita berkata, "Tuhan, saya tak sanggup lagi, saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya lakukan, ini di luar kemampuan saya, saya serahkan kembali kepadaMu, biarlah Engkau yang tangani dengan cara Tuhan." Cara-cara yang mungkin kita belum ketahui sekarang, tapi kita percaya Tuhan akan menolong kita dengan caraNya. Orang yang bisa berserah, orang yang bisa beriman kepada Tuhan, menjadi orang yang bisa bersukacita, dia tidak terbebani. Sudah tentu dia tidak tertawa-tertawa di tengah problem yang sedang dihadapinya, tapi problem itu tidak lagi menindihnya, tidak lagi membuatnya murung dan cemas sepanjang waktu. Dia mungkin akan sedikit banyak terganggu untuk waktu yang sementara, tapi setelah itu dia akan bangkit kembali dan dia akan berkata, "Saya tahu ini akan beres karena Tuhan akan menolong saya, Tuhan tidak akan meninggalkan saya." Nah iman yang bersandar seperti inilah yang kita butuhkan untuk dapat tetap hidup bersukacita dalam Tuhan.PG : Itu memang adalah kemungkinan besar bentukan, tempaan dari pengalaman hidup sehingga dia menjadi orang yang tenang, sebab dia tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa dia perbuat, ini sesuatu yng memang harus dihadapinya.
Dan dia tahu bahwa dengan usaha, dia akan bisa melewati semua ini. Nah kalau orang saja yang tidak dekat dengan Tuhan bisa berkata begitu apalagi kita sebagai orang beriman, sebagai orang yang memang mempunyai Tuhan dalam hidup kita. Bukankah sudah seharusnyalah kita bisa lebih tenang lagi dan bisa lebih bersukacita di tengah-tengah masalah yang kita hadapi.PG : Betul, dan memang perlu latihan Pak Gunawan, hubungan kita ini beres dengan Tuhan dan latihan untuk hal-hal yang kecil, berserahlah kepada Tuhan. Sehingga suatu hari kelak jika kita menghaapi masalah yang lebih besar, kita lebih mampu untuk berserah kepada Tuhan.
PG : Sudah tentu, Tuhan tidak menginginkan kita menjadi penonton yang pasif dan tidak berbuat apa-apa. Tuhan juga menginginkan agar kita mencoba, berusaha, berpikir, mencari tahu, mendapatkan iformasi, meminta pertolongan, itu adalah bagian manusiawi yang perlu kita kerjakan.
Tapi dalam proses kita mengerjakan semua itu, kita selalu berkata, "Saya hanya melakukan bagian saya sebagai manusia dan bagian saya ini sangat terbatas. Namun saya tahu, di luar dari bagian saya ada Tuhan yang akan meneruskan yang saya kerjakan dan menyempurnakan yang saya kerjakan dan mungkin nanti akan membelokkan saya ke arah yang tidak saya pikirkan sebelumnya sehingga saya menemukan jalan keluar itu. Dengan kata lain saya menggunakan prinsip bersepeda, kita tak bisa berkata, "Saya mau ke sana", tapi tidak mengayuh sepeda itu. Kita mesti mengayuh sepeda itu, kita mesti mendayung sepeda itu barulah sepeda itu berjalan. Setelah sepeda itu berjalan, Tuhan nanti akan memberi petunjuk kepada kita kemanakah kita harus pergi. Jadi keliru kalau orang berkata, "Saya diam saja, pokoknya Tuhan bereskan semuanya"; seolah-olah kita tidak mau bertanggung jawab, saya kira itu tindakan yang keliru.PG : Yang kedua adalah bersyukur. Firman Tuhan di
PG : Ada seorang sanak saudara saya yang memberikan kepada saya resep hidup yang saya kira baik untuk saya bagikan. Dia berkata begini kepada saya, "Saya itu bisa makan di kaki lima tapi saya jga bisa makan di bintang lima."
Saya suka dengan perumpamaan itu. Artinya adalah dia bisa menikmati hidup di tingkatan yang paling sederhana, dia pun bisa menikmati hidup di tingkatan yang lebih mewah atau yang paling mewah. Saya kira kita haruslah memiliki kemampuan itu, kita bisa hidup di kaki lima, kita bisa hidup di bintang lima. Firman Tuhan berkata: "Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." Jadi kuncinya memang adalah kekuatan Tuhan, kekuatan Tuhan menolong kita menerima porsi. Kita adalah orang yang sering kali tidak puas, mengeluh dengan porsi yang Tuhan tetapkan untuk kita. Kita tak bisa menerima porsi kita dan meminta Tuhan untuk mengubah porsi kita. Pada waktu Tuhan memberikan kepada kita porsi untuk kita, Tuhan tahu ini yang terbaik untuk kita maka kita harus belajar menerimanya. Orang yang tidak bisa menerima porsi yang Tuhan berikan tidak akan bisa bersukacita, dia akan senantiasa bersungut-sungut. Ini yang kita lihat pada umat Israel dalam perjalanan dari Mesir menuju ke Kanaan. Apapun yang Tuhan berikan, tak pernah cukup dan memuaskan hati mereka, selalu mengeluh dan bersungut-sungut, dan berkali-kali menuntut Musa mengembalikan mereka ke tanah Mesir, ke tanah di mana mareka hanyalah akan menjadi budak. Malahan dalam perjalanan itu mereka memuji-muji kondisi di Mesir, seolah-olah mereka itu menjadi orang-orang merdeka dan sangat menikmati hidup di Mesir. Kenyataannya tidak seperti itu tapi mereka seolah-olah membandingkan perjalanan dengan Tuhan di padang gurun menjadi sesuatu yang jauh lebih buruk daripada tinggal di Mesir menjadi seorang budak. Nah orang yang hanya melihat hal-hal yang seperti itu tidak akan bisa bersukacita, malahan hidupnya akan terus-menerus dirundung oleh kemalangan.PG : Betul sekali Pak Gunawan, ketidakpuasan sering kali muncul tatkala kita melihat orang lain lebih beruntung daripada kita. Kalau kita melihat orang lain lebih malang dari kita, kita sedikitlebih terhibur.
PG : Betul, makanya saya tidak begitu setuju dengan wejangan orang yang berkata: "Ya..., kalau dalam kesusahan, lihatlah orang yang lebih susah daripadamu, nah kamu seharusnya bersyukur kamu tiak sesusah mereka."
Saya pikir wejangan ini mempunyai kelemahan. Kelemahannya adalah kalau kita bisa membandingkan diri dalam keadaan susah, kita bisa membandingkan diri dalam keadaan senang juga, indikasinya seperti itu. Kalau kita senang dan melihat orang lain lebih senang, bagaimana kita bisa senang kita menjadi susah karena orang lain lebih senang daripada kita. Saya kira yang lebih tepat dan lebih alkitabiah adalah kita mensyukuri apa yang Tuhan berikan kepada kita, tanpa kita menoleh ke kiri atau ke kanan. Jadi dasar syukur kita bukan kita lebih baik daripada orang lain yang susah, dasar syukur kita adalah iman bahwa Tuhan telah memberi kepada kita porsi yang paling tepat, paling sesuai dengan rencanaNya yang terbaik dalam hidup kita. Kita mesti percaya itu dan atas dasar itu kita bersyukur.PG : Yang ketiga adalah baik hati atau berbudi.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, karena kita tahu ini pemberian Tuhan dan kita mensyukurinya, kita ingin membagikannya dengan orang lain.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, memang Tuhan adil ada orang yang kaya tapi tidak sukacita, ada orang yang miskin tapi bersukacita. Mengapa? Karena adakalanya orang yang miskin mensyukuri pemberin Tuhan, porsi Tuhan atas hidupnya dan dia tidak melihat dirinya miskin karena dia tahu apa yang dia terima dia bisa bagikan, nanti Tuhan akan tambahkan dan kembalikan kepadanya.
Jadi orang yang bersukacita memang orang yang baik, artinya orang yang murah hati, orang yang mau menolong, orang yang mau memberi. Nah orang yang senang memberi kebanyakan menjadi orang yang bersukacita kebalikannya orang yang tidak senang memberi tidak penuh dengan sukacita. Pandangannya hanya terpusat pada dirinya saja, dia tak bisa melihat orang lain, tapi orang yang memberi bersukacita. Bukankah kalau kita menolong, memberi kepada orang kita akan mengalami sukacita sebab kita melihat apa yang kita lakukan melihat orang lain juga bersukacita.PG : Betul sekali.
PG : Yang terakhir Pak Gunawan, kita mesti bersih. Kita telah membahas, beriman, bersyukur, baik hati dan yang terakhir adalah bersih. Firman Tuhan di
PG : Betul sekali, sebab dia akan melihat orang lain pun tidak jujur, dia sendiri pun ketakutan nanti ditipu orang lain sebab dia sering menipu orang.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, itu adalah santapan pertama dan utama. Firman Tuhan adalah hal yang paling kudus, yang dapat kita masukkan dalam kehidupan kita dan sudah tentu yang kita masukkanadalah hal-hal yang kudus, nanti yang keluar dari diri kita juga adalah hal-hal yang kudus.
PG : Betul, dan orang senang bersama dengan atau berada dengan orang-orang yang bersukacita. Sebaliknya kalau orang ini bawaannya menggerutu, mengeluh, saya kira dia akan justru menghalau orangpergi menjauh darinya.
Dan bukankah semakin orang menjauh darinya semakin dia tidak bersukacita. Makanya seperti siklus, semakin dia bersukacita, semakin orang tertarik untuk dekat dengan dia dan semakin dia bersukacita karena di kelilingi orang-orang yang mengasihinya. Dan kebalikannya juga betul, orang yang sungut-sungut, tidak pernah senang, tidak pernah bersukacita, menghalau orang pergi. Dan semakin dia sendirian semakin dia nanti menggerutu dan bersungut-sungut.PG : Betul sekali, mereka seolah-olah menjadi sinar yang begitu terang di tengah-tengah masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, di tengah-tengah masyarakat yang menjadi jajahan koloni dari kerajan Romawi.
Mereka menjadi orang-orang yang bersinar dan ini mempengaruhi sekeliling mereka untuk akhirnya bertanya dan mau mengenal apa itu yang membuat mereka berbeda dari orang lain, dan itu adalah iman mereka di dalam Kristus Yesus. Seperti Paulus, dalam penjara justru berkata, "Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan." Dia tidak menggerutu, justru dia berkata penahanan ini justru adalah hal yang positif, dia bisa membawa Injil Tuhan ke dalam penjara dan kita tahu itulah yang terjadi pada akhirnya.PG : Betul sekali, kalau tak mustahil dilakukan Paulus didalam penjara, apalagi dilakukan oleh kita di dalam keluarga sendiri.
GS : Terima kasih banyak Pak Paul, untuk perbincangan ini semoga kita menjadi orang-orang yang selalu bersukacita dalam Tuhan. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bersukacita dalam Tuhan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
31. Menikmati Hobby | |
Banyak manfaat yang terkandung dalam hobby kita. Dan Prinsip yang harus kita perhatikan di dalam melakukan hobby ialah yang cocok untuk jiwa kita, bijak memilih hobby, jangan merugikan dan membahayakan keluarga. Hobby tidak boleh berdosa, jangan menjadi pemisah antara kita dengan orang-orang yang kita kasihi.
Semua orang membutuhkan hobby. Sekurang-kurangnya ada dua manfaat hobby, yaitu:
Prinsip yang harus kita perhatikan di dalam melakukan hobby, yaitu:
Saran-saran untuk kita bisa memulai melakukan hobby kita, yaitu:
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya akan ditemani oleh Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menikmati Hobby." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Sebetulnya kenyataannya adalah kita ini semua membutuhkan hobby, tapi masalahnya adalah kita ini melayang dari satu pendulum ke pendulum yang lainnya, dari ekstrim satu ke ekstrim yang lainya.
Ada orang sama sekali tidak mengenali kebutuhannya untuk hobby, jadi akhirnya hidup itu diisi dengan hal-hal yang serius terus-menerus, kerja dan sebagainya. Tapi ada orang lain yang begitu dikuasai oleh hobby, jadi tidak bisa bekerja, tidak membagi waktu, semuanya dihabiskan untuk memuaskan hasratnya dan hobbynya itu. Jadi memang sering kali kita ini diayun-ayun antara ekstrim yang satu dengan ekstrim yang satunya. Namun menjawab pertanyaan Pak Gunawan, sebetulnya kita semua membutuhkan hobby.PG : Banyak orang yang tidak menyukai hobby berkata bahwa hobby itu identik dengan membuang waktu, itu sebabnya mereka sama sekali tidak mau mempertimbangkan hobby. Kenapa sampai begitu? Misanya ada orang-orang yang memang dibesarkan dalam keluarga di mana melakukan hal-hal yang kita sukai itu dianggap membuang waktu dan nilai hidup yang ditekankan oleh keluarga itu adalah bekerja dan bekerja.
Di luar bekerja, semua itu membuang waktu. Jadi orang-orang ini tidak pernah menemukan hobbynya, tidak pernah tahu juga dia membutuhkan hobby, ini menjadi masalah nantinya dalam kehidupannya.ET : Jadi dari apa yang Pak Paul jelaskan, hobby itu ada manfaatnya, begitu Pak?
PG : Betul.
ET : Kira-kira sejauh apa manfaatnya?
PG : Sekurang-kurangnya ada dua, yang pertama adalah hobby itu berfungsi sebagai penyegar, sebagai pengisi baterai. Hobby itu melakukan sesuatu yang kita sukai dan sesuatu itu yang berbeda dar kerutinan tugas kita hari lepas hari, sehingga waktu kita melakukan hal tersebut, jiwa kita itu sungguh-sungguh disegarkan.
Mungkin kita akan letih, capek, tapi rasanya itu segar sekali, senang sekali, hati itu rasanya ringan sekali. Nah itu akibat dari melakukan hobby, sesuatu yang memang bisa menyegarkan jiwa kita kembali. Dan dalam pengertian ini kita katakan, hobby itu menjadi penyeimbang hidup. Bukankah hidup ini memikul beban, banyak tanggung jawab, memikirkan hal-hal yang serius, problem yang harus kita pecahkan, itu semua sebetulnya adalah hal-hal yang menguras energi mental kita, bukan saja energi fisik. Nah dengan kata lain sebetulnya kita perlu penyeimbang sehingga, jangan sampai cadangan kita habis untuk menyelesaikan masalah, memilihkan jalan keluar dan sebagainya. Apa yang menjadi penyegar atau penyeimbang yaitu hobby. Yang kedua adalah hobby itu juga merupakan kepanjangan dari diri kita, kita itu sebetulnya dianugerahkan Tuhan kemampuan kreatifitas, menciptakan, melakukan sesuatu. Sering kali ada orang-orang yang tidak mempunyai kesempatan untuk menciptakan atau melakukan sesuatu, karena tuntutan tugasnya dan sebagainya. Nah hobby itu sebagai kepanjangan dirinya, sehingga dirinya itu tidak pendek, tapi bisa menjadi lebih panjang karena dia bisa menciptakan, kreatifitas itu terisalurkan. Jadi apa yang dia lakukan membuat dia merasa senang, karena dia bisa menciptakan sesuatu, kreatifitasnya itu dapat disaksikannya. Dan ini memang akan sangat menyegarkan juga dampaknya karena kreatifitas sering kali berfungsi juga sebagai penyegar.PG : Sering kali uang itu akan terpakai untuk hobby-hobby kita, makanya kita juga harus berhati-hati. Kita mesti selalu mengingat bahwa hobby memang penting tapi hobby itu juga mesti dijaga janan sampai akhirnya menguras keuangan kita.
PG : Itu memang gejala latah Pak Gunawan, dan kadang-kadang kita melihat itu di kalangan orang-orang tertentu. Misalnya orang mulai hobby main mobil-mobilan yang mahal-mahal itu, sebetulnya diatidak begitu senang, tapi karena teman-temannya main dan itu adalah club mereka untuk bisa diterima, jadi dia ikut-ikutan main mobil-mobilan, mengeluarkan uang yang mahal, ada lagi main tembak-tembakan seperti perang-perangan, peralatan perangnya itu sangat mahal semua.
Tapi karena teman-temannya ikut main, dia juga ikut main namun sebetulnya dia belum tentu menyukainya. Jadi ini prinsip yang kita harus juga perhatikan. Hobby seharusnya merupakan kepanjangan dari kepribadian kita dan sungguh-sungguh menyegarkan kita. Karena kalau hobby itu tidak menyegarkan jiwa kita, buat apa dilakukan. Nah saya membicarakan di sini, sudah tentu hobby yang memang sehat, tapi intinya adalah lakukan hobby yang memang cocok untuk jiwa kita sehingga efek menyegarkan untuk jiwa kita itu ada.ET : Tapi misalnya yang menyegarkan dan memang sungguh-sungguh disukai itu memang mahal, misalnya mengkoleksi sesuatu yang antik, itu membelinya juga membutuhkan biaya yang besar. Bagaimana menyikapinya supaya tetap ada keseimbangan dalam ekonomi rumah tangga?
PG : Nomor satu kita memang harus mendengarkan masukan dari pasangan kita, istri atau suami kita. Kalau mereka berkata ini terlalu mahal, terlalu sering membelinya dan sebagainya, kita harus dngarkan itu.
Kita harus melihat kondisi keuangan kita, sebab memang kalau kita tidak hati-hati hobby itu bisa menguras kantong kita dengan sangat cepat, tanpa terasa. Namun masalahnya adalah kebanyakan orang mempunyai pendapat, 'namanya juga hobby, hobby tidak bisa dihargai atau ditetapkan harganya. Kalau hobby seolah-olah ya boleh mengeluarkan uang sebesar-besarnya.' Nah ini pendapat yang menurut saya keliru, walaupun kita menyukai sesuatu itu namun kita harus selalu melihat kondisi keuangan kita dan hidup itu tidak hanya diisi oleh hobby, hidup itu diisi oleh banyak hal lain yang namanya kewajiban yang juga harus kita penuhi. Jadi selalu harus ada keseimbangan, meskipun kita mempunyai hobby untuk menyeimbangkan hidup kita, jangan kita terjungkal karena justru mendewa-dewakan hobby, sehingga kewajiban kita yang lain malah kita abaikan.PG : Betul sekali, jadi selain prinsip pertama yang tadi saya sebutkan, kita mesti memang melakukan sesuatu yang juga sesuai dengan jiwa kita, yang benar-benar menyegarkan jiwa kita, nah itu peting sekali.
Yang kedua adalah kita mesti bijak dalam memilih hobby yaitu ada hobby yang tidak harus mahal, ada hobby yang bisa menggembirakan, namun murah. Contoh misalnya, ada orang yang senang mengumpulkan barang-barang yang agak tua, tapi memang tidak harus barang antik. Ada orang yang hobbynya jalan kaki, dia bisa naik gunung. Ada orang yang hobbynya memelihara ikan, semuanya itu bisa kita lakukan dengan biaya yang relatif murah. Misalnya ikan, kita memang senang ikan, tapi kita mesti batasi. Ini yang harus selalu kita tekankan, sesuka-sukanya kita tetap mesti ada pembatasan. Ikan kita suka, tidak berarti kita membeli 100 ikan Louhan, kita bisa mempunyai beberapa saja dan kita senang melihatnya, itupun sudah cukup. Jadi selalu kita ini mesti membatasi hobby kita. Jangan sampai akhirnya hobby itu yang menguasai kita.PG : Betul, itu sebabnya semua hobby harus ada pembatasannya, baik dalam hal pengeluaran uang maupun dalam hal pengeluaran waktu. Jangan sampai akhirnya kita melupakan tanggung jawab kita, kala kita melupakan tanggung jawab kita itu memang menunjukkan kita kurang bertanggung jawab, sehingga akhirnya susah untuk kita meyakinkan anggota keluarga kita bahwa ini adalah sesuatu yang positif untuk kita.
Sebab bagi mereka dampaknya negatif, jadi bangunlah suasana yang positif di rumah kita, sehingga keluarga kita pun juga turut senang melihat kita mempunyai hobby tertentu. Jiwa kita lebih disegarkan namun sebaliknya kita tidak mengambil atau menyita waktu dari mereka.ET : Saya menjadi ingat dengan seorang teman yang suaminya ini hobbynya otomotif. Dari Senin-Jumat bekerja sampai malam, lalu satu-satunya hari untuk dia bisa mengotak-atik mobilnya ini di hariSabtu pagi sampai siang.
Sehingga keluarganya ini kalau hari Sabtu dari pagi sampai siang tidak akan bisa ke mana-mana karena mobilnya sedang diotak-atik oleh si suami ini. Padahal mobilnya tidak ada masalah, hanya ditambah aksesoris ini, sehingga mereka khususnya si istri suka mengeluh karena rasanya suami lebih cinta mobil daripada istri dan anak-anaknya.PG : Nah dalam kasus seperti itu, jalan keluarnya adalah ini, Ibu Ester. Dia memang membutuhkan Sabtu siang ini untuk bisa mengotak-atik mobilnya. Dan tidak apa-apa istri dan anak-anak bisa menerti, sebab dia mengambil waktu pagi sampai siang, beberapa jam per-Minggu itu untuk dirinya.
Namun si suami ini juga secara sukarela, merelakan sekali-sekali salah satu Sabtunya itu untuk keluarganya dan saya duga kalau misalnya secara berkala sekali-sekali, si suami berkata: "Eh......besok kita jalan-jalan yuk," itu akan menjadi kejutan yang menyenangkan buat istri dan anak-anaknya. "O......ternyata papa juga memikirkan kami," meskipun mungkin setelah itu empat Sabtu berturut-turut dia pakai untuk hobby otomotifnya lagi, tapi tetap satu kali sudah bisa membayar 4, 5, minggu di mana dia tidak bisa memberikan Sabtu paginya untuk keluarga itu. Jadi sebetulnya hal-hal ini bisa disesuaikan asalkan yang menjadi penikmat hobby itu bersedia mengalah, memikirkan kepentingan anggota keluarga yang lain.PG : Kalau hal ini memang saya harus katakan, usahanya si penikmat hobby mengajak keluarganya, menikmati hobbynya bersama; itu suatu usaha yang perlu disambut, ada baiknya seperti itu. Berarti ia tidak ingin merugikan keluarganya, dia ingin keluarganya bisa bersama-sama dengan dia menikmati hobby itu, saya kira ini itikad baik.
Kalau yang lainnya melihat ada itikad baik seperti ini, seyogyanyalah mereka memberi penghargaan, "Terima kasih, kamu kok memikirkan kami, kami kok di ajak-ajak juga." Dan seyogianyalah anggota keluarga yang lain menyambut, setidak-tidaknya mencobanya namun kalau tidak pas untuk mereka, juga jangan dipaksakan. Sebab prinsip yang sudah kita pelajari, benar-benar hobby itu seyogianya cocok untuk jiwa kita, sehingga benar-benar dampak menyegarkannya dan menjadi saluran kreatifitasnya itu terjadi, sehingga benar-benar hobby menjadi sesuatu yang positif bagi diri kita.ET : Jadi mungkin kesediaan pasangan suami-istri untuk saling mau mengerti hobby pasangannya itu akan sangat indah juga Pak Paul.
PG : Betul, dan sering kali begini Ibu Ester, orang itu tidak keberatan dengan hobby. Yang menjadikan pasangan atau anggota keluarga lain itu berkeberatan adalah sewaktu hobby itu merugikan ata membahayakan anggota keluarga lainnya.
Misalkan kalau waktu akhirnya tersita terus, sehingga tidak bisa diberikan kepada anggota keluarga yang lain. Atau uang yang jor-joran dihabiskan untuk hobby itu. Tadi saya sudah tekankan, mesti ada pembatasan, mesti ada tenggang rasa, sehingga akhirnya hobby tidak menjadi pengganggu dalam rumah tangga. Sebab pada dasarnya semua anggota keluarga senang melihat wah......kita senang mempunyai hobby ini, namun ya kita tekankan prinsip itu, jangan sampai merugikan atau membahayakan keluarga kita. Ada orang yang jor-joran sama uang akhirnya benar-benar bisa bangkrut. Dia gadaikan semuanya. Prinsip yang satunya lagi yang ingin saya bagikan adalah hobby itu tidak boleh berdosa. Misalkan berjudi, bagi sebagian orang itu hobby tapi jelas itu adalah sebuah dosa. Kita dikuasai oleh judi, sehingga kita tunduk dan menjadi hamba dosa, pikiran kita senantiasa diisi oleh kemenangan-kemenangan atau kekalahan, mesti menang lagi, judi lagi. Nah itu benar-benar roh yang mengikat kita. Nah dalam kasus seperti itu ini bukan lagi sebuah hobby, ini adalah sebuah setan dalam hidupnya, nah ini menjadi sebuah dosa. Jadi jangan sampai hobby itu menjadi kendaraan yang nantinya itu diisi oleh iblis yang akhirnya menguasai kita dan menghancurkan diri kita.ET : Memang tipis sekali pemisahnya, kadang-kadang ada orang yang mengatakan saya hanya sesekali bersama teman-teman menikmati katakanlah taruhan sepak bola, taruhan-taruhan pertandingan olahraa tertentu.
Tapi memang tipis sekali untuk akhirnya jatuh dalam perjudian itu.PG : Betul, dan awal-awalnya memang bisa jadi untuk senang-senang saja, tidak ada maksud apa-apa, tapi judi itu tidak pernah netral. Selalu ada daya tariknya yang memanggil-manggil kita kembalike situ.
Kalau kita menang, kita mau menang lagi; kita kalah, kita mau membayar kekalahan kita, jadi berputar-putar di sana terus. Lain lagi adalah yang saya juga tekankan hobby bukan saja jangan sampai berdosa, tapi jangan sampai membawa kita jauh dari Tuhan, nah ini kadang-kadang yang terjadi. Biasanya kita Minggu rajin ke gereja, sekarang dua jam di gereja kita itu sudah resah mau buru-buru pulang, karena mau mengejar hobby kita. Dulu kita biasa melayani Tuhan, ikut koor dan sebaginya, sekarang buru-buru mau pergi karena mau mengejar hobby kita, jadi jangan sampai hobby kita itu akhirnya menjauhkan kita dari Tuhan. Dan sudah tentu prinsip yang satunya, jangan sampai hobby itu menjauhkan kita dari orang yang kita kasihi. Buat apa kita melakuka hal yang kita sukai tapi akhirnya dijauhkan dari orang-orang yang kita kasihi dan mengasihi kita, jangan sampai hobby menjadi pemisah antara kita dengan orang-orang yang kita kasihi.PG : Tergantung Pak Gunawan, memang ada orang-orang yang memang sejak kecil itu memelihara hobbynya dan terus dipelihara sampai usia dewasa. Ada orang-orang yang memang baru lebih terbuka dengn hobby di usia dewasanya sehingga barulah menemukan hobby tertentu di usia dewasa.
Jadi memang pengenalan dan pengetahuan tentang hobby ini bisa datang pada usia berapa saja, Pak Gunawan.PG : Kita melihat juga apa itu yang dilakukan oleh kelompok kita, apakah hanya misalkan club mobil pergi-pergi dan sebagainya, hanya itukah ataukah dari club yang sama ini, dari teman-teman kit itu mulai terbawa melakukan hal-hal yang kita tahu berdosa, yang Tuhan tidak kehendaki, kalau itu yang terjadi berarti ini bukan tempat kita.
Jadi kita harus selalu menggunakan prinsip yang tadi itu. Apakah ini berdosa, apakah ini menjauhkan saya dari Tuhan, apakah ini menjauhkan saya dari orang-orang yang saya kasihi dalam hidup saya. Jadi jangan sampai perkumpulan atau apa justru mempengaruhi hal-hal tadi yang baru saja saya singgung.PG : Bisa sekali Pak Gunawan, dan ada orang-orang tertentu yang sangat rawan untuk mencandu hobby. Ada orang-orang tertentu yang memang tidak mudah terikat oleh hobby karena hidupnya lebih bermbang, sehingga dirinya itu dibagi untuk banyak hal.
Tapi ada orang-orang tertentu memang tidak bisa membagi dirinya, maka kalau sudah dapat satu seperti nomplok dan diterkam dan tidak bisa lepas-lepas, harus itu saja, nah ada orang yang seperti itu. Dan kalau dia sudah senang, senang habis-habisan untuk hobby itu. Namun kadang-kadang berhenti setelah setengah tahun, nanti vakum lagi. Nanti ketemu hobby baru dia terkam lagi, dan kalau sudah ketemu satu sudah, tidak bisa berpikir, tidak bisa membagi hidup, tidak bisa memikirkan orang lain, nah itu yang bahaya. Jadi memang sebaiknya kita membagi hidup kita ini dengan lebih berimbang, untuk keluarga, untuk Tuhan, untuk pekerjaan kita, untuk hobby kita dan sebagainya dan dalam keseimbangan inilah kecenderungan hobby menelan kita menjadi lebih kecil.ET : Berkaitan dengan yang Pak Paul sampaikan di awal tadi tentang ekstrim satunya tadi, yaitu yang benar-benar tidak mempunyai hobby sama sekali. Tapi mungkin pendengar kita juga seperti itu an mulai menikmati hobby.
Apakah ada saran-saran tertentu untuk memulainya?PG : Bisa juga kita memulainya dengan bertanya, sewaktu kita kecil apakah yang kita sukai. Sering kali hobby itu munculnya pada masa kecil terus kita lupakan karena kerja dan sebagainya. Ataumemulai hobby dengan kita bisa melihat apa yang disukai oleh istri kita atau suami kita atau anak kita.
Apa salahnya kita nimbrung dengan hobby anak atau pasangan kita sehingga kita tidak usah terpisah mengembangkan hobby yang lain. Kita bisa bersama-sama menikmati hobby dengan anggota keluarga kita. Yang lainnya lagi adalah kita bisa melihat ke depan yaitu ke masa yang akan datang dan kita memikirkan kira-kira nanti kalau sudah pensiun, apa yang ingin saya lakukan. Mulailah dari sekarang kita meniti perjalanan ke sana, melakukan sesuatu yang kita bayangkan setelah pensiun akan kita lakukan. Ini beberapa masukan kecil untuk menolong kita memulai hobby.PG : Sangat, dan sebetulnya tadi saya sudah singgung memang seharusnyalah hobby itu konsisten dengan siapa kita, kepribadian kita. Misalkan orang yang senang dengan alam, biasanya orang itu tebuka, bebas dan makanya hobbynya adalah alam terbuka, gunung, laut atau memelihara hewan, pokoknya yang berkaitan dengan alam terbuka, sebab memang jiwanya pun bisa lebih terbuka.
Ada lagi yang senang dengan manusia sehingga hobbynya adalah ngobrol, menelepon, kalau tidak menelepon sehari rasanya resah, mesti ada yang dia telepon, diajak ngomong, memang bermacam-macam.PG : Saya bacakan
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, Ibu Ester juga terima kasih. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menikmati Hobby". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
32. Mengelola Waktu | |
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan dalam mengelola waktu, yaitu: 1. Menentukan prioritas dalam menetapkan waktu. 2. Kita mesti mempunyai tujuan akhir
Berbicara tentang penggunaan waktu, kita tidak bisa tidak harus kembali pada prioritas, sesungguhnya apa yang penting bagi kita. Apakah yang penting bagi kita sesungguhnya memandu pengelolaan waktu kita, untuk apakah waktu itu kita gunakan.
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan dalam mengelola waktu, yaitu:Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya akan ditemani oleh Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengelola Waktu." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Memang ada beberapa kemungkinan Pak Gunawan, yang pertama memang ada orang yang sangat sibuk. Artinya setelah satu selesai, ada satu tugas lain yang menunggu, terus berderet seperti itu shingga dia merasa tidak ada lagi waktu untuk mengerjakan hal-hal yang lain, tapi ada juga orang yang berkata tidak mempunyai waktu, bukan karena banyaknya tugas-tugas yang harus dikerjakan, melainkan dia memang tidak bisa mengatur waktu.
Sehingga ada hal-hal yang seharusnya tidak dikerjakan sekarang eh....dikerjakan sekarang. Ada hal-hal yang seharusnya memakan waktu sedikit, dia ulur-ulur sehingga memakan waktu yang panjang. Jadi saya kira ada orang-orang yang memang tidak bisa mengelola waktu dengan baik sehingga selalu mengeluh kekurangan waktu.PG : Ada kemungkinan juga Pak Gunawan, yang pertama memang dia pengangguran, sehingga waktunya banyak sekali karena tidak ada kegiatannya. Tapi ada juga orang yang bisa mengatur waktu dengan bik, bisa mendelegasikan tugasnya sehingga dia lebih banyak waktu yang dapat dia sumbangsihkan.
Memang tidak banyak orang seperti ini juga yang benar-benar dengan tepat bisa mengatur waktunya, pekerjaannya, sehingga akhirnya dia bisa mendapatkan ekstra-ekstra waktu.ET : Kadang-kadang tuntutan di zaman sekarang ini yang memang tuntutan yang serba cepat, sehingga mungkin sepertinya bisa mempunyai waktu untuk menyelesaikan pekerjaan, tetapi ada aspek yang lan yang terabaikan.
Jadi mempunyai waktu untuk pekerjaan, tapi tidak mempunyai waktu untuk keluarga, tidak mempunyai waktu untuk pelayanan, nah ini bagaimana?PG : Memang semuanya terpulang pada satu hal, Ibu Ester yaitu prioritas. Sebenarnya kalau berbicara prioritas, kita membicarakan apakah yang penting bagi kita, itu sebabnya ada orang-orang yan tidak ada waktu untuk satu hal, punya waktu untuk hal lain, dan ini menjadi bahan pertengkaran di rumah tangga.
Karena pasangan kita bisa berkata, untuk ini tidak ada waktu, untuk yang kamu sukai ada waktu, memang itu yang terjadi Ibu Ester. Jadi sebetulnya kalau kita membicarakan penggunaan waktu, kita tidak bisa tidak harus kembali pada prioritas, sesungguhnya apa yang penting bagi kita. Sebab sistem nilai kita ini, apakah yang penting bagi kita sesungguhnya memandu pengelolaan waktu kita, untuk apakah akhirnya waktu itu kita gunakan.PG : Betul sekali, nah sekarang kita sebagai anak-anak Tuhan kita pertama-tama harus mempunyai perspektif yang tepat dulu tentang waktu, ini yang seharusnya mendasari prioritas kita nanti. Jad apapun prioritas kita, saya kira dasarnya atau kerangka pikirnya harus sama, sebagai anak-anak Tuhan.
Kita sering kali berpikir bahwa yang terpenting adalah produktif, banyak, menghasilkan, tapi sebetulnya kalau kita perhatikan di dalam firman Tuhan, yang menjadi penekanan utama sesungguhnya bukanlah banyak, produktif atau menghasilkan. Sebab kalau kita perhatikan secara ukuran manusia Tuhan itu kurang produktif, dalam pengertian manusia Tuhan itu kadang-kadang seakan-akan membuang-buang waktu. Misalnya, Tuhan membiarkan Musa 40 tahun berada di Mesir, setelah itu 40 tahun lagi di Median sebagai seorang gembala, barulah sisa hidupnya yang 40 tahun terakhir itu Tuhan gunakan untuk mengeluarkan orang Israel dari Mesir masuk ke tanah Kanaan. Dengan kata lain kalau kita berkata, sebetulnya usia prima Musa itu usia 40-80, 80-120 itu usia orang sudah uzur meskipun Musa sehat. Tapi bukankah keefektifannya, puncak-puncaknya, prima-primanya dia justru di usia pertengahan 40-80, tapi justru di usia pertengahan itu Tuhan menyuruh Musa menyepi, berdiam diri, di Median. Dengan kata lain, secara ukuran manusia Tuhan tidak produktif. Jadi waktu kita membicarakan mengenai waktu, kita mesti pertama-tama melihat dari kacamata Tuhan, apakah yang penting bagi Tuhan dan bagaimanakah cara Tuhan bekerja. Ternyata dalam kamus Tuhan, cara Tuhan bekerja itu sering kali berlainan dengan manusia. Bagi manusia yang penting produktif, menghasilkan dan waktu kita melihat bahwa kita menghasilkan dan produktif kita puas, dan berkata tidak sia-sia. Tapi ternyata di mata Tuhan belum tentu yang produktif dan menghasilkan itu yang dianggap tepat sasaran atau itu yang dianggap sesuai dengan kehendak Tuhan. Justru kita melihat berkali-kali dalam contoh-contoh di Alkitab yang penting adalah melakukan kehendak Tuhan. Saat di mana Tuhan kehendaki apa yang Dia minta kita lakukan, itulah yang kita lakukan, di saat itulah kita menjadi efektif. Jadi akhirnya saya simpulkan, dalam hal penggunaan waktu dari kacamata Tuhan yang terpenting adalah efektif. Dan definisinya efektif adalah melakukan yang Tuhan kehendaki pada saat itu juga. Nah bisa jadi di ukuran manusia justru tidak produktif. Contoh-contoh lain yang misalnya bisa kita munculkan, seseorang yang cerdas, yang bisa mempunyai gelar-gelar yang tinggi-tinggi kemudian menjadi hamba Tuhan. Orang berkata, "Aduh...buang waktu, ngapain kerjakan beginian, hidup kamu 'kan bisa lebih produktif di tempat lain, menjadi ini, menjadi itu." Sekali lagi dalam kacamata Tuhan, penggunaan waktu yang Tuhan inginkan adalah melakukan kehendak Tuhan, itu yang namanya efektif. Jadi bukan hanya produktif semata.ET : Mungkin karena terjebak dengan kata menggunakan waktu itu, jadi seolah-olah harus ada hasil. Belum lagi falsafah dunia ini mengatakan waktu adalah uang, jadi memang seolah-olah semua kaitnnya dengan apa yang kita hasilkan.
PG : Dan ini yang harus kita ubah sebagai anak-anak Tuhan, kita tidak bisa berkata, "Waktu adalah uang." Waktu adalah kesempatan yang Tuhan berikan mengerjakan kehendakNya. Kita mendefinisikanya sebagai kesempatan, jadi kita tidak mendefinisikannya sebagai hitungan satuan, menit, detik dan sebagainya.
Bukan demikian, tapi kita membicarakannya sebagai sebuah blok, sebuah kesempatan untuk melakukan kehendak Tuhan. Ini yang seharusnya menjadi prioritas kita, cara pikir kita memandang soal penggunaan waktu.PG : Tepat sekali Pak Gunawan, karena ini adalah kesempatan yang Ia berikan kepada kita, kita harus gunakan sesuai kehendak-Nya, agar rencana-Nya tergenapi.
PG : Point yang bagus sekali Pak Gunawan, ini sering kali menjadi keluhan bagi sebagian ibu-ibu muda yang terpaksa harus diam di rumah karena ada anak dan sebagainya. Mereka berkata, "Saya memuang-buang waktu, karier saya bunuh, gara-gara sekarang ada anak dan keluarga," tapi (itu cara pandang dunia, marilah kita melihatnya dari cara pandang Tuhan).
Waktu bukan satuan menit lagi, dan kita harus menggunakan satuan menit itu dengan semaksimal mungkin, jangan sampai ada satupun terbuang tanpa terhitung. Waktu adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk melakukan kehendakNya. Kalau kehendak-Nya sekarang adalah kita menjaga anak-anak, biarkan. Sama seperti misalkan gara-gara kita sakit, kita sekarang harus berdiam diri di rumah, "Aduh buang waktu ini, kita tidak bisa berbuat apa-apa." O......tidak, dalam rencana Tuhan, tidak ada yang namanya buang waktu, itu adalah kesempatan yang Tuhan berikan untuk melakukan kehendak-Nya. Dan mungkin saja kehendak-Nya adalah berdiam di rumah saat ini, beristirahatlah, sebab ada hal lain yang lebih penting yang engkau harus kerjakan untuk-Ku. Seperti Paulus di penjara, bertahun-tahun di penjara, tapi bagi Paulus itu bukan pembuangan waktu, sebab di penjaralah dia menjadi berkat buat orang lain, dia menjadi berkat buat kepala penjara, dia bisa memenangkan penjaganya. Jadi sekali lagi kesempatan yang Tuhan berikan kepadanya, dan tidak ada lagi istilah membuang waktu, kalau kita melihatnya dari kacamata itu.ET : Ya karena memang di kalangan orang-orang Kristen sendiri juga tidak ada konsep layanilah Tuhan, sehingga akhirnya memang menggunakan setiap kesempatan untuk melayani Tuhan terlibat dalam playanan, namun kembali lagi soal prioritas, keluarga yang terabaikan.
PG : Betul sekali, jadi akhirnya yang disoroti adalah aktifitasnya, sehingga kalau kita tidak mempunyai aktifitas sama sekali, rasanya kita tidak hidup dalam kehendak Tuhan. Sama sekali tidak epat.
Seperti tadi saya singgung tentang Musa, secara ukuran manusia prima-primanya Musa pada umur 40-80, Tuhan tidak memakai Musa umur segitu. Tuhan memakai Musa umur 80-120, sudah uzur tapi buat Tuhan itulah kesempatan. Usia 40-80 kesempatan Musa untuk diam dan untuk belajar bersabar, beriman, mengendalikan diri dalam Tuhan. Itu ternyata hal yang lebih penting daripada buru-buru ke Mesir membebaskan Israel dari penindasan Mesir saat itu. Ada yang lebih penting lagi, dan kita tahu memang tugas memimpin umat Israel selama 40 tahun di padang gurun memang tugas yang berat, tanpa persiapan yang Tuhan berikan kepada Musa, tidak mungkin Musa dapat melaksanakan tugasnya itu. Tanpa Musa di tanah Median 40 tahun, tidak mungkin Musa mengerti maksud Tuhan dalam hidupnya. Jadi sering kali itu yang terjadi, kita menerima sesuatu dari Tuhan, kita tidak melihatnya sebagai suatu kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk menggenapi pekerjaan atau rencana-Nya. Kita melihatnya, "Aduh.....saya ini membuang-buang waktu." Tidak demikian, jadi sekali lagi kita harus menggunakan kacamata Tuhan sewaktu kita memandang masalah waktu.PG : Betul, Paulus memang dengan tegas mengatakan kita jangan "idle", artinya buang-buang waktu yang tidak ada juntrungannya, Tuhan tidak senang. Tuhan juga berkata kalau tidak bekerja, tidak akan artinya bertanggung jawablah atas hidup ini.
Jangan akhirnya kita menjadi tidak bertanggung jawab dan malah mencoreng nama Tuhan. Jadi memang mesti ada keseimbangan dalam hal ini, Pak Gunawan.PG : Biasanya memang berapa banyak yang harus kita kerjakan, itu akan mempengaruhi perasaan kita dalam mengukur cepat lambatnya waktu. Makin banyak hal yang harus kita kerjakan, secara psikolois kita tiba-tiba merasa diburu.
Waktu kita merasa diburu, berarti secara mental kita seolah-olah sedang berlari dan seolah-olah kita sedang berlari melewati saluran waktu dengan sangat cepat sekali. Makanya kita berkata waktu kok cepat sekali habis, karena memang banyak hal yang harus kita kerjakan dan se mua itu seolah-olah memburu kita. Dan karena kita diburu, kita berlari berarti kita menjalani saluran waktu atau terowongan waktu ini dengan sangat cepat sekali. Tapi ada orang yang berkata waktu ini sangat lambat, bisa jadi karena memang tidak banyak yang dikerjakannya atau dia memang mempunyai konsep yang sangat jelas bahwa satu dulu selesai, nanti yang lain bisa tunggu. Tidak apa-apa, saya tidak harus buru-buru menyelesaikan yang lain, nah ada orang yang seperti itu juga. Orang yang seperti ini cenderung akan berkata, "saya ada waktu". Sebab dia akan fokuskan yang satu dulu sampai selesai, baru dia kerjakan yang lain. Dan kapan selesainya? Ya kapannya selesai ya baru selesai tidak harus memberikan tenggang waktu.PG : Ada Pak Gunawan, tadi saya sudah singgung tentang konsep waktu dari kacamata Allah. Yang berikutnya lagi adalah tentang kita mesti mempunyai tujuan akhir, Pak Gunawan. Sebab penggunaan wktu sekarang ini seharusnya diikat dan dipandu oleh tujuan akhirnya.
Saya mau mengutip perkataan dari seorang psikiater Kristen yang bernama Scott Pack, dia berkata: "terpenting bukanlah menghasilkan banyak dalam satu hari atau dalam satu jam, yang terpenting adalah bagaimana menghasilkan sesuatu yang bermakna dalam satu kurun hidup kita". Jadi menarik sekali konsepnya, dia tidak melihat atau meneropong waktu dari sudut jam atau hari, berapa banyak yang bisa dihasilkan dalam satu kurun yaitu hari atau jam. Dia mengatakan dalam satu masa kehidupan, apa yang bisa kita perbuat yang bermakna dan berguna. Dengan kata lain, kalau dalam satu kurun kehidupan kita menghasilkan satu saja hal yang bermakna, itupun sudah berharga dan tidak sia-sia. Saya kira ini menolong kita untuk melihat sebenarnya apa tujuan hidup kita, nah ini akan menentukan waktu yang akan kita gunakan. Sebab semua ini waktu seolah-olah seperti kendaraan yang sedang kita naiki untuk sampai ke tujuan itu. Kalau kita kembali kepada firman Tuhan, tujuan hidup memang pada akhirnya untuk mengenal Tuhan, melakukan kehendak-Nya dan memuliakan-Nya. Jadi pertama kita harus mengenal Tuhan dulu, itu tujuan hidup kita. Dan yang kedua, setelah kita mengenalnya kita benar-benar mencoba untuk melakukan kehendak-Nya, apa itu yang dititipkan untuk kita kerjakan. Dan yang terakhir, muliakanlah Dia melalui apa pun yang kita kerjakan itu. Kalau kita sadari itulah tujuan hidup kita, maka waktu yang akan kita gunakan bisa kita sesuaikan. Kita sesuaikan untuk apa ini, apakah sesuai dengan tujuan akhir; untuk apa ini, apakah memang menolong kita mencapai tujuan akhir itu. Yang tidak, kita mulai pangkas, yang seharusnya ada tapi belum, itu kita pikirkan untuk nanti kita masukkan ke dalam jadwal kehidupan kita.ET : Pada kenyataannya ketika kita sudah menjalaninya, melewati lorong waktu ini, mudah sekali buat kita terjebak dengan tuntutan-tuntutan yang lain, yang sepertinya juga baik, yang memang haru kita lakukan.
Nah untuk menjaga agar tidak mudah terombang-ambing menengok ke kiri-kanan ini bagaimana, Pak Paul?PG : Ada prinsip yang sering kali diajarkan oleh para pakar mengenai pembagian waktu, penggunaan waktu yaitu harus selalu kita bedakan antara yang mendesak dan yang penting. Yang mendesak belu tentu penting, yang penting belum tentu mendesak, namun selalu yang harus kita utamakan yang penting.
Tapi definisi penting ini juga relatif, sebab tadi prinsip sebelumnya yang baru saja saya ungkapkan harus selalu kita ketahui, tujuannya apa, ke mana. Kita sebetulnya menjalani hidup, sebetulnya menjalani waktu tapi waktu itu seperti kendaraan, yang penting bukannya kendaraannya, yang penting adalah tujuannya. Nah kalau kita sudah jelas dengan tujuannya, kita akan tahu apa yang penting, dan kita harus memang sering kali mengecewakan orang, melukai hati orang, karena tidak bisa memenuhi permintaan mereka. Tapi kita harus kembali lagi memang kepada apa yang penting, sehingga kita tidak terjebak dan dihisap oleh apa yang mendesak. Sebab lingkungan kita itu karena masing-masing mempunyai kepentingan atas diri kita, kemungkinan akan menyedot, supaya apa yang penting buat mereka, apa yang baik buat mereka dapat kita berikan kepada mereka. Tidak selalu harus kita turuti, kita harus melihat juga apa yang penting dan itu yang nantinya kita utamakan.PG : Betul sekali Pak Gunawan, karena kita juga tidak enak mengecewakan orang. Dan adakalanya apa yang penting buat kita, adakalanya memang bisa kita korbankan, kita jangan sampai kaku. Kita embali pada prinsip yang pertama tadi, waktu adalah kesempatan yang Tuhan berikan agar kita melakukan kehendak-Nya.
Adakalanya kesempatan itu berlawanan dengan yang kita anggap penting, sehingga pada waktu kita melakukannya kita berkata: "Ah....ini tidak penting buat kita, buat tujuannya dan sebagainya." Namun siapa tahu ini adalah kesempatan yang memang dari Tuhan. Contoh, waktu Abraham dikunjungi oleh Malaikat. Malaikat mengunjunginya dalam penampakan seorang manusia, awalnya Abraham tidak tahu bahwa dia adalah Malaikat tapi karena dia baik hati, ramah, Abraham mengundang, "Ayo datang.........makan dulu, istirahat, ngobrol-ngobrol." Abraham memang seorang yang sangat baik, tidak kenal sama mereka tapi tetap diundang masuk diajak makan. Nah setelah itu semua terjadi, ngobrol, makan, dan sebagainya barulah Malaikat itu mengatakan siapa dirinya bahwa mereka adalah utusan Tuhan. Dan membawa kabar yang sangat dinantikan oleh Abraham, bahwa dia akan mempunyai keturunan yaitu anak perjanjian yakni Ishak yang nanti akan menjadi saluran atau garis keselamatan untuk manusia. Jadi intinya adalah itu terjadi setelah Abraham "buang-buang waktu" melakukan hal-hal yang tidak terlalu penting, mengundang orang makan dan sebagainya. Tapi itulah kesempatan yang Tuhan berikan, menjadi hal yang sangat luar biasa penting. Sekali-sekali kita harus berani mengorbankan diri, jangan diikat oleh ini tidak penting, saya hanya mau melakukan hal yang penting buat tujuan akhir saya. Makanya prinsip pertama dan kedua harus selalu kita seimbangkan. Di satu pihak, lihatlah ini adalah hal penting atau tidak penting, sesuai dengan tujuan kita atau tidak, akhirnya apa. Di pihak yang lain jangan lupa kesempatan, waktu itu bukannya menit tapi kesempatan, siapa tahu ini adalah kesempatan yang memang Tuhan anugerahkan kepada kita.ET : Jadi kadang-kadang perlu mengijinkan interupsi-interupsi terjadi dalam diri kita, Pak?
PG : Sebab bisa jadi interupsi adalah kesempatan yang Tuhan sedang berikan pada kita agar melakukan kehendak-Nya.
ET : Tetap berkaitan dengan pedoman tadi bagaimana menerapkan hal itu dalam penggunaan waktu luang kita Pak Paul?
PG : Nah menurut saya waktu luang bisa kita gunakan secara santai untuk kepentingan diri yaitu untuk merawat diri, untuk menyenangkan hati, selama dalam koridor kekudusan Tuhan, kebenaran Tuhan tidak dalam koridor dosa.
Jadi waktu luang gunakanlah untuk merawat diri. Kita ini perlu perawatan, bukan saja kita perlu merawat orang di sekitar kita, kita pun perlu perawatan, syukur-syukur kalau orang lain merawat kita, juga mengingat kita dan sebagainya. Namun jangan 100% bergantung pada uluran tangan orang untuk merawat kita. Kita harus bergantung pada diri kita sendiri juga untuk merawat diri. Apa misalnya yang senang kita lakukan pada hari senggang, waktu ada, misalnya membaca; membaca itu sangat produktif, sangat baik sekali untuk jiwa kita, lakukanlah hal seperti itu untuk benar-benar merawat diri kita sendiri.PG : Saya kira pada masa anak-anak, kita itu hanya tegaskan kepada anak-anak, lakukanlah kewajiban, jadi kita melatih mereka bertanggung jawab atas kewajiban atau tugas yang mereka emban. Hany itu saja, karena ini adalah cikal bakalnya.
Kalau kita sudah bisa bertanggung jawab dengan tugas yang telah diberikan kepada kita, kita mempunyai disiplin, disiplin untuk menggerakkan diri kita mencapai target-target yang memang kita harus capai. Jadi untuk anak-anak saya kira nomor satu itu. Kedua, kita juga mau melatih anak-anak untuk bisa merawat diri, melakukan hal-hal yang menyegarkan dirinya, menggunakan waktunya untuk bisa kembali memberi makan kepada jiwanya. Nah jangan sampai anak kita menjalani hidup yang tidak berimbang, bisanya hanya belajar saja. Tidak ada yang namanya sosialisasi, ngobrol dengan teman, pergi dengan teman, tidak ada yang namanya baca, main sendiri; kalau itu kehidupan anak-anak kita, kita seharusnya khawatir karena kita melihat ini tidak lagi seimbang. Maka kita mau mengajak anak kita untuk menggunakan waktu juga secara seimbang. Jadi point pertama adalah bertanggung jawab, tugas-kerjakan sebaik-baiknya. Kedua, memang gunakan waktu seimbang, sehingga diri kita bertumbuhnya juga seimbang. Nah kalau dua hal ini bisa kita tanamkan pada anak-anak, ini sudah sangat penting sekali. Sudah remaja, kita baru masukkan konsep yang berikutnya, tentang kesempatan yang Tuhan berikan. Bahwa waktu adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk menggenapi rencana-Nya dalam hidup kita, sehingga mereka mulai memikirkan apa itu yang Tuhan kehendaki dalam hidup mereka. Dan kalau mereka sudah mulai remaja lebih besar lagi, kita mulai membahas tentang apa tujuan akhir hidup mereka. Dan susunlah hidup ini sesuai dengan tujuan akhir itu, sehingga nanti mencapai tujuan akhir tersebut.PG : Ini point yang bagus sekali Pak Gunawan, sehingga kita tidak hidup egois, pokoknya yang penting orang mengerjakannya untuk kita, orang harus selalu mengerti kita; kita pun perlu menghargaiwaktu orang.
PG : Saya akan bacakan dari
GS : Terima kasih Pak Paul juga Ibu Ester terima kasih, para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengelola Waktu". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
33. Pribadi yang Cemas | |
Ada orang yang sukar mengambil keputusan. Mereka terus menimbang-nimbang dan tidak dapat menentukan pilihannya. Disini akan dijelaskan mengenai ciri dan penyebab dari pribadi yang cemas.
Ada orang yang sukar mengambil keputusan. Mereka terus menimbang-nimbang dan tidak dapat menentukan pilihannya. Biasanya mereka mencemaskan segala sesuatu dan akhirnya sukar bertumbuh dalam iman. Berikut kita akan melihat ciri-ciri kepribadian cemas dan penyebabnya.
Ciri Kepribadian Cemas
Penyebab
Firman Tuhan Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia. Amsal 12:25
Khusus bagi orang yang mudah cemas, pengambilan keputusan dapat menjadi saat yang menegangkan. Ia takut salah dan tidak berani menanggung akibatnya; acap kali ia berlindung di balik orang lain agar tidak usah mengambil keputusan. Namun ia tidak dapat menghindar terus menerus; ia pun harus belajar membuat keputusan sendiri. Di bawah ini diberikan beberapa masukan untuk menolong orang yang mudah cemas mengambil keputusan.
Firman Tuhan Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu. (Mazmur 103:13-14)
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Pribadi yang Cemas". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Betul Pak Gunawan, jadi memang kita secara umum pasti bisa cemas, pasti ada moment-moment di mana kita mencemaskan sesuatu; ada saat-saat di mana kecemasan kita meninggi. Tapi khusus untu sebagian orang kecemasan menjadi problem mereka, karena dalam hal apa pun mereka mudah cemas; sedikit saja ada ketegangan mereka sudah bisa langsung bereaksi.
Jadi memang ada sebagian orang yang mudah sekali dilanda kecemasan.PG : Bisa Pak Gunawan, sekurang-kurangnya ada 3 ciri yang umum. Yang pertama adalah orang yang memiliki kecemasan yang tinggi sukar sekali untuk mengambil keputusan, karena biasanya mereka menkuatirkan banyak hal.
Biasanya fokus perhatian pada kegagalan, sehingga semua tindakan mereka ditujukan untuk menghindar dari kemungkinan kegagalan itu. Belum mengambil keputusan, sudah memikirkan, "wah nanti saya akan gagal, kuatir nanti risikonya buruk." Sehingga pikiran diisi terus-menerus oleh antisipasi akan hal-hal yang buruk itu; pada akhirnya mereka sukar sekali mengambil keputusan.ET : Bahkan akhirnya tidak ada keputusan ya Pak?
PG : Betul sekali, jadi kadang-kadang kita yang dekat dengan dia agak frustrasi karena kita menunggu-nunggu dia mengambil keputusan. Kalau kita desak dia, dia juga tidak suka tapi kalau tidak idesak dia tidak segera mengambil keputusan, jadi agak sedikit repot.
ET : Tapi kadang-kadang ada yang beralasan, "Wah kita harus memperhitungkan yang terburuk," jadi buat mereka itu sudah menjadi kewajiban untuk mempertimbangkan kegagalan dan juga risiko-risikona.
PG : Masalahnya dengan mereka adalah mereka tidak bisa melihat yang positif dengan mata yang sama. Jadi meskipun mereka bisa mengakui, ya memang benar kalau jalan begini-begini, namun....(namunya itu kembali kepada yang negatif).
Jadi dengan kata lain waktu mereka melihat ke depan mata mereka melihat yang buruk itu dengan sangat jelas. Sedangkan melihat yang positif, meskipun mata bisa melihat dan mengakui tapi seolah-olah tidak memberikan dampak atau rasa tenang dalam diri mereka.PG : Betul sekali, memang orang ini mudah sekali tegang. Jadi kalau orang mulai memberikan komentar, masukan; dua orang atau tiga orang dia akan langsung kacau, bukannya mereka itu justru tenag dengan masukan-masukan itu tapi justru tambah bingung.
Kenapa? Sebab memang mudah sekali tegang, terlalu mudah tegang sehingga waktu mau mengambil keputusan, pikiran yang diperlukan untuk berkonsentrasi-tidak bisa berkonsentrasi justru semakin dia berusaha berkonsentrasi pikirannya makin buyar. Makin kita beritahukan caranya begini, dia tambah kacau dan tidak bisa berkonsentrasi. Jadi tetap berkubang di dalam pikiran yang kacau karena tingkat ketegangan yang memang sangat tinggi.ET : Tampaknya hal ini sudah bisa kelihatan dari usia yang lebih muda atau lebih dini Pak Paul. Kadang-kadang ada anak yang sudah membawa kecemasan seperti ini.
PG : Betul Bu Ester, memang ini tidak bisa kita katakan bahwa ini hanyalah masalah orang dewasa, sebab ada sebagian anak-anak yang juga mengalami masalah yang sama. Misalkan salah satu ciri lan orang-orang yang mudah cemas ini adalah mereka sukar sekali untuk memikul tanggung jawab.
Jadi kalau kita memintanya untuk melakukan sesuatu dan bertanggung jawab atas hal itu, langsung dia itu bingung dan takut. Ini bisa kita lihat jelas pada anak-anak, misalnya kita memintanya untuk bertanggung jawab melakukan sesuatu tapi tidak bisa dan tidak mau. Ada anak-anak yang bahkan kalau diberitahukan oleh gurunya bahwa besok kamu bertanggung jawab melakukan apa, datang membawa apa-besok tidak datang ke sekolah dan malah ketakutan atau malah menghindar dari gurunya. Sehingga kadang-kadang orangtua yang datang memberitahukan, "Pak atau Bu maaf, anak saya diberitahukan dia harus membawa ini dan bertanggung jawab atas hal ini, dia malah semalaman tidak tidur, dia nangis, dia ketakutan makanya hari ini tidak masuk ke sekolah karena takut nanti ditanya mana tanggung jawabnya itu." Jadi betul Ibu Ester, ada sebagian anak-anak sudah memunculkan gejala yang memang mudah dilanda oleh kecemasan ini.PG : Betul, jadi memang ada beberapa penyebab kenapa ada gangguan seperti ini, memang salah satunya adalah itu Pak Gunawan. Sebagian anak-anak atau sebagian orang-orang ini tatkala masih kecildituntut untuk tidak boleh gagal.
Mereka harus selalu mampu mengerjakan sesuai dengan permintaan atau standar orangtua, sehingga kalau gagal akan mendapatkan risiko yang buruk. Mungkin tidak akan mendapatkan pemukulan atau kemarahan, tapi akan terasa dirinya kurang berharga sebab itulah yang dituntut oleh orangtuanya. Kalau kita sebagai orangtua memperlakukan anak dengan standar yang sekaku dan setinggi ini, besar kemungkinan kalau anak kita tidak mempunyai bekal atau potensi yang sesuai atau yang cukup dia akan mudah sekali dilanda kecemasan. Begitu kita meminta dia melakukan sesuatu, tanggung jawab diberikan, langsung goyang sekali. Karena dia sudah membayangkan dia mungkin gagal dan risikonya gagal itu berat yaitu kemarahan orangtua atau mungkin omelannya, tidak dianggap, tidak dinilai berharga. Jadi benar-benar takut sekali, pada akhirnya bukannya malah bisa mengerjakan tugas atau tanggung jawabnya tapi tambah tidak bisa.ET : Yang pernah saya lihat ada beberapa kasus, kegagalan itu sebenarnya bukan kegagalan yang fatal tapi hanya tidak bisa mencapai standar yang diinginkan orangtua, tapi sudah dilihat sebagai kgagalan karena standar yang tinggi.
Kalau misalnya diukur secara normal misalnya pelajaran di sekolah juga bukannya gagal yang nilainya sampai merah sampai tidak naik kelas seperti itu.PG : Betul, jadi awalnya anak-anak ini takut dengan risikonya kalau gagal. Misalkan dimarahi, dikata-katai, dianggap bodoh dan sebagainya, jadi awalnya anak-anak itu takut dan mencoba menghindr dari risiko kegagalan itu.
Namun lama-kelamaan si anak tidak lagi sebetulnya memfokuskan pada risikonya saja tapi juga kepada kegagalan itu. Persepsinya atau pandangannya terhadap kegagalan mulai berubah atau terdistorsi, tidak lagi proporsional. Jadi seperti yang tadi Ibu Ester katakan, seharusnya kegagalan ini kecil bukan besar, tidak fatal, mereka tidak sampai mendapat nilai buruk hanya turun satu nilai misalkan dari 9 ke 8, tapi buat mereka karena persepsi atau pandangan mereka sudah terdistorsi, melihat penurunan satu angka dari 9 ke 8, seolah-olah penurunan yang drastik dari 9 ke 4. Jadi akhirnya pandangan mereka pun terhadap kegagalan berubah-sangat membesarkan kegagalan, jadi awalnya adalah dari takut risiko kegagalan konsekuensinya dimarahi dan sebagainya tapi lama-kelamaan menyebar atau menular sampai mempengaruhi cara pandangnya terhadap kegagalan itu sendiri. Maka orang-orang ini begitu melihat ada potensi atau ada kemungkinan kegagalan, sekecil apa pun di mata mereka menjadi besar, karena memang sudah terjadi distorsi itu. Benar-benar kalau melihat kegagalan dia seolah-olah memakai atau menggunakan kaca pembesar. Jadi melihat dengan kaca pembesar maka semuanya menjadi besar, sebaliknya kalau melihat keberhasilan kemungkinan akan berjalan dengan baik, seolah-olah dia memakai kacamata yang mengecilkan, dari jarak jauh dan dirinya tidak kelihatan.PG : Bisa jadi Pak Gunawan, jadi anak-anak yang dituntut untuk sempurna, supaya jangan gagal dan sebagainya; bisa jadi secara langsung orangtua sebetulnya tidak menerapkan standar itu tapi si aak mempunyai keinginan yang sangat kuat menyenangkan orangtuanya.
Kadang-kadang kita sebagai orangtua tidak menyadari bahwa tanpa kita berkata-kata, tanpa kita menyampaikannya secara langsung, kita sudah mengkomunikasikan sebuah standar atau sebuah permintaan, ini yang ditangkap oleh si anak. Bisa jadi anak keliru menangkapnya, kita tidak menghiraukan standar yang tinggi itu, kita justru ingin mereka hidup dengan lebih apa adanya, dengan lebih bisa menikmatinya tapi adakalanya justru anak-anak menangkapnya berbeda sehingga keinginan menyenangkan hati orangtua besar sekali. Ini bisa terjadi dalam kasus-kasus yang lebih spesifik. Misalkan orangtua itu menderita, jadi si anak mempunyai dorongan yang lebih kuat, bergebu-gebu sekali untuk menyenangkan hati orangtuanya meskipun orangtua tidak pernah memintanya untuk melakukan hal seperti itu.PG : Sering kali ya, karena takut gagal itu Pak Gunawan. Tapi kalau dia tahu dia pasti bisa, dan dia tahu level kompetitornya itu jauh di bawah dia, dia berani. Tapi kalau dia melihat kompetiornya itu mungkin setara atau sedikit di bawah dia, wah ketegangannya itu akan langsung meninggi.
Karena dia sudah membayangkan dia pasti akan kalah. Jadi yang dia lihat bukan prosesnya bahwa dia harus melawan atau dia harus bersaing tetapi yang dia fokuskan adalah pada hasil akhir, yaitu pasti kalah dan kalau kalah saya pasti malu; kalau saya merasa malu saya tidak bisa lagi ketemu dengan orang, saya harus menyembunyikan diri. Dunia hancur runtuh semuanya, itu pemikiran-pemikiran pribadi yang mudah cemas.PG : Bisa jadi Pak Gunawan, jadi ada orang-orang yang memang pada masa kecil mengalami trauma-trauma tertentu; misalkan ketakutan itu muncul karena orangtua sering bertengkar, karena sering berengkar si anak akhirnya menyimpan trauma.
Jangan sampai hari ini orangtua bertengkar, jangan sampai malam ini orangtua bertengkar, tapi seringnya bertengkar. Jadi akhirnya setiap hari begitu si anak di rumah dan melihat ada papa dan mamanya-mungkin orangtuanya belum bertengkar tapi dia sudah langsung dilanda kecemasan. Karena apa? Kemarin-kemarin itu yang terjadi yaitu orangtua bertengkar lagi dan bertengkar lagi jadi sekarang meskipun orangtua belum bertengkar, si anak sudah langsung mengantisipasi bahwa tidak lama lagi orangtua pasti bertengkar. Jadi kita bisa bayangkan akhirnya si anak hari lepas hari hidup dalam penantian akan pertengkaran orangtua. Dan perasaan apakah yang muncul kalau kita dalam penantian pertengkaran orangtua? Sudah tentu perasaan cemas. Inilah yang akan menjadi muatan atau isi jiwa si anak, dan bayangkan kalau dia tinggal bersama dengan orangtua itu berbelasan tahun, hari lepas hari jiwanya diisi oleh ketakutan atau kecemasan ini. Tidak heran setelah dewasa dia akan mudah sekali cemas, bukan hanya dia mendengar orang mau bertengkar dia cemas tapi apa pun yang mengganggu ketenangan atau kestabilan atau equilibriumnya atau apa pun yang membuat dia sedikit lebih tegang itu benar-benar sudah menjungkirbalikkan dia.ET : Karena memang begitu banyak hal yang susah dia ramalkan, apakah hari ini akan berjalan baik atau tidak, benar-benar tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
PG : Ada juga yang dari lahiriah, artinya kita harus mengakui ada orang-orang tertentu yang dilahirkan dengan perasaan yang sangat sensitif, peka sekali. Kalau kita adalah orangtua dan mempunyi anak yang memang peka, kita akan tahu.
Sebab kalau kita naikkan nada suara kita sedikit saja, anak itu akan menangis, akan ketakutan. Pada hal kakaknya, mungkin kita harus berteriak-teriak, itu pun tidak takut tapi si adik baru kita naikkan suara kita dia langsung menangis ketakutan. Jadi apa yang bisa kita simpulkan, memang orang tidak sama. Ada anak yang lahir dengan perasaan yang lebih kuat, tidak mudah cemas; ada anak-anak yang perasaannya halus, sensitif sekali sehingga anak-anak yang perasaannya halus ini memang akan mudah merasakan segala jenis perasaan termasuk di dalamnya kecemasan. Jadi kalau orang lain merasakan kecemasan misalnya 5 kilo, dia akan merasakan kecemasannya 15 kilo, karena perasaannya itulah yang memang sudah sensitif.ET : Jadi saya bayangkan kalau anak-anak memang pada dasarnya sudah sensitif, kemudian ditambah lagi mengalami pengalaman-pengalaman buruk di masa kecilnya, kecemasannya itu berlapis ya Pak?
PG : Dan memang itu satu paket, maksudnya kalau anak itu perasaannya tidak terlalu sensitif, waktu dihadapkan dengan orangtua yang terus bertengkar mungkin ada rasa takut tapi biasanya anak-ana ini mengembangkan perasaan yang sebaliknya.
Bukannya akhirnya tertindih oleh ketakutan namun dia akan dikuasai oleh kemarahan. Itu sebabnya dalam rumah yang sama kalau orangtua bermasalah sering bertengkar, akan ada reaksi-reaksi yang berbeda dari anak-anak. Ada anak yang malahan menjadi beringasan, sering berkelahi, sering marah, kalau marah banting barang, penuh dengan kekerasan; tapi ada lagi dalam rumah yang sama ada anak yang justru menjadi depresi sekali, mudah sekali cemas, sering kali dihantui oleh ketakutan. Apa yang terjadi, bukankah kedua-duanya diperhadapkan dengan pertengkaran orangtua yang sama. Yang membedakan sebetulnya adalah modal perasaan itu. Anak-anak yang perasaannya halus sewaktu diperhadapkan dengan rumah tangga yang penuh dengan konflik benar-benar makin tertusuk-tusuk, perasaannya makin terobek-robek. Sehingga alat pertahanannya untuk menjaga diri jangan sampai cemas runtuh. Kalau yang perasaannya tidak sensitif, dia lebih bisa melindungi dirinya; dia lebih bisa cuek tidak terganggu oleh ketegangan itu. Malah karena dia sering merasa orangtuanya bertengkar terus, reaksinya yang muncul adalah kemarahan.ET : Tapi mungkin di dalam keluarganya tidak ada pertengkaran tapi sering berpindah-pindah atau misalnya pengasuhnya sering berganti-ganti, ini berpengaruh juga atau tidak pada kecemasan anak?
PG : Bisa Ibu Ester, jadi perpisahan dengan orang-orang yang kita kasihi, perpisahan dengan tempat yang kita sudah merasa nyaman dan kenal; kalau terjadi terlalu sering, di masa pertumbuhan si nak memang bisa akhirnya menimbulkan kecemasan.
Kenapa? Sebab perpisahan ini seperti dua hal atau dua benda yang telah bersatu kemudian dipisahkan. Jadi adanya perobekan, sudah tentu ini bukan perobekan secara fisik tapi perobekan secara emosional. Jadi ada dalam dirinya yang tercabik keluar atau yang diputuskan, ini menimbulkan luka, kesedihan. Sehingga kalau ini terjadi terlalu sering, maka akan terjadi perobekan yang makin hari makin banyak. Sebab belum sembuh terjadi lagi perpisahan, perobekan lagi. Lama-kelamaan si anak bisa juga mengembangkan sikap takut kalau-kalau ini terjadi lagi, jadi akhirnya dia penuh dengan kecemasan karena sudah membayangkan nanti akan terjadi perpisahan lagi dengan orang yang dikasihinya. Tapi ada juga yang lain tentang perpisahan, misalkan orangtua meninggal dunia atau bercerai dan sebagainya; kalau ini terjadi pada anak sewaktu masih kecil biasanya ini memang akan menimbulkan dampak kecemasan pada si anak. Sebab kenapa? Sebab figur orangtua itu figur pengasuh, figur yang memberikan rasa aman; nah waktu orang itu tidak ada lagi rasa amannya ikut terbawa pergi. Jadi dia kehilangan rasa aman tersebut; yang akan muncul dalam hatinya ketika rasa aman turut pergi dengan orang yang dikasihinya adalah dia merasa takut, dia merasa cemas. Ini yang sering kali terjadi, jadi kalau ini terjadi pada anak pada usia kecil memang cenderung dampaknya bisa bertahan untuk jangka waktu yang lama.ET : Sekali pun pada dasarnya anak itu bukan anak yang sensitif Pak Paul?
PG : Meskipun anak itu bukan anak yang sensitif, sebab memang seyogianya anak kecil itu mendapatkan asuhan dari figur pengasuh yang akan bersamanya. Ini benar-benar sebuah pelindung, pemberi rsa aman dan sebaiknya permanen.
Sewaktu orangtua ada; rasa aman itu sudah terbentuk, nah sewaktu orangtua pergi atau meninggal dunia; dia pergi membawa rasa aman tersebut. Nah si anak kehilangan rasa aman. Dan dampaknya yang lain adalah orang ini adalah orang yang mengasihi dia misalkan mamanya atau papanya mengasihi dia sekali; terus sekarang orang yang mengasihi pergi nah waktu kita kehilangan orang yang mengasihi kita, itu akan menggoncangkan sistem kehidupan kita. Tiba-tiba kita merasa takut kehilangan orang yang kita kasihi, hidup kita tidak lagi komplit atau tidak lagi utuh seperti ada yang terhilang, ini menimbulkan gejolak dan akhirnya kecemasanlah yang menjadi perasaannya.PG : Pertama, memang dia harus mengakui bahwa dia memiliki masalah ini, kedua dia mesti melihat ke belakang mengetahui kenapa dia bisa menjadi cemas seperti ini. Yang ketiga, dia mesti melawandan berkata sekarang pilihan saya dua, saya terus tunduk pada masa lalu saya yaitu penyebab-penyebab ini atau saya melawannya.
Kalau saya memang terlalu sensitif, mudah peka, sekarang pilihan saya dua; saya akan membiarkan diri saya terus-menerus peka atau saya mau belajar menguatkan perasaan saya sehingga saya bisa tidak terlalu terganggu oleh perasaan cemas ini. Jadi mesti ada sebuah keputusan untuk melawannya, sudah tentu bantuan orang atau teman akan sangat berfaedah. Kita bisa minta teman berbicara dengan kita, itu akan menguatkan kita melewati masa kecemasan. Sebab kecemasan yang disimpan sendiri, makin mengguncangkan; kecemasan yang dibagikan, diceritakan atau dibicarakan akan lebih tidak terlalu memberatkan hati kita.PG : Sudah tentu merupakan sebuah pergumulan, jadi melihatnya hari lepas hari. Kalau hari ini harus mengambil keputusan, hari inilah mengambil keputusan, kalau hari ini dia merasa cemas, hari ni pula dia melawannya.
Nanti bagaimana, mungkin besok dia gagal; jadi hari per harilah dia lawan, dia kuatkan hidupnya, dia kuatkan dirinya. Sudah tentu pada akhirnya dia harus mempunyai pegangan yang kuat di dalam Tuhan, kalau tidak dia akan mudah goyah.PG : Kita mungkin bisa berkata, "Kalau ada apa-apa coba ngomong, coba ceritakan." Nah waktu dia berbicara kita misalnya bisa memberikan dia masukan atau petunjuk. "OK........., sekarang coba amu mengambil nafas yang panjang kemudian keluarkan perlahan-lahan.
Ok, sudah tenang kalau sudah tenang coba kita lihat lagi masalahnya, atau kita lihat lagi pilihannya. Yang pertama ini, coba kita lihat yang pertama ini masalahnya ini dan risikonya ini. Coba yang kedua dan seterusnya. Jadi kita membimbing dia langkah demi langkah sehingga itu menolong mereka kalau lain waktu kita tidak ada disebelahnya untuk juga menenangkan diri seperti kita waktu menenangkan diri.PG : Dan menolong dia untuk memilah, sebab orang yang cemas mencampur adukkan semuanya. Jadi dengan tenang dia lebih bisa memilah. Pertama kita memang membimbingnya untuk tenang, kedua menolog untuk berpikir dengan lebih tenang.
Sehingga bisa memilah-milah; kalau sudah dipilah dan dia melihat lebih jelas dia akan lebih tenang kembali.PG : Betul, meskipun belum ada apa-apa yang terjadi, orang-orang itu mungkin tidak melakukan apa-apa. Dia perlu waktu yang agak panjang untuk merasa tenang kembali. Biasanya kalau rumah tangg kita baik-baik saja dan anak-anak kita seperti itu, besar kemungkinan inilah yang dia bawa sejak lahir.
PG : Firman Tuhan saya ambil dari Amsal 12:25, "Kekuatiran dalam hati, membungkukkan orang tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia." Jadi firman Tuhan berkata dengan jelas bahwa kekuatirn membuat orang bungkuk, artinya terhimpit oleh beban sehingga berat sekali hidupnya.
Apa yang dia butuhkan? Perkataan yang baik menggembirakan dia, maka kalau ada teman atau pasangannya; maka teman atau pasangannya itulah yang memberikan kata-kata yang baik, yang positif, yang menenangkan. Itu akan memberikan dia sukacita sehingga akhirnya beban itu tidak lagi berat menindihnya.GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, kami percaya akan ada banyak orang yang tertolong dengan mendengarkan atau melakukan apa yang Pak Paul sudah sampaikan juga Ibu Ester terima kasih telah bergabung dalam perbincangan kami kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pribadi yang Cemas". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
34. Mengambil Keputusan | |
Khusus bagi orang yang mudah cemas, pengambilan keputusan dapat menjadi saat yang menegangkan. Ia takut salah dan tidak berani menanggung akibatnya; acap kali ia berlindung di balik orang lain agar tidak usah mengambil keputusan. Bagian ini memberikan beberapa masukan untuk menolong orang yang mudah cemas mengambil keputusan.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengambil Keputusan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Buat semua orang mengambil keputusan tergantung ya, ada yang keputusannya berat yang berarti perlu waktu pergumulan yang lebih berat, kalau lebih ringan pergumulannya juga akan jauh lebih ingan.
Tapi ada sebagian orang yang akan mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan. Pada pembicaraan yang lampau kita telah membahas orang yang mudah cemas. Orang yang mudah cemas ini akan mengalami kesukaran di dalam mengambil keputusan. Jadi kita mau mencoba menolong pribadi yang mudah cemas ini dalam mengambil keputusan. Karena apa? Karena pada umumnya mereka takut mengambil keputusan karena takut salah, takut nanti harus membayar risiko yang mereka tidak sanggup membayar, jadi mereka menunda-nunda mengambil keputusan. Atau bersembunyi dibalik orang lain, tidak berani menghadapi fakta kenyataan, jadi minta orang lain yang maju ke depan. Bukankah ini gaya hidup yang tidak sehat, jadi kita mau memberikan masukan kepada para pribadi yang mudah dilanda kecemasan agar dapat hidup lebih sehat, hidup lebih efektif. Salah satunya hidup efektif adalah mampu mengambil keputusan dengan lebih cepat.PG : Ada banyak contoh misalkan, membeli rumah. Kita tahu membeli rumah itu memerlukan waktu untuk melihat beberapa contoh, tapi orang-orang yang mudah dilanda kecemasan, sering bingung di dalm mengambil keputusan sudah melihat misalkan 10 rumah, masih belum sanggup mengambil keputusan dan akan meminta untuk melihat lagi dan melihat lagi.
Jadi orang capek, sampai kapan bisa menemukan rumah yang disukainya. Atau dalam hal memilih pasangan hidup (memang ini lebih berat), sudah berjalan bersama-sama, sudah saling mengenal dan memang sudah melihat banyak kecocokan tapi terus bingung, tidak bisa mengambil keputusan apakah orang ini yang harus saya nikahi. Jadi contoh-contoh seperti inilah yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, ada orang-orang yang tidak mudah untuk mengambil keputusan.PG : Langkah pertama adalah karena kita adalah anak-anak Tuhan, kita mesti berdoa; berdoa sampai kita berserah sepenuhnya kepada Tuhan. Maksud saya adalah jangan asal berdoa misalnya "Tuhan, tlong saya."
Tapi sungguh-sungguh berdoa hingga kita dapat berkata apapun yang terjadi akan ada Tuhan yang mengatur segalanya. Jadi benar-benar tahap pertama adalah tahap pergumulan, dan kita bergumulnya dalam doa dengan Tuhan. Kita benar-benar mesti bisa berkata, "Tuhan, kalau misalkan ini tidak beres, kalau ini misalkan tidak sesuai masih ada Engkau; Engkau dapat mengaturnya." Kalau kita bisa sampai ke titik itu baru kita melangkah ke tahap berikutnya dalam pengambilan keputusan.PG : Betul, jadi kita meminta orang ini untuk benar-benar terjun, masuk ke dalam Firman Tuhan, masuk ke dalam hadirat Tuhan dalam doa sampai dia mencapai sebuah titik di mana dia bisa berkata, Apa pun Tuhan, apa pun saya terima, apa pun nanti kalau yang terjadi tidak sesuai masih ada Engkau dan Engkau akan dapat mengatur dan menolong saya."
ET : Kadang-kadang untuk mencapai titik ini tidak gampang Pak Paul, atau misalkan kita datang kepada Tuhan sudah dengan, "Tuhan, saya maunya yang ini (jadi sudah dengan permintaan yang spesifik, kalau bisa jangan digantikan dengan yang lain."
PG : Memang waktu kita berkata "APA PUN", kita harus bersedia melepaskan, selama kita masih menggenggam akan susah untuk kita melepaskan dan berserah sepenuhnya kepada Tuhan. Jadi harus sampaipada titik di mana kita melepaskan dan berkata "Apa pun Tuhan saya akan terima, saya akan jalani dan apa pun hasilnya masih ada Engkau, Engkau akan menolong, Engkau akan bisa mengatur segalanya."
PG : Justru setelah dia berserah dalam doanya baru dia melakukan hal lainnya yang lebih konkret, yang lebih manusiawi. Tetapi tetap saya mau tegaskan langkah pertamanya itu dia harus sampai ketitik ini dulu yaitu penyerahan total.
Setelah itu dia barulah berkonsultasi dengan orang lain, menanyakan masukan-masukan orang dan sebagainya. Tapi saya minta jangan lakukan kebalikannya, jangan berbicara dulu dengan orang, bertanya kiri-kanan baru berdoa, maka tidak akan ada damai sentosa. Itu tidak bisa, karena kalau belum sampai tahap penyerahan kita sudah kalang kabut tanya ke kiri-ke kanan; kita makin kacau, kita makin bingung. Si A berkata apa, si B berkata apa, kita makin bingung. Tapi kalau kita bertanya atau berkonsultasi setelah kita berserah, semua jawaban atau masukan yang kita terima itu akan kita bingkai dalam satu bingkai yaitu Tuhan mengatur, Tuhan berkuasa. Dan saya sudah berkata apa pun nanti Tuhan akan bisa atur, maka berkonsultasi ini kita harus letakkan sebagai langkah kedua, bukan langkah pertama. Langkah pertama adalah datang kepada Tuhan sampai bisa berserah sepenuhnya kepada Dia.PG : Saya berpikir begitu, sebab kalau tidak akan tambah bingung. Dia berbicara dengan si A, si A bilang kiri; dia berbicara dengan si B, si B bilang kanan. Kalau semuanya bilang kiri mungkindia akan lebih tenang, tapi kalau yang satu bilang kiri dan yang satu bilang kanan, dia akan bingung karena dia belum mempunyai penyerahan itu.
Kalau dia sudah mempunyai penyerahan meskipun yang satu bilang kiri dan yang satu bilang kanan, dia tidak terlalu bingung. Karena tidak lagi bersandar sepenuhnya pada masukan-masukan orang lain, dia tahu ada Tuhan yang mengatur segalanya.PG : Membuat orang itu berpikir lebih jernih, ada hal-hal yang mungkin tidak dilihatnya, jadi konsultasi itu membukakan pemikirannya sehingga bisa berpikir dengan lebih jernih. Atau menolong mlihat dari perspektif yang berbeda.
Kadang-kadang karena kita itu sepertinya berkubang dalam lumpur jadi kita tidak bisa melihat lagi. Kita mesti keluar dan melihat dari sudut yang lain baru kita bisa memandang masalah. Kadang-kadang konsultasilah yang membuat orang bisa melihat dari kacamata yang berbeda.ET : Misalnya seperti tadi Pak Paul katakan setelah konsultasi ada yang bilang ke kiri, ada yang bilang ke kanan, berarti ada dua pilihan ke kiri atau ke kanan. Nah bagaimana memutuskan untuk langkah berikutnya?
PG : Kita memang harus menyadari bahwa itulah sesungguhnya proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan sebetulnya adalah proses menentukan pilihan dari beberapa alternatif yang ersedia.
Dengan kata lain kita memang mesti melihat apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan pada setiap alternatif itu. Namun kita mesti mengingat satu kebenaran ini, apa pun keputusannya Tuhan tetap dapat bekerja melaluinya. Jadi kadang-kadang kita takut sekali, kalau kita sudah pertimbangkan kelebihan dan kekurangan pada setiap alternatif dan perbedaannya sedikit sekali, itu yang membuat kita bingung. Jangan sampai kita itu menjadi takut untuk membuat kesalahan, ya karena jaraknya sedikit-sedikit dan bedanya juga tidak banyak, kita seolah-olah harus teliti dan teliti lagi. Sudah tentu harus berhati-hati tapi sampai titik tertentu setelah kita berhati-hati kita harus mengambil keputusan. Kita harus berkata, "Tuhan, apa pun keputusannya, pilihan apa pun yang saya buat, dalam keterbatasan saya ini saya harus membuatnya dan Engkau akan dapat bekerja lewat alternatif itu." Sebab Tuhan jauh lebih berkuasa daripada yang kita bayangkan. Mungkin buat kita kalau kita mengambil keputusan ini, wah tidak ada lagi jalan keluar atau tidak ada lagi jalan untuk putar balik. Tuhan lebih berkuasa, cara-Nya tidak bisa kita selalu cerna jadi akan ada cara Tuhan kalau misalkan itu kurang tepat atau keliru, akan ada cara Tuhan untuk bisa mengarahkan kita kembali. Sehingga pengetahuan ini memberikan kepada kita rasa damai.ET : Mungkin kalau misalnya berkaitan dengan hal-hal yang tidak bersifat jangka panjang, masih bisa lebih mudah untuk memutuskan tapi kalau tadi misalnya berkaitan dengan pasangan hidup memang anyak sekali pertimbangan, kekuatiran kalau ternyata mungkin bukan salah pilih tetapi mungkin ini bukan yang terbaik.
Mungkin ini untuk komitmen seumur hidup yang menakutkan untuk orang-orang tertentu.PG : Ibu Ester mengangkat satu topik yang memang penting yaitu sering kali dalam mengambil keputusan menjadi susah sekali. Kenapa? Karena kita terobsesi mengambil keputusan yang terbaik. Masaahnya adalah keputusan yang kita anggap terbaik atau yang paling ideal itu tidak ada atau jarang sekali, jadi yang lebih realistik adalah waktu kita menimbang-nimbang antara beberapa alternatif, pada akhirnya yang kita temukan adalah alternatif ini sedikit lebih baik dari alternatif yang lain.
Kalau alternatif ini jauh berbeda, sangat baik-ini sangat buruk, itu akan lebih gampang dan tidak membingungkan. Bukankah yang membingungkan itu justru yang bedanya sedikit; ini sedikit lebih baik dalam hal ini tapi dalam hal yang lain yang satunya ini lebih baik sedikit dari yang lainnya lagi. Ini situasi yang sering kali kita hadapi yang membuat kita bingung. Jadi saya katakan, kita mesti percaya bahwa Tuhan bisa memakai baik yang kiri maupun yang kanan. Selama kita dalam koridor tidak di dalam dosa, koridor kebenaran, koridor jalan Tuhan bukan jalan dosa; perbedaan-perbedaan seperti itu kita tidak terlalu pikirkan sebab Tuhan bisa bekerja baik melalui pintu yang kiri maupun melalui pintu yang kanan. Jadi pikiran kita tidak lagi terobsesi dengan mana yang terbaik, yang di atas sana yang paling ideal; kita hanya melihat ok-lah ini memang sedikit lebih baik dan ok-lah yang sedikit lebih baik ini nanti yang akan saya pilih sebagai keputusan saya.PG : Tidak ada, jangan-jangan kita menunggu-nunggu. Kadang-kadang kita terus menunggu-nunggu yang ideal, yang terbaik datang, ya sampai kapan pun tidak akan datang.
PG : Dan kita akan melihat yang lebih baik lagi.
PG : Yang lain saya akan tawarkan adalah gunakan kriteria prioritas terbatas. Yang saya maksud dengan prioritas terbatas adalah untuk saat ini lihatlah apakah yang lebih baik bagi kita. Selai pernikahan, jarang sekali kita harus mengambil keputusan untuk jangka waktu yang sangat panjang.
Kebanyakan pilihan dalam hidup ini terbatasi oleh waktu dan kondisi, tidak ada yang selama-lamanya. Jarang kita memilih sesuatu yang akan bertahan selama-lamanya, baju yang kita pilih hanya bertahan untuk beberapa tahun; sepatu yang kita pilih hanya bertahan untuk beberapa tahun. Ada orang yang mau membeli sepatu pun dia bisa pergi ke 10 mall dan satu mall ada 5 toko sepatu, berarti dia kunjungi 50 toko sepatu. Kenapa, sebab dia pikir-pikir seakan-akan dia akan memakai sepatu itu sampai dia meninggal dunia padahal tidak, dia hanya akan memakai sepatu itu untuk beberapa tahun. Yang saya maksud dengan prioritas terbatas adalah untuk saat ini, untuk penggalan hidup kita sekarang ini, untuk fase kehidupan kita sekarang ini, yang memang tidak berlangsung selama-lamanya. Nah apakah pilihan yang lebih baik itu, itulah yang kita ambil. Jadi mungkin kita misalnya pertimbangkan kegunaannya dan kepentingannya untuk saat ini. Tapi tadi saya sudah katakan kalau pernikahan tidak boleh kita gunakan kriteria ini, sebab pernikahan bukan untuk 5 tahun kemudian kita ganti lagi, pernikahan adalah untuk seumur hidup. Jadi selain dari keselamatan kita percaya kepada Tuhan kita Yesus Kristus dan pernikahan, akan lebih banyak hal yang lainnya itu bersifat sementara, temporer. Kita tidak hidup dengan keputusan itu selama-lamanya.PG : Apakah kita langsung mengabaikan perasaan? Jangan juga, sebab kadang-kadang waktu kita menghadapi sesuatu sebetulnya ada dua aparatus, atau indra yang bekerja pada diri kita. Yang pertam itu yang lebih bersifat rasional, kita bisa lihat, kita bisa pastikan ada dasar-dasarnya, landasan dasar atau bukti-buktinya.
Tapi kadang-kadang ada sesuatu itu yang kita tidak bisa pikirkan secara rasional tapi ada reaksi yang lebih bersifat instingtif. Kita perlu dengarkan, jadi saya tidak mau mengabaikan faktor firasat, pertimbangkan firasat itu. Kenapa kita merasa tidak damai, kok kita merasa tidak aman kenapa ya? Nah apakah ini dari Tuhan, kalau misalkan, oh......ya mungkin dari Tuhan. "Yang lain-lain saya pilih tidak begini, tapi kali ini begini." Nah ada baiknya kalau firasat itu begitu kuat dalam pengambilan keputusan, mungkin sebaiknya kita tunda dulu sampai beberapa waktu sampai kita melihat dengan lebih jelas tentang alternatif tersebut. Dan setelah kita lihat memang tidak ada apa-apa, kita berani melewati firasat kita yang telah muncul itu.ET : Tapi seberapa jauh kita bisa memercayai atau tidak memercayai semua ini Pak, sebab kadang-kadang ada yang bilang itu hanya insting sesaat atau firasat sesaat.
PG : Kalau memang hanya sesaat otomatis kita bisa lebih tenangkan diri kita, kita akhirnya tidak terlalu dikuasai oleh firasat itu. Namun kalau misalnya firasat itu makin hari makin menguat, kta harus dengarkan dengan lebih berhati-hati, mungkin ada apa-apanya.
Namun sekecil apa pun firasat, tidak ada salahnya kita mengecek ulang, tidak ada salahnya kita mengkaji ulang. Sekali lagi saya mau kita menjadi manusia yang utuh, kadang-kadang ada hal-hal yang tidak bisa kita cerna tapi firasat kita mengatakan sesuatu, kita tidak bisa jelaskan tapi rasanya ada sesuatu. Dan setiap kali kita tidak begini, kalau kita mau makan pun pikir-pikir ada firasat apa, kalau kita orangnya seperti itu berarti kita ada masalah. Tapi kalau kita tidak biasanya begitu namun kali ini firasatnya kok begitu kuat, mungkin kita harus kaji ulang apakah kita memang telah mengambil keputusan yang benar. Kenapa, sebab saya yakin kita ini diisi dan dikuasai oleh Roh Tuhan, dan itulah salah satu cara Roh Tuhan berbicara kepada kita pula. Jadi kalau memang ada firasat-firasat atau suara-suara seperti itu jangan langsung tabrak dan kita tidak hiraukan.ET : Masih berkaitan dengan perasaan Pak Paul, misalnya ini ada dua pilihan; yang satu mungkin perhitungan logikanya sudah OK, tapi rasanya secara kesenangan hati kurang. Sedangkan satunya lag menurut hati rasanya senang untuk pilihan itu tapi secara logika rasanya perhitungannya kurang pas.
Nah kalau dalam kedua hal ini bagaimana Pak Paul?PG : Saya kira kita harus mengambil keputusan yang kecil kemungkinan kita akan sesali. Jadi kalau kita ambil keputusan dan kita tahu tidak akan sesali, lebih baik jangan. Berarti belum tentu tu sebuah keputusan yang salah atau yang buruk, tapi yang pasti adalah kita belum siap mengambilnya.
Belum siap mengambilnya tidak berarti keputusan itu salah atau tidak seharusnya kita ambil. Tapi kalau kita belum siap ya kita belum siap dan kalau kita belum siap meskipun itu keputusan yang tidak salah dan benar tetap kita akan dirundung oleh penyesalan itu, karena kita belum siap dan kita belum mau. Saya berikan contoh, misalkan orangtua meminta anak pergi studi ke luar kota, dan memang belum siap jiwanya masih rapuh, jadi dia bilang jangan dia belum siap. Ini baik buat kamu, kamu sekolah di sekolah yang baik dan sebagainya, tapi anak ini belum siap dipaksa juga pergi. Sebetulnya secara logika keputusan ini tidak salah, pergi ke sekolah yang baik, tapi memang dia belum siap. Jadi keputusan sebaik apa pun, kalau hatinya belum siap biasanya nanti akan berantakan, kita biasanya akan dirundung rasa penyesalan dan tidak bahagia. Jadi sebenar apa pun keputusannya tetap itu tidak membuat kita jadi benar juga, hidup kita tidak efektif. Jadi menjawab pertanyaan Ibu Ester, saya memang akan mempertimbangkan faktor hati itu, apakah hati kita bisa senang dan menerimanya. Kalau tidak, lebih baik jangan dulu sampai hati kita bisa siap dan menerimanya.PG : Dan itu adalah sebuah reaksi yang wajar Pak Gunawan, jadi jangan takut untuk bimbang setelah mengambil keputusan. Ini wajar, dan saya kira justru seharusnya kita merasakan kebimbangan itu Kenapa kita bimbang, sebab kita itu mau sekali lagi memastikan kita telah mengambil keputusan yang benar.
Jadi kita mau mulai mencari-cari apakah ada data tambahan, itu sebabnya kalau memungkinkan-misalkan kita harus mengambil keputusan pada hari Sabtu, cobalah secara mental kita telah mengambil keputusannya pada hari Selasa sehingga ada jedah 3 hari sebelum hari Sabtu. Misalkan selama 3 hari itu kita mulai bingung, kita mulai ragu-ragu; coba cari lagi data tambahan, cari informasi lagi apakah mungkin ada yang keliru dalam keputusan ini. Tapi kalau kita sudah berikan waktu 3 hari itu kita bingung kemudian kita mencari lagi konfirmasi dan ternyata semuanya benar, tidak ada lagi yang keliru, tidak ada lagi yang bisa ditambahkan, tidak ada lagi yang bisa diubah, berarti setelah kita ragu melewati jedah 3 hari itu dan kita mencari lagi apakah ada informasi lain yang memang bisa mematahkan keputusan pertama kita, justru kita makin mantap. Jadi dengan kata lain jangan takut untuk merasa bimbang, yang perlu kita lakukan adalah setelah mengambil keputusan yang penting itu, kita berikan jedah sampai keputusan itu kita serahkan kepada orang lain atau kita jawab kepada orang lain atau kita tindak lanjuti. Jadi antara keputusan dan tindak lanjut atau pelaksanaan sebaiknya kita berikan jedah, sehingga rasa bingung atau bimbang muncul, kita masih bisa bergumul lagi apakah itu mengkonfirmasi atau justru mendiskonfirmasi apa yang telah kita putuskan. Misalkan kita bisa mengkonfirmasi, kita akan lebih tenang lagi melaksanakan keputusan tersebut.PG : Kalau memang dia mempunyai kecenderungan seperti itu, dia bisa berkata, "Berapa besar kemungkinannya saya keliru meskipun dia harus cepat, kalau dia bisa berpikir dengan cepat pula bahwa kmungkinan besar dia benar ya tidak apa-apa.
Jadi memang nantinya itu yang dia harus lakukan adalah secara rasional melihat presentasinya, berapa besar presentasinya dia benar. Kalau misalkan presentasinya itu hampir setengah-setengah lebih baik jangan. Karena apa, kemungkinan dia salah juga bisa setengah, tapi kalau memang kemungkinannya lebih besar dia benar ya tidak apa-apa, silakan saja. Sebab kadang-kadang memang logika atau pemikiran seperti itu benar juga. Kalau kita lambat nanti itu diambil orang ya sudah kita kehilangan kesempatan, namun kita tahu bahwa kita tidak selalu begini, kalau selalu begitu berarti kita memang terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Setiap hal kita putuskan dengan pemikiran kalau tidak diambil sekarang nanti diambil orang, berarti kita kurang bijaksana.ET : Atau kalau tidak mengambil keputusan sekarang maksudnya kalau tidak cepat-cepat nanti berubah lagi; sebelum berubah cepat-cepat diputuskan.
PG : Ada orang yang seperti itu.
PG : Betul, dan tidak tahan hidup dalam kecemasan sehingga buru-buru diputuskan akan lebih tenang. Ini berbahaya, sebetulnya kalau orang mempunyai masalah seperti itu agak bahaya, dia perlu seali orang disampingnya untuk bisa menjadi pembimbing.
Mengatakan kepada dia, "OK, ini keputusanmu beri saya waktu beberapa hari untuk memikirkannya, sudah kamu tidak usah pikir lagi, ini keputusanmu saya sudah terima saya akan pikirkan lagi." Nah itu caranya untuk menolong dia dari cemas, jadi dia tidak usah lagi putuskan, bebanmu sudah turunkan ke saya, sekarang saya yang akan memikirkan keputusanmu tadi itu. Beri saya 3 hari, setelah 3 hari saya akan beritahukan kamu, bagaimana hasil pemikiran saya. Mungkin itu cara kita bekerja sama kalau kita hidup dengan orang yang mudah dilanda kecemasan.PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 103:13-14, "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu."
Kita adalah anak dan Allah adalah Bapa kita, dan alkitab mengatakan Tuhan sayang kepada kita orang-orang yang takut akan Dia. Ini ayat yang sangat-sangat memberikan kesejukan, Tuhan sendiri tahu siapa kita, dia ingat kita ini debu. Artinya Tuhan tahu kita ini tak sempurna, jauh dari sempurna, sangat terbatas. Jadi Bapa di sorga itu tidak akan membiarkan kita salah dan tersesat, yang penting kita takut akan Dia, mencari kehendak-Nya, berdoa meminta pimpinan-Nya, setelah itu ambillah keputusan; Bapa di sorga akan terus mengiringi kita. Jangan sampai kita takut seolah-olah nanti akan berantakan, hidup ini akan hancur; ada Tuhan, yang penting kita gunakan hikmat, takut akan Dia sudah jalani saja. Ada Bapa di sorga yang dapat memelihara kita.GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, juga Ibu Ester terima. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengambil Keputusan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
35. Iri Hati | |
Iri hati adalah salah satu dosa tertua. Akibat iri hati, Kain membunuh adik kandungnya sendiri. Ada orang yang rentan terhadap iri hati sehingga mudah sekali dikuasai perasaan iri. Bagian ini akan memaparkan penyebab dan penanganan iri hati.
T 210 A "Iri Hati" oleh Pdt. Paul Gunadi
Iri hati adalah salah satu dosa tertua. Kain membunuh Habil karena iri hati-persembahan adiknya Habil diterima Tuhan sedangkan persembahannya tidak diterima Tuhan. Akibat iri hati, Kain membunuh adik kandungnya sendiri. Ada orang yang rentan terhadap iri hati sehingga mudah sekali dikuasai perasaan iri. Berikut ini akan dipaparkan penyebab dan penanganan iri hati.
Jadi, berdasarkan pengamatan di atas ini, dapat kita simpulkan bahwa orang yang iri hati adalah orang yang:
Ada tiga hal yang harus kita kembangkan agar dapat melawan iri hati:
T 210 A
"IRI HATI" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Iri Hati". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Meskipun kita rentan dengan iri hati, tapi ada orang-orang tertentu yang memang sangat mudah iri hati, dengan kata lain mereka dikuasai oleh iri hati. Pada kesempatan ini kita memang mau elajar mengenali penyebab-penyebabnya, dan juga belajar bagaimana menanganinya.
Sebagai pembukaan saya ingin mengingatkan para pendengar kita akan suatu peristiwa yang terjadi dalam dunia ini ribuan tahun yang lalu, yaitu peristiwa yang menyangkut Kain dan Habel. Kita tahu Kain si kakak mempersembahkan korban bakaran kepada Allah dan adiknya juga melakukan hal yang sama, tapi Tuhan menolak persembahan si kakak dan menerima persembahan si adik. Karena kemungkinan besar Kain tidak memberikan persembahan itu dengan hati yang tulus. Nah begitu si kakak melihat si adik bersukacita karena persembahannya diterima oleh Tuhan, si kakak marah sekali dan membunuh si adik. Itu adalah dosa yang dicatat oleh Alkitab yang memang menunjukkan betapa beratnya konsekuensi dosa itu, sehingga setelah Kejadian pasal 3 mencatat kejatuhan manusia ke dalam dosa, dosa berikut yang dicatat di Alkitab adalah pembunuhan seorang kakak terhadap adiknya sendiri. Namun sebelum terjadi pembunuhan itu, sebetulnya telah terjadi sebuah dosa yang lain yang tersembunyi yaitu dosa iri hati. Nah kita melihat di sini betapa seriusnya dosa iri hati, karena iri hati ini sampai mampu melahirkan niat yang begitu jahat; bukan membunuh musuh, bukan membunuh orang yang tidak dikenal tapi membunuh adik kandung sendiri. Itu sebabnya kita mau melihatnya dengan seksama pada saat ini. Yang pertama yang bisa kita katakan tentang iri hati adalah iri hati bersumber dari ketidakpuasan dengan apa yang telah dimiliki. Artinya kita terus menyoroti apa yang tidak ada pada diri kita atau yang terhilang dari diri kita, dan kita itu luput melihat apa yang ada pada diri kita. Dengan kata lain, orang yang iri hati senantiasa melihat yang tidak ada ditangannya. Misalkan dia mempunyai kelereng, nah dia bukannya melihat kelereng itu tapi dia akan melihat kenapakah temannya itu mempunyai gangsing atau permainan yang lain. Dia bukannya berkata, "O, ya saya sudah mempunyai kelereng, jadi tidak apa-apa ada yang mempunyai kelereng atau ada yang mempunyai gangsing. Tidak demikian, dia akan menanyakan pada dirinya mengapakah saya tidak punya gangsing dan melupakan bahwa dia punya kelereng dan mungkin saja orang lain hanya punya gangsing dan tidak punya kelereng.PG : Memang pada dasarnya ada unsur serakahnya, meskipun sering kali kita mengaitkan serakah dengan kwantitas. Iri hati memang tidak harus berjumlah banyak atau bervolume besar, tapi pada dasanya iri hati itu mengandung unsur keserakahan.
Yaitu tidak puas dengan apa yang dimiliki, jadi apa pun yang dimilikinya itu tidak akan bisa menyenangkan hatinya karena dia akan selalu fokuskan pada apa yang ada pada orang lain, dan bertanya, "kenapakah saya tidak bisa memiliki itu?" Jadi kita bisa melihat di sini, ketidakpuasan itu bisa menggurita, menguasai dirinya dan membuat dia selalu mengeluh; membandingkan diri dengan orang lain yang memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya.PG : Yang pasti kita harus melihat apa yang kita miliki, kita harus berkata, "Apa yang Tuhan telah berikan ini adalah pemberian Tuhan untuk saya; nah orang lain menerima yang lain dari Tuhan yabiarkan itu adalah pemberian Tuhan untuknya, ada maksud Tuhan kalau Tuhan memberikan itu kepadanya, ada maksud Tuhan kalau Tuhan memberikan ini kepada saya."
Perspektif seperti inilah yang mesti kita kembangkan.PG : Seyogianya kita menyadarinya Pak Gunawan, tapi masalahnya adalah orang yang rentan terhadap iri hati ini tidak menyadarinya. Dia tidak menyadari bahwa dia itu sedang menggerogoti dirinya endiri, sebab bukankah dia jarang sekali bisa bersukacita atau berbahagia, tapi dia buta; dia tidak menyadari hal itu, dia tetap fokuskan pada orang lain.
Kenapa punya ini, kenapa punya itu; tidak bisa melihat apa yang telah dimilikinya.PG : Itu memang kadang-kadang terjadi juga karena adanya orang-orang tertentu yang memamerkan, memancing-mancing, akhirnya kita tidak bisa tidak membanding-bandingkan diri dengan orang itu dan ulailah merasakan, "Ah...kita
kok tidak punya yang dia punya." Muncullah perasaan iri, ingin memiliki apa yang dimiliki oleh teman-teman itu. Di sini kita mesti menjaga hati kita, kita mesti menjaga bukan saja kita melihat apa yang telah kita miliki, kita juga tidak membanding-bandingkan apa yang kita miliki itu dengan orang lain. Kecenderungan kita, meskipun kita mempunyai sesuatu yang sama dengan orang lain tetap kita banding-bandingkan. Misalkan kita mempunyai anak, dia juga mempunyai anak. Dua-dua baik, dua-dua juga mempunyai prestasi yang baik di sekolah tapi biasanya tetap saja kita banding-bandingkan. Jadi orang yang memang rentan terhadap iri hati, meskipun punya yang dimiliki oleh orang lain tetap membanding-bandingkan. Tadi saya mengatakan yang pertama itu kasusnya adalah tidak memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain, sehingga terus ingin memilikinya. Kasus yang kedua atau penyebab yang kedua ini adalah dia memiliki, apa yang dia punya itu sama seperti yang dimiliki oleh orang lain tapi tetap membanding-bandingkan diri, "punyaku kok tidak lebih baik dari yang orang lain punya," sampai seperti itu. Tidak punya membandingkan diri dengan orang yang punya, sudah punya pun tetap membanding-bandingkan diri dengan orang yang mempunyai benda yang sama dengan dia.PG : Sering kali akhirnya itulah yang menjadi akarnya dan sekaligus menjadi buahnya juga, yaitu orang-orang yang rentan terhadap iri hati itu senantiasa berkata, "Saya tidak seberuntung orang lin," dan langsung menunjukkan telunjuknya pada Tuhan atau hidup ini.
"Kok...tidak adil, kenapa saya tidak mendapatkan yang baik-baik." Sama sekali tidak dapat menghitung berkat apa yang Tuhan telah lakukan, apa yang Tuhan telah bagikan kepadanya. Itu sama sekali tidak dilihatnya sehingga akhirnya selalu mengeluh, "Kok..Tuhan tidak adil, kok Tuhan berbuat ini kepada saya." Sehingga akhirnya dia mempunyai pandangan seolah-olah Tuhan itu sengaja ingin merugikannya, Tuhan itu seolah-olah mempunyai proyek pribadi yaitu mengikutinya, mengejarnya untuk nanti merugikannya. Ini adalah sebuah konsep yang keliru tapi sebagian orang-orang yang mudah iri hati memiliki perspektif seperti ini tentang Tuhan dan hidup.PG : Itu poin yang betul sekali, jadi orang-orang yang rentan terhadap iri hati mudah menyalahkan lingkungan. Dia tidak bisa memikul tanggung jawab, tidak bisa berkata, "Ya, saya mempunyai andlnya, saya mempunyai bagian dalam masalah ini sehingga saya tidak memiliki ini dan itu."
Biasanya orang-orang yang rentan terhadap iri hati menyalahkan sekelilingnya. "Coba kalau saja dibesarkan oleh orangtua ini, coba kalau saja orangtua saya tidak berbuat ini, coba kalau saja orangtua saya berbuat ini, coba kalau sekolah saya teman saya..." dan selalu menyalahkan lingkungan seolah-olah lingkunganlah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas hidupnya. Saya tidak mengatakan lingkungan tidak berandil dalam hidup kita, ada di antara kita yang mengalami kerugian karena lingkungan hidup di mana kita dibesarkan. Itu adalah kenyataan hidup karena orangtua tidak bertanggung jawab, ada anak-anak yang ingin sekolah dan bisa bersekolah tapi tidak bersekolah. Kenapa, karena tidak ada yang membiayai, tidak ada yang mengurus; itu bisa kita lihat bahwa si anak menjadi korban kelalaian orangtuanya. Betul, ada kasus di mana kita menjadi korban lingkungan dan orang lain, namun pertanyaannya apakah semua ketidakberuntungan kita disebabkan oleh orang lain. Belum tentu, kadang-kadang oleh kita juga. Dan yang kedua, kalau pun kita adalah korban perlakuan lingkungan atau orang lain, bukankah akhirnya kita bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu, untuk mengubah apa yang telah kita terima itu untuk melakukan yang terbaik dalam situasi yang tidak baik itu. Nah itu adalah bagian kita, itu adalah tanggung jawab kita, tapi orang yang mudah iri hati tidak bisa melihat itu, sepenuhnya dia limpahkan kepada orang dan orang lainlah yang memang bersalah dan seolah-olah orang itu yang menebus kesalahannya untuk dia.PG : Iri hati akhirnya mempunyai reaksi yang sangat buruk, begitu buruknya sehingga bisa menjadi jahat. Orang yang iri hati akhirnya akan berkata, "Kalau saya tidak mendapatkannya, orang lain un tidak boleh mendapatkannya; kalau saya tidak menikmatinya, orang lain pun tidak boleh menikmatinya."
Jadi waktu dia melihat orang lain menikmatinya sementara dia tidak bisa menikmatinya, hatinya langsung penuh amarah, dan begitu hatinya diisi oleh marah timbullah niat jahat. Dia juga harus menghancurkan orang lain yang hidupnya begitu baik yang bisa menikmati semua itu. Dalam kondisi seperti itu, kalau dia tidak dikuasai oleh Tuhan dia akan bisa mata gelap, dia bisa berbuat hal-hal yang sangat salah untuk merugikan orang lain, atau misalkan menyebarkan gosip yang tidak benar tentang orang-orang yang dia iri kepadanya supaya orang-orang mempunyai pandangan yang negatif terhadap orang-orang yang menjadi objek iri hatinya.PG : Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa sebetulnya apa yang terjadi tatkala kita iri hati. Dari sini kita berangkat melihat penanganannya. Waktu kita iri hati sebetulnya sekurang-kurangya ada 3 hal yang terjadi, yang pertama adalah kita tidak mensyukuri apa yang Tuhan telah berikan kepada kita.
Kita harus kaitkan hal ini dengan Tuhan, kita tidak bisa melepaskan iri hati dari Tuhan, ada kaitan langsung dengan Tuhan sebab bukankah apa yang kita miliki adalah pemberian Tuhan. Jadi orang yang iri hati mesti menyadari bahwa tatkala dia iri hati, dia sedang tidak mensyukuri apa yang Tuhan telah berikan. Kedua, tatkala dia iri hati sesungguhnya dia sedang tidak dapat menikmati apa yang Tuhan telah berikan kepadanya. Dan yang ketiga, tatkala dia iri hati dia pun tidak ingin orang lain menikmati apa yang Tuhan telah berikan kepada orang tersebut. Waktu dia melihat orang bahagia, senang, menikmati sesuatu, hatinya penuh dengan kemarahan, timbul niat pokoknya orang itu tidak boleh menikmatinya juga. Kalau kita mudah terkena iri hati, kita mesti menyadari inilah ketiga hal yang sebetulnya berkecamuk dalam hati kita. Tidak bersyukur, tidak bisa menikmati dan melarang orang menikmati apa yang menjadi milik mereka.PG : Dengan satu tujuan supaya dia tidak merasa bahwa dia jelek sendiri. Dia tidak merasa bahwa saya ini yang bermasalah sendirian, sebab dia akan bisa berkata, "O........lihat teman saya jugamempunyai perasaan yang sama, yang satu ini juga mempunyai pandangan yang sama jadi berarti bukan saya sendirian, orang lain juga mempunyai perspektif atau pandangan yang sama.
Nah dengan cara itu dia melestarikan iri hatinya, dengan berkata, "Ya...ini wajar, tidak apa-apa." Iri hati bukanlah sesuatu yang kita mesti sambut dan ijinkan untuk bersarang dalam hati kita, iri hati harus kita lawan, iri hati bertentangan sekali dengan sifat Tuhan yang murah hati.PG : Saya akan bacakan dari I Tesalonika 5:18, "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." Ini perintah Tuhan, Dia meminta kitamengucap syukur dalam segala hal, jadi kita melatih, mengkondisi diri kita; apa pun porsi yang Tuhan telah tetapkan untuk kita bersyukurlah.
Dengan berkata terima kasih Tuhan. Kenapa kita berkata terima kasih, karena kita percaya bahwa Tuhan tahu apa yang paling baik untuk kita. Kalau Tuhan berikan porsi kecil ini, berarti Tuhan tahu porsi kecil inilah yang paling baik untuk kita. Kalau kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, yakinlah Tuhan tahu apa yang baik untuk kita bahwa yang kita inginkan itu belum tentu baik untuk kita, jadi terimalah apa pun yang Tuhan telah tetapkan untuk kita dan berterima kasihlah. Belajarlah berterima kasih sebab bukankah berkat Tuhan itu begitu banyak, bukan saja berkat-berkat tertentu yang kita inginkan, yang lain pun seperti udara, cuaca, hujan, tanaman, begitu banyak berkat yang Tuhan berikan kepada kita, lihatlah dan berterima kasihlah.PG : Sudah tentu kalau ada orang yang akan mengingatkannya itu sangat baik sekali, mudah-mudahan waktu dia mendengarkan khotbah, membaca firman Tuhan dia tergerak kembali, dia diingatkan. Tapisebetulnya intinya adalah orang yang iri hati mesti sering-sering melihat Tuhan, itu kuncinya.
Jangan sering-sering melihat manusia, sering-seringlah melihat Tuhan, waktu kita sering-sering melihat Tuhan kita lebih bisa berterima kasih, lebih bisa melihat kebaikan Tuhan, melihat rencana Tuhan. "O...saya mengerti kenapa dulu tidak menerima ini, tidak menerima itu sekarang saya sadari Tuhan tahu apa yang paling baik." Nah orang yang sering melihat Tuhan dan melihat Tuhan bekerja dalam hidupnya, orang itu akan lebih mudah bersyukur kepada Tuhan.PG : Dengan kata lain kita bisa membalikkannya dan menyerahkannya kepada Tuhan, kemudian melihat hal-hal yang telah Tuhan berikan. "OK, saya tidak mendapatkan ini tapi saya telah menerima ini,menerima itu.
Tuhan telah memberikan saya kesehatan, Tuhan memberikan keluarga yang begitu hangat, saling mengasihi, itu semua berkat Tuhan." Jadi waktu kita melihat yang tidak kita miliki justru kita melihat Tuhan, kita diingatkan akan apa yang Tuhan telah berikan kepada kita dan disitulah kita bersyukur kepada-Nya.PG : Besar, tapi dia sendiri harus berusaha, dia harus memaksa matanya memandang Tuhan dan memandang Tuhan kembali.
PG : Kitab Pengkhotbah 2:25 dan 26 berkata, "Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia? Karena kepada orang yang dikenan-Nya Ia mengaruniakan hikmat, pengetahuan dan kesukan.."
Firman Tuhan di sini dengan jelas mengatakan kita tidak akan bisa menikmati pemberian Tuhan, kalau Tuhan sendiri tidak memampukan kita menikmati pemberian-Nya itu. Jadi apa pun yang Tuhan telah berikan, pertama minta Tuhan menolong agar kita bisa menikmatinya, minta Tuhan memampukan kita menikmatinya. Kalau hati kita sudah dipenuhi dengan rasa syukur, kita tidak mengeluhkan yang kita tidak miliki, kita mensyukuri, berterima kasih pada Tuhan atas apa yang diberikan-Nya, kita akan lebih mampu menikmati yang Tuhan telah berikan itu. Meskipun misalkan rumah kita kecil, kita lebih bisa menikmatinya; meskipun kita tidak mempunyai kendaraan yang baik tapi yang sederhana pun kita bisa menikmatinya. Ini memang benar-benar memerlukan suatu kesungguhan, suatu kerendahan hati tetapi pertama dibutuhkan hati yang penuh syukur agar dapat menikmati apa yang Tuhan telah berikan kepada kita.PG : Saya kira sebaiknya meskipun kita telah memiliki apa yang Tuhan telah berikan kepada kita, kalau kita memang masih mempunyai kebutuhan yang lain, jangan ragu untuk bawakan itu ke dalam doa Tidak salah kita berdoa agar Tuhan memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita yang lain.
Kalau Tuhan bukakan pintu sehingga kita bisa mengembangkan usaha kita, silakan kembangkan jangan ragu asalkan serahkan usaha itu juga kepada Tuhan.PG : Betul.
PG : Firman Tuhan di kitab Pengkhotbah 4:4 dan 6 berkata, "Dan aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala kecakapan dalam pekerjaan adalah iri hati seseorang terhadap yang lain. Segenggamketenangan lebih baik dari pada dua genggam jerih payah dan usaha menjaring angin."
Pengkhotbah mau mengatakan kepada kita bahwa hidup dalam dunia ini begitu tidak sempurnanya sehingga usaha orang memperbaiki diri sering kali dimotivasi oleh iri hati. Segenggam ketenangan, artinya meskipun kita mempunyai sedikit tapi kita damai tenteram, hidup lebih baik dari pada berusaha lebih keras lagi tapi itu sebetulnya dimotivasi oleh iri hati. Kalau saya boleh memakai ayat ini untuk menambahkan satu point lagi adalah belajarlah bersukacita bagi orang lain. Meskipun kita mempunyai satu genggam orang lain mempunyai dua genggam, bersyukurlah bagi mereka. Tuhan telah memberkati mereka, kita bersukacita untuk mereka. Waktu hati kita diisi dengan sukacita untuk orang lain, maka iri hati itu makin hari akan makin menipis dan akhirnya hilang.PG : Tepat sekali, Pak Gunawan.
GS : Pak Paul, terima kasih untuk perbincangan ini dan saya percaya ini akan menolong banyak saudara yang dengan tekun telah mengikuti acara Telaga. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "IRI HATI". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
36. Melawan Kebosanan | |
Hidup tidak selalu penuh gairah. Bagaimana kita menghadapi hidup yang kadang membosankan? Salah satunya ialah belajarlah hal yang baru; tingkatkanlah keterampilan yang telah kita miliki. Otak didesain Tuhan untuk digunakan memikirkan hal-hal yang kompleks. Otak yang tidak dipakai untuk hal yang kompleks akan mengalami kelesuan dan ini menimbulkan kebosanan. Jadi, belajarlah dan asahlah kemampuan.
T 210 B "Melawan Kebosanan" oleh Pdt. Paul Gunadi
Hidup tidak selalu penuh gairah. Adakalanya hidup lebih mirip dengan roda yang berputar-tidak ada beda antara kemarin, hari ini, dan esok. Bagaimana seharusnya kita bersikap menghadapi hidup yang kadang membosankan?
Firman Tuhan: Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian hingga kami beroleh hati yang bijaksana. Kenyangkanlah kami diwaktu pagi dengan kasih setia-Mu; supaya kami bersorak sorai dan bersuka cita semasa hari-hari kami. (Mazmur 90:12,14)
T 210 B
"Melawan Kebosanan" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Melawan Kebosanan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Saya mengerti adakalanya kita akan mengalami kebosanan akibat kondisi kehidupan yang sangat susah. Jadi dalam kondisi kehidupan yang sangat susah memang kita mudah bosan. Sebagai contoh eseorang yang di penjara, hari ini dan hari esok dan minggu depan akan sama kegiatannya, dan kita tahu itu bukanlah suatu masa yang indah.
Jadi dalam keadaan susah terus kerutinan itu sama hari lepas hari kita akan mudah sekali merasakan kebosanan. Tapi saat ini kita mau berbicara dengan kebosanan yang dialami oleh orang-orang yang sebetulnya memiliki kehidupan yang relatif stabil, tidak sedang mengalami kesusahan seperti yang saya gambarkan orang yang di penjara. Kenapa bisa sampai merasa bosan, sudah tentu saya tidak akan mengecap orang yang mengalami kebosanan itu sebagai orang yang bermasalah. Kebosanan itu secara berkala memang akan datang dalam hidup kita, waktu datang kita harus melawannya. Nah apa yang bisa kita lakukan untuk melawannya? Yang pertama adalah kita mesti selalu mengingat tujuan hidup kita, karena tanpa tujuan hidup yang jelas kita mudah sekali terperangkap ke dalam kebosanan. Apalagi misalkan kita mempunyai proyek-proyek dalam hidup, kita mau melakukan ini atau itu misalnya kita mau membesarkan anak-anak, kita mau melihat mereka nanti lulus kuliah akhirnya mendapatkan pekerjaan yang baik, mempunyai keluarga. Adakalanya kita menyusun hidup itu dengan target-target seperti tadi itu, akhirnya tatkala itu semua telah terjadi sesuai harapan kita, kita bingung mesti berbuat apa. Kita mesti jelas dengan tujuan hidup kita sebagai orang Kristen. Mazmur 146:2 berkata, "Aku hendak memuliakan Tuhan selama aku hidup, dan bermazmur bagi Allahku selagi aku ada." Kenapa Daud begitu bergebu-gebu berkata, "Aku ingin memuliakan Tuhan selama aku hidup?" Kita ini memuliakan Tuhan nomor satu karena Tuhan itu mulia, Dia pencipta, Dia pemelihara hidup ini. Tapi Tuhan itu bukan hanya mulia, Dia baik begitu baiknya Dia menyayangi kita; Dia rela mati untuk menebus dosa-dosa kita sehingga kita tidak usah menanggung dosa itu, kematian-Nya membayar lunas semua dosa kita dan kita diterima menjadi anak-anak Tuhan. Kesadaran akan betapa mulia dan betapa baiknya Tuhan, harusnya membuat kita tergugah, "selama aku hidup aku ingin memuliakan Tuhan," artinya aku mau menceritakan kepada orang tentang kemuliaan dan kebaikan Tuhan. Biarlah orang melihat kebaikan dan kemuliaan Tuhan, biarlah orang pun mencicipi kemuliaan dan kebaikan Tuhan, itu yang seharusnya menjadi tujuan hidup kita sebagai orang-orang yang telah diselamatkan oleh Tuhan.PG : Sering kali kerutinan hidup menindih tujuan hidup yang Tuhan telah tetapkan ini, dan saya kira itu alamiah, itu manusiawi. Jadi waktu kita tertindih cobalah kita ingatkan diri kita, bacalh kembali Firman dan mintalah Tuhan berbicara dan terutama terbukalah untuk dipakai Tuhan sesuai dengan kehendak-Nya.
Selama kita hidup kita tidak akan berhenti dipakai Tuhan, jadi terbukalah apa yang Tuhan inginkan dari kita, kita sediakan diri kita untuk melakukannya. Dengan cara itu, meskipun kadang-kadang kita seperti terseret arus, kita bisa kembali diseret masuk ke dalam perahu rencana Tuhan.PG : Betul, dan merupakan cara Tuhan juga untuk mengingatkan kita akan sebetulnya apa itu kehendakNya buat kita.
PG : Itu susahnya manusia, Pak Gunawan, membaca Alkitab sendiri akhirnya menjadi bosan. Kalau bosan bagaimana? Tetap membaca Alkitab. Jangan berkata, "saya bosan tidak mau baca lagi." Tetap aca, sebab hari ini bosan besok belum tentu bosan, siapa tahu besok waktu kita tidak bosan kita justru menerima berkat dari pembacaan firman Tuhan itu.
PG : Betul sekali, tapi dalam kehidupan ini untuk melawan kebosanan saya juga harus mengakui tidak hanya cukup melandasinya dengan alasan-alasan rohani sebab kita ini bukan hanya manusia rohani kita juga adalah manusia relasional.
Tuhan menciptakan kita sebagai manusia sosial. Jadi hal kedua yang mesti kita lakukan untuk melawan kebosanan adalah pertahankanlah kalau bisa kembangkanlah relasi dengan sesama kita. Karena relasi yang hangat dan positif benar-benar merupakan obat penawar bagi kebosanan. Saya berikan contoh, mungkin suatu hari kita pernah mengalami kebosanan; terus datang mungkin saudara, kerabat atau mungkin teman kemudian ngobrol, cerita, kita tertawa, tiba-tiba kita melupakan kebosanan itu. Jadi benar-benar kita bisa menyaksikan relasi yang hangat, yang positif itu berdaya besar mengusir kebosanan. Orang yang dikelilingi dengan teman, sahabat, saudara, kerabat, susah sekali untuk mengalami kebosanan. Jadi selama hidup coba kembangkan aspek pertemanan.PG : Pada waktu itu terjadi, berkatalah kepada diri sendiri bahwa memang pekerjaan yang sama yang kita lakukan hari lepas hari akan menimbulkan kebosanan dan itu wajar, tidak apa-apa. Tidak ad yang salah dengan reaksi bosan terhadap sesuatu yang kita kerjakan hari lepas hari sama.
Yang penting kita tahu bahwa selesai kita mengerjakan pekerjaan yang membosankan ini akan ada hal-hal yang tidak membosankan yang akan kita lewati, yang nanti kita akan cicipi atau yang akan kita lakukan. Ini yang penting Pak Gunawan, sehingga kita tidak diikat oleh hal-hal yang membosankan itu. Jadi sekali lagi saya mau mengatakan saya mengerti akan ada pekerjaan atau aktifitas yang membosankan, karena sama hari lepas hari. Jangan kita menganggap itu sebagai relasi yang keliru, tidak seharusnya kita bosan; terimalah kalau memang membosankan ya membosankan, tidak apa-apa namun yang penting setelah mengerjakan hal-hal itu kita menyadari akan ada hal-hal lain yang akan kita kerjakan yang tidak membosankan kita.PG : Itu baik sekali jadi dengan kata lain ini masuk ke aspek relasi yaitu bahwa apa yang kita kerjakan bisa berdampak pada orang lain atau bahkan akan berdampak pada rencana Tuhan. Meskipun hl-hal itu membosankan tapi kita tahu yang kita kerjakan ini berdampak pada pekerjaan Tuhan dan berdampak pada sesama kita.
Belum lama ini saya membaca sebuah cerita tentang seorang tua yang sudah pensiun, setiap kali dia mendengar ada serdadu-serdadu Amerika yang baru pulang dari perang di kotanya, dia akan datang ke bandara. Dengan membawa beberapa sahabatnya menyambut mereka, menyalami mereka dan berkata, selamat datang kembali di rumah. Nah itu suatu pekerjaan yang mungkin orang pikir sangat sederhana sekali, tapi bagi para serdadu yang baru pulang, sambutan hangat seperti itu benar-benar menghangatkan hati mereka. Para serdadu itu sangat senang sekali dan si orang tua ini dengan jujur berkata, "Terus terang adakalanya saya capek sebab terlalu sering dan saya sudah tua, saya harus ke bandara tapi saya selalu berjanji kepada mereka, kalau kamu pergi nanti dua tahun lagi kamu pulang saya akan berada di sini menyambut kamu kembali dan saya tahu mereka menghargai apa yang saya lakukan, jadi akan terus saya lakukan." Jadi semua terkait dengan tujuan untuk apakah kita hidup, kalau kita bisa sesuaikan aktifitas kita sesuai tujuan hidup itu kita akan melihat dampaknya. Apa dampaknya bagi pekerjaan Tuhan, apa dampaknya bagi sesama kita.PG : Obatnya yang paling gampang adalah rekreasi, terutama rekreasi yang mengandung permainan. Kita makin tua makin jarang bermain, bahkan adakalanya waktu kita ber-rekreasi pun itu merupakan ekreasi yang serius.
Saya berikan contoh, misalnya "sight-seeing" ke mana, untuk melihat pemandangan baru dan sebagainya. Itu sudah tentu hal yang indah, hal yang bagus sekali. Kita bisa menikmati sesuatu yang baru, itu bisa menyegarkan jiwa kita, meneduhkan hati kita; itu semua sangat penting dan kalau kita lakukan secara berkala hal itu akan menolong kita juga untuk menghalau kebosanan. Tapi ada hal kecil lain yang sebetulnya bisa kita lakukan kapan saja yaitu bermainlah. Kita kadang-kadang makin tua makin jarang bermain, misalnya bermain kartu "forty-one", empat puluh satu, bermain kartu cangkul, bermain catur atau bermain sepeda atau di laut bermain air. Begitu banyak hal-hal kecil yang bisa kita lakukan yang mengandung unsur bermain. Bermain itu benar-benar antithesis atau lawan dari kebosanan. Itu sebabnya anak kecil kalau banyak teman dan mainan tidak pernah bosan, tapi begitu tidak ada teman dan mainan dia merasa bosan. Anak-anak kecil bermain-main dengan teman-temannya, kita tidak akan melihat wajah yang bosan, wajah yang luar biasa senang. Ini yang mesti kita kembalikan pada diri kita, lebih sering-seringlah bermain dalam pengertian bermainlah yang sehat jangan bermain yang tidak sehat. Sering-seringlah bermain dalam batas-batas yang wajar, permainan itu dapat menolong kita, memulihkan diri kita kembali. Kata rekreasi berasal dari kata re-create jadi menciptakan ulang. Apa yang mau kita ciptakan ulang, yaitu energi kita, antusiasme kita untuk hidup; lewat rekreasi, lewat permainan antusiasme kita itu bisa dibakar kembali.PG : Itu betul sekali Pak Gunawan, jadi jangan tunggu sampai benar-benar energi kita sudah habis sehingga tidak ada lagi yang kita gunakan untuk pergi ke luar bermain. Jadi jangan tunggu sampa kebosanan itu benar-benar menjadi sangat parah.
PG : Betul, itu point yang bagus sekali Pak Gunawan, namun kalau kita sudah sampai ke kondisi itu mungkin kita bisa berkata begitu, "Ok-lah saya memang bosan saya tidak mau, tapi demi pasangan ita atau teman-teman kita yang ingin pergi, ya sudah pergilah."
Justru waktu kita pergi, meskipun demi orang lain di saat itulah energi kita itu akan diisi kembali, kita akan menikmati bahwa senang juga pergi bersama-sama teman seperti ini. Dia diingatkan kembali pentingnya rekreasi sehingga lain kali dia lebih termotivasi untuk menikmati permainan atau rekreasi.PG : Ini perspektif yang sangat baik sekali Pak Gunawan, betapa seringnya waktu kita itu mau ber-rekreasi mata hanya tertuju pada tempat yang kita akan kunjungi. Padahal perjalanan itu lumayanpanjang sedangkan kita mengendarai mobil berbelasan jam.
Jadi kita merasa perjalanannya yang panjang, itu menjadi beban; betapa baiknya kalau kita melihat perjalanan itu sendiri sebagai bagian dari rekreasi. Misalkan jangan terlalu tergesa-gesa, berhentilah, menikmati makan-minum, waktu istirahat melihat-lihat apa yang di perjalanan. Sehingga waktu kita mulai keluar rumah sampai kita kembali ke rumah itu semuanya secara utuh merupakan rekreasi.PG : Itu baik sekali, sebab kita harus menyadari otak kita memang didisain oleh Tuhan untuk memikirkan hal-hal yang kompleks, otak itu tidak didisain untuk memikirkan hal yang gampang, sederhan-sederhana; otak memang begitu rumit didisain untuk memikirkan hal-hal yang kompleks.
Itu sebabnya kalau kita tidak memakai otak memikirkan hal-hal yang kompleks, lama-lama otak kita lesu, terbuai oleh hal-hal yang mudah, gampang dan sederhana. Nah otak kalau makin hari makin lesu akibatnya kita jadi jenuh, bosan, jadi silakan belajarlah hal yang baru, bacalah buku yang baru, kalau ada keterampilan yang bisa dipelajari dan kita ada waktu pelajarilah, carilah pengetahuan yang baru yang dulu kita tidak pernah kuasai, itu akan kembali merangsang kehidupan kita dan kita tidak mudah lagi dikuasai oleh kebosanan.PG : Berikutnya adalah mencintai. Saya ingin mengajak kita semua menikmati dan merayakan cinta. Orang yang mencintai tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri dan makin banyak mengasihi makin teisi hatinya oleh kasih.
Sudah tentu kita harus membatasi mencintai dalam koridor keputusan Tuhan, jangan berdosa mencintai orang yang tidak seharusnya kita cintai. Cintailah pasangan kita, kasihilah anak-anak kita, kasihilah keluarga kita, kasihilah sesama kita. Jadi mengasihilah, orang yang banyak mengasihi berarti memikirkan banyak orang; hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Nah waktu dia mulai keluar dari dirinya dan mulai hidup bagi orang lain, tidak bisa tidak kebosanan itu akan menurun atau akan berkurang. Karena kebosanan dapat dikaitkan juga dengan hidup yang terlalu terbatas, hidup yang terlalu terfokus pada diri sendiri. Nah waktu kita mulai bagikan hidup ini dengan orang lain kebosanan itu akhirnya juga akan mulai berkurang.PG : Biasanya kalau itu terjadi sebelum muncul kebosanan memang sudah ada masalah. Akhirnya kebosanan menimbulkan kepahitan, kepahitan menimbulkan keengganan untuk dekat sehingga kasih pun akhrnya makin hari makin memudar.
Tatkala kasih memudar, tidak bisa tidak kebosananlah yang akan muncul. Maka obatnya, kalau ada masalah dari awal jangan tunda bereskan dan bereskan. Usahakan bereskan jangan diamkan masalah itu terus bercokol. Nah, waktu masalah selesai, kepahitan pun berkurang cinta makin bisa bertumbuh, nah nikmatilah dan rayakanlah cinta itu dengan pasangan sendiri. Orang yang hidup saling mencintai dan merayakan cinta itu akan lebih kuat melawan kebosanan.PG : Seharusnya tidak Pak Gunawan, karena orangtua itu seharusnya mengasihi anak-anaknya, senang melihat anak-anaknya, jadi seharusnya tidak bosan. Kalau sampai orangtua merasa bosan terhadap nak-anaknya, kemungkinan karena relasi mereka tidak begitu hangat atau intim lagi.
PG : Betul, sebab dia juga tahu dampak apa yang dilakukannya itu pada pekerjaan Tuhan dan pada sesamanya.
PG : Yang terakhir adalah hargailah hidup serta pemberian Tuhan, hitunglah berkat, ucapkanlah syukur atas kebaikan-Nya, lihatlah sekeliling pandanglah semua pemberian Tuhan yang begitu indah da berlimpah.
Makin jeli kita melihat Tuhan di dalam ciptaan-Nya makin berlimpah hati ini dengan sukacita. Dan sukacita akan menghalau kebosanan. Jadi coba kita ingat sebagai panduan kita Firman Tuhan di Mazmur 90:12 dan 14, "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana. Kenyangkanlah kami di waktu pagi dengan kasih setia-Mu, supaya kami bersorak-sorai dan bersukacita semasa hari-hari kami." Ini adalah doa Musa kepada Tuhan agar Tuhan menganugerahkan kepadanya hati yang bijaksana yang memungkinkannya dan menolongnya menghitung hari. Artinya menggunakan harinya dengan sebaik-baiknya. Sekali lagi kita hanya bisa melakukan itu semua kalau kita melihat waktu yang Tuhan berikan sebagai pemberian Tuhan, waktu bukannya hadir begitu saja, waktu adalah pemberian Tuhan untuk kita, kita pakai dengan bijaksana. Dengan perspektif seperti itu kita akan lebih dimampukan melawan kebosanan pula.PG : Betul sekali, jadi sekali lagi kita mau mengingatkan para pendengar kita bahwa kita semua rentan terhadap kebosanan, nah tugas kitalah melawannya. Tadi kita sudah membahas cara-cara kita elawannya, mudah-mudahan dapat menolong kita semua untuk melawan kebosanan ini.
GS : Karena ada sebagian orang yang mungkin merasa bosan dengan mengikuti acara Telaga ini, tetapi dengan perbincangan ini saya percaya ini akan menolong orang walau pun bosan tetapi ada sesuatu yang penting yang selalu kami usahakan untuk bisa diperbincangkan melalui acara Telaga ini. Jadi terima kasih sekali untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Melawan Kebosanan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
37. Manusia Baru | |
Setiap orang Kristen pasti pernah bergumul dengan dosa yang ada pada dirinya. Kita tahu tidak seharusnya kita berdosa namun kita tetap melakukan perbuatan yang sama. Seperti bergumul dengan dosa berbohong, kita tahu itu salah, tetap saja kita mengulangnya. Ada yang bergumul dengan dosa seksual, kita ingin lepas tetapi terus melakukannya. Dan apa yang harus kita lakukan?
T 215 A "Manusia Baru" oleh Pdt. Paul Gunadi
Setiap orang Kristen pasti pernah bergumul dengan dosa yang ada pada dirinya. Kita tahu tidak seharusnya kita berdosa namun kita tetap melakukan perbuatan yang sama. Ada yang terus bergumul dengan emosi marah; tidak mau marah namun toh marah. Ada yang bergumul dengan dosa berbohong; kita tahu itu salah, tetap saja kita mengulangnya. Ada yang bergumul dengan dosa seksual; kita ingin lepas tetapi terus melakukannya. Kita merana dan ingin bebas tetapi masih terbelenggu oleh dosa yang sama. Kadang kita bertanya-tanya, di manakah kebenaran ayat yang berbunyi, "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru; yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17) Apakah artinya ayat ini?
T 215 A
"Manusia Baru" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Sekolah Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Manusia Baru". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Kita dapat membaca II Korintus 5:17, "Jadi siapa yang ada didalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." Nah dari sinilah kita jug memang mengambil konsep itu, bahwa kita adalah manusia atau ciptaan yang baru.
Kita sudah dilahir barukan oleh Roh Kudus dan sekarang kita menjadi anak Tuhan. Tapi kenyataanya adalah meskipun kita sudah menjadi anak Tuhan secara status kita adalah lahir baru, manusia baru. Namun kita masih terus bergumul dengan manusia lama kita. Misalkan ada orang yang terus bergumul dengan emosi marah, tidak ingin marah tapi akhirnya tetap marah. Ada yang bergumul dengan dosa berbohong, kita tahu itu salah tapi tetap saja kita mengulanginya. Ada juga yang bergumul dengan dosa seksual, kita ingin lepas tapi tetap melakukannya. Kita merana sekali karena kita tahu tidak seharusnya kita hidup seperti ini, kita ingin bebas tapi terus terbelenggu oleh dosa yang sama. Jadi saya kira inilah hal yang kita mau angkat pada kesempatan ini agar para pendengar kita juga memiliki pemahaman tentang "Apa artinya menjadi manusia yang baru."PG : Saya akan bacakan pertama-tama dari Roma 12:2 "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Alah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna."
Kata pembaharuan budi: kata budi ini berarti pikiran, jadi Tuhan memang mengatakan atau meminta kita untuk berubah pertama-tama di dalam pikiran kita. Efesus 4:23,24 berkata "Supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya." Jadi dari Firman Tuhan di Efesus 4 ini kita juga bisa melihat Tuhan memperbaharui kita di dalam roh dan pikiran kita. Jadi yang pertama-tama berubah atau mengalami perubahan adalah pemikiran kita, cara pandang kita, cara kita melihat apa yang terjadi di dalam hidup ini. Jadi misalkan, dulu kita menekankan uang, pokoknya terpenting adalah uang segala sesuatu kita ukur lewat uang. Nah sekarang setelah kita menjadi anak Tuhan, kita mengadopsi pemikiran Tuhan. Pemikiran Tuhan adalah bukan uang yang menjadi segalanya, tetapi Tuhan, bahwa manusia diukur bukan lewat uang tetapi oleh apa yang ada di dalam dirinya yakni karakter itu sendiri. Pemikiran yang baru ini yang kita peroleh dari nilai-nilai yang tercantum di firman Tuhan, ini yang nanti akan mulai menstransformasi diri kita, karena kita mulai melihat dengan cara yang berbeda. Di sinilah terjadi perubahan, tapi apakah kita telah mengalami atau telah berubah secara tuntas di dalam segala hal? Belum. Cara pikir kita mungkin berubah di dalam satu aspek, aspek lainnya masih kurang. Misalkan dalam soal uang, kita belajar uang bukan segalanya, kita diminta untuk mencari kerajaan Allah dan kebenarannya maka segalanya akan ditambahkan kepadamu, kata firman Tuhan. Kita berhasil menomor sepuluhkan uang, sekarang kita lebih menomorsatukan Tuhan dan kebenarannya, kita lebih mementingkan relasi dengan orang dari pada uang dan sebagainya. Tapi di dalam hal yang lain misalkan, di dalam hal kejujuran, kita masih belum bisa berubah. Kita misalkan masih sering berbohong, untuk kepentingan pribadi, pokoknya kita siap saja berbohong, kita masih belum menerapkan pikiran Kristus di sini, Pak Gunawan. Sehingga tetap terlibat dan terikat di dalam dosa berbohong itu. Jadi di sini kita melihat juga bahwa perubahan atau transformasi di dalam pikiran itu berjalan setahap demi setahap, satu areal demi satu areal tidak secara serentak, seketika semua areal mengalami transformasi sehingga kita menjadi manusia baru yang berpikir dengan cara pandang yang baru.PG : Betul, jadi kita mendapatkan informasi tentang pikiran Kristus lewat firman-Nya. Itu sebabnya kalau kita mengaku, kita adalah orang Kristen tapi tidak membaca firman Tuhan, kita sebetulnyatidak memiliki pikiran Kristus.
Pengakuan iman kita memang ada, kita mengaku kita adalah pengikut Kristus, kita percaya Dia telah mati untuk dosa kita. Tapi kita tidak memiliki pikiran Kristus. Ini menjelaskan kenapa ada orang-orang Kristen yang sudah lama bergereja, ikut Kristus tapi tetap luar biasa berdosa. Tidak mempunyai kehidupan yang berbeda dari orang yang tidak mengenal Tuhan. Kenapa? Sebab yang terjadi dia tetap memiliki pemikirannya sendiri atau 90% lebih pikirannya itu adalah pikirannya sendiri, belum diisi dan dibaharui dengan pemikiran Kristus.PG : Biasanya dosa yang menonjol, itu yang akan mengalami perubahan tercepat Pak Gunawan. Jadi di areal dimana kita itu memiliki dosa yang menonjol, maka di situlah kita mengalami perubahan atu transformasi.
Sebab perjumpaan dengan Kristus benar-benar menghancurkan dosa yang menonjol itu. Jadi misalkan tadi yang Pak Gunawan sudah sebut, kita misalkan sering berzinah, kita sering berjudi, kita sering misalkan mengambil milik orang lain; dosa yang menonjol itu yang langsung terkonfrontasi oleh kebenaran Kristus tatkala kita menerimanya sebagai Tuhan dan Juruselamat kita. Namun, akan ada areal tertentu dalam hidup kita yang lebih tersembunyi, akan ada dosa-dosa yang lebih tersembunyi yang tidak mudah untuk kita ubah. Inilah yang menyebabkan kita akhirnya terus bergumul dengan dosa-dosa yang lain itu. Rasul Paulus di Roma 7:21-23 berkata "Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku." Jadi Rasul Paulus disini terbuka mengakui pergumulannya. Dia tahu apa yang seharusnya dilakukan tetapi dia masih belum bisa melakukannya. Ternyata di dalam kehidupannya pun masih ada dosa-dosa tertentu yang terus menyelinap masuk ke dalam hidupnya dan masih terus mencoba untuk menguasainya. Jadi, sekarang kita berkesimpulan selain kita harus mempunyai pikiran Kristus atau kita berpikir seperti Kristus, kita pun harus berbuat seperti Kristus, tidak cukup hanya mengetahui, kita juga harus melakukannya. Nah sering kali Pak Gunawan, di sinilah terjadi kemacetan, kita tahu apa yang Kristus inginkan, apa yang Tuhan perintahkan tapi kita tidak bisa melakukannya. Pertanyaannya adalah mengapa terjadi kemacetan? Kenapa di areal-areal tertentu kita sudah tahu seharusnya bagaimana berbuat, tapi tetap saja kita gagal. Sudah tahu seharusnya tahan diri tidak marah tetap kita marah. Seharusnya tahu kita harus jujur berkata apa adanya tetap saja kita berbohong, kita sudah tahu jangan dekat-dekat dengan dosa perzinahan tetap saja kita pergi ke tempat-tempat mesum dan melakukan dosa itu. Mengapa? Biasanya ini penyebabnya Pak Gunawan, dosa yang sudah lama kita lakukan menjadi bagian hidup kita. Menjadi bagian dari kepribadian kita, sehingga untuk melepaskannya menjadi sangat susah. Menjadi bagian dari hidup kita artinya apa? Hal-hal ini yang berdosa tadi sudah menjadi sebuah jalan keluar bagi kita, jalan keluar atau sarana untuk mendapatkan hal yang kita inginkan. Sebagai contoh, kita ingin agar pasangan kita menghormati kita, kita terbiasa untuk berteriak dan marah, pasangan kita akan lebih takut dan akhirnya meninggalkan kita. Kita mau mendapatkan sesuatu kita berbohong supaya mendapatkan yang kita inginkan itu atau kita frustrasi hubungan dengan istri tidak begitu positif, nah kita keluar dan berzinah dengan orang lain. Sekali lagi kita melihat di situ dosa perbuatan-perbuatan tersebut adalah alat untuk memenuhi keinginan kita, itu sebabnya untuk melepaskan dosa-dosa atau perbuatan-perbuatan tersebut sulit. Sebab selama ini hal-hal itulah yang telah berfungsi untuk memenuhi yang kita inginkan.PG : Dia memang harus bergantung atau kita semua harus bergantung sepenuhnya pada kuasa Tuhan. Karena hal-hal tersebut sudah mendarah daging dalam diri kita. Untuk melepaskannya akan sangat-sagat sulit sekali, maka setiap hari akan menjadi hari-hari untuk bergantung pada kuasa Tuhan.
Secara spesifiknya sebetulnya inilah yang harus terjadi, yaitu kita harus mempercayai Kristus. Dalam pengertian, kita harus mempercayai bahwa Dia dapat memberikan kepada kita hal yang kita inginkan itu, tapi lewat cara-Nya. Dulu kita menginginkan penghormatan cara yang kita gunakan marah. Dulu kalau kita dirugikan, kita ingin kita tidak dirugikan lagi dan cara yang kita gunakan kita menakut-nakuti orang, mengancam orang. Dulu kalau kita terjepit, kita akan berbohong, supaya menerima sesuatu yang kita ingin dapatkan. Nah cara-cara itu untuk mendapatkan yang kita inginkan, hal itulah yang berdosa. Kalau kita ingin berbuat seperti Kristus, bukan hanya berpikir seperti Kristus, Kristus harus berada di antara kita dan keinginan itu. Sebelumnya, di antara kita dan keinginan ada cara, kita menginginkan keuntungan maka cara apakah yang kita gunakan. Misalkan kita berbohong. Nah sekarang karena kita sudah memiliki pikiran Kristus dan mau berbuat seperti Kristus, kita berkata: "Antara saya dan keinginan untuk mendapatkan keuntungan sekarang ada Kristus, bukan lagi caraku tapi cara Kristus." Cara Kristus adalah apa? "Saya harus jujur, saya harus taat kepada-Nya, saya harus percaya bahwa dengan kejujuran ini, Dia akan tetap bisa memberikan kepada saya apa yang saya butuhkan."PG : Sudah tentu kita harus menyadari satu kebenaran, yaitu sampai kapan pun sebetulnya manusia lama kita itu mempunyai kedudukan di dalam hidup kita. Artinya meskipun kita sudah diperbaharui dn makin banyak areal dalam diri kita yang mengalami transformasi, tapi akan tetap ada bagian-bagian hidup kita yang diduduki oleh manusia lama.
Kalau tidak hati-hati dan kita lengah, kita beranggapan saya tidak akan lagi mungkin dikuasai oleh dosa itu. Nah di saat itulah si manusia lama muncul dan menguasai kita. Sebagai contoh, di dalam keadaan frustrasi otomatis kendali atas diri itu berkurang. Kalau kita tahu bahwa kita itu mempunyai masalah dengan emosi dan saat itu kita justru harus lebih berhati-hati karena kita tahu kalau tidak hati-hati, justru manusia lama yang mudah beremosi akan kembali datang. Kapan datangnya? Dia akan datang tatkala kendali kita sedang melemah, saat kita mengalami frustrasi. Maka Tuhan selalu mengingatkan kita berdoa dan berjaga-jagalah. Tuhan selalu mengingatkan kita "roh penurut tetapi daging itu lemah." Pikiran kita tahu apa yang kita lakukan, tapi daging kita atau perbuatan kita tidak mengikutinya, kita perlu menyadari semua itu. Berbahagialah orang yang senantiasa berdoa dan berjaga-jaga, Pak Gunawan.PG : Nah orang atau kita semua harus mempunyai perspektif yang berimbang, Pak Gunawan. Bahwa kita adalah manusia baru yang masih mempunyai manusia lama. Kita jangan berkata saya adalah manusialama dan belum ada manusia barunya.
Bukan, kita sudah menjadi manusia baru, kita sudah ditebus oleh Kristus, kita sudah bertobat dan kita menjadi pengikut-Nya. Tapi di dalam manusia baru ada manusia lama dan ini adalah perspektif yang benar yang mesti kita miliki. Jadi kita menyadari karena dalam manusia baru kita masih ada manusia lama yang tersisa, masih ada areal-areal dalam diri kita yang masih memberikan kedudukan kepada manusia lama. Kita senantiasa harus berjaga-jaga dan kita harus memfokuskan perhatian kita pada areal-areal itu agar kita bisa menumbuhkannya, kita bisa mengembangkan manusia baru di sana, sehingga akhirnya lebih banyak daerah atau teritori dalam diri kita yang dikuasai oleh Roh Kudus dan ini akan memerlukan waktu, proses. Bersabarlah, jangan kita bersenang-senang jatuh ke dalam dosa, jangan. Waktu jatuh kita mesti melihat ke atas yaitu kepada Tuhan meminta pengampunan, kita sadar kita jatuh lagi, kita mendukakan hati Tuhan. Namun setelah itu kita fokuskan lagi ke depan. Kita berkata saya akan melawan percobaan tatkala ia datang kembali.PG : Betul, jadi kita juga akan bertumbuh terus-menerus di dalam pikiran, pikiran yang dimiliki oleh Kristus. Tadinya kita anggap, berbohong seperti ini tidak apa-apa. Namun Tuhan menegur kita itu tetap berbohong.
Kita dicerahkan, berarti kita mulai menambah pikiran Kristus dan memasukkannya ke dalam pikiran kita. Sehingga semakin hari pikiran kita semakin mengecil tapi pikiran Kristus yang semakin menguat, menjadi penentu dalam hidup kita. Jadi itu adalah perubahan yang baik yang seharusnya dan yang kita senantiasa harus kejar. Satu hal yang lain Pak Gunawan yang saya juga mau ingatkan kepada pendengar kita adalah kenapa saya selalu menekankan pada, fokuskan pada yang selanjutnya. Saat kita jatuh kita minta pengampunan pada Tuhan, kita jalan lagi dan kita fokus kembali ke depan. Sebab ada orang yang seperti ini Pak Gunawan, terlalu terfokus pada dosanya, terlalu memukuli diri, menyesali diri akibat dosanya. Makin dia memukuli diri, menyesali diri makin melemah bukan makin menguat sehingga pada akhirnya waktu pencobaan datang bukannya dia kuat tetapi semakin melemah. Maka fokus perhatian kita bukan ke belakang tetapi selalu ke depan. Kalau kita sudah jatuh kita meminta pengampunan Tuhan majulah ke depan, jangan biarkan diri kita terus dikuasai oleh rasa bersalah. Sebab rasa bersalah yang berlebihan akan melemahkan kita dan yakinlah bahwa iblis juga turut bekerja di situ dengan cara menambah-nambah rasa bersalah kita, meniupkan isu, "kamu tidak layak menjadi anak Tuhan, berhentilah, sudah jangan pikirkan Tuhan lagi." Nah, hati-hatilah dengan bisikan-bisikan iblis karena makin kita terpuruk, makin senanglah dia.PG : Proses yang tak habis-habisnya dan menuntut usaha dari diri kita, Pak Gunawan. Kadang-kadang kita ini mempunyai pandangan keliru kita berkata: "Wah saya sudah memilih menjadi orang Kristen Tuhan adalah hidup saya dan Tuhan yang akan memerangi dosa."
Tidak demikian, yang harus memerangi dosa adalah kita bukan Tuhan sebab yang berdosa kita, bukan Tuhan. Jadi Tuhan tidak memerangi dosa di dalam hidup kita, kita yang harus memerangi dosa. Sebab bukankah juga keinginan dan usaha kita memerangi dosa, itu menunjukkan pula keseriusan kita mengikut Tuhan. Kalau kita berkata: "Biarkan Tuhan nanti yang memerangi," sampai kapan pun tidak akan ada pertumbuhan rohani di dalam hidup kita. Pertumbuhan terjadi tatkala kita mengambil tanggung jawab memerangi dosa. Artinya apa? Kita harus melawan dosa, kita tidak bisa pasif dan hanya berharap Tuhan yang akan menghilangkan dosa itu dari diri kita. Kita harus melawannya, maka firman Tuhan di Roma 6:12 berkata: "Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya." Nah siapa yang diminta untuk tidak menuruti keinginan dosa? Kita, berarti kita yang harus melawan keinginan untuk berdosa itu; kalau kita tidak ada keinginan, tidak ada perlawanan. Sebetulnya ini yang terjadi, waktu kita melawan, di saat itulah Roh Tuhan memberikan kekuatan bagi kita untuk melawan. Kalau kita tidak melawan, Roh Tuhan tidak bekerja untuk memberikan kekuatan melawan dosa. Jadi kita harus melawannya terlebih dahulu. Di dalam perlawanan muncul kekuatan Tuhan untuk melawan dan mengalahkan dosa itu.PG : Betul, jadi ini yang membedakan kita. Karena sekarang kita sudah punya keinginan karena kita tahu apa yang benar dan kita sekarang memiliki kekuatan karena ada Tuhan di dalam hidup kita yng memberi kepada kita kuasa.
Tapi sekarang langkah berikutnya, kita yang harus berjalan; kalau kita duduk terus sampai kapan pun kita tidak akan sampai tujuan. Kita harus melangkahkan kaki dan nanti Tuhan akan menuntun kita ke tempat tujuan. Jadi orang Kristen harus berjalan, di dalam perjalanan itulah Tuhan menunjukkan jalan-Nya memberikan kekuatan kepada kita untuk berjalan. Bukankah orang yang tidak berjalan, duduk terus kakinya menjadi lemah. Semakin dia memakai kakinya untuk berjalan, semakin kuatlah kakinya. Semakin sering kita melawan dosa semakin kuatlah kita. Makin mudah menyerah makin melemah dan tidak ada kekuatan lagi. Maka Tuhan meminta kita untuk melawan dosa bukan menyerah. Dalam perlawanan itulah terletak kekuatan Tuhan.PG : Pertama kita datang kepada Tuhan, kita mengakui dosa itu, jangan bersembunyi, jangan merasionalisasi dan mengatakan, "biasalah manusia itu lemah." Dosa adalah dosa dan semua dosa itu seris di hadapan Tuhan, itu sebabnya Dia mengorbankan nyawa-Nya sendiri untuk menebus kita dari dosa.
Jadi dosa itu serius di mata Tuhan. Yang kedua, kita akan berkata: "Tuhan, saya ingin berubah saya ingin bertobat, saya tidak mau melakukan itu lagi." Berjanjilah untuk tidak melakukannya dan lawanlah. Bagaimana cara melawan, sedapatnya menghindarlah dari dosa. Kalau tidak perlu kita melawannya, menghindarlah; cara yang paling tepat dan paling aman adalah menghindar dari dosaGS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Manusia Baru". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
38. Bayang Bayang Masa Lalu | |
Masa lalu berperan penting dalam pembentukan kepribadian. Biasanya masa lalu yang tidak manis membuahkan perilaku pahit. Dalam Alkitab, Musa dan Yefta adalah dua pelayan Tuhan yang memiliki pergumulan pribadi karena masa lalu yang tidak menyenangkan. Disini kita akan menimba banyak pelajaran berharga dari kedua tokoh ini.
T 215 B "Bayang-bayang Masa Lalu" oleh Pdt. Paul Gunadi
Masa lalu berperan penting dalam pembentukan kepribadian. Biasanya masa lalu yang tidak manis membuahkan perilaku pahit. Dalam Alkitab, Musa dan Yefta adalah dua pelayan Tuhan yang memiliki pergumulan pribadi karena masa lalu yang tidak menyenangkan. Dari kehidupan dua tokoh ini kita dapat menimba banyak pelajaran berharga.
Beberapa persamaan antara kedua tokoh yang bisa kita petik adalah:
Ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari kehidupan mereka, yaitu:
II Korintus 12:8-10, rasul Paulus membagikan pergumulannya, dia manusia seperti kita, ada kelemahan yang juga harus ditanggungnya, dan dia berkata: Aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan iblis itu mundur daripadaku. Tapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.
T 215 B
"Bayang-bayang Masa Lalu" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Bayang-bayang Masa Lalu". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Yang Pak Gunawan katakan memang tepat, sebenarnya kita ini terus dibayang-bayangi oleh masa lalu kita, namun pada akhirnya terserah pada kita apa yang akan kita lakukan dengan masa lalu itu. Ada orang yang berhasil melewati masa lalunya karena bersedia menatap masa lalunya. Yang saya maksud dengan menatap adalah sungguh-sungguh melihat sebenarnya apakah yang telah terjadi dan apakah dampak dari masa lalu terhadap dirinya sekarang ini. Setelah pengakuan itu dilakukan, maka orang ini berketetapan hati untuk mengadakan perubahan. Malangnya, ada sebagian orang yang tidak bersedia melihat masa lalunya, mungkin baginya terlalu menyakitkan atau terlalu memalukan, sehingga dia lebih suka menggunting masa lalu dari kehidupannya. Persoalannya adalah masa lalu yang digunting itu tidak "terbang" meninggalkannya, tetap ada di dalam dirinya dan (ini yang berbahaya) terus memberi pengaruh terhadap perbuatannya, tingkah lakunya, sikapnya, cara pikirnya dan perasaan-perasaannya. Namun karena dia tidak mau melihatnya, kaitan itu dengan masa lalunya maka pada akhirnya dia terus-menerus dikuasai oleh bayang-bayang masa lalunya.
PG : Betul, karena memang tidak bisa kita hapus, Pak Gunawan. Jadi yang perlu kita lakukan adalah melihatnya, apa sebenarnya yang terjadi, apa dampaknya pada diri kita sekarang ini, kemudian kta mengakuinya-kita menjadi seperti ini, kita mempunyai masalah ini dan itu gara-gara masa lalu kita, kemudian mencoba untuk mengubahnya.
PG : Betul, namun kalau dia terus begitu, masa lalu tersebut akan mengikuti dan bahkan menguasainya. Sebagai contoh, kalau kita mengalami kepahitan sebagai anak akibat orangtua bercerai, tapi ebetulnya kita tidak lagi mau melihat apa yang terjadi saat itu dan apa dampaknya pada diri kita.
Kita mau menggunting masa lalu itu dari hidup kita. Saya khawatir, di masa dewasa kita menjadi orang yang sangat susah percaya pada orang lain, tapi kita menyalahkan orang bukannya melihat diri sendiri. Kita berkata: "Mana bisa saya percaya, sebab dia begini, begini." Memang betul, bahwa orang tidak sempurna pasti ada kekurangan, tapi inilah hidup dan kita membangun kepercayaan bukan di atas kesempurnaan; kita membangun kepercayaan di atas ketidaksempurnaan. Tapi orang ini selalu menyoroti kekurangan-kekurangan dan menjadikan kekurangan ini sebagai alasan tidak bisa percaya pada orang. Berarti, dia tetap diikat oleh masa lalunya.PG : Ya, sebab akhirnya mengganggu relasinya dengan sesama, akhirnya dia tidak bisa membangun sebuah relasi yang sungguh dalam dan bermakna, bebas dan nyaman. Selalu nantinya berujung pada konlik atau masalah lainnya.
PG : Nah, sebagian kita yang telah dikecewakan bangkit, belajar mempercayai orang lagi. Kita bisa berkata, "Ya, dia memang mempunyai kelemahan di sini, OK-lah saya memang terluka, tapi tidak brarti semua orang seperti dia."
Kita tidak menyamaratakan satu orang sama dengan semua manusia di dunia, tapi bagi kita yang masih dibayang-bayangi masa lalu, karena kekurangpercayaannya ini akan menyamaratakan semua orang, meskipun kita hanya dilukai oleh satu orang saja. Atau kita dikecewakan oleh seseorang, tapi kita masih bisa berkata dia itu terdiri dari banyak hal, satu memang telah mengecewakan tapi ada banyak hal dalam dirinya yang positif. Kita bisa melihat seperti itu, tidak langsung mengecap bahwa orang itu pasti orang yang tidak bisa dipercaya, orang yang memang berkarakter buruk dan sebagainya. Bukankah belum tentu, kita mempunyai kelemahan di satu aspek, belum tentu mempunyai kelemahan di semua aspek. Tapi kalau orang diikat oleh masa lalu, cenderung menyamaratakan-"Sudah, pasti dia itu bermasalah dan saya tidak bisa percaya dengan dia seumur hidup." Seolah-olah semua perbuatan baik yang pernah dilakukan oleh orang tersebut, tidak bisa lagi dilihat apalagi diingatnya."PG : Ada Pak Gunawan, yang coba saya angkat adalah dua contoh anak Tuhan, yaitu Yefta dan Musa. Ada beberapa kesamaan antara kedua hamba Tuhan ini, dan keduanya memperlihatkan pada akhirnya beapa masa lalu membayang-bayangi masa lalu mereka.
Kesamaan antara Yefta dan Musa yang bisa kita petik adalah keduanya orang yang tidak diterima oleh lingkungannya. Musa orang Ibrani, keluarga budak, dibesarkan di istana Firaun-bangsa yang menjajah bani Israel. Itu sebabnya pada akhirnya dia memang terus melihat dirinya sebagai seorang Ibrani. Maka waktu ada kejadian dimana ada seorang Mesir berkelahi dengan seorang Ibrani, dia marah, dia malah membunuh orang Mesir itu, dan raja begitu marah dan ingin langsung membunuhnya. Kenapa raja Firaun begitu marah, bukankah kalau cucunya yang asli yang melakukan hal seperti itu, mungkin sekali dia tidak akan ingin membunuh Musa, tapi mungkin dia merasa bahwa Musa bukan orangnya, Musa adalah orang lain, jadi reaksinya marah bahkan mau membunuh Musa. Jadi Musa memang tidak pernah pas di lingkungannya, demikian juga Yefta. Dia anak dari relasi yang haram, ayahnya mempunyai hubungan dengan ibunya di luar pernikahan. Maka dia ditolak oleh saudara-saudaranya yang lain, sebab dianggap anak yang tidak sah dari ayahnya. Jadi kita melihat keduanya itu anak-anak yang memang ditolak oleh lingkungannya. Dan tampaknya penolakan ini membuat mereka bertumbuh besar dengan kemarahan yang tinggi, ini kesamaan yang berikutnya. Musa penuh dengan kemarahan, melihat bangsanya atau orangnya berkelahi dengan orang Mesir, dia marah dan langsung dia bunuh. Padahal sebagai keluarga istana, dia bisa memerintahkan agar orang Mesir itu ditangkap saja. Tapi itu tidak dilakukannya, dia harus membunuh; itu menunjukkan kemarahan yang sangat besar. Kita juga melihat adanya masalah dengan Yefta, akhirnya masa lalu itu melahirkan masalah-masalah yang menjadi problem dalam kehidupannya. Dikatakan di kitab Hakim-Hakim 11:3, Yefta itu menjadi perampok. Merampok orang, bukankah itu meresahkan dan merugikan orang? Kita melihat di sini, masa kecil berpengaruh ke masa dewasa; Yefta dan Musa ditolak lingkungan, penuh kemarahan. Sudah dewasa menjadi pemuda yang pemarah, Musa membunuh orang dengan gampang, Yefta menjadi perampok. Kita melihat betapa eratnya kaitan antara masa lalu dan masa dewasa seseorang.PG : Dari dua kesamaan ini, memang kita harus berani melihat masa lalu kita itu, dan mengakui bahwa itu yang terjadi, bahwa saya ditolak oleh lingkungan saya, bahwa memang saya itu sebetulnya tdak pernah memilih lahir dalam situasi seperti itu.
Tapi dalam kehendak Tuhan saya dilahirkan di situ, harus mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Kita harus menerima porsi itu, kita bisa berkata bahwa porsi itulah nanti yang akan digunakan oleh Tuhan, namun porsi itu sendiri kita harus terima. Jangan kita terus-menerus marah. Dalam kasus Yefta dan Musa, perkembangan berikutnya memang menunjukkan kemarahan itu tetap ada dalam dirinya. Tapi Tuhan baik, (ini kesamaan berikutnya) Tuhan tetap memakai kedua hamba-Nya ini. Yefta dipakai untuk melepaskan bangsa Israel dari bangsa Amon sedangkan Musa, Tuhan pakai membawa Israel keluar dari tanah Mesir untuk memasuki tanah perjanjian yaitu Kanaan. Di sini kita melihat Tuhan tetap bersedia memakai mereka, asalkan kita bersedia dipakai oleh-Nya, tapi yang pertama kita memang harus menerima porsi kita itu. Tapi sayangnya Pak Gunawan, meskipun Tuhan sudah memberikan kesempatan kepada keduanya, pada akhirnya kekurangan mereka yang sama itu tetap menjadi kekurangan dalam kehidupan mereka. Contohnya Musa, waktu Tuhan meminta dia untuk memerintahkan batu karang mengeluarkan air, dia marah. Dia pukul batu karang itu, akhirnya Tuhan menghukum Musa, "Kamu tak bisa memasuki tanah perjanjian, karena engkau tidak menghormati-Ku di hadapan umat-Ku, engkau tidak menjaga kekudusan-Ku." Kenapa Musa seperti itu, karena marah dia tidak bisa menguasai dirinya. Ironis sekali, berpuluhan tahun rentang waktu antara peristiwa membunuh seorang Mesir dan peristiwa yang kedua (baru saja saya uraikan), tapi di dalam masa Tuhan memakainya, emosi Musa sering kali menjadi titik kelemahannya. Demikian juga dengan Yefta, belum apa-apa dia sudah bernazar, "Pokoknya yang keluar dari rumah, yang pertama-tama menyambut saya setelah saya menang melawan bani Amon akan saya persembahkan kepada Tuhan." Ternyata putrinya yang menyambut dia. Apa yang bisa kita simpulkan? Yaitu impulsif, kurangnya pengendalian diri, gegabah. Kegegabahan inilah yang akhirnya menjadi titik kejatuhan mereka ke dalam lubang-lubang masalah itu.PG : Lubang itu pertama-tama harus kita kenali, lubang apakah itu. Dalam diri Musa, pengendalian diri demikian juga dalam diri Yefta, harus diakui sebagai masalahnya. Dan orang itu harus menjdikan ini proyek pertumbuhannya.
Tadi di awal sudah saya singgung, kecenderungan kita bukan mengakui bahwa ini masalah kita tapi menyalahkan orang lain. Sebagai contoh, kalau kita mempunyai masalah dengan pengendalian diri, tidak bisa menahan emosi, mudah meledak dan marah, sering kali kita menyalahkan orang. "Kamu sih yang membuat saya marah, kalau kamu tidak melakukan ini bukankah saya tidak marah?" Jadi yang salah adalah orang lain, orang yang membuat saya marah. Langkah pertama kita harus kenali lubang itu apa, dalam hal ini misalnya pengendalian diri. Langkah kedua, kita harus bertekad kita menjadikan ini proyek seumur hidup kita, bahwa saya akan berusaha keras melawannya, mengatasinya dengan pertolongan Tuhan, dengan datang lagi kepada Tuhan melalui pertobatan demi pertobatan dan tidak jemu-jemunya datang kepada Tuhan dengan penyesalan dan pertobatan daripada kita menyalahkan lingkungan. Selama kita menyalahkan lingkungan, kita tidak akan pernah mengalami pembaharuan sebab kita tidak pernah meletakkan masalah pada diri kita. Jadi penting kita menyadari lubang itu apa dan menjadikan lubang itu sebagai proyek yang harus kita tutup.PG : Misalnya, kekurangpercayaan. Sebagian anak-anak memang harus mengalami kekecewaan yang dalam akibat perceraian orangtuanya, ketidaksetiaan orangtuanya. Sewaktu salah seorang dari ayah kia atau ibu kita meninggalkan kita, itu akan meninggalkan lubang kekurangpercayaan.
"Kalau orang yang melahirkan saya, yang mengasihi saya tega meninggalkan saya, tega mengkhianati saya, apalagi orang lain." Sesuatu yang tadinya telah menjadi bagian hidupnya yang aman akhirnya terkoyak, robek. Ternyata robekan itu berdampak panjang, sampai di usia dewasa. Kita takut dekat dengan orang, kalau-kalau nanti kita akan mengalami kekecewaan yang serupa. Kita takut percaya pada orang, nanti takut kepercayaan itu disalahgunakan dan kita akan dilukai lagi. Akhirnya kita selalu berjaga-jaga, tidak berani membangun keintiman dengan sesama kita.PG : Sudah tentu kalau masa lalu kita itu masa lalu yang positif, itu akan berdampak positif dalam hidup kita. Sehingga meskipun kita mengalami pengalaman yang buruk di masa sekarang, kita cenerung nomor satu melihat masalah atau pengalaman yang buruk itu secara proporsional, tepat sasaran, tepat ukuran.
Kita tidak melebihkannya atau mengurangkannya, dan bahkan ada kecenderungan kita itu tetap mau melihat aspek positifnya, kita tidak terpaku pada aspek negatifnya. Tapi sebaliknya kalau masa lalu kita buruk, bukan saja kita gagal melihat masalah secara proporsional, cenderungnya melebih-lebihkan yang negatif, kita juga cenderung tidak bisa melihat yang baik atau apa pun yang positif, terus terpaku pada yang negatifnya saja. Itu sebabnya kita sekali lagi harus berani melihat ke belakang, lubang apa yang kita miliki. Tentang lubang ini satu hal yang juga saya munculkan adalah tentang keinginan, sebab lubang itu melahirkan keinginan. Misalnya kalau lubang kita ketidakberdayaan, kita sering mengalami pemukulan, penyiksaan, dan kita tidak berdaya maka besar kemungkinan kita itu mempunyai keinginan untuk berkuasa. Kita tidak mau lagi mengalami peristiwa dimana kita diinjak-injak dengan semena-mena, atau kita disakiti maka keinginan kita setelah dewasa adalah membalas menyakiti. Maka kalau seseorang berbuat sesuatu kepada kita yang sedikit saja, kita sudah marah, kita langsung balas. Atau kalau lubang kita penolakan, dulu kita sering ditolak maka sekarang itu kita inginnya disukai dan diterima. Kita mesti hati-hati karena keinginan-keinginan itu bisa digunakan sebagai tempat masuknya serangan iblis. Iblis tahu itu yang menjadi kelemahan-kelemahan kita, maka dia akan bisa langsung memasukinya. Karena kita ingin diterima, ingin dikasihi karena dulu sering mengalami penolakan, akhirnya kita lemah. Pokoknya kalau orang menyodorkan sedikit cinta, kita sudah rela ikut dia, menikah dengan dia tanpa pertimbangan langsung bisa mengambil keputusan menikah dengan seketika, akhirnya membuahkan masalah yang berkepanjangan. Jadi berhati-hati dengan keinginan itu. Namun saya juga ingin mengingatkan para pendengar kita tentang peranan Tuhan dalam hal semuanya ini. Sebab kita bisa melihat dalam kasusnya Yefta dan Musa, Tuhan tetap memakai mereka. Ternyata masa lalu kita yang buruk tidak menghalangi Tuhan untuk memanggil dan memakai kita. Dengan kata lain kalau sampai kita dipakai Tuhan, dipanggil Tuhan untuk melayani-Nya, kita jangan juga mencari-cari alasan, "O....pasti karena saya itu fasih lidah maka Tuhan memakai saya, o....karena saya cerdas makanya saya dipakai Tuhan untuk menolong orang lain yang juga kaum intelektual." Hati-hati, jangan kita mulai mendasari panggilan kita atau alasan Tuhan memanggil kita pada diri kita bahwa ada sesuatu yang baik yang kita bisa tawarkan kepada Tuhan. Tentang Yefta, apa yang bisa Yefta banggakan? Tidak ada, memang Tuhan memilihnya. Jadi benar-benar panggilan Tuhan, menyelamatkan kita dan memakai kita, itu sepenuhnya anugerah, kita tidak boleh mencari-cari penyebabnya pada diri sendiri.PG : Betul sekali, masing-masing memang mempunyai masa lalunya atau perangai-perangai yang tidak positif.
PG : Jelas, seperti Yohanes penuh dengan kemarahan itu masih tetap ada, Petrus sangat impulsif.
PG : Di situ kita sekali lagi melihat Tuhan memang tidak memanggil kita atas dasar kebaikan pada diri kita. Apa adanya Tuhan pakai dan Tuhan panggil. Apa yang bisa dibanggakan oleh Maria Magdlena? Tidak ada, tapi yang jelas dia mencintai Tuhan.
Kenapa dia mencintai Tuhan, karena dia tahu Tuhan mencintainya, Tuhan mengasihinya apa adanya, dengan segala kelemahan, dengan segala masa lalunya yang kurang baik itu. Namun dalam perjalanannya kita tetap harus waspada. Tadi saya sudah singgung tentang lubang yang melahirkan keinginan-keinginan supaya kita yang dulu misalkan tidak berdaya sekarang menjadi berdaya, kita menekankan kuasa dan sebagainya. Lubang itu juga bisa melahirkan kelemahan, ibaratnya kalau bagian tubuh kita pernah patah kaki, bagian itu menjadi bagian yang rawan untuk patah kembali, bagian itu lemah. Kita mesti menyadari dimana terdapat lubang dalam hidup kita, di situlah kita akan bisa dijatuhkan oleh iblis karena di situlah daya tahan kita paling lemah. Misalnya, kelemahan dalam hal seks, kemarahan, uang, kuasa; dalam hal-hal seperti itu kita seolah-olah lumpuh, tidak memiliki daya tahan atau daya juang untuk mengalahkan godaan di situ. Jadi kita mesti berhati-hati, kalau kita mempunyai masa lalu tertentu yang memang tidak baik, tidak positif; jagalah, jauhkan diri dari pencobaan jangan mendekati pencobaan. Karena di situlah kita sangat lemah, kita mudah sekali jatuh lagi.PG : Sudah tentu ada, meskipun kita tidak mengingatnya tetapi masa lalu itu tetap bisa. Sebagai contoh, ada orang yang tidak tahu kenapa sangat takut dengan air, dan dia tidak pernah menyadaripenyebabnya.
Setelah menjalani terapi yang mendalam dan berkepanjangan, akhirnya muncullah ingatan tersebut. Waktu dia kecil, dia sering kali dilelapkan di bak mandi, waktu dia dimandikan oleh orangtuanya. Karena orangtuanya kurang sabar, jadi anak itu sering dilelapkan, dilelapkan dan harus kehabisan nafas, sehingga tatkala dia besar dia sangat takut mandi. Tapi peristiwa itu terjadi di bawah usia 3 tahun sehingga dia tidak lagi mengingatnya, karena terlalu kecil. Namun ketakutan terhadap air itu sudah terbentuk di dalam dirinya, karena memang manusia mempunyai "insting survival" untuk bertahan dalam hidup. Tatkala kecil insting itu sudah ada, maka waktu dia harus dilelapkan seperti itu dan dia ingin bertahan hidup, dia berusaha menghindar dari air. Dalam pertolongan terapi, barulah disadarinya bahwa itu penyebabnya. Kalau dia sudah menyadari, dia akan lebih bisa mengendalikan reaksi dari pengalaman masa lalu pada dirinya sekarang ini.PG : Betul, meskipun dia mungkin tidak merasa apa-apa tapi kalau ada hal-hal yang janggal yang dilakukannya atau yang dirasakannya; ada orang yang takut dengan kegelapan-tidak merasa aman dalamkegelapan, ada kalau sudah sore merasa cemas, sedih, tidak tahu kenapa kalau sore perasaan itu rasanya jatuh sekali.
Kemungkinan besar memang ada penyebabnya di masa lampau.PG : Di II Korintus 12:8-10, Rasul Paulus membagikan pergumulannya, dia manusia seperti kita, ada kelemahan yang juga harus ditanggungnya, dan dia berkata: Aku sudah tiga kali berseru kepada Tuan, supaya utusan iblis itu mundur daripadaku.
Tapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. Paulus menegaskan, kuasa Tuhan akan turun dan dinyatakan dengan sangat jelas di dalam kelemahan. Artinya, kelemahan yang kita bawa ke kaki Kristus apa adanya, minta pertolongan-Nya; di dalam kelemahan yang kita bawa kepada Kristus, Tuhan datang, Tuhan menolong dan menggunakan kelemahan itu untuk menjadi bagian dari pekerjaan Tuhan.PG : Tepat sekali Pak Gunawan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bayang-bayang Masa Lalu." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
39. Dari Mana Datangnya Pencobaan | |
Di dalam kehidupan ini kita tidak lepas dari pencobaan, tapi seringkali kita menjadi rancu dengan istilah pencobaan ini dan kita menjadi bingung sebenarnya dari mana datangnya pencobaan itu. Sebenarnya iblis memakai pencobaan sebagai alat untuk menjatuhkan kita tapi Tuhan memakai pencobaan sebagai alat uji supaya kita semakin kuat.
Ada dua sikap ekstrem orang Kristen terhadap pertanyaan di atas. Ada yang mengatakan bahwa Allah tidak berbuat apa-apa dan malah mendiamkan kita dicobai. Namun ada pula yang menjawab bahwa sesungguhnya Allah berniat dan sudah menolong kita tetapi Ia gagal membawa kita keluar dari pencobaan. Jawaban pertama menjadikan Allah sebagai Allah yang tidak mempedulikan umat-Nya (kurang kasih) sedangkan jawaban kedua menyimpulkan bahwa Allah tidak berkuasa menolong anak-anak-Nya (kurang kuasa). Jawaban yang benar adalah, Allah mempedulikan anak-anak-Nya (penuh kasih) dan Ia berkuasa melepaskan kita dari pencobaan (penuh kuasa). Berikut kita akan melihat lebih jauh lagi tentang pencobaan dan penyertaan Tuhan kepada kita dalam menghadapi pencobaan.
Darimanakah Datangnya Pencobaan?
Yakobus 1:13 mengajarkan bahwa pencobaan bukanlah dari Tuhan, "Apabila seorang dicobai, janganlah berkata, 'Pencobaan ini datang dari Allah!' sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun." Dari ayat ini pun kita belajar bahwa pencobaan bersifat jahat dan keluar dari motivasi jahat; Allah adalah sumber kebaikan, itu sebabnya Ia tidak mencobai siapa pun. Jadi, dari sini kita dapat menyimpulkan sebuah definisi pencobaan sebagai situasi yang menghadang langkah hidup kita dan memperhadapkan kita dengan pilihan untuk berdosa.
Jadi, jika demikian darimanakah datangnya pencobaan?
Alkitab mengajarkan bahwa ada dua sumber pencobaan. Sumber pencobaan yang pertama adalah iblis. Efesus 6:10-12 menjelaskan bahwa kita hidup dalam suasana perang dengan iblis, "Akhirnya hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya. Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat iblis karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara." Di sini kita bisa melihat bahwa iblis senantiasa berusaha untuk berperang melawan dan menjatuhkan kita. Itu sebabnya ia akan menggunakan segala cara untuk membuat kita jatuh dan berdosa. Inilah niat jahat iblis.
Kedua, pencobaan bersumber dari diri kita sendiri, sebagaimana tercatat di Yakobus 1:14, "Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut." Kadang kitalah yang bertanggung jawab penuh atas kejatuhan sebab keinginan untuk jatuh dan berdosa berasal dari dalam diri kita.
Apakah Sikap dan Tindakan Tuhan sewaktu Kita Dicobai?
Pertama, Tuhan pasti memberi peringatan kepada kita. Kepada para murid yang terlalu letih untuk berdoa menjelang penangkapan Tuhan di taman Getsemani, Ia mengingatkan, "Berjaga-jagalah dan berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut tetapi daging lemah. " (Matius 26:41)
Kedua, Tuhan mendoakan kita; dengan kata lain, Tuhan menyertai dan menolong kita, sebagaimana kita dapat lihat pada ayat berikut ini, "Simon, Simon, lihat Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum tetapi Aku telah berdoa untuk engkau supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu." (Lukas 22:31)
Kesimpulan
Tidak ada alasan untuk kita menuduh Tuhan tidak peduli atau tidak berkuasa tatkala kita tengah dicobai. Ia memperingatkan dan mendoakan kita, kendati pencobaan itu bukan datang dari-Nya melainkan dari iblis dan nafsu keinginan kita sendiri. Asalkan kita mau taat kepada-Nya, kita pasti bisa selamat dari pencobaan.
Mengapakah Tuhan Membiarkan Kita Dicobai?
Pertama, Tuhan membiarkan kita dicobai sebab inilah konsekuensi kejatuhan manusia ke dalam dosa. Sejak kita jatuh ke dalam dosa, kita tidak lagi hidup di dunia yang tanpa dosa. Alhasil, kita harus senantiasa bergumul melawan dosa dan pencobaannya.
Kedua, Tuhan memakai pencobaan untuk membangun kita menjadi manusia yang dewasa. Yakobus 1:2-4, "Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh (menghadapi) ke dalam berbagai-bagai pencobaan sebab kamu tahu bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak berkekurangan apa pun." Dengan kata lain, meski iblis bermaksud buruk, Tuhan bisa memakai pencobaan untuk kebaikan.
Apakah Sikap Kita terhadap Pencobaan?
Pertama, kita mesti menyadari titik lemah dalam hidup kita. Iblis selalu menyerang kelemahan kita; jangan sampai kita menyangkal kelemahan diri sendiri.
Kedua, kita tidak boleh meremehkan pencobaan dan terlalu percaya diri. Kendati kita tahu kelemahan kita, jangan kita bermain api dengan pencobaan. Itu sebabnya dalam Doa Bapa Kami, Tuhan mengajarkan kita untuk berdoa supaya Ia menjauhkan kita dari pencobaan. Jadi, jangan kita malah mendekatkan diri dengan pencobaan.
Ketiga, ingatlah bahwa pencobaan dari iblis dan dari diri sendiri adalah sama berbahayanya. Iblis sangat cerdik sehingga ia cepat membisikkan kata-kata yang menghasut kita untuk berontak dari Tuhan. Kita pun adalah makhluk yang berdosa sehingga kita dapat memainkan rasio dan membuat diri "tidak merasa bersalah."
Keempat, terimalah pencobaan sebagai bagian dari ujian untuk mendewasakan kita. Dengan kata lain, ini adalah kesempatan untuk kita bertumbuh, bukan untuk kita jatuh.
Kelima, apa pun yang kita rasakan, yakinlah dengan iman bahwa Tuhan melihat dan menolong. Tidak selalu kita melihat Tuhan bekerja secepat yang kita harapkan namun terpenting adalah mengetahui bahwa Ia beserta kita, bahkan dalam pencobaan.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Dari Mana Datangnya Pencobaan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Saya mendefinisikan pencobaan sebagai situasi yang menghadang langkah hidup kita dan memperhadapkan kita dengan pilihan untuk berdosa. Jadi dengan kata lain pencobaan adalah sebuah kondisidan situasi dimana kita berada dan kondisi tersebut memperhadapkan kita dengan pilihan, ikut Tuhan atau tidak ikut Tuhan, menghormati kehendak Tuhan atau tidak menghormati kehendak Tuhan.
Jadi dengan kata lain saya mendefiniskan pencobaan secara luas Pak Gunawan, pencobaan tidak harus merupakan sebuah pukulan dalam hidup yang begitu berat tak tertahankan, tidak juga sebuah godaan yang begitu dahsyat. Pencobaan benar-benar bisa datang dengan begitu lembut tidak ketara namun di dalam ketidakketaraan itu terdapat sebuah panggilan untuk berdosa untuk tidak menaati Tuhan. Disinilah kita harus mengambil keputusan, kita taat kepada Tuhan atau tidak menaati Tuhan, ini yang saya maksudkan dengan pencobaan. Peristiwa yang sama yang kita alami sebetulnya waktu kita diperhadapkan dengan pilihan tersebut, di tangan Iblis, Iblis menggunakannya agar kita benar-benar jatuh. Namun di dalam peristiwa yang sama Tuhan menggunakannya justru untuk menguji kita supaya kita semakin kuat. Jadi konsep pencobaan dan ujian dibedakan, pencobaan adalah untuk menjauhkan kita, sedangkan ujian untuk membangun kita. Misalkan seorang guru memberikan ujian kepada siswanya dengan tujuan bukan supaya siswanya jatuh. Tujuan si guru adalah agar siswanya belajar mempersiapkan diri sebelum ujian sehingga dia bisa melewati ujian dan lulus dengan baik. Itulah yang dimaksud dengan ujian dan itulah yang menjadi niat Tuhan, Tuhan menghadirkan atau membiarkan kita melewati pencobaan supaya kita teruji, supaya kita akhirnya lulus naik tingkat menjadi lebih dewasa, berkebalikan dari niat Iblis. Iblis menggunakan peristiwa yang sama itu, menghadapkan kita dengan pilihan dan mendorong kita mengambil pilihan yang salah yaitu yang melawan kehendak Tuhan.PG : Tepat sekali. Di saat itulah dia diperhadapkan dengan pilihan taat kepada Tuhan tidak menyontek atau mengikuti desakan dari pencobaan tersebut.
PG : Saya kira pencobaan ada yang bisa kita elakkan, ada yang tidak bisa kita elakkan artinya nanti kita akan bahas. Ada peristiwa-peristiwa yang kalau kita sudah ketahui ini akan bisa membuat ita jatuh ke dalam pencobaan kita mesti berhikmat dan menjauhkan diri dari kemungkinan tersebut.
Namun adakalanya memang tidak bisa kita cegah atau hindari, kita langsung terjun atau diperhadapkan dengan pilihan tersebut. Misalkan tadi contoh yang sudah Pak Gunawan ajukan, siswa sedang mengalami ujian tiba-tiba temannya duduknya atau letak kertasnya tidak begitu tepat sehingga kita bisa mengintipnya, itu adalah sesuatu yang tidak kita persiapkan atau antisipasi, dalam keadaan seperti itu pencobaan langsung datang, langsung mengemuka dan kita harus mengambil pilihan yang tepat.PG : Saya kira umumnya orang Kristen mempunyai dua pandangan tentang pencobaan yang keliru. Yang saya maksud yang pertama adalah ada orang yang beranggapan Tuhan itu mendiamkan kita tatkala kit dicobai, Tuhan itu seolah-olah tidak peduli membiarkan kita bergumul sendirian, tidak memberikan kepada kita pertolongan.
Orang-orang kristen yang seperti ini akhirnya mengembangkan sebuah sikap atau pandangan bahwa Tuhan itu kurang mengasihi kita karena kalau Dia mengasihi dan baik kepada kita seharusnyalah dia menolong dan memperdulikan kita dalam pencobaan. Sikap ini yang membuat mereka menjadi berharap bahwa kalau Tuhan memang mengasihi kita, pasti akan menghadang pencobaan yang datang ke dalam hidup kita. Jadi kita berharap karena Tuhan mengasihi kita, Tuhan seharusnyalah memagari kita sedemikian rupa sehingga kita tidak akan bisa tercobai, Tuhan akan selalu menghalau pencobaan dalam hidup kita. Ini adalah efek dari sikap yang pertama itu Pak Gunawan, saya kira ini pandangan yang tidak tepat. Pandangan yang kedua kebalikannya, pandangan yang kedua berkata "Tuhan itu baik, Tuhan itu mengasihi kita dan kasihan dengan kita tatkala kita dicobai, Dia berusaha menolong kita tapi tidak mampu sepenuhnya menolong kita membebaskan diri dari pencobaan," berarti mereka berkata "Tuhan itu kurang berkuasa, karena kalau Tuhan berkuasa maka Dia akan selalu dapat memagari kita dari pencobaan, kenyataannya kita tetap dicobai, itu membuktikan bahwa Tuhan kurang berkuasa." Dua sikap ini, dua sikap yang ekstrem ini tidaklah mencerminkan sebuah pandangan yang tepat sebab pandangan Alkitabiah yang tepat yang nanti kita akan lihat adalah Tuhan mempedulikan, Tuhan sungguh-sungguh mengasihi kita dan Dia melihat dan mencoba menolong kita di dalam pencobaan dan Dia juga dapat menolong kita, mengeluarkan kita dari pencobaan. Kalau sampai itu tidak terjadi, sudah tentu akan ada maksud Tuhan yang lain, tapi Dia mengasihi kita dan Dia berkuasa membebaskan kita dan bisa menolong kita keluar dari pencobaan.PG : Ini pertanyaan yang memang sering kita tanyakan, dari manakah sebetulnya datangnya pencobaan. Yakobus 1:13 mengajarkan bahwa pencobaan bukanlah dari Tuhan. Seringkali kita berkata ini pencbaan dari Tuhan, Tidak! Firman Tuhan berkata dengan jelas di Yakobus 1:13, "Apabila seseorang dicobai, janganlah ia berkata "Pencobaan ini datang dari Allah!" Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun."
Dari ayat ini kita pun bisa belajar bahwa pencobaan bersifat jahat dan keluar dari motivasi jahat yakni menjatuhkan kita dari Tuhan sedangkan Allah adalah sumber kebaikan, maka Dia tidak mencobai siapa pun, Dia sumber kebaikan, Dia tidak punya niat jahat, tidak ada motivasi menjatuhkan orang. Jadi tidak mungkin pencobaan berasal dari Allah, Dia adalah sumber kebaikan maka kita dapat berkata langsung bahwa pencobaan bukan dari Tuhan. Kalau memang bukan dari Tuhan, dari manakah datangnya pencobaan? Alkitab mengajarkan bahwa ada dua sumber pencobaan yang pertama adalah dari Iblis. Kita baca di Efesus 6:10-12 Bahwa hidup kita ini sebetulnya dalam suasana perang terus menerus dengan Iblis, firman Tuhan berkata di Efesus 6:10-12, "Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya. Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis; karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat." Di sini kita bisa melihat bahwa Iblis senantiasa berusaha berperang melawan dan menjatuhkan kita, itu sebabnya dia akan menggunakan segala cara untuk membuat kita jatuh dan berdosa. Inilah niat jahat iblis yang muncul dalam bentuk pencobaan.PG : Sudah pasti Tuhan melihat, tidak ada yang luput dari penglihatan Tuhan, tidak ada yang luput dari pengetahuan Tuhan, Tuhan pun tahu bahwa kita bisa dicobai. Tapi adakalanya memang Tuhan meberikan izin kepada kita untuk dicobai, kita bisa lihat itu dalam kisah Ayub.
Ayub dicobai, dihantam habis-habisan oleh Iblis bukan oleh Tuhan namun kita tahu dari cerita Ayub, Iblis meminta izin Tuhan. Tapi sekali lagi kita harus bedakan antara Tuhan yang memberi izin dan Iblis yang berniat jahat. Iblis memang berniat jahat ingin menjatuhkan Ayub, supaya Ayub tidak lagi percaya dan menyembah kepada Allah tapi Tuhan memberikan izin sebab Tuhan tahu bahwa Ayub akan menang, bahwa pencobaan yang akan dihadirkan oleh Iblis, Tuhan dapat memakainya justru untuk menambahkan kekuatan kepada Ayub. Jadi nanti kita akan belajar bahwa Tuhan adakalanya sengaja membiarkan, sebab ada hal yang Dia ingin kita pelajari tapi sekali lagi awalnya pencobaan itu bukan dari Tuhan, tapi dari Iblis yang ingin menjatuhkan kita. Namun Tuhan bisa memakai peristiwa yang dihadirkan Iblis itu justru untuk membangun kita.PG : Tuhan letakkan pohon di tengah taman sebagai cara untuk membuktikan ketaatan. Tanpa adanya pohon, tanpa adanya perintah Tuhan, "Jangan memakan buah dari pohon tersebut," maka ketaatan tida bisa dibuktikan.
Jadi ketaatan hanya bisa dibuktikan dalam bentuk adanya sebuah instruksi atau larangan atau perintah, tidak mungkin kita bisa membuktikan adanya ketaatan tanpa perintah. Maka Tuhan pertama-tama menghadirkan perintah itu sebab yang Tuhan inginkan dari manusia adalah sebuah ketaatan dan terbukti manusia tidak taat, justru dia memakan pohon atau memakan buah dari pohon pengetahuan baik dan jahat tersebut.PG : Kita akan lihat Pak Gunawan. Sebetulnya dari peristiwa tersebut ada dua unsur yang berperan. Yang Pak Gunawan katakan betul, memang yang awalnya membisikkan godaan tersebut adalah Iblis leat ular tapi kita akan pelajari bahwa sesungguhnya di dalam diri Hawa dan Adam sudah ada keinginan maka Iblis masuk ke dalam keinginan tersebut.
Inilah yang membawa kita kepada point yang berikutnya bahwa pencobaan bisa juga berasal dari diri kita sendiri. Iblis membisik-bisikkan, kita tahu Iblis senantiasa berperang mau melawan kita. Dalam I Petrus juga melukiskan bahwa Iblis seperti singa yang mengaum-ngaum siap menerkam kita. Jadi kita tahu Iblis senantiasa memerangi kita supaya kita jatuh dan tidak lagi bisa bersekutu dengan Tuhan. Keinginan Iblis hanya satu yaitu kita terputus dari Allah selama-lamanya, namun kita mesti menyadari bahwa seringkali kitalah yang membuka pintu tersebut lewat keinginan kita. Yakobus 1:14 berkata "Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginannya itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut." Ini benar-benar kata-kata yang memang menakutkan Pak Gunawan, awalnya keinginan, keinginan setelah dibuahi melahirkan dosa, dosa setelah matang melahirkan maut. Inilah perjalanannya dari keinginan berakhir pada maut atau kematian itulah ujung dari dosa. Tuhan mengingatkan kita bahwa sumber pencobaan bukan saja dari Iblis tapi juga dari diri kita, kadang kitalah yang bertanggung jawab penuh atas kejatuhan sebab keinginan untuk jatuh dan berdosa berasal dari dalam diri kita. Maka saya percaya saat Iblis menggoda Hawa dan Adam, Iblis tahu inilah yang ada dalam pikiran Adam dan Hawa, rupanya mereka sedang memikir-mikirkan tentang, "Kenapa Tuhan melarang saya memakan buah ini? Sepertinya ini tidak benar!" Sudah ada keinginan untuk tidak taat, sudah ada keinginan untuk tidak mau menaati perintah Tuhan tersebut maka Iblis datang, Hawa pun bersedia berdialog. Jadi jelas kita melihat disini sebuah interaksi, yang satu membuka pintu dan yang satu mengetuk pintu.PG : Waktu dia baru berkeinginan, dia belum berdosa, Pak Gunawan. Waktu keinginan itu terus dipupuk sehingga akhirnya berbuah dalam bentuk tindakan, maka dia berdosa. Dosa itulah yang nantinya enuju kepada maut.
Kita mesti membedakan antara jatuh ke dalam pencobaan dan dicobai, kadang orang Kristen terlalu peka sehingga terlalu mudah menghakimi diri sendiri dan mengatakan bahwa, "Saya ini orang yang jahat, orang yang buruk, orang yang munafik karena saya selalu dicobai." Itu salah! Contoh yang paling mudah adalah kita melihat tetangga kita lebih maju dan kita hidup masih pas-pasan rasanya susah sekali. Kemudian muncul pemikiran, "Betapa enaknya kalau saya bisa kaya seperti dia." Keinginan itu kalau kita hentikan disitu dan berkata "Tuhan inilah saya, saya pun punya keinginan. Ingin mempunyai harta yang lebih supaya saya bisa membeli barang-barang yang saya inginkan." Keinginan itu sendiri tidaklah dosa, tapi sebaliknya kalau kita buahkan keinginan tersebut dengan pemikiran-pemikiran lainnya "Bagaimana saya bisa kaya, saya akan begini dan begitu," dan mulai memikirkan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan kehendak Allah maka kita sedang masuk ke dalam proses menciptakan dosa dan akhirnya waktu kita melakukannya maka buah dosa itu muncul.PG : Ada beberapa sikap yang mesti kita miliki. Yang pertama adalah kita mesti mempercayai hal-hal yang penting yaitu bahwa Tuhan pasti memberikan peringatan kepada kita. Kita tidak akan dicoba tanpa peringatan Tuhan artinya adalah Tuhan itu senantiasa berkomunikasi dengan anak-anakNya sehingga Dia akan memberikan peringatan-peringatan, misalnya kepada para murid yang terlalu letih untuk berdoa menjelang penangkapan Tuhan di taman Getsemani, Dia mengingatkan, "Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah," ini tercatat di Matius 26:41.
Tuhan tahu nanti akan datang orang yang akan menangkapNya dan juga akan menakut-nakuti para muridnya, maka Dia mengingatkan sebelum peristiwa itu terjadi, tapi apa yang terjadi mereka malah tidur. Dan benar, waktu datang Yudas dan para tentara dari Bait Allah menangkap Tuhan Yesus, apa yang dilakukan oleh para murid? Mereka lari terbirit-birit menyembunyikan diri akhirnya mereka jatuh ke dalam ketakutan, penyembunyian diri dan sebagainya. Karena apa? Karena mereka gagal mendengarkan peringatan Tuhan, kalau saja mereka mendengarkan peringatan Tuhan saat itu untuk benar-benar berdoa, percaya pada yang Tuhan katakan bahwa, "Bahaya mengancam, kita harus bersiap-siap," kemungkinan besar mereka tidak akan jatuh ke dalam dosa ketakutan dan melarikan diri, tapi itulah yang seringkali kita lakukan Pak Gunawan. Yang kedua adalah kita mesti percaya bahwa Tuhan mendoakan kita tatkala kita sedang dicobai, jangan sampai kita berpikir Tuhan itu tidak peduli. Tuhan menyertai kita dan menolong kita sebagaimana kita melihat pada Lukas 22:31 Tuhan Yesus berkata kepada Simon Petrus, "Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insyaf, kuatkanlah saudara-saudaramu." Tuhan tahu Petrus akan diserang oleh Iblis, dicobai dan akan menyangkalnya, mengelak Kristus. Maka Dia sudah memperingatkan dengan bahasa yang lebih jelas dari ini, Iblis sedang menampi-nampi kamu artinya kamu sudah sangat dekat sekali untuk jatuh, "Hati-hati," tapi sayangnya Simon Petrus tidak mendengarkan peringatan Tuhan tapi yang indah adalah perkataan Tuhan Yesus, "Aku telah berdoa untuk engkau supaya imanmu jangan gugur." Jadi Yesus Kristus sendiri berdoa untuk kita waktu kita dicobai, tidak ada lagi yang lebih indah dari ini Pak Gunawan. Jadi inilah sikap yang mesti kita miliki sebagai anak-anak Tuhan.PG : Biasanya lewat firman Tuhan yang kita baca waktu kita saat teduh, firman itu benar-benar menerangi hati kita, menyoroti bagian dalam diri kita yang gelap, "Hati-hati waspadai," atau waktu ita mendengarkan firman Tuhan lewat khotbah yang kita sedang dengarkan, firman berbicara pada hati kita, "Hati-hati ini daerah dimana engkau bisa jatuh."
Atau lewat teguran sesama saudara seiman, Tuhan berkata kepada mereka untuk kita, "Hati-hati ini daerah dimana kita mesti sadari." Tapi adakalanya Pak Gunawan, Tuhan memakai peristiwa-peristiwa yang kita alami. Peristiwa yang tiba-tiba kita alami seolah-olah merupakan lampu di kepala kita yang menyala, peristiwa ini terlalu spesifik dan kita langsung berkata, "Ini untuk saya, untuk kita supaya kita berhati-hati." Tangan saya pernah kepotong Pak Gunawan, waktu saya sedang menolong seseorang untuk duduk di kursinya, tangan saya kepotong harus dijahit dan sebagainya. Kemudian saya bertemu dengan seorang jemaat dan dia bertanya "Kenapa?" saya menjawab "Tangan saya kepotong dan sebagainya," dan dia bertanya, "Kira-kira apa maksud Tuhan?" dan saya berkata "Saya harus berhati-hati dengan tangan saya ini, dengan tindakan-tindakan saya." Dia berkata "Betul dan mungkin Tuhan ingin berkata kepadamu, jangan masukkan tanganmu di tempat yang memang seharusnya bukan kamu masukkan tanganmu." Tangan saya masuk ke dalam kursi akhirnya memotong saya, saya sering pikirkan kata-kata jemaat tersebut kepada saya, mungkin itu yang harus saya lakukan. Saya jangan terlalu banyak mencampuri urusan-urusan yang memang bukan urusan saya, itu makin menambah kekacauan. Sekali lagi Tuhan bisa memberikan kepada kita, peringatan dalam berbagai cara. Dari semua itu, penting bagi kita memiliki hati yang peka. Kalau hati kita tidak peka tidak mungkin kita bisa mendengarkan suara Tuhan tersebut. Maka saya yakin waktu Daud jatuh ke dalam dosa, Daud telah diperingatkan Tuhan. Sebab tidak mungkin Daud tiba-tiba jatuh saat baru berhadapan dengan Batsyeba. Daud sudah diperingatkan Tuhan akan kelemahannya. Memang raja Daud lemah dalam hal wanita, waktu dia melihat Abigail istri Nabal yang cantik dia tertarik, sehingga waktu Nabal meninggal dunia, dia langsung mengirim utusan untuk memanggil Abigail untuk menjadi istrinya. Kelihatan, memang ini kelemahan Daud, Daud seharusnya mewaspadai kelemahannya dan pasti Tuhan sudah memberikan peringatan demi peringatan kepadanya tapi dia tidak mendengarkan.PG : Maka kuncinya adalah kita harus berjalan akrab dan erat dengan Tuhan, kadang-kadang kita memikirkan masa depan, dan kita takut bagaimana masa depan kita nanti, kita mungkin bisa jatuh ke dlam dosa dan sebagainya.
Saya pun punya ketakutan yang sama, saya takut saya jatuh, saya takut mencemarkan nama Tuhan. Tapi saya menghibur diri saya dengan satu kepastian yaitu selama saya berjalan akrab dengan Tuhan, maka saya bisa mendengarkan suara Tuhan dan selama saya jalan akrab dengan Tuhan maka kekuatan Tuhan akan mengalir dalam diri saya, untuk saya bisa melawan pencobaan itu.PG : Kesimpulannya adalah tidak ada alasan untuk kita menuduh Tuhan, tidak peduli atau tidak berkuasa tatkala kita tengah dicobai. Ingatlah Tuhan memperingatkan dan mendoakan kita kendati pencoaan itu bukan dariNya melainkan dari Iblis dan dari nafsu keinginan kita sendiri, asalkan kita mau taat kepadaNya kita pasti bisa selamat dari pencobaan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dari Mana Datangnya Pencobaan" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
40. Sikap Kita Terhadap Pencobaan | |
Kita harus memiliki sikap tertentu terhadap pencobaan agar kita bisa bersiap-siap melawan pencobaan yaitu kita mesti menyadari titik lemah dalam hidup kita, kita tidak boleh meremehkan pencobaan dan percaya pada kemampuan sendiri
Ada dua sikap ekstrem orang Kristen terhadap pertanyaan di atas. Ada yang mengatakan bahwa Allah tidak berbuat apa-apa dan malah mendiamkan kita dicobai. Namun ada pula yang menjawab bahwa sesungguhnya Allah berniat dan sudah menolong kita tetapi Ia gagal membawa kita keluar dari pencobaan. Jawaban pertama menjadikan Allah sebagai Allah yang tidak mempedulikan umat-Nya (kurang kasih) sedangkan jawaban kedua menyimpulkan bahwa Allah tidak berkuasa menolong anak-anak-Nya (kurang kuasa). Jawaban yang benar adalah, Allah mempedulikan anak-anak-Nya (penuh kasih) dan Ia berkuasa melepaskan kita dari pencobaan (penuh kuasa). Berikut kita akan melihat lebih jauh lagi tentang pencobaan dan penyertaan Tuhan kepada kita dalam menghadapi pencobaan.
Darimanakah Datangnya Pencobaan?
Yakobus 1:13 mengajarkan bahwa pencobaan bukanlah dari Tuhan, "Apabila seorang dicobai, janganlah berkata, 'Pencobaan ini datang dari Allah!' sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun." Dari ayat ini pun kita belajar bahwa pencobaan bersifat jahat dan keluar dari motivasi jahat; Allah adalah sumber kebaikan, itu sebabnya Ia tidak mencobai siapa pun. Jadi, dari sini kita dapat menyimpulkan sebuah definisi pencobaan sebagai situasi yang menghadang langkah hidup kita dan memperhadapkan kita dengan pilihan untuk berdosa.
Jadi, jika demikian darimanakah datangnya pencobaan?
Alkitab mengajarkan bahwa ada dua sumber pencobaan. Sumber pencobaan yang pertama adalah iblis. Efesus 6:10-12 menjelaskan bahwa kita hidup dalam suasana perang dengan iblis, "Akhirnya hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya. Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat iblis karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara." Di sini kita bisa melihat bahwa iblis senantiasa berusaha untuk berperang melawan dan menjatuhkan kita. Itu sebabnya ia akan menggunakan segala cara untuk membuat kita jatuh dan berdosa. Inilah niat jahat iblis.
Kedua, pencobaan bersumber dari diri kita sendiri, sebagaimana tercatat di Yakobus 1:14, "Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut." Kadang kitalah yang bertanggung jawab penuh atas kejatuhan sebab keinginan untuk jatuh dan berdosa berasal dari dalam diri kita.
Apakah Sikap dan Tindakan Tuhan sewaktu Kita Dicobai?
Pertama, Tuhan pasti memberi peringatan kepada kita. Kepada para murid yang terlalu letih untuk berdoa menjelang penangkapan Tuhan di taman Getsemani, Ia mengingatkan, "Berjaga-jagalah dan berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut tetapi daging lemah. " (Matius 26:41)
Kedua, Tuhan mendoakan kita; dengan kata lain, Tuhan menyertai dan menolong kita, sebagaimana kita dapat lihat pada ayat berikut ini, "Simon, Simon, lihat Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum tetapi Aku telah berdoa untuk engkau supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu." (Lukas 22:31)
Kesimpulan
Tidak ada alasan untuk kita menuduh Tuhan tidak peduli atau tidak berkuasa tatkala kita tengah dicobai. Ia memperingatkan dan mendoakan kita, kendati pencobaan itu bukan datang dari-Nya melainkan dari iblis dan nafsu keinginan kita sendiri. Asalkan kita mau taat kepada-Nya, kita pasti bisa selamat dari pencobaan.
Mengapakah Tuhan Membiarkan Kita Dicobai?
Pertama, Tuhan membiarkan kita dicobai sebab inilah konsekuensi kejatuhan manusia ke dalam dosa. Sejak kita jatuh ke dalam dosa, kita tidak lagi hidup di dunia yang tanpa dosa. Alhasil, kita harus senantiasa bergumul melawan dosa dan pencobaannya.
Kedua, Tuhan memakai pencobaan untuk membangun kita menjadi manusia yang dewasa. Yakobus 1:2-4, "Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh (menghadapi) ke dalam berbagai-bagai pencobaan sebab kamu tahu bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak berkekurangan apa pun." Dengan kata lain, meski iblis bermaksud buruk, Tuhan bisa memakai pencobaan untuk kebaikan.
Apakah Sikap Kita terhadap Pencobaan?
Pertama, kita mesti menyadari titik lemah dalam hidup kita. Iblis selalu menyerang kelemahan kita; jangan sampai kita menyangkal kelemahan diri sendiri.
Kedua, kita tidak boleh meremehkan pencobaan dan terlalu percaya diri. Kendati kita tahu kelemahan kita, jangan kita bermain api dengan pencobaan. Itu sebabnya dalam Doa Bapa Kami, Tuhan mengajarkan kita untuk berdoa supaya Ia menjauhkan kita dari pencobaan. Jadi, jangan kita malah mendekatkan diri dengan pencobaan.
Ketiga, ingatlah bahwa pencobaan dari iblis dan dari diri sendiri adalah sama berbahayanya. Iblis sangat cerdik sehingga ia cepat membisikkan kata-kata yang menghasut kita untuk berontak dari Tuhan. Kita pun adalah makhluk yang berdosa sehingga kita dapat memainkan rasio dan membuat diri "tidak merasa bersalah."
Keempat, terimalah pencobaan sebagai bagian dari ujian untuk mendewasakan kita. Dengan kata lain, ini adalah kesempatan untuk kita bertumbuh, bukan untuk kita jatuh.
Kelima, apa pun yang kita rasakan, yakinlah dengan iman bahwa Tuhan melihat dan menolong. Tidak selalu kita melihat Tuhan bekerja secepat yang kita harapkan namun terpenting adalah mengetahui bahwa Ia beserta kita, bahkan dalam pencobaan.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sikap Kita Terhadap Pencobaan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Kadang-kadang kita mempunyai konsep bahwa pencobaan haruslah sebuah peristiwa yang sangat berat yang memukul hidup kita atau sebuah godaan yang sangat dahsyat sehingga kita terikat olehnya pencobaan tidak harus seperti itu.
Saya mendefinisikan pencobaan sebagai kondisi atau situasi yang menghadang langkah hidup kita dan memperhadapkan kita dengan pilihan, pilihan mendengarkan dan menaati Tuhan atau tidak. Sudah tentu dari definisi ini kita bisa melebarkan jenis pencobaan, pencobaan tidak harus pukulan yang berat atau godaan yang dahsyat, pencobaan bisa berbentuk bisikan, bisa berbentuk godaan yang kecil yang tidak terlalu mencolok tapi semua itu berpotensi untuk menjatuhkan dan menjauhkan kita dari Tuhan. Peristiwa tersebut biasanya memang peristiwa yang kita anggap awam atau normal saja namun di tangan Iblis peristiwa tersebut menjadi alat yang ampuh untuk menjauhkan kita dari Tuhan namun dalam kemurahan dan kedaulatan Tuhan, Tuhan bisa memakai peristiwa atau kondisi yang dihadirkan Iblis tersebut justru untuk menguatkan kita. Di sinilah kita membagi atau mengkategorikan, ada yang kita sebut pencobaan ada yang kita sebut ujian. Kalau datangnya dari Iblis itu adalah dengan niat jahat untuk menjatuhkan kita, Tuhan memakai peristiwa yang sama itu untuk membangun kita, itu yang kita sebut ujian sebab Tuhan tidak berniat menjatuhkan kita, Tuhan berniat justru membangun, menguatkan kita. Jadi kita bedakan antara pencobaan dan ujian dari sumbernya, yang satu dari Tuhan dan yang satu bukan dari Tuhan.PG : Tuhan selalu memberikan peringatan kepada kita supaya kita itu awas, makanya firman Tuhan berulang-ulang berkata, "Berjaga-jagalah dan berdoalah." Kita juga diminta untuk menyadari bahwa Ilis senantiasa menghening kita dan siap untuk menerkam kita, itu tercatat di kitab 1 Petrus, di kitab Efesus 6 dikatakan bahwa, "Kita itu senantiasa dalam kondisi perang dengan Iblis, Iblis senantiasa mau menghantam kita."
Makanya dikatakan dalam Alkitab bahwa kita berperang dan berjuang, kita melawan penguasa-penguasa, pemerintah-pemerintah, penghulu-penghulu dari Iblis. Maka kita harus siap karena kita senantiasa diserang oleh Iblis tapi Tuhan sudah memberi peringatan sehingga kita bisa mendengar peringatan Tuhan dan jauh dari dosa. Dan yang kedua adalah bukan saja Tuhan hanya memberi peringatan tapi Tuhan juga mendoakan kita, Tuhan menolong kita, Tuhan akan mengulurkan tangan membantu kita, tapi kita ini juga harus melawan pencobaan tersebut.PG : Ini seringkali menjadi pertanyaan dan mengganggu orang Kristen yang jatuh ke dalam pencobaan. Dia berkata misalnya kalau Tuhan tidak izinkan maka seharusnya saya tidak jatuh, kalau Tuhan thu saya akan jatuh seharusnya Tuhan menghindarkan saya dari pencobaan tersebut dan sebagainya.
Itu salah! Tuhan memberikan peringatan kepada kita sama seperti misalkan kita memberitahu anak kita untuk berjalan hati-hati ada selokan, tapi kita tidak lagi memperhatikan selokan dan tetap saja berjalan, akhirnya kita jatuh ke dalam selokan tersebut. Orang tua adakalanya sengaja membiarkan, sebab orang tua ingin agar anaknya belajar langsung "Hati-hati dengan selokan." Maka sekarang kita akan melihat setidak-tidaknya ada dua alasan kenapa Tuhan membiarkan kita dicobai meskipun Tuhan berdaulat, berkuasa untuk mencegah kita dicobai tapi tetap Tuhan membiarkan. Saya sudah bahas pada pertemuan yang lampau bahwa waktu Iblis ingin mencobai Ayub, Iblis meminta izin kepada Tuhan. Berarti Tuhanlah yang memberikan izin tersebut, Iblis berniat jahat ingin menjatuhkan Ayub, tapi Tuhan ingin memakai pencobaan tersebut justru untuk membangun Ayub. Jadi yang pertama kita akan lihat adalah bahwa selama kita hidup dalam dunia ini, kita akan harus berjumpa dengan pencobaan sebab kita harus menanggung juga konsekuensi kehadiran dosa, kitalah yang mengundang dosa masuk ke dalam kehidupan ini dan akibatnya dunia tercemar oleh dosa, akibatnya Iblis pun bermain dengan bebasnya di dalam dunia ini. Kitalah yang membuka pintu untuk Iblis masuk ke dunia ini maka pencobaan akan selalu datang. Selama kita hidup dalam dunia, tidak bisa tidak kita akan harus berhadapan dengan pencobaan dan dosa. Ini yang pertama kita memang harus hidup dan menanggung konsekuensinya.PG : Dan tidak akan berakhir. Tidak ada yang bisa berkata, "Nanti setelah saya sudah berusia berapa, setelah saya matang secara rohani maka saya tidak akan lagi dicobai, itu tidak! Sampai kapanpun kita masih bisa dicobai, tidak ada batas usianya.
Jadi kita memang senantiasa harus berjaga-jaga dan berdoalah, itu tidak mengenal batas waktu. Yang kedua untuk menjawab pertanyaan mengapakah Tuhan membiarkan kita dicobai? Adakala karena Tuhan ingin memakai pencobaan untuk membangun kita menjadi manusia yang dewasa. Kita mesti ingat satu hal, Pak Gunawan, Tuhan tidak tertarik menjadikan kita anak-anak, Dia ingin menjadikan kita dewasa. Maka Yakobus 1:2 berkata "Saudara-saudaraku, anggaplah sabagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun." Dengan kata lain, Tuhan memberikan izin Iblis mencobai kita, Iblis berniat jahat tapi Tuhan berniat baik. Dia akan pakai pencobaan yang sama itu justru untuk membangun kita sebab tatkala kita diuji dan kita berhasil melawannya bersama dengan Tuhan, kita menjadi orang yang lebih tabah, lebih tekun. Dan firman Tuhan berkata, "Ketekunan atau ketabahan inilah yang menjadi modal munculnya sebuah karakter yang utuh, yang dewasa, yang matang." Inilah tujuan Tuhan, maka untuk mencapai tujuan ini, Dia memberikan kepada kita izin untuk dicobai.PG : Tepat sekali Pak Gunawan. Dan inilah yang Tuhan Yesus katakan kepada Petrus saat Petrus itu diperingati Tuhan, "Simon, Simon lihat Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum tai Aku telah berdoa untuk engkau supaya imanmu jangan gugur."
Di sini Tuhan memberi peringatan kepada Petrus dan yang kedua kita lihat sambungannya, "Dan engkau, jikalau engkau sudah insyaf, kuatkanlah saudara-saudaramu." Jadi Tuhan sudah tahu Petrus akan jatuh tapi Tuhan pun tahu Petrus akan insyaf, maka Tuhan memberikan kepada dia sebuah pengharapan dan tugas, "Kamu nanti kalau sudah insyaf, kamu mempunyai suatu tugas baru, kuatkanlah saudara-saudaramu." Jadi benar yang Pak Gunawan katakan, "Karena kita pernah dicobai, kita pernah melawan dan mengatasinya maka kita dapat menguatkan saudara-saudara kita yang lainnya."PG : Saya kira ada beberapa yang bisa kita pelajari Pak Gunawan, agar kita bisa bersiap-siap melawan pencobaan. Yang pertama adalah kita mesti menyadari titik lemah dalam hidup kita. Ingat Ibli selalu menyerang kelemahan kita, Iblis tidak akan menyerang kekuatan kita.
Maka jangan sampai kita menyangkal kelemahan kita, misalkan kita tahu kalau kita bisa angkuh dengan sangat mudah sekali, maka kita mesti berjaga jangan sampai kita berkesempatan angkuh. Kalau ada situasi atau hal-hal yang terjadi yang dilakukan dan kita tahu itu bisa membuat kita angkuh maka kita harus mundur, kita jangan sengaja untuk ke sana. Contoh lagi dengan misalkan godaan-godaan seksual yang seringkali mencobai kita, kalau kita tahu kita mudah jatuh maka jangan dekat-dekat dengan pencobaan tersebut kita mesti tahu kita tidak kuat, jangan sampai kita berkata, "Tidak apa-apa, Tuhan bisa menolong kita. Kalau sampai kita jatuh berarti Tuhan tidak menolong kita." Itu sikap tidak dewasa, sikap orang dewasa adalah sikap yang tahu kelemahan dirinya, tahu keterbatasannya maka dia akan berjaga-jaga justru di daerah-daerah dimana dia tahu dia lemah. Tadi kita sudah bahas tentang Daud, Daud seharusnya menyadari kalau Daud mempunyai kelemahan dalam hal wanita, dia mudah tertarik dengan wanita yang cantik tapi Daud lengah. Waktu dia melihat Betsyeba, dia tidak bisa menguasai dirinya. Yang harus dilakukan Daud adalah dia sudah tahu kalau dari atas bisa melihat kamar mandi orang di bawah, maka seharusnya jangan naik-naik ke atas, jangan melihat-lihat. Kemungkinan besar dari sisi Alkitab ialah Daud tahu siapa yang tinggal disitu, tidak mungkin Daud tidak tahu orang yang tinggal di sekitar kompleks istananya. Dan karena Uria adalah salah satu panglimanya dan tinggal di sekitar situ, seharusnya Daud tahu kalau itu istri Uria. Dan kita tahu bahwa ayah dari Betsyeba adalah salah satu penglima Daud dan kakak dari Betsyeba adalah seorang penasehat Daud yaitu Ahitofel, dia tahu siapa Betsyeba maka dapat diduga bahwa Daud pun memang sengaja ke atas, melihat-lihat dan seolah-olah kebetulanlah melihat Betsyeba mandi, itu tidak! Jadi Daud akhirnya jatuh ke dalam dosa yang begitu dalam. Maka kita mesti tahu keterbatasan kita, maka istilah tahu diri disini sangat penting. Orang yang tidak tahu diri akhirnya akan mengalami krisis rohani, tidak pernah bertumbuh karena tidak punya hikmat untuk tahu diri.PG : Maka itu akan membawa kita kepada point yang kedua, dalam menghadapi pencobaan, kita tidak boleh meremehkan pencobaan dan percaya pada kemampuan sendiri. Dulu dalam pekerjaan saya juga berecimpung dalam penanganan narkoba, di rumah sakit jiwa di mana dulu saya bekerja.
Saya masih ingat sekali Pak Gunawan kalau orang itu mau sadar, mau bersih tidak lagi memakai narkoba baik itu alkohol maupun narkoba yang lainnya, mereka itu harus berjanji tidak mencicipi setetes pun alkohol atau memakai narkoba sekecil apa pun, sama sekali tidak boleh. Sebab mereka diperingati, "Begitu kamu cicipi setetes, kamu akan meneguk sebotol tidak bisa berhenti." Maka yang kamu harus hindari yang setetes itu. Masalahnya dengan para pengguna narkoba dan peminum adalah mereka selalu berdialog dengan diri sendiri dan berkata, "Setetes tidak apa-apa, tidak ada salahnya!" jadi meremehkan. Dan mereka selalu berkata, "Pasti saya bisa, mana mungkin saya tidak bisa menahan diri saya. Saya selalu bisa mengendalikan diri, saya tidak pernah sampai kenapa-napa," itulah awal kejatuhan. Maka kita mesti sadar, kita tidak boleh meremehkan pencobaan dan terlalu percaya diri, jangan main api dengan pencobaan. Itu sebabnya dalam Doa Bapa Kami, Tuhan mengajarkan kepada kita untuk berdoa supaya Ia menjauhkan kita dari pencobaan dan Tuhan menjawab doa kita, Dia menjauhkan kita dari pencobaan. Masalahnya adalah kita yang kemudian lari dan mendekati pencobaan akhirnya kita jatuh lagi dan jatuh lagi.PG : Sebab pencobaan sekali lagi dihadirkan oleh Iblis atau muncul dari keinginan sendiri yang memang berkenaan dengan diri kita yang kita sukai. Tadi saya sudah singgung, Iblis tidak mencobai ita di wilayah di mana kita kuat, dia mencobai kita di mana kita lemah, di mana dia tahu inilah sebenarnya letak hasrat nafsu atau keinginan kita.
Makanya orang yang ingin kaya selalu jatuh di harta, orang yang ingin berkuasa selalu jatuh di kuasa, orang yang ingin kenikmatan seksual selalu jatuh di dalam dosa seksual. Iblis tidak menghadirkan pencobaan yang terbalik-balik atau salah menyandingkan tapi dia akan sandingkan pencobaan dengan keinginan kita dan cocok. Maka kita memang harus sadar, kita tidak boleh sembarangan. Kita harus sadar bahwa kita bisa jatuh dan sampai kapan pun kita bisa jatuh. Seperti tadi yang saya bagikan kepada para pecandu narkoba dan alkohol, mereka tidak boleh bahkan mencicipi setetes pun sebab dari satu tetes itu menjadi satu botol.PG : Sikap yang lain adalah kita mesti ingat bahwa pencobaan dari Iblis dan dari diri sendiri adalah sama berbahayanya. Kita kadang beranggapan yang dari Iblis yang pencobaannya paling berbahaya. Memang Iblis itu sangat besar, sangat berkuasa, dia bisa membisikkan kata-kata untuk menghasut kita berontak kepada Tuhan tapi kita juga harus sadar bahwa yang dari kita sendiri juga sangat berbahaya yaitu kita adalah makhluk berdosa sehingga kita bisa memainkan rasio kita dan membuat diri tidak merasa berdosa. Kita tahu bahwa raja Daud sewaktu dia jatuh ke dalam dosa, dia diam-diam saja sampai Natan nabi Tuhan harus datang untuk menghardiknya. Saya perhitungkan secara manusia secara perkiraan kasar, terbentang waktu setidak-tidaknya hampir setahun dia jatuh ke dalam dosa sampai Tuhan peringati dia. Memang kita tahu di Mazmur, Daud menceritakan pergumulannya waktu dia berdosa, tulang-tulangnya pun terasa sakit dan sebagainya. Tapi pertanyaannya adalah mengapakah Daud tidak meminta ampun, tidak bertobat meskipun tulang-tulangnya dia katakan sakit? Karena dia menyimpan dosa. Inilah kekuatan rasio kita, semakin saya berusia semakin saya menyadari, firman Tuhan itu benar sekali bahwa kita memang sangatlah berdosa, sangatlah rusak sehingga pikiran kita pun begitu rusaknya sehingga bisa mengubah sesuatu yang jahat, yang keji, yang salah menjadi sesuatu yang tidak mengganggu kita dan kita bisa membenarkan diri kita. Contoh klasik adalah yang baru saja terjadi di Amerika di sekolah "Virginia Tech University" dimana ada seorang mahasiswa asal Korea membunuh 32 orang, sebelumnya dia memvideokan dirinya, memarah-marahi seluruh dunia. Dengan kata lain dia beranggapan bahwa tindakannya itu benar. Jadi pikiran manusia begitu rusak sehingga bisa mengubah sesuatu yang sangat salah menjadi sangat benar dan tidak mengganggu dirinya lagi. Maka kita harus menyadari, diri kita mempunyai kemampuan untuk memanipulasi kebenaran Tuhan, kekudusan Tuhan dan memanipulasi dosa sedemikian rupa sehingga kita bisa tetap berdosa dan jatuh ke dalam pencobaan terus-menerus dan tidak merasakan salah sedikit pun.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Itu sebabnya saya rasa banyak orang juga tahu hal ini begitu banyak orang Kristen yang jatuh ke dalam dosa misalkan yang sekarang umum adalah dosa perselingkuhandan tidak merasa salah Pak Gunawan, itu benar-benar yang tidak bisa kita pahami yaitu meninggalkan istri hidup dengan wanita lain atau tidak meninggalkan istri tapi tidak setia namun minggu demi minggu tetap berbakti kepada Tuhan, tidak merasa salah sama sekali.
Ini membuat kita berpikir kenapa ada orang yang seperti itu. Pikiran kita sangat berkuasa sehingga kita bisa memainkan untuk membenarkan diri kita dan membereskan, membersihkan diri kita dari rasa bersalah sehingga kita tidak merasa salah. Maka dalam pengalaman mengkonseling orang dan sebagainya, salah satu tugas berat saya adalah untuk menyadarkan orang akan dosa yang di belakang dosa. Sebab kadang-kadang orang hanya memfokuskan pada dosa yang di depan, ternyata di belakang dosa ada dosa lain yang lebih serius dan seringkali dosa yang lebih serius adalah memainkan pikiran kita untuk membenarkan pikiran kita.PG : Tepat sekali Pak Gunawan. Jadi hal yang Tuhan anugerahkan untuk kebaikan yakni rasio, akhirnya bisa kita gunakan untuk hal yang sangat salah dan melawan Tuhan.
PG : Yang keempat adalah terimalah pencobaan sebagai bagian dari ujian untuk mendewasakan kita. Janganlah kita senantiasa ketakutan, hidup dalam kecemasan, nanti bagaimana kalau saya jatuh kedaam dosa dan sebagainya? Ingatlah Tuhan bersama kita, Tuhan memberi peringatan, Tuhan mendoakan kita, Tuhan akan menjaga kita dan memang adakalanya Tuhan mengizinkan pencobaan datang melawan kita.
Jadi yang perlu kita takuti bukan itu, maka yang kita perlu takuti adalah kita tidak taat kepada Tuhan. Maka kita harus terima, kalau memang harus datang, jangan kita panik yang penting kita tidak jatuh, yang penting kita tidak mendengarkan, yang penting kita tidak melakukan apa yang dibisikkan oleh Iblis atau yang dibisikkan dari kita sendiri. Pikiran-pikiran mau berbuat dosa dan sebagainya akan terus melintasi benak kita. Kita tidak selalu bisa menghadangnya, tapi biarkan dia melintas dan jangan justru ditangkap dan dibuahkan seperti yang tadi kita bahas dari kitab Yakobus, membuahkan pikiran yang mau berdosa itulah yang akhirnya menjadikan dosa itu sebagai sebuah kenyataan.PG : Betul, akan hilang sendiri. Jadi Iblis akan menggedor-gedor pintu kita, kalau kita tidak membukakan pintu, dia akan mencari kesempatan yang lain, dia akan dengarkan apa yang ada di balik pntu.
Apakah kita sudah mulai memikirkan lagi, memberikan keinginan diri kita untuk keluar melawan Tuhan. Begitu dia tangkap, "Benar, orang ini sedang memikirkan sesuatu." Dia mengetok pintu, dia akan mengetok lagi pintu hati kita. Maka kita harus berhati-hati tapi memang kalau kita tidak bukakan maka akan lewat, Pak Gunawan.PG : Ini godaan yang besar sekali Pak Gunawan. Godaan untuk menyerah dan berkata "Memang saya lemah." Tuhan tahu kita lemah dan Tuhan memaafkan kita dalam kelemahan, kita tidak perlu takut datag kepada Tuhan dalam kelemahan.
Bahkan kepada orang yang jatuh dalam dosa tetap saya berkata "Jangan sampai malu datang kepada Tuhan," sebab Iblis akan membisikkan kepada kita "Kamu sudah tidak layak, kamu sekarang sebaiknya mundur, jangan lagi dekat-dekat dengan Tuhan," itu bisikan Iblis. Bisikan Tuhan adalah "Datanglah, bertobatlah." Sebab itulah yang selalu Tuhan serukan "Kerajaan Allah sudah dekat, bertobatlah! Jangan keraskan hatimu. Selama masih ada kesempatan, datanglah bertobatlah." Itulah perintah Allah. Jadi datanglah kepada Tuhan dalam kondisi apa pun, kita akan lebih berkemungkinan melawan pencobaan dengan Tuhan dari pada di luar Tuhan. Kita coba atasi sendiri, kita malu datang kepada Tuhan, kita akan semakin terpuruk. Jadi yang kita harus lakukan tetap datang kepadaNya, tetap mendekatkan diri kepadaNya, tetap baca firmanNya, tetap bersekutu dengan sesama anak Tuhan, tetap bercerita, ada suatu pertanggung jawaban kepada seseorang yang kita anggap kakak rohani kita, agar dia bisa memonitor kita supaya kita lebih berhati-hati. Dalam perjalanan hidup tidak langsung sembarangan berbuat dosa, semua ini harus kita lakukan dan kalau kita sudah lakukan maka kemungkinan kita jatuh akan lebih kecil.PG : Yang terakhir yaitu apa pun yang kita rasakan yakinlah dengan iman bahwa Tuhan melihat dan menolong. Tidak selalu kita melihat bahwa Tuhan bekerja secepat yang kita harapkan, namun yang tepenting adalah mengetahui bahwa Ia beserta kita bahkan dalam pencobaan.
Jangan kita berpikir bahwa tatkala kita dicobai, maka Tuhan tidak lagi bersama kita. Itu salah tapi Dia tetap bersama kita, bahkan sekali pun saat kita jatuh ke dalam dosa, Dia bersama kita dan Dia siap untuk mengangkat kita kembali keluar dari lubang dosa itu asalkan kita berseru kepadaNya, mengulurkan tangan memohon dan mengangkat kita kembali.PG : Semua rasa-rasa itu akan datang dan tidak apa-apa bahkan baik, kita harus tahu diri, kita memang telah berdosa maka kita harus menyesalinya. Kita tidak boleh bersukacita dan bermegah dalamdosa kita.
Tapi janganlah perasaan-perasaan itu menghalangi untuk kita datang kembali kepada pelukan Bapa di Surga, sebab sekali lagi Dia menginginkan kita untuk bisa mengalahkan pencobaan. Dia senantiasa bersedia memberikan kita kekuatan dan kekuatan itu hanya dapat kita peroleh kalau kita bersekutu dekat denganNya. Maka firman Tuhan di Yohanes dalam perumpamaan tentang anggur, Tuhan berkata "Kita adalah rantingnya." Kita harus tinggal di pokok atau di batang anggurNya sebab kalau kita lepas kita tidak bisa berbuat apa-apa, lepas dari Tuhan kita bukan semakin kuat tapi semakin lemah. Jadi lebih baik di dalam Tuhan dan masih jatuh bangun dari pada keluar dari Tuhan, kita akan terus jatuh.PG : Saya akan bacakan dari 1 Korintus 10:12, "Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" ini nasehat Tuhan jangan takabur, "Saya kuat" jangan Supaya kita berhati-hati jangan jatuh.
"Pencobaan-pencobaan yang kamu alami," kata Tuhan, "ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya." Ini janji Tuhan bukan janji manusia, jadi dalam keadaan apa pun bersandarlah pada janji Tuhan.GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sikap Kita Terhadap Pencobaan" Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
41. Menjadi Orang Benar | |
Tidak mudah menjadi orang benar; jauh lebih mudah menjadi orang yang membenarkan diri. Menjadi orang benar berarti hidup sesuai kehendak Tuhan, sedangkan membenarkan diri adalah hidup sesuai kehendak diri sendiri. Apa penyebab orang lebih senang untuk membenarkan diri? Jika demikian halnya, apakah yang harus dilakukan agar kita dapat menjadi orang yang benar?
Tidak mudah menjadi orang benar; jauh lebih mudah menjadi orang yang membenarkan diri. Menjadi orang benar berarti hidup sesuai kehendak Tuhan sedangkan membenarkan diri adalah hidup sesuai kehendak diri sendiri. Mari kita lihat mengapa kecenderungan kita adalah membenarkan diri.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menjadi Orang Benar". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Sudah tentu bisa, Pak Gunawan, itu sebabnya Tuhan tatkala menyelamatkan kita Dia membenarkan kita sehingga kita yang tadinya di luar kehendak-Nya, di luar keluarga-Nya, di luar kasih sayan-Nya sekarang menjadi bagian dari keluarga-Nya dan kasih sayang-Nya.
Setelah kita dibenarkan secara status yakni kita menjadi anak-anak Tuhan memang Tuhan mengharapkan kita bertumbuh makin hari makin serupa dengan Dia. Dan ini yang dimaksud menjadi orang benar yaitu orang yang makin hari makin serupa dengan Dia, namun tadi Pak Gunawan sudah memunculkan sebuah fakta yaitu tidak mudah menjadi orang benar sebab kecenderungan kita adalah menjadi orang yang membenarkan diri.PG : Betul sekali. Dan kita akhirnya menjadi orang yang tidak mau tahu, yang penting kita ini harus selalu benar. Sehingga waktu orang berkata-kata kepada kita dan misalkan jalan kita kurang luus atau kita tidak terima, kemudian kita membenarkan diri.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Ini adalah sebuah proses dan memang tidak selesai dalam satu malam, dan kita terus-menerus harus menjalaninya. Untuk bisa sampai ke sana, Pak Gunawan, kita mestimengerti dulu kodrat manusiawi kita yang berdosa karena kodrat manusiawi kita yang berdosalah yang menghalangi kita bertumbuh menjadi orang benar.
Ada sekurang-kurangnya 3 hal yang bisa saya pikirkan, Pak Gunawan. Yang pertama kita pada dasarnya adalah manusia yang tidak ingin disalahkan, dari pada disalahkan kita beralih menyalahkan lingkungan atau orang lain. Kita bisa melihat bahwa sebetulnya kecenderungannya ini sudah muncul pada waktu hari pertama kita berdosa yaitu sewaktu Tuhan menanyakan kepada Adam. Adam tahu sebetulnya dia salah tapi yang pertama dia langsung menyalahkan Hawa bahwa Hawalah yang menyuruh dia untuk memakan buah yang Tuhan sudah katakan tidak boleh dia makan. Dan Hawa juga sudah langsung menyalahkan si ular yakni si iblis. Kita bisa melihat di sini bahwa dari awalnya tatkala manusia jatuh ke dalam dosa, manusia tidak ingin menjadi orang yang disalahkan. Pak Gunawan mungkin juga bisa melihat di dalam hidup ada begitu banyak masalah muncul gara-gara kita ini menolak untuk disalahkan sewaktu kita memang selayaknya harus menanggung akibat itu. Begitu banyak pertikaian terjadi oleh karena kita menyalahkan orang yang tidak selayaknya menerima tanggung jawab itu.PG : Betul, ini adalah sebuah mekanisme pertahanan diri yang kalau saya jelaskan dari segi firman Tuhan, ini merupakan buah dosa yaitu kita tidak ingin disalahkan. Dari segi psikologis pun kitaini sebetulnya mendorong orang untuk berani melihat diri dan berani untuk mengoreksi kalau ada yang perlu dikoreksi pada diri sendiri.
Jadi dari segi ilmu psikologi pun kita ini menganjurkan manusia untuk terbuka menerima tanggung jawabnya dan mengakui kesalahannya. Tidak akan ada psikolog yang berkata, "Yang penting kalau ada orang yang menyalahkanmu langkah pertama adalah menangkisnya, menyalahkan orang lain," bukan seperti itu! Justru dari segi psikologis kita katakan itu tidak sehat. Jadi mekanisme pertahanan seperti ini adalah mekanisme yang keluar dari dosa dan inilah yang nantinya harus kita runtuhkan.PG : Betul sekali, jadi karena kita tidak mau menanggung akibat maka kita cepat-cepat mengelak dan malah menyalahkan orang dari pada kita itu menanggung kesalahan yang kita buat.
PG : Yang kedua adalah yang membuat kita sulit menjadi orang benar adalah kita manusia yang ingin mendapatkan pujian, itu sebabnya kita membenarkan diri sehingga pada akhirnya kita memperoleh pjian oleh karena kita dianggap benar.
Pada dasarnya kita memang takut mendengar hal-hal yang berisikan kritikan, hal-hal yang negatif yang tidak sesuai dengan konsep diri kita. Dengan cepat waktu kita mendengarkan hal-hal seperti itu, kita menyimpulkannya sebagai ketidakmengertian orang akan siapa kita, "Kamu tidak tahu saya siapa" artinya apa? Kita mau mengatakan sebetulnya bahwa kamu tidak tahu betapa baiknya saya, kamu tidak tahu bahwa sebenarnya saya ini jauh lebih baik dari pada apa yang engkau lihat atau engkau pikir dan kamu tidak mengerti tentang saya. Jadi intinya memang kita tidak suka melihat celaan atau hal negatif tentang diri kita maka kita menangkisnya membenarkan diri supaya akhirnya kita tampak benar di hadapan orang. Dan ini sebenarnya muncul dari kerinduan kita untuk mendapatkan pujian dari orang.PG : Adakalanya jalan itulah yang kita tempuh gara-gara kita ingin mendapatkan pujian maka kita memunculkan sebuah diri yang sebetulnya itu lain dari apa yang ada di dalam diri kita. Sudah tent hidup seperti ini tinggal tunggu waktu akhirnya kedok kita pun terbuka.
Saya kira tidak ada orang munafik yang pada akhirnya tidak terbongkar kemunafikannya. Pada akhirnya semua kemunafikan akan terbongkar sebab Tuhan pada akhirnya selalu bertindak untuk melepas topeng-topeng dari wajah kita.PG : Seringkali seperti itu, Pak Gunawan. Saya mencoba mengerti kemanusiawian kita bahwa adakalanya kita semua melakukan hal-hal itu, kita itu menampilkan sisi-sisi rohani, sisi-sisi yang layakmendapatkan pujian, supaya nanti orang hanya melihat sisi itu dan tidak melihat bagian dalam diri kita yang gelap itu.
Saya kira ini kecenderungan kita sebagai manusia dan saya juga mengakui bahwa adakalanya kita tidak sengaja munafik, dalam pengertian kita ini sebetulnya ingin sebaik itu, kita sebetulnya ingin serohani itu tapi akhirnya kita salah langkah bukan mulai dari bawah dan mengakui karena memang kita masih di bawah, kita masih penuh dengan kekurangan dan dosa, tapi kita memulainya dari atas. Titik berangkatnya dari kerohanian, dari yang indah, dari yang bagus, sehingga akhirnya begitu kita memulai dari atas, dari yang bagus-bagus itu, untuk kita bisa turun ke bawah dan mengakui betapa gelapnya kita, itu akan menjadi susah, kita akhirnya terus terjebak di atas. Saya kira inilah yang terjadi pada orang-orang Farisi di zaman Tuhan Yesus, pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang religius mereka ingin hidup sesuai perintah Tuhan dan mereka adalah pemimpin-pemimpin rohani. Jadi ingin dilihat sebagai orang-orang yang hidupnya bersih dan layak dipuji tapi karena mereka berangkat dari titik rohani itu, dari titik bagusnya sehingga akhirnya mereka susah turun, tidak pernah turun-turun. Dan akhirnya kita tahu apa yang terjadi yaitu Tuhan Yesuslah yang menurunkan mereka.PG : Ya. Karena seringkali karena kita berkedudukan tinggi baik itu karena kekayaan kita, karena status-status tertentu atau pun karena jabatan-jabatan rohani kita. Maka akhirnya orang lain punsungkan menyodorkan fakta tentang siapa kita, malah membenarkan tindakan-tindakan kita, membela kita secara membabi buta yang sebetulnya berdampak buruk, kita bukan melek mata melihat siapa kita tapi malah makin buta.
PG : Betul sekali. Pak Gunawan tadi memunculkan hal yang penting yaitu lingkungan pun kadang-kadang mempunyai andil didalam permasalahan kita yang ingin membenarkan diri sehingga makin hari makn jauhlah kita dari fakta yang sesungguhnya.
PG : Yang ketiga adalah kenapa kita ini menjadi orang yang susah sekali untuk hidup benar adalah kita menjadi orang yang tidak mudah percaya pada niat baik orang. Itu sebabnya apa pun yang dikaakan orang, bila orang itu tidak berkenan di dalam hati, maka dengan segera kita simpulkan sebagai niat buruk yaitu "Kamu memang ingin menyerang saya dan sebagainya".
Kita tidak percaya bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan di telinga dapat keluar dari niat baik dan untuk kebaikan kita, itu sebabnya kita terus membenarkan diri dan menolak komentar orang yang tidak berkenan di hati.PG : Betul. Jadi adakalanya orang menyampaikan sesuatu kepada kita yang memang negatif maka bungkusannya adalah emosi, marah, tidak senang dan sebagainya akhirnya yang kita tangkap adalah bungksannya yaitu emosi marah dan ketidaksenangannya itu dan kita luput melihat isi bungkusan itu yang sebetulnya baik.
Kita pun saya kira acapkali berbuat hal yang sama pada orang lain, kita membungkus masukan kita yang penting itu dengan bungkusan-bungkusan yang penuh dengan emosi marah, tidak senang sehingga orang lain pun tidak bisa mendengar apa yang kita sampaikan. Jadi kita ini mesti mulai membangun kepercayaan pada niat baik orang, sebagian orang memang tidak ada niat baik dan itu betul tapi sebetulnya cukup banyak orang yang mempunyai niat baik, mereka memberitahukan kita mungkin saja tidak sepenuhnya tepat karena mereka tidak bisa melihat keseluruhan dari hidup kita, tapi cukup banyak orang yang memberitahukan kita hal yang tidak berkenan itu dengan niat baik untuk kebaikan kita. Hanya saja sekali lagi kita bukanlah orang yang terbiasa untuk percaya pada niat baik orang. Kalau perkataannya itu enak didengar maka kita berkata, "Orang ini baik dan berniat baik kepada kita," tapi begitu perkataannya kurang berkenan kita langsung menyimpulkan, "Kamu memang mempunyai niat buruk, ingin menjelekkan saya, ingin menyerang saya." Tapi sesungguhnya bukankah kalau orang sampai memberanikan diri, memberitahukan kita tentang diri kita yang tidak positif, bukankah itu sebuah upaya yang keras, yang berat dan tidak mudah. Biasanya orang tidak dengan mudah bicara hal yang negatif tentang orang lain secara langsung. Jadi kalau sampai orang mengupayakan hal itu seyogianyalah orang itu mengakui bahwa besar kemungkinan niatnya baik, sebab untuk apa dia susah-susah meresikokan diri untuk berbicara langsung kepada kita.PG : Betul sekali. Sebab kecenderungan kita dari pada merendahkan diri, bertanya dengan jujur apa yang menjadi pengamatannya tentang diri kita, maka reaksi yang pertama dari kita adalah menangksnya, membenarkan diri akhirnya makin hari bukannya kita menjadi orang yang benar di mata Tuhan, akhirnya kita sibuk membenarkan diri, makin jauhlah kita dari kondisi yang sesungguhnya yang Tuhan inginkan dari kita.
PG : Mazmur 92:13-16 mengajarkan kita bagaimanakah kita menjadi orang yang benar. Firman Tuhan berkata, "Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Lbanon; mereka yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelataran Allah kita.
Pada masa tua pun mareka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar, untuk memberitakan, bahwa Tuhan itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tidak ada kecurangan pada-Nya." Dari firman Tuhan ini sekurang-kurangnya ada 3 hal yang bisa kita petik untuk menolong kita hidup sebagai orang benar. Yang pertama, Firman Tuhan berkata orang benar itu akan bertunas dan bertumbuh subur di dalam pelataran Allah, di dalam bait Allah. Artinya apa? Artinya di dalam iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus. Pertumbuhan adalah tanda adanya kehidupan, jika kita hidup di dalam Tuhan maka kita akan bertumbuh pula. Pertumbuhan rohani diukur lewat pertumbuhan iman, orang yang tidak bertumbuh biasanya hidup di dalam kecemasan karena tidak ada iman sehingga mengkhawatirkan segalanya. Kadang kita hidup seakan-akan tidak ada Tuhan, kita mengupayakan segalanya seakan-akan semua bergantung kepada kita. Pada faktanya Tuhan menentukan segalanya dan tugas kita adalah beriman kepada-Nya dan percaya pada kasih setiaNya. Misalkan kita lihat contoh pada orang Israel, berulang kali orang Israel melihat Tuhan menyelamatkan dan memelihara mereka namun setiap kali masalah datang mereka kembali mengeluh dan inti masalah bukanlah terletak pada keluhan melainkan kepada ketidakpercayaan mereka. Berkali-kali mereka melihat Tuhan bertindak tapi terus tidak percaya bahwa Tuhan sanggup dan akan menyelamatkan dan memelihara mereka, inilah tanda iman yang tidak bertumbuh, pada akhirnya iman yang tidak bertumbuh akan mati. Orang benar yang sepenuhnya beriman kepada Tuhan, Pak Gunawan, dia tahu bahwa semua di tangan Tuhan, jadi dia tidak takut untuk menerima masukan negatif, tidak takut untuk mengakui kesalahannya dan memang ini tanggung jawab saya dan memang benar bahwa saya salah, tidak takut dengan hal-hal seperti itu, tidak takut melihat sisi gelap dalam dirinya dan diketahui sisi gelap itu. Kenapa? Sebab dia sepenuhnya bertumpu pada Tuhan, Tuhan yang mengatur semuanya.PG : Seharusnya perlahan-lahan dia bisa melihat bahwa imannya bertumbuh, Pak Gunawan, sebab Tuhan itu tidak pernah berhenti untuk membentuk kita, Dia akan menghadirkan situasi demi situasi dimaa untuk sejenak kita merasa kehilangan arah, kehilangan kendali atas hidup ini, kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan dan dalam kondisi seperti itu kita dipaksa Tuhan untuk datang kepada-Nya dan bersandar kepada-Nya.
Jadi di dalam kegelapan, saat kita tidak melihat, di saat itulah kita bersandar kepada-Nya, percaya bahwa Tuhan bisa menolong dan memelihara kita. Sewaktu itu terjadi, kita pun akan berkata, "Tidak salah saya percaya kepada Tuhan, tidak salah saya beriman kepada-Nya sebab tangan-Nya selalu cukup panjang untuk menolong kita." Misalkan dalam contoh dengan kaitan yang kita bicarakan ini, waktu misalkan dia mengaku salah, dan dia tidak membenarkan diri, dia mengaku salah dan dia melihat Tuhan bekerja, Tuhan menolong, Tuhan membukakan jalan dan sebagainya. Lewat peristiwa-peristiwa itu imannya makin ditumbuhkan bahwa tidak apa-apa maka kita bisa percaya kepada Tuhan.PG : Betul. Jadi memang orang yang mendahulukan Tuhan dan benar-benar merenungkan dan memikirkan firman Tuhan dan hidup berdasarkan kehendak Tuhan.
PG : Firman Tuhan juga menekankan bahwa orang benar adalah orang yang mengalami sendiri kebenaran perkataan Tuhan. Apa yang Tuhan janjikan pasti ditepatiNya, sebab Tuhan tidak pernah dan tidak kan berbohong, itu sebabnya orang benar hidup sepenuhnya atas dasar kuasa pemeliharaan Tuhan.
Ia tidak takut atau ragu, ia yakin bahwa Tuhan mengatur segalanya dengan sempurna, dia tidak khawatir disalahkan sebab tanggung jawabnya adalah kepada Tuhan sendiri, ia tidak takut penghakiman manusia sebab terpenting baginya hidup sesuai kehendak Tuhan. Jadi orang benar hidup atas dasar setiap perkataan Tuhan. Itu sebabnya dia tidak mencemaskan penilaian orang terhadapnya dan tidak merasakan perlu membenarkan diri. Orang ini benar-benar mantap, kokoh sebab benar-benar apa yang diketahuinya itu bukan saja hanya diketahui secara rasio atau pengetahuan, tapi diketahui secara pengalaman hidup. Tuhan itu setia dan bukan hanya dia tahu secara pengetahuan tapi dia mengalami bahwa Tuhan itu setia, kenapa Tuhan bisa memelihara, kenapa Tuhan bisa mencukupi, kenapa Tuhan bisa menolong, kenapa Tuhan bisa melepaskan saya dari jerat-jerat dan masalah ini? Dan pengalaman-pengalaman langsung itu membuat kita tambah hari tambah yakin akan kebenaran firman-Nya bahwa Tuhan itu betul. Maka orang seperti ini tidak perlu lagi menemukan alasan untuk membenarkan diri, dia perlu hidup apa adanya dan nanti Tuhan akan tolong dan nanti Tuhan akan lepaskan. Jadi sekali lagi tidak pernah takut dan khawatir.PG : Dan itulah langkah awal yang mutlak harus kita jalani, bagaimanakah kita bisa mengetahui janji Tuhan kalau kita tidak membaca firman-Nya. Jadi itu langkah pertama, namun langkah kedua adalh sewaktu Tuhan menempatkan kita di posisi di mana kita tidak bisa menguasai hidup ini, kita harus bersandar kepada-Nya kita harus melangkah dengan iman dan dari situlah kita akan melihat kebenaran perkataan-Nya, pemenuhan janji-Nya.
Kalau kita tidak pernah mengambil langkah kedua itu mempercayakan sepenuhnya kepada Tuhan maka kita tidak akan mungkin melihat kebenaran firman-Nya bahwa Tuhan itu benar-benar akan melakukan seperti apa yang dikatakan-Nya.PG : Betul sekali. Jadi orang yang tidak bisa mempercayakan dirinya kepada Tuhan, akhirnya tidak pernah bertumbuh menjadi orang yang benar, sebagaimana yang Tuhan kehendaki.
PG : Firman Tuhan mengatakan orang benar bertahan dalam kebenaran sampai tua sebab dia terus menyaksikan pimpinan Tuhan atasnya tatkala dia hidup di dalam kebenaran, ia tidak cemas kehilangan aa yang diharapkannya karena dia tahu Tuhan sudah menetapkan porsi yang tepat untuknya.
Itu sebabnya dia tidak terdorong untuk hidup di dalam kecurangan, ia tahu bahwa dalam kebenaranlah ia akan mendapatkan berkat Tuhan, ia terus bertahan sampai tua sebab dia tidak pernah kecewa kepada Tuhan. Saya masih ingat pertanyaan saya kepada Pdt. Philip Teng, dia adalah seorang hamba Tuhan yang sudah sangat tua berasal dari Hongkong dia melayani Tuhan dengan setia. Waktu beliau datang ke Jakarta kemudian saya bertanya, "Apakah Bapak Philip Teng pernah mengalami kekecewaan hidup di dalam Tuhan dan melayani-Nya selama ini?" Beliau berkata, "Tidak pernah" sebab bagi dia melayani Tuhan dan hidup di dalam Tuhan merupakan sebuah kehormatan, bagaimanakah kehormatan yang begitu besar dapat mengecewakannya, dia berkata, "Tidak bisa". Kenapa orang bisa sampai tua bertahan menjadi orang benar dan makin hari makin bertumbuh karena dia menyaksikan dan mengalami terus pemeliharaan Tuhan yang begitu setia, maka dia terus bertahan sampai tua. Tapi orang yang tidak mengalaminya, belum sampai tua pun jatuh lagi dan jatuh lagi.PG : Betul sekali. Makanya ada orang yang rela kehilangan segalanya bahkan kehilangan hidupnya demi Tuhan, demi Kristus Juruselamat kita yang telah setia memelihara hidup kita dan telah begitu erkorban untuk dosa kita.
PG : Betul. Jadi sewaktu kita mempertahankan kebenaran Tuhan maka kita akan terus dipelihara Tuhan. Jangan sampai kita memertahankan kebenaran sendiri, alias membenarkan diri, itu yang Tuhan tiak kehendaki.
PG : Dapat kita simpulkan bahwa hidup orang yang benar akan menghasilkan buah yang lebat dan segar. Sebaliknya hidup orang yang membenarkan diri dan berjalan dalam kecurangan akhirnya hanyalah enghasilkan buah yang pahit.
PG : Yang pertama adalah yang pasti dirasakan oleh orang di sekitar kita adalah kepahitan-kepahitan, kekecewaan-kekecewaan tapi bagi orang yang hidupnya benar orang di sekitarnya itu akan selal mencicipi manisnya hidup dengan dia, manisnya berbicara dengan dia, manisnya mendengarkan kata-katanya.
Itu semua adalah buah-buah yang dicicipi. Dan kita harus ingat kita ini adalah pohon yang berbuah, kita sendiri sebetulnya tidak memakan buah itu, buah itu dimakan oleh orang lain. Jadi manis atau tidaknya itu ditentukan oleh orang di sekitar kita, kalau hidup kita membuahkan buah yang manis, orang di sekitar kita menerima buah yang manisnya. Tapi kalau dalam hidup kita, kita menghasilkan buah yang pahit, orang di sekitar kita akan terus memakan buah yang pahit dalam hidupnya gara-gara kita.PG : Seringkali demikian, Pak Gunawan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menjadi Orang Benar." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
42. Perasaan Tidak Peka | |
Hidup dengan orang yang tidak memiliki kepekaan memang tidak mudah. Ibarat orang yang berjalan dan menginjak kaki yang lain, orang yang tidak peka pun demikian. Ia tidak menyadari dampak perbuatan dan perkataannya pada orang lain. Bagaimana kalau masalah ini timbul. Apa yang harus kita lakukan? Masalah apa saja yang akan muncul akibat pribadi yang kurang peka ini?
Hidup dengan orang yang tidak memiliki kepekaan memang tidak mudah. Ibarat orang yang berjalan dan menginjak kaki yang lain, orang yang tidak peka pun demikian. Ia tidak menyadari dampak perbuatan dan perkataannya pada orang lain. Berikut akan dipaparkan beberapa masalah yang timbul akibat ketidakpekaan.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Perasaan Tidak Peka". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Betul, Pak Gunawan. Kita mungkin saja memiliki perasaan yang normal, yang peka yang berjalan seperti biasanya tapi ada orang yang hanya peka dengan perasaannya sendiri misalnya dia sangat eka jika dilukai, dianggap remeh.
Jadi yang akan kita bicarakan di sini adalah orang yang tidak peka, bagaimana perubahan tindakan atau sikap dari orang yang tidak peka akan memiliki dampak pada orang lain. Jadi bagaimanakah dirinya itu akan memberikan pengaruh pada orang di sekitarnya, untuk itu diperlukan kepekaan dan ada orang-orang yang tidak memiliki kepekaan tersebut, sehingga akhirnya ini bisa sangat mengganggu relasinya dengan sesama.PG : Pertama, karena dia tidak peka maka pada waktu dia melukai hati orang lain dia tidak menyadarinya karena dia tidak melihat bahwa dia telah melukai hati orang lain, atau mungkin karena peraaannya tidak berjalan dengan peka atau dia tidak memperhatikan reaksi orang.
Tapi intinya adalah dia mudah sekali melukai hati orang dan akhirnya orang itu tidak tahan untuk dekat-dekat dengan dia dan memilih untuk menjauh darinya karena pada dasarnya tidak ada orang yang mau dilukai dua kali. Dia sendiri mungkin tidak sadar kalau dia telah melukai hati orang. Karena dia tidak sadar maka mungkin dia bertanya-tanya, "Kenapa orang menjauh dari dia" dan dia mungkin tidak mengerti karena dalam budaya kita, orang tidak langsung berani bicara, maka dua-dua akan tambah menjauh tanpa ada penjelasan kenapa.PG : Ada orang-orang karena pengalaman dilukai di masa lampau akhirnya menumbuhkan sikap kebal dan tidak lagi peka dengan tindakannya karena merasa bahwa saya pun pernah dilukai, jadi dia sendii menjadi tidak peduli bagaimana tindakannya akan mempengaruhi apalagi akan melukai hati orang.
Jadi tetap ini akan menjadi masalah karena pada dasarnya tidak ada orang yang mau dilukai berkali-kali oleh kita. Jadi ini adalah dampak pertamanya.PG : Akhirnya orang lain akan mengembangkan prasangka buruk terhadap kita dan kita dianggap orang yang tidak peka dengan perbuatan kita dan orang akhirnya terluka oleh kata-kata kita. Jadi oran di sekitar kita mengembangkan prasangka bahwa kita orang yang berperangai buruk, berakhlak buruk atau berniat tidak baik.
Akhirnya apa yang terjadi? Sayang sekali orang mempunyai kesalahpahaman terhadap kita, mungkin kita tidak memiliki niat untuk melukai orang, kita tidak berniat untuk membuat orang terpojok oleh kata-kata kita tapi karena kita tidak menyadarinya maka akhirnya orang mengembangkan prasangka buruk itu dan menilai kita sebagai seseorang yang memang berperangai buruk seperti itu. Ini sangat sayang sekali, sebab begitu orang mulai beranggapan bahwa kita adalah orang yang berperangai buruk atau orang yang berkarakter kurang baik, maka apapun yang kita katakan atau yang kita lakukan akan cenderung ditafsir dengan kacamata negatif bahwa kamu itu tidak memiliki niat baik dan kamu sengaja mau menyinggung perasaan saya. Akhirnya masalah tambah hari tambah bertumpuk, karena orang makin hari makin mengembangkan lensa negatif tentang diri kita.PG : Itu masalahnya, dan dia bisa buta tentang bagaimana orang melihat dirinya, dia mungkin saja beranggapan bahwa orang melihat dirinya tetap saja baik dan positif padahalnya sudah tidak. Tadisaya sudah singgung, kalau tidak ada perubahan maka orang akan cepat sekali menilai tindakan dan perkataannya secara negatif dan akhirnya muncul konflik dan kita yang tidak peka ini akhirnya bingung, "Kenapa orang menjadi salah tangkap, kenapa orang menganggap saya seperti ini."
Kita menjadi bingung tapi masalah awalnya adalah karena kita tidak peka, bahwa kita telah menimbulkan prasangka buruk kepada seseorang.PG : Ketidakpekaan akhirnya menyulitkan kita untuk membaca perasaan dan berlaku tenggang rasa. Jadi akibatnya karena kita tidak mudah membaca perasaan orang, tidak bisa tenggang rasa, saling mngalah dan sebagainya maka kita dilihat orang sebagai manusia yang egois, karena kita dinilai hanya mementingkan diri kita karena memang kita tidak bisa membaca reaksi orang apakah orang itu senang atau tidak senang, orang merasa tersinggung atau tidak, apakah orang sepertinya menyambut kehadiran kita atau tidak, dan kita tidak peka kita tidak bisa membaca reaksi-reaksi orang.
Akibatnya orang akan merasa, "Kamu ini tetap seperti itu, kamu ini tetap bicara itu dan kamu ini tetap usulkan itu". Akhirnya orang akan berkata, "Kamu ini orang yang egois, kamu hanya mementingkan diri sendiri. Jadi akhirnya masalah mulai muncul lagi karena kita tidak mudah membaca reaksi orang, maka seringkali tindakan atau reaksi kita salah sasaran, tidak tepat, bicara pun akhirnya waktunya tidak tepat, tidak bisa cocok tapi tetap saja kita bicara dan kita mengusulkan ini dan itu, akhirnya orang merasa bahwa kamu ini benar-benar 'selfish', hanya mementingkan diri sendiri.PG : Saya kira demikian, Pak Gunawan, jadi ada di dalam satu paket karena kita itu tidak peka dan kita tidak membaca situasi, tidak bisa membaca reaksi orang, perasaan orang, tidak bisa tenggan rasa dan akhirnya kita cenderung buta terhadap pergumulan orang, kebutuhan orang.
Kita mesti menyadari bahwa tatkala orang sedang mengalami masalah, orang cenderung berharap bahwa kita akan menawarkan bantuan. Bisa jadi dia akan menolak bantuan kita, namun tidak apa-apa, tapi waktu dia melihat bahwa kita peduli kita bisa membaca perasaannya yang sedang susah kemudian menawarkan diri untuk menolong, itu benar-benar seperti siraman air segar ke tanah yang gersang. Orang akan merasa, bahwa kita benar-benar sensitif, mengerti situasi dan baik hati sehingga mau menolongnya. Orang yang tidak peka dengan orang di sekitarnya akhirnya juga tidak terpikir untuk menawarkan bantuan, apalagi menawarkan bantuan, untuk melihat kebutuhan pun tidak. Akhirnya apa yang orang akan pikirkan tentang dia, "Kamu ini memang hidup di dalam duniamu sendiri, kamu hanya memikirkan dirimu sendiri," dan memang ada benarnya juga, dia hanya hidup di dalam dunianya dan dia hanya memikirkan dirinya karena dia tidak bisa memikirkan kepentingan orang lain.PG : Yang berikut adalah ketidakpekaan itu akhirnya membuat orang merasa dimanfaatkan dan tidak dihargai sebagai seorang pribadi karena kita yang kurang peka ini cenderung memperlakukan orang sperti mesin.
"Kerjakan ini, mari kita lakukan proyek ini, kenapa kamu tidak melakukan ini" pokoknya orang hanya merasa, "Kami itu hanya dihargai sebatas kami masih produktif menghasilkan yang kau inginkan, kalau tidak berarti kami juga tidak ada harganya. Itu sebabnya orang yang sukar peka membaca reaksi orang akhirnya susah sekali menggalang kerjasama, sebab rekan-rekan kerjanya merasa tidak dihargai dan kami merasa seperti mesin, hanya dipakai setelah selesai, tidak ada lagi nilainya. Ini semua akhirnya akan melahirkan kekecewaan, pandangan negatif, perasaan marah tidak suka terhadap kita yang sudah tentu akan membuat jurang pemisah antara kita dengan orang-orang.PG : Itu benar sekali, Pak Gunawan. Jadi orang-orang ini karena ketidak mengertiannya dan ketidakmampuannya untuk mengerti, akhirnya merasa terisolasi dan cepat menuduh orang atau menyimpulkan ahwa oranglah yang jahat kepada dia, oranglah yang tidak mau mengerti dirinya, oranglah yang cepat tersinggung, oranglah yang cepat mengembangkan pikiran negatif terhadapnya.
Jadi dia sendiri nantinya marah, makin dia merasa marah yang tadi Pak Gunawan katakan yaitu orang ini makin menarik diri dan orang ini makin hidup dalam dunianya, kita hidup di dalam temboknya dan makin tidak mau bergaul dengan orang karena sudah beranggapan orang itu cenderung maunya menyalahkan dia, menuduh dia yang berpikiran buruk dan sebagainya. Jadi lebih baik tidak perlu terlalu banyak kontak dengan orang dan tidak perlu membangun relasi dengan orang. Makin terpisah, makin dia tidak mengerti caranya membaca reaksi orang dan makin menambah ketumpulannya.PG : Seringkali anak-anak yang bertumbuh besar dalam rumah di mana misalkan jarang ada interaksi orang tua, anggap saja tidak ada masalah yang berat antara orang tua tapi orang tua itu jarang brkomunikasi antara satu sama lain, jarang sekali berkomunikasi dengan anak, cenderung mendiamkan anak.
Apalagi antara anak juga tidak dekat karena orang tua tidak menyatukan anak-anak, hidup di dalam dunia sendiri, kebetulan kalau dia juga agak sedikit pendiam, kurang berinisiatif, agak introvert, di sekolah pun tidak mencari teman, saat menjadi besar anak-anak ini cenderung menjadi orang yang tidak peka, Pak Gunawan. Tipe kedua adalah yang kebalikannya, jadi anak-anak yang dibesarkan dalam rumah yang bermasalah. Orang tua terlalu banyak konflik sehingga dia harus menutup telinga secara fisik maupun secara mental, supaya tidak terpengaruh oleh konflik orang tuanya dan memilih hidup dalam dunianya sendiri karena tidak lagi nyaman tinggal di luar dalam dunianya. Di sekolah pun akhirnya dia mulai menjauh dari pergaulan sebab pergaulan itu ujung-ujungnya akan terjadi konflik, dan orang bertanya tentang keluarganya. Jadi dia memilih untuk menjaga jarak dengan orang dan anak-anak seperti ini pun kalau sudah besar, berkemungkinan menjadi orang yang tumpul, tidak peka terhadap lingkungannya.PG : Saya rasa bisa. Kerutinan hidup dalam pengertian semuanya sama dan memang pekerjaan yang dilakukan bukanlah pekerjaan yang menuntut kepekaan. Dan akhirnya tidak ada lagi variasi, tidak adaletupan-letupan dan semua selalu sama, sangat monoton sekali.
PG : Memang sebelum kita masuk ke arah langkah, prasyarat pertama adalah pengakuan dulu bahwa saya kurang peka. Masalahnya terdapat di sini yaitu orang yang tumpul dalam hal kepekaan memang tidk memiliki kesadaran dan tidak mau mengakuinya.
Tadi Pak Gunawan katakan bahwa orang ini akhirnya cenderung masuk ke dunianya sendiri, menganggap orang di luarlah yang keliru dan tidak mau memahaminya. Jadi susah untuk dia memulai sebuah langkah untuk memperbaikinya, karena dia beranggapan bahwa dia tidak bermasalah. Dia sungguh percaya bahwa yang bermasalah adalah orang lain dan dia tidak selalu langsung mengatakannya kepada orang bahwa, "Kamu yang bermasalah". Bisa jadi dia adalah tipe yang lebih introvert, dia akan simpan sendiri, tapi di dalam hatinya yang dia yakini adalah dia yang benar dan orang lain yang salah. Maka langkah pertama yang seharusnya dia lakukan adalah dia mendengarkan dan mengingat-ingat, "Benar ya, banyak orang yang menjauh dari saya, banyak orang yang salah paham kepada saya." Seharusnya data-data itu cukup untuk menyadarkannya bahwa, "Ada masalah dalam diri saya." Kalau dia sudah mengakui itu barulah nanti ada langkah-langkah menuju kepada perbaikannya. Yang pertama adalah pada malam hari sebelum dia tidur, dia duduk atau dalam kondisi berbaring dia merenungkan apa yang telah terjadi pada hari itu, jadi seolah-olah membuka lembaran kehidupan dari pagi sampai dengan malam. Saya mengerti orang yang tidak peka, adalah orang yang tidak suka untuk menengok ke belakang, dia juga tidak suka menengok ke dalam hatinya. Jadi pemikirannya itu cenderung di rana intelektual, di rana rasional, dia tidak suka masuk ke dalam perasaan dan dia tidak suka menengok ke belakang, dia maunya melihat ke depan, sesuatu yang ada di depan untuk hari esok dan yang dulu-dulu tidak perlu diingat-ingat, hal itu yang makin menambah ketidakpekaannya. Maka dia mesti membiasakan diri untuk membuka lembaran keseharian itu, "Apa yang tadi telah terjadi, dia tadi bicara apa, dan dia tadi bicara dengan siapa" kemudian berusaha menempatkan diri di posisi orang lain yaitu apa yang dipikirkan orang lain waktu orang itu mendengar saya bicara ini, waktu orang itu melihat begini kira-kira? Latihan-latihan ini akan menolong dia menempatkan diri pada diri orang lain dan melihat masalah dari kacamata orang lain.PG : Kadang-kadang pukulan seperti itulah yang diperlukan, Pak Gunawan, untuk membangunkan orang dari 'tidur'nya dan mudah-mudahan karena pukulan yang besar itu jiwanya benar-benar tergoncang, ehingga dia dipaksa untuk menengok ke belakang, mengevaluasi diri, introspeksi diri dan masuk ke dalam perasaan-perasaannya yang tersembunyi sehingga dia lebih bisa mengenali apa yang sebetulnya telah terjadi.
PG : Seyogianya memang orang lain itu berfungsi untuk memberikan masukan-masukan, untuk memberikan pandangan bahwa, "Kamu ini waktu berkata begini akan membuat orang merasa begini, waktu orang egini maka kamu pun juga harus melihatnya seperti ini, waktu orang buru-buru ingin selesai berbicara dengan kamu dan mungkin saja ada yang dia kurang suka maka kamu harus lihat bagaimana reaksinya" dan sebagainya.
Memang jadinya kita ini perlu 'coach', teman yang baik entah itu teman, pasangan atau sahabat yang akan memberikan kita bimbingan seperti itu, karena kita tidak bisa lagi mempercayai persepsi atau penilaian kita, sebab telah terbukti bahwa penilaian kita tidak tepat, tidak tepat sasaran dan tumpul, tidak peka untuk memberikan tanggapan maka kita harus berkata, "Memang saya harus mengecek" jadi carilah orang yang bisa kita percaya dan berbicaralah, terbukalah, tanyakanlah "Tadi terjadi seperti ini dan orangnya seperti ini, kemudian saya berbuat ini dan saya berkata seperti ini, menurut kamu bagaimana sebaiknya, apakah tindakan saya ini benar"? Dengan cara seperti itu maka dia makin hari akan makin bisa mengecek apakah respons-responsnya itu makin sama dengan pandangan-pandangan yang temannya katakan. Bila makin hari makin sama maka dia bisa berkata, "Kepekaan saya telah bertambah, sekarang saya lebih tepat sasaran dalam berkata-kata atau dalam perbuatan."PG : Itu sebabnya diperlukan kerendahan hati, Pak Gunawan, untuk bisa mengakui bahwa kita memang bermasalah dan masalah itu bukan pada diri orang lain. Dan yang kedua untuk mendengarkan masukanmasukan dari teman yang memang berniat baik kepada kita, seyogianyalah kita mencari teman dan mengeceknya dan juga membuktikan kerendahan hati kita, maka jangan ragu-ragu untuk meminta maaf.
Seringkali orang yang sudah terlanjur tumpul susah untuk minta maaf, Pak Gunawan, karena ketumpulan itu sangat terkait dengan kekerasan hati jadi akhirnya susah sekali minta maaf. Kalau minta maaf juga akhirnya secara samar-samar, tidak mau langsung berkata kepada yang bersangkutan. Kenapa permintaan maaf itu merupakan latihan, sebuah tindakan yang baik untuk menolong orang menambah kepekaannya? Karena memang minta maaf itu membuat diri kita itu lebih lunak, lebih cair sehingga akhirnya kita pun lebih tanggap lagi. Makin kita mengeraskan hati tidak mau meminta maaf maka akan makin menambah ketumpulan makin susah melihat reaksi orang dan tepat sasaran dalam berkata-kata.PG : Kita mesti belajar membaca ekspresi bahasa tubuh, membaca ekspresi wajah, orang yang tumpul atau yang tidak peka ini tidak bisa membaca reaksi wajah, bahasa tubuh, mungkin jadinya dia haru lebih memerhatikan apakah orang itu memberikan tatapan matanya ataukah tidak, apakah nada orang itu sedikit meninggi ataukah menurun, apakah ada ketegangan waktu dia berbicara, apakah bahasa tubuhnya itu menunjukkan kalau dia tidak nyaman dengan kita ataukah dia mau buru-buru untuk mengakhiri percakapan ini.
Hal seperti itu memang perlu untuk dipelajari, sekali lagi di sini diperlukan seorang teman yang bisa memberikan bimbingan, 'coaching' kepadanya sehingga dia mengerti, "Benar, ini adalah perasaannya." Kalau begitu maka seharusnya saya berkata seperti ini atau seperti itu. Jadi latihan-latihan membaca bahasa tubuh dan ekspresi wajah adalah bagian yang harus dilalui pula.PG : Itu ide yang baik. Jadi karena kita menyadari bahwa kita sedang belajar sesuatu yang baru, maka jangan ragu untuk bertanya dan terbukalah dengan berkata, "Maaf ya, saya ini sedang belajar ebih peka kepada orang, maka saya kadang-kadang tidak yakin apakah saya itu sudah membaca reaksi orang dengan tepat.
Apakah benar kamu tadi merasa seperti ini waktu saya mengatakan ini dan itu atau saya berbuat ini dan itu?" Ceklah dan tanyalah langsung. Kalau orang itu memang dekat dengan kita maka dia akan berbicara terus terang, "Sebenarnya ya, saya tadi merasa seperti ini" maka nantinya kita akan menjadi lebih tepat lagi dalam berkomunikasi dengan orang.PG : Kita juga perlu berinisiatif berbuat sesuatu tatkala mendengar ada kebutuhan di sekitar kita. Sekali lagi kecenderungan orang yang tumpul atau yang tidak peka adalah berpangku tangan, dia ang pertama tidak membacanya, kalau pun bisa membaca, sinyalnya lemah.
Tapi juga ada satu lagi, Pak Gunawan, yang harus diakui bahwa mereka itu tidak begitu memusingkan dan memedulikan orang. Maka kalau dia mau belajar lebih peka, dia harus lebih tanggap terhadap kebutuhan orang di sekitarnya. Makin dia tanggap maka makin sering dia memberikan bantuan kepada orang di sekitarnya, maka makin menambah kepekaannya. Sebaliknya makin dia berpangku tangan, lebih bersikap masa bodoh, makin tidak peka dengan kebutuhan orang dan makin tidak mau berbuat apa-apa untuk menolong orang yang berada pada situasi butuh. Tadi saya sudah singgung, waktu orang butuh dan berada di sekitar kita tersirat harapan agar kita menawarkan bantuan, waktu kita tidak mengulurkan bantuan maka orang akan kecewa dan melabelkan bahwa kita hanya mementingkan diri dan tidak menghargainya. Jadi sayang sekali kalau sampai akhirnya terjadi pemisahan atau konflik antara kita dengan orang.PG : Betul, dengan dia mengkritik maka dia sekaligus melakukan dua hal, yaitu yang pertama, dia menyalahkan orang seolah-olah kamu yang harus berbuat sesuatu dan bukan tanggung jawab saya untukberbuat sesuatu untuk menolong kamu dan membenarkan tindakannya, sekaligus kenapa dia juga tidak menawarkan bantuan.
Jadi sekali lagi memang harus mulai dengan cara kalau kurang jelas, bertanyalah "Apakah ada yang saya harus bantu"? Itu adalah langkah yang saya kira sudah sangat menolong.PG : Saya kira benar, Pak Gunawan. Karena ketidakpekaan itu pada akhirnya bisa pula memadamkan suara Roh Kudus, waktu Roh Tuhan menyuruh kita berbuat sesuatu, mengatakan sesuatu, karena kita tiak peka akhirnya bukan saja tidak peka kepada sesama tapi juga terhadap suara Tuhan.
Contohnya adalah raja Saul, bukan saja tidak peka kepada sesamanya tapi akhirnya dia pun tidak peka kepada suara Roh Kudus, akhirnya dia binasa di dalam dosanya. Jadi kita mesti berhati-hati jangan sampai ketidakpekaan kita terhadap sesama menjalar ke wilayah rohani pula.GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Perasaan Tidak Peka". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
43. Mengakhiri Dengan Baik ( I ) | |
Di dalam suratnya yang terakhir, Rasul Paulus berbagi pesan dengan anak rohaninya Timotius, "Aku telah mengakhiri pertandingan dengan baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan..." (2 Timotius 4:7-8). Banyak orang yang memulai dengan baik tetapi tidak banyak yang mengakhirinya dengan baik. Banyak yang tersandung di tengah perjalanan dan masuk ke lubang dosa. Pembahasan ini menguraikan bagaimana mengakhiri perjalanan hidup bersama Tuhan Yesus dengan baik.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengakhiri Dengan Baik". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Di dalam surat 2 Timotius 4:7-8 Rasul Paulus berbagi pesan dengan anak rohaninya Timotius, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memeliara iman.
Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan." Ini adalah sebuah ungkapan yang indah. Sebuah ungkapan syukur bahwa Tuhan telah menyertai hamba-Nya ini dan sekarang dia akan mengakhiri hidup ini dengan sebuah rasa syukur bahwa Tuhan telah menjaganya. Pak Gunawan, di dalam hidup ini banyak orang yang memulai dengan baik, tetapi tidak banyak yang mengakhirinya dengan baik. Banyak yang tersandung di tengah perjalanan dan masuk ke lubang dosa. Itu sebabnya kita mau mengangkat topik ini agar kita bisa belajar waspada, berhati-hati agar bisa mengakhiri perjalanan hidup dengan Tuhan Yesus dengan baik.PG : Dan itu yang memang seharusnya, Pak Gunawan. Kadang-kadang kita mengawali hidup dengan tidak baik, kita tidak mengenal Tuhan dan kita tidak hidup sesuai dengan kehendak Kristus dan akhirny dalam hidup ini kita lebih banyak berkubang dan jalan di tempat, tapi karena anugerah Tuhan maka kita diselamatkan dan kita bertobat dan kita mau memulai hidup yang baru.
Maka seyogianyalah dari titik itu sampai akhir maka kita bisa berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Rasul Paulus menggunakan istilah pertandingan, jadi dia melihat hidup ini sebagai suatu pertandingan dan kita harus selalu berjaga-jaga dan kita harus selalu waspada. Maka Paulus menasehati Timotius bahwa dia harus mengakhiri hidup ini dengan baik. Karena itu kita sebagai anak-anak Tuhan perlu belajar hal-hal apa yang perlu kita lakukan atau jaga supaya mengakhiri hidup dengan baik.PG : 2 Timotius adalah surat yang terakhir ditulis oleh Rasul Paulus dan di saat itu, dia sedang dalam pemenjaraan di Roma, diduga Rasul Paulus dipenjarakan lebih dari sekali. Jadi setidaknya aa 2 kali dia dipenjarakan dan rupanya dia sudah bisa membaca situasi waktu pemenjaraan yang terakhir ini bahwa dia tidak lagi selamat dan dia akan dibunuh, karena pada saat itu yang memerintah adalah Kaisar Nero.
Kaisar Nero membenci orang Kristen dan suatu ketika menyebabkan kebakaran melanda kota Roma. Tapi untuk menutupi jejaknya, dia menuding bahwa orang Kristenlah yang telah menyebabkan kebakaran itu. Kemudian dia mengompori orang-orang di Roma untuk mengejar dan membunuh orang-orang Kristen. Dalam kondisi seperti itulah Rasul Paulus dan juga Rasul Petrus ditangkap dan dipenjarakan oleh Nero. Kita tahu bahwa menurut catatan tradisi, dua hamba Tuhan ini akhirnya mati di tangan Nero. Jadi besar kemungkinan Paulus melihat bahwa sekarang dia di tangan kaisar yang sangat lalim dan begitu bernafsu untuk membunuh orang-orang Kristen, jadi bisa dibayangkan bahwa nanti dia juga akan terkena.PG : Seringkali pada masa-masa tua kita menengok ke belakang, kalau ada hal-hal yang kita tahu seharusnya kita lakukan namun tidak melakukan maka itu akan membawa penyesalan dalam hidup kita. Sbagai contoh kita melihat ke belakang kemudian kita menyadari seharusnya saya lebih memberikan waktu untuk keluarga saya namun kenyataannya tidak, sekarang saya menjadi jauh dengan keluarga saya.
Akhirnya dia harus membawa penyesalan itu. Atau ada juga orang-orang yang menengok ke belakang dan berkata, "Kenapa saya melakukan hal-hal seperti itu, saya melakukan kesalahan ini dan itu sehingga sekarang saya harus membayar harganya," biasanya seperti itu pula kita merasa penyesalan dalam hati kita.PG : Biasanya seperti itu, Pak Gunawan, sebab seringkali pada masa awal kita masih berhati-hati dan kita masih waspada. Periode yang paling rentan adalah di parobaya, biasanya kita lengah di stu dan kalau kita tidak hati-hati maka pada akhirnya kita terjerumus masuk ke dalam lobang dosa.
PG : Ada beberapa yang akan kita angkat. Yang pertama adalah kita mesti menjaga batas dalam berelasi dengan lawan jenis. Salah satu lubang dosa yang kerap kali membuat kita jatuh di dalamnya adlah dosa perzinahan.
Alasan kenapa kita mudah jatuh ke dalamnya adalah dikarenakan kita tidak berhati-hati dalam menjaga batas, dalam berelasi dengan lawan jenis maka kita harus menjaga batas yang jelas. Jika kita mulai melanggarnya maka suatu hari kelak, kita akan jatuh ke dalam dosa perzinahan, memang pelanggaran pertama tidak harus kita jatuh ke dalam dosa tapi kalau kita tidak menjaga batas maka tinggal hitungan waktu maka kita akan makin kendor dan kemudian kita melanggar batas tersebut dan disitulah akhirnya kita jatuh ke dalam dosa perzinahan.PG : Biasanya begitu karena pada usia itulah, pada umumnya laki-laki mencapai puncak kemapanannya dan lebih dihormati dan disegani oleh koleganya termasuk bawahannya, dan kalau di situ ada wania-wanita maka mereka akan menunjukkan sikap mengagumi atasannya ini.
Tidak bisa tidak istrinya sudah mulai menua dan dia akan mulai membandingkan istrinya dengan wanita-wanita ini. Maka disini dia perlu menjaga batas meskipun pada awalnya tidak ada masalah namun dia mesti menjaga batas ini.PG : Ada beberapa, yang pertama adalah batas dalam berteman yaitu akhirnya kita itu mudah sekali berteman terlalu mendalam. Apa artinya berteman terlalu mendalam, misalnya kita memberi perhatia yang terlalu mendalam kepada seseorang yang tidak bisa tidak akan membuat dia merasa bukan saja diperhatikan tapi juga dianggap spesial.
Adakalanya kita menanyakan hal-hal yang pribadi, meneleponnya waktu dia mengalami sedikit kesusahan atau ada masalah dan kita benar-benar memberikan perhatian yang begitu mendalam pada lawan jenis. Ini memang berbahaya hampir setiap orang senang menerima perlakuan khusus, itu sebabnya bila ia merasa diperhatikan secara khusus maka besar kemungkinan dia akan menikmatinya. Sebagai akibatnya relasi makin bertambah dalam. Kita tahu jika relasi sudah bertambah dalam maka mudah sekali perasaan-perasaan romantis atau suka itu muncul. Kalau kita tidak mengenal orang dan relasi kita dengan dia jauh, maka sudah tentu percikan-percikan api romantis juga lebih susah untuk keluar, namun di dalam relasi yang mendalam inilah percikan api romantis mudah sekali keluar dengan banyak.PG : Betul. Memang karena ini tidak dianggap berbahaya maka kita sebagai anak-anak Tuhan harus waspada dan kita harus melihat, "Benar ya, rasanya makin hari makin mendalam, sekarang dia memperhtikan saya seperti ini."
Kalau kita merasa bahwa kita diperhatikan seperti itu oleh rekan kita, itulah saatnya kita mesti mulai mundur dan mulai membatasi, dan kebalikannya kalau kita merasa bahwa kita telah memberikan perhatian kepada seseorang terlalu mendalam maka kita harus mundur. Jadi jangan sampai kita mendiamkan dan malahan menikmatinya, itu sangat berbahaya.PG : Yang lain adalah bercanda terlalu jauh, ini sederhana tapi juga bisa berbahaya. Seringkali orang memulai relasi dengan bercanda, sudah tentu bercanda yang segar akan membuat orang tersenyu dan bahagia.
Masalahnya adalah kalau kita terus bercanda dengan seseorang, kita pun terus membuatnya bahagia bersama dengan kita. Jika tidak hati-hati maka ini yang akan menjadi awal dari sebuah relasi yang khusus, perasaan suka mulai bertumbuh dan kita pun makin senang menghabiskan waktu bersamanya. Jadi memang jagalah bercanda kita, jangan sampai terlalu jauh sehingga membuat orang selalu mau dekat dengan kita dan terus mengundangnya untuk terus bersama kita. Ini adalah awal dari permulaan relasi yang makin intim.PG : Saya setuju sekali, Pak Gunawan. Itu sebabnya kita mesti memperhatikan canda yang kita lontarkan. Seringkali kita berdalih, "Saya hanya bercanda, saya hanya iseng-iseng saja," tapi sedikitsekali orang yang sungguh-sungguh murni dalam dunia ini, kebanyakan hati kita sudah bercabang.
Kalau kita bercanda terlalu mendalam terhadap seseorang maka besar kemungkinan ada sesuatu di dalam hati kita, maka kita mesti menjaganya melarangnya untuk terus bercanda dengan dia karena makin kita bercanda, maka dia semakin menikmatinya dan kita pun makin menikmatinya maka lama-lama makin menikmati kehadiran satu sama lain pula.PG : Tidak semua, Pak Gunawan. Jadi ada orang-orang yang menyangkal, misalnya ada pasangannya yang berkata, "Kenapa kamu dengan dia selalu bercanda," kemudian dijawab, "Kenapa, salah? Saya salh bercanda seperti itu.
Namanya juga bercanda." Dan masalahnya adalah saya ini cukup tua, jadi saya mengerti kita ini susah sekali memunyai hati yang murni, seringkali motivasi itu menyusupi tindakan-tindakan kita dan merasa paling aman menggunakan metode bercanda itulah, sehingga kita bisa menikmati kebersamaan dengan orang dan kalau orang curiga, maka kita masih bisa berdalih kalau ini hanya bercanda.PG : Yang lain adalah kadang-kadang kita berkenalan terlalu mudah maksudnya begini, atas nama ramah tamah kadang kita cepat berkenalan dengan lawan jenis. Kalau kita tidak hati-hati perkenalan ang terlalu mudah akan membuka celah bagi berkembangnya relasi dengan lawan jenis, kita mesti peka dan jelas dengan motivasi kita saat menjalin komunikasi kita dengan lawan jenis.
Seringkali ketertarikan adalah alasan pertamanya namun kita enggan untuk mengetahuinya, kita biasanya berkata, "Tidak ada apa-apa, tidak ada ketertarikan," tapi kalau kita jujur sebenarnya kita bisa bertanya apakah saya mau berinisiatif menjalin perkenalan dengan orang yang lain misalkan dengan orang yang tidak semenarik orang tersebut. Seringkali kita harus akui, "Benar ya kalau orang itu tidak menarik tentu kita tidak akan memulai perkenalan dengan dia." Jadi kalau kita tahu kita tertarik kepada seseorang, janganlah kita menyuburkan relasi dengan dia. Di dalam Amsal 5, firman Tuhan memanggil perzinahan dengan beberapa kata-kata yang sangat keras yaitu maut, dunia orang mati, dan habis binasa. Jadi dengan kata lain tidak ada yang manis dan indah dengan perzinahan, maka jangan kita memulainya.PG Betul. Akhirnya dia selalu berpikir-pikir, "Kenapa saya melakukan hal seperti itu." Dan itu yang kadang saya dengar dari orang yang telah jatuh ke dalam dosa perzinahan, dia bisa keluar atas anugerah Tuhan, memulai lagi relasi dengan pasangannya tetapi selalu ada duri yang menusuk hatinya. Dia selalu mengingat perbuatan dirinya di masa lampau dan dia akan benar-benar menyesali kenapa saya bisa sampai seperti itu, kalau mau dihapus juga tidak bisa, karena sudah terjadi dan itu akan terus menjadi bagian dalam hidupnya.
PG : Jadi selama dia hidup, dan dia sadar istrinya telah memaafkan, memberinya kesempatan yang kedua, dia bersyukur dan dia senang tapi selalu ada rasa bersalah, "Istri saya begitu baik dan maumenerima saya tapi kenapa dulu saya sanggup berbuat seperti itu, apalagi kalau sampai diketahui oleh anak-anak" sampai kapan pun rasa malu itu akan ada di dalam dirinya, rasa malu bahwa mereka tidak bertanggung jawab telah mengkhianati bukan saja pasangan tapi anak-anaknya pula.
PG : Firman Tuhan di Amsal 5:20 dan 21 berkata, "Karena segala jalan orang terbuka di depan mata Tuhan, dan segala langkah orang diawasi-Nya." Kita mesti menjaga batas sebab Tuhan pun melihat mtivasi kita yang terdalam dan terbuka lebar di hadapan Tuhan.
Maka jangan kita membohongi diri apalagi membohongi Tuhan. Kalau memang ada motivasi tertentu dalam diri kita, maka akuilah dan ada kemudian kita membuat garis batas yang harus kita patuhi.PG : Yang berikut yang saya sebut dengan jaga badan. Sudah tentu jaga badan ini bisa mengacu pada kekuatan tubuh kita, pada usia muda kita kuat dan bergantung penuh pada kekuatan badan sendiri amun dengan bertambahnya usia kita mesti memerhatikan keterbatasan tubuh dan hidup di dalam keterbatasan kita dan bukan malah di luar keterbatasan ini.
Tapi selain dari badan jasmaniah, kita pun mesti menjaga badan atau kekuatan atau kemampuan mental. Makin bertambahnya usia, makin bertambah pengalaman dan sebagai konsekuensinya makin bertambah keyakinan diri dan akhirnya kita makin percaya pada pertimbangan kita dan tidak mudah untuk mendengarkan orang karena kita tahu kalau kita ini paling berpengalaman. Kalau tidak hati-hati maka di masa inilah kita mudah terperangkap di dalam dosa-dosa tertentu.PG : Yang pertama misalnya adalah dosa kesombongan, banyak orang memulai hidup dengan kerendahan hati namun mengakhirinya dalam kesombongan. Kenapa pada awalnya dia rendah hati? Karena belum aa pencapaian, belum membuktikan diri, belum ada keberhasilan makanya kita rendah hati.
Tapi setelah memunyai keberhasilan, kita mulai sombong, kita menganggap diri kita lebih dan kadang merasa diri paling tahu dari pada orang lain sehingga cepat mengecilkan kemampuan orang lain dan malah meninggikan pengetahuan pribadi, kita menjadi mudah tersinggung sewaktu kita tidak mendapatkan penghargaan yang kita anggap kita layak menerimanya atau mungkin marah sewaktu melihat orang lain memeroleh medali yang seharusnya menjadi milik kita. Tidak heran ada orang yang makin tua, makin sombong dan makin membesarkan pencapaiannya.PG : Ada seorang pendeta yang bernama Max Lucado dia berkata bahwa, "Waktu orang-orang memuji-muji kita karena kita bisa ini dan mampu itu, akhirnya kita itu sungguh-sungguh menyakini bahwa kit sebaik itu dan kita setinggi yang mereka katakan, akhirnya pandangan seperti itu melambung dan melambung.
Biasanya dalam kondisi seperti itu kita menuntut orang memerlakukan orang seperti itu pula waktu orang tidak menghargai pendapat kita, tidak mau mendengarkan masukan kita, kita tersinggung dan marah karena kita mengaggap bahwa sudah seharusnyalah kamu mendengarkan dan menghargai apa yang saya katakan." Ini adalah kesombongan, Pak Gunawan. Jadi kesombongan itu bisa kita tarik ke dalam 2 ekstrem dan yang paling ekstrem adalah mengagungkan diri bahwa saya hebat, saya mulia tapi di dalam ekstrem yang satunya yang paling bawah yaitu kesombongan muncul dan dalam pemikiran saya selalu benar dan tidak salah dan saya tidak mau meminta maaf. Jadi sebetulnya itu adalah bentuk kesombongan yang lebih diam atau lebih sunyi tapi sesungguhnya sama-sama berbahaya dengan kesombongan yang satunya yakni yang mengagung-agungkan diri.PG : Betul sekali. Memang tubuhnya makin melemah tapi seringkali karena pengalamannya bertambah akhirnya dia makin percaya diri, tidak mau mendengarkan orang lain dan menganggap dirinya yang paing tahu.
PG : Yang satu lagi adalah tidak mengakui keterbatasan, Pak Gunawan, oleh karena kita makin berpengalaman dan pintu kesempatan makin dibukakan, maka mudah sekali kita terjerumus ke dalam lembahyang saya sebut dengan ketidak terbatasan, kita tergoda melakukan banyak hal dan tidak ingat lagi akan keterbatasan diri.
Kita menjadi sukar menolak permintaan orang dan sering menyangkal kenyataan sebab kita ingin terus berkiprah dan kita tidak mau menerima bahwa sesungguhnya kita juga makin terbatas, kemampuan kita pun tidak makin bertambah. Biasanya kita makin memacu diri tapi masalahnya adalah kesanggupan kita, tubuh kita makin terbatas akhirnya muncullah berbagai gangguan baik itu yang menyangkut diri sendiri, atau pun relasi dengan sesama karena akhirnya orang yang tidak kenal batas biasanya akan menghalangi orang untuk berkembang, menghalangi orang untuk melakukan hal-hal yang dia rasa dia cocok untuk dia lakukan, akhirnya menginjak kaki orang menganggap diri yang paling super dan masalah pun makin hari makin berkembang.PG : Kadang-kadang kita lupa bahwa ada Tuhan di dalam hidup ini dan bahwa Tuhan itu tidak bergantung pada satu orang untuk menyelesaikan pekerjaanNya. Sudah tentu kita harus setia melakukan yan Tuhan inginkan tapi kita harus serahkan kepada Tuhan, ada jadwal Tuhan dan selalu ada orang lain yang Tuhan bisa pakai.
Tuhan tidak bergantung pada satu manusia untuk menyelesaikan pekerjaan-Nya.PG : Betul. Jadi dia seperti lilin yang semakin kecil dan semakin kecil. Biasanya api lilin itu mulai kecil kemudian apinya menjadi besar, begitu lilinnya mengecil maka apinya mulai membesar seingga lilin makin cepat meleleh.
Tapi lilin yang masih panjang dan tinggi, apinya pun kecil dan membakarnya pun juga makin kecil. Seringkali manusia seperti itu, waktu lilinnya itu makin kecil kekuatannya makin melemah, api semangatnya makin membesar dan mau melakukan begitu banyak hal tetapi akhirnya makin membakar dirinya dan menghabiskannya.PG : Betul. Jadi benar-benar mulai membatasi diri dan tidak melakukan semuanya karena menganggap bahwa hanya saya saja yang bisa melakukannya.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
PG : Amsal 3:5-6 berkata, "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu."Jadi Tuhan meminta kita untuk bersandar kepada-Nya, tidak bersandar pada pengertian kita, kita mesti mengakui Tuhan ada dan mengatur dan menentukan dalam semua perilaku dan usaha kita.
Waktu kita melakukan hal seperti itu maka barulah Tuhan akan meluruskan atau menolong jalan kita.PG : Ada beberapa lagi, dan nanti kita akan bahas tentang menjaga batin atau menjaga hati kita dan kita juga mesti menjaga keluarga kita, orang tua dan anak-anak kita dan kita juga harus menjag bait Allah atau menjaga iman kepercayaan kita.
Dan saya kira nanti kita harus membahas ini di dalam pertemuan berikutnya, Pak Gunawan.Gs : Berarti pembicaraan ini masih belum berakhir dan terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengakhiri dengan Baik". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
44. Mengakhiri Dengan Baik ( II ) | |
Di dalam suratnya yang terakhir, Rasul Paulus berbagi pesan dengan anak rohaninya Timotius, "Aku telah mengakhiri pertandingan dengan baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan..." (2 Timotius 4:7-8). Banyak orang yang memulai dengan baik tetapi tidak banyak yang mengakhirinya dengan baik. Banyak yang tersandung di tengah perjalanan dan masuk ke lubang dosa. Pembahasan ini menguraikan bagaimana mengakhiri perjalanan hidup bersama Tuhan Yesus dengan baik.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengakhiri Dengan Baik". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Di dalam surat 2 Timotius 4:7-8 Rasul Paulus berbagi pesan dengan anak rohaninya Timotius, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memeliara iman.
Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan." Ini adalah sebuah ungkapan yang indah. Sebuah ungkapan syukur bahwa Tuhan telah menyertai hamba-Nya ini dan sekarang dia akan mengakhiri hidup ini dengan sebuah rasa syukur bahwa Tuhan telah menjaganya. Pak Gunawan, di dalam hidup ini banyak orang yang memulai dengan baik, tetapi tidak banyak yang mengakhirinya dengan baik. Banyak yang tersandung di tengah perjalanan dan masuk ke lubang dosa. Itu sebabnya kita mau mengangkat topik ini agar kita bisa belajar waspada, berhati-hati agar bisa mengakhiri perjalanan hidup dengan Tuhan Yesus dengan baik.PG : Dan itu yang memang seharusnya, Pak Gunawan. Kadang-kadang kita mengawali hidup dengan tidak baik, kita tidak mengenal Tuhan dan kita tidak hidup sesuai dengan kehendak Kristus dan akhirny dalam hidup ini kita lebih banyak berkubang dan jalan di tempat, tapi karena anugerah Tuhan maka kita diselamatkan dan kita bertobat dan kita mau memulai hidup yang baru.
Maka seyogianyalah dari titik itu sampai akhir maka kita bisa berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Rasul Paulus menggunakan istilah pertandingan, jadi dia melihat hidup ini sebagai suatu pertandingan dan kita harus selalu berjaga-jaga dan kita harus selalu waspada. Maka Paulus menasehati Timotius bahwa dia harus mengakhiri hidup ini dengan baik. Karena itu kita sebagai anak-anak Tuhan perlu belajar hal-hal apa yang perlu kita lakukan atau jaga supaya mengakhiri hidup dengan baik.PG : 2 Timotius adalah surat yang terakhir ditulis oleh Rasul Paulus dan di saat itu, dia sedang dalam pemenjaraan di Roma, diduga Rasul Paulus dipenjarakan lebih dari sekali. Jadi setidaknya aa 2 kali dia dipenjarakan dan rupanya dia sudah bisa membaca situasi waktu pemenjaraan yang terakhir ini bahwa dia tidak lagi selamat dan dia akan dibunuh, karena pada saat itu yang memerintah adalah Kaisar Nero.
Kaisar Nero membenci orang Kristen dan suatu ketika menyebabkan kebakaran melanda kota Roma. Tapi untuk menutupi jejaknya, dia menuding bahwa orang Kristenlah yang telah menyebabkan kebakaran itu. Kemudian dia mengompori orang-orang di Roma untuk mengejar dan membunuh orang-orang Kristen. Dalam kondisi seperti itulah Rasul Paulus dan juga Rasul Petrus ditangkap dan dipenjarakan oleh Nero. Kita tahu bahwa menurut catatan tradisi, dua hamba Tuhan ini akhirnya mati di tangan Nero. Jadi besar kemungkinan Paulus melihat bahwa sekarang dia di tangan kaisar yang sangat lalim dan begitu bernafsu untuk membunuh orang-orang Kristen, jadi bisa dibayangkan bahwa nanti dia juga akan terkena.PG : Seringkali pada masa-masa tua kita menengok ke belakang, kalau ada hal-hal yang kita tahu seharusnya kita lakukan namun tidak melakukan maka itu akan membawa penyesalan dalam hidup kita. Sbagai contoh kita melihat ke belakang kemudian kita menyadari seharusnya saya lebih memberikan waktu untuk keluarga saya namun kenyataannya tidak, sekarang saya menjadi jauh dengan keluarga saya.
Akhirnya dia harus membawa penyesalan itu. Atau ada juga orang-orang yang menengok ke belakang dan berkata, "Kenapa saya melakukan hal-hal seperti itu, saya melakukan kesalahan ini dan itu sehingga sekarang saya harus membayar harganya," biasanya seperti itu pula kita merasa penyesalan dalam hati kita.PG : Biasanya seperti itu, Pak Gunawan, sebab seringkali pada masa awal kita masih berhati-hati dan kita masih waspada. Periode yang paling rentan adalah di parobaya, biasanya kita lengah di stu dan kalau kita tidak hati-hati maka pada akhirnya kita terjerumus masuk ke dalam lobang dosa.
PG : Ada beberapa yang akan kita angkat. Yang pertama adalah kita mesti menjaga batas dalam berelasi dengan lawan jenis. Salah satu lubang dosa yang kerap kali membuat kita jatuh di dalamnya adlah dosa perzinahan.
Alasan kenapa kita mudah jatuh ke dalamnya adalah dikarenakan kita tidak berhati-hati dalam menjaga batas, dalam berelasi dengan lawan jenis maka kita harus menjaga batas yang jelas. Jika kita mulai melanggarnya maka suatu hari kelak, kita akan jatuh ke dalam dosa perzinahan, memang pelanggaran pertama tidak harus kita jatuh ke dalam dosa tapi kalau kita tidak menjaga batas maka tinggal hitungan waktu maka kita akan makin kendor dan kemudian kita melanggar batas tersebut dan disitulah akhirnya kita jatuh ke dalam dosa perzinahan.PG : Biasanya begitu karena pada usia itulah, pada umumnya laki-laki mencapai puncak kemapanannya dan lebih dihormati dan disegani oleh koleganya termasuk bawahannya, dan kalau di situ ada wania-wanita maka mereka akan menunjukkan sikap mengagumi atasannya ini.
Tidak bisa tidak istrinya sudah mulai menua dan dia akan mulai membandingkan istrinya dengan wanita-wanita ini. Maka disini dia perlu menjaga batas meskipun pada awalnya tidak ada masalah namun dia mesti menjaga batas ini.PG : Ada beberapa, yang pertama adalah batas dalam berteman yaitu akhirnya kita itu mudah sekali berteman terlalu mendalam. Apa artinya berteman terlalu mendalam, misalnya kita memberi perhatia yang terlalu mendalam kepada seseorang yang tidak bisa tidak akan membuat dia merasa bukan saja diperhatikan tapi juga dianggap spesial.
Adakalanya kita menanyakan hal-hal yang pribadi, meneleponnya waktu dia mengalami sedikit kesusahan atau ada masalah dan kita benar-benar memberikan perhatian yang begitu mendalam pada lawan jenis. Ini memang berbahaya hampir setiap orang senang menerima perlakuan khusus, itu sebabnya bila ia merasa diperhatikan secara khusus maka besar kemungkinan dia akan menikmatinya. Sebagai akibatnya relasi makin bertambah dalam. Kita tahu jika relasi sudah bertambah dalam maka mudah sekali perasaan-perasaan romantis atau suka itu muncul. Kalau kita tidak mengenal orang dan relasi kita dengan dia jauh, maka sudah tentu percikan-percikan api romantis juga lebih susah untuk keluar, namun di dalam relasi yang mendalam inilah percikan api romantis mudah sekali keluar dengan banyak.PG : Betul. Memang karena ini tidak dianggap berbahaya maka kita sebagai anak-anak Tuhan harus waspada dan kita harus melihat, "Benar ya, rasanya makin hari makin mendalam, sekarang dia memperhtikan saya seperti ini."
Kalau kita merasa bahwa kita diperhatikan seperti itu oleh rekan kita, itulah saatnya kita mesti mulai mundur dan mulai membatasi, dan kebalikannya kalau kita merasa bahwa kita telah memberikan perhatian kepada seseorang terlalu mendalam maka kita harus mundur. Jadi jangan sampai kita mendiamkan dan malahan menikmatinya, itu sangat berbahaya.PG : Yang lain adalah bercanda terlalu jauh, ini sederhana tapi juga bisa berbahaya. Seringkali orang memulai relasi dengan bercanda, sudah tentu bercanda yang segar akan membuat orang tersenyu dan bahagia.
Masalahnya adalah kalau kita terus bercanda dengan seseorang, kita pun terus membuatnya bahagia bersama dengan kita. Jika tidak hati-hati maka ini yang akan menjadi awal dari sebuah relasi yang khusus, perasaan suka mulai bertumbuh dan kita pun makin senang menghabiskan waktu bersamanya. Jadi memang jagalah bercanda kita, jangan sampai terlalu jauh sehingga membuat orang selalu mau dekat dengan kita dan terus mengundangnya untuk terus bersama kita. Ini adalah awal dari permulaan relasi yang makin intim.PG : Saya setuju sekali, Pak Gunawan. Itu sebabnya kita mesti memperhatikan canda yang kita lontarkan. Seringkali kita berdalih, "Saya hanya bercanda, saya hanya iseng-iseng saja," tapi sedikitsekali orang yang sungguh-sungguh murni dalam dunia ini, kebanyakan hati kita sudah bercabang.
Kalau kita bercanda terlalu mendalam terhadap seseorang maka besar kemungkinan ada sesuatu di dalam hati kita, maka kita mesti menjaganya melarangnya untuk terus bercanda dengan dia karena makin kita bercanda, maka dia semakin menikmatinya dan kita pun makin menikmatinya maka lama-lama makin menikmati kehadiran satu sama lain pula.PG : Tidak semua, Pak Gunawan. Jadi ada orang-orang yang menyangkal, misalnya ada pasangannya yang berkata, "Kenapa kamu dengan dia selalu bercanda," kemudian dijawab, "Kenapa, salah? Saya salh bercanda seperti itu.
Namanya juga bercanda." Dan masalahnya adalah saya ini cukup tua, jadi saya mengerti kita ini susah sekali memunyai hati yang murni, seringkali motivasi itu menyusupi tindakan-tindakan kita dan merasa paling aman menggunakan metode bercanda itulah, sehingga kita bisa menikmati kebersamaan dengan orang dan kalau orang curiga, maka kita masih bisa berdalih kalau ini hanya bercanda.PG : Yang lain adalah kadang-kadang kita berkenalan terlalu mudah maksudnya begini, atas nama ramah tamah kadang kita cepat berkenalan dengan lawan jenis. Kalau kita tidak hati-hati perkenalan ang terlalu mudah akan membuka celah bagi berkembangnya relasi dengan lawan jenis, kita mesti peka dan jelas dengan motivasi kita saat menjalin komunikasi kita dengan lawan jenis.
Seringkali ketertarikan adalah alasan pertamanya namun kita enggan untuk mengetahuinya, kita biasanya berkata, "Tidak ada apa-apa, tidak ada ketertarikan," tapi kalau kita jujur sebenarnya kita bisa bertanya apakah saya mau berinisiatif menjalin perkenalan dengan orang yang lain misalkan dengan orang yang tidak semenarik orang tersebut. Seringkali kita harus akui, "Benar ya kalau orang itu tidak menarik tentu kita tidak akan memulai perkenalan dengan dia." Jadi kalau kita tahu kita tertarik kepada seseorang, janganlah kita menyuburkan relasi dengan dia. Di dalam Amsal 5, firman Tuhan memanggil perzinahan dengan beberapa kata-kata yang sangat keras yaitu maut, dunia orang mati, dan habis binasa. Jadi dengan kata lain tidak ada yang manis dan indah dengan perzinahan, maka jangan kita memulainya.PG Betul. Akhirnya dia selalu berpikir-pikir, "Kenapa saya melakukan hal seperti itu." Dan itu yang kadang saya dengar dari orang yang telah jatuh ke dalam dosa perzinahan, dia bisa keluar atas anugerah Tuhan, memulai lagi relasi dengan pasangannya tetapi selalu ada duri yang menusuk hatinya. Dia selalu mengingat perbuatan dirinya di masa lampau dan dia akan benar-benar menyesali kenapa saya bisa sampai seperti itu, kalau mau dihapus juga tidak bisa, karena sudah terjadi dan itu akan terus menjadi bagian dalam hidupnya.
PG : Jadi selama dia hidup, dan dia sadar istrinya telah memaafkan, memberinya kesempatan yang kedua, dia bersyukur dan dia senang tapi selalu ada rasa bersalah, "Istri saya begitu baik dan maumenerima saya tapi kenapa dulu saya sanggup berbuat seperti itu, apalagi kalau sampai diketahui oleh anak-anak" sampai kapan pun rasa malu itu akan ada di dalam dirinya, rasa malu bahwa mereka tidak bertanggung jawab telah mengkhianati bukan saja pasangan tapi anak-anaknya pula.
PG : Firman Tuhan di Amsal 5:20 dan 21 berkata, "Karena segala jalan orang terbuka di depan mata Tuhan, dan segala langkah orang diawasi-Nya." Kita mesti menjaga batas sebab Tuhan pun melihat mtivasi kita yang terdalam dan terbuka lebar di hadapan Tuhan.
Maka jangan kita membohongi diri apalagi membohongi Tuhan. Kalau memang ada motivasi tertentu dalam diri kita, maka akuilah dan ada kemudian kita membuat garis batas yang harus kita patuhi.PG : Yang berikut yang saya sebut dengan jaga badan. Sudah tentu jaga badan ini bisa mengacu pada kekuatan tubuh kita, pada usia muda kita kuat dan bergantung penuh pada kekuatan badan sendiri amun dengan bertambahnya usia kita mesti memerhatikan keterbatasan tubuh dan hidup di dalam keterbatasan kita dan bukan malah di luar keterbatasan ini.
Tapi selain dari badan jasmaniah, kita pun mesti menjaga badan atau kekuatan atau kemampuan mental. Makin bertambahnya usia, makin bertambah pengalaman dan sebagai konsekuensinya makin bertambah keyakinan diri dan akhirnya kita makin percaya pada pertimbangan kita dan tidak mudah untuk mendengarkan orang karena kita tahu kalau kita ini paling berpengalaman. Kalau tidak hati-hati maka di masa inilah kita mudah terperangkap di dalam dosa-dosa tertentu.PG : Yang pertama misalnya adalah dosa kesombongan, banyak orang memulai hidup dengan kerendahan hati namun mengakhirinya dalam kesombongan. Kenapa pada awalnya dia rendah hati? Karena belum aa pencapaian, belum membuktikan diri, belum ada keberhasilan makanya kita rendah hati.
Tapi setelah memunyai keberhasilan, kita mulai sombong, kita menganggap diri kita lebih dan kadang merasa diri paling tahu dari pada orang lain sehingga cepat mengecilkan kemampuan orang lain dan malah meninggikan pengetahuan pribadi, kita menjadi mudah tersinggung sewaktu kita tidak mendapatkan penghargaan yang kita anggap kita layak menerimanya atau mungkin marah sewaktu melihat orang lain memeroleh medali yang seharusnya menjadi milik kita. Tidak heran ada orang yang makin tua, makin sombong dan makin membesarkan pencapaiannya.PG : Ada seorang pendeta yang bernama Max Lucado dia berkata bahwa, "Waktu orang-orang memuji-muji kita karena kita bisa ini dan mampu itu, akhirnya kita itu sungguh-sungguh menyakini bahwa kit sebaik itu dan kita setinggi yang mereka katakan, akhirnya pandangan seperti itu melambung dan melambung.
Biasanya dalam kondisi seperti itu kita menuntut orang memerlakukan orang seperti itu pula waktu orang tidak menghargai pendapat kita, tidak mau mendengarkan masukan kita, kita tersinggung dan marah karena kita mengaggap bahwa sudah seharusnyalah kamu mendengarkan dan menghargai apa yang saya katakan." Ini adalah kesombongan, Pak Gunawan. Jadi kesombongan itu bisa kita tarik ke dalam 2 ekstrem dan yang paling ekstrem adalah mengagungkan diri bahwa saya hebat, saya mulia tapi di dalam ekstrem yang satunya yang paling bawah yaitu kesombongan muncul dan dalam pemikiran saya selalu benar dan tidak salah dan saya tidak mau meminta maaf. Jadi sebetulnya itu adalah bentuk kesombongan yang lebih diam atau lebih sunyi tapi sesungguhnya sama-sama berbahaya dengan kesombongan yang satunya yakni yang mengagung-agungkan diri.PG : Betul sekali. Memang tubuhnya makin melemah tapi seringkali karena pengalamannya bertambah akhirnya dia makin percaya diri, tidak mau mendengarkan orang lain dan menganggap dirinya yang paing tahu.
PG : Yang satu lagi adalah tidak mengakui keterbatasan, Pak Gunawan, oleh karena kita makin berpengalaman dan pintu kesempatan makin dibukakan, maka mudah sekali kita terjerumus ke dalam lembahyang saya sebut dengan ketidak terbatasan, kita tergoda melakukan banyak hal dan tidak ingat lagi akan keterbatasan diri.
Kita menjadi sukar menolak permintaan orang dan sering menyangkal kenyataan sebab kita ingin terus berkiprah dan kita tidak mau menerima bahwa sesungguhnya kita juga makin terbatas, kemampuan kita pun tidak makin bertambah. Biasanya kita makin memacu diri tapi masalahnya adalah kesanggupan kita, tubuh kita makin terbatas akhirnya muncullah berbagai gangguan baik itu yang menyangkut diri sendiri, atau pun relasi dengan sesama karena akhirnya orang yang tidak kenal batas biasanya akan menghalangi orang untuk berkembang, menghalangi orang untuk melakukan hal-hal yang dia rasa dia cocok untuk dia lakukan, akhirnya menginjak kaki orang menganggap diri yang paling super dan masalah pun makin hari makin berkembang.PG : Kadang-kadang kita lupa bahwa ada Tuhan di dalam hidup ini dan bahwa Tuhan itu tidak bergantung pada satu orang untuk menyelesaikan pekerjaanNya. Sudah tentu kita harus setia melakukan yan Tuhan inginkan tapi kita harus serahkan kepada Tuhan, ada jadwal Tuhan dan selalu ada orang lain yang Tuhan bisa pakai.
Tuhan tidak bergantung pada satu manusia untuk menyelesaikan pekerjaan-Nya.PG : Betul. Jadi dia seperti lilin yang semakin kecil dan semakin kecil. Biasanya api lilin itu mulai kecil kemudian apinya menjadi besar, begitu lilinnya mengecil maka apinya mulai membesar seingga lilin makin cepat meleleh.
Tapi lilin yang masih panjang dan tinggi, apinya pun kecil dan membakarnya pun juga makin kecil. Seringkali manusia seperti itu, waktu lilinnya itu makin kecil kekuatannya makin melemah, api semangatnya makin membesar dan mau melakukan begitu banyak hal tetapi akhirnya makin membakar dirinya dan menghabiskannya.PG : Betul. Jadi benar-benar mulai membatasi diri dan tidak melakukan semuanya karena menganggap bahwa hanya saya saja yang bisa melakukannya.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
PG : Amsal 3:5-6 berkata, "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu."Jadi Tuhan meminta kita untuk bersandar kepada-Nya, tidak bersandar pada pengertian kita, kita mesti mengakui Tuhan ada dan mengatur dan menentukan dalam semua perilaku dan usaha kita.
Waktu kita melakukan hal seperti itu maka barulah Tuhan akan meluruskan atau menolong jalan kita.PG : Ada beberapa lagi, dan nanti kita akan bahas tentang menjaga batin atau menjaga hati kita dan kita juga mesti menjaga keluarga kita, orang tua dan anak-anak kita dan kita juga harus menjag bait Allah atau menjaga iman kepercayaan kita.
Dan saya kira nanti kita harus membahas ini di dalam pertemuan berikutnya, Pak Gunawan.Gs : Berarti pembicaraan ini masih belum berakhir dan terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengakhiri dengan Baik". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
45. Sabat dan Kesehatan Jiwa | |
Ada banyak alasan mengapa tidak selalu kita berhasil menjalankan hidup yang memancarkan Kristus. Salah satunya adalah karena tidak selalu kita berhasil menjalankan kehidupan yang berimbang. Sabat adalah hari di mana Tuhan memerintahkan kita untuk berhenti bekerja dan mengingat Tuhan. Sewaktu berhenti bekerja dan mengingat Tuhan, kita pun diajak untuk menjalani sebuah kehidupan yang sehat. Sabat yang bagaimana yang membuat jiwa kita sehat?
"Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan.... Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya."
Keluaran 20:8-11Makna Sabat
Istilah Sabat pada dasarnya berarti, "berhenti." Tuhan memerintahkan umat-Nya untuk berhenti bekerja selama sehari setelah bekerja selama enam hari. Di Kitab Kejadian 2:2-3 dapat kita baca bahwa pada hari ketujuh Tuhan "berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya." Dari makna "berhenti" muncullah istilah "istirahat" sebab memang berhenti bekerja identik dengan istirahat. Hari di mana Tuhan berhenti bekerja atau "beristirahat" dipanggil, Sabat.
Tujuan Sabat
Kesimpulan
Kesimpulannya satu:
Kita tidak mungkin memproduksi kualitas secara MASSAL. Kualitas mesti diukir satu per satu-mulai dari hidup kita sendiri. Bila kita sendiri tidak memiliki kualitas itu, jangan berharap kita akan dapat menularkannya pada orang lain.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sabat dan Kesehatan Jiwa". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Membicarakan tentang Sabat, Pak Paul. Ada banyak orang yang sudah tidak lagi menghiraukan aturan-aturan Sabat. Karena mereka berpikir bahwa Sabat adalah peninggalan Perjanjian Lama dan ini sudah terlalu kuno, tidak cocok lagi dengan dunia modern. Apakah masalah Sabat masih relevan untuk kita bicarakan saat ini, Pak Paul?
PG : Sangat relevan, Pak Gunawan. Sebab kalau kita menilai dari Firman Tuhan yaitu sepuluh titah Tuhan yang Tuhan turunkan melalui hamba-Nya Musa ialah sepuluh perintah Tuhan yang diharapkan untuk kita semua. Kalau kita tetap menaati perintah pertama yaitu, "Tidak ada ilah lain dihadapan-Nya", kalau kita menaati perintah kelima yaitu "Hormatilah ayah dan ibumu", kalau kita menghormati perintah yang kesepuluh, "Tidak menginginkan harta milik orang lain" dan sebagainya. Mengapakah perintah yang keempat ini justru kita abaikan, bukankah Firman Tuhan sendiri yang berkata di Keluaran 20: 8-11, "Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya." Jadi Tuhan meminta kita untuk menghormatinya, menghormati perintah-Nya yaitu untuk memelihara hari Sabat. Sudah tentu kita harus lebih masuk pada esensi perintah itu sendiri yang lebih penting daripada tidak melakukan apa-apa, sebagaimana yang dilakukan oleh umat Israel. Yang lebih Tuhan tekankan adalah sebuah gaya hidup yang mengikut sertakan Tuhan di dalam setiap tindakan kita dan menunggu Tuhan sehingga kita tidak menjadi orang yang berjalan di depan Tuhan, tapi justru menjadi orang yang berjalan di belakang Tuhan dan bersandar sepenuhnya kepada Dia.
GS : Sekarang ada banyak yang mengatakan bahwa kita tidak lagi libur pada hari Sabtu dalam pengertian Sabat seperti ini, tapi hari Minggu. Dan ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Nanti yang akan kita angkat adalah bukannya memfokuskan pada hari itu sendiri, sebab sudah tentu kita tidak lagi memegang hari Sabat seperti yang dijalankan oleh orang Israel. Tapi kita mau memunyai sebuah gaya hidup yang tidak senantiasa dikejar-kejar oleh target atau oleh produktifitas, sehingga kita melupakan waktu untuk kita berhenti.
GS : Berarti hari apa pun boleh, yang penting ada hari dimana kita bisa libur. Seperti itu, Pak Paul?
PG : Betul, mesti ada satu hari dimana kita harus berhenti bekerja. Sebetulnya kata Sabat itu sendiri berasal dari kata yang berarti berhenti dan dalam terjemahan yang lainnya misalkan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan beristirahat, tapi sebetulnya kata itu sendiri berarti berhenti. Artinya berhenti yaitu tidak melakukan pekerjaan. Sudah tentu yang Tuhan inginkan di sini adalah sebuah gaya hidup dimana kita tidak hanya mengisi kehidupan dengan bekerja tapi juga harus diselingi sebuah hari untuk kita berhenti bekerja atau beristirahat.
GS : Justru sekarang ini yang rasanya kurang cocok dengan kondisi sekarang dimana orang dikejar-kejar target dan hari apa pun dia harus bekerja?
PG : Betul sekali. Memang kalau kita melihat di sekeliling kita, makin hari makin banyak yang menekankan produktifitas, kita harus menghasilkan sebanyak-banyaknya. Itu sebabnya hampir-hampir tidak ada hari libur, bahkan hari dimana kita harus berlibur pun seringkali kita pergunakan untuk bekerja atau menemui misalnya rekan-rekan kerja atau menemui prospek bisnis dan sebagainya, dan ini bukanlah desain Tuhan. Namun desain Tuhan adalah kita harus bekerja tapi disamping itu kita juga harus berhenti bekerja. Dari desain Tuhan, kita bisa melihat enam hari harus bekerja dan satu hari berhenti bekerja. Itu menunjukkan bahwa hidup baru bermakna kalau diisi dengan bekerja. Kita tidak bisa membalikkannya yaitu enam hari beristirahat dan sehari bekerja, itu salah. Jadi hidup baru bermakna jika diisi dengan bekerja. Tapi untuk kita bisa hidup secara efektif dan baik, maka mesti ada satu hari yang kita panggil hari Sabat atau hari tidak bekerja.
GS : Berarti ketika Tuhan menurunkan 10 perintah Allah ini dan mencantumkan, "hormatilah hari Sabat", tentu itu ada suatu tujuan tertentu, Pak Paul? Tujuan ini apa, Pak Paul?
PG : Sekurang-kurangnya ada dua. Dan sekarang kita lihat terlebih dahulu, saya percaya Tuhan menurunkan perintah-Nya kepada kita agar kita bukan saja mengingat Tuhan, menyembah-Nya pada hari itu tapi kita juga menjalankan sebuah kehidupan yang berimbang. Tuhan berhenti bekerja bukan karena Tuhan perlu berhenti bekerja karena terlalu letih, karena kita tahu bahwa Tuhan adalah Roh dan Tuhan tidak bisa letih. Tapi kenapa pada hari ketujuh Tuhan harus berhenti bekerja atau digunakan untuk beristirahat? Sudah tentu ini dilakukan untuk kita dan untuk ditiru oleh kita, bahwa seharusnyalah manusia menjalankan hidup seperti ini. Kita melihat kalau orang tidak memunyai konsep hidup seperti ini, maka kehidupannya pasti tidak berimbang. Misalnya karena dia terlalu letih akhirnya hal-hal lain yang penting yang harus dia kerjakan tidak dikerjakannya atau tidak lagi diperhatikannya. Misalnya kalau kita terlalu capek sudah tentu kita tidak punya waktu dan tenaga mengurus hal-hal dalam keluarga kita, misalnya waktu suami atau istri kita sedang menceritakan masalah dalam keluarga kita, kita sudah tidak bisa lagi mendengarkannya karena otak kita sudah terlalu penuh dan tubuh kita sudah terlalu penat, akhirnya kita berkata, "Kalau begitu kamu saja yang mengurus semuanya." Atau misalkan kita dituntut dan diminta untuk ambil bagian melakukan sesuatu dalam keluarga, karena kita sudah terlalu letih, akhirnya kita malah tersinggung dan marah kemudian kita berkata, "Kenapa kamu tidak mengerti saya bahwa saya sedang sibuk, apa kamu tidak sadar kalau saya ini banyak pekerjaan." Yang menjadi masalah adalah hidup kita tidak lagi berimbang, sehingga kita memberi terlalu banyak di satu tempat dan memberi terlalu sedikit di tempat yang seharusnya kita berikan sama banyaknya.
GS : Pak Paul, banyak orang yang mengatakan di tengah-tengah pekerjaan ini dia sudah beristirahat, jadi ada waktu-waktu senggangnya. Jadi dia tidak memerlukan waktu lagi untuk istirahat secara khusus yaitu satu hari tidak bekerja.
PG : Sudah tentu kalau dalam pekerjaannya itu ada waktu-waktu dimana dia bisa santai dan beristirahat maka itu akan sangat menolong sehingga kehidupan dia sedikit banyak terjaga atau lebih berimbang. Tapi kalau bisa memang harus ada waktu dimana dia terpisah dari pekerjaannya, dia benar-benar berhenti dan tidak senantiasa berjaga-jaga, berada di sekitar pekerjaannya. Kita mau memunyai dedikasi dan seharusnyalah kita memunyai dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan kita, tapi tidak seharusnya juga kehidupan kita senantiasa dipenuhi oleh pekerjaan kita. Jadi perlu ada jarak antara kita dan pekerjaan, kalau tidak maka kita akan terlilit oleh pekerjaan sehingga apa pun yang kita lakukan semua terkait dengan pekerjaan. Sebagai contoh Pak Gunawan, kadang-kadang waktu saya jalan pagi, saya melihat orang berolahraga pagi, kakinya jalan namun tangannya memegang handphone dan ngobrol, mungkin itu sanak keluarganya atau temannya tapi bisa jadi itu urusan bisnisnya. Karena dia tahu kalau dia harus menjawab telepon dari rekan bisnisnya sehingga teleponnya dibawa kemana-mana. Jadi akhirnya hidupnya menjadi terikat sekali oleh pekerjaannya, dan seolah-olah di luar pekerjaan tidak ada lagi kehidupan dia. Dan kita tahu bahwa ini tidak sehat, kalau nantinya orang ini tidak ada pekerjaan maka dia akan kehilangan dirinya atau kehilangan pegangan dalam hidup, kehilangan arah dalam hidupnya sebab pekerjaan itu sudah menjadi segalanya dalam hidup dia.
GS : Tapi sebenarnya alasan yang utama itu adalah kekhawatiran, entah dia khawatir tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya atau dia khawatir bahwa kesempatan bisnisnya akan diambil orang lain, seperti itu Pak Paul.
PG : Ada orang yang seperti itu, saya tahu ada seorang dokter yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Kalau diminta untuk berlibur dia tidak bisa, karena kalau dia berlibur misalkan 2 minggu atau 3 minggu dalam setahun, maka dia harus alihkan pasiennya ke dokter lain supaya nanti kalau ada pasien yang mencari dia maka dia akan dialihkan ke dokter yang lain. Dan dia takut kalau-kalau nanti pasien-pasiennya itu lebih suka kepada rekannya dan tidak kembali lagi kepada dia. Jadi saya melihat dalam hidup orang itu, hidupnya benar-benar diikat atau diperhamba oleh pekerjaannya sendiri. Dan Tuhan meminta kita untuk lepas dari pekerjaan supaya hidup kita berimbang dan bukankah kalau kita tidak memunyai kehidupan yang berimbang maka pertimbangan kita menjadi terganggu. Misalnya kita melihat berapa banyak kecelakaan di darat, di laut maupun di udara yang terjadi yang disebabkan oleh orang yang terlalu letih, ini dalam kasus yang ekstrem. Tapi bukankah dalam kehidupan sehari-hari kalau kita terlalu letih dan pikiran kita juga terlalu dipenuhi oleh pekerjaan kita maka pertimbangan kita pun terganggu dan keputusan yang kita ambil tidak bisa kita ambil dengan jernih karena otak kita sudah terlalu penuh. Maka Tuhan sudah menggariskan inilah pola hidup yang sehat supaya kehidupan kita menjadi kehidupan yang berimbang.
GS : Apakah ada contoh konkret di Alkitab tentang kehidupan seseorang yang tidak berimbang seperti ini?
PG : Saya teringat dengan Nabi Elia yang Tuhan pakai dengan luar biasa dan memiliki keberanian melawan nabi-nabi palsu dan akhirnya waktu dia dikejar mau dibunuh oleh Izebel, istri Raja Ahab, dia lari keletihan. Dan waktu Tuhan temui, dia mengatakan, "Saya ini tidak jauh berbeda dari nenek moyangku, cukuplah itu ya Tuhan dan sekarang ambillah nyawaku." Jadi dengan kata lain, kalimat pertama sewaktu Tuhan menyapanya ialah "Saya mau mati." Di sini kita sering melihat Elia yang begitu jernih, begitu berani, begitu rohani, pada titik itu dia kehilangan keseimbangan hidupnya sehingga pertimbangannya terganggu. Di saat itu justru bukannya dia minta kekuatan Tuhan atau tempat berteduh dalam Tuhan tapi dia malah meminta nyawanya dicabut oleh Tuhan. Kita harus sadar, bahwa dalam kondisi kita yang terlalu letih maka pertimbangan-pertimbangan kita juga turut terganggu, dan yang indah adalah Tuhan tidak memarahinya dan Tuhan hanya memberinya makan dan setelah itu memberinya tidur. Apa yang Dia lakukan? Yaitu memberinya Sabat supaya ia bisa berhenti dan nantinya bisa dikuatkan kembali, dia lari ke gunung Horeb dan disanalah Elia bisa beristirahat untuk sejenak, setelah dia dipulihkan barulah dia turun gunung lagi dan melayani Tuhan kembali.
GS : Jadi kalau kita melihat contoh Elia ini, di dalam melakukan pekerjaan Tuhan pun, orang tetap membutuhkan istirahat Pak Paul?
PG : Sebab kalau tidak, orang yang melakukan pekerjaan Tuhan tanpa mengikut sertakan Tuhan, tanpa mengingat Tuhan akhirnya terlalu bergantung pada dirinya sendiri, pada kekuatan sendiri dan tinggal tunggu waktu dia akan terjerembap jatuh ke dalam dosa.
GS : Tujuan yang kedua dari hari Sabat itu apa, Pak Paul?
PG : Setidaknya yang kedua kita bisa katakan, Tuhan ingin agar kita hidup dalam keterbatasan. Kita mesti mengerti bahwa Tuhan tidak mengharapkan kita menjadi superman yang bisa melakukan semua hal, sangat kuat, yang tidak perlu istirahat, tapi Tuhan tahu bahwa kita manusia dan kita terbatas dan kita perlu waktu beristirahat, maka Tuhan meminta kita untuk beristirahat, untuk berhenti bekerja. Kadang-kadang kita beranggapan, makin giat bekerja buat Tuhan maka makin tidak pernah mengenal lelah dan istirahat dan makin terpujilah di hadapan Tuhan, tidak seperti itu. Tuhan menggariskan pola hidup yang diinginkan-Nya supaya kita menyadari keterbatasan atau kelemahan kita. Misalnya saya ini dalam keadaan letih maka saya ingat saya harus berdoa, memohon kekuatan dari Tuhan. Saya diingatkan pertama akan keterbatasan saya dan yang kedua waktu saya diingatkan akan keterbatasan saya maka saya diingatkan bahwa saya perlu kekuatan Tuhan. Dengan kata lain, waktu kita berhenti bekerja, kita diingatkan akan Tuhan yang memunyai kekuatan untuk kita. Jadi dengan kata lain, Sabat itu adalah waktu atau hari untuk mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa mengerjakan pekerjaan Tuhan tanpa kekuatan-Nya. Jadi kita mesti sadar keterbatasan kita dan sebagai tindak lanjut bergantung pada Tuhan.
GS : Ada orang-orang tertentu yang dari Senin sampai dengan Sabtu, dia mengerjakan profesinya dan pada hari Minggu dia melakukan yang dia sebut sebagai pelayanan pada Tuhan dari pagi sampai petang. Jadi dia tidak memiliki waktu lagi untuk beristirahat, Pak Paul?
PG : Saya mengerti bahwa di gereja tidak banyak orang bersedia untuk berkorban waktu dan tenaganya dan juga uangnya untuk pekerjaan Tuhan. Jadi saya tahu bahwa gereja itu sangat butuh dan menghargai anak-anak Tuhan yang rela untuk bekerja dan berkorban. Dan memang sebagai hamba Tuhan, saya katakan bahwa kita sangat memerlukan orang-orang yang seperti itu. Tapi tetap pada akhirnya saya harus berkata tengoklah kebutuhan di dalam rumah tangga juga, tengoklah apakah anak-anak, pasangan hidup, istri atau suami sudah mendapatkan cukup dari kita, kalau mereka tidak mendapatkan maka apa pun yang kita lakukan walaupun atas nama "buat Tuhan" tapi itu bukan lagi suatu persembahan yang harum, karena waktu kita memberikan persembahan yang harum sebetulnya kita sedang merugikan orang-orang yang Tuhan percayakan kepada kita untuk kita kasihi dan perhatikan. Memang sangat perlu adanya hari Sabat dan salah satunya karena kita ini seringkali kalau sudah terbiasa bekerja nonstop akhirnya tidak lagi merasa letih dan tidak butuh lagi berhenti untuk beristirahat. Jadi seperti roda yang terus berjalan dan biasanya kita baru berhenti kalau kita sudah terkena penyakit yang berat, barulah berhenti. Justru kalau kita membiasakan hidup ada hari Sabatnya, maka disitulah kita merasakan letihnya kita, jadi akhirnya kita menginginkan Sabat itu lagi. Tapi orang yang terus memforsir dirinya seperti itu maka tinggal tunggu waktu secara fisik dan mental dan secara rohani dia akan mengalami masalah. Saya takutnya dia bukan saja menghancurkan hidupnya, tapi juga menghancurkan hidup orang-orang di sekitarnya. Orang yang terlalu letih, kalau pulang ke rumah, dia akan lebih cepat marah, tersinggung dan tidak bisa menoleransi kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh keluarganya. Sehingga anggota keluarganya juga menjadi korban.
GS : Ada sebagian orang yang merasa bersalah kalau dia beristirahat, Pak Paul. Jadi dia akan terus mencari kesibukan.
PG : Memang tergantung pada budaya, filsafat kehidupan kita, apa yang telah kita dengar dari lingkungan kita dan dari orang tua kita. Itu yang seringkali akhirnya menjadi bagian dari kehidupan kita. Sehingga waktu kita beristirahat, kita justru merasa bersalah. Tapi sebetulnya Firman Tuhan ini jelas sekali meminta kita dan kalau Tuhan yang meminta dan menggariskannya berarti Tuhan tahu ini resep kehidupan yang baik. Misalkan saya bertanya mengapa kita cepat mendengar nasehat orang di dalam hal kesehatan misalkan, "Jangan makan makanan berlemak!" Nah kita mendengarkannya, kenapa? "Sebab ini baik untuk kehidupan", kenapa kalau manusia yang memberi nasehat maka kita langsung bisa mendengarkan, tapi kalau Tuhan yang memberikan nasehat, kita kurang mendengarkan. Padahal Tuhan yang paling tahu kondisi tubuh kita, dan Tuhan yang paling tahu hidup yang sungguh-sungguh sehat itu seperti apa. Dan bagaimana untuk bisa hidup sesehat itu, Tuhan sudah gariskan bahwa hari Sabat itu perlu yaitu untuk mengingat Tuhan, menguduskannya buat Tuhan dan sesungguhnya manfaatnya jatuh pada diri kita sendiri.
GS : Pak Paul, mengenai hari Sabat, banyak orang yang salah mengerti bahwa dia tidak harus melakukan apa pun juga pada hari Sabat itu, pada hari istirahatnya itu. Dan ini bagaimana Pak Paul?
PG : Saya kira kita tidak perlu menjalankan Sabat seperti itu yang secara kaku. Tapi jadikanlah hari itu sebagai hari dimana kita tidak melakukan yang biasa kita lakukan. Misalkan hari itu telepon genggam kita matikan, atau kalau tidak mau seektrem itu, maka seandainya kalau ada permintaan pun maka kita tolak karena kita mau menguduskan hari itu dan menyisihkannya. Misalnya untuk diri kita dan keluarga kita, sambil kita terus mengingat inilah hasil karya Tuhan. Orang-orang Israel waktu di gurun pasir, mereka tidak memunyai pekerjaan atau usaha berarti mereka hanya dapat bergantung pada pemeliharaan Tuhan. Kemudian Tuhan juga perintahkan untuk satu hari agar mereka tidak bekerja, tidak mengumpulkan manna atau burung puyuh sebab Tuhan mau memperlihatkan walaupun kamu tidak bekerja, tapi Tuhan tetap penuhi kebutuhanmu. Jadi orang yang menjalankan kehidupan dengan gaya Sabat pada akhirnya menjadi orang yang dilatih untuk bersandar pada pemeliharaan Tuhan, dia tidak bergantung pada dirinya lagi. Jadi hidup dalam keterbatasan, benar-benar hidup yang memaksa kita dan mengingatkan kita untuk bersandar kepada Tuhan.
GS : Jadi kesimpulan dari pokok pembicaraan kita ini sebenarnya apa Pak Paul?
PG : Yang pertama yang paling penting bahwa dengan adanya kehidupan yang berimbang, pada akhirnya kita akan melahirkan kehidupan yang bernilai dan dalam kehidupan yang bernilai itulah baru bisa lahir berkat yang bernilai. Saya berikan contoh, salah satu buku yang sangat populer dan telah diterbitkan ulang lebih dari 300 tahun adalah buku "Perjalanan Seorang Musafir" dan ditulis oleh John Bunyan, dia menulis itu waktu dia sedang dipenjarakan karena memberitakan Firman Tuhan. Dengan kata lain dia ditangkap dan kemudian harus mendekam di penjara selama belasan tahun. Inilah hari Sabatnya, dia menulis 5 buku namun yang terkenal hanya 2 buku saja dan salah satunya adalah buku "Perjalanan Seorang Musafir". Buku itu adalah buku yang paling banyak diterbitkan selain Alkitab sampai sekarang, tapi ditulis oleh orang yang hanya menulis 5 buku seumur hidupnya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Dan inilah yang kita mesti yakini bahwa Tuhan tidak pernah terpukau oleh jumlah atau kwantitas, Tuhan hanya lebih tertarik melihat kwalitas kehidupan. Contoh lain lagi adalah Dr. James Dobson, seorang psikolog Kristen yang kita kenal di Amerika Serikat, dia seorang penceramah, populer, diundang kemana-mana dan akhirnya berkata, "Saya tidak bisa terima, dan saya sekarang berada di rumah dan membuat pelayanan radio," sebab tidak mungkin saya ceramah keluarga kemana-mana tapi saya sendiri tidak ada di rumah untuk keluarga saya. Dan kita tahu pelayanan Dr. James Dobson sekarang dikenal oleh puluhan dan bahkan ratusan juta orang di dunia ini. Sekali lagi kita melihat kehidupan yang berimbang, melahirkan kehidupan yang bernilai dan hanya dari kehidupan yang bernilai baru bisa muncul berkat yang juga begitu bernilai. Tuhan tidak tertarik dengan jumlah tapi Tuhan tertarik dengan kwalitas. Maka kita mesti menyelaraskan nilai-nilai hidup kita dengan Tuhan. Sabat mengingatkan kita akan hal itu bahwa yang penting di mata Tuhan adalah kwalitas dan bukan kwantitasnya.
GS : Jadi kalau kita mau memuliakan Tuhan maka mau tidak mau harus menjalankan hukum hari Sabat di dalam kehidupan kita, Pak Paul?
PG : Betul. Kita benar-benar mengadopsi gaya hidup yang baru dan dalam bahasa Jawa Timurnya ngoyo, tapi hidup yang lebih bisa berserah, bergantung pada pemeliharaan Tuhan, hidup yang lebih menyadari keterbatasan kita sehingga kita memunyai kehidupan yang lebih berimbang dan dari kehidupan yang berimbang itulah akan lahir kehidupan yang bernilai serta berkat-berkat yang nanti juga akan bernilai.
GS : Jadi Pak Paul, kita mencoba untuk menjalankan hukum-hukum hari Sabat dengan sungguh-sungguh karena ini menjadi suatu keputusan penting di dalam kehidupan kita, tinggal kita mau melakukannya atau tidak?
PG : Betul. Dan akhirnya kalau orang tidak mau mengambil keputusan itu, maka sampai kapan pun hidupnya akan berjalan seperti itu. Saya sangat senang sekali dengan keputusan yang saya ambil kira-kira hampir 10 tahun yang lalu yaitu waktu saya sadari anak saya yang paling besar sudah hampir kuliah dan tinggal beberapa tahun lagi akan meninggalkan rumah, saya sangat sibuk dan sering pergi pada akhir pekan, akhirnya saya putuskan tidak lagi. Saya akan menerima undangan pelayanan pada masa sekolah libur, pada masa saya tidak lagi mengajar, baru saya terima. Itu adalah keputusan yang saya kira baik, waktu saya menengok ke belakang saya sangat bersyukur karena pada akhirnya saya dan istri bisa berjalan pagi, anak-anak bisa makan-makan bersama saya, kami bisa bersama-sama beribadah kepada Tuhan di gereja. Itu adalah waktu yang tidak bisa diulang lagi, Pak Gunawan.
GS : Jadi pada hari Sabat, kita tidak hanya pergi ke gereja kemudian bekerja lagi. Tentu bukan seperti itu, Pak Paul?
PG : Betul. Jadi benar-benar mengubah kehidupan kita. Sabat itu bukan hanya 2 jam di gereja!
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sabat dan Kesehatan Jiwa". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
46. Sabat dan Kesehatan Rohani | |
Lihatlah sekeliling kita pada bangsa dan budaya yang tidak tersentuh oleh Alkitab. Saya kira kita akan terkejut menemukan bahwa konsep Sabat—berhenti bekerja—merupakan sesuatu yang asing di telinga mereka. Jelas terlihat bahwa nilai alkitabiah telah mewarnai budaya Barat sedemikian rupa sehingga kebanyakan orang di belahan dunia itu mengenal dan menjalankan sekurangnya satu hari istirahat. Orang yang tidak menjalankannya hanyalah orang yang mendewakan kerja di atas segalanya. Di sini akan diuraikan latar belakang Sabat dan tujuan dari Sabat.
Lihatlah sekeliling kita pada bangsa dan budaya yang tidak tersentuh oleh Alkitab. Saya kira kita akan terkejut menemukan bahwa konsep Sabat-berhenti bekerja-merupakan sesuatu yang asing di telinga mereka. Jelas terlihat bahwa nilai alkitabiah telah mewarnai budaya Barat sedemikian rupa sehingga kebanyakan orang di belahan dunia itu mengenal dan menjalankan sekurangnya satu hari istirahat. Orang yang tidak menjalankannya hanyalah orang yang mendewakan kerja di atas segalanya.
Latar Belakang Sabat
Perintah untuk menjalankan Sabat pertama muncul di Keluaran 16:4-5, 27-30. Dalam perjalanan di padang pasir bani Israel tidak bisa bergantung pada siapa pun kecuali Tuhan sendiri. Mereka tidak bisa bekerja, mereka tidak punya perusahaan, mereka tidak memunyai sumber daya alam-mereka dalam kondisi tidak berdaya secara total. Kenyataan bahwa mereka berhasil bertahan membuktikan bahwa Tuhanlah yang telah memelihara hidup mereka. Tuhanlah yang memenuhi semua kebutuhan mereka selama 40 tahun mengembara di padang pasir. Di pagi hari Tuhan menyediakan manna dan di malam hari Tuhan menyediakan daging burung puyuh untuk dimakan. Sungguhpun demikian dalam menyediakan kebutuhan mereka, Tuhan tidak menggunakan cara yang sama setiap hari. Pada hari keenam Tuhan menyediakan dua kali lebih banyak sebab pada hari ketujuh Tuhan memerintahkan mereka untuk tidak lagi mengumpulkan makanan. Sayangnya, sebagaimana dapat kita lihat, pada awalnya mereka tidak mendengarkan perkataan Tuhan: mereka tetap mencari manna di hari ketujuh-tanpa hasil! Tuhan melarang mereka bekerja di hari ketujuh agar mereka ingat bahwa sesungguhnya Tuhanlah yang memelihara hidup mereka. Kendati tidak mengumpulkan makanan di hari ketujuh, mereka tetap memiliki kecukupan dari sisa makanan yang dikumpulkan di hari keenam.Tujuan Sabat
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sabat dan Kesehatan Rohani". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pada kesempatan yang lalu kita membicarakan tentang "Sabat dan Kesehatan Jiwa", tetapi selain menyangkut kesehatan jiwa tentunya Sabat ini juga menyangkut kesehatan rohani. Jadi begitu pentingnya perintah Tuhan ini tetapi akhir-akhir ini kurang mendapat perhatian. Apa betul seperti itu, Pak Paul?
PG : Saya setuju dengan pengamatan Pak Gunawan. Sebagai hamba Tuhan saya juga mengakui bahwa kami sebagai hamba Tuhan kurang memberikan pengajaran tentang hal ini. Saya kira ini adalah sebuah kesalahan di pihak kami sebagai hamba Tuhan. Bukankah Tuhan memberikan sepuluh perintah itu untuk ditaati oleh umat-Nya, bukan hanya untuk dipandang dan ditaruh di dalam bingkai tapi untuk dilakukan. Bukankah kita tetap menjalankan perintah-perintah yang lainnya yaitu jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan menjadi saksi dusta, jangan menginginkan harta dari sesamamu manusia, tidak ada ilah lain dihadapan Tuhan dan sebagainya, tapi mengapa perintah yang keempat yaitu kuduskanlah hari Sabat tidak kita lakukan. Begitu banyak orang Kristen yang menamakan hari Sabat atau hari Tuhan hanyalah waktunya ke gereja saja dan setelah ke gereja melakukan hal-hal yang lainnya jadi semua aktifitasnya kembali lagi. Tuhan memberikan hari itu bukan saja agar kita mengingat Tuhan dan berbakti kepada Dia tapi sesungguhnya Tuhan memikirkan kepentingan kita juga. Jadi hari Sabat itu bukanlah beban tambahan, namun justru itu adalah cara untuk kita hidup secara sehat. Dan kita sudah bahas di waktu yang lampau bahwa hari Sabat ini kalau kita mulai terapkan menjadi sebuah gaya hidup maka hidup kita akan menjadi sebuah gaya hidup yang berimbang, karena kalau kita begitu terkuras oleh pekerjaan dan hanya mementingkan pekerjaan maka hidup kita tidak berimbang dan pertimbangan kita menjadi tidak jernih dan mungkin kita menjadi sering emosi dan sering marah. Akhirnya hidup menjadi berat sebelah dan hal yang penting yang harus kita perhatikan justru kita abaikan. Contoh yang paling keras adalah misalnya kita mengabaikan tanggungjawab kita sebagai suami, istri, ayah atau ibu. Kenapa begitu? Karena terlalu berat pada satu hal yaitu pekerjaan kita. Maka Tuhan memberikan contoh, waktu Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya dan kemudian pada hari yang ke tujuh dia berhenti. Bagi Tuhan sebenarnya tidak perlu berhenti atau beristirahat karena Tuhan adalah Roh tapi dia sengaja berhenti sejenak dan dalam bahasa Inggrisnya Tuhan itu beristirahat. Apa artinya itu? Karena Tuhan ingin agar kita itu meniru sebuah pola kehidupan yang bagi Dia itu merupakan pola kehidupan yang paling baik dan paling sehat yaitu pola kehidupan yang mengikutsertakan Sabat, kita berhenti bekerja dan kita mengingat Tuhan dan kita hidup dalam keterbatasan kita sehingga kita bisa kembali memohon kekuatan Tuhan dan disegarkan pada hari itu.
GS : Tapi kemudian perintah Tuhan "Hormatilah hari Sabat", berkembang menjadi begitu rumit sampai hal-hal yang kecil pun diatur di situ, misalnya berjalan kaki dan mengangkat barang. Dan itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Jadi sebetulnya perintah Tuhan itu sangat general atau umum tapi pada akhirnya orang-orang Yahudi, karena tidak mau melanggar perintah Tuhan itu maka merekalah yang merumuskan. Kita mengenal di dalam sistem kenegaraan kita ada yang namanya PERPU (Peraturan Pengganti Undang-undang) yang berisi terapan-terapannya sehingga digariskan menjadi sebuah kebijakan dan bisa diterjemahkan dan dilaksanakan. Dan orang-orang Yahudi saat itu melakukan hal-hal yang sama dan mereka menetapkan tidak boleh berjalan lebih dari berapa mil, dan tidak boleh mengangkat barang dari berapa beratnya dengan tujuan yang sebetulnya baik dan jangan sampai mereka melanggar perintah Tuhan. Namun karena mereka terpaku pada tatakrama pelaksanaannya akhirnya mereka kehilangan makna di belakang itu sendiri sehingga akhirnya mereka mengingat Sabat bukan sebagai hari untuk Tuhan dan hari untuk mereka. Jadi akhirnya menjadi sebuah peraturan tambahan yang harus mereka jalani juga dan itu sebetulnya bukanlah yang Tuhan tujukan atau Tuhan maksudkan.
GS : Apakah bukan hal itu yang menyebabkan orang lalu enggan untuk melaksanakan hukum ini, Pak Paul?
PG : Mungkin sekali karena akhirnya menjadi suatu beban tambahan sebab tidak boleh ini dan itu, kita sebagai manusia memang agak sukar menerima larangan tidak boleh ini dan itu. Maka inilah yang membuat sebagian kita akhirnya tidak mau lagi mengingat-ingat hari Sabat dan sebagainya. Saya pun secara pribadi tidak harus menjalankan hari Sabat seperti orang-orang Israel dulu sebab jelas sekali nanti kita akan melihat dalam perkataan Tuhan Yesus bahwa yang harus kita tangkap adalah maknanya, dimana di hari itu kita berhenti bekerja supaya di hari itu kita bisa menghormati dan mengingat Tuhan, dan di hari itu juga kita bisa kembali disegarkan. Dan dengan gaya hidup seperti inilah, kita menjalankan kehidupan yang lebih efektif. Maka seperti yang dikatakan di dalam pembahasan yang lampau bahwa kehidupan ini akhirnya menjadi sebuah kehidupan yang berimbang dan dari kehidupan yang berimbang itulah baru bisa lahir kehidupan yang bernilai dan dari kehidupan yang bernilai, barulah nanti juga akan keluar berkat-berkat yang nanti akan bernilai juga.
GS : Kalau pada kesempatan yang lalu kita banyak berbicara tentang kesehatan jiwa. Dan sekarang bagaimana dengan kesehatan rohani ini, sebenarnya apa tujuan hukum Sabat itu?
PG : Sekurang-kurangnya ada 3 yang akan saya uraikan. Yang pertama adalah, hari Sabat itu akan mendesak kita untuk bergantung penuh pada Tuhan. Karena memang secara logika kita akan berkata, "Kalau saya harus tutup toko saya sehari maka saya akan kehilangan penghasilan saya dan saya akan dirugikan," mungkin saja hal itu betul dan saya tidak bisa menyangkal. Ada lagi misalkan kita memunyai restoran dan misalkan dalam sehari kita bisa mendapatkan Rp. 5 juta, maka kalau buka tujuh hari pendapatan yang diterima kurang lebih Rp. 35 juta, belum lagi kalau pada hari itu merupakan hari yang sibuk jadi kita bisa mendapatkan lebih banyak lagi. Tapi kita anggap saja satu hari Rp. 5 juta maka kalau 7 hari sudah Rp. 35 juta. Kalau kita potong 1 hari, maka penghasilan kita hanya tinggal Rp. 30 juta dan kurang Rp. 5 juta. Tapi yang Tuhan maksudkan adalah Tuhan tetap akan memelihara kita, bahkan kalau kita harus kehilangan sejumlah uang karena kita harus berhenti bekerja, namun tetap Tuhan akan memelihara kita. Jadi di hari Sabat seolah-olah adalah cara Tuhan menguji iman kita apakah kita bisa percaya bahwa Tuhan akan mencukupi kebutuhan kita dengan jumlah yang bisa jadi memang lebih sedikit. Dalam konteks orang-orang Israel di padang pasir selama 40 tahun, mereka langsung mendapatkan manna dari Tuhan dan burung-burung puyuh juga diberikan agar mereka memakan dagingnya. Dan Tuhan katakan, "Pada hari ketujuh jangan mengambil dan mencari." Mula-mula mereka tidak mendengarkan perintah Tuhan. Dan pada hari ketujuh mereka tetap berjalan-jalan untuk mencari manna dan daging burung puyuh, tapi mereka tidak menemukan sebab Tuhan sudah berkata, "Dihari keenam Aku akan tambahkan, supaya kamu pada hari ketujuh tidak lagi mengumpulkan." Kalau kita pikir bukankah hal itu sungguh baik dan kita tidak perlu bekerja pada hari ketujuh dan hari keenam dicukupkan. Hal itu sebenarnya baik tapi karena kita orang berdosa dalam diri kita ada ketamakan dan terutama satu hal yakni kurang iman sehingga di hari ketujuh mereka tetap keluar untuk mencari manna dan daging burung puyuh. Tuhan menawarkan hal yang lebih baik dan kita tetap mau mencari yang lebih buruk. Maka sekarang Tuhan juga memanggil kita untuk mendengarkan dan menerima konsep ini yaitu peliharalah dan amatilah, lakukanlah dan jalankanlah hari Sabat dimana hari kita berhenti bekerja sebab kita akan melihat bahwa Tuhan akan tetap mencukupi kebutuhan kita. Berapa jumlah yang akan Dia berikan, itu tidak menjadi soal tapi yang penting Dia mencukupi kebutuhan kita.
GS : Pak Paul, ada orang yang mengatakan sekarang ini setelah kebangkitan Tuhan Yesus, kita tidak lagi merayakan hari Sabat tetapi hari Minggu sebagai hari dimana kita memuliakan Tuhan. Apakah ini Sabatnya orang Kristen atau bagaimana Pak Paul?
PG : Boleh saja, dan saya memunyai keyakinan sebetulnya hari apanya itu tidak menjadi soal. Makanya Paulus pun pernah mengatakan hal yang sama, bagi orang tertentu hari ini yang paling khusus dan bagi orang-orang lain hari itu yang paling khusus. Bagi Paulus tidak menjadi soal yang penting hari apa pun yang kita mau khususkan, jadikanlah hari dimana kita itu berhenti bekerja dan kita memuliakan Tuhan, itu esensinya. Jadi kalau kita menggunakan misalnya hari Minggu, maka silakan, jadikanlah hari itu dimana kita berhenti bekerja dan tidak mencari-cari order, tidak kemana-mana dan benar-benar bersandar penuh bahwa Tuhan akan memenuhi kebutuhan kita. Saya perhatikan orang yang tidak lagi mementingkan Sabat sehingga hari Minggu pun tetap bekerja, dia akhirnya menjadi berpikir bahwa semua bergantung pada dirinya, dia yang harus mencukupi, dia harus memutar modal dan sebagainya, jadi semua kembali kepada dirinya. Awalnya orang-orang seperti ini tidak menyadari bahwa itulah yang sedang terjadi, yang ada di pikirannya adalah mereka harus rajin bekerja dan sebagainya. Tapi padahal perlahan-lahan terjadilah pergeseran dari bersandar kepada Tuhan menjadi bersandar kepada diri sendiri.
GS : Ada beberapa jenis pekerjaan, termasuk sebagai pendeta atau orang-orang yang membuka restoran seperti yang Pak Paul katakan, mereka menyiasatinya dengan cara Minggu beribadah tapi ada hari lain dimana dia tidak bekerja?
PG : Betul. Jadi misalkan dia sebagai hamba Tuhan, misalkan dia tidak bisa memilih hari lain maka dia harus bisa menentukan satu hari, hari apa pun tidak mengapa entah itu hari Senin, Selasa, Rabu karena hari Minggu adalah hari dimana dia harus bekerja karena hari itu adalah hari dimana dia harus bertugas. Di hari lain itulah benar-benar dia harus memisahkan dirinya, berhenti dan menikmati Tuhan, menikmati keluarganya, menikmati persahabatan dengan teman-temannya. Jadi itulah yang Tuhan inginkan dari kita.
GS : Seringkali orang khawatir kalau dia tidak melakukan pekerjaan, nanti siapa yang akan melakukan pekerjaan ini. Biasanya seperti itu?
PG : Seringkali seperti itu, seperti yang telah saya katakan bahwa kami-kami ini sebagai hamba Tuhan kalau tidak hati-hati menempatkan diri di pihak Tuhan, semua bergantung kepada kami-kami ini. Kalau tidak ada, maka pekerjaan Tuhan tidak berjalan, itu salah. Suatu hari Pdt. Billy Graham ditanya, "Nanti setelah Anda meninggal siapa yang akan menggantikan, dan dia menjawab "Saya tidak memikirkan," kenapa dia tidak memikirkan? Karena dia tidak khawatir. Kenapa tidak khawatir? Sebab bukankah Tuhan selalu mengirimkan hamba-hamba-Nya untuk melayani umat-Nya. Kemudian dia memberikan contoh, sebelumnya ada Pdt. D.L. Moody, setelah Pdt. D.L. Moody dipakai Tuhan dan meninggal dunia kemudian orang bertanya, "Siapa yang menggantikan?" kemudian Tuhan membangkitkan Billy Sunday, setelah Billy Sunday meninggal, orang berkata "Siapa yang menggantikan?" maka kemudian Tuhan memakai Pdt. Billy Graham. Dan sekarang beliau sudah uzur sudah berusia 90 tahun, kita jarang lagi mendengar namanya, sayup-sayup kita mendengar namanya. Sekarang nama yang lain yang Tuhan pakai. Jadi persis seperti yang beliau katakan yakni janganlah khawatir dan pekerjaan Tuhan tetap berjalan. Dua minggu yang lalu saya baru menghadiri KKR di dekat Los Angeles yang diadakan oleh Pdt. Greg Laurie di suatu stadion, dimana stadion itu terisi penuh oleh manusia. Dan waktu Pdt. Greg Laurie memanggil orang untuk menyerahkan diri kepada Tuhan dan bertobat, maka ribuan orang turun. Sehingga satu lapangan terisi penuh dengan manusia. Dan setiap tahun diadakan selama 3 hari, setiap tahun dan sudah 20 tahun selalu penuh. Itu membuktikan bahwa Tuhan selalu bisa melakukan pekerjaan-Nya bahkan tanpa kita. Satu hal yang kita mesti sadari adalah sesungguhnya Tuhan tidak memerlukan kita, kadang-kadang kita beranggapan bahwa Tuhan butuh kita, kalau kita tidak ada maka pekerjaan Tuhan akan kacau, tidak seperti itu! Yang Tuhan percayakan kepada kita itu adalah sebuah kehormatan bisa ambil bagian dalam bagiannya. Ini adalah sebuah kehormatan dan nanti akan ada waktunya kita akan berhenti. Kalau mulai dari sekarang kita memelihara hari Sabat, memisahkan diri dari pekerjaan kita terus menerus. Sebetulnya nantinya kita juga disiapkan untuk menjalankan Sabat yang panjang. Dimana tidak ada lagi orang yang menelepon untuk mencari kita dan sebagainya, tapi tidak mengapa karena kita sudah dipersiapkan bahwa kita memang Tuhan tidak bergantung kepada kita. Jadi Tuhanlah yang mengerjakan pekerjaan-Nya.
GS : Hal yang kedua yang menyangkut kesehatan rohani ini apa Pak Paul?
PG : Yang kedua adalah hari Sabat menolong kita untuk mengingat bahwa bagi Tuhan yang terpenting bukanlah jumlah tapi kwalitas. Saya mengingat perkataan dari seorang penulis yang bernama Scott Peck, beliau berkata bahwa ada beda antara hidup efisien dan hidup efektif. Hidup efisien menurut dia adalah memproduksi sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat mungkin, sedangkan hidup efektif adalah melakukan satu dua hal dalam masa hidup namun melakukan satu dua hal yang nantinya bermakna. Seharusnya kita ini menyadari bahwa yang Tuhan tekankan sekali lagi bukanlah jumlah tapi kwalitas. Kalau tidak hati-hati seringkali kita berpikir, "Tuhan itu menginginkan jumlah orang yang bertobat, makin banyak makin baik." Misalkan kita membuat acara, makin banyak yang hadir maka makin baik, orang-orang yang terlibat dalam pelayanan sangat-sangat bergantung pada jumlah. Kalau yang datang tidak sebanyak yang diharapkan, maka gagal. Definisi siapakah gagal itu? Itu adalah definisi manusia, sedangkan di mata Tuhan, Tuhan tidak mementingkan itu kalau Tuhan mementingkan jumlah maka Tuhan akan memilih 1.200 murid dan bukan 12 murid karena dari segi jumlah 12 murid adalah jumlah yang sangat kecil. Tapi Tuhan memang tidak memilih jumlah tapi Tuhan memilih kwalitas. Sama ketika Gideon berperang, akhirnya Tuhan hanya memilih 300 orang melawan orang-orang Midian yang berjumlah ribuan. Tuhan mau menunjukkan bahwa kemenangan ini adalah dari Tuhan dan bukan dari manusia. Sabat adalah cara Tuhan untuk menolong kita mengingat bahwa semua dari Tuhan dan tugas kita adalah melakukan bagian kita. Saya memiliki 3 langkah yang bisa saya usulkan agar kita ini bisa hidup tidak bergantung pada jumlah. Yang pertama adalah kita mesti menerima porsi yang Tuhan berikan kepada kita, kita mesti mensyukuri apa pun itu yang Tuhan berikan. Saya kira banyak orang yang susah untuk mengadopsi gaya hidup Sabat karena tidak bisa menerima porsi itu Pak Gunawan, karena mereka mau lebih dan rasanya kurang dan bagi saya itu sama, entah itu mau lebih dalam bentuk uang atau mau lebih dalam bentuk pelayanan. Kita mesti menerima dan bersyukur bahwa inilah porsi yang Tuhan berikan kepada kita. Dan langkah yang kedua adalah kita mesti setia menyelesaikan porsi itu sampai pada akhirnya. Jadi apa yang Tuhan percayakan, maka kita harus menerimanya dan itu yang akan menjadi tanggungjawab kita sampai akhirnya. Yang ketiga, dengan sikap mau menyelesaikan sampai akhir, kalau di tengah jalan dengan jelas Tuhan membelokkan arah, mengubah porsi maka kita harus mengubahnya pula, maka kita tetap bisa dengan luwes dipakai oleh Tuhan sesuai dengan kehendak-Nya. Saya kira ini akan terjadi kalau kita sudah mulai memelihara gaya hidup Sabat itu.
GS : Tapi gaya hidup seperti itu seringkali tidak cocok dengan kenyataan kehidupan sekeliling kita yang mengejar-ngejar target, mengejar-ngejar jumlah banyak. Jadi seolah-olah kita hidup di dalam dunia yang nantinya berbeda. Bahkan kalau kita menggunakan cara-cara yang tadi seringkali dianggap malas dan tidak memunyai gairah kerja dan seterusnya, Pak Paul.
PG : Banyak sekali kemungkinan dimana kita akan disalahmengerti. Misalkan kita berkata kalau kita memang tidak mau terima tambahan tanggungjawab, nanti kita dikatakan terlalu memikirkan istri, terlalu mengutamakan suami dan sebagainya. Tapi kita harus menyadari kemampuan kita. Kita yang paling tahu kemampuan kita, kita yang paling tahu kondisi dalam keluarga kita dan inilah tanggung jawab kita yang pertama. Jadi kita harus menerima tudingan orang yang tidak mengerti keputusan kita ini. Karena saya sudah terjun ke dalam pelayanan, saya pernah melihat orang-orang pada masa yang lebih muda jorjoran dan pada akhirnya memetik buahnya. Saya melihat cukup banyak para pelayan Tuhan, yang pada usia paro baya dan anak-anaknya sudah besar, memetik buahnya dan melihat bahwa inilah hasilnya yaitu masalah demi masalah pada anaknya. Kita seringkali memang tidak tahu karena tidak diceritakan keluar dan hanya sedikit orang yang dekat dengan orang ini yang akhirnya mengetahui. Tapi itulah harga yang harus dibayar dan janganlah di saat itu kita berkata bahwa kita sedang pikul salib, itu salah. Sebab itu bukanlah salib yang Tuhan kehendaki, karena dari awalnya Tuhan sudah gariskan bahwa kita harus menghormati dan menguduskan hari Sabat itu. Ini penting untuk bisa menjalankan kehidupan yang berimbang karena kehidupan tidak akan terisi hanya oleh satu unsur saja entah itu pekerjaan atau pelayanan, karena ada juga yang namanya persahabatan, kehidupan sosial, ada yang namanya keluarga, ada yang namanya menjadi orang tua. Dan semua itu harus kita perhatikan juga.
GS : Ada yang berpikir seperti ini, Pak Paul. Jadi semasa ada kesempatan maka dia akan menggunakan itu semaksimal mungkin dan nanti kalau sudah selesai dia akan membayar semuanya itu, misalkan dia pensiun. Tapi ada juga yang tidak keburu, sebelum menikmati masa pensiun untuk melunasi hutungnya yang dahulu, dia sudah meninggal duluan.
PG : Dan bukankah kalau boleh saya tambahkan, itu tidak akan sama Pak Gunawan. Misalkan kalau kita berkata, "Yang penting saya bekerja jorjoran, nanti setelah tua saya akan menikmati." Dan pertanyaannya adalah, apa yang akan dinikmati? Saya duga hal-hal yang akan dinikmati adalah hal-hal yang bisa dibeli oleh uangnya misalnya dia memang bisa mengumpulkan banyak uang, tapi nantinya yang dia nikmati hanya uang itu saja. Tapi kalau kita tanya, apakah engkau pernah dan cukup sering menikmati apa itu artinya bercanda dengan anak, bercumbu dengan istri atau suamimu, pergi bersama-sama, makan bersama-sama. Apakah pernah engkau menikmati semua itu? Justru ini yang terhilang. Mungkin dia berkata, "Nanti pasti bisa", tapi nantinya itu ialah kita pergi dengan anak yang sudah dewasa sedangkan belasan tahun sewaktu anak kita masih kecil, kita tidak melakukannya, berarti semua itu terhilang. Jadi waktu orang berpikir, mengumpulkan dulu dan di hari tua nanti baru melakukan, itu adalah hal yang salah sebab kita akan kehilangan begitu banyak. Dan itu bukanlah rencana Tuhan, Tuhan mau hari lepas hari kita menikmati dan mencicipinya, maka di Matius 6 Tuhan juga berkata, "Lihatlah burung pipit di udara, rumput-rumput di ladang semua Tuhan dandani dan dipelihara serta diberi makan. Jangan pusingkan hari esok karena hari ini sudah ada kesusahannya masing-masing." Jadi Tuhan selalu mengingatkan hidup untuk hari ini dan nikmatilah hari ini. Kenapa? Sebab yang pertama kita tidak mengetahui hari depan kita dan yang kedua kalau pun nanti ada waktu, kita tidak bisa lagi mencicipi yang telah terhilang.
GS : Hal yang ketiga yang menjadi tujuan Sabat itu dalam kaitannya dengan kesehatan rohani apa, Pak Paul?
PG : Kalau kita menjalankan Sabat maka pada akhirnya kita menjadi orang yang melihat Tuhan di setiap penggalan hidup kita karena kita selalu bergantung kepada Tuhan, dan kita benar-benar hidup di dalam kontak yang intim dengan Tuhan. Akhirnya kalau kita menengok ke belakang, apa yang akan kita lihat? "Benar ya, karena dulu saya mau ikut Tuhan dan mau menjalankan cara Tuhan dan saya tidak menggunakan waktu untuk ini dan itu, saya tidak menerima jabatan yang lebih tinggi dan sebagainya dan memang benar ada berkat Tuhan di situ dan ada rencana Tuhan di situ dan sebagainya." Saya berikan contoh ada seorang yang saya kenal dan dia mendapatkan tawaran untuk pindah ke tempat yang berbeda dan kota yang berbeda untuk mendapatkan pangkat yang sungguh-sungguh tinggi dalam sebuah perusahaan dan dia sangat tergoda. Kenapa sangat tergoda? Karena saat itu dia baru saja kehilangan pekerjaannya karena perusahaan yang dulu dia bekerja bangkrut. Jadi dia kehilangan pekerjaan dan dalam keadaan kehilangan pekerjaan biasanya apapun yang ada kita mau saja menerima. Tapi orang ini adalah anak Tuhan yang setia, dan waktu menerima tawaran itu dia memang sangat tergoda untuk mengambilnya, dia dan istrinya berdoa dan akhirnya mereka berpikir kembali bahwa orang tuanya ada di kota dimana mereka tinggal sekarang dan orang tuanya sudah sakit-sakitan, kalau mereka pindah siapa yang akan merawat orang tuanya. Maka akhirnya dia memutuskan tidak jadi pindah dan tetap di situ. Mereka berkata bahwa itu adalah keputusan yang sangat berat, kalau dia memunyai pekerjaan saat itu, maka tidak masalah kalau dia menolaknya. Tapi saat itu dia tidak memunyai pekerjaan, tapi dia mengerti prioritas hidup bahwa ada yang lebih penting dari mendapatkan pekerjaan dan dia orang beriman bahwa Tuhan akan tetap memelihara hidupnya. Dan setelah dia menolak jabatan itu, dan dia tetap tinggal di kotanya, tidak lama kemudian dia mendapatkan pekerjaan yang juga sangat baik dan dia bersyukur. Kemudian dia menengok kebelakang dan melihat Tuhan. Orang yang mau hidup menjalankan hari Sabat, akhirnya lebih sering melihat Tuhan, Tuhan bekerja di sini dan Tuhan juga bekerja di situ. Tapi orang yang 'ngoyo' bekerja seperti mesin, yang terus bekerja bekerja atau melayani melayani maka dia tidak bisa melihat Tuhan sebab dia lebih sering melihat dirinya sendiri, yang bekerja kesana-kesini dan melakukan ini dan itu akhirnya sama sekali kehilangan kesempatan menyaksikan Tuhan bekerja.
GS : Jadi sebenarnya seseorang yang menjalankan hukum Sabat adalah orang yang memang mengenal Tuhan yang membuat hukum Sabat itu sendiri, Pak Paul.
PG : Betul sekali Pak Gunawan. Jadi dia mengenal isi hati Tuhan sehingga dia bisa mengerti kenapa Tuhan memberikan perintah itu. Ternyata perintah ini luar biasa, begitu indah dan begitu baik untuk manusia.
GS : Tapi manusianya sendiri yang kurang menyadari kalau itu untuk manusia seringkali dianggapnya ini untuk Tuhan sendiri, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Maka dalam suatu percakapan, Tuhan Yesus itu menegaskan di Markus 2:27-28, "Lalu kata Yesus kepada mereka: 'Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat'." Jelas di sini Tuhan menegaskan bahwa hari Sabat diciptakan Tuhan untuk manusia artinya untuk kepentingan kita, itulah baiknya Tuhan, meskipun kita berkata kuduskanlah untuk Tuhan tapi ujung-ujungnya tetap untuk kepentingan manusia. Bagi saya ini adalah hadiah dari Tuhan untuk umat manusia. Sayang sekali kalau kita tidak mau menerimanya, tapi kebanyakan manusia tidak menerimanya dan membuangnya. Itu sangat disayangkan sebab ini adalah hadiah yang begitu besar dari Tuhan.
GS : Saya juga percaya bahwa ini adalah salah satu siasat iblis bahwa sesuatu yang baik yang Tuhan berikan kepada manusia itu dibalik oleh iblis, seolah-olah ini membebani kehidupan manusia.
PG : Itu point yang baik, Pak Gunawan. Saya kira ada campur tangan si iblis di situ sehingga akhirnya orang berkata rugi, tidak perlu, berat, padahal tetap ini untuk kebaikan manusia, karena Tuhan sayang kepada kita.
GS : Kita tentunya berharap para pendengar setia acara TELAGA ini setahap demi setahap bahkan lebih taat untuk menjalani hukum-hukum hari Sabat ini. Terima kasih untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sabat dan Kesehatan Rohani". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
47. Tenggelam dalam Diri Sendiri | |
Salah satu keterampilan penting dalam pernikahan dan juga relasi lainnya adalah kemampuan untuk melihat sesuatu dari kacamata orang lain. Sayangnya tidak semua memiliki kemampuan ini. Ada di antara kita yang tenggelam dalam diri sendiri sehingga tidak bisa memahami sesuatu dari sudut pandang orang. Pada akhirnya kita hanya dapat melihat semua dari kacamata sendiri dan untuk kepentingan sendiri. Apa yang menjadi penyebab kita menjadi tenggelam di dalam diri sendiri? Bagaimana memulihkan diri agar menjadi orang yang tidak tenggelam di dalam diri sendiri?
Salah satu keterampilan penting dalam pernikahan-dan juga relasi lainnya-adalah kemampuan untuk melihat sesuatu dari kacamata orang lain. Sayangnya tidak semua memiliki kemampuan ini. Ada di antara kita yang tenggelam dalam diri sendiri sehingga tidak bisa memahami sesuatu dari sudut pandang orang. Pada akhirnya kita hanya dapat melihat semua dari kacamata sendiri dan untuk kepentingan sendiri. Berikut akan dipaparkan terlebih dahulu penyebab sikap yang tenggelam dalam diri sendiri.
Untuk mengatasi sikap tenggelam dalam diri, kita perlu melakukan hal-hal berikut ini:
"Tenggelam dalam Diri Sendiri" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tenggelam dalam Diri Sendiri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Jadi seperti ini, Pak Gunawan. Hal yang ingin kita angkat adalah ada sebagian orang yang mudah tenggelam dalam dirinya sendiri sehingga sulit bagi dirinya sendiri untuk mengerti orang lain misalnya terlalu cepat mengasihani diri, mau agar kehendaknya terjadi, tidak mau memedulikan orang.
Dan orang yang seperti ini tidak bisa tidak pada akhirnya akan mengalami kesulitan membangun relasi dengan sesama. Jadi sebetulnya inilah yang kita mau soroti apa yang menjadi penyebab sehingga ada orang-orang yang sepertinya tenggelam dalam dirinya dan tidak bisa diajak untuk keluar, mengerti orang lain, mengerti kenapa si A seperti ini dan si B begitu. Tapi dia hanya kembali kepada pemikirannya yang subjektif atau masuk kembali kepada perasaan-perasaannya yang berat dan itulah yang harus kita angkat.PG : Sebetulnya belum tentu. Jadi orang-orang ini sebetulnya juga memunyai teman dan sebagainya, tapi kalau ada masalah dan perbedaan maka dengan cepat akan tenggelam di dalam dirinya. Susah bai dirinya mencoba memahami lewat kacamata orang lain, atau tenggelam di dalam perasaannya.
Jadi kalau dia merasa tersinggung maka dia akan terus tersinggung, dan kalau dia marah maka dia akan terus marah, kalau dia sedih maka dia merasa marah, dia merasa kalau orang menolak dia, ketika kita mencoba menjelaskan misalnya "Orang tidak menolak kamu, sebetulnya seperti ini dan itu," tapi dia berkata "Tidak, sebetulnya mereka menolak saya." Jadi ada orang-orang yang cenderung untuk tenggelam baik dalam pemikiran maupun di dalam perasaannya sendiri.PG : Ada beberapa, Pak Gunawan. Yang pertama, menurut saya adalah karena latar belakang keluarga yang menekan, biasanya tekanan berasal dari relasi orang tua yang buruk atau juga dari sikap orag tua yang otoriter, akhirnya karena orang tua sering bertengkar, atau orang tua itu otoriter maka kita tidak terbiasa untuk mengeluarkan isi hati dan cenderung menyimpan semua masalah dalam hati sendiri.
Akibatnya kita tidak terkondisi untuk mendiskusikan persoalan dengan orang lain, semua kita pikirkan sendiri, semua kita pecahkan sendiri dan akhirnya kita mengalami masalah. Kemampuan kita melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain akhirnya tidak mengalami perkembangan karena kita cenderung untuk menyimpan sendiri, sedih sendiri, terluka sendiri, pikirkan cara solusinya sendiri. Kalau itulah yang kita alami karena konflik orang tua atau orang tua yang terlalu otoriter serta tidak membuka pintu dialog, kecenderungannya adalah kita nanti mudah tenggelam di dalam diri kita.PG : Sudah tentu ada kadarnya. Dalam pengertian, tidak semua orang sama, orang-orang yang lebih bersifat ekstrovert sudah tentu akan lebih mudah untuk keluar dari dirinya tapi orang-orang yang enderung lebih introvert, lebih susah untuk keluar dari dirinya.
Namun secara alamiah kita manusia seyogianya mau berbicara keluar, meskipun ada orang yang sangat ekstrovert bisa berbicara keluar dengan sepuluh orang, tapi orang yang introvert sekali pun kalau ada masalah kebanyakan tetap mau bicara namun bukan dengan sepuluh orang, tapi hanya satu atau dua orang saja. Jadi asumsinya betul seperti yang Pak Gunawan katakan tadi, kalau ada masalah-masalah bisa jadi itu membuatnya tenggelam karena tidak memunyai kesempatan berbicara, kalau ada apa-apa tidak bisa berbicara karena keadaan di rumah tidak harmonis atau ketika ingin berbicara takut dimarahi karena orang tua terlalu otoriter, menutup pintu untuk dialog sehingga pada akhirnya kita pikirkan sendiri, kita rasakan sendiri.PG : Yang kedua adalah kebalikannya yaitu latar belakang keluarga yang terlalu mengidolakan kita, mungkin kita cerdas sehingga kita diidolakan, atau mungkin karena kita cantik sehingga kita jug diidolakan oleh orang tua kita.
Apa pun alasannya akhirnya kita menjadi primadona di rumah dan pendapat kita tidak boleh diganggu gugat, kita harus yang didengarkan dan kita tidak harus mendengarkan orang lain, kita tidak perlu mengubah pendapat kita karena semua dengan cepat akan berkata, "Dia benar, pendapatnya bagus." Apa yang selanjutnya akan terjadi? Akhirnya kita terbiasa memercayai diri sendiri dan tidak melihat pentingnya berkonsultasi dengan orang lain, kita akhirnya berkata, "Pasti saya benar sebab di rumah, kita yang selalu dianggap benar, selalu orang lain yang salah," kita tidak perlu lagi masukan orang, ini yang pada akhirnya memudahkan kita untuk tenggelam di dalam pemikiran kita. Kalau ada konflik mengenai perbedaan pendapat dan sebagainya dengan rekan kerja, kita tenggelam dalam diri kita dan pemikiran kita yang pasti benar, dan kita tidak mau memberi kesempatan kepada orang untuk menunjukkan bagian-bagian kita yang kurang tepat dan kita menutup semua pintu.PG : Betul sekali, itu kesimpulan yang betul. Pandangan yang terlalu negatif dengan diri kita atau pandangan yang terlalu positif dan tidak realistis terhadap diri kita, keduanya berkemungkinanmenciptakan sebuah pribadi yang akhirnya membuat kita tenggelam dalam diri, perasaan atau pun dalam pemikiran sendiri.
PG : Ada, Pak Gunawan. Yang ketiga adalah kadang-kadang kita tenggelam di dalam perasaan kita karena masalah yang kita pikul itu memang berat. Kadang kita dirundung masalah yang benar-benar menrpa dan mengguncangkan keseimbangan hidup kita, maka tidak bisa tidak kita sulit untuk keluar dari dalam diri kita.
Contoh : misalkan kita terkena penyakit berat dan misalkan terkena stroke, lumpuh, kita tidak bisa jalan dan harus diam di ranjang. Dan dalam kondisi seperti itu tidak bisa tidak, seringkali kita mengalami depresi, kita tenggelam di dalam diri kita dan mungkin kita merasa malang, diri kita ini tidak ada lagi harapan untuk hidup, tidak ada hal-hal yang bisa kita kerjakan dan akhirnya kita makin tenggelam dan tenggelam, makin sulit menerima masukan orang, penghiburan orang, kita cepat berkata, "Kamu ini tidak mengerti, kamu ini tidak tahu yang saya alami. Jadi kamu jangan bicara apa-apa." Akhirnya kita menutup pintu, menenggelamkan diri di dalam perasaan kita.PG : Orang yang mandiri memang tidak suka untuk merepotkan orang, tapi orang yang mandiri tidak harus menjadi orang yang hidup sendiri. Jadi adakalanya orang yang seperti itu memiliki perasaan andiri yang berlebihan, sehingga dia sama sekali tidak bisa meminta bantuan orang.
Orang yang mandiri bukan sekali lagi tidak meminta bantuan orang, tapi dalam saat tertentu dia tahu kalau dia butuh maka dia bersedia menerima bantuan orang, tapi memang tidak sering-sering. Jadi kadang-kadang kita melihat ada orang yang dalam kondisi dirundung masalah besar, sama sekali tidak mau menerima bantuan orang, maka besar kemungkinan ini bukan karena dia tidak mau menyusahkan kita, tapi besar kemungkinan kalau egonya itu terlalu tinggi atau dia terlalu tertekan oleh masalahnya sehingga ia mengalami depresi dan tenggelam di dalam perasaannya.PG : Sudah tentu ada orang atau kebanyakan orang dalam menghadapi masalah yang berat, yang pertama dia sungkan merepotkan orang dan yang kedua ada sebagian orang yang sebetulnya takut ditolak. aripada dia ditolak karena dia sudah minta tolong, maka dia bersikap pasif dengan menunggu sehingga ketika ada yang mengulurkan tangan menolongnya, maka dia senang.
Bahwa sesungguhnya itulah yang dia nanti-nantikan. Tapi kalau kita itu akhirnya tidak lagi mau menerima sama sekali masukan atau pertolongan orang, saya kira itu adalah hal yang lebih serius, berarti ada sesuatu yang terjadi sehingga kita tidak mau mendengarkan dan tertutup terhadap masukan dari orang lain.PG : Yang keempat adalah miskinnya lingkup pergaulan. Jadi ada orang-orang yang cepat tenggelam di dalam pemikirannya, perasaannya karena dari awal orang-orang ini tidak memiliki banyak teman, ergaulannya sempit sekali.
Jadi akhirnya dia mudah sekali untuk memutuskan sendiri, tenggelam sendiri dan tidak bisa membaginya dengan orang lain. Jadi kesulitan kita bergaul atau menjalin pertemanan membuat kita minim berelasi sehingga pada akhirnya kita pun jarang mendengar komentar orang dan orang yang jarang mendengar komentar orang lain akan mengalami kesusahan ketika mendengarkan komentar orang. Jadi makin sempit pergaulan maka makin defensif dan makin cepat tersinggung dan makin mudah marah ketika orang berbicara karena dia jarang mendengar komentar orang. Jadi ketika mendengar, yang pertama adalah misalkan celaan, maka dia akan menerima celaan itu, dan kalau pun bukan celaan, dia juga cenderung memikirkan apa maksud di belakangnya. Kenapa pikirannya bisa begitu jauh dan negatif karena dia tidak memiliki banyak pengalaman melihat manusia, bahwa manusia itu beragam, bahwa manusia itu bisa berbicara seperti ini dan sebetulnya maksudnya tidak buruk dan maksudnya hanya bicara seperti ini saja. Tapi karena dia sedikit atau miskin pengalaman bergaul, maka kecenderungan ketika orang berkata yang tidak buruk pun, dia sudah bertanya-tanya, "Di belakangnya ada maksud apa ini?" Itu karena dia memang kurang mengerti manusia.PG : Betul. Jadi ada kaitannya dengan kepekaan perasaan dan ada kaitannya juga dengan kurang percaya pada sesama manusia.
PG : Yang pertama adalah kita harus memikul tanggung-jawab dan berhenti menyalahkan orang. Kita harus mengakui bahwa sebenarnya masalah ada pada diri sendiri, bahwa kita tenggelam di dalam pikian atau perasaan kita dan kitalah yang seyogianya berubah dan tidak menyalahkan pasangan yang hanya melestarikan masalah.
Sudah tentu di sini diperlukan dua hal yaitu perlu keberanian dan perlu kerendahan hati. Jadi untuk mengakui masalah pada diri sendiri, dibutuhkan keberanian dan kerendahan hati sebab tanpa dua hal ini saya kira kita tidak akan sembuh. Jadi daripada kita tenggelam dan menyalahkan orang, "Memang orang tidak mengerti saya dan sebagainya," maka sekarang kita berhenti menyalahkan orang dan kita mesti mengakui kalau kita memunyai kecenderungan untuk tenggelam di dalam diri, dalam perasaan saya, dalam pemikiran saya sehingga saya tidak bisa mendengarkan orang. Jadi kita harus akui bagian itu dulu.PG : Memang perlu kerendahan hati dan keberanian dan hal itu memang sulit, saya harus akui. Bagaimana supaya muncul keberanian dan kerendahan hati? Itu adalah hal yang rahasia dan kita tidak thu bagaimana caranya, mungkin dia meminta tolong agar Tuhan membiarkan sesuatu terjadi sehingga akhirnya dia belajar untuk menjadi lebih berani dan lebih rendah hati mengakuinya.
PG : Betul.
PG : Betul. Memang orang-orang seperti ini, Pak Gunawan, waktu kita mencoba masuk atau mengangkatnya keluar, dia akan menampik tapi tampikannya itu selalu berujung menyalahkan orang, "Kamu tida mengerti dan kamu tidak bisa."
Jadi orang lainlah yang kurang berbuat sesuatu, kurang untuk mengertinya, dan memang susah. Maka langkah pertama harus mengakui bahwa kalau ini terjadi berulangkali, mungkin dia harus berani melihat dirinya bahwa ini pada dirinya dan bukan pada diri orang lain.PG : Betul.
PG : Kadang kita tenggelam di dalam diri kita karena kita mengasihani diri, karena kita ini adalah korban. Sudah tentu kalau kita merasa seperti itu pastilah ada alasannya. Jadi misalkan kita dperlakukan tidak adil di tempat pekerjaan sehingga kita diberhentikan, dan bukan hanya kita tapi orang lain pun mengatakan, "Memang tidak adil, tidak selayaknya kamu diberhentikan dan sebagainya."
Adakalanya akan muncul reaksi-reaksi, "Kenapa saya diperlakukan tidak benar, kenapa saya menjadi korban." Saya kira itu wajar dan normal. Tapi kalau pun kita itu benar adalah korban maka kita harus bertekad untuk tidak lagi menjadi korban. Bagaimana caranya yaitu kita harus memilih melepaskan ikatan dengan masa lalu kita itu dan mengambil resiko kembali untuk menghadapi hidup dan tantangannya, makin berkubang, "Kenapa orang seperti ini dengan saya, kenapa saya diperlakukan seperti ini, kenapa orang tidak memerhatikan saya, kenapa orang tidak melihat saya berusaha seperti ini dan itu." Itu berarti kalau kita terus seperti itu maka kita masih mengikatkan diri dengan masa lalu itu, dengan problem kita itu. Sudah tentu sampai suatu titik boleh bertanya-tanya, boleh marah, boleh kesal dengan hal-hal yang telah terjadi itu tapi setelahnya kita memutar haluan dan maju ke depan, kita harus meninggalkan semua itu dan harus menghadapi hidup dan tantangannya, barulah kita bisa keluar dari lautan yang menenggelamkan kita itu.PG : Takut, Pak Gunawan, kalau kita sudah pernah mengalami kegagalan, kita itu diperlakukan tidak adil, kita mungkin sekali menjadi jera mengambil resiko. Jadi dari pada mengambil resiko maka kta pada akhirnya bersikap pasif, kita tidak mau lagi mengalami tantangan hidup.
Jadi saya setuju sebagai manusia kadang kita tidak mau lagi karena sudah terjadi beberapa kali.PG : Memang kita harus mencoba mengerti, kenapa apa yang terjadi. Wajar kita mengerti mengenai sesuatu yang buruk telah terjadi atau sesuatu yang mengecewakannya telah terjadi dan kita mengakuiya kalau memang betul, maka kita sampaikan, "Kita mengerti kamu seperti ini, dan memang normal reaksi kamu yang seperti sekarang ini.
Kamu rasanya tenggelam, rasanya putusasa, rasanya tidak melihat lagi ada harapan dan saya juga mengerti kalau kamu tidak mau mengerti orang, kamu tidak mau bicara dengan siapa-siapa, memang saya mengerti." Di dalam pengertian itu, tapi kita bisa menawarkan, "Namun saya berharap kamu tetap membuka pintu bagi saya. Mungkin kamu menutup pintu bagi orang lain, tapi tolong jangan kamu menutup pintu kepada saya, sebab saya ini bagian hidupmu dan saya ini bukan orang luar tapi orang yang ada di dalam dirimu. Jadi mari kita hadapi bersama dan jangan sampai kita terpisah." Jadi dengan kata-kata seperti itu saya kira dia akan merasa senang bahwa ada orang yang sungguh-sungguh peduli bahwa kita adalah pasangannya sendiri.PG : Memang ada kecenderungan bagi orang-orang yang mudah tenggelam di dalam dirinya itu ialah terlalu cepat untuk berkata, "Kamu itu tidak mengerti, saya tidak mau mengikuti pendapatmu, kamu iu tidak tahu isi hati saya."
Jadi cenderung menegatifkan perkataan orang, maka saya kira perlu agar jangan cepat-cepat menampik perkataan orang, menutup pintu mengatakan seperti ini dan itu, tapi tunggu dan dengarkan dulu. Meskipun tidak setuju dan sebagainya tapi coba dengarkan. Kalau memang kita tidak setuju dan ada alasannya sudah tentu silakan keluarkan dan jangan akhirnya kita menenggelamkan diri dengan berdiam diri, "Sudahlah memang tidak ada yang mengerti dan sebagainya," jadi tolong karena kita harus belajar dari pasangan maka kita harus mendengarkan pasangan. Kalau kita beralasan kuat tidak menerimanya maka janganlah kita menyimpan semua itu sehingga menjadi tenggelam, tapi coba ungkapkan dan dia pun bisa belajar dari kita pula.PG : Betul. Kadang ini terjadi di dalam diri kita yaitu kita terlalu bernafsu di dalam diskusi dan emosi akhirnya pasangan tidak sempat menyelesaikan pembicaraan tapi kita sudah memotongnya danakhirnya pasangan kita makin hari makin tenggelam di dalam dirinya sendiri.
PG : Jangan cepat menyimpulkan bahwa orang tidak memahami isi hati kita, tidak pernah orang mengalami yang kita alami, jangan seperti itu sebab pada faktanya banyak orang yang juga mengalami ha-hal yang kita alami, bahkan banyak orang yang mengalami hal-hal yang lebih parah dari yang kita alami.
Jadi jangan cepat menuduh orang, "Tidak mengerti kita", sebaliknya jadikanlah misi pribadi atau proyek pribadi untuk memahami terlebih dahulu. Jadi kepada orang yang mudah tenggelam dalam dirinya, saya anjurkan untuk menjadikan ini misi pribadi, yaitu sebelum dimengerti, maka mengertilah orang terlebih dahulu, sebelum menunggu orang mengulurkan tangan, ulurkanlah tangan terlebih dahulu. Jangan kita terlalu pasif menunggu orang untuk menjangkau kita kemudian barulah kita memberi respons, jangan seperti itu. Tapi coba ulurkan tangan terlebih dahulu, sering-seringlah mencoba mengerti orang lain.PG : Ya, ujung-ujungnya bergantung pada, "Apakah dia bersedia atau tidak bersedia membuka diri keluar dari dirinya."
PG : Ada, Pak Gunawan. Jadi misalkan terlalu diidolakan, semuanya yang ada di dalam dirinya benar, dia tidak menghargai orang lain dan dia menganggap semua orang itu tidak sepandai dia, tidak scepat dia dalam berpikir dan sebagainya.
Sehingga dia tidak terbuka terhadap pandangan orang lain, itu memang egois. Tetapi tidak semuanya, karena memang ada masalah yang berat, tenggelam di dalam dirinya atau terlalu sering menerima penghinaan, tekanan-tekanan, memikul beban dari kecil sehingga akhirnya terus tenggelam dan tidak bisa keluar dari dalam dirinya. Dalam kasus seperti itu saya kira bukannya egois.PG : Betul, Pak Gunawan.
PG : 1 Tesalonika 5:16-18 berkata, "Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." Tekaduntuk bersukacita, tekad untuk tetap berdoa dan tekad untuk mengucap syukur dalam segala hal merupakan wujud nyata dari sikap untuk tidak tenggelam di dalam diri sendiri.
Waktu kita berkata, "Saya mau bersukacita," itulah hal di mana sebetulnya kita mau keluar dan ketika kita berkata, "Saya mau berdoa" itu artinya kita mau keluar dari dalam diri kita. Waktu kita berkata, "Saya mau tetap mengucap syukur kepada Tuhan," itu juga menunjukkan kalau kita mau keluar. Jadi inilah yang diperlukan dan Tuhan meminta kita untuk tetap berdoa, tetap bersyukur dan tetap bersukacita.PG : Betul. Roh Kudus selalu siap menolong, tapi memang Tuhan meminta kita untuk mengambil langkah pertama itu.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, dan saya percaya ini akan menjadi berkat bagi para pendengar kita. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tenggelam dalam Diri Sendiri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
48. Menebus Kesalahan Masa Lalu | |
Hidup tidak sempurna dan kita jauh dari sempurna. Kadang kita melakukan kesalahan yang berdampak buruk pada hidup orang yang dikasihi. Penyesalan datang namun sebagaimana kita ketahui, penyesalan selalu datang terlambat. Apakah yang harus kita perbuat bila di masa lalu kita telah melakukan kesalahan?
Hidup tidak sempurna dan kita jauh dari sempurna. Kadang kita melakukan kesalahan yang berdampak buruk pada hidup orang yang kasihi. Penyesalan datang namun sebagaimana kita ketahui, penyesalan selalu datang terlambat. Apakah yang harus kita perbuat bila di masa lalu kita telah melakukan kesalahan?
Kita tidak perlu lagi meminta-minta pengampunan Tuhan sebab kita sudah menerimanya tatkala kita mengakui dosa kita. Firman Tuhan berkata, "Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi, besar kesetiaan-Mu" (Ratapan 3:22-23).
"Menebus Kesalahan Masa Lalu" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menebus Kesalahan Masa Lalu". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Dalam bahasa Indonesia, ada peribahasa Nasi telah menjadi bubur. Lewat peribahasa itu kita tahu bahwa sesuatu yang telah terjadi tidak bisa diubah karena hal itu sudah terjadi. Begitu pulaah dengan kesalahan yang telah kita lakukan di masa lampau.
Pada dasarnya kita harus mengatakan bahwa nasi telah menjadi bubur, sesuatu yang telah terjadi tidak bisa lagi diulang atau diubah. Dan kita harus menerimanya, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menyikapi serta bagaimanakah kita sekarang melanjutkan kehidupan kita ini. Kalau kita terus melihat ke belakang dan tinggal di masa lampau maka tidak akan ada penyelesaian, itu sebabnya kita harus membereskannya mulai dari titik ini sampai ke masa depan.PG : Betul sekali. Sebab apa yang telah kita perbuat, seringkali memang bukan saja memengaruhi hidup kita, tapi juga kepada pasangan dan anak-anak kita. Itu sebabnya dalam hidup kita harus berhti-hati, sebelum mengambil tindakan kita harus memikirkan baik itu keluarga kita atau orang-orang yang ada di sekeliling kita, supaya kita tidak sembarangan dalam berbuat.
Namun sekali lagi setelah kita melakukan sebuah kesalahan atau sebuah dosa, sebetulnya tidak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk mengubah fakta tersebut karena memang telah terjadi. Maka kita akan belajar bagaimana kita bisa menyikapinya serta mulai melangkahkan kaki ke depan dengan lebih benar.PG : Yang pertama adalah kalau memang kita menyadari bahwa kita telah berbuat dosa atau melakukan kesalahan di masa yang lampau, maka kita harus mengakui dosa itu kepada Tuhan. Jadi di dalam do katakanlah dengan terbuka perbuatan dosa yang telah kita lakukan, akuilah apa adanya dan jangan membuat dalih apalagi menutupinya, sebab Tuhan tahu semua itu namun Dia ingin mendengar semua itu dari mulut dan hati kita.
Kebanyakan kita berkata, "Tuhan, Engkau tahu dan saya tidak perlu mengatakannya atau mengakuinya dalam doa saya kepada-Mu," bukan seperti itu! Persoalannya bukan kita ingin memberitahu kepada Tuhan (karena tidak ada hal yang perlu diberitahukan kepada Tuhan sebab Dia sudah tahu semua), tapi kita perlu mengakuinya di hadapan Tuhan. Jadi kita perlu mengatakannya di hadapan Tuhan supaya Tuhan dapat mendengar pengakuan yang keluar dari mulut dan hati kita. Setelah kita mengakuinya di hadapan Tuhan, kita harus menerima penggenapan janji Tuhan di dalam diri kita. Firman Tuhan di 1 Yohanes 1:9 meneguhkan, "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan". Dengan iman kita harus memercayai hal ini bahwa Tuhan telah mengampuni dosa dan kesalahan kita. Meskipun kita tidak merasakan apa-apa dan perasaan kita tetap seperti ini, tapi tetap dengan iman kita berkata, "Tuhan saya percaya kalau Engkau sudah mengampuni saya, sebab saya telah mengakui dosa saya dan saya percaya bahwa Yesus Tuhan telah mati di kayu salib untuk dosa saya, jadi itu adalah bukti pengampunan Tuhan kepada saya".PG : Seringkali waktu kita berdosa, reaksi yang muncul adalah kita takut dekat dengan Tuhan dan ini sebetulnya sebuah reaksi yang baik, sebab itu menandakan bahwa kita masih memiliki nurani, kia masih memunyai kesadaran, kita masih memiliki rasa takut akan Tuhan.
Itu sebabnya waktu kita sedang berdosa, kecenderungannya adalah kita tidak mau dekat-dekat dengan Tuhan, tidak mau dekat-dekat dengan anak-anak Tuhan, tidak mau mendengar firman Tuhan atau peringatan Tuhan karena memang yang pertama adalah kita takut kepada-Nya. Dan yang kedua, adakalanya kita tidak mau dekat-dekat dengan Tuhan sebab kita masih mau hidup di dalam dosa kita. Jadi kalau kita dekat dengan Tuhan, kita akan diingatkan kalau kita telah bersalah, kita telah berdosa, jadi dari pada kita diingatkan karena kita menyadari kalau kita belum mau bertobat atau berubah maka kita memutuskan lebih baik sama sekali tidak perlu mendengarkan peringatan Tuhan.PG : Waktu di saat pertama kali suara Tuhan berkata-kata dalam hati kita, "Engkau telah bersalah, engkau telah berdosa" begitu mendengarnya maka kita jangan berpikir dan merasionalisasi, tapi kta harus langsung harus datang kepada Tuhan dan berkata, "Ya Tuhan aku telah berdosa".
Waktu Nabi Natan diutus Tuhan memberi peringatan kepada Raja Daud yang telah berdosa, begitu Nabi Natan berkata, "Engkaulah orangnya" artinya engkaulah orang yang berdosa itu. Kita mendengar bahwa Daud langsung berkata, "Benar, saya adalah orang yang telah berdosa". Dia meminta pengampunan Tuhan secara langsung, Daud tidak membela diri atau membenarkan diri, tidak mencoba menjelaskan posisinya, tapi Daud langsung berkata, "Saya telah berdosa kepada Tuhan". Sikap seperti ini yang harus kita pelihara, kita sebagai manusia tidak luput dari kesalahan dan dosa, tapi terpenting adalah apakah kita memunyai hati yang besar untuk mengakui dosa kita.PG : Dosa itu akan membuat hati nurani kita tebal, maka makin sering berdosa maka makin teballah hati nurani kita dan makin tebal hati nurani kita, makin sulit kita mendengar suara Tuhan. Jadi tu adalah sebuah kesinambungan, Pak Gunawan.
Kalau orang yang berdosa dan ditegur, tapi tidak mau mendengarkan teguran dan terus hidup di dalam dosa, maka perlahan-lahan tapi pasti hati nuraninya akan semakin menebal dan menebal sampai di suatu titik dia tidak lagi akan mendengar suara Tuhan. Pada saat itu, sebetulnya yang terjadi adalah Tuhan membiarkannya hidup di dalam dosa, artinya Tuhan benar-benar melepaskan tangan dan membiarkan orang itu hidup menuju kebinasaan karena peringatan demi peringatan yang telah diberikan Tuhan tidak dihiraukan oleh orang itu. Kita bisa membaca ini di firman Tuhan di Roma 1, kita bisa melihat pada akhirnya waktu Tuhan melihat manusia terus hidup di dalam dosa, diberikan peringatan tapi tidak menghiraukan dan Tuhan memberi peringatan itu bukan hanya sekali, tapi berkali-kali dan tetap tidak ada respons dari manusia, maka firman Tuhan di Roma 1 mengatakan, "Tuhan membiarkan mereka hidup dalam nafsu mereka" di saat itu Tuhan seolah-olah tidak mau tahu dengan kita dan Dia akan melepaskan tangan. Itu adalah sebuah kondisi yang sebetulnya sangat menakutkan, karena di saat itu kita tidak lagi mendengar suara Tuhan dan Tuhan berhenti bercakap-cakap atau menegur kita.PG : Memang Tuhan meminta kita bukan saja mengaku dosa di hadapan Tuhan, tapi juga di hadapan manusia yang telah kita lukai atau yang telah kita dustai, atau kita cederai, atau kita rugikan. Jai memang rekonsiliasi harus terjadi baik antara kita dan Tuhan, maupun antara kita dan sesama kita.
Namun sebelum kita masuk ke dalam ranah relasi dengan sesama, di dalam pengakuan dengan Tuhan setelah kita akui dan kita menerima pengampunan Tuhan, maka kita jangan lupa bersyukur dan bersyukur. Bersyukur inilah yang nanti akan mendorong kita untuk membereskan relasi dengan sesama kita. Waktu kita bersyukur, setelah kita mengakui dosa kita di hadapan Tuhan sebetulnya berterima kasih atau bersyukur itu akan membuat kita mengingat kemurahan Tuhan yang telah mengampuni dosa kita. Kenapa? Sebab waktu kita bersyukur, kita diingatkan akan pengorbanan Yesus di kayu salib untuk kita dan Dia telah membayar begitu mahal untuk dosa-dosa kita, maka kita harus besyukur. Tadi saya sudah katakan kalau ini sedikit banyak akan memotivasi kita untuk membereskan relasi kita dengan sesama pula. Karena kita diingatkan bahwa Yesus Tuhan kita telah mati dan berkorban untuk kita, kita telah menerima kemurahan Tuhan yang begitu besar dan masakan kita sekarang tidak mau membereskan masalah kita dengan sesama kita. Juga pengucapan syukur itu penting untuk terus berlanjut sebab di hari-hari mendatang, iblis akan berusaha menjatuhkan kita kembali dengan cara membisikkan keraguan dalam hati dan dia akan berupaya meyakinkan kita bahwa dosa kita terlalu besar dan bahwa Tuhan tidak bisa mengampuni dosa sebesar itu. Maka kita harus bersyukur sebab kita telah menerima janji Tuhan kalau Dia sudah mengampuni dosa kita. Bersyukurlah setiap hari karena iblis akan terus membisikkannya, "Kamu belum diampuni, dosamu terlalu besar" tidak seperti itu, tapi kita harus beryukur lagi, "Terima kasih Tuhan, karena Engkau mau bermurah hati, mau mengampuni saya" jadi dengan cara itu kita bisa melawan serangan dari iblis.PG : Memang kalau kita sendiri tidak mengenal firman Tuhan maka akan mengalami kesulitan sebab benar firman Tuhan adalah kekuatan kita, pelita, suluh bagi hidup kita. Jadi kita harus mengerti frman Tuhan.
Kalau kita tidak mengerti tapi kita ingin tahu, maka datanglah kepada seorang hamba Tuhan dan tanyakanlah, "Saya telah berbuat dosa seperti ini, apakah Tuhan akan mengampuni dosa saya?" Biarlah si hamba Tuhan yang akan menjelaskan kepada kita lewat firman Tuhan, setelah kita menerimanya, setelah kita bersyukur kepada Tuhan, kita harus ingat dan kita tidak perlu lagi meminta-minta pengampunan Tuhan karena kita sudah menerimanya tatkala kita sudah mengakui dosa kita. Jadi penting bagi kita memahami dan meyakini janji Tuhan sebab kalau tidak maka kita akan terus berkubang di lumpur rasa bersalah dan tidak henti-henti meminta pengampunan. Makanya jangan lakukan. Setelah mengakui, setelah bersyukur akan janji Tuhan yang telah mengampuni kita maka kita tidak harus meminta-minta pengampunan. Dengan kita semakin meminta, maka kita akan semakin bersalah dan semakin kita tidak bisa melihat karya keselamatan dan pengampunan yang Tuhan telah berikan kepada kita. Ingatlah firman Tuhan di Ratapan 3:22-23 yang berkata, "Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!" Firman Tuhan di sini jelas berkata, "Tak berkesudahan kasih setia TUHAN" jadi tidak akan berhenti, "Tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi" jadi rahmat Tuhan juga tidak akan pernah berhenti. Maka syukurilah dan tidak usah lagi terus berkubang-kubang dalam rasa bersalah dan meminta-minta pengampunan, seolah-olah Tuhan belum mengampuni kita.PG : Tidak perlu lagi dan kita hanya perlu berkata, "Tuhan, Engkau melihat dan tahu apa yang saya lakukan, tapi saya bersyukur Engkau sudah mengampuni saya, saya bersyukur bahwa pengampunan-Mu ebih besar dari pada kesalahan dan dosa-dosa saya".
Jadi terus kita syukuri dan kita tidak lagi berkubang di dalam rasa bersalah atau dalam kubang meminta-minta pengampunan.PG : Jadi langkah berikutnya adalah kita harus meminta pengampunan dari orang yang telah kita lukai artinya akuilah perbuatan kita apa adanya dan jangan menutupinya atau membenar-benarkannya. Ktakanlah kepada orang itu betapa besar penyesalan kita atas perbuatan yang telah kita lakukan kepadanya dan kita harus mengutarakan niat kita untuk membayar kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan kita itu.
Misalkan kita melihat di Lukas 19:8 setelah Zakheus bertobat, dia berjanji kepada Tuhan Yesus untuk menebus dosanya dan dia berkata seperti ini, "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekirannya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat". Jadi kita melihat kalau Zakheus tidak berkata, "Puji Tuhan saya sudah diampuni" dan hanya sampai di situ saja, jadi lepas tangan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang telah dilakukannya. Tidak seperti itu, tapi Tuhan menghendaki kita datang kepada Tuhan dan meminta pengampunan, mengakui dosa kita dan sebagai bukti bahwa kita telah sungguh-sungguh bertobat dan menyesali perbuatan-perbuatan kita, kita harus datang kepada orang yang telah kita lukai, meminta ampun kepadanya dan membayar kerugian itu.PG : Memang kita tidak bisa selalu mengharapkan untuk orang mengampuni kita saat itu juga, mengapa? Sebab bisa jadi lukanya masih belum sembuh dan dia belum siap untuk berkata, "Saya mengampun kamu" dan kita tidak bisa memaksanya.
Ini yang harus kita camkan baik-baik, Pak Gunawan, kita tidak bisa memaksa orang secara langsung mengampuni kita saat itu juga. Maka kita pihak yang bersalah harus menunggu sampai orang itu siap untuk memberi maaf kepada kita. Ada orang yang malahan bertindak lebih buruk yaitu marah karena orang itu tidak mau mengampuninya, seolah-olah hak dialah untuk diampuni, tidak seperti itu. Kita yang telah bersalah, kita tidak memunyai hak untuk meminta orang mengampuni kita, kita diampuni berdasarkan kemurahan hati orang, jadi bukanlah hak itu.PG : Misalkan kita berkata kepada pasangan yang telah kita sakiti hatinya dan kita berkata, "Saya berjanji, yang pertama saya tidak akan mengulang perbuatan saya yang menyakiti hati kamu, yang edua saya mau menebus kesalahan itu dengan cara saya akan berusaha sedapat saya menciptakan keluarga yang tenteram, menciptakan kedamaian dalam rumah, menciptakan sukacita di hati kamu, melakukan hal-hal yang dapat membuat kamu senang".
Dengan kata lain, penyesalan harus diwujudkan dalam tindakan nyata, sebab tanpa tindakan nyata seolah-olah kita hanya terus memeras orang yang telah kita lukai. Jadi pertama kita menyakiti hatinya, hal itu sudah merusakkan atau merugikan dia. Kedua, kita memintanya untuk mengampuni kita. Singkat kata, semuanya hal adalah dari dia, dia sudah dilukai, dia sekarang harus mengampuni dan kita hanya enak-enak saja yaitu hanya minta ampun, hal itu jelas kalau ini tidak benar dan jelas itu bukanlah dalam rencana Tuhan. Maka Tuhan meminta kita untuk membereskan relasi dengan orang yang telah kita lukai dengan cara kita mau membayar kerugian itu, dukacita itu sendiri tidaklah cukup, "Saya telah berbuat salah dan sebagainya" itu tidak cukup dan Alkitab mengatakan kalau ini adalah dukacita tanpa pertobatan, dukacita yang hanya akan menghasilkan kematian. Jadi kalau kita hanya menyesali tapi tidak mau bayar harga, tidak mau bertobat, tidak mau berjanji untuk menebusnya, itu adalah dukacita yang hanya akan membawa kita kepada kematian. Sebaliknya kalau kita sudah berkata, "Saya telah bersalah dan saya ingin membayar kembali dan saya ingin membahagiakan kamu, saya akan berhenti melakukan hal-hal yang telah saya lakukan", ini berarti dukacita itu disertai pertobatan dan kita tidak mau mengulangnya dan kita mau membayar kerugian yang telah kita timbulkan.PG : Memang kalau misalkan ada kesalahan yang telah kita perbuat sebelum kita menikah dan kita mengetahui kalau sampai hal itu diketahui oleh pasangan kita maka itu akan mengganggunya. Meskipunkita tahu kalau kita sudah diampuni Tuhan, kita juga sudah membereskannya dengan orang yang bersangkutan, namun karena kita tahu kalau sampai istri atau suami mengetahui hal ini, ini dapat mengguncangkannya maka kita berkewajiban memberitahukannya, kita tidak perlu memberitahukan dengan rinci tapi kita harus memberitahukan secara garis besar apa yang telah kita perbuat.
Jadi kalau sebelum menikah kita harus melakukan hal seperti itu, apalagi kalau setelah kita menikah. Apa yang kita perbuat pada orang entah itu salah dan sebagainya, maka kita harus mengakui di hadapan pasangan kita bahwa kita telah berbuat kesalahan, bahwa kita telah jatuh ke dalam dosa dan kita juga meminta dukungannya dan juga meminta pengampunannya sebab secara tidak langsung kita juga telah melukai dia.PG : Sudah tentu kita memang tidak perlu menggantinya empat kali lipat, dan memang empat kali lipat adalah bagian dari Hukum Taurat yang diberikan oleh orang-orang Yahudi. Dan memang pada saat tu hidup relatif sederhana, jadi apa yang biasanya dilakukan oleh orang untuk membayar kembali biasanya dalam bentuk misalkan seperti hasil bumi atau hasil ternak karena itulah konteks kehidupan saat itu.
Di zaman sekarang memang lebih sulit lagi karena hidup lebih kompleks lagi, tapi terpenting adalah kita berkeinginan dan kita bertekad membayar kembali kerugian yang telah kita timbulkan, sekurang-kurangnya kita membayar senilai dengan harga sekarang. Jadi misalkan sesuatu yang telah kita lakukan misalnya kita menipu orang, mengambil uang orang, misalkan kita menipu orang yang pada saat itu uang dolar seharga Rp 2.000/dolar dan sekarang kita tahu kalau dolar sudah naik empat kali lipat. Sudah tentu waktu kita membayar kembali, kita tidak berkata, "Dulu saya menipu kamu dengan harga Rp 2.000/dolar maka sekarang saya akan membayarnya sama dengan harga itu" tidak seperti itu, tapi kita harus membayarnya senilai dolar sekarang ini. Jadi dengan kata lain, harus ada keadilan. Kalau kita mulai menghitung-hitung waktu membayar kerugian yang telah kita timbulkan, sedikit banyak itu membuktikan kalau kita belum sepenuhnya bertobat. Orang yang sepenuhnya bertobat tidak lagi memikirkan untung dan rugi, tidak lagi memikirkan haknya dan dia akan bersedia untuk melepaskan haknya sebab dia tahu kalau dia telah berbuat salah kepada orang.PG : Maka kita juga harus berkata kepada pasangan kita bahwa, "Tuhan akan dapat mencukupi kita kembali dan kita jangan takut kalau sekarang kita kehilangan sejumlah harta atau sejumlah uang gar-gara kita membayar kembali kerugian yang telah saya timbulkan dan nanti kita akan menjadi kelaparan dan sebagainya.
Saya yakin tidak seperti itu." Jadi kita harus memercayakan hidup ini kepada Tuhan. Saya bacakan di 2 Korintus 7:10, "Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian". Jadi inilah yang harus kita angkat kepada pasangan kita bahwa Tuhan menghendaki dukacita yang menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan. Jadi kita benar-benar berubah dan kita harus membayar kembali apa yang telah kita rusakkan atau yang telah kita ambil dari orang lain.PG : Sudah tentu kalau kita adalah orang yang dilukai, maka kita harus memberi pengampunan ketika ia meminta pengampunan dan menunjukkan pertobatan. Hal ini yang ingin saya garis bawahi sebab pnting kalau orang yang bersangkutan tidak meminta pengampunan, tidak menunjukkan pertobatan berarti dia memang tidak meminta pengampunan dari kita.
Firman Tuhan di 2 Korintus 2:6-7 menasehati, "Bagi orang yang demikian sudahlah cukup tegoran dari sebagian besar dari kamu, sehingga kamu sebaliknya harus mengampuni dan menghibur dia, supaya ia jangan binasa oleh kesedihan yang terlampau berat". Firman Tuhan ini ditujukan kepada orang-orang yang telah dilukai, ditipu dan sebagainya oleh orang yang telah berdosa, firman Tuhan mengingatkan kita yang telah dilukai untuk mengampuni. Justru bukan hanya mengampuni tapi Tuhan berkata, "Hibur dia, supaya ia jangan binasa oleh kesedihan yang telampau berat". Jadi itulah yang Tuhan minta dari kita pihak yang dirugikan.GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menebus Kesalahan Masa Lalu". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
49. Bekerja dan Berhikmat | |
Tuhan tidak menciptakan satu kelas masyarakat. Tuhan membiarkan masyarakat berkembang sehingga menjadi sebuah kumpulan manusia dengan tingkat ekonomi yang berbeda-beda. Tuhan mengaruniakan berkat kekayaan yang berlainan kepada manusia. Namun Tuhan memberi kepada kita panduan untuk hidup dengan bijak, panduan yang relevan baik untuk kita yang berekonomi tinggi maupun rendah, antara lain : Kita harus Menabung, Kita harus Mencoba, Kita harus Melihat ke Depan, Kita harus Berserah dan Kita harus Memelihara Persahabatan.
Tuhan tidak menciptakan satu kelas masyarakat. Tuhan membiarkan masyarakat berkembang sehingga menjadi sebuah kumpulan manusia dengan tingkat ekonomi yang berbeda-beda. Singkat kata Tuhan mengaruniakan berkat kekayaan yang berlainan kepada manusia. Namun demikian Tuhan memberi kepada kita panduan untuk hidup dengan bijak—panduan yang relevan baik untuk kita yang berekonomi tinggi maupun rendah.
Berikut akan dipaparkan beberapa di antaranya :
"Bekerja dan Berhikmat" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Bekerja dan Berhikmat". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Sudah tentu kita harus bekerja untuk mencari uang agar dapat memenuhi kebutuhan kita namun kita perlu mengarahkan hidup kita dengan hikmat dari Tuhan, sehingga jangan sampai kita nanti ters bekerja namun kehilangan arah.
Arah inilah yang saya kira perlu kita angkat dari firman Tuhan supaya nanti kita mendapatkan pencerahan bagaimanakah hidup berhikmat di tengah-tengah dunia ini.PG : Betul.
PG : Betul.
PG : Kita mendasarkannya dari kitab Pengkhotbah di Perjanjian Lama. Jadi ada beberapa yang akan saya petik sebagai panduan bagi kita dan yang pertama adalah kita harus menabung. Jadi biasakan utuk tidak menghabiskan uang yang diterima dan sebaliknya harus kita biasakan menabung.
Pengkhotbah 11:1-2 berkata,"Lemparkanlah rotimu ke air, maka engkau akan mendapatnya kembali lama setelah itu. Berikanlah bahagian kepada tujuh, bahkan kepada delapan orang, karena engkau tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di atas bumi". Jadi pada dasarnya Alkitab ingin menekankan bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi dan kita pun tidak tahu kebutuhan apakah yang nanti akan datang. Jadi senantiasalah bersiap-siap. Maka firman Tuhan tadi berkata,"Lemparkanlah rotimu ke air, maka engkau akan mendapatnya kembali lama setelah itu. Berikanlah bahagian kepada tujuh, bahkan kepada delapan orang, karena engkau tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di atas bumi" jadi sekali lagi menabung, menyisakan adalah hal yang bijaksana, namun saya ingatkan jangan sampai hidup kita seakan-akan tidak ada Tuhan, artinya kita mementingkan uang di atas Tuhan dan akhirnya sampai bergantung kepada kesanggupan sendiri, jangan sampai kita seperti itu. Jadi sekali lagi saya tekankan kita harus menabung, sebab menabung adalah kebiasaan baik dan sekaligus merupakan bentuk pertanggungjawaban kita terhadap hidup yang dipercayakan Tuhan pada kita.PG : Maka konsep menabung harus kita luruskan. Jadi yang terpenting adalah menabungnya, jumlahnya sudah tentu disesuaikan dengan kapasitas kita masing-masing. Misalkan ada orang yang hanya bisamenabung Rp.
5.000,-per bulan, maka biarlah dia menabung Rp. 5.000,-per bulan, sebab kenapa? Terpenting adalah biasakan diri untuk menyisakan uang dan tidak menghabiskan uang. Saya berikan contoh yang sedang aktual atau segar-segarnya terjadi di Amerika. Mengapa negara ini sampai mengalami krisis ekonomi begitu parahnya sampai-sampai sekarang ini di tahun 2010, waktu kita membahas hal ini, Amerika belum bisa keluar dari kemelut ekonomi. Salah satu penyebabnya adalah di sana orang tidak lagi menabung. Jadi statistik di sana memperlihatkan bahwa orang Amerika semakin hari semakin sedikit tabungannya dibandingkan dengan orang Amerika generasi yang lebih tua dimana mereka hidup lebih konservatif, mereka bekerja kemudian mereka menyisakan uang dan nanti uang itu bisa digunakan untuk keperluan mereka. Sedangkan di zaman sekarang tidak demikian bahkan begitu banyak orang yang membeli rumah bukan saja rumah itu dibayar dengan angsuran, sebab memang terlalu mahal, tapi masalahnya adalah mereka membeli rumah yang sebetulnya di luar jangkauan mereka, tetapi karena mereka beranggapan bahwa"tidak apa-apa yang penting saya bayar angsuran" dan di tengah jalan angsuran itu membengkak, karena mereka memang menggunakan sistem pinjaman yang akhirnya membengkak di tengah-tengah. Di tengah-tengah masa pembayaran mereka, akhirnya mereka kehabisan uang dan mereka tidak lagi punya uang untuk membayar bunga atau mencukupi angsuran yang makin membesar itu. Ini bukan hanya soal rumah, Pak Gunawan, di sana hal ini juga menjadi masalah di dalam pembelian barang-barang lain. Begitu banyak orang yang menggantungkan diri pada kartu kredit dan tidak peduli apakah bulan depan dapat membayarnya, tapi yang penting sekarang bisa menggunakannya dan langsung digunakan. Kita lihat hasilnya, sebuah kejatuhan, sebuah kehancuran, sebuah musibah malapetaka yang begitu besar menimpa suatu bangsa. Jadi kita bisa belajar dari pengalaman ini bahwa kita harus menyisakan dan tidak peduli berapa besarnya sesuai dengan kapasitas kita, maka kita sisakan.PG : Betul sekali. Jadi sudah tentu waktu kita menerima gaji maka kita harus memberikan persembahan kita untuk Tuhan. Jadi kita harus tetapkan jumlah yang kita akan berikan untuk Tuhan. Langkahkedua adalah kita memang mendisiplinkan diri untuk menyisakan uang supaya dapat kita tabung.
Dan yang ketiga adalah baru kita menggunakannya sesuai dengan keperluan kita dan sudah tentu kita harus hitung-hitung berapa keperluan kita sebelumnya sehingga kita bisa menabung dengan realistik. Sebab tidak realistik juga kalau pada awal-awalnya kita menyisakan sejumlah uang yang besar untuk ditabung tapi nantinya kita akan ambil lagi untuk digunakan dan akhirnya habis juga. Jadi lebih baik realistik seberapa besarnya kita dapat menyisihkan untuk ditabung.PG : Betul sekali. Jadi orang yang memang membiasakan diri untuk tidak menghabiskan semua uangnya akan hidup dengan lebih bijaksana dan mereka pun bekerja dengan lebih bijaksana. Sebab ada oran-orang yang tidak mau menabung dan hanya menghabiskan uang semaunya.
Akhirnya dalam bekerja kita tergoda untuk menggelapkan uang, mengambil uang yang bukan miliknya karena tidak ada tabungan dan kebutuhan tiba-tiba muncul dan harus dikeluarkan uang untuk membayarnya, maka akhirnya tergoda dan jatuh ke dalam dosa menggunakan uang yang bukan miliknya. Atau ada orang yang karena tidak pernah menabung dan akhirnya kebutuhan hidup muncul dengan mendadak, tidak ada uang dan tabungan maka apa yang harus dilakukan? Yang dilakukan adalah meminta-minta, meminjam-minjam. Itu berarti bulan depan dia harus menyisakan uang untuk membayar hutangnya. Kalau cukup untuk membayar hutangnya, kalau tidak cukup untuk membayar hutangnya dan kebutuhannya masih ada maka dia akan memikirkan untuk meminjam uang lagi. Atau ada orang yang karena tidak bijaksana dan tidak menabung maka dia akan bekerja dan bekerja sampai tidak kenal waktu supaya bisa mencukupi karena tidak ada simpanan. Jadi biasakan diri untuk menyisakan uang untuk ditabung, walaupun sedikit tidak mengapa.PG : Betul sekali.
PG : Kita harus mencoba yang pertama yang telah kita bahas adalah kita harus menabung. Yang kedua adalah kita harus mencoba, kesempatan datang kepada orang yang rajin dan bukan pada yang malas.Pengkhotbah 11:6 mengingatkan,"Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik".
Jadi intinya firman Tuhan memberikan kepada kita peringatan bahwa kita harus rajin dan kita harus terus melakukan usaha atau pekerjaan kita dan jangan kita malas-malasan dan berhenti mencoba atau berusaha, karena kita tidak tahu usaha mana yang akan membuahkan hasil dan kapankah ini akan membuahkan hasil, apakah hari ini ataukah besok kita tidak tahu. Jadi yang penting adalah kita melakukannya, apa pun jenis pekerjaannya asalkan halal maka kerjakanlah. Karena kesempatan berikut yang lebih baik baru akan datang sewaktu kita bekerja dan bukan sewaktu kita melamun.PG : Jadi yang harus kita lakukan adalah bukanlah menunggu sampai yang kita inginkan itu tiba, tidak seperti itu. Tapi kita harus mencoba apa pun yang bisa kita kerjakan maka kita kerjakan dan udah tentu kita harus menerima penghasilan yang lebih sedikit, tapi itu tidak mengapa dan jangan sampai kita takut untuk gagal sebab sudah tentu kita harus memperhitungkan segalanya dan tidak bertindak gegabah namun pada akhirnya kita harus mengambil resiko.
Ketakutan untuk gagal seringkali menghentikan kita melakukan hal-hal yang sebenarnya berpotensi baik, dan satu lagi kenapa kita kadang-kadang tidak mau mencoba karena kita sebenarnya takut malu, sehingga daripada malu kita menolak untuk mencoba. Kita tidak perlu malu karena kegagalan akibat mencoba dan jangan sampai merasa begitu. Kita barulah mesti malu kalau kita sama sekali tidak mau mencoba.PG : Betul sekali. Dan sekali lagi setiap pekerjaan yang kita kerjakan seolah-olah menjadi jembatan yang akan menghantar kita ke tujuan. Jadi kita tidak tahu kapan kita akan sampai di tempat tuuan atau karier yang kita sungguh dambakan, tapi kita harus memulai dengan sesuatu.
Jadi mulailah bekerjalah, cobalah dan jangan hanya berdiam diri saja, lakukanlah sesuatu sebab yang kita lakukan seringkali nantinya seperti anak tangga yang membawa kita kepada tujuan yang kita dambakan itu. Jadi yang penting adalah selama kita tidak mengorbankan orang yang menjadi tanggungan kita, maka sekali lagi cobalah. Namun jangan sampai kita melupakan bahwa mencoba juga berarti bersedia menerima kenyataan. Ada orang yang tidak bisa menerima kenyataan, sudah diusahakan tapi tetap mengalami kegagalan, daripada sampai mengorbankan satu keluarga harus pindah rumah, kehilangan penghasilan dan harus menumpang di rumah orang, kita harus berhati-hati dan jangan bernafsu atau gegabah karena kita harus ingat kalau kita punya tanggungan, kita tidak hidup sendiri lagi dan jangan sampai kita melupakan orang-orang lain. Kalau memang tidak bisa maka kita harus besar hati mengakui kalau kita tidak bisa. Namun sekali lagi jangan berhenti kita mencoba yang lain.PG : Betul sekali. Meskipun kita tidak bisa memastikan hari depan, segala sesuatu hanya bisa diteropong lewat kaca mata manusia, pemikiran manusia dan disertai dengan doa tapi memang kita tidakbisa memastikan apa yang akan terjadi di hari depan dan apakah usaha kita akan membuahkan hasil atau tidak.
Kalau memang kita masih ragu-ragu dan kemungkinan akan gagal karena begitu banyak resikonya maka pikirlah matang-matang, sebab sekali lagi kita harus mengingat orang-orang yang menjadi tanggungan kita dan jangan sampai kita mengorbankan mereka.PG : Yang ketiga adalah kita harus melihat ke depan dan tadi telah kita bahas bahwa kita harus menabung, dan yang kedua kita juga harus mencoba, ketiga kita harus melihat ke depan. Sudah tentu aya tahu bahwa kita harus mengingat sejarah, kita harus mengingat pengalaman masa lampau supaya tidak mengulang kesalahan yang sama.
Saya juga tahu kita harus ingat siapa kita dan dari mana kita berasal, supaya kita tidak lupa diri dan menjadi angkuh. Jadi jangan sampai kita melupakan masa lalu kita. Tapi di luar itu kita harus melihat ke depan, memang hidup tidak selalu menyenangkan dan kadang harus terisi bahkan oleh kegagalan, tapi akuilah kegagalan apa adanya dan belajar darinya kemudian berjalanlah terus, jangan sampai kita berkubang di dalam kolam penyesalan tapi sebaliknya bangkitlah dan mulailah kembali dan jangan membanding-bandingnya kondisi sekarang dengan masa lampau, sebab kita tidak hidup di masa lampau melainkan di masa sekarang. Itu sebabnya Pengkhotbah 7:10 berkata,"Janganlah mengatakan: 'Mengapa zaman dulu lebih baik dari pada zaman sekarang?' Karena bukannya berdasarkan hikmat engkau menanyakan hal itu". Jadi firman Tuhan jelas, meminta kita jangan banding-bandingkan hidup kita di masa lampau dengan di masa sekarang. Jangan membandingkan kondisi, baik itu keberhasilan atau kegagalan karena hal itu hanyalah akan melumpuhkan kita. Kita melihat ke depan saja dan waktu kita melihat ke depan sebetulnya kita tengah menaruh pengharapan dan iman pada pemeliharaan Tuhan kita.PG : Waktu kita melihat ke depan sebetulnya kita harus berkata bahwa yang telah terjadi sudah terjadi dan kita tutup pintu atau bab itu dan kita bisa mengakui bagian kita di dalam peristiwa yan telah terjadi dan jangan kita menyangkali, kalau ada andil kita mungkin karena kita tidak berhati-hati dan kita mungkin terlalu percaya diri, hal itu harus kita akui dan jangan salahkan orang lain, akui bagian kita atau andil kita di dalam kegagalan kita di masa lampau.
Setelah itu kita maju ke depan, yang terjadi biarlah terjadi dan kita percaya bahwa Tuhan akan dapat menolong kita di masa yang akan datang. Jadi melihat ke depan memunyai dua unsur atau dua bagian. Yang pertama adalah mengetahui bahwa Tuhan bisa mengampuni kita atas apa yang telah kita lakukan di masa lampau, kedua Tuhan juga mampu membuka lembaran baru dan memberkati hidup kita di hari-hari mendatang. Tuhan bukanlah Tuhan yang pendendam dan Tuhan tidak akan berkata,"Karena kamu dulu tidak mendengarkan saya maka selama-lamanya saya tidak akan mendengarkan kamu," tidak seperti itu, tapi Dia akan memberi kepada kita kesempatan kedua.PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi yang penting adalah besar hatilah melihat andil kita atau bagian kita, jangan cepat-cepat menuding orang dan menyalahkan yang lainnya.
PG : Kita harus berserah, Pak Gunawan. Apa pun yang kita lakukan mesti ada batasnya, jangan terus bekerja seakan-akan tidak ada Tuhan di dalam hidup ini dan jangan terus bekerja seakan-akan tidk ada hal lain dalam hidup selain bekerja, jangan sampai kita kehilangan keseimbangan hidup.
Kita perlu bekerja itu betul namun kita harus menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Kita pun perlu menjaga keseimbangan sebab kita membutuhkannya, keseimbangan hidup niscaya membuat kita tenang dan tidak tergesa-gesa, hidup menjadi lebih terarah dan hasilnya pun akan lebih baik. Saya ingatkan lewat Pengkhotbah 2:22-24,"Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan pekerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram. Inipun sia-sia. Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa inipun dari tangan Allah". Jadi hidup yang berimbang adalah hidup yang berserah kepada Tuhan, serahkan hasilnya kepada Tuhan sebab Dia yang menentukan dan Dia yang bisa memberkati kita, kalau kita memunyai penyerahan seperti itu, maka bekerja tidak lagi menjadi segala-galanya dalam hidup ini.PG : Misalkan menjaga keseimbangan dengan memberikan waktu yang cukup untuk keluarga kita, jangan sampai kita melupakan bahwa ada orang-orang yang menantikan kita, yang mengasihi kita dan membuuhkan kita, mereka membutuhkan kita di rumah dan bukan hanya membutuhkan telepon atau SMS kita, mereka membutuhkan kita di rumah.
Mereka bukan membutuhkan mendengar suara kita lewat telepon tapi membutuhkan mendengar suara kita secara langsung, mereka membutuhkan sentuhan kita secara langsung dan bukan hanya ucapan-ucapan lewat SMS yang berkata,"Saya salam rindu dan sebagainya" bukan seperti itu, jadi kehadiran kita secara nyata itu yang dibutuhkan. Kita harus memberi waktu untuk keluarga, kita harus memberi waktu untuk kegiatan olahraga supaya kita juga memunyai tubuh yang sehat dan jangan sampai semua hal itu kita tinggalkan sama sekali, kita juga harus memunyai keseimbangan dengan rekreasi, bisa pergi bersama dengan teman, bisa berdarma wisata untuk menikmati hidup, kita bisa pergi jalan-jalan atau makan, banyak hal yang bisa kita lakukan dan sudah tentu kita harus menyediakan waktu untuk melayani Tuhan dan ini adalah bagian hidup yang penting yakni kita harus sisihkan waktu untuk pekerjaan Tuhan.PG : Seringkali itu yang terjadi dan patut disayangkan sebab waktu tidak dapat diputar kembali, kalau sudah lewat ya sudah lewat dan anak-anak tidak lagi membutuhkan kita sehingga akhirnya mungin karier kita peroleh, tapi kehilangan keluarga kita sendiri.
Apakah artinya semua itu? Bukankah yang lebih berharga adalah menerima kasih sayang dari orang-orang yang memang mencintai kita?PG : Yang terakhir adalah kita harus memelihara persahabatan. Jadi bukan saja kita harus menabung, tapi kita juga harus bisa mencoba dan kita juga harus menerima dan melihat ke depan dan kita jga harus berserah.
Kita sekarang belajar kalau kita harus memelihara persahabatan. Kenapa? Sebab kita tidak bisa hidup sendiri, Tuhan tidak mendesain kita untuk hidup sendiri dan kita memerlukan satu dengan yang lain terutama di saat kita lemah. Jadi peliharalah persahabatan agar kita dapat saling menolong dan memberi dorongan. Persahabatan mengingatkan kita bahwa hidup tidak terdiri atas bekerja saja, tetapi juga atas pertemanan dan juga bukankah dalam kesusahan temanlah yang datang menolong dan menghibur, maka kita harus camkan peringatan dari Pengkhotbah 4:9-10,"Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya". Jadi memang Tuhan mau agar kita menjalin persahabatan sehingga saling mengisi dan menguatkan, menghibur, mendorong dan mengingatkan, waktu kita mengalami kesusahan, bukankah teman juga dapat menolong kita? Jadi jangan sampai lupa hikmat yang terakhir ini yaitu kita harus menjaga persahabatan dengan teman-teman kita.PG : Betul dan memang kalau kita bisa menjalin persahabatan dengan teman-teman di tempat pekerjaan maka peliharalah maka sekali mereka akan menjadi bagian dalam hidup kita yang dapat memberikanpertolongan di masa kita membutuhkannya.
PG : Betul sekali. Sudah tentu waktu kita bekerja maka kita fokuskan pada pekerjaan itu yakni memberikan kwalitas yang sebaik-baiknya dan jangan sampai gara-gara kita bersahabat, akhirnya kita elalaikan tanggung jawab karena menganggap tidak apa-apa dengan teman sendiri.
Justru karena teman sendiri maka kita mau memberi yang lebih baik lagi.PG : Betul sekali. Jadi selalu berdoa mintalah Tuhan memberi kepada kita hikmat agar kita dituntun di jalan-Nya yang benar.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Bekerja dan Berhikmat". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
50. Hidup Sederhana | |
Dewasa ini ada banyak orang yang menargetkan untuk menjadi kaya raya pada usia muda. Bahkan ada yang sudah menargetkan usia pensiun dini setelah mengumpulkan harta kekayaan. Tuhan tidak anti kekayaan dan Ia memberkati sebagian orang dengan kekayaan berlimpah. Namun demikian pada hakekatnya Alkitab menghendaki agar kita menjadi jurukunci Tuhan. Hidup sederhana adalah bagian dari menjadi jurukunci yang bertanggung jawab. Bagaimana sebenarnya kita bisa hidup sederhana dan benar? Ataukah kita harus hidup irit?
Dewasa ini ada banyak orang yang menargetkan untuk menjadi kaya raya pada usia muda. Bahkan ada yang sudah menargetkan usia pensiun dini setelah mengumpulkan harta kekayaan. Tuhan tidak anti kekayaan dan Ia memberkati sebagian orang dengan kekayaan berlimpah. Namun demikian pada hakekatnya Alkitab menghendaki agar kita menjadi jurukunci Tuhan—penerima sekaligus pengelola harta kekayaan untuk kepentingan yang lebih luas dari diri sendiri semata. Hidup sederhana adalah bagian dari menjadi jurukunci yang bertanggung jawab.
Berikut akan dipaparkan makna dari hidup sederhana :
"Hidup Sederhana" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Hidup Sederhana". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Memang sudah tentu Alkitab tidak memberikan penjelasan yang rinci tentang hidup yang sederhana seperti apa karena tidak dapat dibayangkan atau dimengerti bahwa konteks kehidupan selalu bereda-beda antara zaman itu dan zaman sekarang, kondisi budaya di sana dengan kondisi di sini tidak sama.
Jadi memang Alkitab tidak memberikan penjelasan secara rinci, namun sudah tentu Alkitab memunyai panduan-panduan yang lebih bersifat umum yang bisa kita gunakan agar kita dapat hidup lebih bijaksana dalam pengertian tidak menghambur-hamburkan uang.PG : Sudah tentu kita harus mengerti bahwa Tuhan tidak anti kekayaan. Tuhan memberkati sebagian orang dengan kekayaan berlimpah, jadi jangan sampai kita juga jatuh ke dalam ekstrem yang keliru ang mengatakan bahwa Tuhan itu anti kekayaan, Tuhan menghendaki kita semua hidup miskin, tidak seperti itu.
Namun sekali lagi mesti ada perspektif atau bingkai yang tepat sehingga kita ini tidak salah, sebab Tuhan menghendaki kita menjadi juru kunci Tuhan yaitu penerima sekaligus pengelola harta dan kekayaan untuk kepentingan yang lebih luas dari pada diri sendiri. Jadi kita tidak bisa hidup hanya meneropong segalanya dari kacamata kita, keperluan kita, keinginan kita, selera kita, tidak seperti itu, tapi Tuhan menginginkan agar kita menjadi penerima berkat-berkat-Nya. Setelah kita menerima berkat-berkat-Nya maka kita harus memikirkan bagaimana mengelolanya supaya berkat-berkat Tuhan ini dapat dengan efektif dicicipi pula oleh orang-orang yang lain. Jadi Tuhan menghendaki agar kita menjadi penyalur dari berkat-berkat Tuhan. Dan saya tadi ingatkan kita juga dapat menjadi dan boleh menjadi penerima berkat Tuhan. Hal itu tidak salah, senantiasa ingat kita juga harus menyalurkannya.PG : Ada beberapa yang akan kita angkat. Yang pertama hidup sederhana berarti hidup secukupnya misalkan kendati kita sanggup membeli kendaraan yang mewah, tapi kita memilih kendaraan yang lebihmurah sebab itu pun sudah memadai untuk kebutuhan kita.
Atau kita putuskan kita tidak membangun rumah yang megah walaupun mampu, tapi sebaliknya kita membangun rumah yang sesuai dengan kebutuhan kita. Dengan kata lain, waktu kita berhasil menyederhanakan hidup sehingga kita hidup lebih sesuai dengan kebutuhan dan tidak berlebihan, maka kita dapat juga menjadi penyalur berkat Tuhan dengan lebih efektif untuk yang lainnya, untuk pekerjaan Tuhan dan jangan sampai kita terjerat di dalam sebuah lingkaran yang dewasa ini sedang melilit begitu banyak orang yaitu orang ini seakan-akan berlomba-lomba untuk meningkatkan tingkat kemewahan. Ada orang yang misalnya membeli barang elektronik seperti"BlackBerry" kemudian muncul yang baru dan langsung dijual atau diberikan kepada yang lain dan beli lagi yang baru. Jadi misalkan setiap setahun sekali beli yang baru yang lebih mewah padahalnya dia sendiri tidak menggunakannya karena banyak fitur yang dia sendiri tidak tahu, tapi yang penting adalah dia membeli lagi yang lebih mewah lagi. Dengan mobil juga demikian,"yang ini kurang mewah" maka membeli yang lebih mewah lagi. Jadi untuk meningkatkan kemewahanlah kemudian kita membeli barang-barang itu. Ini sangatlah keliru, kita hidup secukupnya kalau kita cukup untuk kita hidup segini maka kita harus hidup segini dan jangan kita menambahkannya lagi. Saya ingat pengakuan dari Pdt. Rick Warren di Amerika Serikat, beliau tiba-tiba menjadi kaya raya karena dua buku yang ditulisnya yaitu The Purpose Driven Church itu yang pertama, dan yang kedua The Purpose Driven Life, itu dua-duanya menjadi"best seller" sehingga jutaan bukunya terjual. Jadi tiba-tiba dia menjadi orang kaya, menjadi milyarder, uangnya melimpah ruah tapi langsung dia menetapkan prioritas. Saya masih ingat prioritasnya adalah dia tidak akan meningkatkan kemewahan hidupnya. Jadi mobil yang dia pakai adalah mobil yang tetap sama, rumah yang dia tinggali tetap dia tinggali dan bahkan 90% dari uangnya dia persembahkan kepada Tuhan. Pelayanan-pelayanan yang dilakukan keluar negeri dan sebagainya semua atas biaya sendiri dan dia menolak menerima gaji atau penghasilan dari gerejanya dan semua gaji yang telah dia terima dari gerejanya itu dikembalikan lagi kepada gerejanya. Dengan kata lain, dia benar-benar berusaha menjadi juru kunci, menjadi penerima berkat Tuhan sekaligus menjadi pengelola yang baik, sehingga dari berkat yang berlimpah yang Tuhan berikan kepadanya, begitu banyak orang lain yang menikmatinya. Bandingkan dengan orang lain yang menerima begitu berlimpahnya dan semua hanya untuk kantong sendiri dan yang menikmati hanyalah dia sendiri. Hal ini tidak pernah menjadi rencana Tuhan memberkati kita. Tapi untuk dapat menjadi pengelola sekaligus penyalur berkat Tuhan, memang kita harus belajar hidup secukupnya, jadi jangan sampai hanya bertujuan meningkatkan kemewahan saja.PG : Memang saya mengerti ada orang yang berlimpah ruah dalam kekayaannya takut untuk hidup sederhana karena takut disangka kikir,"Kaya tapi seperti itu, mobilnya tidak diganti-ganti". Kalau ad orang yang berkata seperti itu, jadinya hatinya miris dituduh kikir.
Jadi untuk memberikan penampilan bahwa dia tidak kikir maka dia membeli mobil yang mewah. Sudah tentu saya tidak mengatakan bahwa orang tidak boleh sama sekali membeli mobil yang mahal. Kadang-kadang memang ada orang yang diberkati Tuhan dengan berlimpah sehingga ada orang yang ingin membeli mobil bagus maka silakan, yang memang tidak memiliki uang seperti itu harus membeli kendaraan yang lebih sederhana atau bahkan tidak memunyai kendaraan sama sekali. Tapi ingatlah waktu dia membeli itu dia harus ingat apakah ini penggunaan uang yang paling efektif, yang paling memuliakan Tuhan dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita harus ingat bahwa Tuhan memberi kepada kita supaya berkat-Nya dapat dibagikan untuk yang lain, supaya yang lain pun menerima kebaikan Tuhan pula. Jadi selalu harus kita pertimbangkan dari kacamata ini.PG : Saya kira harus ada negosiasi atau penjelasan-penjelasan agar anggota keluarga yang lain dapat mengerti kenapa bisa seperti ini. Kalau mereka sudah dijelaskan tapi tidak mengerti, maka diasebagai kepala keluarga bisa memberitahukan kepada anak dan istrinya, dia bisa mengatakan kalau ini tidak benar kalau kita membeli barang semahal ini hanya untuk keperluan seperti ini, maka tidak perlu.
Jadi silakan, saya kira dia boleh menetapkan apa yang sebaiknya, jadi jangan sampai akhirnya dia membiarkan keluarganya memboros-boroskan uang seenak-enaknya sehingga akhirnya tidak menjadi berkat bagi yang lainnya.PG : Saya kira demikian, Pak Gunawan.
PG : Artinya melihat hidup dari perspektif yang lebih luas dan bernilai kekekalan. Maksudnya kita harus memandang hidup dari perspektif Tuhan dan kepentingannya. Kita tidak hanya memikirkan kebtuhan pribadi dan keluarga, kita pun memikirkan kebutuhan orang di sekitar kita.
Kita tahu semua yang dimiliki adalah pemberian Tuhan untuk digunakan sesuai kehendak-Nya. Jadi kita berusaha untuk menyisihkan uang guna perluasan pekerjaan Tuhan dan bukan saja untuk perluasan pekerjaan kita. Kita tahu bahwa Tuhan memberkati kita dengan berlimpah agar kita dapat menjadi penyalur berkat Tuhan untuk kepentingan yang lebih luas. Itu sebabnya sebelum menggunakan uang untuk kepentingan pribadi, kita pun harus memertimbangkan apakah kita perlu menggunakannya untuk kepentingan yang lain. Jadi saya mau agar kita mendisiplin diri dan benar-benar sebelum mengeluarkan uang untuk keperluan kita maka kita harus bertanya terlebih dahulu apakah uang ini dapat digunakan untuk kepentingan lain yang memang dibutuhkan. Jangan sampai kita melupakan pertanyaan seperti itu, sebab saya kira banyak orang termasuk orang Kristen yang pada waktu mengeluarkan uang tidak lagi memikirkan apakah ini penggunaan uang yang terbaik di mata Tuhan yang telah mengaruniakan berkat-Nya kepada kita. Kalau saja lebih banyak anak-anak Tuhan yang berpikir seperti ini, maka akan lebih banyak orang yang menerima berkat-berkat Tuhan. Belum lama ini saya makan di restoran dan bertemu dengan seorang bapak yang berkata kalau saya pernah berkhotbah di gerejanya dan kami berbincang-bincang, kemudian dia bercerita kalau dia datang dengan stafnya yang berjumlah 3 orang, dia seorang pemilik toko dia pergi dengan stafnya, dia sudah tua tapi stafnya masih muda namun mereka makan bersama. Kenapa?"Sebab mereka adalah mitra saya dan mereka bukan pegawai saya, tapi mereka adalah mitra sebab kalau mereka tidak menolong saya maka saya tidak akan bisa melakukan pekerjaan saya", jadi kita ini sejajar. Saya sangat kagum dengan konsepnya, jadi dia tidak hanya memikirkan kebutuhan sendiri tapi dia memikirkan kepentingan stafnya dan tidak heran waktu saya dikenalkan dengan stafnya, walaupun toko ini relatif sederhana dan stafnya hanya 3 orang, tapi mereka bersukacita bisa pergi bersama, bergurau, berbicara bersama. Saya kira inilah garis yang telah Tuhan tetapkan untuk kita lewati yaitu hidup seperti ini, sehingga akhirnya orang menerima berkat karena kita menaati yang Tuhan inginkan.PG : Tuhan memunyai rencana dan pekerjaan yang belum selesai. Rencana Tuhan adalah agar semua manusia kembali kepada-Nya lewat pengorbanan Tuhan kita, Putra-Nya yang tunggal Yesus Kristus di kau salib.
Tuhan mau agar lebih banyak orang yang mengenal dan percaya kepada Tuhan sehingga menerima pengampunan dosa atas segala kesalahan dan dosa yang telah kita perbuat dan kita didamaikan kembali dengan Tuhan. Tuhan menghendaki anak-anak-Nya terlibat di dalam pekerjaan-Nya ini yang memang belum selesai yaitu mengenalkan Yesus sebagai jalan yang Tuhan telah tetapkan dan pengorbanan-Nya di kayu salib kepada manusia yang lainnya. Itu juga memerlukan uang karena harus misalnya menyiapkan orang untuk bersekolah, menyiapkan orang untuk menjadi seorang hamba Tuhan, mengirimnya keluar dan sebagainya. Itu semua memang memerlukan biaya. Jangan lupakan pekerjaan Tuhan, jangan lupakan gereja di mana kita beribadah, gereja adalah duta Tuhan di bumi dan pekerjaan Tuhan lewat gereja juga banyak dan itu juga memerlukan uang. Jadi jangan lupa memberi untuk kepentingan Tuhan di gereja. Ini yang saya maksud perspektif kekekalan, kita tidak hanya memikirkan diri dan kebutuhan pribadi tapi memikirkan Tuhan dan kepentingan-Nya serta pekerjaan-Nya yang bernilai begitu mulia yaitu bernilai sampai kekekalan supaya orang bisa hidup kekal bersama dengan Tuhan.PG : Yang berikut adalah hidup sederhana tidak berarti hidup tanpa kenikmatan. Pengkhotbah 2:24 menegaskan,"Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dlam jerih payahnya.
Aku menyadari bahwa inipun dari tangan Allah". Nah di sini kita dapat melihat bahwa Tuhan tidak melarang kita untuk bersenang-senang alias menikmati hidup, dengan kata lain menikmati apa yang telah diberikan Tuhan tidaklah salah. Jadi jangan sampai kita berpikiran bahwa Tuhan ingin agar kita bermuka panjang, tidak memiliki senyum, tidak pernah tertawa, hati tidak pernah bergembira, tidak seperti itu. Jadi Tuhan mengizinkan kita menikmati apa yang telah dikaruniakan-Nya dan bersenang-senang dalam jerih payah yang telah kita keluarkan. Satu lagi menikmati hidup ini juga merupakan bagian dari hidup yang berimbang, karena menikmati hidup memberi penyegaran kepada tubuh dan jiwa, supaya kita lebih dimampukan-Nya untuk memenuhi tuntutan hidup. Misalnya kalau sampai kita tidak dapat menikmati hidup maka itu pertanda bahwa kita telah kehilangan keseimbangan dalam hidup, sesuatu yang dapat memberi dampak buruk pada relasi kita dengan sesama.PG : Betul. Jadi lakukanlah rekreasi meskipun murah dan lakukanlah hal-hal yang bisa menyenangkan hati dan kebetulan kita tinggal di kota Malang dan kebetulan juga ada beberapa tempat-tempat rereasi di kota Malang yang relatif murah.
Kita bisa melihat betapa padatnya tempat rekreasi tersebut dikunjungi oleh rakyat, meskipun mereka tidak bisa menikmati rekreasi yang mahal tapi mereka pergi ke tempat rekreasi yang mereka dapat jangkau, sehingga mereka juga turut bersukacita dan jiwa akhirnya disegarkan dan jiwa yang segar, tubuh yang memang sudah penat akhirnya dipulihkan lewat rekreasi menjadi jiwa yang dapat menolong orang lain, yang dapat bersimpati kepada orang, yang lebih sabar, yang tidak hidup egois karena hidup di dalam suatu komunitas. Begitu banyak berkat yang dapat diperoleh jikalau kita mengizinkan untuk menikmati hidup. Sudah tentu menikmatinya dengan cara Tuhan dan bukan dengan cara yang salah.PG : Mungkin ada konsep yang keliru yang ditanamkan dalam dirinya misalnya bahwa Tuhan melarang kita untuk bersenang-senang, tapi Tuhan mengharuskan kita untuk serius menghadapi hidup dan akhinya merasa"Kenapa puas dengan hidup, itu berarti kita tidak lagi hidup bergantung kepada Tuhan".
Jadi ada orang yang memiliki konsep rohani yang keliru. Atau yang kedua yang lebih bersifat latar belakang kita, ada orang-orang yang hidupnya penuh dengan kesusahan, kepahitan sehingga tidak pernah tahu bagaimana menikmati hidup, sehingga waktu dia menikmati hidup maka dia merasa bersalah dan seolah-olah dia tidak layak menikmati hidup, dia selayaknya hidup susah karena itulah yang menjadi porsi hidupnya di masa lampau. Jadi ada beberapa penyebab kenapa ada beberapa orang yang tidak bisa menikmati hidup.PG : Misalkan kita bisa membawa mereka kepada firman Tuhan kembali. Kita melihat bahwa misalkan Tuhan Yesus sendiri adalah Seseorang yang bisa menikmati hidup sebagai manusia di bumi. Dia serin bertemu dengan para pemungut cukai dan mereka sering mengundang-Nya untuk makan dan sebagainya.
Jadi Tuhan menikmati persahabatan dengan mereka sebab Tuhan tahu lewat persahabatan dengan mereka, Dia dapat menjadi terang menuntun mereka kembali ke jalan yang benar. Jadi sekali lagi Tuhan bisa dan membolehkan menikmati hidup dan tidak salah. Sebab bukankah juga seperti yang telah kita baca dari kitab Pengkhotbah itu adalah dari tangan Allah, kemampuan menikmati hidup juga adalah dari Tuhan sendiri.PG : Hidup sederhana tidak berarti kita tidak harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Pengkhotbah 5:10 berkata,"Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakh keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya? Enak tidurnya orang yang bekerja, baik ia makan sedikit maupun banyak; tetapi kekenyangan orang kaya sekali-kali tidak membiarkan dia tidur."
Di sini firman Tuhan mengingatkan bahwa kekayaan bukan segalanya dan menjadi kaya tidak seindah yang dibayangkan sehingga firman Tuhan tadi berkata,"Apa keuntungan pemiliknya selain dari melihatnya" menjadi kaya tidak seindah yang dibayangkan namun demikian firman Tuhan mengingatkan bahwa orang yang bekerja, enak tidurnya. Jadi Tuhan memang ingin agar kita bekerja, tidak berarti hidup sederhana adalah hidup tidak bekerja atau bekerja asal-asalan, yang penting hidup sederhana dan tidak harus punya uang, tidak seperti itu, tapi kita harus bekerja dengan sebaik-baiknya maka firman Tuhan berkata,"Orang yang bekerja enak tidurnya". Jadi singkat kata hidup sederhana bukan berarti hidup seenaknya tanpa motivasi, hidup sederhana tetap adalah hidup untuk memberi yang terbaik dari diri kita.PG : Bukankah seringkali kita berkata,"Ini uang dari keringat sendiri" betapa manisnya menikmati uang keringat sendiri. Saya masih ingat ketika pertama kali saya bekerja dan masih bekerja secar purna waktu, akhirnya saya membeli televisi dan saya setel di kamar saya dan saya membeli seperti penyangga badan untuk duduk supaya bisa membaca, rasanya senang luar biasa karena bisa membeli sesuatu dari keringat sendiri.
Tuhan memang mengizinkan dan membolehkan kita untuk menikmati jerih payah kita selama kita mengingat bahwa ini adalah pemberian Tuhan dan mensyukurinya bahwa Dialah yang telah mengaruniakan berkat-berkat ini kepada kita.PG : Betul dan ini patut disayangkan, dan ini adalah kenyataan di dalam kehidupan kita sekarang yang begitu banyak orang termasuk rohaniwan yang tidak lagi memiliki konsep yang telah saya sebutyaitu perspektif kekekalan sehingga akhirnya lebih terpusat pada diri sendiri dan bagaimana bisa menyenangkan hati sendiri.
Kita harus meneropong segalanya dari kacamata kepentingan Tuhan, selalu sebelum kita keluarkan uang dalam jumlah yang besar maka kita tanyakan apakah uang ini dapat digunakan untuk kepentingan Tuhan yang lebih luas, jadi sudah tentu selalu pikirkan hal itu. Sudah tentu tetap kita akan membeli sesuatu yang kita sukai dan tidak salah, makanya kita harus seimbangkan. Kita boleh menikmati hidup dan untuk menikmati hidup maka kita boleh membeli sesuatu yang kita sukai dan itu tidak salah. Tapi selalu hiduplah dalam keseimbangan antara menikmati hidup tapi juga memikirkan kepentingan Tuhan,"Apakah uang ini dapat digunakan untuk kepentingan yang lebih luas".PG : Saya kira kita harus memberikan ijin, kali ini tidak apa-apa karena sudah lama saya menginginkannya maka tidak apa-apa dibeli, misalnya sesuatu tapi setelah itu jangan membeli yang lainnyadan tahan diri dan gunakanlah kelebihan penghasilan kita itu untuk kepentingan yang lain, usahakanlah untuk hidup secukupnya dan jangan sampai bermewah-mewah, karena sungguh-sungguh tidak ada yang berguna dari kemewahan-kemewahan itu.
Karena kalau memang sudah cukup maka setop di situ saja.PG : Sudah tentu dalam kasus seperti itu, saya akan berkata kalau memang ini sesuatu yang dapat dinikmati keluarga bersama dan ini juga tidak sering-sering dilakukan maka silakan menikmati dan yukuri pemberian Tuhan untukmu asal jangan sampai lupakan pekerjaan Tuhan, nikmati hidup yang Tuhan telah anugerahkan kepada kita, namun jangan lupakan pekerjaan Tuhan.
Tetaplah berikan, sehingga apa yang telah Tuhan titipkan kepada kita dapat kita bagikan kepada yang lainnya.PG : Betul sekali. Sudah tentu kesederhanaan agak relatif dan tidak sama, tapi kita harus biasakan diri dan jangan sampai selalu menuruti mata kita yang ingin membeli sesuatu.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Hidup Sederhana". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
51. Hikmat Dalam Bersahabat I | |
Bersahabat bukanlah sesuatu yang hanya diberikan kepada orang tertentu; semua diberikan kesempatan untuk bersahabat. Di sini kita bisa melihat Firman Tuhan dan memetik tujuh pelajaran yang dapat kita terapkan dalam membangun persahabatan, dua diantaranya adalah (1) berhati-hati memilih sahabat, (2) Oleh karena persahabatan didirikan di atas kesetiaan, maka kita pun harus mengembangkan sikap setia.
Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri sebuah pemakaman seorang hamba Tuhan. Lebih dari seribu orang yang datang melayat. Bahkan pada masa sakitnya pun, begitu banyak orang yang datang menjenguk sampai-sampai pihak keluarga harus membatasi jumlah pengunjung. Satu hal yang menarik adalah si hamba Tuhan bukanlah gembala sidang dari sebuah gereja yang besar. Dan, sepanjang saya mengenalnya, ia pun bukanlah seorang pengkhotbah dan pengajar bertalenta besar. Ia seorang yang bersahaja namun ia dikasihi oleh begitu banyak orang dan mempunyai begitu banyak sahabat.
Ada orang yang kadang mengeluhkan bahwa tidak ada orang yang bersedia bersahabat dengannya. Pada kenyataannya ada atau tidak adanya sahabat bergantung pada diri sendiri. Bersahabat bukanlah sesuatu yang hanya diberikan kepada orang tertentu; semua diberikan kesempatan untuk bersahabat. Nah, marilah kita melihat Firman Tuhan dan memetik beberapa pelajaran yang dapat kita terapkan dalam membangun persahabatan.
PERTAMA DAN MUNGKIN TERUTAMA
ADALAH KITA HARUS BERHATI-HATI MEMILIH SAHABAT.
Amsal 12:26. "A
righteous man is cautious in friendship but the way of the wicked leads them
astray."Tuhan tidak memerintahkan kita untuk bersahabat dengan siapa
saja. Justru dari Kitab Amsal kita dapat melihat begitu banyaknya nasihat
untuk tidak hidup berdekatan dengan orang yang tidak berhikmat dan berdosa.
Firman Tuhan dengan jelas
mengatakan bahwa permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan (Amsal 1:7) dan di
dalam takut akan Tuhan kita menjauh dari dosa. Jadi dari sini kita bisa
memetik satu pelajaran yang penting:
DI DALAM MENJALIN PERSAHABATAN, KITA
MEMUNYAI HAK DAN KEWAJIBAN UNTUK MEMILIH. Kita tidak harus selalu menerima
uluran tangan orang untuk bersahabat dengan kita. Paulus dengan tegas
mengingatkan bahwa teman yang tidak baik dapat merusak karakter kita yang baik
(1 Korintus 15:33). Jadi, berhati-hatilah memilih sahabat.
KEDUA, OLEH KARENA PERSAHABATAN DIDIRIKAN DI ATAS KESETIAAN, MAKA KITA PUN HARUS MENGEMBANGKAN SIFAT SETIA.
Amsal 20:6.
"Banyak orang menyebut diri baik hati tetapi orang yang setia siapakah
menemukannya?" Sebetulnya, ketidaksetiaan merupakan pertanda
hadirnya sifat mementingkan diri yang kuat. Orang yang tidak setia mungkin
tidak berniat atau berbuat jahat kepada sahabatnya. Namun yang pasti adalah
orang yang tidak setia menempatkan kepentingan diri di atas kepentingan orang
lain.
Jadi, dari sini kita dapat menyimpulkan jika kita ingin membangun karakter setia, terlebih dahulu kita harus mengikis sifat egois. Selama ego memerintah dengan kuat, semua keputusan diambil berdasarkan satu kriteria saja: "Apakah memberi manfaat buat saya atau tidak?" Selama menguntungkan, kita akan terus berteman. BIla tidak, kita pun dengan cepat meninggalkannya. Jika kita adalah orang yang berego besar, hampir dapat dipastikan pada akhirnya kita tidak mempunyai sahabat.
KETIGA, BANYAK PERSAHABATAN
RETAK BUKAN KARENA PERBUATAN JAHAT—SEPERTI FITNAH ATAU DUSTA— MELAINKAN KARENA
OMONGAN YANG TIDAK TEPAT.
ITU SEBABNYA FIRMAN TUHAN MENGAJARKAN KITA UNTUK BERHATI-HATI DENGAN
PERKATAAN.
Amsal 17:27. "Orang yang berpengetahuan menahan
perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin". Jangan
sembarang menegur atau mengeluarkan perkataan yang tidak bijak. Jangan
beranggapan bahwa oleh karena ia adalah sahabat maka ia akan mengerti isi hati
kita—bahwa kita tidak berniat buruk.
Kalau kita ingin dikelilingi sahabat, jagalah mulut. Jangan bicara sembarangan dan seenaknya kepadanya atau tentang dirinya kepada orang lain.
KEEMPAT, PERSAHABATAN DIDIRIKAN DI ATAS KESEDIAAN UNTUK MENDAHULUKAN KEPENTINGAN SATU SAMA LAIN DAN ITU HANYA DAPAT TERJADI BILA KITA RENDAH HATI.
Amsal 18:12. "Tinggi hati mendahului kehancuran tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan". Banyak persahabatan diawali oleh kesiapan untuk mendahulukan satu sama lain. Sayangnya seiring dengan berjalannya waktu masing-masing mulai menaruh kepentingan pribadi di atas kepentingan yang lain. Jika kita ingin melanggengkan persahabatan, kita harus mendahulukan kepentingan sahabat dan menomorduakan kepentingan sendiri. Salah satu alasan mengapa pada akhirnya kita mendahulukan kepentingan sendiri adalah karena kita merasa telah berjasa. Orang yang dicintai sahabat adalah orang yang tidak menghitung pengorbanan dan bersedia untuk memberi lebih besar kepada temannya. Oleh karena ia rendah hati, ia bersedia untuk mengedepankan kepentingan temannya. Oleh karena ia rendah hati, ia tidak melihat diri sepenting itu. Sebaliknya, ia melihat temannya penting dan memerlakukannya sebagai orang yang penting.
KELIMA, UJIAN PERSAHABATAN ADALAH KESUKARAN.
Amsal 17:17,
"Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi seorang saudara dalam
kesukaran." Sewaktu kita berada di dalam kesukaran, secara alamiah
kita akan menengok kepada sahabat dan berharap pada pertolongannya. Kita tidak
akan menoleh kepada orang yang bukan sahabat dan tidak berharap apa pun
darinya. Kepada sahabatlah kita berharap dan inilah menjadi ujian terbesar. Bila
kita menolak membantu atau menghindar agar tidak harus memberi bantuan,
yakinlah bahwa pada saat itu kita tengah memutuskan tali persahabatan. Jadi,
jika mau dikenal sebagai sahabat kita mesti mendampingi teman, baik dalam suka
maupun duka. Bila kita mau berteman hanya pada masa senang, itu menandakan
bahwa kita bukanlah teman sejati. Singkat kata, sebenarnya kesusahan menjadi
penguji persahabatan sebab kesusahan teman menuntut kita untuk membayar harga.
Kesediaan kita untuk membayar harga menunjukkan seberapa besar nilai yang kita
berikan pada persahabatan itu.
KEENAM, CIRI BERIKUT INI MERUJUK KEPADA ORANG YANG MURAH HATI.
Amsal
11:25.
"Siapa banyak memberi berkat diberi kelimpahan, siapa memberi minum ia
sendiri akan diberi minum".
Ciri ini berbeda dari kesediaan memberi pertolongan kepada teman dalam
kesusahan. Dengan kata lain, ia siap dan senang memberi. Ia memberi bukan
hanya karena diminta bantuannya; ia memberi oleh karena itulah sifat utamanya.
Dan, sewaktu memberi, ia pun memberi dengan berkelimpahan. Salah satu sifat
yang menjamin kepastian orang akan menjauh adalah sikap kikir. Orang yang
kikir mungkin masih bersedia memberi tetapi kalaupun ia memberi itu dikarenakan
ia terpaksa memberi. Mungkin ia mendapat tekanan untuk memberi mungkin itulah
kewajiban. Atau, mungkin karena ia dimintai bantuannya dan ia sukar menolak.
Itu sebabnya ia memberi karena terpaksa.Selain dari itu orang yang kikir
memberi ala kadarnya. Ia memberi hanya untuk menunjukkan ia telah memberi,
tidak peduli apakah pemberiannya mencukupi kebutuhan atau tidak. Sebaliknya
dengan orang yang murah hati—ia memberi bukan karena TERPAKSA namun karena TERGERAK. Ia memberi bukan untuk memenuhi persyaratan atau tuntutan tetapi karena ia bergembira dapat membagi berkat dengan sesama. Itu sebabnya ia memberi dengan berkelimpahan, jauh melebihi jumlah yang diharapkan.Orang yang murah hati akan dikelilingi oleh sahabat. Ia tidak takut kehilangan teman sebab pada kenyataannya temanlah yang takut kehilangan dirinya. Itu sebabnya Firman Tuhan berkata, "siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum."
KETUJUH, SALAH SATU
KARAKTERISTIK YANG DICARI ORANG DALAM PERSAHABATAN ADALAH RAJIN.
Amsal 10:4,"Tangan
yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya."
Secara alamiah kita tertarik untuk dekat dengan orang yang rajin dan menjauh
dari orang yang malas. Persahabatan dibangun di atas inisiatif kedua belah
pihak. Ibarat roda, persahabatan tidak berputar dengan sendirinya; kita mesti
memutarnya—bersama-sama. Itu sebabnya kedua belah pihak seyogianyalah
rajin-rajin memelihara komunikasi, rajin-rajin memperhatikan keadaan dan
kebutuhan satu sama, dan rajin-rajin mencari kesempatan untuk berbagi suka dan
duka bersama.
KESIMPULAN
Amsal 11:3 berkata, "Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya." Kata jujur yang digunakan di sini merujuk kepada integritas yang mengandung makna, jujur dan tulus. Orang yang berintegritas bukan saja berarti apa adanya dalam dan luar, tetapi juga berakhlak tinggi. Jika kita ingin dicari orang sebagai seorang sahabat kita pun mesti memiliki karakter integritas ini. Kita mesti memulainya dengan bersikap jujur dan membuang jauh-jauh kepura-puraan. Kata yang digunakan dalam ayat ini, "pengkhianat" sebagai lawan dari kata "jujur" sebenarnya berarti "bermuka dua." Benar sekali firman Tuhan sebab memang bukankah kebohongan dan akhirnya pengkhianatan diawali oleh "bermuka dua"?
Kita tidak bisa menjadi sahabat baik kalau kita bermuka dua. Kita harus bersikap jujur kepadanya sebab kejujuran adalah landasan kepercayaan. Tanpa kejujuran, tidak akan ada kepercayaan. Dan, tanpa kepercayaan tidak akan ada persahabatan. Namun, di samping kejujuran, kita pun harus memelihara akhlak yang tinggi yaitu akhlak yang menyerupai karakter Kristus—penuh kasih dan penyayang serta berani menegakkan kebenaran dan keadilan.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hikmat dalam Bersahabat". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, ketika Tuhan menciptakan Adam, Tuhan segera melihat kalau manusia tidak baik sendirian, dalam hal ini bukan hanya masalah hubungan suami istri tapi juga di dalam kita membutuhkan orang lain dalam kehidupan ini, ini yang seringkali kita sebut sebagai sahabat, orang yang begitu dekat dari sekadar kenalan. Tuhan Yesus juga punya banyak sahabat yang begitu dekat dengan Dia, namun ada banyak masalah dalam kita bersahabat, menemukan seorang sahabat. Apakah ayat-ayat firman Tuhan juga bisa memberikan bimbingan kepada para pendengar sekalian dan hal-hal apa yang sebenarnya perlu kita perhatikan di dalam kita menjalin persahabatan karena kalau kita sembarangan bersahabat akhirnya bukan hanya merugikan diri kita, tapi juga melukai hati Tuhan sendiri.
PG : Kita sering berkata bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang dikerumuni oleh sahabat sebab betapa pentingnya dukungan teman, perhatian dari sahabat terhadap diri kita terutama tatkala kita sedang menjalani masa yang sulit dalam hidup ini. Jadi memang salah satu hal yang penting dalam hidup adalah membangun persahabatan agar kita bisa saling menguatkan dan bisa saling mengingatkan. Bagaimanakah kita bisa membangun persahabatan? Sebab kadang-kadang bagi sebagian orang sepertinya susah sekali dan saya perhatikan Tuhan adalah adil sehingga Tuhan memberi kesempatan kepada semua orang untuk bisa bersahabat, tinggal apakah dia mau melakukannya atau tidak dengan baik. Saya pernah menghadiri sebuah pemakaman, yang meninggal adalah seorang pendeta yang sebetulnya seorang yang sederhana dan dia melayani dengan setia dan baik, tapi dia bukan orang yang memunyai karunia yang sangat super, namun orang ini bersahaja. Waktu dia meninggal, yang datang di pemakamannya untuk menghadiri adalah orang-orang yang telah disentuh hidupnya oleh dia dan berjumlah sekitar seribuan orang yang datang, berarti si pendeta ini sangat dikasihi oleh begitu banyak orang. Jadi ini lah yang akan kita angkat yaitu hal-hal yang dapat kita gunakan atau terapkan dari firman Tuhan agar kita bisa membangun suatu jalinan persahabatan dengan teman.
GS : Memang tidak perlu melalui hal-hal yang besar atau perbuatan yang besar seseorang bisa bersahabat dengan orang lain. Tadi Pak Paul menyinggung tentang banyaknya orang yang hadir pada saat pemakaman itu membuktikan bahwa dia punya banyak sahabat. Memang hal itu betul, saya pernah tahu ada seorang ibu di kota Malang yang waktu dia muda sampai dia tua hanya membantu anak-anak kecil menyeberang dari satu sisi jalan di depan rumahnya ke seberang jalan yang lain dan itu yang dia lakukan hampir tiap hari. Banyak orang dari kampung belakang rumahnya yang merasa sangat terbantu, sehingga saat ibu ini meninggal banyak sekali orang yang menghadiri pemakamannya. Jadi apakah itu juga menjadi salah satu bukti, tetapi apakah hanya ketika kita meninggal baru terbukti bahwa memang kita memunyai banyak sahabat, apakah pada saat kita hidup kita tidak bisa membuktikan itu, Pak Paul?
PG : Saya kira seperti pada kasus pendeta yang tadi saya sebut itu, dia memang adalah orang yang dikerumuni oleh banyak sekali sahabat semasa hidupnya sebab dia juga selalu berusaha untuk menjalin persahabatan dengan aktif, nanti kita akan pelajari dari firman Tuhan ini bahwa kalau kita ingin membangun persahabatan maka kita juga harus berbuat sesuatu dan kita tidak bisa hanya duduk dengan pasif menanti uluran tangan orang untuk mengajak kita bersahabat dengan dia. Jadi kita juga memunyai tanggung jawab untuk berbuat sesuatu.
DL : Perlukah orang itu berhikmat dalam bersahabat, Pak Paul? Bagaimana caranya itu?
PG : Jadi inilah yang kita mau petik dari firman Tuhan, sebab betul sekali kata Ibu Dientje bahwa kita perlu berhikmat, karena kalau tidak maka gara-gara kita salah bersahabat justru akhirnya menuai celaka dalam hidup kita. Jadi memang sangat perlu hikmat.
GS : Artinya kita tidak bisa sembarangan bersahabat dengan orang lain begitu, Pak Paul?
PG : Betul sekali. Jadi memang ada yang kita harus baca dari firman Tuhan berkaitan dengan yang Pak Gunawan sebutkan yaitu di Amsal 12:26, saya akan bacakan terjemahan bahasa Inggrisnya karena memang terjemahan kita sedikit berbeda "A righteous man is cautious in friendship, but the way of the wicked leads them astray". Jadi orang yang benar berhati-hati dalam berkawan tapi jalan orang yang berdosa akan menyesatkannya. Firman Tuhan dengan jelas berkata bahwa kita harus berhati-hati memilih sahabat, dan kita harus berhikmat dalam bersahabat. Kita jangan bersahabat dengan siapa saja, jangan sampai keliru kita harus bersahabat dengan siapa saja, itu salah. Tuhan tidak memerintahkan kita untuk bersahabat dengan siapa saja, tapi justru dari kitab Amsal kita bisa melihat begitu banyaknya nasehat untuk tidak hidup berdekatan dengan orang yang tidak berhikmat dan berdosa. Jadi misalkan Amsal 1:7 firman Tuhan dengan jelas mengatakan bahwa permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan dan di dalam takut akan Tuhan kita ini menjauh dari dosa, sebaliknya orang yang tidak takut akan Tuhan tidak menjauh dari dosa sehingga hidup dalam dosa, orang yang tidak berhati-hati memilih sahabat bukan saja membuka peluang untuk tersandung jatuh dalam dosa, dia pun rentan dimanfaatkan oleh orang yang dipanggilnya sahabat. Jadi kita mau memetik satu pelajaran yang penting dari firman Tuhan ini, di dalam menjalin persahabatan kita memunyai hak dan kewajiban untuk memilih. Jadi saya tekankan kita punya hak untuk memilih serta kewajiban, kita tidak selalu harus menerima uluran tangan orang untuk bersahabat dengan kita, di 1 Korintus 15:33 Paulus dengan tegas mengingatkan bahwa teman yang tidak baik merusak karakter kita yang baik. Jadi sekali lagi kita harus berhati-hati memilih sahabat.
GS : Dalam contoh klasik yang seringkali dikemukakan bahwa persahabatan antara Daud dan Yonatan yang walaupun secara sosial mereka sangat berbeda, yang satu gembala yang satu anak raja, tapi mereka bisa bersahabat. Dalam hal ini yang menentukan persahabatan itu adalah Yonatan, Daud mengikuti begitu saja. Kadang-kadang kita sulit menentukan memilih sahabat, tapi kita dipilih untuk menjadi sahabat dari seseorang.
PG : Betul. Tapi kita juga memunyai hak untuk menolak, jadi Daud meskipun seorang gembala dan Yonatan adalah seorang anak raja, namun dia masih memunyai pilihan untuk berkata "tidak" kalau memang dia melihat ini sebuah persahabatan yang tidak sehat. Jadi sekali lagi kita tidak harus menerima persahabatan dari siapa pun. Jadi justru langkah pertama yang kita mau tekankan yaitu kita harus berhikmat. Jadi benar-benar harus berhati-hati dan tidak semua uluran tangan, "Mari kita bersahabat" kita sambut karena kita mau menjadi orang yang ramah, tidak seperti itu. Ada hal yang lebih penting daripada ramah yaitu hidup benar dan menyenangkan hati Tuhan. Tuhan tidak mau kita bergaul dengan orang yang hidupnya tidak karuan karena firman Tuhan mengingatkan bahwa orang yang karakternya buruk kalau terus mengelilingi diri kita maka lama-lama kita bisa terpengaruh dan menjadi seperti mereka juga.
GS : Biasanya pada masa remaja, persahabatan bisa terjadi begitu saja padahal di usia remaja kita tahu bahwa sulit sekali berhikmat dan memang belum memunyai pengalaman untuk itu sehingga dia bersahabat dengan siapa saja.
PG : Betul. Dan kebutuhan diterima pada masa remaja besar sehingga akhirnya ikut arus, seringkali kita belajar dari kegagalan kita dan mudah-mudahan kita cukup berhikmat sehingga waktu melihat teman-teman sedang membawa kita ke dalam sebuah jurang maka kita bisa berkata, "Tidak mau dan berhenti". Sudah tentu di sini peranan firman Tuhan sangat penting dalam hidup kita, kalau kita tidak punya firman Tuhan dan tidak takut akan Tuhan maka akan susah dan kita ikut saja.
DL : Tapi ada juga, Pak Paul, dia orang kristen tapi dia punya sahabat bukan orang seiman namun mereka bisa jalan sama-sama.
PG : Sebab tidak harus orang yang tidak seiman dengan kita berkarakter buruk. Banyak orang di dunia ini yang berkarakter terpuji dan tidak apa-apa kita bersahabat dengan orang yang berkarakter terpuji walaupun tidak seiman dengan kita sebab memang sekali lagi yang penting dalam bersahabat adalah kita memilih orang yang berkarakter baik, orang yang takut akan Tuhan dan yang tidak hidup sembarangan dalam dunia ini.
GS : Kalau di dalam persahabatan, Pak Paul tadi katakan, "Kita punya hak, hak yang menentukan kita mau bersahabat dengan dia atau tidak", tapi disamping itu juga ada kewajiban, kewajiban apa saja misalnya yang harus dipenuhi oleh seorang sahabat?
PG : Prinsip kedua yang berkaitan dengan yang Pak Gunawan tanyakan adalah kita itu harus setia. Kalau kita berkata, "Baiklah saya mau bersahabat maka kita harus bayar harga" dan bayar harganya dengan kesetiaan. Jadi kalau kita mau dikerumuni oleh sahabat maka kita harus mengembangkan sifat setia. Amsal 20:6 berkata, "Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?". Di firman Tuhan dengan jelas mengungkapkan sebuah fakta bahwa di dunia itu tidak banyak orang yang setia, banyak orang yang hanyalah bersama dengan kita selama kepentingannya terpenuhi, tapi tatkala dia harus mengorbankan diri mendampingi kita maka banyak orang tidak mau. Jadi betul ketidaksetiaan itu merupakan pertanda hadirnya sifat mementingkan diri yang kuat. Jadi orang yang tidak setia mungkin tidak berniat atau berbuat jahat kepada sahabatnya, namun yang pasti adalah orang yang tidak setia menempatkan kepentingan dirinya diatas kepentingan diri orang lain.
DL : Jadi kalau dia bersahabat, dia tidak boleh egois? Tapi pada waktu tertentu kadangkala kita merasa kepentingan kita ada yang lebih utama dari kepentingan sahabat kita, bagaimana Pak Paul?
PG : Sudah tentu kita tidak selalu mengorbankan kepentingan kita demi kepentingan sahabat kita, sebab seyogianyalah itu berjalan dua arah. Jadi teman kita pun yang kita panggil sahabat kadang mengalah demi kepentingan kita pula, dengan cara itulah persahabatan itu dipelihara, kalau dua-dua berusaha untuk mengutamakan satu sama lain dan bukan mengutamakan kepentingannya sendiri. Tapi dapat kita simpulkan di sini, Bu Dientje, bahwa jika kita ingin membangun karakter setia, terlebih dahulu kita harus mengikis sifat egois, selama ego memerintah dengan kuat semua keputusan akhirnya diambil berdasarkan satu kriteria yaitu apakah memberi manfaat bagi saya atau tidak, selama menguntungkan kita akan terus berteman dan bila tidak kita pun dengan cepat meninggalkannya. Kalau kita adalah orang yang berego besar hampir dapat dipastikan pada akhirnya kita tidak memunyai sahabat.
GS : Tapi memang persahabatan itu harus saling menguntungkan supaya persahabatan itu bisa langgeng dan memang tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan. Kalau terus menerus dia menjadi korban, maka dia akan mengundurkan diri.
PG : Betul. Jadi memang dua-dua harus saling mementingkan satu sama lain, sebab kalau satu saja akhirnya terjadilah ketimpangan dan lama-lama yang terus berkorban bagi temannya maka lama-lama akan lelah dan berkata, "Tidak sanggup" sebab memang persahabatan itu harus saling mengisi, jadi konsep persahabatan harus dua arah dan saling mengisi, dimana tidak ada lagi saling mengisi maka persahabatan itu akan berhenti.
GS : Apakah kesetiaan itu harus dibuktikan sampai walaupun sahabat kita meninggal. Jadi tadi contohnya kalau saya katakan Daud dan Yonatan, ketika Yonatan sudah meninggal pun Daud masih tetap setia pada janjinya untuk memelihara Mefiboset.
PG : Betul sekali. Jadi kita itu harus menghormati janji kita, sehingga kita terus berusaha untuk memenuhinya meskipun orang tersebut sudah tidak ada lagi. Sudah tentu kita harus timbang-timbang, misalnya ada orang berjanji kepada orang yang sedang meregang nyawa, tapi sebetulnya dia tidak bisa memenuhi janji tersebut. Supaya menyenangkan hati orang yang akan mati akhirnya dia katakan, "Iya saya akan begini dan begitu" sudah tentu dalam hal ini dia harus pertimbangkan ulang, apakah itu suatu janji yang bisa dia tepati atau tidak, tapi pada prinsipnya janji yang kita berikan kepada sahabat kita maka harus sedapat-dapatnya ditepati, sebab atas dasar kesetiaanlah persahabatan itu didirikan.
GS : Kalau ada persahabatan yang sudah lama kemudian karena suatu sebab persahabatan itu bubar, sebenarnya apa yang menjadi penyebab utama, Pak Paul?
PG : Sebetulnya, Pak Gunawan, banyak penyebab kenapa persahabatan itu bisa retak, tapi yang menarik adalah kebanyakan sebetulnya persahabatan retak bukan karena perbuatan jahat, bukan karena kita merampok sahabat kita, tapi sebetulnya kebanyakan persahabatan akhirnya rusak oleh karena pembicaraan yang tidak tepat. Itu sebabnya firman Tuhan mengajarkan kita untuk berhati-hati dengan perkataan. Di Amsal 17:27 firman Tuhan berkata, "Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin". Jadi jangan sembarangan menegur atau mengeluarkan perkataan yang tidak bijak, jangan beranggapan bahwa oleh karena dia adalah sahabat maka pastilah mengerti isi hati kita bahwa kita tidak berniat buruk. Masalahnya adalah orang hanya dapat mengerti sekali atau dua kali, orang tidak akan mudah percaya bahwa kita tidak berniat buruk kepadanya bila kita terus mengulang perbuatan yang sama atau melontarkan perkataan yang buruk kepadanya. Lama kelamaan orang akan menyimpulkan bahwa kita tidak memedulikan dirinya atau perasaannya, itu sebabnya kita bicara seenaknya kepadanya. Jadi kalau kita mau dikelilingi oleh sahabat, maka ini prinsip yang sangat penting yaitu jagalah mulut dan jangan berbicara sembarangan dan seenaknya kepadanya atau berbicara tentang dirinya kepada orang lain, jadi itu harus dijaga.
GS : Kalau seseorang memang setia, apakah mungkin dia menjelekkan orang itu atau mengeluarkan perkataan yang bisa menyinggung perasaan sahabatnya, Pak Paul?
PG : Kadang kita tidak berniat buruk, kadang karena kurang berhati-hati dan kita kemudian menceritakan sesuatu tentang dirinya kepada orang lain dan ini sering terjadi. Akhirnya dia dengar dan dia marah sekali kemudian dia berkata, "Saya percaya kepada kamu, kamu dekat dengan saya makanya saya cerita ini tapi kenapa kamu ceritakan kepada orang lain" orang itu mungkin berkata, "Saya pikir karena kamu cerita kepada saya maka kamu tidak keberatan kalau saya cerita kepada orang lain". Tidak seperti itu. Justru kalau kita tahu dia adalah sahabat kita maka kita harus berhati-hati berbicara tentang apa yang dia sampaikan kepada kita sebab kenyataan dia menganggap kita sahabat berarti dia merasa lebih bebas untuk menceritakan hal-hal yang sangat pribadi dan mungkin sekali dia tidak akan menceritakan itu kepada orang lain yang dia anggap bukan sahabatnya. Jadi penting kita menjaga bicara kita. Kalau misalnya kita tidak berhati-hati gara-gara bicara tentang dia akhirnya dia dengar dan dia putus hubungan karena tersinggung, atau ketika kita sedang bicara dengan dia mungkin karena kita sedang bergebu-gebu ingin memberikan nasehat akhirnya keluarlah kata-kata yang kasar dan dia menjadi sakit hati dan berkata, "Kenapa kamu bicara seperti itu kepada saya, itu tidak perlu". Jadi dengan kata lain, kita belajar bahwa persahabatan itu tidak membuat perasaan kita tiba-tiba menjadi kebal, sehingga apapun yang teman atau sahabat kita katakan "tidak apa-apa" sebenarnya "apa-apa", sebab perasaan itu ada dan tetap kita mau dihormati dan dihargai. Jadi kalau kita bicara sembarangan maka akan melukai.
DL : Tapi di dalam persahabatan ada keterbukaan, jadi kita bisa bicara kalau dia keliru tapi dalam situasi yang baik, tempat yang baik dan tepat. Maksudnya seperti itu, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi kita tidak boleh berdalih karena kita sahabat maka kita lebih enak bicara sembarangan, bebas dan sebagainya. Yang sering kita katakan adalah "Karena kita sahabat maka saya berbicara apa adanya, kalau saya tidak suka maka akan saya katakan", justru tidak. Karena dia sahabat hal itu sangat menyakitkan tapi justru kita harus lebih berhati-hati dan tidak bisa sembarangan.
GS : Itu sebabnya ketika Ayub ditegur dan dinasehati, walaupun itu sahabatnya sendiri dia mengatakan kalau ini adalah sahabat sialan dan dia marah dengan omongan mereka.
PG : Betul sekali. Walaupun sesungguhnya mereka berniat sangat baik dan begitu baiknya sehingga mereka rela berhari-hari duduk menemani Ayub tanpa mengatakan apa-apa, dan masalahnya waktu mengatakan apa-apa justru salah kaprah.
DL : Oleh sebab itu kita harus minta hikmat Tuhan untuk berbicara pada waktu yang tepat agar perkataan kita tidak menyakitkan.
PG : Betul. Dan jangan ragu untuk minta maaf kalau kita salah, jangan beranggapan karena dia sahabat maka dia pasti mengerti dan tidak perlu minta maaf, tidak. Tapi tetap persahabatan itu menuntut kita mengaku salah dan meminta maaf kalau kita memang berbuat salah. Jadi jangan sampai salah konsep karena kita sahabat kemudian kita tidak minta maaf kepadanya. Sahabat tidaklah memberikan kita jalan tol, yang tidak ada hambatan dan semau kita.
GS : Sehubungan dengan omongan ini, apakah janji termasuk di situ? Maksudnya sebagai seorang sahabat kita harus teguh memegang janji kita, begitu Pak Paul?
PG : Setuju sekali. Jadi itu sangat penting di dalam persahabatan, apa yang telah kita katakan atau janjikan maka kita penuhi sebab seberapa banyak orang yang dalam kesusahan, sebetulnya mengharapkan kita menolong sebagai sahabat. Meskipun dia tidak meminta kepada kita, tapi dia mengharapkan kita menolong karena di dalam persahabatan yang dekat, seolah-olah sudah terucapkan sebuah janji bahwa saya akan menolongmu, kalau tidak maka itu bukan persahabatan. Jadi persahabatan itu memang seolah-olah sudah mengandung janji, "Saya akan menolongmu". Itu sebabnya tatkala kita sedang dalam kesusahan dan yang kita anggap sahabat tidak memerhatikan dan mengulurkan tangan serta menawarkan bantuan, maka kita akan kecewa sekali, meskipun orang yang di pihak sana bisa berkata, "Kamu tidak minta apa-apa, bagaimana saya tahu kamu membutuhkan". Dari pihak kita akan berkata, "Apakah perlu sampai saya harus meminta-minta, bukankah engkau sudah tahu dan aku adalah sahabatmu". Intinya dalam persahabatan ada janji untuk saling menolong.
GS : Apakah suatu persahabatan harus dibina dan dikembangkan terus? Masalahnya sikap yang bagaimana yang bisa menunjang supaya persahabatan ini tetap kokoh, Pak Paul?
PG : Satu sikap dasar yang sangat penting adalah kerendahan hati. Kerendahan hati yang membuat kita rela mengutamakan satu sama lain. Jadi benar-benar kalau kita melihat kenapa ada orang-orang bisa dikelilingi oleh begitu banyak sahabat, selain dari kesetiaan saya lihat ciri satunya lagi adalah rendah hati, dia rela mengutamakan yang lain, rela untuk menomorduakan dirinya. Amsal 18:12 berkata, "Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan". Sebaliknya tinggi hati membuat kita beranggapan bahwa kita adalah yang terpenting dan orang harus mengikuti dan menghargai kita, ini adalah penghancur persahabatan. Banyak persahabatan diawali oleh kesiapan untuk mendahulukan satu sama lain, sayangnya seiring dengan berjalannya waktu masing-masing mulai menaruh kepentingan pribadi di atas kepentingan yang lain. Kalau kita ingin melanggengkan persahabatan, maka kita harus mendahulukan kepentingan sahabat dan menomorduakan kepentingan sendiri. Salah satu alasan kenapa akhirnya kita mendahulukan kepentingan sendiri adalah karena kita merasa telah berjasa. Kita melihat bahwa di dalam relasi ini kitalah yang telah berbuat banyak dan oleh karena kita ia telah mendapatkan banyak keuntungan, ini yang kadang terbersit dalam pikiran kita, sehingga kita mulai memfokuskan pada diri sendiri dan menghitung-hitung berapa besar pengorbanan yang telah kita lakukan dan berapa banyak sumbangsih yang telah kita berikan, itu tidak bisa. Orang yang dicintai sahabat adalah orang yang tidak menghitung pengorbanan dan bersedia memberi lebih besar kepada temannya, oleh karena dia rendah hati maka dia bersedia untuk mengedepankan kepentingan temannya. Oleh karena dia rendah hati dia tidak melihat diri sepenting itu tapi sebaliknya dia melihat temannya penting dan memerlakukan temannya sebagai orang yang penting.
DL : Saya ingin tanya, apakah dengan bersikap rendah hati seseorang itu tidak diperlakukan seenaknya oleh sahabatnya ? Kalau seorang sahabat harus rendah hati bukan berarti dia hanya menurut kata sahabatnya sehingga dia tidak memunyai pendirian dan betul-betul tulus diperlakukan seenaknya. Apakah begitu, Pak Paul?
PG : Tidak. Tapi kita rendah hati dalam pengertian kita mencoba mengutamakan teman tapi kita juga harus menjaga jangan sampai kita jelas-jelas hanyalah dimanfaatkan dan diperlakukan seenaknya, sebab sekali lagi saya sudah katakan langkah pertama adalah kita harus berhati-hati memilih sahabat. Jadi kalau kita melihat orang ini hanya bisa memanfaatkan kita maka kita tidak perlu lagi meneruskan persahabatan ini sebab sebetulnya ini bukanlah persahabatan, tapi mirip seperti perampokan. Jadi rendah hati bukanlah diperlakukan seenaknya, kalau kita sebagai orang tua harus mengingatkan anak-anak kita agar anak kita tidak mudah diperlakukan seenaknya oleh teman-temannya, tapi kita harus melindungi mereka.
GS : Memang kerendahan hati ini adalah salah satu sifat, sikap atau karakter yang sangat dibutuhkan dalam kita berelasi terutama dengan sahabat, kalau kita terus menyombongkan diri kita maka dia akan merasa tersingkirkan, "Saya ini kamu anggap apa? Tidak ada prestasinya sama sekali" dan ini membuat keretakan di sana.
PG : Saya bicara seperti ini sebab ini terjadi, kadang-kadang orang berkata seperti itu, "Gara-gara saya dia menjadi seperti ini, kalau tidak ada saya maka dia tidak akan menjadi seperti ini" akhirnya itu yang menghancurkan persahabatan.
GS : Contoh konkret yang Tuhan Yesus tunjukkan kepada sahabat-sahabat-Nya adalah waktu Tuhan Yesus mencuci kaki mereka, itu adalah tindakan nyata yang bisa dirasakan oleh semua orang.
PG : Betul, itu adalah kerelaan hati untuk berkorban sebab Tuhan Yesus sendiri berkata bahwa, "Seorang sahabat akan rela untuk meletakkan nyawanya bagi sahabatnya" dan itu yang Dia lakukan bagi kita. Jadi memang kita harus belajar menomorduakan diri dan mengedepankan kepentingan orang.
GS : Pak Paul, sebetulnya masih banyak hal yang bisa kita bicarakan tentang hikmat dalam bersahabat namun karena waktunya sudah sampai maka kita harus akhiri dulu perbincangan kita di sini. Saya harap kita masih bisa memperbincangkannya pada kesempatan yang akan datang dan kita berharap bahwa para pendengar kita juga akan mengikuti perbincangan ini selanjutnya. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hikmat Dalam Bersahabat". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
52. Hikmat Dalam Bersahabat II | |
Bersahabat bukanlah sesuatu yang hanya diberikan kepada orang tertentu; semua diberikan kesempatan untuk bersahabat. Di sini kita bisa melihat Firman Tuhan dan memetik tujuh pelajaran yang dapat kita terapkan dalam membangun persahabatan, dua diantaranya adalah
Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri sebuah pemakaman seorang hamba Tuhan. Lebih dari seribu orang yang datang melayat. Bahkan pada masa sakitnya pun, begitu banyak orang yang datang menjenguk sampai-sampai pihak keluarga harus membatasi jumlah pengunjung. Satu hal yang menarik adalah si hamba Tuhan bukanlah gembala sidang dari sebuah gereja yang besar. Dan, sepanjang saya mengenalnya, ia pun bukanlah seorang pengkhotbah dan pengajar bertalenta besar. Ia seorang yang bersahaja namun ia dikasihi oleh begitu banyak orang dan mempunyai begitu banyak sahabat.
Ada orang yang kadang mengeluhkan bahwa tidak ada orang yang bersedia bersahabat dengannya. Pada kenyataannya ada atau tidak adanya sahabat bergantung pada diri sendiri. Bersahabat bukanlah sesuatu yang hanya diberikan kepada orang tertentu; semua diberikan kesempatan untuk bersahabat. Nah, marilah kita melihat Firman Tuhan dan memetik beberapa pelajaran yang dapat kita terapkan dalam membangun persahabatan.
PERTAMA DAN MUNGKIN TERUTAMA ADALAH KITA HARUS BERHATI-HATI MEMILIH SAHABAT. Amsal 12:26. "A righteous man is cautious in friendship but the way of the wicked leads them astray." Tuhan tidak memerintahkan kita untuk bersahabat dengan siapa saja. Justru dari Kitab Amsal kita dapat melihat begitu banyaknya nasihat untuk tidak hidup berdekatan dengan orang yang tidak berhikmat dan berdosa.
Firman Tuhan dengan jelas mengatakan bahwa permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan (Amsal 1:7) dan di dalam takut akan Tuhan kita menjauh dari dosa. Jadi dari sini kita bisa memetik satu pelajaran yang penting: DI DALAM MENJALIN PERSAHABATAN, KITA MEMUNYAI HAK DAN KEWAJIBAN UNTUK MEMILIH. Kita tidak harus selalu menerima uluran tangan orang untuk bersahabat dengan kita. Paulus dengan tegas mengingatkan bahwa teman yang tidak baik dapat merusak karakter kita yang baik (1 Korintus 15:33). Jadi, berhati-hatilah memilih sahabat.
KEDUA, OLEH KARENA PERSAHABATAN DIDIRIKAN DI ATAS KESETIAAN, MAKA KITA PUN HARUS MENGEMBANGKAN SIFAT SETIA. Amsal 20:6. "Banyak orang menyebut diri baik hati tetapi orang yang setia siapakah menemukannya?" Sebetulnya, ketidaksetiaan merupakan pertanda hadirnya sifat mementingkan diri yang kuat. Orang yang tidak setia mungkin tidak berniat atau berbuat jahat kepada sahabatnya. Namun yang pasti adalah orang yang tidak setia menempatkan kepentingan diri di atas kepentingan orang lain.
Jadi, dari sini kita dapat menyimpulkan jika kita ingin membangun karakter setia, terlebih dahulu kita harus mengikis sifat egois. Selama ego memerintah dengan kuat, semua keputusan diambil berdasarkan satu kriteria saja: "Apakah memberi manfaat buat saya atau tidak?" Selama menguntungkan, kita akan terus berteman. BIla tidak, kita pun dengan cepat meninggalkannya. Jika kita adalah orang yang berego besar, hampir dapat dipastikan pada akhirnya kita tidak mempunyai sahabat.
KETIGA, BANYAK PERSAHABATAN RETAK BUKAN KARENA PERBUATAN JAHAT—SEPERTI FITNAH ATAU DUSTA— MELAINKAN KARENA OMONGAN YANG TIDAK TEPAT. ITU SEBABNYA FIRMAN TUHAN MENGAJARKAN KITA UNTUK BERHATI-HATI DENGAN PERKATAAN. Amsal 17:27. "Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin". Jangan sembarang menegur atau mengeluarkan perkataan yang tidak bijak. Jangan beranggapan bahwa oleh karena ia adalah sahabat maka ia akan mengerti isi hati kita—bahwa kita tidak berniat buruk.
Kalau kita ingin dikelilingi sahabat, jagalah mulut. Jangan bicara sembarangan dan seenaknya kepadanya atau tentang dirinya kepada orang lain.
KEEMPAT, PERSAHABATAN DIDIRIKAN DI ATAS KESEDIAAN UNTUK MENDAHULUKAN KEPENTINGAN SATU SAMA LAIN DAN ITU HANYA DAPAT TERJADI BILA KITA RENDAH HATI. Amsal 18:12. "Tinggi hati mendahului kehancuran tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan". Banyak persahabatan diawali oleh kesiapan untuk mendahulukan satu sama lain. Sayangnya seiring dengan berjalannya waktu masing-masing mulai menaruh kepentingan pribadi di atas kepentingan yang lain. Jika kita ingin melanggengkan persahabatan, kita harus mendahulukan kepentingan sahabat dan menomorduakan kepentingan sendiri. Salah satu alasan mengapa pada akhirnya kita mendahulukan kepentingan sendiri adalah karena kita merasa telah berjasa. Orang yang dicintai sahabat adalah orang yang tidak menghitung pengorbanan dan bersedia untuk memberi lebih besar kepada temannya. Oleh karena ia rendah hati, ia bersedia untuk mengedepankan kepentingan temannya. Oleh karena ia rendah hati, ia tidak melihat diri sepenting itu. Sebaliknya, ia melihat temannya penting dan memerlakukannya sebagai orang yang penting.
KELIMA, UJIAN PERSAHABATAN ADALAH KESUKARAN. Amsal 17:17, "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran." Sewaktu kita berada di dalam kesukaran, secara alamiah kita akan menengok kepada sahabat dan berharap pada pertolongannya. Kita tidak akan menoleh kepada orang yang bukan sahabat dan tidak berharap apa pun darinya. Kepada sahabatlah kita berharap dan inilah menjadi ujian terbesar. Bila kita menolak membantu atau menghindar agar tidak harus memberi bantuan, yakinlah bahwa pada saat itu kita tengah memutuskan tali persahabatan. Jadi, jika mau dikenal sebagai sahabat kita mesti mendampingi teman, baik dalam suka maupun duka. Bila kita mau berteman hanya pada masa senang, itu menandakan bahwa kita bukanlah teman sejati. Singkat kata, sebenarnya kesusahan menjadi penguji persahabatan sebab kesusahan teman menuntut kita untuk membayar harga. Kesediaan kita untuk membayar harga menunjukkan seberapa besar nilai yang kita berikan pada persahabatan itu.
KEENAM, CIRI BERIKUT INI MERUJUK KEPADA ORANG YANG MURAH HATI. Amsal 11:25. "Siapa banyak memberi berkat diberi kelimpahan, siapa memberi minum ia sendiri akan diberi minum". Ciri ini berbeda dari kesediaan memberi pertolongan kepada teman dalam kesusahan. Dengan kata lain, ia siap dan senang memberi. Ia memberi bukan hanya karena diminta bantuannya; ia memberi oleh karena itulah sifat utamanya. Dan, sewaktu memberi, ia pun memberi dengan berkelimpahan. Salah satu sifat yang menjamin kepastian orang akan menjauh adalah sikap kikir. Orang yang kikir mungkin masih bersedia memberi tetapi kalaupun ia memberi itu dikarenakan ia terpaksa memberi. Mungkin ia mendapat tekanan untuk memberi mungkin itulah kewajiban. Atau, mungkin karena ia dimintai bantuannya dan ia sukar menolak. Itu sebabnya ia memberi karena terpaksa.Selain dari itu orang yang kikir memberi ala kadarnya. Ia memberi hanya untuk menunjukkan ia telah memberi, tidak peduli apakah pemberiannya mencukupi kebutuhan atau tidak. Sebaliknya dengan orang yang murah hati—ia memberi bukan karena TERPAKSA namun karena TERGERAK. Ia memberi bukan untuk memenuhi persyaratan atau tuntutan tetapi karena ia bergembira dapat membagi berkat dengan sesama. Itu sebabnya ia memberi dengan berkelimpahan, jauh melebihi jumlah yang diharapkan.Orang yang murah hati akan dikelilingi oleh sahabat. Ia tidak takut kehilangan teman sebab pada kenyataannya temanlah yang takut kehilangan dirinya. Itu sebabnya Firman Tuhan berkata, "siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum."
KETUJUH, SALAH SATU KARAKTERISTIK YANG DICARI ORANG DALAM PERSAHABATAN ADALAH RAJIN. Amsal 10:4,"Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya." Secara alamiah kita tertarik untuk dekat dengan orang yang rajin dan menjauh dari orang yang malas. Persahabatan dibangun di atas inisiatif kedua belah pihak. Ibarat roda, persahabatan tidak berputar dengan sendirinya; kita mesti memutarnya—bersama-sama. Itu sebabnya kedua belah pihak seyogianyalah rajin-rajin memelihara komunikasi, rajin-rajin memperhatikan keadaan dan kebutuhan satu sama, dan rajin-rajin mencari kesempatan untuk berbagi suka dan duka bersama.
KESIMPULAN
Amsal 11:3 berkata, "Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya." Kata jujur yang digunakan di sini merujuk kepada integritas yang mengandung makna, jujur dan tulus. Orang yang berintegritas bukan saja berarti apa adanya dalam dan luar, tetapi juga berakhlak tinggi. Jika kita ingin dicari orang sebagai seorang sahabat kita pun mesti memiliki karakter integritas ini. Kita mesti memulainya dengan bersikap jujur dan membuang jauh-jauh kepura-puraan. Kata yang digunakan dalam ayat ini, "pengkhianat" sebagai lawan dari kata "jujur" sebenarnya berarti "bermuka dua." Benar sekali firman Tuhan sebab memang bukankah kebohongan dan akhirnya pengkhianatan diawali oleh "bermuka dua"?
Kita tidak bisa menjadi sahabat baik kalau kita bermuka dua. Kita harus bersikap jujur kepadanya sebab kejujuran adalah landasan kepercayaan. Tanpa kejujuran, tidak akan ada kepercayaan. Dan, tanpa kepercayaan tidak akan ada persahabatan. Namun, di samping kejujuran, kita pun harus memelihara akhlak yang tinggi yaitu akhlak yang menyerupai karakter Kristus—penuh kasih dan penyayang serta berani menegakkan kebenaran dan keadilan.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Hikmat dalam Bersahabat". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita memperbincangkan tentang bagaimana kita harus berhikmat di dalam bersahabat, artinya kita tidak bisa sembarangan di dalam bersahabat, kita punya hak dan kewajiban dalam bersahabat, namun perbincangan itu belum tuntas dan kita akan tuntaskan pada perbincangan yang kedua ini. Namun agar para pendengar memunyai gambaran yang lebih lengkap mengenai perbincangan ini, bolehkah saya minta kesediaan Pak Paul untuk mengulas secara singkat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau?
PG : Kita membicarakan tentang betapa pentingnya bersahabat, sebab kita tahu bahwa persahabatan sangatlah berguna dan penting dalam kehidupan kita terutama waktu kita mengalami kesulitan, di situlah kita bergantung kepada sahabat untuk memberikan dukungan kepada kita. Jadi kita membicarakan apa yang harus dilakukan untuk membangun persahabatan. Sebagai pembukaan kita harus berhati-hati dalam memilih sahabat, bukan berarti orang yang mau bersahabat dengan kita harus selalu kita terima. Kalau kita tahu orang ini membawa pengaruh buruk dan orang ini hanya mau memanfaatkan kita, maka kita tidak harus bersahabat dengan setiap orang. Yang kedua kita juga belajar membangun karakteristik dalam persahabatan, kita membicarakan tentang kesetiaan dan kerendahan hati karena persahabatan didasari atas dua faktor, orang ini harus setia dan juga harus mementingkan kepentingan sahabatnya. Kita juga bicara tentang kita harus menjaga mulut kita, sebab seringkali persahabatan itu runtuh gara-gara omongan kita yang tidak tepat, kita bicara sembarangan, kita bicara yang bukan-bukan tentang sahabat kita dan akhirnya sahabat kita menjadi marah. Jadi seringkali persahabatan itu dihancurkan bukan oleh perkara besar, tapi oleh perkara kecil yaitu mulut kita yang tidak kita jaga dengan baik.
GS : Setelah hal-hal yang pernah kita bicarakan, apakah masih ada hal lain yang perlu kita perhatikan dalam membina suatu persahabatan, Pak Paul?
PG : Kita harus menyadari bahwa sebetulnya ujian dalam persahabatan adalah kesukaran. Amsal 17:17 berkata, "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran". Sewaktu kita berada dalam kesukaran secara alamiah kita akan menengok pada sahabat dan berharap pada pertolongannya, kita tidak akan menoleh kepada orang yang bukan sahabat dan kita tidak akan berharap apa pun darinya, kepada sahabat kita berharap. Maka ini menjadi ujian terbesar, bila kita misalnya menolak membantu atau menghindar agar tidak harus memberi bantuan maka saya yakin pada saat itu kita tengah memutuskan tali persahabatan, jadi jika kita ingin dikenal sebagai sahabat maka kita harus mendampingi teman, baik dalam suka atau duka. Kalau kita mau berteman hanya pada masa senang itu menandakan kalau kita bukanlah teman sejati. Saya melihat seperti yang saya sebut di dalam rekaman yang sebelumnya tentang seorang pendeta yang dikelilingi oleh begitu banyak sahabat, saya ingat dalam salah satu acara seorang hamba Tuhan yang lain bangkit berdiri dan berkata bahwa, "Waktu dia dalam kesusahan justru dia diajak makan oleh pendeta ini", jadi dia berkata, "Inilah seorang sahabat, waktu saya ditolak, dikucilkan ada orang yang menjangkau, menarik saya dan menerima saya". Jadi sekali lagi itulah ujian persahabatan adalah kesukaran, kalau kita belum menemui kesukaran bersama maka kita belum menemui ujian itu, kalau ada kesukaran dan orang itu bersama dengan kita dalam kesukaran maka kita bisa berkata dia sahabat kita.
GS : Kenapa pada waktu kesukaran orang lebih mudah menoleh ke sahabat daripada kepada saudara kandungnya sendiri, Pak Paul?
PG : Sebab kita tahu bahwa yang membuat kita dekat dengan seseorang dan percaya kepada seseorang bukanlah status, tapi karakternya atau kebaikannya, kesetiaannya. Jadi kalau kita tahu dia adalah orang yang setia dan baik, bersedia menolong, dia adalah orang pertama yang akan kita hubungi dalam kesusahan. Sedangkan kalau kita tahu saudara kita tidak memiliki karakteristik seperti itu maka kita tidak mau datang kepada dia karena nanti kita akan ditolak atau disuruh mengurus sendiri, jadi kita tidak mau.
DL : Itu benar. Pada waktu saya harus operasi lutut, sendi yang hancur, saya tidak lari kepada saudara saya tapi ada orang Kristen yang pernah mengatakan kepada saya, "Kalau Ibu membutuhkan maka saya bantu" dan ketika saya ke sana ternyata memang saya benar-benar tertolong sehingga saya bisa operasi dengan uang muka dan itu dipenuhi dan kemudian ada hamba Tuhan yang menutup semua itu. Saya masuk dengan hutang, tapi saya keluar tanpa hutang, puji Tuhan, itu saya melihat bahwa ini benar-benar sahabat dalam kesulitan pada waktu saya membutuhkan.
PG : Betul. Memang jadinya penyebab mengapa adakalanya kita tidak bersedia mendampingi teman dalam kesusahan adalah karena kita tidak mau disusahkan olehnya. Jadi dalam persahabatan, kesusahan teman seyogianyalah menjadi kesusahan kita pula, sudah tentu waktu kita memberikan pertolongan kepada teman maka kita harus merugi atau kehilangan sesuatu. Tadi Ibu cerita seperti itu maka jelas-jelas orang yang membantu Ibu akan harus kehilangan sesuatu entah itu dana dan sebagainya, jadi mereka harus berkorban, tapi justru itulah yang membuktikan persahabatan bahwa mereka mau menolong Ibu dalam kesukaran.
DL : Dan akhirnya hutang itu bisa saya ganti selama saya di rumah sakit, karena ada hamba Tuhan yang memberi dan saya tidak minta sama sekali.
PG : Jadi memang kesediaan kita untuk membayar harga, maksudnya menolong teman dalam kesukaran menunjukkan seberapa besar nilai yang kita berikan kepada persahabatan itu. Jika kita hanya bersedia membayar sedikit, atau menolong sedikit itu menandakan bahwa persahabatan itu hanya bernilai sedikit pula, sebaliknya jika kita bersedia membayar besar itu berarti kita memberi penghargaan yang tinggi pula pada persahabatan. Orang-orang seperti itu karena mereka rela memberi begitu besar kepada Ibu, maka itu menunjukkan atau menilai Ibu setinggi itu, dan mereka menilai Ibu seberharga itulah. Jadi sekali lagi orang yang dikelilingi oleh sahabat adalah orang yang memberi penghargaan tinggi kepada sahabatnya juga. Jadi kalau kita tidak memberi penghargaan tinggi pada sahabat kita, maka jangan berharap orang akan bersahabat dengan kita. Jadi benar-benar kita menghargai dia dan menganggap dia orang yang sangat bernilai.
GS : Tadi Pak Paul menyampaikan bahwa kita di dalam kesukaran menemukan sahabat, apakah di dalam kesenangan atau kebahagiaan kita tidak bisa menemukan sahabat?
PG : Sudah tentu bisa, tapi kita tidak tahu sebab ujiannya adalah kesukaran. Dalam kesenangan kita tidak bisa tahu dengan pasti. Contoh yang paling klasik adalah bukankah pada waktu seseorang jaya, dia dikelilingi oleh begitu banyak teman dan sewaktu dia berkuasa banyak sekali temannya tapi begitu dia tidak berkuasa semua pada menghilang, jadi hanya sedikit yang akan bersamanya. Kita harus akui bahwa manusia itu tidak sempurna bahkan murid Tuhan Yesus pun lari pada waktu Tuhan ditangkap. Akhirnya yang mengikut dari jauh adalah Petrus dan Yohanes, tapi dari jauh sebab mereka takut. Jadi sekali lagi kita melihat mencari sahabat susah sehingga seperti kita baca dari firman Tuhan siapakah yang dapat menemukan sahabat? Tidak banyak di dunia ini.
GS : Tapi ada orang yang menggunakan kesempatan itu, melihat teman (yang awalnya teman) mengalami kesulitan lalu mereka dekat sekali dengan orang ini dengan harapan dia bisa menjadi sahabatnya, sebenarnya dia punya motivasi lain.
PG : Sekali lagi, kita harus berhati-hati atau menguji.
DL : Biasanya persahabatan seperti itu hanya singkat?
PG : Biasanya karena ada maksud yang tersembunyi yang kurang baik biasanya tidak bertahan lama. Tapi kalau orang itu mau memanfaatkan kita maka dia akan terus bersikap seolah-olah dia seorang sahabat, jadi kita harus berhati-hati.
DL : Saya ingat waktu ayah saya masih hidup banyak orang yang dekat dengan dia tapi setelah dia meninggal barulah kita bisa menghitung satu-satu yang betul-betul menjadi sahabatnya papa yang datang, yang memerhatikan. Itu betul, Pak Paul.
PG : Betul. Secara berkala saya mengunjungi seseorang di rumah jompo, umurnya baru 50-an tapi dia lumpuh dari leher ke bawah karena 6 tahun yang lalu mobilnya mau dirampok, kejadian ini di Amerika dan kemudian dia ditembak dan pelurunya bersarang di leher sehingga melumpuhkan tubuhnya. Dia cerita bahwa dia mencatat tahun pertama atau bulan pertama setelah dia ditembak masuk rumah sakit dirawat, dia sebut ada berapa ratus atau berapa ribu orang yang datang menengok dia dan sekarang dia bilang sudah 5 atau 6 tahun ini yang datang mengunjungi dia hanya beberapa orang secara berkala. Dan dia berkata, "Inilah sahabat saya yang tetap memerhatikan saya".
GS : Itu ada faktor kesetiaan yang pernah kita bicarakan beberapa waktu yang lalu, Pak Paul.
PG : Betul. Pada saat di rumah sakit dan kalau saya tanya pada diri saya sebetulnya apa gunanya saya ke sana, sebetulnya dia lumpuh dan di kursi roda, apakah saya mendapatkan apa-apa dari dia dan sebenarnya memang saya tidak mendapatkan apa-apa. Jadi persahabatan yang sudah kita singgung harus mementingkan orang dan kita tidak mementingkan kepentingan diri. Kenapa saya menengok dia secara berkala, sebab dia memang butuh saya, dia butuh orang untuk datang menjenguknya, kalau tidak dia kesepian, jadi benar-benar bukan untuk kepentingan diri sendiri, tapi untuk kepentingan orang lain. Persahabatan dibangun di atas kerendahan hati dan sebuah kesiapan untuk berbuat demi orang lain dan bukan demi kita.
GS : Tapi kita kadang-kadang juga merasa dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengalami musibah atau kesukaran atau bahkan penyakit. Jadi sebenarnya kita mau tetap bersahabat dengan orang ini, tapi karena merasa lama-lama hanya dimanfaatkan lalu menjauh dan persahabatan itu menjadi renggang karena hal-hal itu, jadi dibutuhkan hikmat.
PG : Saya kira kalau orang itu tidak meminta-minta maka kita lebih nyaman untuk memberi, yang membuat kita was-was kalau orang itu dalam keadaan sakit dan sebagainya, kemudian dia datang, dia meminta-minta hal itu yang membuat kita tidak nyaman. Kalau memang dia butuh dan dia tidak minta maka selayaknya kita menolong dan memberi. Jadi kita juga belajar di sini kalau kita dalam keadaan butuh maka jangan minta-minta, sebab kalau kita minta-minta maka akan membuat orang merasa dimanfaatkan. Jadi biarkan orang mengetahui kebutuhan kita dan biarkan dia sendiri yang menolong dengan sendirinya.
GS : Ini repotnya kalau orang di sekeliling kita mengatakan, "Dia adalah sahabatmu" tapi kita merasa ini sudah menyimpang dari apa yang sebenarnya, kita merasa ini pemanfaatan.
PG : Jadi selalu kita harus berhati-hati sebab antara kita diperlukan dan dimanfaatkan batasnya kurang jelas.
GS : Di sana digunakan antara hak dan kewajiban.
PG : Betul.
GS : Pak Paul, hal-hal apa lagi yang harus kita pikirkan baik-baik di dalam persahabatan ini?
PG : Amsal 11:25 berkata, "Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum". Jadi ciri yang bisa kita lihat di sini adalah ciri orang yang murah hati. Orang yang mau menjadi sahabat dan dikelilingi oleh sahabat adalah orang yang murah hati. Dan ciri ini berbeda dengan kesediaan memberi pertolongan kepada teman dalam kesusahan. Dengan kata lain, orang ini siap dan senang memberi, dia memberi bukan hanya karena diminta bantuannya, tapi dia memberi oleh karena itulah sifat utamanya dan sewaktu memberi dia memberi dengan berkelimpahan. Salah satu sifat yang menjamin kepastian orang akan menjauh dari kita adalah sikap kikir. Orang yang kikir mungkin masih bersedia memberi, tapi kalau pun memberi itu dikarenakan dia terpaksa memberi, mungkin dia mendapat tekanan untuk memberi, mungkin karena kewajiban dan mungkin dia dimintai bantuannya dan dia sukar menolak, itu sebabnya dia memang memberi tapi dia memberi karena terpaksa. Selain dari itu orang yang kikir kalau memberi, memberi ala kadarnya dan memberi hanya untuk menunjukkan kalau dia telah memberi, tidak peduli apakah yang dia memberi mencukupi kebutuhan atau tidak. Sebaliknya dengan orang yang murah hati, dia memberi bukan karena terpaksa tapi karena tergerak, ini berbeda. Ia memberi bukan untuk memenuhi persyaratan atau tuntutan tapi karena dia bergembira dapat membagi berkat dengan sesama, itu sebabnya dia memberi dengan berkelimpahan dan jauh melebihi jumlah yang diharapkan. Orang yang murah hati akan dikelilingi oleh sahabat, dia tidak takut kehilangan teman sebab pada kenyataannya temanlah yang takut kehilangan dirinya. Itu sebabnya firman Tuhan berkata, "Siapa memberi minum, maka dia sendiri akan diberi minum", dengan kata lain oleh karena dia murah hati dia dikelilingi oleh banyak teman yang juga peduli dengannya dan juga menyayanginya, ketika dia memerlukan bantuan dan dorongan, teman selalu berada di sampingnya dan siap membantunya.
DL : Pak Paul, adakalanya sikap murah hati merugikan, karena terkadang orang itu terus meminta pertolongan padahal dia bisa mengatasi, tapi dia mengandalkan kita. "Dia pasti menolong, pasti memberi" dan akhirnya dia berpikir karena kita yang suka memberi pastilah kita akan melakukan, sehingga dia seperti itu. Apakah kita tidak membuat orang ini menjadi bergantung kepada kita?
PG : Jadi kalau memang kita lihat orang itu memanfaatkan kita, maka kita bisa menyimpulkan bahwa dia bukanlah bersahabat dengan kita dan karena itulah kita bisa dengan tegas berkata "tidak" kepadanya. Kalau dia tidak bisa terima bahwa kita berkata "tidak" maka dia susah melihat dirinya, bahwa apa yang telah dia lakukan adalah tindakan yang memanfaatkan orang dan itu sebabnya orang tidak suka. Jadi kita juga harus belajar kalau kita butuh pertolongan orang maka kita harus hati-hati dan jangan sampai kita memanfaatkan orang, kita sendiri bisa tapi kita tidak mau orang lain lagi, mungkin orang lain bersedia sekali atau dua kali dimanfaatkan tapi lama kelamaan orang tidak mau, orang yang memanfaatkan orang lain adalah orang yang egois.
GS : Di dalam hal murah hati bukan hanya pemberian secara materi tapi juga hal-hal yang bersifat emosional, kedekatan dan sebagainya, itu juga punya nilai tersendiri di dalam persahabatan.
PG : Betul. Misalnya murah hati dengan waktu, waktu temannya membutuhkan teman untuk bicara maka dia bersedia untuk datang berkunjung dan mengorbankan waktunya, murah hati juga dengan tenaganya karena kadang-kadang kita lelah untuk mengunjungi orang, tapi kita tahu dia sedang butuh sehingga kita ke sana meskipun tubuh sudah letih. Jadi sekali lagi orang yang mau dikelilingi sahabat harus murah hati dan rela berkorban. Orang yang seperti itu justru disayangi dan orang-orang tidak mau kehilangan kita karena akan merasa rugi kehilangan kita, itu sebabnya persahabatan didasari oleh kemurahan hati, orang yang kikir tidak punya sahabat.
GS : Tetapi kepada orang yang bukan sahabat, seseorang juga bisa bermurah hati. Sebenarnya baru ketemu tapi dasarnya orang ini adalah murah hati walaupun bukan sahabat, tapi tetap dia memberikan apa yang orang lain butuhkan, Pak Paul.
PG : Ini poin yang bagus. Jadi orang yang murah hati, maka akan murah hati kepada siapa pun, dan justru orang yang seperti dialah yang akan dikelilingi oleh lebih banyak teman.
DL : Mungkin dia digerakkan Tuhan, Pak Paul.
PG : Betul, dia digerakkan Tuhan bahwa Tuhan telah memberkatinya kenapa dia tidak mau membagi dengan orang lain yang membutuhkan. Jadi pada dasarnya dia adalah seorang yang murah hati.
GS : Pak Paul, apakah ada ciri-ciri yang lain yang harus kita pelajari di dalam persahabatan?
PG : Ciri yang ketujuh dan terakhir adalah rajin. Amsal 10:4 berkata, "Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya". Secara alamiah kita ini tertarik untuk dekat dengan orang yang rajin dan menjauh dari orang yang malas. Kita tidak suka dekat dengan orang yang malas, sedangkan dengan orang yang rajin ingin kita dekati, mungkin secara naluriah kita tahu bahwa orang yang malas hanya akan membawa satu hal saja ke dalam persahabatan yaitu kemalasannya dalam pengertian dia hanya minta dilayani dan tidak mau melayani. Persahabatan dibangun di atas inisiatif kedua belah pihak. Ibarat roda persahabatan tidak berputar dengan sendirinya. Kita harus memutarnya bersama-sama, itu sebabnya kedua belah pihak seyogianyalah rajin-rajin memelihara komunikasi, rajin-rajin memerhatikan keadaan dan kebutuhan satu sama lain dan rajin-rajin mencari kesempatan untuk berbagi suka dan duka bersama. Orang yang malas bukan saja bersikap pasif dan hanya menunggu inisiatif dari pihak kita, tapi dia pun enggan mengeluarkan usaha ekstra untuk memerhatikan kondisi dan kebutuhan kita. Dia lamban memberi bantuan dan memberi bila diminta maka alhasil kita merasa bertepuk sebelah tangan, kita letih dan merasa persahabatan ini tidak lagi berimbang sebab beban berada di pundak kita saja. Sebaliknya dengan orang yang rajin, bukan saja dia dapat terus memercikkan api persahabatan, tapi dia pun akan menerima banyak penghargaan sebab pada dasarnya kita menghargai kerajinan, kita menghormati orang yang rajin sebab kerajinan adalah sebuah karakter yang indah. Sebaliknya dengan kemalasan kita tidak menghormatinya dan kita tahu bahwa persahabatan tidak didirikan di atas rasa tidak hormat, maka sekali lagi karakter rajin ini sangatlah penting.
DL : Jadi inti persahabatan adalah orang itu harus rajin, jujur dan rendah hati, tulus dan berintegritas, itu penting. Bagaimana kita sebagai seorang Kristen bisa menjadi seperti itu, Pak Paul?
PG : Sudah tentu yang pertama kita harus bersedia belajar, bersedia melihat kekurangan diri sebab sekali lagi kita tidak memulai dengan kesempurnaan, saya kira sedikit orang yang mengerti bersahabat sejak awal. Mungkin kita pernah mengecewakan teman, "Harusnya saya menolong kenapa tidak menolong". Jadi kita menyesal dan berkata, "Lain kali saya akan lebih berkorban". Dari hal-hal seperti itulah kita belajar tentang persahabatan dan kita mesti lebih setia dan mengedepankan kepentingannya dan kita harus menjaga mulut kita. Jadi dari kegagalan-kegagalan kita banyak belajar sehingga nanti makin hari kita makin mengerti bagaimana menjaga persahabatan.
GS : Pak Paul, idealnya orang-orang yang serumah dengan kita adalah sahabat kita, jadi kalau kita suami maka harapannya adalah istri sebagai sahabat kita. Kalau kita orang tua maka anak-anak menjadi sahabat kita dan kita menjadi sahabat anak-anak. Tapi faktanya kadang-kadang kita lebih bisa bersahabat dengan orang yang ada di luar rumah kita daripada yang ada di dalam rumah kita. Ini kenapa?
PG : Sebab sekali lagi persahabatan didirikan di atas karakter yang spesifik tadi, kalau tidak ada kemurahan hati, kesetiaan dan kerendahan hati maka tidak bisa bersahabat. Kalau tidak ada karakter itu bahkan dengan orang serumah pun maka tidak bisa bersahabat, maka tidak jarang dalam rumah tangga misalnya ada 5 atau 6 anak tidak ada yang dekat satu sama lain dan semua sendiri-sendiri sebab mereka egois dan mungkin mereka melihat satu-satu seperti itu dan tidak ada yang mau bersahabat dengan adik atau kakaknya.
GS : Jadi kalau begitu kesimpulan apa yang Pak Paul dapat sampaikan sehubungan dengan persahabatan ini?
PG : Amsal 11:3 berkata, "Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya". Kata jujur yang digunakan disini merujuk pada integritas yang mengandung makna jujur dan tulus. Orang yang berintegritas bukan saja berarti apa adanya dalam dan luar tapi juga berakhlak tinggi. Dengan kata lain, kita tidak akan menyebut seorang perampok yang berkata apa adanya dan jujur sebagai orang yang berintegritas. Sebaliknya setinggi apa pun akhlak yang kita miliki kalau kita hidup munafik, maka kita bukanlah orang yang berintegritas. Jika kita ingin dicari orang sebagai seorang sahabat, maka kita harus memiliki karakter integritas dan memulainya dengan bersikap jujur dan membuang jauh-jauh kepura-puraan dan kata yang digunakan dalam ayat ini adalah pengkhianat, sebagai lawan dari kata jujur sebenarnya berarti bermuka dua. Firman Tuhan benar sekali sebab bukankah kebohongan dan akhirnya pengkhianatan diawali dengan bermuka dua, kita bisa menjadi sahabat baik kalau kita tidak bermuka dua, kita harus bersikap jujur kepadanya sebab kejujuran adalah landasan kepercayaan, tanpa kejujuran tidak akan ada kepercayaan dan tanpa kepercayaan tidak akan ada persahabatan. Namun disamping kejujuran kita harus memelihara akhlak yang tinggi, yaitu akhlak yang menyerupai karakter Kristus yaitu penuh kasih dan penyayang serta berani menyatakan kebenaran dan keadilan. Tanpa akhlak kita bisa disamakan dengan perahu layar tapi tanpa layar terbawa oleh angin, sebaliknya dengan akhlak yang mulia, kita dapat diibaratkan dengan perahu dengan layar, kita tahu dimana kita akan melangkah dan berhenti, inilah pribadi yang dicari dan dihormati teman, inilah pribadi yang dipakai Tuhan secara efektif untuk menjadi terang di dalam kegelapan.
GS : Memang kita membutuhkan sahabat dalam kehidupan ini, tapi kalau kita tanpa hikmat yang kita peroleh bukan sahabat tapi pengkhianat dan itu akan merusak dan membebani kehidupan kita selamanya. Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan saya percaya perbincangan ini menjadi berkat bagi para pendengar kita. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hikmat Dalam Bersahabat" bagian yang kedua dan terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
53. Merajut Masa Lalu, Merenda Masa Depan I | |
Sebagaimana kita ketahui, siapakah diri kita sekarang merupakan kepanjangan atau produk dari masa lalu yang kita alami. Dan, masa lalu yang buruk berpotensi besar memburukkan pertumbuhan diri, yang pada akhirnya berdampak negatif pada pernikahan. Itu sebabnya kita mesti menata ulang dan merenda diri secara lebih sehat agar pernikahan menjadi sehat pula. Saya akan membagikan empat langkah untuk membangun pribadi yang sehat, yang saya rangkumkan dalam empat tema:
Neal Clark Warren, seorang psikolog Kristen di Amerika, menegaskan bahwa seberapa sehatnya suatu pernikahan sesungguhnya bergantung pada seberapa tidak sehatnya si suami atau si istri itu sendiri.
Martin Berkowitz, seorang pakar pendidikan karakter di Amerika, menyimpulkan dengan tepat, "Cara terbaik menciptakan dunia yang lebih adil dan lebih mempedulikan satu sama lain (caring) adalah dengan cara menciptakan manusia yang lebih adil dan lebih mempedulikan satu sama lain." Singkat kata, cara terbaik menciptakan pernikahan yang lebih sehat adalah dengan cara menciptakan pribadi suami dan istri yang lebih sehat pula.
Firman Tuhan pun mengajarkan hal yang sama. Perubahan atau transformasi mesti terjadi pada level pribadi, sebagaimana disarikan dengan indah dalam Roma 12:2, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna."
Sebagaimana
kita ketahui, siapakah diri kita sekarang merupakan kepanjangan atau produk
dari masa lalu yang kita alami. Dan, masa lalu yang buruk berpotensi besar
memburukkan pertumbuhan diri, yang pada akhirnya berdampak negatif pada
pernikahan. Itu sebabnya kita mesti menata ulang dan merenda diri secara lebih
sehat agar pernikahan menjadi sehat pula. Saya akan membagikan empat langkah
untuk membangun pribadi yang sehat, yang saya rangkumkan dalam empat tema:
• SAYA TIDAK BAHAGIA
Berikut akan dijelaskan beberapa ciri relasi yang tidak membahagiakan dan dampaknya pada anak.
Pertama, secara alamiah kita tidak nyaman dengan ketidakbahagiaan dan akan berusaha untuk mengeluarkannya. Masalahnya adalah, bukan saja kita melampiaskan ketidakbahagiaan itu kepada satu sama lain, kita pun melampiaskannya pada anak-anak pula. Jadi, dimulailah sebuah siklus berputar: Karena merasa tidak bahagia, kita melampiaskannya pada satu sama lain. Alhasil baik pasangan maupun anak merasa tidak bahagia karena ditimpakan ketidakbahagian. Mereka pun melemparkan ketidakbahagian itu kepada kita. Begitu seterusnya.
Kedua, akibat perputaran ketidakbahagiaan itu, sebenarnya ketidakbahagiaan bertambah besar dan bertambah kompleks. Ketika suami merasa tidak bahagia dan melemparkan ketidakbahagiannya itu kepada si istri sehingga membuat si istri tidak bahagia. Sewaktu orangtua melemparkan ketidakbahagiaannya kepada anak, tidak bisa tidak, anak akan menyerap dua ketidakbahagiaan—dari ayah dan ibu. Bukan saja bertambah besar, ketidakbahagiaan itu makin bertambah kompleks. Anak akan bingung karena ia melihat dari masing-masing sisi—ayah dan ibu. Ia pun tambah tertekan karena ia tidak melihat solusi dari kemelut masalahnya.
Ketiga, pada akhirnya kita berusaha mencari solusi untuk melenyapkan ketidakbahagiaan. Ada orangtua yang mendapatkan solusinya di luar keluarga—dengan berjudi, bekerja siang dan malam, atau berselingkuh. Ada anak yang mencari solusi dengan berbuat ulah di sekolah atau dalam pergaulan. Sayangnya, ada pula orangtua yang mencari solusi dengan cara memberi tuntutan kepada anak untuk melenyapkan ketidakbagiaannya. Anak yang mendapat tuntutan untuk meringankan beban ketidakbahagiaan orangtua akan terlibat dalam sebuah relasi yang tidak sehat.
• SAYA TIDAK LAYAK
Akibat jeratan siklus ketidakbahagiaan si anak keluar dari rumah dan masuk ke dalam dunia dengan sebuah papan pengumuman: "Saya Tidak Layak." Ia merasa tidak layak untuk bahagia. Singkat kata ia kehilangan sesuatu yang sangat penting bagi pertumbuhan anak: penghargaan diri (self-esteem). Anak yang tidak memiliki penghargaan diri pada akhirnya beranggapan bahwa ia tidak layak mengalami sesuatu yang baik. Ia ditakdirkan untuk hidup susah dan ia pun meyakini bahwa ia tidak akan mengalami kebahagiaan.
Masalahnya adalah, secara diam-diam ia menyalahkan orang lain sebagai penyebab mengapa ia tidak layak untuk bahagia. Memang pada awalnya ia menyalahkan orangtua sebagai penyebab mengapa ia menjadi seperti itu. Namun setelah ia dewasa dan berada di luar rumah, ia pun mulai mengalihkan pandangannya kepada orang di sekelilingnya.
Sudah tentu pola ini akan dibawanya ke dalam pernikahan. Ia menuntut pasangan untuk membahagiakannya. Tidak bisa tidak, sikap seperti ini akan meletihkan pasangan—dan juga dirinya. Pasangan merasa tidak sanggup lagi menjadi pemasok kebahagiaan dan berusaha mengelak. Masalahnya, begitu mengelak, dengan cepat ia akan menuduh bahwa pasangan sudah tidak mencintainya lagi. Maka dimulailah sebuah siklus baru: ia mengejar pasangan supaya membahagiakannya, pasangan berusaha mengelak dan menjauh, makin menjauh makin ia merasa diri tidak layak, dan makin merasa tidak layak, makin ia memaksa pasangan membuatnya layak dan bahagia.
• SAYA TIDAK BERFUNGSI
Kegagalan akhirnya menjadi bagian hidup si anak yang tak terelakkan lagi. Ia gagal membina pertemanan sehingga pada akhirnya ia cenderung menyendiri. Persahabatan menjadi dangkal dan karena ia menyadari bahwa persahabatan akan berakhir dengan kekecewaan, ia pun menjaga jarak. Ia berteman seaman mungkin dan berusaha memelihara jarak senyaman mungkin.
Pernikahan juga menjadi ajang kegagalannya. Kendati ia lebih banyak menyalahkan pasangan, namun kenyataan pahit berada di pelupuk mata: ia telah gagal membina pernikahan yang harmonis. Pasangan tidak lagi mencintainya, anak tidak dekat dan tidak menghargainya. Semua seakan membalikkan badan dan meninggalkannya. Pada akhirnya ia melihat diri sebagai seorang manusia yang tidak lagi berfungsi.
Pada umumnya kita baru sampai pada tahap ini di usia pertengahan. Pada saat itu anak-anak sudah akil balig dan meninggalkan rumah. Hubungan dengan pasangan telah menjadi begitu renggang sehingga tidak ada lagi perasaan intim yang tersisa. Jika kita masih memunyai pekerjaan, mungkin itu menjadi penghibur tunggal. Namun tetap, di dalam hati kita merasa kosong dan tidak bahagia—sangat tidak bahagia.
• SAYA TIDAK MENYERAH
Tidak peduli berapa pun usia kita, bila kita menyadari bahwa inilah gambaran diri kita, masih ada yang dapat kita lakukan untuk membelokkan arah hidup. Syaratnya satu: "Saya tidak menyerah."
Langkah pertama merajut masa lalu dan merenda masa depan adalah membuka mata lebar-lebar dan melihat apa yang telah terjadi. Cobalah melihat apa adanya tanpa rasa takut menghakimi atau memihak siapa pun. Lihatlah apa yang dilakukan orangtua terhadap satu sama lain dan terhadap kita pula. Jangan tergesa-gesa menganugerahkan pengertian dan jangan buru-buru membasuh tindakan yang salah. Lihatlah apa adanya.
Ketakutan terbesar—yang menjadi penghalang proses pertama ini—adalah ketakutan akan kehilangan satu-satunya yang berharga dalam hidup kita. Ibarat rumah yang terbakar, kita mengais dan berhasil menemukan puing atau sisa peninggalan yang kemudian kita simpan dan jadikan kebanggaan serta identitas diri. Misalkan kita berkata, "Sejelek-jeleknya keluarga saya, mereka tidak akan mengemis belas kasihan." Inilah puing yang kita simpan dan jadikan kebanggaan. Masalahnya adalah, kebanggaan ini akan menghalangi kita untuk melihat apa yang terjadi dengan lebih jernih. Kita tidak lagi dapat melihat kenyataan bahwa ada begitu banyak hal lain yang menyakitkan oleh karena adanya kebanggaan itu. Itu sebabnya menanggalkan kebanggaan tidaklah mudah. Melihat semua apa adanya adalah sukar namun mesti dilakukan.
Ketika kita berhasil melihat apa adanya, barulah kita dapat melihat dampak semua itu pada diri kita. Inilah langkah kedua. Kritikan telah membuat kita kritis dan sukar menerima, baik kelemahan diri sendiri atau orang lain. Keluhan membuat kita tidak mudah—dan mungkin tidak pernah—mempercayai orang lain. Ketidakbahagiaan yang mengendap membuat kita bukan saja tidak bahagia tetapi juga merasa diri tidak layak mengecap kebahagiaan.
Bila kita berhasil mengakui semua itu, barulah kita dapat mulai merajut masa lalu. Dengan kata lain, barulah kita dapat menjahit sebuah diri yang bernama, "Saya." Inilah diri kita yang seutuhnya karena kita berhasil merajut semua potongan yang tadinya tercecer dan terlupakan. Sebelumnya kita belum mempunyai diri yang utuh karena kita membangun konsep siapakah saya di atas satu atau dua puing yang kita banggakan. Baik atau buruk, membanggakan atau memalukan, hitam atau putih, kudus atau kotor, semua dirajut menjadi sebuah baju—sebuah diri—yang bernama, "Saya." Inilah langkah ketiga.
Di dalam kebebasan barulah kita dapat mulai merenda. Inilah langkah keempat dan terakhir. Di atas baju yang kosong kita mulai membubuhkan bordiran—satu demi satu. Kita menyadari apa yang dapat kita lakukan dan apa yang tidak dapat kita lakukan dengan baik. Kita menyadari kebutuhan kita sekaligus tanggung jawab kita untuk memenuhinya. Kita menyadari batas antara diri dan orang lain dan bahwa kita tidak bisa seenaknya masuk ke dalam wilayah orang dan menuntutnya untuk memberi kepada kita sesuatu yang kita inginkan. Di dalam merenda masa depan barulah kita sadar bahwa kita tidak perlu besar dan penting untuk bahagia. Yang membuat bahagia adalah menikmati apa yang telah diberikan Tuhan dan memberikannya kembali kepada Dia. Firman Tuhan berkata, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia akan kenyang dengan kemiskinan." (Amsal 28:19)
Ada yang diberikan tanah yang luas, ada yang diberikan tanah yang kecil. Terpenting adalah kita mengerjakan tanah sendiri. Tuhan telah berjanji bahwa apabila kita mengerjakan tanah sendiri, kita akan kenyang. Dengan kata lain, tidak peduli ukuran luasnya, semua tanah yang diberikan Tuhan cukup untuk mengenyangkan kita.
Sebaliknya, bila kita menengok ke kanan dan ke kiri dan mengejar "fantasi" atau barang yang sia-sia, sampai kapan pun kita tidak akan pernah kenyang.
Tanah sendiri, baju sendiri, diri sendiri. Itulah pemberian Tuhan kepada kita. Apa pun yang terjadi di masa lalu, rajutlah semua potongan yang terkoyak menjadi satu pakaian yang pas dan nyaman. Setelah itu mulailah kerjakan. Ibarat tanah, pacullah, berilah air, taburkan pupuk, dan tanamilah. Nikmatilah hasilnya dan berikanlah kembali kepada Tuhan. Inilah yang akan membuat kita berkata, "Saya bahagia."
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Merajut Masa Lalu, Merenda Masa Depan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, sepasang suami istri yang baru memasuki pernikahan tentunya memunyai idaman, angan-angan untuk memunyai keluarga yang sehat, yang baik, yang rukun, yang harmonis, tetapi itu 'kan dipengaruhi banyak faktor kenyataannya setelah pernikahan itu berjalan beberapa lama apa yang diidamkan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Nah, apakah ada faktor-faktor yang memengaruhi hal itu, Pak Paul?
PG : Ada, Pak Gunawan, yang akan coba saya soroti pada kesempatan ini adalah kesehatan jiwa kita secara pribadi. Memang kita seringkali mengatakan bahwa kalau pernikahan itu bermasalah berarti kedua-duanya bermasalah, kurang bisa berkomunikasi, kurang bisa mengerti yang akhirnya menjadi masalah. Sudah tentu betul ada kalanya itu yang terjadi tetapi ada satu faktor lain yang juga penting yaitu kesehatan jiwa kita masing-masing atau kematangan, kedewasaan kita. Kita memang tidak sama, ada orang yang masuk dalam pernikahan membawa diri yang relatif sehat, berani menghadapi hidup apa adanya, berani bertanggungjawab atas pilihannya dan tindakannya, bisa memenuhi kebutuhannya, tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi ada juga yang masuk ke dalam pernikahan tidak seperti itu, akhirnya yang tidak seperti itu, tidak sesehat itu cenderung menarik yang lebih dewasa, yang lebih matang seolah-olah digandoli sehingga yang lebih sehat pun, yang lebih bertanggungjawab pun terpengaruh. Lama kelamaan relasi mereka menjadi lebih buruk, misalkan yang satu menyalahkan yang lain, lama kelamaan sesehat-sehatnya kita, sedewasa-dewasanya kita kalau terus disalahkan seperti itu ya tidak bisa tidak akhirnya berontak, marah, mungkin akhirnya kita mengeluarkan kata-kata yang kasar. Mulailah relasi kita bermasalah, karena itu kalau saya boleh mengutip perkataan dari seorang psikolog yang bernama Neal Clark Warren, ia menegaskan bahwa seberapa sehatnya pernikahan itu bergantung pada seberapa tidak sehatnya si suami atau si istri, karena yang tidak sehat cenderung menggandoli dan membawa yang sehat turun ke bawah sehingga sama-sama tidak sehat.
GS : Padahal biasanya pasangan itu ketika masih berpacaran atau pendekatan mereka salah satu mengira, yang sehat itu mengira karena dia sehat, dia akan bisa memengaruhi yang tidak sehat supaya menjadi sehat. Katakan ada sesuatu yang kurang baik yang terlihat pada pasangannya, ia yakin nanti setelah menikah bisa berubah. Nyatanya tidak, Pak Paul.
PG : Betul, jadi misalkan saya berikan sebuah contoh. Kita sayang pada kekasih kita, akhirnya kita berkata pada kekasih kita, "Apa pun kondisimu, saya akan menerimamu", misalkan kebetulan kita mengetahui bahwa kekasih kita mengalami banyak kepahitan dalam hidupnya sehingga menyimpan banyak kemarahan tapi kita berkata,"Saya akan menjadi pemanis hidupmu, saya akan menolong kamu sehingga tidak harus hidup dalam kepahitan". Kita menikah dengan dia dan baru sadar setelah menikah kepahitan itu meluap terus-menerus dalam bentuk menyalahkan kita, menyerang kita, seolah-olah kita yang salah terus. Maksudnya baik pada awalnya mau menjadi penyelamat bagi pasangannya tetapi akhirnya kita tidak tahan, kita juga berontak. Akhirnya kita berkata, "Kapan saya boleh hidup, kapan saya boleh menikmati hidup ini, kapan saya boleh didukung? Kamu selalu meminta saya mengerti kamu, bahwa kamu seperti ini karena apa, Oke saya mengerti kamu tetapi kapan kamu mengerti saya, kapan kamu menolong saya? Sebab semuanya ada pada pundak yang satu ini". Jadi sekali lagi kalau yang satu sehat dan yang lain tidak sehat biasanya keduanya dibawa turun melorot semuanya tidak ada yang sehat.
GS : Dalam hal itu apakah tidak ada jalan keluarnya, Pak Paul? Karena mereka sebagai pasangan tentu saja akan berusaha, hal-hal apa yang harus mereka kerjakan?
PG : Pada intinya kita harus kembali kepada diri kita dan melihat siapakah diri kita. Kita mesti berubah pada intinya, saya kutipkan dari Roma 12:2, firman Tuhan berkata, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah : apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna". Dengan kata lain, kita benar-benar harus mengalami transformasi atau perubahan dan kita tidak bisa lagi hanya melihat pasangan. Kita mesti menengok pada diri kita dan berkata, "Ya, Oke saya memunyai masalah, saya memunyai kelemahan di sini, mau diubahkan". Setelah kita mengalami semua ini baru kita bertumbuh lebih dewasa. Kalau kita terus hanya menatap pasangan, menyalahkannya terus-menerus, sampai kapan pun tidak akan ada perubahan.
DL : Berarti mengalah untuk suatu kemenangan dalam keluarga.
PG : Seringkali kita harus bersedia melihat diri kita, Bu Dientje dan memang mengakui kelemahan-kelemahan kita supaya kita bisa mengoreksinya, jangan sampai kita hanya membebankan semua problem kita pada pasangan kita.
GS : Tapi perubahan itu tidak bisa terjadi dalam sekejap, lalu bagaimana Pak Paul?
PG : Perubahan itu harus melewati fase-fase, memang tidak sekejap. Kita juga mau mengatakan kepada para pendengar kita kalau kita merasa pasangan kita seperti itu, kita memang harus bersabar karena pasangan itu tidak bisa berubah dengan cepat, perlu waktu yang panjang. Pada kesempatan ini saya akan bagikan dua langkahnya dulu dan pada kesempatan berikutnya kita akan bahas yang dua lagi. Yang pertama yang ingin saya angkat adalah sebuah konsep "Saya tidak bahagia", yang kedua yang akan kita bahas juga adalah konsep "Saya tidak layak". Dalam rencana Tuhan yang memang tidak selalu kita bisa pahami, Tuhan menempatkan kita dalam keluarga yang berbeda-beda. Ada yang ditempatkan di keluarga yang hangat, ada yang kurang hangat, ada yang tenteram, ada yang sering bertengkar, ada yang harmonis, ada yang sering bergontokan. Kalau kita kebetulan ditempatkan Tuhan dalam keluarga yang tegang, dingin, sering berkonflik akhirnya kita harus menyadari satu hal, bahwa sebetulnya orang tua kita orang tua yang tidak bahagia. Bertahun-tahun mereka hidup dalam problem, tidak ada kebahagiaan sama sekali akhirnya mereka benar-benar menjadi pribadi-pribadi yang tidak bahagia. Kondisi itu mereka tidak bisa tidak akan mulai tularkan kepada kita, anak-anaknya sehingga pada akhirnya kita akan menerima. Mengapa begitu? Sebab orang tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketidakbahagiaan, pada waktu papa tidak bahagia, mama tidak bahagia, mereka akan melampiaskan ketidakbahagiaan itu kepada satu sama lain dan akhirnya kepada anak-anak pula. Dimulailah sebuah siklus di sini, kita tidak merasa bahagia kita lemparkan kepada pasangan kita akhirnya anak-anak kita juga tidak merasa bahagia. Berputar-putarlah siklus itu, akhirnya yang terjadi adalah begitu kita tidak merasa bahagia, kita juga melemparkan ketidakbahagiaan kita kepada orang yang dekat kita, dalam hal ini nantinya kepada pasangan kita sendiri. Kita adalah produk dari keluarga yang tidak bahagia, orang tua kita tidak bahagia, ketidakbahagiaan mereka jatuh kepada kita, kita juga tidak merasa bahagia dan akan melemparkan ketidakbahagiaan kita kepada istri kita atau suami kita. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa ketidakbahagiaan itu menular dan menjalar. Karena satu orang tidak bahagia, dua orang tidak bahagia; karena dua orang tidak bahagia, tiga orang tidak bahagia dan begitu seterusnya akhirnya satu keluarga tidak bahagia.
GS : Kalau mau kita runtut orang tua kita itu juga produk dari kakek nenek kita, jadi tidak ada habisnya. Apakah kita bisa begitu saja menyalahkan orang tua kita bahwa saya ini tidak bahagia karena berasal dari keluarga yang tidak bahagia. Tidak bisa secepat itu, Pak Paul.
PG : Yang saya maksudkan adalah, saya tidak mau kita menyuburkan sikap menyalahkan orang tua, menyalahkan keturunan di atas kita, tidak! Yang saya mau coba lakukan adalah mengajak kita melihat anatominya, prosesnya mengapa sampai seperti ini. Saya coba untuk menyederhanakan konsep ini dan bahwa sebetulnya semua dimulai dari ada dua orang yang tidak bahagia dalam keluarga kita, oleh karena dua orang tidak bahagia, keduanya saling melemparkan ketidakbahagiaannya kepada satu sama lain. Anak-anak yang dibawa akhirnya menerima tetesan ketidakbahagiaan itu. Pada waktu orang tua saling menyalahkan, bertengkar dan sebagainya, semua itu akan menetes kepada anak-anak dan anak-anak tidak mungkin bahagia dalam keluarga yang seperti itu pula. Jadi masing-masing menyimpan ketidakbahagiaan, kalau kita bicarakan dari sudut kebahagiaan dan sebagainya tampaknya sangat duniawi seolah-olah kita tidak boleh berbicara tentang kebahagiaan tetapi sebetulnya ini hal yang penting. Kalau hati kita tidak ada kebahagiaan, tidak ada sukacita bagaimana bisa menjalin relasi yang penuh sukacita dan bagaimana anak-anak kita bisa menikmati relasi keluarga yang hangat, saya kira hal itu tidak mungkin.
GS : Apakah ada ciri-ciri dari relasi yang tidak membahagiakan itu, Pak Paul?
PG : Orang yang tidak bahagia biasanya akan menuntut orang lain untuk membahagiakan dia, jadi artinya dia akan benar-benar memaksa pasangannya untuk mengerti dirinya. Semakin dia dimengerti, semakin dia bahagia, harus mengetahui apa yang dia inginkan dan apa yang tidak diinginkan, harus mengerti isi hatinya. Dengan kata lain, sebetulnya dia menuntut orang dalam hal ini pasangannya untuk membahagiakan dia, pada waktu orang itu tidak bisa mengerti dia dengan begitu baik, tidak bisa mengetahui isi hatinya dengan baik, dia marah karena dia merasa, "inilah tugasmu seharusnya membahagiakan saya". Mengapa begitu, karena pada dasarnya dia sudah tidak bahagia.
GS : Tuntutan itu diberikan kepada pasangan maupun anaknya, begitu Pak Paul?
PG : Seringkali demikian, jadi akhirnya ketidakbahagiaan tersebut makin hari makin kompleks karena misalnya suami tidak bahagia, melemparkannya kepada si istri sehingga istri juga tidak bahagia sebab suami juga mengomel dan mengeluh. Si istri juga tidak bisa lagi hidup dengan bahagia, pada akhirnya si istri memikul dua ketidakbahagiaan, dia tidak bahagia, suaminya tidak bahagia, dia membawa kedua-duanya. Si suami tidak bahagia, si istri dituntut seperti itu tidak bahagia, dia juga memikul dua ketidakbahagiaan. Si anak menerima dari papa dan mama ketidakbahagiaan itu, si anak akhirnya akan menyerap dua ketidakbahagiaan, baik dari ayah maupun dari ibu ditambah dia sendiri tidak bahagia berarti dia memikul tiga ketidakbahagiaan. Makin bertambah besar makin bertambah kompleks. Ketika anak yang tidak bahagia melihat papa mamanya tidak bahagia besar kemungkinan dia tidak bisa secara hitam putih menentukan siapa yang salah, siapa yang membuat yang lainnya tidak bahagia. Kadang-kadang tidak begitu jelas akhirnya dia merasa bingung karena dia mencoba melihat dari sisi papanya, mamanya salah; dari sisi mamanya papanya salah akhirnya dia tambah merasa tertekan tidak bisa melihat lagi solusinya bagaimana. Benar-benar anak merasa bingung dan kompleks sekali ketidakbahagiaan itu dalam hidupnya.
GS : Jadi sebenarnya secara teoritis makin panjang urutan keluarga itu, makin ke bawah makin bertambah tidak bahagia, Pak Paul.
PG : Yang saya saksikan dalam banyak kasus, anak-anak yang lebih kecil harus menanggung misalnya kemarahan-kemarahan kakak-kakaknya, kadang-kadang ada anak bukan saja korban orang tuanya tidak bahagia sering konflik. Anak-anak yang di bawah, yang kecil-kecil itu juga harus menanggung kemarahan-kemarahan, masalah-masalah perilaku dari kakak-kakaknya, jadi kena semua.
GS : Bagi suami istri itu sendiri ketika orang tuanya atau mertuanya masih hidup, yang dia merasa ketidakbahagiaan itu berasal dari mereka, itu 'kan menambah ketidakbahagiaan suami istri itu sendiri?
PG : Betul sekali, kalau dia mengingat-ingat orang tuanya begini begitu, tambah marah, tambah tidak bahagia jadi sekali lagi kita melihat bahwa ketidakbahagiaan itu akan sangat kompleks sekali. Waktu ini terjadi kita berusaha mencari solusi untuk melenyapkan ketidakbahagiaan karena kita tidak bisa hidup terus-menerus dengan hati yang tidak bahagia, tidak bisa! Kita mau mencari solusi, ada yang solusinya salah, berjudi, ada yang bekerja siang malam, ada yang berselingkuh, kalau anak ada yang mencari solusinya dengan berbuat ulah di sekolah, bermasalah dengan pergaulan, tetapi ada orang tua yang mencari solusinya dengan cara memberi tuntutan kepada anak untuk melenyapkan ketidakbahagiaannya. Artinya anak dituntut untuk meringankan beban orang tuanya. Kalau anak dituntut seperti itu, anak akan terlibat dalam relasi yang tidak sehat, mengapa? Di satu pihak dia mendapatkan "kehormatan" untuk menjadi penyelamat orang tuanya, tapi di pihak lain dia harus mengabaikan kepentingan dirinya demi kebahagiaan orang tuanya, artinya dia tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, dia terpaksa hidup hanya untuk membahagiakan orang tuanya. Akhirnya benar-benar buat dia misi hidup ini hanya satu, bagaimana membahagiakan orang tuanya, oleh karena itu yang dituntut oleh orang tuanya.
DL : Ada juga anak yang karena keadaan begitu, dia merasa tidak usah menikah daripada membuat orang lain menderita.
PG : Ada karena memang sudah melihat contoh yang tidak baik dalam keluarganya. "Untuk apa yang menikah kalau akhirnya akan menjadi seperti orang tua saya juga". Tidak usah menikah!
DL : Untuk mengatasi anak seperti ini, apa nasihat kita, Pak Paul?
PG : Memang agak sulit kalau kita memang bermasalah, sebab bagaimana pun juga anak akan berkata, "Papa mama tidak usah berbicara, untuk apa memberitahu kepada kami anak-anak bagaimana memelihara pernikahan, disuruh menikah dan sebagainya, papa mama sendiri seperti ini hidupnya!" Jadi agak susah kalau kita sendiri sudah bermasalah.
GS : Tetapi dengan anak ini tidak menikah itu menimbulkan ketidakbahagiaan lagi di dalam dirinya dan itu tetap akan dituntut kepada orang tuanya atau kepada pihak lain.
PG : Misalnya kepada rekan-rekan kerjanya dan sebagainya, memang kalau kita tidak bahagia akhirnya kita akan menuntut sana sini untuk membuat kita bahagia. Ada satu hal lagi yang saya ingin sampaikan yaitu dampak langsung ketidakbahagiaan orang tua pada sikap atau cara anak berelasi. Orang tua yang tidak bahagia akan melampiaskan ketidakbahagiaannya kepada anak, seringkali pelampiasan itu berwujud pertama keluhan dan kedua kritikan, coba saya jelaskan. Keluhan artinya orang tua itu akan terus-menerus mengeluh tentang situasi yang tidak membahagiakannya, gerejanya, tempat pekerjaannya, teman-temannya, hidup itu diisi dengan keluhan, keluhan, keluhan. Yang kedua, orang tua yang tidak bahagia cenderung melemparkan kritik-kritik kepada si anak, kamu seharusnya begini dan begini, akhirnya anak dari kecil terus mendengar keluhan orang tuanya dan mendengar kritikan orang tuanya. Apa dampaknya kepada anak? Kalau dia sering mendengar keluhan-keluhan, anak mengembangkan pandangan negatif terhadap orang lain, tidak lagi percaya pada niat baik orang lain. Anak akan menganggap dunia ini penuh dengan orang-orang yang tidak baik, palsu, sedangkan anak yang terima kritikan dari orang tua "Kamu begini, seharusnya begitu" dan lain-lain dibanding-bandingkan dengan anak lain karena orang tuanya tidak bahagia, anak akan memandang diri dengan negatif. Ia akan melihat dirinya kurang, tidak sama dengan anak lain, banyak masalah dan sebagainya. Si anak hidup dengan konsep diri yang sudah buruk.
GS : Ada sebagian anak yang mengambil sikap bertahan, defensif, apakah itu juga merupakan salah satu cara anak ini menahan kritikan-kritikan, Pak Paul?
PG : Normal sekali akhirnya anak tidak lagi mau menerima kritikan karena dia harus melindungi diri, akhirnya dia mencoba melawan orang tuanya dikritik, nah dia bawa hal ini ke dalam kehidupannya, ke dalam pernikahannya. Dia menjadi orang yang tidak bisa diberitahu oleh pasangannya, bila pasangannya memberitahu dia, marah, defensif tidak bisa terima karena memang sudah terlalu sering dikritik dulu, sehingga tidak bisa mudah menerima kritikan dari orang lain pula.
DL : Menghadapi anak seperti ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Kita harus membereskan dulu relasi kita dengan pasangan kita dan yang kedua mengakui pada anak kita bahwa kita memunyai masalah. Yang ketiga, kita katakan pada anak kita, "Kalau pun kamu tidak bisa, hargai kami karena kami bukanlah contoh yang baik, tapi tolong dengarkan nasihat saya ini sebab nasihat ini keluar dari hati untuk menolong kamu. Tidak ada motivasi lain, kalau pun kamu tidak bisa menghargai kami tidak apa-apa, tolong dengarkan nasihat kami". Mudah-mudahan anak masih bisa mendengarkannya.
GS : Selain merasa tidak bahagia, apakah ada hal lain yang bisa merusak kesehatan suatu keluarga, Pak Paul?
PG : Karena orang tua tidak bahagia, akhirnya ketidakbahagiaan diteruskan kepada anak-anak semuanya, dampaknya pada anak, anak seringkali merasa dirinya tidak layak untuk bahagia. Dengan kata lain, sesuatu terjadi dalam dirinya yaitu penghargaan dirinya mulai rusak, dia beranggapan bahwa dia tidak layak mengalami sesuatu yang baik, dia ditakdirkan untuk hidup susah. Dia juga meyakini bahwa dia tidak akan mengalami kebahagiaan, ini bisa dimengerti sebab dia seumur hidup tidak bahagia, melihat orang tuanya seperti itu. Dia tidak lagi percaya bahwa dia akan dapat menikmatinya kehidupannya bahagia. Masalahnya adalah dia mulai menyalahkan orang lain, bahwa "engkaulah penyebabnya saya tidak bahagia". Memang betul awalnya karena hubungan orang tuanya, tapi lama kelamaan dia membawa hal ini ke mana-mana, dia selalu melihat orang sebagai penyebab mengapa dia tidak bahagia. Dia cenderung beranggapan orang tidak suka kepadanya, orang memang berniat menolaknya, akhirnya dia makin hari makin terpisah dari orang lain dan makin merasa orang juga tidak menyukainya dan relasi mereka makin hari makin buruk.
DL : Menghadapi anak seperti ini bagaimana, Pak Paul, kalau dia merasa tidak layak dan lain-lain.
PG : Tadi saya sudah singgung memang kita harus berbicara baik-baik dengan dia bahwa "kami bertanggungjawab, kami memang penyebabnya tetapi coba dengarkan jangan sampai kamu terpuruk sebab ini hidupmu, jangan sampai kamu juga turut menghancurkan, menenggelamkan hidupmu, cobalah kamu dengarkan orang, coba kamu bergaul dengan orang, berelasi dengan orang". Jadi kita berikan dia tanggungjawab untuk memulai hidup yang lebih baik bagi dirinya sendiri.
GS : Tapi anak ini tetap menuntut orang lain supaya memberikan kebahagiaan itu kepadanya. Dia tetap merasa berhak untuk mendapat kebahagiaan itu, Pak Paul.
PG : Seringnya begitu, di satu pihak dia kasihan tidak layak menerima kebahagiaan tapi di pihak lain dia menuntut orang untuk memberikan kebahagiaan kepada dirinya. Tanggungjawab terbesar mengapa dia tidak bahagia akhirnya jatuh pada pundak orang lain, kalau kita suaminya atau istrinya, kita yang akan kena. Akhirnya kita yang terus-menerus harus menyuplai kebahagiaannya itu dan akhirnya kita merasa lelah meskipun kita mengasihi dia tapi kita tidak sanggup lagi menjadi pemasok kebahagiaan dia dan kita mengelak. Begitu kita mengelak, dia akan menuduh kita, "Kamu tidak lagi menghormati saya, tidak lagi peduli kepada saya, tidak lagi mencintai saya", dia marah, dia mengejar kita untuk memberikan kebahagiaan itu. Makin kita dikejar, makin kita mengelak, makin kita lari, makin dia mengejar kita dan makin dia merasa dirinya tidak layak, dia makin menuntut kita memberikan kebahagiaan itu kepada dirinya.
GS : Jadi selalu ada pertanyaan kepada pasangannya itu, "Kamu itu sebetulnya cinta saya atau tidak?" Yang ditanya kadang-kadang bosan, jenuh, seolah-olah meragukan cinta kita, atau kasih kita atau usaha kita untuk membahagiakan dia, Pak Paul.
PG : Rasanya tidak akan pernah cukup, jadi memang akan lelah sebab yang satu akan berkata, "Apa lagi yang harus saya lakukan, bukankah sudah cukup saya sudah berbuat begini begini, tetapi akhirnya selalu saja ditemukan kesalahan, kekurangan, harus begini, harus begitu. Jadi kita melihat dampak yang dialami oleh dia pada waktu kecil itu, karena pada waktu kecil mungkin sekali itu yang diterimanya, orang tuanya berkata, "Kamu begini kamu begitu, kamu kurang begini, kamu kurang begitu", karena mereka sendiri juga bermasalah. Jadi kita melihat panjang dampak keluarga kalau memang bermasalah.
GS : Semakin pasangannya tidak menghiraukan dia, dia makin merasa tidak layak untuk dikasihi, begitu Pak Paul.
PG : Nah, akhirnya dia seolah-olah makin berkata, "Bukankah benar saya memang tidak layak, oleh karena itu pasangan saya juga tidak mengasihi saya", tapi dia luput melihat dia berandil, dia juga menyumbangsihkan mengapa pasangannya tidak tahan dengan dia. Sulitnya dia tidak bisa melihat itu, dia hanya berkata mengasihani dirinya, "Saya memang tidak layak, saya memang tidak layak" tapi tidak mau melihat saya bersumbangsih juga dalam masalah ini.
DL : Berarti pasangannya juga harus banyak berdoa menghadapi orang yang seperti ini.
PG : Benar-benar harus banyak berdoa, karena dengan kekuatan sendiri tidak bisa, kita akan merasa lelah dan bisa jadi benar-benar kita mau mengelak dari dia.
GS : Jadi kita juga tidak bisa mengharapkan dia berubah apalagi dalam waktu singkat, satu-satunya cara ya kita yang harus berubah menyikapi pasangan yang seperti ini karena bagaimana pun juga kita percaya bahwa itulah pasangan yang Tuhan sediakan bagi kita, begitu Pak Paul.
PG : Meskipun letih tapi kita berusaha untuk mengomunikasikan kepada dia bahwa "saya tetap mencintaimu, saya hanya kadang-kadang letih dan berikanlah saya ruangan untuk menyendiri sebentar tapi saya akan bersamamu lagi". Dia mesti mengetahui bahwa kita tidak meninggalkannya, mungkin dengan keterbukaan kita seperti ini dan mudah-mudahan dia bisa percaya jadi bisa berlanjutlah relasi ini.
GS : Memang bukan suatu pekerjaan atau tugas yang mudah untuk merajut masa lalu yang sudah terkoyak-koyak itu sekaligus merenda masa depan kita dalam suatu keluarga. Perbincangan ini semakin menarik saja namun karena keterbatasan waktu kita akan hentikan di sini dan kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang, tentunya kita berharap para pendengar kita akan mengikuti perbincangan kita pada kesempatan yang akan datang.
Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Merajut Masa Lalu Merenda Masa Depan" bagian yang pertama, kami berharap anda bisa mengikuti kelanjutan dari perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
54. Merajut Masa Lalu, Merenda Masa Depan II | |
Sebagaimana kita ketahui, siapakah diri kita sekarang merupakan kepanjangan atau produk dari masa lalu yang kita alami. Dan, masa lalu yang buruk berpotensi besar memburukkan pertumbuhan diri, yang pada akhirnya berdampak negatif pada pernikahan. Itu sebabnya kita mesti menata ulang dan merenda diri secara lebih sehat agar pernikahan menjadi sehat pula. Saya akan membagikan empat langkah untuk membangun pribadi yang sehat, yang saya rangkumkan dalam empat tema:
Neal Clark Warren, seorang psikolog Kristen di Amerika, menegaskan bahwa seberapa sehatnya suatu pernikahan sesungguhnya bergantung pada seberapa tidak sehatnya si suami atau si istri itu sendiri.
Martin Berkowitz, seorang pakar pendidikan karakter di Amerika, menyimpulkan dengan tepat, "Cara terbaik menciptakan dunia yang lebih adil dan lebih mempedulikan satu sama lain (caring) adalah dengan cara menciptakan manusia yang lebih adil dan lebih mempedulikan satu sama lain." Singkat kata, cara terbaik menciptakan pernikahan yang lebih sehat adalah dengan cara menciptakan pribadi suami dan istri yang lebih sehat pula.
Firman Tuhan pun mengajarkan hal yang sama. Perubahan atau transformasi mesti terjadi pada level pribadi, sebagaimana disarikan dengan indah dalam Roma 12:2, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna."
Sebagaimana
kita ketahui, siapakah diri kita sekarang merupakan kepanjangan atau produk
dari masa lalu yang kita alami. Dan, masa lalu yang buruk berpotensi besar
memburukkan pertumbuhan diri, yang pada akhirnya berdampak negatif pada
pernikahan. Itu sebabnya kita mesti menata ulang dan merenda diri secara lebih
sehat agar pernikahan menjadi sehat pula. Saya akan membagikan empat langkah
untuk membangun pribadi yang sehat, yang saya rangkumkan dalam empat tema:
(a)
saya tidak bahagia,
(b) saya tidak layak,
(c) saya tidak
berfungsi, dan
(d) saya tidak menyerah.
• SAYA TIDAK BAHAGIA
Berikut akan dijelaskan beberapa ciri relasi yang tidak membahagiakan dan dampaknya pada anak.
Pertama,
secara alamiah kita tidak nyaman dengan ketidakbahagiaan dan akan berusaha
untuk mengeluarkannya.
Masalahnya adalah, bukan saja kita
melampiaskan ketidakbahagiaan itu kepada satu sama lain, kita pun
melampiaskannya pada anak-anak pula. Jadi, dimulailah sebuah siklus berputar:
Karena merasa tidak bahagia, kita melampiaskannya pada satu sama lain. Alhasil
baik pasangan maupun anak merasa tidak bahagia karena ditimpakan
ketidakbahagian. Mereka pun melemparkan ketidakbahagian itu kepada kita.
Begitu seterusnya.
Kedua, akibat
perputaran ketidakbahagiaan itu, sebenarnya ketidakbahagiaan bertambah besar
dan bertambah kompleks.
Ketika suami merasa tidak bahagia dan
melemparkan ketidakbahagiannya itu kepada si istri sehingga membuat si istri
tidak bahagia. Sewaktu orangtua melemparkan ketidakbahagiaannya kepada anak,
tidak bisa tidak, anak akan menyerap dua ketidakbahagiaan—dari ayah dan ibu. Bukan
saja bertambah besar, ketidakbahagiaan itu makin bertambah kompleks. Anak akan
bingung karena ia melihat dari masing-masing sisi—ayah dan ibu. Ia pun tambah
tertekan karena ia tidak melihat solusi dari kemelut masalahnya.
Ketiga, pada
akhirnya kita berusaha mencari solusi untuk melenyapkan ketidakbahagiaan.
Ada
orangtua yang mendapatkan solusinya di luar keluarga—dengan berjudi, bekerja
siang dan malam, atau berselingkuh. Ada anak yang mencari solusi dengan
berbuat ulah di sekolah atau dalam pergaulan. Sayangnya, ada pula orangtua
yang mencari solusi dengan cara memberi tuntutan kepada anak untuk
melenyapkan ketidakbagiaannya. Anak yang mendapat tuntutan untuk
meringankan beban ketidakbahagiaan orangtua akan terlibat dalam sebuah relasi
yang tidak sehat.
• SAYA TIDAK LAYAK
Akibat jeratan siklus ketidakbahagiaan si anak keluar dari rumah dan masuk ke dalam dunia dengan sebuah papan pengumuman: "Saya Tidak Layak." Ia merasa tidak layak untuk bahagia. Singkat kata ia kehilangan sesuatu yang sangat penting bagi pertumbuhan anak: penghargaan diri (self-esteem). Anak yang tidak memiliki penghargaan diri pada akhirnya beranggapan bahwa ia tidak layak mengalami sesuatu yang baik. Ia ditakdirkan untuk hidup susah dan ia pun meyakini bahwa ia tidak akan mengalami kebahagiaan.
Masalahnya adalah, secara diam-diam ia menyalahkan orang lain sebagai penyebab mengapa ia tidak layak untuk bahagia. Memang pada awalnya ia menyalahkan orangtua sebagai penyebab mengapa ia menjadi seperti itu. Namun setelah ia dewasa dan berada di luar rumah, ia pun mulai mengalihkan pandangannya kepada orang di sekelilingnya.
Sudah tentu pola ini akan dibawanya ke dalam pernikahan. Ia menuntut pasangan untuk membahagiakannya. Tidak bisa tidak, sikap seperti ini akan meletihkan pasangan dan juga dirinya. Pasangan merasa tidak sanggup lagi menjadi pemasok kebahagiaan dan berusaha mengelak. Masalahnya, begitu mengelak, dengan cepat ia akan menuduh bahwa pasangan sudah tidak mencintainya lagi. Maka dimulailah sebuah siklus baru: ia mengejar pasangan supaya membahagiakannya, pasangan berusaha mengelak dan menjauh, makin menjauh makin ia merasa diri tidak layak, dan makin merasa tidak layak, makin ia memaksa pasangan membuatnya layak dan bahagia.
• SAYA TIDAK BERFUNGSI
Kegagalan akhirnya menjadi bagian hidup si anak yang tak terelakkan lagi. Ia gagal membina pertemanan sehingga pada akhirnya ia cenderung menyendiri. Persahabatan menjadi dangkal dan karena ia menyadari bahwa persahabatan akan berakhir dengan kekecewaan, ia pun menjaga jarak. Ia berteman seaman mungkin dan berusaha memelihara jarak senyaman mungkin.
Pernikahan juga menjadi ajang kegagalannya. Kendati ia lebih banyak menyalahkan pasangan, namun kenyataan pahit berada di pelupuk mata: ia telah gagal membina pernikahan yang harmonis. Pasangan tidak lagi mencintainya, anak tidak dekat dan tidak menghargainya. Semua seakan membalikkan badan dan meninggalkannya. Pada akhirnya ia melihat diri sebagai seorang manusia yang tidak lagi berfungsi.
Pada umumnya kita baru sampai pada tahap ini di usia pertengahan. Pada saat itu anak-anak sudah akil balig dan meninggalkan rumah. Hubungan dengan pasangan telah menjadi begitu renggang sehingga tidak ada lagi perasaan intim yang tersisa. Jika kita masih memunyai pekerjaan, mungkin itu menjadi penghibur tunggal. Namun tetap, di dalam hati kita merasa kosong dan tidak bahagia—sangat tidak bahagia.
• SAYA TIDAK MENYERAH
Tidak peduli berapa pun usia kita, bila kita menyadari bahwa inilah gambaran diri kita, masih ada yang dapat kita lakukan untuk membelokkan arah hidup. Syaratnya satu: "Saya tidak menyerah."
Langkah pertama merajut masa lalu dan merenda masa depan adalah membuka mata lebar-lebar dan melihat apa yang telah terjadi. Cobalah melihat apa adanya tanpa rasa takut menghakimi atau memihak siapa pun. Lihatlah apa yang dilakukan orangtua terhadap satu sama lain dan terhadap kita pula. Jangan tergesa-gesa menganugerahkan pengertian dan jangan buru-buru membasuh tindakan yang salah. Lihatlah apa adanya.
Ketakutan terbesar—yang menjadi penghalang proses pertama ini—adalah ketakutan akan kehilangan satu-satunya yang berharga dalam hidup kita. Ibarat rumah yang terbakar, kita mengais dan berhasil menemukan puing atau sisa peninggalan yang kemudian kita simpan dan jadikan kebanggaan serta identitas diri. Misalkan kita berkata, "Sejelek-jeleknya keluarga saya, mereka tidak akan mengemis belas kasihan." Inilah puing yang kita simpan dan jadikan kebanggaan. Masalahnya adalah, kebanggaan ini akan menghalangi kita untuk melihat apa yang terjadi dengan lebih jernih. Kita tidak lagi dapat melihat kenyataan bahwa ada begitu banyak hal lain yang menyakitkan oleh karena adanya kebanggaan itu. Itu sebabnya menanggalkan kebanggaan tidaklah mudah. Melihat semua apa adanya adalah sukar namun mesti dilakukan.
Ketika kita berhasil melihat apa adanya, barulah kita dapat melihat dampak semua itu pada diri kita. Inilah langkah kedua. Kritikan telah membuat kita kritis dan sukar menerima, baik kelemahan diri sendiri atau orang lain. Keluhan membuat kita tidak mudah—dan mungkin tidak pernah—mempercayai orang lain. Ketidakbahagiaan yang mengendap membuat kita bukan saja tidak bahagia tetapi juga merasa diri tidak layak mengecap kebahagiaan.
Bila kita berhasil mengakui semua itu, barulah kita dapat mulai merajut masa lalu. Dengan kata lain, barulah kita dapat menjahit sebuah diri yang bernama, "Saya." Inilah diri kita yang seutuhnya karena kita berhasil merajut semua potongan yang tadinya tercecer dan terlupakan. Sebelumnya kita belum mempunyai diri yang utuh karena kita membangun konsep siapakah saya di atas satu atau dua puing yang kita banggakan. Baik atau buruk, membanggakan atau memalukan, hitam atau putih, kudus atau kotor, semua dirajut menjadi sebuah baju—sebuah diri—yang bernama, "Saya." Inilah langkah ketiga.
Di dalam kebebasan barulah kita dapat mulai merenda. Inilah langkah keempat dan terakhir. Di atas baju yang kosong kita mulai membubuhkan bordiran—satu demi satu. Kita menyadari apa yang dapat kita lakukan dan apa yang tidak dapat kita lakukan dengan baik. Kita menyadari kebutuhan kita sekaligus tanggung jawab kita untuk memenuhinya. Kita menyadari batas antara diri dan orang lain dan bahwa kita tidak bisa seenaknya masuk ke dalam wilayah orang dan menuntutnya untuk memberi kepada kita sesuatu yang kita inginkan. Di dalam merenda masa depan barulah kita sadar bahwa kita tidak perlu besar dan penting untuk bahagia. Yang membuat bahagia adalah menikmati apa yang telah diberikan Tuhan dan memberikannya kembali kepada Dia. Firman Tuhan berkata, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia akan kenyang dengan kemiskinan." (Amsal 28:19)
Ada yang diberikan tanah yang luas, ada yang diberikan tanah yang kecil. Terpenting adalah kita mengerjakan tanah sendiri. Tuhan telah berjanji bahwa apabila kita mengerjakan tanah sendiri, kita akan kenyang. Dengan kata lain, tidak peduli ukuran luasnya, semua tanah yang diberikan Tuhan cukup untuk mengenyangkan kita.
Sebaliknya, bila kita menengok ke kanan dan ke kiri dan mengejar "fantasi" atau barang yang sia-sia, sampai kapan pun kita tidak akan pernah kenyang.
Tanah sendiri, baju sendiri, diri sendiri. Itulah pemberian Tuhan kepada kita. Apa pun yang terjadi di masa lalu, rajutlah semua potongan yang terkoyak menjadi satu pakaian yang pas dan nyaman. Setelah itu mulailah kerjakan. Ibarat tanah, pacullah, berilah air, taburkan pupuk, dan tanamilah. Nikmatilah hasilnya dan berikanlah kembali kepada Tuhan. Inilah yang akan membuat kita berkata, "Saya bahagia."
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Merajut Masa Lalu, Merenda Masa Depan" bagian yang kedua, yang merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu, kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan tentang "bagaimana merajut masa lalu dan merenda masa depan" dalam hubungan keluarga. Supaya para pendengar kita pada saat ini bisa mengingat kembali atau mungkin bahkan yang baru kali ini bergabung dengan kita bisa mengikuti perbincangan ini selanjutnya secara lengkap, mungkin Pak Paul bisa mengulang secara cepat apa yang pernah kita bicarakan pada kesempatan yang lampau.
PG : Pada dasarnya kita sedang membahas problem dalam keluarga dan biasanya kita beranggapan kalau ada masalah dalam keluarga berarti keduanya ada masalah, tetapi saya juga mau mengangkat sisi yang satunya yaitu kadang-kadang sebetulnya satulah yang lebih bermasalah daripada yang lainnya. Penting bagi kita untuk masing-masing menengok ke dalam dan melihat diri kita serta kita juga harus berkata, "Inilah kelemahan saya, inilah kekurangan saya dan saya juga mau berubah" karena kalau kita tidak berubah maka kita tidak bisa menikmati pernikahan yang sehat. Berangkat dari bingkai ini kita mulai membahas langkah-langkahnya apa yang harus kita lakukan. Pertama-tama yang saya coba lakukan adalah menjelaskan mengapa ada orang-orang yang masuk ke dalam pernikahan membawa masalah, saya mencoba menjelaskan bahwa besar kemungkinan orang yang masuk ke dalam pernikahan membawa masalah adalah orang yang dibesarkan dalam keluarga bermasalah. Mengapa keluarga mereka bermasalah? Pada dasarnya kalau boleh saya sederhanakan, ada dua orang yang tidak bahagia dalam rumah tangga itu, apa pun penyebabnya tetapi intinya adalah si ayah dan si ibu tidak bahagia, karena dua-dua tidak bahagia keduanya akan menurunkan ketidakbahagiaan itu kepada anak-anaknya. Dampaknya adalah pada akhirnya anak-anak itu akan beranggapan bahwa mereka tidak akan layak dan tidak seharusnya layak mencicipi kebahagiaan itu, sudah terlalu lama menyaksikan ketidakbahagiaan orang tuanya. Mereka pun beranggapan, "Saya tidak layak untuk bisa hidup dan bahagia". Akhirnya ada masalah lain lagi yaitu dia dituntut orang tuanya untuk membahagiakan baik papa maupun mama atau keduanya. Jadi akhirnya bagi sebagian anak-anak misi hidupnya hanya satu yaitu membahagiakan orang tua sehingga akhirnya ini menjadi beban dalam dirinya. Waktu mereka masuk dalam pernikahan, sayangnya beban ini juga diembankan kepada pasangannya, "Aku tidak bahagia, aku harus membahagiakan orang tuaku, aku harus memberikan begitu banyak kepada orang tuaku, kamu juga sekarang beri kepadaku kebahagiaan itu. Kamu juga sekarang ringankan bebanku", akhirnya kita memberikan beban atau tanggungjawab itu kepada pasangan kita untuk membahagiakan kita. Kalau dia tidak melakukannya, kita marah, kita merasa tertolak, kita akan menuntut dia memberikannya kepada kita. Jadi mulai proses yang baru.
GS : Selain orang itu merasa tidak bahagia, apakah ada yang lain, Pak Paul?
PG : Yang ketiga, kita merasa tidak berfungsi. Setelah kita merasa tidak layak untuk mendapatkan kebahagiaan, kita berkata, "Aduh saya juga tidak bisa berfungsi" mengapa? Kegagalan demi kegagalan yang harus kita lewati, misalnya kita gagal membina pertemanan sehingga akhirnya harus sendirian, persahabatan hanya dangkal saja dengan orang-orang yang seperti kita ini. Mengapa, mungkin kita juga menjaga jarak, tidak mau dikecewakan oleh orang lain, jadi berteman seaman mungkin dan berusaha memelihara jarak senyaman mungkin. Kerja sama menjadi masalah untuk kita, kita tidak bisa bekerjasama, susah sekali, kalau bekerja sendiri bisa beres, kerjasama susah jadi akhirnya kita mengalami kegagalan. Pernikahan juga memunyai masalahnya sendiri karena kita banyak menyalahkan pasangan maka pasangan juga tidak terima, kita tidak bisa lagi berkata bahwa kita menikmati pernikahan yang harmonis. Kita merasa pasangan kita tidak menghargai kita, kita merasa semua orang menolak kita akhirnya kita melihat diri sebagai orang yang tidak lagi berfungsi.
GS : Mungkin akarnya karena dia merasa tidak layak, tidak pantas untuk menerima itu, untuk berteman atau untuk meraih suatu kesuksesan. Dia merasa tidak pantas, tidak layak untuk itu, begitu Pak Paul.
PG : Orang yang sudah berpikir negatif, dia tidak layak memang tidak lagi bisa berfungsi dengan optimal, semuanya lebih sering gagalnya daripada suksesnya dalam hidup, karena memang benar-benar dia susah sekali berteman, sebab bisa dimengerti teman juga agak enggan berkawan dengan dia karena lelah akhirnya dia dijauhkan dari orang-orang lain. Makin dia sendirian makin ia merasa terkucilkan, dia akan tumpahkan semua itu pada pasangannya atau pada anak-anaknya.
DL : Kemudian kalau dia menderita sakit yang berkepanjangan itu tambah membuat dia lebih parah lagi.
PG : Biasanya begitu, Bu Dientje sebab ia makin tidak berdaya, ia makin merasa butuh dikasihi, diperhatikan. Dia akan menambah tuntutan itu kepada pasangannya atau kepada anak-anaknya.
GS : Tadi Pak Paul katakan bahwa orang seperti ini masih bisa berhasil kalau dia bekerja sendiri, itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Masalahnya dia bukan orang yang tidak sanggup bekerja, tidak memunyai talenta untuk berusaha, bukan! Misalkan dia orang yang cerdas memunyai banyak kemampuan, tetapi masalahnya adalah dengan kerjasama karena kerjasama mesti mengalah, mesti bisa mengerti perasaan orang, mesti bisa memberikan kebutuhan yang dibutuhkan oleh orang lain, mesti realistik dalam menuntut orang kepada diri kita dan sebagainya. Hal-hal seperti itu tidak ada dalam dirinya.
GS : Apakah orang-orang seperti ini menyadari bahwa sebenarnya dia bisa berhasil pada suatu sisi, Pak Paul?
PG : Kalau memang dia menyadari dia memunyai kemampuan dan dia bisa mengerjakannya sendiri, ya bisa oleh karena itu cukup banyak orang-orang seperti ini kalau tidak harus bekerjasama dengan orang lain, Oke-Oke saja dalam pekerjaannya, karena tidak harus bentrok dengan orang lain. Kalau dia menjadi atasan dan semuanya menjadi bawahan, tapi begitu dia harus bekerjasama dengan orang itu akan menjadi masalah. Kalau dia berkeluarga lebih sering konflik kecuali baik pasangan atau anak-anaknya berusaha sekeras mungkin mengerti apa yang dituntut oleh dia sehingga bisa hidup relatif harmonis.
DL : Menghadapi orang seperti ini susah ya, kita harus semakin dewasa untuk menolong, membimbing orang seperti ini, Pak Paul.
PG : Betul dan akhirnya memang dalam kesempatan yang lalu kita sudah membahasnya, pasangan akan terlalu lelah sebab yang satu akan berkata, "Kok searah, saya menjadi penyuplai, saya memberi saya memberi, kapan saya menerima ? Mengapa terus-menerus saya yang harus memberi dan mengerti, kapan giliran saya? Akhirnya yang seorang merasa lelah.
GS : Kalau dia bekerjasama dengan orang lain sudah susah, apa untungnya dia menikah, bukankah lebih baik tidak usah menikah, hidup sendiri dan menikmati kesendiriannya itu.
PG : Sudah tentu ada faktor sosial budaya bahwa dalam masyarakat kita adanya tuntutan untuk menikah, kalau tidak menikah dianggap mungkin ada masalah sehingga orang terbiasa untuk menikah dan sudah tentu ada rasa cinta juga dengan pasangannya. Pointnya selain dari cinta dia juga akan embankan kepada pasangannya adalah tuntutan, tidak bisa tidak dia akan meminta itu. Pada akhirnya kalau itu yang dialami, pasangannya terlalu lelah, anak-anaknya menjauh dari dia dan tidak ada teman-teman, dia merasa putus asa, sedih, merasa terkucilkan dan hidupnya seperti perjalanan tanpa arah, berputar-putar begitu saja, asal melewatkan hari sehingga arah hidupnya tidak ada lagi. Benar-benar makna hidup pudar semuanya, pada tahap ini biasanya anak-anak sudah mulai keluar rumah, dia tinggal mengurus anak-anak yang sudah mandiri, hubungan dengan pasangannya renggang tidak ada lagi perasaan intim yang tersisa. Mungkin kalau masih bisa bekerja satu-satunya penghiburan kita, biasanya hati kita kosong tidak bahagia sama sekali. Kalau sudah sampai tahap itu, kita sudah merasa tidak ada fungsinya lagi hidup ini, tidak ada gunanya hidup ini, kita pun akhirnya tidak lagi menuntut pasangan atau siapa pun untuk membahagiakan kita. Kita akan berkata, "Sudahlah saya tidak mendapatkannya, orang mau memberi ya boleh, tidaklah ya sudah".
GS : Apakah ini terkait dengan harga diri seseorang, Pak Paul?
PG : Sudah tentu, Pak Gunawan, sebab biasanya memang ini berawal dari penghargaan diri yang berlebihan. Yang berlebihannya bermasalah, karena itu dia tidak bisa berdiri sendiri, dia selalu membutuhkan orang untuk menopangnya, menyuplai hal-hal yang baik, hal-hal yang dia butuhkan untuk dirinya sendiri.
DL : Itu berakibat kepada anak-anak juga, Pak Paul?
PG : Biasanya begitu, Bu Dientje karena dia akan menuntut anak-anaknya begitu untuk dia, membuat dia merasa bahagia, jangan menyusahkan. Tolong buat saya lebih bahagia, lebih bangga sebagai orang tua jadi beban itu diembankan kepada anak-anaknya.
GS : Apakah ada sikap yang lain lagi, Pak Paul?
PG : Kalau kita mengatakan, "Oke-lah saya produk dari orang tua yang tidak bahagia dan Oke-lah saya menjadi orang yang anggap diri tidak layak di dalam hidup, tidak layak menerima kebahagiaan dan akhirnya kita menyadari kita orang yang tidak berfungsi dan satu lagi yang saya ingin tekankan adalah kita mesti berkata, "Saya tidak menyerah", tidak peduli berapa pun usia kita dan bila kita menyadari bahwa inilah gambaran diri kita, masih ada yang dapat kita lakukan. Syaratnya satu, yaitu "Saya tidak menyerah". Langkah pertama kalau kita membahas tentang topik "Merajut Masa Lalu, Merenda Masa Depan", langkah pertama adalah membuka mata lebar-lebar dan melihat apa yang telah terjadi, kita mesti melihat apa yang telah kita alami tanpa rasa takut menghakimi atau memihak pada siapa pun, kita mesti melihat apa yang terjadi antara orang tua kita dan apa yang orang tua kita telah lakukan kepada kita? Jangan tergesa-gesa mencoba mengerti orang tua, jangan tergesa-gesa mencuci bersih tindakan yang salah, coba lihat apa yang telah terjadi. Memang ini tidak terlalu mudah sebab kecenderungan kita adalah untuk mendistorsinya, kita telah terlatih untuk tidak melihat apa adanya, sebaliknya kita terlatih untuk melihat yang sesuai keinginan dan harapan kita. Dengan perkataan lain, kita harus melihat apa adanya dan dalam proses pertama ini kita mesti rela melepaskan gambar kehidupan kita yang telah kita bangun selama ini, sebab bisa jadi gambar itu tidak tepat.
GS : Itu suatu perubahan yang sangat radikal untuk saya, Pak Paul, dari seseorang yang merasa tidak berfungsi, merasa tidak layak lalu tiba-tiba dia bisa merasa "saya tidak boleh menyerah dalam keadaan ini", tentu ada sesuatu yang menggugah dia untuk membuat dia tidak menyerah, begitu Pak Paul.
PG : Dia mesti melihat ke depan dan berkata, nomor satu, apakah dia mau menghabiskan sisa hidupnya seperti ini terus? Pertanyaan ini harus dijawab, sebab kalau dia tidak berbuat apa-apa akan seperti ini terus, oleh karena itu kita sudah baca di Roma 12:2 kita diminta Tuhan untuk berubah oleh pembaharuan budimu supaya kita bisa membedakan manakah kehendak Allah dan manakah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, jadi memang kita mesti berubah. Kalau kita tidak berubah inilah hidup kita sampai nanti kita meninggalkan dunia ini. Jadi kita mesti mengambil keputusan apakah kita mau begini terus, kita mungkin tidak bisa mengubah pasangan kita tetapi kita masih bisa mengubah diri kita asalkan kita mau datang kepada Tuhan, mengakui apa adanya diri kita dan Dia akan memberikan kepada kita kekuatan untuk berubah itu.
GS : Dan itu pun kadang-kadang dialami seseorang dengan jatuh bangun, artinya suatu saat timbul semangat bahwa dia tidak akan menyerah tetapi setelah dilihat hasilnya kurang memuaskan, tidak secepat yang dia inginkan, dia akan kembali lagi, merasa percuma ini.
PG : Betul, jadi kegagalan untuk benar-benar memulai sesuatu yang baru bisa melemahkan semangatnya dan yang kedua, kita merasa tidak begitu rela melepaskan yang lama. Saya berikan contoh, misalnya ada orang berkata, "Meskipun keluarga saya susah, keluarga saya bermasalah tetapi kami tidak pernah meminta kepada orang", jadi kita mungkin saja mengambil sesuatu dari keluarga kita yang dulu dan menjadikannya sebagai kebanggaan kita. Ini yang kita jadikan identitas diri kita, pokoknya saya tidak akan minta, jadi berusaha sendiri. Kebanggaan itu yang nanti harus kita lepaskan, pada waktu kita mau berubah kita mesti berubah tuntas tidak bisa sepenggal-sepenggal. Kita harus melepaskan hal-hal yang tadinya kita pakai sebagai kebanggaan kita, apa pun itu. Contoh misalnya ada orang berkata begini, "Saya tidak akan pernah menunjukkan diri lemah sebab saya mesti kuat", nah kekuatan itu menjadi kebanggaan dia. Pada waktu dia diminta untuk melihat kondisi keluarganya seperti apa adanya, dia tidak rela untuk melepaskan gambar diri atau kebanggaannya itu bahwa ini sebetulnya kosong, sudah lepaskan. Bangun yang baru dari nol lagi, biasanya dia juga tidak siap.
GS : Bukan hanya tidak mau melepaskan, Pak Paul, tetapi ada sesuatu kekuatiran kalau ini dilepaskan dia malah tidak memunyai apa-apa lagi.
PG : Betul, saya masih ingat dia berbicara pada seseorang berkali-kali, :Saya orangnya keras", ini sering saya dengar dari orang yang memang dari keluarga yang keras seperti itu. Pertanyaannya adalah mengapa harus dipegang? Harus dilepaskan bahwa saya bukan lagi orang yang keras, tetapi saya mau menjadi orang yang bijaksana, orang yang rendah hati, orang yang terbuka. Mengubah gambar diri dan menggantikannya dengan yang baru ternyata memang tidak semudah itu, kita seringkali masih mau memegang yang dulu itu sehingga kita tidak rela melepaskan karena itu sudah menjadi jati diri kita. Ada juga yang berkata begini, "Saya dengan orang kalau baik akan baik, kalau orang jahat kepada saya maka saya akan lebih jahat lagi, saya akan mendendam kepadanya", seringkali hal itu menjadi kebanggaan dirinya. Untuk melepaskan dan berkata, "Tidak lagi, saya mau menjadi orang yang sekarang pengampun, menjadi orang yang murah hati" susah, jadi seringkali ketidakrelaan kita menghalangi kita untuk berubah.
DL : Itu karena prinsip yang sudah dia pegang dari kecil sehingga susah.
PG : Betul, dan yang biasanya memang dia peroleh dari keluarga asalnya yang bermasalah itu, jadi tidak bisa dilepaskan dengan mudah.
GS : Kalau kita sudah melangkah dengan mencoba berani melihat apa adanya, selanjutnya apa, Pak Paul?
PG : Kita mesti melihat dampak semua itu pada diri kita. Langkah kedua misalnya kita berkata, "Karena dulu kenyang dikritik orang tua akhirnya kita menjadi orang yang kritis, sukar menerima baik kelemahan diri sendiri atau orang lain", Kita mesti mengakui hal itu jangan malah kita membanggakan diri, "Saya orangnya kritis" dan lain-lain. Justru kita harus berkata, "Oleh karena saya sering dikritik saya menjadi orang yang sukar menerima kritikan, sukar menerima kelemahan diri atau orang lain". Atau misalnya orang tua kita mengeluh terus, semuanya disalahkan, kita mungkin menjadi orang yang tidak mudah atau tidak pernah memercayai orang lain. Sebab kita selalu melihat manusia secara negatif misalnya yang lain lagi, oleh karena kita harus hidup dalam ketidakbahagiaan karena orang tua kita tidak bahagia akhirnya bukan saja kita menjadi orang yang tidak bahagia tetapi kita juga merasa diri tidak layak untuk mengecap kebahagiaan. Dampak lainnya yang kitabisa lihat adalah tuntutan orang tua untuk kita membahagiakannya, membuat kita kehilangan diri kita. Kita tidak mengetahui siapa diri kita, kita tidak mengetahui ke mana arah hidup kita, pada akhirnya kita menjadi orang yang sulit didekati, sulit dikasihi, sulit dihargai, ibaratnya kita menjadi seperti pohon di tengah pulau yang kosong. Itulah dampaknya pada diri kita oleh karena apa yang telah kita alami itu.
GS : Kalau kedua hal itu sudah kita jalani tahap demi tahap dan akhirnya kita bisa menjalani itu semua, berikutnya yang kita alami apa, Pak Paul?
PG : Setelah kita berhasil mengakui semua itu kita lihat apa yang telah terjadi, kita juga melihat dampaknya pada diri kita, baru kita mulai bisa merajut masa lalu, kita menjahit sebuah diri yang bernama saya, inilah diri kita yang seutuhnya karena kita berhasil merajut semua potongan hidup kita yang tadinya tercecer dan terlupakan, sebelumnya kita belum memunyai diri yang utuh karena kita membangun konsep siapakah diri kita di atas satu atau dua puing yang kita banggakan tadi. Baik atau buruk, membanggakan atau memalukan, hitam atau putih, kudus atau kotor, semua dirajut menjadi sebuah baju atau sebuah diri yang bernama saya. Nah, inilah langkah ketiga, proses ini memang membingungkan sebab kita tidak mengetahui lagi dengan pasti perasaan apa yang mesti kita labelkan. Dulu kita bisa melabelkan rasa bangga, sekarang tidak ada lagi namun kita tidak mengetahui kata apakah yang mesti kita tempelkan untuk menggantikan rasa bangga itu, tidak ada sekarang, jadi merajut masa lalu untuk menjadi pakaian yang bernama saya memang tidak bertujuan untuk dipajang atau diperagakan. Tujuannya hanyalah satu yaitu membuat pakaian atau diri apa adanya, tanpa label tanpa merek, namun setidak-tidaknya kita bisa berkata, bahwa pakaian ini atau gambar diri ini sekarang pas untuk kita. Kita juga merasa lebih bebas tidak lagi terikat, kita lebih bisa menjadi diri kita sendiri, sebelumnya tidak meskipun kita memunyai kebanggaan-kebanggaan sesungguhnya kita tidak bebas karena justru kita dipasung oleh kebanggaan itu. Kita juga tidak bebas memperlihatkan diri apa adanya sebab kita tidak siap namun sekarang berbeda. Kita mungkin tidak memunyai kebanggaan apa-apa tetapi kita merasa lebih bebas, inilah diri kita dan kita tidak lagi terlalu kuatir bagaimana orang nanti menilai kita.
GS : Sebenarnya pada titik itu orang mulai menemukan jati dirinya sendiri, siapa dirinya sendiri yang dia terima pada saat itu, dia harus menerima apa adanya, begitu Pak Paul.
PG : Betul sekali, dalam kondisi itulah kita baru mulai bisa merenda hidup kita, maksudnya kita baru bisa ibaratnya membubuhkan bordiran. Kita menambahkannya satu demi satu di baju kita, kita menyadari apa yang dapat kita lakukan dan apa yang tidak dapat kita lakukan dengan baik. Kita menyadari kebutuhan kita sekaligus tanggungjawab kita untuk memenuhinya, kita menyadari batas antara diri kita dengan orang lain. Kita tidak bisa masuk seenaknya ke dalam wilayah orang dan menuntutnya memberi kepada kita sesuatu yang kita inginkan. Kita juga menyadari sumbangsih yang dapat kita tebarkan namun kita juga maklum bahwa orang tidak berkewajiban menerima apalagi menghargai sumbangsih kita, kita sadar bahwa pemberian bukanlah pemaksaan. Pada waktu kita memberi sesuatu bukan memaksa orang memberikan kepada kita apa yang kita harapkan. Kita memberi karena kita bersedia berbagi diri dengan sesama, bukan supaya ia berbagi dengan kita dan ini yang penting dalam merenda masa depan barulah kita sadar bahwa kita tidak perlu besar dan penting untuk bahagia. Yang membuat bahagia adalah menikmati apa yang telah diberikan Tuhan dan memberikannya kembali kepada Dia.
GS : Apakah di sini sikap pasangan atau anak itu tidak lagi memengaruhi orang ini, Pak Paul?
PG : Masih ada sedikit banyak, tapi setidak-tidaknya dia sudah lebih stabil, dia tidak lagi terlalu diatur atau dipengaruhi oleh apa yang dilakukan oleh orang lain, baik itu pasangannya maupun anak-anaknya.
DL : Tapi itu memakan waktu proses yang cukup panjang, Pak Paul?
PG : Biasanya iya, Bu Dientje.
DL : Benar-benar pergumulan dalam dirinya dengan Tuhan.
PG : Ini point yang bagus bahwa memang mesti ada pergumulan, tetapi kita tidak menyerah dan tidak mau mengambil jalan pintas. Jalan pintas adalah menyalahkan orang, membuat orang lain yang rasanya bersalah, tidak bisa berbuat apa-apa untuk kita, tetapi kita menyerahkan ini kepada Tuhan dan kita sadari bahwa kita yang harus bergumul. Sekali lagi yang saya ingin ingatkan kepada kita semua adalah kita mesti sadari bahwa kita memunyai bagian yang harus kita lakukan.
GS : Apakah ada ayat firman Tuhan yang mendukung hal itu, Pak Paul?
PG : Firman Tuhan di Amsal 28:19 berkata, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia akan kenyang dengan kemiskinan". Ada yang diberikan tanah yang luas, ada yang diberikan tanah yang kecil, terpenting adalah kita mengerjakan tanah kita sendiri. Tuhan telah berjanji bahwa apabila kita mengerjakan tanah sendiri atau hidup kita sendiri kita akan kenyang. Dengan perkataan lain, tidak peduli ukuran luasnya, semua tanah yang diberikan Tuhan cukup untuk mengenyangkan kita. Fokuskan pada diri kita apa yang harus kita lakukan dan Tuhan pasti akan menolong kita.
GS : Apakah kita tergoda untuk melihat lahannya orang lain, yang lebih subur, yang lebih enak daripada lahan kita sendiri, Pak Paul?
PG : Cenderungnya begitu, kita mengejar fantasi ke kiri ke kanan, "Aduh betapa enaknya orang ini" dan sebagainya, tetapi jangan menolak mengerjakan tanah sendiri. Jangan berkata, "Hidup saya hanya begini saja". Ingat tanah sendiri, baju sendiri, diri sendiri itulah pemberian Tuhan kepada kita. Apa yang terjadi pada masa lalu, rajut semua potongan yang terkoyak menjadi satu diri atau pakaian yang pas dan nyaman. Setelah itu barulah kita mulai kerjakan, bangun diri yang baru dan kita katakan, "Inilah saya", kita menikmati apa yang Tuhan berikan dan kita berikan kembali kepada Tuhan.
DL : Berarti intinya kita harus bersyukur di atas semuanya itu, menjalani dengan berserah kepada Tuhan.
PG : Harus penuh syukur, jangan kita menengok ke kanan ke kiri, apa yang orang lain punya dan saya tidak punya. Kita syukuri apa yang telah Tuhan berikan, kita bangun dari situ hidup kita.
GS : Sebenarnya bagian yang diberikan oleh Tuhan kepada kita, itulah yang paling pas buat kita, Pak Paul. Kalau kita mengerjakan yang lebih besar mungkin tidak kuat tetapi yang lebih kecil kurang baik.
PG : Betul.
GS : Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Merajut Masa Lalu, Merenda Masa Depan", yang merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
55. Teladan Hidup I | |
Sebagai orang tua kita harus memberi contoh kehidupan yang baik kepada anak-anak sebab ternyata kebiasaan buruk berpotensi besar untuk ditiru dan akhirnya diadopsi oleh anak. Mengutamakan uang dan harta tidak akan bisa menjamin anak bersikap baik, justru teladan hiduplah yang bisa membentuk anak kearah yang lebih baik. Teladan hidup yang seperti apa yang bisa kita ajarkan? Di sini akan dipaparkan dengan jelas.
T 342 A + B "Teladan Hidup" dpo. Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kejadian 12 adalah salah satu pasal di Alkitab yang sarat ironi. Pada ayat 1-9 dicatat salah satu peristiwa terbesar di dalam sejarah hidup manusia yaitu perjumpaan Tuhan dengan Abraham. Di situ dicatat bagaimana Tuhan menampakkan diri kepada Abraham dan memanggilnya keluar dari tanah kelahirannya untuk pergi ke tanah yang akan Tuhan berikan kepadanya. Setelah memanggilnya, Tuhan pun menjanjikan berkat kepada Abraham — berkat yang besar karena lewat Abraham segala bangsa akan diberkati pula.
Ironinya adalah, pada pasal yang sama, mulai ayat 10-20 dicatat peristiwa yang menyedihkan yaitu Abraham menyerahkan istrinya Sara kepada Firaun raja Mesir karena takut dibunuh. Orang yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi saluran berkat-Nya kepada semua bangsa di bumi ternyata adalah seorang yang tidak berjiwa ksatria. Sayangnya, Abraham mengulang perbuatannya ini. Ia menyerahkan istrinya kepada Abimelekh raja Filistin karena takut dibunuh (Kejadian 20).
Di dalam dua peristiwa ini Abraham mengatakan kepada kedua raja itu bahwa Sara bukanlah istrinya melainkan adiknya. Singkat kata Abraham menggunakan tipu muslihat untuk mendapatkan perlindungan atas dirinya. Nah, satu hal yang menarik adalah putranya, Ishak, ternyata melakukan hal yang sama. Sewaktu ia menetap di Gerar tanah Filistin, ia pun mengklaim bahwa Ribka adalah saudaranya, karena takut dibunuh.
Ternyata tradisi berbohong ini tidak berhenti di sini. Putra Ishak yang bernama Yakub juga membohongi kakaknya Esau dan ayahnya sendiri, Ishak, untuk mendapatkan berkat kesulungan. Belakangan 10 putra Yakub berbohong kepada Yakub dan mengatakan bahwa Yusuf adik kandung mereka, telah dimangsa binatang buas, padahal mereka menjualnya sebagai budak.
Sebagai orang tua kita harus memberi contoh kehidupan yang baik kepada anak-anak sebab ternyata kebiasaan buruk berpotensi besar untuk ditiru dan akhirnya diadopsi oleh anak, sebagaimana dapat kita lihat pada kehidupan ketiga tokoh iman ini. Kakek berbohong, anak berbohong, cucu berbohong, dan akhirnya cicit-pun berbohong. Berikut akan dipaparkan proses terjadinya transfer kehidupan dari orangtua kepada anak yang memungkinkan kebiasaan—baik ataupun buruk—turun kepada anak.
• Berhubung orang tua adalah orang pertama yang dikenal anak pada usia dini, pengaruh orang tua pada anak adalah pengaruh terbesar dalam pertumbuhan diri anak. Ibarat semen yang masih basah, demikianlah jiwa anak pada usia dini. Apa pun yang diletakkan di atasnya pastilah meninggalkan bekas yang terus menetap pada diri anak. Jika anak menerima kasih sayang, maka kasih sayang akan masuk menjadi bagian kehidupannya. Sebaliknya, bila ia menerima kebencian, maka kebencian akan masuk menjadi bagian dari kehidupannya pula. Jika ia diperlakukan lembut, ia pun akan terbentuk menjadi pribadi yang lembut. Sebaliknya bila ia diperlakukan dengan keras, kekerasan pun akan menjadi bagian kehidupannya.
• Selain dari pengaruh yang diterima lewat perlakuan, anak pun menerima pengaruh orang tua lewat apa yang dilihatnya pada orang tua. Jadi, bila anak sering melihat pertengkaran, ia pun mudah terjebak di dalam emosi kemarahan yang membuatnya mudah meledak dan terlibat dalam konflik. Sebaliknya jika anak melihat hubungan orang tua yang mesra, maka anak pun belajar bersikap mesra kepada orang lain, terutama kepada orang yang dikasihinya.
• Terakhir anak menerima pengaruh orang tua, bukan saja lewat perlakuan dan apa yang dilihatnya, tetapi juga lewat apa yang sesungguhnya diyakini oleh orang tua. Ada orang tua yang sering berkata-kata tentang Tuhan di dalam rumah namun sebenarnya nilai yang dianut adalah materi. Besar kemungkinan inilah yang akan dipetik oleh anak. Pada akhirnya yang dikejar bukanlah Tuhan, melainkan berkat Tuhan. Sebaliknya bila orang tua adalah orang yang berintegritas—menjunjung tinggi kebenaran—maka anak pun cenderung meneladani integritas moral ini.
Jika demikian kita sebagai orang tua harus memperhatikan
(a) bagaimanakah kita memperlakukan anak,
(b) bagaimanakah kita hidup, dan
(c) apakah yang sesungguhnya teramat penting bagi kita. Mari kita lihat ketiganya dengan lebih mendetail :
1. Kita harus memperlakukan anak dengan mengutamakan keseimbangan antara kasih dan disiplin. Kasih membuat anak tahu dengan pasti bahwa ia BERHARGA sedangkan disiplin yang sesuai membuat anak belajar MENGHARGAI apa yang dimilikinya dan orang di sekitarnya.
Ibrani 12:5-6 berkata, "Hai anak-Ku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa bila engkau diperingatkan-Nya karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." Tuhan mengasihi kita namun Ia tidak ragu menghajar kita sebab hanya dengan disiplin kita dapat menghargai apa yang diberikan Tuhan kepada kita—kasih dan pengorbanan-Nya. Demikian pula anak. Bila anak tidak didisiplin, mustahil ia dapat menghargai kasih dan pengorbanan orang tua untuknya. Ia hanya akan terus berkaca dan mengagumi dirinya sebagai orang yang berharga, tanpa menyadari harga yang dibayar orang tua untuk mengasihi dan merawatnya.
2. Kita harus hidup dalam damai sejahtera antara satu sama lain. Sewaktu anak melihat relasi kita yang harmonis dengan pasangan, anak pun belajar untuk hidup harmonis dengan orang di sekitarnya. Ia belajar untuk mengedepankan kepentingan orang ketimbang kepentingan diri sendiri.
II Korintus 5:19 berkata, "Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami." Berita pendamaian adalah berita yang berawal dari Allah sendiri di mana Ia mendamaikan diri-Nya dengan kita manusia lewat kematian putra Allah Yesus Kristus. Dan sekarang Ia mempercayakan berita ini kepada kita bukan saja untuk didengar melainkan untuk diterapkan.
Satu hal lagi: Allah tidak memperhitungkan pelanggaran kita manusia. Dengan kata lain, kita pun mesti melihat hidup kita sebagai kelanjutan misi pendamaian dari Tuhan kepada kita dan diri kita kepada sesama. Kita pun tidak boleh memperhitungkan pelanggaran pasangan sebab selama kita terus mempersoalkan kesalahannya, maka tidak mungkin kita akan bersedia berdamai dengannya. Singkat kata, perdamaian dimungkinkan lewat pengampunan. Anak yang melihat pengampunan akan melihat perdamaian.
3. Kita harus menyusun ulang prioritas dalam hidup sedemikian rupa sehingga apa yang penting bagi Tuhan, menjadi penting bagi kita dan apa yang tidak penting bagi Tuhan, tidak penting bagi kita pula. Tidak mudah bagi siapa pun untuk hidup benar di tengah dunia ini. Itu sebabnya anak memerlukan contoh hidup lewat kehidupan pribadi kita agar ia mendapatkan kekuatan untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Sewaktu ia tidak melihat kita hidup dengan benar, ia pun tidak akan menerima dukungan untuk hidup benar. Kekuatannya untuk melawan dosa menjadi lemah dan keinginannya untuk menaati Tuhan pun meredup.
Mazmur 103:15-18 mengingatkan, "Adapun manusia hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia dan tempatnya tidak mengenalnya lagi. Tetapi kasih setia Tuhan dari selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia dan keadilannya kepada anak cucu, bagi tiap-tiap orang yang berpegang teguh pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya." Sebagai orang tua kita harus mempunyai nilai rohani yang benar; jangan utamakan uang dan harta sebab semua akan layu; sebaliknya utamakan kehendak Tuhan. Dan, Tuhan pun akan memberkati bukan saja kita tetapi juga anak dan cucu kita.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Teladan Hidup". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS | : | Khususnya kebutuhan anak terhadap suatu keteladanan dari orang tuanya memang sangat besar, tapi kalau kita membaca Alkitab mulai dari kitab Kejadian, kita juga melihat bahwa bapak-bapak orang beriman tokoh-tokoh Alkitab kadang-kadang tidak memberikan suatu teladan yang baik. Semua bisa mengatakan mereka juga manusia biasa, tapi melalui apa yang tertulis di dalam Alkitab kita bisa belajar sesuatu dari mereka, kira-kira tokoh siapa yang bisa kita munculkan sebagai panutan dalam perbincangan ini, Pak Paul? |
PG | : | Yang kita akan bicarakan adalah seorang tokoh yang bernama Abraham. Kita ini akan melihat sesuatu yang memang luar biasa karena dampak dari sebuah perbuatan dan dalam hal ini adalah sebuah kesalahan atau kejatuhan, ternyata bisa berdampak sampai bergenerasi. Jadi inilah yang akan kita fokuskan supaya kita belajar jangan sampai kita akhirnya mengulang kesalahan yang sama dalam keluarga. |
GS | : | Tapi kalau kita melihat Abraham, itu adalah seorang yang disebut bapak orang beriman. Kesalahan apa yang diperbuatnya, Pak Paul? |
PG | : | Di Kejadian 12, pasal ini unik karena di dalam satu pasal yang hanya berisikan 20 ayat ini sebetulnya tercatat 2 peristiwa yang sangat penting. Peristiwa yang pertama (dari ayat 1 sampai 9) adalah tentang perjumpaan Tuhan dengan Abraham. Kita baca di pasal 12:1-3 Tuhan berkata pada Abraham, "Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." Satu-satunya manusia yang pernah menerima janji Tuhan seperti ini hanyalah Abraham, bahwa lewat Abraham, "olehmu semua kaum artinya semua bangsa di muka bumi akan mendapatkan berkat". Jadi Abraham saat itu pasti tidak bisa membayangkan apa yang akan Tuhan kerjakan lewat dirinya sebab saat itu mungkin sekali penduduk di dunia mungkin hanya hitungan berapa juta saja, tapi dia tidak pernah membayangkan bahwa sekarang penduduk bumi sudah mencapai hampir 7 milyar manusia. Jadi Tuhan berkata, "Lewat satu orang ini maka Tuhan akan memberkati seluruh atau semua kaum di bumi". Jadi sebuah perjumpaan yang luar biasa. Namun di pasal yang sama ini juga kita akan melihat sesuatu yang merupakan kebalikannya yaitu di ayat 10 sampai ayat 20 dicatat peristiwa yang menyedihkan yaitu Abraham menyerahkan istrinya Sara kepada raja Firaun di Mesir karena takut dibunuh. Jadi orang yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi saluran berkat-Nya di bumi ternyata dalam hal ini jatuh dalam kelemahannya, dia takut dibunuh oleh Firaun dan kemudian berbohong mengatakan kalau istrinya bukan istrinya tapi saudaranya. Dan inilah yang dikatakan kepada istrinya di ayat 11, "Memang aku tahu, bahwa engkau adalah seorang perempuan yang cantik parasnya. Apabila orang Mesir melihat engkau, mereka akan berkata: Itu isterinya. Jadi mereka akan membunuh aku dan membiarkan engkau hidup. Katakanlah, bahwa engkau adikku, supaya aku diperlakukan mereka dengan baik karena engkau, dan aku dibiarkan hidup oleh sebab engkau." Jadi inilah kesalahan Abraham karena ketakutannya yang sudah tentu kita juga bisa mengerti ketakutannya, tapi ini menjadi sebuah kelemahannya dimana dia akhirnya berbohong untuk menyelamatkan jiwanya. |
GS | : | Jadi sekalipun Tuhan sudah memilih seseorang untuk menjadi saluran berkat yang begitu besar seperti Abraham, tapi Tuhan tidak menghilangkan sisi kelemahan Abraham, begitu Pak Paul? |
PG | : | Sebab kita akan melihat perjalanan iman atau pertumbuhan rohani dalam diri Abraham. Misalnya kita lihat di Kejadian pasal 20 Abraham melakukan hal yang sama. Jadi sewaktu dia harus pergi ke orang Filistin karena kelaparan di Kanaan, disana dia juga takut kalau nanti Raja Filistin yang bernama Abimelekh akan membunuhnya gara-gara melihat istrinya cantik sekali. Dia juga berkata yang sama pada orang-orang di sana bahwa ini bukanlah istri saya, tapi saudara saya. Dalam kasus Abimelekh memang belum sampai diambil istri karena Tuhan memeringatkan Abimelekh lewat mimpi tapi intinya adalah bahwa Abraham melakukan hal dan kesalahan yang sama. Dia menyebarkan berita dia mengaku pada orang di Filistin bahwa ini adalah saudara saya atau adik saya. Namun kita lihat akhirnya Abraham bertumbuh terus sampai puncaknya adalah Tuhan meminta Abraham untuk memersembahkan putranya Ishak kepada Tuhan, di situ iman sudah pada titik kesempurnaannya, dia menyerahkan semuanya dan dia memercayakan semuanya pada Tuhan. Di kitab Ibrani kita bisa membaca alasan kenapa Abraham begitu berani menyerahkan putranya Ishak kepada Tuhan untuk dipersembahkan? Karena dicatat di situ Abraham memunyai iman bahwa kalau Tuhan mengambil, Tuhan bisa menghidupkan kembali. Di situ bisa dilihat pertumbuhan iman yang luar biasa. Tapi kita juga mengingat bahwa sebelum Abraham menjadi seperti itu, dia adalah Abraham yang dua kali berbohong menyebarkan berita bahwa istrinya bukanlah istrinya, tapi saudaranya hanya untuk melindungi dirinya. |
GS | : | Tapi dalam hal ini, dalam kasus Abraham, tidak sepenuhnya salah. Karena Sara kalau kita lihat juga adik hanya berlainan ayah atau ibu. Sehingga orang mengatakan bahwa ini suatu strategi yang diperbuat Abraham agar dia bisa lolos dari peristiwa yang kurang mengenakkan misalnya istrinya diambil orang atau dia akan dibunuh. Jadi ini dianggap sebagai suatu siasat. |
PG | : | Betul. Memang Sarah adalah adik Abraham dalam pengertian satu ayah lain ibu. Tapi sebetulnya dia adalah istri Abraham, jadi bagaimana pun juga Abraham berniat untuk menutupi fakta bahwa dia adalah istrinya, kenapa dia ingin menutupi fakta itu karena untuk melindungi dirinya. Jadi tetap ada unsur berbohong. Dan yang saya lihat, kenyataan bahwa Tuhan bertindak melindungi Abraham, Tuhan ingin menunjukkan pada Abraham bahwa dia sanggup untuk melindunginya dan dia tetap bisa percaya pada Tuhan. Misalnya dalam kasus dengan Firaun, Tuhan menjatuhkan tulah sehingga keluarga Firaun banyak terkena penyakit dan Firaun disadarkan bahwa dia telah berbuat salah karena telah mengambil istri orang, sehingga dia menyerahkan Sara kembali pada Abraham. Dengan kasus raja Filistin, Abimelekh, bahkan sebelum terjadi apa-apa Tuhan menampakkan diri kepadanya lewat mimpi dan memeringatinya untuk tidak mengambil Sarai. Jadi dengan kata lain Tuhan bertindak dengan nyata sekali untuk melindungi Abraham. Jadi seharusnya Abraham itu memercayakan kehidupannya dan keluarganya sepenuhnya kepada Tuhan. Tapi sekali lagi kita mengerti betapa sulitnya menjadi Abraham saat itu, mungkin kalau kita dalam posisinya kita akan tergoda melakukan hal yang sama. Jadi sekali lagi saya tekankan kenyataan dia berbuat seperti itu sedikit banyak memang menunjukkan imannya saat itu masih lemah namun lewat perjalanan kegagalannya itu akhirnya Abraham bertumbuh menjadi lebih kuat dan pada puncaknya dia memercayakan putranya Ishak untuk dipersembahkan kepada Tuhan. |
GS | : | Dalam hal ini Tuhan membentuk Abraham lewat peristiwa yang dialaminya sehingga makin hari iman Abraham bertambah dewasa. Tetapi apakah tindakan yang dilakukan oleh Abraham dengan menipu orang berdampak kepada keluarganya, Pak Paul? |
PG | : | Ternyata ya, sebab kita tahu belakangan putranya yang bernama Ishak ternyata melakukan hal yang persis sama sewaktu dia hijrah atau pindah dari tanah Kanaan kembali ke negeri Filistin karena mungkin kelaparan lagi, dia juga takut kalau nanti istrinya akan diambil oleh raja, maka dia juga mengatakan kepada orang-orang setempat bahwa istrinya, Ribka adalah adiknya. Dengan perbuatannya itu kita melihat Ishak mengulang perbuatan yang salah yaitu berbohong, dan meskipun kita sekali lagi bisa mengerti kenapa Ishak berbuat seperti itu tapi tetap kita melihat dia salah, dia berbohong lagi. Ishak memunyai 2 anak, yang pertama adalah Esau dan yang kedua adalah Yakub. Yakub di kemudian hari berbohong juga, membohongi kakaknya untuk mendapatkan hak kesulungan, membohongi papanya untuk mendapatkan berkat kesulungan. Yakub memunyai 13 anak dan di antaranya 12 anak laki, anak-anaknya sepuluh orang membohonginya mengatakan bahwa Yusuf dimakan oleh binatang buas padahal mereka menjual Yusuf kepada para pedagang. Jadi dengan kata lain, kita melihat di situ bahwa berbohong itu diteruskan dari mulai generasi Abraham kepada Ishak dan akhirnya kepada Yakub dan akhirnya kepada anak-anak Yakub. Jadi dari kakek, ke anak, ke cucu dan akhirnya ke cicit memunyai masalah yang persis sama yaitu berbohong. |
GS | : | Padahal ketika Abraham berbohong mengatakan kalau Sarai adalah adiknya dan bukan istrinya, pada saat itu sebenarnya Ishak sendiri belum lahir jadi Ishak tidak pernah melihat secara langsung apa yang dilakukan oleh ayahnya. |
PG | : | Betul sekali. Kita punya kesimpulan bahwa pasti ada yang pernah berbicara kepada Ishak kalau bukan Abraham mungkin mamanya sendiri yang mungkin bercerita bahwa inilah yang terjadi, "Papa berbohong kepada raja Firaun" atau mungkin Abraham sendiri yang mengakui kepada putranya Ishak, "Saya dulu berbohong kepada Firaun atau kepada Abimelekh". Jadi dengan kata lain, Ishak tidak mungkin tahu kalau tidak diceritakan. Dan anehnya waktu mereka terdesak karena kelaparan dan harus pindah ke Filistin, dia melakukan hal yang persis sama. |
GS | : | Kalau kita melihatnya dari sisi kebohongan yang dilakukan oleh Abraham, katakan menurun ada semacam benang merah yang menghubungkan keluarga ini untuk berbohong, selain hal berbohong yang seringkali menurun seperti ini apa, Pak Paul? |
PG | : | Saya kira ada beberapa yang memang kadang-kadang bisa menurun dalam pengertian apa yang dilihat itu akhirnya menciptakan sebuah pola di dalam kehidupan anak-anak. Yang sering terjadi adalah 'addiction' atau kecanduan. Itu banyak sekali yang akhirnya diwariskan atau diturunkan, baik itu kecanduan minuman keras, kecanduan berjudi, atau kecanduan gonta-ganti istri atau perempuan. Saya melihat itu seringkali ditiru oleh anak-anak meskipun tidak mau ditiru, tapi akhirnya bisa ditiru dan akhirnya anak-anak menjadi seperti itu juga. Jadi saya kira di dalam pernikahan hal kecanduan itu adalah salah satu hal yang cukup sering diteruskan pada generasi selanjutnya. |
GS | : | Anak memang seringkali interaksinya dengan orang tua dan apa yang mereka lihat dan yang mereka rasakan itu akan diulang oleh mereka. Tetapi dalam hal ini apa yang bisa kita pelajari dari kisah kelam Abraham ini, Pak Paul? |
PG | : | Ada tiga yang akan saya angkat, yang pertama adalah berhubung orang tua adalah orang pertama yang dikenal anak pada usia dini maka pengaruh orang tua pada anak adalah pengaruh terbesar dalam pertumbuhan diri anak. Saya bisa ibaratkan jiwa anak pada masa kecil seperti semen yang masih basah, apapun yang diletakkan di atas semen yang basah pasti meninggalkan bekas yang akan terus menetap. Jadi anak pun begitu, sepertinya semen yang basah apapun yang orang tua itu nanti lakukan kepada si anak itu cenderung nantinya akan bisa menempel pada diri si anak. Misalkan si anak menerima banyak kasih sayang dari orang tua, maka kasih sayang akan masuk menjadi bagian dalam kehidupannya, dia akan tahu bahwa dia adalah anak yang dikasihi dan karena dia tahu dia anak yang dikasihi maka dia akan melihat dirinya sebagai anak yang berharga. Sebaliknya bila orang tua menunjukkan kebencian pada anak maka kebencian akan masuk menjadi bagian dari kehidupannya pula. Jika ia diperlakukan misalnya dengan lembut ia pun akan terbentuk menjadi pribadi yang lembut pula, sebaliknya jika ia diperlakukan dengan keras maka kekerasan pun akan menjadi bagian dari kehidupannya pula. |
GS | : | Tetapi ini bukan hanya orang tua, tapi saya melihatnya cenderung kepada siapa yang mengasuh anak ini, jadi kalau anak ini sering ditinggal orang tuanya lalu terbiasa dengan pengasuhnya mungkin perbuatan buruk dari pengasuhnya ini yang akan dicontoh. |
PG | : | Bisa. Misalkan berbicara tentang pengasuh salah satu hal yang kadang orang tua kurang begitu perhatikan adalah pengasuh itu kebanyakan sedikit banyak memerlakukan anak majikannya seperti anak majikan, jadi seperti setengah anak raja, kemauannya dituruti. Jadi anak kecil diasuh oleh pengasuh dari pagi sampai sore dan orang tua tidak mengasuh karena mungkin repot kerja akhirnya akan menerima perlakuan yang belum apa-apa sudah menjadikan dia majikan. Orang tua menjadi majikan di usia dewasa dan setelah melewati naik turunnya hidup dan akhirnya baru bisa memunyai pembantu rumah tangga dan sebagainya, tapi anak kecil ini tidak pernah melewati pahit manisnya hidup tidak pernah berbuat apa-apa, tiba—tiba dari kecil diperlakukan seperti setengah anak raja, hal ini nanti berdampak pada diri si anak juga. Jadi perlakuan-perlakuan yang diterimanya itu membuat dirinya merasa anak yang spesial, kehendaknya harus diberikan dan dituruti. Jadi kita melihat dampak dari perlakuan, baik dari orang tua atau dari pengasuh atau dari orang lain, jadi apa yang anak-anak terima perlakuan yang orang berikan kepadanya pada masa kecil cenderung nanti anak membentuk jiwanya. |
GS | : | Terbentuknya karakter anak ini banyak ditentukan oleh kebiasaan apa yang diterima oleh dirinya, begitu Pak Paul? |
PG | : | Tepat sekali. Jadi makanya kita mesti berhati-hati misalnya salah satu hal yang kadang orang tua kesal dengan anaknya dan kalau sedang marah atau tidak harus marah seperti apa dia keluar kata-kata, "Kamu bodoh" kata-kata atau perlakuan seperti itu akan menetap pada diri anak, bahwa dia memang anak yang bodoh dan bukan anak yang cerdas. Jadi apa yang kita perbuat pada anak harus kita pikirkan baik-baik dan jangan sembarangan. |
GS | : | Selain tindakan yang dapat memengaruhi anak, hal lain apa lagi, Pak Paul? |
PG | : | Yang lain adalah apa yang dilihat oleh anak, jadi bukan hanya perlakuan tapi apa yang dilihatnya dari orang tua. Jadi kalau anak sering melihat pertengkaran maka dia mudah terjebak dalam emosi kemarahan yang membuatnya mudah meledak dan terlibat dalam konflik. Sebaliknya kalau dia melihat hubungan orang tua yang mesra maka anak belajar bersikap mesra kepada orang lain terutama kepada orang yang dikasihinya. Pada pelayanan konseling, saya sering menjumpai hal ini, ada anak yang menjadi korban pemukulan, korban kekerasan orang tuanya. Ini adalah perlakuan kasar dan ini menjadi bagian dari hidupnya. Tapi ada anak yang tidak mengalami hal itu tapi melihat, misalnya melihat papa memukuli mama, ada yang melihat papa memukuli kakak-kakaknya, ada yang melihat mama memukuli siapa. Jadi meskipun dia sendiri tidak terkena, tapi apa yang dilihatnya itu nanti akan diserapnya dan itu akan membentuk jiwanya. Jadi misalnya lain kali dia marah maka dia akan memukul juga, dia marah sedikit dia memukul karena dia tidak bisa menahan dirinya sebab apa yang dilihatnya lama-lama terekam dalam benaknya dan akhirnya menjadi seperti program yang akan menentukan tindakannya. |
GS | : | Repotnya apa yang dilihatnya belum tentu suatu yang nyata misalnya orang tuanya bertengkar, bahkan film yang dilihat di televisi atau video atau game bahkan itu juga ada pengaruhnya terhadap anak-anak ini, Pak Paul. |
PG | : | Misalkan kita tahu ini terjadi di Amerika Serikat, ada anak-anak yang belum berusia 12 tahun dan terakhir saya dengar anak itu baru berusia 10 tahun sudah menembak temannya padahal umurnya masih di bawah 12 tahun, masih kira-kira berumur 10 tahun. Darimanakah dia melihat orang menembak? Dari film dan kebetulan di rumahnya ada pistol dan orang tuanya tidak hati-hati meletakkan atau menyimpan pistolnya. Jadi akhirnya dia mengambil pistol itu dan menembak temannya sendiri. Jadi sekali lagi anak-anak memang perlu diperhatikan apa yang menjadi tontonannya sebab sekali lagi nanti anak-anak itu bisa menirunya. |
GS | : | Dan itu biasanya berapa lama anak itu melihat sesuatu dan berpengaruh pada karakternya, Pak Paul? |
PG | : | Saya tidak bisa memastikan seberapa, tapi kalau cukup sering dia melihat adegan-adegan kekerasan begitu, maka ia nanti akan menirunya. Misalnya waktu anak saya masih kecil saya masih ingat, terutama anak laki, dia melihat film pemukulan dan akhirnya dia mulai waktu adiknya salah dia langsung memukul adiknya dan kami akhirnya harus menegur dan mendisiplin dia karena itulah yang menjadi tontonannya, sehingga dia mengerti kalau tontonan itu tidak untuk ditiru. Jadi apa yang dilihat anak kalau kita tidak hati-hati nanti akan diserapnya dan menjadi bagian dari kehidupannya pula. |
GS | : | Disitulah peran orang tua memberitahukan kepada anak bahwa ini hanya sekadar tontonan dan tidak harus ditiru. Tapi itu sesuatu yang sulit untuk dicerna anak. |
PG | : | Betul, memang tidak mudah. Tapi ini adalah tugas kita sebagai orang tua untuk memberitahukan anak. Banyak sekali kisah-kisah seperti ini yang bisa kita gunakan, sebagai contoh saya teringat juga bintang film di Amerika Serikat terlalu banyak namanya, banyak di antara mereka memang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis yang penuh dengan kekerasan sehingga mereka meskipun menjadi orang-orang yang tenar, tapi memunyai banyak sekali lubang-lubang dalam hidup mereka yang tidak lagi membuat mereka sehat. |
GS | : | Selain apa yang dialami dan apa yang dilihat oleh anak, bisa memengaruhi jiwa anak itu bahwa tingkah lakunya, apakah ada hal lain lagi, Pak Paul? |
PG | : | Yang terakhir adalah bukan saja anak itu dibentuk atau dipengaruhi orang tua lewat perlakuan atau lewat apa yang dilihatnya tapi juga lewat apa yang sesungguhnya diyakini oleh orang tua. Misalnya ada orang tua yang sering berkata-kata tentang Tuhan di dalam rumah, tapi sebenarnya nilai yang dianut adalah materi. Besar kemungkinan inilah yang akan dipetik oleh anak, pada akhirnya yang dikejar bukanlah Tuhan tapi berkat Tuhan. Sebaliknya kalau orang tua adalah orang yang berintegritas, menjunjung tinggi kebenaran maka anak pun cenderung meneladani integritas moral seperti ini. |
GS | : | Ini adalah yang sulit, sebagai orang tua kita juga mencontoh orang tua kita dulu dan itu berpengaruh besar seperti yang Pak Paul katakan Abraham sampai ke cicit-cicitnya pun berbohong seperti itu. Memutus mata rantai ini juga bukan sesuatu yang mudah jadi harus ada usaha yang keras. Tapi dalam hal ini menentukan nilai-nilai hidup dalam keluarga kita, bagaimana kita bisa mengajarkan kepada anak bahwa kita menganut nilai seperti ini dan bukan seperti itu, Pak Paul. |
PG | : | Memang adakalanya kita tidak menyadarinya, memang bukannya sengaja tapi kita tidak menyadari, namun saya kira kalau kita dekat dengan Tuhan maka Tuhan akan mulai menunjukkannya pada kita bahwa sesungguhnya inilah yang menjadi nilai hidupmu, inilah yang sungguh-sungguh kita pentingkan. Meskipun perkataan-perkataan kita tampaknya rohani, tampaknya semua untuk Tuhan, materi tidak penting dan sebagainya tapi di belakang itu ternyata sangatlah penting, kita harus hati-hati dan kita harus berusaha untuk mengubahnya, bukan mengubah pengajaran kita, tapi mengubah hidup kita agar kita lebih sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki. |
GS | : | Dalam hal ini kalau suami istri tidak kompak artinya tidak memiliki nilai hidup yang sama atau perilaku yang sama maka akan membuat anak tambah bingung, mana yang harus diikuti karena ini kedua-duanya orang tua saya. |
PG | : | Maka perlu keseragaman agar anak menyerap hal yang sama, saya sering melihat keluarga dimana tidak ada lagi keseragaman seperti itu dan akhirnya ada anak yang menyerap dari ibunya, ada yang menyerap dari ayahnya maka sangat bertolak belakang. |
GS | : | Memang yang paling sulit adalah memberikan teladan, apa yang kita rasakan baik maka belum tentu diserap oleh anak kita dengan sepenuh hati. Namun apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa menguatkan kita sebagai orang tua untuk memberikan teladan, Pak Paul? |
PG | : | 1 Petrus 5:2-3 berkata, "Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu." Tuhan memang disini secara spesifik berkata-kata kepada kita tentang tugas menggembalakan domba Allah yaitu jemaat Tuhan tapi tentu kita juga bisa terapkan dalam keluarga kita dan anak-anak kita adalah domba yang Tuhan percayakan kepada kita dan kita mau tidak mau harus berfungsi sebagai gembala bagi mereka. Dan yang Tuhan tekankan adalah hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. Artinya apapun yang kita ajarkan, yang kita minta mereka lakukan seyogianyalah kita terlebih dahulu melakukannya. |
GS | : | Perbincangan tentang keteladanan hidup ini masih banyak sisi lain yang belum kita perbincangkan pada kesempatan ini, jadi kita akan perbincangkan pada kesempatan yang akan datang. Dan kali ini terima kasih untuk perbincangan dengan Pak Paul. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Teladan Hidup" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga![]() |
56. Teladan Hidup II | |
Sebagai orang tua kita harus memberi contoh kehidupan yang baik kepada anak-anak sebab ternyata kebiasaan buruk berpotensi besar untuk ditiru dan akhirnya diadopsi oleh anak. Mengutamakan uang dan harta tidak akan bisa menjamin anak bersikap baik, justru teladan hiduplah yang bisa membentuk anak kearah yang lebih baik. Teladan hidup yang seperti apa yang bisa kita ajarkan? Di sini akan dipaparkan dengan jelas.
Kejadian 12 adalah salah satu pasal di Alkitab yang sarat ironi. Pada ayat 1-9 dicatat salah satu peristiwa terbesar di dalam sejarah hidup manusia yaitu perjumpaan Tuhan dengan Abraham. Di situ dicatat bagaimana Tuhan menampakkan diri kepada Abraham dan memanggilnya keluar dari tanah kelahirannya untuk pergi ke tanah yang akan Tuhan berikan kepadanya. Setelah memanggilnya, Tuhan pun menjanjikan berkat kepada Abraham — berkat yang besar karena lewat Abraham segala bangsa akan diberkati pula.
Ironinya adalah, pada pasal yang sama, mulai ayat 10-20 dicatat peristiwa yang menyedihkan yaitu Abraham menyerahkan istrinya Sara kepada Firaun raja Mesir karena takut dibunuh. Orang yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi saluran berkat-Nya kepada semua bangsa di bumi ternyata adalah seorang yang tidak berjiwa ksatria. Sayangnya, Abraham mengulang perbuatannya ini. Ia menyerahkan istrinya kepada Abimelekh raja Filistin karena takut dibunuh (Kejadian 20).
Di dalam dua peristiwa ini Abraham mengatakan kepada kedua raja itu bahwa Sara bukanlah istrinya melainkan adiknya. Singkat kata Abraham menggunakan tipu muslihat untuk mendapatkan perlindungan atas dirinya. Nah, satu hal yang menarik adalah putranya, Ishak, ternyata melakukan hal yang sama. Sewaktu ia menetap di Gerar tanah Filistin, ia pun mengklaim bahwa Ribka adalah saudaranya, karena takut dibunuh.
Ternyata tradisi berbohong ini tidak berhenti di sini. Putra Ishak yang bernama Yakub juga membohongi kakaknya Esau dan ayahnya sendiri, Ishak, untuk mendapatkan berkat kesulungan. Belakangan 10 putra Yakub berbohong kepada Yakub dan mengatakan bahwa Yusuf adik kandung mereka, telah dimangsa binatang buas, padahal mereka menjualnya sebagai budak.
Sebagai orang tua kita harus memberi contoh kehidupan yang baik kepada anak-anak sebab ternyata kebiasaan buruk berpotensi besar untuk ditiru dan akhirnya diadopsi oleh anak, sebagaimana dapat kita lihat pada kehidupan ketiga tokoh iman ini. Kakek berbohong, anak berbohong, cucu berbohong, dan akhirnya cicit-pun berbohong. Berikut akan dipaparkan proses terjadinya transfer kehidupan dari orangtua kepada anak yang memungkinkan kebiasaan—baik ataupun buruk—turun kepada anak.
• Berhubung orang tua adalah orang pertama yang dikenal anak pada usia dini, pengaruh orang tua pada anak adalah pengaruh terbesar dalam pertumbuhan diri anak. Ibarat semen yang masih basah, demikianlah jiwa anak pada usia dini. Apa pun yang diletakkan di atasnya pastilah meninggalkan bekas yang terus menetap pada diri anak. Jika anak menerima kasih sayang, maka kasih sayang akan masuk menjadi bagian kehidupannya. Sebaliknya, bila ia menerima kebencian, maka kebencian akan masuk menjadi bagian dari kehidupannya pula. Jika ia diperlakukan lembut, ia pun akan terbentuk menjadi pribadi yang lembut. Sebaliknya bila ia diperlakukan dengan keras, kekerasan pun akan menjadi bagian kehidupannya.
• Selain dari pengaruh yang diterima lewat perlakuan, anak pun menerima pengaruh orang tua lewat apa yang dilihatnya pada orang tua. Jadi, bila anak sering melihat pertengkaran, ia pun mudah terjebak di dalam emosi kemarahan yang membuatnya mudah meledak dan terlibat dalam konflik. Sebaliknya jika anak melihat hubungan orang tua yang mesra, maka anak pun belajar bersikap mesra kepada orang lain, terutama kepada orang yang dikasihinya.
• Terakhir anak menerima pengaruh orang tua, bukan saja lewat perlakuan dan apa yang dilihatnya, tetapi juga lewat apa yang sesungguhnya diyakini oleh orang tua. Ada orang tua yang sering berkata-kata tentang Tuhan di dalam rumah namun sebenarnya nilai yang dianut adalah materi. Besar kemungkinan inilah yang akan dipetik oleh anak. Pada akhirnya yang dikejar bukanlah Tuhan, melainkan berkat Tuhan. Sebaliknya bila orang tua adalah orang yang berintegritas—menjunjung tinggi kebenaran—maka anak pun cenderung meneladani integritas moral ini.
Jika demikian kita sebagai orang tua harus memperhatikan (a) bagaimanakah kita memperlakukan anak, (b) bagaimanakah kita hidup, dan (c) apakah yang sesungguhnya teramat penting bagi kita. Mari kita lihat ketiganya dengan lebih mendetail :
1. Kita harus memperlakukan anak dengan mengutamakan keseimbangan antara kasih dan disiplin. Kasih membuat anak tahu dengan pasti bahwa ia BERHARGA sedangkan disiplin yang sesuai membuat anak belajar MENGHARGAI apa yang dimilikinya dan orang di sekitarnya.
Ibrani 12:5-6 berkata, "Hai anak-Ku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa bila engkau diperingatkan-Nya karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." Tuhan mengasihi kita namun Ia tidak ragu menghajar kita sebab hanya dengan disiplin kita dapat menghargai apa yang diberikan Tuhan kepada kita—kasih dan pengorbanan-Nya. Demikian pula anak. Bila anak tidak didisiplin, mustahil ia dapat menghargai kasih dan pengorbanan orang tua untuknya. Ia hanya akan terus berkaca dan mengagumi dirinya sebagai orang yang berharga, tanpa menyadari harga yang dibayar orang tua untuk mengasihi dan merawatnya.
2. Kita harus hidup dalam damai sejahtera antara satu sama lain. Sewaktu anak melihat relasi kita yang harmonis dengan pasangan, anak pun belajar untuk hidup harmonis dengan orang di sekitarnya. Ia belajar untuk mengedepankan kepentingan orang ketimbang kepentingan diri sendiri.
II Korintus 5:19 berkata, "Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami." Berita pendamaian adalah berita yang berawal dari Allah sendiri di mana Ia mendamaikan diri-Nya dengan kita manusia lewat kematian putra Allah Yesus Kristus. Dan sekarang Ia mempercayakan berita ini kepada kita bukan saja untuk didengar melainkan untuk diterapkan.
Satu hal lagi: Allah tidak memperhitungkan pelanggaran kita manusia. Dengan kata lain, kita pun mesti melihat hidup kita sebagai kelanjutan misi pendamaian dari Tuhan kepada kita dan diri kita kepada sesama. Kita pun tidak boleh memperhitungkan pelanggaran pasangan sebab selama kita terus mempersoalkan kesalahannya, maka tidak mungkin kita akan bersedia berdamai dengannya. Singkat kata, perdamaian dimungkinkan lewat pengampunan. Anak yang melihat pengampunan akan melihat perdamaian.
3. Kita harus menyusun ulang prioritas dalam hidup sedemikian rupa sehingga apa yang penting bagi Tuhan, menjadi penting bagi kita dan apa yang tidak penting bagi Tuhan, tidak penting bagi kita pula. Tidak mudah bagi siapa pun untuk hidup benar di tengah dunia ini. Itu sebabnya anak memerlukan contoh hidup lewat kehidupan pribadi kita agar ia mendapatkan kekuatan untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Sewaktu ia tidak melihat kita hidup dengan benar, ia pun tidak akan menerima dukungan untuk hidup benar. Kekuatannya untuk melawan dosa menjadi lemah dan keinginannya untuk menaati Tuhan pun meredup.
Mazmur 103:15-18 mengingatkan, "Adapun manusia hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia dan tempatnya tidak mengenalnya lagi. Tetapi kasih setia Tuhan dari selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia dan keadilannya kepada anak cucu, bagi tiap-tiap orang yang berpegang teguh pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya." Sebagai orang tua kita harus mempunyai nilai rohani yang benar; jangan utamakan uang dan harta sebab semua akan layu; sebaliknya utamakan kehendak Tuhan. Dan, Tuhan pun akan memberkati bukan saja kita tetapi juga anak dan cucu kita.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Teladan Hidup". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS | : | Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita membicarakan tentang teladan hidup dan Pak Paul mengangkat tokoh Alkitab yang terkenal yaitu Abraham. Dari sepasang suami istri Abraham ini ternyata ada suatu karakter negatif yang diturunkan secara tidak langsung sampai ke generasi 3 dan 4 dan seterusnya. Masalah keteladanan hidup ini bisa terjadi juga dalam abad ini dan bisa menimpa pada keluarga kita juga. Ini menjadi suatu perbincangan yang sangat menarik, namun sebelum kita melanjutkan perbincangan ini pada bagian yang lain mungkin Pak Paul bisa mengulas sejenak apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau. |
PG | : | Pada dasarnya kita harus berhati-hati dengan kehidupan kita, sebab pada akhirnya kehidupan kita bisa berdampak pada kehidupan anak-anak kita. Saya mengangkat kisah Abraham sebab kita bisa menyaksikan bahwa apa yang dilakukan Abraham, yang menjadi kelemahannya ternyata itu dilakukan juga oleh putranya dan nantinya dilakukan oleh cucunya, Yakub dan nanti anak-anak Yakub melakukan hal yang sama dan semua adalah berkaitan dengan berbohong. Abraham berbohong kepada Raja Firaun bahwa istrinya bukanlah istrinya tapi saudaranya, putranya Ishak juga berbohong pada Raja Filistin mengatakan kalau istrinya adalah saudaranya. Kemudian Yakub berbohong kepada kakaknya Esau, berbohong pada ayahnya sendiri Ishak untuk mendapatkan berkat kesulungan dan akhirnya 10 putra Yakub juga berbohong kepada Yakub mengatakan kalau adik mereka Yusuf dimakan binatang buas padahalnya mereka menjual adiknya sebagai budak kepada pedagang Ismael. Dengan kata lain, kita melihat di sini adanya sebuah pola yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Jadi kita belajar ternyata ada 3 hal yang harus kita perhatikan, karena kalau tidak nanti bisa berdampak pada keturunan kita. Yang pertama bagaimana kita memerlakukan anak-anak kita sebab perlakuan orang tua kepada anak itu akan membentuk jiwa anak. Jadi kalau orang tua memerlakukan anak dengan penuh kasih sayang maka anak akan menumbuhkan sebuah diri yang penuh penghargaan dan kemampuan untuk mengasihi orang lain. Kalau anak misalkan justru menerima perlakuan kemarahan dan kebencian maka dia akan menumbuhkan kemarahan dan kebencian dalam dirinya baik terhadap dirinya maupun orang di sekitar dirinya. Yang kedua kita harus memerhatikan pula apa yang dilihat oleh anak. Jadi berhati-hatilah hidup di hadapan anak, karena anak akan mencontoh dan menyerap apa yang dilihatnya pada kita. Kalau kita berhubungan dengan pasangan kita secara mesra, harmonis, penuh damai sejahtera maka itu akan menjadi modal anak untuk berelasi dengan sesama seperti itu pula. Sebaliknya kalau kita sering bertengkar dan sedikit-sedikit kita marah, berkonfrontasi dengan pasangan kita, akhirnya anak-anak akan meniru perbuatan kita dan sedikit-sedikit dia akan marah dan berkonfrontasi dengan orang, tidak mudah mengalah dan sebagainya. Yang ketiga adalah kita harus memerhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam jiwa atau hati kita, kadang kita mau menunjukkan diri yang rohani pada anak-anak kita dan banyak membagikan hal rohani pada anak-anak maka sudah tentu itu baik dan itu berguna tapi kita harus awasi sesungguhnya apa yang penting bagi kita. Misalnya ada orang yang sebetulnya mementingkan sekali uang tapi sering bicara, "Kita harus memberi uang kepada Tuhan" tapi sebetulnya dia dengan uang sangat sayang, sebab kalau ada apa-apa misalnya mau menjual barang maka dia akan tahan dan dia terus menaikkan harganya karena memikirkan keuntungan. Perkataan dia tentang Tuhan mungkin saja ada dampaknya pada anak-anak, tapi hampir dapat dipastikan akan ada satu atau dua anak yang nanti akan menyerap nilai-nilai yang sesungguhnya terkandung pada dirinya, sehingga anak-anaknya nanti akan mengejar harta dan mementingkan harta. Jadi kita harus menjaga dan kalau kita tahu nilai-nilai dalam diri kita tidak sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki, maka berubahlah. |
GS | : | Ketiga hal itu begitu penting, sehingga kita akan mendalami dalam perbincangan kali ini, misalnya tadi tentang perlakuan kita kepada anak, apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua, Pak Paul? |
PG | : | Secara umum kita harus memerlakukan anak dengan kasih dan disiplin. Jadi mesti ada keseimbangan di antara keduanya, kasih membuat anak tahu dengan pasti bahwa dia berharga, sedangkan disiplin yang sesuai membuat anak belajar menghargai apa yang dimilikinya dan orang-orang di sekitarnya. Maksud saya adalah kasih sebetulnya modal atau materi yang membangun diri yang positif dalam diri anak. Jadi kalau kita perlu semen dan pasir untuk membangun dinding maka anak itu memerlukan kasih sayang untuk membangun dirinya pula. Kalau anak-anak itu tidak mendapatkan kasih dan sayang dari orang tua maka dia tidak bisa membangun dirinya secara benar atau sehat. Tapi kasih sayang itu sendiri tidak cukup, kasih sayang juga harus disertai dengan disiplin artinya kita harus mengarahkan anak, kita harus memberikan sanksi tatkala anak melawan atau memberontak terhadap apa yang kita katakan, dengan cara itu kita membatasi perilaku anak supaya dia tidak berbuat semaunya. Ini penting, karena kalau hanya kasih sayang yang diberikan maka anak cenderung beranggapan kalau saya adalah orang yang berharga. Tapi dengan adanya disiplin maka si anak akan belajar menghargai dan bukan saja beranggapan dirinya berharga, tapi dia akan menghargai pengorbanan orang tua yang mengasihinya, apa yang diberikan oleh orang tua dan sekarang dimilikinya. Anak belajar menghargai itu semua maka kita bisa saksikan anak-anak yang luar biasa dimanja dan tidak menerima disiplin dari orang tua maka dia akan menganggap dirinya pusat dunia yang layak untuk terus-menerus diperhatikan dan dilayani, apa pun yang dimiliki tidak dihargainya dan anak yang seperti ini mudah membuang barangnya dan minta membeli yang baru dan tidak menghargai seseorang yang sudah susah payah bagi dirinya dan dia akan menuntut terus. Itu adalah akibat dari ketidakseimbangan antara kasih dan disiplin yang seharusnya diterima olehnya. |
GS | : | Memang yang sulit bagi orang tua justru menyeimbangkan antara kasih dan disiplin, bagaimana mereka bisa mempraktekkan itu secara bersama-sama, secara seimbang, yang sering terjadi adalah salah satu menjadi lebih berat daripada yang lain dan itu yang sering terjadi. |
PG | : | Ada orang tua yang takut anaknya ini egois dan melihat dirinya berharga, sehingga disiplinlah yang ditekankan dan kasih sayang kurang ditekankan sehingga anak menjadi tertekan dan jiwanya menjadi ciut dan mereka tidak melihat dirinya berharga, selalu berpandangan negatif terhadap dirinya. Ada juga orang tua yang tidak mengerti membesarkan anak, hanya memberikan kasih sayang, apa pun yang diminta anak diizinkan dengan alasan itulah yang anak perlukan. Tapi sekali lagi saya tekankan ketidakseimbangan itu akhirnya membuahkan masalah dalam diri si anak, itu sebabnya Ibrani 12:5-6 berkata, "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." Tuhan mengasihi kita namun Ia tidak ragu menghajar kita sebab hanya dengan disiplin kita bisa menghargai apa yang diberikan Tuhan kepada kita yaitu kasih dan pengorbanan-Nya, demikian juga dengan anak, bila anak tidak dispilin maka mustahil dia bisa menghargai kasih dan pengorbanan orang tua untuknya dan dia hanya bisa berkaca mengagumi dirinya sebagai orang yang berharga tanpa menyadari harga yang dibayar orang tua untuk mengasihi dan merawatnya. |
GS | : | Ada anak yang punya kesan begini Pak Paul, kasih itu diperoleh dari ibunya, disiplin diperoleh dari ayahnya tapi sebenarnya tidak bisa kasih dan disiplin dipisahkan seperti itu, bukan? |
PG | : | Betul. Ayah juga harus menunjukkan kasih sayang dan kelembutan kepada anaknya sekaligus juga bisa mendisiplin anaknya, demikian pula dengan ibu juga harus menunjukkan kasih sayang pada anaknya sekaligus mendisiplin anaknya. Kadang yang terjadi adalah pembagian peran secara tidak sadar. Jadi kalau ada apa-apa, kalau anak berbuat kesalahan ibu berkata, "Nanti ayahmu pulang dan kamu akan dihukum" itu tidak sehat, karena anak pertama-tama akan menantikan kedatangan ayahnya dengan ketakutan dan waktu ayahnya pulang dan diberitahukan oleh ibunya, akhirnya ayahnya langsung menghukum dia, maka dia akhirnya akan mengembangkan sebuah konsep bahwa ayah identik dengan hukuman, padahalnya bukan itulah yang si ayah juga inginkan. Tapi karena si ibu ada apa-apa berkata, "Nanti ayah pulang dan akan memukul kamu" jadi akhirnya si anak mengembangkan sebuah konsep ayah itu identik dengan hukuman, dan nantinya si anak akan berkata, "Saya tidak takut dengan mama sebab mama tidak berdaya dan tidak bisa memukul saya sehingga harus bergantung pada papa" maka siapa pun orang tua yang kebetulan berada di situ dan melihat kesalahan anak yang perlu mendapatkan sanksi maka dia harus menjalankannya, dia tidak bisa mendelegasikan kepada istri atau suaminya. |
GS | : | Bagaimana kita sebagai orang tua tahu kalau kasih dan disiplin sudah kita berikan pada porsi yang tepat pada anak kita, Pak Paul? |
PG | : | Kita bisa memberikannya secara tepat kalau kita tahu bahwa anak kita tidak takut kepada kita dan berani untuk mendekati kita, berani untuk bicara, berani untuk berpelukan dengan kita, itu pertanda bahwa dia aman dengan kita sehingga dia tidak harus menjauh atau takut kepada kita sepertinya kita itu nanti akan menghukumnya, itu sebagai tanda bahwa anak tahu dia dikasihi dengan penuh oleh kita. Namun di pihak lain anak juga harus melihat kalau dia takut juga untuk berbuat kesalahan dan waktu dia berbuat kesalahan dia menunjukkan rasa takut, itu menandakan bahwa disiplin kita telah jalan. Kalau anak melakukan kesalahan dan dia bukannya takut malahan membangkang maka itu menunjukkan bahwa sistem disiplin kita mungkin sekali tidak jalan dan kita perlu mengevaluasi ulang. |
GS | : | Dan itu bisa saja tidak terjadi pada kedua orang tuanya. Ada pihak suami memberikan kasih dan disiplin secara seimbang tapi istrinya tidak, atau sebaliknya yang terjadi, itu bisa terjadi, Pak Paul? |
PG | : | Bisa. Ada orang tua yang tidak memberikan keduanya dengan berimbang, misalnya yang sering terjadi adalah karena ayah terlalu sibuk maka akhirnya apa pun yang anak minta dia akan berikan untuk menunjukkan bahwa dia mengasihi anak. Namun masalahnya adalah dia menunjukkan kasih itu hanya dengan memberikan barang bagi si anak atau ada yang hanya bisanya meluluskan permintaan anak, apa pun yang anak minta akan dia luluskan karena dia perlu menebus kekurangannya, karena dia tidak memberikan cukup waktu kepada anaknya, sehingga apa pun yang diminta anak, dia akan luluskan maka dalam hal itu tidak lagi berimbang, karena dia hanya melakukan satu saja dan itu dilakukan dengan tidak bijaksana. |
GS | : | Selain itu hal lain apa yang harus diperhatikan dan yang harus dilakukan oleh orang tua, Pak Paul? |
PG | : | Kita tahu bahwa anak melihat kita, jadi kita harus mengawasi bagaimanakah kita hidup. Kita harus hidup dalam damai sejahtera dengan satu sama lain, sewaktu anak melihat relasi kita yang harmonis dengan pasangan maka anak pun belajar untuk hidup harmonis dengan orang di sekitarnya, dia belajar misalnya untuk mengedepankan kepentingan orang ketimbang kepentingannya sendiri. Sebaliknya kalau anak tidak melihat kita hidup harmonis dengan satu sama lain, ada apa-apa ribut. Itulah nanti yang akan dicontoh oleh anak dan akan cepat sekali ribut dan belum lagi dampaknya pada anak, dia mudah sekali stres, sebab apa yang dilihatnya itu sangat menegangkan dia akibatnya suplai emosionalnya menurun dan daya tahannya menipis sehingga kalau ada tekanan diluar maka dia langsung goyang dan harus mengeluarkan unek-uneknya, kemarahannya, kekhawatirannya dengan begitu cepat. Jadi kita harus memerhatikan bagaimanakah kita hidup. |
GS | : | Seringkali yang dijadikan alasan orang tua adalah situasi yang tidak mendukung, bukannya mereka tidak mau hidup harmonis tapi situasinya misalnya di rumahnya ada banyak orang atau mereka sedang dililit hutang yang banyak sehingga itu membuat kehidupan mereka tidak harmonis dan itu dilihat anak dan itu berdampak besar juga. |
PG | : | Betul. Jadi anak-anak itu memerlukan damai sejahtera di rumah supaya dirinya itu bisa mengembangkan potensinya itu dengan lebih bebas. Anak yang dirundung oleh konflik, oleh ketegangan sehingga kehilangan damai sejahtera, susah sekali untuk mengembangkan dirinya. Apa yang tersimpan dalam dirinya akhirnya tidak bisa bertumbuh. Itu sebabnya secara alamiah kalau rumah tangganya itu tidak bahagia sering terjadi konflik, anak-anak hampir dapat dipastikan berusaha untuk lebih sering berada di luar rumah dan di luar rumah dia akan pergi dengan teman-teman, sebab sekali lagi secara alamiah memang anak memerlukan tempat atau lingkungan yang damai sejahtera untuk dia bisa mengembangkan potensinya. Kalau dia terus berada dalam ketakutan dan dirundung ketegangan maka dia tidak bisa mengembangkan apa yang ada dalam dirinya. |
GS | : | Apakah ada ayat firman Tuhan yang mengatakan tentang hal itu, Pak Paul? |
PG | : | Ada di 2 Korintus 5:19 dikatakan disini, "Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami." Berita pendamaian adalah berita yang berawal dari Allah sendiri dimana dia mendamaikan diri-Nya dengan kita manusia lewat kematian putra Allah, Yesus Kristus dan sekarang Dia memercayakan berita ini kepada kita bukan untuk didengar melainkan untuk diterapkan. Jadi kita harus mengerti bahwa kita adalah utusan Tuhan dan kita ini harus mewakili Tuhan membawa damai sejahtera kepada lingkungan atau sesama kita. Satu hal lagi yang saya mau tekankan adalah Allah itu tidak memerhitungkan pelanggaran kita manusia dengan kata lain, kita harus melihat hidup sebagai kelanjutan misi pendamaian kepada kita dan dari diri kita kepada sesama. Kita pun tidak boleh memerhitungkan pelanggaran pasangan, sebab selama kita memersoalkan kesalahannya maka tidak mungkin kita bersedia berdamai dengannya. Singkat kata, perdamaian dimulai dari pengampunan dan anak yang melihat pengampunan, anak melihat perdamaian dan inilah yang harus sering kita perlihatkan pada anak, bahwa kita saling mengampuni dan kita tidak memfokuskan pada kesalahan, tapi kita memfokuskan pada pengampunan, ini yang akan dilihat dan memengaruhi si anak pula. |
GS | : | Dampak yang paling besar ketika anak itu berbuat salah dan kita bisa mengampuni dia, Pak Paul. |
PG | : | Betul. Jadi dengan kata lain, dia bukan belajar secara rasional tapi dia mengalami sendiri bahwa dia diampuni. |
GS | : | Pengertian diampuni inilah yang akan dia terapkan kepada orang lain yang melakukan kesalahan kepadanya. |
PG | : | Betul sekali. Dan ini yang nantinya akan menolong dia juga melihat orang bukan hanya dari kelemahannya atau kesalahannya, jadi dia lebih fokuskan kepada pengampunan supaya nanti relasi itu kembali bisa disambung. |
GS | : | Jadi kalau kita melihat ada sekelompok orang yang mendendam dan suka melampiaskan dendamnya itu secara terang-terangan kemungkinan kita bisa melihat bahwa kehidupan rumah tangga mereka juga ada masalah-masalah seperti itu, Pak Paul? |
PG | : | Bisa jadi sebab dia sendiri tidak mengalami pengampunan, dia merasakan apa yang diperbuatnya itu selalu salah, maka dia akan dihukum akhirnya dia terapkan itu dalam kehidupannya, kalau dia berbuat salah maka dia tidak akan mengampuni dan dia akan balas dulu, setelah itu mau mengampuni atau tidak terserah, yang penting dia membalas dulu dan merasa puas. |
GS | : | Dalam hal ini pengajaran kepercayaan atau agama dan sebagainya, itu besar pengaruhnya. Kalau yang diajarkan adalah Allah yang membalas yang menghukum manusia tanpa pengampunan, orang itu pun akan punya karakter seperti yang Pak Paul katakan yaitu tidak bisa mengampuni orang lain. |
PG | : | Karena kita ingin mengajarkan anak-anak untuk takut pada Tuhan akhirnya kita tidak berimbang dalam mengajarkan siapakah Tuhan itu, "jangan seperti itu nanti Tuhan marah dan menghukum". Sehingga anak memunyai konsep seperti itu yaitu Tuhan yang membalas dan Tuhan yang menghukum, takutnya itu yang dibawa oleh si anak dan nantinya diterapkan kepada sesamanya, pokoknya kalau orang berbuat yang dianggapnya salah maka dia harus turun tangan dan dia harus menghukumnya. Tapi kita sekarang sudah menyadari hal itu dan kita harus mengedepankan tentang Tuhan yang mengasihi. Memang Tuhan bisa menghukum dan kita jangan main-main dengan Tuhan, tapi Tuhan adalah Tuhan yang penuh kasih karunia dan Dia mau mengampuni, maka kita sebagai orang tua melakukan hal yang sama. Tidak selalu kesalahan anak mesti kita hukum, adakalanya kita berkata, "Tidak apa-apa kita mengampuni yang penting, tidak mengulang". Anak belajar untuk mengampuni dari pengampunan yang diterima. |
GS | : | Konsep seperti itu seringkali dikeluhkan banyak orang yang mengatakan, "Allah di Perjanjian Lama adalah Allah yang kejam, disiplinnya terlalu keras, sedang Allah di Perjanjian Baru adalah Allah yang mengasihi yang murah hati dan sebagainya". Menyeimbangkan hal ini juga sesuatu yang penting untuk kita terapkan untuk anak-anak kita. |
PG | : | Di Perjanjian Lama karena kebetulan Tuhan itu memulai rencana keselamatan-Nya lewat umat-Nya Israel dan juga kita bisa mengakui umat-Nya itu adalah umat yang tegar tengkuk seperti yang dikatakan Alkitab, terus-menerus membangkang dan melawan Tuhan, maka akhirnya Tuhan tidak bisa tidak harus menghukum mereka sebelum mereka sadar. Tapi sebetulnya Tuhan di Perjanjian Lama penuh dengan pemberitaan bahwa Tuhan adalah Allah yang penuh kasih setia, makanya di Mazmur, akhirnya banyak yang berkata bahwasanya kasih setia-Nya untuk selama-lamanya. |
GS | : | Hal lain yang perlu kita perhatikan, apa Pak Paul? |
PG | : | Selain dari anak-anak itu harus melihat perbuatan atau kehidupan kita dan kita harus berhati-hati melakukannya, kita juga harus menjaga atau mengawasi nilai kehidupan kita dan kita harus menyusun ulang prioritas dalam hidup sedemikian rupa sehingga apa yang penting bagi Tuhan menjadi penting bagi kita dan apa yang tidak penting bagi Tuhan, tidak penting bagi kita pula. Tidak mudah bagi siapa pun untuk hidup benar di tengah dunia, itu sebabnya anak memerlukan contoh hidup lewat kehidupan pribadi kita agar dia mendapatkan kekuatan untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Sewaktu dia tidak melihat kita hidup dengan benar, maka dia pun tidak akan menerima dukungan untuk hidup benar. Kekuatannya untuk melawan dosa menjadi lemah dan keinginannya untuk menaati Tuhan akhirnya juga redup. |
GS | : | Ada orang tua yang mengatakan sebetulnya dia sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk memberikan teladan yang baik pada anak-anak mereka, tapi karena pengaruh lingkungan entah di sekolah atau pergaulan di dekat rumahnya, anak ini menjadi anak yang memberontak, maka ini bagaimana, Pak Paul? |
PG | : | Kita tidak bisa menghindari kenyataan bahwa pada akhirnya anak-anak itu mulai besar, dia pun juga akan menerima bentukan dari lingkungan dan dia adalah manusia yang juga punya kelemahan dan sebagai manusia berdosa kita juga tahu kecenderungan kita adalah berbuat dosa, maka waktu lingkungan menawarkan dosa, ada kemungkinan dia juga tergiur dan jatuh ke dalam dosa. Ini adalah bagian pertumbuhan anak pula, sehingga kita harus mendoakannya dan memberikan teladan hidup yang baik, supaya anak melihat bahwa dia mendapatkan contoh yang baik itu sehingga dia bisa belajar seperti itu juga dan bahwa di dunia ini masih ada orang yang hidupnya benar dan bukan hanya di sana yang tidak bisa dilihatnya, tapi di sini di rumahnya masih ada yang bisa dilihat ada orang yang hidupnya benar di hadapan Tuhan. Akibatnya dia bisa termotivasi untuk hidup seperti itu pula. |
GS | : | Dalam hal ini tentu yang dibutuhkan adalah firman Tuhan baik oleh orang tua atau anak-anak. Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan? |
PG | : | Mazmur 103:15-18 mengingatkan kita, "Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi. Tetapi kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang-orang yang berpegang teguh pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya." Sebagai orang tua kita harus memunyai nilai rohani yang benar. Jadi janganlah kita mengutamakan uang dan harta sebab semuanya akan layu sebaliknya utamakanlah kehendak Tuhan dan pada akhirnya Tuhan akan memberkati bukan saja kita, tapi anak dan cucu kita. |
GS | : | Terima kasih Pak Paul, saya yakin sekali ketika kita sebagai orang tua berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi teladan kehidupan bagi anak-anak kita, maka Tuhan akan memakai kita sebagai saluran berkat-Nya. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Teladan Hidup" bagian yang kedua dan terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga![]() |
57. Apa adanya | |
Seringkali kalau kita berhadapan dengan seseorang atau sekelompok orang, kita berusaha untuk mencitrakan atau menampilkan hal-hal terbaik di dalam diri kita dan berusaha menutupi hal-hal yang kurang baik dalam diri kita supaya orang memandang kita orang yang baik dan saleh, tapi di hadapan Tuhan kita tidak bisa berpura-pura seperti itu. Demikian juga dengan dosa, kita harus mengakui dosa kita dan harus datang kepada Tuhan apa adanya. Sikap apa adanya ini bisa kita pelajari dari kehidupan Yunus.
Tidak semua pertobatan menggembirakan hati. Kitab Yunus yang hanya berisikan empat pasal memuat kisah pelayanan yang menarik dari hamba Tuhan yang bernama Yunus. Bukannya bergembira melihat pertobatan orang Niniwe, Yunus malah merasa tidak senang. Kisah ini berawal ketika Tuhan memintanya untuk pergi ke Niniwe, ibukota negeri Asyur, untuk mengingatkan mereka agar bertobat. Yunus pergi, tetapi bukan ke Niniwe melainkan ke Tarsis.
Nah, dalam perjalanan laut ke Tarsis, kapalnya diamuk badai dan Yunus tahu bahwa itulah wujud kemarahan Tuhan atas ketidaktaatannya. Ia lalu meminta dibuang ke laut untuk menyelamatkan penumpang lain di kapal itu. Sebagaimana kita ketahui Tuhan mengirim seekor ikan yang besar untuk menelannya agar ia terlindung dari kematian di laut. Setelah tiga hari ikan memuntahkan Yunus ke darat. Kali ini sewaktu Tuhan kembali mengutusnya, Yunus taat dan pergi ke Niniwe.
Peringatan Tuhan diberitakan dan orang Niniwe bertobat. Hukuman Tuhan tidak dilaksanakan dan orang Niniwe menerima kasih karunia dan pengampunan Tuhan. Perubahan inilah yang menyesakkan hati Yunus. Ia tidak menerima keputusan Tuhan, namun Tuhan bersabar. Tuhan menumbuhkan sebatang pohon jarak untuk menaungi Yunus dan menghibur hatinya. Keesokan harinya Tuhan mengirim ulat untuk menggerek pohon jarak itu sehingga layu. Yusuf pun marah karena sekarang ia harus berada di bawah terik matahari. Nah, di dalam kemarahan ini terjadilah percakapan antara Tuhan dan Yunus.
Tuhan bertanya kepadanya, "Layakkah engkau marah karena pohon jarak itu?" Yusuf menjawab, "Selayaknyalah aku marah sampai mati." Lalu Tuhan pun berfirman kepadanya, "Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikit pun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari 120.000 orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?"
Tuhan berbelas kasihan kepada orang Ninewe tetapi Tuhan juga berbelas kasihan kepada Yunus, hamba-Nya yang kurang berbelas kasihan kepada orang Niniwe. Itu sebabnya Tuhan mengizinkan Yunus untuk meluapkan kemarahannya. Mari kita lihat sebenarnya apakah alasan yang membuat Yunus marah kepada Tuhan.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya Yunus marah karena ia menganggap Tuhan tidak adil. Yunus menuntut keadilan Tuhan untuk menjatuhkan hukuman kepada orang Niniwe atas kejahatan mereka. Kadang kita pun marah kepada Tuhan karena buat kita, Tuhan tidak adil. Kita melihat orang lain yang hidupnya tidak setulus dan sebaik kita mendapatkan berkat demi berkat, kemudahan demi kemudahan. Sedangkan kita yang telah berusaha hidup tulus dan benar, terus mengalami hambatan.
Yunus tidak menyadari dan tidak mungkin dapat menyadari bahwa rencana Allah jauh lebih besar daripada rencananya. Sekitar 100 tahun kemudian Tuhan mengirimkan hamba-Nya yang lain, Nahum, untuk memberitakan peringatan Tuhan. Kali ini Niniwe tidak bertobat dan sebagai konsekuensinya, Negeri Asyur diserang dan ditaklukkan oleh Negeri Babel. Hukuman Tuhan jatuh atas Niniwe!
Tuhan panjang sabar dan senantiasa memberi kesempatan kepada kita untuk bertobat. Namun itu tidak berarti bahwa Tuhan buta keadilan. Ia akan menjatuhkan hukuman namun terlebih dahulu Ia akan mengaruniakan kesempatan. Tuhan mengerti bahwa kemarahan Yunus sesungguhnya merupakan cetusan rasa keadilannya yang terusik. Yunus—dan kita semua—dapat datang kepada Tuhan apa adanya. Ia mengerti isi hati kita.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Apa Adanya". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS | : | Seringkali kalau kita berhadapan dengan seseorang atau sekelompok orang, kita berusaha untuk mencitrakan atau menampilkan hal-hal terbaik di dalam diri kita dan berusaha menutupi hal-hal yang kurang baik dalam diri kita supaya orang memandang kita orang yang baik dan saleh, tapi di hadapan Tuhan kita tidak bisa berpura-pura seperti itu sehingga ada sebuah lagu yang mengatakan sebagaimana adanya aku datang kepada-Mu, Tuhan. Artinya di dalam kita mengakui dosa kita juga harus datang kepada Tuhan apa adanya. Di dalam Alkitab sendiri yang begitu banyak membicarakan hal itu, apakah ada tokoh yang bisa kita pelajari pada perbincangan ini, Pak Paul? |
PG | : | Ada, namanya adalah Yunus, jadi Yunus memang seorang tokoh yang sangat unik dan dari kehidupan Yunus kita bisa belajar tentang Tuhan yaitu bahwa Tuhan menerima hamba-hamba-Nya dan anak-anak-Nya apa adanya. Dan Dia tidak berkeberatan dengan kemarahan kita atau kadang-kadang sifat-sifat kita yang masih kekanak-kanakan, ternyata Tuhan melihat kita jauh lebih dalam dari pada sekadar perbuatan-perbuatan kita itu. Jadi seperti Yunus yang nanti kita akan lihat, meskipun dia marah dan tidak taat kepada Tuhan, tapi kita bisa melihat Tuhan begitu panjang sabar kepada Yunus. Jadi inilah yang akan kita coba pelajari dari kitab Yunus ini. |
GS | : | Hal-hal apa yang kita pelajari dari Yunus ini, Pak Paul? |
PG | : | Yang mengagetkan adalah tidak semua pertobatan menggembirakan hati, contohnya adalah Yunus. Kita mencoba dari awal, kitab Yunus hanya berisikan 4 pasal jadi tidak terlalu panjang tapi memuat kisah pelayanan yang sangat menarik dari hamba-Nya. Dia bukannya bergembira melihat pertobatan orang Niniwe tapi Yunus malah merasa tidak senang. Jadi ceritanya berawal dengan Tuhan memintanya pergi ke Niniwe, ibu kota negeri Asyur untuk mengingatkan mereka agar bertobat dan Yunus pergi, tapi bukan pergi ke Niniwe tapi ke Tarsis. Dalam perjalanan laut ke Tarsis kapalnya diamuk badai dan Yunus tahu bahwa itu adalah wujud kemarahan Tuhan atas ketidaktaatannya dan ia lalu meminta dibuang ke laut untuk menyelamatkan penumpang lain di kapal itu, sebagaimana kita ketahui Tuhan mengirim seekor ikan yang besar untuk menelannya agar ia terlindung dari kematian di laut. Setelah 3 hari ikan memuntahkan Yunus ke darat dan kali ini sewaktu Tuhan memintanya atau mengutusnya ke Niniwe, Yunus taat dan pergi ke sana. Peringatan Tuhan diberitakan melalui Yunus dan orang Niniwe bertobat. Akhirnya hukuman Tuhan tidak jadi dilaksanakan dan orang Niniwe menerima kasih karunia dan pengampunan Tuhan. Perubahan inilah yang tidak menggembirakan hati Yunus dan dia tidak bisa menerima keputusan Tuhan namun Tuhan bersabar dan Tuhan menumbuhkan sebatang pohon jarak untuk menaungi Yunus dan menghibur hatinya, keesokan harinya Tuhan mengirim ulat untuk menggerek pohon jarak itu sehingga layu dan Yunus marah karena sekarang dia harus berada di bawah terik matahari dan di dalam kemarahan inilah terjadi percakapan antara Tuhan dan Yunus. |
GS | : | Lantas ada orang yang menganggap kisah Yunus itu cuma dongeng karena Yunus ditelan ikan dan sebagainya, ini hanya dongeng. Tapi kita membaca dalam kitab Injil bahwa Tuhan Yesus juga mengutip peristiwa Yunus ini tentang kebangkitan-Nya dari orang mati. |
PG | : | Betul. Tuhan Yesus memang mengutip kisah Yunus bahwa sebagaimana Yunus berada di perut ikan selama 3 hari maka Tuhan Yesus pun akan berada pada perut bumi selama 3 hari. Jadi sudah tentu ini bukanlah sebuah dongeng dan ini sungguh terjadi. Memang kita tidak bisa membayangkan bagaimana terjadinya, tapi kita percaya Tuhan sanggup untuk melakukan hal yang susah dipahami ini bahwa Tuhan mengirimkan seekor ikan yang besar untuk menelannya, dan rupanya ikan itu bukan ikan pemangsa manusia sebab kita tahu sebagian ikan yang besar yaitu ikan paus bukanlah pemangsa daging, memang mereka akan menelan tapi tidak menggigitnya, beda seperti ikan hiu yang akan menggigitnya. Jadi memang Yunus masuk ke dalam perut ikan supaya dia bisa diselamatkan dari amukan laut yang sedang menggelora itu dan akhirnya dia dilempar kembali ke darat dan barulah Yunus pergi untuk mengabarkan berita pertobatan atau berita peringatan dari Tuhan. Yunus marah karena pohon jarak yang tadinya ada di atas kepalanya menaungi dia dan sekarang pohon itu digigit ulat hingga mati. Tuhan sengaja menumbuhkan pohon jarak karena Tuhan ingin mengajarkan sebuah pelajaran tentang belas kasihan kepada Yunus, tapi kita akan pelajari Yunus tetap saja tidak terima dan marah. |
GS | : | Sebenarnya apa yang menjadi alasan sehingga Yunus begitu marah atau bahkan berani menolak perintah Tuhan? |
PG | : | Memang Tuhan bertanya kepada Yunus, "Layakkah engkau marah karena pohon jarak itu"? Dan Yunus menjawab, "Selayaknya aku marah sampai mati". Dia benar-benar marah kepada Tuhan dan Tuhan berfirman kepadanya, "Engkau sayang kepada pohon jarak itu yang untuknya sedikit pun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula, bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe kota yang besar itu yang berpenduduk lebih dari 120.000 orang yang tidak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri dengan ternaknya yang banyak". Jadi Tuhan ini berbelas kasihan kepada orang Niniwe. Makanya meskipun mereka itu orang-orang yang jahat dan kejam, tetap Tuhan mau mereka bertobat sehingga Tuhan mengirimkan Yunus kepada mereka. Kita melihat suatu yang indah bahwa Tuhan berbelas kasihan kepada Yunus, pula hamba-Nya yang kurang berbelas kasihan kepada orang Niniwe. Itu sebabnya Tuhan membiarkan Yunus meluapkan kemarahannya. Jadi sekarang kita tanya dulu sebelum kita jawab pertanyaan, "Apakah alasan yang membuat Yunus begitu marah kepada Tuhan? Yang pertama adalah karena Tuhan menyuruhnya pergi ke Niniwe, bangsa Asyur adalah bangsa yang kejam dan kerap menjahati Israel, itu sebabnya dia tidak bersedia pergi ke bangsa yang jahat itu. Dan saya kira kita dapat mengerti perasaan Yunus, kita juga tidak bersedia mengunjungi orang yang jahat dan sebaliknya kita berusaha untuk menghindar dari orang yang jahat. Jadi kita bisa simpulkan perintah Tuhan menyuruh Yunus pergi ke orang yang jahat adalah perintah yang bertentangan dengan naluri manusiawi kita yaitu menjauh dari orang yang jahat. |
GS | : | Tapi dengan demikian sejak di Perjanjian Lama sudah terlihat bahwa Tuhan bukan hanya menyelamatkan bangsa Israel saja, tapi bangsa lain pun Tuhan berusaha untuk menyelamatkan mereka. |
PG | : | Betul sekali. Jadi kisah Yunus justru kitab yang memerlihatkan bahwa kasih sayang Tuhan ditujukan kepada semua orang dan bukan hanya kepada sekelompok orang, bukan hanya kepada Israel tapi kepada semua bangsa di dunia ini. Maka panggilan Tuhan kepada Abraham adalah untuk dia menjadi berkat bagi semua bangsa di dunia dan bahwa semua kaum akan diberkati lewat Abraham. Jadi Tuhan memikirkan bukan hanya sekelompok orang. Dan ini yang tidak dipahami oleh Yunus, Yunus beranggapan kenapa saya harus pergi ke bangsa asing, bangsa yang tidak mengenal Tuhan dan bangsa yang jahat, kenapa saya harus meminta mereka bertobat. Yunus tidak bisa menerima. |
GS | : | Memang dalam proses pembentukan Tuhan terhadap diri kita, kadang-kadang kita harus melakukan sesuatu yang kurang sesuai atau yang tidak sepaham dengan kita, Pak Paul. |
PG | : | Tepat sekali. Jadi ini adalah poin kedua yang membuat Yunus marah karena Tuhan tetap menyuruhnya pergi ke Niniwe, setelah dia dimuntahkan oleh ikan Tuhan tetap meminta dia. Jadi kita lihat saat dia di dalam perut ikan, Yunus bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkannya. Mungkin itu sebabnya ketika Tuhan menyuruhnya pergi untuk kedua kalinya Yunus taat, namun untuk reaksi yang kemudian ditunjukkannya jelas terlihat bahwa sesungguhnya dia pergi bukan karena dia mau, melainkan karena terpaksa. Jadi Tuhan tidak melepaskan Yunus dari tangan-Nya, itu membuat Yunus menjadi marah, kadang kita marah kepada Tuhan karena Ia terus memaksa kita melakukan kehendak-Nya walaupun sebenarnya kita tidak mau, akhirnya kita melakukan kehendak-Nya namun karena terpaksa. |
GS | : | Tapi sebenarnya Tuhan bisa saja menyuruh orang lain untuk melakukan amanat Tuhan ini. |
PG | : | Betul, kenapa Yunus yang disuruh lagi padahal Tuhan tahu kalau hamba-Nya ini malah tidak menaati-Nya, kenapa Tuhan susah-susah dan kenapa Tuhan tetap menyuruh Yunus, karena sebenarnya Tuhan mengasihi Yunus dan Tuhan ingin Yunus bertumbuh memunyai hati seperti Tuhan. Jadi meskipun Tuhan dibuat repot oleh Yunus, tapi Tuhan rela dibuat repot oleh hamba-Nya ini sebab ada hal mulia yang Tuhan lakukan yaitu menjadikan Yunus seperti diri-Nya, supaya Yunus memunyai hati seperti Tuhan. |
GS | : | Dari sini kita bisa belajar bagaimana seseorang marah kepada Tuhan. |
PG | : | Waktu Yunus marah memang tidak tanggung-tanggung, dia berani sekali melawan Tuhan, waktu Tuhan bertanya, "Layakkah engkau marah" dan dia langsung menjawab, "Saya layak marah sampai mati" jadi benar-benar dia memberi sikap yang tidak malu-malu mengeluarkan kemarahannya. Tapi ternyata jawaban Tuhan begitu lembut dan penuh kasih sayang dan Tuhan tidak berkata, "Kamu ini kurang ajar berani marah kepada Saya", tidak seperti itu. Tapi Tuhan tetap mendengarkan dia dan tidak sampai Tuhan menghukum Yunus. |
GS | : | Pelajaran apa yang bisa kita dapatkan dari itu, Pak Paul? |
PG | : | Yang satunya adalah Yunus marah karena harapannya tidak terkabul, ia berharap agar orang Niniwe menolak peringatan Tuhan supaya hukuman langsung dijatuhkan atas mereka. Singkat kata, Yunus datang bukan untuk melihat keselamatan melainkan hukuman. Yunus lupa bahwa ia sendiri baru saja menerima keselamatan Tuhan, sebagai respons Tuhan atas ketidak- taatannya. Dan dia tidak ingat dan dia ingin Tuhan menghukum orang Niniwe. Jadi bisa kita simpulkan pada dasarnya Yunus marah karena Yunus menganggap Tuhan tidak adil. Yunus menuntut keadilan Tuhan untuk menjatuhkan hukuman kepada orang Niniwe atas kejahatan mereka. Saya kira kita juga begitu, kadang kita juga marah kepada Tuhan karena buat kita Tuhan tidak adil dan kita melihat orang lain yang hidupnya tidak setulus dan sebaik kita mendapatkan berkat demi berkat dan kemudahan demi kemudahan, sedangkan kita yang telah berusaha hidup tulus dan benar, terus menghadapi hambatan dan tidak ada yang mudah bagi kita, semua memerlukan usaha yang keras dan kita berkata, "Tuhan tidak adil", ini membuat kita marah kepada Tuhan. |
GS | : | Memang seringkali konsep kita tentang keadilan dengan konsep Tuhan tentang keadilan ini seringkali tidak cocok, Pak Paul. |
PG | : | Memang kita tidak bisa mengerti sepenuhnya bahwa apa yang Tuhan lakukan sebetulnya sempurna dan panjang dan ada waktunya. Contohnya tentang Yunus bahwa 100 tahun setelah ini Tuhan mengirimkan hamba-Nya yang lain yang bernama Nahum. Tuhan menyuruh Nahum memberikan peringatan sekaligus memproklamirkan hukuman Tuhan kepada orang Niniwe sebab orang Niniwe tidak bertobat dan sebagai konsekuensinya negara Asyur diserang dan ditaklukkan oleh Negeri Babel dan hukuman Tuhan jatuh atas Niniwe. Tapi saat Yunus disuruh, Yunus tidak bisa melihat itu. Tapi Tuhan punya rencana yang sempurna dan Tuhan tetap menghukum Niniwe 100 tahun kemudian, sebelumnya Tuhan memberikan banyak kesempatan. Sama seperti Israel, Tuhan tidak langsung menghukum Israel, selama ratusan tahun Tuhan mengirimkan nabi-Nya mulai dari zaman Hakim-Hakim setelah Yosua masuk ke tanah Kanaan, dari zaman Hakim-Hakim sampai ke zaman Raja-Raja, Tuhan tetap mau memeringatkan Israel tapi tetap tidak sadar-sadar. Akhirnya abad ke 6 sebelum Masehi Tuhan menjatuhkan hukuman dan mereka akhirnya ditawan dan dibuang ke Babel dan kemudian ke Asyur. Ini yang tidak bisa diterima Yunus dan Yunus beranggapan, "Tuhan tidak adil, orang yang jahat didiamkan" tidak seperti itu! Tapi Tuhan adalah panjang sabar dan terus memberikan kesempatan tapi tetap kalau orang tidak mau bertobat maka akan ada hukuman. |
GS | : | Tapi pada waktu zamannya Yunus, orang-orang Niniwe bertobat sehingga diampuni dosanya oleh Tuhan dan tidak dihukum pada zaman itu. |
PG | : | Betul. Jadi pada waktu mereka bertobat, Tuhan ampuni meskipun mereka adalah orang yang tidak mengenal Tuhan dan hidup sembarangan dan jahat kepada orang lain, tapi ketika diberikan kesempatan dan bertobat mengakui kalau mereka bersalah dan berubah, tapi rupanya pertobatan itu tidak berlangsung lama, satu generasi kemudian setelah itu, generasi baru muncul kemudian mereka melakukan lagi kejahatan, akhirnya Tuhan menjatuhkan hukumannya, mereka akhirnya ditaklukkan oleh negara Babel. |
GS | : | Kalau kita melihat cerita itu secara utuh dan secara keseluruhan, sebenarnya kisah ini tentang apa yang Tuhan lakukan itu untuk Yunus dan bukan untuk orang Niniwe. |
PG | : | Sebetulnya untuk semuanya, Tuhan melalui Yunus memberikan pengampunan-Nya, keselamatan-Nya, tapi kepada Yunus Tuhan juga menyatakan hal yang sama yaitu Tuhan memberikan belas kasihan dan Tuhan mau agar Yunus menyadari belas kasihan-Nya. Jadi saya percaya kenapa Tuhan harus ikut sertakan kitab Yunus ini dalam Alkitab karena Tuhan mau agar kita mengerti inilah hati Tuhan dan Tuhan tidak mau seorang pun binasa, Tuhan mau semua manusia kembali kepada-Nya, itu yang pertama. Dan kitab Yunus ini juga mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan menghendaki kita memunyai hati seperti hati-Nya, hati yang terus percaya bahwa orang itu mau bertobat dan orang bisa bertobat, percayalah bahwa sekarang dia belum sadar tapi coba ingatkan lagi siapa tahu lain kali dia sadar. Jadi inilah yang memang diberitakan oleh kitab Yunus, tapi disamping itu kita bisa melihat satu hal penting bahwa Tuhan menoleransi Yunus, waktu Yunus marah dan tidak taat serta marah-marah, Tuhan ternyata menerima dan membiarkan, Tuhan tidak bereaksi keras kepada Yunus. |
GS | : | Hal-hal yang seperti ini bisa terulang pada zaman kita, kalau kita dihadapkan pada kenyataan Tuhan membiarkan orang-orang yang menurut kita harus dihukum memang itu akan menimbulkan kemarahan dalam diri kita, paling tidak ada perasaan Tuhan itu membeda-bedakan, ini bagaimana, Pak Paul? |
PG | : | Memang saat ini terjadi, tidak bisa tidak kita marah kepada Tuhan, karena kita kecewa Tuhan tidak berbuat apa-apa untuk menegakkan keadilan dan yang jahat malah untung, yang baik malah buntung. Dalam kekecewaan seperti itu kita pun tergoda untuk tidak lagi menaati Tuhan dan kita tidak lagi mau memedulikan Tuhan serta kita mau menjauh sejauh-jauhnya dari Tuhan tapi ternyata Tuhan melihat bahwa yang mendasari kemarahan Yunus sebetulnya rasa keadilannya. Jadi Yunus bukannya marah sembarangan, tapi Yunus marah karena rasa keadilannya terusik, karena Tuhan tidak bertindak dan malah membiarkan dan memberi kesempatan kepada orang untuk bertobat dan kenapa tidak langsung dihukum. Jadi Tuhan mengerti, Yunus marah karena adanya rasa ketidakadilan itu. Maka saya percaya Tuhan akhirnya menerima dan membiarkan kemarahannya itu namun dengan panjang sabar Tuhan mengajarkan kepada Yunus bahwa yang pertama adalah mengasihi dan berbelas kasihan, hukuman itu belakangan. |
GS | : | Yang sulit kita terima adalah konsep bahwa Tuhan adil tapi juga kasih, dua hal ini yang kadang bagi kita bertentangan. |
PG | : | Karena bagi kita kasih dan keadilan jaraknya sangat berdekatan, jadi bagi Yunus Tuhan memberikan pengampunan tapi begitu orang Niniwe tidak lagi taat, langsung dihukum. Jadi kita percaya kedua-duanya harus ada, tapi yang kita harapkan adalah jaraknya lebih dekat. Ternyata yang terjadi adalah kasih Tuhan itu sangat panjang, nanti keadilan Tuhan terletak di belakang sekali, kenapa? Sebab kasih sayang Tuhan terlalu besar, itu sebabnya waktu Dia menghukum, penghukuman-Nya terletak di belakang. Kita sebagai anak-anak Tuhan akhirnya diminta Tuhan untuk mengadopsi hati Tuhan yang seperti ini yaitu bukannya langsung menghukum orang tapi bersabarlah, berilah pengampunan, berbelas kasihanlah, terakhir serahkan kepada Tuhan dan biar nanti Tuhan yang melakukan kehendak-Nya. |
GS | : | Jadi hal apa yang bisa kita lakukan kalau kita sebagai pengikut Tuhan bahkan pelayan Tuhan, lalu diperlakukan tidak adil di tengah-tengah dunia ini? |
PG | : | Sudah tentu kita sebagai manusia harus berusaha menegakkan atau mencari keadilan itu, misalkan kita bisa ke pengadilan dan sebagainya maka lakukanlah untuk mencari keadilan. Namun dalam proses itu kita senantiasa harus berdoa dan biar nanti Tuhan yang membela kita dan biar nanti ada waktu Tuhan untuk menjatuhkan hukuman kepada orang yang menjahati kita, tapi kita sendiri tidak boleh menggunakan cara kita atau melakukan pembalasan sebab itu bukanlah hak kita, tapi itu adalah hak Tuhan. Jadi waktu kita menjadi korban ketidakadilan kita mencoba mencari keadilan namun serahkan hasilnya kepada Tuhan. |
GS | : | Memang kalau kita melihat kisah Yunus, kemarahannya sebenarnya tidak menghasilkan apa-apa dan malah menimbulkan masalah bagi dirinya dan bagi orang lain. |
PG | : | Betul sekali, gara-gara dia tidak taat dia harus dibuang ke laut, dan gara-gara dia tidak taat satu kapal menderita diamuk oleh ombak dan mereka sudah tentu ketakutan akan mati. Jadi benar-benar kalau kita berjalan tidak taat kepada Tuhan memang kita hanya menuai masalah dalam hidup ini dan nanti kita harus membayar harga yang besar dan yang juga memang menjadi kenyataan, kita ini gara-gara berdosa dan tidak taat kepada Tuhan seringkali membuat orang lain turut menderita gara-gara kita. |
GS | : | Jadi sikap Yunus kalau kita melihat kisah ini, itu tidak memberikan suatu kesaksian yang baik dan malah membuat orang itu ragu-ragu terhadap Tuhannya Yunus. |
PG | : | Kisah Yunus memang memerlihatkan hamba Allah yang kurang baik karena tidak taat, tapi sekaligus lewat gambar atau lewat hamba Allah yang kurang baik ini, diperlihatkan betapa baiknya Tuhan. Jadi perbandingannya adalah antara Yunus dan Tuhan sendiri. Yunus tidak berbelas kasihan, tapi Tuhan berbelas kasihan. Yunus tidak mengenal ampun, tapi Tuhan memberi ampun terus menerus. Yunus menginginkan hukuman, tapi Tuhan mengedepankan belas kasihan. Jadi inilah perbandingannya antara Tuhan dan Yunus, kita juga harus mengakui bahwa dalam banyak hal kita ini lebih mirip dengan Yunus daripada dengan Tuhan sendiri. |
GS | : | Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan? |
PG | : | Dari Mazmur 37:1-3, "Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau. Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia." Jadi firman Tuhan mau agar kita tidak menengok kiri dan kanan melihat orang lain dan jangan bandingkan diri dengan orang lain dan mengatakan, "Kenapa orang begini dan kenapa orang lain begitu" tapi ada waktunya Tuhan. Sehingga dikatakan mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuhan hijau, ada waktunya Tuhan yang nanti akan mereka pertanggungjawabkan kepada Tuhan dan tugas kita adalah percaya kepada Tuhan dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia. Itu yang Tuhan minta. |
GS | : | Kesetiaan yang penting di dalam hal ini. |
PG | : | Betul sekali. |
GS | : | Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Apa Adanya". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga![]() |
58. Jiwa Memberi I | |
Memberi adalah kata yang sederhana namun mengandung arti yang dalam, karena di dalam prakteknya orang sulit untuk menerapkan hal tersebut. Di dalam hal memberi, ada dua tipe orang di dunia ini yang pertama adalah orang yang berusaha untuk memberi dan kedua orang yang berusaha untuk tidak memberi. Kadang dengan Tuhan pun demikian, kita melakukannya sebagai sebuah transaksi yaitu kita memberi sebab kita mengharapkan Tuhan membalas pemberian kita berlipat ganda. Mengapa kita seperti itu? Berikut akan dibahas faktor apakah yang membuat seseorang berjiwa memberi atau tidak.
Berkaitan dengan hal memberi, sesungguhnya ada dua jenis orang di dunia ini: Ada yang berusaha untuk memberi dan ada yang berusaha untuk tidak memberi. Orang yang berusaha memberi adalah orang yang mencari kesempatan untuk memberi sedang orang yang tidak memberi, senantiasi mencari alasan untuk tidak memberi. Dengan kata lain, yang membedakan keduanya adalah, yang satu mencari kesempatan sedang yang satu mencari alasan. Kita mafhum bahwa Tuhan menghendaki kita untuk menjadi orang yang memberi namun ada sebagian kita yang terus bergumul dalam hal memberi. Tidak soal sudah seberapa lama kita mengenal Kristus, kita tetap mengalami kesukaran untuk memberi. Akhirnya kalaupun kita memberi, kita melakukannya sebagai sebuah transaksi yaitu kita memberi sebab kita mengharapkan Tuhan membalas pemberian kita berlipat ganda. Apabila pemberian Tuhan tidak sesuai dengan yang diharapkan, kita pun tidak segan-segan mengurangi—atau bahkan menghentikan—pemberian itu.
Berikut akan dibahas faktor apakah itu yang membuat seseorang berjiwa memberi atau tidak.Jiwa memberi lahir dari jiwa Tuhan kita Yesus yang penuh kasih karunia. Ia memberi kepada kita walau kita tidak selayaknya menerima apa pun dari-Nya. Roma 5:8 berkata, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." Tuhan tidak menunggu sampai kita layak baru Ia bersedia mati untuk kita. Ia mati untuk kita di saat kita tidak layak menerima apa pun dari-Nya, apalagi pengorbanan hidup-Nya
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Jiwa Memberi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS | : | Pada umumnya orang memunyai jiwa menerima daripada memberi, tetapi memang di dalam Alkitab kita selalu dianjurkan untuk memberi dan Allah pun memberikan contoh dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal kepada dunia ini. Tapi untuk menumbuhkan jiwa memberi bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. |
PG | : | Saya masih ingat seorang dosen saya bercerita tentang puteranya yang sudah dewasa, puteranya ini seorang Kristen, dia bercerita kepada papanya bahwa setiap hari Minggu dia mengalami pergumulan sebelum pergi ke gereja yaitu menimbang-nimbang kira-kira berapa nanti uang yang akan saya persembahkan kepada Tuhan. Biasanya makan waktu panjang untuk dia bisa berkata, "Baiklah saya akan memberikan sejumlah uang ini untuk persembahan". Dia bilang kepada papanya pergumulannya belum selesai, sebab setibanya dia di gereja, sewaktu kantong kolekte diedarkan dia bergumul lagi yaitu apakah uang itu dia masukkan ke dalam kantong kolekte atau tidak. Jadi intinya ada orang yang mengalami pergumulan dalam memberi. Makanya saya kategorikan dalam dunia ini, sebetulnya ada dua jenis orang yaitu orang yang memberi dengan orang yang tidak memberi. Orang yang memberi justru berusaha mencari kesempatan untuk memberi sedangkan orang yang tidak memberi selalu mencari alasan untuk tidak memberi. Jadi orang yang senang memberi, senantiasa mencari kesempatan kapan dia ada waktu untuk menolong atau memberi kepada orang. Sedangkan orang yang pada dasarnya tidak memberi selalu ada saja alasan kenapa dia tidak harus memberi kali ini. |
GS | : | Walaupun secara jelas sekali Tuhan Allah sudah mengajarkan kepada kita untuk memberi bahkan kepada Kain dan Habil di awal kisah manusia, itu sudah diajarkan oleh Tuhan bahwa kita harus bisa memberikan yang terbaik kepada Tuhan. |
PG | : | Betul sekali. Pada akhirnya Tuhan menginginkan agar relasi kita kepada Tuhan merupakan sebuah relasi orang tua-anak, Bapa-anak, dimana Tuhan memberi kepada kita dan kita memberi kepada Tuhan dan ini menjadi sebuah relasi percaya dan kasih. Inilah yang seharusnya ada, tapi seringkali kita masih belum bisa memerlakukan Tuhan sebagai Bapa kita. Jadi kita masih sering perhitungan kepada Tuhan. |
GS | : | Walaupun seseorang sudah cukup lama mengenal Tuhan dan menjadi orang Kristen dan sudah paham betul, tapi pergumulan itu tetap ada di dalam hidupnya. |
PG | : | Betul. Jadi ada orang-orang tertentu yang susah sekali untuk memberi kepada Tuhan. Jadi nantinya kita mau melihat kenapa ada orang begitu susah memberi, kita juga mau belajar bagaimana caranya untuk menumbuhkan jiwa memberi. |
GS | : | Tapi pada batas-batas tertentu saya pikir ada baiknya juga seseorang tidak asal memberi, tapi melalui suatu pergumulan sehingga dia betul-betul menyadari bahwa apa yang diberikan, itu adalah yang terbaik. |
PG | : | Saya mengerti maksud Pak Gunawan, jadi jangan sampai kita sembarangan dalam memberi tapi hendaklah kita benar-benar memikirkan apa yang terbaik yang bisa kita berikan kepada Tuhan. |
GS | : | Faktor apa yang membuat seseorang itu memberi atau tidak memberi, Pak Paul? |
PG | : | Yang pertama adalah bahwa jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa apa pun itu yang ada pada kita berasal dari pemberian, baik dari Tuhan maupun sesama kita. Ada orang yang beranggapan bahwa apapun itu yang ada padanya merupakan hasil keringatnya sendiri. Anggapan ini menyulitkannya untuk memberi sebab baginya ia berpikir kenapa, "Enak sekali orang menerima sesuatu darinya tanpa mengeluarkan setetes keringat pun". Singkat kata orang ini berpandangan oleh karena ia harus bekerja untuk memeroleh apa yang sekarang ada padanya maka orang lainpun harus berbuat yang sama. Jadi buat dia memberi adalah sesuatu yang tidak ada dalam falsafah kehidupannya. Setiap orang hanya dapat mendapatkan sesuatu lewat jerih payah atau keringatnya dan tidak ada yang namanya menerima sesuatu tanpa jerih payah atau dia tidak akan memberi sesuatu kepada seseorang yang tidak melakukan apa-apa untuknya. |
GS | : | Jadi sebenarnya kenapa orang bisa punya pikiran seperti itu, Pak Paul? |
PG | : | Besar kemungkinan dia jarang menerima pemberian, hidupnya mungkin penuh kesusahan dan dia harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena orang tidak memberi apa-apa kepadanya sehingga dia pun tidak mau memberi apa-apa kepada siapa pun. Di dalam Alkitab ada contoh tentang orang yang seperti ini, namanya adalah Nabal. Di dalam 1 Samuel 25 tercatat kisah yang melibatkan Nabal dan Daud. Di dalam pelariannya Daud dan pengikutnya berkemah dekat peternakan milik Nabal, oleh karena kehadiran Daud maka ternak Nabal aman dari serangan perampok, sebagaimana diakui oleh para pekerja Nabal sendiri. Suatu hari Daud memberanikan diri meminta bantuan makanan kepada Nabal, bukannya memberi, Nabal malah menghina Daud dengan berkata tercatat di 1 Samuel 25:11, "Masakan aku mengambil rotiku, air minumku dan hewan bantaian yang kubantai bagi orang-orang pengguntingku untuk memberikannya kepada orang-orang yang aku tidak tahu dari mana mereka datang?" Jadi kita bisa lihat disini bahwa Nabal tidak mau mengingat bahwa sesungguhnya dia telah menerima kebaikan Daud yaitu perlindungan atas ternaknya, itu sebabnya dia tidak rela memberikan apa pun kepada Daud. Demikian pula dengan kita, bila kita beranggapan bahwa kita merasa tidak menerima apa pun baik dari Tuhan atau sesama, maka kita pun akhirnya tidak rela memberi kepada Tuhan atau pun sesama. |
GS | : | Minimal itu memang sulit seseorang ini mau memberikannya, biasanya itu juga sangat dipengaruhi oleh kondisi dimana dia dibesarkan entah itu di keluarganya atau di lingkungan suatu daerah yang tandus, dimana dia harus bekerja sangat keras atau orang tuanya bekerja sangat keras, tapi kesannya orang seperti ini kikir dan tidak bisa memberikan sesuatu atau tidak mampu memberikan sesuatu dari kemampuannya. |
PG | : | Jadi memang banyak orang yang seperti ini, kalau memang mereka dibesarkan dalam kondisi yang kekurangan dan harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang dibutuhkannya, akhirnya dia tidak terbiasa untuk memberi kepada orang sebab dia berkata, "Kenapa saya harus memberi, orang tidak bekerja tapi harus menerima sesuatu dari saya?" dia tidak akan rela memberikannya. Tapi masalahnya adalah kita harus selalu ingat bahwa sebetulnya kita adalah orang yang telah menerima pemberian baik dari Tuhan maupun dari sesama. Kita harus sadar bahwa sebetulnya upaya kita terbatas dan pada akhirnya yang membuat kita dapat memiliki apa yang ada pada kita adalah Tuhan dan orang yang ada dalam hidup kita. Kita hanya dapat menjadi apa adanya sekarang ini karena kebaikan Tuhan dan orang-orang yang Ia hadirkan dalam hidup kita. Tidak ada yang namanya orang hidup sendirian di tengah pulau, kita selalu memunyai koneksi, pertemanan dengan orang dan bukankah kita selalu menerima sesuatu dari orang secara langsung atau tidak langsung. Jadi kita harus mengingat bahwa sebetulnya kita telah menerima begitu banyak pemberian baik dari Tuhan maupun dari sesama. |
GS | : | Tapi yang seringkali terjadi adalah seseorang merasa berhak untuk diberi. Saya tidak tahu persis kasusnya Nabal, mungkin perlindungan Daud terhadap Nabal, itu dianggap oleh Nabal suatu keharusan bahwa Daud harus melindungi Nabal sehingga pada saat Daud meminta pertolongan dari Nabal, Nabal merasa tidak wajib memberikan pertolongan pada Daud. Apa bisa seperti itu, Pak Paul? |
PG | : | Atau memang Nabal adalah orang yang boleh untung tapi tidak boleh rugi sebab di zaman itu tidak jarang para perampok akan menyerang sekawanan gembala dan merampas domba-dombanya, sudah tentu orang-orang Daud karena mereka berjiwa kesatria, mereka akan membela (apakah pernah terjadi atau tidak kita memang tidak tahu) tapi para gembalanya Nabal mengakui bahwa orang-orang Daud itu seperti dinding atau tembok yang mengelilingi mereka berarti mereka mengatakan kalau mereka justru merasa sangat aman dilindungi oleh orang-orang Daud. Jadi yang saya bayangkan adalah mereka pasti bicara dengan tuannya, "Tuan, ini ada Daud dan orang-orangnya, mereka mengelilingi kita setiap hari, pagi, siang dan malam, sehingga kita aman ketika ada mereka". Seharusnya yang lebih manusiawi adalah Nabal seorang yang begitu kaya raya seharusnya berpikir, "Mereka kelaparan di tengah hutan belantara dan mereka mengelilingi dan berbuat baik untuk kita, maka kita akan bantu dan kirimkan bantuan". Tapi Nabal tidak punya pikiran seperti itu sedikit pun dan Daud memilih waktu yang juga tidak sembarangan untuk meminta bantuan kepada Nabal yaitu hari dimana ternak-ternaknya berlimpah ruah dan dia akan mendapatkan keuntungan yang besar dari pengguntingan bulu dombanya yang bisa dijual. Jadi Daud tidak sembarangan meminta, tapi dia tahu Nabal sedang berlimpah ruah dan dia meminta kebaikan Nabal namun inilah Nabal dan dia tidak ada pemikiran untuk memberi kepada orang dia tidak mau rugi tapi inginnya untung. Dia terima kebaikan Daud, tapi dia tidak mau memberikan kembali kepada Daud. |
GS | : | Memang tidak bisa disamaratakan, tapi ada banyak orang yang secara finansial berlebihan malah lebih sulit memberikan sebagian hartanya kepada orang lain dibandingkan mereka yang relatif sebenarnya dia sendiri yang membutuhkan itu. Hal apa yang menyebabkan seperti itu, Pak Paul? |
PG | : | Memang sikap yang seringkali bisa menghalangi kita memberi adalah ketamakan, jadi orang yang tamak tidak bisa melihat hartanya berkurang sedikit pun dan dia hanya bisa melihat hartanya bertambah. Jadi yang namanya memberi adalah mengurangi apa yang dimilikinya, dan dia tidak bisa melakukannya, sedangkan ada orang-orang yang hidupnya bersahaja rela memberi, kenapa? Dia tidak tamak dan dia merasa secukupnya saja dan sisanya dia bisa berikan. Jadi bergantung pula bagaimana seseorang itu melihat harta, kalau kita begitu membutuhkan dan begitu haus akan harta, maka kita akan susah sekali memiliki jiwa memberi. |
GS | : | Faktor lain yang membuat seseorang itu bisa berjiwa memberi dan tidak itu apa, Pak Paul? |
PG | : | Yang kedua adalah jiwa memberi lahir bukan saja dari kesadaran bahwa apa yang ada pada diri kita merupakan pemberian Tuhan dan sesama, kita pun rela untuk melepaskannya kembali, sebab kita tidak pernah merasa berhak untuk memilikinya. Coba saya gunakan contoh di Alkitab yaitu raja Daud dan raja Saul. Dua-duanya sebetulnya sama-sama menyadari bahwa apa yang dimiliki mereka yaitu takhta kerajaan Israel adalah pemberian Tuhan semata. Bedanya adalah Daud rela melepaskannya, sedang Saul tidak. Waktu Daud jatuh ke dalam dosa ia sangat disadarkan akan ketidaklayakannya, itu sebabnya ketika putranya Absalom memberontak, Daud memilih untuk menyingkir dan dia pun menolak untuk membawa tabut perjanjian Tuhan, sebab ia tidak tahu apakah Tuhan akan membawanya kembali ke Yerusalem atau tidak. Coba kita simak apa yang dikatakan kepada imam Zadok yang tertulis di 2 Samuel 15:25-26, "Bawalah tabut Allah itu kembali ke kota; jika aku mendapat kasih karunia di mata TUHAN, maka Ia akan mengizinkan aku kembali, sehingga aku akan melihatnya lagi, juga tempat kediamannya. Tetapi jika Ia berfirman, begini: Aku tidak berkenan kepadamu, maka aku bersedia, biarlah dilakukan-Nya kepadaku apa yang baik di mata-Nya." Jadi kita bisa lihat disini Daud pasrah dan Daud tidak mengungkungi takhta kerajaannya dan dia sadar dia telah jatuh ke dalam dosa dan Tuhan bisa sewaktu-waktu mengambil takhta kerajaan itu darinya, dan dia siap melepaskannya. Jadi kalau kita mau memiliki jiwa memberi kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa meskipun kita memiliki apa yang kita punyai sekarang dan meskipun kita menyadari ini pemberian Tuhan atas kita, kita tidak boleh berkata, "Saya selayaknya memiliki semua ini" tidak! Kita tidak selayaknya jadi waktu kita terima kita bisa berkata, "Tuhan memang saya tidak berhak memilikinya jadi sewaktu-waktu Tuhan mau ambil saya siap melepaskannya kembali". |
GS | : | Sikap seperti itu memang terbawa sejak lahir atau sedini mungkin atau harus dibentuk, Pak Paul? |
PG | : | Saya percaya semua ini lewat bentukan, saya berikan contoh misalkan seorang anak sejak kecil terlalu diidolakan orang tuanya dan selalu orang tuanya berkata, "Kamu ini orang yang cantik dan kamu ini orang yang cerdas dan kamu selayaknya mendapatkan yang paling baik dan kamu selayaknya punya ini dan itu". Jadi setiap kali orang tuanya memberikan sesuatu, maka orang tuanya akan berkata hal seperti itu, "Apa jadinya pada anak ini setelah dia dewasa" dia akan beranggapan ini adalah milik dia dan selayaknya dia punya itu. Jadi bentukan keluarga juga bisa begitu. Dalam kasus Saul yang menarik adalah sebetulnya awalnya Saul tidak seperti itu, meskipun akhirnya dia tidak bersedia melepaskan takhtanya, tapi sekali lagi awalnya dia tidak begitu, dia awalnya sadar kalau dia tidak layak menerima kehormatan besar menjadi raja, itu sebabnya pada saat Samuel ingin menobatkannya sebagai raja, ia malah bersembunyi. Di 1 Samuel 9:21 kita bisa mendengar perkataan Saul, "Bukankah aku seorang suku Benyamin, suku yang terkecil di Israel? Dan bukankah kaumku yang paling hina dari segala kaum suku Benyamin? Mengapa bapa berkata demikian kepadaku?" Begitu merendah, begitu benar-benar bersedia untuk mengakui bahwa dia tidak layak menjadi seorang raja dan dia dari suku Benyamin yang paling kecil, dan dari antara semua kaum dari suku Benyamin kaum atau kelompoknya juga yang paling kecil atau yang paling hina. Tapi masalahnya dengan berjalannya waktu Saul mengalami transformasi, bukan menuju ke arah kebaikan melainkan ke arah keburukan, bukan makin merendah tapi malah makin meninggikan diri kendati dia jelas tahu bahwa Tuhan menolaknya, dia tidak rela melepaskan takhta pada akhirnya Samuel sendiri yang mengurapinya tidak lagi mau bertemu dengan dia, tapi Saul tetap bertahan sampai akhirnya. Tuhan merenggut takhta itu dari tangannya secara tragis dia mati di tangan orang Filistin. Jadi sekali lagi awalnya baik dia mengakui dia tidak layak, tapi akhirnya menikmati semua yang diberikan Tuhan, dia lupa diri dan tidak rela melepaskannya. |
GS | : | Dan itu masih terjadi sampai hari ini. Sebenarnya faktor apa yang membuat seseorang sulit melepaskan sesuatu yang tadinya dia tidak punya tapi setelah punya ini menjadi sesuatu yang dipertahankan mati-matian. |
PG | : | Yang pertama adanya faktor ketamakan. Jadi ketamakan itu kadang-kadang tidak dirasakan sampai kita mencicipi sesuatu. Misalnya makan, kita tidak pernah tahu menyukai makanan tertentu sampai kita memakannya, hingga akhirnya kita tidak bisa melepaskan makanan itu dan terus mencari makanan itu. Jadi ketamakan kadang-kadang tidak bisa dilihat dari awalnya. Saul ini jelas-jelas terlihat tamak dengan kuasa namun sebelum dia berkuasa dia tidak tahu dia tamak dengan kuasa, maka pada waktu mau dinobatkan dia malah bersembunyi dan berkata, "Dia adalah orang yang paling hina" namun ketika dia mencicipi kuasa dia tidak bisa lepaskan sebab barulah dia mengerti betapa manisnya kuasa dan ia begitu tamak, mau terus menghisap dan memakan kuasa itu dan tidak bersedia untuk melepaskannya. Orang yang berjiwa memberi akan kita lihat suatu yang nyata dalam dirinya yaitu mereka tidak menggenggam, maka ada orang-orang yang sebetulnya kaya raya tapi tidak tamak dengan kuasa dan harta, justru mereka begitu rela memberi, tapi ada orang yang tidak terlalu kaya raya dan seharusnya lebih bisa mengerti penderitaan orang tapi tidak peduli dengan orang, karena dia tidak bisa melepaskan apa yang telah ada dalam tangannya. Jadi memang itu kuncinya, ada orang yang bersedia melepaskan tangan dan ada orang yang terus menggenggam. |
GS | : | Jadi ketika Tuhan memberikan kekayaan, kekuasaan kepada kita. Apa yang harus kita lakukan supaya kita memiliki jiwa yang memberi, Pak Paul? |
PG | : | Kita harus ingatkan diri kita bahwa sebenarnya kita tidak berhak menerima semua itu. Saya mungkin mau menyinggung di sini waktu Billy Graham diwawancara oleh Larry King di sebuah stasiun televisi dan ditanya, "Kalau nanti engkau akan ke surga dan bertemu dengan Tuhan, apa yang akan engkau katakan pada Tuhan?" Billy Graham menjawab, "Kenapa saya, saya anak petani dari sebuah kota kecil, kenapa saya dipilih oleh-Mu, Tuhan, menjadi pemberita Injil, bisa memberitakan Injil kepada berjuta-juta umat manusia dan saya tidak layak menerima itu" dan yang kedua, yang dia katakan dengan jelas adalah "Saya menjadi seperti apa adanya karena orang menolong saya, karena begitu banyak orang yang telah mengulurkan tangan membantu saya, memungkinkan saya menjadi seperti apa adanya sekarang ini". Jadi sekali lagi sebuah sikap yang menyadari kita adalah orang yang menerima kebaikan orang dan kita tidak hidup sendirian jadi kita harus memberikan dan kita tidak berhak memunyai semua ini, jadi relakanlah untuk melepaskannya kembali. |
GS | : | Faktor yang lain apa, Pak Paul? |
PG | : | Yang ketiga adalah jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa rencana Tuhan terus bergulir dan bahwa pekerjaan Tuhan terus berjalan dan Tuhan mengundang kita untuk berbagian di dalamnya. Tuhan memakai berbagai cara untuk menggenapi rencana-Nya, salah satunya adalah lewat partisipasi anak-anak-Nya melalui pemberian yang kita persembahkan kepada-Nya. Kesadaran bahwa pemberian kita tidak terbuang cuma-cuma dan malah dipakai untuk kepentingan Tuhan dapat memotivasi kita untuk memberi. Sewaktu Pdt. Andrew Gih memulai Seminari Alkitab Asia Tenggara, belum banyak orang memberikan dukungan namun dukungan datang secara ajaib dan pada waktunya, sehingga sekolah ini terus ada sampai sekarang. Kita mau berbicara tentang pelayanan Telaga yang disiarkan ini, ini pun ada sampai sekarang karena ada dukungan anak-anak Tuhan yang memberi, kadang Tuhan pun menggerakkan hati orang untuk memberi kepada kita sewaktu kita tengah membutuhkannya, lewat partisipasi anak Tuhan yang rela memberi maka pekerjaan dan rencana Tuhan pun digenapi. |
GS | : | Di dalam hal memberi bukan hanya terbatas pada memberi uang, juga tenaga, pikiran dan segala macam yang memang dibutuhkan oleh orang lain? |
PG | : | Betul sekali. Jadi memang harus ada kepedulian, kepedulian dan kesadaran bahwa kita ini merupakan bagian dari pekerjaan Tuhan yang belum selesai. Jadi sedapatnya kita berbagian dan kita merasakan sukacita-Nya untuk berbagian dalam pekerjaan Tuhan. Saya ingat waktu kami sedang membangun pusat konseling yang digunakan di Malang ini, rektor sekolah meminta saya untuk mencari dana, memang saya berdoa dan meminta Tuhan memenuhi kebutuhan kami saat itu, tapi sampai minggu terakhir saya di Indonesia memang dana yang terkumpul sangat sedikit sekali, sehingga saya sudah berkata kepada pembangun untuk menghentikan proyek itu di tengah jalan. Hari terakhir atau minggu terakhir saya di Indonesia saya berkhotbah di sebuah kota, sebelum saya berangkat saya mendapatkan SMS dari seseorang yang berkata, "Bolehkah saya bertemu untuk konseling untuk anak-anak saya?" Keluarga ini memang sudah pernah datang ke tempat konseling kami di kota Malang ini, dan saya sudah mengenalnya. Setelah selesai konseling anaknya, si bapak ini berkata kepada saya, "Pak Paul, saya melihat bahwa disana sedang dibangun gedung yang baru untuk konseling", saya jawab "Iya" ditanya, "Untuk apa?" saya jawab "Untuk konseling anak-anak dan menambah ruangan untuk konselor yang lainnya" dan kemudian dia bertanya kepada saya, "Berapa jumlah yang masih dibutuhkan?" Saya tidak mau menyebutkannya karena tidak enak, tapi dia terus bertanya kepada saya tentang berapa jumlah yang dibutuhkan, akhirnya saya menyebutkan sebuah jumlah dan dia langsung berkata, "Pak Paul, besok akan saya kirimkan dananya". Kenapa dia memberi? Sebab dia melihat bahwa inilah bagian dari pekerjaan Tuhan dan dia melihat dirinya sebagai bagian dari pekerjaan Tuhan. Jadi apabila kita tidak peduli dengan rencana dan pekerjaan Tuhan maka kecil kemungkinan kita akan bersedia untuk memberi dan kita akan berkata, "Itu bukan urusan kita" sehingga kita tidak mau ambil bagian dalam pekerjaan Tuhan. Kalau ini yang terjadi, kita tertinggal di belakang dan tidak dipakai menjadi partner Tuhan. Tapi kalau kita berbagian dalam pekerjaan Tuhan, kita akan menyaksikan Tuhan bekerja dan kita akan mengenal Tuhan dengan lebih dekat lagi. |
GS | : | Apakah masih ada beberapa faktor lain yang perlu kita perbincangkan untuk membangkitkan jiwa memberi? |
PG | : | Masih ada tiga lagi yang nanti akan kita angkat. |
GS | : | Tapi karena keterbatasan waktu untuk kali ini maka perbincangan kita, kita sudahi dulu pada saat ini, dan nanti akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Jiwa Memberi" bagian yang pertama dan kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga![]() |
59. Jiwa Memberi II | |
Memberi adalah kata yang sederhana namun mengandung arti yang dalam, karena di dalam prakteknya orang sulit untuk menerapkan hal tersebut. Di dalam hal memberi, ada dua tipe orang di dunia ini yang pertama adalah orang yang berusaha untuk memberi dan kedua orang yang berusaha untuk tidak memberi. Kadang dengan Tuhan pun demikian, kita melakukannya sebagai sebuah transaksi yaitu kita memberi sebab kita mengharapkan Tuhan membalas pemberian kita berlipat ganda. Mengapa kita seperti itu? Berikut akan dibahas faktor apakah yang membuat seseorang berjiwa memberi atau tidak.
Berkaitan dengan hal memberi, sesungguhnya ada dua jenis orang di dunia ini: Ada yang berusaha untuk memberi dan ada yang berusaha untuk tidak memberi. Orang yang berusaha memberi adalah orang yang mencari kesempatan untuk memberi sedang orang yang tidak memberi, senantiasi mencari alasan untuk tidak memberi. Dengan kata lain, yang membedakan keduanya adalah, yang satu mencari kesempatan sedang yang satu mencari alasan. Kita mafhum bahwa Tuhan menghendaki kita untuk menjadi orang yang memberi namun ada sebagian kita yang terus bergumul dalam hal memberi. Tidak soal sudah seberapa lama kita mengenal Kristus, kita tetap mengalami kesukaran untuk memberi. Akhirnya kalaupun kita memberi, kita melakukannya sebagai sebuah transaksi yaitu kita memberi sebab kita mengharapkan Tuhan membalas pemberian kita berlipat ganda. Apabila pemberian Tuhan tidak sesuai dengan yang diharapkan, kita pun tidak segan-segan mengurangi atau bahkan menghentikan pemberian itu.
Berikut akan dibahas faktor apakah itu yang membuat seseorang berjiwa memberi atau tidak.Jiwa memberi lahir dari jiwa Tuhan kita Yesus yang penuh kasih karunia. Ia memberi kepada kita walau kita tidak selayaknya menerima apa pun dari-Nya. Roma 5:8 berkata, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." Tuhan tidak menunggu sampai kita layak baru Ia bersedia mati untuk kita. Ia mati untuk kita di saat kita tidak layak menerima apa pun dari-Nya, apalagi pengorbanan hidup-Nya
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Jiwa Memberi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS | : | Pak Paul, pada umumnya orang lebih senang menerima dan sulit sekali untuk memberi. Kita sudah mulai membahas faktor-faktor penyebabnya pada bagian terdahulu. Dan kita masih akan melanjutkan tiga faktor lagi yang Pak Paul katakan pada waktu itu untuk melengkapi bagaimana kita bisa memiliki jiwa yang memberi ini. Supaya para pendengar kita bisa mengikuti perbincangan ini secara lebih utuh mungkin Pak Paul bisa mengulasnya secara singkat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau. |
PG | : | Kita tahu bahwa Tuhan yang kita percaya adalah Tuhan yang memberi maka Ia memberikan berkat-Nya kepada kita dan pada akhirnya kita tahu Dia memberikan putera-Nya untuk mati bagi dosa kita. Jadi kita tahu itulah Tuhan yang kita percaya yaitu Tuhan yang memberi. Kita juga mau dan seharusnya menjadi seperti Tuhan yaitu memiliki jiwa memberi, persoalannya sebagian dari kita mengalami kesulitan untuk menumbuh kembangkan jiwa memberi ini. Maka kita bahas sebetulnya kenapa ada orang-orang yang bisa memunyai jiwa memberi dan ada orang yang tidak. Yang pertama adalah jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa apa yang kita miliki sebetulnya adalah pemberian baik dari Tuhan maupun sesama. Jadi orang yang berjiwa memberi selalu ingat bahwa ia tidak mungkin bisa memunyai apa yang dia punyai sekarang ini kalau bukan Tuhan yang mengizinkannya memunyai itu. Atau kalau bukan orang menolongnya untuk mendapatkan apa yang dia miliki sekarang ini. Ada orang yang tidak melihat hal itu, ada orang yang beranggapan kalau dia tidak pernah berhutang sedikit pun kepada Tuhan atau sesama, dia merasa dia yang telah mengusahakan semuanya, orang yang seperti itu akan sangat sulit memberi. Jadi kunci yang pertama adalah harus selalu menyadari bahwa bukankah yang kita miliki adalah berkat pemberian dari Tuhan atau sesama kita. Yang kedua adalah selain dari menyadari bahwa apa yang kita miliki adalah pemberian, kita juga harus rela melepaskannya kembali, jadi jangan sampai setelah kita menerimanya kita menggenggamnya erat-erat dan tidak pernah rela melepaskannya. Apa kunci untuk bisa melepaskan apa yang telah ada di tangan kita? Yaitu kenyataan akan kesadaran kita tidak berhak untuk menerimanya, kita tidak layak menerimanya dan bahwa ini sebetulnya kasih karunia Tuhan. Jadi kalau kita sebaliknya beranggapan bahwa selayaknya saya memunyai ini, selayaknya saya memiliki itu, maka kita tidak akan rela melepaskannya. Kalau kita berkata, "Ini memang pemberian dan saya sebenarya tidak layak menerima ini" maka kita lebih rela melepaskannya kembali. Yang ketiga, jiwa memberi lahir dari suatu pengertian bahwa Tuhan bekerja dan pekerjaan Tuhan belum selesai dan kita haruslah menjadi bagian dari pekerjaan Tuhan itu dan kita harus berpartisipasi sebagai anak-anak Tuhan dalam pekerjaan Tuhan. Waktu kita menyadari hal itu, maka kita akan lebih rela untuk memberi pula sebab kita tahu bahwa sewaktu kita memberi ini adalah untuk Tuhan dan akan dipakai untuk pekerjaan Tuhan. Jadi apa yang kita berikan tidak berlalu dengan sia-sia, kalau orang menyadari hal ini seyogianyalah dia akan lebih tergerak untuk memberi kepada Tuhan pula. |
GS | : | Memang ada orang-orang yang menyadari hal-hal itu, tapi di dalam memberi dia masih punya pamrih khususnya ketika memberi dalam pekerjaan Tuhan atau gereja atau ke mana, dengan harapan bahwa nanti setelah dia memberi dia akan diberi lebih banyak lagi oleh Tuhan, ini bagaimana, Pak Paul? |
PG | : | Kadang ada orang yang beranggapan seperti itu, itu berarti dia menjadikan relasinya dengan Tuhan sebagai relasi dagang atau kerja bukannya sebuah relasi orang tua dan anak, dan Tuhan tidak menginginkan kita mengubah relasi kita dengan Tuhan seperti itu, dan Tuhan menginginkan agar relasi kita dengan-Nya terus bertumbuh menjadi relasi kasih antara Bapa dan anak. |
GS | : | Sekarang kita lanjutkan pada faktor yang keempat, faktor apa yang bisa memengaruhi seseorang supaya dia bisa memberi dengan sukarela, Pak Paul? |
PG | : | Yang keempat, jiwa memberi lahir dari iman bahwa Tuhan akan menyediakan dengan setia. Jadi kita bisa berkata bahwa jiwa memberi berkaitan erat dengan pertumbuhan iman, bahkan dapat disimpulkan bahwa salah satu ukuran kematangan iman adalah jiwa memberi, memberi berarti menyerahkan apa yang ada pada kita kepada pihak lain. Jadi jika kita tidak mengimani bahwa Tuhan akan tetap menyediakan kebutuhan kita walau sekarang kita memunyai kurang dari apa yang semula ada, akan sulit bagi kita untuk memberi. Jadi mesti adanya iman bahwa, "Tidak apa-apa, saya ini tidak kehilangan sebab saya percaya nanti Tuhan akan mencukupi kebutuhan saya". Kalau kita terus berpikir, "Nanti saya kurang gara-gara saya memberi" maka tidak bisa tidak iman kita kurang, karena kita tidak percaya Tuhan nanti akan sanggup menyediakan kebutuhan kita. Jadi kita bisa berkata bahwa pertumbuhan iman kita ditunjukkan oleh pertumbuhan pemberian kita pula. Makin rela memberi sebetulnya itu makin menunjukkan bertumbuhnya iman dalam hidup kita. |
GS | : | Jadi memberi itu sendiri suatu tindakan iman yang harus diwujudnyatakan dalam perbuatan nyata. |
PG | : | Betul sekali, sebab kalau kita berkata, "Saya beriman kepada Tuhan" tapi dalam tindakan kita tidak menunjukkan kalau kita berserah kepada-Nya dan percaya kalau Dia akan mencukupi kebutuhan kita. |
GS | : | Tapi itu bukan suatu tindakan barter, "Saya memberi, Tuhan pasti akan mencukupi kebutuhan saya" apa bedanya, Pak Paul? |
PG | : | Bedanya adalah kalau kita beranggapan bahwa Tuhan harus mencukupi kebutuhan kita dengan cara ini, dengan jumlah yang pas, itu menjadi sebuah barter. Tapi kalau kita berkata, "Saya memberi sebab saya yakin Tuhan tetap akan menyediakan" itu adalah iman. Saya berikan contoh, salah seorang hamba Tuhan yang saya kenal dia sedang bertugas ke Jakarta, selesai bertugas dia mendapatkan uang saku, dia harus kembali ke kota Malang dan masalahnya adalah uangnya pas-pasan sekali. Waktu dia ingin berangkat dia melihat adanya sekelompok orang datang, sebetulnya orang-orang itu adalah anak-anak pengungsi, ketika melihat anak-anak ini dia merasa kasihan, jadi dia bertanya, "Apakah sudah makan?" dan ternyata anak-anak ini sudah sehari atau dua hari belum makan sama sekali. Jadi karena dia merasa iba maka dia mengeluarkan uang untuk memberikan makanan bagi anak-anak ini. Dan semua uangnya habis untuk membelikan makanan dan sekarang dia tidak punya uang untuk kembali dari Jakarta ke Malang, akhirnya dia menelepon kakaknya meminta uang dan kakaknya memberinya uang, tapi uangnya tidak banyak karena dia bukan dari keluarga berada. Uang itu hanya bisa dia gunakan untuk membeli tiket bus dari Jakarta sampai Jawa Tengah, dari Jawa Tengah sampai ke kota Malang dia mengompreng, naik truk dan sebagainya. Memang kita bisa berkata, "Apakah Tuhan tidak tahu kebutuhannya?" Tuhan menyediakan kebutuhannya, dia sampai di kota Malang dan dia bercerita kepada saya setibanya di kota Malang. Tapi Tuhan menyediakan bukan dengan cara yang diharapkan, kalau kita memberi kepada Tuhan kita juga harus memunyai iman Tuhan akan menyediakan, Tuhan tidak selalu menyediakan dengan cara yang kita harapkan. Jadi kita tidak bisa berkata, "Baiklah saya berikan Rp 5.000,- kepada Tuhan dan Tuhan harus memberikan saya Rp 5.000,-". Ada orang yang beranggapan Tuhan akan memberi kepada saya lebih dari Rp 5.000,- harus Rp 10.000,- tapi caranya tidak seperti itu juga. Tuhan menyediakan kebutuhan kita bisa dengan memberikan kita Rp 5000,- lagi, tapi bisa juga dengan cara yang sangat berbeda, yang kita tidak bisa pikirkan sebelumnya. Kesediaan untuk menerima cara Tuhan yang lain, itu adalah iman. |
GS | : | Dalam hal ini kalau seseorang sudah berkeluarga, ada istri, suami atau anak-anak, itu menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan karena belum tentu keluarganya mendukung apa yang dia perbuat itu. |
PG | : | Saya kira kalau kita sudah berkeluarga bagaimana pun juga kita harus memikirkan kesejahteraan keluarga kita, memang harus ada tindakan-tindakan yang mengajak keluarga kita untuk beriman, namun sekali lagi kita juga harus berhati-hati jangan sampai kita mengajak keluarga kita beriman, tapi keluarga kita belum siap untuk mengertinya sehingga yang dilihat oleh keluarga kita bukanlah hal yang positif, tapi justru hal yang negatif bahwa kita dianggap orang yang tidak bertanggungjawab. Jadi dalam hal ini saya kira apalagi kita sebagai laki-laki kita berkewajiban menyediakan bagi keluarga kita dan ini adalah perintah Tuhan. Selebihnya silakan kembangkan untuk memberi kepada Tuhan. |
GS | : | Faktor yang kelima apa, Pak Paul? |
PG | : | Yang kelima adalah jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa bukan saja apa yang ada pada kita merupakan pemberian, tapi juga bahwa pemberian ini bukan untuk ditimbun melainkan untuk disebarkan. Kita harus selalu mengingat prinsip ini, apa pun yang kita terima bukan untuk ditimbun melainkan untuk disebarkan. Coba kita lihat contohnya di Alkitab, sewaktu Tuhan memanggil Abraham, Dia menjanjikan berkat untuk Abraham tapi berkat itu bukan hanya untuk Abraham saja melainkan untuk semua kaum atau bangsa di Kejadian 12:2-3 saya bacakan cuplikannya saja, "Aku akan... memberkati engkau... dan engkau akan menjadi berkat. Olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." Jadi kita lihat di situ Tuhan memanggil Abraham dan menjanjikan berkat kepadanya bukan supaya dia menimbun berkat, tapi supaya dia menjadi penyalur berkat bagi semua kaum di muka bumi ini. Yang lain walau harus lewat jalur derita, Tuhan mengirim Yusuf di Mesir dan menjadikannya tangan kanan Firaun supaya dapat memelihara kesejahteraan hidup keluarganya. Contoh yang lain, Tuhan mengirim Ester menjadi istri Raja Persia supaya lewat Ester, bangsa Yahudi tidak punah di tangan Haman. Jadi semua cerita ini bisa kita tarik kesimpulan, Tuhan melimpahkan kita dengan berkat-Nya supaya melalui kita banyak orang dapat turut mencicipi berkat Tuhan pula. Sebaliknya jika kita berpikiran bahwa semua yang diberikan oleh Tuhan untuk kita saja, maka kita tidak akan rela menyebarkannya kepada lebih banyak orang dan kita takut untuk berbagi dengan orang, sebab kita tidak rela kehilangan apa yang ada pada kita. Contoh klasik disini adalah Ananias dan Safira di Perjanjian Baru, mereka memutuskan untuk berbohong tentang hasil penjualan tanah pada Petrus, sebab mereka tidak rela berbagi dan menyebarkan berkat Tuhan. |
GS | : | Pak Paul, di dalam hal memberi yang tadi Pak Paul katakan adalah untuk disebarkan. Kalau kita memberi pada suatu organisasi atau perorangan dan kita tahu pemberian itu tidak diteruskan atau disalurkan, tapi ditimbun apakah kita akan terus memberikan kepada pihak itu? |
PG | : | Saya sarankan tidak. Jadi kita harus melihat apakah lembaga atau tempat dimana kita biasa memberikannya akan menyebarkannya atau tidak, apakah akan mengelolanya dengan baik sebagai juru kunci Tuhan atau tidak. Kalau kita melihat tidak seperti itu dan mereka hanya menimbun, maka itu berarti mereka bukan alat Tuhan untuk menyebarkan berkat Tuhan. Jadi kalau demikian sebaiknya kita pilih yang lain yang kita tahu akan menyebarkan berkat Tuhan kepada lebih banyak orang. |
GS | : | Jadi sebenarnya kita pun menerima berkat ini dari orang lain, kita salurkan kepada seseorang atau suatu badan untuk disalurkan lagi, melalui cara ini akan makin bertambah banyak yang ditolong. |
PG | : | Betul sekali. Sebab itulah cara Tuhan bekerja, Tuhan tidak pernah memberkati kita agar kita bisa menimbunnya, supaya kita bisa menyebarkannya sebab itulah yang dikehendaki oleh Tuhan. |
GS | : | Sebenarnya itu adalah suatu mujizat yang terjadi, ketika Tuhan Yesus membagi-bagikan roti yang hanya sedikit itu. Itupun yang terjadi ketika orang mau memberi baik roti atau ikan itu kepada orang lain, di situ mujizat terjadi. |
PG | : | Betul. Si anak kecil itu sangat polos dan dia datang berkata, "Saya punya sedikit, lima roti dan dua ikan" dan kemudian diberkati oleh Tuhan dan dibagikan untuk memberi makan 5.000 orang. Jadi itulah prinsip yang Tuhan berikan kepada kita semuanya. Tidak penting berapa jumlahnya, yang penting adalah hati yang mau memberi. Waktu kita mau memberi maka Tuhan akan dapat melipat gandakannya dan menyebarkannya untuk dinikmati lebih banyak orang. |
GS | : | Jadi apa yang perlu kita perhatikan, Pak Paul? |
PG | : | Jadi coba kita lihat misalnya di Lukas 12:16-21 disana tercatat perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang kaya yang bodoh, disebut bodoh sebab dia terus mendirikan lumbung yang besar untuk menyimpan hasil tanahnya, dia berencana untuk makan, minum dan bersenang-senang setelah menimbun semua kekayaannya. Jadi ia bodoh sebab ternyata usahanya sia-sia, belum sempat ia menikmati hasil tanahnya Tuhan sudah terburu mengambil nyawanya. Jadi orang yang bodoh justru orang yang menimbun hartanya dan bukan menyebarkannya, kenapa? Dia menimbun dan menimbun, Tuhan langsung panggil dia dan dia tidak bisa lagi mencicipi apa yang telah dihasilkannya. |
GS | : | Tapi itu tidak berarti seseorang tidak boleh merencanakan untuk menambah hartanya, begitu Pak Paul? |
PG | : | Sudah tentu boleh, sudah tentu boleh kita menabung dan memikirkan masa depan maka di kitab Amsal, Salomo menggunakan contoh semut yang bijak karena semut bisa mengumpulkan makanannya untuk persediaan kalau nanti dia tidak bisa lagi mencari makanan. Kita pun harus begitu dan tidak ada salahnya kita untuk memikirkan hari depan dan menabung, tapi yang jangan kita lakukan adalah menimbun. Meskipun kita tahu kita tidak akan memerlukannya lagi, namun yang terpenting adalah jangan menimbun, "Untuk apa?" itu yang Tuhan tanyakan, misalnya kita berkata "Untuk anak cucu kita" apakah anak cucu kita akan datang ke dunia tanpa tangan dan tanpa kaki dan tanpa otak untuk berpikir? Tidak juga. Tuhan akan memberkati mereka pula dan akan ada berkat untuk mereka dan jangan sampai kita berkata, "Tidak ini untuk semua anak cucu kita" seolah-olah mereka adalah orang-orang yang tidak akan diberkati Tuhan. Inilah mentalitas yang Tuhan kehendaki dari kita anak-anak-Nya. Kita menerima, kita dilimpahkan agar kita bisa membaginya kepada lebih banyak orang lagi. Kalau saja kita melaksanakannya, menerapkan prinsip ini sebetulnya betapa senangnya orang-orang yang dekat dengan kita dan yang bekerja untuk kita karena mereka melihat bahwa sewaktu kita diberkati dan bertambah maka mereka pun akan diberkati dan bertambah. Yang seringkali menimbulkan kecemburuan adalah sewaktu orang melihat kita berkali-kali lipat pertambahannya dan mereka hanya sedikit sedikit pertambahannya. Itulah yang menimbulkan kecemburuan dan ini tidak pernah menjadi rencana Tuhan. |
GS | : | Dalam hal memberi memang orang ada yang suka memberi kepada seseorang atau suatu badan tertentu karena dia memeroleh bukan imbalan berupa uang lagi tapi pujian atau kepopularitasan dan sebagainya, sehingga dia merasa tidak apa-apa menyumbang ke sana karena dia dihargai dan disanjung atau dia dikenang. Ini bagaimana, Pak Paul? |
PG | : | Tuhan Yesus pernah memberikan prinsip Kalau tangan kananmu memberi, tangan kirimu jangan sampai tahu artinya janganlah kita memproklamirkan atau mempublikasikan kita memberi, sebab kita memberi kepada Tuhan bukan untuk dilihat manusia, tapi untuk dilihat oleh Tuhan. Kalau kita memberi untuk dilihat manusia maka Tuhan berkata, "Imbalan bagimu sudah kamu cicipi sekarang" dan Tuhan tidak akan tambahkan imbalan bagi kita. Jadi sewaktu kita memberi motivasi kita harus benar, demi untuk Tuhan dan untuk dilihat oleh Tuhan dan bukan untuk dilihat manusia. |
GS | : | Jadi faktor ke enam yang harus kita perhatikan apa, Pak Paul? |
PG | : | Yang keenam adalah jiwa memberi lahir dari kesadaran bahwa memberi tidak harus ditentukan oleh layak atau tidaknya orang menerima pemberian melainkan oleh kerelaan untuk memberi. Berapa seringnya kita memutuskan untuk tidak memberi oleh karena di mata kita orang itu tidak layak untuk menerima pemberian kita, sudah tentu kita harus bersikap bijak namun kita pun harus berhati-hati agar kita jangan sampai mendasarkan keputusan kita untuk memberi atas dasar kelayakan orang. Bila inilah tolok ukur yang digunakan maka akan ada banyak orang yang tidak lulus uji kelayakan. Singkat kata, kita akan cepat menemukan alasan mengapa orang itu tidak selayaknya menerima pemberian kita. Jadi kalau mau memberi berilah dan jangan sampai terlalu dikuasai oleh pemikiran orang ini tidak layak dan sebagainya. Sudah tentu ada waktunya kita bijaksana dan jangan sampai kita dimanipulasi orang dan sebagainya, tapi jangan sampai pertimbangan ini menjadi pertimbangan utama, sebab kalau ini menjadi pertimbangan utama maka yang sering saya lihat adalah orang tidak akan memberi kepada siapa pun karena dia akan mendapatkan alasan bahwa orang ini tidak selayaknya menerima pemberian. |
GS | : | Jadi hal yang kita pertimbangkan kalau kita tidak boleh asal memberi tapi kita juga tidak boleh terlalu memertimbangkan kondisi orang, hal apa yang paling penting, Pak Paul? |
PG | : | Jadi yang saya mau tumbuhkan adalah jiwa memberi itu sendiri. Saya berikan contoh suatu hari saya bertemu dengan seseorang yang saya tahu latar belakangnya, orang ini sudah menerima kesempatan demi kesempatan dari Tuhan tapi dia buang semuanya dan dia sia-siakan keluarganya. Hidupnya dia sia-siakan dan berbuat yang salah dari A sampai Z sehingga semuanya habis dan sudah ditolong berkali-kali oleh begitu banyak orang, tapi tetap mengulang akhirnya sampai berusia lanjut, sewaktu dia bertemu dengan saya tanpa malu akhirnya dia meminta uang kepada saya. Kalau saya menuruti hati maka saya akan berkata, "Selayaknya kamu sekarang menanggung konsekuensi perbuatanmu, engkau menghabiskan semua dan menyia-nyiakan semua maka selayaknya kamu menanggung itu". Tapi kalau saya menuruti hati saya maka saya tidak akan bisa menyuburkan jiwa memberi, jiwa memberi harusnya keluar begitu saja, jadi waktu dia meminta uang, saya kirimkan uang itu dan saya kirimkan lebih dari yang dimintanya. Sebab yang terlebih penting adalah menyuburkan jiwa memberi. Jadi sekali lagi kalau kita hanya memberi kepada orang yang kita anggap layak, maka akhirnya kita menempatkan diri sebagai atasan atau bos dan orang ini sebagai bawahan atau pekerja sehingga kita melihat pemberian sebagai upah atas kelayakannya. Ini bukanlah cara yang baik untuk menumbuhkan jiwa memberi. |
GS | : | Ini sudah ada enam faktor yang Pak Paul sampaikan untuk bisa menumbuhkan jiwa memberi, kesimpulan dari semuanya apa, Pak Paul? |
PG | : | Jiwa memberi lahir dari jiwa Tuhan kita Yesus yang penuh dengan kasih karunia, yang memberi kepada kita walau kita tidak selayaknya menerima apapun dari-Nya. Roma 5:8 berkata, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa". Dengan kata lain, Tuhan tidak menunggu sampai kita layak baru Ia bersedia mati untuk kita, Ia mati untuk kita di saat kita tidak layak menerima apapun dari-Nya apa lagi menerima pengorbanan hidup-Nya. |
GS | : | Jadi dasar dari memberi kita memberi memang kita harus melihat Tuhan Yesus sendiri yang sudah memberikan kepada kita yang tidak layak, menerima sesuatu karena ini semata-mata anugerah yaitu keselamatan dan inilah dasar kita bisa memberikan apa yang Tuhan berikan kepada kita kepada orang lain. |
PG | : | Tepat sekali. |
GS | : | Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Jiwa Memberi" bagian yang kedua dan yang terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga![]() |
60. Keterampilan Untuk Mengampuni | |
Ketika kita berdosa dan kita datang mohon pengampunan-Nya, maka dosa kita diampuni. Namun ketika orang bersalah kepada kita, tidak mudah bagi kita memaafkannya apalagi kalau masalahnya begitu sulit untuk dimaafkan. Nah, untuk itu kita harus terus belajar memaafkan, kapan kita harus belajar dan bagaimana kita memelajarinya? Disini diulas mengenai keterampilan memaafkan.
Salah satu karakter yang penting dimiliki adalah KARAKTER PENGAMPUN. Relasi kita dengan Tuhan berpijak pada pengampunan yang dianugerahkan-Nya lewat pengorbanan-Nya di kayu salib. Itu sebabnya, Tuhan Yesus pernah berkata dengan tegas, bila kita tidak mengampuni orang, maka Bapa di surga tidak akan mengampuni kesalahan kita pula. Singkat kata, oleh karena kita telah menerima pengampunan, maka kita pun mesti menjadi orang yang mengampuni.
Pertanyaannya adalah, apakah karakter pengampun adalah suatu karakter yang tumbuh begitu saja—tanpa keterlibatan peran manusia sama sekali? Ternyata, karakter pengampun adalah karakter yang ditumbuhkan oleh Roh Kudus, baik secara internal—melalui Firman Allah—maupun secara eksternal yakni melalui manusia. Dengan kata lain, TUHAN MEMAKAI KITA untuk saling menumbuhkan karakter pengampun. Berikut akan dipaparkan bagaimanakah kita dapat menumbuhkan dan belajar memiliki karakter pengampun.
Oleh karena masa terbaik memelajarinya adalah pada masa kecil, orang yang paling berkesempatan mengajarkannya adalah ORANG TUA. Dan, oleh karena orang tua adalah orang yang paling terlibat dalam diri anak, maka orang tua adalah orang yang PALING BERPENGARUH BESAR dalam pertumbuhan karakter anak.
Orang tua mengajarkan sifat pengampun kepada anak melalui pelbagai cara, salah satu di antaranya dan mungkin yang paling efektif adalah lewat CONTOH LANGSUNG YANG BERKAITAN DENGAN SI ANAK SENDIRI. Misalkan, sewaktu anak melakukan kesalahan, daripada langsung menghukumnya, orang tua dapat menanyakan dengan teliti apa yang terjadi dan mengapa sampai terjadi. Setelah itu orang tua dapat menanyakan perasaan si anak. Jika anak menyatakan penyesalannya, orang tua dapat mengatakan bahwa kesalahannya diampuni dan bahwa ia tidak akan dihukum. Sudah tentu ini tidak berarti bahwa setiap kali anak berbuat kesalahan, orang tua terus membebaskannya dari penghukuman. Adakalanya kita tetap harus memberinya sanksi supaya ia dapat mengembangkan sifat bertanggung jawab.
Sewaktu mengajarkan tentang karakter pengampun, tidak bisa tidak, kita pun mesti menghubungkannya dengan kemarahan dan dendam. Ketika disakiti kita bereaksi marah dan kecenderungan alamiah adalah membalas menyakiti. Kita dapat menjelaskan bahwa reaksi sakit adalah reaksi yang wajar dan manusiawi. Jadi, langkah pertama mengampuni adalah MENGAKUI RASA SAKIT DAN MARAH YANG TIMBUL. Inilah yang perlu disampaikan kepada anak.
Singkat kata kita mesti menekankan kepada anak untuk tidak menyoroti kelemahan orang melainkan lebih memfokuskan pada kebaikannya, untuk tidak cepat marah terhadap sikap orang melainkan berusaha untuk mengerti mengapa ia bersikap seperti itu, serta lebih memberi kesempatan kepada orang untuk belajar dari kesalahannya. Sikap seperti ini akan memudahkan kita untuk mengampuni orang. Sebaliknya bila hati cepat marah dan tersinggung, kritis terhadap kelemahan orang, serta menuntut orang untuk bersikap seperti yang kita inginkan, maka kita pun akan mengalami kesukaran untuk mengampuni.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Keterampilan Untuk Mengampuni". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul di dalam kehidupan ini, seringkali kita bersalah dan tidak jarang kita disakiti oleh orang lain dan disini dituntut supaya kita bisa mengampuni, bahkan di dalam Alkitab banyak ayat yang mengingatkan supaya kita mau mengampuni orang lain yang bersalah kepada kita seperti doa Bapa kami yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Tapi kita terkendala dengan diri kita sendiri untuk bisa mengampuni orang lain. Hal ini bukan sesuatu yang mudah untuk bisa melakukan pengampunan kepada orang lain. Kadang-kadang kita bicara tentang pengampunan tapi untuk mempraktekkannya sulit sekali. Ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Saya setuju dengan pengamatan Pak Gunawan, memang tidak mudah mengampuni orang apalagi kalau perbuatannya itu sungguh-sungguh menyakiti kita. Namun di pihak lain kita juga harus memahami bahwa mengampuni bukanlah sebuah anjuran, mengampuni adalah sebuah perintah, maka Tuhan Yesus dengan tegas berkata, "Bila kita tidak mengampuni orang maka Bapa di surga tidak akan mengampuni kesalahan kita pula". Alasannya jelas yaitu karena relasi kita dengan Tuhan berpijak pada pengampunan yang telah dianugerahkan-Nya lewat pengorbanan-Nya di kayu salib. Jadi dengan kata lain, oleh karena kita telah menerima pengampunan maka kita pun harus menjadi orang yang mengampuni.
GS : Tetapi hal itu tidak secara otomatis terjadi di dalam diri kita, pada saat kita mengaku dosa kita percaya bahwa, "Tuhan sudah mengampuni saya" tapi begitu kita berhadapan dengan sesama kita yang pernah menyakiti hati kita maka tidak secara otomatis kita mengampuni orang itu, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi mengampuni sebetulnya merupakan karya dari Roh Kudus sendiri sebab sebetulnya kalau hanya bergantung pada kekuatan kita sebagai manusia, kita sebetulnya tidak memunyai kapasitas yang terlalu besar untuk mengampuni, untuk hal-hal yang kita anggap kecil maka kita bisa mengampuni tapi untuk hal-hal yang kita anggap besar maka sangatlah sulit untuk kita bisa mengampuni, itu yang saya maksud dengan perkataan bahwa sebetulnya kita tidak memunyai kapasitas yang besar untuk mengampuni, maka pekerjaan mengampuni sebetulnya adalah karya Roh Kudus sendiri di dalam hidup kita, caranya memang yang sering terjadi adalah lewat dua. Yang pertama adalah lewat kekuatan Roh Kudus, lewat misalnya firman Tuhan yang kita baca dan kemudian menegur kita atau memberikan kekuatan kepada kita untuk akhirnya memberikan pengampunan kepada orang yang bersalah kepada kita. Namun cara kedua adalah Tuhan memakai sesama kita dengan kata lain Tuhan memakai manusia untuk menumbuhkan karakter pengampun. Jadi dengan kata lain, ada keterlibatan manusia di dalam hal pengampunan ini dan ada orang-orang yang lebih bisa mengampuni dibandingkan orang lain oleh karena dia telah mendapatkan bentukan untuk lebih bisa mengampuni orang lain sedangkan ada orang-orang yang sangat susah mengampuni orang, kendati dia sudah lahir baru dan percaya kepada Tuhan Yesus, sebab dia tidak mendapatkan kesempatan didikan atau bentukan dari orang tuanya yang dapat membuat dia mengampuni orang.
GS : Bahkan bukan hanya tidak mendapat didikan untuk mengampuni orang tapi bahkan orang-orang di sekeliling kita itu mendidik kita untuk tidak mengampuni orang lain, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi tidak semua lingkungan meninggikan atau mengutamakan sifat pengampun. Kadang-kadang lingkungan tertentu justru mengajarkan atau mengharuskan kita untuk tidak mengampuni malah membalas apa yang dilakukan orang kepada kita. Dengan kata lain, kalau kita tumbuh besar dalam lingkungan seperti itu, tidak akan mudah bagi kita untuk mengampuni tapi kita juga harus meyakini bahwa kalau kita mau belajar dan bersedia mengampuni maka akan ada campur tangan Roh Kudus di dalam hidup manusia untuk memampukannya, pada akhirnya mengampuni orang yang bersalah kepadanya.
GS : Jadi bagaimana caranya untuk menumbuhkan atau bagaimana kita bisa belajar supaya karakter pengampun di dalam diri kita itu bisa bertumbuh dengan baik, Pak Paul.
PG : Sama seperti karakter lainnya, masa terbaik untuk memelajarinya adalah pada masa kecil, pada masa pertumbuhan jiwa masih lunak dan mudah dibentuk. Selain dari itu, apapun yang dipelajari pada masa kecil cenderung bertahan sampai masa dewasa. Namun yang kita juga harus sadari orang tua mesti berperan. Jadi anak-anak tidak dengan sendirinya menumbuhkembangkan sifat pengampun. Orang tua harus terlibat untuk mengajarkannya. Kenapa begitu? Karena orang tua adalah orang yang paling berpengaruh besar dalam pertumbuhan karakter anak. Jadi Tuhan menempatkan kita sebagai orang tua agar dapat menjadi tangan-tangan Tuhan membentuk karakter anak kita sehingga dia lebih mudah mengampuni orang yang bersalah kepadanya.
GS : Contoh konkretnya, bagaimana orang tua mengajarkan pengampunan kepada anaknya, Pak Paul?
PG : Sudah tentu cara yang paling efektif adalah lewat contoh langsung yang berkaitan dengan si anak sendiri. Misalnya sewaktu anak melakukan kesalahan daripada langsung menghukumnya orang tua dapat menanyakan dengan teliti apa yang terjadi dan mengapa sampai terjadi, setelah itu orang tua dapat menanyakan perasaan si anak, jika anak menyatakan penyesalannya, "Kenapa dia begitu, berbuat ini" orang tua dapat mengatakan bahwa, "Kesalahannya diampuni dan bahwa ia tidak akan dihukum". Sudah tentu ini tidak berarti bahwa setiap kali anak berbuat kesalahan, orang tua terus membebaskannya dari penghukuman, adakalanya kita tetap harus memberinya sanksi supaya ia dapat mengembangkan sifat bertanggungjawab, namun untuk dapat mengajarkan anak belajar mengampuni kita harus memulainya dengan cara mengampuni kesalahan yang diperbuatnya.
GS : Kita perlu menekankan pada anak bahwa pengampunan itu sesuatu yang mahal dan bukan gampang diberikan, ini perlu diajarkan kepada mereka baik lewat perkataan atau lewat tindakan nyata kita, Pak Paul.
PG : Kita memang harus apa adanya mengakui bahwa tidak mudah mengampuni, jadi kita mau mengerti bahwa jangan sembarangan menyakiti hati orang atau berbuat seenaknya kepada orang, karena tidak mudah orang mengampuni namun dari pihaknya dia juga perlu belajar bahwa inilah perintah Tuhan, jadi dia harus berusaha untuk pada akhirnya mengampuni orang lain.
GS : Dengan contoh-contoh cerita perbuatan, terutama anak sedini mungkin bisa belajar tentang pengampunan.
PG : Bisa misalnya dia punya adik atau kakak maka sudah tentu akan terjadi konflik, akan ada hal-hal yang dilakukan oleh si kakak atau adiknya yang tidak berkenan kepadanya. Sudah tentu reaksinya adalah sebisanya membalas dan sebagainya itulah kesempatan bagi kita untuk mengajarkan kepada anak untuk mengampuni kakak atau adiknya.
GS : Kalau mau membalas dan sebagainya berarti pengampunan dan kemarahan ini saling terkait, begitu Pak Paul?
PG : Setuju sekali. Jadi sewaktu kita mengajarkan tentang karakter pengampun maka kita menghubungkannya tentang kemarahan dan dendam, ketika disakiti kita bereaksi marah dan kecenderungan alamiah adalah membalas menyakiti, kita bisa menjelaskan bahwa reaksi sakit adalah reaksi yang wajar dan manusiawi. Jadi langkah pertama mengampuni adalah mengakui rasa sakit dan marah yang timbul, inilah yang perlu kita sampaikan kepada anak bahwa sakitnya, marahnya itu adalah hal yang wajar kita tidak memarahi dia karena dia marah, kita tidak memarahinya karena dia merasa tersakiti, tidak seperti itu. Itu adalah perasaan yang wajar, jadi kita tidak mau membuat anak kita memunyai pandangan yang negatif terhadap rasa tersakiti dan marah, itu tidak apa-apa dan wajar tapi pertanyaannya adalah setelah marah dan tersakiti apa yang kita lakukan? Itu yang menjadi pokok bahasan atau ajaran kita bahwa setelah engkau tersakiti dan marah maka langkah berikutnya adalah bukan engkau membalas dia tapi langkah berikutnya adalah mengampuni.
GS : Hal yang tersulit adalah kalau yang menyakiti itu justru orang tuanya sendiri, bagaimana anak ini bisa belajar mengampuni, Pak Paul?
PG : Saya kira kalau orang tuanya tidak memberikan sikap mengampuni anak sewaktu anak salah, itu sendiri menyulitkan anak untuk mengampuni baik orang lain atau orang tua apalagi kalau orang tua itu tidak sensitif, seringkali menyakiti hati anak dan sekalipun tidak pernah meminta maaf dan sebagainya, tidak bisa tidak sikap-sikap seperti ini makin membuat anak makin sulit mengampuni, justru kita akan membuat hati anak kita mengeras seperti batu sehingga dia menjadi anak yang pendendam, kebalikannya dari pengampun.
GS : Tapi terhadap orang lain mungkin dia bisa mengampuni, Pak Paul.
PG : Mungkin dengan orang lain kebalikannyalah yang terjadi misalnya kalau bersalah kepadanya meminta ampun, atau waktu dia bersalah kepada orang lain, orang lain juga mengampuni dia, dia akhirnya belajar untuk saling memaafkan dengan orang lain tapi terhadap orang tua yang tidak mengampuni dia kalau dia berbuat salah, dan kalau orang tua bersalah juga tidak pernah meminta maaf, terhadap orang tuanya mungkin sulit untuk mengampuni.
GS : Jadi kita bisa belajar mengampuni dari orang-orang yang ada di sekeliling kita, begitu Pak Paul?
PG : Bisa dan sudah tentu teman-teman atau anak itu bertumbuh besar dengan lingkungan yang sehat, teman-teman atau guru-guru di sekolah mengajarkan untuk mengampuni dan dia juga menerima pengampunan misalkan dari teman atau gurunya, itu akan bisa sedikit banyak menyeimbangkan kekurangan yang dialaminya di rumah.
GS : Seringkali yang ditanyakan adalah sebenarnya dia sudah mengampuni tapi peristiwa itu sendiri tidak bisa dilupakan. Kemudian yang ditanyakan adalah apakah sudah betul saya mengampuni orang itu, kenapa saya tidak bisa melupakan peristiwa itu?
PG : Kita harus menyadarkan anak-anak kita bahwa apa yang kamu ingat, yang telah terjadi itu akan selalu ada dalam ingatanmu karena ini tidak bisa dihapus. Jadi kita sekali lagi tidak menyalahkan dia karena dia marah, kita tidak menyalahkan dia karena dia tersakiti, kita pun tidak mau menyalahkan dia karena dia mengingat sesuatu yang telah terjadi. Tapi yang kita tekankan adalah tindakan selanjutnya, misalnya tindakan selanjutnya adalah kita meminta anak untuk tidak membalas sebetulnya adalah wujud ketaatan kita kepada perintah Tuhan yang melarang kita untuk membalas, kenapa? Sebab Tuhan telah mengambil alih hak untuk membalas oleh karena Dia adalah satu-satunya Hakim yang adil. Jadi dengan kata lain, hanya Tuhan yang dapat membalas dengan tepat. Ini yang kita ajarkan kepada anak-anak kita, kita juga bisa ajarkan kepada anak-anak kita bahwa Tuhan pun meminta kita untuk menyerahkan masalah pembalasan ini kepada-Nya sebab Dia adalah pembela kita. Kita tekankan kepada anak-anak bahwa Tuhan tidak kenal diam dan dia pasti bertindak, lewat semua ini jadinya kita mendorong anak untuk belajar menahan diri dan menyerahkan kemarahan serta keinginannya untuk membalas kepada Tuhan. Jadi sekali lagi kita tekankan, kita tidak menyalahkan anak karena dia marah tersakiti karena dia ingat tindakan orang yang tidak baik itu kepadanya, tapi kita tidak menyalahkan itu, kita hanya menyampaikan tindakannya setelah itu, itu yang penting dan itu yang harus dia kendalikan tidak boleh membalas dan kita justru harus menyerahkan hak pembalasan ini kepada Tuhan sendiri.
GS : Tapi kita harus mengajarkan hal ini dengan sebijaksana mungkin karena mungkin membuat anak menunggu-nunggu, "Kenapa tidak dibalas-balas oleh Tuhan" seolah-olah dia menuduh kita berbohong walaupun kita sudah menunjukkan ayatnya di dalam Kitab Suci dan Tuhan sendiri yang bicara, tapi anak ini menanti-nantikan, "Tuhan tidak membalas-balas".
PG : Akhirnya kita harus berkata kepada anak bahwa kita tidak selalu melihat Tuhan membalas karena kita tidak hidup dengan orang tersebut. Yang kedua adalah Tuhan tidak selalu membalas dengan cara-cara yang kita inginkan. Misalkan dalam bayangan seorang anak seharusnya Tuhan membalas dengan misalkan anak itu naik sepeda dan terjatuh, tidak selalu Tuhan menggunakan cara yang dipikirkan oleh manusia. Jadi kita tekankan itu kepada anak-anak, "Tuhan akan bertindak", kita ingatkan dia, "Jangan khawatir Dia adalah Allah yang adil, Dia Hakim yang paling tahu hukuman yang tepat dan Dia adalah Pembela kita, sewaktu kita tidak membalas Dia adalah pembela kita", tapi caranya harus diserahkan kepada Tuhan, kapannya juga serahkan kepada Tuhan dan kita tidak boleh menunggu-nunggu kapan Tuhan membalaskannya, jadi kita percayakan dan Tuhan nanti bisa mengurus itu.
GS : Sebaliknya ada anak yang mengalami hal itu lalu berkata, "Saya sudah mengampuni dia dan kenapa dia harus menghukum dia lagi.
PG : Kalau dia berkata, "Saya sudah mengampuni tapi Tuhan menghukumnya lagi" maka kita bisa ajak anak ke tahap berikutnya yaitu meminta dia untuk berdoa bagi orang yang telah bersalah kepadanya atau menyakiti dia. Tuhan Yesus memerintahkan di Matius 5:44, "berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" jadi benar-benar tidak ada ajaran Tuhan untuk kita membalas orang yang bersalah kepada kita, tapi justru Tuhan Yesus meminta kita berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Jadi kita jelaskan kepada anak-anak bahwa berdoa adalah awal sekaligus kekuatan untuk mengampuni. Jadi selalu mulai dengan berdoa, termasuk mendoakan orang yang telah melukai kita. Dalam percakapan dengan anak kita dapat menanyakan apakah ada orang yang telah melukainya, jika ada kita ajak dia untuk berdoa bagi teman atau orang tersebut.
GS : Isi doanya ini yang kadang-kadang sebagai anak terlalu polos mendengar bahwa Tuhan akan membalas doanya adalah permintaan supaya Tuhan membalas anak ini.
PG : karena inilah yang kita ajarkan kepada dia bahwa hak membalas itu bukan miliknya tapi milik Tuhan jadi kalau dia berdoa dan meminta Tuhan yang membalaskan maka saya akan izinkan dan saya katakan, "Ini langkah yang baik dan Tuhan minta, hak membalas adalah milik Tuhan jadi serahkan biar Tuhan yang balaskan". Jadi kalau dia berdoa seperti itu biarkan. Itu adalah langkah pertama yang penting yaitu anak belajar menyerahkan urusan sakit hatinya kepada Tuhan supaya Tuhan yang menyelesaikan dan bukan dia yang menyelesaikan. Jadi sekali lagi ini bukanlah sesuatu yang membuat orang tua memarahi dia, "Kenapa kamu berdoa minta Tuhan balas dan sebagainya" anak akan bingung, "Tadi disuruh untuk menyerahkan kepada Tuhan biar Tuhan yang membalas", jadi orang tua harus konsisten.
GS : Tapi terkesan kejam, Pak Paul. Karena tahu kalau Tuhan membalas, balasannya ini jauh lebih hebat daripada apa yang anak itu lakukan sehingga orang tua merasa tidak pantas membiarkan anak berdoa seperti itu.
PG : Justru ini adalah langkah yang penting harus dilewati oleh anak adalah justru lewat langkah menyerahkan urusan pembalasan ini kepada Tuhan, dari sini barulah anak nanti bisa belajar mengampuni dengan sejati, dengan setulus-tulusnya dan sebenar-benarnya. Maksud saya, kadang kita sebagai orang tua terlalu cepat menyuruh anak mengampuni sehingga melompati satu fase yang perlu yaitu fase menyerahkan kemarahannya dan keinginannya untuk membalas menyerahkan itu kepada Tuhan, karena anak-anak tidak kita ijinkan untuk marah dan kecewa atau tersakiti. Jadi kita paksa dia untuk lompat dan masuk ke dalam fase harus mengampuni. Masalahnya adalah rasa tersakiti, marahnya dan keinginannya untuk membalas adalah hal yang nyata yang dialami oleh si anak. Jadi kalau kita seolah-olah sapu bersih padahal masih ada, takutnya saya adalah ketika dta berkata, "Baiklah saya ampuni" takutnya saya adalah keterpaksaan dan yang nomor dua adalah tidak rela sama sekali dalam pengertian dia sebetulnya hanya melakukan karena disuruh oleh orang tuanya sehingga akibatnya dia tidak begitu mengerti artinya pengampunan sebab disaat itu dia akan berkata, "Baik saya ampuni" tapi hatinya masih marah benci dan ingin berbuat sesuatu. Jadi sebaiknya kita tidak melompatkan anak lewat fase yang tadi itu, biarlah anak melewati fase yang berikutnya yaitu mengakui kemarahannya, mengakui dia telah tersakiti, mengakui keinginannya untuk membalas namun menyerahkannya kepada Tuhan dan minta Tuhan yang nanti bertindak kepada orang yang telah menjahatinya itu. Setelah dia masuk ke tahap itu misalkan dia sudah lebih besar dan sebagainya kita bisa ajak dia untuk berdoa bagi orang yang telah menyakitinya. Waktu dia mulai bisa berdoa, kita akan berkata, "Tuhan seharusnya Engkau balas dia, tapi kalau Engkau berkenan Engkau ampuni dia" maka lama kelamaan dia bisa berdoa seperti itu, berarti dia sungguh-sungguh mengerti arti mengampuni.
GS : Seperti doa Tuhan Yesus sendiri yang berkata, "Ampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat".
PG : Betul sekali. Jadi kita lihat Tuhan Yesus bukanlah orang yang sama sekali tidak pernah marah sewaktu Dia menjadi manusia di bumi ini, Dia pernah marah bahkan menjungkirbalikkan meja para pedagang di bait Allah, jadi Dia bisa marah tapi Dia bisa mengampuni pula.
GS : Untuk bisa mengampuni seseorang 'kan dibutuhkan kasih yang dari Tuhan, tanpa itu saya rasa sulit untuk kita bisa mengampuni orang lain, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi ujung-ujungnya atau satu-satunya cara untuk bisa menggantikan kemarahan dan dendam dengan pengampunan adalah kasih, sehingga kalau kita hanya fokus pada bagaimana mengampuni mungkin tidak akan berhasil. Jadi yang harus kita gali dan kembangkan adalah hati yang penuh kasih. Di Matius 5:45, firman Tuhan mengingatkan kita tentang kasih Allah yang tak terbatas, di sini dikatakan, "Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." Ini mencerminkan kasih Allah begitu besarnya sehingga kasih Allah itu memungkinkan semua orang baik orang baik atau jahat untuk menerima sinar matahari, untuk menerima curahan air hujan, sekali lagi menunjukkan kasih Allah tak terbatas dan inilah yang Tuhan inginkan dari kita yakni pada akhirnya memiliki hati yang mengasihi.
GS : Jadi disini perlu diajarkan kepada anak bagaimana melihat seseorang itu dari sisi positifnya, baiknya orang itu dan bukan dari kekurangannya atau dari hal-hal yang jahat yang dia lakukan, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Dengan cara itu kita sebetulnya sedang mengajarkan anak untuk mengasihi sebab kasih itu tidak hanya melihat kekurangan, justru kasih itu menitik beratkan pada kekuatan orang atas kebaikannya. Jadi kita bisa misalkan mendorong anak untuk tidak cepat marah terhadap sikap orang melainkan berusaha mengerti mengapa dia bersikap seperti itu dan lebih memberi kesempatan kepada orang untuk belajar dari kesalahannya. Sikap-sikap seperti ini yang akan memudahkan kita untuk mengampuni orang.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Keterampilan Untuk Mengampuni". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
61. Keterampilan Untuk Memahami | |
Memahami orang lain bukanlah hal yang mudah, karena dituntut untuk bisa memahami pemikiran dan perasaan seseorang. Kendati sulit, keterampilan ini sangatlah dibutuhkan untuk membangun suatu relasi yang sehat dan langgeng. Untuk itu disini dipaparkan bagaimana cara memahami yang benar dan mudah diterapkan
Salah satu keterampilan penting yang mesti dikuasai dalam hidup adalah keterampilan untuk memahami. Yang saya maksud dengan keterampilan untuk memahami adalah kemampuan untuk MENGERTI PEMIKIRAN DAN PERASAAN ORANG. Singkat kata, keterampilan ini memungkinkan kita untuk menempatkan diri dalam posisi dan diri orang sehingga kita bukan saja dapat mengerti alam pemikirannya, tetapi juga alam perasaannya.
Inilah keterampilan yang kerap disebut sebagai keterampilan untuk BEREMPATI. Tanpa kemampuan untuk memahami, mustahil buat kita MEMBANGUN RELASI yang sehat dan langgeng. Itu sebabnya penting bagi kita untuk mengerti, bagaimanakah caranya menumbuhkan keterampilan untuk memahami.
Kesimpulan : Keterampilan untuk memahami adalah keterampilan yang penting bukan saja untuk membangun relasi yang sehat dan langgeng tetapi juga untuk MENUMBUHKEMBANGKAN SIFAT BERBELAS KASIHAN. Tanpa keterampilan untuk memahami, mustahil kita dapat berbelas kasihan atas penderitaan sesama. Firman Tuhan di Roma 15:1 mengingatkan, "Kita yang kuat wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan sendiri."
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Keterampilan Untuk Memahami". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Didalam kita bersosialisasi, berhubungan dengan banyak orang, tentu dibutuhkan banyak keterampilan, kemampuan supaya kita bisa berkomunikasi, berinteraksi dengan baik dan salah satunya adalah memahami orang lain dan ini yang sulit karena kita pada dasarnya selalu menuntut untuk dipahami. Dan kita mau memperbincangkan tentang bagaimana menumbuhkan atau membangun suatu keterampilan dalam diri kita untuk bisa mamahami orang lain. Hal-hal apa yang kira-kira ingin Pak Paul sampaikan kepada kami?
PG : Saya ingin menggaris bawahi yang Pak Gunawan katakan tadi bahwa ini adalah keterampilan yang penting yang harus dikuasai dalam hidup yaitu mengerti pemikiran dan perasaan orang lain, sebab keterampilan ini memungkinkan kita untuk menempatkan diri dalam posisi orang, sehingga kita bukan saja dapat mengerti alam pemikirannya tapi juga alam perasaannya. Mungkin kita dalam pergaulan sehari-hari pernah mendengar istilah berempati. Inilah yang dimaksud dengan berempati, yaitu memahami dan mengerti pemikiran dan perasaan orang lain. Ini adalah hal yang sangat penting sebab inilah keterampilan yang dibutuhkan untuk membangun relasi yang sehat dan langgeng, tanpa keterampilan memahami kita tidak mungkin bisa membangun sebuah relasi yang sehat dan langgeng.
GS : Pak Paul, apakah memang betul kita hanya berempati kepada orang yang sedang mengalami musibah atau menderita sakit dan seterusnya, tapi bagaimana dengan orang-orang yang tidak mengalami itu semua, artinya sehat-sehat saja dan biasa-biasa saja, apakah kita perlu berempati juga kepadanya?
PG : Sebetulnya berempati itu sangat diperlukan waktu kita bersama dengan orang yang sedang berduka, karena pada saat-saat itu orang yang berduka membutuhkan sekali kesensitifan dari pihak kita untuk bisa mendampinginya, menghiburnya dan itu diperlukan kemampuan untuk bisa berempati, mengerti alam pemikiran dan perasaannya. Namun sudah tentu tidak hanya dalam konteks kita ini menghibur orang yang sedang berduka, tapi berempati ini juga adalah keterampilan yang diperlukan di dalam situasi kehidupan yang lain misalnya di dalam konteks kita bersilang pendapat dengan pasangan kita. Misalnya istri kita tidak setuju dengan sesuatu yang kita telah kemukakan, berempati diperlukan dalam artian kita mesti memahami alam pemikirannya kenapa dia tidak setuju, atau misalkan suami kita marah waktu kita berkata sesuatu. Penting bagi kita berempati dalam pengertian, mengerti alam perasaannya kenapa dia sampai marah dan apa yang telah kita katakan atau lakukan yang membuat dia beranggapan misalnya kita sengaja mau menyakiti hatinya dan sebagainya. Sekali lagi dalam konteks kehidupan yang lain pun keterampilan berempati juga dibutuhkan.
GS : Bagaimana caranya kita menumbuhkan empati di dalam diri kita, Pak Paul?
PG : Hal pertama yang harus kita ketahui adalah sesungguhnya keterampilan untuk memahami bukan sepenuhnya berasal dari asahan lingkungan, dengan kata lain sama dengan keterampilan lainnya, faktor bawaan atau lahiriah berperan besar dalam keterampilan ini. Jadi ada orang yang memang lahir dengan kemampuan alamiah yang kuat untuk dapat memahami dan ada orang yang memang memiliki modal yang relatif kecil untuk dapat memahami. Jadi saya tidak mau menyangkal adanya faktor lahiriah ini. Jadi semua orang tidak sama kemampuannya dalam hal memahami.
GS : Jadi itu sama dengan perasaan mengasihi yang tidak semua orang bisa sama?
PG : Ada orang yang lebih cepat merasa iba atau merasakan apa yang diderita oleh orang lain dan ada orang-orang yang bawaannya lebih sulit iba atau sulit untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
GS : Tapi masih bisa dipelajari, Pak Paul?
PG : Jadi hal yang harus kita ketahui yang kedua adalah kita masih bisa memelajarinya, sama seperti keterampilan lainnya, keterampilan memahami dapat dikembangkan walaupun pada akhirnya kwalitas masing-masing pribadi untuk memahami tidak sama, namun meskipun tidak sama dan memang mungkin tidak dapat mencapai kwalitas tertinggi, pada akhirnya kemampuan untuk memahami bahkan pada kadar yang rendah pun sudah cukup untuk membangun relasi yang sehat dan langgeng. Dengan kata lain saya berikan contoh, mungkin untuk menjadi seorang konselor dibutuhkan kwalitas memahami yang tinggi. Tapi untuk membangun relasi di antara teman hanya dibutuhkan kwalitas kemampuan untuk memahami yang lebih rendah atau lebih bersahaja. Jadi tidak semua orang dituntut untuk memunyai kemampuan memahami yang sangat-sangat tajam dan dalam, yang penting adalah kita sanggup melihat, "Kenapa dia berpikiran demikian, apa yang sebetulnya ada dalam isi hatinya, apa yang sedang dirasakannya, dan kenapa dia merasa seperti itu?" Itu adalah kemampuan mendasar dan itu yang diperlukan oleh semua orang.
GS : Jadi sebenarnya berempati ini lebih mudah kita lakukan pada orang-orang yang dekat dengan kita dalam arti keluarga atau dengan orang lain, Pak Paul?
PG : Seharusnya yang dekat dengan kita lebih mudah, karena kita akan lebih mengerti alam pemikirannya, kita lebih sering berinteraksi dengan dia dan karena kita juga dekat maka kita sering berbagi perasaan dengan dia. jadi seharusnya dengan pasangan kita, terhadap anak kita, kita lebih memunyai kemampuan untuk dapat berempati.
GS : Tadi Pak Paul singgung tentang menjadi konselor, ada konselor yang lebih mudah memahami kliennya daripada keluarganya sendiri.
PG : Betul. Kenapa begitu? Saya sudah singgung dua hal itu, yang pertama adalah faktor bawaan yang memang dikaruniakan kemampuan yang sangat kuat untuk dapat memahami alam pemikiran orang dan alam perasaan orang. Itu faktor yang pertama dan faktor yang kedua sudah tentu konselor lebih terlatih, karena dalam pendidikan hal itu adalah hal yang penting dan seringkali diajarkan dan ditekankan sehingga mereka lebih terasah di dalam hal ini, sedangkan orang yang biasa-biasa dan tidak bertugas sebagai konselor tidak selalu dituntut untuk terus memahami alam perasaan dan pemikiran orang lain sehingga kalau bawaannya tidak begitu kuat maka sudah tentu kemampuan dia juga tidak terlalu kuat.
GS : Dengan kata lain, kalau kita sering berempati maka makin terasahlah empati kita, begitu Pak Paul?
PG : Betul sekali. Jadi orang yang mau belajar dan benar-benar mau mengerti alam pemikiran pasangannya, anaknya, dia akhirnya akan belajar dan lebih mampu untuk berempati.
GS : Sebenarnya sejak kapan orang harus dilatih berempati, Pak Paul?
PG : Sama seperti keterampilan sosial lainnya, keterampilan untuk memahami paling efektif diajarkan pada masa belia atau muda. Pada umumnya anak kecil jauh lebih mudah dan tanggap untuk belajar. Jadi masa kecil adalah masa terbaik untuk menumbuhkan keterampilan untuk berempati.
GS : Masa kecil ini sekitar umur berapa yang Pak Paul usulkan?
PG : Saya kira mulai anak umur 2 tahunan, karena anak umur 2 tahun sudah mulai bisa mengeksplorasi lingkungannya, kita sudah mulai mengajarkan, "Jangan ini nanti begini, jangan pukul anjing ini nanti anjing ini marah" kita mulai berkata seperti itu pada anak-anak usia 2 tahunan. Kalau masih ada kesempatan paling lambat sampai anak itu lulus SMA, jadi kita harus terus tanamkan dan sudah tentu pada masa kecil harus lebih intens, kalau anak remaja sudah sering keluar dan akan berkurang intensitasnya. Tapi kalau bisa sampai usia remaja atau setidaknya usia SD, 12 atau 13 tahun.
GS : Jadi peran orang tua itu besar sekali, Pak Paul?
PG : Betul sekali, karena orang yang pertama dikenal anak adalah orang tua dan orang yang paling banyak terlibat dalam kehidupannya adalah orang tua. Jadi orang tua adalah guru yang paling efektif untuk mengajarkan keterampilan untuk memahami walaupun peran orang lain juga tidak kecil namun tetap porsi terbesar adalah orang tua sendiri.
GS : Selain orang tua, biasanya siapa yang bisa mengajarkan empati di rumah?
PG : Saya kira misalkan kalau di rumah ada pamannya, ada kakek neneknya mereka juga bisa berperan atau di luar rumah yang juga berperan nantinya adalah guru-guru sekolah dan guru-guru Sekolah Minggu, dan pada waktu mereka remaja adalah sesama teman sudah mulai mengasah keterampilan empati ini. Di usia remaja teman-teman akan berkata, "Kamu kok bilang ini dengan yang ini, kamu harus sadar omongan kamu melukai hati dia" ini adalah bentuk asahan atau proses pembelajaran pada anak-anak remaja untuk lebih bisa berempati.
GS : Kalau di rumah yang menjadi kesulitan adalah orang tua itu sendiri juga sulit untuk berempati dengan orang lain?
PG : Kalau memang orang tuanya sendiri kesulitan berempati, saya bisa bayangkan dia juga akan sulit mengajarkan bagaimana berempati atau memahami alam pemikiran dan perasaan orang lain kepada anak-anaknya sendiri, itu betul.
GS : Karena empati ini tidak hanya diajarkan secara lisan, tapi juga harus diperagakan dengan nyata supaya anak melihat sebenarnya bagaimana berempati itu.
PG : Betul sekali. Jadi sama seperti keterampilan sosial lainnya, keterampilan untuk memahami paling tepat diajarkan lewat contoh kehidupan yang konkret, jadi orang tua harus mendemonstrasikan keterampilan untuk memahami lewat situasi kehidupan yang nyata, baik yang berkaitan dengan anak itu sendiri atau dengan orang lain. Jadi saya berikan contoh misalnya ketika akan mendapatkan nilai ujian yang tidak memuaskan, orang tua dapat menanyakan, "Apa penyebabnya dan berusaha memahami kesulitan anak tanpa menghukumnya. Jika hal seperti ini terjadi berulang kali, maka secara alamiah anak pun mulai mencontoh tindakan orang tuanya sewaktu diperhadapkan dengan situasi kehidupan yang serupa.
GS : Seringkali orang tua tidak mengajarkan sifat empati karena dianggap tidak ada gunanya malah merugikan bagi si anak atau mereka sendiri sebagai orang tua, karena ini memberikan perhatian dan sebagainya, sedangkan yang diajarkan adalah sebaliknya dari itu.
PG : Betul. Jadi kadang-kadang kita sebagai orang tua terlalu sibuk, daripada mengajarkan proses, maka kita langsung kepada hasil akhirnya. Misalnya kita melihat anak kita itu bersitegang dengan kakaknya soal mainan, dia sudah memainkan mainan ini cukup lama dan kakaknya meminta dan tidak diberi. Karena kita sudah repot maka yang seringkali kita lakukan adalah memerintahkan si anak untuk memberikan mainan itu kepada kakaknya. Kita akhirnya tidak memunyai waktu untuk menjelaskan prosesnya yang dapat justru menjadi sebuah pelajaran yang baik buat si anak untuk berempati misalnya kita bisa berkata, "Coba kamu sendiri bayangkan kalau kakakmu yang memainkan mainan ini mulai pagi sampai siang dan kamu memintanya untuk meminjam dan dia tidak berikan, bagaimana perasaanmu? Kamu pasti akan marah dan tidak suka sebab kamu melihat kakak sudah bermain begitu lama dan ini yang sekarang kakakmu rasakan dan tidak kamu beri mainan kepada dia sedangkan kamu sudah memainkannya begitu lama." Tapi sekali lagi saya harus katakan kita tidak selalu sempurna sebagai orang tua, jadi kadang-kadang karena kita sudah sibuk dan kita lalai menjelaskan proses ini dan sebetulnya inilah proses yang baik untuk dijelaskan supaya anak belajar untuk berempati.
GS : Tadi Pak Paul katakan ada kakak dan adik terlibat dalam proses pembentukan empati seorang anak.
PG : Tepat sekali. Jadi anak-anak itu bisa belajar bukan saja lewat pengalaman pribadinya sewaktu orang tua menjelaskan atau orang tua itu memahami kesulitan anak tanpa menghakimi, tapi juga waktu orang tua mendemonstrasikan kemampuan untuk memahami dalam situasi yang lain dengan orang lain, misalnya dengan kakak atau adiknya, ayah atau ibunya. Misalnya si anak itu melihat bahwa kakaknya itu berbuat sesuatu yang tidak berkenan kepada orang tuanya, orang tuanya itu tidak langsung memarahi tapi bertanya dulu kepada si kakak, "Kenapa dia begini dan begitu?" Kemudian barulah memberikan sanksi, maka si anak akan berusaha memahami kakaknya sebelum memberikan tindakan kepada si kakak, ini menjadi pengalaman pembelajaran bagi si anak bahwa lain kali kalau saya menghadapi situasi orang berbuat sesuatu yang tidak berkenan kepada saya, saya harus mencari tahu kenapa dia begini dan begitu, baru saya nanti bersikap kepadanya. Jadi anak-anak yang dari kecil melihat langsung bagaimana orang tua berempati kepadanya dan bagaimana orang tua juga berusaha memahami kakak atau adiknya, akan diperkaya dengan kemampuan ini.
GS : Tapi itu pun orang tua harus memerlakukan anaknya ini sama, kalau terhadap kakaknya dia bertanya dulu, mengerti dulu tapi tidak terhadap adiknya maka ini menimbulkan suatu kegalauan bagi anaknya.
PG : Betul. Jadi anak-anak harus melihat kita sebagai orang tua yang konsisten, kita memerlakukan pendekatan yang sama kepada semuanya.
GS : Dengan cara bagaimana lagi seseorang itu belajar empati, Pak Paul?
PG : Saya berikan contoh lagi, orang tua bisa mengajarkan keterampilan untuk memahami kepada anak melalui apa yang dialami oleh si anak misalnya si anak mengadu dia dikucilkan oleh teman-temannya, mungkin kita bisa mengajarkan kepadanya untuk melihat dirinya dari kacamata temannya, kita dapat menanyakan apakah yang mereka katakan tentang penyebab "mengapa mereka tidak mau berteman dengannya?" Bila ia menjawab misalnya bahwa teman-teman menuduhnya egois maka kita bisa menanyakan kepadanya alasan kenapa mereka sampai menuduhnya egois, lewat pembicaraan seperti inilah kita dapat mengajak anak untuk melihat dirinya dari sudut pandang orang lain. Jadi tidak hanya dia melihat semua dari kacamata dia, anak-anak atau teman-teman mengucilkan dia, maka dia perlu melihat dari kacamata teman-temannya kenapa mereka sampai tidak mau bermain dengannya.
GS : Berempati itu berarti dia harus berada pada posisi orang lain dan itu berarti secara tidak langsung menyangkali dirinya sendiri yang berada pada posisi yang berseberangan dengan orang itu, ini bagaimana?
PG : Ini poin yang baik. Jadi inilah sebetulnya keterampilan yang dibutuhkan supaya anak juga belajar untuk tidak terlalu memikirkan kepentingannya sendiri saja. Jadi anak perlu belajar menempatkan dirinya pada posisi orang lain, anak yang tidak pernah belajar berempati akhirnya bertumbuh besar menjadi anak yang egois dan selalu hanya memikirkan kepentingannya dan tidak memikirkan kepentingan orang sebab dia tidak terbiasa menempatkan diri pada posisi orang lain. Jadi apa pun yang diinginkannya dia harus dapatkan, apapun yang dia perintahkan orang harus lakukan. Ini adalah bibit-bibit yang kalau tidak dikondisikan atau dipoles, bisa benar-benar menjadi bibit-bibit keegoisan dan nanti si anak bisa bermasalah dengan teman-temannya, dan setelah dia besar dan menikah dapat dipastikan dia akan menjumpai masalah dengan pasangannya karena pasangannya akan merasa, "Istri atau suami saya luar biasa egois dan tidak bisa memikirkan kepentingan saya".
GS : Tapi dia sendiri belum tentu sadar kalau dia sendiri egois dalam hal ini.
PG : Betul. Jadi ada orang-orang yang tidak terbiasa berempati, tidak merasa kalau dirinya egois, dia hanya berkata, "Saya melihatnya begini dan berpikirnya begini" tapi dia tidak bisa berpikir dari kacamata orang, tidak bisa turut merasakan sesuatu dari perasaan orang, itu yang dia tidak mampu lakukan.
GS : Kalau Pak Paul tidak keberatan, apakah Pak Paul punya pengalaman dalam berempati ini?
PG : Saya kira salah satu yang saya ingat sewaktu saya masih kecil adalah saya pernah melihat ada orang jatuh pingsan di depan rumah kami dan saya masih ingat mama saya diberitahukan ada orang jatuh pingsan di depan rumah kami dan tetangga yang lain keluar menolong orang tersebut dan saya masih ingat sekali mama saya masuk ke dalam dan kemudian mengambilkan susu hangat dan memberikan kepada orang itu sebab orang itu pingsan tidak lama dan kemudian dia siuman kembali dan saya masih ingat mama saya memberikan air susu hangat itu kepadanya. Waktu saya melihat hal itu, saya masih kecil dan saya tidak bisa mencernanya tapi apa yang saya saksikan itu meninggalkan bekas di hati saya bahwa kalau orang kesusahan kita harus berbuat sesuatu untuk menolongnya, dan cukup sering keluarga kami, orang tua saya memanggil misalnya pedagang atau apa, saya ingat ada seorang pedagang sate babi yang suka datang dan memang kelihatan susah sekali atau dalam kemiskinan yang dalam. Saya masih ingat mama saya sering panggil dia untuk beli meskipun kadang-kadang sudah ada makanan, tapi saya tahu sengaja membelinya untuk menolong dia. Hal-hal seperti itu meskipun mama saya tidak berkata, "Anak-anak inilah pelajaran tentang berempati" tidak seperti itu. Tapi waktu kami menyaksikannya kami menjadi belajar bahwa kita harus menempatkan diri pada posisi orang yang susah dan kita harus berusaha menolong orang yang susah dan hal kecil seperti itu dicatat oleh anak dan akhirnya menolong anak-anak bertambah besar untuk memiliki kemampuan untuk memahami alam pemikiran dan perasaan orang lain pula.
GS : Jadi berempati ini diawali dengan suatu kepedulian yang besar terhadap seseorang, begitu Pak Paul?
PG : Betul sekali. Jadi pada akhirnya buah dari empati dari kemampuan memahami alam perasaan dan pemikiran orang lain adalah belas kasihan. Kalau kita memang tidak memunyai kemampuan memahami perasaan dan pemikiran orang maka sulit sekali bagi kita untuk bisa akhirnya berbelas kasihan kepadanya dan ini kita lihat dengan sangat jelas pada contoh Tuhan Yesus yang sangat mempedulikan orang lain. Dia selalu hatinya tergerak oleh belas kasihan sebab dia menempatkan dirinya pada diri orang-orang yang dilayani-Nya bahwa mereka orang yang susah dan tertindas. Jadi belas kasihan itu selalu ada dalam hati-Nya.
GS : Mungkin ada cara lain untuk membangkitkan empati ini dalam diri seorang anak, Pak Paul?
PG : Misalnya orang tua dengan sengaja memilih membahas sebuah topik tentang berempati. Sebagai contoh, sewaktu kita tengah membahas atau membicarakan tentang hari Natal, kelahiran Tuhan kita Yesus di dunia ini, kita bisa misalkan membicarakan tentang tindakan Raja Herodes Agung yang memerintahkan pembunuhan anak-anak berusia 2 tahun ke bawah setelah mendengar bahwa Tuhan Yesus telah dilahirkan dan dia tidak mau Tuhan nanti mengambil takhtanya sebagai raja. Karena dia tidak tahu dimanakah bayi Yesus dilahirkan maka dia memutuskan membunuh semua anak yang berusia dua tahun ke bawah yang tinggal di kota Betlehem. Kita bisa menjelaskan bahwa raja adalah seorang pribadi yang tidak punya keterampilan untuk memahami, dia tidak mengerti pemikiran dan perasaan orang tua yang harus kehilangan anaknya sewaktu anak itu dibunuh. Sebab dikarenakan sifat egoisnya belaka yang tidak ingin kehilangan takhtanya, jadi supaya dia tetap bisa menguasai takhta dia tidak segan segan menghabisi nyawa anak-anak kecil dan tidak memedulikan perasaan orang tua yang harus kehilangan anak-anaknya. Disini kita melihat sebuah keterkaitan yang erat antara keterampilan memahami perasaan dan pemikiran orang dan belas kasihan. Kita melihat Herodes yang tidak bisa mengerti perasaan orang karena dia egois, apa yang terjadi pada dirinya? Dia kehilangan belas kasihan. Jadi orang tua harus benar-benar melihat betapa pentingnya kemampuan memahami karena nantinya dari sinilah akan muncul kemampuan untuk berbelas kasihan. Inilah sebuah karakter yang sangat-sangat disenangi oleh Tuhan kita.
GS : Sebenarnya ini juga merupakan anugerah atau perlindungan Tuhan terhadap umat manusia, bisa kita bayangkan kalau orang tidak lagi mampu berempati terhadap sesamanya, dunia ini bisa rusak.
PG : Betul sekali. Dan kecenderungan manusia adalah hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri sehingga kalau orang tua lalai mengajarkan ini akhirnya makin banyak orang-orang di dunia ini yang tidak memikirkan kepentingan orang lain dan tidak bisa lagi berbelas kasihan kepada mereka.
GS : Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul bisa menyimpulkan apa yang telah kita perbincangkan tentang keterampilan untuk memahami orang lain?
PG : Firman Tuhan di Roma 15:1 berkata, "Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri." Jadi perintah Tuhan sangat jelas bahwa kita harus menolong orang dan untuk bisa menolong orang diperlukan belas kasihan, dan untuk bisa berbelas kasihan diperlukan kemampuan berempati atau memahami perasaan atau pun pemikiran orang lain dan dengan modal yang sama inilah baru kita bisa berkata, "Baiklah saya tidak akan mendahulukan kesenangan saya tapi saya akan bisa mendahulukan kepentingan orang lain". Semua ini bersumber dari satu itu saja yaitu kemampuan untuk memahami.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Keterampilan Untuk Memahami". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
62. Gaya Hidup Sehat 1 | |
Ada sebelas cara untuk memiliki gaya hidup sehat, lima di antaranya adalah ambil tanggungjawab, buanglah sampah hati dan jagalah hati tetap bersih, kenali dan terima keterbatasan diri, hargai dirimu, carilah pertolongan. Apa lagi sisanya? Bagaimana pengulasannya? Ikutilah penjabaran lengkapnya.
Sebagai orang yang percaya kepada Kristus, memiliki gaya hidup yang sehat ternyata sangatlah penting. Karena gaya hidup yang sehat bukan hanya memberikan pengaruh pada diri pribadi namun pada pribadi orang di sekitar kita pula.
Untuk itu gaya hidup sehat yang disarankan antara lain :
Kata "bertanggungjawab" dalam bahasa Inggris adalah "responsibility": the ability to choose your response. Kemampuan untuk memilih tanggapan. Jika kita mau menjadi pribadi yang sehat maka kita akan mendayagunakan kemampuan kita dalam memilih tanggapan.
Dalam tiap situasi hidup, selalu ada ruang untuk memilih tanggapan kita. Maka sebenarnya kita memilih apakah akan menyerahkan diri pada situasi kondisi yang di luar atau kita akan bersikap dan bertindak berdasarkan apa yang kita yakini benar. Pribadi yang sehat akan memilih bersikap dan bertindak berdasarkan apa yang diyakini benar.
Seseorang yang terbiasa menyimpan dan mengendapkan sampah dalam hatinya, tanpa disadarinya bau busuk dan tak sedap dalam hatinya juga akan tercium orang-orang di sekitarnya, lewat sikap dan pernyataan-pernyataannya yang sumbang, negatif dan bahkan mungkin menyakiti orang lain.
Langkah untuk membuang sampah dan menjaga hati tetap bersih:
Kita hidup memiliki berbagai keterbatasan, baik itu keterbatasan yang kita bawa sebagai manusia pada umumnya, keterbatasan karena ketidaksempurnaan kondisi fisik, intelektual, emosi dan kejiwaan, baik karena bawaan sejak lahir mau pun karena proses kehidupan yang tidak sempurna.
Dalam hidup kita perlu mengoptimalkan diri, namun ada batas-batas yang jika kita lampaui membuat kita mengalami hidup yang tidak seimbang dan bisa jatuh sakit, baik sakit secara fisik mau pun sakit secara mental.
Langkah-langkah untuk membangun gaya hidup sehat berkenaan dengan keterbatasan diri:
Orang yang menghargai dirinya ada rasa percaya dan respek pada diri, ada rasa kasih dan hormat pada diri dari dalam ke luar.
Cara membangun penghargaan terhadap diri:
Pertama, dasar yang kokoh untuk menghargai diri adalah peganglah perkataan Firman Tuhan yang menghargai diri kita (Roma 6:5-8 dan I Petrus 1:19)
Kedua, kenali keunikan-keunikan yang kita punyai seperti bakat, kekuatan kepribadian, proses dan pengalaman hidup, latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja, karunia rohani.
Ketiga, tepislah usaha untuk membanding-bandingkan diri, yang bisa menjerumuskan kita untuk merasa angkuh atau sebaliknya, rendah diri.
Orang yang sehat bukanlah orang yang sempurna dan tidak memiliki kelemahan melainkan orang yang ketika dalam posisi terpuruk, bersedia mencari pertolongan.
Mencari pertolongan secara medis, karir dan finansial, sudah diterima secara luas, sebagai hal yang normal. Tapi mencari pertolongan secara psikis, baik lewat layanan konseling maupun psikiatri, masih lebih mudah dikaitkan dengan hal yang aib dan memalukan. Kebenarannya, justru orang yang benar-benar sakit secara psikis sudah tidak mungkin mencari pertolongan, karena telah terputus kontak dengan realitas. Namun mereka yang masih cukup sehatlah yang bisa berinisiatif mencari pertolongan bagi dirinya, baik lewat layanan konseling maupun psikiatri.
Orang yang sehat ditandai dengan semangat berbagi. Berbagi tanda jiwa yang kaya. Ketika kita sedang mengalami kekurangan dan dirundung masalah, namun kita mau berbagi lewat uang kita, waktu, pikiran dan tenaga kita, akan ada sukacita, kegembiraan dalam hati kita.
Seorang yang suka belajar dan bertumbuh menjadi seorang yang kian arif, bijak dan lebih sanggup memiliki gaya hidup yang sehat. Belajar tidak hanya sebatas dalam pengertian pendidikan formal di bangku sekolah atau kuliah dan meraih gelar akademis. Belajar terjadi ketika seorang terbuka untuk menyerap hal-hal baik untuk perubahan dan pertumbuhan dirinya.
Merayakan tiap keberhasilan kecil akan membuat kita menjadi seorang yang lebih diwarnai dengan sukacita dan ucapan syukur. Merayakan keberhasilan-keberhasilan kecil akan menjadikan kita lebih bebas dari distres berkepanjangan. Menikmati sukacita satu keberhasilan sekecil apa pun justru akan membuat kita lebih termotivasi dan bersemangat untuk menghadapi kerja tahap berikutnya dan menyelesaikannya.
Kita diciptakan Tuhan sebagai makhluk relasional, makhluk sosial. Ada satu ruang dalam jiwa kita yang dirancang Tuhan untuk diisi dengan persahabatan dengan sesama manusia. Dicintai dan mencintai, diperhatikan dan memerhatikan. Persahabatan yang kita kembangkan dengan beberapa orang akan membuat kita tidak merasa sendirian dalam menjalani hidup ini. Kita bisa berbagi beban dan dukungan.
Menjadikan Kristus sebagai pusat berarti kita akan menjadikan seluruh hidup kita sebagai medan terwujudnya Impian dan Kehendak Tuhan. Bertumbuh makin serupa dengan Kristus dalam seluruh karakter, cita-cita dan pengejaran hidup, nilai-nilai dan gaya hidup.
Gaya hidup yang benar-benar sehat berarti kita menjalani dan mewujudnyatakan kehendak Sang Programmer hidup kita yakni Tuhan Yesus. Jika Kristus bukan sebagai Pusat dari gaya hidup sehat kita maka sesungguhnya gaya hidup sehat kita tidak utuh. Mungkin lulus uji di mata dokter, psikolog dan dunia ini, tapi tidak lulus uji di mata Tuhan Pencipta kita, yang kepada-Nya kelak di akhir hidup, kita masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban hidup kita. Sehat yang sejati adalah sekaligus Penebus kita
Jika Kristus menjadi Pusat gaya hidup sehat, maka kita akan memiliki alasan yang lebih kuat, daya dorong dan sumber energi yang tiada habis untuk mewujudnyatakan 10 langkah yang tadi kita bahas. Sekaligus Kristus menjadi sumber pengharapan kita di tengah kesementaraan hidup di dunia ini, di tengah berbagai musibah, kecelakaan, sakit penyakit yang mungkin kita alami. Sesehat-sehatnya manusia, tetap akan berhadapan dengan yang disebut kematian. Dengan Kristus menjadi Pusat Hidup kita, kita tidak takut menghadapi penderitaan apalagi kematian, karena justru mati adalah menjadi keuntungan kita karena kita tak perlu lagi mengusahakan 11 langkah gaya hidup sehat ini. Bagi kita yang setia sampai garis akhir, kita malah akan menerima mahkota kemuliaan, inilah pusat sukses hidup manusia.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Gaya Hidup Sehat" bagian pertama. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, pada zaman yang serba kompleks seperti sekarang ini, tidak ketinggalan gaya hidup manusia juga ikut menjadi sangat kompleks. Sesungguhnya bagaimana kita bisa memiliki gaya hidup yang sehat di tengah kompleksitas hidup seperti sekarang ini?
SK : Benar, di tengah zaman yang semakin kompleks semakin kompetitif lebih mudah kita mengalami gaya hidup yang tidak sehat bukan hanya secara fisik tapi kesehatan itu rupanya mencakup ranah non-fisik dan itu memang memerlukan beberapa usaha serta langkah yang kita lakukan secara sadar dan sengaja untuk mengembangkan gaya hidup yang sehat.
H : Kira-kira langkah seperti apa yang bisa dilakukan untuk memiliki gaya hidup seperti ini?
SK : Ya, ada langkah yang pertama yaitu AMBILLAH TANGGUNG JAWAB. Jadi untuk memiliki gaya hidup yang sehat pertama-tama perlu dimulai dari kesadaran kita sendiri bahwa kitalah yang bertanggung jawab. Yang menarik dalam bahasa Inggris kata 'bertanggungjawab' ini adalah 'responsibility' diartikan 'the ability to choose your response' artinya kemampuan untuk memilih tanggapan. Jadi kalau kita mau menjadi pribadi yang sehat dan makin sehat maka kita perlu mendayagunakan kemampuan kita didalam memilih tanggapan-tanggapan kita terhadap kehidupan ini, baik itu misalnya di dalam setiap situasi kehidupan yang baik dan kurang baik, mari jangan kita serta-merta menyalahkan keadaan, kondisi dan hal-hal yang di luar tetapi kita bisa memilih respons yang menurut kita berangkat dari hal yang benar dan itu yang kita pilih, tidak memandang situasi apa pun. Jadi boleh saya katakan tingkah laku kita, perilaku kita itu merupakan hasil dari pilihan yang sadar kita buat dan bukan semata-mata karena kita menyerahkan diri pada situasi di sekitar kita.
H : Berarti Pak Sindu, pribadi yang sehat adalah pribadi yang mengambil inisiatif untuk bertanggung jawab terlebih dahulu.
SK : Tepat, misalnya dalam situasi tertentu kita lebih mudah untuk menyerah pada keadaan. "Memang penghasilan saya pas-pasan, sehingga wajar kalau saya makan sekenanya, jadi bukan karena saya yang tidak mau menjaga hidup yang sehat tapi apa boleh buat!" Pernyataan yang demikian menunjukkan sebenarnya kita kurang bertanggung jawab, karena pilihan dan keputusan kita tentang makanan kita serahkan dengan begitu mudahnya pada keadaan yang pas-pasan itu. Seharusnya kita masih bisa memilih respons yang lain kalau kita tahu makanan yang sehat itu penting bagi gaya hidup sehat maka kita bisa mencoba bagaimana dengan penghasilan yang pas-pasan ini tetap kita memilih makanan yang sehat sekalipun bukan berarti harus mahal. Misalnya yang lain, "Memang saya lahir dalam situasi yang miskin, tidak berdaya maka terpaksa saya mencuri dan merampok" apakah seperti itu orang yang bertanggung jawab? Tentu tidak. Kita bisa memilih di tengah kemiskinan, ketidakberdayaan secara ekonomi kita justru bisa memunculkan ide kreatif, usaha-usaha yang lebih cerdas bagaimana menyiasati di tengah keterbatasan ini. Yang terakhir boleh saya berikan contoh misalnya, "Saya sudah tua dan tidak bisa apa-apa maka saya harus dikasihani, kalau anak, cucu dan menantu tidak mengasihi saya maka mereka yang salah karena saya tidak berdaya". Kalau kita mau menjadi seorang yang bertanggung jawab maka mari sekalipun anak cucu menantu kurang bisa memberi perhatian sebagaimana yang kita harapkan, di tengah keterbatasan fisik kita, apakah ada sesuatu yang masih bisa kita kerjakan, kalau misalnya kita masih bisa membuat sesuatu yang bisa menghasilkan uang sekali pun tidak banyak, mari kita lakukan, jadi respons kita, tanggapan kita merupakan hasil dari pilihan yang sadar yang kita buat berdasarkan nilai-nilai yang kita anggap benar itu.
H : Selain mengambil alih tanggung jawab kepada sisi pribadi itu sendiri, langkah apa lagi yang harus diambil, Pak Sindu?
SK : Yang kedua yaitu adalah BUANGLAH SAMPAH HATI DAN JAGALAH HATI TETAP BERSIH. Memang kita hidup di dalam dunia yang tidak sempurna dimana kita mudah untuk mengalami keterlukaan dalam hati kita, kita mudah terbangkitkan rasa tidak puas, tersinggung, jengkel, kecewa, sedih marah dan bahkan sakit hati, juga kita memiliki pergulatan dengan natur sifat manusiawi kita yang dibalut dengan dosa. Ada juga sisi kedagingan yang membawa kita kepada kelalaian dan pelanggaran dosa yang akhirnya menimbulkan rasa bersalah, tertuduh, rasa malu dan rasa tidak layak. Semua perasaan negatif itu kalau kita simpan begitu saja dan dipendam berlama-lama maka itu akan menjadi sampah dalam hati kita dan kalau itu dibiarkan terus-menerus menumpuk malah akan membusuk dan mengeluarkan bau yang tidak sedap yang malah menjadi sumber penyakit bagi hidup kita. Maka dari itu kita perlu membuang sampah dari hati kita kalau kita mau mengembangkan gaya hidup yang sehat.
H : Pak Sindu, apa dampaknya kalau sampah ini tidak sampai terbuang?
SK : Kalau itu tidak kita buang secara sengaja maka bau busuk dan tidak sedap yang ada dalam hati kita itu lambat laun juga akan tercium oleh orang-orang di sekitar kita baik itu lewat sikap kita, pernyataan-pernyataan kita yang sumbang, negatif dan malah menyakiti orang lain. Karena apa yang busuk dalam hati kita membuat pikiran, perasaan, tanggapan kita pun akan cenderung menimbulkan hal yang busuk bagi orang lain, melukai hati orang lain, bahkan selain itu ternyata berdampak bagi kesehatan fisik kita. Seorang yang terbiasa menyimpan dan mengendapkan sampah hati maka cenderung berlama-lama akan membuat sistem pertahanan tubuhnya atau imunitas tubuhnya menurun, dia lebih rentan mengalami berbagai infeksi karena serangan virus dan bakteri maka tidak heran dalam jangka waktu yang panjang, orang tersebut bisa mengalami berbagai penurunan fungsi organ tubuh baik itu jantung, paru, ginjal, pembuluh darah bahkan penyakit kanker pun lebih subur tumbuh dalam tubuh seseorang kalau terbiasa menyimpan sampah-sampah itu di dalam hatinya.
H : Ternyata seserius itu dampaknya, kalau begitu, Pak Sindu, bagaimana langkah-langkah praktis untuk membuang sampah dan menjaga hati ini supaya tetap bersih?
SK : Langkah yang pertama kita perlu mengakui kepada Tuhan apa yang menjadi sampah-sampah itu, baik itu dosa-dosa kita yang mungkin masih tersimpan dan ada rasa bersalah tertuduh, mari itu kita akui. Kalau itu ada rasa sakit hati, amarah, kecewa mari kita ceritakan kepada Tuhan sekalipun itu kecil bagi orang lain, sekalipun itu kita anggap di masa lalu, tapi kalau itu adalah sampah maka itu adalah sampah dan mari kita akui. Dan dari pengakuan itu kita minta ampun kepada Tuhan untuk hal-hal yang salah yang masih kita simpan dalam hati dan kita serahkan luka-luka hati itu, "Tuhan inilah hatiku yang terluka karena peristiwa ini, ini adalah sakit hatiku terhadap orang ini dan mari Tuhan saya tidak mau mempertahankan sampah hati ini, tapi saya mau serahkan kepada Engkau dan silakan Engkau ambil". Langkah yang kedua kita perlu mengampuni orang yang bersalah kepada kita, sekalipun orang itu sudah meninggal dunia, bahkan itu mungkin orang tua kita, kalau ada rasa bersalah atau kesalahan orang itu yang kita simpan mari kita serahkan kepada Tuhan dan yang kedua kita mengambil langkah iman, "Tuhan saya maafkan orang ini, saya ampuni atas kesalahannya di dalam nama Yesus tidak ada lagi kesalahannya yang saya simpan, saya robek-robek surat hitam itu dan saya nyatakan lunas, tidak ada kesalahan yang saya simpan tentang orang tersebut". Dan yang ketiga, setiap kali di dalam perjalanan hidup kita di masa kini dan yang di depan, setiap kali kita disakiti mari kita membereskan hubungan itu dan kita membereskan hubungan dengan orang itu ataupun kita menyerahkan perasaan negatif yang masih tersimpan kepada Tuhan supaya hati kita terjaga tetap bersih dan terakhir kalau ada dosa kesalahan mari kita akui kepada Tuhan dan kita ambil langkah untuk bertobat. Demikian, Pak Hendra.
H : Setelah kita mengambil tanggung jawab kemudian kita membersihkan hati kita dari sampah hati tersebut, maka langkah apa lagi yang harus kita ambil?
SK : Langkah yang ketiga adalah kita perlu MENGENALI DAN MENERIMA KETERBATASAN DIRI.
H : Seperti apa bentuk penerimaan keterbatasan diri ini?
SK : Di dalam hidup ini, kita memiliki beberapa keterbatasan. Ada keterbatasan secara fisik misalnya yang paling mudah, kita tidak bisa berada di dua tempat sekaligus, kita mau tidak mau berada di satu tempat ruang dan waktu, tidak mungkin kita ada di dua tempat sekaligus dan dua waktu sekaligus. Itu adalah salah satu bentuk keterbatasan fisik. Keterbatasan itu juga bisa berupa keterbatasan sesuatu yang sifatnya keterbatasan fisik karena kelemahan tubuh kita misalnya fungsi mata yang kurang baik, fungsi tangan dan kaki yang kurang lengkap dan organ tubuh lainnya. Keterbatasan itu juga bisa berupa keterbatasan emosional. Adakalanya memang orang itu memiliki keterbatasan untuk bisa cukup sabar sehingga bagi dia, dia lebih mudah terpicu dengan kemarahan. Ada juga orang-orang tertentu memiliki keterbatasan karena dia mengalami situasi yang sulit, dia pernah mengalami gangguan jiwa sehingga kapasitas jiwanya juga terbatas. Bisa juga keterbatasan itu bersifat intelektual, ada orang-orang tertentu yang memiliki kecerdasan intelektual yang cukup bagus tapi beberapa orang diizinkan Tuhan memiliki kecerdasan intelektual yang terbatas. Semua keterbatasan ini, itulah yang perlu kita kenali apa yang ada pada diri kita dan itu yang perlu kita terima, maka dengan cara itulah kita bisa tetap mengoptimalkan diri, apa yang bisa kita lakukan tetapi sekaligus kita tetap menjaga hidup dalam batas-batas itu dan tidak memaksakan diri, tidak serta merta mendobrak sehingga hidup kita tidak seimbang atau bahkan kita jatuh sakit secara fisik atau sakit secara mental karena memaksakan diri melampaui keterbatasan diri ini.
H : Praktisnya, Pak Sindu, bagaimana cara membangun gaya hidup sehat berkenaan dengan keterbatasan diri ini?
SK : Maka ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk membangun gaya hidup yang sehat berkenaan keterbatasan diri ini. Yang pertama kita perlu kenali dan terimalah keterbatasan diri ini sebagaimana yang tadi sudah saya sampaikan. Yang kedua kita perlu dalam hal-hal tertentu mengakuinya kepada orang lain. Adakalanya di dalam kita hidup bersama dengan orang lain baik itu dengan suami atau istri bagi yang sudah menikah, adakalanya bersama dengan rekan-rekan sekerja kita atau rekan sepelayanan ataupun itu anggota masyarakat dimana kita hidup menjadi bagian di dalamnya, mereka tidak mengenali tentang keterbatasan diri kita sehingga mereka punya pengharapan yang lebih tinggi dari apa yang mampu kita lakukan sehingga kadang mereka menilai kita, "Kamu itu mampu secara finansial, kamu mampu secara waktu, kamu mampu secara pikiran, kamu mampu secara tenaga" dalam hal ini daripada kita dipandang dituntut orang lain melebihi kemampuan dan kapasitas kita mari langkah kedua akui dan katakan, "Minta maaf, saya terbatas dan saya bisa kerjakan satu hal ini, tapi kalau dua hal ini saya tidak sanggup, maaf ya, itu yang bisa saya lakukan". Jadi mari kita akui apa yang bisa kita lakukan ya kita lakukan, tetapi apa yang memang melampaui kemampuan dan kapasitas kita, marilah kita katakan kalau kita tidak mampu. Maka dalam hal ini kita memasuki poin yang ketiga, kita perlu berani mengatakan 'tidak' kepada orang lain, "Maaf, sorry saya tidak bisa membantu untuk hal yang ini tapi untuk hal itu saya bisa bantu, bagaimana kalau mungkin waktu yang lain saja saya ingin membantu tapi waktu ini saya kurang fit bagaimana kalau minggu depan saya punya waktu yang lebih leluasa". Ini yang perlu kita kembangkan, berani berkata "tidak" untuk beberapa hal kepada orang yang lain. Yang keempat, kita bisa mengembangkan pola membagi-bagi tugas, mendelegasikan tugas, "Tolong bantu saya, saya mau mengerjakan yang ini tapi untuk yang itu rasanya saya kewalahan, bagaimana kalau kamu membantu saya mengerjakan yang itu?" Itulah empat hal yang saya lihat bisa kita lakukan untuk mewujud nyatakan bagaimana kita bisa menerima keterbatasan diri kita.
H : Artinya kita perlu mengenali keterbatasan ini, berani mengakuinya dan berusaha mencari solusi misalnya dengan mendelegasikan tugas seperti yang bapak jabarkan tadi.
SK : Tepat. Jadi dalam hal ini kita bukannya bermaksud mengasihani diri sendiri, "Inilah saya, saya punya keterbatasan, wajar kalau saya tidak sabar, wajar kalau saya tidak bisa mengerjakan apa-apa terimalah saya apa adanya". Dalam hal ini kurang pas, kita bukan berarti membenarkan diri untuk tidak melakukan apa-apa, tapi apa yang bisa kita lakukan mari kita lakukan; apa yang memang tidak bisa mari kita akui dan mengizinkan orang lain untuk mengerjakannya.
H : Dengan kata lain, harus ada kejelian dan kejujuran mengakui hal ini?
SK : Tepat, Pak Hendra.
H : Selain itu hal apa lagi yang bisa dilakukan untuk memiliki gaya hidup sehat?
SK : Maka yang keempat, Pak Hendra, kita perlu menghargai diri kita. Jadi langkah yang keempat untuk membangun gaya hidup sehat adalah HARGAILAH DIRIMU SENDIRI.
H : Justru ini sepertinya kontras dari yang ketiga, dimana kalau yang ketiga melihat keterbatasan ini malah memberikan penghargaan kepada diri.
SK : Jadi memang ada dua sisi yang saling melengkapi karena bagaimanapun seorang yang sehat memang ditandai adalah seorang yang menghargai dirinya. Jadi meskipun kita tahu diri kita punya beberapa keterbatasan, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik namun bagaimanapun juga kita memiliki beberapa kelebihan, beberapa keunggulan yang perlu kita dayagunakan maka kalau kita bisa menghargai diri kita, kita pun tidak akan takut berjumpa dengan orang lain dan kita bahkan tidak merasa terlalu grogi berdiri di hadapan orang banyak karena ada rasa percaya dan rasa menghargai diri dimana kita mengasihi dan menghormati diri kita sendiri.
H : Pak Sindu, bagaimana cara untuk membangun penghargaan terhadap diri ini?
SK : Yang pertama dasar yang kokoh untuk bisa menghargai diri yaitu peganglah perkataan firman Tuhan yang memang menghargai diri kita sebagaimana kalau boleh saya kutip di Roma 6:5-8 saya kutip beberapa kalimat, "Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang mau ditentukan oleh Tuhan akan tetapi Allah telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa". Dalam bagian firman Tuhan yang lain dikatakan dalam 1 Petrus, "Kamu telah ditebus dengan darah yang mahal yaitu darah Kristus". Jadi ini menunjukkan dasar yang kokoh untuk menghargai diri kita bukan semata-mata karena kita punya kelebihan, tetapi karena Allah menghargai kita dimana kita masih berdosa menjadi musuhnya Allah, Allah sedia mati untuk kita Dia mati untuk menanggung dosa dan kesalahan kita dan Dia menebus kita dengan darah yang mahal yaitu sebagaimana darah Kristus yang sama seperti darah domba yang tak bernoda dan bercacat. Jadi sebagaimana hal ini, mari kalau Allah sudah sedemikian menghargai kita maka sepatutnya, selogisnya kita menghargai diri kita. Langkah yang kedua, kita perlu kenali keunikan yang kita punyai, apa saja yang dikaruniai Tuhan baik itu yang namanya bakat, kekuatan kepribadian, proses dan pengalaman hidup, latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja, karunia rohani. Mari kenali keunikan-keunikan ini. Yang ketiga, mari hindari, tepislah usaha untuk membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang malah akan menjerumuskan kita untuk bisa merasa angkuh karena merasa lebih atau sebaliknya merasa minder atau rendah diri karena merasa kurang. Jadi pola membandingkan ini sama sekali tidak memunyai kebaikan di dalam kita membangun penghargaan terhadap diri.
H : Tapi kadang-kadang justru pola membanding-bandingkan itu datangnya dari luar, entah itu dari orang-orang yang di keluarga atau di lingkungan tempat kerja dan masyarakat.
SK : Maka dalam hal ini kita bisa mengambil langkah yang pertama yaitu bertanggung-jawablah artinya memilih tanggapan kita bukan karena situasi sekeliling tapi berdasarkan nilai yang kita pegang karena kita memahami penghargaan diri itu tidak perlu dibangun dalam konteks membanding-bandingkan mari kita tepis, biarlah orang berkata apa tapi saya tidak mau memandang saya lebih atau rendah. Apa yang sudah saya punyai dari Tuhan, saya patut menghargainya dan saya bisa percaya diri dengan apa yang sudah Tuhan karuniakan ini.
H : Pak Sindu, jadi kalau saya boleh simpulkan sesungguhnya poin yang pertama dalam mengambil tanggung jawab adalah dasar yang harus dimiliki oleh setiap kita untuk mengerjakan poin nomer 2,3 dan seterusnya.
SK : Tepat.
H : Tapi adakalanya kita dalam kondisi yang sangat lemah dan kita merasa kewalahan untuk melakukan dan menunaikan poin langkah satu itu, ketika itu terjadi apa yang akan kita lakukan?
SK : Boleh Pak Hendra perjelas maksud pertanyaan ini?
H : Jadi misalkan saat kita sedang lemah dan kita tidak berdaya untuk mengambil tanggung jawab itu sendiri, apakah ada kemungkinan kita bisa mencari pertolongan atau bagaimana?
SK : Dan itulah langkah kelima di dalam kita membangun gaya hidup yang sehat. Jadi kita memiliki beberapa keterbatasan sebagaimana Pak Hendra sebutkan, tidak selamanya kita penuh pegang kendali tentang pikiran, perasaan dan kehendak kita. Secara manusia kita memunyai siklus kehidupan, kalau wanita sangat jelas siklus itu diwarnai dengan siklus menstruasi bagi wanita yang sudah akil balik, tapi bagi pria tidak ada siklus biologis yang kelihatan seperti wanita tapi dia punya siklus emosi dan itu yang membuat kita ada saat lemah sehingga patut dalam hal ini gaya hidup sehat kita kembangkan gaya yang kelima yaitu CARILAH PERTOLONGAN. Jadi menjadi orang yang hebat menurut dunia memang adalah orang yang mandiri, yang tidak butuh pertolongan orang lain tetapi sesungguhnya kebenarannya adalah orang yang sehat bukanlah orang yang sempurna dan tidak memiliki kelemahan, melainkan orang yang sehat adalah orang yang ketika dalam posisi terpuruk bersedia mencari pertolongan.
H : Kelihatannya untuk mencari pertolongan bagi orang yang sakit secara fisik, pergi ke dokter adalah hal yang diterima secara luas, tetapi kalau untuk mencari pertolongan dalam bentuk pertolongan psikologis misalnya pergi ke konselor maka hal ini masih dipandang aneh oleh sebagian orang.
SK : Saya sependapat dengan pengamatan Pak Hendra, memang mencari pertolongan secara medis seperti konsultasi karier, konsultasi finansial, bisnis mengembangkan usaha, mengembangkan diri, itu lebih bisa diterima luas sebagai hal yang normal, tetapi sayangnya mencari pertolongan yang bersifat psikis kejiwaan, masalah emosional lebih dipandang sebagai hal yang memalukan, tapi kalau saya boleh berpendapat itu hal yang keliru. Justru orang yang sehat adalah orang yang mencari pertolongan, karena orang yang benar-benar tidak sehat tidak bisa melakukan apa-apa dan dia justru orang yang butuh bantuan medis dibawa ke Rumah Sakit dirawat inap. Tapi orang yang masih cukup sehat dan orang yang mau sehat, dia akan sengaja mencari pertolongan termasuk pertolongan yang termasuk psikis dan kejiwaan mungkin ke dokter ahli jiwa (psikiater), ke konselor untuk mencari pertolongan dan bimbingan lebih lanjut. Jadi itu merupakan tanda orang yang mau mengembangkan gaya hidup yang sehat.
H : Dan itu sesungguhnya terkait dengan poin nomor satu, mau bertanggung jawab tentang dirinya?
SK : Tepat. Apa kata dunia kalau itu salah, tidak perlu saya ikuti, apa yang saya tahu benar, saya memilih respon tanggapan yang saya yakini benar itu.
H : Pak Sindu, untuk menutup bagian yang pertama ini, apakah ada pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan?
SK : Saya akan sampaikan di injil Matius 25:14-15, "Sebab hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka. Yang seorang diberikannya lima talenta, yang seorang lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia berangkat." Pak Hendra, jadi setiap kita oleh Tuhan dipercayakan harta artinya hal-hal yang baik Tuhan percayakan dan Tuhan percayakan itu sesuai dengan kesanggupan kita masing-masing. Jadi Tuhan tidak menuntut kita sama, satu sama lain. Jadi bagi kita ada yang diberi harta, kalau dijumlahkan mungkin dalam rupiah ada yang 1 juta, ada yang 100 ribu, ada yang 5 juta dan yang Tuhan tuntut apa yang Tuhan percayakan itu mari kita bertanggung jawab, mari kita menerima apa yang Tuhan berikan, kecil besar kita terima dan mari kita mengembangkan dari apa yang kita terima ini sebagai wujud pertanggungjawaban kepada Tuhan dan inilah ciri orang yang mau mengembangkan gaya hidup yang sehat.
H : Jadi tidak ada alasan untuk tidak bertanggungjawab, Pak Sindu, karena Tuhan sudah memberikan modal kepada setiap kita.
SK : Ya modal sesuai dengan kesanggupan kita untuk mendayagunakannya.
H : Terima kasih Pak Sindu, para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Gaya Hidup Sehat" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
63. Gaya Hidup Sehat 2 | |
Ada sebelas cara untuk memiliki gaya hidup sehat, lima di antaranya adalah ambil tanggungjawab, buanglah sampah hati dan jagalah hati tetap bersih, kenali dan terima keterbatasan diri, hargai dirimu, carilah pertolongan. Apa lagi sisanya? Bagaimana pengulasannya? Ikutilah penjabaran lengkapnya.
Sebagai orang yang percaya kepada Kristus, memiliki gaya hidup yang sehat ternyata sangatlah penting. Karena gaya hidup yang sehat bukan hanya memberikan pengaruh pada diri pribadi namun pada pribadi orang di sekitar kita pula.
Untuk itu gaya hidup sehat yang disarankan antara lain :
Kata "bertanggungjawab" dalam bahasa Inggris adalah "responsibility": the ability to choose your response. Kemampuan untuk memilih tanggapan. Jika kita mau menjadi pribadi yang sehat maka kita akan mendayagunakan kemampuan kita dalam memilih tanggapan.
Dalam tiap situasi hidup, selalu ada ruang untuk memilih tanggapan kita. Maka sebenarnya kita memilih apakah akan menyerahkan diri pada situasi kondisi yang di luar atau kita akan bersikap dan bertindak berdasarkan apa yang kita yakini benar. Pribadi yang sehat akan memilih bersikap dan bertindak berdasarkan apa yang diyakini benar.
Seseorang yang terbiasa menyimpan dan mengendapkan sampah dalam hatinya, tanpa disadarinya bau busuk dan tak sedap dalam hatinya juga akan tercium orang-orang di sekitarnya, lewat sikap dan pernyataan-pernyataannya yang sumbang, negatif dan bahkan mungkin menyakiti orang lain.
Langkah untuk membuang sampah dan menjaga hati tetap bersih:
Kita hidup memiliki berbagai keterbatasan, baik itu keterbatasan yang kita bawa sebagai manusia pada umumnya, keterbatasan karena ketidaksempurnaan kondisi fisik, intelektual, emosi dan kejiwaan, baik karena bawaan sejak lahir mau pun karena proses kehidupan yang tidak sempurna.
Dalam hidup kita perlu mengoptimalkan diri, namun ada batas-batas yang jika kita lampaui membuat kita mengalami hidup yang tidak seimbang dan bisa jatuh sakit, baik sakit secara fisik mau pun sakit secara mental.
Langkah-langkah untuk membangun gaya hidup sehat berkenaan dengan keterbatasan diri:
Orang yang menghargai dirinya ada rasa percaya dan respek pada diri, ada rasa kasih dan hormat pada diri dari dalam ke luar.
Cara membangun penghargaan terhadap diri:
Pertama, dasar yang kokoh untuk menghargai diri adalah peganglah perkataan Firman Tuhan yang menghargai diri kita (Roma 6:5-8 dan I Petrus 1:19)
Kedua, kenali keunikan-keunikan yang kita punyai seperti bakat, kekuatan kepribadian, proses dan pengalaman hidup, latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja, karunia rohani.
Ketiga, tepislah usaha untuk membanding-bandingkan diri, yang bisa menjerumuskan kita untuk merasa angkuh atau sebaliknya, rendah diri.
Orang yang sehat bukanlah orang yang sempurna dan tidak memiliki kelemahan melainkan orang yang ketika dalam posisi terpuruk, bersedia mencari pertolongan.
Mencari pertolongan secara medis, karir dan finansial, sudah diterima secara luas, sebagai hal yang normal. Tapi mencari pertolongan secara psikis, baik lewat layanan konseling maupun psikiatri, masih lebih mudah dikaitkan dengan hal yang aib dan memalukan. Kebenarannya, justru orang yang benar-benar sakit secara psikis sudah tidak mungkin mencari pertolongan, karena telah terputus kontak dengan realitas. Namun mereka yang masih cukup sehatlah yang bisa berinisiatif mencari pertolongan bagi dirinya, baik lewat layanan konseling maupun psikiatri.
Orang yang sehat ditandai dengan semangat berbagi. Berbagi tanda jiwa yang kaya. Ketika kita sedang mengalami kekurangan dan dirundung masalah, namun kita mau berbagi lewat uang kita, waktu, pikiran dan tenaga kita, akan ada sukacita, kegembiraan dalam hati kita.
Seorang yang suka belajar dan bertumbuh menjadi seorang yang kian arif, bijak dan lebih sanggup memiliki gaya hidup yang sehat. Belajar tidak hanya sebatas dalam pengertian pendidikan formal di bangku sekolah atau kuliah dan meraih gelar akademis. Belajar terjadi ketika seorang terbuka untuk menyerap hal-hal baik untuk perubahan dan pertumbuhan dirinya.
Merayakan tiap keberhasilan kecil akan membuat kita menjadi seorang yang lebih diwarnai dengan sukacita dan ucapan syukur. Merayakan keberhasilan-keberhasilan kecil akan menjadikan kita lebih bebas dari distres berkepanjangan. Menikmati sukacita satu keberhasilan sekecil apa pun justru akan membuat kita lebih termotivasi dan bersemangat untuk menghadapi kerja tahap berikutnya dan menyelesaikannya.
Kita diciptakan Tuhan sebagai makhluk relasional, makhluk sosial. Ada satu ruang dalam jiwa kita yang dirancang Tuhan untuk diisi dengan persahabatan dengan sesama manusia. Dicintai dan mencintai, diperhatikan dan memerhatikan. Persahabatan yang kita kembangkan dengan beberapa orang akan membuat kita tidak merasa sendirian dalam menjalani hidup ini. Kita bisa berbagi beban dan dukungan.
Menjadikan Kristus sebagai pusat berarti kita akan menjadikan seluruh hidup kita sebagai medan terwujudnya Impian dan Kehendak Tuhan. Bertumbuh makin serupa dengan Kristus dalam seluruh karakter, cita-cita dan pengejaran hidup, nilai-nilai dan gaya hidup.
Gaya hidup yang benar-benar sehat berarti kita menjalani dan mewujudnyatakan kehendak Sang Programmer hidup kita yakni Tuhan Yesus. Jika Kristus bukan sebagai Pusat dari gaya hidup sehat kita maka sesungguhnya gaya hidup sehat kita tidak utuh. Mungkin lulus uji di mata dokter, psikolog dan dunia ini, tapi tidak lulus uji di mata Tuhan Pencipta kita, yang kepada-Nya kelak di akhir hidup, kita masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban hidup kita. Sehat yang sejati adalah sekaligus Penebus kita
Jika Kristus menjadi Pusat gaya hidup sehat, maka kita akan memiliki alasan yang lebih kuat, daya dorong dan sumber energi yang tiada habis untuk mewujudnyatakan 10 langkah yang tadi kita bahas. Sekaligus Kristus menjadi sumber pengharapan kita di tengah kesementaraan hidup di dunia ini, di tengah berbagai musibah, kecelakaan, sakit penyakit yang mungkin kita alami. Sesehat-sehatnya manusia, tetap akan berhadapan dengan yang disebut kematian. Dengan Kristus menjadi Pusat Hidup kita, kita tidak takut menghadapi penderitaan apalagi kematian, karena justru mati adalah menjadi keuntungan kita karena kita tak perlu lagi mengusahakan 11 langkah gaya hidup sehat ini. Bagi kita yang setia sampai garis akhir, kita malah akan menerima mahkota kemuliaan, inilah pusat sukses hidup manusia.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Gaya Hidup Sehat" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, pada bagian sebelumnya Bapak telah menyebutkan lima langkah yang harus dimiliki untuk memeroleh gaya hidup yang sehat yaitu mengambil tanggung jawab, membersihkan sampah hati, menerima keterbatasan diri, menghargai diri dan mencari pertolongan. Kali ini apakah ada langkah-langkah berikutnya yang ingin Bapak tambahkan?
SK : Ada. Jadi saya akan berbagi enam langkah yang lain. Saya akan mulai dari langkah ke enam. Jadi langkah keenam untuk mengembangkan gaya hidup yang sehat yaitu BERBAGILAH. Memang orang yang sehat, itu ditandai dari semangat berbaginya, berbagi adalah tanda jiwa yang kaya karena ketika kita sedang mengalami kekurangan atau sedang dirundung masalah namun ketika kita mau berbagi maka akan ada sukacita kegembiraan yang muncul dalam hati kita dan bukankah firman Tuhan mengatakan hati yang gembira adalah obat dan hati yang bersukacita membuat hidup kita lebih sehat karena kita mendapati ternyata kita tidak seterpuruk yang semula kita kira, karena memang pada dasarnya Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk yang hidupnya berbagi, sebagaimana Tuhan yang juga senang berbagi. Maka ketika kita berbagi sukacita itu muncul karena memang kita sedang mengerjakan program sehat yang Tuhan rancang di dalam kemanusiaan kita ini.
H : Dalam hal seperti apa kita dapat berbagi, Pak Sindu?
SK : Banyak hal, kita bisa berbagi dengan orang lain dalam hal waktu, kita bisa memberi waktu kepada orang lain dalam menolong orang lain, memberi pikiran/gagasan, berbagi dalam hal telinga, mendengar masalah orang lain, turut menangis dan menanggung kesedihan dan mendoakan atau pun memberikan nasehat yang relevan atau kita bisa berbagi dengan uang kita, makanan kita, tenaga kita. Jadi jangan berpikir, "Saya tidak kaya dalam hal uang, saya tidak banyak pengalaman, saya tidak sesehat orang lain" jangan salah, justru dalam keterbatasan apa pun kita tetap memunyai sesuatu yang bisa kita bagikan. Ingatlah ada kisah nyata persembahan janda miskin yang hanya memberi persembahan dua duit, dikatakan dia memberikan seluruh harta miliknya tetapi apa yang terjadi justru di tengah pemberian itulah berkat Tuhan melimpah dan saya yakin orang itu hidup di dalam jiwa yang sehat karena mau berbagi.
H : Namun dalam perihal berbagi bukanlah perihal yang mudah dilakukan, banyak orang merasa enggan untuk melakukannya. Kira-kira apa yang menjadi penyebab pandangan tersebut, Pak Sindu?
SK : Bisa beberapa hal, yang pertama kita hidup di era yang sangat materialistik sehingga kita lebih mudah berpikir kurang, kurang dan kurang, apa yang saya punyai. Justru itulah yang menjadi perlawanan yang perlu kita lakukan, hidup dalam penyangkalan diri artinya justru dengan kita berbagi kita berhenti untuk berkata, "Saya kekurangan, saya cukup, saya berlimpah" tandanya masih ada sesuatu yang bisa saya bagikan dan justru ketika kita bisa membagikan sesuatu itu membuktikan kita hidup berkelimpahan, ada rasa syukur yang boleh kita nyatakan kepada Tuhan dan justru kalau kita mau berbagi kepada orang lain bukankah Tuhan akan lebih lagi memberkati kita dan saya mengalami, banyak orang mengalami ketika kita berbagi justru Tuhan tidak pernah membiarkan diri-Nya menjadi orang yang berhutang kebaikan kepada kita, kita yang mau menolong sesama kita maka Tuhan pun akan lebih punya alasan untuk menolong diri kita dalam berbagai bentuk. Itu sekali lagi adalah gaya hidup yang sehat, Pak Hendra.
H : Jadi yang perlu digaris bawahi adalah persoalan berbagi ini, bukan melulu persoalan materi seperti yang telah Pak Sindu singgung, ada banyak hal yang harus dilakukan untuk berbagi dan berbagi adalah langkah yang penting untuk memiliki gaya hidup yang sehat.
SK : Tepat dan perlu sedikit saya tambahkan sekalipun bukan melulu materi tetapi materi tetap perlu kita bagikan, tetap ada sesuatu yang bisa kita bagikan, mungkin makanan kita hanya satu piring, sebenarnya kita kekurangan dan sebentar kita tidak tahu kita akan makan apa, tapi kalau ada orang datang dalam posisi membutuhkan makanan, mari kita mengambil langkah iman "Baiklah saya makan separuh, sebenarnya tidak cukup kenyang tapi saya mengambil langkah iman berbagi dari satu piring makan ini" dan itu ada alasan untuk kita berbagi dan ada alasan untuk bisa kita bagikan dan itu yang membuat hidup dan jiwa kita lebih kaya dan lebih sehat. Jadi materi tetap perlu kita bagikan dari apa yang kita punyai.
H : Dengan kata lain jiwa yang sehat itu ditandai dengan kesediaan untuk berbagi sekalipun kondisinya tidak berkelimpahan secara konkret?
SK : Tepat.
H : Baik Pak Sindu, selain berbagi langkah apa lagi?
SK : Yang ketujuh adalah BELAJAR DAN BERTUMBUHLAH. Jadi seorang yang suka belajar dan bertumbuh akan menjadi seorang yang makin arif dan bijak karena memang seorang yang mau mengembangkan gaya hidup yang sehat adalah seorang yang dinamis, yang tidak berhenti tapi dia mau menjadi pembelajar seumur hidup. Belajar yang saya maksud bukan semata-mata belajar secara akademis, secara intelektual, formal di bangku sekolah atau kuliah tapi juga belajar dari sekolah kehidupan ini, baik itu belajar dalam mengembangkan kapasitas emosional, kapasitas karakter, belajar tentang keterampilan hidup dalam menyelesaikan masalah termasuk belajar dalam hal-hal yang bersifat teknis keterampilan hidup. Jadi ada berbagai hal yang kita bisa belajar dan bisa bertumbuh di dalamnya.
H : Apakah bisa memberikan contoh belajar yang di luar ruang sekolah seperti yang bapak jelaskan baru saja?
SK : Misalnya kita belajar dari orang lain yang punya masalah, ada orang yang datang dan punya masalah misalnya masalah dia di dalam menghadapi konflik dengan pasangannya, kita mendengar permasalahan orang itu dan kita ikut mendengarkan dan mendoakan serta kita ikut memikirkan mengatasi solusinya maka dari situ kita belajar, "Berarti saya harus bercermin apakah saya seperti dia dalam memerlakukan pasangan saya atau memerlakukan anak saya, memerlakukan orang lain, saya perlu hati-hati supaya tidak terpuruk seperti dia dan apa yang harus saya lakukan supaya saya menjadi suami, ayah, istri, ibu yang lebih baik lagi". Jadi di sanalah kita belajar dari kehidupan ini.
H : Termasuk ketika pendengar mendengarkan percakapan ini, Pak Sindu?
SK : Tepat. Itu juga menjadi sarana untuk kita belajar dan bertumbuh.
H : Terima kasih untuk pesan yang sangat berharga ini, selain itu apalagi?
SK : Langkah yang kedelapan untuk menjadi seseorang yang memunyai gaya hidup sehat yaitu RAYAKAN TIAP KEBERHASILAN KECIL. Jadi lebih mudah kita merayakan untuk hal-hal yang besar, "Aku sudah naik kelas, hore aku sudah naik pangkat, hore gajinya bertambah, bisnisnya sukses". Kita baru merayakan tetapi ingat bukankah pengalaman-pengalaman seperti itu pengalaman yang tidak bisa terjadi cepat dan membutuhkan proses perjuangan yang panjang tetapi kalau kita bisa mengembangkan satu langkah demi langkah kecil dan ketika kita berhasil menyelesaikan satu hal kecil ini dan kita rayakan maka itu membuat jiwa kita sehat. Jadi kita tidak selalu harus di dalam stres yang berkepanjangan tetapi ketika kita merayakan itu membuat kelegaan bagi jiwa kita, membuat hati kita gembira dan itulah yang akan membuat hidup kita semakin cerah dan semakin sehat.
H : Bapak bisa memberikan contoh keberhasilan kecil seperti apa?
SK : Misalnya bagi kita yang bekerja, "Saya harus menyelesaikan laporan ini dan laporan ini adalah hal yang membosankan" mari kita lakukan, "Baik saya akan selesaikan 1 jam dulu dan setelah satu jam saya boleh istirahat 15 menit" dan saya kerjakan 1 jam dengan tekun, setelah satu jam sekalipun belum selesai tapi 1 jam telah terlewati dalam menekuni pekerjaan itu kita bisa memberikan perayaan kecil. "Baiklah saya akan istirahat dan saya akan lakukan yang saya suka dalam waktu 15 menit". Misalnya hobinya nonton TV, baca koran, email dan lakukan perayaan kecil itu. Kalau semua selesai kemudian pekerjaan itu yang terasa berat besoknya bisa kita katakan, "Hore saya sudah selesai dan saya akan rayakan dengan memuji nama Tuhan dan akan saya rayakan dengan beli semangkok bakso itu, makanan kesukaan saya" tidak harus mahal, "Saya akan makan bakso yang enak merayakan keberhasilan saya menyelesaikan satu laporan kerja saya. Itu adalah bentuk perayaan kecil yang bisa dilakukan.
H : Kalau dalam konteks kehidupan rumah tangga, apakah ada contoh yang bapak bisa berikan?
SK: Misalnya di dalam mengatasi masalah anak, mendampingi anak belajar, misalnya kita menjadi orang tua yang kurang sabar, kita bisa berkata, "Baik saya akan temani dia belajar selama satu jam dan saya tidak akan memarahi dia dan saya akan dengar dan tekun mendampingi dia, dan kalau saya mau marah saya akan keluar dari kamar itu dan saya akan buang emosi saya dengan menghirup udara yang segar di luar rumah ini, kemudian saya akan kembali dan kalau saya berhasil dalam satu hal ini, saya akan minta pujian dari istri saya, "Hai istriku, tolong puji aku sayang, aku sudah berhasil menemani 1 jam anak untuk belajar tanpa marah-marah, ayo puji dan pijit aku sebagai bentuk merayakan keberhasilan kecil ini".
H : Termasuk ketika si anak berhasil dalam tugas atau ujiannya, apakah itu juga bisa dirayakan secara bersama-sama satu keluarga?
SK : Bisa, "Ayo kita sama-sama nyanyi puji Tuhan dan kita ucapkan selamat, selamat kamu berhasil mendapatkan nilai sekali pun hasil tidak bagus tapi papa dan mama tahu kamu sudah jujur dan berjuang, papa hargai dan papa mau rayakan ketekunanmu, ayo kita rayakan dengan hal yang kita lakukan ini".
H : Menarik sekali, sesungguhnya hal ini adalah hal yang saya rasa masih sangat langka terjadi di dalam kehidupan masyarakat pada saat ini. Kira-kira Pak Sindu bisa memberikan penjelasan, apa dampaknya kalau kita melakukan perayaan kecil seperti ini?
SK : Ini akan membuat hidup kita lebih cerah, tidak tertekan, tidak stres hal-hal kecil mudah kita syukuri dan bersukacita. Kemudian kita akan lebih mudah menularkan sukacita dan penghargaan itu pada orang lain. Ada orang yang berkata, "Begitu saja dihargai, apa yang dilakukan adalah sepele, kecil". Kalau kita mudah menghargai dan merayakan keberhasilan kecil ini maka kita pun akan lebih mudah mengapresiasi kemajuan-kemajuan kecil yang dilakukan orang lain. "Masa begitu saja dipuji, tidak!" Itu adalah kemajuan kecil yang kamu lakukan, memang kecil tapi itu berarti. "Ayo maju terus kamu sudah berhasil melakukan ini, luar biasa!" Itu akan menyemangati orang lain untuk semakin bertumbuh, berkembang untuk mengalami kemajuan secara nyata.
H : Selain perayaan-perayaan kecil seperti ini, apa lagi yang bisa dilakukan?
SK : Langkah yang kesembilan untuk kita bisa mengembangkan gaya hidup yang sehat adalah KEMBANGKAN PERSAHABATAN. Jadi memang kita diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, makhluk relasional artinya kita diciptakan untuk berelasi, berhubungan, berteman, bersahabat, mengembangkan persahabatan dengan orang-orang lain. Jadi memang Tuhan ciptakan kita dalam jiwa kita ada satu ruang yang dibutuhkan untuk mengembangkan relasi dengan orang lain, kita butuh merasa dicintai dan butuh mencintai orang lain, kita butuh diperhatikan dan memerhatikan orang lain.
H : Tapi adakalanya ada orang-orang tertentu yang sulit memulai relasi pertemanan apalagi persahabatan seperti ini.
SK : Di dalam hal ini memang bukan berarti kita harus bersahabat dengan banyak orang apalagi semua orang. Tidak apa-apa tapi minimal ada beberapa orang dimana kita bisa berbagi dan mengembangkan persahabatan dan memang sesuai dengan tipe kepribadian kita, hobi kita, minat kita, nilai-nilai kita. Pada sekian orang kita bisa berteman, tapi untuk mengembangkan persahabatan yang lebih itu memang membutuhkan minat, nilai-nilai, tujuan-tujuan yang mirip atau bahkan banyak penyesuaian. Itu yang akan lebih mempermudah.
H : Artinya ada kesediaan dari diri orang tersebut untuk mau memiliki sahabat dan mungkin mulai mencarinya?
SK : Tepat. Jadi pada dasarnya selalu ada orang-orang yang bisa kita kenali untuk menjadi sahabat kita. Memang dalam hal ini kita perlu memulai dengan langkah memberi perhatian kepada orang lain, jadi memberi perhatian ini maka nanti orang itu akan cenderung membalas dengan memberi perhatian, kita berbagi dengan hal-hal kecil, cerita hal-hal yang di luar kemudian cerita tentang keluarga kita, tentang diri kita dan kalau menemukan penyesuaian kita menceritakan hal yang lebih pribadi dan disanalah ada persahabatan yang akan tumbuh dan berkembang.
H : Jadi langkah ini tidak bisa lepas dari langkah keenam yang tadi bapak sebutkan mengenai berbagi?
SK : Tepat.
H : Baik kita sudah memiliki 9 langkah sebagai modal memiliki gaya hidup sehat. Langkah ke sepuluh itu apa, Pak Sindu?
SK : Langkah yang kesepuluh adalah CINTAILAH TUBUHMU. Jadi memang tubuh adalah wadah atau kendaraan hidup kita. Seumpama kalau kendaraan kita macet maka kita akan benar-benar terbatasi untuk mengerjakan berbagai hal, maka tubuh yang sehat itu bisa muncul dengan kita mencintai tubuh kita dan bukankah sejak SD kita sudah akrab dengan istilah "men sana in corpore sano", dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Dengan kata lain, kalau tubuh kita tidak sehat maka jiwa kita akan turut menderita.
H : Cara mencintai tubuh ini seperti apa bentuknya?
SK : Yang pertama yaitu perhatikanlah makanan kita, apa yang masuk dalam tubuh kita. Kita perlu makan makanan yang bergizi. Jadi makanan itu bukan sekadar enak, jauh lebih penting makanan yang sehat yang mengandung banyak serat, gizi yang berimbang, dalam hal ini kita perlu berjalan sejalan dengan usia untuk mengurangi karbohidrat artinya supaya kita memunyai berat tubuh yang proposional karena kalau berat tubuh kita sangat berlebihan cenderung akan mengalami berbagai gangguan fisik, yang mengganggu pembuluh jantung, ginjal, pembuluh darah dan sebagainya. Jadi makanlah makanan yang bergizi, yang sehat, yang memiliki gizi yang seimbang. Yang kedua, kita perlu mengembangkan pola istirahat yang cukup dan berkwalitas. Jadi tidurlah secara teratur, sedapatnya bahkan menurut ahli kesehatan sebelum pukul 11.00 malam, Karena memang tidur malam itu tidak bisa begitu saja digantikan dengan tidur siang. Tuhan memang sudah menciptakan tubuh kita untuk lebih bisa beristirahat maksimal di malam hari. Ketika tidur di malam hari, sel-sel tubuh akan lebih mengalami pembaharuan sementara kalau kita tetap beraktifitas, bekerja di tengah malam bahkan hingga dini hari justru itu akan memacu zat-zat negatif bekerja dan merusak tubuh kita. Maka yang ketiga yang bisa kita lakukan sebagai wujud mencintai tubuh kita adalah hiruplah sebanyak mungkin udara segar di pagi hari dan seraplah sinar matahari pagi karena itu akan membuat banyak oksigen dan vitamin D yang memperkaya tubuh kita dan menyehatkan tubuh kita. Yang terakhir, berolahragalah sesuai usia kita. Jadi yang penting keteraturannya, berolahragalah yang aman bagi usia kita, bagi kita yang mungkin berusia di atas 50 tahun lebih memilih jalan pagi, renang yang akan condong lebih membebaskan kita dari cedera. Jadi itulah wujud dari mencintai tubuh sebagai bagian dari gaya hidup yang sehat.
H : Tadi Pak Sindu sempat menyinggung mengenai istirahat yang cukup dan menikmati udara segar dan cahaya matahari di pagi hari, berarti istirahat yang cukup konkretnya dia harus tidur di waktu yang pas dan bangunnya harus pagi juga?
SK : Itu jauh lebih pas, jadi keteraturan hidup akan menolong banyak hal bagi tubuh kita lebih memunyai irama hidup dan membuat metabolisme kita berjalan lebih baik dan lebih lancar.
H : Bagaimana kalau misalnya orang-orang tertentu yang senang tidur malam, begadang menonton bola atau bekerja sambil begadang. Bagaimana dengan orang seperti itu?
SK : Kalau sesekali tidak apa-apa, tapi kalau pola tetap jadi tidur malam dan siang hari baru tidur, ini secara medis sudah dilakukan banyak riset dan ditemukan atau disimpulkan, itu akan lebih memungkinkan zat-zat negatif itu berkembang dalam tubuh kita. Jadi gangguan organ dalam lebih mudah terjadi kalau kita balik pola hidup kita, malam bekerja dan siang tidur. Itu rupanya secara medis tidak sehat.
H : Baik, langkah yang terakhir apa?
SK : Langkah yang kesebelas dan terakhir untuk mengembangkan gaya hidup sehat yaitu JADIKAN KRISTUS SEBAGAI PUSAT. Jadi Tuhan itu patut menjadi pusat dari seluruh pergerakan dan dinamika hidup kita. Hal ini berbeda dengan kalau Tuhan kita jadikan sebagai yang bukan pusat karena memang secara umum kita mungkin lebih mudah menerima kalau Tuhan itu menjadi sekadar pelengkap atau penyeimbang hidup. Bukankah seringkali kita mendengar beberapa kali orang menyatakan, "Milikilah hidup yang seimbang baik itu di dunia dan akhirat, yang jasmani dan rohani perlu diseimbangkan". Di dalam konteks penyeimbang ini, kadang posisi Tuhan bisa jadi tidak menjadi pusat tapi lebih menjadi pelengkap, pelengkap dari hidup kita dan sesungguhnya dengan kata lain, Tuhan sedang kita peralat menurut apa yang kita pandang baik tetapi yang lebih tepat Kristus itu harus menjadi pusat, karena memang Tuhan yang menciptakan kita dan juga Kristus yang telah mati menanggung dosa kita menggantikan kita, menebus kita dari hukuman kekal dan Dia telah menjadi pribadi yang bangkit mengalami kemenangan-kemenangan dari berbagai kutukan dosa dan penderitaan hidup ini dan karena kita sudah ditebus oleh Kristus maka kita adalah milik Kristus, maka gaya hidup yang sehat sepatutnya adalah gaya hidup yang mengerjakan apa yang Tuhan mau dari hidup kita karena Tuhanlah yang memiliki hidup kita ini.
H : Artinya sepuluh langkah di atas langkah kesebelas ini tidak ada artinya kalau Kristus tidak menjadi pusat?
SK : Tepat, karena memang menjadikan Kristus sebagai pusat, itu akan menolong bagi kita untuk memiliki poros hidup, kembali kita diciptakan dari Tuhan, kita diciptakan untuk Tuhan dan kita diciptakan menjalani hidup ini dimampukan oleh Tuhan yang menjadi kekuatan hidup kita. Maka sepuluh hal langkah gaya hidup yang sehat ini menjadi tidak ada arti apa-apa kalau Tuhan tidak menjadi pusat, karena kita bisa melakukan 10 hal dan kita dipandang sehat di hadapan dokter, di hadapan konselor, di hadapan orang-orang di dunia ini, kita lulus uji tetapi kalau kemudian kita dikatakan tidak lulus uji kesehatan oleh Tuhan maka tetap kita tidak sehat di mata Tuhan. Jadi sehat itu bukan hanya sepanjang kita hidup di dunia. Sehat itu juga berarti sehat di dalam kekekalan di hadapan Tuhan dan itu dimungkinkan kalau Kristus menjadi pusat hidup kita, dimana itu berarti seluruh hidup kita menjadi medan terwujudnya impian dan kehendak Tuhan, itu berarti sepanjang hidup kita yang terbatas kita bergerak bertumbuh serupa Kristus di dalam seluruh karakter kita, di dalam seluruh cita-cita dan pengajaran hidup kita, di dalam seluruh nilai dan gaya hidup kita, kita semakin serupa dengan Kristus dan serupa dengan Kristus itu berarti kita mengembangkan gaya hidup yang sehat. Benar-benar sehat!
H : Terakhir Pak Sindu untuk menyimpulkan bagian ini atau perbincangan ini, mungkin Pak Sindu bisa menjelaskan apa hubungan antara gaya hidup sehat dengan Kristus sebagai pusat?
SK : Jadi dengan menjadikan Kristus sebagai pusat, maka 10 langkah yang tadi kita bahas itu, akan lebih mungkin kita lakukan karena Kristus Tuhan yang menjadikan alasan untuk kita mewujudnyatakan 10 langkah di depan tadi. Kemudian Tuhan juga yang menjadi motor, energi sumber kekuatan untuk kita mewujudnyatakan 10 langkah di depan tadi dan juga Kristus inilah yang membuat kita tidak takut menghadapi penderitaan apalagi kematian. Bukankah semua orang sesehat apapun tetap akan berujung kepada kematian, dengan menjadikan Kristus sebagai pusat maka dia akan menghadapi kematian dengan berani, bahkan dia mendapati hidupnya setia sampai garis akhir dan akan menerima mahkota kehidupan dan mahkota kemuliaan. Itulah puncak sukses hidup kita sebagai manusia.
H : Terima kasih Pak Sindu, mungkin ada pesan firman Tuhan yang ingin Pak Sindu sampaikan?
SK : Saya ingin bacakan dari Filipi 1:21, "Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan." Jadi berbicara tentang gaya hidup yang sehat, itu berarti gaya hidup yang dipersembahkan bagi Kristus. Kesehatan itu menjadi hal yang utama karena memang Tuhan inginkan dan kesehatan itu adalah sesuatu yang mengalir dari kehadiran Tuhan dan Kristus dalam hidup kita, mewarnai nilai kita dan mewarnai pola pikir, pengajaran kita dan mewarnai gaya hidup kita, dan itu menjadi gaya hidup yang sehat serta ketika kita menghadapi kematian kita berani mati, kenapa? Karena mati itu berarti kita mencapai sukses dan finalitas hidup kita yang sehat yaitu hidup bersama dengan Tuhan di dalam kekekalan.
H : Terima kasih Pak Sindu, para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Gaya Hidup Sehat" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org, kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
64. Menunda-nunda 1 | |
Kebiasaan menunda dapat diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia: menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya, mulai dari motivasi hingga penghargaan diri dan kepercayaan diri seseorang. Pengalaman menunda-nunda bagaikan hidup di kereta luncur (roller coaster) emosi. Suasana hati naik turun setiap kali mencoba untuk membuat kemajuan dan cenderung surut setiap kali ingin bergerak ke arah kemajuan. Siklus ini dapat berlarut-larut selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Dapat pula bergerak dengan begitu cepat dalam suatu momen. Penting untuk mengenali apa saja akar masalahnya dan menangani siklus penundaan ini dengan tepat.
Kebiasaan menunda-nunda mengganggu hidup kita dan menciptakan serombongan masalah dari kehilangan peluang sampai ke kegagalan dalam bekerja dan masalah keuangan. Kebiasaan menunda dapat diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia: menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya, mulai dari motivasi hingga penghargaan diri dan kepercayaan diri seseorang. Dalam istilah lain, bisa disebut sebagai sindrom "saya akan melakukan besok". Pergulatan dengan kebiasaan menunda ini tidak mengenal batas ras, etnis, jenis kelamin, usia dan profesi maupun iman keyakinan seseorang.
Penundaan berarti: menangguhkan untuk mengerjakan sesuatu hingga akhirnya terlambat. Dari segi manajemen waktu, mengerjakan tugas atau aktivitas berprioritas rendah lebih daripada tugas atau aktivitas yang berprioritas tinggi. Kegagalan untuk memulai atau menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas dalam rentang waktu yang ditetapkan. Respons atau tanggapan terhadap:
Tindakan sia-sia menangguhkan tugas yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada diri pelaku. Perilaku atau tingkah laku saat seseorang dengan sengaja menangguhkan hingga muncul perasaan cemas dan perasaan bersalah; akan tetapi, tindakan ini dilakukan secara berulang-ulang (kompulsif).
JENIS PENUNDAANPenundaan pengambilan keputusan dan penundaan perilaku terkadang dilakukan bersama-sama. Penundaan perilaku sering merupakan kelanjutan dari penundaan pengambilan keputusan.
FAKTOR-FAKTOR PENUNDAANYesaya 43:4a, "Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau".
Kepercayaan yang membangun Komitmen-Bawah-Sadar Penunda mencerminkan cara berpikir yang menjauhkan pelaku penunda dari membuat kemajuan. Menyadari diri berpikir tidak realistik merupakan langkah yang dibutuhkan dalam mengatasi penundaan tetapi tidaklah cukup. Penundaan memiliki akar emosional yang kompleks.
SIKLUS PENUNDAANPengalaman menunda-nunda bagaikan hidup di kereta luncur (roller coaster) emosi. Suasana hati naik turun setiap kali mencoba untuk membuat kemajuan dan cenderung surut setiap kali ingin bergerak ke arah kemajuan. Siklus ini dapat berlarut-larut selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Dapat pula bergerak dengan begitu cepat dalam suatu momen.
Berikut komentar-komentar yang muncul sejalan dengan siklus tersebut beserta dinamikanya.Amsal 6:10-11, "Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring". Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.
Penundaan tidaklah ringan dampaknya!Pelakunya tidak menyadari hal tersebut. Penundaan bukan semata-mata aspek perilaku, tapi pikiran (kognitif) dan juga ada aspek emosi (afeksi). Berbicara tentang penundaan cukup kompleks, menyangkut pengalaman di masa lalu. Dari faktor eksternal juga cukup berpengaruh, seperti :
Menghadapi semua akar masalah tersebut, akui di hadapan Tuhan atau datang kepada hamba Tuhan atau konselor yang akan menolong kita membereskan akar masalah tersebut.
Roma 12:2a "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu". Hadapilah semua ini bersama dengan Tuhan, bersama dengan saudara-saudara seiman dan orang-orang yang mengasihi kita.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan bapak penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Menunda-nunda". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, sebenarnya apa signifikansi dan urgensi kita untuk mengetahui topik mengenai menunda-nunda ini, Pak?
SK : Ya, Pak Hendra. Menunda-nunda rupanya menjadi satu pergulatan yang dialami oleh beberapa orang dan sangat mungkin sebagian kita juga mengalami pergulatan ini. Memang pergulatan soal menunda-nunda ini sesungguhnya mengganggu hidup kita bahkan menciptakan serombongan masalah, mulai dari kehilangan peluang, kesempatan, sampai kepada kegagalan di dalam studi dan pekerjaan seseorang. Bahkan bisa sampai menyebabkan masalah keuangan.
H : Ada yang mengatakan kebiasaan menunda itu diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia. Bagaimana tanggapan Bapak?
SK : Memang bisa dikatakan demikian, Pak Hendra. Jadi itu bersifat seperti karat yang menghancurkan sebuah media logam atau seperti asam yang membuat apa yang disentuhnya menjadi terbakar hangus dan tak berbekas. Seperti itulah suatu penundaan. Orang yang terbiasa menunda-nunda itu menghancurkan dan menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya. Baik mulai motivasi hidupnya, penghargaan dirinya, rasa percaya dirinya. Memang ini hal yang sangat mengganggu dan menggagalkan hidup kita.
H : Dalam istilah lain dapat juga disebut sebagai sindrom "saya akan melakukan besok" ya, Pak?
SK : Ya, memang "besok, besok, besok" akhirnya ya tidak melakukan apa-apa. Atau ketika mau melakukan, ternyata kesempatan itu sudah lenyap. Memang pergulatan dengan menunda ini perlu kita pahami karena kita tidak bisa mengatakan, "Aku steril dari pergulatan menunda-nunda" karena survei memperlihatkan pergulatan menunda-nunda itu tidak mengenal batas ras tertentu, etnis tertentu, jenis kelamin, tipe temperamen, usia, profesi, bahkan iman tertentu. Jadi pergulatan kebiasaan menunda-nunda ini meluas tanpa mengenal batas identitas dan ciri khas pada seseorang.
H : Boleh dikatakan universal, Pak?
SK : Betul, pergulatan universal.
H : Sebenarnya apa pengertian penundaan itu sendiri, Pak?
SK : Pengertian penundaan ini bisa kita mengerti dari beberapa kalimat penjelasan. Yang pertama, bisa kita mengerti sebagai tindakan yang sia-sia dalam menangguhkan suatu tugas yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada diri pelaku. Disini memang bukan hanya menangguhkan suatu tugas tapi mulai muncul perasaan tidak nyaman pada diri yang melakukannya itu.
H : Maksudnya tidak nyaman itu bagaimana, Pak?
SK : Mulai muncul rasa cemas, rasa bersalah, seperti itu. Ini juga bisa dimengerti dalam bentuk yang lain bahwa menunda ini seperti melakukan sebuah tugas aktifitas yang prioritasnya rendah, lebih daripada tugas atau aktivitas yang berprioritas tinggi. Dari sisi manajemen waktu ada pekerjaan yang mestinya, misalnya ada tugas kantor atau tugas sekolah yang harus diselesaikan dalam bulan depan. Kemudian ada persoalan di halaman rumah yang banyak rumput liar. "Itu 'kan masih satu bulan lagi. Kita kerjakan saja rumput liar ini." Dan itu dikerjakan berhari-hari. Dan atas nama mengerjakan rumput liar di halaman, akhirnya kita tidak memulai mengerjakan tugas yang berprioritas tinggi. Entah itu tugas sekolah, kuliah ataupun tugas pekerjaan kita.
H : OK, jadi kelihatannya aktif tapi sesungguhnya dia mengabaikan prioritas?
SK : Ya, mengabaikan prioritas yang lebih tinggi. Kemudian dalam pengertian yang lain, penundaan itu kegagalan dalam memulai dan menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas dalam rentang waktu yang ditetapkan.
H : Contohnya bagaimana?
SK : Yang dimaksud di sini bukan hanya kegagalan dalam menyelesaikan tugas berdasarkan 'deadline' atau batas akhir. Tapi bukan hanya sekadar batas akhir yang dilewati, tapi kegagalan itu sudah terlihat di saat dia gagal untuk memulai di saat seharusnya memulai. Jadi bukan hasil akhirnya, tapi proses awalnya yang terlambat untuk dimulai, itu sudah menjadi indikator bahwa kita sedang melakukan penundaan dalam tugas ini.
H : Jadi jangan berharap hasil, mulai saja sudah gagal, begitu?
SK : Iya, betul.
H : Ada lagi pengertiannya, Pak?
SK : Pengertian terakhir yang ingin saya paparkan, penundaan bisa dimengerti sebagai tingkah laku seseorang yang sengaja menangguhkan hingga muncul perasaan cemas dan rasa bersalah akan tetapi tindakan ini dilakukan berulang-ulang. Inilah yang menjadi masalah. Mungkin kalau 1-2 kali dilakukan dan ada rasa bersalah, ya kita maklum pada diri sendiri, mungkin memang tidak memungkinkan untuk dikerjakan saat itu. Tapi ternyata sudah cemas dan merasa bersalah, kok terus diulangi, istilahnya kita kompulsif dengan tindakan ini. Inilah yang menjadi suatu pengertian penundaan yang perlu kita kenali dan kita waspadai.
H : Jadi kegagalan memulai bukan hanya sekali tapi berulang kali, begitu?
SK : Ya, sekalipun ada sinyal atau alarm rasa cemas dan rasa bersalah, tapi kita abaikan dan kita tetap saja meneruskan pola penundaan itu.
H : Tadi 'kan pengertian penundaan. Kalau jenis-jenis penundaan, apakah ada yang membedakan penundaan jenis-jenis tertentu?
SK : Dari sudut buah atau pengaruhnya, penundaan bisa dibedakan secara teknis menjadi penundaan yang fungsional dan penundaan yang tidak fungsional. Penundaan fungsional artinya penundaan yang memang beralasan dan ada gunanya. Misalnya, bagaimana mau membuat sebuah paper atau laporan bila datanya tidak ada sama sekali. Jadi kita tunda dulu, kita kumpulkan beberapa bahan, data, informasi, setelah itu baru kita garap proyek itu. Itu penundaan yang fungsional, yang masih bisa ditoleransi.
H : Bisa juga termasuk kategori "wait and see", menunggu, melihat keadaan, mengamati dan mencermati, barulah mengambil tindakan?
SK : Ya, dalam artian masih proporsional dan tidak menimbulkan masalah besar. Masih dalam ruang toleransi.
H : Kalau penundaan yang tidak fungsional itu seperti apa, Pak?
SK : Dalam hal ini penundaan yang tidak fungsional adalah penundaan yang mengakibatkan banyak masalah bagi pelakunya dalam pengertian yang saya ungkapkan di awal. Itu membuat akhirnya kegagalan dalam hidup orang itu untuk menyelesaikan dalam batas akhir dan itu bukan sekali tapi berkali-kali. Ini sudah disfungsional. Sudah tidak memiliki makna dan nilai guna. Penundaannya korosif, bersifat asam, menggerogoti kehidupan, mengganggu, bahkan menghancurkan diri si pelakunya.
H : Ini penundaan yang akhirnya menimbulkan masalah ya, Pak? Apakah penundaan yang menimbulkan masalah hanya penundaan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan atau bagaimana, Pak?
SK : Penundaan yang tidak fungsional ada dua jenis yaitu penundaan dalam pengambilan keputusan dan penundaan perilaku. Jadi dalam soal pengambilan keputusan, si pelaku ini tidak bisa mengambil keputusan pada saat yang seharusnya, jadi ditunda. Dan penundaan ini baru satu sisi dalam pengambilan keputusan. "Sudahlah, saya tidak tahu harus mengambil keputusan apa. Nanti saja." Atau dalam bentuk yang lain adalah penundaan perilaku. Kecenderungan untuk menunda tugas sehari-hari yang kadang muncul dari cara kita memandang tugas dengan pesimis, perkiraan waktu yang melimpah padahal waktunya minim atau dikatakan dia memiliki optimisme yang berlebihan sehingga akhirnya perilaku menunda ini membuahkan masalah yang nyata. Penundaan pengambilan keputusan dan penundaan perilaku itu kadang dilakukan bersamaan. Memang penundaan perilaku seringkali menjadi kelanjutan dari penundaan pengambilan keputusan.
H : Jadi kedua jenis penundaan ini sangat berhubungan erat ya, Pak? Bagaimana dia bisa memutuskan untuk bertindak kalau mengambil keputusan saja belum dia lakukan.
SK : Betul.
H : Apakah kebiasaan menunda-nunda ini mempunyai faktor-faktor penyebabnya, Pak?
SK : Benar, paling tidak ada lima faktor yang menjadi awalan kenapa orang bisa terjerat dengan kebiasaan menunda-nunda ini.
H : Apa saja faktor itu, Pak?
SK : Yang pertama adalah takut gagal. Dalam hal ini, si pelaku penundaan ini takut gagal karena dia cenderung menerjemahkan bahwa kegagalan dalam suatu tugas itu berarti kegagalannya sebagai manusia. Orang yang takut gagal memiliki asumsi dimana dia mengubah usaha penyelesaian tugas itu menjadi ketakutan untuk mengambil resiko. Asumsinya seperti ini. Pertama, apa yang saya hasilkan itu menunjukkan secara langsung kemampuan saya. Yang kedua, tingkat kemampuan saya itu menentukan seberapa bernilainya saya. Yang ketiga, apa yang saya hasilkan itu menunjukkan seberapa bernilainya saya. Jadi poin yang ketiga merupakan gabungan dari poin yang pertama dan kedua. Sehingga bisa digambarkan dengan lebih sederhana sebagai sebuah persamaan matematika, bahwa nilai diri saya sama dengan kemampuan saya, juga sama dengan hasil kerja atau kinerja saya. Dengan kata lain, kalau hasil kerja saya jelek, memang saya tidak becus dan saya tidak mampu. Kalau saya tidak mampu berarti saya tidak punya harga diri, saya tidak berharga. Makanya bagi orang dengan berkeyakinan seperti ini, orang itu berusaha selalu mengejar kesempurnaan, hasil yang terbaik. Karena kalau hasil kerjanya terbaik dan sempurna itu berarti dia menganggap dirinya mampu dan hebat, itu artinya "Aku orang yang berharga. Aku layak dihormati. Aku punya kehormatan ketika berhadapan dengan orang lain".
H : Karena punya sistem nilai diri yang salah itu membuatnya jadi menunda, Pak?
SK : Dalam hal ini hubungannya dengan penundaan seperti ini, orang dengan asumsi ini maka ketika dia menerapkan atau menetapkan suatu standar hasil kerja satu standar penyelesaian tugas dengan hasil sempurna, akhirnya dia "Aduh aku tidak mampu, susah digapai kalau aku harus dapat A" daripada dia berusaha melakukannya tapi ternyata hasilnya gagal dan itu berarti, "Aku tidak berharga" akhirnya dia menunda. "Memang aku dianggap sebagai penunda, pemalas, tidak disiplin. Lebih baik dianggap sebagai orang seperti itu daripada dianggap sebagai orang yang gagal, pecundang dan tidak bernilai di hadapan orang lain." Jadi dia merasa lebih baik dianggap sebagai orang yang bermasalah dalam manajemen waktu daripada dianggap gagal sama sekali.
H : Jadi buat dia lebih baik dia tidak gagal pada akhirnya daripada gagal memulainya, Pak?
SK : Bisa dikatakan begitu. Penundaan itu cara membuat ketidaksamaan. Tadi 'kan, nilai diri saya sama dengan kinerja saya. Dengan dia membuat penundaan, tanda "sama dengan" itu dicoret, jadi saya tidak sama dengan hasil kerja saya. Kenapa? Faktornya bukan saya tidak mampu, tidak berharga, tapi memang ada faktor penundaan. "Saya mampu, saya bisa kalau saya mau. Masalahnya karena penundaan ini." Jadi penundaan itulah yang jadi kambing hitam. "Bukan saya yang jadi masalah tetapi faktor penundaan. Saya tetap berharga." Jadi penundaan ini dia kenapa melihat kegagalan dalam suatu tugas dia samakan sebagai diri yang gagal. Sehingga dia takut melakukan suatu proyek dan akhirnya melakukan penundaan.
H : Singkatnya dia menunda karena ingin menghindari kegagalan.
SK : Betul.
H : Kalau faktor kedua selain takut gagal?
SK : Faktor yang kedua adalah takut sukses.
H : Kok bisa, Pak?
SK : Jadi ini faktor yang unik dan kita rasa tidak masuk akal. Jadi orang yang takut sukses itu memang lebih khawatir kalau dirinya dianggap sukses oleh rekan-rekannya daripada khawatir dihakimi saat dirinya gagal. Lebih baik dianggap gagal daripada sukses. Kenapa? Karena kalau aku sukses itu berarti ada teman-temanku yang akan tersinggung, tersakiti hatinya. Bagaimana kalau mereka sakit hati, mereka tidak mau jadi temanku. Lebih baik biasa-biasa saja, minimalis. Yang penting mengumpulkan tugas, tidak perlu hasil yang bagus-bagus. Lebih baik terlambat biar saya tidak dipromosikan. Kalau saya naik jabatan tinggi di antara mereka, mereka tidak mau lagi jadi teman saya. Ketika boss mempromosikan saya, akan saya buat terlambat dan saya tunda pengumpulan tugasnya supaya saya dianggap tidak layak naik jabatan. Dengan begitu pertemanan saya terpelihara dengan baik." Takut sukses.
H : Di sini titik beratnya di relasi ya, Pak. Dia lebih menitikberatkan relasi dengan rekannya daripada keberhasilan dirinya?
SK : Betul. Karena bagi dirinya, rasa mantapnya, keberhargaan dirinya, ditentukan oleh penerimaan relasi dengan orang lain. Jadi penundaan ini merupakan metode yang membuatnya tersembunyi dari orang lain. Atau bahkan juga tersembunyi dari dirinya sendiri.
H : Kalau yang ketiga apa, Pak?
SK : Faktor yang ketiga yaitu takut kalah.
H : Maksudnya?
SK : Takut kalah. Disini menunda karena dia ingin mengendalikan sesuatu. Dia ingin merasa sedang mengendalikan sesuatu. Ini soal peperangan, menang kalah. Dalam hal ini dia ingin membuktikan, "Tidak ada seorang pun dapat memaksaku untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginanku." Jadi ini tentang "saya yang pegang kendali". Misalnya saya diberi tugas, "Ayo kamu kerjakan ini." Dalam hati dia berkata, "Enak saja kamu memerintah saya. Tidak bisa!" dia sengaja menunda-nunda. Dia sengaja mengeraskan hati tidak melakukan. Sengaja diperlambat atau hasilnya dibuat jelek. Dengan kata lain ini suatu tindakan agresif pasif. Karena bagi dia, penundaan itu merupakan suatu strategi pertempuran untuk meraih kendali kekuasaan, kehormatan, kemerdekaan dan otonomi. Jadi dengan cara inilah dia berjuang bukan sekadar untuk mendapatkan kendali, tapi kembali lagi tentang keberhargaan diri atau nilai diri. Kalau yang takut gagal, nilai dirinya diukur dari hasil kerja. Yang kedua, takut sukses, orang mengukur nilai dirinya dari relasinya dengan orang lain. Yang ketiga, dia mengukur nilai dirinya dari otonomi kemandiriannya dari diperintah-perintah oleh orang lain. Jadi "Aku penentu langkahku. Aku tidak mau disuruh-suruh atau diperintah orang lain. Kalau pun diperintah, aku lawan dengan menunda. Supaya membuktikan bahwa kamu tidak bisa menyuruh-nyuruh aku. Aku lebih tinggi dari dirimu."
H : Ini isu kontrol, ya Pak?
SK : Tepat.
H : Nah, faktor yang keempat apa, Pak?
SK : Faktor keempat adalah takut berpisah. Jadi orang melakukan penundaan karena merasa tidak benar-benar lengkap kalau dirinya tidak menjadi bagian dari seseorang dan seseorang menjadi bagian dari dirinya. Jadi dia takut terpisah dari orang lain. Dengan cara dia menunda, dia bisa tetap dekat dengan orang lain. "Tolong bantu aku, tolong temani aku ya. Kalau kamu tidak menolong aku, bagaimana aku melakukan tugas ini?" Jadi dia kesulitan melakukan tugas-tugas yang membutuhkan fungsi kemandirian. Dan dia merasa tidak dapat bertindak tanpa pertolongan orang lain. Usaha terbesarnya adalah berusaha mengumpulkan informasi tetapi menunda dalam menganalisa dan mengambil keputusan. Dia bertanya pada banyak orang, tapi pada saat mengambil keputusan dia bingung karena mendapati ide-ide yang bertentangan. Akhirnya dia merasa paling nyaman berperan sebagai orang kedua dan orang lainlah yang bertanggung jawab atasnya. Kalau dia bisa menunda, dia melakukannya untuk mempertahankan hubungan kebergantungannya dengan seseorang yang dia harapkan selalu menjaga dan mempedulikannya. Penundaan disini menjadi cara untuk memastikan keterlibatan orang lain dan meredakan ketakutannya berpisah dengan orang lain. Dengan menunda dia akan menggerakkan belas kasihan. "Tolonglah aku, aku sudah terlambat, aku sudah mendekati deadline, bantu aku. Masa kamu tidak sayang sama aku? Kita 'kan teman baik." Jadi cara untuk mengontrol supaya orang tetap dekat dengan dirinya.
H : Isu ketergantungan?
SK : Ya.
H : Faktor yang terakhir apa, Pak?
SK : Faktor kelima adalah takut melekat. Dalam hal ini berlawanan dengan takut berpisah. Jadi dia merasa lebih nyaman untuk menjaga jarak dengan orang lain. Dia cemas ketika orang lain mau mendekat dan mengajak berteman. "Ada apa ini? Jangan-jangan orang ini ingin memanfaatkan saya. Jangan-jangan dia ingin memperalat saya." Makanya daripada orang makin mendekat kepadanya, dia meninggalkan pekerjaannya dan pindah ke kota yang baru. Dia takut dengan keakraban, takut dengan kelekatan. Dalam hal ini tidak heran ini kasus beberapa orang untuk menunda-nunda pernikahan. "Kapan menikah?" dia takut. Mungkin salah satunya adalah latar belakang pernikahan orang tuanya yang buruk, mungkin bercerai. Sehingga dia sulit mengambil komitmen untuk menikah. Pacaran, pacaran, pacaran, tapi akhirnya lari dari pacarnya tanpa berita. Dia menunda karena dia takut melekat. Menunda merupakan cara untuk menjaga jarak yang aman terhadap orang lain.
H : Kalau yang ini lebih banyak terjadi dalam kasus komitmen, misalnya komitmen berelasi lebih mendalam atau komitmen untuk menikah, itu yang dia tunda. Tapi kalau dalam kinerja, apakah ada juga contohnya?
SK : Bisa, ada kalanya dalam bekerja kita berhadapan dengan orang yang mau dekat. Misalnya dipromosikan menjadi asisten direktur. Itu berarti dekat dengan direktur. Dia tidak nyaman dengan kedekatan relasi, lebih suka pekerjaan yang 'solitaire' atau seorang diri. Jadi asisten direktur 'kan promosi, semulanya pegawai biasa. Tapi jadi asisten direktur membutuhkan kedekatan. Bagi dia kedekatan adalah ancaman. Maka lebih baik dia tunda-tunda. Pekerjaan yang biasanya lancar, sekarang dia tunda-tunda supaya dia tidak usah dipromosikan menjadi asisten direktur.
H : Unik sekali. Orang mengejar-ngejar promosi, dia malah menghindarinya.
SK : Betul.
H : Menarik sekali pembahasan Bapak mengenai faktor-faktor penundaan ini. Ternyata kalau diteliti ada faktor-faktor yang unik yang mungkin tidak kita sadari. Apa ada lagi yang ingin Bapak sampaikan terkait penundaan ini?
SK : Saya ingin membagikan ayat firman Tuhan yang terkait dengan pembahasan ini. Yesaya 43:4, "Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau,.." Jadi beberapa isu yang telah kita bahas tadi tentang faktor-faktor penundaan itu berbicara tentang diri. Penundaan itu bukan sekadar faktor waktu, terlalu banyak tugas dan sekadar salah perhitungan waktu kita, sekadar soal mengerjakan tugas prioritas rendah daripada tugas prioritas tinggi. Itu memang yang nampak di depan mata, kajian-kajian yang manajerial, secara sistem kerja. Tapi rupanya kalau kita telisik lebih dalam, factor penundaan itu berhubungan dengan rasa aman di dalam diri kita, siapa kita di hadapan orang lain, siapa kita di hadapan Tuhan, siapa kita terhadap diri kita sendiri. Firman Tuhan berkata, "engkau berharga di mata-Ku dan mulia dan Aku mengasihi engkau." Inilah kebenaran yang perlu, bukan sekadar bacaan secara kognitif secara akal, tapi perlu merasuk ke dalam jiwa kita. Rata-rata kita mungkin berangkat dalam kondisi rasa tidak berharga, karena tidak dihargai secara cukup oleh orang tua kita, tidak dihargai oleh guru-guru kita, kurang dihargai oleh saudara-saudara kita. Ini yang jadi asal muasal orang mengalami takut gagal, takut sukses, takut dekat, takut keintiman, takut kelekatan, takut berpisah. Dalam hal ini mari kita kembali mengenali siapa kita. Kalau kita menemukan, "Aku punya salah satu bentuk ketakutan ini dan aku memiliki satu pergulatan tentang harga diriku", mari kita datang pada Tuhan, mengakui kerapuhan kita, menyerahkan strategi yang keliru ini dan coba tanamkan suatu penghayatan bahwa aku berharga bukan karena hasil kerjaku, bukan karena penerimaan persahabatanku, tapi aku berharga karena dalam kesendirianku pun aku tetap berharga. Karena Tuhan memandangku berharga, memandangku mulia, Tuhan mengasihiku bahkan menyerahkan diri-Nya untuk aku.
H : Terima kasih Pak Sindu untuk firman Tuhan yang sangat menguatkan. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan M.K. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Menunda-nunda" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melaui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
65. Menunda-nunda 2 | |
Kebiasaan menunda dapat diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia: menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya, mulai dari motivasi hingga penghargaan diri dan kepercayaan diri seseorang. Pengalaman menunda-nunda bagaikan hidup di kereta luncur (roller coaster) emosi. Suasana hati naik turun setiap kali mencoba untuk membuat kemajuan dan cenderung surut setiap kali ingin bergerak ke arah kemajuan. Siklus ini dapat berlarut-larut selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Dapat pula bergerak dengan begitu cepat dalam suatu momen. Penting untuk mengenali apa saja akar masalahnya dan menangani siklus penundaan ini dengan tepat.
Kebiasaan menunda-nunda mengganggu hidup kita dan menciptakan serombongan masalah dari kehilangan peluang sampai ke kegagalan dalam bekerja dan masalah keuangan. Kebiasaan menunda dapat diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia: menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya, mulai dari motivasi hingga penghargaan diri dan kepercayaan diri seseorang. Dalam istilah lain, bisa disebut sebagai sindrom "saya akan melakukan besok". Pergulatan dengan kebiasaan menunda ini tidak mengenal batas ras, etnis, jenis kelamin, usia dan profesi maupun iman keyakinan seseorang.
Penundaan berarti: menangguhkan untuk mengerjakan sesuatu hingga akhirnya terlambat. Dari segi manajemen waktu, mengerjakan tugas atau aktivitas berprioritas rendah lebih daripada tugas atau aktivitas yang berprioritas tinggi. Kegagalan untuk memulai atau menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas dalam rentang waktu yang ditetapkan. Respons atau tanggapan terhadap:
Tindakan sia-sia menangguhkan tugas yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada diri pelaku. Perilaku atau tingkah laku saat seseorang dengan sengaja menangguhkan hingga muncul perasaan cemas dan perasaan bersalah; akan tetapi, tindakan ini dilakukan secara berulang-ulang (kompulsif).
JENIS PENUNDAANPenundaan pengambilan keputusan dan penundaan perilaku terkadang dilakukan bersama-sama. Penundaan perilaku sering merupakan kelanjutan dari penundaan pengambilan keputusan.
FAKTOR-FAKTOR PENUNDAANYesaya 43:4a, "Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau".
Kepercayaan yang membangun Komitmen-Bawah-Sadar Penunda mencerminkan cara berpikir yang menjauhkan pelaku penunda dari membuat kemajuan. Menyadari diri berpikir tidak realistik merupakan langkah yang dibutuhkan dalam mengatasi penundaan tetapi tidaklah cukup. Penundaan memiliki akar emosional yang kompleks.
SIKLUS PENUNDAANPengalaman menunda-nunda bagaikan hidup di kereta luncur (roller coaster) emosi. Suasana hati naik turun setiap kali mencoba untuk membuat kemajuan dan cenderung surut setiap kali ingin bergerak ke arah kemajuan. Siklus ini dapat berlarut-larut selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Dapat pula bergerak dengan begitu cepat dalam suatu momen.
Berikut komentar-komentar yang muncul sejalan dengan siklus tersebut beserta dinamikanya.Amsal 6:10-11, "Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring". Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.
Penundaan tidaklah ringan dampaknya!Pelakunya tidak menyadari hal tersebut. Penundaan bukan semata-mata aspek perilaku, tapi pikiran (kognitif) dan juga ada aspek emosi (afeksi). Berbicara tentang penundaan cukup kompleks, menyangkut pengalaman di masa lalu. Dari faktor eksternal juga cukup berpengaruh, seperti :
Menghadapi semua akar masalah tersebut, akui di hadapan Tuhan atau datang kepada hamba Tuhan atau konselor yang akan menolong kita membereskan akar masalah tersebut.
Roma 12:2a "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu". Hadapilah semua ini bersama dengan Tuhan, bersama dengan saudara-saudara seiman dan orang-orang yang mengasihi kita.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Menunda-nunda" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, mengenai penundaan ini apakah ada siklusnya?
SK : Ya, memang penundaan itu merupakan sebuah pola yang berulang, Pak Hendra. Jadi memang ada sebuah siklus dan siklus ini mirip kalau kita seperti bermain di sebuah kereta luncur atau bahasa Inggrisnya "Roller Coaster" dan kereta luncurnya adalah kereta luncur emosi. Jadi ada saatnya suasana hati kita naik kemudian turun, naik dan turun sehingga membuat perasaan emosi kita seperti diaduk-aduk ketika kita memasuki atau mengalami siklus penundaan ini.
H : Maksudnya naik turun naik turun itu bagaiman konkretnya, Pak?
SK : Jadi ada saatnya kita merasa senang ada saatnya kita mungkin merasa galau kemudian tenang lagi, nyaman, galau lagi, bahkan galaunya bisa lebih mendalam lagi, sampai akhirnya kita menghembuskan nafas lega. Naik lagi turun lagi, nah itulah siklus yang bisa terjadi selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dan itu dapat bergerak begitu cepat bahkan dalam suatu momen tergantung pada peristiwa apa yang kita alami atau situasi penundaan apa yang sedang kita hadapi dan jalani.
H : Baik, Pak. Dalam kaitan dengan penundaan ini naik turunnya ini seperti apa siklusnya?
SK : Jadi saya akan jelaskan dalam bentuk beberapa komentar yang muncul ketika kita mengalami penundaan itu. Yang pertama, "Kali ini saya akan mulai lebih awal kali ini. Kalau kemarin-kemarin saya menunda-nunda dan terjerat masalah akibat penundaan, kali ini tidak. Kali ini saya akan mulai lebih awal". Dan memang biasanya pada awalnya ketika begitu menerima tugas misalnya bagi suatu mahasiswa menerima silabus kuliah, bagi seorang bawahan menerima di awal perintah tugas dari atasannya, atau seorang 'entrepreneur' di awal bertemu dalam sebuah tim dan menetapkan sebuah target, biasanya pada bagian awal si pelaku penundaan ini sangat penuh dikuasai oleh harapan-harapan dan ketika suatu pekerjaan diberikan pertama kali akan muncul suatu kemungkinan-kemungkinan, "Kali ini akan saya kerjakan secara sistematis dengan cara yang benar-benar bijaksana" walaupun merasa tidak sanggup atau tidak ingin memulainya saat sekarang, akan tetapi si pelaku penundaan ini sering mempercayai bahwa langkah pertama untuk memulai bagaimana pun akan terjadi secara spontan dan tanpa usaha terencana.
H : Maksudnya spontan tak terencana itu seperti apa, Pak?
SK : Jadi begini, dia memang berharap, "Ya saya akan mulai lebih awal, saya akan mulai sesegera mungkin. Saya tidak akan mengulangi penundaan-penundaan yang kemarin-kemarin terjadi". Tetapi pada waktu dia punya harapan yang begitu besar dan sangat optimistik ini, tetapi ternyata dia tetap tidak memulai. Kenapa? Karena dia hanya ingin memulai dalam harapan. Tetapi dalam aksi tidak. Jadi dia berpikir seperti ini, "Tunggulah. Nanti kalau saya tergerak saya akan mulai". Jadi langkah pertama untuk memulai bagaimana pun akan terjadi secara spontan, "Memang sekarang ini ada hal-hal lain yang harus saya kerjakan, memang ini perlu segera dimulai, tapi nanti istri saya menanti, anak-anak menanti, teman-teman saya besok ada kompetisi futsal, hari ini saya harus berlatih. Dimulai nanti ajalah. Pasti nanti ada 'mood'nya, 'feeling'nya pasti akan dapat nanti."
H : Oh, jadi semangatnya yang menggebu-gebu, tapi kapan mulainya masih belum tahu.
SK : Ya, maksudnya karena dia berharap ada suatu yang ajaib. Dia berpikir ada suatu keajaiban bahwa langkah untuk memulai itu akan terjadi secara spontan, harus mulai sekarang. "Wah berlebihan sekali, kenapa harus memaksa, bukankah masih banyak hal mendesak untuk dilakukan, sudah nanti aja, lihat nanti saja".
H : Nah, ini yg menggiring dia masuk ke dalam siklus kedua ini, Pak?
SK : Ya, karena setelah beberapa saat berlalu dan ternyata sama sekali tidak ada perbedaan, harapan-harapan yang tadi melambung itu mulai berubah menjadi ketakutan. Nah pada fase kedua ini muncul pernyataan, "Saya harus segera memulai, saya harus segera memulai". Dimana kondisi untuk mulai lebih awal sudah berlalu, sudah lewat tiga — empat hari, seminggu atau mungkin sebulan dan ilusi mengerjakan saat ini, hilang. Kecemasan, tekanan, perasaan lebih menguat dan si pelaku penundaan ini mulai merasa terdorong untuk membuat usaha-usaha untuk segera mengerjakan. Tetapi batas akhir waktu pengerjaan tugas, deadline proyek itu belum di depan mata, 'Belanda masih jauh, masih ada harapan'. Bagaimana pun masih ada langit biru, langit cerah, 'Belanda masih jauh'.
H : OK, berarti dia mulai ada kecemasan, ada tekanan. tapi karena dia lihat deadline masih jauh, jadi dia melihat masih ada harapan. Begitu?
SK : Ya, melambung lagi, naik lagi. Jadi sempat turun cemas, takut, gelisah, tapi dia terhibur dengan pikirannya, "Ya ini harus segera mulai, tapi kok deadline masih 3 - 4 bulan, masih cukup jauh ini." Jadi melambung. Nah, memasuki fase yang ketiga, Pak Hendra. "Apa yang terjadi, seandainya saya tidak memulai?" Di sini mulai muncul pertanyaan, waktu terus bergulir dan ternyata si penunda ini belum juga memulai. Sikap yang optimistik diganti dengan praduga-praduga, "Jangan-jangan, jangan-jangan. Wah, bagaimana ini?" Pelaku membayangkan seandainya kalau tidak memulai maka dirinya akan menghadapi konsekuensi yang mengerikan, yang bahkan bisa merusak kehidupan selama-lamanya. Mulai ketakutan, kegalauan, kecemasan muncul lagi. Pada kondisi ini, si pelaku penundaan mulai merasa lumpuh tak berdaya.
H : Bagaimana bisa?
SK : Ya, karena cemas tadi. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan sampai dia pusing, "Aduh, kalau teringat tugasnya belum selesai, belum mulai dikerjakan, aduh cemas, aduh bagaimana? Nanti kena penalti? Aku bisa di PHK? IP-ku bisa jeblok? Wah, bagaimana ini, nanti pacarku bisa marah-marah, Mertuaku bisa uring-uringan dan tidak menjadikanku menantunya, gara-gara aku belum memulai-memulai, tidak bisa menyelesaikan pada waktunya. Itu pada fase yang ketiga.
H : Jadi dia lumpuh karena membayangkan hal-hal konsekuensi buruk yang akan terjadi kalau dia tidak memulai — mulai, begitu Pak?
SK : Betul, betul.
H : Akhirnya jadi lumpuh?
SK : Betul, dalam fase yang ketiga ini ada beberpa pernyataan yang bisa muncul. Yang pertama, "Saya seharusnya memulai lebih awal." Jadi kesimpulan ini mencerminkan, merefleksikan rasa bersalahnya. Yang boleh dikata itulah kawan karib: rasa bersalah. Kawan karib orang yang suka menunda-nunda itu adalah rasa bersalah. Jadi mereka melihat kembali ke masa lalu, flashback ke belakang, "Aduh, waktu telah berlalu sudah tidak bisa aku ulangi lagi, apa yang sudah lewat waktunya tidak bisa aku ambil kembali." Menyesali perilakunya yang membawanya ke tepi tebing yang curam dan mereka menyadari, "Seandainya kalau aku memulai lebih awal, aku dapat mencegah situasi ini." Dan tekanan sekeliling membuatnya merasa tidak punya pilihan lain, kecuali memulai. Jadi fase ke tiga ini ada yang model penyesalan, "Saya seharusnya memulai lebih awal".
H : Jadi peringatan ini masuk sub-fase ketiga, ya Pak. Jadi dia menyesal, katakanlah dia ketakutan, jadi dia mulai timbul penyesalan, begitu Pak. Berarti masih ada sub-fase yang lain?
SK : Ya, ini juga masih dalam fase ketiga, ada empat pernyataan yang bisa muncul. Yang pertama, "Saya seharusnya mulai lebih awal." Diwarnai dengan penyesalan. Bentuk yang kedua dari fase ketiga ini, "Saya akan mengerjakan apa saja, tetapi..." ini menjadi benar-benar hal yang lazim bagi penunda di dalam fase ketiga ini untuk sibuk mengerjakan apa saja kecuali tugas yang ia selama ini tetap menghindari. Jadi hal-hal yang selama ini dia abaikan, tiba-tiba menjadi penting misalnya selama ini tidak peduli kamar mandinya dibersihkan atau tidak. Tiba tiba karena dia tanpa sadar mengalami kecemasan karena belum memulai juga tugasnya, tiba-tiba merasa, "Kamar mandiku begitu dekil". dia mengambil sikat, bersihkan dan kosek. "Wah, cat rumahku dekil ya", cat ulang, "Halaman rumahku kok begini ya, aduh buku-bukuku kok berantakan", kemudian diatur. Jadi sibuk mengerjakan apa saja dan dia merasa bahagia. Perasaannya atau emosinya melambung. Roller coaster-nya naik, "Bagaimanapun aku produktif, aku sibuk" sambil berasionalisasi membenarkan diri sendiri, "Setidaknya saya sedang mengerjakan sesuatu" walaupun proyek tugas yang sesungguhnya tidak juga dikerjakan.
H : Jadi pikiran untuk menghibur diri di tengah penyesalan yang pertama itu?
SK : Iya, jadi kesibukannya itu adalah kesibukan yang semu. Memang sibuk untuk berbagai hal tapi untuk yang satu yang seharusnya dikerjakan tidak juga dijamah dan tidak juga dikerjakan. Jadi kadang aktifitas yang mengalihkan perhatian itu terlihat begitu produktif sampai-sampai dirinya mempercayai bahwa dia sedang membuat kemajuan atas pekerjaan yang seharusnya dikerjakan. Tapi jelas nyata bahwa memang pekerjaan itu tetap belum tersentuh.
H : Unik sekali. Apakah ada sub-fase yang lain lagi?
SK : Ini bagian kedua, dari fase ketiga. Ini bisa muncul pernyataan yang lain, "Saya tidak bisa menikmati apapun", kebanyakan menunda mencoba mengalihkan perhatiannya pada aktifitas yang menyenangkan dan segera memberi kepuasan misalnya banyak-banyak menonton film, DVD, VCD di rumahnya, apalagi kalau punya 'home theater', atau mungkin ke bioskop, pergi ke temannya, mojok di sana dan di sini, melakukan hal yang menyenangkan tetapi meskipun berusaha keras menikmati hal-hal yang dianggap menyenangkan itu, tapi bayangan pekerjaan yang belum dikerjakan itu selalu hadir bagaikan mimpi buruk di siang bolong. Kenikmatan yang dirasakan itu dengan cepat lenyap dibandingkan rasa bersalah, keprihatinan, bahkan rasa muak "aku makan bakso, makanan yang aku suka tapi terbayang tugas dan tugas, proyek dan proyek, ini mendekati deadline" dan kepalanya rasanya pening.
H : Jadi ini upaya 'refreshing' yang semu juga?
SK : Ada juga bentuk ke empat dari fase ketiga. "Saya berharap tidak seorang pun mengetahuinya", ini pernyataan yang lain. Jadi ketika waktu berjalan tidak ada satupun terkerjakan mulai merasa malu, "Jangan sampai ada orang lain yang tahu kalau aku ternyata belum melakukan apapun untuk tugasku ini, mau taruh di mana mukaku ini?" lalu mereka mulai menciptakan cara untuk menutupi ketidak aktifan mereka dan mereka mencoba terlihat sibuk bahkan ketika tidak bekerja, menghadirkan ilusi tentang kemajuan sekali pun belum mengambil langkah pertama. Jadi mulai membuat kebohongan secara terinci untuk membenarkan penundaan mereka dan termasuk menghindari kontak sosial, misalnya contoh buat mahasiswa tentang membuat skripsi, untuk S2 adalah tesis dan S3 adalah disertasi. "Jangan sampai orang tahu, aku sudah dua semester tidak selesai dan bahkan judul skripsi pun belum aku rumuskan maka aku sibuk saja", misalkan proyek kerjaan "proyek kerjaan ini penting karena bagaimana pun saya sudah punya sudah keluarga harus menafkahi keluarga" atau bagi yang lajang, "Saya masih lajang, tapi saya membiayai diri sendiri, harus memberi les ini dan itu" jadi dia mencari perlindungan diri berharap orang tidak tahu dan termasuk yang kedua dia berusaha menarik diri dari kontak sosial. Makanya soal penundaan ini, kadang orang akhirnya merasa malu ketemu orang lain apalagi ditanya tentang proyeknya, "Bagaimana tugas akhirmu, bagaimana buku yang akan kamu terbitkan tahun ini?" Itu pertanyaan yang menohok harga dirinya dan berpikir lebih baik tidak ketemu orang lain, atau ketemu teman lama atau satu proyek, satu kelompok pelayanan, satu sekolah, satu pekerjaan, dia menghindari mereka supaya tidak sampai ditanyai "progress report"nya.
H : Kalau boleh saya simpulkan fase ketiga ini nampaknya fase tekanan sudah semakin kuat jadi dia semakin merasa terancam oleh bayangan akan konsekuensi buruk karena dia menunda dan dia belum memulai. Ini menggiring dia ke fase keempat.
SK : Pada fase keempat muncul pernyataan, "masih ada waktu". Jadi meskipun ada rasa bersalah, malu tetapi si pelaku penundaan ini tetap berharap bagaimana pun masih ada waktu untuk menyelesaikan pekerjaanku ini. Jadi mereka berharap berusaha untuk tetap optimis, sambil menunggu datangnya keajaiban. Keajaibannya yaitu penangguhan sanksi yang sebenarnya langka terjadi, "Saya berharap dosen saya berbaik hati misalnya memberi waktu seminggu lagi" atau atasannya berkata, "Saya berikan perpanjangan satu bulan karena saya juga sibuk ada proyek baru ke luar negeri". Jadi mulai muncul pikiran magis atau pikiran keajaiban yang sebenarnya memang sulit dan langka untuk terjadi.
H : Saya mulai melihat kaitannya dengan ilustrasi "roller coaster". Jadi ketika mulai ada ketakutan dia berada di bawah tiba-tiba muncul pikiran yang melambungkan dia ke atas, "Masih ada waktu".
SK : Betul. Jadi ada pikiran yang magis ini, berharap ada keajaiban yang tidak ada realitasnya.
H : Apakah fase kelima yang membuat dia turun lagi, Pak?
SK : Betul turun lagi. Ada pernyataan, "Ada yang salah pada diri saya, bagaimana ini" jadi pada fase kelima ini si pelaku merasa putus asa, ide baiknya atau cemerlangnya tentang memulai lebih awal ternyata tidak terwujud juga, ada rasa malu, rasa bersalah, rasa menderita dan itu tidak menambah kebaikan apa-apa. "Iman" atas keajaiban di fase itu juga tidak mengubah apa-apa karena itu hanya ide magis yang tidak ada dasarnya dan kemudian kekhawatiran tentang penyelesaian tugas, diganti oleh rasa takut yang lebih besar lagi dan ada sesuatu yang salah dengan diri saya. Jadi pelaku di sini merasa ada hal mendasar yang dia tidak miliki sebagaimana yang dimiliki oleh orang lain, orang lain punya disiplin dan motivasi diri yang baik, dia orangnya cerdas, dia punya faktor keberuntungan dan itu semua tidak ada dalam diri saya, "Ada yang salah dengan diriku ini". Mengasihi diri sendiri.
H : Akhirnya dia tiba pada fase mengasihani diri sendiri, fase kelima. Sesungguhnya siklus ini ada berapa fase?
SK : Yang terakhir ada enam. Tapi enam ini masih ada pecahan-pecahannya. Yang terakhir ini adalah kerjakan atau tidak kerjakan. Jadi sudah kepepet. Pada fase terakhir ini si penunda mengambil keputusan untuk meneruskan sampai ke akhir sekali pun pahit atau meninggalkan kapal yang sudah semakin tenggelam. Jadi mereka akhirnya memilih salah satu dari dua jalur ini. Yang pertama jalur tidak mengerjakan tugas. Jalur yang kedua mengerjakan sekali pun dengan akhir yang pahit. Saya jelaskan jalur yang pertama, tidak mengerjakan sama sekali, muncul pikiran begini, "Saya tidak dapat mengerjakan, jadi tekanan sudah tidak tertanggungkan lagi, waktu semakin singkat dan benar-benar mustahil bagiku untuk menyelesaikan dalam menit atau jam tersisa ini" karena telah mencapai tingkat yang tidak dapat ditoleransi maka yang dibutuhkan terlihat di bawah kemampuannya, muncul pikiran, "Aku tidak tahan lagi" akhirnya si penunda memandang bahwa penderitaan akibat berusaha menyelesaikan tugas atau pekerjaan itu menjadi terlalu berat untuk ditanggungnya dan dia pun menyerah.
H : Ini pilihan pertama adalah menyerah.
SK : Dan masih ada kelanjutan yang terakhir, akhirnya muncul pertanyaan kenapa merasa terganggu? Pernyataan ini menggambarkan pada tahap akhir permainan ini atau kereta luncur emosi ini, beberapa penunda memandang semua yang terabaikan untuk dikerjakan dan mereka memutuskan telah begitu terlambatnya untuk melepaskannya saat ini, usaha-usaha yang sekarang dibuat tidak akan membuat perbedaan dalam hasil akhir. Tidak ada manfaatnya untuk berusaha keras karena terlambat, nasi sudah menjadi bubur, di sinilah penunda merasa galau dan kacau balau. Jadi mereka tidak mengerjakan apa pun lagi sehingga mereka menyerah.
H : Ini kelanjutan dari dia turun naik lagi dan dia berusaha menghibur diri.
SK : Dia berusaha menetralkan, "Ya sudahlah apa boleh buat, kenapa harus dibuat stres maka terima saja nasib" itu jalur yang pertama. Jalur yang kedua adalah mengerjakan tapi dengan akhir yang pahit. Muncul pernyataan begini, "Saya tidak bisa menunggu terlalu lama lagi" jadi sekarang tekanan menjadi begitu besar sehingga tidak dapat menunggu lagi, batas akhir sudah dekat dan rasa tidak berdaya telah menjadi begitu menyakitkan sehingga akhirnya akibat yang buruk akan muncul kalau dia tidak mengerjakan apa-apa. Maka seperti seorang pesakitan pada barisan kematian akhirnya dia menyerahkan diri pada nasib yang tidak bisa dimulai dan benar-benar akhirnya memulai, jadi sudah kepepet/terdesak mungkin tinggal sehari, paper harus dikumpulkan atau tinggal sehari proyek sudah harus dilaporkan, sehingga daripada tidak berbuat apa-apa maka memulai sesuatu. Muncul pikiran yang kedua, setelah dia lakukan muncul pernyataan begini, "Ternyata tidak susah dan kenapa saya tidak mengerjakan lebih awal" jadi memang proyek dikerjakan dan dia terkejut ternyata tidak semenakutkan dan tidak sesusah seburuk yang dia kira, biarpun terasa sulit atau membosankan akhirnya pekerjaan itu berhasil diselesaikan dan lega bahkan beberapa kali terasa ada kenikmatan di dalam merampungkan pekerjaan itu dan mereka terkesima pada tahap ini. Jadi dalam ketidakmengertian ini para penunda seringkali merasa sedikit menyesal atas semua penderitaan yang sebetulnya tidak perlu mereka tanggung. "Sebetulnya aku bisa menikmati pekerjaan ini, kalau aku kerjakan aku bisa menikmati dan aku bisa kerjakan dengan lebih mudah, lantas kenapa aku tidak segera mengerjakan yang kemarin itu?"
H : Sebenarnya yang jalur kedua ini dia mengerjakan, tapi dia sudah tahu hasilnya tidak akan maksimal atau hasilnya akan berakhir pahit dan timbul dua pikiran, pikiran yang pertama dia pasrah dengan hasilnya dan yang kedua dia terkejut ternyata dia bisa.
SK : Iya, bagian yang ketiga adalah yang penting kerjakan saja. Akhir sudah di depan mata, begitu penunda memutuskan untuk merampungkan pekerjaan sepertinya tidak ada waktu tersisa. Begitu susah mengejar target untuk selesai maka tidak ada waktu untuk merencanakan atau merevisi apa yang sudah dikerjakan dan fokusnya bukan lagi pada seberapa baik bisa mengerjakan tapi apakah bisa rampung atau tidak, kwalitas tidak dipedulikan yang penting selesai.
H : Akhirnya targetnya hanya selesai saja.
SK : Yang penting selesai dan mengumpulkan tugas dan ada laporan yang diserahkan.
H : Intinya tidak nol.
SK : Kemudian masih ada lagi yang terakhir fase yang ketujuh.
H : Ternyata belum berakhir di fase keenam?
SK : Belum, ada fase yang ketujuh yaitu "Saya tidak akan pernah menunda-nunda lagi" jadi ketika tugas ditinggalkan atau dikerjakan tapi sekadar selesai, akhirnya si penunda bisa menghela nafas, "Akhirnya lega meskipun letih, benar-benar siksaan yang berat", setelah akhir yang panjang bisa beristirahat, menikmati hidup dan pikiran untuk mengulangi kembali proses yang seperti kemarin itu membuat muak. Tapi itu juga membuat pelaku penundaan bertekad untuk "Aku tidak akan lagi terjebak dalam siklus semacam ini dan lain waktu akan memulai lebih awal dan lebih terorganisir, lebih setia jadwal dan kecemasan akan aku kontrol sampai tiba berikutnya. Jadi siklus penundaan ini berakhir dengan satu janji yang bersungguh-sungguh untuk meninggalkan perilaku ini selamanya, akan tetapi sekalipun bersungguh hati kebanyakan para pelaku penundaan mendapatkan diri mereka mengulangi lagi siklus ini lagi dan lagi.
H : Terimakasih untuk penjelasan mengenai siklus yang sangat menarik ini. Secara singkat saja apa firman Tuhan yang akan bapak ingin sampaikan untuk menutup sesi kita kali ini?
SK : Saya bacakan dari Amsal 6:10, "Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring, maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata." Kata sebentar lagi terus diulangi dalam ayat 10 dan akibatnya muncullah dampak yang begitu besar, kemiskinan, kekurangan, kehancuran, kegagalan. Jadi memang penundaan itu tipis sekali. Kata sebentar lagi ternyata tidak begitu ringan tampaknya dan ini perlu kita waspadai. Jangan bermain-main dengan siklus penundaan ini.
H : Terima kasih Pak Sindu, para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Menunda-nunda" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melaui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
66. Menunda-nunda 3 | |
Kebiasaan menunda dapat diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia: menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya, mulai dari motivasi hingga penghargaan diri dan kepercayaan diri seseorang. Pengalaman menunda-nunda bagaikan hidup di kereta luncur (roller coaster) emosi. Suasana hati naik turun setiap kali mencoba untuk membuat kemajuan dan cenderung surut setiap kali ingin bergerak ke arah kemajuan. Siklus ini dapat berlarut-larut selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Dapat pula bergerak dengan begitu cepat dalam suatu momen. Penting untuk mengenali apa saja akar masalahnya dan menangani siklus penundaan ini dengan tepat.
Kebiasaan menunda-nunda mengganggu hidup kita dan menciptakan serombongan masalah dari kehilangan peluang sampai ke kegagalan dalam bekerja dan masalah keuangan. Kebiasaan menunda dapat diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia: menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya, mulai dari motivasi hingga penghargaan diri dan kepercayaan diri seseorang. Dalam istilah lain, bisa disebut sebagai sindrom "saya akan melakukan besok". Pergulatan dengan kebiasaan menunda ini tidak mengenal batas ras, etnis, jenis kelamin, usia dan profesi maupun iman keyakinan seseorang.
Penundaan berarti: menangguhkan untuk mengerjakan sesuatu hingga akhirnya terlambat. Dari segi manajemen waktu, mengerjakan tugas atau aktivitas berprioritas rendah lebih daripada tugas atau aktivitas yang berprioritas tinggi. Kegagalan untuk memulai atau menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas dalam rentang waktu yang ditetapkan. Respons atau tanggapan terhadap:
Tindakan sia-sia menangguhkan tugas yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada diri pelaku. Perilaku atau tingkah laku saat seseorang dengan sengaja menangguhkan hingga muncul perasaan cemas dan perasaan bersalah; akan tetapi, tindakan ini dilakukan secara berulang-ulang (kompulsif).
JENIS PENUNDAANPenundaan pengambilan keputusan dan penundaan perilaku terkadang dilakukan bersama-sama. Penundaan perilaku sering merupakan kelanjutan dari penundaan pengambilan keputusan.
FAKTOR-FAKTOR PENUNDAANYesaya 43:4a, "Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau".
Kepercayaan yang membangun Komitmen-Bawah-Sadar Penunda mencerminkan cara berpikir yang menjauhkan pelaku penunda dari membuat kemajuan. Menyadari diri berpikir tidak realistik merupakan langkah yang dibutuhkan dalam mengatasi penundaan tetapi tidaklah cukup. Penundaan memiliki akar emosional yang kompleks.
SIKLUS PENUNDAANPengalaman menunda-nunda bagaikan hidup di kereta luncur (roller coaster) emosi. Suasana hati naik turun setiap kali mencoba untuk membuat kemajuan dan cenderung surut setiap kali ingin bergerak ke arah kemajuan. Siklus ini dapat berlarut-larut selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Dapat pula bergerak dengan begitu cepat dalam suatu momen.
Berikut komentar-komentar yang muncul sejalan dengan siklus tersebut beserta dinamikanya.Amsal 6:10-11, "Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring". Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.
Penundaan tidaklah ringan dampaknya!Pelakunya tidak menyadari hal tersebut. Penundaan bukan semata-mata aspek perilaku, tapi pikiran (kognitif) dan juga ada aspek emosi (afeksi). Berbicara tentang penundaan cukup kompleks, menyangkut pengalaman di masa lalu. Dari faktor eksternal juga cukup berpengaruh, seperti :
Menghadapi semua akar masalah tersebut, akui di hadapan Tuhan atau datang kepada hamba Tuhan atau konselor yang akan menolong kita membereskan akar masalah tersebut.
Roma 12:2a "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu". Hadapilah semua ini bersama dengan Tuhan, bersama dengan saudara-saudara seiman dan orang-orang yang mengasihi kita.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Menunda-nunda" bagian ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kita sudah membahas mengenai topik menunda-nunda untuk dua sesi sebelum sesi ketiga ini. Hari ini saya mau bertanya sesungguhnya orang yang memiliki kebiasaan menunda-nunda ini apakah secara tidak sadar mereka memiliki semacam komitmen tertentu, misalkan dia suka menunda pasti ada keinginan untuk berubah. Apakah ada sesuatu yang secara tidak disadari menjadi komitmen di dalam dirinya?
SK : Jadi memang orang yang suka menunda-nunda itu memiliki seperti sebuah keyakinan tertentu yang sifatnya bisa jadi tidak disadari sepenuhnya, kalau dalam bahasa Inggris disingkat dengan kata "Quote" dan ini menjadi sebuah ikrar atau sumpah misalnya sebagai seorang prajurit, tentara untuk setia kepada korpsnya, untuk melindungi rahasia negara, ada ikrar janji setia dan itu begitu merasuk ke dalam jiwanya mendarah daging. Rupanya seseorang yang suka menunda-nunda punya komitmen bawah sadar.
H : Seperti apa komitmen bawah sadar ini?
SK : Jadi saya bisa paparkan ada beberapa bentuk, misalnya "Saya harus sempurna", dia punya suatu ikrar komitmen bawah sadar bahwa saya harus sempurna dan karena harus sempurna inilah, maka dia harus menjadi sebuah motor dia menunda-nunda. Kemudian yang kedua, segala sesuatu seharusnya saya kerjakan dengan mudah dan tanpa usaha, jadi sebuah keyakinan. Yang ketiga lebih aman tidak mengerjakan apa-apa daripada mengambil resiko dan gagal.
H : Tampaknya ada rasa takut gagal?
SK : Betul. Yang saya kemukakan itu, komitmen bawah sadar dengan kalimat tadi itu sebenarnya akar yang lebih dalam adalah rasa takut gagal. Jadi ini ada kaitannya dengan bahasan kita yang lalu ada 5 faktor penundaan. Salah satu adalah takut gagal, diwakili dengan pernyataan-pernyataan keyakinan seperti tadi itu. Kalau boleh saya tambahkan misalnya saya seharusnya tidak memiliki keterbatasan dan seharusnya semua bisa saya lakukan seperti yang saya mau dan itu kembali satu keyakinan dengan rasa takut gagal bahwa dia mengejar kesempurnaan. Yang kelima, jika tidak mengerjakan dengan benar maka semua yang kita kerjakan tidak ada artinya sama sekali, jadi semangat ya atau tidak sama sekali, harus sempurna kalau tidak sempurna maka percuma mengerjakan apa pun dan tidak ada artinya atau maknanya. Jadi ini sebenarnya akarnya rasa takut gagal.
H : Apalagi, Pak? Apakah yang dia jadikan komitmen?
SK : Jadi selain itu, tadi dia takut gagal ada juga yang kedua adalah takut sukses. Takut sukses memunculkan sebuah komitmen bawah sadar paling tidak diwakili dengan dua kalimat tersebut yaitu "jika saya sukses maka ada seseorang yang akan terluka". Jadi dia takut sukses dan pikirannya kalau saya sukses maka nanti ada yang tersinggung dan nanti dia tidak mau menjadi teman saya. Jadi memunculkan sebuah keyakinan yang secara umum tidak rasional tapi bagi dia begitu melekat. Atau mungkin dalam bentuk yang lain, jika kali ini saya mengerjakan dengan baik, saya harus selalu mengerjakan dengan baik.
H : Jadi dia berusaha menghindar?
SK : Menghindar dan menunda, karena nanti aku mengerjakan dengan bagus membangkitkan tuntutan yang tidak akan pernah berhenti dan sekali bagus maka bagus terus, sekali sempurna maka nanti minta sempurna terus maka akan menjadi lelah dan lebih baik ditunda saja. Jadi ini takut sukses.
H : Menarik sekali. Jadi sebenarnya dia bisa mengerjakan yang baik, tapi karena dia terlalu takut maka dia memutuskan menunda-nunda dan hasilnya buruk?
SK : Bukan hanya buruk, tapi salah satunya buruknya karena dia tidak mengerjakan atau ditunda-tunda tadi. Kembali itu disebutnya komitmen bawah sadar, kalau kita tanya ke pelakunya dia tidak menyadari. Kembali komitmen bawah sadarnya ialah sesuatu yang melekat tapi kalau ditanya seringkali dia tidak akan menyadari. Selain tadi takut gagal, yang berikutnya takut sukses. Yang ketiga adalah takut berpisah. Saya tidak boleh membiarkan seseorang pergi atau sesuatu pun pergi. Jadi saya tidak boleh membiarkan seseorang pergi atau sesuatu pun lenyap begitu saja jadi takut berpisah. Adalagi takut dekat. Jika saya menampilkan diri apa adanya, orang-orang tidak akan menyukai saya. Jadi akhirnya menunda untuk menjalin relasi yang lebih dekat karena dia berpikir meyakini kalau aku tampil apa adanya aku nanti tidak disukai. Kalau saya tambahkan dua yang terakhir juga dalam bentuk takut yang lain yaitu takut kalah, mengikuti aturan seorang sama saja dengan menyerah dan tidak punya kendali, ini takut kalah. Jadi melihat penugasan itu sebagai menang atau kalah, kalau saya mengerjakan yang diinstruksikan atasan saya berarti saya kalah maka dia punya keyakinan bawah sadar mengikuti aturan seseorang sama saja tidak punya kendali.
H : Jadi ini seolah-oleh melawan dengan pasif, begitu.
SK : Betul. Jadi tindakan yang memang agresif tapi pasif. Terakhir ini berkaitan dengan takut gagal, muncul komitmen bawah sadar demikian, "Ada jawaban yang benar dan saya akan menunggu sampai mendapatkannya".
H : Ini maksudnya apa, Pak?
SK : Maksudnya tadi mengejar kesempurnaan, jadi memang kaitannya dengan poin di awal takut gagal. Jadi takut gagal bisa memunculkan satu pernyataan keyakinan atau komitmen bawah sadar.
H : Jawaban yang benar itu apa maksudnya?
SK : Jawaban yang benar maksudnya jawaban yang sempurna, yang terbaik dan saya akan menunggu sampai saya mendapatkannya, dia mengejar kelengkapan misalnya "Kenapa papernya belum dimulai?" "Saya ini sedang mengumpulkan data-data", "Kenapa kamu tidak mengerjakan proyekmu karena proyekmu itu bagus?" "Nah ini aku butuh dan masih ada satu hal, ada satu poin yang aku belum dapat"; "Kamu 'kan bisa kerjakan" "Ini 'kan penting, aku tunggu ini dulu supaya lengkap sempurna baru aku mau jalan".
Karena dia memandang sebuah keyakinan ada yang luar biasa dan aku harus tunggu sampai yang luar biasa terjadi ada di depan baru aku akan maju.
H : Dan ironinya semua ini tidak disadari.
SK : Dan satu ironinya adalah salah dan tersesat dan ini yang memenjarakan, ini yang menggagalkan. Jadi bicara penundaan itu bukan sekadar aspek perilaku dan tingkah laku tapi pikiran. Jadi memang ada aspek pikiran kognitif, ada aspek perilaku, ada aspek emosi, afeksi sebagaimana yang lalu kita pernah bahas lewat situs penundaan, jadi memang kompleks bicara tentang penundaan. Bicara tentang penundaan inilah sebenarnya kekalahan itu sudah terjadi mulai dari pola pikirnya dan mulai dari asumsinya, kepercayaannya, itulah yang sudah lebih dulu mensabotase, menggagalkan diri orang itu sebelum dia bertindak.
H : Dan celakanya ini bukan pemikiran yang dangkal, tapi bisa dikatakan pemikiran yang dikatakan sebuah komitmen bawah sadar berarti itu pemikiran yang cukup kuat di dalam dirinya tapi tidak disadari.
SK : Bukan hanya tidak disadari tapi juga tidak mudah untuk digoyahkan. Jadi katakan komitmen, ini sesuatu yang dipegang erat, sumpah setia, berani mati demi keyakinan, sebagaimana kalau kita lihat mereka yang terjun di dalam dunia peperangan militer, mereka punya jiwa korsa, benar salah ini adalah kesatuan yang harus aku bela, ini bisa seperti itu semangatnya. Jadi dalam hal ini memang kita harus mengakui bahwa berhadapan dengan kebiasaan menunda itu tidak sekadar, "Ayo lakukan saja, mulai" "Karena kamu tidak punya pergumulan ini, jadi kamu gampang saja bicara" tapi orang yang punya kebiasaan dengan menunda sulit untuk menghilangkan pemikiran-pemikiran seperti itu, jadi dia sendiri harus mengerti kalau itu keliru dan baru itu terjadi proses pembaharuan, artinya dibuang yang keliru dan menanamkan pola pikir keyakinan yang benar baru itu akan terjadi.
H : Jadi langkah pertama yang penting dia harus menyadari memiliki komitmen dan dia harus meruntuhkan pilar komitmen ini.
SK : Dan kembali komitmen bukan sekadar pemikiran atau keyakinan yang sekadar pikiran yang sifatnya benar atau salah tapi ada akar emosional, kenapa menjadi komitmen dan tidak mudah dilepaskan, begitu berani mati untuk hal yang seperti ini karena ada ikatan emosional, pengalaman buruk di masa lalu yang melekatkan pikiran-pikiran atau asumsi yang keliru ini. Jadi bicara tentang penundaan akhirnya ada aspek yang bersifat pemulihan diri artinya pembaharuan aspek pengalaman buruk di masa lalu yang membangkitkan asumsi yang keliru ini, maka itu perlu dibedah, trauma-trauma pengalaman buruk ini yang bersifat emosional perlu dibongkar dan dia harus mengakui ada halangan-halangan emosional dilepaskan mungkin membutuhkan tindakan untuk pengampunan, sedia untuk berdamai lalu bisa lebih luntur.
H : Menarik sekali berarti akar emosionalnya sangat kompleks. Kalau boleh saya simpulkan sangat berkaitan erat dengan segala ketakutan yang telah kita bahas dalam sesi sebelumnya ada dalam internal dirinya. Kalau saya ingin menanyakan lebih jauh misalkan dari faktor eksternal apakah cukup berpengaruh bagi dia hingga dia memiliki komitmen bawah sadar begini?
SK : Memang faktor eksternal itu tentunya ada, karena adanya dukungan-dukungan tanpa disadari dukungan sekitar yang membuat itu semakin melekat dan itu bisa terjadi demikian.
H : Contohnya berkenaan dengan batas akhirnya yang diberikan oleh atasannya atau oleh dosen atau oleh gurunya itu bisa menjadi sebuah tekanan?
SK : Jadi memang berkaitan dengan batas akhir. Jadi orang yang menunda-nunda ini punya kebutuhan adanya batas akhir, batas akhir itu yaitu adalah batasan dari luar, jadi dengan adanya batasan dari luar inilah itu memberikan satu bentuk dorongan atau motivasi untuk dia mengerjakan tugasnya. Tapi kalau tidak ada batas akhir itu maka dia lunglai, jadi dia akan seperti lumpuh dan tidak punya motivasi untuk mengerjakan, menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya. Pergulatan orang yang menunda-nunda ini dia sendiri kurang punya motivasi internal, daya dorong dari dalam, dia butuh tekanan dari luar baru dia bisa bekerja dengan baik. Jadi dia sendiri memunculkan sebuah keyakinan bahwa dirinya menunjukkan kinerja terbaik hanya kalau bekerja di bawah tekanan dan memang dia caranya begitu, kalau tidak ada tekanan batas akhir dia lunglai dan tidak bisa melakukan yang terbaik dan sebuah studi di lapangan menunjukkan sayangnya bahwa keyakinan itu tidak benar demikian bahwa sebenarnya justru penundaan pengerjaan tugas, itu menghasilkan kompromi dan pengorbanan kwalitas kerja. Jadi sebenarnya apa yang dilakukan dengan adanya batas akhir tidak serta merta dia melakukan yang terbaik sesuai dengan potensinya, karena terjadi batas akhir diapun tidak melakukan proses penundaan dan dia kerjakan hanya pada hari-hari terakhir. Jadi sebenarnya hasilnya memang dikumpulkan tapi kwalitasnya lebih rendah daripada potensi yang sesungguhnya. Bicara tentang penundaan merupakan bentuk dari manajemen waktu yang bersifat merusak.
H : Jadi lagi-lagi ada kontradiksi?
SK : Betul.
H : Dalam diri si penunda itu dia merasa ini adalah motivasi yang baik kalau dibawah tekanan, tapi di sisi lain ternyata menunjukkan hal yang sebaliknya justru menurunkan kwalitas dan performanya.
SK : Betul. Jadi kebiasaan orang terbiasa menunda-nunda itu membela diri berpikir demikian, "Jika dapat menyelesaikan pekerjaan dalam jumlah yang sama maka tidak jadi soal mau dikerjakan lebih awal atau terlambat", beberapa bahkan berpendapat bahwa penundaan itu menciptakan gairah dan tekanan untuk menghasilkan kinerja puncak atau performa yang terbaik di bawah tekanan. Itu sebenarnya keliru, jadi ini didukung oleh penelitian yang bersifat studi longitudinal.
H : Seperti apa itu?
SK : Studi longitudinal itu adalah penelitian yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang yaitu jangka panjang mengamati pola beberapa orang, jadi ditemukan semula begini bahwa dalam awal semester ini kaitannya dalam dunia mahasiswa, pada awal semester penunda ini mengalami stres dan keluhan fisik yang lebih rendah daripada yang bukan penunda, itu di awal semester. Jadi awal semester orang yang suka menunda-nunda ini stresnya dan keluhan fisiknya kecil, "Masih awal semester, masih awal minggu, masih dua minggu, masih tiga minggu, nanti saja 'belanda masih jauh' " sementara yang tidak punya kebiasaan menunda awal semester saja dia sudah mulai stres, mulai tegang dan mulai agak pegal-pegal jadi memang awal semester yang menunda itu lebih damai sejahtera bersukacita dan minim keluhan fisiknya, tapi sebaliknya pada akhir semester orang yang terbiasa menunda-nunda mengalami stres dan keluhan fisik yang jauh lebih banyak daripada yang bukan menunda dan kalau dijumlahkan stres dan keluhan fisik di awal dan akhir semester ini maka akan ditemukan jumlahnya ternyata yang menunda ini jauh lebih banyak secara jumlah. Jadi memang di awalnya kesannya menang si penunda ini, tidak ada stres dan hidupnya merdeka, main-main dan dia melakukan apa pun yang dia sukai asal tidak mengerjakan tugas kuliah, tugas proyek, paper atau apa pun dan stresnya nanti belakangan. "Tidak apa-apa yang penting 'kan nanti selesai, bedanya kamu yang sok rajin stresnya di awal. Kalau aku menikmati stresnya di belakang" itu belum lengkap kalau dijumlah stresnya awal dan akhir ternyata yang tidak menunda ini yang mempunyai pola manajemen gaya hidup yang lebih baik ini jumlah stresnya lebih kecil. Inilah sesuatu yang kadang atau umumnya mungkin beberapa pelaku menunda ini tidak menyadari.
H : Saya percaya ada kerugian yang lainnya yaitu hasil nilainya juga pasti lebih buruk dibandingkan yang bukan penunda.
SK : Tepat sekali. Jadi kalau si penunda bicara bahwa performanya terbaik di bawah tekanan, itu sebenarnya jauh dari realitas.
H : Itu pikirannya sendiri?
SK : Itu pikirannya, asumsi yang keliru itu tadi.
H : Baik.
SK : Jadi kalau bicara tentang penundaan itu justru menambah beban stres dan keluhan fisik. Menunda itu menerima nilai yang lebih rendah kemudian keuntungan jangka pendek tapi kerugiannya jangka panjang. Dia mengalami yang awalnya relaks damai sukacita, itu keuntungan jangka pendek tapi kerugiannya jangka panjang dialami.
H : Saya tertarik sekali dengan penjabaran studi-studi seperti ini dan saya ingin bertanya apakah ada studi yang berkaitan juga dengan beberapa kali Bapak menyinggung-nyinggung tentang kesempurnaan, ada studi-studi yang mengaitkan tentang hal itu?
SK : Tentang kesempurnaan ini ada sebuah studi atau beberapa studi yang menyimpulkan bahwa penundaan yang terus-menerus ini bukanlah pendekataan yang efektif untuk memberi hasil kerja yang sempurna. Jadi justru pelaku penundaan menghabiskan jumlah waktu yang tidak proporsional untuk suatu proyek dibandingkan dengan proyek lainnya. Bahkan beberapa penundaan tidak pernah berhasil menyelesaikan tugas karena terus-menerus berkonsentrasi pada satu bagian dalam usahanya menghasilkan karya yang sempurna. Jadi sesungguhnya sebuah ironi kegagalanlah dan bukan kesuksesan yang terjadi sejak suatu bagian dikerjakan, sesuatu secara berlebihan dengan mengorbankan bagian tugas lainnya. Jadi misalnya kalau digambarkan lebih konkret kaitannya dengan sebuah proyek. Proyek ini ada bagian A, B, C, D dia begitu mengejar kesempurnaan di bagian A dan terus diotak-atik akhirnya hanya tinggal 2 minggu harus diselesaikan proyek itu dan ada bagian lain B, C yang belum selesai dan akan dikejar dikerjakan di menit-menit terakhir. Akhirnya memang luar biasa tapi B, C, D, E nya kedodoran. Jadi sebenarnya jauh dari kesempurnaan yang dia capai. Ada sebuah bentuk asumsi yang tidak terjadi atau keliru dan berpikir, harus sempurna. ada yang terbaik di sana, itu adalah asumsimu tapi realitasnya jauh, seperti bumi dari langit.
H : Lagi-lagi ada kontradiksi, ini bisa jadi hikmah sendiri dan mungkin Bapak bisa simpulkan dari studi ini?
SK : Dan ini bisa justru ketika mengejar kesempurnaan malah benar-benar hasil yang tidak sempurnalah yang didapatkan yaitu kegagalan menyelesaikan tugas maupun hasil kerja yang buruk, karena ketika kita mengejar kesempurnaan kita menjadi cenderung berfokus pada satu hal dan mengabaikan gambar besarnya bahwa masih ada bagian lain yang perlu dikerjakan.
H : Menarik sekali studi-studi seperti ini karena betul-betul studi ilmiah, kalau itu dipaparkan bisa membuka wawasan terutama bagi pendengar atau orang-orang yang punya kecenderungan suka menunda-nunda, jadi mereka bisa melihat ternyata asumsi selama ini keliru. Yang ingin saya tanyakan selain studi mengenai kesempurnaan atau studi yang barusan kita bahas, ada studi apa lagi yang bisa menolong para pendengar ini?
SK : Yaitu yang berkenaan dengan ini tentang pembentukan keyakinan diri atau kepercayaan diri. Jadi ditemukan dalam penelitian lapangan orang yang suka menunda-nunda tumbuh keyakinan bahwa kinerja atau hasil kerjanya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor keberuntungan atau faktor yang bersifat situasional atau eksternal. Jadi saya berhasil dan kebetulan memang ada keberhasilan, karena ini kurang persiapan dan kurang mengerjakannya dengan tuntas. Misalnya kalau mahasiswa, dilihat belajarnya mendadak, sistem kejar semalam dan ternyata nilainya bagus tapi bagusnya dia merasa ini bukan hasil kerja kerasku, kebetulan soal yang keluar itu sesuai dengan bab yang aku pelajari dan kebetulan gurunya sakit atau dosennya sakit sehingga ditunda dan akhirnya aku masih bisa belajar lagi dan ternyata hasilnya bagus. Jadi ada faktor-faktor dari luar. Dan sementara mereka yang tidak menunda memiliki kebiasaan belajar dan mengerjakan tugas dari awal secara baik, dia meyakini akhirnya tumbuh kepercayaan diri bahwa aku mendapatkan hasil bagus karena aku belajar dan karena aku setia, karena aku tekun, karena aku bekerja keras sejak dari awal dan konsisten sampai akhir. Dia membentuk keyakinan aku berhasil dan aku bisa, aku berhasil karena faktor keberuntungan belaka.
H : Dan celakanya selalu menantikan keberuntungan itu.
SK : Iya, karena itu menghasilkan dua pribadi yang berbeda. Jadi yang terbiasa menunda akhirnya kurang percaya diri dan kurang yakin dengan kemampuan dirinya, sementara yang tidak punya kebiasaan menunda akhirnya terlatih dan bersedia menerima tantangan dan ini bukan sombong. Jadi keyakinan diri yang sehat karena sesuai dengan potensi yang Tuhan berikan dan ia lakukan setia dalam perkara kecil maka perkara yang lebih besar dia siap menyambut dengan keyakinan dan sukacita.
H : Kalau boleh saya menyimpulkan seluruh pembicaraan kita pada sesi kali ini ternyata itu mulai dari pikiran yang meracuni, asumsi yang keliru kemudian ditambah dengan ada faktor eksternal yang membuat pembenaran-pembenaran akhirnya menjadi sebuah karakter atau sesuatu yang melekat dalam dirinya.
SK : Benar, saya sepakat.
H : Di akhir perbincangan kali ini apa ada ayat yang ini Bapak sampaikan?
SK : Saya bacakan dari Efesus 5:15, "Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif". Jadi kita perlu memperhatikan apa yang kita lakukan di dalam hidup ini dan kita perlu mengenali dan mengkritisi kebiasaan-kebiasaan kita karena apa yang kita lakukan atau tindakan kita, kebiasaan kita itu ternyata sebagaimana Pak Hendra simpulkan tadi tidak sesederhana yang kita jaga. Jadi membentuk sistem nilai dan keyakinan kita tentang siapa kita, tentang kemampuan kita. Jadi jangan pandang remeh dalam hal ini tindakan menunda, kebiasaan menunda-nunda ini. Ini menghancurkan hidup kita dan jangan memikirkan hanya menunda, hanya aspek pekerjaan, hanya aspek rumah tangga. Tidak sesederhana itu! Kita ini manusia yang satu kesatuan sebuah tindakan apalagi kebiasaan yang berulang-ulang itu membentuk kembali konsep atau gambar diri kita, sistem nilai kita, maka mari perhatikan bagaimana kita hidup dan jadilah orang yang arif. Tuhan memberkati!
H : Terima kasih Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menunda-nunda" bagian ketiga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
67. Menunda-nunda 4 | |
Kebiasaan menunda dapat diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia: menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya, mulai dari motivasi hingga penghargaan diri dan kepercayaan diri seseorang. Pengalaman menunda-nunda bagaikan hidup di kereta luncur (roller coaster) emosi. Suasana hati naik turun setiap kali mencoba untuk membuat kemajuan dan cenderung surut setiap kali ingin bergerak ke arah kemajuan. Siklus ini dapat berlarut-larut selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Dapat pula bergerak dengan begitu cepat dalam suatu momen. Penting untuk mengenali apa saja akar masalahnya dan menangani siklus penundaan ini dengan tepat.
Kebiasaan menunda-nunda mengganggu hidup kita dan menciptakan serombongan masalah dari kehilangan peluang sampai ke kegagalan dalam bekerja dan masalah keuangan. Kebiasaan menunda dapat diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia: menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya, mulai dari motivasi hingga penghargaan diri dan kepercayaan diri seseorang. Dalam istilah lain, bisa disebut sebagai sindrom "saya akan melakukan besok". Pergulatan dengan kebiasaan menunda ini tidak mengenal batas ras, etnis, jenis kelamin, usia dan profesi maupun iman keyakinan seseorang.
Penundaan berarti: menangguhkan untuk mengerjakan sesuatu hingga akhirnya terlambat. Dari segi manajemen waktu, mengerjakan tugas atau aktivitas berprioritas rendah lebih daripada tugas atau aktivitas yang berprioritas tinggi. Kegagalan untuk memulai atau menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas dalam rentang waktu yang ditetapkan. Respons atau tanggapan terhadap:
Tindakan sia-sia menangguhkan tugas yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada diri pelaku. Perilaku atau tingkah laku saat seseorang dengan sengaja menangguhkan hingga muncul perasaan cemas dan perasaan bersalah; akan tetapi, tindakan ini dilakukan secara berulang-ulang (kompulsif).
JENIS PENUNDAANPenundaan pengambilan keputusan dan penundaan perilaku terkadang dilakukan bersama-sama. Penundaan perilaku sering merupakan kelanjutan dari penundaan pengambilan keputusan.
FAKTOR-FAKTOR PENUNDAANYesaya 43:4a, "Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau".
Kepercayaan yang membangun Komitmen-Bawah-Sadar Penunda mencerminkan cara berpikir yang menjauhkan pelaku penunda dari membuat kemajuan. Menyadari diri berpikir tidak realistik merupakan langkah yang dibutuhkan dalam mengatasi penundaan tetapi tidaklah cukup. Penundaan memiliki akar emosional yang kompleks.
SIKLUS PENUNDAANPengalaman menunda-nunda bagaikan hidup di kereta luncur (roller coaster) emosi. Suasana hati naik turun setiap kali mencoba untuk membuat kemajuan dan cenderung surut setiap kali ingin bergerak ke arah kemajuan. Siklus ini dapat berlarut-larut selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Dapat pula bergerak dengan begitu cepat dalam suatu momen.
Berikut komentar-komentar yang muncul sejalan dengan siklus tersebut beserta dinamikanya.Amsal 6:10-11, "Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring". Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.
Penundaan tidaklah ringan dampaknya!Pelakunya tidak menyadari hal tersebut. Penundaan bukan semata-mata aspek perilaku, tapi pikiran (kognitif) dan juga ada aspek emosi (afeksi). Berbicara tentang penundaan cukup kompleks, menyangkut pengalaman di masa lalu. Dari faktor eksternal juga cukup berpengaruh, seperti :
Menghadapi semua akar masalah tersebut, akui di hadapan Tuhan atau datang kepada hamba Tuhan atau konselor yang akan menolong kita membereskan akar masalah tersebut.
Roma 12:2a "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu". Hadapilah semua ini bersama dengan Tuhan, bersama dengan saudara-saudara seiman dan orang-orang yang mengasihi kita.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Menunda-nunda" bagian keempat. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kita sudah membahas panjang lebar mengenai topik menunda-nunda. Di sesi ini kita semua ingin tahu apa solusi untuk mengatasi kebiasaan menunda-nunda ini?
SK : Ada beberapa hal yang perlu kita cermati dan lakukan. Yang pertama adalah kita perlu lebih dulu mengamati diri kita sendiri, mengobservasi, memonitor diri kita supaya kita kenali pola kita seperti apa. Yang pertama, dalam hal apa kita biasanya menunda-nunda. Apakah dalam hal pekerjaan atau dalam hal mengerjakan tugas bagi mahasiswa. Kalau tugas, tugas yang seperti apa, mata kuliah apa? Atau dalam hal urusan administrasi pribadi misalnya membayar pajak, seperti pajak STNK, BPKB atau dalam aspek membayar iuran RT. Atau aspek kerumahtanggaan, seperti menunda-nunda cuci piring, menunda-nunda periksa gigi kalau giginya sakit, menunda-nunda mengerjakan tugas pelayanan. Itu perlu kita kenali. Makanya kita perlu mengamati diri, coba monitor selama beberapa hari sampai dua minggu, di sisi mana. Yang lain yang perlu kita monitor adalah kita menunda dalam bentuk bagaimana. Misalnya ada orang yang ketika menunda itu terjadi yang dia lakukan itu apa, misalnya menghabiskan waktu nonton sinetron, televisi, mestinya mengerjakan tugas tapi dia menonton TV di rumah. Yang lain membuka internet. Waktu di kantor dia menunda pekerjaannya akhirnya dia mencari berita-berita di internet. Atau mungkin ketika semestinya mengerjakan tugas, dia malah bersih-bersih merapikan file-file di kantor atau sibuk untuk melakukan hal yang lain. Kita perlu mengenali bentuk pelarian kita. Yang terakhir, apa yang biasanya kita ucapkan secara kata-kata atau dalam hati. Pembenaran apa yang kita lakukan. Misalnya, "Memang ini belum lengkap, bagaimana mau dikerjakan? Wajar 'kan kalau saya tunda? Saya tunggu sampai lengkap." Atau "Saya kurang fit, terlalu sibuk dan lelah, makanya tidak saya kerjakan." Nah, kita cari kalimat-kalimat apa yang biasa kita lontarkan dalam kata-kata atau dalam hati dan pikiran, supaya dengan kita mengamati ini kita akan lebih jitu memberikan terapinya apa, obatnya apa, bentuk perimbangannya apa.
H : Jadi yang pertama adalah observasi memonitor diri yang intensif. Mengamati dari segi apa saja yang suka dia tunda, apa yang dia lakukan ketika menunda, kemudian apa pembenarannya dia melakukan penundaan itu.
SK : Betul.
H : Setelah dia melakukan fase pertama memonitor diri, apa yang harus dilakukan berikutnya?
SK : Berikutnya, ini bisa dilakukan secara umum. Yang pertama pecahlah tugas itu menjadi bentuk yang lebih kecil. Misalnya proyek mengerjakan laporan tahunan. Dari Januari sampai Desember, kapan selesainya? Akhirnya ditunda. Nah, lebih baik di kapling-kapling. Misalnya yang bulan Januari dikerjakan tanggal 10-12 Nopember, laporan untuk Pebruari dikerjakan pada 14-16 Nopember. Silakan dipecah-pecah sehingga yang raksasa itu menjadi pecahan yang bagi kita realistik. "Ah, ini 'kan kecil yang dikerjakan, baiklah." Jadi tidak menimbulkan rasa takut dan cemas. Berikutnya, mari kita kerjakan hal-hal yang kurang menyenangkan, yang mudah kita tunda itu di waktu terbaik kita. Misal jam terbaik kita adalah pagi hari. Bangun pagi kita merasa segar. Ya, jangan membaca koran dulu. Jangan buka internet atau ngerumpi dulu dengan teman-teman di kantor. Kerjakan yang tidak kita sukai, di saat kita fit secara fisik dan psikis. Jadi kita perlu me-manage waktunya. Kerjakan hal-hal yang kurang menyenangkan di saat pagi hari atau di saat energi pikiran, fisik dan mental kita masih maksimal.
H : Mungkin ini juga berlaku untuk jangka panjang, Pak. Misalnya untuk mahasiswa dalam waktu satu semester di awal semester energinya masih besar. Mungkin di awal-awal itu dia bisa mengerjakan yang kurang menyenangkan, begitu?
SK : Betul. Supaya nanti di saat fisik mulai loyo, pikiran mulai jenuh, hal-hal yang menyenangkan itu menjadi 'reward', imbalan, penghargaan. Dan karena kita senang terhadap hal itu, maka walaupun energi fisik, pikiran kita mulai melemah, itu gampang saja kita kerjakan.
H : Apa lagi, Pak?
SK : Tips yang lain, jangan menunggu mood atau suasana hati. Awali, kerjakan dulu, menangkan sisi awal. Jangan lupa, persoalan menunda itu bukan hanya persoalan gagal menyelesaikan tugas tapi juga kegagalan memulai untuk mengerjakan tugas. Awali dulu! Sekalipun mood-nya tidak ada. Saya mengamati pemain piano. Mereka berlatih tidak selalu dalam mood yang bagus. Pokoknya kerjakan saja. Fisik saja, walau hati dan jiwanya tidak mood, tidak apa-apa, kerjakan saja. Tindakan fisik, karena terus memainkan piano itu lama-lama muncul mood-nya. Nah, sama dalam hal ini saya mau meluruskan beberapa asumsi bagi yang punya temperamen melankolik, yang memiliki jiwa seniman. "Saya menunggu wangsit! Menunggu roh inspirasi itu menghinggapi saya. Baru saya kerjakan." Nanti dulu, semangat atau mood itu bisa kita ciptakan. Dalam hal ini saya terkesan waktu saya belajar mengamati sebuah pemaparan, ternyata seniman di negara-negara maju, mereka tidak bekerja berdasarkan mood, tapi berdasarkan proyek, komitmen, jadwal, disiplin. Jadi mood suasana hati itu bisa diciptakan. Ketika tidak ada mood, ya cari cara bagaimana agar mood itu muncul. Misalnya bicara dulu dengan orang lain, menciptakan idenya, mencari pemandangan lain, peristiwa, tindakan, suasana, supaya moodnya muncul. Begitu mood muncul, langsung kerjakan. Jadi mood tetap perlu, tapi jangan menunggu, tapi ciptakan, 'jemput bola'.
H : Jadi ini rahasia para seniman besar. Bukan karena menunggu mood, mereka justru mengupayakan mood.
SK : Betul dan itu diawali dengan tindakan mendisiplin diri. Bekerja berdasarkan sebuah komitmen. Dari komitmen itu menghasilkan mood.
H : Selain itu, tips apalagi yang bisa Bapak berikan?
SK : Berkaitan seperti tadi, mulailah dalam ketidak sempurnaan. Jangan mengejar hasil yang luar biasa di awal. Jangan! Apa yang bisa kerjakan, kerjakan lebih dulu. Kembali, penundaan masalah mengawali, bukan mengakhiri. Jadi awalilah. Misalnya untuk mahasiswa, "Bukunya 'kan belum lengkap!" tidak apa-apa, seberapa buku yang ada mulailah lebih dulu. "Saya belum observasi, belum meneliti semuanya" Tidak apa-apa, apa yang ada kerjakan dulu, mulai dulu. Sama juga "Semua orang belum datang, kenapa tidak menunggu semua datang?" Tidak apa-apa, seberapa yang ada mulailah dulu. Penting untuk memulai secara dini. Jadi dengan cara demikian akhirnya kita tidak merasa berhadapan dengan raksasa. Ketika kita menunggu semuanya lengkap, bukunya lengkap, nanti kita kebingungan, "bagaimana ya cara merumuskan, mengekstraknya? Aduh berat sekali." Begitu kalau kita menunggu semua lengkap akhirnya juga kebingungan bagaimana memulainya, mulai dari mana. Maka mulailah dari yang kecil-kecil dulu. Hati-hati juga dengan mencari pola pembenaran diri rasionalisasi. Akhirnya kita sibuk bersih-bersih, sibuk BBM-an, sibuk membaharui status media sosial kita, hati-hati dengan bentuk-bentuk pelarian ini. Jadi kalau kita melarikan diri bukan pada waktunya kegiatan-kegiatan hiburan, itu sudah ciri kalau kita sedang menunda.
H : Artinya, kalau tadi Bapak memberikan saran kita harus memulai memperjuangkan bahkan memenangkan awalan atau titik mulai itu, ketika sudah memulai, sekalipun tidak sempurna, sudah dimulai tapi kok berantakan, tetap lanjutkan ya, Pak?
SK : Betul. Tindakan yang sangat bijak, Pak Hendra.
H : Dan itu salah satu obat untuk mengatasi penundaan ya, Pak?
SK : Ya.
H : Ada tips yang berkaitan tentang reward atau hadiah, Pak? Biasanya 'kan hadiah itu efektif untuk menguatkan dorongan motivasi bagi internal diri?
SK : Saya sepakat. Reward adalah hal yang penting. Ciptakan hadiah-hadiah kecil. Jangan menunggu hadiah-hadiah besar. Misalnya bisa mengerjakan satu bab, beri hadiah. Bisa mengerjakan laporan dalam satu jam, beri reward. "Akhirnya aku bisa menyelesaikan laporan dalam satu jam." Tidak apa-apa setelah itu 5-10 menit meregangkan otot, jalan-jalan, melihat HP kita. Nanti setelah kita mengerjakan satu hari, buat pesta kecil, atau makan bakso, makan nasi goreng, makan sesuatu yang menyenangkan. Saya bukan menyarankan berhura-hura atau sesuatu yang butuh uang banyak, tidak! Ciptakan hadiah-hadiah kecil. Belajar menghargai diri sendiri. Kadang kita tumbuh besar menjadi orang yang menghargai diri. Baru kalau juara satu, baru dirayakan, atau kalau ulangtahun saja. Itu akhirnya membuat kita kurang mencintai diri kita dan kurang menghargai diri sendiri. Mari sukses kecil apa pun, buatlah perayaan kecil.
SK : Kelihatannya Pak Sindu berpengalaman tentang membuat hadiah-hadiah kecil seperti ini ya, Pak?
H : Ya, itu salah satu cara saya untuk termotivasi dan bertekun. Kalau cerita pengalaman kecil, misalnya saya ingat kalau saya lelah saya butuh renang. Waktu renang saya punya target 12 kali bolak balik di kolam renang sedang. Saya coba melakukan 5 kali, akhirnya saya rileks, tidak memaksa dan menikmatinya. Setelah 5 kok enak, baru yang ke-6 dan ke-7. Bentuk-bentuk menurunkan target akhirnya menikmati suatu reward. Kenapa? Karena saya melakukan hal yang kecil lebih dulu. Ini menolong untuk hal-hal yang besar.
H : Termasuk misalnya menonton televisi juga bisa dijadikan reward ya, Pak? kalau yang tadi televisi dijadikan pelarian, dia menunda-nunda pekerjaan malah menonton televisi. Seharusnya dibalik ya, menonton televisi menjadi reward-nya.
SK : Tepat. Jadi tindakan yang kita senangi, seperti menonton televisi, membaca koran atau membaharui status media sosial, mari kita letakkan di akhir sebagai reward. Atau di tengah-tengah sebagai reward.
H : Selain reward, apa lagi, Pak?
SK : Buatlah target yang realistik dan terasa tidak membebani. Mirip seperti yang sebelumnya ya. Misalnya pagi ini baca dua halaman saja, seperti sharing saya tentang renang, saya mengerjakan 5 kali bolak-balik. Diawali dari 1 kali, kemudian 2 kali, kok bisa lanjut, maka tambah 1 kali putaran lagi. Jadi buatlah target yang kecil, pendek, realistik dan tidak membebani. Katakan kepada diri sendiri, cukup baca dua halaman, cukup selesaikan satu laporan lebih dulu. Kemudian beri reward kecil. Selesaikan laporan yang kedua, beri reward kecil, laporan yang ketiga dan seterusnya. Bayangan raksasa itu akhirnya menjadi kurcaci atau semut yang bisa kita mudah kerjakan. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
H : Kalau boleh saya menggabungkan saran-saran Bapak tadi, Bapak berkata di awal-awal kita harus menggunakan energi terbaik kita untuk mengerjakan tugas yang paling tidak kita sukai, itu biasanya tugas yang paling berat. Nah dalam konteks ini, ketika kita melakukan tugas terberat itu, mungkin kita melakukan bagian yang kecil-kecil ya, Pak? Yang penting tetap disentuh?
SK : Betul. Mari bagian yang tersentuh itu juga kita rayakan. Jangan, "Cuma satu halaman, cuma satu. Apa sih, tidak ada artinya". Jangan seperti itu. Mari hargai diri, puji diri hebat. Katakan, "Aku hebat. Terima kasih, Tuhan. Aku mampu!" menyemangati diri. Semangat, semangat!! Itu penting!
H : Saya rasa dengan dia melakukan perubahan seperti itu, akan menjadi kejutan tersendiri yang bisa menjadi mata rantai ke motivasi berikutnya, Pak?
SK : Betul, sukses-sukses kecil itu penting. Perayaan-perayaan kecil itu membangkitkan motivasi yang lebih besar dan akhirnya sukses yang juga lebih besar.
H : Kembali ke isu kesempurnaan, saya terpikir kalau orang yang suka menunda ternyata dalam dirinya ada impian yang tidak realistik tentang kesempurnaan, berarti dia mengharapkan segala sesuatu yang dia kerjakan adalah 'master piece', karya agung. Bagaimana cara mengubahnya, Pak?
SK : Betul, ciptakan pola pikir baru bahwa tidak semua hal harus menjadi 'masterpiece'. Tekankan sisi produktifitas. Lebih baik mengerjakan 5 — 10 hal dimana salah satunya 'masterpiece' daripada hanya mengerjakan 2 hal 'masterpiece' tapi diwarnai dengan depresi, penundaan, rasa bersalah. Jadi kerjakan. Jangan semuanya harus selalu jadi 'marterpiece'. Kita perlu realistik. Sebenarnya kepuasan ketika kita bisa mengerjakan beberapa hal sekali pun tidak semuanya 'masterpiece', kita akan lebih puas daripada kita mengerjakan 1-2 hal, padahal kapasitas bisa kita kerjakan 10 hal. Walau keduanya 'masterpiece' tapi melewati proses yang sangat menciderai, mensabotase diri kita. Ingat, pikiran untuk selalu menciptakan 'masterpiece' itu sebenarnya mengarahkan kita pada takut gagal dan takut sukses. Pikiran untuk selalu menghasilkan yang sempurna, terbaik dan 'masterpiece' itu yang perlu kita waspadai.
H : Menarik sekali waktu Bapak katakan kita harus mewaspadai pikiran ini. Bukan 'masterpiece' tetapi produktivitas. Tetapi 'kan ada kesulitan bagi orang awam kebanyakan untuk mengetahui batasan. Batasannya seperti apa, produktivitas tapi tidak mengejar kesempurnaan? Mungkin Bapak bisa membantu mengkonkretkannya.
SK : Poinnya jelas tentang kalkulasi waktu. Artinya begini, misalkan kita punya batasan umum jam kerja 7 — 8 jam per hari. Mari dalam 7 - 8 jam atau bagi orang yang masih studi, katakan 10 jam maksimal, atau bagi yang masih lajang 12 jam maksimal. Itu saja, jangan sampai melebihi itu sehingga tercipta pola hidup yang tidak seimbang atau mengarah kepada 'workaholic' atau kecanduan kerja. Katakan dalam 8 — 12 jam itulah waktu optimalitas kita untuk bekerja, berkarya, studi mengerjakan tugas-tugas. Seberapa yang bisa kita kerjakan, itulah batas produktivitas kita. Yang penting melakukan, tidak mengerjakan kesempurnaan. Nanti kadang yang tidak ingin kita jadikan 'masterpiece' itu malah jadi 'masterpiece'. Karena kita mengerjakan sedikit demi sedikit, lama-lama muncul untuk mengedit, akhirnya menjadi 'masterpiece'. Tapi kalau orang mengawali dengan pikiran untuk 'masterpiece', maka sulit untuk memulai, sulit untuk meneruskan dan mengakhirinya pun dengan tertatih-tatih. Namun kalau orang mengawali tidak dengan keinginan menjadikannya 'masterpiece', beban mentalnya lebih ringan, dia lebih produktif mengerjakan dengan hati yang lapang, justru yang lancar ini bisa jadi 'masterpiece'.
H : Jadi pola pikirnya jangan menekan?
SK : Tepat. Kerjakan sesuatu dengan sukacita, yang menyenangkan hati kita. sesuatu yang senang 'kan hasilnya akan lebih optimal. Daripada mengerjakan sesuatu dengan rasa tertekan atau depresi.
H : Dan dalam hal batasan waktu kalau dia bisa mengerjakan dari jauh-jauh hari, meskipun dia kerjakan dengan rileks dia punya cukup banyak waktu untuk mengevaluasi kekurangan-kekurangannya ya, Pak? Dan akhirnya malah bisa jadi 'masterpiece' yang tidak disadari, Pak?
Sk : Betul.
H : Adakah tips lain yang Bapak bagikan sebagai solusi?
SK : Yaitu belajarlah untuk mendelegasikan beberapa tugas. Beberapa orang yang mengejar kesempurnaan menangani semuanya sendirian. "One man show". Belajarlah untuk berani mendelegasikan. Artinya jangan belajar untuk pasang target yang semuanya sempurna. Akhirnya semuanya harus kita kerjakan. Belajarlah untuk mempercayakan diri. Ini nanti berkaitan dengan akar masalah yang akan kita bahas di bagian akhir. Prinsipnya secara manajemen, belajar melibatkan orang lain. Apa yang bisa dikerjakan orang lain, kita percayakan pada mereka, sekali pun hasilnya tidak tepat persis seperti yang kita harapkan, belajarlah berdamai. Dan itu yang lebih sehat.
H : Yang menarik mengenai akar masalah. Maksudnya seperti apa, Pak?
SK : Sebelum saya menyinggung akar masalah itu, kaitannya nanti juga dengan orang lain ini saya tambahkan tips, yaitu daftarkan beberapa dukungan dari orang lain. Jadi ciptakan 'support group', dukungan sosial. Kalau kita punya keterbelengguan dengan penundaan, mari jangan hadapi itu dengan diri kita sendiri, tapi mari sharing berbagi cerita pada pasangan hidup, rekan kerja, sahabat atau rekan pelayanan di gereja. Ceritakan masalah ini dan kita membuat komitmen pada 1-2 orang, kalau kita mau menghentikan kebiasaan ini. Mungkin kita minta tips dari mereka, berdiskusi atau misalnya membuat proyek bersama, tugas yang bisa kita tunda. "Oke, tolong bantu aku cek untuk melakukan ini." Kalau kita sedang berhenti, apa yang orang lain bisa lakukan untuk kita? Kadang kita yang membuat kita malah stres. Mungkin kita bisa meminta bantuan "Kalau aku lagi berhenti, tolong temani aku berdiskusi." Ini memang sebuah proses pengenalan diri, ya. Tapi intinya mulailah dari melibatkan orang lain. Kita akan temukan pola apa yang bisa orang lain bantu supaya berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Itu akan lebih ringan. Karena menghentikan kebiasaan menunda itu tidak semudah membalikkan telapak tangan kita. Jadi mari ciptakan dukungan, berani sharing, termasuk 'social reward'. "Tolong kalau aku berhasil, tolong puji aku ya!" Kita ciptakan penghargaan, dukungan, pujian dari orang-orang terdekat kita.
H : Dan ini bisa dilakukan oleh orang-orang yang mengerti, mendukung dan mengasihi kita ya, Pak. Jadi orang-orang yang ada di lingkaran dekat kehidupan kita.
SK : Betul. Termasuk bermain bersama. Kita kadang 'kan terlalu murung dengan tugas-tugas, ajak orang itu untuk bermain. "Aku lesu. Apa yang bisa membangkitkan semangatku?" supaya menjadi pendamping kita di tengah krisis ancaman penundaan itu.
SK : Saya masuk ke akar masalah. Akar masalah berkaitan dengan 5 faktor penundaan itu. Kaitannya dengan takut gagal. Takut gagal itu sebenarnya mengejar kesempurnaan. Bahwa nilai dirinya ditentukan oleh kinerja. Jadi ini bicara tentang bagaimana kita membenahi nilai diri kita. "Aku berharga bukan karena kinerjaku. Takut sukses juga begitu, bahwa aku berharga karena aku dikasihi dan diterima orang lain. Yang takut kalah juga begitu, bahwa soal menunda. Kenapa? Dia pertempuran tentang nilai diri. Kalau aku mengerjakan apa yang orang mau, berarti aku kalah. Jadi dalam hal ini, kalau kita punya akar-akar ini, mari kita bereskan. Datang kepada Tuhan, mengaku, "Tuhan, aku tidak merasa berharga. Nilai keberhargaanku kalau aku dihormati, diterima orang lain dan kalau aku menang atas orang lain. Ini bentuk yang tidak sehat, Tuhan, bukan sesuatu yang dari dalam tapi hanya bersifat kosmetik. Aku terluka, Tuhan." Mari kita akui kalau kita mengenal pengalaman-pengalaman apa yang buruk dan membentuk pola-pola nilai diri yang keliru itu. Kita akui. Kalau kita belum mengenali, mari minta Tuhan mengingatkan. Mungkin memang cara yang lebih baik dan lebih mempermudah, kita bisa datang kepada seorang konselor. Atau mungkin seorang hamba Tuhan yang mengerti tentang pelayanan seperti ini. Supaya menjadi rekan doa dan menggali apa akar masalah kita. Pengalaman buruk apa yang terjadi, supaya diangkat ke permukaan, dibereskan dan akhirnya dengan kita mengurai akar-akar emosional, maka asumsi yang keliru dan bersifat bawah sadar itu lebih mudah kita serahkan sesudah kita tanggalkan. Dan mulai menanamkan pola pikir yang baru sambil menerapkan beberapa tips tadi. Termasuk menciptakan dukungan sosial dari teman atau keluarga kita. Tentang akar masalah, ada tiga ketakutan yang tadi ditambah takut berpisah bahwa aku merasa tidak lengkap kalau aku tidak bergantung pada orang lain. Ada yang takut kelekatan, bahwa aku tidak mau dekat dengan orang lain karena aku punya pengalaman buruk berdekatan dengan orang lain. Berarti 'kan ada trauma. Kaitan dengan relasi. Keberadaan diri dan juga keterlukaan. Mari kita datang pada Tuhan, kenali akarnya, mengakui, datang juga pada konselor, hamba Tuhan untuk menolong kita membereskan akar-akar emosional, trauma-trauma keterlukaan ini. Tips tadi bersifat aspek terapan praktis, jangan lupa ada akar yang sifatnya emosional bahkan spiritual. Ini juga perlu kita hadapi dan selesaikan supaya akar kebiasaan menunda itu bisa kita urai dan lebih menjauh dari pola penundaan yang menghancurkan diri kita sendiri itu.
H : Jadi intinya kita berharga sebagaimana adanya kita di hadapan Tuhan, Pak? Bukan karena kita mengejar melalui kinerja atau melalui relasi dengan sesama bahkan relasi dengan diri sendiri, seperti itu.
SK : Betul.
H : Terima kasih untuk seluruh penjabaran solusi yang saya percaya sangat menolong semua pendengar dan semua orang yang mengikuti pembahasan kita ini. Di akhir sesi ini apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan?
SK : Saya bacakan dari Roma 12:2, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna." Jadi kata pembaharuan budi itu dalam bahasa aslinya itu 'Nous' yang bicara tentang jantung atau pusat kehidupan. Bukan hanya tentang pikiran secara kognitif tapi juga tentang emosi, perasaan juga kehendak ada di dalamnya. Inilah yang tadi kita bahas tentang solusi penundaan. Perubahan itu memerlukan perubahan dalam pola pikir, pola rasa, pola perilaku kita, jadi bersifat holistik. Mari kita hadapi semua ini bersama Tuhan, bersama saudara-saudara seiman dan orang-orang yang mengasihi kita, kita ikut sertakan untuk menghasilkan perubahan yang lebih berakar dan lebih bermakna.
H : Terima kasih Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topic "Menunda-nunda" bagian keempat. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
68. Seni Menegur 1 | |
Menegur dapat menjadi bagian yang tersulit dalam hubungan kita dengan orang lain. Seringkali kita memandang menegur sesame kita sebagai sebuah pilihan, namun sesungguhnya kita perlu memandang menegur dengan lebih serius seperti dalam Yakobus 5:19-20. Bagaimana langkah-langkah menegur? Bagaimana cara menegur dengan tepat? Apa maksud menegur adalah sebuah seni?
Bagi kebanyakan dari kita, menegur adalah bagian yang paling sulit dalam hubungan dengan orang lain. Tetapi sesungguhnya sangat penting dalam hubungan yang baik. Bukankah Alkitab sendiri berisi teguran-teguran.
Gagal menegur saat harus menegur dapat menjadi dosa. Kita cenderung melihat bahwa menegur orang lain hanyalah sekadar suatu pilihan dalam hidup. Namun kita perlu melihatnya dengan lebih serius sebagaimana Allah melihatnya. Ayat Alkitab yang menggarisbawahi tentang menegur ada di Yakobus 5:19-20, "Saudara-saudaraku, jika ada di antara kamu yang menyimpang dari kebenaran dan ada seorang yang membuat dia berbalik, ketahuilah, bahwa barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa". Menegur sesungguhnya dilatarbelakangi semangat kasih, bukan semangat sakit hati. Di dalam menegur ada unsur menasihati, tapi bukan memarahi. Menegur yang paling efektif lebih baik dalam bentuk dialog, bukan monolog.
Langkah-langkah mempelajari seni menegur dengan baik adalah :Berkenaan yang relasi yang baik, kita bisa membandingkan dengan tabungan emosi. Ketika kita berbuat baik, kita sedang mengisi tabungan emosi. Namun pada waktu kita menegur atau mengeluarkan kata-kata yang menyinggung, kita sedang menarik dari tabungan emosi. Kalau tabungan emosi banyak ditarik maka akan defisit sehingga relasi terganggu. Jika kita banyak melakukan hal-hal yang baik, menunjukkan kepedulian, tabungan emosi bertambah dan menjadi surplus sehingga relasi menjadi baik. Sekali kita menarik tabungan emosi melalui teguran maka jumlah tabungan emosi berkurang, tapi sisanya masih tetap banyak sehingga teguran kita masih bisa dimaklumi. Penting untuk mengembangkan relasi yang baik dengan seseorang sebelum kita menegur.
Cara kita menegur sangatlah penting. Beberapa pedoman yang spesifik:Firman Tuhan dari Amsal 27:5,"Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi". Firman Tuhan menegaskan lebih baik berterus terang dalam bahasa kasih, menegur dalam kasih dan kebenaran daripada kita menyebut diri menegur dengan kasih tapi kita tidak pernah mengekspresikan hal yang bisa membangun orang itu.
Menegur juga merupakan seni, misalnya :Yang penting 'mind-set' membangun atau meruntuhkan! Yang penting pertumbuhan karakter kita yang serupa dengan Kristus. Ketika memberikan umpan balik, pilihlah perkataan yang membangun.
Pesan firman Tuhan dari Efesus 4:15, "tetapi dengan teguh berpegang pada kebenaran dalam kasih kita bertumbuh dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala".
Kebenaran dan kasih bukanlah wilayah yang perlu dipertentangkan. Menegur dengan hati yang penuh kasih, jangan lupa yang paling penting adalah pertumbuhan karakter bahwa kita dan orang lain diubah lewat hal menegur ini untuk makin serupa dengan Kristus. Tanpa itu akan terhambat dan kita mengalami kegagalan sebagai manusia yang telah ditebus oleh Allah. Jadi menegur adalah bagian dari gaya hidup yang sehat untuk kita makin serupa dengan Kristus.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Seni Menegur". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, mengapa topik seni menegur ini penting untuk dibahas?
SK : Memang ini menjadi bagian keseharian kita, sesungguhnya menegur itu bagian dari relasi kita dalam kita berelasi ada saatnya kita merasa terganjal, tidak puas dengan seseorang, disaat itulah kita butuh untuk menegur.
H : Di Alkitab ada bagian yang mengatakan gagal menegur bisa menjadi dosa. Biasakah Bapak menjelaskannya?
SK; Menegur ini bisa menjadi dosa karena ada saatnya kita mungkin mengetahui seseorang melakukan kesalahan. Tapi kita yang ada di dekatnya, kita membiarkannya. Bahkan akhirnya dosa atau kesalahan orang itu bergulir bagaikan bola salju, semakin lama semakin besar dan parah, dan menimbulkan kerusakan bagi dia dan orang lain, tapi kita tetap diam tidak mau menegur. Sesungguhnya saat itu kita turut bertanggung jawab dengan dosa orang ini. Sehingga pernyataan Pak Hendra itu tepat, bahwa gagal menegur memang bisa menjadi dosa.
H : Kalau boleh saya simpulkan, sebenarnya Alkitab sudah mengajarkan dan menggarisbawahi karena menegur memang penting sekali ya, Pak?
SK : Ya, penting. Dan itu termasuk bagian yang paling sulit dalam hubungan kita dengan orang lain.
H : Sulitnya dimana?
SK : Karena kebanyakan, menegur diidentikkan dengan hal yang merusak bahkan mengganggu hubungan kita dengan orang lain. Sehingga itu yang secara alamiah atau natural ingin kita hindari. "Kamu saja yang bicara, aku tidak bisa." "Sudah, biarkan saja daripada hubunganku dengan dia bertambah buruk." Inilah, yang bagi sebagian besar kita, menjadi bagian paling sulit dalam hubungan kita dengan orang lain.
H : Jadi menegur pada satu sisi memang sangat penting bahkan ditegaskan oleh Alkitab tapi di sisi lain juga mengandung resiko, yaitu bisa mengganggu relasi kita dengan orang lain.
SK : Dalam konteks menegur itu penting dan beresiko, maka kita perlu belajar. Disini kita menemukan bahwa menegur itu sebagai sebuah keterampilan yang perlu kita pelajari, bahkan sebuah seni yang perlu kita asah dalam diri kita masing-masing.
H : Kembali ke topik ayat Alkitab, ayat mana yang menggarisbawahi tentang menegur itu, Pak?
SK : Yakobus 5:19-20 mengatakan, "Saudara-saudaraku, jika ada di antara kamu yang menyimpang dari kebenaran dan ada seorang yang membuat dia berbalik, ketahuilah, bahwa barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa." Teks firman Tuhan ini menegaskan tentang bentuk tanggung jawab untuk kita menolong orang yang menyimpang dari kebenaran Allah. Dengan cara menolong melalui teguran itulah maka kita akan membuat orang itu terselamatkan dan banyak dosa akan terhindari dan terampuni oleh karena pertobatan orang yang kita tegur tersebut.
H : Jadi menegur juga merupakan wujud kasih kita kepada orang yang kita tegur itu, Pak? Karena kita mengoreksi dan mengembalikan dia ke jalan yang benar.
SK : Betul! Sesungguhnya menegur itu dilatarbelakangi oleh semangat kasih, bukan semangat sakit hati. Inilah yang membuat suatu perbedaan tajam antara menegur yang dilandasi semangat kasih (Karena saya mengasihinya, saya ingin menolong dan menyelamatkan dia) dengan menegur yang dilandasi semangat sakit hati (Saya sudah dihina, saya sangat sakit hati dan marah, dan saya ingin membuat dia merasakan apa yang saya rasakan). Perbedaan landasan ini akan menghasilkan bentuk teguran yang sangat berbeda. Nah, di titik inilah yang satu membangun sedangkan yang lain meruntuhkan. Yang satu membawa kebaikan, sedangkan yang satu membawa keburukan.
H : Wah, ini prinsip yang penting sekali. Jadi menegur itu harus dilandasi oleh semangat kasih bukan oleh semangat sakit hati.
SK : Betul.
H : Saya ingin bertanya, apa bedanya menegur dengan menasehati, Pak?
Sk : Menegur itu di dalamnya ada unsur menasehati. Tetapi menasehati itu lebih luas dari menegur. Biasanya menegur karena ada sesuatu yang dirasa kurang atau kesalahan yang dilakukan oleh orang lain sehingga kita perlu mengingatkan supaya orang itu tahu kesalahannya dan melakukan yang benar. Itu menegur. Kalau menasehati lebih luas. Ada orang yang sudah melakukan hal yang benar tapi kita merasa dia perlu tahu lebih banyak lagi, supaya wawasannya semakin luas, lebih berhati-hati untuk hal-hal lain, memberi masukan-masukan yang tidak ada hubungannya dengan kesalahan dia, dalam hal inilah menasehati menjadi kata yang tepat.
H : Jadi perbedaan menegur dan menasehati bukan hanya pada nada. Menurut kebanyakan orang, menegur nadanya lebih keras, sedangkan menasehati mengandung nada yang lebih lembut. Bukan seperti itu, Pak?
SK : Bukan. Menariknya, salah satu kesalahan asumsi yang mudah terjadi, kita menyamakan menegur sama dengan memarahi. Itu yang membuat rata-rata orang kesulitan untuk menegur. "Saya tidak siap memarahi dia. Kalau saya memarahi hubungan kami akan bertambah buruk. Lebih baik kemarahan itu saya telan saja. Rasa tidak puas itu saya telan saja daripada saya memarahi dia." Kebenarannya adalah menegur yang paling efektif sesungguhnya lebih banyak berupa dialog daripada monolog, lebih banyak berupa percakapan yang sejuk daripada percakapan yang penuh dengan nada amarah.
H : Menarik sekali, Pak. Menegur tidak berarti memarahi. Menegur Justru adalah sebuah dialog. Saya sudah melihat inilah keindahan dari seni menegur. Bisakah Bapak menjabarkan langkah-langkah bagaimana kita mempelajari seni menegur dengan baik?
SK : Yang pertama yaitu saat sebelum menegur. Penting sekali sebelum menegur seseorang, gunakan cukup waktu untuk berdoa. Jadi dengan berdoa kita mengakui adanya sikap, pikiran atau perilaku kita yang mungkin kasar, ada sakit hati, kemarahan, kejengkelan, mari kita akui kepada Tuhan di dalam doa itu sehingga hati kita dibersihkan dan dimurnikan lebih dahulu.
H : Ini dalam konteks kita yang akan menegur. Jadi kita harus introspeksi diri dulu dalam doa, betul Pak?
SK : Betul. Jadi introspeksi ini supaya kita bersih, kembali pada pernyataan di awal bahwa menegur yang efektif itu didorong oleh semangat mengasihi bukan semangat membalas dendam, bukan semangat ingin balas menyakiti. Maka ketika kita merasa disakiti oleh orang tersebut, marilah rasa sakit itu kita buang dulu. Sampah-sampah emosi negatif atau perasaan-perasaan negatif itu kita buang dulu kepada Tuhan. Kita akui, "Tuhan aku sakit hati. Aku merasa dihina dan diabaikan. Tapi aku tidak mau mempertahankan perasaan-perasaan ini. Aku mau lepaskan kepada-Mu, silakan Tuhan ambil. Berikan aku hati yang penuh kasih Bapa. Berikan aku hati yang penuh cinta mengasihi orang tersebut. Sehingga ketika saatnya saya berbicara menegur dia, itu semata-mata karena saya mengasihi dia sebagaimana Engkau terlebih dulu mengasihi saya."
H : Jadi selain berdoa untuk membersihkan diri, ada juga tujuan meminta hikmat supaya kata-kata kita tidak salah.
SK : Betul. Selain membersihkan diri, langkah kedua yaitu kita meminta pertolongan Tuhan. Karena menegur itu adalah seni, jadi seni ini butuh hikmat. Kita bersyukur punya Tuhan sumber hikmat, maka marilah kita minta hikmat dari Tuhan untuk kata-kata yang tepat, bahkan kita berdoa supaya Tuhan menyediakan waktu dan tempat yang tepat. Bahkan kita berdoa supaya Tuhan menyiapkan hati orang yang akan kita tegur itu, supaya pada waktu terjadi dialog, hati orang tersebut bisa lapang terbuka untuk mau mendengar dan menerima apa yang saya sampaikan.
H : Bagaimana kalau orang itu tidak dapat menerima teguran kita walaupun kita sudah berdoa? Kenyataannya orang itu tetap kecewa dan menyerang kita?
SK : Ya, tidak apa-apa. Artinya yang paling utama kita mengendalikan diri kita sendiri, orang lain bertanggung jawab mengendalikan dirinya sendiri. Jadi apa yang bisa kita kendalikan, kita kendalikan. Yang pertama dan utama adalah diri kita. Kita perlu lebih dulu memastikan bahwa kita menegur dengan cara yang benar.
H : Artinya kita bawa dulu dalam doa ya, Pak. Sebuah sikap meminta kekuatan walaupun hasilnya tidak sesuai harapan kita, tapi Tuhan sudah menguatkan dan mempersiapkan kita ya, Pak?
SK : Betul.
H : Langkah berikutnya apa, Pak?
SK : Langkah berikutnya adalah kita perlu menanyakan kepada diri sendiri apakah kita berpihak pada orang itu atau bertentangan dengan orang itu. Hal ini menjadi bagian dalam menyiapkan diri kita, ya. Kita coba jujur kepada diri sendiri, membaca diri kita, motif kita apakah sesungguhnya saya sedang menghindari untuk menegur karena saya memihaknya ataukah saya memang ingin menghukum, membalas dendam lewat teguran yang akan saya kenakan pada orang itu. Jadi ada bagian kita memastikan motif kita itu.
H : Jadi ini memastikan motif kasih itu ya. Apakah kita sungguh-sungguh mengasihi dan kita berpihak padanya atau justru sebenarnya kita sakit hati dan bertentangan dengan dia, seperti itu?
SK : Betul. Jadi ini penting supaya kalau teguran itu karena kita semata-mata hanya berpihak pada dia, sesungguhnya kita tidak akan menegur 'kan? Kita lebih mendiamkan atau lebih membenarkan dia. Tapi kalau kita merasa sakit hati, maka teguran itu akan lebih jadi cara kita membuang sampah kepada orang itu. Di sisi lain kita perlu memastikan bahwa kita sendiri memang sudah mengampuni orang tersebut.
H : Bagaimana cara memastikannya?
SK : Jadi hati kita tidak lagi panas, atau minimal sudah cukup dingin. Jangan menegur dalam kondisi hati panas dan penuh amarah.
H : Jadi ini dalam konteks kesalahan dari orang yang akan kita tegur berkaitan dengan diri kita?
SK : Ya, berkaitan dengan diri kita secara langsung atau tidak langsung. Misalnya seseorang telah merugikan karyawan kita kalau kita seorang atasan. Seseorang telah merugikan pasangan, atau keponakan kita. Itu 'kan tidak ada kaitannya dengan kita namun kita merasa punya kaitan relasi atau emosi dengan orang yang telah dirugikan itu dan kita merasa di pihak rekan kita itu. Kalau kita menegur dalam posisi jengkel atau marah, kemungkinan besar kita jadi salah menegur. Maka dalam konteks ini, satu hal yang perlu kita camkan tidak serta merta menegur itu perlu dilakukan pada hari itu juga ketika kita tahu seseorang berbuat salah. Ada kalanya lebih bijak jika kita menunda. Bisa menunda dalam hitungan jam, hari, bahkan minggu. Itu supaya kita punya cukup waktu untuk memastikan kita sudah cukup netral dan sejuk bahkan berhati nyaman untuk menyampaikan teguran yang membangun orang itu.
H : Ini untuk menghindari dan memastikan bahwa kita tidak dalam kondisi marah ketika kita menegur?
SK : Bukan hanya itu, tetapi kita juga sudah membangun pikiran, perasaan dan kehendak kita untuk membulatkan hati bagaimana cara membangun orang itu, dengan hikmat kata-kata, waktu dan tempat yang tepat kita berbicara dengan orang tersebut.
H : Tapi ada sebagian orang yang beranggapan bahwa menegur lebih efektif disampaikan ketika dia marah. Misalnya orang tua menegur anaknya 'kan kadang orang tua sedang marah kepada anaknya. Apakah itu sudah pasti salah atau bisa dilakukan dalam situasi tertentu?
SK : Lebih banyak kemungkinannya keliru, bukan pasti keliru. Ada saat dimana kita tidak dapat menghindar. Misalnya seorang anak bermain-main dengan api, membakar kertas di dalam rumah. Begitu kita masuk rumah, kita terkejut mendapati anak kita membakar kertas di ruang tamu. Pasti kita kaget dan marah, "Stop! Cepat matikan api itu!" Nah, setelah kita matikan api itu, kita bicara padanya, "Nak, kalau bermain api harus ada orang dewasa yang mendampingi kamu. Dan itupun dilakukan di luar rumah, di halaman yang bebas dari barang-barang yang mudah terbakar. Kamu boleh bermain api agar kamu tahu seperti apa api itu. Tapi Papa ingin kamu perhatikan hal ini." Nah itu yang bisa kita lakukan saat itu, tapi kembali, pola yang saya contohkan tadi dalam pilihan kata yang bukan menyakiti sang anak, tapi untuk membangun anak tersebut.
H : Disitukah seninya, Pak?
SK : Ya.
H : Setelah kita membersihkan hati lewat doa, lalu kita memastikan bahwa kita tidak dalam kondisi marah atau sakit hati, apa langkah selanjutnya Pak?
SK : Yaitu kita perlu mencari waktu yang tepat untuk berbicara atau menegur. Jadi dalam hal ini kita bisa mengkontak orang ini, kita tanyakan kapan bisa berbicara berdua dengan dia. Misalnya dia bersedia saat itu juga ya tidak apa-apa. Bila orang tersebut sedang sibuk dan wajahnya tertekan namun dia mengiyakan, lebih baik kita tunda sampai dia lebih rileks atau senggang. Buat janji waktu dan tempatnya. Jadi kita tidak bisa seketika datang dan memaksa bicara. Jadi lebih baik kita tunda, cari waktu yang baik buat dirinya untuk nyaman ditemui dan diacak bicara dari hati ke hati.
H : Saya bayangkan situasi ini juga berlaku bagi suami istri ya, Pak? Suami istri juga kadang kalau mau menegur juga harus lihat-lihat situasi dan saat yang pas.
SK : Betul. Dalam hal ini, khususnya ketika kita atau orang tersebut sedang lelah, sebaiknya hindari atau ketika sedang bersama anak-anak atau teman-teman kita atau teman pasangan kita. Lebih baik menegur dalam empat mata daripada di hadapan orang lain yang tidak ada hubungannya dengan situasi yang ingin kita sampaikan itu.
H : Apakah masih ada langkah yang lain, Pak?
SK : Ketika menegur, utamakanlah kita menegur tingkah laku dan bukan sifat atau kepribadian orang tersebut. Maksudnya jangan berkata, "Memang pada dasarnya kamu orang malas. Semua saudaramu yang kukenal juga pemalas. Karena itu aku sangat tidak suka dengan kemalasanmu ini." Nah, kalau seperti ini 'kan kita sudah melakukan "pembunuhan karakter". Jadi memberi label, citra atau predikat kepada seseorang. Jadi seperti kita sudah membulatkan bahwa orang itu bersalah dalam segala sesuatu dan melekat dengan kesalahan ini. Jauh lebih tepat dan benar jika kita menegur perilaku atau peristiwa. "Aku merasa kamu terlambat kemarin. Dan waktu terlambat itu kamu tidak memberi laporan kenapa kamu terlambat. Aku merasa keberatan untuk keterlambatan yang tidak kamu laporkan itu. Padahal dalam aturan perusahaan kita harus melapor bila datang terlambat." Kita 'kan fokus kepada waktu, peristiwa, perilaku yang spesifik, bukan melebar kepada hal-hal yang luas seperti kepribadian dan sifat orang itu.
H : Ini penting untuk diketahui. Kadang dalam menegur kita cenderung menggeneralisasikan, Pak.
SK : Betul. Nah dimana terjadi generalisasi, penyamaratakan, istilah jawanya "gebyah uyah" disanalah kita melakukan kesalahan dalam menegur.
H : Selain kita menegur tingkah laku, apalagi yang harus kita perhatikan?
SK : Di sisi yang lain kita perlu terbuka menerima teguran. Jadi ini menjadi bagian yang imbang. Fokus kita bukan hanya kepada orang tersebut, pada saat kita hendak menegur, berarti kita juga perlu menyetel pikiran dan hati kita bahwa saya pun siap untuk menerima teguran. Supaya kita bisa berlaku adil dan berlaku sebagai saudara bagi orang tersebut, sekalipun mungkin dia adalah bawahan kita atau kita sebagai orangtua yang menegur anak kita. Jadi misalnya kita orangtua yang menegur anak, kita pun perlu terbuka menerima teguran tersebut.
H : Tetapi bukan hal mudah menerima teguran, Pak. Ditegur itu tidak enak. Kebanyakan orang tidak mau dan tidak suka ditegur. Bagaimana caranya agar kita terbuka pada teguran?
SK : Mungkin kita bisa berpegang pada firman Tuhan. Di Amsal 15:12 disebutkan, "Si pencemooh tidak suka ditegur orang; Ia tidak mau pergi kepada orang bijak." Jadi orang yang tidak suka ditegur meneurut Amsal 15:12 itu seorang pencemooh, seorang yang suka menghina, tidak mau pergi kepada orang bijak. Kemudian saya tambahkan Amsal 15:31-32, "Orang yang mengarahkan telinga kepada teguran yang membawa kepada kehidupan akan tinggal di tengah-tengah orang bijak. Siapa mengabaikan didikan membuang dirinya sendiri, tetapi siapa mendengarkan teguran, memperoleh akal budi." Amsal jelas mengatakan, orang yang mau menerima teguran adalah orang yang bijaksana dan dia akan menjadi orang yang bertambah hikmat, berakal budi dan sesungguhnya sedang menghargai dirinya sendiri. Jadi kalau kita menolak ditegur, menolak masukan dari orang lain, kita sedang menetapkan diri bahwa kita tidak berharga. "Aku sampah. Tidak usah memberikan sesuatu yang berharga padaku." Karena teguran itu mutiara, teguran itu harta, teguran itu membangun. Kalau kita menghargai diri, kita akan bersedia menerima harta yang baik itu.
H : Jadi konsepnya harus diubah dulu, Pak?
SK : Betul. Jadilah orang yang terbuka untuk menerima teguran. Kalau perlu mintalah teguran, sekalipun kita adalah ayah atau ibu dari anak-anak kita, sekalipun kita adalah suami atau istri dari pasangan kita, sekalipun kita atasan, guru, dosen, sekalipun kita Kepala Cabang. Adakan saat-saat tertentu untuk sambung rasa, saat dimana kita mendengar masukan-masukan dari orang lain. "Saya ingin mendengar masukan dari kalian. Saya menyadari sebagai pimpinan, sebagai orang tua, sebagai guru, ada hal yang perlu saya kembangkan. Silakan memberi masukan hal yang kalian rasa kurang atau perlu dikembangkan." Kalau kita sebagai pimpinan, orang tua, atau orang yang lebih dewasa mau menerima teguran, itu akan membangun semangat yang sama pada yunior, bawahan, ataupun anak-anak kita. Yaitu semangat kerendahan hati, semangat yang sedia, setia dan senang diajar, teachable dalam Bahasa Inggris. Itu semangat murid Kristus yang seharusnya kita miliki dan kita menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitar kita.
H : Jadi kita menjadi teladan dahulu dalam keterbukaan menerima teguran, ya Pak? Dan orang lain juga harus belajar hal yang sama. Ada yang mengatakan penting sekali memiliki hubungan yang baik dan penuh kasih terlebih dahulu sehingga teguran yang kita sampaikan bisa lebih efektif diterima oleh orang yang bersangkutan. Bagaimana pandangan Bapak?
SK : Saya sangat sependapat dengan pernyataan itu. Hubungan yang baik itu bagaikan bantal atau matras. Ketika kita menegur, secantik atau sehalus apapun kita menyampaikan masukan itu, sesungguhnya tetap saja menjadi sesuatu yang menohok yang tidak nyaman. Kalau sudah ada relasi yang baik, itu memberikan satu perlindungan, seperti jatuh di tempat yang nyaman. Orang bisa menerima teguran itu dengan senang hati atau bahkan berterima kasih. "Terima kasih lho kamu luar biasa. Bukan hanya jadi teman yang baik, tapi dengan masukanmu kamu juga membangun saya." Orang mudah menerima teguran karena sudah terlebih dulu mempercayai kita oleh sebab relasi baik yang kita bangun dengan orang tersebut.
H : Terima kasih untuk percakapan yang sangat menarik ini, Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Seni Menegur" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
69. Seni Menegur 2 | |
Menegur dapat menjadi bagian yang tersulit dalam hubungan kita dengan orang lain. Seringkali kita memandang menegur sesame kita sebagai sebuah pilihan, namun sesungguhnya kita perlu memandang menegur dengan lebih serius seperti dalam Yakobus 5:19-20. Bagaimana langkah-langkah menegur? Bagaimana cara menegur dengan tepat? Apa maksud menegur adalah sebuah seni?
Bagi kebanyakan dari kita, menegur adalah bagian yang paling sulit dalam hubungan dengan orang lain. Tetapi sesungguhnya sangat penting dalam hubungan yang baik. Bukankah Alkitab sendiri berisi teguran-teguran.
Gagal menegur saat harus menegur dapat menjadi dosa. Kita cenderung melihat bahwa menegur orang lain hanyalah sekadar suatu pilihan dalam hidup. Namun kita perlu melihatnya dengan lebih serius sebagaimana Allah melihatnya. Ayat Alkitab yang menggarisbawahi tentang menegur ada di Yakobus 5:19-20, "Saudara-saudaraku, jika ada di antara kamu yang menyimpang dari kebenaran dan ada seorang yang membuat dia berbalik, ketahuilah, bahwa barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa". Menegur sesungguhnya dilatarbelakangi semangat kasih, bukan semangat sakit hati. Di dalam menegur ada unsur menasihati, tapi bukan memarahi. Menegur yang paling efektif lebih baik dalam bentuk dialog, bukan monolog.
Langkah-langkah mempelajari seni menegur dengan baik adalah :Berkenaan yang relasi yang baik, kita bisa membandingkan dengan tabungan emosi. Ketika kita berbuat baik, kita sedang mengisi tabungan emosi. Namun pada waktu kita menegur atau mengeluarkan kata-kata yang menyinggung, kita sedang menarik dari tabungan emosi. Kalau tabungan emosi banyak ditarik maka akan defisit sehingga relasi terganggu. Jika kita banyak melakukan hal-hal yang baik, menunjukkan kepedulian, tabungan emosi bertambah dan menjadi surplus sehingga relasi menjadi baik. Sekali kita menarik tabungan emosi melalui teguran maka jumlah tabungan emosi berkurang, tapi sisanya masih tetap banyak sehingga teguran kita masih bisa dimaklumi. Penting untuk mengembangkan relasi yang baik dengan seseorang sebelum kita menegur.
Cara kita menegur sangatlah penting. Beberapa pedoman yang spesifik:Firman Tuhan dari Amsal 27:5,"Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi". Firman Tuhan menegaskan lebih baik berterus terang dalam bahasa kasih, menegur dalam kasih dan kebenaran daripada kita menyebut diri menegur dengan kasih tapi kita tidak pernah mengekspresikan hal yang bisa membangun orang itu.
Menegur juga merupakan seni, misalnya :Yang penting 'mind-set' membangun atau meruntuhkan! Yang penting pertumbuhan karakter kita yang serupa dengan Kristus. Ketika memberikan umpan balik, pilihlah perkataan yang membangun.
Pesan firman Tuhan dari Efesus 4:15, "tetapi dengan teguh berpegang pada kebenaran dalam kasih kita bertumbuh dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala".
Kebenaran dan kasih bukanlah wilayah yang perlu dipertentangkan. Menegur dengan hati yang penuh kasih, jangan lupa yang paling penting adalah pertumbuhan karakter bahwa kita dan orang lain diubah lewat hal menegur ini untuk makin serupa dengan Kristus. Tanpa itu akan terhambat dan kita mengalami kegagalan sebagai manusia yang telah ditebus oleh Allah. Jadi menegur adalah bagian dari gaya hidup yang sehat untuk kita makin serupa dengan Kristus.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Seni Menegur" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, dalam percakapan kita yang terakhir Bapak sudah menyinggung bahwa penting sekali untuk memiliki relasi dengan yang bersangkutan sebelum kita menegur. Apakah ada yang ingin Bapak tambahkan, Pak?
SK : Berkenaan dengan hubungan yang baik, kita bisa memberikan suatu perbandingan dengan bentuk tabungan emosi atau rekening emosi. Misalnya ketika saya berbuat baik kepada Pak Hendra saya sedang menabung, mengisi tabungan emosi yang ada pada Pak Hendra. Kemudian ketika saya sedang merugikan Pak Hendra, maka sesungguhnya saya sedang menarik dari tabungan emosi itu.
H : Merugikan dalam arti Bapak sedang menegur saya, begitu?
SK : Dalam arti apa pun. Misalnya saya menegur atau saya mengeluarkan kata-kata yang menyinggung hati Pak Hendra, itu berarti saya sedang merugikan Pak Hendra. Atau saya menghilangkan barang yang saya pinjam dari Pak Hendra, itu 'kan merugikan. Apapun yang saya lakukan dengan nada merugikan, itu saya sedang menarik dari tabungan emosi yang ada pada Pak Hendra. Kira-kira ketika saya lebih banyak menarik, apa yang terjadi?
H : Berkurang.
SK : Bila terus berkurang, apa akibatnya?
H : Bisa defisit.
SK : Kalau tabungan emosi yang ada pada Pak Hendra itu defisit, maka relasi saya dengan Pak Hendra akan bagaimana?
H : Pastinya terganggu.
SK : Terganggu. Bahkan merasa tersakiti, menjauh, tidak ada rasa percaya kepada saya. Tapi apa yang terjadi kalau saya banyak melakukan hal-hal yang baik kepada Pak Hendra? Baik itu dengan cara memberi bantuan, saya hadir saat Pak Hendra membutuhkan saya, sering memberikan kata-kata peneguhan, pujian, kedapatan bahwa saya banyak kali menunjukkan kepedulian kepada Pak Hendra, maka bagaimana tabungan emosinya?
H : Bertambah.
SK : Bila terus bertambah maka banyak bahkan surplus. Maka apa yang terjadi dengan relasinya?
H : Pastinya baik.
SK : Ya. Dan ketika suatu kali saya menarik tabungan emosi dari Pak Hendra itu melalui teguran, maka jumlah tabungan emosinya akan berkurang. Tapi karena selama ini saya banyak menabung, tetap sisanya banyak, saldonya tetap surplus. Dengan kata lain, karena tabungan emosi itu masih surplus, Pak Hendra masih nyaman dengan teguran dari saya. Masih bisa "excuse", memaklumi, menerima. Bahkan bukan hanya teguran yang tepat, mungkin suatu kali karena saya sedang tidak stabil dan emosional tidak bisa menguasai diri, saya melakukan sesuatu yang jelas-jelas menyakiti Pak Hendra, membuat Pak Hendra tersinggung. Tapi karena saya sudah terlalu banyak menabung di tabungan emosi, Pak Hendra akan bisa berkata, "TIdak apa-apalah. Biasanya Pak Sindu tidak seperti itu kok. Kali ini saja. Saya bisa memakluminya." Mungkin istri saya akan datang kepada Pak Hendra, "Maafkan suami saya ya Pak Hendra..." Pak Hendra mampu menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Saya bisa maklum kok. Biasanya Pak Sindu tidak seperti itu. Saya memang saya kaget, tapi juga kasihan kenapa Pak Sindu bisa seperti itu. Tapi tidak apa-apa." Malah menunjukkan sikap memaklumi. Karena terlalu banyak isi tabungan itu, diambil sekian pun masih sisa banyak. Ini menjadi salah satu cara memahami pentingnya membangun relasi yang baik dengan seseorang, sedapat-dapatnya sebelum kita menegur. Bahkan kita selalu berusaha membangun relasi yang baik dengan orang lain sehingga pada saat dibutuhkan, jadi bukan hanya karena mau menegur, ada cukup banyak saldo yang tersisa ketika kita terpaksa menarik tabungan itu.
H : Menarik sekali tabungan emosi ini, Pak! Setelah kita membahas mengenai langkah-langkah persiapan sebelum kita menegur, saya pikir kita perlu tahu pedoman saat kita menegur. Apa saja pedomannya, Pak?
SK : Pedoman pertama, kita perlu memperkuat hubungan kita dengan orang yang hendak kita tegur. Biarkan orang itu tahu bahwa kita menghargai dia. Kita peduli dengan hubungan kita dengannya. Kita bisa lebih dulu mengajaknya makan, misalnya. Atau kita bisa melakukan sesuatu yang baik bagi orang itu sehingga orang itu memunyai bantal tambahan ketika kita menegur. Atau bisa juga kita awali dengan sebuah pernyataan, "Aku mau mengatakan semangat dan hatiku sangat menghargai hubungan kita, aku sangat peduli padamu. Dan aku ingin bagaimana hidupmu berkembang dan bertambah maju. Aku bicara seperti ini agar kamu tahu isi hatiku terhadapmu. Jadi dengan semangat hati inilah aku merasa perlu bicara empat mata dengan kamu." Jadi kita bisa memberikan prolog (pendahuluan) menjadi salah satu cara menyatakan hal-hal yang memperkuat hubungan kita dengan orang yang akan kita tegur tersebut.
H : Pedoman kedua apa, Pak?
SK : Yang kedua, tegurlah dengan singkat dan jelas. Dalam hal ini, nyatakan apa faktanya, apa yang sesungguhnya terjadi, kemudian apa yang kita rasakan, atau apa yang menjadi dugaan kita. Kita perlu mencoba untuk memusatkan perhatian pada apa yang kita amati dan kalau perlu pada perasaan kita sendiri mengenai hal itu, ataupun kita bisa utarakan keinginan kita berkenaan agar dia bisa mengubah sikapnya.
H : Yang dimaksud singkat itu sesingkat apa, Pak?
SK : Dalam hal ini kalimatnya itu kalimat yang bersifat lugas, tidak berputar-putar, tidak berkepanjangan, tidak berbelit-belit, istilah Jawanya tidak ngalor-ngidul, sehingga membuat orang capek dan tidak mengerti apa yang kita bicarakan. "Apa sih maksudmu? Aku tidak mengerti. Kok ambigu, kok kabur? Kamu bicara aku baik dan bertanggung jawab, tapi kenapa kemudian kamu bicara seolah aku tidak bertanggung jawab. Apa yang terjadi?" Atau karena panjangnya kalimat teguran itu sehingga membuat orang panas kuping, hatinya juga panas. Padahal dia ingin menjelaskan apa yang terjadi. Yang ingin kita sampaikan 'kan versi kita, satu keping kebenaran, satu keping fakta, sementara kepingan fakta yang lain ada pada dirinya. Kalau kita bicara berkepanjangan, kapan dia bisa menjelaskan? Akhirnya kita mendominasi percakapan, nanti cenderung monolog dan akan membuatnya jengkel. Bukan jengkel karena ditegur, tapi jengkel karena cara kita bicara bertele-tele. Ini bisa mendistorsi, menjadi polusi dari pesan teguran yang sebenarnya baik. Gara-gara cara penyampaiannya bertele-tele dan kabur, jadi orang bereaksi tidak nyaman menerima teguran kita.
H : Memperkuat hubungan, menegur dengan singkat dan jelas, apalagi Pak?
SK : Dalam konteks saat ini, saya menyampaikan tentang hal teknis. Yaitu kita lebih banyak gunakan kata ganti orang pertama misalnya: Aku, saya. Kita bisa bicara, "Aku kecewa. Aku merasa terganggu. Aku merasa ada ganjalan." Lebih baik demikian, daripada kita menggunakan kata ganti orang kedua: kamu, Anda. "Kamu memang tidak bertanggung jawab. Kamu pembohong. Kamu mengabaikan tugas-tugasmu. Kamu kedapatan sebagai orang yang suka menyakiti saya. Kamu orang yang suka membuat saya marah." Karena kata "kamu" itu 'kan menuding, melemparkan anah panah, apalagi disampaikan dengan nada yang tajam atau tinggi. Itu akan menyakiti perasaan orang itu. Kalau kita menggunakan kata, "Aku atau Saya" sebenarnya kita sedang merendah. "Aku yang merasakan. Aku yang sedang mengalami." Seperti kita sedang membuka wilayah atau zona suci kita, wilayah kerentanan kita untuk mengajak orang memahami hati dan perasaan kita. Ketika kita menyebut, "aku dan perasaan", sebenarnya itu ruang kita, wilayah suci kita dan ketika kita mengijinkan kita membuka diri, kita mengajak orang memahami perasaan kita, itu adalah jalan membangun komunikasi dari hati ke hati.
H : Tapi percakapan seperti ini tidak mungkin 100% subjeknya hanya "aku". Ada saatnya kita memunculkan "kamu", Pak?
SK : Ya. Kata "kamu" memang perlu dikemukakan, namun bukan dalam konteks menyerang atau menzolimi atau menindas orang itu. Kata "kamu" lebih kita kaitkan kepada perilakunya. Tapi perasaan yang kita alami itu perlu diekspos. Jangan mengkambinghitamkan dia atas perasaan kita. "Kamu membuat aku marah. Kamulah yang membuat aku sulit tidur." Jadi kita menyerahkan tanggung jawab atas perasaan kita kepada orang lain. Itu sebenarnya menjadi satu bentuk beban, penyerangan. Memang secara fakta dia menjadi penyebab, tetapi jangan lupa perasaan yang muncul itu ada di wilayah kita. Kalau kita ungkapkan kita merasa sedih, marah, terganggu, sebenarnya kita sedang bertanggung jawab atas perasaan kita, kita tidak sedang membebankan atau mengkambinghitamkan dia. Yang kita salahkan adalah perilaku dia. Perasaan kita adalah tanggung jawab kita, yang tidak kita lemparkan kepadanya. Ketika kita membuka perasaan itu, kita akan menolong orang itu memahami kita dan dia pun akan membuka hatinya juga. Kalau boleh kita bagi level komunikasi, level yang paling permukaan adalah level pikiran-pikiran atau dunia ide yang dikatakan impersonal, bersifat objektif, faktual.
H : Tidak menyentuh perasaan?
SK : Betul. Level komunikasi yang lebih dalam bukan di sini, tetapi di level perasaan atau emosi. Lebih 'suci', maksudnya level yang lebih pribadi. Ketika kita bisa mengekspos perasaan dan berkomunikasi dari hati ke hati, inilah komunikasi yang lebih murni dan membuat orang nyaman daan membuat orang tampil apa adanya, saling menerima. Penghargaan bisa muncul di level ini.
H : Menarik sekali. Selain kita membahasakan dengan kata ganti orang pertama "Aku" sebagai wujud tanggung jawab kita, apa lagi yang harus diperhatikan?
SK : Nada suara. Nada suara itu penting selain pilihan kata, cara mengungkapkan. Pengucapan dengan nada tinggi akan membuat orang terkaget-kaget dan merasa terserang. Sedapat-dapatnya kita setel nada suara pada nada yang sejuk. Kita kondisikan volume suara kita, tempo suara pada tempo yang membuat orang nyaman mendengarkannya. Benar-benar distorsi dan hal-hal yang bisa membiaskan pengertian orang itu kita singkirkan. Sedapat-dapatnya orang hanya menerima isi yang membangun dirinya, bahwa dia bersalah dalam hal ini dan dia perlu mengubah tingkah laku yang ini, membentuk kebiasaan baru yang ini. Jadi bungkus teguran itu senyaman mungkin. Ibaratnya dibungkus, dipilin, diberi perlindungan, diberi spons, diberi rasa yang manis dan menyenangkan, diberi aroma yang harum, supaya orang nyaman menerima teguran itu, kita perlu mengkondisikannya. Inilah seni relasi, seni komunikasi.
H : Apakah harus selalu seperti itu, Pak?
SK : Tentu tidak selalu demikian. Ada kondisi tertentu kita perlu nada tinggi, kata-kata yang keras. Tapi hanya saat-saat tertentu, bukan seluruhnya. Karena ada kalanya, jangan lupa bahwa kita dalam prinsip mengefektifkan teguran itu. Nada yang tinggi bisa jadi cara teguran yang efektif di saat-saat tertentu. Namun jika memakai nada tinggi itu menjadi gaya kita dalam menegur, mewarnai seluruh proses peneguran kita, itu akan membuat orang memunyai daya tolak yang tinggi, akhirnya orang akan lebih terfokus pada perasaannya yang tidak nyaman kepada nada yang tinggi dan pilihan kata yang tidak bijak, sehingga lupa dan melalaikan berita positif yang kita sampaikan. Jadi jangan lupa, komunikasi bukan sekadar apa yang aku utarakan, tapi yang terutama apa yang orang terima.
H : Yang bisa saya simpulkan yaitu lebih gampang menegur dengan nada yang marah-marah dan membabi buta, tanpa belajar pun bisa. Tapi kita sebenarnya perlu belajar seni menegur, belajar untuk menyejukkan, belajar bagaimana cara menyampaikan teguran sehingga bisa diterima orang, belajar memperhatikan situasi, belajar memperhatikan kondisi waktu yang tepat, apakah seperti itu?
SK : Betul.
H : Ada lagi yang ingin Bapak sampaikan?
SK : Berikutnya, seperti yang saya kemukakan di bagian yang sebelumnya, teguran yang efektif itu hampir selalu merupakan dialog bukan monolog. Jadi, sedapat-dapatnya kita perlu mendengarkan sudut pandang orang tersebut minimal sebanyak yang kita sampaikan.
H : Seperti apa itu, Pak?
SK : Kita bicara 5 menit, ijinkan orang itu untuk bicara 5 menit juga. Kalau kita berani bicara 10 menit, kita juga ijinkan orang itu bicara 10 menit. Ini akan membuat proses penyampaian teguran itu jauh lebih efektif.
H : Ini tidak mudah, pak.
SK : Ya. Jangan lupa, kita hanya menerima sebagian kebenaran atau fakta yang terjadi. Kita perlu klarifikasi. "Kamu tahu tidak, kamu yang menyebabkan hal ini terjadi?" Itu akan membuat orang itu terheran-heran, "Bapak tahu tidak fakta yang sesungguhnya? Bapak mendengar sepihak dari orang itu dan orang itu tidak hadir, dia hanya mendengar dari orang lain. Kenapa Bapak tidak menanyai saya dulu apa yang sebenarnya terjadi?" "Ini fitnah, Pak. Saya tidak terima. Mari kita klarifikasi. Kita panggil saksi!" Kalau ternyata kita yang keliru apa kita tidak malu? Makanya lebih baik kita memiliki semangat mendengar lebih dulu. Misalnya kita bicara dengan staf bagian kebersihan, "Kemarin saya kok melihat ruang kantor berantakan. Ada apa yang terjadi?" Kita bisa saja langsung menyalahkannya, tapi kita memilih untuk bertanya lebih dulu. "Oh, begini Pak, kemarin ada kejadian seperti ini..." "Kalau seperti itu, semestinya apa yang kamu lakukan?" "Ya Pak, saya salah, semestinya saya begini..." "Itu baik, saya setuju, memang itu cara yang lebih tepat. Saya salut kamu berani mengakui kesalahanmu. Itu bagus sekali. Silakan memperbaikinya ya." Nah, kita 'kan tidak perlu menyebutkan kesalahannya, dia sudah mengakui. Karena kita berdialog. Kita berbicara dengan sejuk, tidak menghakimi, bersikap memahami lebih dulu daripada minta dipahami, sehingga orang merasa sungkan dan mengaku salah, dia tidak defensif dan akhirnya teguran itu efektif. Bahkan bukan kita yang menegur, dia yang mengaku salah. Bukahkah itu jauh lebih indah?
H : Ada kemungkinan teguran itu bersifat nonverbal?
SK : Benar, Pak Hendra. Ada kalanya lewat nada yang tinggi, ekspresi masam, mata membelalak, wajah yang kurang menyenangkan, sebenarnya kita sudah menegur. Mendiamkan, tidak mau memandang mata, menghindari memandang wajahnya atau menghindari bertatapan mata, sebenarnya itu bahasa nonverbal atau bahasa tubuh kita sudah menyatakan kita marah dan kita menegur. Jadi kita perlu menyadari, mungkin kita sudah menegur lebih dulu dengan bahasa tubuh kita. Penting, bahwa teguran lewat bahasa tubuh lebih sulit diterima dan jarang sekali efektif serta cenderung membahayakan hubungan daripada teguran yang nyata yang diungkapkan dengan jelas dan lugas.
H : Jadi dialog tetap yang terpenting, ya?
Sk : Ya, jadi perlu diungkapkan dengan kata-kata daripada hanya mendiamkan dia padahal bahasa tubuh kita sudah menunjukkan rasa tidak suka dan merasa kecewa dengan dia. Itu sangat menyakitkan dan membuat orang itu balik marah kepada kita. "Kenapa sih diam saja? Kamu 'kan bisa bicara langsung, bisa menegur saya. Itu jauh lebih baik daripada mendiamkan saya dan matamu seperti itu, seolah-olah saya orang yang paling bersalah." Jauh lebih baik kita ungkapkan dengan perkataan verbal.
H : Terkait dengan kata-kata verbal dan dialog, bagaimana dengan faktor budaya, Pak?
SK : Benar. Budaya itu turut mempengaruhi. Keterampilan menegur dan kesiapan menerima teguran itu banyak dipengaruhi oleh budaya. Maka dalam hal ini kita perlu mempelajari bagaimana cara menegur yang efektif untuk budaya tertentu dimana kita berada. Kalau kita berasal dari budaya yang berbeda, perlu kita tanyakan orang dari budaya itu, bagaimana menegur yang sesuai dengan budaya mereka, apa yang perlu kita hindari ketika menegur orang tersebut. Jadi pengenalan lintas budaya itu penting, komunikasi lintas budaya bukan hal yang bisa kita hindari bila kita hidup bersama lingkungan kita.
H : Jadi penting untuk mengenali budaya setempat dimana kita berada, ya Pak?
SK : Ya.
H : Ketika kita menegur kita berharap orang itu melakukan perbaikan, ada perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Bagaimana cara kita menilainya, Pak? Langsung saat itu juga atau bagaimana?
SK : Memang secara alami kita ingin hasil yang cepat, perubahan perilaku yang segera atau segera minta maaf. Perlu kita sadari pada umumnya termasuk kita juga, manusia lebih mudah memberi respons yang buruk terhadap teguran yang kita terima, tapi mungkin setelah itu kita bisa menyesal dan berubah. Jadi dalam hal ini, kita jangan menilai keefektifan suatu teguran dengan melihat perilaku perubahan jangka pendek. Tapi lihatlah dari perspektif perubahan tingkah laku dalam jangka panjang.
H : Maksudnya, Pak?
Sk : Kita perlu bersabar. Jadi jangan "Aduh, sia-sia aku memberi masukan dan teguran, dia kok tidak berubah-berubah. Kemarin sudah ditegur seperti itu, tetap saja dia tidak berubah." Nah, jangan langsung patah arang, putus asa, dan mengatakan sia-sia. Tapi beri ruang. Kadang orang membutuhkan proses yang lebih panjang. Karena sebaik apa pun kita menegur, ada orang yang oversensitive karena penghargaan diri yang buruk, dibesarkan dalam keluarga yang suka mengecam dia, dibesarkan oleh orang tua yang kurang menghargai dia, sehingga dia tumbuh dengan perasaan minder dan rentan merasa terluka. Sehingga sehalus apapun teguran dan masukan kita, dia sangat mudah tersinggung. Nah dia butuh waktu untuk memproses kemarahan dan sikap defensif itu sampai dia mau berubah. Jadi kita perlu memberi ruang pada kondisi seperti ini.
H : Artinya kita realistis dan tidak mudah merasa gagal kalau teguran kita sepertinya tidak membawa perubahan?
SK : Ya. Tanggung jawab utama bukan berada di pundak kita. minimal kita sudah berusaha menyampaikan dengan cara yang baik dan bisa dipertanggung jawabkan, selanjutnya adalah bagian orang tersebut. Bagian kita setelah menegur adalah menaburi dengan kebaikan. Berbaik dengan dia, menyapa dia, menghormati dia, memberi sesuatu yang menunjukkan perhatian kita, sehingga dia tahu bahwa, kita sebetulnya peduli dan bukannya membenci atau menghukum saya. Kalaupun bicara dengan kata-kata yang lugas dan tajam, kita bermaksud membangun dia. Kalau dia melihat sikap dan tingkah laku kita setelah menegur pun kita tetap baik, hangat dan menghormati dia, maka orang itu akan lebih mudah mengurai sikap defensifnya dan dia lebih mau memproses teguran yang sudah kita sampaikan sebelumnya.
H : Kalau boleh saya tambahkan, kita harus belajar seni menegur ini, apapun hasilnya jangan mudah putus asa. Kita tidak boleh memilih pasif tidak mau menegur hanya karena takut gagal atau tidak dianggap.
SK : Betul, Pak Hendra.
H : Terakhir, apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan?
SK : Saya bacakan dalam Amsal 27:5, "Lebih baik teguran yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi." Firman Tuhan dengan tegas menyatakan bahwa lebih baik berterus terang dalam bahasa kasih, menegur dalam kasih dan kebenaran, dari pada kita menyebut diri mengasihi tapi tidak pernah mengekspresikan hal yang bisa membangun orang itu.
H : Terima kasih untuk percakapan yang sangat menarik ini, Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Seni Menegur" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
70. Seni Menegur 3 | |
Menegur dapat menjadi bagian yang tersulit dalam hubungan kita dengan orang lain. Seringkali kita memandang menegur sesame kita sebagai sebuah pilihan, namun sesungguhnya kita perlu memandang menegur dengan lebih serius seperti dalam Yakobus 5:19-20. Bagaimana langkah-langkah menegur? Bagaimana cara menegur dengan tepat? Apa maksud menegur adalah sebuah seni?
Bagi kebanyakan dari kita, menegur adalah bagian yang paling sulit dalam hubungan dengan orang lain. Tetapi sesungguhnya sangat penting dalam hubungan yang baik. Bukankah Alkitab sendiri berisi teguran-teguran.
Gagal menegur saat harus menegur dapat menjadi dosa. Kita cenderung melihat bahwa menegur orang lain hanyalah sekadar suatu pilihan dalam hidup. Namun kita perlu melihatnya dengan lebih serius sebagaimana Allah melihatnya. Ayat Alkitab yang menggarisbawahi tentang menegur ada di Yakobus 5:19-20, "Saudara-saudaraku, jika ada di antara kamu yang menyimpang dari kebenaran dan ada seorang yang membuat dia berbalik, ketahuilah, bahwa barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa". Menegur sesungguhnya dilatarbelakangi semangat kasih, bukan semangat sakit hati. Di dalam menegur ada unsur menasihati, tapi bukan memarahi. Menegur yang paling efektif lebih baik dalam bentuk dialog, bukan monolog.
Langkah-langkah mempelajari seni menegur dengan baik adalah :Berkenaan yang relasi yang baik, kita bisa membandingkan dengan tabungan emosi. Ketika kita berbuat baik, kita sedang mengisi tabungan emosi. Namun pada waktu kita menegur atau mengeluarkan kata-kata yang menyinggung, kita sedang menarik dari tabungan emosi. Kalau tabungan emosi banyak ditarik maka akan defisit sehingga relasi terganggu. Jika kita banyak melakukan hal-hal yang baik, menunjukkan kepedulian, tabungan emosi bertambah dan menjadi surplus sehingga relasi menjadi baik. Sekali kita menarik tabungan emosi melalui teguran maka jumlah tabungan emosi berkurang, tapi sisanya masih tetap banyak sehingga teguran kita masih bisa dimaklumi. Penting untuk mengembangkan relasi yang baik dengan seseorang sebelum kita menegur.
Cara kita menegur sangatlah penting. Beberapa pedoman yang spesifik:Firman Tuhan dari Amsal 27:5,"Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi". Firman Tuhan menegaskan lebih baik berterus terang dalam bahasa kasih, menegur dalam kasih dan kebenaran daripada kita menyebut diri menegur dengan kasih tapi kita tidak pernah mengekspresikan hal yang bisa membangun orang itu.
Menegur juga merupakan seni, misalnya :Yang penting 'mind-set' membangun atau meruntuhkan! Yang penting pertumbuhan karakter kita yang serupa dengan Kristus. Ketika memberikan umpan balik, pilihlah perkataan yang membangun.
Pesan firman Tuhan dari Efesus 4:15, "tetapi dengan teguh berpegang pada kebenaran dalam kasih kita bertumbuh dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala".
Kebenaran dan kasih bukanlah wilayah yang perlu dipertentangkan. Menegur dengan hati yang penuh kasih, jangan lupa yang paling penting adalah pertumbuhan karakter bahwa kita dan orang lain diubah lewat hal menegur ini untuk makin serupa dengan Kristus. Tanpa itu akan terhambat dan kita mengalami kegagalan sebagai manusia yang telah ditebus oleh Allah. Jadi menegur adalah bagian dari gaya hidup yang sehat untuk kita makin serupa dengan Kristus.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Seni Menegur" bagian ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, setelah kita membahas berbagai pedoman dan masukan yang Bapak sampaikan melalui dua sesi kemarin, kali ini kita mau membahas bagaimana mengaplikasikan seni menegur ini misalnya dalam keluarga, Pak?
SK : Ya. Menegur itu sebuah seni, sehingga untuk beberapa situasi yang berbeda, membutuhkan rambu yang berbeda pula.
H : Misalnya antara orang tua dengan anak, Pak. Bagaimana mengaplikasikan seni menegur dalam situasi ini?
SK : Untuk orang tua dengan anak, prinsip pertama yang penting adalah teguran itu memang untuk membangun, bukan untuk meruntuhkan harga diri atau meruntuhkan hal-hal positif yang sudah ada pada anak tersebut. Tegurlah perilakunya secara spesifik, sampaikan dengan kata-kata yang lugas dengan pesan "Saya", misalnya "Papa tidak suka, papa tidak setuju dengan caramu menyelesaikan masalah ini. Kamu memang tidak serius dalam menghadapi masalah!" jadi jangan menyerang. Yang kedua, sampaikan dalam dialog. Misalnya,"Apa sebenarnya yang terjadi? Papa ingin dengar langsung dari kamu, nak. ceritakanlah" kalau situasinya memungkinkan, usahakan kita bertanya dulu, supaya kita bisa mengkaji apakah sepenuhnya yang kita dengar itu benar atau hanya potongan karena kita dengar dari pihak lain seperti istri atau gurunya dan bukan dari yang bersangkutan. Di sisi yang lain juga lewat cara kita menanyakan, mengembangkan dialog itu memberi ruang untuk tidak menggurui. Menolong anak untuk mengasah refleksi dirinya, apa yang sebenarnya terjadi. Agar anak terlatih untuk mengevaluasi diri dan terlatih untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf tanpa kita membuka masalah itu terlebih dulu. Itu edukasi yang baik.
H : Itu baik sekali dipupuk sejak anak masih kecil, ya Pak? Bagaimana kalau komunikasinya sudah terhambat? Sekarang banyak terjadi, orang tua sulit berdialog atau berkomunikasi dengan anaknya. Waktu orang tua menyediakan ruang dialog, anak cenderung menghindar dan langsung masuk kamar, apalagi kalau anak sudah remaja. Bagaimana ini, Pak?
SK : Inilah yang dimaksud dengan tabungan emosi, seperti yang kita bahas di sesi sebelumnya, Pak Hendra. Memang menegur itu bukan hal yang mudah, bahkan sulit. Sulitnya jika sebelumnya kita tidak mengisi tabungan emosi tersebut. Penting terutama orang tua kepada anak, sejak anak masih kecil jangan abaikan membangun hubungan baik dengan anak. "Bisa apa sih, waktuku begitu berharga lebih baik bekerja dapat uang yang banyak. Lebih baik pelayanan di gereja daripada aku bermain permainan yang konyol dan remeh bersama anakku. Buang-buang waktu saja." Tidak! Itu investasi. Itu tabungan emosi. Kalau kita bermain menemani anak, bagi kita tidak penting tapi bagi anak itu sangat penting karena itu mengisi tabungannya. Lewat percakapan-percakapan dan dialog yang alamiah dan anak akan mengungkapkan perasaan suka dan tidak sukanya. "Aku suka ini, Ma. Aku tidak suka ini, Pa." Nah akhirnya dari situ kita bisa mengerti hati anak dan mengerti bahasa yang tepat bagi anak kita. Anak kita pun akan bisa mengerti hati orang tuanya bahwa orang tuanya menyayangi dia. Sayang bukan hanya sayang karena "saya orang tuamu" tapi karena dia merasakan lewat cara kita memperlakukan dia. Kalau hal itu terjadi selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, ketika memasuki masa remaja, akan tetap bahwa anak remaja itu akan punya telinga untuk mendengar kita bahwa kita orang tuanya peduli kepadanya. Dan cara-cara yang digunakan juga cara-cara yang membangun dia, bukan hendak memojokkan atau menyerang dia. Ini memang perjalanan pertumbuhan orang tua dalam mengasuh anaknya.
H: Tapi bagaimana misalnya komunikasi antara orang tua dan anak sudah terlanjur jauh atau terputus, Pak? Anak sudah masuk masa remaja namun tabungan emosi ini sudah terlewat masanya, bagaimana ini Pak?
SK : Sayangnya dalam relasi tidak ada cara yang instan, Pak Hendra. Orang tua tetap perlu banyak menabung di tabungan emosi anaknya. Saya suka dengan ungkapan istilah jawa "Ono rego ono rupo", untuk hasil yang bagus, membutuhkan harga yang bagus juga. Semakin kita berani membayar harga mahal, semakin kita mendapatkan hasil yang berkualitas juga. Kalau mau mempunyai relasi yang baik, harus berani memberi waktu. Kalau ingin membangun anak yang baik, berikan waktu kita untuk anak-anak kita. Ini hukum alam yang tidak bisa kita tabrak atau abaikan begitu saja. Dalam konteks ini kalaupun masa kanak-kanak sudah lewat atau dikatakan sudah terlambat, tetap ada ruang orang tua untuk memperbaiki situasi yang pendek di masa remaja. Beranilah beri waktu kepada anak. Saya salut, ada beberapa kasus orang tua mengabaikan anaknya ketika usia 0-10 tahun mereka tidak banyak memberi waktu. Tapi ketika anak memasuki remaja, orang tua berani mengurangi beberapa kegiatannya demi mempunyai waktu lebih banyak dengan anaknya. Dengan demikian, orang tua bisa lebih memahami anak dan anak juga mengerti bahwa orang tuanya peduli. Dalam proses itulah akan terbangun dialog yang membangun anak itu. Penting sekali, satu prinsip yang berlaku untuk semua usia, tidak disetiap peperangan kita harus menang. Dalam konteks jangan untuk hal yang remeh, orang tua terlalu kaku dan suka menyerang. Belajarlah toleran untuk beberapa hal. Sedangkan untuk hal moral, bersifat sangat prinsip, orang tua harus tegas. Misalnya model baju atau selera music, kalau itu tidak sampai menyentuh hal moral, ijinkanlah selera anak berbeda dengan anak kita. supaya ketika kita perlu menegur hal-hal yang prinsipiil, anak masih punya ruang hati dan telinga untuk mendengar. Seringkali tanpa sadar orang tua terlalu sering menegur termasuk untuk hal yang remeh atau yang bersifat selera, bukan hal yang prinsip. Sehingga ketika orang tua menegur untuk hal yang prinsip, anak sudah capek untuk mendengar dan lebih suka untuk menolak. Apapun yang dikatakan orang tua, tidak ada ruang di hati hati. Sayang 'kan?
H : Tidak ada jalur instan tapi juga tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki segala situasi?
SK : Ya! Sekalipun masa lalu tidak begitu saja bisa kita tebus. Paling tidak di masa remaja masih ada sedikit ruang bagi orang tua untuk memperbaiki relasi dengan anak.
H : Sebaliknya Pak, kalau anak ingin menegur orang tua, bagaimana seninya?
SK : Tidak mudah. Dalam konteksnya begini, penting bagi anak untuk membahasakan teguran itu dalam bahasa yang positif. Prinsipnya, tekankan bahwa anak tetap hormat pada orang tua, anak berterima kasih untuk hal baik yang sudah dilakukan orang tua. Kalaupun mau menegur, itupun dalam konteks rasa hormat dan terima kasih. Jadi rasa hormat dan rasa terima kasih ini perlu dibahasakan secara verbal dengan kata-kata yang jelas dan eksplisit.
H : Contohnya bagaimana, Pak?
SK : Misalnya, "Pa, saya berterima kasih Papa sudah begitu baik dan bertanggung jawab. Papa mencari nafkah buat keluarga, mencukupi kebutuhan keluarga, Papa juga tetap berusaha menemani saya dalam beberapa kegiatan. Ada yang saya perlu bicarakan dengan Papa. Saya akan lebih senang bila Papa mau menemani saya di kegiatan sekolah. Bagi saya itu suatu dukungan. Bolehkah saya minta Papa hadir di sekolah saya? Saya butuh papa hadir." Ini permintaan. Beda dengan yang begini, "Papa dari dulu tidak pernah peduli dengan saya. Saya ini apa sih? Anak Papa atau bukan? Kalau Papa memang sayang saya, kenapa Papa hanya berani memberi uang dan fasilitas? Kenapa Papa tidak pernah hadir dalam hal penting di hidup saya?" Berbeda 'kan? Ini cara mengemas teguran, ini penting.
H : Itu seninya ya, Pak. Kita sedikit keluar dari ruang lingkup keluarga, kalau untuk ruang lingkup profesionalisme dunia kerja, juga butuh seni menegur ya, Pak. Bagaimana cara mengaplikasikannya?
SK : Dalam hal ini kita perlu jelas memahami di benak kita tentang batasan-batasan, wilayah kedudukan, wilayah teritori pekerjaan, harus melekat di benak kita. Sehingga kita bisa menata pikiran, hati dan perkataan dalam batasan yang jelas. Kemudian dalam mengungkapkannya, tetap dalam nada positif. Itu jauh lebih baik terutama kalau kepada rekan sebaya atau dalam satu jenjang. Apalagi dengan atasan kita, benar-benar dalam bahasa yang positif, dibungkus dengan rasa hormat, mengakui batasan-batasan yang ada dan mungkin bisa diawali dengan permintaan maaf bila mungkin kurang tepat, tapi tegaskan kalau maksud kita ingin membangun, dan kita juga terbuka kalau ada koreksi kepada kita, kita juga mau mendengar. Jadi konteksnya memang untuk membangun, bukan untuk mencampuri. Jadi kata-kata awal tentang motivasi teguran kita harus diungkapkan dengan sejelas mungkin. Tentunya juga perhatikan tempat dan waktunya, jangan di hadapan empat orang, sebaiknya di tempat yang ada privasinya, empat mata dan dalam suasana yang nyaman, dan waktu dimana dia nyaman untuk mendengar, bukan saat dia terburu-buru atau atau sedang kelelahan sehingga tidak fokus mendengarkan. Dalam hati kita juga harus sudah siap untuk menegur.
H : Kalau kita konkretkan, misalnya atasan kepada bawahan, bagaimana seni menegurnya?
SK : Dalam hubungan atasan-bawahan akan lebih mudah bagi atasan untuk berlaku semena-mena kepada bawahannya. Hindarilah. Jangan atas nama kekuasaan kita berlaku semena-semena, karena itu artinya kita sedang menarik dari tabungan emosinya. Di hadapan kita dia mengiyakan, tapi di belakang kita dia marah, dendam dan melakukan tindakan agresif pasif seperti menyabotase karena dia tidak terima dengan cara kita menegurnya, jadi bukan karena isi teguran kita. Sebagai atasan pun kita perlu sopan dan menghormati bawahan kita, jangan lupa secara prinsip firman Tuhan, saya dan bawahan kita adalah sama-sama manusia ciptaan Allah, kita harus bertanggungjawab kepada Allah sebagaimana bawahan kita pun bertanggung jawab kepada Allah. Sikap hati bahwa kita pun adalah hamba di hadapan Allah yang sama itu penting.
H : Itu kalau atasan dengan bawahan, bagaimana kalau setara atau satu jabatan, itu juga tidak mudah, Pak. Kalau kita sebagai bawahan yang menerima teguran dari atasan, kita mungkin masih sadar dia atasan kita dalam hubungan subordinat yang wajar. Tapi kalau setara 'kan ada kesulitan tersendiri, Pak. Bagaimana penerapannya, Pak?
SK : Mungkin bisa dibungkus dalam bentuk diskusi atau percakapan, Pak Hendra. "Bagaimana ini, apa yang bisa kita lakukan untuk mengembangkan unit kita? Menurutmu apa yang bisa kita lakukan?" kemudian menyisip, "Ngomong-ngomong, dalam soal pekerjaan, apakah memungkinkan bila bagianmu ditingkatkan kecepatan kerjanya? Karena kalau bagianmu ritme kerjanya seperti ini, akan mempengaruhi bagianku sehingga tidak bisa leluasa mengerjakan karena waktunya terkurangi."
H : Terima kasih, Pak. Sekarang saya mau tarik lagi, bagaimana kalau di dalam pelayanan? Kalau tadi dalam dunia profesi, kadang-kadang orang bisa berusaha bertahan dalam situasi yang kurang menyenangkan atau kurang nyaman karena konteksnya bekerja untuk mendapatkan nafkah. Bagaimana kalau di dunia pelayanan, Pak? Bukan hal mudah ketika kita menerapkan seni menegur ini? Bisa Bapak bagikan bagaimana menerapkannya di dunia pelayanan?
SK : Memang berbeda di dunia pelayanan. Kalau orang tua ke anak hubungan darah daging yang jelas, rekan kerja pun ada ikatan finansial dan ada tanggung jawabnya. Sedangkan pelayanan sifatnya 'volunteer' atau kesukarelaan, di sini teguran harus dibungkus dengan lebih cantik. Kembali seperti di awal, relasi itu penting itu tidak bisa digantikan. Tabungan emosi itu tidak bisa digantikan. Yang kedua, tebarlah pengakuan positif, penghargaan, apresiasi sebanyak dan setulus mungkin. Nyatakan rasa salut, rasa homat, rasa terima kasih. Eksposlah itu secara personal maupun secara kelompok, persekutuan, panitia, tim kerja, pertemuan pengurus. Atau kalau perlu wartakan ucapan terima kasih itu. Bentuklah atmosfer yang positif sehingga memberikan rasa nyaman. Ketika menyampaikan teguran lebih baik menggunakan dialog, "Menurut kamu, apa yang bisa kamu kembangkan dari pengalaman tadi?" Evaluasi diri. Sebelum kita memberi umpan balik, kita ijinkan orang itu untuk mengevaluasi dirinya. Seringkali kata evaluasi itu berkesan menilai dan negatif. Pakailah semangat umpan balik dan semangat untuk mengembangkan. Akuilah apa yang kurang, mungkin kita bisa meminta maaf bila salah dan mengembangkan apa yang kurang. Ini juga bisa diterapkan dalam relasi kerja, bukan hanya di pelayanan. Saya menerapkan ini dalam kepanitiaan atau kepengurusan, kemajelisan, "Ayo, coba kamu ungkapkan apa berkatmu selama jadi panitia ini?" Kemudian di respons, "Saya merasa makin mengenal Tuhan, belajar pentingnya kerjasama." Okey, mari kita tepuk tangan untuk apa yang dialaminya ini. Atau, "Hal-hal apa yang kalian anggap positif dari teman-teman kita ini? Sisi-sisi positif apa yang bisa kalian lihat dari Bagian Acara?" Ekspos dulu hal-hal yang positif. "Bagus! Meskipun tidak mudah mereka tetap berusaha hadir." "Meskipun hasilnya tidak bagus, tetapi mereka setia, ayo kita tepuk tangan." Ajak orang-orang untuk saling memuji. Setelah itu masuk ke sesi berikutnya, "Sekarang masing-masing kita silakan ungkapkan hal apa yang kita rasa belum tepat, masih kurang atau perlu kita kembangkan dalam diri kita atau dalam seksi kita untuk kedepannya."
H : Jadi kita yang melemparkan kesempatan untuk menjawab sendiri?
SK : Ya! Membuat pengakuan. "Ya, saya akui saya kurang loyal, saya lebih mengutamakan pekerjaan saya, saya minta maaf ya." Begitu 'kan lebih cantik. Setelah itu barulah kita adakan ruang untuk pertanyaan apabila ada sisa waktu. "Mungkin ada rekan yang ingin mengklarifikasi atau menanyakan sesuatu?" tetapi lebih dulu kita sudah memberikan kesempatan orang-orang saling memuji kemudian mengakui kekurangannya dan apa yang perlu dikembangkan, kemudian sisanya yang belum terungkapkan karena dia tidak berani bicara, barulah orang lain yang mengungkapkan. Itupun dengan semangat membangun. Ini penting, ini paradigmanya: membangun atau meruntuhkan. Sebenarnya ketika kita tidak mengevaluasi atau mengecek kembali paradigma ini, kita cenderung lebih banyak meruntuhkan daripada membangun. Makanya kita perlu mengecek paradigmanya lalu menyusun strateginya untuk memastikan bahwa kita hendak membangun. Kalau perlu kita mengutip firman Tuhan, tegaskan bahwa kita sedang melayani Allah yang kekal. Yang terutama adalah kesetiaan, bukan hasil yang gegap gempita. Yang kedua adalah pertumbuhan karakter kita yang serupa dengan Kristus. Jadi kalaupun ada kekurangan, tidak apa-apa, silakan akui. Itu menjadi titik pijak kita bertumbuh semakin serupa dengan Kristus. Kita tegaskan juga caranya. Ketika memberi umpan balik, pilihlah kata-kata yang membangun, bukan perkataan kotor, bukan perkataan yang meruntuhkan. Jadi itu memberi bingkai awal. Sehingga rentetan rapat evaluasi itu memiliki semangat membangun, bukan semangat meruntuhkan.
H : Saya tertarik dengan langkah-langkah yang Bapak jabarkan tadi. Langkah pertama yaitu memberi pengakuan positif, itu 'kan juga menjadi tabungan emosi, sebuah investasi positif. Dan yang kedua, kita memberi mereka ruang untuk mengakui kelemahannya. Dan yang ketiga, sisa-sisanya yang belum dibahas, di situlah kesempatan kita untuk bertanya. Yang saya kuatirkan di bagian yang ketiga ini, ketika orang lain yang bertanya, di langkah ini sebenarnya dibutuhkan seni menegurnya, meskipun dia tahu ini dalam konteks untuk membangun tetapi penyampaiannya itu, Pak. Apakah Bapak bisa memberikan contoh bagaimana membangun tetapi seni menegurnya juga diaplikasikan?
SK : Kita bisa sampaikan, "Tadi saya sudah mendengar apa yang sudah diakui, terima kasih untuk hal itu. Kalau boleh saya ingin menyampaikan hal yang lain. Saya melihat di dalam hal tadi ada hal yang belum diungkapkan. Ini 'kan di dalam proses kerja sebenarnya yang terjadi hanya dua orang yang bekerja untuk menyiapkan dekorasi dari lima anggota, tetapi tidak ada laporan kenapa demikian? Apa boleh dijelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Kita tetap menggunakan nada bertanya walau kita tahu apa yang terjadi, misalnya tiga anggota itu memang bermalas-malasan, tetap kita tanyakan. Mengijinkan mereka membuat pengakuan. Kalau misalnya orang itu menjawab dengan terbata-bata mencari cara untuk membenarkan diri, mungkin kita bisa bicara, "Apa boleh lebih berterus terang? Kalaupun ada sesuatu yang keliru tidak apa-apa, mari coba ungkapkan. Ini bagian yang baik karena poin terpenting bukan hasil kerja, tapi kita bisa bertumbuh. Kalau pun ada kesalahan, mari akui, ada kasih karunia untuk itu."
H : Terima kasih, Pak. Di akhir percakapan ini dan untuk menutup seluruh topik "Seni Menegur", ayat firman Tuhan apa yang ingin Bapak sampaikan?
SK : Saya bacakan dari Efesus 4:15, "Dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia Kristus yang adalah Kepala." Kalau saya bandingkan dengan bahasa sehari-hari dikatakan "Kita harus menyatakan hal-hal yang benar dengan hati penuh kasih, sehingga dalam segala hal kita makin lama makin sempurna seperti Kristus yang menjadi kepala kita." jadi kebenaran dan kasih itu bukan wilayah yang perlu dipertentangkan. Seringkali orang sulit menegur karena dia merasa menegur itu berarti menyakiti. Tidak! Menegur harus dengan hati yang penuh kasih. Seringkali orang kesulitan, hanya kasih, namun kasih yang sejati juga harus ada kebenaran. Mari menegur dengan semangat kebenaran dan kasih dalam hati kita dalam cara kita mengungkapkan. Jangan lupa poin terpenting, sasaran teguran itu adalah pertumbuhan karakter. Bahwa kita dan orang lain diubah dengan menegur ini, mengungkapkan kebenaran dengan hati penuh kasih ini, untuk makin serupa dengan Kristus. Tanpa itu akan terhambat dan kita mengalami kegagalan sebagai manusia yang sudah ditebus Allah. Jadi menegur itu adalah bagian dari gaya hidup yang sehat untuk kita makin serupa dengan Kristus.
H : Terima kasih untuk percakapan yang sangat menarik ini, Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Seni Menegur" bagian ketiga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
71. Menerima Teguran 1 | |
Mampu menerima teguran dengan baik sama pentingnya dengan menegur dengan baik. Firman Allah tampaknya lebih banyak membahas tentang menerima teguran daripada member teguran.Tidaklah terlalu sulit untuk menanggapi dengan baik ketika seseorang menegur kita dengan lembut dan penuh kasih. Namun, ketika kita diserang atau ditegur dengan cara yang tidak tepat, kita tergoda untuk memberitanggapan yang tidak tepat juga. Bagaimana cara kita menghadapi dan menerima teguran dengan baik?
Mampu menerima teguran dengan baik sama pentingnya dengan menegur dengan baik. Firman Allah tampaknya lebih banyak membahas tentang menerima teguran daripada memberi teguran.
Menerima teguran dengan baik, contohnya di Alkitab dari Amsal 9:8b,"Kecamlah orang bijak, maka engkau akan dikasihinya" dan Amsal 10:17a,"Siapa mengindahkan didikan, menuju jalan kehidupan". Sedangkan menerima teguran dengan sikap yang salah contohnya Amsal 1:7b, "tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan" dan Amsal 1:23, "Berpalinglah kamu kepada teguranku! Sesungguhnya, aku hendak mencurahkan isi hatiku kepadamu dan memberitahukan perkataanku kepadamu".
Menanggapi teguran secara verbal; tidaklah terlalu sulit untuk menanggapi dengan baik ketika seseorang menegur kita dengan lembut dan penuh kasih. Namun, ketika kita diserang atau ditegur dengan cara yang tidak tepat, kita tergoda untuk memberi tanggapan yang tidak tepat juga. Kemarahan, sakit hati atau pembelaan diri cenderung mengambil alih tanggapan kita, bahkan sebelum kita menyadari apa yang sedang terjadi. Namun, kita dapat mempelajari pola-pola baru.
Satu prinsip yang bisa menjadi batu penjuru kita yakni: Saat saya ditegur, tanggapan pertama saya adalah menanggapi dengan cara yang memuliakan Allah. Tanggapan kita yang utama dan pertama dalam pikiran, perasaan dan lain-lain memuliakan Allah. I Korintus 10:31 mengatakan "Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah".
Beberapa faktor yang memengaruhi kemampuan kita untuk menerima teguran dengan baik meliputi:Ketika seseorang menegur kita dengan kemarahan, tugas pertama kita adalah untuk memberikan tanggapan dengan cara yang diharapkan akan dapat meredakan amarahnya. Itulah tujuan dari strategi-strategi ini.
Namun demikian, kita perlu bersiap bahwa tidak ada usaha yang selalu berhasil. Dengan kata lain, walau kita sudah berusaha memberikan tanggapan dengan cara yang benar, orang tersebut mungkin masih tidak mau menghilangkan kemarahannya. Kita tidak dapat mengendalikan perasaan orang lain atau memaksa mereka untuk menanggapi dengan benar. Roma 12:18 mengatakan "Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!"
Jika kita menanggapi dengan cara yang benar, kita meningkatkan secara signifikan kemungkinan orang tersebut dapat tenang sehingga kita akan mampu mengatasi masalah yang ada.
Perbedaan antara mengkritik, mengomel dan menegur. Ketiganya bisa sama, tapi bisa juga berbeda. Menegur adalah menyampaikan kebenaran dengan semangat kasih. Menegur bisa tanpa mengomel, dengan tanpa menyakiti orang lain, menegur yang benar tidak "membuang sampah". Mengkritik dengan cara yang benar, tapi dengan semangat membalas dendam juga bisa.
Langkah-langkah praktis untuk bisa menerima teguran dengan baik adalah sebagai berikut :Kalau cara orang itu menegurnya salah, kita perlu memikirkan dan mendoakan apakah kita harus menegur atau membiarkannya.
Akhirnya, simaklah firman Tuhan dari I Petrus 2:21-23, "Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya. Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil."
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Menerima Teguran", bagian yang pertama. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kenapa topik menerima teguran ini penting untuk dibahas, Pak? Pada satu sisi kita tahu menerima teguran bukan hal yang mudah.
SK : Benar, Pak Hendra. Menerima teguran itu menjadi hal yang secara manusiawi tidak mudah kita terima. Yang lalu kita membahas tentang memberi teguran, itu pun tidak mudah. Terlebih menerima teguran, karena menerima teguran itu memang secara alami kita merasa diserang, direndahkan, dipojokkan dan kita juga bisa terluka karenanya. Tetapi topik ini penting untuk kita bahas dan kita terapkan dalam diri kita masing-masing karena rupanya kalau kita melihat firman Allah, firman Allah jauh lebih banyak membahas secara eksplisit berkenaan menerima teguran daripada memberi teguran.
H : Contohnya, Pak?
SK : Paling banyak di Kitab Amsal. Contohnya di Amsal 9:8 dikatakan, "Janganlah mengecam seorang pencemooh, supaya engkau jangan dibencinya, kecamlah orang bijak, maka engkau akan dikasihinya." Kemudian dikatakan dalam Amsal 17:10, "Suatu hardikan lebih masuk pada orang berpengertian daripada seratus pukulan pada orang bebal." Jadi banyak ayat yang serupa dengan dua ayat yang saya bacakan tadi - baik memakai kata kecam, hardik, tegur dan sebagainya - tentang bagaimana seharusnya sikap dan respons kita dalam menerima teguran.
H : Meskipun secara umum kita merasa diserang jika ditegur, sebenarnya tidak seperti itu ya, Pak? Karena kalau kita lihat pesan firman Tuhan juga firman Tuhan itu tidak dalam konteks menyerang kita, tetapi berusaha mengarahkan dan mengoreksi kita.
SK : Menyerang juga iya. Ada dua sisi seperti dua sisi mata uang yang sama. Di satu sisi bila kita lihat dalam terang firman Tuhan, memang teguran itu membangun kita, makanya dikatakan, "kecamlah, hardiklah, didiklah" karena itu jalan kehidupan, karena itu akan menjadikan kita orang bijak dan berpengertian serta berbudi. Jadi itu sisi yang membangun bagi kita, tapi rupanya sisi yang lain dari mata uang yang sama, kata-kata yang sama yaitu "kecam, hardik" dan lainnya itu memang kata-kata yang keras. Memang ada sisi menyakitkan, tetapi rasa sakit yang menyembuhkan, derita yang menumbuhkan. Sisi inilah yang rupanya firman Allah ingin kita melihat, jangan hanya lihat sisi buruknya yang tidak menyenangkan kita, tapi lihatlah kebenaran, kebaikan, bahkan berkat yang terkandung di dalam teguran itu sekali pun teguran itu disampaikan dengan cara yang keliru, yang menyakitkan kita. Memang firman Allah ingin supaya kita jangan terpaku kepada kemasannya. "Aduh, kok tidak cantik kadonya ya? Masa kado ini dibungkus dengan kertas bekas? Ah, pasti jelek! Tidak mau, buang saja kadonya. Saya tidak mau terima kado ini. Bungkusnya saja seperti itu, pasti isinya jelek!" Jangan bersikap seperti itu! Mungkin bungkusnya memang jelek, kertas bekas, kertas koran, kertas daur ulang, tapi sangat mungkin isinya emas, berlian, permata, kehidupan yang berharga. Rupanya firman Allah ingin kita fokus pada isinya, sekalipun bungkusnya sangat tidak menyenangkan hati kita, tapi isi yang berharga inilah yang harus kita kejar. Kalau kita demikian, maka kita akan terhitung sebagai orang-orang yang bijak, terhitung sebagai orang-orang yang berbudi, berhikmat, berpengertian dan orang-orang begitulah yang mengejar hikmat di dalam teguran.
H : Tadi Bapak sempat menyebutkan dan kita juga pernah membahas sebelumnya, bahwa memberi teguran itu bisa keliru. Nah, dalam menerima teguran juga bisa teguran. Bisakah Bapak contoh seperti apa sikap yang keliru dalam menerima teguran?
SK : Sikap yang keliru dalam menerima teguran juga dalam beberapa bagian firman Tuhan khususnya dalam kitab Amsal, sikap yang keliru itu dikatakan menghina teguran sama saja dengan menghina hikmat yang ada dalam teguran itu. Menolak, membenci, mencemooh, mengabaikan, bahkan ada kata-kata yang cukup tajam di dalam Amsal 29:1, "Siapa bersitegang leher, walaupun telah mendapatkan teguran, akan sekonyong-konyong diremukkan tanpa dapat dipulihkan lagi." Jadi sudah mendapat teguran, tapi ngotot dan menolak dengan keras. Katakan sampai urat lehernya kelihatan, firman Allah memakai kata bersitegang leher. Ini sikap-sikap yang rupanya firman Allah katakan keliru. Kita tidak boleh membenci, menolak, mengabaikan, memalingkan wajah kita, apalagi ngotot melawan, bersitegang dengan teguran yang kita terima. Jangan! Terimalah teguran itu, dengarlah lebih dulu dengan baik-baik, temukan mutiaranya. Itu sikap yang benar dan sikap yang keliru akan justru membawa kita pada kondisi yang diremukkan dan tidak bisa bangkit kembali karena kita terhitung sebagai orang-orang bebal dan bodoh. Jadi firman Allah memang hitam putih ya. Kalau kita mau belajar menerima teguran dengan baik, maka kita akan jadi orang yang bijak dan pandai. Sementara kalau kita menolak bahkan menolak dengan mentah-mentah dan membuang hikmat yang ada dalam teguran itu, berarti kita siap menjadi orang bodoh dan bebal.
H : Artinya kita jangan antipati dengan teguran ya, pak?
SK : Iya. Rupanya demikian.
H : Sebenarnya kecenderungan kita sebagai manusia dalam menanggapi teguran verbal itu seperti apa, Pak?
SK : Kecenderungannya, secara alami kita kurang suka dan secara manusiawi kita lebih cenderung bersikap defensif, jarang yang bersikap terbuka, jarang yang terbuka dan siap menerima teguran-teguran itu. Jadi karena kita merasa sensitif dengan harga diri dan rasa aman, maka sikap-sikap yang reaktif itulah yang lebih mudah muncul.
H : Jadi sikap-sikap yang antipati yang tadi disebutkan itu adalah sikap naluriah kita yang akan lebih mudah muncul. Kaena itu kita harus belajar untuk tidak antipati, begitu Pak?
SK : Betul demikian, Pak Hendra.
H : Bagaimana tipsnya agar kita bisa menanggapi teguran dengan tepat, Pak?
SK : Dalam hal ini yang paling utama kita perlu menyadari bahwa satu prinsip sebagai batu penjuru kita, bahwa saat saya ditegur, saya menanggapi dengan cara yang memuliakan Allah.
H : Maksudnya?
SK : Yang pertama dan utama adalah bagaimana memberi respons dalam pikiran, perasaan, perkataan, seluruh bahasa tubuh kita itu adalah tanggapan dari hati yang ingin memuliakan Allah sehingga memunculkan ekspresi yang memuliakan Allah. Kita bisa mengutip dari firman Allah dalam 1 Korintus 10:31, "... Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah." Makan, minum atau apapun juga, lakukan itu untuk memuliakan Allah. Itu yang menjadi "mindset", paradigma dan batu penjuru kita dalam pola pikir kita. Apapun yang akan kumunculkan dari diriku adalah hal-hal yang memuliakan Allah, termasuk caraku menanggapi teguran, sekalipun teguran itu disampaikan dengan cara yang sangat menyakitkan, tanggung jawabku adalah menanggapinya dengan cara yang memuliakan Allah. Dengan kata lain, ini adalah sikap proaktif. Bahwa aku berpusatkan kepada hal-hal yang prinsipil, bahwa hidupku berpusatkan pada Kristus, hidupku adalah hidup yang mempermuliakan Allah. Perkara kamu mau bicara dengan sembrono, santun, bahasa sumpah serapah, sangat tertata dengan baik, itu urusanmu. Tapi urusanku, saya memuliakan Allah apapun yang aku terima aku tetap memuliakan Allah. Inilah ketetapan, sikap hati yang perlu kita bangun dari hari ke hari, perlu kita latih, kita segarkan dan termasuk siap untuk mendemonstrasikannya ketika kita mengalami situasi yang buruk termasuk menerima teguran dengan cara yang salah tadi.
H : Kalau kita mau menerima teguran tapi kita harus mengetahui kita punya prinsip untuk memuliakan Allah, tentu untuk melakukannya dalam kehidupan, kita perlu mengenali beberapa faktor yang bisa mempengaruhi kemampuan kita menerima teguran dengan baik. Apa itu, Pak?
SK : Ada beberapa faktor. Pertama kita perlu mempelajari tanggapan-tanggapan yang benar. Yang kedua adalah membuat komitmen kepada Allah, yang ketiga bergantung pada Allah. Jadi yang pertama, kita perlu mempelajari tanggapan-tanggapan yang benar untuk menggantikan tanggapan-tanggapan yang keliru. Untuk menerima teguran yang disampaikan dengan lemah lembut dan penuh kasih itu tidak terlalu sulit untuk kita tanggapi dengan baik dan benar. Tapi kalau kita diserang, ditegur dengan cara yang tidak tepat, kita secara manusia akan tergoda untuk memberikan tanggapan yang tidak tepat. Kemarahan, sakit hati, pembelaan diri, itu cenderung mengambil alih tanggapan kita. Dengan sifat manusiawi yang berangkat dari kemanusiaan kita yang berdosa ini, maka kita perlu sengaja mempelajari tanggapan-tanggapan yang benar, menanamkan nilai dan melatihnya. Setiap kita menerima teguran dari yang paling kecil, sederhana, kita latih untuk menanggapinya dengan cara yang benar.
H : Mempelajari tanggapan yang benar. Langkah berikutnya adalah kita harus membuat komitmen di hadapan Allah, maksudnya seperti apa, Pak?
SK : Membuat komitmen artinya membuat komitmen untuk menanggapi dengan cara yang benar tadi. Hidupku adalah hidup yang memuliakan Allah, apapun yang muncul dari diriku itu berangkat dari keyakinan jati diriku bahwa aku adalah milik Kristus, aku adalah murid Kristus, aku adalah Bait Roh Kudus dan Roh Allah diam dalam diriku, maka aku akan mengekspresikan hal-hal yang memuliakan Allah, yang Allah sukai. Yaitu hal-hal yang benar, yang mulia, yang suci, yang manis, yang sedap didengar yang disebut kebajikan, hal-hal itulah yang jadi komitmenku untuk muncul dari berbagai sisi hidupku. Baik dalam keadaan senang, lancar maupun dalam keadaan yang penuh hambatan. Ini suatu komitmen yang perlu kita bangun dalam diri kita.
H : Tapi komitmen ini bukan hanya mengandalkan diri sendiri. Tadi Bapak menyebutkan faktor ketiga, kita harus mengandalkan pada kekuatan Allah?
SK : Benar. Faktor yang ketiga yang mempengaruhi kemampuan kita untuk menerima teguran dengan baik dan benar, kita perlu membangun kebergantungan kepada Allah sebagai sumber kekuatan untuk dapat menanggapi dengan benar. Secara manusia berangkat dari keberdosaan kita, kita sudah ditebus oleh darah Yesus tapi kita tinggal dalam kemah yang lama, jadi jiwa pemberontak, jiwa defensif, jiwa yang ingin mempertahankan ego kedagingan kita itu kuat sekali. Dalam hal ini kita sudah berpegang prinsip, kita mau berkomitmen, kita juga berusaha melatih, tapi ingat kita terbatas. Kekuatan kita tidak sedahsyat itu. Maka kita perlu mengundang Allah, "Tuhan beri aku kemampuan". Mungkin ada saatnya kita diserang dengan teguran, "Tuhan, tolonglah. Hatiku sakit dan ingin membalas. Limpahkan kasih-Mu kepadaku beri aku damai sejahtera supaya aku bisa tenang, supaya bisa menanggapi dengan tepat. Tolong, taruh Roh-Mu dalam perkataanku, dalam hatiku, kuasai jiwaku, Tuhan." Inilah hidup yang bergantung kepada Allah termasuk di tengah krisis ketika kita sedang diterpa teguran yang menyakitkan, mari berdoa berseru kepada Allah. Kita lemah, tapi kalau kita akui kelemahan kita kepada Tuhan maka kita kuat. Di saat aku lemah, maka aku kuat, karena kasih karunia Allah dalam diriku.
H : Kalau misalnya orang yang menegur itu penuh dengan kemarahan, apakah kita hadapi dengan hanya diam saja, Pak?
SK : Ya. Satu hal yang penting, tugas pertama kita adalah memberikan tanggapan dengan cara yang dapat meredakan amarahnya. Jadi hati-hati. Kalau saya suka menyitir dalam konteks ini omongan dalam bahasa Jawa: sing waras kudu ngalah, artinya yang berakal sehat, mari mengalah pada orang yang sedang emosional. Jadi, marah jangan dibalas dengan marah. Bahkan firman Tuhan dengan jelas mengatakan sebuah hikmat yang sangat indah dalam Amsal 15:1, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang yang pedas membangkitkan marah." Memang firman Tuhan menyatakan suatu hikmat yang berlaku dalam kondisi apapun termasuk ketika kita diterpa teguran yang penuh amarah. Kalau kita menanggapi dengan lemah lembut, itu lebih mungkin meredakan amarah orang itu daripada perkataan yang pedas. Itu seperti menyiram bensin ke dalam api yang sedang menyala-nyala, apinya akan tambah membesar.
H : Jadi maksudnya menerima disini kita bukan hanya diam pasif ya, Pak? Tapi kita juga perlu memberikan jawaban tapi yang lemah lembut yang bisa meredakan amarah.
SK : Ya! Jawaban ataupun respons bahasa tubuh kita, tatapan mata kita, hal-hal yang mungkin saat kita bicara, kalaupun saatnya tepat untuk bicara, nada dan pilihan kata kita dengan ekspresi bagaimana amarahnya itu diredakan lebih dulu supaya tidak semakin memanas.
H : Tapi 'kan tidak selalu demikian, Pak? Kadang kita sudah berusaha memberikan jawaban lemah lembut, berusaha memberikan respons sebaik mungkin, tapi hasilnya tidak sesuai harapan.
SK : Ya. Itu betul. Bagaimana pun kita tidak bisa mengendalikan respons atau tanggapan orang. Ada saatnya sekalipun kita sudah menanggapi dengan benar, dengan cara yang lembut, dengan dilandasi semangat kasih, tetapi orang itu malah semakin membabi buta, semakin merasa di atas angin. Itu sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan, kita tidak bisa mengendalikan perasaan orang itu atau pun kita tidak bisa memaksa orang tersebut untuk menanggapi dengan benar.
H : Bisakah Bapak memberikan contoh, misalnya ada orang yang menegur kita dan kita berusaha memberikan tanggapan, ternyata hasilnya tidak tepat, setelah itu kita harus bereaksi seperti apa?
SK : Dalam konteks ini mungkin saya ingin mengutip satu bagian firman Tuhan ya, Roma 12:18, "Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang." Sedapat-dapatnya. Firman Allah juga mengerti tentang keterbatasan kita. Dalam konteks yang Pak Hendra sampaikan tadi, memang kita perlu menanggapi dengan cara yang benar, kita meredakan, tapi ketika orang itu marah ya apa boleh buat, kalau orang itu tetap marah. Ada kalanya 'kan orang ingin membuang "sampah" dalam konteks ini kita bisa mengambil satu perspektif atau pola pikir, "Oh, orang ini benar-benar terluka. Ya biarkan dia membuang 'sampah'nya itu. Biarkan dia membuang 'sampah'nya dulu sampai titik yang lega baru kita menanggapinya." Dalam hal ini kita bisa mengambil satu sudut pandang, "Kasihan orang itu begitu terluka. Ya sudah, biarkan dia mengeluarkan nanah, batu kerikil, pecahan kaca yang menyesakkan hati dan menggores jiwanya. Biarkan. Nanti kalau dia sudah lega bisa diajak bicara. Mungkin nanti dia akan menyesali. Tapi kalau langsung saya hentikan, dia bisa tambah naik pitam. Biarlah ini menjadi waktunya dia." Kita bisa mengambil sikap demikian. Itu tidak dalam semua kondisi ya. Dalam kondisi tertentu kita bisa menghardik. Contohnya dalam suasana rapat resmi, rapat pleno, rapat perusahaan atau tayangan langsung di ruang parlemen dan sebagainya. Tentu misalnya kita sebagai pemimpin sidang, ini 'kan bukan tentang saya dengan dia, tapi ini ada anak saya (bila di tengah keluarga), ada penonton, ada tamu-tamu yang lain, kita bisa ajak, "Mari kita pergi ke ruang sebelah, Pak." Kalau dia menolak, kita bisa meminta orang lain, misalnya satpam, untuk membawa orang itu ke tempat yang memiliki privasi dan biarkan orang itu "buang sampah" di sana. Jadi ini bukan berarti yang saya sampaikan itu berlaku membabi buta tidak melihat konteks. Kita perlu melihat konteksnya, kita bukan hanya peduli dengan orang itu tapi kita juga peduli dengan lingkungan sekitar. Misalnya di hadapan murid-murid sekolah, anak-anak kecil, misalnya kita guru dan orang itu adalah orang tua murid yang membabi buta. Kasihan anak-anak bisa trauma 'kan? Besoknya tidak mau sekolah. Berhari-hari terbayang-bayang. Kita bisa mengambil sikap bahwa orang itu harus diminggirkan dulu. Dia boleh marah, bahkan sampai mengeluarkan sumpah serapah atau umpatan, karena nilainya begitu, tapi jangan di hadapan mereka. "Ayo kita pindah dari sini, Pak. saya siap dimarahi dan menerima seluruh umpatan Bapak. Tapi jangan di ruangan ini, ada anak-anak. Tidak terhormat marah di sini. Mari kita pindah." "Saya menghargai Bapak dan siap mendengar Bapak. Tapi saya tidak terima kalau itu disampaikan di kelas ini. Cara Bapak keliru." Kita bisa tegas ya, karena situasi yang kritis kita bisa mengambil sikap. Kembali, ini dilandasi dengan sikap yang memuliakan Allah, semangat kita bukan semangat ingin membalas tapi ingin menolong dia dan lingkungan sekitar kita.
H : Apakah boleh kalau kita saja yang menghindar?
SK : Lari?
H : Maksudnya ketika kita sudah berusaha memberikan reaksi seperti yang telah Bapak jabarkan tadi ternyata tidak terlalu menolong, ternyata dia lebih meledak, lalu Bapak menyarankan mengajak dia ke tempat lain. Saya membayangkan kalau dia sudah berdua dengan kita, tapi dia masih terus menyerang kita dengan membabi buta, kadang-kadang ada tahap dimana kita sulit bertahan. Apa boleh kita saja yang menghindar, begitu?
SK : Jadi sudah berdua ya? Itu masih mungkin bisa dilakukan ketika kita merasa kesulitan untuk menguasai diri. Dari pada batu dibalas dengan batu, api dibalas dengan api, kalau kita sudah merasa melampaui batas kesanggupan kita untuk menguasai diri, menahan emosi yang meletup-letup juga, lebih baik pergi tinggalkan dia. "Maaf Pak, saya merasa ini malah membangkitkan situasi yang lebih berat dan sulit. Saya pun merasa seperti terus diserang oleh Bapak. Maaf kalau saya bilang saya tidak tahan. Lebih baik kita berhenti dulu. Bagaimana kalau kita bertemu besok pukul 9 pagi, silakan Bapak datang lagi dan saya akan siap menerima Bapak. Kita lanjutkan besok". Ini salah satu kemungkinannya. Kalau perlu kita hadirkan mediator. Kalau kita merasa kesulitan untuk mengelola diri, kita merasa terluka, libatkan pihak ketiga untuk bisa membantu menengahi, memediasi situasi konflik kita dengan orang tersebut. Ini bisa dilakukan.
H : Tapi ketika kita menerima teguran, terutama dari pihak yang lebih berotoritas, kita kesulitan untuk bernegosiasi meminta bertemu besok saja untuk membahas lagi. Ada kalanya orang yang bersangkutan itu cenderung menginginkan kita hanya menerima dan berdiam diri. Bagaimana, Pak?
SK : Dalam hal ini, ini soal negosiasi kita, apakah kita mau bertahan dan itu berarti jabatan dan posisi kita tetap bertahan, ataukah kita tidak kuat dan meninggalkan gelanggang tanpa pamit dan itu artinya kita siap dipecat saat itu juga. Jadi tergantung seberapa harga yang berani kita bayar.
H : Yang terakhir, apakah ada perbedaan antara mengkritik, mengomel, dan menegur?
SK : Hal-hal itu bisa sama, hanya soal kata. Kata bisa memunculkan berbagai cara menafsirkan. Bisa jadi ketiga kata itu sama, bisa jadi. Tapi juga bisa jadi berbeda. Menegur prinsipnya, sebagaimana pembahasan kita di sesi yang lain, menyampaikan kebenaran dengan semangat kasih. Jadi menegur itu bisa tanpa mengomel, tanpa menyakiti orang lain. Tapi menegur juga bisa dengan mengomel atau "membuang sampah". Sedangkan menegur yang benar itu tidak "membuang sampah". Sampahnya dibuang kepada Tuhan. Kita hanya menegur dengan tujuan membangun orang itu bukan untuk membalas sakit hati kita. Mengkritik juga begitu, dalam arti membangun cara yang benar, hati yang sejuk, itu bisa. Tapi mengkritik dengan semangat "membuang sampah" dan membalas dendam, juga bisa. Jadi tergantung bagaimana kita menerjemahkan kata-kata itu.
H : Terima kasih untuk percakapan yang sangat menarik ini, Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Menerima Teguran" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
72. Menerima Teguran 2 | |
Mampu menerima teguran dengan baik sama pentingnya dengan menegur dengan baik. Firman Allah tampaknya lebih banyak membahas tentang menerima teguran daripada member teguran.Tidaklah terlalu sulit untuk menanggapi dengan baik ketika seseorang menegur kita dengan lembut dan penuh kasih. Namun, ketika kita diserang atau ditegur dengan cara yang tidak tepat, kita tergoda untuk memberitanggapan yang tidak tepat juga. Bagaimana cara kita menghadapi dan menerima teguran dengan baik?
Mampu menerima teguran dengan baik sama pentingnya dengan menegur dengan baik. Firman Allah tampaknya lebih banyak membahas tentang menerima teguran daripada memberi teguran.
Menerima teguran dengan baik, contohnya di Alkitab dari Amsal 9:8b,"Kecamlah orang bijak, maka engkau akan dikasihinya" dan Amsal 10:17a,"Siapa mengindahkan didikan, menuju jalan kehidupan". Sedangkan menerima teguran dengan sikap yang salah contohnya Amsal 1:7b, "tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan" dan Amsal 1:23, "Berpalinglah kamu kepada teguranku! Sesungguhnya, aku hendak mencurahkan isi hatiku kepadamu dan memberitahukan perkataanku kepadamu".
Menanggapi teguran secara verbal; tidaklah terlalu sulit untuk menanggapi dengan baik ketika seseorang menegur kita dengan lembut dan penuh kasih. Namun, ketika kita diserang atau ditegur dengan cara yang tidak tepat, kita tergoda untuk memberi tanggapan yang tidak tepat juga. Kemarahan, sakit hati atau pembelaan diri cenderung mengambil alih tanggapan kita, bahkan sebelum kita menyadari apa yang sedang terjadi. Namun, kita dapat mempelajari pola-pola baru.
Satu prinsip yang bisa menjadi batu penjuru kita yakni: Saat saya ditegur, tanggapan pertama saya adalah menanggapi dengan cara yang memuliakan Allah. Tanggapan kita yang utama dan pertama dalam pikiran, perasaan dan lain-lain memuliakan Allah. I Korintus 10:31 mengatakan "Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah".
Beberapa faktor yang memengaruhi kemampuan kita untuk menerima teguran dengan baik meliputi:Ketika seseorang menegur kita dengan kemarahan, tugas pertama kita adalah untuk memberikan tanggapan dengan cara yang diharapkan akan dapat meredakan amarahnya. Itulah tujuan dari strategi-strategi ini.
Namun demikian, kita perlu bersiap bahwa tidak ada usaha yang selalu berhasil. Dengan kata lain, walau kita sudah berusaha memberikan tanggapan dengan cara yang benar, orang tersebut mungkin masih tidak mau menghilangkan kemarahannya. Kita tidak dapat mengendalikan perasaan orang lain atau memaksa mereka untuk menanggapi dengan benar. Roma 12:18 mengatakan "Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!"
Jika kita menanggapi dengan cara yang benar, kita meningkatkan secara signifikan kemungkinan orang tersebut dapat tenang sehingga kita akan mampu mengatasi masalah yang ada.
Perbedaan antara mengkritik, mengomel dan menegur. Ketiganya bisa sama, tapi bisa juga berbeda. Menegur adalah menyampaikan kebenaran dengan semangat kasih. Menegur bisa tanpa mengomel, dengan tanpa menyakiti orang lain, menegur yang benar tidak "membuang sampah". Mengkritik dengan cara yang benar, tapi dengan semangat membalas dendam juga bisa.
Langkah-langkah praktis untuk bisa menerima teguran dengan baik adalah sebagai berikut :Kalau cara orang itu menegurnya salah, kita perlu memikirkan dan mendoakan apakah kita harus menegur atau membiarkannya.
Akhirnya, simaklah firman Tuhan dari I Petrus 2:21-23, "Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya. Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil."
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Menerima Teguran" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, dalam pembahasan sebelumnya kita sudah membahas bahwa prinsip yang terutama dan yang terpenting dalam menerima teguran adalah kita memuliakan Allah. Kita juga sudah singgung sedikit tentang faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kita untuk menerima teguran dengan baik. Kali ini saya ingin bertanya, adakah langkah-langkah praktis yang bisa kita terapkan selangkah demi selangkah untuk bisa menerima teguran dengan baik?
SK : Yang pertama, yaitu kita perlu tetap tenang. Jadi menjaga diri untuk tetap tenang sekali pun hati kita penuh gemuruh badai. Dengan tetap tenang ini kita bisa mengendalikan situasi dengan baik, minimal dari sudut kita, kita bertanggung jawab membawa keadaannya tetap baik. Dalam hal ini maka kita perlu menghindari menginterupsi pembicaraan. Kalau orang itu sedang berbicara, sedapat-dapatnya kita tidak memotong. Kalau pun kita memotong, ketika orang itu bicara tidak berkesudahan dan sudah melebar kesana kemari atau dalam kondisi di hadapan banyak orang dan mengganggu orang-orang lain barulah kita menghentikan atau menginterupsi tapi kita alihkan ke tempat lain sehingga cukup berbicara empat mata. Poin pentingnya adalah tetaplah bersikap tenang.
H : Yang kedua, Pak? Selain bersikap tenang, apa yang harus kita perbuat?
SK : Yang kedua, kita perlu berpikir sebelum bereaksi. Jadi respons, tanggapan, yang muncul dari kita, sedapat-dapatnya sudah kita pertimbangkan dulu apakah tepat untuk disampaikan. Apakah waktunya tepat? Sambil kita mendengar untuk memahami sudut pandang, keluhan, sakit hati, amarah orang tersebut, di sisi lain kita berpikir lebih dulu, sebelum kita memunculkan tanggapan dari versi kita ini.
H : Tetap tenang dan berpikir lebih dulu sebelum bereaksi, tentunya kedua hal ini berkaitan ya, Pak. kalau kita tidak tenang, kita sulit berpikir dengan baik.
SK : Betul, Pak Hendra.
H : Setelah kita tenang, kita mulai berpikir sebelum bereaksi, langkah berikutnya apa?
SK : Langkah berikutnya adalah dengarkan dengan sungguh-sungguh. Jadi itu bersamaan ya dengan tetap tenang, berpikir sebelum bereaksi, yang ketiga adalah dengarkan dengan sungguh-sungguh. Artinya mendengar untuk memahami, bukan mendengar untuk menjawab. Jadi sementara orang itu bicara, kita bukannya, "Oh, celahnya apa ya? Salah orang ini apa, ya? Aku mau balas. Aku akan jawab. Aku akan patahkan argumentasinya. Aku akan buat dia merasa malu, dipermalukan, aku akan balik memojokkan dia." Itu bukan mendengar sungguh-sungguh. Itu mendengar sepotong-sepotong untuk menambah amunisi orang itu untuk tetap marah dan makin marah. Jadi kita dengar sungguh-sungguh artinya kita memahami, "Ada apa ya orang ini? Apa yang sebenarnya dia lihat dan pikirkan, bagaimana sudut pandangnya? Apa yang sesungguhnya dia rasakan, perasaannya, emosinya?" Jadi kita mendengar dengan sikap empati, memahami. Kita justru bukannya kalah, ini sikap pemenang. Kalau kalah itu artinya kita menanggapinya dengan satu level yang di permukaan. Justru di sini kita menyelam ke lapis yang lebih dalam untuk menangkap sikap hatinya, hatinya yang paling suci, yang paling privasi, yang paling pribadi, apa yang dia rasakan. Itu 'kan membutuhkan ilmu yang lebih tinggi, membutuhkan kematangan dan kedewasaan yang lebih tinggi lagi, membutuhkan hati yang lebih lapang lagi. Itu justru ciri orang bijak, arif dan pandai, orang yang bersedia mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
H : Jadi mendengarkan sungguh-sungguh maksudnya mendengarkan dengan perasaan atau empati ya, Pak?
SK : Benar! Jadi kita mendengar sungguh-sungguh ini bukannya kita membenarkan perilaku dia, sumpah serapah dia. Bukan! Tapi ibaratnya kita coba keluar dari diri kita, lalu masuk ke dalam alam roh dan jiwa orang itu, sehingga kita bisa mengerti sudut pandangnya, kenapa dia bisa begitu marah dalam menegur kita, bagaimana perasaannya, apa yang sebenarnya terjadi. Kalau kita sudah bisa masuk ke dalam pikiran dan perasaannya, kita akan lebih mudah untuk menanggapi dari sudutnya dia, jadi sudut yang sejalan bukan sudut yang berlawanan. Jadi akan lebih mudah terjadi komunikasi daripada miskomunikasi kalau kita sudah mengawalinya mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
H : Setelah kita berpikir sebelum kita bereaksi dan kita mendengarkan dengan sungguh-sungguh, maka tiba waktunya kita untuk memberikan respons, Pak. Bagaimana itu, Pak?
SK : Yang keempat, adalah memberikan respons atau tanggapan yang lembut. Dalam hal ini, kita perlu bersikap berangkat dari yang tadi, bahwa respons kita bukan karena kita dikendalikan oleh orang itu. Jadi sikap hati kita adalah sikap hati yang merdeka. Perkara dia memarahi dan mengumpat-umpat, saya tidak akan berbalik memarahi dan mengumpat dia. Sehingga respons saya tidak dikendalikan oleh perlakuan dia kepada saya. Tapi saya memilih dari prinsip saya yaitu saya menanggapi dengan cara-cara yang memuliakan Allah. jadi bagaimana pun cara dia memberikan teguran, saya akan menanggapinya dengan lembut, dengan dilandasi semangat kasih dan perdamaian, bukan semangat permusuhan dan untuk membalas. Maka dalam konteks ini, tanggapan kita pun bukan dengan semangat membela diri atau membenarkan diri, justru dengan semangat meredakan situasi, menjernihkan keadaan daripada sekadar ego kita yang tersinggung lalu membalas.
H : Menarik sekali. Bapak mengatakan sekalipun orang tersebut menyerang kita, kita tidak membiarkan dia mengendalikan tanggapan-tanggapan kita. Bisa Bapak berikan contoh maksudnya mengendalikan tanggapan kita, dalam contoh kita sedang ditegur, bagaimana kita mengendalikannya dan kita memilih untuk tidak dikendalikan seperti apa?
SK : Misalnya orang tersebut bicara seperti ini, "Saya tidak terima dengan kelakuan Bapak. Bapak orang yang sadis, tidak berperikemanusiaan, tidak menghargai Hak Asasi Manusia, Bapak sudah menzolimi saya dan keluarga saya." Sumpah serapah keluar. Secara manusiawi, hati kita panas mendengar hinaan itu, melebar kemana-mana, yang tidak ada kaitannya juga disebutkan, "Bapak itu koruptor! Bapak itu manipulator!" Bahkan mungkin berita di surat kabar tentang tokoh parlemen yang korupsi tentang tokoh-tokoh yang terlibat kejahatan, kok kelihatannya semua ditimpakan kepada kita. Ini membuat kita marah. "Ini pembunuhan karakter!" Kalau kita bersikap reaktif dan dikendalikan oleh cara orang itu menegur dan memarahi kita, kita bicara, "Bapak sendiri yang sebenarnya melakukan apa yang Bapak katakan. Bapak sudah melakukan pembunuhan karakter. Bapak harus siap di sidang. Saya tidak terima." Berarti tanggapan saya di titik itu 'kan lebih hanya karena soal harga diri. Lebih hanya karena soal ketersinggungan saya, ego saya. Bukan berangkat dari sikap hati yang memuliakan Allah. saya lebih peduli ego saya. Padahal yang benar adalah ego saya sduah dikuasai Kristus, harga diri saya tidak ditentukan oleh dia memuji memuja saya ataukah menghina dan menyumpahi saya. Saya berharga karena saya anak Allah, saya dianugerahi keselamatan, darah Kristus yang mahal sudah menebus saya. Jadi respons saya adalah respons yang demikian, "Saya lihat Bapak penuh amarah dan penuh rasa terluka. Saya ikut prihatin dengan apa yang Bapak rasakan." Kita justru menanggapinya dengan lembut, berangkat dari sikap hati yang ingin memahami dia, kita ijinkan, kita bicara, "Kalau Bapak sudah demikian sakit hati, apa boleh saya menjelaskan dari sudut saya? Kali ini saya minta, saya akan jelaskan tapi saya minta Bapak mendengarkan saya dengan baik. Sebagaimana saya tadi sudah memberi waktu yang panjang untuk Bapak marah-marah. Saya menghormati perasaan Bapak yang terluka itu. Dan kini waktunya saya jelaskan situasi yang sebenarnya? Tapi tolong Bapak tidak memotong pembicaraan saya." Jadi kita mengendalikan situasi, bukan kita ikut arus amarah, permusuhan, angkara murka yang malah tidak membangun apa-apa tapi malah menghancurkan.
H : Ketika kita dibombardir dengan label-label yang negatif, koruptor atau manipulator dan sebagainya, itu 'kan serangan yang sudah berupa fitnah, Pak? Apakah kita tidak boleh interupsi pada saat itu, Pak? Karena itu 'kan suatu ketidakbenaran, apalagi disampaikan di depan orang lain?
SK : Yang saya sampaikan ini tergantung konteks situasi ya. Kalau kita berdua, mungkin kita bisa membiarkan. Kalau orang sedang naik pitam lalu dipotong tengah jalan, orang yang naik pitam itu ibaratnya seperti orang yang kesulitan bernafas karena kehabisan oksigen, dan seketika dia ingin mengeluarkan amarahnya dengan kata-kata yang penuh sumpah serapah, itu adalah cara dia supaya bisa bernafas lega secara jiwa atau psikisnya demikian. Kalau dia sedang terengah-engah lalu kita potong, itu seperti kita sedang menutup lubang hidungnya atau mulutnya, sehingga dia semakin tidak bisa bernafas, jadi dia akan membabi buta. Jadi istilah dalam bahasa Jawanya memang sing waras kudu ngalah. Jadi dia sedang tidak waras, ya sudah kita jangan meladeni sikap emosional dia ini. Jadi itu bukan karena kita berlaku bodoh, naif. Kita justru berlaku cerdas dalam hal demikian. Membaca dinamika jiwa dan emosinya. Tetapi catatannya, kalau itu dalam situasi publik di tengah banyak orang, anak kecil dan sebagainya, yang akan dirugikan bukan hanya kita namun juga orang-orang lain yang tidak bersalah dan bahkan tidak ada hubungannya, kita harus berani memotong minta orang ini pindah tempat. "Mari kita pindah dari tempat ini, Pak, cukup kita berdua. Tidak perlu melibatkan orang lain." Kalau perlu kita tinggalkan gelanggang. "Maaf Pak, ini sudah di luar konteks, tidak ada hubungannya dengan orang ini. Ini malah memperkeruh keadaan, Pak. Saya terima kalau saya diperlakukan buruk dengan kata-kata Bapak. Tapi saya keberatan kalau melibatkan orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kita ini. Kalau Bapak mau bicara baik-baik dengan saya, mari masuk ke ruangan lain. Tapi kalau Bapak tidak mau, saya akan tinggalkan. Kita janjian bertemu besok di ruangan saya." Tinggalkan saja. Itu cara kita untuk mengendalikan situasi supaya kondisinya membangun bukan semakin meruntuhkan.
H : Saya jadi terpikir waktu Bapak menyebutkan langkah-langkahnya, ada satu langkah ketika kita harus berpikir sebelum kita bereaksi kita mendengar dengan seksama, itu ditujukan supaya kita bisa memberikan respons dengan lembut. Dari apa yang kita dengar dan pikir, kemudian kita berikan respons, tentunya ada hal-hal yang perlu kita setujui dari apa yang dia sampaikan?
SK : Benar, Pak Hendra. Hal yang kelima dalam menghadapi serangan yang terjadi waktu kita ditegur adalah setujuilah apa yang benar, setujuilah hal-hal yang prinsip, setujuilah hal-hal yang sejalan dengan kebenaran. Di antara banyak lumpur dan sampah, kalau memang ada butir mutiara, sekalipun hanya sebesar debu pasir, terimalah itu, akuilah itu, setujuilah itu, bahwa itu memang kebenaran atau prinsip. Terimalah. Jadi jangan sampai karena bungkusnya jelek, bungkusnya kertas yang bau sangat jelek, lantas kita menolak mutiara yang ada dalam bungkusan jelek itu. Kembali, hati yang terpusatkan pada Kristus akan menolong kita untuk menghargai. Kalau itu benar, aku amini. Kalau itu prinsipil, aku setujui. Kita bisa mengatakan dari hal demikian ini, kita bisa bicara, "OK, Pak, saya setuju dengan apa yang Bapak katakan. Saya terima, itu benar demikian. Tetapi maaf untuk hal yang lainnya saya tidak sepakat. Tetapi untuk hal ini saya akui Bapak hebat, Bapak berhikmat!" Membangun jembatan komunikasi untuk mengangkat orang ini. Jadi dalam hal ini akan menolong kita untuk tetap memegang kendali membawa situasi ini ke arah yang membangun, bukan meruntuhkan.
H : Jadi pihak pemberi teguran itu juga merasa dihargai oleh kita ya, Pak, ketika kita memberikan satu konfirmasi atau afirmasi bahwa kita setuju dengan dia pada bagian tertentu.
SK : Betul.
H : Selain setuju, apa lagi yang bisa kita lakukan supaya bisa meredakan amarahnya, bisa menunjukkan kita memang baik di dalam menerima teguran ini, Pak?
SK : Langkah keenam adalah berikan umpan balik dengan kasih. Dalam hal ini, tanggapan kita tanggapan dengan cara yang penuh kasih, tidak mempermasalahkan bagaimana pun sikap orang itu. Berangkat dari keyakinan diri, identitas diri, jati diri bahwa saya adalah murid Kristus, Kristus sebagai pusat saya. Kemudian sejalan dengan itu, maka saya akan menyampaikan pandangan saya secara tenang dan lembut. Kasih itu membuat saya menyampaikan tanggapan saya dengan cara yang tenang dan lembut tidak dengan temperamental, tidak dengan nada yang melonjak-lonjak dan menyerang-nyerang. Memberi umpan balik dengan kasih itu juga berarti saya akan menyampaikan pandangan saya di saat yang tepat, tidak perlu memotong-motong. Kalaupun orang itu sakit hati, tersinggung, menyimpan amarah kepahitan, saya akan berusaha untuk berempati, menyampaikan empati dan solidaritas saya terhadap luka yang dia rasakan. Sekali pun bukan berarti kita membenarkan perilaku. Membedakan ya, kita bukan membenarkan perilakunya tapi kita menghormati perasaannya yang terluka itu.
H : Kalau boleh saya simpulkan, tadi Bapak sudah menyinggung tentang empati waktu kita mendengarkan, saat ini ketika kita memberikan tanggapan atau umpan balik, itupun harus dilandasi dengan sebuah empati kasih. Artinya ketika kita mengeluarkan kata-kata harus kita pastikan kata-kata kita itu tidak makin melukai atau menyinggung perasaan dia, tetapi kita berusaha memahami dia, begitu Pak?
SK : Benar.
H : Setelah kita memberikan umpan balik dengan kasih, apa langkah selanjutnya Pak?
SK : Langkah ketujuh adalah berkatilah orang itu. Firman Allah mendorong kita untuk memberkati bahkan sekalipun orang itu memusuhi kita, mengeluarkan kata-kata kutukan. Bagian kita bukan membalas dengan hal yang sama, kejahatan dibalas dengan kejahatan, tetapi kejahatan dibalas dengan kebaikan. Termasuk kutukan kita balas dengan berkat. Jadi kita memberkati orang ini. Lewat kata-kata, kita mengekspresikan semangat memberkati, memberi kebaikan termasuk doa yang lahir dari hati kita. Termasuk setelah berpisah dengan orang itu walau kita masih terluka dan panas hati, kita tetap berdoa, "Tuhan, berkati orang ini. Supaya orang ini bisa bertemu dengan Tuhan untuk mendapatkan ketenangan. Bahwa sesungguhnya di balik amarah yang brutal itu ada perasaan yang kosong, karena dia tidak mengalami kehadiran-Mu. Maka hadirlah dalam hati dan hidupnya, Tuhan." Kita bisa memberkati orang itu dengan sikap dan doa kita.
H : Tentu ini bukan hal yang mudah.
SK : Benar, itu tidak mudah. Itu sebuah penyangkalan diri. Ketika itu kita sedang menyangkal diri, pikul salib, dan ikut Yesus. Inilah langkah ketaatan kita kepada Kristus sebagai pusat hidup kita.
H : Sudah tujuh langkah yang Bapak jabarkan. Saya tergelitik untuk bertanya, misalnya dalam langkah-langkah itu kita gagal dan kita tergoda untuk bertengkar dengan orang itu. Bagaimana mengatasinya?
SK : Kalau memang tergoda, lebih baik kita mundur. Kita bisa menghindari pertengkaran itu. Jadi kalau orang itu ingin selalu berdebat kusir, memang mengajak bertengkar, memotong percakapan dan kita sudah mulai terpancing untuk debat kusir, saat itulah kita mundur. Kita bisa mengatakan, "Maaf, kondisinya sudah lebih tidak terkontrol. Kalau dilanjutkan tidak membawa kebaikan apa-apa. Lebih baik kita berpisah. Saya mau kita bertemu besok pukul 4 sore di tempat yang netral. Saya pikir kalau kita hanya berdua tidak akan membawa kebaikan. Saya usul, kita libatkan pihak ketiga. Saya akan ajak atasan kita." atau "Saya akan ajak gembala kita." kalau kita adalah jemaat. Atau "Saya akan ajak orang lain yang bisa menengahi supaya membawa kebaikan." Jadi kita bisa menghentikan, tidak membiarkan terus bergulir. Inilah pentingnya kita melatih keterpusatan pikiran kita. Prinsip itu penting, bahwa apapun yang muncul adalah hal-hal yang memuliakan Allah. Jadi kalau aku sudah mulai memunculkan respons yang tidak memuliakan Allah, segera potong dan setop. Aku akan berhenti, itu melampaui batasan kesanggupanku. Saya akan akui batasan saya, berhenti dan lanjutkan besok dengan kondisi yang lebih siap lagi.
H : Bagaimana kalau orang itu tidak setuju dan tetap ingin meneruskan hari ini juga?
SK : Ya kita bicarakan. "Maaf saya tidak siap. Kalau saya lanjutkan saya bisa berbalik marah. Berbalik bertengkar. Saya tidak mau melanjutkan." Bila dia terus menantang seperti misalnya, "Tidak apa-apa bertengkar! Kamu 'kan laki-laki. Kalau laki-laki maka tetaplah disini!" Nah, inilah! Di titik ini kita memilih, memilih jadi korbannya orang ini, respons kita dikendalikan oleh orang ini, atau respons kita dikendalikan oleh Roh Allah. Inilah pilihan apakah harga diri saya semata-mata laki-laki itu mempertanyakan saya laki-laki atau bukan, atau harga diri saya karena Allah yang mengatakan. Ini pilihan, ini krisis dimana kita harus memilih. Maka harus kita latih bertumbuhlah, bahwa apapun respons kita lahir dari "Saya memilih mengikuti jalan Tuhan daripada jalan dunia ini."
H : Selain menghindari pertengkaran, Pak? Ada tambahan tips praktis yang bisa Bapak usulkan?
SK : Yang kesembilan adalah tawarkan bantuan. Jadi kalau ada sesuatu yang bisa kita bantu pada orang ini, kita bantu. "Kamu memang kewalahan dengan tanggung jawabmu sehingga itu yang membuatmu merasa kewalahan. Apa boleh hal ini dan itu saya yang akan kerjakan? Saya ambil alih. Kamu sudah bekerja dengan baik, kamu sudah berjuang, saya hormati perjuanganmu dan saya hormati perjuanganmu. Dua hal ini akan saya ambil alih untuk membantumu. Bukan karena kamu tidak sanggup, tetapi karena kamu sudah melakukan dengan baik dan saya pikir ini masih bisa saja kerjakan, maka akan saya kerjakan." Kita pilih kata-kata yang positif ya. Sekalipun kita bisa melihat orang ini dalam beberapa hal sebenarnya ada sisi-sisi yang diabaikannya. Okelah tidak apa-apa, kita fokus untuk hal itu. Apa yang bisa diredakan, kita redakan lebih dulu. Urusan ada sesuatu yang kurang tepat pada orang ini, akan kita bereskan nanti di waktu yang lain. Ketika kondisi sudah lebih tenang, emosi sudah mereda, pekerjaan sudah bisa tertangani dengan cukup baik, barulah kita akan bertemu kembali, empat mata, untuk mengklarifikasi fakta yang sesungguhnya dia memang bersalah. Jadi tidak saat itu, karena itu tidak bijak. Kita tunda untuk waktu yang lain.
H : Jadi ini tindakan konkret dari kita memberkati dia ya, Pak? Dengan cara menawarkan bantuan.
SK : Betul!
H : Ada lagi tips lainnya?
SK : Langkah yang kesepuluh, mari kita minta maaf. Jadi kalau memang kita ada kesalahan, minta maaflah! Atau minimal minta maaf untuk perasannya. "Begini Pak. sesungguhnya saya tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan Bapak. Tetapi kalau ternyata perlakuan saya membuat Bapak tersinggung, saya minta maaf. Tapi saya mau tegaskan, sesungguhnya saya tidak ada niat untuk menyinggung perasaan Bapak. Saya minta minta maaf untuk perasaan Bapak yang terluka ini." Jadi kita bisa minta maaf, tapi dia juga melokalisir. Bukan berarti kalau tindakan kita memang benar, jangan merasa itu salah. Ini langkah yang harus dilakukan. Kalau dia tersinggung karena kebijakan itu ya kita minta maaf untuk perasaan yang personal itu.
H : Saya coba simpulkan 10 langkah untuk menghadapi serangan atau menerima teguran dengan baik :
SK : Sebelum kita membaca firman Tuhan, satu hal lagi saya tambahkan. Kalau orang itu cara menegurnya salah, kita perlu memikirkan dan mendoakan, apakah kita harus menegur kesalahan itu atau membiarkannya. Jadi nanti ada waktunya kita percakapkan untuk mengevaluasi cara dia menegur. Baik, akan saya bacakan dari 1 Petrus 2:21-23, "Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya. Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan dicaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil." Kristus sendiri juga menerima teguran dengan cara yang salah, dikecam, bahkan difitnah! Tetapi Dia memilih berpusatkan kepada Allah, maka lahirlah tanggapan yang benar dan tidak reaktif. Ini juga panggilan. Kalau Guru kita mengambil jalan demikian, maka kita sebagai murid-murid Kristus juga bertumbuh, melatih, mengembangkan kapasitas kita menerima teguran dengan benar, dengan cara yang penuh kasih dimana Kristus sebagai Batu Penjuru kita.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang mengenai topik "Menerima Teguran" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
73. Melampaui Efisiensi | |
Kita hidup di era efisiensi. Kata efisiensi mengandung arti melakukan atau menghasilkan sebanyak mungkin dengan tenaga dan waktu sesedikit mungkin. Segala perencanaan yang kita buat didasarkan atas hukum efisiensi. Tidak boleh ada yang terbuang, semua mesti terpakai sebaik mungkin — termasuk tenaga dan waktu. Lewat pembahasan ini kita melihat bahwa Tuhan tidak selalu bekerja berdasarkan hukum efisiensi. Kehendak Tuhan berada di atas hukum efisiensi.
Kita hidup di era efisiensi. Kata efisiensi mengandung arti melakukan atau menghasilkan sebanyak mungkin dengan tenaga dan waktu sesedikit mungkin. Segala perencanaan yang kita buat didasarkan atas hukum efisiensi. Tidak boleh ada yang terbuang, semua mesti terpakai sebaik mungkin—termasuk tenaga dan waktu. Lewat pembahasan kali ini kita melihat bahwa Tuhan tidak selalu bekerja berdasarkan hukum efisiensi. Kehendak Tuhan berada di atas hukum efisiensi.
Ada empat mukjizat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, sebagaimana dicatat di Lukas 8:22-56. Keempat mukjizat tersebut terjadi pada hari yang sama. Pertama, Tuhan meneduhkan angin ribut dalam perjalanannya ke Gerasa. Kedua, Tuhan membebaskan seseorang yang dirasuk setan di Gerasa. Ketiga, Tuhan menyembuhkan perempuan yang selama 12 tahun menderita pendarahan. Dan, keempat Tuhan menyembuhkan dan menghidupkan kembali anak Yairus, pengurus rumah ibadat.
Bila kita meneropong semua ini dari lensa modern, kita akan berkata bahwa Tuhan sibuk dan pekerjaan-Nya banyak. Itu sebab seyogianya Ia mengatur waktu dan penggunaan tenaga-Nya seefisien mungkin, supaya target dapat tercapai dan tidak ada yang terbuang. Namun ternyata bukan itu yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Dari lensa kita yang hidup di masa kini kita harus mengakui bahwa Tuhan Yesus tidak melakukan pekerjaan-Nya sesuai dengan prinsip efisiensi. Coba kita telusuri mulai dari yang paling belakang, yakni penyembuhan putri Yairus.
Pada waktu Tuhan tiba di rumah Yairus, putrinya telah meninggal. Singkat kata Tuhan datang terlambat—dari kacamata manusia. Masalahnya adalah, seharusnya itu tidak terjadi. Tuhan Yesus berangkat dari Galilea, wilayah di mana Ia membangkitkan putri Yairus, menyeberang danau Tiberias, ke Gerasa. Inilah titik awal perjalanan-Nya. Kalau saja Ia menilik putri Yairus sebelum ia menyeberang danau, putri Yairus tidak harus meninggal dunia. Tetapi, sebagaimana kita ketahui, Ia datang setelah Ia kembali dari Gerasa, bukan sebelumnya.
Sebagai Putra Tunggal Allah, kita mafhum bahwa Yesus tahu segalanya—termasuk kondisi sakit putri Yairus. Jika kita berada di posisi Tuhan Yesus, maka pastilah kita akan kunjungi putri Yairus terlebih dahulu sebelum berangkat ke Gerasa, supaya ia tidak sampai harus meninggal dunia. Inilah efisiensi. Dan, itulah yang dilanggar-Nya.
Berikutnya, Tuhan Yesus tidak mendapat sambutan hangat di Gerasa. Bukannya menerima ucapan terima kasih karena Ia telah membebaskan seseorang dari belenggu iblis yang begitu dahsyat, Ia malah disuruh pergi. Itu yang membuat Tuhan Yesus kembali ke Galilea. Perjalanan ke Gerasa begitu sulit—melewati danau dan angin ribut—dan di Gerasa Tuhan Yesus hanya dapat melakukan satu mukjizat. Dari segi efisiensi, ini adalah pemborosan tenaga dan waktu—belum lagi bila dilihat dari lensa manusia, ini pun menyerempet bahaya diterjang badai.
Berdasarkan pengamatan ini, ada 3 pelajaran yang bisa kita petik.
Saudara—saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Melampaui Efisiensi". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, di dalam kehidupan kita sehari-hari 'kan selalu ditekankan bahwa kita harus efisien, harus hemat, harus cermat dan sebagainya. Tapi kalau Pak Paul mengusulkan tema yaitu melampaui efisiensi, apa maksudnya Pak Paul?
PG : Begini, Pak Gunawan. Kita akan menyoroti bagaimana Tuhan bekerja. Seringkali kita meneropong bagaimana Tuhan bekerja lewat kacamata kita. Kacamata kita memang kacamata efisiensi. Namun saya ingin mengangkat topik ini untuk menunjukkan bahwa ternyata Tuhan tidak selalu bekerja sesuai hukum efisiensi. Ternyata kadangkala ada hal-hal yang lebih penting sehingga Dia mengabaikan efisiensi.
GS : Ya! Kadang kita ini terjebak dengan pola kehidupan ini. Kalau kita berpola hidup efisien semata-mata karena memang tuntutannya seperti itu, Pak Paul. Jadi kalau kita tidak bisa berhemat, tidak cermat dalam menggunakan waktu, uang dan tenaga kita, kita juga akan kelelahan sendiri dan hasilnya tidak bisa maksimal.
PG : Betul! Kata efisien berarti melakukan atau menghasilkan sebanyak mungkin dengan tenaga dan waktu sesedikit mungkin. Biasanya kita mendasarkan perencanaan kita atas hukum efisiensi ya, tidak ada yang boleh terbuang, semuanya mesti terpakai sebaik mungkin, termasuk tenaga dan waktu. Sudah tentu ini adalah hal yang baik, Pak Gunawan. Yang harus kita terapkan dalam hidup kita. Namun kita ini hidup dengan Tuhan, tidak hanya hidup dengan diri kita dan dengan sesama kita manusia. Kita hidup dengan Tuhan sebagai anak Tuhan, maka kita juga mesti belajar fleksibel untuk bisa membiarkan Tuhan bekerja sesuai dengan waktu dan kehendak-Nya meskipun bagi kita cara kerja Tuhan itu tidak efisien. Nanti akan kita lihat juga bahwa justru lewat hal-hal yang sepertinya tidak efisien itu, disanalah Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya.
GS : Apakah ada contoh yang konkret di dalam Alkitab yang membuktikan bahwa Tuhan melampaui efisiensi, Pak Paul?
PG : Di Injil Lukas 8:22-56 dicatat empat mujizat atau perbuatan ajaib yang dilakukan oleh Tuhan kita. Yang menarik adalah ternyata empat mujizat itu dilakukan Tuhan pada satu hari yang sama. Pertama, Tuhan meneduhkan angin ribut dalam perjalanan-Nya ke Gerasa, yaitu di Danau Galilea. Yang kedua, Tuhan membebaskan seseorang yang dirasuk setan di Gerasa. Setan-setan yang dipanggil Legion itu memasuki babi-babi dan akhirnya terjun ke jurang. Yang ketiga, Tuhan menyembuhkan perempuan yang selama 12 tahun menderita pendarahan. Dan yang keempat, Tuhan menyembuhkan dan menghidupkan kembali anak Yairus, pengurus Rumah Ibadat. Saya ingin kita menyimak, bila kita meneropong semua ini dari lensa modern, kita akan berkata bahwa Tuhan itu sibuk, pekerjaan-Nya banyak. Jadi seharusnyalah Tuhan mengatur waktu dan penggunaan tenaganya seefisien mungkin supaya target dapat tercapai dan tidak ada yang terbuang. Namun kita lihat, ternyata bukan itu yang dilakukan Tuhan Yesus! Dari lensa kita yang hidup di masa kini, kita harus mengakui bahwa Tuhan Yesus tidak melakukan pekerjaan-Nya sesuai prinsip efisiensi. Coba kita telusuri mulai dari yang paling belakang yaitu penyembuhan putri Yairus. Yang kita tahu, sewaktu Tuhan datang ke rumah Yairus, putri Yairus telah meninggal. Singkat kata Tuhan datang terlambat, dari kacamata manusia. Kita tahu pada akhirnya Tuhan membangkitkan anak itu. Tetapi pada saat Yairus menerima kabar bahwa putrinya telah meninggal, dia 'kan tidak tahu bahwa Tuhan Yesus akan membangkitkan putrinya. Sekali lagi, diteropong dari mata manusia, Tuhan datang terlambat sehingga anak itu sudah lebih dulu mati. Masalahnya adalah seharusnya itu tidak terjadi, Pak Gunawan. Artinya dari kacamata manusia, anak itu tidak perlu sampai meninggal dunia. Begini. awalnya Tuhan Yesus berangkat dari Galilea, wilayah dimana Dia membangkitkan putri Yairus. Kemudian Dia menyeberang Danau Galilea atau Danau Tiberias ke Gerasa. Inilah titik awal perjalanan-Nya. Kalau saja Dia menilik putri Yairus sebelum Dia menyeberang danau, putri Yairus tidak perlu meninggal dunia. Tapi sebagaimana kita ketahui, Dia datang setelah Dia kembali dari Gerasa, bukan sebelumnya. Sebagai Putra Allah kita mahfum bahwa Yesus tahu segalanya, termasuk kondisi putri Yairus yang sedang sakit. Jika kita berada di posisi Tuhan Yesus, maka kita akan kunjungi putri Yairus terlebih dulu sebelum berangkat ke Gerasa supaya dia tidak sampai meninggal dunia. Inilah efisiensi. Namun itulah yang dilanggar Yesus, Pak Gunawan. Kita melihat cara Tuhan disini seperti tidak efisien.
GS : Tetapi Dia punya rencana yang lebih mulia dari hal itu, Pak Paul. Seperti yang pernah dilakukan-Nya membangkitkan Lazarus. Waktu itu Lazarus juga sudah meninggal dan Tuhan Yesus memang akhirnya membangkitkan Lazarus. Saudara-saudara Lazarus juga menyesalkan keterlambatan Tuhan Yesus itu, Pak Paul.
PG : Betul! Ini sama persis dengan yang terjadi pada Lazarus. Waktu diberitahukan bahwa Lazarus sakit, Lazarus belum meninggal dunia. Tapi Tuhan tidak segera cepat-cepat pulang menyembuhkan Lazarus. Tuhan menunggu empat hari kemudian sampai akhirnya Lazarus sudah meninggal waktu Dia sampai. Disini kita melihat bahwa waktu Tuhan benar-benar di luar dugaan manusia. Coba kita lihat lagi apa yang terjadi di Gerasa, Pak Gunawan. Sebagaimana kita ketahui, Tuhan Yesus tidak mendapat sambutan hangat di Gerasa. Setelah setan-setan itu memasuki babi-babi kemudian melemparkan diri ke jurang, orang-orang mengusir Yesus. Bukannya menerima ucapan terima kasih karena Dia sudah membebaskan seseorang dari belenggu Iblis yang dahsyat, Tuhan Yesus malah diusir. Itu yang membuat Tuhan Yesus kembali ke Galilea. Menyeberang Danau Galilea lagi. Perjalanan ke Gerasa begitu sulit karena melewati danau dan angin ribut. Dan di Gerasa Tuhan hanya melakukan satu mujizat, sebab diusir. Jadi dari segi efisiensi ini adalah pemborosan tenaga dan waktu. Kesana tidak disambut, hanya menyembuhkan satu orang, perjalanannya begitu susah melewati danau dan harus diterpa oleh badai. Jadi begitu besar tenaga dan pengorbanan yang harus diberikan. Dari kacamata manusia ini benar-benar tidak bijaksana, sampai-sampai bersedia menyerempet bahaya diterjang badai. Kalau kita dalam hidup sekarang ini menghadapi situasi yang sama dan ditanya apakah kita akan melakukan hal ini, besar kemungkinan kita akan berkata tidak, sebab ini tidak efisien. Jadi kita mesti belajar mengerti cara Tuhan bekerja, Pak Gunawan. Sebab kalau kita tidak mengerti akan menimbulkan kesalahpahaman. Kita tahu begitu banyak orang yang salah paham, kecewa dan meninggalkan Tuhan, gara-gara tidak mengerti cara kerja Tuhan.
GS : Di samping itu memang cara pandang Tuhan terhadap permasalahan itu, Pak Paul. Bagaimana cara Dia menyelesaikan masalah itu berbeda sekali dengan apa yang kita lihat. Kita hanya melihat seperti luarnya saja, Pak Paul. Tetapi justru Tuhan melihat jangka panjangnya. Demi keselamatan satu orang itu, Tuhan Yesus menempuh semua resiko.
PG : Betul sekali. Kita lihat demi satu orang yang dikuasai oleh Iblis, Dia rela mengeluarkan tenaga, menyerempet bahaya, pergi untuk menjumpai dan membebaskan orang tersebut dari belenggu Iblis.
GS : Itu juga yang tidak bisa dilihat oleh orang-orang di Gerasa. Orang-orang itu merasa bahwa babi-babi itu lebih berharga daripada satu orang gila ini, Pak Paul.
PG : Iya. Mereka tidak bersedia untuk membayar harga, Pak Gunawan. Bila ditanya apakah senang melihat orang itu kembali waras. Iblis sudah diusir dari dalam dirinya, dia kembali hidup dengan sehat dan normal, sudah tentu mereka senang. Tetapi pertanyaannya apakah rela membayar harga semahal itu untuk membebaskan orang itu dari belenggu Iblis? Saya kira jawabannya jelas yaitu mereka tidak bersedia. Kita juga mesti bercermin diri sewaktu membaca cerita itu. Mungkin kita tidak berbeda dari orang-orang di Gerasa, Pak Gunawan. Bila kita harus membayar harga semahal itu agar kehendak Tuhan terjadi, rasanya kita tidak bersedia. Kalau harganya tidak terlalu mahal, tidak apa-apa. Kita senang melihat Tuhan bekerja.
GS : Dari peristiwa tadi, hal apa saja yang bisa kita pelajari, Pak Paul?
PG : Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik, Pak Gunawan. Yang pertama, kita tidak selalu dapat memahami penggunaan waktu dan cara kerja Tuhan. Sepandai-pandainya kita berpikir, mustahil kita dapat mengerti dengan jelas penggunaan waktu dan cara kerja Tuhan. Sebab hidup dengan Tuhan menuntut iman. Kita mesti percaya bahwa Tuhan tahu apa yang dilakukan-Nya dan Tuhan tahu apa yang terbaik. Kita mesti percaya bahwa kehendak-Nya lebih baik daripada kehendak kita. Ini yang harus kita camkan, Pak Gunawan. Sebab kita ini terlatih untuk berpikir begini, "Kalau kita menggunakan cara yang efisien, pastilah hasilnya akan sangat baik." Ini menurut kita ya. Disini Tuhan meminta kita untuk menyerahkan hasil itu kepada Dia. Seolah-olah Tuhan berkata, "Percayalah kepada-Ku, meskipun cara yang Aku gunakan bukan caramu, bukan cara yang selama ini engkau gunakan dan memang telah membuahkan kesuksesan. Bukan! Aku akan menggunakan cara yang 100% berbeda. Percayalah kepada-Ku, dan hasilnya akan jauh lebih baik." Ini pergumulan iman kita sebagai anak-anak Tuhan, Pak Gunawan.
GS : Nah, itu membutuhkan pengenalan yang benar terhadap Tuhan, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan. Sebab kalau kita sudah tidak memunyai konsep yang jelas bahwa Tuhan maha kuasa dan penuh kasih, kita tidak akan rela memercayai. Kita akan ambil alih dan melakukan dengan cara kita. Sebagaimana telah kita lihat, saya yakin Pak Gunawan telah melihat hal ini. Kalau kita melakukannya dengan cara kita, akhirnya memang berantakan. Segala sesuatu yang dibangun dengan cara dan kemampuan manusia akan hancur pada akhirnya.
GS : Kadang pada suatu peristiwa yang kita alami, kita sudah belajar hal itu, Pak Paul. Tapi kenapa saat kita mengalami peristiwa yang lain, seolah-olah kita lupa bahwa Tuhan menyelesaikan dengan cara Tuhan. Kenapa bisa seperti itu, Pak Paul?
PG : Kita belajar bahwa beriman adalah keputusan hari lepas hari, Pak Gunawan. Kita tidak mencapai suatu titik dan selamanya berada di titik tersebut. Tidak! Kita harus setiap hari memutuskan untuk kembali beriman. Meskipun kita bisa berkata kalau kita pernah melewatinya maka seharusnya akan lebih mudah. Ya, saya kira memang akan ada perbedaannya. Semakin kita berserah, semakin kita melihat Tuhan bekerja, semakin kita kuat untuk bersandar kepada Tuhan. Tapi kalau dikatakan pasti gampang karena sudah pernah mengalaminya, itu tidak benar. Ternyata justru sama susahnya.
GS : Ya. Selain itu apalagi yang bisa kita pelajari, Pak Paul?
PG : Pelajaran kedua adalah ternyata di dalam daftar prioritas Tuhan, "mendesak" tidak sama dengan "penting". Coba kita lihat anak Yairus ini. Menyembuhkan anak Yairus adalah hal yang mendesak. Anak ini sakit, sudah sekarat, bukankah ini adalah suatu kondisi yang mendesak? Sedangkan membebaskan orang yang dirasuk setan adalah pekerjaan yang tidak mendesak, sebab itu bisa dilakukan kemudian. Secara pikiran manusia orang itu dibebaskan hari ini atau besok, tidak ada bedanya. Dia sudah lama hidup di pekuburan. Walau sudah dirantai tetap saja dia melarikan diri ke pekuburan. Jadi sudah begitu lama dia hidup seperti itu, beda sehari saja tidak akan apa-apa. Tapi anak Yairus, jangankan beda satu jam, Pak Gunawan, beda lima menit saja itu adalah masalah hidup dan mati! Dan benar saja, dalam hal ini akhirnya anak Yairus itu mati. Tapi ternyata, kita belajar dalam kamus Tuhan, "mendesak" tidak sama dengan "penting". Jadi ini yang mesti kita pelajari. Di dalam situasi terdesak, pasti kita berharap Tuhan bekerja dengan lebih cepat supaya kondisi yang kita hadapi berubah baik. Saya kira ini kodrat alami kita sebagai manusia. Saat sedang kepepet, susah, ada masalah yang datang bertubi-tubi dan menenggelamkan kita, kita berteriak meminta Tuhan menolong kita sekarang juga. Tetapi dari kisah ini kita belajar, kita tidak bisa mempercepat atau memperlambat Tuhan. Tuhan tidak dapat diburu-buru. Dia bekerja sesuai daftar prioritas-Nya dan dalam daftar itu ternyata mendesak tidak selalu sama dengan penting. Apa yang Dia lihat penting dalam hal ini ternyata adalah pergi menyeberang Danau Galilea atau Danau Tiberias untuk membebaskan orang yang kerasukan setan itu kemudian baru kembali dan akhirnya membangkitkan anak Yairus.
GS : Biasanya kita terfokus untuk melihat diri kita sendiri, Pak Paul. Sedangkan yang Tuhan lihat jauh lebih luas. Sehingga kita terburu-buru meminta agar masalah kita segera diselesaikan oleh Tuhan. Tapi Tuhan 'kan melihat kaitan yang lebih luas, yang akan kita ketahui kemudian hari setelah masalah itu berlalu.
PG : Sudah tentu kita mengatakan hal seperti ini tidak dengan tujuan untuk menyepelekan pendengar kita yang sedang berada dalam situasi yang sulit, Pak Gunawan. Sebab kita mengerti, di dalam keadaan yang begitu sulit kita benar-benar butuh pertolongan Tuhan. Dalam keadaan seperti itu memang susah untuk menyerahkan kepada Tuhan dan percaya sewaktu Tuhan tidak langsung menjawab dan berbuat sesuai dengan permintaan kita berarti itu adalah hal yang baik dalam rencana Tuhan. Dari sini kita belajar, ternyata Tuhan memiliki waktu sendiri. Jadi saat kita terdesak, tidak mengapa kita meminta Tuhan segera menolong kita, tapi kita juga mesti mempercayakan pada waktu Tuhan.
GS : Memang biasanya Tuhan memberitahukan atau menunjukkan kepada kita bahwa cara-Nya adalah cara yang terbaik setelah suatu peristiwa itu lewat, Pak Paul.
PG : Biasanya seperti itu, Pak Gunawan. Kita baru menyadari apa yang telah terjadi setelah kita melewati semua itu.
GS : Apakah ada hal-hal lain yang bisa kita pelajari, Pak Paul?
PG : Yang terakhir adalah bagi Tuhan tidak ada sesuatu yang terlalu berat. Coba perhatikan. Bukan semua sama beratnya, melainkan semua sama ringannya bagi Tuhan. Bagi Tuhan tidak ada suatu pun yang terlalu berat. Mohon kita mengerti bukan semua sama beratnya, melainkan semua sama ringannya! Bagi Yesus Sang Juruselamat - meneduhkan angin ribut, membebaskan orang dari belenggu Iblis, menyembuhkan sakit pendarahan, bahkan membangkitkan orang mati — semua sama ringannya. Tidak ada yang satu lebih berat dari yang lain, melainkan semua sama ringannya. Itu sebabnya Dia tidak tergopoh-gopoh pergi ke rumah Yairus sebelum menyeberang danau. Di mata kita, kita akan coba urus anak Yairus dulu supaya jangan sampai dia meninggal dunia. Karena bila dia sudah meninggal, kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Itu adalah masalah terbesar dan terberat sehingga kita coba selesaikan masalah itu dulu. Kenapa Tuhan tidak melakukan hal itu? Sebab bagi Tuhan semua hal sama ringannya! Membangkitkan orang mati sama ringannya dengan Dia menyeberang danau dan mengusir Iblis. Sama ringannya dengan meneduhkan angin ribut, sama ringannya dengan menyembuhkan pendarahan perempuan itu.
GS : Justru disitu letak perbedaannya. Kita memandang suatu hal sama beratnya bahkan berat sekali, sedangkan Tuhan memandangnya sama ringannya. Apakah kita harus berpandangan seperti Tuhan, artinya menggampangkan semua masalah, Pak Paul?
PG : Bukan! Tidak bisa tidak sebagai manusia saat mengalami sesuatu masalah, kita tidak mungkin secara waras menggampangkannya. Misalnya pasangan kita terkena penyakit yang sangat berat. Tidak mungkin kita berkata, "Ini gampang, tidak apa-apa." Karena kita tahu ini adalah hal yang berat! Kalau kita kehilangan orang yang kita cintai karena meninggal dunia, tidak akan ada orang yang berkata itu ringan, orang pasti berkata itu berat. Masalah manusia seringkali bukan menggampangkan tapi justru memunyai perspektif bahwa masalahnya itu super berat sehingga membuat Tuhan seolah-olah tidak berkutik. Lewat peristiwa ini Tuhan ingin mengajar kita bahwa bagi Dia semua sama ringannya. Bagi kita ada yang berat ada yang ringan.
GS : Itu yang dikatakan bahwa bagi Tuhan tidak ada yang mustahil, Pak Paul. Sedangkan bagi kita banyak hal yang mustahil. Masalahnya bagaimana kita bisa mempercayakan hal itu kepada Tuhan yang bisa mengatasi semuanya ini, Pak Paul?
PG : Sebetulnya perkataan "Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil" pertama kali diucapkan Tuhan kepada Musa, Pak Gunawan. Kita tahu akhirnya Musa dipakai Tuhan mengeluarkan orang Israel dari Mesir dan membawa mereka ke tanah yang Tuhan janjikan. Enam ratus ribu orang laki-laki yang bisa berperang, kalau ditambah dengan orang tua, wanita dan anak-anak, maka ada 2 sampai 3 juta orang yang dibawa keluar, hidup di padang gurun selama 40 tahun. Itu memang sebuah kemustahilan bagi manusia. Tapi di akhirnya waktu Musa memberikan kotbahnya di Kitab Ulangan, Musa hanya mengenang perbuatan-perbuatan Tuhan yang dahsyat dan ajaib itu. Akhirnya apa yang Tuhan katakan itu terbukti. Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. "Apakah ada yang terlalu sukar bagi-Ku?", itu kata Tuhan. Ternyata semua sama ringannya. Membawa 3 juta orang, menghidupi mereka di padang gurun, ternyata bagi Tuhan sama ringannya.
GS : Apa yang bisa lakukan agar kita bisa beriman seperti itu, Pak Paul?
PG : Saat Yairus mendengar kabar dari orang rumahnya berkata, "Jangan panggil Guru ke rumah, jangan menyusahkan Guru, anakmu sudah mati", Yesus menengok kepada Yairus dan berkata, "Jangan takut, percaya saja, dan anakmu akan selamat." Ini dicatat dalam Lukas 8:50. Saya kira ini pesan yang ingin Tuhan sampaikan kepada kita juga, Pak Gunawan. Langkah pertama adalah jangan takut! Langkah kedua adalah percaya saja dan persoalan apapun yang kita alami Dia sanggup menolong kita. Jadi langkah imannya, kita tidak takut, kita percaya saja, Tuhan pasti akan menolong kita. Memang ini sebuah keputusan, Pak Gunawan.
GS : Bagaimana seseorang yang mengalami hal-hal yang berat bisa begitu percaya dan tidak takut, Pak Paul?
PG : Setiap hari menjadi hari dimana dia harus kembali percaya lagi, meminta lagi kekuatan dan keberanian Tuhan. Setiap hari. Karena pagi ini dia beriman, malam nanti iman itu akan terkuras lagi, sehingga besok pagi harus minta lagi. Hari ini tidak takut, besok takut lagi. Hari ini bimbang, nanti kuat dan percaya, tapi besok akan bimbang lagi. Ini adalah sebuah perjalanan. Tapi dalam perjalanan itu Tuhan akan terus melakukan perbuatan-perbuatan-Nya. Walaupun kecil, untuk meyakinkan kita bahwa Dia bisa terus dipercayai.
GS : Masalahnya bukan pagi percaya, malam jadi tidak percaya, Pak Paul. Seringkali bisa berhari-hari tidak bisa percaya, Pak Paul. Takut terus, sambung menyambung, siang malam dibelenggu oleh perasaan takut.
PG : Memang rasa takut itu tidak sesederhana yang kita pikirkan. Kadang ada latar belakang tertentu yang membuat seseorang lebih susah keluar dari rasa takut. Sekali lagi, resepnya adalah berjuang lagi, percaya lagi, baca lagi firman Tuhan, berdoa lagi, minta lagi kekuatan dari Tuhan dan akan selalu ada yang Tuhan lakukan untuk menolong kita.
GS : Jadi yang penting adalah kita tidak meninggalkan Tuhan. Justru pada saat-saat sulit seperti itu kita harus lebih dekat bahkan menempel dengan Tuhan, Pak Paul.
PG : Saya akan tutup dengan sebuah kesaksian, Pak Gunawan. Saya pernah berjumpa dengan seseorang yang sedang mengalami musibah besar. Sebetulnya saya tidak begitu mengenal orang itu. Tapi saat saya mendengar dia sedang mengalami musibah besar, ada suara dalam hati saya yang mengatakan, "Engkau harus mengunjungi dia." Akhirnya saya hubungi dan orang tersebut bersedia saya temui, jadi kami pun bertemu. Kemudian Tuhan bekerja, Tuhan coba kuatkan dia. Yang saya katakan, "Di dalam kebimbangan dan ketakutanmu, engkau berpikir mungkin Tuhan sudah meninggalkanmu. Ternyata Tuhan atur supaya kita bisa bertemu. Kalau saya kenal baik lalu saya datang, tidak ada hal yang luar biasa. Sebetulnya saya tidak begitu mengenalmu, tapi saya datang di saat kamu butuh." Saya kira itulah yang Tuhan lakukan, Pak Gunawan. Lewat hal-hal seperti itu, kita yang sedang takut dan bimbang akan kembali dikuatkan. Seperti yang Pak Gunawan katakan tadi, mungkin ini akan menguatkan dia dua hari setelah itu ambruk lagi, tapi pasti akan ada pertolongan Tuhan lagi buat dia.
GS : Ya. Terima kasih untuk perbincangan kita kali ini, Pak Paul. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Melampaui Efisiensi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
74. Tatkala Tuhan Berkata Tidak | |
Salah satu pergumulan rohani yang mesti kita semua lalui adalah menerima jawaban "tidak" dari Tuhan. Andai saja permohonan itu buruk dan jahat, kita semua akan bersedia mendengar jawaban "tidak". Pergumulan timbul sebab kita tidak memohon yang buruk dan jahat; sebaliknya, kita memohon sesuatu yang baik, seperti mohon diberikan keturunan, disembuhkan, disediakan pekerjaan dan sebagainya. Namun, sebagaimana kita ketahui, Tuhan tidak selalu menjawab "ya". Mengapa demikian?
T 380 B "Tatkala Tuhan Berkata 'Tidak'"
dpo.Pdt.Dr. Paul Gunadi
Salah satu pergumulan rohani yang mesti kita semua lalui adalah menerima jawaban "tidak" dari Tuhan. Andai saja permohonan itu buruk dan jahat, kita semua akan bersedia mendengar jawaban "tidak." Pergumulan timbul sebab kita tidak memohon yang buruk dan jahat; sebaliknya, kita memohon sesuatu yang baik, seperti mohon diberikan keturunan, disembuhkan, disediakan pekerjaan dan sebagainya. Namun, sebagaimana kita ketahui, Tuhan tidak selalu menjawab "ya." Mengapakah demikian?
Saya akan memulai dengan memaparkan cuplikan kehidupan Corrie ten Boom. Sebagaimana kita ketahui, Corrie ten Boom adalah salah seorang pahlawan iman di abad 20. Wanita lajang berkebangsaan Belanda yang baru dengan aktif melayani Tuhan di usia paro-baya ini bersama dengan ayah dan kakak perempuannya dijebloskan ke dalam penjara karena menyembunyikan orang Yahudi dari kekejaman Nazi, pada waktu Perang Dunia II.
Sebetulnya pada awalnya ia tidak langsung dikirim ke penjara di Jerman yang disebut 'concentration camp'. Pada mulanya ia dijebloskan ke penjara lokal di Belanda. Oleh karena banyak polisi Belanda yang tidak suka dengan Jerman yang telah menyerbu dan menjajah negeri mereka, pada umumnya para petugas ini bersikap baik kepada Corrie. Itu sebab selama dalam penahanan Corrie terus berdoa meminta Tuhan agar membiarkannya ditahan di Belanda, dan tidak dipindah ke Jerman. Namun Tuhan menjawab doa Corrie dengan kata, "tidak." Ia justru dipindahkan ke penjara di Ravensbruck, di Jerman, sebuah tempat pemenjaraan khusus wanita, di mana di situ saja lebih dari 75,000 tahanan mati. Di penjara Ravensbruck, Corrie bertemu dengan dua kelompok manusia yang tidak mengenal Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat yaitu orang Yahudi—yang menjadi target utama pembasmian Nazi—dan orang Gypsi—para pengembara di Benua Eropa. Di penjara itulah Corrie dapat mengadakan persekutuan doa dan pemahaman Alkitab dan di sana pulalah ia dipakai Tuhan menceritakan Berita Keselamatan.
Berdasarkan cuplikan kehidupan Corrie ten Boom kita dapat menyimpulkan beberapa pelajaran tentang mengapakah kadang Tuhan menjawab "tidak."
Pada hakikinya melihat kemuliaan Tuhan sama dengan menyaksikan dan mengalami perbuatan Tuhan yang ajaib. Setelah Corrie ten Boom dibebaskan dengan secara ajaib dari penjara, ia melayani Tuhan pergi segala penjuru dunia untuk menceritakan apa yang Tuhan telah perbuat dalam hidupnya. Bukan ribuan tetapi jutaan orang telah menerima berkat dari pelayanannya. Apa yang dialaminya dipakai oleh Tuhan untuk memberikan pengharapan kepada banyak orang yang berada di lembah keputusasaan. Dan, pengalaman buruk itu dipakai Tuhan untuk membangun kehidupan yang indah pada begitu banyak orang. Bila Corrie memutuskan untuk tidak menyembunyikan orang Yahudi, besar kemungkinan ia akan tetap tinggal di Belanda secara nyaman dan aman. Namun lingkup pelayanannya juga akan berkisar di wilayah Harleem, tempatnya tinggal. Namun karena ia memilih taat kepada Tuhan, maka bukan saja ia sendiri menyaksikan dan mengalami kemuliaan Tuhan, banyak orang dapat menyaksikan dan mengalami kemuliaan Tuhan yaitu perbuatan Tuhan yang ajaib.
Sewaktu Tuhan menjawab "tidak" itu dikarenakan adanya tujuan dan kemuliaan yang lebih luas yang mesti diutamakan-Nya. Tuhan menjawab "tidak" bukan karena kita tidak penting atau tidak berharga. Jadi, pada saat kita mesti menerima jawaban "tidak" dari Tuhan, kita mesti bersikap menerima bukannya marah, sebaliknya kita harus berkata, "Biarlah tujuan-Mu dan kemuliaan-Mu yang lebih luas terjadi, ya Tuhan!"
Saudara—saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Tatkala Tuhan Berkata Tidak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, ada sebagian orang yang seringkali mengutip sebagian ayat di Alkitab. Ayat yang mengatakan kalau kita berdoa kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh, apapun yang kita minta pasti Tuhan berikan. Padahal faktanya 'kan tidak seperti itu, Pak Paul. Kadang-kadang Tuhan juga tidak menjawab atau bahkan kita harus menunggu lama sekali sampai jawaban atas doa itu baru terwujud. Bagaimana kalau Tuhan sampai berkata "tidak" terhadap apa yang kita minta, Pak Paul?
PG : Saya kira ini adalah salah satu pergumulan rohani yang harus kita lalui, Pak Gunawan. Yaitu tatkala kita meminta sesuatu dan Tuhan menjawab "tidak". Saya kira misalnya permohonan kita buruk atau jahat, kita bisa terima jawaban "tidak" dari Tuhan. Pergumulan timbul sebab kita tidak meminta sesuatu yang buruk atau jahat, sebaliknya kita memohon sesuatu yang baik. Misalnya kita memohon diberikan keturunan, memohon disembuhkan, memohon disediakan pekerjaan, dan sebagainya. Itu bukan hal yang buruk, tapi justru hal yang baik, tapi Tuhan berkata "tidak". Nah, kenapa Tuhan tidak selalu menjawab "ya" terhadap pertanyaan-pertanyaan atau permohonan-permohonan yang baik itu? Inilah yang akan kita coba soroti pada kesempatan kali ini.
GS : Memang beberapa kali di dalam Alkitab ditunjukkan seperti itu. Sebenarnya kita bisa belajar hal itu. Tapi kalau itu sudah mengenai diri kita sendiri, ini yang berat Pak Paul. Kita tahu bahwa Tuhan Yesus juga pernah mengalami doa-Nya tidak dijawab, yaitu pada peristiwa di Getsemani. Rasul Paulus juga pernah minta disembuhkan tapi Tuhan bilang, "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu." Itu 'kan sama artinya dengan "tidak", ya Pak Paul? Tapi kalau itu menimpa diri kita, rasanya kita tidak terima.
PG : Kalau itu menimpa orang lain, biasanya kita menasihati mereka, "Pasti ada yang lebih baik lagi yang Tuhan sediakan. Terima saja jawaban "tidak" dari Tuhan." Tapi kalau itu menimpa kita, akan sulit kita mengatakan itu pada diri kita sendiri. Biasanya kita akan berkata, "Kenapa Tuhan? Apa salah saya? Itu 'kan bukan hal yang buruk, kenapa Tuhan tidak mau menjawab permohonan yang baik ini?" kalau ini kita alami, akan lain ya. Kita akan benar-benar bergumul. Saya akan memulai dengan memaparkan cuplikan kehidupan Corrie ten Boom. Sebagaimana kita ketahui, Corrie ten Boom adalah salah seorang pahlawan iman di abad ke-20. Wanita lajang berkebangsaan Belanda yang baru dengan aktif melayani Tuhan di usia paro baya ini bersama dengan ayah dan kakak perempuannya dijebloskan ke dalam penjara karena menyembunyikan orang Yahudi dari kekejaman Nazi pada Perang Dunia II. Sebetulnya pada awalnya Corrie ten Boom tidak langsung dikirim ke penjara di Jerman yang disebut Concentration Camps. Pada mulanya dia dijebloskan ke penjara lokal di Belanda setelah dia ketahuan menyembunyikan orang-orang Yahudi di rumahnya. Karena banyak polisi Belanda yang tidak suka dengan Jerman yang sudah menyerbu dan menjajah negeri mereka, pada umumnya para petugas di kantor polisi ini bersikap baik pada Corrie. Itu sebabnya selama dalam penahanan, Corrie terus berdoa meminta Tuhan agar membiarkannya ditahan di Belanda dan tidak dipindah ke Jerman. Dia telah mendengar tentang kekejaman Nazi dalam memperlakukan para tahanannya di Jerman. Namun apa yang terjadi? Tuhan menjawab doa Corrie dengan kata "tidak". Dia justru dipindahkan ke penjara di Ravensbruck, Jerman. Sebuah tempat pemenjaraan khusus wanita dimana di situ saja lebih dari 75.000 tahanan mati. Ini benar-benar tempat yang luar biasa mengerikan. Pada awalnya Corrie tidak mengerti kenapa Tuhan tidak menjawab "ya". Dia minta jangan sampai dipindahkan ke Jerman, tapi tetap saja dia dipindahkan ke Jerman, Tuhan menjawab "tidak". Namun pada akhirnya dia mengerti. Begini ceritanya! Di penjara Ravensbruck, Corrie bertemu dengan dua kelompok manusia yang tidak mengenal Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, yaitu orang-orang Yahudi yang saat itu menjadi target utama pembasmian Nazi, dan orang-orang Gipsy yang adalah pengembara di Benua Eropa. Di penjara itulah Corrie dapat mengadakan persekutuan doa dan pemahaman Alkitab. Dan di sana pula dia dipakai Tuhan untuk memberitakan berita keselamatan. Kalau Corrie tetap di Belanda, di dalam penjara disana, Corrie tidak akan dapat bertemu dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Gipsy. Tapi karena dia dipindah ke Jerman, dia berkesempatan untuk berkenalan dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Gipsy. Dan oleh perkenalan itulah banyak di antara mereka mendapatkan bukan hanya kekuatan tapi juga keselamatan dari Tuhan.
GS : Ya. Memang itu suatu kisah yang menarik yang mungkin belum tentu banyak dari pendengar kita yang pernah mengetahui sosok dari Corrie ten Boom, Pak Paul. Pelajaran apa yang bisa kita petik dari peristiwa yang dialami Corrie ten Boom ini?
PG : Ada beberapa hal yang dapat kita petik, Pak Gunawan. Yang pertama adalah rencana Tuhan selalu mencakup tujuan yang lebih luas. Yang saya maksud dengan kata "luas" adalah berdampak luas karena menyentuh kehidupan banyak orang. Jadi rencana Tuhan seringkali akan berdampak luas karena menyentuh kehidupan banyak orang. Seluas-luasnya dampak yang ingin kita capai tidak akan menyamai dampak yang ditimbulkan lewat tindakan Tuhan. Doa Corrie supaya tidak dipindahkan ke Jerman berhubungan dengan dirinya, kakaknya dan ayahnya saja. Namun keputusan Tuhan memindahkannya berkaitan dengan ribuan orang! Benar-benar kita melihat kepindahannya itu memenuhi rencana Tuhan yang berkenaan dengan ribuan orang, jauh lebih banyak daripada yang bisa Corrie lakukan di Belanda.
GS : Namun, ketika dia dipindahkan ke Jerman, dia 'kan tidak tahu bahwa dia bakal bisa memberitakan Injil, bisa mengadakan kelompok pemahaman Alkitab. Dia 'kan tidak mengerti itu sama sekali?
PG : Betul! Saat itu dia benar-benar bergumul, Pak Gunawan. Saya membaca cerita kehidupannya memang luar biasa mengenaskan. Mereka dibawa dengan kereta api. Satu gerbong bisa berisi ratusan orang. Semuanya berdiri karena berdempetan, tidak ada yang bisa duduk! Kalau ada yang ingin duduk karena kelelahan, maka digilir. Jadi beberapa orang duduk, yang lainnya berdiri, nanti gantian. Selama perjalanan yang memakan waktu lebih dari satu hari itu kereta tidak pernah berhenti. Jadi mereka semua buang air dan apa saja di dalam gerbong yang sama. Dengan udara yang begitu pengap, benar-benar penderitaan yang sangat besar sekali. Dan memang Corrie saat itu tidak mengerti. Tapi akhirnya ketika dia sudah di sana, bertemu dengan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan dan dia bisa mengenalkan Tuhan kepada mereka, Corrie sadar itulah rencana Tuhan. Sebetulnya yang menjadi penghibur dan pemberi kekuatan kepadanya adalah kakaknya, Pak Gunawan. Kakaknya yang bernama Betsie itu tidak sempat keluar dari penjara karena lebih dulu meninggal di penjara. Namun Betsie-lah yang terus menerus memberi Corrie kekuatan. Betsie selalu berkata, "Corrie, kita harus selalu bersyukur kepada Tuhan. Ingat firman Tuhan berkata bersyukurlah dalam segala sesuatu. Ayo kita bersyukur untuk penjara ini, bersyukur untuk ini dan itu." Ada satu kisah yang luar biasa, Pak Gunawan. Mereka menyembunyikan Alkitab, membawa Alkitab masuk ke dalam penjara! Hal ini benar-benar ironi. Sebab kita tahu Jerman beberapa ratus tahun lalu adalah pusat pergerakan Reformasi Protestanisme Martin Luther berawal dari situ. Tapi saat Jerman dikuasai oleh Nazi, kalau seseorang di dalam penjara ketahuan membawa Alkitab, dia akan dihukum, dan kebanyakan dihukum mati. Karena Nazi menyebut Alkitab bukannya The Book of God (Buku Allah) tetapi The Book of Lie (Buku Kebohongan). Jadi kalau orang ketahuan membawa Alkitab akan dihukum mati. Corrie ten Boom berhasil menyelundupkan Alkitab. Namun di dalam bangsalnya waktu dia membaca Alkitab dan mengajak orang-orang belajar firman Tuhan, tidak ada satu tentara yang masuk ke dalam bangsalnya. Mula-mula mereka tidak mengerti kenapa demikian. Tapi yang pasti adalah waktu mereka masuk ke bangsal itu mereka semua garuk-garuk dan kulitnya rusak karena bangsal itu penuh dengan kutu dan binatang. Bangsal itu benar-benar rusak kondisinya. Belakangan, Corrie kebetulan mendengar percakapan penjaganya, "Saya tidak mau masuk ke bangsal itu. Banyak kutunya! Kulit saya bisa rusak." Corrie baru mengerti kenapa mereka dimasukkan ke bangsal itu. Mula-mula Corrie mengeluh karena dimasukkan ke bangsal itu, "Kenapa Tuhan? Saya mau tidur saja tidak bisa karena kasurnya penuh dengan kutu. Tuhan kok begitu kejam. Tapi kakaknya berkata, "Corrie, berdoa, bersyukurlah! Ini pasti baik. Berdoa dan bersyukurlah." Belakangan Corrie baru mengerti, tidak heran penjaga tidak mau masuk karena begitu banyak kutu. Jadi karena penjaga tidak masuk, mereka bisa bersekutu bersama dan akhirnya mereka bisa mengenal Tuhan.
GS : Itu cara Tuhan melindungi dan memakai Corrie untuk memberitakan Tuhan di tengah keadaan yang sulit itu, ya pak Paul?
PG : Ya.
GS : Selain memiliki cakupan atau melihat dengan cara pandang Tuhan bahwa ini intuk sesuatu yang lebih luas lagi, apakah ada hal lain yang bisa kita pelajari, Pak Paul?
PG : Yang kedua adalah rencana Tuhan selalu menghasilkan kemuliaan yang lebih luas. Tuhan selalu ingin memperlihatkan kemuliaan-Nya. Bukan karena Dia gila hormat. Bukan! Mungkin kita berpikir, "Kenapa Tuhan ingin selalu dimuliakan? Apakah Dia gila hormat?" Oh, bukan! Tuhan ingin memperlihatkan kemuliaanNya karena Dia ingin manusia melihat dan akhirnya mencicipi kemuliaan Tuhan. Mazmur 96:3 berkata, "Ceritakanlah kemuliaan-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib di antara segala suku bangsa!" Pada kenyataannya kita melihat kemuliaan Tuhan sewaktu kita melihat perbuatan-Nya yang ajaib di tengah kita. Begini, Pak Gunawan. Pada hakikinya melihat kemuliaan Tuhan sama dengan menyaksikan dan mengalami perbuatan Tuhan yang ajaib. Saya berikan contoh tentang Corrie ten Boom lagi. Setelah Corrie dibebaskan dari penjara secara ajaib, dia melayani Tuhan. Pergi ke segala penjuru dunia menceritakan apa yang telah Tuhan perbuat dalam hidupnya. Bukan ribuan tapi jutaan orang telah menerima berkat dari pelayanannya. Apa yang dialaminya dipakai oleh Tuhan untuk memberikan pengharapan kepada banyak orang yang berada di lembah keputusasaan. Dan pengalaman buruk itu dipakai Tuhan untuk membangun kehidupan yang indah pada begitu banyak orang. Kita pun di Indonesia akhirnya dapat melihat kemuliaan Tuhan lewat apa yang diperbuat-Nya dalam hidup Corrie ten Boom. Jadi inilah yang Tuhan lakukan. Waktu Dia berbuat sesuatu, memang kita susah mengerti kenapa Dia menolak dan berkata "tidak" terhadap permohonan kita. Yakinlah ini untuk kemuliaan Tuhan dan kemuliaan-Nya yang lebih luas! Apa arti untuk kemuliaan yang lebih luas? Supaya lebih banyak orang bisa menyaksikan dan mengalami perbuatan Tuhan yang ajaib. Sebab sewaktu kita melihat perbuatan Tuhan yang ajaib, kita pasti akan memuliakan Tuhan.
GS : Memang harus ada yang mau menjalani hal-hal yang sangat sulit seperti yang dijalani oleh Corrie ten Boom ini, ya Pak Paul?
PG : Betul, Pak Gunawan. Kadang yang terjadi adalah kita mengerti secara rasional, tapi secara emosional kita takut tidak berani menghadapi tantangan sebesar ini. Saya masih ingat dalam cerita yang sama, Pak Gunawan. Seorang pendeta teman keluarga ten Boom datang dan mengetahui bahwa Corrie ten Boom dan keluarganya menyembunyikan orang Yahudi. Pendeta ini mengingatkan Corrie, "Jangan! Kamu membahayakan keluargamu." Apa yang dikatakan oleh ayah Corrie ten Boom? Ayahnya berkata demikian, "Kalau saya ditangkap gara-gara menyembunyikan orang Yahudi dan saya harus menderita, itu adalah sebuah kehormatan bagi saya dan saya akan melakukannya!" Itulah ayah Corrie ten Boom. Luar biasa! Waktu ayah Corrie ten Boom ditangkap sebelum dia meninggal dunia, sebetulnya dia ingin dilepaskan karena umurnya sudah 80-an dan sakit-sakitan. Tentara Jerman berkata, "Kamu harus berjanji tidak akan menyembunyikan orang Yahudi lagi. Kalau kamu berjanji, saya akan melepaskanmu." Ya itu semata karena faktor kemanusian. Ayah Corrie ten Boom berkata, "Kalau hari ini Anda melepaskan saya, saya akan pulang dan saya akan mengundang lagi orang Yahudi masuk ke dalam rumah saya." Akhirnya dia tidak dilepaskan. Sepuluh hari kemudian dia mati di penjara. Luar biasa! Benar-benar kemuliaan Tuhan dinyatakan lewat keluarga Corrie ten Boom, Pak Gunawan. Begitu banyak orang yang menerima dan mengalami perbuatan ajaib Tuhan. Dalam kisah kehidupannya, Corrie ten Boom pergi ke penjara-penjara di Eropa, di Afrika dan sebagainya. Disana dia berbicara dengan orang-orang yang divonis mati, dan semua mendengarkan kesaksian Corrie ten Boom. Kenapa? Tidak ada yang bisa menyamai apa yang dia alami. Dia benar-benar mengalami kekejaman manusia.
GS : Tapi memang perlu untuk mengambil suatu keputusan seperti Corrie maupun orang tuanya mengatakan dia akan tetap melakukan itu sekalipun resikonya berat buat mereka. Ini suatu tindakan iman yang mereka nyatakan demi kemuliaan Tuhan. Tanpa ada keputusan seperti itu saya kira tidak akan terjadi hal-hal besar seperti ini, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan. Karena mereka begitu beriman, mereka memutuskan untuk menaati apa yang Tuhan minta. Mereka tidak bisa hidup dengan damai sejahtera melihat kekejaman di sekitar mereka, mereka harus berbuat sesuatu. Meskipun mereka harus kehilangan nyawa mereka. Dalam kisah Corrie ten Boom ini kita bisa melihat kenapa Tuhan menjawab "tidak" untuk permintaan Corrie ten Boom. Misalnya, bila saja Corrie ten Boom memutuskan untuk tidak menyembunyikan orang-orang Yahudi di rumahnya, besar kemungkinan dia akan tetap tinggal di Belanda secara nyaman dan aman. Karena dia tidak akan ditangkap. Namun lingkup pelayanannya juga akan berkisar di wilayah Harlem tempat dia tinggal, di Belanda. Namun karena dia memilih taat kepada Tuhan, maka bukan hanya dia sendiri yang menyaksikan dan mengalami kemuliaan Tuhan, banyak orang menyaksikan dan mengalami kemuliaan Tuhan, yaitu perbuatan Tuhan yang ajaib! Dia dibebaskan dengan ajaib karena dia dipanggil, diberi kartu, lalu dia serahkan kartunya kepada sipir penjara. Sipir penjara berkata bahwa Corrie ten Boom harus dirawat di rumah sakit karena sakit-sakitan, setelah sehat, dia akan dibebaskan. Dia tidak mengerti kenapa dia dibebaskan. Belakangan Corrie tahu apa yang terjadi. Jadi Nazi tidak akan tetap memelihara tahanan yang sudah tua! Corrie ten Boom masih berumur 50-an tapi sudah dianggap tua karena sudah tidak bisa bekerja lagi. Jadi orang-orang yang usianya 50-an kebanyakan langsung dibunuh dengan cara dimasukkan ke kamar gas. Nah, nama Corrie ten Boom seharusnya dimasukkan ke dalam daftar orang yang akan dibunuh di kamar gas karena sudah berusia 50 tahun lebih. Tapi juru tulisnya membuat kekeliruan. Namanya bukan dimasukkan ke dalam daftar orang yang akan dibunuh tetapi dimasukkan ke dalam daftar orang yang harus dibebaskan! Jadi gara-gara itu dia dibebaskan. Dia benar-benar tidak mengerti. Tapi awalnya dia juga tidak mengerti kenapa kakaknya tidak dibebaskan, kakaknya meninggal tidak lama sebelum Corrie ten Boom dibebaskan. Tapi kakaknya sudah berkata kepada Corrie, "Corrie, awal tahun ini (tahun 1945) kita akan dibebaskan." Corrie baru mengerti dia bebas secara fisik, kakaknya bebas secara rohani. Dan kakaknya juga berkata, "Setelah kita lepas, kita akan menjadi saksi Kristus. Kita akan menceritakan perbuatan Tuhan yang ajaib." Sudah tentu kakaknya melakukan hal itu melalui mulut Corrie ten Boom sendiri. Namun intinya inilah yang akhirnya terjadi, Pak Gunawan, kemuliaan Tuhan dinyatakan sampai sekarang oleh kehidupan dan kesaksian Corrie ten Boom ini.
GS : Yang penting disana adalah berani keluar dari zona nyaman yang selama itu bisa dinikmati oleh Corrie ten Boom dan keluarganya, ya Pak Paul?
PG : Ya. Jadi dari sini kita bisa mempelajari satu hal lagi, Pak Gunawan. Ternyata seringkali kemuliaan Tuhan lebih dinyatakan sewaktu Dia berkata "tidak" kepada permohonan kita. Kita sulit menerima kata "tidak", maunya "iya" terus. Tapi sebetulnya kemuliaan Tuhan itu jauh lebih besar terlihat justru sewaktu Tuhan berkata "tidak" terhadap permohonan kita.
GS : Itu juga merupakan cara Tuhan menyeleksi seseorang yang beriman kepada-Nya, ya Pak Paul? Kalau orang-orang yang hanya sekadar ikut-ikutan, sekadar percaya ala kadarnya, saat kena jawaban "tidak" ini dia akan mundur. Dia akan meninggalkan Tuhan. Tapi sebaliknya orang yang sungguh mengasihi Tuhan, walaupun jawaban Tuhan "tidak", dia akan sungguh-sungguh tetap mengikut Tuhan dan mencari kehendak Tuhan, Pak Paul.
PG : Memang kita mesti selalu ingat, waktu Tuhan menjawab "tidak" itu dikarenakan adanya tujuan dan kemuliaan yang lebih luas yang mesti diutamakan-Nya. Tuhan menjawab "tidak" bukan karena kita tidak penting. Kadang kita menyimpulkan begini, "Saya tidak penting bagi Tuhan, karena itu Dia menolak." Atau kita berkata, "Oh, Tuhan menjawab "tidak" karena kita dianggap tidak berharga." Bukan! Hal ini keliru. Jadi saat kita mesti menerima jawaban "tidak" dari Tuhan, kita harus bersikap menerima dan menghormati keputusan Tuhan. Sebab kita tahu ada tujuan dan kemuliaan yang lebih luas yang mesti diutamakan-Nya. Jadi bukannya marah kepada Tuhan, sebaliknya kita harus berkata, "Biarlah tujuan-Mu dan kemuliaan-Mu yang lebih luas itu yang terjadi, Tuhan." Ini yang mesti kita katakan kepadaNya, Pak Gunawan.
GS : Memang itu adalah kualitas manusia itu Pak Paul. Seperti yang sering dikatakan dalam perumpamaan telur dan malam (lilin). Walaupun sama-sama dipanasi, bedanya adalah yang satu bisa mengeras sedangkan yang satu malah melunak dan bisa dibentuk dengan bagus. Sebelum mengakhiri perbincangan ini, mungkin ada ayat yang ingin Pak Paul bacakan?
PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 96:4-6, "Sebab Tuhan maha besar dan terpuji sangat, Ia lebih dahsyat dari pada segala allah. Sebab segala allah bangsa-bangsa adalah hampa, tetapi Tuhanlah yang menjadikan langit. Keagungan dan semarak ada di hadapan-Nya. Kekuatan dan kehormatan ada di tempat kudus-Nya."
GS : Maksudnya apa, Pak Paul?
PG : Tuhan yang paling besar! Tidak ada lagi di dunia ini allah yang bisa menyamai Tuhan Allah kita. Dia adalah pencipta alam semesta ini, Dia adalah pemelihara. Dialah penentu segala yang terjadi, maka kita hanya perlu tunduk berserah kepada-Nya maka Dia akan melakukan kehendak-Nya dan pekerjaan-Nya. Ini yang harus selalu kita camkan.
GS : Bukankah itu yang menjadi tujuan Tuhan pada mulanya dalam membentuk manusia, Pak Paul?
PG : Ya.
GS : Dan melalui hal-hal seperti ini kita diingatkan kembali untuk memuliakan Tuhan dalam kehidupan kita.
PG : Betul.
GS : Ya. Terima kasih untuk perbincangan kita kali ini, Pak Paul. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tatkala Tuhan Berkata Tidak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
75. Peran Iman dalam Pengambilan Keputusan 1 | |
Salah satu keterampilan dalam hidup yang mesti kita kuasai adalah keterampilan mengambil keputusan. Sebagaimana kita ketahui kesalahan dalam pengambilan keputusan dapat berakibat buruk dan panjang. Itu sebab penting bagi kita untuk tahu bagaimana caranya mengambil keputusan dengan baik. Berikut akan dibagikan beberapa pedoman yang dapat kita gunakan dalam pengambilan keputusan. Setelah itu barulah kita akan menyoroti suatu hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan yaitu peranan iman — dan tentunya Tuhan — dalam pengambilan keputusan.
Salah satu keterampilan dalam hidup yang mesti kita kuasai adalah keterampilan mengambil keputusan. Sebagaimana kita ketahui kesalahan dalam pengambilan keputusan dapat berakibat buruk dan panjang. Itu sebab penting bagi kita untuk tahu bagaimanakah caranya mengambil keputusan dengan baik.
Berikut akan dibagikan beberapa pedoman yang dapat kita gunakan dalam pengambilan keputusan. Setelah itu barulah kita akan menyoroti suatu hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan yaitu peranan iman—dan tentunya Tuhan—dalam pengambilan keputusan.
Pedoman Mengambil Keputusan
Firman Tuhan di Yakobus 1:5 berjanji, "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah—yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit—maka hal itu akan diberikan kepadanya." Dalam pengambilan keputusan kita memerlukan hikmat dan Tuhan berjanji untuk memberikannya kepada kita. Jadi, mintalah. Biarkan Tuhan membukakan mata dan pikiran kita sehingga kita bisa melihat dan mendengar dengan jernih.
Peran Iman dan Tuhan dalam Pengambilan KeputusanKita tahu bahwa Tuhan adalah penentu segalanya. Manusia dapat berencana tetapi Tuhanlah yang memutuskan apakah rencana itu akan terwujud atau tidak. Singkat kata, apakah peran iman dan Tuhan dalam pengambilan keputusan? Berikut adalah beberapa pemikiran tentang topik yang penting ini.
Tugas kita sebagai anak Tuhan adalah mengerjakan bagian kita dalam proses pengambilan keputusan dan terus berdoa selama proses berlangsung meminta pimpinan dan kehendak Tuhan. Setelah itu, serahkanlah hasil akhirnya kepada Tuhan. Biarlah Tuhan menentukannya dan dengan iman percayalah bahwa apa pun hasil akhirnya, itu berada di dalam kehendak Tuhan. Amsal 16:3 mengingatkan, "Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka terlaksanalah segala rencanamu."
Saudara—saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Peran Iman dalam Pengambilan Keputusan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, rasanya hampir tiap hari itu kita terlibat pada pengambilan keputusan. Kadang-kadang hal yang remeh saja seperti mau pergi atau tidak, mau pakai baju apa, mau makan apa. Tetapi kadang-kadang dalam hidup ini kita juga harus memutuskan sesuatu yang besar. Mau membeli atau menjual rumah, mau menikah dan sebagainya. Seringkali untuk keputusan-keputusan yang besar seperti itu, kita membutuhkan suatu pedoman. Apa sebenarnya, karena seringkali kita diliputi oleh kebimbangan, keragu-raguan dan akhirnya tidak segera mengambil suatu keputusan. Dan masalahnya bisa berkembang, tambah lama tambah besar. Apa yang Pak Paul ingin sampaikan kepada kita, kepada para pendengar juga, tentang pengambilan keputusan ini?
PG : Jadi betul sekali, Pak Gunawan. Dalam hidup kita akan selalu menghadapi keputusan. Nah sudah tentu kita ini tidak bisa memastikan bahwa keputusan kita itu akan selalu sempurna. Tidak! Tapi yang bisa kita pastikan adalah proses pengambilan keputusan itu sendiri. Jadi jangan sampai kita salah langkah dalam prosesnya. Nah, pada kesempatan kali ini, Pak Gunawan, kita akan coba melihat prosesnya itu sendiri apa saja yang mesti kita perhatikan.
GS : Ya. Kita mulai saja dengan proses itu, Pak Paul. Jadi ada semacam pedoman yang bisa dipakai untuk mengambil keputusan. Nah ini prosesnya bagaimana, Pak Paul?
PG : Pedoman yang pertama adalah sebelum mengambil keputusan kita mesti menanyakan apakah kita memang harus mengambil keputusan tersebut. Kenapa saya berkata begitu? Sebab ada kalanya kita tidak mesti atau tidak seharusnya mengambil keputusan tersebut. Jadi sekali lagi saya ulang, kita ini jangan langsung seperti harus mengambil keputusan karena ada hal yang harus kita putuskan. Kita memang harus bertanya, "Apakah benar-benar saya harus mengambil keputusan tersebut?" Nah, kadang begini, kita mengambil keputusan yang sebenarnya bukan tanggung jawab atau bagian kita untuk melakukannya. Jadi ada waktunya kita mengambil keputusan tetapi ada waktunya pula untuk tidak mengambil keputusan dan membiarkan orang lain untuk mengambilnya. Atau bahkan kita memilih membiarkan situasi berada dalam status quo untuk suatu kepentingan yang lebih besar.
GS : Mungkin supaya lebih jelas, bisakah Pak Paul memberikan contoh konkret untuk menjelaskan hal ini?
PG : Misalkan anak kita sudah berumur dua puluh tahun lebih dan kesulitan memilih pekerjaan. Di masa lampau kita memang pernah menolongnya, memberitahunya, memberikan pandangan kepadanya. Kemudian dia berhenti. Sekarang dia kemudian mencari lagi pekerjaan. Dalam proses ini mungkin kita, sekali lagi hanya melakukan tugas sebagai seorang ayah atau ibu, memberikan pandangan. Nah mungkin sekali anak kita akan berkata, "Tolong papa atau mama putuskan mana yang lebih baik". Nah, mungkin kita tergoda untuk berkata, "Ya sudah, ambil keputusan ini saja", sudah tentu ada waktunya kita mengambil keputusan buat orang lain, tapi ada waktunya kita berkata, "Saya kira lebih baik engkau yang putuskan. Sebab ini benar-benar adalah hal yang mesti engkau putuskan sendiri. Ini berkaitan dengan hidupmu". Sama seperti dalam hal pemilihan pasangan hidup. Sebagai orang tua, kita memberikan pandangan dan kita biarkan anak kita mengambil keputusan itu setelah kita uraikan dengan panjang lebar konsekuensinya, hal-hal yang perlu diperhatikannya. Tetapi biarkan dia yang ambil keputusan itu. Dengan kata lain, kita harus selalu bertanya apakah kita harus mengambil keputusan itu sebab kadang tidak semestinya kita mengambil keputusan.
GS : Pertimbangannya apa, Pak Paul? Kapan kita harus mengambil keputusan, kapan kita membiarkan anak atau siapa pun yang ada di dekat kita untuk mengambil keputusan sendiri?
PG : Biasanya kalau kita melihat bahwa ini adalah tanggung jawab dia, bukan tanggung jawab kita. Jadi kita tidak mudah mengambil alih tanggung jawab orang. Kenapa? Sebab kita mau orang belajar bertanggung jawab atas keputusan yang dibuatnya. Mudah sekali akhirnya orang lain untuk memindahkan tanggung jawabnya kepada kita. Apalagi kalau kita adalah orang tua. Atau ada saudara yang perlu bantuan atau apa, mudah sekali orang memindahkan tanggung jawab itu pada pundak kita. Jadi kalau kita lihat dia itu memang tidak mau mengambil keputusan, tidak mau bertanggung jawab, mungkin itu waktunya kita untuk tidak mengambil keputusan. Tentang pekerjaan, misalnya. Keputusan apakah kita harus bicara dengan atasan kita tentang sesuatu yang terjadi, yang kurang kita sukai atau apa. Nah, kadang kita memang harus bicara. Tapi kadang kita berkata,"Tidak. biarkan sajalah." Nanti kalau atasan kita sudah mengalami, misalnya benturan atau benar-benar mengalami masalah, biarlah dia akan belajar. Sebab di masa lampau kita bicara rupanya tidak disambut dengan baik. Jadi dengan kata lain, ada waktu kita biarkan situasinya seperti apa adanya sampai seseorang mengalami sesuatu yang lebih menyakitkan untuk dia akhirnya belajar sesuatu dari kesalahan tersebut.
GS : Atau kadang-kadang begini, Pak Paul, misalnya anak yang bertanya atau pasangan hidup kita yang bertanya, bisakah kita menjawabnya, "Kalau saya, maka saya mengambil keputusan seperti ini" tapi selanjutnya biar dia sendiri yang mengambil keputusan.
PG : Nah itu memang suatu langkah lebih maju lagi, lebih memberinya sinyal bahwa ini keputusan yang baik. Kadang kita akan melakukan hal seperti itu dan tak mengapa. Tapi kadang karena kita mau supaya orang tersebut benar-benar bertanggung jawab atas keputusannya, baik itu nanti keputusannya positif atau negatif. Jadi kadang kita biarkan saja dan kita hanya memberikan pandangan, "Kalau ini, begini begini begini. Kalau itu, begini begini begini. Sekarang langkahmu, ambillah keputusan tersebut.
GS : Proses atau pedoman yang lain apa, Pak Paul?
PG : Bila memang kita harus mengambil keputusan tersebut, maka kita harus berdoa meminta pimpinan dan kehendak Tuhan. Sejak saat kita berdoa, kita mesti percaya bahwa Tuhan mendengar doa kita dan memimpin kita dalam proses pengambilan keputusan. Jadi bukalah telinga dan pasanglah mata untuk menerima tuntunan Tuhan. Pada umumnya Tuhan memandu lewat firman-Nya dan lewat situasi yang kita alami. Jadi kita mesti pasang mata dan melihat jelas. Tidak jarang Tuhan pun menitipkan kehendak-Nya melalui anak-anak-Nya yang secara khusus dihadirkan-Nya di dalam hidup kita. Setelah kita berdoa kita mesti percaya, Tuhan itu akan mulai mengkomunikasikan kehendak-Nya dan pimpinan-Nya kepada kita.
GS : Ini kalau kita sendiri yang harus memutuskan sesuatu itu, ya Pak Paul? Jadi kita datang kepada Tuhan, minta pimpinan Tuhan. Begitu, Pak Paul?
PG : Ya, betul sekali.
GS : Kalau untuk orang lain apakah bisa, Pak Paul? Kita berdoa tapi untuk mengambil keputusan bagi orang lain.
PG : Sama. Kalau kita mengambilkan keputusan bagi orang lain, sama. Kita akan berdoa meminta Tuhan menunjukkan kehendak-Nya. Selama Tuhan memang tidak mengatakan "jangan" secara jelas, biasanya saya akan terus perlahan-lahan maju menuju kepada pertimbangan yang terbaik itu. Tapi dalam prosesnya kita memang harus terus membuka mata. Sebab kadang Tuhan berbicara kepada kita lewat firman yang kita sedang baca, lewat khotbah yang kita dengar, atau lewat situasi. Tiba-tiba situasi tersebut mempunyai makna. Tidak selalu suatu situasi memberikan makna. Tapi dalam proses pengambilan keputusan, seringkali kita tidak merencanakannya kemudian sesuatu terjadi, tiba-tiba seperti ada makna yang langsung keluar dari peristiwa tersebut yang mengingatkan kita: Ini pesan yang sedang Tuhan sampaikan kepada kita.
GS : Kadang-kadang sebenarnya kita sudah punya rencana untuk memutuskan sesuatu, Pak Paul. Tapi karena kita ingat kita adalah orang yang beriman, kita datang kepada Tuhan, berdoa minta pimpinan Tuhan. Tapi ini 'kan hanya semacam meminta legitimasi dari Tuhan. "Tuhan, saya sudah punya keputusan seperti ini. Tuhan setuju atau tidak?" Begitukah, Pak Paul?
PG : Sudah tentu idealnya memang kita tidak seperti itu, Pak Gunawan. Idealnya kita benar-benar datang kepada Tuhan dalam kenetralan. Tidak ada kecenderungan ke kiri atau ke kanan. Tapi kita ini manusia punya pertimbangan, punya kehendak juga. Jadi ada kecenderungan kita mau ke kiri atau ke kanan. Yang penting adalah kita berkata kepada Tuhan, "Tuhan, kalau saya yang harus pilih, sejujurnya saya akan pilih ini. Kalau Engkau bertanya apa yang aku mau, ini yang aku mau. Tapi Tuhan, bukan kehendakku, tapi kehendak-Mulah yang jadi". Dan itulah doa yang akan Tuhan terima. Bukannya kita ini selalu harus kosong tidak ada kehendak. Ada kehendak pun tidak apa-apa, namun terpenting adalah kesediaan kita untuk mendengarkan apa yang Tuhan harus katakan.
GS : Itu akan jadi pergumulan baru jika jawaban Tuhan berbeda dengan apa yang sudah kita rancangkan sejak awal, Pak Paul.
PG : Ya, betul sekali. Sebab kita ini manusia yang seringkali merencanakan, Pak Gunawan. Jadi sebelum berdoa, sebelum meminta kehendak Tuhan, kita sudah tahu kira-kira apa yang kita mau dan tidak berhenti disitu, kita akan mulai merencanakan apa yang akan kita lakukan. Nah, tiba-tiba kehendak Tuhan berbeda, berarti kita harus mengubah semua rencana.
GS : Pedoman atau proses yang lain apa, Pak Paul?
PG : Kita harus mengumpulkaan informasi selengkapnya. Memang saya mengerti bertambahnya informasi akan menambah kompleks proses pengambilan keputusan. Karena banyak faktor yang kita mesti pertimbangkan. Namun setidaknya bertambahnya informasi juga akan menambah pemahaman akan materi yang harus diputuskan. Dengan kita mencari tahu, kita makin paham duduk masalahnya. Jadi pertimbangkanlah pilihan-pilihan yang tersedia dan pandanglah masalah dari berbagai sudut. Jangan sampai karena sudah begitu bernafsu, luput melihat sesuatu dari sudut yang berbeda. Makin penting dan besar keputusan yang diambil makin bertambah panjang dan rumit proses pengambilan keputusan. Ini yang mesti kita terima, Pak Gunawan. Karena memang keputusan yang besar memerlukan waktu yang lebih panjang dan proses pengambilan keputusannya akan lebih rumit. Jadi jangan kita tergoda untuk mempercepat secepat-cepatnya atau menyederhanakan duduk permasalahannya, karena sudah tidak tahan lagi, ingin tergesa-gesa mencapai suatu keputusan.
GS : Pada bagian yang kedua tadi Pak Paul mengatakan kita perlu membaca firman Tuhan, mendengar khotbah dan sebagainya. Apakah itu juga sebuah informasi sebelum kita mengambil suatu keputusan, Pak Paul?
PG : Betul sekali. Jadi waktu kita dalam tahap mencari informasi dan sebagainya, lalu kita pasang mata, berdoa dan sebagainya, itu berarti kita sedang menambahkan keterangan, konfirmasi, peneguhan dari Tuhan juga.
GS : Nah, kadang-kadang banyaknya informasi bisa membingungkan kita. Bagaimana kita bisa memilah-milah informasi itu, Pak Paul?
PG : Memang tidak bisa tidak, awalnya seperti ada banyak pintu yang harus kita masuki. Tapi akhirnya kita harus lewati satu demi satu. Kita mungkin bisa memperkirakan mana yang lebih relevan dengan apa yang kita butuhkan. Nah, itu yang kita coba untuk ketahui. Namun sampai titik tertentu setelah kita kumpulkan informasi, kita juga harus berkata, "ya sudah". Kita tidak bisa selama-lamanya terus mengumpulkan informasi.
GS : Ya. Karena nanti semakin panjang perjalanannya dan makin rumit buat kita sendiri dengan banyaknya informasi yang kita terima itu, Pak Paul.
PG : Betul! Jadi kita harus mencari informasi selengkap-lengkapnya sampai kita memperoleh pemahaman yang lebih utuh. Tapi jangan sampai terus menerus mencari informasi.
GS : Untuk itu, apakah diperlukan tenggat waktu atau deadline dalam hal ini, Pak Paul? Misalnya saya akan mencari informasi sampai satu-dua bulan atau ada waktu tertentu, Pak Paul?
PG : Saya kira itu baik, asal kita juga fleksibel, Pak Gunawan. Dalam proses pengambilan keputusan kadang-kadang kita harus menunda meskipun kita sudah berikan tenggat waktu. Namun ada tenggat waktu itu juga baik sehingga kita tahu kita harus gunakan waktu sebaik mungkin dan ada batasnya, tidak terus menerus mengumpulkan informasi.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul, yang perlu kita perhatikan?
PG : Hal yang keempat yang perlu kita perhatikan adalah kita perlu meminta masukan dari orang lain sewaktu kita membutuhkannya. Kenapa saya menekankan perkataan "sewaktu kita membutuhkannya"? Karena tidak semua keputusan mengharuskan kita untuk meminta pendapat orang. Tidak! Kadang kita beranggapan setiap hal harus kita konsultasikan dan minta pendapat orang lain. Sudah tentu pada suatu waktu kita ambil keputusan sendiri sebab kita cukup tahu, cukup kenal hal itu, ya sudah kita putuskan sendiri. Tidak harus selalu minta pendapat orang lain. Kalau kita terus meminta pendapat orang lain, akhirnya kita akan terlalu bergantung pada orang dan tidak punya lagi kemandirian dalam mengambil keputusan. Ada satu hal yang perlu saya tambahkan sebagai catatan dalam hal meminta pendapat orang lain, yaitu kita mesti menghargai pendapat orang. Jangan meminta pendapat orang bila kita sudah tahu keputusan apa yang akan kita ambil. Jadi jangan meminta pendapat orang untuk men-stempel keputusan kita belaka. Tidak menghargai orang yang sudah memikirkan dan memberikan pendapatnya kepada kita.
GS : Tetapi kalau kita sudah berkeluarga, pasangan hidup merupakan orang yang patut kita mintai pendapat, Pak Paul. Orang yang kita ajak rundingan sebelum kita memutuskan sesuatu yang besar itu. Begitu, Pak Paul.
PG : Tepat sekali! Ada orang yang berkata, "Ah, ini urusan saya. Tidak usah saya konsultasikan dengan pasangan saya." Tidak! Kenapa? Sebab dampak atau konsekuensi dari keputusan kita nantinya akan memengaruhi satu keluarga, bukan satu orang. Kalau kita tidak menikah dan hidup sendiri, lain perkara. Tapi kalau kita berkeluarga, kita harus ingat keputusan yang kita buat nantinya akan bisa berbuntut dan yang akan terkena adalah keluarga kita. Jadi, kita harus bicarakan hal ini dengan pasangan kita.
GS : Bahkan kalau anak-anak sudah besar, mereka perlu dilibatkan juga dalam hal membuat suatu keputusan penting, Pak Paul.
PG : Saya setuju, Pak Gunawan. Sekali lagi, kalau sampai ada apa-apa, mereka terkena. Nah, dengan mereka dilibatkan, mereka juga akan merasa bahwa kita menghargai mereka dan mereka adalah bagian hidup kita sehingga kita memikirkan dampaknya pada mereka. Kalau kita selalu apa-apa sendiri, putuskan sendiri, tidak bisa tidak, pasangan atau anak-anak akan beranggapan kita ini luar biasa egoisnya. Hanya memikirkan diri sendiri tidak memikirkan kita atau orang-orang lain.
GS : Apakah ada hal lain lagi yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan ini, Pak Paul?
PG : Yang kelima adalah pikirkanlah kemungkinan terburuk selain kemungkinan terbaiknya. Pada umumnya kita mudah terjebak dalam dua sikap yang ekstrem, Pak Gunawan, yaitu terlalu pasti pada kemungkinan terbaik atau terlalu pasti pada kemungkinan terburuk. Kita harus mempertimbangkan keduanya, sebab tak jarang keduanya berada dalam suatu paket yang sama. Bila kita sudah mempertimbangkan kemungkinan terburuk kita tidak akan terlalu kaget dan kecewa tatkala hasil keputusan kita ternyata tidak sebaik yang kita bayangkan dan kita akan jauh lebih siap menghadapi kenyataan pahit itu. Sebaliknya, mempertimbangkan kemungkinan terbaik akan menambah motivasi untuk berjalan terus dengan keputusan yang telah kita ambil. Jadi sekali lagi, pertimbangkan dua-duanya, kemungkinan terbaik dan kemungkinan terburuk. Jangan sampai kita terpaku hanya pada satu.
GS : Memang kita sebagai manusia yang penuh dengan kekurangan, seringkali keputusan yang kita ambil itu tidak ada yang sempurna, Pak Paul. Pasti ada cacat-cacatnya. Dan itu baru ketahuan setelah kita memutuskan.
PG : Ya! Ada kecenderungan kalau kita sudah begitu suka, begitu ingin dengan apa yang akan kita putuskan, kita akan menyoroti yang baiknya saja, Pak Gunawan. "Oh, nanti begini" "Oh, ini tidak apa-apa". Jadi terlalu melihat secara positif. Tapi masalahnya kita tidak mau melihat kemungkinan negatifnya yang sebetulnya juga ada. Kecenderungan kita pada umumnya kalau sudah begitu ingin, sudah pokoknya lihat yang baiknya saja. Jadi saya katakan tadi, tolong lihat kemungkinan terbaik dan kemungkinan terburuk.
GS : Pak Paul, apakah masih ada lagi yang perlu kita pertimbangkan?
PG : Hal terakhir yang perlu kita pertimbangkan adalah dalam perjalanannya jangan ragu untuk mengevaluasi ulang keputusan yang telah kita ambil. Di satu pihak kita mesti teguh, tidak mudah diombang-ambingkan pelbagai tanggapan yang kita dengar. Tetapi di pihak lain, kita harus terbuka terhadap respons atau kenyataan di lapangan. Jadi jangan sampai kita menutupi mata terhadap fakta. Sebab begini, ada kalanya kita baru memeroleh informasi tambahan setelah keputusan dibuat. Ini mengharuskan kita untuk mengevaluasi ulang karena adanya tambahan informasi yang tadinya tidak kita tahu. Mungkin kita perlu merevisi keputusan yang telah kita buat agar lebih tepat sasaran. Tak jarang kita harus membatalkan keputusan karena ternyata itu bukanlah keputusan yang tepat. Jadi sekali lagi dalam pengambilan keputusan jangan ragu mengevaluasi ulang. Ini kadang-kadang susah dilakukan, Pak Gunawan. Karena tentu kita sudah mempertaruhkan nama kita dalam keputusan itu, sehingga meskipun di lapangan sudah kelihatan jelas keputusan tersebut sudah tidak bisa dijalankan, harus kita revisi, kita tunda, atau kita batalkan; tapi karena kita merasa, "Aduh, saya sudah mempertaruhkan nama baik saya, pokoknya jalan terus, tidak perduli." Nah, sebetulnya ini lebih mencelakakan diri, Pak Gunawan.
GS : Tapi masalahnya tidak semua keputusan bisa direvisi seperti itu, Pak Paul. Misalnya keputusan tentang menikahi seseorang. Kita sudah memutuskan, baru setelah itu kita menyadari bahwa itu keputusan yang salah. Itu 'kan tidak bisa direvisi, Pak Paul?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Memang ada hal-hal yang tidak bisa kita revisi, ya sudahlah kita terima, Kita coba perbaiki sedapat-dapatnya saja. Tapi ada hal yang bisa diperbaiki, Pak Gunawan. Misalnya pekerjaan. Ada orang yang sudah terjun, tapi akhirnya sadar, "Ini bukan bidang saya, tidak bisa saya kerjakan ini. Tapi sudah tanggung......" Nah, ada waktu kita harus berkata, "Tidak apa-apa. Memang ada waktu kita akan rugi uang, rugi tenaga, tapi ya sudahlah, memang saya harus akui saya keliru mengambil keputusan ini". Lebih baik begitu daripada terus memaksakan.
GS : Kadang-kadang orang kurang punya cukup keberanian untuk merevisi keputusannya, Pak Paul. Karena dianggap orang ini plin-plan atau tidak punya pendirian. Dia sendiri yang sudah memutuskan apalagi sudah mendoakan, juga sudah yakin, tapi akhirnya keputusan itu tetap saja keliru.
PG : Ya. Saya ingat cerita tentang Pdt. Billy Graham dalam pelayanannya bertahun-tahun lampau sewaktu beliau diundang untuk mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di sebuah tempat di suatu negara. Mereka sudah mengiyakan, Pak Gunawan dan kita tahu dalam persiapannya benar-benar banyak hal yang terlibat dan waktunya juga sangat panjang. Jadi mereka sudah mempersiapkannya. Namun waktu Pdt. Billy Graham dan timnya berdoa, berdoa dan berdoa, semakin mereka mendengar suara Tuhan yang berkata, "Bukan. Ini bukan waktunya". Nah karena terlalu sama, teman-temannya juga mempunyai konfirmasi yang sama dari Tuhan, akhirnya dia dan timnya memutuskan untuk tidak jadi kesana. Tentu ini keputusan besar membatalkan KKR ini. Tapi Pdt. Billy Graham berkata, "Hal ini benar-benar kami yakini sebagai tuntunan Tuhan sehingga akhirnya dibatalkan". Nah, setelah dibatalkan, baru terjadi sesuatu di negara tersebut, yang secara politik tidak baik bagi mereka untuk datang ke tempat tersebut. Jadi akhirnya mereka melihat, "Benar, Tuhan melarang karena ada tujuan tertentu, karena hal ini". Saya mengerti kadang tidak mudah, tapi kita mesti berani merevisi setelah kita melihat kenyataan di lapangan.
GS : Ya. Sekali lagi kita kembali kepada kuncinya yaitu kita taat kepada pimpinan Tuhan, Pak Paul.
PG : Ya!
GS : Perbincangan ini masih akan kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang, Pak Paul. Namun sebelum kita mengakhiri perbincangan kali ini, mungkin Pak Paul ingin membacakan Firman Tuhan?
PG : Firman Tuhan di Yakobus 1:5 berjanji, "Tetapi apabila diantara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit, maka hal itu akan diberikan kepadanya." Dalam pengambilan keputusan, kita memerlukan hikmat dan Tuhan berjanji untuk memberikannya kepada kita. Jadi mintalah! Biarkan Tuhan membukakan mata dan pikiran kita sehingga kita bisa melihat dan mendengar dengan jernih.
GS : Ya! Janji ini sungguh penting karena ini diberikan kepada semua orang dengan murah hati, Pak Paul. Jadi bukan hak kita tetapi Tuhan memberikan itu kepada kita dan kita bisa memintanya kepada Tuhan.
PG : Betul.
GS : Karena keputusan tetap harus kita ambil. Hampir setiap hari dalam sepanjang kehidupan kita ini, kita akan terus berhadapan dengan pengambilan keputusan. Namun perbincangan kita belum selesai, Pak Paul. Kita akan lanjutkan perbincangan kita pada kesempatan yang akan datang dan kita juga berharap para pendengar kita akan mengikutinya. Banyak terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Peran Iman dalam Pengambilan Keputusan" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
76. Peran Iman dalam Pengambilan Keputusan 2 | |
Salah satu keterampilan dalam hidup yang mesti kita kuasai adalah keterampilan mengambil keputusan. Sebagaimana kita ketahui kesalahan dalam pengambilan keputusan dapat berakibat buruk dan panjang. Itu sebab penting bagi kita untuk tahu bagaimana caranya mengambil keputusan dengan baik. Berikut akan dibagikan beberapa pedoman yang dapat kita gunakan dalam pengambilan keputusan. Setelah itu barulah kita akan menyoroti suatu hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan yaitu peranan iman — dan tentunya Tuhan — dalam pengambilan keputusan.
Salah satu keterampilan dalam hidup yang mesti kita kuasai adalah keterampilan mengambil keputusan. Sebagaimana kita ketahui kesalahan dalam pengambilan keputusan dapat berakibat buruk dan panjang. Itu sebab penting bagi kita untuk tahu bagaimanakah caranya mengambil keputusan dengan baik.
Berikut akan dibagikan beberapa pedoman yang dapat kita gunakan dalam pengambilan keputusan. Setelah itu barulah kita akan menyoroti suatu hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan yaitu peranan iman—dan tentunya Tuhan—dalam pengambilan keputusan.
Pedoman Mengambil Keputusan
Firman Tuhan di Yakobus 1:5 berjanji, "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah—yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit—maka hal itu akan diberikan kepadanya." Dalam pengambilan keputusan kita memerlukan hikmat dan Tuhan berjanji untuk memberikannya kepada kita. Jadi, mintalah. Biarkan Tuhan membukakan mata dan pikiran kita sehingga kita bisa melihat dan mendengar dengan jernih.
Peran Iman dan Tuhan dalam Pengambilan KeputusanKita tahu bahwa Tuhan adalah penentu segalanya. Manusia dapat berencana tetapi Tuhanlah yang memutuskan apakah rencana itu akan terwujud atau tidak. Singkat kata, apakah peran iman dan Tuhan dalam pengambilan keputusan? Berikut adalah beberapa pemikiran tentang topik yang penting ini.
Tugas kita sebagai anak Tuhan adalah mengerjakan bagian kita dalam proses pengambilan keputusan dan terus berdoa selama proses berlangsung meminta pimpinan dan kehendak Tuhan. Setelah itu, serahkanlah hasil akhirnya kepada Tuhan. Biarlah Tuhan menentukannya dan dengan iman percayalah bahwa apa pun hasil akhirnya, itu berada di dalam kehendak Tuhan. Amsal 16:3 mengingatkan, "Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka terlaksanalah segala rencanamu."
Saudara—saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu dengan judul "Peran Iman dalam Pengambilan Keputusan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, karena ini merupakan kelanjutan dari perbincangan terdahulu, supaya pendengar kita yang mungkin yang lalu tidak sempat mendengarkan, kali ini bisa mengikuti perbincangan ini secara utuh, apakah Pak Paul bisa menguraikan secara cepat dan ringkas apa yang telah kita perbincangkan terdahulu?
PG : Kita membicarakan tentang pengambilan keputusan. Ada beberapa pedoman yang kita angkat untuk kita jadikan panduan. Yang pertama adalah kita harus bertanya terlebih dahulu apakah kita harus mengambil keputusan tersebut. Sebab ada kalanya kita tidak harus mengambil keputusan itu. Yang berikut adalah kita mesti berdoa meminta pimpinan Tuhan. Sejak saat kita berdoa, kita mesti meyakini Tuhan akan menunjukkan kehendak-Nya. Lewat firman-Nya, lewat situasi yang kita alami, atau lewat orang-orang yang kita temui. Yang ketiga kita harus mengumpulkan informasi selengkapnya. Memang tidak bisa sempurna, tapi cobalah cari informasi, jangan tergesa-gesa, ketahuilah lebih dalam lagi tentang hal yang harus kita putuskan. Yang keempat adalah jangan ragu untuk meminta pendapat orang lain, meminta masukan. Namun jangan sampai sedikit-sedikit minta pendapat orang. Jika kita sudah paham, ambillah keputusan sendiri. Namun bila sudah berkeluarga, sudah tentu keputusan tersebut harus kita konsultasikan dahulu dengan suami atau istri kita. Pedoman kelima adalah kita mesti mempertimbangkan dua kemungkinan, yang terbaik dan yang terburuk. Kadang karena sudah terlalu ingin dan begitu bernafsu, kita mengabaikan kemungkinan terburuk. Jangan! Kita harus lihat dua-duanya. Yang terakhir adalah jangan ragu untuk mengevaluasi ulang keputusan yang telah kita ambil. Kenapa? Karena ada informasi baru yang kita ketahui. Memang ada hal-hal yang tidak bisa kita ubah lagi. Kita sudah menikah, ya kita tidak bisa berkata, "Maaf, saya ulang lagi. Saya tidak jadi memilih kamu". Tidak bisa begitu! Tapi ada hal-hal lain yang masih bisa kita revisi. Jangan ragu untuk berkata,"Ternyata keputusan saya keliru, sekarang saya mau ubah atau melakukan hal yang berbeda".
GS : Pak Paul, sekalipun kita sudah berusaha maksimal untuk mengambil keputusan yang benar, tetapi sebagai orang yang beriman kita tetap tahu bahwa sebenarnya penentu terakhir adalah dari pihak Tuhan sendiri. Jadi kita perlu mendekatkan diri, perlu meminta bimbingan dan petunjuk dari Tuhan, ya Pak Paul.
PG : Ya.
GS : Disini peranan iman penting sekali. Ini berkaitan dengan hubungan Tuhan, sehingga kita harus beriman. Bagaimana aplikasinya, Pak Paul?
PG : Ini pertanyaan yang baik, Pak Gunawan. Sebab kita tahu manusia merencanakan, Tuhan yang menentukan. Jadi mungkin ada di antara kita yang berkata, "Kenapa kita pusing-pusing merencanakan? Akhirnya Tuhan yang menentukan". Jadi kita mau bahas ini, mungkin saya tidak bisa memberikan jawaban yang pasti, tapi saya mau mengajak kita memikirkan hal ini dengan lebih seksama. Yaitu peranan iman dan Tuhan dalam pengambilan keputusan. Yang pertama yang mesti kita ketahui adalah, Tuhan Yesus sendiri mendorong kita untuk meminta! Sebagaimana dicatat dalam Matius 7:7,"Mintalah maka akan diberikan kepadamu; Carilah maka kamu akan mendapat; Ketoklah maka pintu akan dibukakan bagimu". Singkat kata, berdoa dan meminta sesuatu kepada Tuhan adalah hak istimewa yang diberikan oleh Allah Bapa kepada kita anak-anak-Nya untuk dimanfaatkan. Jika demikian, meminta Tuhan untuk memandu kita dalam mengambil keputusan adalah suatu tindakan yang selayaknya dilakukan. Tuhan tidak akan memberikan perintah itu kalau Dia tidak serius. Dia pasti serius waktu Dia berkata, "Mintalah... Ketoklah... maka pintu akan dibukakan". Dia benar-benar ingin mengatakan hal itu kepada kita. Jadi waktu kita mau mengambil keputusan, jangan ragu untuk datang dan meminta Tuhan menuntun. Ini juga perintah Tuhan.
GS : Ini sesuatu yang positif dan aktif dimana Tuhan minta kita melakukan sesuatu sebelum kita mengambil keputusan. Seperti "mintalah, carilah, ketoklah" itu adalah kata-kata kerja aktif yang Tuhan minta dari kita. Karena banyak orang yang berkata kalau sudah berdoa, ya berdoa saja secara pasif tanpa ada usaha apa-apa. Bagaimana ini, Pak Paul?
PG : Betul. Dari sini kita bisa melihat Tuhan meminta kita untuk berperan aktif, sebab rupanya dalam penggenapan atau dalam pemberian jawaban nantinya ada bagian kita pula, Pak Gunawan. Jadi Tuhan akan meminta kita berperan di dalam pengambilan keputusan ini. Dan keputusan akhir juga akan melibatkan kita. Jadi meskipun Tuhan yang menentukan, Dia melibatkan kita dalam prosesnya.
GS : Jadi Tuhan menghendaki kita tidak pasif dan pasrah begitu saja tanpa berupaya sesuatu, begitu Pak Paul?
PG : Betul!
GS : Selanjutnya, hal apa lagi yang perlu kita pahami, Pak Paul?
PG : Hal kedua yang perlu kita pahami adalah pada umumnya Tuhan memandu kita sampai kepada kehendak-Nya, bukan memberikan jawaban secara langsung. Jadi dalam pengambilan keputusan, pada hakikinya Tuhan tidak memberitahukan keputusan apa yang mesti diambil. Tidak! Ada kalanya Tuhan memang melakukannya tapi tidak sering. Biasanya Tuhan menuntun lewat proses waktu dan pengambilan keputusan hingga kita sampai pada suatu keputusan. Sekali lagi yang penting kita mengerti cara Tuhan menjawab doa kita waktu kita meminta-Nya memandu kita dalam pengambilan keputusan. Dia akan mendampingi, bersama dengan kita, menuntun kita. Tetapi Dia jarang langsung memberikan jawaban itu kepada kita. Jadi yang terpenting kita menyatakan ketaatan kepada kehendak-Nya yang final, memasang telinga dan membuka mata untuk melihat apa pun yang Tuhan hadirkan untuk menyatakan kehendak-Nya sedikit demi sedikit. Sudah tentu apapun yang mesti diputuskan tidak boleh melanggar perintah-Nya yang tersurat di Kitab Suci.
GS : Artinya tidak ada pengambilan keputusan yang bisa dilakukan secara instan. Harus lewat proses tahap demi tahap yang harus dilalui, Pak Paul?
PG : Ya. Sebagai contoh, orang yang masih muda yang sedang berpacaran 'kan sering berdoa, "Apakah ini jodohku, Tuhan?" Yang diharapkan adalah suatu jawaban langsung, "Ini jodohmu" atau "Ini bukan jodohmu". Tidak! Tuhan tidak bekerja dengan cara seperti itu. Jadi Tuhan meminta kita untuk menjalani proses mengenal dia terlebih dahulu sama seperti orang lain. Namun dalam proses mengenal dia, Tuhan akan memandu. Dia akan membukakan mata kita melihat hal-hal yang perlu kita lihat dalam relasi ini. Nanti makin banyak bukti baik itu cocok ataupun tidak cocok, makin kita tahu keputusan apa yang harus kita ambil. Waktu kita mengambilnya berdasarkan apa yang telah terjadi dan berdasarkan apa yang telah Tuhan bukakan bagi kita, yakinlah bahwa memang itu adalah kehendak Tuhan.
GS : Walaupun itu kadang-kadang sesuatu yang sulit untuk kita terima pada saat Tuhan memberikan jawaban itu, Pak Paul?
PG : Ya, betul Pak Gunawan.
GS : Selain kita harus taat pada pimpinan atau panduan yang Tuhan berikan pada kita karena jawaban itu tidak diberikan secara langsung, apakah ada hal lain yang perlu kita perhatikan?
PG : Ada, Pak Gunawan. Hal yang ketiga yang penting kita lakukan adalah setelah menjalani proses pengambilan keputusan dan meminta tuntunan Tuhan, ambillah keputusan yang terbaik dan dengan iman terimalah itu sebagai kehendak Tuhan. Saya ulang lagi, setelah kita menjalani proses pengambilan keputusan, mengumpulkan data, meminta pendapat dan sebagainya, dan meminta tuntunan Tuhan, ambillah keputusan yang terbaik dan dengan iman terima itu sebagai kehendak Tuhan. Firman Tuhan di Yakobus 1:6-8 berkata, "Hendaklah ia memintanya dalam iman dan sama sekali jangan bimbang. Sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira dia akan menerima sesuatu dari Tuhan. Sebab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya." Dengan kata lain, apabila kita terus mempertanyakan apakah keputusan ini berada dalam kehendak Tuhan, itu berarti sama dengan kita berkata bahwa Tuhan belum membimbing kita kepada kehendak-Nya. Kalaupun kita keliru menafsir kehendak Tuhan, kita tidak perlu mengkhawatirkan hal itu sebab Dia pasti sanggup meluruskan langkah hidup kita. Jadi maju! Kalau kita sudah pertimbangkan ini yang terbaik dan kita sudah meminta pimpinan Tuhan, ambil keputusan yang terbaik.
GS : Sulitnya dalam pengambilan keputusan itu kita dipengaruhi oleh emosi atau perasaan kita pada saat keputusan tersebut kita ambil, Pak Paul. Sehingga kadang-kadang kita menunda-nunda dan tidak memutuskannya sekarang, sehingga orang lain melihatnya seperti kebimbangan yang tidak ada selesainya dalam kehidupan ini.
PG : Betul! Memang ada orang-orang tertentu yang emosinya kuat sehingga mudah sekali diayun-ayunkan oleh emosi itu, Pak Gunawan. Untuk orang yang seperti ini, saya sarankan selalu tuliskan pertimbangan itu supaya dia bisa membacanya. Karena apa yang dituliskan itu seolah-olah menjadi sebuah fakta, bukan hanya di pikirannya. Setelah dia tuliskan kenapa dia harus ambil keputusan ini, sewaktu dia bimbang, dia bisa membacanya lagi, sehingga dia diingatkan kembali. Mudah-mudahan dengan cara itu hatinya lebih teguh untuk tetap berjalan.
GS : Ya. Tapi sebenarnya Tuhan tidak menghukum atau mencela orang yang punya kebimbangan atau keragu-raguan yang seperti itu. Misalnya seperti Tomas yang meragukan kebangkitan Tuhan Yesus, ini bukan keputusan tapi kenyataan yang dihadapi. Tapi dalam keputusan 'kan juga seperti itu, Pak Paul. Tuhan cukup panjang sabar menantikan kita untuk sampai pada proses yang benar.
PG : Betul. Tentang sabar menunggu, pasti ya Tuhan akan sabar menunggu. Namun firman Tuhan di Yakobus 1:6-8 memang hendak membicarakan faktanya, Pak Gunawan. Yaitu jika kita terus-menerus tidak bisa berkata ini adalah kehendak Tuhan. Bingung terus walaupun sudah meminta dan Tuhan sudah menunjukkan kehendak-Nya dengan lebih jelas setiap hari, kita masih bingung-bingung. Kata Yakobus, kita akan sama seperti orang yang diombang-ambingkan kesana-kemari oleh angin, seperti gelombang. (Dan ini peringatan yang agak tegas) Dan orang yang demikian janganlah mengira dia akan menerima sesuatu dari Tuhan. Artinya dia tidak akan bertemu jawabannya. Tuhan tidak marah. Tapi ini akan merugikan kita sendiri. Begitu, Pak Gunawan.
GS : Seringkali pengalaman yang lampau mempengaruhi, Pak Paul. Misalnya dulu kita pernah bulat hati berkata, "ini adalah kehendak Tuhan", namun ternyata bukan. Sehingga pada waktu mengambil keputusan yang lain di kemudian hari, dia mulai gamang atau ragu-ragu, jangan-jangan peristiwa yang lalu terulang lagi. Saya bilang ini kehendak Tuhan ternyata bukan.
PG : Begini, Pak Gunawan. Kalau memang dalam pengambilan keputusan kita sudah berdoa, benar-benar meminta Tuhan menuntun kita dan dalam prosesnya kita sudah melakukan semua yang harus kita lakukan: mengumpulkan data, konsultasi, dan sebagainya. Tapi setelah kita ambil keputusan itu ternyata keliru, kita pun juga harus berkata berarti kekeliruan kita ini ada di dalam kehendak Tuhan, sebab kita manusia hanya bisa melihat sejauh ini, berpikir hanya sedalam ini. Kalau kita sudah melakukan apa yang harus kita lakukan, tapi tetap hasilnya tidak tepat sasaran, kita tetap harus berkata "ya ini berarti kekeliruan yang ada dalam kehendak Tuhan pula". Ada yang ingin Tuhan lakukan. Dan karena Dia adalah Tuhan yang tak terbatas, kalaupun keliru, nantinya Dia akan sanggup membelokkan kita kembali, mengembalikan kita kepada hal yang memang lebih baik lagi.
GS : Kita memang perlu melihat bahwa kekeliruan itu juga dalam kehendak Tuhan. Ini seolah-olah kita berkata bahwa Tuhan membiarkan kekeliruan itu terjadi dalam hidup kita ini, Pak Paul?
PG : Kadang untuk tujuan tertentu, Pak Gunawan. Tujuan yang memang buat Tuhan ini penting.
GS : Jadi yang salah bukan Tuhannya, ya Pak Paul. Tapi kita sebagai manusia pengambil keputusan ini yang seringkali keliru dalam menyikapi suatu peristiwa.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Hal yang lain yang perlu diperhatikan apa, Pak Paul?
PG : Hal keempat yang patut kita perhatikan adalah dalam kasus tertentu Tuhan akan mengambilkan keputusan buat kita. Ini juga terjadi. Sebagai contoh, seringkali Tuhan memanggil kita sebagai hamba-Nya di luar proses pengambilan keputusan. Kita sama sekali tidak memikirkannya apalagi merencanakan untuk menjadi pelayan Tuhan. Tidak ada pikiran itu. Namun secara tiba-tiba panggilan itu datang dan kita harus memberi tanggapan kepada-Nya. Atau ada kalanya Tuhan meminta kita melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak ada di benak kita sama sekali. Dalam kasus khusus seperti itu sudah tentu tindakan yang tepat adalah menaati suara Tuhan. Walaupun tidak nyaman dan tidak sesuai dengan kehendak pribadi.
GS : Ya, itu yang dilakukan Abraham dalam mempersembahkan Ishak, anaknya, karena Tuhan yang minta. Atau Saulus yang bertemu Tuhan di perjalanan di Tarsus. Dipanggil Tuhan untuk menjadi hamba-Nya ya dia melakukan itu, Pak Paul.
PG : Ya dan memang mereka sama sekali tidak pernah merencanakan. Jadi ada kalanya Tuhan membuatkan keputusan buat kita. Dan yang Dia harapkan pada saat itu adalah kita menaati-Nya.
GS : Ya. Tapi ada juga yang tidak taat seperti Yunus. Sekalipun Tuhan sudah menghendaki dia melakukan sesuatu di Niniwe, dia tetap berkata bukan. dia tidak mau ke sana, Pak Paul. Itu menimbulkan kesengsaraan pada akhirnya.
PG : Kita tetap harus tetap ingat bahwa Dia adalah Allah yang berdaulat. Jadi jangan menuntut Tuhan seolah-olah selalu harus berkonsultasi dengan kita, merencanakan bersama-sama dengan kita. Tidak! Ada hal-hal yang Tuhan undang kita dalam perencanaan-Nya. Ada! Tapi ada hal-hal yang memang Dia tidak melibatkan kita. Dia langsung tetapkan dan Dia harapkan kita untuk menaati-Nya.
GS : Ya itu memang Tuhan punya hak prerogatif yang bisa dilakukan atas kita sebagai ciptaan-Nya. Dia Pencipta kita jadi kita harus tunduk.
PG : Betul.
GS : Tetapi untuk menundukkan diri kadang kita kesulitan, Pak Paul.
PG : Ya, saya mengerti. Karena ini benar-benar di luar jalur. Kita tidak merencanakannya tetapi tiba-tiba Tuhan mengintervensi dan menetapkan sesuatu buat kita. Ini memang tidak gampang. Tapi kita mesti percaya, jika itu terjadi, ada kepentingan yang lebih luas yang sedang Tuhan rencanakan.
GS : Tetapi biasanya pada awal-awalnya terjadi pemberontakan dalam diri kita, Pak Paul. Untuk tidak bisa langsung menerima apa yang Tuhan tetapkan itu. Apalagi bila itu bertentangan dengan apa yang kita ingini.
PG : Ya, memang tidak mudah menerima keputusan Tuhan yang tidak sesuai dengan kehendak hati kita. Itu susah, Pak Gunawan.
GS : Jadi selanjutnya apa yang perlu kita lakukan, Pak Paul?
PG : Hal yang kelima yang mesti kita camkan adalah semurni dan sebaik apapun motivasi di belakang keputusan yang akan dibuat, kita harus terbuka dengan tuntunan Tuhan yang berbeda. Tidak jarang Tuhan membelokkan arah perjalanan yang kita tempuh dalam proses pengambilan keputusan. Mungkin kita berpikir bahwa kita telah salah melangkah, namun sebenarnya kesimpulan itu belum tentu benar. Seringkali Tuhan mendorong kita mengambil langkah menuju suatu titik tertentu terlebih dahulu. Baru setelah itu Dia mengubah arah haluan ke sebuah keputusan yang sama sekali tidak terpikir sebelumnya. Jadi sekali lagi, jika kita sudah berdoa dan percaya dengan iman bahwa Dia sudah menjawab doa dan tengah memandu kita kepada kehendak-Nya, jangan ragu untuk mengikuti pimpinan-Nya, Pak Gunawan.
GS : Ini butuh semacam latihan atau kepekaan kita untuk tahu bahwa ini adalah kehendak Tuhan, ini adalah pimpinan Tuhan. Tanpa itu akan sulit, Pak Paul.
PG : Ya. Kalau kita memang sudah berdoa dan ini adalah yang Tuhan tunjukkan, ya dengan iman kita terima. Memang kadang-kadang saya perhatikan Tuhan bekerja dengan cara seperti itu, Pak Gunawan. Kita pikir kita akan jalan dari A, lewat B, kemudian ke C. Apa mau dikata, Tuhan memang pimpin kita dari A ke B. Dari B Dia tidak pimpin kita ke C, Dia pimpin kita ke D. Ini yang membuat kita bingung pada awalnya dan sulit menerimanya. Tapi kalau kita sudah di B dan ternyata Tuhan belokkan ke D bukannya ke C, kita juga mesti siap dengan tuntunan Tuhan yang membelokkan arah hidup kita.
GS : Ya. Memang hal itu pernah terjadi, misalnya dalam perjalanan pemberitaan Injil Rasul Paulus yang dicegah oleh Tuhan untuk memasuki suatu wilayah dan dialihkan ke wilayah yang lain, Pak Paul. Dan itu bisa terjadi pada saat ini dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang kita inginkan, apa yang kita tuju, tetapi Tuhan membelokkan itu, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi kadang-kadang kita menyimpulkan bahwa dari awal kita sudah salah. Soalnya dari A ke B kok terus ke D. Dari awal A sudah salah. Tidak, seringkali Tuhan memang menuntun kita dari A ke B dulu. Jadi setelah kita berdoa, Tuhan menuntun kita dari A ke B. Tapi setelah di B, Dia memang tidak menghendaki kita ke C, Dia mau kita ke D. waktu itu terjadi, kita mesti menaati Tuhan.
GS : Itu yang membuat kita harus taat kepada tuntunan Tuhan hari demi hari, Pak Paul. Tidak bisa hanya dilihat pada saat terakhirnya atau pada awalnya saja.
PG : Memang Tuhan tidak selalu membukakan pemahaman kita untuk mengerti, Pak Gunawan. Karena pada akhirnya, ketaatan yang beriman justru berharga di mata Tuhan. Sangat bernilai di mata Tuhan. Kalau kita taat karena sudah mengerti, sebetulnya derajat imannya berkurang banyak, Pak Gunawan. Sekali lagi, pokoknya ikuti dan taati saja perintah Tuhan meskipun kita tidak begitu mengerti kehendak-Nya.
GS : Ada sepasang suami-istri yang sekian lama tidak punya anak. Setelah berdoa, sepakat untuk mengadopsi anak, Pak Paul. Ternyata setelah mengadopsi anak, istrinya hamil. Jadi mereka berkata, "Buat apa kita mengadopsi anak, karena Tuhan memberi anak sendiri buat kita?" Ini berpengaruh pada kasih mereka kepada anak yang diadopsi maupun kepada anaknya sendiri, Pak Paul.
PG : Saya tahu kalau kasus ini terjadi biasanya pertanyaan yang muncul,"Kalau tahu begini, kami tidak mengadopsi". Tapi kita lupa melihatnya dari sudut Allah, bahwa Tuhan memang menghendaki kita mengadopsi sebab Tuhan sayang anak itu. Dia mau kita merawatnya. Kalau bukan kita, siapa yang merawatnya? Tuhan seolah-olah menunda kita memunyai anak supaya kita bisa menaati Tuhan untuk mengadopsi anak tersebut.
GS : Jadi rencana Tuhan itu selalu lebih besar dari apa yang bisa kita pikirkan, Pak Paul?
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan.
GS : Apakah masih ada hal lain yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Hal yang terakhir adalah kadangkala Tuhan memimpin kita kepada keputusan yang merugikan kita. Ini susah untuk kita terima. Karena kita hanya mau melakukan sesuatu yang akan menguntungkan kita. Tapi tidak! Kadangkala Tuhan memimpin kita kepada keputusan yang akan merugikan kita. Pada waktu Dia melakukan hal itu, yakinlah bahwa kerugian itu berada dalam kehendak-Nya dan demi kepentingan kita pula. Tidak selalu Tuhan menuntun kita kepada keputusan yang membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Saya berikan contoh tentang Corrie ten Boom. Dia beserta ayah dan kakaknya memutuskan untuk menyembunyikan orang Yahudi dari kejaran tentara Nazi Jerman. Mereka sadar sepenuhnya akan konsekuensi perbuatan mereka. Walau begitu mereka berharap Tuhan akan melindungi mereka sewaktu mereka menyembunyikan orang-orang Yahudi di rumah mereka. Mereka orang Belanda bukan orang Yahudi. Ternyata tidak! Ternyata Tuhan tidak melindungi mereka karena akhirnya mereka ketahuan dan keputusan itu berakibat fatal. Mereka ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Ayah dan kakak Corrie meninggal dalam penjara. Jadi itu sebuah kerugian yang besar. Kesimpulannya Tuhan memimpin Corrie ten Boom kepada keputusan yang merugikannya namun sebagaimana kita ketahui pada akhirnya membawa kemuliaan bagi nama Tuhan. Nah, ini yang sulit kita lihat tapi ujungnya adalah kemuliaan nama Tuhan.
GS : Bagi orang-orang yang tidak sungguh-sungguh di dalam mengikut Tuhan, hal ini bisa membuatnya kecewa kepada Tuhan, ya Pak Paul.
PG : Ya, betul.
GS : Paling tidak timbul pertanyaan-pertanyaan di dalam dirinya, "apa betul ini Tuhan" atau semacamnya.
PG : Jadi memang mengikut Tuhan bukan untuk menguntungkan kita. Tapi mengikut Tuhan supaya nama Tuhan dipermuliakan.
GS : Bahkan di kalangan orang Kristen sendiri dikatakan bahwa kita yang keliru, padahal kita sudah bergumul dengan sungguh-sungguh. Seperti Corrie ten Boom, saya yakin mereka sekeluarga sudah memikirkan hal itu, tapi kenyataannya seperti ini. Dan hal yang memuliakan Tuhan itu baru terjadi sekian tahun berikutnya.
PG : Betul. Kita tidak mungkin mengerti rencana Tuhan itu.
GS : Pak Paul, ini adalah sesuatu perbincangan yang penting dan sangat bermanfaat untuk kita laksanakan di dalam hidup ini. Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini, adakah ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Amsal 16:3 mengingatkan, "Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka terlaksanalah segala rencanamu". Tugas kita sebagai anak Tuhan adalah mengerjakan bagian kita dalam proses pengambilan keputusan dan terus berdoa selama proses berlangsung. Setelah itu serahkanlah hasil akhirnya kepada Tuhan. Biar Tuhan menentukan dan dengan iman kita percaya bahwa apapun hasilnya itu berada dalam kehendak Tuhan.
GS : Yang sulit itu karena kita menganggap hasilnya tergantung kita, bukan tergantung Tuhan. Dan belajar berserah ini memang sesuatu yang harus diawali dengan ketaatan kepada Tuhan itu tadi. Pak Paul, terima kasih untuk perbincangan ini.
PG : Terima kasih, Pak Gunawan.
GS : Para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Peran Iman dalam Pengambilan Keputusan" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
END_OF_FILE | <<Prev Next>> Kembali ke atas |